Life is journey not a destinantion ...

Kemelut Di Cakrabuana Jilid-08

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 07 --oo0oo-- Jilid 09

TRILOGI PAJAJARAN
Kemelut Di Cakrabuana
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 08


"Gan Bagus, lihatlah, golek emas mereka cincang habis-habisan. Mereka memang mau menghina kita," kata Paman Ranu memunguti benda berharga itu.
Ki Bagus Sura terhenyak. Hatinya mungkin marah melihat barang cinderamata yang sedianya akan dikirimkan sebagai lambang persahabatan antarnegri, dicincang tak berguna seperti itu.
"Benar, mereka sengaja menghina kita, Sumedang dan Talaga ..." gumam Ki Bagus Sura. "Mengapa begitu?" tanya Purbajaya.
"Karena Sumedang dan Talaga bersaudara ... "
"Ya, aku pun tahu," potong Ki Dita."Kangjeng Sunan Parung penguasa Talaga mempersunting salah seorang putri dari Sumedanglarang, sementara permesuri Kangjeng Pangeran Santri pun beristrikan putri Kangjeng Sunan. Dengan demikian, Sumedang dan Talaga bersaudara dekat. Hanya saja, apa hubungannya dengan pasukan siluman sehingga mereka membenci dua negri ini?" tanya Ki Dita lebih berupa menyelidik ketimbang sekadar ingin tahu. Dan ini sedikit mengherankan hati Purbajaya.
"Aku hanya bisa menduga-duga saja." gumam Ki Bagus Sura,"Tapi kukira ini erat kaitannya dengan perasaan sakit hati," lanjutnya setengah berpikir.
"Sakit hati karena apa?" desak Ki Dita.
"Hhh .... Kita semua tahu. kehadiran agama kita tidak selalu mulus diterima semua pihak. Ternyata di Sindangkasih banyak pengikut Nyi Rambut Kasih bersimpati kepada ratunya. Mereka tak menganggap Sang Ratu mundur dari percaturan kehidupan bernegara secara sukarela namun pergi sambil memendam kesedihan dan kekecewaan. Mereka yang bersimpati, sepertinya merasa ikut sedih. Dari sekadar bersedih menjadi sakit hati dan marah lantas secara spontan membalas dendam. Kepada siapa mereka balas dendam? Tentu kepada siapa saja yang mereka anggap telah menyakiti ratunya. Salah satu di antaranya adalah Sumedanglarang dan Talaga yang mereka anggap tidak membela kepentingan Sindangkasih," tutur Ki Bagus Sura mengeluarkan persangkaannya.
"Mundurnya Nyi Rambut Kasih dari keraton, dinilai para pengikutnya sebagai kekalahan dan keterdesakan oleh kehidupan zaman baru. Ini amat menyakitkan hati mereka. Makanya mereka marah dan mengganggu kita," sambung Ki Bagus Sura lagi.
"Mereka melakukan pembunuhan juga?" tanya Purbajaya.
"Sejauh yang aku ketahui, mereka tak membunuh. Namun demikian, mereka meresahkan semua orang. Kaum saudagar terganggu dalam usahanya, begitu pun perjalanan kenegaraan," ujar Ki Bagus Sura mengeluh.
"Mereka membunuh atau tidak kalau bisa kita ringkus atau mungkin harus dibunuh! Segala macam pengacau yang meresahkan masyarakat harus kita tumpas habis," kata Aditia bersemangat.
"Betul. Bunuh mereka!" teriak Wista tak kalah semangatnya.
Namun baru saja ucapannya berhenti, dari semak belukar muncul seseorang. Ini sungguh mengejutkan semua orang. Sehingga secara reflek, Wista meloncat sembunyi di balik pohon besar.
"Tangkap penjahat!" teriak Aditia sambil cepat berdiri. Selanjutnya, tanpa ragu dia menerjang orang asing itu. Yaksa yang tubuhnya dibebat karena luka-lukanya, segera memberikan bantuan dan ikut menyerang. Belakangan Wista pun keluar dari tempat sembunyi dan ikut menerjang lawan. Mungkin Wista sudah mulai hilang rasa takutnya, apalagi lawan yang diserang hanya satu orang saja.
Kejadian ini terlalu cepat sehingga yang lainnya hanya terpaku menyaksikan tiga orang murid Ki Dita mengeroyok seorang asing. Purbajaya khawatir sebab tiga orang muda semberono itu tidak mengukur dulu tingkat kepandaian lawan. Tahu-tahu ketiga orang itu menjerit kesakitan karena tubuh-tubuh mereka terlontar. Tubuh Yaksa dan Aditia terlontar dan menumbuk batang pohon. Tapi yang paling bahaya adalah nasib Wista. Terlihat dia hendak dipukul telak di bagian dadanya oleh si penyerang asing itu. Orang yang paling berdiri dekat kepada Wista hanyalah Purbajaya.
Dengan demikian, hanya Purbajaya seorang yang memiliki peluang dalam menyelamatkan pemuda itu. Purbajaya pun sadar akan hal ini.
Maka begitu pukulan orang itu meluncur deras ke dada Wista, Purbajaya segera meloncat dengan cepat. Dan dengan tenaga sepenuhnya, tangan kanan Purbajaya menyampok serangan lawan.
Plak! Plak! Pukulan orang itu tertahan dan pergelangan tangan Purbajaya terasa ngilu dan sakit. Namun nyawa pemuda Wista menjadi selamat.
Wista gembira tapi Purbajaya meringis. Pukulan orang itu sungguh keji, dikerahkan dengan tenaga penuh dan kalau kena dengan telak orang yang dipukul pasti tewas.
Purbajaya yang menahan pukulan itu dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya masih terasa bergetar dan urat-urat di tangan serasa menegang mau putus.
Namun Purbajaya pun melihat, betapa lelaki itu pun nampak meringis dan wajahnya menampakkan perasaan terkejut. Namun demikian, orang asing yang usianya kira-kira di atas limapuluh itu seperti tak merasakan benturannya tadi karena langsung melakukan serangan susulan. Kali ini yang diserangnya adalah Purbajaya.
Ternyata gerakan lelaki setengah tua ini cepat dan mantap. Kali ini Purbajaya tak berani membiarkan tangannya saling bentur dengan tangan lawan. Dia menyadari, tenaga dalam lelaki ini setingkat di atasnya. Kalau selalu memaksakan diri mengadu tenaga dalam, tentu Purbajaya yang akan repot. Oleh sebab itu, kini Purbajaya kerjanya hanya main kelit saja dan baru melepaskan serangan kalau ada peluang untuk itu.
Ki Dita merasa tidak sabar melihat pertempuran kecil yang terlihat bertele-tele ini. Oleh sebab itu, dia segera melibatkan diri ke dalam arena pertempuran.
Dikeroyok dua oleh Ki Dita dan Purbajaya, lelaki asing itu tidak menjadikan dirinya gentar. Malah terlihat dia semakin meningkatkan kemampuannya. Dan nyatanya, lelaki setengah baya ini sungguh hebat. Kendati dikeroyok dua, tak memperlihatkan kepanikan, bahkan sanggup mengatur irama permainan dengan baik sehingga perkelahian jadi seimbang.
Hanya saja Purbajaya bisa menduga, permainan jadi seimbang lantaran antara dia dan Ki Dita tidak bekerja sama. Sekali pun main berdua tapi keduanya bekerja sendiri-sendiri tidak saling menutupi kelemahan teman. Bahkan ada kecenderungan, Ki Dita membiarkan serangan lawan yang mengarah dirinya dan lebih mementingkan serangan dirinya ke arah lawan. Akhirnya begitu pun yang dilakukan Purbajaya. Karena Ki Dita tidak berupaya menutupi kekosongan, maka dia hanya asyik melakukan serangan dan tepisan yang sekiranya menguntungkan dirinya saja.
Akibat main sendiri-sendiri, beberapa kali lawan hampir sanggup menerobos masuk baik ke arah Purbajaya mau pun ke arah Ki Dita.
"Dasar anggota pasukan siluman, gerakanmu jahat dan kejam!" teriak Ki Dita gemas. "Kalian orang Pajajaran kerjanya licik main keroyok!" lelaki itu balas memaki.
"Aku bukan orang Pajajaran!" teriak Ki Dita hendak mengemplang ubun-ubun orang itu namun bisa dihindarkan dengan enteng.
"Aku pun bukan anggota pasukan siluman!" teriak lelaki itu balas hendak membabat betis Ki Dita dari bawah.
"Hentikan pertempuran!" teriak Ki Bagus Sura. Dan ketiga orang itu serentak berhenti. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Ki Dita penuh selidik.
"Kalian pun siapa? Aku mengira malah kalianlah anggota pasukan siluman sebab kalian berada di tempat tersembunyi seperti ini," kata lelaki asing itu balik menduga.
"Sudahlah, hentikan pertikaian," cegah Ki Bagus Sura,"Aku tahu, di antara kita semua telah terjadi salah paham." ujarnya lagi.
Maka ketegangan pun menurun. Perhatian kini dialihkan untuk menolong Aditia dan Yaksa yang terluka karena tubuhnya menumbuk batang pohon. Ternyata mereka luka cukup parah. Yaksa apalagi karena sebelumnya pun dia sudah terluka.
"Tak ada tulang patah, kecuali memar-memar," kata Purbajaya sesudah memeriksa tubuh dua orang itu.
"Memang hanya luka memar. Tapi di tubuh pemuda satunya lagi ada luka sabetan senjata tajam aku tak tanggung jawab," kata si lelaki asing ikut memeriksa.
"Dia terluka diganggu perampok kemarin," jawab Ki Bagus Sura sama memeriksa yang luka. "Tak diduga, kami terus-terusan diganggu orang jahat ..." kata Ki Dita jengkel.
"Hati-hati kalau bicara, aku bukan orang jahat. Lagi pula, kalianlah yang duluan menyerangku," bantah lelaki asing itu kembali berang.
"Maksud kami, selain diganggu perampok, kami pun diganggu pasukan siluman. Lantas kau datang, makanya kami cepat menduga kalau kau adalah salah seorang dari mereka... " Ki Bagus Sura memberikan penjelasan sehingga kemarahan orang pemberang itu hilang kembali.
"Hahaha ... "
"Kenapa kau ketawa?" Ki Dita heran dan bercuriga lagi.
"Kalau kalian diganggu pasukan siluman, aku bisa duga, kalian tentu orang Sumedang atau orang Talaga," kata orang itu masih tertawa.
"Kami memang datang dari Sumedang ... " jawab Ki Bagus Sura. "Pantas ... " "Tapi tak sepantasnya orang-orang dari pasukan siluman mengganggu kami," potong Ki Bagus Sura.
"Mungkin maksudnya mengganggu orang Talaga."
"Tapi malah kami yang diganggu. Lihatlah, barang cinderamata terbaik dari negri kami untuk dipersembahkan kepada penguasa Talaga sudah berantakan begini. Mau dike-manakan muka kami di hadapan mereka?" tanya Ki Bagus Sura putus asa.
"Itulah tujuan anggota pasukan siluman, agar hubungan dua negri kalian terganggu," kata orang asing itu.
"Kurang ajar!" teriak Aditia geram.
“Engkau sendiri ada di pihak mana?" tanya Ki Dita kembali matanya penuh selidik.
"Mengapa tanya begitu sepertinya orang harus memihak sesuatu?" si lelaki asing malah balik bertanya.
"Memang tidak harus begitu. Tapi engkau memandang kami penuh ejekan. Mengejek berarti tak menyukai. Dan tak menyukai sama dengan memusuhi. Di zaman kini, orang harus memilih keberpihakan," kata Aditia lantang dan bertolak pinggang padahal jelas bokongnya lagi sakit.
"Tidak, tidak begitu. Puluhan tahun aku memihak Talaga. Dan ketika Talaga bergabung dengan Cirebon, aku pun ikut dengan Cirebon. Namun demikian, tidak berarti aku memihak Cirebon. Aku ikut menyerang Pajajaran bukan mau membela Cirebon tapi karena benci Pajajaran. Itu saja," jawab lelaki asing itu.
"Anda menyebut-nyebut Cirebon, siapakah anda sebenarnya?" Purbajaya ikut bicara. Sebelum menjawab, lelaki itu memandang tajam kepada Purbajaya.
"Sedikit-sedikit aku hapal gerakanmu tadi. Kau mirip orang Cirebon," lelaki itu malah bicara begitu.
"Saya memang orang Cirebon ... Nama saya Purbajaya murid Paman Jayaratu," jawab Purbajaya
Demi mendengar ucapan Purbajaya ini, nampak lelaki asing itu sedikit terkejut. "Sebetulnya aku kenal orang tua itu walau tak akrab benar. Namaku Sudireja," jawabnya.
Purbajaya coba mengingat-ingat kalau-kalau pernah dengar nama orang ini, namun dia tak pernah ingat. Pemuda ini pun lantas meneliti Ki Sudireja.
Lelaki setengah tua ini memiliki cambang bauk yang pendek dan jarang. Barangkali tadinya habis dicukur namun dikerjakan asal-asalan saja. Bulu-bulu di cambang bauknya sudah banyak memutih karena uban, namun rambut kepalanya yang digelung ke atas dan diikat selembar kain kasar warna hitam malah bebas dari uban.
Rambut yang subur itu berwarna hitam legam.
Yang khas dari Ki Sudireja, bulu uban malah tumbuh subur di lubang hidungnya.
Sepasang matanya cekung dan dalam, menandakan bahwa lelaki setengah tua ini sudah banyak merasakan pahit-getirnya kehidupan di dunia. Kata Ki Sudireja, dia pun kenal Paman Jayaratu walau pun sedikit.
Bisa jadi begitu sebab Paman Jayaratu pada tahun 1530 pernah ikut serta menundukkan Talaga. Di pihak manakah Ki Sudireja ketika itu?
Purbajaya hendak mencoba bertanya namun Ki Sudireja nampaknya akan segera pamitan. "Tunggu. Beri kami khabar perihal keberadaan pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura.
"Aku pun tengah mencari keterangan perihal mereka. Mereka harus kubunuh bila berani mengusik ketenanganku!" katanya berang.
Ki Sudireja meloncat dan menghilang di balik rimbunan pohon.
Maka tinggallah rombongan muhibah yang kebingungan. Mereka bingung untuk melanjutkan perjalanan. Bukan saja karena Aditia dan Yaksa menderita luka, namun karena membingungkan barang cindera mata yang tak bisa terselamatkan. Semuanya rusak dan tak mungkin dikirimkan kepada yang berhak.
Untuk yang pertama kalinya Ki Bagus Sura dan Ki Dita berunding memecahkan persoalan.
"Mereka mencari jalan pemecahan, bagaimana tindakan selanjutnya. Apakah akan dilanjutkan menuju Talaga dengan risiko mendapat malu ataukah kembali pulang tapi juga menerima teguran keras dari Kangjeng Pangeran lantaran tak sanggup mengerjakan titah dengan baik?
"Tapi kukira kita semua harus melanjutkan ke Talaga," kata Ki Bagus Sura dan wajahnya nampak terkejut. Dengan tergopoh-gopoh dia memburu peti-peti cendana berukir indah itu untuk meneliti sesuatu.
Dan sesudah melakukan hal itu, mendadak wajahnya pucat-pasi. "Ada apa?" tanya Ki Dita.
"Ada yang hilang ..." gumam Ki Bagus Sura masih pucat pasi. "Kukira lengkap. Tak ada peti yang hilang."
"Ya, tapi isinya ada yang hilang," kata lagi Ki Bagus Sura.
"Semua benda berharga jumlahnya ada enam, sesuai dengan jumlah peti enam buah. Jadi, benda apa yang hilang?" Ki Dita jengkel dengan penjelasan Ki Bagus Sura yang dianggapnya membingungkan ini.
"Ya, peti seluruhnya berjumlah enam buah dan masing-masing diisi sebuah benda cinderamata, kecuali satu peti ditambah oleh sebuah surat daun lontar yang disusun rapi dalam sebuah ikatan benang berwarna. Itu adalah surat penting dari Kangjeng Pangeran dari Sumedang buat Kangjeng Sunan di Talaga," Ki Bagus Sura menerangkan.
"Tidak pernah kudengar sebelumnya. Kau merahasiakan satu hal kepada kami, Bagus," kata Ki Dita tersinggung.
"Itu yang diinginkan Kangjeng Pangeran. Surat itu bersifat penting dan rahasia. Supaya bisa sampai ke tujuan, maka harus dirahasiakan pula. Makanya hanya aku yang tahu. Belakangan, ternyata pasukan siluman pun tahu ... " kata Ki Bagus Sura bingung dan panik.
"Kalau begitu, pasukan siluman mencegat kita karena mau merebut surat itu, Ki Bagus," kata Purbajaya.
"Kukira benar begitu," gumam Ki Bagus Sura.
"Artinya musti ada yang beri tahu kalau rombongan ini sebetulnya tengah membawa surat penting untuk Talaga," kata lagi Purbajaya.
"Ya, siapa yang memberi tahu?"Wista meneliti semua orang tapi matanya malah paling lama hinggap di mata Purbajaya.
"Ada anggota pasukan siluman di antara kita. Paling tidak, salah seorang pasti berlaku khianat," kata Wista kembali meneliti wajah semua orang dan lagi-lagi hinggap paling lama di wajah Purbajaya sehingga amat menyebalkan perasaan Purbajaya sendiri.
"Kita harus mengejar pasukan siluman," kata Ki Bagus Sura mengepalkan tinju. "Apa? Kau katakan kita, Ki Bagus?" tanya Ki Dita.
"Aku tak mau ikut," bantah Aditia.
"Kita harus mengejar mereka. Di perjalanan kita sehidup-semati. Lagi pula kita ini satu kesatuan dalam mengemban misi," Purbajaya ikut menyela.
"Misi pelatihan bolehlah. Dan kau lihat, betapa tubuh kami tambal sulam begini, ini hanya menandakan bahwa kami sudah selesaikan tugas dengan baik. Tapi urusan tugas yang dirahasiakan, hanya yang tahu saja yang musti bertanggung jawab!" kata Aditia. Semua teman-temannya mengangguk setuju kepada ucapan Aditia.

****


Mendengar perkataan Aditia, Ki Bagus Sura mengangguk dengan wajah kecut.
"Tak apa kalian tidak ikut sebab memang hanya aku yang tahu akan tugas rahasia ini," Ki Bagus Sura memutuskan.
"Kita semua harus ikut," kata Purbajaya berpendapat.
"Ayo ikutlah engkau agar lekas mati dibantai pasukan siluman," kata Aditia sinis,"Tapi aku sama sekali tak berminat. Mengapa semua orang harus bertanggungjawab sementara jauh sebelumnya kami tak diberitahu akan adanya tugas amat penting ini? Kalau jauh hari kami diberi amanat barangkali akan sama-sama menjaganya sampai titik darah penghabisan," kata lagi Aditia.
"Engkau mungkin benar,. Maka tinggallah di sini," kata Ki Bagus Sura. "Saya ikut ..." kata Purbajaya menyela.
"Kita semua memang harus ikut. Apa pun jadinya, pada akhirnya kita semua harus bertanggungjawab," Ki Dita memutuskan.
Aditia bimbang. Dia menatap bergantian kepada dua orang sahabatnya. Tapi baik Yaksa mau pun Wista melangkah mendekati Ki Dita. Barangkali sebagai isyarat kalau mereka berdua terpaksa setuju pendapat gurunya.
"Baik. Paling tidak kita harus tahu, benda apa yang oleh kita musti dipertaruhkan dengan darah dan nyawa ini," Aditia memberi "kelonggaran" kepada pendapatnya sendiri.
Namun ucapan Aditia ini seperti ada benarnya. Buktinya semua orang terpengaruh ucapannya dan sama-sama menatap tajam kepada Ki Bagus Sura. Rupanya semua orang sama merasa penasaran, surat penting apakah itu sehingga pasukan siluman pun tertarik untuk menjegalnya di tengah jalan.
Ki Bagus Sura mungkin sadar kalau tatapan mata semua orang menekannya.
"Bagaimana mungkin sesuatu yang bernama rahasia musti diketahui banyak orang? Tapi percayalah, isinya adalah untuk kepentingan kita bersama: Sumedanglarang dan Karatuan Talaga. Namun bila surat daun lontar itu jatuh ke tangan orang yang tak berhak, akibatnya akan berbahaya. Itulah sebabnya kita musti berupaya merebut surat itu," kata Ki Bagus Sura menghindari tekanan.
Purbajaya menundukkan wajah. Dia sadar kalau dia pun sebenarnya ikut mendesak agar Ki Bagus Sura membeberkan isi surat rahasia. Sungguh tak pantas memaksa orang yang karena misinya dipercayai atasan untuk memendam sebuah rahasia. Aditia dan teman-temannya memberengut sebagai tanda tak puas. Namun Ki Dita sendiri tidak menampakkan wajah kecewa. Malah sebaliknya, wajah orang tua ini cerah. Sesuatu yang tak dimengerti oleh Purbajaya.
"Kita harus berpacu melawan waktu. Semakin cepat kita mengejar, akan semakin besar peluang kita untuk bisa menyusul mereka," Ki Bagus Sura mengajak semua orang untuk berangkat.
Namun perjalanan kali ini mungkin semakin sulit, mengingat kuda mereka semuanya lenyap entah ke mana. Mungkin kabur mungkin juga dirampas pasukan siluman.
"Sebaiknya kita kuntit Ki Sudireja. Sebab bukankah orang itu pun tengah mengikuti jejak pasukan siluman?" kata Purbajaya berpendapat. Dan pendapatnya ini diiyakan oleh Ki Bagus Sura.
Semua pun akhirnya sepakat untuk mengikuti jejak Ki Sudireja. Hanya saja Wista dan Yaksa di sepanjang jalan mengomel panjang-pendek lantaran hilangnya kuda-kuda mereka. Dengan lenyapnya tunggangan itu, mereka akan berjalan kaki. Dan bagi mereka ini amat menyebalkannya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Mula-mula mereka harus berusaha menemukan kembali jalan pedati. Dan Purbajaya harus ememuji kebolehan pasukan siluman. Mereka sanggup membawa tawanan dalam keadaan pingsan ke sebuah tempat yang jauh dari jalan dan sulit untuk dirambah. Mereka harus membawa tawanan menuruni ngarai dan menyebrangi sungai berbatu dengan airnya yang jernih dan deras. Berapa orangkah jumlah mereka sehingga sanggup mengangkut tujuh orang pingsan? Untuk apa pula mereka mengangkut tawanan sejauh ini? Barangkali tak ada maksud tertentu kecuali sengaja memperlihatkan bahwa mereka orang-orang hebat.
Sungguh misterius pasukan itu. Namanya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri. Pasukan Siluman? Sungguh menakutkan. Apakah Nyi Rambut Kasih pun sama menakutkan?
Mendengar nama pasukan yang menyertakan istilah siluman, bahwa masih ada dendam dan ketidakrelaan "Nyi Rambut Kasih" akan kehadiran kekuatan baru di muka bumi ini. Namun, betulkah demikian? Bukankah Nyi Rambut Kasih telah mengundurkan diri dari percaturan dunia? Bukankah sudah dikatakan oleh semua orang bahwa Nyi Rambut Kasih secara baikbaik mundur dari kehidupan guna memberikan kesempatan kepada sebuah zaman yang baru?
Peristiwa ini sudah lama berlalu, sudah lebih dari enampuluh tahun lamanya. Kalau pun Nyi Rambut Kasih ada, barangkali hari ini usianya sudah sedemikian lanjut. Mungkinkah seorang nenek renta bisa memimpin sebuah pasukan yang demikian hebat? Mungkinkah seorang tua masih memendam dendam dan emosi sehingga bisa menggerakkan sebuah pasukan?
Pengalaman membuktikan, banyak ratu (pemimpin) dituding bersalah padahal belum tentu dia sendiri yang melakukannya. Rastu puny abdi dalem (aparat). Kalau perintah ratu bisa dijalankan dengan benar oleh abdi dalem, maka nama baik sang ratu akan terpelihara. Namun sebaliknya bila aparat tak bisa menjalankan amanat dengan benar, maka sang ratu pun akan terkena getahnya. Bukan sesuatu hal yang mustahil ada abdi dalem yang bekerja sendiri dengan selera sendiri dan diabdikan buat kepentingan sendiri tapi akibat dari perbuatannya, ratulah yang musti bertanggungjawab.
Penguasa Pajajaran bernama Sang Prabu Ratu Sakti yang tengah memerintah kini (15431551 Masehi) banyak dipersalahkan rakyatnya karena gaya kepemimpinannya keras dan menekan rakyat. Rakyat menderita karena khabarnya selalu ditekan oleh penarikanseba (pajak) yang berat. Namun selentingan juga mengatakan bahwa tindakan-tindakan keras ini dilakukan secara sendiri oleh para abdi dalemnya. Mereka inginkan, tugas yang diamanatkan oleh ratu bisa berjalan dengan baik dan hasilnya besar. Semakin besar kesuksesan pekerjaan seorang abdi dalem maka akan semakin besar pula kepercayaan dan penghargaan sang ratu ke padanya. Maka untuk mengejar "upah" seperti ini, abdi dalem bersikap menekan kepada yang di bawah.
Mungkin demikian halnya dengan Nyi Rambut Kasih. Barangkali benar sang ratu di Sindangkasih ini secara sukarela telah memberikan kesempatan bagi penguasa hidup untuk mengisi zaman baru. Namun tak demikian dengan aparatnya. Hilangnya sebuah negri bagi bagi sang aparat berarti hilangnya sebuah kesempatan bagi keberadaannya. Tergantikannya sebuah suksesi kepemerintahan sepertinya tergantikannya pula kekuasaan aparat di bawahnya. Jadi agar kekuasaan tidak hilang, maka dicari akal untuk mempertahankannya atau merebutnya, atau menyabotnya kalau ternyata dia terhempas oleh perubahan kekuasaan itu.
Maka kendati sudah diumumkan bahwa seluruh penduduk Sindangkasih ikut agama baru belum tentu istilah "seluruh" itu berarti semua. Yang tak setuju dengan keadaan ini memilih memberontak. Dan agar mendapatkan dukungan masa maka mereka mengatasnamakan tokoh mereka sendiri yang populer di masa itu namun hidupnya "teraniaya". Begitu kira-kira yang tengah dipikirkan dan yang jadi dugaan hati Purbajaya.
Namun benar atau tidak dugaannya ini, yang jelas, Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih memang ada dan terasa mengganggu ketenangan masyarakat. Keutuhan persahabatan antara Sumedanglarang dan Talaga pun terganggu oleh kehadiran pasukan misterius ini.
Purbajaya amat bergairah dalam mengikuti upaya pengejaran ini. Mungkin dia ingin ikut menyelesaikan masalah keberadaan kelompok ini, namun bisa juga hanya karena rasa penasaran semata-mata. Siapa orangnya yang tak tertarik kepada masalah yang bersifat misteri? Ya, Purbajaya ingin sekali menguaknya. Kalau urusan ini bisa dia ikut selesaikan dan dilaporkan kepada penguasa di Carbon, mungkin dia akan dapat acungan jempol. Atau setidaknya orang tahu bahwa kehadiran dirinya di Carbon tidak percuma.
Sesudah cukup lama keluar-masuk belantara, akhirnya rombongan pun bisa menemukan kembali jalan pedati.
Rombongan tujuh orang dengan dua orang luka ini mulai menempuh perjalanan kembali dengan jalan kaki berhubung kuda mereka hilang.
Namun Wista tetap rewel dan menyayangkan alau kuda mereka yang bagus-bagus hilang tak tentu rimbanya.
"Sudahlah. Mengapa kau kerjanya mengeluh saja?" Yaksa mengomel. "Bukannya aku mengeluh karena aku tak bisa naik kuda tapi itu kan kuda mahal. Kau sendiri tak mungkin mampu beli," bantah Wista sambil berjalan tertatih-tatih padahal Purbajaya tahu pemuda ini tak menderita luka apa pun.
"Tidak apa. Kuda hilang dan kita jalan kaki, ini adalah bagian dari pelatihan," kata Ki Dita menengahi.
"Tapi apakah lukanya Aditia dan Yaksa pun bagian dari pelatihan, Ki Guru?" Wista penasaran.
Aditia memang luka memar di punggung karena bantingan Ki Sudireja ke batang pohon. Yaksa malah lebih parah lagi. Sebelum dia dibanting ke batang pohon seperti Aditia, dia telah banyak luka bacokan ketika melawan komplotan perampok.
Menerima pertanyaan yang lebih terasa sebagai rasa penasaran dari Wista, Ki Dita hanya menghela napas.
"Aku anggap itu sebagai pelatihan juga, sebab kehidupan penuh bahaya bagi seorang ksatria di masa-masa mendatang pasti lebih besar lagi dari hanya ketimbang diganggu perampok," jawab Ki Dita akhirnya.
"Kehilangan kuda malah tak berarti apa-apa ketimbang kehilangan nyawa," Ki Bagus Sura ikut menimpali.
"Dan kau harus membiasakan diri bisa berjalan kaki sebab perjalanan di masa-masa mendatang pun tak selamanya menggunakan kuda," kata Ki Dita lagi.
"Saya tak cemaskan saya pribadi. Tapi lihatlah dua orang sahabat saya, mereka kepayahan," Wista memberi alasan. Dan alasan ini memang tepat. Dibawa berjalan jauh seperti ini, Aditia dan Yaksa nampak kepayahan.
Namun demikian, Ki Dita perlu meneliti."Bagaimana, apa kalian kuat melanjutkan perjalanan?" tanyanya kepada Aditia dan Yaksa.
"Sebetulnya saya kuat tapi ... ya, cukup menderita," awab Yaksa. "Saya pun kuat tapi amat payah ..." Aditia ikut mengeluh. "Kalau begitu, kalian berdua tidak perlu ikut," kata Ki Dita.
"Kalau kami tak perlu ikut, musti tunggu di mana?" tanya Aditia. Rupanya dia pun tak senang kalau kemampuannya dilecehkan.
"Kita ini tengah mengikuti jejak orang yang berjalan di muka. Kalau kita berjalan lamban seperti kalian, orang yang kita buru akan semakin jauh jaraknya dari kita yang di belakang ini," kata lagi Ki Dita.
"Saya mungkin bisa berjalan cepat," jawab Yaksa. "Saya pun mungkin bisa," Aditia tak mau kalah. "Bagus kalau begitu," jawab Ki Dita sambil mengajak yang lain untuk berjalan cepat.
Semua orang mempercepat langkahnya. Baru beberapa ratus depa saja, Aditia dan Yaksa sudah kepayahan. Begitu pun Wista yang tak menderita luka, keringatnya sudah banyak membanjir di sekujur tubuhnya. Napasnya pun terdengar ngosngosan dan dari mulut serta hidungnya keluar uap putih seperti ular naga dalam dongeng.
Karena jarak ketiga orang itu semakin lama semakin terpisah jauh dari kelompok yang berjalan cepat di depannya, Purbajaya memilih berjalan paling belakang saja. Dia tak percaya kalau Aditia atau Yaksa bisa bisa mengimbangi langkah orang yang berjalan cepat di depan. Baik Ki Bagus Sura atau pun Ki Dita adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, begitu pun Paman Ranu. Dengan demikian, kemampuan berjalan kaki ketiga orang itu pasti bagus. Aditia dan Yaksa walau pun diberi kesehatan, belum tentu bisa mengimbanginyaa.
Dalam waktu yang singkat, ketiga orang tua itu sudah jauh dan tak terlihat ketika jalan mulai berkelok-kelok.
"Kalau salah satu dari kalian ada yang capek, saya sanggup menggendong," kata Purbajaya yang jalan di belakang.
"Cih, memangnya aku anak kecil?" Yaksa mendelik dengan suara ketus. Ketika mendengus, ada uap putih keluar dari hidungnya, lucu sekali kelihatannya.
"Saya tak mempersoalkan anak kecil atau bukan. Orang dewasa kan bisa capek?" jawab Purbajaya.
Yaksa tak mau menimpali.
"Barangkali engkau yang sudah capek, Aditia?" Giliran Aditia yang ditawari. Namun Aditia menjawab pun tidak. Dia hanya palingkan wajah dengan cepat.
"Kau ke sana ke mari mau jual jasa, bagaimana bisa gendong semua orang?" tanya Wista tiba-tiba.
"Tentu tak sekaligus semua. Kan aku bisa gendong satu-satu. Sampai ke satu tempat di depan, orang pertama saya turunkan, lantas lari lagiu ke belakang untuk menggendong ke dua dan seterusnya."
"Kau katakan, orang kedua dan seterusnya? Maksudmu, aku pun mau kau gendong, Purba?" tanya Wista bergairah.
"Mengapa tidak? Kan aku tadi hanya menawari, kalau ada yang capek dan bukan kalau ada ayang luka," jawab Purbajaya.
Mata Wista berbinar tapi Aditia dan Yaksa malah kian cemberut juga. "Apa aku kelihatannya capek, Purba?" tanya Wista ragu-ragu. Purbajaya meneliti. Ada keringat deras di wajah Wista, ada uap putih semakin tebal di hidung Wista, karena oleh dirinya sengaja dikembang-kempiskan napasnya. Lantas Purbajaya berkata."Menurut hasil pemeriksaanku, kau memang seperti capek. Tapi mungkin aku salah duga. Kalau aku salah menuding nanti aku disemprot kemarahan lagi," kata Purbajaya gurau.
"Tidak, aku memang capek, Purba ... " Wista merengek, membuat sebal kedua temannya.
"Wista, jangan banyak bicara dengan pemuda pembual dan pemogoran ini," teriak Aditia tak bisa menahan rasa kesalnya.
"Aku hanya menguji si dungu ini saja. Dia kan menyangka kalau aku tak punya kemampuan apa-apa. Lihatlah, aku punya ilmu lari cepat dan bisa mengejar guruku!" teriak Wista. Dan mulutnya menghitung sampai tiga. Pada hitungan yang ketiga, Wista pun melesat lari.
Purbajaya pun ikut lari di belakang Wista. Namun baru saja beberapa saat, napas pemuda itu ngosngosan dan uap putih keluar lebih banyak dari hidung dan mulutnya. Sebentar saja dia pun sudah berhenti berlari dan duduk meloso bersandarkan sebuah batu terjal.
"Aku sebenarnya tak bisa ilmu lari cepar, Purba ... "
"Mungkin gurumu tidak sungguh-sungguh memberimu ilmu lari cepat," hibur Purbajaya. "Memang belum diajarkan, sih ..."
"Sepulang dari muhibah ini, pasti dia memberikannya." "Mengapa kau begitu yakin?"
"Loh, semua guru akan memberikan apa yang terbaik buat muridnya," jawab Wista.
"Ah, Ki Guru hanya lebih mementingkan pembayaran yang tinggi saja, sementara aku tak dilatih dengan benar," keluh Wista.
"Ah, masa iya?"
"Kau tak tahu, dari ayahku dia dapatkan rumah kediaman yang pantas. Dia pun diberi kuda yang baik, bahan makanan berlimpah, pakaian dari negri lain, bahkan saban bulan ada kiriman uang logam Negri Parasi. Coba, kurang apa ayahku? Sementara aku, begini-begini saja," Wista memberengut.
Purbajaya tersenyum. Mungkin benar omongan Wista mungkin tidak. Biasanya orang yang ingin menutupi kelemahan dirinya suka menjelekkan orang lain, sehingga terkesan kelemahan dirinya itu karena kesalahan orang lain.
"Mari kita berangkat lagi. Coba liahat, dua sahabatmu sudah bisa menyusulmu" ajak Purbajaya menarik tubuh Wista supaya berdiri.
"Aduh ... kakiku terkilir, Purba!" "Wah, celaka!" "Aku pasti tak bisa jalan, Purba ... " "Wah ... wah!"
"Jangan wahwah-wihwih saja! Cepat gendong aku!" desak Wista dan kedua tangannya sudah merangkul punggung Purbajaya. Terpaksa Purbajaya menggendong pemuda cengeng ini.
"Kau tak biasa jalan jauh rupanya," kata Purbajaya sambil menggendong Wista.
"Itu lantaran kesalahan kedua orangtuaku. Sejak kecil aku disuruh diam di rumah melulu. Jauh sedikit aku dicari ke mana-mana," jawab Wista.
"Kasihan ..."
"Lho, apa aku ini orang papa sehingga musti kau kasihani?" Wista tersinggung. "Maksudku, kau musti dikasihani sebab hidup hanya menerima rasa manja orang tua."
"Diberi kemanjaan tandanya disayangi orangtua. Itulah hidup beruntung. Kau kuat berjalan jauh, apa kau tidak pernah menerima kasih-sayang orangtua Purba?"
Selintas ucapan Wista ini lucu. Namun bagi Purbajaya terasa amat pahit. Benar ucapan Wista, Purbajaya tak pernah menerima kasih sayang orang tua. Jangankan kasih-sayang, diberi kesempatan bertemu muka pun tidak.Purbajaya sedih. Dan untuk menekan rasa sedihnya, dia berlari cepat, cepat sekali. Sampai-sampai Aditia dan Yaksa pun tertinggal semakin jauh. Sampai-sampai tubuh Wista pun seperti menggigil tanda dia memang kedinginan karena adanya angin kencang menerpa tubuhnya.
"Tenagamu hebat, Purba," Wista memuji sejujurnya sambil kedua tangannya berpegang erat pada bahu Purbajaya.
"Gurumu pasti sakti sekali," kata Wista lagi. "Tapi gurumu pun hebat," jawab Purbajaya.
"Aku malu, masa guruku hebat aku sendiriletoy begini," keluh Wista.
"Aku dilatih Ki Guru sudah lama. Kau pun lama kelamaan akan memiliki kepandaian hebat. Mungkin kelak bisa melebihiku. Dan itu bergantung kepada keteguhan usahamu, Wista," kata lagi Purbajaya.
Wista ingin terus mengajaknya bicara namun Purbajaya malah memberikan tanda agar pemuda itu menutup mulutnya. Berbarenngan dengan itu, Purbajaya menghentikan lari cepatnya.
"Ada apa?" tanya Wista heran. "Ada pertempuran ... " "Di mana?" Wista celingukan ke kiri dan ke kanan.
"Saya baru dengar suaranya saja," jawab Purbajaya miringkan kepalanya dan matanya terpejam.
"Aku tak dengar suara apa-apa ... " potong Wista ikut miringkan kepala.
"Ada ... Ada kudengar dan tidak tidak begitu jauh," kata Purbajaya lagi sambil menurunkan tubuhWista dari gendongannya.
"Wista, kau tunggu di sini," kata lagi Purbajaya. "Ah, aku pilih ikut saja!"
"Kau akan terlibat pertempuran, padahal hari-hari belakangan ini kau terus-terusan bertempur," kata Purbajaya."Itu tak baik bagi kesehatanmu," sambung Purbajaya tapi bicaranya cukup serius.
Namun Wista memberengut sepertinya tak suka Purbajaya berkata begitu.
"Saya harus cepat-cepat membantu mereka. Saya rasa gurumu dan Ki Bagus Sura dikeroyok orang," tutur Purbajaya.
"Apalagi begitu, aku harus bela guruku!"desak Wista.
Purbajaya tersenyum. Mungkin baru kali ini Wista merasakan, bahwa keberanian itu suatu kebanggaan.
Oleh sebab itu, Purbajaya tak menahannya. Dia mengangguk mengiyakan dan setelah itu dia melesat pergi menuju suara yang didengarnya. Dia inginkan, semakin cepat meninggalkan Wista bakal semakin cepat pula tak memberikan peluang bagi pemuda itu untuk melibatkan diri dalam pertempuran. Purbajaya yakin Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah menghadapi lawan-lawan berat. Kalau Wista yang kepandaiannya belum seberapa ikut terjun, khawatir akan jadi gangguan saja.
Tempat di mana pertempuran terjadi memang tak begitu jauh.Kalau tadi tidak terlihat, karena jalan pedati banyak kelokan.
Dan ketika tiba di tempat pertempuran, memang benar Ki Bagus Sura, Ki Dita dan Paman Ranu tengah dikeroyok belasan orang. Yang amat aneh, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu mendapatkan tekanan berat sebab dikeroyok lawan dengan jumlah lebih besar ketimbang pengeroyokan terhadap Ki Dita. Purbajaya agak sedikit lega ketika Ki Sudireja pun ada di sana dan sama menghadapi para pengeroyok.
Siapakah yang tengah dihadapi Ki Bagus Sura? Tidakkah mereka anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih?
Purbajaya lebih mendekatkan dugaannya ke arah itu. Belasan orang yang dilawan Ki Bagus Sura kepandaiannya rata-rata tinggi dan memiliki gerakan aneh yang tak biasa dilakukan oleh akhli-akhli yang telah dikenal di Negri Carbon, misalnya. Gerakan mereka aneh dan sedikit ganas dan sepertinya tak memberikan peluang bagi lawan untuk balas menyerang. Mereka melakukan pengereyokan dengan membentuk kerja sama yang amat baik, saling menutup dan saling memberi peluang agar teman bisa melakukan serangan dengan baik. Mereka bahkan bisa membentuk sebuah formasi tempur yang baik sehingga kepungan rapat yang mereka lakukan sulit ditembus baik oleh Ki Bagus Sura mau pun oleh Paman Ranu. Hanya Ki Sudireja seorang yang sanggup mengimbangi gempuran para pengeroyok. Kendati dia tak bisa balas menyerang namun serangan lawan bisa dihambat.
Ki Dita pun sama dikepung. Namun jumlah pengepungnya tak begitu banyak dan mereka tidak membentuk formasi tempur khusus.
Ini adalah pertempuran "tak adil". Masa Ki Bagus Sura dan Paman Ranu begitu ketat menghadapi perlawanan, sementara Ki Dita santai-santai saja. Sepertinya kelompok penghadang ini hanya akan menitikberatkan perhatiannya untuk menyerang Ki Bagus Sura dan Paman Ranu saja.
Purbajaya tidak bisa banyak berpikir sebab dia harus segera menerjunkan diri ka kancah pertempuran untuk membantu Ki Bagus Sura. Orang tua ini sudah nampak kepayahan. Di sana-sini sudah terlihat luka berdarah karena goresan senjata tajam. Paman Ranu bahkan lebih parah lagi. Bahu kanannya banyak mengucurkan darah karena tertusuk pedang.
Purbajaya harus berhati-hati sebab baik gerakannya mau pun tenaga dalamnya, para pengeroyok terlihat hebat. Dalam satu gebrakan saja Purbajaya hampir terluka oleh tusukan pedang dua orang lawannya yang melakukan serangan hampir berbareng. Mereka melakukan serangan dari dua jurusan, masing-masing mengarah kepada bagian tubuh yang lemah.
Purbajaya agak sulit untuk memastikan serangan lawan sebab dia baru saja meloncat ke dalam arena. Menerima serangan secepat itu, seharusnya tubuh Purbajaya mundur dengan jalan menotolkan ujung kaki menjauh ke belakang. Namun usaha seperti itu akan percuma saja. Selain ketika tadi meloncat ke tengah arena tubuhnya doyong ke depan juga karena serangan lawan dari depan demikian cepatnya.
Satu-satunya cara dalam memecahkan serangan ini bukan dengan menghindarinya, melainkan dengan menyampoknya. Oleh sebab itu Purbajaya segera melakukan tindakan cepat. Ketika serangan pedang meluncur mengarah mata, Purbajaya mengangkat tangan kanannya. Bukan untuk merebutnya, melainkan untuk menyampok punggung pedang keraskeras dari atas mengarah ke bawah.
Si Penyerang seperti terkejut menerima perlawanan seperti ini. Dan kesempatan ini digunakan oleh Purbajaya untuk kian menekan lawan. Tenaga tangkisan dan sampokan dilakukannya sepenuh tenaga.
Menerima sampokan amat keras ini, batang pedang meluncur ke depan, tersampok ke bawah dan membentur pedang temannya yang juga tengah meluncur mengarah perut Purbajaya. Akibat benturan dua logam keras, bunga api berpijar ke sana ke mari.
Purbajaya lolos dari serangan dua lawannya. Namun demikian dia tak bisa bernapas lega sebab serangan baru mulai muncul kembali. Maka pertempuran semakin seru sebab Purbajaya mendapatkan keroyokan yang ketat pula. Namun kehadiran Purbajaya agak mengubah keadaan. Pihaknya sudah terlihat tidak terlalu tertekan lagi. Namun demikian, Ki Bagus Sura dan Paman Ranu yang dibantu Purbajaya sudah terlihat semakin payah. Paman Ranu yang selama di perjalanan tidak terlalu banyak bicara dan kerjanya hanya mematuhi majikan, kini bahkan sudah tergolek lemah di atas tanah dan darah di bahu kanannya terus-terusan mengucur deras. Di mulutnya pun terlihat lelehan darah segar. Mungkin dia pun terluka dalam cukup hebat.
Nasib yang tak lebih baik dari itu pun melanda Ki Bagus Sura. Dia terluka parah di bahu bagian kirinya sehingga dalam gerakannya nampak kaku dan mulutnya selalu meringis menahan sakit.
Sementara Ki Dita pun ada terlihat berdarah. Namun dia hanya luka ringan, yaitu goresan ujung pedang di tangan. Gerakannya masih cepat sehingga lawan tak punya kesempatan melakukan serangan berbahaya.
Pada akhirnya, Purbajaya hanya bahu-membahu dengan Ki Sudireja saja. Dua orang itu bisa bekerja-sama saling menutup dan saling membantu melakukan serangan sehingga lawan nampak tertekan dan kepayahan juga.
Purbajaya menyukai gaya permainan Ki Sudireja. Tak dinyana, dalam menghadapi pengeroyokan lawan, Ki Sudireja bisa memadukan gerakannya dengan gerakan Purbajaya. Dan Ki Sudireja pun nampak puas dengan penampilan Purbajaya. Kendati ada sedikit tetesan darah, namun mulut Ki Sudireja tersenyum. Sedikit demi sedikit dua orang itu bisa menekan para pengeroyoknya.
"Mundur!" terdengar aba-aba dari salah seorang pengeroyok. "Jangan lari, serahkan dulu anak itu!" teriak Ki Sudireja.
"Anak itu dari keluarga Pajajaran. Jangan racuni dia!" jawab dari angggota pasukan itu. "Dungu!" dengus Ki Sudireja kesal.
"Kalian pun harus mengembalikan surat daun lontar ... " kata Ki Bagus Sura dengan suara kepayahan.
"Surat ada di tangan kami tapi tak boleh tiba di Talaga!" seru salah seorang dari mereka sambil kembali memberikan aba-aba dan akhirnya semua berloncatan menuju hutan yang gelap. Mereka hanya meninggalkan satu orang yang tergeletak lemah dan tengah ditodong dengan ujung pedang oleh Ki Sudireja.
Purbajaya bersyukur ada salah seorang dari anggota pasukan siluman yang bisa ditangkap. Dengan demikian dia bisa mengorek keterangan yang diperlukan. Namun demikian, ada tersembul rasa aneh. Mengapa pasukan misterius yang serba tersembunyi meninggalkan begitu saja temannya yang luka, bukankah ini sama artinya memberi peluang agar komplotan itu terbuka kedoknya? Bertepatan dengan menghilangnya pasukan siluman ke hutan lebat, tiba pula tiga orang murid Ki Dita. Mereka serta-merta mencabut senjata masing-masing dan dilayangkannya ke arah tubuh anggota pasukan siluman yang tengah ditodong senjata oleh Ki Sudireja.
Purbajaya terkejut dengan peristiwa mendadak ini. Namun Ki Sudireja dengan entengnya menepis ketiga hujan serangan itu.Pedang dan golok beterbangan ke udara disertai pekikan kesakitan dari para pemegangnya. Namun sambil meringis memegangi pergelangan tangan masing-masing, ketiga orang pemuda itu lantas menghambur hendak menyerang Ki Sudireja.
"Kau menahan kami membunuh penjahat ini, berarti kau pun komplotan mereka juga," kata Aditia berang dan menyerang Ki Sudireja. Namun hanya dengan menggerakkan tangan kirinya saja, Aditia terlempar ke belakang. Beruntung kali ini di sana tidak terdapat batang pohon yang dekat dengan jatuhnya tubuh Aditia.
Yaksa dan Wista akan segera bergerak tapi giliran Purbajaya yang menahan mereka. "Tak perlu melakukan pembunuhan," kata Purbajaya.
"Purbajaya musti dibunuh!" teriak Aditia yang sudah bangun kembali. "Kurasa mereka bukan penjahat ..." gumam Purbajaya.
"Mereka adalah kelompok yang berbeda pendapat dengan kita, dengan penguasa di negri kita" ujar Aditia lagi.
"Tapi berbeda pendapat bukan berarti jahat, bukan?" tanya Purbajaya.
"Pendapatmu aneh dan kacau, Purba. Aku hanya mau bilang kalau pasukan siluman ini pengacau dan pengganggu ketertiban. Mereka pun amat meresahkan masyarakat. Kalau kita katakan mereka itu berbeda pendapat dengan kita, maka itulah kejahatan sebab karena mereka beda pendapat dengan kita maka kita menjadi resah," tutur Aditia lagi.
"Keresahan karena beda pendapat bisa kita redam dengan cara memberikan penjelasan sebaik mungkin sehingga mereka akhirnya mengerti bahwa tujuan kita baik. Bila mereka sudah tahu makna perjuangan kita, rasanya mereka tak akan terus-terusan mengganggu kita," kata Purbajaya.
Pertikaian pendapat tak berlanjut sebab secara tiba-tiba tawanan segera bangkit dan menghambur ke depan menubrukkan tubuhnya ke mata pedang yang ditodongkan Ki Sudireja. Semua orang tercengang dan tak bisa menggagalkan peristiwa ini. Maka tak ayal tubuh tawanan itu terpanggang batang pedang. Dia pun tewas seketika.
Purbajaya baru mengerti, mengapa teman-temannya membiarkan dia tertinggal seorang diri. Rupanya semua anggota pasukan siluman sudah sepakat, kalau peluang untuk kabur sudah tak ada, maka mereka akan bunuh diri, sehingga kerahasiaan pasukan tetap terjamin. 
"Purba ... " tiba-tiba terdengar Ki Bagus Sura memanggil lemah. Dia terlihat telentang di tanah dengan darah bersimbah di beberapa bagian tubuhnya. Purbajaya memeriksa. Sebetulnya tidak ada luka yang membahayakan. Namun darah yang keluar cukup banyak sehingga Ki Bagus Sura begitu lemah.
"Purba ... Aku gagal mengemban tugas ... " katanya lemah. "Perihal surat daun lontar itukah?"
"Benar. Itu surat amat penting dan harus sampai ke Talaga. Isinya, perihal keberadaan Raden Yudakara. Ah ... aku tak bisa menyampaikannya ..." keluh Ki Bagus Sura. Nampak ada lelehan air mata di pipinya.
"Saya bersedia menyelamatkan surat itu," kata Purbajaya. Dia amat tertarik sebab isi surat dikhabarkan memperbincangkan perihal keberadaan Raden Yudakara. Purbajaya pun mengatakan kesanggupannya karena ingin menenangkan hati Ki Bagus Sura. Namun demikian, wajah Ki Bagus Sura tetap kelabu. Dan Purbajaya sadar, sebenarnya Ki Bagus Sura tidak percaya kalau Purbajaya bisa melaksanakan tugas ini dengan baik. Bukankah sudah terbukti, dengan orang sebanyak ini pun upaya merebut surat dari tangan perampasnya sungguh sulit dilakukan? Apakah dayanya Purbajaya seorang sehingga berkata sanggup untuk melakukan tugas seberat itu?
"Aditia, kau ke sini ... " kata Ki Dita sesudah mendengar percakapan ini.
Aditia memang sempat terluka karena benturan di punggungnya. Tapi bila dibandingkan dengan yang lain, dia termasuk utuh.
"Ada apa, Ki Guru?" jawabnya sesudah menghampiri.
"Kau, Yaksa dan kemudian Wista harus temani Purbajaya mengejar surat daun lontar yang kini dikuasai pasukan siluman. Camkan, barang berharga itu harus bisa diselamatkan," kata Ki Dita bernada perintah.
"Tanpa Purbajaya, saya pun bisa bergerak sendiri!" jawab Aditia angkuh.
"Diam kau, dan hilangkan sikap sombongmu itu!" teriak Ki Dita jengkel."Hanya karena keangkuhanmu dan tak bisa tahan emosi maka kita jadi begini," kata Ki Dita lagi dengan nada kecewa
"Mengapa saya yang disalahkan?" Aditia memberengut.
"Kau serta-merta menyerang Ki Sudireja dan kemudian kau luka. Akibat lukamu, kau tak bisa bantu kami dengan baik. Untuk berjalan cepat menuju ke sini saja kau kedodoran." cerca Ki Dita lagi.
"Saya beberapa kali melakukan pertempuran sudah barang tentu banyak luka. Tapi coba Ki Guru lihat Si Purbajaya ini, kapan dia berupaya mempertahankan keberadaan pasukan kita? Sedangkan musuh sudah dikuasai kita pun dia malah halang-halangi kita untuk menumpasnya. Tak masuk akal. Saya cenderung curiga kalau orang ini bersekongkol dengan musuh atau bisa juga pembelot," jawab Aditia belok menekan Purbajaya. "Huh, malu aku memberikan ilmu tempur yang mengandalkan kehalusan budi. Perangaimu kasar dan tak mungkin lulus dalam menjalankan pelatihan ini. Aneh sekali, mengapa perangai halus hanya terlihat pada diri Si Purba dan dia kebetulan bukan muridku?" keluh Ki Dita pada akhirnya. Terlihat dia menjambak rambutnya sendiri saking kesalnya.
"Guru, jangan marah begitu. Kami akan taati apa kehendakmu. Sekarang pun kami berempat siap berangkat," Wista memotong ketika dilihatnya Ki Dita demikian jengkel terhadap Aditia.
"Purba ... Cepatlah berangkat," kata Ki Bagus Sura dan suaranya semakin lemah saja. "Tapi saya harus merawat luka kalian dulu," pinta Purbajaya.
"Sudah tak ada waktu lagi. Biarlah kami bisa merawat sendiri. Yang penting, surat harus bisa diselamatkan ... " desak Ki Bagus Sura. Batuk-batuk sebentar dan keluar darah segar walau sedikit.
"Bagaimana bila surat tak terselamatkan?" Purbajaya mengajukan pertanyaan yang sebetulnya dia pun tak suka.
"Hanya satu akibatnya, tugasmu bakal semakin berat ... " desah Ki Bagus Sura payah. Lalu dia melambaikan tangannya agar Purbajaya mendekatkan kapalanya.
"Kalau surat tak terselamatkan, kau sendirian harus selidiki keberadaan Raden Yudakara. Tugasmu ini bukan untuk kepentinganku semata ... Bukan pula untuk Sumedang dan Talaga, melainkan juga kepentingan Carbon dan ketentraman di wilayah Jawa Kulon ini secara keseluruhan ... " kata-kata Ki Bagus Sura semakin pelan juga. Namun kalimat-kalimat terakhir ini sungguh amat memukau hati Purbajaya. Siapakah Raden Yudakara sehingga begitu dicurigai dan begitu dirisaukan sebesar ini oleh orang Sumedanglarang?
"Mari semua kita berangkat!" ajak Yaksa tak sabar melihat Ki Bagus Sura dan Purbajaya saling bisik seperti layaknya dua kekasih hendak berpisah.
"Dan ingat ... Rawatlah anakku Si Yuning. Tentramlah sudah hatiku bila anak itu bisa tinggal bersamamu ... " bisik lagi Ki Bagus Sura. Kini sepasang matanya terpejam. Hanya air matanya saja yang terus meleleh di pipinya yang terkena debu jalanan.
"Berangkatlah Purba ... " kata Ki Dita.
Purbajaya menatap sejenak kepada orang tua ini. Dia tak bisa pastikan perangai dan isi hati Ki Dita. Kadang-kadang keras kadang-kaang lemah. Tadi dia curiga mengapa orang tua ini tidak diserang habis-habisan oleh pasukan siluman. Tapi melihat pembelaannya kepada Ki Bagus Sura dalam urusan penyelamatan surat penting, rasa curiga terhapus pula. Apalagi ketika Ki Dita memuji dia, semakin luluh pula kesan buruk pada orang tua ini.
"Saya tak bisa merawat lukamu, Ki Dita ... " kata Purbajaya pelan. "Aku bisa merawat lukaku ... " jawab Ki Dita pendek.

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 07 --oo0oo-- Jilid 09


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.