Kemelut Di Cakrabuana Jilid-04
tanztj
February 04, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05 |
TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 04
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 04
Kerinduan begitu menerpa dirinya. Itulah sebabnya, di saat punya kesempatan, dengan nekadnya dia menyelundup masuk kaputren. Memang mustahil bisa bertemu Nyimas Waningyun sebab suasana masih malam.Namun paling tidak, dia bisa menatap bangku kecil di bawah pohon taman yang biasa diduduki gadis ayu itu. Purbajaya mendekati tempat itu. Purbajaya menatap ke arah bangku kecil sebab di sana terlihat ada Nyimas Waningyun tengah merenung. Mula-mula Purbajaya terkejut setengah mati, namun belakangan bibirnya tersenyum tipis.
Purbajaya merasa, karena dirinya telah begitu tergila-gila dan selalu membayangkan tubuh Nyimas Waningyun, maka ke mana pun dia memandang, yang nampak selalu saja gadis itu. Demikian pun malam itu. Ada bayangan gadis itu. Ya, Nyimas Waningyun duduk merenung di bangku kecil. Kepalanya tertunduk lesu menatap kolam ikan hias.
Purbajaya sadar, ini hanya tiopuan mata. Namun demikian, pemuda itu tetap gembira. Biarlah, tidak dengan orangnya, dengan bayangannya pun sudah terpuaskan, demikian bisik hatinya. Tipuan-tipuan pandang sudah jadi miliknya sudah biasa menghibur dirinya.
Purbajaya tersenyum dalam kebahagiaan semu. Sekarang ada bayangan gadis itu. Maka matanya tak boleh dikecapkan, takut bayangan manais itu segera hilang. Tapi Purbajaya tak kuat matanya terus melotot. Dengan jengkelnya dia terpaksa berkedip. Hanya aneh sekali, bayangan itu tak mau hilang.
Bulan kembali memisahkan diri dari himpitan awan dan kini cahayanya cemerlang menerangi alam sekeliling. Purbajaya terpana, nyatanya bayangan Nyimas Waningyun tak mau hilang dari pandangannya.
Purbajaya semakin terpana sebab tubuh indah itu semakin nampak nyata. Sekarang rambut ikal gadis itu malah terlihat tergerai dan berombak terkena tiupan angin malam. Hidung kecil mancung gadis itu nampak nyata ketika dia menoleh ke pinggir.
"Terima kasih sang rembulan membuat hatiku amat bahagia ... " kata Purbajaya tiba-tiba. Tapi Purbajaya jadi terkejut sebab tubuh gemulai itu cepat berdiri dan membalik menghadap ke arahnya.
"Purbajaya!" terdengar pekik merdu dari arah sana. "Nyimas ... " bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
Mula-mula dia berdiri mematung. Tubuh Purbajaya tak mau bergerak. Takut ini masih berupa tipuan. Tapi ketika langkah gadis iti bergerak menuju ke padanya, Purbajaya pun mulai berani melangkah. Dan akhirnya, baik Purbajaya mau pun gadis itu, sama-sama berlari saling mendekat. Sampai pada suatu saat tubuh mereka bertubrukan, berpelukan dan sulit dipisahkan.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ... Ah, Nyimas !" Lama mereka berpelukan dalam diam. Rembulan pun untuk sementara seperti malu menampakkan diri dan sembunyi di balik awan.
Lain lagi dengan sepasang muda-mudi itu. Kalau bulan merasa malu dan sembunyi di balik awan, maka remangnya cuaca malah dijadikannya sebagai kesempatan untuk saling melepas rindu. Tubuh dua orang itu saling merapat seperti tak ingin dilepas lagi. Beberapa kali mereka saling pandang dan beberapa kali pula mereka saling dekap.
"Purbajaya ... "
"Nyimas ..."
Mereka saling berdekapan lagi untuk beberapa lama.
"Nyimas ... benarkah engkau ini ada di hadapanku" bisik Purbajaya dengan suara bergetar.
"Aku malah yang bertanya, benar-benarkah engkau yang berdiri di hadapanku?" Nyimas Waningyun balik bertanya.
Tak sadar Purbajaya menarik tangan gadis itu. Mula-mula dipegangnya halus, lama-lama diremasnya dengan cukup keras sehingga Nyimas Waningyun meringis kesakitan.
"Aduh, kau sakit, Nyimas? Aku khawatir, kau hanyalah bayangan semu semata," tutur Purbajaya masih menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, Tuhan, engkau benar-benar Nyimasku. Betapa halus jari-jari tanaganmu, betapa hangat telapak tanganmu. Nyimas, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" Purbajaya nyeroscos bicara sampai napasnya kembang-kempis karena tak putus-putus.
"Aku malah yang harus tanya, mengapa engkau malam-malam berada di sini?" untuk ke sekian kalinya gadis itu malah yang balik bertanya. Dia pun balik meremas tangan Purbajaya
"Maafkan Nyimas. Ini semua karena aku ingat engkau ..." bisik Purbajaya sejujurnya.
"Aku pun lama menyepi dalam dingin ini karena ingat engkau ... " jawab gadis itu pun dengan berani.
Dua pasang mata saling berpandangan, pegangan tangan masing-masing pun semakin kuat. Dan tak bisa dibendung, keduanya pun akhirnya larut dalam peluk. Kuat, tak habis-habisnya.
Rembulan masih sembunyi.
"Aku menerima khabar, sebentar subuh engkau sudah akan berangkat tugas," bisik gadis itu sambil pipinya bersandar di dada Purbajaya yang bidang.
"Aku datang ke sini memang mau pamit. Entah kapan bisa kembali," kata Purbajaya setengah mengeluh. "Wilayah Karatuan Talaga tak begitu jauh. Sebentar kemudian kau pasti kembalai. Yang terpenting dari kesemuanya, kau musti ingat aku," kata gadis itu manja menyandarkan pipinya di dada yang bidang.
"Aku butuh doamu dan aku pun butuh cintamu." bisik Purbajaya. Tanpa ragu-ragu dikecupnya kening gadis itu.
"Akan aku berikan cintaku sepenuhnya padamu ..." bisik Nyimas Waningyun lirih. Tangannya semakin erat memeluk dan melingkar di punggung Purbajaya. Sda desah napas memburu dari gadis itu. Kemudian terdengar pula keluh-keluh lirih dan sedikit merintih.
Purbajaya tersentak ketika merasakan hal ini. Dengan serta-merta dia melepaskan rangkulan gadis itu. Purbajaya mencoba menjauh dan memberi jarak terhadap gadis itu. Kini mereka hanya saling berpeganagan tangan saja. Untuk sementara Nyimas Waningyun kecewa, mengapa Purbajaya melepaskan kesempatan ini. Dia menatap nanar kepada pemuda pujaannya.
"Jangan berbuat itu, Nyimas ... " kata Purbajaya namun sambil mengelus pergelangan tangan gadis itu.
"Purba, bukankah engkau cinta padaku? Percayalah, aku pun cinta engkau," kata Nyimas Waningyun, masih heran dengan sikap Purbajaya.
Purbajaya menggelengkan kepala beberapa kali. "Tak cintakah engkau ke padaku?"
"Bukan begitu, Nyimas. Kalau ada orang yang menyuruhku mati demi cintaku padamu, maka akan kulakukan. Tapi menjamah kesucianmu, itu soal lain. Jangan anggap cintaku hanya sebatas berahi, Nyimas ... " Purbajaya berkata sungguh-sungguh.
Nampak ada garis-garis kecewa di wajah gadis itu.
"Sungguh, Nyimas, aku cinta padamu ... " bisik Purbajaya sambil kembali meremas jarijemari gadis itu.
"Tapi kesempatanmu hanya itu, Purba ... " gumam gadis itu sambil menunduk lesu. Purbajaya menghela napas panjang. Dia mengerti maksud gadis itu.
"Aku telah dijodohkan kepada Ranggasena ..." keluh Nyimas Waningyun. "Ya ... aku pun tahu."
"Tapi aku tak suka dia. Ranggasena sifatnya kekanak-kanakan. Tolonglah Purba, aku tak berdaya menepisnya ..." kembali Nyimas Waningyun mengeluh. Kini bahkan ada lelehan air mata di pipinya.
"Tidakkah kau mencoba menolaknya?" tanya Purbajaya. Nyimas Waningyun menghela napas. Kini kedua orang muda itu duduk berdampingan di bangku kecil sambil mengawasi ikan-ikan berenang di kolam. Ada satu ikan dikejar-kejar sesamanya, namun ada juga ikan yang kesepian sendiri di sudut kolam.
"Ini bukan sekadar perjodohan. Kami musti bersatu karena orangtua kami menginginkan persatuan di antara mereka.
"Ya, aku pun tahu, ini hanyalah kepentingan para orangtua kalian ... " kata Purbajaya lagi.
"Itu pun tidak persis begitu, sebab keluarga kami sebetulnya tidak pernah bersahabat. Setiap saat kerjanya hanya saling curiga-mencurigai," kata Nyimas Waningyun.
"Jadi, untuk apa perjodohan ini?"
"Mereka harus bersatu demi kepentingan politik negri ini," jawab gadis itu.
Purbajaya terpekur. Ini adalah berita yang ke sekian kalinya. Kali ini datang dari mulut Nyimas Waningyun. Demi kepentingan politik, perasaan orang dikorbankan.
"Maukah Nyimas menungguku?" tanya Purbajaya tiba-tiba. "Menunggu apa?"
"Aku akan berusaha memperjuangkan nasib kita."
Nyimas Waningyun hanya menatap lemah, sepertinya dia sangsi akan ucapan Purbajaya.
"Engkau ingin memberikan kesucianmu karena cintamu padaku. Maka tekadku pasti, ingin memperjuangkan nasib kita," kata Purbajaya bersemangat. Tak ada anggukan pasti dari gadis itu, kecuali menjatuhkan kepalanya lagi pada dada Purbajaya. Sepertinya gadis itu tetap merasa hanya ini peluang bagi mereka berdua. Kini malah terdengar suara gadis itu menangis sesenggukan.
***
PURBAJAYA kembali dari kaputren sambil meloncat-loncat di atas kutha (benteng) dengan amat hati-hati. Baru belakangan ini saja dia sadar, betapa berbahayanya bila ada orang yang memergoki perbuatannya ini. Memasuki kaputren dan apalagi mengencani putri penguasa puri adalah sebuah pelanggaran berat. Bila diketahui penghuni puri, barangkali hukumannya mati. Betapa tidak, sebab sebenarnya dia telah berani mengotori tempat ini. Nyimas Waningyun adalah gadis pingitan sebab sebentar lagi akan menjadi jodohnya Raden Ranggasena. Betapa terhinanya keluarga Pangeran Danuwangsa kalau diketahui calon mantunya dikotori oleh lelaki yang bukan haknya. Barangkali akan terjadi percekcokan dengan pemilik puri ini. Betapa marahnya Pangeran Arya Damar kalau yang menghina martabatnya ini adalah prajuritnya sendiri.
Purbajaya menyesal, mengapa dia bertindak semberono seperti ini. Mencuri masuk ke kaputren dan mengencani Nyimas Waningyun adalah tindakan amat memalukan. Beruntung, setan tak menggoda lebih dalam, sebab kalau tak begitu, dirinya sudah terjerumus ke jurang kehinaan. Ingat Nyimas Waningyun dia menjadi sedih. Kalau dilayani, tentu gadis itu telah ternoda. Purbajaya itu sedih, gadis itu punya batin yang lemah. Purbajaya memang boleh bangga bahwa hatinya tak bertepuk sebelah tangan. Hanaya yang disesalkan, ternyata gadis itu salah dalam menafsirkan cinta. Padahal bagi Purbajaya, berahi hanyalah satu perangkat kecil dari masalah besar bernama cinta. Purbajaya menginginkan, cinta sebetulnya bukan sekadar masalah beraahi.
"Nyimas salah mengerti ... salah mengerti ..." keluh Purbajaya.
Karena ada dua orang prajurit tengah tugur (meronda), Purbajaya tak berani langsung memasuki gerbang kompleks ksatrian. Dia harus jalan memutar menyisir benteng. Namun benteng ini pun akhirnya memutar ke arah puri yang didiami Pangeran Arya Damar. Purbajaya harus hati-hati lewat sana, jangan sampai ada orang tahu.
Dia meloncati satu benteng dan menyisir kompleks belakang kediaman Pangeran Arya Damar. Dia jalan mengendap-endap sebab harus menerobos dan memotong lahan kebun bunga. Namun sebelum hal itu dilakukan, telinganya mendengar suara dua orang lelaki tengah berdebat. Walau dengan kata-kata dan kalimat yang diucapkan pelan, Purbajaya bisa hapal siapa yang tengah berdebat. Hatinya berdebar keras sebab itu adalah suara perdebatan antara Pangeran Arya Damar dan Paman Jayaratu.
"Engkau tak bisa ikut campur urusanku," terdengar suara Pangeran Arya Damar.
"Aku memang tak bisa ikut campur urusanmu tapi aku bisa menghalang-halanginya," kata Paman Jayaratu dengan suara tegas.
"Maksudmu, kau akan lapor kepada Pangeran Suwarga?" tanya Pangeran Arya Damar."Hahaha! Sudah belasan tahun dia tak mau menemuimu dan apalagi mempercayai omonganmu," katanaya lagi.
"Tentu, aku orang terbuang dari kalangan istana tapi tak terbuang dalam mencintai Nagri Carbon. Aku masih mempunyai hak menjaga Carbon dari kehancuran," kata Paman Jayaratu dengan suara pelan tapi tajam.
Hening sejenak. Purbajaya tak tahu, apa yang dilakukan kedua orang itu di saat tak saling berbicara. Purbajaya tak berani bergerak, apalagi berusaha melongok ke arah tempat di mana kedua orang itu tengah bercakap-cakap. Baik Paman Jayaratu mau pun Pangeran Arya Damar adalah orang-orang pandai dan mungkin akan mudah curiga kepada setiap gerakan asing sebagaimana halus pun.
"Rencana-rencanamu membahayakan Carbon, Arya ... " kata Paman Jayaratu menyebut nama bangsawan itu begitu saja.
"Tidak lebih berbahaya dibandingkan dengan kebijakan Pangeran Suwarga yang memilih diam. Kau harus tahu, Carbon lemah dan kedudukannya selalu berada di bawah Demak hanya karena ada beberapa pejabat Carbon yang tak memiliki ambisi. Kau harus tahu, sebuah kemajuan perlu ambisi," kata Pangeran Arya Damar tak kurang sengitnya dalam mengutarakan pendapat.
"Tapi ambisi membuat orang tergelincir," kata Paman Jayaratu memotong kalimat. "Tergelincirkah aku?" "Boleh dibilang ya!"
"Kau menganggapku tergelincir hanya karena aku berpaling dari Pangeran Suwarga. Sementara itu kau tak melihat manfaatnya usahaku dalam mengupayakan keberadaan negri," sergah Pangeran Arya Damar.
"Justru jalan pikiran ini yang membuat dirimu tergelincir," kembali Paman Jayaratu memotong omongan orang."Bahwa Carbon tak akan menyerang Pajajaran, itu bukan saja sejadar kebijakan seoranghulu-jurit bernama Suwarga, melainkan juga sudah jadi kesepakatan Carbon. Semenjak Carbon oleh seluruh para wali (Wali Sanga) diputuskan menjadi puser bumi Islam di Jawa Kulon, maka tak lagi ada kekerasan. Penyebaran agama baru harus dilalui dengan jalan damai tanpa salah satu menekan lainnya dan tanpa salah satu menyakiti lainnya.
"Keliru! Pajajaran harus dihancurkan sebab tak mau masuk Islam!" kata Pangeran Arya Damar tegas.
"Jangan campur-adukkan kepentingan agama dan politik. Engkau bertekad menghancurkan Pajajaran bukan karena urusan agama, melainkan karena ambisi politikmu. Sudah sejak lama engkau membayangkan, bila kau berhasil melumpuhkan Pajajaran dan membawanya masuk ke bawah kekuasaan Carbon, maka kau akan dapat bintang. Bintang apakah itu? Aku tak bisa memperkirakannya, sejauh mana kau punya ambisi. Barangkali kau ingin menggeser kedudukanhulu-jurit , atau bisa juga kau ingin ditempatkan di wilayah Pajajaran dengan jabatanmangkubumi bahkan lebih tinggi dari itu. Itu hanya kau yang tahu tentang citacitamu," tutur Paman Jayaratu lagi dengan berani.
Hening sejenak. Kemudian terdengar kekeh kecil Pangeran Arya Damar.
"Engkau orang cerdik. Sebetulnya aku perlu orang-orang sepertimu. Daripada kau hidup terasing dan terlunta-lunta di negri sendiri, mengapa tidak gabung saja denganku?"
"Aku memang punya keinginan tapi tak sama dengan ambisimu," gumam Paman Jayaratu.
"Apakah engkau akan terus begini, hidup tak punya pijakan dan masa depan? Ingat, hanya aku yang akan bisa mengangkat kembali derajatmu!" kata Pangeran Arya Damar.
"Hm ... Tinggi-rendahnya derajat tidak ditentukan oleh tinggal di istana ... " Suasana hening lagi sejenak.
"Sejak lama kita tak pernah punya kesesuaian paham. Padahal kalau kita bersatu, akan merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat. Barangkali seluruh Carbon akan dapat kita kuasai!" gumam Pangeran Arya Damar.
"Kau menginginkan hal itu?" "Mengapa tidak? Untuk kebesaran sebuah negara, semua orang yang merasa memiliki kemampuan, harus berupaya menampilkan kemampuannya. Kalau aku merasa memiliki kemampuan untuk memimppin negara, mengapa hal itu tidak aku coba?" kilah Pangeran Arya Damar.
"Omonganmu kian melantur. Sikap-sikap seperti inilah yang tidak dikehendaki oleh Kangjeng Susuhunan Jati, di mana bila semua orang merasa mampu melakukan sesuatu, maka orang itu akan berusaha untuk duduk paling tinggi dan berjalan paling depan. Itulah sebabnya, Kangjeng Susuhunan Jati pernah berkata kalau mengurus sebuah negri maka landasan acuannya adalah agama.Dengan berlandaskan kepada kebenaran agama, maka orang tak akan saling berebut pengaruh dan kekuasaan atau juga saling merasa punya hak karena berdasarkan garis turunan. Betapa melencengnya jalan pikiranmu, Arya ... " keluh Paman Jayaratu.
Suasana kembali diam. Dan ketika terdengar ada salah seorang dari mereka berjingkat, maka Purbajaya pun ambil kesempatan untuk berjingkat. Dengan demikian, gerakan dia ketika meninggalkan tempat itu suaranya kurang bisa diikuti orang pandai.
***
SEUSAI menyimak obrolan dua orang itu, kian bertambah pula kebingungan di hatinya. Ini sekaligus telah menambah nilai misteri yang ada di lingkungan istana. Dan Paman Jayaratu adalah orang yang paling diselimuti kabut misteri. Ya, mendengar obrolan barusan, siapakah sebenarnya Paman Jayaratu ini?
Bila bertemu dengan Pangeran Arya Damar di muka umum, Paman Jayaratu nampak sekali rasa hormatnya, seperti layaknya hormat seorang hamba-sahaya kepada majikannya, atau hormat dari seorang yang derajatnya rendah kepada orang yang memiliki derajat jauh lebih tinggi. Namun peristiwa malam ini di kebun belakang puri Arya Damar telah membuktikan lain. Mendengar nada suara dan tutur kata Paman Jayaratu kepada Pangeran Arya Damar, amat menunjukkan bahwa derajat mereka sebenarnya sama. Atau paling tidak, Paman Jayaratu merasa bahwa derajatnya tidak lebih rendah dari bangsawan bernama Pangeran Arya Damar itu. Akan halnya Pangeran Arya Damar, dia pun amat kentara kalau dirinya sebetulknya segan kepada Paman jayaratu. Sungguh hebat, sungguh ajaib dan sungguh misterius.
Sebenarnya bukan orang sembarangan. Barangkali Paman Jayaratu dulunya pejabat penting juga. Hanya entah karena apa orang tua itu akhirnya mundur dari istana.
Purbajaya jadi ingin sekali mengorek dan menguak tabir misteri ini. Maukah Paman Jayaratu membeberkan rahasia ini ke padanya? Orang tua itu serba merahasiakan dirinya. Sudah barang tentu yang namanya rahasia tak boleh diketahui siapa pun. Kalau Purbajaya tanya langsung, belum tentu Paman Jayaratu mau membeberkannya. Dan apa pula kepentingan dirinya untuk mengetahui rahasia Paman Jayaratu? Yang patut disimak adalah isi obrolan mereka. Dari hasil pendengaran Purbajaya, terdapat kesan bahwa rencana yang dibuat Pangeran Arya Damar sebetulnya menyerempet bahaya. Boleh dikata, itu adalah sebuah rencana liar yang tak diketahui negara. Berbahayakah kalau Purbajaya memaksakan diri terlibat di dalamnya?
Hati pemuda itu akhirnya merasa muak dengan yang jadi urusan pangeran ini. Ingin sekali dia kabur dari puri ini dan kembali berkumpul dengan Paman Jayaratu. Tapi kalau tiba-tiba dia mengundurkan diri, tentu akan membuat kecurigaan berbagai pihak. Pangeran Arya Damar akan marah dan curiga. Purbajaya sulit mengajukan alasan perihal kesaksiannya tadi malam. Kalau hal ini diketahui, bahaya lebih besar akan mengancam nyawanya. Maka dengan alasan apa dia bisa mengundurkan diri dari libatan jaring pangeran itu? Bukankah ketika dia mempertanyakan kepentingan menyerang Cakrabuana pun semua orang lantas curiga kalau dirinya masih berkiblat ke Pajajaran? Belum lagi kalau memikirkan Nyimas Waningyun. Kalau dia menjauhkan diri dari rencana Pangeran Arya Damar, hanya punya arti dirinya memutuskan hubungannya dengan gadis itu, padahal dia tengah memiliki rencana besar dengan gadis itu.
Terus-terang, di benaknya ada terpikir untuk menggagalkan perjodohan Nyimas Waningyun dengan Raden Ranggasena. Tidak dengan jalan kekerasan, melainkan dengan menyodorkan logika yang sekiranya bisa terpikir oleh Pangeran Arya Damar.
Namun untuk meyakinkan hal ini, hambatannya sungguh berat. Selama ini Pangeran Arya Damar selama ini tak pernah menghargai jalan pikirannya.Perlu satu hal agar dirinya terperhatikan, yaitu membuat Pangeran Arya Damar percaya dan menghargainya. Kalau dia berjasa, maka Pangeran Arya Damar akan mau melirik padanya. Salah satu peluang untuk mendapatkan kepercayaan adalah keikutsertaan dirinya dalam rencana perjalanan ke Cakrabuana. Purbajaya harus sanggup menampilkan kesungguhannya dalam mengikuti perjalanan ini.
"Aku tak sanggup kehilanganmu, Nyimas. Makanya, apa pun yang terjadi, aku sudah tak mau meninggalkan puri ini..." gumam Purbajaya.
Pemuda ini tidur dengan hati gundah. Mungkin karena terlalu banyak yang jadi pikirannya. Akibatnya, pada subuh harinya dia terlambat bangun, sehingga pintu kamarnya perlu digedor orang.
***
"PURBA, cepat bangun!" seru suara dari luar sambil menggedor daun pintu keras-keras.
Dengan mata masih terasa pedih, Purbajaya membuka pintu. Di luar sudah berdiri dua orang prajurit.
"Engkau tengah ditunggu Raden Yudakara di depan puri!" tutur salah seorang di antaranya. "Raden Yudakara?" Purbajaya mengerutkan alais. Dia tak kenal bangsawan ini.
"Ya, beliaulah yang akan memimpin perjalananmu ke Cakrabuana!" kata lagi prajurit.
Alis Purbajaya semakin berkerut. Namun diturutinya perintah dua prajurit itu. Purbajaya hanya punya waktu membasuh muka. Dia segera menjinjing perbekalan kecil yang telah dipersiapkan, sudah itu segera keluar.
Benar saja, di paseban dia sudah ditunggu. Di sana ada Pangeran Arya Damar, lengkap dengan para pembantunya, yaitu Ki Albani, Ki Aspahar, Ki Aliman dan Ki Marsonah, yang padahal menurut rencana, merekalah sebetulnya yang akan memimpin pasukan kecil ini. Namun Purbajaya juga melihat seorang pemuda yang Purbajaya baru tahu hari ini. Dia adalah seorang pemuda dewasa. Barangkali usinya sekitar 35 tahun. Dia berpakaian hitam-hitam, juga memakai ikat kepala warna hitam. Yang mencolok dari kesemuanya wajahnya tampan berkulit putih. Hidungnya mancung walau sedikit melengkung. Matanya tajam setengah berkilat. Ada kumis tipis hitam menghiasi bagian atas bibirnya. Yang Purbajaya tak suka, sepasang bibirnya terkatup rapat seperti menampakkan ejekan. Dia bersila tegak di hadapan Pangeran Arya Damar. Sepasang tangannya bersedekap melintang di dada.
Purbajaya menduga, tentu dialah Raden Yudakara.
Dan benar, lelaki tampan itu diperkenalkan Pangeran Arya Damar sebagai Raden Yudakara. Purbajaya disuruhnya agar memberikan hormatnya kepada pemuda itu.
"Purba, engkau akan melakukan perjalanan ke wilayah Cakrabuana bersama Raden Yudakara," kata Pangeran Arya Damar.
"Ada perubahan rencana, Gusti?" tanya Purbajaya.
"Tidak. Rencana berjalan seperti semula, yaitu kita mengirimkan pasukan rahasia ke puncak Gunung Cakrabuana, tapi engkau melakukan perjalanan lebih dahulu bersama Raden Yudakara," jawab Pangeran Arya Damar.
Purbajaya mencoba melirik ke arah pemuda itu.
"Engkau pasti belum kenal. Raden Yudakara adalah orang kita namun banyak ke luar-masuk wilayah Pajajaran dan bertindak sebagai mata-mata. Orang Pajajaran bahkan menganggapnya sebagai warga di sana. Hebat bukan?" kata Pangeran Arya Damar."Kelak angkau akan memasuki wilayah Pajajaran bersama Raden Yudakara," sambung pangeran itu.
"Aku dengar, engkau inipuhawang (ahli kelautan) dan terbiasa hidup di Muhara Jati. Pajajaran khabarnya butuh tenagapuhawang sebab mereka merencanakan menghidupkan kembali kejayaannya di lautan. Kelak kau bisa menyusup menjadi pegawai di lautan," kata Raden Yukadara nadanya sudah seperti memerintah.
Rundingan kembali diadakan. Tapi intinya hanya mengatur teknis perjalanan. Mereka berunding, kapan dan di mana bisa bergabung dengan pasukan inti yang dipimpin oleh keempat orang perwira itu.
"Sebelum hari terang tanah, kalian harus segera meninggalkan tempat ini," kata Pangeran Arya Damar.
Mereka semuanya diberi hidangan penghangat badaan. Sesudah itu, baru beranjak untuk pergi.
Beberapa orang penghuni puri melepas kepergian mereka. Para prajurit dilepas oleh sesama teman-temannya yang tak ikut pergi dan di pintu depan, mereka diberi ucapan selamat jalkan oleh deretan gadis cantik.
"Nyimas ... " Purbajaya tak terasa berbisik. "Ow, rembulan di atas sana sudah mulai pudar cahayanya. Tak dinyana di bawah sini malah bersinar cemerlang. Wahai gadis, siapakah gerangan?" kata Raden Yudakara dengan suara merdu merayu.
"Beliau adalah putri terkasih Pangeran Arya Damar, Raden ... kata Purbajaya sebab Nyimas Waningyun hanya menunduk tersipu.Sepasang mata gadis itu sembab. Mungkin kurang tidur atau mungkin habis menangis. Kalau dua-duanya benar, tidakkah ini karena peristiwa semalam?
Nyimas Waningyun mungkin tak sempat tidur dan kini mencegatnya di sini bersama barisan gadis cantik yang bertugas mengantarkan rombongan.
Sayang ada Raden Yudakara, sehingga pertemuan perpisahan ini tak sempoat dinikmati oleh Purbajaya. Bahkan lebih dari itu, kehadiran pemuda bangsawan itu serasa mengganggu kenyamanan Purbajaya.
"Tak disangka, di puri ini ada mawar yang tengah merekah indah. Tapi, hai gadis, wajahmu muram, sorot matamu suram. Kalau ada awan hitam menggayut di hatimu, singkirkanlah dengan senyum bahagia," Raden Yudakara menggoda Nyimas Waningyun dengan nada manis menawan.
Yang digoda hanya menunduk dengan senyum dikulum.
"Pangeran Arya Damar pandai menyembunyikan halaman indah sehingga tak ada orang tahu isinya," kata Raden Yudakara sambil beberapa kali berdecak kagum.
Namun tak ada tanya-jawab penting di sana sebab Nyimas Waningyun keburu dibawa pergi oleh beberapa gadis lainnya. Dan Purbajaya berdegup jantungnya ketika gadis itu masih sempat menoleh ke belakang dan menatapnya sejenak.
"Sepertinya mawar harum itu mengenalmu, Purba ... " gumam Raden Yudakara melirik kepada Purbajaya.
"Tentu saja. Bukankah saya tinggal di puri ini, Raden?" jawab Purbajaya.
Kedua orang itu akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda terbagus milik puri itu. Dari Carbon menuju wilayah Karatuan Talaga akan memakan waktu sehari penuh kalau dilakukan dengan cepat. Namun demikian, mereka tidak akan memasukidayo (kota) Karatuan Talaga, melainkan hanya akan singgah di sebuah dusun kaki Gunung Cakrabuana saja.
Paman Jayaratu pernah bercerita kepada Purbajaya bahwa nama Cakrabuana sebetulnya diambil dari sebuah peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di puncak gunung itu.
Dulunya, gunung itu hanya dikenal sebagai Gunung Cangak. Namun demikian, sudah sejak dulu gunung ini suka dipakai tempat tinggal orang-orang berilmu, baik ilmu kewiraan mau pun ilmu kebatinan termasuk agama.Karuhun (nenek-moyang) orang Sunda menganggap Gunung Cangak sebagai tempat keramat sebab di sana orang mendalami agamakaruhun . Di wilayah Teja (Lemahputih) ada bekas tempat persemayaman tokoh amat terkenal dengan julukan Ki Jago. Di lereng timur ada Candi Batulawang, bekas para akhli agama Hindu bersemayam. Semakin ke atas, juga didapat petilasan bernama Batucakra.
Batucakra ini punya riwayatnya. Dulu Kangjeng Walangsungsang, putra Sang Prabu Siliwangi dari Pajajaran, mengembara mencari ilmu kehidupan. Beliau pun tiba pula di wilayah Gunung Cangak. Di sana lama mempelajari ilmu agama (Islam). Dan karena pernah tersesat di sana, maka beliau membuat peta dengan goresan-goresan kuat di atas batu. Orang mengatakan kalau Sang Walangsungsang ketika itu membuat goresan-goresan menyerupai cakra. Maka sejak saat itu, Walangsungsang dijuluki Cakrabuana bahkan gunung itu pun dikenal sebagai Gunung Cakrabuana hingga kini.
Kangjeng Cakrabuana adalah pendiri Karatuan Carbon (1445 Masehi) dan bergelar pangeran.
"Dulu namanya Caruban. Artinya campuran. Ini karena Carbon sebelum berubah menjadi sebuah negara sudah dihuni oleh orang-orang dari berbagai bangsa, berbagai adat-istiadat, berbagai agama dan juga macam-macam bahasa dan tulisan. Penduduk menamakan dirinya sebagaiwong grage . Asal kata darigarage . Semenjak berkembang menjadi negara dan dikepalai oleh Kangjeng Pangeran Cakrabuana, Carbon memang berubah menjadinagara gede (garage) . Kangjeng Pangeran Cakrabuana adalah uwaknya Sang Susuhunan Jati yang memerintah kini," kata Paman Jayaratu ketika itu.
Selama dalam perjalanan, Purbajaya selalu memperhatikan perangai lelaki tampan ini. Ternyata Raden Yudakara adalah seorang yang periang. Baginya, alam sekelilingnya adalah kebahagiaan semata. Dia menyenangi pemandangan alam, sehingga menuju ke tempat pertempuran dianggapnya sebagai perjalanan pesiar saja. Dia pun amat romantis. Pencinta berbagai keindahan, termasuk keelokan wanita muda. Di sepanjang jalan, bila masuk ke sebuah dusun dan kebetulan berpapasan dengan wanita yang meneurut seleranya cantik, Raden Yudakara selalu mengerling tajam dan senyum manis dikulum. Wanita desa mana yang jantungnya tak berdegup bila diajak senyum seorang bangsawan berkuda gagah? Maka tak ayal, mereka tersipu, menunduk malu dengan rona merah di wajah, atau pura-pura cemberut, namun akhirnya ada kerling penasaran di matanya.
"Rupanya Raden amat menyukai wanita ... " kata Purbajaya di tengah jalan sepi.
Dikatakan begini, Raden Yudakara tertawa lepas dan bebas. Dan nampaknya ada kegembiraan menerima pernyataan ini.
"Tidak persis begitu. Yang sebetulnya kurasakan, aku adalah mencintai keindahan. Keindahan apa saja. Namun karena wanita itu pun bagian dari keindahan, maka sudah barang tentu aku amat menyukainya. Tuhan memberikan warna keindahan kepada apa yang ada di dunia, termasuk keindahan wanita. Kalau aku mencintai keindahan, itulah tandanya aku memuji kepada kepandaian Tuhan," jawab Raden Yudakara berfilsafat.
"Dan aku tak memilah-milah. Keindahan ada di mana saja. Tidak melulu ada di lingkungan puri. Keindahan di alam bebas barangkali keindahan yang sebenarnya sebab di sana tak ada polesan. Tapi ... " Raden Yudakara mendadak berhenti seperti mau tersedak. "Ada apa Raden?"
"Gadis di puri Arya Damar demikian cantik. Mungkin yang tercantik dari semu kembang di taman. Dia demikian anggun, demikian indah. Mungkin penuh harum. Ow, aku akui gadis di Pajajaran elok dan indah. Namun yang namanya putri puri Arya Damar, mengapa sepertinya terpisah dari yang lainnya?"
Purbajaya sedikit goyah mendengar pujian ini. Benar, mendengar Nyimas Waningyun dipuji setinggi langit, hanya menegaskan bahwa dirinya adalah seorang normal, mencintai gadis maha-cantik. Namun yang dirinya tak enak, pujian habis-habisan yang diucapkan Raden Yudakara hanya menandakan bahwa pemuda bangsawan ini pun secara khusus tertarik kepada Nyimas Waningyun. Hati Purbajaya mengeluh, semakin bertambah saingannya dalam mendapatkan cinta gadis itu.
Yang membikin hati Purbajaya agak terobati, adalah ketika mendapatkan kenyataan bahwa Raden Yudakara kerjanya mengobral pujian kepada setiap gadis. Dalam satu hari itu saja, sudah belasan gadis yang kebetulan berpapasan, selalu dia puji setinggi langit. Purbajaya berdoa, semoga pujian-pujian Raden Yudakara kepada Nyimas Waningyun tidak singgah di hatinya, melainkan hanya pujian sejenak saja.
"Tapi gadis puri itu sepertinya memendam kesedihan besar. Aku sungguh ingin tahu, ada apakah ini?" Raden Yudakara membuat Purbajaya goyah lagi.
"Betul, Raden. Gadis itu sedang punya masalah. Ada sebuah perjodohan yang gadis itu tak menyukainya ... " tak terasa Purbajaya memaparkan persoalan gadis itu.
"Hm ... di mana-mana gadis bangsawan nasibnya selalu begitu. Perjodohan dan nasib cintanya selalu dikaitkan dengan kepentingan lain. Aku bisa duga, gadis itu dijodohkan dengan sesama anak bangsawan demi kepentingan kedua orangtua anak-anak muda itu," Raden Yudakara menebaknya dengan jitu.
"Tebakan Raden benar ... "
Raden Yudakara hanya senyum kecil.
"Kasihan Nyimas Waningyun ... " gumam Purbajaya tak sadar. "Aku pastikan, gadis itu sudah punya pilihannya sendiri." "Benar sekali, Raden ... "
"Siapa kira-kira?"
Ditanya seperti itu, giliran Purbajaya yang terkatup bibirnya.
Ini rahasia pribadi. Mengapa musti diobral kepada banyak orang? Tapi Purbajaya akhirnya mulai berpikir lain. Di mata Pangeran Arya Damar, kedudukan Raden Yudakara sepertinya tidak berada di bawahnya. Mungkin juga keberadaan pemuda bangsawan ini cukup diperhitungkan oleh Pangeran Arya Damar. Kalau benar begitu, mengapa Purbajaya tidak minta tolong saja kepada pemuda periang ini?
"Yang saya lihat, Nyimas Waningyun tak suka kepada pemuda pilihan keluarganya," kata Purbajaya.
"Gadis yang malang ..." guman Raden Yudakara. "Dia perlu pertolongan." sambung lagi Purbajaya.
"Ya, dia perlu ditolong dari kesedihannya. Penderitaan cintanya harus dilenyapkan. Kalau pun perjodohan itu diatur orang, paling tidak harus menyertakan kepentingan gadis itu sendiri," kata Raden Yudakara sambil mencongklang kudanya.
Purbajaya tak sanggup menebak, apa arti ucapan pemuda bangsawan ini. Hanya yang jelas, Raden Yudakara memang sepertinya punya perhatian yang khusus kepada Nyimas Waningyun. Purbajaya berdoa, mudah-mudahan Raden Yudakara memang bersikap penuh perhatian kepada nasib orang dan mau menolong kesedihan orang lain.
Perbincangan mengenai Nyimas Waningyun cukup sampai di situ. Bahkan seperti terlupakan ketika secara tiba-tiba di tengah perjalanan bertemu lagi dengan seorang gadis. Dia adalah gadis dusun, terlihat dari dandanannya yang amat sederhana, terbuat dari kain kasar dan sedikit lusuh. Hanya yang jadi perhatian, paras gadis itu cukup manis kendati kulitnya agak sawo matang karena banyak kena sinar matahari.
Gadais itu tengah melangkah dengan perlahan dan terkesan lunglai tak bersemangat. Bisa jadi lantaran kecapaian berjalan jauh. Gadis itu berjalan sambil menggendong bakul, entah berisi apa.
Raden Yudakara serta-merta menghentikan langkah kudanya tepat di samping gadis itu.
"Kalau kerja-keras diselingi keluh-kesah maka bakalan lekas capek dan rasa bahagia akan berkurang, hai gadis manis," kata Raden Yudakara.
Tentu saja gadis itu terkejut setengah mati karena ada lelaki asing tampan dan gagah menyapanya. Purbajaya menduga, seperti biasanya gadis ini pasti akan tersipu-sipu malu, menunduk dan wajahnya bersemu merah. Begeitu yang pernah dilihat pada gadis yang sudahsudah.
Namun Purbajaya kecele. Gadis itu tidak menunduk, apalagi tersipu dengan rona merah di pipi. Dahi gadis itu malah berkerut ketika disapa Raden Yudakara seperti itu. Dia berjalan dengan langkah lebih cepat dan mepet ke pinggir jalan berdebu.
"Mulutmu yang cemberut tidak akan mengubah wajah manismu. Tapi cemberutmu hanya akan merugikanmu sebab hatiku jadi tersiksa, hai gadis," kata lagi Raden Yudakara tak bosan menggoda. "Kalau hatiku gundah, maka engkaulah yang berdosa," jawaab gadis itu pendek. Raden Yudakara tersenyum kecil dan tak menampakkan rasa tersinggung, padahal menurut penilaian Purbajaya, gadis itu tak sopan, kepada seorang bangsawan bicara ketus.
"Amboi, sikapku yang baik ini malah menjadikannya sebuah dosa," sergah Raden Yudakara sambil tertawa renyah.
"Ya, engkau berdosa ... " kata gadis itu kian mepet karena kuda Raden Yudakara semakin mendekat saja.
"Tolonglah hai gadis manis, jangan biarkan aku berbuat dosa!" Raden Yudakara merintih namun jelas hanya olok-olok belaka.
Dan gadis itu akhirnya merandek.
"Biarkan aku melangkah tanpa gangguanmu!" katanya ketus sekali.
"Gadis secantikmu terlalu sayang untuk dilewatkan. Berdosakah bila aku menatap paras elokmu?" lagi-lagi Raden Yudakara menantang.
"Tentu berdosa sebab engkau sepertinya tak tahu dan tak bisa memilih-milih kepada siapa rayuanmu kau sampaikan," ujar gadis itu lantang.
"Oh, hai ... Tak pantaskah rayuanku dilayangkan padamu?" "Tentu tak pantas."
"Kenapa gerangan?"
Gadis itu tak menjawabnya, membuat Raden Yudakara penasaran untuk mendesaknya. "Karena ... "
"Karena apa, manis? Cepatlah jawab gadisku, sebab hari semakin siang, sebab kaki-kaki kuda semakin tak sabar untuk merambah indahnya cinta. Katakanlah, apa penyebab tak pantasnya sapaan cintaku padamu?" Raden Yudakara semakin mendesak dan menantang sampai Purbajaya malu sendiri menyimaknya.
"Aku sudah ada yang punya!" jawab gadis itu pendek. Lalu rona merah merebak di pipinya. "Amboi, sungguh beruntung suamimu ..."
"Aku belum bersuami!" "Lho?"
"Aku sudah terikat perjodohan!"
"Ow, tentu calon suamimu amat tampan!" "Tidak!"
"Engkau cinta padanya?"
"Apakah perasaan cinta musti dikaitkan dengan keelokan wajah? Engkau hai laki-laki asing, wajahmu memang tampan. Pakaianmu gagah. Mungkin kau anak orang kaya atau keluarga kaum bangsawan. Tapi aku tak suka padamu. Kau tak sopan!" hardik gadis itu.
Sejenak Raden Yudakara menghentikan congklang kudanya. Mungkin dia sedikit terhenyak dengan perkataan gadis itu. Hingga gadis itu berlari menjauh, Raden Yudakara masih terpana di atas kudanya.
"Mari Raden, kita lanjutkan perjalanan ... " kata Purbajaya sepertinya tak pernah melihat adegan itu.
Raden Yudakara membedol tali kekang kuda dengan marahnya. Sepertinya dia kesal dan terhina oleh gadis dusun itu.
***
Ada sedikit kebosanan melihat sikap Raden Yudakara ini. Dalam pandangan Purbajaya, pemuda ini punya watak hidung belang. Masa di sepanjang jalan kerjanya hanya menyapa dan menggoda perempuan saja. Sangat beruntung, rasa bosan Purbajaya tidak memuncak menjadi rasa muak sebab sikap pemuda bangsawan itu ada batasnya juga. Sekali pun benar setiap kali bertemu gadis dia menggoda, tapi hanya sebatas godaan kata-kata saja.
"Apa Raden tak sakit hati didamprat gadis dusun seperti itu?" Ditanya seperti itu, Raden Yudakara hanya tersenyum saja. "Dia tak tahu aku seorang bangsawan," tuturnya.
"Benar. Kalau pun tadi gadis itu bilang kau anak bangsawan, tapi sebatas baru mengira-ngira saja. Padahal kalau tahu yang sebenarnya, gadis itu pasti wajahnya pucat-pasi," kata Purbajaya "memberi angin".
"Itulah sebabnya, aku senang berpakaian orang kebanyakan, biar mereka jujur mengemukakan pendapatnya," tuturnya."Aku pernah bersua wanita yang telah bersuami. Ketika kugoda dia mau saja hanya karena aku mengaku keluarga bangsawan. Aku campakkan dia dengan muak. Selain pengkhianat, dia pun ambisius. Coba kalau aku anak petani, apa dia mau?" sambungnya.
"Barangkali gadis barusan pun akan terpikat kalau Raden terang-terangan mengaku sebagai pejabat," sela Purbajaya.
"Mungkin juga begitu. Tapi kalau benar, aku pasti muak dan akan kucampakkan dia. Aku paling tak senang pengkghianatan, termasuk dalam urusan cinta," tutur Raden Yudakara tegas. Purbajaya menatap agak lama. Hatinya bertanya-tanya, apa benar Raden Yudakara begitu tegas dalam urusan cinta? Namun demikian, Purbajaya pun memuji sikap ini. Raden Yudakara benci pengkhianatan. Dia pun adalah orang yang tak mudah tersinggung dan sakit hati. Sebuah sikap yang sebetulnya bisa dianggap baik namun juga bisa dianggap jelek.
Orang yang tak mudah tersinggung bisa juga tak begitu tebal punya rasa malu. Dan yang ini bisa bahaya sebab bisa saja orang itu melakukan hal-hal yang hina tapi tidak merasa bahwa tindakan itu hina karena dirinya tak malu melakukannya.
Dan kalau ingat ini, ciut juga nyali Purbajaya. Kalau Raden Yudakara berkarakter begitu, pemuda bangsawan penggemar wanita cantik ini bisa jadi gangguan terhadap dirinya.
"Ah ... mudah-mudahan dia tak ganggu Nyimas Waningyun. Mudah-mudahan dia malah membantuku dalam memperjuangkan cintaku terhadap gadis itu," pikir Purbajaya.
***
ROMBONGAN yang akan menuju puncak Cakrabuana memang dibagi dua kelompok. Kelompok berkuda yang jumlahnya lebih besar dipimpin oleh empat pembantu utama Pangeran Arya Damar, melakukan perjalanan melewati Gunung Ciremai bagian selatan. Mereka akan menuju puncak Cakrabuana melewati Talaga. Ini perjalanan yang cukup sulit sebab akan melewati kaki bukit yang terjal dan berhutan lebat serta memiliki hawa amat dingin berkabut. Rombongan ini sengaja memilih jalan ini sambvil sekalian mengadakan perondaan.
Di wilayah-wilayah terpencil seperti ini kerapkali didengar ada pasukan pengacau keamanan. Mereka bisa saja hanya perampok biasa, namun bisa juga karena latar belakang politik. Sudah tak aneh, di masa peralihan pengaruh dan kekuasaan banyak melahirkan kelompok yang pro dan kontra. Khabar selentingan, di wilayah kekuasaan baru Negri Carbon seperti wilayah selatan dan barat, diisukan banyak kelompok pembangkang. Mereka adalah yang tak mau tunduk kepada penguasa baru dan memilih memisahkan diri dari kehidupan bernegara. Kendati Karatuan Sindang Kasih, Rajagaluh atau pun Talaga sudah resmi bernaung di bawah Carbon, namun masih ada kelompok kecil yang tak setuju dengan itu dan tetap bertahan dengan keyakinan lama. Jumlahnya memang tak seberapa. Namun demikian, tetap merupakan duri dalam daging. Maka itulah sebabnya, rombongan yang dipimpin empat perwira menyusuri daerah rawan keamanan. Di samping memang sudah jadi tugasnya, namun juga bisa diartikan sebagai kamuplase.Sebab, bukankah tujuan utama dari kesemuanya adalah menyerang sarang Ki Darma di puncak Cakrabuana?
Ingat ini, Purbajaya jadi penasaran. Dia amat tertarik kepada tokoh bernama Ki Darma ini. Hanya satu orang saja, namun mengapa Pangeran Arya Damar begitu tegang menghadapinya, sehingga upaya menyerang Ki Darma dijadikan gerakan amat khusus? Kalau kelak tiba di Cakrabuana, yang Purbajaya inginkan adalah bertemuu dengan Ki Darma.
Rombongan kedua jumlahnya lebih kecil, hanya Purbajaya dan Raden Yudakara. Perjalanan mereka lebih enteng sebab hanya menyusuri jalan pedati di dataran rendah dan banyak melewati kampung-kampung besar.
Diatur sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Melakukan perjalan melalui utara seperti yang dilakukan Purbajaya dan Raden Yudakara adalah perjalanan paling mudah. Namun hal ini tidak bisa dilakukan dengan rombongan besar. Walau pun menyandang tugas "resmi" yang direstui pimpinan tertinggi militer, namun perjalanan ini tetap memendam tugas rahasia yang tak diketahui negara. Pasukan ini diusahakan jangan terlalu banyak bertemu orang ramai.
Jalur utara itu daerah ramai tapi juga kerawanannya lumayan. Walau pun wilayah ini sudah masuk ke Carbon, namun yang namanya daerah perbatasan berbagai kemungkinan bisa terjadi. Orang Pajajaran kerapkali menyusup ke wilayah Carbon. Mungkin hanya sebatas melakukan perdagangan gelap, namun bisa juga karena keperluan mata-mata. Oleh sebab itu, memamerkan pasukan berkuda ke daerah ramai seperti ini amat mengundang perhatian. Lain halnya dengan perjalanan yang dilakukan kedua orang itu. Kalau ada orang Carbon melihat Raden Yudakara keluyuran di sini, tidak akan menimbulkan perhatian khusus sebab pemuda banagsawan ini dikenal gemar keluyuran. Namun kalau pun dia memasuki wilayah Pajajaran, maka giliran orang Pajajaranlah yang tak bercuriga apa pun, sebab khabar menunjukkan bahwa Raden Yudakara pun di sana diakui sebagai warga.
Raden Yudakara adalah mata-mata bagi kepentingan Carbon. Dan kalau pemuda tampan ini senang keluyuran dan berpelesir, barangkali juga karena didesak oleh kebutuhannya sebagai mata-mata. Tidakkah kegemarannya terhadap wanita pun berangkat dari kepentingan tugasnya?
Purbajaya berpikir, begitu berbahayanya sebenarnya permainan politik itu. Kehidupan politik telah membutakan kemanusiaan. Dalam lingkaran politik orang sulit melihat kebenaran sebab segalanya sepertinya diatur untuk sebuah kepentingan tertentu.Orang membunuh, belum tentu dikatakan jahat. Bahkan sebaliknya, orang berbuat kebajikan, belum tentu dasarnya kemanusiaan.
Bermain dalam politik, orang sulit menilai kemanusiaan yang hakiki. Sebab ada kalanya, kesulitan dan kesengsaraan sengaja direkayasa agar nantinya bisa dijadikan alat untuk memenangkan kepentingan politiknya. Begitu mungkin yang tengah dilakukan Raden Yudakara. Dia bisa bermain ke sana ke mari, bisa menjadi ini dan itu hanya karena sebuah kepentingan dan bukan lahir dari nilai kemanusiaannya. Sebagai contoh, di wilayah Carbon, pemuda ini dikenal sebagai keluarga bangsawan. Namun kedudukannya sebagai apa, tak banyak orang mengenalnya. Paling orang kebanyakan hanya menilai dia adalah seorang pemuda yang doyan pelesiran dan amat menyenangi berbagai keindahan, termasuk keindahan kodrat wanita. Hanya sedikit saja orang yang tahu, betapa sebenarnya dia tengah mengemban tugas sebagai mata-mata. Menurut pengakuan Pangeran Arya Damar, Raden Yudakara ini di Pajajaran adalah kerabat pejabat di sana juga. Khabarnya Pangeran Yudakara adalah kerabat dekatnya Ki Sunda Sembawa, seorang kandagalante (pejabat setingkat wedana kini) di wilayah Sagaraherang ( sekitar Subang kini). Apakah benar merupakan kerabat dekatnya Sunda Sembawa atau bukan, Purbajaya tak bisa memastikan. Keluarga dekat pun bisa jadi, tokh antara Pajajaran dan Carbon sebenarnya masih setunggale seturunan. Banyak kekerabatan di kalangan orang Carbon dan Pajajaran, kendati secara politis terpisah oleh dua negri berbeda dan dua paham berbeda. Namun hanya sekadar rekayasa pun bisa saja. Tokh seperti tadi diutarakan, untuk kepentingan politik, hal apa pun bisa terjadi. Dan benar atau tidak hal ini terjadi, yang pasti kehidupan akal-akalan tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Tentu yang keluyuran di Pajajaran sebagai mata-mata bukan Raden Yudakara seorang. Tentu Ki Sunda Sembawa sebagai pejabat penting di wilayah Sagaraherang pun ikut terlibat di dalamnya. Berapa jumlah orang Pajajaran yang sama-sama ikut terlibat mempunyai misi "dua muka" barangkali sudah sulit dihitung. Dan orang-orang yang demikian sebenarnya amat membahayakan tatanan negara. Oleh orang Pajajaran, Raden Yudakara mungkin dianggap warga yang baik dan terhormat. Mereka salah penilaian. Padahal yang sebenarnya terjadi, Raden Yudakara itu orang yang kelak akan sangat merugikan mereka. Beruntung Raden Yudakara bekerja untuk kepentingan Carbon. Bagaimana halnya kalau keadaan sebenarnya terbalik? Ow, Purbajaya tak mau melantur jauh seperti itu. Namun yang tetap dia yakini, permainan politi ini benar-benar berbahaya sebab nilai kemanusiaan bisa buram dana sulit ditentukan warna aslinya.
Purbajaya ngeri, sebab suatu saat peranan Raden Yudakara pun akan jatuh padanya. Melalui Raden Yudakara, dia pun kelak akan menjadi "warga" Pajajaran. Dia akan disuruh "mengabdi" kepada Pajajaran. Sungguh ngeri, mengabdi tapi untuk menghancurkan. Di sana dia harus berbuat baik tapi untuk melakukan kebohongan. Kebaikan yang dia kerjakan nanti, sebetulnya untuk menciptakan kejahatan, paling tidak mengkhianati sesama manusia dan menghancurkan kepercayaan kemanusiaan. Inilah yang mengerikan baginya. Dia akan melakukan penipuan. Bagaimana penilaian agama terhadap perilaku seperti ini? Purbajaya tak sanggup memikirkannya.
Purbajaya bingung. Sejauh mana agama memperkenankan perilaku manusia dalam melakukan pembelaan terhadap negara. Apakah menipu untuk mempermainkan kepercayaan orang demi kepentingan negara diperkenankan agama?
Purbajaya sama sekali tak sanggup mengira-ngira. Hanya saja melihat sikap dan tindaktanduk Raden Yudakara di perjalanan dalam tugasnya sebagai mata-mata di mata Purbajaya terasa keji. Di saat-saat tertentu Raden Yudakara harus mengecoh orang. Apa yang dia kemukakan kepada siapa pun selalu diimbuhi kebohongan. Mungkin bukan tabiat Raden Yudakara begitu. Namun tugasnya sebagai mata-mata mengharuskannya begitu. Tak boleh mengemukakan apa yang sebetulnya terjadi atau apa yang sebetulnya tengah dilakukan.
Sampai pada suatu hari, Raden Yudakara betul-betul menemukan sebuah khabar yang amat mengejutkan. Bahkan Purbajaya pun sama terkejut mendengar berita ini.
"Betulkah ada serombongan pasukan Pakuan yanag menuju Cakrabuana?" tanya Raden Yudakara sambil santai membenahi pelana kudanya. Suaranya datar, pertanyaan pun dilakukan sambil lalu saja. Padahal Purbajaya menduga, berita ini amat mengejutkan Raden Yudakara.
"Betul. Semuanya terdiri dari kaum perwira, belasan jumlahnya," tutur seorang tua setengah baya. Dia adalah pedagang penyelundup dari wilayah perbatasan utara yang dengan susahpayah menyelundupkan kain halus ke wilayah Pajajaran. Semenjak perdagangan antarpulau Pajajaran terhambat oleh gerakan Carbon, wilayah mereka kesulitan mendatangkan kain halus dari Nagri Cina, Parasi atau pun Campa. Agar kain halus tetap didapat, maka pedagang Pajajaran harus "minta tolong" kepada pedagang Carbon. Maka jadilah perdagangan gelap antara dua negri. Secara politik mereka bermusuhan namun dagang jalan terus. Mengapa tidak boleh dilakukan, tokh orang Carbon (pesisir) pun butuh hasil bumi dari wilayah pegunungan atau pedalaman. Pajajaranlah yang menguasainya.
"Betul, belasan jumlahnya," pedagang asal Carbon ini seperti ingin lebih memberi keyakinan. "Di Cakrabuana memang banyak binatang buruan. Namun rasanya jumlahnya sudah semakin berkurang ... " gumam Raden Yudakara masih bicara sambil lalu.
"Berburu? Masa serombongan perwira Pajajaran jauh-jauh dari wilayah barat berburu ke timur?" pesdagang itu melkecehkan pendapat Raden Yudakara.
"Habis, apa yang mereka kerjakan di sana?" tanya Raden Yudakara. "Mereka akan mengejar seorang buruan!"
"Siapa yang akan mereka buru?" "Ki Darma!"
"Ki Darma? Siapa dia?" Raden Yudakara pura-pura tak kenal.
"Dia orang terkenal di Pajajaran. Namun sungguh aneh, dia dicintai rakyatnya, namun dibenci penguasa negri. Orang Pajajaran kok aneh-aneh. Sepertinya apa yang dianggap baik oleh rakyatnya, tidak demikian oleh penguasanya. Aneh sekali ada beda pendapat antara pemerintah dan rakyatnya," tutur pedagang itu.
Raden Yudakara tidak mengomentari pertanyaan orang itu yang bagi pandangan pemuda itu, ini hanyalah pendapat dungu dari masyarakat awam semata.
Namun demikian, Raden Yudakara tetap memperlihatkan mimik, seolah-olah dia menyimak dan menghargai wawasan politik pedagang gelap itu.
"Hanya sedikit saja yang aku tahu. Ki Darma itu pemberontak dan pengkhianat." Raden Yudakara mencoba menggiring pendapat orang itu.
"Pengkhianat bagi penguasa tidak berarti penjahat bagi rakyat. Oleh rakyatnya, Ki Darma malah dianggap pembela."
"Apa sih yang dia bela?"
"Paling tidak, Ki Darma berani mengeritik penguasa. Sang Prabu Ratu Sakti orang kejam. Ayahandanya malah gemar berperang, sehingga kerapkali rakyat sengsara karena peperangan. Hanya Ki Darma yang berani memperingatkan, bahwa peperangan membuat rakyat menderita dan pembangunan terhambat."
Raden Yudakara mengangguk-angguk, entah apa maksudnya.
Tapi sampai pedagang gelap itu pergi, Raden Yudakara masih termenung. Purbajaya tak tahu, apa yang sebenarnya tengah dipikirkan pemuda bangsawan itu.
"Saya kira, perjalanan kita sedikit terganggu, Raden ..." gumam Purbajaya.
"Sangat terganggu ..." jawab Raden Yudakara masih merenung."Kita pasti bentrok dengan mereka," sambungnya dengan wajah sedikit tegang. "Kita harus berusaha memberitahu rekan-rekan kita yang tengah bergerak di selatan. Mungkin sebaiknya perjalanan mereka diurungkan dulu agar bentrokan dengan musuh tidak terjadi," kata Purbajaya.
"Justru kita dipaksa harus bentrok dengan musuh," ujar Raden Yudakara.
"Mengapa? Tujuan kita hanya menempur Ki Darma. Sekarang tugas kita ringan sebab tanpa kita tempur, Ki Darma sudah diserang orang lain. Kita hemat tenaga, Raden," kata Purbajaya mengeluarkan pendapatanya.
"Belasan perwira Pakuan datang ke Cakrabuana mungkin bukan hanya sekadar mau menangkap Ki Darma saja, melainkan juga akan mencari tombak pusaka Cuntangbarang," ujar Raden Yudakara.
Purbajaya jadi ingat perbincangan beberapa waktu lalu di paseban Puri Arya Damar. Bahwa penyerbuan ke Cakrabuana yang direncanakan ini, selain ingin melumpuhkan Ki Darma juga akan mencoba merebut tombak pusaka itu yang diduga dikuasai tokoh itu.
Purbajaya terkejut. Kalau begitu, benar yang dikatakan Raden Yudakara, bentrokan dengan musuh tak bisa dielakkan sebab satu sama lain memiliki keinginan yang sama, yaitu merebut tombak pusaka Cuntang Barang.
"Mari, kita harus berpacu melawan waktu. Pasukan di selatan harus kita hubungi dan jangan sampai terlambat datang," kata Raden Yudakara membedal tali kekang kudanya. Kuda warna hitam dengan tubuh tinggi besar itu mendadak berlari kencang karena hentakan-hentakan keras dari penunggangnya. Purbajaya pun ikut membedal kuda sehingga dia pun sama-sama mencongklang keras di atas punggung kuda.
Kata Raden Yudakara, bersama pasukan yang tengah bergerak di selatan, harus membuat siasat melepas domba bertarung dengan domba untuk kemenangan srigala.
"Biarkan dulu Ki Darma dan para perwira Pakuan saling timpuk. Kemenangan salah satu dari mereka adalah kelelahan. Maka di saat itulah pasukan Carbon menggempurnya," kata Raden Yudakara membayangkan rencananya dengan bibir tersenyum puas, seolah-olah rencana itu sudah benar-benar tengah berjalan.
Begitu cerdik dan ganas siasat ini. Namun demikian, Purbajaya hanya bisa membedal kudanya keras-keras agar bisa mengikuti kecepatan lari kuda yang dimiliki Raden Yudakara.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 03 --oo0oo-- Jilid 05 |