Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-10
tanztj
February 03, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 09 --oo0oo-- Jilid 11 |
TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 10
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 10
"Bukankah akan mencari Juragan Ilun, Raden? Biarlah saya mengabarinya. Raden hanya cukup menunggu setengah hari saja," kata badega.
"Tidak usah, Paman. Aku tak punya waktu, sebab hari ini juga harus segera melanjutkan perjalanan," kata Ginggi.
"Baiklah kalau begitu. Tapi siapa nama Raden ini, kalau-kalau Juragan menanyakannya," kata badega menatap agak heran karena Ginggi seperti mau buru-buru.
Ginggi hanya tersenyum, "Tanyalah kepada kepala jagabaya Ki Aliman," tukasnya sambil beri salam dan pergi dari tempat itu.
Masih penuh misteri, pikir Ginggi. Tapi walau pun begitu, pemuda ini sudah punya gambaran. Menyimak berbagai kejadian yang melibatkan korban wanita kecurigaan Ginggi terpusat kepada pemuda anggun bernama Suji Angkara. Benar, sejauh ini Ginggi belum bisa membuktikan kecurigaannya. Tapi paling tidak, berbagai kejadian bisa menyudutkan Suji Angkara. Di mana ada peristiwa yang melibatkan korban wanita, maka di situ ada Suji Angkara! Di Desa Cae, di mana Nyi Santimi hampir menjadi korban perkosaan, khabarnya Suji Angkara berada di situ dan baru pulang berniaga. Rama Dongdo mempercepat hari pertunangan Nyi Santimi dengan Seta katanya hanya karena kehadiran Suji Angkara. Rama Dongdo, kakek Nyi Santimi seolah-olah bercuriga cucunya akan diganggu pemuda tampan berpenampilan sopan itu. Ketika Suji Angkara memasuki Desa Wado juga terjadi peristiwa di mana seorang gadis bunuh diri. Kini yang terakhir di Tanjungpura, peristiwa bunuh dirinya seorang gadis pun diawali dengan kehadiran Suji Angkara. Ketika Suji Angkara memasuki wilayah Sagaraherang tidak terjadi kasus wanita bunuh diri. Ginggi menduga, hal ini tidak terjadi karena di daerah itu mereka dijamu berbagai kesenangan termasuk hiburan wanita. Ya, kalau Ginggi mencurigai Suji Angkara, maka semua kebetulan ini pas adanya dan bisa dijadikan pegangan untuk bahan penyelidikan.
Sambil berjalan seorang diri menyusuri jalan pedati yang berdebu dan berudara panas, Ginggi berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan peristiwa itu bisa terjadi.
Suji angkara itu misterius dan membahayakan. Dia pesolek, dia tampan dan sopan bila berbicara. Namun tindakannya kadang-kadang ganas. Sudah Ginggi saksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana kejamnya Suji Angkara ketika terjadi pertempuran sengit di hutan jati melawan perampok. Gerakan perkelahiannya selalu diarahkan untuk membunuh lawan. Ki Joglo, anak buah Ki Banaspati yang ditemukan tewas di tepi kolam di wilayah Sagaraherang, amat dipastikan Ginggi sebagai korban pembunuhan Suji Angkara. Pemuda itu membunuh lawan yang tak berdaya dengan amat kejam, digorok lehernya. Kuwu Wado pun amat takut terhadapnya, sebab pemuda sopan itu bila marah sanggup membengkokkan batang tombak dan daun pintu jati ketika penarikan seba di Desa Wado ditolak Kuwu.
Banyak laporan yang masuk ke telinga Ginggi mengenai keanehan-keanehan sikap pemuda yang senang berpakaian gagah meniru-niru kaum bangsawan tinggi ini.
"Pemuda itu ramah dan halus tutur sapanya. Tapi ketika kami hanya berduaan saja, sinar matanya lain seperti mengandung maksud-maksud tertentu. Bicaranyapun menjadi mendesis seperti mewakili sesuatu perasaan. Saya takut sebab naluri saya sebagai wanita seolah mengabarkan sesuatu bahaya," kata Nyi Santimi tempo hari di Desa Cae.
Ya, Suji Angkara banyak misteri. Belum lagi tentang peranannya dalam keseharian. Sebagai apakah sebenarnya dia? Apakah hanya bertindak sebagai anak Kuwu Desa Cae yang gemar mengembara atau sebagai bawahan Ki Banaspati dalam upaya pengumpulan seba? Ternyata tak juga demikian. Buktinya kini Ki Banaspati menyuruh Ginggi untuk membunuh pemuda itu sebab dicurigai punya hubungan dengan Pakuan. Dengan siapa dia punya hubungan di Pakuan, bukankah Ki Banaspati sendiri oleh sementara orang disebut-sebut sebagai orang Pakuan juga karena jadi petugas penting urusan penarikan seba?
Ya, semua misterius dan menarik untuk diselidiki. Tapi ingat ini, akhirnya Ginggi cuma mengeluh pendek. Pekerjaannya benar-benar berat. Belum lagi dia mengejar penjahat berahi yang lainnya yang orang lain menudingkannya kepada Ki Rangga Guna.
"Biarlah akan aku selesaikan satu-persatu," gumam pemuda itu sambil terus berjalan. Hari semakin panas dan semakin menyengat juga.
***
Ginggi tiba senja hari di sebuah dusun kecil. Penduduknya nampaknya miskin-miskin. Pekerjaan sehari-harinya mungkin berladang. Tapi karena kini tengah musim kemarau tanah mereka kering dan tak bisa ditanami. Barangkali keperluan makan mereka sehari-hari hanya mengandalkan simpanan hasil panen tahun lalu belaka.
Namun penduduk itu biar pun miskin mereka ramah menghadapi tamu. Terbukti ketika Ginggi ingin menumpang tidur, mereka ceria menyambutnya. Tikar rombeng barang sehelai mereka gelarkan dan dengan tergopoh-gopoh menyediakan air putih hangat di cangkir tanah liat. Mereka menyodorkan juga nasi jagung tapi yang ditolak Ginggi karena dia sudah makan hasil pemberian gadis anak pemilik warung di Tanjungpura sana.
Sayang sekali, kehadiran pemuda itu di kampung kecil ini kurang tepat adanya. Ini karena seisi kampung sedang dilanda kesedihan, sekaligus juga kemarahan.
Dua hari lalu istri kepala kampung melahirkan seorang bayi. Sayang usia bayi laki-laki itu tidak lama, sebab hanya selang beberapa waktu sang bayi yang belum mengenal indahnya dunia ini meninggal pada malam harinya.
"Kami semua bersedih sebab bapak kepala dusun amat mengharapkan seorang anak. Sesuai dengan kebiasaan kami, bila ada yang meninggal dunia, maka saat itu pun si mati harus segera dikuburkan. Malam jum’at kemarin bayi itu kami kuburkan," kata penduduk yang rumahnya ditumpangi tidur oleh Ginggi.
"Malam jum’at? Malam apakah itu?" tanya Ginggi mengerutkan dahi sehingga alisnya melengkung membentuk sepasang golok.
Sesaji Ilmu Hitam
"OH, barangkali engkau masih beragama lama, anak muda...... Jum’at adalah nama salah sebuah hari dari hitungan minggu. Kalian menyebutnya sebagai hariSukra . Hitungan hari dalam seminggu buat kalian mungkinSoma untuk hari kesatu dan kami menyebutnya Senin.Anggara untuk hari kedua dan kami menyebutnya sebagai Selasa.Buda untuk hari ketiga dan kami menyebutnya sebagai Rabu.Respati ,Sukra ,Sanaiscara danAditya , kami menyebutnya sebagai Kamis, Jum’at, Sabtu dan Ahad, anak muda," kata pemilik rumah sambil menyulut rokok kelobot, yaitu tembakau yang dilinting oleh kulit jagung.
"Sebetulnya ada kepercayaan penduduk, bayi yang mati di malam Jum’at harus diwaspadai sebab kadang-kadang timbul gangguan. Kami berniat menjaga kuburan bayi itu sampai habis hitungan malam Jum’at. Tapi bapak kepala dusun tidak percaya akan kepercayaan yang ada sejak lama ini. Dan akibatnya …"
"Dan akibatnya bagaimana, Paman?" Ginggi tak sabar menanti kelanjutan cerita pemilik rumah ini.
Pemilik rumah yang giginya sudah hitam karena terlalu banyak merokok ini batuk-batuk sejenak karena asap rokoknya. Dia letakkan rokok kelobotnya dan meraih cangkir tanah liat. Lelaki tua berkulit kering ini segera meneguk air putih di cangkir itu.
"Mayat bayi itu hilang karena kuburannya dibongkar orang!" cetus orang itu.
"Dibongkar orang?" Ginggi kaget mendengarnya sampai matanya yang bundar semakin bulat karena terbelalak.
"Kau yakin kuburan itu dibongkar orang?’ tanya Ginggi.
"Di kampung kami kadang-kadang terdapat binatangaul yaitu sebangsa anjing tapi wajahnya seperti kera. Kadangkadang ada terdengar binatang itu mencakar-cakar kuburan. Tapi kuburan bayi yang dibongkar itu jelas tindakan manusia. Tak ada cakaran, kecuali cungkilan sebuah alat. Lagi pula kalau dilakukan oleh binatang, mengapa meski selalu malam Jum’at?"
Ginggi menggesek-gesekkan telunjuknya ke ujung hidungnya sendiri. Matanya menerawang ke langit-langit atap rumbia.
"Untuk keperluan apa orang menggali kuburan bayi?" gumam Ginggi masih menggesekgesekan hidung dengan telunjuknya.
"Banyak keperluannya, anak muda. Orang jahat yang ingin memiliki sihir selalu menggunakan mayat bayi sebagai persyaratan mendalami ilmu hitam tersebut. Orang-orang daerah timur percaya akan adanya mujizat dari makhluk aneh bernamakemamang . Makhluk itu berupa kendi yang bisa terbang, diperintahkan majikannya untuk mencuri kekayaan orang lain, atau disuruh membunuh atau mencederai musuh majikannya," kata pemilik rumah sambil melinting kembali rokok kelobotnya, padahal rokok yang lama baru habis setengahnya.
"Aneh, masa ada kendi bisa terbang sendiri?" potong Ginggi sambil terkekeh lucu. "Bukan sembarang kendi, sebab benda itu sudah diisi mayat bayi yang sudah dikeringkan.
Mayat bayi itu dicuri dari kuburnya. Selama empatpuluh hari empatpuluh malam diganggang di atas perapian. Kian lama tubuh bayi itu kian kerempeng dan mengering bagaikan dendeng. Selama proses pengeringan itu, ada tetesan minyak keluar dari tubuh mayat bayi itu. Oleh penjahat yang sedang mendalami ilmu hitam, tetesan minyak itu ditadah dan diserap dengan kapas. Kapas yang sudah berisi minyak itu disimpan di buli-buli kecil. Dia amat berguna untuk kejahatan lainnya. Sedangkan mayat bayi yang sudah kering mengecil itu dia masukkan ke dalam kendi.
"Jahat sekali …" gumam Ginggi.
"Memang jahat dan biadab. Makanya kami semua marah melihat kejadian ini," kata lelaki tua ini.
"Lalu bagaimana tindakan kalian?"
Ditanya demikian lelaki yang bertelanjang dada karena udara panasnya ini hanya tercenung.
"Bagaimana, ya? Habis, kami sendiri pun sebetulnya bingung, siapa yang melakukan kebiadaban ini," keluhnya sambil menghela nafas.
"Apakah sudah kalian coba untuk diselidiki?"
"Ya, sudah tapi kami tak bisa menemukan jejaknya, apalagi pelakunya …" "Sayang, ya …"
"Ya, memang sayang. Dan ini membuat kami selalu penasaran," kata lelaki tua ini. Ginggi menguap beberapa kali. Rupanya tuan rumah tahu Ginggi menderita kelelahan karena habis melakukan perjalanan jauh. Ginggi dipersilakan tidur apa adanya, sebab memang rumah yang dia tumpangi amat sederhana.
Ginggi pun tidur. Dan serasa belum pulas benar, ketika di halaman rumah terdengar orang berbicara. Ginggi diam-diam menyimak pembicaraan itu. Tapi ternyata hanya sesuatu yang tak begitu penting. Ada seorang pengelana seperti dirinya yang rupanya kemalaman dan minta izin kepadatugur (ronda) untuk numpang tidur di dusun ini.
"Nanti akan kami carikan penduduk yang memiliki balai-balai cukup. Maklumlah Paman, ini dusun kecil dan tak ada rumah besar di sini. Tapi kalau boleh kami bertanya, siapakah Paman ini dan mau pergi ke mana sampai malammalam terdampar di dusun ini?" tanyatugur kepada pengembara kemalaman itu.
"Namaku Rangga Guna, sobat!" kata suara pengembara itu.
Ginggi serentak bangun karena kaget mendengar nama itu. Sambil dada berdebar keras dia turun dari pembaringan dan membuka pintu.
Halaman rumah itu cukup luas dan agak gelap. Ada dua orangtugur , satu membawa obor, satunya lagi berbekal tongtong. Keduanya tengah berhadapan dengan lelaki setengah baya bertubuh cukup tinggi dan berwajah bulat. Dan yang lebih khas dari itu, hidungnya melengkung seperti patuk burung beo serta sepasang matanya sipit. Ini nampak nyata dari cahaya obor yang bergoyang-goyang tertiup hembusan angin malam. Dan siapa lagi yang memiliki potongan wajah seperti itu kalau bukan Ki Rangga Guna, murid Ki Darma yang murtad dan menghianati tugas yang dibebankan gurunya.
"Hai! Rangga Guna!!!" teriak Ginggi membuat yang bersangkutan mengereyitkan dahi sehingga kedua matanya semakin menyipit.
Ada kemarahan menyesak di dada pemuda itu, sebab kelakuan durjana orang ini akan membawa aib Ki Darma dan mungkin juga nama baik Ginggi sendiri.
Sebelum Ki Rangga Guna sadar akan apa yang terjadi, aku harus segera melakukan serangan, pikir pemuda itu sambil menggerak-gerakkan ujung kakinya untuk menotol tanah. Tubuh pemuda itu meloncat hampir menyerupai terjangan harimau. Terjangannya mengarah ke tempat di mana Ki Rangga Guna berdiri.
Keduatugur nampak kaget melihat ada orang bisa terbang. Barangkali saking kagetnya, keduanya hanya berdiri mematung sambil mulut melongo menyaksikan tubuh manusia meluncur deras seperti mengarah pada mereka.
Kedua orang itu memang berdiri membelakangi Ginggi. Hanya ketika ada bentakan pemuda itu saja kedua orangtugur membalikkan badan.
Kedua orang itu menjerit ngeri tapi tak mampu bergerak. Barangkali keduanya menyangka terjangan itu mengarah pada mereka berdua.
Gerakan Ginggi sebetulnya agak terganggu oleh posisi keduatugur tersebut. Padahal jurus yang dilakukannya ini seharusnya menerjang lurus meniru loncatan harimau. Kalau Ginggi harus mengikuti jurus yang sudah ditetapkan oleh Ki Darma barangkali sebelum terjangan mencapai sasaran yang dimaksud maka hanya kedua tugur itu saja yang menerima akibatnya. Oleh sebab itu, pemuda itu perlu mengubah sedikit gerakannya. Terjangan yang seharusnya lurus mengarah sasaran, dia ubah menjadi gerakan salto sehingga tubuhnya sedikit mumbul ke atas dan melewati ubun-ubun para tugur. Ketiga orang itu mendongak ke atas menyaksikan demontrasi salto yang dilakukan Ginggi. Hanya bedanya bila kedua orang tugur menyaksikan adegan ini dengan mulut melongo dan gemetar, Ki Rangga Guna menatapnya dengan pandangan tenang walau pun selintas Ginggi melihat ada kerutan heran di dahi orang itu.
Ki Rangga Guna nampak sudah siap menerima serangan. Tangan kiri lurus ke atas sambil seluruh jari-jari tangan terbuka lebar seperti orang menyangga sesuatu benda berat.
Sedangkan kepalan tangan kanan melintang tepat di sikut kiri. Ginggi hafal betul gerakan ini. Jari-jari terkembang lebar akan digunakan sebagai perisai untuk menghadapi serangan lawan dari atas, sedangkan kepalan tangan kanan dipersiapkan untuk membalas serangan.
Bentuk serbuan dari atas bila taat mengikuti ajaran Ki Darma sebetulnya harus melancarkan serangan berbentuk pukulan kepalan tangan. Namun Ginggi mengerti, bila fihak lawan menerima serbuan kepalan tangan dengan jari-jari tangan melebar, pukulan sekuat apa pun tak akan ada gunanya, sebab Ginggi bisa menduga, tangkisan lawan tak akan menerimanya dengan kekerasan. Ginggi tahu betul gerakan tangan melebar ini. Dia akan digunakan untuk memunahkan tolakan tenaga kasar dari serangan kepalan tangan itu. Maka, tahu akan siasat lawannya, Ginggi mengubah bentuk serangan. Hanya ketika meluncur di perjalanan saja serangan Ginggi berbentuk kepalan tangan. Akan tetapi ketika kepalan tangannya hampir setengah jengkal "mendarat" di telapak tangan Ki Rangga Guna yang jari-jari tangannya terbuka lebar itu, Ginggi mengerahkan pusat tenaga ke arah jari-jari tangannya. Kepalan tangan secepat kilat berubah mengembang dan "menjeprit" serentak. Jepritan ini sungguh kuat sebab semua tenaga dialirkan ke jari-jari tangan. Kalau Ki Rangga Guna tidak cepat-cepat menurunkan tangannya, jelas akan membahayakan telapaknya. Tubuh Ki Ranga Guna melorot hingga jatuh terduduk dan jumpalitan ke belakang seperti trenggiling.
Ginggi pun jumpalitan untuk mengubah kedudukan. Dan di saat tubuhnya turun ke bumi, sepasang kakinyalah yang mendahului turun.
Ginggi berdiri dengan kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang memperhatikan tubuh Ki Rangga Guna yang terus menggelinding menjauh.
"Hahaha! Jangan terlalu jauh menggelinding, aku tak melanjutkan serangan!" teriak Ginggi dengan nada mengejek.
Kedua tugur sudah terbiri-birit entah kemana dan Ki Rangga Guna meloncat berdiri pada jarak tujuh depa lebih. Dia berdiri dengan kaki sama terpentang dan tangan membentuk pasangan kuda-kuda silang.
"Apa hubunganmu dengan Ki Darma, anak muda?" tanya Ki Rangga Guna berkata lembut namun menyelidik penuh rasa heran.
"Aku petugas Ki Darma yang diutus membasmi kejahatan. Dan penjahat pertama yang harus kubasmi adalah engkau!" kata Ginggi tenang.
"Kejahatan apa yang aku buat, anak muda?" "Kejahatanmu membawa aib bagi semua orang. Kau memperkosa wanita! Terimalah seranganku!!" teriak Ginggi melesat kembali.
"Tunggu dulu!" teriak Ki Rangga Guna. Tapi Ginggi sudah terlanjur menerjang dengan satu pukulan kepalan tangan.
Plak! Tubuh Ki Rangga Guna mundur tiga tindak, sedangkan tubuh Ginggi serasa tertahan dinding baja ketika kepalan tangannya ditahan telapak terbuka Ki Rangga Guna.
Ginggi kembali melakukan serangan. Tapi Ki Rangga Guna hanya main kelit dan mundur. Sedikit pun tak melakukan pembalasan. Dan serangan yang dibalas kelitan ini sepertinya tak akan menghasilkan keputusan, sebab dua-duanya saling mengenal gerakan lawan. Sampai pada suatu saat, Ki Rangga Guna punya kesempatan untuk meloloskan diri dari seranganserangan Ginggi. Ki Rangga Guna meloncat menjauh dan melarikan diri. Ginggi berteriak agar lawannya tak bertindak pengecut. Namun suara pemuda itu tak digubris Ki Rangga Guna.
Ginggi penasaran. Orang itu terus dia kejar. Masuk ke hutan jati, keluar lagi. Berlari di padang semak-semak. Sampai pada suatu saat jauh di ufuk timur seberkas cahaya sudah terlihat, buronan pemuda itu tak pernah ditemukan lagi.
Hari sudah mulai terang tanah. Ginggi penasaran dan bertekad menemukan Ki Rangga Guna. Dia naiki beberapa pohon jati, dengan harapan bisa melihat di atas pohon. Tapi yang terlihat hanya pohon dan padang semak belaka.
Akhirnya hanya kelelahan yang didapat. Ginggi terpaksa kembali ke dusun kecil itu. Orangorang sibuk bertanya tentang kejadian semalam. Dan Ginggi hanya mengabarkan bahwa buronannya itu seorang penjahat besar.
"Tidakkah dia yang mencuri mayat anakku, anak muda?" tanya kepala dusun yang dikabari perihal peristiwa semalam.
"Entahlah yang jelas orang itu harus kutangkap," gumam Ginggi.
Sepagi itu, Ginggi sudah menjadi bahan pembicaraan penduduk dusun. Kedua tugur itulah yaang menyebarkan berita, betapa saktinya pemuda berpakaian kain halus mengkilat itu katanya.
"Raden, bagaimana kalau kau tinggal menjadi penduduk di sini?" kata kepala dusun penuh harap. "Kami membutuhkan orang pandai sepertimu. Dan kalau kau mau, kami semua akan mengabdi padamu. Biarlah kau menjadi kepala dusun, sebab hanya itu yang patut kuberikan padamu sebagai imbalannya," tutur kepala dusun sejujurnya.
"Paman, bila engkau menganggapku orang pandai yang dibutuhkan, maka sebenarnya banyak yang memerlukan tenagaku di saat-saat seperti ini. Aku memang perlu menunaikan kewajiban menjaga keamanan dan memberantas kejahatan. Tapi tentu bukan sekadar di dusun ini saja," kata Ginggi. Dan kepala dusun nampaknya sadar akan keadaan. Dia tak berani lagi mengajukan kehendaknya pada pemuda itu. Ginggi hanya perlu beristirahat sejenak dan makan seadanya. Sesudah itu, dia pun segera mohon diri. Tak lupa sambil mengucapkan terima kasih atas perhatian dan penghargaan yang diberikan penduduk dusun tersebut.
Ginggi kembali melakukan perjalanan panjang. Dia keluar masuk hutan jati atau hutan karet yang banyak terdapat di wilayah perbatasan utara ini. Bila memasuki sebuah dusun, Ginggi pun berupaya melakukan penyelidikan, atau pun penyelidikan dalam mencari tahu Ki Rangga Guna, dan tidak terasa, perjalanan pemuda itu sudah memakan waktu berminggu-minggu lamanya. Atau bisa juga waktu berbulan sudah dia habiskan hanya untuk penyelidikan.
Ginggi menghabiskan waktu berbulan karena dia bisa menelitinya dari perjalanan peredaran purnama. Menurut perhitunganya, sudah tiga bulan purnama dia jalani. Ke mana sebetulnya dia berjalan, pemuda itu pun sudah tak tahu lagi. Hanya saja yang menyebabkan dia sanggup melakukan perjalanan panjang, karena yang tengah dikuntitnya serasa benar-benar ada di depannya. Dengan perkataan lain, perjalanannya selama ini tidaklah keliru. Sebab di beberapa kampung yang dilalui, Ginggi juga menemukan kasus-kasus perkosaan terhadap gadis muda tak berdaya. Tidak semua korban perkosaan berakhir dengan kematian. Dan yang kebetulan selamat dari kematian selalu mengabarkan bahwa yang mengganggu kehormatan dirinya adalah seorang lelaki setengah baya dengan wajah bulat, hidung melengkung dan mata sipit.
"Ki Rangga Guna …." desis Ginggi kesal dan geram. Ginggi bahkan semakin marah, sebab di beberapa kampung terjadi beberapa kejadian seperti yang membuktikan bahwa tindakan perkosaan terhadap anak gadis ada kaitan erat dengan pencurian mayat bayi yang mati di malamsukra(Jumat). Ada satu dua kampung yang menjadi geger sebab dalam selang beberapa hari saja terjadi dua peristiwa menggemparkan. Pertama peristiwa pemerkosaan terhadap gadis muda dan beberapa hari kemudian ketika kebetulan ada bayi di malamSukra , kuburnya ada yang membongkar dan mayat bayinya hilang. Bila tindak kejahatan ini dilakukan oleh seseorang yang sama, maka tudingan Ginggi hanya terarah kepada Ki Rangga Guna seorang. Dan bila benar begitu, betapa jahatnya murid Ki Darma yang satu ini. Ginggi tak suka terhadap Ki Banaspati yang ambisi politiknya demikian gila. Namun, terhadap Ki Rangga Guna ini malah lebih membencinya lagi. Ki Rangga Guna menyakitkan sebab tindakantindakannya hina, biadab dan tak manusiawi. Ki Rangga Guna jiwanya barangkali sudah dirasuki setan atau sudah menjadi gila dan kehilangan kesadarannya sebagai manusia. Kalau tidak demikian, mana mungkin tindak kejahatannya melebihi takaran manusia jahatan lainnya.
Pada suatu hari, Ginggi tiba di sebuah wilayah perbukitan kapur. Bukit-bukit ini tidak terlalu besar apalagi tinggi, namun amat banyak dan bertebaran. Beberapa bukit terasa gersang tanpa tumbuhan berarti. Namun beberapa bukit ditumbuhi pohon-pohon jati kendati terlihat tak begitu subur.
Hari sudah demikian senja dan sebentar kemudian kegelapan akan merajai malam. Ginggi perlu mencari tempat untuk berlindung dari dinginnya angin malam atau sebuah tempat aman untuk menghindar dari pertemuan dengan binatang buas yang sekiranya membahayakan dirinya.
Berdasarkan pengalaman, di bukit kapur biasanya terdapat gua alam. Ginggi harus mencari gua-gua itu sekadar untuk menghabiskan malam.
Ginggi menaiki sebuah bukit. Bukit itu tak terlalu terjal, tapi juga tak begitu mudah untuk didaki. Ginggi memilih bukit itu sebab selain tak begitu terjal tapi tak begitu mudahnya untuk didaki. Maksudnya, didaki oleh jenis binatang yang dirasa akan membahayakan dirinya. Macan kumbang selalu hidup di bukit karang, tapi dalam hal-hal tertentu binatang itu tak suka tinggal di bukit yang memiliki kemiringan melengkung dan rata. Biasanya macan kumbang menyenangi bukit dengan tonjolan-tonjolan khas agar dia bisa berloncatan kesana-kemari dengan mudah dan ringan.
Ginggi coba mendaki bukit yang melengkung dan rata. Agak sulit memang. Tapi pekerjaannya itu dia lakukan terus. Ginggi bersemangat menaiki bukit itu karena dia memastikan di balik punggung bukit terdapat cekungan gua. Bagaimana dia tahu disana ada cekungan gua?
"Aku melihat seberkas cahaya. Disana pasti ada gua dan dihuni manusia," kata Ginggi di dalam hatinya. Namun sudah barang tentu pemuda itu harus hati-hati. Dia tidak boleh sembarangan memasuki gua. Tak akan menjadi masalah bila yang melewatkan malam di dalam gua itu hanyalah seorang pengembara sepertinya, atau sekelompok pemburu. Tapi bila yang di dalam sana orang jahat, akan menyulitkannya.
Ginggi perlu mengeceknya. Maka dengan berindap-indap mendekati mulut gua.
Melalui tonjolan-tonjolan batu di sudut lubang gua, Ginggi mengintip ke arah datangnya cahaya. Cahaya itu berupa api unggun. Kayu-kayu kering gelondongan digunakan sebagai bahan bakar, sehingga api berkobar tinggi.
Ginggi terkesiap wajahnya. Kembali dadanya berdebar keras dan giginya berkerutuk karena menahan kemarahan. Siapa yang tak marah bila yang dilihatnya adalah suatu pemandangan yang membuat bulu kuduk berdiri saking kagetnya melihat pemandangan ini.
Api unggun itu bukan saja hanya digunakan sebagai penerangan dan pengusir dinginnya malam. Melainkan dipergunakan juga untuk mengganggang tubuh mayat seorang bayi. Mayat bayi itu sudah mulai mengering sebagai tanda sudah lama diganggang di atas api unggun.
Namun ada lemak-lemak menetes dari tubuh kering seperti dendeng itu. Tetesannya jatuh ke atas jilatan api dan membentuk suara-suara desisan-desisan khas sebagaimana api yang tertimpa tetesan benda cair.
Di sudut gua kapur pemandangan tak kalah hebatnya. Di sana terbaring tubuh seorang gadis amat muda dengan pakaian tak keruan bahkan boleh disebut hampir telanjang. Gadis muda itu nampak tak sadarkan diri, atau barangkali sudah mati, sebab selain wajahnya sudah pucatpasi, di beberapa bagian tubuhnya banyak didapat luka memar dan sebagian mengucurkan darah.
Yang membuat darah Ginggi semakin menggelegak karena marah, pelaku dari kesemua ini tak lain dan tak bukan adalah Ki Rangga Guna. Orang ini nampak tengah duduk bersila menghadap ke arah api unggun. Tangannya bersidakap dan mulutnya komat-kamit seperti tengah mengucapkan mantra. Kulit wajah Ki Rangga Guna nampak pucat seperti jarang terkena sinar matahari. Hampir-hampir tak menyerupai Ki Rangga Guna saking pucatnya, dan apalagi kain kepalanya diikat kain putih. Yang menandakan bahwa dia Ki Rangga Guna, karena raut wajahnya yang khas, yaitu muka bulat, hidung melengkung seperti paruh burung ekek dan matanya sipit. Sekarang Ki Rangga Guna tengah memakai pakaian serba putih.
Bukan berbentuk kampret atau salontreng, tapi lebih menyerupai baju kurung. Celananya juga menggunakan warna putih modelsontog , yaitu celana panjang sebatas betis. Sedang melakukan upacara apakah ini, pikir Ginggi. Jelas sekali, Ki Rangga Guna tengah melakukan sesuatu upacara. Ginggi pernah melihat beberapa upacara dari beberapa jenis agama yang ada di Negri Pajajaran ini. Tapi yang dilakukan Ki Rangga Guna seperti baru pertama kalinya dilihat Ginggi. Upacara itu aneh dan menakutkan. Ki Rangga Guna bersidakap menghadap api yang di atasnya diganggang mayat bayi, hanya membuat kesan bahwa upacara yang dilakukannya bukan untuk melaksanakaan upacaraa kebaikan. Beberapa bulan lalu bahkan dia pernah mendapat tahu dari seorang penduduk yang kampungnya pernah geger karena kehilangan mayat bayi di kuburannya, tepat di malamSukra (Jum’at). Ginggi dikabari, kemungkinan mayat bayi dicuri di malamSukra untuk kepentingan ilmu hitam.
Ginggi menghitung, kalau tak salah ini malamSukra . Upacara yang erat kaitannya dengan ilmu sihir kata orang selalu dilakukan di malamSukra . Benarkah Ki Rangga Guna tengah melakukan upacara ilmu hitam?
Ginggi terus mengintip untuk lebih mengetahui apa saja yang akan dilakukan orang sesat ini.
Sekarang Ki Rangga Guna menurunkan kedua belah tangannya. Sesudah itu dia membentuk posisi seolah-olah kedua tangannya akan melakukan sembah. Sepasang telapak tangan dia lekatkan satu sama lain. Namun gerakan menyembah segera diubahnya. Sedikit demi sedikit telapak tangan dipisah dan merenggang. Sesudah itu kedua telapak tangan bersatu kembali. Begitu seterusnya berulang-ulang. Menurut penglihatan Ginggi, ini gerakan yang biasa dilatihnya semasa masih bersam Ki Darma. Gerakan telapak tangan terbuka dan kemudian menyatu, adalah gerakan tepukan untuk memperkuat telapak tangan itu sendiri. Tepukan akan dimulai pelan. Namun lama kelamaan akan semakin keras dan meningkat. Ginggi melakukan latihan seperti itu empatpuluh hari empatpuluh malam tanpa henti. Ini untuk melatih kekuatan telapak tangan. Kata Ki Darma, bila telapak tangan sudah benar-benar kuat, kalau digunakan untuk menghantam batang pohon, maka akan membuat tumbang pohon itu sendiri karena batangnya hancur. Kalau yang dihantam adalah sebuah batu, maka batu itu akan berubah hancur menjadi kerikil-kerikil kecil.
"Bisa kau bayangkan kalau telapak tanganmu kau pergunakan untuk menempeleng pipi lawan. Maka mulut lawanmu akan dower, rahangnya akan hancur dan gigi-giginya akan tanggal berantakan," kata Ki Darma waktu itu.
Namun sudah hampir enam bulan Ginggi melakukan perjalanan, belum satu kali pun tangannya dia layangkan untuk menyakiti orang, kendati harus diakuinya selama dia turun gunung sudah beberapa kali melakukan perkelahian.
Kekalahan
Ginggi memang sudah menduga cara latihan seperti ini beserta kegunaannya kelak. Namun yang membuat pemuda ini merasa kaget, tingkat latihan Ki Rangga Guna lebih tinggi dan lebih hebat hasilnya. Gerakan tepukan semakin lama semakin keras karena dilakukan pengerahan tenaga sepenuhnya. Saking kerasnya, tepukan itu menghasilkan suara yang membahana dan menyakitkan anak telinga. Ginggi hampir-hampir tak kuat menahannya.
Tepukan tangan ini menghasilkan pemandangan yang amat menakjubkan. Setiap kali sepasang tangan Ki Rangga Guna bertemu keras, setiap itu pula membersit seberkas cahaya kilat. Ada hawa panas memancar dari mayat bayi yang tergantung di atas lidah api bergoyanggoyang seperti didera hembusan angin keras. Begitu pun lidah api melenggang-lenggok keras sebagaimana layaknya dierpa hembusan angin.
Ginggi berusaha menulikan telinga, sebab setiap lubang telinga menerima suara tepukan, setiap kali itu pula dadanya bergetar keras.
Pemuda itu hampir meloncat pergi saking tak kuatnya menahan getaran itu, kalau saja Ki Rangga Guna tidak menghentikan latihannya.
Suara tepukan berhenti dan suasana mendadak hening. Lidah api berhenti bergoyang, kecuali tubuh mayat bayi yang tergantung di atas masih bergoyang kesana-kemari.
Sekarang Ki Rangga Guna berdiri dari duduknya. Memandang sejenak ke arah mayat bayi yang tergantung kering di atas langit-langit gua. Secepat kilat Ki Rangga Guna meloncat memburu mayat bayi yang kering-kerontang itu. Turun dan hinggap seperti burung hantu di tonjolan batu di seberang lidah api sambil tangan kanan sudah memegang tubuh mayat bayi tepat di bagian sepasang kakinya. Secepat kilat Ki Rangga Guna mengeluarkan sebuah pisau yang terselip di pinggangnya. Dan srat! Tangan mayat bayi itu dia kutungi sebatas pergelangannya, kiri dan kanan bagian tangan bayi itu dua-duanya dia bungkus dengan kain putih. Dilipatnya beberapa kali. Dan sesudah itu,bungkusan telapak tangan mayat bayi itu dia belitkan di pinggangnya seperti layaknya memakai sabuk.
"Biadab!" desis Ginggi perlahan.
Ki Rangga Guna melemparkan bagian tubuh mayat bayi ke atas kobaran api dan senter kemudian mayat bayi kering-kerontang itu sudah luluh-lantak dimakan api.
Terdengar suara Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh seperti puas atas hasil kerjanya.
Perhatian Ki Rangga Guna sekarang beralih ke tubuh gadis muda yang tergeletak diam di sudut gua. Sambil hahah-heheh menyeramkan, Ki Rangga Guna mendekati tubuh tak bergerak itu. Pisaunya yang tipis mengkilat dia angkat dan sepertinya akan segera dihunjamkan ke bagian dada gadis tak berdaya itu.
"Hentikan!" teriak Ginggi tak sanggup lagi menahan gelora hatinya.
Sejenak Ki Rangga Guna terkejut mendengar suara ini. Barangkali dia tak menyangka ada orang lain mengintip perbuatannya.
Hanya sejenak saja dia terkejut, sebab sesudah itu raut wajahnya lebih menggambarkan rasa heran ketimbang kemarahan.
"Siapa di situ? Ayo masuk ke sini!" teriaknya.
Ginggi meloncat masuk dan berdiri berhadapan dengan Ki Rangga Guna. Tapi, benarkah ini Ki Rangga guna?
Ginggi menatap tajam wajah orang ini. Sudah dua kali dia bertemu Ki Rangg Guna. Dan ini yang ketiga. Tapi wajah Ki Rangg Guna seperti lain dengan wajah orang ini beberapa bulan berselang. Beberapa bulan yang lalu Ki Rangga Guna berkulit kecoklat-coklatan karena seperti sering terkena sinar matahari. Sedangkan raut mukanya kini amat kebalikan dengan beberapa bulan lalu. Berkulit putih tapi terkesan pucat karena kekurangan sinar matahari. Yang membuat bulu kuduk Ginggi merinding, mulut Ki Rangga Guna selalu menyeringai memperlihatkan giginya yang kuning. Matanya pun berputar liar dan bila menatap sorotannya tajam beringas. Beda sekali dengan penampilan beberapa bulan yang lalu.
"Hikhikhikhik! Kebetulan ada sesuatu yang bisa aku pakai sebagai latihan. Tiga kali empatpuluh hari empatpuluh malam aku tuntaskan latihanku. Sepuluh bayi sudah kugunakan, sepuluh gadis pun sudah aku manfaatkan. Ayo bocah dungu, pukullah aku!" kata Ki Rangga Guna melengking tinggi menyakitkan telinga dan isi dada. Untuk yang kesekian kalinya Ginggi bergidik. Suara dan tawa Ki Rangga Gun kini bahkan menyeramkan. Dulu besar dan berat. Bernada datar dan seperti tak gemar bicara berpanjang-panjang. Sekarang kecil melengking dan sesekali seperti suara ringkik kuda.
"Ayo anak kecil, pukullah aku! Ayo cepat!" ringkiknya lagi.
"Bukan saja aku akan sekadar memukul, tapi pun aku akan bunuh kamu!" teriak Ginggi. Engkau jahat dan biadab, maka harus aku enyahkan engkau dari muka bumi ini!" teriak Ginggi melesat ke depan. Begitu langkah kaki kanan maju setindak, begitu pula kepalan tangan kanan bergerak seperti per membuat pukulan keras mengarah dada.
Ginggi terkejut, menurut logika, bila orang diserbu pukulan, maka dia akan segera bergerak menyambut. Kalau tidak berkelit pasti akan menangkis. Tapi Ki Rangga Guna sungguh berani. Pukulan Ginggi dibiarkannya menerobos menyerang dada.
Ginggi berteriak keras mencoba menahan gerakan. Sebesar apa pun kemarahannya terhadap Ki Rangga Guna yang jahat ini, tapi dia tak mau bertindak kejam melakukan serangan kepada orang yang tak melakukan perlawanan. Luncuran tenaganya yang telanjur dia keluarkan hanya bisa ditahan setengah bagian saja. Yang setengahnya menerobos dada Ki Rangga Guna.
Bleg! Ginggi menyeringai kesakitan. Kepalannya seolah memukul karung goni berisi pasir besi saja saking kerasnya dada Ki Rangga Guna.
Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh. Nampaknya dia gembira dengan kejadian ini.
"Ayo pukul lagi lebih keras anak muda!" teriaknya melengking. Tubuh orang ini kuat, pikir Ginggi. Maka pemuda itu pun tak ragu-ragu melakukan pukulan kedua. Kali ini kepalan tangan kiri yang digunakan untuk menyerang. Takaran tenaganya dia tambah lagi hingga mencapai tigaperempat bagian.
Blug! Dada yang terselubung baju kurung warna putih itu hanya bergeming sedikit dan Ginggi tetap menyeringai kesakitan kendati inti tenaga sudah dia salurkan ke tangan kiri.
Ginggi penasaran, ayunan kepalan tangan kanan kini dia isi dengan seluruh inti tenaganya. Dia memusatkan pikiran di antara kedua alis mata. Dia tahan nafas dalam-dalam. Sesudah semua hawa murni dia sedot, lalu dia keluarkan suara bentakan nyaring sambil dibarengi hentakan tangan kanannya.
Blag! Tubuh Ki Rangga Guna bergoyang dan langkahnya mundur tiga tindak. Ginggi melongo. Ini pukulan yang sepenuhnya diisi inti tenaga. Kalau digunakan memukul pohon jati, maka seluruh kepalan akan melesak masuk ke batang pohon. Kalau kepalan itu menyerang batu karang, maka akan hancur berkeping. Tapi dada Ki Ranga Guna yang hanya terbuat dari tulang dan daging tipis hanya membuat kakinya mundur tiga tindak saja. Tidak terkesan rasa sakit yang tercermin di wajahnya.
Ki Rangga Guna bahkan terkekeh-kekeh lucu melihat Ginggi melongo seperti itu.
"Sekarang giliranku yang memukul anak muda. Ingin aku buktikan bahwa latihan telapak tanganku selama seratus duapuluh hari tak henti ini akan melumerkan bongkahan baja dan membuat batu karang menjadi debu! Terimalah ini!" teriak Ki Rangga Guna dengan suara melengking tinggi. Tubuh orang itu doyong dan melengkung ke depan seperti akan terjerembab. Namun akhirnya dia membuat gerakan seperti kodok meloncat dan tangan melesat ke depan. Yang kanan terbuka mengarah wajah Ginggi dan tangan kiri menyodok dengan kepalan mengarah ke pusar.
Ginggi bergidik menerima serangan ini sebab begitu tangan kiri menyodok dari bawah ada hawa panas menerjang pusarnya. Begitu pun serangan tangan kanan terbuka mengarah wajah, terasa sekali ada dorongan hawa yang sama menuju arah serangan itu.
Serangan ganda yang mengarah ke atas dan ke bawah secara bersamaan ini sebetulnya mudah untuk ditangkis. Caranya adalah mengibaskan sepasang tangan secara berbareng tapi dengan arah berlainan. Untuk menolak serangan ke wajah, Ginggi harus mengibaskan tangan kanan secara silang ke samping. Sedangkan untuk memunahkan serangan ke bawah pusar dia harus mengibaskan tangan kiri ke bawah.
Namun Ginggi tak berani mengambil resiko mengadu kekuatan tangan dengan lawannya. Ki Rangga Guna seperti memiliki kekuatan ajaib tapi yang bisa membahayakan lawannya.
Tadi Ginggi sudah menyaksikan latihan tepukan Ki Rangga Guna. Betapa hebat pengerahan tenaganya sehingga dua telapak tangan beradu mengeluarkan burcakan bunga api. Ini hanya menandakan bahwa latihan pengerahan tenaga Ki Rangga Guna sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Tempo hari Ki Darma pernah mengatakan bahwa manusia memiliki inti tenaga yang bersembunyi di badannya. Siapa pun adanya, dilatih atau pun tidak dilatih. Hanya bedanya, orang yang gemar berlatih kelak akan mampu menjinakkan, mengendalikan dan mengatur kapan inti tenaga bisa dikeluarkan. Sedangkan yang tak pernah berlatih, dia tidak akan bisa mengendalikan kekuatan tersembunyi itu menurut kehendaknya sendiri.
"Ambillah contoh. Seseorang yang tak pernah melatih ilmu kepandaian dalam keadaan biasa dia tak mungkin sanggup meloncat menyebrangi sungai yang lebar, misalnya. Tapi tenaga besar yang tersembunyi di badannya sebenarnya dia punya. Buktinya, bila dia merasa takut dikejar anjing, dia akan lari secepatnya dan secara nekad sungai yang lebar akan diloncati dan berhasil. Kau lihat juga contoh lain. Bila dalam keadaan biasa seseorang tidak dalam keadaan panik, manakala dia terkurung api di dalam rumah terkunci rapat, untuk menyelamatkan diri dia nekad menubruk pintu terkunci dan tak sadar berhasil membobolnya. Itu satu tanda bahwa dalam dirinya ada tenaga maha besar yang tersembunyi," kata Ki Darma beberapa waktu lalu ketika Ginggi belajar di puncak Cakrabuana. Kata Ki Darma, bagi yang ingin mengendalikan tenaga maha besar yang ada di dalam tubuhnya maka dia harus mau berlatih keras. Kian keras latihan akan kian pandai mengendalikan kekuataan maha besar tersembunyi ini. Sebagai bukti, betapa hebatnya tenaga pukulan yang dikeluarkan Ki Rangga Guna. Puncak kekuatan ini akan menciptakan tenaga dahsyat sampai mengeluarkan tekanan udara dan menghasilkan sumber api.
"Tenaga dahsyat yang dikeluarkan dari tubuh kita juga bisa mendorong udara dan menghasilkan tekanan luar biasa. Itulah sebabnya, kerapkali kita dengar ada orang sanggup memukul lawan tanpa menyentuhnya. Itu karena telapak tangan orang tersebut telah sanggup mendorong udara di hadapannya sehingga menimbulkan tekanan. Kian kuat dia mendorong udara, maka akan kian kuat pula hasilnya. Ada orang yang sanggup memukul roboh sebuah pohon besar dari jarak jauh. Pohon itu tumbang dan terbakar karena tekanan udara yang besar juga akan menghasilkan kilatan api," kata Ki Darma.
Waktu itu Ginggi disuruh berlatih dari hal-hal yang kecil dulu. Pertama-tama dia berdiri menghadap api pelita jarak satu depa saja di sebuah ruangan tertutup. Ginggi membuka telapak tangan dan seolah-olah memukul atau mendorong cahaya api itu dengan telapak tangan sejauh satu depa.
"Kau lihat bukan, lidah api itu bergoyang-goyang karena tenaga tolakan telapak tanganmu itu. Kian kuat kau berlatih memukul jarak jauh, maka akan kuat pula hasilnya. Api bukan sekadar bergoyang tapi akan padam. Latihan lebih kau tingkatkan lagi, maka bukan hanya menggoyangkan lidah api, melainkan sanggup merobohkan sesuatu yang lebih besar lagi, misalnya saja menumbangkan sebuah batang pohon dengan pukulan jarak jauh," kata Ki Darma.
Menurut Ki Darma, ilmu berkelahi tiada batasnya. Siapa yang paling pandai di dunia, tak ada orang yang tahu.
"Sudah berapa jauh tingkat ilmu yang kau miliki, engkau tidak akan tahu, tidak juga aku yang melatihmu. Oleh sebab itulah aku ingatkan engkau harus hati-hati hidup di dunia. Jangan sombong dan takabur. Kalau bisa, sembunyikan ilmumu itu. Biarkan orang lain menganggapmu tak bisa apa-apa agar perhatian orang lain padamu terlena," kata Ki Darma.
Amanat terakhir Ki Darma bahwa dia harus mau menyembunyikan ilmu kepandaiannya, tak selamanya bisa dijalankan. Buktinya hari ini saja dia memperlihatkan kepandaian tanpa dipaksa orang.
"Tapi yang ini mesti kulakukan karena tujuanku ingin membasmi kejahatan," kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti tadi diutarakan, pemuda itu terlalu berisiko bila dia mencoba menangkis pukulan Ki Rangga Guna. Dia tak mau saling berbenturan tangan. Oleh sebab itu, tak ada cara terbaik meloloskan diri dari terjangan lawan selain mundur tiga tindak ke belakang dan kemudian meloncat jauh ke samping. Sudah barang tentu terjangan Ki Rangga Guna dengan lompatan kodoknya hanya berhasil menerjang angin belaka. Tapi lompatan itu terlalu kuat. Tubuh Ki Rangga Guna yang dihindarkan oleh kelitan ke samping, sepertinya hendak menubruk dinding karang. Tapi orang itu benar-benar pandai membuat gerakan. Sepasang tangan yang sedianya akan digunakan menyerang Ginggi sekarang dia gunakan untuk menotol dinding sehingga tubuhnya kembali mumbul ke udara. Di atas udara Ki Rangga Guna bersalto. Dan saat tubuhnya ada dalam keadaan terbalik, Ki Rangga Guna menggerak-gerakkan sepasang tangannya. Ginggi terkejut. Ini adalah pukulan jarak jauh seperti apa yang dikatakan Ki Darma.
Dan benar saja, suara angin berciutan mengiringi udara panas yang mempengaruhi ruangan gua itu. Ginggi yang tepat berada di bawah lawannya segera membuat gerakan trenggiling hindarkan api. Dia berguling-guling beberapa kali ketika Ki Rangga Guna menggerak sepasang tangannya lurus ke bawah dengan telapak tangan terbuka lebar.
Blaaar!!! Ada suara dentuman menggelegar. Ruangan gua seperti bergetar. Dari langit-langit ada bebatuan yang runtuh. Beberapa menimpa gundukan api dan beberapa lagi menimpa tubuh gadis yang tergolek di sudut. Sebuah batu besar pas menimpa dadanya. Tidak terdengar jerit kesakitan atau erangan kecil. Tidak juga berkelojotan atau sekadar menggerak-gerakan ujung jari kaki sebagai tanda sakit. Ini hanya membuktikan bahwa gadis itu mungkin sejak dari tadi tak bernyawa lagi kalau tadi Ginggi melihat Ki Rangga Guna hendak menikam dada gadis itu. Siapa tahu. Bukankah terhadap tubuh mayat bayi pun dia potong bagian tangannya?
Ginggi tak sempat berpikir panjang lagi sebab serangan angin pukulan terus memberondongi dirinya. Pemuda itu pun terpaksa melompat kesana-kemari dan jumpalitan beberapa kali.
Batu-batu kapur berguguran dari sana-sini. Dan langit-langit gua seperti mau runtuh rasanya.
Ginggi agak kewalahan menerima serangan yang ganas dan berubi-tubi ini. Sementara Ki Rangga Guna sambil melepaskan angin pukulan kerjanya hahah-heheh, atau sesekali meringkik seperti kuda. Mulutnya menyeringai dan matanya liar. Sambil terus berkelit dan menghindar, Ginggi merasakan keganjilan-keganjilan, terutama yang menyangkut tindakantindakan aneh orang ini.
Sudah dua kali Ginggi bertemu Ki Rangga Guna ini. Pertama kali ketika orang ini dikeroyok di depan kedai wilayah Kandagalante Tanjungpura. Dan yang kedua di sebuah dusun kecil ketika baik Ginggi mau pun orang ini sama-sama kemalaman dan hendak menumpang tidur.
Dari pertemuan itu Ginggi menyaksikan perilaku Ki Rangga Guna yang tenang dan terkesan acuh tak acuh. Ketika dia dikeroyok banyak orang, tidak sedikit pun dia mau membalas atau melayani keroyokan itu. Padahal kalau dia mau, Ginggi merasa yakin, Ki Rangga Guna dengan mudah saja melumpuhkan para pengeroyoknya. Ketika Ki Rangga Guna diserbu olehnya, juga terjadi hal yang sama. Dia tak mau membalas serangan, bahkan selalu menghindar dan akhirnya melarikan diri. Hanya kali ini di pertemuan yang ketiga, Ki Rangga Guna membalas serangan. Bahkan dia membalas jauh lebih kejam dan ganas, seperti punya maksud untuk membunuhnya. Ganjil sekali orang ini. Dalam beberapa pertemuan sanggup menampilkan dua perilaku yang bertolak belakang. Sekarang Ki Rangga Guna seperti gila dan bagaikan orang kerasukan setan. Apalagi bila melihat matanya yang liar dan suaranya yang meringkik-ringkik menyeramkan. Gilakah orang ini sesudah hampir tiga atau empat bulan tak bertemu dengannya? Tapi kemudian Ginggi berpikir. Dia teringat pengakuan pemilik rumah hiburan di Tanjungpura yang mengatakan bahwa ketika Ki Rangga Guna mengacau tempat hiburan, perilakunya hampir menyerupai orang gila dan kekejamannya seperti iblis. Jadi kalau begitu, sudah sejak pertemuan dengannya Ki Rangga Guna sudah berpenampilan aneh seperti ini.
Kembali Ki Rangga Guna mendoyongkan tubuhnya ke depan sehingga saking doyongnya, perutnya hampir menyentuh permukaan gua. Sepasang tangannya kini ditarik ke belakang. Pelan-pelan dari berbentuk kepalan berubah menjadi terbuka. Ginggi bersikap hati-hati. Serangan yang meniru gerakan kodok hendak meloncat ini amat berbahaya seperti yang dipertunjukan pertama kali tadi. Dari gerakan telapak tangannya yang didorongkan ke depan kelak akan terpancar hawa panas. Hanya dengan mundur tiga tindak dan berkelit ke samping yang membuat serangan itu bisa dihindarkan. Kalau serangan yang sama akan kembali dilakukan, Ginggi perlu merubah gerakan menghindar, sebab bila jurus hindar hanya yang ituitu saja sudah diketahui dengan baik oleh Ki Rangga Guna. Ginggi mengingat-ingat, gerakan hindar yang mana lagi yang pernah diajarkan Ki Darma dalam upaya meloloskan serangan lawan seperti itu.
Ginggi bingung sekali dalam memilih jurus yang terbaik. Ki Darma banyak memberikan jurus-jurus hindar. Jumlahnya tak terhitung sampai-sampai Ginggi pun tak hafal lagi. Tapi faktor atau penyebab tak hafalnya semua jurus yang diberikan Ki Darma bukan karena terlalu banyak macamnya jurus, melainkan karena keengganan dirinya mendalami semua yang diberikan Ki Darma. Ginggi dulu memang jenuh sebab selama sepuluh tahun pekerjaannya hanya berlatih sesuatu yang sebenarnya dia tak suka melakukannya.
"Ini gerakan berkelahi. Dan semua ditujukan untuk membunuh. Apakah kelak pekerjaanku hanya berkelahi dan membunuh, Aki?" tanya Ginggi ketika itu. Ki Darma hanya mendelik marah bila Ginggi sudah membangkang seperti itu. Hanya tak mau didamprat Ki Darma saja Ginggi akhirnya mau berlatih.
Itu pun kalau Ki Darma sedang turun gunung, Ginggi hanya berlatih asal-asalan saja. "Aku tak senang berkelahi. Untuk apa setiap hari harus berlatih ilmu kasar macam begini?" pikirnya ketika itu.
Namun sekarang terbukti, bahwa pendapat Ki Darma benar dan pilihannyalah yang keliru. Paling tidak dalam menghadapi gempuran-gempuran maut dari orang gila ini, Ginggi memendam rasa sesal yang dalam. Kalau saja dulu tidak asal-asalan, kalau saja dulu gigih berlatih, tak nanti aku menderita kewalahan seperti ini, keluhnya dalam hati.
Ki Rangga Wisesa Ginggi tak ada waktu lagi memilih-milih jurus mana yang paling baik sebab tak ada lagi waktu. Sekarang Ki Rangga Guna mendorong-dorongkan sepasang telapak tangannya yang terbuka lebar. Orang ini cerdik. Tadi serangan gaya kodok itu dilakukan sambil meloncat. Karena Ginggi mundur tiga tindak dan berkelit ke samping, serangannya gagal. Sekarang, dia menyerang hanya dengan angin pukulannya saja yang menderu-deru tanpa beranjak dari kedudukannya semula. Cerdik sekali, sebab dengan melakukan serangan dari jarak jauh, Ki Rangga Guna hanya mengamati saja, ke mana pemuda itu menghindar. Kalau ada gerakan ke samping kiri, Ki Rangga Guna tinggal mengarahkan pukulannya ke samping kiri, begitu pun sebaliknya. Ginggi sampai sejauh ini bisa lolos dari serangan maut, hanya karena tertolong oleh bongkahan-bongkahan batu yang runtuh saja. Bila dia tak sempat menghindar, maka satu-satunya jalan berlindung di balik bongkahan batu. Tapi cara itu pun sebenarnya hanya sementara saja. Setiap bongkahan batu terkena serangan, batu besar itu hancur berantakan.
Lambat laun tentu pemuda itu akan kehilangan bongkahan batu untuk berlindung.
Pemuda itu pun menyadari akan perkiraan itu. Si bedebah itu hanya mengulur-ulur waktu saja. Persis seperti kucing hendak memangsa tikus. Sebelum tikus kecil digerus habis oleh gigi-gigi runcingnya, sang tikus yang ketakutan seengah mati hanya dipermainkan saja. Ginggi merasakan, Ki Rangga Guna seperti punya rasa optimis untuk mengalahkan dirinya. Maka sebelum membunuhnya, Ginggi seperti disiksa dengan permainan-permainan maut.
Ginggi mengeluh. Barangkali di sinilah akhir hayatnya. Tak disangka, jauh sebelum tugasnya selesai dia keburu mati. Mati bukan oleh musuh yang lebih besar, tapi oleh orang yang sebelumnya harus dia pintakan saran dan petunjuk seperti apa kata Ki Darma.
Sadar nasibnya akan berakhir di gua kapur ini, pemuda itu mengeraskan hatinya. Kalau hanya sekadar memburu mati, buat apa harus berhati-hati? Lebih baik aku mencoba balik menyerang. Kalau berhasil syukur, kalau tidak, ya hanya mempercepat proses kematian saja. Yang penting aku berusaha menyerang dan berusaha membunuhnya pula, pikirnya dalam hati.
Putusannya sudah bulat. Maka ketika Ki Rangga Guna menarik sepasang tangannya ke belakang untuk membuat ancang-ancang penyerangan baru, maka serentak itu pula dia menghimpun inti tenaga. Ujung kakinya menotol dinding gua dan tubuhnya melesat memburu di mana Ki Rangga Guna berada. Dia harus adu cepat. Sebelum sepasang tangan lawannya kembali mendorong ke depan, maka dia harus melayangkan sebuah serangan dahsyat. Sambil tubuh melesat di udara, sepasang tangan Ginggi bersilang di depan wajahnya. Tangan kanan berbentuk kepalan, sedangkan tangan kiri membentuk capit gunting.
Ki Rangga Guna nampak terkejut dengan bentuk serangan ini. Barangkali dia tak menduga bahwa Ginggi akan nekad balik membalas serangan. Atau barangkali juga Ki Rangga Guna terkesiap karena hafal akan jurus ini. Namun apa pun yang ada di benak Ki Rangga Guna, rasa terkejutnya ini amat menguntungkan Ginggi, sebab dengan demikian, gerakan Ki Rangga Guna agak terhenti sejenak. Dan kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh pemuda itu. Kepalan tangan kanan pemuda itu segera melayangkan pukulan. Ginggi sebetulnya tahu betul, Ki Rangga Guna akan menduga bahwa serangan yang asli terletak pada capit gunting tangan kiri. Dua jari tengah dan telunjuk sudah diisi inti tenaga. Sedang kepalan tangan kanan sebenarnya kosong melompong dari tenaga apa pun. Ginggi memastikan, begitulah yang tengah dipikirkan Ki Rangga Guna yang kenal betul akan gerakan khas milik Ki Darma. Dan karena Ki Rangga Guna berpikirnya begitu, pemuda itu harus mengubah siasat. Dia harus mengecoh jalan pikiran yang sudah baku itu. Maka pemuda itu serentak menarik inti tenaga yang sudah dia salurkan ke capit gunting tangan kiri dan serentak dialirkannya ke kepalan tangan kanannya sepenuh tenaga.
Wuuttt … Plak! Ki Rangga Guna berteriak keras dan tubuhnya terbanting menumbuk dinding gua.
"Yihuyyyy !!!" seru Ginggi berteriak girang.
Ki Rangga Guna duduk meloso bersandar di dinding gua. Dia pijit-pijit keningnya yang bersemu hijau dan agak bengkak. Dan sesudah beberapa kali menggoyang kepala seperti hendak mengusir rasa pening, dia pelahan bangkit kembali dan menatap nanar campur heran kepada Ginggi. Tangan kanannya kemudian menunjuk kepada pemuda itu.
"Engkau … mengapa engaku gunakan jurus Ki Guru Darma?" katanya heran.
"Aku pergunakan jurus kepunyaan Ki Darma karena dia memberikannya padaku!" kata ginggi. "Kau murid Ki Darma?"
Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak bohong, sebab selama ini Ki Darma tak pernah menyebutnya murid pada dirinya.
"Kau bukan muridnya tapi kau pergunakan jurus itu, berarti kau curi ilmu Ki Guru, jahanam!" Ki Rangga Guna mendelikkan matanya.
"Aku tidak curi, aku dilatihnya!" sanggah Ginggi.
"Hehehe, tikus kecil! Hanya murid yang menerima pelajaran guru. Kalau guru tak ambil murid, maka tak mungkin memberi ilmu. Jadi, engkau pasti curi ilmu guru, hei kecoa!"
Sambil kembali hahah-heheh, Ki Rangga Guna mendekati pemuda itu dan akan balik menyerang.
Ginggi amat terkejut melihat Ki Rangga Guna begitu kuatnya menerima pukulan. Padahal ketika latihan di puncak Cakrabuana, sebongkah batu hancur lebur dan pohon jati tumbang karena batangnya patah. Tapi sekarang, jidat Ki Rangga Guna begitu kuatnya menerima pukulan inti tenaga. Pukulan keras kepunyaan pemuda itu hanya membuat Ki Rangga Guna nanar sebentar. Kalau pun boleh disebut melukai, hanya membuat jidat orang itu bersemu hijau saja. Sebuah luka memar tak berarti.
Ginggi mundur beberapa tindak ketika Ki Rangga Guna maju mendekat.
"Kau pencuri, tikus kecil … kau pencuri …" gumamnya menyeringai serta matanya liar. Nampak sekali kegeraman Ki Rangga Guna ini.
"Kau curi ilmu Ki Guru, kau harus mati!" desisnya.
"Engkau yang harus mati dan bukan aku! Kau jahat! Kau buat malu Ki Darma! Padahal kau harus ingat, apa keinginan Ki Darma ketika ia lepas engkau turun gunung ?" kata Ginggi balik mencerca. Wajah pucat Ki Rangga Guna semakin pucat mendengar omongan pemuda itu.
Nampak Ki Rangga Guna seperti terhenyak dan terpojok.
"Aku … aku … aku tak tahu! Aku tak mau tahu!" teriak Ki Rangga Guna mencak-mencak. "Aku harus bunuh semuanya! Semuanya!" teriak Ki Rangga Guna berteriak-teriak tak keruan. Dia menghambur menerjang Ginggi. Pukulannya berciut-ciut mengerikan. Dan angin panas menerjang ke arah pemuda itu.
Ginggi semakin terdesak dan semakin mepet ke pojok gua. Sekarang tak ada lagi tempat berlindung. Yang dia kerjakan hanya menghindar dan berkelit saja namun pada suatu saat Ginggi terpojok juga. Dia hanya mepet di sebuah cekungan batu kapur. Kalau ada serangan ke arahnya, sudah tak mungkin berkelit lagi karena tubuhnya seolah-olah di kurung dinding kapur. Namun gerakan Ki Rangga Guna yang sudah bersiap mengirimkan pukulan maut mendadak berhenti ketika tiba-tiba terdengar suara orang mencegahnya.
"Ki Adi, hentikan kekeliruanmu itu!"
Ginggi terhenyak mendengar suara ini. Serasa dia pernah dengar sebelumnya. Ki Rangga Guna mundur beberapa tindak dan dia membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang berkata.
Karena Ki Rangga Guna sudah tak memperhatikan tubuhnya lagi, Ginggi pun segera keluar dari cekungan dinding gua itu. Dia ikut memperhatikan siapa yang berkata tadi.
"Hah?" mulut pemuda itu menganga memandang siapa yang berdiri tenang di mulut gua. Baik Ginggi mau pun Ki Rangga Guna sama-sama kaget melihat siapa yang datang.
Ginggi benar-benar kaget. Sekarang ada "dua" Ki Rangga Guna. Satu orang berwajah tanpa ekspresi dan seorang lagi dengan perangai garang. Namun dua-duanya memiliki persamaan wajah. Muka bulat. Hidung melengkung dan bermata sipit. Mata sipit yang seorang benarbenar sipit sehingga bola mata hampir terlindung, sedangkan si wajah garang sesekali sanggup membelalakkan mata dengan sorot liar.
Ginggi menepuk jidatnya sendiri. Mengapa dia begitu bodoh dan pelupa? Bukankah Ki Darma dulu pernah bilang ada dua orang muridnya yang kembar, yaitu Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Hanya saja sejauh ini Ginggi belum melihat yang mana Rangga Guna dan yang mana Rangga Wisesa. Benarkah si jahat bernama Rangga Guna atau malah sebaliknya?
"Ki Adi sadarlah. Hidupmu sudah semakin jauh dari kebenaran," gumam yang berdiri di mulut gua.
"Tak ada bedanya benar atau salah buatku, Kakang!" teriak si hidung bengkok bersuara garang.
"Ada bedanya Ki Adi. Orang yang berbuat salah selalu merugikan orang yang sedang berjuang demi kebenaran!"
"Ya, begitulah! Makanya tak ada untungnya aku menjadi orang yang benar. Orang benar selalu akrab dengan kerugian. Menjadi orang jujur suka ditipu, dipermainkan dan dikucilkan. Menjadi orang yang benar dan jujur pun selalu ditekan agar taat kepada peraturan hidup.
Sedangkan menjadi orang salah segalanya bisa menjadi bebas, tidak diringkus berbagai peraturan atau pun harga diri! Aku benci jadi orang baik! Benci!" teriak si garang.
"Ki Adi, menjadi orang jahat juga tak memiliki kebebasan. Karena banyak dibenci, maka banyak dimusuhi. Kau tak bebas berkeliaran. Dan kau takut jadi orang jahat. Saking takutnya, saking bosannya kau dikejar dan diburu, untuk membebaskannya kau berlindung di balik namaku. Kau mengaku sebagai aku setiap melakukan kejahatan. Itu karena kau takut menerima akibat. Dan kau timpakan padaku, Ki Adi!"
Ginggi terhenyak mendengarnya. Kalau begitu dia terkecoh. Yang dia anggap Ki Rangga Guna sebagai pelaku kejahatan, sebenarnya adalah saudara kembarnya, Ki Rangga Wisesa.
"Aku tidak berlindung dan aku tidak takut! Aku gunakan namamu agar kita berdua sama dianggap orang lain jahat dan tukang merugikan! Aku benci kau. Dulu kau disayang Guru dan aku tidak. Kau diberi ilmu berlebih dan aku tidak. Tapi ketika Ki Guru perlu dengan ambisinya, aku menerima tugas sama beratnya denganmu! Tidak adil maka aku benci engkau. Aku juga benci Ki guru! Aku harus balas dendam. Dan aku puas. Barangkali Ki Guru sekarang sudah mati!" teriak si garang yang Ginggi yakin bernama Ki Rangga Wisesa.
Ginggi terkejut setengah mati mendengar omongan Ki Rangga Wisesa. Begitu pun Ki Rangga Guna terlihat wajahnya seperti memendam rasa terkejut.
"Apa maksudmu Ki Darma sekarng sudah mati, hei orang gila!" teriak Ginggi tak sabar. Siuuut, blarrr !!! Ki Rangga Wisesa menyerang Ginggi dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Ginggi meloncat ke samping dan pukulan itu menghantam dinding sehingga menjadi runtuh.
"Hik-hik-hik ! Coba lihat tikus kecil itu! Dia tak mengaku menjadi murid Ki Guru tapi bisa memainkan jurus milik kita. Kalau benar begitu betapa lemahnya Ki Guru. Dia sembrono dan tak menghargai ilmunya sendiri. Kepada siapa saja dia berikan ilmunya. Padahal ketika aku minta diajarinya, aku menyembah-nyembah padanya. Ki Guru menghina aku. Barangkali juga menghina kamu, Kakang. Kita serasa dapat anugrah dan menghargai pemberiannya, sedangkan Ki Guru sendiri menganggap ilmunya seperti sampah, dia buang atau dia tebarkan kepada siapa saja. Contohnya kepada si tikus kecil itulah!" kata Ki Rangga Wisesa marah dan sesal. Namun nada bicaranya disertai ringkikan-ringkikan kecil.
"Kau jawab dulu, apa artinya perkataanmu tadi, bahwa Ki Guru barangkali sudah mati?" kata Ki Rangga Guna dengan alis berkerut.
"Aku laporkan kepada semua orang. Kepada orang-orang Pakuan dan kepada orang-orang Cirebon, bahwa Ki Darma, musuh besar mereka, bersembunyi di Cakrabuana. Hik-hik-hik! Aku dengar orang Pakuan beberapa perwira kerajaan untuk memburu Ki Guru. Dan aku gembira, orang-orang Cirebon melalui Talaga akan menyerbu Cakrabuana juga, tepat di malam keduabelas bulan keenam. Hik-hik-hik! Kalau orang Cirebon sepulang membunuh Ki Guru di tengah jalan berpapasan dengan perwira kerajaan, maka akan terjadi bentrok dan duaduanya akan saling bunuh! Hik-hik-hik seru sekali di puncak Cakrabuana lima bulan lalu. Di sana ada sekelompok anjing berebut tulang! Hik-hik-hik!"
Dukk! Plak! Dukk! Plakk!!! Ginggi melakukan serangan mendadak kepada Ki Rangga Wisesa.
Mendengar berita ini, hati Ginggi amat marah dan khawatir. Ki Darma dalam bahaya. Dan yang membuat nyawa Ki Darma terancam adalah karena penghianatan Ki Rangga Wisesa, murid gila yang tak tahu diuntung ini.
Mendapat serangan mendadak yang sedikit tak terduga ini membuat tubuh Ki Rangga Wisesa terlempar membentur dinding gua. Sebelum Ki Rangga Wisesa bangun berdiri, Ginggi melakukan tendangan telak ke arah dagu orang itu hingga kembali terpental. Ginggi hendak memburu lagi namun Ki Rangga Guna meloncat menghalangi. Ginggi akan tetap menyerang. Ki Rangga Guna segera menangkap pergelangan tangan Ginggi. Cekalannya kuat sekali membuat Ginggi menyeringai kesakitan. Ngilu dan kiut-miut rasanya, seperti tulang tangannya akan remuk saja. Tubuh pemuda itu mendadak lemah tak bertenaga. Dia hanya berusaha menahaan kakinya agar tak jatuh dengan lutut tertekuk.
"Kau lihatlah anak muda yang kau sebut tikus kecil ini, Ki Adi. Kau sebut dia bukan murid Ki Guru, tapi kasih sayang terhadap Ki Guru demikian tingginya. Amat bertolak belakang denganmu yang masih mau menyebut beliau sebagai guru kita," kata Ki Rangga Guna masih memegang pergelangan tangan Ginggi.
Ki Rangga Wisesa terengah-engah mendapat pukulan bertubi-tubi dari Ginggi. Namun tetap saja tak ada luka sedikit pun. Dan demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna barusan, Ki Rangga Wisesa seperti marah. Matanya kembali liar. Sambil meringkik seperti kuda, dia bangkit serentak dan menghambur menyerang Ginggi. Pemuda itu hanya mengatupkan kedua belah matanya. Dia tak memiliki daya apa pun untuk bergerak, apa lagi melompat menghindari serangan. Namun sebelum Ginggi merasakan pukulan lawan, ada suara benturan keras yang menimbulkan hawa yang sangat panas.
Ginggi membuka matanya. Nampak Ki Rangga Wisesa sudah jatuh terduduk di sudut gua. Sebagian tubuhnya tertutup timbunan bebatuan yang rupanya runtuh dari langit-langit gua. Ginggi bisa menduga, serangan Ki Rangga Wisesa yang sedianya mengarah kepadanya segera ditangkis Ki Rangga Guna.
Ki Rangga Wisesa menggoyang tubuhnya, reruntuhan batu terlontar kesana-kemari. Dia segera bangun tapi dengan agak tertatih-tatih. Dia doyongkan tubuhnya ke depan. Dia tarik sepasang tangannya ke belakang. Lalu dengan kekuatan penuh dia dorong telapak tangan terbuka ke arah Ki Rangga Guna. Yang diserang segera memutar tangan kanannya sambil membuka jari-jarinya. Sambil tangan kiri tetap memegang pergelangan tangan Ginggi, dia mencoba menahan gempuran adik kembarnya.
Blarrr !!! Dua pasang tangan saling beradu dan menimbulkan getaran hebat. Kilat menyambar-nyambar dari kedua pertemuan tenaga itu, membuat langit-langit gua kembali runtuh.
Tubuh Ki Rangga Wisesa sendiri terlontar ke belakang dan untuk kesekian kalinya membentur dinding gua.
Ketika Ki Rangga Wisesa berdiri sempoyongan, kali ini ada darah meleleh dari mulut dan hidungnya. Menetes-netes turun ke baju kurung putihnya di bagian dada.
"Sadarlah Ki Adi! Kau harus bertobat untuk mencuci dosamu!" kata Ki Rangga Guna yang juga mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Aku tak mau bertobat. Aku hanya ingin mati saja! Aku ingin mati saja …" gumam Ki Rangga Wisesa. Dia menyeringai. Mungkin merasakan sakit, mungkin juga menahan kemarahan dan kekesalan.
Sambil tetap sempoyongan, Ki Rangga Wisesa terus mendekati dan berniat melakukan serangan. Sekali lagi dia menghantamkan sepasang tangannya. Udara panas memancar, ruangan gua seperti dipenuhi pijaran api. Ginggi menjerit tak kuat karena panasnya ruangan. Udara terasa sesak dan mata pun terasa pedih.
Ki Rangga Wisesa seperti putus asa serangannya selalu bisa ditahan. Akhirnya dia melolonglolong dan menjerit histeris. Sesekali ada terdengar juga ringkik kudanya. Namun kali ini bukan ringkik penuh ejekan, melainkan lebih kedengaran sebagai suara tangisan. Dan tangan Ki Rangga Wisesa akhirnya memukul kesana-kemari. Suaranya bersiutan. Ruangan gua bergetar hebat. Banyak bebatuan kembali runtuh. Beberapa batu menimpa tubuhnya. Namun dia seperti tak mengacuhkannya. Kedua tangannya terus saja melakukan pukulan jarak jauh yang melahirkan udara panas. Sekarang dari seluruh lubang-lubang tubuhnya mengeluarkan darah. Dari telinganya, hidungnya dan juga mulutnya. Ki Rangga Wisesa terus saja menggerak-gerakkan sepasang tangannya yng kini mengeluarkan bintik-bintik darah dari pori-pori kulitnya.
Langit-langit gua terus berguguran mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Rupanya Ki Rangga Guna sadar akan bahaya. Dia segera mengapit tubuh Ginggi. Dibawanya meloncat keluar gua.
Dan benar perkiraan Ki Rangga Guna. Begitu keluar dari mulut gua, terdengar gemuruh dahsyat. Rupanya semua dinding gua runtuh ke bawah, mengubur segala apa yang ada di dalamnya. Mulut gua itu sendiri akhirnya hilang dari pandangan, tertimbun oleh berbagai reruntuhan. Sudah tak ada ringkik suara kuda, kecuali runtuhan bebatuan kapur itu sendiri.
"Paman, di sana ada mayat gadis muda dan mayat seorang bayi," gumam Ginggi.
"Ya, dan jangan lupa, di sana pun ada tubuh adikku. Dia jahat, tapi tetap saja dia manusia. Apalagi setelah kini menjadi mayat. Tak ada bedanya dengan mayat orang baik. Sama-sama hanya berupa onggokan tulang terbungkus daging dan kulit …" gumam Ki Rangga Guna sendu. Ginggi menunduk lesu, duduk di tanah kapur tanpa daya.
Sampai ada segaris cahaya putih di ufuk timur, mereka berdua masih berada di tepi bongkahan-bongkahan reruntuhan. Sunyi, sepi dan dingin oleh udara subuh.
Ginggi masih terduduk lesu dan Ki Rangga Guna berdiri termangu sambil menatap bongkahan dan reruntuhan batu kapur.
Begitu hingga matahari menampakkan wajahnya dari bukit sana.
Tapi, tewaskah Ki Rangga Wisesa? Tak pernah ada yang membuktikannya. Tidak pula Ginggi dan Ki Rangga Guna. Mereka hanya menduga-duga saja. Bahwa melihat gua runtuh begitu dahsyat, nasib Ki Rangga Wisesa mungkin tidak akan tertolong.
Kisah dari Ki Rangga Guna
"Malam keduabelas perjalanan bulan keenam …" gumam Ginggi kembali mengingat-ingat ucapan Ki Rangga Wisesa. Dia tengah melangkah lesu menuruni bukit kapur dan di belakangnya Ki Rangga Guna mengikuti.
Ginggi menghentikan langkahnya karena dia terus mengingat-ingat ucapan Ki Rangga Wisesa.
"Ya, aku ingat sekarang …" gumamnya. "Aku turun dari puncak Cakrabuana hari kesebelas dari peredaran bulan keenam. Artinya, ketika aku tengah berada di Desa Caelah penyerbuan ke puncak Cakrabuana itu terjadi …" kata Ginggi seperti bicara seorang sendiri.
"Begitu, bila ucapan adikku bisa dipercaya," kata Ki Rangga Guna. "Aku yakin, peristiwa itu benar …" "Dari mana kau tahu?"
"Aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Dari mana Ki Darma tahu akan ada peristiwa di puncak Cakrabuana? Secara tiba-tiba, hari itu dia memanggilku. Aku disuruhnya turun gunung hari itu juga. Aku dipaksa berlatih ilmu berkelahi hampir sepuluh tahun lebih. Dan memang kerapkali Ki Darma mengatakan, aku disuruh latihan keras karena kelak akan dibebani tugas membela rakyat Pajajaran. Aku sadar akan hal itu. Tapi yang membuat heran, mengapa begitu secara tiba-tiba seperti itu? Waktu itu aku minta diulur sampai esok harinya, sebab aku tak mau berpisah secara tiba-tiba dengannya. Tapi tetap Ki Darma bersikeras, aku harus pergi hari itu juga. Aku diusir pergi karena barangkali dia tahu, esok harinya akan terjadi sesuatu. Tapi, mengapa dia tahu suatu peristiwa akan terjadi?" kata Ginggi dengan wajah bingung dan sedih.
Langkah Ginggi berhenti sejenak untuk kembali mengingat suatu.
"Hari itu aku melihat serombongan orang tergopoh-gopoh menuju puncak. Tidakkah mereka adaalah anggota pasukan dari Pakuan seperti yang disebutkan Ki Rangga Wisesa?" gumam Ginggi mengerutkan dahi.
Ki Rangga Guna terdengar menghela nafas dalam-dalam. Sesudah itu dia duduk di sebuah tonjolan batu.
"Kalau begitu, aku pun percaya. Peristiwa penyerbuan itu benar terjadi," kata Ki Rangga Guna mengangguk-angguk.
Ginggi menoleh kepada Ki Rangga Guna dengan kekhawatiran yang semakin memuncak.
"Ki Guru itu orang pandai. Nalurinya kuat untuk meraba kejadian yang bakal terjadi. Dia sudah bekerja di Pakuan sejak kepemimpinan Sang Prabu Surawisesa, bahkan ketika Kangjeng Prabu Sri Baduga. Dia salah satu perwira tangguh dari seribu orang perwira pengawal raja. Beberapa pertempuran suka dimenangkan Pakuan, atau ibukota bisa lolos dari serbuan musuh, karena sebelumnya naluri Ki Guru telah sanggup merasakan adanya marabahaya. Tapi karena kepandaian ini pula Ki Guru menghadapi bencana …" kata Ki Rangga Guna, menghela nafas beberapa kali.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 09 --oo0oo-- Jilid 11 |