Kemelut Di Cakrabuana Jilid-09
tanztj
February 04, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10 |
TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 09
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 09
Maka pergilah Purbajaya mengemban tugas, ditemani Aditia, Yaksa dan Wista. Ada seorang lagi yang ikut menyertai mereka yaitu ki Sudireja.
Aditia dan Yaksa berjalan di depan sepertinya sengaja menghindar dari Purbajaya. Sementara Wista melangkah sendirian saja. Dia mungkin bimbang. Untuk berjalan bersama dua orang temannya, mereka seperti tengah tak menyenanginya. Tapi bila bergabung kepada Purbajaya, malah dia jadi tak enak kepada kedua orang temannya.
Sementara itu Purbajaya berjalan paling belakang, berdua dengan Ki Sudireja. "Anda pernah ke Carbon ... ?" tanya Purbajaya sekadar memecah kesunyian belaka.
"Untuk melawan Pajajaran, aku bisa pergi dan gabung ke mana saja," jawab Ki Sudireja pendek.
"Jangan gabung ke mana saja. Bagaimana kalau ternyata diketahui gabung dengan kelompok yang ingin mementingkan kepentingan pribadi saja?" tanya Purbajaya jadi mulai berdebat.
"Sepanjang memiliki persamaan tujuan, kadang-kadang dengan yang tak sehaluan pun bisa bersatu. Nanti kalau tujuan yang sama sudah tercapai, otomatis memisahkan diri," jawab Ki Sudireja enteng saja.
Tak demikian dengan hati Purbajaya. Dia malah jadi melantur ke sana ke mari. Dan secara tak sengaja hatinya jadi curiga kepada Ki Sudireja ini. Jangan-jangan orang seperti Ki Sudireja bakal masuk kelompok yang sekiranya bisa mengacaukan keadaan. Dia mungkin bisa bergabung dengan Carbon dalam upaya melawan Pajajaran. Tapi siapa kelak yang akan dia ikuti? Bukankah di Carbon sendiri banyak kelompok yang berbeda paham dalam melihat keberadaan Pajajaran ini?
Hati Purbajaya tersenyum kecut. Urusan mengenai Pajajaran telah menjadikannya kemelut tersendiri. Sementara para pemegang keputusan di Carbon sendiri berpendapat bahwa Carbon sudah tak berniat melawan Pajajaran dengan kekuatan militer. Namun demikian, di antara mereka masih ada yang berambisi untuk mempertaruhkan kekuatan militer guna menghancurkan Pajajaran.
"Pajajaran itu negara besar dan akan lebih besar lagi kalau dilandasi oleh tatanan agama baru," kata Pangeran Suwarga manggala (panglima perang) Negri Carbon tempo hari. Ucapan ini sangat mengisyaratkan bahwa Carbon tidak punya keinginan kalau Pajajaran harus hancur. Tapi tak begitu pendapat sekelompok orang. Bahkan Purbajaya sendiri pun kini tengah "mengemban tugas" dari Pangeran Arya Damar yang amat menginginkan agar Pajajaran segera lenyap.
Baik Pangeran Suwarga mau pun Pangeran Arya Damar sepertinya tengah bersaing untuk memberikan hal yang terbaik bagi negrinya namun dengan sudut pandang yang berbeda. Pangeran Suwarga berpendapat, Carbon akan semakin besar bila memperlakukan lawan dengan arif, sementara Panageran Arya Damar berpendapat kebesaran Negri Carbon akan mencuat bila semua negri yang ada di Jawa Kulon berada di bawah pengaruhnya. Pangeran Arya Damar punya garis keras. Musuh yang membangkang harus dihancurkan sebab hanya akan mengganggu kelancaran usaha dalam mempertahankan kebesaran Carbon.
Tapi bersama Ki Sudireja, Purbajaya jelas tak mau berdebat soal ini sebab dirasa tak akan bersinggungan. Yang dia lakukan hanyalah bertanya itu-ini perihal keberadaan orang tua itu selama ini. Mengapa dia mengejar terus pasukan siluman?
"Sudah aku katakan kalau aku tengah memperebutkan seorang anak dengan kelompok itu," jawab Ki Sudireja pendek.
"Oh, ya. Saya dengar engkau membicarakan seorang anak. Anak siapakah gerangan?" tanya Purrbajaya penuh perhatian.
"Anak itu kelak akan kudidik guna melawan Pajajaran," jawab pula Ki Sudireja. Nampak ada hawa kebencian di wajahnya yang gelap.
"Oh, ya ... "
"Kasihan Si Pragola, bagaimana pula nasib anak itu kini?" keluhnya.
"Kalau dengar percakapan, anggota pasukan siluman sepertinya tak akan mengganggu anak itu," Purbajaya berpendapat.
"Benar, anak itu tidak akan dianiaya. Tapi ada yang lebih kukhawatirkan selain itu. Anak itu khawatir dicekoki oleh kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentinganku," potong Ki Sudireja sedikit jengkel."Pasukan siluman pro Pajajaran. Aku takut anak itu dicekoki untuk menjadi orang Pajajaran. Lebih baik anak itu mati ketimbang menjadi orang Pajajaran," sambung lagi Ki Sudireja. Purbajaya melihat, betapa Ki Sudireja penuh kebencian terhadap Pajajaran.
"Yakinkah anda kalau pasukan siluman begitu bersimpati kepada Pajajaran?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
"Mereka adalah kelompok yang bersimpati kepada Nyi Rambut Kasih yang mencoba bertahan dengan agama lama. Padahal siapa pun tahu, pusat kehidupan agama lama ada di Pajajaran. Kekuatan mana yang membantu keberadaan pasukan siluman kalau bukan dari Pajajaran?" kata Ki Sudireja yakin sekali.
"Pasukan siluman dibantu Pajajaran?" tanya Purbajaya lebih menyerupai sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
"Aku hanya katakan, ada kemungkinan pasukan siluman pun bersimpati kepada Pajajaran. Tapi bukan tak mungkin mereka pun sebetulnya dikendalikan oleh orang Pajajaran. Mereka ingin mempertahankan keberadaannya. Dengan demikian, mereka pun pasti ingin berbuat kekacauan di wilayah-wilayah negri agama baru," tutur lagi Ki Sudireja.
"Saya jadi ingin tahu bagaimana watak orang Pajajaran itu ... " gumam Purbajaya menatap ke kejauhan. "Masyarakat Pajajaran pada umumnya punya disiplin mati yang terlahir dari pedoman agamanya," kata Ki Sudireja.
"Apa contohnya?"
"Mereka mempertahankan kejujuran kendati tahu kejujuran akan merugikan dirinya sendiri. Contohnya, selama mereka tak pernah mengganggu orang lain, mereka yakin orang lain pun tak akan mengganggu mereka. Selama mereka tidak menyakiti hati orang lain, maka orang lain pun tak akan menyakitinya. Mereka hidup bersahaja dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka tidak punya rasa iri dan dengki."
"Itu adalah sikap terpuji. Tapi apa hubungannya dengan pasukan siluman?" tanya Purbajaya bingung.
"Bukankah yang aku katakan tadi adalah sikap masyarakatnya? Sementara tidak begitu dengan orang-orang yang punya keserakahan dalam berpengetahuan. Semakin banyak memiliki pengetahuan, maka semakin banyak pula memiliki kehendak. Agar kehendak terlaksana, maka segala macam jerih-payah mereka lakukan. Maka bila tak berhasil dengan tindakan wajar, mereka gunakan tipu-muslihat. Perilaku jujur dan lugu yang jadi ciri khas orang Pajajaran, mereka gunakan sebagai tempat sembunyi. Jadi, kalau pasukan siluman demikian licik tindakannya dan selalu main sembunyi, siapa bakal menyangka kalau kekuatan mereka didukung Pajajaran?" tanya Ki Sudireja.
"Kalau begitu, jelas mereka dikendalikan oleh orang Pajajaran," potong Purbajaya.
"Maksudmu, tentu oleh orang yang telah memilikiakal-akalan (politik)," Ki Sudireja balik memotong,"Aku masih tetap punya keyakinan akan prinsip hidup masyarakat Pajajaran yang asli yang amat menjauhi kejahatan. Melakukan sesuatu sambil main sembunyi untuk merugikan orang lain adalah kejahatan. Dan mereka amat menjauhi sikap itu. Kalau berperang melawan musuh, maka mereka lakukan di tempat terang dan terbuka," sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya tersenyum mendengar pendapat orang tua ini. Selintas memang kedengarannya cukup ganjil. Di lain pihak Ki Sudireja benci Pajajaran dan kalau ada yang mau hancurkan Pajajaran dia siap bantu, siapa pun adanya. Namun juga di lain pihak dia memuji-muji sikap hidup orang Pajajaran itu sendiri.
Kalau demikian halnya, maka Ki Sudireja ini sebenarnya orang yang pandai memilah-milah, tidak menggambar hitam di atas yang putih atau pun sebaliknya. Yang dia benci hanyalah para pejabatnya yang dikatagorikan Ki Sudireja sebagai kelompok yang sudah mengertiakalakalan (politik), sementara masyarakatnya sendiri yang lugu dan bersahaja tetap dipujinya sebagai manusia yang memiliki perasaan kemanusiaan.
Namun demikian, apakah sudah pas pula penilaian Ki Sudireja ini? Mengapa kalangan bangsawan dan pejabat pun tidak dia pilah-pilah? Atau apakah memang benar semua pejabat di Pajajaran perangainya sudah sedemikian buruk karena mereka telah terbiasa dengan kehidupanakal-akalan ? Purbajaya jadi teringat negrinya sendiri. Di Carbon banyak pejabat dan banyak yang sudah berkecimpung dalam kehidupan politik namun ternyata nilai keberadaannya masih bisa dipilah-pilah. Menurut penilaian Purbajaya, tak semua yang mengenal kehidupan politik jadi tidak memiliki nilai kemanusiaan, tapi juga memang banyak yang kenal kehidupan politik lantas perangainya menjadi buruk.
Dan karena hal ini seharusnya manusia tidak menilai buruk atau baik hanya karena orang bergelut dalam kehidupan politik. Nilai manusia akan didapat bila bagaimana sebenarnya mereka bisa mengendalikan perangkat kehidupan untuk diabdikan kepada hal-hal yang berguna buat kepentingan umat manusia. Begitu yang terpikir oleh Purbajaya ketika itu. Sadar atau tidak, dirinya kini sudah terlibat ke dalam urusan yang bernama politik. Namun agar dia tidak terseret oleh kepentingan-kepentingan yang merusak, maka dia perlu hati-hati dalam memilih, kekuatan mana yang musti dia dukung, kelompok mana yang harus dia ikuti.
Sementara Purbajaya sendiri hati kecilnya kurang setuju dengan pendapat Ki Sudireja ini. Dia akan "ikut pada siapa saja" yang sekiranya akan menempur Pajajaran, bukan dilandasi oleh kepentingan politik pula, melainkan hanya melulu berkutat dengan kepentingan dirinya sendiri. Katanya, dia adalah orang yang merasa sakit hati oleh kebijakan penguasa Pajajaran, makanya dia inginkan Pajajaran hancur.
Ki Sudireja bukan orang berpolitik dan tak kenal politik. Namun malah orang seperti inilah yang sebenarnya bisa membahayakan kedamaian. Karena buta politik, karena rasa sakit hati pribadi dan kecewa kepada penguasa, maka kebenciannya bisa tumpah kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang sebenarnya tidak berdosa. Ini amat berbahaya.
Ki Sudireja sakit hati kepada Pajajaran karena ketika Talaga, negrinya tempat dia mengabdi, ditaklukkan Carbon, namun Pajajaran sama sekali tak membelanya.
"Daripada berusaha melindungi, malah memerangi," kata Ki Sudireja dengan nada suara mengandung dendam kesumat.
Orang tua ini memberikan contoh, beberapa tahun silam sebuah wilayahkacutakan (wilayah setingkat kecamatan kini), diperangi pasukan dari Pakuan karena wilayah ini dicurigai telah memindahkan kesetiaannya dari Pajajaran ke Carbon. Yang dimaksud di sini adalah Kacutakan Caringin yang terletak di wilayah utara, berbatasan dengan kekuasaan Carbon.
"Anak kecil berusia tujuh tahun yang aku ingin rebut dari kungkungan anggota pasukan siluman bernama Pragola adalah anakCutak Caringin. Dalam peristiwa itu, Cutak Caringin telah kehilangan anak pertamanya, juga seorang anak lelaki. Dan karena banyak memikirkan peristiwa ini, akhirnya Cutak Caringin mati karena sakit keras. Belakangan istrinya pun ikut mati. Maka Si Pragola, anaknya aku urus. Akan aku didik anak itu agar kelak sesudah dewasa menjadi orang yang bisa melawan Pajajaran," kata Ki Sudireja gemas. Sepertinya di dalam benaknya tergambar lagi peristiwa di wilayah Caringin itu.
Purbajaya melangkahkan kaki dengan penuh perenungan di benaknya.
"Begitulah kebencianku kepada Pajajaran," gumam Ki Sudireja lagi."Sabda ratu takdigugu (ditiru) sebab perilakuratu (penguasa) sudah tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat."
Percakapan Purbajaya dan Ki Sudireja terhenti karena di depan, Aditia, Yaksa dan Wista mendadak menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Purbajaya bertanya heran. "Lihat itu, terdapat puluhan jejak telapak kaki!" Yaksa menunjuk ke arah tanah berdebu.
Purbajaya meneliti keadaan tanah di sekitar itu. Benar banyak didapat bekas telapak kaki. Telapak kaki amat mengesankan sebagai bekas serombongan pasukan lewat ke tempat itu. Belasan atau puluhan tapak kaki itu pada mulanya manyusuri jalan pedati, kemudian ketika jalan pedati terpotong sungai lebar berair dangkal, telapak kaki belok memasuki kawasan hutan.
"Mereka memasuki hutan. Mari kita ikuti terus ke hutan," kata Aditia sambil segera melangkah hendak memasuki hutan belantara yang gelap.
"Nanti dulu!" Purbajaya menahannya.
"Mengapa? Kau takut?" Aditia mengejek dengan dengusan.
"Bukan itu. Tapi kita jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Belum tentu rombongan belok ke hutan," kata Purbajaya.
"Ah, dasar dungu. Sudah jelas belok ke hutan. Lantas ini tapak kaki apa? Kaki gajah, gitu?" tanya Aditia masih dengan nada ejekan.
"Bisa saja mereka sebetulnya lurus menyusuri jalan pedati. Tapi karena terpotong sungai lebar maka tapak kaki tak terlihat lagi," Purbajaya tetap bertahan dengan pendapatnya.
"Mereka sudah menduga kalau kita menguntit terus. Jadi mereka pilih jalan yang sulit diikuti," bantah lagi Aditia dengan suara ngotot.
"Ya. Dan karena punya keyakinan begitu, maka kita dikecoh mereka dan dibawa ke jalan yang salah. Sementara mereka sendiri berjalan lurus menyusuri jalan pedati," Purbajaya pun masih ngotot.
"Yaksa, Wista, dari sekumpulan orang yang ada di sini, hanya kita bertiga yang asli orang Sumedanglarang. Hanya kita bertiga yang sadar akan arti pembelaan terhadap negri kita. Purbajaya jelas orang Carbon, sementara yang satunya kita bahkan tak tahu asal-usulnya. Oleh sebab itu, kalian harus ikut pendapatku. Jangan takut, mari kita susuri lebatnya hutan ini. Kita harus rebut surat daun lontar yang isinya pasti amat penting itu," kata Aditia mengajak kedua temannya untuk memilih jalan yang dianggapnya benar.
"Purba, aku setuju pendapatmu," Ki Sudireja menyela namun bukan menyanggah perkataan Aditia."Dan karena begitu, aku akan susul mereka lewat jalan pedati. Sementara itu, kau ikuti saja dulu pendapat anak-anak dungu ini."
Ki Sudireja tak menanti jawaban Purbajaya tapi akan segera langsung meloncat dan hendak segera pergi berlari menyusuri jalan pedati.
"Purba, jangan kau memilih apa yang kami pilih hanya karena diperintah orang asing itu. Kalau pun ikut aku kau harus percaya perhitunganku," kata Aditia.
"Tapi yang penting, engkau ikut kami," Wista menyela dengan penuh harap. "Ah, kau jangan merengek-rengek minta bantuan orang!" hardik Aditia.
Ki Sudireja mendengus."Purba, siapakah anak pongah yang selain angkuh tapi juga tak sopan terhadap gurunya ini?" tanya orang tua itu mendelik.
"Mereka adalah putra-putra pejabat dari Sumedanglarang," jawab Purbajaya.
"Jangan coba menilai diriku," potong Aditia tak senang."Diajari atau pun tidak oleh Ki Guru Dita, tak mengubah kedudukanku sebagai anak seorang pejabat. Sementara Ki Dita sendiri hanyalah pegawai ayahku, kebetulan saja bekerja sebagai guru kewiraan. Jadi, siapa pun dia bagiku, tetap sama saja hanya sebagai bawahan ayahku," sambung Aditia dengan angkuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Ki Sudireja mendengus penuh ejekan. Sesudah itu, baru dia meloncat pergi.
Sepeninggal Ki Sudireja, Aditia pun segera mengatur rencana dan benar-benar menempatkan dirinya sebagai pemimpin perjalanan.
"Engkau berjalan paling belakang, Purba, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan di belakang kita. Sementara tugas mencari jejak harus dikerjakan oleh orang yang teliti," kata Aditia.
"Biar aku yang jalan di muka!" seru Wista.
"Tidak, kau bodoh dan semberono. Biar aku saja," potong Yaksa.
"Tidak," giliran Aditia yang memotong omongan."Yang jalan di muka meneliti jejak hanyalah aku," katanya pasti. Semua mentaatina, tidak juga Purbajaya.
Maka berjalanlah empat orang muda itu secara beriringan. Aditia tak bisa jalan cepat sebab kerjanya meneliti keadaan tanah di depannya.
Dan nyatanya mencari jejak sungguh sulit, apalagi di dalam hutan lebat yang gelap dan terkadang tanah yang diinjak terasa keras karena bercampur cadas.
"Coba lihat, betul, kan?" Aditia menunjuk pada satu jejak kaki. Aditia senang karena masih tetap berhasil menyusuri jejak yang dia maksud.
Purbajaya pun memang melihat jejak telapak kaki. Tapi setelah diteliti dengan seksama, jejak itu penuh keganjilan.
"Berhenti dulu," serunya.
Semua orang terpaksa merandek.
"Ada apa?" Aditia mengerutkan dahi, kemudian menyeka keringatnya yang bersimbah deras di seluruh wajahnya.
"Aku sangsi kalau mereka betul lewat sini ... " kata Purbajaya kemudian. "Dasar dungu. Apa tak kau lihat jejak-jejak ini terus memanjang?" kembali Aditia berang dengan pendapat Purbajaya ini.
"Betul ini telapak kaki tapi keadaannya sungguh ganjil," jawab lagi Purbajaya. "Ganjil apanya," tanya Aditia.
"Tanah di sekitar sini tidak begitu lembek tapi mengapa jejak telapak kaki demikian dalam?" tanya Purbajaya sambil meneliti jejak-jejak itu.
"Kan mereka adalah anggota pasukan siluman yang punya kepandaian tinggi. Jadi sudah barang tentu dalam berjalan mereka kerahkan tenaga dalam,"kata Aditia berkilah.
"Untuk apa mengobral tenaga seperti itu?" tanya Purbajaya. Semua diam, tidak terkecuali Aditia.
"Untuk memperlihatkan kepada kita bahwa mereka benar-benar lewat sini? Aneh, tahu dikuntit orang malah sengaja memperlihat jejak sejelas ini?" kata lagi Purbajaya.
Lagi-lagi semua diam, tidak pula Aditia. Maka Purbajaya lanjutkan perkiraannya.
"Betul juga, jangan-jangan kita dikibuli oleh mereka," Wista nyeletuk. Namun hal ini amat tak disenangi Aditia.
"Jadi, tapak apakah ini kalau bukan tapak manusia," tanya Aditia mengejek.
"Kita bukan sedang berbantahan apakah ini tapak manusia atau kera. Hanya aku katakan kalau mereka sebenarnya tengah mengecoh kita. Mungkin mereka pernah sampai tempat ini. Namun ini bukan tujuan mereka untuk lewat sini," kata Purbajaya.
"Aku tak paham jalan pikiranmu," bantah Aditia.
"Begini," potong lagi Purbajaya."Mereka berjalan dulu sampai sini, lantas mereka kembali lagi menuju jalan pedati."
"Tidak kulihat telapak kaki mereka pulang kembali ke arah berlawanan ... " bantah Aditia bingung.
"Memang tidak terlihat sebab mereka menapakkan kakinya kepada bekas jejak mereka sendiri. Wista, coba kau peragakan," kata Purbajaya menyuruh Wista.
"Musti bagaimana?" Wista bingung.
"Coba jejakkan sepasang kakimu, musti pas di telapak yang ini," Purbajaya memandu Wista untuk menjejakkan kaki di bekas telapak kaki yang sudah ada.
"Ya, sudah. Lantas, bagaimana?" tanya Wista. "Sekarang kau berjalan mundur sambil kakimu tetap ikut nebeng ke jejak telapak lama," kata Purbajaya.
Wista mengikuti perintah ini. Dengan hati-hati dia berjalan mundur dan telapak kakinya menginjak pas kepada jejak lama.
"Nah, mereka kembali ke jalan pedati dengan cara seperti itu. Lihatlah, jejak semakin dalam sebab jejak itu diinjak dua kali," kata Purbajaya pasti.
Yaksa dan Wista bimbang. Mereka menatap Aditia dan tak berani salah bicara.
"Mungkin begitu tapi belum tentu begitu ... " kata Aditia dengan nada suara yang tak pasti."Tapi mari kita ikuti saja sampai ke mana telapak kaki ini melangkah. Siapa tahu, pendapatkulah yang benar," kata Aditia akhirnya.
"Lanjutkanlah dulu penelusuranmu," kata Purbajaya pada Aditia.
Maka mereka pun melangkah kembali. Tapi semakin dalam masuk hutan, semakin gelap juga keadaan. Matahari sudah tak tembus ke tanah saking lebatnya dedaunan.
Dan yang lebih parah, kenyataan membuktikan, telapak itu bohong sebab terputus begitu saja.
"Mengapa kau merandek, Aditia?" tanya Yaksa heran. "Jejak itu hilang ... " Aditia kecewa.
Yaksa dan Wista nampak lebih kecewa lagi. Mereka berdua mengeluh sambil menyeka keringat deras di wajahnya.
Jejak itu ketika tiba di hutan yang agak terbuka seperti menghilang begitu saja. Sepertinya para pemilik jejak kaki itu langsung terbang ke langit.
"Mustahil hilang begitu saja ... " gumam Aditia.
"Tentu tidak mustahil kalau pendapatku diterima," jawab Purbajaya. "Ya, kalau begitu pendapat Si Purbalah yang benar," kata Wista.
"Sialan, kita ditipu mereka ... " omel Yaksa sambil memeriksa lukanya yang masih.
"Kita kena tipu karena kebodohan Aditia. Coba kalau tadi menurut apa kata Si Purba, takkan begini jadinya," Wista jadi menimpakan kesalahan ini kepada Aditia.
"Kalau Si Purba pandai, mengapa dia ikut kita juga? Mustinya dia tetap bertahan dengan pendapatnya kalau benar-benar merasa yakin," Aditia tak mau disalahkan.
***
UPAYA kembali mencari jalan pedati dilakukan dengan saling salah-menyalahkan. Di sepanjang jalan Wista kerjanya mengomel sebab akibat dari kekeliruan ini tenaga jadi terkuras dengan percuma.
"Aditia kurang periksa," omel Wista.
"Kau malah dungu. Kenapa dari tadi kerjanya diam saja? Kenapa hanya ikut-ikutan pendapat orang lain saja? Dasar orang bodoh, dibawa masuk jurang pun pasti mau!" Aditia menghardik dengan berangnya.
"Kau angkuh dan juga bodoh. Maka yang paling duluan masuk jurang tentu engkau!" Wista balas menghardik.
Hampir saja dua orang itu saling getok kalau saja Yaksa tak melerainya.
"Diamlah. Kenapa jadi saling cakar begini. Hemat tenaga kalian. Kalau sebelum ketemu lawan sudah gontok-gontokan begini, maka nanti tenaga kita tinggal sisanya saja dan mudah digerus lawan," kata Yaksa kesal.
"Jangankan untuk menghadapi perkelahian, sedangkan untuk sekadar melangkah saja, kaki pun sudah demikian payah," jawab Wista memegangi pahanya."Perutku pun bahkan sudah lapar. Sejak kemarin belum diisi," keluhnya lagi.
Purbajaya melihat ke atas. Suasana sudah mulai gelap. Mungkin senja telah menjelang. "Kita harus berjalan cepat, jangan sampai kemalaman di hutan belukar," kata Purbajaya.
Aditia dan Yaksa tidak menjawab. Tapi langkahnya dipercepat mengikuti gerak langkah Purbajaya. Maka Wista pun terpaksa ikut jalan cepat pula.
Hanya beberapa ratus langkah saja Wista sudah jatuh berdebuk. Dia bahkan mogok berdiri. "Aku sudah tak kuat lagi ... " keluhnya seperti putus asa.
Agar tidak kemalaman di dalam hutan lebat, terpaksa Purbajaya "bertugas" kembali menggendong Wista. Aditia mengomel dan mencerca Wista namun yang dicerca pura-pura tak mendengar.
Tiba di tepi jalan pedati, malam sudah menjelang. Tidak terlihat bulan atau pun bintang. Yang melayang di angkasa malah gumpalan awan pekat pertanda hari mau hujan.
"Kita musti segera mencari tempat untuk berlindung," kata Purbajaya sambil menurunkan tubuh Wista.
"Di mana mencari tempat berlindung? Aku tak mau tidur dalam hujan," Wista merengek manja. Tubuh pemuda itu menggigil entah kenapa.
"Ya, kita cari tempat berlindung yang baik ..." "Tapi di mana itu? Cepat, aku ingin sekali tidur!" Wista mendesak dengan nada marah dan kesal.
"Engkau membuatku panik, padahal aku tak henti-hentinya mencari," Purbajaya pun akhirnya jadi kesal juga.
"Engkau musti tanggung jawab sebab gara-garamu juga kami jadi begini!" Wista membentak saking tak sabarnya.
"Mengapa begitu?"
"Kau dulu tak membantu dengan baik ketika terjadi pertempuran, jadinya semua luka, bahkan surat daun lontar pun dirampas lawan." tuding Wista.
Purbajaya mau marah tapi tak jadi. Sebagai upaya dalam melampiaskan kekesalahannya, Wista dia gendong lagi. Purbajaya kelayaban ke sana ke mari sambil mencari tempat berlindung.
Hujan mulai turun.
Untunglah ada pohon besar dan batangnya bolong saking tuanya. Maka tubuh Wista dia masukkan ke lubang pohon. Purbajaya sendiri sembunyi di balik batang pohon lainnya namun tak begitu jauh dari tempat di mana Wista duduk bersandar.
Hujan sudah turun dan makin lama semakin besar seperti air bah dikucurkan dari langit saja laiknya.
Purbajaya hanya bersandar di batang pohon. Kalau agak terlindung, itu karena dedaunan demikian rimbunnya.
Dia tak tahu, di mana Aditia dan Wista berlindung. Purbajaya tak berniat mencari mereka. Terus-terang, hatinya kesal dan kecewa. Murid-murid Ki Dita semuanya tak ada yang benar. Mereka manja dan pemberang dan sepertinya tak kerasan dengan suasana yang penuh derita. Dia sangsi, kalau mereka jadi pejabat tapi tak tahan uji, bisakah kelak mengurus negri dengan baik?
Purbajaya menghela napas kalau memikirkan ini semua.
Ketika dalam hujan begini, dia malah jadi teringat teman-teman lainnya yang ditinggalkan. Paman Ranu tergolek di tanah dengan darah bersimbah dari tiap bagian tubuhnya. Entah bagaimana nasib orang tua ini. Waktu itu Paman Ranu tak bergerak. Mungkin pingsan mungkin tewas.
Nasib Ki Bagus Sura pun tidak lebih baik dari bawahannya. Ketika ditinggalkan olehnya, Ki Bagus Sura pun menderita luka-luka yang parah di sana-sini. Ya, mereka semua menderita luka. Yang agak baikan hanya Ki Dita saja. Tapi dalam hujan deras begini, bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong dan saling melindungi? Bisakah Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling membela? Menyakitkan memang. Orang baru bisa saling memperhatikan kalau memiliki persamaan nasib dalam penderitaan. Padahal jauh sebelumnya, dua orang tokoh tua itu saling menjauh, saling berdiam diri dan terkadang saling tak memiliki kesesuaian paham. Itu semua karena dipisahkan oleh kepentingan kelompoknya masing-masing. Ki Dita anak buah Ki Sanjadirja, sementara antara Ki Bagus Sura dan Ki Sanja tak punya kesesuaian paham selamanya.
Ki Dita mungkin saja tak punya kepentingan khusus. Namun seperti apa yang ditudingkan Ki Bagus Sura, anjing mana yang tak setia tuannya. Itulah barangkali yang terjadi pada Ki Dita.
Tapi dalam penderitaan yang sama dan di saat sang anjing jauh dari tuannya, Purbajaya berdoa, muga-muga Ki Dita menemukan kembali jati diri kemanusiaannya dan mau berkorban untuk saling tolong-menolong dengan orang yang sebelumnya dianggap seteru.
Mungkin Ki Bagus Sura dan Ki Dita bisa baikan sebab punya penderitaan sama. Namun bagaimana pula dengan keadaan di sini?
Maka sungguh aneh, kalau di saat sama-sama menderita, di antara mereka tak bisa bersatu.
Aditia dan Yaksa benci Purbajaya. Namun dua orang itu pun kadang-kadang benci Wista. Wista baru baikan padanya kalau dilayani dengan baik. Sementara kalau ada "layanan" Purbajaya yang dianggap mengecewakannya, dengan mudahnya Wista benci Purbajaya.
Kalau Purbajaya tak bisa menjaga kesabarannya, sudah sejak lama ketiga orang itu dilabraknya. Namun Purbajaya tak bisa begitu. Dia sekarang ini tengah berusaha ingin menjaga nama baikwong grage . Orang Carbon, teristimewa kaum pemudanya, oleh orang Sumedanglarang tengah disorot berhubung dengan tingkah Raden Yudakara yang dianggapnya memalukan. Jadi kalau Purbajaya pun bersikap ugal-ugalan, maka orang akan mudah menuding bahwa semua orang Carbon sombong dan tukang ugal-ugalan.
Terhadap Aditia, bahkan Purbajaya harus menjaga citra. Aditia sudah punya modal kebencian terhadap dirinya karena urusan wanita. Pemuda itu habis-habisan mencintai Nyimas Yuning Purnama, namun belakangan, sesudah dinikahi dan diceraikan Raden Yudakara, gadis itu malah mencintai Purbajaya. Kalah dua kali oleh "orang Carbon" maka membuat kebencian pada diri Aditia susah padam. Itulah sebabnya, Aditia selalu menghina dan merendahkannya. Jadi kalau sikap ini dia layani, maka permusuhan akan semakin menjadi-jadi.
Perlukah Purbajaya berterus-terang kalau sebenarnya Nyimas Yuning tak benar-benar mencintainya?
Susah untuk meyakinkannya sebab gadis itu telah "mengaku cinta" di hadapan banyak orang dan bahkan Ki Bagus Sura sebagai ayahandanya pun telah dengan senang hati menjodohkannya.
Gadis itu telah mempermainkan banyak orang, pikir Purbajaya. Ya, termasuk dirinya pun telah dipermainkan gadis itu.
Purbajaya memang mengerti. Kalau malam itu Nyimas Yuniung langsung mengaku cinta, padahal beberapa saat sebelumnya di kala berduaan saja dia malah menolak perjodohan, maksudnya hanya menolong keadaan. Namun yang Purbajaya tak mengerti, belakangan pun gadis itu tetap mengaku kalau dirinya siap dijodohkan dengan Purbajaya.
Purbajaya bingung dengan pernyataan gadis ini. Benar-benarkah gadis itu mencintai dirinya, atau hanya karena taat orangtua? Maukah Purbajaya menerima kesediaan gadis itu untuk dinikahinya hanya karena alasan tak mau membangkang kepada keinginan orangtua? Purbajaya tak bisa mengambil keputusan.
Kebimbangan dirinya pun berkenaan pula dengan tingkah Aditia. Aditia benci dirinya karena "berdosa" menerima cinta Nyimas Yuning Purnama.
Cinta-kasih itu indah tapi bisa menimbulkan kebencian bagi pihak-pihak yang dirugikan. Aditia contohnya.
Sudah dua kali Purbajaya dibenci oleh pemuda yang "kalah cinta". Dulu ketika di Carbon Raden Ranggasena begitu benci dia karena Nyimas Waningyun mencintai Purbajaya ketimbang Ranggasena. Peristiwa kedua kalinya melanda lagi. Kini yang mengajak perang adalah Aditia karena cintanya kedodoran.
Kalau dia jadi Aditia, barangkali dia pun akan sakit hati dan merasa rendah. Bagaimana tak begitu. Ketika Nyimas Yuning masih perawan, cinta Aditia sudah ditawarkan namun Nyimas Yuning menolak dengan alasan belum mau menikah. Belakangan gadis itu malah dipersunting pemuda bangsawan Carbon, yaitu Raden Yudakara. Ketika Nyimas Yuning diceraikan dan jadi janda, dan ketika Aditia datang lagi melamar, lagi-lagi gadis itu menolak dengan alasan tidak akan punya suami lagi. Tapi ketika hadir Purbajaya, serta-merta gadis itu mengaku mau bersuamikan Purbajaya. Itulah hinaan yang tak terkira bagi derajat Aditia. Celakanya, Nyimas Yuning dan Aditia yang berperang, malah Purbajaya yang kena pukulnya.
Purbajaya tidak mau menjadikan dirinya sebagai "musuh baru" bagi Aditia. Maka itulah sebabnya, selama ini dia banyak mengalah kendati pemuda itu terus-terusan menghina dan melecehkannya.
Dalam hujan begini, Purbajaya susah tidur. Selain pikirannya kalut, air hujan pun banyak menerpa. Baru sesudah hujan reda, Purbajaya bisa memejamkan matanya. Dia tidur bersandar di batang pohon.
Hanya saja di saat dia tidur nyenyak, dia dikejutkan oleh beberapa pukulan dari benda keras yang mengarah kepalanya. Purbajaya tak sangggup menerka, dalam mimpikah kejadian ini atau memang benar-benar di alam nyata? Dia susah berpikir karena kesadarannya hilang kembali.
Manakala matahari memancarkan sinarnya, baru dia siuman. Tapi pandangannya serasa berkunang-kunang dan kepalanya berat serta nyeri. Ketika Purbajaya hendak bangkit, rasanya sulit sekali. Belakangan baru dia sadar kalau tubuhnya diikat oleh semacam serat batang pohon yang amat alot dan kuat. Siapakah yang mengikat dirinya?
Purbajaya mencoba untuk membuka matanya lagi. Kini samar-samar terlihat dua bayangan tubuh berdiri di hadapannya. Sesudah matanya dikejap-kejapkan dan telah terbiasa menatap, baru dia tahu kalau yang berdiri adalah Aditia dan Yaksa. "Mengapa aku ini?" tanya Purbajaya heran dan mencoba melepas tali yang melilit erat di tubuhnya.
"Engkau kami ikat," kata Aditia dengan suara dingin dan wajahnya amat pucat. "Ya, mengapa ... ?"
"Engkau telah membunuh Wista!" desis Aditia.
"Apa?" Purbajaya membelalakkan mata. Dia menatap sekeliling mencari Wista. Tubuh Wista terlihat terbaring tak bergerak. Tempatnya sudah berpindah, tidak lagi bersandar di lobang batang pohon.
"Ya, Wista mati. Aditia menyangka, kau yang bunuh dia," kata Yaksa penuh selidik.
Namun Purbajaya balik menatap dalam-dalam kepada pemuda ini. Sebetulnya di sepasang mata Yaksa terlihat sorot mata keraguan. Ketika Purbajaya terus menatap, Yaksa akhirnya memalingkan wajah dan pura-pura menatap ke arah lain.
"Kalau aku tak cegah, mustinya kau tadi sudah tewas di tangan Wista. Tapi aku cegah agar kau punya kesempatan untuk mengaku dosa," kata Aditia. Ketika Aditia bicara begitu, Yaksa menoleh sepertinya tak senang temannya bicara begitu."Benarkah kau bunuh Wista?" tanya Yaksa serius.
Purbajaya menggelengkan kepala dan terasa sakit sekali. Dia menduga, salah seorang dari mereka, atau malah kedua-duanya, telah memukuli dia ketika tengah tidur lelap.
"Aku tak bunuh Wista ... " gumam Purbajaya kembali menatap tubuh terbujur kaku. "Nyatanya Wista mati!" bentak Aditia.
"Ketika Wista dalam gendonganku, tubuhnya menggigil seperti demam sepertinya dia menderita sakit," Purbajaya mengingat-ingat.
"Mungkin sakitnya benar. Tapi kematiannya bukan karena sakit tapi olehmu!" desak Aditia tetap berang.
"Mengapa aku musti bunuh Wista?" tanya Purbajaya.
"Mengapa? Tentu saja banyak alasannya. Kau kan tak menyukai kami. Tadi malam aku tahau Si Wista mengomel padamu dan kau pun marah-marah sama Wista. Dengan demikian, kebencianmu pada kami cukup digunakan sebagai alasanmu membunuh Wista. Mungkin kau sudah rencanakan untuk melenyapkan kami satu-persatu," tuding Aditia."Benar, kan?" tanyanya minta dukungan pendapat kepada Yaksa.
"Pikiranku tak sekejam itu ... " bantah Purbajaya mengerutkan alis karena berpikir keras. "Yaksa, cabut senjatamu, bunuhlah si bedebah ini!" Aditia memerintah kepada temannya. Tapi Yaksa malah menatap Aditia. "Ayo, cabut Yaksa!"
"Tidakkah sebaiknya dia kita serahkan dan adili di hadapanbale watangan (pengadilan) saja, Aditia?" Yaksa berpendapat.
"Penjahat hina seperti ini hanya akan merepotkan kita semua. Kita banyak pekerjaan. Maka supaya urusan cepat beres, kita bunuh saja dia. Ayo cabut pedangmu dan tusukkan pada lambungnya, pada lehernya, matanya, atau pada bagian tubuhnya yang mana saja. Yang penting bangsat kecil ini musti mati. Bangkainya jangan dikubur tapi cincang dan sebarkan ke segala arah agar habis dimakan binatang hutan!" Aditia bicara nyeroscos dan sorot matanya bagaikan sepasang mata iblis yang sarat dengan kebencian.
Purbajaya khawatir. Memang terlihat ada hawa kebencian pada diri pemuda ini. Untung saja Yaksa terlihat ragu. Dia masih diam terpaku padahal terus ditekan Aditia agar mencabut senjatanya.
Karena Yaksa tak mau mencabut pedangnya, maka pedang Yaksa yang masih di pinggangnya secara paksa dicabut Aditia dan digenggamkan kepada pemiliknya.
"Ayo bunuh si bedebah dan nanti akan aku laporkan kau berjasa membunuh seorang pengkhianat. Kau pasti akan segera lulus menjadi ksatria dan barangkali juga akan diangkat menjadi perwira keraton," kata Aditia tetap memaksa.
"Mengapa tidak engkau saja yang lakukan? Bukankah kau sendiri yang katakan bahwa Si Purba yang bunuh teman kita?" Yaksa berteriak kesal karena dipaksa-paksa terus.
Demi mendengar bantahan ini, terlihat wajah Aditia merah-padam. Purbajaya menduga, pemuda angkuh ini amat tersinggung oleh penolakan Yaksa.
Purbajaya tahu, di sepanjang jalan Aditia selalu menempatkan diri sebagai pemimpin. Kerjanya memerintah dan memberikan pengarahan kepada ayang lainnya. Sekarang dia amat marah karena perintahnya dibantah keras oleh Yaksa.
Dan sungguh mengagetkan, Yaksa yang membangkang secara tiba-tiba diserang oleh Aditia. "Aditia, ada apa ini, ada apa ini?" Yaksa berteriak kaget sambil mundur.
Aditia tak memberinya kesempatan. Pemuda ini malah merebut kembali pedangnya yang tadi secara paksa digenggamkan ke tangan Yaksa.
"Engkau manusia dungu! Pembelot! Pengkhianat!" teriak Aditia gusar. "He, kau memakiku demikian?" Yaksa mendelik.
"Karena engkau pengecut melebihi tikus! Kau pembelot seperti bangau. Dan kau pun dungu serta pemalas seperti buaya!" "Setan!" teriak Yaksa semakin mendelik marah."Aku tahu, kau paksa aku bunuh Si Purba agar kelak dosanya kau timpakan kepadaku. Kau ingin bunuh Si Purba dengan pinjam tangan orang lain. Cih! Aku tak mau itu. Aku bahkan tak mau berteman dengan orang bodoh dan pecundang!"
Dimaki habis-habisan seperti ini,kemarahan Aditia sudah tak bisa ditahan lagi. Dan akhirnya dengan cara yang membabi-buta dia menyerang Yaksa dengan pedangnya. Gerakannya ganas dan tak memperlihatkan jurus-jurus halus yang pernah diajarkan Ki Dita. Tujuannya jelas untuk membunuh temannya sendiri.
"He, kau mau bunuh aku,ya? Mau bunuh aku, ya?" Yaksa berkelit ke sana ke mari. Dan kalau ada kesempatan, dia balas menyerang dengan pukulan. Namun karena serangan Aditia begitu ganas, Yaksa pun akhirnya terpaksa mencabut pedangnya sendiri. Maka terjadilah pertarungan dua murid Ki Dita, hanya disaksikan Purbajaya yang duduk tak berdaya karena tali yang mengikatnya.
"Kau mau bunuh aku?" teriak lagi Yaksa sambil menangkis sabetan pedang sehingga bunga api berpijar karena dua logam baja saling berbenturan.
"Ya, akan kuhabisi nyawamu! Kau calon ksatria cengeng dan malas dan tak patut untuk bekerja di Sumedanglarang!" cerca Aditia masih sambil memainkan gerakan ganas.
"Kalau begitu, Wista pun kau yang bunuh. Bukankah kau yang kerapkali mengumpat dan mengejek Wista yang cengeng, manja dan bodoh? Ya, kau yang sebenarnya sebal kepada Wista. Kau takut Wista yang lulus uji karena ayahanda anak itu lebih banyak memberikan upah ketimbang ayahandamu yang kikir itu! Pasti kau yang bunuh Wista!" teriak Yaksa dan pedangnya mulai menyerang lawan.
Maka semakin marah pula Aditia karena caci-maki pedas ini. Dan daya serangannya kian ditambah. Aditia bahkan tidak berpikir untuk menangkis kecuali menyerang dan menyerang. Sehingga suatu saat dia berteriak kesakitan karena bahu kirinya tertusuk pedang Yaksa. Namun luka ini seperti tak dirasakan. Serangan Aditia semakin gencar. Dia mungkin marah dan terhina. Yaksa yang sebetulnya masih menderita luka, mengapa bisa mendahului serangan yang membuat dia luka, sementara serangan pedang yang dilancarkan dirinya belum berhasil menerobos masuk.
Namun ketika pertempuran berlangsung agak lama, ternyata tenaga Yaksa yang lebih dahulu terkuras habis. Bisa saja ini terjadi karena luka-luka Yaksa yang sebetulnya belum sembuh.
Kini Yaksa mulai terdesak hebat. Luka baru dari tusukan dan sabetan pedang Aditia membuat sekujur tubuh Yaksa banyak dipenuhi darah segar. Sementara itu, Yaksa sendiri sudah tak mampu balas menyerang. Jangankan untuk menyerang, bahkan hanya sekadar untuk menangkis saja dia sudah tak mampu. Kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut begini, Yaksa lambat-laun akan lumat oleh cecaran pedang Aditia yang demikian ganasnya.
"Aditi, jangan bunuh teman sendiri!" teriak Purbajaya beberapa kali. Namun mana Aditia mau mendengar. Hatinya barangkali sudah kerasukan setan dan hawa membunuh sudah lekat di napasnya. Suatu ketika kedudukan Yaksa amat membahayakan. Tubuhnya jatuh terjengkang dan tangan kanannya yang pegang pedang tertindih oleh pinggangnya.
Untuk menahan gerak laju pedang Aditia yang dibacokkan mengarah kepala, Yaksa hanya memiliki tangan kiri yang masih leluasa. Maka satu-satunya cara dalam menyelamatkan kepala, hanya dilakukan dengan jalan menangkis pedang oleh tangan kiri. Maka akibatnya sungguh fatal. Hanya dalam sekejap potongan tangan kiri Yaksa terlontar ketika terbabat kutung oleh gerakan ganas pedang Aditia.
Yaksa melolong-lolong kesakitan. Namun Aditia masih terus mencecarnya.
Purbajaya marah melihat keadaan ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas tali. Namun usaha ini sia-sia, padahal di hadapannya tengah berlangsung dua orang bodoh tengah berebut nyawa.
Ketika serangan Aditia datanag kembali dan pedangnya kali ini mengarah dada, Purbajaya kembali mencoba mengerahkan tenaga untuk memutuskan tali.
Usaha ini hampir sia-sia ketika di belakangnya ada suara seseorang.
"Ayo larilah kalau kau mampu mencegah adegan ini!" kata suara itu. Dan bret-bret, tali yang mengikat Purbajaya putus di beberapa bagian.
Purbajaya tak sempat melihat siapa yang datang memutuskan tali sedemikian mudahnya. Yang dia pikirkan ketika itu hanyalah bagaimana caranya menggagalkan serangan tusukan Aditia agar nyawa Yaksa tertolong.
Purbajaya menotolkan ujung jarikaki keras-keras, maka tubuhnya melesat bagaikan terbang mendekati dua orang yang tengah bertempur. Tusukan pedang Aditia hampir tiba di dada Yaksa. Purbajaya tak bisa menangkis pedang begitu saja, kecuali menendangnya keras-keras.
Pedang terlontar keras dan gagangnya menyambar jidat Aditia. Tuk! Gagang pedang itu tepat mengarah jidat. Saking kerasnya tenaga lontaran, tubuh Aditia pun terjengkang ke belakang. Punggungnya berdebuk jatuh di tanah dan Aditia telentang tak bisa bangun lagi.
Purbajaya terkejut. Dia memburu tubuh Aditia dan memeriksanya. Wajah Purbajaya pucatpasi dan tubuhnya mendadak lemas ketika dilihatnya jidat Aditia retak dan ada lelehan darah keluar dari luka retak itu. Purbajaya pun memeriksa jantung Aditia. Ternyata benar sangkaannya, Aditia tewas.
Dengan perasaan tak keruan, Purbajaya beralih perhatiannya untuk memeriksa tubuh Yaksa. Pemuda ini belum mati namun nasibnya sudah amat mengkhawatirkan. Sewluruh tubuh Yaksa bermandikan darah dan tangan kirinya kutung. Potongan tangan itu terpisah agak jauh dari tubuhnya. Yaksa mengerang menahan sakit yang hebat. Mengenaskan sekali.
"Yaksa ... Yaksa ... "
"Purba ... " terdengar jawaban kendati agak lemah. Yaksa masih memiliki kesadarannya. "Yaksa ... aku telah bunuh Aditia." "Syukurlah ... terima kasih ..."
"Jangan begitu. Aku tak sengaja lakukan itu. Yang aku maksudkan hanya untuk menolongmu. Tak sangka gerakanku terlalu ganas sehingga menewaskannya ..." Purbajaya panik.
"Terima kasih ... Terima kasih " suara Yaksa semakin lemah juga.
"Kau pun harus percaya, aku tak bunuh Wista!" "Terim ...ma ... terr .. terima kasihhh "
"Yaksa! Yaksa!" Purbajaya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu namun Yaksa sudah diam tak bergerak.
"Sudahlah, dia sudah mati. Mari kita pergi!" terdengar lagi suara di belakang Purbajaya. Pemuda ini menengok ke belakang.
Raden Yudakara!
Untuk sementara Purbajaya bengong. Dia terkejut sekali. Bagaimana tidak begitu. Korban berjatuhan. Dan ini semua untuk mengejar surat rahasia yang khabarnya berisi perihal keberadaan pemuda bangsawan aneh ini. Sekarang, Raden Yudakara malah berdiri di hadapannya. Mengapa pula pemuda ini secara tiba-tiba bisa berada di sini?
"Raden " Purbajaya bergumam dengan nada dingin.
"Hahaha! Engkau masih ingat aku. Ini hanya punya arti, kau masih memiliki kesetiaan tinggi padaku," tutur pemuda tampan itu.
Purbajaya tidak mengomentari pujian ini sebab hatinya tak berketentuan. Panik, bingung dan marah, bergumul menjadi satu.
Di sekitarnya, tiga mayat bergelimpangan. Semuanya mati sia-asia karena sebab-sebab yang tak tentu. Mula-mula Wista diketahui mati dan Purbajaya yang dituding pembunuhnya. Belakangan Aditia dan Yaksa malah jadi saling bunuh hanya karena mempertentangkan bagaimana caranya memperlakukan Purbajaya. Sekarang dua orang pemuda itu tewas mengenaskan. Salah seorang dari mereka malah mati oleh Purbajaya sendiri. Mengenaskan, sekaligus juga amat menyebalkan.
Kemarahan membuat orang tak bisa berpikir waras. Aditia dipenuhi kebencian sehingga semua orang jadi sasaran kemarahan tidak pula temannya sendiri. Purbajaya pun tak bisa mengendalikan pikirannya karena dipenuhi hawa amarah. Betapa dia membunuh orang padahal itu terjadi tanpa dipikirkan jauh sebelumnya. Purbajaya membunuh mungkin karena ada dendam terselubung. Betapa tidak, bukankah selama ini Aditia selalu merendahkan dan menghina Purbajaya? Mungkin pikirannya tak bermaksud membunuh namun nalurinya sudah demikian. Naluri keluar dari dasar pikiran yang terpendam dan tersembunyi dan bisa keluar begitu saja kalau hati serta kesadaran berkurang. Ya, itulah dendam dan akan menimbulkan sesal setelah kesadaran pulih kembali. "Mari kita pergi dari sini!" kembali Raden Yudakara mengajaknya berangkat. "Pergi? Ke mana ...?"
"Pergi ke mana? Kewajibanmu hanyalah ikut aku dan bukan bertanya seperti itu," kata pemuda bangsawan itu tandas.
Purbajaya bimbang. Betul, kewajibannya belum lepas sebab dulu dia ditugaskan untuk ikut Raden Yudakara. Tapi itu sudah setahun lalu. Dia kini malah sedang jadi "utusan" Karatuan Sumedanglarang. Tugasnya tentu amat bertolak belakang dengan keinginan Raden Yudakara. Bukankah tugas yang diberikan Ki Bagus Sura kepadanya adalah menyelamatkan surat daun lontar yang isinya mengabarkan perihal pemuda ini?
"Kalau kau tak ikut aku, maka kau akan jadi buruan pasukan Sumedanglarang!" kata Raden Yudakara.
"Mengapa begitu?"
"Bukankah engkau telah membunuh salah seorang dari mereka? Barusan bahkan aku dengar, kau dituding membunuh yang satunya lagi. Siapa yang akan buktikan kalau kau tak bersalah dalam hal ini?" tanya Raden Yudakara.
Purbajaya diam membisu. Ucapan Raden Yudakara masuk akal dan amat merisaukan Purbajaya.
"Lantas apa bedanya bila saya ikut engkau, Raden?" tanyanya kemudian.
"Jelas ada bedanya. Dari peristiwa apa pun yang sekiranya bisa mencoreng namamu, aku bisa melindunginya. Bukankah kau tak pernah lupa kalau kau mencelakakan para pembantu dekat Pangeran Arya Damar di puncak Cakrabuana hampir setahun lalu? Kau tak bisa pulang ke Carbon tanpaku sebab di sana kau pasti dihadang berita kalau kau jadi pengkhianat dan melawan pasukanmu sendiri," kata lagi Raden Yudakara.
Purbajaya mengeluh. Peristiwa di puncak Cakrabuana telah amat merugikannya sebab dia bertikai dengan empat perwira bawahan Pangeran Arya Damar. Kini dia sadar kalau dirinya ditekan Raden Yudakara. Artinya, apa pun terjadi, Purbajaya musti ikut lagi pemuda aneh ini kalau dirinya tak mau ditekan seperti itu.
"Saya musti menguburkan ketika jasad ini dulu ... " kata Purbajaya. Dan tanpa meminta persetujuan, Purbajaya menggali kuburan bagi tiga jasad teman-teman seperjalanannya. Hampir setengah hari waktu dihabiskan untuk mengerjakan ini.
"Mari ..." ajak lagi Raden Yudakara setelah Purbajaya selesai mengubur jasad.
Dengan tubuh lesu Purbajaya terpaksa ikut pemuda bangsawan itu. Di sepanjang perjalanan Purbajaya diam seribu-bahasa. Beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan entah ke mana. Purbajaya tak mau tanya dan sebaliknya Raden Yudakara tak cerita.
Namun yang lebih aneh dari itu, pemuda bangsawan ini secuil pun tidak bertanya perihal apa yang dilakukan Purbajaya selama ini. Tentu terasa aneh, padahal mereka berpisah lebih dari sepuluh bulan lamanya. Kalau Raden Yudakara mengatakan Purbajaya masih diakui sebagai bawahannya, sudah barang tentu pemuda ini musti menegur atau bertanya ke mana saja Purbajaya selama ini.
Aneh juga, Raden Yudakara tak bertanya mengapa Purbajaya ditemukan dalam keadaan terikat. Raden Yudakara pun tak bertanya, apa hubungannya antara Purbajaya dan ketiga orang pemuda yang tewas itu. Kalau tak bertanya ada dua kemungkinan. Pertama dia tak merasa tertarik. Dan yang kedua dia sudah tahu. Sudah tahu? Dari mana Raden Yudakara tahu perjalanan Purbajaya selama ini? Apakah memang dia menguntit terus? Purbajaya tak sanggup berpikir lagi.
Ya, ini jadi teka-teki hati Purbajaya. Apalagi Raden Yudakara selama di perjalanan tak berbicara hal-hal yang penting. Sampai pada suatu saat dia dikejutkan oleh suara orang bertempur.
"Ada pertempuran ... " kata Raden Yudakara menahan langkah. Purbajaya pun sama menahan langkah.
"Mari kita lihat mereka !" Raden Yukadara meloncat lebih dahulu. Lari-lari kecil ke arah di mana suara pertempuran berada.
Dan Purbajaya memuji, kepandaian Raden Yudakara telah benar-benar hebat. Dia bisa berlari sambil mendengarkan suara senjata beradu yang sebetulnya amat terdengar sayup-sayup saja. Bagi pendengaran orang biasa suara sekecil ini tidak akan tertangkap telinga.
Sampai pada suatu saat, di depannya terlihat orang bertempur. Pertempuran berlangsung di sebuah dataran agak rendah, sementara dia berdua mengintai dari tanah yang tinggi, agak tersembunyi karena banyak pepohonan.
Purbajaya mengintip dari sela-sela dahan dan dia terkejut. Ternyata yang bertempur adalah Ki Sudireja, tengah dikeroyok anggota pasukan siluman.
Purbajaya hampir saja ikut terjun untuk membantu Ki Sudireja kalau saja tak ingat ada Raden Yudakara di sampingnya. Kalau dia ikut membantu Ki Sudireja tentu akan amat mengherankan Raden Yudakara. Setidaknya, pemuda itu akan bertanya mengapa melawan pasukan siluman. Tapi kalau dia membiarkan Ki Sudireja dikeroyok, dia khawatir orang itu akan celaka. Sepintas dia saksikan, Ki Sudireja didesak hebat dan tak punya kesempatan untuk meloloskan diri. Dan semakin pertempuran berlangsung, semakin payah keadaan Ki Sudireja. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Ki Sudireja akan ambruk.
Untuk ke sekian kalinya, kengerian akan melanda hati Purbajaya. Barangkali sebentar lagi akan terjadi pembunuhan baru. Memang bukan dia yang melakukan. Tapi ini pun sama saja sebab dia sepertinya akan membiarkan pembunuhan terjadi. Tapi sesuatu yang tak dia duga malah terjadi. Raden Yudakara serta-merta melontarkan beberapa butir kerikil dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Batu-batu kecil itu telak menghantam tiga anggota pasukan siluman yang hendak menusukkan senjata mereka, sementara tubuh Ki Sudireja tak berdaya dalam keadaan telentang. Ketika butir-butir kerikil itu mengenai sasaran, ketiga orang anggota pasukan siluman menjerit ngeri dan langsung meloso di tanah. Mendapatkan kesempatan yang baik ini, walau pun terlihat wajahnya keheranan namun Ki Sudireja segera meloncat pergi dari tempat itu. Yang aneh, anggota pasukan siluman tidak mengejar Ki Sudireja, melainkan berdiri terpaku. Sesudah itu anggota pasukan pun menghilang dari tempat itu.
"Mari kita lanjutkan perjalanan ..." ajak Raden Yudakara seperti tak pernah terjadi apa-apa. "Ada tiga orang terluka, bagaimana?"
"Ah biarkan saja ... " jawab Raden Yudakara pendek seraya berjingkat pergi.
Mereka terus berjalan dan Raden Yudakara tak membicarakan peristiwa itu. Tentu, ini pun sebuah keanehan bagi Purbajaya. Mengapa pemuda itu menolong Ki Sudireja? Apakah dia sudah mengenal orang tua setengah baya itu?
Purbajaya memang tak mau bertanya perihal ini. Namun kendati begitu, hatinya tetap bertekad akan menyelidiki semua keganjilan ini.
Belakangan Purbajaya bisa mengambil kesimpulan kendati masih samar, bahwa Raden Yudakara sepertinya tengah mengikuti anggota pasukan siluman. Bisa dibuktikan, di mana ada kejadian yang melibatkan anggota pasukan siluman, Raden Yudakara dan Purbajaya bisa memergokinya. Hanya saja bila pasukan siluman terlihat mengganggu para saudagar dan merebut hartanya, Raden Yudakara tak mau ambil pusing. Dan selama ini, pemuda itu hanya bersikap mengawasi saja apa yang dilakukan anggota pasukan siluman tanpa mau mengganggunya.
Tentu saja tindak-tanduk seperti ini pun diperhatikan oleh Purbajaya. Raden Yudakara yang memilah-milah permasalahan yang menyangkut tindak-tanduk anggota pasukan siluman jadi perhatian khusus pula.
Purbajaya ingat perkataan Ki Bagus Sura bahwa isi surat daun lontar ada berbicara mengenai keberadaan Raden Yudakara. Dan bila Ki Bagus Sura demikian tak senangnya kepada Raden Yudakara, hanya menandakan bahwa isi surat bukan mengenai hal-hal baik mengenai pemuda misterius ini.
Tidakkah Raden Yudakara tahu bahwa anggota pasukan memegang surat yang merugikan dirinya? Dari mana pula dia bisa tahu perihal ini? Dan apa pula keinginan anggota pasukan siluman sehingga susah-payah mempertahankan surat daun lontar yang sedianya musti dikirimkan ke penguasa Talaga? Purbajaya tak bisa menebak teka-teki ini.
"Bila begitu halnya, aku harus tetap ikut pemuda ini ..." katanya di dalam hati.
Ya, bila dia terus ikut Raden Yudakara, maka diharapkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan mengikuti pemuda ini, Purbajaya bisa terus menyelidiki, apa yang sebenarnya tengah dilakukan Raden Yudakara. Bahkan dengan mengikuti Raden Yudakara, Purbajaya pun bisa menguak tabir yang menyelimuti keberadaan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Dia bisa mendompleng kepentingan ini kepada usaha Raden Yudakara yang terus-terusan menguntit anggota pasukan tersebut. Dengan demikian, Purbajaya diharap bisa menjalankan apa yang diamanatkan Ki Bagus Sura.
Hanya saja yang membuat Purbajaya sedih adalah keinginan orang tua itu agar dia mau merawat dan melindungi putrinya, Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya amat menyesal kalau dirinya tak akan sanggup melaksanakan amanat yang satu ini. Ini karena Purbajaya akan terus-terusan ikut Raden Yudakara dan akan memakan waktu tak terbatas. Entah bisa selesai entah tidak. Raden Yudakara tetap menganggap bahwa Purbajaya adalah petugas yang tengah berupaya menyelusup ke wilayah Pajajaran.
Dan alasan yang tak kalah rumitnya, Purbajaya tetap "ingin" berjanji kalau antara dia dan gadis itu "sepakat" untuk tidak saling mencinta seperti apa yang dipercakapkan ketika hanya berduaan saja. Sementara ketika gadis itu bicara lain dan amat kebalikan dengan ketika berbicara di hadapan umum, Purbajaya akan tetap menganggap itu ucapan bohong belaka karena hendak menolong keadaan dari tekanan fitnah Aditia.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10 |