Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Senja Jatuh DI Pajajaran. Show all posts
Showing posts with label Senja Jatuh DI Pajajaran. Show all posts

Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-24

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 23 --oo0oo-- TAMAT

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 24

Ginggi miringkan kepala ke kanan dan kiri untuk menghindarkan serangan tusukan dua jari dan menahan beberapa tendangan dengan telapak tangan kiri dan kanannya. Tapi serangan semakin deras mengarah padanya. Dua orang lawan bahkan menggunakan loncatan salto untuk sama-sama menyerang ubun-ubun Ginggi.
Pemuda itu tidak berniat balas menyerang, apalagi untuk mencoba menganiaya atau membunuh mereka. Tapi serbuan lawan demikian ganas. Bila dia hanya main kelit saja, mungkin hanya satu-dua serangan yang bisa dihindarkan, sedangkan yang lainnya pasti akan mengenai sasaran. Maka agar keselamatan dirinya sendiri bisa terjaga, Ginggi terpaksa mengeluarkan jurus serangan. Serbuan dari atas kepalanya berupa sodokan-sodokan tangan kiri dan kanan, ini sulit untuk dikelit, sebab Ginggi baru saja menghindar terjangan ujung kaki lawan yang mengarah dadanya. Pemuda itu sudah dalam keadaan jongkok dan tak mungkin menghindarkan serangan dari atas. Satu-satunya cara mempertahankan diri adalah melakukan tangkisan. Namun tangkisan biasa saja tak akan berarti apa-apa dalam menahan serangan yang datang dari atas dengan pengerahan tenaga penuh. Sepasang tangan Ginggi yang sudah terbuka lebar dia isi dengan pengerahan tenaga dalam. Maka begitu tangan-tangan lawan bertumbukan dengan telapak tangan Ginggi, terdengar jerit-jerit kesakitan sebab dua orang penyerang yang bersalto di atas kepala Ginggi terpental lagi ke udara. Ginggi belum dikatakan lolos dari bahaya sebab terjangan dari arah depan menyuruk mengarah wajahnya.
Namun dalam keadaan jongkok, maka dengan mudah Ginggi jungkir balik ke belakang dengan cara menotolkan sepasang kaki yang tadi jongkok. Dua orang penyerang yang melakukan terjangan hanya bisa menyerang tempat kosong yang sudah ditinggalkan Ginggi.
Tiga orang penyerang akan kembali melakukan serbuan lagi. Tapi dari gang dimana tadi Ginggi muncul, bermunculan pula beberapa orang. Mereka berbekal obor, sehingga suasana menjadi terang benderang. Ginggi dan para penyerangnya bisa melihat bahwa yang datang adalah para prajurit istana.
"Tolong, ada penjahat mau merampok" teriak seseorang penyerangnya. Ginggi mendengus mendengar siasat brengsek ini. Namun para prajurit rupanya rupanya percaya omongan ini. Buktinya mereka mengurung Ginggi, jumlahnya ada sekitar tujuh orang.
Ada tiga buah obor dengan nyalanya yang terang sehingga wajah Ginggi bisa dilihat semua orang.
"Ginggi!!!" teriak beberapa orang. Semua suara datang dari kedua belah fihak para prajurit dan fihak para penyerang. Ginggi pun terkejut dibuatnya. Dari kedua belah fihak yang kini tengah mengurungnya ternyata ada mengenal dirinya.
"Tangkap pemberontak!" seru seorang prajurit
"Siapa pemberontak?" tanya orang yang dikuntit Ginggi.
"Dia!" seru prajurit menunjuk hidung Ginggi dengan ujung obornya.
"Ya, tangkap dia" teriak yang lain. Maka Ginggi pun dikepung lagi. Hanya saja, kini para pengepungnya terdiri dari tujuh prajurit. Ginggi menduga bahwa peristiwa tadi siang di paseban istana rupanya secara diam-diam sudah diketahui para prajurit bahkan mereka sudah ditugaskan mengejarnya. Buktinya, ketika di antara mereka ada yang mengenalnya, langsung menuding dan mencercanya sebagai pemberontak.
Ginggi juga berpikir, dari fihak yang dikuntitnya sudah ada yang mengenalinya. Ini hanya membuktikan bahwa mereka benar anggota pasukan dari Sagaraherang. Ketika dia berada di wilayah kandaga lante itu, Ginggi dikenal banyak oleh para prajurit di sana. Bagaimana sikap orang-orang Sagaraherang terhadapnya kini? Apakah masih menganggapnya orang sendiri atau sebaliknya? Pemuda itu tak bisa menduga. Kalau saja tadi mereka berteriak-teriak mempengaruhi Ginggi ditangkap, itu bisa saja sekadar siasat pula, sebab tak mungkin mereka membantu Ginggi kalau tak ingin sama-sama ditangkap prajurit istana.
Dan nampak sekali mereka mulai meninggalkan tempat itu setelah perhatian para prajurit hanya tertuju pada Ginggi seorang. Mereka pasti sudah menghindar dari tempat ini, pikir Ginggi.
Ginggi tak mau mati konyol, tapi pun tak mau menganiaya mereka. Maka sebelum kepungan merapat, Ginggi segera melompat ke balik sebatang pohon. Padahal yang dilakukan Ginggi adalah meloncat ke dahan pohon di atasnya. Sesudah itu dia meloncat kesana-kemari, loncat lagi ke atas atap bangunan dan melarikan diri dari tempat itu.
Kacau sekali, kata Ginggi dalam hatinya. Ya, betapa tak kacau sebab gerakan Ginggi untuk meneliti gerakan fihak pasukan penyerbu kini diganggu para prajurit istana. Ini sekaligus juga kian menyadarkan dirinya bahwa kedudukannya sekarang mulai terjepit. Pihak penyerbu yang dipimpin Ki Banaspati atau Ki Sunda Sembawa kini pasti sudah menganggap dirinya sebagai musuh sebab tidak melakukan keinginan mereka dengan benar. Sebaliknya pihak istana yang hendak dia tolong pun kini memusuhinya dan menuduhnya sebagai pemberontak pula.
Ginggi hampir-hampir bosan mengalami hal-hal menyebalkan seperti ini. Kalau hatinya tidak berkeberatan untuk membiarkan peperangan tetap berlangsung, sudah sejak dari tadi dia pergi saja dari Pakuan.
Namun Ginggi akan tetap bertahan dulu tinggal didayo ini. Memang dirinya merasa gagal sebab peperangan pasti berlangsung. Namun kendati begitu, dia tetap ingin berusaha agar korban sia-sia tidak terlalu banyak terjadi. Ini tetap akan menjadi sikapnya. Bahwa peperangan yang selalu mengakibatkan korban jiwa, sebenarnya hanya terjadi karena otakotak segelintir orang yang mengaku sebagai pemimpin. Kalau dia berhasil menyadarkan para pemimpinnya, mungkin peperangan tak bakal terjadi. Tapi bagaimana caranya?
Dan Ginggi bingung memikirkannya.
Sampai pagi menjelang, pemuda itu tidak pernah tidur padahal kantuk begitu menyerangnya. Ginggi hanya tidur-tiduran saja di sebuah gudang belakang, sebuah bangunan kedai. Pagi-pagi sekali semua penghuni rumah sudah pada bangun. Tapi semuanya tidak berupaya membuka kedai. Mereka hanya terdengar membuka persiapan seperti akan pergi ke suatu tempat.
"Ayo berkemas, siang sedikit kita tak bisa melihat upacara mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya," kata seseorang. Sang Prabu Ratu Sakti benar-benar orang hebat, dia pemberani, pikir Ginggi. Ginggi memang tak pernah mengabarkan langsung perihal akan terjadinya penyerbuan dari wilayah timur.
Namun sekurang-kurangnya Raja sudah menerima berita ini dari Pangeran Yogascitra. Apakah ucapan pangeran itu tak dipercayanya karena telah dianggap terlibat urusan Ginggi dan Purbajaya, Ginggi sendiri pun tak mengetahuinya.
Seisi rumah sudah meninggalkan tempat itu, sehingga keadaan kembali sunyi. Ginggi harus segera meninggalkan rumah itu untuk sama-sama melihat upacara mandi suci. Tapi akan sangat berbahaya bila dia datang ke sana dengan begitu saja. Kalau ada yang mengenalnya, dia pasti diuber-uber lagi.
Ginggi terpaksa memasuki rumah yang sudah ditinggalkan penghuninya. Dia mencari-cari sesuatu. Dan akhirnya ditemukannya barang yang dicarinya, yaitu pakaian. Sejak beberapa hari dia hanya menggunakan pakaian santana pemberian Pangeran Yogascitra. Pakaian itu warna ungu dan akan sangat mencolok sekali, apalagi beberapa orang di istana sudah mengenalnya. Dia harus ganti pakaian. Pakaian yang ada di rumah itu hanyalah celanapokek dan baju kampret, semua berwarna hitam dan terbuat dari kain tenunan kasar jenisseumat saumur , yaitu tenunan kain yang menggunakan serat-serat benang kasar yang berukuran besar. Dia ambil pula sebuah ikat kepala jenislohen yang segera diikatkan di kepalanya. Tapi ketika melihat ada ikat kepala jenis lain, dia segera melepas ikat kepala yang barusan sudah dikenakannya. Tidak, aku harus menggunakan jenis ikat kepalabarangbang semplak ini, kata Ginggi dalam hatinya. Ikat kepala jenis ini biasanya digunakan para orang lanjut usia saja.
Tapi justru Ginggi akan menggunakannya. Ikat kepala jenis ini ukurannya selalu lebar. Kalau dipakai agak miring ke sisi akan sedikit menutupi pipinya. Ini perlu untuk menghindari pengenalannya.
Selesailah sudah berdandan. Kemudian Ginggi keluar dari rumah itu sesudah diketahui pasti tak akan ada orang yang memperhatikannya. Ginggi menuju Telaga Rena Maha Wijaya.
Tempat itu terletak di benteng luar sebelah selatan.
Telaga Rena dibuat pada zaman Sang Prabu Sri Baduga Maharaja hampir 30 tahun silam. Telaga hanya mengandalkan sebuah sumber air yang keluar dari ujung sebuah bukit kecil uang dikenal sebagai Bukit Badigul. Ginggi pernah mendegar penjelasan dari Purohita Ragasuci, bahwa sebenarnya Badigul pun merupakan bukit buatan. Sekurang-kurangnya, tanah dataran tinggi itu dibuat sedemikian rupa membentuk punggung kura-kura. Puncaknya merupakan alam terbuka dan tak ada pepohonan di sana, kecuali semacam lapangan rumput saja. Bukit Badigul sengaja diciptakan menjadi semacam puncak dengan dataran tanah yang rata sebab pada saat-saat tertentu selalu digunakan untuk tempat pemujaan.
Seusai melaksanakan mandi suci dalam kegiatanKuwerabakti ini pun, akan diadakan upacara keagamaan di puncak bukit.
Bila mengingat penjelasan dari Purohita ini, perasaan Ginggi kembali berdebar keras. Ginggi amat membayangkan bahwa penyerangan pasukan dari timur pasti dilakukan di saat semua orang tengah melakukan pemujaan.
Ini termasuk kegiataan penting dan semua rakyat Pakuan..... berbondong-bondong datang ke sana. Itulah sebabnya sepagi itu sudah banyak orang menuju Bukit Badigul dan Telaga Rena Maha Wijaya. Tiba di tempat itu Ginggi menemukan sesuatu yang mencengangkan. Ke tempat itu banyak rombongan pria-wanita dan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian bagus-bagus. Yang kaum lelaki membawa dan memikul jampana, satu jampana diusung empat orang. Di dalam jampana, penuh diisi berbagai macam makanan seperti nasi kuning, panggang ayam dan telur rebus. Yang wanita mengusung tempayan berisi berbagai jenis buah-buahan yang ranumranum. Di seputar tepi telaga yang berair tenang dan jernih itu berderet umbul-umbul dengan kain warna-warni. Kian dekat ke tepi bukit, kian banyak juga orang didapat. Ketika akan memasuki wilayah itu, ribuan orang berderet memadati tepian jalan tanah bercampur pasir.
Deretan orang sepertinya tengah menunggu atau menyambut sesuatu.
"Siapa yang akan disambut di sini, Paman?" tanya Ginggi kepada seorang lelaki yang berpakaian baru.
"Kita semua tengah menyongsong kehadiran keluarga istana," katanya. "Raja dan keluarga, disertai para pejabat akan mengadakan upacara mandi suci di tepi telaga," sambungnya pula.
Tidak terlalu lama Ginggi menunggu, sebab sayup-sayup di arah utara terdengar suara gong ditabuh beberapa kali. Orang-orang yang berderet di ujung utara bahkan terdengar bertepuk dan bersuit riuh. Ada juga suara tepukan tangan seperti menyambut sesuatu yang amat membahagiakan bagi mereka.
Ternyata yang disambut tempik-sorak meriah adalah rombongan Raja dan seluruh keluarganya. Setiap rombongan tiba di deretan penyambut, setiap itu pula terdengar tempiksorak. Rakyat mengelu-elukan Raja dengan penuh suka-cita. Beberapa kelompok para wanita termasuk deretan gadis belia bahkan melempar-lemparkan bunga warna-warni.
Kian dekat kian nyata bahwa yang datang adalah rombongan Raja. Raja duduk di atas jampana atau tandu mewah, sebab selain terdiri dari kayu jati berukir, juga dibelakangnya dihiasi patung ukir burung garuda. Raja masih tetap bermahkota terbuat dari logam emas yang ditatah butir-butir zamrud dan mutiara. Itulah Makuta Binokasih Sanghyang Pake (kini disimpan di Museum Geusan Ulun, Sumedang). Namun pakaiannya berselendang kain putih. Dan bila tak menggunakan mahkota, selintas raja seperti seorang pendeta saja. 
Anggota rombongan lain pun nampak menggunakan kain putih termasuk permesuri dan para selirnya. Pada sanggul-sanggul mereka nampak bunga-bunga menempel. Ini karena tabur bunga yang dilakukan para penyambut itu.
Yang membuat rombongan ini menjadi kian berwibawa adalah rapatnya pengawalan. Begitu banyaknya perwira yang mengawal rombongan ini. Hampir tiap tiga depa antaranya. Dan selintas Ginggi bisa meneliti, bahwa mereka adalah para perwira kosen semata. Mungkin inilah barisan seribu pengawal Raja, sebuah pasukan elit yang amat disegani sejak zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja.
Melihat mereka berjalan dengan rapih serta langkah yang mantap. Ada pedang di pinggang mereka dan pakaian indahnya yang dihiasi baju zirah. Ginggi tak begitu tahu, apakah setiap mereka bekerja mengawal Raja selalu menggunakan pakaian zirah, atau karena mereka tengah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diharapkan? Baju zirah terbuat dari logam baja berbentuk sisik ikan. Bila ada serangan senjata tajam, badan mereka tak akan tertembus karena sisik-sisik logam baja itu. "Paman, siapakah anak muda yang naik kuda putih di belakang Sang Prabu itu?" tanya Ginggi.
"Itulah Sang Lumahing Majaya…" kata yang ditanya.
"Apa kedudukannya di Pakuan? Nampaknya anak lelaki berwajah tampan itu punya hubungan erat dengan Sang Prabu," kata Ginggi agak bergumam. Sambil matanya menatap tak habis-habisnya kepada pemuda berparas elok itu. Usianya barangkali sebanding dengan Ginggi, yaitu sekitar 16 atau 17 tahun. Namun pemuda yang mencongklang kuda putih dengan amat anggunnya itu demikian gagah dan tampannya. Pakaiannya pun amat mewah kendati ditutup kain putih juga. Pergelangan tangan dan kakinya dihiasi gelang-gelang emas beberapa buah, sehingga bila dia menggoyang kendali kuda atau kakinya menggerak-gerakan ke arah perut kuda tunggangannya, maka akan terdengar suara gemerincing halus karena gelang-gelang emas satu sama lain saling berdencing.
"Aku tak begitu tahu hubungan antara Sang Prabu dengan Raden Majaya. Mungkin Raden Majaya putra dari seorang selir, sebab dari permesuri Sang Prabu hanya mempunyai beberapa orang putri saja. Hanya yang pasti, kata beberapa prajurit istana yang aku kenal, Sang Prabu demikian sayangnya kepada Raden Majaya ini," gumam lelaki itu. Ginggi terus menatap pengendara kuda putih itu sampai berlalu dari pandangannya. (catatan pengarang: Kelak Raden Majaya akan menggantikan Prabu Ratu Sakti, dialah Prabu Nilakendra, memerintah pada1551-1567 Masehi).
"Hei…engkau mau ke mana anak muda?"
"Bukankah kita akan menyaksikan Raja beserta kerabatnya mandi suci?" kata Ginggi balik bertanya.
"Huss! Kita tidak diperkenankan menyaksikan upacara mandi suci," kata lelaki setengah baya itu.
"Jadi, untuk apa kita berduyun-duyun ke sini?" tanya Ginggi lagi sambil wajahnya mendongak ke arah jalan yang menaik ke bukit.
"Kita semua baru diperbolehkan bersama Raja dalam upacara keagamaan di Puncak Badigul di mana dahulu Sang Prabu Sri Baduga Maharajangahiyang (moksa)," kata lelaki itu pula.
Ginggi mengangguk-angguk tapi sambil meninggalkan tempat itu. Dia harus bisa menyelinap dan ikut ke tepi telaga. Tapi bagaimana caranya, belum terpikirkan benar.
Tidak mungkin mendekati tepi telaga dengan mengambil jalan yang barusan dilalui rombongan Raja. Ginggi harus mencari jalan lain, yang penting bisa mendekati tepi telaga untuk mengamati upacara mandi suci. Dia memang harus mengamatinya. Upacara itu harus berlangsung dan tak boleh ada gangguan, apalagi gangguan itu berupa penyerbuan pasukan pemberontak. Berdesir darah Ginggi kalau mengingat kembali urusan ini. Hari ini begitu banyaknya orang menuju tempat ini. Bila dikaitkan dengan kejadian tadi malam, hati pemuda itu semakin yakin bahwa di antara ribuan pengunjung ini ada terselip ratusan anggota pasukan yang dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa. Bertepatan dengan jalan pikirannya ini, Ginggi melihat rombongan kedua lewat di jalan yang berupa pintu masuk ke Bukit Badigul atau juga ke tepi telaga buatan itu. Kembali berdesir darah pemuda itu. Rombongan yang lewat ini ternyata barisan para pejabat istana beserta pejabat-pejabat dari wilayah-wilayah seputar kekuasaan Pakuan. Yang membuat darah Ginggi berdesir karena di antara barisan pejabat yang datang menggunakan kendaraan kuda, juga terdapat Kandagalante Sunda Sembawa. Ginggi yakin, Sunda Sembawa datang ke sini disertai pasukannya yang hadir secara terpencar-pencar dan rahasia. Kehadiran Sunda Sembawa ke Pakuan memang wajar sebab semua kepala wilayah yang ada di bawah kekuasaan Pakuan akan hadir dalam upacarakuwerabakti .
Namun kehadiran Sunda Sembawa di Pakuan hari ini, juga hanya menandakan bahwa gerakannya tidak tercium orang-orang Pakuan. Ini betul-betul berbahaya.
Ki Sunda Sembawa Kecewa Ginggi menyaksikan barisan pejabat berkuda itu dari balik batang pohon. Beberapa pejabat sudah Ginggi kenali sebab mereka telah ikut hadir dalam pertemuan penting di puri Yogascitra beberapa waktu lalu. Hanya yang membuat Ginggi khawatir ialah tidak terlihatnya Pangeran Yogascitra, begitu pun putranya, Banyak Angga. Ginggi khawatir sebab ia menduga, keluarga Yogascitra pasti mendapat kesulitan setelah peristiwa kemarin pagi di paseban istana. Pangeran Yogascitra pasti ditangkap karena dituduh dalam peristiwa itu.
Rombongan itu jelas menuju tepi telaga juga. Ginggi harus sama-sama mendekati tepi telaga. Di sana ada Ki Sunda Sembawa. Dia mendekati Raja. Tugas membunuh Raja mungkin sudah dialihkan dari dirinya, entah kepada siapa. Ginggi menduga, peristiwa kemarin siang di paseban istana pasti diketahui Ki Banaspati juga. Entah apa penilaian Ki Banaspati terhadapnya kini. Yang jelas, Ginggi sudah tak akan "terpakai" tenaganya dalam melaksanakan tugas membunuh Raja. Ya, kendati Raja sudah mencurigai dirinya sebab punya kaitan erat dengan Ki Darma, tetapi sikapnya tetap tak berubah. Raja tak boleh mati.
Tadi malam di Pulo Parakan Baranangsiang hatinya sempaat mengumpat bahwa biarkan Raja tewas dalam kemelut penyerbuan. Dia berpikir begitu karena malam tadi hatinya panas dan pikirannya kacau. Sekarang sesudah emosinya normal kembali, timbul lagi jalan pikirannya yang wajar. Dia tetap mempertahankan sikapnya yang lama untuk tidak mentolerir gerakan yang bernama pemberontakan. Raja tak boleh tewas, sebab kalau harus begitu, maka suasana di Pakuan akan semakin tak menentu dan akan menguntungkan kaum pemberontak.
Raja harus tetap selamat, sebab apa pun yang terjadi di istana, kedudukan Raja sebetulnya tetap sebagai penentu kebijaksanaan. Maka betapa kacaunya suasana bila Raja harus mati dalam pemberontakan. Soal banyak pelanggaran yang dilakukan Raja seperti melanggar aturan moral yang dikeluhkan banyak pejabat istana, biarlah kelak mereka menentukan sendiri dengan jalan musyawarah dan bukan jalan kekerasan seperti yang tengah dirancang Ki Banaspati dan Kandagalante Sunda Sembawa.
Sesudah memantapkan sikapnya, Ginggi segera meninggalkan tempat itu. Dia harus jalan memutar melewati semak-semak dan hutan kecil lereng bukit untuk bisa mencapai tepi telaga.
Namun sebelum tiba di tempat yang dituju, Ginggi memergoki sekelompok orang misterius. Mereka berpakaian seperti orang kebanyakan, berjumlah sekitar lima orang, namun ada sesuatu tersembul di balik bajunya yng tertutup kain sarung. Ginggi menduga keras, mereka adalah pasukan Sunda Sembawa.
Ginggi bertekad akan melumpuhkan orang-orang ini sebelum mereka membuat kekacauan. Maka secara diam-diam pemuda itu mendekati mereka. Namun yang didekati rupanya bukan orang-orang sembarangan. Buktinya, lima tindak sebelum Ginggi tiba di tempat mereka sembunyi, tiga orang di antaranya sudah menengok ke belakang. Kecurigaan mereka begitu cepat berubah menjadi semacam tindakan cepat. Kelima orang itu serentak menyerang Ginggi sebelum mereka diserang. Maka dalam waktu singkat Ginggi diberondong berbagai serangan dahsyat. Ginggi pun demikian terkejut sebab mereka rata-rata berkepandaian tinggi dan memiliki pukulan tenaga dalam cukup mantap. Hanya karena Ginggi pandai berkelit saja maka banyak angin pukulan mengenai tempat kosong.
Ginggi mengerti, mereka langsung menyerang dengan tenaga dalam dengan maksud bisa melumpuhkan bahkan membunuh pemuda itu dengan cepat dan dalam waktu singkat. Namun sudah barang tentu Ginggi tak mau begitu saja jadi santapan pukulan maut mereka. Maka Ginggi meloncat kesana-kemari, berkelit dan menghindar. Akibatnya banyak batang pohon runtuh atau batangnya hancur karena dorongan pukulan tenaga dalam mereka.
Ginggi berpikir, mereka benar-benar orang pandai namun terlalu gegabah mengobral tenaga dalam. Satu dua pukulan tenaga dalam mereka mungkin masih mampu. Tapi kalau harus terus-terusan mengeluarkan tenaga dalam seperti itu, hanya akan mengurasnya saja.
Dan melihat kebodohan mereka ini, Ginggi malah sengaja menyulut emosi mereka agar terusterusan merasa penasaran dan melancarkan pukulan tenaga dalam. Biar tenaga mereka kedodoran, pikir Ginggi.
"Jangan terpancing pemuda sinting itu," teriak seorang dari mereka. "Hemat tenaga!" katanya pula. Namun peringatan ini sungguh terlambat, sebab empat temannya sudah mulai ngosngosan.
Melihat tenaga mereka sudah mulai menurun, kini giliran Ginggi melakukan penyerangan. Ginggi memang tengah diserang oleh lawan dari kiri dua orang, kanan dua orang serta dari depan satu orang. Dari kelima orang itu, ada dua orang di kiri yang nampak tenaganya sudah menurun. Oleh sebab itu pemuda itu harus menitikberatkan serangan kepada orang paling lemah. Ginggi melipat dua jari tengah dan telunjuk, kemudian menyodokkannya ke ulu hati lawan yang berdiri paling ujung. Serangan dilakukannya dengan tangan kiri. Yang mendapatkan serangan ini nampak terkejut dan menunduk dengan harapan perutnya mundur menjauh. Namun ini sebenarnya hanya pancingan belaka. Serangan sebenarnya Ginggi lakukan dengan tangan kanan dan mengarah kepada lawan yang berdiri kedua dari kiri. Orang itu tak menduga bahwa serangan sebetulnya mengarah kepadanya. Karena serangan tangan kanan Ginggi mengarah pada ulu hati, serentak kedua tangannya melindungi bagian pusar.
Namun sodokan tangan kanan pemuda itu malah belok ke atas dan …Tuk! Leher di bawah tenggorokan terkena pukulan dua jari melipat. Ginggi segera melipat jari-jarinya.
Bagian itu adalah paling lemah dari tubuh manusia. Bila diserang orang yang memiliki tenaga dalam hebat pun tidak akan bisa melindungi bagian ini. Maka begitu menerima serangan telak, orang itu berteriak ngeri dan langsung terjerembab. Dua orang di kanan serta satu orang di depannya secara bersamaan melancarkan pukulan keras mengarah wajah. Ginggi secepat kilat menarik wajahnya ke belakang sambil tubuh sedikit jongkok, secepat kilat juga kaki kirinya melayang dari samping kiri menyabet setengah lingkaran ke samping kanan. Tiga orang penyerangnya harus meloncat ke atas secara bersamaan kalau tidak mau kaki-kaki mereka tersapu serangan kaki kiri Ginggi. Sambil kaki kiri menyapu, tangan kirinya pun melakukan sodokan lurus ke arah satu penyerang yang datang dari sisi kiri. Dua kepalan tangan beradu dan akibatnya fihak penyerang menjerit ngeri karena sambungan tulang jari-jari tangannya seperti terlepas karena tonjokan kepalan tangan Ginggi. Pemuda itu melakukan serangan susulan berupa tamparan tangan kanan. Plak! jerit kedua kalinya dari mulut orang itu terdengar kembali yang diakhiri dengan terpentalnya tubuh. Orang itu meloso tak bisa bangun lagi.
Tiga orang yang masih sisa tampak ragu-ragu akan kemampuannya. Namun Ginggi harus melumpuhkan semuanya, sebab bila satu orang saja lolos, maka semua teman-temannya ini akan segera mengetahui tindakan sabotasenya.
Melihat nyali ketiganya sudah pudar, Ginggi melakukan serangan cepat. Hanya dengan menggunakan tendangan beruntun yang dilakukan kaki kanannya, ketiga orang itu mengeluh setengah menjerit ketika ulu hati mereka masing-masing menerima sapuan kaki. Tubuh mereka terpental ke semak-semak setiap sapuan kaki kanan Ginggi mampir.
Dalam waktu singkat lima orang bergeletakan malang-melintang. Tapi sebelum meninggalkannya, Ginggi memeriksa tubuh mereka satu-persatu. Tidak seorang pun yang mati kecuali pingsan karena rasa sakitnya saja. Maka sesudah hatinya tenang karena tidak membunuh orang-orang itu.
Namun anggota pasukan yang diduga orang-orang Ki Sunda Sembawa juga terdapat di sanasini. Di setiap tempat-tempat terlindung, pasti Ginggi temukan regu-regu kecil dengan tindaktanduk mencurigakan. Gerakan mereka lincah dan selalu siaga penuh, namun berpakaian seperti petani. Beberapa regu itu Ginggi lumpuhkan dengan serangan gelap.
Namun pemuda itu merasa, tak mungkin seluruh anggota pasukan gelap itu dia kalahkan oleh tangannya sendiri seperti itu, apalagi dia harus mampu melumpuhkan mereka dengan diamdiam.
Tidak apa, yang penting kekuatan mereka sedikit berkurang, pikir Ginggi.
Hanya yang membuat Ginggi heran adalah ketika dia tiba di sebuah tempat bersemak. Ginggi melihat begitu banyak orang bergeletakan. Ketika pemuda itu memeriksa, hatinya pun merasa aneh pula sebab orang-orang itu satu pun tak ada yang tewas, melainkan hanya pingsan saja. Mereka pingsan karena menderita pukulan telak pada bagian yang menentukan. Pukulan itu nampaknya dilakukan oleh seorang akhli pula. Orang-orang yang pingsan itu jumlahnya belasan, dan semuanya berbekal senjata yang belum siap digunakan. Ginggi menduga, mereka tentu anggota pasukan Ki Sunda Sembawa. Yang jadi pertanyaan, oleh siapa mereka dibuat tak sadar seperti itu?
Ginggi terus menyusuri semak-belukar dalam upaya mendekati tepi telaga. Ternyata di bagian lain, orang-orang pingsan masih bergeletakan sampai hampir ke wilayah tepi telaga. Benarbenar hebat pelakunya, siapa dia? Orang itu benar-benar berhati mulia. Sekali pun dia memukul tapi tak mengakibatkan cedera berat korbannya kecuali pingsan karena gangguan urat darah, dan pada waktunya mereka akan sadar kembali.
Tapi siapa pun orang itu dan apa maksudnya, yang jelas amat mengentengkan tugas Ginggi.
Yang berusaha menyelundup ke tepi telaga ini kesemuanya orang-orang pandai. Mungkin mereka bekerja terpisah untuk menyelesaikan tugas khusus. Tugas apakah itu? Mungkinkah tugas untuk membunuh Raja di tempat itu?
Pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya…
Begitu jelasnya isi sandi ini. Pagi hari memang waktunya Raja mengadakan mandi suci di Telaga Rena. Kalau sandi ini diartikan sebagai saat yang tepat untuk membunuh Raja, memang amat beralasan. Yang datang ke tepi telaga hanya orang-orang khusus saja.
Kemungkinan hanya dikawal beberapa orang kepercayaan saja dan situasinya tepat untuk digunakan penyerangan.
Namun siapa yang akan menyerang, sampai sejauh ini Ginggi tak mengetahuinya. Kalau Ginggi mentaati keinginan Ki Banaspati, sebetulnya itu adalah tugasnya. Tapi Ginggi yakin, Ki Banaspati sudah memindahkan tugas berat itu kepada yang lainnya.
Akhirnya Ginggi tiba juga di wilayah tepi telaga. Telaga itu tidak terlalu luas dan membentuk tapal kuda. Namun yang Ginggi senang melihatnya, air telaga demikian jernih, menyenangkan bila digunakan untuk mandi-mandi atau barangkali enak bila diminum di saat haus.
Namun keindahan tempat ini kini tengah dibayang-bayangi peristiwa yang sekiranya akan mengundang maut dan kemelut. Bisakah dengan seorang diri saja mencegah peristiwa besar seperti ini?
Melalui semak-semak Ginggi menyaksikan ke sebuah tempat. Di tepi telaga sebelah kanan dilihatnya banyak orang mandi. Mandi begitu saja tanpa melepas baju mereka. Mandi sambil di tepiannya dilempari bunga macam-macam warna. Yang ditaburi bunga adalah Sang Prabu Ratu Sakti beserta keluarganya. Mereka mandi begitu tertib dan serius. Tak ada canda-ria atau pun cekikik tawa. Mereka melakukan upacara mandi dengan penuh perhatian sambil diantar lantunan doa Purohita Ragasuci dan para wiku lainnya. Asap dupa kemenyan pun nampak mengelun ke udara disertai bau harum semerbak.
Upacara ini disaksikan oleh puluhan perwira dan belasan pejabat. Semuanya khusuk menyimak dan memperhatikan kegiatan ini. Namun dari jarak agak jauh, Ginggi melihat, hanya satu orang yang menyaksikan upacara ini dengan tindak-tanduk mencurigakan. Dia tak lain adalah Kandagalante Sunda Sembawa. Bila yang lainnya dengan seksama memperhatikan ke arah permukaan telaga, adalah Ki Sunda Sembawa yang sesekali dengan gelisah melirik ke kiri dan ke kanan. Terkadang dia pun menengadah ke tempat yang jauh. Berdesir darah Ginggi. Yang dilihat Ki Sunda Sembawa adalah daerah bersemak yang Ginggi tahu banyak orang pingsan di sana.
Lirikan Ki Sunda Sembawa ke arah itu hanya menunjukkan bahwa dia tengah menunggu sesuatu dengan penuh harap yang barangkali datangnya dari arah itu. Manakala upacara mandi suci hampir selesai, nampak sekali kegelisahan Ki Sunda Sembawa semakin memuncak.
Dan akhirnya, upacara mandi suci pun selesailah pula. Raja beserta seluruh keluarganya berkemas untuk menuju darat, mereka disambut oleh para pembantunya. Ada yang tergopohgopoh hendak menyodorkan pakaian kering, ada juga yang tergopoh-gopoh karena ingin membantu Raja untuk naik ke darat. Namun di antara yang menyambut dengan tergopohgopoh seperti itu, adalah juga Ki Sunda Sembawa yang diiringkan empat pengawal raja.
Anehnya, Ki Sunda Sembawa menghambur menuju tepi telaga dengan keris terhunus. Begitu pun keempat perwira yang berlari di belakangnya, mereka bergerak cepat sambil menghunus pedang mengkilat.
Tak ada waktu bagi Ginggi kecuali berteriak keras sambil meloncat keluar semak.
"Sang Prabu…Awaaaasss!!!" teriak Ginggi. Pemuda itu menghambur seperti terbang. Dia harus berlomba dengan Sunda Sembawa dalam upaya mendekati Raja. Ki Sunda Sembawa ingin paling dulu mendekati Raja karena ingin membunuhnya, sementara Ginggi punya maksud sebaliknya.
Puluhan perwira lainnya dengan kaget segera bergerak pula. Yang lain mencoba mengejar Ki Sunda Sembawa tapi yang terbanyak adalah yang menghadang Ginggi.
"Tangkap pemberontak Ginggi! Dia akan membunuh Sang Prabu!" teriak penghadang. "Tangkap anak-buah Ki Darma!!!"
"Bunuh Ginggi!!!"
Teriakan-teriakan ini muncul dari mulut beberapa perwira, termasuk perwira yang tadi lari di belakang Ki Sunda Sembawa. Ginggi tak tahu, apakah yang berteriak-teriak menghadangnya itu adalah perwira setia kerajaan, ataukah mereka yang sudah menjadi sekutu Ki Banaspati. Untuk mengacaukan perhatian, bisa saja para sekutu pemberontak berteriak-teriak seperti itu agar para perwira yang bersetia kepada Raja teralihkan perhatiannya pada Ginggi dan melalaikan tugas mengawal Raja. Atau bisa jadi yang berteriak-teriak juga adalah para perwira yang masih setia kepada Raja dan mereka bertekad menangkap atau membunuh Ginggi yang mereka tahu sudah dicap pemberontak.
Namun terlepas dari kesemuanya, pemuda itu menjadi begitu kesal sebab upayanya untuk menggagalkan penyerangan kepada Raja menjadi terhambat. Para perwira yang akan menghadangnya ada sekitar duabelas orang dan bersenjata lengkap. Ketika Ginggi berlari cepat menuju tepi telaga, duabelas perwira pun sama berlari memburunya. Padahal di belakang mereka, Sang Prabu tengah terancam bahaya sebab Ki Sunda Sembawa dengan keris terhunus terus memburu kemana Sang Prabu berlari. Sedangkan di belakang Ki Sunda Sembawa, empat orang berpakaian perwira sama berlari dengan pedang terhunus.
Barangkali para perwira lainnya terkecoh. Disangkanya empat orang perwira yang berada di belakang Ki Sunda Sembawa tengah mengejar pejabat itu guna menggagalkan usaha pembunuhan. Padahal Ginggi tahu betul, keempat perwira itu sudah menjadi anak buah Ki Sunda Sembawa. Para pengawal setia Raja malah meninggalkan Sang Prabu dan lebih menitikberatkan usaha untuk menghadang Ginggi karena teriakan-teriakan tadi. Dengan pedang terhunus, belasan perwira memburunya. Melihat mereka berlari kencang ke arahnya, Ginggi bukan menghindar, melainkan sama berlari kencang ke arah mereka. Tapi beberapa depa sebelum berpapasan dengan belasan perwira, Ginggi segera menotol tanah dengan sekuat tenaga.
Tubuh Ginggi meloncat tinggi melampaui kepala-kepala mereka dan sepasang kakinya langsung kecebur ke permukan telaga. Di tepiannya, kedalaman air hanya sebatas betis saja. Begitu kakinya terjun ke permukaan air, pemuda itu menggerakkan sepasang tangannya. Dia memukul ke arah Ki Sunda Sembawa dengan pengerahan tenaga dalam. Air muncrat seperti ada ledakan dahsyat keluar dari dasar telaga ketika pukulan dengan pengerahan tenaga dalam itu dikelitkan oleh Kandagalante Sagaraherang itu. Namun kendati serangan Ginggi gagal, sedikitnya menghambat serangan Ki Sunda Sembawa terhadap Raja.
"Sunda Sembawa, apa yang engkau lakukan ini?" teriak Sang Prabu marah bercampur heran melihat tindakan Ki Sunda Sembawa yang aneh ini.
Ki Sunda Sembawa tak menjawab, melainkan kembali melakukan serangan. Sambil meloncat tinggi, tubuhnya melayang ke arah di mana Sang Prabu berada.
Yang diserang bergerak ke samping dengan amat lamban. Di samping kedalaman air di sana hampir mencapai dada, juga Sang Prabu nampak kaget dengan serangan ini.
Terdengar jerit-jerit ketakutan dari para wanita yang ada di air telaga itu. Beberapa pengawal Raja yang ada di sekitar permukaan telaga berlari di permukaan air sebatas perut dan dengan amat bingungnya mencoba membuat pengawalan.
Mereka berjumlah sepuluh orang.
Nampak sekali mereka kebingungan, siapa yang harus dikawal sepenuhnya. Bila semua mendekati Raja maka para keluarganya ditinggalkan, padahal empat perwira anak buah Ki Sunda Sembawa sudah mendekat dan sepertinya hendak mengancam keselamatan Raja.
Akhirnya para pengawal melakukan inisiatif masing-masing. Beberapa orang berusaha melindungi Raja dan beberapa lainnya berusaha melindungi keluarga Raja yang nampak panik dan menjerit-jerit.
"Ki Sunda Sembawa memberontak! Ki Sunda Sembawa memberontak!!!" teriakan ini keluar dari mulut para pejabat lainnya yang sejak tadi berderet di tepi telaga. Namun teriakanteriakan ini tak berlangsung lama sebab beberapa pejabat lainnya serentak menghunus senjata dan menyerang para pejabat yang diketahui sebagai pendukung Raja.
Sekarang perkelahian kecil telah terjadi di sana-sini. Di atas daratan, para pejabat saling serang sesamanya. Satu kelompok yang pasti sudah menjadi sekutu Ki Sunda Sembawa menyerang kelompok yang lainnya. Sehingga akibatnya mereka saling serang dan saling bunuh. Sementara keempat perwira sudah mulai berhadapan dengan enam orang pengawal keluarga Raja. Mereka berkelahi dengan menggunakan senjata tajam. Para pengawal keluarga Raja nampak dibantu oleh seorang pemuda tampan yang dikenal Ginggi sebagai Sang Lumahing Majaya, putra terkasih Raja dari salah seorang selirnya. Pemuda elok itu memiliki kepandaian juga, namun nampak sekali tingkatannya di bawah kepandaian para penyerangnya. Selintas Ginggi melihat, pemuda itu cepat sekali terdesak oleh serangan seorang perwira. Apalagi pemuda elok itu hanya menggunakan keris, sedangkan penyerangnya menggunakan pedang. Kalau pertempuran dilakukan satu lawan satu, dalam waktu singkat Sang Lumahing Majaya pasti akan kalah. Hanya untung sekali jumlah pengawal keluarga Raja lebih banyak ketimbang para penyerangnya. Antara pengawal dan pemuda itu bisa saling mengisi dan saling menutupi kekosongan.
Sementara itu Ginggi sudah terlibat perkelahian dengan Ki Sunda Sembawa. Kandagalante dari Sagaraherang ini demikian kaget dan marahnya melihat Ginggi berdiri di fihak Raja. Ginggi tak tahu, apakah kekagetan Ki Sunda Sembawa ini karena sebelumnya tak menduga atas sikap Ginggi sekarang, ataukah tidak. Yang jelas ada sinar kebencian Ki Sunda Sembawa yang terpancar di matanya.
"Pengkhianat engkau! Aku harus bunuh! Aku harus bunuh engkau!" teriak Ki Sunda Sembawa dengan geramnya.
Ginggi sekarang agak tenang sebab Sang Prabu sudah terlindungi oleh para pengawalnya. Kalau Ki Sunda Sembawa memaksa hendak menyerang Raja, rasanya sudah tak semudah itu.
Dan rupanya Ki Sunda Sembawa pun merasakan situasi ini. Itulah sebabnya pejabat itu kini seperti menimpakan kemarahannya kepada Ginggi.
Dengan gerengan keras Ki Sunda Sembawa berlari di antara air sebatas dada dan mengarahkan serangan terhadap Ginggi.
Merah Darah Telaga Rena
Perkelahian satu lawan satu terjadi antara Ginggi dan Ki Sunda Sembawa. Dalam pertempuran itu Ginggi nampak jadi fihak yang terdesak. Hal ini karena di samping Ki Sunda Sembawa begitu bernafsu untuk membunuh Ginggi, juga karena Ginggi sendiri hanya main kelit saja. Pemuda itu tak secuil pun punya niat membunuh Ki Sunda Sembawa. Tujuan semula hanyalah hendak mencegah pembunuhan terhadap Raja saja. Dia pun tak berniat melumpuhkan atau mengalahkan Ki Sunda Sembawa. Biarlah dia ditangkap para pengawal Raja.
Namun Ginggi merasa heran, ternyata dia dibiarkan berkelahi sendirian. Belasan pengawal yang sudah berdiri kokoh dengan air telaga sebatas dada itu hanya menyaksikan saja dan seperti tak punya minat membantu Ginggi.
"Kubunuh engkau pengkhianat! Kubunuh engkau manusia dungu!" teriak Ki Sunda Sembawa. Dia menjadi semakin marah manakala melihat ke samping, keempat perwiranya telah tewas mengambang di permukaan telaga. Keempat orang itu rupanya tak mampu melawan kepungan para pengawal. Tadi saja ketika mereka menghadapi enam orang pengawal ditambah tenaga putra mahkota Sang Lumahing Majaya, telah begitu sulitnya untuk segera menerobos pengawalan. Apalagi ketika datang bala bantuan belasan pengawal yang baru datang dari darat. Maka ketika tenaga bantuan datang, keempat perwira itu tak mampu bertahan lagi. Mereka tewas dalam membela ambisi tuannya, yaitu Sunda Sembawa.
Belasan perwira kerajaan yang turun ke permukaan telaga sekarang jumlahnya kian bertambah lagi oleh belasan atau bahkan puluhan perwira yang ikut turun memperkuat pengawalan. Perkelahian Ginggi dan Ki Sunda Sembawa di air telaga sepertinya kini berada di tengah kepungan para perwira. Semuanya membuat lingkaran dalam keadaan siaga, kendati sikap mereka hanya mengawasi perkelahian saja.
Sebetulnya kepandaian Ginggi berada di atas Ki Sunda Sembawa. Namun karena sikap pemuda itu yang mengalah, pertempuran sepertinya seru dan berimbang. Ki Sunda Sembawa dengan ganasnya membuat tusukan dan sabetan dengan kerisnya. Sedangkan Ginggi yang bertangan kosong hanya berkelit dan memutar untuk menghindarkan berbagai serangan dahsyat itu.
Banyak dugaan mengapa Ginggi dibiarkan berkelahi seorang diri. Ini mungkin karena para perwira tak merasa berkepentingan membantu Ginggi. Hampir semua perwira sepertinya mengetahui bahwa Sang Prabu telah memerintahkan agar pemuda itu ditangkap. Kalau ada yang turun tangan menangkap Ki Sunda Sembawa sepertinya mereka membantu Ginggi.
Mereka seperti tengah membuat siasat, biarlah dua serigala berebut mangsa, siapa yang menang giliran dirinya yang diserang. Mungkin para perwira pun tengah menunggu hasil pertempuran. Siapa kelak yang akan menang, itulah yang mendapat giliran diserang pasukan perwira. Sialan, pikir Ginggi.
Karena merasa Raja telah terselamatkan, ada terbetik dalam benak Ginggi untuk meloloskan diri saja dari kepungan dan membiarkan Ki Sunda Sembawa seorang diri di sana. Tapi ketika pemuda itu melihat ke darat, di sana ada puluhan pasukan panah dan semuanya telah siap melepas anak panah dari busur.
Bergetar hati Ginggi, sebab Ki Darma pernah berkata bahwa Pasukan Panah Pajajaran sungguh hebat.
Sementara di tempat lain, sudah terlihat puluhan korban bergelimpangan. Korban-korban itu bercampur-baur. Ada para pejabat bergeletakan, ada juga tubuh para perwira dan prajurit biasa.
Ginggi sedikit was-was melihat jajaran pasukan pemanah itu. Mereka sudah dalam keadaan siap melepas anak panah. Siapa yang akan mereka serang? Dirinyakah? Ki Sunda Sembawakah? Atau keduanya?
Celaka, pikir Ginggi. Usaha untuk melarikan diri menuju daratan rupanya sudah tertutup rapat oleh barisan panah. Ke arah mana Ginggi harus melarikan diri?
Sementara itu Sang Prabu beserta keluarganya sudah dibimbing untuk meninggalkan telaga. Mereka dikawal ketat oleh puluhan perwira.
"Mana para pengawal lain? Mengapa yang ada di sini hanya puluhan orang?" teriak Sang Prabu gemas dan marah.
"Ampun Paduka… di puncak bukit pun tengah terjadi pertempuran. Secara tiba-tiba ada gemuruh sorak-sorai pasukan asing. Nah…dengarkan Paduka! Mereka mulai menyerang!" teriak seorang perwira dengan suara parau.
Mendengar berita ini, Ki Sunda Sembawa berhenti menyerang Ginggi. Kepalanya dimiringkan seperti ingin mendengar suatu suara. Padahal sudah sejak tadi Ginggi mendengar suara gemuruh banyak orang. Inilah saat penyerbuan pasukan dari timur. Mereka ternyata datang dari punggung Bukit Badigul sebelah selatan. Dan melihat pasukan pengawal Raja di sini jumlahnya sedikit, ada kemungkinan mereka pun sudah tahu akan ada penyerangan pasukan misterius itu. Mereka pasti tengah menghadangnya di puncak bukit, atau bahkan mungkin sudah saling berhadapan.
"Hahaha! Mereka datang! Mereka datang! Hahahaha!!" Ki Sunda Sembawa berteriak dan tertawa terbahak-bahak.
"Sunda Sembawa, apa ini artinya?" teriak Sang Prabu sambil menghentikan pasukan pengawal agar tak melanjutkan langkah menuju daratan.
"Artinya, kejatuhan dirimu terjadi hari ini. Besok pagi di saat matahari bersinar cerah, yang menjadi Raja di Pakuan adalah Sang Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda Sembawa dengan congkaknya.
"Jangan sombong Sunda Sembawa. Engkau melawan keinginan Sang Rumuhun. Sebentar lagi engkau akan tewas di sini. Tidak sadarkah kendati engkau membawa pasukan begitu banyaknya dari wilayah timur tapi kau sendirian di tepi telaga ini? Kau lihat ke darat, puluhan pasukan panah sudah siap menghadang!" kata Sang Prabu tenang. Ucapan ini ditimpali oleh suara tertawa keras Ki Sunda Sembawa.
"Engkau Raja dungu, sebab engkau hanya merajai istana kosong belaka. Hampir sebagian besar penghuninya sudah bersujud kepada Prabu Sunda Sembawa!" kata Ki Sunda Sembawa diiringi tawa keras.
Antara percaya dan tidak kepada ucapan ini, Sang Prabu Ratu Sakti segera mengajak para pengawalnya untuk mendekati daratan.
Berusaha mencapai daratan berarti mendekati jajaran puluhan anggota pasukan berpanah. Dan Ginggi terperangah kaget manakala dari daratan serentak berhamburan puluhan panah yang dilepas dengan kepandaian khas.
"Awas serangan panah!!!" teriak Ginggi ke arah para pengawal Raja. Mereka pun amat terkejut dengan peringatan ini sebab tidak menduga sedikit pun bahwa para anggota pasukan pemanah itu mengarahkan sasaran ke arah Sang Prabu Sakti. Serentak belasan orang melindungi Raja beserta keluarganya.
Puluhan anak panah yang datang menyerang mereka tepis dengan senjata pedang. Tapi anak panah datangnya beruntun. Ada beberapa perwira yang tak sanggup menepis dengan baik dan menjadi sasaran empuk panah-panah itu.
Ginggi menghitung, dalam dua gerakan penyerangan, lima perwira terjungkal karena dadanya tertembus panah.
Namun para perwira pengawal begitu setia terhadap Raja, lima orang terjungkal segera tergantikan oleh belasan perwira yang lain. Dengan gagah berani mereka melayangkan pedangnya ke kiri dan kanan sekali pun beberapa orang di antara mereka sudah ada yang terjungkal lagi. Para wanita dan selir Raja berteriak histeris karena rasa takut dan tegangnya. Dan tiga wanita jatuh terjerembab. Dua orang karena saking takutnya tapi seorang wanita jatuh karena anak panah menembus perutnya.
Sang Prabu berteriak-teriak histeris dengan kejadian ini. Dia mencoba melepaskan diri dari kawalan dan akan menghambur mendekati KI Sunda Sembawa yang berdiri agak jauh terpisah bertolak pinggang dan tertawa terbahak-bahak.
"Engkau biadab Sunda Sembawa! Engkau manusia durhaka, jahat dan tak punya rasa malu!" teriak Sang Prabu. "Lepaskan! Aku sanggup membunuh durjana itu!" teriak Sang Prabu.
"Hahaha! Lepaskan dia! Dulu engkau perwira kerajaan. Tapi kepandaianmu sudah hilang entah ke mana karena tergantikan oleh kebiasaan bermewah-mewah dan main perempuan. Engkau tidak sekuat dulu lagi!" teriak Ki Sunda Sembawa menantang.
Sementara itu beberapa pengawal sudah berjatuhan lagi karena serangan anak panah. Ki Sunda Sembawa tawanya semakin keras menyaksikan adegan ini, membuat Ginggi sebal hatinya. Ada terpikir untuk memukul jatuh Kandagalante ambisius ini. Namun sebelum niatnya terlaksana, secara tiba-tiba terdengar teriakan ngeri Ki Sunda Sembawa.
Ginggi kaget setengah mati sebab tanpa diketahui awal mulanya, dada Ki Sunda Sembawa sudah tertusuk sebuah anak panah. Serangan itu jelas datang dari daratan dan dilepas oleh pasukan pemanah itu. kelirukah pasukan pemanah itu?
Ow, tidak! Dan Ginggi yang berdiri terpaut dua tiga tindak dari kedudukan Ki Sunda Sembawa segera melempar tubuhnya ke samping sebab hamburan anak panah datang ke arah dia dan Ki Sunda Sembawa.
Ginggi lolos dari serangan karena sudah melempar tubuhnya tapi Ki Sunda Sembawa tidak. Dia masih berdiri terpaku ketika tiga batang anak panah sekaligus menembus bagian leher dan tangan kanannya.
Ginggi berdiri lagi, melihat pasukan berpanah dengan kaget. Mengapa mereka menyerang membabi-buta kesana-kemari? Ginggi saksikan Sang Prabu Ratu Sakti pun masih tetap menjadi incaran serangan anak panah dan begitu pun dirinya. Sedangkan tubuh limbung Ki Sunda Sembawa masih terus dihujani anak panah lagi. Sehingga ketika tubuh itu terjerembab ke permukaan air telaga, sudah ada belasan anak panah tertancap di sekujur tubuhnya.
Sambil berkelit kesana-kemari karena anak panah terus berhamburan mengarah padanya, Ginggi melihat tubuh Ki Sunda Sembawa timbul tenggelam di permukaan telaga. Air telaga yang tadinya begitu bening kini sudah berubah menjadi merah karena darah Ki Sunda Sembawa.
Para wanita tetap menjerit-jerit histeris karena serangan panah ini. Sementara para perwira pun dengan susah-payah berusaha menghalau serbuan-serbuan itu. ada dua orang yang nekad berlari menuju daratan. Tapi sebelum keduanya sampai di tempat tujuan, tubuh-tubuh mereka sudah tertembus banyak anak panah. Ginggi cepat berpikir, siapa gerangan pasukan panah ini. Namun serentak dugaannya mengarah pada satu tuduhan. Ya, siapa lagi yang mengendalikan pasukan berpanah ini kalau bukan Ki Banaspati?
Ya, inilah tujuan Ki Banaspati. Dia akan membunuh Raja tapi juga menyingkirkan Ki Sunda Sembawa.
Dengan demikian dia sendirilah kelak yang memetik kemenangan.
Licin, licik dan buasnya Ki Banaspati. Aku harus cari dia, kata Ginggi dalam hati. Sambil berkelit kesana-kemari, Ginggi melakukan beberapa loncatan. Dia harus mencapai daratan di mana pasukan panah yang sudah berada di bawah pengaruh Ki Banaspati berada. 
Usaha ini benar-benar untung-untungan sebab hujan panah begitu deras mengancam jiwanya. Tapi apa boleh buat, sebab semua tak ada bedanya. Dan lebih baik mati sambil berusaha melawan dari pada mati sia-sia di tengah air telaga.
Ginggi bergerak memilih saat-saat anak panah sudah dilepas. Sebab di saat itulah ada kekosongan serangan. Tapi usaha ini memang tidak begitu mudah sebab di sana ada tiga barisan pemanah masing-masing berjumlah duapuluh orang dan secara bergiliran melepas anak panahnya. Hanya sedikit saja antaranya saat pelepasan panah-panah pertama dengan kedua dan seterusnya.
Untuk menahan hujan anak panah itu sesekali Ginggi melakukan pukulan jarak jauh dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Namun tentu itu dilakukan hanya sesekali saja sebab kalau terlalu diobral bahkan hanya akan mencelakakan dirinya sendiri saja.
Sudah ada satu anak panah menancap di bahunya. Tidak terlalu dalam, tapi sakitnya terasa kiut-miut dan sedikit mengganggu gerakannya. Ginggi tak berani mencabutnya, sebab kalau dicabut begitu saja, takut lukanya semakin melebar dan darah akan lebih banyak keluar.
Sekarang Ginggi sudah berada di bagian air agak dangkal, hanya sebatas betis saja. Serbuan anak panah datang sejajar setinggi tubuhnya berdiri. Bila hendak menghindarkan serangan itu, Ginggi harus meloncat ke udara melebihi ketinggian serangan itu sendiri. Tentu dia harus meloncat secara tiba-tiba dan waktunya harus dihitung. Maka ketika barisan pemanah melepaskan serangan mendatar, Ginggi segera meloncat dan jumpalitan di udara. Serangan pertama gagal total dan serangan kedua terpaksa harus mengubah posisi semula. Ginggi lihat barisan pemanah kedua agak sedikit bingung mengubah posisinya. Dari gerakan mendatar mereka harus sedikit miringkan busurnya tapi begitu kesulitan untuk mengikuti gerakan Ginggi. Soalnya pemuda itu bersalto di udara beberapa kali dan tubuhnya seperti naik-turun, sehingga gerakan busur pun naik-turun mengikuti gerakan salto sebelum anak panah benarbenar dilepas. Dan ketika anak panah dilepas, arahnya begitu lemah dan tak tepat sasaran.
Namun ketika Ginggi sudah berdiri di tanah, serangan panah datang lagi. Di sini Ginggi mengirim serangan pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam. Namun karena jarak dia dengan barisan pemanah sudah tak begitu jauh lagi, serangan pukulan ini bukan saja merontokkan anak-anak panah, melainkan juga menyerang para pemanahnya.
Beberapa orang menjerit ngeri ketika tubuh-tubuh mereka terlontar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Ginggi tak memberi kesempatan kepada yang lainnya untuk memasang anak panahnya, sebab dengan secepat kilat dia meloncat ke depan dan merangsek mereka dengan serangan-serangan sepasang tangannya. Secara berturut-turut Ginggi melucuti busurbusur mereka sehingga penyerangan anak panah baik kepadanya mau pun kepada Raja dan keluarganya terhambat sudah.
Pasukan panah memang bisa juga berkelahi jarak dekat, namun mereka sebenarnya lebih akhli lagi dalam melepaskan anak panah. Itulah sebabnya ketika dipaksa Ginggi harus melakukan perkelahian langsung, kendati jumlah mereka banyak namun kekuatan mereka masih jauh di bawah keakhlian Ginggi. Dalam sebentar saja belasan dari mereka sudah tumbang dan jatuh bergeletakan kendati tak sampai mati.
Kedudukan mereka menjadi semakin terdesak manakala para perwira yang mengawal Raja dan keluarganya, sebagian ikut melakukan penyerangan ke arah pasukan panah. Dan Ginggi mengeluh menyaksikan sepak-terjang para perwira kerajaan ini. Mereka menyerang pasukan panah dengan beringas dan penuh kebencian. Pedang-pedangnya mereka tebaskan kesanakemari dengan ganasnya dan belum merasa puas sebelum pedang-pedang itu menghirup darah para korbannya. Musuh yang telah dilumpuhkan Ginggi pun mereka bunuh juga.
Ini sudah bukan lagi pertempuran tapi lebih berupa semacam pembantaian. Kendati jumlah pasukan pemanah masih lebih besar ketimbang jumlah para perwira, namun tingkat kepandaian para perwira Raja sudah terkenal kehebatannya. Ginggi kagum melihat sepakterjang mereka yang demikian gagah berani, namun sekaligus juga ngeri melihat keganasannya itu. Sekarang di tepi telaga mayat sudah semakin bergelimpangan, mungkin ratusan banyaknya. Mereka adalah mayat para pejabat yang saling bertempur sendiri, juga mayat-mayat pasukan panah. Darah berceceran di mana-mana, sehingga kesegaran alam tepi telaga ini berubah menjadi tempat yang menyebarkan bau amis darah.
Merasa bahwa usahanya sudah gagal, sisa-sisa pasukan panah segera berpencar untuk menyelamatkan diri masing-masing. Satu dua orang perwira masih mencoba mengejarnya tapi sebagian besar tetap menjaga Raja dan seluruh keluarganya.
Walau dengan perasaan kacau, namun Ginggi merasa bahwa keinginannya untuk menjaga Raja dari kematian sudah dianggap berjalan secara baik. Dia akan meninggalkan tempat itu untuk segera memburu puncak Bukit Badigul di mana terjadi pertempuran yang diduga Ginggi lebih besar lagi.
"Hai pengawal! Tangkap pemuda itu!" teriak Sang Prabu Ratu Sakti sambil menudingkan telunjuknya ke arah Ginggi.
Ginggi menoleh ke belakang. Dengan amat marahnya dia melihat empat orang perwira menghunus pedang serta memburu dirinya.
Ketika empat perwira menghambur ke arahnya, Ginggi malah sengaja berlari mendekat ke arah mereka. Namun tiga depa sebelum terjadi bentrokan, Ginggi meloncat ke atas seperti terbang melewati ubun-ubun empat perwira. Ginggi jumpalitan di udara dan tubuhnya melayang di atas kepala Sang Ratu Prabu Sakti. Para pengawal yang mengurung Sang Prabu dalam upaya memberi perlindungan merasa kesulitan untuk menyerang pemuda itu karena kedudukannya tepat di atas kepala Sang Prabu. Kalau mereka harus dengan gegabah, bisabisa malah tubuh Raja yang mereka serang. Keragu-raguan para perwira dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ginggi untuk segera turun dan menelikung tangan Sang Prabu ke belakang.
"Jangan bunuh Raja!" para perwira berteriak-teriak sambil mengamang-amangkan senjata. Di belakang Ginggi pun ada gerakan orang hendak melakukan serangan tapi Ginggi tak berupaya menoleh.
"Bunuhlah aku dari belakang kalau kalian berani!" teriak Ginggi.
Tapi tentu saja penyerang dari belakang segera hentikan gerakannya. Barangkali mereka takut, begitu serangannya dilakukan, Ginggi pun akan membunuh Raja.
"Sang Prabu, engkau begitu bernafsu untuk menangkapku, apa sebenarnya salahku?" tanya Ginggi marah dan penasaran.
"Engkau punya hubungan dengan Ki Darma, engkau pun pengkhianat!" kata Sang Prabu masih bersikap tenang.
"Sudah dua kali aku berada di belakang dirimu seperti ini. Kalau aku benci Raja, amat mudah untuk mencelakakan bahkan membunuhmu. Engkau mudah sekali menuding pengkhianat kepada orang yang tak bisa menyenangkan dirimu. Padahal Ki Darma selama ini tidak pernah berniat mencelakakanmu bahkan penguasa-penguasa sebelummu. Dan kau lihatlah pula orang-orang yang selama ini gemar membuat dirimu tenggelam dalam kesenangan. Semua yang pandai mengucapkan kata manis, malah itulah yang mencelakakanmu!" kata Ginggi dengan gemas.
Serta-merta Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke arah para pengawal dan hendak berlalu dari tempat itu.
"Seharusnya hari kemarin engkau beberkan rencana penyerbuan ini, maka tak nanti akan terjadi korban begini banyak!" kata Sang Prabu. "Sikapmu merugikan negara!" teriaknya.
Ginggi merandeg dan menjawab tanpa menoleh ke belakang. "Pangeran Yogascitra sudah aku beri tahu dan pasti sudah melaporkannya. Apa yang dia katakan, itulah yang aku ketahui!" tuturnya ketus.
"Tapi Pangeran Yogascitra kurang rinci memberi laporan. Dia tak tahu siapa pasukan dari timur itu. Banaspati kami kejar tapi dia menghilang. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kami tangkap dan periksa tapi mereka bilang tak tahu-menahu. Kami tak punya bukti ketelibatan mereka. Semua orang hanya mencurigai sesuatu karena laporan engkau semata. Semua kekuatan prajurit disebar untuk menyelidiki kekuatan yang dimaksud tapi sampai dengan tadi pagi, tak diketemukan sebuah kekuatan yang diduga akan menyerbu Pakuan. 
Tidak juga tahu perihal pengkhianatan Si Sunda Sembawa dan baru bisa terbongkar barusan. Itu semua engkaulah penyebabnya! Kau tak sungguh-sungguh dalam menyelamatkan negara," kata Sang Prabu lagi dengan nada tak senang.
Dalam hatinya Ginggi sedikit membenarkan tudingan ini. Tapi dia sendiri pun sebetulnya hanya samar saja mendapatkan data penyerbuan kekuatan dari timur itu. Bukankah semuanya hanya didapat dari perkiraan-perkiraan yang dia baca lewat sandi rahasia? "Akhirnya kita hanya bisa saling menyalahkan. Aku juga menyalahkanmu, mengapa keinginanku, keinginan seorang rakyat tidak kau penuhi?" kata Ginggi. "Tapi setidaknya aku tetap cinta Pajajaran, seperti kecintaan Ki Darma yang mau mengabdi tanpa pamrih dan tanpa mengharapkan pujian. Sekarang bebaskan aku dari sini, sebab aku akan melaksanakan kewajiban sebagai warga Pajajaran. Kalian dengar di atas bukit sana, pertempuran besar tengah terjadi. Aku harus melaksanakan titah Ki Darma, bahwa apa pun yang terjadi di bumi Pajajaran, rakyat tak berdosa jangan sampai jadi korban!" kata Ginggi sambil meloncat pergi dan nampaknya dibiarkan oleh para perwira yang ada di sana.

***


Untuk tiba di punggung bukit, Ginggi memotong jalan setapak, sehingga bisa datang ke tempat itu dengan cepat. Benar saja perkiraannya. Di punggung Bukit Badigul sedang terjadi peperangan yang cukup besar.
Punggung bukit itu berupa tegalan atau padang alang-alang dan berbentuk sebuah lapangan. Kata penduduk, Bukit Badigul pada saat-saat tertentu selalu digunakan upacara keagamaan. Tidak dinyana sedikit pun bahwa hari ini, bukit suci ini harus digunakan untuk pembantaian manusia. Ada sekitar ribuan orang di tegalan itu. mereka tengah bertempur mati-matian, saling berhadapan satu sama lain dan sulit memisahkan mana kawan dan mana lawan. Ada prajurit melawan prajurit, ada prajurit melawan rakyat kalau menilik jenis pakaian yang dikenakannya. Namun bila Ginggi ingat kejadian semalam, orang-orang di bawah pimpinan Kandagalante Sunda Sembawa atau Ki Banaspati memang kebanyakan datang dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Kelompok mereka yang mengintai tepi telaga dan berhasil dia lumpuhkan pun semua memakai pakaian rakyat kebanyakan.
Korban sudah berjatuhan. Baik yang tewas mau pun yang luka-luka bergeletakan di sana-sini. Di beberapa bagian, tegalan pun sudah berubah menjadi merah karena darah.
Pertempuran itu tidak seimbang. Pasukan penyerbu jumlahnya masih lebih sedikit ketimbang Pasukan Pakuan. Lebih dari itu, Pasukan Pakuan sepertinya memiliki tenaga lebih terampil ketimbang anggota pasukan penyerbu. Ginggi dengan perasaan heran bahkan melihat sepakterjang seorang anggota pasukan pemerintah yang nampak aneh dalam melakukan perkelahian. Dia banyak melumpuhkan pasukan penyerbu tapi sedikit pun tidak berupaya membunuh lawan-lawannya. Berbeda dengan pasukan pemerintah, dia malah tidak memakai pakaian seragam perwira, melainkan menggunakan pakaian rakyat biasa saja. Jurus-jurus berkelahinya membuat hati Ginggi bergetar sebab dia hafal betul, itulah jurus-jurus yang biasa diperagakan Ki Darma yang dikombinasikan dengan jurus-jurus aneh namun Ginggi pun telah kenal akan gerakan itu.
Penutup
"Ki Rangga Guna…" gumam Ginggi dengan perasaan tak tentu.
Ginggi mengucak-ucak sepasang matanya kalau-kalau dia salah lihat. Tapi beberapa kali dia menggosok mata, pandangannya tidak berubah. Yang dilihatnya benar-benar Ki Rangga Guna!
Ki Rangga Guna masih hidup dan bebas dari kungkungan Ki Banaspati. Ginggi begitu bahagia melihat kenyataan ini. Dia tersenyum seorang diri. Dia baru mengerti kini, kelompokkelompok pasukan musuh yang bersembunyi di sekitar telaga pasti telah dilumpuhkan Ki Rangga Guna secara diam-diam. Musuh tak berdaya tapi tak tewas. Itulah kebiasaan Ki Rangga Guna. Seperti yang diungkapkannya kepada Ginggi, bahwa dia pantang membunuh sebab manusia tak berhak membunuh sesamanya.
Jasa Ki Rangga Guna dalam melumpuhkan para pemberontak cukup besar. Pasukan yang akan membunuh Raja gagal melaksanakan tugasnya karena jauh sebelumnya kekuatan mereka sudah tak utuh lagi. Itu pasti hasil tindak-tanduk Ki Rangga Guna. Sekarang di Bukit Badigul ini, jumlah pasukan musuh jauh berkurang karena Ki Rangga Guna turun tangan ikut melumpuhkan musuh.
Ginggi berpikir, sebaiknya dia pun ikut turun tangan melumpuhkan pihak penyerbu. Bukan tak percaya kepada para prajurit dan perwira Pakuan, sebab tanpa bantuan Ki Rangga Guna atau dirinya, sebetulnya kendati secara perlahan namun pihak Pasukan Pakuan akan bisa mengatasi pemberontakan ini. Tapi mengapa Ki Rangga Guna tetap memaksakan diri turun tangan, barangkali karena dia ingin mengurangi korban tewas. Kalau pihak Pakuan sendiri yang melakukan penyelesaian, maka mereka akan membantai habis pasukan penyerbu. Tapi bila Ki Rangga Guna yang bergerak, musuh hanya akan lumpuh tanpa tewas.
Berpikir sampai di situ, Ginggi pun segera terjun ke arena pertempuran. Dia bertempur di dekat seorang perwira yang begitu ganasnya membabati musuh. Ginggi mencoba mengurangi korban tewas dengan cara mendahului. Setiap musuh yang dekat, sebelum disabet pedang perwira, Ginggi dahului dengan sodokan kepalan atau tusukan jari ke urat syaraf lawan, yang penting lawan roboh tak berkutik, tapi nyawanya masih utuh.
Pada mulanya perwira itu mengerutkan dahi dan sedikit kaget karena secara tiba-tiba pemuda itu sudah ada di sampingnya. Dia kaget karena mungkin sudah kenal Ginggi sebagai pemberontak. Namun karena pemuda itu nampak ada di pihaknya, perwira itu malah seperti senang hatinya.
"Hahaha! Engkau orang aneh anak muda!" kata perwira itu di tengah kesibukannya menggerak-gerakkan pedang. Perwira itu seperti terbawa arus sikap Ginggi, melumpuhkan lawan tanpa bermaksud menewaskannya. Hanya gerakannya saja yang tetap ganas sehingga musuh putus nyalinya.
"Mereka hanya terbawa-bawa sikap pemimpinnya saja, jadi tak perlu kita bunuh," kata Ginggi pada perwira itu.
"Benar juga. Yang penting, kita harus bisa membekuk biang keladinya!" sahut si perwira sambil menangkis sebuah serbuan ujung tombak. Batang tombak kutung karena sabetan mata pedang yang demikian runcingnya. Pemilik tombak meringis kecut dan akhirnya lari tunggang-langgang karena takut lehernya kena tebas.
Medan pertempuran sudah benar-benar dikuasai pasukan pemerintah. Sebagian tentara musuh melarikan diri, serabutan ke berbagai arah. Tapi sebagian besar telah terkepung di tengahtengah karena mereka terperangkap oleh taktik pertempuran yng disusun oleh para perwira kerajaan. Bila Ginggi ingat akan keterangan Ki Darma tempo hari, maka inilah siasat perang yang bernamacakra-bihwa . Siasat ini digunakan terbalik. Cakra-bihwa biasanya dilakukan bila pasukan terperangkap dalam kepungan musuh. Caranya, di dalam kepungan musuh mereka membentuk lingkaran. Dari lingkaran itu setiap selang dua orang, keluar satu perwira. Tugas mereka adalah berusaha membobol kepungan.
Sekarang kedudukan pasukan perwira terbalik. Posisi mereka bertindak sebagai pihak pengepung, yaitu melingkari lawan dan membiarkan mereka ada di tengah. Dari setiap dua orang yang ada dalam lingkaran itu, keluar satu perwira dan mencoba melakukan gempuran. Namun setiap lawan hendak balik menggempur perwira itu segera melompat ke belakang dan ganti formasi. Dengan demikian, secara bergantian mereka melakukan penyerangan dan ganti pula melakukan pengawalan, begitu seterusnya, membuat musuh yang dikepung merasa kebingungan.
Ginggi menghitung lebih dua ratus orang yang terperangkap siasat perang cakra-bihwa ini. Kedudukan mereka semakin terhimpit sebab jumlah pihak pengepung bahkan lebih dari enam ratus orang. Ketika lingkaran semakin kecil, maka semakin ketat pula lingkaran pengepungan. Ginggi menghitung lagi, kini ada tiga lapis lingkaran, ketiganya berputar-putar dengan arah berlawanan dan membuat lawan yang terkepung menjadi bingung.
Pasukan yang terjepit di tengah kepungan, menjadi semakin kacau formasinya setelah belasan perwira secara berani melakukan salto-salto di udara dan masuk ke tengah kepungan. Untuk sementara belasan perwira harus mati-matian melakukan gempuran atau bahkan menahan gempuran lawan. Namun hebatnya, sambil berusaha melakukan sepak-terjang penyerangan atau sebaliknya belasan perwira itu menyusun formasi lingkaran baru. Dengan demikian, kini terbentuk satu formasi lingkaran lagi namun berada di tengah kepungan. Benar-benar hebat formasi ini, sebab musuh kini seolah digempur dari luar dan dalam. Jerit-jerit kesakitan mulai terdengar di sana-sini dan semua keluar dari mulut-mulut pasukan musuh. Formasi mereka sudah demikian kacau dan hancur. Mereka bingung sebab serangan datang dari depan dan belakang. Kian lama lingkaran di tengah kian melebar pula sebab kian banyak perwira yang melakukan salto dan menerobos masuk ke tengah kepungan.
Lawan yang ada dalam kepungan hanya menunggu waktu saja untuk segera dibantai habis oleh teknik pertempuran cakra-bihwa ini.
Ginggi berteriak-teriak agar pasukan pemerintah tidak begitu ganas membantai mereka. Ginggi berteriak mengabarkan bahwa biang keladi kerusuhan sudah bisa dilumpuhkan dan Raja pun selamat. Namun teriakan Ginggi tenggelam ke dalam gemuruh pertempuran. Jerit kesakitan terdengar membahana dan membuat bulu kuduk merinding saking ngerinya mendengar teriak-teriakan itu. Apalagi di seputar tegalan, tubuh-tubuh bertumpuk dan bergeletakan dan darah membanjir di mana-mana.
Pertempuran sekarang hanya terpusat pada lingkaran itu saja, sebab di tempat lain, perkelahian sudah usai. Ginggi hanya berdiri termangu sebab dia tak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Melihat ketatnya pengepungan ini, Ginggi tak mungkin ikut masuk lingkaran, sebab kalau pun terjun ke arena yang demikian ketatnya dia akan masuk dalam putaran pembantaian itu sendiri.
Ini adalah pertempuran dengan mengunakan taktik barisan dan bukan pertempuran perseorangan seperti tadi. Berbagai gerak dan jurus, dikendalikan oleh satu komando dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Ki Rangga Guna pun nampak mulai bingung untuk dapat melibatkan diri dalam pertempuran ini. Dia tak bisa lagi turun tangan untuk mengurangi korban. Ki Rangga Guna bahkan meloncat mendekati tempat di mana Ginggi berdiri termangu.
"Ini korban yang sia-sia…Benar-benar sia-sia…" gumam Ki Rangga Guna, "Astaghfirullah… Astagfirullah… Astaghfirullah!" gumam Ki Rangga Guna mengusap wajahnya.
Ginggi melirik dan menatap orang tua itu dengan heran dan menduga-duga. "Paman, bagimana kita mencegah pembantaian ini?" tanya Ginggi bingung.
"Kita sudah berusaha sekuatnya. Tapi barangkali ini kehendak Allah… Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!" gumam Ki Rangga Guna lagi.
Ginggi menatap ke arah pertempuran dengan pandangn kosong. Sudah tak terlihat lagi mayatmayat bergelimpangan. Sudah tak terdengar lagi jerit-jerit kesakitan. Yang ada hanyalah hati pemuda itu yang kosong dan perasaannya yang hampa.
Dengan tubuh seperti kehilangan berat badan, Ginggi membalikkan arah dan berjalan meninggalkan arena pertempuran begitu saja.
"Ginggi…!" teriak Ki Rangga Guna memanggil. Tapi Ginggi terus saja berlalu.
"Ginggi! Ada panah tertancap di bahumu. Mari aku cabut!" teriak Ki Rangga Guna menyusul pemuda itu. tapi Ginggi seperti tidak mendengar panggilan orang tua itu.

***


Di sebuah tempat sunyi, jauh di benteng luar, Ginggi mendapatkan pengobatan sederhana dari Ki Rangga Guna. Panah sudah tercabut dari bahunya namun luka itu akan melebar sebab kulit dan sedikit daging pada bagian bahu harus sedikit disayat.
"Terima kasih engkau selamat, Paman…" gumam Ginggi sambil berdiri dan mulai hendak melangkah.
"Aku terlalu sembrono memasuki wilayah Sagaraherang, sehingga akhirnya ditangkap Ki Banaspati karena tak mau diajaknya kerja sama. Tapi di saat persiapan mereka hampir matang, aku bisa kabur bahkan aku akhirnya bisa menyadarkan beberapa wilayah Kandagalante lainnya untuk mengurungkan rencana dan tak ikut memberontak, sehingga kekuatan yang datang ke Pakuan sedikit berkurang," kata Ki Rangga Guna menerangkan sambil melangkah mengikuti Ginggi.
"Setelah itu aku berkelana ke wilayah Cirebon dan bergabung dengan mereka," sambung lagi Ki Rangga Guna.
Mendengar ini Ginggi merandeg dan menatap Ki Rangga Guna. "Engkau telah memasuki kehidupan agama baru, Paman?" tanya Ginggi Ki Rangga Guna mengangguk. "Aku menyadari, pada saatnya zaman akan segera berubah, meninggalkan hal-hal lama dan memasuki hal-hal baru," tutur Ki Rangga Guna.
"Engkau mencintai agama baru, Paman?"
"Pada dasarnya, tak ada agama baru atau agama lama, sebab setiap agama yang baik akan membawa kedamaian hidup. Namun Allah Maha Penyayang. Dia selalu menginginkan manusia punya nilai kesempurnaan. Itulah sebabnya, setiap agama pada waktu kurun tertentu akan disempurnakan dan makin disempurnakan. Ini adalah kurun waktu di mana Allah mempercayai akan kemampuan umat manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan. Itulah sebabnya Allah menurunkan agama paling sempurna dan terakhir, sebab sesudah ini tak akan ada agama baru lagi. Inilah agama akhir zaman di mana semua manusia di bumi ini wajib mengikutinya," ujar Ki Rangga Guna menjelaskan.
Ginggi termenung, berdiri mematung sambil berpangku tangan.
"Mari anakku, masuklah engkau pada agamaku," ajak Ki Rangga Guna dengan lemah-lembut. Ginggi menatap dengan dalam-dalam.
"Kalau saya menolak, apakah saya akan diperangi, Paman?" tanya Ginggi. "Mengapa engkau berpikiran begitu?"
"Pajajaran pun digempur karena tidak mau memasuki agama baru…" gumam Ginggi.
"Masya Allah! Jangan campurkan agama dan politik. Agamaku hanya menganjurkan orang mengikutinya karena inilah agama yang paling sempurna dalam membawa umat manusia menuju jalan keselamatan. Tapi kalau sudah diajak mereka tetap menolak juga, itu adalah hak mereka dengan risiko-risiko tertentu kelak di pengadilan Tuhan. Sementara peperangan yang selama ini berlangsung antara Pajajaran dengan negara-negara agama baru, pendapatku itu hanyalah pertentangan politik semata," ujar Ki Rangga Guna.
"Saya dibiarkan kosong oleh Ki Darma selama berada di Puncak Cakrabuana. Barangkali ini kebijaksanaan beliau agar di saat kosong begini saya disuruhnya memilih sesuatu yang terbaik buat diri saya sendiri," gumam Ginggi. "Saya pun ingin memiliki kedamaian. Dan akan saya cari agama yang bisa membawa kedamaian hati namun bukan hasil pengaruh dan gagasan orang lain," kata pemuda itu mulai hendak berlalu.
"Semoga Allah membukakan hatimu untuk segera memilih agama yang bisa menghantarmu ke kedamaian hakiki, anakku. Tapi hati-hatilah, waktu terus berlalu juga dan Allah akan selalu mencatatnya, sejauh mana kita mempergunakan dan memanfaatkan waktu yang sedikit itu…" kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengangguk mengiyakan. Dia hendak segera berlalu pergi, ketika tiba-tiba ingat sesuatu.
"Paman…Raden Purbajaya telah tewas. Barangkali, sayalah pembunuhnya…" kata Ginggi tapi masih menatap tajam Ki Rangga Guna. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum pahit. "Aku sudah mendengar semuanya. Dia diutus oleh Cirebon agar mengajak penghunii istana Pakuan untuk memasuki agama baru. Namun pemuda itu hatinya dipenuhi urusan pribadi sehingga akhirnya mencelakakan dirinya sendiri. Anakku ketahuilah, agamaku melarang orang memiliki kebencian. Aku sebagai warga Pajajaran, sebetulnya tetap berkeinginan Pajajaran tetap hidup dan besar. Tatanan pemerintahan sudah baik, tinggal membentuk sikap yang baik dari orang-orangnya. Alangkah baiknya bila kebesaran Pajajaran dijalankan melalui tata-cara agama baru," kata Ki Rangga Guna. Ginggi tersenyum tipis mendengarnya.
"Kita lihat saja perkembangan zaman, Paman…" gumam Ginggi.
Dan akhirnya mereka berpisah di sana. Ki Rangga Guna berdiri mematung memperhatikan Ginggi yang melangkah lesu menuju ke timur.
Senja sudah mulai jatuh. Sebagian menimpa pintu gerbang timur, sebagian menimpa punggung pemuda itu. Dan di atas tanah di mana Ginggi melangkah, bayangan besar matahari senja yang terhalang kokohnya tembok-tembok gerbang telah menutupi bayangan tubuh pemuda itu, gelap dan suram.

***


Ginggi terus menuju ke timur dia akan kembali ke Puncak Cakrabuana sebab hatinya tak yakin Ki Darma telah tiada. Dia pun akan berusaha mencari kampung kecil bernama Caringin di wilayah Cirebon, sebab Ki Darma pernah bilang, bila dia ingin tahu siapa dia sebenarnya, maka harus menuju Kampung Caringin.
Bila Ginggi masuk ke sebuah wilayah Kandagalante, maka sesekali akan tersimak juga lantunan dan tembang-tembang ki juru pantun yang cepat sekali membawa berita baru dari Pakuan.
Melalui berita-berita pantun, Ginggi mendapatkan khabar bahwa beberapa bulan sesudah peristiwa besar itu, Sang Prabu Ratu Sakti akhirnya turun tahta juga karena tetap dianggap melakukan pelanggaran moral. Raja yang penuh ambisi ini memerintah sejak tahun 1543 dan berakhir tahun 1551. Penggantinya adalah Sang Lumahing Majaya dikenal juga sebagai Sang Prabu Nilakendra.
Untuk mengurangi kemelut di istana, Sang Prabu yang masih belia ini segera menangkap Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta namun kemudian meninggal karena sakit dan kecewa. Sang Prabu juga mengumumkan bahwa Ki Banaspati dicap pemberontak dan harus diburu sampai diketemukan kendati sembunyi di ujung dunia. Sedangkan Pangeran Yogascitra sekeluarga, begitu pun Ginggi, disebut-sebut Ki Juru Pantun sebagai para pahlawan Pajajaran yang berjuang mempertahankan Pakuan tanpa pamrih. Namun yang paling melegakan Ginggi adalah ketika lantunan juru pantun menembangkan kisah-kisah kedigjayaan seorang perwira setia bernama Ki Darma Tunggara. Ini hanya memberi tanda bahwa Ki Darma telah dibersihkan namanya.
Sebelum tiba di Puncak Cakrabuana Ginggi melakukan pengembaraan kesana-kemari termasuk pula memasuki wilayah-wilayah Kandagalante yang pernah dia kunjungi ketika berangkat dulu. Dengan senyum tipis dia melihat gadis Asih dari Kandagalante Tanjungpura telah bersuamikan pemuda di sana. Dan senyum pahitnya membayang manakala tiba di Desa Cae ketika mendengar khabar bahwa Nyi Santimi akhirnya menjadi istri muda Kuwu Suntara, yaitu ayah kandung Suji Angkara.
Semua serba terjadi dan semua membawa arti.
Sambil berjalan sendirian di bawah bayang-bayang senja, Ginggi bersenandung melantunkan tembang yang pernah didendangkan Ki Darma dulu :
Hidup banyak menawarkan sesuatu namun bila tak sanggup memilihya maka kita orang-orang yang kalah!

:: TAMAT ::



INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 23 --oo0oo-- TAMAT


Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-23

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 22 --oo0oo-- Jilid 24

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 23

Ginggi dan Purbajaya cukup lama menunggu. Namun pada suatu saat ada terdengar bunyi gong dipukul lambat-lambat beberapa kali. Ginggi menengok ke selatan. Bukan atap istana dengan latar belakang Puncak Gunung Salak yang tengah ia saksikan, melainkan adanya sebuah iring-iringan kecil yang baru keluar dari sebuah pintu berukir dengan warna emas itu.
Ginggi berdebar, ternyata iring-iringan itu duapuluh perwira kerajaan yang berpakaian gagahgagah tengah mengawal seorang lelaki tampan nan elok.
"Sang Prabu Ratu Sakti…" gumam Ginggi tak terasa. Inilah untuk yang ketiga-kalinya pemuda itu menatap Raja Pajajaran yang banyak diperbincangkan orang karena tindakan dan kebijaksanaannya banyak mengundang pro dan kontra itu.
Sang Prabu melangkah lambat-lambat namun mantap dan pasti. Ada suara gemerincing merdu ketika Raja tampan berkumis tipis itu melangkahkan kaki. Itu karena gelang-gelang emas yang tersusun di sepasang kakinya bergerak saling beradu ketika kaki itu melangkah. Suara gemerincing kaki Raja pun disambut gemerincing lain. Suaranya kurang begitu nyaring. Dan suara itu keluar dari gelang-gelang perak yang menghiasi kaki-kaki para pengawalnya.
Namun melihat duapuluh pengawal raja yang berjalan di belakang, Ginggi jadi ingat beberapa pengakuan. Ki Banaspati dengan yakinnya mengabarkan padanya bahwa di sekeliling Raja kini sudah berdiri orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya. Belakangan Purbajaya pun berkata bahwa hampir separuh dari pengawal Raja yang bertugas hari ini kesetiaannya sudah berpaling dari Raja. Lalu, apakah yang dilakukan Ki Banaspati juga sama dengan apa yang dikatakan Purbajaya?
"Engkau juga bersekutu dengan Ki Banaspati?" tanya Ginggi tadi pagi sebelum berangkat, tapi Purbajaya menggelengkan kepalanya. Ini hanya menandakan bahwa pemuda itu tak ada keterkaitan dengan Ki Banaspati. Dan kalau benar begitu, maka apa yang disebut Purbajaya tidak sama dengan apa yang dikatakan Ki Banaspati. Artinya lagi, bahwa para pengawal raja semakin terpecah-pecah. Satu kelompok ikut Ki Banaspati dan satu kelompok lainnya juga sama memalingkan kesetiaannya. Tapi mereka ikut siapa? Apakah Purbajaya juga ikut kelompok kedua ini atau berdiri sendiri? Berkerut alis Ginggi memikirkannya.
Di Pakuan ini terlalu banyak rahasia. Apa yang dilihat mata belum tentu itu yang sedang berlangsung. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta kendati selalu nampak paling setia dan paling banyak bekerja untuk "memajukan" Pakuan, padahal terbukti, di benak mereka penuh dengan rencana dan tujuan yang bertolak belakang dengan sangkaan Raja. Sekarang Purbajaya, pemuda tampan, jujur dan tidak terlalu banyak tingkah, belakangan diketahui Ginggi seperti tengah memendam hal-hal tertentu.
"Kalau kau mampu, maka di Balai Penghadapan Raja inilah kau laksanakan tugasmu!" kata Purbajaya tadi pagi. Ini hanya punya arti bahwa pemuda itu setuju Raja dibunuh. Siapa pemuda ini dan dari kelompok manakah?
Ancaman pada Raja Sang Ratu Sakti sudah memasuki ruangan paseban. Purbajaya serentak menyembah takzim. Ginggi pun ikut menyembah hormat, namun selintas dia melihat lirikan Purbajaya ke arahnya. Berdesir lagi darah di urat-urat nadi Ginggi. Lirikan Purbajaya penuh arti. Apakah ini sebuah isyarat agar Ginggi melakukan tugas seperti apa yang dikatakan Ki Banaspati?
Sang Prabu berjalan lambat ke arah kursinya, sedangkan di belakang, duapuluh perwira melangkah rapih dengan jarak hampir tiga tindak di belakang Sang Prabu. Kalau Ginggi mau, dengan satu loncatan dia bisa menerkam dan mencengkram wajah atau leher Sang Prabu.
Dalam satu gerakan saja mungkin sudah berhasil membunuh Raja. Mungkin separo dari para perwira benar-benar pengawal setia dan akan balas menyerang. Tapi sudah dipastikan Raja tak akan bisa diselamatkan. Dan Ginggi akan selamat meloloskan diri dengan mudah sebab separo dari para pengawal tidak akan bernafsu membalas perlakuan Ginggi.
Ginggi dan Purbajaya selesai menyembah ketika Sang Prabu sudah duduk dengan tegak di kursi indah berukir itu. Purbajaya nampak menghela napas sambil sedikit melirik ke samping di mana Ginggi duduk bersila.
"Engkaukah yang bernama Ginggi, ksatria tangguh yang akan segera diangkat Pamanda Yogascitra sebagai pembantu utama di purinya?" tanya Sang Prabu dengan suara halus namun nyaring.
"Hamba hanya sekadar pembantu biasa saja, Paduka Raja," sahut Ginggi dengan suara sedikit bergetar. Bagaimana tak begitu, sebab apa pun kenyataannya, yang kini tengah duduk dengan anggun di kursi berukir indah itu adalah seorang raja dari sebuah kerajaan besar yang berdiri hampir 900 tahun lamanya.
"Engkau pandai merendah, anak muda. Tapi ada juga orang yang memperlihatkan kesombongan dengan sifat merendah-rendah. Jangan membuat orang tercengang karena kepura-puraan. Kalau kau pandai maka perlihatkanlah kepandaianmu secara wajar agar orang pun bisa menghargai dan menilaimu secara wajar pula," ujar Sang Prabu dengan nada halus tapi tetap nyaring.
Wajah Ginggi terasa sedikit panas. Tidakkah Sang Prabu menyindirnya, sebab dia memang gemar berpura-pura bodoh?
"Namun Paduka, orang tidak akan dianggap bijaksana bila tidak bisa memerankan orang bodoh dalam satu keadaan," kata Ginggi sambil kembali menyembah.
Nampak Sang Prabu tersenyum kecil memperlihatkan deretan giginya yang putih dan bersih.
"Dan yang berbahaya adalah orang bodoh yang pura-pura bijaksana dansok merasa tahu segala perkara," ujar Sang Prabu kemudian.
"Lebih celaka lagi, ada orang bodoh yang tidak menyadari dirinya bodoh. Orang bodoh yang merasa dirinya pintar dan apalagi berkuasa, maka kekuasaannya hanya akan membahayakan kepentingan orang banyak, Paduka," kata Ginggi menyela. Untuk sejenak Sang Prabu menatap sedikit terbelalak dengan ucapan lantang ini. Namun kemudian beliau tertawa renyah sambil sesekali punggung tangan kanannya yang putih halus digunakan menutupi mulutnya yang masih tertawa.
"Hahaha! Engkau seorang pemuda yang berani dan jujur, anak muda. Aku suka sikapmu itu. Tapi hati-hati, perasaan orang tidaklah sama, sebab ada juga yang mudah tersinggung. Kalau yang tersinggung adalah seorang penguasa misalnya, maka alamat celakalah dirimu," sahut Sang Prabu lagi namun masih dengan nada halus.
"Tapi Paduka, lebih baik tersinggung karena mendengar kata-kata bijak, dari pada terhibur dengan kata-kata palsu. Yang palsu tak bisa dikatakan baik. Dan bila mata-hati dibutakan olehnya, maka rasa bijaksana pun akan hilang dan kehancuran akan menjelang," kata lagi Ginggi semakin berani berkata-kata.
Sang Prabu masih nampak tersenyum, tapi senyumnya kian menipis, bahkan ada sedikit kerut-kerut di dahinya.
"Serasa aku pernah menyimak kata-kata yang kau ucapkan barusan, anak muda…" gumam Sang Prabu sambil mencubit dan menarik-narik kulit jidatnya seolah tengah menghilangkan rasa pening atau sedang berpikir sesuatu.
Namun sebelum Sang Prabu melanjutkan ucapannya, dari pekarangan paseban datang tergopoh-gopoh beberapa orang. Ketika Ginggi melirik, ternyata yang datang adalah Pangeran Yogascitra, diiringi Banyak Angga dan beberapa perwira kerajaan.
Dengan sopan tapi dilakukan dengan tergesa-gesa, Pangeran Yogascitra memasuki ruangan paseban, beringsut dan menyembah.
"Ada apakah Pamanda?" tanya Sang Prabu......
"Ampun beribu ampun Paduka, hamba memang terlalu tua untuk melakukan tindakan cepat. Kita terlambat menangkap Pangeran Jaya Perbangsa…" kata Pangeran Yogscitra sambil tetap menyembah hormat.
"Apakah Jaya Perbangsa berhasil melarikan diri?" tanya Sang Prabu mengerutkan dahi.
"Tidak melarikan diri. Dia kami dapatkan sudah tergolek kaku di purinya," ujar Pangeran Yogascitra.
"Mati?" tanya Sang Prabu. "Begitulah…"
"Bunuh diri?"
"Hamba kira begitu, sebab adacupu (botol kecil) berisi cairan racun di tangan kanannya," kata Pangeran Yogascitra.
Sang Prabu mendengus kecil sambil kepalan tangan kanannya menopang dagu. Ginggi melirik meneliti wajah-wajah perwira pengawal Raja. Namun tidak seorang pun berubah mimik. Mereka menunduk tetap bersila dengan tubuh tegak. Ginggi kagum karena mereka bisa menjaga penampilan. Padahal kalau di antara mereka terdapat kaki-tangan Ki Banaspati, seharusnya ada perubahan wajah karena terkejut mendengar sekutu Ki Banaspati mati.
"Aku percaya pada Jaya Perbangsa, mengapa dia tega berkhianat padaku?" gumam Sang Prabu.
"Kita harus lebih hati-hati, sebab Pakuan sudah dipenuhi oleh orang yang akan mencelakakan anda, Paduka…" kata Pangeran Yogascitra.
Sang Prabu mengangguk-angguk, "Mengapa ada orang yang ditakdirkan tidak setia kepada Raja, padahal para wiku selalu berkata raja adalah pilihan Sang Rumuhun…" gumam lagi Sang Prabu.
"Raja memang dipilih oleh Sang Rumuhun. Tapi Raja juga bisa didera bermacam-macam godaan. Kalau Raja bisa menahan godaan, semuanya akan aman dan tak akan ada lagi orang memalingkan kesetiaan, Paduka…" kata Pangeran Yogascitra.
"Aku tahan akan berbagai godaan. Sejak aku jadi perwira dalam mengawal Ayahanda Ratu Dewata, sudah banyak godaan mendera, tapi aku selalu lolos dari bahaya maut," kata Sang Prabu.
"Terima kasih bila Paduka sadar akan godaan," gumam Pangeran Yogascitra. Sang Prabu menangguk-angguk. Namun bagi Ginggi, ucapan Pangeran Yogascitra terlalu dalam artinya. Bisakah Sang Prabu mafhum akan ucapan yang tersirat di dalamnya?
"Tadinya aku ingin memanggil Jaya Perbangsa ke balai penghadapan raja ini dan mempertemukan dia dengan engkau, Ginggi," ujar Sang Prabu sambil melirik ke arah Ginggi. Membuat pemuda itu terkejut setengah mati. Baru sekarang dia tahu bahwa dirinya akan dijadikan sebagai saksi atas perbuatan Pangeran Jaya Perbangsa.
"Sekarang Jaya Perbangsa mati bunuh diri. Hanya menandakan bahwa dia memang bersalah, atau sekurang-kurangnya, ada sesuatu gerakan yang dia tak mau orang lain tahu. Tapi menurut Pamanda Yogascitra, tadi malam engkau menghubungi Jaya Perbangsa dan melakukan beberapa percakapan penting. Coba kau terangkan, soal apa yang engkau bicarakan itu?" tanya Sang Prabu menatapnya.
Wajah Ginggi sedikit memucat. Sejenak dia melirik ke arah Pangeran Yogascitra. Pangeran tua ini sudah melapor perihal pertemuannya dengan Pangeran Jaya Perbangsa. Dengan demikian, Raja pun sudah mengetahui bahwa dirinya punya hubungan dengan Ki Banaspati. Tidakkah ini membahayakan dirinya?
"Jangan takut, Pamanda Yogascitra sudah menerangkan perihalmu. Kata Pamanda, mulanya engkau diutus oleh Ki Banaspati untuk mengirimkan surat rahasia pada Jaya Perbangsa. Kau juga pernah ditangkap Pamanda tapi tak terbukti terlibat urusan ini. Karena Pamanda percaya terhadapmu, maka aku pun sebagai penguasa Pajajaran akan percaya kamu juga. Ingat, aku seorang raja dan bertanggung jawab menjaga keutuhan negri. Tapi engkau pun sebagai penghuni negri dan apalagi sebentar lagi akan diangkat menjadi ksatria di Pakuan, harus juga ikut bertanggung-jawab menyelamatkan negri dari kehancuran. Kau katakan sejujurnya tentang apa-apa yang telah engkau ketahui," ujar Sang Prabu lagi. Ginggi termenung mendengar keinginan Raja ini. Ini sebuah permintaan berat sebab akan membahayakan keselamatan dirinya.
Sekarang, di ruangan paseban yang hanya dihuni beberapa puluh orang, sebenarnya dia telah dihimpit oleh beberapa kekuatan. Sekurang-kurangnya di ruangan paseban ini terdapat tiga kekuatan, yaitu kelompok yang sudah dipengaruhi Ki Banaspati, kelompok yang telah memalingkan kesetiaan terhadap Raja, dan yang terakhir kekuatan Sang Prabu itu sendiri.
Belum lagi tentang kehadiran Purbajaya yang jelas-jelas tidak berfihak pada Raja tapi yang Ginggi belum tahu, berada di fihak mana sebetulnya pemuda itu berada.
Ginggi bingung sebab tidak bisa memilih. Bila melaporkan semua yang diketahuinya, berarti sudah memihak kepada Raja dan akan berhadapan dengan kekuatan lainnya, atau dengan tiga kekuatan yang ada di ruangan itu kalau Purbajaya mau Ginggi hitung. Tapi kalau Ginggi bungkam, berarti harus membiarkan banjir darah di Pakuan. Padahal sudah sejak awal dia mengukuhkan sikap untuk tak berfihak kepada siapa pun. Tapi keadaan ini benar-benar menjepitnya. Sebab kendati dia tak mau memihak, tapi Ginggi pun tak mau ada peperangan.
Melihat Ginggi seperti bimbang, dengan alis berkerut Sang Prabu mengulang pertanyaannya untuk kedua kalinya.
"Mengapa engkau diam? Atau, tidakkah penilaian Pamanda Yogascitra keliru?" kata Sang Prabu lagi dan nadanya mulai tak senang.
"Hamba akan uraikan yang hamba ketahui asal dengan sesuatu syarat," kata Ginggi secara tiba-tiba.
"Apakah persyaratan itu?" tanya Sang Prabu. "Paduka harus memenuhi keinginan hamba."
"Ya, sebutkan, apa itu?" kat Sang Prabu lagi tak sabar. "Paduka harus berjanji untuk dua keputusan!" kata Ginggi.
"Bedebah! Tak biasa aku ditekan seperti ini. Anak muda, apa kedudukanmu di sini?" kata Sang Prabu berang dan wajahnya merah padam. Ginggi masih duduk bersila dengan tenang. Dia melirik meneliti sikap para perwira yang duduk bersila berderet di kiri kanan Sang Prabu. Ada sebanyak duabelas perwira pengawal yang nampak turut melotot marah melihat kelancangan Ginggi ini. Tapi sepuluh orang lagi, termasuk di antaranya yang duduk di belakang Pangeran Yogascitra berwajah biasa kecuali menatapnya dengan perasaan tegang.
Ginggi memutar otak dan mulai dapat menduga, mana perwira yang bersetia dan mana yang sudah dipengaruhi fihak lain.
"Hamba bukan siapa-siapa dan tak mempunyai peran penting di sini. Jadi bila Paduka tak mau memenuhi dua syarat yang hamba ajukan tidak apa dan hamba akan keluar dari ruangan ini," kata Ginggi menyembah takzim dan akan segera berjingkat. "Tunggu!" teriak Sang Prabu. Ginggi kembali duduk tegak dan mencoba menatap Sang Prabu. Ornamen emas yang ada di kiri-kanansusumping(perhiasan kuping) bergoyang-goyang memantulkan cahaya gemerlapan dan mahkota yang juga sama terbuat dari emas bertahtakan zamrud dan mutiara keindahannya tak sanggup menutupi wajah keruh Sang Prabu.
"Sudah kukatakan, aku tak biasa ditekan oleh ikatan janji atau pun persyaratan. Tapi mengingat ini urusan keselamatan negara, maka aku sebagai Raja Pakuan mau merendahkan diri untuk mengikuti keinginanmu. Coba kau katakan apa dua persyaratan yang engkau inginkan," kata Sang Prabu akhirnya.
Ginggi menghela napas lega mendengar ucapan Sang Prabu ini. Namun ketika matanya mengerling ke samping, wajah Purbajaya kelihatan murung dan sedikit pucat. Apa boleh buat, pikir Ginggi.
"Syarat pertama, hamba mau menjelaskan situasi di Pakuan akhir-akhir ini, asalkan Paduka mau mengubah sikap dan kebijaksanaan. Semua perubahan sikap dan kebijaksanaan Paduka penting untuk mengembalikan keadaan ke arah hal-hal yang diinginkan semua fihak," kata Ginggi menatap Sang Prabu. Yang ditatap balik menatap. Dan Ginggi menunduk karena sorotan mata Sang Prabu demikian tajam dan seperti sulit untuk dilawan.
Hening sejenak, sehingga bunyitonggeret , sejenis binatang serangga yang ada di pepohonan beringin terdengar nyata.
"Sabda wiku paraloka (akhli kebatinan) sikap Raja haruslahseuseug keupeul lega aur, tenget suling panyaweuyan, teuas peureup leuleus usap (Tegas tapi bijaksana). Sebetulnya aku harus bicara seperlunya. Tapi bicara terlalu singkat, ucapanku selalu salah diartikan aparatku. Aku pun harus teliti memilih laporan dan pengaduan. Namun terkadang ada laporan yang dipalsukan dan aku terkecoh mempercayainya. Dan karena banyak hal tak benar terdengar sampai ke telingaku, maka terpaksa aku harus memilihteuas peureup (bertindak tegas) tanpa mengikutsertakan sikapleuleus usap (bijaksana, welas asih)," ujar Sang Prabu sesudah lama merenung.
Kemudian Sang Ratu Sakti bersabda lagi,"Kuakui, tindakanku selalu keras, aku mudah menghukum kepada orang yang dianggap salah, tapi juga tak segan-segan memberi penghargaan kepada yang dianggap berjasa. Kalau yang kau maksud, aku harus mengubah sikap kerasku, kurasa sulit sekali terkabul. Kau harus maklum anak muda, sekarang zaman keras. Hanya yang berhati baja yang bisa bertahan. Bukan berarti sikap welas asih tak berlaku lagi, tapi cara mengasihi kehidupan sekarang tak dilakukan dengan lemah-lembut. Sikap Ayahandaku Sang Ratu Dewata yang welas asih dan lemah-lembut diartikan salah sebagai jiwa yang lemah, sehingga musuh dari luar tidak merasa jerih, begitu pun aparat dan ambarahayat. Kalau kau mau bertanya kepadabujangga (akhli sejarah), akan begitu jelas, betapa Pajajaran banyak diserang musuh dari luar karena kepemimpinan waktu itu dianggap lemah."
Sang Prabu Sakti dadanya turun naik karena terlalu banyak berbicara. Dan suasana amat hening ketika beliau menghentikan ucapannya sambil menatap tajam pemuda itu.
"Coba kau sebutkan syarat yang kedua!" ucap Sang Prabu kemudian. Ginggi kembali menatap Sang Prabu, "Syarat yang kedua…ampuni Ki Darma dan Paduka harus mencabut tuduhan bahwa Ki Darma pengkhianat dan pemberontak!" kata Ginggi nyaring.
Mendengar ucapan ini, semua orang nampak terkejut dan sama membelalakkan mata, kecuali Pangeran Yogascitra dan Purbajaya nampak tenang.
Namun Ginggi merasa heran sebab mimik wajah Sang Prabu tak berubah. Beliau hanya menatap tajam secara terus-terusan saja terhadap Ginggi.
"Sudah aku duga, engkau punya hubungan dengan Ki Darma. Ucapan-ucapanmu itu tajam, menyakitkan dan mudah membuat orang tersinggung, anak muda," ujar Sang Prabu."Persis seperti apa yang gemar diucapkan oleh Ki Darma," sambung Sang Prabu lagi.
"Sepuluh tahun hamba bersamanya di Puncak Cakrabuana , Paduka," kata Ginggi, sengaja menyebutkannya agar Sang Prabu ingat dirinya pernah memerintahkan pasukan perwira untuk menyerbu Puncak Cakrabuana.
Ucapan Ginggi hanya ditanggapi Sang Prabu dengan tatapan matanya disertai beberapa kerutan di dahi. Dan untuk beberapa lama suasana menjadi hening kembali.
"Rupanya tak ada keputusan penting di sini. Maafkan, hamba akan meninggalkan paseban," kata Ginggi menyembah dan mengangkat tubuhnya hendak berlalu.
"Tidak semudah itu engkau meninggalkan tempat ini, anak muda!" kata Sang Prabu.
"Apakah hamba pun masuk dalam tuduhan memberontak juga, Paduka?" tanya Ginggi menatap Sang Prabu dengan berani.
"Jalan pikiran Ki Darma membahayakan ketentraman negri sebab meresahkan dan menimbulkan gejolak pro dan kontra di kalangan pejabat istana. Aku kenal Ki Darma sejak kami sama-sama menjadi perwira pengawal Raja. Betapa bahayanya ucapan-ucapannya. Dan itu bisa merongrong kewibawaan Raja," kata Sang Prabu lagi.
"Barangkali Paduka lupa, di mana baru saja mengatakan sikap Paduka, bahwa kasih sayang sekarang tidak dilakukan dengan lemah-lembut. Ki Darma hanya melontarkan kritik pada keadaan yang tengah berlangsung dan kritik tidak sama dengan pemberontakan. Kritik hanyalah sebuah kasih sayang yang dilakukan secara keras. Itu juga sebenarnya yang dilakukan Paduka terhadap bawahan dan rakyat Paduka," ujar Ginggi.
Merah-padam wajah Sang Prabu mendengar ucapan Ginggi ini. Dadanya turun-naik menahan gelora hatinya dan matanya memandang tajam kepada pemuda itu.
Ginggi kini tak menggubrisnya dan segera akan berlalu. Namun Sang Prabu bangun berdiri. Sambil menuding ke arah Ginggi beliau berseru,"Tangkap pemuda itu!"
Dari duapuluh pengawal hanya duabelas perwira yang serentak berdiri, sedangkan yang lainnya masih duduk bersila dengan punggung tegak. Keduabelas perwira segera menghambur dan mengepung. Tapi Ginggi kini lebih pengalaman lagi. Dia sudah kenal, para perwira pandai taktik berkelahi yang sifatnya beregu. Mereka punya formasi tempur, baik menyerang mau pun bertahan. Dan pemuda itu tak mau meladeninya sebab pernah merasakan dan pernah dikalahkan oleh taktik kepunganasu-maliput di Puri Bagus Seta beberapa waktu lalu.
"Kalau akan melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya," kata Ki Darma ketika di Puncak Cakrabuana. Ginggi ingat pepatah ini. Maka pada kesempatan inilah teori Ki Darma akan dilaksanakan. Jadi, ketika beberapa pengawal menghambur ke depan, Ginggi bukan melayaninya, melainkan meloncat tinggi, bersalto beberapa kali melewati kepala-kepala mereka.
Rupanya semua orang tak menduga kenekatan Ginggi, sehingga nampaknya para perwira lebih nampak kaget ketimbang melakukan satu tindakan. Bagaimana tak kaget, sebab Ginggi yang jungkir balik beberapa kali itu, tubuhnya bergerak ke arah di mana Sang Raja berdiri.
Sebelum semua orang sadar apa yang terjadi, Ginggi sudah berdiri tepat di belakang Sang Prabu. Tangan kiri Ginggi mencengkram pakaian di bagian pundak Sang Prabu, sedangkan tangan kanan siap menghantam batok kepala penguasa Pakuan itu.
"Semua berhenti bila tak ingin keselamatan Raja terancam!" teriak Ginggi. Tindakan ini mungkin keterlaluan, tapi inilah satu-satunya cara agar dia terlindungi.
Semua perwira kini berdiri seperti patung, tak terkecuali delapan orang perwira yang sejak tadi hanya duduk bersila dengan wajah tegang.
Dalam suasana seperti ini mata Ginggi terkuak lebar dan bisa mengenal semua orang. Mana yang berfihak kepada Sang Prabu Ratu Sakti dan mana yang sudah berpaling, nampak jelas kelihatan. Duabelas perwira nampak berdiri dengan sikap siaga, tubuh menggigil menahan kemarahan dan mata melotot serta gigi berkerot. Namun yang lainnya hanya berlaku siaga saja tapi tidak menampakkan mimik tertentu.
Pangeran Yogascitra nampak berwajah pucat. Sambil berdiri dengan tubuh bergetar dia berseru agar Ginggi tak melakukan tindakan seperti itu.
"Ginggi, apa pun yang dilakukan Ki Darma, sebenarnya dia orang yang amat menghargai Raja dan tak pernah berniat mencelakakan Raja. Lepaskan Sang Prabu! Jangan kotori perjuangan Ki Darma dengan perbuatan tercela seperti itu!" teriak Pangeran Yogascitra.
Ginggi tersentak mendengar ucapan ini. Pangeran Yogascitra memang amat meningatkannya, bahwa selama Ki Darma berbicara perihal rasa kecewanya, tidak secuil pun dia mengakui membenci Raja, apalagi memerintahkannya untuk mencelakai Raja. Ki Darma tak menyuruhnya melakukan pemberontakan atau menyingkirkan Raja, jadi kalau sekarang dia bertindak kasar terhadap Raja, akan dianggap keterlaluan dan tidak sesuai dengan keinginan Ki Darma. Ingat ini, Ginggi segera akan melepaskannya. Namun sebelum dirinya pergi menjauh dari tempat di mana Raja berdiri, Ginggi dengan kaget melihat gerakan yang dilakukan Purbajaya secara tiba-tiba.
"Jangan lepaskan dia!" teriak Purbajaya sambil meloncat ke depan. Sepasang kaki Purbajaya terpentang lebar dan kedua belah tangan diayun ke depan. Ginggi berteriak kaget sebab pemuda itu menghunjam pukulan jarak jauh yang dikerahkan dengan kekuatan penuh. Serangan itu diarahkan ke dada Sang Prabu dan jelas-jelas tujuannya hendak membunuh Raja.
Ginggi mendorong tubuh Sang Prabu ke samping sehingga jatuh terjerembab.
Cinta Berjatuhan
"Hiaaattt!!!" teriak Ginggi mengerahkan tenaga dalam dan sepasang telapak tangannya dibuka lebar menahan serbuan Purbajaya. Terdengar suara benturan keras. Purbajaya menjerit ngeri dan tubuhnya terpental ke belakang. Dia berguling-guling beberapa kali dan akhirnya telentang dengan mulut penuh darah segar.
Ginggi pucat wajahnya sebab ini sesuatu yang di luar dugaannya. Namun pemuda itu tak boleh tinggal berlama-lama di sana, sebab Sang Prabu sudah bebas dari kungkungannya. Maka sebelum bahaya mengancam, dia segera meloncat amat cepatnya. Tubuh Purbajaya dia buru, kemudian diangkat dan dipanggulnya di bahu kirinya. Ginggi meloncat beberapa kali dan berlari menjauhi tempat itu. Tidak ada yang melakukan pengejaran. Ini karena di halaman paseban sebenarnya telah terjadi pula pertempuran kecil. Ginggi bisa menduga, pertempuran terjadi antara para perwira yang setia terhadap Raja dan perwira-perwira yang sudah membelot. Para pembelot mungkin melakukan tindakan untuk mencegah Ginggi melarikan diri, atau untuk menyelamatkan Purbajaya. Atau, entah apalah, sebab pemuda itu masih menduga-duga, apakah para pembelot itu anak buah Ki Banaspati ataukah teman-teman Purbajaya.
"Masuk…masuk ke bangunan itu…!" perintah Purbajaya di antara erang kesakitannya.
Ginggi memasuki sebuah bangunan seperti tempat orang memuja. Ketika sudah berada di dalam hanya mendapatkan sebuah batu bertulis. Ada huruf palawa berjumlah sembilan baris. Ketika Ginggi membacanya, itu merupakan sebuah peringatan atau kenang-kenangan perihal kebesaran Sri Baduga Maharaja, ditulis oleh putranya Sang Prabu Surawisesa pada tahun 1533 atau delapan belas tahu lalu sebelum hari ini. Batu bertulis ini disimpan di sebuah bangunan tertutup dan bercungkup. Banyak bunga dan wewangian bertebaran di sekitar batu bertulis itu. Menandakan bahwa tempat ini kerapkali dikunjungi tapi oleh orang-orang tertentu saja, mengingat tempat ini demikian tertutupnya.
"Turunkan aku," keluh Purbajaya.
Ginggi menurunkan tubuh pemuda itu. Dibaringkan di lantai tanah secara terlentang dan diurut-urut dadanya. Namun pemuda itu menolaknya.
"Biarkan aku mati…" gumam pemuda itu.
"Jangan mati. Kalau engkau mati, aku akan amat berdosa, Raden…" kata Ginggi khawatir dan penuh sesal.
"Biarkan aku mati…Hidupku tak berharga," keluh pemuda itu menyeka sisa darah di ujung bibirnya. "Raden… mengapa engkau hendak membunuh Sang Prabu?" tanya Ginggi penasaran. "Karena engkau tidak jadi membunuhnya!"
"Aku memang tak berniat membunuh Raja!" "Raja sepatutnya dibunuh!"
"Mengapa?"
"Banyak dosa-dosanya. Bagi rakyat Pajajaran, Raja dianggap telah melanggar aturan moral. Dia selalu memaksakan kehendaknya untuk mengawini wanita larangan. Kau akan berjasa bila bisa membunuh Raja…" kata Purbajaya sambil menahan rasa sakitnya.
Aku akan berjasa membunuh Raja yang berdosa melanggar aturan moral? Mengapa aku harus menghukum seseorang yang padahal aku sendiri pun sama pernah bersalah dan sama pernah melanggar aturan moral, pikir Ginggi tak mengerti akan ucapan Purbajaya
"Tidak! Aku tidak akan punya jasa apa-apa hanya karena membunuh Raja. Aku bahkan akan semakin berdosa!" kata Ginggi lantang. Wajah Purbajaya nampak murung mendengar ucapan Ginggi ini.
"Engkau membingungkan aku. Sikapmu dan posisimu, ada di manakah sebenarnya?" gumam pemuda itu seraya tetap memegangi dadanya yang mungkin dirasakan amat sakit.
"Mengapa engkau merasa bingung hanya karena aku tak mau membunuh Raja? Yang harus dibuat pikir, malah orang yang ingin membunuh sesama. Aku pernah dengar ucapan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma, bahwa bukan kita yang menghidupkan makhluk di dunia, maka kita pun tak berhak membunuhnya," kata Ginggi.
Nampak Purbajaya mengatupkan mata.
"Aku malu padanya…aku malu pada Ki Rangga Guna…" ucapnya.
"Engkau sudah mengenalinya?" Ginggi heran menatap wajah pemuda itu yang kini kian memucat.
"Ya…aku kenal dia…aku kenal dia…!" gumam pemuda itu semakin payah berbicara. "Raden!…Raden!…" Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
"Ginggi…terima kasih!" gumam pemuda itu lagi. Serasa dingin tengkuk Ginggi mendengar gumaman pemuda itu.
Ginggi menganggap kesadaran Purbajaya telah mulai menurun. Ginggi berduka dan selalu penuh sesal, sekaligus juga merasa berdosa. Dia tahu, sebenarnya kepandaian pemuda ini tidak terlalu tinggi. Namun karena Ginggi merasa kaget melihat Purbajaya menyerang dan hendak membunuh Raja secara tiba-tiba, maka serentak Ginggi pun menolak serangan pemuda itu dengan kekuatan penuh. Akibatnya, tenaga dalam pemuda itu menghantam dirinya sendiri. Ginggi tahu, luka dalam pemuda ini amat parah dan sulit ditolong. Ini semua gara-gara dia. Kalau pemuda itu tewas, Ginggi berdosa.
"Ginggi…terima kasih…engkau berjasa… engkau berjasa…" gumam pemuda itu datar dan dingin.
"Raden, sadarlah! Sadarlah!" Ginggi mengguncang-guncang tubuh pemuda itu.
"Bila tak kau cegah, maka aku akan melakukan pembunuhan. Padahal dalam agamaku, membunuh karena benci adalah dosa…Apalagi…apalagi rencana pembunuhan itu hanya karena dasar cemburu…" gumam pemuda itu.
Ginggi mengerutkan dahi. Tidak. Pemuda ini masih memiliki kesadaran. Tapi mengapa katakatanya begitu aneh?
"Engkau mau membunuh Raja karena cemburu?"
"Aku sakit hati…Raja begitu berkuasa untuk mengambil dan menolak cinta…Nyimas Banyak Inten, dia hancurkan hidupnya. Begitu gampangnya Raja menyuruh gadis itu masukmandala
…" ujar Purbajaya memejamkan mata dan terengah-engah. Tubuh Purbajaya semakin melemah, begitu pun detak jantungnya. "Raden!…Raden!…"
"Ginggi … Kau pergilah kemandala , temui Nyimas Banyak Inten…Katakan padanya…katakan padanya…"
"Raden, apa yang harus aku katakan?"
Mulut Purbajaya berkomat-kamit. Dia masih ingin berbicara tapi gerakan mulutnya sudah amat sulit. Ginggi mencoba mendekatkan telinganya ke bibir pemuda itu.
"Katakan padanya…aku…aku mencintainya…Allohu Akbar…"
Ginggi tersentak karena terkejut. Terkejut oleh kematian pemuda itu dan terkejut karena ucapan terakhirnya. Purbajaya mengucapkan sebuah kalimat yang Ginggi kenal sebagai kalimat suci yang biasa diserukan pemeluk agama baru.
Ginggi sedikit tergoncang jiwanya. Purbajaya yang dalam kesehariannya tidak terlalu menonjol, kurang banyak mengemukakan pendapat dan selalu bicara apa adanya, ternyata banyak memendam rahasia. Dia mengenal Ki Rangga Guna, dia pemeluk agama baru dia…mencintai Nyimas Banyak Inten. Hanya karena cintanya pada gadis itu dia nekad akan membunuh Raja. Pantas saja pemuda itu seperti mendorongnya untuk melaksanakan perintah Ki Banaspati. Dan ketika ternyata Ginggi tidak melakukan apa-apa pada kesempatan paling baik, Purbajaya hendak turun tangan sendiri untuk membunuh Raja.
"Ah…malang sekali nasibmu, Raden…" keluh Ginggi seorang diri. Pemuda itu harus menunggu malam tiba untuk menyampaikan amanat Purbajaya.Mandala adalah sebuah asrama tempat pendeta wanita berkumpul. Kata Purbajaya, Nyimas Banyak Inten ada di sana dan Sang Prabulah yang memerintahkan gadis itu untuk menjadi seorang pendeta yang kerjanya mempelajari ilmu-ilmu yang jauh dari urusan duniawi. Kata Purbajaya, Sang Prabu bersalah menyuruh Nyimas Banyak Inten memasukimandala. Raja sudah menjauhkan harapan-harapan hidup gadis itu hanya karena kecewa melihat peristiwa aib yang menimpa gadis itu. Purbajaya marah menerima kebijaksanaan Sang Prabu. Barangkali pemuda itu menginginkan, seandainya Raja batal mempersunting Nyimas Banyak Inten, maka tak perlulah mengirim gadis itu kemandala. Purbajaya diam-diam mencintai gadis itu.
Sekarang dengan masuknya Nyimas Banyak Inten ke pusat para pendeta, artinya sudah tertutup harapan untuk mendekatinya. Itulah pangkal kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat hendak membunuh Raja.
Ginggi amat berduka mengingatnya. Cinta memang membutakan segalanya. Cinta juga membuat hati menjadi duka. Paling tidak sekarang ini yang tengah dirasakan Ginggi.
"Kalau engkau masih hidup, mungkin engkau akan kaget, sebab aku sendiri pun mencintai Nyimas Banyak Inten…" keluh Ginggi sambil menatap wajah pucat-pasi Purbajaya yang sudah tak bergerak itu.
Ketika malam sudah tiba, Ginggi merawat dan membenahi tubuh Purbajaya, membaringkannya di sudut ruangan. Sesudah itu, dengan berindap-indap pemuda itu keluar dari ruangan bercungkup.
Ginggi harus begitu hati-hati, sebab ternyata di beberapa tempat didapati kelompok-kelompok prajurit dan nampaknya mereka tengah melakukan pencarian. Dirinyakah yang mereka cari? Mungkin hanya dirinya, mungkin juga lebih banyak lagi. Sang Prabu pasti sudah mengetahui, bahwa dengan kejadian di paseban berarti sudah ada unsur-unsur yang melawan Raja di kalangan istana. Ginggi khawatir, bagaimana dengan nasib Pangeran Yogascitra? Karena tindakan Purbajaya, Pangeran itu pasti dituduh ikut terlibat. Kalau Raja demikian marah dengan peristiwa siang tadi, ada kemungkinan Pangeran Yogascitra ditangkap pemerintah.
Memikirkan hal ini, Ginggi menjadi amat berduka. Kemelut di Pakuan ini semakin menjlimet dan terus memanjang. Pangeran Yogascitra mungkin benar terlibat mungkin tidak. Tapi kemarahan Sang Prabu terhadap pangeran tua itu pasti terjadi karena perkara Purbajaya dan perkara dirinya. Tadi sudah dia saksikan, Sang Prabu tak mau memaafkan Ki Darma yang dianggapnya membuat keresahan dan menurunkan wibawa Raja karena kritik-kritiknya.
Dengan demikian sikap Sang Prabu juga jelas, akan menganggap kepada setiap yang memiliki hubungan dengan Ki Darma adalah orang yang harus diburu.
Ginggi harus meloncat ke atas wuwungan dan berjalan di atap sebab bila melakukan perjalanan biasa, akan amat mudah berpapasan dengan pasukan penjaga. Untung sekali bulan tertutup awan. Cahaya bulan, hanya akan muncul sebentar lagi. Ginggi yakin karena awan di langit begitu tebal.
Ginggi sudah tahu di mana letak paseban. Tempat itu agak terpencil, yaitu agak diujung setelahbale watangan (ruang peradilan) danbale tulis (ruang administrasi).Mandala atau ruangan dan bangunan tempat berkumpulnya para wiku wanita terpaut jauh agak terpencil, mungkin untuk mendapatkan suasana tenang. Ginggi harus berlari mengunakan ilmumencek-mesat , sebuah ilmu berlari cepat yang diberikan Ki Darma untuk mencapai bangunanmandaladengan cepat. Ini karena bangunan itu terpisah oleh lapangan yang cukup terbuka.Mencek-mesat adalah ilmu lari yang dilakukan dengan pengarahan tenaga dalam. Langkah kaki saking cepatnya seperti putaran roda dan hampir-hampir tak menapak tanah saking cepatnya. Bila dilihat oleh mata orang awam, gerakan berlari tak mungkin terikuti, kecuali hanya menyerupai sebuah bayangan melesat saja.
Ginggi langsung saja memasuki pintu yang selamanya selalu terbuka sebab tak ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Hanya bedanya, kemandala tak boleh sembarangan masuk, apalagi kaum lelaki. Penghunimandala semuanya wanita semata, yaitu wanita yang sudah benar-benar ingin meninggalkan kehidupan duniawi.
Tapi, benarkah demikian yang dikehendaki Nyimas Banyak Inten? Ginggi berduka mengingatnya. Bagi gadis itu, sebenarnya masih banyak rencana hidup yang musti dia jalani. Mengapa Sang Prabu begitu kejam memasukkan gadis itu kemandala ? Ini pula yang jadi kemarahan Purbajaya sehingga akhirnya nekat berusaha membunuh Raja.
Semua penghuni asrama pendeta wanita itu terkejut setengah mati. Mereka semua tak memiliki kepandaian khusus, sehingga tidak sanggup merasakan kehadiran Ginggi jauh sebelumnya. Hanya tiba-tiba saja mereka melihat seorang pemuda berdiri di sana, persis seperti kehadiran makhluk gaib saja.
"Jangan kaget dan panik, saya tidak akan berbuat jahat. Saya hanya ingin menemui Nyimas Banyak Inten…" kata Ginggi pelan dan sopan agar penghuni asrama tidak merasa ketakutan.
"Aku sendirilah Banyak Inten…" gumam seseorang berkerudung putih. Semua penghuni memang menggunakan pakaian putih. Beberapa di antaranya kepalanya dikerudung sehingga wajahnya sulit dikenal.
Kerongkongan Ginggi seperti tersekat karena kesedihan yang sangat. Betapa tidak, sebenarnya dia amat mencintai gadis itu. Tapi putri Bangsawan Yogascitra yang dulu anggun, cantik jelita dengan sorot mata berbinar dan senyum kecil berlesung pipit, sekarang seperti hilang lenyap. Kehalusan kulit wajahnya masih terlihat nyata, namun warna putihnya begitu pucat. Sorot matanya sayu dan sepasang pipinya tak ranum lagi.
Nyimas Banyak Inten begitu kurus tak bercahaya.
Hanya dalam jangka waktu satu bulan saja segalanya berubah banyak. Wajah gadis itu seperti maju belasan tahun. Nyimas, nasibmu benar-benar malang, keluh Ginggi dalam hatinya.
"Sebetulnya amat tabu kaum lelaki memasuki asrama pendeta wanita. Tapi engkau seperti memendam satu keperluan amat penting. Paling tidak untuk kepentingan bagimu sendiri. Bicaralah seperlunya, barangkali para pendeta yang ada di sini tak keberatan mendengarnya," kata Nyimas Banyak Inten dengan suara halus.
Ginggi melirik ke kiri dan kanan, di sana ada belasan wanita yang kebanyakan usianya di atas Nyimas Banyak Inten. Namun nampak sekali ada rasa hormat kepada gadis itu. "Nyimas, saya tak bisa mengemukakan keperluan saya di hadapan banyak orang," Ginggi seperti salah tingkah.
"Semuanya orang sendiri dan tak ada sesuatu yang harus dirahasiakan di sini…" sahut gadis itu masih dengan suara halus.
Ginggi menghela napas.
"Baiklah kalau begitu…" gumam Ginggi."Ada berita sedih, Raden Purbajaya telah tewas…" kata Ginggi.
Gadis itu membelalakkan matanya sejenak, kemudian mengatupkannya. Sambil menunduk dia merapatkan kedua tangannya dan mulutnya komat-kamit, berdoa. Nampak semua pendeta lain pun ikut berdoa.
"Dia sahabat saya dan pengawal saya ketika masih di luarmandala . Tak disangka, dialah yang lebih dahulu membebaskan diri dari kesengsaraan dunia…" gadis itu masih merangkapkan sepasang tangannya yang halus.
"Nyimas…ada amanatnya sebelum dia menghembuskan napasnya yang terakhir," kata Ginggi.
Nyimas Banyak Inten membuka matanya. "Cintanya hanya untukmu…" lanjut Ginggi.
Gadis itu masih menatap Ginggi tapi sorot matanya semakin sayu.
"Adalah anugerah semua manusia diberkati cinta. Tapi mari kita kembalikan rasa cinta itu kepada yng memberiNya agar rasa cinta tak membuat nestapa," kata Nyimas Banyak Inten kembali merangkapkan sepasang tangannya.
Ginggi menatap tindak-tanduk gadis itu dengan perasaan tidak menentu. Ada perasaan sendu dalam hatinya dan terasa pahit serta pedih.
"Kau kembalilah, Ginggi. Kami semua akan berdoa agar arwah Kakanda Raden Purbajaya mendapatkan kesentausaan di alam sana…" gumam gadis itu.
Ginggi tetap berdiri mematung. Ribuan kata akan dia serahkan kepada gadis itu. Tapi lidahnya mendadak kelu dan kerongkongannya seperti tersumbat. Semua maksud hatinya serasa terbendung oleh sikap gadis itu yang berubah drastis.
Kembali Nyimas Banyak Inten menyuruh Ginggi meninggalkan asrama, tapi Ginggi masih berdiri mematung sambil tatapannya menyorot tajam pada mata gadis itu.
"Masih ada lagi yangakan engkau sampaikan, Ginggi?" tanya Nyimas Banyak Inten.
"Saya …mencintaimu!" kata Ginggi pendek. Gadis itu sedikit membelalakkan matanya, namun kemudian menunduk dan tersenyum kecut. "Ini nasibku. Tapi juga anugerah. Dari mulai raja, para ksatria sampaibadega (jongos) berkata cinta padaku. Ginggi, mari kita sama-sama memuji syukur kepada keagunganSangRumuhun
,Hyang penguasa jagat raya, bahwa semua orang diberi perasaan cintanya. Kuterima cintamu sebagaimana aku mencintai dan dicintai oleh semua pendeta di sini. Hidup manusia memang harus saling kasih-mengasihi jauh dari perasaan iri dan dengki…" Nyimas Banyak Inten merangkapkan kedua belah telapak tangannya dan berdoa komat-kamit.
"Nyimas, cinta saya adalah seorang lelaki kepada wanita…" "Ssssttt…jangan bicara urusan kehidupan duniawi di sini," potong gadis itu.
"Nyimas, jangan mengubur diri dalam keterasingan. Tak baik melakukan kehidupan beragama dengan keterpaksaan!"
"Tidak ada keterpaksaan di sini."
"Engkau dipaksa Raja karena dia kecewa terhadapmu. Engkau juga dipaksa kemandala karena hatimu putus asa dengan cintanya Raden Suji. Dengarkanlah hai wanita malang, perasaan hatimu terhadap pemuda itu sebetulnya percuma belaka sebab Raden Suji bukan orang baikbaik. Kau korbankan cinta sucimu kepada sesuatu yang seharusnya engkau jauhi!" kata Ginggi setengah berteriak karena kecewa dan kesal. Sedang yang diajak bicara hanya tersenyum tipis dengan pandangan mata sayu.
"Itulah kelemahan manusia, merasa diri sendiri lebih baik dari yang lainnya. Bila ada nafsu dan cemburu serta iri hati merasuki jiwa, maka pikiran kita tidak terkontrol lagi dalam memilih benar atau salah," kata gadis itu, benar-benar seperti akhli kebatinan.
"Aku bicara benar! Engkau telah salah memilih cinta, sebab Raden Suji orang jahat!" teriak Ginggi.
"Kuburkanlah masa lalu sebab tak akan terulang kembali," ujar gadis. "Tapi yang penting harus kita simak, cinta itu memang buta, sebab bukan baik atau buruknya yang dilihat, melainkan cocok atau tidaknya. Mungkin adabujangga danpohaci bermain cinta sebab mereka sudah merasa cocok karena mereka adalah dewa dan dewi dari kahyangan. Tapi seorang penjahat pun punya peluang untuk menyinta dan dicinta. Ada pencuri di Pakuan yang begitu sayang dan setianya terhadap istrinya. Dia kasih makan anak istrinya dari keringat mencuri.
Aku ketika itu tak berani menuding Kakanda Suji lelaki jahat. Mungkin jahat bagi orang yng merasa dirugikannya, tapi tidak bagiku. Dia mati karena mencintaiku, mengapa aku harus membencinya? Tapi aku bersyukur bahwa aku sekarang masukmandala . Inilah tempat paling damai, jauh dari keruwetan duniawi. Jangan khawatir, aku tinggal dimandala bukan membuang diri, melainkan sedang belajar saling mengasihi dan menjauhkan sikap saling menyakiti," kata Nyimas Banyak Inten dengan kata-kata yang tenang dan lembut, tidak meledak-ledak seperti Ginggi tadi.
Entah apa lagi yang kini bergayut di hati Ginggi kini. Sedih, kecewa dan kesal sudah bercampur aduk menjadi satu. Kini dia hanya memandangi wajah gadis itu yang tertunduk menutupkan kedua matanya dan duduk bersimpuh sambil merangkapkan kedua belah tangannya. "Anak muda, cepatlah keluar dan tinggalkan tempat ini. Kalau kau diketahui penjaga, kau akan mengalami kesulitan," kata seorang pendeta setengah tua.
Ginggi masih menatap gadis itu sebelum pada akhirnya dia berlalu dari tempat itu.
Setibanya di luar dia meloncat pergi, berlari kencang sekencang-kencangnya. Dia memang takut bertemu dengan para prajurit yang pasti akan menghadangnya. Bukan takut kalah atau takut mati, tapi dia takut membunuh orang. Ada kemarahan dan kekesalan tak terkendali, bercampur menjadi satu dengan duka dan kecewa. Kalau bertemu dengan penghadang, dia khawatir akan menimpakan segalanya kepada mereka. Itulah sebabnya Ginggi berlari secepatnya. Secepatnya, yang penting keluar jauh-jauh dari Pakuan. Dia ingin pergi, meninggalkan Pakuan jauh-jauh. Pergi entah ke mana. Yang penting tidak melihat lagi dayo (ibukota) yang dipenuhi berbagai kemelut ini. Biarkanlah Pakuan kacau dengan segala kemelut dan permasalahannya. Biarkanlah orang-orang saling jatuh-menjatuhkan dan biarkan pula Raja tewas oleh gerakan pemberontak dan pembunuh. Biarkan pula perang terjadi!
Biarkan! Biarkan!
Dan Brusss!!!
Tubuh Ginggi kecemplung ke dalam permukaan air. Tubuhnya timbul tenggelam dan bergerak terbawa aliran air. Ginggi tak tahu air apa yang membawanya ini. Dia tak mau tahu. Mungkin dia akan tenggelam dan akhirnya mati. Biarlah aku mati saja, biarlah!
Dan tubuhnya memang tenggelam. Mulutnya terkunci, hidungnya tersumbat. Segalanya tak bisa dipergunakan untuk menghirup pernapasan.
Tapi Ginggi tak mati. Hanya isi dadanya saja yang membusung seperti mau meledak. Ini karena dia selalu menahan napas. Sampai pada suatu saat napasnya tak bisa ditahan lagi. Dan bersamaan dengan hirupan air yang masuk ke lubang hidungnya tubuh pemuda itu terantuk sesuatu yang keras. Dia sedikit gelagapan karena banyak air memasuki lubang hidungnya.
Dengan cepat dia berdiri. Tak terasa memang, dia sudah berada di tepi. Bukan di seberang sungai, tapi di sebuah gugusan tengah sungai. Kebetulan bulan keluar dari persembuyiannya, sehingga sinarnya menerangi alam raya. Bulan itu begitu bundar namun pucat. 
Ginggi menatap ke arah gugusan terlihat sebuah bangunan pasanggrahan. Sekarang dia ingat ada di mana. Ternyata gugusan ini adalah Pulo Parakan Baranangsiang, tempat kerabat Raja bersenang-senang menghirup udara segar dan menyaksikan pemandangan elok. Namun Ginggi juga ingat, di sinilah Suji Angkara menemui ajalnya.
Ingat ini Ginggi menjadi sedih. Beberapa orang sudah tewas dan semua karena ulahnya. Paling tidak, dia terlibat langsung sehingga orang-orang itu mati. Boleh dikata pula, karena gara-gara dirinyalah orang-orang itu tewas. Suji Angkara memang dibunuh ramai-ramai oleh para prajurit kerajaan, tapi pemuda itu begitu mudah dibunuh karena sebelumnya sudah dibuat tak berdaya olehnya. Purbajaya bahkan tewas karena adu tenaga langsung dengannya. Padahal berulang kali dia ingat kata-kata Ki Rangga Guna bahwa selama manusia tak mampu menghidupkan maka dia tak berhak membunuh.
Ginggi juga malu dan sedih mengingat sikapnya. Purbajaya tewas karena sikap Ginggi yang ragu-ragu dan membingungkan orang lain, termasuk membingungkan Purbajaya. Suji Angkara bahkan tewas karena sikap cemburu Ginggi terhadap pemuda itu. Dia melumpuhkan pemuda itu sehingga digunakan peluang oleh para prajurit kerajaan untuk membunuhnya. Tapi tetap Ginggi yang punya andil. Bukan karena alasan membela kebenaran, melainkan karena alasan cemburu yang tak disadarinya. Ginggi cemburu terhadap Suji Angkara, sebab kendati pemuda itu jahat, tokh tetap dicintai Nyimas Banyak Inten. Ginggi terpukul oleh ucapan gadis itu, bahwa untuk mencintai seseorang tak melihat baik-buruknya orang yang dicinta, melainkan adanya kecocokan hati. Seribu kali Ginggi mengaku orang baik, kalau Nyimas Banyak Inten tidak menyukainya bisa apa? Ginggi berduka dan merasa malu.
Sebetulnya lancang benar dia berkata cinta kepada Nyimas Banyak Inten. Disangkanya siapa gadis itu? Memang benar Nyimas Banyak Inten sudah menjadi pendeta. Tapi apapun yang terjadi, gadis itu tetap saja seorang putri bangsawan dan terlalu tinggi untuk bisa disanding Ginggi.
"Ini sebuah anugrah bagiku, dari sejak raja, para ksatria hinggabadega (jongos) mencintaiku…" ucapan Nyimas Banyak Inten terdengar begitu menyakitkan sebab secara tak langsung menyadarkan siapa dia dan apa kedudukan dia. Sakit sekali! Benar, dia hanyalah seorangbadega, sebab pangkat itulah yang resmi disandangnya. Kalau pun ada orang mau mengangkatnya sebagai ksatria, itu baru rencana dan mustahil terlaksana sesudah terjadi peristiwa tadi siang di paseban istana.
"Oh, Ki Darma … engkau membuatku sengsara saja," keluh pemuda itu di tepi gugusan.
Ginggi berjingkat dan melangkah menuju bangunan pasanggrahan. Tubuhnya lelah sekali dan perutnya pun terasa pedih karena seharian tidak dimasuki makanan barang sejumput.
Pemuda itu membaringkan tubuhnya. Tidur telentang sambil kepala berbantalkan kedua belah tangannya. Banyak kemelut di istana yang membuat dirinya pusing tujuh keliling. Sekarang dirinya baru sadar, betapa berat sebenarnya amanat yang diberikan Ki Darma. Begitu beratnya sehingga tak semua orang yang menerima amanat mengerti akan makna sebenarnya. Ya, Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati adalah salah satu pengemban amanat yang salah menerapkannya. Dan barangkali Ginggi pun termasuk orang yang tak tahu bagaimana cara melaksanakan amanat tersebut, sehingga akhirnya dia merasa tak sanggup lagi memikul beban amanat ini.
"Aku akan kembali saja ke Puncak Cakrabuana. Kalau Ki Darma benar sudah tewas oleh penyerbuan para perwira Pakuan, aku akan minta maaf karena tak sanggup mengemban apa yang dia inginkan," gumam pemuda itu sendirian. Ya, gumamnya dalam hati, aku sudah tak mau tahu lagi akan keadaan di Pakuan. Silakan orang berusaha berebut kekuasaan! Silakan orang saling berperang dan saling bunuh! Dia tak ada kepentingannya sama sekali.
Tak ada kepentingannya? Pemuda itu bangun dan duduk merenung. Alisnya pun berkerut tanda memikirkan jalan pikirannya sendiri. Bisa saja perang bukan urusannya dan dia tak punya kepentingan dengan itu. Tapi, apakah hanya karena dia tak berkepentingan maka akan tega membiarkan orang saling bunuh sesamanya? Membiarkan orang saling bunuh berarti dia setuju pembunuhan. Padahal pendapat Ki Rangga Guna amat dia hargai bahwa selama manusia tak sanggup menghidupkan, maka dia tak berhak membunuh. Dengan begitu, Ginggi pun tetap masih terikat dengan sebuah kewajiban yaitu mencegah pembunuhan. Perang jangan sampai terjadi!
"Ya, perang jangan sampai terjadi sebab akan menyengsarakan rakyat!" gumam Ginggi. Dan itulah amanat Ki Darma. Jangan sengsarakan rakyat! Ginggi menghitung-hitung hari. Di malam bulan purnama akan diadakan upacarakuwerabakti. Tapi sehari sebelumnya, akan ada upacara cara mandi suci di Telaga Rena Maha wijaya. Raja dan seluruh keluarganya akan mandi suci di telaga itu. Kapan?
Bulan purnama terjadi dua hari lagi. Berarti upacara mandi suci akan dilangsungkan besok pagi. Akan berlangsungkah upacara di Telaga Rena Maha Wijaya padahal tadi siang hampir terjadi percobaan pembunuhan terhadap Raja?
Ginggi mengingat-ingat lagi surat sandi yang dikirim dari Ki Banaspati untuk Pangeran Jaya Perbangsa :
Ribuan pipit terbang dari timur ketika senja jatuh di barat
tiga hari sebelum kuwerabakti
pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya

Ribuan pipit itu jelas pasukan besar yang datang dari Sagaraherang (timur). Mereka akan tiba pada senja hari. Mungkin yang dimaksudnya senja hari tadi. Tiga hari sebelumkuwerabakti adalah dimulainya pemberangkatan pasukan besar itu, sebab perjalanan dari Sagaraherang makan waktu dua hari. Sedangkan pagi hari di Telaga Rena Maha Wijaya, mungkin adalah hari penyerbuan!
Siapa yang sudah tahu isi surat rahasia ini? Tidak ada yang benar-benar tahu, sebab Pangeran Yogascitra pun menerima penjelasan ini kurang begitu rinci. Kemudian kalau Pangeran Yogascitra mengabarkannya pada Raja, belum tentu Raja akan benar-benar percaya, apalagi dengan terjadinya peristiwa tadi siang. Pangeran tua itu pasti akan dianggap kabar bohong belaka.
Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan benar-benar merugi. Hanya karena tak mau memberi pengampunan kepada Ki Darma dia tidak mendapatkan keterangan rahasia yang amat berharga, pikir Ginggi. Ya, kalau pun penjelasan dari pangeran Yogascitra mau dia terima, tapi keterangan tersebut sepotong-sepotong. Orang-orang Pakuan tidak tahu, pasukan mana dan siapa yang memimpin. Kepada Pangeran Yogascitra Ginggi tidak pernah bicara tentang Sagaraherang beserta situasi yang ada di sana. Ginggi juga tidak pernah menyebut-nyebut nama KandagaLante Sunda Sembawa kepada siapa pun, padahal dirinya merasa yakin, yang akan memimpin penyerbuan kelak adalah Sunda Sembawa.
Ki Banaspati adalah otak penggerak yang sebenarnya. Dia akan membiarkan pertarungan antara Sang Prabu Ratu Sakti dengan Ki Sunda Sembawa, tak ubahnya seekor serigala menunggu hasil pertarungan dua keledai. Pemenang dari pertarungan pasti sudah lemah dan sang serigala tinggal menyerangnya dengan mudah.
Tidak boleh terjadi, sebab kalau peperangan berlangsung, banyak orang tak berdosa akan jadi korban! Karena teringat hal inilah maka Ginggi tak jadi pergi meninggalkan Pakuan. Sedapat mungkin dia akan mencegah pertempuran. Bukan untuk kepentingan para penguasa atau pun para pengejar ambisi, melainkan demi kepentingan rakyat semata!
Suasana Semakin Genting
Ginggi yang sudah lelah dan yang sedianya hanya akan bersembunyi saja di Pulo Parakan Baranangsiang, akhirnya kembali meninggalkan tempat itu. Dia harus memburu dan meneliti daerah sekitardayo . Pertama yang diburunya adalah kota di wilayahjawi khita (benteng luar). Kota berpenduduk hampir 50 ribu jiwa itu malam itu nampak ramai sekali. Menurut beberapa pedagang kain yang dihampirinya, setiap upacarakuwerabakti Pakuan memang selalu dipenuhi keramaian. Ini karena hari-hari itu dayo dikunjungi oleh orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Wilayah-wilayah Kandagalante atau kerajaan kecil yang hingga saat itu masih setia kepada Pakuan.
Kuwerabaktiadalah upacara menghormati suami Dewi Sri, Ratu dan Dewi Padi. Pakuan sehabis musim panen tahunan akan menerimaseba (upeti) dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Semua rombongan seba dari setiap wilayah akan hadir di Pakuan.
Rombongan-rombongan itu merupakan barisan besar, datang dengan bawaan hasil bumi, seperti kapas diangkutnya menggunakan carangka dan berbagai hasil bumi pangan diangkutnya menggunakan dondang. Ada juga yang diangkut menggunakan roda pedati ditarik kerbau. Ginggi bisa lihat, di pusat-pusat keramaian banyak dondang ditaruh di halaman rumahwadha(petugas penerima seba), begitu pun barisan pedati.
Di pusat-pusat keramaian, berbagai macam hiburan juga diadakan. Di sudut sana prepantun membawakan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria Pajajaran. Sedangkan di sudut lainnya ada seni pewayangan tengah dibawakan para dalang. Ginggi menghitung ada sekitar tiga buah panggung pewayangan dan tiga pangung pertunjukan pantun digelar di tiap sudut alunalunjawi khita . Kata orang, semua dalang akan mempertunjukkan cerita-cerita terkenal seperti kisah-kisahDarmajati, Jayasena, Ramayana, Adiparwa atauSedamana . Begitu pun prepantun melantunkan kisah terkenal mulai dari ceritaPamanah Rasa , hinggaSanghyang Lutung Kasarung , dari mulai kisahAnggalarang hingga kisahBanyakcitra atauKaturwargi .
Namun para prepantun juga tidak pernah lupa untuk membawakan kisah pengelelanaanRaden Mundinglaya DiKusumah atauGuru Gantangan . Pada saat ksatria ini dinobatkan menjadi raja dengan nama Prebu Surawisesa, nama perwira pengawal Raja berjuluk Ki Darma Tunggara disebut-sebut. Mulanya sebagai perwira gagah berani, namun belakangan berubah menjadi seorang perwira yang rewel karena terlalu banyak berkehendak, serta dianggap orang tinggi hati, sok tahu dan tidak hormat kepada Raja.
Ginggi tersenyum pahit mendengar kisah ini. Dan dia segera berlalu, sebab bukan tujuannya untuk menonton berbagai pertunjukan di alun-alun itu. Tujuannya untuk menyelidiki "pasukan dari timur" yang menurut surat rahasia harus sudah tiba di Pakuan pada senja hari.
Sekarang sudah lewat senja hari, berarti pasukan penyerbu sudah lama tinggal di sini. Namun Ginggi tak melihat hal-hal aneh atau pun mencurigakan. Tak ada ketegangan atau pun hal-hal merisaukan di sana. Bahkan yang Ginggi lihat, semua orang larut dalam pesta. Orang sibuk kesana-kemari melihat berbagai ragam pertunjukan. Di bagian lain Ginggi lihat para penembang sedang melantunkan kawihBongbong Kaso, Porod Surih, SisindiranatauKawih Bangbarongan . Malah di panggung lain orang tengah terpingkal-pingkal karena ada pertunjukan senipamaceuh(permainan lucu) sepertitatapukan (permainan topeng),ceta niras danngadu nini . Semua ceria dan seperti tak satu pun mengingat sesuatu bahaya.
"Entah mengapa, pengunjung dari luar daerah upacaraKuwerabakti tahun ini demikian banyaknya. Aku juga heran, padahal hasil panen tahun ini tidak menggebu dan keamanan di beberapa wilayah kurang terjamin," kata seorang pedagang yang mengaku datang dari wilayah sebrang Sungai Cisadane.
"Berapa kali pengujungKuwerabakti ramai seperti tahun ini, Paman?" tanya Ginggi.
"Berapa kali? Bahkan baru kali inilah sepengetahuanku. Aneh, begitu banyaknya orang yang datang ke Pakuan ini…" gumam pedagang itu heran.
Berdebar jantung Ginggi. Tak pelak lagi, pasukan dari timur sudah tiba di Pakuan. Ginggi sudah menduganya, Pakuan seramai ini karena yang datang bukan hanya rombongan pengirim seba saja, melainkan juga pasukan dari Sagaraherang. Tapi bagaimana cara membedakan mana pasukan dan mana orang-orang biasa?
Ginggi terus berkeliling meneliti kesana-kemari. Dari berbagai macam pedagang di pasar malam tepi alun-alun benteng luar, pemuda itu mendapatkan para pedagang macam-macam senjata, digelar begitu saja di atas tanah. Ketika Ginggi tanya kepada orang di sana, mereka mengatakan, setiap keramaianKuwerabakti memang sudah biasa ada pedagang alat-alat, mulai dari alat-alat pertanian, sampai kepada alat-alat yang biasa digunakan sebagai senjata.
Dalam keramaianKuwerabakti juga diadakan latihan perang-perangan. Dalam saat-saat ini, pemerintah pun membuka lamaran kepada semua orang untuk mengabdi sebagai prajurit Pakuan.Kuwerabakti juga adalah musim orang pamernya kedigjayaan karena ingin terpakai sebagai pengabdi negara. Inilah saat-saat orang mencari pekerjaan terhormat.
"Jadi amat wajar di keramaian pasar malam juga digelar dagangan macam-macam senjata sebab memang erat hubungannya dengan pamer kedigjayaan," kata seseorang yang tengah meneliti berbagai ragam dagangan senjata. Ginggi pun ikut meneliti. Di samping jajaan alat pertanian seperti belincong, baliung, patik, kored, sadap dankujang, atau alat-alat yang biasa digunakan para pendeta seperti peso pengot, peso raut, peso dongdang, dan pakisi, juga dijajakan benda-benda berupa senjata, mulai dari golok, pedang, abet, pamuk golok, peso teudeut sampai kepada keris yang sebetulnya hanya digunakan para raja. Namun tentu saja keris yang dijajakan di sini hanya kualitas pasaran saja.
Pedagang senjata ini tidak berkumpul pada satu tempat. Mereka berpencaran jauh. Kalau meneliti hanya selintas, tak akan menimbulkan perhatian khusus. Lain lagi dengan Ginggi yang perhatiannya tengah meneliti sesuatu. Pedagang senjata ini amat mencurigakan.
Jumlahnya serasa terlalu banyak. Di sekitar benteng luar, Ginggi menghitung hampir duapuluh pedagang senjata betul-betul mencurigakan. Benarkah mereka hanya pedagang biasa?
Ginggi mencoba mendekati satu pedagang. Ditelitinya dengan seksama, siapa-siapa saja pembelinya. Satu dua orang pembeli wajar-wajar saja. Tapi yang lainnya begitu ganjil. Mereka beli benda-benda tajam tidak terlalu banyak bicara, tidak rewel menawar harga dan langsung dibeli. Banyak pedagang hanya dalam waktu singkat sanggup menghabiskan dagangannya. "Enak sekali, jualan benda-benda tajam cepat laku, Paman," kata Ginggi pada seorang pedagang. Yang diajak bicara hanya ketawa kecil.
"Kenapa yang banyak laku barang-barang berupa senjata, sedangkan alat pertanian tidak, Paman?" tanya lagi Ginggi. Pedagang itu mengeryitkan dahi dan menatap Ginggi sedikit bercuriga. Namun karena dagangannya sudah habis, dia segera melipat kantung-kantung goni di mana barang-barang dagangannya di simpan. Tanpa banyak cakap orang itu segera berlalu meninggalkan Ginggi seorang diri. Pemuda itu termangu sejenak. Namun sesudah orang itu menghilang dibalik sebuah gang di antara dua bangunan kedai, Ginggi segera berjingkat. Dia ingin mengikuti ke mana dua orang itu pergi.
Ginggi tiba di gang itu, hanya nampak bayangan hitam berkelebat menjauh. Ginggi pun melangkah lebih cepat lagi, bayangan itu semakin pergi menjauh. Kecurigaan pemuda itu semakin menebal. Orang tadi, atau bahkan beberapa orang lainnya pasti bukan benar-benar pedagang, melainkan anggota pasukan yang bertugas membagikan senjata.
Ginggi sudah menduga, pasukan yang datang dari Sagaraherang tidak datang secara terangterangan. Kalau mereka menampakkan diri sebagai pasukan tentu akan amat mencurigakan bagi fihak Pakuan. Mereka pasti masuk Pakuan secara terpisah dan dipecah-pecah dalam bentuk rombongan kecil. Mungkin berpura-pura sebagai rakyat biasa, mungkin berpura-pura sebagai anggota rombongan pengangkut seba. Sedangkan perlengkapan perang, mereka angkut dan disamarkan seolah-olah barang dagangan.
Melihat banyak "dagangan" sudah habis, Ginggi sudah bisa menduga bahwa semua atau kebanyakan anggota pasukan sudah mendapatkan jatah senjata. Ginggi bingung dan sedikit menyesal. Hanya karena dia banyak berdiam diri di Pulo Parakan Baranangsiang, maka upaya pencegahan menjadi terlambat. Padahal bila Ginggi sudah sejak sore hari melakukan penelitian, sedikitnya dia bisa melakukan tindakan, misalnya berusaha menggagalkan upaya mereka dalam membagikan senjata. Senjata tajam bagi prajurit biasa adalah perlengkapan vital. Jadi bila berperang tanpa senjata, akan amat menyulitkan. Tapi semua sudah terlambat, senjata sudah dibagikan dan Ginggi pusing sendiri dibuatnya.
Tapi Ginggi terus mencoba membuntuti orang itu. Sang "pedagang" rupanya hendak memasuki sebuah rumah. Namun ternyata dia tak jadi masuk, malah mencoba membalikkan badan, berdiri bertolak pinggang dan nampaknya sengaja menanti kehadiran Ginggi.
Sudah barang tentu pemuda itu agak merandek dibuatnya. Dia menyumpah-nyumpah dirinya sebagai kurang hati-hati. Sebab kalau tak begitu tak nanti tindakannya diketahui orang tadi.
"Mau apa kau membuntuti aku?" teriak orang itu, sengaja memperkeras suaranya. Ginggi mengerti, suara ini hanya sebagai tanda dalam upaya memanggil teman-temannya. Dan benar perkiraannya. Begitu teriakan itu berhenti, pintu terkuak lebar dan ada sekitar lima orang keluar dari pintu.
"Serbu!" teriak orang yang dibuntuti tadi. Dan lima orang serentak menghambur ke arah Ginggi. Semua melakukan serangan ganas dan tujuannya hendak membunuh. Ginggi merasakannya sebab semua serangan ditujukan ke arah bagian badan yang amat lemah. Satu orang menyerang mata Ginggi dengan dua ujung jari siap menusuk. Lainnya mengarah ke bagian pusar dengan tendangan beruntun.


INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 22 --oo0oo-- Jilid 24


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.