Kunanti Di Gerbang Pakuan Jilid-05
tanztj
February 05, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 04 --oo0oo-- Jilid 06 |
TRILOGI PAJAJARAN
Kunanti Di Gerbang Pakuan
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 05
Kunanti Di Gerbang Pakuan
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 05
Pragola ingin sekali bertanya perihal maksud undangannya ini. Namun dia tak berani mengemukakannya. Dia takut menyinggung perasaan wanita itu, sepertinya Pragola tak senang melihat Nyi Mas Layang Kingkin bercanda.
Tapi Nyi Mas Layang Kingkin rupanya bisa menduga hal ini. Buktinya dia mulai berkata dengan sungguh-sungguh.
“Sudah aku katakan tadi pagi bahwa melihatmu tinggal di puri Yogascitra, mengingatkanku pada pembantu Banyak Angga. Kalau perjalanan waktu dikembalikan ke masa tigabelas tahun silam, tentu engkau akan heran sebab ada seorang pemuda yang wajahnya mirip engkau.
Pemuda itu berwajah bulat telur, sepasang mata berbinar bundar. Kalau melirik matanya berkilat tajam. Hanya bedanya, pemuda tigabelas tahun silam itu terkesan bodoh walau kadang-kadang terkesan aneh dan macam-macam,” kata Nyi Mas Layang Kingkin. “Saya bisa menduganya, tentu pemuda itu bernama Ginggi,” potong Pragola dengan nada datar.
“Betul sekali. Tapi dari mana kau tahu?” Pragola hanya menunduk.
“Tapi kepada pemuda itu aku tak senang. Aku bahkan sedikit membencinya…” gumam Nyi Mas Layang Kingkin seperti menyesal karena percakapan perihal ini.
Pragola mengerutkan dahi. Semua orang di Pakuan seperti mendewa-dewakan lelaki bernama Ginggi ini bila menyimak lakon kegagahan para ksatria Pajajaran yang biasa dilantunkan para kaum prepantun. Adalah sesuatu hal yang aneh bila ada orang Pakuan yang tidak senang kepadanya. Nyi Mas Layang Kingkin, mengapa musti tidak menyukai Ksatria Ginggi?
Bukankah pemberontakan yang dilakukan oleh Sunda Sembawa pada tigabelas tahun silam sempat digagalkan oleh ksatria itu? Bukankah tindakan-tindakan Ksatria Ginggi waktu itu telah menyelamatkan keberadaan suaminya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti?
“Tentu saja engkau tak sependapat denganku sebab engkau adalah orang dari puri Yogascitra, sedangkan lelaki bernama Ginggi selalu menjadi kebanggaan mereka,” tutur Nyi Mas layang Kingkin.
Pragola sebetulnya ingin mengatakan bahwa dirinya pun tidak menyenangi orang itu. Ingin pula dia katakan bahwa dirinya sebenarnya bukan dari kelompok puri Yogascitra. Tapi tentu saja dia tak berani mengabarkannya mengingat hal ini adalah rahasia bagi orang Pakuan.
Sejauh apa pun Pragola menyukai wanita anggun ini, tokh kenyataanya Nyi Mas Layang Kingkin adalah orang Pakuan dan tentu merupakan musuhnya pula.
“Saya hanyalah pengabdi kecil. Tentu saja harus setia kepada seorang majikan yang telah memberinya kesejahteraan,” tutur Pragola setelah merenung sejenak.
“Kalau ada orang lain yang memberi kesejahteraan jauh lebih baik dan terhormat, maukah engkau bersetia kepada orang itu?” tanya Nyi Mas layang Kingkin tiba-tiba.
Pragola kembali merenung. Wanita cantik ini selalu menyodorkan teka-teki padanya. Tetapi ini adalah sesuatu yang menarik buatnya. Nyi Mas Layang Kingkin sudah tahu Pragola “anak buah” Banyak Angga. Tapi mengapa sepertinya dia mau menarik dirinya dari sana? Ini hanya menandakan bahwa di antara keluarga Yogascitra dengan Nyi Mas Layang Kingkin ada permasalahan. Masalah apa, Pragola tak tahu. Tapi dia ingin mengetahuinya. Itulah sebabnya, dalam waktu singkat dia memutuskan untuk menerima undangan kedua dari wanita berwajah manis ini. Dia mengangguk pelahan ketika Nyi Mas Layang Kingkin menatap seolah p[enuh harap.
“Tapi ingat, kali ini hanya aku seorang yang tahu akan kehadiranmu di puriku,” gumam wanita itu. Kembali Pragola mengangguk tanda mengerti apa maksud Nyi Mas Layang Kingkin.
Besok malamnya pemuda itu memenuhi janjinya untuk datang ke puri Layang Kingkin. Sudah barang tentu, kali ini dia harus datang sambil main sembunyi. Nyi Mas Layang Kingkin yang menginginkannya demikian. Inilah yang membuat Pragola tertarik intuk memenuhi undangan tersebut. Wanita itu ingin melakukan pertemuan rahasia. Tentu apa yang akan disampaikan kepadanya pun bersifat rahasia. Tentang apa, Pragola belum tahu.
Ke mana Pragola harus, tentu bukan ke paseban seperti undangan seperti kemarin sore. Paseban hanyalah tempat pertemuan terbuka, tidak baik digunakan sebagai tempat pembicaraan rahasia.
Pragola harus menuju kompleks bagian belakang dari puri ini. Tempat wanita bersunyi diri biasanya di sebuah taman. Dan taman biasanya dibuat di kompleks bagian belakang, maksudnya agar bebas dari gangguan dan pandangan orang.
Pragola harus mencari taman puri, sebab dia menduga Nyi Mas Layang Kingkin menunggu disana.
Dan benar perkiraannya. Wanita cantik itu ditemukan di sebuah taman yang sunyi tapi mempunyai panorama indah. Taman itu dipenuhi tanaman hias. Dibeberapa tempat ada beberapa pohon-pohon rimbun, namun didepan pohon itu di pasang lentera dengan warna cahaya temaram. Beberapa lentera seperti sengaja dikecilkan apinya sehingga cahayanya demikian temaram, hampir remang-remang. Lentera yang apinya lemah terdapat di seputar sebuah danau yang kecil yang berdiri di tepi kolam. Ada sebuah bayangan hitam di dalam danau. Tapi Pragola tahu, itulah tubuh Nyi Mas Layang Kingkin. Wanita itu tengah duduk bersimpuh menghadap kolam. Sepertinya dia tengah merenung sebab tubuhnya tak bergerak barang sedikit. Udaranya terasa dingin, apa lagi ada angin semilir lewat di taman. Namun sungguh heran , disaat udara demikian dingin, Nyi Mas Layang Kingkin seperti memakai pakaian tipis terbuat dari kain sutra. Ini nampak dari kibaran selendang yang tertiup angin. Ketika selendang itu berkibar, nampak lekuk relung pinggang wanita itu, samar-samar dalam keremangan lentera.
Sunyi sekali di sana, memungkinkan Pragola untuk memasukinya tanpa khawatir diketahui orang lain.
“Nyi Mas, saya datang … “ gumam Pragola sedikit bergetar. Bagaimana tidak begiru, sebab kendati dalam remang, mata pemuda itu sanggup memandang tubuh indah wanita itu. Benar, Nyi Mas Layang Kingkin hanya menggunakan pakaian tipis yang ketat mencetak lekuk-lekuk tubuhnya. Kain sutra tipis yang barangkali hanya digunakan untuk tidur saja. Mengapa Nyi Mas Layang Kingkin menggunakan pakaian serba tipis padahal tahu akan kedatangan tamu, pria lagi? Atau barangkali Pragola datang terlalu telat shingga wanita itu memutuskan untuk tidur saja? Entahlah, Pragola tidak bisa memahaminya.
Pragola masih berdiri di luar dangau, sedang Nyi Mas Layang Kingkin masih duduk membelakanginya. Ada semilir angin lewat kembali di sana dan pakaian tipis itu berkibar lagi. Kali ini sang angin bahkan snggup menerpa rambut panjang tergerai dari wanita anggun itu. Pragola berdebar dadanya sebab betapa indahnya pemandangan disana. Di balik cahaya temarang, seorang wanita bertubuh molek tengah duduk melamun dengan pandangan tertuju ke permukaan kolam.
“Kau lihatlah Pragola, di kolam ada beberapa ikan berenang kian kemari…” kata Nyi Mas Layang Kingkin tanpa menoleh ke belakang.
“Saya tak bisa menyaksikannya, Nyi Mas …” jawab Pragola masih berdiri di belakang wanita itu.
“Tentu saja, melihat dari kejauhan tak akan menghasilkan pandangan yang benar. Kalau pun bisa terlihat, hanyalah samar-samar belaka dan belum tentu menemukan sesuatu yang hakiki, “tutur Nyi Mas Layang Kingkin penuh arti.”
Pragola masih tertegun.
“Mari duduk disampingku agar bisa menyaksikan isi kolam yang sebenarnya…” ajak Nyi Mas Layang Kingkin.
Pragola agak ragu-ragu. Namun pada akhirnya dia berani juga memasuki dangau mungil itu. Dengan hati-hati dia duduk bersila disamping wanita itu. Harum semerbak bung-bungaan keluar dari tubuh semampai itu, membuat dada pemuda itu kian bergetar.
Pragola ikut mematung sambil mata memandang ke permukaan kolam. Hanya remangremang saja. Namun benar seperti yang dikatakan Nyi Mas Layang Kingkin, di kolam ada serombongan ikan berenang kesana-kemari kendati hanya terlihat secara remang-remang saja. “Coba lihatlah begitu banyak ikan berenang kesana-kemari,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin. “Tapi kau lihat pula, ada satu dua ekor ikan yang berenang memisahkan diri. Tak ada persatuan disana. Serombongan besar berenang kesana dan serombongan kecil berenang kemari. Yang satu tak ada artinya bagi yang lainnya. bila benar begitu, maka jumlah sebesr apapun yang ada di kolam tidak memiliki makna. Ikan yang hidup terpisah dari rombongan yang lebih besar akan tetap merasa kesunyian kendati di sekelilingnya banyak ikan…” kata Nyi Mas Layang Kingkin panjang lebar namun sepertinya bicara pada dirinya sendiri. “Apakah anda merasa kesepian, Nyi Mas…?” Pragola tidak bisa menahan untuk mengajukan pertanyaan seperti itu.
Nyi Mas Layang Kingkin cepat menoleh ke samping seolah merasa kaget menerima pertanyaan pemuda itu. Dua wajah saling berhadapan dalam jarak yang tidak begitu jauh. Pragola menatap raut muka wanita itu. Betapa matangnya wajah wanita ini, matang dan dewasa. Beda sekali dengan gadis-gadis yang Pragola lihat di tempat lain. Kaum perawan bila berpapasan muka dengan lelaki asing tentu akan segera menunduk penuh malu, barangkali juga dengan rona merah di pipi. nAmun wanita selir mendiang Prabu Ratu Sakti itu seolah begitu menantangnya ketika ditatap pemuda itu. Barangkali benar wanita dewasa yang sudah banyak makan asam-garam kehidupan akan berani melawan tatapan laki-laki, atau barangkali juga karena kedudukannya sebagai selir Raja. Mengapa tidak berani menatap orang lain.
Kendati pun yang ditatapnya laki-laki, namun hanyalah orang rendahan belaka. Yang tidak tahu diri sebenarnya dirinya itulah. Pragola hanya sekedar prajurit biasa, mengapa berani mati menatap seperti itu?
Ingat kedudukannya yang rendah, Pragola segera menunduk bahkan duduknya pindah agak menjauh.
“Mengapa kau duduk menjauh?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin masih menatapnya. “Saya tidak berani, Nyi Mas…” ujar Pragola.
Terdengar wanita itu merahuh pendek.
“Semua orang memang menjauhiku. Dari mulai pejabat hingga prajurit sepertimu….” Keluhnya.
Pragola terkejut mendengar keluhan ini, sehingga tanpa dia sadari duduknya kembali berpindah, bahkan kini lebih dekat lagi ke tubuh Nyi Mas Layang Kingkin.
Wanita itu menatap sambil mulut tersenyum manis. Ada desah napas yang menerpa wajah pemuda itu, hangat dan harum.
Namun senyum tipis Nyi Mas Layang Kingkin hanya datang sejenak, sebab sejenak kemudian sudah berganti menjadi kabut kelabu.
“Aku hidup di istana tapi sebatangkara. Rasanya hanya Sang Prabu Ratu Sakti saja yang menyayangiku. Setelah itu tak ada kasih lagi yang menerpa diriku. Semuanya menjadi jauh, barangkali mereka juga tidak menyukaiku…” gumamnya.
“Bukankah anda ibu suri di sini…?”
“Hmm … ibu suri. Aku hanyalah selir dari seorang raja yang kini telah tiada,” gumamnya lagi.
“Kata orang, anda amat berpengaruh di sini,” kata Pragola.
“Hanya karena aku mencoba memberikan beberapa anjuran, maka orang mengatakan aku ingin menanamkan pengaruh. Lantas mereka mencoba membatasiku. Aku disuruhnya beristirahat, bersenang-senang atau kesibukan apa saja yang sekiranya jauh dari kesibukan istana. Tapi aku tahu, sebenarnya mereka memisahkanku dari kegiatan negara…” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Wanita seanggun anda sebaiknya bersenang-senang di puri indah, atau di Taman Mila Kancana dan tak perlu bersusah-susah ikut memikirkan negara…” sahut Pragola sekenanya saja.
“Kalau orang sudah mulai mengerti urusan kenegaraan, maka tisak bisa tidak akan ikut memikirkannya,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin.
“Anda ikut memikirkan negara?”
Nyi Mas Layang Kingkin mengangguk.
“Ya, apalagi bila negara dalam keadaan kacau,” jawabnya. “Dalam keadaan kacau?” Pragola pura-pura terkejut.
“Jangan berpura-pura. Kalau engkau telah dekat dengan Banyak Angga tentu engkau pun tahu apa yang tengah mereka kerjakan!”
“Mengerjakan apa?”
“Hm! Wajah tampanmu tidak punya bakat untuk berbohong. Jangn kira aku bodoh untuk mengetahui rencana-rencana puri Yogascitra!” dengus Nyi Mas Layang Kingkin membuat wajah Pragola memerah karena malu.
“Kalau engkau mau ikut denganku, engkau tak usah ikut melakukan perjalanan ke wilayah timur yang lusa akan kalian tempuh itu!” kata Nyi Mas Layang Kingkin. Pragola terkejut, dari mana wanita itu tahu, padahal rencana ke wilayah timur hanya diketahui oleh keluarga Yogascitra saja. Kalau pun ada pihak lain yang tahu, paling hanya Pangeran Yudakara saja.
Itu pun karena dilapori oleh Pragola sendiri.
“Saya belum paham, mengapa Nyi Mas menawari saya untuk bergabung di puri ini…?” kata Pragola penasaran.
“Katamu, kau perlu mengabdi kepada orang yang memberimu kesejahteraan yang lebih dan aku butuh pembantu. Mengapa engkau tidak tinggal saja di puriku?” tanya Nyi Mas Layang Kingkin.
“Itu artinya mengkhianati orang yang pertama memberi saya kesejahteraan,” jawab Pragola. “Engkau hanya bisa disebut pengkhianat bila pengkhianatan itu diketahui mereka. Kalau mereka tak merasakannya maka engkau pun akan tetap menjadi seseorang yang dihargai oleh siapa saja. Lagi pula engkau harus ingat, tak selamanya sebuah tindakan memisahkan diri atau penolakan sesuatu disebut mengkhianati. Kalau engkau berpaling dari perintah-perintah Yogascitra belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Bahkan mungkin sebaliknya, engkau akan berjasa mengurangi berbagai kemelut dan kekacauan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin.
Berdebar dada pemuda ini. Semakin dalam melakukan pembicaraan dengan wanita ini, maka semakin terkuak keberadaanya. Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan bahwa wanita ini berbahaya, sebab Nyi Mas Layang Kingkin pun berpikir dan bekerja untuk kepentingan politik juga. Tapi berbahaya untuk siapa? Sudah barang tentu, Pragola sendiri tidak merasakan adanya bahaya, paling tidak untuk kepentingan dirinya. Menyimak pendapat Nyi Mas Layang Kingkin, sepertinya wanita ini tidak menyukai rencana-rencana Pangeran Yogascitra. Kalau benar begitu, maka antara Pragola dan Nyi Mas Layang Kingkin sebenarnya “sehaluan”. Namun untuk lebih menegaskan apa dan bagaimana keberadaan wanita ini, sebaiknya dirinya harus terus berupaya mengorek pendapat dan pendirian Nyi Mas Layang Kingkin.
“Saya belum mengerti apa yang dimaksud oleh Nyi Mas,” kata Pragola mencoba mengorek tujuan-tujuan wanita itu.
“Aku tahu, Yogascitra tengah menghimpun sebuah kekuatan militer. Dia berpendapat bahwa keberadaan Pakuan bisa dikembalikan dengan kekuatan militer. Tapi pejabat ini tidak ingat, bahwa rencana sebaik apa pun tanpa Raja berkenan menyetujuinya, maka tidak akan menghasilkan kebaikan. Sang Prabu Nilakendra bahkan tidak senang Pakuan mencari kekuatan militer,” kata Nyi Mas Layang Kingkin.
“Dan menurut Nyi Mas, bagaimana sebaiknya?”
“Aku setuju dengan pendapat Sang Prabu, Pakuan tidak perlu militer,” “Mengapa?”
“Sang Prabu Nilakendra pencinta damai. Ibarat harimau yang punya taring, maka sang harimau selalu ingin mencoba tajamnya taring dalam dalam melakukan sesuatu. Sedang yang namanya melakukan sesuatu bagi yang memiliki senjata adalah melakukan pembunuhan.
Tapi kau lihatlah seekor siput. Dia tak punya senjata untuk membunuh, maka dia tak berniat untuk melakukan pembunuhan. Asalkan dia punya pertahanan, maka keselamatan pun akan terjamin. Begitu pun yang dipikirkan Sang Prabu Nilakendra. Pertahanan yang baik bukanlah senjata, melainkan adalah sabar dan tak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sang Prabu bahkan lebih menitikberatkan pertahanan dalam kehidupan keagamaan. Sebab menurut Raja, lebih memperdalam kehidupan keagamaan merupakan jalan menuju keselamatan,” tutur Nyi Mas Layang Kingkin lagi.
Pragola termenung mendengar penjelasan wanita ini. Sekarang semakin terbuka siapa Nyi Mas Layang Kingkin ini. Dia tentu kelompok yang setuju dengan kebijaksanaan Raja. Nyi Mas Layang Kingkin adalah lawan dari Pangeran Yogascitra. Sekarang Pragola harus tahu, apa maksud wanita ini menarik dirinya ke dalam kelompoknya.
“Apa kepentingan anda dan apa pula keuntungan anda bila menarik saya ke puri ini, Nyi Mas?” tanya Pragola secara langsung.
“Aku perlu memiliki mata-mata dan aku pun perlu orang yang bisa bergerak menggagalkan setiap rencana-rencana Yogascitra,” jawab Nyi Mas Layang Kingkin.”Engkau cocok untuk melakukan misi ini sebab engkau telah dianggap orang-orang Yogascitra,” lanjut wanita ini. “Bagaimana anda yakin saya mampu melakukan apa yang diinginkan olehmu, Nyi Mas…?” “Kalau Banyak Angga menggunakanmu, tak nanti dia menyangsikan kemampuanmu,” kata Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum. Pragola terdiam. Banyak Angga sebetulnya belum tahu sejauh mana kemampuan pemuda ini. Kalaulah Pragola langsung dipercaya oleh keluarga Yogascitra, itu karena mereka tidak menyangsikan kepada apa yang dikatakan Pangeran Yudakara. Pangeran itu “mengirim”kan Pragola ke puri Yogascitra dan mengatakan bahwa selain pemuda ini memiliki cukup kepandaian, Pragola pun merupakan orang yang amat “berguna” bagi Pakuan.
Sekarang Nyi Mas Layang Kingkin telah mempercayainya juga hanya karena Banyak Angga seperti memerlukannya.
“Bagaimana anda yakin bahwa saya akan memenuhi keinginanmu, Nyi Mas?” tanya Pragola selanjutnya.
Sebagai jawaban dari wanita ini hanyalah senyum manis yang membuat dada pemuda itu kembali bergetar.
“Jawabannya sudah ada di dalam hatimu sendiri, anak muda,”
Pragola sedikit terkejut. Nyi Mas Layang Kingkin begitu menduga dengan pasti bahwa dirinya akan mau melayani permintaannya. Dari mana wanita ini mendapatkan keyakinannya, padahal pemuda ini bisa saja menolak permintaan dengan alasan ingin melakukan kesetiaan hanya pada keluarga Yogascitra saja.
Pemuda itu sendiri sebetulnya sudah memastikan bahwa dirinya menerima penawaran waniti itu karena beberapa pertimbangan. Tujuan datang kemari bukanlah ingin mengabdi kepada orang-orang Pakuan, melainkan akan melakukan penyelidikan seperti apa yang diperintahkan Pangeran Yudakara. Siapa pun yang ada di Pakuan tentu harus dia selidiki, termasuk pula Nyi Mas Layang Kingkin. Antara informasi dan kenyataan yang ada mengenai keberadaan wanita ini benar-benar sesuai. Bahwa wanita ini hidup terasing di istana, memang diakui sendiri oleh Nyi Mas Layang Kingkin. Belakangan informasi datang, bahwa wanita ini tidak setuju kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan Pangeran Yogascitra. Wanita ini akan memperalat dirinya agar menggagalkan usaha-usaha Pangeran Yogascitra dalam memperkuat militer. Pragola tentu akan sanggup, sebab ini pulalha yang menjadi misi Pangeran Yudakara. Keduanya punya misi sama, sekali pun punya tujuan berbeda. Nyi Mas Layang Kingkin menolak kebijaksanaan Pangeran Yogascitra karena sependapat dengan kebijaksanaan Raja. Sedangkan Pangeran Yudakara mencoba menghalangi usaha Pangeran Yogascitra karena menghendaki Pakuan semakin melemah sehingga memudahkan pasukan Cirebon dalam melakukan penyerbuan ke pusat pemerintahan Pajajaran itu.
Pragola sebetulnya tidak perlu ikut bergabung dengan Nyi Mas Layang Kingkin sebab sudah mengemban misi yang sudah diperintahkan oleh Pangeran Yudakara. Namun entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat dirinya ingin tetap berhubungan dengan janda mendiang Sang Prabu Ratu Sakti ini. Wanita cantik ini kaya, pernah menjadi orang penting, namun seperti hidup penuh kesunyian. Sunyi karena diasingkan oleh kalangan istana. Dia diasingkan hanya karena dianggap ingin ingin mempengaruhi Raja dalam meletakkan dasar-dasar kebijaksanaannya. Pragola kasihan dan sekaligus bersimpati. Hanya karena urusan perbedaan politik, maka wanita anggun ini diasingkan. Dia dijauhkan dari kegiatan kenegaraan. Kendati wanita ini di mana-mana dihormat, namun semuanya hanya penghormatan semu belaka. “Lihatlah ada ikan yang berenang terpisah dari kelompok lainnya.
“Malam sudah larut. Saya harus kembali ke kesatriaan, Nyi Mas…” kata Pragola pada akhirnya.
Wanita itu menatap lama dengan wajah sedikit sayu, kemudian mengangguk perlahan. Dialah malah yang berjingkat duluan. Namun entah mengapa, mungkin karena lantai dangau yang licin karena kayunya halus mengkilap, tubuh wanita itu doyong ke depan dan hendak jatuh.
Pragola terkejut. Bila dibiarkan, maka tubuh Nyi Mas Layang Kingkin akan terjerembab ke permukaan kolam. Maka satu-satunya jalan agar tubuh wanita itu selamat, Pragola harus segera meraihnya. Pragola menghambur ke depan dan memeluk tubuh wanita ramping namun berisi padat itu. Nyi Mas Layang Kingkin hanya sebentar memekik halus, untuk kemudian memegang dan setengah memeluk tubuh pemuda itu.
Sejenak mereka saling berpelukan. Namun Pragola lebih dahulu menyadarinya. Dengan sertamerta dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
“Maafkan saya telah melakukan hal yang tak senonoh,” tutur Pragola dengan suara parau bergetar karena menahan debar jantungnya.
“Tidak. Engkau adalah penolong yang baik. Kalau kau tak melindungiku, tentu aku sudah kecebur ke kolam. Sudah lama aku tak punya penolong selagi mendapatkan kesulitan…” kata wanita itu pelan dengan sedikit keluh.
“Saya mohon diri, Nyi Mas…” kata Pragola mundur dari tempat itu.
“Kapan engkau akan kembali lagi ke sini?” gumam Nyi Mas Layang Kingkin.
“Barangkali sesudah saya kembali dari wilayah timur, Nyi Mas…” kata Pragola ragu-ragu. “Aku menunggu keberhasilan usahamu. Dan bila kau pulang membawa sukses, maka apa pun yang engkau inginkan dariku akan kuberikan…” tutur Nyi Mas Layang Kingkin tersenyum manis.
Pragola tak berani memandang senyum itu. Dia segera berbalik dan meloncat ke atas benteng puri dengan amat cepatnya.
***
Kuda yang baik dan tangguh sudah disiapkan. Ada empat ekor banyaknya.
Karena kelihaian Pangeran Yudakara, maka Paman Manggala berhasil dipilih oleh Pangeran Yogascitra untuk ikut misi yang diemban Banyak Angga.
Empat orang akan mengemban misi penyelidikan ke wilayah timur dalam upaya mencari pasukan perwira yang terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Banyak Angga bertindak sebagai pimpinan rombongan. Sedangkan yang jadi anggota, selain Paman Manggala dan Pragola sendiri, ada seorang prajurit yang Pragola tak kenal. Paman Manggala pun mengaku tak kenal kepada prajurit ini. Dan kalau Pangeran Yudakara pun tidak pernah mengenalnya secara khusus, maka sudah diduga, bahwa prajurit ini tulen merupakan orang Pakuan.
Sekarang yang penting disimak oleh Pragola adalah sejauh mana peranan prajurit itu di dalam rombongan kecil ini. Begitu pentingkah orang itu sehingga harus dibawa?
“Nanti aku kenalkan engkau kepada Paman Angsajaya,” tutur Banyak Angga ketika Pragola mencoba menanyakannya.
Subuh hari manakala kokok ayam pertama mulai berbunyi, keempat penunggang kuda telah keluar dari gerbang Pakuan. Suara kaki kuda berjalan perlahan di jalan berbalay yang diselimuti kabut kecil. Dan semakin jauh meninggalkan pusat dayo (kota), langkah kaki kuda semakin deras menderu sebab para penunggangnya memacu binatang tunggangan itu dengan cepat.
Tak ada percakapan di sepanjang jalan. Pragola hanya merasakan dinginnya cuaca subuh sehingga tulang-tulangnya serasa ngilu.
Ada seberkas cahaya merah di ufuk timur manakala rombongan kecil ini tiba di sebuah dataran agak tinggi. Banyak Angga menghentikan kudanya. Serentak yang di belakang pun menarik tali kekang kuda.
“Ada apa Raden?” tanya Paman Angsajaya kaget.
“ Lihatlah, pemandangan alam indah nian, “ ujar pemuda itu menunjuk ke arah timur. Merah membara merebak ke sela-sela mega. Cahaya itu terus merebak ke utara, menerpa punggung Gunung Salak.
“ Begitu indah bumi Pajajaran ini. Kalau saja kedamaian pun ikut membantu, maka kehidupan ini begitu sempurna “ ujar Banyak Angga masih menatap rona merah di ufuk timur. Pragola dan Paman Manggala hanya saling pandang sejenak, sedangkan Paman Angsajaya mengangguk mengiyakan.
Setelah keadaan mulai terang tanah seperti inilah Pragola bisa mengamati prajurit yang dipanggil Paman Ansajaya ini. Dia adalah seorang lelaki setengah baya. Barangkali usianya hampir sama dengan Paman Manggala. Bedanya, prajurit ini sedikit jangkung dengan janggut tipis menghiasi dagunya.
Tadi malam ketika mempersiapkan keberangkatan, Banyak Angga mengatakan bahwa Paman Angsajaya dipilih untuk mengikuti perjalanan ini karena sudah kenal dengan Ginggi.
“ Dalam kurun waktu tigabelas tahun ini aku sendiri belum pernah bersua kembali dengan pemuda itu. Dulu wajahnya mirip engkau, Pragol. Tapi menurut Paman Angsajaya, Ginggi sekarang memelihara cambang bauk. Dalam enam tahun berselang ini, Paman Angsajayalah yang pernah memergok Ginggi memasuki Pakuan,” tutur Banyak Angga ketika membenahi perbekalan yang harus dibawa.
“ Benar Gusti, hampir berselang tiga tahun, dua kali berturut-turut, saya sempat bertemu Ksatria Ginggi. Tiga tahun lalu saya bertemu dia walau pun hanya selintas dan dari kejauhan saja. Tapi hamba yakin, dia adalah Ksatria Ginggi. Wajahnya bercambang seperti kehadirannya tiga tahun sebelumnya,” tutur Paman Angsajaya.
Paman Angsajaya selanjutnya mengatakan bahwa pada tiga tahun lalu Ksatria Ginggi memasuki gerbang kota tepat di saat lawang seketeng (gerbang) akan ditutup karena senja telah jatuh. Beberapa jagabaya bahkan hampir mencegahnya masuk kalau saja Ksatria Ginggi tak mengatakan bahwa kehadirannya akan mengabarkan sesuatu hal penting kepada Pangeran Yogascitra.
“ Tapi Ginggi tak pernah mengunjungi puri Yogascitra “ gumam Banyak Angga.
Percakapan pemuda itu dengan Paman Angsajaya tadi malam membuat dada Pragola berdebar keras. Pemuda ini menduga, tentu yang disangka Paman Angsajaya Ksatria Ginggi, sebenarnya adalah dirinya. Tiga tahun lalu ketika pertama kali Pragola menyusup ke Pakuan, berpura-pura sebagai prajurit dari wilayah timur dengan menggunakan cambang di wajah.
Ketika cambang itu dia lepas, Paman Manggala sempat menegurnya, kalau-kalau hali ini mengundang masalah. Namun Pragola menolak bila cambang itu musti dia kenakan sepanjang waktu. Dia bahkan memutuskan mengembalikan parasnya seperti sedia kala saja sebab mustahil darisekian banyak prajurit yang keluar-masuk Pakuan dirinya bisa ditemukan. Tokh mengaku untuk bertemu dan melaporkan sesuatu kepada Pangeran Yogascitra pun hanya sekedar siasat untuk dapat memasuki gerbang saja. Namun tak disangka, belakangan dirinya disuruh “menghadap” benar-benar karena Pangeran Yudakara pun punya siasat seperti itu.
Pragola berdebar karena khawatir siasatnya ketahuan orang Pakuan. Tapi juga ada semacam rasa penasaran, mengapa Paman Angsajaya yang mengaku melihat dirinya dari kejauhan dianggapnya sebagai Ksatria Ginggi?
Ini sesuatu hal yang menarik hatinya. Beberapa orang sudah mengatakan bahwa dirinya mirip Ksatria Ginggi. Banyak Angga langsung mempercayai dia bahkan hampir menganggapnya sebagai adik, hanya karena Pragola mirip Ginggi. Nyi Mas Banyak Inten pernah menatap lama, barangkali karena hal yang sama. Dan belakangan Nyi Mas Layang Kingkin sang ibu suri juga pernah berkata bahwa manakala melihat dirinya mengingatkan akan seorang pemuda yang menjadi pembantu dekat keluarga puri Yogascitra pada belasan tahun silam. Tentu yang dimaksud Nyi Mas Layang Kingkin adalah Ksatria Ginggi pula. Namun benarkah kata orang, wajahnya mirip Ksatria Ginggi?
“ Persetan dengan kemiripan itu! Yang penting aku tak punya hubungan apa-apa dengan orang itu, sebab sebenarnya dia harus aku bunuh!” desisinya dalam hati. Ya, mengapa tidak begitu, sebab berkali-kali dia tegaskan, Ksatria Ginggilah penyebab kematian Ki Guru Sudireja. Semakin banyak yang katakan dirinya mirip Ksatria Ginggi, semakin benci dia kepada orang itu.
Itulah sebabnya penawaran Nyi Mas Layang Kingkin agar dia mau menggagalkan misi ini, Pragola setuju sekali. Mengapa ibu suri yang masih muda dan cantik ini tak setuju dengan misi ini, Pragola tak perlu tahu, yang penting tujuan wanita anggun itu sejalan dengan dirinya. Tentu saja Pragola harus pro kepada keinginan Nyi Mas Layang Kingkin, dari pada harus membantu Banyak Angga yang bahkan memiliki tujuan kebalikannya, yaitu ingin menghimpun orang pandai dalam memperkuat Pakuan dan yang di antaranya akan berupaya mencari Ksatria Ginggi. Jadi, bila sekarang dia ikut misi, bukan karena ingin membantu Banyak Angga, melainkan ingin memanfaatkan pemuda dari puri Yogascitra ini dalam mencari Ksatria Ginggi untuk dirinya. Banyak Angga yang mencari Ksatria Ginggi dan Pragolalah yang kelak akan membereskan nyawa orang itu!
“Mari kita lanjutkan perjalanan…!” suara banyak Angga menyadarkan lamunan Pragola. Pemuda ini hanya menoleh, ternyata Banyak Angga pun tengah menatap dirinya. Pragola sedikit terkesiap sebab tentu Banyak Angga sejak tadi memperhatikan dirinya yang sarat dengan lamunan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Sekarang kuda dipacu dengan keras karena hari itu juga rombongan harus sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang.
Ketika matahari tepat di atas kepala, rombongan baru tiba di daerah kekuasaan Kandagalante Tanjungpura. Banyak Angga ternyata kenal baik terhadap penguasa Tanjungpura, yaitu Subangwara. Pejabat ini nampak sudah tua, barangkali usianya sekitar enampuluh tahunan.
Menggunakan pakaian dan baju jenis takwa dari beludru hitam dan kepalanya mengenakan bendo citak batik hihinggulan.
Ketika akan menerima kedatangan Banyak Angga, pejabat ini musti pergi dulu ke ruangan pribadinya dan kembali lagi ke beranda sudah mengganti tutup kepalanya dari bendo citak kepada jenis iket lohen.
Pragola tersenyum tipis menyaksikan hal ini. Barangakali Kandagalante Subangwara takut kesetiaannya kepada Pakuan diragukan. Iket lohen adalah tutup kepala khas orang Pajajaran, sedangkan bendo citak adalah sejenis tutup kepala yang biasa digunakan orang Cirebon.
Begitu pun pakaian baju jenis takwa, yang biasa menggunakannya adalah pejabat Cirebon. Namun Banyak Angga tidak begitu terpengaruh oleh soal pakaian.
Pragola mendapatkan, sebenarnya Banyak Angga tidak tersinggung dengan cara-cara berpakaian. Bendo citak dan baju takwa misalnya, datang merasuk ke Pajajaran karena pengaruh orang-orang kerajaan agama baru. Sesudah tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran dikuasai negara agama baru yaitu Cirebon yang dibantu Demak (1527 Masehi), perdagangan laut otomatis dikuasai kerajaan agama baru. Perdagangan di pantai utara misalnya, praktis hanya dilakukam oleh orang-rang Cirebon bahkan Demak. Namun kendati begitu, yang namanya dagang tetaplah dagang. Dan bagi kaum pedagang yang tujuannya mencari untung, maka urusan politik bisa ditepis.
Sebelum pusat-pusat perdagangan pantai milik Pajajaran direbut Cirebon, orang-orang Pakuan sudah terbiasa melakukan hubungan dagang dengan negara mana pun jua. Maka ketika itu mengalir berbagai jenis keperluan sehari-hari dari kedua belah pihak. Pihak Pajajaran menjual seribu jung (kapal) buah asem ke Andalas, atau sebaliknya membeli seribu ekor kuda dari Sumba dalam setiap tahunnya. Orang-orang Pakuan pun sudah terbiasa menjual kain jenis kasar kepada negri Cina tapi sebaliknya membeli kain sutra halus dari mereka. Namun sesudah Cirebon menguasai perdagangan pantai, maka Pakuan sudah tak sanggup lagi melakukan hubungan dagang secara langsung. Di luar kebijakan politik pemerintah, maka perdagangan antara “dua musuh” dilakukan oleh pribadi-pribadi kaum pedagang saja. Dalam hal ini tentu si penguasa perdaganganlah yang mendiktekan segalanya, termasuk mendiktekan keinginan dalam menyebarkan perdagangan budaya. Budaya berpakaian misalnya. Orang-orang pesisir utara hampir cenderung terpengaruhi budaya orangorang Cirebon atau bahkan Demak dalam bertindak-tanduk, termasuk dalam tradisi berpakaian. Tradisi ini sedikit demi sedikit merebak ke pedalaman, yaitu ke arah selatan, ke wilayah Pajajaran. Dala kurun waktu hampir tigapuluh tahun sejak perpindahan kekuasaan perdagangan wilayah pantai ini, tradisi berpakaian antara pesisir utara dengan penduduk Pajajaran yang berbatasan dengan wilayah utara atau timur misalnya, sudah sulit dibedakan.
Orang-orang Pajajaran di wilayah perbatasan menggunakan jenis pakaian yang hampir sama dengan orang-orang Cirebon karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena jenis pakaian itu banyak dijajakan oleh pedagan Cirebon. Tapi ada juga yang bertahan karena punya pendapat sendiri.
“Bendo citak mungkin datang dari Demak melalui orang-orang Cirebon. Tapi baju takwa di Pajajaran sudah ada sejak ratusan tahun silam,” ujar Paman Angsajaya di saat istirahat di Tanjungpura. Kata prajurit setengah baya ini, jenis baju takwa sudah masuk ke wilayah Kerajaan Sunda sejak lama, yaitu semenjak orang-orang Cina melakukan hubungan dagang ke wilayah Nusantara, termasuk ke wilayah Kerajaan Sunda. Jadi menurut Paman Angsajaya, baju takwa pertama kali digunakan oleh orang Cina. Namun sesudah datang ke Nusantara, mengalami berbagai perubahan sedikit-sedikit sesuai dengan selera si pemakai.
Pendapat ini dipercaya juga oleh Banyak Angga. Itilah sebabnya dia tak begitu banyak aturan perihal cara-cara berpakaian. Kalau pun Kandagalante subangwara menggunakan baju takwa karena pengaruh orang Cirebon, itu wajar saja, mengingat Tanjungpura amat dekat ke wilayah utara yang dikuasai Cirebon.
“Selamat datang di wilayah Tanjungpura ini, Raden…” kata Kandagalante Subangwara hormat sekali. Pragola memang sudah tahu, pengaruh Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja demikian besar, terutama sesudah peristiwa pemberontakan Sunda Sembawa yang gagal pada tigabelas tahun silam itu. Jadi tidak berlebihan bila Banyak Angga pun mendapatkan penghormatan yang sama dengan ayahnya.
“Saya bersyukur karena bisa melakukan perjalanan ke sini dengan selamat tanpa mendapatkan gangguan yang berarti di tengah perjalanan…” kata Banyak Angga duduk bersila saling berhadapan. Kandagalante Subangwara hanya tersenyum dikulum. Sebetulnya semua orang tahu, Tanjungpura merupakan wilayah rawan. Daerah ini terletak di perbatasan kekuasaan orang-orang Cirebon, puluhan tahun silam sering terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara pasukan Cirebon dengan pasukan Pajajaran. Namun belakangan, kekuasaan Cirebon semakin kuat dan sebaliknya pasukan Pajajaran semakin lemah. Hanya karena pasukan Cirebon tak berani menyerbu langsung ke pedalaman saja menyebabkan pertempuran besar dan habishabisan tidak pernah berlangsung.
Ucapan Banyak Angga barusan mungkin hanya sekedar sindiran untuk mengatakan betapa sulitnya melakukan perjalanan ke utara ini, sebab sesekali waktu akan bertemu musuh.
Barangkali ucapan ini pun adalah sebuah harapan. Sebagai orang pusat, Banyak Angga punya keinginan agar wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Pajajaran tetap tangguh dan terjamin keamanannya. Kalau pun tak sanggup mengusir musuh yang ada di perbatasan, paling tidak wilayah yang ada harus dipertahankan keutuhannya.
“Tanjungpura masih tetap milik Pajajaran, Raden. Kendati Cirebon masih menguasai wilayah pesisir utara, namun kekuatannya tidaklah setangguh dahulu. Cirebon bahkan kini seperti tak punya niat untuk melakukan peperangan dengan kita, apalagi sesudah pendukung utamanya, yaitu Kerajaan Demak mulai melemah karena terlalu banyak percekcokan di dalam negrinya sendiri. Namun harus saya akui, keamanan di wilayah perbatasan ini memang cukup rawan. Bukan dari orang-orang Cirebon, melainkan dari kaum perampok,” tutur Kandagalante Subangwara. “Di mana-mana perampok selalu saja ada…” gumam Banyak Angga.
“Kadang-kadang mereka tidak mengatasnamakan perampok tulen, melainkan berkedok politik,”tutur Kandagalante Subangwara. Banyak Angga melirik tajam.
“Yah, barangkali Raden juga sudah mengetahuinya sejak lama bahwa terjadi saling pengaruh antara Cirebon dan kita. Tentu rakyatlah yang diperebutkan. Kita mempertahankan kita agar tetap bersetia kepada pajajaran. Tapi di lain pihak Cirebon pun berupaya agar wilayahwilayah yang ada di sekitar pajajaran mau bergabung dengan mereka. Keadaan ini dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Bila ada wilayah yang berniat melepaskan diri dari kita, maka ada penjahat yang pura-pura jadi prajurit Pajajaran. Mereka akan mengancam melaporkannya ke Pakuan kalau tak sanggup membayar upeti. Sebaliknya bila ada wilayah yang masih bertahan dengan kesetiaannya terhadap Pakuan, maka mereka menyamar sebagai prajurit Cirebon. Mereka menjarah harta rakyat, bahkan berani membunuh dan memperkosa kaum wanita,”
“Kurang ajar…!” desis Banyak Angga.”Tapi tidakkah mereka sebetulnya orang-orang Cirebon?” tanyanya.
“Kami pun pernah bercuriga seperti itu. Tapi rasa curiga ini malah menjadikan orang-orang Cirebon marah. Hampir terjadi penyerbuan karena kemarahan ini. Menurut mereka, orang Cirebon pemilik agama baru tak nanti harus melakukan tindakan bejat dan tak berprikemanusiaan. Kalau pun mereka perang, maka bertempur di jalan agama. Begitu kata mereka,” tutur Kandagalante Subangwara. Dan ucapan pejabat ini amat melegakan perasaan Pragola yang ikut menyimak percakapan ini.
“Pernah terjadi pertempuran besar?” tanya Banyak Angga lagi.
“Setahun yang lalu terjadi pertempuran dengan kelompok yang mengaku prajurit Cirebon. Mereka ganas dan memeras rakyat. Jadi tak percaya mereka prajurit Cirebon. Tapi percaya atau tidak, yang pasti mereka harus kami lawan. Maka terjadi bentrokan senjata. Mereka sepertinya orang-orang yang pandai bertempur, prajurit Tanjungpura hampir terdesak, banyak yang luka bahkan terbunuh. Tapi di saat genting seperti itu, tiba-tiba muncul seorang ksatria. Kepandaiannya menakjubkan. Dalam beberapa saat saja satu pasukan penyerbu bisa dilumpuhkan. Ksatria itu mengalahkan musuh tanpa membunuh. Saya baru ingat, ksatria Pajajaran yang melumpuhkan musuh tanpa membunuh, tak ada lain, kecuali pemuda sakti bernama Ginggi. Kaum prepantun (juru pantun) di Tanjungpura kerapkali menggambarkan perangai dan tindak-tanduk Ksatria Ginggi seperti itu…” tutur Kandagalante Subangwara.
Hati Pragola berdebar keras ketika mendengar cerita ini. Ginggi, lelaki yang harus dia temukan ini ternyata pernah ke tempat ini setahun yang lalu. Tapi begitu hebatkah kepandaian orang itu? Masa satu pasukan dia kalahkan sambil tidak membunuh? Pragola membayangkan, betapa sulitnya melumpuhkan banyak musuh tanpa membunuh. Yang pernah dia alami, mencoba membebaskan diri dari sebuah kepungan hanya bisa dilakukan dengan mencoba menurunkan tangan kejam. Kalau tak membunuh, sekurang-kurangnya mencederai lawan.
Mungkin orang-orang Tanjungpura melebih-lebihkannya. Namun benar atau tidak, Pragola harus bertemu dengan lelaki itu. Bukan untuk sekadar mencoba kedigjayaannya, melainkan untuk melawan dan mengalahkan orang itu. Ya, lelaki bernama Ginggi itu harus dia kalahkan. Barangkali juga harus dia bunuh sebagai balasan kematian Ki Guru Sudireja.
“Tak ada orang yang memiliki kekuatan sempurna. Walau pun sedikit dan tak kentara, siapa pun pasti memiliki kelemahan. Itulah peluang untuk mengalahkannya,” kat Ki Guru Sudireja ketika masih hidup. Pragola percaya akan perkataan gurunya ini, itulah sebabnya di atak pernah takut, termasuk menghadapi Ginggi.
Yang tertarik atas berita kehadiran Ginggi ini, termasuk Banyak Angga. Pragola mendapatkan wajah pemuda itu yang penuh harap. Betapa tidak, perjalanan jauh yang tengah dilakukan ini, selain menyelidiki kebenaran perihal terkepungnya belasan perwira senior di Puncak Cakrabuana, juga tengah mencari orang-orang pandai yang di antaranya Ginggi inilah. “Setahun yang lalu dia ada di sini…?” gumam pemuda itu.
“Saya sendiri tak sempat mencegahnya, sebab kata para prajurit, Ksatria Ginggi segera berlalu setelah menyelesaikan tugasnya,” tutur Kandagalante Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekur.
“Adakah sesuatu yang penting perihal dirinya, Raden?” tanya penguasa Tanjungpura ini. Banyak Angga mengangguk. Kemudian dia memaparkan maksud perjalanannya ini. Betapa ayahnya menginginkan Pakuan dipenuhi orang-orang tangguh untuk menjaga kemungkinan penyerbuan dari musuh.
“Pajajaran selalu dirundung malang. Sejak dulu musuh gemar mengganggu. Kini, siapa yang dianggap berbahaya bagi negri kita, Raden?” tanya Subangwara.
Banyak Angga hanya terpekue sambil memangku kedua belah tangannya di depan dada. “Barangkali musuh akan datang dari mana-mana, termasuk dari dalam diri kita sendiri…”gumam pemuda berkimuis tipis ini.
Kandagalante Subangwara menoleh sejenak. Ditatapnya wajah pemuda itu dalam-dalam. “Musuh yang datang dari luar bisa dilihat. Tapi musuh yang paling berbahaya adalah yang ada di dalam. Mereka sembunyi di tempat terang. Mereka berkumpul dengan kita. Saling bersua, saling menolong, barangkali juga bersahabat. Namun tentu itu semua palsu sebab merupakan bagian dari siasat dan strategi mereka…”gumam Banyak Angga setengah mengeluh.
“Seperti yang dilakukan Purbajaya belasan tahun yang silam itu, Raden…”gumam Subangwara. Banyak Angga menunduk dan menghela napas.
Pragola pernah mendengar kisah Purbajaya ini. Belasan tahun silam pemuda ini datang dari wilayah Kandagalante Tanjungpura ini. Purbajaya yang pernah menjalin kasih dengan kemenakan Kandagalante Subangwara, datang ke Pakuan dengan niat mengabdikan keakhliannya sebagai puhawang (akhli lautan). Tentu saja Pakuan amat membutuhkan tenaga seperti itu sebab Pajajaran punya niat kembali merebut wilayah pantai. Namun kehadiran Purbajaya ke Pakuan sebenarnya hanya sebagai upaya penyusupan saja. Tujuan sebenarnya, dia datang atas suruhan Cirebon dalam upaya melemahkan kedudukan Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu. Purbajaya hampir saja berhasil membunuh Sang Prabu Ratu Sakti, kalu saja niat itu tak dihalangi Ksatria Ginggi. Pukulan telak yang dilakukan Purbajaya ke arah Sang Prabu ditangkis keras oleh Ksatria Ginggi. Akibatnya, Purbajaya terlempar ke belakang. Pemuda itu luka parah dan akhirnya tewas oleh tenaga pukulan membalik ke tubuhnya sendiri. (baca episode Senja Jatuh di Pajajaran)
Pragola tahu, Banyak Angga tentu sedih dengan kejadian itu sebab boleh dikata Purbajaya adalah sahabatnya. Pemuda Tanjungpura ini memang mengabdi di puri Yogascitra. Dan selama berada di sana, ke mana-mana selalu berdua. Barangkali pemuda ini tak menyangka bahwa persahabatan hanya palsu belaka. Purbajaya hanya berpura-pura sebagai orang Pajajaran. Padahal yang sebenarnya hanyalah akan menghancurkan Pajajaran.
Ingat sampai di sini, Pragola agak memerah pipinya. Bukankah dirinya pun hadir ke Pakuan ini untuk menghancurkannya? Banyak Angga benar, musuh yang paling berbahaya adalah yang sembunyi di tempat terang.
“Saya tak benci kepada Purbajaya. Tapi saya memang punya kesedihan yang dalam…”tutur Banyak Angga.”Terkadang kita terlalu lemah. Itulah salah satu musuh dalam diri kita sendiri,” tuturnya lagi.”Kelemahan saya, saya selalu percaya semua orang. Mengapa saya mesti tak percaya orang, padahal saya tak pernah membohongi mereka?” gumam Banya Angga. Pragoal merasa disentil telinganya ketika mendengar ucapan ini.
Untunglah, percakapan hari itu sampai di situ saja, sehingga perasaan yang tak enak yang ada pada diri Pragola tidak terus mengganggunya. ***
Hanya satu malam saja rombongan istirahat di Tanjungpura. Pagi hari seusai sarapan, mereka segera melanjutkan perjalanan.
“Hati-hatilah Raden, perjalanan menuju Sagaraherang, keamanan kurang terjamin,” kata Subangwara memperingatkan.
Kata Kandagalante Subangwara, di hutan jati antara dua wilayah kandagalante itu banyak didapat kelompok-kelompok jahat. Mereka adalah orang-orang yang melepaskan diri dari Pakuan, namun juga tak mau bergabung dengan kekuatan mana pun, termasuk Cirebon. Kerja mereka hanyalah malang melintang di hutan-hutan jati menggangu keamanan. Setiap ada rombongan pedagang lewat, pasti diganggu dan barangnya dirampok.
“Saya pun sudah mendengar, Paman. Menurut penyelidikan, mereka adalah sisa-sisa pengikut Kandagalante Sunda Sembawa yang melarikan diri karena pemberontakannya bisa digagalkan. Tentu saja kami harus hati-hati terhadap mereka sebab perampok hutan jati suka berlaku kejam kepada orang yang datang dari Pakuan,” kata Banyak Angga.
Akhirnya rombongan kecil ini berangkat meninggalkan Tanjugpura dan dilepas oleh doa-doa pendeta agar perjalanan tak mendapatkan halangan.
Perjalanan menuju Sagaraherang akan memakan waktu sehari semalam bila dilakukan dengan berkuda. Namun baik berjalan kaki mau pun menggunakan kendaraan tidak akan selancar seperti yang diperkiraan. Ini karena perjalanan di wilayah utara harus dilakukan dengan hatihati. Terkadang harus main sembunyi. Seperti sudah diterangkan, daerah utra adalah wilayah Cirebon yang sudah puluhan tahun menjadi musuh bagi pajajaran. Tujuan Banyak Angga melakukan perjalanan ke wilayah timur bukanlah untuk melakukan pertempuran di setiap perjalanannya. Melainkan untuk melakukan penyelidikan perihal tertahannya belasan perwira senior Pakuan di Puncak Cakrabuana. Banyak Angga tak berniat mencari kesulitan di tengah jalan. Tapi Pragola sebenarnya lebih mengenal daerah ini ketimbang Banyak Angga. Hanya kelompok anak muda ini yang tahu, betapa berbahayanya perjalanan yang dilakukan Banyak Angga ini. Perjalanan menuju wilayah timur yang dilakukan Banyak Angga selain kemungkinan bakal diganggu kaum perampok, secara pasti juga akan dihadang pasukan tak resmi dari Cirebon. Sekurang-kurangnya begitu menurut berita yang disampaikan utusan Pangeran Yudakara kepada Pragola sebelum keberangkatan bersama rombongan ini. Bukan sekadar mengganggu, sebab barangkali juga akan membunuhnya.
Sudah menjadi tekad Pangeran Yudakara untuk tak membiarkan Pakuan menjadi kuat kembali. Itulah sebabnya, berbagai siasat digunakan agar kekuatan Pakuan bisa dilumpuhkan. Pangeran Yudakara bersiasat mengundang harimau keluar sarang, dengan tujuan agar sarang itu sendiri menjadi kosong penghuni. Dalam upaya ini pulalah maka pasukan penghadang sengaja disebar di sepanjang perjalanan.
Pangeran Yudakara tahu betul ke mana rombongan kecil ini akan melakukan perjalanan. Memang mudah diduga, perjalanan ke wilayah timur hanya akan menyusuri jalan utama. Sejak masa perkembangan Pakuan Pajajaran, memang ada jalan yang menghubungkan wilayah barat dan timur. Yang di maksud jalan besar, adalah jalan yang bisa dilalui roda pedati tau kendaraan berkuda lainnya. Jalan besar itu menghubungkan dayo Pakuan dengan Galuh di timur, melalui Cileungsi, Warunggede, Tanjungpura, Karawng, Cikao, Purwakarta, Sagaraherang, terus ke Sumedang, Tomo, Sindangkasih, Rajagluh, Talaga, Kawali dan berakhir di Galuh. Itulah jalan besar yang mudah dilalui. Kaum pedagang mengunakan jalan utama ini sebagai jalur ekonomi. Namun tentu saja bukan tanpa gangguan. Sejak dulu pun di Pajajaran masih memiliki kejayaan, perampok dan pengacau keamanan kerapkali menghadang yang lalu-lalang. Kaum pedagang dan pengelelanaanlah yang biasanya diganggu. Sekarang, di mana Pajajaran mengalami kemerosotan kekacauan bahkan hampir terjadi di mana-mana. Bukan saja kekacauan yang disebabkan oleh kaum penjahat biasa, melainkan juga oleh golongan yang bertindak atas kepentingan politik. Contoh yang jelas saja rencana penghadangan yanhg dilakukan orang-orang Yudakara terhadap rombongan kecil yang dipimpin oleh Banyak Angga ini.
Benar seperti perkiraan Pragola, di hutan jati antara Tanjungpura-Sagaraherang, rombongan dicegat oleh satu kelompok orang. Nereka tampak beringas. Tanpa memberi peringatan atau ancaman terlebih dahulu, kelompok asing ini langsung melakukan penyerangan. Pragola bisa melihat dengan jelas, serangan itu bertujuan untuk membunuh. Serangan mereka rata-rata ganas dan menggunakan gobang (pedang) tajam terhunus. Ada juga yang membawa golok bahkan gegendir (sejenis penggada) terbuat dari kayu jati tua.
Kaum penyerang itu belasan orang jumlahnya. Rata-rata tubuh mereka tinggi besar dengan wajah bercambang. Pakaian mereka terbuat dari kain hitam kasar, baju kampret dan celana sontog.
Empat orang rombongan kecil ini segera dikepung rapat oleh para penghadang itu. Pragola sendiri pun termasuk orang yang menjadi sasaran penyerangan ini, demikian juga Paman Manggala.
Serangan yang datang padanya terasa amat sungguh-sungguh dan tujuannya seperti mengarah nyawa. Sambil mencoba menahan serangan yang datang bertubi-tubi dari kiri dan kanannya, Pragola meneliti lebih seksama kepada bertempur dan penampilan mereka. Pemuda ini sedikit mengerutkan dahinya sebab para penyerang tidak menampilkan gerakan dengan penuh perhitungan, apalagi menggunakan strategi tempur seperti militer. Padahal kalau pemberitahuan Pangeran Yudakara bisa dipercaya, yang melakukan penghadangan rombongan kecil ini adalah tentara Cirebon yang menyamar sebagai kelompok penjahat.
Menurut Pangeran Yudakara, pasukan Cirebon akan mencegar Banyak Angga dan kalau mungkin membunuhnya. Bila putra Pangeran Yogascitra ini tewas sebelum menunaikan tugasnya, maka akan disusul lagi oleh utusan lainnya. Utusan kedua dan seterusnya akan selalu dihadang dan dihancurkan sehingga pada akhirnya semua kekuatan di Pakuan dilumpuhkan. Inilah siasat mengundang harimau keluar sarang seperti yang dikatakan Pangeran Yudakara tempo hari.
Benarkah rombongan penghadang ini tentara Cirebon yang tengah menyamar? Pragola hafal sekali gaya bertempur orang-orang Cirebon. Di samping ilmu berkelahi mereka tinggi-tinggi, mereka juga menjungjung sifat-sifat ksatria. Kalau mau melakukan penyerangan selalu memberikan peringatan terlebih dahulu kepada lawan dengan cara berteriak keras. Banyak perwira Cirebon juga pantang membunuh kalau tidak perlu sekali. Mereka hanya ingin melumpuhkan dan menaklukan lawan saja. Sebab kendati kata mereka membunuh dalam peperangan dibenarkan dalam agama, namun pembunuhan itu sendiri bukanlah tujuan utama.
Tapi Pageran Yudakara memang sudah mengatakan, bila keadaan memaksa, Banyak Angga harus dibunuh. Sekarang nampak nyata, pasukan penghadang itu bergerak bukan karena terpaksa oleh keadaan, melainkan sudah menjadi tujuan utamanya. Mereka datang memang untuk membunuh. Dan sialnya, mengapa dirinya sendiri pun sepertinya hendak dibunuh juga? Gerakan-gerakan ganas bolehlah dilakukan. Tapi fungsinya sekadar untuk mengelabui Banyak Angga saja. Sekarang, kelihatannya seperti bukan pura-pura dan Pragola meski meningkatkan kewaspadaan kalau tak mau nyawanya melayang oleh sabetan golok atu tusukan gobang.
Pragola dikepung oleh tiga lawan. Satu menghadang di depan dan dua berada di samping kiri dan kanannya. Ketik orng itu melakukan serangan saling susul-menyusul dengan cepat dan ganas. Lawan di depan mengayunkan golok yang ujungnya berkilat saking tajamnya.
Sedangkan dari kiri kanannya, secara bersamaan menusukkan ujung gobangnya. Satu mengarah ke lambung kiri, satunya ke rusuk kanan. Sedangkan ayunan golok dari depan mengarah lurus pada keningnya. Pragola adalah seorang pemuda yang sejak kecil ditempa oleh berbagai kemelut dan kekerasan. Perkelahian baginya bukan sesuatu hal yang baru. Sejak bersama gurunya Ki Sudireja, Pragola banyak terlibat pertempuran, baik melawan Prajurit Pajajaran mau pun kaum perompak dan segala macam orang jahat yang mengganggu rakyat. Itulah sebabnya, mengahdapai ancaman maut seperti yang terjadi sekarang ini, tak ada rasa gentar secuil pun. Yang ada dalam benaknya ini hanyalah rasa marah dan heran saja. Pemuda itu tetap merasa bingung, mengapa orang-orang yang diduga sebagai utusan Pangeran Yudakara ini melakukan serangan ganas dan sungguh-sungguh terhadapnya?
Serangan ganas dari tiga penjuru ini sulit untuk ditangkis begitu saja, apalagi Pragola tak berbekal senjata. Maka satu-satunya jalan adalah menghindar dengan cara meloncat ke belakang. Pemuda itu menekuk sepasang kakinya dan hampir-hampir seperti hendak jongkok. Ini adalah gaya tolak menjejak bumi seperti tolakan kaki kodok dalam melakukan loncatan.
Bedanya, gerakan ini dilakukn kebalikan. Tidak meloncat ke depan seperti binatang itu, melainkan ke belakang.
Tenaga tolakan itu amat besar, sehingga tubuh Pragola seperti terlontar ke belakang. Tubuh pemuda itu terlontar ke atas hampir tiga depa tingginya. Di atas udara dia bersalto beberapa kali untuk melihat suasana di belakang dirinya dan sekaligus berjaga-jaga terhadap serangan baru.
Ketika tubuhnya bersalto, pemuda itu sempat menyaksikan, betapa Banyak Angga pun tengah dikepung lawan. Yang mengepungnya bahkan lebih banyak lagi jumlahnya. Dalam selintas Pragola menghitung, ada sekitar lima atau enam orang pengepung yang mencoba mengancam nyawa pemuda itu. Entah dia sanggup menahannya atau tidak. Tapi Pragola tak mau tahu tentang itu. Dengan kata lain Pragola akan membiarkan kalau tokh Banyak Angga harus mati sebab itulah keputusan Pangeran Yudakara, itulah keputusan politik! Pangeran Yudakara yang mengaku berjuang untuk kepentingan Cirebon tengah mencoba melumpuhkan kekuatan Pakuan sedikit demi sedikit. Matinya Banyak Angga atau siapa pun yang datang dan memihak Pakuan adalah kemenangan buat Pangeran Yudakara.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 04 --oo0oo-- Jilid 06 |