Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Kemelut Di Cakrabuana. Show all posts
Showing posts with label Kemelut Di Cakrabuana. Show all posts

Kemelut Di Cakrabuana Jilid-16

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 15 --oo0oo-- Kemelut Di Cakrabuana Tamat

TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 16


Mengapa adapohaci (bidadari) turun dari langit tanpa memberi tahu. Bidadari? Ouw, kalaulah Purbajaya pernah bertemu bidadari, maka kecantikan bidadari tidak bisa mengimbangi keelokan paras wajah gadis itu. Nyimas Waningyun mungkin cantik, begitu pun Nyimas Yuning Purnama atau pun Nyimas Wulan. Namun dibandingkan dengan kecantikan gadis yang kini duduk bersimpuh di hadapannya dan tersenyum sejuk menawan seraya menatapnya, semuanya tidak berarti.
Kecantikan dan keelokan seluruh gadis yang telah dia kagumi digabung menjadi satu, masih tetap tidak bisa mengalahkan kecantikan gadis puri Yogascitra ini. Purbajaya menghela napas namun sambil memuji nama Tuhan, betapa Tuhan demikian berkuasa dan bermurah hati menurunkan wajah demikian elok kepada yang bernama wanita. Purbajaya menunduk dibuatnya.
"Perkenalkan, saya bernama Banyak Angga dan adikku ini adalah Nyimas Banyak Inten," kata pemuda itu membuat Purbajaya malu dan terkejut karena sejak tadi sebenarnya pemuda itu memperhatikan dirinya yang tengah terbengong-bengong menatap paras gadis cantik itu.
Purbajaya tersipu dan memerah wajahnya karena malu dipergoki oleh pemuda itu.
"Nama saya Purbajaya. Saya datang dari wilayah Tanjungpura untuk melamar pekerjaan sebagaipuhawang (akhli kebahariaan), sesuai dengan bidang yang ditangani Juragan Yogascitra," kata Purbajaya masih tersipu saking malunya.
Wajah Purbajaya tertunduk bukan karena dipaksa oleh kepura-puraan, melainkan karena segan dan hormat kepada pemuda tampan ini. Dia hormat bukan karena kedua orang muda anak pejabat, melainkan merasa hormat karena anak-anak pejabat itu demikian ramah dan sopan ke padanya. "Tapi saya sungguh amat menyinggung perasaan kalian. Saya bertamu di saat yang tidak tepat," ujar Purbajaya merendah.
"Tidak, tidak mengganggu. Bahkan kami berdua merasa bersyukur, di saat gawat menimpa ayahanda, kami kedatangan seorang akhli pengobatan. Kami heran, ayahanda begitu mendadak terserang penyakit aneh. Kalau ayahanda tidak menderita sakit begitu, beliau sebenarnya tidak sulit menerima kehadiran tamu," kata Banyak Angga tetap ramah dan sopan.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Ki Yogascitra menderita sakit karena keracunan oleh makanan. Namun hal ini diurungkannya. Dia tak mau sembarangan berkata, takut ada seseorang yang ditekan atau dicurigai mereka. Purbajaya yakin, memang ada seseorang menaruh racun dengan niat membunuh pejabat tua itu. Para pekerja dan pembantu di puri inikah? Kalau benar begitu, pejabat ini pasti punya musuh yang berniat melenyapkannya. Purbajaya akan menyelidiki namun secara diam-diam saja.
"Saya ingin mengatur jenis makanan yang hari ini boleh atau tidak boleh dimakan oleh Juragan." kata Purbajaya."Jadi kalau diizinkan, saya ingin mengunjungi dapur. Dan mohon pula sisa makanan yang tadi pagi dimakan Juragan, diberikan pada saya," kata lagi Purbajaya.
Dengan senang hati, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten mengangguk mengiyakan.
Penganan pagi yang dimakan Ki Yogascitra diperiksa Purbajaya. Sejumput makanan sisa dilemparkan ke sudut berumput yang didapat banyak semut. Semut biasanya akan menghampiri makanan, namun kali ini malah menjauh. Hanya menandakan semut bercuriga kepada makanan itu.
Purbajaya yakin, kalau makanan itu diberikan kepada binatang anjing atau kucing dan ayam, mereka pasti akan mati kena racun.
Sekarang tugas Purbajaya adalah meneliti secara diam-diam, siapa yang menaruh makanan beracun ini. Kalau memang merupakan musuh Ki Yogascitra, maka Purbajaya ingin tahu, berada di pihak mana musuh itu.
Yang pertama kali musti diselidiki tentu saja juru masaknya. Namun juru masak di sana seorang perempuan tua yang sudah puluhan tahun mengabdi di puri itu. Susah untuk dicurigai berlaku jahat kepada tuannya. Yang dua orang adalah petugas pengantar makanan. Juga samasama perempuan tua dan sudah mengabdi amat lama. Tugasnya pun sama sejak dulu sebagai pengantar makanan.
"Tapi makanan pagi ini, Ki Bonen yang antar ..." kata petugas dapur. "Siapa Ki Bonen?" tanya Purbajaya.
"Dia petugas di sini juga, hanya tidak mengurus makanan. Kebetulan saja dia menghadap Juragan karena tadi malam Juragan ingin mengatakan sesuatu," kata petugas dapur. "Ada apa sih sebenarnya?" tanyanya heran karena Purbajaya banyak bertanya.
"Tidak. Saya ini juru obat. Selama Juragan sakit, saya ingin mengatur jenis makanan yang cocok untuk beliau," jawab Purbajaya untuk menepis kecurigaan pegawai puri. Namun secara diam-diam pula, Purbajaya meneliti. Hanya saja penyelidikan hampir buntu sebab Ki Bonen waktu itu juga menyerahkan makanan kepada Nyimas Banyak Inten. Jadi, siapa di antara mereka yang menaruh racun? Ki Bonen jelas tak punya waktu untuk melakukan hal itu.
"Hai, Direja ke mana?" tanya Ki Bonen sambil menoleh ke sana ke mari. "Cari siapa?" tanya Purbajaya heran.
"Ki Direja. Den Banyak Angga ingin titip surat untuk Nyimas Layang Kingkin," jawab Ki Bonen.
Purbajaya walau selintas ada melihat seorang lelaki yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu tadi pagi. Tidakkah dia yang bernama Ki Direja? Tapi, mengapa orang itu pergi tergesagesa?
"Apakah Ki Direja bekerja di sini?" tanya Purbajaya. "Tidak. Dia pegawai di puri Ki Bagus Seta."
"Ki Bagus Seta?"
"Beliau pejabat di Pakuan juga. Punya anak gadis cantik bernama Nyimas Layang Kingkin. Den Banyak Angga menaruh hati pada gadis cantik itu dan kerapkali melayangkan surat daun lontar melalui perantara," kata Ki Bonen.
"Apakah Ki Direja yang jadi perantaranya?"
"Tidak selalu. Namun dia cukup sering juga ke sini sebab Nyimas Layang Kingkin pun sering mengirimkan surat untuk Den Angga. Ki Direja tadi pagi pun dipanggil Nyimas Banyak Inten sebab Den Angga menitipkan surat melalui adiknya pula," kata Ki Bonen."Penganan untuk Juragan Yogas sementara ditinggal di meja sebab Nyimas ambil dulu surat," kata Ki Bonen.
"Kau lihat penganan buat Juragan ditinggal dulu di atas meja?" Purbajaya mengerutkan dahi. "Ya. Ada yang aneh?"
"Ah ... Tidak! Tapi saya ingin tahu apa penganan untuk Juragan tidak kemasukan debu, misalnya?"
"Saya rasa tidak. Begitu Ki Direja datang, Nyimas hanya pergi sebentar dan balik lagi membawa surat. Penganan langsung dibawa masuk," kata lagi Ki Bonen.
Purbajaya termangu-mangu. "Ada apa?" "Tidak ada apa-apa. Seperti tadi katakan, saya hanya ingin pastikan kalau makanan itu tidak kena debu ketika ditinggal di atas meja."
"Ah, pegawai kami mencintai kebersihan. Di rumah Juragan tidak pernah ada debu menempel," ujar Ki Bonen seperti tersinggung karena ucapan Purbajaya.
"Maafkan, saya hanya ingin agar makanan yang diberikan kepada Juragan benar-benar terpilih dan terjamin kesehatannya," kata Purbajaya ketika melihat Ki Bonen agak mengerutkan dahi.
Dan setelah Purbajaya bicara seperti itu, baru kerut-merut itu hilang.
Ki Bonen berlalu. Dan giliran Purbajaya yang mengerutkan dahi. Dia merasa ada hal-hal mencurigakan yang terdapat pada diri Ki Direja. Untuk itu Purbajaya harus menyelidikinya.
Purbajaya berjalan kembali menuju tempat di mana Banyak Angga dan Nyimas Banyak Inten berada. Banyak Angga dengan hati tulus mengucapkan terima kasih atas susah-payah yang diperlihatkan Purbajaya dalam membantu kesembuhan ayahandanya.
"Saya berjanji akan menolong membantumu sehingga ayahanda tidak ragu-ragu dalam menerima kehadiranmu, adikku," kata Banyak Angga sungguh-sungguh.
"Inten jangan diam saja, kau cepat haturkan terima kasih padanya," Banyak Angga menyikut lengan adiknya yang sejak tadi hanya senyum-senyum saja.
"Terima kasih, ayahanda telah kau sembuhkan, saudara Purba ..." kata Nyimas Banyak Inten pelan namun terdengar merdu. Purbajaya menganga melihat gerakan mulut mungil merah merona gadis itu. Dan karena ditatap sedemikian rupa maka wajah Nyimas Banyak Inten bersemu merah dan cepat-cepat menunduk.
"Saya tidak melakukan apa-apa, tak patut rasanya ucapan terima kasih ini... " Purbajaya berkata gagap karena hatinya masih kacau-balau dikoyak-koyak penglihatan mulut mungil itu.
"Tidak. Engkau amat berjasa kepada kami. Kalau tak ada engkau, bagaimana pula nasib ayahanda," kata lagi Banyak Angga tetap memuji Purbajaya setulus hati.
Sejenak Purbajaya bimbang. Sebenarnya dia ingin katakan kalau Ki Yogascitra telah diracuni orang dan Purbajaya mencurigai Ki Direja. Namun sudah barang tentu, penemuannya ini tidak bisa dia katakan kepada mereka. Banyak Angga nampaknya amat menginginkan hubungan baik dengan keluarga Ki Bagus Seta.
Purbajaya tahu, betapa Banyak Angga sebenarnya menginginkan kehadiran Nyimas Layang Kingkin di hatinya. Itulah sebabnya, Purbajaya tidak bisa mengganggu perasaan pemuda itu kalau dia katakan betapa pegawai dari puri Bagus Seta telah berupaya meracuni ayahandanya."Di sekeliling kita banyak hal-hal bermanfaat namun juga tak kurang-kurang yang membahayakan diri kita sendiri, makanan misalnya ..." kata Purbajaya menyiratkan satu hal yang entah dimengerti entah tidak oleh Banyak Angga dan adiknya. Yang jelas, baik Banyak Angga mau pun Nyimas Banyak Inten terlihat menganggukkan kepalanya. "Saya ingin mohon diri. Ki Jongjo, mari kita pulang ..." kata Purbajaya seraya menengok ke arah ki Jongjo yang sejak tadi tidak berbicara sepatah pun kecuali menyaksikan tingkah Purbajaya.
"Bukankah engkau akan melamar pekerjaan kepada ayahanda?" tanya banyak Angga kecewa kaena Purbajaya berniat mohon diri.
"Tentu, namun tidak hari ini di saat ayahandamu mengalami gangguan," jawab Purbajaya.
"Lekaslah datang lagi ke sini, kau pasti aku bantu menghadap ayahanda," kata lagi Banyak Angga sungguh-sungguh.
"Terima kasih. Saya pasti segera mengunjungimu," jawab Purbajaya menunduk. Untuk kemudian tergopoh-gopoh mengundurkan diri dari tempat itu manakala dadanya berdebar keras karena beradu pandang dengan mata Nyimas Banyak Inten.

***


"KAU nampaknya amat memperhatikan keselamatan jiwa pejabat tua itu, Purba. Hati-hati, jangan terlalu mencampur-adukkan perasaan pribadi dalam urusan ini," Ki Jongjo memperingatkan Purbajaya ketika sudah tiba di rumah.
"Saya tidak terlalu bermain dengan perasaan," jawab Purbajaya mencoba mengelak dari tudingan ini.
"Kau mati-matian menyelamatkan jiwa Yogascitra," Ki Jongjo tetap penasaran.
Purbajaya menatap tajam kepada Ki Jongjo. Terkesan sekali sepertinya Ki Jongjo menginginkan jiwa Ki Yogascitra tidak tertolong.
"Kita harus punya kesepakatan pendapat. Carbon menugaskan saya bekerja pada pejabatpuhawang (pejabat urusan kebaharian). Supaya bisa diterima dengan baik, maka saya harus cari jasa," Purbajaya berkilah.
"Bagus kalau begitu. Tapi sekali lagi aku ingatkan, kita tidak berusaha keras agar pejabat tua itu selamat. Tujuan kita bukan menjaga keselamatan keluarga itu. Bahkan pada suatu waktu, mungkin kita ditugaskan melenyapkan nyawa mereka sebab dalam upaya merebut kekuasaan Pakuan, mereka adalah tulang punggung negara. Pakuan susah direbut selama keluarga Yogascitra masih ada," kata Ki Jongjo memperingatkan.
Purbajaya menatap tajam ke arah Ki Jongjo. Dalam satu dua hari bersamanya, sudah terlihat betapa sebenarnya orang ini bukanlah rakyat biasa dan apalagi hanya sekadar tukang perahu seperti pertama kali bertemu. Mungkin di kalangan pemberontak, Ki Jongjo termasuk orang penting juga.
Dan benar juga dugaannya. Sebab malam harinya, tanpa diminta Ki Jongjo pun bercerita perihal dirinya. Menurutnya, dulu dia adalah prajurit setia di istana. Namun puluhan tahun mengabdi, hidupnya tak pernah baik. Dia tak suka mendekat-dekatkan diri kepada atasan, tidak pernah menjilat tidak pula sengaja mencari-cari jasa. Yang dia kerjakan hanyalah melaksanakan tugas dengan baik. Namun kenyataannya, kedekatan kepada atasan dan bangsawan ternyata amat mempengaruhi kedudukan seseorang.
Siapa yang bisa dekat, bisa menjilat dan bisa memuji-muji atasan, maka dialah yang bisa menerima kemudahan di istana. Banyak teman seangkatan yang posisinya kini lebih enak ketimbang dia. Bahkan karirnya sebagai prajurit banyak terlampaui oleh prajurit yang lebih muda.
"Aku sakit hati, kesetiaanku kalah oleh kelompok penjilat," gumam Ki Jongjo.
"Mungkin yang menerima pangkat tinggi hanya yang diketahui memiliki kepandaian tertentu saja, Ki Jongjo ... " berkata Purbajaya. Dan ucapan Purbajaya ini sepertinya menambah kepedihan orang tua itu. Terlihat dia tertunduk dengan wajah keruh.
"Ku akui, memang kepandaian berpikirku, bahkan kepandaian lahiriahku masih di bawah mereka. Tapi apakah kesetiaanku tidak mereka hargai, Purba? Sekarang terbukti, tanpa kesetiaan dan kejujuran, negara sebentar lagi akan runtuh." kata Ki Jongjo.
Malamnya Purbajaya jadi susah tidur. Ucapan-ucapan Ki Jongjo terus terngiang. Memang benar, negara amat membutuhkan orang pandai. Namun apalah kepandaian seseorang tanpa disertai kejujuran dan kesetiaan. Oleh adanya penghargaan yang timpang, maka marabahaya semakin menggebu bagi sebuah kehidupan. Buktinya, Ki Jongjo yang mengaku jujur dan setia, manakala merasa usaha-usahanya tidak dihargai, maka dia berbalik menjadi orang yang akan merugikan negara.
Purbajaya merenung. Jadi sebaiknya musti bagaimanakah orang bertindak? Hanya memiliki kejujuran dan kesetiaan saja tanpa punya kepandaian ternyata tidak dihargai. Punya kepandaian tapi tak setia dan tak jujur malah membahayakan. Mungkin yang benar adalah memiliki kesempurnaan dalam segalanya. Ya, pandai ya, jujur. Itulah mungkin keinginan manusia, segalanya serba sempurna. Bukan tak ada.
Tapi hal seperti itu susah dicari. Apa yang dimiliki manusia serba tak sempurna. Itulah mungkin yang membuat keadaan dunia tidak pernah sepi dari permasalahan. Mungkin satusatunya hal yang bisa menekan permasalahan adalah bila manusia bisa meluruskan tujuan hidupnya. Untuk apakah kita punya kepandaian? Untuk apa pula kita punya kejujuran dan kesetiaan? Untuk dihargai dan dibalas oleh kebaikan orang? Mungkin di sanalah titik kesalahannya.
Orang pandai mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan orang banyak selama orang banyak menghargai dan membalas kebaikannya. Lantas kalau merasa tak dihargai maka dia tidak akan mengabdikan kepandaiannya untuk kepentingan umum. Demikian pun orang yang hendak memberikan kejujuran dan kesetiaannya, mereka pilih-pilih dulu, apakah kejujuran dan kesetiannya bakal menerima balasan setimpal? Lalu, kalau sekiranya tidak akan dihargai, maka lebih baik tidak setia dan tidak jujur saja.
Inilah mungkin kesalahan yang dilakukan Ki Jongjo. Kesetiaan dan kejujuran terhadap negara dia berikan hanya karena mengharapkan balasan dari negara. Setelah ternyata tidak menerima balasan, maka selain tidak lagi memberikan kejujuran dan kesetiaannya, Ki Jongjo pun berbalik menjadi orang yang merongrong negara.
Dia keliru karena mengartikan kesetiaan dan kejujuran sebagai sesuatu yang akan "dijual" kepada orang lain, lantas kalau tak "dibeli" maka tak usah diberikan. Kesetiaan dan kejujuran tak lebih hanya dijadikan sebagai ajang untuk meminta dan bukan untuk memberi.
Purbajaya susah memejamkan mata. Berbagai lamunan datang dan pergi silih berganti. Kini muncul pula bayangan gadis dari puri Yogascitra. Wajah cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun juga cantik dalam perilaku.
Kalau Nyimas Waningyun putri keluarga Pangeran Arya Damar pejabat Carbon, terlihat periang dan terkadang bermulut bawel pandai bicara, adalah Nyimas Banyak Inten yang pendiam dan tak sembarangan mengeluarkan perkataan. Kalau Nyimas Yuning Purnama putri keluarga Ki Bagus Sura dari Sumedanglarang selalu berwajah sayu dan hanya sedikit sekali memiliki senyum, adalah Nyimas Banyak Inten yang pandai mengulum senyum.
Ya, Nyimas Banyak Inten tidak seperti Nyimas Waningyun, tidak persis dengan Nyimas Yuning Purnama yang pendiam, atau bahkan jauh bedanya dengan Nyimas Wulan dari Tanjungpura yang cinta berahinya panas membara dan sekarang telah dia calonkan sebagai istrinya. Nyimas Banyak Inten tidak bisa dibandingkan dengan ketiga orang gadis itu.
Memang sama-sama cantik, namun kecantikan Nyimas Banyak Inten adalah gabungan dari seluruh banyak kecantikan. Kalau parapohaci (bidadari) saja hanya memiliki kecantikan sebagai seorang bidadari, maka Nyimas Banyak Inten adalah gabungan kecantikan makhluk kayangan dan makhluk dunia bernama wanita.
Nyimas Banyak Inten, entah di mana posisinya, yang jelas telah memiliki kedudukan khusus di hati Purbajaya. Kedudukan khusus?
Purbajaya menggetok kepalanya sendiri. Enaknya. Baru satu kali bertemu saja sudah mabuk kepayang. Lantas, mau dike-manakan kedudukan Nyimas Wulan gadis Tanjungpura itu?
Dan ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Untuk kedua kalinya dia getok kepalanya sendiri. Mungkin begitulah lelaki, gombal, brengsek dan mudah tergoda wajah cantik.
Purbajaya menyesal, dia mudah digoda cumbu-rayu asmara. Padahal dia sadar, terhadap Nyimas Wulan dia tidak punya perasaan cinta. Tapi dasar lelaki, digoda dan dirayu wanita cantik, maka runtuh pula imannya. Dasar lelaki! Dasar lelaki? Mengapa semua lelaki disalahkan? Kemarin dulu, lelaki jahat yang mudah mengganggu wanita adalah Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Sekarang ditambah dirinya.
Jadi kalaulah mau memaki lelaki, makilah mereka berdua dan yang ketiga tentu dirinya sendiri. Belum tentu lelaki lain sebrengsek dia dalam memandang dan memperlakukan kaum wanita. Dan berpikir seperti ini, Purbajaya kembali mengeluh. Iman yang ada di dalam dirinya ternyata masih labil. Dia mudah terpesona melihat wajah cantik seorang wanita.
Hatinya memang tidak bisa mungkir kalau sekarang semangatnya terbetot bayangan gadis bernama Nyimas Banyak Inten. Dia cantik. Dia manis. Dia berwajah anggun. Tidak menantang namun juga tidak bersifat "kikir" dalam memperlihatkan wajah cantiknya. Lelaki berpikiran normal tentu akan tertarik kepada gadis itu. Mungkin itu pulakah yang menyebabkan Purbajaya mati-matian menolong nyawa Ki Yogascitra dari bahaya racun? Kini untuk ketiga kalinya dia getok lagi kepalanya. Tadi dia menyalahkan sikap Ki Jongjo yang melakukan kebaikan karena ingin dibalas kebaikan pula. Sekarang giliran dia sendiri yang melakukan pertolongan karena memiliki dasar pamrih. Sialan!
Tapi mungkin benar mungkin tidak. Purbajaya mau menolong nyawa Ki Yogascitra mungkin dasarna karena melihat anak gadisnya yang begitu aduhai. Tapi mungkin juga dia menolong orang karena tugas kemanusiaan semata. Taruhlah di puri itu tidak ada gadis cantik, apakah Purbajaya akan menolak melakukan pertolongan? Tidak. Ini bukan kebiasaannya. Dan hati Purbajaya merasa menang karena memang dia sendiri yang mengusahakan agar dirinyalah yang menang dalam mengeluarkan pendapat seperti itu.
Dia benar-benar melakukan pertolongan kepada Ki Yogascitra karena dasar kemanusiaan semata. Dan dengan demikian, sebenarnya dia telah berbohong kepada Ki J cantik gadis itu terus melekat di benaknya. Nyimas Banyak Inten rupanya bukan saja memiliki kecantikan wajah namun jugaongjo. Ki Jongjo menginginkan agar Purbajaya di puri itu jangan melakukan sesuatu berdasarkan perasaan. Dan dia mengangguk mengiyakan, padahal di relung hatinya dia membantahnya sendiri. Tidak. Dia menolong Ki Yoagascitra karena berdasarkan perasaan.
Maka ditambah oleh kehadiran Nyimas Banyak Inten, semakin lengkap pulalah perasaan Purbajaya bermain di sana. Namun demikian, alasan politik pun tetap tak dia ingkari. Dia masuk ke puri itu adalah sebagai penyelundup, sesuai seperti apa yang diinginkan Carbon. Dengan berbuat jasa kepada Ki Yogascitra, maka telah melicinkan usahanya dalam menyelundup ke Pakuan.
Ya, bagaimana pun, dia adalah mata-mata Carbon. Bukan pula bekerja untuk kepentingan Raden Yudakara. Purbajaya harus berani mengembalikan posisinya ke arah yang benar, yaitu bekerja untuk Carbon.
"Namun bisakah ini kulakukan dengan baik?" pikirnya dalam hati.
Sekarang malam sudah menjelang. Ki Jongjo sudah terlihat pulas dan terdengar dengkurnya. Maka Purbajaya kembali menyelinap dari rumah ini untuk untuk kedua kalinya. Kali ini dia ingin menyelidik kediaman Ki Bagus Seta. Kalau Ki Direja datang dari puri Bagus Seta, maka ada kemungkinan penghuni puri itu terlibat rencana pembunuhan terhadap Ki Yogascitra. Mengapa mereka akan membunuh pejabat Pakuan yang jujur itu, itulah sebabnya Purbajaya tertarik untuk menyelidikinya.
Tadi siang pegawai puri Yogascitra telah menunjukkan di mana letak puri Bagus Seta. Maka di malam itu, tanpa mengalami kesulitan dia telah bisa menemukan kompleks puri itu. Yang susah justru memikirkan usaha untuk memasukinya. Puri itu dijaga dengan amat ketat. Bukan saja gerbang depan dijaga empat orang prajurit, bahkan pada saat-saat tertentu, secara rutin benteng puri dijaga pasukan yang berpatroli mengelilingi benteng dari ujung ke ujung.
Purbajaya harus menunggu sekian waktu agar penjaga lewat dulu. Setiap pasukan patroli lewat, setiap itu pula Purbajaya meneliti. Sesudah beberapa kali diteliti, Purbajaya mendapatkan kesimpulan, penjaga patroli akan kembali lewat ke tempat itu pada setiap hitungan ke limapuluh. Itu berarti untuk mencoba memasuki wilayah benteng puri dalam, Purbajaya hanya memiliki waktu selama limapuluh hitungan.
Penjaga yang tengah patroli sudah lewat kembali. Maka sambil hatinya tetap menghitung, Purbajaya meloncat-loncat untuk mendekati tepi benteng. Pada hitungan ke empatpuluh, Purbajaya baru berhasil mendekati sisi benteng. Hanya sepuluh hitungan lagi dan Purbajaya harus bisa meloncati benteng.
Purbajaya segera menghimpun tenaga dalamnya. Sesudah itu, ujung kakinya menotol tanah. Hup, Purbajaya berhasil meloncat ke atas benteng. Baru saja bernapas, pasukan patroli telah kembali lewat.
Sekarang Purbajaya meneliti suasana di dalam benteng. Terlihat lengang. Bahkan beberapa bangunan besar telah memadamkan cahaya lampunya. Namun demikian, ada satu bangunan yang terlihat masih benderang. Maka Purbajaya memutuskan untuk mendekati ruangan itu.
Purbajaya meloncat-loncat dengan menggunakan ilmunapak-sancang agar langkah kakinya tidak didengar orang. Ketika sudah tiba di tempat yang dituju, Purbajaya kembali meloncati bibir benteng yang ada di dekat ruangan. Dari atas benteng dia meloncat ke bibir atap sirap.
Purbajaya secara hati-hati menguakkan ujung atap sirap. Maka terlihatlah di ruangan dalam dua orang tengah bersila saling berhadapan. Cahaya yang masuk hanya remang-remang saja sebab di ruangan dalam, pelita tidak dipasang. Rupanya dua orang itu tidak menyukai cahaya dalam melakukan percakapannya. Namun demikian, Purbajaya masih bisa saksikan, paling tidak bentuk tubuh dua orang itu.
Yang seorang berbadan tegap, seorang lagi tubuhnya agak gemuk dengan perut sedikit buncit. Melihat postur si buncit, Purbajaya jadi teringat peristiwa menculikan atas dirinya. Waktu itu di sebuah ruangan remang-remang dia ditanyai seorang lelaki berbadan gempal dan berperut buncit. Purbajaya berdebar hatinya. Dia merasa yakin kalau yang memeriksa dia waktu itu adalah orang yang kini tengah berada di ruangan itu.
Purbajaya segera menyimak percakapan di antara mereka. isinya amat mendebarkannya. "Maksudmu, Si Yogascitra kau racuni?" tanya lelaki bertubuh gempal berperut buncit. "Ya, tapi sayang dia lolos dari maut, Soka ... "
"Maksudmu, kau akan bunuh Si Yogascitra, Seta?" Tidak terdengar jawaban.
"Si Yogascitra itu pejabat yang terlalu jujur. Orang jujur akan membahayakan. Aku tak mau akhir-akhirnya dia akan membahayakan gerakan kita," jawab lelaki yang pasti Ki Bagus Seta, pemilik puri ini."Aku khawatir, lambat-laun dia akan dekat dan dipercaya Raja. Kalau sudah demikian, maka kitalah yang terancam," katanya lagi.
"Mustahil dia bisa dekat dengan Sang Prabu. Kau kan tahu, Si Yogascitra berani bersilang pendapat dengan Raja, sementara itu kita pun tahu pula penguasa Pakuan ini kesenangannya disanjung dan dipuji serta amat tabu menerima kritik. Asalkan kita sanggup menyenangkan hati Raja, aku yakin, kitalah kelak yang akan bisa mempengaruhi dan mengendalikan kebijakan Raja," kata lawan bercakapnya yang Purbajaya mulai menduga, orang itu adalah tokoh Pakuan bernama Bangsawan Soka.
"Aku pun punya keyakinan seperti itu. Tapi akan lebih aman bila pejabat sejujur Si Yogascitra kita lenyapkan saja," jawab Ki Bagus Seta.
"Anak tirimu bernama Suji Angkara amat tergila-gila kepada Nyimas Banyak Inten, mengapa tidak kau gunakan saja perangkat ini? Kau akan lebih baik berbesan saja agar kelak Ki Yogascitra menjadi mitra kerjamu," Bangsawan Soka memberi usul. Hanya dijawab oleh Ki Bagus Seta dengan dengusan.
"Ah, hanya urusan anak kecil semata. Asalkan tak ada yang tahu bahwa Si Yogascitra dienyahkan olehku, maka semuanya akan beres. Dengan kematian ayahandanya, maka Banyak Inten dan kakaknya akan dekat dengan kita. Mereka akan memilih kita sebagai pelindungnya. Yang aku pusingkan, tugas yang diemban Ki Direja telah digagalkan oleh seorang anak muda. Anak itu dibawa Ki Jongjo memasuki puri Yogascitra ... "
"Hm ... anak muda itu utusan Raden Yudakara dari Carbon. Memang rencananya disusupkan ke puri itu," jawab Bangsawan Soka. "Yang aku risaukan, ternyata Ki Jaya Perbangsa pun sudah tahu perihal kedatangan pemuda itu. Kelompok ini rupanya ingin menguasai anak muda itu. Makanya jauh hari Ki Jongjo sudah menguasai anak muda Carbon itu."
"Kau maksudkan, anak muda itu tengah diperebutkan?"
"Tanyakan sendiri kepada Ki Banaspati kakak seperguruanmu, mengapa dia ikut memperebutkan utusan dari Carbon?" Bangsawan Soka balik bertanya.
"Hhhh .... Aku pusing dengan tindak-tanduk kakak seperguruanku ini," dengus Ki Bagus Seta.
"Aku bahkan sudah lama curiga kalau Ki Banaspati sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu pula," gumam Bangsawan Soka.
Mereka berdiam diri beberapa lama sampai pada saatnya, Bangsawan Soka mohon diri dari tempat itu.
Purbajaya pun sedianya akan segera meninggalkan tempat itu ketika secara tiba-tiba terlihat beberapa cahaya berkeredepan dari pisau-pisau terbang yang dilemparkan oleh Ki Bagus Seta dari bawah dan diarahkan menyerang dirinya.
Purbajaya amat terkejut. Dengan adanya serangan ini hanya membuktikan bahwa secara sadar Ki Bagus Seta mengetahui kalau dirinya diintai orang. Saking cepatnya pisau-pisau ini melesat, Purbajaya tak sempat menghindar atau pun menangkis.
Dia pasrah sebab telah menduga tubuhnya akan menjadi santapan empuk serangan pisaupisau terbang ini.
Namun sungguh aneh, ketika matanya sudah terpejam, serangan pisau tak pernah datang. Ke mana larinya senjata yang tadi beterbangan itu? Purbajaya segera membuka matanya. Ternyata di sampingnya sudah terlihat seorang lelaki yang diketahui sebagai Ki Rangga Guna. Di kedua belah tangannya, pisau-pisau itu telah digenggam orang tua itu.
"Cepat loncat sana!" Ki Rangga Guna mendesis seraya mendorong tubuh Purbajaya.
Sementara itu di ruangan di mana Ki Bagus Seta melepas serangan, sudah terdengar ributribut. Purbajaya menduga kalau para prajurit serta pengawal Ki Bagus Seta sudah diberitahu perihal hadirnya penyelundup ke wilayahnya.
"Ayo lari!" ajak Ki Rangga Guna. "Ke mana?"
"Kita menuju wilayah Tajur Agung!"
"Tajur Agung?" tanya Purbajaya sambil melesat mengikuti ke mana Ki Rangga Guna berlari.
Purbajaya ingin mengimbangi larinya orang tua itu. Namun yang diimbangi ternyata memiliki ilmu kepandaian lari yang demikian hebat. Kendati Purbajaya berusaha sekuat tenaga, kecepatan lari Ki Rangga Guna tak bisa diimbangi. Belakangan baru dia bisa menyusul setelah Ki Rangga Guna menurunkan tingkat kepandaian larinya.
"Tajur Agung adalah taman buah-buahan milik keluarga istana. Tidak sembarang orang bisa keluyuran ke tempat itu. Oleh sebab itulah kita sembunyi di sana," kata Ki Rangga Guna menerangkan di tengah jalan.
"Apakah yakin kita tidak akan diketahui mereka?" tanya Purbajaya sedikit ngosngosan.
"Tentu mereka akan tahu. Tapi paling tidak, tidak akan semua prajurit mengejar kita, kecuali orang-orang tertentu yang diberi izin masuk," jawab Ki Rangga Guna sambil tetap berlari dan diikuti oleh Purbajaya dengan susah-payah.
Namun demikian, Purbajaya masih berpikir untuk memuji orang ini, betapa di saat yang tepat Ki Rangga Guna bisa menyelamatkan nyawanya. Apakah selama ini Ki Rangga Guna terus mengikutinya?
"Ayo percepat larimu, di belakang, mereka tengah menyusul kita," kata Ki Rangga Guna mengingatkan.
Purbajaya berlari cepat. Namun ketika tiba di daerah agak lapang, Ki Rangga Guna malah berhenti dan bertindak seolah-olah sengaja menanti para pengejarnya.
"Kau sembunyi di sana!" Ki Rangga Guna memerintah. "Sembunyi?
"Ya, kau harus sembunyi dari pandangan mereka." Purbajaya mulanya kecewa sebab seperti tak dipercaya untuk ikut menghadapi musuh. Tapi kemudian dia mengerti. Ki Rangga Guna berkata benar kalau dirinya jangan diketahui sebagai penyusup ke puri Bagus Seta, sebab kalau tak begitu, kedudukannya di Pakuan akan terancam oleh kelompok ini.
Ketika para pengejar sudah terlihat gerakannya, Purbajaya segera mencari tempat sembunyi. Kebetulan di sekitar tempat itu ada banyak gundukan tanaman bunga yang daunnya amat rimbun.
Tidak begitu lama kemudian, rombongan pengejar pun segera tiba. Terlihat ada belasan perwira yang langsung mengepung Ki Rangga Guna.
"Hah? Dia Rangga Guna si pemberontak! Tangkap dia!" teriak salah seorang dari mereka. Maka setelah menerima perintah ini, Ki Rangga Guna dikepung rapat. Dan sebentar kemudian terjadilah pertempuran sengit, satu orang melawan belasan perwira Pakuan yang dikenal tangguh.
Pertempuran demikian hebat. Mereka bertarung dengan kecepatan tinggi sehingga gerakan mereka susah diikuti pandangan mata. Sabetan-sabetan pedang dan golok bergulung-gulung menutupi tubuh Ki Rangga Guna dan suaranya bergaung-gaung seperti ribuan gasing diputar berbarengan.
Belasan perwira ini rata-rata memiliki kepandaian hebat. Namun penampilan Ki Rangga Guna kendati hanya melawan seorang diri tidak kalah hebatnya. Sedikit pun dia tidak terlihat terdesak. Gerakan dan perlawanannya malah terlihat amat gemilang. Walau pun digulung belasan senjata tajam namun tubuhnya sedikit pun tidak pernah tersentuh ujung-ujung senjata yang amat runcing itu.
Jangankan bisaa disentuh, bahkan hanya sekadar mendekati saja sudah tak bisa. Tubuh Ki Rangga Guna sepertinya dibentengi lapisan baja yang kuat, sehingga hujan serangan senjata tajam hanya terbatas tiba di benteng baja itu saja.
Ki Rangga Guna sigap dalam menangkis dan sigap pula dalam mengelak. Tubuhnya pun berloncatan ke sana ke mari membuat para pengepungnya sibuk ke sana ke mari pula. Dan pertempuran sengit ini berlangsung cukup lama sebab yang menyerang tak bisa menembus sebaliknya yang diserang tak bisa balik menyerang.
Atau, Purbajaya dari tempat sembunyinya bisa meneliti, sebetulnya Ki Rangga Guna bukan tak bisa melakukan serangan, melainkan sepertinya dia tidak mau melakukannya. Ki Rangga Guna jelas tidak mau mencelakakan lawan-lawannya.
Sampai tiba pada suatu saat, ke tempat itu hadir pula seorang pengejar lain. Dan Purbajaya berdegup jantungnya sebab yang datang adalah Ki Bagus Seta.
Purbajaya gelisah. Melawan belasan perwira saja sudah sedemikian sibuknya, apalagi bila ditambah oleh kehadiran Ki Bagus Seta yang diketahui Purbajaya berilmu tinggi pula. Sebagai bukti, serangan pisau terbang orang itu amat hebat dan susah dihindarkan. Kalau sampai dengan sekarang nasib Purbajaya masih baik, itu karena pertolongan Ki Rangga Guna saja. Purbajaya mengeluh, Ki Rangga Guna pasti akan mengalami kesulitan karena dia sejauh ini tidak mau mencederai lawan-lawannya. Jadi kalau selama ini dia masih selamat, itu karena secara kebetulan dia bisa mengungguli lawan-lawannya. Kalau sekarang belasan perwira dibantu Ki Bagus Seta, barangkali Ki Rangga Guna akan kalah, kecuali dia mengubah sikap untuk tidak memberi angin kepada belasan perwira.
Namun belakangan Purbajaya jadi malu sendiri telah menganggap bodoh Ki Rangga Guna. Buktinya, setelah melihat kehadiran Ki Bagus Seta, Ki Rangga Guna segera meningkatkan kebolehannya. Orang tua itu segera menghimpun tenaga dan melakukan gerakan-gerakan hebat. Maka hanya dalam waktu yang singkat terdengar jerit-jerit kesakitan ketika tubuh belasan perwira terlontar ke sana ke mari dan jatuh berdebuk tak sadarkan diri.
Tewaskah mereka? Purbajaya tak percaya Ki Rangga Guna berlaku kejam. Dia ingat kembali peristiwa di wilayah Sagaraherang ketika Raden Yudakara dipukul roboh. Tubuh pemuda itu terlontar dan berdebuk jauh ke depan terkena pukulan jarak jauh oleh Ki Rangga Guna. Namun anehnya, tubuh Raden Yudakara sedikit pun tidak mengalami luka. Purbajaya mengira, Ki Rangga Guna kali ini hanya membuat lawan menjadi pingsan saja namun tak mengakibatkan mereka tewas.
Ki Rangga Guna sengaja mempercepat perlawanan terhadap belasan perwira karena ingin menghadapi Ki Bagus seta secara khusus.
Purbajaya melihat keadaan dengan hati tegang. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan yang lebih hebat dari pertarungan yang tadi.
Dua-duanya terlihat saling berhadapan dari jarak sekitar sepuluhdepa dan tangan-tangan mereka meregang tegang.
"Rangga, engkau ini adik seperguruanku. Namun mengapa kerjamu hanya mengganggguku saja?" tanya Ki Bagus Seta dengan suara dingin dan amat mengejutkan hati Purbajaya. Mereka berdua kakak-adik seperguruan?
"Saya hanya ingin agar engkau tetap melangkah di jalan yang diinginkan Ki Guru Darma ... " kata Ki Rangga Guna menatap tajam ke arah Ki Bagus Seta. Ki Bagus Seta melangkah setindak dan Ki Rangga Guna segera mundur satu tindak.
"Hahaha! Engkau selalu tak mempercayaiku, Rangga!" "Saya hanya ingin mengingatkan engkau saja, Kakak ..."
"Sudahlah, engkau pulanglah dan rawat Ki Guru," kata Ki Bagus Seta. "Tidak. Ki Guru malah menugaskan saya agar menjagamu, Kak ..."
"Sombong. Dengarkan dungu, aku ingin menolongmu juga. Selama ini aku jadi pejabat negara, namun selama ini pula kau dikejar-kejar pemerintah. Engkau harus malu itu. Dan jangan pula kau permalukan diriku. Betapa orang-orang akan bilang, yang satu jadi pejabat satunya jadi pembangkang. Apakah engkau tidak malu, adik?" tanya Ki Bagus Seta namun dengan nada mengejek. "Seseorang menjadi terhormat tidak karena telah menjadi pejabat, demikian pun sebaliknya. Orang yang dituding pembangkang belum tentu menjadi orang terhina," jawab Ki Bagus Seta dengan nada datar.
"Dungu !" desis Ki Bagus Seta gemas."Jaga sifatmu, jangan kecewakan Ki Guru," lanjutnya.
"Justru ucapan itu yang ingin saya berikan padamu, Kakak," timpal Ki Rangga Guna. Dan rupanya jawaban Ki Rangga Guna ini telah membuat Ki Bagus Seta merasa marah.
Buktinya tubuh Ki Bagus Seta melesat menghambur ke depan. Ki Rangga Guna tidak tinggal diam. Dia pun segera melesat ke depan dengan kecepatan sulit dilihat pandangan mata. Maka dua tubuh berkelebat saling menghambur. Namun keduanya tidak saling bertemu di tengah jalan, melainkan hanya saling berpapasan saja. Gerakannya amat cepat dan hanya membentuk kelebatan saja. Tahu-tahu keduanya sudah berpindah tempat. Tempat di mana tadi Ki Rangga Guna berdiri telah ditempati Ki Bagus Seta, demikian pun sebaliknya. Keduanya masih saling bertatap muka namun dengan tubuh limbung.
Dan sebelum keduanya berdiri tegak, Ki Bagus Seta membuat gerakan aneh. Mula-mula tubuhnya membungkuk dan doyong seperti tubuhnya hampir menyentuh tanah, persis gerakan kodok yang akan meloncat ke depan. Namun bukan loncatan yang dia lakukan, melainkan lontaran pukulan jarak jauh. Gerakan angin pukulan menimbulkan suara berciutan dan dedaunan rontok jatuh ke tanah seperti ditiup badai.
Rupanya Ki Rangga Guna sadar kalau ini merupakan sebuah serangan amat berbahaya. Buktinya, orang tua ini segera melakukan gerakan yang sama dan melakukan serangan pukulan jarak jauh pula. Maka suara angin berciutan berubah menjadi gelegar petir yang menimbulkan bunga api berpijar di angkasa. Dua buah pohon di sekitar tempat itu tumbang karena batangnya hancur berantakan.
Purbajaya terlambat menutup sepasang lubang telinganya. Dan manakala dia periksa, terasa ada lelehan darah segar dari lubang telinganya itu. Purbajaya terkena pengaruh adu pukulan yang dilakukan mereka. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya terasa pusing.
Untuk beberapa lama Purbajaya hanya bisa memejamkan mata karena dirinya terasa menderita. Namun kemudian secara perlahan dia memandang ke sekeliling. Hampir semua dedaunan di pohon-pohon durian di tempat itu pada rontok seperti hari itu secara tiba-tiba musim kering tengah melanda daerah itu. Di tengah tanah lapang, dua orang masih terlihat berdiri dan tetap berjauhan. Hanya saja, kaki Ki Rangga Guna terlihat melesak ke tanah sampai sebatas betis, sementara Ki Bagus Seta berdiri limbung dan seluruh pakaiannya koyak-koyak seperti secara mendadak dikoyak kuku-kuku macan.
"Kau akan mati, Rangga ..."
"Ya ... Kalau pertarungan ini dilanjutkan, kita berdua akan segera mati," jawab pula Ki Rangga Guna.
Dua orang itu saling pandang dalam kebisuan. Sampai pada suatu saat, Ki Bagus Seta meninggalkan tempat itu dengan langkah gontai. Sesudah Ki Bagus Seta berlalu, Purbajaya mulai berani muncul dan meloncat dengan sedikit limbung karena kepalanya pening. Dia harus menolong Ki Rangga Guna yang diduganya mengalami luka yang parah.
Dan benar saja, ketika diperiksa, dari mulut, hidung, telinga bahkan dari sepasang mata Ki Rangga Guna, terlihat ada darah menetes-netes keluar.
"Ki Rangga, anda terluka parah ... " kata Purbajaya khawatir sekali.
"Rupanya itu pula yang dialami Ki Bagus Seta ... " desis Ki Rangga Guna dengan sedikit menahan rasa sakit.
"Mari kita tinggalkan tempat ini ..." ajak Ki Rangga Guna.
"Mereka bagaimana?" Purbajaya melihat ke sekeliling di mana terlihat tubuh belasan perwira Pakuan bergeletakan.
"Mereka hanya pingsan. Sebentar kemudian pasti akan siuman kembali," jawab Ki Rangga Guna yakin.
Ki Rangga Guna akan melangkah namun terlihat limbung. Maka Purbajaya serta-merta memondongnya.
"Bawalah aku ke Pulo Parakan Baranangsiang... " kata Ki Rangga Guna seraya menunjukkan arahnya.
Yang dimaksud dengan tempat itu adalah sebuah gugusan pulau kecil di tengah sungai Ciliwung yang terletak di sekitarjawi khita (benteng luar kota) sebelah timur.
Purbajaya musti mencari perahu untuk mengangkut Ki Rangga Guna menyeberangi sungai. Dan ketika sampai di tempai itu Purbajaya melihat ada sebuah pasanggrahan indah di sana.

***


YANG dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah delta atau gugusan pulau kecil terletak di tengah aliran sungai Cihaliwung. Mungkin delta itu tadinya terbentuk oleh lumpurlumpur yang dibawa dari wilayah hulu sungai dan lama kelamaan menumpuk membentuk sebuah gugusan.
Karena di tengah gugusan pulau itu terdapat sebuah pasanggrahan, mudah diduga kalau tempat itu sebetulnya merupakan sebuah tempat peristirahatan.
Memang itu yang diterangkan oleh Ki Rangga Guna. Bila siang hari dan cuaca baik, maka tempat ini merupakan sebuah tempat dengan panorama amat indah. Ki Rangga Guna mengatakan kalau tempat ini merupakan sebuah peristirahatan bagi keluarga raja beserta kerabatnya. Setiap tahun suka diadakan acara bernamamunday . Munday adalah upacara memanen ikan sungai Ciliwung. Dilakukan oleh seluruh ambarahayat untuk dimakan bersama-sama dengan raja dan kerabatnya dalam sebuah pesta makan ikan. Raja dan kerabatnya makan ikan sungai Cihaliwung di pasanggrahan itulah.
Tapi malam itu di Pulo Parakan Baranangsiang suasana amat sepi. Kalau di saat siang amat cocok digunakan sebagai tempat bersantai, maka di malam yang gelap dan dingin ini amat cocok digunakan sebagai tempat sembunyi.
Ki Rangga Guna membawa Purbajaya ke tempat itu agar bebas dari kejaran lawan namun juga digunakan sebagai tempat istirahat karena tubuh orang tua itu menderita cukup parah.
"Saya akan mencoba mengobatimu, Ki Rangga ... " kata Purbajaya membuka pakaian orang tua itu.
Dan Purbajaya tanpa sungkan mengeluarkan tenaga dalamnya. Telapak tangannya dia kerahkan menekan punggung Ki Rangga Guna agar aliran darah orang tua itu mengalir lancar.
"Aliran tenaga dalammu kurang kuat, siapakah gurumu, anak muda?' tanya Ki Rangga Guna tiba-tiba. Sudah barang tentu Purbajaya tersinggung dengan pertanyaan ini. Sepertinya Ki Rangga Guna melecehkan kemampuannya.
"Kedunguan seorang murid tidak lantas merupakan gambaran kelemahan yang menjadi gurunya, Ki Rangga ... " jawab Purbajaya sedikit ketus, membuat Ki Rangga Guna tersenyum kecil.
"Aku hanya tanya, siapakah gurumu?"
"Guruku bernama Ki Jayaratu!" jawab Purbajaya tegas untuk memberikan kesan betapa gurunya sebenarnya seorang yang hebat.
"Hm ... Kepandaian Ki Jayaratu sebenarnya tak berada jauh dengan guruku, anak muda. Dua orang itu dulunya musuh besar dan kerapkali melakukan pertempuran. Namun yang satu dan yang lainnya tidak pernah saling mengalahkan. Hanya saja gurumu punya kelemahan, terlalu memberikan kebebasan kepada muridnya untuk melakukan banyak pilihan. Sementara Ki Darma guruku selalu tegas dalam menentukan pilihan. Yang menjadi muridnya harus sepandai gurunya. Tapi ... "
"Tapi apa, Ki Rangga?"
"Ki Darma banyak membagikan ilmunya. Tadinya dengan harapan agar ilmunya bisa berguna bagi keberadaan negri. Namun kenyataannya ... "
"Murid-murid Ki Darma ada yang membelokkan ilmunya untuk kepentingan yang tidak baik," potong Purbajaya.
"Begitulah, anak muda. Murid-murid Ki Darma semuanya berilmu tinggi. Namun semakin tinggi ilmu semakin berbahaya bila tidak dijalankan dengan baik," Ki Rangga Guna mengeluh ketika membicarakan hal ini. "Saya pun bukan murid yang baik, Ki Rangga," potong Purbajaya untuk menghibur orang tua itu."Saya akui, Ki Jayaratu kurang keras mendidik murid. Beliau terlalu memberikan kebebasan. Saya adalah muridnya. Namun saya kurang menyukai hal-hal keras, jadinya saya malas dalam berlatih ilmu kewiraan," lanjutnya menghela napas.
"Jalan keselamatan di dunia bukan terletak pada ilmu kewiraan, melainkan pada sikap dan perilaku keseharian, anak muda," jawab Ki Rangga Guna yang sebentar-sebentar mengatur pernapasannya.
"Ya, namun tetap saja saya ini murid yang buruk yang tak bisa menjaga nama baik guru ... " keluh Purbajaya.
"Ucapanmu menyindir kami, anak muda. Dan juga amat menguatkan kata-kataku, betapa sebetulnya ilmu kewiraan tidak menjamin bisa menjaga nama baik guru. Kau lihatlah Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati kalau sudah kenal dia, mereka jadi pejabat negri namun tujuannya bukan untuk mengabdi, melainkan hanya untuk mencari keuntungan pribadi. Belakangan aku ketahui mereka akan melakukan perlawanan kepada penguasa."
"Apakah itu sebagai pembelaan terhadap gurunya sendiri yang dikejar-kejar dan dituding pengkhianat?" potong Purbajaya.
"Hati-hati dengan bicaramu, anak muda. Ki Guru Darma adalah pengabdi kepada negri namun bukan pengabdi bagi penguasa. Penguasa memang tidak menyenangi Ki Darma karena guruku tidak menyanjung penguasa. Namun demikian tidak lantas guruku ingin mengkhianati negara. Ki Darma benci pemberontakan dan pengkhianatan," kata Ki Rangga Guna sungguhsungguh."Dan Ki Guru Darma sungguh amat menyesali apa yang dilakukan Ki Bagus seta serta Ki Banaspati," tutur Ki Rangga Guna lagi.
"Karena Ki Bagus Seta serta Ki Banaspati jadi pejabat negara?"
"Bukan karena itu. Ki Guru Darma tidak membenci pejabat. Namun kalau mau jadi pejabat, maka jadilah pejabat pengabdi dan bukan jadi pejabat peminta. Jabatan adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dan bukan sesuatu yang musti disyukuri. Tindakan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati semakin jauh dari harapan Ki Guru Darma sebab mereka menjadikan jabatan sebagai sesuatu untuk digunakan sebagai perangkat dalam mencari peluang keuntungan. Itu Ki Guru Darma tak suka."
Purbajaya menerimanya sambil termangu-mangu. Sedemikian menjelimetnya suasana di Pakuan ini. Ada tokoh baik, ada tokoh jahat namun semuanya saling terikat oleh kekerabatan.
Purbajaya teringat, Ki Banaspati adalah pejabatmuhara (pejabat penarik pajak) bagi wilayah timur Pajajaran namun diketahui bekerja sama dengan Ki Sunda Sembawa dalam upaya melakukan pemberontakan. Sekarang, secara terpisah, Ki Bagus Seta pun sama melakukan upaya untuk menjatuhkan raja. Di pusat pemerintahan, dia punya mitra-kerja namun juga melakukan pekerjaan dan tujuan sendiri-sendiri. Dengan demikian, Pakuan telah dikepung oleh banyak kelompok yang masing-masing punya niat yang sama yaitu menjatuhkan raja dan merebut kekuasaan.
"Ini menyakitkan. Mungkin hanya padamu saja aku katakan, betapa hancur perasaan kami melihat anak-murid Ki Darma ada yang melakukan kejahatan politik. Untuk itulah aku hanya bisa berjuang melawan saudara seperguruanku secara diam-diam saja. Aku tak mau semua orang menjadi tahu kalau anak-murid Ki Darma melakukan pengkhianatan kepada negara. Sebab kalau telanjur diketahui, maka tudingan bahwa Ki Darma tokoh pemberontak akan sepertinya mendekati kebenaran. Gurunya pengkhianat, muridnya pemberontak. Seperti pas rasanya ... " gumam Ki Rangga Guna dengan memelas.
"Tugasmu mulia namun amat berat. Kau musti berhadapan dengan saudara seperguruanmu sendiri, Ki Rangga ... " Purbajaya ikut memelas.
"Benar, amat menyedihkan. Namun baik Ki Guru Darma mau pun aku sendiri, sudah putuskan untuk melawan siapa pun juga yang berniat menghancur-luluhkan Pajajaran," kata Ki Rangga Guna pasti.
"Termasuk akan melawan saya, Ki Rangga?" tanya Purbajaya ragu.
"Kalau kau keluar dari pijakan yang telah ditetapkan Sang Susuhunan Jati dalam memperlakukan Pajajaran, maka kau pun akan behadapan denganku sebagai musuh," jawab pula Ki Rangga Guna tegas."Ingat, pengetahuanku hanya menyebutkan bahwa Carbon tidak akan menghancurkan Pajajaran, melainkan akan lebih memperkuat tatanan negara Pajajaran yang sudah besar ini dengan pijakan tatanan kehidupan agama baru. Itu saja dan aku setuju dengan itu."
"Kalau begitu, tolonglah saya Ki Rangga, jauhkan saya dengan kelompok-kelompok petualang yang akan mengganggu dan mempengaruhi saya agar saya membelokkan tujuan mulia ini ..." Purbajaya mendesak dengan suara sungguh-sungguh. Dia berpikir, perjalanan hidupnya di Pakuan ini hanya bisa berjalan dengan baik bila dijaga oleh orang yang berjuang untuk kebaikan.
"Aku bisa bantu engkau agar bisa memenuhi tugas beratmu tanpa diganggu oleh kelompokkelompok petualang. Hanya saja ada gangguan paling berat yang susah dibantu dan hanya engkau sendirian yang harus memeranginya," ujar Ki Rangga Guna.
"Musuh apakah itu, Ki Rangga?"
"Ya, itulah musuh yang ada di dalam hatimu sendiri. Sudah aku katakan, semua orang harus berperang dengan ambisinya. Kalau ambisi sudah mengendalikan peranan dalam hidup ini, maka berbagai tujuan murni sudah tak akan berarti lagi," kata Ki Rangga Guna sungguhsungguh.
"Ambisi ... Sekecil apa pun, Ki Rangga?" tanya Purbajaya berdebar. "Ya, ambisi sekecil apa pun," jawab Ki Rangga Guna tandas.
Demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini, Purbajaya mengeluh. Tempo hari, orang tua itu sendiri yang mengatakan kalau yang namanya ambisi memang sulit dilawan. Sekarang, Ki Rangga Guna sendiri yang mengatakan kalau ambisi yang ada dalam hatinya musti dilawan dengan keras kalau masih menginginkan tugasnya dikerjakan secara murni.
Purbajaya hanya bisa duduk termangu memikirkannya. "Memang sungguh tepat kau disusupkan ke puri Yogascitra. Namun demikian, justru di sanalah engkau akan menerima kepedihan yang sangat sebagai manusia, anak muda. Di tempat itu, kepura-pura akan dilawan oleh kejujuran. Kau datang ke sana sebagai penyusup pasti akan menjadi orang yang penuh pura-pura, padahal penghuni puri adalah orang-orang yang menghargai kejujuran dan kesetiaan. Mereka adalah kelompok yang tidak pernah bercuriga dan menganggap buruk kepada orang lain. Hal inilah yang akan membuatmu pedih karena rasa kemanusiaanmu akan terkoyak-koyak oleh kepura-puraan yang kau jalankan. Hatimu selamanya akan saling berbenturan sendiri," tutur Ki Rangga Guna.
Dan setelah kenyang menerima wejangan serta petuah, akhirnya Purbajaya disuruh meninggalkan tempat itu. Ki Rangga Guna menginginkan agar Purbajaya segera kembali ke rumah Ki Jongjo agar orang tua itu tidak curiga atas kepergian Purbajaya. Ki Rangga Guna sendiri akan berusaha mengobati lukanya di Pulo Parakan Baranangsiang sebelum fajar menjelang.
Purbajaya menghormat takzim sebelum meninggalkan tempat itu. Dan sebelum dia benarbenar pergi, Ki Rangga Guna masih memberinya peringatan ulangan.
"Hati-hatilah akan ambisi hatimu anak muda ... " kata Ki Rangga Guna.
Purbajaya tak kuasa menjawabnya. Sebab berbareng dengan itu suasana puri Yogascitra mendahului membayang di benaknya. Di sana ada Ki Yogascitra yang jujur dan amat mencintai negrinya. Di sana ada Banyak Angga yang baik hati ramah dan santun dan jangan lupa, di sana pun ada Nyimas Banyak Inten yang cantik yang amat membuat hati Purbajaya selalu berdebar. Purbajaya bergidik, tidakkah hal-hal ini yang akan membuat dirinya goncang serta tak bisa menahan gejolak hatinya sehingga tujuannya sebagai penyusup terganggu total?
Sambil mendayung sampan kembali menuju daratan, hati Purbajaya tak habis-habisnya mengeluh. Dia merasa bimbang dalam menghadapi kesemuanya ini. Di puri Yogascitra pasti akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari musuh apa pun. Dan itulah yang namanya cinta. Cinta susah dihalau dan amat membuatnya pedih.

***


PENUTUP

Sampai di sini, berakhirlah kisah petualangan Purbajaya. Tentu saja, selama berada di Pakuan, pemuda ini semakin terbenam ke dalam kemelut berkepanjangan yang melibatkan kehidupan politik dan intrik pribadi dan itu semua telah dikisahkan dalam episodeSenja Jatuh di Pajajaran yang telah dimuat harian ini beberapa waktu silam.
Sekadar mengingatkan kembali. Di Pakuan ini Purbajaya memang berhasil menjadi utusan Carbon yang baik namun gagal dalam melawan hasrat hatinya. Di puri Yogascitra dia tidak bisa menepis perasaan cintanya terhadap Nyimas Banyak Inten. Dan karena kemelut cintanya ini, Purbajaya akhirnya tewas mengenaskan ketika nekad berusaha akan membunuh Sang Prabu Ratu Sakti karena raja yang penuh ambisi tapi berjiwa romantis ini telah meminta Nyimas Banyak Inten sebagai selir terkasih. Peristiwa kematian Purbajaya ini sudah barang tentu amat mengecewakan semua orang, termasuk pula Ki Rangga Guna yang selama itu tidak habis-habisnya memperingatkan pemuda itu agar sanggup melawan musuh di dalam hatinya sendiri.
Ki Sunda Sembawa berhasil memenuhi ambisi pribadinya dalam menyerang Pakuan. Namun demikian, dia gagal mencapai cita-cita merebut negri sebab dalam pertempuran mati-hidup di Bukit Badigul, Ki Sunda Sembawa tewas di tangan para perwira Pakuan yang tangguh (baca episodeSenja Jatuh di Pajajaran ).
Sementara itu, selang beberapa tahun kemudian, giliran Raden Yudakaralah yang membawa pasukan pemberontak untuk menyerang Pakuan. Namun sama seperti pamannya, dia pun mengalami nasib naas, tewas dalam peristiwa penyerbuan itu (baca episodeKunanti di Gerbang Pakuan )
Namun demikian, pemberontakan demi pemberontakan datang silih berganti mendera Pajajaran dan sejauh itu masih bisa ditepis oleh orang-orang yang masih memberikan kesetiaan penuh kepada negara seperti yang dilakukan kelompok Ki Yogascitra misalnya. Hanya saja, peperangan yang kerapkali terjadi telah menyebabkan kekuatan negri yang berusia ratusan tahun itu kondisinya kian melemah jua. Pajajaran semakin terpuruk ketika pasukan dari Banten untuk ke dua kalinya melakukan penyerbuan ke Pakuan pada tahun 1567 Masehi. (baca episodeKunanti di Gerbang Pakuan ).

Ketika kau dikalahkan
maka hatimu sakit penuh dendam namun ketika kau menang kegembiraan tidak sempurna sebab yang kau kalahkan
hatinya pun sakit penuh dendam maka berbahagialah
orang yang mencapai kemenangan tanpa mengalahkan
dia tidak menyakiti namun juga
tidak disakiti

:: TAMAT ::



INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 15 --oo0oo-- Kemelut Di Cakrabuana Tamat


Kemelut Di Cakrabuana Jilid-13

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 12 --oo0oo-- Jilid 14

TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 13


"Kau nanti bisa bicara banyak. Kau akan tahu, siapa ayahandamu," kata Raden Yudakara di tengah perjalanan.
Berjalan beberapa lama melewati tanah luas beralang-alang, makatibalah di sebuah perkampungan kecil. Disebut kecil karena hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Namun yang mencolok, dari kelompok rumah ini ada satu yang terlihat besar dan bagus. Rumah panggung cukup tinggi disangga kayu-kayu jati pilihan. Atapnya dari rumbia. Di depan ada beranda luas terbuka dan di tengahnya dipasang meja setinggi setengah depa. Purbjaya menduga, rumah besar ini milik Ki Jayasena yang disebut-sebut sebagai kerabatnya.
Untuk masuk ke perkampungan ini musti lewatlawang kori (gerbang) yang kalau malam mungkin ditutup rapat untuk menjaga diri dari gangguan binatang buas atau pun orang jahat.
Siang hari ini gerbang terkuak lebar sehingga Raden Yudakara dan Purbajaya leluasa memasuki halaman. Di sana segera disambut seseorang.
"Kami mau bertemu Ki Jayasena," kata Raden Yudakara.
"Kebetulan beliau ada di rumah. Mari saya antarkan," kata orang itu hormat sekali. Purbajaya mau ikut di belakang ketika tiba-tiba Raden Yudakara mencegahnya.
"Engkau tinggal dulu di sini, Purba," kata pemuda itu amat mengherankan Purbajaya. Dia berpikir, mengapa pertemuan dengan kerabatnya musti ditunda dulu. Padahal taka ada salahnya langsung dipertemukan saja.
Sementara Purbajaya berpikir begitu, Raden Yudakara sudah memasuki halaman rumah besar itu.
"Engkau bisa duduk menunggu dibalebesar , anak muda," kata penghuni yang akan mengantar Raden Yudakara.
Purbajaya yang sudah menambatkan kudanya segera menuju tempat yang sudah ditunjukkan, yaitu sebuah bangunan berupa paseban terletak di tengah tanah terbuka.
Orang itu tak berapa lama kemudian sudah datang dan menemani Purbajaya.
"Engkau datang dari mana, anak muda?" tanyanya. Tindak-tanduknya tak begitu menghormat seperti tadi. Barangkali dia sadar kalau yang perlu dihormat hanya Raden Yudakara saja. Purbajaya mungkin dianggapnyabadega (pelayan) Raden Yudakara, makanya disuruh tunggu di luar saja.
"Saya dari wilayah Sagaraherang," jawab Purbajaya singkat. "Dia tadi majikanmu, ya?"
"Benar ... "
"Dia pejabat di Sagaraherang, ya?" "Mana saya tahu?"
"Lho?"
"Saya belum begitu lama mengabdi padanya. Lagi pula, masa seorangbadega berani tanya ini-itu sama majikan?" Purbajaya berkata ketus karena jengkel ditanyai saja. Dia memang lagi jengkel. Rasanya tersinggung oleh perlakuan Raden Yudakara yang tak segera mempertemukan dirinya dengan Ki Jayasena, kerabatnya. "Bekerjalah lebih lama pada majikanmu agar kau mendapatkan kemajuan," kata orang itu akhirnya.
Purbajaya menoleh.
"Bagaimana bisa bicara begitu, engkau kan belum kenal majikan saya?" Purbajaya heran dibuatnya.
"Aku hanya bisa duga saja, setiap yang berhubungan dengan Juragan Jayasena, pasti orang penting. Jadi aku pikir, yang bekerja pada orang penting, suatu saat hidupnya terangkat juga," jawab orang itu.
"Saya ini kerabat majikanmu," kata Purbajaya untuk menghapus rasa penasaran orang itu. Tapi diberitahu perihal ini, orang ini malah semakin penasaran. Matanya terlihat membelalak. Tahu rasa, kini kau harus membungkukkan punggungmu padaku, pikir Purbajaya. 
Namun nyatanya, orang itu tak mengubah sikap, kecuali rasa herannya itu.
"Kok aneh, Juragan selama ini tak pernah bilang punya kerabat dari Sagaraherang atau dari mana pun juga. Lagi pula, kalau kau benar kerabat Juragan Jayasena, mengapa tak lantas masuk saja ke rumah beliau?" tanya orang ini menyangsikan sekali, membuat mulut Purbajaya cemberut karena tak dipercaya orang. Kermbali hati Purbajaya jengkel. Mau menerangkan, ceritanya bakal panjang. Lagi pula tak ada untungnya bicara pada orang ini.
"Aku putra penguasa Tanjungpura!" tandas Purbajaya agar orang itu jadi segan padanya. Namun kembali Purbajaya kecele. Ketika Purbajaya mengatakan hal ini, orang itu malah ketawa.
"Jangan ngaco kamu. Keluarga dari penguasa Tanjungpura tak mungkin keluyuran ke sini. Juragan Jayasena tak menyukai Kandagalante Subangwara," kata orang itu ketawa lepas.
"Dulu, dulu!" potong Purbajaya.
Orang itu sejenak menatap, tak mengerti ucapan Purbajaya. "Maksud saya, saya ini anak kandagalante yang dulu."
"Dulu yang mana? Sejak dulu sudah belasan yang jadi penguasa wilayah ini," giliran orang itu yang jengkel karena Purbajaya dianggapnya bicara ngawur.
"Dulu ada kandagalante yang tewas saat diserbu pasukan Carbon? Nah, kau ingat, kan? Apalagi penguasa yang tewas itu adalah kerabat Ki Jayasena!" tandas Purbajaya jengkel.
"Kerabat?"
Keheranan orang itu tak bisa tuntas sebab Raden Yudakara keburu datang bersama seorang lelaki setengah baya berpakaian jenissantana (golongan masyarakat pertengahan). Yang membuat Purbajaya heran, lelaki itu datang sambil air mata deras bercucuran. Nampak sekali dia ingin dilihat orang kalau dirinya tengah menangis. "Di mana kemenakanku? Di mana dia?" katanya tergopoh-gopoh mendekati Purbajaya. "Oh, engkaukah Purbajaya? Benar, engkau rupanya kemenakanku!"
Purbajaya tak sempat menghindar ketika orang tua itu menubruk dan memeluk dirinya eraterat. “Kau kemenakanku, kasihan nasibmu buruk. Oh, nasibmu buruk ... " lelaki itu menepuknepuk punggung Purbajaya.
"Dia Ki Jayasena, pamanmu sendiri, Purba. Berbaktilah kepadanya ... " ujar Raden Yudakara tersenyum tipis.
Ada sedikit ganjil memang. Namun apa pun, rasa haru ternyata menyelinap juga ke sanubari Purbajaya. Betapa tidak. Selama belasan tahun dia hidup, baru kali ini ada orang mengaku kerabatnya.
Lantas Purbajaya digandeng dibawa ke rumah besar. Itu adalah rumah yang tadi dikunjungi Raden Yudakara.
"Ini adalah peristiwa yang mengagetkan semua orang. Maafkan aku kalau kau tak langsung dibawa serta. Aku perlu menjelaskan secara rinci dan hati-hati agar tak mengagetkan dan juga agar kita dipercaya," kata Raden Yudakara seolah bisa menebak keheranan di hati Purbajaya.
"Memang tadinya sulit dipercaya. Aku sudah mengira kalau semua handai taulanku tewas dalam penyerbuan itu. Tak diduga masih tersisa kau. Maafkan aku. Kalau tak ada jasa Raden Yudakara, tak nanti kita bisa bertemu... " kata Ki Jayasena duduk dekat-dekat bersama Purbajaya.
Malamnya Purbajaya dijamu besar-besaran. Berbagai makanan dan minuman disediakan sebanyak-banyaknya.
Malam itu seisi kampung diundang hadir. Dan Purbajaya diperkenalkan sebagai keturunan satu-satunya dari Kandagalante Sura Manggala yang tewas dalam peperangan melawan Carbon, belasan tahun silam.
"Namun itu adalah peristiwa lama dan anak muda ini tak akan mengutak-atiknya lagi," kata Ki Jayasena. Ucapan ini menyiratkan maksud kalau masalah permusuhan dengan Carbon jangan dibesar-besarkan. Begitu arti ucapan yang tertangkap oleh Purbajaya.
Ki Jayasena ingin masalah dengan Carbon ditutup sampai di situ. Sebab kalau dibesarbesarkan, berarti Purbajaya punya niat "balas dendam" kepada Carbon. Dan kalau Ki Jayasena bicara begitu, hanya mengisyaratkan bahwa dirinya telah berkiblat pula ke Carbon.
Purbajaya tak berarti harus gembira dengan pernyataan ini. Pamannya ini sudah jadi orang Carbon, atau sekurang-kurangnya dia adalah orang Pajajaran yang hatinya telah berpaling ke Carbon. Namun siapakah yang mempengaruhinya? Purbajaya bisa tegar menerima kenyataan ini karena sejak kecil dia hidup dan dibesarkan dengan jiwa Carbon. Namun Ki Jayasena tetap berdiri sebagai orang Pajajaran. Amat mengherankan, kematian seorang saudara tidak menimbulkan kebencian kepada si penyebabnya bahkan sebaliknya dengan entengnya berpihak kepada lawan. Purbajaya menduga kalau yang mempengaruhi Ki Jayasena ini adalah Raden Yudakara. Dan kalau benar begini, Purbajaya pun harus hati-hati. Ki Jayasena boleh jadi "saudara" tapi dalam politik tidak. Purbajaya merasa kalau Ki Jayasena walau pun berkata "Carbon" namun bukan berarti bekerja untuk kepentingan Carbon. Purbajaya yakin begitu karena melihat siapa yang berdiri di belakang Ki Jayasena ini.
Kebenarannya memang belum tentu begitu sebab Purbajaya baru menduga-duga saja. Namun demikian, Purbajaya akan menyelidikinya. Bila belakangan diketahui Ki Jayasena terseret pengaruh Raden Yudakara maka Purbajaya harus memperingatkannya.

***


PURBAJAYA masih sangsi akan kenyataan ini. Benarkah Ki Jayasena ini pamannya? Dia belum sepenuhnya percaya. Sikap Ki Jayasena mencurigakan. Purbajaya pernah memergoki Ki Jayasena marah habis-habisan kepada orang yang pernah ngobrol dengan Purbajaya di saat Purbajaya menunggu saat pertemuan dengannya. Purbajaya teringat, waktu itu pembantu Ki Jayasena heran ketika Purbajaya mengaku kerabat penghuni di sini.
Bahkan ketika disebutkan bahwa Ki Jayasena adalah kerabat ayahanda Purbajaya, pembantu itu pun heran. Sepertinya pembantu itu menyangsikan ucapannya ini. Dan Ki Jayasena memarahi pembantu itu karena masalah ini.
"Kalau kau banyak bicara lagi, kau akan kubunuh!" desis Ki Jayasena kepada pembantunya.
Purbajaya penasaran melihat peristiwa ini. Maka dia memutuskan untuk menemui pembantu itu. Namun sudah beberapa hari si pembantu tak kelihatan batang-hidungnya. Bahkan sepertinya orang itu lenyap ditelan bumi karena Purbajaya tidak bisa menemukan di mana dia berada. Purbajaya coba tanya sana-sini, tidak seorang pun berkata pernah kenal pembantu itu.
"Siapa sih namanya?" tanya seorang pembantu yang sempat Purbajaya tanyai.
Ditanya begini Purbajaya garuk-garuk kepala. Dia memang tak sempat mengetahui nama orang itu.
"Dia bertubuh gemuk, kumisnya jarang dan sudah beruban," kata Purbajaya menjelaskan. Namun yang ditanya hanya mengerutkan alis.
"Juragan Jayasena banyak memiliki pembantu. Kadang-kadang kerja belum begitu lama, sudah minta berhenti. Dengan begitu, kami tak sempat lama berkenalan dengan sesama pembantu," kata orang itu membuat Purbajaya kecewa.
Akhirnya pencarian dihentikan. Dia tanya sana-sini secara diam-diam karena tak mau dicurigai Ki Jayasena. Namun karena mengambil cara seperti itu, maka upaya pencarian semakin sulit. Pembantu yang dia cari, hilang misterius.
Namun ini bukan berarti Purbajaya putus asa. Hilangnya si gemuk berkumis jarang itu bahkan semakin menambah kecurigaan di hatinya. Rasanya seisi kampung ini bersikap aneh. Masa ada seorang pembantu yang hilang, seorang pun tak pernah mempertanyakannya. ***
KI Jayasena punya seorang anak gadis bernama Nyi Sumirah. Gadis ini sudah tak memiliki ibu karena sejak kecil telah ditinggal mati. Yang kaya dimiliki oleh gadis itu malah ibu tirinya. Kata penghuni di sini, bulan lalu Ki Jayasena baru saja melangsungkan pernikahan dengan gadis yang usianya sebaya putrinya. Herannya, Nyi Sumirah sendiri belum mau menikah. Usianya sudah cukup, sekitar tujuhbelasan. Padahal di tempat itu, banyak anak gadis usia dini sudah cerai-kawin beberapa kali.
Dalam beberapa hari saja, Purbajaya sudah kenal baik kepada Nyi Sumirah. Ternyata dia adalah gadis manja. Setiap hari kerjanya hanya ingin dilayani oleh inang pengasuhnya saja. Tak pernah mengerjakan pekerjaan yang bersifat kewanitaan kecuali bermain-main saja.
Nyi Sumirah pun banyak temannya, baik sesama wanita mau pun kaum pria. Dan nampaknya hubungan di antara mereka terlalu akrab dan hampir tak ada batasnya. Kalau bulan lagi purnama, katanya anak-anak muda di sini senang bergerombol saling bercengkrama.
Malam ini bulan lagi purnama. Purbajaya bisa menyaksikan, betapa di bangunan bernamabale gede banyak berkumpul pasangan remaja. Mereka mengobrol atau saling membuat lelucon dan yang pria menggoda yang wanita. Maka sebentar-sebentar terdengar kekeh dan tawa cekikikan. Ada juga selingan suara jeritan kecil wanita karena mungkin digoda pria.
Purbajaya tidak mau melibatkan diri ke sana. Terbayang kembali peristiwa buruk ribut-ribut sesama pemuda karena rebutan perhatian gadis. Itulah sebabnya, Purbajaya hanya menyaksikan saja dari tempat agak jauh.
Namun ketika dia tengah duduk-duduk di bale-bale dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Ternyata Nyi Sumirah yang datang.
"Mengapa engkau memisahkan diri di sini?" tanya gadis itu dengan suara ketus.
Menerima kehadiran gadis ini sebenarnya hati Purbajaya merasa terganggu. Dia ingin menatap benderangnya cahaya bulan sambil mengawasi keceriaan anak-anak muda itu. Hatinya sudah terpuaskan karena pemandangan ini amat indah. Dan merasakan situasi ini, Purbajaya jadi ingat kenangan. Ya, cahaya bulan dan cinta baginya serasa sebuah perpaduan yang tak bisa terpisahkan. Hanya saja, bulan pun jadi kepedihan hatinya sebab dalam cahaya bulan ini cinta tak hadir dalam dirinya.
Sudah tak ada Nyimas Waningyun, sudah tak ada Nyimas Yuning Purnama. Pedih. Namun pedih dalam keindahan. Sebab kepedihan apa pun bila sudah menjadi kenangan, sebenarnya jadi terasa indah. Indah untuk direnungi sendiri tanpa siapa pun mengganggu. Sekarang malah Nyi Sumirah datang mengganggu. Sambil bicara ketus, lagi.
"Ada, Nyai?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
"Engkau menyinggung perasaan orang lain, Purba ... " omel gadis itu masih cemberut. "Saya? Menyinggung perasaan orang lain? Rasanya saya tak ganggu siapa pun. Dari tadi saya memisahkan diri di sini saja ..." jawab Purbajaya heran.
"Nah, itulah yanag membuat orang tersinggung. Melamun dan memisahkan diri dari yang lain, hanya membuat kegembiraan orang jadi terganggu. Bukankah itu menyinggung perasaan orang lain yang lagi gembira? Kau lihat petani miskin di daerah pesisir, betapa kemiskinan mereka mengganggu kegembiraan kita. Padahal kita yang hidup berkecukupan inginnya setiap waktu bergembira, tidak menyedih-nyedihkan diri kita sendiri atau pun tidak memelas karena melihat orang lain menderita. Tapi kalau aku sedang makan enak, lantas ada orang miskin lewat, selera makanku jadi berkurang. Dan aku terganggu sebab aku musti memberinya sedekah. Itu pula yang aku rasakan di saat aku lihat kau duduk termenung seorang diri. Serasa menggangggu kegembiraanku," kata Nyi Sumirah lantang.
"Jangan kau sombong hanya karena hidupmu bahagia, Nyai ..." kata Purbajaya tersenyum kecut.
"Bahkan aku rasakan, orang yang lagi menderitalah yang sombong!" tukas gadis itu membuat Purbajaya heran.
"Ya, banyak orang yang menyombongkan diri karena memiliki derita. Dia perlihatkan derita itu kepada semua orang. Dia katakan kepada orang lain kalau dirinyalah yang punya ependeritaan dan kepahitan hidup. Itulah sombong, disangkanya orang lain tak punya penderitaan. Kalau kau punya masalah hidup lantas memisahkan diri, apakah kau sangka aku yang senang bergembira dan senang berkumpul dengan orang lain ini tidak punya permasalahan hidup? Sombong sekali engkau " omel lagi Nyi Sumirah.
"Tapi Nyai "
"Maksudmu, penderitaanmu lebih besar dan lebih parah dari aku, begitu, ya? Nah, itulah kesombongan orang yang mengaku menderita," potong gadis itu tak memberi kesempatan Purbajaya berbicara.
"Malah saya tak punya penderitaaan apa pun, Nyai " Purbajaya memotong kalimat.
"Apalagi begitu, maka engkau semakin sombong juga!" tukas Nyi Sumirah tak memberi hati. Purbajaya jadi serba salah untuk berdebat dengan gadis ini.
"Jadi saya musti bagaimana?" keluh Purbajaya akhirnya.
"Musti bagaimana, musti bagaimna. Ya, bergabunglah dengan kami, perlihatkan seolah-olah kau pun punya akewsatuan pendapat dalam hal kegembiraan di bulan purnama ini. Lagi pula kau musti gabung sabab ada seseorang ingin bertemu kau," kata Nyi Sumirah.
"Seseorang ?"
"Ya. Sayang, ya "
"Mengapa sayang?" "Kau saudaraku. Padahal kalau bukan, aku senang bercengkrama denganmu." "Oh ... "
"Tapi kau bakal punya pasangan. Lihatlah dia datang!" kata Nyi Sumirah menunjuk seseorang yang datang. Seorang gadis.
Dia gadis rupawan. Wala hanya diterangi cahaya bulan, wajah gadis itu cantik. Mungkin kulitnya hitam manis sebab ketika terkena cahaya bulan, wajah itu tak putih pucat.
"Ini dia Nyimas Wulan. Purba, ayo kenalan dengannya!" Nyi Sumirah membetot tangan gadis yang baru datang dan ditempelkannya pada lengan Purbajaya. Sudah barang tentu Purbajaya melengos sambil tersipu malu. Gadis bernama Nyimas Wulan hanya tersenyum saja. Mungkin merasa lucu melihat Purbajaya tertunduk-tunduk malu.
"Ayo cepat kenalan dengan putri terkasih Juragan Ilun Rosa. Eh, kok seperti tikus takut kucing. Wulan, kenapa diam saja. Tadi kau cari-cari Purbajaya?" Nyi Sumirah terus menggoda keduanya"Hus, siapa bilang?"
"Nah, mau bohong, ya? Bila Purbajaya tak ada kau suka tanya sana-sini. Sekarang malah pura-pura tak butuh," kata lagi Nyi Sumirah.
"Ah ... bohong itu. Bohong itu!" Nyimas Wulan pura-pura marah menjadikan hati Purbajaya jadi canggung.
"Ah, kehadiran saya jadi mengganggu kalian. Saya mau pulang, ah ... " kata Purbajaya berjingkat karena selalu serba salah. Gadais-gadis Tanjungpura ternyata berani-berani dan amat menantang. Purbajaya tak biasa menghadapinya. Maka dia pilih pergi saja dari tempat itu.
"Hai jangan begitu. Sombong kau, ya?" lagi-lagi Nyi Sumirah mencercanya. Dan Purbajaya tak jadi pergi. Dia riskan dengan tuduhan sombong kepada dirinya itu.
Purbajaya kembali duduk di bale-bale tapi sambil hati tak enak sebab para pemuda di ruangan bale gede sudah terlihat memperhatikan dirinya.
"Saya mau pergi saja," Purbajaya kembali berjingkat. Dia takut disatroni para pemuda yang tersinggung karena terlihat "dikepung" dua gadis yang sebetulnya tadi tengah bergabung dengan mereka.
Untung saja dalam suasana serba kikuk itu hadir Raden Yudakara. Dengan demikian, keadaan agak berubah sebab pemuda pesolek ini mengambil-alih kendali percakapan. Namun demikian, Purbajaya timbul rasa sebalnya. Sudah pasti, bila pemuda ini berhadapan dengan wanita akan timbul penyakitnya.
"Oh hai, rembulan di atas sana sudah sedemikian indahnya ..."Raden Yudakara berpuisi dengan suara mendayu-dayu.
Para gadis yang mendengar buaian merdu ini pasti akan berbunga-bunga hatinya. Tapi tak demikian dengan Purbajaya. Dia sudah hapal betul taktik gombal pemuda hidung belang ini. Sebentar lagi pasti dia akan lanjutkan puisinya seperti ini." ... tapi indahnya rembulan tidak akan sanggup mengalahkan indahnya paras gadis-gadis ini "hati Purbajaya menduga.
Dan benar saja, Raden Yudakara berpuisi seperti itu.
" .... tapi indahnya rembulan tidak sanggup mengalahkan keelokan paras gadis-gadis ini
..."Raden Yudakara melantun dan mendayu. Dan Purbajaya melengoskan wajahnya ke samping.
"Tak sangka Ki Jayasena pandai menyembunyikan bunga-bunga indah di taman rumahnya
..." sambung Raden Yudakara. Kalimat indah ini pun jadi terasa sebal sebab bukan satu kali saja dia berkilah seperti ini. Mungkin dulu Pangeran Arya Damar terpikat sampai menyerahkan Nyimas Waningyun pun karena mendengar puisi gombal ini.
"Nyimas Wulan tidak tumbuh di taman pekarangan ayahanda, sebab dia adalah putri tunggal Juaragan Ilun Rosa," Nyi Sumirah menegaskan kalau di taman rumahnya bunga indah hanya dirinya seorang.
"Oh, ya? Nyatanya banyak pemilik halaman pandai menyemai bunga indah. Aku belum kenal Juragan Ilun Rosa. Namun wahai gadis berparas elok seelok rembulan, engkau semerbak, tubuhmu bertabur bintang. Kalau saja engkau belum dihinggapi kumbang "
"Hei, bukankah itu ucapanmu tadi malam padaku, Raden?" Nyi Sumirah mendelik marah. "Oh, ya?"
"Oh,ya,oh,ya. Yang benar saja. Sebetulnya siapakah gadis yang engka puja, engkau puji dan engkau cintai itu? Aku ataukah yang lain-lainnya?" Nyi Sumirah berkata lantang sepertinya semua orang yang ada di situ bisa mendengarnya.
Keduanya bersilang pendapat. Maka sebelum mendengar lebih jauh pertengkaran ini, Purbajaya segera meninggalkan tempat itu. Dia semakin sebal kepada Raden Yudakara, sekaligus sebal pula kepada dirinya sendiri. Hanya karena kemampuannya yang terbatas saja maka selama ini dia tak bisa melepaskan diri dari kungkungan pemuda bangsawan aneh itu.
Tak dinyana, ketika dia berjalan sendirian, ada gerakan orang yang sepertinya mengikutinya dari belakangnya.
Purbajaya cepat menengok ke belakang,"Nyimas Wulan " katanya perlahan. Apakah gadis
itu tengah mengikuti dirinya?
"Nyimas, kau mengikutiku?" tanya Purbajaya heran. "Tidak, saya mau pulang " jawab gadis itu.
"Pulang? Purnama belum lagi sirna, pesta belum lagi usai dan teman-temanmu masih bergelimang kegembiraan, maka alangkah anehnya bila engkau malah memilih pulang," kata Purbajaya "menegur" gadis itu yang pulang duluan.
"Kau sendiri pun tak suka hura-hura. Kau bahkan angkuh dan sombong!" tukas gadis itu. "Angkuh dan sombong?" Purbajaya melengak. Sudah dua orang gadis Tanjungpura yang menuduh dia berlaku sombong. Tadi Nyi Sumirah dan sekarang Nyimas Wulan. Karena heran, Purbajaya menghentikan langkahnya sehingga akhirnya mereka berdua bisa jalan berdampingan.
Bulan semakin benderang dan malam semakin indah.
"Saya tak mau diganggu Raden Yudakara, makanya lekas pulang," ujar gadis itu. "Sendirian begini?"
"Mengapa tidak? Tak ada yang sudi mengantar saya pulang ..." jawab gadis itu.
Banyak gadis merasa bahagia disanjung Raden Yudakara, mengapa kau tidak? Padahal nampaknya Raden Yudakara menyenangimu dan kau pasti akan diantar pulang," kata Purbajaya menguji gadis itu. Karena jalanan agak berbatu, Purbajaya mencoba memegang tangan gadis itu untuk membimbing mencar jalan agak rata. Dan gadis itu balik memegang tanpa sungkan dan ragu.
"Gadis memang perlu disanjung. Tapi bila berlebihan seperti itu saya tak senang. Seorang gadis bahkan tak bakalan senang bila sanjungan dan pujian malah dibagi ke mana-mana," kata Nyimas Wulan. Dan Purbajaya mengangguk-angguk puas karena pemuda hidung belang itu dicerca gadis ini.
"Tapi saya pun tak menyenangi pemuda angkuh dan sombong,"kata gadis itu lagi melanjutkan.
Purbajaya merandek.
"Akukah itu?" tanyanya menuding hidungnya sendiri.
"Ya, mengapa tidak? Engkau pria sombong tak mau menegur gadis. Masa musti gadis duluan menegurmu?" tanya Nyimas Wulan.
"Aku berbuat seperti itu karena takut menyinggung perasaan orang lain," jawab Purbajaya. Dia tahu, beberapa pemuda Tanjungpura yang tengah berkumpul di sana sudah memperhatikan dirinya dengan penuh curiga dan perasaan tak senang ketika Purbajaya dikerubuti dua orang gadis sekaligus. Purbajaya musti hapal pengalaman, banyak pemuda benci dirinya karena disenangi gadis.
"Tapi saya malah tersinggung sikapmu. Sepertinya saya tak ada harganya di matamu," kata Nyimas Wulan dengan nada ketus namun manja.
Purbajaya melongo. Dia tak bisa mengerti kalau kelakuannya yang jujur dan sopan malah menyinggung perasaan gadis.
"Jadi, musti bagaimana?" tanyanya. "Ya, gabung-gabunglah secara wajar. Kalau orang lain bersenda-gurau, maka ikutlah bersenda-gurau jangan seenaknya memisahkan diri."
"Kalau orang lain merayu wanita?"
"Ya ... Ah, kau ini dungu amat, sih?" Nyimas Wulan mencubit lengan Purbajaya keras sekali sehingga pemuda itu berteriak kesakitaan.
"Hai, lelaki malah teriak-teriak kesakitan. Bagaimana kalau ada orang lari ke sini mau menolongmu, apakah kau tega kalau saya dituding mengganggu dan menganiaya pria?" tanya gadis itu pura-pura cemas. Kepalanya celingukan ke sana ke mari sepertinya benar takut ada orang lain mendatangi tempat ini.
Wajah Purbajaya bersemu merah namun dengan tawa ceria. Baru kali ini dia tertawa karena melihat seorang gadis melucu.
"Gadis-gadis Tanjungpura gemar mengganggu pria, ya?" tanyanya.
"Ih,maunya!" sergah Nyimas Wulan sambil bersiap hendak mencubit lengan Purbajaya. Namun pemuda ini kali ini sudah siap-siap karena sudah menduganya. Maka dua pasang tangan saling berkutat. Yang satu hendak mencubit, lainnya hendak menghalau. Lantas keduanya terawa-tawa gembira.
Mereka berdua baru bertemu, baru berkenalan. Tapi dua-duanya sudah saling akrab. Melangkah pun sudah saling bergandengan tangan. Aneh rasanya. Purbajaya pun tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Mungkin karena rasa akrab yang diberikan gadis itu, atau bisa juga karena naluri kelelakian Purbajaya yang haus akan kasih-sayang seorang gadis. Ketika secara berani gadis itu mengecup pangkal lengannya, pemuda itu pun dengan tak ragu berani membalasnya.
Purbajaya diantar pulang ke pekarangan rumahnya namun gadis itu akan masuk rumah secara sembunyi-sembunyi saja.
"Engkau sudah terbiasa keluar-masuk rumahmu secara sembunyi, Nyimas?" tanya Purbajaya heran.
"Siapa bilang?"
"Kalau begitu, mengapa tak berani jalan belakang?" tanya Purbajaya lagi.
"Saya pergi ke rumah Nyi Sumirah bersama sepupuku, Sedabanga. Sekarang malah pulang diantar lelaki asing. Coba, berani tidak engkau berhadapan dengan ayahandaku yang pemberang, sementara kau sudah berani pegang-pegang tangan saya?" tanya gadis itu sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegang erat Purbajaya.
Purbajaya terkejut dan langsung melepaskan tangan gadis itu dengan wajah terasa merah karena malu.
"Nah, takut, ya? Jadi apalagi kalau musti ketemu muka,"Nyimas Wulan menakut-nakuti. "Lantas, mengapa kau tak pulang bersama sepupumu itu?"
"Dia mabuk berat. Jangankan bisa jalan, duduk saja sudah oleng. Makanya saya pulang sendirian saja. Tapi, apakah engkau menyesal telah mengantar saya pulang?" katanya gadis itu.
"Ah ... Bukan itu maksudku, Nyimas ..."
"Kalau begitu, maukah kau mengantarku lagi?" Nyimas Wulan terus mendesak dengan pertanyaan susulan.
"Apakah engkau akan terus-terusan pulang malam, Nyimas?"
"Uh ... Baru segini saja sudah ngeluh. Apalagi kalau diperintah bertempur memperebutkan saya !" omel gadis itu cemberut."Yang benar saja, mana ada gadis keluyuran tiap malam?" lanjutnya ketus.
"Habis pertanyaanmu tadi, Nyimas ...?" Purbajaya gagap karena gadis ini aneh-aneh saja bicaranya.
"Dasar dungu. Sekali waktu kan bisa saja ada lagi keramaian. Kalau bulan lagi purnama, anak-anak di sini gemar bergembira. Para orang tua pun gemar berpesta-pora, apalagi kalau bulan purnama seusai panen, pesta selalu diadakan meriah," kata Nyimas Wulan. Makanya tak aneh bila kami keluar malam."
"Kami?"
"Ya, karena ayahandaku pun sama menyenangi kegembiraan. Seperti malam ini, ayahanda pasti minum-minum tuak di kedai," jawab gadis itu membuat Purbajaya agak tertegun.
"Sudahlah, cepat kau pulang. Bila ketahuan orang yang lagitugur (meronda), kau pasti ditangkap dan digebuki," kata gadis itu mendorong tubuh Purbajaya agar lekas pergi. Namun sebelumnya, ada kecupan manis dari bibir gadis itu membuat Purbajaya kelabakan karena malu sendiri.
"Eh, malah diam? Awas, kepergok tugur kau pasti dipaksa menikahiku!" celoteh gadis itu menahan tawa dan mencoba menakuti Purbajaya sepertinya urusan menikah amat ditakuti kaum lelaki.Purbajaya mengangguk dan berniat undur diri ketika secara tiba-tiba gadis itu kembali menciumnya. Hanya sejenak saja namun cukup membuat tubuh Purbajaya menggigil seperti menderita panas dingin mendadak.
Purbajaya pulang sendirian menuju rumah Ki Jayasena dengan perasaan tak berketentuan. Ini adalah kejadian luar biasa dan baru kali ini dialami dalam hidupnya. Bersama gadis seperti Nyimas Waningyun dan apalagi bersama Nyimas Yuning Purnama tak mudah ciummencium. Namun bersama gadis Tanjungpura ini, kok segalanya berjalan serba cepat?
Ketika tiba di pelataran rumah, keramaian pesta bulan purnama sudah usai. Yang terlihat duduk sendirian di bale gede adalah Ki Jayasena sepertinya menunggu seseorang.
Nyatanya yang ditunggu adalah Purbajaya. "Kau baru pulang, Purba?" tanya Ki Jayasena dengan suara dingin menatap tajam. "Saya baru saja mengantar Nyimas Wulan ... " jawab Purbajaya. Perasaannya tak enak. "Maksudmu mengantarkan putri Juragan Ilun Rosa?" tanya Ki Jayasena.
"Begitu menurut penuturan putrimu ... "
"Juragan Ilun Rosa adalah kerabat dekat Kandagalante Subangwara, penguasa Tanjungpura kini," kata Ki Jayasena.
Purbajaya menatap tajam karena tak tahu apa hubungannya dengan ini. Lalu Ki Jayasena mengajak Purbajaya duduk di sana.
"Dengarkan, Ki Subangwara adalah musuh keluargamu," desis Ki Jayasena.
"Bukankah ayahanda tewas dalam peperangan melawan Carbon?" tanya Purbajaya heran.
"Memang benar. Tapi yang menyengsarakan hidup keluargamu bukan peperangan. Mati dalam peperangan ketika mempertahankan negara adalah kebanggaan. Yang disesalkan, ayahandamu adalah pejabat yang tak disukai penguasa Pakuan."
"Berdosakah ayahanda kepada negara?"
"Tidak disukai penguasa bukan karena berdosa. Fitnah dan persaingan tak sehat sesama pejabat pun bisa membuat pejabat lainnya terpuruk. Kandagalante Sura Manggala, ayahandamu, amat setia kepada negara namun difitnak pesaingnya bernama Ki Subangwara. Tanjungpura ini wilayah rawan karena amat berdempetan dengan wilayah yang sudah dikuasai Carbon. Subangwara melapor ke Pakuan dan mengabarkan seolah-olah ayahandamu sedikit demi sedikit memasukkan pengaruh Carbon ke wilayah Tanjungpura," kata Ki Jayasena.
"Terbuktikah tuduhan itu?"
"Yang jelas, semua orang tahu kalau ayahandamu telah mempertahankan keberadaan negri sampai titik darah penghabisan. Namun karena kuatnya pengaruh fitnah, kematian ayahandamu tidak mempengaruhi penilaian Raja terhadap pengorbanan ayahandamu. Ini yang amat disesalkan. Terbukti atau tidak, aku sebagai kerabat Ki Sura Manggala amat benci kepada Ki Subangwara. Lihatlah, betapa jabatan yang dia miliki sekarang berlumur darah ayahandamu," kata Ki Jayasena geram dan mengepalkan tinjunya."Aku akan hancurkan Si Subangwara ini!" teriaknya parau.
"Melawan pejabat Pakuan berarti memberontak terhadap negara," guman Purbajaya namun hatinya sedikit menyelidik isi hati Ki Jayasena.
"Mengapa musti takut dituduh melawan penguasa? Pakuan sedang menjelang kehancuran sebab sudah banyak negara bawahannya yang telah melepaskan diri," tutur Ki Jayasena. "Maksud Paman, apakah Paman pun punya cita-cita memisahkan diri dari Pakuan?" tanya Purbajaya.
"Ya, mengapa tidak? Tapi bunuh dulu Si Subangwara, baru memisahkan diri!" kata Ki Jayasena bersemangat.
Tapi Purbajaya mendengarnya dengan elahan napas panjang.
"Engkau merupakan keturunan langsung Ki Sura Manggala. Kau harus punya semangat tinggi dalam membalas dendam."
"Saya datang ke sini bukan untuk membalas dendam ... " gumam Purbajaya.
"Ya, aku tahu, kau punya tugas lebih berat ketimbang hanya sekadar balas-dendam. Namun dua-duanya sebenarnya amat bersinggungan. Bila kau bekerja satu kali maka akan menghasilkan dua keuntungan," kata Ki Jayasena mengobarkan semangat kebencian. Ki Subangwara adalah musuh pribadimu tapi juga musuh negrimu, Carbon. Maka kalau kau bunuh Ki Subangwara, maka berarti kau bela negrimu juga," lanjut Ki Jayasena tetap mengobarkan kebencian.
"Ayahanda mati terhormat karena membela negri. Itu sudah amat membanggakan," tutur Purbajaya. Dan untuk ke sekian kalinya, Ki Jayasena mengerutkan keningnya karena merasa heran akan sikap Purbajaya.
"Engkau tidak merasa sakit hati atas perlakuan Ki Subangwara yang biadab?" tanya Ki Jayasena. Dan Purbajaya menggelengkan kepalanya.
Ki Jayasena melenggak heran dan menatap Purbajaya lama sekali.
"Tentu sakit hati tapi tak bisa dijadikan alasan untuk membunuh Ki Subangwara begitu saja," jawab Purbajaya. Tokh ayahanda tetap tak bisa dibuktikan sebagai pengkhianat. Kalau benar ayahanda kena fitnah, kebenaran akan datang sendiri, yang bersalah akan kena hukumannya. Karena pada suatu saat saya musti berhadapan, maka itu sebagai prajurit Carbon yang membela negrinya dan bukan hanya karena urusan pribadi," kata Purbajaya lagi.
"Bagus kalau begitu. Maka bunuhlah Kandagalante Subangwara karena dia adalah pentolan Pajajaran dan Pajajaran adalah musuh negaramu," kata lagi Ki Jayasena tetap mendesak.
"Benar, dia musuh negri saya. Tapi musuh tak selamanya musti dibunuh."
"Ah ... kau ini!" Ki Jayasena kecewa melihat sikap Purbajaya."Mengapa kau bilang musuh tak perlu dibunuh?" tanyanya heran.
"Kalau ada cara lain dalam menundukkan musuh, mengapa pembunuhan musti dilakukan?" Purbajaya balik bertanya.
"Musuh yang dikalahkan tanpa dibunuh hanya akan menanamkan rasa kebencian dan balas dendam. Dan bibit-bibit seperti ini kalau dibiarkan berkembang, selanjutnya hanya akan merepotkan saja," Ki Jayasena berkilah.Purbajaya menghela napas mendengar pendapat Ki Jayasena yang keras ini. "Jangan artikan istilah musuh ini seperti yang kita kemukakan di saat hati kita dipengaruhi kemarahan dan kebencian. Seperti halnya kita memandang suatu penyakit di tubuh kita, kalau kita mau menghilangkan penyakit itu, bukannya dengan cara menghancurkan tubuh ini, melainkan berpikir bagaimana agar penyakit itu bisa diberantas akan tetapi tubuh kita tetap sehat tak kurang suatu apa. Kita pun suatu saat akan melihat orang lain berlaku jahat. Janganlah bunuh orang itu sebab kejahatan itu ada pada jalan pikirannya. Maka usahakanlah agar oraang itu menghilangkan pikiran jahatnya. Kalau berhasil, kejahatan akan lenyap tanpa kita melakukan pembunuhan sesama manusia," kata Purbajaya berpanjang-lebar.
Demi mendengar perkataan Purbajaya ini, Ki Jayasena nampak tersinggung.
"Kau anak muda bau kencur sudah berani mengguruiku sebagai orangtuamu, anak tolol!" kata Ki Jayasena ketus."Dari mana kau dapatkan jalan pikiran yang kacaubalau ini?" lanjutnya menahan kemarahan.
"Ampunkan saya, Paman ... " jawab Purbajaya sabar."Saya dibesarkan di Carbon. Sudah barang tentu saya mendapatkan jalan pikiran ini dari Carbon. Begitulah kebiasaan berpikir orang-orang Carbon ... " kata lagi Purbajaya.
"Tapi Raden Yudakara tidak berpikir ganjil seperti itu," potong Ki Jayasena geram.
Purbajaya kembali hanya menghela napas panjang. Ada banyak perkataan dan pendapat untuk melawan omongan Ki Jayasena namun Purbajaya tidak mau melakukannya. Dia sadar kalau Ki Jayasena yang disebutkan orang sebagai pamannya sendiri ini sebenarnya sudah kena cekok jalan pikiran Raden Yudakara ketimbang apa yang sebenarnya dititahkan oleh penguasa Carbon.
"Harap kau camkan, engkau dibawa ke sini oleh Raden Yudakara karena akan diperbantukan ke padaku untuk melawan Ki Subangwara dan bukannya berkilah atau bahkan menolak apa yang diperintahkan olehku. Jangan pula kau kacaukan jalan pikiranku dengan paham-paham baru yang terasa ganjil dan kacau ini," kata Ki Jayasena sebal.
"Akan saya pikirkan dalam-dalam, Paman ... " jawab Purbajaya merendah. Dan setelah menyembah hormat, Purbajaya mohon diri untuk segera beristirahat.
Purbajaya tak berkata benar, sebab sebetulnya dia ingin melihat apa yang akan dilakukan kemudian oleh Ki Jayasena. Purbajaya merasa, barusan telah terjadi silang pendapat yang keras antara Ki Jayasena dan dirinya. Barangkali Ki Jayasena akan segera melaporkan kejadian ini kepada Raden Yudakara.
Purbajaya tak peduli. Tokh selama ini Raden Yudakara telah tahu kalau Purbajaya selalu punya pendapat beda dengannya.
Namun demikian, Purbajaya pun sebenarnya ingin meneliti keberadaan Ki Jayasena secara utuh. Sejak berada di tempat ini hatinya bimbang sebab ada firasat mengatakan kalau Ki Jayasena perlu diragukan keberadaannya yang diakui orang lain sebagai pamannya itu.
Ingat ini, maka dia pun segera berjingkat mengikuti ke mana Ki Jayasena berlalu. Benar dugaannya, Ki Jayasena mencari-cari Raden Yudakara. Namun setelah yang dicari tak ketemu, dia segera mengunjungi rumah panggung yang biasa didiami Nyi Sumirah.
Ketika Ki Jayaratu mengetuk-ngetuk daun pintu kamar putrinya, maka terdengar suara lelaki berdehem. Tak berapa lama kemudian, dari balik daun pintu nongol kepala Raden Yudakara dengan mimik wajah memberengut. Mungkin kesal karena merasa diganggu.
"Ada apa?"
"Ada yang perlu saya sampaikan, Raden ... " jawab Ki Jayasena hormat sekali. "Soal apa?"
"Soal Si Purbajaya, Raden ...""Lagi-lagi anak itu. Sebentar, aku berpakaian dulu ..." Raden Yudakara kembali menutupkan daun pintu.
Di dalam rumah terdengar rengekan manja dari suara wanita yang enggan ditinggal pergi. Dan Purbajaya hapal betul kalau itu suara Nyi Sumirah.
"Ah, perempuan tahu apa. Nanti aku balik lagi ke sini! Sampai pagi aku layani kau!" kata Raden Yudakara yang didengar jelas oleh Purbajaya yang sembunyi di rumpun pekarangan.
Raden Yudakara keluar lagi sudah berpakaian lengkap.
"Kita bicara di bale gede saja ... " kata Raden Yudakara masih terdengar bernada kesal karena diganggu.
Dua orang itu lantas pergi menuju bale gede yang terletak di tengah perkampungan. Terpaksa Purbajaya berindap-indap mengikuti mereka.
Dua orang itu duduk bersila di ruangan bale gede. Saling berhadapan dan saling berbicara. Ki Jayasena "melaporkan" ikhwal Purbajaya kepada Raden Yudakara.
"Saya sulit mengendalikan anak itu, Raden ... " kata Ki Jayasena bingung. "Ah, dasar engkau dungu, Sena ... " gumam Raden Yudakara.
"Dia terus membangkang kepada pendapat saya ... " kata lagi Ki Jayasena kesal."Apa sebaiknya kita enyahkan saja si bedebah ini?" tanyanya gemas.
"Jangan."
"Habis dia menolak terus keinginan saya."
"Engkau kurang wibawa, tak bisa memperlihatkan kalau kau sebenarnya pamannya sendiri."
"Bagaimana saya bisa pura-pura memperlihatkan kasih-sayang padanya, sementara saya amat benci pada ayahnya. Bahkan saya pula penyebab kematian ayahandanya..." ucapan Ki Jayasena amat mengejutkan Purbajaya yang lagi sembunyi mengintip pembicaraan mereka. Plak! Terdengar suara tamparan karena tangan kanan Raden Yudakara hinggap di pipi Ki Jayasena.
"Otakmu dungu, hanya berpikir melulu untuk kepentingan sendiri saja," serapah Raden Yudakara."Kau bunuh Ki Sura Manggala dengan harapan kau gantikan kedudukannya. Tapi yang dipercaya oleh penguasa Pakuan malah Ki Subangwara bukannya kau. Kau benci Ki Subangwara, lantas kebencian ini mau kau timpakan kepada Purbajaya dan kau mau pinjam tangan anak muda itu untuk balaskan dendammu itu, begitu, kan?"
"Tapi itu pun keinginanmu juga, Raden ... " jawab Ki Jayasena balik menuduh.
"Memang. Tapi aku tak berpikir tentang balas dendam. Dan yang tengah aku pikirkan pun tidak melulu perihal keinginan kecil sepertimu. Kandagalante, jabatan apa itu, tidak seujung kuku pun bila dibandingkan dengan cita-citaku. Dan kau yang hanya butuh sesuatu yang kecil-kecil saja, amat memualkan sebab telah menggangu rencana-rencana besarku," kata Raden Yudakara memarahi habis-habisan Ki Jayasena.
"Jadi, musti bagaimana saya berbuat?"
"Musti bagaimana, musti bagaimana ... Huh, dasar dungu!" omel Raden Yudakara."Apa yang anak muda itu katakan padamu?" ujarnya lagi.
"Purbajaya menolak membunuh Ki Subangwara," jawab Ki Jayasena."Yang lebih menyebalkan dari itu, dia malah mendekati Nyimas Wulan putri Juragan Ilun Rosa," sambung lagi Ki Jayasena dengan nada sebal.
"Siapa Ilun Rosa?"
"Dia kerabat dekat Kandagalante Subangwara, Raden ... "
"Hm ... Si Purbajaya bodoh dalam bercinta. Tapi biarkanlah dia becinta dulu, sehingga pemuda dungu itu semakin dekat juga kepada Ki Subangwara. Dari sana kita akan tentukan kemudian," guman Raden Yudakara dengan nada dingin.
"Kalau itu keinginanmu, Raden " suara Ki Jayasena terdengar lesu, sepertinya dia tak rela
Purbajaya "diberi" kesempatan bercinta dengan Nyimas Wulan.
"Kau seperti kecewa mendengar anak gadis Ilun Rosa jatuh ke haribaan Si Purbajaya. Apakah kau pun berminat terhadap gadis molek itu?" tanya Raden Yudakara sinis.
Ki Jayasena tidak mengemukakan jawaban apa pun. Malah yang terdengar adalah kekeh Raden Yudakara.
"Dasar bandot " ejek Raden Yudakara.

***


MALAM itu Purbajaya tidak bisa tidur. Percakapan Raden Yudakara dan Ki Jayasena membuat dirinya merasa sebal namun sekaligus juga telah memecahkan salah satu misteri di wilayah Tanjungpura ini. Benar, dia adalah putra dari penguasa Tanjungpura yang lama dan tewas dalam pertempuran melawan Carbon. Namun penyebab kematian ayahandanya tidak berdiri sendiri.
Ayahandanya tidak tewas semata oleh penyerangan namun juga oleh semacam rekaperdaya orang atau kelompok yang tak menyukai keberadaan ayahandanya. Ayahanda Purbajaya adalah korban perebutan pengaruh dan kekuasaan di wilayah ini. Kalau mendengar obrolan mereka, Purbajaya bisa memastikan bahwa Ki Jayasena punya peranan kuat dalam kematian ayahandanya.
Kalau saja Purbajaya tak bertahan dengan pendapatnya, kalau saja dia tak dengar percakapan mereka, niscaya dia akan terlibat ke dalam kancah permasalahan dan kepentingan orang lain namun diatasnamakan sebagai masalah dirinya. Sungguh keji Ki Jayasena.
Dia melakukan kejahatan dengan menipu orang lain. Pertama dia menipu Purbajaya seolaholah dia adalah satu-satunya kerabatnya dan penipuan yang kedua, mengipasi kebencian sehingga seolah-olah Ki Subangwara merupakan pelaku dan penyebab utama kematian ayahandanya. Amat beruntung Purbajaya mendengar percakapan mereka sebab kalau tak begitu, maka dia akan terjerumus ke jurang kejahatan pula dengan mengobarkan dendam membunuh Ki Subangwara seperti apa yang dikehendaki Ki Jayasena.
Ya, Purbajaya paham dengan tujuan Ki Jayasena ini. Namun Purbajaya belum bisa menguak teka-teki mengenai siasat yang tercetus dari benak Raden Yudakara. Katanya dia sengaja akan membiarkan Purbajaya bercinta dengan putri Juragan Ilun Rosa agar semakin mendekati Ki Subangwara. Kalau benar Purbajaya akhirnya bisa dekat dengan penguasa Tanjungpura ini, apa pula yang hendak dikerjakan pemuda aneh dan berbahaya ini?
Purbajaya belum bisa menebak siasat yang tengah dibangun Raden Yudakara. Namun yang sudah bisa dia tebak, apa pun yang tengah mereka rancang, tujuannya tetap akan berbuat kejahatan dengan memanfaatkan dirinya. Untuk itu, di samping dia harus tetap menyelidiki, Purbajaya pun harus semakin hati-hati berhadapan dengan mereka ini.

***


Tapi masalah dan berbagai godaan terus datang silih berganti.
Purbajaya sudah memutuskan di dalam hatinya untuk tidak melibatkan perasaan cinta. Sudah dia putuskan untuk tidak melayani perilaku panas yang dilakukan Nyimas Wulan. Di samping sebenarnya dia tak memiliki perasaan apa-apa kepada gadis itu, dia pun tak mau hubungan dirinya dengan Nyimas Wulan dimanfaatkan orang untuk kepentingan hal-hal yang membahayakan.
Terus-terang, dia memuji, betapa gadis Tanjungpura ini elok-elok. Tapi udara panas wilayah pesisir yang setiap saat menerpa, telah membuat kaum wanita di wilayah ini berperilaku panas pula. Gadis-gadis di sini mudah bergelora. Mudah diganggu dan juga mudah mengganggu. Mereka pemberani kalau tak disebut sebagai tak tahu malu.
Lihat saja Nyi Sumirah, dengan tak canggung pernah berkata bersedia bercinta dengan Purbajaya kalau saja tak terikat sebagai "saudara". Belakangan Nyi Sumirah kecewa karena pertalian saudara ini dan dengan mudahnya memindahkan perasaan cintanya kepada Raden Yudakara.
Yang tak kurang menyebalkan adalah sikap kaum lelakinya. Betapa Ki Jayasena si bandot tua ini gemar gonta-ganti perempuan. Berapakali dia menikah bukan hitungan sebab perempuan yang tak dia nikahi namun diperlakukan sebagai istrinya jumlahnya sudah tak terhitung lagi. Sebalnya, bandot ini pun sepertinya tak mau kenyang.
Buktinya, hari-hari ini dia tengah mabuk kepayang karena seleranya lagi mengarah kepada Nyimas Wulan. Sekurang-kurangnya itu yang dituduhkan Raden Yudakara malam itu. Tuduhan ini mungkin benar sebab dua orang itu perilakunya setali tiga uang. Kedua-duanya sama-sama doyan perempuan. Yang sama-sama doyan perempuan akan mudah saling tebak kalau sesamanya sedang jatuh cinta.
Tapi, bagaimana pula dengan perilaku Nyimas Wulan anak keluarga kerabat bangsawan Tanjungpura ini? Samakah dia dengan gadis-gadis lainnya, yaitu mudah terperangkap gelora cinta?
Purbajaya memang ada sedikit bangga sebab malam itu Nyimas Wulan menjauhkan diri dari arena bale-gede di mana yang sibuk berpesta-pora. Apalagi Nyimas Wulan berkata, meninggalkan tempat itu karena tak mau diganggu dan dirayu Raden Yudakara. Purbajaya bangga sebab gadis itu mengaku terus-terang kalau dirinya hanya mau menerima Purbajaya saja. Siapa takkan bangga mendapat kenyataan seperti ini.
Namun demikian, pemuda ini tetap saja mencurigai kalau Nyimas Wulan pun mudah berperilaku "panas" pula, sama seperti yang lainnya. Masa baru bertemu sekali saja, gadis itu sudah tak canggung-canggung mengecup dirinya. Tentu saja, lelaki mana yang tak senang dikecup seorang gadis. Tapi kalau dipikir-pikir, bisa saja "kecup-mengecup" telah "biasa" dilakukan gadis itu.
Dan kalau ingat ini, Purbajaya jadi mengeluh. Susah memang mendapatkan cinta sejati kalau yang dimaksud cinta hanya berbicara perihal berahi saja.
"Aku perlu hati-hati ...perlu hati-hati," bisiknya di dalam hatinya.
Namun kenyataan yang terjadi tak demikian. Ketika berjauhan, Purbajaya boleh berjanji akan mengekang diri. Di saat terjadi lagi pertemuan rahasia, cinta berahi tak bisa dibendung. Di saat itu pula cinta berahi bergalau ramai. Segalanya serba panas.Udara Tanjungpura juga berahi gadis-gadisnya. Dan Purbajaya tak bisa menolaknya. Ketaatan kepada agama hampir tersisihkan karena tak pernah ada yang mengingatkan. Di lingkungan tempatnya kini, jarangjarang melihat orang melakukan shalat menghadap Tuhan.
Yang membuat Purbajaya mau melayani rayuan gadis ini, karena Nyimas Wulan mengaku hanya mencintai Purbajaya satu-satunya dan mengaku hanya ingin punya teman hidup Purbajaya satu-satunya.
Purbajaya menghargai gadis itu karena Nyimas Wulan punya harapan. Sementara itu, dirinya menghargai harapan orang lain dan tidak mau melihat harapan itu terputus di tengah jalan. Purbajaya harus melindungi harapan Nyimas Wulan dan jangan sampai harapan gadis itu hancur-luluh oleh lelaki tak bertanggungjawab. Namun ketika gadis itu bicara perkawinan, Purbajaya menolak dan minta waktu. "Belum saatnya, belum saatnya, Nyimas ... " kata Purbajaya berbisik.
"Mengapa?" tanya gadis itu lirih dan manja sambil berteduh di dada Purbajaya yang bidang.
Ya, mengapa? Purbajaya tak bisa menjawab dengan tegas. Banyak pertimbangan yang dia pikirkan. Menikahi gadis ini memang sudah jadi kewajibannya. Namun dia teringat lagi akan ucapan Raden Yudakara yang katanya akan sengaja membiarkan dia bercinta dan semakin mendekatkan diri kepada Nyimas Wulan agar kelak bisa dekat kepada penguasa Tanjungpura.
Ini yang mengkhawatirkannya. Dia takut, perilaku dalam mengencani gadis itu dijadikan oleh Raden Yudakara sebagai upaya dalam melaksanakan rencana-rencana jahatnya.
Itulah sebabnya, kendati dengan Nyimas Wulan tetap dekat, tapi sejauh ini Purbajaya tidak pernah mencoba mendekatkan diri kepada kerabat gadis itu. Bahkan kepada kedua orangtuanya, Purbajaya pun tak mau mengenalkan diri. Setiap kali melakukan pertemuan, selalu main sembunyi.
Purbajaya bukannya pengecut. Melainkan tak mau keluarga gadis itu jadi korban kejahatan Raden Yudakara dan Ki Jayasena. Kalau pun suatu saat dia bertemu dengan keluarga Nyimas Wulan, itu karena Purbajaya sudah siap untuk meminang. Dan pinangan ini bisa dilakukan bila semuanya sudah aman dari ancaman kejahatan Raden Yudakara.
Itulah sebabnya, Purbajaya tak bisa menjawab pertanyaan dan keinginan Nyimas Wulan. Dia tak bisa kemukakan alasan seperti ini. Kejahatan Ki Jayasena dan Raden Yudakara susah dibuktikan dan Purbajaya tak bisa bicara sembarangan.

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 12 --oo0oo-- Jilid 14


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.