Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-04
tanztj
February 03, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05 |
TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 04
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 04
"Ya, karena matamu itulah. Di dapur malam itu mereka sedang makan singkong bakar ketika engkau datang bersama Ki Ogel dan Ki Banen. Lalu dia juga mengawasimu manakala matamu jelalatan menatapku ketika menyodorkan penganan. Eh, mengapa kau jalan sambil meram?" tanya Nyi Santimi heran.
"Takut mataku jelalatan lagi, Nyai. Nanti orang sekampungmu mengepungku!" kata Ginggi. Kakinya mencari-cari pijakan, persis orang buta.
Nyi Santimi tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan punggung tangannya. Mereka berjalan lagi, mengobrol sana-sini tapi masih seputar urusan tadi.
"Pantas saja kedua pemuda itu tadi semalam sangat angkuh padaku," gumam Ginggi teringat kembali peristiwa semalam di gardu.
"Nanti malam ada pertunjukan pantun, Kang!" kata Nyi Santimi sebelum tiba di rumah. "Pantun, apakah itu?" Ginggi mengerutkan dahi.
"Seni bercerita dilantunkan dengan lagu merdu. Eh, darimana sih asalmu, kok tidak kenal kesenian pantun?" tanya Nyi Santimi heran.
Ginggi hanya tersenyum kecil.
"Semua orang nanti malam akan keluar di saat bulan purnama. Di antaranya akan nonton pantun, sebagai selamatan panen telah terpetik," kata Nyi Santimi pula.
"Kalau begitu engkau pasti keluar rumah juga, ya?" Ginggi menatap gadis berbibir tipis itu dari sisinya.
Si gadis mengangguk.
"Pasti nonton pertunjukan pantun juga?"
Kembali Nyi Santimi mengangguk. Berseri wajah pemuda itu. Ada senyum tersungging di bibirnya.
Lantunan Ki Juru Pantun Benar seperti perkataan Nyi Santimi, malam ini di saat bulan benderang, penduduk desa keluar rumah. Para gadis dan jejaka, malam itu diberi waktu untuk bertemu. Bahkan anakanak kecil, diperbolehkan main di halaman.
Tapi, baik anak remaja mau pun anak kecil semua bermain bersama. Gadis-gadis remaja nampak saling olok dengan sesamanya, dan sesekali mengolok-olok serombongan pemuda yang datang bertandang. Terdengar jerit dan tawa di antara mereka yang saling berkejaran.
Ginggi senang sekali melihat keramaian malam ini. Ini barangkali pemandangan pertama baginya, melihat orang berseliweran di terang bulan, dengan perasaan riang gembira. Ginggi senang menyaksikan gadis yang elok-elok, digoda oleh para jejaka yang tampan-tampan.
Mereka berpakaian bersih dan rapi. Yang gadisnya berkebaya dan berkain warna hitam nila, begitu pun para jejakanya, berbajusalontreng, bercelanapokek dan berikat kepalalohen .
Beberapa di antaranya ada yang memakai ikat pinggang besar terbuat dari kulit. Tapi kaum jejaka hampir semuanya menggunakan kain sarungpoleng , apakah itu digunakan semacam selendang yang dikenakan di bahu, atau diikatkan di pinggang mereka.
Ginggi punya kesempatan menikmati keindahan malam ini. Ada obor terpancang, berjajar sepanjang jalan utama kampung dan berakhir di bale gede tempat orang berkumpul.
Tadi pagi, Rama Dongdo pun sudah mengizinkan dia untuk melihat keramaian ini.
"Asalkan kau sanggup menahan hati untuk tidak terlibat keributan seperti tadi pagi," kata Rama.
Ginggi hanya menunduk. Dia merasa tak perlu membeberkan kejadian tadi, sebab dianggapnya hanya akan mengeruhkan saja.
Rama Dongdo mengabarkan bahwa para tokoh di desa ini tak keberatan bila dia akan ikut bekerja di sini. Izin ini juga termasuk datang dari Ki Kuwu.
"Karena urusan perbedaan sikap dalam menentukan agama, sebetulnya dari desa ini banyak tenaga cakap pergi mengembara. Yang mencintai agama baru, mendekatkan diri ke pusat Kerajaan Talaga, atau bahkan ke Cirebon sana. Yang masih setia kepada agama lama, pergi ke wilayah barat, mendekati Pakuan. Kalau aku boleh bicara, sebetulnya yang tinggal di sini kebanyakan hanya yang punya sikap di tengah saja. Mereka adalah yang sanggup membiarkan agama lama hidup, namun juga tak berkeberatan adanya agama baru muncul. Bisa kau saksikan nanti malam, akan ada orang berdoa dengan gaya agama lama, tapi ada juga yang melakukan sembahyang dengan cara agama baru," kata Rama Dongdo.
"Kami bersyukur, di desa ini sekarang berkumpul orang-orang yang tidak mempertentangkan jenis keyakinan. Tapi juga kami sedih, bahwa banyak orang muda yang cakap meninggalkannya. Padahal menjelang acara besar seperti panen tahun ini, kami butuh tenaga banyak," kata Rama Dongdo lagi.
"Kalau pun aku bersedia membantu, sebetulnya aku tak memiliki kecakapan apa-apa. Tapi biar pun begitu, aku ingin tahu, pekerjaan macam apakah itu?" tanya Ginggi. Rama Dongdo menerangkan, bahwa Desa Cae ini kedudukannya terjepit. Di lain fihak, ibu negri Karatuan Talaga sudah masuk pengaruh Cirebon, artinya sudah melepaskan diri dari kekuasaan Pakuan. Akan tetapi di lain fihak, masih ada kelompok berpengaruh di desa ini masih menyegani nama besar Pakuan dan berupaya mengirimseba atau upeti ke Pakuan.
"Kami sama-sama menahan diri untuk tidak pecah sesama tokoh. Jadi, akhirnya semua kebijaksanaan kami lakukan. Tiga hari yang akan datang ada rombonganseba berangkat dari Desa Cae ini. Kami butuh tenaga banyak untuk memikul barang-barang seba," kata Rama Dongdo.
"Bila hanya untuk memikul barang saja, aku sedia, Rama!" kata Ginggi. Tapi Rama Dongdo menghela nafas dalam.
"Ada sesuatu yang dirisaukan, Rama?" tanya pemuda itu. Rama Dongdo kian mengerutkan dahinya.
"Untuk mengangkut barang seba, sebetulnya kami tidak sekadar membutuhkan orang yang bertenaga kuat saja, tapi juga kami butuh orang yang sanggup melindungi keselamatan barang-barang itu sendiri," tuturnya.
Ginggi menatap tajam, belum mengerti apa yang dimaksud orang tua ini.
"Sudah aku katakan, hanya di kampung ini saja beda pendapat bisa diredam. Akan tetapi di luar kampung suasana lain lagi. Kelompok yang tak setuju kami mengakui Pakuan, selalu mengganggu perjalanan kami. Mereka mencegat, merampok, bahkan membunuh petugas yang berani melawan," keluh Rama Dongdo dengan sedih. Meneguk minuman di atas sebuahlumur (sejenis cangkir yang terbuat dari bumbung bambu)dan menghela nafas lagi.
"Dengan kata lain, mengirim seba ke Pakuan itu taruhannya bisa nyawa. Begitu, Rama?" tanya Ginggi. Rama Dongdo mengangguk
"Orang-orang dari negara agama barukah pelaku perampokan itu?" tanya Ginggi lagi. Rama Dongdo tidak mengiyakannya.
"Sulit untuk menebak bahkan menuduhnya. Kata petugas yang pernah mengalaminya, para penjahat itu bertampang kasar dan bengis. Tidak layak ditampilkan oleh orang yangmengaku memiliki agama sempurna. Kalau para perampok itu bukan dari kelompok agama baru, aku percaya, sebab dalam suasana permusuhan antara Pajajaran dan Cirebon, sebetulnya banyak kelompok memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi. Orang-orang dari agama baru mungkin saja tak setuju kami mengirimkanseba ke Pakuan. Namun ketidak setujuan mereka, dimanfaatkan oleh orang-orang yang memancing di air keruh. Mungkin saja yang mencegat dan merampok sebenarnya hanya bertindak atas dasar keserakahan saja. Mereka hanya penjahat biasa saja," tutur Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi termenung mendengar penjelasan ini. Setelah agak lama suasana membisu, Ginggi bertanya, "Rama, aku ini pengembara. Sedikitnya, ada beberapa berita yang sampai ke telingaku," katanya.
"Apa saja itu?" "Bahwa susuhunan di Pakuan sekarang sebetulnya sudah tak pantas dianggap panutan lagi. Dia sudah tak mampu mempertahankan kebesaran Pajajaran seperti para pendahulunya.
Bukan tak mampu menghadapi serangan musuh dari luar, sebab hingga saat ini, kendati jumlahnya terus berkurang, namun tembok benteng Pakuan masih dijaga perwira dan jagabaya yang pandai-pandai. Yang dirasakan ambarahayat Pajajaran sekarang, bahwa katanya para penguasa di Pakuan tak sanggup melawan musuh dari dalam hati sendiri, yaitu hawa nafsu. Betulkah itu, Rama?" tanya Ginggi panjang lebar.
Mendapat pertanyaan serupa ini, Rama Dongdo batuk-batuk kecil. Untuk beberapa lama..... dia tak sanggup menjawabnya. Namun pada akhirnya, biar pun pelan dan datar, dia berujar juga.
"Tidak salah apa yang kau katakan, Sang Prabu Ratu Sakti banyak melakukan hal-hal yang sebetulnya menyinggungpersaan rakyat," katanya menghela nafas panjang. "Kami saban tahun masih sanggup menghasilkan panen. Juga saban tahun masih bisa mengadakan pesta selamatan akan keberhasilan panen. Namun setiap tahun berlalu, tiap itu pula kebahagiaan kami berkurang. Hasil panen biar pun jumlahnya tetap sama, tapi tak menimbulkan kebahagiaan. Pesta selamatan yang dulu dilakukan berhari-hari, kini hanya dilakukan secara sederhana saja. Bukan tak ada yang mesti kami pestakan. Akan tetapi karena sebagian besar harus diabdikan untuk seba, maka kegiatan untuk selamatan bahkan untuk kekayaan berlebih kami, banyak berkurang," kata Rama Dongdo.
Ini adalah penjelasan yang kesekian kalinya yang diterima pemuda itu. Persis seperti apa kata Ki Darma tempo hari, bahwa rakyat Pajajaran sekarang dirundung malang karena ulah rajanya.
"Heran sekali, kalau ternyata Raja bersifat tak bijaksana, mengapa Rama memaksakan diri untuk tetap setia kepada Raja? Tidakkah Rama memilihbiluk (memihak) saja ke Talaga dan ke Cirebon sana?" tanya Ginggi.
Ada senyum pahit menghiasi mulut orang tua itu yang kumisnya sudah banyak dihiasi uban. Sekali lagi Rama Dongdo menghela nafasnya dalam-dalam.
"Mikukuh Dasa Perbaktiyang terdapat dalam agamaku mengatakan bahwa seseorang harus mentaati orang lain karena kedudukannya. Anak harus taat kepada ayah, istri taat kepada suami,kaula atau rakyat harus taat kepada penguasa, murid taat kepada guru, petani taat kepadawadha , wadha taat kepadamantri, mantri taat kepadanu nangganan , nu nangganan taat kepadamangkubumi , mangkubumi kepadaratu dan ratu taat kepadadewata , dewata taat kepadahyang sebagai penguasa tunggal di jagat raya ini. Semuanya harus dijalankan agar kehidupan bermasyarakat dan bernegaraberjalan lancar. Dan aku sebagai kaula, sebagai rakyat, jelas harus mentaati kebijaksanaan Raja," kata Rama Dongdo.
"Akan tetapi, bila Raja tak sanggup menerima rasa taat kaulanya dengan kebijaksanaan agung, kehidupan tak akan berjalan dengan baik," potong Ginggi.
"Mungkin begitu. Tapi biarlah pengalaman jadi guru yang utama bagi semua orang, termasuk bagi raja itu sendiri. Bagaimana akibatnya bila raja tak melakukan tapa bagi negaranya. Kita sebagai rakyat, tak boleh keluar dari sendi-sendi aturan. Sebab begitulah, kalau semuanya ikut melenceng, maka semua kehidupan tak berguna. Lagipula, ada yang harus diingat rakyat, kalau pun dia mengabdi, bukanlah mengabdi karena raja, tapi karena negara. Aku sampai saat ini merasa sebagai anak bumi Pajajaran. Aku tetap mendambakan Pajajaran bisa hidup sampai akhir zaman. Mungkin aku melaksanakan seba sebagai titah raja. Tapi tujuanku yang sebenarnya adalah mempertahankan bumi Pajajaran," kata Rama Dongdo panjang lebar.
Ginggi puyeng sendiri menyimak jawaban atas hasil pertanyaannya itu. Bagaimana mungkin ada orang yang setia sampai mati bagi sebuah kerajaan yang dirajai oleh orang yang tak bijaksana. Bila begitu halnya, maka rakyat hanya akan jadi korban kesetiannya itu sendiri.
Gila, pikir Ginggi. Tapi, sebentar kemudian anak muda ini sudah merenung kembali. Bukankah hal-hal ini yang harus diperhatikannya, seperti apa yang diamanatkan oleh Ki Darma?
"Mengubah bumi Pajajaran, sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan sendirian. Tapi kau bantulah rakyat agar tak dibiarkan menderita. Lebih baik satu kali berjuang untuk rakyat daripada tidak sama sekali," ucapan Ki Darma terngiang lagi di telinganya. Tapi, bagaimana bentukperjuangan itu? Ikut menyukseskan pengiriman seba, ataukah perjuangan membela kesengsaraan rakyat?
Ginggi memijit-mijit kepalanya, pening rasanya.
"Kau sakit kepala anak muda? Pasti tadi malam kau kurang tidur karena ikut tugur. Tapi tugur akan jadi bagian dari hidupmu kalau kau betah di sini kelak. Kampung ini butuh tenaga muda untuk tugur, yaitu menjaga keamanan daerah dari gangguan orang jahat," kata Rama Dongo.
Ginggi berhenti memijit-mijit kepalanya karena dia tak mau dianggap orang yang sakit kepala.
"Aku tidak sakit, apalagi lelah, Rama. Bahkan kalau Rama mengizinkan, aku akan membantu apa saja di rumah ini. Mungkin aku bisa membelah kayu bakar, mengambil air dengan pikulan, atau pekerjaan apa saja yang berguna di rumah ini," kata Ginggi menawarkan jasa.
Rama Dongdo tersenyum mendengarnya.
"Aku dulu punya anak lelaki. Tapi karena kegemarannya mempelajari ilmu kedigjayaannya, dia tewas karena perkelahian. Tidak percuma, sebab dia mati dalam mempertahankan tugas mengirim seba," kata Rama Dongdo.
Ginggi hanya mengangguk-angguk tanpa berani meminta penjelasan lebih lanjut. Sebab kalau dia memaksa, hanya berarti menyuruh orang menceritakan kisah dukanya belaka.
"Kalau kau senang bekerja kasar, bekerjalah di dapur. Hari ini semua penduduk ramai memasak untuk persiapan pesta nanti malam," kata Rama Dongdo.
Ginggi amat bersemangat mendapat izin membantu di dapur. Bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada pengharapan lain yang amat diharapkannya, ia pun segera bergegas menuju dapur.
Dan benar saja, di dapur dia segera saja mendapatkan apa yang diharapkannya.
"Nyai, sedang apakah engkau?" bisiknya kepada Nyi Santimi yang tengah sibuk bekerja. "Aku tengah membuat lemper untuk hidangan nanti malam, Kang, kata gadis itu tersenyum manis namun matanya tetap memperhatikan pekerjaannya.
Mereka berbincang-bincang akrab sekali. Dan mereka pun berjanji untuk bertemu malam nanti di tempat pertunjukan pantun.
Talung-talung keur Pajajaran Jaman aya keneh kuwerabakti Jaman guru bumi dipusti-pusti Jaman leuit tangtu eusina metu Euweuh anu tani mudu ngijon
Euweuh anu tani nandonkeun karang Euweuh anu tani paeh ku jengkel Euweuh anu tani modar ku lapar
( masih mending waktu Pajajaran ketika masih ada kuwerabakti ketika guru bumi dipuja-puja
ketika lumbung umum melimpah-ruah tiada petani perlu pengijon
tiada petani menggadai tanah tiada petani mati karena kesal tiada petani mati karena lapar )
"Mari pertunjukan pantun sudah dimulai!" "Siapakahprepantun (juru pantun) nya, Ki?"
"Siapa lagi kalau bukan Ki Baju Rambeng dari Pakuan!"
"Kasihan, ya. Juru pantun paling baik di Pakuan, harus pergi terlunta-lunta seperti itu. Disangkanya di tempat ini lebih tentram. Disangkanya di tempat ini Pajajaran masih mekar."
"Dia menjauhi Pakuan karena kemelut berkepanjangan. Tapi apa pun terjadi, ini keuntungan buat kita dan generasi seusai kita. Sebab biar pun jauh dari Pajajaran, anak cucu-kita masih bisa mendengar kemegahan istana rajaSri Bima Untarayana Madura Suradipati , atau keelokan TamansariMilakancana beserta permainya danauTalaga Rena Maha Wijaya . Dengarlah lantunan merdu Ki Juru Pantun, dia pasti membuka tabir riwayat emas yang bergelimang di Pajajaran."
Obrolan orang-orang di seputarnya sangat menarik perhatian Ginggi. Padahal, di tengah benderangnya cahaya purnama yang dipercantik cahaya obor dandamar sewu ( lampu seribu jajar), pemuda ini sebenarnya sedang menyeruak kesana-kemari mencari Nyi Santimi.
"Dia janjian mau menunggu di tempat pertunjukan pantun. Tapi, di mana dia tunggu aku?" pikir Ginggi.
Ginggi menyeruak-nyeruak sampai ke bagian penonton paling depan, tapi yang dicarinya tak ada. Yang dia saksikan hanyalah kerumunan orang-orang di sini.
Yang namanya pertunjukan, Ginggi baru menonton pertama kali ini. Begitupun bentuk kesenian pantun,baru kali ini dia kenali.
Ternyata pantun hanyalah pertunjukan maha sederhana. Tak ada penari, tak ada pemain lain, kecuali seorang lelaki butasendirian dengan alat musik bernama kecapi di haribaannya. Kalau pun orang-orang berkerumun di dekatnya, itu lebih tepat disebut mendengarkan ketimbang menonton. Semua yang hadir menyimak sebuah cerita yang dilantunkan dengan nyanyian amat merdu dari mulut lelaki buta itu.
"Ada dahulu ada sekarang tak ada dahulu tak ada sekarang ada masa silam ada masa kini tak ada masa silam tak akan ada masa kini ada tonggak ada batang
tak ada tonggak tidak akan ada batang bila ada tunggul tentu ada catangnya"
Ki Baju Rambeng dengan lantunan merdu melontarkan ingatan semua orang ke masa silam, masa di mana bumi Pajajaran terang benderang dengan segala cahaya keemasan dan kecermelangannya. Dia puji-puji Kangjeng Prabu Wangi yang gugur di tanah Bubat karena membela harkat dan derajat bumi Sunda. Dengan kedigjayaan dan keberanian, Sang Prabu relakan darah dan nyawa membasahi bumi.
"Apalah gunanya darah setitik apalah gunanya nafas sejentik tapi amat berguna darah setitik bila dipakai membela hati dan harga diri dan harga diri ….. Oh, hai, dan harga diri … Ki Baju Rambeng terus mengaduk-ngaduk kenangan orang terhadap masa-masa yang telah lalu. Dan seluruhnya membicarakan tentang bumi Pajajaran. Dia kabarkan kebijaksanaan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja perihal kehadiran agama baru. Denting-denting kecapi dengan luwes dan merdu mengiringi lantunannya :
"Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agamaanu dicaram soteh nyaeta :
palah-pilih teu puguh milih mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui
"Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama :
ari tetela mah eta agama lain pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara lain pi’eun macikeuh anu barodo lain pi’eun numpuk kabeungharan lain pi’eun kasenangan sorangan" (Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama yang dilarang hanyalah:
sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan … memilih lagi Raja Pajajaran tak melarang Rakyat memilih agama
Bila jelas itu agama Yang bukan untuk mengganggu Kesejahteraan negri Bukan untuk mengakali orang bodoh Bukan untuk menumpuk kekayaan Bukan untuk kesenangan pribadi)
"Tapi karena ambisi dan keserakahan, maka pertentangan dan perselisihan tak bisa dihindarkan. Perang, perang danperang! Dimana-mana terjadi perang! Sang Prabu Surawisesa pengganti ayahanda, limabelas kali bertempur, bertempur dan bertempur!" kata lantunan Ki Baju Rambeng dengan volume dan tekanan suara berganti-ganti membuat yang mendengarkan terpana dan berdebar.
"Siapa yang unggul, Ki?" Ginggi nyeletuk dari sudut samping, sehingga memutuskan rasa keterpanaan pendengar.
"Tak ada yang unggul dan tak ada yang kalah. Kalau pun boleh disebut, maka dua-duanya ada dalam kemenangan!" kata Ki Baju Rambeng.
Dan Ki Juru Pantun yang buta ini kembali melantunkan suara merdunya: "Nu heubeul unggul lantaran kasatiaan nu anyar unggul lantaran kasampurnaan !" (Yang lama unggul karena kesetiaan yang baru unggul karena kesempurnaan!)
Ki Baju Rambeng terus melantunkan masa lalu tentang Pajajaran yang tetap besar. Kalau pun kebesarannya terganggu, ini karena adanya kemunafikan dan ketidakjujuran. Berkali-kali mendapatkan serangan musuh, benteng baru bisa terkuak sesudah ada penghianatan dari dalam.
"Siapa berkhianat itu yang jahat !
seribu perwira siap mati seribu perwira hampir mati mati karena pengkhianatan mati karena pengkhianatan Oh, hai ! Pengkhianat Dialah Ki Darma Tunggara !
Dialah Ki Darma Tunggara !"
Ginggi tersentak di tengah-tengah keasyikannya menyimak lantunan Ki Baju Rambeng ini. Prepantun ini ada menyebut-nyebut nama Ki Darma walau pun masih dilanjutkan dengan nama Tunggara, Ki Darma Tunggara. Apakah yang disebut Ki Juru Pantun itu Ki Darma, orang tua yang hampir sepuluh tahun hidup bersama di puncak Gunung Cakrabuana?
Atauhanya kebetulan saja ada kemiripan nama? Pemuda itu tak melanjutkan perkiraannya sebab Ki Baju Rambeng terus melantun.
Oh, hai Ki Darma Tunggara engkau perwira sakti engkau perwira berani sayang keberanianmu dipakai melawan ratu oh, hai, melawan ratu !
Itulah hukuman bagi yang meragu ke sana tak mau ke sini tak mau Akhirnya Ki Darma menjadi musuh semua Oh, hai ! Musuh semua !
Ki Juru Pantun terus melantunkan cerita hingga larut malam, hingga bulan pudar condong ke barat. Anak-anak sudah dari tadi tergeletak tidur di lantai kayu. Para remaja baik lelaki maupun perempuan, entah pergi ke mana. Yang sisa, tinggallah para orang yang sudah lanjut usia. Mereka masih setia menyimak masa lalu kendati sambil terkantuk-kantuk dan tubuh membungkuk karena sudah tak mampu bersila dengan benar.
Sampai kokok ayam bersahutan, sampai pulalah saat akhir lantunan Ki Juru Pantun. Hanya belasan orang yang tersisa. Terhuyung-huyung meninggalkan bale gede karena kantuk yang kental.
Tangisan Nyi Santimi Sayup-sayup di kejauhan terdengar suara lantunan lain. Seperti bersajak atau berdoa tapi dengan bahasa yang tidak dimengerti Ginggi.
"Suara lantunan apakah itu?" tanya Ginggi entah kepada siapa sebab hampir semua orang telah pergi.
"Itulah pembacaan ayat suci dari orang yang sudah memiliki agama baru," Ki Baju Rambeng yang menjawabnya, sambil berbenah dan bersiap hendak turun dari bangunan panggung bale gede.
"Menjelang fajar menyingsing, pemeluk agama baru akan bersembahyang menghadap ke barat. Sehari semalam mereka melakukannya sebanyak lima kali," kata Ki Baju Rambeng lagi, mengangkat badan setengah terhuyung karena beban kecapi di tangan kanannya. Dia sendirian saja dan cukup hafal menuruni tangga kayu. Lantas berjalan tertatih-tatih, tak ada orang yang mengacuhkannya lagi.
Ginggi melangkah di sampingnya.
"Aku ingin lebih jelas lagi menyimak apa yang kau lantunkan tadi itu, Aki!" kata Ginggi.
"Apa yang Aki lantunkan tadi itulah keseluruhan pengetahuanku, anak muda…" kata Ki Baju Rambeng dengan desah nafas berat. Mungkin dia kecapaian, mungkin juga kedinginan karena udara subuh.
"Tak adakah pengetahuan berlebih, misalnya tentang perwira sakti Pajajaran bernama Ki Darma Tunggara itu, Ki?" tanya pemuda itu lagi penasaran.
"Menurut sahibul hikayat, dia adalah perwira kerajaan dari seribu perwira yang mengabdikan dirinya untuk keselamatan Raja."
"Terus, jelaskan…" desak Ginggi sambil mengikuti langkah Ki Baju Rambeng.
"Seribu perwira yang bertugas bela-mati Raja, sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Sunda ratusan tahun silam. Kedudukan Raja dikawal seribu perwira yang bela-mati. Pada zamannya Prabu Wangi, banyak perwira ikut ke Bubat dan tewas bersama Raja di sana. Namun jumlah seribu selalu kembali utuh sebab segera tergantikan yang baru. Begitu sampai sekarang," kata Ki Baju Rambeng.
"Perwira sakti bernama Ki Darma Tunggara, kira-kira hidup di zaman mana?" tanya Ginggi lagi. Lama Ki Baju Rambeng tak memberikan jawaban. Ketika pemuda itu kembali bertanya, juru pantun itu hanya menggelengkan kepala.
"Hampir semua juru pantun yang ada di Pajajaran selalu mengatakan bahwa pantun yang dilantunkannya asli, menggambarkan hal-hal yang pernah terjadi. Aku sendiri akan bicara begitu, sebab begitu yang dikatakan guruku. Aku bisa menggambarkan keperwiraan sekaligus pengkhianatan Ki Darma Tunggara, tetapi tak bisa melukiskan, di masa mana perwira sakti itu hidup. Apakah Ki Darma Tunggara nama sebenarnya atau hanya sebuah julukan, aku tidak tahu. Barangkali juga begitu pengetahuan semua juru pantun," kata pula Ki Baju Rambeng.
Ginggi menghela nafas kecewa. Bila begitu, bisa saja kejadian mengenai perwira bernama Ki Darma Tunggara hanya dongeng belaka. Kecewa? Mengapa harus kecewa? Kalau ternyata peristiwa itu benar dan melibatkan Ki Darma yang dia kenal, mau apa?
Akhirnya pemuda itu membiarkan Ki Baju Rambeng pergi. Tertatih-tatih menjinjing kecapi memburu fajar yang tengah menyingsing.
Ginggi juga melangkah pergi. Dia melewati sebuah rumah gedek yang penghuni di dalamnya masih melantunkan ayat suci agama baru seperti apa kata Ki Juru Pantun.
Melangkah lagi beberapa ratus tindak, ada terlihat sebuah rumah dengan pekarangan agak luas dan di sudutnya terdapat sebuah pura dengan dupa mengelun lemah.
Namun apa pun yang terjadi, sebetulnya ada kedamaian di sini. Paling tidak di saat pagi hari begini. Ginggi berpikir, sebenarnya percekcokan hanya terjadi pada orang-orang yang mempertahankan kebenaran dirinya secara fanatik. Orang-orang yang berpikiran sederhana cenderung membatasi keinginan-keinginan yang keras, termasuk mengukuhi kebenaran yang diakuinya.
Sekarang Ginggi berjalan gontai menuju rumah Rama Dongdo. Dia baru ingat lagi sekarang, bahwa tadi malam sebenarnya mengikat janji dengan Nyi Santimi untuk sama-sama nonton pantun.
"Kita saling menunggu di depan bale gede," kata Nyi Santimi kemarin siang. Tapi mengapa gadis itu tak diketemukannya tadi malam? Tidak jadi pergikah dia? Ginggi kurang teliti mencari karena lebih terpukau menyimak pertunjukan itu sendiri.
Ada yang perlu ditanyakan kepada gadis itu. Tapi karena kantuknya menyerang demikian hebat, Ginggi hanya meloso di sudut beranda rumah dan akhirnya tertidur pulas.
* * *
Ginggi tersentak bangun ketika seseorang menepuk-nepuk pundaknya. "Bangun, hai, bangunlah!" Ginggi gelagapan karena kepalanya terasa berat dan pening. Kedua matanya terasa kesat dan pedih. Susah sekali dia membuka kelopak matanya.
"Ada apakah?" tanyanya mencoba memandang kepada yang barusan membangunkannya.
"Bangunlah. Hari sudah siang. Lagi pula tak baik menjelang kedatangan tamu penting kau malah tidur di sini, " kata orang itu. Yang berbicara adalah seorang lelaki, entah siapa.
Ginggi melihat cuaca. Hari sebetulnya masih pagi kendati matahari sudah memancarkan sinarnya. Dia baru sadar, sepulang nonton pantun, dia tertidur kelelahan di beranda rumah Rama Dongdo. Tapi melihat hari masih pagi, bisa diperkirakan, dia tidur di sana belum lama benar, kalau tak disebutkan baru sebentar.
Tapi, sepagi ini rumah Rama Dongdo akan kedatangan tamu, dari manakah? "Tamu apa Mamang, sepagi ini sudah bertandang ke sini?" tanya Ginggi.
"Tamu penting. Tidak tahukah kalau pagi ini akan ada rombongan keluarga Seta?’ "Rombongan keluarga Seta?’
"Betul anak muda. Hari ini secara resmi mereka akan meminang Nyi Santimi!"
Kalau ada petir di siang bolong, mungkin beginilah kedengarannya, paling tidak oleh Ginggi. Nyi Santimi akandilamar Seta? Tak mimpikah aku ? Atau, tidak kelirukah orang ini bicara?
"Maksud Mamang, Nyi Santimi akan menikah dengan Seta, pemuda tampan yang mulutnya selalu mencibir seperti sinis tapi kemarin bengkak dan dower dipukul temannya itu…"
"Sssst!!!"
"… dan yang jidatnya menyendol karena pukulan kayu pikulan di dekat pancuran sana itu, Mamang?" Ginggi masih nyerocos kendati dia sudah diberi isyarat untuk tidak bicara jelek seperti itu.
"Kau marah-marah tak keruan, ada apakah sebenarnya?" tanya orang itu heran.
Pertanyaan ini terasa sebagai teguran. Dan pemuda itu akhirnya menunduk malu. Dia sadar, tak seharusnya uring-uringan mendengar berita ini. Apa hak dia mencela peristiwa ini?
Kalau pun punya, dia hanyalah berhak untuk merasa heran. Memang, siapa tidak heran. Kemarin pagi Nyi Santimi masih mengatakan kepadanya, bahwa dia sebal terhadap pemuda itu karena sering menggodanya. Pemuda itu pun katanya angkuh dan sombong, hanya karena ayahnya seorang juragan ladang yang luas tanahnya. Tapi, aneh sekali, mengapa hari ini ada upacara pinang-meminang?
Heran, bukankah kemarin siang sudah ada janji dengannya untuk sama-sama nonton pertunjukan pantun? Mengapa secara diam-diam gadis itu membatalkan rencananya? Semua pertanyaan yang ada dalam benaknya ini hanya menimbulkan kebingungan belaka. Dan Ginggi mengeluhpendek dibuatnya. Dia hanya bisa duduk termenung. Sikut di atas lutut dan tangan memijit-mijit jidat. Begitu yang dilakukannya sambil bersandar di tiang rumah yang ada di sisi beranda. Sesekali dia menoleh ke pintu ruangan tengah. Tapi pintu sejak tadi tertutup rapat. Kata orang itu, di dalam rumah orang tengah sibuk berbenah, termasuk memolek-molekkan Nyi Santimi agar hari itu kelihatan lebih manis dan lebih cantik dari biasanya.
Lelaki setengah baya yang merupakan satu-satunya yang ada di ruangan depan ini, sebentar pergi ke bagian samping rumah. Sebentar kemudian sudah membawa sapu ijuk, dua batang, satu diberikannya kepada Ginggi. "Kau tolong bantu aku menyapu. Halaman ini nampaknya belum bersih benar," katanya. Langsung menyapu lantai tepas. Sambil pikiran melayang entah kemana, Ginggi ikut menyapu lantai tepas.
Namun baru satu dua kali dia menggoyangkan sapu, pintu ruangan dibuka orang. Ginggi berhenti menyapu dan cepat menoleh ke arah sana. Tapi yang keluar bukan Nyi Santimi, melainkan Rama Dongdo. Dia berpakaian rapih. Baju kampret putih, ikat kepala batik jenispupunjungan , serta ke bawah kainpolekat . Melihat Ginggi tengah menyapu, orang tua itu berseri wajahnya.
"Wah, syukur sekali anak muda. Aku mencari kau, lantaran butuh tenagamu bantu-bantu di dapur. Hari ini ada kebahagiaan mendadak. Cucuku sudah menemukan jalan hidupnya. Dia dipinang orang," kata Rama Dongdo ceria.
Ginggi hanya mengangguk dan tersenyum. Terus menyapu kendati gerakannya tak beraturan.
"Memang serba mendadak. Tadi malam keluarga anak muda itu datang meminang. Pagi ini rencananya akan meresmikan pinangan itu," kata pula Rama Dongdo.
Ginggi tak menyambutnya dengan kata-kata.
Sampai pada suatu saat, ada orang yang menyuruhnya agar dia ikut bantu di dapur sebab banyak kayu bakar yang belum dibelah.
Celaka aku, pikirnya. Dia terperangkap oleh kesanggupannya sendiri, sebab kemarin pagi dengan bersemangat Ginggi menawarkan jasa untuk bantu-bantu di rumah ini.
Ya, dia mau bekerja di rumah ini tapi bukan untuk melihat Nyi santimi dilamar orang, apalagi dilamar oleh pemuda yang pernah berkelahi dengannya.
Ah, betapa anak itu membusungkan dada dengan congkaknya karena kemenangan ini!
Tapi Ginggi akhirnya pergi juga ke dapur. Jalannya memutar ke samping. Bukan untuk mengharapkan pekerjaan kasar itu, tapi untuk menunggu kalau-kalau dia bertemu muka dengan gadis itu.
Sialan anak perempuan bau kencur itu! Aku akan memarahinya, gertak Ginggi dalam hatinya. Dasar perempuan kecil! Seenaknya saja melanggar janji!
Umpatan di hatinya terus berlanjut sampai dia tiba di ruangan belakang. Tapi sayang, Nyi Santimi tak ada disana. Ya, mana mungkin berada di dapur, sebab pagi ini dia tengah didandani juru rias. Pasti dia elok, pasti dia cantik! Tapi, untuk siapa kecantikannya itu? Bah, bukan untuk diriku!
Prak, prak, prak! Ginggi melampiaskan kekesalan hatinya dengan membelah kayu-kayu bakar cepat sekali. Kayu bakar ukuran besar-besar dalam sekejap sudah menjadi potongan-potongan kecil beraturan, amat mengherankan orang-orang di dapur sebab secepat itu dia bekerja.
Sudah itu Ginggi duduk di sudut dapur dengan nafas pendek-pendek. Bukan kecapaian karena membelah kayu, melainkan karena hati yang gundah itulah.
Sampai pada suatu saat, rombongan tamu yang ditunggu tiba sudah. Jumlahnya terbatas saja. Ada sepasang lelaki dan perempuan usia sekitar lima puluhan, gagah berwibawa. Yang lelaki berkumis tipis berjenggot tipis. Penutup kepalanya dari bendo citak batik rereng. Memakai baju salontreng putih berkain poleng hitam dengan ikat pinggang tebal dari kulit. Yang wanita berkebaya ungu tua, berkain batik dan berselendang putih. Sudah tua namun nampak cantik karena berkulit kuning halus. Yang membuat hati Ginggi terasa terbakar adalah pemuda tampan dengan sunggingan bibir angkuh itulah. Ya, siapa lagi kalau bukan Si Seta! Dia memakai baju kampret berkancing. Hari ini dia pun menggunakan bendo citak. Memang tampan, kalau saja tak ada jendol di jidatnya. Madi sahabatnya, dengan gigi tonghornya mengawal Si Tampan angkuh itu sampai ke muka beranda. Mereka disambut ceria oleh Rama Dongdo, yang hari itu ditemani seorang wanita tua entah siapa.
Kata Rama Dongdo dalam sambutannya, ini suatu upacara yang amat sederhana sebab semuanya dilakukan denganamat mendadak.
"Jadi, bila kami sebagai tuan rumah kurang hangat dalam sambutan, harap maklum," katanya.
"Kamilah yang bersalah, melakukan sesuatu serba terburu-buru," jawab lelaki setengah baya berkumis tipis sambil bersila tegak. "Namun yang penting dalam kesemuanya ini, bukan kemeriahan yang diharap, melainkan keselamatanlah," katanya lagi.
Mereka berbasa-basi secara panjang lebar, sampai pada suatu saat, Rama Dongdo memanggil Nyi Santimi keluar dari kamarnya.
Semua orang ikut mendekati ruangan tengah, tidak terkecuali petugas-petugas yang di dapur. Ginggi juga ikut hadir di ruangan tengah.
Semua mata tak berkedip melihat sebuah tubuh kecil semampai keluar dari sebuah kamar. Nyi Santimi pagi itu nampak anggun. Dengan rambut tergelung rapi, kulit halus terpoles bedak, betapa cantiknya dia. Lesung pipitnya yang alamiah dan menawan, kian memikat penglihatan siapa pun sesudah diperindah dengan hiasan tahi lalat palsu pada ujung dagunya. Hanya saja tubuh semampai berkebaya nila dengan sedikit hiasan di dada kiri itu amat mengherankan semua orang. Mengapa wajah manis tiada tanding itu nampak muram dan tak bercahaya?
"Inilah cucuku yang bodoh dan tak punya kepandaian apapun itu,Ki Silah (saudara). Kalau kalian hendak mengejeknya, ejeklah sekarang juga. Kalau kalian hendak menampiknya, tampiklah sekarang juga," kata RamaDongdo berbasa-basi. Tidak seorang pun yang menuruti "permintaan" tuan rumah, bahkan yang terjadi sebaliknya. Seta menatap tak berkedip dan Madi mulutnya menganga sehingga gigi tonghornya kian meloncat keluar.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05 |