Life is journey not a destinantion ...

Showing posts with label Pajajaran. Show all posts
Showing posts with label Pajajaran. Show all posts

Serial Trilogi Pajajaran

 

Terima kasih untuk para pecinta Cersil karya Aan Merdeka Permana yang telah bersusah payah membuat E-Book dan scanning cover, rasa salut juga rasa hormat untuk para pembaca sehingga blog saya ini ada. Kami mohon maaf jika halaman ini masih banyak kekurangannya.
Cerita Silat Karya Aan Merdeka Permana. Hak cipta dan copyright pada penerbit/Pengarang dibawah lindungan undang-undang Dept. Kehakiman RI Direktorat Jenderal Hak Cipia Paten dan Merek, Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pengarang/Penerbit.
Kisah dalam Cerita Silat ini mengambil cerita waktu pada saat Pajajaran akhir, pada saat raja yang berkuasa di Pajajaran adalah Sang Ratu Prabu Sakti (1543 – 1551 M), buyut Sri Baduga Maharaja atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Sedangkan Pajajaran benar-benar runtuh pada tahun 1570-an, dengan raja terakhir Sang Ratu Prabu Nilakendra, putra Prabu Ratu Sakti..
Berikut Judul buku dan cover bagi para pecinta Cersil Karya Aan Merdeka Permana yang dapat dibaca dimanapun anda berada (Klik gambar yang ingin anda baca):
     
Senja Jatuh di Pajajaran
(Seri Ke-1 Trilogi Pajajaran)
Kemelut Di Cakrabuana
(Seri Ke-2 Trilogi Pajajaran)
Kunanti Di Gerbang Pakuan
(Seri Ke-3 Trilogi Pajajaran)
Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
Jilid 17
Jilid 18
Jilid 19
Jilid 20
Jilid 21
Jilid 22
Jilid 23
Jilid 24
(Tamat)

Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
Jilid 11
Jilid 12
Jilid 13
Jilid 14
Jilid 15
Jilid 16
(Tamat)

Jilid 01
Jilid 02
Jilid 03
Jilid 04
Jilid 05
Jilid 06
Jilid 07
Jilid 08
Jilid 09
Jilid 10
(Tamat)

"Trilogi Pajajaran"
Selesai


Semoga cerita Karya Aan M.P bisa diambil pelajaran dan hal hal baiknya oleh kita sebagai hamba Allah SWT.

Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-05

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 04 --oo0oo-- Jilid 06

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 05


Ginggi menatap wajah muram itu dengan penuh pertanyaan di kalbunya. Si Santimi ini gadis dungu. Dia seperti punya kesedihan besar menghadapi kejadian ini, tapi mengapa peristiwa terus berlangsung? Tidakkah dia punya kekuatan untuk menolaknya?
Menolaknya? Dari mana Ginggi tahu bahwa Nyi Santimi tak suka dijodohkan dengan pemuda Seta? Dari mana pula awalnya Ginggi punya perkiraan bahwa Nyi Santimi menyenanginya, memberi harapan padanya atau menjanjikan sesuatu padanya?
Cih, tak tahu malu! Dan plak! Ginggi menempeleng pipinya sendiri sampai matang biru, sampai orang-orang sekelilingnya melihatnya dengan heran. Nyi Santimi juga melirik ke samping karena bunyi "plak" itu dan nampak wajahnya pucat-pasi setelah tahu siapa orang yang tiba-tiba menempeleng wajahnya sendiri itu. Mereka saling tatap. Ginggi menatap tajam dengan penuh tanda-tanya dan Nyi Santimi menatap redup dengan wajah seolah-olah minta dikasihani dan dimengerti duduk persoalannya. Tapi Ginggi tak mengerti apa yang sebenarmya tengah berlangsung. Hanya saja dia merasa kaget manakala diasaksikan, betapa akhirnya gadis yang kini pucat-pasi itu menguraikan air mata. Dia menangis sesenggukan, menjatuhkan badannya dan tersuruk di lantai kayu.
Sudah barang tentu semua orang jadi panik. Para wanita menjerit, kaum lelaki berseru heran, tidak pula Ginggi. Pemuda Seta mendelik geram ke arah Ginggi. Mungkin dia menduga, kejadian ini karena kehadiran pemuda dungu itu.
Sebelum suasana semakin tidak menentu, Ginggi sendiri sudah menjauhkan diri dari tempat itu. Dia pergi keluar, berjalan cepat. Bahkan langkahnya meloncat-loncat. Setengah berlari dia menghambur ke arah lawang kori. Pergi keluar kampung, pergi entah kemana. Yang penting menjauhi rumah Rama Dongdo!
Tiba di sebuah hutan kecil perbukitan di luar desa, pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon rindang. Matanya pedih, tubuhnya lelah.
Oh, mengapa pula aku ini? Tidakkah bila diketahui Ki Darma aku akan didamprat habishabisan? Tempo hari orang tua itu bicara kepadanya agar berhati-hati menghadapi wanita.
"Wanita itu mahluk lemah. Namun bila kita serampangan menilainya, dia bisa menghancurkan!" kata Ki Darma waktu itu.
Ginggi tak mengerti, mengapa Ki Darma bisa bicara begitu. Yang ditakutkan Ginggi ketika itu hanyalah harimau congkok sebab loncatannya lincah gerakannya kuat dan cakarannya mematikan. Mengapa wanita yang lemah-lembut bisa mematikan?
Sekarang sesudah teralami saja, baru dia tahu, apa arti kehancuran yang diakibatkan wanita!
"Sialan! Ada apa dalam hatiku ini, sehingga menghadapi peristiwa begini, badanku seperti tercabik-cabik harimau ganas?" keluhnya sendirian. Dia berguling-guling di tanah. Dicabikcabiknya rambutnya sehingga ikat kepalanya lepas dan rambutnya awut-awutan. Ginggi mengatupkan matanya rapat-rapat. Menahan nafas dalam-dalam. Dia mencoba melupakan gadis itu. Tapi semakin dia tolak, semakin meloncat ke arahnya. Ya, bayangan gadis itu. Lesung pipitnya, bibir tipisnya dan sudut matanya yang tajam hitam dengan bola mata berbinar. Ah, betapa terbayang mata itu mendadak sayu, wajah itu mendadak muram, manakala dia menatap dan mempertanyakan, mengapa berbuat kejam mengingkari janji.
"Tunggulah aku di sekitar panggung pertunjukan pantun, Kang!" itulah janji gadis itu yang tak ditepatinya. Ya, hanya itu. Tapi, Benarkah Nyi Santimi merasa berdosa karena janjinya ini? Benarkah hanya karena tak menepati urusan sepele itu, Nyi Santimi perlu menangis, bermata sayu, berwajah muram dan sampai tersuruk di atas lantai? Benarkah hanya sekadar itu?
Ginggi serentak bangun. Kalau hanya urusan janji sepele itu, mengapa gadis itu perlu merundunginya dengan kesedihan? Masa di mana gadis dipinang lelaki adalah masa yang seharusnya disambut rasa syukur dan tawa bahagia. Mengapa Nyi Santimi menyambutnya dengan muka yang pucat-pasi dan apalagi sesudah bertemu pandang dengannya?
"Nyi Santimi, tidakkah ini…." guman Ginggi sambil merenung dalam. Ah, tidak! Keluhnya sambilmenggelengkan kepala. Kalau pun benar ada perasaan yang sama dengan gadis itu, percuma meladeninya. Ya, untuk apa aku mengejar gadis yang sudah diikat janji oleh pemuda lain, pikirnya.
Ginggi merenung lagi. Dia mengingat-ingat pertemuan singkat antara dia dengan gadis itu. Apa yang menjadi ukuran bahwa antara dia dengan gadis itu ada semacam ikatan? Karena gadis itu mau mencucikan pakaian kotornya? Karena sikap ugal-ugalan dirinya, atau karena matanya yang jelalatan melihat kemolekan tubuh wanita seperti apa yang ditudingkan gadis itu kepadanya kemarin pagi?
Tak ada tanda-tanda pertemuan hati. Percuma aku mengingatnya, pikirnya lagi bolak-balik.
Dan karena kecapaian, kurang tidur serta banyak berpikir, akhirnya Ginggi meloso begitu saja di bawah pohon. Ditemani suara burung di dahan, hembusan angi bukit dan matahari dari
sela-sela dedaunan, pemuda itu tertidur pulas lama sekali. Entah berapa lama dia tertidur padahal ditemani mimpi-mimpi buruk. Yang jelas, ketika tersadar dari tidurnya, udara di sekitarnya terasa dingin, sambil mata masih terkatup dia meraba tanah tempat tubuhnya tergeletak. Tanah itu terasa lembab dan dingin, selembar daun yang jatuh di sana, ketika dirabanya terasa basah oleh embun.
Ginggi membuka matanya, namun gelap sekeliling. Kecuali sesudah matanya terbiasa dengan keadaan sekeliling. Ginggi menatap ke atas. Melalui sela-sela dedaunan, ada langit jernih dengan bintang-gemintang. Oh ya! Barangkali sebentar lagi akan ada bulan. Kalau tak salah menghitung, malam ini hari ke limabelas perjalanan bulan. Artinya, masih tersisa bulan benderang.
Setiap melihat bulan terang benderang, Ginggi jadi ingat kembali Ki Darma. Lelaki tua itu bukan saudara, apalagi orang tua. Tak nampak kasih sayangnya, kecuali selalu memerintahkannya untuk berlatih keras ilmu kedigjayaan. Tapi bila dibandingkan dengan
hari-hari terakhir ini, itulah hidup yang penuh bahagia. Kebahagiaan dirinya sebenarnya terasa ketika bersama Ki Darma. Bersama orang tua itu di puncak cakrabuana, sebenarnya tak pernah terjadi pertentangan hati atau kemelut batin. Tidak juga bertemu dengan segala macam percecokan. Kalaupun ada terjadi persilangan pendapat, itu semua hanya berupa persilangan pendapat kosong melompong semata. Sebab kendati sering memperkarakan masalah hidup, namun hidup yang sebenarnya terjadi adalah kehidupan mereka berdua dengan berbagai permasalahan berdua, Tak ada yang perlu dipercekcokan sebab hanya ditanggani berdua saja.
Sekarang, baru satu dua hari saja bertemu dengan manusia lain, kemelut dan percekcokan sudah terjadi. Pertemuan pertama dengan Ki Ogel dan Ki Banen diawali dengan kemelut kecil yang hampir-hampir menciptakan perkelahian. Melihat Ki Kuwu Suntara yang sombong dan jumawa, serta menyaksikan keangkuhan pemuda Seta dan Madi, membuat dirinya tak senang, padahal selama bersama Ki Darma , Ginggi tidak pernah menilai orang lain dengan ukuran senang dan tidak senang.
"Apakah tak sebaiknya aku kembali lagi ke puncak?" pikirnya. Tak mungkin, keluhnya lagi. Kalau aku kembali, hanya akan mengesalkan Ki Darma saja. Padahal hampir sepuluh tahun dia memerintahkan aku berlatih kedigjayaan, karena dia punya kehendak yang harus aku laksanakan sebaik mungkin.
"Ah, Ki Darma, mengapa kau paksa aku untuk melakukan perjalanan ini?" keluhnya sendirian.
Cinta di Cahaya Rembulan
Karena tanah dimana dia duduk terasa dingin dan lembab, pemuda itu segera berdiri. Entah apa yang akan diperbuatnya, tetapi perutnya dirasa perih sekali. Ginggi ingat, sejak pagi bahkan malam hari kemarin, dia belum makan apa pun. Huh, karena urusan ini aku sampai melupakan perutku, keluhnya dalam hati.
Ginggi mencoba menyeruak-nyeruak di hutan kecil di perbukitan kampung ini. Tapi hutan ini memang terlalu kecil. Sekali pun banyak rimbunan pohon dan semak, rupanya sudah tak ada binatang buruan di sana. Apalagi hutan kecil ini dekat kampung. Di mana pun, hutan yang sudah banyak disibak orang, jarang dihuni binatang buruan.
Tak mendapatkan apa yang dicarinya, Ginggi akhirnya kelayaban ke mana saja kaki membawa. Dan akhirnya tak sengaja kakinya membawa ke sebuah tempat di mana air pancuran terdengar keras menimpa batu.
Ginggi jadi terkenang lagi peristiwa dua hari lalu...... Di sinilah pertemuan pertama hati dua insan ini, barangkali pikir Ginggi. Ya, barangkali di sini. Sebab di sinilah Ginggi benar-benar meneliti keelokan gadis semampai berkulit kuning dan berambut tergerai sebatas pinggul ini.
Kalau saja malam ini dia berada di sini, keluhnya.
Ya, tapi ini lebih berupa keluhan ketimbang harapan. Amat mustahil meminta keajaiban seperti ini. Yang terjadi sebenarnya, barangkali gadis itu tengah tidur dengan damai, atau melamunkan rencana-rencana perjalanan hidupnya bila kelak sudah mengarungi perkawinan dengan pemuda Seta.
Hatinya kembali gundah bila mengingat hal-hal seperti ini. Dan untuk menjauhkan jalan pikiran itu, dia segera meninggalkan tempat itu, melangkah entah kemana. Sampai pada suatu saat, langkahnya terhenti sebab dari arah berlawanan sayup-sayup terdengar suara berkeresekan. Suaraini sepertinya ranting dan daun kering terinjak kaki. Pasti ada orang berjalan di depannya.
Ginggi berhenti melangkah, bahkan bersembunyi di balik rimbunan pohon. Karena bulan sudah menampakkan diri dari balik bukit sebelah timur, pemuda itu bisa dengan jelas melihatnya yang datang. Benar saja, yang datang adalah manusia. Dia nampaknya seorang lelaki, datang dari arah kampung. Tapi, apa yang tengah dibawa? Lelaki itu nampak memondong sesuatu. Memondong wanita? Ya, terlihat kain kebayanya. Juga terlihat rambutnya yang tergerai. Mau apa malam-malam keluar kampung berduaan. Pasti pasangan yang tidak syah akan berbuat mesum di tempat sunyi. Kalau mereka suami-istri tak mungkin berbuat seperti itu.
Tapi, perempuan yang digendongnya seperti tak berdaya. Tampak kepalanya terkulai, kedua tangannya pun tergantung. Perempuan di atas pondongan lelaki itu sedang tidur? Atau sedang tak sadar, pingsan?
Ginggi menjadi curiga. Kalau mereka datang dari kampung, bagaimana bisa, bukankah pintulawang kori (gerbang kampung) tertutup di malam hari?
Karena rasa curiga ini, Ginggi mengendap dan mengikuti ke mana orang misterius ini membawa pondongannya.
Tak sulit untuk mengikutinya, sebab cahaya bulan di atas punggung bukit cukup memberi penerangan. Dan dengan menggunakan ilmu yang diberikan Ki Darma, dia bisa berjalan berindap tanpa menimbulkan suara, persis seperti harimau mengintip mangsa. Namun Ginggi pun bisa menduga, orang yang dicurigainya ini sedikitnya memiliki kepandaian. Ini terlihat dari caranya berjalan. Kendati pun sambil memondong tubuh, langkahnya nampak ringan dan mantap. Dia pun sanggup meloncat dari tonjolan batu yang satu ke tonjolan batu yang lain tanpa risih akan terjatuh.
Pemuda itu jadi teringat kembali ucapan Ki Darma, bahwa harus hati-hati memasuki Desa Cae sebab banyak orang pandai. Kata gurunya, wilayah Kerajaan Talaga sejak dulu banyak dihuni orang-orang digjaya. Sebelum jatuh ke wilayah Cirebon, Kerajaan ini sering melakukan peperangan. Banyak orang dari Talaga pandai berkelahi.
Mungkin orang ini dari Kampung Cae dan pandai berkelahi. Tapi siapa dia? Yang ditemuinya baru Ki Ogel, Ki Banen, dua pemuda Seta dan Madi saja lelaki beringas di tempat itu. Tapi semuanya hanya memiliki ilmu pasaran saja.
Untuk meyakinkan siapa dia dan apa keperluannya membawa wanita pingsan ke dalam hutan, Ginggi terus mengikutinya. Ternyata lelaki itu membawa pondongannya ke sebuah mulut gua di punggung bukit bercadas. Gua ini bukan tempat rahasia. Letaknya tidak tersembunyi dan ada bekas-bekas batu cadas yang digali orang. Tapi tentu saja bila malam hari, tempat ini bisa digunakan untuk melakukan hal-hal yang dikerjakan secara diam-diam.
Ginggi bisa menduga, orang ini pergi malam-malam kesini karena akan melakukan sesuatu yang tak ingin orang lain tahu. Sekarang orang misterius itu sudah memasuki gua. Ginggi bertidak hati-hati untuk mendekatinya.
Di dalam gua pasti gelap gulita tapi di luar cahaya bulan menerangi alam sekitarnya. Ginggi harus bisa bersembunyi di tempat yang tak mungkin terlihat dari dalam.
Kebetulan di mulut gua banyak tonjolan batu cadas. Pemuda itu bisa menyelinap dan berlindung di sana. Orang yang sedang melakukan sesuatu, biasanya pikirannya terpusat pada sesuatu yang dikerjakannya saja, apalagi bila pekerjaannya itu ingin cepat-cepat diselesaikannya.
Dan Ginggi memanfaatkan perkiraannya itu. Orang yang ingin meyelesaikan sesuatu dengan terburu-buru, diharap tidak memperhatikan sekelilingnya.
Dan benar perkiraannya. Orang misterius itu hanya memperhatikan apa yang dia pondong saja. Wanita pingsan itu dia telentangkan di atas tanah sudut gua. Pelan-pelan diamelakukan sesuatu. Dan ini amat mengejutkan, sekaligus membuat darah pemuda itu mendidih menahan marah. Betapa tidak sebab orang misterius itu rupanya hendak berbuat tak senonoh terhadap wanita pingsan itu. Dia mencoba menarik-narik dan membuka kain yang membelit tuguh wanita itu. Menggerayangi segala macam yang ada di tubuh wanita itu. Dia juga menciumi sekujur tubuh terbaring itu. Kian lama ciumannya kian ganas dan panas, sampai pada suatu saat terdengaar keluhan pendek dari wanita tersebut.
Mungkin baru sadar apa yang terjadi pada dirinya, wanita yang masih telentang itu mendadak menjerit tapi mendadak berhenti karena mulutnya dibekap orang jahat itu. Sekarang seperti terjadi pergumulan di sana. Yang satu tertahan di bawah yang satu menyerang di atas.
Kalau saja kejadian itu dilakukan suka sama suka, Ginggi tak akan peduli dengan semuanya. Tapi ini nyata-nyata pemaksaan dan penganiayaan dan Ginggi tak senang dengan itu. Bahkan menurut Ki Darma pun, dengan kemampuan yang ada dia harus membela orang tertekan.
Wanita lemah itu jelas-jelas mendapat tekanan dari nafsu angkara murka.
Ingat ini, Ginggi harus mengambil keputusan. Dia keluar dari persembunyiannya, membuat kuda-kuda dan segera kakinya menotol tanah. Tubuh Ginggi melesat bagai loncatan harimau kumbang. Bedanya, harima kumbang meloncat dengan tubuh lurus cakar ke depan, pemuda ini melayang sambil jumpalitan, kedua tangan bersilang di depan wajah.
Tapi lelaki jahat itu benar-benar mempunyai naluri yang kuat. Gerakan jumpalitan yang dilakukan Ginggi terkontrol oleh indranya. Terbukti, ketika tubuh Ginggi melayang tepat di atasnya, wajah orang itu menoleh cepat.
Melihat bahaya mengancam, dia pun segera beringsut dan mencoba untuk berdiri. Namun upayanya ini sudah terlambat sebab serangan Ginggi jauh lebih cepat. Telapak tangan Ginggi yang dibuka lebar secepat kilat mendorong ke depan. Plak! Jidatsi culas terkena dorongan kuat telapak tangan. Begitu kuatnya dorongan tangan itu, sehingga kepala orang itu seperti terlontar ke belakang dan tubuhnya ikut melonjak membentur dinding gua.
Ginggi sementara masih jumpalitan untuk mencoba menahan terjangannya. Sebab kalau tak melakukan salto, tubuhnya sendiri akan ikut menerjang dinding. Jumpalitan beberapa kali dan ujung kakinya menotol dinding. Badannya kembali arah sebab kaki menotol dinding. Begitu jatuh di atas tanah, dengan sepasang kaki terpentang lebar, pemuda itu sudah melihat si culas terkulai di sudut gua.
Si wanita yang merasa nasibnya lolos dari kehinaan, segera berdiri namun dengan gerakan kaku sebab semua pakaiannya hampir tanggal. Untung saja suasana di dalam gua amat remang-remang sebab cahaya bulan tak bisa masuk ke sana.
"Mari keluar dari sini!" ajak Ginggi menggandeng bahu wanita itu.
Tapi mendengar suara Ginggi, sejenak wanita itu diam. Dia menoleh ke arah pemuda itu dan mencoba meneliti wajahnya.
"Kang … " gumamnya ragu-ragu.
Ginggi heran sebentar. Namun pada akhirnya dia terkejut setengah mati. Tergopoh-gopoh dia menggandeng bahu wanita itu, dibawanya keluar gua, dimana cahaya bulan sanggup menerangi keadaan.
"Nyi Santimi …?" teriak Ginggi kaget. Nyi Santimi pun kaget dan terkejut melihat pemuda ini. Kemudian tubuhnya limbung. Dan kalau Ginggi tak segera menangkapnya, tubuh semampai itu pasti sudah jatuh terjerembab ke tumpukan batu cadas.
Pemuda ini segera memondong tubuh Nyi Santimi. Dibawanya menjauhi mulut gua. Melalui jalan setapak, masuk lagi ke hutan kecil perbukitan.
Dia hanya memondong pelan saja, tidak berlari seperti si laknat itu.
Karena bulan terang benderang, Ginggi sambil melangkah bisa menatap wajah gadis itu yang mendongak dan bergoyang seperti mengangguk-angguk karena goncangan langkahnya.
Wajah Nyi Santimi nampak kelelahan, pucat dan berkeringat. Mungkin karena peristiwa hebat yang baru saja menimpanya, atau mungkin juga lelah karena peristiwa demi peristiwa mendera hidupnya belakangan ini. Namun yang jelas, raut muka gadis ini apa pun yang terjadi, masih nampak elok dan cantik. Sudah tak nampak pupur penutup wajah yang dipakainya tadi siang manakala dipinang orang. Juga pemerah bibirnya, dan tahi lalat palsunya di sudut dagu, semua sudah hilang. Yang sisa kini, hanyalah kecantikan alamiahnya. Tapi itulah kecantikan asli yang terdapat pada raut Nyi Santimi. Gadis itu sudah memiliki kecantikan asli yang lebih mempesona ketimbang segala macam polesan.
Dalam kelelahan wajahnya, Nyi Santimi seperti terbuai dalam tidurnya. Ingin Ginggi mengusap-usap pipi yang putih dan halus itu dengan penuh kasih. Ingin dia mencawil dagu yang runcing itu, bibir tipis yang merekah itu.
Ah, kalau saja dia bukan milik orang lain, keluhnya.
Harapan dan khayalan pemuda itu rupanya terlalu keras keluar dari lubuk hatinya, menyebabkan naluri gadis di pangkuannya ikut tersentuh. Buktinya, mata sayu berbulu lentik itu sedikit-sedikit terbuka, bahkan akhirnya menatap lemah ke arah wajah pemuda yang memangkunya. Lama gadis itu menatapnya, sehingga sambil melangkah pelan, keduanya saling tatap. Barangkali tak akan berhenti kalau saja kaki pemuda itu tidak tersandung akar-akaran.
"Kang, turunkan aku…" kata gadis itu sedikit malu. Ginggi segera menurunkan tubuh semampai itu dengan perasaan enggan, sebab keinginannya, bisa memondong tubuh molek itu selama-lamanya, sejauh-jauhnya sampai berakhir ke ujung dunia.
Nyi Santimi memilih jalan sendiri saja. Tapi baru satu dua langkah saja dia telah limbung lagi dan segera dipeluk pemuda itu lagi.
"Kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu," ajak Ginggi dan Nyi Santimi setuju.
Gadis itu digandengnya menuju sebuah pohon rindang. Mereka kemudian duduk di sana. Nyi Santimi bersandar di batang pohon dan Ginggi bersila di hadapannya.
"Ceritakanlah, mengapa sampai terjadi hal hebat seperti ini, Nyai…" kata Ginggi setelah beberapa lama beristirahat.
Nyai Santimi menunduk, menutup matanya dengan kedua belah tangannya. Diingatkan kembali akan peristiwa hebat itu, perasaanya mungkin tergoncang lagi.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana awal mulanya…" gumamnya hampir seperti berbisik.
Gagap dan terbata-bata, gadis itu hanya mengatakan, bahwa ketika itu, kendati malam belum larut benar tapi seisi rumah seperti diserang kantuk yang hebat. Rama Dongdo yang biasanya selalu tidur larut malam karena sepanjang senja hingga malam selalu membaca doa-doa, malam itu sudah tertidur pulas.
"Kepala rasanya pusing, mata terkatup rapat, susah untuk dibuka. Kami semua tertidur pulas," kata Nyi Santimi. "Aku akhirnya tak sadar apa yang terjadi selanjutnya," katanya lagi.
"Tapi antara sadar dan tidak, aku merasakan bahwa tubuhku ada yang memondong, melayang, entah dibawa kemana. Ada angin dingin menerpa wajah. Ujung kebaya pun seperti bergerak-gerak kena tiupan angin. Aku mencoba membuka mata yang selalu terkatup rapat.
Samar-samar terlihat pucuk pepohonan seperti berlari cepat, badan pun terguncang-guncang," kata pula Nyi Santimi.
"Kau pasti sedang dipondong orang. Mungkin si laknat itu. Siapa dia, Nyai?" kata Ginggi.
"Aku tidak tahu, siapa dia. Tapi sayup-sayup ada terdengar kekeh tawanya. Serasa pernah mendengar tawa begitu di sini," kata Nyi Santimi setengah mengingat-ingat.
"Ya, pasti dia orang sini. Sudah hafal suasana di sini dan dia orang pandai," gumam Ginggi. Saling berdiam beberapa lama.
Bulan kian benderang. "Kang …" "Apa, Nyai …?"
"Cantikkah wajahku?" kata Nyi Santimi menatap pemuda itu.
Bulan benderang menyinari wajah putih bersih itu, menyinari mata berbinar itu, mulut tipis merah merekah itu dan menyinari pipi berlesung pipit itu. Masih tak sadarkah gadis ini bahwa tubuh molek ramping berisi dan rambut hitam legam sebatas pinggul itu adalah tanda kecantikan seorang makhluk bernama perempuan?
"Kalau bulan berkata punya wajah benderang, tak boleh sombong sebab bakal ada yang mengalahkannya. Kalau bintang gemintang mengaku punya sinar berbinar, tak boleh menepuk dada, sebab ada yang berbinar lebih dari itu. Benderangnya bulan pasti kalah dengan benderangnya wajah putih halusmu, binarnya bintang pun tak sanggup melampaui cemerlangnya bola matamu," kata Ginggi mendadak lancar membuat siloka,
"Kau dewi dari kahyangan. Kau cantik, Nyai…" lanjutnya menatap tajam dalam-dalam. Tapi Ginggi kecewa, pujian setinggi langit tak disambut keceriaan wajah gadis itu. Dia malah nampak murung dan susah.
"Orang cantik sebetulnya malang, Kakang. Dia banyak penderitaan…" gumam gadis itu menunduk lesu.
Ginggi terkekeh merasa lucu mendengarnya. Nyi Santimi hanya menunduk dan tak menoleh mendengar Ginggi terkekeh.
"Keindahan itu didambakan setiap orang. Tapi mengapa kau katakan sebuah derita?" tanya Ginggi, tetap menatap wajah sendu itu.
"Katanya aku tercantik di desa ini. Orang menyebutnya Kembang Desa Cae. Tapi itulah masalahnya. Aku banyak dikejar dan diperebutkan lelaki di sini, tapi juga banyak dibenci dan diiri sesama gadis. Dan itu masalah untukku, Kakang."
"Wajar mereka berlaku begitu," gumam Ginggi.
"Orang terkadang berkelahi karena aku," kata gadis itu lagi dan membuat Ginggi tersipu. Dia jadi ingat peristiwa tempo hari di tepi pancuran itu. Pemuda Seta dan Madi uring-uringan bukan sekadar menudingnya mengintip orang mandi tetapi karena rasa cemburu itulah.
Mereka takut aku ikut persaingan, pikir Ginggi.
"Tapi begitu banyaknya lelaki yang memperebutkanmu, sebetulnya bukan urusanmu, sebab kau punya pilihan sendiri, bukan?" kata Ginggi. Dan pemuda iti ingat Seta. Ingin dia tanyakan, apakah gadis itu memilih pemuda angkuh itu?
"Aku tak pernah berpikir untuk mencari pilihan…" kata gadis itu. "Tapi, Setamu itu…?"
Nyi Santimi menunduk. Kemudian satu-persatu ada butiran air mata meleleh di pipinya. "Kau pasti marah melihat peristiwa tadi pagi. Kau juga marah aku tak menepati janji, padahal kita akan bertemu di tempat pertunjukan pantun," kata Nyi Santimi.
Ginggi mencoba untuk pura-pura tak memperhatikan dengan khusus omongan ini. Padahal sejak kemarin malam pertanyaan ini bergayut terus di benaknya.
"Aku tersiksa malam itu, kubayangkan, kau menungguku, kau lelah dan kau kesal karena akhirnya aku tak datang. Aku tak bisa keluar malam itu," kata Nyi Santimi.
Ginggi masih memandang ke arah lain.
"Rama Dongdo mengabarkan padaku, bahwa secara mendadak Ki Aspahar akan datang besok pagi."
"Siapa itu Ki Aspahar?"
"Dia ayah Seta. Datang meminangku buat kepentingan Seta. Pinangannya datang secara mendadak, sebab Rama Dongdo yang meminta. Rama khawatir setelah melihat kedatangan Suji Angkara. Suji Angkara adalah pemuda putra Ki Kuwu Suntara. Pemuda itu sering mengembara. Hanya tiga atau empat bulan sekali dia pulang ke desa sambil membawa kekayaan melimpah. Katanya dia berniaga, saling tukar-menukar barang dengan saudagar bangsa asing," kata Nyi Santimi.
"Apa hubungannya dengan urusan pinangan?" tanya Ginggi heran.
"Entahlah. Tapi Rama sebenarnya tak senang kepada pemuda itu. Hampir sama, Rama pun tak senang kepada ayahnya. Ki Kuwu pernah berkata kepada Ki Banen, bahwa Rama mencurigai sesuatu kepada pemuda itu. Soal apa, beliau tak mengungkapkannya," kata Nyi Santimi.
"Menurutmu, pemuda bernama Suji Angkara itu seperti apa?" tanya Ginggi. "Entahlah aku kurang bisa meneliti sikap orang. Di hadapan orang banyak, dia
memperlihatkan sebagai orang yang menjaga kehormatan. Halus tutur katanya, sopan kepada semua orang. Tapi dua kali aku pernah bertemu secara khusus dengannya. Sorot matanya tajam menggerayangi. Bibirnya selalu terkatup dan terkadang digigit-gigitnya sendiri bila tengah menatapku. Dia tampan sebab suka mengenakan baju bagus. Tapi aku takut terhadapnya. Entah mengapa, padahal dia tak pernah ganggu aku," kata gadis itu.
Berdiam diri beberapa lama. Bulan nampak berjalan melewati taburan awan. "Keteranganmu belum tuntas, Nyai…" kata Ginggi.
"Soal apa?"
"Soal bagaimana pandanganmu terhadap Seta, calon suamimu," kata Ginggi. Nyi Santimi menunduk.
"Aku belum ingin menikah dan aku tak mencintai pemuda itu!" katanya. "Tapi dia pasti sangat mencintaimu."
"Ya, benar. Dia selalu tak putus asa mengejarku. Ayahnya petani ladang cukup berada. Punya banyakjuru tengah (pegawai di ladang) dan selalu membantu Rama dalam menutupi kebutuhan pangan sehari-hari. Kata Rama sore itu, Ki Aspahar sudah lama membicarakan perihal keinginan anaknya itu. Kemarin sudah memintanya lagi sesudah melihat kehadiran Suji Angkara di desa ini," kata Nyi Santimi.
Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Kalau benar rencana perkawinan ini kurang dikehendaki gadis ini, maka benar pendapat Nyi Santimi bahwa kecantikan baginya adalah derita.
"Tapi kecantikanmu tak berarti derita bila kau sanggup menemukan pemuda pilihan, Nyai," kata Ginggi tiba-tiba sehingga membuat gadis itu terpana mendengarnya.
"Adakah kau cintai seseorang, Nyai?" tanya Ginggi.
Nyi Santimi hanya menunduk, menatap, kemudian menunduk lagi. Tapi setelah terdengar sedu-sedan yang ditahan, gadis itu tiba-tiba menubruk tubuh Ginggi dan membenamkan wajahnya ke dada pemuda itu. Ginggi mendekapnya, membelai rambutnya dan dia tak bisa menahan hasratnya lagi untuk mengecup kening gadis itu. Kini sedu-sedan semakin keras dan tak bisa dibendung. Gadis itu menangis sejadi-jadinya.
"Nyai … Nyai ..!"
Ginggi mendorong tubuh Nyi Santimi agar kembali bisa menatap gadis itu. Melalui cahaya bulan kentara sekali air mata Nyi Santimi meleleh-leleh turun dari pipinya, bening dan berkilat-kilat. Ginggi menyekanya perlahan-lahan. Namun ketika tangannya akan ditarik, Nyi Santimi tak mengizinkannya. Dia malah meremas erat tangan itu, menciuminya, mendekapnya, dan kembali menciuminya.
"Nyai, Nyai … jangan begitu, Nyai …!" Ginggi gagap dan sekujur tubuhnya menggigil. Di malam yang sebetulnya sudah dingin ini, tubuh pemuda itu bahkan berkeringat. Ada dorongan hawa panas di dalamnya. Di keremangan cahaya bulan, rambut gadis itu nampak tak beraturan, juga pakaiannya. Kain kebaya di bagian dada terkoyak-koyak lubang kancingnya, memperlihatkan bagian dada yang sebetulnya tak boleh diperlihatkan sembarangan. Namun kali ini, Nyi Santimi sepertinya tak peduli terhadap segalanya. Termasuk ketika Ginggi menatapnya dengan penuh gejolak. Dialah bahkan yang seolah-olah menggoda dan mempengaruhi agar darah pemuda itu menggelegak.
Dan akhirnya, pertahanan Ginggi bobol. Dia terbenam ke dalam buih-buih panas yang seharusnya tak pantas dia terjuni.
Bulan mendadak bersembunyi di balik awan tebal, seolah enggan menyaksikan adegan yang terjadi di bawah pohon rimbun itu. Namun keengganan sang rembulan ini, bahkan dianggapnya sebagai pendorong semangat kedua insan itu. Berpalingnya tatapan sang purnama dari muka bumi, disangkanya menawarkan keleluasaan bagi mereka berdua untuk melakukan sesuatu sebebas mungkin. Ginggi semakin terbenam, keduanya semakin tenggelam. Sepertinya tak ada kehidupan lain selain keasyik-masyukan yang tengah mereka lakukan.
Tapi, mata-hati pemuda itu tertutup, kesadarannya tak berjalan normal, hanya ketika gejolak darahnya mendidih saja. Ketika api dalam dada telah padam, ketika gerak denyut nadinya telah menurun, kembali pulanglah kesadarannya.
Pemuda itu tersentak kaget, berjingkat dan duduk agak menjauh. Cepat-cepat dibenahinya pakaiannya yang tadi semrawut dan sebagian terlepas begitu saja itu. Nyi Santimi yang terlena kecapaian, segera ikut bangun dan duduk membelakangi. Dengan terburu-buru, dia pun segeramembenahi seluruh pakaiannya. Dia tertunduk lama sekali sambil tetap duduk membelakangi.
Sinar bulan kembali menerangi bumi manakala gumpalan awan berlalu. Setelah suasana mulai diterangi bulan, perasaan Ginggi serasa baru bangun dari mimpi.
Oh, hai, mimpi burukkah ini? Ginggi tak memungkirinya, bahwa baru saja dia berlayar di lautan kesenangan lahiriah. Sebuah kesenangan yang baru dirasakannya selama dia menjadi seorang lelaki. Tapi, benarkah ini sebuah kebahagiaan?
"Nyai … Maafkan aku. Kurasa kelakuanku barusan amat keterlaluan," gumam pemuda itu perlahan. Melihat gadis itu duduk membelakangi tak bersuara sepatah kata pun, Ginggi menduga, Nyi Santimi tersinggung perasaannya.
"Nyai …"
Ginggi mencoba mendekati tubuh gadis itu. Dipegangnya bahunya. Ditepuk-tepuknya perlahan sekali, kalau-kalau gadis itu tak mendengarnya.
Nyi Santimi menoleh perlahan. Tangannya meraih tangan pemuda itu dan disuruhnya memeluknya dari belakang.
"Kang, telapak tanganmu kasar sekali. Kalau bukan pehuma, kau pasti peladang," kata Nyi Santimi dengan suara manja.
Ah, Nyi Santimi tak marah padaku, kata Ginggi dalam hatinya tapi sambil menarik tangannya dari cekalan gadis itu. Ginggi mengusap-usap telapak tangannya sendiri. Benar, ini kekeliruan Ki Darma, mengapa dia selalu memaksanya untuk melatih tangan. Mula-mulanya disuruh bertepuk tangan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Selama empat puluh hari empat puluh malam Ginggi menahan rasa sakit karena kulit telapak tangannya pecah-pecah.
Kemudian selama empat puluh hari empat puluh malam, kedua telapak tangannya itu dilatihnya memukul batang kayu, permukaan batu, dan permukaan cadas yang keras dan kasar. Dari latihan keras ini, Ginggi bisa memukul hancur benda-benda keras dan meluluhlantakkan palang pintu terbuat dari kayu jati. Waktu itu Ginggi merasaamat beruntung, sebab bila bekerja mencari kayu bakar di hutan, cukup mengerjakan sepasang tangannya saja tanpa memerlukan alat-alat tajam seperti golok ataupun kapak. Tapi, baru kali ini dia merasakan, betapa ruginya hasil latihan itu. Kedua telapak tangannya menjadi keras dan kasar dan tak disenangi wanita. Buktinya, tadi Nyi Santimi meringis dan mengeluh karena remasan tangan pemuda itu menyakitkan. "Tanganku kasar, juga kelakuanku, Nyai. Tidakkah kau membenciku?" tanya Ginggi masih meraba-raba tangannya sendiri.
Nyi Santimi tersenyum tipis, manis sekali. Dan untuk yang kesekian kalinya gadis itu meraih kedua tangan Ginggi, didekapnya dengan mesra.
"Aku orang jelek, kasar dan buruk, Nyai …"
"Kalau cinta sudah tergelar, tak ada jelek ataupun buruk yang terlihat, Kakang. Oh, ya, aku ingin menyebut namamu, siapakah engkau sebenarnya. Ah, kau lelaki tak sopan! Dua hari kita berkenalan, tak sekali pun kau sebut namamu!" kata Nyi Santimi dengan nada masih tetap manja.
Terkejut hati pemuda itu. Ini amat menyadarkan dirinya. Gadis ini belum kenal namanya karena dia pun tak berusaha memperkenalkan namanya. Tapi kendati gadis itu tak mengenal namanya, dia sudah berani menyerahkan segalanya terhadapnya. Dalam dua hari! Mengapa begitu berlaku murah?
"Nyai … namaku Ginggi. Ini pertama kali aku mengenalkan nama kepada seseorang, tapi sanggupkah kau mengenalku sesudah tahu namaku?" tanya pemuda itu.
"Ginggi … Nama yang indah. Nama yang gagah," puji Nyi Santimi seperti tak mendengar kata-kata selanjutnya dari pemuda itu.
"Ginggi bukan nama yang baik. Itu nama jin jahat yang menganggap nafsu angkara murka sebagai dewa," kata pemuda itu. Tapi Nyi Santimi malah tersenyum dengan deretan giginya yang putih dan rapih.
"Tidak percayakah aku orang jahat, Nyai?" tanya Ginggi. "Kau, orang baik, Kang …"
"Kalau orang baik tak mungkin merusak kehormatan wanita, apalagi yang sudah punya tunangan!" kata Ginggi lagi.
Kini giliran Nyi Santimi yang terkejut. Deretan giginya yang putih dan rapih mendadak menghilang bersamaan dengan hilangnya senyum manisnya. Kalau saja cahaya bulan datang lebih terang, barangkali Ginggi bisa menyaksikan betapa pucatnya wajah gadis itu.
"Kang …"
"Ya, aku orang jahat, Nyai! Sama jahatnya dengan lelaki yang akan memperkosamu. Atau, ya, aku pun sebetulnya memperkosamu! Sebab, apalah bedanya antara lelaki di gua itu denganku? Kedua-duanya sama berupaya mengganggu keutuhanmu. Dan terbukti, siapa sebenarnya yang membuat dirimu tidak utuh? Bukan lelaki di gua sana, tapi aku Nyai! Aku, Si Ginggi jahat ini!" teriak pemuda ini seperti setengah histeris.
"Kakang!" Nyi Santimi balas berteriak. "Jangan katakan itu lagi! Jangan! Kalau kau bicara begitu, sama saja dengan mencercaku. Bukankah aku juga sama denganmu, melakukan halhal yang mungkin dianggap salah?" kata Nyi Santimi lagi. Ginggi terpekur. "Ya, kita berdua salah …"
"Betul, kita berdua salah. Engkau bisa berusaha memperbaikinya, Kang?" Ginggi memandang tajam, kemudian menggelengkan kepala.
"Kita harus menikah!" kata Nyi Santimi tegas. "Menikah?" tanya Ginggi seperti kaget.
"Ya, apalagi kalau tidak menikah? Itu salah satu cara menghapus kesalahan kita!" kata gadis itu pasti.
"Lalu, dosa terhadap Seta bagaimana? Dosa berkhianat kepada para orangtua, bagaimana? Betapa hancurnya Rama Dongdo, betapa sakitnya hati Ki Aspahar. Bisakah kita bersihkan kesalahan kita terhadap mereka, Nyai?"
Nyi Santimi membisu seribu-basa, dan Ginggi memandangnya dengan senyum pahit.
Lama mereka saling membisu seperti ada kunci besi yang menggembok mulut-mulut mereka.
"Sudah hampir dini hari, Nyai! Kalau seisi rumah dalam keadaan tidur pulas sewaktu kau diculik, sebaiknya kau cepat-cepat pulang dan mudah-mudahan semuanya masih dalam keadaan terlelap. Aku inginkan, semua peristiwa malam ini tak ada orang yang tahu," kata Ginggi berdiri. Nyi Santimi masih tak mau berdiri. Tapi pemuda itu menariknya agar gadis itu ikut berdiri.
"Mari …" ajak Ginggi. Nyi Santimi masih tertegun. Tapi Ginggi tak membiarkan gadis itu berlama-lama di situ. Secepat kilat dia memangkunya dan dibawanya berlari.
Sepanjang perjalanan, Nyi Santimi memuntahkan air mata. Terasa tetesannya hangat ketika jatuh di dada pemuda itu. Ginggi tak sanggup memperkirakannya, tetesan air mata itu karena apa.
Tiba di depanlawang kori , pintu besar itu tertutup rapat sebab dikunci dari dalam. Ginggi merasa lebih yakin lagi, penculik Nyi Santimi orang pandai. Dia membawa gadis dalam pondongan tidak lewat pintu tapi lewat jalan lain. Mungkin dia memiliki ilmu loncat seperti yang pernah dia pelajari dari Ki Darma
Suasana sunyi senyap sebab semua penduduk ada dalam tidur nyenyak. Ini melegakan Ginggi. Dia tetap tak menginginkan peristiwa penculikan diketahui orang. Kalau ada orang tahu gadis itu menghilang kemudian kembali bersamanya bisa menghebohkan dan dia akan mengalami kesulitan. Padahal pengembaraan dirinya yang dikehendaki Ki Darma adalah menjauhi keributan yang tak perlu dan tak ada hubungannya dengan rencana serta tujuan dia turun gunung.
Ginggi tengadah meneliti bagian-bagian benteng kayu itu. Sesudah menemukan bagian atas benteng yang tak begitu tajam, dia segera mengambil ancang-ancang dan mengerahkaninti tenaganya. Hup! Tubuh Ginggi meloncat ringan seperti gerakan harimau kumbang loncat di dahan. Benteng setinggi lebih dua depa bisa dia loncati. Sejenak dia berdiri di ujung kayu. Melirik kesana-kemari. Sesudah yakin tak adatugur (ronda), dia segera loncat ke bawah tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Nyi Santimi ternganga kaget mengalami kejadian ini. Betulkah pemuda yang memondongnya pandai terbang? Dia tak menyaksikan dengan nyata, sebab ketika Ginggi bergerak, ada tiupan angin menerpa ubun-ubunnya dan dia memejamkan mata dengan rapat. Baru membukanya setelah dirinya berada di dalam benteng. Ginggi tak memberi kesempatan pada gadis itu untuk bertanya sebab dia segera berlari kembali sambil tetap memondong tubuh. Tiba di rumah gadis itu, dia berkeliling mencari jalan masuk. Pasti ada jalan masuk tanpa membangunkan orang seisi rumah. Dan jalan masuk itu ialah jalan yang digunakan penculik untuk membawa Nyi Santimi keluar. Benar saja ada sebuah jendela tanpa dikunci dari dalam. Daun jendela itu bekas dicongkel. Ginggi membawa masuk Nyi Santimi melalui lubang jendela itu.
"Ini kamar tidurku, Kang …" bisik gadis itu.
"Ya, kau cepatlah tidur. Dan simpanlah rahasia ini baik-baik," kata pemuda itu hendak kembali meloncat, tapi ditahan gadis itu.
"Ada apa?"
Ginggi tak melanjutkan kata-katanya sebab Nyi Santimi segera mendekap erat. Mereka berdua bergulingan di atas dipan dan peristiwa di hutan terulang kembali. Keduanya bergolak lagi, mendidih lagi. Sampai pada suatu saat kembali normal lagi sesudah segalanya terlampiaskan. Dan kembali Ginggi mengeluh lagi, menggumam dengan sumpah-serapah sebagai tanda kesal yang tiada akhir.
Akhirnya Ginggi meloncat secepat kucing yang menghindari gebukan. Dia pergi berlari dengan keluhan-keluhan yang hanya keluar dari lubang hidungnya.
Ginggi berlari, meloncati benteng kampung sepenuh tenaga. Berlari kemana saja. Dia kembali memasuki hutan bukit kecil. Menjatuhkan badannya di tanah lembab. Bergulingan dan menjambak-jambak rambutnya.
Gila aku, pikirnya. Dia merasakan, hanya berselang beberapa hari perpisahannya dengan Ki Darma, hidupnya jadi seperti tak terkendali. Kalau dia seekor kuda, mungkin inilah kuda binal, garang dan kasar. Kalau dia seekor tikus, mungkin inilah tikus licik tapi penakut.
"Penakut dan pengecut!" teriaknya sendirian. Dia pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab. Huh! Padahal berkali-kali Ki Darma mengatakan bahwa manusia itu hidup karena tanggung jawabnya.
"Kalau kau tak berani bertanggung jawab lebih baik mati!" kata Ki Darma. Mati? Kalau aku mati karena urusan wanita, bagaimana aku harus melakukan tanggung jawab untuk urusan yang lebih besar dan yang secuil pun belum aku laksanakan? Bukankah Ki Darma bilang aku harus bertanggung jawab membantu dan meringankan nasib rakyat bumi Pajajaran?
"Kau boleh mati dalam membela mereka!" kata Ki Darma. Tapi banggakah Ki Darma bila mendengar dia mati karena urusan wanita? Hati-hati dengan wanita! Hati-hati dengan wanita! Itu perkataan Ki Darma yang kerap kali diulang-ulangnya. Sekarang, ternyata dia tak berhati-hati terhadap makhluk lemah tapi membahayakan ini.
Ginggi berdiri.
"Tidak. Aku memang harus bertanggung jawab. Tapi aku minta jangan sekarang. Tunggulah setelah ada tanggung jawab besar yang sudah aku selesaikan, aku akan datang padamu," kata pemuda itu dalam hatinya.
Sekarang Ginggi melangkah lagi. Tujuannya mendatangi gua lagi. Dia akan mencari tahu siapa gerangan lelaki penculik Nyi Santimi itu. Si laknat itu yang jadi gara-garanya. Kalau saja dia tak menculik gadis itu, kalau saja dia tak berusaha memperkosa Nyi Santimi, tak mungkin dia bertemu lagi dengan gadis itu.
Ginggi meloncat-loncat menuju gua. Dalam sekejap sudah tiba di tempat itu. Pukulan telapak tangannya yang digunakan untuk menyerang lelaki misterius itu hanya dia keluarkan seperempat bagian saja. Orang itu tak akan mati. Kalau pun pingsan, itu karena badan orang itu membentur dinding gua dan bukan karena pukulannya.
Ginggi segera memasuki gua, celingukan kesana-kemari dengan harapan si laknat itu masih terbaring pingsan. Tetapi dia kecele sebab orang yang dimaksud sudah hilang entah kemana.
Orang itu pasti bertubuh kuat bila sudah berhasil pergi dengan cepat. Atau, apakah karena dia begitu lama terlena bersama Nyi Santimi di hutan sana? Plak! Ginggi menampar pipinya lagi. Masih kurang puas, dia segera menggetok ubun-ubunnya.
"Sialan! Brengsek!!!" kutuknya. Seba dari Wado
Bila Ginggi naik ke puncak pohon di bukit kecil itu, lawang kori Desa Cae akan terlihat samar-samar. Seperti pada suatu pagi di saat dia sedang mengumpulkan buah-buahan di hutan, pemuda itu pun bisa memandang ke arah kampung itu.
Sudah dua pagi dia memandang perkampungan wilayah Desa Cae dari puncak pohon itu. Dari atas pohon ini terlihat beberapa bangunan rumah. Ada rumah Ki Kuwu Suntara yang ukurannya paling besar, rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kokoh.
Beberapa di antaranya terdapat lagi rumah-rumah besar tapi ukuran dan kondisinya ada di bawah kondisi rumah Ki Kuwu. Dan salah satu di antaranya terdapat rumah Rama Dongdo. Rumah itu terletak di sudut jalan kampung. Kalau ada orang keluar dari halaman rumah itu, samar-samar akan terlihat di atas puncak pohon dimana Ginggi naik.
Tapi sudah dua pagi dia tak pernah melihat ada orang yang keluar dari rumah itu. Tidak pula Rama Dongdo. Kemana mereka? Ke mana Nyi Santimi? Tinggal di dalam rumahkah selama dua hari itu? Ingin pemuda itu pergi menengoknya, mengapa mereka tidak keluar rumah. Tapi bila dia memaksa pergi, hanya akan kembali terjun ke peristiwa-peristiwa yang tak mengenakan saja, peristiwa yang melibatkan aib dirinya. Ah, biarlah untuk beberapa lama aku tak akan menemui gadis itu. Mudah-mudahan bila aku tak bertemu dengannya, gadis itu pun akan segera melupakannya. Dan, melupakan kejadian, berarti merahasiakan aib! Ginggi tersenyum kecut berpikir seperti ini. Kata Ki Darma, sejahat-jahatnya binatang, dia melakukan tindakan karena tak mempergunakan pikirannya, bahkan bukan hasil dari kecerdikannya berpikir.
"Ada orang pura-pura berlaku baik untuk menutupi kejahatannya, sehingga orang lain terkelabui. Sedangkan binatang bertindak jujur. Apa yang menjadi nalurinya, itulah yang menjadi sifat dan tindakannya," kata Ki Darma tempo hari.
Jadi kalau Ginggi boleh menilai, binatang punya kejujuran dan manusia tidak, pikirnya ketika itu.
"Tidak begitu," kata Ki Darma. "Binatang memiliki kejujuran karena dia tak punya pilihan. Dia hanya bisa memperlihatkan sikap seperti apa yang diperintahkan nalurinya. Sedangkan manusi diberi kebebasan memilih. Dia punya kemampuan untuk bertindak jujur dan baik tapi juga dia punya kemampuan untuk melakukan hal sebaliknya. Tinggal manusia itu sendiri yang menentukan, mau dipakai dimana otak dan pikirannya itu. Yang jelas, manusia itu makhluk yang bisa berbahaya, sebab dengan memiliki kemampuan berpikirnya, semua makhluk termasuk sesamanya sendiri bisa mengalami kesulitan, sifat apa yang sebenarnya ada dalam dirinya. Kita mengenal harimau ganas karena melihat taringnya yang runcing tapi manusia berhati mulia tidak bisa dilihat dari keelokan wajahnya."
Ginggi hendak melorot turun dari pohon. Kesal sekali dia dengan jalan pikirannya itu. Semakin mengingat-ingat berbagai perkataan yang yang pernah dilontarkan Ki Darma, semakin terasa bahwa hidupnya selalu tidak klop dengan apa yang diuraikan orang tua itu. Entahlah, Ki Darma tak pernah bilang itu sebuah petuah. Dia tak memaksakan kehendak agar pemuda itu bercermin pada apa-apa yang pernah dikatakan. Tapi bila Ginggi mencoba memperbandingkan pengalamannya selama turun gunung, pendapat dan ucapan orang tua itu banyak melahirkan contoh dalam kehidupan nyata ini.
Pemuda itu tak jadi melorot turun, ketika pandangannya tertuju pada lawang kori. Ternyata sepagi itu di pintu masuk desa banyak orang berkerumun. Sedikit-sedikit ada terlihat barisan orang dengan bawaan masing-masing. Ada sekelompok orang memikul carangka wahad terbuat dari anyaman bambu. Sekelompok lagi terlihat orang memikuldongdang atau pikulan barang. Sesudah semuanya keluar pintu pemuda itu coba menghitung, ada sekitar limapuluh orang lebih rombongan pembawa barang dan terdapat lima orang berjalan di muka tanpa membawa barang apapun. Sepertinya mereka berlima merupakan pimpinan rombongan itu.
Ginggi tidak sejak tadi memperhatikan ini, sebab matanya selalu mengawasi rumah Nyi Santimi. Kalau tak terlihat orang lalu-lalang di halaman rumah itu, mungkin karena semua orang tengah menyaksikan rombongan yang baru saja meninggalkan lawang kori.
Rombongan apakah itu? Ginggi menghitung waktu dan dia baru teringat bahwa hari ini rombonganseba dari Desa Cae akan berangkat mengirimkan pajak tahunan itu.
Kalau tak ada peristiwa menyangkut Nyi Santimi, sebetulnya Ginggi ingin ikut rombongan itu. Rama Dongdo tempo hari menawarinya untuk bekerja membantu rombongan seba.
Pemuda itu amat tertarik. Bukan karena mengharapkan upah kerja mengusung dongdang, melainkan karena ingin mempergunakan rombongan itu sebagai pemandu di perjalanan. Sekali pun rombongan seba dari Desa Cae ini tidak akan melakukan perjalanan panjang, tapi barang-barang kiriman selanjutnya akan di bawa ke Pakuan, Ibukota Pajajaran. Pakuan mungkin pusat keramaian dan akan banyak orang menuju ke sana. Kalau Ginggi sudah ada di Pakuan, diharapkan akan banyak mendapatkan informasi perihal orang-orang yang akan ditemuinya.
Ki Darma pernah mengatakan, untuk menjalankan misi yang dibebankan kepadanya, Ginggi harus menemui empat orang murid Ki Darma lainnya yaitu Ki Bagus Seta, Ki Banaspati, Ki Rangga Wisesa dan Ki Rangga Guna.
Sampai saat ini Ginggi belum mengetahui, di mana mereka berada dan apa pekerjaannya. Ikut bersama rombongan seba yang menuju Pakuan, tentu akan melewati beberapa daerah.
Sepanjang perjalanan Ginggi bisa mencari-cari alamat mereka.
"Jadi bila begitu, aku harus ikut rombongan seba ini," kata Ginggi bicara sendiri.
Ginggi melorot turun dari batang pohon, tapi tak perlu terburu-buru mengejar rombongan itu. Dia hanya ingin membuntutinya dari belakang. Dia tak ingin bertemu dengan orang-orang kampung itu. Terlebih lagi, dia tak ingin bertemu dengan pemuda Seta, calon suami Nyi Santimi. Sekarang ada perasaan malu bila harus berhadapan muka dengan pemuda itu. Ini adalah pengalaman pertama, mesti merasa malu kepada seseorang. Beginilah rasanya orang bersalah, keluhnya dalam hati.
Ginggi berjalan memutar arah sebab tak mau melewati batas kampung. Tapi kendati begitu, dia tak khawatir akan kehilangan jejak. Rombongan itu pasti akan menuju barat.
Rombongan seba melakukan perjalanan hampir sehari penuh. Ketika matahari hampir condong ke barat, mereka tiba di sebuah kampung yang lawang korinya hampir tertutup. Untuk menghindari pertemuan dengan orang yang dikenal atau mengenalnya, Ginggi tak ikut memasuki kampung. Malah memilih mencari "penginapan" di sebuah pohon di tepi hutan saja. Cara tidurnya aneh, kepala di bawah dan kaki terkait ke dahan. Sebetulnya ini bukan tidur biasa, tapi pemuda itu melakukan tapa sungsang.
Ki Darma kerapkali mengajarkan cara tidur ini, pertama untuk melatih pernapasan, kedua berguna untuk melancarkan peredaran darah ke otak. Tapa sungsang juga melatih Ginggi untuk bisa terjaga dalam tidur dan tidur dalam terjaga. Dia bisa mengistirahatkan segala aktivitas tubuhnya juga jalan pikirannya, tapi tak "menidurkan" nalurinya. Sehingga bila dalam keadaan tidur tapa sungsang ada marabahaya mengancam, secara otomatis nalurinya akan "membangunkan" tubuh dan jalan pikirannya.
Tapi sampai matahari kembali bersinar dari ufuk timur, tak ada gangguan berarti kepada pemuda itu, selain dari gigitan nyamuk yang tidak dirasanya.
Pemuda itu bangun oleh kicauan burung di dahan pohon lain.
Ginggi segera meloncat turun agar tak menimbulkan kecurigaan orang yang akan berladang. Dia mencuci muka di sebuah sungai kecil yang airnya dan merapihkan ikat kepalanya.
Berjalan menuruni jalan setapak untuk menuju jalan pedati. Di tepi jalan itu Ginggi bersua dengan peladang yang hendak mulai bekerja. Pemuda itu bertanya tentang kampung yang ada di depannya. "Ini kampung Wado, termasuk Karatuan Sumedanglarang," jawab lelaki tua bercaping yang sepagi itu sudah berbekal parang dan alat-alat lainnya.
"Sebentar dulu, Aki," cegat Ginggi ketika orang tua itu hendak cepat-cepat berlalu.
Orang tua bercaping ini seperti segan berlama-lama bicara dengan Ginggi, kendati pada akhirnya mau juga meladeni beberapa pertanyaan pemuda itu.
"Kemarin sore ada rombongan seba yang masuk kampung ini. Barangkali Aki tahu, kapan mereka akan melanjutkan perjalanan lagi?" tanya Ginggi.
Orang tua itu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan ini. "Tak apa bila Aki tak mengetahuinya," kata Ginggi pendek.
"Memang aku tidak tahu kapan mereka berangkat sebab tadi malam kelihatannya ada sedikit perbedaan faham dengan Ki Kuwu," kata orang tua ini.
Kini giliran Ginggi yang mengerenyitkan dahi.
"Tahun-tahun silam, kampung ini memang suka mengumpulkan hasil bumi, dibawa ke Ciguling, yaitu Ibukota Sumedanglarang, dan kemudian Sumedanglarang mengirimkannya ke Pakuan sebagai seba tahunan. Namun setelah Nyai Ratu Inten Dewata sebagai Susuhunan di Sumedanglarang menikah dengan Kangjeng Pangeran Santri dari Cierbon, seba tahunan ke Pakuan dihentikan," kata orang tua itu.
"Aku hanya ingin tanya, kapan rombongan seba dari Desa Cae akan meninggalkan kampung ini, Aki!" kata Ginggi kesal, sebab uraian berpanjang-panjang dari peladang ini seperti tak ada kaitannya dengan kepentingan pemuda itu.
"Sebetulnya oleh Ki Kuwu sudah disuruh berangkat tadi malam juga, tapi Raden Suji Angkara tak mau meninggalkan kampung kami sebelum rombongan seba dari daerah ini ikut serta mengirimkannya," kata peladang ini seperti bosan berbincang terus dengan Ginggi.
"Jangan pergi dulu, Aki!"
"Ah, aku harus segera ke ladang. Kalau di sini terus, takut terlibat percekcokan. Tadi malam hampir-hampir terjadi perkelahiaan di antara mereka. Raden Suji memaksa kami mengirim seba, sedangkan Ki Kuwu tetap menolak," kata peladang itu, kemudian bergegas pergi kendati Ginggi masih penasaran menanyainya.
Tinggallah Ginggi termangu sendirian. Dia mencari tempat duduk di pinggiran jalan pedati, sambil menerka-nerka apa yang sebetulnya terjadi di dalam kampung itu.
Hatinya bertanya-tanya, mengapa orang-orang Desa Cae memaksakan kehendak. Bila menurut penuturan orang bercaping itu, penduduk kampung Wado jelas sudah tak akan mengirimkan seba ke Pakuan. Dan itu sudah menjadi keputusan rajanya sendiri, Nyai Ratu Inten Dewata. Orang-orang Cae yang sebetulnya termasuk wilayah Karatuan Talaga, tak seharusnya ikut campur urusan karatuan lain, pikir pemuda itu. Belum habis Ginggi bergelut dengan segala keheranannya, dari lawang kori yang nampak terlihat dari tempat di mana pemuda itu duduk, keluar satu rombongan besar.
Ginggi segera menepi dan bersembunyi di balik rimbunan pohon. Ketika rombongan melewati jalan itu, Ginggi meneliti, bahwa itu rombongan orang-orang Cae seluruhnya. Hanya bedanya, rombongan kini dilengkapi sebuah pedati yang sarat isi. Pedati ini pasti milik Kampung Wado, pikir pemuda itu. Dengan kata lain, orang-orang Wado akhirnya bersedia juga ikut mengirimkan seba, tidak atas nama karatuan, melainkan atas nama pribadi, seperti apa yang dilakukan Desa Cae. Hanya yang menjadi heran, mengapa dalam rombongan tidak seorang pun orang Wado yang ikut? Ya, selama dua hari tinggal di Desa Cae, Ginggi sudah hafal penduduknya. Barisan rombongan yang barusan dia teliti, semuanya memang orangorang Desa Cae. Empat orang melangkah di depan adalah Ki Banen, Ki Ogel, Seta dan Madi. Sedangkan paling depan sekali seseorang dengan pakaian hitam-hitam nampak mencongklang di atas kuda coklat. Siapa pemuda itu, Ginggi tak kenal. Wajahnya tampan keputih-putihan kulitnya. Mulutnya selalu senyum tersungging dan matanya tajam. Yang paling mencolok dari kesemuanya, pakaian hitamnya terbuat dari kain mahal. Mungkin beludru dengan hiasan ornamen di beberapa bagiannya. Kalau Ginggi sudah tahu, mungkin beginilahjenis pakaian kaum bangsawan. Celana hitamnya berupa jenis komprang, juga berhiaskan ornamen yang cahayanya kelap-kelip bila terkena sorotan sinar matahari. Di pinggang kirinya yang dibelit ikat pinggang kulit, terselip hulu gagang senjata, melengkung seperti kepala ular. Kaki pemuda itu dihiasi terumpah kulit.
Walau pun belum kenal siapa dia, tapi sedikitnya Ginggi sudah bisa menduga, mungkin inilah Raden Suji Angkara yang menurut Nyi Santimi merupakan putra Ki Kuwu Suntara.
Rombongan berlalu sudah dan menghilang di kelokan jalan. Yang tersisa adalah suara roda pedati yang ditarik kerbau itu terdengar menggilas jalan berbatu, ditambah suara gerakan orang memikul bawaan berat.
Ada satu pedati penuh barang seba yang dikirimkan orang Kampung Wado tanpa dikawal mereka sendiri. Mengapa mereka mempercayakannya kepada orang-orang Cae padahal menurut lelaki bercaping, malam tadi kedua belah fihak bertengkar dahulu? Ginggi harus menelitinya lebih jauh. Oleh sebab itu, sesudah rombongan orang-orang Desa Cae berlalu agak jauh, Ginggi segera bergerak menuju Kampung Wado.
Orang-orang nampak menatap dengan penuh curiga dan memperlihatkan sikap tak senang atas kehadirannya. Seorang pemuda dengan sikap beringas segera berkata lantang menantang.
"Mengapa kalian datang lagi kesini? Bukankah hasil bumi kami sudah kalian angkut habis?" katanya berteriak. Tapi baru saja dia berkata begitu, tangannya sudah ditarik oleh lelaki lain yang usianya jauh lebih dewasa.
"Sudahlah, kau jangan cari penyakit lagi. Kalau anak buah Raden Suji ini melaporkan kepada majikannya, kita pasti celaka," kata lelaki itu.
"Aku bukan anak buah orang itu. Tapi, ada kejadian apa sebenarnya dengan mereka?" tanya Ginggi semakin heran. "Engkau bukan anak buah Raden Suji? Habis, siapakah engkau dan dari mana asalmu? Kampung kami sedang tak aman hingga kami selalu mencurigai orang asing," kata lelaki yang lebih tua.
"Coba antarkan aku menghadap Ki Kuwu. Aku ingin mendapat penjelasan lebih rinci darinya," kata Ginggi.
"Jangan ganggu Ki Kuwu. Dia baru saja dipusingkan oleh ulah Raden Suji!" kata sang pemuda. Tapi Ginggi memaksa untuk menuju kediaman kepala desa kampung ini.
"Tangkap pengacau! Tangkap pengacau!" teriak pemuda itu sambil mengambil cangkul di sudut garduh tugur. Mendengar teriakan ini, beberapa pemuda datang membantu. Mereka langsung mengambil alat-alat tugur seperti tombak atau cagak.
Ginggi tak mau berurusan dengan orang-orang ini tapi juga tak ingin langkahnya diganggu. Maka begitu orang-orang menerjang, pemuda itu segera menggerak-gerakan kedua belah tangannya menangkis semua serangan. Terdengar jerit kesakitan di sana-sini dan beberapa senjata terlempar jauh manakala tangan pengeroyok bertumbukan dengan sepasang tangan Ginggi. Semuanya meringis memijit-mijit tulang tangannya, dan tak ada yang berani mendekat lagi.


INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 04 --oo0oo-- Jilid 06


Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-04

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 04


"Ya, karena matamu itulah. Di dapur malam itu mereka sedang makan singkong bakar ketika engkau datang bersama Ki Ogel dan Ki Banen. Lalu dia juga mengawasimu manakala matamu jelalatan menatapku ketika menyodorkan penganan. Eh, mengapa kau jalan sambil meram?" tanya Nyi Santimi heran.
"Takut mataku jelalatan lagi, Nyai. Nanti orang sekampungmu mengepungku!" kata Ginggi. Kakinya mencari-cari pijakan, persis orang buta.
Nyi Santimi tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan punggung tangannya. Mereka berjalan lagi, mengobrol sana-sini tapi masih seputar urusan tadi.
"Pantas saja kedua pemuda itu tadi semalam sangat angkuh padaku," gumam Ginggi teringat kembali peristiwa semalam di gardu.
"Nanti malam ada pertunjukan pantun, Kang!" kata Nyi Santimi sebelum tiba di rumah. "Pantun, apakah itu?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Seni bercerita dilantunkan dengan lagu merdu. Eh, darimana sih asalmu, kok tidak kenal kesenian pantun?" tanya Nyi Santimi heran.
Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Semua orang nanti malam akan keluar di saat bulan purnama. Di antaranya akan nonton pantun, sebagai selamatan panen telah terpetik," kata Nyi Santimi pula.
"Kalau begitu engkau pasti keluar rumah juga, ya?" Ginggi menatap gadis berbibir tipis itu dari sisinya.
Si gadis mengangguk.
"Pasti nonton pertunjukan pantun juga?"
Kembali Nyi Santimi mengangguk. Berseri wajah pemuda itu. Ada senyum tersungging di bibirnya.
Lantunan Ki Juru Pantun Benar seperti perkataan Nyi Santimi, malam ini di saat bulan benderang, penduduk desa keluar rumah. Para gadis dan jejaka, malam itu diberi waktu untuk bertemu. Bahkan anakanak kecil, diperbolehkan main di halaman.
Tapi, baik anak remaja mau pun anak kecil semua bermain bersama. Gadis-gadis remaja nampak saling olok dengan sesamanya, dan sesekali mengolok-olok serombongan pemuda yang datang bertandang. Terdengar jerit dan tawa di antara mereka yang saling berkejaran.
Ginggi senang sekali melihat keramaian malam ini. Ini barangkali pemandangan pertama baginya, melihat orang berseliweran di terang bulan, dengan perasaan riang gembira. Ginggi senang menyaksikan gadis yang elok-elok, digoda oleh para jejaka yang tampan-tampan.
Mereka berpakaian bersih dan rapi. Yang gadisnya berkebaya dan berkain warna hitam nila, begitu pun para jejakanya, berbajusalontreng, bercelanapokek dan berikat kepalalohen .
Beberapa di antaranya ada yang memakai ikat pinggang besar terbuat dari kulit. Tapi kaum jejaka hampir semuanya menggunakan kain sarungpoleng , apakah itu digunakan semacam selendang yang dikenakan di bahu, atau diikatkan di pinggang mereka.
Ginggi punya kesempatan menikmati keindahan malam ini. Ada obor terpancang, berjajar sepanjang jalan utama kampung dan berakhir di bale gede tempat orang berkumpul.
Tadi pagi, Rama Dongdo pun sudah mengizinkan dia untuk melihat keramaian ini.
"Asalkan kau sanggup menahan hati untuk tidak terlibat keributan seperti tadi pagi," kata Rama.
Ginggi hanya menunduk. Dia merasa tak perlu membeberkan kejadian tadi, sebab dianggapnya hanya akan mengeruhkan saja.
Rama Dongdo mengabarkan bahwa para tokoh di desa ini tak keberatan bila dia akan ikut bekerja di sini. Izin ini juga termasuk datang dari Ki Kuwu.
"Karena urusan perbedaan sikap dalam menentukan agama, sebetulnya dari desa ini banyak tenaga cakap pergi mengembara. Yang mencintai agama baru, mendekatkan diri ke pusat Kerajaan Talaga, atau bahkan ke Cirebon sana. Yang masih setia kepada agama lama, pergi ke wilayah barat, mendekati Pakuan. Kalau aku boleh bicara, sebetulnya yang tinggal di sini kebanyakan hanya yang punya sikap di tengah saja. Mereka adalah yang sanggup membiarkan agama lama hidup, namun juga tak berkeberatan adanya agama baru muncul. Bisa kau saksikan nanti malam, akan ada orang berdoa dengan gaya agama lama, tapi ada juga yang melakukan sembahyang dengan cara agama baru," kata Rama Dongdo.
"Kami bersyukur, di desa ini sekarang berkumpul orang-orang yang tidak mempertentangkan jenis keyakinan. Tapi juga kami sedih, bahwa banyak orang muda yang cakap meninggalkannya. Padahal menjelang acara besar seperti panen tahun ini, kami butuh tenaga banyak," kata Rama Dongdo lagi.
"Kalau pun aku bersedia membantu, sebetulnya aku tak memiliki kecakapan apa-apa. Tapi biar pun begitu, aku ingin tahu, pekerjaan macam apakah itu?" tanya Ginggi. Rama Dongdo menerangkan, bahwa Desa Cae ini kedudukannya terjepit. Di lain fihak, ibu negri Karatuan Talaga sudah masuk pengaruh Cirebon, artinya sudah melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan. Akan tetapi di lain fihak, masih ada kelompok berpengaruh di desa ini masih menyegani nama besar Pakuan dan berupaya mengirimseba atau upeti ke Pakuan.
"Kami sama-sama menahan diri untuk tidak pecah sesama tokoh. Jadi, akhirnya semua kebijaksanaan kami lakukan. Tiga hari yang akan datang ada rombonganseba berangkat dari Desa Cae ini. Kami butuh tenaga banyak untuk memikul barang-barang seba," kata Rama Dongdo.
"Bila hanya untuk memikul barang saja, aku sedia, Rama!" kata Ginggi. Tapi Rama Dongdo menghela nafas dalam.
"Ada sesuatu yang dirisaukan, Rama?" tanya pemuda itu. Rama Dongdo kian mengerutkan dahinya.
"Untuk mengangkut barang seba, sebetulnya kami tidak sekadar membutuhkan orang yang bertenaga kuat saja, tapi juga kami butuh orang yang sanggup melindungi keselamatan barang-barang itu sendiri," tuturnya.
Ginggi menatap tajam, belum mengerti apa yang dimaksud orang tua ini.
"Sudah aku katakan, hanya di kampung ini saja beda pendapat bisa diredam. Akan tetapi di luar kampung suasana lain lagi. Kelompok yang tak setuju kami mengakui Pakuan, selalu mengganggu perjalanan kami. Mereka mencegat, merampok, bahkan membunuh petugas yang berani melawan," keluh Rama Dongdo dengan sedih. Meneguk minuman di atas sebuahlumur (sejenis cangkir yang terbuat dari bumbung bambu)dan menghela nafas lagi.
"Dengan kata lain, mengirim seba ke Pakuan itu taruhannya bisa nyawa. Begitu, Rama?" tanya Ginggi. Rama Dongdo mengangguk
"Orang-orang dari negara agama barukah pelaku perampokan itu?" tanya Ginggi lagi. Rama Dongdo tidak mengiyakannya.
"Sulit untuk menebak bahkan menuduhnya. Kata petugas yang pernah mengalaminya, para penjahat itu bertampang kasar dan bengis. Tidak layak ditampilkan oleh orang yangmengaku memiliki agama sempurna. Kalau para perampok itu bukan dari kelompok agama baru, aku percaya, sebab dalam suasana permusuhan antara Pajajaran dan Cirebon, sebetulnya banyak kelompok memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Orang-orang dari agama baru mungkin saja tak setuju kami mengirimkanseba ke Pakuan. Namun ketidak setujuan mereka, dimanfaatkan oleh orang-orang yang memancing di air keruh. Mungkin saja yang mencegat dan merampok sebenarnya hanya bertindak atas dasar keserakahan saja. Mereka hanya penjahat biasa saja," tutur Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Setelah agak lama suasana membisu, Ginggi bertanya, "Rama, aku ini pengembara. Sedikitnya, ada beberapa berita yang sampai ke telingaku," katanya.
"Apa saja itu?" "Bahwa susuhunan di Pakuan sekarang sebetulnya sudah tak pantas dianggap panutan lagi. Dia sudah tak mampu mempertahankan kebesaran Pajajaran seperti para pendahulunya.
Bukan tak mampu menghadapi serangan musuh dari luar, sebab hingga saat ini, kendati jumlahnya terus berkurang, namun tembok benteng Pakuan masih dijaga perwira dan jagabaya yang pandai-pandai. Yang dirasakan ambarahayat Pajajaran sekarang, bahwa katanya para penguasa di Pakuan tak sanggup melawan musuh dari dalam hati sendiri, yaitu hawa nafsu. Betulkah itu, Rama?" tanya Ginggi panjang lebar.
Mendapat pertanyaan serupa ini, Rama Dongdo batuk-batuk kecil. Untuk beberapa lama..... dia tak sanggup menjawabnya. Namun pada akhirnya, biar pun pelan dan datar, dia berujar juga.
"Tidak salah apa yang kau katakan, Sang Prabu Ratu Sakti banyak melakukan hal-hal yang sebetulnya menyinggungpersaan rakyat," katanya menghela nafas panjang. "Kami saban tahun masih sanggup menghasilkan panen. Juga saban tahun masih bisa mengadakan pesta selamatan akan keberhasilan panen. Namun setiap tahun berlalu, tiap itu pula kebahagiaan kami berkurang. Hasil panen biar pun jumlahnya tetap sama, tapi tak menimbulkan kebahagiaan. Pesta selamatan yang dulu dilakukan berhari-hari, kini hanya dilakukan secara sederhana saja. Bukan tak ada yang mesti kami pestakan. Akan tetapi karena sebagian besar harus diabdikan untuk seba, maka kegiatan untuk selamatan bahkan untuk kekayaan berlebih kami, banyak berkurang," kata Rama Dongdo.
Ini adalah penjelasan yang kesekian kalinya yang diterima pemuda itu. Persis seperti apa kata Ki Darma tempo hari, bahwa rakyat Pajajaran sekarang dirundung malang karena ulah rajanya.
"Heran sekali, kalau ternyata Raja bersifat tak bijaksana, mengapa Rama memaksakan diri untuk tetap setia kepada Raja? Tidakkah Rama memilihbiluk (memihak) saja ke Talaga dan ke Cirebon sana?" tanya Ginggi.
Ada senyum pahit menghiasi mulut orang tua itu yang kumisnya sudah banyak dihiasi uban. Sekali lagi Rama Dongdo menghela nafasnya dalam-dalam.
"Mikukuh Dasa Perbaktiyang terdapat dalam agamaku mengatakan bahwa seseorang harus mentaati orang lain karena kedudukannya. Anak harus taat kepada ayah, istri taat kepada suami,kaula atau rakyat harus taat kepada penguasa, murid taat kepada guru, petani taat kepadawadha , wadha taat kepadamantri, mantri taat kepadanu nangganan , nu nangganan taat kepadamangkubumi , mangkubumi kepadaratu dan ratu taat kepadadewata , dewata taat kepadahyang sebagai penguasa tunggal di jagat raya ini. Semuanya harus dijalankan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegaraberjalan lancar. Dan aku sebagai kaula, sebagai rakyat, jelas harus mentaati kebijaksanaan Raja," kata Rama Dongdo.
"Akan tetapi, bila Raja tak sanggup menerima rasa taat kaulanya dengan kebijaksanaan agung, kehidupan tak akan berjalan dengan baik," potong Ginggi.
"Mungkin begitu. Tapi biarlah pengalaman jadi guru yang utama bagi semua orang, termasuk bagi raja itu sendiri. Bagaimana akibatnya bila raja tak melakukan tapa bagi negaranya. Kita sebagai rakyat, tak boleh keluar dari sendi-sendi aturan. Sebab begitulah, kalau semuanya ikut melenceng, maka semua kehidupan tak berguna. Lagipula, ada yang harus diingat rakyat, kalau pun dia mengabdi, bukanlah mengabdi karena raja, tapi karena negara. Aku sampai saat ini merasa sebagai anak bumi Pajajaran. Aku tetap mendambakan Pajajaran bisa hidup sampai akhir zaman. Mungkin aku melaksanakan seba sebagai titah raja. Tapi tujuanku yang sebenarnya adalah mempertahankan bumi Pajajaran," kata Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi puyeng sendiri menyimak jawaban atas hasil pertanyaannya itu. Bagaimana mungkin ada orang yang setia sampai mati bagi sebuah kerajaan yang dirajai oleh orang yang tak bijaksana. Bila begitu halnya, maka rakyat hanya akan jadi korban kesetiannya itu sendiri.
Gila, pikir Ginggi. Tapi, sebentar kemudian anak muda ini sudah merenung kembali. Bukankah hal-hal ini yang harus diperhatikannya, seperti apa yang diamanatkan oleh Ki Darma?
"Mengubah bumi Pajajaran, sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan sendirian. Tapi kau bantulah rakyat agar tak dibiarkan menderita. Lebih baik satu kali berjuang untuk rakyat daripada tidak sama sekali," ucapan Ki Darma terngiang lagi di telinganya. Tapi, bagaimana bentukperjuangan itu? Ikut menyukseskan pengiriman seba, ataukah perjuangan membela kesengsaraan rakyat?
Ginggi memijit-mijit kepalanya, pening rasanya.
"Kau sakit kepala anak muda? Pasti tadi malam kau kurang tidur karena ikut tugur. Tapi tugur akan jadi bagian dari hidupmu kalau kau betah di sini kelak. Kampung ini butuh tenaga muda untuk tugur, yaitu menjaga keamanan daerah dari gangguan orang jahat," kata Rama Dongo.
Ginggi berhenti memijit-mijit kepalanya karena dia tak mau dianggap orang yang sakit kepala.
"Aku tidak sakit, apalagi lelah, Rama. Bahkan kalau Rama mengizinkan, aku akan membantu apa saja di rumah ini. Mungkin aku bisa membelah kayu bakar, mengambil air dengan pikulan, atau pekerjaan apa saja yang berguna di rumah ini," kata Ginggi menawarkan jasa.
Rama Dongdo tersenyum mendengarnya.
"Aku dulu punya anak lelaki. Tapi karena kegemarannya mempelajari ilmu kedigjayaannya, dia tewas karena perkelahian. Tidak percuma, sebab dia mati dalam mempertahankan tugas mengirim seba," kata Rama Dongdo.
Ginggi hanya mengangguk-angguk tanpa berani meminta penjelasan lebih lanjut. Sebab kalau dia memaksa, hanya berarti menyuruh orang menceritakan kisah dukanya belaka.
"Kalau kau senang bekerja kasar, bekerjalah di dapur. Hari ini semua penduduk ramai memasak untuk persiapan pesta nanti malam," kata Rama Dongdo.
Ginggi amat bersemangat mendapat izin membantu di dapur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada pengharapan lain yang amat diharapkannya, ia pun segera bergegas menuju dapur.
Dan benar saja, di dapur dia segera saja mendapatkan apa yang diharapkannya.
"Nyai, sedang apakah engkau?" bisiknya kepada Nyi Santimi yang tengah sibuk bekerja. "Aku tengah membuat lemper untuk hidangan nanti malam, Kang, kata gadis itu tersenyum manis namun matanya tetap memperhatikan pekerjaannya.
Mereka berbincang-bincang akrab sekali. Dan mereka pun berjanji untuk bertemu malam nanti di tempat pertunjukan pantun.
Talung-talung keur Pajajaran Jaman aya keneh kuwerabakti Jaman guru bumi dipusti-pusti Jaman leuit tangtu eusina metu Euweuh anu tani mudu ngijon
Euweuh anu tani nandonkeun karang Euweuh anu tani paeh ku jengkel Euweuh anu tani modar ku lapar
( masih mending waktu Pajajaran ketika masih ada kuwerabakti ketika guru bumi dipuja-puja
ketika lumbung umum melimpah-ruah tiada petani perlu pengijon
tiada petani menggadai tanah tiada petani mati karena kesal tiada petani mati karena lapar )
"Mari pertunjukan pantun sudah dimulai!" "Siapakahprepantun (juru pantun) nya, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Baju Rambeng dari Pakuan!"
"Kasihan, ya. Juru pantun paling baik di Pakuan, harus pergi terlunta-lunta seperti itu. Disangkanya di tempat ini lebih tentram. Disangkanya di tempat ini Pajajaran masih mekar."
"Dia menjauhi Pakuan karena kemelut berkepanjangan. Tapi apa pun terjadi, ini keuntungan buat kita dan generasi seusai kita. Sebab biar pun jauh dari Pajajaran, anak cucu-kita masih bisa mendengar kemegahan istana rajaSri Bima Untarayana Madura Suradipati , atau keelokan TamansariMilakancana beserta permainya danauTalaga Rena Maha Wijaya . Dengarlah lantunan merdu Ki Juru Pantun, dia pasti membuka tabir riwayat emas yang bergelimang di Pajajaran."
Obrolan orang-orang di seputarnya sangat menarik perhatian Ginggi. Padahal, di tengah benderangnya cahaya purnama yang dipercantik cahaya obor dandamar sewu ( lampu seribu jajar), pemuda ini sebenarnya sedang menyeruak kesana-kemari mencari Nyi Santimi.
"Dia janjian mau menunggu di tempat pertunjukan pantun. Tapi, di mana dia tunggu aku?" pikir Ginggi.
Ginggi menyeruak-nyeruak sampai ke bagian penonton paling depan, tapi yang dicarinya tak ada. Yang dia saksikan hanyalah kerumunan orang-orang di sini.
Yang namanya pertunjukan, Ginggi baru menonton pertama kali ini. Begitupun bentuk kesenian pantun,baru kali ini dia kenali.
Ternyata pantun hanyalah pertunjukan maha sederhana. Tak ada penari, tak ada pemain lain, kecuali seorang lelaki butasendirian dengan alat musik bernama kecapi di haribaannya. Kalau pun orang-orang berkerumun di dekatnya, itu lebih tepat disebut mendengarkan ketimbang menonton. Semua yang hadir menyimak sebuah cerita yang dilantunkan dengan nyanyian amat merdu dari mulut lelaki buta itu.
"Ada dahulu ada sekarang tak ada dahulu tak ada sekarang ada masa silam ada masa kini tak ada masa silam tak akan ada masa kini ada tonggak ada batang
tak ada tonggak tidak akan ada batang bila ada tunggul tentu ada catangnya"
Ki Baju Rambeng dengan lantunan merdu melontarkan ingatan semua orang ke masa silam, masa di mana bumi Pajajaran terang benderang dengan segala cahaya keemasan dan kecermelangannya. Dia puji-puji Kangjeng Prabu Wangi yang gugur di tanah Bubat karena membela harkat dan derajat bumi Sunda. Dengan kedigjayaan dan keberanian, Sang Prabu relakan darah dan nyawa membasahi bumi.
"Apalah gunanya darah setitik apalah gunanya nafas sejentik tapi amat berguna darah setitik bila dipakai membela hati dan harga diri dan harga diri ….. Oh, hai, dan harga diri … Ki Baju Rambeng terus mengaduk-ngaduk kenangan orang terhadap masa-masa yang telah lalu. Dan seluruhnya membicarakan tentang bumi Pajajaran. Dia kabarkan kebijaksanaan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja perihal kehadiran agama baru. Denting-denting kecapi dengan luwes dan merdu mengiringi lantunannya :
"Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agamaanu dicaram soteh nyaeta :
palah-pilih teu puguh milih mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui
"Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama :
ari tetela mah eta agama lain pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara lain pi’eun macikeuh anu barodo lain pi’eun numpuk kabeungharan lain pi’eun kasenangan sorangan" (Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama yang dilarang hanyalah:
sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan … memilih lagi Raja Pajajaran tak melarang Rakyat memilih agama
Bila jelas itu agama Yang bukan untuk mengganggu Kesejahteraan negri Bukan untuk mengakali orang bodoh Bukan untuk menumpuk kekayaan Bukan untuk kesenangan pribadi)
"Tapi karena ambisi dan keserakahan, maka pertentangan dan perselisihan tak bisa dihindarkan. Perang, perang danperang! Dimana-mana terjadi perang! Sang Prabu Surawisesa pengganti ayahanda, limabelas kali bertempur, bertempur dan bertempur!" kata lantunan Ki Baju Rambeng dengan volume dan tekanan suara berganti-ganti membuat yang mendengarkan terpana dan berdebar.
"Siapa yang unggul, Ki?" Ginggi nyeletuk dari sudut samping, sehingga memutuskan rasa keterpanaan pendengar.
"Tak ada yang unggul dan tak ada yang kalah. Kalau pun boleh disebut, maka dua-duanya ada dalam kemenangan!" kata Ki Baju Rambeng.
Dan Ki Juru Pantun yang buta ini kembali melantunkan suara merdunya: "Nu heubeul unggul lantaran kasatiaan nu anyar unggul lantaran kasampurnaan !" (Yang lama unggul karena kesetiaan yang baru unggul karena kesempurnaan!)
Ki Baju Rambeng terus melantunkan masa lalu tentang Pajajaran yang tetap besar. Kalau pun kebesarannya terganggu, ini karena adanya kemunafikan dan ketidakjujuran. Berkali-kali mendapatkan serangan musuh, benteng baru bisa terkuak sesudah ada penghianatan dari dalam.
"Siapa berkhianat itu yang jahat !
seribu perwira siap mati seribu perwira hampir mati mati karena pengkhianatan mati karena pengkhianatan Oh, hai ! Pengkhianat Dialah Ki Darma Tunggara !
Dialah Ki Darma Tunggara !"
Ginggi tersentak di tengah-tengah keasyikannya menyimak lantunan Ki Baju Rambeng ini. Prepantun ini ada menyebut-nyebut nama Ki Darma walau pun masih dilanjutkan dengan nama Tunggara, Ki Darma Tunggara. Apakah yang disebut Ki Juru Pantun itu Ki Darma, orang tua yang hampir sepuluh tahun hidup bersama di puncak Gunung Cakrabuana?
Atauhanya kebetulan saja ada kemiripan nama? Pemuda itu tak melanjutkan perkiraannya sebab Ki Baju Rambeng terus melantun.
Oh, hai Ki Darma Tunggara engkau perwira sakti engkau perwira berani sayang keberanianmu dipakai melawan ratu oh, hai, melawan ratu !
Itulah hukuman bagi yang meragu ke sana tak mau ke sini tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua Oh, hai ! Musuh semua !
Ki Juru Pantun terus melantunkan cerita hingga larut malam, hingga bulan pudar condong ke barat. Anak-anak sudah dari tadi tergeletak tidur di lantai kayu. Para remaja baik lelaki maupun perempuan, entah pergi ke mana. Yang sisa, tinggallah para orang yang sudah lanjut usia. Mereka masih setia menyimak masa lalu kendati sambil terkantuk-kantuk dan tubuh membungkuk karena sudah tak mampu bersila dengan benar.
Sampai kokok ayam bersahutan, sampai pulalah saat akhir lantunan Ki Juru Pantun. Hanya belasan orang yang tersisa. Terhuyung-huyung meninggalkan bale gede karena kantuk yang kental.
Tangisan Nyi Santimi Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara lantunan lain. Seperti bersajak atau berdoa tapi dengan bahasa yang tidak dimengerti Ginggi.
"Suara lantunan apakah itu?" tanya Ginggi entah kepada siapa sebab hampir semua orang telah pergi.
"Itulah pembacaan ayat suci dari orang yang sudah memiliki agama baru," Ki Baju Rambeng yang menjawabnya, sambil berbenah dan bersiap hendak turun dari bangunan panggung bale gede.
"Menjelang fajar menyingsing, pemeluk agama baru akan bersembahyang menghadap ke barat. Sehari semalam mereka melakukannya sebanyak lima kali," kata Ki Baju Rambeng lagi, mengangkat badan setengah terhuyung karena beban kecapi di tangan kanannya. Dia sendirian saja dan cukup hafal menuruni tangga kayu. Lantas berjalan tertatih-tatih, tak ada orang yang mengacuhkannya lagi.
Ginggi melangkah di sampingnya.
"Aku ingin lebih jelas lagi menyimak apa yang kau lantunkan tadi itu, Aki!" kata Ginggi.
"Apa yang Aki lantunkan tadi itulah keseluruhan pengetahuanku, anak muda…" kata Ki Baju Rambeng dengan desah nafas berat. Mungkin dia kecapaian, mungkin juga kedinginan karena udara subuh.
"Tak adakah pengetahuan berlebih, misalnya tentang perwira sakti Pajajaran bernama Ki Darma Tunggara itu, Ki?" tanya pemuda itu lagi penasaran.
"Menurut sahibul hikayat, dia adalah perwira kerajaan dari seribu perwira yang mengabdikan dirinya untuk keselamatan Raja."
"Terus, jelaskan…" desak Ginggi sambil mengikuti langkah Ki Baju Rambeng.
"Seribu perwira yang bertugas bela-mati Raja, sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Sunda ratusan tahun silam. Kedudukan Raja dikawal seribu perwira yang bela-mati. Pada zamannya Prabu Wangi, banyak perwira ikut ke Bubat dan tewas bersama Raja di sana. Namun jumlah seribu selalu kembali utuh sebab segera tergantikan yang baru. Begitu sampai sekarang," kata Ki Baju Rambeng.
"Perwira sakti bernama Ki Darma Tunggara, kira-kira hidup di zaman mana?" tanya Ginggi lagi. Lama Ki Baju Rambeng tak memberikan jawaban. Ketika pemuda itu kembali bertanya, juru pantun itu hanya menggelengkan kepala.
"Hampir semua juru pantun yang ada di Pajajaran selalu mengatakan bahwa pantun yang dilantunkannya asli, menggambarkan hal-hal yang pernah terjadi. Aku sendiri akan bicara begitu, sebab begitu yang dikatakan guruku. Aku bisa menggambarkan keperwiraan sekaligus pengkhianatan Ki Darma Tunggara, tetapi tak bisa melukiskan, di masa mana perwira sakti itu hidup. Apakah Ki Darma Tunggara nama sebenarnya atau hanya sebuah julukan, aku tidak tahu. Barangkali juga begitu pengetahuan semua juru pantun," kata pula Ki Baju Rambeng.
Ginggi menghela nafas kecewa. Bila begitu, bisa saja kejadian mengenai perwira bernama Ki Darma Tunggara hanya dongeng belaka. Kecewa? Mengapa harus kecewa? Kalau ternyata peristiwa itu benar dan melibatkan Ki Darma yang dia kenal, mau apa?
Akhirnya pemuda itu membiarkan Ki Baju Rambeng pergi. Tertatih-tatih menjinjing kecapi memburu fajar yang tengah menyingsing.
Ginggi juga melangkah pergi. Dia melewati sebuah rumah gedek yang penghuni di dalamnya masih melantunkan ayat suci agama baru seperti apa kata Ki Juru Pantun.
Melangkah lagi beberapa ratus tindak, ada terlihat sebuah rumah dengan pekarangan agak luas dan di sudutnya terdapat sebuah pura dengan dupa mengelun lemah.
Namun apa pun yang terjadi, sebetulnya ada kedamaian di sini. Paling tidak di saat pagi hari begini. Ginggi berpikir, sebenarnya percekcokan hanya terjadi pada orang-orang yang mempertahankan kebenaran dirinya secara fanatik. Orang-orang yang berpikiran sederhana cenderung membatasi keinginan-keinginan yang keras, termasuk mengukuhi kebenaran yang diakuinya.
Sekarang Ginggi berjalan gontai menuju rumah Rama Dongdo. Dia baru ingat lagi sekarang, bahwa tadi malam sebenarnya mengikat janji dengan Nyi Santimi untuk sama-sama nonton pantun.
"Kita saling menunggu di depan bale gede," kata Nyi Santimi kemarin siang. Tapi mengapa gadis itu tak diketemukannya tadi malam? Tidak jadi pergikah dia? Ginggi kurang teliti mencari karena lebih terpukau menyimak pertunjukan itu sendiri.
Ada yang perlu ditanyakan kepada gadis itu. Tapi karena kantuknya menyerang demikian hebat, Ginggi hanya meloso di sudut beranda rumah dan akhirnya tertidur pulas.

* * *


Ginggi tersentak bangun ketika seseorang menepuk-nepuk pundaknya. "Bangun, hai, bangunlah!" Ginggi gelagapan karena kepalanya terasa berat dan pening. Kedua matanya terasa kesat dan pedih. Susah sekali dia membuka kelopak matanya.
"Ada apakah?" tanyanya mencoba memandang kepada yang barusan membangunkannya.
"Bangunlah. Hari sudah siang. Lagi pula tak baik menjelang kedatangan tamu penting kau malah tidur di sini, " kata orang itu. Yang berbicara adalah seorang lelaki, entah siapa.
Ginggi melihat cuaca. Hari sebetulnya masih pagi kendati matahari sudah memancarkan sinarnya. Dia baru sadar, sepulang nonton pantun, dia tertidur kelelahan di beranda rumah Rama Dongdo. Tapi melihat hari masih pagi, bisa diperkirakan, dia tidur di sana belum lama benar, kalau tak disebutkan baru sebentar.
Tapi, sepagi ini rumah Rama Dongdo akan kedatangan tamu, dari manakah? "Tamu apa Mamang, sepagi ini sudah bertandang ke sini?" tanya Ginggi.
"Tamu penting. Tidak tahukah kalau pagi ini akan ada rombongan keluarga Seta?’ "Rombongan keluarga Seta?’
"Betul anak muda. Hari ini secara resmi mereka akan meminang Nyi Santimi!"
Kalau ada petir di siang bolong, mungkin beginilah kedengarannya, paling tidak oleh Ginggi. Nyi Santimi akandilamar Seta? Tak mimpikah aku ? Atau, tidak kelirukah orang ini bicara?
"Maksud Mamang, Nyi Santimi akan menikah dengan Seta, pemuda tampan yang mulutnya selalu mencibir seperti sinis tapi kemarin bengkak dan dower dipukul temannya itu…"
"Sssst!!!"
"… dan yang jidatnya menyendol karena pukulan kayu pikulan di dekat pancuran sana itu, Mamang?" Ginggi masih nyerocos kendati dia sudah diberi isyarat untuk tidak bicara jelek seperti itu.
"Kau marah-marah tak keruan, ada apakah sebenarnya?" tanya orang itu heran.
Pertanyaan ini terasa sebagai teguran. Dan pemuda itu akhirnya menunduk malu. Dia sadar, tak seharusnya uring-uringan mendengar berita ini. Apa hak dia mencela peristiwa ini?
Kalau pun punya, dia hanyalah berhak untuk merasa heran. Memang, siapa tidak heran. Kemarin pagi Nyi Santimi masih mengatakan kepadanya, bahwa dia sebal terhadap pemuda itu karena sering menggodanya. Pemuda itu pun katanya angkuh dan sombong, hanya karena ayahnya seorang juragan ladang yang luas tanahnya. Tapi, aneh sekali, mengapa hari ini ada upacara pinang-meminang?
Heran, bukankah kemarin siang sudah ada janji dengannya untuk sama-sama nonton pertunjukan pantun? Mengapa secara diam-diam gadis itu membatalkan rencananya? Semua pertanyaan yang ada dalam benaknya ini hanya menimbulkan kebingungan belaka. Dan Ginggi mengeluhpendek dibuatnya. Dia hanya bisa duduk termenung. Sikut di atas lutut dan tangan memijit-mijit jidat. Begitu yang dilakukannya sambil bersandar di tiang rumah yang ada di sisi beranda. Sesekali dia menoleh ke pintu ruangan tengah. Tapi pintu sejak tadi tertutup rapat. Kata orang itu, di dalam rumah orang tengah sibuk berbenah, termasuk memolek-molekkan Nyi Santimi agar hari itu kelihatan lebih manis dan lebih cantik dari biasanya.
Lelaki setengah baya yang merupakan satu-satunya yang ada di ruangan depan ini, sebentar pergi ke bagian samping rumah. Sebentar kemudian sudah membawa sapu ijuk, dua batang, satu diberikannya kepada Ginggi. "Kau tolong bantu aku menyapu. Halaman ini nampaknya belum bersih benar," katanya. Langsung menyapu lantai tepas. Sambil pikiran melayang entah kemana, Ginggi ikut menyapu lantai tepas.
Namun baru satu dua kali dia menggoyangkan sapu, pintu ruangan dibuka orang. Ginggi berhenti menyapu dan cepat menoleh ke arah sana. Tapi yang keluar bukan Nyi Santimi, melainkan Rama Dongdo. Dia berpakaian rapih. Baju kampret putih, ikat kepala batik jenispupunjungan , serta ke bawah kainpolekat . Melihat Ginggi tengah menyapu, orang tua itu berseri wajahnya.
"Wah, syukur sekali anak muda. Aku mencari kau, lantaran butuh tenagamu bantu-bantu di dapur. Hari ini ada kebahagiaan mendadak. Cucuku sudah menemukan jalan hidupnya. Dia dipinang orang," kata Rama Dongdo ceria.
Ginggi hanya mengangguk dan tersenyum. Terus menyapu kendati gerakannya tak beraturan.
"Memang serba mendadak. Tadi malam keluarga anak muda itu datang meminang. Pagi ini rencananya akan meresmikan pinangan itu," kata pula Rama Dongdo.
Ginggi tak menyambutnya dengan kata-kata.
Sampai pada suatu saat, ada orang yang menyuruhnya agar dia ikut bantu di dapur sebab banyak kayu bakar yang belum dibelah.
Celaka aku, pikirnya. Dia terperangkap oleh kesanggupannya sendiri, sebab kemarin pagi dengan bersemangat Ginggi menawarkan jasa untuk bantu-bantu di rumah ini.
Ya, dia mau bekerja di rumah ini tapi bukan untuk melihat Nyi santimi dilamar orang, apalagi dilamar oleh pemuda yang pernah berkelahi dengannya.
Ah, betapa anak itu membusungkan dada dengan congkaknya karena kemenangan ini!
Tapi Ginggi akhirnya pergi juga ke dapur. Jalannya memutar ke samping. Bukan untuk mengharapkan pekerjaan kasar itu, tapi untuk menunggu kalau-kalau dia bertemu muka dengan gadis itu.
Sialan anak perempuan bau kencur itu! Aku akan memarahinya, gertak Ginggi dalam hatinya. Dasar perempuan kecil! Seenaknya saja melanggar janji!
Umpatan di hatinya terus berlanjut sampai dia tiba di ruangan belakang. Tapi sayang, Nyi Santimi tak ada disana. Ya, mana mungkin berada di dapur, sebab pagi ini dia tengah didandani juru rias. Pasti dia elok, pasti dia cantik! Tapi, untuk siapa kecantikannya itu? Bah, bukan untuk diriku!
Prak, prak, prak! Ginggi melampiaskan kekesalan hatinya dengan membelah kayu-kayu bakar cepat sekali. Kayu bakar ukuran besar-besar dalam sekejap sudah menjadi potongan-potongan kecil beraturan, amat mengherankan orang-orang di dapur sebab secepat itu dia bekerja.
Sudah itu Ginggi duduk di sudut dapur dengan nafas pendek-pendek. Bukan kecapaian karena membelah kayu, melainkan karena hati yang gundah itulah.
Sampai pada suatu saat, rombongan tamu yang ditunggu tiba sudah. Jumlahnya terbatas saja. Ada sepasang lelaki dan perempuan usia sekitar lima puluhan, gagah berwibawa. Yang lelaki berkumis tipis berjenggot tipis. Penutup kepalanya dari bendo citak batik rereng. Memakai baju salontreng putih berkain poleng hitam dengan ikat pinggang tebal dari kulit. Yang wanita berkebaya ungu tua, berkain batik dan berselendang putih. Sudah tua namun nampak cantik karena berkulit kuning halus. Yang membuat hati Ginggi terasa terbakar adalah pemuda tampan dengan sunggingan bibir angkuh itulah. Ya, siapa lagi kalau bukan Si Seta! Dia memakai baju kampret berkancing. Hari ini dia pun menggunakan bendo citak. Memang tampan, kalau saja tak ada jendol di jidatnya. Madi sahabatnya, dengan gigi tonghornya mengawal Si Tampan angkuh itu sampai ke muka beranda. Mereka disambut ceria oleh Rama Dongdo, yang hari itu ditemani seorang wanita tua entah siapa.
Kata Rama Dongdo dalam sambutannya, ini suatu upacara yang amat sederhana sebab semuanya dilakukan denganamat mendadak.
"Jadi, bila kami sebagai tuan rumah kurang hangat dalam sambutan, harap maklum," katanya.
"Kamilah yang bersalah, melakukan sesuatu serba terburu-buru," jawab lelaki setengah baya berkumis tipis sambil bersila tegak. "Namun yang penting dalam kesemuanya ini, bukan kemeriahan yang diharap, melainkan keselamatanlah," katanya lagi.
Mereka berbasa-basi secara panjang lebar, sampai pada suatu saat, Rama Dongdo memanggil Nyi Santimi keluar dari kamarnya.
Semua orang ikut mendekati ruangan tengah, tidak terkecuali petugas-petugas yang di dapur. Ginggi juga ikut hadir di ruangan tengah.
Semua mata tak berkedip melihat sebuah tubuh kecil semampai keluar dari sebuah kamar. Nyi Santimi pagi itu nampak anggun. Dengan rambut tergelung rapi, kulit halus terpoles bedak, betapa cantiknya dia. Lesung pipitnya yang alamiah dan menawan, kian memikat penglihatan siapa pun sesudah diperindah dengan hiasan tahi lalat palsu pada ujung dagunya. Hanya saja tubuh semampai berkebaya nila dengan sedikit hiasan di dada kiri itu amat mengherankan semua orang. Mengapa wajah manis tiada tanding itu nampak muram dan tak bercahaya?
"Inilah cucuku yang bodoh dan tak punya kepandaian apapun itu,Ki Silah (saudara). Kalau kalian hendak mengejeknya, ejeklah sekarang juga. Kalau kalian hendak menampiknya, tampiklah sekarang juga," kata RamaDongdo berbasa-basi. Tidak seorang pun yang menuruti "permintaan" tuan rumah, bahkan yang terjadi sebaliknya. Seta menatap tak berkedip dan Madi mulutnya menganga sehingga gigi tonghornya kian meloncat keluar.


INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.