Life is journey not a destinantion ...

Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-18

INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 17 --oo0oo-- Jilid 19

TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 18

"Seta … Akulah yang banyak dosa. Aku bersalah padamu. Akulah yang harus minta maaf…" kata Ginggi akhirnya. Teringat kembali kelakuan penuh aib antara dirinya dan Nyi santimi, padahal dia tahu, Nyi Santimi adalah calon istri Seta. Dia berdosa besar, padahal Seta laki-laki baik. Paling tidak pemuda yang dikenal angkuh ini setidaknya masih punya nilai kesetiaan. Terbukti berkali-kali dia digoda wanita, Seta tetap teguh pendiriannya karena cintanya hanya untuk Nyi Santimi. Seta ini punya nilai. Dan nilai sebaik ini malah dikotori oleh tindakantindakan Ginggi yang berani mengganggu keutuhan Nyi Santimi. Jadi siapa yang sebetulnya berdosa?
"Seta jangan minta maaf padaku. Bahkan kau yang harus hukum aku…" kata Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta. Seta hanya bisa membalas dengan pegangan tangannya, lemah dan sedikit menggigil menahan sakit. "Seta … dengarkan aku … dengarkan aku…" kata Ginggi mendekatkan bibirnya ke telinga Seta. Dia ingin membuat pengakuan jujur bahwa dirinya telah berlaku jahat mengganggu kehormatan Nyi Santimi. Suji Angkara juga jahat akan memperkosa Nyi Santimi. Tapi niat jahatnya tak pernah kesampaian. Sebaliknya dirinya, tidak melakukan perkosaan. Peristiwa di hutan kecil setahun lalu suka sama suka. Namun tetap saja kejahatan, sebab Ginggi tak berhak mengganggu gadis yang sudah punya calon suami. Dan calon suaminya itu kini tergolek lemah, bahkan sedang meminta maaf padanya. Gila! Seharusnya dirinyalah yang meminta maaf, atau bukan minta maaf tapi minta dihukum!
"Seta!…Seta!…Dengarlah! Aku akan buat pengakuan!" Ginggi menempelkan bibirnya di telinga Seta. Dengan kerongkongan tersekat dan lidah sedikit kelu, Ginggi berbicara terpatahpatah. Isinya pengakuan perihal kejadian masa lalu di mana dosa telah diperbuat bersama Nyi Santimi.
Selesai membuat pengakuan dosa, dia bertanya pada Seta, kalau pemuda itu ingin memperlakukan apa saja Ginggi mau.
"Bilanglah apa saja. Kalau kau suruh aku bunuh diri, maka aku akan bunuh diri sekarang juga. Ayo bilang Seta! Cepat bilang!" Ginggi mengguncang-guncang tubuh Seta. Namun Ginggi baru sadar, bahwa sejak tadi mulut Seta sudah tak bicara sepatah kata pun, tidak juga mengeluhkan rasa sakitnya. Ginggi pun baru sadar bahwa sejak tadi, jauh sebelum dirinya membuat pengakuan dosa, tubuh Seta sudah tak bergerak lagi, tidak juga menggigil menahan sakit. Seta sepertinya sudah pasrah terhadap keadaan. Apa yang sudah ditentukan bagi dirinya, sudah dia terima dengan penuh kesadaran.
Ya, Seta pemuda angkuh tapi setia ini, kini sudah diam. Sudah mati!
Ginggi menangis di dekat mayat pemuda itu. Menangis karena sedih, menangis karena dosa.
Tapi Ginggi tak terus-terusan larut dalam kesedihannya. Dia harus segera pergi dari tempat itu, jangan sampai diketahui oleh tugur sebab tentu amat menyulitkan dirinya.
Tapi tentu saja sebelum pergi dia tak boleh membiarkan jasad Seta tergolek begitu saja di sana. Ginggi harus menyempurnakannya sebagai penghormatan terakhir kepada pemuda itu. Caranya bagaimana, Ginggi tidak tahu persis. Dulu Ki Darma pernah bercerita tentang kebiasaan nenek moyang orang Pajajaran dalam menyempurnakan tubuh orang mati. Dahulu Kerajaan Sunda sebelum bernama Pajajaran,Dayo atau ibukota kerajaanbeberapa kali melakukan perpindahan antara Galuh (Ciamis) dan Pakuan (Bogor), tergantung di mana raja yang barudiwastu (dilantik) betah tinggal. Masyarakat di kedua wilayah mempunyai tradisi berbeda dalam menyempurnakan orang mati. Galuh disebut sebagai wilayah air, maka kebiasaan menyempurnakan jasad si mati di Galuh, dengan caradilarung atau dihanyutkan ke sungai atau ke laut. Di sungai-sungai besar seperti Cijulang, Ciwulan, Ciseel atau bahkan Citanduy didapat tempat bernamapanereban yaitu tempat untuknerebkeun atau melabuhkan jasad orang mati. Sebaliknya tradisi di Pakuan karena wilayah pegunungan, menyempurnakan orang mati dengan caradikurebkeun atau dikubur di dalam tanah. Tempat untukngurebkeun disebutpasarean . Menurut kelaziman di Pakuan, orang mati seharusnyadikurebkeun . Tapi di tengah malam gelap-gulita seorang diri, tak mungkin mengubur jasad Seta, Ginggi pilih cara yang jadi tradisi orang Galuh yaitu dengan jalandilarung atauditerebkeun , yaitu dilabuhkan ke sungai. Sungai yang paling dekat dari Tajur Agung adalah Cihaliwung dan wilayah aliran sungai ini yang paling dalam adalahLeuwi Kamala Wijaya atau dikenal juga sebagaiLeuwi Sipatahunan.
Ingat cara ini, maka Ginggi segera memondong tubuh yang sudah mulai dingin itu ke arah timur, yaitu tepi Sungai Cihaliwung paling dalam. Jaraknya tidak begitu jauh, sepemakan sirih saja dia sudah sampai di sana. Ginggi mencari akar-akaran dan sebongkah batu. Batu itu dia ikatkan menjadi satu dengan jasad Seta, menggunakan akar-akaran. Ginggi menunduk memberi hormat dengan merapatkan kedua belah tangannya. Tubuh dingin itu dia angkat dan dilemparkan ke permukanleuwi . Karena dibebani sebuah batu, sedikit demi sedikit tubuh tak bergerak itu mulai tenggelam. Permukaan air sedikit berputar-putar membuat ulekan ketika tubuh itu sudah benar-benar tenggelam.
Untuk kesekian kalinya Ginggi menghormat pada tubuh Seta yang mulai hilang ditelan airLeuwi Sipatahunan.
Ada bayangan berdiri di depan matanya, bayangan gadis Santimi, calon istri Seta. Ingatkah gadis itu pada calon suaminya? Gadis itu pernah mengaku tidak mencintai Seta dan hanya memilih Ginggi saja. Tapi Ginggi tahu betul, Seta begitu mencintai Nyi Santimi. Cintanya yang tulus dia buktikan dengan kesetiaan. Seta sepengetahuan Ginggi tidak pernah tergoda oleh gadis lain. Dia mengikuti Suji Angkara karena ingin dapat pekerjaan yang terbaik untuk diabdikan pada Nyi Santimi.
Selesainerebkeun jasad Seta, Ginggi segera memakai bajunya lagi, juga membelitkan ikat kepalanya lagi. Sesudah itu dia meninggalkan tempat itu untuk kembali "pulang" ke puri Bagus Seta di mana dia "bekerja".
Namun di tengah jalan hampir dekat ke lorong jalan menuju benteng puri Bangsawan Bagus Seta, berpapasan dengan serombongan jagabaya berbekal obor dan senjata tajam. Di belakangnya ada dua orang penuggang kuda. Penunggang itu adalah Suji Angkara dan ayah tirinya Bangsawan Bagus Seta.
Rombongan berhenti ketika berpapasan dengan Ginggi.
"Engkau dari mana saja anak dungu?" teriak Bangsawan Bagus Seta setengah geram.
"Bukankah saya disuruh mengantarkan surat untuk Juragan Yogascitra, Juragan?" kata Ginggi gagap untuk menjelaskan bahwa dirinya takut atas kemarahan ini.
"Ya, aku tahu. Tapi itu kan tadi. Seharusnya kau pulang sejak tadi …" kata lagi Bangsawan Bagus Seta menyelidik.
"Di puri Bangsawan Yogascitra banyak tamu, sehingga surat baru saya serahkan sesudah tamu selesai dengan urusannya," kata Ginggi mencari alasan.
"Tapi surat itu bisa kau titipkan saja pada jagabaya, tak perlu kau tunggui berlama-lama seperti itu, tolol!" teriak Bangsawan Bagus Seta lagi.
"Saya takut surat itu tidak sampai …" kata Ginggi menundukkan kepala. Bangsawan Bagus Seta hanya mendengus. "Maafkan saya merepotkan kalian sehingga jagabaya dikerahkan mencari saya …" gumam Ginggi. Terdengar tawa kecil di sana sini. Suji Angkara yang sejak tadi diam pun ikut tertawa.
"Orang sedungu kau untuk apa susah-susah dicari?" kata Suji Angkara dengan tawa penuh ejekan.
"Mari …!" kata Bangsawan Bagus Seta mengajak rombongan berjalan lagi.
"Kita bagi dua lagi, Ayahanda. Saya akan balik lagi ke arah barat sampai tepi Cipakancilan," kata Suji Angkara menahan gerakan kudanya.
Bangsawan Bagus Seta menyetujui sehingga rombongan jagabaya dibagi dua. Yang ikut Suji Angkara ada kira-kira tujuh orang jagabaya.
"Kalian jalan duluan aku ada perlu dengan badega bodoh ini!" kata Suji Angkara.
Ke tujuh jagabaya bersenjata lengkap segera pergi meninggalkan tempat itu, bergerak ke arah barat. Tinggallah kini Suji Angkara dan Ginggi.
"Ada kejadian apakah, Raden?" Ginggi pura-pura tak tahu sambil mata memandang serombongan jagabaya yang mulai menjauh.
Suji Angkara tidak menjawab, melainkan menyepak punggung Ginggi dengan ujung kaki kanannya yang berterompah lancip. Ginggi terkejut dan langsung pura-pura terjerembab ke depan.
"Eh, ada apakah, Raden?" kata Ginggi. Sebetulnya benar-benar heran dan khawatir. Khawatir kedoknya terbuka.
"Setan alas kau!" teriak Suji Angkara gemas. Pemuda itu turun dari kudanya dan menjambak pakaian Ginggi.
"Ada … Ada apakah, Raden?" Ginggi sudah siap dengan pengerahan tenaga di sepasang tangannya kalau-kalau pemuda itu melakukan tindakan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Namun Suji Angkara hanya mengguncang-guncang tubuh Ginggi.
Selintas Ginggi melihat, pemuda itu tengah terguncang jiwanya...... Jidatnya yang bengkak karena tonjokannya tadi nampak nyata membiru.
"Sudah sebulan kau kukirim ke puri ayah tiriku, tapi kutunggu-tunggu kau malah enak-enakan di sana. Apakah kau sudah lupa tugasmu bangsat cilik?" kata Suji Angkara geram.
"Saya tidak lupa dengan tugas yang diberikan olehmu, Raden. Selama ini saya tetap mematamatai puri itu …" kata Ginggi mencoba melepaskan jambakan pemuda itu.
"Ya, tapi kau tidak pernah melapor padaku, tolol!" kata lagi Suji Angkara.
"Bukankah Raden pernah katakan, saya boleh melapor kalau ada hal-hal penting saja?" tanya Ginggi. "Memang begitu! Tapi kenapa kau tak melapor?" tanya Suji Angkara lagi menyebalkan.
"Habis selama ini saya tak menemukan hal-hal penting di sana …" ujar Ginggi menghela napas seperti kecewa.
"Sedikit pun?" "Sedikit pun!"
"Kau tidak pernah lihat Ki Banaspati memasuki puri Ayahandaku dan mengobrolkan sesuatu di sana?"
"Tidak!"
"Tidak ada berita apa pun?" "Ada!"
"Soal apa?"
"Bahwa Nyimas Layang Kingkin harus dinikahkan dengan Sang Prabu dan engkau harus meminang Nyimas Banyak Inten!" jawab Ginggi.
"Kalau itu aku sudah tahu, tolol, sebab ayah tiriku pasti bilang padaku!" potong Suji Angkara gemas.
"Kalau begitu tak ada lagi," kata Ginggi seperti menyesal atas ketidak-berhasilan tugasnya. "Dasar kau tolol!’
"Bukan saya tolol, tapi kalau sesuatu yang harus saya intip tak ada, ya mau apa lagi?" kata Ginggi mengajukan alasan.
Plak! Pipi Ginggi dihadiahi tamparan. Ingin Ginggi balik menampar kalau saja dia tak ingat dirinya hanyalah seorang badega "bawahan" pemuda jahat itu.
"Lantas bagaimana selanjutnya, Raden?"
"Kau kembali saja ke puri ayahku dan lanjutkan tugas-tugas yang aku bebankan padamu. Tapi awas … kalau kau berani mengkhianatiku, nyawamu lepas dari badanmu. Tak ada orang yang bisa hidup karena mengkhianatiku, mengerti?"
"Mengerti, Raden …" "Ya, cepat pergi!"
Ginggi meninggalkan tempat itu dengan perasaan gemas sekaligus sedih. Sedih karena dia bisa menduga, ketiga orang yang tergeletak di puri Suji Angkara yaitu Madi, Ki Ogel dan Ki Banen sudah dipastikan tewas. Bila menurutkan hawa nafsu, ingin dia pukul roboh Suji Angkara di tempat sunyi tadi sebab tak akan ada orang tahu. Tapi membunuh pemuda itu hanya tindakan potong kompas dan tidak akan menguakkan kejahatannya. Ginggi hanya ingin buktikan bahwa semua orang tahu bahwa Suji Angkara orang jahat. Soal siapa kelak yang akan menghukumnya, di Pakuan pasti ada lembaga untuk mengurus urusan seperti itu. 
Ginggi pulang ke puri Bangsawan Bagus Seta dengan perasaan tidak menentu. Dia tak bisa mengurus dan merawat tiga jasad yang dia anggap teman-temannya, sebab kalau pun memaksa, hanya akan mendapatkan kecurigaan saja. Para penyerang puri Suji Angkara dengan begitu mudahnya di tuduh penjahat sehingga dengan amat mudahnya pula segenap jagabaya dikerahkan untuk membunuhnya.
Ginggi segera memasuki gerbang puri yang dijaga empat orang jagabaya dan mereka tak banyak periksa ketika Ginggi masuk ke sana. Dia tidak banyak pertanyaan perihal kegiatan Bangsawan Bagus Seta dan Suji Angkara, sebab dia bisa menduga, mereka tengah menguber dirinya yang tadi melarikan tubuh luka pemuda Seta.
Misteri Kian Terkuak
Besok siangnya Ginggi merasa amat heran, sebab peristiwa tadi malam tidak menimbulkan hal-hal yang membuat orang tergerak untuk membicarakannya. Bahkan cenderung Ginggi menduga bahwa tidak banyak orang yang tahu akan peristiwa semalam. Banyak jagabaya berseliweran di sekitar puri. Betul-betulkah banyak orang tidak tahu ada kejadian yang Ginggi anggap amat besar itu, ataukah … ataukah semua orang tak berani mempercakapkannya?
Ginggi tidak bisa menduga dengan pasti.
Hanya saja menjelang tengah hari, Suji Angkara nampak dipanggil menghadap ke puri ayah tirinya. Ginggi yang melihat dari ruangan belakang melihat wajah pemuda itu yang nampak muram dan matanya merah seperti kurang tidur.
Ginggi ingin sekali mencuri dengar percakapan kedua orang itu. Maka Ginggi segera membawa baki siap dengan berbagai penganan di atasnya. Ginggi akan mengantarkan penganan ke ruangan tengah tanpa diperintah tuannya.
Di ruangan tengah nampak bersila saling berhadapan, Suji Angkara dan Ki Bagus Seta. Keduanya berhadapan dengan raut-muka nampak tegang seperti ada sesuatu hal yang dirisaukan atau dipermasalahkan.
"Kau bacalah surat tadi pagi yang dikirimkan oleh Bangsawan Yogascitra!" kata Ki Bagus Seta menyodorkan sebuah kotak berukir yang di dalamnya berisi satu susun daun nipah.
Nampak jidat Suji Angkara yang bengkak itu agak mengkerut ketika matanya meneliti tulisanpalawa di daun nipah.
"Kurang ajar…" desis pemuda itu sambil menggigit bibir. Sesudah itu dia memandang Ki Bagus Seta.
"Apa artinya ini, ayahanda? Keluarga Bangsawan Yogacitra menolak lamaran kita?" tanya Suji Angkara dengan suara menggigil. "Mengapa bisa begini? Bukankah tempo hari Ayahanda yakin mereka akan menerima pinangan kita?" tanya Suji Angkara tidak senang.
"Entah… aku juga tidak mengerti," gumam Ki Bagus Seta mengerutkan dahi. "Barangkali ini kesalahan Ayahanda juga, mengapa membatalkan pertunangan Dinda Kingkin dengan Banyak Angga? Dan mengapa malah Ayahanda tawarkan adikku pada Sang Prabu?" tanya pemuda itu penuh sesal.
"Jangan salahkan aku. Ini semua aku lakukan untukmu. Kau akan tahu, Sang Prabu mencintai Nyimas Banyak Inten. Karena aku sayang engkau, maka kutawarkan adikmu pada Sang Prabu dengan harapan beliau melepaskan kekasihmu," kata Ki Bagus Seta setengah melamun.
"Tapi nyatanya gadis itu tidak diberikan padaku. Mereka tolak mentah-mentah lamaran kita. Padahal mereka tahu, Nyimas Banyak Inten menyukaiku dan aku menyukai dirinya. Mereka sengaja menolakku karena ingin membalas sakit hati atas perlakuan Ayahanda!" kata Suji Angkara setengah berteriak kesal.
Brak! Ki Bagus Seta menggebrak meja pendek yang ada di sampingnya sehingga kayu-kayu meja berantakan tinggal puing-puing. Ginggi yang melihat kejadian itu dari belakang terkesiap melihat demonstrasi tenaga yang diperlihatkan Ki Bagus Seta. Ginggi maklum, orang ini termasuk murid pandai dari Ki Darma.
"Bisamu hanya menyalahkan orang lain saja. Dan kini kau salahkan aku, hah!" Ki Bagus Seta juga sama meninggikan kata-katanya.
"Ya, karena ambisimu, kau hancurkan anakmu, ayahanda!" kata Suji Angkara. "Kau atur agar Sang Prabu melepaskan Nyimas Banyak Inten dan mengambil adikku agar hubungan kekerabatan dengan Raja semakin dekat kemudian kau semakin mudah menanamkan pengaruhmu di istana. Dan aku, mana keuntunganku yang bisa kudapat?" tanya Suji Angkara masih dengan suara tinggi.
"Kau berkacalah dulu agar kau tahu sejauh mana dirimu berharga untuk orang lain!" kata Ki Bagus Seta membuat Suji Angkara pucat wajahnya.
"Apa maksudmu, Ayahanda?"
"Sudah banyak bisik-bisik tentangmu. Kau dicurigai bermental bejat. Aku tak percaya sebelumnya. Tapi kejadian tadi malam membuatku berpikir lain. Penyerang-penyerang itu semua anak-buahmu. Semua menudingmu banyak berbuat serong. Untung mereka cepat mati dan untung sekali mayat mereka cepat kalian buang sehingga kaum bangsawan lain tak banyak tahu peristiwa tadi malam… Hei, siapa itu?" Ki Bagus Seta menoleh ke belakang ketika melihat Ginggi tergopoh-gopoh datang mendekat membawa baki berisi penganan.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Ki Bagus Seta mendelik.
"Penganan untuk tamu. Bukankah sudah biasa saya harus menyiapkannya?" tanya Ginggi pura-pura baru datang ke ruangan itu.
"Jangan sembarangan masuk tanpa dipanggil. Cepat simpan penganan itu kembali ke ruangan belakang !" kata Ki Bagus Seta.
"Tidak perlu, pergi saja kamu!" bentak Ki Bagus Seta. Ginggi cepat-cepat meninggalkan tempat itu tapi di lorong pintu segera menyelinap di balik gorden tinggi. Ginggi sembunyi di balik gorden dan membungkus tubuhnya dengan lembaran kain lebar itu.
"Coba katakan, benarkah engkau selama ini selalu berbuat tidak senonoh terhadap kaum perempuan?" tanya Ki Bagus Seta penuh selidik.
Yang ditanya sepertinya tidak bisa menjawab. Dan Ki Bagus Seta nampaknya ingin sekali mendapatkan jawaban gemblang dari Suji Angkara sehingga untuk kedua kalinya terdengar mengajukan pertanyaan sama.
"Ayahanda, semua orang punya kekurangannya. Aku … dan mungkin juga engkau!" Suji Angkara malah berkata begitu.
"Maksudmu apa?" suara Ki Bagus Seta terdengar penuh selidik.
"Aku ingin tahu, apa hubunganmu dengan Ki Banaspati ayah!" kata Suji Angkara dengan nada suara penuh selidik pula.
Terdiam sejenak, sehingga Ginggi tak tahu apa yang tengah mereka lakukan. "Jangan macam-macam. Aku dengan dia tidak punya hubungan apa-apa kecuali dia bawahanku dalam melakukan pungutan pajak negara di wilayah timur!" kata Ki Bagus Seta.
"Aku berpikir, hubungan Ayahanda dengan pejabat misterius itu sudah lebih jauh lagi dari sekadar hubungan atasan dan bawahan," tuding Suji Angkara.
"Mengapa kau berkata begitu?" tanya Ki Bagus Seta suaranya terdengar sedikt bergetar.
"Ketika aku mengawal seba dari wilayah Karatuan Talaga banyak peristiwa ganjil yang aku dapatkan. Ketika tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang, aku bahkan akan mereka bunuh. Semua telah aku laporkan padamu ayah, tapi mana tindakanmu atas kejadian aneh itu? Biar pun sekadar anak tiri, tapi aku anakmu. Bahkan lebih dari itu, aku kau tugasi untuk mengawasi kelancaran tugas Ki Banaspati. Ketika aku lapor bahwa aku akan dibunuhnya, kau tidak melakukan tindakan apa-apa. Dari situ aku bepikir bahwa Ayahanda punya sesuatu hubungan dengan Ki Banaspati, entah itu hubungan apa. Yang jelas, Ayahanda tak berniat melakukan sesuatu terhadapnya, kendati tahu Ki Banaspati hendak melenyapkan nyawaku!" kata Suji Angkara dengan suara cukup menggetar juga.
Sunyi beberapa saat. Dan Ginggi yang sembunyi di balik gorden ingin sekali segera mendengar kelanjutan pembicaraan antara ayah dan anak tiri ini.
"Ki Banaspati sebelumnya tak tahu bahwa kau anakku…" terdengar jawaban Ki Bagus Seta.
"Itu bukan sebuah alasan," kata Suji Angkara tak puas. "Ayahanda belum menjawab perihal sikap-sikap aneh yang dilakukan Ayahanda. Mengapa laporan dan penemuanku tidak ayah bahas secara sungguh-sungguh. Mengapa laporanku mengenai kecurigaan Ki Banaspati menghimpun kekuatan gelap termasuk membentuk pasukan yang bertugas merampok hasil kiriman seba dari negara-negara kecil tidak Ayahanda tangani dengan serius bahkan seperti tak berniat melaporkannya pada Sang Prabu? Mengapa pula semakin tinggi Ayahanda membuat kebijaksanaan penarikan pajak tetapi semakin berkurang juga pajak yang masuk? Itu semua tidak masuk akal. Bukan aku saja yang bercuriga tetapi juga beberapa bangsawan istana lainnya. Kalau ayah benar memiliki kegiatan bersama Ki Banaspati, aku tak akan banyak ikut-campur. Tapi karena aku punya rahasia yang bisa melemahkan kedudukanmu, maka agar kelemahan tidak terbongkar, Ayahanda pun harus menutupi kesalahanku pula. Dan kita berdua sama-sama saling menutupi kelemahan masing-masing," kata Suji Angkara.
Kembali sunyi mencekam ruangan di mana mereka berada dan Ginggi tak bisa menduganya apa yang mereka tengah lakukan. Hanya saja Ginggi tengah menduga, mendapat serangan gencar dari Suji Angkara, rupanya Ki Bagus Seta agak terdesak juga. Barangkali otaknya tengah berputar untuk menyusun kata-kata yang harus disampaikannya pada anak tirinya yang nampak mulai melakukan penekanan ini.
"Apa yang kau inginkan dariku, Suji?" tanya Ki Bagus Seta setelah lama berdiam diri.
"Tidak banyak. Tutupi kelakuan saya masa lampau dan usahakan agar lamaran untuk mendapatkan Nyimas Banyak Inten terlaksana," kata Suji Angkara.
Hening sejenak.
"Saya bisa menduga, Ayahanda bersama Ki Banaspati melakukan persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri dengan menggelapkan hasil seba. Silakan lanjutkan sebab saya pun ikut menikmati hasilnya dan hidup makmur selama berada di Pakuan. Tapi Ayahanda tetap harus menolongku sebab kalau kegiatan Ayahanda saya sampaikan pada Raja, Ayahanda mendapatkan marabahaya besar," kata Suji Angkara setengah mengancam.
Ki Bagus Seta belum mengeluarkan jawaban ketika tiba-tiba seorang jagabaya, mengabarkan ada tamu yang datang.
"Siapa?" tanya Ki Bagus Seta.
"Yang akan bertamu adalah Ki Banaspati, Juragan!" kata jagabaya. Berdesir darah Ginggi mendengarnya.
Hening sejenak. Sepertinya Ki Bagus Seta belum bisa memutuskan apakah harus ditolak ataukah diterima saja tamu itu.
"Mengapa Ayahanda ragu-ragu? Persilakan dia datang. Biar kita sama-sama ngobrol agar pengetahuanku lebih luas tentang dirinya," kata Suji Angkara.
"Persilakan dia masuk…" gumam Ki Bagus Seta. Jagabaya kembali keluar ruangan dan hampir saja tubuhnya menyinggung bagian tubuh Ginggi yang sembunyi di balik gorden.
Tidak berapa lama kemudian ada suara langkah ringan memasuki lorong yang kelak mengarah ke ruangan tengah puri. Ginggi menahan napas ketika Ki Banaspati lewati gorden.
"Selamat datang Ki Banaspati…" kata Ki Bagus Seta sedikit kaku suaranya. "Selamat bertemu. Siapa ini? Oh…" jawab Ki Banaspati agak kaget. Ginggi menduga rasa kaget Ki Banaspati karena melihat Suji Angkara ada di ruangan itu.
Hening
"Ada penting…?" suara Ki Bagus Seta. "Ya …" jawab Ki Banaspati.
"Tentang apa …?"
"Tapi aku tak mau ada pemuda ini di sini …!" "Suji kau keluarlah!"
"Baik. Tapi Ayahanda harus ingat," suara Suji Angkara. "Ya, aku ingat …!"
Ginggi dari balik gorden mendengar suara langkah keluar dari ruangan itu. Menjauh dan akhirnya lenyap.
"Ya, sekarang katakan apa yang ingin kau katakan," kata suara Ki Bagus Seta. "Masih ada satu orang lagi yang mendengar pembicaraan kita, aku tak suka!" "Siapa?"
Bersamaan dengan pertanyaan KI Bagus Seta, ke arah gorden di mana Ginggi sembunyi berhembus angin pukulan, rasanya menimbulkan hawa panas. Ginggi teringat, pukulan panas seperti ini pernah dia rasakan ketika mendapat serangan dari Ki Rangga Wisesa di sebuah gua kapur wilayah Tanjungpura enam bulan lalu.
Ginggi tak begitu heran kalau Ki Banaspati pun pandai memainkan ilmu ini sebab baik Ki Rangga Wisesa mau pun Ki Banaspati sama-sama satu seperguruan. Hanya Ginggi saja yang tidak pernah mendapatkan gemblengan ilmu seperti itu. Bukan karena Ki Darma tak mau memberinya, akan tetapi pemuda itu sendiri yang menolaknya. Ini karena Ginggi tetap tak suka mempelajari ilmu yang tujuannya hanya untuk membunuh.
Tak Memihak Berarti Mati
Namun kendati tidak mempelajari ilmu tenaga dalam seperti ini, bukan berarti Ginggi tidak bisa memusnahkan serangan seperti ini. Apalagi sesudah ilmu-ilmu yang ada padanya kian dimatangkan oleh berbagai latihan selama tiga bulan yang diberikan Ki Rangga Guna. Ginggi tahu betul, bagaimana caranya menghadapi angin pukulan seperti ini. Menurut Ki Rangga Guna, ada dua macam tenaga dalam. Satu jenis akan melahirkan angin pukulan berhawa panas dan satunya lagi berhawa dingin. Tidak banyak orang-orang Pajajaran yang mempelajari ilmu semacam ini, sebab hanya orang-orang yang sudah memiliki kekuatan jiwa dan pandai mempergunakan hawa murni saja yang sanggup memilikinya. Hawa pukulan panas bisa dianggap tenaga kasar, sebaliknya hawa dingin disebut tenaga halus. Kasar bisa dilawan dengan kasar dan halus dilawan dengan halus. Tapi bila dua kekuatan sama saling diadukan akan mengakibatkan sesuatu yang dahsyat. Di sana akan terjadi adu kekuatan dan akibatnya akan fatal sebab yang tenaganya kurang sempurna akan kalah yang mengakibatkan luka atau tewas. Ginggi tidak mau memilih risiko seperti itu. Dia tak mau membunuh orang, tapi dibunuh pun apalagi. Maka untuk mencari jalan tengahnya, serbuan pukulan hawa panas yang dilontarkan Ki Banaspati, dia jemput dengan pengerahan hawa dingin. Pukulan hawa panas Ki Banaspati bagaikan besi panas yang menerobos kolam air, panasnya hilang tak berbekas. Bahkan udara yang tadi terasa panas, mendadak berubah dingin.
"Yang namanya orang pandai, tak baik sembunyi seperti itu. Kami harap engkau berani memperlihatkan diri," kata Ki Banaspati dan nada suaranya seperti heran.
Ginggi terpaksa keluar menampakkan diri. Langsung menerobos kain gorden yang segera melepuh seperti debu.
Ginggi tersenyum tipis ketika kedua orang itu menatapnya sambil membelalakkan kedua belah matanya. Yang nampak paling terkejut melihat Ginggi adalah Ki Bagus Seta.
"Engkau …?"
Kedua orang itu secara bersamaan mengucapkan kata-kata seperti itu. Kemudian Ki Bagus Seta memandang heran kepada Ki Banaspati. Barangkali merasa heran bahwa rekannya sudah mengenalnya pula.
"Engkau sudah mengenal badegaku, Banaspati?" tanyanya.
"Dia sudah menjadi pembantuku setahun yang lalu. Tapi pemuda ini brengsek sebab tidak satu kali pun berupaya membantuku," kata Ki Banaspati menatap tajam Ginggi.
"Sebulan lalu dia menjadi badega di sini. Aku sudah curiga dia memiliki kepandaian. Tapi ketika aku uji dengan menyuruh jagabaya memukulinya, dia tak melawan. Siapa engkau sebenarnya, hei pemuda misterius?" tanya Bangsawan Bagus Seta mulai bercuriga lagi. 
"Dia murid paling akhir dari Ki Darma…!" kata Ki Banaspati bergumam.
Nampak sekali ada perubahan pada kulit wajah Ki Bagus Seta. Ginggi nampak tak bisa menduga, apa makna perubahan wajah itu.
"Dia diutus Ki Guru agar ikut perjuangan kita. Dan dia sebelumnya sudah setuju ikut kita. Tapi pemuda ini memang benar dungu. Tak ada satu pun pekerjaan yang dia lakukan untuk kita," kata Ki Banaspati.
"Tugas apa saja yang harus aku kerjakan dan sesuai dengan amanat Ki Darma?" kata Ginggi menguji Ki Banasapati. Ginggi yakin, orang ini tak akan bisa menjawabnya, sebab tugas pertama yang diberikan padanya adalah menguntit Suji Angkara dan membunuhnya.
Beranikah dia bilang bahwa aku ditugaskan membunuh Suji Angkara, padahal pemuda itu jelas-jelas anak tiri Ki Bagus Seta? Demikian pikir Ginggi. Tapi pemuda ini melenggak dan begitu kagetnya ketika Ki Banaspati menjawab dengan jawaban yang tak mungkin dia duga. "Ya, kau brengsek sebab selama setahun ini kau tidak melaksanakan apa yang kuperintahkan. Buktinya Suji Angkara sampai hari ini masih segar-bugar!" kata Ki Banaspati sedikit mendelik.
Ginggi menatap Ki Bagus Seta. Tapi untuk kedua kalinya dia menduga salah. Ginggi berpikir Ki Bagus Seta akan kaget atau marah ketika mendengar Ki Banaspati menyuruh Ginggi bunuh anak tirinya. Tapi ketika Ginggi menatap tajam pada orang tua setengah baya ini, tidak secuil pun ada perasaan terkejut. Bahkan roman wajahnya pun tidak menampakkan perubahan barang sedikit pun. Aneh sekali, pikir Ginggi.
"Aku disuruh bunuh anakmu, bagaimana pendapatmu?" tanya Ginggi melepaskan basa-basi hormat pada Ki Bagus Seta. Rupanya orang tua setengah baya yang berpakaian gagah ini pun merasakan perubahan sikap Ginggi. Nampak bibirnya tersenyum pahit.
"Engkau pandai bersandiwara anak muda dan aku tertipu oleh sikap-sikapmu yang ketololtololan…"` gumam Ki Bagus Seta kembali duduk bersila di hamparan alketip buatan negriParasi (Iran). Ki Banaspati pun duduk dan keduanya saling berhadapan. Akhirnya Ginggi juga sama-sama ikut duduk, agak terpisah jauh.
"Engkau memang misterius, anak muda. Kalau kau benar-benar murid Ki Guru Darma, mengapa musti masuk ke puriku secara main-main seperti ini?" tanya Ki Bagus Seta akhirnya.
"Masih banyak yang belum aku mengerti. Jadi aku ingin melakukan penyelidikan secara sembunyi," kata Ginggi tegas.
"Tentang apa?"
"Tentang hubungan kalian dan tentang sejauh mana perjuangan kalian dalam menjalankan amanat Ki Darma," jawab Ginggi lagi menatap kedua orang itu bergantian.
"Sudah aku terangkan semuanya padamu. Engkau harus percaya semua itu!" kata Ki Banaspati menimpali.
"Segala sesuatunya?"
Ki Banaspati terdiam sejenak. Sesudah itu dia kembali menyahut," Ya, segala sesuatunya!" "Coba ulangi lagi kau beberkan tujuan perjuanganmu, Ki Banaspati!" kata Ginggi.
"Kau jangan bersuara lantang seperti itu padaku, juga pada Ki Bagus Seta, sebab kedudukanmu di sini tidak sama," Ki Banaspati menegur, merasa tak enak karena Ginggi tidak menggunakan batas sopan santun.
"Kita semua seimbang sebab memiliki tugas yang sama yang diamanatkan Ki Darma. Bahwa kalian di sini menjadi pejabat, tak ada hubungannya denganku!" kata Ginggi bersila tegak dan memandang tajam kepada kedua orang yang sama duduk bersila di depannya.
Ki Bagus Seta rupanya tersinggung dengan ucapan Ginggi ini. Dia segera beranjak hendak berdiri namun ditahan Ki Banaspati. "Sudahlah, adat anak ini memang keras. Ki Guru sepertinya tidak memberikan pelajaran moral kepada anak ini," katanya menyabarkan Ki Bagus Seta, padahal dia sendiri yang mulamula tersinggung dengan sikap Ginggi.
"Ingin aku tahu, sejauh mana dia memilki kemampuan …" gumam Ki Bagus Seta menahan kemarahan.
"Mungkin dia di bawah kemampuan kita dan bukan masalah berat bila kita ingin menundukkannya. Hanya yang jadi bahan pertimbangan, kita semua jangan berbuat sesuatu hal yang merugikan kita, merugikan perjuangan kita. Kita sesama murid Ki Darma Tunggara harus seia-sekata dalam memperjuangkan amanat guru," kata Ki Banaspati pada akhirnya. Ini sedikit melegakan sekaligus membuat Ginggi harus berpikir. Pendirian Ki Banaspati anginanginan, sebentar bersikap pemarah, sebentar kemudian seolah bersikap penuh bijaksana.
Namun Ginggi memantapkan diri untuk tidak mudah terpengaruh sikap-sikap mereka.
Ki Banaspati balik memandang pada Ginggi. "Baiklah aku maklum, bila kebiasaan dan perangaimu begitu kepada setiap orang. Tapi yang ingin kau pegang, tetaplah kau gabung dengan kami!" seru Ki Banaspati.
"Banyak cara dalam menolong rakyat. Tapi cara paling sempurna agar menghasilkan sesuatu yang besar dan berarti adalah berupaya mengubah tatanan negara," kata Ki Banaspati pasti. Ditatapnya Ginggi dalam-dalam seolah memastikan bahwa tindakannya benar dan harus dijalankan.
"Bagaimana dengan engkau, Bagus Seta?" Ginggi melirik pada Ki Bagus Seta. "Aku sejalan dengan Ki Banaspati!" katanya angkuh dan tak mau menatap Ginggi.
"Menaikkan seba secara terus-menerus dan memerangi negara-negara kecil yang ingkar membayar pajak tinggi, itulah upaya melaksanakan amanat guru?" tanya Ginggi penuh selidik.
"Ginggi, dengarkan aku," Ki Banaspati ikut bicara, "Untuk menuju daratan di seberang sungai yang berair deras, kita tidak mungkin memotong arus begitu saja. Mungkin perjalanan harus agak melambung jauh ke hilir. Terkadang kita sulit mengarunginya dengan berenang begitu saja. Kita harus cari pegangan. Pegangan itu, mungkin sesuatu yang tengah dibawa arus.
Begitu pun perjuangan kita. Melawan Raja begitu saja tidak akan sanggup mengubah keadaan dengan mudah. Di beberapa wilayah terjadi pemberontakan, bila dilakukan dengan kasar hanya akan meruntuhkan cita-cita mereka saja. Cobalah mencari celah yang sekiranya bisa kita manfaatkan untuk menyusup. Kau harus bangga kepada Ki Bagus Seta dan aku. Orangorang yang sesungguhnya dikejar dan dimusuhi karena punya keterkaitan dengan Ki Darma, tapi malah bisa menyusup ke pusat istana dan memiliki pengaruh. Tapi sejauh apa pengaruh kita tanamkan, tetap harus sejalan dulu dengan keinginan penguasa. Kalau kita berbuat kebijaksanaan yang secara serentak bertolak belakang dengan keinginan Raja, bukan pengaruh yang kita dapatkan tapi kehancuran!" kata Ki Banaspati panjang lebar.
"Tapi kebijaksanaan kalian malah terasa menyengsarakan rakyat," gumam Ginggi berpangku tangan. "Kita ini tengah berjuang membangun sesuatu yang baru dan membongkar hal-hal lama. Yang namanya membongkar tentu akan ada yang dirusak. Ibarat kita menanam tanaman baru yang bebas dari hama, tentu harus mencabuti tanaman lama yang penuh hama, terkadang harus kita cabut seluruhnya, seluruh bagian akar juga tanah di sekitarnya. Barangkali akan ada bangunan yang sebetulnya baik tapi terpaksa ikut terbongkar. Barangkali akan ada batang pohon yang masih bersih dari hama tapi terpaksa harus ikut dicabut. Itulah pengorbanan Ginggi. Untuk memperjuangkan suatu kebenaran, akan ada ranting-ranting kebenaran ikut jadi korban tak ada sesuatu yang tak wajar dari kesemuanya. Rakyat berkorban, kita berkorban, dan semua berkorban. Kau lihatlah pengorbanan Ki Bagus Seta. Dia berani berkorban membiarkan anak tirinya jadi incaran pembunuhan. Suji Angkara tidak sepaham dengan perjuangan ayahandanya. Dia masih hijau dalam urusan kenegaraan. Satu-satunya yang harus dia junjung di Pajajaran adalah Raja tanpa memikirkan apakah Raja berharga buat rakyat atau tidak. Itulah sebabnya aku mengutusmu bunuh Suji Angkara agar dia tidak jadi duri dalam perjuangan semesta ini. Dan kau harus sanggup berpikiran besar. Pengorbanan kita paling menyakitkan adalah menerima tugas membunuh Ki Guru!" kata Ki Banaspati.
Kalau ada suara halilintar terdengar di siang hari bolong, maka ucapan inilah yang lebih terasa membelah dada. Ginggi tak terasa berdiri dari duduknya saking terkejutnya mendengar berita yang disampaikan Ki Banaspati ini. Matanya terbelalak dan tangannya menunjuk ke arah Ki Banaspati.
"Benarkah yang kau ucapkan ini?" desisnya pendek tapi penuh getaran. "Betul …!" gumam Ki Banaspati.
"Kau … kau pengkhianat! Kau murid murtad!" Ginggi berteriak dan menghambur ke arah Ki Banaspati yang masih duduk bersila.
Ki Banaspati yang tak menyangka dirinya diserang tiba-tiba, serta merta meloncat ke samping. Tapi Ki Bagus Seta rupanya telah menyangka jauh sebelumnya. Maka sebelum Ginggi melancarkan pukulan, Ki Bagus Seta sudah lebih dahulu melayangkan serangan dahsyat. Serangan itu berupa angin pukulan yang dikerahkan sepenuh tenaga. Ginggi merasakan, serangan tenaga dalam ini sepertinya hendak membunuhnya. Ginggi yakin akan kemarahan Ki Bagus Seta. Dia pejabat tinggi di Pakuan, dihormati semua bangsawan dan ditakuti para prajurit serta jagabaya. Sekarang dia merasa terhina dengan tindak-tanduk orang yang semula dianggap sebagai badeganya. Betapa tak begitu. Pertama kali datang berpurapura menjadi badega, merendah-rendah setengah menjilat. Dan kini, Ginggi begitu terangterangan menentangnya, bertindak kasar dan tidak menghormatinya secuil pun, padahal Ki Bagus Seta merasa bahwa dirinya adalah pejabat tinggi. Barangkali ini penghinaan pertama baginya dan menyakitkan rasanya. Itulah sebabnya Ginggi menduga, Ki Bagus Seta akan melakukan tindakan balas dendam atas perasaan terhinanya itu.
Namun Ginggi tidak akan mengalah begitu saja. Dia pun sudah lama menahan kemarahan terhadap Ki Bagus Seta. Ki Bagus Seta memang benar murid Ki Darma. Barangkali pun dia benar telah berjuang melaksanakan amanat Ki Darma. Tapi pergerakan Ki Bagus Seta amat melampaui batas amanat. Dia terlalu melambung sehingga melupakan amanat yang paling mendasar dari Ki Darma bahwa semua anak muridnya harus berjuang membela kepentingan rakyat. Sekarang yang disaksikan Ginggi, Ki Bagus Seta malah semena-mena membuat kebijaksanaan. Dalam menarik pajak tinggi pun sebenarnya Raja hanya mengeluarkan titah saja, sedangkan yang membuat rekaan dan rancangan adalah Ki Bagus Seta. Semua titah Raja yang terasa membebani rakyat semua keluar dari jalan pikiran Ki Bagus Seta belaka. Sekarang Ginggi menyadari baik Ki Banaspati mau pun Ki Bagus Seta sama-sama memiliki ambisi untuk mempunyai pengaruh kuat di Pajajaran. Ki Bagus Seta bergerak di dayo (ibukota) dan Ki Banaspati bergerak di wilayah-wilayah kekuasaan Pajajaran. Ginggi tak mau tahu, yang jelas, dia tak setuju dengan gerakan keduanya.
Marah, sesal, sedih dan entah apa lagi, semuanya menggayuti pikiran Ginggi. Dan begitu serangan pukulan hawa panas terasa begitu kuat menyerang dirinya, Ginggi pun segera menghimpun tenaga di bagian perutnya. Inti tenaga seperti bergulung-gulung di perut, secara serentak dia salurkan ke tubuh bagian atas. Urat-urat darahnya menegang dan berdenyut, mengalir keras menuju jaringan darah di sepanjang kedua tangannya, membuat otot-ototnya menegang keras. Dan begitu sambaran angin pukulan berhawa panas datang menerobos, Ginggi berteriak menggelegar seperti suara petir layaknya. Sepasang tangannya yang sudah terisi inti tenaga dia gerakkan mendorong dan menolak serangan terhadap tenaga Ki Bagus Seta. Dua angin pukulan beradu keras. Karena ada dua tekanan udara saling berbenturan maka terdengar suara ledakan keras di ruangan disertai kilatan kepulan asap. Ginggi terlempar ke belakang membentur meja dan sebaliknya tubuh Ki Bagus Seta terlempar dan punggungnya membentur daun jendela. Kayu-kayu jendela berantakan dan tubuh Ki Bagus seta menerobos ke luar.
Ginggi segera bangun sambil menyeka darah yang sempat menetes ke luar dari mulutnya. Dia harus memapaki lagi satu serangan baru yang datang dari gerakan dorongan Ki Banaspati.
Orang ini mengulangi serangannya yang tadi pernah ditepis Ginggi dengan jalan memunahkannya dengan angin pukulan dingin.
Kedua orang ini berdiri dengan kaki terpentang lebar dan saling mendorongkan kedua belah tangan dengan telapak tangan terbuka lebar. Blaaar! Kembali dengan kilatan sinar disertai kepulan asap tebal.
Untuk kedua kalinya tubuh Ginggi terlontar ke belakang. Namun tubuh Ki Banaspati pun sama terlontar dan punggungnya membentur dinding kayu jati. Dinding bergetar hebat dan ada bagian-bagian kayunya yang pecah-pecah. Tubuh Ki Banaspati menggeliat-geliat sebentar, rupanya merasa kesakitan karena benturan tubuhnya barusan. Namun hanya sebentar dia sudah berdiri lagi. Kali ini langsung meloncat hendak memukul Ginggi yang masih terlentang.
Ginggi sadar akan adanya serangan ini. Tapi matanya masih berkunang-kunang dan dadanya serasa akan pecah. Dengan susah payah dia bergerak untuk berdiri. Namun serangan pukulan telapak tangan miring dari Ki Banaspati sudah mencoba mencecar pelipis kirinya. Ginggi mencoba miringkan kepala ke kanan sedikit menunduk. Pukulan telapak tangan miring gagal menerobos sasaran tapi serangan itu seperti dilanjutkan menyusul ke kanan dan Ginggi kian miringkan kepalanya ke kanan. Sementara tangan kirinya mencoba membantu badannya untuk berdiri dan tangan kanannya coba untuk dilayangkan ke kiri. Tidak berbentuk kepalan, melainkan dua jari tengah dan telunjuk digabung membentuk capit gunting untuk digunakan menotok kerongkongan Ki Banaspati.
Rupanya Ki Banaspati sadar, serangan ini bila mengenai sasaran akan membuat bahaya besar. Kerongkongannya akan kaku tersumbat, atau sama sekali tertusuk dua jari bertenaga kuat itu. Maka satu-satunya jalan untuk menghindarinaya adalah dengan jaln menarik tubuh ke belakang. Namun layangan tangan kanan ke arah kiri ini bisa terus nyelonong mengikuti gerakan mundur leher Ki Banaspati. Untuk memunahkan serangan ini, Ki Banaspati merebahkan tubuhnya, bersalto ke belakang sambil melakukan tendangan dahsyat.
Ginggi pun bersalto ke belakang dan tendangan Ki Banaspati bisa dia hindarkan. Sekarang keduanya sudah sama-sama berdiri dan saling pandang dan saling berhadapan.
Sepasang mata sama-sama saling mecorong untuk untuk mecoba mengintip kelemahan lawan.
Sambil mata tetap mencorong ke depan Ginggi memutar otak mencari gerakan-gerakan baru yang tidak dikenal Ki Banaspati. Sebab percuma saja menggunakan jurus-jurus pemberian Ki Darma dalam melawan Ki Banaspati. Jurus-jurus apa pun yang diberikan Ki Darma padanya, sudah tak akan berarti bila digunakan melawan teman seperguruan.
Ginggi teringat pelajaran-pelajaran yang diberikan Ki Rangga Guna beberapa bulan lalu. Ki Rangga Guna banyak memberikan ilmu-ilmu baru. Kata orang tua itu, itu adalah ilmu kedigjayaan yang didapatnya dari perantaun. Bukan ilmu Pajajaran dan tidak dikenal di wilayah Pajajaran. Kalau ilmu-ilmu itu dia praktekkan, benarkah Ki Banaspati tidak mengenalnya?
Berpikir sampai di situ, Ginggi segera memasang kuda-kuda. Dia mencoba berdiri dengan sebelah kaki kiri saja, berjingkat sehingga hanya ujung jempolnya saja yang menapak di lantai kayu. Sedangkan kaki kanan berjungkat setinggi lutut kiri. Kedua tangan berkembang lebar ke samping seperti burung garuda membuat kelepak sayap.
Ginggi melihat Ki Banaspati mengerutkan alisnya, sepertinya dia tengah menyelidik gerakan apakah itu. Atau barangkali juga dia tengah menerka, bagaimana kelanjutan gerakan asing ini.
Ginggi tetap berdiri kukuh dengan ujung jempol kaki kirinya. Begitu pun sepasang tangannya masih membentuk sayap burung garuda. Ki Banaspati bergerak satu langkah ke depan tapi Ginggi masih bersikap diam.
Namun sebelum Ki Banaspati bergerak melakukan penyerangan, dari luar masuk segerombolan jagabaya dengan berbagai senjata di tangan, di belakangnya mengikuti Ki Bagus Seta.
Para jagabaya berteriak-teriak menyuruh Ginggi menyerah. Tiga orang di antaranya Ginggi hafal sebagai jagabaya yang melakukan penyiksaan pada dirinya tempo hari. Mereka kini bahkan paling berani menerobos masuk dan secara gegabah melakukan penyerangan dengan tangan kosong.
"Huh! Dasar monyet dungu, dia tidak kapok kita gebuki," kata seorang bertubuh kekar bercambang bauk menakutkan. Dia menghambur melayangkan pukulan. Tapi Ginggi sudah tidak berpura-pura seperti tempo hari. Begitu Si Cambang Bauk menghambur melayangkan pukulan dengan tangan berotot gempal dan kuat tapi pukulannya lamban dan lemah ini, maka dengan amat mudahnya pergelangan tangannya dia tangkap. Si Cambang Bauk berteriak kesakitan karena pegangan tangan yang dilakukan Ginggi disertai pengerahan tenaga. Si Cambang Bauk berusaha melepaskan tangannya, tapi tak bisa. Tangan kiri jagabaya tinggi besar ini segera melayangkan pukulan tangan kirinya tapi ditangkis Ginggi. Akibatnya orang ini menjerit ngeri karena tangannya beradu dengan tangan Ginggi. Melihat temannya tak berdaya, tiga orang mencoba membantu. Ginggi hafal, inilah kedua temannya yang pernah menyiksa dirinya. Maka ingat ini, serta-merta Ginggi memelintir tangan Si Cambang Bauk ke belakang sehingga menjerit-jerit ngeri. Begitu badannya membalik, Ginggi segera mendorong Si Cambang Bauk sekeras mungkin. Tubuh besar itu menubruk dua temannya sehingga jatuh bertubrukan dan saling tindih sesamanya.
Yang lain ikut menyerang tapi hanya jadi santapan tangan Ginggi yang menggunakan pengerahan inti tenaga. Sebentar saja semuanya sudah berpelanting ke segala arah. Yang seorang malah hampir menubruk tubuh Ki Bagus Seta yang mengeluarkan sumpah-serapah karena kemarahan yang sangat.
"Berhentilah, tak baik sesama teman seperguruan saling bunuh!" teriak Ki Banaspati memperingatkan.
"Tidak akan saling bunuh, sebab aku yang akan bunuh kalian. Kalian berdosa besar terhadap Ki Darma!" teriak Ginggi sedikit terisak karena kesal dan sedih.
"Rangga Wisesa yang bersalah. Dia melaporkan Ki Darma pada Seribu Perwira Pengawal Raja. Akibatnya, Sang Prabu juga mengetahui di mana Ki Guru bersembunyi. Beliau memerintahkan kami untuk mengejar ke Puncak Cakrabuana. Tapi pelaksanaan penyerbuan aku tak ikut. Yang bergerak ke sana adalah sesepuh perwira kerajaan kendati semua itu adalah perintah Ki Bagus Seta!" kata Ki Banaspati menoleh.
Ginggi juga ikut menoleh pada Ki Bagus Seta. Orang ini tidak menampakkan perubahan mimik wajah. Ginggi marah sekali melihat perilaku mereka. Ingin dia menerjang kedua orang itu bila mengingat pengkhianatan keduanya terhadap Ki Darma.
Tapi sementara itu para jagabaya saling pandang sesamanya, kemudian juga menatap Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati bergantian.
"Juragan … Juragan Ki Bagus Seta adalah murid pemberontak Ki Darma?" gumam jagabaya bercambang-bauk sambil mulut masih menyeringai kesakitan karena tangannya dipilin Ginggi.
"Juragan Bagus Seta murid pemberontak?" gumaman ini terdengar di sana-sini.
"Ya, benar … aku murid Ki Darma!" desis Ki Bagus Seta. Dan belum habis ucapannya, dia meloncat ke sana-kemari melakukan pukulan-pukulan telak terhadap para jagabaya yang jumlahnya mencapai belasan orang. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan dalam waktu singkat para jagabaya yang sebetulnya anak buahnya sendiri terlontar kesana-kemari.
Semuanya mendapatkan pukulan-pukulan telak yang mematikan karena selain dilakukan dengan pengerahan tenaga, juga mengarah pada bagian-bagian yang membahayakan nyawa.
Ki Bagus Seta berdiri tegak di tengah ruangan, dikelilingi oleh tubuh-tubuh bergeletakan tak berdaya. Ginggi kaget sekali menyaksikan tindakan Ki Bagus Seta yang ganas tak berperikemanusiaan ini.
"Engkau membunuhi anak buahmu sendiri?" tanya Ginggi dengan suara gemetar saking heran dan terkejutnya. Ki Bagus Seta tidak menjawab sepatah pun. Sepasang matanya mencorong entah ke mana dan wajahnya nampak pucat.
"Itulah salah satu pengorbanan dalam perjuangan," Ki Banaspati yang berkata.
"Mengapa pengorbanan perjuangan seganas ini? Mereka adalah orang-orang tak berdosa dan tak tahu menahu!" kata Ginggi menoleh Ki Banaspati.
"Ya, betapa pedihnya kita berkorban. Kita harus membunuh orang yang tak berdosa, membunuh orang yang tidak tahu menahu persoalan kita, sebab kalau kita tak melakukan hal seperti tadi, kitalah yang akan menemui bahaya," kata Ki Banaspati lagi. "Tadi kau saksikan sendiri, sesudah mereka tahu juragannya adalah murid Ki Darma, serentak mereka memandang penuh curiga, padahal jauh sebelumnya, mereka hormat dan sopan pada Ki Bagus Seta. Ya, Ki Darma dikejar dan diburu serta dibenci orang Pakuan. semua orang yang punya kaitan dengan Ki Darma juga harus dibenci dan diburu. Betapa pahitnya nasib kita.
Dan betapa beratnya pengorbanan kita. Agar perjuangan kita lancar, kita harus menutup rahasia itu rapat-rapat siapa diri kita. Dan agar rahasia itu tetap rapat, kita harus berlaku seolah-olah kita berdiri di fihak musuh. Jangan kau salahkan kebijaksanaan Ki Bagus Seta dalam menurunkan perintah agar Ki Darma diburu, sebab bila tidak begitu, Ki Bagus Seta akan dicurigai dan perjuangan akan gagal!" kata Ki Banaspati memberikan penjelasan.
Namun penjelasan ini tetap tak dimengerti Ginggi, sebab pada pikirnya, mengapa itu semua harus terjadi? Mengapa Ki darma harus diburu dan mengapa yang memerintahkannya harus Ki Bagus Seta?
"Perjuangan kalian membabi-buta. Ki Darmalah yang memberi perintah agar kalian berjuang. Tetapi mengapa Ki Darma pula yang kalian jadikan tumbal?" tanya Ginggi tak puas.
"Ki Guru bukan butuh keselamatan nyawa, melainkan butuh kebebasan. Ki Guru inginkan rakyat Pajajaran bebas dari tekanan Raja. Untuk kepentingan rakyat, dia tak akan menyembunyikan nyawanya. Semuanya akan dia abdikan!" kata Ki Banaspati. "Sebab yang penting," lanjut Ki Banaspati lagi, "Bukan keselamatan dirinya yang Ki Guru pertahankan, tapi cita-citanya. Kematian Ki Guru akan berharga bila kita menjalankan dan menyukseskan cita-citanya," katanya.
Ginggi termangu sebentar, namun akhirnya dia menggelengkan kepalanya.
"Semua tidak aku mengerti, sebab yang namanya keberhasilan perjuangan harus kita rasakan juga. Aku tak mau mati dalam perjuangan. Keberhasilan sebuah perjuangan tapi sambil kehilangan nyawa, bukan keberhasilan namanya. Dan ini berlaku juga bagi Ki Darma. Beliau berhak hidup. Jadi kalau ada orang yang membunuhnya, dia harus bertanggung jawab!" kata Ginggi bertahan dengan pendapatnya.
Hening sejenak. Sementara itu di pekarangan terdengar orang-orang saling bertanya-tanya tentang peristiwa di ruangan tengah puri Bagus Seta.
"Tidak boleh ada perbedaan pendapat dalam melaksanakan perjuangan. Engkau boleh pilih sendiri, ikut kami atau mati sebagai pemberontak menurut tuduhan orang-orang Pakuan!" kata Ki Bagus Seta sesudah mendengar di luar mulai banyak jagabaya.
"Apa maksudmu?" tanya Ginggi menatap tajam. "Di luar banyak jagabaya dan prajurit pilihan. Kalau kau tak mau bergabung dengan kami, maka dengan amat mudahnya aku tuduh kau penjahat pemberontak yang membunuhi anak buahku. Kau akan dikepung dan para perwira kerajaan akan kuundang untuk meringkusmu!" kata Ki Bagus Seta mengancam. Rupanya ini bukan ancaman omong kosong belaka, sebab Ginggi berpikir, orang ini dengan amat mudahnya akan memutar-balikan keadaan. Dia bisa dituduh pembunuh dan para prajurit tak akan percaya pada Ginggi kalau dia balik menuding. Semua akan merasa sesuatu yang mustahil bila Ki Bagus Seta membunuhi anak buahnya sendiri.
Ginggi mengerti ini. Tapi dia tak mau didikte orang lain. Apalagi dia sedikit pun tidak setuju dengan tindak-tanduk kedua orang murid Ki Darma yang sepertinya menghalalkan segala cara dalam melakukan kegiatan dan tujuannya.
Sekali lagi Ginggi tak mau menjawab ketika Ki Bagus seta menyuruhnya untuk memilih sikap. Dan karena merasa bahwa Ginggi sikapnya tak bergeming, maka Ki Bagus Seta segera berteriak agar para jagabaya dan para prajurit memasuki ruangan tengah.
"Ada kejadian apakah Juragan?" tanya para jagabaya setelah berseru kaget karena di atas lantai bergelimpangan belasan jagabaya lainnya tak berdaya di sana. Beberapa orang mencoba memeriksa tubuh-tubuh bergeletakan itu. Namun setelah tahu teman-temannya tak ada yang bernyawa, mereka berseru kaget bercampur marah.
"Juragan … Mengapa mereka mati sedemikian rupa?" tanya seorang jagabaya.
"Tangkap orang itu! Dialah pembunuhnya!" teriak Ki Bagus Seta menuding pada Ginggi. Tanpa menunggu waktu, belasan jagabaya serentak menghambur menyerang Ginggi. Ki Bagus Seta berteriak pula agar yang lain memanggil prajurit-prajurit pilihan guna membantu pengepungan.
Ginggi merasakan bahaya mengancam pada dirinya. Maka dia pun serentak mendahului lawan. Sepasang tangannya dia gerakkan, berputar-putar seperti baling-baling. Pegang dan tombak beterbangan karena lepas dari pemegangnya. Sedangkan yang merasa tak kuat akan benturan-benturan tangan Ginggi berteriak kesakitan. Langkah mereka pun tertahan dan mundur satu dua tindak. Ginggi memaklumi, para jagabaya dalam satu gebrakan saja sudah merasa jerih kepadanya. Kesempatan ini Ginggi gunakan untuk meloncat ke luar ruangan melalui lubang jendela yang hancur.
Namun di pekarangan sudah menghalangi belasan prajurit. Melihat seragam jenis rompi terbuat dari beludru hitam, rambut kepala digelung rapi ke atas serta berbekal perisai baja dan senjata pedang, mudah diduga mereka adalah prajurit istana yang sengaja diundang untuk menangkapnya.
Ginggi sudah mendengar kalau kepandaian mereka di atas rata-rata dari jagabaya. Ginggi pun pernah mendengar bahwa prajurit Pakuan sudah pandai dalam menyusun strategi peperangan, termasuk di antaranya strategi dalam melakukan pengepungan. Itulah sebabnya, di ruangan terbuka ini Ginggi perlu bertindak hati-hati. Jangan sampai kedudukan dirinya ada di tengahtengah sebab hanya akan membuat dirinya terkepung saja. Untuk itulah maka pemuda ini segera meloncat-loncat menghindari kepungan. Tapi para prajurit Pakuan bukan orang-orang sembarangan. Melihat Ginggi meloncat-loncat kesana-kemari, kepungan tidak diusahakan bertambah sempit, melainkan diperluas dan diperlebar, sehingga dalam tempat selebar itu, diharap Ginggi akan kelelahan sendiri.
Ginggi merasa kesal dengan taktik-taktik para prajurit ini, sebab dengan demikian dirinya tetap saja berada di tengah kepungan. Kepungan itu bisa melebar bila Ginggi bergerak melebar, dan akan menyempit bila Ginggi tak melakukaan gerakan apa pun. Ginggi bagaikan seekor babi rusa yang dikepung sekelompok anjing pemburu, selalu berada dalam kepungan kendati para pengepung tidak melakukan serangan. Dan melihat mereka yang berputar bahkan bersorak-sorai gegap-gempita, mengingatkan dirinya akan keterangan Ki Darma ketika mereka berkumpul di Puncak Cakrabuana. Prajurit Pakuan pandai melakukan taktik-taktik pertempuran. Pakuan memiliki duabelas taktik pertempuran yang masing-masing diberi nama sendiri. Ginggi bisa menduga, taktik yang kini diperagakan para prajurit-prajurit ini tentulah siasat perang yang bernamaAsu-Maliput , meniru-niru gerakan sekelompok anjing yang mengepung buruannya.
Ginggi tidak pernah diberitahu taktik kedua belas macam yang dimiliki prajurit Pakuan ini, sebab baik Ki Darma mau pun Ki Rangga Guna yang pernah bercerita tentang ini, tidak pernah merinci satu-persatu. Namun kendati begitu, paling sedikit Ginggi kini telah menyaksikan tiga macam taktik pertempuran kebanggaan Pajajaran ini. Dua taktik pertempuran pernah Ginggi lihat dalam pestaKuwerabakti , di mana ketika itu di alun-alun benteng luar diselenggarakan peragaan perang-perangan. Kedua taktik pertempuran adalah gerakanMerak-Simpir melawan taktik Bajra-Panjara. Dan kalau benar ini merupakan gerakanAsu-Maliput , maka untuk ketiga kalinya dia mendapatkan kesempatan menikmati taktik-taktik pertempuran yang amat dibanggakan Pajajaran.
Persyaratan
Ginggi berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang lebar. Sementara itu para prajurit jumlahnya semakin bertambah juga karena anggota yang baru segera datang dan mengisi formasi yang diperlukan. Kini pengepungan semakin utuh dan sempurna. Kepungan itu pun nampak semakin rapat padahal lingkaran masih terasa lebar.
Karena Ginggi mencoba untuk berdiri tegak, maka kepungan mulai bergerak. Mereka berputar-putar cepat sekali. Lingkarannya semakin lama semakin kecil.
Ginggi merasa pening melihat puluhan orang membuat lingkaran dan berputar cepat. Kalau keadaan ini berlarut-larut, akan melelahkan matanya dan menurunkan daya konsentrasinya. Maka agar matanya tak lelah melihat orang berlari dan berputar, Ginggi pun segera ikut berputar searah putaran para pengepungnya. Tapi para prajurit sudah siap sedia dengan perkembangan taktiknya. Lingkaran segera dipecah menjadi dua lapis. Satu lingkaran kecil di depan dan satu lingkaran besar di lapisan luar. Dua lingkaran saling berputar berbeda arah.
Ginggi kagum sekaligus terkejut dengan perubahan formasi ini. Untuk menghilangkan rasa pening karena kepungan berputar-putar, Ginggi melibatkan diri kembali dalam perputaran. Tapi kini ada dua lingkaran pengepungan dengan dua arah putaran yang berbeda. Ini membingungkan dan sekaligus memusingkan. Ginggi tak bisa memilih, sebab pilih salah satu pun, tetap saja akan berhadapan dengan putaran berlainan arah.
Karena matanya penat melihat formasi putaran pengepungnya, akhirnya Ginggi memilih diam. Sepasang kaki terpentang lebar dan kedua belah tangan bersilang di dada. Sementara itu, belasan prajurit segera meloloskan cangkalak (sejenis tambang). Belasan cangkalak mereka putar-putar dan mereka lempar ke arah tubuh Ginggi. Satu dua cangkalak Ginggi tangkap dan Ginggi tarik keras-keras sehingga pemiliknya tersuruk ke depan. Namun cangkalak-cangkalak yang lain datang bertubi-tubi. Dengan tepat lingkaran cangkalak masuk melingkar di tubuhnya. Ginggi berusaha meloloskan diri dengan mencoba memutuskan cangkalak. Ada beberapa yang bisa dia putuskan tapi lebih banyak lagi yang tak bisa dia lepaskan. Akhirnya Ginggi seperti seekor lalat yang terperangkap sarang laba-laba, sulit bergerak karena tubuhnya dipenuhi belitan cangkalak.
Kini datang barisan prajurit bersenjata panah dan siap melepas anak-anak panah yang ujungujungnya terlihat runcing dan mengkilap tajam. Ginggi menghitung pasukan panah, jumlahnya ada sekitar duapuluh orang. Kalau mereka melepaskan panah dalam waktu bersamaan akan sulit mengelakkanya. Ginggi menghela napas. Barangkali inilah akhir hayatnya. Sebuah kematian yang paling pahit sebab dia akan mati tanpa bisa menunaikan amanat Ki Darma barang sedikit pun. Dan lebih menyakitkan lagi, karena kematiannya ini diakibatkan oleh tindakan murid Ki Darma sendiri.
Ginggi sudah siap untuk menerima kepahitan ini, mengingat jalan untuk lolos sudah tertutup sama sekali.
Namun pasukan panah tidak juga melepaskan senjatanya. Mereka hanya bersiap mementangnya saja.
Di beranda puri utama banyak orang menonton peristiwa ini, di antaranya terdapat Nyimas Layang Kingkin dan ibundanya. Mereka menyaksikan peristiwa ini dengan heran dan cemas. Ginggi sekilas bertatapan dengan Nyimas Layang Kingkin. Pemuda itu menduga, barangkali Nyimas Layang Kingkin bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa seorang badega sepertinya dikepung banyak orang.


INDEX TRILOGI PAJAJARAN
Jilid 17 --oo0oo-- Jilid 19


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.