Bidadari Selendang Ungu
tanztj
May 22, 2010
INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Misteri Penguasa Gunung Lanang --oo0oo-- Sumpah Si Durjana |
JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : BIDADARI SELENDANG UNGU
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : BIDADARI SELENDANG UNGU
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
"Hoop, ya ...!"
Tubuh bongkok itu lebih ringan dari tebing satu ke tebing lainnya. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya ilmu yang telah mencapai tarap yang sempurna.
Di atas bukit ia menghadap ke sebuah kampung yang terpapar di muka. Kampung seharusnya yang ingin ia datangi, bernama Kampung Wates. Manakala ia memandang kampung itu, seketika pikirannya melayang jauh. Tak terasa berkacakaca. Angannya kembali menyusut ke belakang pada dua puluh lima tahun yang lalu. Pada kejadian yang sampai sekarang membekas diurangan.
Kala itu seorang pemuda mengaku-aku sebagai adik seperguruan datang ke gubugnya. Pemuda itu sungguh tampan raut mukanya hingga membuat bunga-bunga desa Wates banyak yang senang. Mereka berusaha mengambil hati Loh Gantra, namun sejauh itu Loh Gantra seperti berusaha menolak.
Loh Gantra merupakan pemuda supel, ramah tamah dan suka bergaul. Tak aneh jika Loh Gantra banyak yang menyukai termasuk dirinya. Suatu hari manakala mereka tengah berlatih ilmu silat, tiba-tiba Loh Gantra bertanya:
"Kakang ayu, bilakah kakang ayu pernah jatuh cinta?"
Tersentak Sandi Antini mendengar pertanyaan Loh Gantra hingga dengan segera ia menghentikan latihannya.
"Apa maksud pertanyaanmu, Loh?"
"Tidak apa-apa, Kakang ayu. Aku hanya bertanya," jawab Loh Gantra.
"Apakah kau tengah jatuh cinta, Loh?"
Sejenak Loh Gantra memandang ke arahnya dengan takut-takut. Hal ini menjadikan Sandi Antini mengernyitkan keningnya. Dan mana kala Loh Gantra mengangguk lemah, Sandi Antini kembali bertanya.
"Bila kau merasakan cinta, apakah kau tahu arti sesungguhnya dari cinta itu, Loh?"
Loh Gantra untuk kedua kalinya hanya memandang pada Sandi Antini.
"Kenapa kau memandangku begitu, Loh? Apakah kau baru sekali ini melihatku?"
Untuk ketiga kalinya Loh Gantra hanya terdiam memandang tajam pada Sandi Antini, sepertinya Sandi Antini merupakan orang asing di dalam benaknya. Hal itu makin membuat Sandi Antini bingung.
"Loh, kau jangan membuat aku makin tak mengerti. Kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku, katakanlah!"
Mendengar ucapan Sandi Antini, seketika keringat dingin mengalir deras membasahi kedua pelipisnya. Matanya yang sedari tadi menatap tajam pada Sandi Antini, seketika berubah redup. Dari sela-sela sudut matanya, meleleh butiran-butiran kristal putih.
Trenyuh hati Sandi Antini melihat Loh Gantra menangis, walau ia tak mengerti apa yang ditangisi Loh Gantra, namun hatinya sebagai seorang wanita mengerti apa yang dirasakan oleh adik seperguruannya. Dan oleh karena ia telah tahu hal sebenarnya yang telah tersirat di hati Loh Gantra menjadikan perasaannya seketika menjerit.
"Ampun Guru! Adakah semua ini merupakan hukuman bagiku? Pantaskah, kalau aku membiarkan adik seperguruanku menderita, karena sesuatu yang kini berbunga di hatinya? Dan apakah aku tak berdosa bila melayani cintanya?"
Walaupun hati kecilnya menjerit, namun sebagai seorang pendekar pantang baginya untuk menunjukkan hal sebenarnya. Maka dengan keteguhan prinsip, Sandi Antini pun kembali berkata.
"Katakanlah, Loh! Katakanlah! Siapakah bunga yang telah menyentuh hatimu?"
Loh Gantra tak segera menjawabnya, malah kembali ia memandang tajam pada Sandi Antini. Setelah beberapa saat kedua kakak beradik seperguruan itu saling pandang terdengarlah suara Loh Gantra lemah berkata: "Ampun, Kakang Ayu. Mungkin akulah adik yang tak tahu diri. Kalau boleh adik berterus terang, bunga yang telah menyentuh hatiku tak lain dan tak bukan ayulah orangnya."
Bagai tersengat kala. Seketika Sandi Antini membelalakkan matanya, walau ia sebenarnya telah menyadari dari semula. Perasaannya sebagai seorang wanita, menjadikannya merasa terharu. Kebimbangan, terharu, senang, beraduk menjadi satu di hatinya. Antara perasaan di hatinya dengan, kenyataan, menjadikan Sandi Antini bingung harus memilih. Maka hanya dengan berlari pergi ke gubugnya yang dapat ia lakukan sebagai tumpuhannya.
Tercengang Loh Gantra melihat itu hingga ia untuk sesaat hanya memandang dan memandang kepergian kakak seperguruannya. Setelah tersadar dari ketidak mengertiannya, Loh Gantra segera mengikuti langkah kakak seperguruannya, masuk ke dalam gubug Di dalam gubug ditemuinya Sandi Antini yang tengah duduk merenung menunduk muka dan menopang dagu. Perlahan Loh Gantra berjalan mendekat, sampai-sampai tak terdengar langkah kakinya.
Dengan tangan yang agak bergetar karena gemetar, Loh Gantra lembut mengusap pundak Sandi Antini. Namun begitu, usapan itu terasa juga oleh Sandi Antini. Seketika Sandi Antini memandang ke arah Loh Gantra yang tertunduk tak berani menantang pandangannya.
"Kakang Ayu, apakah kakang ayu marah padaku? Apakah salah bila aku mencintaimu, Kakang?" tanya Loh Gantra perlahan, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Sandi Antini. Perlahan namun pasti, kedua kakak beradik seperguruan itu saling pandang. Tak terasa benih cinta bertaburan di hati keduanya. Walau hanya lewat tatapan mata, keduanya telah mengerti segalanya. Mengerti apa dan untuk apa mereka dipertemukan.
Lembayung senja telah merona, mengiringi larian waktu bagaikan memburu. Meredup bayangbayang pepohonan, menyanyi riang burung pulang kandang. Ketika perahu nelayan berlabuh, berlabuh juga cinta di hati mereka.
* * * * *
Hari-hari mereka lalui bersama dengan segala suka dan duka. Kesepian hati yang dulu mereka alami, kini tak ada lagi, berubah menjadi tembang-tembang dengan syair cinta. Pagi itu keduanya tampak tengah berlatih silat, maka kala terdengar suara suitan yang melengking keras. Suitan itu menggema di bebatuan, menjadikan keduanya seketika menghentikan latihannya.
"Siapakah yang sepagi ini telah berbuat begitu, Kakang Sandi?" tanya Loh Gantra, seraya matanya tajam memandang pada arah asal suara itu.
"Entahlah... Tapi yang jelas orang itu hendak berbuat jahat. Maka berhati-hatilah," jawab Sandi Antini, dengan siaga menghunus pedang dari sarungnya yang tergantung di pinggang.
"Hoi! Siapa Ki Sanak yang sepagi ini telah bercanda?"
Tak ada jawaban yang terdengar, hanya desau angin pagi saja yang bergesek dengan daun-daun bambu. Membeliak mata Sandi Antini dan Loh Gantra, demi tak ada jawaban dari orang yang bersuit.
"Suuiitt...!"
Untuk kedua kalinya terdengar suara suitan. Loh Gantra yang berjiwa panas dengan penuh kekesalan membentak: "Setan alas! Rupanya ia sengaja hendak mempermainkan kita!"
Srang!
Dihunusnya pedang. Dengan langkah mantap bagaikan seorang prajurit perang yang gagah berani, Loh Gantra bermaksud mendatangi asal suara itu kalau saja Sandi Antini tak segera mencegahnya.
"Jangan, Loh!"
"Tapi mereka sangat keterlaluan, Kakang."
"Biarkan, apa yang hendak mereka mau."
"Keresek! Keresek!" Terdengar suara daun-daun kering diinjak.
Sandi Antini seketika memasang telinganya tajam-tajam mengintai.
"Hem, ada sekitar sepuluh orang," gumamnya dalam hati. Tangannya yang menggenggam pedang, senantiasa siap siaga
"Suuuiiittt!"
Suitan ketiga terdengar bersamaan dengan berkelebatnya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak yang langsung mengurung keduanya. Terbelalak mata Sandi Antini dan Loh Gantra mana kala melihat orang-orang bercadar seperti ninja. Mata keduanya menatap tajam bagaikan hendak menembus cadar-cadar yang menutupi wajah kesepuluh orang yang mengurungnya.
"Siapa kalian!" membentak Sandi Antini.
Bukannya jawaban kata-kata yang diterima Sandi Antini dari kesepuluh orang yang mengepungnya, namun jawaban dari pertanyaannya adalah kelebatan babatan golok di tangan kesepuluh orang itu.
"Awas, Loh!" seru Sandi Antini, tatkala sebuah golok berkelebat mengarah ke arah mereka.
Dengan gesit Loh Gantra segera berkelit menghindar. Namun belum juga Loh Gantra menjejakkan kakinya di tanah, orang yang tadi menebaskan golok kembali mencercanya. Dengan agak repot Loh Gantra berjumpalitan mengandalkan saltonya untuk dapat menghindari serangan itu. Begitu ada kesempatan, Loh Gantra dengan segera balik menyerang. Kaki dan tangannya berkelebat dengan cepat, menghantam dan menendang musuhnya. Seketika terpentallah tubuh orang yang menyerang itu membentur pohon dengan kerasnya. Lalu mati dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Belum juga Loh Gantra dapat mengatur napas seketika teman orang yang mati berkelebat dengan cepat membabatkan golok ke arahnya. Loh Gantra tersentak melototkan mata marah. Hampir saja kepalanya tertebas golok, kalau saja Loh Gantra tidak segera merunduk.
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mampus!" memaki Loh Gantra setelah terlepas dari maut. Bagaikan banteng ketaton, Loh Gantra melesat menerjang orang itu.
Sementara itu, Sandi Antini yang dikeroyok tampak bagaikan tak kerepotan melayani serangan-serangan musuhnya. Tubuhnya yang ramping berkelebat-kelebat menghindari serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuhnya.
"Siapa kalian! Jangan sampai kalian mati dengan tanpa nama!"
Namun seperti semula, bukannya kata-kata jawaban dari pertanyaannya, melainkan tebasan dan tusukan golok. Kesabaran Sandi Antini seketika hilang, berubah menjadi kegusaran merasa ucapannya tak digubris oleh orang-orang bercadar itu. Dengan mendengus terlebih dahulu, Sandi Antini segera balik menyerang dengan Pedang Dewi di tangannya.
Bagaikan Dewi Kematian, setiap kelebatan pedang di tangan Sandi Antini menjadikan jerit kematian yang melolong panjang. Jurus-jurus Pedang Dewi yang dimainkan Sandi Antini begitu cepat. Musuhmusuhnya kelabakan bingung, manakala pedang di tangan Sandi Antini bergulung cepat laksana kincir. Sebuah sinar putih berkilauan keluar dari pedang yang tertimpa sinar matahari, menyilaukan mata musuh-musuhnya.
Tercengang orang-orang bercadar itu menyaksikan permainan pedang Sandi Antini. Hal itu tidak disia-siakan oleh Sandi Antini yang dengan segera membabatkan pedangnya. Maka seketika itu jerit kematianpun kembali menggema.
"Aaaaahhhhhh!"
Dalam sekejap dua orang bercadar itu ambruk dengan leher puntung dari tubuhnya, terbabat oleh Pedang Dewi. Bergidik keempat orang bercadar lainnya menyaksikan hal itu. Namun belum sempat mereka berbuat apa-apa, pedang di tangan Sandi Antini kembali berkelebat dan kembali meminta nyawa. Kembali dua orang lainnya ambruk dengan keadaan seperti kedua temannya yang terdahulu, putung kepalanya dan mati.
Kedua orang yang masih hidup hendak melarikan diri, ketika dengan segera Sandi Antini merogoh sesuatu dari balik bajunya. Secepat kilat dari tangan Sandi Antini mendesing benda-benda kecil, memburu dua orang yang tengah berlari.
"Aaaaaahhhh...!"
Ambruk seketika kedua orang itu dengan tubuh membiru bagaikan kena racun, jarum-jarum kecil menancap di pundak mereka. Tersenyum puas Sandi Antini melihat hasil yang diperolehnya, lalu dengan santai dihampiri Loh Gantra yang juga telah membereskan musuh-musuhnya.
"Siapa kira-kira mereka ini, Kakang?" tanya Loh Gantra sembari menjejakkan kaki ke tubuh musuhnya yang telah mati.
"Dilihat dari pakaian mereka adalah anak buah Tongkat Putih. Tapi aku tak yakin kalau Tongkat Putih yang melakukan ini semua," jawab Sandi Antini ragu, menjadikan Loh Gantra seketika memandangnya dengan kening berkerut.
"Maksud, Kakang?"
"Aku rasa ada orang yang sengaja ingin mengadu domba."
"Siapakah kira-kira orang tersebut, Kakang?"
"Entahlah. Setahuku, aku tak punya musuh. Namun entah memang ada seseorang yang sengaja memusuhiku dengan maksud-maksud tertentu."
"Mungkin ada orang yang tahu kalau kakang Ayu memiliki kitab Selendang Ungu," berkata Loh Gantra yang seketika itu membuat Sandi Antini membelalakkan mata kaget.
"Bagaimana mungkin Loh Gantra mengerti kalau aku mempunyai kitab Selendang Ungu? Apakah guru menceritakannya?" bertanya-tanya hati Sandi Antini. Matanya yang lentik dengan bulu mata panjangpanjang, menatap tajam tak berkedip pada Loh Gantra yang seketika tertunduk.
Merasa dipandang begitu rupa oleh Sandi Antini, Loh Gantra mengeluh dalam hati.
"Ah, kenapa aku mengatakannya? Sungguh bodohnya aku. Kalau Sandi Antini mengerti bahwa aku sebenarnya bukan adik seperguruannya. Gagallah segala rencanaku untuk merebut Kitab Selendang Ungu dari tangannya. Kenapa Nyi Mayang Sari belum datang-datang?"
"Loh, apakah guru telah mengatakannya padamu bahwa aku mempunyai kitab Selendang Ungu?"
Tersentak Loh Gantra ditanya seperti itu. Dengan mata terbelalak, Loh Gantra menjawab dengan terbata-bata.
"Be, benar."
"Hai! Kenapa kau, Loh? Sepertinya kau kaget?" tanya Sandi Antini seraya menyipitkan mata, manakala mendengar ucapan Loh Gantra yang tergagap seperti ketakutan.
"Mati aku!" mengeluh Loh Gantra dalam hati, namun dengan segera dicobanya untuk tenang. Dengan bibir mencoba tersenyum, Loh Gantra berkata: "Ah, tidak! Aku hanya terpana dengan kecantikan kakang ayu saja, hingga aku begitu gugup mana kala kakang ayu bertanya padaku."
"Ah! Kau bisa saja, Loh," mendesah Sandi Antini dengan bibir terurai senyum. Hal itu menjadikan Loh Gantra tenang kembali hatinya. Maka dengan segera, kembali Loh Gantra berucap menjadikan Sandi Antini hanya mampu mengeluh. Tak kuasa mendengar ucapan Loh Gantra yang begitu membuatnya terlena.
"Benar, Kakang Ayu. Sungguh aku berkata sebenarnya Kakang ayu memang cantik jelita."
"Ah, Loh...!" Bagaikan seorang anak kecil yang ditimang, Sandi Antini segera mendekati Loh Gantra. Dan dengan penuh perasaan direbahkannya kepala di pundak Loh Gantra yang menerimanya dengan bibir tersenyum, walau hatinya berkata lain.
"Hem, masuklah kau dalam perangkapku. Orang bodoh! Maka aku mau denganmu yang janda?" Dibimbingnya Sandi Antini, berjalan menuju ke dalam gubug dengan bercanda ria keduanya saling memadu kasih.
* * * * *
:::≡¦ [ 2 ] ¦≡:::
"Ku harap Sandi Antini tidak segera bangun," berkata Loh Gantra dalam hati sembari mempercepat larinya. Selang tak beberapa lama kemudian, Loh Gantra telah sampai pada sebuah gubug dekat kali yang berada di dalam hutan Cemara Sundul.
"Sampurasun... Nyi!"
"Rampes! Kaukah itu, Loh?" terdengar suara wanita menyahuti.
"Benar, Nyi," jawab Loh Gantra.
Tak berapa lama antaranya, seorang wanita setengah baya nampak keluar dari gubug. Bibirnya terurai senyum, memandang genit pada Loh Gantra.
"Ayo, masuk!" mengajak wanita yang bernama Nyi Mayang Sari, diikuti oleh Loh Gantra di belakangnya. Lalu dengan segera ditutupnya pintu bilik yang meninggalkan suara berderit.
"Apakah kau telah mengetahui, di mana ia menyimpan kitab itu, Loh?" tanya Nyi Mayang Sari.
"Belum, Nyi."
"Bodoh! Kenapa kau begitu lama? Apa saja yang kau kerjakan di sana? Apakah kau hanya bermesra-mesraan dengan dia saja hingga kau lupa pada tugasmu?" mendengus Nyi Mayang Sari penuh kekecewaan dan rasa cemburu.
"Ah, Nyi. Kenapa kau begitu cemburu?"
"Aku tidak cemburu, Loh. Tapi kalau kau terjerat olehnya, bagaimana mungkin kau akan menjalankan rencana kita dengan baik? Kau mesti ingat, bahwa dia masih begitu cantik walau usianya sama denganku. Aku khawatir kau lalai dengan tugasmu," berkata Mayang Sari, menjadikan Loh Gantra tersenyum-senyum sendiri. Di peluknya tubuh Mayang Sari, menjadikan Mayang Sari terdiam.
"Jangan khawatir, Nyi. Percayalah padaku, bahwa aku hanya mencintaimu seorang," bisik Loh Gantra di telinga Mayang Sari yang seketika menatapnya penuh arti. Tak berapa lama kemudian kedua orang itu akhirnya terlarut dalam alunan cinta bersama dengan datangnya malam.
Entah apa yang keduanya lakukan yang pasti hanya desah-desah, dan lenguhan Nyi Mayang Sari memecah keheningan. Tak berapa lama setelah keduanya hening, terdengar kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Hati-hati, Loh. Jangan kau sampai terperangkap olehnya. Ingat! Rencana kita untuk mendapatkan Kitab Selendang Ungu, harus berhasil."
"Baik, Nyi. Kapankah kau akan datang?" tanya Loh Gantra yang tampak dengan terburu-buru membetulkan celananya, hingga mau tak mau Nyi Mayang Sari yang melihatnya tersenyum geli.
"Aku pergi dulu, Nyi."
"Ya... Aku akan datang ke tempatmu bila kau telah mendapat keterangan mengenai Kitab tersebut," menjawab Nyi Mayang Sari.
Dengan segera Loh Gantra berkelebat pergi, meninggalkan Nyi Mayang Sari yang mengikuti kepergiannya dengan senyum mengembang di bibir.
Sandi Antini yang baru terjaga dari tidur tersentak kaget mana kala dilihatnya Loh Gantra tak ada. Dengan segera Sandi Antini bergegas bangkit dari tidurnya, berjalan menuju keluar mencari Loh Gantra. Sesampainya di luar, dilihatnya Loh Gantra tengah duduk-duduk melamun seorang diri dalam gelapnya malam.
"Sedang apakah kau di luar malam begini, Loh?" tanya Sandi Antini sembari berjalan menghampiri Loh Gantra.
Bagaikan tersentak kaget, Loh Gantra segera menengok sembari lemparkan senyum.
"Ah, rupanya kakang ayu. Kaget aku dibuatnya. Sudah puaskah tidurnya?"
"Ooh... puas sekali, Loh," mendesah Sandi Antini.
"Dari mana kau, Loh?"
"Dari tadi aku di sini, Kakang. Sengaja aku duduk-duduk di sini menunggui kakang ayu yang tengah tidur. Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang mengganggu kakang ayu," berkelakar Loh Gantra menjadikan Sandi Antini mesem tersipu-sipu.
"Apa yang kau takuti dengan diriku, Loh? Bukankah aku sudah tua? Mana mungkin ada orang yang mau mengusikku?" tanya Sandi Antini manja dengan senyum makin melebar di bibirnya.
"Tidak demikian, Kakang. Aku rasa kakang ayu masih begitu mempesona. Mungkin kalau orang yang tak mengerti, akan menyangka kakang ayu masih berusia belasan tahun."
Mendengar ucapan Loh Gantra yang mendayu-dayu, seketika merona merahlah kedua pipi Sandi Antini. Matanya berkaca-kaca dengan bibir mendecap-decap seakan sengaja dipermainkan. Dari mulutnya yang mendecap-decap terdengar desahannya yang lembut.
"Ooh, sungguh aku bagaikan hidup di Surga mendengar ucapanmu, Loh."
Tersenyum Loh Gantra dalam hati, melihat Sandi Antini telah dapat ia ambil hatinya. Hati Loh Gantra yang memang mempunyai maksud lain, berkata sendiri penuh kebencian.
"Hem, rupanya dengan jalan begini kau dapat ditundukkan. Kau akan tahu sendiri nanti, siapa aku sebenarnya"
"Aku rasa, ucapanku hanyalah pernyataan yang ada di hatiku. Mungkin lelaki lainpun akan sama mengatakannya seperti apa yang aku katakan," berkata Loh Gantra, makin membuat Sandi Antini seketika angannya melayang bagaikan terbang.
Ia tak menyadari siapa sebenarnya Loh Gantra, dan apa sebenarnya yang dituju. Karena terlalu mabuk oleh sanjungan, Sandi Antini tak dapat lagi mengontrol dirinya. Dengan manja direbahkannya kepala ke dada Loh Gantra yang hanya dia menerimanya.
Meski di bibir terurai senyum, tapi mimik Loh Gantra sebenarnya dapat dibaca kalau sebenarnya dia memendam perasaan permusuhan. Senyumnya merupakan senyum sinis yang sengaja dibuat-buat untuk menutupi perasaan lain. Tatapan matanya. sebenarnya tatapan mata melotot. Beruntung mata Loh Gantra agak lebar hingga hal itu tidak dapat kentara. Dan mana kala Sandi Antini memandang ke wajahnya, cepat-cepat Loh Gantra segera membuang muka purapura memandang ke langit di mana bulan terpampang terang.
"Loh, sungguh indah malam ini. Apalagi bulan bersinar terang."
"Ya, seterang dan secantik wajahmu, Kakang."
"Ah, kau Loh. Mana mungkin wajahku yang jelek ini disamakan dengan bulan? Bukankah Bulan itu tanda kecantikan, Loh?" tanya Sandi Antini manja.
"Kenapa kau hanya memandang ke Angkasa? Apakah kau tak senang melihat wajahku, Loh?"
Tersentak Loh Gantra seketika demi mendengar pertanyaan Sandi Antini yang tak disangka-sangka. Matanya sesaat membeliak, lalu dengan mencoba tersenyum, Loh Gantra berkata terbata-bata.
"Ah, ti-tidak! Aku suka memandang wajahmu, Kakang. Tapi aku takut kalau-kalau kau marah."
"Ah, Loh," mendesah Sandi Antini sembari tangannya dilingkarkan ke leher Loh Gantra. Mau tak mau, akhirnya Loh Gantra harus menurut menatap wajah Sandi Antini. Perlahan namun pasti, wajah keduanya semakin dekat dan dekat yang akhirnya menyatu. Tengah keduanya melakukan ciuman, seketika keduanya tersentak oleh suitan.
"Suiiiitttt...!"
Dengan seketika keduanya memandang ke rerumputan bambu yang berada di depannya, seraya melepaskan pelukan mereka.
"Suiiiittt...!"
Kembali terdengar suitan untuk kedua kalinya hingga membuat Sandi Antini segera bangkit dan memandang tajam dengan pedang siap di tangannya. Dengan mata memandang waspada pada rerumputan bambu, membentak Sandi Antini seketika itu: "Siapa kau!"
"Ha, ha, ha...! Inikah pendekar wanita yang kesohor dengan julukan Pendekar Pedang Dewi? Hem, ternyata tak lebihnya dari seorang wanita liar yang suka pada lelaki muda," mengejek suara wanita, bersamaan dengan berkelebat sesosok tubuh pemilik suara tersebut. Di belakangnya lima belas orang lainnya membuntuti.
Terbelalak Sandi Antini seketika, mana kala melihat kehadiran orang-orang itu. Matanya memandang tajam, sementara pedangnya telah tergenggam di tangan. Ketika Sandi Antini menengok ke Loh Gantra, betapa ia sangat kecewa, Loh Gantra yang mengaku-aku sebagai adik seperguruannya dan telah merebut hatinya, ternyata kini tersenyum sinis padanya. Dengan geram, Sandi Antini pun memaki-maki.
"Iblis! Ternyata kau sengaja menjebakku, Loh! Tak kusangka, kalau kau ternyata ular berbisa!" Mata Sandi Antini melotot, nafasnya naik turun menahan gejolak amarah.
Bagaikan orang tak bersalah, Loh Gantra seketika menderai tawa sembari berkata mengejek.
"Ha, ha, ha.... Sandi Antini. Sekarang kau telah tahu siapa aku sebenarnya. Nah, katakanlah di mana kau sembunyikan Kitab Selendang Ungu!"
"Setan alas! Jangan kalian kira aku mudah digertak. Langkahi dulu mayatku, Hiat...!"
Tak terbendung lagi kemarahan Sandi Antini yang dengan seketika berkelebat menyerang Loh Gantra. Marah karena ternyata mereka menghendaki Kitab Selendang Ungu, juga marah karena merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Loh Gantra pria yang telah dapat mengambil hatinya setelah kematian suaminya si Pedang Dewa.
Loh Gantra yang sudah mengetahui kehebatan ilmu pedang Dewi hatinya merasa gentar juga. Dengan hati-hati sekali, Loh Gantra mengelakkan tusukan pedang yang dilancarkan oleh Sandi Antini.
"Ut! hampir aku menjadi korban," mengeluh Loh Gantra dalam hati. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, Loh Gantra segera melompat mundur dan berseru pada orang bercadar yang seketika menyerang Sandi Antini.
"Serang...!"
Berloncatan kelima belas orang bercadar mengepung Sandi Antini, yang kemarahannya telah memuncak tak dapat dibendung lagi. Sebelum kelima belas pengeroyoknya beraksi, Sandi Antini segera mendahuluinya. Pedang di tangannya berkelebat dengan cepat menimbulkan desingan-desingan yang memekakkan telinga, membuyarkan konsentrasi pengeroyoknya.
Maka tanpa ampun lagi, pedang di tangan Sandi Antini bagaikan Malaikat pencabut nyawa. Setiap kebatannya, mengundang pekik kematian yang disusul dengan robohnya dua orang musuhnya. Kepala kedua orang yang terbabat pedang di tangan Sandi Antini, menggelinding lepas dari tubuh mereka.
Terbelalak mata wanita yang berdiri berdampingan dengan Loh Gantra, melihat kenyataan di hadapan matanya.
"Sungguh ilmu pedang yang sangat dahsyat. Baru kali ini aku melihat ilmu pedang yang begitu dahsyat. Sukar diikuti gerakannya karena saking cepat," membatin wanita itu.
"Percuma kita buang-buang waktu saja, Loh. Aku rasa, mereka tak akan mampu menghadapinya," berkata wanita itu pada Loh Gantra yang tampaknya juga tengah menghadapi keragu-raguan.
"Apa yang mesti kita lakukan?" tanya Loh Gantra, demi mendengar ucapan Nyi Mayang Giri. Matanya terus memandang pada perkelahian itu, seperti takjub melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang dilakukan Sandi Antini. Kebimbangan di hatinya kembali timbul, manakala untuk kedua kalinya ia melihat kelebatan cepat yang dilakukan oleh Sandi Antini.
Berbareng dengan habisnya pekikan Sandi Antini, kembali dua orang anak buahnya ambruk dengan kepala puntung. Hal itu makin menjadikan rasa tak percaya diri Loh Gantra, yang di hatinya telah berdesir kebimbangan dan keragu-raguan.
"Mampukah aku menghadapinya? Ah, sungguh luar biasa."
"Kita tak akan mampu mengalahkannya, Nyi!" berkata Loh Gantra putus asa.
"Heh, kenapa kau begitu pesimis, Loh?" terheran-heran Nyi Mayang Sari mendengar ucapan Loh Gantra. Matanya memandang tajam pada Loh Gantra, dengan kening tampak mengerut.
"Kenapa kau ini, Loh? Kau takut?"
Loh Gantra hanya mengangguk lemah bagaikan tak bersemangat. Matanya memandang pada Nyi Mayang Sari seakan meminta pengertian. Namun Nyi Mayang Sari sepertinya tak mau tahu.
"Kalau kau penakut, kenapa kau tak jadi banci saja?"
"Nyi..." Loh Gantra hendak memprotes, ketika Nyi Mayang Sari telah mendahului berkata lagi,
"Jangan banyak omong! Kalau kau memang takut menghadapinya, maka aku sendiri yang akan menghadapinya." Tanpa dapat dicegah, Nyi Mayang Sari telah berkelebat menyerang Sandi Antini. Mau tak mau, Loh Gantra pun akhirnya turut menyerang Sandi Antini.
"Bagus! Rupanya kalian masih memiliki rasa belas kasihan hingga tak sia-sia anak buah kalian mati di tanganku. Nah, karena kalian telah turun, maka kalianlah sebagai pengganti mereka. Hiaatt...!" Berbareng dengan habis ucapannya, Sandi Antini segera berkelebat dengan pedang di tangannya menyerang Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari.
"Ut...! Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra memperingatkan Nyi Mayang Sari yang dengan segera mengelakkan serangan Sandi Antini, sembari mendengus marah.
"Huh, Setan alas! Hampir saja aku dibikin sate!"
Belum juga keduanya dapat mengatur napas, dengan segera Sandi Antini kembali menyerang. Pedang di tangannya bergerak dengan cepat berdesingdesing mengarah pada kedua musuhnya yang dengan segera berkelebat menghindar. Namun tak ayal, anak buah merekalah yang menjadi penggantinya. Enam orang yang tengah berdiri tertegun menyaksikan pertarungan itu, tak mampu mengelakkan serangan Sandi Antini yang begitu cepat tanpa dapat diduga.
"Bedebah! Karena kau telah membunuh anak buahku, maka sebagai balasannya kau harus mati! Bersiaplah! Hiat...!" mendengus Nyi Mayang Sari marah, dengan segera berkelebat memapaki serangan Sandi Antini dengan jurus-jurus Gagak Hitamnya.
Melihat, kambratnya telah menyerang, Loh Gantra yang semula ragu segera berkelebat membantu dengan jurus Lutungnya. Perpaduan jurus Gagak Hitam Mematuk Cacing dengan jurus Lutung Memetik Buah begitu serasinya. Gerakan-gerakan keduanya silih berganti, membuat Sandi Antini nampak kebingungan. Jurus-jurus pedangnya terkecoh, oleh gerakan-gerakan kedua musuhnya yang begitu cepat dan keras.
"Ah...!" memekik Sandi Antini sembari melompat mundur, mana kala dirasakannya samberan tangan Nyi Mayang Sari ke arah perutnya. Namun tak urung bajunya terobek pada bagian perutnya. Sobekan kain itu begitu lebarnya, menjadikan perut Sandi Antini nampak. Dengan berusaha menutupi lobang bajunya, Sandi Antini membentak sembari menyerang.
"Bedebah! Jangan harap kalian akan mampu mendapatkan kitab itu. Hiat...!"
Dengan tangan kiri memegangi sobekan kain di perutnya, Sandi Antini yang marah menyerang membabi buta dengan pedang Dewinya. Hal itu menjadikan serangan-serangannya ngawur dan tak terarah lagi membuat kedua musuhnya dengan mudah mengecoh serangannya, bahkan kini dia sendiri yang terdesak.
"Menyerahlah! Dan berikan kitab Selendang Ungu itu pada kami, maka kami akan mengampunimu!" berseru Loh Gantra nampak berani, setelah dapat mendesak Sandi Antini.
"Benar! Serahkan kitab itu pada kami, maka kami akan mengampuni nyawamu," menambahkan Nyi Mayang Sari dengan senyum sinis, dan terus mendesak Sandi Antini yang makin mundur.
"Pantang bagiku untuk menyerah sebelum menjadi mayat. Hiat...!"
Sandi Antini mencoba mendobrak desakan mereka, tapi bagaikan karang, keduanya nampak tak tergoyahkan. Bila Sandi Antini menyerang, keduanya segera memencar hingga Sandi Antini hanya menusuk angin belaka. Dan bila serang Sandi Antini telah berlalu, maka keduanya dengan bergantian balik menyerang.
"Iblis! Terpaksa aku harus mengadu jiwa dengan mereka" membatin Sandi Antini. Maka dengan penuh kenekatan dan spekulasi, Sandi Antini kembali menyerang. Kali ini makin dipercepat jurus-jurusnya, hingga pedang di tangannya bergerak begitu cepat membentuk gulungan sinar putih menderu-deru menyerang kedua musuhnya.
"Awas, Nyi!" berseru Loh Gantra memperingatkan pada kambratnya, yang hampir saja lengah termakan serangan tipuan yang dilancarkan Sandi Antini.
Tersentak Nyi Mayang Sari manakala pedang Sandi Antini berkelebat dengan cepat ke arahnya. Dengan segera diegoskan tubuhnya ke samping, pedang itu dapat dielakkannya dan hanya berjarak sekuku jari saja lewat di samping kirinya. Namun betapa terkejut dan marahnya Nyi Mayang Sari seketika itu, ketika dirasakannya hawa dingin menyentak kulit perutnya. Ketika ia melihat ke bagian perut, tampaklah pakaiannya robek lebar. Geramlah Nyi Mayang Sari seketika, lalu dengan mendengus ia pun segera balik menyerang.
"Huh, perempuan tak tahu diri. Mampus saja kau. Hiat...!"
Sandi Antini yang saat itu tengah mencecar Loh Gantra, tak menyangka kalau Nyi Mayang Sari menyerangnya. Maka ketika dirasakan hembusan angin di belakangnya, Sandi Antini segera tebaskan pedang ke belakang. Namun hal itu menjadikan fatal baginya, sebab Loh Gantra yang telah mengetahui gerakannya segera mendahului menyerang.
"Hiaaattt...!"
Tendangan Loh Gantra yang begitu cepat dan keras, tak mampu lagi ditangkis atau dielakannya. Maka tak ayal lagi, tubuh Sandi Antini seketika melayang jatuh ke dalam jurang yang telah menganga di belakangnya dengan meninggalkan lengkingan panjang.
"Aaaaahhhhh...!!!"
Tercenung keduanya memandang ke bawah jurang yang dalam, yang telah menelan tubuh Sandi Antini. Setelah sesaat keduanya hanya terdiam, terdengar kembali Nyi Mayang Sari berkata: "Loh, apakah kau tahu di mana ia menyimpan kitab itu?"
"Tidak, Nyi. Aku belum menanyakannya ketika kau tiba-tiba datang." kata Loh Gantra, membuat Nyi Mayang Sari tampak kecewa.
"Percuma usaha kita, Loh!"
"Belum, Nyi. Mari kita geledah gubugnya," berkata Loh Gantra mengajak, yang dengan segera diikuti oleh Nyi Mayang Sari dan sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup. Mereka pun dengan segera menggeledah setiap pelosok rumah itu, dengan harapan Kitab Selendang Ungu berada di situ. Namun sejauh mereka menggeledah, tak ditemukannya apa yang mereka cari.
Hingga dengan penuh kekecewaan, dibakarnya gubug itu oleh mereka yang segera pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa.
* * * * *
:::≡¦ [ 3 ] ¦≡:::
"Hem, ke mana sebenarnya Sandi Antini? Apakah mungkin ia sengaja menghilang? Ah, aku tak yakin kalau dia menghilang, tentu ada apa-apa yang terjadi," bergumam Jaka Ndableg sembari terus berlari. Karena menggunakan ajian Angin Puyuh, Pendekar kita Jaka Ndableg tak begitu lama kemudian telah sampailah di desa Wates. Dicarinya gubug yang dulu menjadi tempat kediaman Sandi Antini, namun kini gubug itu telah tak ada.
"Hem, mungkin ini juga perbuatan orang-orang Loreng Ireng. Sungguh perbuatan biadab!" menggeratak hati Jaka, demi dilihatnya pondok sahabatnya telah rata dengan tanah habis terbakar. Ketika Jaka tengah termenung sendirian dengan memandangi bekas gubug Sandi Antini, tiba-tiba terdengar olehnya desingan anak panah mengarah ke arahnya. Jaka segera lemparkan tubuh ke angkasa, bersalto untuk menghindari serangan tersebut.
"Kupret! Rupanya ada tikus-tikus di sini. Hei... Ke luar kalian!" membentak Jaka marah.
Namun jawaban dari bentakannya, adalah kelebatan pukulan anak panah yang kembali menderuderu menyambut tubuh Jaka yang hendak injakkan kaki di atas tanah. Hal itu menjadikan Jaka gusar dan marah,
"Monyet...! Ke luar kalian, atau aku bumi hanguskan tempat kalian dengan api. Hah...!"
Mendengar bentakan Jaka, seketika lima belas orang berkelebat ke luar dari semak-semak rumpun bambu. Kelima belas orang itu mukanya tertutup cadar, persis Ninja. Melihat hal itu, Jaka yang dasarnya ndableg hanya tertawa seraya berkata:
"Wow... Rupanya aku mendapat sambutan dari orang-orang yang sok ikut-ikutan kaya orang asing. Apa kabar Ninja-ninja edan?"
"Slompret...! Rupanya kau pun ingin seperti temanmu yang telah terjatuh ke dalam jurang," menggeretak pimpinan orang-orang bercadar, menjadikan Jaka seketika melototkan mata bercampur marah demi mendengar keterangan pimpinan orang bercadar itu.
"Setan alas, jadi kaliankah yang telah membuat kerusuhan dan sekaligus membunuh sahabatku. Baik, mari kita main-main sesaat! Bersiaplah. Hiat...!"
Jaka yang telah marah manakala mendengar bahwa Sandi Antini telah diperdayai oleh mereka, menyerang dengan tak memberi kesempatan sekalipun. Darahnya sangat mendidih, laksana Kawah Chandra Bilawa tempatnya memperoleh Pedang Siluman Darah.
"Serang...!" berseru pimpinan orang-orang bercadar, yang seketika dijalani oleh keempat belas anak buahnya.
"Jangan biarkan Pendekar Edan ini lolos. Bunuh bila perlu!"
"Enak saja kalian ngebacot! Apakah kalian ini kue lezat? Nih, kue untukmu..." Jaka segera kibaskan tangan yang menutup jari-jarinya ke arah salah seorang pengeroyoknya.
Karena saking cepatnya gerakan Jaka, sampai-sampai musuh yang dicerca tak mampu untuk mengelakkannya. Hal itu menjadikan tangan Jaka yang dialiri tenaga dalam, tepat menyodok mulutnya. Seketika menjeritlah orang itu, mulutnya mengeluarkan darah dengan gigi-giginya rontok.
"Siapa lagi yang mau kue molen?" berkata Jaka ngebanyol.
"Setan! Kau harus membayar atas kematian salah seorang anak buahku!"
"Oh... Rupanya kau pimpinannya. Nah, untuk kalian yang tinggal empat belas akan aku hadiahkan. Ini...!"
Bersamaan dengan ucapannya Jaka segera hantamkan bogem mentahnya. Semua musuh-musuhnya tersentak dan berusaha tebaskan golok, namun secepat itu pula Jaka tarik kembali tangannya dan sodokkan kakinya. Melengking tiga orang musuhnya, terhantam anunya oleh kaki Jaka. Ketiga orang itu berputar-putar, sembari memegangi telor mereka yang bagaikan remuk.
"Aduhhh... Telorku pecah...!"
Jaka tertawa bergelak-gelak melihat ketiga orang pengeroyoknya menggerung-gerung menahan sakit, lalu ambruk pingsan. Orang-orang yang lainnya, terbengong kaget. Melihat hal itu, Jaka tidak menyia-nyiakan waktu. Dengan cepat dihantamnya kesebelas musuhnya dengan tangan yang telah dialiri tenaga dalam membuat kesebelas musuhnya tersentak dan berusaha mengelak.
Namun ternyata serangan Jaka lebih cepat hingga tak ayal lagi mereka seketika menjerit, ambruk dengan darah meleleh dari sela-sela mulutnya. Sesaat Jaka memandang tubuh-tubuh mereka, lalu dengan segera Jaka pun berkelebat pergi meninggalkan tempat itu untuk mencari keberadaan temannya Sandi Antini yang kata mereka terjatuh ke dalam jurang.
* * * * *
Setelah sekian lama pingsan dalam jurang, Sandi Antini akhirnya sadar. Dibukanya mata lebarlebar dan tampaklah olehnya pemandangan yang terasa asing.
"Oh, apakah aku telah mati?" tanya Sandi Antini dalam hati.
Kembali ia memandang sekelilingnya, yang tampak hanyalah hamparan rumput menghijau. Di sisi kanannya ia tergeletak, tampak sebuah telaga yang jernih airnya.
"Di manakah aku? Apakah aku kini berada di Surga?"
Dicubitnya lengan tangannya keras-keras.
"Ooh! Sakit. Berarti aku masih hidup."
Dengan merangkak-merangkak Sandi Antini berusaha mendekat ke telaga di sampingnya. Dicobanya untuk bangkit, namun seketika itu ia menjerit karena punggungnya terasa sakit. Hingga Sandi Antini pun akhirnya ambruk lagi.
"Ooh, kenapa dengan punggungku?"
Diraba punggungnya. Seketika itu pula Sandi Antini menjerit manakala mendapatkan punggungnya kini tak rata lagi.
"Tidak! Aku tidak mau bungkuk! Hu, hu, hu!"
Sandi Antini pun seketika itu menangis, meratapi dirinya. Mungkin karena lelah menangis atau karena tekanan jiwanya yang dahsyat akhirnya ia kembali pingsan. Ketika Sandi Antini kembali sadar dan membuka matanya ia terkejut manakala mendapatkan dirinya telah berada di sebuah gubug. Matanya yang bengkak akibat terlalu banyak menangis memandang bingung pada seluruh ruangan rumah gubug itu.
"Di mana pula aku ini?"
Ketika Sandi Antini tengah dilanda kebingungan tentang di mana dirinya kini berada. Tampak seorang lelaki tua berjalan masuk dan tersenyum ke arahnya.
"Siapakah kakek ini?" tanya Sandi Antini, yang dijawab dengan senyuman oleh si kakek. Lalu dengan senyum masih melekat di bibirnya si kakek berjalan menghampiri pembaringan Sandi Antini.
"Tiga hari tiga malam kau pingsan, Nak. Siapakah dirimu? Dan kenapa kau berada di bawah jurang?"
"Nama saya Sandi Antini, Kek. Saya terjatuh ke jurang karena saya tak dapat menghindari serangan musuh," menjawab Sandi Antini dengan air mata berlinang menjadikan kakek itu turut terharu, hingga mata tuanya yang sipit itu tampak berkaca-kaca.
"Kalau begitu kau habis berkelahi, Nak?"
"Benar, Kek," menjawab Sandi Antini.
"Aku dikeroyok oleh mereka, yang menginginkan kitab Selendang Ungu. Mulanya aku mampu mengimbangi serangan-serangan mereka. Namun ternyata mereka berilmu cukup tinggi dan licik."
Kakek itu tampak mengangguk-anggukan kepala memandang dengan mata berkaca-kaca. Dipandangnya Sandi Antini yang nampak meringis menahan sakit di punggungnya, hatinya membatin.
"Kasihan anak ini, ia akan cacat seumur hidupnya. Sungguh-sungguh perbuatan yang keji."
"Nak, mungkin sudah menjadi suratan takdir kalau kau harus menerima kenyataan ini. Ketahuilah olehmu, bahwa kau akan menjadi bungkuk. Aku telah berusaha mengobatinya namun ternyata tak mampu," berkata kakek itu dengan nada sedih, sepertinya ia sendiri yang menanggung.
Sandi Antini hanya terdiam dengan mata meneteskan air mata. Ia menangis manakala teringat pada Loh Gantra. Dendamnya mengalir bagai air bah. Kecewa dan marah beraduk menjadi satu, membuat Sandi Antini menyesali kebodohannya. Kenapa dulu ia terbuai oleh rayuan-rayuan Loh Gantra yang ternyata musuhnya? Bila ingat semua itu dendamnya makin deras membara bagaikan bunga api yang siap membakar.
"Sudahlah, Nak. Jangan terlampau risaukan hal itu. Yang penting kau masih dikarunia umur panjang. Meski cacat, kau tak usah berkecil hati," berkata kakek tua itu mencoba menghibur.
"Sekarang beristirahatlah dahulu agar tubuhmu tidak begitu lemah. Oh, ya namaku yang bodoh ini Wara Sumena."
Terbeliak Sandi Antini seketika, manakala mendengar orang tua itu menyebutkan namanya. Hingga saking kagetnya Sandi Antini seketika mendesah.
"Ah, tak kusangka kalau akhirnya aku dapat bertemu dengan tokoh persilatan sepertimu. Terimalah salam hormatku, Kek!"
"Ah, sudahlah. Kini kau istirahatlah dulu, aku mau mencari makan untuk kita."
Tanpa menunggu jawaban dari Sandi Antini, Wara Sumena segera berkelebat pergi untuk mencari makanan. Sandi Antini merasa bersyukur dapat bertemu dengan orang aneh itu. Jarang tokoh silat yang satu itu mau menolong orang lain kalau tidak atas kemauannya sendiri. Karena tingkahnya yang aneh itu, menjadikan orang-orang persilatan menyebutnya Pendekar Linglung. Ilmunya yang tinggi dan wataknya yang angin-anginan, menjadikan orang segan dengannya.
"Ah, sungguh beruntung aku. Tak kusangka akhirnya aku dapat menjumpai tokoh silat yang aneh ini. Sepertinya ia benar-benar ingin menolongku," berkata Sandi Antini dalam hati dengan bibir tersenyum, seakan sakitnya hilang seketika.
Sejak saat itu Sandi Antini berada di gubug Pendekar Linglung. Ia diangkat murid oleh Pendekar Linglung yang entah karena apa mau menjadikan dirinya murid. Hari-hari mereka lalui dengan latihan-latihan memperdalam ilmu silat. Tampaknya Pendekar Linglung ingin menjadikannya seorang pendekar yang dapat disejajarkan dengan pendekar golongan atas. Hingga dengan tanpa sungkan-sungkan Pendekar Linglung memberikan segala ilmu yang dimilikinya pada Sandi Antini.
Dua puluh lima tahun sudah Sandi Antini hilang dari dunia persilatan, digembleng oleh Pendekar Linglung yang menggemblengnya dengan penuh perhatian. Segala ilmu yang dimiliki oleh Pendekar Linglung telah seluruhnya dikuasai oleh Sandi Antini.
* * * * *
Dengan tubuhnya yang bongkok, Sandi Antini bermaksud membalas kekalahan dua puluh lima tahun yang lalu. Dengan modal ilmu yang diturunkan oleh Pendekar Linglung, Sandi Antini segera mencari dua musuh bebuyutan.
"Hem, dua puluh lima tahun aku menderita oleh tingkah mereka. Kini saatnya aku akan membalaskan kekalahanku. Hiat...!"
Dihentakkan tongkatnya ke tanah, yang seketika itu melentingkan tubuhnya. Tubuh yang bongkok itu tampak berkelebat, bersalto di udara dan akhirnya turun dengan sempurna tanpa goyah sedikitpun. Sesaat mata Sandi Antini celingukan, memandang sekelilingnya. Ia tampak waspada kalau-kalau anak buah Loh Gantra telah mengetahui kehadirannya. Namun ketika ia ingat keadaan tubuhnya, Sandi Antini hanya mesem menggerutu dalam hati.
"Bodoh, aku ini. Mana mungkin mereka mengenali diriku lagi?" Dengan tenang Sandi Antini terus melangkah memasuki perbatasan hutan Cemara Sundul. Ketika Sandi Antini berjalan dengan santai seketika telinganya mendengar suara bergemeresak. Segera Sandi Antini menghentikan langkahnya dan memandang tajam pada semak-semak di mana suara itu berasal.
"Kresek!"
Menyudut mata Sandi Antini memandang ke tempat di sampingnya. Tongkatnya dengan segera diangkat, menuding ke arah semak-semak.
"Satu... 2, 3, 4... Ah, ada 20 orang. Ternyata anak buah Loh Gantra dan Mayang Sari makin banyak saja jumlahnya. Hem..."
Dengan berkelebat cepat, Sandi Antini menyodokkan tongkatnya ke arah semak-semak di hadapannya. Seketika terdengar suara jeritan melengking, bersamaan dengan ambruknya seseorang yang bersembunyi. Dada orang itu tampak bolong dengan darah menyembur deras. Rupanya tongkat Sandi Antini telah menusuknya. Tubuh itu kelojotan sesaat, sebelum akhirnya melayang nyawanya.
Melihat kenyataan itu, sembilan belas orang lainnya dengan segera berkelebat bareng mengurung Sandi Antini. Salah seorang yang rupanya pimpinan, membentak dengan penuh amarah.
"Siapa kau, Kuntilanak!"
"Hi, hi, hi! Kau telah tahu aku kuntilanak, kenapa kau tidak segera memerintah anak buahmu untuk minggat!" jawab Sandi Antini tenang, bahkan tersenyum meringis yang menjadikan pimpinan orangorang bercadar itu melototkan mata.
"Kuntilanak! Rupanya kau belum tahu siapa kami," mendengus marah pimpinan orang-orang bercadar. Bagaikan melihat anak kecil saja.
Sandi Antini kembali tersenyum sembari berkata mengejek.
"Siapa kalian adanya, aku tak perduli. Aku hanya ingin lewat, kenapa kalian mengganggu?"
"Sundel Bolong! Katakan siapa dirimu adanya, sebelum nyawamu lepas dari tubuhmu yang buruk itu!" membentak marah pimpinan orang bercadar dengan garangnya.
"Nama? Bukankah kau telah sedari tadi menyebutkan namaku? Hi, hi, hi...!" tertawa Sandi Antini mengejek menjadikan ketua orang-orang bercadar makin bertambah marah.
Maka dengan geram, ia berusaha memerintah pada kedelapan belas anak buahnya.
"Serang...!"
Mendengar komando itu seketika kedelapan belas orang anak buahnya berkelebat menyerang Sandi Antini.
"Trang...!"
Terdengar suara beradunya benda yang terbuat dari besi, mana kala tongkat di tangan Sandi Antini berbenturan menangkis golok-golok di tangan musuh-musuhnya. Sandi Antini berkelebat dengan cepat sembari memutar tongkatnya yang bergulung-gulung membentuk suatu lingkaran. Terbelalak mata kesembilan belas musuhnya manakala melihat hal itu.
Kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja oleh Sandi Antini, yang dengan segera menghantamkan pangkal tongkatnya yang berputar cepat pada musuh-musuhnya. Seketika enam orang menjerit sembari memegang kepalanya, lalu akhirnya ambruk dengan kepala pecah.
Mata pimpinan orang-orang bercadar itu membelalak, tersengat juga hatinya. Namun belum juga ia mampu menguasai diri dari serangan yang dilancarkan Sandi Antini, seketika ia dikejutkan oleh jeritan yang melengking dari anak buahnya.
"Aaaaahhh...!" Lima orang anak buahnya kembali bergelimpangan menemui ajalnya dengan perut robek, terbeset ujung tongkat Sandi Antini.
Kini anak buahnya tinggal 7 orang delapan dengannya. Walau ia bergidig juga, tapi karena ia telah dipercaya sebagai pimpinan mau tak mau ia harus dapat menunjukkan sikap kepemimpinannya. Maka dengan mendengus marah, pimpinan orang-orang bercadar itu segera turut menyerang Sandi Antini yang tampak menari-nari mengejar sembari menghindari serangan mereka.
"Sundel Bolong! Jangan kau bangga dulu, terimalah kematianmu!" Berkelebat-kelebat golok di tangan pimpinan orang bercadar itu, mencoba mencerca tubuh Sandi Antini. Namun bagaikan tak ada artinya, golok itu hanya mendapatkan angin belaka.
Sandi Antini yang tak ingin membuang-buang waktu, tanpa banyak bicara terus membalik menyerang mereka. Tongkatnya begitu cepat bergerak hingga sukar untuk diikuti. Tongkatnya bergerak bagaikan ular yang hidup, mematuk-matuk pangkal dan ujung tongkat silih berganti. Hanya dalam waktu tiga puluh jurus saja, ketujuh orang bercadar itu dapat dengan segera dijatuhkannya.
Terbelalak mata pimpinannya menyaksikan hal itu. Hatinya seketika mengkerut, hilang keberaniannya. Pimpinan orang-orang bercadar hendak pergi meninggalkan tempat itu, manakala Sandi Antini berseru sembari melompat mengejar.
"Hai, mau lari ke mana kau, kampret!"
Pimpinan orang bercadar itu tersentak menghentikan langkahnya, karena tiba-tiba Sandi Antini telah berdiri menghadang. Dengan tubuh gemetar, lelaki itu jatuhkan diri bersujud meminta ampun.
"Ampunilah aku. Aku hanya diperintah," mengiba lelaki itu dengan keringat dingin bercucuran membasahi kedua keningnya. Tubuhnya gemetaran bagaikan menghadapi Malaikat Maut.
"Siapa yang memerintahmu!" membentak Sandi Antini, menjadikan lelaki itu makin tambah ketakutan.
Dengan terbata-bata lelaki itu berkata menjawab.
"A-aku di-diperintah oleh pimpinanku."
"Siapa pimpinanmu? Dan apa maksud pimpinanmu menyuruh kalian mencegatku?" "Sebenarnya pimpinan menyuruh kami untuk mencegat semua orang yang melewati hutan Cemara Sundul. Kami tak mengenalmu dan itu tak penting bagi kami. Kalau kau ingin tahu siapa pimpinan kami, pimpinan kami bernama Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari atau bergelar Sepasang Iblis dari Cemara Sundul."
"Hem, benar juga dugaanku," berkata Sandi Antini dalam hati.
"Nah, kau aku bebaskan. Siapa namamu?"
"Nama saya, Lontar," jawab Lontar dengan mimik muka cerah, karena ternyata wanita bungkuk itu mau mengampuni dirinya. Dengan terlebih dahulu menjura hormat, Lontar hendak berkelebat pergi manakala Sandi Antini berseru memanggilnya.
"Tunggu!"
Lontar dengan segera menghentikan langkahnya, diam ditempatnya. Dengan terbungkuk-bungkuk, Sandi Antini segera mendekati Lontar yang masih berdiri mematung sembari berkata:
"Katakan pada kedua pimpinanmu, bahwa aku Sandi Antini menunggunya di Lembah Berkala Darah."
"Lembah Berkala Darah? Di mana itu?" tanya Lontar terheran-heran mendengar ucapan Sandi Antini. Setahunya, tak ada lembah di gunung Penanggungan yang bernama begitu.
"Apakah ini orang sinting?" berkata Lontar dalam hatinya.
"Jangan banyak tanya! Katakan saja pada kedua pimpinan kalian bahwa aku Sandi Antini menunggunya di Lembah Berkala Darah, mengerti!"
"Me-mengerti," jawabnya terbata. Dengan tanpa banyak kata lagi Lontar segera berkelebat pergi menghilang di antara pepohonan hutan Cemara Sundul, meninggalkan Sandi Antini yang juga segera bergegas pergi.
* * * * *
Lembah Berkala Darah merupakan lembah yang terletak di sebelah Timur desa Wates. Seorang wanita bungkuk yang tak lain Sandi Antini adanya tengah duduk di sebuah batu. Matanya memandang pada bekas-bekas rumahnya yang telah dibakar oleh Loh Gantra dan Mayang Sari. Di situ dulu ia tinggal, di situ juga kenangan pahit dan manis ia dapati. Kenangan manis bersama Loh Gantra yang pintar merayu hingga ia terlena. Kenangan pahit setelah ia tahu siapa sebenarnya Loh Gantra yang mengaku-aku adik seperguruannya.
"Loh Gantra! Betapa liciknya orang itu," mendesis Sandi Antini penuh kemarahan, tatkala mengenang semua kejadian yang ia alami. Tak disadari, tongkat di tangannya ditekan menghunjam masuk ke bumi, menjadikan lobang dalam manakala tongkat itu kembali dicabut.
Selang beberapa lama kemudian manakala hari telah berganti senja, tampak serombongan orang berjalan mendekat ke arahnya. Ketika orang-orang itu semakin dekat, jelas terlihat olehnya siapa orang yang berjalan paling muka. Lelaki setengah baya dengan rambut campur hitam dan putih, adalah Loh Gantra adanya. Sementara wanita tua seumurnya yang berjalan di sisi Loh Gantra tak lain Nyi Mayang Sari.
"Hem, rupanya mereka datang juga," mendesah Sandi Antini seraya bangkit dari duduknya. Matanya memandang tajam pada Loh Gantra yang baginya merupakan orang yang harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada dirinya.
Kedua orang yang berjalan paling muka, sesaat memandang padanya, lalu tampak Loh Gantra menengok ke belakang di mana Lontar berdiri sembari bertanya: "Mana orang yang kau maksudkan, Lontar?"
"Itu dia orangnya, Pemimpin," menjawab Lontar sembari menunjukkan telunjuknya pada Sandi Antini yang tampak tersenyum sinis hingga menjadikan Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika itu menyipitkan mata tak percaya dan mendesah.
"Ah, kau jangan bercanda, Lontar!" bentak Nyi Mayang Sari jengkel, tak percaya bahwa wanita bungkuk yang berdiri di hadapannya adalah Sandi Antini adanya.
Belum juga keduanya percaya, terdengar seketika suara Sandi Antini menyapa: "Selamat bertemu kembali, Loh? Rupanya Yang Wenang masih memberikan kemurahanNya hingga kita dapat bertemu kembali. Kau mungkin tak mengenali diriku lagi, karena aku kini berbeda dengan dua puluh lima tahun yang silam ketika dengan liciknya kau berpura-pura mengaku adik seperguruanku."
Terbelalak mata keduanya mendengar ucapan Sandi Antini. Walaupun begitu, keduanya masih tampak tak percaya. Maka dengan membentak, Lon Gantra bertanya: "Siapa kau! Aku tak percaya kalau Sandi Antini yang telah jatuh ke dalam jurang masih hidup! Mungkin kau hanya ingin membuat persengketaan dengan kami dan mengaku-aku Sandi Antini. Apa maksudmu sebenarnya?!"
Dibentak begitu rupa Sandi Antini hanya tersenyum sinis. Dan dengan mencibirkan bibir Sandi Antini berkata: "Loh Gantra dan kau Nyi Mayang Sari, mana keberanian kalian yang sudah tersohor itu? Tak aku sangka, kalau kalian hanya omongnya saja yang besar. Nyatanya, kalian hanya sebangsa kecoa busuk!"
Merah padam muka kedua pimpinan Loreng Ireng mendengar kata-kata Sandi Antini yang terasa pedas. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari membelalak, melotot penuh kemarahan.
"Setan busuk! Kalau kau memang Sandi Antini, harusnya kau menyadari bahwa kami masih berada di atasmu dalam hal ilmu kanuragan. Nah, sekarang serahkan kitab Selendang Ungu itu pada kami. Kalau tidak...!"
"Kalau tidak, mau apa kau, Loh?" berkata Sandi Antini, memotong ucapan Loh Gantra. Bibirnya masih menyungging senyum sinis, menjadikan Loh Gantra makin marah.
"Kalau tidak. Maka ini untukmu! Hiat...!" Dengan seketika Loh Gantra berkelebat menyerang Sandi Antini, dibantu oleh Nyi Mayang Sari.
Diserang bersamaan oleh kedua tokoh Loreng Ireng, menjadikan Sandi Antini nampak agak kerepotan juga. Dengan melentingkan tubuhnya ke angkasa, Sandi Antini melompat mundur menghindar dari serangan mereka sesaat. Lalu dengan segera, tongkat di tangannya digerakkan dengan cepatnya. Hingga membuat suatu gulungan besar, yang segera melindungi dirinya.
Terbelalak mata kedua pimpinan Loreng Ireng menyaksikan permainan tongkat wanita bongkok itu. Permainan tongkat wanita bongkok itu. Mengingatkan mereka pada jurus Pedang Dewi. Kini mereka yakin, kalau memang wanita bongkok itu tak lain dari Sandi Antini adanya. Maka tak sungkan-sungkan lagi, keduanya segera mengomando anak buahnya untuk turut membantu.
"Serang...!"
Bagaikan air bah, seketika itu anak buah Loreng Ireng bersamaan menyerang Sandi Antini. Repot juga Sandi Antini dibuatnya. Karena terlalu banyaknya anak buah Loreng Ireng yang mengeroyoknya hingga perhatiannya yang semula pada dua pimpinan Loreng Ireng kini terpencar. Meskipun begitu, banyak juga korban berjatuhan dari pihak Loreng Ireng tersambar tongkatnya yang meliuk-liuk bagaikan hidup.
Karena terlalu repotnya Sandi Antini menghadapi anak buah Loreng Ireng, membuatnya tak memperhatikan kedua pimpinannya. Hingga manakala kedua pimpinan Loreng Ireng menyerangnya berbarengan Sandi Antini tak mampu mengelakkannya.
"Hah!" pekiknya dengan tubuh terhuyun-ghuyung, sementara matanya memandang tajam pada Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari yang tersenyumsenyum mengejek.
"Menyerahlah, Sandi!" berkata Loh Gantra dengan senyum melekat di bibirnya
Menjadikan Sandi Antini makin merengkah marah merasa diremehkan. Maka dengan memekik keras, Sandi Antini berteriak sembari menyerang.
"Bila aku dapat kalian kalahkan lagi, maka aku bersumpah tidak akan mencampuri urusan persilatan!"
Bagaikan singa betina kehilangan anakanaknya, Sandi Antini menyerang kedua pimpinan Loreng Ireng. Serangannya begitu cepat dan ganas, menjadikan Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari harus menguras tenaganya untuk mengelakkannya. Meskipun keduanya mampu mengelakkan serangan Sandi Antini.
Namun tak urung anak buahnya yang terkena. Enam orang seketika melengking, menjerit sesaat dan akhirnya ambruk ke tanah dengan kening bolong. Melihat hal itu, Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari mendengus marah. Bersamaan dengan dengusannya, keduanya segera merapatkan kedua tangannya menyilang di dada.
Kini gantian Sandi Antini yang terbelalak, manakala tahu ilmu apa yang tengah dikeluarkan oleh kedua musuhnya. Saking kagetnya, sampai-sampai dari mulut Sandi Antini membersit seruan menyebut nama ilmu itu.
"Ilmu Gugur Gunung!"
Belum hilang rasa keterkejutannya. Tiba-tiba Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari telah melepaskan ajian Gugur Gunungnya. Beruntung Sandi Antini masih waspada dan dengan segera mengelit. Tercekam hati Sandi Antini seketika manakala menyaksikan apa yang terjadi di belakangnya.
Bukit di belakangnya seketika hancur rata dengan tanah. Terhantam ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh kedua musuhnya.
"Hem, tak mungkin aku dapat mengalahkan mereka kalau begini. Aku harus mempelajari kitab Selendang Ungu terlebih dahulu. Ya, hanya dengan ilmu Selendang Ungu saja yang dapat mengalahkan ilmu Gugur Gunung mereka," berkata Sandi Antini dalam hati.
"Aku belum kalah oleh kalian. Tunggulah dua atau tiga tahun lagi, aku akan menemui kalian kembali di sini," berkata Sandi Antini sembari berkelebat pergi, meninggalkan tempat itu tanpa dapat dicegah oleh kedua musuhnya yang berusaha mengejar.
Walaupun yang dikejar orang berbadan bongkok, tapi karena ilmu lari dan ilmu meringankan tubuh keduanya masih di bawah Sandi Antini hingga keduanya pun tak mampu mengejar dan kembali dengan hampa.
* * * * *
:::≡¦ [ 4 ] ¦≡:::
"Aaah...!" Ditutupi kedua matanya dengan tangan, manakala sinar kuning menyilaukan yang keluar dari kitab itu memancar terang menghantam matanya. Dengan mata tertutup tangan, Sandi Antini berusaha mengambil kitab dalam peti itu. Namun ketika tangannya hendak menjamah dirasakan olehnya hawa panas yang tak terkirakan melebihi bara api. Seketika memekik Sandi Antini sembari menarik tangannya kembali.
"Bodoh! Buku itu bukan jodohmu," terdengar suara membentaknya yang ia kenal benar pemilik suara itu. Pemilik suara itu adalah Eyang gurunya yang bernama Bagawan Bima Rengka. Maka tanpa banyak membantah, Sandi Antini segera jatuhkan diri bersujud.
"Ampun, Eyang Guru. Sungguh cucumu ini telah bersalah berani membuka peti ini. Cucu siap untuk menerima hukumannya," berkata Antini, mengakui kesalahannya.
"Tak mengapa, Cucuku. Memang kau berhak membuka peti itu, karena kau yang dipercaya untuk menjaganya. Namun perlu kau ketahui, bahwa Kitab Selendang Ungu bukanlah jodohmu. Sebab bila Kitab itu jodohmu, maka kau tak akan mengalami kesulitan untuk mengambilnya. Aku tahu kalau kau tengah mengalami kesulitan. Walaupun aku tak dapat menampakkan diri ke dunia, namun dalam alamku aku mendengar rintihan batinmu. Pergilah kau ke arah Barat. Di sana kau akan menemukan orang yang berjodoh dengan kitab Selendang Ungu. Angkatlah ia sebagai murid. Kelak, gadis itulah yang akan mendapatkan ilmu dari Selendang Ungu. Dan perlu kau ingat. Barang siapa yang berjodoh dan mau mempelajari kitab Selendang Ungu, maka kelak dialah yang akan menjadi tokoh persilatan pilih tanding, sukar untuk dikalahkan."
"Baiklah, Eyang Guru. Cucu akan menjalankan apa yang telah Eyang Guru sarankan. Cucu minta doa restu," kata Sandi Antini sembari kembali sujud.
"Berangkatlah. Di samping kau mencari anak tersebut, gunakanlah ilmu yang kau miliki untuk kebenaran dan keadilan. Bantulah mereka yang membutuhkan pertolongan darimu, selamat jalan, cucuku."
"Terima kasih, Eyang."
Saat itu juga Sandi Antini segera berangkat menuju arah yang ditunjukkan oleh Eyang Gurunya, setelah terlebih dahulu menyimpan kitab Selendang Ungu di tempat yang tak mungkin dijamah oleh perhatian orang. Maka hari itu juga berangkatlah Sandi Antini menuju ke arah Barat.
Entah di mana ia akan menemukan gadis petunjuk Eyang Gurunya. Tekadnya untuk mewariskan ilmu dan kitab Selendang Ungu miliknya telah membulat dalam hatinya. Juga rasa kecewanya pada Loh Gantra yang telah menjadikannya cacat, membuat Sandi Antini memantapkan tekadnya. Dengan harapan, kelak muridnyalah yang akan menghukum kedua orang yang telah membuat tubuhnya cacat.
* * * * *
Mentari siang itu tampak begitu menyala hingga terasa menyengat panasnya. Beruntung angin gunung berhembus sepoi-sepoi, menjadikan hawa segar alami.
Telah sehari lamanya Sandi Antini berjalan menyusuri tepian sungai Brantas yang membentang panjang, membelah dua desa. Sungai Brantas yang panjang dan lebar, bagaikan liku-liku tubuh ular raksasa bila dilihat dari kejauhan. Tubuhnya yang bungkuk, tidak menjadi penghalang baginya untuk dapat melangkah dengan cepat. Bagaikan kancil saja, tubuh Sandi Antini berkelebat cepat, berlari menyusuri sungai Brantas.
Sesekali diusapnya keringat yang deras menetes di pelipisnya, dikarenakan oleh panasnya matahari siang itu. Namun bagaikan tak mengenal lelah, Sandi Antini terus berlari dan berlari tiada henti. Tongkat di tangannya, seperti membantu mempercepat larinya. Bila tongkat itu dihentakkan, melesatlah tubuh Sandi Antini bagaikan anak panah lepas dari busurnya. Tengah ia berlari, seketika langkahnya terhenti manakala tampak tiga orang lelaki berdiri tegak seperti sengaja menghadangnya. Salah seorang lelaki itu, tiba-tiba membentaknya.
"Berhenti!"
Menurut Sandi Antini berhenti, memandang tajam pada ketiga lelaki di hadapannya yang tertawa bergelak-gelak dan berkata dengan kata-kata mengejek.
"Ha, ha, ha...! Sangat disayangkan. Ternyata kita mendapat kambing tua dan gembel, cepat minggat!"
Tanpa memandang sebelah mata pun pada Sandi Antini, lelaki bermuka brewokan bermaksud menyepak Sandi Antini. Dengan segera Sandi Antini mengegoskan tubuhnya seraya mengayunkan tongkat di tangannya.
"Bletuk!"
"Ah...!" menjerit lelaki berewokan itu sembari memegangi tulang keringnya dengan tubuh berputar-putar, dan mulut meringis menahan sakit.
Ternyata tongkat di tangan Sandi Antini, telah menghantam kakinya manakala hendak menyepak. Terbelalak kedua temannya melihat hal itu. Lalu dengan mendengus marah keduanya segera menyerang Sandi Antini.
"Bungkuk jelek! Rupanya kau mempunyai sedikit permainan hingga berani menyakiti salah seorang dari tiga Begal Kali Brantas!" membentak Begal Panengah.
Trenyuh hati Sandi Antini mendengar begal itu memanggilnya dengan Bungkuk Jelek. Hatinya seketika menjerit. Hal itu dapat diketahui dari serangannya yang begitu cepat tanpa mau memberi peluang sedikitpun pada dua orang penyerangnya.
"Kalian telah menghinaku dengan mengatakan aku Bungkuk Jelek. Kini kalian harus menerima hukuman dariku. Hu, hu, hu!" bagaikan anak kecil Sandi Antini menangis sesenggukan. Tongkat di tangannya bergerak dengan cepatnya, berputar-putar laksana baling-baling.
Pertarungan dua lawan satupun berjalan dengan serunya. Rupanya kedua begal itu bukan orangorang sembarangan yang mudah untuk di jatuhkan. Mau tak mau, Sandi Antini harus menguras segala kemampuannya untuk menghadapi keroyokan keduanya. Jurus demi jurus berlalu dengan cepatnya. Tak terasa oleh mereka, bahwa mereka telah melangkah pada jurus yang keenam puluh. Saat itu si brewok telah sembuh dari rasa sakitnya dan langsung membantu kedua orang adik-adiknya hingga makin seru saja perkelahian itu.
Tongkat di tangan Sandi Antini bergerak makin cepat dengan menggunakan jurus Pedang Dewi. Bergulung-gulung membentuk sinar hitam yang menutupi tubuhnya hingga ketiga musuhnya terbelalak kaget. Dan tiba-tiba ketiganya memekik tertahan sembari bareng melompat mundur.
"Aah...!" Manakala ketiganya meraba ke perut. Dirasakannya baju yang mereka pakai telah koyak lebar. Seketika menyurutlah keberanian mereka. Dengan penuh rasa ngeri, ketiganya segera berkelebat pergi meninggalkan Sandi Antini yang hanya tersenyum.
Tanpa menghiraukan ketiga musuhnya yang sudah terbirit-birit lari ketakutan, Sandi Antini segera melanjutkan perjalanannya untuk mencari gadis yang telah disarankan oleh Eyang Gurunya.
* * * * *
Malam begitu gelapnya, tanpa bulan, tanpa bintang yang bergayut di langit. Mendung telah bergayut sejak sore tadi, menjadikan gumpalan-gumpalan membentuk lukisan kegelapan di langit.
"Glegar! Glegar! Glegar!"
Berturut-turut petir menggema, memecahkan keheningan malam menjadikan malam itu makin mencekam. Kota Kabupaten yang biasanya ramai oleh lalu lalang orang yang mengunjungi pasar malam juga para pedagang malam, kini tampak sepi. Tak ada seorang pedagang pun yang berjualan, tak ada seorang pun yang berjalan seperti biasanya untuk melihat-lihat atau mencuci mata. Hanya desah angin dan rintik air hujan yang menggema disambung oleh ledakanledakan petir sekali-kali.
Dalam gelap malam itu, tampak sesosok tubuh wanita bungkuk berlari-lari menghindari air hujan. Wanita yang tak lain Sandi Antini adanya tampak berlari dengan cepatnya menuju ke sebuah gubug tak jauh dari rumah kediaman Bupati
"Hujan sialan! Basahlah seluruh pakaianku," merengut hati Sandi Antini setelah berteduh. Matanya memandang tajam pada rumah Bupati yang berada di mukanya kira-kira dua ratus tombak. Firasatnya yang tajam bagai ada yang menuntunnya. Menjadikan Sandi Antini terus melekatkan pandangannya pada rumah besar itu. Entah oleh sebab apa, seketika hati Sandi Antini was-was. sepertinya ada kekhawatiran dalam hatinya, manakala memandang pada rumah besar milik Bupati itu.
"Heh, kenapa aku jadi was-was manakala aku terus memperhatikan rumah Bupati itu?" bertanya-tanya hati Sandi Antini, sementara matanya terus memandang pada rumah itu. Semakin ia memandang semakin besar rasa was-was melanda hatinya. Belum juga ia dapat menenangkan hatinya yang sedang gundah. Seketika Sandi Andini melototkan matanya manakala dilihatnya lima orang lelaki berkelebat dengan tubuh ringan berlari menuju ke rumah Bupati.
"Aku rasa kelima orang itu tidak bermaksud baik. Kalau memang dia bermaksud baik, maka tak mungkin mereka datang malam-malam begini. Aku kira rasa was-was dalam hatiku cukup beralasan. Hem, baik aku akan terus mengawasinya," berkata hati Sandi Antini kembali, lalu dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya Sandi Antini melompat menuju ke rumah Bupati.
"Prang! Brak!"
Terdengar suara pecahnya daun jendela yang tak lama kemudian diikuti oleh suara jeritan seorang wanita.
"Tolong, Kakang!"
Mendengar suara jeritan istrinya, serta merta Bupati Labean bangkit dari tidurnya. Dengan mata masih agak ngantuk, Bupati Labean bergegas menghunus keris pusakanya. Tersentak Bupati Labean seketika itu, melihat istrinya tengah dalam ancaman lima orang yang memakai kedok. Geram Bupati Labean, namun ia tak dapat berbuat apa-apa.
"Lepaskan istriku! Apapun yang kalian ingin ambillah! Asal kalian mau melepaskan istriku," berkata Bupati Labean menawarkan perdamaian pada kelima tamu tak diundang yang tersenyum sinis sembari berkata:
"Aku ingin nyawamu, Labean!"
Melotot mata Bupati Labean mendengar ucapan salah seorang dari kelima tamunya yang tak diundang, lalu dengan membentak Bupati Labean yang merasa direndahkan berkata: "Monyet! Siapa kalian sebenarnya!"
"Kami adalah anak buah Suro Gonggong, bekas abdimu yang telah kau singkirkan. Untuk itu, ia mengutus pada kami untuk menumpasmu, sekalian anak keturunanmu."
Merah membara muka Bupati Labean marah, mendengar ucapan tamunya yang ternyata anak buah Suro Gonggong. Suro Gonggong dulunya adalah ketua prajuritnya. Berhubung tindakan Suro Gonggong terlalu biadab dan telengas suka memeras penduduk akhirnya ia dipecat oleh Bupati Labean.
Kini Suro Gonggong telah mengutus anak buahnya untuk membunuh keluarga Bupati Labean yang dianggapnya telah membuat dirinya jadi pengangguran kembali. Di samping itu pula, ambisi Suro Gonggong adalah ingin menjadikan dirinya Bupati menggantikan Bupati Labean. Bersamaan dengan pekikan Bupati Labean yang hendak menyerang kelima anak buah Suro Gongong, memekik pula istrinya. Tubuh istrinya limbung dengan dada bolong tertancap keris yang di genggam oleh salah seorang anak buah Suro Gonggong.
Makin bertambah marah Bupati Labean melihat istrinya telah mati di tangan kelima orang anak buah Suro Gonggong. Maka bagaikan banteng ketaton, Bupati Labean segera menerjang kelimanya dengan keris pusaka Cokro Jinggo di tangannya.
"Bedebah! Kalian harus membayar nyawa istriku," memaki marah Bupati Labean, dibarengi dengan sabetan keris Cokro Jinggo.
Seketika kelima anak buah Suro Gonggong berlompatan, mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh Bupati Labean. Mereka tahu akan kehebatan keris di tangan Bupati Labean dari Suro Gonggong yang telah memesannya wanti-wanti agar mereka hati-hati dengan keris itu.
Mendapatkan serangannya hanya mengenai angin belaka, makin bertambah marahlah Bupati Labean. Maka dengan ditambah lipat gandakan serangannya, Bupati Labean mencerca kelima musuhnya silih berganti.
Mendengar keributan di ruang tamu, kedua anak Bupati Labean seketika terjaga dari tidurnya. Lalu dengan mata masih setengah mengantuk kedua kakak beradik itu berjalan ke luar menuju ke asal suara itu.
"Ibu...!" memekik kedua anak usia belasan tahun itu, manakala melihat tubuh ibunya telah terkulai di lantai dengan darah yang mengering berserakan di sekelilingnya. Kedua bocah belasan tahun itu hendak mendekat ke mayat ibunya, manakala sebuah tendangan menghantam tubuh mereka hingga terpental.
Melihat kedua anaknya jatuh terkena tendangan salah seorang anak buah Suro Gonggong, seketika Bupati Labean makin marah. Dengan terlebih dahulu berseru pada kedua anaknya, ia segera meningkatkan serangannya.
"Tinggalkan rumah segera, Anak-anakku! Cepat!"
Dengan menurut, kedua anak belasan tahun kakak beradik itu segera hendak pergi meninggalkan rumah manakala salah seorang dari kelima anak buah Suro Gonggong telah mengejar dan menghadang mereka. Bagaikan tak mengenal belas kasihan, keris di tangannya bergerak cepat menusuk ke arah dua bocah itu. Bocah perempuan itu sempat menghindar hingga luput dari tusukan keris itu.
Namun anak laki-lakinyalah yang terkena tusukan keris di tangan anak buah Suro Gonggong yang mendarat tepat di mata kirinya. Seketika bocah laki-laki itu memekik kesakitan dengan tangan mendekap mata kirinya yang hancur akibat tusukan keris. Dengan menahan sakit yang tak terhingga, bocah lelaki itu berlari dengan kencangnya sembari menjerit-jerit kesaktian.
"Aaaaaaaaahhhhh!"
"Kakang Rangga !" turut menjerit bocah wanita itu, demi melihat kakaknya melolong dengan mata sebelah kiri hancur. Ketika ia hendak mengejar, tiba-tiba orang yang tadi menusukkan kerisnya ke arah mata kakaknya menendangnya hingga jatuh tengkurap dengan muka mencium tanah. Menangis bocah perempuan itu menahan sakit, merintih tak dapat bangun kembali. Belum puas lelaki itu melihat bocah perempuan itu jatuh tersungkur, serta merta keris di tangannya terangkat dan...
"Mampuslah, kau! Hiat!"
Hampir saja melayang nyawa bocah perempuan yang tak berdosa itu di ujung kerisnya, manakala sebuah bayangan berkelebat sembari menangkis keris yang tinggal sekuku lagi menusuk tubuh bocah perempuan itu.
"Trang...!"
Gemetar tangan lelaki itu, sampai-sampai keris yang digenggamnya terpental jauh. Matanya seketika membeliak kaget manakala tubuh bocah perempuan di hadapannya telah lenyap. Ketika ia menengok ke samping kiri, dilihatnya seorang wanita bungkuk berdiri sembari tersenyum dengan pundak menggendong bocah perempuan yang luput dari maut.
"Bedebah! Rupanya hanya seorang bungkuk jelek yang ingin mencari mati!" membentak lelaki itu, seraya bangkit dan segera memburu orang bungkuk yang tak lain Sandi Antini adanya.
Mata Sandi Antini seketika melotot marah, demi mendengar ucapan lelaki itu yang mengejeknya dengan sebutan Bungkuk Jelek. Amarahnya seketika membakar hatinya yang tak rela dikatakan Bungkuk Jelek. Bayangan Loh Gantra seketika melekat pada wajah lelaki yang hendak menyerangnya. Maka dengan menggeram marah, Sandi Antini segera memapaki serangan orang tersebut. Diputarnya tongkat di tangannya dengan kencang, menjadikan gumpalan-gumpalan sinar yang menutupi tubuhnya.
"Kau yang harus mati, hiaat...!" memekik Sandi Antini.
Tersentak lelaki itu seketika, lalu lelaki itu bermaksud melompat mundur untuk menghindar. Namun serangan Sandi Antini begitu cepatnya hingga tak ayal lagi tongkat Sandi Antini menghantam batok kepala lelaki itu yang memekik menahan sakit memutar-mutar tubuh sembari mendekap kepalanya. Beberapa saat kemudian, lelaki itupun ambruk dengan kepala bocor mengeluarkan darah dan mati.
Berbareng dengan itu, terdengar di dalam rumah pekikan Bupati Labean. Tangannya yang menggenggam keris Cokro Jinggo putung terbabat pedang lawan. Darah seketika menyembur deras, sederas pekikan Bupati Labean yang menahan sakit. Tanpa keris pusaka Cokro Jinggo di tangannya, maka tak berarti apa-apa lagi Bupati Labean bagi keempat anak buah Suro Gonggong, hingga saat itu juga, jadilah Bupati Labean bulan-bulanan keempat anak buah Suro Gonggong.
"Mampuslah kau, Bupati keparat!"
Berbareng dengan ucapan itu, salah seorang dari keempatnya menghujamkan senjatanya yang berbentuk clurit membeset perut Bupati Labean. Usus Bupati Labean seketika mengurai, keluar dari sobekan perut yang menganga. Walaupun sudah dalam keadaan begitu, namun Bupati Labean nampak masih sanggup berdiri bahkan balik menyerang keempat pengeroyoknya. Terbelalak mata keempatnya menyaksikan kenyataan di hadapannya, sampai-sampai mulut mereka menganga saking kagetnya. Betapa tidak! Tubuh Bupati Labean yang sudah terkoyak-koyak, ternyata masih mampu melanjutkan pertempuran.
"Aku rasa Bupati ini memiliki pegangan, Kakang Kiranda," berkata Sugiri pada Kiranda yang mengangguk mengiyakan.
"Benar, Adik Sugiri. Coba kau ingat kata-kata kakang Suro Gonggong manakala kita hendak menyatroni Bupati ini."
"Ya, Kakang Suro Gonggong berkata bahwa Bupati ini memiliki ajian Lampar Urip. Ia dapat mati jika darahnya dihisap," berkata Sugiri.
"Hem, kalau begitu kita harus menghisap darahnya."
Bergidig dua orang teman lainnya mendengar ucapan Kiranda. Serta merta kedua orang itu berkata: "Aku tak dapat."
"Tak apa. Biarlah aku yang akan menjalankannya," berkata Kiranda sembari memandang sesaat pada Sugiri yang mengangguk. Maka dengan segera Kiranda mengibaskan tangannya, mengomandokan ketiga temannya untuk menangkap Bupati Labean.
Setelah ketiganya saling pandang sesaat, dengan segera ketiganya berkelebat cepat merangsek Bupati Labean. Ditangkapnya kaki dan tangan Bupati Labean yang berusaha berontak. Dengan segera tanpa membuang-buang waktu lagi, Kiranda segera menyedot darah yang keluar dari tangan kanan Bupati Labean. Memang benar apa yang diduga oleh keempat anak buah Suro Gonggong. Terbukti seketika itu pula tubuh Bupati Labean lemas dan mati, setelah darahnya terminum oleh Kiranda.
"Ayo, kita tinggalkan tempat ini!" berseru Kiranda pada ketiga temannya setelah menyaksikan Bupati Labean telah mati.
"Hai! Ke mana Gento? Dari tadi ia tidak nongol-nongol?" bertanya Kiranda kemudian pada ketiga temannya yang seketika itu saling pandang.
"Bukankah ia tadi mengejar kedua anak Bupati?" kembali Kiranda bertanya setelah melihat ketiga temannya hanya terdiam.
"Benar!" menjawab Sugiri.
"Lalu ke mana, dia?" dua orang temannya bertanya bareng, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pada diri mereka sendiri.
"Ah, sudahlah. Nanti juga ia pulang. Ayo kita pergi," mengajak Kiranda yang segera diikuti oleh ketiga temannya.
Maka dengan segera keempat orang itu keluar dari rumah Bupati, dengan maksud hendak meninggalkan rumah itu. Namun seketika keempatnya tersentak kaget sembari menghentikan langkahnya, manakala dilihat oleh mereka sesosok tubuh telah terbujur kaku di halaman rumah Bupati Labean yang mereka kenali sebagai teman mereka sendiri yang bernama Gento. Dengan segera keempatnya mendekati tubuh Gento yang telah menjadi mayat dengan kepala pecah hingga menjadikan keempat orang itu saling pandang tak mengerti.
"Rupanya ada orang lain datang ke sini," berkata Sugiri setelah sekian lama terdiam yang diangguki oleh ketiga temannya.
"Cepat angkat mayatnya jangan sampai ketahuan oleh orang karena hari sebentar lagi menjelang pagi," memerintahkan Kiranda pada ketiga temannya yang segera melaksanakan.
Diangkatnya tubuh Gento yang telah kaku, lalu dengan segera keempatnya bergegas pergi meninggalkan, rumah Bupati Labean. Langkah mereka seperti terburu, karena hari sebentar lagi akan menjelang pagi.
Ke manakah perginya Sandi Anting yang membawa tubuh bocah perempuan dalam pundaknya? Ke mana pula Rangga yang matanya tertusuk oleh keris Gento? Hidup atau matikah dia?
* * * * *
Setelah menolong gadis cilik putri Bupati Labean, segera Sandi Antini bergegas pergi meninggalkan rumah Bupati Labean dengan membopong tubuh gadis kecil itu. Dibawanya tubuh gadis kecil putri Bupati Labean yang pingsan karena kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang anggota anak buah Suro Gonggong, menuju tempatnya tinggal.
Direbahkan tubuh gadis kecil itu di atas pembaringan, setelah tiba di tempatnya. Dipandangi sesaat tubuh gadis kecil itu yang masih pingsan, seketika hati Sandi Antini berkata: "Hem, perawakan gadis kecil ini sungguh bagus. Tulang-tulangnya kokoh dan besar. Aku rasa, gadis inilah yang Eyang Guru maksudkan."
Dengan segera Sandi Antini berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang masih terbaring pingsan. Tak lama kemudian, Sandi Antini datang kembali dengan membawa beberapa lembar dedaunan dan beberapa batang akar-akaran untuk obat. Diraciknya daun dan akar-akaran itu menjadi obat, lalu setelah dicampur dengan air, segera diminumkannya pada gadis kecil yang masih terbaring pingsan.
Tak berapa lama kemudian, tampak gadis kecil itu menggeliat bagaikan habis bangun tidur. Matanya mengejap-ngejap sesaat, memandang sekelilingnya dengan bingung dan bertanya pada Sandi Antini yang duduk di sampingnya mengurai senyum.
"Di manakah aku, Nyai?"
Bagaikan tak ada rasa takut, mata gadis kecil itu menatap lekat ke wajah Sandi Antini yang tampak tersenyum senang sembari berkata menjawab pertanyaannya: "Kau berada di gubugku, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai memanggilku Tuan Putri." bertanya gadis kecil itu.
Makin senang Sandi Antini melihat kerendahan hati gadis kecil ini. Tidak seperti anak bangsawan lain, gadis ini tampak sederhana dan tidak sombong. Di wajahnya tergurat rasa kemasyarakatan, hingga kulitnya begitu hitam lain dengan anak bangsawan lainnya yang berkulit putih.
"Kini aku sebatang kara, Nyai," berkata gadis kecil itu tiba-tiba, menyentakkan lamunan Sandi Antini yang sedari tadi memandangnya. Ucapan gadis itu yang disertai rasa putus asa, menjadikan Sandi Antini turut terharu hingga tanpa dirasakannya, air matanya meleleh jatuh ke pipinya.
"Tidak begitu, Tuan Putri."
"Ah, kenapa Nyai masih tetap memanggilku Tuan Putri? Aku bukan anak raja. Aku anak orang kebanyakan yang mungkin nasibnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan nasib teman-temanku. Ibu mati terbunuh oleh orang-orang itu, mungkin begitu juga ayah. Sementara kakakku, entah ke mana? Oh, nasibku, Nyai," berkata gadis kecil itu seperti menyesali nasibnya.
"Sudahlah. Jangan terlalu... siapa namamu?" bertanya Sandi Antini menghentikan ucapannya karena ragu harus memanggil apa pada gadis kecil itu yang tidak mau disebut Tuan Putri.
"Namaku, Dewi Miranti. Nyai boleh memanggilku, Miranti," menjawab gadis kecil yang bernama Miranti itu dengan polos.
Makin membuat Sandi Antini senang, lalu ucapnya kemudian.
"Janganlah engkau terlalu memikirkan nasibmu, Miranti. Bukankah masih ada Nyai?"
Berseri wajah Miranti seketika mendengar ucapan Sandi Antini. Serta merta, Miranti bangkit dari tidurnya memeluk erat tubuh Sandi Antini yang menerimanya dengan penuh rasa kasih sayang. Dibelainya rambut Miranti yang panjang terurai dengan penuh kasih. Tak terasa air matanya kembali meleleh manakala dirasakannya Miranti menangis dalam pelukannnya.
"Sudahlah, Miranti. Janganlah kau terlalu terbawa oleh perasaanmu. Kalau kau tak keberatan, maukah kau menganggap aku ibumu?" bertanya Sandi Antini setengah berbisik di telinga Miranti yang seketika itu memandang wajahnya sepertinya hendak mengatakan sesuatu.
"Kau mau?" lanjut Sandi Antini bertanya yang diangguki oleh Miranti dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Ibu?" desah Miranti sembari makin mengeratkan pelukannya ke tubuh Sandi Antini yang dengan rasa bahagia membalas memeluk tubuh Miranti erat. Sepertinya, kedua wanita itu telah saling menyatu dan mengisi sejak lama.
* * * * *
:::≡¦ [ 5 ] ¦≡:::
Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat akibat mata sebelah kirinya hancur, Rangga Wisnu terus berlari meninggalkan rumahnya yang saat itu telah terjadi pertumpahan darah. Tak didengarnya lagi teriakan adiknya Dewi Miranti, dikarenakan rasa sakit yang teramat sangat melanda mata sebelah kirinya.
Dengan tubuh sempoyongan akibat terlalu banyak mengeluarkan darah, Rangga Wisnu terus berlari tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dalam gelap malam Rangga Wisnu menyeruak hutan, menuruni sungai untuk menghindari amukan orang-orang yang malam itu mendatangi rumahnya. Mungkin karena terlalu lelah berlari, juga karena lemas akibat darah banyak keluar dari mata kirinya menjadikan Rangga Wisnu akhirnya jatuh pingsan.
Manakala pagi telah datang, tampak dua orang yang tengah berjalan menyusuri sungai terperanjat melihat sesosok tubuh bocah belasan tahun tergeletak di pinggir kali. Kedua orang yang tak lain Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari, seketika berlari menuju ke tempat bocah itu pingsan. Mata Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari seketika membelalak, manakala melihat mata bocah itu hancur satu.
"Sungguh biadab orang yang telah melakukannya," dengus Nyi Mayang Sari melihat mata kiri bocah itu hancur.
"Kasihan bocah ini. Bagaimana kalau kita bawa pulang saja?" lanjutnya bertanya pada Loh Gantra.
"Aku rasa juga lebih baik begitu," menjawab Loh Gantra, yang dengan segera membopong tubuh Rangga Wisnu. Dibawanya Rangga Wisnu menuju ke markasnya, Loreng Ireng.
"Dilihat dari pakaian yang dikenakan bocah ini, aku rasa ia anak seorang Ningrat."
"Benar, apa yang kau katakan, Nyi, Bocah ini sepertinya bukan anak orang sembarangan," menyambungi Loh Gantra, sembari kembali memandang pada bocah yang berada dalam bopongannya.
"Anak siapa kira-kira?" lanjutnya bergumam, seperti pertanyaan itu ditujukan pada dirinya sendiri.
Perasaan kedua orang yang biasanya tak mengenal belas kasih itu, berubah menjadi iba melihat Rangga Wisnu yang mata kirinya hancur hingga banyak mengeluarkan darah. Dengan setengah berlari, kedua orang yang bergelar Sepasang Iblis dari Hutan Cemara Gundul melangkah membawa tubuh Rangga menuju ke markasnya yang terletak di Hutan Cemara. Tak berapa lama keduanya berlari, sampailah keduanya pada markas mereka di Hutan Cemara. Kedatangan mereka disambut hormat oleh anak buahnya yang dipimpin Oleh Lontar.
"Selamat datang, Pimpinan?"
"Lontar, perintahkan pada anak buahmu untuk mempersiapkan tempat tidur untuk anak ini," memerintah Loh Gantra.
"Siapakah gerangan anak yang berada dalam gendongan, Pemimpin?"
"Jangan banyak bertanya, Lontar! Kerjakan dulu apa yang tadi aku perintahkan!" membentak Loh Gantra, membuat Lontar tak berani lagi berkata dan segera berlalu pergi.
"Siapkan sebuah dipan untuk anak itu!" perintah Lontar pada anak buahnya yang dengan segera melaksanakan perintahnya.
Dengan cepat, semua anak buahnya segera membuat sebuah dipan dari kayu. Karena dikerjakan bergotong royong oleh hampir seratus orang, maka dalam waktu yang singkat dipan itu telah jadi. Segera Loh Gantra membaringkan tubuh Rangga di atas dipan, lalu kembali ia berkata memerintahkan pada Lontar:
"Ambilkan air dan obat-obatan, Lontar!"
Dengan tanpa banyak tanya, Lontar segera menjalankan tugasnya. Tak berapa lama, Lontar telah kembali menemui Loh Gantra dengan membawa apa yang dimaksudkan oleh pimpinannya.
"Ini, Pimpinan?"
"Ya, bawa kemari!"
Setelah menerima sebaskom air dan segenggam obat-obatan, Loh Gantra segera mengelap darah yang telah mengering pada mata kiri Rangga. Dilapnya dengan perlahan, hingga benar-benar bersih. Lalu setelah itu, ditaburkan serbuk obat pada mata kiri Rangga. Sesaat Rangga memekik, lalu terdiam lagi.
"Carikan sebuah batu pipih," berkata Loh Gantra, memerintahkan pada Lontar dan anak buahnya yang segera pergi mencari batu. Selang tak begitu lama kemudian, Lontar bersama anak buahnya telah membawa batu yang dimaksud.
"Ingat oleh kalian. Anak ini telah kami angkat menjadi anak kami," berkata Nyi Mayang Sari pada anak buahnya, setelah sekian lama hanya terdiam memandangi wajah Rangga dengan perasaan iba.
"Apakah hal itu sudah dipikirkan masakmasak?" tanya Lontar.
"Maksudmu, Lontar?" balik bertanya Nyi mayang Sari.
"Apakah Nyai pimpinan telah memikirkan dan mempertimbangkannya sebelum mengangkat anak tersebut? Apakah nantinya anak ini tidak akan merepotkan kita?"
Melotot mata Nyi Mayang Sari mendengar penuturan Lontar, yang dianggapnya hendak menentangnya. Maka dengan membentak marah, Nyi Mayang Sari berkata: "Diam! Apakah kau hendak menentangku? Lebih tahu mana kau denganku, Lontar?"
"Ampun, Nyi Pimpinan. Bukannya saya hendak menentang. Namun saya semata-mata ingin supaya Nyi Pimpinan mempertimbangkan masak-masak agar nantinya tidak terjadi hal-hal yang tidak kita ingini."
"Aku tahu Lontar! Sekarang jangan banyak tanya," berkata Nyi Mayang Sari, menjadikan Lontar seketika itu diam tak berani lagi berkata.
"Hari ini juga, kalian harus menghormatinya. Kalian perlu ingat, bahwa anak ini kelak akan menjadi pimpinan kalian," lanjut Nyi Mayang Sari berkata.
"Baik, Nyi Pimpinan. Kami akan selalu menuruti apa yang menjadi keputusan Nyai," berkata serempak keseratus anak buahnya sembari menjura hormat.
Sejak saat itu Rangga Wisnu resmi menjadi anak angkat Mayang Sari dan Loh Gantra sekaligus mewarisi segala ilmu yang bakal diturunkan padanya.
* * * * *
Hari masih begitu pagi, ketika terdengar suara lengkingan seorang gadis memecahkan keheningan pagi itu. Tampak seorang gadis meliuk-liukkan tubuhnya sembari melompat-lompat ke udara, sepertinya gadis itu tengah menari. Namun bila kita memandangnya dengan seksama ternyata gadis itu sembarangan menari, melainkan tengah berlatih ilmu silat.
"Bagus, Miranti!" terdengar suara wanita memujinya.
"Bagaimana, ibu?" bertanya gadis itu yang ternyata Miranti adanya pada wanita bungkuk yang duduk di atas batu, yang tak lain Sandi Antini yang kembali berseru.
"Bagus, Miranti. Ternyata kau mampu menguasai ilmu yang aku turunkan. Jurus itu bernama Tarian Bidadari, yang merupakan dasar dari ilmu yang nantinya bakal engkau pelajari. Nah sekarang berlatihlah lagi."
Dengan penuh semangat, Miranti kembali berlatih. Tubuhnya yang ramping, meliuk-liuk bagaikan menari-nari di angkasa. Sesekali tubuhnya melompat sembari memekik, lalu turun kembali dengan sigap sempurna dan siap mengembangkan jurus Tarian Bidadari lainnya.
Bersamaan dengan itu, di Hutan Cemara tampak seorang pemuda tengah digembleng ilmu-ilmu silat oleh dua orang tokoh yang telah mengangkatnya sebagai anak mereka. Dua tokoh silat pimpinan Loreng Ireng yang tak lain Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari, dengan penuh kasih sayang dan perhatian membimbing Rangga.
"Kurang cepat, Rangga! Usahakan kakimu bergerak dipercepat. Kau tahu bagaimana lutung menyerang musuhnya? Nah, itulah yang harus engkau lakukan," berkata Loh Gantra, memberi semangat pada anak angkatnya.
Dengan tanpa rasa lelah, Rangga Wisnu segera mengulang Jurus Lutung Menyerang disambung dengan Jurus Lutung Menangkap Ular Sanca. Geraka-ngerakannya begitu cepat, menjadikan Loh Gantra tersenyum puas dan kembali berseru memuji.
"Bagus, Rangga!"
"Bagaimana, Ayah?" bertanya Rangga gembira mendengar pujian Loh Gantra, ayah angkatnya.
"Bagus! Kau ternyata anak cerdas. Tak sia-sia aku mendidikmu," berkata Loh Gantra kembali sembari melirik Nyi Mayang Sari yang duduk di sampingnya mengurai senyum.
Silih berganti keduanya mengajari ilmu-ilmu yang mereka miliki pada Rangga. Walaupun begitu, sepertinya Rangga tak pernah bosan. Bahkan dengan cepat, dilalapnya segala ilmu yang diajarkan oleh kedua orang tua angkatnya. Maka dalam waktu yang sangat singkat, segala ilmu yang diajarkan oleh Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari dapat dengan cepat dikuasainya. Maka jadilah Rangga Wisnu seorang pemuda yang berilmu tinggi. Tapi karena didikannya yang salah, jadilah Rangga Wisnu pemuda yang urakan dan nakal.
Di pihak lain, Miranti yang telah tumbuh menjadi gadis remaja nampak kecantikannya. Seperti halnya Rangga Wisnu kakaknya, Miranti pun telah menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu kedigdayaan yang tinggi. Berbeda dengan watak kakaknya Rangga Wisnu yang beringasan, Miranti yang berwatak lemah lembut. Mungkin karena Miranti dididik oleh Sandi Antini yang menerapkan sifat rendah hati, hingga menjadikannya seorang gadis yang memiliki etika.
Saat itu Miranti dengan ditemani oleh ibu angkatnya yang sekaligus gurunya tengah membuka peti yang berisi Kitab Selendang Ungu. Terbelalak mata Sandi Antini manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata Kitab Selendang Ungu memang berjodoh dengan Miranti, terbukti dengan mudah Miranti menjamah Kitab itu dan mengangkatnya keluar dari petinya.
"Ibu lihatlah! Ternyata di bawah kitab ini terdapat sebuah selendang berwarna ungu!" berseru Miranti dengan mata terbelalak melihat apa yang ada di dalam peti.
Sandi Antini yang berada disampingnya turut terbelalak, manakala melihat bahwa di bawah kitab terdapat sebuah selendang berwarna ungu.
"Pantas, kalau Kitab itu benar Kitab Selendang Ungu," gumam Sandi Antini sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
"Apakah kau akan mempelajarinya hari ini juga, Miranti?" lanjutnya bertanya.
"Ya. Ibu. Miranti ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terkandung dalam Kitab Selendang Ungu ini. Maukah Ibu menemani Miranti dan memberi petunjuk?" bertanya Miranti yang dijawab dengan senyuman kegembiraan dibibir Sandi Antini.
"Dengan senang. hati, Anakku," menjawab Sandi Antini. Maka dengan segera kedua anak ibu angkat itu bergegas menuju ke belakang goa di mana terhampar lapangan yang cukup luas dengan pohon-pohon bunga yang tumbuh di sana.
"Di sini kau cukup aman berlatih," berkata Sandi Antini.
Maka dengan duduk bersila, Miranti segera mengheningkan cipta sesaat. Tujuannya meminta doa restu pada pemilik dan penulis kitab Selendang Ungu, yang hendak ia pelajari. Tengah Miranti khusuk mengheningkan cipta sembari berdoa, terdengar olehnya suara seseorang berkata.
"Cucuku! Memang kaulah yang berjodoh dengan Kitab Selendang Ungu, yang merupakan sebuah Kitab sakti. Barang siapa yang berjodoh dengan kitab itu dan mau mempelajarinya maka kelak orang itu akan menjadi seorang pendekar yang mumpuni dan pilih tanding. Maka jangan sekali-kali ilmu dari Kitab Selendang Ungu digunakan untuk berbuat kejahatan. Bila hal itu terjadi, akan hancurlah dunia persilatan. Mintalah petunjuk ibumu, agar kau tidak salah mempelajarinya. Selamat berlatih, Cucuku."
Bersama hilangnya suara orang tua itu, angin seketika berhembus lambat menerpa rambut Miranti yang berterbangan terurai melambai-lambai. Perlahan Miranti membuka matanya, lalu memandang pada Sandi Antini yang tampak tersenyum padanya sembari berkata.
"Kau memang jodohnya, Anakku."
"Terimakasih, Ibu." Dengan berlinang-linang, dipeluknya Sandi Antini.
Sesaat kedua ibu dan anak angkat itu saling berpelukan, melepaskan rasa suka cita dan kasih sayang. Air mata kegembiraan, menetes deras dipipi keduanya. Lama keduanya saling berpelukan, hingga akhirnya Sandi Antini berkata:
"Berbahagialah kau, Anakku. Aku akan selalu membimbingmu untuk mempelajari Kitab itu."
"Terima kasih, Ibu. Hari ini juga, Miranti akan mempelajarinya." Habis berkata begitu, Miranti segera kembali duduk bersilah. Dibukanya Kitab Selendang Ungu, lalu dengan teliti dibaca dan dipelajarinya tulisan serta gambar yang berada dalam lembaran-lembaran Kitab itu.
Tekun sekali Miranti membaca dan menghayati arti dari gambar-gambar yang berada dalam lembaran-lembaran Kitab Selendang Ungu, sampai-sampai waktu berlalu meninggalkannya tidak dihiraukannya. Dari pagi hingga menjelang sore, Miranti dengan ditemani oleh ibu yang juga gurunya mempelajari isi kitab itu. Demikianlah yang dilakukan Miranti sepanjang hari, tekun dan teliti ia terus mempelajari isi kitab itu. Dengan ditemani Sandi Antini yang membimbingnya, Miranti terus berlatih.
Tak terasa waktu berjalan dengan begitu cepatnya. Segala yang terdapat dalam kitab Selendang Ungu, telah mampu dihapal dan dipelajari oleh Miranti. Seperti halnya pagi itu, tampak Miranti dengan Sandi Antini sebagai pembimbing tengah berlatih mempraktekkan apa yang ada di dalam kitab Selendang Ungu.
Dikenakannya Selendang Ungu membelit pada pinggangnya, lalu dengan mengikuti gambar yang ada di dalam kitab serta tulisan-tulisan petunjuk, Miranti melakukan jurus-jurus Selendang Ungu. Tubuhnya meliuk-liuk bagai menari, lemah gemulai bak tak bertulang. Saat itu Miranti tengah mempraktekkan jurus pertama dari Selendang Ungu, yang bernama Jurus Selendang Bidadari Menyibak Awan. Setiap kibasan ujung selendangnya, menjadikan angin topan yang besar yang mampu menerbangkan apa yang ada di sekelilingnya.
Hingga Sandi Antini yang berdiri lima tombak di sampingnya, harus mengerahkan tenaga dalam untuk mampu mempertahankan tubuhnya agar tidak terhempas oleh angin puting beliung yang keluar dari sibakan ujung selendang. Namun karena kerasnya angin yang berhembus, menjadikan tubuh Sandi Antini oleng dan ambruk ke tanah mental tiga tombak.
Terbelalak mata Miranti melihat ibu angkatnya terpental oleh angin yang keluar dari ujung selendangnya. Maka seketika itu Miranti segera menghentikan latihannya dan bergegas menghampiri Sandi Antini.
"Ibu! Kau tak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir. Dipandangnya tubuh Sandi Antini keseluruhan, khawatir kalau-kalau ibu angkatnya menderita luka. Namun seketika Miranti kembali tenang, manakala Sandi Antini menggelengkan kepala sembari berkata.
"Aku tak apa-apa, anakku. Berlatihlah kembali, ibu malah senang karena ternyata kau cepat menguasai dan hapal segala yang ada di dalam kitab itu."
"Benarkah ibu tak apa-apa?" kembali Miranti bertanya, sepertinya sangat mengkhawatirkan keadaan ibu angkatnya.
Sandi Antini hanya menggeleng sembari tersenyum, yang menjadikan Miranti akhirnya tenang dan mempercayainya bahwa ia tak apa-apa. Maka dengan ditemani Sandi Antini dari jarak yang agak jauh, Miranti kembali mempraktekkan jurus-jurus yang dipelajarinya dari Selendang Ungu. Kembali tubuh Miranti meliuk-liuk bagai menari, dengan sekali-kali tangannya mengibaskan selendang yang melilit di pinggang.
Setelah puas dengan jurus Bidadari Menyibak Awan, Miranti segera melanjutkannya dengan jurus Bidadari mengepak sayap menghantam karang. Tubuh Miranti kembali meliuk-liuk, lalu dengan ringannya tubuh Miranti melompat tinggi ke angkasa bagaikan terbang. Dikepak-kepakkan selendang yang berada dalam genggaman tangannya, menjadikan angin besar yang menderu-deru. Setelah tubuhnya dirasa telah tinggi, dengan segera Miranti kembali turun. Bersamaan tubuhnya merosot turun, Miranti menghentakkan selendangnya ke samping. Seketika itu pula terdengar ledakan dahsyat,
"Jlegar! Jlegar!" Ujung-ujung selendang itu menghantam pepohonan, yang seketika itu hancur berkeping-keping.
Terbelalak mata Sandi Antini menyaksikan hal itu, sampai-sampai matanya melotot, tak percaya pada apa yang tengah dilihatnya. Seketika itu pula, dari mulut Sandi Antini memekik seruan.
"Jagad Dewa Batara! Betapa dahsyatnya ilmu itu!"
Belum juga hilang kekagetannya, terdengar Miranti berseru sembari berlari menuju ke arahnya.
"Bagaimana, Ibu?"
Tersenyum seketika Sandi Antini, yang dengan penuh bangga menyambut Miranti.
"Kau hebat, anakku. Kau hebat!" ucapnya bangga sembari memeluk tubuh Miranti, yang tertawa-tawa dengan riangnya.
Ketika senja telah datang, kedua anak dan ibu angkat itu kembali beristrirahat. Di wajah mereka tampak keceriaan, seperti tak pernah ada rasa cape atau lelah. Dengan tertawa-tawa, kedua anak dan ibu angkat itu kembali ke goa, di mana mereka tinggal. Hari-hari dilalui Miranti dengan berlatih dan berlatih jurus-jurus Selendang Ungu, tanpa mengenal lelah ataupun bosan.
Dari jurus pertama yaitu Bidadari Menyibak Awan, Bidadari Mengepak Sayap Menghantam Karang, Bidadari Membentang Selendang, Bidadari Menyapu Mendung, hingga jurus terakhir Bidadari menghalau Angin Topan dengan cepat dapat dikuasainya. Maka jadilah Miranti seorang pendekar wanita yang dapat disejajarkan dengan pendekar-pendekar Kelas Wahid, yang memiliki ilmu dan kepandaian tingkat tinggi.
* * * * *
:::≡¦ [ 6 ] ¦≡:::
"Hamba menyampaikan hormat, Ayahanda dan Ibunda," berkata Rangga Wisnu yang kini telah menjadi seorang pemuda gagah dengan tubuh berisi. Dadanya bidang berisi, sorot matanya tajam memandang pada apa yang dilihatnya.
"Aku terima hormatmu, anakku. Duduklah!" berkata Nyi Mayang Sari. Dengan tanpa banyak kata Rangga Wisnu segera duduk di hadapan kedua orang tua angkatnya. Sementara anak buahnya tampak pula datang dan segera menjura hormat seraya berkata bareng.
"Hamba menyampaikan hormat, untuk junjungan kita Sepasang Iblis Dari Hutan Cemara."
"Kami terima, penghormatan kalian. Duduklah!"
Mendengar ucapan Loh Gantar, dengan segera keseratus anak buahnya duduk mengapit Rangga Wisnu. Sesaat kesemuanya terdiam hening, lalu kemudian terdengar suara Loh Gantra berkata memecah kesunyian.
"Kalian sudah mengerti, mengapa kalian kami undang?"
"Belum, Pimpinan!" menjawab bareng keseratus anak buahnya.
"Baiklah! Dengarkan oleh kalian semua. Hari ini, tampuk kepemimpinan kami serahkan sepenuhnya pada anakku, Rangga. Maka dari itu, kiranya kalian akan makin bersemangat di bawah kepemimpinannya. Tingkatkan kegiatan kita. Kita harus menjadi perkumpulan besar, di bawah panji-panji Loreng Ireng!"
Bersamaan habisnya ucapan Loh Gantra, seketika keseratus anak buahnya berseru mengelu-elukan perkumpulannya dan pimpinannya yang baru.
"Hidup, Loreng Ireng! Hidup, Pimpinan baru! Hidup, Rangga Wisnu!"
"Nah anakku, Rangga Wisnu. Bersiapkah kau menjadi pimpinan?"
"Hamba siap, Ayah!" menjawab Rangga Wisnu pasti.
Tersenyum senang Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari demi mendengar jawaban Rangga Wisnu. Maka saat itu juga, Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpinan Loreng Ireng.
* * * * *
Sejak Rangga Wisnu diangkat menjadi pimpinan perkumpulan Loreng Ireng, maka sepak terjangnya sungguh menjadikan rasa bangga Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari. Namun sebaliknya bagi tokoh-tokoh persilatan yang berdiri di jalur lurus. Sepak terjang Rangga Wisnu, merupakan tantangan yang harus mereka hadapi.
Sepak terjang Loreng Ireng makin ganas saja, menteror penduduk. Merampok, menculik, membunuh, dan tindakan-tindakan lainnya yang sangat sadis. Karena suka menculik gadis-gadis, maka nama Rangga Wisnu mulai terkenal dengan julukan Culik Bermata Satu. Hal itu dikarenakan mata Rangga Wisnu tinggal sebelah, sedang yang sebelahnya lagi tertutup oleh batu.
"Malam nanti, Perguruan Teratai Emas. Apakah kalian ada yang tidak setuju?" bertanya Rangga Wisnu dengan mata yang tinggal sebelah memandang tajam kepada keseratus anak buahnya yang tertunduk tak berani menentang pandangannya.
Melihat keseratus anak buahnya hanya tertunduk Rangga Wisnu kembali berkata "Baiklah! Karena semua setuju, maka malam nanti kita melaksanakan rencana kita. Kita tundukkan Perguruan Teratai Emas! Ingat Pimpinan Teratai Emas adalah bagianku, kalian boleh memilih wanita lain yang kalian sukai."
"Baik, Pimpinan," menjawab semua anak buahnya berbarengan sembari menjura hormat. Tak seorang pun yang berani menentangnya. Disamping ia merupakan anak angkat Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari, ia juga berilmu sangat tinggi dengan ajiannya Gugur Gunung.
Malam harinya, apa yang telah direncanakan pada siang hari segera dilaksanakan. Ketika hari menjelang tengah malam, mereka segera menyerang Perguruan Teratai Emas yang diketuai oleh seorang wanita bergelar Teratai Putih. Diserang begitu tiba-tiba, kalang kabutlah Perguruan Teratai Emas. Walau mereka berusaha membendung serangan Loreng Ireng, namun karena kurangnya persiapan dengan mudah anak buah Loreng Ireng dapat menerobosnya.
"Serbu...!" berseru Rangga Wisnu mengomandokan anak buahnya.
Bagaikan air bah saja, keseratus anak buah Loreng Ireng segera berhamburan masuk menyerbu Perguruan Teratai Emas. Dengan tergesa-gesa, anggota perguruan Teratai Emas yang keseluruhannya wanita berusaha menghadangnya. Hingga tanpa dapat dicegah, peperangan meletus di halaman perguruan Teratai Emas.
Para sesepuh Perguruan Teratai Emas yang mendengar keributan, dengan segera bergegas keluar. Dan manakala dilihatnya telah terjadi peperangan antara anggotanya melawan perkumpulan Loreng Ireng, segera mereka yang terdiri dari lima wanita tua turun membantu.
Dengan kehadiran kelima sesepuh Teratai Emas, maka terdesaklah anak buah Loreng Ireng. Melihat hal itu, dengan geram Rangga Wisnu segera berkelebat menghadang kelima nenek-nenek itu seraya membentak.
"Nenek-nenek centil! Selayaknya kalian telah minggat dari muka bumi ini!"
"Hem. Kaukah yang bernama Rangga Wisnu atau Culik Bermata Satu?" tanya nenek tertua.
"Ya, aku," menjawab Rangga kalem.
"Bagus! Kami ingin tahu, sampai di mana ilmu orang yang saat ini tengah meresahkan dunia persilatan."
"Ha, ha, ha...! Kalau kalian ingin merasakannya. Baik, terimalah ini! Hiat...!" Dengan didahului tawa yang membahana, Rangga Wisnu segera berkelebat menyerang kelima nenek sesepuh perguruan Teratai Emas.
Tersentak kelima nenek tua itu seraya melompat mundur menghindari serangan Rangga yang begitu ganas dan cepatnya, lalu dengan segera, kelima nenek itu balik menyerangnya. Saat itu juga, Rangga Wisnu dikeroyok oleh lima orang tokoh Perguruan Teratai Emas, yang ratarata berilmu tinggi hingga Rangga Wisnu harus berhati-hati, tak dapat memandang remeh.
Jurus-jurus kelima nenek itu seragam, bergantian mereka menyerang Rangga Wisnu. Jurus demi jurus mereka lalui, sepertinya ilmu yang mereka miliki seimbang. Susah untuk dapat menerka siapa yang bakal menjadi pemenangnya. Apakah Rangga Wisnu? Atau sebaliknya kelima nenek itu?
Sementara di lain pihak, anak buah Loreng Ireng yang tadinya mengendor ini tumbuh semangatnya manakala dilihatnya Rangga Wisnu telah terjun menghadapi kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai Emas.
Rangga Wisnu melentingkan tubuhnya ke udara, manakala menginjak jurus yang ke tujuh puluh. Ketika tubuhnya hendak turun, dengan segera Rangga Wisnu menghantamkan kedua tangannya ke lima orang tua pengeroyoknya.
Memekik kelima nenek itu tertahan, tatkala mengetahui ilmu yang dilancarkan oleh Rangga.
"Ah! Ajian Gugur Gunung!" Dengan segera, kelima nenek itu berusaha menghindar. Namun tak urung, salah seorang dari mereka terhantam juga.
"Aaah...!" Lebur seketika tubuh nenek termuda di antara kelima nenek sesepuh Perguruan Teratai Emas; terhantam Ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh Rangga Wisnu.
Tercekam hati keempat nenek lainnya, melihat apa yang terjadi pada diri adiknya. Kemarahannya seketika membludag, menjadikan keempatnya menyerang dengan membabi buta. Hingga tak memperhitungkan lagi untung ruginya. Dan manakala Rangga kembali menghantamkan ajian Gugur Gunungnya, tak ayal lagi dua dari empat nenek itu menjerit sesaat lalu diam dengan tubuh hancur.
"Menyerahlah kalian!" berseru Rangga Wisnu.
"Persetan! Pantang bagi kami menyerah sebelum menemui ajal," menjawab nenek tertua, yang segera kembali menyerang dengan nekad dibantu oleh adiknya.
"Hem. Rupanya kalian memilih mampus! Baik, bersiaplah!" Rangga Wisnu segera mengelakkan serangan kedua nenek itu, lalu secepat itu pula ia balik menyerang dengan Ajian Gugur Gunungnya. Kembali terdengar pekikan bersama hancurnya salah seorang dari kedua nenek yang menyerangnya.
"Setan alas! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Bangsat!" memaki nenek tertua. Kemudian dengan segera merapalkan ajiannya yang bernama Aji Anggada Murka. Seketika itu, dari tangan nenek tertua tampak selarik sinar merah menyala berkelebat-kelebat mengarah pada Rangga.
Beruntung Rangga waspada, kalau tidak. Maka akan melelehlah tubuhnya, bagaikan betonan tembok yang menyangga balai-balai Perguruan Teratai Emas.
"Hem, ilmunya tinggi juga," membatin Rangga. Dengan Ajian Gugur Gunungnya, Rangga segera berkelebat cepat bermaksud menyerang nenek itu. Namun ternyata nenek itupun kini telah berkelebat menuju ke arahnya sama hendak menyerang. Maka tak ayal lagi, keduanya bertemu di udara.
"Duar...!" Terdengar ledakan dahsyat akibat bertemunya dua ajian yang dilancarkan oleh masing-masing pemiliknya.
Rangga terhuyung-huyung ke belakang dengan pundak hangus terbakar. Sementara nenek tertua, terduduk mengejuprak di tanah dengan mulut melelehkan darah. Dari mulut yang melelehkan darah itu, terdengar suaranya yang terputus-putus berkata:
"Kau... kau hebat anak muda. Aku mengaku kalah..." ambruklah nenek tertua dengan nyawa melayang.
Dengan matinya kelima nenek sesepuh Pergurauan Teratai Emas, lemah pula kekuatan Teratai Emas. Maka dengan waktu relatif singkat. Loreng Ireng pun dapat menguasainya.
Bagai orang yang baru pulang dari hutan saja dan tak pernah melihat wanita, anak buah Loreng Ireng segera memburu murid-murid Teratai Emas. Dan dengan rakusnya, anak buah Loreng Ireng menyeret gadis-gadis itu dipaksa untuk melayani nafsu bejadnya. Lain dengan anak buahnya, Rangga tanpa menggunakan kekerasan mendapatkan diri Anggrek Putih pimpinan Perguruan Teratai Emas, rupanya Teratai Putih pun mencintai Rangga, hingga tak bertepuk sebelah tangan.
* * * * *
Dengan tindakannya menyerang Perguruan Teratai Emas yang dapat ditaklukannya, makin menjadi momok saja nama Rangga atau Culik Bermata Satu di dunia persilatan. Berita itu sampai juga ditelinga Bupati Suro Gonggong, yang turut prihatin melihat rakyatnya banyak yang ketakutan. Maka segera dipanggilnya keempat pengawalnya yaitu, Kiranda, Sugiri. Londun, dan Kunco.
"Apakah kalian telah mendengar berita tentang Culik Bermata Satu?"
"Sudah. Adakah sesuatu yang menarik?" bertanya Kiranda.
"Kalian ingat kejadian lima belas tahun yang lalu?" kembali Bupati Suro Gonggong bertanya pada keempat pengawalnya yang seketika itu mengernyitkan kening.
"Apakah tidak mungkin anak tersebut adalah anak Labean?" melanjutkan Suro gonggong bertanya.
"Kenapa kau begitu mengkhawatirkan, Kakang Suro?" balik bertanya Kiranda demi mendengar ucapan Suro Gonggong.
"Bagaimana mungkin bocah itu hidup? Padahal matanya telah hancur oleh tusukan keris Gento."
"Tapi itu bisa terjadi, Kiranda. Bukankah kau bilang, waktu itu ada orang lain yang telah membunuh Gento? Apakah tidak mungkin kalau orang itu telah menolong kedua anak Labean?"
Terdiam Kiranda mendengar ucapan Suro Gonggong yang memang ada benarnya. Namun untuk menghibur hati Suro Gonggong, Kiranda segera berkata: "kalau memang mereka ingin membalas, kurasa kami berempat akan sanggup menghadapinya."
"Sombong!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita membentak, dibarengi dengan berkelebatnya tubuh pemilik suara itu yang seketika telah berdiri di tengah-tengah mereka duduk hingga kelima orang itu seketika melompat mundur.
"Siapa kau?" membentak Suro Gonggong, setelah hilang kagetnya.
Gadis itu hanya tersenyum, membuat marah Kiranda segera membentaknya: "Gadis sundel! Ditanya bukannya menjawab, malah cengengesan!"
"Dengar oleh kalian baik-baik. Akulah anak Bupati Labean, yang kalian bunuh lima belas tahun yang lalu. Aku dengar kalian tak takut bila anak Bupati Labean menuntut balas. Sombong!" berkata Miranti dengan senyum sinis.
"Oh, jadi kau anak Labean. Bagus! Pucuk dicinta, Ulam tiba. Hingga kami tak usah mencari-carimu mengubek jagad, karena kau ternyata datang sendiri mengantarkan nyawa," berkata Kiranda, seperti tak memandang sebelah matapun pada Miranti yang dianggapnya hanya seorang gadis biasa seperti gadis kebanyakan.
"Wow, rupanya kalian tengah menanti nyawaku. Baiklah! Ambillah oleh kalian sendiri bila mampu."
Mendengar ucapan Miranti yang sepertinya mengejek, marahlah kelima orang itu. Maka dengan segera kelima orang itu, tanpa malu-malu mengeroyok Miranti.
"Jangan menyesal, bila kami menurunkan tangan jahat!" membentak Suro Gonggong.
Namun kembali Miranti hanya tersenyum, lalu dengan setengah mengejek Miranti kembali berkata sembari mengelakkan serangan kelima orang pengeroyoknya.
"Tak usah kau bicara, Suro Gonggong! Dari dulu memang tangan kalian jahat dan keji. Maka tangan kalian yang telah berlumur dosa itu harus dibikin putung."
Terbelalak mata kelimanya marah, demi mendengar ucapan Miranti. Maka dengan mendengus, kelima orang itu segera mempercepat serangannya. Kelimanya silih berganti menyerang Miranti yang tampaknya mengelakkan serangan kelima pengeroyoknya dengan tubuh meliuk-liuk bagai menari. Padahal liukan-liukan tubuh Mirantai, merupakan jurus-jurus dari Selendang Ungu. Hingga semua serangan kelima orang pengeroyoknya hanya menemui angin belaka.
Makin lama, makin kencang tarian tubuh Miranti. Tubuh Miranti meliuk-liuk dengan cepat, makin memusingkan pandangan mata kelima pengeroyoknya. Kepala mereka dibuat pening oleh gerak-gerakan Miranti yang mengajak mereka turut menari-nari. Itulah Jurus Bidadari Menyebar Bius, hingga orang-orang didekatnya akan terbius dan mengikuti setiap gerakan-gerakannya yang tampaknya lembut namun ternyata dapat menguras tenaga.
Dalam tiga puluh gerakan saja, kelima orang pengeroyoknya dibuat lunglai bagai habis tenaganya. Maka tanpa mengalami kesulitan, Miranti dengan mudah menghajar kelimanya. Dikibaskannya ujung selendaangnya ke arah tangan musuh-musuhnya yang seketika itu memekik kesakitan dengan tangan putung, dua-duanya lepas dari pergelangan. Tersenyum puas Miranti melihat musuh-musuh ayahnya tidak bergelimpangan, lalu dengan meninggalkan gelak tawa Miranti segera berkelebat pergi.
Selang beberapa menit kemudian, tampak seorang pemuda yang sebelah matanya tertutup batu datang ke tempat itu. Sesaat matanya memandang ke arah kelima orang yang bergelimpangan dengan kedua tangannya putung, sembari hatinya mendesah.
"Hem, rupanya ada orang yang telah mendahuluiku."
"Ayah, ibu! Semoga arwah kalian tenang di alam sana. Lihatlah! Akan kupisahkan kepala orang-orang ini dari tubuhnya!" berseru Rangga Wisnu seraya mendongakkan mukanya ke langit-langit. Lalu dengan segera, tangannya bergerak cepat memenggal kepala kelima orang itu yang hanya memekik sesaat manakala tangan Rangga membetot kepalanya.
"Ha, ha, ha...! Kini puas sudah hatiku. Ha, ha, ha...!" Bagaikan orang gila, Rangga tertawa bergelak-gelak. Tangannya menenteng kepala kelima orang musuh ayahnya, yang dibawanya pergi entah kemana sembari meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.
* * * * *
:::≡¦ [ 7 ] ¦≡:::
"Aku jadi tak habis pikir, kenapa dulu keluarga Bupati Labean dibantai! Dan sekarang... musuh-musuhnya yang dibantai dengan sadis. Apakah ini sebuah balas dendam dari anak Bupati Labean? Di mana pula Sandi Antini yang biasanya menumpas kejahatan? Pusing benar aku ini..." bergumam Jaka dalam hati.
Jaka kembali berjalan, merenungi apa yang tengah terjadi pada Kabupaten Wates. Kabupaten yang dulu tentram, kini bergolak. Apalagi setelah muncul Culik Bermata Satu Rangga Wisnu.
"Hem... Mungkin benar hal itu merupakan balas dendam," kembali Jaka bergumam. Dengan berlari bagaikan angin, Jaka seketika melesat menuju ke tempat di mana markas gerombolan Loreng Ireng.
* * * * *
Sementara itu dilain tempat, tampak dua orang wanita tengah duduk di dalam goa. Sepertinya, kedua wanita itu tengah membicarakan sesuatu hal yang teramat penting. Kedua wanita itu tak lain Sandi Antini dengan muridnya Miranti si Bidadari Selendang Ungu.
"Sepak terjang Loreng Ireng makin menjadi-jadi, anakku. Rupanya kedua orang itu belum sadar akan segala tindakannya, bahkan malah sebaliknya setelah anak angkatnya mulai menjadi dewasa. Aku harap sahabatku Jaka Ndableg telah mendengarnya hingga dengan segera dapat membereskan semua masalah di Wates ini."
"Siapakah Jaka Ndableg itu, ibu?" tanya Miranti.
"Dialah Pendekar yang saat ini menjadi buah bibir dunia persilatan. Dia bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah, karena senjatanya yang berupa Pedang mampu mengeluarkan Darah bila berhadapan dengan musuh."
"Sungguh Miranti ingin mengenalnya, guru."
"Ah, nanti juga kau akan mengenalnya. Dia adalah teman ibu. Orangnya tampan, namun tidak sombong. Tingkahnya memang kelewatan Ndablegnya sehingga orang-orang menjulukinya Jaka Ndableg."
Miranti mesem-mesem mendengar penuturan Sandi Antini. Hal itu menjadikan Sandi Antini tersenyum, mengerti bahwa anak angkatnya yang sekaligus muridnya tengah membayangkan keberadaan Jaka.
"Kenapa Miranti? Sepertinya kau melamun."
Tersentak Miranti seketika, demi mendengar ucapan ibunya yang telah mengejutkan lamunannya. Dengan mesem-mesem tersipu. Miranti mendesah lemah.
"Ah... ibu..."
"Kau melamunkan Jaka, anakku?"
Makin merona merah wajah Miranti mendengar sergahan ibunya yang secara tiba-tiba. Hatinya yang memang memendam perasaan sesuatu menjadikannya tak dapat memungkiri.
"Tak usahlah kau malu-malu mengatakannya. Ibu mengerti perasaanmu. Ibu juga pernah muda sepertimu, anakku," kata Sandi Antini membesarkan hati Miranti.
"Kalau saja ibu masih sebayamu mungkin ibu juga akan mencintainya."
Miranti kembali tersipu-sipu. Matanya membeliak redup dan lentik, menggambar hatinya yang tengah tergetar sebuah perasaan yang sukar untuk dimengerti. Sandi Antini yang memahami segera mengalihkan pembicaraannya.
"Anakku, apakah kau akan diam saja melihat segala perbuatan Loreng Ireng?"
"Ah..." mendesah Miranti tersentak.
"Bagaimana pendapatmu dengan segala tindakan Loreng Ireng yang semakin hari semakin merajalela?" tanya Sandi Antini kembali.
Sejenak Miranti kembali terdiam, memandang pada ibunya yang tersenyum. Kembali Miranti menundukkan mukanya, seakan ada sesuatu yang hendak ia sembunyikan.
"Kenapa anakku...?"
Miranti terjengah, entah bayangan apa yang menggores di hati gadis muda itu. Apakah ia benar-benar telah memendam rasa cinta? Atau perasaan apa....? Sedang bertemu dengan Jaka saja ia belum pernah. Setelah sesaat diam menenangkan hatinya, Miranti pun menjawab pertanyaan sang ibu.
"Secepatnya harus kita cegah, Ibu. Kalau tidak, aku khawatir mereka akan makin merajalela," menjawab Miranti.
"Benar! Kita sebagai seorang pendekar yang berhaluan lurus, sepantasnyalah mencegah tindakan mereka yang terlalu biadab dan telengas. Maka dari itu aku hendak menyuruhmu untuk melakukan hal tersebut. Bukannya untuk kepentinganku pribadi yang mempunyai sengketa dengan kedua tokoh Loreng Ireng, tapi demi ketenangan dan ketentraman masyarakat pada umumnya yang kini tengah gelisah oleh tindakan mereka. Tumpas mereka sampai ke akar-akarnya. Tapi ingat! di antara mereka ada kakakmu," berkata Sandi Antini yang seketika mengejutkan Miranti hingga karena kagetnya, Miranti menggumam.
"Kakakku?"
"Ya, Anakku. Ketahuilah olehmu, bahwa orang yang bergelar Culik Bermata Satu adalah Rangga Wisnu kakakmu. Dan dia juga yang telah memenggal kepala kelima orang musuh-musuh ayahmu," menerangkan Sandi Antini, makin membuat Miranti membelalakkan matanya.
"Jadi..."
"Jangan ragu, anakku. Dalam agama diterangkan 'Barang siapa yang berbuat tidak searah dan setujuan dengan dirimu maka dia bukanlah saudaramu, meski ia adalah ayah atau ibumu'. Jadi jelasnya, kakakmu itu kini telah dikuasai oleh iblis dengan perantara Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari," memotong Sandi Antini berkata.
"Apakah nantinya aku tidak berdosa, Ibu?"
"Tidak Anakku. Dosa akan datang bila kau berbuat melanggar ketentuan yang oleh digariskan oleh Yang Wenang," kembali Sandi Antini berkata menerangkan.
hingga Miranti akhirnya dapat mengerti, dan berkata.
"Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha mencegah tindakan mereka. Aku memohon doa darimu."
"Kudoakan semoga kau selalu dalam lindungan Yang Wenang. Berangkatlah dengan segenap keteguhan hati. Serahkan segala persoalan pada Yang Wenang," berkata Sandi Antini sembari mencium kening Miranti.
Hari itu juga, Miranti dengan diantar ke muka goa oleh ibu angkatnya pergi untuk tugas mulia. Menghentikan sepak terjang gerombolan Loreng Ireng yang tindakannya terlalu biadab dan telengas. Dengan mata berlinang, Sandi Antini melepaskan kepergian anak angkatnya untuk berkelana menambah pengalaman.
* * * * *
Tokoh-tokoh persilatan tampak tengah berkumpul membahas masalah sepak terjang Culik Bermata Satu yang berdiri di bawah panji-panji gerombolan Loreng Ireng.
"Makin erat saja cengkeraman Loreng Ireng setelah pimpinannya dipegang oleh Culik Bermata Satu. Kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut tak ayal lagi ambisi Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari untuk menjadi pemimpin di dunia persilatan akan benar-benar terbukti," berkata Kebo Lanang, salah seorang tokoh persilatan dari perguruan Mahesa Gading.
"Benar apa yang dikatakan saudara Kebo Lanang. Bila kita sebagai orang-orang yang berdiri di golongan lurus hanya diam saja sudah tentu kedudukan kita akan makin terdesak. Maka sebelum didahului lebih baik kita mendahului," Suropati menambahkan.
Sesaat semua yang hadir terdiam, sepertinya tengah mempertimbangkan ucapan kedua anggotanya. Setelah sekian lama terdiam, terdengar pimpinan rapat tokoh persilatan yaitu Ki Banyu Wangi berkata:
"Usul saudara Kebo Lanang dan Suropati sangat kami hargai. Namun kami masih bingung, bagaimana jalan yang baik untuk melaksanakannya? Saudara-saudara tahu betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh Culik Bermata Satu, bukan?"
Kembali semua terdiam, tak ada yang berkatakata untuk sesaat. Mereka nampaknya kembali berpikir, memutar otak, memeras pikiran untuk mencari jalan bagaimana menghadapi gerombolan Loreng Ireng. Namun sejauh itu, tak ada seorang pun yang dapat memutuskan bagaimana cara untuk menghadapi Gerombolan Loreng Ireng.
"Bagaimana, saudara-saudara?" kembali Ki Banyu Wangi bertanya, setelah untuk beberapa saat lamanya terdiam.
"Kita tetap harus mencegahnya!" berseru salah seorang anggotanya yang spontanitas diikuti oleh yang lainnya hingga seketika ramailah suasana rapat itu.
"Benar!"
"Akur...!"
"Setuju...!"
"Lebih baik kita mati demi membela kebenaran dan keadilan, daripada kita hidup menuruti kemauan iblis," berkata Kebo Lanang kembali penuh semangat, yang untuk kedua kalinya disetujui oleh teman-teman anggota rapat lainnya. Makin ramai saja suasana rapat itu oleh teriakan-teriakan para anggota.
"Baiklah, baiklah! Hari ini juga kita berangkat ke Hutan Cemara Sundul untuk menghentikan sepak terjang Gerombolan Loreng Ireng, bagaimana?" Akhirnya Ki Banyu Wangi menuruti apa yang menjadi keputusan anggotanya.
Hari itu juga semua tokoh golongan lurus dengan dipimpin oleh Ki Banyu Wangi pergi menuju ke Hutan Cemara Sundul untuk menemui Gerombolan Loreng Ireng sekaligus mencegah tindakannya.
* * * * *
Demi melihat berpuluh-puluh orang datang menuju ke Hutan Cemar Sundul, segera Lontar menyuruh anak buahnya untuk siaga di tempatnya. Sementara dia sendiri, segera bergegas pergi untuk melaporkan hal apa yang dilihatnya pada pimpinannya Rangga atau Culik Bermata Satu.
"Ada apa, Lontar? Sepertinya ada sesuatu yang penting hingga kau tampak begitu terburu-buru menemuiku?" bertanya Rangga, demi melihat Lontar datang menghadapnya dengan napas ngos-ngosan.
Setelah mengatur napas sesaat, Lontar pun berkata: "Pimpinan. Orang-orang persilatan pada berdatangan menuju ke mari."
"Apa? Orang-orang persilatan datang ke mari?" mengulang Rangga bertanya yang diangguki oleh Lontar mengiyakan.
"Apakah semua pasukan telah dipersiapkan?"
"Sudah, Pimpinan. Mereka tinggal menunggu perintah," menjawab Lontar.
"Serang mereka dengan panah bila mereka telah masuk keperbatasan!"
"Baik, Pimpinan." Lontar segera bergegas pergi untuk menemui anak buahnya kembali.
Sementara Rangga dengan segera menemui kedua orang tua angkatnya Loh Gantra dan Nyi Mayang Sari. Kedua tokoh tua Loreng Ireng nampak tersentak mendengar laporan anak angkatnya, perihal berdatangannya tokoh-tokoh persilatan.
"Hadang mereka! Nanti kami datang," memerintahkan Loh Gantra yang dengan segera dilaksanakan oleh anak angkatnya, Rangga.
Dengan segera Rangga berlari menuju ke perbatasan Hutan Cemara sundul, di mana semua anak buahnya telah berkumpul. Memang benar apa yang dilaporkan Lontar padanya, bahwa orang-orang persilatan datang menuju ke Hutan Cemara Sundul. Dari kejauhan tampak berpuluh-puluh pendekar berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke Hutan Cemar Sundul. Sepertinya mereka membawa suatu misi, entah apa misi itu.
"Bersiaplah!" terdengar perintah Rangga. Dengan segera semua anak buahnya bersiap-siap. Panah tergenggam di tangan mereka masing-masing siap untuk menghujani. Mata semua anak buah Loreng Ireng tajam memandang pada orang-orang persilatan yang berdatangan menuju ke arahnya.
"Serang dengan anak panah!" terdengar suara Rangga memerintah manakala tampak olehnya orang-orang persilatan telah dekat. Maka mendesinglah ratusan anak panah dari balik semak-semak, melesat memburu ke orang-orang persilatan itu.
"Awas panah!" teriak Ki Banyu Wangi memperingatkan pada anak buahnya, sementara dirinya sendiri bersalto mengelakkan serangan anak panah. Tangannya berkelebat cepat menangkap beberapa anak panah, lalu dikembalikannya anak panah itu ke asalnya. Seketika terdengar lengkingan kematian dari balik semak-semak. Rupanya anak panah yang dilemparkan Ki Banyu Wangi telah mengenai beberapa orang penyerangnya.
"Serang lagi...!" Rangga kembali berseru memerintah.
Seperti semula, ratusan anak panah pun berdesing-desing melesat menyerang pada orang-orang persilatan di bawah pimpinan Ki Banyu Wangi.
"Puih! Percuma kalian membuang-buang anak panah! Keluar, Kalian!" berseru Kebo Lanang dengan marah sembari menangkapi beberapa batang anak panah yang melesat ke arahnya. Namun jawaban dari teriakannya, adalah desing ratusan anak panah lagi, melesat menyerang mereka.
Korban banyak berjatuhan dari kedua belah pihak hingga makin lama makin menyusut jumlah anggota mereka. Bersamaan dengan ramainya pertempuran antara Loreng Ireng melawan kumpulan tokohtokoh persilatan, secepat kilat berkelebat dua sosok tubuh bagaikan terbang seraya menghantamkan ajian Gugur Gunung ke arah tokoh-tokoh persilatan.
Terbeliak mata Ki Banyu Wangi manakala melihat anak buahnya banyak yang mati terhantam ajian Gugur Gunung yang dilancarkan oleh kedua tokoh utama Loreng Ireng, yaitu Loh Gantra dan Mayang Sari.
"Loh Gantra, ternyata dalam usiamu yang makin senja bukannya berbuat kebajikan malah menimba dosa. Sungguh perbuatanmu benar-benar perbuatan iblis," berkata Ki Banyu Wangi yang telah berhadap-hadapan langsung dengan dua tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng itu.
Tertawa bergelak-gelak Loh Gantra mendengar ucapan Ki Banyu Wangi, lalu dengan suaranya yang serak, Loh Gantra berkata: "Ki Banyu Wangi. Janganlah kau terlalu usil dengan apa yang kami lakukan kalau kau ingin selamat. Ketahuilah olehmu, bahwa kami akan menjadi pimpinan tertinggi dunia persilatan. Ha, ha, ha...!"
"Sombong! Jangan harap semua khayalanmu dapat terlaksana," mendengus Ki Banyu Wangi.
"Hem, kenapa tidak? Nanti kau akan melihat dari alam baka sana," berkala Loh Gantra sembari menyeringai, lalu dengan cepat berkelebat menyerang Ki Banyu Wangi.
"Jangan kau bermimpi, Loh! Langkahi dulu mayat kami! Hiat...!" berseru Ki Banyu Wangi sembari memapaki serangan Loh Gantra.
Pertempuran makin bertambah seru dengan datangnya tokoh utama Gerombolan Loreng Ireng yang turut membantu. Korban telah banyak berjatuhan di kedua belah pihak, namun sepertinya pertempuran itu tak akan segera berakhir.
Pekikan-pekikan kematian menggema silih berganti hingga jumlah mereka semakin lama semakin menyusut. Sementara di tempat yang agak terpisah, tampak Loh Gantra dengan Ki Banyu Wangi tengah bertarung. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang sudah malang-melintang di dunia. Namanama mereka cukup terkenal dan disegani oleh kawan, atau lawan mereka.
Kini kedua tokoh yang berbeda aliran itu bertemu saling serang dan saling elak untuk menunjukkan siapa yang paling tinggi ilmunya. Walau mereka telah berusia cukup tua namun gerakan-gerakan mereka nampak masih gesit dan lincah. Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya kedua tokoh persilatan itu tak akan ada yang menang ataupun yang kalah. Keduanya masih saling rangsek, mengelak, menangkis berganti-ganti.
Sementara di pihak lain, Rangga bersama ibu angkatnya, Nyi Mayang Sari nampak mengganas. Serangan-serangan keduanya begitu cepat, diselingi oleh pukulan-pukulan yang didasari dengan ajian Gugur Gunung. Tak ayal lagi, korban dari pihak tokoh-tokoh persilatan makin banyak saja berjatuhan.
"Menyerahlah, kalian!" berseru Rangga dengan angkuhnya. Tangannya yang berotot berkelebat-kelebat menghantam ajian Gugur Gunung, yang diumbar begitu rupa. Harapan Rangga dapat segera mengalahkan tokoh-tokoh persilatan. Namun dugaannya ternyata meleset, karena tokoh-tokoh persilatan bukannya menyerah bahkan sebaliknya. Dengan berprinsip lebih baik mati daripada hidup dalam kangkangan iblis, tokoh-tokoh persilatan makin tampak berani.
"Jangan harap kami mau menyerah begitu saja. Pantang bagi kami menyerah pada iblis-iblis macam kalian!" berseru Kebo Lanang dengan ajian Kilat Buananya memapaki serangan Rangga Wisnu.
"Duar...!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua ajian itu beradu di udara. Nampak Kebo Lanang terpental tiga tombak ke belakang dengan dada terasa sesak, sementara Rangga Wisnu tersenyum sinis memandang padanya. Rangga Wisnu yang sudah kalap, seketika berkelebat hendak kembali menyerang manakala sebuah bayangan berkelebat memapakinya.
"Siapa kau!" membentak Rangga Wisnu sembari menarik serangannya.
Pemuda di hadapannya tersenyum.
"Aku Jaka Ndableg, Pendekar Pedang Siluman Darah!"
Tersentak Rangga Wisnu dan lainnya, manakala mendengar pemuda itu menyebutkan namanya. Mereka telah mendengar kehebatan pemuda itu, namun mereka baru melihat rupa si pemilik nama besar yang tengah menggemparkan dunia persilatan.
"Rangga Wisnu, apakah kau tidak menyadari siapa sebenarnya dirimu? Apakah kau hendak menghancurkan nama baik kedua orang tuamu yang telah membesarkanmu?"
"Setan! Apa perlumu ikut campur dengan keluargaku. Aku tahu dan sering mendengar tentang kehebatan namamu, namun jangan harap aku akan gentar padamu."
"Aku tak menyuruhmu untuk gentar padaku. Tapi aku hanya ingin kau sadar atas segala tindakan-tindakanmu selama ini," menjawab Jaka tenang.
"kau telah diperbudak oleh iblis-iblis yang telah merasuki hati kedua orang tua angkatmu."
"Bedebah...! Rupanya kau seorang pendekar kelas kroco yang bisanya hanya memberi saran, takut untuk menghadapi musuh."
Habis berkata begitu, Rangga Wisnu segera berkelebat menyerang Jaka. Jaka yang enggan untuk meladeni anak Bupati Labean nampak hanya berusaha menghindar. Ia tahu, bahwa Rangga sebenarnya hanya terbawa oleh lingkungan dan perasaannya untuk membakti pada kedua orang tuanya. Tengah pertarungan berjalan dengan serunya, terdengar suara seorang wanita berseru memberikan semangat pada para tokoh persilatan.
"Jangan mundur, saudara-saudara! Lebih baik kita mati di kolong tanah, daripada hidup dalam kekangan para iblis."
Jaka yang tengah bertarung menghindari serangan-serangan Rangga Wisnu tersentak, memandang pada asal suara itu. Tampak di atas bukit seorang gadis cantik berdiri tersenyum padanya. Kedua mata pemuda-pemudi itu saling pandang. Sementara hati mereka seketika berkata penuh bunga.
"Siapakah gadis itu...?" bergumam Jaka.
"Hem, diakah yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah..."
Tengah Jaka tersentak, Rangga Wisnu yang melihatnya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Seketika dihantamnya Jaka dengan pukulan Gugur Gunung. Miranti yang melihat Jaka terpental dihantam ajian Gugur Gunung seketika memekik sembari berkelebat.
"Aaah...!"
Miranti dengan cepat menangkap tubuh Jaka yang terbang, terhantam ajian Gugur Gunung. Hal itu menjadikan Jaka tersentak kaget, tersipu-sipu. Betapa tidak, gadis itu tersenyum sembari menurunkan tubuh Jaka. Pipinya merona merah, terbersit rasa malu. Tak terasa, kepala Miranti tertunduk.
"Terimakasih atas pertolonganmu, Nona."
"Kau tidak terluka?" tanya Miranti, nadanya khawatir.
"Tidak... siapa nama Nona?"
"Namaku Miranti," jawab Miranti masih tertunduk dengan bibir terurai senyuman.
Rangga Wisnu tersentak demi mendengar siapa adanya gadis yang telah menolong Pendekar Pedang Siluman Darah. Hatinya seketika bimbang, mengakui bahwa gadis itu memang benar-benar adiknya. Melihat Rangga memandangnya tanpa berkedip, menjadikan Miranti seketika itu tersentak dan balik memandang pada Rangga dengan mulut membersitkan kata-kata.
"Kakang Rangga Wisnu, benarkah kau kakang Rangga Wisnu?"
"Kau kenal dengan dia, Nona?" tanya Jaka yang turut terbengong-bengong menyaksikan kedua kakak beradik itu saling pandang bengong.
"Ya, dia kakakku," jawab Miranti yakin.
"Miranti adikku..."
Tengah kedua kakak beradik itu saling diam membisu, tiba-tiba terdengar oleh Rangga seruan dari Nyi Mayang Sari menyuruhnya untuk menyerang Jaka Ndableg dan Miranti.
"Rangga, kenapa kau terbengong? Bunuh saja pemuda dan gadis di hadapanmu...!"
Bimbang hati Rangga seketika itu untuk mengambil keputusan. Antara hatinya yang mengakui bahwa gadis di hadapannya adalah adiknya sendiri, dengan tugasnya sebagai seorang anak yang harus berbakti pada orang tuanya.
"Tidaaaaaaakkkk...." menjerit Rangga dalam bimbang. Seketika itu pula, tubuh Rangga berkelebat dengan cepat menyerang Nyi Mayang Sari yang tersentak kaget.
"Rangga, kau...!"
Rangga yang telah pusing dan marah tak perduli, menyerang ibu angkatnya. Nyi Mayang Sari segera mengelakkan, manakala tangan Rangga berkelebat menghantam ke arahnya. Marahlah Nyi Mayang Sari melihat hal itu yang dengan terlebih dahulu memaki segera berkelebat menyerang.
"Anak dungu! Rupanya kau mencari mati!"
Rangga tak perduli lagi dengan caci maki ibu angkatnya. Matanya gelap, sehingga ia bagaikan benteng ketaton terus memburu.
"Siapakah namamu, Tuan?" tanya Miranti yang seketika menyentakkan Jaka dari lamunan.
"Apakah engkau yang bernama Jaka atau Pendekar Pedang Siluman Darah ?"
"Ah, darimana kau mengetahui namaku, Nona?" tanya Jaka.
Miranti hanya tersenyum manis, menjadikan Jaka kembali terdiam bisu. Seperti hati Miranti, hati Jaka pun telah tergores sebuah syair-syair cinta. Keduanya hanya terdiam, dengan mata mereka saling beradu pandang.
"Ah, orang tua itu terdesak," mengeluh Miranti demi melihat Ki Banyu Wangi terdesak hebat. Dengan segera tanpa memperdulikan Jaka yang masih terdiam, Miranti segera melompat sembari kibaskan selendangnya. Selendang Ungu seketika berkelebat menangkis pukulan yang dilontarkan Loh Gantra, yang hampir merenggut nyawa Ki Banyu Wangi.
"Hiat...!"
"Bletar...! Bletar...!"
Selendangnya menyerang Loh Gantra. Gerakannya begitu lembut bagaikan gerakan orang menari. Namun dirasakan, betapa kerasnya angin kebutan selendang itu sampai-sampai mampu menerbangkan apa saja yang berada di dekatnya. Mau tak mau, Loh Gantra harus berjumpalitan mengelakkannya.
Terbelalak mata Loh Gantra dengan muka pucat, manakala dirasakannya sebatang selendang itu begitu kerasnya bagaikan hantaman jutaan kati saja. Kalau saja Loh Gantra tidak segera menarik mundur tangannya maka tak dapat dibayangkan lagi tangannya pasti putung. Dengan mata melotot karena marah, Loh Gantra segera membentak bertanya.
"Kuntilanak! Siapa kau!"
"Aku....? Akulah Bidadari Selendang Ungu," menjawab Miranti yang seketika mengejutkan Loh Gantra.
Dengan mata kembali terbelalak, Loh Gantra mendesah lemah.
"Ah, aku tak percaya kalau kau adalah pewaris Kitab Selendang Ungu yang berada di tangan Sandi Antini."
Tersenyum Miranti mendengar ucapan Loh Gantra, lalu dengan tenang ia berkata: "Kalau kau tak percaya, tak mengapa. Yang pasti, aku mengemban tugas dari guruku yang sekaligus ibuku Sandi Antini untuk melenyapkan kalian dari muka bumi ini."
Makin terbelalak kaget Loh Gantra setelah gadis di hadapannya mengenalkan siap dirinya. Hatinya seketika menciut, karena ia tahu dan telah mendengar kehebatan jurus-jurus Selendang Ungu.
"Ah, memang benar gadis ini yang berjodoh dengan Kitab Selendang Ungu. Yaa, itu selendang yang dipakainya mengingatkan aku pada cerita guru tentang Nyi Molek Kencana atau Bidadari Selendang Ungu. Sungguh benar ramalan guru, bahwa Bidadari Selendang Ungu akan muncul kembali lewat orang lain. Tak diragukan," mendesah Loh Gantra mengeluh.
"Apakah kau sudah siap, Loh Gantra!"
Membelalak Loh Gantra dari lamunannya demi mendengar seruan gadis di hadapannya. Matanya membeliak menatap tajam pada Miranti yang tersenyum datar. Hatinya bimbang, untuk berbuat. Namun rasa sombongnya seketika memberontak, menyuruhnya untuk menjawab ucapan Miranti si Bidadari Selendang Ungu. Maka dengan lantang bagaikan tak mengenai rasa takut, Loh Gantra berkata:
"Jangan sombong! Walaupun kau pewaris Selendang Ungu namun aku tak akan mundur setapakpun. Akulah yang akan menjadi Raja di raja dunia persilatan."
"Hem, rupanya iblis telah melekat di hatimu hingga kau tak dapat lagi mengenal dan membedakan mana yang baik dan benar. Nah, bersiaplah!"
Habis berkata begitu, seketika Miranti meliuk-liukan tubuhnya bagaikan menari menjadikan Loh Gantra dan semua yang ada di situ terkesiap memandangnya. Namun ketika ia sadar, dengan segera Loh Gantra berkelebat mengelitkan hantaman ujung selendang yang dikibaskan oleh Miranti. Loh Gantra telah tahu kehebatan Ilmu Selendang Ungu, baik dari cerita gurunya maupun dari apa yang barusan ia rasakan manakala ujung selendang itu menangkis tangannya yang hendak menghabisi nyawa Ki Banyu Wangi.
"Kunyuk!" memaki Loh Gantra seraya mengelakkan serangan ujung selendang yang dilancarkan oleh Miranti. Belum juga Loh Gantra dapat mengatur nafas, secepat kilat Miranti telah kembali mengibaskan selendang.
"Gadis sundel! Rupanya kau hendak mencari mampus!" kembali terdengar makian Loh Gantra, lalu dengan nekad Loh Gantra memapaki serangan selendang yang dilancarkan Miranti dengan ajian Gugur Gunungnya.
"Hiaat...!"
Loh Gantra segera melompat, menyerang Miranti dengan ajian Gugur Gunung yang merupakan ajian andalannya. Melihat hal itu, Miranti dengan segera kibaskan selendangnya sembari berseru memapakinya.
"Hiaaatt...!"
"Bletar! Bletar!"
"Aaaah....!" menjerit Loh Gantra seketika, manakala ujung selendang Ungu menghantam deras hingga tak mampu dielakkannya pada pergelangan kedua tangannya. Kedua tangan Loh Gantra seketika itu putung, mengeluarkan darah segar.
Bersamaan dengan itu, Rangga Wisnu pun telah mengadu ajian Gugur Gunung dengan ibu angkatnya Nyi Mayang Sari yang juga menggunakan ajian tersebut. Keduanya seketika mental jauh, dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Kakang...!" menjerit Miranti dan segera memburu ke tubuh Rangga yang tergeletak di tanah. Didekapnya tubuh Rangga, yang lemah bagaikan tak bertenaga.
Tampak mata Rangga berkaca-kaca seperti hendak menangis memandang ke arahnya. Dari mulutnya yang melelehkan darah, terdengar suaranya yang terputus-putus.
"Ma-af-kan, a-ku a-dik-ku. Ja-ngan-kau bersedih. A-ku bang-ga me-li-hat kau te-lah-men-ja-di seorang pen-de-kar. Se-la-mat ting-gal..." Terkulai lemas kepala Rangga bersamaan dengan nyawanya yang melayang meninggalkan tubuhnya.
Seketika itu, Miranti menjerit sembari mendekap erat tubuh kakaknya.
"Kakang...!"
Terharu semuanya yang ada di situ termasuk Jaka Ndableg yang segera mendekati Miranti, dan berkata lirih seperti berbisik.
"Sudahlah Nona, tak perlu kau tangisi, sebab semuanya Yang Widilah yang telah menggariskannya. Kami maklum akan perasaanmu. Kami juga turut berduka walaupun dulu kakakmu adalah seorang penjahat, namun sebelum mati ia sempat menyadari kesalahannya. Dia telah berkorban untuk kita."
Mendengar kata-kata Jaka Ndableg seketika Miranti dapat tenang. Ditatapnya pemuda itu lekatlekat, seakan meminta petunjuk apa yang harus ia perbuat dengan mayat kakaknya. Jaka Ndableg yang tanggap dengan penuh rasa haru berkata: "Karena kakakmu termasuk seorang pahlawan maka kami ingin menyemayamkan tubuhnya dengan cara pendekar."
Hari itu juga tubuh Rangga Wisnu disemayamkan dengan tata cara seorang pendekar, yaitu diberi penghormatan sebelum tubuhnya dikubur. Suasana Hutan Cemara Sundul seketika hening oleh kebisuan dan kekusukan mereka yang tengah membaca doa di depan makam Rangga Wisnu.
Di sebelah kiri makam berdiri Miranti dan Jaka Ndableg. Miranti terus menangis, menjadikan Jaka turut iba. Ketika Miranti merebahkan kepala pada pundaknya, Jaka hanya terdiam menerimanya. Dibelainya rambut Miranti yang panjang terurai, lembut bagaikan penuh kasih. Ya, keduanya memang secara tak langsung telah terpaut cinta di hatinya.
Senja telah tiba, manakala satu persatu dari para hadirin yang turut serta memberikan penghormatan terakhir pada Rangga, pergi meninggalkan makamnya. Kini tinggal Miranti dengan seorang pemuda yang tak lain Jaka Ndableg berdiri memandangi makam walau mentari telah tenggelam di balik bumi.
"Kakang Rangga, kenapa kita dipertemukan hanya sesaat? Kenapa kau harus secepatnya meninggalkan aku untuk selama-lamanya, Kakang? Kini aku sebatang kara tak punya saudara lagi Kakang."
"Sudahlah, Nona. Tak perlu kau tangisi kepergian kakakmu, kita hanya dapat berdoa untuknya."
Miranti seketika terjengah, memandang pada Jaka yang tersenyum sembari menganggukkan kepala. Dengan penuh perasaan dipeluknya tubuh Miranti, dan dibimbingnya pergi meninggalkan Lembah Berkala Darah di Hutan Cemara Sundul.
S E L E S A I
SUMPAH SI DURJANAINDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Misteri Penguasa Gunung Lanang --oo0oo-- Sumpah Si Durjana |