Senja Jatuh Di Pajajaran Jilid-09
tanztj
February 03, 2017
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10 |
TRILOGI PAJAJARAN
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 09
Senja Jatuh Di Pajajaran
Karya: Aan Merdeka Permana
JILID 09
Betulkah orang itu pemerkosa?" gumamnya. Kalau benar begitu, maka sungguh berani dia, berkeliaran menampakkan diri di muka umum padahal kelakuan jahtnya sudah diketahui. Mengapa dia berani mati seperti itu? Apakah karena memiliki kepandaian tinggi seperti apa yang ditampilkannya tadi?
Karena yang dicari tak juga ketemu, akhirnya pemuda itu berniat kembali ke kedai. Namun sebelum melangkah pergi, ada terbesit pikiran untuk singgah dulu di rumah hiburan yang ada di wilayah tersebut.
Tapi rumah hiburan itu nampak sepi pengunjung. Padahal bangku dan meja telah terpasang di beberapa sudut. Dan di atas meja kayu kasar itu ditaruh beberapa kendi berisi tuak.
Tak ada wanita di sana. Padahal menurut banyak orang, yang namanya tempat hiburan selalu saja berderet wanita cantik dan genit-genit.
Ginggi disambut seorang laki-laki berpakaian kampret dengan sarung terselendang di bahu. Ada senjata tajam terselip di sela-sela ikat pinggang kulit dan sepertinya siap kapan saja dicabut dari sarungnya.
"Maaf, malam ini tak ada hiburan di sini. Anak-anak kami masih takut akan peristiwa tiga malam lalu," katanya dingin.
"Saya tidak sedang cari hiburan …" jawab Ginggi.
"Apalagi sedang tidak cari hiburan, maka sebaiknya kau cepat pergi!" katanya lagi diselingi suara batuk seperti terserang gangguan angin malam.
"Saya akan menanyai perempuan yang anak gadisnya bunuh diri itu," Ginggi menerangkan. "Engkau petugas jagabaya, anak muda?"
Ginggi menggelengkan kepala. "Kalau begitu pulanglah!"
"Baru saja aku memergoki orang yangdi curigai. Tubuhnya sedikit jangkung, wajahnya bulat telur, hidungnya melengkung seperti burung beo …"
"Ya … ya … Aku tahu. Tapi dimana dia? Jauhkah dari sini?" si baju kampret dengan hulu senjata tajam di pinggang ini mendadak gemetar tubuhnya. Kalau tak ada bangku di belakangnya mungkin dia jauh terkulai. Matanya melotot ke pekarangan.
"Kau ada apakah Paman?" tanya Ginggi heran. Dia ikut menengok ke luar beranda di mana pekarangan amat gelap gulita. Tapi di pekarangan tak dilihat seorang pun.
"Di mana bedebah itu?"tanya orang itu gemetar.
"Dia melarikan diri entah ke mana sebab dikejar-kejar banyak orang." "Syukurlah! Mudah-mudahan terus dikejar ke mana pun dia pergi. Semakin jauh dia pergi, semakin bagus pula," kata pemilik warung hiburan sedikit lega.
"Kau amat takutkah kepadanya?"
"Ah, masih terasa dinginnya mata golok menyentuh kulit leherku. Masih terasa ngilunya pergelangan tanganku karena jari-jarinya yang sekuat capit baja menjepit keras sampai kulit tanganku lecet-lecet. Dia mungkin orang gila. Tawanya membuat merinding bulu kuduk dan bentakannya menggetarkan ulu hati. Kalau aku panjang umur tak ku inginkan sepasang mataku melihat orang itu lagi seumur hidupku," tutur pemilik warung hiburan dengan nada masih diliputi kekhawatiran.
"Betulkah dia mengganggu keamanan di sini?"
"Dengan tak sopan dan kurang ajar dia mengganggu semua perempuan asuhanku. Dia main colek kesana-kemari dengan seenaknya. Dengan kasar dan penuh paksaan, dia pondong perempuan paling molek dan mencoba menggoda dengan binal. Tak ada perempuan yang mau padanya. Kemudian satu-persatu anak-anak asuhanku dia tempeleng hingga terlontar kesana-kemari. Mereka melarikan diri. Akhirnya orang gila itu sambil hahah-heheh menyeretku dan mengancamku," pemilik warung menutup mukanya dengan kedua belah tangannya.
"Lantas hubungannya dengan kematian anak gadis itu bagaimana?"
"Entahlah. Sesudah dia mengancamku, sesudah dilihatnya semua perempuan pada ngumpet, dia seperti mencari-cari sesuatu. Dan di sebuah ruangan kamar belakang, aku dengar suara ribut-ribut. Pintu ditutup dari dalam. Hiruk-pikuk sekali kedengarannya. Lantas ada suara perempuan menjerit tertahan. Aku tak berani memeriksa, hanya ngumpet saja di bawah meja…"
Ginggi menatap sebal kepada lelaki yang ada di hadapannya ini.
"Sesudah suasana mulai sepi, aku periksa kamar belakang. Ya, anak gadis dari seorang perempuan penghibur kami mati bunuh diri. Dia gantung diri," kata lagi pemilik rumah hiburan ini.
"Pasti bunuh diri karena diganggu kehormatannya," desisnya lemah. "Kau yakin begitu?"
"Ya, dia jahat terhadap perempuan. Sementara di depan orang banyak saja berani berbuat tak senonoh, apalagi di kamar tertutup itu …"
"Lantas kau simpan di mana senjata tajammu itu?" tanya Ginggi melirik ke arah hulu senjata yang tersembul di pinggang pemilik rumah hiburan itu. Orang itu pun sama melihat senjatanya. Lalu dipegangnya erat.
"Senjataku tak pernah jauh dari pinggangku," gumamnya. "Dan tak pernah kau cabut, termasuk ketika anak asuhanmu dalam bahaya!" desis Ginggi sebal.
Lelaki berikat pinggang kulit tebal ini mengeluh pendek. Lalu dengan lesu dicabutnya senjata tajamnya dan diletakkan di atas meja.
"Bagaimana aku bisa melawan. Orang itu nampaknya punya kepandaian tinggi. Tenaganya pun amat besar. Jangankan menolong anak asuhku, sedangkan untuk menyelamatkan diri sendiri saja, bila tak pandai-pandai merengek minta dikasihani, aku pasti mampus," katanya.
Ginggi menghela nafas panjang. Kejahatan rupanya sedang terjadi di mana-mana, dan banyak orang yang tak mampu mencegahnya.
"Mungkin kau tahu, siapa nama penjahat itu!" kata Ginggi dengan nada seolah tak memerlukan jawab. Dan memang benar, orang itu tak menjawabnya. Ginggi berbalik dan berniat meninggalkan rumah hiburan yang kini sepi itu.
"Anak muda …" lanjutnya dengan nada ragu-ragu.
"Engkau tahu tetapi tak berani kau katakan kepada siapa pun, termasuk kepada para jagabaya," kata Ginggi pasti.
"Aku diancamnya. Tapi itulah anehnya. Dengan sombongnya orang itu memperkenalkan diri. Tetapi dia mengancamku, bila berani mengabarkan namanya kepada orang lain, aku akan digorok," kata lelaki pengecut ini. "Aneh kan? Kalau dia penakut, mengapa membuka kartu. Tapi kalau dia pemberani, mengapa namanya takut diketahui umum?" lanjut orang itu. Ginggi pun punya pikiran sama. Mengapa orang itu bertindak aneh?
"Kau katakan orang itu punya kesaktian?" tanya Ginggi. "Ya!"
"Coba bandingkan dengan ini," kata Ginggi mencabut senjata tajam milik orang itu. Senjatanya berupa pisau besar. Satu sisinya amat tipis dan mungkin amat tajam. Dengan telapak tangannya, Ginggi menekan bagian ramping dari pisau itu. Ditekannya keras-keras. Dan si pemilik rumah hiburan ini membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar. Kalau sisi ramping pisau itu ditekan keras ke telapak tangan, mestinya akan melesak dan melukai kulit serta daging si pemuda itu. Tapi ini aneh, pisau itu sepertinya hanya selembar daun nipah.
Ketika ditekan, sisi pipihnya melipat, melengkung dan penyok-penyok, sedangkan telapak tangan itu sendiri tidak terluka barang segores pun.
"Engkau hebat anak muda. Kalau penjahat tengik itu kau hadapi, pasti dia tak akan kuat melawannya," kata orang itu yakin sekali.
"Bagus kalau begitu. Nah, sekarang coba katakan, siapa begundal yang telah membuat onar di sini?"
"Dia mengaku bernama … Rangga Guna! Ya, Rangga Guna!" "Apa?" "Rangga Guna, anak muda!" kata pemilik rumah hiburan mengulang apa yang disebutnya barusan.
Tercekat hati pemuda itu mendengarnya. Betulkah perkataan orang ini? Rangga Guna adalah salah seorang murid dari Ki Darma yang harus segera ditemuinya. Tapi mengapa murid Ki Darma melakukan kejahatan hina seperti ini?
"Cepat, kau bantu kami. Tangkaplah penjahat itu...... Bunuhlah untuk kami!" kata orang itu penuh harap dan membuat goncangan di hati pemuda itu.
Dengan pikiran tak karuan, Ginggi membalikkan badannya dan akan berlalu dari tempat itu.
"Jangan kau katakan kehadiranku di sini. Awas, kalau kau bilang barusan aku membengkokkan senjatamu kepada siapa saja, maka bukan pisau itu yang akan ku bengkokkan melainkan lehermu itulah!" pemuda itu menakut-nakuti membuat si pemilik rumah hiburan meringis memegangi lehernya.
Ginggi meloncat ke pekarangan dan menghilang di kegelapan. Gadis Pemilik Kedai
Esok harinya, Ginggi bangun agak siang. Itu pun sambil mata pedih karena kurang tidur.
Kejadian tadi malam membuat hatinya gundah-gulana. Mula-mula di kampung itu ada berita perihal dua wanita bunuh diri dan diduga korban perkosaan. Kemudian hadir seorang lelaki agak jangkung, muka bulat dan hidung melengkung serta bermata sipit. Salah seorang penduduk menuduhnya sebagai pelaku perkosaan. Lelaki sipit itu dikepung dan dikeroyok. Anehnya, kendati nampak memiliki ilmu kepandaian, tapi orang asing itu tak mau melawan apalagi melukai. Ini amat bertolak belakang dengan penjelasan pemilik rumah hiburan. Walau pun ciri-ciri lelaki jahat itu sama seperti apa yang dilihat Ginggi, tapi penjahat yang digambarkan pemilik rumah hiburan mengatakan bahwa pemerkosa bernama Rangga Guna.
Betulkah dia?
Kurang tidur, pikiran ruwet, membuat pemuda itu tak bergairah melakukan apa pun. Pakaian kampretnya yang terbuat dari kain halus mengkilat warna biru muda nampak kusut masai.
Ikat kepalanya berjuntai di bahunya. Dan Ginggi hanya duduk saja menyandar di dinding kayu.
Pemilik warung di mana rumahnya dia tumpangi menginap datang menghampiri dan mengatakan makanan sudah siap bila Ginggi ingin sarapan.
"Aku tak biasa makan pagi-pagi, Pak …" gumam pemuda itu sambil duduk memeluk lutut.
"Kalau begitu, barangkali kau perlu minum kopi jagung. Biar si Asih membuatnya," kata pemilik warung lagi tanpa ditolak atau diiyakan oleh Ginggi.
Pemilik warung berteriak menyuruh wanita bernama Asih membuat kopi panas harus diberikan kepada Ginggi. Seorang gadis bertubuh semampai datang membawa baki berisi cangkir tanah liat. Ginggi menatapnya. Ternyata yang namanya Asih adalah gadis cantik anak pemilik warung itu. Namun pemuda itu hanya menatap selintas saja. Sesudah itu dia pura-pura tak melihat gadis itu.
Gadis berparas cantik ini ternyata sombong sekali. Biarlah, aku tak akan menatapnya, apalagi menyapanya. Biar dia merasakan bahwa wajah cantiknya itu tak berarti apa-apa buatku., kata hati Ginggi sambil berpangku tangan mulut cemberut dan mata mendelik ke arah lain.
Entah dapat dirasakan entah tidak sikap Ginggi ini. Yang jelas, gadis itu pun bertindak acuh tak acuh saja. Tidak menatap pemuda itu dan apalagi menyapanya. Sialan, kata Ginggi masih dalam hatinya.
Ginggi agak sedikit kecele karena upayanya untuk membuat gadis itu tersinggung oleh sikapnya ternyata tak kesampaian. Gadis itu seusai meletakkan cangkir berisi air kopi dengan kepulan asapnya, berlalu begitu saja.
Sialan, omel pemuda itu tetap dalam hati.
Ginggi akan pergi mandi. Tapi untuk menuju pancuran mesti lewat dapur. Di ruangan itu Ginggi berpapasan dengan gadis bernama Asih itu. Di sini akan kubalas dia, pikir Ginggi. Yang dimaksud akan dibalas seperti apa kata hatinya hanyalah akan memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap gadis itu. Pemuda itu ingin memperlihatkan bahwa dia tak memerlukan gadis itu, apalagi berusaha untuk menggodanya.
Ginggi memang tersinggung hatinya. Hanya karena di kampung itu terjadi penganiayaan berahi terhadap kaum wanita, maka gadis itu sepertinya menyamaratakan semua lelaki. Dia seperti membenci aku karena disangkanya aku pun tukang ganggu wanita, pikir pemuda itu.
Meraka berpapasan. Gingi acuh tak acuh. Matanya menatap ke mana saja, yang penting tidak menjilat wajah molek tapi angkuh itu. Dan berhasil. Rupanya gadis itu merasakan sikap Ginggi walau sedikit. Ada kerlingan mata walau selintas dan alis gadis itu berkerut.
Nah, silahkan kau tersinggung gadis sombong, kata Ginggi.
Ginggi tahu, gadis itu baru pulang dari pancuran sebab sebelum berpapasan di dapur, gadis itu ada terlihat menyimpan air dilodong (buluh bambu tempat membawa air dari pancuran) di sudut. Dan ketika pemuda itu sudah tiba di pancuran serta sudah mulai menanggalkan semua bajunya, semakin yakin bahwa benar gadis itu baru keluar dari pancuran.
Tapi ketika Ginggi sudah menanggalkan pakaian, dia amat terkejut, sebab di pancuran ada setumpuk pakaian. Pemuda itu segera memalingkan muka, sebab tatapannya mengarah kepada benda-benda milik wanita yang sebetulnya tak pantas dia tatap. Ginggi akan berdiri menjauh. Namun alangkah terkejutnya dia ketika dari arah beberapa langkah dari tempat di mana dia jongkok, terdengar suara jeritan kecil ditahan. Ginggi tak jadi berdiri bahkan jongkoknya mepet ke pinggir rimbunan semak manakala tahu gadis sombong itulah yang mengeluarkan jerit tertahan.
Mau apa gadis angkuh itu mendekati pancuran? Ada perlukah dengannya? Wah, masa iya. Gadis itu seperti tak suka padanya, masa dengan tiba-tiba saja mengejarnya sampai ke pancuran sini? Tapi belakangan pemuda itu bisa menduga, mengapa gadis itu seperti tergopoh-gopoh menuju pancuran kembali. Pasti ada yang tertinggal. Pasti dia terkejut dan pasti dia malu, sebab barang yang tertinggal adalah sesuatu yang seharusnya mesti disembunyikan dari pandangan kaum lelaki.
Menduga ke arah ini, Ginggi tersenyum kecil dan kepalanya mengangguk-angguk. Rasakan kali ini, kau pasti tersiksa oleh rasa malu, hai gadis angkuh, kata pemuda itu dalam hatinya.
Ginggi mencoba mengintip dari balik rimbunan pohon. Walau terhalang oleh semak dan hanya melihat wajah gadis itu sepotong-sepotong, tapi pemuda itu mendapatkan bahwa ada rasa malu dan khawatir membayang di wajah gadis itu. Hahaha, pasti kau malu dan khawatir benda-benda milikmu aku tatap, kata Ginggi dalam hatinya sambil mulut senyum dikulum.
Gadis itu nampak melangkah setindak dengan ragu-ragu. Namun sesudah itu dia merandeg diam. Matanya menatap ke arah pancuran, berkerut dan khawatir. Melangkah lagi setindak. Namun ketika ada gerakan semak bergoyang, gadis iti mundur beberapa tindak dan memalingkan wajah.
Pasti dia ingin ke sini atau dia pasti ingin minta tolong. Ha, beranikah dia? Ginggi mendongakkan kepalanya untuk melihat gadis itu lebih jelas. Secara kebetulan gadis itu pun mendongakkan kepala untuk melihat ke arah pancuran. Serentak mata bertemu mata dan keduanya berteriak kaget
"Mengapa kau mengintipku?" teriak gadis itu setengah menjerit. Ginggi tertawa kecil mendengar umpatan ini.
"Hai, mengapa kau tertawa? Dasar lelaki mata keranjang!" umpat gadis itu. Dan kembali pemuda itu tertawa. Sekarang tawanya kian keras.
"Kau kurang ajar padaku, ya?" tanya gadis itu, bicara sambil memalingkan muka.
"Kau yang kurang ajar! Kau yang mengintip. Kau yang marah-marah! Dasar gadis aneh!" kata Ginggi mendongak dan kakinya berjingkat sedikit.
"Kau laki-laki kurang ajar!" teriak gadis itu.
"Lho, siapa yang mengintip, kau atau aku? Siapa yang sedang mandi? Kau atau aku? Ayo kau menjauh dari sini. Kalau tak mau pergi , aku akan teriak minta tolong. Biar kau dikepung semua penduduk, dipukuli sampai babak belur sebab mengganggu orang mandi!" teriak Ginggi. Terdengar suara ditahan sebab celoteh pemuda itu dianggapnya lucu. Tapi tawa itu hanya sebentar saja, sebab secara tiba-tiba suara gadis itu terdengar ketus.
"Enak saja bicara! Maumu ya, diganggu dan digoda perempuan! Hai, lelaki licik, lelaki bawel dan sombong serta tolol! Dengarkan, tak ada dalam sejarah atau riwayat mana pun bahwa perempuan menggoda dan mengganggu kehormatan lelaki! Dasar lelaki dungu!" umpat lagi gadis itu.
Ginggi masih tertawa-tawa. Sehari semalam dia kenal gadis itu, tapi baru kali ini terdengar suaranya. Tapi begitu keluar suaranya, semua perkataan menghambur mencercanya. "Betul! Dan aku juga baru tahu sekarang, bahwa sejarah perempuan mendekati lelaki mandi dimulai di kampung ini dan pertama kali dilakukan olehmu!" Ginggi memanas-manasi agar gadis itu semakin jengkel padanya.
"Sialan kau lelaki tengik!" jerit gadis itu kesal.
"Kau yang tengik. Kalau tidak, untuk apa berindap-indap mendekati lelaki mandi?" "Aku tidak berindap-indap. Aku melangkah biasa saja!"
"Nah, apalagi! Biar sekalian aku laporkan kepada jagabaya!" "Kurang ajar kau!"
"Hahaha! Hai, gadis pikun, mau apa kau ke sini?"
"Sialan aku tidak pikun. Aku masih muda. Usiaku baru tujuhbelas tahu!" "Hahaha! Gadis malang, baru usia semuda itu sudah pikun!"
"Pikun kentutmu!"
"Kalau tak pikun, tak nanti barang-barangmu kau tinggal begitu saja di sini!" teriak Ginggi.
"Hai, kau lihat barang-barangku, kau pegang-pegang kepunyaanku?" gadis itu berteriak setengah menjerit. Tawa Ginggi semakin menjadi-jadi.
Dari arah rumah ada lelaki tergopoh-gopoh. Ternyata ayah gadis itu yang datang bersama gadis bau kencur yang pasti adik dari gadis yang marah-marah di tepi pancuran itu.
"Asih, ada apa? Siapa yang kau katakan pegang-pegang barang kepunyaanmu itu?" tanya pemilik warung kaget. Ginggi kembali tertawa terkekeh-kekeh.
"Anak muda, kau ganggu anakku?" tanya pemilik warung tak senang.
"Siapa mengganggu siapa? Kau lihat sendiri, anak gadismu yang datang menyatroni lelaki mandi!" kata Ginggi enteng saja.
"Asih, untuk apa mengintip orang mandi?" giliran gadis itu diperiksa ayahnya.
"Saya tak mendekati orang mandi, tapi mau mengambil barang-barangku. Ternyata di pancuran ada pemuda cerewet yang bawel dan tengik serta tukang fitnah itu, ayah!" kata Asih nyerocos. Kalau ayahnya tak menyetopnya, rupanya masih ada segudang cercaan yang akan ditimpukkan ke wajah pemuda itu.
"Aku tanya, mengapa kau mendekati pancuran padahal di sana ada orang mandi?" "Sudah saya jawab tadi, ada barang-barang saya tertinggal," jawab gadis itu cemberut. "Tak bisakah kau ambil nanti setelah dia selesai maandi?" "Tidak bisa ayah!"
"Mengapa?"
"Takut barang-barang itu dilihat pemuda culas itu. Dan nampaknya lelaki bermata bundar terselubung keranjang itu benar-benar mata keranjang. Dia pasti lihat-lihat barangku dan barangkali juga pegang-pegang! Ih, menjijikkan kelakuan si pongah itu!" Asih membantingbantingkan kakinya ke tanah nampaknya gemas sekali.
Tapi melihat kegemasan Asih, ayahnya tersenyum simpul. Adiknya bahkan tak tertahankan lagi untuk tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya. Hanya ketika sang kakak mendelik saja gadis cilik itu mendadak menghentikan tawanya dan bersembunyi di balik badan ayahnya.
"Aku kira benar-benar ada bahaya mengancam keperwananmu. Dasar anak bawel …" kata ayahnya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Anak muda, tolong sodorkan cucian si Asih itu!" kata ayahnya lagi menyuruh Ginggi. "Hai jangan! Biarkan aku yang bawa sendiri!" teriak Asih.
"Ayo, ambillah ke sini!" teriak Ginggi sambil membiarkan ubun-ubun kepalanya diguyur air pancuran.
"Sialan! Dasar lelaki tak bermalu!" cerca Asih lagi. "Cepat kau selesaikan mandimu. Sesudah itu kau cepat-cepat pula pergi dari tempat itu. Dan awas, jangan sekali-sekali berani menatap pakaianku!" ancam gadis itu, matanya berbinar.
Kini yang menunggu Ginggi mandi hanya gadis itu saja sendirian. Pemuda itu sengaja memperlambatnya. Sambil bersiul-siul dia hanya mempermainkan air seperti anak kecil dan membuat gadis itu semakin kesal.
Tapi sesudah puas mempermainkannya, Ginggi segera berpakaian dan keluar dari tempat mandi yang ditutup gedeg bambu itu. Kembali berpapasan dengan gadis itu sambil bersiulsiul. Asih hanya mendengus kesal.
"Pertengkaran" dengan gadis itu menimbulkan kegembiraan dan sedikit mengurangi kekesalan hatinya bila mengingat peristiwa semalam. Namun ketika teringat lagi akan hal itu, kembali alis pemuda itu berkerut. Ini sebuah misteri yang harus dipecahkan.
Sejak dari Desa Cae dia sudah diperkenalkan kepada bentuk-bentuk kejahatan berahi. Pertama-tama dia menyaksikan percobaan perkosaan oleh orang misterius. Bila tak sempat dia gagalkan, maka Nyi Santimi akan menjadi korban perkosaan. Siapa pelakunya? Di dalam gua ketika itu suasana cukup gelap, kecuali cahaya remang-remang dari cahaya bulan di luar gua. Yang jelas, pelaku pemerkosa mempunyai kepandaian lumayan.
Ketika Ginggi tiba di Desa Wado, pemuda itu pun mendapatkan peristiwa sama. Ada gadis bunuh diri di desa itu. Penduduk hanya menduga, gadis itu bunuh diri karena bekal untuk perkawinannya berkurang banyak karena dikuras paksa untuk kepentingan seba. Padahal penyelidikan pemuda itu, sebelum mati, kesucian gadis itu sudah ternoda. Ginggi menduga, gadis itu bunuh diri karena rasa malu, atau juga dibunuh oleh pelaku pemerkosa untuk menutupi jejaknya.
Sekarang di wilayah Kandagalante Tanjungpura pemuda itu mendapatkan dua peristiwa perkosaan dalam selang waktu satu bulan. Siapa pelaku perkosaan sebulan lalu, Ginggi tak bisa menduga. Tapi, pemerkosa tiga hari lalu sudah ada sedikit petunjuk. Setidaknya ada orang yang dicurigai. Ki Rangga Gunakah?
Kalau benar begitu, dia amat kecewa. Sudah dua orang murid Ki Darma dia temukan dan keduanya mengecewakaan dirinya. Betapa tidak. Ki Banaspati sudah berhasil dia temukan. Dia memang menjadi orang terpandai, disegani banyak orang dan nampaknya kaya raya. Dia pun mengaku berjuang membela rakyat seperti apa yang dibebankan gurunya, Ki Darma. Tapi apa pun kilah Ki Banaspati, Ginggi menilai lain. Ki Banaspati terlalu jauh dalam mengejar cita-cita membela rakyat. Dia ingin menggantikan kedudukan raja. Ki Banaspati sepertinya tengah bermain api. Di Pakuan dia bertindak sebagai abdi negara, bertugas menjadi aparatmuhara (petugas penarik pajak), sedangkan jauh dari pusat pemerintahan dia menghimpun kekuatan untuk meruntuhkan raja kelak. Di Sagaraherang, dia bersekutu dengan Kandagalante Sunda Sembawa dan seolah-olah mendukung cita-cita keturunan Raja Pajajaran ini untuk merebut tahta dari saudaranya. Tapi di sini kembali Ki Banaspati bermain api, sebab dukungan terhadap Sunda Sembawa menurut perkiraan Ginggi hanya sebagai taktik belaka.
Kandagaalante Sunda Sembawa yang memiliki kekuatan tentara sebetulnya hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan ambisi Ki Banaspati belaka.
Ya, Ginggi amat menduga demikian, sebab Ki Sunda Sembawa mengaku kepada pemuda itu bahwa semangat dan ambisinya untuk merebut haknya sebagai raja terpompa oleh dukungan Ki Banaspati.
"Ki Banaspati orang hebat. Dia berhasil membangunkan semangatku untuk menghimpun kekuatan dalam upaya merebut hakku sebagai penguasa Pakuan yang sah!" kata Sunda Sembawa ketika itu.
Ucapan Sunda Sembawa yang memuji-muji Ki Banaspati ini hanya menjelaskan bahwa pejabat Sagaraherang ini timbul ambisinya hanya karena dipanas-panasi dan dikipasi oleh Ki Banaspati. Berlindung kepada cita-cita Sunda Sembawa, Ki Banaspati diperkirakan akan terus bergerak dan berupaya melaksanakan cita-citanya sendiri. Menjadi raja!
Tapi, betulkah cita-cita menjadi raja merupakan bagian penting dari misi yang dibebankan Ki Darma? Ki Darma hanya mengatakan, semua muridnya dilepas untuk berjuang menjaga nama baik Pajajaran dan bekerja untuk kepentingan rakyat semata. Merangkul cita-cita membela rakyat, apakah juga sambil harus menguasai segalanya? Menjadi orang pertama di negri ini? Ginggi bingung memikirkannya. Apakah betul Ki Banaspati bekerja untuk kepentingan rakyat atau bukan, yang jelas Ginggi tidak menyenangi gaya siasatnya. Cara kerjanya kasar dan penuh tipu muslihat. Untuk menghimpun kekayaan yang katanya akan dipergunakan sebagai dana perjuangan, Ki Banaspati membentuk pasukan khusus dan tak segan-segan melakukan perampokan, baik kepada kaum pedagang, para bangsawan bahkan kepada para pejabat yang katanya korup. Ginggi menduga, bisa saja rombongan seba yang dipimpin Suji Angkara dicegat "perampok" di hutan jati bukan sekadar kekeliruan belaka tapi sudah merupakan "santapan" rutin bagi perampok bermisi ini. Seperti apa kata beberapa pejabat desa yang pernah Ginggi ajak bicara. Sekarang ketika suasana sedang kacau, banyak kelompok memanfaatkan situasi. Ada kelompok pura-pura menagih seba, padahal sesudah hasilnya terkumpul, entah dibawa ke mana, yang jelas bukan untuk kepentingan Pakuan. Atau bahkan juga terjadi pemberontakan kecil di mana-mana. Berdalih membela kepentingan rakyat dari tindakan raja, namun sambil mengutip dana dari rakyat. Akhirnya takyat yang tersedot kesana-kemari. Sementara harkat dan kesejahteraannya belum pulih, kesengsaraannya sendiri terus bertambah karena punya kewajiban menyumbang perjuangan.
Di wilayah Kandagalante Tanjungpura ini, Ginggi hampir bertemu murid kedua Ki Darma. Kalau benar orang yang dikeroyok di depan kedai itu Ki Rangga Guna, pemuda itu setindak telah berhasil melaksanakaan perintah Ki Darma. Tapi akan benar-benar sempurnakah apa yang menjadi kehendak penghuni puncak Cakrabuana itu? Ginggi disuruhnya meminta petunjuk terhadap orang itu dalam upaya menjalankan misinya. Petunjuk apa? Mencari tahu tata cara berbuat mesum?
Kalau benar Ki Rangga Guna dikejar-kejar karena gemar berlaku mesum, Ginggi betul-betul malu dan kecewa. Barangkali Ki Darma pun akan berperasaan yang sama.
Aku akan kejar Ki Rangga Guna. Dia harus bertanggung jawab atas tindak-tanduknya yang membuat cemar Ki Darma ini, pikir pemuda itu.
Ingat ini, Ginggi segera berkemas. Mengganti pakaiannya dengan yang baru dan mohon diri kepada pemilik kedai.
"Tapi anak muda, uang yang kau berikan tadi malam jumlahnya terlalu besar, sedangkan aku tak punya pengembalian atas kelebihannya," kata pemilik warung yang membantu mengikat tali buntalan pemuda itu.
"Tak mengapa Pak, aku tak begitu meributkan soal uang," kata Ginggi. Pemilik warung mengucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sekarang kau hendak kemana, anak muda?" tanyanya kemudian.
Ginggi termenung. Mau kemana setelah ini? Ki Banaspati memberinya tugas, yaitu membunuh Suji Angkara yang khabarnya berangkat ke Pakuan. Ginggi tak memperhatikan benar tugas gila ini. Tapi keinginan untuk melacak Suji Angkara memang ada dalam benaknya. Barangkali dia harus terus menuju Pakuan tapi sambil tetap berupaya mengemban misi Ki Darma, yaitu menghubungi orang-orang yang diharap bisa memberi bimbingan dalam mengemban misi membela rakyat Pajajaran.
"Tinggal dua orang yang harus kutemukan di mana mereka berada, yaitu Ki Rangga Wisesa dan Ki Bagus Seta," kata Ginggi di dalam hatinya.
Oh, sekarang banyak tugas yang harus dikerjakannya. Mencari kedua orang itu yang entah berada di mana serta berusaha mengejar Ki Rangga Guna untuk diminta pertanggunganjawabnya. Begitu banyaknya tugas yang harus diemban sebelum melaksanakan misi yang sebenarnya yaitu membela rakyat. "Aku akan melacak penjahat yang mengacau Kandagalante Tanjungpura ini. Bukankah engkau mengharapkan wilayahmu aman Pak Tua?" kata Ginggi, dianggukkan oleh pemilik warung itu.
"Terima kasih kau mau berjuang untuk kedamaian kami. Tapi hati-hati, penjahat itu bengis dan berangasan. Jangan hanya karena membela orang lain kau mengalami marabahaya," pesannya.
Ginggi tersenyum. Orang ini baik, mau memikirkan nasib orang lain.
"Aku pergi sekarang juga, Pak Tua. Oh, ya … sampaikan permohonan maafku kepada putrimu yang bernama …"
"Ah, si Asih anak cerewet. Akulah yang mesti minta maaf padamu," sergah pemilik warung tersipu-sipu. "Kalau engkau kembali dalam keadaan selamat, sebetulnya aku menginginkan kau tinggal di sini. Kalau kau mau tentunya …" orang tua itu menunduk penuh rahasia dan ucapannya seperti mengandung makna tertentu. Namun hal ini tak dirasakan pemuda itu.
"Aku juga senang dengan wilayah Kandagalante ini. Orang-orangnya bila berbicara tak punya tedeng aling-aling tapi penuh persaudaraan," kata Ginggi, teringat keakraban penduduk manakala dia disuguhi makanan, juga teringat cerewetnya gadis anak pemilik warung ini.
Surat Misterius
Karena hari sudah demikian siang, Ginggi terpaksa mohon diri dan dilepas oleh pemilik warung dengan perasaan suka-cita.
Untuk menahan panasnya matahari, Ginggi dibekali topi jenistoroktok , yaitu topi anyaman bambu dengan caping lebar dan bulat. Topi ini biasa digunakan pengembala itik dan aman melindungi seluruh kepala dari sergapan sinar matahari.
Ginggi senang menerimanya. Kendati topi jenis ini disediakan untuk pengembala itik, tapi nampaknya ini topi khusus dan dibuat dengan menonjolkan keindahan. Anyaman bambunya menggunakan dua warna, gading dan coklat, serta dianyam teratur sehingga menghasilkan paduan warna yang indah. Topi itu pun nampak halus mengkilap sebab dipoles dengan cairan tertentu yang membuat benda itu mengeluarkan warna khusus pula.
Ginggi berjalan sambil mencari alamat rumah Juragan Ilun Rosa yang katanya masih saudara dekat Kandagalante ini. Ginggi akan memenuhi janjinya kepada Ki Aliman, kepala jagabaya di sini, bahwa akan ikut membantu menyelidiki peristiwa aib yang terjadi di wilayah ini.
Seperti apa yang dikhabarkan kepala jagabaya, di Kandagalante Tanjungpura ini terjadi dua peristiwa yang melibatkan kematian dua orang gadis. Salah satu korban adalah putri Juragan Ilun Rosa itulah. Anak gadisnya dikhabarkan mati bunuh diri dengan jalan menusuk lehernya denganpatrem (tusuk konde). Mengenaskan, sebab tindakan bunuh diri diduga karena kehormatannya dirusak.
Tapi di kelokan jalan yang agak sunyi, pemuda itu terpaksa menghentikan langkahnya. Ada yang mencegatnya di tepi jalan berdebu itu. Gadis pemilik warung! Ginggi tertegun sejenak. Ada apa lagi dengan gadis bawel ini?
"Bukankah aku tak mengganggumu lagi? Mengapa kau tiba-tiba mencegatku?" tanya Ginggi berusahaa pura-pura ketus.
Namun pemuda itu kecele kalau mengharapkan ucapan ketusnya dibalas dengan keketusan yang sama. Gadis itu malah diam saja. Sebentar menatapnya dengan mata berbinar, sebentar kemudian menunduk dengan rona merah di pipinya. Ginggi jadi malu sendiri. Ternyata gadis itu datang bukan untuk bersilat lidah. Entah apa keinginan gadis cerewet ini.
Karena gadis itu tak menjawab pertanyaannya, Ginggi melangkah mendekati beberapa tindak. "Ada apa Asih? Asih bukan, namamu?" tanya Ginggi menjadi gagap.
Gadis itu mengangguk. Menatap lagi dengan berbinar, kemudian menunduk lagi dengan tetap masih meninggalkan rona merah di pipinya.
"Oh, ya … Kalau-kalau ayahmu tak menyampaikannya. Aku mengajukan permohonan maaf atas kejadian tadi pagi. Tak seyogianya aku mempermainkanmu sehingga membuatmu marah," kata Ginggi setulusnya.
Gadis itu hanya mengangguk dan menunduk. "Lalu, apalagi …?" tanya Ginggi gugup.
Pemuda itu baru tahu, bahwa sejak tadi di tangan gadis itu ada sebuah bungkusan dari daun jati. Sambil tetap menunduk dia menyerahkan bingkisan itu kepada Ginggi.
"Untuk bekal di jalan kalau-kalau kau lapar …" gumam gadis itu menunduk. Pemuda itu menerima pemberian ini sambil menatap wajah gadis itu.
"Kata ayah, bila kau kembali kelak, akan menetap di sini. Betulkah itu?" tanya gadis itu penuh harap.
Ginggi menatap tajam mata gadis itu. Berbinar, bening dan masih suci. Dan gadis ini aneh sekali. Pertama kali bertemu diawali dengan sikap angkuh dan seperti membenci lelaki.
Sekarang di saat akan berpisah memperlihatkan wajah ramah dan … dan penuh harap.
Berdesir darah pemuda itu. Entah benar entah salah. Tapi pemuda itu sudah punya pengalaman melihat perangai wanita. Kalau suaranya sudah mulai halus, nada bicaranya serius dan menatap dengan sorotan nanar, ini hanya membuktikan bahwa hati dan perasaan kewanitaannya ikut bicara. Benarkah ini?
Ginggi membayangkan pertengkaran dengan gadis itu tadi pagi di pancuran. Dan ini mengingatkannya kepada pertengkaran kecil di Desa Cae dengan Nyi Santimi, juga di pancuran. Dari pancuran juga ada pertemuan hati antara dia dan Nyi Santimi. Sekarang pancuran telah menggodanya pula. Oh, ya! Tidak! Hal itu jangan terulang lagi. Cinta itu menyesakkan. Bahkan hampir-hampir membuat penyiksaan. Paling tidak terhadap batin ini. Ginggi memalingkan muka ketika mata gadis itu berbinar menatapnya.
"Aku kelak akan pulang ke Cakrabuana. Sudah barang tentu akan lewat ke sini …" tutur Ginggi.
"Terima kasih. Aku akan setia menunggumu…" kata gadis itu pelan. Ginggi menerimanya dengan pandangan lesu.
"Ya, cepatlah pulang! Orangtuamu pasti khawatir bila kau berlama-lama di sini!" memerintahkan gadis itu segera berlalu.
Gadis itu sebelum pergi menatap tajam, seperti mengharapkan sesuatu dilakukan oleh pemuda itu. Tapi Ginggi tak melakukan apa-apa sehingga gadis itu nampak kecewa.
Dia berlalu pergi. Berlari kecil dan menghilang di kelokan jalan.
Barangkali benar gadis itu kecewa. Tapi Ginggi bernafas lega, bahaya sudah dilewatinya. Hhh, wanita! Begitulah bila kepercayaan terhadap lelaki mulai timbul, pikir Ginggi.
***
Ginggi berhasil menemukan rumah Juragan Ilun Rosa. Rumah panggung terbuat dari kayu jati pilihan cukup besar dan megah. Menandakan bahwa pemiliknya orang berada. Cukup wajar, sebab orang ini masih saudara Kandagalante Subangwara, penguasa wilayah Tanjungpura.
Namun ketika Ginggi uluk salam (berteriak mengucapkan salam tanda akan bertamu), rumah besar itu sunyi-sunyi saja. Beberapa kali pemuda itu berteriak mengucapkan salam. Dan dari samping rumah tergopoh-gopoh lelaki tua gendut dan bundar. Pakaiannya sederhana saja, jauh dibandingkan dengan pakaian Ginggi yang terbuat dari kain halus mengkilat.
"Siapakah Raden, dari mana asal dan mau apa datang kemari?" tanya si gendut ramah tapi mengandung curiga.
"Hanya mau bertemu dengan Juragan Ilun Rosa, adakah dia?" tanya Ginggi.
"Juragan sudah sebulan ini tinggal bersama saudaranya, yaitu Kandagalante Subangwara.," tutur lelaki itu.
"Sudah sebulan?"
"Ya, semenjak terjadi peristiwa memilukan di rumah ini," jawab lagi si gendut bundar memberikan penjelasan.
"Engkau di sini ketika peristiwa itu terjadi, Paman?" tanya Ginggi.
"Sayabadega (pembantu) di sini. Bahkan sayalah yang menemukan mayatNden Wulan terbujur dengan mandi darah di kamarnya," kata si gendut sambil mengusap bulu kuduknya. "Tapi Raden siapa, tanya-tanya peristiwa itu?" "Hanya ingin tahu saja, mengapa peristiwa menyedihkan itu sampai terjadi …" jawab Ginggi.
"Oh, ya … Saya dengar tadi malam ada penjahat dikepung. Seorang pemuda ikut membantu. Kata kepala jagabaya orang muda itu akan berusaha menangkap penjahat yang dicurigai berbuat onar di wilayah kami ini. Kalau begitu, saya yakin, engkaulah yang dimaksud kepala jagabaya. Benar, kan?"
Ginggi tersenyum dan menganguk.
"Terima kasih bila engkau sudah tahu siapa aku. Sekarang coba katakan dari awal perisiwa sebulan lalu yang menewaskan anak gadis majikanmu itu," kata Ginggi.
Tanpa ragu-ragu badega ini membeberkan kembali peristiwa sebulan lalu.
Ketika itu, ke rumah Juragan Ilun Rosa datang lima orang tamu. Semuanya laki-laki. Dari kelima orang tamu itu, hanya satu orang yang berpenampilan menonjol. Semua menaruh hormat padanya.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri orang yang satu itu," kata Ginggi
"Dia seorang pemuda tampan. Usianya barangkali delapanbelas, atau sembilanbelas tahun. Berwajah putih bersih dan tutur katanya sopan. Dia pasti dari keluarga santana, atau bahkan bangsawan," katabadega itu memuji-muji tamunya.
"Dan yang lainnya bagaimana?"
"Empat orang lainnya saya kira hanya bawahan pemuda tampan itu saja. Wajah dan perangainya macam-macam. Ada yang sedikit tampan tapi perangainya seperti angkuh. Bila bicara mulutnya selalu tertarik seperti orang yang mengejek dan melecehkan. Pemuda satunya lagi bertubuh kurus dan bergigi tonghor. Dua orang lagi lelaki setengah baya. Yang seorang pendek gemuk dan seorang dan seorang lagi jangkung dengan pundak melengkung seperti onta," kata pegawai di rumah ini secara rinci.
Tak salah dugaan Ginggi. Mereka adalah Suji Angkara bersama Ki Ogel, Ki Banen, Seta dan Madi. Mereka meloloskan diri dari marabahaya di wilayah Sagaraherang. Tapi benar perkiran Ki Banaspati, Suji tidak kembali ke Desa Cae, melainkan terus menuju ke barat yang kemudian diperkirakan akan terus menuju ke Pakuan.
"Apa hubungannya antara kehadiran tamu-tamu itu dengan peristiwa kematian gadis majikannya, Paman?" tanya Ginggi penuh perhatian.
"Entahlah sulit untuk menghubung-hubungkannya. Hanya saja saya mencuri dengar percakapan Nden Wulan dengan wanita tampan itu malam-malam di halaman depan."
"Percakapan apakah itu?"
"Hanya percakapan sepasang muda-mudi belaka. Namun nampaknya ada semacam beda pendapat antara keduanya dalam urusan…Entahlah. Mungkin urusan asmara. Pemuda tampan itu dengan halus dan lemah-lembut menggoda Nden Wulan, tapi Nden menolak ajakan-ajakan pemuda itu dengan berbagai alasan. Nden Wulan beralasan untuk menolak, sebab sebetulnya sudah ada pemuda bangsawan yang menaruh minat padanya walau pun dilakukan secara rahasia. Hanya saya yang tahu rahasia mereka berdua, Raden…" kata badega.
"Sudah berapa kali pemuda tampan itu bertemu kemari, Paman?"
"Seingat saya, tamu tampan itu baru pertama kali bertamu ke rumah Juragan Ilun. Tapi ke Kandagalante Subangwara sudah beberapa kali. Khabarnya, Nden Wulan pun mengenal pemuda tampan itu di kediaman Kandagalante Subangwara," kata badega lagi.
"Tak ada lagi percakapan khusus selain yang tadi Paman katakan?" kata Ginggi. "Rasanya tak ada lagi …"
"Coba terangkan peristiwa ketika anak gadis majikanmu Paman temukan sudah terbunuh,"
"Ya, malam itu saya dengar suara jeritan kecil. Saya dengar persis sebab saya tengahtugur (ronda). Saya tahu jeritan kecil itu datang dari kamar Nden Wulan. Saya ketuk-ketuk pintunya tak ada sahutan. Saya dobrak dan pintu terbuka. Nampak Nden Wulan sudah terbujur dengan leher terluka karena tusukan patrem (tusuk konde). Nden Wulan bunuh diri …" keluh pegawai itu murung dan penuh sesal.
"Kau yakin?"
"Tangan kanannya berlumuran darah dan masih memegang erat benda tajam itu," kata badega pasti.
"Kira-kira apa penyebab dia bunuh diri?" "Patah hati …"
"Patah hati? Mengapa kau menduga demikian?"
"Di peraduan Nden Putri yang acak-acakan terdapat sebuah surat daun nipah. Kata Juragan Ilun, isinya permintaan maaf dari Raden Purbajaya bahwa dirinya akan pergi ke Pakuan dan di sana direncanakan pernikahannya dengan sesama anak bangsawan lainnya," jawab badega.
"Kau maksudkan Purbajaya itu kekasih anak gadis majikanmu, Paman?" Badega bertubuh bundar itu mengangguk membenarkan.
"Mulanya Juragan Ilun bingung, siapa Raden Purbajaya. Namun setelah saya paparkan bahwa pemuda bangsawan itu secara diam-diam menjalin hubungan dengan Nden Wulan, Juragan mulai mengerti kendati tetap masih bingung sebab Juragan belum kenal betul dengan pemuda itu. Tanjungpura ini luas wilayahnya, terutama ke wilayah barat hampir berbatasan dengan Sungai Citarum. Di wilayah ini memang banyak kaum bangsawan," kata badega. "Juragan mencari tahu siapa pemuda bangsawan itu. Juragan minta tolong kepada Kandagalante Subangwara dan berhasil mendapatkan keterangan perihal pemuda bangsawan bernama Raden Purbajaya itu."
"Bagaimana penjelasan dari Kandagalante?" "Pemuda itu bangsawan dari daerah utara. Putra Bangsawan Jayasena. Ayahandanya ketika ditemui membenarkan bahwa Raden Purbajaya berangkat ke Pakuan, tapi bukan berniat untuk menikah dengan Putri Bangsawan Pakuan, melainkan akan mengabdi sebagaipuhawang ," kata badega lagi.
"Puhawang, apakah itu?" tanya Ginggi mengerutkan kening.
"Puhawang adalah seseorang yang akhli dalam ilmu kelautan, ilmu mengenai pantai, gua-gua serta teluk," kata badega lagi. Katanya lagi, ayahanda Raden Purbajaya tak tahu menahu bahwa putranya punya hubungan batin dengan anak Juragan Ilun Rosa. Hanya pernah mengatakan bila lamaran kerjanya diterima di Pakuan, maka pemuda tampan itu akan segera kembali ke Tanjungpura untuk minta bantuan ayahandanya meminang seorang gadis yang belum disebutkan siapa gerangan.
"Tapi Kandagalante Subangwara amat marah mendengar berita kematian kemenakannya. Dia akan mencari penjelasan langsung kepada Raden Purbajaya di Pakuan. Pemuda tampan tamu Juragan Ilun bersedia membantu menemui Raden Purbajaya, sebab kebetulan dia pun akan menuju Pakuan," kata badega lagi.
"Begitu akrabkah Kandagalante dengan pemuda tampan tamu Juragan Ilun, Paman?" Yang ditanya mengerutkan alis sejenak seolah-olah mengingat-ingat sesuatu.
"Tidak begitu akrab. Tapi nampaknya Kandagalante tahu betul, siapa pemuda itu. Ini nampak sekali, sebab Kandagalante begitu hormat kepadanya," jawab badega.
Ginggi termenung sejenak. Penelitiannya serasa berbelit-belit dan kian melebar. Bila ingin menguak tabir rahasia kematian gadis itu, sungguh sulit.
"Coba kau terangkan, kalau-kalau masih ada lagi pengetahuanmu perihal kejadian ini," kata Ginggi terus mengorek keterangan.
"Rasanya tak ada lagi…" gumam badegatapi masih mengingat-ingat. "Oh,ya…" sambungnya memejamkan mata sebentar.
"Apakah itu?" Ginggi menatap tajam lelaki bulat ini dengan tak sabar. "Istri Juragan Ilun yang memiliki pikiran ganjil itu."
"Ya?"
"Dia malah menduga yang bukan-bukan. Katanya anak gadisnya mati bunuh diri bukan sekadar patah hati belaka, tapi juga karena diganggu kehormatannya!"
"Begitukah? Bagaimana dia mempekirakan demikian?" tanya Ginggi.
"Kata Juragan Istri, peraduan anaknya acak-acakan. Pakaian gadis itu pun tak karuan. Di beberapa bagian malah terkesan dibuka paksa sebab ada bagian-bagian kain yang sobek," kata badega. "Bagaimana pendapat yang lain?"
"Sejenak yang lain pun percaya dengan itu. Tapi surat daun nipah lebih meyakinkan lagi. Juragan Ilun bahkan tak mau pusing memikirkan bukti ini. Sebab katanya, bila harus mempercayai dugaan ini artinya harus mencurigai orang lain berbuat jahat. Juragan Ilun menganggap dosa bila bercuriga terhadap sesama," katabadega .
"Juragan Ilun Rosa hanya mengatakan, banyak kemungkinan mengapa pakaian putrinya tak keruan. Perempuan katanya di mana-mana sama, bila sampai pada puncak kemarahan dan kekecewaan suka menjambak-jambak dirinya sendiri. Demikian halnya dengan Nden Wulan. Dan saya memang pernah menyaksikan. Nden Wulan menjambak-jambaki rambutnya, menangis melolong-lolong ketika dulu dipaksa kawin dengan pemuda yang bukan pilihannya," kata badega.
Ginggi mengangguk-angguk. Anggukan ini samar-samar belaka. Apakah karena mengerti persoalan sebenarnya, atau merasa puas dengan penjelasan barusan.
"Terima kasih atas uraian ini, Paman…" katanya sambil mohon diri.
INDEX TRILOGI PAJAJARAN | |
Jilid 08 --oo0oo-- Jilid 10 |