JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : TAKANATA IBLIS NIPPON
Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU
] ¦≡:::
Gunung Fujiyama nampak menjulang tinggi dengan agungnya, melukiskan betapa keindahan terpampang di sana. Di bawah gunung Fuji, terbentang kota Tokyo yang menjadi kesibukan para pedagang dan saudagar untuk melakukan transaksi perdagangan antar dunia. Di kota itu pula pusat pemerintahan berada, di mana kekaisaran menetap. Di situ pula para Pendekar Samurai yang selalu siap sedia membela panji-panji kerajaan lalu lalang dengan segala penyamarannya.
Di sebuah desa, yang letaknya di kaki gunung Fuji, tampak sebuah bangunan besar yang menyerupai Klenteng berdiri dengan megahnya. Bangunan tersebut adalah sebuah bangunan di mana para Ninja berkumpul. Saat itu nampak di bangunan tersebut tengah berlangsung sebuah pertemuan. Sebuah meja panjang yang pendek mendasar di lantai dikelilingi oleh hampir dua belas orang berpakaian kebesaran Ninja. Hanya muka mereka tidak seperti biasanya. Muka mereka kini tidak tertutup oleh kain, tetapi terbuka layaknya orang biasa.
Duduk paling ujung kiri seorang berusia tua, dengan jenggot putih terurai memanjang ke bawah. Dialah pimpinan atau Suhu Utama Ninja. Orang ini bernama Fujita Babareka, atau Ninja Sakti dari Negeri Fuji. Duduk di sampingnya seorang yang agak mudaan, dengan wajah keras berbadan besar. Dia adalah murid utama Fujita, bernama Amoka Takasita. Sedang yang duduk di sebelah kirinya juga seorang Ninja berbadan tinggi jangkung dengan mata laksana elang. Dia juga murid utama adik seperguruan Amoka Takasita atau Ninja Panda Bulan Sabit. Dia bernama Muroka atau Ninja Belerang.
Kenapa para Sesepuh Ninja berkumpul, tidak lain karena mereka tengah mengadakan rapat membahas masalah salah seorang anggotanya yang kini menjadi bahan pembicaraan di kalangan istana dan penduduk dengan sepak terjangnya yang sangat telengas dan membahayakan. Orang yang kini tengah mereka bicarakan tidak lain Taka Nata, atau Ninja Selaput Iblis.
"Bagaimana pendapat kalian mengenai Taka Nata?" Terdengar suara Ketua Utama Ninja berkata. Suara tuanya nampak masih berwibawa, menggema di setiap ruangan.
"Kalian telah mendengar tentang sepak terjangnya, bukan?"
"Benar, Suhu. Kami memang telah mendengar sepak terjang Taka Nata," Yang berkata Ninja Biru.
"Apakah Takasima tidak dapat mengatasinya?" Sang Suhu kini menanya pada Takasima.
"Bukankah engkau dan Taka Nata masih ada hubungan darah?"
Takasima terdiam tanpa dapat menjawab pertanyaan Suhunya. Ia sendiri tidak mengerti dengan segala tingkah laku Taka Nata, walau pun mereka adalah sedarah, namun segalanya bagi mereka merupakan rahasia pribadi. Takasima hela napas panjang, seakan ada rasa berat untuk menarik lidah, Mukanya tertunduk ditekuk, matanya berkaca-kaca.
"Bagaimana, Takasima?" Kembali sang Suhunya bertanya.
"Ampun, Suhu. Sungguh pun kami sedarah, namun hubungan kami bagaikan tertutup," Takasima akhirnya menjawab.
"Aneh!"
"Begitulah wataknya, Suhu,"
Semua yang hadir di situ seketika terdiam hening. Seakan semuanya tengah berpikir bagaimana baiknya untuk mengatasi segala keruwetan yang tengah melanda. Tengah semuanya terpaku diam, dari luar dua orang prajurit kerajaan nampak berjalan masuk.
"Selamat Sore...?" sapa keduanya seraya menjura.
Semua yang ada di situ palingkan muka menghadap pada dua orang prajurit yang baru saja datang.
"Selamat sore, Tuan-tuan Prajurit," jawab mereka.
"Silahkan duduk," Memerintah Suhu dengan penuh rasa hormat.
"Sungguh sangat kebetulan Tuan-tuan mau berkunjung ke mari."
Keduanya duduk di antara para Ninja.
"Ada keperluan apa sebenarnya, Tuan-tuan datang?" Kembali Suhu besar menanya.
"Mungkinkah ada kepentingan yang menyangkut masalah seorang anggota kami?"
Dua prajurit Samurai itu terdiam, hanya kepala mereka yang mengangguk mengiyakan. Apa sebenarnya yang tengah terjadi di kerajaan? Mengapa Taka Nata yang dulu bersahabat dengan kerajaan tiba-tiba berubah menjadi musuh bahkan memberontak? Untuk lebih jelasnya, marilah kita ikuti kisah sebelum hal itu terjadi.
* * * * *
Tiga bulan yang lalu, Taka Nata yang diangkat oleh Kaisar menjadi Panglima menghendaki Kaisar segera mengirim pasukannya ke Tanah Jawa. Taka Nata juga menghendaki agar Kaisar mau berkenan meluluskan dirinya untuk menjadi pimpinan di Tanah Jawa yang kelak akan dijadikan sebagai Kerajaan kedua setelah kekaisaran di Tokyo. Namun permintaan Taka Nata ditolak oleh Kaisar, dengan alasan dana untuk semuanya belum mencukupi.
Wajah Taka Nata merah membara, rasa marah telah menggayut di hatinya. Ia duduk dengan diam, seakan enggan untuk mengucap kata-kata. Matanya yang tajam setajam mata elang memandang bengis pada Kaisar yang didampingi oleh Perdana Menterinya, Taifu Mai-mora. Kedua petinggi kerajaan nampak masih tenang, sepertinya kedua peTinggi istana masih memberikan kebebasan pada Taka Nata untuk mencetuskan apa yang hendak ia katakan. Namun sekian jauh Taka Nata tiada jua membuka mulut, sehingga akhirnya Kaisar pun kembali berkata.
"Kau harus sadar, Taka. Bukannya kami melarangmu untuk melakukan ekspansi ke Tanah Jawa, namun segalanya memerlukan biaya yang tidak sedikit," Kaisar terus mencoba memberikan pengertian pada Taka Nata.
"Sedangkan di dalam negeri kini engkau tahu tengah dilanda krisis ekonomi, bukan?"
Taka Nata masih terdiam.
"Apakah engkau dan prajurit-prajurit lainnya tidak memerlukan makan dan minum?" tanya Rang Kaisar melanjutkan.
"Ingat, di Jawa bukan di tanah Nippon, Taka. Pikirkan lagi, Taka."
Taka Nata tarik napas panjang, lalu dengan suara berat ia pun berkata ketus.
"Sudah membulat di hatiku untuk ke Jawa. Kalau Tuan Kaisar tidak mengijinkan, biarlah aku berangkat sendiri." Taka Nata bangkit dari duduknya.
"Taka...!" Perdana Menteri mencoba menyabarkan.
Taka Nata tidak mengubris, dengan tenangnya ia berkata.
"Sayonara..,!" Taka Nata seketika berkelebat pergi tinggalkan ruang kekaisaran tanpa dapat dicegah.
Semua mata hanya mampu memandang kepergiannya dengan pandangan penuh ketidakmengertian. Semua hanya mampu diam, tanpa ada yang berani menghalang atau pun mencoba mengatasinya.
* * * * *
Keesokan harinya, nampak Taka Nata dengan beberapa puluh orang prajurit yang menjadi pengikutnya nampak telah siap-siap untuk melakukan ekspansi ke Tanah Jawa. Semua nampak sibuk, mempersiapkan segalanya. Ada yang membuat perahu, membuat peralatan untuk mengarungi samudra dan lainnya. Di sini nampak betapa Taka Nata benar-benar sangat berpengaruh bagi mereka. Taka Nata berjalan hilir mudik, sepertinya tengah memeriksa pekerjaan anak buahnya.
"Fiji Nakoya, apakah semuanya telah beres?" tanya Taka Nata pada Fiji Nakoya, yaitu tangan kanannya.
Orang yang berbadan besar dengan muka jelek menyeramkan itu nampak memandang ke arah Taka Nata sejenak, lalu ia pun menyahuti.
"Sebentar lagi, Ketua."
"Apakah tidak dapat dipercepat?"
Fiji Nakoya terdiam, seakan susah untuk menjawabnya.
"Sungguh Taka Nata adalah orang Nippon yang tidak sabaran," gumam Fiji Nakoya dalam hati.
"Bagaimana akan dapat segera beres? Sedangkan pekerjaan ini bukanlah pekerjaan ringan?"
"Mungkin tiga hari lagi, Ketua," jawab Fiji.
"Apa...? Taka Nata beliakkan matanya.
"Pekerjaan begitu saja harus menunggu sampai tiga hari?"
"Benar, Ketua!"
"Ah…! Bodoh kalian semua! Bodoh!" Taka Nalit mengomel, lalu dengan tanpa bicara lagi pergi tinggalkan anak buahnya yang masih bekerja. Sedangkan Fiji Nakoya nampak hanya geleng kepala menyaksikan watak ketuanya yang kurang sabaran.
"Serba tak mungkin Taka Nata meminta," gumam Fiji, dan kembali pada teman-temannya yang masih sibuk mengerjakan apa saja yang tengah dipersiapkan untuk berlayar.
Tengah mereka sibuk mempersiapkan segalanya, dari kejauhan nampak pasukan kerajaan dengan menunggang kuda datang ke tempat itu. Pasukan kerajaan yang berjumlah hampir lima puluh orang tersebut menggebah kuda-kudanya dengan cepat.
"Hia, hia, hia...!"
Semua anak buah Taka Nata yang saat itu tengah melakukan pekerjaan nampak tersentak kaget. Mata mereka seketika memandang pada pasukan kerajaan yang jaraknya kurang dari dua mil dari mereka.
"Pasukan kerajaan datang...!" Fiji Nakoya berseru.
Seketika semua yang tengah melakukan pekerjaan serabutan hendak pergi. Namun dengan segera Fiji Nakoya perintahkan pada mereka supaya tenang.
"Tenang teman-teman! Kita tak perlu khawatir!"
Semuanya kembali hentikan langkah, berdiri dengan hati diselimuti dengan tanda tanya. Semuanya nampak memandang dengan tanpa perasaan, seakan ada rasa kurang senang dengan kehadiran pasukan kerajaan.
Pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Panglima Perang Sitasi Cibana, kini makin mendekat ke arah mereka. Dan tidak lama kemudian sampailah mereka di tempat tersebut.
"Kami harap saudara-saudara urungkan niat!" Sitasi Cibana buka suara. Suaranya yang besar dan penuh mengandung kewibawaan menjadikan dirinya makin nampak gagah.
"Kaisar tidak menghendaki kalian menjadi orang-orang nekad!"
Fiji Nakoya yang sebagai tangan kanan Taka Nata nampak memberengut. Matanya memandang penuh tantangan pada Sitasi Cibana yang masih duduk di atas pelana kudanya. Dua orang itu akhirnya saling pandang, seakan ingin menunjukkan kewibawaan masing-masing. Mata mereka kini bukanlah mata persahabatan, akan tetapi merupakan sorot permusuhan. Dengan lantang Fiji Nakoya berseru; "Panglima, turunlah engkau dari kuda!"
"Apa yang ingin engkau katakan, Fiji? Katakanlah!"
"Huh! Sombong! Aku tidak ingin pihak kerajaan ikut campur dalam urusan ini!" Fiji Nakoya kembali berkata.
"Tapi kalian adalah rakyat. Dan sebagai rakyat, kalian haruslah menurut!"
"Tidak bisa! Kami sekarang akan berdiri sendiri! Kami akan membentuk kerajaan Ninja di Tanah Jawa!" Fiji Nakoya lantang berseru, tak ada ketakutan di hatinya. Tekadnya yang direncanakan dengan Taka Nata telah bulat, yaitu tekad untuk mampu membangun sebuah kerajaan yang menyendiri dengan kuasa penuh di tangannya. Hingga Kaisar tak akan dapat seenaknya memerintah.
"Katakan pada Kaisar, kami tak akan meminta bantuan! Kami akan berjalan dengan semangat kami dan kemampuan kami!"
"Orang tolol!" Sitasi Cibana nampak marah mendengar ucapan Fiji Nakoya.
"Kalian benar-benar orang tolol!"
"Bangsat!" Fiji Nakoya balik membentak.
"Kau yang bangsat Fiji! Kau dan anak buahmu telah memberontak pada kerajaan!"
"Bedebah! Seraaannnggggg!"
Mendengar seruan Fiji Nakoya, seketika semua anak buahnya yang berjumlah hampir lima puluh orang itu dengan nekad berkelebat menyerang. Kelima puluh orang itu begitu ganas, sepertinya mereka benar-benar ingin menunjukkan bahwa diri mereka benar-benar bukan orang sembarangan.
"Pemberontak! Prajurit.... seraaaaaang...!" Sitasi Cibana yang melihat anak buah Taka Nata menyerang dengan segera berseru memerintahkan prajuritnya memapaki.
Dan para prajurit yang berjumlah dua kali lipat dari jumlah anak buah Taka Nata pun dengan segera serta disertai gagah berani memapaki serangan mereka. Tidak ayal lagi, dua kekuatan itu saling bentrok.
Kini tidak ada lagi yang dapat dikata, atau dijadikan alasan untuk menentukan mana yang benar. Dan hanya perang saja yang nantinya mampu berbicara, siapa di antara keduanya yang benar-benar tangguh dan kuat. Para anak buahnya terus berantem, saling serang untuk dapat menjatuhkan musuh. Sementara itu Fiji Nakoya dan Sitasi Cibana masih berdiam di tempatnya, keduanya seakan tidak ingin mendahului untuk menyerang.
"Trangg...!" Senjata di tangan mereka saling beradu.
"Wuuusssstt..!"
"Bleeessttt...!"
"Aaaaaaaaaa...!"
Nyawa melayang bersamaan dengan muncratnya darah dari tubuh orang yang tersambar. Namun begitu, yang masih hidup seperti tidak mendengar sama sekali jeritan rekannya. Semuanya nampak tiada takut untuk memapaki kematian, dan sepertinya memang hal itu yang mereka cari untuk menunjukkan bahwa dirinya benar-benar yang paling kuat.
Tombak, Samurai, serta senjata-senjata rahasia yang mereka miliki terus ikut meramaikan pertempuran tersebut. Dan setiap kali Pedang atau senjata rahasia mengena tubuh lawan, maka pekikkan kematian pun tidak dapat dihindarkan dari telinga.
Pantai Nagoya kini nampak membara. Darah merembes membasahi pasir pantai, sehingga pasir pantai Nagoya seakan berwarna kelabu. Darah itu beraduk dengan air laut yang pasang, lalu hilang berbaur dengan air. Walaupun demikian, pertarungan seakan tiada henti. Dari pasukan kerajaan nampak makin mengganas, serangan mereka sebagai pasukan yang sudah terlatih bagaikan topan melanda batu karang kecil. Walau jumlah pasukan Fiji Nakoya kecil, namun keberanian mereka patut diacungkan jempol. Keberanian mereka sebagai seorang Ninja benar-benar telah terbukti. Bagi mereka hanya dengan cara itu mereka menemukan diri mereka sebagai Ninja.
"Wuuuut...!"
"Trang...!"
"Wuuuuutttttt...!"
"Bless...!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Korban kembali datang, bareng dengan melesatnya senjata di tangan mereka. Samurai-samurai yang mengandung Racun Fuji Hitam terus mencari mangsa. Dan mangsa tersebut tak lain dari lawan atau dirinya sendiri.
Gerakan-gerakan mereka begitu liar. Tak ada lagi ilmu silat di antara kerumunan perang itu, yang ada hanya kemampuan membunuh atau mati dibunuh oleh senjata lawan. Ilmu silat di situ hanyalah mereka gunakan dalam keadaan luang saja, atau untuk mengelak. Sedangkan yang paling berfungsi di situ tidak lain mental dan kecerdikan mereka. Siapa yang cerdik, maka dialah yang akan mampu menjatuhkan lawannya.
Melihat anak buahnya banyak yang mati, dengan penuh amarah Fiji Nakoya segera berkelebat terjun di arena pertempuran. Fiji Nakoya benar-benar bagaikan kesetanan, dengan membentak dan mencaci maki terus menyerang.
"Orang-orang Kerajaan bodoh! Kalian akan mampus! Hiaaatt!"
"Wuuutttt...!"
Samurai di tangannya berkelebat, membabat ke sana ke mari.
"Aaaaaaaaa...!" Satu orang terkena babatan Samurai Fiji Nakoya, menjerit ambruk, lalu kelojotan sebentar dan nyawa pun melayang. Fiji Nakoya tidak puas, kembali dibabatkannya Samurai ke arah lawan.
"Wuuutttt...!"
"Aaaaaaaa...!"
Fiji Nakoya benar-benar bagaikan tak kenal kompromi. Baginya ia harus mampu membunuh sebanyak-banyaknya pihak musuh, dan bila perlu kekaisaran harus berhasil ia kuasai. Fiji Nakoya makin mengganas, Samurainya bagaikan tak mengenal kasihan. Setiap tebasan Samurai di tangannya menjadikan jerit kematian musuhnya.
Melihat para prajuritnya banyak yang mati di tangan Fiji Nakoya, maka marahlah Sitasi Cibana.
"Nakoya keparat! Akulah musuhmu!"
Dengan Samurai siap terhunus, Sitasi Cibana segera berkelebat masuk ke arena pertarungan. Dipapakinya Fiji Nakoya yang tengah mengamuk. Dibabatkannya Samurai ke arah Fiji Nakoya, yang saat itu tengah membabatkan Samurainya ke arah prajuritnya
"Wuuutttt...!"
Fiji Nakoya yang melihat Sitasi Cibana babatkan Samurai ke arahnya dengan segera balik menyerang. Ditariknya Samurai yang hendak menyerang prajurit, lalu dengan cepat Samurai itu diarahkan menangkis ke arah datangnya Samurai lawan.
"Bangsat, Penjilat Kaisar!" bentaknya.
"Wuuuuttttt...!"
"Wuuuuttttt...!"
"Trang...!" Dua Samurai saling beradu, menempel lengket bagaikan dibaluti lem. Mata keduanya nampak tajam, saling pandang seakan mendalami hati dan kekuatan musuh.
"Kau harus digantung, Nakoya!" Sitasi nampak menggeram.
"Jangan kau kira mampu, Anjing Kaisar!"
"Bedebah!"
"Wuuuuttttt...!"
Samurai ditarik oleh Sitasi, lalu dengan cepat Samurai di tangannya kembali berkelebat mengarah ke arah Fiji Nakoya. Fiji Nakoya egoskan tubuh ke samping menghindar, disertai dengan kiblatkan Samurainya ke arah datangnya Samurai lawan.
"Wuuuuttttt...!"
Melihat musuhnya dapat menghindar, kembali Sitasi Cibana kebatkan Samurainya mencerca. Dan kini serangannya nampak makin keras, seakan Sitasi Cibana bergerak liar, menjadikan sebuah guratan-guratan warna Samurai.
"Wuuuutttt...!"
Fiji Nakoya kini benar-benar tersentak kaget. Ia tidak menyangka kalau musuhnya benar-benar orang yang patut diperhitungkan. Ilmu pedang musuhnya nampak begitu tinggi, mungkin berada satu atau dua tingkat di atasnya. Fiji Nakoya kini tak mampu lagi untuk membalas. Jangankan membalas, menghindar pun rasanya kini harus mengadu nyawa. Fiji Nakoya nampak nekad, Samurainya ditusukkan ke arah lambung lawan. Namun rupanya Sitasi bukanlah sembarangan prajurit istana. Sitasi sepertinya telah mampu mendeteksi gerakan musuhnya. Dan ketika Fiji Nakoya kembali tusukan Samurai, dengan cepat Sitasi Cibana putarkan Samurainya cepat. Hingga...!
"Wuuuttt! Wuuut Wuuuuttt...!"
"Trang...! Trang! Trang...!"
Fiji Nakoya tersentak, berusaha menghindar. Akan tetapi, Samurai musuh kini telah mendahuluinya.
"Wuuuuttt...!"
"Blesssttt...!"
"Cras!"
"Aaaaaaaa...!" Fiji Nakoya memekik mana kala Samurai di tangan musuh tembus dan membabat tubuhnya. Darah muncrat ke luar, menjadikan Fiji Nakoya yang berbadan besar itu kini bagaikan limbung. Sejenak tubuhnya kaku berdiri dengan mata melotot ke arah Sitasi Cibana, lalu akhirnya tubuh besar Fiji Nakoya ambruk dan mati.
Melihat ketuanya mati, semangat anak buah Taka Nata nampak menurun. Hal itu diketahui oleh musuhnya yang dengan cepat mendesak, mencerca mereka. Dalam waktu singkat, semua anak buah Taka Nata habis terbantai oleh para prajurit yang tidak mengenal lagi arti kemanusiaan.
"Aaaaaaa...!"
"Mampus! Bagero...!"
Jerit kematian menggema dari mulut anak buah Taka Nata, diikuti oleh ambruknya tubuh mereka satu persatu. Yang menjadikan tempat tersebut kembali senggang. Melihat musuh-musuhnya mati, tanpa perduli lagi semua prajurit istana segera menghentakan kaki kuda mereka untuk kembali ke istana melaporkan apa yang telah mereka lakukan. Langkah kuda mereka kini memburu, sepertinya mereka ingin segera sampai. Di punggung depan kuda-kuda mereka, nampak sosok-sosok tubuh temannya yang gugur. Sedang di punggung kuda Sitasi Cibana terbaring dengan kaku Fiji Nakoya, seorang tangan kanan Taka Nata yang hendak mereka jadikan bukti di kerajaan.
Sore pun menghilang, berganti dengan malam yang merambat cepat. Matahari yang tadinya masih menyaksikan kejadian di muka Bumi, lambat laun menghilang. Seakan Matahari benar-benar tidak ingin dirinya menjadi saksi lebih lama akan kejadian di Bumi. Bersamaan malam datang, burung-burung pemangsa bangkai pun berterbangan ke tempat tersebut. Namun burung-burung itu sejenak kembali terbang, menghilang entah ke mana....
* * * * *
:::≡¦ [ DUA
] ¦≡:::
Betapa murkanya Taka Nata demi melihat prajurit-prajuritnya telah bergelimpangan mati. Namun kekesalan Taka Nata belum dapat menentukan siapa adanya orang-orang yang telah berlaku keji itu. Taka Nata benar-benar belum tahu siapa dalang dari semua kejadian yang menjadikan seluruh prajuritnya dan tangan kanannya Fiji Nakoya mati. Tubuh-tubuh prajurit Taka Nata berserakan tinggal tulang, dan hanya Fiji Nakoya saja yang tidak ada di situ. Mata Taka Nata yang tajam, memandang dengan penuh kepedihan dan dendam. Dendam pada orang-orang yang telah membunuh semua prajuritnya, yang sampai sekarang belum ia ketahui.
"Bangsat! Bagero!" Taka Nata memaki-maki sendiri.
"Kunyuk siapa yang telah berbuat semua ini?" Kakinya melangkah lemah, menapaki selasela tubuh-tubuh rekan sekaligus prajuritnya yang terkapar tanpa nyawa.
"Aku harus menuntut balas atas semuanya! Aku akan membikin perhitungan dengan bangsat-bangsat tersebut!" Mengerutu hati Taka Nata penuh kebencian. Segala pertanyaan siapa yang telah membunuh prajurit-prajuritnya belum terjawab. Semua seakan teka-teki yang benar-benar susah untuk dipecahkan.
"Mungkinkah pihak kaisar? Atau musuh-musuhku yang memang ingin mengadakan pembalasan terhadapku dan mencari kesempatan ini?"
Pertanyaan demi pertanyaan, terus terulang dalam sanubari Taka Nata, saling beraduk satu sama lainnya. Namun seakan semua pertanyaan tersebut raib tanpa adanya jawaban yang pasti. Dan Taka Nata mencoba mengingat-ingat siapa-siapa musuh-musuhnya yang memang mendendam padanya.
"Musuhku.... Ajima, Sujataka, Fa-Fu-Sai. Hem, mungkinkah ketiga Naga Fuji itu yang melakukannya?" tanya hati Taka Nata.
"Kalau memang mereka, Hem, jangan harap mereka akan mendapat ampun dariku."
Setelah untuk sekian lamanya memandangi sosok-sosok tubuh tinggal tulang milik anak buahnya, dengan sekali kebat Taka Nata meninggalkan tempat tersebut. Di hatinya kini ada dendam, dendam yang harus dilunasi oleh pemberi hutang nyawa-nyawa prajuritnya.
* * * * *
Taka Nata benar-benar mendatangi tempat ketiga Naga Fuji yang tinggal di lereng gunung Fujiyama. Kini Taka Nata benar menjadi seorang Ninja yang tak kenal ampun. Segenap tubuhnya kini terbalut lilitan kain Putih Perak, sehingga setiap gerakannya benar-benar memantulkan cahaya berkilauan. Sedang Samurai, nampak melekat di pundaknya. Samurai dengan gagang tengkorak yang merupakan simbol yang sangat ditakuti bagi para pendekar di negeri Nippon. Simbol tengkorak tersebut hanya dimiliki oleh seorang Ninja, yang tidak lain Taka Nata adanya. Samurainya bernama Samurai Iblis!
Tubuh Taka Nata nampak ringan, berlari melompati tebing-tebing bersalju di Gunung Fujiyama. Terkadang berhenti sesaat, palingkan muka memandang ke belakang, lalu kembali melompat bagaikan seekor kancil yang gesit. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh Ninjanya yang sempurna, Taka Nata kini benar-benar bagaikan terbang layaknya. Dalam sekejap saja kini kaki Taka Nata yang memakai sepatu beralas khusus di salju telah menginjakkan kakinya pada tebing-tebing salju di dekat kediaman ketiga Naga Fuji tersebut.
Taka Nata berdiri mematung, pandangannya lurus ke muka, seakan hendak menghancurkan segala yang ada di hadapannya. Tangannya mengepal, layaknya hendak menghancurkan apa yang dapat diremas oleh tangannya. Napas Taka Nata nampak memburu, liar bagaikan tiada menentu. Lama dirinya diam memandang pada sebuah bangunan di lereng gunung Fuji tersebut, kemudian dengan lantang dan disertai tenaga dalam dia berseru,
"Bajero Fa-Fu-Sai, keluar kau...!"
Fa-Fu-Sai yang saat itu tengah duduk-duduk di hadapan murid-muridnya tersentak demi mendengar seruan seseorang dengan panggilan yang tidak sopan. Matanya sejenak memandang kaget pada kelima murid-muridnya, lalu dengan kesal dia berkata.
"Siapakah yang datang...? Tolong kau lihat keluar, Moro!" perintahnya pada sang murid yang bernama Amoro.
Amoro tanpa membantah segera bangkit dari duduknya, lalu dengan penuh kejengkelan tidak terima orang di luar telah kurang ajar pada gurunya, Amoro menemuinya. Tersentak Amoro demi melihat siapa adanya yang datang. Seorang Ninja berpakaian putih perak dengan Samurai bergagang Tengkorak.
"Taka Nata...!" Amoro terbelalak, dengan cepat dia berkelebat masuk kembali untuk memberi tahukan pada sang guru akan kedatangan Ninja Taka Nata atau Ninja Samurai Iblis.
"Suhu. Suhu! Dia datang kembali, Suhu."
Semua rekannya termasuk sang guru terbelalak.
"Kenapa Moro ?" Sang Guru bertanya.
"Dia kembali datang, Suhu."
"Dia siapa. Moro?"
"Dia dia Samurai Iblis!"
"Apa...?" Sang guru terjengah kaget.
"Taka Nata?"
"Benar, Suhu."
Fa-Fu-Sai terdiam kecut demi mendengar siapa adanya yang datang. Hatinya bertanya, "Untuk maksud apa dia kembali datang ke mari?" Semuanya tiada dapat Fa-Fu-Sai jawab.
"Memang dulu kami musuhnya, akan tetapi sudah begitu lama kami tidak mengadakan suatu pertarungan. Dan kami telah saling berjanji tidak mengganggu. Hem, apa gerangan maunya?"
Tengah Fa-Fu-Sai berpikir, terdengar kembali suara Taka Nata berteriak.
"Fa-Fu-Sai, apakah kau telah menjadi seorang pengecut? Keluarlah!"
Fa-Fu-Sai terdiam sesaat, setelah memandang pada kelima muridnya, Fa-Fu-Sai pun dengan langkah ringan beranjak dari duduknya dan melangkah ke luar. Di belakangnya kelima muridnya turut mengiringinya. Fa-Fu-Sai terpaku diam di depan pintu, memandang ke arah di mana Taka Nata berada.
"Oooh... Selamat datang di tempat kami, Taka?" sapa Fa-Fu-Sai ramah.
"Maaf, kami tidak selayaknya menyambut dalam keadaan begini. Untuk itu, sekali lagi kami minta maaf."
Taka Nata nampak sunggingkan senyum, lalu kakinya melangkah mendekat ke arah Fa-FuSai beserta kelima muridnya.
"Fa, aku minta kau menjawab dengan jujur."
"Tentang apa itu, Taka?"
Taka Nata tarik napas panjang, lalu kembali berkata.
"Kau tahu siapa yang membinasakan anak buahku?"
"Apa...?" Fa-Fu-Sai belalakkan mata kaget demi mendengar ucapan Taka Nata.
"Ah, mana mungkin bisa terjadi, Taka? Bukankah kau seorang Pendekar Agung?"
"Aku tidak tengah bercanda, Fa."
"Maaf, Taka. Kami sudah setahun ini tiada keluar dari tempat kami. Jadi manalah mungkin kami tahu segalanya di luar?"
"Jadi kau menolak tuduhanku, Fa?"
"Ah, sungguh kami tiada mengerti, Taka."
"Baiklah! Kalau begitu, maka aku mohon pamit," Taka Nata menjura, namun dengan cepat Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblisnya yang telah di tangan menyerang.
"Wuuuuttt...!"
"Bajero! Mengapa kau menyerangku, Taka?!" bentak Fa-Fu-Sai sambil melompat ke belakang.
"Apa salah kami, Taka?"
"Tanya pada dirimu sendiri nanti di akherat, Hiaaattt...!" Taka Nata kini tiada memberi kesempatan pada Fa-Fu-Sai untuk berkata. Samurai Iblis di tangannya benar-benar meminta nyawa, menderu-deru dengan cepat membabat dan menusuk.
Melihat sang Suhu diserang begitu rupa, dengan cepat kelima muridnya cabut pedang. Kelimanya dengan geram dan marah berkelebat memapaki serangan Taka Nata.
"Suhu biarkan kami yang menghadapinya," Yang berkata murid Fa-Fu-Sai yang pertama.
"Benar, Suhu. Orang ini biarlah kami yang menghadapinya," Tambah lainnya.
"Biarlah kami menjajal ilmunya!"
Taka Nata sunggingkan senyum, lalu dengan mengejek berkata.
"Jangan tanggung-tanggung, kalian dengan Guru kalian majulah, biar cepat aku bereskan!" Habis berkata begitu, dengan cepat Taka Nata kebatkan Samurai Iblisnya ke arah musuh.
"Wuuuuutttttt...!"
Tersentak kelima murid Fa-Fu-Sai, yang dengan segera melompat mundur dengan didahului memekik kaget. Kelimanya kini benar-benar sadar bahwa sang musuh bukanlah orang sembarangan, apa lagi Samurainya yang dikatakan Samurai Iblis. Samurai itu mampu menggetarkan sukma mereka.
"Bajero! Awas...!" Murid pertama memperingatkan, mana kala Taka Nata kembali menggempur mereka.
"Wuuuuttt...!" Taka Nata kebaskan Samurainya.
"Traaanggg...!"
Dengan cepat kelima murid Fa-Fu-Sai balas menangkis. Kelima Samurai di tangan lima murid Fa-Fu-Sai saling bertemu, menjepit Samurai Iblis. Mata keenam orang itu saling pandang dengan tajam. Lebih-lebih kelima murid Fa-Fu-Sai, mereka nampaknya benarbenar harus mengeluarkan tenaga yang besar agar mampu bertahan. Fa-Fu-Sai yang tahu akan kehebatan ilmu pedang Taka Nata tersentak kaget mana kala melihat kelima orang muridnya nekat mengadu pedang mereka dengan Taka Nata.
"Bahaya...! " pekiknya tertahan.
"Aku harus membebaskan kelimanya."
Sebelum semuanya terlanjur, dengan cepat Fa Fu-Sai berkelebat mencelat ke angkasa. Tangannya memegang Samurai bergerak cepat. Tangan itu diarahkannya ke arah Taka Nata, lalu dengan berteriak dia babatkan pedangnya.
"Hiiiiiiiaaaaaaattttt...!"
"Wuuuuuuuutttt...!"
Taka Nata yang melihat gerakan Fa-Fu-Sai nampak tenang, dan dia hanya cukup tarik Samurainya. Setelah Fa-Fu-Sai dekat, dengan cepat Taka Nata babatkan Samurainya ke arah kelima murid Fa-Fu-Sai yang seketika itu terbelalak kaget. Kelimanya tercekap dan dengan nekad balas membabat Samurai lawan. Hal itu memang yang ditunggu-tunggu oleh Taka Nata. Dan mana kala kelimanya memapaki Samurainya, Taka Nata lemparkan tubuh ke belakang menghindari serangan yang dilancarkan Fa-Fu-Sai. Tidak ayal, Samurai Fa-Fu-Sai melejit ke arah kelima muridnya yang saat itu tengah balik menyerang Taka Nata.
"Bajero! Licik...!' Fa-Fu-Sai membentak marah, tarik kembali Samurainya urungkan niat menyerang. Bagaimana pun, kalau dia teruskan menyerang, maka murid-muridnyalah yang akan menjadi korbannya. Fa-Fu Sai tolakkan tubuhnya kembali ke belakang, lalu ketika kakinya menginjakkan tanah kembali tubuh, Fa-Fu-Sai mental ke angkasa. Dengan gerakan Tarikan Sinar Pelangi, Fa-Fu-Sai kembali mencoba membantu kelima muridnya yang tengah menghadapi kesulitan.
Kelima murid Fa-Fu-Sai nampak benar-benar kewalahan menghadapi serangan Taka Nata. Samurai di tangan Taka Nata kini benar-benar bagaikan sebuah lingkaran Iblis yang sukar ditembus oleh serangan mereka. Bahkan kalau Taka Nata mau, dalam sekejap saja Samurai di tangannya akan mampu menghabisi nyawa mereka dalam sekejap.
"Wuuuuttt! Wuuuuuttt! Wuuuuttt!"
Samurai Iblis di tangan Taka Nata berkelebat membabat. Segera kelima murid Fa-Fu-Sai lemparkan tubuh ke samping menghindar, lalu dengan untunguntungan kelimanya balas menyerang.
"Wuuuut...! Wuuuuuttt...!"
Taka Nata yang ingin hanya memberikan pelajaran pada kelima murid Fa-Fu-Sai, sepertinya tidak mengingini kelimanya mati di tangannya. Maka dengan gerak Iblis Menyapu Awan, Taka Nata kibaskan Samurai Iblisnya. Gerakan Samurai Iblis di tangan Taka Nata yang memutar, tanpa ampun lagi harus dihadapi oleh Samurai kelima murid Fa-Fu-Sai.
"Wuuuuuuuuuttttttt...! Wuuuuttt...!"
"Traang...!"
"Ahai!" kelimanya memekik, tangan mereka bagaikan terhantam ribuan kaki. Tangan mereka kini bergetar sedangkan Samurai di tangan kelima murid Fa-Fu-Sai kini tinggal sepotong. Samurai mereka puntung terbabat oleh Samurai Iblis di tangan Taka Nata yang terbuat dari Perak Murni. Kini mata kelima murid Fa-Fu-Sai benar-benar harus terbuka lebar, mereka harus menyakinkan diri mereka siapa adanya orang yang kini mereka hadapi.
Ternyata bukan hanya kelima muridnya yang tersentak kaget, akan tetapi Fa-Fu-Sai juga terbelalak. Bagaimana pun, Fa-Fu-Sai tidak menyangka kalau kelima muridnya akan dengan mudah dikalahkan oleh Taka Nata. Ilmu kelima muridnya bukanlah ilmu anak-anak ingusan. Mereka telah dididik oleh Fa-Fu-Sai dengan ilmu-ilmu tinggi yang sebanding dengan ilmu yang dimiliki olehnya. Akan tetapi, di hadapan Taka Nata kini mereka bagaikan tiada arti sama sekali.
"Sungguh bukan ilmu sembarangan, ilmu yang dimiliki oleh Taka Nata," gumam hati Fa-Fu-Sai.
"Fa, aku minta, kau dan kelima muridmu menyerahlah!" Taka Nata berkata, "Aku tak ingin membunuh kalian sia-sia, akan tetapi aku hanya minta kalian mau membantuku. Itu saja...!"
Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya terbelalak kaget mendengar apa yang dituturkan Taka Nata. Keenam murid dan guru itu saling pandang, seakan ingin menyakinkan akan apa yang telah dikatakan oleh Taka Nata. Setelah saling pandang antara guru dan murid, lalu keenamnya memandang dengan penuh ketidakmengertian pada Taka Nata.
"Kalau kalian mau, maka kalian akan menjadi sahabatku," Taka Nata kembali berkata.
"Tapi kalau tidak, maka sampai kemana pun kalian akan aku kejar!"
Kembali keenam murid dan guru itu saling pandang
"Bagaimana, Fa?"
"Kami belum mengerti, Taka," jawab Fa-Fu-Sai.
"Hua, ha, ha...! Fa, aku hanya minta tenaga kalian untuk membantu usahaku."
"Apa yang dapat kami lakukan, Taka?" Kembali Fa bertanya.
"Cukuplah kau dan kelima muridmu menghubungi rekan-rekan kalian untuk bergabung denganku."
"Tidak bisa begitu, Taka. Katakan apa maksudmu, baru nanti kami akan mempertimbangkannya," jawab Fa-Fu-Sai masih tenang, walaupun ia merasa tak akan unggulan bila harus bentrok dengan Taka Nata. Tetapi, jikalau dia harus menyerah begitu saja, di mana ia akan menaruh mukanya?
"Baik! Dengarkan oleh kalian! Aku akan melakukan pembalasan pada Kaisar yang telah membunuh seluruh anak buahku."
Tersentak Fa-Fu-Sai mendengar akan apa rencana Taka Nata yang tiada terduga tersebut. Bagaimanapun juga, Fa-Fu-Sai pernah mengabdi pada kerajaan yang akhirnya memusuhi kerajaan dikarenakan dirinya tidak sehaluan dengan kerajaan. Mungkin Taka Nata juga sama seperti dirinya dan kedua rekannya.
"Bagaimana, Fa?" tanya Taka Nata demi melihat Fa-Fu-Sai masih terdiam.
"Bukankah kau dan kedua rekanmu juga sama seperti diriku?"
"Baiklah, Taka," Akhirnya Fa-Fu-Sai memberi jawaban.
"Kalau begitu, aku dan kelima muridku akan membantumu, juga mungkin kedua rekanku, si Naga Kuning dan Naga Biru."
"Bagus itu! Kalau benar kalian akan membantuku, maka kita akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Bukan begitu, Fa."
Kedua musuh bebuyutan itu akhirnya saling tertawa bareng hingga keadaan tubuh mereka kini terguncang-guncang. Tawa mereka membahana, menyusup ke bebatuan yang ada di sekeliling mereka hingga menimbulkan gema yang menggaung.
"Baiklah, Fa. Aku pergi dulu," Taka Nata menjura pada orang bekas musuhnya, yang juga membalas menjura.
"Sayonara, Fa. Sampai ketemu lusa di kediamanku."
"Sayonara, semoga kita akan selalu dalam persatuan," jawab Fa-Fu-Sai, nadanya seakan ia benar-benar merasa gembira menjadi sahabat Taka Nata. Sudah beberapa kali dia dan kedua Naga lainnya bentrok dengan Taka Nata, namun mereka tiada pernah menang sekali pun juga. Kini Taka Nata meminta dirinya juga dua orang rekannya menjadi sahabat, bukankah suatu kesempatan baik mengadakan persahabatan?
"Kita beruntung, Murid-muridku," Fa-Fu-Sai berkata akhirnya setelah melihat Taka Nata telah menjauh dan akhirnya hilang di belokan.
"Mengapa begitu, Suhu?" tanya kelima muridnya.
"Ya, Kalau dia mau, dia dengan mudah akan menjatuhkan kita. Akan tetapi rupanya dia menghendaki kita menjadi sahabatnya. Bukankah itu yang diinginkan semua Pendekar untuk bersahabat dengannya?" Menerangkan Fa-Fu-Sai.
"Yaa! Kita harus bersyukur, sebab dia ternyata masih menghargai kita."
Kelima muridnya menunduk, lalu dengan beriring keenam murid dan guru itu beranjak kembali masuk ke tempatnya untuk mengatur tugas mereka masing-masing. Mereka benar-benar ingin membantu Taka Nata.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA
] ¦≡:::
Apa yang direncanakan Taka Nata untuk menarik ketiga musuh bebuyutannya untuk menjadi rekan sejuang, tampaknya berhasil ditunaikan oleh Fa-Fu-Sai dan kelima muridnya. Fa-Fu-sai yang menghubungi sahabatnya Naga Kuning, sementara kelima muridnya menghubungi Naga Biru.
Hari itu keenam guru dan murid nampak memacu kuda-kuda mereka menuju ke simpang gunung Fuji di mana kedua rekan Fa-Fu-Sai tinggal. Dengan hanya memakan waktu setengah hari perjalanan, maka keenam murid dan guru itu dengan cepat sampai di tempat tujuan. Di simpang jalan bercabang, keduanya berpisah. Sang guru berjalan menuju ke kediaman Naga Kuning, sementara kelima muridnya dengan membawa surat menuju ke tempat Naga Biru.
"Kita berpisah dan harus berhasil menjalankan tugas kita,"
"Akan kami usahakan, Suhu," jawab kelimanya.
"Kami mohon pamit, Suhu."
"Do'a ku selalu mengikuti kalian. Aku berharap kalian akan menemukan keberhasilan."
"Terimakasih, Suhu."
Kelima murid Fa-Fu-Sai menjura, lalu dengan segera kelimanya pun meninggalkan sang guru yang masih terpaku diam dengan kudanya. Fa-Fu-Sai baru melajukan kudanya tatkala kelima muridnya telah menghilang dari pandangannya. Kuda itu dihelanya ke arah yang berlawanan, yaitu sebuah jalan yang membelok ke kanan.
"Apakah aku akan berhasil melakukan tugas?" tanya Fa-Fu-Sai dalam hati.
"Ah, moga saja Naga Kuning akan mau menerima persahabatan yang diinginkan oleh Taka Nata."
Kembali dihelanya kuda dengan kencang, sehingga kuda itu berlari bagaikan kibasan angin. Lari kuda itu pesat, menjejak bebatuan yang melayang mana kala tersepak kakinya. Dingin salju yang menyelimuti gunung Fujiyama bagaikan tak mempengaruhi tekad Fa-Fu-Sai untuk menemui Naga Kuning. Tidak berapa lama antaranya, kuda yang ditumpangi Fa-Fu-Sai sampai di sebuah rumah panggung yang berdiri di tengah-tengah hutan pinus yang memutih oleh salju yang menutupinya. Perlahan kuda dihentikan, lalu dengan ringan Fa-Fu-Sai lompatkan tubuh turun. Kudanya di tambatkan, melangkah kakinya menginjak salju yang begitu dingin hingga sepatu sendal yang dikenakan bagaikan bantalan karet es.
"Sampurasun...?" Fa-Fu-Sai menguluk salam.
Tak ada jawaban dari dalam rumah itu, hanya terdengar langkah berat beranjak menuju ke luar. Langkah-langkah yang seakan mengandung rasa was-was dan hati-hati. Lama Fa-Fu-Sai menanti orang yang dia nanti.
"Kreettt...!"
Pintu rumah dibuka, dan dari dalam rumah nampak keluar seorang lelaki setengah baya dengan wajah pucat pasi. Wajah itu walau pucat namun menandakan betapa dulunya dia adalah seorang yang berjiwa baja.
"Naga Kuning...!" Fa-Fu-Sai teriak tertahan demi melihat keadaan kambratnya. Segera Fa-FuSai berlari ke arah Naga Kuning, lalu dengan penuh kerinduan Fa-Fu-Sai dekap rekannya seraya bertanya.
"Apa yang telah terjadi denganmu...?"
"Aku... aku," Naga Kuning tersendat, sepertinya sukar untuk berkata-kata.
"Kau kenapa, Adik...? Fa-Fu-Sai yang memang lebih tua mendesak ingin tahu.
"Apakah kau sakit?"
Naga Kuning mengangguk.
"Sakit biasa...?"
Naga Kuning gelengkan kepala.
Fa-Fu-Sai makin tidak sabar ingin tahu, lalu dengan memandang wajah Naga Kuning yang pucat kembali Fa-Fu-Sai bertanya.
"Kau telah berkelahi?"
"Ya!" jawab Naga Kuning pendek.
"Dengan siapa? Katakanlah, mungkin aku akan mampu membuat pembalasan dengannya."
"Prajurit Kaisar," Kembali Naga Kuning menjawab.
"Jadi...?" Fa-Fu-Sai terbelalak.
"Bajingan-bajingan rendah Kaisar telah melukaimu?"
"Ya!"
"Aku akan membalaskannyya, Adik."
"Tak mungkin, Kakak."
"Kenapa?"
Naga Kuning hela napas panjang, lalu katanya, "Bukankah di pihak Kaisar ada Taka Nata?"
"Tidak! Aku datang ke mari juga atas perintah Taka Nata untuk meminta padamu agar mau membantu dirinya memberontak."
"Apa...?!" Kaget Naga Kuning mendengar penuturan Fa-Fu-Sai yang mengatakan bahwa Taka Nata kini memusuhi pihak kerajaan yang dulu dibelanya.
"Apakah dia benar-benar, Kakak?"
"Aku tidak berdusta, Adik," jawab Fa-Fu-Sai.
"Dia seperti kita. Dia juga ditolak permintaannnya untuk ke Tanah Jawa. Itulah makanya dia memusuhi kerajaan dan mengajak kita bergabung dengannya memberontak."
Naga Kuning kembali diam, sepertinya Naga Kuning tengah memikirkan akan kebenaran yang telah dikatakan oleh Kakak seperguruannya. Hal tersebut menjadikan Fa-Fu-Sai kembali bertanya.
"Bagaimana, Adik?"
"Aku menyokong," jawab Naga Kuning setelah menarik napas panjang, menjadikan Fa-FuSai tersenyum. Kembali dipeluknya Naga Kuning.
"Terimakasih. Mungkin kita akan mendapatkan ketenangan bila telah bersatu dengan Taka Nata."
Kedua kakak beradik perguruan itu akhirnya masuk ke dalam rumah Naga Kuning. Di dalam keduanya meneruskan cerita apa saja yang selama perpisahannya keduanya alami. Ruangan rumah Naga Kuning nampak berantakan, hal tersebut menjadikan tanya Fa-Fu-Sai kembali.
"Mana istri dan anak-anakmu?"
Ditanya begitu rupa, bukannya menjadikan Naga Kuning mampu menjawab. Bahkan tampak air matanya berlinang, lalu tetes-tetes air bening pun jatuh ke pipinya.
"Kenapa kau menangis, Adik?"
"Aku sedih, Kakak." Dicobanya untuk menyeka air mata, lalu dengan bibir pucat bergetar Naga Kuning yang dulu merupakan Tiga Serangkai Naga yang terkenal berani dan kokoh dalam pendirian bercerita bagaimana keadaan keluarganya.
Dua tahun yang lalu mana kala dirinya baru menjalankan tugas yang dilakukan dengan kedua kakak seperguruannya yaitu Naga Merah dan Naga Biru, Naga Kuning kembali untuk menemui istri dan anak-anaknya. Tetapi, betapa marah dan jengkelnya Naga Kuning mana kala mendapatkan rumahnya berantakan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Mayat istri dan anak-anaknya yang sangat ia sayangi.
"Aku menjerit kaget! Aku marah saat itu, Kakak."
"Lalu, apakah kau mengetahui siapa pembunuhnya?"
Naga Kuning gelengkan kepala. Naga Merah terjengah diam, seakan turut berduka atas segala yang dialami oleh Naga Kuning. Tidak terasa gigi-gigi Naga Merah saling beradu, membunyikan suara gemerutuk. Untuk beberapa lama keduanya terdiam tanpa kata, sepertinya keduanya tengah merasakan penderitaan yang panjang. Segala kejadian yang dialami oleh mereka hampir sama. Seluruh keluarganya mati terbantai, dan keduanya tiada tahu siapa yang telah membantai keluarga mereka. Kejadian itu semua, terjadi mana kala mereka menentang kekaisaran, sehingga mereka menganggap bahwa semuanya yang melakukan tak lain dari pihak kerajaan.
"Mengapa nasib kita sama, Adik?"
Terbelalak mata Naga Kuning mendengar ucapan Naga Merah yang tiada diduganya. Ada rasa tidak percaya dalam pancaran mata Naga Kuning, sebab setahunya, Naga Merah bukanlah orang sembarangan. Manalah mungkin semudah itu musuh melakukannya? Dan istri Naga Merah si Dewi Rembulan Perak juga seorang tokoh persilatan yang tidak rendah ilmu silatnya.
"Mana mungkin bisa begitu, Kakak?" tanya Naga Kuning tidak begitu percaya.
"Bukankah Kakak Dewi Rembulan Perak seorang tokoh persilatan yang patut diperhitungkan?"
"Itulah, Adik. Aku juga mulanya tak mengerti. Dan aku juga bertanya-tanya siapa adanya yang mampu mengimbangi ilmu istriku. Mulanya aku menduga Taka Nata, akan tetapi bila dilihat dari kematian istriku, jelas bukan oleh Taka Nata. Istriku mati oleh sebuah senjata yang sampai sekarang aku simpan. Ini...!"
Mata Naga Kuning kembali membeliak tatkala melihat senjata yang digenggam oleh Naga Merah.
"Bulu Landak...!"
"Ya! Inilah senjata yang telah membunuh istriku."
"Sama, Kakak."
Naga Merah kini yang kaget. Matanya melotot tidak percaya mana kala Naga Kuning keluarkan Bulu Landak dari ikat pinggangnya. Mata kedua saudara seperguruan itu begitu terbelalaknya, sebab keduanya tahu siapa adanya pemilik Bulu Landak tersebut. Namun keduanya tidak ingin segalanya diperpanjang. Namun bila melihat keadaan Naga Kuning, maka Naga Merah tidaklah mampu menahan amarahnya.
"Benar-benar saudara celaka!" maki Naga Merah gusar, entah ditujukan pada siapa makian tersebut.
"Aku juga tidak mengerti, Kakak."
"Apakah kau tidak tahu siapa pemilik Bulu Landak tersebut?"
Naga Kuning gelengkan kepala, lalu katanya.
"Sama sekali."
"Aku tadinya tidak yakin."
"Maksudmu, Kakak?"
"Bulu Landak adalah milik Naga Biru," jawab Naga Merah.
"Ah...!" Tersentak Naga Kuning demi mendengar penuturan Naga Merah tentang siapa adanya pemilik senjata beracun Bulu Landak yang telah membinasakan keluarganya.
"Kakak tidak berdusta?"
Naga Merah gelengkan kepala, meyakinkan adiknya.
"Apa sebenarnya maksud Naga Biru?" gumam Naga Kuning.
"Kau ingat tentang Kitab Naga Api?" Naga Merah bertanya, diangguki oleh Naga Kuning.
"Mungkin Naga Biru hendak berbuat curang pada kita."
"Mungkin juga," Naga Kuning menggumam.
"Nah, dengan membunuh keluarga kita, dirinya hendak membuat kita jadi menderita. Beruntung waktu itu aku tahu bahwa senjata tersebut dialah yang memilikinya."
Naga Merah kemudian menceritakan tentang Naga Biru yang diketahuinya sebagai pemilik senjata Bulu Landak. Suatu hari mana kala Naga Biru tengah berlatih sendiri di rumahnya, diam-diam secara sembunyi-sembunyi Naga Merah mengintai apa yang dilakukan oleh Naga Biru. Mata Naga Merah membeliak mana kala melihat apa yang saat itu dilakukan oleh Naga Biru. Naga Biru rupanya tengah menguji kehebatan senjata barunya, yang tidak lain Bulu Landak Maut. Bulu Landak tersebut telah dilumuri oleh Racun Fuji Hitam, sebuah racun yang beraksi cepat. Maka bila korbannya tidak cepat ditolong dalam jangka waktu satu jam, melayanglah nyawa seorang korban.
"Aku masih sangsi, Kakak."
"Maksudmu?" tanya Naga Merah kurang mengerti.
"Apakah tidak ada orang lain yang memang sengaja mencuri senjata tersebut dengan tujuan memecah belah kita?"
"Bisa juga," jawab Naga Merah.
Keduanya kembali diam, sepertinya keduanya tengah menganalisa siapa sebenarnya yang menjadi biang dalam hal ini. Lama keduanya tanpa kata, dan hanya napas mereka saja yang terdengar mendesah berat.
"Apakah tidak sebaiknya kita ke sana?" usul Naga Kuning.
"Maksudmu ke Naga Biru?" Balik bertanya Naga Merah.
"Ya!"
"Ide yang bagus," jawab Naga Merah." Ayolah kalau kau kuat untuk melakukan perjalanan jauh."
"Aku masih sanggup, Kakak," jawab Naga Kuning.
Setelah mempersiapkan segala apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendekar kembali, Naga Kuning pun disertai oleh Naga Merah berangkat meninggalkan rumah untuk menemui satu saudara seperguruannya lagi yaitu Naga Biru. Keduanya hendak menyakinkan kebenaran adanya siapa yang telah menggunakan senjata Bulu Landak Maut tersebut. Hari itu juga keduanya memacu kuda-kuda mereka dengan kecepatan tinggi. Keduanya tiada hiraukan hujan salju yang menetes membasahi lereng gunung Fuji. Rasa dingin bagaikan tak menghalangi niat keduanya.
* * * * *
Sementara itu di kediaman Naga Biru, nampak kelima murid Naga Merah telah sampai. Kelimanya disambut dengan penuh persaudaraan oleh Naga Biru. Dipersilahkannya kelima murid kakak seperguruannya masuk, lalu dengan keakraban keenam orang tersebut saling berbincangbincang menceritakan apa yang mereka alami juga guru mereka. Diceritakan pula apa yang menjadi tujuan kedatangan mereka menemui Naga Biru.
"Jadi Guru kalian menyuruh kalian untuk menemuiku?"
"Begitulah, Paman Guru," jawab murid yang tertua.
"Apa yang kalian bawa?"
"Kami diperintahkan untuk memberi kabar bahwa Taka Nata menghendaki Paman Guru mau mendukung usahanya memberontak pada Kaisar."
Naga Biru sunggingkan senyum, dan dengan sinisnya berkata setelah mendengar penuturan murid-murid kemenakannya.
"Kalian mau membantu Iblis...?!"
"Maksud Paman Guru?" Murid kedua bertanya.
Naga Biru kembali hela napas, sementara bibirnya masih menyungging senyuman. Hal tersebut makin menjadikan ketidak mengertian kelima murid Naga Merah.
"Percuma! Percuma kalian membantunya."
"Kenapa, Paman Guru?" Murid Naga Merah yang pertama kembali bertanya. Matanya memandang penuh ketidak mengertian pada paman gurunya, diikuti oleh adik-adik seperguruannya.
"Kalian belum mengenal benar siapa adanya Taka Nata," Naga Biru akhirnya menggumam.
"Hem, dia benar-benar licik!"
Makin penuh ketidakmengertian saja kelima murid Naga Merah mendengar penuturan paman gurunya. Bukankah menurut guru mereka ini merupakan satu kesempatan. Mengapa paman guru mereka malah menolak dan bahkan mencaci maki? Namun segala pertanyaan tersebut hanya mereka simpan dalam hati. Mereka tak berani untuk mengutarakannya, sebab mereka takut kalau paman gurunya nanti akan marah
Melihat kelima murid kemenakannya terdiam, Naga Biru pun kembali berkata: "Akulah yang kini menanggung malu pada guru kalian dan paman guru kalian Naga Kuning."
"Maksud, Paman...?" Kelimanya serempak bertanya dengan mata kembali membelalak penuh ketidakmengertian.
"Kalian tidak mendengar Istri guru kalian mati?"
"Ya! Kami mendengar itu," jawab mereka.
"Nah, apakah yang diceritakan gurumu mengenai kematian istrinya?"
"Guru tidak pernah menceritakan apa-apa, Paman," jawab mereka kembali.
Hal tersebut menjadikan Naga Biru terbengong kaget. Hatinya salut pada kakak seperguruannya yang tidak mau membuat aib dirinya pada murid-muridnya. Naga Biru tarik napas panjang, lalu katanya: "Baiklah kalau kalian belum tahu, maka aku akan menceritakan pada kalian mengapa aku tidak lagi mendatangi guru kalian."
Naga Biru terdiam sejenak, begitu juga dengan kelima murid yang seakan tidak ingin menanya lebih jauh. Tidak lama kemudian, Naga Biru pun akhirnya bercerita juga apa sebenarnya yang telah terjadi dengan dirinya dan diri saudara-saudaranya.
"Istri guru dan paman gurumu mati oleh senjataku yang telah dicuri oleh orang. Aku mulanya tidak tahu siapa adanya pencuri senjata maut milikku. Namun setelah aku selidiki, ternyata yang mencurinya tidaklah lain Taka Nata adanya."
Semua yang mendengarkan seketika makin memaku diam. Hati kelima murid Naga Merah benar-benar tersengat penuh kemarahan. Bagaimana pun, hati mereka tidaklah mau menerima bila guru mereka harus saling baku hantam dengan Paman Gurunya.
"Betul-betul keji!" Murid pertama berkomentar.
"Memang! Dia tidaklah lain seorang Ninja Iblis! Dia curi senjataku, lalu dengan kejinya yang dengan maksud hendak memfitnah diriku senjata itu digunakannya untuk membunuh keluarga saudara-saudara seperguruanku. Taka Nata mengira bahwa tindakannya akan menguntungkan bagi dirinya. Setelah berhasil memperdayai kedua saudaraku, dengan berpura-pura ia bermaksud mengajak kami memberontak. Rupanya dia tidak sadar bahwa aku telah mengetahui hal sebenarnya."
"Braaakkk...!"
Keenam orang yang berada di situ tersentak dan bangkit dari duduknya mana kala mendengar suara pintu rumah dibongkar dengan paksa dari luar. Pintu yang terbuat dari Jati itu, seketika berantakan hancur terhantam oleh sebuah pukulan. Belum juga keenam hilang dari kaget, sesosok tubuh dengan pakaian serba putih perak dengan Samurai menggantung di pundaknya bergagang Tengkorak. Itulah Samurai Iblis, Samurai yang hanya dimiliki oleh Taka Nata saja.
"Taka Nata...!" Keenamnya memekik tertahan setelah tahu siapa adanya orang yang datang.
Taka Nata tiada kata, kakinya melangkah ringan ke arah mereka. Matanya nampak liar memandang pada Naga Biru. Setelah jarak mereka dekat, dari bibir Taka Nata terdengar suara mendesis berkata: "Naga Biru, hari ini juga akhir dari hidupmu. Karena bila kau tidak aku akhiri, maka rahasia siapa adanya aku akan terbuka!"
"Hem, jangan hanya bisanya lempar batu sembunyi tangan, Taka Nata! Kalau kau memang seorang lelaki, hadapilah aku!" Naga Biru tak kalah gertak. Tangannya nampak meraba Samurai yang tergantung di dinding di sampingnya, begitu juga dengan kelima murid Naga Merah yang turut menggeretak marah mana kala tahu siapa yang benar-benar melakukan segala tindakan keji, yang mengakibatkan kematian istri guru dan paman guru mereka. Kelimanya kini juga telah meraba Samurai mereka.
"Sraaangng...!" Suara Samurai dicabut.
Taka Nata nampak masih tenang, sepertinya tiada artinya keenam orang guru dan kemenakan murid itu baginya. Bahkan dengan tenangnya Taka Nata makin mendekati mereka. Keenam orang dihadapannya kini makin siap dengan Samurainya. Dan mana kala Taka Nata makin mendekat.
"Hiiiiiaaaaaaaatttt...!" Naga Biru mendahului menyerang.
"Hiiiiiiaaaaattt...!" Diikuti oleh kelima murid Naga Merah.
"Wuuuuuttt! Wuuuutttt!"
Samurai di tangan keenamnya berkelebat membabat tubuh Taka Nata. Taka Nata lompat ke belakang, lalu dengan memandang tajam ke arah keenam orang itu Taka Nata cabut Samurainya.
"Sraaangg...!"
"Mari kita buktikan! Hiiiiaaattt..." Taka Nata berkelebat dengan Samurai Iblisnya, menyerang ke arah keenam orang tersebut. Samurai Iblis berkelebat cepat, namun dengan cepat pula keenamnya balas menyerang.
"Wuuuuutttt...!"
"Wuuuuutttt...!"
"Traaaangg...!"
Terdengar suara bergemerang mana kala Samurai-samurai mereka bertemu dan saling beradu. Lima Samurai di tangan kelima murid Naga Merah puntung menjadi dua, tinggal Samurai yang berada di tangan Naga Biru saja yang masih utuh. Samurai di tangan Naga Biru nampak mengeluarkan asap tatkala berbenturan dengan Samurai Iblis di tangan Taka Nata. Dua orang musuh bebuyutan itu dalam keadaan siap tempur. Mata keduanya saling pandang, tajam bagaikan mata seekor Elang.
"Hiiiaaattt...!" Taka Nata tarik Samurainya, melompat mundur sesaat, lalu dengan cepat kembali menyerang ke arah Naga Biru.
Melihat Taka Nata menyerang, dengan cepat kelima murid Naga Merah yang ingin menunjukkan baktinya kebaskan tangan. Maka dari tangan kelimanya berdesing lima buah senjata rahasia berbentuk bintang empat mengarah ke arah Taka Nata.
"Sriingg! Sringg...! Sriiiiinnnnggg...!"
Taka Nata yang hendak menyerang Naga Biru terkesiap, namun dengan cepat Taka Nata kebaskan Samurai Iblisnya memapaki serangan senjata rahasia tersebut.
"Wuuuuuttt...!"
"Trang! Trang! Trangggg...!"
Luluh lantak kelima senjata rahasia yang dilemparkan oleh kelima murid Naga Merah. Kelima senjata rahasia itu hancur terbabat oleh Samurai Iblis di tangan Taka Nata. Mata kelima murid Naga Merah terkesiap. Dan belum kelimanya hilang kaget, tiba-tiba Taka Nata telah kembali berkelebat menyerang ke arah mereka.
Samurai Iblis di tangan Taka Nata kini mengarah ke arah kelima murid Naga Merah. Taka Nata kini benar-benar tidak menghendaki orangorang yang berada di situ mampu menghirup udara kehidupan lagi. Ditebaskannya Samurai Iblis.
"Wuuuttt...!"
Hampir saja Samurai Iblis di tangan Taka Nata mengakhiri nyawa kelimanya, kalau saja kelimanya tidak segera melompat mundur. Akan tetapi, dengan cepat Taka Nata kembali bergerak babatkan Samurai Iblisnya. Dan mana kala Samurai Iblis hampir menjarah tubuh kelima murid Naga Merah, dengan cepat Naga Biru babatkan Samurainya menangkis.
"Wuuuttt...!"
"Traangg...!"
Dua Samurai itu saling berbenturan, menempel dengan ketatnya. Kedua orang musuh bebuyutan itu saling pandang, saling kerahkan tenaga dalam yang tersalur di Samurai mereka. Hal itu berjalan cukup lama, menjadikan Samurai keduanya kini nampak mengepulkan asap. Mulanya asap itu hanya mengepul di Samurai mereka, namun dikarenakan mereka terus menguras tenaga, sehingga tubuh mereka pun kini nampak mengeluarkan asap pertanda mereka benar-benar mengeluarkan tenaga dalam tingkat tinggi. Keringat nampak bercucuran dari pelipis keduanya. Demi melihat hal itu, maka dengan mengharap dapat menjatuhkan Taka Nata kelima murid Naga Merah segera bergerak menyerang.
"Jangaaan...!" Naga Biru mencoba menghalangi, namun terlambat. Kelima orang murid kemenakannya kini telah berkelebat menyerang ke arah Taka Nata.
"Hiiaaattt...!"
Rupanya hal tersebut yang ditunggu oleh Taka Nata. Mata Taka Nata melirik, membuat sudut memandang ke arah datangnya kelima murid Naga Merah. Dan mana kala kelima murid Naga Merah makin dekat, Taka Nata segera tarik Samurainya.
"Wuuuttt...!"
Taka Nata kiblatkan Samurai ke arah datangnya kelima murid Naga Merah yang tidak memperhitungkan bahwa Taka Nata akan mampu melakukan itu semua. Maka mana kala tubuh kelimanya makin dekat dengan tangan mereka siap menghantam diri mereka, Taka Nata kibaskan Samurai.
"Wuuut! Wuuuut! Wuuuuuttt...!"
"Aaaaaaa...!"
Lima kali berturut-turut kelimanya memekik, mana kala Samurai Iblis di tangan Taka Nata menjerat tubuh mereka. Seketika perut kelima murid Naga Merah terkoyak, memuncratkan darah segar. Mata mereka melotot, kejang sesaat, lalu akhirnya ambruk satu persatu dengan lidah menjulur. Tubuh kelimanya seketika membiru. Kelimanya nampak seperti terkena racun yang sangat ganas.
"Racun Fuji Hitam...!" Naga Biru memekik, lalu dengan penuh kemarahan Naga Biru pun kembali berkelebat menyerang.
Melihat Naga Biru telah kembali berkelebat menyerang, Taka Nata yang masih mengkiblatkan Samurainya kini berteriak sambil melompat menyerang. Dua tubuh itu saling melompat bagaikan terbang dengan Samurai siap di tangan masing-masing
"Kau harus mampus, Iblis!" gertak Naga Biru.
"Wuuuut...!"
Samurai Naga Biru berkelebat membabat, namun dengan cepat pula Taka Nata elakkan babatan tersebut. Taka Nata lemparkan tubuh ke udara, kemudian dengan cepat Samurai Iblis papaki serangan tersebut.
"Wuuuut...!"
"Wuuuutttt...!"
"Traaaaaaangg...!"
Kembali dua Samurai itu saling beradu, dan kembali keduanya menempel. Keduanya kini benar-benar menguras tenaga yang mereka miliki untuk mampu menjatuhkan musuh. Keringat menetes di pelipis keduanya. Sementara mata keduanya saling pandang, sepertinya mata keduanya menyadap apa yang menjadi gerak gerik musuh. Taka Nata nampak bergetar, hal itu menunjukkan bahwa tenaga yang dimilikinya masih berada di bawah musuh.
"Bahaya kalau tidak aku selesaikan!" Membatin Taka Nata. Otak Taka Nata bergerak cepat, mencari bagaimana untuk mampu menjatuhkan Naga Biru.
Ternyata Naga Biru jauh lebih kuat dibandingkan dengan dua saudara seperguruannya yang lain. Dua tahun keduanya tidak saling bertemu, dan dua tahun ternyata cukup bagi Naga Biru untuk mendalami ilmu kanuragan hingga kini benar-benar bukanlah tandingan bagi Taka Nata.
"Aku harus mampu membunuhnya!"
Naga Biru tidak menyadari apa yang sebenarnya tengah dielakkan oleh Taka Nata. Merasa dirinya tidaklah unggulan, Taka Nata dengan licik dan cepat kibaskan tangan yang telah merogoh sesuatu dari balik sabuknya.
"Wuuuusss...!"
Naga Biru tersentak mana kala tahu apa yang dilakukan oleh Taka Nata. Dicobanya untuk menarik Samurai yang menempel, namun Taka Nata rupanya telah memperbesar tenaganya untuk menempelkan Samurainya agar Samurai lawan tidak dapat difungsikan.
"Licik!" maki hati Naga Biru, wajahnya kini nampak tegang menandakan bahwa dia kini benar-benar tengah menghadapi bahaya. Sementara lima larik benda yang ia kenal kini melesat ke arahnya dengan cepat. Benda-benda tersebut tidak lain Bulu Landak Maut miliknya yang dicuri. Tanpa ampun lagi, memekiklah Naga Biru mana kala dengan telak Bulu-bulu Landak Maut tersebut menyerbu ke arahnya.
"Aaaaaaa...!"
"Jep, jep, jep!"
Naga Biru menggelepar-gelepar mana kala kelima Bulu Landak Maut itu menjarah tubuhnya. Satu di paha, satu lagi di perutnya, sementara yang tiga berada di mata dan pipinya. Naga Biru yang terkenal pemberani dan gagah itu tanpa ampun sekarat untuk beberapa saat sebelum akhirnya ambruk dengan mulut mengeluarkan buih racun ganas. Saat itu juga Naga Biru pun nyawanya melayang, dan mati menyedihkan.
"Hua, ha, ha...! Akulah yang akan menguasai Tanah Jawa!" Taka Nata bergelak tawa.
"Aku akan membunuh orang-orang yang hendak bermaksud menghalangiku! Akulah Taka Nata si Iblis Nippon, sekaligus Maha Raja yang kelak menguasai Tanah Jawa! Hua, ha, haaaa...!"
Dengan meninggalkan gelak tawa Taka Nata pun melesat pergi tinggalkan keenam sosok tubuh yang telah tanpa nyawa. Dengan penuh kepuasan Taka Nata berlalu pergi entah ke mana, tinggallah keadaan rumah Naga Biru yang porak poranda dan sunyi...!
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT
] ¦≡:::
Dua ekor kuda dengan penunggangnya yang mengenakan pakaian Pendekar dengan Samurai di pundak masing-masing nampak memacu menuju ke rumah Naga Biru. Di wajah kedua orang penunggang kuda tersebut tergambar ketidakbahagiaan. Di wajah keduanya jelas terlintas rasa kurang percaya pada apa yang menjadi tuduhan dan terkaan mereka. Mungkin hati mereka sudah terikat oleh rasa kekeluargaan hingga keduanya nampak tidak tenang.
"Apakah kau tidak merasakan sesuatu, Naga Kuning" tanya Naga Merah.
"Aku merasakan ketidak enakan, Kakak."
"Begitu juga aku. Hatiku tergetar hebat, seakan ada sesuatu yang tidak beres," Naga Merah menjelaskan apa yang dirasakan di hatinya.
"Ayo kita percepat!"
"Hia, hia, hia...!"
Kuda mereka pacu dengan cepatnya, seakan keduanya ingin segera sampai di tempat yang dituju. Tengah keduanya memacu kuda-kuda mereka. Tiba-tiba sebuah bayangan berlari berkelebat menuju arah berlawanan dengan mereka. Keduanya sejenak tersentak, dan makin tidak enak saja perasaan keduanya setelah melihat siapa yang telah berpapasan dengan mereka.
"Taka Nata...?" desis Naga Merah.
Taka Nata tidak hiraukan keduanya, seakan ia tidak mengenal keduanya dan terus berlari. Kedua adik kakak seperguruan makin bertambah tidak tentram hatinya. Perasaan keduanya makin berkecamuk beberapa pertanyaan yang sukar dijawab. Maka dengan makin mempercepat lari kudanya, keduanya kini membawa segala tanda tanya yang bergayut di benak mereka menuju jawaban di rumah Naga Biru. Dan benar apa yang menjadi prasangka buruk keduanya, tampak rumah Naga Biru berantakan, sepi bagaikan tiada berpenghuni
"Apa yang telah terjadi?"
Belum habis segala pertanyaan Naga Kuning, dengan cepat Naga Merah berkelebat lompat dari kudanya ke rumah Naga Biru. Melihat hal tersebut Naga Kuning pun tidak mau ketinggalan, segera Naga Kuning pun berkelebat mengikuti kakak seperguruannya menuju rumah Naga Biru.
"Bajero! Taka Nata keparat...!" Naga Merah memaki marah dengan melihat apa yang terjadi.
Enam orang yang sungguh ia kenal kini nampak bergelimpangan dengan tanpa nyawa lagi. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, adalah kematian Naga Biru oleh senjatanya sendiri yaitu Bulu Landak Maut.
"Bulu Landak Maut!"
"Bajero! Taka Nata Iblis! Rupanya dia juga yang telah membunuh istri kita, Kakak."
Naga Merah tak mampu berkata apa-apa. Kini mereka menyadari bahwa diri mereka benar-benar telah diperdayai oleh Taka Nata. Kemarahan keduanya kini benar-benar telah memuncak. Tangan kedua kakak beradik seperguruan itu kini mengepal, sepertinya ingin menghancurkan Taka Nata yang telah diketahuinya berbuat segalanya.
"Taka Nata keparat! Dia harus mempertanggung jawabkan semua tindakannya" Menggeram Naga Merah.
"Ayo kita kejar, Adik!"
Dengan membawa kemarahan dan dendam kedua kakak beradik seperguruan tersebut kembali pergi menggebah kuda-kuda mereka untuk memburu Taka Nata yang sudah diketahui adalah orang yang telah melakukan segalanya. Di hati mereka hanya satu pilihan, lebih baik mati atau menang!
* * * * *
Taka Nata terus berlari tanpa menengok ke belakang lagi. Perasaannya sebagai seorang Ninja sangat pekat. Ia merasa bahwa dirinya kini diikuti dan dikejar oleh dua Naga.
"Tentunya kedua Naga dungu itu akan mengejarku," kata Taka Nata masih terus berlari. Bahkan kini makin dipercepat saja larinya. Dan mana kala di hadapannya terhampar sebuah hutan lebat Taka Nata segera melompat, masuk dan menghilang entah ke mana.
Sementara dua orang yang mengejarnya masih berusaha mencari jejak Taka Nata. Kedua orang tersebut masih mencoba mengejar dengan memacu kuda mereka cepat. Namun kemudian kedua Naga itu tersentak ketika tiba-tiba bayangan Taka Nata hilang, dan tinggallah hutan yang terhampar di hadapan mereka.
"Ke mana Iblis tersebut?" Naga Merah bertanya pada diri sendiri.
"Aku yakin dia masih berada di sekitar sini."
"Benar! Tadi aku melihat dia lari ke hutan ini, Kakak. Kita mesti berhati-hati."
Dua orang kakak beradik Naga itu melangkah dengan perlahan. Sementara itu di tangan keduanya telah siap Samurai-samurai yang sewaktu-waktu mampu membuat musuh harus berusaha mengelakannya atau dirinya tersayatsayat Samurai tersebut.
"Taka Nata, keluar kau...!" Naga Merah membentak, berseru memanggil nama Taka Nata.
"Taka Nata, kalau kau tidak pengecut, keluarlah!" Tidak ada jawaban, menjadikan keduanya geram.
"Bajero! Keluar kau, Bajero, Iblis!" Naga Kuning yang juga marah turut berteriak.
Namun tiada jawaban, dan hanya gema suara mereka saja yang terdengar menggaung di antara pepohonan pinus yang nampak memutih tertutup salju. Makin saja kaki keduanya masuk ke dalam, makin sunyi keadaan hutan pinus yang tertimbun salju itu. Tekad di hati keduanya hanya satu, yang mampu menimbulkan keberanian yang melebihi keberanian sebenarnya. Kaki keduanya melangkah agak berat, melangkah di atas hamparan tanah bersalju yang dingin dan beku. Keduanya telah jauh meninggalkan kuda-kudanya yang keduanya tambat di luar hutan.
"Huh, ha, ha...! Kalian datang juga!" Terdengar suara gema yang dilontarkan dengan didasari tenaga dalam.
"Bagaimana, apakah kalian mau menjadi sahabat-sahabatku?"
"Taka Nata, keluarlah!" Naga Merah berseru.
"Ya! Keluarlah kalau kau tidak ingin dikatakan pengecut!"
"Baik!" Berbarengan dengan habisnya suara Taka Nata, tiba-tiba sebuah bayangan Putih Perak berkelebat dengan Samurai Iblisnya menyerang keduanya.
"Awas...!" Naga Merah berseru memperingatkan Naga Kuning.
Keduanya melompat, lemparkan tubuh ke samping, lalu berbareng keduanya balik babatkan pedang Samurai ke arah datangnya serangan.
"Wuuuuttt...!" Samurai Iblis membersit.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
Dua Samurai di tangan dua Naga itu juga berkelebat memapaki serangan. Kilatan putih saling bertemu, lalu...!
"Traang...!"
Tiga Samurai yang dialiri tenaga dalam kini saling beradu di udara. Kedua Naga itu kini nampak menggeretak, sementara Taka Nata dengan wajah tegang yang nampak dari sorot matanya juga nampak mengeluarkan tenaga untuk mampu menahan serangan tenaga dalam keduanya. Mata ketiganya saling pandang, saling menjajagi kekuatan lawan.
"Hiiiaaaaattt...!" Taka Nata tarik Samurai Iblisnya, lalu dengan cepat kebaskan Samurai tersebut kembali menyerang kedua Naga.
Dengan cepat dan tangkas kedua Naga itu pun elakan serangan yang dilancarkan Taka Nata dengan masih waspada akan apa yang dilakukan Taka Nata. Tubuh Taka Nata yang memegang Samurai Iblis terus bergerak menyerang, sementara kedua Naga itu pun tidak mau mengalah begitu saja. Keduanya kembali bergerak memapaki serangan-serangan Taka Nata. Kini ketiganya bagaikan menghilang, dan hanya gulungan-gulungan Samurai di tangan ketiganya saja yang nampak. Gulungan sinar putih dan Perak saling bergulung untuk saling mampu mengalahkannya.
"Wuuuuttt...!"
Taka Nata Kebaskan Samurai, mencoba merangsek kedua Naga itu. Namun kedua Naga tersebut bukanlah lawan yang enteng. Ketiganya, bahkan berempat dengan Naga Biru pernah saling bertempur mana kala keempatnya saling membela diri masing-masing. Tiga Naga Dari gunung Fuji adalah orang-orang yang menjadi buronan kerajaan, hal tersebut merupakan tugas bagi Taka Nata untuk menumpas ketiga Naga tersebut. Namun sejauh itu, mereka belum juga mampu untuk saling menjatuhkan. Akan tetapi, sekarang Taka Nata bergerak atas nama sendiri. Taka Nata tidak ingin dirinya tersaingi oleh pendekar lainnya. Dia ingin hanya dirinya sendiri yang terkenal sebagai seorang Pendekar Ninja.
Kedua Naga dari Fuji dengan cepat balik menyerang, setelah terlebih dahulu mengelakkan serangan Taka Nata. Samurai di tangan keduanya tidak kalah cepat membabat dan menangkis Samurai Iblis di, tangan Taka Nata.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuuttt...!"
"Traang...!"
Percikan api mencelat manakala ketiga Samurai tersebut saling beradu. Ketiganya untuk sesaat tergetar, lalu dengan memekik ketiganya kembali berkelebat menyerang. Dua lawan satu itu terus berlangsung, masing-masing dengan kemampuan yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Mungkin kalau satu lawan satu Taka Nata akan mampu dengan cepat menjatuhkan mereka, tetapi kini Taka Nata menghadapi dua orang Naga sekaligus yang ilmunya boleh dikata sama dengan ilmu yang dimilikinya.
Tubuh Ketiganya melayang bagaikan terbang, lalu kiblatkan Samurai ke arah lawan masing-masing. Dua Samurai di tangan Dua Naga itu kini terarah ke arah Taka Nata. Ujung Samurai itu kini bagaikan dua Malaikat yang siap mencabut nyawa Taka Nata. Gerakan Samurai di tangan dua Naga itu begitu cepat, hampir sukar bagi Taka Nata untuk mampu menghindari. Namun Taka Nata bukanlah orang Ninja sembarangan. Menghadapi tekanan serangan begitu cepat tidak menjadikan dirinya terperangkap oleh ketakutan, namun dengan tenangnya Taka Nata kibaskan tangan.
"Wuuuuttt...!"
Lima larik sinar hitam meleset, menjadikan kedua Naga itu terperanjat. Kedua naga itu segera tarik kembali serangan, lalu kibaskan Samurai ke arah benda-benda yang melesat ke arah mereka.
"Licik!" Keduanya membentak.
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trang..! Trang...!"
Lima kali Samurai mereka menyampok lima benda-benda yang beterbangan yang mereka tahu adalah sebuah senjata rahasia milik salah seorang dari Tiga Naga, itulah Bulu Landak Maut milik Naga Biru yang akhirnya mati oleh senjatanya sendiri. Bulu-bulu Landak itu runtuh berserakan terbabat Samurai di tangan kedua Naga, yang mematahkan Bulu-bulu Landak Maut. Namun belum juga keduanya beristirahat melepaskan rasa kaget, dengan cepat Taka Nata kembali menyerang dengan Bulu-Bulu Landak kembali. Kali ini jumlah bulu-bulu tersebut bertambah menjadi dua kali lipat.
"Wuuuusss...!"
"Awas Adik...!" Naga Merah sadarkan Naga Kuning.
"Bangsat! Licik!" Naga Kuning memaki, lalu mencoba kibaskan Samurainya. Namun gerakannya terhambat, sebab tenaganya nampak telah terkuras habis. Tiga bulu landak dapat terbabat, sedangkan dua lainnya kini melesat deras ke arahnya, dan tidak dapat Naga Kuning mengelakannya.
"Aaahhh...!" Naga Kuning memekik, tubuhnya sempoyongan. Pahanya kini tertancap dua buah Bulu Landak Maut yang dilancarkan Taka Nata.
Naga Merah yang sudah dapat mengatasi serangan Bulu Landak itu dengan cepat berkelebat menyampak tubuh Naga Kuning, lalu dengan segera Naga Merah bawa lari tubuh Naga Kuning dengan meninggalkan ancaman dan makian terhadap Taka Nata, "Taka Nata, kini kami mengakui kekalahan. Namun kelak kami akan kembali menuntut balas atas sengaja tindakanmu!"
"Aku tunggu!" Balas Taka Nata, dan dengan bergelak tawa meremehkan ucapan Naga Merah, Taka Nata pun berkelebat meninggalkan hutan tersebut. Dengan tinggalkan gelak tawa Taka Nata bagaikan gila saja, setiap jejakan kakinya menjadikan salju yang menghampar di atas bumi lumer berubah menjadi air.
* * * * *
:::≡¦ [ LIMA
] ¦≡:::
Jaka Ndableg yang telah mampu menghancurkan para Ninja yang berada di Tanah Jawa, kini nampak berjalan seorang diri. Seperti biasanya, Jaka Ndableg saat itu juga tengah melakukan perjalanan berkelana menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini. Jaka Ndableg berjalan dengan santainya, seakan ia ingin benar-benar menghayati makna kehidupan ini. Kadang kala ia bernyanyi-nyanyi menghibur diri atau duduk-duduk di atas sebuah pohon yang tumbang. Tengah dirinya duduk-duduk melepas lelah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara berdesingnya puluhan senjata rahasia.
"Hiiiaaaattt...!" Jaka lompat, balikkan tubuh menghadap ke arah datangnya suara tersebut.
"Orang-orang pengecut! Keluar kalian dari persembunyian kalian!" makinya, lalu dengan cepat cabut Pedang Siluman Darah dari sarungnya, dan disabutkannya ke arah Bintang-Bintang Maut tersebut.
"Wuuuuttt...!"
"Trang! Trang! Trang...!"
Sekali Pedang Siluman Darah bergerak, sekali itu pula runtuhlah Bintang-Bintang Maut tersebut. Bintang-Bintang Maut itu terbelah menjadi dua dan berjatuhan di atas tanah.
"Swing! Swing! Swwing...!"
"Monyet! Keluar kalian!" Jaka Ndableg memaki-maki marah karena kembali Bintang-Bintang Maut tersebut menyerang ke arahnya, dan kali ini jumlahnya makin bertambah banyak saja.
"Jangan kira aku tidak akan menghukum kalian, Monyet!"
"Wuuuuttt...!" Pedang Siluman Darah berkelebat, membabat ke arah datangnya suara desingan senjata rahasia yang kini mengarah ke arahnya.
"Trang...!"
Kembali puluhan senjata rahasia itu berantakan jatuh. terbabat Pedang Siluman Darah. Senjata-senjata rahasia itu luluh lantak menjadi dua.
"Keluarlah kalian, Kunyuk-kunyuk Nippon!" Jaka kembali membentak.
"Kalian adalah orang-orang Ninja, tentunya kalian memiliki keberanian bukan sebagai seorang Pengecut!"
"Hiiiaaaaaatttttt...!"
Bersamaan dengan habisnya suara Jaka Ndableg, dari dalam tanah dan juga pepohonan berkelebat puluhan orang berpakaian serba hitam mengarah dengan Samurai siap di tangan ke arah Jaka Ndableg. Jaka yang sudah mengetahui siapa diri mereka, dengan cepat kibaskan Pedang Siluman Darah memapaki mereka.
"Hiiiaaattt...!"
"Wuuuutttt...!"
Jaka babatkan Pedang Siluman Darah ke arah mereka. Rupanya para Ninja itu sudah tahu kehebatan Pedang Siluman Darah yang berwarna kuning kemerahan di tangan Jaka Ndableg, maka mereka pun urungkan niat menyerang, cabut serangan.
"Pedang Siluman Darah! Awaas...!" Seorang yang ternyata ketuanya berseru memperingatkan.
"Hati-hati dengan pedang itu!" Ia berkata dalam bahasa Jepang, yang tidak dimengerti oleh Jaka Ndableg.
Jaka tidak hiraukan seruan pimpinan Ninja tersebut, kembali Jaka berkelebat menyerang. Namun ternyata para Ninja itu sudah dilatih sedemikian pula, sehingga serangan Jaka tiada arti sama sekali. Setiap Pedang Siluman Darah dibabatkan, setiap itu pula Ninja-ninja yang diserang menghilang dengan mendahului serangan Pedang Siluman Darah.
"Kunyuk!" Jaka memaki-maki sendiri, dan mana kala Ninja-ninja itu muncul, segera Jaka pun kembali serang mereka. Namun seperti semula, Ninja-ninja tersebut bagaikan telah tahu. Mereka menghilang dengan didahului ledakan.
"Swiiingg..!"
"Swiiiiittt...!"
Suara pimpinan Ninja menggema, berbarengan dengan suara suitan yang nyaring dan desingan senjata-senjata rahasia. Habis suitan tersebut, tiga orang berbadan besar tiba-tiba muncul dan menghadang langkah Jaka Ndableg yang menyurut mundur.
"Siapa kalian?" tanya Jaka dengan mata memandang tiada kedip ke arah ketiganya.
"Apakah kalian diperintahkan oleh Ninja-ninja tersebut menghadapi aku?"
"Hua, ha, ha...! Lagakmu terlalu tinggi." Orang besar pertama yang berkalung ular berkata, langkahnya makin mendekati Jaka Ndableg yang masih menggenggam Pedang Siluman Darah di tangannya.
"Ki Sanak! Aku bertanya, dan semestinya kalian menjawab," Jaka nampak tidak sabar melihat ketiga orang yang bertampang bengis tidak bersahabat tersebut.
"Kalau kalian benar menjadi Anjing Ninja, tentunya kalian tidak lebih seorang penjilat yang hendak merongrong negeri sendiri!"
"Hem, rupanya kau ingin menjadi Pahlawan, Anak muda," Yang berkata orang kedua, bermata sipit, dengan hidung mancung betet, serta rambut panjang terurai. Di lehernya terkalung sama, seekor ular yang sebesar tangan. Ular itu menjulurjulur, seakan ingin memangsa Jaka Ndableg yang berada di hadapannya.
"Kalau memang kami diperintah oleh mereka karena kami dibayar, kau mau apa, hah!"
"Huh! Jangan kira kalian akan mampu menjadi anjing-anjing penjajah Nippon, Iblis!" Jaka nampak sudah tidak sabaran melihat mereka yang diketahui adalah penjilat-penjilat musuh. Hanya karena uang yang tidak seberapa mereka harus mengorbankan negeri sendiri, sungguh perbuatan yang patut mendapat hukuman mati bagi mereka.
"Kalian tidak lebih sebagai manusiamanusia tak mengerti rasa kepatriotan! Kalian demi uang rela mengorbankan negeri sendiri! Rakyat macam apa, kalian ini!"
"Anak Sundel! Itu urusan kami!" bentak orang pertama. Memang itu urusan kalian, tapi aku tak akan membiarkan penjilat-penjilat penjajah meraja lela di muka bumi tanah Jawa ini! Aku akan berusaha menghalangi langkah kalian, meski nyawaku sebagai taruhannya!"
Tertawa bergelak-gelak ketiga orang tinggi besar itu mendengar ucapan Jaka Ndableg. Salah seorang dari ketiganya, maju ke muka, lalu dengan cepat tangannya bergerak.
"Wuuuttt...!"
"Trap!"
Tangan orang tersebut mencepit tubuh Jaka Ndableg, menjadikan Jaka kini bagaikan segenggaman orang tersebut. Tangan kekar itu terus mengeras, sepertinya hendak menghancurkan dan meremukkan tubuh Jaka Ndableg.
"Mampus, Pahlawan kesiangan!" bentak orang tersebut.
Jaka masih berusaha tenang, perlahan disalurkannya tenaga murni ke segenap tubuh. Hawa murni yang mengandung kekuatan dahsyat, menjadikan orang tersebut seketika memekik.
"Ah...!" Orang itu berusaha melepaskan tangannya yang terasa panas menyengat, namun usahanya sia-sia. Ternyata Jaka telah menyedot tubuh orang tersebut hingga tangannya kini lengket dengan tubuhnya tanpa dapat ditarik kembali. Orang itu benar-benar panik. Sebab ia tidak menyangka kalau anak semuda Jaka Ndableg telah mampu memiliki ilmu langka seperti itu. Sementara dua orang lainnya juga tidak kalah kagetnya melihat hal tersebut. Mata kedua orang tersebut membeliak, dan dari mulut mereka kini memekik sebutkan ajian yang dilancarkan Jaka Ndableg.
"Dewa Api...!"
"Hai! Apa hubunganmu dengan Paksi Anom, Anak Edan!" bentak salah seorang dari keduanya yang ternyata tahu siapa pemilik ilmu aneh yang bergelar Dewa Api.
Jaka tersenyum, sementara orang yang melekat di tubuhnya masih berusaha melepaskan tangannya yang masih melekat. Namun usahanya menemui kesia-siaan. Setiap kali tangannya ditarik, setiap kali itu juga sedotan Jaka Ndableg makin menjadi-jadi. Sedangkan Jaka Ndableg seakan tiada merasa apa-apa, bahkan kini ia tertawa bergelak-gelak seperti orang gila.
"Aku Jaka Ndableg! Aku cucu Paksi Anom!" jawab Jaka, menjadikan kedua orang itu membeliakkan mata makin lebar, tidak menyangka kalau mereka harus menghadapi seorang Pendekar yang namanya kini tengah menjadi buah bibir di dunia persilatan.
"Kau Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanya orang kedua, masih dengan mata membeliak kaget.
"Tidakkah kau lihat apa yang kini aku genggam?!"
Mata keduanya seketika tertuju pada pedang yang kini tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Maka manakala mereka melihat pedang tersebut, seketika mulut mereka menganga. Benar, pedang itu adalah Pedang Siluman Darah yang kini tengah menggegerkan dunia persilatan. Makin bergidig saja keduanya setelah tahu bahwa pedang di tangan Jaka Ndableg benar-benar Pedang Siluman Darah. Namun untuk lari, jelas mereka tidak ingin rekannya yang kini masih melekat di tubuh Jaka mati lemas. Salah satu jalan, mereka harus mengadu jiwa. Namun bila hal itu mereka lakukan, tentunya mereka hanya menjadi bulan-bulanan Pendekar muda tersebut.
Pikiran keduanya bergolak, antara merasa dirinya tidak unggulan dengan rasa setia kawanan mereka. Kini tampak oleh keduanya teman mereka makin lama makin melemas. Tenaga orang yang melekat di tubuh Jaka kini benarbenar habis, akhirnya orang itu hanya diam, tanpa mampu lagi berbuat apa-apa lagi. Tubuhnya nampak membara, merah bagaikan terbakar oleh Inti Api yang dilancarkan oleh Jaka Ndableg.
"Bahaya! Sungguh bahaya kalau kita biarkan!" Orang pertama berseru kaget melihat apa yang terjadi dengan temannya yang kini tubuhnya berwarna merah membara.
"Kita bantu...!"
Orang kedua hanya mampu terbengong, seakan ia benar-benar hilang nyalinya untuk menghadapi Pendekar kita ini. Ia merasa tidak bakalan unggulan, namun untuk lari, jelas ia tidak ingin dikata pengecut oleh temannya. Maka hanya satu jalan bagi mereka, nekad menyerang Jaka Ndableg.
"Hiiaaaattt...!"
Tubuh keduanya kini berkelebat ke arah Jaka, sementara di tangan keduanya tergenggam sosok-sosok bersisik panjang. Ular itu mendesis-desis, sepertinya ular itu hendak memangsa Jaka Ndableg. Namun Pendekar muda ini, seakan tidak bergeming sedikit pun untuk mengelakkan serangan ular berbisa di tangan kedua musuhnya. Jaka Ndableg bagaikan membiarkan tubuhnya menjadi sasaran patukkan ular-ular tersebut. Namun...!
"Sssssttt...!" Ular-ular itu mendesis, bergerak liar manakala mencium bau manusia. Mulut ular-ular itu membuka, menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Lidahnya yang bercabang menjulur, seakan-akan kedua ular itu berselera tinggi hendak mendapatkan mangsa yang empuk.
Jaka Ndableg masih tenang, hanya Inti Api terus menjalar memenuhi aliran darahnya. Tubuh Jaka kini benar-benar membara, sehingga hawa panas makin menjadi-jadi menyengat orang yang menempel ditubuhnya. Tatkala ular-ular berbisa itu makin mendekat, segera Jaka gunakan Mata Malaikatnya menghantam ular-ular tersebut. Tidak ayal lagi, ular-ular tersebut seketika berbalik menyerang tuannya. Ternyata Mata Malaikat yang dilancarkan Jaka, mampu menjinakkan ular-ular tersebut untuk menyerang kedua orang yang menyerangnya. Dan hasilnya, kini ular-ular tersebut berbalik menyerang tuannya.
"Ssssttt...!"
"Ah! Ilmu setan!" maki keduanya sembari kibaskan tangan membuang ular-ular yang menggila hendak menyerangnya. Ular-ular tersebut jatuh bergedebukan di tanah. Namun ular-ular tersebut bagaikan tak mau membiarkan mangsanya begitu saja, ular-ular tersebut kini mendesis kembali dengan kepala mendongak berjalan mendekati kedua bekas tuannya.
"Ular Edan, Hiaaattt...!" Keduanya hantamkan pukulan ke arah ularular tersebut.
"Duar..!"
"Sssttt...!" Ular-ular tersebut hanya mampu mendesis lemah, sebelum akhirnya terkulai lemas dan mati dengan tubuh hancur tertetel-tetel.
"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang jahat! Dengan ular yang pernah berjasa pada kalian, kalian tega membinasakannya. Apa lagi dengan sesama manusia! Huh, tak ubahnya kalian hanyalah Iblis-iblis yang tiada berperikemanusiaan!" ejek Jaka. Sedangkan orang yang melekat di tubuhnya kini telah terkulai tanpa tenaga. Dari telapak tangan hingga ke bahu nampak melepuh, seakan terbakar oleh api. Dan memang orang tersebut benar-benar terbakar oleh Inti Api yang dilancarkan Jaka Ndableg.
"Hiiiiaaattt...!"
Jaka berteriak, dorong tubuh orang tersebut hingga orang itu mencelat ke belakang beberapa tombak. Tubuh orang itu kini benar-benar menghitam, hangus terbakar. Pakaian yang dikenakannya koyak-koyak, compang camping terbakar. Yang lebih menyedihkan, keadaan muka orang tersebut. Mukanya amburadul, melepuh dagingnya karena hawa panas yang teramat sangat.
"Iblis! Aku akan mengadu nyawa denganmu, Anak Muda!" maki orang pertama marah melihat rekannya yang mati naas.
"Heh, apakah kau tidak salah ngomong?" Jaka membalik ucapan orang tersebut.
"Kalianlah yang Iblis, sehingga demi nafsu kalian tega membuat orang-orang kalian sendiri menderita!"
"Bangsat!"
Kedua orang itu kini benar-benar dilanda amarah, berkelebat menyerang Jaka Ndableg dengan senjata di tangan mereka yang berupa Pecut. Itulah Pecut Waringin Pitu, sebuah pecut yang mampu meleburkan Gunung Agung sekalipun.
"Bletar! Bletar...!"
Pecut Waringin Pitu menggema, manakala disalakkan oleh keduanya. Keduanya atau ketiga orang berbadan besar tersebut merupakan Tiga Serangkai Warok dari Ponorogo. Warok Pertama bernama Warok Gemuling, kedua bernama Gempoleng, sedangkan yang ketiga atau yang telah mati bernama Genjeli. Tiga Warok itu memiliki ilmu yang bukan sembarangan. Senjata mereka sama, yaitu Tri Cambuk Waringin Pitu.
Cambuk Pertama bernama Cambuk Braja Geni, kedua bernama Braja Bayu, sedangkan yang ketiga bernama Braja Mukti. Kini dari ketiga Cambuk Sakti tersebut, tinggal dua cambuk lagi yang tersisa. Kalau pemilik salah satu cambuk mati, maka cambuknya tidak dapat digunakan oleh yang lainnya, sebab ketiga Warok tersebut telah diajarkan masing-masing dengan cambuk yang mereka pegang. Kehebatan cambuk mereka, sama semua. Semuanya merupakan senjata dahsyat yang sangat berbahaya.
Dua hawa Panas dan dingin berbaur mana kala dua cambuk di tangan Warok itu melecut. Hawa panas keluar dari Cambuk Braja Geni, sedangkan hawa dingin keluar dari Cambuk Braja Bayu yang mengeluarkan angin besar puting beliung.
Jaka Ndableg yang telah siaga, dengan cepat buang tubuhnya ke samping hindari serangan pecut tersebut. Sebenarnya bila dipadukan ketiga cambuk itu sangat berbahaya. Ketiganya mampu menjadikan sebuah kekuatan yang maha dahsyat. Namun walaupun hanya dua cambuk, keduanya mampu membuat Jaka Ndableg harus berlompatan ke sana ke mari menghindar.
"Bletar...! Bletar...!"
Kembali dua cambuk sakti itu menggelegar, keluarkan hawa yang berlawanan. Satu berhawa panas, sedangkan yang lainnya berhawa dingin membekukan. Dua hawa tersebut mampu menyentakkan Pendekar kita Jaka Ndableg. Ia baru menghadapi dan merasakan hawa yang begitu menggetarkan. Hawa panas mungkin dapat dia atasi dengan mudah, sebab dirinya mampu mengeluarkan hawa yang lebih panas. Tetapi hawa dingin membekukan, rasa-rasanya sukar untuk ditangkis dengan Inti Api-nya. Tubuh Jaka Ndableg kini kelihatan agak menggigil oleh hawa dingin yang keluar dari Cambuk Braja Bayu.
"Oooohhh...! Hawa yang keluar dari cambuk itu mampu membuat tulang-tulangku lemas," Jaka Ndableg mengeluh, mencoba salurkan hawa murni, sedangkan tubuhnya kini melompat ke sana ke mari untuk menghindari pecutan Braja Geni dan Braja Bayu yang terus mencercanya.
"Kalau begini terus menerus, sungguh celaka aku nantinya! Aku harus mampu mengatasi semuanya, dan hanya dengan pedang Siluman Darahlah akan mampu!"
Jaka Ndableg pasangkan Pedang Siluman Darah itu di hadapan mukanya, seakan siap untuk menghadapi serangan kedua cambuk di tangan dua Warok tersebut. Kini Pedang Siluman Darah nampak meneteskan darah merah, membasahi batang pedang hingga pedang tersebut bagaikan darah. Dan memang pedang itu kini mengeluarkan darah, menjadikan mata kedua Warok tersebut membeliak. Namun kedua Warok yang merasa bahwa Pecut Sakti Tri Waringin mampu mengalahkan Jaka Ndableg tidak merasa gentar. Kembali kedua Warok tersebut berkelebat.
"Hiiiaaattt...!"
"Suiiiittt...!" "Bletar! Bletar!"
Bersamaan dengan pecahnya suara ledakan yang keluar dari dua pecut itu, dari dalam tanah dan atas pohon berkelebatan Ninja-ninja yang segera menyerang Jaka Ndableg.
"Wuuuuttt...!"
"Wuuuuttt...!"
Samurai-samurai yang berada di tangan para Ninja berkelebat membabat ke arah Jaka, sedangkan Pecut Sakti Braja Geni dan Braja Bayu turut membantu serangan. Jaka kini dengan Pedang Siluman Darah yang telah siap di tangan papaki serangan para Ninja.
"Hiiiaaaattt...!"
"Wuut! Wuuut...!"
Pedang Siluman Darah kini bagaikan siluman hidup yang haus darah. Pedang tersebut berkelebat, memapaki serangan para Ninja yang menyerbu berbarengan. Ninja-ninja tersebut bagaikan kalap, menyerang dengan membabi buta. Samurai-samurai tajam yang berkilat-kilat kini tiada mau membiarkan musuhnya. Samurai-samurai itu kini bergerak liar, menusuk dan membabat ke arah tubuh Jaka. Begitu pula dengan kedua Warok tersebut. Kedua Warok itu tidak mau ketinggalan, pecutnya menggelegar-gelegar memekikkan telinga bagi yang mendengarnya.
"Bletar..! Bletar...!"
"Wuuuttt! Wuuuttt...!"
Dua senjata berlainan yang jumlahnya banyak terus mencerca Jaka Ndableg. Jaka Ndableg segera kibaskan Pedang Siluman Darah, papaki serangan mereka.
"Wuuuuttt...!"
"Prak! Prak! Prak...!"
Beruntun terdengar beradunya senjata Samurai di tangan para Ninja dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka Ndableg. Beruntun pula terdengar suara benda logam patah. Dan manakala Jaka melompat mundur kembali, nampak Samurai-samurai di tangan sepuluh orang Ninja yang tadi menyerangnya patah menjadi dua. Tinggallah gagang-gagangnya saja yang masih. Kalau saja Jaka mau, mungkin tangan mereka akan puntung.
"Aku sarankan, kalian minggatlah dari Tanah Jawa ini sebelum para Pendekar Tanah Jawa mencincang tubuh kalian!" Jaka berkata memperingatkan pada para Ninja.
"Aku tidak ingin kalian hanya mati sia-sia di tanah Jawa ini!"
"Bajero! Apa hakmu. Anak muda!" balas membentak pimpinan Ninja tersebut.
"Kau tidak ada hak mengusir kami!"
"Hem, ini adalah tanah tumpah darahku! Maka aku berhak mengusir kalian dari muka Jawa Dwipa ini!" Jaka kembali memperingatkan mereka.
"Kalau kalian tidak mau, jangan salahkan kalau aku bertindak telengas!"
Pimpinan Ninja itu tersenyum, matanya memandang tajam pada Jaka Ndableg. Dan tangannya perlahan bergerak, memberikan isyarat pada anak buahnya termasuk dua Warok itu menyerang.
"Hiiiiaaattt...!" Semua anak buahnya dan Dua Warok itu kembali menyerang.
"Kalian memang ingin mampus! Dan kau, Warok-warok murtad! Kalian akan mendapat hukumannya, Hiiiiaaattt...!" Jaka Ndableg kini benar-benar marah, merasa peringatannya tidak digubris oleh orang-orang Nippon tersebut.
"Blelar! Bletar...!" Suara cambuk Dua Warok menggelegar
"Wuuuttt...!"
"Swiiingg...!"
Senjata-senjata Rahasia yang dimiliki oleh Ninja-ninja tersebut mendesing menyerang ke arah Jaka berbarengan dengan serangan Samurai di tangan Ninja-ninja lainnya yang kini bergerak ke arah Jaka Ndableg.
Jaka Ndableg melompat ke muka, lalu dengan cepat kibaskan Pedang Siluman Darah ke arah datangnya senjata-senjata rahasia yang berbentuk bintang tersebut.
"Traangg...!"
Senjata-senjata rahasia itu mental, sebagian runtuh terbelah menjadi dua dan berjatuhan ke tanah terbabat Pedang Siluman Darah yang dibabatkan oleh Jaka Ndableg. Namun belum juga Jaka selesai menyapu senjata-senjata rahasia tersebut, serangan kembali datang menerpa ke arahnya. Dua puluh lima Ninja dan dua orang Warok itu berkelebat dengan senjata-senjata mereka menyerangnya. Jaka lemparkan tubuh melenting ke udara, hindari serangan mereka.
"Bahaya kalau aku biarkan berlarut-larut!" keluh Jaka dalam hati.
Belum juga Jaka hilang kagetnya, orang-orang yang menyerang telah kembali berkelebat menyerang. Murka Jaka benar-benar dibuatnya. Tanpa dapat dicegah lagi Jaka rapalkan ajian yang diperoleh dari kitab milik kakeknya Banyu Geni. Ajian yang kini tengah dirapalkannya tidak lain ajian intinya, yaitu Dewa Api.
"Oooaaaaaarrrr...!" Jaka menggeretak marah, dan dari tubuhnya kini keluar api yang menyala-nyala. Kini Jaka benar-benar menjadi Dewa Api yang ganas. Dengan marah Dewa Api yang masih menggenggam Pedang Siluman Darah maju memapaki serangan mereka.
"Dewa Api...!" Dua Warok memekik tertahan.
"Dewa Agni...!" Para Ninja juga nampak tersentak kaget, surut ke belakang. Namun Dewa Api kini benar-benar murka, dari matanya memancar api, itulah Sinar Mata Malaikat.
"Wuuuusssss...!"
"Duar!"
"Aaaaaaaa...!"
Satu persatu Ninja memekik, tubuhnya terbakar oleh api yang dilancarkan dari mata Dewa Geni. Api membakar mereka, sesaat mereka mengejang, lalu ambruk dengan tubuh hangus. Dua Warok dan sisa Ninja itu kini membelalakkan mata.
"Munduuurrr...!" Warok Gemuling berseru memerintahkan pada semuanya agar mundur.
"Percuma kita melawan! Dia benar-benar telah menjadi Dewa Geni!"
Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, para Ninja dan kedua Warok itu serabutan meninggalkan tempat tersebut. Dewa Geni kembali ke bentuk asalnya, lalu dengan segera mengejar mereka yang telah jauh meninggalkan tempat tersebut.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM
] ¦≡:::
Kembali Di Negara Nippon...
Taka Nata yang berambisi untuk menjadikan dirinya penguasa di Tanah Jawa, kini kembali membuat petaka di dunia persilatan dan juga menteror kerajaan. Dengan kemampuannya menghimpun para pemberontak Taka Nata bermaksud melakukan pemberontakan dengan tujuan memaksa kaisar meluluskan permintaannya untuk menjadi seorang raja di Tanah Jawa.
Saat itu Taka Nata nampak berdiri dengan gagahnya di antara kerumunan orang-orang yang mendukung niatnya. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka dapatkan dengan mendukung tindakan Taka Nata. Kebanyakan mereka hanya tahu bahwa diri mereka kelak akan dijadikan orang-orang yang senang dengan bergelimang harta benda dan wanita. Bukankah wanita-wanita Jawa kebanyakan cantik-cantik dan lembah lembut? Bayangan ingin dapat memperistri gadis Tanah Jawalah yang menjadikan mereka memiliki semangat tinggi.
"Saudara-saudara, kalian apakah tidak ingin menjadi orang yang bermasa depan enak dengan bergelimpangan harta?" tanya Taka Nata memberikan semangat dan janji-janji pada anak buahnya.
"Ingiiiinnn...!" jawab semuanya ketus.
"Nah, kalau aku nanti menjadi raja di Tanah Jawa, maka kalian akan menjadi orang-orang yang mempunyai kedudukan. Kalian akan aku angkat sebagai prajurit-prajuritku! Bagaimana...?"
"Akkuuurrr,..!"
"Bagus!" Taka Nata tersenyum senang.
"Kalian memang harus mempunyai semangat yang tinggi untuk menjadi orang-orang yang tidak selamanya di bawah! Nah, mulai sekarang, kalian akan aku didik menjadi orang-orang persilatan. Kalian akan menjadi seorang Ninja sejati yang berilmu tinggi."
Bagaimana pun, orang akan merasa senang bila diberi janji-janji yang indah. Seperti halnya mereka, mereka pun nampak berseri-seri mendengar penuturan Taka Nata. Mereka benar-benar hanya tahu bahwa diri mereka kelak akan menjadi orang yang dihormati di Tanah Jawa, tidak seperti keadaan mereka sekarang. Keadaan mereka benar-benar merupakan keadaan yang menderita. Kebanyakan dari mereka hanyalah seorang tani yang tiada daya apa-apa untuk melakukan apa yang sebenarnya terserat di hati.
"Kapan kita akan ke Tanah Jawa?" Seorang di antara mereka yang masih muda dan berbadan besar bertanya.
"Kalau kita sudah menjadi sebuah kekuatan, kita akan memaksa Kaisar untuk memberikan bantuan pada kita," jawab Taka Nata.
"Bukankah dengan kita sendiri, kita akan mampu menjalankannya, Ketua...?" Yang lain menyambung bertanya.
Taka Nata tahu bahwa semua anak buahnya yang berhasil dihimpun yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih, memiliki antusias yang tinggi. Mungkin dikarenakan mereka selalu dijejali oleh janji-janji Taka Nata yang muluk-muluk.
"Hem, nampaknya usahaku akan berhasil," Taka Nata berkata dalam hati.
"Kalau sudah begitu, aku tentunya akan berhasil menjalankan segala apa yang menjadi rencanaku."
"Kalian bersabarlah barang satu dua minggu," Taka Nata akhirnya berkata.
"Kita perlu persiapan yang masak, agar kita tidak mudah untuk dijatuhkan. Menurut yang aku dengar, Pendekar Tanah Jawa sangat sakti. Kita perlu menimba ilmu!"
Semua yang ada di situ terdiam, sepertinya menurut akan apa yang dikatakan oleh Taka Nata selaku pimpinannya. Memang benar, apa yang dikatakan Taka Nata. Begitulah ucapan penghibur diri di hati mereka. Mereka memang perlu menimba ilmu, agar kelak mereka mampu mengatasi semuanya.
"Memang di Tanah Jawa telah menanti Ninja Hitam, yang kelak akan menyokong usaha kita. Namun sampai sekarang Ninja Hitam belum memberikan kabar lagi bagaimana keadaannya," Taka Nata melanjutkan berkata.
"Kalau Ninja Hitam tidak mendapatkan hasil, apakah kita juga akan nekad? Tentunya tidak bukan...? Tapi akan lain dengan Ninja Hitam. Aku adalah Taka Nata, si Ninja Iblis, yang mampu mengatasi segalanya!"
"Hidup Ketua kita!"
"Hidup Ninja Iblis...!"
"Hidup Tuan Taka Nata...!"
Suara sanjungan menggema, bersamaan dengan habisnya ucapan Taka Nata. Semua seakan terhanyut oleh janji-janji yang dilontarkan oleh Taka Nata.
"Nah, untuk persiapannya, maka mulai kini kita akan selalu terikat oleh sebuah persatuan. Bagaimana kalau perserikatan kita, kita namakan Persatuan Samurai Iblis?! Seperti Samurai milikku?"
"Akuuurrr...!"
"Setujuuu...!"
"Hidup Taka Nata...!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
Riuh rendah suara mereka yang menyanjung Taka Nata, seakan Taka Nata adalah Dewa Penolong baginya untuk mengubah nasib yang selama ini mereka geluti. Hidup sebagai buruh tani memang sangatlah menderita. Tiada pernah mereka berbahagia seperti orangorang istana atau juragan-juragan mereka.
"Mulai sekarang, kalian aku percayakan untuk mengumpulkan Dana! Peras juragan-juragan dan tuan tanah yang ada di Tanah Nippon ini!" Taka Nata kembali memerintah.
"Bagaimana, apakah kalian sanggup?"
"Apakah kami akan mendapatkan perlindungan?" tanya mereka ingin keyakinan.
"Jelas! Kalian adalah anak buahku, maka aku pun akan melindungi kalian! Bila ada tuan tanah atau juragan yang membangkang, maka akulah yang akan menyelesaikan mereka. Dan kalian ajaklah rekan-rekan kalian untuk bergabung bersama di Samurai Iblis yang akan memberikan pada kalian kebahagiaan!"
"Hidup Samurai Iblis...!"
"Hidup Ketua Taka Nata...!"
"Hidup Dewa Pembela kaum lemah...!"
Taka Nata tersenyum-senyum mendengar seruan yang dilontarkan oleh anak buahnya. Kini Taka Nata menemukan dirinya bagaikan seorang raja yang agung. Raja diraja yang kelak akan mencatat sejarah di Nippon dan di Tanah Jawa. Dan bila semuanya berhasil, maka baru sekali itu orang dari golongan Ninja yang mampu menjadi raja atau kaisar di Tanah Jawa.
Setelah mengadakan rencana-rencana yang kemudian disetujui oleh anak buahnya, maka hari itu juga seluruh anak buah Samurai Iblis kembali ke tempat masing-masing untuk melakukan apa yang telah direncanakan mereka. Sebuah rencana yang matang, rencana untuk mempengaruhi dan memaksa pada tuan tanah serta saudagar-saudagar untuk memberikan harta mereka sebagai bantuan dalam rangka niat mereka mengadakan ekspansi ke Tanah Jawa.
* * * * *
Kota Tokyo diguyur hujan salju malam itu, sehingga keadaan kota Tokyo bagaikan mati. Tak ada seorang pun yang berani keluar, hanya desahan angin yang menerbangkan salju-salju mengukir putih di pepohonan serta hamparan kota yang terang oleh lampu-lampu listrik.
Keheningan kota Tokyo, malam itu bukan menjadi hambatan untuk anak buah Taka Nata beraksi. Sesuai dengan rencana, malam itu dengan menerobos hujan salju mereka berkelompokkelompok mendatangi para juragan dan tuan tanah. Itulah gerilya ala mereka, gerilya ala petani yang menghendaki kebebasan dan keinginan yang tinggi agar mampu mengubah nasib mereka.
Sepuluh orang berkerudung hitam, berkelebat berlari-lari kecil membelah hujan salju menuju ke sebuah rumah yang cukup besar. Dan biasanya, rumah seperti itu adalah rumah milik seorang saudagar atau seorang tuan tanah, atau pun juragan. Enak kata, rumah seperti itu adalah rumah orang berada. Dan ke situlah mereka menuju kaki mereka. Pedang sudah terselip di pundak, dan mereka benar-benar mirip seorang pendekar Ninja yang siap untuk melaksanakan apa yang menjadi tugas mereka. Salah seorang yang berjalan di muka, segera mengetuk pintu rumah.
"Tok, tok, tok!"
"Siapa...?" Terdengar suara seseorang berseru.
"Saya juragan," Jawab orang bertopeng.
"Siapa engkau...?" Kembali terdengar suara orang bertanya.
"Bukalah pintu, nanti engkau akan tahu siapa aku,"
Lama kesepuluh orang itu menanti untuk masuk, namun sepertinya pintu tidak mau dibuka. Mungkin tuan rumah telah mengira siapa adanya orang yang datang. Hal tersebut menjadikan kesepuluh orang yang berada di luar sewot. Maka dengan kasar didobraknya pintu rumah tersebut dengan tendangan.
"Braaak...!"
Pintu rumah itu hancur berantakan, namun belum juga kesepuluh orang itu sadar, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menyerang dengan Samurai siap memancang tubuh mereka. Melihat hal itu, segera kesepuluh orang utusan Taka Nata balas membabatkan Samurai yang sudah siap di tangan. Tidak ayal lagi, seorang kini harus berhadapan dengan sepuluh orang.
"Kau harus tunduk pada kami!" bentak orang yang tadi mendobrak pintu.
"Persetan dengan kalian, Hiaaattt...!"
"Wuuuuttt...!"
Samurai di tangan tuan rumah mendesing, mengarah ke arah kesepuluh orang yang baru datang. Kesepuluh orang tersebut tersentak kaget, dan dengan cepat menghindar sembari balik menyerang dengan Samurai mereka.
"Orang mencari mampus! Hiaaattt...!"
Mendengar teriakan ketuanya, segera kesembilan orang lainnya turut menyokong. Kini sepuluh orang bertopeng itu benar-benar hendak menghabisi nyawa orang tersebut. Tuan rumah yang berbadan gendut itu nampak berusaha mengelakan serangan kesepuluh orang tersebut. Walaupun tuan rumah sudah keteter, namun kesepuluh orang yang sudah dididik oleh Taka Nata kini benar-benar bagaikan iblis yang tidak mengenal kasihan.
"Wuuutttt...! Wuuutttt...!"
"Papah...!" Terdengar jeritan dari dalam, dan tampak seorang gadis berlari keluar.
Melihat seorang gadis cantik keluar, nampak ketua dari kesembilan orang itu berikan isyarat untuk anak buahnya yang terus mencerca tuan rumah. Sementara dirinya sendiri kini berkelebat ke arah gadis tersebut berdiri.
"Kau mesti tenang, Anak Manis," ucap seorang bertopeng, dan dengan cepatnya tangan orang bertopeng itu menyeret gadis cantik tersebut ke dalam. Disekapnya gadis itu yang terus berontak mencoba melawan.
"Tidaaaakkk...! Jangan ganggu aku!" Gadis itu berontak. Kakinya menjejak, tangannya terus memukuli tubuh orang yang menyeretnya. Namun bagaikan tidak merasa sakit, lelaki bertopeng itu terus menyeret sang gadis.
"Bagero. Lepaskan aku!"
"He, he, he...! Kau harus menurut, Nona."
"Cih! Lebih baik kau bunuh aku!"
"Tidak, Nona! Kau harus melayani apa yang menjadi keinginan kami. Kau harus mau. He, he, he...!"
Tanpa hiraukan pemberontakan gadis tersebut, segera lelaki tersebut menotok urat darah sang gadis. Seketika sang gadis terkulai lemah. Hal tersebut menjadikan senyum menyungging di bibir lelaki bercadar tersebut. Dan manakala mulut gadis itu hendak menganga, lelaki bercadar tersebut memasukkan dua butir pil berwarna merah ke dalam mulutnya. Sejenak gadis tersebut terkulai pingsan, hingga dengan gampangnya lelaki bercadar itu membopong tubuh gadis itu ke atas kasur yang ada di kamar tersebut.
Sementara itu di luar, nampak pertarungan masih terus berjalan. Nampaknya tuan rumah tidak ingin mengalah begitu saja, dan berusaha terus melawan. Dari dalam kamar lain seorang lelaki muda yang mungkin anaknya nampak mendengus demi melihat ayahnya dikeroyok oleh orang-orang berpakaian Ninja.
"Bajero! Kalian orang-orang bangsat! Kubunuh kalian!" Pemuda itu cabut pedang yang tergantung di dinding rumahnya, lalu dengan nekad dia mencelat membantu ayahnya. Belum juga tubuhnya sampai, seorang dari sembilan orang, tersebut telah menghadangnya dengan tebasan Samurainya.
"Wuuuttt...!"
Pemuda itu tersentak, melompat mundur.
"Wuuuuttt...!" Kembali orang itu menyerang.
"Bajero! Anjing Ninja, Hiaat! Aku bunuh kau, Anjing!"
Kemarahan pemuda anak tuan rumah yang kini dikeroyok oleh delapan orang Ninja seperti membabi buta. Pedang di tangannya bergerak liar, nekad menghadang Samurai lawan.
"Wuuuttt...!"
"Wuuuutttt...!"
"Trang...!" Dua pedang itu saling bertemu.
"Prak!"
Pedang di tangan anak juragan itu patah, menjadikan mata anak juragan tersebut membeliak kaget. Ia sesaat tertegun, sebelum akhirnya melompat hindari serangan. Melihat musuhnya mampu menghindar, orang berpakaian Ninja kembali babatkan pedang Samurainya ke arah sang pemuda. Tidak lagi pemuda juragan itu mampu menghindar, hingga akibatnya dapat diterka.
"Wuuuuttt...!"
"Breet…!"
"Aah...!" Pemuda itu memekik, melompat ke belakang. Dadanya kini tergores oleh Samurai lawan. Melihat dirinya terluka, dengan nekad pemuda tersebut kembali memekik dan menyerang dengan tangan kosong.
"Aku bunuh kau, Bajero!"
"Wuuut...!"
Tangan dan kaki pemuda itu menghantam, namun sepertinya tiada arti sama sekali bagi orang berpakaian Ninja tersebut. Malah kini Samurainya yang telah terbasah darah makin nampak liar. Samurai itu kini berkelebat dengan cepat, membabat ke arah perut sang pemuda
"Wuuuutt...!"
"Breet...!"
"Aaaaaah...!" Pemuda itu kembali memekik, namun hal tersebut tidak menjadikan orang berpakaian Ninja itu hentikan aksinya. Malah sepertinya orang itu kalap. Kembali Samurainya berkelebat, dan kini mengarah ke punggung si pemuda yang terhuyung-huyung.
"Wuuuuttt...!"
"Crass...!"
"Krak!"
"Aaaahhh...!"
Samurai di tangan orang berpakaian Ninja membabat tulang belikat di punggung si pemuda, yang menjadikan pemuda tersebut menjerit. Tulang tersebut patah, sedangkan si pemuda kini berguling-guling menahan sakit. Mungkin karena merasa dirinya tidak bakalan unggulan, maka dengan mendengus si pemuda mengamuk dengan luka-luka tubuhnya. Hal tersebut tidak menjadikan dirinya mampu, sebab darah telah terkuras keluar, mengurangi kekuatan pertahanan tubuhnya. Tubuhnya mulai limbung, matanya kini nampak berkunang-kunang.
"Wuuuttt...!"
Samurai di tangan orang berpakaian Ninja kembali berkelebat, membabat ke arah pemuda itu.
"Craaaaasss...!"
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaa...!" Pemuda itu menjerit panjang dengan tubuh berputar-putar sesaat sebelum akhirnya ambruk ke lantai. Samurai di tangan Ninja tersebut telah membabat putus tangan kanannya. Darah muncrat membasahi lantai. Demi mendengar suara jeritan anaknya, hilanglah konsentrasi tuan tanah tersebut.
"Anaakku...!"
Kekagetan orang berbadan gemuk yang kaya tersebut tidak disia-siakan oleh kedelapan orang pengeroyoknya. Dengan cepat salah seorang dari mereka babatkan Samurainya.
"Wuuuttt...!"
Tersentak tuan rumah itu dan berusaha menghindar. Namun terlambat, datangnya Samurai tersebut jauh lebih cepat dari gerakannya menghindar. Hingga...!
"Wuuuuuttt...!"
"Craas...!"
"Aaaaaaaa...!" lelaki setengah baya itu memekik, pegangi perutnya yang terbeset oleh sabetan Samurai lawannya.
Bareng dengan keadaan ayahnya. Si gadis yang kini tengah dalam pengaruh obat serahkan segalanya pada orang bercadar yang kini mengangkangi dirinya. Dan manakala satu lesatan hebat mendera, terdengar suara pekikkan kecil
"Ah..!" Gadis itu memekik pendek tatkala sesuatu mendera dan menjadikan dirinya kini hilang segalanya. Sebentar ia melenguh, kemudian terdengar keluhnya yang panjang.
"Ooooohhh...!"
Melihat si gadis telah dapat dikangkangi, dan telah mendapatkan segalanya, orang bercadar Ninja itu kini kembali keluar. Sementara orang lainnya yang telah menyelesaikan anak lelaki pemilik rumah tersebut menyusul ke kamar. Sementara di kamar perang tanding satu lawan satu, di luar kini pemilik rumah makin tampak kewalahan. Samurai-samurai musuh mencerca dan hendak mencincang dirinya.
"Wuuuuuttt...!"
Sadis memang tindakan mereka. Samurai di tangan mereka bagaikan tidak mengenal ampun, membabat tubuh sebelah belakang lelaki setengah baya gemuk tersebut.
"Breeeet...!"
"Aaaaaaa...!" Lelaki setengah baya tersebut memekik. Tubuhnya kini tergurat goresan-goresan luka akibat tebasan-tebasan Samurai lawan. Tubuhnya limbung, terhuyung-huyung ke belakang. Melihat itu, kembali kedelapan orang tersebut dengan kesetanan mencerca. Dan puncak dari semuanya, manakala orang yang baru saja keluar dari kamar babatkan Samurai ke arah tubuhnya.
"Hiiaaaattt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Craaasss...!"
"Aaaaaaaa..."
Puntung saat itu juga leher Orang tua setengah baya, terbabat oleh Samurai di tangan pimpinan kesembilan Ninja tersebut. Kesembilan Ninja itu kini nampak tertegun sesaat, saksikan tubuh pemilik rumah yang menggelepar-gelepar menanggung sekarat. Tubuh pemilik rumah itu kejang sesaat, lalu akhirnya tergolek dengan nyawa menghempas hilang.
Dengan matinya pemilik rumah, maka kesembilan Ninja itu kini dengan mudahnya menguras harta benda milik tuan tanah kaya tersebut. Namun sebelum mereka pergi, dengan sadisnya mereka bergantian memperkosa anak tuan tanah tersebut. Sungguh malang, seorang gadis cantik harus menjadi korban kebiadaban orang-orang tidak bertanggung jawab.
Setelah semuanya pergi, dan gadis itu menyadari keberadaan dirinya, maka gadis itu pun kini menangis sejadi-jadinya. Gadis tersebut tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali menangis dan menangis menyesali keadaannya. Dan bagaikan orang gila, gadis itu berlari menghambur pergi tinggalkan rumah. Batinnya tersiksa, apa lagi tatkala melihat keberadaan ayah dan kakaknya yang mati dengan tubuh amburadul.
* * * * *
:::≡¦ [ TUNDUH PISAN EUUY
] ¦≡:::
Gadis itu masih berlari dan berlari sambil menjerit-jerit dengan histeris. Kini dirinya bagaikan seorang gadis tanpa diurus. Pakaiannya amburadul, compang camping. Terkadang ia melamun, lalu menangis sendiri.
"Ayah...! Hu, hu, hu...! Mereka jahat! Mereka telah memperkosaku! Aku akan membalas segala apa yang mereka lakukan! Aku akan membalas!"
Gadis itu kembali berlari, tinggalkan tempat tersebut menuju ke jurang di dekat sebuah pancuran di gunung Fujiyama. Sejenak dia tercenung, pandangi dasar jurang yang dalam hingga tidak tampak. Ingin rasanya ia bunuh diri menerjunkan tubuhnya ke jurang tersebut, tapi bila ingat akan apa yang harus ia lakukan, diurungkannya niat.
"Tidak! Aku tidak mau mati! Aku harus mampu membalas segala yang telah mereka lakukan! Rampok-rampok Iblis itu harus mati di tanganku!"
Tengah gadis tersebut menangis, nampak seorang lelaki muda berlari-lari mendekat. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, dia jelas merupakan seorang pendekar. Di pundaknya tergantung sebilah pedang. Pemuda itu bertelanjang dada, menjadikan otot-otot dadanya kelihatan menonjol. Pemuda itu tidak lain Jaka Ndableg yang jagoan kita atau Pendekar Pedang Siluman Darah. Mau apa Pendekar Pedang Siluman Darah ke tanah Nippon? Dan mengapa dia sampai datang di sini?
"Nona...! Nona, tungguu..!" Jaka Ndableg berseru, sentakan gadis itu menengok ke arah datangnya suara tersebut.
"Nona, dapatkah engkau menolongku?"
Gadis itu diam, hanya matanya yang memandang tiada kedip ke arah Jaka Ndableg.
"Hem, sepertinya gadis ini menderita batin," gumam Jaka dalam batin. Jaka yang dipandang hanya terdiam, sementara si gadis seperti makin mendalamkan pandangannya. Dua mata mereka kini beradu, menyiratkan sebuah benang di hati si gadis.
"Nona...," Jaka kembali buka mulut.
"Ya! Ada apakah?"
"Em, maukah Nona tunjukkan aku di mana tempatnya guru besar Ninja berada?" Kembali Jaka bertanya, menjadikan gadis cantik namun berpakaian amburadul itu lekatkan pandangannya.
"Mengapa Nona begitu tajam memandang padaku?"
"Aku....." Gadis itu tidak teruskan ucapannya, ada perasaan malu untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ada di hati. Merasa dirinya tiada arti lagi, menjadikan gadis tersebut kini benar-benar tiada arti bagi seorang pemuda.
"Ah, tidak!"
Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar ucapan gadis tersebut yang nadanya mengandung sebuah keputus asaan.
"Kenapa, Nona? Adakah yang dapat aku bantu?" tanya Jaka.
"Oh ya, namaku Jaka Ndableg. Aku datang dari Tanah Jawa Dwipa."
"Dari Jawa Dwipa?" tanya gadis itu heran.
"Ya, kenapa?"
"Oh, jauh sekali."
"Menurut ayahku, Tanah Jawa Dwipa subur dan makmur. Penduduknya ramah tamah. Benarkah, Tuan Jaka?"
Jaka tersenyum senang seraya mengangguk. Kini gadis itu telah kembali menemukan siapa adanya dirinya.
"Kalau boleh aku tahu, siapakah Nona adanya. Dan sedang apakah Nona sendirian di tepi jurang?"
Gadis itu bukannya menjawab, malah kini menangis. Hal tersebut menjadikan Jaka terbeliak kaget. Jaka tidak mengerti kenapa gadis itu menangis, namun Jaka memaklumi dan sadar mungkin gadis tersebut sadar akan keadaan dirinya. Gadis itu dengan masih berlinang air mata akhirnya bercerita tentang bencana yang menimpa dirinya. Jaka tergugah, terenyuh mendengarkan cerita yang dituturkan oleh sang gadis. Kini Jaka tahu apa sebenarnya yang telah menimpa gadis tersebut dan keluarganya. Tak terasa Jaka pun menggumam.
"Sungguh perbuatan Iblis!"
"Ya! Mereka memang Iblis, Tuan Jaka."
"Nona, Meimora, janganlah Nona memanggil diri saya Tuan."
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Oh ya, dapatkah Nona membantu saya? Nanti saya akan berusaha membantu Nona."
"Benarkah itu, Tu... eh Jaka?"
Jaka hanya mengangguk mengiyakan dengan bibir berurai senyum.
"Apa yang dapat aku bantu...?" Nada ucapan Meimora manja, menjadikan Jaka kini harus menarik napas panjang.
Jaka sadar kalau Meimora kini tengah mendapatkan sebuah perasaan lain di hatinya. Jaka sadar keadaan dirinya, seperti dikatakan oleh Ratu Penguasa Bumi dan kecemburuan Miranti beralasan. Bila ingat semua itu, ingat Miranti Jaka hanya mampu mengguman dalam hati.
"Miranti...,"
"Mengapa kau melamun, Jaka?"
Tersentak Jaka seketika, dengan mencoba tersenyum Jaka sembunyikan keterkejutannya.
"Ah, tidak mengapa. Oh ya, dapatkah Nona membantu saya menunjukkan di mana saya harus bertemu dengan Kaisar?"
Mata Meimora membeliak mendengar ucapan Jaka Ndableg. Mulutnya menganga, sepertinya menandakan kekagetannya. Hal tersebut tertangkap oleh Jaka, sehingga Jaka pun tersenyum dan berkata lagi.
"Kenapa, Nona? Kau kaget?"
"I… iya!"
"Jangan kaget, Nona. Aku bukanlah orang-orang istana! Aku hanya diutus oleh Raja Tanah Jawa untuk menanyakan apa yang sebenarnya kini melanda tanah kelahiranku. Nah, maukah Nona membantu?"
"Mau!" jawab Meimora.
"Terimakasih sebelumnya."
Keduanya pun berjalan tinggalkan tempat tersebut menuju ke kerajaan. Namun segera Meimora hentikan langkah, manakala ia teringat akan keadaan dirinya. Hal tersebut menjadikan Jaka kembali kerutkan kening bertanya.
"Ada apa, Nona Me?"
"Apakah aku pantas menghadap Raja dengan pakaian begini rupa?" Jaka tersenyum.
"Benar! Ah, sayang aku tidak membawa pakaian."
"Tidak apa! Rumahku dekat dari sini. Maukah engkau mampir?"
Jaka tak mampu menolak, dan keduanya pun kini putar arah menuju ke rumah Meimora. Dua sosok tubuh pemuda pemudi itu berjalan santai, sepertinya menikmati apa yang tengah bermusim di Negeri Nippon tersebut.
* * * * *
Jaka Ndableg tersentak manakala melihat dua sosok tubuh laki-laki tergeletak dengan keadaan yang menyedihkan. Tubuh keduanya bagaikan dicincang. Sementara Meimora kini kembali menangis, dan memeluk tubuh Jaka Ndableg erat-erat. Ditumpahkan tangisan kepedihan hatinya di dada Jaka Ndableg.
Menyaksikan hal tersebut menjadikan Jaka turut terenyuh. Tidak dirasakannya air matanya meleleh. Jaka kini benar-benar merasakan betapa hidup ini begitu pahit dan sakitnya. Apa lagi tatkala melihat dua sosok tubuh ayah dan kakak Meimora, dada Jaka sebagai seorang pembela kebenaran dan keadilan bagaikan hendak meledakledak. Ingin rasanya Jaka Ndableg menjerit, dan memaki-maki pada siapa saja andai saja ia tidak menyadari makna kehidupan itu yang sebenarnya.
"Sudahlah, Mei. Mungkin semua sudah takdir Yang Maha Esa, kau harus menerimanya."
"Tapi aku kini sebatang kara. Aku... aku juga tiada berarti."
"Tidak juga, Mei," Jaka terus berusaha menghibur diri Meimora.
Meimora memandang ke arah Jaka penuh arti, sepertinya pandangan tersebut mengandung sebuah harapan, entah harapan apa? Yang jelas hanya Jaka sendiri dan Meimora yang tahu.
"Aku berjanji akan membantumu mencari orang-orang yang telah biadab."
"Benarkah, Jaka?"
Jaka hanya mengangguk.
"Oh, terimakasih, Jaka."
"Sekarang kita makamkan kedua ayah dan kakakmu, baru nanti kita teruskan perjalanan kita ke Kerajaan."
Mendengar ucapan Jaka, bagaikan anak kecil saja Meimora kembali peluk tubuh Jaka erat. Sepertinya di dada Jaka ada segala apa yang ia cari. Seakan hanya Jaka saja yang menjadi tumpuhan hidupnya saat ini. Jaka segera lepaskan dekapan Meimora, lalu berjalan mendekati tubuh yang tergeletak dengan luka-luka yang banyak menggurat di tubuh keduanya. Dengan tanpa merasa jijik Jaka Ndableg angkat mayat-mayat tersebut keluar. Dibantu oleh Meimora yang masih menangis Jaka terus menggali lubang lahat untuk mayat-mayat tersebut.
Dan menjelang sore baru Jaka menyelesaikan segala apa yang menjadi tugasnya. Dua kuburan kini tampak di depan rumah Meimora. Dua kuburan baru, sehingga tanahnya nampak masih merah. Jaka di dampingi Meimora duduk memanjatkan do'a. Meimora sendiri masih menangis, seakan hanya air mata saja tumpuan dan hanya pada Jaka hal tersebut ia ungkapkan.
"Sudahlah, jangan menangis," Jaka menghibur. Dipapahnya tubuh Meimora yang melangkah tinggalkan tempat tersebut.
Dengan berjalan beriringan, sementara kepala Meimora terpatah di pundak Jaka, keduanya melangkah tinggalkan rumah menuju ke kerajaan yang menjadi tujuan Jaka semula.
* * * * *
Kerajaan kini benar-benar dibikin pusing oleh segala tindakan yang dibuat oleh anak buah Taka Nata. Kini nama Taka Nata yang dulunya harum berubah menjadi busuk. Julukan untuk Taka Nata adalah Iblis Nippon. Sang kaisar dengan didampingi oleh perdana mentrinya terduduk tanpa semangat. Di hadapannya duduk pula para prajurit utama dan panglima-panglima perangnya. Kaisar kini tengah mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang kini berlarut-larut.
Masalah yang sangat sukar, sebab Taka Nata bukanlah orang sembarangan yang mudah dibekuk. Telah berulang kali kaisar memerintahkan untuk menangkap Taka Nata, namun hasilnya malah sebaliknya. Korban demi korban berjatuhan. Kini kaisar memerintahkan dua orang panglimanya untuk mengikuti rapat yang diadakan oleh pimpinan besar Ninja. Dan sampai kini kedua utusan tersebut belum juga muncul kembali.
"Apakah mereka menemui hambatan?" tanya kaisar.
"Mereka merupakan Panglima Perang yang tangguh, Kaisar. Jadi tidaklah mungkin mereka dengan mudah dapat dijatuhkan."
Mendengar ucapan perdana menterinya, kaisar angguk-anggukan kepalanya.
"Aku juga berharap begitu. Dan aku juga berharap para tokoh persilatan khususnya Sesepuh Ninja cepat bertindak agar semuanya tidak berlarut-larut."
"Semoga saja, Kaisar."
Semua prajurit yang hadir di situ tak seorang pun yang membuka kata, semuanya diam tiada berani berbicara. Tengah semuanya hening terdengar suara seorang wanita menyapa.
"Slamat Sore, Tuan-tuan?"
Seketika semua yang hadir di situ palingkan muka menghadap ke arah pintu gerbang. Di sana nampak seorang gadis dan seorang pemuda bertelanjang dada hingga otot-ototnya yang kekar nampak menggurat kencang.
"Siapakah kalian adanya?"
"Kami Jaka Ndableg. Kami diutus dari Kerajaan Tanah Jawa untuk menghadap Kaisar."
"Oooh...! Kalau tidak salah, bukankah engkau, yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah?" tanya kaisar
Tersentak Jaka Ndableg mendengar pertanyaan kaisar.
"Hai, mengapa kaisar mengerti dan tahu siapa adanya aku? Apakah Baginda Swarna Sukma telah memberitahukan sebelumnya?" Jaka bertanya dalam hati. Dan Jaka hanya mampu mengangguk tanpa dapat menolaknya. Hal tersebut menjadikan Meimora yang baru tahu siapa adanya pemuda itu pandangkan mata ke arah Jaka dengan perasaan kagum.
"Ayo masuk, Tuan Pendekar."
"Terimakasih, Kaisar," jawab Jaka. Keduanya pun masuk, lalu duduk di antara para prajurit setelah terlebih dahulu menjura ke kaisar.
"Nona ini, apakah teman Pendekar Siluman Darah?"
"Hamba orang sini, Kaisar."
"Oh, benar!" kaisar angguk-anggukan kepala mengerti.
"Di mana engkau temui Tuan Pendekar ini, Nona?"
"Saya hendak ke sini, dan kebetulan saya melihat Nona Meimora ini tengah menangis. Dan setelah kami saling kenal, ternyata Nona ini juga korban dari kebiadaban warga Tuan Kaisar yang tidak berperikemanusiaan. Mungkin Ninja-ninja yang seperti mewabah di Tanah Jawa," Jaka menjelaskan, menjadikan Meimora tersipu-sipu malu.
Sementara sang kaisar nampak murung mendengar sindiran yang dilontarkan oleh Pendekar Pedang Siluman Darah. Dirinya merasa salah tidak mampu memberikan perlindungan bagi rakyatnya, sehingga rakyatnya kini tercekam dalam ketakutan.
"Bukan saja tindakan Ninja-ninja itu merampok dan membunuh, tapi yang lebih keji lagi, Ninja-ninja tersebut telah memperkosa Nona Meimora ini," Jaka meneruskan.
"Itulah yang ada di negeri ini, Tuan Pendekar. Maka itu pula kami meminta bantuan dari sahabat kami yaitu Raja Tanah Jawa untuk mengirim Pendekarnya ke mari. Dan ternyata engkaulah yang dimaksudkan."
"Heh, bukankah aku di utus kemari untuk menyelesaikan masalah Ninja-ninja yang berada di Tanah Jawa?" Jaka tersentak kaget, mendengar penuturan kaisar.
"Memang benar! Tapi kami juga meminta bantuanmu untuk menyelesaikan apa yang telah terjadi di sini. Semua Pendekar di sini kini tengah mengadakan rembuk untuk mencari jalan keluarnya. Kini para Pendekar tersebut tengah berkumpul. Kalau Tuan Pendekar ingin menjumpai mereka, maka dengan senang hati kami sendiri yang akan mengantar ke sana."
"Ah, tidaklah usah repot-repot. Saya akan datang ke sana sendiri, asalkan kaisar memberikan peta tempat di mana mereka berkumpul."
"Baiklah! Kami akan mengutus dua Panglima untuk menemanimu, Tuan Pendekar," sang kaisar memutuskan.
"Fatakanabe, dan engkau Saisagaya, temani Tuan Pendekar dan Nona ini ke tempat berkumpulnya para Pendekar. Katakan pada mereka, bahwa Pendekar ini akan membantu mereka menghadapi Taka Nata si Iblis Nippon."
"Daulat, Kaisar," jawab keduanya.
"Mari, Tuan Pendekar."
Jaka Ndableg dan Meimora menjura, lalu bersama dengan kedua panglima perang dengan menggunakan kereta menuju ke tempat di mana para tokoh persilatan yang dipimpin oleh Maha Guru Ninja berkumpul.
* * * * *
Kereta yang ditumpangi Jaka Ndableg, Meimora dan kedua panglima perang kerajaan masih melaju dengan cepat di atas salju-salju yang menyirami tanah, menjadikan kereta itu walau cepat bagaikan tersendat. Hamparan putih salju, membentang luas dari gunung Fujiyama turun ke bukit-bukit dan ke tempat di mana mereka kini berada.
Sambil melepas penat, Jaka Ndableg terus bercakap-cakap dengan kedua panglima perang. Tidak lupa juga Meimora turut serta diajak bercakap-cakap. Tengah mereka melakukan percakapan, tiba-tiba kusir kereta hentikan laju kereta tersebut. Hal tersebut menjadikan kedua panglima perang kerajaan bertanya.
"Ada apakah, Kusir?"
"Mereka menghadang kita." jawab sang kusir.
"Mereka siapa?" tanya Jaka dan Meimora bareng ingin tahu.
"Mereka yang telah membuat kerusuhan." jawab panglima pertama.
"Hati-hatilah, Tuan Pendekar."
Jaka tersenyum mengangguk.
"Biarlah kami yang turun," kata panglima kedua.
"Jangan!" Jaka mencegah.
"Kusir, lanjutkan jalan!"
Sang kusir tersentak kaget, namun manakala panglima perang memberi isyarat dia pun dengan menurut kembali jalankan keretanya.
"Hia, hai, hia...!" Kuda-kuda itu melesat dengan cepatnya, sepertinya tidak gentar menghadapi pagar orang yang berpakaian Ninja itu menghadang di mukanya.
"Edan! Mereka nekad!" maki orang yang berdiri paling depan.
"Seraaaaaangg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, dengan segera kedua puluh lima orang Ninja berkelebat menyerang dengan Samurai siap menyerang.
"Hiiiiiaaaaaaattttt...!" Kedua puluh lima orang tersebut kini berkelebat menyerang.
"Tenang! Semua tenang," Jaka memperingatkan pada keempat temannya yang nampak memucat ketakutan.
"Aku harap kalian tetaplah di kereta, biar aku sendiri yang menghadapi mereka!" Jaka segera melompat turun, dan tiba-tiba tubuhnya telah menghadang kedua puluh lima orang Ninja yang seketika merandek tatkala melihat Jaka menghadangnya.
"Siapa kau orang asing?" tanya pimpinan Ninja.
"Aku yang akan menumpas kalian!" Jaka menjawab.
"Bajero! Orang asing tak tahu diri. Seraangg…!"
Jaka Ndableg masih berusaha tenang, menghadapi mereka yang bersenjata dengan tangan kosong. Tubuh Jaka berkelebat, papaki mereka yang menyerangnya dengan Samurai di tangan.
"Wuuuttt...!"
Jaka tolakkan tubuh ke angkasa manakala Samurai mereka menyerang. Dan dengan cepat Jaka hinggap di puncak salah seorang Ninja. Melihat musuhnya berada di atas temannya, segera Ninja yang lain babatkan Samurainya ke arah tubuh Jaka.
"Wuuuuttt...!"
Jaka melompat dengan kaki masih menggapit kepala musuh, hingga manakala Jaka melompat naik, tubuh musuhnya pun turut terbetot ke angkasa. Tanpa ayal lagi, tubuh Ninja tersebutlah yang menjadi sasaran tebasan Samurai temannya.
"Breet...!"
"Aaaaaaa...!" Orang itu memekik, sesaat dan akhirnya mati dengan usul modol keluar dari luka yang menganga di perutnya. Sedangkan Ninja yang membabatkan Samurainya, kini nampak terjengah bengong. Melihat hal itu, segera Jaka yang masih melayang hantamkan pukulan ke muka orang tersebut.
"Ini hadiah untuk orang yang berjasa. Hiaaattt...!"
Orang tersebut tak mampu menghindar.
"Bug, bug, bug...!"
Tiga kali kepalan Jaka melanda mukanya, menjadikan orang bercadar itu seketika memekik. Darah muncrat dari hidung dan mulutnya.
"Aaaaaaaaaaaaa...!"
Dua orang Ninja menggeletak mati, sementara yang lainnya nampak garang demi melihat temannya dapat dikalahkan. Kembali kedua puluh tiga Ninja lainnya menyerang. Jaka dengan cepat berkelebat. Namun serangan dari Ninja-ninja itu terus susul-menyusul, menjadikan Jaka harus mencelat ke sana ke mari untuk menghindari serangan tersebut.
"Wuuut..!"
"Wuuuuttt...!"
Tiga orang Ninja nekad mencerca dengan Samurainya. Jaka terus melompat dengan sekalikali jejakan kakinya ke arah musuh. Kini Jaka kembali melompat, lalu dengan terbaring bagaikan terbang Jaka kiblatkan pukulan ke arah musuh.
"Hiiiiiaaaatttt...!"
Kelima Ninja itu tersentak, babatkan Samurai ke tangan Jaka yang menuju ke arah mereka.
"Wuuuuttt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
Lima Samurai itu menghantam telak ke tangan Jaka Ndableg. Semua yang ada di kereta nampak ketakutan, menyangka Jaka Ndableg akan puntung lengannya. Namun ketakutan mereka seketika lenyap tatkala melihat sesuatu keajaiban di hadapan mata mereka. Tidak hanya panglima perang serta Meimora dan kusir kereta yang tersentak kaget, tetapi kelima orang Ninja yang menyerangnya juga ternganga.
"Trak! Trak! Trak!"
Bukanya tangan Jaka yang patah, terbabatkan Samurai mereka. Akan tetapi Samurai merekalah yang kini puntung menjadi dua. Tatkala kelimanya masih tercengang, segera Jaka menghantam mereka dengan bogem berisi. Angin pukulannya saja mampu membuat Angin Puting Beliung. Kelima Ninja itu tersentak mencoba mengelak, namun ternyata gerakan mereka kalah cepat dengan gerakan memukul yang dilancarkan Jaka.
"Wuuutt...!"
"Bug! Bug! Bug...!"
"Aaaaaaaaaa...!"
Lima orang itu memekik panjang, mukanya bagaikan terhantam benda ribuan kati beratnya. Kelimanya memegangi mukanya, berguling-guling bagaikan ayam disembelih.
"Nah, bukankah itu bukti bagi kalian bahwa aku tidak segan-segan membuat kalian kapok! Jangan kalian anggap orang-orang Jawa Dwipa rendah!"
Rupanya segala ucapan Jaka tiada arti sama sekali bagi mereka. Mereka menganggap ucapan Jaka hanyalah menakut-nakuti mereka saja. Dan ilmu yang dikeluarkan Jaka, tak lebihnya hanya ilmu sulap yang biasa mereka tonton.
"Seraaaannggg...!"
Mendengar seruan pimpinannya, seketika semua anak buahnya yang tinggal tujuh belas berkelebat kembali mengeroyok Jaka Ndableg. Samurai di tangan ketujuh belas orang itu kini berkelebat membabatkan Samurai mereka.
"Wuuuuutttt...!"
Jaka miringkan tubuh menghindar, namun dari arah kanan sebuah pedang Samurai telah menunggunya. Jaka kini benar-benar terjepit. Namun bukanlah Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah kalau harus mengalah begitu saja dan pendek akalnya. Dalam keadaan bagaimana pun Jaka masih terus berusaha mencari jalan yang baik untuk menangkal serangan mereka. Dan manakala Samurai di sebelah kanan tubuhnya berkelebat, segera Jaka luruskan tubuh kembali. Dua Samurai kini benar-benar mengancam jiwanya, maka dengan cepat Jaka lentingkan tubuh ke angkasa.
"Wuuuuuuttt..,!"
"Wuuuuuuttt...!"
Dua Samurai itu melaju, saling serang. Jaka kini mencelat, sehingga laju Samurai mereka kini saling berhadapan mengkiblat ke arah teman masing-masing. Keduanya berusaha mengelak dan menarik mundur Samurai mereka, akan tetapi laju mereka tidak memungkinkan. Hingga...!
"Aaaaaaa...!"
"Bless..!"
Dua Samurai saling serang ke arah rekannya, menusuk deras hingga tembus menyate tubuh mereka.
"Wuaaaaaa...!"
Keduanya memekik, darah muncrat dari tusukan Samurai mereka. Tangan mereka masih menggenggam Samurai, sementara mata mereka melotot tak mengerti akan apa yang mereka lakukan. Kejadian tersebut berjalan kilat, lalu keduanya terkulai jatuh dan mati.
"Bajero! Kau harus mampus, Anak Muda!" maki ketua Ninja.
"Bagaimana, apakah masih kurang yakin?" tanya Jaka mengejek.
"Bajero, Seraaaaanggg..!"
Lima belas orang Ninja yang masih hidup kini berkelebat menyerang ke arah Jaka.
"Wuuuuttt...!"
Jaka yang sudah mengira dengan cepat berkelebat mengelak. Tubuh Jaka Ndableg bergerak cepat menghindari serangan kelima belas Samurai Ninja.
"Swiiiingg...!"
Tersentak kaget semua yang ada di kereta melihat pimpinan Ninja mengeluarkan senjata rahasianya menyerang Jaka.
"Awas Jaka...!" pekik Meimora yang cemas akan keselamatan Jaka Ndableg.
"Srang...!" Jaka Ndableg cabut Pedang Siluman Darahnya, dan dengan cepat kebaskan pedang tersebut.
"Wuuuutttt...!"
"Trang! Trang! Traang!"
Lima buah senjata rahasia saling beradu dengan Pedang Siluman Darah. Lima senjata rahasia itu luluh lantak, berjatuhan ke atas tanah, terbabat oleh Pedang Siluman Darah.
"Kalian memang orang-orang yang tidak tahu diuntung! Jangan salahkan kalau aku terpaksa turunkan tangan jahat! Hiiiaaaattt!"
Jaka Ndableg dengan Pedang Siluman Darah kini berkelebat menyerang ke arah musuh. Pedang Siluman Darah kini berkelebat dengan liar dan ganas, sepertinya Pedang tersebut memiliki mata sendiri.
"Wuuuuttt !"
Tersentak kelima belas Ninja manakala Pedang Siluman Darah dibabatkan. Hawa Panas yang teramat sangat menerpa mereka, menjadikan suasana sekeliling mereka bagaikan terbakar. Mata kelima belas Ninja itu membelalak kaget, tak dapat menyangka bahwa pedang di tangan Jaka benar-benar sebuah pedang yang aneh.
Kelima belas Ninja itu terdorong ke belakang, sementara Pedang Siluman Darah kini benarbenar haus darah. Pedang Siluman Darah terus mencerca ke arah musuh, bergerak dengan cepat dan sukar diduga. Kelima belas orang Ninja itu benar-benar tersentak, sebatkan Samurai mereka manakala Jaka menyerang.
"Wuuuuttt...!"
Lima belas Samurai bareng menyerang.
"Traang! Trang! Trang...!"
Mata kelima belas Ninja itu seketika membeliak, tatkala mata mereka melihat apa yang terjadi. Kelima belas Pedang Samurai di tangan mereka puntung, terbabat oleh Pedang Siluman Darah di tangan Jaka Ndableg. Mata mereka membelalak, begitu juga mata keempat orang temannya yang berada di kereta. Mereka baru yakin siapa adanya Jaka Ndableg.
Jaka Ndableg sengaja hentikan serangan, mengharapkan musuh-musuhnya mau mengerti. Namun kesempatan itu bukan digunakan oleh para Ninja untuk menyadari, malah dengan nekad kelima belas Ninja itu kini kembali menyerang Jaka.
"Bangsat! Kalian rupanya ingin mampus!" Jaka nampak begitu marahnya, sehingga kini dirinya benar-benar terbakar.
"Oaaaaaarr!"
Tersentak semua Ninja yang menyerangnya, manakala tiba-tiba tubuh Jaka berubah menjadi Manusia Api. Mereka benar-benar tidak percaya. Salah seorang dari mereka menyerang, namun...!
"Wuaaaa...!" Orang tersebut menjerit, tubuhnya hangus terbakar. Melihat hal itu, yang lainnya hendak meninggalkan pergi manakala dengan cepat Dewa Api hantamkan Mata Malaikatnya menyerang.
"Wuusss...!"
Api dari mata Jaka membersit, menghantam tubuh mereka yang seketika menggelepar-gelepar bagaikan dipanggang. Sementara yang lainnya nampak makin mempercepat larinya. Dewa Api yang sudah marah kembali berkelebat, memapaki lari mereka. Para Ninja itu tersentak, namun dengan cepat Jaka hantamkan pukulan Inti Apinya. Tak ayal, tubuh mereka pun kini terbakar oleh api, hanya seorang saja yang sengaja Jaka lepaskan. Jaka berharap Taka Nata yang menjadi ketuanya akan muncul kembali.
Jaka kembali kebentuk semula, menjadikan keempat orang yang berada di kereta tersentak. Mereka bagaikan baru saja bangun dari mimpi manakala melihat Jaka. Tubuh Jaka tiada luka sedikit pun walau Api tadi membakar tubuhnya.
"Jaaakkaaa...!" Meimora nampak bergembira, dan dengan bangga disambutnya Jaka Ndableg yang hanya tersenyum. Begitu juga dengan kedua panglima perang kerajaan, keduanya nampak ceria.
"Mengapa tidak Tuan bunuh saja orang itu?" tanya panglima pertama.
Jaka tersenyum gelengkan kepala.
"Ah, biarlah ia hidup agar dapat menceritakannya pada sang ketua. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Dengan penuh rasa yakin bahwa Pendekar Muda itu akan mampu melindunginya, maka semuanya kini kembali ke kereta. Sang kusir yang tadinya merasa was-was, kini berubah menjadi rasa yakin yang teramat sangat di hatinya. Kini tak perlu ia merasa takut, sebab Pendekar Jaka Ndableg berada di dalam kereta bersamanya. Dengan berkelakar menghilangkan segala apa yang telah terjadi mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.
Matahari tak pernah nampak di musim salju, namun Matahari Nippon akan selalu bersinar. Begitulah kata-kata penghibur yang selalu berada di hati mereka. Dan benarkah Matahari Nippon akan selalu bersinar cemerlang walau dihempas prahara yang ditimbulkan oleh Taka Nata si Iblis Nippon? Sebagai jawaban atas semuanya, marilah kita ikuti kelanjutan kisah Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah ini pada judul RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS.
Pada judul di atas, kita akan dapat menjawab bagaimana Jaka Ndableg menghadapi Taka Nata? Dan Bagaimana pula Taka Nata si Iblis Nippon dengan Persekutuannya yang bernama Samurai Iblis! Selamat mengikuti...!
Untuk kali ini, saya cukupkan kisah ini. Dan silahkan anda tunggu kelanjutannya, dengan judul Runtuhnya Samurai Iblis. Di situ kita akan mengikuti Jaka Ndableg dengan segala liku-liku hidup dan cintanya. Bagaimana pula cinta Meimora pada Jaka?
:::≡¦ [ RUNTUHNYA SAMURAI IBLIS
] ¦≡:::