Kemelut Di Cakrabuana Jilid-15
tanztj
February 04, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 14 --oo0oo-- Jilid 16 |
TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 15
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 15
"Aku menentang orang itu sebab ia tak berdiri di atas kepentingan Carbon, melainkan karena ambisi pribadi semata," tutur Ki Rangga Guna lagi.
"Banyak yang memiliki kepentingan pribadi seperti itu ... " gumam Purbajaya sambil mengerutkan dahi, kemudian menundukkan wajah.
"Ya, aku tahu itu. Itulah sebabnya selama ini aku mengawasi mereka. Tujuan-tujuan mulia dari Kangjeng Susuhunan Jati jangan sampai ternoda oleh perilaku petualang-petualang macam mereka."
"Syukurlah Ki Rangga Guna berpikiran seperti itu," kata Purbajaya gembira.
"Ya, pergilah engkau segera sebab perjalanan masih jauh dan marabahaya akan selamanya mengancammu, anak muda ... "
Ki Rangga Guna berjingkat sepertinya memberi kesempatan kepada Purbajaya agar segera melanjutkan perjalanannya.
"Engkau bijaksana terhadap negrimu, Ki Rangga ... " Purbajaya memuji orang tua itu setulus hatinya.
Mendengar pujian ini, Ki Rangga Guna hanya tersenyum tipis. Dia berpaling dan menatap ke arah barat, ke dataran rendah wilayah Muaraberes nun jauh di sana.
"Kehidupan terus berputar, meninggalkan yang lama dan menghadirkan yang baru. Ibarat sebuah pertunjukanwawayangan , ki dalang sudah tahu jauh sebelumnya akan rentetan ceritera, sehingga dia bisa menjajarkan golek, kapan yang sudah berlakon dan musti masuk kotak, dan kapan pelakon baru yang musti naik panggung. Yang baru datang tak perlu sombong dan mencemooh kepada yang lama dan sebaliknya yang lama tak perlu dengki melihat kehadiran yang baru," kata Ki Rangga Guna dan akhirnya dia bersenandung dengan nada-nada penuh perasaan.
Tak akan ada yang baru bila tak ada yang lama
yang lama peletak dasar kehidupan yang baru penerus sejarah
yang lama memperjuangkan kesempurnaan
yang baru menyempurnakan
kalau hidup dan mati untuk kebaikan maka tak perlu disesalkan yang hidup dan tak perlu disesalkan yang mati hidup dan mati
sama-sama penuh arti!
***
MUDAH diduga kalau Raden Yudakara tidak mau melanjutkan hingga Pakuan. Di wilayah pusat kekuasaan Pajajaran ini, Raden Yudakara sebetulnya tidak terlalu bisa bergerak. Kalau pun dia memiliki pengaruh, itu terbatas di wilayah Pajajaan sebelah timur saja. Sementara di lingkungan dayo (ibu kota), Raden Yudakara tak berarti apa-apa. Pengaruh yang dia miliki di sana, hanya terbatas pada pejabat-pejabat yang sudah berpaling kesetiaannya pada penguasa sekarang.
Ketika Purbajaya tiba di tepian sungai Cihaliwung (Ciliwung), hari sudah mulai senja. Namun demikian, biduk-biduk kecil nampak hilir-mudik membawa muatan barang. Hanya biduk-biduk kecil semata. Menandakan bahwa kehidupan perdagangan di perairan tidak seramai manakala muara sungai ini masih dikuasai oleh Pajajaran.
Dulu semasa Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1462-1521 Masehi), perdagangan internasional amat berkembang di sini sebab Pajajaran memiliki tujuh pelabuhan penting yang menghubungkan jalur ekonomi laut ke negri-negri sebrang. Perdagangan internasional ini terus berlanjut sampai Pajajaran diperintah oleh Sang Prabu Surawisesa (1521-1535 Masehi). Hubungan dengan bangsa asing kian dekat. Sampai pada suatu saat, situasi ini dianggap tak menguntungkan Kerajaan Demak. Sebagai negara yang berhaluan agama baru, Demak memiliki hubungan dagang dengan pedagang-pedagang muslim dari Gujarat.
Ketika Pajajaran mengadakan kerja-sama dagang dengan Portugis, saudagar muslim ruanggeraknya dibatasi oleh bangsa asing itu. Apalagi ketika Portugis menguasai Selat Malaka, para pedagang muslim terputus kegiatannya di Nusantara. Hal-hal semacam ini tentu merugikan Kerajaan Demak. Itulah sebabnya, Demak yang dibantu Carbon yang sudah memisahkan diri dari Pajajaran, segera menyerang dan merebut Banten, salah satu pelabuhan penting Pajajaran.
Mengapa Banten yang pertama kali direbut, sebab penduduk Banten kebanyakan sudah masuk agama baru tapi yang kehidupannya dibatasi oleh Portugis. Maka Banten mudah direbut sebab penduduknya membantu pihak penyerbu. Demikianlah, Banten menjadi milik Demak dan Carbon pada tahun 1526. Kemudian setahun sesudah itu (1527), Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa kini), direbut pula oleh Demak dan Carbon dan namanya berubah menjadi Jayakarta.
Pelabuhan Jayakarta ini terletak di muara sungai Ciliwung. Itulah sebabnya, hingga kini, perdagangan Pajajaran hanya sebatas di pedalaman saja. Negri Sunda ini sudah tak memiliki wilayah pesisir lagi.
Sekarang, sungai Ciliwung hanya digunakan sebagai pelayaran ekonomi lokal saja. Kendati aliran sungai yang berair jernih ini masih lancar mengalir sampai muara, namun pedagang Pajajaran tidak melakukan perdagangan hingga muara.
Purbajaya sebenarnya tak begitu banyak diberi bekal penjelasan. Mengapa dia diperintah melakukan penyusupan ke Pakuan dengan jalan disuruh bekerja sebagaipuhawang(akhli kelautan), sementara kehidupan kebaharian di Pajajaran tidak berkembang seperti masa lalu.
Namun pertanyaannya ini segera terjawab ketika dirinya dijemput seseorang di tepian sungai. Ini bukan pertemuan tak sengaja sebab jelas-jelas Purbajaya telah dijemput orang.
Di tepian sungai Ciliwung ini Purbajaya dijemput seorang "tukang perahu".
"Nama saya Jongjo. Saya anak buah Ki Jaya Perbangsa ... " kata lelaki bertubuh gempal berusia sekitar limapuluh-tahunan.
Purbajaya menyeberangi sungai Ciliwung dengan perlahan sebab "tukang perahu" terus mengajaknya bercerita.
"Ki Jaya Perbangsa ... Saya belum kenal dia," gumam Purbajaya. Seingatnya, Raden Yudakara tidak memberitakan perihal keberadaan orang ini.
"Nanti kau akan dihubungi beliau. Namun demikian, boleh aku terangkan sedikit," kata Ki Jongjo."Ki Jaya Perbangsa adalah pejabat di Pakuan, namun punya hubungan erat dengan penguasa Sagaraherang," lanjut Ki Jongjo lagi.
"Ki Sunda Sembawa?"
"Boleh dikata, Ki Jaya Perbangsa adalah tangan kanan Ki Sunda Sembawa," ujar Ki Jongjo, membuat Purbajaya bingung. Ia bingung, apa benar Raden Yudakara mengutus dirinya agar bergabung dengan kaki-tangan Ki Sunda Sembawa sementara itu Purbajaya sendiri pun sudah tahu kalau Raden Yudakara secara diam-diam tak mengaku sebagai anak-buah Ki Sunda Sembawa.
"Saya akan dibawa ke kediaman Ki Jaya Perbangsa?" tanya Purbajaya lagi. "Tidak. Kau akan diantar ke puri Yogascitra," jawab Ki Jongjo. "Memang itu yang telah diatur," kata Purbajaya.
"Engkau memang cocok memasuki lingkungan itu," kata lagi Ki Jongjo mengayuh pelan.
"Tapi saya sangsi bisa diterima di puri itu, Paman. Kehidupan kebaharian tak jalan semenjak semua pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai Carbon. Bagaimana mungkin Ki Yogascitra menerima pegawai baru dalam bidang kelautan sementara lapangan di bidang itu kerja tak ada," kata Purbajaya.
"Kau salah mengira. Sang Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan kini malah punya ambisi besar dalam upaya mengembalikan ke besaran di lautan. Pajak semakin berat dan anggaran militer ditingkatkan. Itu karena Raja punya cita-cita besar. Kaum puhawang tetap diperlukan untuk menghadapi dan mempersiapkan ke arah itu," kata Ki Jongjo memberikan penjelasan sehingga Purbajaya mengangguk-angguk dibuatnya.
"Ayo cepat mendarat. Sebelum tiba dijawikhita(benteng kota luar) kita jangan sampai kemalaman sebab kalau begitu, gerbang akan ditutup," kata Ki Jongjo lagi sambil mengayuh sampan cepat-cepat.
Sesudah sampai di tepi, Purbajaya cepat meloncat ke darat. Begitu pun Ki Jongjo, setelah menambatkan perahunya, dia pun ikut meloncat ke darat.
"Terus menuju arah barat," kata ki Jongjo sambil melangkah di depan.
Menurut Ki Jongjo, pertahanandayo (kota) Pakuan sangat kuat. Sebelum bisa memasuki wilayah istana, akan melewati dulu dua lapisan benteng. Satu bernama jawi khita, sebuah rentangan benteng yang melindungi kota luar, dan satunya lagi bernamadalem khita (benteng kota dalam), yaitu sebuah rentangan benteng yang melindungi pusat kota, di mana kaum bangsawan, raja beserta kerabat dan seluruh keluarganya tinggal. Tidak sembarang orang bisa memasuki wilayah dalem khita kecuali orang-orang tertentu.
Memang amat beruntung Purbajaya dijemput sejak awal. Dengan begitu tidak akan susahpayah memasuki wilayah istana. Hanya yang Purbajaya heran, mengapa yang menjemputnya adalah kaki-tangan Ki Sunda Sembawa? Mengapa tidak langsung kaki-tangan Raden Yudakara saja? Atau sebetulnya Purbajaya tidak perlu pusing sendiri memikirkan hal ini sebab di antara keduanya sama-sama memiliki tujuan yang sama yaitu meruntuhkan Pajajaran.
Purbajaya memasuki wilayah jawi khita tanpa melalui kesulitan yang berarti. Ketika dia diperiksa di gerbang, Purbajaya memperlihatkan surat daun nipah dari Kandagalante Subangwara yang ditujukan kepada Ki Yogascitra. Penjaga selain tidak mempersulit dirinya juga bersikap segan dan amat menghormatinya.
"Malam ini engkau bermalam di rumahku dan esok pagi baru kuantar ke puri Yogascitra," kata Ki Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan apa yang baik menurut orang itu. Di rumah panggung beratap ijuk yang agak terpencil dari rumah-rumah lainnya karena letaknya di pojok kampung, Ki Jongjo hidup seorang diri. Ia dikenal di sana sebagai tukang perahu yang memberikan pelayanan kepada para pedagang yang mengangkut hasil bumi dari pedalaman. Menurutnya, dia dulu datang dari wilayah kerajaan kecil bernama Tanjungbarat, berada di tepian sungai Cisadane atau di tepian jalan besar yang bila diteruskan ke arah barat akan menuju wilayah Banten.
Tanjungbarat ini pun merupakan daerah transisi. Masih dikuasai Pajajaran namun pengaruh Banten sudah mulai terasa di sana. Masyarakatnya sudah banyak yang memiliki agama baru. Jadi kalau Ki Jongjo kini bekerja untuk kepentingan kelompok yang ingin menjatuhkan Pakuan, Purbajaya tidak merasa heran.
"Pajajaran memang harus dihancurkan," kilahnya mengepal tinju. Purbajaya hanya menatap saja.
"Penguasa Pakuan yang kini memerintah tidak seperti para pendahulunya. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu menekan kehidupan rakyat dan bertindak kejam. Wilayah-wilayah yang tidak mau membayarseba (pajak) diperangi sehingga rakyatnya menderita," tutur lagi Ki Jongjo.
Kata Ki Jongjo, di wilayah Pajajaran kini sudah sulit melihat orang tersenyum cerah. Tak ada kebahagiaan, tak ada masa depan.
"Kalau kau datang lebih awal, maka engkau tidak akan menyaksikan keramaian pesta tradisi bernamaKuwerabakti ," kata Ki Jongjo seraya menyodorkan singkong rebus dan air jahe panas kepada Purbajaya. Purbajaya yang perutnya kosong sejak pagi, makan singkong dengan lahapnya. Malah sebentar kemudian makanan hangat itu sudah habis.
"Apakah Kuwerabakti itu, Paman?" tanya Purbajaya sesudah minum air jahe.
"Itu adalah pesta tradisi tahunan. Setiap tahun seluruh rakyat dari semua negri bawahan Pajajaran datang ke Pakuan mengirim seba tahunan seusai panen. Maka pada perayaan Kuwerabakti seharusnya terjadi keramaian yang sangat sebab pada hari itu Pakuan banjir kekayaan hasil bumi, mulai dari ternak hingga kapas atau bahkan palawija dan hasil buahbuahan. Ratusan bahkan ribuandongdang (tempat pikulan berisi hasil bumi) akan berbaris menuju alun-alunjawi khita . Usungan padi akan diangkut keleuit salawe jajar (lumbung padi duapuluh lima baris). Betapa banyaknya lumbung itu sebab tiap barisnya terdiri dari duapuluh lima buah lumbung padi pula. Dulu lumbung itu terisi semua kini sudah tidak lagi," kilah Ki Jongjo.
"Apakah masyarakat sudah tidak menyukai pesta Kuwerabakti lagi, Paman?" tanya Purbajaya.
"Bukan begitu. Ambarahayat masih menghargai dan merindukan pesta Kuwerabakti. Namun yang mereka inginkan, pesta bukan lahir dari paksaan dan tekanan melainkan dari kegembiraan serta rasa syukur mereka karena keberhasilan dalam bertani. Sekarang hasil pertanian kian berkurang. Rakyat tak tenang dalam mengolah tanah karena selain banyak diganggu peperangan juga ditekan oleh peraturan pajak yang kian tinggi dan banyak macamragamnya," ujar Ki Jongjo. "Jadi kalau pun sekarang-sekarang ini masih terdapat pesta Kuwerabakti, pengorbanan mereka tidak dilakukan sambil senyum kerelaan melainkan karena keterpaksaan belaka. Betapa menderita orang disuruh berpesta di saat hati risau dan kepercayaan berkurang karena dipaksa dan ditekan," lanjut Ki Jongjo lagi membuat Purbajaya termenung-menung ikut kecewa melihat situasi Negri Pajajaran ini.
"Penguasa di Pakuan menganggap, wilayah timur Pajajaran yang amat berdekatan dengan kekuasaan Carbon, dianggap wilayah rawan. Setiap saat bisa tergoda untuk memindahkan kesetiaannya kepada penguasa agama baru. Untuk itulah maka urusan pajak di wilayah timur memerlukan petugas khusus. Kalau wilayah-wilayah lain pajak diantar sendiri ke pusat kota, maka untuk wilayah timur disusul sendiri olehmuhara (petugas penagih pajak).Ini karena Raja tak mempercayai kalau negri-negri kecil di wilayah timur mau datang sendiri mengirimkan pajak ke Pakuan. Itulah yang membuat negri-negri di wilayah timur geram dan bersepakat mengadakan perlawanan. Kau datang dari wilayah timur, salah satunya adalah memberikan bantuan dalam urusan ini, Purba ... " kata Ki Jongjo panjang-lebar.
Purbajaya menguap beberapa kali pertanda kantuknya sudah datang menyerang. Lagi pula dia sudah jemu mendengar tujuan-tujuan perlawanan kepada penguasa Pakuan ini. Untung Ki Jongjo memaklumi kalau pemuda ini sudah sejak pagi melakukan perjalanan berat. Purbajaya disuruhnya beristirahat di sebuah kamar khusus berdipan.
Purbajaya langsung merebahkan diri di atas dipan yang sudah disediakan. Matanya segera dipejamkan.
Namun kendati lelah dan ngantuk, Purbajaya bukan akan segera tidur. Yang sebenarnya ingin dia lakukan adalah berbaring sambil mencoba mendengarkan suara berkeresekan di atas atap rumah. Purbajaya sadar sejak tadi kalau pembicaraan dengan Ki Jongjo sedang diintip orang. Dia yakin sekali, suara berkeresekan di atas atap rumah bukanlah sekadar suara ranting pohon, melainkan suara gerakan tubuh orang yang lagi mengintip.
Ki Jongjo mungkin tak menyadarinya sebab tidak mendengar suara itu. Buktinya, orang tua gempal itu sudah terdengar dengkurnya.
Purbajaya merasa bersyukur Ki Jongjo sudah tertidur pulas. Ini hanya punya arti dia bebas melakukan penyelidikan kepada pengintip itu.
Purbajaya terus menunggu saat yang tepat. Dia mencoba menahan kantuknya ketika suara berkeresekan kembali hilang dan suasana sunyi untuk waktu yang cukup lama.
Dan Purbajaya hampir saja terlelap tidur ketika pada suatu saat suara berkeresekan muncul kembali.
Purbajaya sudah sejak tadi memadamkan pelita minyak kelapa sehingga di dalam ruangan kamarnya suasana gelap gulita. Dengan demikian, bila dia membuat gerakan, maka si pengintip tidak bisa mengawasinya.
Dan ketika untuk ke sekian kalinya terdengar lagi suara ganjil di atap rumah, Purbajaya segera melayangkan pukulan jarak jauh ke atas. Bersamaan dengan itu, Purbajaya pun melesat ke langit-langit dan tubuhnya langsung menerobos ke atap. Namun ketika Purbajaya berhasil membobol atap, yang dicari sudah hilang entah ke mana. Purbajaya celingukan ke bawah. Ternyata di pekarangan ada bayangan melesat. Maka Purbajaya pun langsung meloncat dan mengejar orang misterius itu.
Sebentar kemudian, terjadilah kejar-mengejar di malam gelap dan sunyi ini.
Purbajaya merasa kalau tingkat kepandaian orang itu berada di bawahnya. Buktinya, kecepatan berlari orang itu bisa dia atasi. Semakin lama jarak mereka semakin dekat hingga pada suatu saat bisa terkejar sama sekali.
Namun di tempat agak lapang, orang yang dikejar tak berusaha lari. Malah sebaliknya seperti menunggunya sambil bertolak pinggang dan sepasang kaki terpentang lebar.
Maka sebentar kemudian, terjadilah pertempuran kecil.
Purbajaya tak sanggup melihat wajah orang ini. Selain suasana malam demikian gelap, juga nampaknya wajah orang itu ditutupi semacam cadar dari mulai hidung hingga dagunya.
Siapakah orang ini? Purbajaya belum bisa menduganya. Namun bila orang ini menggunakan topeng, pertanda dia tak mau dikenali wajahnya, atau bisa juga orang itu merasa kalau Purbajaya sudah mengenali sebelumnya.
Purbajaya pun tidak bisa menduga, mengapa orang ini coba mengintai rumah Ki Jongjo. Siapakah yang sebenarnya tengah dia intai? Ki Jongjo ataukah dia sendiri? Untuk mengetahui hal ini tak ada jalan selain berupaya menangkap orang ini.
Dan Purbajaya merasa yakin kalau dia bakal bisa menangkap orang misterius ini. Dalam pertarungan yang baru berlangsung beberapa jurus ini, Purbajaya terbukti bisa mendesak lawan. Purbajaya memperhitungkan kalau dalam beberapa jurus mendatang dia sudah bisa melumpuhkan lawan.
Namun ketika dia hampir berhasil mengalahkan lawan dengan cara akan memukul ulu hati orang itu, tiba-tiba dari berbagai arah bermunculan beberapa orang yang sama-sama memakai cadar hitam dan langsung melancarkan serangan kepada Purbajaya.
Sesudah kedatangan lawan-lawan baru yang jumlahnya lebih dari lima orang, kini situasi jadi berbalik, giliran Purbajaya yang didesak habis-habisan. Hanya dalam satu dua jurus saja, tubuh Purbajaya jatuh terjengkang kena tohokan seorang penyerang yang menjotos ulu hatinya. Dan ketika dia akan segera bangkit, serangan lain pun datang bertubi sehingga tubuh Purbajaya bergulingan. Perlawanan pemuda ini bahkan berhenti sama-sekali ketika beberapa senjata tajam sudah ditodongkan ke leher dan dadanya. Purbajaya tak bisa berkutik.
"Berdiri! Ayo ikut kami!" teriak seseorang.
Purbajaya tetap tak bisa mengenali siapa mereka. Maka satu-satunya cara adalah dengan ikut kehendak mereka. Dengan demikian Purbajaya akan tahu ke mana dia akan dibawa.
Purbajaya berdiri namun dengan perasaan tenang. Dia tahu, orang-orang ini tak berniat mencelakakan dirinya kecuali hanya ingin menangkapnya saja. Namun demikian Purbajaya pun mendapatkan betapa hati-hati dan penuh rahasia tindak-tanduk mereka. Ketika Purbajaya diiringkan oleh mereka, sepasang matanya ditutup ikatan kain.
Purbajaya belum hapal seluk-beluk Kota Pakuan, sehingga ketika dibawa dalam keadaan mata tertutup, dia tak bisa menduga dibawa ke mana. Hanya yang dia rasakan, setelah berjalan beberapa lama, tubuhnya dibawa meloncati benteng tinggi hampir setinggi tigadepa (satu depa kurang lebih 1,698 meter). Hatinya berdebar tegang. Dia menduga kalau dirinya dibawa ke wilayah dalem khita.
Mungkinkah dia dibawa ke wilayah benteng kota dalam, wilayah di mana penghuninya adalah para bangsawan, pejabat dan kerabat istana? Kalau benar begitu, orang-orang yang menculiknya ini untuk siapakah bekerja?
Sulit untuk diduga. Yang jelas orang-orang ini tidak akan membawanya kepada pejabat bernama Ki Jaya Perbangsa sebab bila mereka anak buah Ki Jaya Perbangsa, rasanya tidak perlu memperlakukan Purbajaya seperti itu.
Sesudah memasuki benteng, Purbajaya tidak langsung dibawa pergi, melainkan diseretnya hingga mepet di dinding benteng. Berjalan lagi beberapa puluh depa, untuk kemudian berhenti dan sembunyi lagi. Amat memperjelas dugaan bahwa gerakan mereka dalam upaya menyeret Purbajaya dilakukan penuh rahasia.
Sesudah berjalan lagi beberapa saat, akhirnya Purbajaya merasa kalau dirinya dibawa memasuki sebuah puri milik orang penting di Pakuan. Ini telah dia rasakan saat terdengar derit pintu gerbang besar dibuka orang dan beberapa orang penjaga menyuruh rombongan agar masuk halaman dengan cepat.
Berjalan lagi beberapa puluh langkah di atas jalan berbalay. Belok kiri, belok kanan, naik ke sebuah anak tangga batu, kemudian berjalan di atas lantai kayu. Sesudah itu, Purbajaya dipaksa duduk di atas sebuah bangku.
Purbajaya harus menunggu beberapa saat sampai pada akhirnya didengarnya sebuah langkah kaki berat yang mendekatinya.
"Coba buka penutup matanya," kata orang yang barusan mendekat pada Purbajaya. Penutup mata yang membalut wajah Purbajaya segera dibuka orang.
Purbajaya mengucak-ucak sepasang matanya karena pandangannya terasa kabur. Namun matanya yang sulit melihat sekitarnya. Bukan saja karena terlalu lama ditutup, tapi juga karena di mana ruangan dia berada suasananya hanya remang-renang saja kalau tak dikatakan gelap.
Ada bayangan seseorang yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tidak bisa dikenal dengan baik, yang jelas bentuk tubuhnya terlihat agak gemuk dengan perut terlihat buncit. Purbajaya tidak akan menduga-duga siapa orang ini sebab jelas tak akan bisa. Paling-paling dia berharap kalau belakangan nanti dia bisa mengetahuinya.
"Betulkah tadi senja kau bersama Ki Jongjo?" tanya orang gempal itu bertanya dengan suara parau. Untuk sementara Purbajaya diam membisu. "Jawablah, anak muda!"
Purbajaya masih juga terdiam.
Plak! Orang lain yang berdiri di samping si penanya menampar pipi Purbajaya. "Engkau tidak sopan menolak permintaan Juragan!" desis orang itu marah.
"Bagaimana mau jawab, saya tak tahu siapa kalian ini," jawab Purbajaya seraya mengusapusap pipinya yang terasa pedas.
"Kau tak perlu tahu. Yang jelas, Juragan adalah orang penting di Pakuan ini. Cepat ayo jawab!"
"Ya!"
"Ya apa?"
"Tadi tanya apa?" Purbajaya seperti mempermainkan. Plak! Kembali tamparan mendarat di pipi Purbajaya. "Jawab yang benar!"
"Ya, saya tadi bersama Ki Jongjo!" "Kau sengaja dijemput olehnya?" Betul ... "
"Kau anak buah Ki Sunda Sembawa?" Purbajaya diam.
"Jawab!" "Bukan ... " Plak!
"Mengapa saya kau tampar terus, padahal saya sudah jawab apa yang kalian minta!" Purbajaya jengjel juga pipinya terus jadi bulan-bulanan tangan orang.
"Karena kau tak menjawab dengan benar!" "Apanya yang tak benar?" "Kau dijemput Ki Jongjo tapi tak mengaku kalau kau anak buah Ki Sunda Sembawa!" "Mustinya saya menjawab bagaimana?"
"Seharusnya kau anak buah Ki Sunda Sembawa, atau paling sedikit kau punya hubungan kepada orang itu."
"Ya ... sesukamulah!" "Maksudmu apa?"
"Kalau kau inginkan begitu, ya aku jawab begitu saja. Bolehlah, aku ini anak buah Ki Sunda Sembawa!"
Orang itu terlihat melayangkan kembali tamparannya. Namun kali ini Purbajaya mendahuluinya dengan cepat. Dan "plak!" giliran orang itu yang kena tampar bahkan tubuhnya sampai terjengkang karena tak menduga Purbajaya akan balik menyerang. Namun baru saja Purbajaya menurunkan tangannya, serangan ke padanya berhamburan dari sana-sini. Maka sebentar saja terdengar suara bakbikbuk karena Purbajaya dihujani bogem mentah. Dan akhirnya tubuh Purbajaya terlontar membentur dinding kayu.
Purbajaya hampir dikeroyok lagi kalau saja lelaki gempal itu tidak melarangnya. Serentak semua orang menghentikan gerakannya.
"Biarkan dia bicara benar," kata lelaki itu.
Purbajaya disuruh berdiri lagi dan dia kembali dihujani pertanyaan serupa.
"Saya memang bukan anak buah Ki Sunda Sembawa. Hanya saya tak tahu, mengapa Ki Jongjo jemput saya ... " jawab Purbajaya sebenar-benarnya.
"Kalau begitu, siapa yang mengutusmu ke sini?"
Purbajaya berpikir, jawaban mana yang akan diberikan yang sekiranya dia tak dihadiahi bogem mentah lagi. Kalau dia bilang diutus Carbon, apakah akan menguntungkan dirinya atau tidak? Dan bagaimana halnya kalau dia akui sebagai utusan Raden Yudakara saja?
"Saya datang dari wilayah Tanjungpura ... " akhirnya Purbajaya memilih jalan tengah saja. "Dari Tanjungpura? Siapa yang mengutusmu?"
"Ki Jayasena ... " Purbajaya berspekulasi.
"Coba kau sebutkan tujuan Ki Jayasena mengutusmu, anak muda!" "Bekerja di puri Yogascitra ..." Purbajaya menjawab pelan.
"Kalau begitu, anak muda ini orang sendiri. Mengapa tidak kau katakan sejak awal?" lelaki gempal menepuk-nepuk pundak Purbajaya sambil terkekeh-kekeh. "Saya musti hati-hati berhadapan dengan orang yang tak saya kenal," kata Purbajaya sedikit menguji kalau-kalau orang itu akhirnya mau buka rahasia siapa dirinya.
"Ya, kau orang sendiri sebab kau adalah utusan Raden Yudakara," kata lelaki itu masih menepuk-nepuk pundak Purbajaya. Purbajaya kecewa karena orang itu tidak mengatakan siapa dirinya.
"Kau hampir saja terperosok ke tangan Ki Jaya Perbangsa. Harap kau hati-hati, jangan sampai terpengaruh oleh orang-orang Ki Sunda Sembawa," kata lelaki gempal berperut buncit itu."Tapi kendati begitu, kau harus tetap memiliki hubungan dengan Ki Jaya Perbangsa. Kau harus meneliti dan selidiki keberadaan orang itu dan sejauh mana memiliki hubungan dengan Ki Sunda Sembawa," kata orang itu.
Purbajaya puyeng menyimaknya.
"Ayo, antarkan kembali dia ke tempat semula!" kata orang itu lagi.
Dan tanpa diberi kesempatan lebih lanjut, Purbajaya kembali ditutup matanya. Dia dikembalikan ke tempat semula dengan mata gelap karena penutup yang ketat. Baru saja tiba di sebuah tempat, bagian belakang kepalanya terasa nyeri karena dipukul orang.
Purbajaya meloso dan tak sadarkan diri untuk beberapa saat.
***
Dia siuman dari pingsannya ketika hari sudah siang, itu pun karena banyak orang membangunkannya.
"Hai,Ki Silah (saudara), mengapa kau tidur di tengah jalan seperti ini? Minggirlah, sebentar lagi akan banyak roda pedati yang lewat," tutur seseorang keheranan.
Purbajaya bangkit dan celingukan karena dirinya telah jadi tontonan orang banyak. Belakang kepalanya masih dirasakan berdenyut-denyut karena pukulan para penculiknya.
Ketika Purbajaya bangkit, kebetulan Ki Jongjo pun datang ke tempat itu. Tanpa banyak bicara, Purbajaya ditolong berdiri dan kemudian segera diajak berlalu dari tempat itu.
Sesampainya di rumah, Purbajaya ditanyai perihal kejadian semalam. Tentu saja Purbajaya tak berani mengemukakan hal yang sebenarnya. Kalau perkataan para penculik bisa dipercaya, maka majikan Ki Jongjo harus diperhatikan secara khusus.
Dari hasil pengetahuan tadi malam ada sesuatu yang tersirat, betapa sebetulnya kelompok yang ingin menjatuhkan Pajajaran bertebaran di mana-mana dan masing-masing saling bediri sendiri. Raden Yudakara yang selintas seperti menjadi bagian kecil dari pergerakan yang dipimpin oleh Ki Sunda Sembawa, nyatanya malah menjalin hubungan tersendiri dengan pejabat di Pakuan dan sama sekali terpisah dari Ki Sunda Sembawa. Para penculiknya tadi malam mungkin menempatkan dirinya sebagai sekutu Raden Yudakara. Ini terbukti sesudah Purbajaya punya hubungan dengan Raden Yudakara, maka Purbajaya dianggap "orang sendiri" dan dilepas kembali.
"Kau pun tahu Paman, kalau tadi malam kita diintip orang tak dikenal. Maka saya kejar dia. Tapi kepandaian orang ini sungguh hebat. Dalam sebuah pertempuran kecil saya terdesak dan kalah. Mungkin saya dipukul dan tak sadarkan diri sampai saatnya pagi menjelang," kata Purbajaya menyembunyikan sebagian penemuannya.
Mendengar penjelasan ini, Ki Jongjo termangu-mangu.
"Kira-kira, siapakah orang atau kelompok itu, Paman?" Purbajaya balik bertanya kalau-kalau Ki Jongjo mengenalnya.
"Mana aku tahu. Sementara maksud dia melakukan pengintaian pun aku tak tahu," Ki Jongjo masih termangu-mangu.
Purbajaya menatap orang tua setengah baya ini walau selintas. Sebetulnya dia ingin mengorek keterangan dari Ki Jongjo. Namun nampaknya dia pun seperti bersikap hati-hati dan menyembunyikan sesuatu juga.
"Saya khawatir, kehadiran saya sudah diketahui orang-orang Pakuan ... " gumam Purbajaya.
"Tidak mungkin. Perjalananmu sebenarnya tidak akan dihadang oleh orang-orang Pakuan. Apalagi engkau berbekal surat dari Ki Subangwara yang kepercayaan Ki Yogascitra. Yang aku khawatirkan ... Ah, mungkin tidak begitu. Sudah pagi, seharusnya kau segera berkemas untuk memasuki puri Yogascitra," kata Ki Jongjo tidak melanjutkan obrolan semula dan menggantinya dengan yang ada kaitannya dengan tugas penyusupan.
"Mungkin tidak hari ini, Paman ... " keluh Purbajaya memijit kepalanya di bagian belakang. "Mengapa?"
"Kepalaku sedikit luka dan rasanya tubuh ini tak enak. Bagaimana kalau malam ini saya diberi kesempatan istirahat lagi di sini?"
Ki Jongjo termenung sebentar namun kemudian menyetujuinya.
Dan malam ini kembali Purbajaya bermalam di ruma Ki Jongjo. Namun persis seperti yang diharapkan di dalam hatinya, malam-malam Ki Jongjo keluar rumah setelah mendapatkan Purbajaya "mendengkur"
Ke mana Ki Jongjo pergi? Itulah yang ingin dia ketahui.
Purbajaya menguntit Ki Jongjo yang secara diam-diam memasuki wilayah dalem khita dengan jalan loncat ke atas benteng.
Siapa yang Ki Jongjo akan hubungi, Purbajaya belum tahu. Namuin demikian, dia punya dugaan kalau Ki Jongjo pasti akan menghubungi majikannya. Siapa lagi kalau bukan Ki Jaya Perbangsa. Ketika memasuki sebuah halaman puri, Ki Jongjo tidak mengalami gangguan berarti sebab penjaga sudah kenal dirinya. Hanya Purbajaya saja mungkin yang kesulitan untuk masuk. Dia musti mencari bagian benteng yang tidak begitu ketat penjagaannya.
Kebetulan ada sebuah pohon sawo yang berdiri di sisi benteng. Maka Purbajaya meloncati benteng melalui dahan pohon itu.
Dari atas benteng dilihatnya Ki Jongjo tengah tergopoh-gopoh menuju sebuah bangunan rumah panggung yang besar dan artistik.
Purbajaya lihat kiri-kanan untuk memastikan bahwa ke tempat itu tak ada penjaga lewat. Setelah dirasanya sepi, Purbajaya baru memberanikan meloncat turun untuk kemudian terus berloncatan menghampiri rumah yang dituju Ki Jongjo.
Dengan amat hati-hati Purbajaya mengerahkan tenaga dalamnya menotolkan ujung jari kaki dan tubuhnya melambung ke udara, kemudian menclok tepat di tepian atap sirap. Purbajaya musti hati-hati agar gerakannya tidak menimbulkan suara barang sedikit pun agar penghuni rumah tak curiga.
Dan Purbajaya berhasil mencuri lihat apa yang tengah berlangsung di dalam rumah. Melalui genting sirap yang dia korek sehingga sedikit berlubang sudutnya, Purbajaya melihat Ki Jongjo tengah menghadap kepada seorang lelaki usia sekitar empatpuluhan yang berwajah gagah berkumis tipis. Purbajaya menduga, inilah Ki Jaya Perbangsa bangsawan Pakuan.
"Jadi, begitu Juragan. Malam tadi Purbajaya diculik sekelompok orang. Namun ketika anak muda itu kembali, dia tak berterus-terang memaparkan pengalamannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan. Saya malah khawatir, pemuda itu bocorkan rahasia ini kepada pihak lain," kata Ki Jongjo menghormat sekali.
Purbajaya terkejut, ternyata Ki Jogjo telah menduga kalau dirinya tak mengatakan hal sebenarnya mengenai pengalaman malam kemarin.
"Kau katakan apa kepada anak muda itu ketika baru kau jemput kemarin sore di tepian sungai Cihaliwung, Jongjo?" tanya Ki Jaya Perbangsa.
"Saya katakan kalau dia dijemput oleh Juragan," jawab Ki Jongjo pendek. "Bagaimana tanggapannya?"
"Dia tidak menanggapi hal-hal penting, Juragan. Dengan mudahnya dia menuruti kemauan saya."
"Seharusnya memang begitu. Anak muda bernama Purbajaya itu sejauh ini tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya antara Raden Yudakara dan Ki Sunda Sembawa. Mungkin dia menyangka kalau Ki Sunda Sembawa tetap menganggap Raden Yudakara sebagai pengikut setianya. Tidak. Kalau perjuangan Ki Sunda Sembawa berhasil, Raden Yudakara yang sok tahu itu akan segera disingkirkan," kata Ki Jaya Perbangsa sambil menempelkan telapak tangannya ke lehernya sendiri. Ini hanya diartikan oleh Purbajaya kalau Raden Yudakara kelak akan dibunuh kelompok Ki Sunda Sembawa. "Tapi ... "
"Tapi apa, Juragan?"
"Peristiwa tadi malam yang dialami anak itu, kira-kira apa, ya? Kalau benar dia diculik kelompok tertentu, siapakah kira-kira penculiknya?" tanya Ki Jaya Perbangsa heran.
"Tidakkah itu kelompok Ki Bagus Seta?" tanya Ki Jongjo. Namun Ki Jaya Perbangsa belum menanggapi perkiraan ini. "Ataukah Bangsawan Soka?" tanya lagi Ki Jongjo.
"Aku belum bisa menduga-duga secara tepat. Namun demikian, pejabat-pejabat itu memang perlu kita waspadai. Di lingkungan istana, banyak kelompok yang ingin memanfaatkan Carbon dalam menjatuhkan penguasa Pakuan. Sementara satu-satunya orang yang memiliki hubungan dengan Carbon hanyalah Si Purbajaya. Maka siapa pun yang menguasai anak itu, berarti menguasai Carbon. Maka jagalah anak itu jangan sampai bisa dipengaruhi oleh pihakpihak lain," kata Ki Jaya Perbangsa amat mengejutkan Purbajaya yang tengah mencuri dengar di atas atap sirap.
"Apakah majikan kita Ki Banaspati telah mengetahui perihal keberadaan anak ini, Juragan?" tanya Ki Jongjo.
"Ya, beliau sudah mengetahuinya kendati Ki Banaspati belum pernah bertemu muka dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, Purbajaya dibiarkan memasuki puri Yogascitra. Pengetahuan mengenai Pakuan sebenarnya ada di puri itu. Kalau Purbajaya bisa memasuki puri itu dan jadi kepercayaan penguasa puri, maka rahasia kekuatan Pakuan akan bisa kita pegang dengan mudah," kata lagi Ki Jaya Perbangsa semakin mengejutkan hati Purbajaya.
"Bila benar anak itu bisa kita kuasai, Juragan ... " tukas Ki Jongjo.
"Memang benar. Jadi itulah sebabnya, tugasmu berat, Jongjo. Kau harus bisa menguasai anak itu dengan baik. Kendati kelak Purbajaya tinggal di puri, namun kau harus tetap bisa menghubunginya. Jaga, agar anak itu tidak menyebrang ke pihak lawan ... "
"Akan saya emban tugas ini dengan baik, Juragan. Namun bagaimana kalau ternyata Purbajaya tidak bisa kita tangani dengan baik?"
"Misalnya apa?"
"Misalnya dia menyebrang dan dipengaruhi lawan?" "Bunuhlah anak itu!"
"Bunuh?"
"Benar." "Bagaimana kita bisa memanfaatkan Carbon kelak?"
"Artinya kita tak akan memanfaatkan Carbon. Namun bukan berarti Carbon tak bermanfaat buat kita. Tokh pihak lawan pun sebenarnya sama ingin memanfaatkan kekuatan Carbon dalam melumpuhkan Pakuan. Mereka akan saling gebuk kemudian kelak, kelompok kitalah sebagai pemenangnya," ujar Ki Jaya Perbangsa terkekeh-kekeh dan amat menyebalkan hati Purbajaya.
Secara hati-hati, Purbajaya melorot turun dari atap rumah ini. Dan serta-merta meninggalkan puri ini untuk mendahului kembali ke rumah Ki Jongjo.
Ketika orang tua setengah baya itu pulang belakangan, Purbajaya sudah memperdengarkan "dengkur"nya.
***
NAMUN sambil berbaring begini, pikiran Purbajaya terus berkecamuk.
Sesampainya di Pakuan ini, semakin bertambah pula pengetahuannya. Hanya dalam seharisemalam ini saja, Purbajaya sudah mendapatkan kenyataan, betapa kacau-balaunya suasana di pusat kekuasaan Pajajaran ini. Negri yang usianya sudah ratusan tahun sejak berdirinya Kerajaan Sunda (Sang Maharaja Tarusbawa, 669-723 Masehi), sampai kemudian terkenal sebagai negri besar bernama Pajajaran (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521 Masehi) ini, sekarang sepertinya akan semakin turun pamor setelah dirajai oleh Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 Masehi).
Pemberontakan terjadi di mana-mana, di antara pejabatnya terjadi saling curiga-mencurigai bahkan berlomba ingin menjatuhkan Raja. Musuh Pajajaran bahkan bukan berada jauh di barat atau di timur, namun malah ada di sekitar pusat kekuasaan.
Menyimak perbincangan Ki Jongjo dan Ki Jaya Perbangsa, hanya menyiratakan betapadayo (ibu kota) sudah dikepung oleh kelompok-kelompok yang ingin memberontak kepada penguasa. Ada berapa kelompokkah itu, sulit menghitungnya sebab Purbajaya belum tahu secara persis. Yang jelas, beberapa pejabat Pakuan telah disebut-sebut oleh Ki Jaya Perbangsa sebagai kelompok yang ingin menjatuhkan penguasa, seperti Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, misalnya.
Ki Jongjo tempo hari mengatakan kepada Purbajaya kalau Ki Jaya Perbangsa adalah anak buahnya Ki Sunda Sembawa. Namun belakangan dari percakapan mereka sendiri ketika diintip Purbajaya, terbukti Ki Jaya Perbangsa sebenarnya menginduk kepada Ki Banaspati.
Dari pengetahuan-pengetahuan ini amat menjelaskan bahwa bahaya yang mengancam Pakuan bukan semata datang dari Raden Yudakara belaka. Kegiatan pemuda bangsawan ini memang mengarah kepada pemberontakan juga, namun ini hanyalah secuil dari macammacam bahaya yang akan menerjang Pakuan.
Ki Banaspati, siapa pulakah dia? Di wilayah Sagaraherang, Ki Sunda Sembawa bilang kalau dirinya dibantu oleh Ki Banaspati. Kalau ingat ini, Purbajaya jadi ketawa masam. Ternyata Ki Sunda Sembawa hanya punya kebanggaan semu. Disangkanya semua orang berdiri di belakangnya, padahal yang terjadi sesungguhnya tidak. Barangkali Ki Sunda Sembawa hanya akan dimanfaatkan oleh siapa saja, baik oleh Ki Banaspati maupun oleh Raden Yudakara. Dan bagaimana pula peranan Ki Bagus Seta atau Bangsawan Soka?
Purbajaya pusing memikirkannya. Banyak kelompok ingin melawan penguasa Pakuan tapi masing-masing berjalan sendiri-sendiri karena punya ambisi berbeda. Celakanya, siapa kawan siapa lawan segalanya serba tak jelas. Ambil contoh Ki Sunda Sembawa atau tokoh yang menculiknya kemarin malam. Keduanya sama-sama mengklaim kalau Raden Yudakara adalah anak buah mereka, padahal Purbajaya pun telah mengetahui kalau pemuda aneh itu sebenarnya berdiri sendiri.
Kalau pun dia selalu mengaku sebagai "bawahan"siapa saja, itu barangkali hanya untuk mendompleng kekuatan saja. Persis seperti pemuda itu mendompleng kepada jalan pikiran beberapa pejabat Carbon yang memperlihatkan garis keras dalam menghadapi Pajajaran.
Dan berbicara mengenai dompleng-mendompleng, Purbajaya menjadi terkejut dan merasa sebal juga. Bagaimana tak begitu.
Ternyata tanpa sepengetahuan Purbajaya, dirinya telah dijadikan ajang rebutan kelompok pemberontak ini. Mereka ingin Purbajaya bekerja kepada pihaknya sebab dengan menguasai Purbajaya mereka menyangka bakal bisa menguasai Carbon pula. Ini jalan pikiran gila dan berlebihan. Namun gila atau tidak mereka, nyatanya kedudukan Purbajaya di Pakuan semakin terjepit dan dihimpit oleh berbagai kepentingan ambisi. Ini tentu membahayakan.
Tadinya Purbajaya menyangka, dengan tidak beraninya Raden Yudakara memasuki wilayahdayo hatinya agak sedikit plong sebab Raden Yudakara tak bisa menekan dirinya secara langsung dan terus-terusan. Namun belakangan sesudah tiba di Pakuan, ternyata yang menekan dirinya kini bukan hanya seorang saja seperti manakala dia dikuasai Raden Yudakara. Ini amat menyebalkan dan membahayakan.
Bukan saja berbahaya terhadap dirinya, namun juga amat membahayakan kedudukan Carbon sendiri. Bila Carbon lengah dan terjebak ke dalam jalan pikiran kelompok-kelompok ini, maka misi Carbon yang menginginkan Pajajaran masuk menjadi bagian Carbon tanpa kekerasan apalagi banjir darah, bisa gagal total karena ulah para petualang politik baik yang berada di luar Pajajaran mau pun yang berada di dalam Negri Pajajaran sendiri.
Purbajaya jadi capek memikirkan ini semua. Dengan demikian, akan terus terseret arus secara berlarut-larut. Ya, dia pusing memikirkan hal ini. Perjalanannya jadi semakin jauh dan semakin tak berketentuan. Padahal ketika di Tanjungpura beberapa hari silam, dia masih dibuai cinta-kasih dan berahi panas dari tubuh molek Nyimas Wulan. Purbajaya berjanji akan menikahi gadis itu.
Dia memang tidak mencintai gadis itu. Namun cinta dan tak cinta tak ada hubungannya dengan perkawinan. Tak berarti kalau mencintai maka seseorang bisa sukses menginjak jenjang perkawinan. Namun juga sebaliknya, tak cinta bukan berarti tak perlu pernikahan. Bagaimana boleh, sementara gadis Tanjungpura itu telah menyerahkan segalanya tapi Purbajaya menampik pernikahan. Tidak. Itu pengecut dan tak berjiwa ksatria. Mungkin juga kejam dan keji. Karena itu, Purbajaya harus tetap menikahi gadis itu. Tapi ingat ini, hati Purbajaya malah jadi mengeluh. Dia tak bisa kembali ke Tanjungpura sebelum tugasnya selesai. Kalau tugas tak diselesaikan, Raden Yudakara pasti akan menghukumnya.
Namun sampai kapan pula tugasnya akan selesai? Lantas kalau keadaan kian berlarut-larut juga, sampai kapan Nyimas Wulan masih bisa menunggunya? Sementara gadis itu dijegal kebosanan dalam penantian, di sekelilingnya banyak srigala mengganggunya. Purbajaya tahu, betapa Ki Jayasena yang bangkotan dan gemar kawin-cerai ini menaruh minat kepada Nyimas Wulan.
Belum lagi gangguan dari "srigala" lain berwajah Raden Yudakara. Pemuda ini pandai merayu dan mudah mempengaruhi orang. Dan ingat ini Purbajaya pun semakin mengeluh. Dia khawatir peristiwa buruk yang mengelilingi nasib percintaannya akan kembali mengganggunya lagi.
***
ESOK paginya Purbajaya diantar secara tergesa-gesa oleh Ki Jongjo untuk menemui Ki Yogascitra. Mengapa tergesa-gesa, Purbajaya sendiri pun tak tahu. Namun yang paling tepat dugaan, barangkali Ki Jongjo khawatir, peristiwa penyerangan dari kelompok lain akan terulang kembali.
"Banyak orang tak benar di sini. Agar kau tak terperosok, kau harus sering berhubungan denganku dan jangan percaya kepada omongan orang lain," tutur Ki Jongjo. Purbajaya hanya mengiyakan saja.
"Tapi, tinggal di puri Yogascitra engkau akan aman. Memang benar, penghuni puri itu selalu bersikap hati-hati. Namun mereka amat menjunjung tinggi kejujuran. Orang jujur mudah percayai siapa pun. Itulah sebabnya kau aman di sana," kata Ki Jongjo memberi tahu sifatsifat calon majikan Purbajaya.Dan akhirnya Purbajaya dibawa memasuki sebuah kompleks puri yang amat indah dan megah. Puri itu pun demikian bersih dan rapih. Ada beberapa bangunan di sana. Setiap bangunan yang terdiri dari rumah kayu dan berbentuk panggung diberi atap genting sirap yang hitam mengkilap. Setiap rumah dikelilingi halaman rumput hijau dan taman dengan bunga-bunga indah tumbuh di sana-sini secara teratur.
Ada beberapa sangkar burung di beberapa tempat. Banyak burung hias berloncatan di dahandahan buatan yang berada di dalam sangkar. Anehnya, sangkar yang luas itu tidak diberi pintu. Atau pintu memang ada namun tidak tertutup rapat, sehingga dengan demikian, burungburung itu bebas keluar-masuk sangkar. Kalau mau terbang jauh dan tak akan kembali, sebenarnya burung-burung itu bebas melakukannya. Namun nyatanya, binatang berbulu indah itu semuanya tidak mau meninggalkan tempat itu.
Ada beberapa yang terbang mengelilingi halaman, namun beberapa saat kemudian sudah kembali ke dalam sangkar dan mematuki berbagai jenis makanan yang ditempatkan di dalam sangkar. Burung-burung itu nampaknya tak menganggap sangkar sebuah tempat pembunuh kebebasan, melainkan dianggapnya sebuah rumah dan tempat mencari kehidupan sebab di dalam sangkar makanan bertebaran.
Purbajaya menyukai tempat ini, sepertinya penghuninya memiliki hati yang bebas pula. Ini terlihat dari gambaran beberapa patung yang berdiri di sana. Ada patung kayu menggambarkan orang sedang giat bekerja namun dengan wajah ceria. Ada pula patung yang menggambarkan kaum perempuan sedang menenun tapi sambil bersenda-gurau.
Mereka bekerja dengan kebebasan dan kegembiraan. Kalau patung diukir menggambarkan kegembiraan, maka mudah diduga kalau pembuatnya bekerja dengan hati yang suka-cita tanpa paksaan. Kalau orang di dalam puri bekerja dengan penuh kegembiraan, mengapa di luar tembok istana, orang-orang bekerja penuh kegelisahan?
Purbajaya dengan mudahnya menuduh, bahwa para bangsawan ini kerjanya hanya senangsenang saja tanpa memikirkan kesulitan yang tengah diderita masyarakat di luar tembok istana. Ini aneh, padahal Purbajaya menerima khabar kalau Ki Yogascitra ini adalah pejabat jujur dan menjunjung harga diri bangsanya. Purbajaya berkesimpulan, kalau orang yang disebut jujur saja sudah demikian, apalagi pejabat yang sudah jelas-jelas hidupnya tidak memikirkan rakyat.
Namun entahlah. Kejujuran dan kebaikan satu dua orang pejabat saja memang tidak berarti apa-apa untuk kebesaran sebuah negri bila kebanyakan pejabatnya bekerja tidak benar.
Purbajaya dan Ki Jongjo harus melewati sebuah gerbang pemeriksaan. Dan dua orang penjaga memang memeriksa mereka namun mereka memeriksa dengan ramah dan sopan. Ini di luar "kebiasaan" sebab pengalaman yang sudah-sudah hanya membuktikan bahwa yang namanya petugas keamanan negara biasanya terkesan angker dan kaku bahkan terlihat tegas dan kasar, seolah-olah tugas mereka begitu amat penting dan setiap kehadiran orang asing perlu dicurigai.
Ki Jongjo tidak mengalami kesulitan yang sulit dan berbelit. Purbajaya bahkan apalagi. Ketika pemuda itu diperkenalkan sebagai seorangpuhawang (akhli kelautan), para penjaga terkesan kagum dan amat menghormatinya.
"Juragan Yogascitra amat menghargai orang pandai, tentu beliau senang menerima kehadiranmu," kata penjaga sambil mempersilakan Ki Jongjo dan Purbajaya memasuki sebuah paseban.
Ki Jongjo dan Purbajaya duduk bersila di atas lantai kayu yang mengkilap licin sehingga saking licinnya hampir-hampir bisa digunakan untuk berkaca.
Purbajaya pun melihat, atap sirap di atas, disangga oleh tiang-tiang kayu palem berukir indah. Kalaupaseban (tempat pertemuan) begitu indah, apalagi rumah kediaman pemiliknya, begitu pikir Purbajaya.
Namun ditunggu cukup lama, tuan rumah yang dinanti tak juga kunjung menemui mereka. Sesudah terasa penat menunggu, baru terlihat ada yang datang. Mungkin seorangbadega (pelayan) sebab datang secara tergopoh-gopoh dan ketika melangkah, tubuhnya sengaja dibungkuk-bungkukkan sebagai tanda hormat.
"Ada apa, Paman?" tanya Purbajaya heran. "Bagaimana, ya ..." Badega terlihat gugup. "Katakan ada apa?" desak Purbajaya lagi. "Juragan terserang sakit amat mendadak. Terlihat amat mengkhawatirkan," suara badega semakin panik dan gagap.
"Sakit mendadak?" gumam Purbajaya heran.
"Benar. Padahal belum lama beliau tengah sarapan pagi. Secara tiba-tiba wajahnya membiru, pernapasannya seperti tersekat, kemudian muntah-muntah dan pingsan," tutur badega lagi menceritakan peristiwa yang dialami tuannya.
"Coba saya beri kesempatan untuk menengok dan memeriksa," kata Purbajaya. Namun sang badega terlihat ragu-ragu.
"Saya sedikit mengerti obat-obatan," ujar Purbajaya sungguh-sungguh karena wajah orang itu penuh kesangsian.
Badega berpikir sebentar, kemudian, "Kalau begitu, bolehlah ..." akhirnya.
Kemudian Ki Jongjo dan Purbajaya dibawanya ke sebuah bangunan besar yang dikatakan badega sebagai rumah kediaman pemilik puri.
Benar saja, di dalam rumah terlihat sedikit kepanikan. Para badega lainnya terlihat hilirmudik, melakukan tugas seraya memperlihatkan wajah yang tegang dan khawatir.
"Harap beri izin masuk, tamu ini ahli pengobatan," kata badega yang mengantar Purbajaya masuk. Sementara Ki Jongjo tetap tinggal di luar rumah.
Maka masuklah Purbajaya ke sebuah kamar. Di dalam, terlihat seorang lelaki tua usia enampuluhan terbaring dengan tubuh kejang-kejang, dikerumuni beberapa orang pria dan wanita. Mereka semua memang tengah merawat lelaki tua itu namun seperti tidak tahu musti berbuat apa.
"Maaf, saya akan mencoba memeriksanya," Purbajaya berinisiatif.
Yang tak berkepentingan disuruhnya keluar, maka di sana tinggallah dua orang muda, lelaki dan wanita. Purbajaya hanya menduga, dua orang muda itu tentu kerabat lelaki terbaring yang diduga Purbajaya sebagai Ki Yogascitra, pemilik puri dan pejabat istana Pakuan.
Purbajaya mula-mula memeriksa denyut nadi di tangan. Terasa denyut nadi itu cepat, kencang serta tidak teratur, menandakan bahwa aliran darah orang tua itu tidak teratur. Di bagian lainnya, aliran darah malah seperti tersumbat karena mengental dan membiru.
"Dia terkena racun ..." kata Purbajaya dalam hatinya.
Karena tidak terlihat luka di luar, Purbajaya merasa yakin kalau racun yang memasuki tubuh Ki Yogascitra terjadi melalui makanan.
"Tolong perintahkan pembantu agar menumbuk bawang putih sebanyak-banyaknya, peras airnya dan bawa ke sini," kata Purbajaya sibuk namun bersikap tenang. Tidak berapa lama kemudian, apa yang diminta Purbajaya pun sudah bisa disediakan. Maka Purbajaya mencoba menyuapkan air perasan bawang putih ke mulut Ki Yogascitra. Tentu saja sulit, apalagi rasa air perasaan bawang putih sungguh pedas dan pengar. Namun Purbajaya coba memaksa agar orang tua itu mau meminumnya sedikit demi sedikit.
"Kalau cairan ini habis, harap berikan air garam yang dicampur gula aren sebanyakbanyaknya," kata Purbajaya lagi sambil menyuruh pembantu agar segera menyiapkannya.
Selang beberapa saat, tubuh Ki Yogascitra sudah tidak kejang-kejang lagi. Begitu pun wajahnya sudah terlihat tidak membiru lagi. Hanya menandakan bahwa racun sudah bisa diusir dari aliran darah. Sekarang pejabat tua itu terlihat pulas dalam tidurnya.
"Terima kasih adikku, kau amat baik telah menolong ayahanda dari penyakit yang amat mendadak ini," kata seorang pemuda tampan yang ditaksir usianya sekitar delapanbelas tahun. Sementara di sampingnya duduk seorang gadis usia enambelas tahun. Dia tersenyum manis dan wajahnya penuh rasa terima kasih kepada Purbajaya.
Purbajaya terpana. Sejak tadi memang dia tahu di ruangan itu duduk bersimpuh seorang gadis. Tapi Purbajaya tidak menyangka barang secuil kalau di samping ada pemuda yang amat tampannya juga terdapat seorang gadis yang sulit diukur kecantikannya. Dada Purbajaya berdebar dan serasa hampir berhenti.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 14 --oo0oo-- Jilid 16 |