Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Aan Merdeka Permana. Show all posts
Showing posts with label Aan Merdeka Permana. Show all posts

Serial Trilogi Pajajaran

 

Terima kasih untuk para pecinta Cersil karya Aan Merdeka Permana yang telah bersusah payah membuat E-Book dan scanning cover, rasa salut juga rasa hormat untuk para pembaca sehingga blog saya ini ada. Kami mohon maaf jika halaman ini masih banyak kekurangannya.
Cerita Silat Karya Aan Merdeka Permana. Hak cipta dan copyright pada penerbit/Pengarang dibawah lindungan undang-undang Dept. Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Cipia Paten dan Merek, Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pengarang/Penerbit.
Kisah dalam Cerita Silat ini mengambil cerita waktu pada saat Pajajaran akhir, pada saat raja yang berkuasa di Pajajaran adalah Sang Ratu Prabu Sakti (1543 – 1551 M), buyut Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Sedangkan Pajajaran benar-benar runtuh pada tahun 1570-an, dengan raja terakhir Sang Ratu Prabu Nilakendra, putra Prabu Ratu Sakti..
Berikut Judul buku dan cover bagi para pecinta Cersil Karya Aan Merdeka Permana yang dapat dibaca dimanapun anda berada (Klik gambar yang ingin anda baca):
     
Senja Jatuh di Pajajaran
(Seri Ke-1 Trilogi Pajajaran)
Kemelut Di Cakrabuana
(Seri Ke-2 Trilogi Pajajaran)
Kunanti Di Gerbang Pakuan
(Seri Ke-3 Trilogi Pajajaran)
Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
(Tamat)

Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
(Tamat)

Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
(Tamat)

"Trilogi Pajajaran"
Selesai


Semoga cerita Karya Aan M.P bisa diambil pelajaran dan hal hal baiknya oleh kita sebagai hamba Allah SWT.

Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid-08

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 07 --oo0oo-- Jilid 09

TRILOGI PAJAJARAN
Kunanti Di Gerbang Pakuan
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 08


“Saya pun sudah tak kerasan jadi anggota kelompok kalian. Saya akan undur diri,” tuturnya sambil beranjak hendak meninggalkan tempat itu.
“Pangeran memerintahkan kami agar membunuhmu!” cetus Goparana. Pragola membalikkan tubuhnya menatap Perwira Goparana.
“kalian tak akan ada yangsanggup. Engkau dan juga Jaya Sasana sedang terluka parah,” kata Pragola.
“Manggala, bunuh anak itu!” teriak Goparana.
Pragola terkejut mendengarnya. Kalau begitu, dengan amat sedih dia harus melawan orang tua itu. Ini memang menyedihkan. Sudah bertahun-tahun dia bersamanya. Paman Manggala sudah dianggap orang tuanya sendiri. Tapi Pragola tahu, Paman Manggala selama ini banyak menyembunyikan sesuatu karena dia sudah menjadi pengikut Pangeran Yudakara.
Kini Pragola menghadap ke arah Paman Manggala. Sepasang tangannya menyilang di depan dada dan kedua kakinya terpentang lebar, siap untuk bertarung.
Pragola tahu, sungguh berat melawan Paman Manggala. Kepandaiannya mungkin satu tingkat di atasnya. Namun apa boleh buat, lebih baik melawan dulu dari pada mandah dibunuh begitu saja.
“Saya tak bisa membunuh anak itu, Gusti…” gumam Paman Manggala pelan.
“Manggala, apakah engkau pun sudah tak setia lagi kepada perjuangan Pangeran Yudakara,” tanya Goparana tersinggung oleh sikap ini.
“Maafkan saya Gusti, sampai saat ini saya sebenarnya tak pernah mengerti perjuangan Pangeran Yudakara,” tutur Paman Manggala dan hal ini amat mengagetkan Pragola. “Aku tak paham maksudmu, Manggala,” kata Goparana.
“Saya ragu terhadap perjuangan ini. Pangeran Yudakara mengaku orang Cirebon tapi begitu akrab denganNyi Mas Layang Kingkin. Padahal, kita semua tahu, Nyi Mas Layang Kingkin adalah tulen orang Pajajaran dan tak secuil pun berpikir untuk menyebrang ke Cirebon,” kata Paman Manggala.
“Ini adalah urusan orang-orang besar. Tentu saja olehmu tak bisa dicerna. Tapi boleh aku katakan, Pangeran Yudakara mendekati Nyi Mas Layang Kingkin hanyalah taktik belaka agar bisa lebih mudah keluar-masuk istana,’ kata Goparana.
“Tapi ada satu pengetahuan yang membuat saya bingung. Semenjak Demak tak lagi punya kekuatan, Cirebon pun sebetulnya sudah lemah. Kecuali lebih mendekatkan diri ke dalam kegiatan keagamaan, Cirebon tak punya kekuatan militer untuk melakukan penyerbuan ke Pakuan. Saya pernah menyelidik, sebetulnya puncak pimpinan di Cirebon tak berniat untuk melakukan penyerbuan Pakuan. Kalau pengetahuan saya ini benar, berinduk ke manakah sebenarnya rencana-rencana yang dilakukan Pangeran Yudakara ini?” tanya Paman Manggala.
Pertanyaan ini seperti amat mengejutkan baik kepada Perwira Goparana mau pun kepada Jaya sasana yang masih tetap terduduk sambil memegangi ulu hatinya.
“Engkau terlalu banyak tahu, Manggala!” desis Perwira Goparana menahan kemarahan. Perwira yang dulunya datang dari tanah arab ini mendelikkan matanya yang lebar. Dia berdiri dan sepertinya hendak menerjang Paman Manggala. Namun tak pernah terjadi, betapa tangan kirinya menderita kesakitan hebat karena tulangnya patah.
Goparana hanya saling pandang dengan Jaya Sasana yang juga tengah menderita luka dalam. “Hari ini kalian selamat. Tapi Pangeran Yudakara tidak akan membiarkan penkhianat bebas. Hati-hatilah kalian,” gumam Goparana.
Pragola lega. Dia mencoba menutupi mayat Paman Angsajaya yang ternyata tewas dalam pertempuran dengan perampok tadi. Ditutupinya mayat itu dengan berbagai ranting dan daundaunan. Dengan perasaan sedih dia hanya bisa merawat mayat Paman Angsajaya seperti itu. Orang tua itu selama dalam perjalanan tak banyak tingkah, sedikit bicara tapi sanggup menampilkan kesetian kepada majikannya sampai akhir hayatnya. Pragola sedih sebab sebetulnya dia perlu hormat kepadanya.
“Mari Paman, kita pergi dari tempat ini,” ajaknya pada Paman Manggala.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapa pun, kedua orang itu pergi meninggalkan tempat itu.
Sekali lagi ada perasaan lega di hati Pragola. Ternyata paman Manggala masih punya waktu untuk menyadari dan melepaskan diri dari urusan yang menurutnya tiada arti dan tak melibatkan kepentingannya. Kalau saja tak begitu, sudah bisa dipastikan dia akan bentrok dengan orang tua itu.

***

Pragola ingin berjalan cepat, namun sebaliknya Paman Manggala seperti tak bersemangat. Dia malah berjalan tertatih-tatih seperti orang luka.
“Mari Paman, kita harus bergerak cepat,” seru Pragola tak sabar.
“Mau ke manakah berjalan cepat-cepat?” tanya Paman Manggala dengan nada datar.
“Mau ke mana? Kita harus mengejar orang asing yang pergi memondong Banyak Angga itu,” jawab Pragola. Mendengar ini, Paman Manggala malah menghentikan langkah.
“Ada apa, Paman?” Pragola heran.
“Mengapa kita harus mengejarnya?” tanya Paman Manggala sambil duduk di tonjolan batu. “Saya mencurigai orang misterius itu…” gumam Pragola.
“Ya, aku bisa menduga apa yang akan kau katakan. Kau pasti mencurigai orang itu adalah Ginggi,”
“Tepat dugaanmu, Paman. Tindak-tanduknya aneh. Dan yang lebih khas, dia selalu mengalahkan lawan tanpa membunuh. Siapa lagi kalau bukan Ginggi?” kata Pragola yakin. “Kalau benar dia Ginggi, mau apa?” tanya Paman Manggala. Pragola memandang heran kepada orang tua itu.
“Apakah Paman sudah lupa bahwa orang itu punya kaitan erat dengan terbunuhnya Ki Guru pada belasan tahun silam?” tanya Pragola.
“Aku tak pernah lupa,” jawab Paman Manggala. “Kalau begitu mari kita kejar dia!”
Tapi Paman Manggala malah terlihat menghela napas. “Mengapa, Paman?”
“Bukankah kau pernah bilang bahwa secuil pun tak punya kepentingan ikut terlibat kepada kegiatan Pangeran Yudakara?” orang tua itu menjawab dengan cara balik bertanya.
“Ya, perjuangan Pangeran Yudakara terlalu besar dan tak saya mengerti. Lebih dari itu saya merasa tak punya kepentingan untuk ikut terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, sudah sejak lama saya ingin pergi dan melepskan diri dari urusan mereka,” jawab Pragola.
“Nah, itu juga yang kau pikirkan sekarang ini,” tukas Paman Manggala membuat Pragola melenggak heran.
“Mengapa Paman tak ingin mengejar dan membalas dendam kepada Ginggi?” tanyanya. “Aku tak punya kepentingan tentang itu. Engkau merasa berkepentingan karena Ki Sudireja adalah gurumu,”
“Tapi Ki Guru adalah teman seperjuanganmu ketika di Karatuan Talaga,” potong Pragola. “Banyak yang menjadi teman seperjuangan ketika melawan Sang Prabu Ratu Sakti (15431551) belasan tahun silam. Yang tewas pun banyak. Kalau aku harus membalas dendam kepada perseorangan, betapa banyaknya orang Pajajaran yang harus aku kejar. Kebanyakan bahkan aku tak tahu siapa mereka,” tutur Paman Manggala.
“Dengan kata lain, Paman tak mau membalaskan sakit hati teman-teman seperjuanganmu?” tanya Pragola.
Untuk kedua kalinya Paman Manggala terlihat menghela napas.
“Kami dulu berjuang bukan untuk kepentingan pribadi. Demikian pun kami bukan melakukan perlawanan kepada orang-perorang. Kendati yang bertanggung jawab atas kemerosotan wibawa Kerajaan Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti, tapi terjadinya berbagai kemerosotan itu tidak semata-mata kesalahan raja itu sendiri. Itulah sebabnya, kebencian pribadi tak berlaku di sini, tidak pula kepada orang yang bernama Ginggi. Apalagi kita tahu, Ki Sudireja gurumu tidak tewas oleh tangan Ginggi. Kalau pun kita menyalahkan dia, hanya karena bantuannya maka pasukan Pajajaran semakin kuat dan berhasil memukul mundur pasukan kami,” tutur Paman Manggala panjang-lebar.
Hal ini amat tak menyenangkan perasaan Pragola. Dia kecewa terhadap kenyataan ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia ikut Paman Manggala, bahkan mau bergabung dengan Pangeran Yudakara, tadinya hanya karena punya harapan bisa “membonceng” agar bisa balas dendam. Sekarang kenyataannya menjadi lain.
“Kalau begitu, mungkin kita bersilang jalan…” gumam Pragola kecewa. “Barangkali begitu…” jawab Paman Manggala pendek.
Pragola membalikkan badan dan melangkah beberapa tindak.
“Jangan sesali sikapku sebab sebenarnya kita punya persamaan sikap yaitu tak kerasan mengikuti pendapat orang lain yang tak bisa kita mengerti,” kata Paman Manggala.
Pragola mengangguk. Sesudah itu dia kembali melangkahkan kakinya dan pergi meninggalkan orang tua itu. Dia tak mau mencoba menoleh ke belakang, padahal dia merasakan betapa sedih hatinya. Ini adalah perpisahan. Bukan sekadar perpisahan tubuh tapi juga perpisahan dalam persesuaian pendapat. Ini yang membuat Pragola sedih. Perpisahan ini membuat hatinya sepi sebab sesudah Paman Manggala pergi, tak ada lagi teman baginya.
Pragola terus berjalan ke arah selatan, mengikuti arah lelaki misterius itu lari membawa Banyak Angga. Pemuda ini menduga, tentu lelaki yang dia duga sebagai Ginggi itu tengah menuju Gunung Cakrabuana. Pragola mendengar khabar, Ki Darma adalah guru Ginggi dan bersembunyi di puncak gunung itu. Jadi pemuda ini merasa yakin, lelaki misteius itu pasti menuju ke selatan.
Dan karena perkiraan inilah maka Pragola bergegas ke selatan.
Pragola bertekad ingin bertemu Ginggi. Inilah cita-citanya sejak awal. Dia ikut bergabung dengan Pangeran Yudakara karena punya harapan pada suatu saat bisa ikut membasmi orang Pajajaran yang telah membunuh Ki Sudireja, gurunya. Ginggi dielu-elukan orang Pakuan karena berhasil menggagalkan upaya pemberontakan yang dipimpin Ki Sunda Sembawa.
Namun bagi Pragola, Ginggi orang yang paling dibencinya karena orang itulah pasukan pemberontak gagal melumpuhkan Pakuan. Dan Ki Sudireja tewas oleh kepungan perwira Pakuan. Pragola menganggap, karena Ginggilah maka Ki Sudireja tewas.
Tentu bukan Ginggi seorang yang harus dia kejar. Namun karena orang itu yang sudah dia tahu, maka orang itulah yang pertama kalinya harus dikejar.
Di sepanjang jalan Pragola harus bertanya, kalau-kalau penduduk kampung melihat orang yang pergi membawa seseorang yang lagi luka. Sebagian mengatakan tak tahu tapi sebagian lainnya mengatakan pernah lihat.
“Ya, tadi pagi saya lihat seorang lelaki kumal membawa seseorang yang lagi luka parah. Dibawanya dengan sebuah tandu sederhana yang diseret di belakangnya,” tutur penduduk yang ditanya.
Ini adalah hari kedua dimana Pragola berusaha menguntit orang itu.
Di dusun itu hari sudah demikian senja. Kalau memaksakan diri melakukan perjalanan, Pragola akan kemalaman di tengah hutan. Tapi kalau istirahat di dusun ini, berarti buruan semakin jauh.
Bertemu dengan orang itu lebih penting lagi. Maka Pragola pun memaksakan diri melajutkan perjalanan. Hati kecilnya kagum kepada orang itu. Kendati sambil membawa Banyak Angga yang terluka namun dia masih bisa berjalan dengan cepat. Sedangkan Pragola yang berjalan tanpa beban, ternyata tertinggal hampir satu hari. Barangkali orang itu sudah hapal benar dalam memilih jalan, sedangkan dia setiap saat musti berheti untuk bertanya sana-sini.
Namun pada akhirnya orang yang dikuntit telah membawanya ke Gunung Cakrabuana. Gunung ini penuh misteri sebab sejak belasan bahkan puluhan tahun silam selalu menghadirkan peristiwa penting namun kebenarannya selalu ada yang meragukannya. Orang-orang Pakuan percaya, Ki Darma, bekas perwiradari pasukan Balamati (pasukan pengawal raja) pergi bersembunyi di puncak Cakrabuana karena selalu dikejar-kejar pasukan pemerintah yang ketika itu dirajai oleh Prabu Ratu Sang Mangabatan (1543-1551 M). “Laporan” Pragola kepada Yogascitra, penasihat Raja Nilakendra sebenarnya tak seluruhnya bohong. Ketika jamannya Prabu Ratu Sakti, belasan perwira kerajaan pernah dikirim untuk mengejar Ki Darma ke Puncak Cakrabuana. Prabu Ratu Sakti mengirimkan pasukan ke sana
sebab mengira Ki Darma menguasai tombak pusaka Cuntangbarang. Cuntangbarang dulunya kepunyaan Karatuan Talaga. Ketika negri itu jatuh ke tangan Cirebon (1530) ada beberapa perwiranya yang tak setuju Talaga menyerah ke negri yang beraliran agama baru dan mereka melarikan tombak pusaka ke Gunung Cakrabuana. Dan hanya karena Ki Darma menyembunyikan diri di gunung itu, maka Prabu Ratu Sakti langsung menuduh Ki Darma pergi ke gunung itu untuk menguasai tombak pusaka. itulah sebabnya belasan perwira dikirim ke sana. Pertama untuk merebut tombak pusaka dan keduanya untuk menangkap atau membunuh Ki Darma. Namun belakangan, belasan perwira Pakuan tak didengar khabar beritanya. Belasan tahun lamanya hingga pemerintahan beralih dari tangan Prabu Ratu Sakti ke tangan Raja Nilakendra. Peristiwa inilah yang dijadikan Pangeran Yudakara untuk “membujuk” Pakuan agar mau mengirimkan kembali pasukan pencari. Pragola diatur agar mau melaporkan seolaholah belasn perwira Pakuan tak bisa kembali karena jalan menuju lereng diblokade pasukan Cirebon. Belasan perwira harus kembali dikirim untuk menyelamatkan mereka yang terkepung. Ini adalah taktik untuk mengundang macan keluar. Orang-orang handal dari Pakuan harus keluar agar pada saatnya Pakuan diserbu Cirebon, di sana sudah tak ada kekuatan lagi.
Namun seperti sudah disebutkan tadi di atas, sebetulnya tak seluruh ucapan Pragola bohong. Belasan tahun silam, tepat di hari belasan perwira Pakuan tiba di lereng Cakrabuana, ada pasukan lain yang juga tiba di sana. Khabar menyebutkan, itu adalah pasukan yang dikirim Arya Damar, salah seorang Pangeran di Cirebon dan yang juga pernah menjadi mertua Pangeran Yudakara. Tujuan mereka sama, yaitu hendak memerangi Ki Darma dan sekalian merebut tombak pusaka Cuntangbarang. Namun seperti juga nasib pasukan Pakuan, pasukan Cirebon pun sama tak didengar lagi khabar beritanya. Orang hanya menduga-duga, kedua pasukan itu terlibat pertempuran di lereng dan saling bantai di antara mereka. Ada juga yang menduga, semua pasukan, baik dari Pakuan mau pun dari Cirebon sebetulnya habis dibantai Ki Darma. Hal ini mungkin terjadi sebab Ki Darma adalah orang terjepit. Oleh Cirebon dia dimusuhi sebab ketika terjadi perang dengan Pakuan ketika dirajai Prabu Surawisesa (15271543 M) Ki Darma adalah perwira handal yang banyak menewaskan prajurit Cirebon. Orang Cirebon benci terhadap Ki Darma. Sebaliknya, orang Pakuan pun memendam perasaan tak enak sebab KI Darma yang gemar mengkritik Raja dianggap pemberontak. Dan sungguh ironis, Ki Darma dituding pengkhianat karena menolak perang.
Pragola tidak mendapatkan keterangan yang rinci sebab berita itu hanya datang secara simpang-siur. Kalau bukan datang dari mulut ke mulut, tentu hanya bisa didapatkan melalui kisah-kisah Ki Juru pantun yang membawakan cerita itu melalui dendang dan lantunan lagu diiringi dawai-dawai kecapi. Hanya dari percakapan para anak buahnya yang mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara menjadi satu-satunya saksi pertemuan pasukan Cirebon dan Pakuan di lereng Cakrabuana. Namun Pangeran Yudakara sendiri tak pernah bicara apa pun padanya.
Pragola tiba di lereng bukit pada dini hari. Bulan tersembul di langit sebelah barat dan cahayanya amat pucat. Namun kendati begitu, cukup untuk menerangi lereng yang lebat ditumbuhi pohon pinus. Tak ada kehidupan di sana kecuali suara binatang malam. Namun ketika Pragola semakin naik ke lereng, sayup-sayup didengarnya suara lantunan orang.
Melantunkan apa dan di mana?
Pragola memicingkan mata melihat ke sebuah lembah. Remang-remang terlihat ada kerlapkerlip cahaya pelita. Ada rumahkah di sana?
Pragola mencoba menuruni lembah dengan hati-hati. Dia tak ingin mengejutkan penghuni rumah gubuk yang atapnya terbuat dari susunan ijuk itu.
Setelah agak dekat, pemuda itu, pemuda baru tahu bahwa di sana ada orang tengah melantunkan ayat-ayat suci dari agama baru. Lantunan itu sungguh merdu dan terasa membelah kalbu memberi ketenangan, padahal Pragola tak tahu maknanya.
Pragola tergerak dan ingin sekali tahu, siapa yang melantunkan ayat-ayat itu pada dini hari yang dingin seperti ini.
Dia semakin dekat ke pekarangan gubuk itu.
“Lantunan ayat-ayat sucimu enak didengar,” terdengar satu suara di dalam sana. Si pelantun ayat berhenti sejenak.
“Kalau engkau sudah mengerti isinya, maka bukan enak didengar, melainkan meresap ke dalam hati sanubari, menciptakan rasa damai dan mengenyahkan kerisauan,” tutur suara lain. Pragola menduga, suara ini tentu yang tadi melantunkan ayat suci.
“Aku tidak menyuruhmu, hanya ingin mengatakan saja bahwa aku betah dalam agamaku karena kedamaian,” tutur si pelantun.
Terdengar tawa kecil sebagai jawaban dari perkataan tadi.
“Aku percaya omonganmu. Tapi tentu saja banyak kedamaian dari sejauh apa kita mendapatannya,”
“Dari mana engkau mendapatkan kedamaian itu?” tanya si pelantun.
Tak ada jawaban langsung, kecuali terdengar suara serak melantunkan tembang. Syair lantunannya amat mengejutkan Pragola sebab dia pernah dengar sebelumnya.
Hidup banyak menawarkan sesuatu Namun bila salah memilihnya
Maka kita adalah orang-orang yang kalah
Brakk!!! Pragola mendorong pintu gubuk sehingga berantakan. Penghuninya, dua orang kakek-kakek yang diperkirakan usianya lebih delapan puluh tahun hanya sedikit menganga heran tanpa beranjak dari duduknya.
Pragola melihat kesana-kemari seperti mencari sesuatu.
“Hai, apa yang kau cari anak gendeng?” tanya salah satu dari kakek itu. “Mana Ginggi?” teriak Pragola.
“Ginggi? Tak ada anak bengal itu di sini!” jawab si kakek berambut putih yang tergelung rapih di atas.
“Barusan aku dengar lantunan tembangnya. Yang menembang seperti itu hanya Ginggi!” kata Pragola dengan nada tinggi tak mengenal sopan-santun.
Pragola sendiri merasa aneh, mengapa dia bisa bertingkah kasar di hadapan orang-orang tua seperti ini. Namun yang lebih aneh lagi, kedua orang tua itu sedikit pun tak merasa tersinggung oleh sikapnya.
“Enak saja engkau bicara. Siapa bilang lantunan itu milik si Ginggi? Anak bawel itu hanya meniru-niru aku sebab tembang itu aku yang punya. Sejak zaman Surawisesa puluhan tahun silam aku sudah biasa melantunkan tembang itu,” kata kakek berambut perak yang riapriapan.
“Engkau siapa kakek?” tanya Pragola.
“Hehehe! Begitu entengnya bocah gendeng ini bertindak-tanduk. Tiba-tiba datang mendobrak pintu, lantas tanya itu tanya ini. Jayaratu, jawablah, barangkali bocah ini dulunya anak buahmu juga,” kata kakek berambut riap-riapan itu tanpa melirik ke arah Pragola. “Mendengar logat lidahmu, sepertinya engkau datang dari Cirebon, anak muda,” kata kakek yang disebut sebagai Jayaratu.
Pragola sebentar menahan napasnya karena merasa tegang. Nama Ki Jayaratu pernah dia dengar. Dulu puluhan tahun silam pernah terdengar ada pengikut Kanjeng Sunan dari Cirebon yang hilang di Cakrabuana, bersamaan dengan bentrokan antara pasukan Cirebon dan pasukan Pakuan di lereng gunung ini.
“Andakah Ki Jayaratu yang disebut-sebut puluhan tahun silam?” tanya Pragola dengan suara bergetar.
“Hehehe! Tempat ini sudah terlalu mudah didatangi siapa pun. Harimau kumbang dan lodaya sudah tak sanggup mengusir pendatang. Engkau musti pindah makin ke atas, Jayaratu,” kata si kakek berambut riap-riapan.
“Aku tidak menjauhi keramaian sepertimu, Darma sebab agamaku harus diamalkan kepada banyak orang,” tutur Ki Jayaratu.
Semakin terkejut hati Pragola. Jadi kakek berambut riap-riapan ini adalah Ki Darma, tokoh tersohor yang banyak dibicarakan orang.
Pragola bingung, mana yang harus diperhatikan sebab kedua orang di hadapannya ini adalah orang-orang penting yang perlu diperhatikan. Ki Jayaratu banyak dibicarakan di Cirebon, sebagai seorang pandai yang lenyap begitu saja. Sedangkan Ki Darma sudah jelas hampir semua orang mengenal namanya. Kedua orang itu menjadi misterius sebab hilang bagaikan ditelan bumi. Hanya Pragola seorang kini yang sanggup membuktikan bahwa orang-orang penting ini berkumpul di sini.
“Ki Jayaratu, saya adalah utusan Cirebon, datang hendak membuat perhitungan dengan Ki Darma atau siapa pun yang punya kaitan dengan Pakuan,” kata Pragola. Tapi kemudian Pragola bingung sendiri, mengapa musti bicara begitu. Padahal beberapa hari lalu dia sudah berkata undur diri dari urusan politik. Barangkali dia berkata begitu karena tahu Ki Jayaratu dulunya perwira Cirebon dan selalu berperang untuk negri dalam melawan Pajajaran. Dan apabila tak salah dengar, Ki Darma adalah musuh besar Ki Jayaratu.
“Hehehe, kau hadapilah sendiri. Aku malas ketemu dengan orang-orang dungu macam ini,” tutur Ki Darma masih tertawa-tawa. Entah bagaimana caranya, hanya secara tiba-tiba angin berdesir dan Ki Darma hilang dari pandangan.
“Ki Darma!” teriak Pragola. Dia hanya melongok keluar namun suasana dingin dan sepi. “Ki Jayaratu, tolonglah, saya ingin membalas dendam,” kata Pragola duduk bersila dan menyembah takzim.
Ki Jayaratu tersenyum dan mengelus-ngelus jenggotnya yang menjuntai dan memutih. “Kasihan sekali anak muda sudah demikian terlilit penderitaan,” gumam Ki Jayaratu. “Yang membuat saya menderita adalah Ginggi, murid Ki Darma. Gara-gara dia maka guru saya Ki Sudireja tewas. Saya menderita karena hidup menjadi menderita dan terlunta-lunta. Tolonglah, ajari saya berbagai ilmu kepandaian agar saya bisa melawan Ginggi dan kalau mungkin melawan Ki Darma sebagai musuh Cirebon,” pinta Pragola. Hanya dijawab oleh senyum tipis orang tua itu.
“Mengapa berkata begitu kepadaku seolah-olah kau menganggap aku terlibat urusan seperti itu,” kata Ki Jayaratu.
“Bukankah dulu anda perwira Cirebon dan selalu melawan Pajajaran?” “Kau katakan itu dulu. Sekarang tentu sudah tidak lagi,” jawab Ki Jayaratu.
“Tapi segalanya belum berubah. Cirebon masih tetap akan memerangi Pakuan. Saya adalah anak buah Pangeran Yudakara yang selalu berjuang untuk Cirebon,” jawab Pragola. “Kasihan, semua orang menderita karena ambisi pribadi,”
“Mengapa anda katakan ini ambisi pribadi?” tanya pragola.
“Engkau hanya berambisi ingin membalas dendam kematian gurumu dan Yudakara pun berambisi untuk kepentingan dirinya. Yudakara itu pengkhianat. Dia bertindak sendiri tanpa sepengetahuan Cirebon. Cirebon kini tidak terlibat urusan politik. Tapi lebih menitik beratkan dalam pengembangan agama. Bagaimana mungkin Cirebon punya keinginan menyerang Pakuan padahal tak punya kekuatan militer?” tanya Ki Jayaratu.
“Tapi Pangeran Yudakara punya pasukan prajurit. Itu semua prajurit Cirebon,” kata Pragola. “Bohong, tak ada prajurit Cirebon berkeliaran di wilayah Pajajaran. Kalau Yudakara punya kekuatan militer, itu tentu dihimpun sendiri olehnya. Yudakara ingin melanjutkan cita-cita kerabatnya yaitu Ki Sunda Sembawa yang dulu gagal melawan penguasa Pakuan. Seperti Sunda Sembawa, Yudakara pun punya ambisi merebut Pakuan dan dia ingin jadi raja di sana,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola melengak mendengar keterangan ini.
“Tapi anda tak pernah ke mana-mana, bagaimana mungkin bisa mengetahui peristiwa yang terjadi,” tanya Pragola. “Tak ke mana-mana bukan berarti tak memiliki pengetahuan. kI Darma punya murid bernama Ginggi yang kerjanya bertualang kesana-kemari. Aku pun banyak memilik murid yang berpencar ke seantero Pajajaran untuk meluaskan agama baru. Mengapa aku tak bisa mendapatkan berita seperti itu?” Ki Jayaratu balik bertanya.
Pragola mengeluh dalam hatinya. Kalau benar begitu, jelas selama ini hidupnya terombangambing oleh permainan yang tak menguntungkan. Dalam hal ini Ki Manggala benar, dia sudah mencurigai bahwa gerakan Pangeran Yudakara tak utuh. Pragola dan Paman Manggala hanya mengabdi kepada orang yang berjuang untuk ambisi pribadi.
“Pulanglah ke rumahmu dan jangan terlibat ke dalam urusan yang tak penting benar,” kata Ki Jayaratu.
“Saya tak punya rumah. Kampung halaman saya di Caringin. Ayah saya seorang Cutak, tewas karena peperangan dengan orang Pajajaran kendati tak secara langsung. Namun hal ini tak mengurangi rasa benci saya terhadap Ginggi, atau siapa pun dari Pajajaran,” keluh Pragola. “Repot sekali kalau setiap orang diracuni perasaan dendam dan benci. Semua orang bisa saling bunuh. Harap kau tahu, dulu aku punya murid bernama Purbajaya. Dia diutus Cirebon untuk menyelundup ke Pakuan. Muridku tewas oleh Ginggi. Tapi mengapa aku harus benci.
Purbajaya berjuang untuk Cirebon dan Ginggi membelan negrinya. Keduanya sedang menjalankan kewajibannya mempertahankan negaranya masing-masing. Dan kalau pun harus berbicara urusan hukum-menghukum, tanpa aku membalas dendam, Ginggi sendiri pun sudah merasa terhukum. Itulah pembunuhan satu-satunya yang pernah dia lakukan seumur hidupnya. Dan peristiwa itu terus membekas di hatinya hingga kini,” tutur Ki Jayaratu.
Pragola menghela napas. Pahit rasanya hidup ini. Tak ada orang yang mau mendengar keluhkesahnya. Setiap bicara perihal kepahitan, setiap itu pula orang berkata perihal ketegaran dan kehebatan Ginggi.
Akhirnya Pragola menyembah kepada orang tua itu dan beranjak hendak keluar. “Saya akan ke puncak mencari Ginggi …” kata pragola pelan.
“Anak itu tak ada di sini,” kata Ki Jayaratu.
“Saya menguntit dia dan saya yakin dia ke puncak,”
“Benar, tadi malam dia ke puncak, tapi sesudah menitipkan sahabatnya yang terluka, dia segera turun gunung diperintah Ki Darma. Ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan mereka di Pakuan,”
“Ginggi ke Pakuan?”
“Begitulah manusia dipermainkan nasib. Anak itu sudah ingin berhenti melibatkan diri di dunia ramai, namun nasib menghendaki lain. Hahaha! Ki Darma itu tua bangkotan yang berperangai licik. Dia sendiri sudah tak ingin ikut campur urusan dunia tapi masih tak rela kalau negrinya diancam bahaya. Dia suruh muridnya untuk melaksanakan keinginannya. Dasar tua bangkotan munafik. Hahaha … “ kata Ki Jayaratu tertawa.
Hanya Pragola yang hatinya mengeluh. Dengan tubuh lunglai dia berdiri. Untuk kesekian kalinya dia menghormat ke arah Ki Jayaratu.
“Saya mohon diri, Aki …” kata Pragola.
“Katanya engkau ingin belajar di sini? Mari belajar di sini. Yang paling hebat di dunia ini bukan dendam tapi sinar keagamaan. Bila sinar agama memasuki jiwamu, maka dunia akan damai sebab benci dan dendam akan sirna,” kata Ki Jayaratu.
“Saya hanya ingin berangkat ke Pakuan, Aki…” gumam Pragola sesudah terdiam agak lama.”Kalau sudah bertemu Ginggi barangkali kelak baru saya bisa ikut Aki di sini,” lanjutnya.
Ki Jayaratu hanya tersenyum tipis.
“Ya Allah, aku hanya sanggup berusaha. Tapi yang menentukan keputusan adalah engkau jua,” gumam Ki Jayaratu menengadahkan kedua belah tangannya. Sesudah itu dia menatap Pragola.
“Pada akhirnya hanya jalan pikiranmu yang membawamu. Hati-hatilah jangan sampai engkau salah langkah … “ tuturnya. Pragola menatap sebentar. Kemudian dia membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Dia kembali menuruni lereng gunung padahal daerah itu didakinya dengan susah-payah. Ada suara ayam hutan berkokok. Ketika Pragola berjalan di tempat agak terbuka, suasana sudah terang tanah.
Pragola terus berjalan menuruni lereng. Pelan tak beremangat. Dia harus kembali melakukan perjalanan jauh, pulang ke arah tempat semula, Pakuan. Entah apa yang dijalani kelak!

***

Ketika sepasang matanya dibuka, maka yang pertama kali dilihatnya adalah wajah seorang kakek. Sulit ditaksir berapa usianya. Menilik rambutnya yang seluruhnya putih keperakperakan, kakek itu kira-kira berumur dii atas delapan puluh tahunan. Namun bila melihat kulitnya yang tanpa keriput, sepertinya dia baru berusia empat atau limapuluh tahun.
Namun yang pasti kakek itu benar-benar lelaki tua yang sehat. Gerak-geriknya tidak loyo dan lamban walau pun tak dikatakan lincah.
Pemuda itu hendak bangkit. Tak sopan rasanya terbaring begitu saja ditunggui seorang tua. “Engkau masih lemah, Angga. Tetaplah berbaring,” kata kakek itu.
“Anda mengenal namaku, Ki?” tanya pemuda itu heran.
“Engkau Banyak Angga, putra Yogascitra, bukan?” tanya kakek itu.
Banyak Angga mengangguk mengiyakan. Namun tentu saja belum menebus rasa herannya sebab dia sendiri tak kenal, siapa orang tua di hadapannya ini.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, mengingat-ingat peristiwa sebelum dia tiba-tiba terbaring di atas balai-balai bambu ini.
Seingatnya, ketika itu dia terlibat pertempuran. Di tengah hutan jati di wilayah antara Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Waktu itu empat orang kelompoknya terdiri dari Paman Angsajaya, Paman Manggala, Pragola dan dia sendiri, dikepung puluhan perampok. Kaum perampok menyerang membabi-buta membuat dirinya terdesak. Banyak Angga menduga, barangkali hari itulah akhir hayatnya sebab banyak luka di sana-sini disertai limbahan darah. Banyak Angga tubuhnya limbung, pandangannya berkunang-kunang sampai akhirnya terjerembab dan tak ingat apa-apa.
Maka sungguh merasa aneh kalau tiba-tiba dia terbaring di gubuk yang berdinding gedek, berlantai palupuh (lantai bambu ditumpuk rata) dan beratap ijuk ini. Di manakah tempat ini dan siapa pula yang membawanya sampai di sini?
Dia merasakan betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan ngilu-ngilu. Ada beberapa bagian badan yang dibebat lembaran dedaunan. Di bagian itu terasa perih namun ada juga rasa sejuk. Mungkin karena daun-daun menempel itu .
“Aki mengenal saya, namun maafkan kebodohan saya yang tak tahu siapa Aki,” gumam Banyak Angga.
“Tentu saja engkau tak kenal aku sebab waktu itu engkau belum lahir ke dunia. Bahkan aku pun tak mengenalmu kalauy saja si Ginggi tak membawamu dan memperkenalkanmu padaku,” tersentak hati Banyak Angga ketika orang tua itu menyebut nama Ginggi. Jadi, orang yang selama ini dicarinya bahkan pernah menolongnya.
“Ini tempat apa, Aki?” tanyanya.
“Tempat yang terpencil jauh dari keramaian dunia, terletak hampir di Puncak Gunung Cakrabuana,” tutur sang kakek.
Banyak Angga akan memcoba bangun namun rasa sakit mengganggunya. Maka yang dia lakukan hanyalah menatap orang tua itu dengan penuh rasa hormat dan kagum.
“Anda tentu Ki Darma…” gumamnya dengan suara setengah bergetar. Terasa ada dorongan hawa memenuhi dadanya. Namun dorongan itu hanya tersalurkan melalui sudut-sudut matanya yang terasa panas.
“Mengapa engkau menangis, anak muda?” tanya Ki Darma heran namun sambil tersenyumsenyum.
Banyak Angga menyeka sudut-sudut matanya sambil memalingkan wajahnya. Dia pun heran, mengapa tiba-tiba dia ingin menangis ketika tahu bahwa orang tua di hadapannya ini adalah Ki Darma. Mungkin hatinya terharu sebab Ki Darma adalah guru Ginggi. Mungkin juga dia bahagia sebab baik Ki Darma mau pun Ginggi adalah sebagian dari orang-orang yang tengah dibutuhkan di Pakuan. Bersusah-susah dia melakukan perjalanan jauh ke wilayah timur sambil beberapa kali dihadang mara-bahaya, kesemuanya hanya untuk mencari Ki Darma dan Ginggi. Dan sekarang sudah kesampaian!
Barangkali juga Banyak Angga menangis karena suatu hal yang lain. Ki Darma ini orang terkenal. Setiap prepantun di Pakuan dan wilayah Pajajaran selalu mengisahkan dirinya. Bahwa Ki Darma ini adalah pahlawan yang berani berkorban membela negrinya tanpa pamrih. Kendati dia dimusuhi Raja Surawisesa (1521-1535 M) karena berani melontarkan kritik dan bahkan dikejar-kejar untuk dibunuh di masa pemerintahan San Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M), namun kecintaannya Ki Darma terhadap negara tak pernah pudar.
Sekarang Pajajaran semakin lemah di bawah kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra (15511567 M). maka para patriot seperti Ki Darma dan Ginggi ini amat dibutuhkan kehadirannya. Jadi bagaimana tak terharu bila kini Banyak Angga telah berhasil menemukan mereka. “Saya rindu ingin bertemu Ginggi,” tutur Banyak Angga menoleh kesana-kemari.
“Hampir dua hari dua malam anak itu tekun merawat tubuhmu yang luka,” jawab Ki Darma. “Dua hari? Kalau begitu, selama itu pula saya tak sadarkan diri,” Banyak Angga heran. “Barangkali lebih dari itu kau tak ingat apa-apa. si Ginggi memanggulmu dari wilayah Sumedanglarang sana hingga Puncak Cakrabuana ini,”
Banyak Angga semakin melengak mendengar keterangan ini.
“Saya rindu bertemu dengannya. Belasan tahun tak bersua dengannya. Di mana dia sekarang? Sedang apa dia sekarang? Kembali Banyak Angga melirik kesana-kemari.
Sedangkan yang ditanya hanya ketawa saja seperti melihat anak kecil yang kehilangan mainannya.
“Anak bengal itu sudah pergi turun gunung,” jawab Ki Darma masih tertawa-tawa. Namun Banyak Angga menjadi sedih mendengarnya.
“Sepertinya dia tak ingin bertemu denganku…” keluh Banyak Angga.
“Lho, anak itu barangkali sudah bosan berhari-hari menatap wajahmu,” jawab Ki Darma seenaknya.
“Tapi saya tak sempat melihatnya,” gumam Banyak Angga.
“Salahmu sendiri, mengapa kau beri dia surat,” kata lagi Ki Darma sambil lalu.
Banyak Angga serasa diingatkan. Maka serta-merta dia meraba-raba pakaiaannya seperti ada sesuatu yang tengah dicari.
“Mencari surat lembaran daun nipah itu, ya?” tanya Ki Darma. Banyak Angga mengangguk “Karena tahu surat daun nipah itu untuknya, maka dia beranikan diri untuk membukanya. Tak salah, kan?”
Banyak Angga menggelengkan kepala.
“Makanya dia begitu bersemangat ketika aku perintahkanagar dia segera kembali ke dayo Pakuan ,” tutur Ki Darma sambil mengambil beberapa lembar daun sirih. Diberinya beberapa ramuan rempah. Sesudah itu daun sirih dilipat-lipatnya dan dimasukkan ke mulutnya. Sirih itu dikunyahnya kuat-kuat.
“Tapi benarkah Nyi Mas Banyak Inten, adikmu itu mencintai si Ginggi?” tanya Ki Darma samil mulutnya dipenuhi daun sirih. Dijawab secara tak langsung oleh Banyak Angga bahwa ayahandanya memeritahkan Nyi Mas Banyak Inten untuk mengundang Ginggi datang ke puri Yogascitra untuk suatu keperluan yang mendesak.
“Kami tahu, sebenarnya Ginggi beberapa kali pernah datang kep Pakuan tapi sekedar menengok adikku di mandala. Kami inginkan kehadiran Ginggi secara resmi. Itulah sebabnya dianjurkan adikku yang meminta sebab kami yakin saudara Ginggi akan mau mengabulkan keinginan Nyi Mas Banyak Inten,” kata Banyak Angga.
Mendengar penjelasan ini, Ki Darma hanya tertawa masam sambil tetap menguyah sirih. “Sudah sejak dulu sebenarnya tak lazim orang kebanyakan menyandingkan anak bangsawan. Jadi kalau anak bengal itu memaksakan diri, artinya melanggar kebiasaan,” tutur Ki Darma. Kami tak pernah memperbincangkan hal ini. Lagi pula, dulu pun Ginggi sudah kami angkat sebagai ksatria di puri Yogascitra. Ginggi adalah orang berjasa bagi keluarga kami sebab dia telah berhasil menyelamatkan kehormatan dan harga diri Nyi Mas Banyak Inten dari kebejatan moral Suji Angkara,” tutur Banyak Angga kembali teringat peristiwa masa lalu ( baca episode Senja jatuh di Pajajaran).
“Hehehe! Tapi kalian tak merasa kasihan kepada Nyi Mas Banyak Inten. Masa seorang wiku harus menikah?” tanya Ki Darma.
“Adikku masuk mandala bukan keinginannya, melainkan karena perintah Raja. Mengapa sekarang tak boleh keluar dengan perintah jua?” tanya Banyak Angga.
“Untuk kepentingan politik, agama bahkan bisa diatur,” gumam Ki Darma. Banyak Angga serasa terpukul mendengarnya.
“Kami tak bermaksud mempermainkan agama, namun kami tahu, adikku masuk mandala tidak atas keyakinan sendiri, melainkan karena dihukum Raja. Dia dimasukkan ke mandala di usia muda, di saat-saat masih memerlukan kehidupan duniawi. Agama tak boleh dilalui dengan jalan keterpaksaan apalagi merasa karena dihukum. Oleh sebab itu kami mengusulkan kepada Sang Prabu agar meninjau kembali keputusan Raja terdahulu,” tutur Banyak Angga lagi. Hanya dibalas oleh Ki Darma dengan senyum.
“Terserah apa pendapat kalian. Aku hanya berharap, mudah-mudahan si Ginggi bisa berpikir dewasa, sebab seperti apa katamu tadi, agama bukan keterpaksaan. Begitu pun cinta, tidaklah hadir karena keterpaksaan,” kata Ki Darma sesudah berdiam diri sejenak.
Banyak Angga hanya mengatupkan sepasang matanya sejenak.
“Tapi anak itu bergegas pergi bukan lantaran surat daun nipah itu saja. Aku memang telah menyuruhnya agar dia pergi ke Pakuan. Aku rasa, memang di dayo akan terjadi sesuatu…” gumam Ki Darma datar.
Banyak Angga kembali membuka kelopak matanya. Dia melirik ke arah orang tua itu. “Apakah Aki tahu situasi terakhir di Pakuan?” tanya pemuda itu.
“Tahu sekali sih tidak. Tapi anak murid Ki Jayaratu yang kerapkali mengembara ke wilayah barat banyak mengabarkan perihal situasi Pakuan,” kata Ki Darma.
“Ki Jayaratu? Serasa pernah saya dengar nama itu!” gumam Banyak Angga.
“Hm, dulu dia musuh besarku. Dia kan perwira negri Carbon (Cirebon). Sudah barang tentu kami sering bertemu dalam pertempuran.
Ya, ketika negri kita dipimpin Sang Prabu Surawisesa dulu,” kata Ki Darma. “Apakah Ki Jayaratu kini ada di sini?”
“Sudah belasan tahun dia tinggal di lereng selatan bersama beberapa orang sesama bekas perwira Carbon lainnya. Mereka sepertinya membuka perguruan agama baru,” jawab Ki Darma, “kerapkali kami bertemu,”
“Maksud Aki, selalu bertempur juga hingga kini?” tanya Banyak Angga. Ki Darma tertawa renyah. “Anak kecil saja kalau bermusuhan selalu selesai dalam waktu singkat, mengapa orang-orang yang sebentar lagi mau masuk kubur terus main cakaran? Lagi pula, apa urusan antara si Darma dan si Jayaratu sehingga perlu menciptakan permusuhan berkepanjangan? Hah, orang tolol yang hidupnya terjerembab ke perangkap politik. Dulu kami bertempur karena diperkuda kepentingan politik. Meski bertempur belasan tahun dengan dengan untuk membela negara.
Padahal apa, rakyat dan negara bahkan menderita akibat peperangan. Dan itu yang kami katakan sebagai pembelaan,” tutur Ki Darma menggebu.
Banyak Angga menghela napas. Yang pernah dia dengar, baru kali inilah dapat dibuktikan. Dan memang benar, Ki darma ini kala bicara selalu ceplas-ceplos, termasuk dalam menilai ketatanegaraan. Dia selalu berkata apa yang ada dalam hatinya. Ketika Sang Prabu Surawisesa senang berperang melawan negri-negri kecil bawahan Pajajaran yang membangkang, atau bahkan ketika berperang melawan Carbon, Ki Darma mengkritiknya sebab dianggapnya peperangan hanya menghabiskan dana dan menyengsarakan rakyat. Kritik di masa itu memang sudah dikenal dan orang menamakannya Panca Parisuda (lima obat penawar). Namun tak semua orang senang menerima obat yang pahit rasanya, apalagi bagi seorang raja. Itulah sebabnya Sang Prabu tersinggung sebab kritik Ki Darma artinya mengorek kelemahan orang lain, kelemahan seorang raja!
Kini, pendapat Ki darma tak pernah berubah, dia mencela kehidupan akal-akalan (politik) yang dianggapnya menghancurkan kehidupan rakyat. Ini yang membuat Banyak Angga menghela napas. Bila begini jadinya, Ki Darma barangkali tak bisa dibujuk untuk ikut bergabung memperkuat Pakuan.
“Aki, kalau Aki sering dengar perihal situasi akhir Pakuan, barangkali Aki sudah memikirkan cara penanggulangannya,’ kata Banyak Angga tiba-tiba.
“Menanggulangi apa?”
“Bukankah tadi Aki bilang di Pakuan akan terjadi sesuatu?” kata lagi Banyak Angga. “Ya, begitu kira-kira…”
“Kalau begitu Aki harus mau menanggulangi agar sesuatu yang akan terjadi tidak terlalu buruk,” kata Banyak Angga.
“Mengapa harus aku?” Ki Darma celingukan seperti aneh mendengar omongan pemuda itu. “Karena Aki amat dibutuhkan. Hanya Aki orang Pajajaran yang berjuang untuk negri tanpa pamrih pribadi.”
“Hahaha! Ayahmu bagaimana?”
“Ayahanda bukan orang yang berpikir untuk kepentingan pribadi. Tapi ayahanda bukan akhli jurit (peperangan) sehingga bila terjadi sesuatu terhadap Pakuan, dia tak bisa mempertahankan negri dengan baik,” kata Banyak Angga.
“Hahaha! Jangan meremehkan Pakuan. Kota ini dikawal oleh seribi orang pasukan balamati (siap mati), menguasai tigabelas tekhnik pertempuran dan siap mengamankan Raja,” kata Ki Darma tertawa.
“Tapi itu dulu, ketika zamannya Aki malang-melintang di pasukan balamati. Sekarang banyak perwira seangkatan Aki yang berhenti karena undur-diri atau meninggal. Sedangkan penggantinya tak setangguh para pendahulunya. Mereka tak sanggup menuruni bakat dan kemampuan para perwira tua,” jawab Banyak Angga.
“Mustahil!”
“Lebih dari itu, Sang Prabu seperti tak mendukung upaya meningkatkan kembali kemampuan akhli jurit,”
“Mengapa?”
“Sang Prabu lebih memilih memperkuat kehidupan agama ketimbang militer, padahal bahaya sudah mengancam dari sana-sini,”
“Sang Prabu mungkin benar,” gumam Ki Darma. “Mengapa benar?”
“Sebab barangkali dia sudah waspada akan sesuatu yang tengah berjalan,” ujar Ki Darma. “Apakah itu?”
“Sesuatu kekuatan yang tak bisa dilawan,”
“Ya, apakah itu?” tanya Banyak Angga tak sabar. “Sebuah perubahan!” jawab Ki Darma tandas.
“Perubahan?” gumam Banyak Angga. “Maksud Aki, perubahan itu datang dibawa oleh kekuatan agama baru? Apakah Aki bermaksud mengatakan bahwa Pajajaran akan kalah oleh kekuatan agama baru?” lanjutnya.
“Jangan kau anggap suatu perubahan itu adalah kekalahan. Kalahkah siang terang-benderang yang kemudian mulai redup karena malam hendak datang? Atau, kalahkah sang malam ketika mentari mulai muncul di ufuk timur?” tanya Ki Darma.
Hening untuk beberapa lama. Ada suara burung walik berceloteh di dahan-dahan pohon pinus di sekitar gubuk. Namun celoteh burung itu membuat suasana semakin sepi yang dirasakan Banyak Angga.
“Jangan kau risaukan perubahan itu sebab ini merupakan hal alami yang terjadi di dunia. Yang engkau harus hadapi dengan baik adalah adalah penyakit keserakahan karena kepentingan ambisi manusia. Dan bahaya seperti itu bukan datang luar melainkan dari dalam tubuh kita sendiri,” kata Ki Darma.
Banyak Angga masih merenung.
“Engkau keliru bila takut menghadapi kekuatan agama baru. Sudah sejak zaman Sri Baduga Maharaja, bahkan jauh sebelum itu, kehidupan agama baru sudah ada di Pajajaran. Bukankah Pesantren Syech Quro sudah hadir di wilayah Tanjungpura (Karawang) ratusan tahun silam? Agama itu tak berbahaya bagi Pajajaran. Dan sekali lagi aku katakan, yang membahayakan, justru orang-orang yang punya ambisi pribadi,” kata Ki Darma lagi.”Kalau agama dibawa dengan benar, lihatlah, betapa damainya Ki jayaratu. Dia datang dari Carbon. Bukan untuk memerangiku sebagai bekas musuhnya, melainkan untuk menyebarkan agama. Dia tak melakukan pemaksaan, hanya ditampilkannya agama baru itu dengan tindak-tanduk yang mengundang simpati. Kenyataanya, lihatlah, agama baru semakin merebak ke mana-mana.
Dia menjadi besar tanpa melalui kekerasan. Inilah yang aku sebut perubahan. Sesuatu yang baru akan datang menggantikan yang lama,”
Banyak Angga mengangguk-angguk pelan namun sebetulnya tanpa begitu mengerti apa yang barusan disimaknya. Sampai pada akhirnya Ki Darma menyuruhnya untuk kembali tidur agar kesehatannya cepat pulih.
Eentah berapa lama dia tidur, sampai tiba-tiba dikejutkan oleh suara orang yang datang. “Assammualaikum…!” kata suara dari luar.
“Rampes….” Jawaban dari dalam. Banyak Angga tahu, yang menjawab adalah Ki Darma. Sedangkan suara sang tamu, Banyak Angga tak kenal.
“Masuklah Jayaratu. Ada apa tergesa-gesa begitu?” tanya Ki Darma.
Baru pemuda itu tahu, bahwa yang datang adalah Ki Jayaratu. dIa mencoba bangun sebab ingin sekali mengenal orang tua yang terkenal karena menjadi musuh besarnya Ki Darma dulu.
“Aku ingin lihat pemuda itu, apa sudah agak baikan?” kata Ki Jayaratu sambil mendekati balai-balai bambu tempat di mana Banyak Angga terbaring.
Banyak Angga walau pun hati-hati namun sudah bisa duduk sambil bersandar. Dia lihat ada seorang kakek yang usianya hampir sebanding dengan Ki Darma. Bedanya, penampilan kakek ini sedikit rapi. Dia memakai baju kurung warna nila dan rambutnya yang panjang memutih diikat kain kasar warna hitam. Orang tua itu membawa bungkusan kain yang diselendangkan di bahunya. Ketika duduk di balai-balai segera menurunkan buntalan tersebut dan membukanya. Isinya ternyata tumpukan berbagai dedaunan. Dia memilih-milih beberapa lembar.
“Mari, aku buka bebatmu yang lama, mungkin daun itu sudah kering,” tuturnya kepada Banyak Angga.
“Hahaha! Engkau beruntung di datangi juru obat sakti,” kata Ki Darma.
“Ki Darma dan Ginggi bahkan lebih hebat dalam menguasai pengetahuan obat-obatan, hanya saja mereka orang-orang malas dan seenaknya merawat pasen,” tutur Ki Jayaratu.
Ki Darma hanya heheh-heheh saja.
“Itu daun-daun apa, Aki?” tanya Banyak Angga memperhatikan Ki Jayaratu membuka bebat di tangannya dengan pelan.
“Hahaha! Ini hanya daun babadotan saja, sejenis tumbuhan liar yang hidup di semak-semak. Tapi jangan menyepelekan. Daun tak berharga bagi orang yang tak mengenalnya, sebenarnya merupakan obat mujarab untuk menghentikan pendarahan dan bagus untuk mengeringkan luka,” kata Ki Jayaratu sambil meremas-remas lembaran daun itu hingga lusuh. Sedikit kapur sirih yang sudah diberi air dioleskan ke setiap lembaran daun itu. Sesudah jumlah lembaran daun dianggap cukup, Ki Jayaratu melepaskan tempelan-tempelan lembaran daun yang lama dan menggantinya dengan daun yang baru. Banyak Angga meringis sambil sedikit mengatupkan mata. Ada beberapa luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuhnya.
Beberapa di antaranya sedikit membengkak dan matang biru. Kata Ki Jayaratu, luka yang membengkak karena terlambat menerima pengobatan. Ki Darma menerangkan, barangkali Ginggi terlalu tergesa-gesa membawa Banyak Angga sehingga tak sempat merawatnya dengan baik dan telaten.
“Bisa jadi begitu, si Ginggi tergesa-gesa karena diikuti orang. Bukankah tak selang sehari ada orang yang mencari-carinya?” tanya Ki Jayaratu sambil tangannya tak henti-hentinya merawat beberapa bagian tubuh Banyak Angga.
“Oh, ya! Aku ingat anak itu. Ke mana dia sekarang?” tanya Ki Darma mengambil tempat air minum terbuat dari kulit buah kukuk yang sudah kering. Ki Darma minum sambil menentengkan tempat air itu begitu saja ke mulutnya.
“Anak itu seperti gila. Mula-mula datang mencak-mencak cari si Ginggi. Namun sesudah itu merengek-rengek minta diajari ilmu kedigjayaan. Karena aku tolak, dia pergi dan akan tetap mencari si Ginggi!”
“Begitu bencinya anak dungu itu kepada si Ginggi. Siapakah dia?” tanya Ki Darma acuh tak acuh.
“Bahkan engkau akan diperangi juga,” gumam Ki jayaratu. “Oh,ya aku dengar itu,” Ki Darma masih acut tak acuh.
“Aku tak tahu namanya sebab bocah edan itu tak memperkenalkan diri, kecuali…” kata Ki Jayaratu tersendat.
“Kecuali apa, Jayaratu?” tanya Ki Darma menoleh.
“Kecuali dia katakan bahwa dia murid Ki Sudireja,” tutur Ki Jayaratu.
“Hm. Kalau tak salah Ki Sudireja itu perwira Kerajaan Karatuan Talaga yang membenci Pajajaran,” gumam Ki Darma.
“Dia mengaku anak buah Pangeran Yudakara,” kata lagi Ki Jayaratu.

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 07 --oo0oo-- Jilid 09


Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid-09

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10

TRILOGI PAJAJARAN
Kunanti Di Gerbang Pakuan
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 09


“Apakah yang Aki maksud adalah Pragola?” tanya Banyak Angga dengan dada berdegup. “Pragola, siapa Pragola?” tanya Ki Jayaratu menatap Banyak Angga.
“Pragola adalah pemuda usia sembilan belas tahun. Dia sahabatku. Mulanya memang anak buah Pangeran Yudakara calon penguasa Sagaraherang. Pangeran itu mengusulkan Pragola bekerja di puri kami sebab dia tahu betul perihal keberadaan belasan perwira Pakuan yang ada di Puncak Cakrabuana,” kata Banyak Angga.
Giliran kedua orang tua itu yang mengerutkan alis karena heran. “Apa kata anak itu?” tanya Ki Jayaratu. Banyak Angga menerangkan kalau kehadirannya di sini karena hasil laporan Pragola. Dan untuk memperjelas keterangannya ini, Banyak Angga terpaksa memaparkan tujuannya.
Pemuda itu menerangkan, betapa sebetulnya dia tengah mengusung tugas penting. Ayahandanya yang khawatir melihat pusat pemerintahan Pakuan semakin lemah, menginginkan agar para orang pandai yang punya kesetian terhadap Pajajaran dikumpulkan kembali, termasuk mencoba kembali mencari belasan perwira yang diutus pemerintah pergi ke Puncak Cakrabuana mencari Ki Darma.
“Belasan perwira Pakuan tak pernah kembali. Ada selentingan mereka gugur sebab di puncak bertemu dengan pasukan Cirebon. Namun Pragola malah mengabarkan, sebetulnya belasan perwira Pakuan masih berada di puncak tapi tak bisa pulang karena dikepung pasukan Cirebon. Pangeran Yudakara mengusulkan agar Pakuan segera mengirimkan kembali belasan perwira tangguh untuk menyelamatkan teman-temannya yang tertahan di sini. Namun ayahanda sebelum mengabulkan usul ini, terlebih dahulu mengutus misi penyelidik, yaitu saya beserta tiga orang pembantu dan beberapa orang prajurit. Tapi di tengah perjalanan kami beberapa kali dihadang musuh, baik hadangan dari Cirebon, kaum perampok, sampai pasukan misterius yang kai tak tahu siapa gerangan,” kata Banyak Angga panjang-lebar. 
Mendengar penjelasan ini baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu hanya mengangguk-angguk kecil.
“Ada yang benar, ada juga yang tak benar,” gumam Ki Jayaratu seperti bicara pada dirinya sendiri. Sesudah merenung sejenak, Ki Jayaratu menerangkan. Bahwa benar sekitar limabelas tahun silam di lereng Gunung Cakrabuana terjadi pertempuran kecil. Ketika itu ada belasan perwira Pajajaran naik ke gunung dengan maksud mencari Ki Darma. Namun pada saat yang bersamaan dari bagian lereng lain naik pula belasan prajurit dan perwira lain.
“Ngakunya dari Cirebon, ya!” tukas Ki Darma duduk bersila di balai-balai. “Mengakunya begitu, padahal bukan,” kata Ki Jayaratu.
Menurut orang tua ini, ketika itu di Cirebon pun terdapat beberapa gelintir pejabat yang punya ambisi pribadi. Melihat Karatuan Cirebon lebih menitikberatkan urusan ke bidang penyebaran agama, ada pejabat bernama Arya Damar yang ingin mendompleng. Dia punya cita-cita, selain agama baru harus semakin menyebar, juga Pajajaran harus dihancurkan agar kekuasaan Cirebon pun ikut menyebar ke wilayah barat.
Secara diam-diam, Arya Damar mencoba mengirimkan pasukan dan sedikit demi sedikit mengikis kekuatan Pajajaran. Akan halnya Ki Darma, tokoh ini masuk daftar orang Pajajaran yang harus dilenyapkan sebab kendati Ki Darma tak disukai penguasa Pajajaran, namun dia selalu siap membela negara. Bagi Arya Damar, Ki Darma dianggapnya sebagai duri penghalang. Jadi Ki Darma harus dilenyapkan.
“Katanya menyerang Cakrabuana pun ada maksud tambahan, Jayaratu," potong Ki Darma yang meram-melek dan acuh tak acuh menyimak cerita yang disampaikan Ki Jayaratu. “Ya, pasukan gelap yang diutus Arya Damar ingin merebut tombak pusaka Cuntangbarang yang katanya dikuasai olehmu,” kata Ki Jayaratu menoleh. Ki Darma hanya mendengus.
“Jangan percaya celoteh tua bangka ini. Sejak dulu aku tak butuh senjata. Boleh tanya sama si Ginggi,” kata Ki Darma dengan nada setengah mengejek.
Banyak Angga yang mendengarkan kisah ini harus percaya kepada Ki Darma sebab dia tahu sepak-terjang Ginggi yang ke mana-mana tak pernah membawa senjata. Kebiasaan Ginggi mungkin turunan dari gurunya, Ki Darma.
“Benarkah terjadi pertempuran?” tanya Banyak Angga.
Nampak Ki Jayaratu menghela napas. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Sepertinya dia enggan membicarakannya.
“Yah, memang terjadi pertempuran. Sebelum kedua pasukan itu berhasil menemui Ki Darma, mereka sudah saling serang,” “Dan semuanya mampus!” tukas Ki Darma.
“Ya, banyak yang mati dan luka parah. Namun yang selamat pun banyak. Beberapa anggota pasukan Pajajaran hingga hari ini masih segar-bugar kendati sudah berusia lanjut. Kata Ki jayaratu.”Dan yang aneh, ternyata mereka datang ke sini bukan untuk mengejar atau membunuh Ki Darma, melainkan ingin bergabung karena sudah tak suka kepada Sang Prabu Ratu Sakti ketika itu," kata Ki Jayaratu menengok ke arah Banyak Angga.
“Hati-hati engkau bicara, anak muda itu putra pejabat penting di Pakuan. Dan kalau kau tak mau dimusuhi anak muda itu, engkau pun harus menerangkan kedudukanmu ketika itu.
Mengapa kau tiba-tiba ada di sini, padahal engkau adalah musuh bebuyutanku,” kata Ki Darma ketawa.
Giliran Ki Jayaratu yang ketawa.
“Kalau orang Cirebon menganggapku pengkhianat, mungkin benar sebab mana ada musuh bebuyutan jadi sahabat. Tapi aku jemu menjadi prajurit. Sebab pada hakikatnya, prajurit hanyalah alat dari ambisi kaku dan kesetiaan kaku. Aku tak punya masalah pribadi dengan Ki Darma atau dengan siapa saja yang ada di Pajajaran.
Tetapi karena keharusan membela negri, aku harus memeranginya. Cirebon yang dulu ada di bawah Pajajaran, mulai berani membebaskan diri karena memdapat bantuan kekuatan dari Demak. Hh, hanya karena bantuan Demak maka Cirebon pernah menguasai wilayah Pajajaran seluruhnya. Sekarang, manakala Demak sudah lemah, Cirebon pun sudah tak punya kekuatan lagi. Celakanya masih ada yang mimpi dengan menggunakan militer untuk harga diri dan ambisinya. Itu aku tak suka. Itulah sebabnya pergi dari Cirebon dan memilih sendirian saja menyebarkan agama baru,” tutur Ki Jayaratu bicara berpanjang-lebar.”Aku hanya ingin menjadi manusia wajar dan bisa mencari sahabat seperti apa kehendakku. Contohnya hari ini aku bersahabat dengan orang yang sama-sama dianggap pengkhianat oleh masing-masing negaranya,” kata Ki Jayaratu.
“Siapa bilang. Nasibku tak sama dengan nasibmu. Bukankah begitu, Angga?” Ki Darma tertawa sambil melirik ke arah Banyak Angga. Pemuda itu mengangguk pelan dengan wajah murung.
“Ki Darma sudah diampuni dan namannya dibersihkan oleh Sang Prabu Nilakendra, pengganti mendiang Prabu Ratu Sakti,” tutur Banyak Angga namun dengan suara tak bersemangat. Pemuda ini sungguh tak enak, mengapa Pragola begitu benci terhadap Ginggi dan Ki Darma, padahal semua orang Pajajaran hari-hari terakhir ini begitu mengagumi kedua orang murid dan guru itu.
Rupanya isi hati Banyak Angga sama dirasakan Ki Jayaratu. Buktinya orang tua itu malah mempertanyaka sipat aneh Pragola.
“Aku tahu, si Ginggi kenalan baik Banyak Angga. Dan kalau engkau pun mengaku bersahabat baik dengan Pragola, mengapa anak muda itu malah membenci Ginggi?” tanyanya.
“Harus dicari sebab-sebabnya. Ada permusuhan apakah di antara mereka ini?” tanya Ki Darma.
“O,ya, kau ingat. Anak itu pernah mengaku sebagai utusan Cirebon!” teriak Ki Jayaratu menepuk jidatnya.”Masya Allah, bukankah tadi aku katakan bahwa anak itu pun mengaku anak buah Pangeran Yudakara? Engkau tahu bukan, Yudakara itu dulunya orang Cirebon juga?” kata Ki Jayaratu.
“Betul, tapi Pangeran Yudakara sudah kembali menjadi warga Pajajaran,” sahut Banyak Angga.
“Salah besar, salah besar! Ow, mengapa aku jadi pelupa begini? Anak muda bernama Pragola itu berkata kalau tujuan Pangeran Yudakara adalah merebut Pajajaran!”
“Jangan sembarangan menduga, Aki!” tukas Banyak Angga namun dengan hati terkejut. “Engkaulah yang jangan sembarangan menduga, anak muda!” tukas Ki Jayaratu.”Kau sangka Pangeran Yudakara itu orang baik-baik? Aku pun dulu, belasan tahun silam amat mempercayai dia sehingga aku perintahkan muridku Purbajaya untuk menyusup ke Pakuan. Hasil didikan Yudakara membuat perjuangan muridku melenceng dan akhirnya tewas oleh murid si bangkotan ini. Sungguh malang nasib muridku. Di Cirebon kekasihnya direbut Yudakara pula,” kata Ki Jayaratu.
Banyak Angga menyimak cerita ini dengan perasaan taj keruan. Dan tanpa terasa airmatanya meleleh turun. Mendengar nama Purbajaya disebut-sebut, dia terkenang masa belasan tahun silam. Purbajaya adalah pemuda baik dan tak pernah banyak bicara. Pemuda itu lama mengabdi di puri Yogascitra. Ayahanda Banyak Angga pun menyimpan harapan kepada Purbajaya. Pemuda itu dikenal sebagai puhawang (akhli kelautan) dan Yogascitra bercita-cita mengembalikan kejayaan Pajajaran sebagai negara maritim seperti ketika zamannya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M) yang menguasai tujuh pelabuhan penting di Jawa Kulon. Namun pada akhirnya, penghuni puri Yogascitra harus kecewa sebab pemuda yang sudah dipercayanya ini belakangan diketahui sebagai utusan Cirebon untuk mengikis kekuatan Pakuan. Sungguh amat menyedihkan, Purbajaya tewas di tangan Ginggi saat pemuda itu akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran). Perasaan Banyak Angga bergalau tak menentu. Di lain fihak dia bersyukur bisa bertemu dengan tokoh-tokoh penting ini. Namun di lain fihak pun harus merasa bingung dan sedih akan kenyataan yang tengah berlangsung ini. Dia bingung dan sedih, ternyata Pangeran Yudakara dan Pragola sudah di percayai kini malah meragukan . betulkah apa yang diucapkan Ki Jayaratu ini?
“Dari mana anak muda bernama Pragola itu punya hubungan dengan Pangeran Yudakara?” tanya Ki Darma yang sejak tadi diam saja.
Entah kepada siapa pertanyaan ini dilontarkan. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Ki Jayaratu terlihat saling pandang.
“Saya hanya tahu, dia itu orang kepercayaan Pangeran Yudakara. Ketika dia disodorkan untuk dipekerjakan di puri Yogascitra, saya langsung menyukainya, sebab melihat wajah Pragola, serasa diingatkan akan wajah Ginggi belasan tahun silam,” tutur Banyak Angga.
Ki Darma menoleh ke kiri dan ke kanan, menatap bergiliran kepada Banyak Angga dan Ki Jayaratu.
“Benarkah Jayaratu, anak muda itu wajahnya seperti si Ginggi belasan tahun silam?” tanyanya.
“Mana aku tahu tampang si Ginggi belasan tahun silam. Kau yang harus jawab pertanyaan itu, bukankah kau pun pernah melihat wajah anak muda bernama Pragola itu?” Ki Jayaratu balik bertanya. Ki Darma merenung lama dan nampak keningnya berkerut dalam.
“Memang aku lihat selintas anak muda itu tapi tak kubanding-bandingkan dengan muridku. Tapi kalau melihat matanya yang bulat berbinar, sepertinya sama. Tapi apa urusannya dengan persamaan itu, di dunia ini banyak orang yang memiliki kesamaan wajah,” gumam Ki Darma. “Saya pun tak memikirkan sejauh itu. Hanya saja saya pikir wajah mereka memang mirip,” tutur Banyak Angga.
Percakapan tak dilanjutkan dan Ki Jayaratu berpamitan karena sudah selesai merawat Banyak Angga.
Ki Darma mengantarkan orang tua itu hingga di tepas (beranda).
“Si Pragola itu mengaku anak cutak dari wilayah Caringin,” kata Ki Jayaratu tiba-tiba. “Hei, berhenti dulu!” teriak Ki Darma. Ki Jayaratu menoleh heran.
“Ada apa?” tanyanya. “Kau barusan bilang apa?”
Ki Jayaratu mengerutkan alis sepertinya ingin mengingat barusan bicara apa.
“Aku katakan, anak itu mengaku dari wilayah Caringin dan mengaku anak seorang cutak,” kata lagi Ki jayaratu.
“Celaka!” teriak Ki Darma.”Banyak Angga cepat kau pulang, susul mereka!” sambungnya berteriak ke arah Banyak Angga.
Sudah barang tentu, baik Ki Jayaratu mau pun Banyak Angga heran dengan perilaku Ki Darma yang nampak tak tenang ini.
“Ada apa kau mencak-mencak tak keruan?’ tanya Ki Jayaratu heran. “Mereka! Mereka pasti kakak-beradik! Teriak lagi Ki Darma.
Giliran Ki Jayaratu dan Banyak Angga yang terkejut.
“Maksudmu, si Ginggi dan si Pragola itu bersaudara?” tanya Ki Jayaratu. “Betul!”
“Saudara Ginggi dulu tak pernah berkata bahwa dirinya berasal dari Caringin,” tutur Banyak Angga.
“Anak itu tak pernah bicara masa lalunya sebab aku sengaja tak banyak bicara perihal itu. Belasan tahun silam sebelum dia turun gunung, memang aku katakan bahwa dia berasal dari Caringin. Hanya saja aku tak mau bilang siapa ayahnya,” kata Ki Darma.
“Kalau dua orang kakak-beradik itu saling bantai, maka engkaulah yang berdosa Darma!” kata Ki Jayaratu.”Mengapa kau rahasiakan asal-usulnya?” tanyanya kemudian.
“Aku takut si Ginggi kecewa. Dia merasa sebagai orang Pajajaran dan cinta negri itu. Kalau dia tahu ayahnya sebagai cutak memberontak karena ingin bergabung dengan Cirebon, hatinya tentu terluka,” gumam Ki Darma.
“Hahaha!”
“Heh, kenapa kau malah tertawa?” teriak Ki Darma dan matanya melotot ke arah Ki Jayaratu. “Dalam hal ini si Pragola yang bertindak tepat. Dia selama ini berjuang untuk Cirebon sehingga tak perlu sedih melihat ayahandanya,” gumam Ki Jayaratu.
Ki Darma hanya mengatupkan mulut. Sedangkan Banyak Angga hanya termangu-mangu mendengar dan mendapatkan kenyataan seperti ini.
“Kita harus mencegah mereka jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kita harapkan,” gumam Banyak Angga pada akhirnya.
“Jangan khawatir, si Ginggi tidak mudah dikalahkan lawannya,” kata Ki Jayaratu. “Sepertinya kau inginkan mereka bertempur,” kata Ki Darma.
“Hahaha! Hitung-hitung mengembalikan kenangan permusuhan antara kau dan aku. Hm, sayang si Pragola tak kulatih dulu sehingga pertempuran bisa seru,” kata Ki Jayaratu. “Jangan main-main. Angga, kau harus cari mereka, cegahlah!” kata Ki Darma menoleh ke arah Banyak Angga yang tak begitu banyak bicara.
“Ya, kau harus berusaha mencegah pertemuan mereka, Angga,” kata Ki Jayaratu ikut menganjurkan. Namun sambil begitu, Ki Jayaratu menatap Banyak Angga yang masih tak sanggup beranjak dari balai-balai.
“Begitu bencinya pemuda itu terfadap Ginggi?” tanya Banyak Angga.
“Sebetulnya kebencian Pragola tertuju kepda orang Pajajaran secara keseluruhan,” kata Ki Jayaratu sambil kembali menerangkan bahwa Pragola ingin membalas dendam kepada orang Pajajaran karena kematian Ki Sudireja yang jadi gurunya juga kematian ayahandanya yang juga kematiannya erat kaitannya dengan bentrokan-bentrokan dengan Pajajaran.
“Ki Sudireja ikut terlibat pemberontakan Sunda Sembawa. Kalau Ginggi tak menggagalkan pemberontakan, tak nanti Ki Sudireja jadi buronan yang terus dikejar dan akhirnya tewas di bawah kepungan perwira-perwira Pakuan. Itulah sebabnya, si Pragola mengalihkan kebencian kepada si Ginggi,” tutur Ki Jayaratu.
“Anak dungu!” dengus Ki Darma pendek.
“Memang dungu sekali anak itu. Dan kalau tak bisa dicegah, kedunguannya itu akan membawanya ke arah kehancuran,’ kata Ki Jayaratu lagi.
Akhirnya kedua orang tua itu berjanji akan mengupayakan pengobatan sungguh-sungguh terhadap Banyak Angga. Diharapkan pemuda itu mendapatkan kesembuhan lebih cepat agar bisa mengejar kedua orang kakak-beradik yang diperkirakan akan berseteru karena permasalahan masa lampau.

***

Ternyata Banyak Angga perlu waktu hampir selama lima hari untuk mengembalikan kebugarannya. Kata Ki Jayaratu, pemuda itu lamban mengembalikan kesehatannya karena hatinya mungkin tak tenang.
Dugaan orang tua itu benar. Banyak Angga merasakan, betapa risau hatinya. Bagaimana tak begitu, Pragola tengah mengejar Ginggi. Bukan untuk melakukan pertemuan antara dua kakak-beradik, melainkan sebagai seteru. Paling tidak, itu yang tengah dipikirkan Banyak Angga.
Banyak Angga risau, dua orang itu secara terpisah dikenal baik olehnya. Dia tak boleh membiarkan keduanya berseteru. Kata Ki Darma, baik Ginggi mau pun Pragola adalah anak cutak Caringin. Mereka dipisahkan oleh kemelut politik dan secara tak sengaja, yang satu ikut Pajajaran, satunya lagi bergabung dengan Cirebon sehingga dengan sendirinya menempatkan mereka sebagai musuh.
Banyak Angga sedih. Keduanya merupakan orang-orang yang dia kagumi. Ginggi sudah jelas banyak berjasa kepada Pajajaran dan Pragola kendati kini terbukti merupakan orang Cirebon namun secara pribadi pemuda itu amat baik dan hormat terhadapnya. Atau, apakah perilaku hormat itu hanya sekedar polesan belaka karena anak muda itu menerima tugas sebagai penyelundup?
Banyak Angga mengeluh. Kalau benar begitu, maka untuk kesekian kalinya dia merasa ditinggalkan sahabat karena hal-hal yang melibatkan politik.
Dulu dia bersahabat dengan Purbajaya. Belakangan pemuda itu tewas karena terbukti orang Cirebon yang menyelundup ke Pakuan dengan tujuan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti.
Ginggi yang dia kagumi pun mendadak hilang karena pernah dituding sebagai pemberontak oleh Sang Prabu. Kini giliran Pragola yang meninggalkan dirinya. Dia sudah sayang terhadap pemuda itu, sudah mempercayainya dan bahkan menganggapnya sebagai adiknya sendiri.
Maka kini Banyak Angga harus kembali kecewa sebab ternyata Pragola hadir hanya untuk mengelabuinya.
Banyak Angga mengeluh. Mengapa politik demikian kejam, telah memilah-milah dan mengkotak-kotak pendirian. Hanya karena politik maka dua kakak-beradik terpaksa harus berhadapan sebagai musuh. Banyak Angga ngeri menggambarkan hal ini.
Kalau manusia lepas dari segala keterikatan mungkin mereka akan memandang satu sama lain sebagai suatu kesamaan dan tak terlalu kaku mempertentangkan perbedaan. Demikian Banyak Angga berpikir. Dai ambil contoh kedua orang tua itu. Ki Darma dan Ki Jayaratu khabarnya dulu merupakan seteru bebuyutan. Ki Darma perwira handal dari Pajajaran dan Ki Jayaratu sebagai perwira jagoan dari Cirebon. Setiap bertemu tentu melakukan pertempuran habishabisan dan satu sama lainnya tak ada yang bisa mengalahkan. Kini keduanya telah melepaskan keterikatan mereka terhadap negaranya sehingga tak ada lagi alasan bagi mereka untuk bermusuhan. Yang tersisa hanyalah persahabatan dua manusia di puncak Gunung dan yang satu sama lainnya saling membutuhkan. Banyak Angga berpikir, mengapa manusia tak bisa bersatu seperti dua orang tua itu, padahal pada hakikatnya semua orang saling memerlukan satu sama lainnya? Terjadinya perselisihan antara manusia barangkali terjadi karena adanya racun. Dan racun itu adalah ambisi dalam mempertahankan keberadaannya.
Maka kalau manusia sudah berjuang memenangkan ambisinya, disitulah terjadi pertentangan dan perpecahan, demikian pikir Banyak Angga.
Pemuda itu menerawang perjalanan negrinya. Hampir delapan ratus tahun lamanya, sejak negri ini bernama Karatuan Sunda (Maharaja Tarusbawa, 669 M), banyak mengalami pasangsurutnya. Kendati masa-masa itu tidak terlalu banyak kemelut yang banyak menciptakan peperangan besar, namun para leluhurnya mengakui bahwa perdamaian tidak abadi dan selalu hadir karena adanya sifat keserakahan. Yogascitra, ayahandanya, pernah meriwayatkan, betapa dahulu kala pernah terjadi perebutan kekuasaan antara Rakeyan Tamperan dan Sang Manarah (739M) dan pertumpahan darah terjadi.
Sifat serakah yang dilakukan manusia juga sempat disaksikan pada zamannya kini. Banyak Angga tahu, betapa di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) banyak terjadi kemelut sebab Sang Prabu selalu memaksakan kehendaknya. Dan akibatnya banyak terjadi pemberontakan kecil karena negri bawahan ingin memisahkan diri.
Kehadiran agama baru yang terjadi jauh sebelum pemerintahan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja merupakan kemelut khusus yang menciptakan berbagai perbedaan kehendak. Kini kekuatan agama baru semakin merekah dan melebar dan semakin menghimpit keberadaan Pajajaran. Suasana semaikn meruncing karena, diperkeruh oleh politik yang melibatkan ambisi pribadi. Betapa Banyak Angga menyaksikan, ada kelompok yang ingin memerangi agama baru denagn dalih ingin mempertahankan keberadaan kepercaan lama. Atau sebaliknya, Banyak Angga saksikan pula ada kelompok yang ingin menghancurkan sendisendi kehidupan negri Pajajaran dengan dalih demi kepentingan agama baru. Oleh sekelompok manusia yang memanfaatkan situasi, agama dan kepercayaan digunakan sebagai alat untuk menhancurkan lawan politiknya. Ya, karena manusia terlanjur memiliki kepentingan yang terkotak-kotak, maka perpecahan dan pertentangan kerapkali terjadi.
Banyak Angga sedih dan berduka memikirkannya. Ini adalah sesuatu yang jauh berada diluar jangkauannya sehingga dia tak berdaya untuk mencegahnya.
Mengapa tak berdaya mencegahnya. Paling sedikit untuk mencegah perpecahan antara Ginggi dan Pragola, apakah juga tak bisa? Banyak Angga mengerutkan alis dalam sekali.
“Aki, saya akan segera pamit dari sini,” tutur Banyak Angga ketika makan siang berlangsung. “Bagus. Pergilah segera. Kalau bisa, esok pagi kau sudah harus berangkat,” kata Ki Darma seperti mengusir.
“Saya ingin berangkat siang ini juga, Aki,” jawab Banyak Angga. Dan hal ini seperti mengejutkan orang tua itu.
“Ha, tak secepat itu aku menyuruhmu,” katanya. “Saya ingin berangklat hari ini saja,”
Ki Darma melamun sebentar. Namun sesudah itu mengangguk tanda setuju. “Berangkatlah. Namun hati-hati di jalan sebab rintangan selalu ada,” gumam Ki Darma menerawang, tangannya mengelus-ngelus jenggot putihnya yang sebatas dada.
“Saya juga telah sadar bahwa dalam hidup ini banyak rintangan. Tentu saya akan selalu hatihati. Namun, apakah saya bisa menyingkirkan rintangan-rintangan itu, bukan saya yang memiliki kekuasaan,” jawab Banyak Angga tenang.
“Baguslah. Begitulah sebaiknya manusia berpendirian. Banyak hal berada diluar kekuasaan kita. Seperti majunya perjalanan waktu. Dia akan terus membawa perubahan dan tak seorang manusia pun sanggup mencegahnya,” kata Ki Darma sungguh-sungguh.
Banyak Angga mengangguk dan menghormat takzim. Kemudian sesudah berkemas seperlunya, dia segera mohon diri.
“Lewatlah ke lereng selatan, si tua bangka Jayaratu mungkin ingin ketemu engkau untuk yang terakhir kalinya,” kata Ki Darma.
“Tentu, saya pun perlu berterima kasih padanya,” jawab Banyak Angga.
Dan pemuda itu turun gunung melalui lereng selatan di mana dia tinggal bersama para santrinya.
Ki Jayaratu seperti yang sudah tahu bahwa dirinya akan menerima kedatangan seseorang, buktinya dia berdiri di lawang kori (pintu gerbang perkampungan) sambil berpangku tangan. Orang tua gagah itu mendahului menyapa dengan mengucapkan selamat jalan.
“Tujuanmu mulia anak muda, yaitu ingin berjuang membela keselamatan negrimu. Namun engkau pun harus arif menilai tanda-tanda zaman. Perubahan-perubahan zaman yang pasti akan berlangsung belum tentu mengganggu dan merusak. Bahkan aku sendiri berpendapat, inilah perubahan yang akan membawa jalan keselamatan bagi yang mngikuti kehendak-Nya,” tutur Ki Jayaratu.”Agama baru yang tengah kami sebarkan adalah pembawa keselamatan umat manusia,” lanjutnya.
Banyak Angga hanya menundukkan kepalanya.
“Siapa yang bilang bahwa agama baru akan menghancurkan negrimu? Tidak. Bahkan Pajajaran yang berdiri sejak ratusan tahun silam adalah sebuah negara besar yang memiliki tatanan kehidupan besar. Maka akan semakin sempurna bila tatanan bernegara di Pajajaran juga diayomi oleh tatanan agama paling sempurna ini,” ungkap Ki Jayaratu.
Banyak Angga masih menundukkan kepalanya.

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10


Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid-10

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 09 --oo0oo-- Kunanti Di Gerbang Pakuan Tamat

TRILOGI PAJAJARAN
Kunanti Di Gerbang Pakuan
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 10


“Engkau jangan melihat Arya Damar atau pun Yudakara. Mereka datang ke sana ke mari bukan untuk mengusung kepentingan agama baru. Mungkin mereka hanya berlindung dibaliknya, memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadinya semata. Aku katakan sekali lagi, sejak dulu Cirebon tak berniat menyerang Pajajaran, kecuali menginginkan agama baru tersebar luas ke penjuru dunia. Agama kami ini untuk kepentingan hidup manusia. Maka alangkah muskilnya bila dalam menyebarkannya kami lakukan dengan penghancuran,” Ki Jayaratu berpanjang-lebar bicara.
Banyak Angga mengangguk dan menyembah takzim.
“Saya mengerti perihal ini dan akan saya laporkan kepada penguasa negri. Namun seperti yang Ki Jayaratu katakan tadi, seorang abdi negara wajib mempertahankan negrinya. Aki telah sadar bahwa Pajajaran tengah diancam oleh kelompok manusia seperti yang digambarkan tadi. Maka itulah perjuangan kami, ingin menepis orang-orang seperti itu sehingga tak mengganggu dan merusak ketentraman hidup,” jawab pemuda itu.
Ki Jayaratu mengangguk-anggukan kepala dan tersenyum tipis.
“Pergilah anak muda. Memang nilai terbaikmu ada di sana, yaitu membela nama baik negri,” tutur Ki Jayaratu.
Banyak Angga mengangguk. Dan untuk kesekian kalinya dia menyembah takzim.

***

Banyak Angga berjalan menuruni bukit. Tidak terburu-buru namun juga tidak berlaku santai. Dia sadar, berita yang akan disampaikannya ke pusat pemerintahan sungguh penting dan bila terlambat menyampaikannya akan membahayakan negri.
Namun pemuda ini pun sadar, untuk tiba di dayo Pakuan tak bisa secepat itu. Perjalanan dari puncak Gunung Cakrabuana yang ada di wilayah Karatuan Talaga ke ibu negri Pajajaran yang begitu jauh, paling cepat akan menghabiskan waktu satu minggu, itu pun bila tidak ada rintangan. Padahal Banyak Angga sadar, perjalanan menuju wilayah barat bukan merupakan perjalanan yang nyaman. Sudah dia buktikan sendiri, betapa susah-payahnya dia manakala ingin melakukan perjalanan dari Pakuan ke Cakrabuana. Di samping medan perjalanan yang berat, juga ditambah oleh gangguan keamanan. Beberapa kali rombongannya dicegat pasukan misterius yang tujuannya nyata-nyata hendak membunuhnya.
Siapa calon-calon pembunuh itu, membuat alis pemuda itu berkerut.
Mungkin di antara pencegat itu ada di antaranya yang datang dari Cirebon. Atau mungkin juga hanya sekedar perampok biasa. Namun Banyak Angga pun berpikir, di antara para pembunuh itu ada yang datang dari Pakuan sendiri. Mengapa tak begitu sebab semuanya serba misterius. Semuanya serba tertutup. Di antara kaum penyerang ketika itu ada beberapa yang bisa ditangkap. Namun pada akhirnya mereka tewas misterius sebelum diperiksa. Kendati samar-samar, belakangan Banyak Angga berani meraba-raba, barangkali penyerang yang mati misterius sebelum ditanyai adalah pembunuh yang muncul dari dalam sendiri.
Utusan Pangeran Yudakara?
Banyak Angga bergidik memikirkannya. Bisa saja dia hendak dibunuh oleh Pangeran Yudakara. Dan kalau benar jalan pikirannya ini, maka bulu kuduknya semakin bergidik juga sebab dia harus lebih jauh lagi meaba-raba kemungkinannya. Kemungkinan paling buruk, Pragola pun ikut terlibat. Paling tidak, anak muda itu tahu bahwa dirinya jadi sasaran pembunuhan Pangeran Yudakara, bekas majikan pemuda itu. Bekas majikan? Ow, barangkali selama ini yang jadi majikan Pragola buka keluarga Yogascitra, melainkan Pangeran Yudakara. Ya, Pragola pasti sengaja diselundupkan oleh pangeran itu untuk memata-matai dan juga membantu melenyapkannya.
Banyak Angga bergidik menduganya. Betapa tak menduga begitu. Kendati Pragola tidak berani langsung membunuhnya tapi tapi paling tidak pemuda itu mencoba membiarkan orang lain membunuhnya. Banyak Angga teringat pada pertempuran terakhir di hutan jati di tengah perjalanan antara karatuan Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Waktu itu rombongannya dikepung pasukan misterius. Banyak Angga sudah payah dikepung banyak orang. Karena melihat kedudukan Pragola agak longgar, Banyak Angga memohon bantuan. Namun pemuda itu seperti mengulur-ngukur waktu untuk membantunya kalau pun tak disebut sebagai membiarkannya. Sambil sempoyongan karena kepala pusing banyak mengeluarkan darah, Banyak Angga ketika itu sempat mengetahui, betapa Pragola memilih diam tak bergerak manakala beberapa golok musuh hendak mencehcarnya. Padahal kalau mau, waktu itu Pragola masih sempat mengulurkan bantuan.
Karena Pragola masih tetap diam, akhirnya Banyak Angga memejamkan mata dan pasrah akan nasibnya manakala belasan golok hendak mencecarnya. Banyak Angga sudah tak tahu apa-apa lagi karena pingsan, untuk selanjutnya kembali sadar sesudah berada di Puncak Cakrabuana.
Banyak Angga duduk di atas batang pohon yang tumbang di tengah hutan. Banyak pikiran menggayutinya. Dia pun ingat kepada teman-temannya yang lain. Di manakah Paman Angsajaya kini berada? Di mana pula Paman Manggala? Pertemuan terakhir kali adalah di tengah kepungan pasukan misterius itu. Semuanya terkepung dan semuanya kepayahan.
Sesudah itu, semuanya tak diketahui. Ketika Banyak Angga sudah selamat berada di puncak, dia pun teringat mereka dan ingin sekali bertanya perihal teman-temannya yang lain. Tapi kelihatannya, baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu tidak mengetahuinya. Buktinya, mereka tak pernah menyebut-nyebut pertempuran di hutan jati secara rinci. Barangkali Ginggi yang menolongnya, tak mengabarkan kejadian pertempuran secara lengkap karena terlalu tergesagesa untuk segera pergi ke Pakuan. Atau bisa juga sebetulnya kedua orang tua itu sudah dilapori Ginggi perihal pertempuran di sana, hanya saja mereka tak mau mengabarkannya kepada Banyak Angga.
Maka Banyak Angga pun kembali melanjutkan perjalanannya. Perlu dua hari untuk sampai ke wilayah Karatuan Sumedanglarang itu. Itu terjadi karena Banyak Angga harus melakukan perjalanan dengan hati-hati. Dia tahu, Sumedanglarang sudah merupakan negri yang memihak Cirebon. Dan barangkali mereka rak menyukai melihat orang Pakuan keluyuran di wilayahnya. Itulah sebabnya, perjalanan berjalan lambat.
Namun ketika tiba di hutan jati bekas pertempuran, Banyak Angga hanya menemukan kesunyian. Di sana tak ada kehidupan apa pun kecuali gundukan-gundukan tanah.
Banyak Angga menduga, gundukan tanah itu tentu kuburan. Pemuda ini percaya kalau seusai pertempuran banyak orang menjadi korban. Namun, kuburan siapakah itu, jumlahnya cukup banyak. Hanya saja, dari sekian gundukan tanah, ada dua kuburan terpisah.
Banyak Angga berpikir sejenak. Dia mencoba menduga-duga jalan pikiran penguburnya. Mungkin dia tahu, yang tewas ada dua belah pihak, makanya mayat mereka dikuburkan secara terpisah. Beberapa buah di sebelah sana dan hanya dua buah di tempat lainnya. Banyak Angga terkejut mengikuti jalan pikirannya ini. Kalau dua kuburan terpisah itu ternyata anak buahnya, siapa lagi kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala? Ya,
bukankah dia tahu Pragola selamat? Siapa lagi yang tak bisa tiba ke Puncak Cakrabuana kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala?
Banyak angga terduduk lesu. Ada burung gagak beterbangan di angkasa, seolah-olah memberi tahu bahwa kuburan yang dia renungi adalah benar kuburan dua anak buahnya. Satu kuburan Paman Angsajaya dan satunya lagi kuburan Paman Manggala.
Sungguh bingung memikirkannya. Kalau mau bercuriga, sebenarnya Paman Manggala tak perlu mati. Bukankah dia tadinya ank buah Pangeran Yudakara juga? Kalau benar begitu, Paman Manggala pun berkomplot sama dengan Pragola. Namun herannya, Paman Manggala pun ketika itu dikepung ramai-ramai dengan darah bersimbah di sana-sini. Banyak Angga pun mengeryitkan dahi, kendati waktu itu Pragola terbebas dari luka-luka, namun Banyak Angga melihat bahwa serangan musuh terhadap pemuda itu sungguh-sungguh dan berniat hendak mengambil nyawanya. Hanya karena Pragola lebih kosen saja maka tak ada musuh yang sanggup melukainya.
Banyak Angga semakin bingung memikirkan hal ini. Siapakah pasukan penyerang di hutan jati itu? Mereka memang memperlihatkan ciri sebagai perampok, begitu menghadang minta harta. Namun mengaku perampok dan minta harta, belum tentu perampok beneran. Bisa saja mereka utusan tertentu untuk melakukan pembunuhan. Utusan siapa mereka, inilah yang membingungkan sebab semuanya serba gelap.
Namun, terbukti atau tidak mereka bertindak sebagai utusan, yang jelas di Pakuan kini bersarang tokoh yang membahayakan. Betapa tidak, Pangeran Yudakara begitu dipercaya oleh Sang Prabu Nilakendra. Dia adalah kerabat dekat Sumba Sembawa, tokoh pemberontak dari Sagaraherang di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti. Barangkali agar hubungan dengan wilayah Sagaraherang membaik kembali, maka tampuk pemerintahan di kandagalante itu diserahkan kepada Pangeran Yudakara.
Banyak alasan mengapa Sang Prabu Nilakendra menyerahkan Sagaraherang kepada pangeran itu. Sang Prabu selalu ingin mengurangi permusuhan dengan berbagai pihak. Sang Prabu rupanya ingin menghapus jejak ayahandanya yang gemar menanam permusuhan. Maka Pangeran Yudakara yang diketahui pernah berkiblat ke negri Carbon dan bahkan kerabat dekat Kandagalante Sunda Sembawa yang memberontak, tokh diberinya kepercayaan untuk menguasai Sagaraherang.
Sang Prabu barangkali bermaksud menghilangkan rasa dendam atas kematian kerabatnya, yaitu Sunda Sembawa. Maka dianugrahilah Pangeran Yudakara dengan jabatan tinggi.
Banyak Angga bahkan menerima khabar bahwa wilayah Sagaraherang akan semakin diperluas ke arah timur yang berbatasan dengan wilayah Carbon dan Pangeran Yudakara akan dinaikkan pangkatnya tidak sekadar sebagai kandagalante (setingkat wedana kini) namun akan menjadi mangkubumi yang menguasai wilayah tanah setingkat gubernur untuk ukuran sekarang.
Selama berada di Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan di Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan yang mencurigakan. Bahkan dia banyak berpikir perihal kemajuan Pakuan. Sebagai contoh, Pangeran Yudakaralah yang mengirim Pragola ke Pakuan untuk memberikan laporan mengenai adanya belasan pasukan balamati yang katanya terkepung di Puncak Cakrabuana itu.
Tentu saja, Banyak Angga sebelumnya terkecoh kalau saja tidak mendapat khabar dari Puncak Cakrabuana. Ki Jayaratu malah mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara sebetulnya tak lebih dari sekadar petualang politik saja. Ki Jayaratu mengabarkan, betapa semasa berada di Carbon, Pangeran Yudakara selalu mempengaruhi para pimpinan di sana agar menghancurkan Pajajaran dengan alasan untuk memperluas sendi-sendi agama baru di Jawa Kulon. Kata Ki Jayaratu, begitu uletnya Pangeran Yudakara dalam upaya membelokkan perjuangan Carbon. Buktinya, Purbajaya, murid terkasih Ki Jayaratu yang berangakat ke Pakuan dengan tugas ikut menyebarkan agama baru, pada akhirnya terjerumus ke kancah politik yang salah.
Tentu saja Banyak Angga tak bisa menuduh begitu saja. Ucapan Ki Jayaratu hanya akan dianggap sebagai panduan saja. Sedangkan untuk membuktikan gerakan apa yang sebenarnya tengah dilakukan Pangeran Yudakara, haruslah melakukan penyelidikan dengan seksama.
Sesudah merenung cukup lama, akhirnya Banyak Angga bergegas meninggalkan hutan jati itu. Hari sudah mulai gelap dan dia tak mau kemalaman di sini.
Dia harus cepat melakukan perjalanan, sesulit apa pun yang terjadi. Kali ini benar-benar diburu waktu. Di samping untuk memikirkan bahaya yang ditimbulkan Pangeran Yudakara, Banyak Angga pun harus memikirkan nasib Ginggi dan Pragola. Pemuda ini khawatir sekali bahwa bila Pragola berhasil menemui Ginggi, maka akan terjadi peristiwa yangh tak diinginkan. Jangan sampai dua kakak-beradik mengadu nyawa oleh sesuatu sebab yang tak berarti.
Pragola diketahui menyimpan dendam kepada Ginggi. Prgola harus dicegah jangan sampai melampiaskan rasa dendamnya itu.

***

Banyak Angga terus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Pada siang hari dia melakukannya seperti orang kebanyakan. Tapi pada malam hari atau bila menempuh perjalanan yang bersuasana sepi, dia berjalan secara napak sancang. Napak sancang adalah sejenis ilmu meringankan tubuh. Semakin tinggi memiliki ilmu ini, akan semakin ringan tubuhnya.
Banyak Angga menerima pelajaran napak sancang dari Ginggi manakala pemuda itu masih bekerja padanya belasan tahun silam.
Dan kalau ingat Ginggi, Banyak Angga suka tersenyum sendiri memikirkannya. Ginggi itu manusia aneh. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi tapi selalu acuh tak acuh dn masa bodoh terhadap kemampuannya ini. Kalau pemuda lain, sedikit punya kepandaian saja sudah berbondong-bondong melamar untuk jadi prajurit Pakuan. Sebaliknya dengan Ginggi. Dia tak pernah menganggap bahwa dirinya berharga. Ketika ayahanda Banyak Angga, yaitu Pangeran Yogascitra ingin memasukannya menjadi anggota pasukan balamati (pengawal Raja), Ginggi menolaknya, padahal orang lain harus menempuh ujian-ujian berat.
Ginggi pandai menggunakan ilmu napak sancang sehingga Banyak Angga ketika itu tertarik dan ingin menganggap pemuda Ginggi sebagai gurunya.
“Ah, tak perlu berguru. Kalau engkau mau, akan saya kasih contoh,” tutur Ginggi ketika itu. Maka Ginggi mendemontrasikan kepandaiannya. Dia mengajak Banyak Angga bermain di Telag Rena Mahawijaya, sebuah telaga buatan di Pakuan yang pada waktu-waktu tertentu digunakan raja dan kerabatnya untuk melakukan upacara suci.
Banyak Angga begitu terkagum-kagum ketika melihat Ginggi memperlihatkan kepandaiannya. Ginggi begitu hebatnya berlari dan meloncat-loncat di atas permukaan air. Kalau tak menyaksikan sendiri, maka siapa pun tidak akan percaya, mana mungkin orang bisa berlari di atas permukaan air. Atau kalau pun bisa menyaksikan, maka orang akan menganggapnya sebagai perbuatan sihir.
“Bukan sihir atau pun ilmu gaib sebab ini hanyalah peristiwa alamiah belaka,” tutur Ginggi ketika. Kemudian pemuda lugu itu memberikan contoh sederhana. Diambilnya sebuah batu berbentuk pipih tipis. Benda itu dia celupkan ke air.
“Lihat, benda ini tenggelam,” kata Ginggi. Sesudah Banyak Angga mengiyakan, batu pipih itu diambil lagi. Kemudian Ginggi melemparkannya keras-keras mengarah ke tengah telaga. Cara melemparkan, diusahakannya agar bagian yang pipih mendatar sejajar permukaan air. Batu itu melesat sejajar permukaan air. Ketika turun dan menempel ke permukaan air, batu itu tidak tenggelam, melainkan masih tetap meluncur meloncat-loncat dan baru benar-benar tenggelam ketika tenaganya habis.
“Begitulah cara telapak kaki kita pun dalam menginjak permukaan air,” tutur Ginggi. “Diusahakan telapak kaki kita memijak datar ke atas permukaan air tapi dengan gerakan cepat dan jangan biarkan gaya berat tubuh kita punya kesempatan menekan lama kepada permukaan air,” lanjutnya.
Banyak Angga mengerti teori ini. Namun untuk mempraktekaknya sungguh sulit. Dia tak pernah berhasil meniru apa yang pernah dilakukan Ginggi. Tenaga dalamnya kurang kuat sehingga tak mampu menggerakkan sepasang kakinya dengan kecepatan penuh seperti apa yang jadi persyaratan.
Sampai tiba saatnya berpisah dengan Ginggi, Banyak Angga tak pernah berhasil melatih ilmu napak sancang dengan baik. Artinya, Banyak Angga tak pernah bisa meniru apa yang pernah diajarkan Ginggi, yaitu berlari di atas permukaan air.
Namun kendati demikian, seburuk apa pun kemampuannya, tokh apa yang dipelajari Banyak Angga terasa manfaatnya. Walau pun dia tak bisa napak sancang di atas permukaan air, namun ketika dia menggunakan ilmu itu di tempat datar, hasilnya sungguh mencengangkan. Banyak Angga bisa berlari amat cepat seperti panah melesat dari busurnya. Kalau orang biasa menyaksikannya, mereka pasti akan terbengong-bengong, atau barangkali akan bergidik ketakutan karena yang terlihat hanya sesuatu benda berkelebat saja.
Itulah sebabnya, untuk tidak membuat perhatian orang, maka Banyak Angga hanya melakukan kepandaiannya di tempat-tempat sepi saja.
Di tempat ramai menjelang ketibaannya di wilayah Sagaraherang, Banyak Angga tidak berani melakukan hal-hal aneh menurut perkiraan orang biasa. Bahkan dia pun tak mau diketahui oleh siapa pun bahwa dirinya memiliki sedikit kepandaian. Bahkan di wilayah Sagaherang ini, dian ingin melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Beberapa hari lalu ketika dia akan berangkat menuju Cakrabuana dan singgah di wilayah ini tak punya kecurigaan apa-apa. namun setelah menerima khabar dari Ki Jayaratu, persoalan lain lagi. Dia harus berusaha membuktikan benar tidaknya sepak-terjang Pangeran Yudakara. Jauh di luar kota, Banyak Angga sudah mendapatkan berita bahwa kali ini Pangeran Yudakara tengah berada di purinya. Pemuda ini bersyukur dalam hatinya sebab dengan demikian dia bisa mulai melakukan penyelidikan.
Banyak Angga menunggu hari malam. Kemudian sesudah waktu ditunggu tiba, dia segera bergerak. Tujuannya adalah puri Yudakara.
Wilayah kandagalante Sagaraherang ini cukup besar. Pusat kota dilindungi benteng tanah yang disusun kokoh setinggi lebih dari empat depa ( 1 depa kurang lebih 1,698 meter).
Lawang Saketeng (pintu gerbang) menghadap ke sebelah timur, ke arah di mana dalam perjalanan kuda dua hari sudah merupakan wilayah Nagri carbon (Cirebon).
Persinggahan beberapa hari lalu di wilayah ini tidak begitu menarik perhatian dirinya. Dia yang beberapa hari lalu masih memimpin rombongan menuju Cakrabuana hanya singgah sebentar saja. Pertama karena waktu itu hari masih siang dan keduanya karena tuan rumah yaitu Pangeran Yudakara sedang tak berada di tempat.
Amat kebalikan dengan hari ini. Sekarang Banyak Angga datang dengan segudang rasa penasaran. Namun sudah barang tentu, kehadirannya kali ini harus dilakukan diam-diam. Dia ingin menyelidik. Dan untuk itu, tk boleh ada orang tahu. Itulah sebabnya, Banyak Angga menunggu malam jauh di luar benteng. Dia bermaksud ingin menyelundup ke puri Yudakara secara diam-diam.
Dan waktu yang ditunggu telah tiba. Manakala senja jatuh di ufuk barat, maka terdengar lenguhan terompet tiram. Tidak lama kemudian terdengar pula derit pintu kayu jati ditutup jagabaya (prajurit penjaga).
Ini merupakan aba-aba bagi Banyak Angga agar segera bersiap-siap untuk melakukan penyelundupan.
Banyak Angga harus menunggu lagi untuk beberapa lama agar malam benar-benar gelap. Amat beruntung langit malam tidak dihiasi bulan. Dengan demikian dia akan bisa bergerak dengan sedikit leluasa. Kini yang harus diperhatokan adalah gerakan tugur (peronda) yang setiap saat datang menusuri benteng. Tugur bergerak tiap empat orang. Dua orang di depan membawa oncor (obor) yang apinya menyala cukup besar dan menerangi seputarnya.
Sedangkan dua orang di belakang selalu siap dengan gobang (pedang) terhunus.
Banyak Angga perlu menyimak gerakan mereka untuk beberapa saat. Dia ingi tahu setiap kapan tugur akan lewat, sehingga pada akhirnya dia akan bisa mencuri kesempatan untuk menerobos masuk.
Namun sungguh mengherankan, interval gerakan tugur sungguh amat ketat. Keheranan ini sekaligus mengundang perasaan curiga, mengapa penjagaan seketat ini? Semakin tebal rasa curiga Banyak Angga, seolah-olah benar, Pangeran Yudakara akan melakukan gerakan yang membahayakan Pakuan.
Banyak Angga semakin tertarik untuk menyelidiki puri ini. Kalau benar terdapat hal-hal yang mencurigakan, dia harus segera kembali ke dayo (ibukota) untuk melapor.
Banyak Angga sudah mendekam di atas benteng. Namun demikian, dia masih belum punya kesempatan untuk menyelundup masuk.
Meloncat turun begitu saja, merupakan sebuah tindakan riskan sebab di dalam benteng merupakan lapangan rumput yang cukup terbuka. Bisa saja dia berlari kencang menuju paseban (bangunan tempat melakukan pertemuan). Namun bangunan terkecil di tengah hamparan rumput beratap sirap itu terbuka di keempat sudutnya. Artinya, bangunan itu berdiri tak berdinding. Banyak Angga akan bisa ketahuan tugur bila sembunyi di sana. Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Di depan paseban terdapat tiga bangunan berjejer. Namun dari ketiganya, hanya satu yang besar dan indah. Banyak Angga tahu, itulah bangunan di mana Pangeran Yudakara tinggal.
Bagaimana dia bisa ke sana tanpa diketahui penjaga? Banyak angga tengadah ke atas. Di sana terlihat dahan pohon kihujan. Pohon jenis ini ada berjejer tiga buah dan yang palin ujung terletak di sisi bangunan samping. Pohon-pohon itu seolah memberitahu bahwa dia harus bergerak lewat dahan untuk bisa mendekat bangunan inti.
Maka ketika rombongan tugur pembawa obor sudah lewat, Banyak Angga segera meloncat ke atas dan sepasang tangannya bergayut ke ujung dahan pohon. Ada sedikit suara berkeresekan karena dahan pohon bergoyang. Pemuda itu menahan napas dan hatinya berdoa agar suara keresekan tak didengar kaum peronda.
Beruntung tak ada petugas yang kembali. Ini pertanda suara keresekan tak didengar mereka. Namun kendati begitu, Banyak Angga mengeluh. Segala sesuatu yang menyelamatkannya selalu berbau keberutungan dan bukan atas kebolehannya. Bila ingat ini, pemuda itu selalu iri kepada Ginggi. Ginggi hidupnya acuh tak acuh dan sedkit ugal-ugalan. Pemuda itu terkadang tak peduli terhadap keberadaan dirinya. Ginggi pernah berkata, Ki Darma sebagai gurunya suka memaksa agar dia selalu berlatih kedigjayaan. Namun Ginggi kerapkali menolak dan bersikap ogah-ogahan. Anehnya, kendati begitu tokh punya kepandaian hebat. Dia amat digjaya dan amat disegani di mana-mana. Seorang diri dia pernah melumpuhkan puluhan prajurit tangguh anak Buah Sunda Sembawa tanpa membuat luka apalagi tewas. Ini adalah kepandaian maha hebat sebab orang baru bisa meloloskan diri dari kepungan banyak orang kalau sudah melumpuhkan atau menewaskannya.
Banyak Angga mengeluh. Bila dibandingkan dengan Ginggi, dia tak ada apa-apanya. Padahal kini tengah menangani pekerjaan berat, barangkali berbahaya. Kalau saja kepandaiannya setingkat Ginggi dia lebih leluasa dan lebih punya keyakinan.
Bukan karena takut. Tapi pekerjaan ini tak boleh gagal. Kematian baginya bukan suatu hal yang perlu dirisaukan. Tapi mara-bahaya untuk negara harus dihindarkan. Itulah yang dirisaukannya. Dia takut penyelidikannya gagal sehingga berakibat fatal bagi negrinya.
Tak ada bantuan yang bisa dicari. Penghuni puri ini, barangkali semuanya orang-orang Yudakara. Artinya, malam ini dia kerja sendirian.
Maka Banyak Angga segera merayap menuju dahan lebih besar. Dia merangkak dengan hatihati. Meloncat ke dahan lain dan segera berhenti karena ada tugur lain yang lewat membawa obor dengan cahayanya yang menggelebur terang.
Sesudah rombongan peronda lewat jauh, kembalai Banyak Angga bergerak. Kali ini menggapai dahan pohon di sebrang. Sayang ujung dahan itu terlalu kecil, sehingga ketika dia bergayut dahan melenting karena tak kuat menahan berat badannya.
Pemuda itu terpaksa menjatuhkan diri ke atas tanah berumput sebab kalau tetap memaksakan diri terus bergayut, akan menimbulkan perhatian penjaga kalau dahan kecil itu patah dan mengeluarkan bunyi.
Begitu jatuh ke atas tanah, Banyak Angga segera meloncat dan berlindung di balik pohon itu. Kini tinggal terhalang satu pohon lagi untuk sampai ke jajaran bangunan yang dia tuju itu.
Dan Banyak Angga kembali meloncat-loncat agar bisa tiba di sana sebelum kehadiran peronda baru.
Tadinya yang ingin dia tuju adalah bangunan besar di tengah. Namun niat itu dia rahkan ke tempat lain. Dari dalam bangunan pertama sayup-sayup terdengar suara lecutan cambuk disusul oleh suara orang menahan rasa sakit.
Banyak Angga segera menduga, di dalam bangunan itu ada orang yang tengah disiksa. Siapa yang siksa dan siapa pula yang menyiksa, itu pula yang jadi pusat perhatian Banyak Angga. Pemuda itu ingin mengetahuinya.
Maka dengan sangat hati-hati pemuda itu berusaha menaiki dinding bangunan yang terbuat dari serpihan papan jati. Hati-hati sekali sebab dia tak ingin ada suara keresekan biar sedikit pun. Banyak Angga sadar, di puri ini banyak orang pandai. Pangeran Yudakara dikenal punya kepandaian tinggi dan Banyak Angga tidak ingin bertindak gegabah.
Pemuda itu merayap ke atas dan menuju atap genting sirap. dengan amat hati-hati dia mencoba mencongkel serpihan daun sirap dengan harapan bisa membuat celah untuk mengintip ke bawah.
Sudah dilakukan. Sorot matanya bisa melihat ke bawah. Pertama-tama yang dilihatnya adalah seorang prajurit bertubuh tinggi besar dengan muka penuh cambang bauk. Dia bertolak pinggang sambil tangannya memegangi cemeti (cambuk) terbuat dari kulit hitam yang dilinting.
Banyak Angga menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Dia ingin sekali tahu, siapa yang tengah disiksa prajurit itu.
Ada sepasang tangan yang diikat tambang ijuk ke atas balok kayu dan sepertinya sepasang tangan itu sengaja dikerek ke atas.
Banyak Angga ingin sekali melihat wajah orang yang terikat itu. Namun apa daya, tepat di hadapan orang yang terikat itu berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan. Siapa orang bertubuh tinggi itu, Banyak Angga pun tak bisa memastikan sebab orang itu berdiri berkacak pinggang sambil menghadap ke arah tawanan, artinya pas membelakangi Banyak Angga. Namun ketika orang itu berbicara, Banyak Angga serasa kenal dengannya.
“Pengkhianat harus dibunuh!” desis orang itu. Kemudian dijawab oleh tawanan,”Aku bukan pengkhianat sebab tak pernah bersetia kepada siapa pun sebelumnya,”
Banyak Angga terkejut. Kedua orang yang bertanya-jawab itu tak lain Pangeran Yudakara dan Pragola. Pragola kini yang jadi tawanan Pangeran Yudakara. Karena apa?
“Dasar anak dungu! Bertahun-tahun kau berada di bawah pengawasanku, berarti kau anak buahku. Berarti pula kau harus bersetia kepadaku,” desis Pangeran Yudakara.
“Saya datang dan bergabung denganmu karena punya tujuan yang sama yaitu melawan musuh yang sama,” jawab Pragola.
“Nah, kau bilang begitu. Tapi mengapa kau abaikan perintahku?” “Soal apa?”
“Berminggu-minggu kau dekat dengan Banyak Angga dan banyak kesempatan untuk melenyapkan pemuda itu, nyatanya tidak kau lakukan,” tutur Pangeran Yudakara.
Diam sejenak.
“Kau keni bersetia kepada Banyak Angga?”
“Sudaj aku katakan, aku tak bersetia kepada siapa pun juga, kecuali kepada rasa benciku terhadap orang Pajajaran,”
“Bukankha Banyak Angga orang Pajajaran?”
“Ya, tapi aku hanya mau mencari si Ginggi yang kuanggap teha menjadi gara-gara kematian Ki Guru Sudireja,” kata Pragola lagi.
“Dungu. Kau hanya berkutat pada kepentingan pribadi belaka,” dengus Pangeran Yudakara. “Pada akhirnya semua orang bekerja untuk kepentingan pribadi, tidak juga engkau Pangeran!” sergah Pragola.
Pangeran Yudakara memungut cambuk yang tengah dipegang prajurit brewok itu. Lantas cambuk itu dilecutkannya ke tubuh Pragola. Melalui celah genting sirap, Banyak Angga menyaksikan ada darah mengucur dari dada kiri Pragola yang tersayat ujung cambuk. “Bunuhlah kalau aku tak menguntungkanmu!” teriak Pragola.
“Sudah barangtentu engkau harus kubunuh sebab hanya akan mengacaukan gerakan kami belaka,” cetus Pangeran Yudakara berkerot giginya.”Engkau hanya berfikir tentang dendam pribadi belaka. Hai orang dungu dengarkan, membunuh mungkin saja bagian dari perjuangan tapi itu bukan tujuan satu-satunya, dan bukan karena dendam. Kau hanya ingin bunuh Ginggi dan menolak perintah bunuh Banyak Angga. Itulah mengacaukan. Tindak-tandukmu yang liar tak terpimpin itu hanya akan membahayakan gerakan kami saja,” tutur lagi Pangeran Yudakara.”Bunuh bedebah ini!” teriaknya memerintahkan prajurit brewok. Yang diperintah segera mencabut kelewang.
Banyak Angga yang mengintip dari atas wuwungan amat terkejut. Dia akan segera mendobrak genting sirap untuk memberikan pertolongan. Pragola boleh menjadi penyelundup yang membahayakan Pakuan. Namun Banyak Angga berfikir bahwa Pragola adalah pemuda baik. Apalagi dia tahu bahwa Pragola adik kandung Ginggi. Dia harus berusaha menyelamatkan pemuda itu.
Namun belum juga niatnya terlaksana, terdengar suara dentangan dari bawah. Banyak Angga kembali mengintip, ternyata kelewang yang tadi diayunkan prajurit sudah menancap di tiang kayu jati dan bergoyang-goyang mantap.
Banyak Angga semakin terkejut. Entah dengan cara apa, namun kelewang yang sedianya diayunkan ke tubuh Pragola tentu ditepis oleh orang yang baru datang. Inilah yang membuat dirinya terkejut sebab pendatang itu dia hafal betul siapa.
“Ki Banaspati…”bisiknya bergetar.
Mengapa tak terkejut sebab Ki Banaspati adalah tokoh yang dicari-cari pihak Pakuan selama ini.
Secara diam-diam, ayahandanya tengah menyelidiki tokoh ini yang secara misterius menghilang dari Pakuan belasan tahun silam.
Seperti sudah diterangakan di bagian awal, belasan tahun silam semasa Pakuan dirajai Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M), terjadi pemberontakan dari wilayah sagaraherang yang ketika itu dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa. Sunda Sembawa dapat dibunuh waktu itu juga oleh pasukan Pakuan, begitu pun pengikut-pengikutnya bisa dilumpuhkan. Namun dari hasil penyelidikan pemerintah, ternyata gerakan Sunda Sembawa tak berdiri sendiri. Para pejabat di Pakuan yang bersetia kepada raja bahkan mencurigai bahwa Sunda Sembawa sebetulnya hanya dipakai sebagai anak panah belaka. Artinya, ada kekuatan lain yang bertindak sebagai penarik busur. Namun siapakah gerangan, pihak Pakuan belum bisa membuktikannya.
Selentingan mengatakan, Ki Bagus Seta berambisi menguasai Pakuan. Untuk itu serta-merta “meberikan: putrinya Nyi Mas Layang Kingkin sebagai selir Raja, dengan maksud agar bisa lebih leluasa masuk ke istana. Ki Banaspati malah dianggap lebih berbahaya lagi sebab tindak-tanduknya tak kentara dan amat misterius. Sewaktu Prabu Ratu Sakti berkuasa, Ki Banaspati menjabat sebagai Muhara (petugas penarik pajak). Dia banyak mempengaruhi Raja
agar menaikkan seba (pajak) sebab kejayaan negara harus dikembalikan ke masa silam seperti masanya pemerintaha Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Musuh-musuh harus dihancurkan dan angkatan perang harus diperkuat.
Sang Prabu Ratu Sakti terpengaruh sehingga rakyat menjerit karena beban pajak yang tinggi. Akibatnya banyak wilayah yang mencoba memberontak dan memilih memisahkan diri atau ikut bergabung dengan negara agama baru yaitu Carbon (Cirebon).
Ki Banaspati disetujui Raja untuk membiayai angkatan perang yang dibentuk di wilayah timur, yaitu Sagaraherang, dengan dalih untuk membendung kekuatan musuh dari timur, yaitu Carbon. Namun belakangan diketahui, angkatan perang yang susah payah dimodali dari pajak rakyat, akhirnya bergerak ke Pakuan dan berupaya melakukan pemberontakan.
Terlibatkah Ki Banaspati? Itulah yang misterius. Sebab seusai kegagalan pemberontakan, Ki Banaspati menghilang tak tentu rimbanya (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran).
Jadi tak aneh kalau kini Banyak Angga terkejut dengan kehadiran Ki Banaspati di Sagaraherang ini. Dari mana saja orang ini dan apa keperluannya di tempat ini? “Ki Banaspati…” gumam Pangeran Yudakara dengan bibir terlihat bergetar.
“Lepaskan ank itu,” kata lelaki yang berusia hampir enampuluh namun bertubuh tinggi besar dan berdada bidang ini.
“Dia anak buah saya,”
“Anak buahmu berarti anak buahku juga. Maka lepaskanlah anak itu,” nada Ki Banaspati seperti perintah.
“Anak ini membahayakan, cara kerjanya serabutan. Yang dia pikirkan hanya dendam pribadi semata,” kata Pangeran Yudakara.
“Hahaha!! Dendam adalah kekuatan untuk memenangkan perjuangan. Kudengar barusan, anak muda ini benci si Ginggi dan ingin balas dendam. Itu bagus. Si Ginggi akan jadi duri dalam daging, sebab bila kita mulai bergerak ke Pakuan, anak bengal itu pasti menghalangi jalan kita. Jadi, mengapa tidak kau hargai usaha anak muda ini?” kata Ki Banaspati.
“Dia saya tugaskan membereskan orang-orang Pakuan satu-persatu. Namun sekedar Banyak Angga pun dia tidak mampu membunuhnya,” kata Pangeran Yudakara.
“Apalah pentingnya Banyak Angga,” potong Ki Banaspati.”Anak muda itu jiwanya lemah, kepandaiannya pun tak seberapa. Jadi tak perlu kau hiraukan sebab Banyak Angga bukan tokoh membahayakan. Yang harus kita perhatikan malah ayahandanya. Yogascitralah yang justru punya peranan dalam upaya mempertahankan Pakuan. Belasan tahun silam, gerakan Sunda Sembawa yang dari dalam dibantu Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta bahkan gagal karena Yogascitra sanggup menggalang persatuan. Jadi kalau kau hendak bergerak, maka terlebih dahulu enyahkanlah dulu orang tua bangkotan itu,” kata Ki Banaspati membuat hati Banyak Angga bergetar mendengarnya.
Sesudah itu, Pragola dilepaskan dan Ki Banaspati berkata bahwa Pragola akan dibawanya. “Engkau harus bersiap-siap di pintu gerbang barat sebab kekuatan dari barat akan segera tiba,” kata Ki Banaspati. Pangeran Ytudakara menganggukkan kepala tapi terlihat lesu. Sementara itu Ki Banaspati segera bergerak meninggalkan ruangan itu sambil diikuti Pragola. Di depan pintu mereka berpapasan dengan dua orang yang hendak masuk. Banyak Angga hafal, mereka adalah Goparana dan Jayasasana, pembantu dekat Pangeran Yudakara. Sejenak mereka saling pandang dengan Ki Banaspati. Namun Ki Banaspati mendengus dan berlalu dengan langkah congkak.
“Pangeran…” bisik Goparana dan Jayasasana hampir berbareng. Dijawab oleh Pangeran Yudakara dengan keluhan.
“Mengapa Pangeran membiarkan orang itu keluar-masuk wilayah kita?” tanya Goparana heran.
“Dia punya kekuatan dan aku tak kuasa membendungnya,” gumam Pangeran Yudakara. “Dengan kata lain, perjuangan kita akan tuntas sampai di sini, Pangeran?” tanya Goparana lagi.
Pangeran Yudakara yang tadi menunduk segera mendongak dan menatap tajam pembantunya. “Cita-citaku tak akan padam begitu saja, Pakuan tetap harus jadi milikku,” gumam pangeran itu sedikit geram.
“Lantas orang tadi?”
“Biarkan kekuatan dari barat memasuki Pakuan dan kita ikut di belakang. Mungkin orangorang kita hanya membukakan pintu gerbang barat. Namunbiarkan mereka saling bertempur dan kita tinggal menonton untuk kemudian segera menggebuk pemenangnya,” tutur Pangeran Yudakara.
“Tapi, Pangeran…” gumam Jayasasana. “Ada apa?”
“Kami ingin meminta penjelasan dari Pangeran, sejauh mana hubungan anda dengan Nyi Mas Layang Kingkin?” tanya Jayasasana.
Terlihat Pangeran Yudakara tersenyum tipis.
“Kau sangka aku benar-benar cinta terhadap perempuan tolol itu?”
tanyanya masih tersenyum tipis dan sifatnya mengejek sekali.
”Aku hanya membuak jalan agar bisa keluar-masuk istana, dan kunci pintu ada di tangan si bodoh itu. Perempuan tak laku itu gila laki-laki. Dia mudah jatuh ke pangkuan lelaki mana pun. Mengapa aku tak memanfaatkannya?” Pangeran Yudakara mengerling ke arah kedua pembantunya.
“Tapi Pangeran, tidakkah sebaliknya, perempuan itu yang memanfaatkan kita untuk kepentingannya?” tanya Goparana.
“Apa maksudmu, Goparana?”
“Nyi Mas Layang Kingkin sudah kami selidiki dan dia mencurigakan sebab punya pasukan tersembunyi,” jawab Jayasasana.
Pangeran Yudakara meoleh ke arah Goparana dan yang ditatap menganggukkan kepalanya. “Ini sesuai dengan perkataan Pragola bahwa Nyi Mas Layang Kingkin pun mengirimkan pasukan pembunuh menyusul rombongan Banyak Angga,”
“Apa yang mereka perbuat?” tanya Pangeran Yudakara heran dan penuh minat.
“Kata Pragola, dia hendak dibunuhnya kendati nampak juga bahwa Banyak Angga pun jadi sasaran pembunuhan,” jawab Jayasasana.
“Membingungkan. Kalau benar utusan itu diutus oleh Nyi Mas Layang Kingkin, apa maksudnya?” gumam Pangeran Yudakara mengerutkan dahi.
“Itulah yang harus kita selidiki,”
Nampak Pangeran Yudaka mengatupkan mulut dan mengepalkan tangan kanannya. beRgeak melangkah ke sana ke masti sambil memukul-mukulkan tinju kanan ke telapak tangan kirinya. Banyak Angga yang sejak tadi mengintip dari atas, sudah merasa waktunya untuk berlalu dan diharapkan tidak akan membuat perhatian sebab ketiga orang yang ada di bawahnya tengah tersita oleh masalah yang meruwetkannya.
Yang harus dia lakukan kemudian adalah mencoba mengejar ke mana Ki Banaspati membawa Pragola.
Dia merayap dengan penuh hati-hati. Sesudah berada di atas tanah, Banyak Angga berindapindap menuju batang pohon. Dia keluar dari lingkungan benteng mengikuti jalan ke mana tadi dia masuk.

***

Banyak Angga berlari cepat di kegelapan malam. Dia berfikir, tentu Ki Banaspati membawa Pragola meninggalkan wilayah Sagaraherang. Dan ke mana lagi mereka menuju kalau bukan ke barat, ke wilayah Pakuan?
Ingat ini hatinya berdebar kencang. Ki Banaspati pasti mempunyai kekuatan tersembunyi. Kalau tak begitu, tak nanti Pangeran Yudakara begitu takut menghadapinya.
Kini Banyak Angga bertambah bingung sebab keruwetan makin melebar. Ketika berada di Puncak Gunung Cakrabuana dia mendapatkan berita mara-bahaya akan datang dari Pangeran Yudakara. Namun malam ini bisa dia saksikan, betapa sebetulnya ada bahaya kekuatan lain selain Pangeran Yudakara.
Siapakah kekuatan itu?
Sambil berlari kencang di kegelapan malam, Banyak Angga berfikir keras. Di tahun-tahun terakhir ini Pakuan punya kekhawatiran akan adanya serangan dari musuh. Karena pernah terjadi Carbon menyisipkan orang-orangnya ke Pakuan, maka yang dianggap akan mengganggu keamanan dan keutuhan Pajajaran tentu dari timur.
Belakangan diketahui bahwa sebenarnya Nagri Carbon sudah tak punya ambisi untuk melanjutkan peperangan dengan Pajajaran dan cenderung lebih menitikberatkan menyebarkan agama baru secara damai. Kalau pun Pangeran Yudakara terbukti ingin merusak keberadaan Pakuan, itu tergerak oleh ambisi pribadi. Dia ingin menyerang Pakuan, pertama sebagai balas dendam akan kekalahan dan kehancuran kerabatnya, Sunda Sembawa pada belasan tahun silam, dan yang kedua karena ambisinya untuk memiliki kekuasaan.
Melihat kenyataan ini, tadinya Banyak Angga sudah mengambil kesimpulan bahwa Pangeran Yudakara adalah orang yang paling bahaya. Belakangan Ki Banaspati muncul dan menampilkan marabahaya yang dirasa lebih besar lagi. Kalau Pangeran Yudakara yang sudah merasa punya kekuatan untuk menyerang Pakuan sudah merasa takut menghadapi Ki Banaspati, bisa dipastikan, betapa kuatnya dia. Dan kekuatan apa yang mendorongnya untuk melakukan penyerangan ke Pakuan? Banten?
Terhenyak hati Banyak Angga. Betulkah Ki Banaspati akan datang ke Pakuan denga diusung kekuatan dari Banten?
Ayahandanya kerap berpikir bahwa Banten memang akan selalu merupakan ancaman bagi Pakuan. Sudah terbukti pada puluhan tahun silam, betapa sebuah pasukan tanpa identitas pernah menyerbu pusat kota pada zamannya pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (15351543 M). di alun-alun benteng luar pertempuran terjadi. Pasukan balamati, yaitu perwira pengawal Raja berhasil membendung serangan musuh namun dua perwira handalnya yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet tewas dalam mempertahankan negrinya. Itu adalah pasukan misterius dan tak bisa dibuktikan dari mana datangnya. Hanya saja kendati begitu, Pakuan mencurigai bahwa serangan gelap itu datang dari Banten.
Banyak Angga merasa khawatir kalau ancaman palin besar justru datang dari barat, yaitu Banten. Mengapa tak begitu sebab di tahun-tahun terakhir ini dari tiga negara yang berhaluan agama baru yaitu Demak, Carbon dan Banten, hanya Bnatenlah yang menjadi negara berhaluan agama baru yang terbesar. Semakin hari kekuatannya semakin besar, dulu sebagai mana halnya Carbon, Banten merupakan bagian dari Pajajaran. Ketika Carbon menjadi kuat karena dibantu Demak, Banten yang waktu pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521
M) merupakan salah satu pelabuhan internasional milik Pajajaran, direbut Carbon. Karena Banten semakin hari semakin berkembang, maka oleh Carbon diberi peranan lebih besar lagi menjadi wilayah kesultanan. Belakangan keberadaan Carbon menjadi lemah karena Demak sebagai pendukungnya dalam tahun-tahun terakhir ini disibukkan oleh perang saudara. Setahun yang lalu (1566 M) Banyak Angga pun mendengar berita bahwa akhirnya Banten melepaskan diri dari Demak dan Carbon dan memilih berdiri sebagai kesultanan yang merdeka.
Berita besar ini oleh sementara penguasa Pakuan sengaja tak dibesar-besarkan. Sang Prabu Nilakendra yang tak menyukai kekerasan tetap berpendapat bahwa tak mungkin adanya bahaya dari luar selama Pajajaran tak melakukan hal-hal yang merugikan pihak luar. Oleh sebab itu Raja berkata bahwa bangkitnya Banten tak perlu dikhawatirkan.
Namun apa yang disaksikan malam ini membuktikan lain. Ada Ki Banaspati yang membawa khabar mengejutkan. Benarkah dalam waktu dekat ini kekuatan dari barat akan menerpa Pakuan?
Dan Ki Banaspati sepertinya berada di pihak sana. Banyak Angga tak habis mengerti, bagaimana mungkin orang itutiba-tiba bisa menyebrang ke sana?
Dia berfikir, seingatnya Ki Banaspati tak punya pertalian erat dengan Banten atau pun Carbon. Bahkan ketika tokoh ini masih berpengaruh di Pakuan, dia paling benci kepada keberadaan negara-negara yang berhaluan agama baru. Itulah sebabnya dia menggosok Sang Prabu Ratu Sakti untuk memperkuat militer dengan maksud menghalau pengaruh negara agama baru.
Sekarang, belasan tahun kemudian, setelah ambisinya amblas, secara tiba-tiba Ki Banaspati sudah bisa menyebrang dan berfihak kepada kekuatan yang dulu dibencinya. Banyak Angga bingung memikirkannya.
“Kekacauan selalu diciptakan oleh para petualang politik,” gumamnya sendirian.
Pemuda ini menilai, barangkali benar Ki Banaspati yang misterius ini gemar melakukan petualangan politik yang mungkin semuanya dia lakukan demi kepentingan demi kepentingan pribadi semata. Banyak Angga kekurangan bukti, sejauh mana Ki Banaspati melakukan petualangan. Namun barangkali gerakan orang ini pun tak jauh berbeda dengan petualangan Pangeran Yudakara. Seperti yang diterangakan oleh Ki Jayaratu beberapa waktu lalu, demi mengejar ambisi pribadi, Pangeran Yudakara nekad mengatasnamakan sebagai kekuatan Carbon dalam upaya menggempur Pakuan. Padahal seperti yang disebutkan Ki Jayaratu, Carbon kini lebih menitikberatkan usahanya dalam menyebarkan agama baru dengan caracara damai. Dengan licinnya, Pangeran Yudakara pun bisa memasuki Pakuan dan mendapatkan kepercayaan penuh dari Sang Prabu Nilakendra.
Banyak Angga berhenti dan menyeka peluh yang deras mengalir di wajahnya. Dia bahkan menjatuhkan diri, duduk di atas tonjolan batu. Suasana sunyi-sepi di sekeliling. Hawa malam terasa dingin karena langit bersih tak berawan.
Banyak hal-hal ruwet yang dia pikirkan, termasuk pula urusan Nyi Mas Layang Kingkin. Benarkah wanita yang pernah dicintainya itu pun bertualang dalam berpolitik?

***



INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 09 --oo0oo-- Kunanti Di Gerbang Pakuan Tamat


Older Posts Home
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.