Kemelut Di Cakrabuana Jilid-13
tanztj
February 04, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 12 --oo0oo-- Jilid 14 |
TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 13
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 13
"Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu," kata Raden Yudakara di tengah perjalanan.
Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, makatibalah di sebuah perkampungan kecil. Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai kerabatnya.
Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewatlawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat.
Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki halaman. Di sana segera disambut seseorang.
"Kami mau bertemu Ki Jayasena," kata Raden Yudakara.
"Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan," kata orang itu hormat sekali. Purbajaya mau ikut di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
"Engkau tinggal dulu di sini, Purba," kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya. Dia berpikir, mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal taka ada salahnya langsung dipertemukan saja.
Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
"Engkau bisa duduk menunggu dibalebesar , anak muda," kata penghuni yang akan mengantar Raden Yudakara.
Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka.
Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
"Engkau datang dari mana, anak muda?" tanyanya. Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin dianggapnyabadega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
"Saya dari wilayah Sagaraherang," jawab Purbajaya singkat. "Dia tadi majikanmu, ya?"
"Benar ... "
"Dia pejabat di Sagaraherang, ya?" "Mana saya tahu?"
"Lho?"
"Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorangbadega berani tanya ini-itu sama majikan?" Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki Jayasena, kerabatnya. "Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan," kata orang itu akhirnya.
Purbajaya menoleh.
"Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?" Purbajaya heran dibuatnya.
"Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga," jawab orang itu.
"Saya ini kerabat majikanmu," kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu. Tapi diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya.
Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
"Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah beliau?" tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada untungnya bicara pada orang ini.
"Aku putra penguasa Tanjungpura!" tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
"Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara," kata orang itu ketawa lepas.
"Dulu, dulu!" potong Purbajaya.
Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya. "Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu."
"Dulu yang mana? Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini," giliran orang itu yang jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
"Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon? Nah, kau ingat, kan? Apalagi penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!" tandas Purbajaya jengkel.
"Kerabat?"
Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki setengah baya berpakaian jenissantana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau dirinya tengah menangis. "Di mana kemenakanku? Di mana dia?" katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya. "Oh, engkaukah Purbajaya? Benar, engkau rupanya kemenakanku!"
Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya eraterat. “Kau kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk ... " lelaki itu menepuknepuk punggung Purbajaya.
"Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya ... " ujar Raden Yudakara tersenyum tipis.
Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya. Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya.
Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden Yudakara.
"Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita dipercaya," kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
"Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak nanti kita bisa bertemu... " kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan sebanyak-banyaknya.
Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
"Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi," kata Ki Jayasena. Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan. Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya.
Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesarbesarkan, berarti Purbajaya punya niat "balas dendam" kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun siapakah yang mempengaruhinya? Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran. Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan. Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi "saudara" tapi dalam politik tidak. Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata "Carbon" namun bukan berarti bekerja untuk kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena ini.
Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian, Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.
***
PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya? Dia belum sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu karena masalah ini.
"Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!" desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
"Siapa sih namanya?" tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
"Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban," kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang ditanya hanya mengerutkan alis.
"Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu," kata orang itu membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya. ***
KI Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini, bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya. Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernamabale gede banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat agak jauh.
Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata Nyi Sumirah yang datang.
"Mengapa engkau memisahkan diri di sini?" tanya gadis itu dengan suara ketus.
Menerima kehadiran gadis ini sebenarnya hati Purbajaya merasa terganggu. Dia ingin menatap benderangnya cahaya bulan sambil mengawasi keceriaan anak-anak muda itu. Hatinya sudah terpuaskan karena pemandangan ini amat indah. Dan merasakan situasi ini, Purbajaya jadi ingat kenangan. Ya, cahaya bulan dan cinta baginya serasa sebuah perpaduan yang tak bisa terpisahkan. Hanya saja, bulan pun jadi kepedihan hatinya sebab dalam cahaya bulan ini cinta tak hadir dalam dirinya.
Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu. Sambil bicara ketus, lagi.
"Ada, Nyai?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
"Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba ... " omel gadis itu masih cemberut. "Saya? Menyinggung perasaan orang lain? Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya memisahkan diri di sini saja ..." jawab Purbajaya heran.
"Nah, itulah yanag membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi gembira? Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku," kata Nyi Sumirah lantang.
"Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai ..." kata Purbajaya tersenyum kecut.
"Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!" tukas gadis itu membuat Purbajaya heran.
"Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya ependeritaan dan kepahitan hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan orang lain ini tidak punya permasalahan hidup? Sombong sekali engkau " omel lagi Nyi Sumirah.
"Tapi Nyai "
"Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya? Nah, itulah kesombongan orang yang mengaku menderita," potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
"Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai " Purbajaya memotong kalimat.
"Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!" tukas Nyi Sumirah tak memberi hati. Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini.
"Jadi saya musti bagaimana?" keluh Purbajaya akhirnya.
"Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun punya akewsatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung sabab ada seseorang ingin bertemu kau," kata Nyi Sumirah.
"Seseorang ?"
"Ya. Sayang, ya "
"Mengapa sayang?" "Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu." "Oh ... "
"Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!" kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang datang. Seorang gadis.
Dia gadis rupawan. Wala hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
"Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!" Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
"Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan, kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?" Nyi Sumirah terus menggoda keduanya"Hus, siapa bilang?"
"Nah, mau bohong, ya? Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak butuh," kata lagi Nyi Sumirah.
"Ah ... bohong itu. Bohong itu!" Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi canggung.
"Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah ... " kata Purbajaya berjingkat karena selalu serba salah. Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
"Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?" lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya. Dan Purbajaya tak jadi pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu.
Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
"Saya mau pergi saja," Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung karena terlihat "dikepung" dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
"Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya ..."Raden Yudakara berpuisi dengan suara mendayu-dayu.
Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia akan lanjutkan puisinya seperti ini." ... tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan indahnya paras gadis-gadis ini "hati Purbajaya menduga.
Dan benar saja, Raden Yudakara berpuisi seperti itu.
" .... tapi indahnya rembulan tidak sanggup mengalahkan keelokan paras gadis-gadis ini
..."Raden Yudakara melantun dan mendayu. Dan Purbajaya melengoskan wajahnya ke samping.
"Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya
..." sambung Raden Yudakara. Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena mendengar puisi gombal ini.
"Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juaragan Ilun Rosa," Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
"Oh, ya? Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang "
"Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?" Nyi Sumirah mendelik marah. "Oh, ya?"
"Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau cintai itu? Aku ataukah yang lain-lainnya?" Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada di situ bisa mendengarnya.
Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari belakangnya.
Purbajaya cepat menengok ke belakang,"Nyimas Wulan " katanya perlahan. Apakah gadis
itu tengah mengikuti dirinya?
"Nyimas, kau mengikutiku?" tanya Purbajaya heran. "Tidak, saya mau pulang " jawab gadis itu.
"Pulang? Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang," kata Purbajaya "menegur" gadis itu yang pulang duluan.
"Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!" tukas gadis itu. "Angkuh dan sombong?" Purbajaya melengak. Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan.
Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
"Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang," ujar gadis itu. "Sendirian begini?"
"Mengapa tidak? Tak ada yang sudi mengantar saya pulang ..." jawab gadis itu.
Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak? Padahal nampaknya Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang," kata Purbajaya menguji gadis itu. Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencar jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
"Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana," kata Nyimas Wulan. Dan Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
"Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,"kata gadis itu lagi melanjutkan.
Purbajaya merandek.
"Akukah itu?" tanyanya menuding hidungnya sendiri.
"Ya, mengapa tidak? Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan menegurmu?" tanya Nyimas Wulan.
"Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain," jawab Purbajaya. Dia tahu, beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
"Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu," kata Nyimas Wulan dengan nada ketus namun manja.
Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung perasaan gadis.
"Jadi, musti bagaimana?" tanyanya. "Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau jangan seenaknya memisahkan diri."
"Kalau orang lain merayu wanita?"
"Ya ... Ah, kau ini dungu amat, sih?" Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga pemuda itu berteriak kesakitaan.
"Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu, apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?" tanya gadis itu pura-pura cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat ini.
Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat seorang gadis melucu.
"Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?" tanyanya.
"Ih,maunya!" sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya. Namun pemuda ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya, pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya.
Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara sembunyi-sembunyi saja.
"Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?" tanya Purbajaya heran.
"Siapa bilang?"
"Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?" tanya Purbajaya lagi.
"Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau sudah berani pegang-pegang tangan saya?" tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat Purbajaya.
Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
"Nah, takut, ya? Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,"Nyimas Wulan menakut-nakuti. "Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?"
"Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja. Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?" katanya gadis itu.
"Ah ... Bukan itu maksudku, Nyimas ..."
"Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?" Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan susulan.
"Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?"
"Uh ... Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya !" omel gadis itu cemberut."Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?" lanjutnya ketus.
"Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas ...?" Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
"Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai panen, pesta selalu diadakan meriah," kata Nyimas Wulan. Makanya tak aneh bila kami keluar malam."
"Kami?"
"Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti minum-minum tuak di kedai," jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
"Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagitugur (meronda), kau pasti ditangkap dan digebuki," kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi. Namun sebelumnya, ada kecupan manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
"Eh, malah diam? Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!" celoteh gadis itu menahan tawa dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.Purbajaya mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah ciummencium. Namun bersama gadis Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat?
Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang.
Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya. "Kau baru pulang, Purba?" tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam. "Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan ... " jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak. "Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?" tanya Ki Jayasena.
"Begitu menurut penuturan putrimu ... "
"Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini," kata Ki Jayasena.
Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini. Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
"Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu," desis Ki Jayasena.
"Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?" tanya Purbajaya heran.
"Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan."
"Berdosakah ayahanda kepada negara?"
"Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada negara namun difitnak pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah Tanjungpura," kata Ki Jayasena.
"Terbuktikah tuduhan itu?"
"Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia miliki sekarang berlumur darah ayahandamu," kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya."Aku akan hancurkan Si Subangwara ini!" teriaknya parau.
"Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara," guman Purbajaya namun hatinya sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
"Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa? Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri," tutur Ki Jayasena. "Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?" tanya Purbajaya.
"Ya, mengapa tidak? Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!" kata Ki Jayasena bersemangat.
Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
"Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam membalas dendam."
"Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam ... " gumam Purbajaya.
"Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan," kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga," lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
"Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan," tutur Purbajaya. Dan untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap Purbajaya.
"Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?" tanya Ki Jayasena. Dan Purbajaya menggelengkan kepalanya.
Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
"Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja," jawab Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya karena urusan pribadi," kata Purbajaya lagi.
"Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran dan Pajajaran adalah musuh negaramu," kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
"Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh."
"Ah ... kau ini!" Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya."Mengapa kau bilang musuh tak perlu dibunuh?" tanyanya heran.
"Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?" Purbajaya balik bertanya.
"Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam. Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja," Ki Jayasena berkilah.Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini. "Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan pikirannya. Maka usahakanlah agar oraang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia," kata Purbajaya berpanjang-lebar.
Demi mendengar perkataan Purbajaya ini, Ki Jayasena nampak tersinggung.
"Kau anak muda bau kencur sudah berani mengguruiku sebagai orangtuamu, anak tolol!" kata Ki Jayasena ketus."Dari mana kau dapatkan jalan pikiran yang kacaubalau ini?" lanjutnya menahan kemarahan.
"Ampunkan saya, Paman ... " jawab Purbajaya sabar."Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon ... " kata lagi Purbajaya.
"Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu," potong Ki Jayasena geram.
Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
"Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa ganjil dan kacau ini," kata Ki Jayasena sebal.
"Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman ... " jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara.
Purbajaya tak peduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu.
Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu. Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu, dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
Ketika Ki Jayaratu mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem. Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
"Ada apa?"
"Ada yang perlu saya sampaikan, Raden ... " jawab Ki Jayasena hormat sekali. "Soal apa?"
"Soal Si Purbajaya, Raden ...""Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu ..." Raden Yudakara kembali menutupkan daun pintu.
Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
"Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!" kata Raden Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap.
"Kita bicara di bale gede saja ... " kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena diganggu.
Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya berindap-indap mengikuti mereka.
Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena "melaporkan" ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
"Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden ... " kata Ki Jayasena bingung. "Ah, dasar engkau dungu, Sena ... " gumam Raden Yudakara.
"Dia terus membangkang kepada pendapat saya ... " kata lagi Ki Jayasena kesal."Apa sebaiknya kita enyahkan saja si bedebah ini?" tanyanya gemas.
"Jangan."
"Habis dia menolak terus keinginan saya."
"Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri."
"Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya..." ucapan Ki Jayasena amat mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka. Plak! Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
"Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja," serapah Raden Yudakara."Kau bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan dendammu itu, begitu, kan?"
"Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden ... " jawab Ki Jayasena balik menuduh.
"Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku," kata Raden Yudakara memarahi habis-habisan Ki Jayasena.
"Jadi, musti bagaimana saya berbuat?"
"Musti bagaimana, musti bagaimana ... Huh, dasar dungu!" omel Raden Yudakara."Apa yang anak muda itu katakan padamu?" ujarnya lagi.
"Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara," jawab Ki Jayasena."Yang lebih menyebalkan dari itu, dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa," sambung lagi Ki Jayasena dengan nada sebal.
"Siapa Ilun Rosa?"
"Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden ... "
"Hm ... Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia becinta dulu, sehingga pemuda dungu itu semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian," guman Raden Yudakara dengan nada dingin.
"Kalau itu keinginanmu, Raden " suara Ki Jayasena terdengar lesu, sepertinya dia tak rela
Purbajaya "diberi" kesempatan bercinta dengan Nyimas Wulan.
"Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun berminat terhadap gadis molek itu?" tanya Raden Yudakara sinis.
Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden Yudakara.
"Dasar bandot " ejek Raden Yudakara.
***
MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam rekaperdaya orang atau kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka, niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun diatasnamakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolaholah dia adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki Jayasena.
Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan pemuda aneh dan berbahaya ini?
Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin hati-hati berhadapan dengan mereka ini.
***
Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti.
Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak disebut sebagai tak tahu malu.
Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau saja tak terikat sebagai "saudara". Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun sepertinya tak mau kenyang.
Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura ini? Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta?
Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat kenyataan seperti ini.
Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku "panas" pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja "kecup-mengecup" telah "biasa" dilakukan gadis itu.
Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
"Aku perlu hati-hati ...perlu hati-hati," bisiknya di dalam hatinya.
Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas.Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarangjarang melihat orang melakukan shalat menghadap Tuhan.
Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak bertanggungjawab. Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu. "Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas ... " kata Purbajaya berbisik.
"Mengapa?" tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa? Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan Purbajaya tak bisa bicara sembarangan.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 12 --oo0oo-- Jilid 14 |