Terima kasih untuk para pecinta Cersil karya Aan Merdeka Permana yang telah bersusah payah membuat E-Book dan scanning cover,
rasa salut juga rasa hormat untuk para pembaca sehingga blog saya
ini ada. Kami mohon maaf jika halaman ini masih banyak kekurangannya.
Cerita Silat Karya Aan Merdeka Permana. Hak cipta dan copyright pada penerbit/Pengarang dibawah lindungan undang-undang Dept. Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Cipia Paten dan Merek, Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pengarang/Penerbit.
Kisah dalam Cerita Silat ini mengambil cerita waktu pada saat Pajajaran akhir, pada saat raja yang berkuasa di Pajajaran adalah Sang Ratu Prabu Sakti (1543 – 1551 M), buyut Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Sedangkan Pajajaran benar-benar runtuh pada tahun 1570-an, dengan raja terakhir Sang Ratu Prabu Nilakendra, putra Prabu Ratu Sakti..
Berikut
Judul buku dan cover bagi para pecinta Cersil Karya Aan Merdeka Permana yang
dapat dibaca dimanapun anda berada (Klik gambar yang ingin anda baca):
Senja Jatuh di Pajajaran (Seri Ke-1 Trilogi Pajajaran)
Kemelut Di Cakrabuana (Seri Ke-2 Trilogi Pajajaran)
Kunanti Di Gerbang Pakuan (Seri Ke-3 Trilogi Pajajaran)
TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana JILID 11
"Hahaha! Hidup ini persaingan. Bersaing sesama lawan hanya berpikir tentang bagaimana caranya agar hanya kita yang memetik kemenangan. Jangan katakan tipu-muslihat sebagai kejahatan sebab itu hanyalah sebuah perangkat dalam mencapai kemenangan," kata Raden Yudakara sambil tersenyum renyah menatap matahari pagi yang menyongsong di kanannya.
Purbajaya tak bersemangat untuk menyimak pendapat serakah ini. Yang paling tak bersemangat, perjalanan kali ini akan kembali menuju ke utara. Mungkin akan kembali merambah wilayah Sumedanglarang. Sebab seperti yang telah dikatakan Raden Yudakara, mereka akan melakukan perjalanan ke barat, ke wilayah Pajajaran, untuk menjalankan "misi negara" seperti versi yang dikemukakannya.
Bagaimana Purbajaya tidak akan merasa lesu. Perjalanan kali ini serasa penuh tekanan. Ada pemaksaan kehendak dari Raden Yudakara. Pemuda itu menekan Purbajaya dengan berbagai kesulitan. Dan memang tekanan itu sungguh tepat. Purbajaya tak bisa tidak musti ikut keinginan pemuda aneh itu. Kalau dia tak mau maka tak akan ada jalan kembali. Pulang ke Carbon akan dimintai pertanggungjawaban mengenai peristiwa di Cakrabuana. Begitu pun kalau dia kembali ke Sumedanglarang, sama-sama akan dihadang oleh pertanyaan mengenai peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria murid Ki Dita.
Satu-satunya lubang yang bisa menyelamatkan dirinya adalah melanjutkan misi penyusupan ke wilayah Pajajaran. Bila dia mentaati kehendak Raden Yudakara maka dia dijanjikan menerima perlindungan dari pemuda itu. Maka walau pun dengan terpaksa, tentu saja pada akhirnya Purbajaya memilih ikut kehendak Raden Yudakara. Memang serasa terpaksa sebab gerakan-gerakan pemuda itu dalam melaksanakan misi Carbon telah mendomplengkan cita-citanya sendiri. Purbajaya malah menilai, keamanan sudah menjadi rawan karena kepentingan-kepentingan pribadi ini.
Kemunculan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih misalnya, jelas-jelas direkayasa guna mendukung kepentingan tertentu dengan memanfaatkan dan mengipasi tuntutan sebagian kecil orang-orang Sindangkasih. Ini yang amat membahayakan sebab dengan demikian terjadi adu-domba di antara kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak perlu bertikai.
Ini sungguh menyebalkan. Kalau saja Purbajaya tak tertarik dengan sebuah urusan, mungkin dia lebih memilih mati ketimbang melibatkan diri ke dalam kancah politik jahat ini.
Ya, di hati Purbajaya ada juga sedikit rasa penasaran. Dia ingin menguak kabut misteri yang menyelimuti dirinya. Orang mengatakan kalau dirinya adalah anak seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana masa kini) di wilayah Tanjungpura (daerah Karawang). Benarkah kedua orangtuanya terbunuh dalam pertempuran antara pasukan Carbon dan Pajajaran? Benar atau tidak, yang jelas hati kecilnya memendam rasa penasaran yang sangat. Dengan adanya misi ke wilayah Pajajaran, maka sedikit banyaknya Purbajaya akan bisa menyilidiki perihal keberadaan dirinya.Itulah sebabnya, biar pun sebal dia ikut juga.
Namun yang hatinya tak enak, perjalanan menuju utara ini akan mengingatkan dirinya kepada peristiwa terbunuhnya tiga orang calon ksatria Sumedanglarang. Bagaimana dia mempertanggungjawabkan kejadian ini kepada Ki Dita sebagai guru mereka? Bagaimana pula musti bertanggungjawab kepada orangtua mereka dan kepada penguasa Sumedanglarang, tokh bagaimana pun ketiga orang calon ksatria itu tengah melaksanakan tugas negara.
Perasaan tak enak lainnya menderanya pula bila dia ingat Ki Bagus Sura. Jelas, dia telah gagal melaksanakan keinginan orang tua itu. Purbajaya tak bisa menyelamatkan surat daun lontar dan Purbajaya pun tak bisa melaksanakan keinginan orang tua itu agar dia menikahi Nyimas Yuning Purnama. Jangankan bisa memepertanggungjawabkan amanat orang tua itu, sekadar ingin merawat luka Ki Bagus Sura saja dia tak bisa. Memalukan sekali!
Bila akan menuju wilayah Pajajaran musti lewat Sumedanglarang, hati Purbajaya memang berat sekali.
Namun, berani pulakah Raden Yudakara lewat Ciguling (wilayah ibu kota Sumedanglarang)? Purbajaya pun sangsi kalau pemuda itu berani menampakkan diri di pusat keramaian sebab Raden Yudakara diduga punya masalah juga. Malah bisa saja masalah yang dia hadapi di Sumedanglarang lebih berat ketimbang masalah yang dialami Purbajaya.
Bagaimana pun Raden Yudakara jelas sudah dicurigai pihak penguasa Sumedanglarang. Walau pun tidak sampai ditangkap, mungkin pemuda itu akan ditolak masuk bila diketahui keluyuran di Ciguling. Bila demikian halnya, maka Purbajaya menduga kalau pemuda itu tak akan membawanya ke pusat ibu kota Sumedanglarang. Dan itu artinya harus menyisir jalan yanag lebih berat untuk menghindari jalan pedati yang banyak dilalui umum.
Purbajaya mengeluh. Tidak melalui jalanan umum berarti cari penyakit lagi. Dia sudah bosan musti bertemu lagi dengan kelompok orang jahat dan bertempur dengan mereka. Purbajaya merasa kalau kelak akan kembali dihadang penjahat di daerah sunyi dan terpencil. Benar perkiraan Purbajaya, Raden Yudakara tak membawanya ke jalan besar, melainkan memotong ke arah jalan setapak yang sunyi dan lebat oleh pepohonan.
Raden Yudakara sungguh berani, padahal cuaca sudah mulai mendung oleh kabut tebal karena senja telah mulai jatuh.
Keberanian ini cukup mengundang pujian di hati Purbajaya. Hanya orang yang memiliki keyakinan kuatlah yang tidak pernah ragu-ragu dalam setiap tindak-tanduknya......
Kalau mengingat akan hal ini, sebetulnya Purbajaya boleh merasa malu kepada Raden Yudakara. Perilaku antara dia dan pemuda bangsawan itu sungguh jauh berbeda. Raden Yudakara serba optimis dan penuh keyakinan dalam menghadapi persoalan apa pun, sementara dirinya selalu banyak pertimbangan. Apakah memang benar orang yang terlalu berkutat dengan pertimbangan sulit maju sementara yang punya keberanian akan mudah menggapai cita-cita, Purbajaya tak bisa memastikannya.
Hanya yang jelas, dirinya telah banyak gagal hanya karena terlalu banyak perasaan dan pertimbangan, sementara Raden Yudakara banyak menerima kesuksesan hanya karena mengandalkan keberanian dan rasa optimisnya.
Namun demikian, Purbajaya tak percaya kalau kesuksesan yang diraih oleh Raden Yudakara mewakili kebenaran. Ambillah contoh keberhasilan pemuda bangsawan itu dalam mempersunting Nyimas Waningyun. Dia memang berhasil. Namun keberhasilan ini tidak dilalui oleh perbuatan yang mengatasnamakan kebenaran. Dia bisa merebut sukses tapi tidak terhormat.
Baginya yang penting adalah menang, bagaimana pun caranya. Rupanya begitu pula yang dilakukan kepada diri Nyimas Yuning Purnama. Gadis yang jujur dan baik hati ini tidak merasa perlu berhati-hati kepada keteguhan seorang lelaki bernama Raden Yudakara. Disangkanya, pemuda bangsawan berwajah tampan ini memiliki hati yang tampan pula.
Mengapa seseorang yang berhati jujur musti mencurigai orang lain, begitu kebiasaan berpikir orang Pajajaran. Mungkin cara berpikir seperti ini pula yang dipunyai oleh Nyimas Yuning yang lugu dan jujur itu. Dan mungkin itu pula kiat kesuksesan Raden Yudakara, dia memanfaatkan kejujuran dan kepercayaan yang diberikan orang lain untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri. Pemuda itu menenggak kesuksesan dari pengorbanan dan kejujuran orang lain.
Berjalan di tengah hutan lebat di saat senja menjelang memang perlu keberanian. Bukan saja binatang buas yang akan menghadang namun juga orang jahat.
Tapi sesudah agak lama merambah hutan dan malam pun tiba, mereka berdua tidak mendapatkan gangguan yang berarti kecuali kegelapan dan tebalnya kabut dingin. Berjalan di kabut yang pekat, kedua orang itu harus bertindak amat hati-hati sebab jalan setapak di hutan pegunungan ini meniti tepian jurang.
Sungguh Purbajaya tak mengerti akan sikap pemuda bangsawan ini. Menurut hemat Purbajaya, sebaiknya perjalanan dihentikan guna beristirahat dan dilanjutkan esok harinya. Namun kelihatannya Raden Yudakara sengaja melakukan perjalanan malam guna mengejar waktu. Apa yang dia kejar, sungguh Purbajaya tak tahu.
Purbajaya menghentikan lamunannya ketika secara tiba-tiba Raden Yudakara memberi abaaba agar Purbajaya menghentikan langkahnya.
"Di sini dia rupanya ... " gumam Raden Yudakara. "Ada apa?" tanya Purbajaya heran. "Lihat cahaya di mulut gua itu ... " Raden Yudakara menunjuk sambil bicara pelan. "Memang itu cahaya api," jawab Purbajaya ikut bicara pelan. "Kau pergilah sana, cari tahu!" perintah pemuda itu.
Purbajaya tercenung sebentar. Raden Yudakara memang cerdik. Untuk hal-hal yang membahayakan, dia tak mau semberono menantang maut dan diserahkannya kepada orang lain.
Dan dengan hati dongkol, Purbajaya terpaksa mentaati perintah ini. Dia berjingkat akan segera pergi ketika tangannya ditarik kembali oleh Raden Yudakara.
"Kau hati-hatilah. Tugasmu hanya mengintip siapa di dalam. Sudah itu kau kembali lagi ke sini," perintahnya lagi.
Dan Purbajaya berindap-indap kembali mendekati mulut gua.
Itu adalah gua batu, namun banyak ditumbuhi semak pohon paku dan terlihat rimbun sekali. Hanya karena cahaya api saja Purbajaya bisa melihat di mana arah mulut gua.
Purbajaya terus bergerak dengan amat hati-hati. Dia khawatir kalau yang ada di dalam gua adalah orang jahat berkepandaian tinggi.
Dan sebentar kemudian dia sudah ada di mulut gua. Purbajaya berhenti sebentar untuk mengatur pernapasan dan sekalian menunggu, apakah penghuni gua mengetahui kedatangannya atau tidak?
Setelah yakin bahwa tak ada gerakan mencurigakan dari dalam gua, Purbajaya segera melanjutkan pengintaiannya.
Sungguh hati Purbajaya terkejut ketika dia tahu siapa yang ada di dalam gua. "Ki Dita ... " bisiknya pelan sekali. Purbajaya jadi heran, mengapa Ki Dita berada di sini. Seorang diri lagi. Lantas ke mana Ki Bagus Sura dan Paman Ranu?
Namun tentu saja, untuk langsung memasuki gua dan menemui Ki Dita dia tak berani. Di samping Raden Yudakara tak memerintahkan demikian, juga karena terselip perasaan curiga. Jangan-jangan Raden Yudakara berjalan di gelap malam secara terburu-buru adalah untuk bertemu dengan Ki Dita.
Karena pertimbangan inilah maka Purbajaya secepatnya kembali menemui Raden Yudakara.
Dan sungguh mencengangkan, ketika Purbajaya melapor siapa yang ada di dalam gua, Raden Yudakara gembira.
"Sudah aku duga, dia menunggu kita di sini ..." gumamnya. Kemudian serta-merta dia meloncat dari tempat sembunyi dan menuju arah gua.
Purbajaya pun mengikutinya dari belakang dengan perasaan ingin tahu.
Ki Dita yang tengah duduk di dalam terlihat bersila mengatur pernapasan. Dia terkejut sekali ketika secara tiba-tiba ada yang datang. Namun setelah tahu yang datang adalah Raden Yudakara, wajah orang tua itu terlihat tegang.
"Raden ... " "Betul, ini aku." Untuk kedua kalinya Purbajaya terkejut. Nyatanya antara Raden Yudakara dan Ki Dita sudah saling kenal.
"Kau telah melaksanakan tugas dengan baik, Dita," kata Raden Yudakara gembira. Namun yang dipuji nampak murung.
"Tapi engkau keterlaluan, Raden. Mengapa ketiga orang murid saya engkau bunuh?" keluh Ki Dita menunduk.
"Aku hanya bunuh satu. Satunya dibunuh Si Purba ini," Raden Yudakara menunjuk hidung Purbajaya. Nada bicaranya enteng saja sepertinya ini hanya urusan bunuh membunuh hewan piaraan.
Demi mendengar ucapan Raden Yudakara, Ki Dita celingukan seperti tengah mencari seseorang. Rupanya Ki Dita tak melihat kalau yang datang adalah dua orang sebab Purbajaya berdiri di belakang tubuh Raden Yudakara.
Dan wajah Ki Dita beringas ketika pandangan matanya beradu dengan mata Purbajaya. Dia cepat berdiri dan menghambur ke arah di mana Purbajaya berdiri.
"Dia anak buah Ki Bagus Sura, tak sangka membunuh muridku!" teriak Ki Dita menyerang Purbajaya.
Sudah barang tentu Purbajaya gelagapan diserang mendadak seperti ini. Namun ketika Ki Dita melayangkan pukulan, tangan kanan orang tua itu segera tertahan oleh cekalan ketat tangan Raden Yudakara. Cekalan itu disertai tenaga dalam. Buktinya, Ki Dita nampak menyeringai karena kesakitan. Purbajaya mengeluh di dalam hatinya. Ternyata kepandaian Raden Yudakara berada di atas tingkat kepandaian Ki Dita. Padahal kalau dirinya bertanding melawan Ki Dita, belum tentu dia memenangkannya.
"Jangan serang dia. Si Purba bukan anak buah Ki Bagus Sura!" teriak Raden Yudakara. "Tapi dia telah bunuh murid saya!" teriak pula Ki Dita penasaran. "Maksudmu, engkau pun kelak akan membunuhku? Ingat, aku pun telah bunuh muridmu!" kata Raden Yudakara.
Dikatakan begini, Ki Dita menjatuhkan tubuhnya dan meloso tak bertenaga. Dia menutupi wajahnya, sedih dan kesal.
"Ada memar biru di leher Wista. Saya hapal, Radenlah itu yang berbuat. Anak itu tak berdosa, mengapa musti dibunuh?" keluh Ki Dita.
"Gara-garanya Si Purba ini. Kalau tidak terjadi kejadian seperti itu, Si Purba ini tak nanti mau bergabung lagi denganku. Dia hampir jadi pengkhianat. Makanya aku ciptakan masalah agar Si Purba punya keterkaitan dan ditekan oleh masalah itu."
Ki Dita melongo, apalagi Purbajaya.
"Sudahlah. Ketiga muridmu adalah orang tiada guna. Kerjanya hanya membesar-besarkan masalah kecil. Tak pantas untuk jadi abdi negara. Kalau ikut kita, mungkin hanya mengganggu gerakan kita saja," kata Raden Yudakara.
Namun Ki Dita masih terlihat tak puas.
"Aku malah punya masalah dengan Si Aditia. Anak ini kerjanya menjelek-jelekkan aku. Hampir saja aku tak bisa menikahi Nyimas Yuning karena gangguan pemuda brengsek itu. Coba, apakah kau merasa terhormat memiliki murid manja dan tak hormat kepada orang yang semestinya dihormat dan disegani?" tanya Raden Yudakara. Lantas pemuda ini ikut duduk dan segera mengambil daging burung walik yang terpanggang di atas api unggun. Daging burung itu dimakannya sendiri dengan lahapnya tanpa menawari yang lainnya.
Perut Purbajaya keruyukan ketika melihat Raden Yudakara makan dengan lahapnya. Sejak kemarin siang mereka berdua memang belum makan apa-apa. "Ketiga orang murid saya memang bodoh-bodoh. Dan mereka sungguh tak tahu apa-apa perihal kegiatan kita ini ..." gumam Ki Dita masih murung.
"Justru karena tak tahu apa-apa maka kemungkinan mengganggu kita semakin mudah. Sementara kalau mereka kita libatkan ... Ah, orang-orang itu memang dungu, kekanakkanakan dan selalu membesar-besarkan masalah sepele saja. Aku benci anak-anak. Mereka rewel dan manja. Aku malah heran, engkau yang setangguh ini hanya memiliki murid-murid sampah seperti itu ..." omel Raden Yudakara. "Saya sebetulnya hanya pekerja biasa, Raden. Ketiga orang itu anak-anak bangsawan semata dan pengaruh orangtua mereka lumayan. Saya hanya diberi kemudahan, makanan, pakaian dan perumahan yang layak, sesudah itu saya tak bisa apa-apa untuk menolak keinginan para pejabat itu," kata Ki Dita dengan pandangan mata sayu tak bersemangat.
Hanya dikomentari oleh Raden Yudakara dengan dengus ejekan.
"Selanjutnya saya musti bagaimana?, Raden?" tanya Ki Dita setelah lama berdiam diri.
"Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih sedang kembali ke wilayahnya. Kuanggap untuk sementara, tugas mereka selesai. Yang aku inginkan, engkau tetap berada di Sumedanglarang," Raden Yudakara memerintah sambil masih mencemili sisa-sisa daging di sela-sela tulang burung walik panggang.
"Tapi saya susah untuk memberikan alasan perihal korban yang begitu banyak yang diderita oleh anggota pasukan kami. Bayangkanlah Raden, dari seluruh pasukan, hanya saya sendiri yang selamat. Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas karena luka-lukanya terlambat menerima pengobatan."
Purbajaya terkejut setengah mati ketika Ki Dita melaporkan hal ini.
"Mengapa engkau begitu takut menghadapi masalah ini padahal jauh sebelumnya engkau telah tahu kalau misi kalian ini akan gagal?" tanya Raden Yudakara menegur tak suka akan ucapan Ki Dita.
"Saya memang tahu kalau misi kami pasti gagal. Tapi yang saya tidak duga, mengapa semua orang musti tewas? Akhirnya saya sendiri pasti musti mempertanggungjawabkan perkara ini ... " keluh Ki Dita.
"Sudahlah. Wajar kalau setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Dan karena pasti akan ada yang korban, kita musti memilih jangan sampai kita sendiri yang jadi korban. Sejauh ini kau kan selamat, bukan?" tanya Raden Yudakara enteng saja."Lagi pula, jangan salahkan pasukan siluman bila Ki Bagus Sura dan Ki Ranu tewas. Kesalahan terletak pada mereka sendiri, mengapa punya kepandaian tak seberapa? Kau yang berkepandaian hebat, bukankah tidak mengalami suatu apa dalam pertempuran melawan pasukan siluman itu, bukan?" lanjutnya.
Serasa menggigil tubuh Purbajaya karena menahan amarahnya. Bagaimana tak begitu, Raden Yudakara semakin nyata selalu menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Purbajaya sedih dan marah. Ki Bagus Sura, Paman Ranu, bahkan siapa pun, tewas sia-sia karena permainan orang lain. Dan semua musibah ini terpusat kepada perilaku Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkannya, orang tua bernama Ki Dita ini. Purbajaya menyangka kalau Ki Dita hanya sekadar anak buah Ki Sanjadirja yang selalu berseteru dengan Ki Bagus Sura. Kenyataan membuktikan kalau Ki Dita malah di Sumedanglarang itu tak ikut ke manamana selain kepada Raden Yudakara. Purbajaya berpikir kalau gerakan Raden Yudakara ini terasa semakin berbahaya karena jaringannya meluas dan ada di mana-mana. Siapakah pengendali utama dalam gerakan ini? Benarkah hanya Raden Yudakara seorang diri?
Dan ingat ini, Purbajaya jadi semakin penasaran untuk lebih mengetahui gerakan sesungguhnya. Untuk melampiaskan rasa penasarannya, tidak ada jalan lain selain Purbajaya terus ikut ke mana Raden Yudakara pergi.
"Tidak. Apa pun yang terjadi, engkau harus tetap kembali ke Sumedang." Suara Raden Yudakara memerintah dengan pasti dan tak boleh dibantah.
Ki Dita menatap, sepertinya mencoba mengajukan penawaran.
"Kau diperlukan di sana guna memata-matai gerakan Kangjeng Pangeran. Dia curiga padaku tapi belum bisa mencari bukti. Namundemikian, aku tak mau perasaan curiga ini semakin menyebar ke sana ke mari. Makanya engkau aku tempatkan di sana. Kau pun bertugas mengikis habis faham-faham yang sekiranya merugikan perjalananku," kata Raden Yudakara.
Dan akhirnya Ki Dita tak bisa membantah lagi kendati di wajahnya nampak ada keraguan.
Malam itu mereka tidur di gua. Tapi Purbajaya hanya tiduran saja. Hatinya penuh rasa gelisah. Dia gelisah memikirkan tindakan Raden Yudakara yang kesemuanya selalu di luar perkiraannya.
Sampai malam menjelang pagi, Purbajaya tidak tidur barang sekejap.
Raden Yudakara yang semalaman tidur mendengkur, malah bangun duluan. Serta-merta dia membangunkan Purbajaya yang kepalanya terasa berat dan matanya merah karena kurang tidur.
"Ada apa?" tanya Purbajaya heran. Dia sangka, pasti ada hal-hal yang mengejutkannya lagi.
"Cepat ajak Ki Dita menangkap burung hutan yang seperti tadi malam, atau binatang tangkapan apa saja yang sekiranya bisa kita gunakan sebagai sarapan pagi," kata Raden Yudakara menarik tangan Purbajaya agar cepat bangun.
Purbajaya mengangguk, demikian pun Ki Dita yang juga telah ikut bangun karena diganggu celoteh pemuda bangsawan itu yang ribut.
Dari sini tersirat keyakinan Raden Yudakara. Menyuruh Purbajaya pergi tanpa kawalannya hanya menandakan bahwa dia yakin kalau Purbajaya tak akan pergi memisahkan diri.
Tapi Purbajaya memang tidak berniat lari. Selain akan percuma saja, juga karena dia memang ingin terus mengikuti pemuda aneh itu.
Hanya yang dia khawatirkan adalah Ki Dita. Purbajaya disuruh berburu binatang bersama orang itu dan Ki Dita terlihat begitu bersemangat untuk melaksanakan perintah ini. Purbajaya khawatir kalau Ki Dita bergegas menerima perintah itu sebenarnya untuk berurusan dan melakukan perhitungan atas kematian ketiga orang muridnya. "Cepat berangkat Purba! Ki Dita sudah berangkat duluan!" kata Raden Yudakara kembali memerintah.
Dengan sedikit waswas, Purbajaya akhirnya pergi juga menuju luar gua. Di luar memang sudah dinantikan oleh Ki Dita. "Mari berangkat. Kau pergi di depan!" Ki Dita berkata dingin semakin hati Purbajaya menjadi waswas.
Purbajaya memang berjalan duluan di muka. Mula-mula berjalan biasa. Namun karena langkah kaki yang menyusulnya dari belakang terdengar cepat, Purbajaya pun jadi mempercepat langkahnya. Begitu Purbajaya mempercepat langkah, Ki Dita pun semakin mempercepat langkah pula. Dan karena ini, maka Purbajaya segera berlari cepat. Ki Dita pun sama berlari cepat. Maka dalam sebentar saja, dua orang itu seperti saling susul. Yang berlari di depan berusaha tak ingin tersusul, sebaliknya yang di belakang seperti berusaha menyusul.
Purbajaya berlari kencang menggunakan ilmu larinapaksancang (berlari cepat meringankan tubuh) yang pernah diajarkan Paman Jayaratu, gurunya. Larinya seperti tak menapak tanah saking cepatnya. Bahkan ketika menginjak rumput, ujung rumput hampir tak bergoyang.
Namun celakanya, Ki Dita pun memiliki ilmu yang sama. Ketika Purbajaya menengok ke belakang, nyatanya Ki Dita tak terpaut begitu jauh jaraknya. Hanya menandakan bahwa ilmu mereka seimbang.
Sekarang Purbajaya mencoba menambah tenaganya. Namun Ki Dita pun sama menambah tenaganya. Purbajaya mencoba menaiki lereng bukit, berloncatan dari satu tonjolan batu ke tonjolan batu lainnya, namun Ki Dita pun melakukan hal yang sama.
Sampai pada suatu ketika, Purbajaya terpaksa musti menghentikan langkahnya sebab di depannya jurang menganga lebar.
Purbajaya tak tahu seberapa dalam dasar jurang itu. Melihat ke bawah, keadaan gelap oleh tebalnya kabut. Dan karena tak berani meloncat, akhirnya Purbajaya hanya pasrah apa yang akan dilakukan Ki Dita terhadapnya.
"Engkau lihat binatang buruan di bawah sana?" tanya Ki Dita.
Purbajaya undur setindak. Ki Dita nampak tengah bersiap dengan kuda-kuda menyerang.
"Mana saya tahu, dasar jurang tertutup kabut," ujar Purbajaya sambil sama-sama memasang kuda-kuda untuk bertempur.
"Coba loncatlah kau ke sana!" Ki Dita menyuruh tapi dengan sikap mengancam. Purbajaya diam mematung tapi dengan urat-urat nadi menegang keras. "Ayo loncat!" teriak Ki Dita. Dia membuat gerakan seperti akan melakukan pukulan jarak jauh dan Purbajaya pun mencoba membuat gerakan seolah-olah akan menahan serangan jarak jauh itu. "Ha, kau takut mati, ya ... "
"Siapa pun takut mati selama belum bosan hidup," jawab Purbajaya.
"Kau pandai bicara dan sepertinya hanya engkau sendiri yang masih betah di dunia. Dengarkan anak pengecut, ketiga orang muridku penuh dengan cita-cita tapi dengan entengnya kau pupuskan harapan hidup mereka. Sekarang cobalah kau rasakan, betapa sakitnya orang yang ingin bertahan hidup tapi selalu di bawah ancaman kematian," kata-kata Ki Dita ini disusul sebuah serangan jarak jauh.
Purbajaya tak berani menahan pukulan ini, melainkan jongkok menghindar. Dahan pohon di belakangnya berkerotokan karena patah. Daunnya rontok beterbangan dan akhirnya melayang ke bawah jurang.
"Saya memang bersalah membunuh muridmu ... " gumam Purbajaya sedih.
"Kalau begitu, terimalah hukumannya!" lagi-lagi Ki Dita melakukan serangan. Kali ini Purbajaya meloncat ke atas dan tangannya bergayut pada batang pohon lain.
"Berilah saya kesempatan untuk menjelaskannya!" teriak Purbajaya. "Apa yang musti dijelaskan?" "Saya tak sengaja melukai Aditia karena pemuda ini akan membunuh Yaksa. Dengan amat kejamnya Aditia membabat kutung tangan Yaksa. Hati siapa tak teriris melihat kejadian mengerikan ini. Jadi saya marah dan tak bisa tahan emosi," tutur Purbajaya sebenar-benarnya. Kemudian Purbajaya menerangkan kembali urutan peristiwa itu.
"Aditia marah karena Yaksa tak mau membunuh saya yang diduganya telah bunuh Wista. Padahal engkau sendiri telah menduga kalau Wista dibunuh Raden Yudakara," kata Purbajaya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Dita mengendurkan urat-uratnya. "Ah ... lagi-lagi pemuda itu!" keluh Ki Dita akhirnya. "Mengapa Ki Dita bergabung dengan Raden Yudakara? Saya tadinya berpikir, engkau adalah pengabdi setia di Sumedanglarang," Purbajaya berkata dengan nada menyesalkan sikap orang tua ini yang ditudingnya sebagai mendua.
"Dan engkau sendiri bagaimana, anak muda?" Ki Dita balik menyindir sehingga membuat sepasang pipi Purbajaya terasa panas.
"Hhhh ... Saya terperangkap akal liciknya," jawab Purbajaya mengeluh. Mendengar keluhan Purbajaya, Ki Dita pun sama mengeluh. "Mungkin kita bernasib sama, anak muda. Raden Yudakara itu licin dan cerdik. Aku pun memang masuk perangkapnya ..." kata Ki Dita akhirnya.Ketegangan berakhir setelah kedua orang ini saling mengeluhkan nasibnya yang persis sama. Lalu keduanya duduk di tanah berumput dan saling memaparkan riwayat sampai tergelincir menjadi "anak-buah" Raden Yudakara.
Ki Dita ini sebenarnya seorang pengabdi. Namun kelemahannya, pengabdiannya selalu dipertautkan dengan imbalan.
"Aku ini pengajar kewiraan. Ya, sebenarnya hanya sebagai pengajar belaka dan bukan pengabdi seperti sangkamu. Aku mengajar karena telah mendapatkan berbagai kemudahan di istana. Aku diberi pakaian, aku diberi pangan, aku pun diberinya perumahan," kata Ki Dita.
Namun, kata Ki Dita, kadang-kadang fungsi dia sebagai pengajar tak bisa berjalan sesuai dengan yang sebenarnya. Menurut aturan, tugas Ki Dita adalah menggembleng para pemuda Sumedanglarang agar menjadi ksatria tangguh. Namun dalam kenyataannya, banyak pemuda pejabat ketangguhannya diragukan tapi lolos menjadi ksatria.
"Mengapa Ki Dita mau membodohi diri sendiri?" tanya Purbajaya.
"Karena dipaksa oleh keinginan orang-orang yang memberiku berbagai kemudahan," jawab Ki Dita.
"Seperti yang terjadi pada pemuda Wista, misalnya?"
"Ya, begitulah kira-kira. Banyak pejabat keliru dalam menafsirkan kasih sayang kepada keluarga. Karena anak mereka keberadaannya bisa dilihat orang bila menjadi ksatria negri, maka banyak pejabat kasak-kusuk agar putranya lolos dalam pelatihan, bagaimana pun caranya."
"Bagaimana caranya?"
Ditanya seperti ini, Ki Dita menghela napas.
"Ini memang salahku juga. Aku terlalu silau oleh kekayaan." Nada bicara Ki Dita seperti mengandung penyesalan.
"Para pejabat memberimu kekayaan?" Ki Dita mengangguk. "Aku butuh kekayaan yang banyak. Keinginan seperti itu terlahir karena di sekelilingku banyak orang yang hidupnya papa menderita. Semakin banyak orang yang papa, semakin tergerak hatiku mengejar harta."
"Untuk menolong orang-orang papa itu?"
"Bukan. Aku ingin kaya karena aku tak ingin seperti mereka, hidup tak punya masa depan dan tak bisa mengurus keluarga dengan baik. Itulah sebabnya aku ingin kaya. Dan karena peluang menjadi orang berkecukupan hanya bisa dicari lewat melatih kewiraan, maka itu pula yang aku kerjakan." "Kendati tidak menghasilkan perwira-perwira tangguh?" potong Purbajaya mengetawakan. "Ya, aku banyak gagal melahirkan perwira tangguh ..." keluh Ki Dita. "Lantas apa hubungannya dengan keberadaan Raden Yudakara?" tanya Purbajaya lagi. "Dia kan lama tinggal di seputar benteng karaton." "Ya, bahkan sampai berhasil mempersunting Nyimas Yuning Purnama ..." sambung Purbajaya. Dan bicara perihal ini hati Purbajaya menjadi sakit.
"Betul. Raden Yudakara pandai mempengaruhi orang. Ki Bagus Sura pun mudah dibujuk sehingga dengan amat mudahnya menyerahkan anak gadisnya. Ini hanya karena iming-iming yang dijanjikan anak bangsawan Carbon itu," kata Ki Dita."Aku pun tergoda iming-iming. Raden Yudakara menjanjikan jabatan dan harta melimpah asalkan ... "
"Asalkan apa?"
"Menyelidiki situasi di lingkungan karaton." "Apa yang musti diselidiki di sana?" "Ah, sebenarnya sungguh membahayakan. Dia ingin mendata orang-orang yang tak menyukai Kangjeng Pangeran ..."
"Mengapa melakukan ini?"
"Entahlah. Namun Raden Yudakara berkata kalau dirinya sanggup membantu menyelesaikan masalah."
"Masalah bagi siapa?"
"Tentu, masalah bagi kelompok yang tak menyukai Kangjeng Pangeran," jawab Ki Dita. "Membahayakan ..." "Tentu membahayakan. Itulah sebabnya, kini rasa sesal menghantuiku ..." jawab Ki Dita dan wajahnya penuh rasa khawatir.
"Tapi engkau telanjur mau karena iming-iming itu, Ki Dita?" Ki Dita mengangguk lesu. "Namun sebetulnya, yang menekanku bukan semata karena iming-iming itu." "Ada hal lain lagi yang menekanmu?" "Raden Yudakara tahu kalau aku gila kekayaan dan gemar menerima suap dari pejabat. Maka itu pula yang digunakan Raden Yudakara dalam menekankan keinginannya. Katanya, apa yang jadi kebiasaanku akan ditutup rapat selama aku ikut dirinya. Yang penting, turuti apa yang jadi perintahnya maka kedudukanku aman. Begitu katanya. Kelemahanku sudah dipegang oleh Raden Yudakara. Aku jadi benar takut didepak dari istana. Makanya aku laksanakan keinginannya ..."
"Saya tak percaya kalau ada pejabat di bawahnya yang tidak menyukai Kangjeng Pangeran ... " gumam Purbajaya.
"Banyak orang menilai baik buruknya seseorang karena didasarkan pada kepentingannya sendiri. Kita akan menganggap orang lain baik karena telah menguntungkan kita, sebaliknya akan menilai buruk karena orang itu merugikan kita," kata Ki Dita sambil menatap berkeliling. Hutan lebat ini ternyata sudah tak diselimuti kabut lagi. Burung walik pun mulai terdengar kicaunya di atas dahan pohon carik angin.
"Apakah Ki Sanjadirja masuk kelompok ini?" tanya Purbajaya penuh minat. "Kau pandai menebak orang," jawab Ki Dita. "Bukan karena kecerdikan saya, melainkan karena sudah diketahui betapa Ki Sanjadirja kalah bersaing dengan Ki Bagus Sura dalam mendapatkan perhatian Kangjeng Pangeran," jawab Purbajaya menepiskan pujian orang.
Dan Ki Dita mengangguk mengiyakan.
"Kau mengabdi pada Ki Sanja pasti atas saran Raden Yudakara." Purbajaya coba menebak dan ternyata tebakannya ini benar.
"Aku disuruh Raden Yudakara untuk memanas-manasi Ki Sanjadirja agar semakin membenci Kangjeng Pangeran ..." jawab Ki Dita polos.
Purbajaya menghela napas panjang. Dan kelakuan Purbajaya ini ternyata diikuti oleh elahan napas Ki Dita juga.
"Saya bingung ... " Purbajaya bergumam.
"Aku pun bingung ..." tiru Ki Dita seperti burung beo saja. Purbajaya menoleh. "Bayangkanlah Purba, tiga orang pemuda di bawah bimbinganku mati semua. Aku pasti dipecat mereka, padahal aku sudah akan diusulkan sebagai anggota pelatih kewiraan di lingkungan lebih tinggi lagi. Putuslah reputasiku ..."
"Yang saya bingungkan soal perilaku Raden Yudakara," bantah Purbajaya sebab merasa tak punya kesamaan dalam memiliki kebingungan ini."Saya bingung, apa pula maksud sebenarnya mengacau dan mengadu-domba pejabat di Sumedanglarang?" tanya Purbajaya seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Aku tak pernah ingin tahu apa keinginan pemuda aneh itu. Yang aku pikirkan sekarang, bagaimana nasibku selanjutnya? Kembali ke Ciguling (ibukota Sumedanglarang) aku tak berani. Namun ikut Raden Yudakara pun aku tak kerasan. Jalan pikirannya aneh-aneh, mungkin terlalu tinggi dan aku tak bisa mengerti maknanya. Padahal keinginanku tak muluk, hanya ingin hidup aman sejahtera hingga akhir hayat. Itu saja," kata Ki Dita sambil mengeluh dan memukul jidatnya sendiri beberapa kali.
Dalam pandangan Purbajaya, Ki Dita sudah tak tampak sebagai seorang guru kewiraan yang bisa melahirkan generasi bangsa yang tangguh, melainkan tampak hanya berupa seorang pencari upah yang gagal dalam usahanya. Bersyukur ada Raden Yudakara, sebab orang seperti ini bisa terusir dari Sumedanglarang.
Namun dua orang itu tak bisa lama-lama mengobrol sebab tugas berburu binatang harus segera dilakukan. Kalau berlarut-larut tak kembali, khawatir Raden Yudakara lama menunggu dan dia akan curiga.
Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita, berusaha mengejar binatang buruan. Di daerah itu hanya burung-burung walik yang banyak berkeliaran. Mereka beterbangan atau berloncatan dari dahan ke dahan. Itulah sebabnya, baik Purbajaya mau pun Ki Dita hanya mencoba mengintai mangsa seperti itu saja. Masing-masing siap dengan beberapa kerikil. Dan setiap ada burung menclok, mereka lempar dengan kerikil disertai pengerahan tenaga dalam yang amat kuat. Mereka bersaing mengejar buruannya sebanyak-banyaknya.
"Aku dapat tiga ekor!" teriak Ki Dita gembira.
"Wah ... saya hanya dapat dua ekor ... " kata Purbajaya "tak puas" sambil membuang dua ekor burung walik lainnya yang sudah dia dapatkan. Purbajaya tak mau orang tua itu kalah bersaing. Itulah sebabnya lebih baik dia saja yang mengalah.
"Coba lihat tangkapanmu. Wah, hanya dua ekor, kecil-kecil lagi. Tapi biarlah, untuk sarapan pagi cukup segini saja," kata Ki Dita gembira. Dia pulang duluan menenteng buruannya. Purbajaya mengikuti dari belakangnya.
Di dalam gua, Raden Yudakara sudah siap menunggu. Pemuda itu ketawa renyah ketika melihat Purbajaya dan Ki Dita sama-sama menenteng hasil buruan.
"Cepat buatkan api. Purba, kau giliran mengumpulkan dahan-dahankaso yang sudah kering."
Raden Yudakara kerjanya memang hanya memerintah. Tapi ketika makanan sudah terhidang, dia dapat giliran paling awal dalam melahap makanan itu.
"Musti dengan nasi yang ditanak di Rajagaluh ..." kata Raden Yudakara yang mulutnya penuh dijejali serpihan daging walik sampai-sampai minyak berlelehan di sudut bibirnya.
Purbajaya pun dapat bagian daging walik ini. Dan ketika makan, teringat Paman Jayaratu.
Membakar daging burung walik memang kegemaran Paman Jayaratu. Tapi bersama Paman Jayaratu, memasaknya tidak sederhana seperti ini. Sebaiknya, sesudah daging dikuliti, tubuh burung dilabur bumbu tumbuk campuran bawang putih, bawang merah, merica atau jahe. Kalau ada minyak samin buatan Nagri Parasi bisa lebih bagus. Sambil digarang di atas bara api, daging burung dilabur minyak samin. Maka harumnya daging yang dibakar berpadu dengan harum khas bumbu-bumbu itu, bakal semakin menggoda perut yang lagi lapar. Pagi ini daging burung hanya dibakar tanpa bumbu atau pun juga tanpa garam barang sejumput. Namun bagi orang yang perutnya lama tak diisi, ini adalah makanan yang amat istimewa. Hanya dalam waktu tidak terlalu lama, semua daging sudah habis dilahap tiga orang. Yang tinggal hanya tulang-belulangnya saja.
"Mari!" ajak Raden Yudakara berjingkat setelah membersihkan mulut dan tangannya. "Ke mana?" tanya Ki Dita menatap heran. "Ke mana? Apa kau sangka kita ini sedang pesiar?" Raden Yudakara balik bertanya dengan nada ketus.
Tapi Ki Dita masih tak mau beranjak.
"Kau harus kembali ke Ciguling!" kata Raden Yudakara. Tapi Ki Dita masih diam. "Kalau begitu, kau ikut aku langsung ke wilayah barat! Kau takut bertemu orang-orang Sumedanglarang, kan?" tanya Raden Yudakara.
"Benar, Raden."
"Kau pengecut. Tapi tak mengapa. Ayo ikut saja ke wilayah barat."
"Saya juga tak mau ikut. Saya ingin di sini saja ..." jawab Ki Dita pelan dan menunduk. "Maksudmu, di dalam gua ini?" Lagi-lagi Ki Dita tidak menjawab.
"Kalau tak ikut aku, kau tak bisa ke mana-mana," tutur Raden Yudakara dingin. Kemudian dia tepuk-tepuk bagian belakang pakaiannya yang kotor oleh debu.
"Benar kau tak akan ke mana-mana?" "Tidak Raden ..." "Mau tinggal di sini saja?" "Mungkin begitu, Raden ..." "Benar?" nada suara Raden Yudakara semakin dingin.
"Saya ini orang kecil, Raden. Ikut dengan orang besar dan pintar sepertimu, saya tak akan mengerti. Jalan pikiranmu terlalu tinggi dan susah dimengerti. Daripada saya pusing sendiri, lebih baik saya tak ikut saja," kata Ki Dita akhirnya.
"Kau akan mati di sini ..." desis Raden Yudakara. "Tidak. Justru saya akan mati bila terus-terusan ikut Raden ..." kata Ki Dita."Jauh-jauh hari sebelum kenal engkau, hidup saya tentram. Namun setelah kau hadir, hidup saya kacau. Saya dipaksa untuk menilai orang, untuk bercuriga ke sana ke mari, padahal jauh sebelumnya, mereka baik-baik belaka kepada saya. Jadi, jalan pikiran Radenlah yang meracuni saya ..." kata Ki Dita mulai berani sebab Raden Yudakara seperti tetap memaksanya.
Wajah Raden Yudakara merah-padam.Purbajaya tahu kalau pemuda ini paling murka pendapatnya tak diikuti. Dia khawatir, Ki Dita dihadapkan kepada mara-bahaya karena hal ini.
"Jadi, kau tak akan ikut aku, ya?" "Betul, Raden ..." "Sudah kau putuskan, ya?" "Sudah saya putuskan, Raden ..." "Baik kalau bagitu. Tinggallah kau di sini!" teriak Raden Yudakara. Dan dengan kecepatan sulit diduga, pemuda itu melakukan pukulan jarak jauh dengan amat dahsyatnya. Saking dahsyatnya, suara angin berciutan dan batu-batu di dalam gua berguguran.
Purbajaya hanya sanggup berdiri mematung dengan mulut melongo. Dia sudah punya firasat kalau Raden Yudakara akan mencelakai Ki Dita, namun gerakan dahsyat yang dilakukan pemuda itu sama sekali tak bisa diduganya. Dengan amat pedihnya, Purbajaya hanya bisa menyaksikan, betapa tubuh Ki Dita yang tak pernah mempersiapkan diri terlontar keras dan berdebuk di dinding gua. Tubuh itu meloso ke bawah, kemudian tertimpa reruntuhan batuan gua. Tak ada gerakan sesuatu dari tubuh Ki Dita selain sebelah tangannya tersembul tak berdaya dari sela-sela gundukan bebatuan.
Purbajaya berhenti dari keterpanaannya dan segera menghambur ke arah reruntuhan batu kemudian mencoba menolong tubuh Ki Dita yang tertimbun di bawahnya.
"Sudahlah, dia sudah tewas ... " kata Raden Yudakara dengan nada biasa seolah-olah itu bukan peristiwa penting dan mencekam.
Purbajaya coba memeriksa nadi di tangan Ki Dita yang menyembul ke atas. Benar saja, sudah tak ada denyut nadi.
"Kau membunuhnya, Raden ... " desis Purbajaya.
"Dia yang minta ... " jawab Raden Yudakara enteng saja.
"Kau kejam. Kau tanpa perasaan sehingga nyawa begitu tak berarti bagimu!" Purbajaya mengecamnya.
Dikecam seperti ini wajah Raden Yudakara merah-padam kembali. Tapi Purbajaya tak takut. Paling-paling dia dibunuhnya. Mengapa takut dibunuh, tokh selama ini mati-hidupnya telah ada di tangan pemuda kejam ini. Tapi Raden Yudakara tak memukulnya, melainkan hanya menjambak bajunya di bagian dada dan mengangkat tubuh Purbajaya tinggi-tinggi.
"Dengarkan kau manusia dungu. Justru aku melakukan hal ini karena aku menghargai nyawa. Tapi nyawa siapakah? Apa kau pikir kita musti menghargai nyawa orang lain ketimbang nyawa kita sendiri? Aku bunuh orang itu karena kalau dibiarkan maka nyawa kita yang terancam. Dia sudah tahu perjalanan dan rencana kita. Kalau dia memisahkan diri dari kita tentu hanya untuk menghalangi jalan kita saja."
"Aku tak paham jalan pikiranmu!"
"Memang tidak akan paham sebab orang kecil sepertimu tak akan mengerti jalan pikiran orang besar sepertiku. Kau orang kecil dan bodoh hanya mampu berpikir akan masalahmasalah kecil saja dan tidak akan memahami masalah-masalah besar yang tengah aku pikirkan."
"Tapi perkara nyawa bukanlah urusan kecil!" bantah Purbajaya dengan dada sakit karena keberadaan dirinya dihina seperti ini.
"Itulah sebabnya aku bunuh orang dungu itu sebab kalau kubiarkan lepas, akan banyak nyawa melayang. Keselematanku, keselamatan kau dan keselamatan banyak nyawa lainnya," kata Raden Yudakara.
"Siapa yang lainnya?"
"Siapa? Tentu adalah mereka yang sepaham dengan kita," tukas Raden Yudakara lagi dengan tegas."Sudahlah. Kau memang dungu. Dengarkan, selama dunia berkembang, maka selkama itu pula akan selalu terdapat perbedaan pendapat di antara manusia. Bila semua orang telah sama-sama memiliki keinginan untuk berkembang, maka akan bersaing dengan yang lainnya dan terjadilah pertikaian. Kau harus pahami itu. Hanya orang bodoh dan tanpa keinginan yang sanggup melahirkan kedamaian tapi kedamaian sepi tak berarti. Dan aku tak mau itu. Aku tak mau jadi orang mati hanya karena mendambakan kedamaian. Tapi aku harus jadi orang nomor satu kendati dunia dalam keadaan apa pun. Dan untuk menjadi orang nomor satu, aku harus berhjuang, apa pun perjuanganku!" Raden Yudakara berkata lantang dan mengejutkan.
Kalau saat itu ada guruh mengguntur, maka hanya suara pemuda ambisius itu saja yang paling keras suaranya. Barangkali burung dan binatang hutan pun hanya akan takut mendengar suara Raden Yudakara ketimbang suara halilintar di siang hari bolong.
"Cita-citamu akan mengancam keselamatan orang lain," gumam Purbajaya parau karena bulu-kuduk berdiri mendengar isi hati pemuda aneh ini.
"Aku bukan orang sadis sebab aku pun butuh teman. Namun terus-terang, aku tak bisa menyelamatkan banyak nyawa di tengah-tengah persaingan dalam saling menekan dan saling mengalahkan. Kalau pun akan menyelamatkan nyawa, maka itu adalah nyawa kita sendiri, atau nyawa orang-orang yang membantu kita dan bukan nyawa orang-orang yang memusuhi atau menyaingi kita," kata lagi pemuda itu.
Purbajaya hanya termangu-mangu. "Nah, ini perkataanku yang terakhir. Kalau kau banyak bertanya dan apalagi banayak mendebat lagi, maka kuanggap kau bukan orang sehaluan denganku," desis Raden Yukadara dengan suara dingin. Sesudah itu, pemuda ini keluar dari gua lebih dahulu dan meninggalkan Purbajaya yang masih termangu.
Dengan perasaan tak berketentuan, Purbajaya pun bangun dari duduknya dan ikut keluar gua. Jasad Ki Dita dibiarkan terkubur bebatuan gua karena Raden Yudakara tak memberi waktu untuk merawat jasad itu.
Purbajaya memang harus ikut ke mana pemuda itu pergi. Bukan dia takut mati oleh ancaman Raden Yudakara, tapi semakin lama meneliti perilaku pemuda itu, maka semakin besar juga rasa penasaran di hati Purbajaya. Kalau benar Raden Yudakara orang jahat, biarlah Purbajaya tahu secara keseluruhan, sampai di mana kejahatan pemuda itu. Purbajaya merasa kalau Raden Yudakara ini bukan hanya bekerja sebagai mata-mata saja. Menjadi mata-mata hanayalah sebuah perangkat untuk menutupi kegiatan sesungguhnya. Kepada siapa dia menutupi identitas sebenarnya?
***
Raden Yudakara terus membawanya ke utara. Purbajaya di sepanjang jalan tidak bertanya lagi sebab Purbajaya tahu kalau pemuda bangsawan ini akan menuju wilayah Pajajaran.
"Kita akan singgah di wilayahkandagalante (pejabat setingkat wedana kini) Sagaraherang," kata Raden Yudakara menebasi tetumbuhan yang menghalangi jalan dengan ranting kayu.
Selama melakukan perjalanan, Raden Yudakara memang tak mau lewat jalan pedati yang banyak dilalui umum, melainkan memotong-motong belukar atau bahkan ngarai. Kentara sekali bahwa di wilayah yang berdekatan dengan Ciguling (ibukota Sumedanglarang), dia tak berani menampakkan diri. Pusat kota Sumedanglarang tidak mereka lewati.
Sagaraherang adalah daerah yang terletak di dataran rendah sebelah utara Sumedanglarang. Bila di wilayah Sumedanglarang mereka harus berjalan turun-naik bukit dan meniti jurang terjal, maka ketika memasuki wilayah Sagaraherang, jalanan mulai rata. Di daerah ini, kalau mau sembunyi dari pandangan umum sebetulnya agak sulit sebab dataran rendah ini banyak terdiri dari padang alang-alang terbuka dan juga rawa. Satu dua memang terlihat bukit dengan pepohonan dataran rendah namun jumlahnya tidak banyak.
Sagaraherang adalah wilayah yang masih dikuasai Pajajaran. Namun demikian, pengaruh dari pusat kekuasaan sudah terasa lemah. Wilayah ini malah sudah begitu dekat dengan pesisir utara, padahal pesisir utara hampir semuanya dikuasai Nagri Carbon. Sebagai daerah perbatasan, kontak penduduk dari dua wilayah mudah dilakukan.
Seperti apa kata Raden Yudakara, orang kecil memang tak bisa berpikir besar. Namun karena ini pula, jalan pikiran orang kecil ternyata bisa bebas dari kemelut besar hanya karena secara lugu telah mengartikan nilai kehidupan secara sederhana saja. Buktinya, dua penduduk dari dua wilayah berlainan paham ini. Secara politis antara Carbon dan Pajajaran ini bermusuhan. Tapi, apalah arti perbedaan politik bagi orang yang tak mengerti politik. Sebab yang sebenarnya dipahami oleh mereka hanyalah bagaimana agar bisa bertahan hidup sesuai kemampuan. Penduduk dari dua negri berlainan paham ini satu sama lain sebetulnya tetap saling memerlukan. Penduduk pedalaman (Pajajaran), amat memerlukan garam, ikan asin atau barang-barang hasil produksi orang pesisir bahkan kain halus buatan negri sebrang seperti kain satin buatan Campa atau kain sutra buatan Cina. Sebaliknya penduduk pesisir memerlukan hasil bumi dari wilayah pedalaman, seperti kapas, asam, berbagai rempahrempah atau bahkan anggur agar kelak oleh orang pesisir bisa dijual lagi ke negri sebrang. Oleh sebab itu politik bagi orang awam dan kaum pedagang tak diperhatikan benar sebab mereka tetap saling membutuhkan.
Di pinggiran wilayah Sagaraherang bahkan amat sulit membedakan, mana orang Carbon dan mana orang Pajajaran. Logat bahasa mereka malah seperti campur-aduk. Tak mengapa orang Pajajaran logatnya jadi "kecarbon-carbonan" karena kental dan baur oleh perdagangan. Jenis pakaian yanag digunakan pun sudah bercampur-baur. Ada orang Sagaraherang tapi sudah terbiasa menggunakan bendo citak atau baju takwa padahal itu biasa digunakan oleh orang Demak atau pun Carbon. Orang Pajajaran di wilayah ini adat-istiadatnya memang terpengaruh oleh orang Carbon.
Namun kesederhanaan perilaku penduduk ini suka dimanfaatkan oleh "orang pintar" yang mengaku tahu politik. Hubungan perdagangan dari kedua penduduk ini dimanfaatkan untuk kepentingan penyamaran dan penyelundupan dengan kepentingan politik pula. Kerap terjadi orang Pajajarana memasuki Carbon melalui perbatasan ini atau pun sebaliknya orang Carbon memasuki wilayah Pajajaran dengan maksud untuk kepentingan politik.
Sesudah tiba di wilayah Sagaraherang, Raden Yudakara tak mengajak Purbajaya untuk main sembunyi lagi. Mereka berdua malah kembali menyusuri jalan pedati yang ramai digunakan lalu-lintas perdagangan.
Apalagi sesudah memasukilawang -kori(gerbang) kota, di mana orang yang hilir-mudik semakin banyak pula. Kata Raden Yudakara, keberadaan Purbajaya sudah tak diketahui sebagai orang Carbon lagi.
"Kau hanya perlu menyelaraskan bahasa yang dipakai saja. Ini adalah wilayah Sunda dan tak banyak orang menggunakan bahasa Demak," kata Raden Yudakara sambil menyebutkan bahwa di wilayah Pajajaran Purbajaya harus belajar bahasa setempat.
"Sedikit-sedikit saya sudah dilatih bahasa Pajajaran oleh Paman Jayaratu ... " jawab Purbajaya.
"Itu malah lebih bagus!" Raden Yudakara mengacungkan jempol memuji. Kini Purbajaya dibawa menghadap kepada penguasa wilayah itu. "Jangan sungkan. Kandagalante Sunda Sembawa adalah kerabat dekatku," kata Raden Yudakara.
"Oh ... " Purbajaya hanya bergumam.
"Betul. Sementara, Ki Sunda Sembawa pun punya kekerabaan yang erat dengan penguasa Pajajaran sekarang. Dengan demikian, kalau ditelusuri, sebetulnya aku pun masih kerabat Pajajaran juga. Tapi jangan cemas, Ki Sunda Sembawa adalah tetap teman sendiri," kata Raden Yudakara.
Purbajaya termangu. "Teman sendiri" punya arti khusus. Secara politis, apakah Ki Sunda Sembawa pun sudah memihak Carbon?
Purbajaya tersenyum kecut, sekaligus dia pun tak mengerti, mengapa ini terjadi?
Purbajaya pernah menerima penjelasan dari Paman Jayaratu, antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya punya kaitan kekerabatan yang amat erat. Kangjeng Pangeran Cakrabuana pendiri Nagri Carbon (asal kata daricaruban , artinya negri bermacam-macam bangsa), adalah salah seorang putra Prabu Sri Baduga Maharaja penguasa Pajajaran. Pangeran Cakrabuana dulunya bernama Walangsungsang.
Sementara itu, penguasa Nagri Carbon kini yaitu Sang Susuhunan Jati adalah cucu dari Sri Baduga Maharaja, dan punya kekerabatan uwak kepada Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Sang Susuhunan Jati ditunjuk sebagai penguasa Carbon pun oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana. Namun kekerabatan yang kental ini tidak lantas membangun sebuah persaudaraan dan persahabatan antarnegri. Oleh keyakinan berbeda, kedua negri malah menjadi seteru.
TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana JILID 11
"Ki Darma seorang perwira kerajaan?" tanya Ginggi mengerutkan dahi. "Ya, tidakkah dia mengatakannya padamu?" Ginggi menggelengkan kepala. Kata pemuda ini, bahwa Ki Darma bukan orang sembarangan, hanya didapatnya melalui cerita pantun. Itu pun menyangkut hal-hal buruk.
"Selama bersamaku, tidak secuil pun dia mengatakan siapa sebenarnya dia. Yang aku tahu, dia hanyalah seorang tua yang cepat marah tapi terkesan juga sebagai orang yang kecewa terhadap sesuatu. Dia kerap kali mengeluh terhadap situasi negara dan aku disuruhnya ikut memikirkan hal itu. Aku disuruh mencari keempat muridnya agar aku bisa bergabung dan minta nasihat apa-apa yang harus aku kerjakan. Tapi kenyataannya …" Ginggi menghentikan perkataannya sebab dia teringat peristiwa tadi malam.
Ki Rangga Guna terlihat wajahnya kuyu dan nampak memendam kesedihan amat dalam. Barangkali dia terpukul oleh peristiwa tadi malam. Saudara kembarnya terkurung oleh reruntuhan gua. Mungkin Ki Rangga Wisesa tela mati karena reruntuhan itu.
"Ki Guru dulu benar seorang perwira kerajaan yang tangguh. Namanya dikenal sebagai Ki Darma Tunggara. Pandai menguasai ilmu pertempuran. Dia seorang akhli siasat perang. Duabelas ilmu siasat perang yaitumakara-bihwa, lisang-bihwa, cakra-bihwa, suci-muka, bajra-panjara, asu-maliput, merak-simpir, gagak-sangkur, luwak-maturun, kidang-sumeka, babah-buhaya danngaliga-manik, dia kuasai dengan sempurna. Semua orang memerlukannya. Tapi Ki Darma dikenal memiliki satu penyakit menurut anggapan para bangsawan. Ki Darma selalu bicara apa adanya. Kalau baik dibilang baik dan kalau jelek dibilang jelek. Terhadap kaum bangsawan dan raja, Ki Guru Darma kerap kali melontarkan kritik. Beberapa orang menganggap kritik Ki Guru Darma itu sebagaipanca-parisuda (lima obat penawar), yaitu sebagai alat untuk menghilangkan segala kekurangan yang melekat di tubuh seseorang. Tapi kebanyakan lainnya beranggapan bahwa bila kritik itu dilontarkan terhadap raja maka itu berarti penghinaan. Kata orang, sejak zamannya Sang Prabu Surawisesa, Ki Guru suka mengeritik. Kepada Sang Prabu Surawisesa, dikatakannya sebagai pipit mencari padi. Pipit tak akan berhenti mematuk sebelum padi di huma habis dipatuknya. Itu dimaksudkan sebagai tudingan kepada sang Prabu Surawisesa yang gemar berperang. Sebelum musuh dibabat habis tak nanti perang diselesaikan. Ketika pemerintahan beralih kepada Sang Prabu Ratu Dewata, dikatakannya sebagai zaman wiku tertidur di tengah ribuan cicit suara tikus kelaparan. Bila sang wiku tengah bertapa, bisa saja mengacuhkan situasi sekeliling karena pikiran terpusat dalam tapa. Tapi yang ini, hanya berupa tindakan diamnya seorang wiku karena lagi tidur. Ribuan tikus mencicit karena lapar adalah bahaya, sebab bisa-bisa mengeroyok dan memakan orang yang lagi tidur. Begitulah memang ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata. Di saat Pakuan dikelilingi musuh-musuh, Sang Ratu Dewata malah lebih menitikberatkan mengurus kehidupan agama dan keyakinan. Sang Ratu Dewata kerap kali mengurung diri di kuil karena melakukan tapabrata. Padahal menurut Ki Guru Drama, tapanya seorang raja adalah berjuang mengurus negri …" kata Ki Rangga Guna menceritakan kisah Ki Darma.
Ginggi hanya termangu-mangu, duduk di samping Ki Rangga Guna.
"Ki Guru Darma selama jadi perwira hampir-hampir dianggap duri dalam daging. Banyak kalangan bangsawan tak menyukainya karena Ki Darma blakblakan mengoreksi mereka yang keliru. Bahkan kepada pejabat yang kerjanya mempermainkan kekayaan negara, Ki Guru selalu membencinya. Itulah sebabnya, walau pun tenaga Ki Guru terus dimanfaatkan, tapi kedudukannya tak pernah beranjak naik. Tak pernah ada orang mengusulkan agar dia menjadimangkubumi misalnya. Padahal Ki Darma sudah lebih dari cukup untuk memegang jabatan seperti itu. Atau kalau benar Ki Guru Darma tetap diperlukan di keprajuritan, mengapa selama ini tak pernah dipercaya sebagai kepala perwira, padahal Ki Guru Darmalah yang paling tua dan paling luas pengalamannya. Beruntung sekali Ki Guru Darma tidak penuh ambisi. Menurutnya, puluhan tahun menjadi bagian dari seribu perwira pengawal raja, puluhan kali pula terlibat pertempuran besar, tidak secuil pun mengharap jasa. Ki Guru katakan, dia bukan mengabdi kepada pangkat atau pun harta, tidak pula mengabdi kepada seorang raja. Kalau pun benar disebut mengabdi, maka dia mengabdi kepada kerajaan, kepada Pajajaran," kata lagi Ki Rangga Guna. "Aku mengerti, mengapa Ki Darma tak disukai di pemerintahan. Itu karena dia memberi kasih sayang terhadap negri tidak melulu karena pujian atau jilatan kata-kata muluk. Namun hal-hal seperti itu tidak membuat terusir pergi dari jajaran seribu perwira pengawal raja. Hanya saja mengapa Ki Rangga Wisesa mengabarkan Ki Darma diburu dan dikejar oleh perwira kerajaan bahkan oleh pasukan Cirebon dan masing-masing menganggap Ki Darma sebagai musuh besarnya?" tanya Ginggi heran.
Ditanya seperti itu, kembali Ki Ranga Guna menghela nafas. Dia menunduk sejenak dan memijit-mijit jidatnya.
"Yah, akhirnya memang Ki Guru Darma dimusuhi oleh dua kekuatan besar. Sudah jelas bila Pasukan Banten, Cirebon bahkan Demak menganggap Ki Guru sebagai musuh besar, sebab beberapa kali penyerangan mereka ke Pakuan bisa ditepis. Dan itu kesemuanya karena taktik dan siasat perang yang dibangun Ki Guru," kata Ki Rangga Guna.
"Tapi, mengapa akhirnya Ki Darma dimusuhi oleh satu kekuatan besar lainnya yang padahal telah dengan susah payah dia bela dan dia pertahankan? Mengapa Ki Darma yang begitu berjasa malah dikejar-kejar?" Ginggi penasaran dan memotong ucapan Ki Rangga Guna secara tak sabar.
"Yah, itulah. Ki Guru Darma akhirnya menjadi..... korban pendiriannya sendiri …" gumam Ki Rangga Guna.
Ginggi ingin mendapatkan penerangan lebih jelas. Untuk itu dia meminta Ki Rangga Guna membeberkan kembali dengan sejelas-jelasnya. Ki Rangga Guna akhirnya meriwayatkan perihal apa sebabnya Ki Darma menjadi buronan.
Ki Darma Tunggara sejak muda belia telah mengabdikan ke Pakuan sebagai prajurit. Jadi sudah barang tentu pembelaan dirinya terhadap negara melalui upaya menjaga keberadaan negara dari gangguan musuh. Yang dimaksud bekerja untuk negara bagi Ki Darma adalah mempetaruhkan badan dan nyawa dalam setiap peperangan. Namun kendati begitu, Ki Darma bukanlah perwira yang gila perang. Kejayaan negri menurut Ki Darma adalah bagaikan harimau. Sifat harimau menurut Ki Darma tidak serakah. Dia hanya makan selagi lapar. Kalau tak lapar dia tak makan dan tak membunuh mangsa. Harimau pantang berkelahi. Dia akan selalu menghindari lawan. Tapi kalau harimau diganggu, maka dia pantang untuk menyerah.
Ki Darma selama jadi perwira sudah kenyang berdiri di medan pertempuran. Ketika masih prajurit, di bawah kepemimpinan sang Prabu Sri Baduga, Ki Darma ikut pertempuranpertempuran kecil melawan Cirebon. Ketika Pakuan dipimpin Sang Prabu Surawisesa, Ki Darma bahkan lebih matang lagi meraup pengalaman bertempur. Selama Sang Prabu Surawisesa memerintah hampir empatbelas tahun lamanya, terjadi limabelas kali pertempuran besar melawan Banten dan Cirebon. Ki Darma di sini mulai lelah bertempur dan berani mengeritik raja. Menurut Ki Darma, sebaiknya kita bertempur ketika kita diserang saja. Lengkapnya pasukan dan utuhnya sikap-sikap pemberani menurut Ki Darma lebih baik digunakan untuk membela diri belaka. Tapi menurut kebanyakan perwira dan juga raja, kebesaran negri juga tercipta bila sanggup menepiskan berbagai kendala. Menurut raja, ketika Pajajaran belum diserang oleh Banten dan Cirebon, negara ini kuat di lautan. Ketika pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa) belum direbut Banten dan Cirebon, Pajajaran melakukan komunikasi dagang dengan bangsa asing melalui Kalapa. Namun sesudah pelabuhan besar itu dikuasai Banten dan Cirebon, tertutuplah hubungan ekonomi dengan negara-negara seberang lautan. Hal ini amat berpengaruh terhadap perekonomian dalam negri.
Itulah sebabnya, Pasukan Pajajaran beberapa kali sempat mencoba merebut Pelabuhan Kalapa. Namun sejauh itu tak pernah berhasil," tutur Ki Rangga Guna.
Menurut Ki Rangga Guna, Ki Darma memang selalu melontarkan kritik. Tapi kendati begitu, dia tetap berlaku sebagai prajurit sejati yang taat kepada perintah. Ki Darma selalu berupaya melumpuhkan kekuatan musuh dengan cara membentuk pasukan kecil yang diambil dari perwira-perwira pilihan. Mereka secara rahasia kerap kali mengganggu pusat-pusat kekuatan musuh.
Ketika pemerintahan berpindah dari Sang Prbu Surawisesa kepada Sang Prabu Ratu Dewata, sikap raja ini amat kebalikan dengan yang lama. Bila Sang Prabu Surawisesa bisa dikatakan gemar berperang, adalah Sang Prabu Ratu Dewata yang memiliki kegemaran mengurung diri di kuil bersama wiku-wiku istana. Melihat kenyataan ini, Ki Darma pun tetap tak puas dan tetap melakukan kritik. Dikatakannya, Raja selalu lemah memimpin negara, padahal bahaya serbuan musuh tetap mengancam. Dan terbukti ada penyerbuan besar-besaran ke pusat pemerintah, dilakukan oleh pasukan Banten. Perang besar terjadi di alun-alun benteng luar. Hanya karena kegagahan seribu perwira pengawal raja saja istana tak berhasil ditembus. Istana raja,Kedaton Sri Bima Untarayana MaduraSuradipati selamat dari serangan musuh tapi ratusan perwira pilihan menjadi tumbal negara.
Ki Darma Tunggara yang lolos dari maut, tidak mendapatkan penghargaan yang layak atas jerih payahnya mempertahankan istana. Dia malah dicurigai oleh kalangan pejabat sebagai penghianat.
"Mengapa dituduh penghianat?" tanya Ginggi heran.
"Itulah karena kepandaian Ki Guru Darma meramal kejadian yang bakal berlangsung," kata Ki Rangga Guna.
Mulanya pejabat istana ragu akan kepandaian Ki Darma ini. Ketika naluri Ki Darma mengatakan bakal adanya bahaya, hampir semua orang tak percaya. Beberapa pejabat mengatakan, Ki Darma hanya mengada-ada sebab benaknya selalu dirasuki hawa peperangan. Sebagian lagi mengatakan mustahil ada penyerangan musuh ke pedalaman.
Selama berpuluh-puluh tahun, musuh memang tak pernah melakukan penyerbuan langsung ke pusat istana. Pasukan Pakuan memang kerap kali gagal melakukan serangan ke pesisir utara karena pasukan musuh di pantai memiliki senjata api bernama meriam. Namun juga sebaliknya, pasukan musuh tak berani mengejar sampai ke pedalaman sebab Pasukan Pakuan lebih berpengalaman melakukan pertempuran di wilayahnya sendiri.
Namun hari itu kenyataan membuktikan lain. Pasukan Banten ternyata berani menyerbu langsung ke pusat pemerintahan dan hampir-hampir berhasil merebut pusat pemerintahan Pakuan itu.
Ki Darma tetap tak dipercaya memiliki naluri untuk meramal kejadian yang besifat marabahaya. Dia dituduh sebagai perwira yang gila perang dan kesal melihat raja yang kerjanya mengurung diri di tempat suci. Maka saking inginnya dipercaya bahwa negara selalu ada dalam bahaya perang, Ki Darma dituduh sengaja "mengundang" musuh agar segera terjadi pertempuran.
"Tentu saja ini amat kebalikan dengan kejadian sebelumnya. Kalau di zaman Sang Prabu Surawisesa Ki Darma dituding menolak perang, maka ketika di zaman Sang Prabu Ratu Dewata, malah dituduh perwira yang gila perang!" kata Ki Rangga Guna.
"Benar-benar keliru …" gumam Ginggi kesal.
"Tiga tahun sebelum Sang Prabu Ratu Dewata diganti oleh putranya Sang Ratu Sakti, Ki Darma mengundurkan diri dari semua kegiatan di Pakuan. Dia melakukan pengembaraan ke mana saja dan ketika itulah Ki Darma mengambil murid sampai empat orang, kendati antara yang satu dengan yang lainnya memiliki masa yang berbeda. Satu dengan lainnya tak pernah saling kenal, kecuali aku dan adikku saja," kata Ki Rangga Guna. "Dua murid terdahulu sudah berpisah dengan Ki Darma lima tahun ketika aku dan adikku Rangga Wisesa diambil murid oleh Ki Guru," tuturnya.
"Dan sesudah Ki Darma melepas kalian tiga atau empat tahun baru Ki Darma membawaku ke Puncak Cakrabuana," kata Ginggi menjelaskan.
Ki Rangga Guna melengkapi ceritanya. Ternyata katanya, sesudah Ki Darma melepaskan masalah kenegaraan, urusan bukan bertambah ringan. Marabahaya bahkan datang lebih mengancam. Ketika masih berada di istana, bahaya seberat apa pun masih bisa ditanggulangi bersama para perwira lain. Tapi sesudah Ki Darma menjadi orang "sipil", sudah tak ada lagi kawalan kekuatan lain di luar dirinya. Pasukan musuh tahu betul, Ki Darma perwira tangguh yang banyak merugikan musuh karena siasat perangnya. Sekarang sesudah Ki Darma tak memiliki pasukan, fihak musuh seperti berupaya untuk membalas dendam. Ki Darma dikejarkejar tentara musuh bila pengembaraannya tiba di wilayah utara. Semua perwira musuh bahkan seperti berlomba untuk menangkapnya.
"Aku sendiri mengalaminya. Ketika tengah bersama Ki Guru melakukan perjalanan di wilayah Caringin, kami dikepung Pasukan Cirebon. Ki Darma banyak melakukan pembunuhan terhadap prajurit musuh. Hanya anehnya, fihak Cirebon seperti tak berniat mengambil nyawa Ki Guru. Sepertinya mereka hanya ingin menangkap saja. Kalau tujuan mereka mengepung Ki Darma untuk membunuhnya, hari itu tak mungkin kami berdua bisa lolos dari kepungan …" kata Ki Rangga Guna bicara dengan nada heran.
"Tidakkah mereka akan memanfaatkan tenaga Ki Darma? Bukankah Ki Darma dikenal musuh sebagai akhli siasat perang?" tanya Ginggi. Ki Rangga Guna termenung sebentar tapi kemudian mengangguk-angguk."Bisa juga begitu …" ucapnya pelan.
"Jika begitu, barangkali Ki Darma tidak dianggap musuh besar bagi Pasukan Cirebon!" kata Ginggi. Ki Rangga Guna terdiam.
"Entahlah, aku tak bisa meraba-raba maksud sebenarnya dari fihak musuh. Yang jelas, setiap kami bertemu dengan fihak musuh, selama itu pula kami dikejar dan dikepung. Aku dan Ki Guru dalam upaya membuka kepungan terpaksa harus melakukan pembunuhan. Nah, kalau ternyata kami ternyata selalu membunuh, apakah mereka tetap akan menarik Ki Guru sebagai sekutunya?" tanya Ki Rangga Guna. Ginggi tak bisa memberikan komentarnya. "Yang jelas, hidup Ki Darma semakin sulit sesudah dia berhenti dan mengundurkan diri dari istana. Pihak yang ditinggalkan seperti merasa tak senang, bahkan lebih dari itu mereka seperti merasa dikhianati."
"Puncak marabahaya bagi Ki Guru Darma ketika pucuk pemerintahan di Pakuan dipegang oleh Sang Prabu Ratu Sakti yang kini memerintah. Sang Prabu Ratu Sakti bahkan lebih keras dari raja-raja sebelumnya. Pakuan langsung mengumumkan bahwa Ki Guru Darma itu seorang penghianat yang berbahaya bagi negara. Barang siapa menemukannya mati atau hidup akan diberi hadiah," kata Ki Rangga Guna.
Melihat bahaya seperti ini, Ki Guru Darma menyuruh kami berpencar saja dan jangan sekalikali mengaku sebagai murid Ki Darma. Ki Guru Darma nampak agak kecewa dengan kepemimpinan raja yang sekarang. Bukan karena Sang Prabu Ratu Sakti berniat akan membunuhnya, tapi yang mengecewakan Ki Guru, karena raja yang sekarang bertindak keras terhadap rakyat. Barangsiapa ketahuan tak mentaati kebijaksanaannya, mereka akan ditindak. Itulah sebabnya, di beberapa daerah timbul pemberontakan.," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk mendengar ucapan Ki Rangga Guna. "Aku memang bukan muidnya, Paman …" gumam Ginggi. Ki Rangga Guna pun menghela nafas. "Entah apa sebabnya Ki Guru Darma tidak mengangkat atau mengakuimu sebagai muridnya yang syah. Tapi apa pun yang terjadi, kenyataannya Ki Guru memberikan berbagai ilmu kepandaian kepadamu. Berarti kau harus mengakuinya sebagai guru, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk tanda setuju.
"Barangkali hatiku pun sudah mengakuinya, Paman. Kalau tak begitu tak nanti aku mau melaksanakan amanatnya," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menoleh.
"Aku harus mencari keempat muridnya dan aku harus mengikuti petunjuk para muridnya dalam upaya membela rakyat Pajajaran dari tekanan raja," kata Ginggi menatap Ki Rangga Guna. Yang ditatap hanya termenung lesu.
"Sekarang aku sudah bertemu denganmu. Mungkin kau tahu, apa yang harus aku lakukan seperti kehendak Guru," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna masih nampak diam, sehingga Ginggi perlu berkata sekali lagi.
"Entahlah anak muda. Aku sendiri pun bingung memikirkannya," kata Ki Rangga Guna pada akhirnya, sehingga membuat heran Ginggi.
Ki Rangga Guna bangun dari duduknya. Dia berdiri berpangku tangan. Matanya memandang ke pedataran di bawah bukit. Pedataran itu amat luas. Beberapa terdiri dari rawa-rawa, beberapa bagian lagi hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Ada sekelompok burung bangau terbang di atas rawa. Sesekali mereka menukik menusuk permukaan air rawa dan terbang lagi sesudah paruhnya mengapit ikan kecil.
Senja Jatuh Di Pajajaran
"Sebelum aku dilepas, Ki Guru memang memberikan amanat serupa. Tapi kau lihatlah, bagaimana kesanmu melihat adikku Ki Rangga Wisesa? Membuatku malu saja," gumamnya sedih. Dia pandang lagi bongkahan-bongkahan reruntuhan gua kapur. Ki Rangga Wisesa ada di sana, mungkin terkubur untuk selama-lamanya.
"Aku juga amat menyesalkan kejadian ini, Paman. Tapi, mengapa hal ini bisa sampai terjadi?" tanya Ginggi.
"Adik kembarku tersiksa oleh perasaan iri dan sakit hati. Kami berdua dulu adalah rakyat Kerajaan Talaga. Ketika telaga diperangi Cirebon, keluargaku termasuk orang Talaga yang menolak masuk keyakinan baru. Maka terjadi peperangan dan kami ada di pihak yang kalah. Kami dua saudara kembar melarikan diri dan akhirnya diambil murid oleh Ki Guru Darma. Namun selama Ki Guru memberi pelajaran, dia mendapatkan perbedaan sikap pada kami berdua. Entah perangai apa yang terdapat pada adikku. Yang jelas, Ki Guru nampaknya lebih mempercayaiku ketimbang adikku. Bila ada sesuatu yang harus dirundingkan, maka Ki Guru merundingkannya denganku. Bila Ki Guru memerintahkan sesuatu yang dianggap penting, maka hanya akulah yang ditugaskan. Dan secara diam-diam, Ki Guru memberikan ilmu yang tak diberikan kepada adikku. Aku heran dan tak enak dengan perlakuan ini. Maka aku tanyakan kepada Ki Guru, tapi dia hanya berkata bahwa kelak pun aku akan tahu. Secara diam-diam, ilmu yang didapat dari Ki Guru aku sampaikan dan latihkan kepadaa adikku. Tapi adikku bukannya berterima kasih, tapi malah memendam kemarahan. Sampai pada suatu saat kami berpisah, rasa sakit adikku tak terobati lagi," kata Ki Rangga Guna.
"Dan rasa sakit hati ini dia lampiaskan dengan melakukan serangkaian kejahatan. Mencuri mayat bayi dan memperkosa wanita," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menundukkan muka.
"Barangkali mencuri mayat bayi dan memperkosa gadis bukan maksudnya berbuat kejahatan," kata Ki Rangga Guna. Ginggi mengerutkan dahi.
"Ya, itu pengakuan adikku. Dia melakukan itu karena keperluan tertentu. Kerapkali dia memperkosa gadis, bukan karena dia gila perempuan, tapi karena ingin menyempurnakan ilmu sihir yang tengah dia pelajari. Begitu pun halnya dengan pencurian mayat bayi. Semua dilakukan bagi penyempurnaan ilmu sesatnya itu," kata Ki Rangga Guna. "Kesalahannya memang terletak padaku dan Ki Guru. Kami telah membuat dia sakit hati. Dan agar dia memiliki kepandaian yang sekiranya bisa mengalahkan aku, dia kerjakan cara apa saja, termasuk mempelajari ilmu sesat," ungkapnya.
"Ya, Ki Rangga Wisesa ingin membalas dendam padamu, Paman. Terbukti, selama ini dia pergunakan namamu dalam melakukan kejahatannya sehingga semua orang mengejarmu," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna mengangguk-angguk mengiyakan. "Tapi kalau benar engkau tak bersalah, mengapa setiap kau dikejar dan dikeroyok kau tak pernah menerangkan hal yang sebenarnya?"
"Percuma, sebab persamaan wajah kami menyulitkan sanggahanku. Semua orang tak mau percaya bila aku memungkirinya. Maka tak ada jalan lain selain aku menangkap adikku sendiri. Sekarang adikku sudah mati dan tak akan berbuat kejahatan lagi. Tapi kedudukanku tetap tak berubah, namaku tetap jelek. Dengan kematian adikku, aku semakin tak mungkin membuktikan bahwa diriku tak bersalah," kata Ki Rangga Guna.
"Aku menyesal dengan kematian adikku. Seharusnya dia tak perlu mati. Orang berlaku jahat bukan karena badannya, tapi karena pikirannya yang sedang sakit. Jadi untuk memberantas kejahatan, sebetulnya bukan membunuh orangnya tapi mengobati jiwanya itu," kata Ki Rangga Guna mengeluh.
"Engkau tidak membunuh saudaramu, Paman!" kata Ginggi menghibur. Tapi Ki Rangga Guna tetap sedih dengan peristiwa ini.
Menjelang siang hari perut Ginggi terasa lapar. Meniru burung bangau, kedua orang itu mencoba mencari ikan di rawa-rawa. Tidak begitu sulit, sebab dengan kepandaian mereka, ikan-ikan di rawa serasa begitu mudahnya ditangkap.
Di tepi bukit mereka membakar ikan gabus atau bogo. Makan tanpa banyak bicara karena Ki Rangga Guna nampaknya masih diliputi kesedihan oleh kematian saudara kembarnya.
Sesudah rasa lapar di perutnya menghilang, Ginggi kembali bertanya perihal rencana selanjutnya. Terutama yang erat kaitannya dengan tugas yang dibebankan Ki Darma. Namun untuk yang kesekian kalinya Ki Rangga Guna hanya mengeluh.
"Berpayah-payah aku mencari murid-murid Ki Darma, sudah tiga orang aku temukan. Tapi nyatanya tak seorang pun yang membuatku percaya," kata Ginggi pada akhirnya. Ki Rangga Guna menatap Ginggi dengan penuh perhatian.
"Siapa yang kau temukan selain kami bedua, anak muda?" tanya Ki Rangga Guna penuh minat.
"Aku temukan juga Ki Banaspati …"
"Ki Banaspati? Itulah murid pertama ki Guru. Tolong pertemukan aku, sebab selama ini aku belum pernah bersua!" kata Ki Rangga Guna.
Giliran pemuda ini yang kini menunduk lesu.
"Kau seperti tak berselera memperbincangkan Ki Banaspati, anak muda," kata Ki Rangga Guna penuh selidik.
"Ya, kau akan mudah menemukan Ki Banaspati, Paman. Dia orang berpengaruh. Paling tidak di wilayah Kandagalante Sagaraherang," kata Ginggi sambil termangu-mangu. Ki Rangga Guna terus mengamatinya.
"Dia jadi orang berpengaruh?" tanya Ki Rangga Guna penuh perhatian. "Betul," ujar Ginggi. "Tapi aku heran, mengapa Paman belum pernah bertemu, atau pun mendengar perihalnya? Kalau aku pernah tak tahu, itu wajar, sebab sejak kecil aku hanya bersama Ki Darma di puncak gunung yang sunyi. Tapi kau lain lagi. Kau tak pernah hidup menyepi dan pekerjaanmu tentu berkelana," kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menangguk-angguk. "Benar, selama ini aku berkelana, tapi aku pergi jauh dari Pajajaran. Biar nanti aku ceritakan perihalku. Sekarang lebih baik kau terangkan Ki Banaspati," kata Ki Rangga Guna mendesak.
Hampir Putus Asa
Denganperasaan enggan, terpaksa pemuda itu menerangkan perihal Ki Banaspati, termasuk penilaian dirinya terhadap orang itu. Dengan panjang-lebar Ginggi menerangkan betapa Ki Banaspati telah jadi orang terpandang. Di Pakuan sebagai pembantu utama muhara(petugas penarik pajak negara). Juga di wilayah Kandagalante Sagaraherang, menjadi semacam penasihat Kandagalante itu. Dikatakannya pula, betapa sebetulnya dia merasa curiga akan tindak-tanduk Ki Banaspati sebab seperti menyembunyikan suatu misteri.
"Ki Banaspati mengatakan bahwa selama ini dia tetap setia kepada amanat Ki Darma dalam perjuangan membela rakyat. Tapi aku pikir, cita-citanya terlalu jauh. Yang dimaksud perjuangan demi kepentingan rakyat olehnya adalah berupaya membentuk satu kekuatan untuk menjatuhkan raja dan kemudian kelak akan digantikan olehnya!" kata Ginggi.
Mendengar penjelasan ini, Ki Rangga Guna termenung. Beberapa kali alisnya nampak berkerut. Beberapa kali pula nampak matanya kian menyipit. Dan sambil berpangku tangan, sesekali dia berjalan ke kiri, sesekali berjalan juga ke kanan.
"Ini pemberontakan namanya!" gumamnya agak keras. "Pemberontakan?" "Ya, melawan pemerintahan yang sah adalah pemberontakan namanya. Orang yang memberontak selalu mempunyai nama buruk," kata Ki Rangga Guna.
"Sekali pun bertujuan membela rakyat, Paman?" tanya Ginggi. Ditanya demikian, Ki Rangga Guna termenung. "Entahlah, mungkin benar ia berjuang demi rakyat," kata Ki Rangga Guna. "Tapi tak kurang yang berdalih demi kepentingan rakyat, padahal rakyat sebenarnya hanya dianggap modal untuk melicinkan cita-cita pribadinya," kata Ki Rangga Guna lagi.
"Aku mengkhawatirkan, itu yang menjadi tujuan sebenarnya dari Ki Banaspati. Dia bermain api. Mencoba membujuk dan mempengaruhi Kandagalante Sunda Sembawa agar berambisi merebut tahta, tapi yang sebenarnya Ki Sunda Sembawa dikendalikan untuk kepentingan Ki Banaspati itu sendiri," kata Ginggi memperkirakan siasat Ki Banaspati.
"Benar-benar berbahaya bila begitu!" Ki Rangga Guna berseru saking terkejutnya mendengar penjelasan itu. "Ya, dan ini mengecewakan. Semuanya, semuanya …" gumam Ginggi dengan nada keluhan. Mereka terdiam sejenak, sepertinya tengah asyik dengan lamunannya masing-masing. Namun kemudian, terdengar kekeh Ki Rangga Guna. Suara tawa penuh kepahitan. Mendengar tawa ini, Ginggi berjingkat dan berdiri. "Aku mau pulang ke Puncak Cakrabuana … " kata pemuda itu pendek. Ki Rangga Guna menatap pemuda itu dengan pandangan kosong. "Bagaimana dengan amanat Ki Guru?" tanyanya. "Ya, aku ingat betul. Jangan kembali sebelum tugas selesai," jawab Ginggi teringat kembali pesan Ki Darma.
"Ya, itu juga yang dikatakan Ki Guru padaku. Sekarang aku tak mau pulang …"
"Ya, mungkin tak bisa pulang karena engkau tak mau melaksanakan perintah gurumu!" kata Ginggi ketus dan akan segera beranjak pergi.
"Lantas kau sendiri pulang untuk apa, anak muda?" tanya Ki Rangga Guna.
"Sekarang ada yang lebih kupikirkan ketimbang urusan besar yang aku sendiri tak sanggup mengerjakannya. Berita yang disampaikan Ki Rangga Wisesa amat merisaukan diriku. Malam kedua belas perjalanan bulan keenam … Aku ingat kembali. Sehari sebelumnya Ki Darma memerintahkan aku supaya pergi. Kalau benar malam kedua belas itu hari penyerbuan Cirebon dan Pakuan ke Puncak Cakrabuana, aku berdosa kepada Ki Darma. Dia kubiarkan menghadapi marabahaya sendirian, sedang aku … sedang aku …" pemuda itu tak melanjutkan omongannya.
"Kau tak berdosa. Bahkan Ki Darma sendiri yang akan merasa berdosa bila membiarkan kau terlibat bentrokan di puncak. Dia mengorbankan engkau yang belum tahu permasalahan sebenarnya," kata Ki Rangga Guna dengan nada sedih.
"Bukan itu yang kupikirkan!" teriak Ginggi benci kepada jalan pikirannya sendiri. Ya, dia membenci dirinya sendiri. Ketika Ki Darma tengah menghadapi marabahaya, bukankah dia sedang asyik masyuk bersama Nyi Santimi di bukit kecil Desa Cae? Terbayang ketika itu, Ki Darma di Puncak Cakrabuana tengah bergumul mempertahankan nyawa, sedangkan dia bergumul mempermainkan berahi. Aku berdosa, kutuknya dalam hati sambil menggetok ubun-ubunnya sendiri.
"Ki Guru tahu, mana kepentingan yang harus dia jaga. Membiarkan engkau terlibat urusan di puncak, berarti memutuskan perjuangan dan cita-citanya membela Pajajaran. Sebab kalau kau ikut menjadi korban di Puncak Cakrabuana bersamanya, putus pulalah cita-citanya!" kata Ki Rangga Guna meyakinkan, tapi tetap saja dengan suara yang terdengar pilu. "Apa bedanya dengan sekarang. Tokh biar pun aku selamat, tetap saja tak bisa melaksanakan amanatnya. Orang-orang yang sengaja aku hubungi seperti apa kata perintah Ki Darma, tidak satu pun yang membuatku lega. Barangkali Ki Darma pun akan kecewa bila dia masih hidup!" teriak Ginggi kesal.
"Plak!" Ki Rangga Guna melayangkan telapak tangannya menempeleng Ginggi. Pemuda itu langsung terjajar dan menimpa bongahan-bongkahan batu kapur. Tidak menderita luka, tapi Ginggi terkejut setengah mati sebab dia tak menyangka sama sekali bahwa Ki Rangga Guna akan menyerang secara tiba-tiba.
"Ayo, bunuhlah aku Paman! Kepandaianmu jauh lebih tinggi ketimbang aku. Tapi aku tak malu mati kendati belum menunaikan tugas. Beda sekali dengan kau Paman, hidup dengan memiliki kepandaian tapi tak pernah memanfaatkan kepandaian itu sendiri untuk membalas kebaikan gurumu!" teriak Ginggi marah dan kesal.
"Kau manusia tolol tapi sombong!" kini Ki Rangga Guna balas membentak. Dia menghambur ke arah Ginggi dan pemuda itu meramkan mata, sepertinya pasrah untuk mati hari itu.
Tapi Ki Rangga Guna tak melancarkan pukulan, kecuali meraih pakaian pemuda itu di bagian dada dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Ocehan-ocehanmu serasa menghina dan merendahkan aku, anak dungu! Sangkamu, kau ini apa? Apa saja yang kau lakukan sejak turun gunung selain mencari-cari kami? Dan apakah kau tahu, apa sebenarnya yang aku lakukan selama belasan tahun mengembara? Dengarlah anak picik! Belasan tahun aku melaksanakan perintah Ki Guru. Belasan tahun aku dikejar dan diburu oleh siapa saja karena aku murid Ki Darma. Aku juga dituding pengkhianat! Semua yang ada hubungan dengan Ki Darma sama diperlakukan sebagai pengkhianat! Kau dengar itu, hai manusia tak punya guna!" teriak Ki Rangga Guna menunjuk-nunjuk hidung pemuda itu dengan tangan kanan, dan tangan kirinya masih mencengkram pakaian Ginggi.
"Pekerjaan yang engkau laksanakan tak seberapa, demikian juga penderitaanmu. Tapi kau berani mengeluh bahkan menyesali tindakan orang lain, seolah-olah tindakanmu bagus dan berarti bagi Ki Guru. Kau sesali pula tindakan Ki Banaspati. Padahal sejelek apa pun dia bekerja, tokh dia sudah melakukan sesuatu untuk berupaya mengubah keadaan di Pajajaran. Huh, dasar bocah cengeng!" teriak Ki Rangga Guna geram.
Tubuh pemuda itu dia lontarkan dan untuk yang kedua kalinya menimpa bongkahan batu kapur.
Ginggi menjerit dan melolong-lolong. Bukan rasa sakit di punggung karena dua kali menimpa bongkahan batu kapur. Tapi rasa sakit yang ada di hatinya. Benarkah dia manusia tak ada guna dan kerjanya menuding keburukan orang lain saja?
Ginggi menjambak-jambak rambutnya untuk mengimbangi rasa sakit di hatinya.
"Ya, betul Paman. Aku manusia tiada guna. Aku tak punya harga diri! Aku tak punya rasa malu! Oh, aku harus mati karena ini!" teriaknya sambil mengangkat sebongkah batu untuk kemudian ditimpakan ke kepalanya. Ki Rangga Guna sudah menggerakkan sepasang tangannya dan mendorong benda berat itu jauh-jauh.
"Hm, enak saja bunuh diri. Bila kau bunuh diri, kau adalah orang licik dan pengecut. Merasa diri tak ada harganya tapi bukan berusaha mendapatkan harga diri itu, melainkan akan lari dari tanggung jawab!" omel Ki Rangga Guna kesal.
"Aku bodoh! Aku tak punya kemampuan. Bagaimana mungkin bisa melakukan sesuatu yang berarti?" tanya Ginggi mengeluh.
"Kalau kau sudah punya pertanyaan seperti itu, maka sebetulnya sudah didapat jawabannya. Agar kau mampu melakukan sesuatu, maka belajarlah untuk mampu melakukan sesuatu. Banyak cara untuk meraihnya yaitu dengan memiliki kemauan untuk belajar. Ingin pandai berenang, belajarlah pada itik. Ingin pandai terbang, belajarlah pada burung. Asal kau sanggup memilih guru yang tepat dan sanggup belajar dengan keras, tak ada sesuatu yang tak bisa kau kerjakan, termasuk melaksanakan amanat dan perintah Ki Guru Darma!" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lesu mendengar perkataan Ki Rangga Guna ini. Dan Ki Rangga Guna terus berkata-kata sambil berdiri membelakangi dan berpangku tangan.
"Jangan menganggap aku juga tak sedih dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling ini. Kau lihat adikku, dia begitu jahatnya, begitu memalukannya. Dia orang putus asa. Ada rasa sakit hati terhadpa perlakuan di sekelilingnya. Dia sakit hati terhadap guru. Dia pun sakit hati terhadap situasi negara. Akhirnya frustrasi dan mengacuhkan etika hidup. Kalau kita ikut tenggelam terbawa hanyut pengaruh-pengaruh yang mengungkungi hidup, maka kita pun tak ada beda dengan yang lain. Sama tak ada guna dan sama memalukan. Padahal Ki Guru Darma sudah memberikan amanatnya yang kesemuanya harus kita junjung tinggi," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lama sekali. Namun pada akhirnya dia mengangguk-angguk tanda mengerti akan ucapan Ki Rangga Guna.
"Mafkan kedunguanku, Paman …" kata Ginggi pada akhirnya.
"Nah, bagus bila begitu. Meminta maaf berarti akan berusaha memperbaiki sesuatu yang keliru. Aku senang mendengarnya anak muda," kata Ki Rangga Guna pada pemuda itu.
"Sekarang, apa yang harus aku lakukan dalam memenuhi amanat Ki Darma?" tanya Ginggi membenahi pakaian yang awut-awutan dan mulai duduk dengan benar.
Kembali Ki Rangga Guna menghela nafas, sesuatu yang sebetulnya Ginggi tak senang dan yang telah membuatnya tadi uring-uringan.
Dan perasaan pemuda ini sebetulnya terasa benar oleh Ki Rangga Guna.
"Setiap kau tanya itu aku mengeluh. Tapi bukan berarti aku ingin menghindar dari pertanyaan itu, anak muda," kata Ki Rangga Guna. Ginggi mengarahkan matanya ke tempat lain setelah merasa isi hatinya teraba oleh Ki Rangga Guna.
"Begitu beratnya amanat Ki Guru itu," kata Ki Rangga Guna. Dikatakannya, dulu tugas yang diberikan Ki Darma terhadapnya, juga terhadap ketiga muridnya lebih terarah dan jelas. Semuanya harus memperhatikan nasib rakyat dari tekanan Sang Prabu Ratu Sakti. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu bertindak keras. Mudah menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah. Dan karena negara butuh biaya besar untuk mengembalikan kekuatannya seperti masa-masa silam, Sang Prabu terpaksa menarik pajak tinggi kepada rakyat. Akibatnya hidup rakyat cukup menderita. Kendati hasil ladang melimpah, hasil sungai pun tak pernah surut, tapi rakyat tak pernah kaya sebab hasil pekerjaannya banyak disedot untuk kepentingan negara. Celakanya, tak semua harta rakyat masuk ke lumbung negara dan digunakan untuk kepentingan negara. Tapi akibat kebijaksaan raja dalam menarik pajak, banyak pejabat berbuat serong, mendompleng kepada kebiasaan raja.
"Semakin jauh dari pusat kekuasaan, penyelewengan semakin tak terkontrol. Bila di wilayahwulayah yang dekat ke pusat pemerintahan, rakyat disedot untuk membantu menegakkan kembali kebesaran negara, maka di wilayah yang jauh dari pusat, rakyat disedot untuk kepentingan pejabat yang memperkaya diri sendiri," kata Ki Rangga Guna.
Bersama adik kembarnya, Ki Rangga Wisesa, tahun-tahun pertama dilepas Ki Guru Darma, langsung terjun melaksanakan amanat guru. Kedua orng itu selalu berusaha mengacaukan petugas seba. Mereka sering merebut barang-barang yang sudah dikumpulkan petugas, untuk kemudian di berikan kepada rakyat lagi. Malah kedua orang kembar itu tak segan-segan melakukan pencurian kepada harta milik pejabat yang diduga kekayaan pribadinya diambil dari kerja tak benar. Kesemuanya dikembalikan kepada rakyat.
Tapi tindakan ini terlalu kasar dan terlalu berani. Ini adalah pekerjaan yang penuh risiko, sebab bila terpergok, mereka diburu dan dikejar.
"Kami akhirnya menyesal sendiri berbuat seperti itu. Sesudah kami diketahui bahwa kami berdua murid-murid Ki Darma, Pasukan Pakuan memburu kami sebagai pemberontak dan penjahat. Ki Darma juga semakin populer di Pakuan sebagai penjahat dan perampok yang memerintahkan murid-muridnya berbuat kejahatan kepada negara," kata Ki Rangga Guna.
Menurutnya, sesudah dikejar dan diburu serta dituduh pemberontak dan penjahat, hidup keduanya menjadi tak tenang lagi, sebab akhirnya rakyat pun ikut membenci dan memusuhinya juga.
Situasi semakin menghimpit mereka. Dan di saat itulah hubungan saudara kembar menjadi pecah.
"Adikku mulai lelah dengan pekerjaannya sebab katanya tak pernah menguntungkan dirinya. Yang lebih parah dari itu, adikku menjadi benci terhadap Ki Guru. Hanya karena keinginan Ki Guru katanya yang menyebabkan hidupnya terombang-ambing dan selalu menghindar dari perburuan Pasukan Pakuan," kata Ki Rangga Guna. "Akhirnya kami bertengkar. Satu menyalahkan Ki Guru, satunya membela Ki Guru. Kataku, perintah Ki Guru tak salah. Yang salah, kitalah sebagai pelaksana, mengapa memilih siasat kasar dan terlalu berani seperti itu. Adikku marah besar padaku. Katanya, aku membela guru, wajar karena disayang. Tapi dia menyalahkan guru juga wajar karena tak diperhatikan. Akhirnya kami pilih jalan sendirisendiri," kata Ki Rangga Guna.
"Tapi benar kebijaksanaan Ki Guru," ujarnya,"Mengapa dia tak memberikan perhatian yang sama kepada saudara kembarku, karena Ki Rangga Wisesa memiliki kelemahan batin. Iri, benci dan selalu menyalahkan tindakan orang lain, merupakan sisi lain dari kelemahan adikku. Tapi sisi lainnya, kelemahan itu adalah sesuatu yang amat berbahaya. Dia punya sikap tak acuh akan penilaian orang lain terhadap dirinya. Asalkan dia senang melakukannya, kendati orang lain menganggapnya salah, maka dia lakukan seenak perutnya sendiri. Kau sudah tahu bukan, betapa selama ini dia melakukan kejahatan dan menimpakan kelakuannya padaku, sehingga akhirnya akulah yang dikejar-kejar," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi terkesiap sendiri mendengar kalimat-kalimat akhir dari Ki Rangga Guna ini. Katanya adik kembarnya punya kelemahan yang amat membahayakan, bahwa selalu bersikap tak acuh terhadap penilaian umum. Kendati orang lain menganggapnya salah, bila dia senang melakukannya, maka dia lakukannya pula. Ini mengingatkan kepada sikap hidupnya tempo hari. Bukankah dia pun pernah berprinsip seperti itu, tak acuh terhadap penilain orang lain? Ginggi bergidik kalau berkhayal, bagaimana kalau dia melakukan tindakan berbahaya dan merugikan orang lain hanya karena tak menggubris penilaian umum?
"Sesudah aku berpisah dengan saudara kembarku, maka segala sesuatu yang akan aku lakukan mengandalkan jalan pikiran dan gagasan sendiri saja," kata Ki Rangga Guna melanjutkan perkataannya.
Menurutnya, pemerintah Pakuan membuat kebijaksanaan menghimpun kekayaan rakyat untuk mengembalikan kejayaan negara karena negara ada dalam keadaan genting. Dulu kekayaan negara lebih dititikberatkan kepada hasil perdagangan antar bangsa melalui Pelabuhan Kalapa dan wilayah pantai-pantai lainnya. Tapi sekarang sesudah wilayah utara dikuasai Banten dan Cirebon, Pakuan sudah tak bisa melakukan hubungan dagang lagi dengan negri seberang.
"Maka aku pikir, penyebab dari kesemuanya adalah negara-negara yang telah menggempur dan merebut wilayah-wilayah penting tersebut. Merekalah yang aku anggap salah. Maka kesanalah perhatianku sekarang," kata Ki Rangga Guna lagi.
Dan karena tinggal di wilayah Pajajaran dia selalu dikejar dan diburu, maka Ki Rangga Guna segera pergi ke wilayah utara. Kerap kali dia menyusup ke wilayah musuh. Dengan mengambil risiko tinggi Ki Rangga Guna menyerang pusat-pusat pertahanan Banten dan Cirebon.
Para perwira Pajajaran adalah orang-orang tangguh dalam perkelahian. Ilmu mereka tinggitinggi. Tapi bila harus menyerbu ke utara, mereka tak sanggup. Pasukan Banten dan Cirebon di wilayah itu berhasil merebut berbagai senjata api yang dulu dikuasai teman dagang Pakuan, yaitu bangsabangsa sebrang lautan. Ada beberapa senjata api bernama meriam, dan orang Pakuan takut menghadapinya," kata Ki Rangga Guna.
"Meriam?" Ginggi bergumam, heran mendengar benda tersebut. Ki Rangga Guna menyebutnya sebagai senjata api. Tapi bagaimana rupanya dan sejauh mana kedahsyatannya, Ginggi tak bisa membayangkan. "Meriam benar-benar dahsyat. Dia terbuat dari besi baja, bermoncong serta bulat hampir sebesar batang kelapa. Kalau disulut api, moncong meriam yang sudah diisi peluru akan melontarkan peluru tersebut yang kelak berubah menjadi bola api amat besar. Para perwira Pakuan sepandai apa pun berkelahi, tidak akan sanggup mempergunakan kepandaiannya sebab keburu dihadang lontaran peluru. Peluru bola api itu terlontar ratusan bahkan ribuan depa jauhnya. Bisa kau bayangkan anak muda, sebelum para perwira dan prajurut Pakuan berhadapan dengan musuh, mereka sudah dihantam bola-bola api. Banyak yang mati atau luka-luka berat karena bola api sanggup meledak dan mengoyak-ngoyak tubuh orang yang diserang. Satu terjangan bola api sanggup membunuh puluhan bahkan ratusan penyerang. Orang Pakuan kewalahan menghadapinya, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi melongo dan terkadang meleletkan lidah saking herannya mendengar kisah kehebatan senjata terbuat dari gelondongan besi baja itu.
"Benda aneh itu benar-benar sakti sekaligus mengerikan dan kejam, Paman …" kata Ginggi masih diliputi keheranan.
"Tapi aku berusaha melumpuhkan senjata-senjata itu," kata Ki Rangga Guna, "Dan aku bertekad begitu. Secara diam-diam aku menyelundup ke Pelabuhan Kalapa. Aku mencoba naik ke kapal milik Pasukan Banten atau Cirebon. Aku coba jatuhkan benda jahat itu ke laut. Kalau senjata itu berada di benteng pelabuhan, maka aku coba rusakkan dengan cara lain," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi puas mendegarnya. Seolah-olah benar musuh akan segera lemah karena sejumlah meriam dilumpuhkan Ki Rangga Guna.
"Aku berhasil melumpuhkan senjata berat itu. Tapi ternyata masih lebih banyak lagi benda yang sama dikawal dan dilindungi keamanannya. Bila aku harus merusak benda itu, maka sebelumnya aku harus melakukan perkelahian terbuka dengan fihak musuh. Dan sesudah satu dua senjata ganas itu aku lumpuhkan, mereka menjadi tahu bahwa aku mengarahkan penyerbuan untuk melumpuhkan meriam. Akibatnya, penjagaan mereka terhadap benda berbahaya itu semakin ditingkatkan, sehingga aku tak mungkin lagi mengganggunya. Sampai pada suatu saat, aku masuk ke dalam perangkap mereka. Aku dikepung untuk ditangkap hidup-hidup atau dibunuh sekalian. Beruntung aku bisa lolos dari kepungan dengan jalan menerjunkan diri ke tengah laut. Selama bertahun-tahun aku hanya bersembunyi di pulaupulau kosong jauh di seberang Pelabuhan Kalapa. Aku bahkan terputus dari dunia luar dan tak tahu perkembangan Pajajaran selanjutnya. Sampai pada suatu saat aku bisa mendarat kembali ke pulau besar ini. Aku tadinya akan berusaha mencari dua murid Ki Guru Darma yaitu Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta yang tak pernah aku kenali baik wajah atau pun pekerjaanya. Baru hari ini saja melalui kau aku bisa tahu Ki Banaspati. Selama ini terpaksa aku harus main sembunyi karena aku tetap dikejar dan diburu, apalagi ketika aku diributkan tukang perkosa gadis," kata Ki Rangga Guna setengah mengeluh.
Ginggi menarik nafas berat mendengar kisah Ki Rangga Guna. Pantas saja dia marah besar ketika Ginggi merasa kecewa terhadapnya, sebab menurut hematnya, Ki Rangga Guna sudah benar-benar melaksanakan tugas yang dibebankan Ki Darma dengan berat dan penuh penderitaan.
"Maafkan aku kalau begitu, Paman …" kata Ginggi menunduk malu. "Sudahlah, sebab hanya karena kita menyadari berbuat salahlah kita jadi tahu mana yang benar," kata Ki Rangga Guna sambil mengajak pemuda itu meninggalkan perbukitan kapur.
Kedua orang itu turun berkelok-kelok menuruni bukit. Sebelumnya Ki Rangga Guna lama menatap ke arah bongkahan-bongkahan batu kapur yang menimbun menutup lubang gua.
"Kasihan saudara kembarku … SemogaHyang mengampuni dosamu," gumam Ki Rangga Guna. Dia mengucapkan doa sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku akan kembali ke Puncak Cakrabuana untuk melihat nasib Ki Darma. Engkau akan ke mana, Paman?" kata Ginggi ketika sudah sampai di sebuah dataran rendah.
"Engkau jangan mudah digoncang kesedihan anak muda. Kesedihan berlebihan hanya akan membuat tumpul pikiran saja," kata Ki Rangga Guna.
"Tapi aku selalu ingat Ki Darma, aku khawatir akan nasibnya," kata Ginggi.
"Aku muridnya, aku juga sama khawatir akan nasib Ki Guru. Tapi bila kita pulang ke Cakrabuana, hanya akan mengulur-ngulur perintah guru saja, dan dia akan marah sekali," kata Ki Rangga Guna. "Peristiwa penyerbuan ke Puncak Cakrabuana bila benar dilakukan, itu terjadi hampir lima bulan lalu. Kita tak akan bisa mengubah atau mempengaruhi kejadian yang sudah berlangsung. Bila Ki Guru tewas dalam penyerbuan itu, kita tak bisa menolongnya. Ki Guru orang yang tak senang diperhatikan secara berlebih. Mati untuk sesuatu kepentingan yang lebih besar, buatnya bukan soal. Itulah sebabnya Ki Guru memaksamu meninggalkan puncak. Ki Guru merasa lebih penting menyuruhmu pergi bergabung dengan kami ketimbang menahanmu tinggal di puncak hanya sekadar membantunya menyelamatkan diri dari serbuan musuh. Engkau harus selamat sebab diharapkan bisa melanjutkan perjuangannya, anak muda," kata Ki Rangga Guna menyeka keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Ginggi menunduk dan mengatupkan kedua matanya. Hatinya pedih sekali bila ternyata benar Ki Darma tewas dalam peristiwa penyerbuan ke puncak.
"Aku berdosa … aku berdosa …" keluhnya, sebab setiap kali teringat kematian Ki Darma, selalu juga terbayang perbuatan mesumnya dengan Nyi Santimi. Peristiwa mesum itu mungkin hampir bersamaan waktunya dengan hari-hari penyerbuan orang-orang Pakuan atau juga orang-orang Cirebon ke Puncak Cakrabuana.
"Sudahlah!" teriak Ki Rangga Guna kesal melihat kecengengan Ginggi. "Ki Guru menyuruhmu turun untuk menemui kami dan minta petunjuk perihal tugas-tugas selanjutnya. Sekarang kau sudah bisa bertemu denganku. Mari kita atur dan bagi tugas dalam melaksanakan perintah Ki Guru," lanjutnya.
Ginggi segera menepis pikiran-pikiran sedihnya. Dia mengangguk keras berdiri menghadap ke arah Ki Rangga Guna.
"Aku siap menerima perintahmu, Paman!" katanya.
"Bagus!" kata Ki Rangga Guna gembira. Dan lelaki setengah baya itu mulai mengatur-atur tugas. "Engkau harus melanjutkan perjalanan menuju Pakuan," kata Ki Rangga Guna. "Dan aku akan menuju Sagaraherang," lanjutnya lagi.
Ki Rangga Guna mengatakan, ke Pakuan amat penting, sebab harus meneliti pusat perkembangan pemerintahan ini.
"Aku akan sulit menembus Pakuan, sebab semua perwira kerajaan sudah diperintahkan menangkapku hidup atau pun mati. Hanya engkau seorang murid Ki Guru Darma yang belum mereka kenal. Tapi hati-hati, di sana kau jangan sekali-kali membuka diri. Jangan sampai dirimu diketahui orang lain punya hubungan dengan Ki Guru Darma," kata Ki Rangga Guna. Ginggi mengangguk-angguk.
"Aku sendiri akan menyelidiki kegiatan Ki Banaspati. Aku juga harus tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan. Apakah benar kegiatannya untuk kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar memenuhi ambisi pribadinya belaka …" kata Ki Rangga Guna.
"Bagaimana cara mengetahuinya, Paman?" tanya Ginggi. Dan Ki Rangga Guna merenung dalam.
"Sulit menebak isi hati orang, sesulit mencari ujung langit," kata Ki Rangga Guna tersenyum dengan bibir terkatup rapat. "Yang berjuang ingin merebut kekuasaan dia mengusung alasan demi rakyat. Begitu pun yang tengah berkuasa, dia memimpin negara demi rakyat. Sang Prabu Sakti bersikap keras terhadap rakyat tetap dengan alasan demi rakyat jua. Dia inginkan rakyat yang taat kepada raja. Mentaati keinginan raja berarti mentaati keinginan negara. Bila semua rakyat setia terhadap negara, maka negara itu akan menjadi besar dan kuat. Kebesaran sebuah negara dan kekuatan sebuah negara akhirnya akan sanggup melindungi kepentingan rakyat. Jadi semuanya akan terpulang kepada rakyat jua…" kata Ki Rangga Guna.
"Bila begitu pentingkah ada pemberontakan?" tanya Ginggi.
"Aku tidak bicara soal pemberontakan, anak muda. Tidak juga Ki Guru Darma. Ki Darma pergi dari istana karena dia tak setuju dengan kebijakan Raja. Ki Darma menganggap Raja keliru dalam memimpin. Tapi tidak berarti Ki Darma menginginkan ada pergantian raja.Hyang sudah mengatur segalanya, termasuk memilih seorang raja untuk memimpin negara. KalauHyang sudah memilih begitu, ada bahaya apa pun mengancam raja tapi karena sudah dipilihnya, raja akan tetap selamat. HanyaHyang yang tahu, saat kapan raja akan turun tahta dan bagaimana caranya raja akan tergantikan dengan yang baru," kata Ki Rangga Guna lagi. "Oleh sebab itu Ki Guru Darma tak bicara tentang pemberontakan. Dia tak pernah melawan raja dan negara. Setiap titah raja dia laksanakan dengan sebaiknya, negara pun selalu dia bela dengan taruhan nyawa. Tapi Ki Guru Darma tahu, raja sedang sakit. Dan orang sakit bukan untuk dienyahkan tapi harus diobati. Itulah sebabnya Ki Guru Darma selalu melontarkan kritik. Yang namanya obat memang tidak enak, tapi menyehatkan. Seharusnya kritik itu diibaratkan air bersih untuk mandi di saat kita sedang dekil. Kritik itu harus diibaratkan kita sedang lapar diberi nasi. Kritik sebenarnya ibaratgalah cedek tinugelan teka (galah sodok dipotong runcing). Galah sodok adalah semacam seligi atau bambu runcing. Makin pendek makin baik, karena kemungkinan patah makin berkurang. Artinya, kritik dapat memperkokoh, mempertajam kemandirian seseorang. Begitu orang tua zaman Pajajaran dulu berbicara tentang pentingnya kritik. Tapi, ya barangkali orang zaman sekarang tak gemar menelan kritik, atau bisa juga karena orang zaman sekarang tak luwes melontarkan kritik sehingga datangnya amat menyakitkan. Kritik Ki Guru Darma, daripada diterima, malah orang yang melontarkan kritik itu sendiri dianggap melawan raja dan dianggap pemberontak," kata Ki Rangga Guna menghela nafas.
Ginggi juga ikut menghela nafas dalam-dalam. Dia prihatin oleh nasib buruk yang menimpa Ki Darma. Menurutnya, Ki Darma orang yang begitu cinta terhadap negara dan pengabdi setia terhadap Raja. Namun rasa cinta dan pengabdian Ki Darma kurang diterima dengan baik oleh pemerintah.
Berbagi Tugas
Ginggi dan Ki Rangga Guna akhirnya membagi tugas. Ginggi harus pergi menuju Pakuan sebab akan banyak yang harus diselidiki di sana. Sedangkan Ki Rangga Guna akan menyelidiki tindak-tanduk Ki Banaspati di Sagaraherang.
"Untuk sementara, lupakanlah nasib Ki Guru Darma. Kita harus berdoa untuk keselamatannya. Tapi bila Ki Guru ternyata sudah tiada, kita pun harus berdoa agar dirinya diterima di sisiNya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk, kendati dia tak tahu bagaimana caranya melakukan doa.
Ketika disampaikannya bahwa dia tak bisa berdoa dengan cara apa pun, Ki Rangga Guna hanya tersenyum pahit.
"Dahulu Ki Guru Darma seorang pengikut agama lama yang setia. Tapi hidupnya goncang dengan kehadiran agama baru, yang oleh fihak-fihak tertentu kehadiran agama baru tersebut dilibatkan dalam urusan politik. Entahlah, mengapa akhirnya dia tak memberi pengajaran agama padamu, anak muda," kata Ki Rangga Guna.
"Perlu benarkah seseorang memeluk sebuah agama?" tanya Ginggi.
"Manusia itu mahkluk lemah. Kalau dia merasa sombong hanya karena dirinya lebih pandai dari makhluk lainnya, sebetulnya masih ada yang jauh lebih pintar darinya. Manusia hanya bisa membunuh sesamanya dan tak mampu berbuat kebalikannya, yaitu menghidupkan yang mati. Manusia hanya pandai merusak alam tapi tak sanggup menciptakan alam. Padahal alam terbentuk karena ada yang mencipta. Manusia bisa hidup pun karena ada yang menghidupkan. Dan manusia harus sadar, di atas dirinya ada sesuatu kekuatan yang menguasai hidupnya. Dialah yang harus kita sembah. Agama yang ada di dunia selain menyuruh kita berbuat kebajikan terhadap alam dan seisinya, juga harus berbuat hormat kepada Sang Pencipta. Itulah pentingnya kita beragama, anak muda!" kata Ki Rangga Guna menerangkan panjang lebar.
"Agama apa yang terbaik buatku?" tanya Ginggi penasaran. Kembali Ki Rangga Guna tersenyum pahit. Namun kemudian dia menoleh dan memandang pemuda itu.
"Barangkali tidak keliru Ki Guru Darma tidak memberikan ajaran agama padamu," ujar Ki Rangga Guna.
"Bila Ki Guru mengajarkan agama padamu, berarti dia akan mengajari agama yang diyakininya. Artinya, Ki Guru memaksakan kehendak agar kau memilih keyakinan yang telah diyakininya selama ini. Barangkali Ki Guru Darma tidak mau begitu. Dia akan membiarkan kau melakukan pencarian terhadap satu keyakinan. Tidak diberi oleh orang lain, tidak pula dipaksa oleh kehendak orang lain. Kalau pun sekarang kau membutuhkan agama, tentu Ki Guru Darma hanya mengharapkan agama yang kau dapatkan adalah agama yang benar-benar kau yakini sendiri kebenarannya. Barusan kau tanya padaku, agama apa yang kau anggap baik buatmu. Jawabannya bukan harus keluar dari mulut orang lain, namun dari keyakinan hatimu sendiri. Sekarang ada banyak agama terdapat di bumi Pajajaran ini. Alangkah bijaksananya bila semua orang memberi kebebasan kepada semua orang dalam memilih keyakinan beragama seperti yang diucapkan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja semasa memimpin Pajajaran mencapai puncak keemasannya," kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menatap tajam Ki Rangga Guna.
"Sri Baduga Maharaja dulu tetap setia dengan keyakinan lama. Sebab menurutnya, tidak mudah orang berpindah agama dan keyakinan. Namun kendati begitu, beliau tak memaksakan kehendak agar semua rakyat ikut-ikutan bertahan dengan keyakinan yang dimiliki Raja.
Sri Baduga Maharaja tidak melarang rakyat memilih agama. Yang beliau tidak suka adalah orang yang suka memilih-milih agama. Dari agama yang satu ke agama yang lain, begitu seterusnya. Dan semua Raja Pajajaran, dari mulai Sri Baduga Maharaja, sampai yang tengah memerintah sekarang, tetap setia terhadap kebijakan kebebasan berkeyakinan. Kendati negara berpegang kepada keyakinan lama, tapi Raja memberikan kemerdekaan kepada seluruh rakyatnya untuk memilih keyakinannya masing-masing," kata Ki Rangga Guna. "Aku hingga kini setia kepada keyakinan lama tanpa ada orang yang memaksanya. Sekarang, aku pun tak berkehendak memaksakan keyakinanku pada orang lain. Aku bersyukur kau merasa perlunya kehadiran agama di hatimu. Soal keyakinan apa yang akan engkau pegang, jangan minta pendapat orang lain, tapi carilah olehmu sendiri. Pilihlah sebuah agama yang kau yakini bisa membawa keselamatan bagi dirimu sendiri tapi sambil tidak merugikan keyakinan orang lain. Pilihlah sebuah agama yang membawa kebenaran pada dirimu sendiri tapi sambil tidak menjelek-jelekan keberadaan keyakinan agama lain. Kau harus bisa memilih agama yang secara sempurna bisa menjaga martabatmu, dan bisa menyelamatkan dirimu baik di dunia mau pun keselamatan kelak di alam lain. Jangan tergesa-gesa memilihnya tapi juga jangan berlarut-larut mengulur waktu," kata Ki Rangga Guna lagi dengan panjang lebar.
"Aku tidak akan mengajarkan agama yang aku anut. Tapi sedikit kepandaian yang bersifat lahiriah, akan aku berikan seluruhnya padamu," kata Ki Rangga Guna.
"Maksud Paman, aku akan kau ajari ilmu berkelahi?’ tanya Ginggi. Ki Rangga Guna menganggukkan kepalanya.
"Aku … sebetulnya tak gemar berkelahi, Paman," kata Ginggi menundukkan kepala.
"Menguasai ilmu berkelahi bukan maksudnya harus gemar berkelahi. Bahkan aku sebetulnya benci kepada orang yang senang memamerkan kepandaiannya," tukas Ki Rangga Guna. "Ilmu berkelahi hanyalah sebagai alat perlindungan. Seperti sebuah topi, kau pakai bila hari panas atau hujan. Atau seperti sejumput makanan bila kau lapar," kata Ki Rangga Guna.
"Tapi ilmu berkelahi kebanyakan menampilkan gerakan yang tujuannya untuk membunuh saja, Paman," tukas Ginggi. Ki Rangga Guna tersenyum."Semuanya terpulang kepada kita sebagai pemakainya, anak muda. Bila kau punya pisau, apakah akan dipergunakan untuk mengupas buah-buahan ataukah akan kau pergunakan untuk melukai dan membunuh orang? Ada orang yang tega membunuh sesamanya dengan sebuahbeliung (kapak), padahal benda itu dibuat untuk mengambil kayu bakar di hutan. Seekor ular memiliki bisa yang amat mematikan. Tapi tidak setiap hari dia membunuh. Kalau dia tak diganggu, tak pernah ular mengganggu. Bahkan kadang-kadang, ular hanya pergi meloloskan diri setiap diganggu, kendati kalau mau, ular bisa menyerang dan membunuh," kata Ki Rangga Guna. Ginggi merenung mendengar penjelasan ini. Namun akhirnya dia mengangguk-angguk penuh pengertian.
"Baiklah, aku terima pemberianmu, Paman …" kata Ginggi akhirnya. Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi sehingga membuat pemuda itu heran sendiri.
"Mengapa Paman tertawa mendengar kesanggupanku?" tanyanya. Kembali Ki Rangga Guna tertawa, bahkan sedikit terbahak-bahak, membuat pemuda itu semakin tak mengerti.
"Kau ini orang jujur, sekaligus juga kurang ajar!" kata Ki Rangga Guna."Orang lain menyembah-nyembah minta aku menjadi gurunya, di sini, malah kau jual mahal sehingga kau yang mengajukan syarat apakah boleh atau tidaknya aku melatihmu!" kata Ki Rangga Guna lagi.
Ginggi tersipu-sipu mendengarnya. Benar sekali, aku kurang ajar, katanya dalam hatinya.
Dan sambil melakukan perjalanan bersama, Ginggi mendapatan tambahan ilmu yang sangat berarti.
Ginggi kini mulai sadar akan kekeliruan dirinya. Hanya karena dia tak gemar berkelahi maka dia menolak latihan-latihan keras seperti apa perintah Ki Darma. Kalau Ki Darma turun gunung, Ginggi sering bohong seolah-olah berlatih dengan keras selama Ki Darma tidak ada. Sekarang ulah bohongnya terbukti hanya merugikan dirinya sendiri saja. Ketika melawan Ki Rangga Wisesa hampir-hampir saja nyawanya melayang. Kepandaiannya tak berarti apa-apa dalam menghadapi ilmu-ilmu Ki Rangga Wisesa yang ganas dan aneh itu. Dan kepandaiannya semakin tak berarti saja bila dibandingkan dengan Ki Rangga Guna. Menghadapi Ki Rangga Guna, ternyata Ki Rangga Wisesa bukan tandingannya. Walau pun ketika itu Ki Rangga Guna tidak membalas serangan saudara kembarnya, tapi nampak nyata Ki Rangga Wisesa kewalahan dan putus asa karena setiap usahanya dalam menyerang Ki Rangga Guna, tak pernah berhasil.
Bila begitu, ternyata murid-murid Ki Darma rata-rata berkepandaian amat tinggi.
"Semua sebetulnya diberi sama, kecuali beberapa yang beda. Itu karena disesuaikan dengan sifat dan jiwa masing-masing murid. Saudara kembarku merasa iri sebab ada satu-dua jurus yang Ki Guru berikan padaku tidak diberikan padanya. Ada ilmu-ilmu ganas dari Ki Guru hanya diberikan padaku, itu karena Ki Guru kenal betul sifatku. Kata Guru, ilmu ganas jangan diberikan kepada orang yang memiliki jiwa pemarah. Adikku tak diberi sebab dia memang kurang pandai mengendalikan perasaan jiwanya. Mungkin aku yang dianggap cocok menerima ilmu-ilmu yang sebetulnya amat berbahaya itu. Aku pun sudah lihat gerakanmu. Kau dipercaya memegang ilmu ganas sebab barangkali Ki Guru percaya kau bisa membawanya," kata Ki Rangga Guna. "Tapi aku tak sepandai kau, Paman…" potong Ginggi.
"Tak ada murid yang diberi satu ilmu bisa memilikinya dengan kesempurnaan yang sama satu sama lainnya. Itu semua terpulang kepada kepandaian si murid itu sendiri. Kau kan pernah bilang, tak begitu kerasan dengan segala macam ilmu kekerasan. Jiwamu sudah menolaknya dari dalam. Tentu mempengaruhi kesempurnaan. Sebaliknya aku begitu mengharapkan memiliki ilmu-ilmu tinggi, sebab aku terkenang masa silam di Talaga. Kalau orang tuaku memiliki ilmu bela diri, tak nanti dia tewas dalam penyerbuan tentara Cirebon. Orang yang memiliki kepandaian sedikitnya bisa melawan sebelum kalah. Aku selalu bersemangat dalam latihan. Ketika berpisah dengan Ki Guru, aku tetap mencari dan menambah ilmu. Orangorang lain di negri sebrang lautan, seperti dari Negri Tulangbawang, Palembang, Malangkebo (Minangkabau) atau Parayaman(Pariaman), atau bahkan orang Cina, Campa, Keling, Parasi, dan Siem, semuanya memiliki ilmu kepandaian dengan ciri kekuatan masing-masing yang berbeda. Aku banyak berhubungan dengan mereka dan saling tukar-menukar ilmu. Ilmu-ilmu gabungan itu, aku gabungkan dan aku latih bertahun-tahun, keras dan penuh godaan. Namun hasilnya membanggakan. Puluhan mungkin ratusan kali aku dihadang dan menyerbu musuh, sampai saat ini aku masih diberi usia panjang. Itu di antaranya karena ilmu berkelahi yang aku miliki," kata Ki Rangga Guna.
Karena selama di perjalanan harus berlatih, akibatnya sebelum melaksanakan tugas masingmasing, maka dua atau tiga bulan mereka habiskan waktu untuk urusan latih-melatih.
Dan sampai pada suatu saat, mereka harus berpisah karena sama-sama teringat kembali kepada tugas yang harus mereka kerjakan.
"Kita sebenarnya telah kembali ke selatan, padahal Pakuan letaknya di sebelah barat, agak ke utara," kata Ki Rangga Guna ketika memberi tahu arah mana jalan yang harus ditempuh untuk menuju Pakuan.
"Untuk kembali ke arah jalan pedati, seharusnya kau mesti kembali ke utara, yaitu memasuki lagi wilayah Tanjungpura. Itu perjalanan amat jauh. ada jalan terdekat menuju Warunggede," kata Ki Rangga Guna.
"Warunggede?"
"Warunggede juga merupakan wilayah yang dipimpin oleh seorang Kandagalante. Mengapa harus menuju ke sana, sebab jalan pedati melewati wilayah tersebut."
Kata Ki Rangga Guna, dari Talaga di arah timur sampai Pakuan jauh di barat sebetulnya dihubungkan oleh sebuah jalan utama dan bisa dilalui kereta atau roda pedati, melalui Wado, Sumedanglarang, Sagaraherang, Purwakarta, Cikao, Karawang, Tanjungpura, Warunggede, Cibarusa, Cileungsi dan berakhir di Pakuan. Dari Kerajaan Talaga jalan pedati berlanjut ke selatan, yaitu menuju Kawali dan berakhir di pusat Kerajaan Pajajaran Lama yaitu Galuh. Kata Ki Rangga Guna. "Bila kau sudah tiba di Warunggede, kau bisa menuju Pakuan menyusuri jalan pedati yang enak dilalui. Tapi di beberapa wilayah harus berhati-hati. Antara Karawang-Tanjungpura-Warunggede, jalan pedati bersinggungan dengan wilayah utara yang sudah dikuasai Pasukan Cirebon. Asalkan engkau tidak terlalu banyak bicara soal Pakuan, tidak terjadi bentrokan dengan pasukan musuh," ungkap Ki Rangga Guna. Ginggi mengangguk-angguk tanda mengerti. "Nah, sudah kubekali kau berbagai pengetahuan. Sekarang tiba saatnya kita melaksanakan tugas masing-masing," kata Ki Rangga Guna.
"Kita akan segera berpisah, Paman?" tanya Ginggi. Ki Rangga Guna hanya mengangguk kecil.
"Kalau ada umur ada jodoh, kita pasti bertemu lagi. Tapi kalauHyang tak mempertemukan kita lagi, tak perlu disesalkan benar. Kita sebelumnya pun tak pernah kenal dan tak pernah bertemu, bukan?" kata Ki Rangga Guna. Ginggi hanya menghela nafas mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini.
"Baiklah kita berpisah di sini, Paman. Semoga nasib kita baik dan di suatu waktu kita bisa bertemu lagi," kata Ginggi mengeraskan perasaan. Dia harus belajar berani melakukan sesuatu. Di antaranya harus berani melakukan perpisahan. Beberapa kali terjadi, pemuda itu susah menepis perpisahan. Berpisah dengan Ki Darma, berpisah dengan Nyi Santimi, berpisah dengan gadis anak pemilik warung di Tanjungpura, dan kini berpisah dengan Ki Rangga Guna.
Semua terasa berat bila Ginggi tak berani mengeraskan hati dan perasaan. Pemuda itu berdiri mematung ketika Ki Rangga Guna duluan meninggalkannya. Matahari sudah condong ke barat. Dan karena Ki Rangga Guna berjalan menuju timur, maka punggungnya tersorot sinar lembayung. Bayangan tubuhnya jatuh menimpa tanah di hadapannya dan langkah Ki Rangga Guna seperti bermain dengan bayangannya sendiri.
Sampai hilang di kelokan jalan setapak, sampai keadan benar-benar sepi, baru kemudian pemuda itu berani melangkah. Pelan tak bergairah.
Menuju Kota Pakuan
Untuk kembali ke jalan pedati, Ginggi tak perlu kembali ke utara menuju Tanjungpura, tapi memotong jalan agak ke barat, untuk kemudian belok ke kanan agak ke utara lagi. Benar seperti apa kata Ki Rangga Guna, jalan memotong menuju Warunggede tidak begitu jauh tapi harus lewat jalan setapak membelah hutan jati. Sehari penuh dia menerobos hutan tanpa bertemu manusia seorang jua pun. Ginggi di tengah perjalanan hanya bertemu binatang hutan yang tak begitu membahayakan.
Sampai tiba di wilayah Kandagalante Warunggede, pemuda itu tidak mendapatkan rintangan berarti. Begitu pun ketika perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan pedati ke arah barat. Ginggi sering bertemu lewat dengan para pejalan kaki, atau pun rombongan pedati dengan isi penuh hasil bumi, tapi satu sama lain tidak saling mengganggu. Ginggi harus menyebrangi sebuah sungai yang amat lebar tapi berair tenang, jauh sebelum tiba di Kandagalante Warunggede, kata seorang kakek pemilik rakit penyebrangan, sungai besar itu bernama Citarum.
Ginggi teringat ucapan Ki Rangga Guna, bahwa Pakuan mutlak hanya berkuasa di batas sungai ini sampai ke barat. Namun kendati begitu, wilayah utara tetap dikuasai pasukan Banten atau Cirebon. Dengan kata lain, kekuasaan mutlak yang dipegang Pakuan sebenarnya wilayah tengah dan selatan mulai batas Sungai Citarum ke arah barat. Wilayah-wilayah yang ada di sebelah timur Citarum merupakan wilayah-wilayah "transisi" karena pertentangan politik dengan Cirebon. Beberapa wilayah timur ada beberapa yang bertahan dan setia kepada Pakuan tapi kebanyakan sudah mulai bimbang. Dan semakin jauh menuju timur, semakin jauh dari pusat pemerintahan, rasa setia terhadap Pakuan pun semakin menipis. Beberapa kerajaan kecil yang dulu ada di bawah kekuasaan Pakuan seperti Sumedanglarang, Sindangkasih, Talaga, atau bahkan Cirebon Girang, semenjak masuk pengaruh Cirebon, praktis berkiblat ke Cirebon, kendati secara militer, negara-negara tersebut tak pernah memusuhi Pakuan dan apalagi membantu Cirebon ikut menyerbu ke barat. Hal ini bisa terjadi barangkali karena apa pun yang terjadi, Pakuan beserta Pajajaran masih tetap disegani. Bahwa dulu puluhan atau ratusan silam Pakuan Pajajaran berupa sebuah negara besar dengan segala macam kewibawaannya, sampai hari itu pun masih dihormati para penghuni negara-negara kecil itu. Apalagi bila diingatkan dengan hubungan silsilah, bahwa yang menjadi pucuk pimpinan di negara-negara kecil itu hampir semua punya pertalian kerabat dengan raja-raja Pajajaran. Kalaupun seolah-olah terjadai "putus" hubungan, semuanya terjadi karena politik juga.
Cirebon yang dibantu kerajaan besar di wilayah timur bernama Demak melebarkan sayap kekuasaan dengan cara menyebarkan keyakinan baru. Cirebon yang kuat karena bantuan Demak lebih leluasa menyebarkan pengaruh ke pusat kerajaan kecil di wilayah timur, sebab mereka lebih dekat. Sebaliknya pengaruh Pakuan terasa lebih kecil karena letaknya yang jauh di barat. Maka bagi negara-negara kecil di timur, siapa yang lebih kuat memberikan pengaruh, dialah yang akan berkuasa.
Tentu saja ini kerugian buat Pakuan. Kalau ingin mengembalikan kebesaran Pajajaran seperti masa-masa lalu, maka raja yang sekarang harus berupaya "mengambil" lagi semua negara kecil di timur yang ratusan atau puluhan tahun lalu masih berada di bawah pengaruhnya.
Oleh sebab itu Ginggi di lain fihak merasa kagum terhadap peranan Ki Banaspati. Entah secara bagaimana awalnya, yang jelas orang ini telah menjadi kepercayaan darimuhara (pejabat penarik pajak negara) untuk menjangkau pajak-pajak di wilayah timur Sungai Citarum. Mencoba mengumpulkan seba dari wilayah timur artinya harus berupaya mengembalikan pengaruh Pajajaran ke negri-negri kecil yang kini sudah berada di bawah pengaruh Cirebon. Kalau Ki Banaspati mampu melakukannya, maka orang ini benar-benar hebat. Dia akan menjadi orang yang benar-benar dihargai dan diperlukan di Pakuan. Diperlukan di Pakuan? Kalau benar demikian, tepatkah kini dia menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan di Pakuan? Apakah memang begitu seharusnya, orang yang diperlukan Pakuan harus menjadi pengendali utama di Pakuan itu sendiri?
Ginggi teringat kembali ucapan Ki Darma yang disampaikan melalui Ki Rangga Guna. Bahwa Ki Darma memang tak puas dengan cara Raja sekarang memerintah. Tapi Ki Darma tak pernah bermaksud mengenyahkan Raja dengan menggantinya. Yang Ki Darma katakan, Raja sedang sakit dengan berbuat keliru. Orang sakit harus diobati dan bukan dienyahkan.
Dengan lebih jelasnya harus disebutkan, bahwa Ki Darma sebetulnya tidak memerintahkan para muridnya untuk melakukan pemberontakan dan apalagi merebut kekuasaan. Sedangkan Ki Banaspati diketahui Ginggi tengah berupaya menyusun kekuatan militer yang kelak akan digunakan menyerang Pakuan. Tidakkah ini berlebihan dan melenceng dari keinginan Ki Darma?
Beruntung sekali Ginggi bertemu dengan salah seorang murid Ki Darma dan yang kebetulan tidak mengecewakan dirinya. Melihat sikap dan pendirian Ki Rangga Guna, Ginggi yakin, jalan pikiran orang itu masih wajar dan berjalan tepat di atas perintah Ki Darma.
Sekarang Ginggi tidak sendirian dalam mengemban perintah gurunya. Dan masih ada satu harapan lagi. Satu orang lagi murid Ki Darma belum diketemukan. Ginggi berharap, murid kedua Ki Darma ini masih hidup dan tetap ingat amanat gurunya. Bila benar demikian, perasaan pemuda itu semakin lega.
Sekarang, walau pun kembali sunyi karena harus berjalan sendirian lagi, tapi dada pemuda itu terasa lapang. Dia memang harus menuju barat. Banyak tugas yang harus diselesaikannya di sana. Pertama ingin menyelidiki sejauh mana peranan Ki Banaspati di Pakuan. Kedua, Ginggi harus melacak Suji Angkara yang misterius dan yang dipastikan juga menuju Pakuan, bahkan mungkin sudah berada di sana. Ginggi harus sanggup membongkar kemisteriusan pemuda itu. Siapaa dia sebenarnya. Dan benarkah kecurigaan dirinya terhadap pemuda itu beralasan?
Ginggi bercuriga, setiap Suji Angkara memasuki satu wilayah, hampir selalu ada gadis bunuh diri karena pemerkosaan. Ki Rangga Wisesa memang melakukan hal yang sama. Tapi korbankorban yang lain, jelas perbuatan orang lain di luar Ki Rangga Wisesa. Dan Ginggi mencurigai Suji Angkara. Bila tudingan ini tidak benar, Ginggi akan merasa berdosa. Tapi bila ternyata benar, maka Ginggi akan mengeraskan tekad untuk membuat perhitungan. Dan ingat akan masalah ini, Ginggi menjadi bimbang.
Ginggi amat heran bila harus memikirkan Suji Angkara bisa melakukan tindakan tercela macam ini. Pemuda itu nampaknya kaya raya, ditampilkan melalui caranya memilih pakaian mahal dan mewah. Suji Angkara juga dikenal di Desa Cae sebagai anak seorang kuwu, gemar berniaga dengan bangsa asing dan berwajah tampan.
Kesemua bukti ini sebetulnya sudah bisa dijadikan sebagai modal untuk memikat gadis-gadis cantik. Mengapa pula pemuda pesolek itu harus melakukan tindakan kasar, memperkosa wanita? Ginggi bingung memikirkannya. Biarlah, akan aku kuak tabir ini dengan penyelidikan seksama. Kalau Suji Angkara gemar berbuat jahat, tidak ada bangkai busuk yang tak tercium kendati disembunyikan di tempat tertutup, pikirnya.