Life is journey not a destinantion ...

Kemelut Di Cakrabuana Jilid-06

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 05 --oo0oo-- Jilid 07

TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 06


Sekarang orang Sumedanglarang malah semakin bersyukur bahwa sejak limabelas tahun silam telah ikut Carbon, Sumedanglarang selamat dari tekanan kelompok yang bernama penguasa. Kalau tetap berada di bawah bayang-bayang Pajajaran, bagaimana jadinya.
Kini penguasa Pajajaran adalah Sang Prabu Ratu Sakti (1535-1551 Masehi). Ratu ini tabiatnya bahkan lebih buruk dari Sang Prabu Surawisesa, sang kakek. Kalau kakeknya gemar berperang, adalah sang cucu yang selain punya kegemaran sama juga suka menekan rakyatnya. Sang Prabu Ratu Sakti menekan rakyat dengan seba (pajak) yang berat. Negara bawahannya yang dianggap membangkang, tanpa pikir panjang diserbunya. Akibatnya, rakyat menderita karena banyak terlibat perang. Sang Prabu Ratu Sakti pun alergi terhadap kritik. Dia tak mau menerima kritik dari bawahannya.Siapa pun yang berani mengkritiknya, maka dianggapnya sebagai lawan politik yang merongrong kewibawaannya.
Itulah sebabnya, banyak penduduk Sumedanglarang merasa hormat kepada Carbon. Kangjeng Pangeran Santri kendati bukan ratu (penguasa, pejabat), namun dia memiliki kemampuan memimpin yang hebat, sampai-sampai istrinya pun memberikan kelesuasaan baginya dalam menangani pemerintahan. Nyimas Ratu Inten Dewata menyerahkan tampuk pemerintahan sehari-hariu ke pada suaminya. Kangjeng Pangeran Santri memang pandai memimpin dan bisa menyenangkan hati rakyat serta pejabat yang ada di bawahnya, kendati pada akhirnya dimanfaatkan oleh sementara pejabat yang ingin berada paling dekat dan paling dipercaya oleh Kangjeng Panageran.
Harumnya Kangjeng Pangeran telah menjadi harumnya Nagri Carbon. Banyak orang tua di Sumedanglarang bercita-cita putrinya dipersunting jejaka Carbon, dengan harapan putrinya dapat bimbingan agama dan beroleh nasib baik.
Namun seperti kana pepatah, bambu dalam serumpun tak seluruhnya tumbuh lurus. Satu dua pasti ada yang bengkok. Begitu pun yang terjadi pada sementara orang yang mengaku berasal dari Carbon. Keharuman Kangjeng Pangeran Santri di Sumedanglarang, seperti dijadikan pijakan oleh orang lain untuk mencari kesempatan.
Purbajaya yang berbulan-bulan tinggal di wilayah itu,punya penilaian lain kepada pemuda bangsawan tampan bernama Yudakara. Di wilayah Sumedanglarang mungkin banyak orang yang menaruh hormat kepada Raden Yudakara, namun juga tak kurang yang merasa kecewa terhadap penampilannya. Paling tidak, kekecewaan ini dirasakan oleh keluarga Ki Bagus Sura.
Pengetahuan yang didapat Purbajaya, Ki Bagus Sura adalah mantan mertua Raden Yudakara.
Dua tahun lalu Raden Yudakara mempersunting Nyimas Yuning Purnama, putri tunggal Ki Bagus Sura. Namun belakangan, tanpa dimulai oleh permasalahan, Raden Yudakara menceraikan gadis itu untuk kemudian menikah lagi dengan Nyimas Waningyun putri Pangeran Arya Damar.
Menurut berita yang sampai ke telinga Purbajaya, keluarga Ki Bagus Sura amat terhina dengan peristiwa ini. Dengan rasa bahagia dan penuh harap, Ki Bagus Sura dulu menyerahkan putri satu-satunya karena Raden Yudakara begitu memperhatikannya dan serta-merta menyatakan cintanya. Siapa tak bahagia putrinya semata wayang dicintai bangsawan Carbon. Raden Yudakara adalah seorang lelaki gagah, tampan dan punya posisi tidak sembarangan di Carbon. Harga diri dan nama baik keluarga itu tentu akan mencuat.
Selama dua tahun dipersunting Raden Yudakara, boleh dikata tak ada permasalahan rumah tangga, kecuali Nyimas Yuning sering ditinggal pergi. Namun semua keluarga memakluminya. Kendati tidak diketahui apa peranan Raden Yudakara di Carbon, namun semua yakin, pemuda bangsawan itu suka menerima tugas penting dari Carbon. Keluarga Ki Bagus Sura memaklumi kalau Raden Yudakara sering menghilang, itu karena tugas penting yang tak boleh diketahui umum. Itu tak mengapa. Hanya yang jadi rasa tak suka keluarga Bagus Sura, sikap Raden Yudakara demikian aneh. Bukankah suatu hal yang aneh kalau menceraikan istrinya begitu saja tanpa sebab?
"Seburuk apa pun nasib perempuan, masih lebih berharga dimadu ketimbang dicerai. Aku sudah akan berlapang dada, kalau saja anakku dimadu. Si Yuning tak punya dosa, tak punya kesalahan namun secara tiba-tiba diceraikan begitu saja, hanya karena Raden Yudakara akan menikahi putri keluarga Pangeran Arya Damar," kata Ki Bagus Sura dengan perasaan sedih.
Malam itu bulan benderang. Purbajaya dimintai tolong mengajar mengaji anak-anak remaja di lingkungan benteng.
Sudah hampir sebulan ini Purbajaya tinggal di puri Ki Bagus Sura. Pemuda ini mulanya tak ada niat untuk tinggal di keluarga ini. Maklumlah, di sana ada janda muda yang kecantikannya demikian dikenal di seputar istana. Para pemuda di sekitar benteng istana, baik anak bangsawan mau pun hanya pemuda prajurit dan jagabaya begitu mendambakan cintanya Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya tadinya tak mau dekat-dekat dengan wanita sebab masih trauma dengan peristiwa yang menyangkut Nyimas Waningyun.
Namun Ki Bagus Sura dengan penuh harap menginginkan Purbajaya tinggal di puri untuk memberi latihan mengaji kepada anak-anak puri, termasuk juga melatih mengaji kepada Nyimas Yuning Purnama.
Dimintai bantuan seperti ini, Purbajaya bimbang. Kalau menerima, dia takut dekat-dekat wanita. Tapi kalau menolak itu adalah dosa. Ya, berdosalah orang yang menolak berbuat kebajikan, apalagi yang menyangkut urusan agama secara langsung. Bukankah dari Carbon pun dia diperintah untuk ikut menyebarkan agama bagu?
Di wilayah Sumedanglarang, sebetulnya sudah banyak orang yang bisa mengaji. Namun nama "orang Carbon" sepertinya sudah jaminan mutu. Ini tentu merepotkan Purbajaya yang dikenal sebagai orang Carbon. Dia memang bisa mengaji tapi belum pandai benar. Kepandaiannya hanya untuk dilafalkannya sendiri dan bukan untuk diajarkan kepada orang lain sebab takut salah. Namun karena orang telanjur emenganggap dirinya sebagai orang Carbon yanaag serba bisa dalam hal agama, maka Purbajaya pun tak berani menolak. Menolak artinya merendahkan martabat Carbon sendiri dan Purbajaya tak mau itu.
Itulah sebabnya, dia terima permintaan ini sambil dirinya sendiri pun cepat mempelajari apaapa yang kelak dibutuhkan dalam mengajar. Dia tak mau kelihatan oleh muridnya kalau dia sebagai "guru dari Carbon" malah kelihatan bodoh tak tahu apa-apa.
Namun demikian, jadi guru mengaji di keluarga ini bisa pula jadi keperluan khusus baginya. Semenjak mendengar bahwa Raden TYudakara pernah jadi menantu keluarga ini, dia jadi tertarik ingin menyelidiki lebih jauh perihal keberadaan pemuda bangsawan itu.
Perilaku Raden Yudakara perlu disimak. Meneurut hemat Purbajaya, Raden Yudakara seperti memiliki kepribadian ganda. Sekali waktu terlihat baik, namun sekali waktu malah menampakakan kebalikannya. Ini misteri dan perlu diselidiki.
Menurut pengetahuan yang didapat, Raden Yudakara mengemban tugas penting bagi Carbon, yaitu memata-matai kegiatan Pajajaran. Namun pihak Pajajaran pun sebenarnya tengah "menggunakan" pemuda bangsawan ini sebagai mata-mata yang ditempatkan di Carbon. Carbon beranggapan bahwa Raden Yudakara tetap bekerja untuk Carbon, sementara orang Pajajaran pun menduga pemuda ini bekerja untuk mereka. Mana yang benar dan mana yang paling merasakan kebenaran pekerjaan Raden Yudakara yang sebenarnya, Purbajaya tak tahu. Namun yanag elas, peranan Raden Yudakara sebenarnya bisa membayakan semua pihak.
Beberapa lama dia melakukan perjalanan bersama pemuda itu, Purbajaya mendapatkan bahwa Raden Yudakara adalah tetap orang misterius. Purbajaya masih ingat ketika melakukan perjalanan ke puncak Cakrabuana. Raden Yudakara tahu sekali bahwa di puncak gunung itu secara tak sengaja akan terjadi pertemuan antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Namun demikian, Raden Yudakara sepertinya tak berniat untuk mencegah pertempuran. Malah ada kesan dia membiarkan pertempuran berlangsung.
Pertempuran di puncak Cakrabuana memang jadi berlangsung. Pasukan Carbon dan Pajajaran saling bantai. Dan Purbajaya sungguh tak mengerti, mengapa Raden Yudakara ketika itu tetap sembunyi serta secuil pun tidak berniat melibatkan diri dalam urusan itu? Perilaku Raden Yudakara amat membingungkan.
Hal yang tak disenangi lainnya, menurut penilaian Purbajaya, Raden Yudakara adalah seorang pemuda yang romantis. Dia selalu menyenangi wanita cantik. kalau pun tak disebutnya sebagai hidung belang. Di sepanjang perjalanan antara Carbon dan wilayah Talaga, kerjanya hanya menggoda kaum perempuan saja. Raden Yudakara pun terkesan tidak menghormati sesama kaum lelaki dalam upaya mendapatkan cinta. Buktinya, kendati Raden Yudakara tahu bahwa Purbajaya menaruh hati kepada Nyimas Waningyun, dan mohon pertolongan untuk mengurusnya, namun belakangan diketahui kalau "sang comblang" itu sendiri yang makan mangsanya.
Barangkali Raden Yudakara ini orang yang kaya akan siasat licik dan pandai merekayasa keadaan sehingga semua permasalahan pada akhirnya menjadi keuntungan bagi dirinya. Kalau tak begitu, tak nanti sanggup mempersunting Nyimas Waningyun. Perlu taktik yang hebat dalam upaya mengenyahkan Raden Ranggasena, tunangan Nyimas Waningyun. Siasat apa yang dijalankannya sehingga sanggup menundukkan perangai Pangeran Arya Damar yang keras dan telah berhasil menempatkan bangsawan itu sebagai mertuanya, Purbajaya tak bisa menduganya.
Ya, Raden Yudakara sungguh miterius. Dan Purbajaya harus menyelidikinya. Mungkin penyelidikan bisa dimulai dari rumah bangsawan ini.
"Raden Yudakara punya masalah lebih besar ketimbang urusan pertikahan ... " gumam Purbajaya di saat santai mengobrol dengan Ki Bagus Sura. Pendapat Purbajaya ini hanya dijaeab dengan dengus ejekan dari Ki Bagus Sura.
Purbajaya menatap lama ke arah wajah orang tua yang kepalanya diikat kain ikat kepala jenis lohen ini.
"Maafkan bila saya menyinggung perasaanmu," sambung Purbajaya.
"Sebagai sesama orang Carbon, kau tentu akan memihak bekas menantuku itu, Purba ...," Ki Bagaus Sura berdesah kesal.
Purbajaya tadinya akan menyamoaikan kalau dirinya pun tiada suka keada Raden Yudakara. Namun maksud itu diurungkannya. Tak baik dengan orang baru malah menjelek-jelekkan orang lain. Namun Purbajaya pun tak mau mengaku kalau dirinya kini sedang jadi anak-buah pemuda misterius itu. Kalau dia katakan, Ki Bagus Sura malah akan memandang lain pula kepadanya.
"Sesama orang Carbon ... " gumam Purbajaya."Tak ada hubungannya dengan ini. Yang baik akan tetap baik sementara yang le akan terlihat jelek," kata Purbajaya seperti bicara kepada dirinya sendiri.
"Syukur kau berpandangan begitu. Sebab aku sendiri telah keleiru menafsirkannya." Ki Bagaus Sura membalas dengan elahan napas."Semua orang Sumesdanglarang amat hormat kepada Kangjeng Susuhunan Jati. Tak nyana tidak semua orang punya perangai sama," kata Ki Bagaus Sura lagi. Dia duduk bersilsa di paseban sambil memijit-mijit betisnya sendiri. Hari ini Ki Bagus Sura baru saja berlatih kewiraan. Purbajaya memuji kepada orang tua ini yang amat rajin melatih tubuhnya. Katanya, di zaman kini, orang hanya bisa mempertahankan keberadaan dirinya melalui kepandaian. Kalau tak memiliki apa-apa, segalanya akan kalah dari yang lainnya.
"Engkau orang baik, Purba ... " kata Ki Bagus Sura memuji dengan jujur.
"Jangan terburu-buru menilai orang, nanti keliru lagi ..." Purbajaya tersenyum mendengar pujian ini. Secuil pun dia tak bangga dengan pujian sebab meneurutnya, hal ini hanya akan mengurangi kewaspadaan saja.
"Tutur bahasamu sopan memikat," lanjut Ki Bagus Sura lagi.
Purbajaya hampir saja mengatakan kalau Raden Yudakara pun tutur bahasanya sopan dan memikat. Siapa pun yang bicara dengannya pasti mudah percaya. Maksud ucapannya diurungkan. Dia tetap tak mau orang Sumedanglarang tahu kalau dirinya punya hubungan dengan Raden Yudakara. "Tutur bahasa belum menjamin nilai kemanusiaan. Banyak yang harus dilihat secara keseluruhan." lagi-lagi Purbajaya tersenyum.
Percakapan terhenti manakala dari halaman muncul seseorang. Purbajaya menatap ke arah halaman dan kebetulan orang yang baru datang pun sama menatapnya. Maka dua mata beradu pandang. Namun mata Purbajaya kalah duluan. Purbajaya menunduk.
Dia kalah sebab lawannya adalah sorot mata seorang gadis.
Sorot mata gadis itu tak begitu tajam bahkan ada kesan kuyu tak bersemangat. Namun entah mengapa, Purbajaya tak sanggup melawan tatapan itu.
Itu adalah tatap mata Nyimas Yuning Purnama., putri tunggal Ki Bagus Sura dan yang kini telah tidak memiliki ibu lagi karena meninggal.
Mungkin begitu, mengapa orangtuanya menamakannya Purnama. Mata Nyimas Yuning matanya redup seperti purnama menjelang pagi. Atau keredupan itu, apakah karena didera oleh nasib malang perbuatan Raden Yudakara? Sungguh kejam pemuda bangsawan itu. Dia menyepelekan kehalusan perasaan wanita.
"Silakan Nyimas duduk. Sudah lama saya menanti kalian. Eyh, mana para santri lainnya?" Purbajaya memepersilakan gadis anggun itu duduk di bale-bale paseban.
Sungguh jahat Raden Yudakara. Mengapa gadis secantik ini dibuang begitu saja sehingga nasib Nyimas Yuning terpuruk menjadi janda? Lagi-lagi hati Purbajaya memarahi Raden Yudakara.
"Saya ke sini untuk memberitahu, santri lain tak bisa hadir," jawab Nyimas Yuning dengan suara halus dan merdu. Dia duduk berhadapan namun agak merentang jarak.
"Karena apa?" Purbajaya mengerenyitkan dahi.
"Ada kegiatan lain dipakalangan (arena) Ki Dita," jawab gadis itu.
"Maafkan, aku tak beritahu sebelumnya," potong Ki Bagus Sura."Ki Dita memang suka memotong pekerjaan orang. Sudah jelas hari ini anak-anak belajar mengaji, malah diajaknya latihan kewiraan," ungkap Ki Bagus Sura dengan nada tersinggung.
"Sudahlah, ayahanda. Kan, saya tetap datang dan saya mau belajar mengaji ... " tutur Nyimas Yuning seolah mencegah ayahnya terus-terusan mengomeli Ki Dita.
Purbajaya tersenyum pahit. Di mana-mana persaingan selalu ada. Tidak pula di kalangan penghuni istana Sumedanglarang. Dalam beberapa bulan saja, Purbajaya pun sebetulnya telah mengenal situasi. Di kalangan pejabat Sumedanglarang memang ada sementara orang yang bersaing ingin paling dekat dan paling dipercaya penguasa. Ki Dita ini anak buahnya Ki Sanja, pejabat yang jadi pesaing utama Ki Bagus Sura. Mereka tidak bermusuhan secara berterang, namun satu sama lain tidak saling menyukai. Di puri Bagus Sura, kegiatan utama adalah mengajar remaja mengaji, sementara di puri Ki Sanja belajar kewiraan. Dua puri ini saling berebut pengaruh dalam memberikan pengajaran. Kadang-kadang waktunya suka bersamaan, seperti hari ini misalnya.
"Malam ini bulan lagi purnama. Barangkali waktu yang tepat untuk bermain-main dipakalangan , ayahanda," tutur Nyimas Yuning sepertinya membela Ki Dita.
"Ya, mungkin kau benar ... " gumam Ki Bagus Sura."Sekarang, bagaimana kau mengaji sendirian? Purba, apakah engkau mau mengajari anakku sendirian saja?"
Purbajaya tak bisa menjawab serentak, kecuali menatap Nyimas Yuning.
"Saya hanya melihat kesediaan Nyimas saja," jawab Purbajaya pendek."Atau sebetulnya Nyimas pun ingin ikut latihan kewiraan? Saya tahu, di zaman kini, banyak wanita menyukai ilmu kewiraan juga," kata Purbajaya lagi masih menatap gadis itu.
Nampak Nyimas Yuning menggelengkan kepala sambil tersipu.
"Saya tak menyukai kekerasan ..." kilahnya menunduk. Dan ketika menunduk itu, ujung rambut di pelipisnya bergoyang pelan. Indah sekali. Purbajaya terpana. Dan untuk yang ke sekian kalinya Purbajaya menatap lagi. Kini tatapnya sempurna menyapu ke seluruh wajah gadis itu yang bundar dan halus. Dan Purbajaya sadar. Hampir saja dia menampar pipinya sendiri. Dia malu. Malu pada siapa pun. Kata Paman Jayaratu, pandangan mata yang pertama mungkin murni tapi pandangan kedua adalah setan yang menggoda. Jadi kalau dia pandang keelokan wanita terus-menerus, bukan lagi sekadar mensyukuri keagungan Tuhan, melainkan sudah gangguan setan agar berahinya melonjak naik.
Purbajaya merasakan kalau sepasang pipinya terasa panas saking malunya sebab nyatanya perbuatan dirinya diketahui pasti oleh Ki Bagus Sura.
"Bagaimana, Nyimas? Maukah engkau mengaji sendirian saja? Maksudku, hanya berdua dengan Purbajaya?" tanya Ki Bagus Sura seperti mengandung arti tersendiri.
"Saya ingin mendalami pelajaran agama ... " jawab Nyimas Yuning lirih dan menunduk.
"Nah, layanilah anakku mengaji seorang diri. Jangan khawatir, semakin baik engkau memperhatikan anakku, maka akan semakin baik pula penghargaanku padamu," Ki Bagus Sura melirik ke arah Nyimas Yuning Purnama dan hal ini amat mengejutkan Purbajaya. Tidakkah orang tua ini punya maksud "macam-macam" dalam siratan kalimat-kalimat yang diucapkannya?
Sebelum sempat berpikir jauh, Ki Bagaus Sura sendiri sudah berjingkat meninggalkan Purbajaya yang ditemani gadis ayu pemurung itu.
Ini adalah pengalaman pertama dia dan Nyimas Yuning Purnama berdua berhadapan, disaksikan bulan benderang.

***


NAMUN belakangan, duduk berduaan di paseban atau di beranda depan bersama Nyimas Yuning Purnama kerap terjadi. Menurut pikir pemuda itu, bisa saja itu bukan sebuah rekayasa agar mereka kerap bertemu. Sebab melihat kenyataannya memang demikian. Nyimas Yuning Purnama begitu bersemangatnya dalam mempelajari agama. Setiap mengaji, gadis it sepertinya ingat waktu. Kalau Purbajaya tak memperingatkannya, bisa-bisa gadis itu kuat bertahan hingga subuh hari. Namun paling tidak, gadis itu selalu pulang paling akhir. Sementara anak santri lainnya sudah lama bubar, gadis itu malah masih berkutat dengan semangat belajarnya.
Tak ada yang melarang Nyimas Yuning Purnama belajar mengaji berlarut-larut. Apalagi belajar dilakukan di lingkungan puri. Ki Bagaus Sura pun bahkan terlihat bangga putrinya sungguh-sungguh mendalami agama. Sampai pada suatu saat Purbajaya mendapatkan kenyataan yang mengejutkan.
"Aku bersyukur kau mau membimbing anakku. Namun akan lebih bersyukur lagi kalau pada suatu waktu, engkau pun mau menerima anakku satu-satunya sebagai istrimu," kata Ki Bagus Sura.
Tentu saja ini amat mengejutkan Purbajaya. Dia tatap mata orang tua itu dalam-dalam. Dan Purbajaya mendapatkan keyakinan bahwa ucapan Ki Bagus Sura keluar dari lubuk hatinya paling dalam.
Untuk beberapa lama, Purbajaya tak bisa berkata apa. Terlalu cepat baginya untuk memeutuskan sesuatu dan apalagi bernama cinta. Nyimas Yuning Purnama cantik. Sama cantiknya dengan Nyimas Waningyun. Bedanya, Nyimas Waningyun bermata binar bagaikan bintang pagi dan sebaliknya Nyimas Yuning Purnama bermata redup namun menyejukkan hati. Nyimas Waningyun panas dan agresip menantang gejolak berahi hati muda, sementara Nyimas Yuning Purnama sendu namun membuat hati berdebar. Ya, Nyimas Yuning cantik secantik purnama dan memaksa siapa pun untuk berkasihan kepadanya. Purbajaya pun berkasihan dan bersimpati. Namun untuk perasaan cinta, dia masih ragu kendati peluang terbuka dengan lebarnya.
Purbajaya mengerti kedaan ini. Sudah dia ketahui sejak hari kedatangannya, bahwa sementara orang Sumedanglarang begitu bangga kepada orang Carbon yang dianggapnya banyak memiliki ilmu agama dan bisa membimbing orang menjadi baik. Semua orang bahkan percaya kalau Nagri Carbon itu dikukuhkan oleh Sang Wali Sembilan sebagaiPuser Bumi Agama Islam dan seluruh penghuninya orang-orang salih semua dalam menjunjung kiprah agama. Itulah sebabnua kalau hampir semua orangtua bercita-cita memiliki mantu lelaki Carbon.
Namun yang Purbajaya tak habis mengerti, Ki Bagus Sura malah dikecewakan oleh bangsawan yang datang dari Carbon. Dan lebih tak dimengertinya lagi, mengapa Ki Bagus Sura sepertinya "tak jera" menghadapi kekecewaan ini. Buktinya, kini hadir "pemuda Carbon" lain dan langsung percaya saja. Di lain pihak, Purbajaya memiliki rasa bangga tersendiri. Namun di pihak laindia pun merasa prihatin. Prihatin oleh sikap Ki Bagus Sura. Dia adalah orang tua yang mudah tergoda oleh pengharapan. Harapan lamanya yang musna, begitu saja tergantikan oleh harapan yang baru. Mungkin dia menginginkan nasib putrinya terangkat. Namun demikian tetap saja dia telah mengorbankan kepentingan putrinya sendiri. Dulu barangkali Nyimas Yuning tak mencintai Raden Yudakara. Tapi hanya karena ketaatan dan pengabdian kepada orangtua semata maka dia terima keinginan Ki Bagus Sura. Sekarang, gadis itu malah sudah akan "dioper" kepada Purbajaya tanpa Nyimas Yuning dimintai pendapatnya. Ini yang membuatnya prihatin.
"Aku sadar, putriku sudah tak berharga lagi. Ibarat sekuntum bunga, dia sudah dipetik orang. Mungkin disimpan di sebuah jamban, namun bisa saja tergeletak begitu saja di rumpun kering. Keinginanku ini lebih didasarkan pada sebuah permohonan ketimbang sebuah citacita.Si Yuning ini hidupnya sedang goncang. Dia butuh orang untuk membimbingnya," tutur Ki Bagus Sura panjang-lebar.
"Sekarang oun saya tengah berusaha untuk membimbingnya ... " kata Purbajaya pelan dan tak berani menatap orang tua itu.
"Yang aku maksud, dia butuh pelindung dan penjaganya. Dia butuh ketentraman hidup. Hidup seorang wanita baru terasa tentram kalau ada yang mengayominya. Dia butuh seorang lelaki. Bukan hanya berupa seorang ayah, namun jauh lebih berarti dari itu ..."
"Tapi mengapa musti saya?"
"Engkau terlihat memenuhi harapanku, anak muda. Kendati usiamu masih sangat muda tapi kau berpikiran dewasa. Kendati kau bukan seorang bangsawan tapi wawasan berpikirmu sungguh luas. Engkau juga amat sederhana dan tak sombong akan kemampuan diri," Ki Bagus Sura habis-habisan memuji Purbajaya yang menjadi kikuk karenanya.
"Maafkan aku terlalu berani mengemukakan hal ini, padahal sudah aku katakan tadi bahwa putriku tak berharga ..." akhirnya Ki Bagus Sura "tahu diri".
"Bukan itu maksud saya ..." Purbajaya jadi serba-salah. Dia takut kalau Ki Bagus Sura jadi keliru menafsirkan dan malah tersinggung dengan sikapnya ini.
Dan Purbajaya semakin khawatir ketika orang tua itu nampak menunduk lesu sepertinya harapannya didepak sudah.
"Berita ini terlalu tergesa-gesa datangnya," kata Purbajaya termangu.
Ki Bagus Sura kini baru mau menatap Purbajaya. Sepertinya dia kembali memperoleh harapannya lagi.
"Kuakui memang tergesa-agesa. Aku sadar kalau urusan seperti ini tidak seyogyanya dilakukan secara begini. Engkau perlu waktu untuk mempelajarinya terlebih dahulu," kata Ki Bagus Sura.
"Begitu kira-kira yang saya maksud ... " "Ya, pikirkanlah hal ini, Purba. Namun engkau harus tahu bahwa ini adalah harapanku yang amat sangat ke padamu," ungkap orang tua itu sepenuh hati. Purbajaya mengangguk dan mencoba akan berusaha memikirkan "tawaran" ini.
Malam hari Purbajaya jadi susah tidur.Obrolan di senja hari bersama Ki Bagus Sura ini ternyata amat mengganjal hati dan perasaannya.
Tidak diragukan, sebenarnya Purbajaya pun senang melihat kecantikan Nyimas Yuning Purnama. Hampir semua pemuda di Sumedanglarang khabarnya sama mendambakan kasih gadis itu. Hanya menandakan bahwa Nyimas Yuning memang gadis yang punya nilai lebih dibandingkan dengan gadis-gadis istana lainnya. Kalau tak begitu tak nanti semua pemuda bangsawan saling berebut ingin memilikinya. Purbajaya sebagai pemuda normal, tentu sama dengan yang lainnya, yaitu melihat Nyimas Yuning Purnama sebagai gadis istimewa.
Gadis itu penampilan karakternya sungguh bersahaja dan tak mengada-ada. Tutur katanya sopan, tidak pula terhadap dayang pengasuhnya. Wajahnya jauh dari sederhana walau pun pupur yang dikenakan di wajahnya amat sederhana. Justru kesederhanaan pupurnya ini semakin memperlihatkan kecantikannya yang asli. Sudah Purbajaya katakan bahwa orangtuanya memberikan nama "Purnama" karena wajah gadis itu bak purnama di subuh hari. Redup namun cemerlang tanpa gangguan awan.
Ya, sebagai pemuda normal, Purbajaya tentu tertarik kepada gadis ini. Namaun di hati pemuda ini banyak tabir menghalangi. Salah satu di antaranya adalah trauma terhadap apa yang bernama cinta-kasih.
Tak bisa disembunyikan lagi kalau peristiwa yang menyangkut nama gadis Nyimas Waningyun telah dan selalu membekas hingga kini. Purbajaya bukan merasa iri gadis itu digaet Raden Yudakara. Bila benar mereka bergandengan tangan berdasarkan cinta-kasih, Purbajaya akan merelakannya. Namun yanag segalanya jadi membekas sedih di hati Purbajaya, betapa susah sebenarnya menimba cinta-kasih itu. Purbajaya tak boleh gegabah. , tak boleh asal-asalan. Tak boleh memiliki aji-mumpung. Mumpung diberi kepercayaan, maka bagaikan kucing melihat tikus, tidak dipikir dua kali langsung diterkamnya dengan rakus. Purbajaya tak suka itu.
Cinta tak boleh dilakukan hanya karena terkuaknya peluang. Betapa Nyimas Waningyun gadis bangsawan Carbon rela menyerahkan jiwa raganya. Namun belakangan ternyata gadis itu bukan jodohnya. Sekarang peluang terkuak lagi. Namun Purbajaya tak boleh semberono menerimanya. Cinta-kasih itu bukan permainan benda mati. Ada hati dan perasaan yang ikut berperan dan itu yang menentukan segalanya.
Purbajaya memang amat menyukai kecantikan anak bangsawan Bagus Sura ini. Namun cintakah dia kepada Nyi Yuning Purnama? Dan lagi hal lain yang sama-sama tak boleh diabaikan, cinta jugakah Nyimas Yuning kepadanya? Antara Nyimas Wanibngyun dan dirinya mungkin terjadi cinta sehingga keduanya sepakat akan berbuat hal-hal yang dianggap akan merunyamkan keadaan. Namun dengan Nyimas Yuning belum tentu ada tali benang merah yang mengikat kendati sikap orangtuanya begitu menyetujuinya. Memang akhir-akhir ini gadis itu semakin dekat kepadanya. Tapi hal ini punya alasan lain, yaitu gadis itu ingin mempelajari agama lebih dalam. Atau, benar-benarkah belajar mengaji hanya digunakannya sebagai batu loncatan agar gadis itu selalu berdekatan dengan dirinya?
Pemuda itu menampar pipinya sendiri. Gila, lamunan itu terlalu jauh!

***


MALAM ini bulan kembali benderang. Anak-anak sanbtri yang lain kembali "tergoda" untuk memilih latihan kewiraan bersama Ki Dita. Ini hanya punya arti bahwa untuk ke sekian kalinya di paseban hanya tinggal Purbajaya berdua dengan Nyimas Yuning Purnama.
Untuk ke sekian kalinya duduk saling berhadapan, hanya terbatasi oleh bantal berlapis kain satin biru buatan Negri Campa sebagai alat penopang Kitab Suci.
Tentu tak begitu jauh. Jadi Purbajaya bisa leluasa menatap wajah anggun gadis itu.
Nyimas Yuning memang tengah tak sadar kalau wajahnya ditatap terus Purbajaya sebab dia tengah tekun membaca lafadz Kitab Suci. Suaranya pelan namun merdu mengalun. Sepertinya gadis itu tengah bernyanyi melantunkan lagu indah.
Bibir itu bergerak-gerak mungil bagaikan menantang. Hidungnya yang kecil mancung kembang-kempis karena desahan. Amboi, hidung itu bersemu merah dan sesekali disekanya dengan setangan sutra yang sejak tadi dipegangnya di tangan berjari-jari lentik.
Purbajaya menahan napas.
Kalau peristiwa ini terjadi beberapa bulan silam dan bukan di saat mengaji seperti ini, tentu gadis itu sudah digodanya. Betapa tidak. Purbajaya pada dasarnya adalah seorang periang. Dia teringat masa-masa indah bersama Nyimas Waningyun. Pertama berkenalan dengan gadis itu dilaluinya dengan cara-cara yang lucu dan konyol. Ketika gadis itu tengah bersampan di kolam Taman Petratean Istana Pakungwati, secara diam-diam Purbajaya melubangi lunas perahu. Akibatnya, semua penumpang berteriak-teriak karena perahu akan tenggelam. Penumpang berloncatan panik namun tak bisa berenang. Purbajaya segera tampil sebagai "pahlawan" dan menyelamatkan Nyimas Waningyun. Itulah saat pertemuan dengan gadis manis dan periang itu.
Belum berlalu setahun. Namun waktu sesingkat itu telah mengubah segalanya. Nyimas Waningyun sudah dipersunting Raden Yudakara dan Purbajaya telah menjadi guru mengaji. Karena sudah jadi guru maka perilakunya menjadi lain, menjadi "dipaksa" untuk dewasa. Jadi mana mungkin seorang guru kerjanya menggoda murid wanitanya. Itu aib namanya. Makanya Purbajaya lebih terkesan sebagai seorang yang pendiam dan tutur katanya suka serius melulu. Senyum tentu masih membekas namun jauh dari keceriaan seorang belia.
Purbajaya ingin mengaku, semua perubahan ini tentu karena figurnya seorang guru dan bukan karena sisa-sisa cinta yang terpuruk. Kendati dia menyukai Nyimas Yunig Purnama, namun secuil pun dia tidak berniat untuk menggoda gadis itu dengan celoteh-celoteh lucu dan bengal seperti hari-hari lalu. Dia memang tengah menatap paras gadis cantik itu tapi bukan tatapan penuh berahi. Tatapan ini lebih berkesan sebagai pelampiasan rasa kasihan dan iba hati. Gadis itu bernasib malang. Kecantikan parasnya tidak membawanya sebuah berkah, kecuali jadi permainan keserakahan seorang laki-laki semacam Raden Yudakara. Sekarang oleh ayahandanyaa, sepertinya gadis itu mau "diserahkan" kembali kepada lelaki lainnya. Mungkin Purbajaya tak sekejam Raden Yudakara. Mungkin saja Purbajaya sanggup memberikan penghargaan kepada gadis itu dengan rasa cinta yang tulus. Namun demikian, dia tetap merasa iba. Kalau pun ada cinta, cinta karena berdasarkan iba semata. Betapa karena ingin melihat gadis itu terobati lukanya, maka oleh ayahandanya dia diserahkan kepada Purbajaya. Bila Nyimas Yuning akhirnya jadi dipersunting, Purbajaya bukannya bahagaia, tapi malah menjadi sedih, sedih karena nasib gadis itu yang buruk.
Purbajaya tak habais mengerti, mengapa Ki Bagus Sura tidak pernah mencoba menguak perasaan putrinya. Mungkin hati kecil gadis itu tidak suka dianggap benda mati yang bisa digeser ke sana ke mari. Cinta sebenarnya tidak untuk dipaksakan. Tidak pula bagi seorang janda.
Purbajaya kembali menatap wajah gadis itu. Dia anggun, dia cantik. Kasihan kalau keanggunan dan kecantikannya hanya digilir ke sana ke mari tanpa perasaan cinta ikut serta. Namun Purbajaya tahu, tentu gadis itu tak kuasa menentang kehendak ayahnya.Ya, kalau ibu gadis itu telah tiada, kepada siapa lagi dia akan menurut dan mengabdi kalau tidak kepada ayahandanya? Purbajaya tahu kalau banyak anak gadis kehilangan cinta kasih remaja hanya karena ingin berbakti kepada orangtuanya.
Malam ini gadis itu tidak terlalu banyak bicara. Kecuali suara lantunannya yang merdu di malam yang sepi ini.
Purbajaya menduga, gadis ini tak banyak bicara mungkin sudah tahu kehendak ayahandanya dan dia tak suka keputusan itu. Kalau benar begitu, Purbajaya jadi tak enak hati.
Kalau benar begitu, Purbajaya harus segera duluan bicara dan mengemukakan isi hatinya. Dia harus katakan yang sebenarnya agar tak jadi siksaan bagi gadis itu.
Ya, harus malam ini, sebab sebentar hari Purbajaya diajak Ki Bagus Sura untuk melakukan perjalanan muhibah ke Karatuan Talaga. Sebelum dia pergi, isi hatinya yang sebenarnya harus diketahui dulu oleh Nyimas Yuning Purnama.
Suara merdu Nyimas Yuning Purnama berhenti. Mengajinya selesai. Sesudah menghirup udara sejenak, gadis itu menatap Purbajaya. Kebetulan pemuda itu pun tengah menatapnya sehingga tak pelak dua pasang mata beradu pandang.
"Nyimas ... "
"Ustad ... " Keduanya bertatap lama kembali. Namun Nyimas Yuning kalah lebih dahulu. Gadis itu menunduk dengan rona merah di wajahnya. Belakangan Purbajaya pun ikut menunduk dan sepasang pipinya terasa panas.
Lama mereka saling berdiam diri.Dan hal ini tak membuat hati Purbajaya semakin tenang. "Nyimas Sepertinya ada yang ingin kau katakan padaku," kata Purbajaya pada akhirnya.
"Malah saya yang menduga, Ustadlah yang sepertinya punya sesuatu yang akan disampaikan kepada saya," Nyimas Yuning balik bertanya.
Kembali Purbajaya menunduk. Untuk beberapa lama lidahnya kelu kembali. "Mengapa, Ustad?"
"Ada memang yang akan saya katakan. Tapi saya khawatir, engkau tak akan senang mendengarnya," kata Purbajaya sejujurnya.
Pemuda ini memang jadi berpikir lain. Bagaimana seandainya gadis itu sebenarnya mau dipersunting olehnya? Bukankah bila dia bicara tak mengakui mencintai gadis itu maka akan terjadi musibah derita yang kedua bagi gadis itu?
Ah, Purbajaya jadi serba salah.
"Nyimas silakan engkau saja yang bicara duluan," akhirnya Purbajaya memutuskan.
Kini giliran Nyimas Yuning Purnama yang terlongong-longong diam. Sepertinya gadis itu memendam perasaan bingung untuk menyampaikan sesuatu.
"Mengapa, Nyimas ?"
"Kalaua saya sampaiakan, takut menyinggung perasaanmu, Ustad ..." jawab gadis itu berani menatap Purbajaya.
Purbajaya kembali balik menatap.
"Tentu ini menyakitkan sebab tak biasanya seorang gadis mengemukakan kehendak," tuturnya lagi.
"Katakanlah apa adanya, Nyimas," potong Purbajaya tak sabar sebab ucapan gadis ini semakin membuatnya penasaran.
Namun ditantang seperti ini, malah gadis itu kembali menundukkan kepalanya. Dan hal ini semakin menambah rasa penasaran Purbajaya.
"Jangan ragu, ucapkanlah, Nyimas," Purbajaya mendesak. Dia sudah menduga kalau pada akhirnya gadis itu akan tunduk kepasa keinginan ayahandanya, yaitu mandah untuk dijodohkan dengannya. Barangkali juga tidak sekadar mentaati keinginan orangtua semata, melainkan juga karena hasratnya. Sekali lagi Purbajaya berkeyakinan bahwa sudah umum gadis di sini mengharap dipersunting oleh pemuda asal Carbon.
Sesudah agak lama membisu, akhirnya Nyimas Yuning berkata juga. Rentetan kalimatnya tenang tak tergesa-gesa dan ada kesan diucapkan dengan penuh kehati-hatian.
"Saya sudah diberitahu perihal maksud ayahanda ... " "Oh, ya? Tentang apa?" Purbajaya pura-pura terkejut.
"Tentang rencana pertalian jodoh kita," Nyimas Yuning Purnama berkata dengan nada agak bergetar.
"Hm ... Lalu, bagaimana?"
"Bolehkah saya mengemukakan keinginan?"
"Engkau adalah orang merdeka, tentu boleh saja mengemukakan apa pun yang ada di hatimu, Nyimas," kata Purbajaya mulai mencoba memecahkan teka-teki.
Lalu Nyimas Yuning Purnama terdiam lagi sejenak. Dihirupnya lagi udara dalam-dalam seolah-olah ingin mengumpulkan tenaga agar kata-kata yang akan diluncurkannya kelak tidak mandeg lagi di tengah jalan.
Lama sekali.
"Ucapkanlah, Nyimas ... " Purbajaya kian tak sabar.
"Kalau boleh saya punya keinginan, saya ingin menolak pertalian jodoh ini ... " Nyimas Yuning Purnama berkata sambil tetap menunduk. Sepertinya betul dia takut ucapannya menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.
Purbajaya terhenyak untuk seketika. Duduknya tegak namun diam mematung.
"Tersinggungkah Ustad oleh ucapan saya ini?" tanya gadis itu kemudian. Tampak sekali ada mimik penuh khawatir di wajahnya.
Namun Purbajaya malah senyum dikulum. Dia mengangguk-angguk. Dan senyumnya tetap tak hilang.
"Mengapa musti tersinggung?" Purbajaya masih juga tersenyum. Ditatapnya wajah gadis itu lama-lama. Tadinya dia pun ingin mengatakan kalau dirinya sebenarnya kurang setuju dengan keinginan Ki Bagus Sura, Namun maksud ini dia urungkan. Dia tetap khawatir kalau gadis itu malah yang tersinggung.
"Sungguh, saya tak tersinggung oleh ucapanmu, Nyimas ... " ungkap lagi Purbajaya. "Kalau begitu, tentu Ustad tak mencintai saya ... " potong gadis itu.
Purbajaya menghentikan senyumnya. Inilah memang salah satu keanehan seorang wanita. Mengapa ada pertanyaan seperti itu yang meluncur keluar dari benaknya, padahal menurut hemat Purbajaya tak perlu dikemukakan.
"Saya tak bisa jawab pertanyaan itu. Yang penting saya sekarang tahu bahwa Nyimas menolak urusan perjodohan," jawab Purbajaya memotong harapan gadis itu.
"Saya pasti menyinggungmu ... "
"Tidak. Bahkan saya bahagia. Engkau punya keberanian dalam mengemukakan kehendak. Saya berkehendak, siapa pun berhak mengemukakan apa yang ada di lubuk hatinya, termasuk dalam urusan cinta-kasih. Sudah terbiasa memang, orang muda berkorban dalam cinta hanya karena berbakti kepada orangtua. Padahal, jangan campur-adukkan cinta kasih dengan bakti kepada orangtua. Cinta-kasih adalah urusan pribadi. Yang akan melakukannya pun pribadi masing-masing dan bukan perintah dari pihak lain. Kalau kau tak suka, maka tak perlu memaksakan diri. Cinta-kasih adalah kebahagiaan dan bukan pengorbanan. Makanya tak baik perasaan cinta dilalui dengan duka," ujar Purbajaya lirih dan panjang lebar.
Nyimas Yuning menatap lama, sudah itu tersenyum cerah, sepertinya dia mendapatkan dorongan moral dalam mengukuhkan pendapatnya.
"Tapi saya ini tetap saja seoraang wanita. Kepada ayahanda, saya tak bisa bicara seperti ini," keluh gadis ini. Dan Purbajaya mengerti maksudnya.
"Biar saya yang membantumu bicara," Purbajaya memotong. "Bagaimana caranya?"
"Tentu akan saya katakan bahwa sebenarnya saya tak mencintaimu. Jadi perjodohan ini harus dihapuskan. Begitu kan beres?"
Nyimas Yuning merenung sejenak sepertinya tengah mempertimbangkan usul ini. "Engkau yang merugi sebab ayahanda pasti menyalahkanmu," gumam gadis itu kemudian.
"Yang penting, ayahandamu semakin menyayangimu, Nyimas. Betapa menyakitkan seorang gadis secantikmu ditolak pria. Dan ayahandamu pasti semakin iba padamu sebab disangkanya kau terus-terusan dirundung malang," kata Purbajaya tak sadar. Belakangan dia baru tahu kalau ucapannya ini membuat wajah gadis itu murung.
"Tapi maafkan ucapan saya ini, Nyimas," sambung Purbajaya.
"Tak apa, Ustad. Namun sebetulnya saya malu kalau ada orang mengatakan saya gadis malang," jawab gadis itu.."Jodoh adalah urusan Tuhan. Apa pun yang dikehendaki Tuhan, pasti itu yang terbaik buat umatNya. Jadi saya tak berani berkata kalau keputusan Tuhan dianggap sebuah kemalangan," sambungnya. Terasa ditampar pipi Purbajaya oleh pendapat gadis itu. Ya, dia bodoh. Mengapa seorang guru agama malah tak becus bicara benar dan melantur ke mana saja.
"Maafkan sekali lagi, saya menyakiti hatimu, Nyimas."
"Tidak. Malah saya yang harus kau maafkan. Saya menyakitimu karena berani menolak perjodohan," bantah gadis itu.
Purbajaya emenggelengkan kepalanya.
"Betulkah engkau tak sakit hati?" Nyimas Yuning masih penasaran. "Tidak."
Dan sepasang mata gadis itu nampak berkaca-kaca. Purbajaya tak tahu, mengapa gadis itu malah menurunkan air matanya.
Hingga gadis itu pergi dan menghilang dari pandangan matanya, Purbajaya tetap belum mengerti makna air mata itu.

***


MASIH tersisa satu hari lagi untuk meninggalkan Sumedanglarang. Ini punya arti, Purbajaya masih diberi kesempatan bertemu Nyimas Yuning Purnama satu malam lagi.
Seperti malam-malam sebelumnya, gadis itu duduk bersimpuh dengan anggunnya di atas bale-bale dan saling berhadapan dengan Purbajaya.
"Ke mana lagi santri lainnya, Nyimas? Apakah mereka lagi-lagi berlatih kewiraan di padepokan Ki Dita?" tanya Purbajaya heran.
"Yang saya tahu, tak ada latihan kewiraan di sana. Barangkali mereka masih di perjalanan," jawab gadis itu membenahi kerudung sutra putihnya.
"Kita tunggu saja mereka sebelum pelajaran dimulai," Purbajaya berpendapat.
Sudah beberapa kali dia hanya mengajar Nyimas Yuning saja. Ini artinya, untuk beberapa kali ini dia hanya berduaan saja dengan gadis itu.
Sambil menunggu yang lain tiba, akhirnya dua orang muda-mudi ini mengobrol. Purbajayalah yang banyak berbicara.
Ditunggu beberapa lama, para santri lain memang datang. Tapi Purbajaya mengerutkan dahi sebab di belakang mereka ada beberapa orang pemuda ikut serta dan perangainya mencurigakan.
"Kalian kami tunggu lama sekali, ke mana sajakah?" tanya Purbajaya kepada para santri. Namun yang menjawab malah pemuda asing di belakang para santri itu.
"Mengapa musti menunggu anak-anak lain, kan lebih asyik berduaan saja?" kata salah seorang dari kelompok pemuda itu. Wajahnya tampan tapi mimiknya angkuh.
Purbajaya meneliti semua pemuda asing itu.Usianya barangkali sebaya dengannya, atau lebih muda satu dua tahun. Yang khas, wajah mereka cukup tampan dan berpakaian santana (golongan menengah), menandakan bahwa mereka anak-anak orang berada. Karena bisa masuk ke puri seenaknya, barangkali mereka anak-anak bangsawan di sini.
Purbajaya berhadapan dengan pemuda yang barusan bicara. Kulit wajah pemuda itu putih bersih. Rambutnya bergelombang hitam dan diikat kain halus warna nila. Matanya tajam serta sepasang alaisnya tebal bagaikan sepasang golok melengkung. Hanya yang Purbajaya tak suka, hidung pemuda ini melengkung, mengingatkan dirinya kepada Raden Yudakara. Raden Yudakara pun bertampang begitu dan perilakunya sombong namun penuh misteri.
"Saya tak mengerti perkataanmu, sobat ... " kata Purbajaya pelan.
"Aku hanya ingin tanya, apa sih kerjamu di sini?" tanya pemuda itu sambil bertolak pinggang.
"Tanyalah pada anak-anak santri ini kalau kehadiran saya di sini adalah mengajar mereka mengaji," jawab lagi Purbajaya.
"Mengajar mengaji? Mengaji apa ngobrol-ngobrol berduaan di malam-malam begini sambil sesekali berbisik-bisik sambil mengobral senyum?" Pemuda itu tertawa diikuti oleh tawa teman-temannya.
"Kalian ini bukan pasangan sah. Guru dan murid lagi. Mengapa kerjanya berduaan saja?" tanya yang lainnya. Nampak sekali semua pemuda ini hendak menekan Purbajaya.
"Kami tak melakukan hal apa pun, apalagi yang dilarang agama," tutur Purbajaya lagi. Namun terdengar lagi kekeh mengejek dari para pemuda itu.
"Dengaralah hai kawan, betapa pintarnya si hidung belang ini berkilah. Santri lain disuruh pergi berlatih kewiraan sementara dia berupaya menggoda janda muda yang cantik! Hai teman, mari hajar si bedebah ini!" kata si pemuda tampan sambil bergerak maju. Temantemannya ada sekitar lima orang serentak ikut maju.
Purbajaya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Maka tak ayal bentrokan pun terjadi. Dia seorang diri dikeroyok lima orang pemuda.
Purbajaya meloncat ke depan agak ke arah tempat yang lapang agar tidak menyulitkan gerakannya. Sementara Nyimas Yuning berseru agar pertikaian tidak berlangsung. Beberapa anak santri malah menyingkir agak jauh kendati mereka seolah membiarkan pertempuran berlangsung. Tapi santri putri kebanyakan sudah menyingkir mencari selamat. Kelompok pemuda ini membentuk lingkaran dalam upaya mengepung Purbajaya. Mereka terus bergerak sambil memutar. Yang aneh, pasangan kuda-kudanya begitu indah dan gerakannya mirip orang menari.
Purbajaya mengenal beberapa ilmu kewiraan. Ada yang diperlihatkan dengan gaya keras, ada pula yang dikemas dalam gaya lembut. Purbajaya bahkan mengenal, ilmu kewiraan yang dikembangkan oleh Ki Dita mengutamakan kelembutan gerak. Khabarnya dalam melatih ilmu ini, juruys-jurus Ki Dita diiringi dawai kecapi dan tiupan suling.
Bagi orang awam, gerakan indah yang diiringi dentingan dawai kecapi dan bunyi suling hanyalah gerak tarian biasa. Padahal di balik kelembutan itu ada tenaga dahsyat yang bisa membahayakan jiwa lawan. Namun demikian, tenaga dahsyat yang dikemas kelembutan ini harus dimainkan oleh orang yang memiliki kelembutan hati pula dan jauh dari sifat emosi. Purbajaya sangsi, apakah kelima orang itu sanggup memainkan jurus ini dengan baik?
Purbajaya sedikit terkejut melihat gerakan mereka. Jangan-jangan kelompok pemuda ini murid-murid Ki Dita. Kalau benar, dia perlu hati-hati. Bukan takut menghadapi mereka, namun yang Purbajaya khawatirkan, antara Ki Bagus Sura dengan Ki Dita bahkan dengan majikan Ki Dita yaitu Ki Sanja, tidak memiliki kesesuaian paham. Purbajaya tak mau, urusan malam ini jadi kian menyulut pertikaian mereka.
Purbajaya tak bisa berpikir lama sebab serangan-serangan datang beruntun.
Serangan itu memang dilakukan dengan menampilkan tarian lembut. Namun ketika ada sodokan kepalan tangan mengarah ulu hati, Purbajaya merasakan adanya terjangan angin pukulan.
Sodokan dilakukan oleh pemuda tampan itu. Mulanya diawali oleh gerakan meliuk telapak tanagan kiri daeri atas ke bawah. Purbajaya terpesona oleh gerak liukan itu hingga hampir lupa oleh serangan sodokan yang datang dari bawah yang dilakukan tangan kanan, meluncur dari balik liukan tangan kiri.
Purbajaya terkejut namun tak merasa khawatir sebab desiran angin pukulan yang dilontarkan tidak terasa deras. Hanya menandakan bahwa si pelaku tidak menyertakan tenaga dalam yang kuat.
Sebenarnya Purbajaya dengan mudah bisa menepis serangan ini kalau saja dalam waktu bersamaan tidak datang serangan lain. Serangan ini datang dari samping kirinya, berupa tendangan lurus mengarah pinggang. Sementara itu dari samping kanan datang pula sodokan kepalan lain.
Purbajaya tidak menjadi panik oleh situasi ini. Ki Jayaratu yang menjadi gurunya di Carbon pernah mengatakan, bahwa tubuh manausia dilengkapi pertahanan amat sempurna. Sepasang tangan dan kaki adalah senjata dan sekaligus alat pertahanan amat ampuh. Karena memiliki unsur pertahanan yang kuat itulah maka Ki Jayaratu selalu menekankan agar tak takut dengan berbagai pengeroyokan. Asalkan kita sanggup memanfaatkan sepasang tangan dan kaki dengan tepat, anggota tubuh itu bisa digunakan sebagai alat pertahanan dan juga sekaligus sebagai alat untuk menyerang. Dalam latihan ilmu bela diri di Carbon, Purbajaya kerap kali dilatih untuk menghadapi pengeroyokan belasan orang bahkan puluhan orang. Oleh karena itulah, dalam menghadapi pengeroyokan enam orang ini, Purbajaya tidak merasa panik.
Ada tiga serangan yang datang secara bersamaan, yaitu dari depan berupa sodokan pukulan mengarah ulu hati, pukulan dari samping kanan dan tendangan dari samping kirinya. Bila serangan ini ditepis satu persatu, Purbajaya tidak akan sempat menepisnya. Maka satu-satunya cara untuk menepisnya adalah sama-sekali memanfaatkan ketiga serangan lawan untuk berbalik menyerang tuannya sendiri.
Ketika sodokan dari depan meluncur deras, Purbajaya menarik langkahnya ke belakang. Kepalan tangan musuh yang telanjur menyodok dia tangkap erat dan dia gunakan untuk menangkis pukulan tangan lain yang datang dari samping kanannya. Si pemukul dari arah depan tampak menyeringai kesakitan karena pergelangan tangannya kena pukul temannya sendiri. Sementara itu dari arah kiri meluncur pula tendangan. Datangnya cukup keras dan cepat. Namun tendangan itu menyapu dua tangan temannya sendiri secara keras pula. Maka berbareng dengan itu terdengar jeritan keras. Jeritan datang dari dua mulut hampir berbarengan. Mengapa tak begitu sebab yang kena sabetan tendangan kaki adalah dua orang sekaligus.
Si pelaku tendangan terlihat kaget. Mungkin tak menyangka kalau serangan derasnya malah menyapu temannya sendiri. Dan sebelum hilang kagetnya, dia pun terdengar menjerit pula karena pahanya dipukul keras oleh Purbajaya. Pukulan itu sebenarnya hanya mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau menggunakan tenaga dalam barangkali akibatnya bukan hanya sekadar sakit, melainkan paha beserta tulangnya akan hancur.
Dalam satu gebrakan, tiga orang sudah dilumpuhkan. Kini tinggal tiga orang lagi. Purbajaya menunggu datangnya serangan baru. Namun ditunggu beberapa saat tak ada serangan. Ternyata tiga orang sisanya sudah menghilang di kegelapan. Sementara yang tiga orang lagi, sambil meringis menahan sakit akhirnya mengundurkan diri dari tempat itu, percis anjing kena gebuk.
Anak-anak santri pun pang menghilang. Kini tinggallah kembali Purbajaya dan Nyimas Yuning.
"Siapakah mereka, Nyimas ... ?"
"Mereka adalah murid-murid Ki Dita. Yang terlihat begitu marah padamu adalah Aditia, putra tunggal Ki Sanja." Nyimas Yuning Purnama menerangkan dengan nada sedih. Bahkan ada tersirat perasaan khawatir.
"Hanya itu, Nyimas?"
"Di kalangan sesama anak bangsawan, Aditia disegani para pemuda lainnya."
"Apakah seharusnya saya pun segan padanya, Nyimas?" tanya Purbajaya. Hanya dijawab elahan napas oleh Nyimas Yuning.
Purbajaya masih belum mengerti, apa yang dirisaukan gadis ini. "Barangkali kita akan mendapatkan petaka ... " gumam Purbajaya menduga jalan pikiran gadis ini.
Dan belum juga kalimatnya berakhir, ke tempat itu datang sekelompok orang. Mereka adalah pemuda yang tadi termasuk Aditi, namun sambil diikuti seorang tua di belakangnya. Nyimas Yuning berbisik kalau orang tua itu adalah Ki Dita.
Begitu berhadapan dengan Purbajaya, pemuda-pemuda itu langsung saja mencak-mencak memarahi. Semua telunjuk mereka diarahkan kepada hidung Purbajaya.
"Ki Guru, inilah dia Si Anak Bengal itu. Lihatlah, Si Tebal Muka ini kendati sudah kami usir namun tetap saja merayu Nyimas Yuning. Diberi peringatan malah marah-marah dan memukuli kami. Dia pasti pemuda jahat dan menyelundup ke sini pura-pura jadi guru mengaji!" kata salah seorang dari para pemuda itu menunjuk-nunjuk hidung Purbajaya. Pemuda itu bertubuh ceking seperti kurang makan.
Ki Dita yang bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan berkumis tebal itu tidak menyambut pengaduan ini begitu saja. Dia hanya meneliti Purbajaya dengan tatapan tajam.
Purbajaya tidak balas menatap. Bukannya takut kepada Ki Dita. Tapi dia pikir alangkah tak sopan balik menatap pada orang tua dan apalagi Ki Dita seorang guru yang disegani di sini.
Namun sebelum kejadian selanjutnya berlangsung, tiba-tiba dsatang pula Ki Bagus Sura. Dia nampak tergopoh-gopoh mendatangi ke tempat di mana banyak orang berkumpul.
"Ki Guru Dita, ada apakah ini?" tanyanya mengerutkan alis. Ki Bagus Sura bertanya dengan nada halus namun kerutan alisnya menandakan bahwa orang tua ini tidak senang ada orang bergerombol memasuki wilayah purinya.
Ki Dita belum menjawab, kecuali memandangi para muridnya satu persatu. Terakhir dipandanginya Aditia seolah-olah Ki Dita minta agar anak muda itu yang mewakilinya bicara.
Dan benar saja, sebab Aditia maju dan langsung menyampaikan apa terjadi. Tentu saja dengan versi miliknya.
"Ki Bagus, apakah engkau tidak tahu kalau pemuda culas ini saban malam kerjanya merayu putrimu?" tanya Aditia ketus. Kemudian diarahkannya matanya yang tajam dan penuh kebencian itu kepada Purbajaya.
"Maksudmu, Purbajaya tidak sopan kepada putriku?" tanya Ki Bagus Sura. "Betul begitu!"
"Tidak benar, Ki Bagus," Purbajaya menyela.
Ki Dita menatap bergantian ke arah Aditia dan Purbajaya, sepertinya dia ingin tahu perkataan siapa yang benar. Demikian pun Ki Bagus Sura menatap mereka bergantian. "Tapi Purbajaya guru mengaji putriku," cetus Ki Bagus Sura kemudian. "Nah, apalagi begitu. Uh, sangat menjijikkan!" Aditia mencibir.
"Dia calon suami anakku."
"Apa?" Aditia terbelalak, seperti amat kaget dengan apa yang didengarnya. "Benar, pemuda ini calon suami Si Yuning," Ki Bagus Sura menegaskan kembali.
"Bohong. Nyimas Yuning suudah bilang padaku kalau tak mau lagi punya suami. Betul kan, Nyimas?" Aditia menoleh kepada Nyimas Yuning. Yang ditatap hanya menunduk.
"Betul, kan?" Aditia mendesak.
"Betul. Kakang Purba calon suami saya ... " kata Nyimas Yuning akhirnya. Purbajaya dan Aditia sama-sama melongo akan jawaban ini.
"Nyimas, betulkah itu?" tanya Aditia. Purbajaya pun sebetulnya hampir mengatakan ucapan yang sama namun keburu dibatalkan.

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 05 --oo0oo-- Jilid 07


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.