Life is journey not a destinantion ...

Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-21

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 20 --oo0oo-- Jilid 22

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 21

Ginggi pun terpaksa harus melayaninya. Tidak sekadar bertahan, mungkin akan sama melakukan serangan juga. Kalau hanya bertahan, Ginggi takut tak akan kuat, mengingat Ki Bagus Seta akan melakukan serangan sungguh-sungguh karena rasa ingin membalas dendam atas kematian anak tirinya.
Bagaimana agar tenaga dalam yang keluar dari tubuhnya semakin deras, Ginggi mengingatingat apa yang pernah dikatakan Ki Rangga Guna.
Bila diterjemahkan melalui bahasa ilmiah masa kini, maka Ki Rangga Guna mengatakan bahwa pengembangan tenaga dalam merupakan pelampiasan penggunaan sistem sumber daya tubuh (biolistrik). Di dalam tubuh manusia sebenarnya terdapat satu triliyun sel. Antara satu sel dengan sel yang lainnya ada suatu gaya yang memancar keluar (dalam ilmu bela diri masa kini yang diteliti secara ilmiah rasional pancaran tenaga ini disebut sebagai gaya elektromagnetik-pen). Bagi orang biasa yang tak pernah melatihnya, pancaran gaya ini keluar tidak teratur sehingga kekuatannya tidak terbukti secara khas. Oleh orang yang gemar melatih diri, pancaran gaya ini bisa dihimpun menjadi satu dan membentuk satu kekuatan yang maha hebat. Apakah orang sanggup menghimpun sebanyak-banyaknya dari jutaan sel energi ini, bergantung sejauh mana melakukan latihan.
Ginggi tak pernah mengaku seorang yang ulet. Apalagi ketika berada di bawah bimbingan Ki Darma. Orang itu selalu memaksa agar Ginggi berlatih keras. Tapi bila Ginggi sudah ogahogahan, Ki Darma selalu membiarkannya seenak perut Ginggi. Namun kendati begitu, belakangan dia sadar akan perlunya ilmu kedigjayaan setelah berhadapan dengan Ki Rangga Wisesa. Kalau saja tidak ditolong Ki Rangga Guna, barangkali nyawanya sudah lama melayang. Ketika sudah bersama Ki Rangga Guna saja Ginggi mau berlatih keras. Di samping memperdalam kembali apa-apa yang sudah diberikan oleh Ki Darma, Ginggi pun sungguhsungguh menerima gemblengan ilmu-ilmu aneh Ki Rangga Guna yang katanya didapat dari negri sebrang.
Ketika Ki Bagus Seta mendorong sepasang telapak tangannya ke depan, terasa ada hawa panas menerjang ke arah dada Ginggi. Pemuda itu pun segera menghimpun tenaganya, jauh lebih besar ketika tenaga yang dipancarkan di ruang paseban itu. Dan dua tenaga besar berhawa panas beradu keras. Akibatnya terdengar ledakan keras yang diikuti kilatan-kilatan api. Tubuh Ginggi limbung ke belakang dengan dada terasa sesak dan berat. Matanya pun terasa berkunang-kunang, sehingga bila ada serangan susulan, sudah tak mungkin berkelit.
Tapi Ginggi heran, sehingga perlu membuka matanya, mengapa serangan susulan tak pernah dilakukan. Dan di keremangan cahaya bulan pemuda itu melihat tubuh Ki Bagus Seta telentang di tangga bangunan pasanggrahan, hampir enam depa darinya.
Ginggi terkejut karena tubuh itu seperti tak bergerak. Sambil tubuh sedikit limbung, Ginggi mencoba mendekati tubuh Ki Bagus Seta yang telentang dengan kaki mengarah padanya.
Ginggi khawatir kalau-kalau orang tua setengah baya itu mati karena benturan tenaga dalam yang saling dikerahkan dengan kekuatan penuh. Kalau benar demikian, dia akan berdosa telah kembali membunuh orang.
Namun satu depa sebelum dia sampai ke tubuh telentang itu, secara kilat Ki Bagus Seta bangun sambil membuat lentingan tubuhnya. Sedangkan sepasang tangannya mengembang melakukan pukulan ke arah dada pemuda itu. Ginggi tidak menduga sehingga tidak punya kesempatan untuk menangkisnya. Pukulan itu langsung menuju dadanya. Maka karena tak mungkin ditangkis atau dikelit, pemuda itu membusungkan dadanya, memusatkan inti tenaga di seputar dadanya sehingga jutaan selelektromagnetik berkumpul di sana. Sel-sel yang memiliki daya tolak ini kalau pertahanannya betul-betul sempurna, akan mendatangkan daya yang kekuatannya sebanding dengan tenaga yang datangnya dari luar. Kian besar tenaga yang datang menyerang maka akan kuat pula daya lontarannya.
Meneliti angin pukulan yang dilancarkan Ki Bagus Seta sepertinya tidak mengandung kekuatan penuh. Mungkin Ki Bagus Seta ragu-ragu melontarkannya, mungkin pula karena dia sudah luka dalam ketika terjadi adu-tenaga tadi. Ginggi lega hatinya, sebab dengan keterbatasan tenaga itu, akan terbatas pula akibatnya.
Pukulan sepasang tangan Ki Bagus Seta menerobos masuk ke dada bidang Ginggi. Duk! Pukulan itu menerpa keras sehingga tubuh pemuda itu terlontar ke belakang. Tapi bersamaan dengan itu terdengar pula jeritan keras keluar dari mulut Ki Bagus Seta. Tubuh orang tua itu terpental jauh sekali, berguling-guling masuk ke rimbunan semak-belukar.
"Hebat!" kata-kata ini keluar dari mulut Ki Banaspati yang tahu-tahu sudah berada di sana. Tapi Ginggi yang masih telentang karena pukulan tadi, tak begitu heran melihat Ki Banaspati di sana secara tiba-tiba. Sejak dari tadi sebenarnya dia telah dikuntit orang. Baru belakangan ini Ginggi tahu bahwa yang menguntitnya adalah Ki Banaspati.
"Kau hebat Ginggi! Sudah lebih dari pantas untuk menjadi pembantu utamaku kelak!" katanya berdiri menatap pemuda itu bangun. Dengan seluruh tubuh terasa sakit-sakit dan dada sesak, Ginggi hanya menatap Ki Banaspati dengan heran. Heran, mengapa orang ini malah memuji dirinya ketimbang cepat-cepat menolong Ki Bagus Seta yang Ginggi duga menderita luka berat karena peristiwa barusan.
"Coba kau periksa Ki Bagus Seta …" kata Ginggi dengan tarikan napas memburu karena sesak.
"Bagus Seta hatinya masih dipengaruhi urusan pribadi. Tidak cocok untuk melakukan perjuangan besar seperti yang tengah kita lakukan," gumam Ki Banasapti datar.
"Tapi dia perlu kita tolong …" kata Ginggi.
"Mengapa kau membunuhnya kalau harus ditolong?" tanya Ki Banaspati enteng saja. "Aku tak membunuhnya. Dia yang menyerangku. Tapi aku tak mau bunuh dia …" kata
Ginggi dengan dada masih terasa sesak. Ginggi kemudian terhuyung-huyung menuju semaksemak untuk mencari tubuh Ki Bagus Seta. Tapi sebelum Ginggi mencarinya, Ki Bagus Seta nampak keluar dari semak dan bergerak menggunakan gerakan tangan. Ginggi menarik tubuh Ki Bagus Seta menjauhi semak. Sesudah berhasil diangkat, Ki Bagus Seta disuruhnya bersila untuk mengatur pernapasan. Ginggi juga menyeka darah yang meleleh dari sudut bibir Ki Bagus Seta.
"Engkau hebat, anak muda…" gumam Ki Bagus Seta, dikomentari oleh kekeh tawa Ki Banaspati.
"Engkau bodoh Bagus Seta. Sudah aku katakan, bertempur dengan kawan sendiri hanya membuat rugi tujuan kita!" kata Ki Banaspati.
Yang diomeli diam saja sebab perhatiannya tengah terpusat dalam pengaturan napas. "Anakku mati…" gumamnya kemudian.
"Memang sudah diputuskan. Suji Angkara harus mati sebab hanya akan menghalangi perjuangan kita. Kalau kau terganggu oleh urusan percintaan, anak itu sebetulnya sudah akan melapor tentang kegiatan kita," kata Ki Banaspati. "Tapi sayang sekali, seharusnya Ginggi bunuh pemuda itu sesudah Suji Angkara membunuh Pangeran Yogascitra. Sekarang Yogascitra masih hidup. Kau yang harus bertugas membunuhnya, Ginggi…" lanjut pula Ki Banaspati.
Ginggi diam mematung.
"Engkau amat berpeluang membunuh bangsawan itu sebab kau sudah dipercaya penuh olehnya. Berita mengenai engkau akan dilatik menjadi ksatria puri Yogascitra sudah tersebar di Pakuan. itu amat baik!" kata Ki Banaspati lagi.
"Bagaimana kalau anak muda ini tak membunuh Yogascitra bahkan menyebrang memihak mereka?" tanya Ki Bagus Seta tiba-tiba.
"Tidak mungkin sebab Ginggi sudah terlanjur menyayangi Rangga Guna yang kita tawan. Kalau tak dibebaskan, Ki Rangga Guna akan menjadi mayat begitu saja. Kalau Ginggi tak mau menjalankan perintah kita, artinya Ginggi telah biarkan Rangga Gunai mati. Bukan oleh kita tapi oleh surat ini," kata Ki Banaspati sambil membuka buntalan kecil yang sejak tadi diikatkannya pada sabuk kainnya.
Bungkusan itu dibuka. Di dalamnya ternyata ada satu kotak surat dan ada satu kumpulan daun nipah. Ki Banaspati hanya membuka ikatan daun nipahnya saja.
"Apakah itu?" tanya Ginggi ingin tahu......
"Itulah surat yang ditulis sebelum Rangga Guna tertangkap di Sagaraherang. Adakah surat itu untukmu?" kata Ki Bagus Seta.
"Begitu pentingkah surat itu untukku?" tanya Ginggi lagi menyipitkaan sebelah matanya.
"Ya, penting sekali karena nyawamu ada di dalam sini," kata Ki Banaspati mengangkat lembaran daun nipah yang diikat benang putih itu.
"Bacakan, apa isinya!" kata Ginggi. "Coba serahkan surat itu padanya, Banaspati!" kata Ki Bagus Seta.
"Percuma memperlihatkan surat itu secara langsung, dia tak bisa baca-tulis!" kata Ki Banaspati.
Lagi, Tugas Rahasia
Ginggi sebetulnya ingin sekali membaca langsung, apa isi surat yang katanya amat berkaitan erat dengan nyawanya. Tapi dia ingin mempertahankan pendapat orang lain bahwa dirinya tak bisa baca-tulis.
Dulu Ki Darma memang memerintahkan dirinya untuk pura-pura tak mengenal tulisan, sebab suatu hari sifat kepura-puraan itu akan berguna.
"Ini, aku bacakan!" kata Ki Banaspati membeberkan susunan daun nipah, mendekatkannya pada kedua matanya karena cahaya bulan sepotong samar-samar saja cahayanya.
"Teruskan perjuanganmu sesuai perintah Ki Darma!" kata Ki Banaspati membaca surat daun nipah. Kemudian dibacanya pula penandatangan surat itu, sebagai Ki Rangga Guna tertuju kepada Ginggi.
"Surat itu tak punya arti khusus dan tak membahayakan diriku," kata Ginggi. Ki Banaspati terkekeh-kekeh.
"Kalau surat ini sampai ke tangan orang-orang Pakuan, kau akan dikejar dan diburu sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma!" katanya.
"Aku juga bisa katakan bahwa kalian punya hubungan erat," jawab Ginggi.
"Hahaha! Hanya engkau yang bisa dibuktikan. Kami bertahun-tahun sudah berada di sini dan tak ada orang yang tahu. Ki Darma sudah mati, kemudian Rangga Guna pun nyawanya ada di tangan kami dan kata-katamu tak akan dipercaya orang," Ki Banaspati tertawa lagi.
Ginggi tetap terpaku dan hatinya membenarkan kesulitan ini, bila surat dari Ki Rangga Guna disampaikan kepada orang-orang Pakuan.
"Untuk keselamatanmu di Pakuan, maka selamanya kau terikat padaku. Kau laksanakan perintah-perintahku dan kau bisa hidup dengan aman…" kata Ki Banaspati lagi. Kemudian dia menoleh pada Ki Bagus Seta.
"Bagus Seta, kini kendali aku yang pegang, sebab ternyata kau bodoh dan beberapa kali mengalami kegagalan saja!" katanya.
Ki Bagus Seta berdiri tapi dengan tubuh terbungkuk. Mungkin karena luka di dadanya masih terasa sakit.
"Tidak. Aku yang pegang kendali, sebab kau terlalu kasar, Banaspati!" kata Ki Bagus Seta. "Di sini kekuasaan dan pengaruhmu sudah lumpuh. Bangsawan Soka yang kau banggakan dan kau gunakan untuk tempat berlindung sudah tak berguna lagi. Sedangkan selama ini kau di sini hanya mengandalkan orang itu!"
"Kita semua memang mengandalkan Bangsawan Soka!"
"Tidak! Aku mengandalkan diriku sendiri!" potong Ki Banaspati. "Kekuatanmu apa sehingga berani berkata begitu?" tanya Ki Bagus Seta.
Ditanya seperti itu, Ki Banaspati malah tertawa terkekeh-kekeh kemudian berubah menjadi tawa mengakak ketika melihat Ki Bagus Seta mengerutkan alis.
"Ginggi, kau terangkanlah apa kekuatanku sesungguhnya. Jangan katakan aku selama ini berlindung pada pengaruh pejabat tinggi bernama Ki Bagus Seta!" kata Ki Banaspati sambil menoleh pada Ginggi. Ki Bagus Seta sama menoleh pada pemuda itu dengan wajah amat heran.
"Kalian punya persekongkolan lain selain denganku?" tanya Ki Bagus seta. Ginggi tak menjawab sesuatu.
"Hahaha ! Katakanlah apa yang kau ketahui, Ginggi!" kata Ki Banaspati dan sepertinya mencoba memanas-manasi rasa penasaran Ki Bagus Seta, menyebabkan dia nampak marah sekali sambil menatap ke kiri dan ke kanan.
"Kau katakanlah, anak muda, jangan permainkan aku pula!" teriak Ki Bagus Seta pada Ginggi.
"Ki Banaspati telah menyusun pasukan di wilayah timur!" kata Ginggi.
"Aku sudah tahu itu. Pasukan di wilayah timur sengaja dibentuk untuk dipakai melawan Raja. Pasukan itu akan dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa yang berambisi menggantikan Raja!" kata Ki Bagus Seta.
"Ya, lanjutkan pengetahuanmu itu sampai mana?" tanya Ki Banaspati masih terkekeh-kekeh.
"Sunda Sembawa hanya dijadikan penggerak saja, sebab kau Banaspati yang sebetulnya memegang kendali. Kemudian di Pakuan, aku yang memegang kendali dengan menyulut Bangsawan Soka untuk berambisi menjadi penasihat Raja…"
"Ya, engkau di Pakuan punya satu orang saja yang pengaruhnya sudah buruk. Sedangkan aku di luar Pakuan punya ribuan pasukan yang kesemuanya ada di bawah pengaruhku!" potong Ki Banaspati.
"Apa maksudmu dengan bicara seperti itu?" tanya Ki Bagus Seta menatap tajam. "Maksudku, akulah yang paling kuat di Pajajaran ini dan bukan engkau!" kata Ki Banaspati. "Terangkan maksudmu yang sebenarnya!" desis Ki Bagus Seta. "Maksudku yang sebenarnya, bahwa akulah kelak yang akan menjadi raja di Pakuan!" kata Ki Banaspati mantap.
Tubuh Ki Bagus Seta seperti tersentak ke belakang ketika mendengar pernyataan ini.
Ginggi merasa heran menyaksikannya. Bukan heran oleh ambisi Ki Banaspati sebab sejak dulu dia telah tahu. Tapi pemuda itu amat heran mengapa Ki Bagus Seta terlihat kagetnya mendengar perkataan Ki Banaspati seperti itu. Apakah sebelumnya memang tidak tahu akan cita-cita Ki Banaspati seperti itu?
"Engkau…engkau mengkhianati aku, Banaspati! Bukan engkau, akulah kelak yang harus jadi raja!" desis Ki Bagus Seta.
"Hahaha! memang benar para wiku istana kerapkali berbicara bahwa yang jadi rajateu mudu pinter tapi mudungartijeung kaharti (tidak harus pintar tapi harus mengerti dan harus dimengerti). Namun engkau selain bodoh juga tak mengerti dan sulit dimengerti orang lain. Kau tak cocok jadi raja karena bodoh. Kau juga tak cocok karena tak pernah mengerti keadaan. Gerakanmu yang bodoh hanya membuat orang bercuriga saja pada kegiatan kita.
Itulah sebabnya. Kau urungkanlah cita-citamu untuk menjadi raja, sebab akulah yang lebih cocok menduduki jabatan paling tinggi seperti itu!" kata Ki Banaspati.
Ginggi menyaksikan, betapa menggigilnya tubuh Ki Bagus Seta setelah mendengar penjelasan seperti itu. Juga pemuda itu sekaligus mulai mengetahui bahwa Ki Bagus Seta pun punya ambisi sama untuk menjadi raja.
"Sudah tiga orang yang dirinya punya keinginan untuk menjadi raja," gumam Ginggi tak sadar.
"Hahaha! Bukan hanya tiga orang, tapi empat orang Ginggi. Sebab selain Sunda Sembawa, Bagus Seta dan aku, Bangsawan Soka pun punya keinginan seperti!" kata Ki Banaspati.
"Bangsawan Soka keinginannya terbatas. Dia hanya berjuang untuk jabatan penasihat saja!" potong Ki Bagus Seta.
"Bangsawan Soka tak setuju cara-cara kepemimpinan Ratu Sakti. Dia juga suka mengejek kemampuan Raja yang sekarang. Sedangkan dia orang angkuh. Mustahil dia ingin jadi penasihat raja bodoh. Dia inginkan lebih dari itu. Kau akan dimanfaatkan. Dia juga akan memanfaatkan aku sambil sebelumnya mendorong Raja mengeluarkan keputusan agar aku disetujui membangun kekuatan di wilayah timur. Aku tahu maksud buruknya. Kekuatan yang aku miliki kelak akan dia pinta untuk mendukung cita-citanya! Hahaha! Tidak! Akal bulusnya sudah aku ketahui seluruhnya dan aku tidak akan terkecoh!" kata Ki Banaspati.
"Engkau jangan serakah Banaspati. Akulah yang lebih pantas menjadi raja sebab aku pulalah yang pertama kali memasuki lingkungan istana. Kau tidak akan berarti apa-apa tanpa bantuanku!" seru Ki Bagus Seta dengan suara menggigil menahan kemarahan. Sedangkan Ki Banaspati hanya tertawa-tawa saja dengan nada penuh ejekan. Ki Bagus Seta semakin panas dengan sikap-sikap sombong Ki Banaspati. Dia akan bergerak memburu ke depan, namun sebentar kemudian jatuh terjerembab karena tubuhnya limbung. "Hahaha! Jangan melawanku Bagus Seta. Tenagamu habis dan tubuhmu luka dalam karena kau memaksa berhadapaan dengan pembantu utamaku. Pilihlah, kau hidup sejahtera di bawah kepemimpinanku, atau kau mati malam ini juga!" kata Ki Banaspati dengan nada sungguhsungguh dan penuh ancaman.
Aneh sekali, mendengar ancaman ini, Ki Bagus Seta langsung menjatuhkan dirinya seperti karung goni. Orang yang sehari-harinya gagah dan angkuh itu, kini menangis sesenggukan karena ancaman saudara seperguruannya.
"Kau pulanglah ke purimu dan tunggulah perintah-perintahku. Pergerakan besar akan segera dimulai!" kata Ki Banaspati. Ki Bagus Seta dalam keadaan berlutut menatap tajam Ki Banaspati sambil berlinang airmata.
"Kau harus berpikir matang, Bagus Seta. Cita-cita kita adalah melaksanakaan amanat Ki Darma dalam membela kepentingan rakyat Pajajaran. Sekarang kau harus yakin, akulah yang akan bisa memimpin Pakuan sehingga kehidupan rakyat terjamin. Kalau kau membantuku, berarti kau murid setia Ki Darma dan dosa-dosamu karena memerintahkan pasukan perwira kerajaan menyerbu Puncak Cakrabuana terampuni," kata Ki Banaspati.
Ki Bagus Seta menyeka airmatanya. Namun setelah itu dia bangun berdiri dan berjalan terhuyung-huyung meninggalkanPulo dan menyebrangi Cihaliwung dengan menggunakan perahu yang tadi digunakan Ki Banaspati.
Sepeninggal Ki Bagus Seta, tinggallah Ginggi berdua dengan Ki Banaspati.
"Saat-saat penting telah hampir tiba, hari-hari ini kau akan banyak pekerjaan, Ginggi!" kata Ki Banaspati.
Dia keluarkan kembali kotak surat yang ada di dalam bungkusannya, kemudian diserahkan pada Ginggi.
"Apa ini?" tanya Ginggi.
"Isinya surat maha rahasia. Kau serahkan pada Pangeran Jaya Perbangsa!" kata Ki Banaspati. "Pangeran Jaya Perbangsa…?" gumam Ginggi.
"Ya, apakah kau tak kenal Pangeran Jaya Perbangsa?" tanya Ki Banaspati.
"Aku mengenalnya…dia termasuk sahabat baik Pangeran Yogascitra," gumam Ginggi.
Mendengar gumaman pemuda itu. Ki Banaspati tertawa renyah tapi Ginggi tak tahu arti tawanya itu.
"Ya, kau serahkan secara rahasia pada pangeran itu. Hati-hati, jangan sampai ada yang tahu bahwa kau menyerahkan kotak ini," kata Ki Banaspati. "Mati hukumanmu bila kau tak berhasil menyerahkan ini pada orang yang aku maksud!" katanya lagi dengan nada datar.
Ginggi tak mengangguk atau pun menggelengkan kepala. Dia hanyaa menerima kotak itu saja dengan kedua belah tangan sedikit bergetar karena perasaannya yang sangat tegang. Ki Banaspati menatap sejenak, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan menuruni tepi sungai. Namun sebelum jauh benar, dia berbalik lagi.
"Hati-hati, kau harus taati aku kalau tak ingin nyawa Rangga Guna melayang. Kalau kau langgar, di samping kau bunuh diri, juga sebetulnya kaulah yang membunuh Rangga Guna. Kau juga akan menjadi orang berdosa pada Ki Guru sebab kau kacaukan pergerakan yang diinginkan Ki Guru. camkan kata-kataku!" kata Ki Banaspati. Setelah puas meyakinkan katakatanya ini, dia segera meloncat dan berlari menggunakan ilmuNapak Sancang di atas permukaan air.
Tinggallah Ginggi sendirian di Pulo Parakan Baranangsiang yang sunyi dan dingin ini. Sambil termenung dengan alis berkerut pemuda itu menimbang-nimbang isi kotak kayu tersebut.
Sandi Apakah Itu?
Ginggi masih duduk sendirian di bangunan pesanggrahan Pulo Parakan Baranangsiang. Udara semakin dingin karena malam sudah demikian larut. Dan bila melihat bulan sabit sudah hilang dari pandangan sejak tadi, dari sebrang sungai, sayup-sayup terdengar pula suara ayam berkokok. Hanya menandakan bahwa waktu subuh hari akan segera menjelang.
Ginggi harus cepat kembali ke puri Yogascitra. Kalau ketahuan dia keluyuran tanpa sepengetahuan penghuni puri itu, hanya akan membuat masalah baru.
Tapi sebelum dia kembali, ingin sekali membaca surat yang kini ada di tangannya. Surat itu masih tersimpan di dalam kotak terkunci rapat. Kata Ki Banaspati harus diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Ginggi mengerutkan alis. Punya hubungan apa pangeran ini dengan Ki Banaspati?
Apakah Pangeran Jaya Perbangsa sudah masuk ke dalam persekongkolan dengan Ki Banaspati?
Ginggi tidak tahu tindak-tanduk pangeran muda ini. Dua hari yang lalu ketika ada pertemuan di puri Yogascitra, Pangeran Jaya Perbangsa ikut hadir. Dia diundang sebab seperti apa kata Purbajaya, pangeran ini termasuk kawan dekat Pangeran Yogascitra. Dalam pertemuan itu, Pangeran Jaya Perbangsa termasuk orang yang banyak bicara yang pada pokoknya menggambarkan ketidaksetujuan dia dalam menyimak perilaku Raja. Tidak tanggungtanggung, bahkan dia berkata dengan suara keras meminta agar semua orang sepakat menurunkan Raja dari tahtanya.
Tak ada yang ganjil dan tak ada yang aneh, sebab pada umumnya semua yang hadir pada pertemuan itu memperbincangkan perihal ketidaksetujuannya terhadap perilaku dan kebijaksanaan Raja.
"Tak ada yang ganjil…Tak ada yang ganjil…!" gumam pemuda itu sendirian. Ya, memang tak ada yang ganjil, sebab semua orang sama-sama tak setuju dengan sikap Raja. Ki Banaspati juga susah-payah menghimpun kekuatan karena tak setuju dengan sikap Raja. Berpikir sampai di sini, pemuda itu menahan napasnya. Pangeran Jaya Perbangsa bersuara lantang agar semua orang bertindak menurunkan Raja dari kekuasaan. Ini juga keinginan Ki Banaspati. Tidakkah Pangeran Jaya Perbangsa dikendalikan oleh Ki Banaspati?
Makin berkerut dahi Ginggi karena berpikir keras. Sudah dia ketahui memang semua orang tidak setuju terhadap Raja. Tapi dia perlu memilah-milahnya. Ada kelompok yang sekadar tak menyenangi sikap Raja tapi tanpa punya tujuan-tujuan tertentu. Dan ada juga kelompok yang sama-sama tak menyenangi Raja tapi sambil punya tujuan khusus. Ki Banaspati jelas termasuk kelompok kedua ini. Kemudian, mungkinkah dia berusaha mengendalikan beberapa pangeran yang ada di Pakuan untuk memperbesar api kemelut?
Bisa saja begitu, semakin kacau suasana di Pakuan, semakin bagus menurut pertimbangan Ki Banaspati. Pangeran Jaya Perbangsa suaranya paling lantang mengajak semua orang meruntuhkan Raja. Kalau dikatakan dia mengajak semua orang untuk memberontak, bisa benar-benar persis. Dan Ki Banaspati menyusun kekuatan untuk memberontak. Akan lebih bagus bagi Ki Banaspati bila sebelum pasukan dari timur dikerahkan menyerang Pakuan, di dayo (ibukota) itu sendiri sudah ada yang saling gebuk, barangkali Ki Banaspati tinggal hanya menunggu waktu saja. Sesudah dua kekuatan di Pakuan saling gebuk sendiri dan pemenangnya dalam keadaan lemah, giliran pasukan Ki Banaspati yang bergerak untuk meraih kemenangan.
Ginggi memang sudah melihat situasi di Pakuan. Kekuatan di sana cenderung sudah terpecahpecah. Ada kelompok yang sudah meragukan kepemimpinan Raja, tapi ada juga yang tetap bertahan dengan keputusan-keputusan Raja.
Ginggi kini mulai bisa meraba, Pangeran Jaya Perbangsa yang selalu bersuara lantang, dikendalikan Ki Banaspati agar menyulut dan memanasi para penentang Raja untuk mengadakan keributan berupa pemberontakan.
Satu-satunya bukti untuk memperjelas dugaannya ini, Ginggi harus membuka kotak dan membaca surat yang harus dia serahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa.
Suasana gelap di tempat yang terpencil ini tak memungkinkan dirinya untuk membaca surat itu. IlmuSorot Kalong (melihat di tempat gelap) yang dia miliki tak akan membantu penuh. Jadi pemuda itu harus segera kembali ke puri Yogascitra.
Dan dia pun segera meninggalkan tempat itu, berlari menuju puri Yogascitra yang kini sudah menjadi tempat tinggalnya.
Dengan amat hati-hati pemuda itu meloncati benteng puri menyelinap ke bangunan yang jadi tempat tinggalnya. Masuk ke ruangan tidurnya, dia segera menyalakan pelita. Keremangan berubah menjadi benderang. Ginggi meneliti kotak surat itu. Berukir indah dan halus buatannya. Tapi tutup kotaknya dikunci oleh semacam engsel. Ginggi perlu membuka engsel itu agar tutup kotak bisa terkuak. Dengan serampangan tangan pemuda itu membedol ujung engsel. Dan begitu tutup kotak terbuka, terdengar suara halus bersiutan. Ada cahaya-cahaya kecil berkeredipan mengarah pada wajah dan dadanya.
Ginggi terkejut setengah mati sebab tak menduga bakal ada benda kecil tajam melesat keluar. Dia hanya sanggup miringkan wajah ke kanan tapi tak keburu melontarkan tubuhnya ke belakang. Akibatnya, tiga batang jarum halus bersarang di dadanya dan rasanya sakit sertamerta membuat tulang ngilu. Ginggi mencabuti ketiga batang jarum itu. Tapi rasa sakit di tubuhnya kian menghebat. Dengan mata berkunang-kunang dan rasa sakit yang hebat, dia mengerahkan tenaga dalamnya, dipusatkannya pada bagian dada. Dia sadar, jarum itu beracun dan Ginggi perlu menahan aliran darah di bagian dada agar tak menyebar ke seluruh bagian tubuhnya. Tindakan pengamanan ini rasanya kurang cukup dan dia khawatir racun masih bisa menyebar. Oleh sebab itulah Ginggi mencari benda tajam. Kebetulan di sebuah laci terdapatpeso pengot (pisau amat tajam ujungnya, biasa digunakan pula untuk menoreh tulisan di atas daun nipah). Pisau tajam itu dia gunakan untuk menoreh tiga luka di dadanya agar darah bisa keluar lebih banyak dari luka itu. Namun sebelum pekerjaannya selesai, matanya semakin berkunang dan kepalanya terasa pening. Akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya dan Ginggi tak ingat apa-apa lagi.
Dia baru sadar dari pingsannya ketika suhu badannya terasa panas. Banyak keringat membasahi jidatnya dan kerongkongannya terasa kering. Dia ingin sekali minum. Tanpa membuka mata, pemuda itu meraba-raba ke pinggir kiri. Dia ingat, di sisi pembaringan sebelah kiri ada meja yang di antaranya diisi berbagai minuman. Tapi tangan itu meraba tempat kosong. Ginggi juga rasakan, udara amat pengap, padahal setahu dirinya, tempat tinggalnya di puri Yogascitra terasa harum semerbak oleh berbagai wewangian.
Ginggi mencoba membuka matanya. Suasana hanya remang-remang saja karena peningnya. Pelipisnya terasa berdenyut. Tapi setelah terbiasa dengan pandangan matanya, mendadak hatinya terkejut. Betapa tak begitu sebab di sisi kirinya dia lihat jeruji besi. Dia tidur telentang di sebuah balai-balai kasar di sebuah kamar ukuran kecil dengan lubang berjeruji besi.
Penjarakah ini? Ginggi bangun serentak, tapi kemudian jatuh telentang kembali karena dadanya terasa pedih dan berdenyut. Dirabanya dada itu, ternyata sudah diberi bebat. Mengapa aku ada di dalam penjara, pikirnya?
Terdengar suara langkah mendekat. Ginggi menoleh ke kiri. Ada dua jagabaya tengah menatapnya. Salah seorang kemudian berlalu dan sayup-sayup terdengar suaranya, "Tawanan sudah siuman, Raden…" katanya. Kemudian terdengar langkah mendekat lagi. Kini ada dua orang lagi yang datang.
"Raden Purbajaya…!" seru Ginggi pelahan. Nampak alis Purbajaya berkerut melihatnya.
"Mengapa aku ada di sini?" tanyannya lagi namun sambil mengeluh pendek karena ada rasa sakit di dadanya.
"Engkau dipenjara, Ginggi…" kata Purbajaya pendek. "Apa dosaku?"
"Nanti engkau akan diperiksa Pangeran Yogascitra!" gumam Purbajaya seperti penuh sesal.
Tak berapa lama kemudian terdengar beberapa langkah mendatang. Kemudian Ginggi lihat Pangeran Yogascitra disertai Banyak Angga.
Pangeran tua berwajah sabar itu menatap Ginggi dengan alis sedikit berkerut. Ginggi mencoba hendak bangkit namun dirasakan tubuhnya sakit-sakit. "Kau terluka karena racun. Sudahlah tak perlu bangun. Aku hanya inginkan penjelasanmu, anak muda…" kata Pangeran Yogascitra datar.
Ginggi mau bicara, tapi Pangeran Yogascitra memperlihatkan kotak surat beserta isinya. Ginggi terkejut melihat isi surat itu. Jadi, karena benda itu dia dijebloskan ke penjara. "Saya belum sempat membaca isinya, Pangeran…" jawab Ginggi sejujurnya.
"Sudah aku baca isinya tapi aku tak mengerti sebab itu kata sandi. Barangkali kau pasti bisa mengartikannya," kata pangeran itu. Ginggi menerima susunan daun nipah dan mencoba membeberkannya.
Ribuan pipit terbang dari timur ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya "Banaspati"
"Saya tak bisa membaca, Pangeran…" gumam Ginggi setelah meneliti susunan hurufPalawadi atas daun nipah itu. Pangeran Yogascitra menatap penuh selidik.
"Benar, dia tak bisa baca-tulis, Pamanda…" kata Purbajaya. Bukan sekadar membela, tapi Ginggi memang pernah mengatakan tak pernah belajar baca-tulis ketika Purbajaya memberinya sebuah kitab pelajaran agama lama.
"Tapi setidaknya engkau masih punya hubungan dengan Banaspati, anak muda…" kata Pangeran Yogascitra.
Ginggi bingung mau menjawab bagaimana, dikatakan punya hubungan, sebetulnya juga tidak, sebab selama ini Ginggi tak senang terhadap orang itu. Tapi dikatakan tak punya hubungan, ya…kotak surat itu amat membuktikan bahwa ada satu hubungan antara dia dengan Ki Banaspati.
"Engkau membingungkan kami. Kedudukanmu sebetulnya ada di mana. Suatu saat kau membela kami, tapi di saat lain kau erat dengan mereka. Ketahuilah, Ki Bagus Seta sudah dicurigai beberapa pejabat istana karena penyelewengan pajak negara. Dan otomatis, Ki Banaspati pun dicurigai sebab dia tangan kanan Ki Bagus Seta. Aku menyesalkan sikapmu yang ternyata masih memiliki hubungan dengan kelompok mereka. Padahal aku sudah menyukaimu, anak muda…" kata Pangeran Yogascitra. "Tapi perasaan pribadi aku kesampingkan karena kepentingan negara lebih diutamakan. Kau harus menjelaskan mengapa ada surat sandi di tanganmu. Ada rencana apakah Ki Banaspati sehingga perlu mengirim surat rahasia padamu?" tanya Pangeran Yogascitra.
Semua mata memandang tajam padanya ketika pertanyaan itu diajukan. Ginggi sulit untuk menjawab. Sebetulnya bisa saja dia katakan bahwa surat itu dari Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi, apakah Pangeran Yogascitra percaya akan penjelasan ini? Surat itu tak ditujukan langsung pada Pangeran Jaya Perbangsa. Jadi kepada setiap pemegang surat bisa ditudingkan bahwa itu surat dari Ki Banaspati untuk dirinya.
"Aku harap engkau menjelaskannya padaku. Sebab bila peristiwa ini bocor ke istana, kau akan jadi tawanan istana dan nasibmu akan lebih buruk lagi. Kau harus tahu Sang Prabu sangat kejam terhadap orang yang bersalah," kata Pangeran Yogascitra menegaskan.
"Jangan…" Ginggi mencegah.
"Nah, kalau kau takut dipindahkan ke istana, terangkanlah dengan baik, apa isi surat itu!" kata lagi Pangeran Yogascitra.
Pangeran itu salah mengerti, kata Ginggi dalam hatinya. Yang dia maksud jangan adalah surat itu jangan dulu sampai ke istana, takut keburu diketahui oleh Pangeran Jaya Perbangsa.
Ginggi tak mau surat itu sampai ke tangan pangeran muda yang berperangai keras itu.
"Pangeran, sebaiknya urusan itu diselesaikan di sini saja. Beri saya waktu untuk menjelaskannya…" kata Ginggi.
"Nanti malam aku akan mengunjungimu lagi…" gumam Pangeran Yogascitra. Setelah menatapnya, bangsawan itu segera berlalu.
"Engkau mengecewakan aku, Ginggi…" gumam Purbajaya sedangkan Banyak Angga hanya menatap saja. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu.
Kini Ginggi sendirian di kamar tahanan berjeruji itu. Dia masih bingung bagaimana harus membebaskan dirinya dari tudingan ini.
Tapi Ginggi harus mengesampingkan dulu urusan ini. Yang harus dia pikirkn adalah teka-teki surat rahasia itu. Apa makna surat yang sedianya harus diserahkan kepada Pangeran Jaya Perbangsa ini?
Ribuan pipit terbang dari timur ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya
Ginggi mengerutkan dahinya beberapa kali. Dia harus memecahkan sandi ini.
Menjelang senja hari ada jagabaya menyodorkan makanan. Pemuda itu amat berterimakasih sebab sejak malam hari dia belum makan apa pun. Sekarang ada makanan yang cukup baik dan menyehatkan untuk dimakan. Tapi sebelum dia mencicipi makanan itu, dia teringat sesuatu. "Paman, tolong beritahu aku, kapan upacaraKuwerabakti dimulai?" tanyanya pada jagabaya. Yang ditanya sejenak mengernyitkan dahi. Kemudian dia menepuk jidatnya sendiri.
"Oh, sampai aku melupakan kegiatan penting ini. Empat hari lagi kalau tak salah, pesta panen 49 hari akan segera dimulai," jawab jagabaya.
"Apa-apa sajakah upacara paling penting dalam Kuwerabakti, Paman?"
"Ya, banyak sekali. Sehari sebelumKuwerabakti , rombongan seba dari seluruh wilayah Pajajaran akan datang senja hari di Pakuan. besoknya pagi-pagi akan ada upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya, kemudian dilanjutkan dengan upacaranadran (ziarah) ke Bukit Rancamaya, mengenangmoksa Sang Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja di Bukit Badigul," kata penjaga.
"Siapa saja yang mandi suci di pagi hari itu?"
"Seluruh penghuni istana, dari mulai Sang Prabu hingga permesuri dan para selir serta kaum wiku dan pendeta agung, semua mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya. Tapi, ada apakah engkau, sepertinya ingin sekali engkau datang menghadiri? Sayang anak muda, kedudukanmu seperti ini…" kata jagabaya menyayangkan nasib Ginggi. Ginggi sendiri tidak menyimak ucapan terakhir jagabaya ini, sebab dia lebih terpaku memikirkan ucapan jagabaya sebelumnya.
Surat rahasia itu sepertinya punya hubungan erat dengan kegiatanKuwerabakti . Ginggi berpikir keras, mencoba mencari maksud surat tersebut. Sehari sebelumKuwerabakti , rombongan seba dari semua wilayah akan datang sore hari. Dari mana sajakah rombongan seba itu?
"Paman, kalau kita melakukan perjalanan tanpa henti dari wilayah Kandagalante Sagaraherang, kira-kira akan makan waktu berapa lama?" tanya Ginggi kemudian. Jagabaya yang sedianya akan berlalu mendadak berhenti lagi. Dia mengernyitkan dahi terpengaruh oleh pertanyaan Ginggi.
"Bila dilakukan tanpa tergesa-gesa, mungkin makan waktu selama tiga hari. Kira-kira senja hari rombongan baru bisa memasukidayo (ibukota)," jawab jagabaya.
"Betulkah?"
"Ya, aku pernah melakukan perjalanan seperti itu."
Berdebar jantung Ginggi mendengarnya. Beberapa baris kalimat sudah bisa diraba kemungkinannya. Dan kalau "ribuan pipit terbang dari timur" sudah bisa dipecahkan, maka seluruh isi surat rahasia bisa dia artikan. Tapi Ginggi benar-benar sudah bisa menduga. "Ribuan pipit terbang dari timur" siapa lagi kalau bukan pasukan di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa dari wilayah Sagaraherang yang terletak di sebelah timur Pakuan.
Ginggi kembali menyusun surat rahasia itu di dalam benaknya, kemudian mencoba menyusun pemecahannya. Maka "ribuan pipit terbang dari timur" diterjemahkan sebagai pasukan yang akan bergerak dari Sagaraherang. "Ketika senjajatuh di barat" diartikan Ginggi bahwa pasukan itu akan tiba di barat (Pakuan) di saat senja tiba. Kemudian baris ketiga berbunyi "tiga hari sebelum kuwerabakti" menerangkan bahwa pasukan itu akan mulai bergerak tiga hari sebelum upacara kuwerabakti. Baris keempat berbunyi "pagi hari diTelaga Rena Maha Wijaya" memberitahukan bahwa pagi hari akan diadakan satu kegiatan. Kegiatan itu sudah pasti acara mandi suci seluruh keluarga istana. Raja juga akan mandi suci di telagaa itu. Oh, nanti dulu! Baris surat keempat bukan sekadar pemberitahuan akan upacara mandi suci.
Pangeran Jaya Perbangsa tak pelu diberitahu sebab dia sendiri sudah tahu akan upacara itu. Kalimat baris keempat ini lebih berupa perintah untuk melakukan satu gerakan. Mungkin pagi hari waktunya, di saat ada upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya. 
Ginggi semakin berdegup jantungnya. Dia ingat perkataan Ki Banaspati di Pulo Parakan Baranangsiang kemarin malam bahwa sebuah gerakan besar akan segera dimulai. Akan ada penyerbuan besar-besaran ke Pakuan di saat upacara penting Kuwerabakti. Pasukan akan datang dengan menyamar sebagai rombongan pengirim seba.
Benar! Pemberontakan akan dimulai empat hari lagi. Barangkali pasukan yang menyamar sebagai pengirim seba akan mulai bergerak esok hari dari Sagaraherang.
Ginggi terpaku di ruangan gelap berjeruji ini. Sebentar lagi akan terjadi puncak kemelut di Pakuan. Maka di mana Ginggi akan menempatkan diri dalam situasi ini? Berdiri di fihak Ki Banaspatikah?
Tapi Ginggi kini sudah bisa menilai, Ki Banaspati tidak benar-benar berjuang sesuai amanat Ki Darma. Bahkan orang ini sebenarnya menggunakan perintah guru hanya sebagai dalih saja. Dengan membonceng kepada amanat Ki Darma dia punya tujuan tertentu untuk menjalankan ambisi pribadinya.
Kedoknya semakin terbuka di Pulo Parakan Baranangsiang. Betapa dengan kejamnya dia mencampakkan Ki Bagus Seta setelah tahu bahwa orang itu tak memiliki pengaruh berarti lagi di Pakuan. Ki Banaspati benar-benar berani memperlihatkan sikap sebenarnya sebelum cita-citanya tercapai. Tindakan seperti ini hanya menandakan bahwa dirinya yakin akan keberhasilan usahanya. Mungkin benar sebab Ki Bagus Seta sudah tak mungkin memperbaiki posisinya.
Waktu sudah tak ada lagi, sebab Ki Banaspati membuka kartu di saat-saat terakhir, di mana seluruh kekuatan pasukannya sudah mulai bergerak. Ki Banaspati seorang yang berambisi besar, tamak dan licik. Ginggi tak perlu memihak padanya. Dengan kata lain, dia tak akan menjalankan perintah-perintah Ki Banaspati secuil pun !
"Tapi, bagaimana nasib Ki Rangga Guna?" keluhnya. Jelas, nyawa Ki Rangga Guna jadi taruhannya bila Ginggi berani menghindari perintah-perintah Ki Banaspati.
"Jangan meributkan nyawa seseorang untuk sebuah perjuangan besar," kata Ki Banaspati tempo hari. Apakah Ginggi pun akan bercermin pada prinsip Ki Banaspati, merelakan nyawa Ki Rangga Guna demi sesuatu? Sesuatu apa? Perjuangankah? Kalau dia menolak ajakan Ki Banaspati, lantas akan berjuang demi siapakah kini? Untuk kepentingan Pakuan? Untuk kepentingan Raja? Tidak mungkin, sebab selain tak sesuai dengan amanat Ki Darma, juga bertolak belakang dengan hati nuraninya. Sudah jelas Raja itu berjiwa lemah. Mudah diombang-ambing pengaruh dari luar dirinya dan mudah tergoda oleh kehidupan duniawi termasuk kecantikan wanita. Ginggi tak sudi mengabdi kepada Raja yang seperti ini. Dan kalau kesini tak mau dan kesana tak mau, sudah benarkah sikap hidupnya ini? Ingat tembangtembangprepantun (juru pantun) yang menyindir dan mencerca sikap Ki Darma.
Itulah hukuman bagi yang meragu kesana tak mau kesini tak mau Akhirnya Ki Darma
menjadi musuh semua Oh, hai, musuh semua !
Ginggi merenung. Hanya karena kesana tak mau kesini tak mau maka Ki Darma akhirnya menjadi musuh semua orang. Ginggi sedih, mengapa orang tidak diberi kebebasan memilih sikap dan selalu harus mengikatkan diri pada satu kepentingan?
Ketika berada di puncak, di saat suasana sepi tengah malam, Ki Darma selalu bersenandung. Bunyi tembangnya tak pernah berubah, selalu membacakan satu bait syair.
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila salah memilihnya
kita adalah orang-orang yang kalah Oh, hai! Orang-orang yang kalah!
Ginggi tersenyum pahit bila menyimak syair tembang Ki Darma ini. Memang tak terbatas tawaran terhadap pilihan hidup. Tapi, mencoba tidak memilih sesuatu, sebetulnya adalah sebuah pilihan hidup juga. Mengapa orang dianggap berdosa bila tak mencoba memilih satu kepentingan? Kesana tak mau, kesini tak mau, dosakah itu? Bukankah tidak memilih sesuau pun sebenarnya satu pendirian juga?
Ginggi kembali tersenyum pahit. Sepertinya dia pun akan berpendirian seperti Ki Darma. Kesana tak mau kesini tak mau dan akhirnya dimusuhi semua orang.
Tidak apa. Aku hanya taat pada Ki Darma. Ada surat dari Ki Rangga Guna yang kata Ki Banaspati akan membahayakan dirinya. Surat itu menyuruh Ginggi agar tetap berpegang teguh pada amanat Ki Darma.
Ginggi ingat betul, Ki Darma berkata agar dia membela rakyat dengan jalan apa saja. Dia disuruh bergabung dengan para murid lainnya, sepanjang mereka pun mentaati perintah Ki Darma. Tapi Ginggi merasa bahwa Ki Banaspati tak seutuhnya menjalankan amanat guru, berarti Ginggi tak pelu ikut bergabung. "Pada akhirnya kau akan punya keyakinan sendiri dalam menentukan kebenaran. Kalau kau benar-benar telah meyakini satu pilihan, maka kau kerjakanlah!" kata Ki Darma ketika dia berada di Puncak Cakrabuana hampir dua tahun silam.
Tak terasa ada lelehan airmata di pipi pemuda itu. Baru sekarang dia sadar, sebenarnya orang yang paling bijaksana adalah Ki Darma. Orang tua ini tidak pernah mengangkat dirinya sebagai murid. Mulanya Ginggi berpikir buruk. Ki Darma tak secara resmi mengangkat dia sebagai murid mungkin karena dia kurang disayang dan kurang dipercaya. Namun belakangan Ginggi menyadari bahwa perbuatan Ki Darma ini bisa jadi punya maksud tertentu. Ki Darma tak mengangkatnya sebagia murid tapi memberinya berbagai ilmu kepandaian, termasuk kepandaian dalam berpikir dan belajar menimbang-nimbang arti kehidupan. Pemuda itu menduga, Ki Darma membebaskan dirinya dari hubungan guru dan murid agar Ginggi bisa melakukan pilihan. Kalau dia terikat sumpah pada Ki Darma, jelas tak memiliki pilihan hidup lagi sebab segalanya sudah diatur guru. Apa yang diinginkan guru itu harus diturut. Karena ikatan-ikatan itu Ki Darma akan merasa kecewa kalau pada suatu saat sang murid tak mematuhi apa yang diinginkannya. Dengan melepaskan ikatan guru-murid, kedua belah fihak akan saling membebaskan diri dari sesuatu yang bernama keharusan. Itulah sebabnya, kendati ada kata "perintah", tapi di akhir kalimat, Ki Darma menyertakan ucapan, "sepanjang kau merasa yakin atas kebenaran yang aku katakan."
Ki Darma tak pernah mengajarkan padanya apa itu agama. Barangkali bukan berarti dirinya tak perlu memiliki keyakinan agama. Tapi orang tua itu membebaskan Ginggi untuk belajar menilai dan memilih. Sekarang dunia semakin berkembang dengan hadirnya agama baru. Ki Darma mungkin bermaksud "melahirkan" keberadaan Ginggi apa adanya. Tidak dicekoki oleh keyakinan yang dipeluknya, atau disuruh membenci kehadiran agama baru. Biarkan Ginggi dalam keadaan kosong. Siapa yang harus mengisinya, bukan karena anjuran, pengaruh atau pun perintah orang lain, tapi diserahkan kepada hasil pilihan hatinya sendiri.
"Semakin dewasa orang akan semakin berpikir tentang perlunya sesuatu pandangan hidup. Kau carilah sendiri, sebab bila jalan pikiranmu sudah dewasa kau akan sanggup memilih mana yang terbaik," kata Ki Darma tempo hari.
Orang tua itu tidak menyuruhnya masuk agama apa pun, segalanya diseahkna pada Ginggi sendiri. Ki Darma hanya membekalinya dengan berbagai pandangan agar kelak Ginggi sanggup memilah-milah sendiri, mana yang benar dan mana yang buruk.
Sekarang Ginggi sudah banyak belajar meneliti sikap dan perilaku manusia. Sedikit banyaknya dia sudah bisa menarik kesimpulan sendiri untuk dijadikan pedoman, di mana kelak dia harus menempatkan diri.
Taktik Jaya Perbangsa
Benar seperti yang dijanjikan Pangeran Yogascitra, bahwa malam harinya dia akan datang lagi ke sel tahanan. Dia datang bersama Banyak Angga dan Purbajaya.
"Bagaimana, apakah kau sudah siap memberi keterangan tentang surat sandi itu?" tanya Pangeran Yogascitra menatap tajam padanya.
"Saya juga baru menemukan isi sandi itu barusan. Namun ini pun sebagai kira-kira saja. Bila dugaan saya benar, Pangeran harap segera melakukan berbagai tindakan. Tapi bila salah, anggaplah itu keluar dari jalan pikiran orang dungu semata," kata Ginggi balik menatap pada pangeran itu. Semua orang mendekatkan wajahnya pada besi jeruji.
"Maksudmu, engkau sudah tahu arti sandi surat itu?" yang bertanya heran adalah Purbajaya. "Tidak. Isinya baru dugaan saja," gumam Ginggi.
"Sudah bisa menduga isinya berarti sudah tahu kalimat sandi. Dari mana engkau tahu, padahal engkau tak bisa membaca?" tanya lagi pemuda itu.
Ginggi tersenyum tipis, "Maafkan saya banyak bohong, saya sebenarnya ada sedikit bisa…." katanya.
"Kau memang banyak membohong sehingga amat membingunkan kami," kata Banyak Angga. "Ayahanda, kalau dia mengemukakan isi sandi itu, apakah kita akan mempercayainya?" menoleh pada Pangeran Yogascitra.
"Bagaimana nanti saja, yang penting dia mau bicara dulu," jawab pangeran tua itu pendek. "Cobalah kau katakan Ginggi, apa isi sandi itu…" kata Purbajaya.
"Itu adalah surat pemberitahuan perihal akan adanya pasukan besar dari wilayah timur ke Pakuan ini. Saya menduga, mereka akan menyerang tepat pada peringatan Kuwerabakti!" kata Ginggi.
Semua orang saling pandang, kemudian sama-sama menatap wajah Ginggi. "Mengapa Ki Banaspati mengirim surat padamu?" tanya Banyak Angga. "Surat itu bukan untuk saya."
"Kalau begitu, untuk siapakah surat itu?"
"Saya diutus menyerahkan surat itu pada Pangeran Jaya Perbangsa!" kata Ginggi. "Apa???" teriak ketiga orang itu berbareng dan nampak kaget.
"Kau maksudkan Pangeran Jaya Perbangsa punya hubungan khusus dengan Ki Banaspati?" tanya Banyak Angga.
"Saya tak berkata begitu…"
"Kau tuduh pangeran muda itu bersekongkol untuk melakukan satu kegiatan rahasia?" tanya Banyak Angga lagi.
"Saya tidak bicara begitu…" jawab Ginggi lagi.
"Ginggi, aku ingin percaya padamu, kumohon kau bicaralah dengan benar…" kata Purbajaya seperti memohon agar Ginggi bertindak dengan kesadaran. "Apa yang ada dalam hati saya, itulah yang diucapkan. Saya tak menduga atau menuduh sesuatu. Tapi yang jelas saya diperintahkan Ki Banaspati menyerahkan kotak surat kepada Pangeran Jaya Perbangsa. Tapi saya ingin sekali melihat isinya, maka saya coba buka. Namun sebelum berhasil membacanya, ada serangan jarum beracun dari kotak itu dan saya pingsan.
Belakangan saya menyadari sudah berada di sini," kata Ginggi.
"Engkau terpaksa diamankan di sini karena ada surat seperti itu," kata Purbajaya. Ginggi menundukkan muka.
"Engkau berkomplot dengan Ki Banaspati?" tanya Banyak Angga.
"Keinginan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta memang begitu. Semua harus berkomplot melawan Raja!" Ginggi menjawab begitu.
"Mengapa mereka ingin melawan Raja!" tanya Pangeran Yogascitra.
"Menurut mereka, Raja tak bijaksana dalam mengatur pemerintahan sehingga rakyat sengsara!" jawab Ginggi.
"Merekalah yang membuat rakyat sengsara. Ki Bagus Seta selalu mempengaruhi Raja agar melakukan tindakan keliru!" kata Pangeran Yogascitra.
"Entahlah…Hanya itu yang mereka katakan!" kata Ginggi lagi.
"Kalau begitu semua orang punya pendirian sama untuk menurunkan Raja, Ayahanda…" gumam Banyak Angga.
"Aku tak berniat menggulingkan Raja, sekali pun memang benar aku tak setuju dengan tindak-tanduk Raja. Aku sudah mencoba membujuk Sang Prabu agar mau membatalkan perkawinannya dengan Nyimas Layang Kingkin, tapi beliau malah tersinggung atas sikapku," kata Pangeran Yogascitra dengan nada penuh sesal.
"Lalu, bagaimana dengan nasib adikku Nyimas Banyak Inten?" tanya lagi Banyak Angga.


INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 20 --oo0oo-- Jilid 22


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.