Life is journey not a destinantion ...

Sumpah Si Durjana

INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Bidadari Selendang Ungu --oo0oo-- Cinta Memendam Dendam



JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : SUMPAH SI DURJANA

Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

ANGIN malam bertiup kencang, menerpa pohon-pohon hingga seperti menari-nari. Bila dilihat secara seksama, maka bayangan pohon itu nampak seakan mampu berjalan. Bulan yang bergayut di atas cakrawala lamat-lamat bersinar, tertutup awan hitam yang makin lama makin menggumpal.
"Jleger! Jleger! Jleger!"
Bulan pun menghilang, berganti dengan gelap gulita yang terpecah oleh ledakan halilintar. Tak lama kemudian, deras air hujan pun mencurah membasahi bumi. Pekuburan nampak sunyi-senyap, suasananya mencekam kelam. Apalagi ditambah dengan gemuruhnya air hujan, makin menambah seramnya suasana pekuburan itu. Angin makin lama bertiup makin kencang, menggoyang-goyangkan segala apa saja yang ada di pekuburan itu.
"Kretek... Dum!"
Pohon kamboja yang tumbang itu seperti membahana kedengarannya, ambruk menimpa kuburan yang berada di bawahnya. Bersamaan dengan ambruknya pohon kamboja, terdengar seruan tangis bayi memecahkan malam.
"Oaaa... Oaaa... Oaaa!"
Bayi itu seperti baru terlahir, atau barang kali ia kedinginan hingga menangis. Sungguh suatu misteri kehidupan yang sukar dicerna oleh akal pikiran yang sehat. Dari dalam kuburan yang berada di bawah pohon kamboja yang tumbang, bayi itu tiba-tiba muncul ke atas....
Dari kejauhan nampak seseorang berlari-lari menuju ke arah situ. Napasnya tersengal-sengal, sepertinya ia telah berlari jauh dan cukup jauh. Sementara di belakangnya, terdengar jerit-jerit orang banyak. Ternyata lelaki yang di tangannya menggenggam bungkusan adalah seorang maling. Dia telah berhasil mencuri di rumah kediaman seorang saudagar yang pelit.
Maling itu adalah maling Derma, maling yang hasil curiannya bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk dibagi-bagi pada orang-orang yang membutuhkannya. Maling itu bernama Atma Kusuma, atau Radenmas Panji Keling. Dia adalah seorang anak raja. Ayahnya Prabu Sukma Lelana adalah raja dari Kerajaan Purba Wasesa.
Atma Kusuma yang melihat penderitaan rakyatnya merasa sedih. Ingin ia menyalahkan ayahnya yang kurang perhatian, namun selaku seorang anak ia tak berani. Memang sejak patih kerajaan dipegang oleh Patih Brah Amungkarti, kehidupan rakyat Purba Wisesa makin lama makin memburuk. Kelaparan melanda di mana-mana, penyakit busung lapar pun mewabah. Betapa sedihnya hati sang Pangeran melihat hal itu, sampai-sampai sang Pangeran Atma Jaya meneteskan air mata.
"Sungguh-sungguh Ramanda telah lalai dengan kewajiban. Betapa berdosanya diriku ini bila membiarkan kejadian ini terus-menerus. Aku harus berbuat sesuatu, ya harus!" mengguman hati Atma Kusuma, manakala melihat kesengsaraan rakyatnya.
"Tapi apa yang harus aku lakukan?"
Pikiran Atma Kusuma seketika bimbang. Ia tak mengerti harus berbuat bagaimana untuk menolong rakyatnya. Sambil melangkah pulang ke kerajaan, Atma Kusuma terus berpikir mencoba mencari jalan bagaimana untuk dapat membantu rakyatnya yang menderita. Lama sang pangeran itu termenung, sehingga langkahnya pun begitu terseret seperti berjalan dengan angan yang kosong. Tiba-tiba, sang pangeran itu tersenyum dengan hati bergumam manakala mendapatkan suatu ide.
"Ah, kenapa aku sedari tadi tidak berpikir sampai di situ? Sungguh bodoh aku ini. Kalau saja aku mempunyai pikiran seperti ini dari dulu, niscaya aku tak akan pusing. Ya, aku akan mencuri... Walau itu suatu perbuatan dosa, namun demi rakyatku aku akan melakukannya."
Sejak saat itu, tekad di hati Atma Kusuma telah membulat. Mencuri merupakan jalan satu-satunya untuk membantu rakyatnya yang menderita. Dan sejak itu pula, Atma Kusuma melakukan aksi pencurian. Yang dicuri adalah orang-orang yang kaya tapi kikir. Hal itu mengundang perhatian sang Raja yang tidak menyangka kalau itu adalah anaknya sendiri.

* * * * *



Malam itu rembulan tak muncul untuk menerangi bumi. Sang rembulan sepertinya enggan untuk menampakkan diri, entah karena apa. Seharusnya tanggal-tanggal seperti ini, merupakan tanggal dimana bulan akan dengan senyumnya menemani malamnya kehidupan. Tapi saat itu, tidak! Yang ada hanya awan hitam kelam, membentuk sebuah lukisan raksasa yang membuat suasana malam makin nampak menyeramkan.
Seperti hari-hari biasanya, Atma Kusuma berkutat dengan pakaian seragam malamnya. Ditutupi segala tubuhnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut dengan kain hitam, hanya matanya saja yang tampak. Pelan-pelan sekali Atma Kusuma membuka pintu jendela kamarnya, lalu ia pun melompat turun dan menghilang pergi setelah kembali menutup daun jendela. Langkahnya begitu hati-hati, sepertinya ia tak ingin seorang penjaga istana mengetahuinya. Atma Kusuma menyelusup dari satu pohon ke pohon yang lain, lalu ia pun melompati pagar.
"Hoop, ya!" Tubuhnya berkelebat bagaikan terbang, mencelat melompati pagar yang tingginya hampir lima tombak. Tubuh berkain hitam itu, menapakkan kakinya dengan enteng di atas tanah di seberang tembok yang mengelilingi istana dan lari menghilang dalam gelapnya malam.
Malam itu giliran seorang tuan tanah kikir yang menjadi perhatian Atma Kusuma. Tuan tanah itu, merupakan lintah darat yang sangat mencekik leher dan menghisap darah rakyat. Hutang rakyat, dilipat gandakan dengan rentenrenten yang makin membelit.
"Hem, orang ini harus aku kuras habis hartanya, biar dia tahu rasa. Aku heran, mengapa sejak patih Brah Amungkarti yang menjabat patih banyak orang-orang tak berperikemanusiaan muncul? Apa mungkin ini sebuah taktik dari Brah Amungkarti? Sungguh Ramanda tak memperhatikan hal ini. Kenapa Ramanda mengangkat patih orang sepertinya, yang belum diketahui asal mulanya? Kalau Brah Amungkarti hendak berbuat jahat, niscaya dengan mudah Ramanda tergulingkan. Ah, itu bukan urusanku. Sekarang yang penting bagiku adalah menolong rakyatku yang menderita," gumam hati Atma Kusuma, yang tampak mengendap-endap di sisi rumah tuan tanah itu.
"Aku harus dapat berbuat banyak untuk rakyatku. Hoop... hampir saja aku ketahuan oleh mereka."
Atma Kusuma segera sisipkan tubuh merapat di tembok, manakala tiga orang peronda nampak berjalan tak jauh darinya. Matanya memandang tajam, dengan napas tertarik perlahan-lahan. Ketika ketiga orang peronda itu telah jauh, Atma Kusuma kembali tampakkan tubuh, Matanya memandang ke atas genting, sepertinya ada sesuatu di sana.
"Hem, aku harus beraksi dari atas sana. Kalau aku beraksi dari bawah, bukan tidak mungkin peronda itu akan memergoki aku," bergumam Atma Kusuma dalam hati.
"Hoop, ya..."
Tubuh Atma Kusuma berkelebat bagaikan terbang, hinggap tepat di atas wuwungan rumah itu tanpa mengeluarkan suara. Matanya kembali mengawasi sekelilingnya sesaat, sebelum akhirnya ia jongkok. Perlahan-lahan, satu demi satu genting rumah itu dibukanya. Tiga genting, empat hingga akhirnya enam genting terbuka. Atma Kusuma sesaat memandang ke bawah, tepat matanya menatap pada dua sosok tubuh yang tengah tertidur pulas.
"Hem, aku rasa ini si lintah darat itu dengan istri mudanya. Heran, kenapa masih banyak wanita yang mau dengan lintah darat yang sudah ketahuan kebusukkannya?" guman hati Atma Kusuma sembari gelengkan kepala manakala mengingat keadaan rakyatnya benar-benar sudah berada di bawah garis kemiskinan.
"Aku harus segera berbuat, Hoop...ya!"
Tubuh Atma Kusuma seketika melayang ke bawah, dan berdiri tepat di hadapan kedua suami istri yang telah pulas tidur. Sesaat Atma Kusuma meneliti kebenaran tidur tidaknya lintah darat itu. Setelah merasa yakin, segera Atma Kusuma yang sering dijuluki oleh para korbannya dengan julukan Maling Siluman beraksi. Dibukanya pintu almari dengan pedang, sehingga pintu almari itu seketika berantakan.
Setelah pintu almari itu terbuka, segera Maling Siluman itu mengambil kantong yang telah ia persiapkan. Dikurasnya seluruh uang dan harta yang ada di dalam almari, yang dimasukkan ke dalam kantong. Setelah merasa cukup, Maling Siluman itu segera berkelebat keluar dari rumah menggondol hasil curiannya.
Malam itu juga, dibagi-bagikan hasil curiannya pada seluruh rakyat yang dirasa sangat memerlukan. Dan setelah merasa cukup usahanya, tanpa banyak kata lagi Maling Siluman kembali pergi meninggalkan rumah-rumah penduduk.
Esok pagi, seluruh rakyat gempar dengan apa yang dialami oleh mereka. Tiba-tiba saja, di depan pintu rumah telah tergeletak bungkusan uang dan barang-barang yang dapat dijual. Seketika seluruh rakyat bertanya-tanya, siapakah yang telah menolong mereka? Dan mereka akhirnya menyadari, pastilah Maling Siluman itu yang telah berbuat semuanya.
Senang bagi rakyat yang telah dibantu oleh Maling Siluman, namun sangat tak senang bagi lintah darat yang telah menjadi korbannya. Lintah darat itu segera mengadukan pada sang Raja mengenai hal itu. Sang Raja yang selalu diojok-ojoki oleh mentrinya, saat itu juga gusar dan marah. Saat itu pula, seluruh prajurit disebar untuk sedapatnya menangkap Maling Siluman.
"Edan! Patih itu, patih itu lagi. Hem, jangan harap aku dapat kalian tangkap. Kalau pun aku kalian tangkap dan dihukum mati sekali pun, aku senang karena telah membantu kehidupan rakyatku." bergumam hati Atma Kusuma, yang telah mendengar pembicaraan patih kerajaan dengan ayahhandanya.
"Untuk sementara, aku akan beraksi di tempat-tempat maksiat. Tidak mungkin, kalau tempat-tempat itu mendapat pengawasan dari kerajaan. Hem, akan aku buat pusing kau, Patih busuk!"
Tengah Atma Kusuma menyadap pembicaraan ayahandanya dengan Sang patih kerajaan, tiba-tiba ayahandanya mengetahui dirinya. Dengan mata melotot marah, ayahandanya memanggilnya.
"Atma, ke mari kau!"
"Daulat, Ayahanda...." menjawab Atma seraya melangkah menghampiri. Di wajahnya tak tampak rasa takut, sepertinya ia telah siap untuk menerima hukuman apa yang bakal ayahhandanya berikan. Atma Kusuma segera mengahaturkan sembah, lalu duduk bersila dengan muka menunduk di hadapan sang ayah. Sementara patihnya berdiri di samping kanan ayahandanya. Sorot mata sang patih, sepertinya menaruh hawa permusuhan dengannya.
"Anak tak tahu sopan santun! Apa perlumu menyadap pembicaraanku dengan paman patih, hah!" bentak Prabu Sukma Lelana marah, merasa anaknya telah berlaku tidak sopan.
"Apakah kau sengaja menyadap pembicaraan untuk kau beritahukan pada Maling Siluman itu? Apakah kau tak tahu kalau itu perbuatan tidak baik!"
"Ampun, Ramanda. Atma mengerti. Atma tadi tidak sengaja mendengarkan percakapan ramanda dengan paman patih, sebab Atma tengah berjalan hendak pergi ke luar," menjawab Atma Kusuma dengan kepala masih menunduk. Walaupun ia seorang yang sangat menentang pada tindakan ramandanya, namun sebagai seorang anak ia pun merasa harus berbakti pada orang tuanya.
"Benar kau tidak sengaja?!"
"Benar, Ayahanda,"
"Awas kalau kau berbuat seperti tadi lagi. Tak akan aku segan-segan menghukummu, mengerti!"
"Daulat, Ayahanda," jawab Atma Kusuma.
"Sekarang pergilah!"
"Terimakasih, Ayahanda. Ananda mohon diri," berkata Atma Kusuma. Setelah menyembah, Atma Kusuma beringsut dari hadapan ayahandanya, pergi.
Dicobanya untuk dapat menenangkan pikiran dengan cara jalan-jalan melihat-lihat kampung-kampung penduduk. Atma Kusuma memang sengaja melihat-lihat kampung-kampung penduduk. Atma Kusuma memang sengaja tidak meminta pengawalan dari prajurit, bahkan ia memilih jalan kaki ketimbang naik kuda. Ke mana kakinya melangkah, maka itu tujuannya. Kini hatinya lega karena telah mampu membantu rakyatnya. Kehidupan rakyatuya kini tidak seperti dulu lagi. Tak ada jerit anak-anak kelaparan, tak ada lagi jerit kematian.
"Ah, sungguh hatiku bangga dapat berbuat demikian. Namun bukan hanya rakyat di sekitar kerajaan saja yang harus aku bantu. Aku pun harus membantu rakyat yang ada di pedalaman. Aku dengar mereka malah lebih buruk keadaannya. Sungguh-sungguh memprihatinkan. Hem, semuanya mulai nanti malam akan dijaga ketat oleh prajurit. Setan patih keparat itu! Awas, kalau sampai aku tahu dia berbuat jelek, tak akan aku ampuni nyawanya."
Dengan membawa hati gundah dan pikiran yang melayang memikirkan nasib rakyat di pedalaman, Atma Kusuma terus melangkah pergi mengikuti ke mana langkah kakinya. Tak terasa olehnya, ia telah melangkah cukup jauh dan jauh meninggalkan istana.
Mana kala ia telah jauh melangkah dengan membawa pikirannya, tiba-tiba ia disontakkan oleh tiga orang bertampang menyeramkan menghadang langkahnya. Ketiga orang itu datang secara tiba-tiba, dan telah berdiri di hadapannya dengan mata mengandung kebencian. Hal itu menjadi-kan Atma Kusuma yang tak mengenal ketiganya hanya dapat kerutkan kening seraya bertanya.
"Siapakah Ki Sanak bertiga adanya? Dan maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang langkahku?"
Ketiga orang bertampang buruk dan menyeramkan itu, tak menjawab. Bahkan sorot mata mereka makin menghunjam tajam laksana sebilah belati. Orang-orang itu sepertinya bermaksud tak baik. Walaupun ketiganya sangat menyeramkan, dengan segala ciri tersendiri. Satu berwajah penuh bekas cacar, bernama si Bopeng. Seorang lagi bermuka lonjong dengan mulut sumbing, bernama Sumbing. Dan satu orang lagi matanya jereng, bernama si Jereng. Ketiganya terkenal dengan julukan Tiga Iblis Cacat dari Lawangan.
Mendapatkan ketiga orang itu tak menjawab, kembali Atma Kusuma lontarkan pertanyaan serupa.
"Siapakah Ki Sanak bertiga? Dan maksud apa Ki Sanak bertiga menghadang langkahku?"
"Kaukah yang bernama Atma Kusuma, murid dari Sunan Kalijaga?" tanya si Sumbing dengan sinis, menjadikan bibirnya yang sumbing makin tampak menyeramkan menunjukkan gigigiginya yang kuning dan bau busuk.
"Benar apa yang Ki Sanak ucapkan. Aku memang bernama Atma Kusuma, murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ada apakah...?"
"Kau harus mati," membersit si Bopeng berkata, menjadikan Atma Kusuma seketika itu melototkan mata kaget.
Mulut Atma Kusuma seketika itu memekik tertahan karena kagetnya.
"Ah... Apakah aku telah bersalah pada kalian, sehingga kalian menginginkan aku mati? Rasanya aku tak pernah berbuat jahat pada kalian, dan juga tak pernah ada silang sengketa antara kita, bukan?"
"Kami tak perduli. Kami hanya menjalankan tugas!" menggeretak si Jereng, yang makin menjadikan Atma Kusuma membelalakkan matanya karena kaget. Betapa tidak! Ketiga Iblis Cacat itu tiba-tiba bermaksud membunuhnya atas perintah seseorang, yang belum ia kenal nama dan mukanya. Hal itu menjadikan tanda tanya di hati Atma Kusuma, yang mengira-ngira siapa adanya orang yang bermaksud menghendaki kematiannya dengan cara menyuruh pada Tiga Iblis Cacat yang terkenal kejam dan bengis.
"Hem, sungguh-sungguh perbuatan pengecut. Mengapa harus menyuruh Tiga Iblis Cacat untuk membunuhku? Aku rasa, ini semua adalah tindakan patih pengecut itu. Bangsat! Kapan akan aku dapati kesalahanmu, Patih bajingan!" menggeretak hati Atma Kusuma marah. Sementara matanya memandang tak berkedip pada ketiga Iblis Cacad.
"Sudah siapkah kau mati, Anak muda?" tanya si Bopeng dengan senyum menyeringai.
"Kalau aku boleh tahu, siapakah yang telah menyuruh kalian untuk membunuhku?" tanya Atma Kusuma.
"Apakah itu penting untuk seseorang yang hendak mati? Hua, ha, ha... Aku rasa, percuma kau mengetahuinya, sebab sebentar lagi kau akan kami kirim ke akherat." bergelak tawa si Sumbing dengan congkaknya, seperti meremehkan siapa adanya pemuda yang kini berdiri di hadapannya.
Atma Kusuma sebagai murid Sunan Kalijaga, merasa tak gentar sekuku hitam pun. Ia telah mendapat gemblengan baik ilmu kanuragan maupun ilmu agama dari sang Sunan. Hatinya tenang, sebab ia serahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa. Dengan senyum mengembang di bibir, Atma Kusuma pun berkata.
"Tak mengapa kalau kalian memang hendak membunuhku. Tapi aku meminta syarat."
"Apa syaratmu, Anak muda?" tanya si Juling.
"Sederhana," menjawab Atma Kusuma.
"Syaratku, beri aku tahu siapa orang yang telah menyuruh kalian untuk membunuhku."
"Hanya itu?" tanya si Sumbing dengan senyum mengejek.
"Ya, hanya itu."
Ketiga Iblis Cacat itu sesaat saling pandang satu sama lain. Merasa mereka bakal mampu membunuh Atma Kusuma, mereka pun dengan tanpa berpikir lagi segera memberi tahu siapa adanya orang yang telah menyuruh mereka untuk menghabisi nyawa Atma Kusuma.
"Agar kau tidak mati penasaran, baiklah akan aku beri tahu siapa yang telah menyuruh kami untuk membunuh dirimu. Yang telah menyuruh kami, tak lain adalah ayahmu," menjawab si Bopeng yang disertai gelak tawa oleh kedua rekannya.
Tersentak Atma Kusuma mendengarnya. Namun sebagai seorang yang telah dididik oleh Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak mau begitu saja mempercayai omongan ketiga Iblis Cacat itu. Maka dengan nada kesal setengah membentak, Atma Kusuma berkata: "Dusta! Kalian telah mendusta. Hem, jangan harap aku rela kalian bunuh kalau kalian tak mau memberi tahu siapa sebenarnya orang yang telah menyuruh kalian untuk membunuhku!"
"Bedebah! Sombong kau, Anak muda! Tak akan Tiga Iblis Cacat gagal dalam setiap menjalankan tugas! Bersiaplah kau untuk kami kirim ke akherat!" balas membentak si Juling.
"Kalau kalian mampu, lakukanlah!"
"Monyet! Rupanya kau menantang kami! Bersiaplah, Anak muda! Jangan sampai kau terlengah," mendengus marah si Sumbing, bersamaan dengan melompatnya kedua rekannya menyerang Atma Kusuma.
Diserang langsung oleh tiga orang yang namanya telah menggentarkan siapa saja yang mendengarnya, tidak menjadikan Atma Kusuma keder. Sebagai murid dari Sunan Kalijaga, pantang baginya harus mengalah pada manusia-manusia hamba iblis. Pertarungan pun berjalan dengan serunya, menjadikan tempat itu seperti terserang oleh angin prahara kala mereka mengeluarkan segala kekuatan yang mereka miliki.
Meskipun demikian, nampaknya Atma Kusuma bukanlah tandingan dari Tiga Iblis Cacat yang namanya sudah kelewat kesohor. Atma Kusuma yang murid Sunan Kalijaga, bagaikan burung Rajawali yang gagah menyerang dengan cepat dan menghindar dengan gesit. Serangan-serangan Tiga Iblis Cacat, dengan mudah dielakkannya. Bahkan kini Atma Kusuma yang balik menyerang dan mendesak ketiga Iblis Cacat itu.
Terbelalak mata ketiga Iblis Cacat manakala melihat kenyataan yang ada. Ternyata orang yang dianggapnya sepele, jauh melebihi orang yang mereka anggap sangat bahaya. Kini mereka sadar akan siapa yang tengah mereka hadapi. Ternyata nama besar Sunan Kalijaga bukanlah isapan jempol belaka. Jangankan Sunan Kalijaga sendiri yang turun tangan, muridnya saja telah mampu menghadapi mereka bahkan kalau Atma Kusuma mau ia mampu dengan mudah menjatuhkan ketiga musuh-musuhnya.
Namun rupanya Atma Kusuma masih menahan sabar, sehingga Atma Kusuma masih memberikan kelonggaran pada Tiga Iblis Cacat itu. Tubuh Atma Kusuma seketika berkelebat cepat, lalu tanpa dapat dicegah oleh ketiga Iblis Cacat, Atma Kusuma telah menotok ketiganya dengan cepat dan tepat. Seketika ketiga iblis itu terkulai jatuh ke tanah dengan badan seperti tak bertulang.
"Aku minta kalian mau memberi tahu siapa yang telah menyuruh kalian," kata Atma Kusuma seraya berjalan menghampiri ketiga musuhnya yang terduduk ngejuprak di tanah dengan wajah penuh ketakutan.
Keringat dingin seketika membanjiri kening ketiga Iblis Cacat. Atma Kusuma tersenyum, berusaha meyakinkan pada ketiga Iblis Cacat untuk mau memberi tahu siapa adanya orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh dirinya.
"Kenapa kalian sepertinya takut untuk mengatakan siapa orang itu? Kalian tak perlu takut, aku akan menyembunyikannya bila telah tahu siapa adanya orang tersebut. Bukankah kalian bisa ngomong bahwa kalian tidak atau belum menemukan aku"
"Benar apa yang kau katakan. Baiklah, aku akan mengatakannya padamu tapi aku minta nanti kami dibebaskan!" si Bopeng akhirnya berkata mewakili kedua rekannya.
"Hem, baik. Sekarang katakanlah!"
"Orang yang menyuruh kami, tak lain daripada patih ayahmu!"
"Sudah aku duga sebelumnya," desah Atma Kusuma seperti berkata pada diri sendiri demi mendengar jawaban si Bopeng.
"Nah, aku akan membebaskan kalian. Tapi ingat! Jangan sekali-kali kalian mengakali aku, kalau kalian tidak ingin batok kepala kalian aku pecahkan!" Habis berkata begitu, dengan cepat Atma Kusuma bergerak membuka totokannya yang telah menjadikan ketiga Iblis Cacat itu lumpuh.
"Tok... tok... tok!"
Tiga kali totokan pembuka itu berturut-turut. Dan tiga kali itu pula tangan Atma Kusuma menekan urat nadi di tubuh ketiga Iblis Cacat. Saat itu juga ketiga Iblis Cacat pulih seperti sedia kala. Tanpa berkata lagi, ketiganya segera ngacir pergi meninggalkan Atma Kusuma yang hanya geleng-geleng kepala melihat hal itu.

* * * * *



:::≡¦ [ 2 ] ¦≡:::

Sebagai orang yang mendapatkan didikan dari Sunan Kalijaga, Atma Kusuma tak sombong dan angkuh serta bertindak telengas. Segalanya dipikirkan dengan masak-masak. Seperti halnya masalah patih kerajaan, yang ia tahu adalah orang yang bermaksud jahat padanya dan telah menyuruh pada Tiga Iblis Cacat untuk menyingkirkan dirinya. Namun bagaikan tak mengerti saja, Atma Kusuma bertindak tanduk seperti biasa. Ia menghormati sang patih, layaknya seperti tak menaruh sakwa sangka.
Sang patih yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya, menyangka kalau Atma Kusuma benar-benar tak tahu maksud buruknya. Sang patih selalu membalas dengan senyum bila Atma Kusuma menyapanya, walau senyum itu senyum bengis. Namun begitu, Atma Kusuma tak menggubrisnya. Dibiarkan semua berlalu, bagaikan ia tak mengusik apa sebenarnya yang terkandung pada senyum sang patih.
Melihat anak dan patihnya nampak rukun, hati sang raja bungah. Ia menyangka kalau anak dan patihnya berpikiran searah dan setujuan. Hingga pada suatu hari, sang raja memanggil Atma Kusuma anaknya untuk berbincang-bincang. Telah sekian lama sejak kematian istri yaitu ibu Atma Kusuma, baginda jarang sekali ngobrol dengan anak satu-satunya. Segala perhatiannya dicurahkan pada kerajaan dan ambisi, yang hal itu tanpa disadari olehnya ditentang secara diam-diam oleh sang anak.
"Anakku."
"Daulat, Ramanda," menjawab Atma Kusuma seraya menyembah.
"Ayah lihat, kau begitu akrab dengan paman patih. Aku senang melihatnya, sebab kau tentunya akan dapat belajar banyak darinya. Bagaimana menurut pendapatmu, Anakku?"
Walau dalam hatinya memaki-maki sengit, namun sebagai seorang anak, Atma Kusuma tak mau mengutarakan kejengkelannya pada sang ayah. Ia bukanlah anak kecil lagi, yang selalu mengadu segalanya pada orang tua. Ia adalah anak dewasa, yang mau tak mau harus menanggung beban dirinya di atas pundaknya sendiri. Dengan mengangguk Atma Kusuma menjawab:
"Begitulah, Ramanda."
"Begitu bagaimana, Anakku?" tanya sang raja belum mengerti akan maksud ucapan anaknya.
"Katakanlah dengan terus terang apa yang ada dalam hatimu."
"Dia memang baik, Ramanda," menjawab Atma Kusuma, menjadikan senyum ayahanda seketika mengembang.
"Itulah, mengapa Rama mengangkat dirinya menjadi patih disini. Dia orangnya baik, sopan dan penuh kewibawaan. Jarang seorang patih seperti dirinya, mau merakyat."
Mendengar ucapan ayahnya, seketika hati Atma Kusuma membatin.
"Hem, rupanya Ramanda telah terpengaruh dengan kedoknya. Ramanda tak mengetahui siapa adanya keparat itu. Sungguh kasihan ayahku... Kapan aku akan mampu membuka kedoknya itu."
"Kenapa kau terdiam, Anakku?" tanya sang raja pada anaknya, menjadikan Atma Kusuma yang terdiam seketika kaget.
Dan dengan suara terbata Atma Kusuma berkata: "Ti-tidak, Ramanda. Memang paman patih orangnya baik, supel dan mau merakyat. Memang kita beruntung mendapatkan dia, yang punya wawasan yang baik dan luas."
Makin melebar saja senyum sang raja mendengar penuturan anaknya. Ternyata sang anak sehaluan dengannya, menilai bahwa patihnya memang orang yang baik dan mempunyai wawasan yang tinggi. Kepala sang raja mengangguk-angguk, hatinya senang.
"Anak ku, ke mana saja kau selama ini? Ramanda lihat, kau selalu pergi ke luar istana. Apa yang engkau lakukan di luar?"
"Ampun, Ramanda. Ananda pergi ke luar hanya untuk membuang rasa sepi. Entahlah, sejak kepergian ibunda, ananda selalu merasakan kesepian. Kerajaan ini bagi ananda kurang cocok, sehingga untuk menghibur hati, ananda keluar melihat-lihat alam."
Sang raja kembali angguk-anggukkan kepala mendengar penuturan anaknya. Bibirnya masih mengurai senyum, sementara matanya berbinar-binar. Ia bangga dengan anaknya, yang walau pun anak tunggal namun tidaklah manja. Manakala ia menatap terus pada wajah sang anak, kembali bayangan istrinya menggurat pada wajah Atma Kusuma. Bila telah begitu, maka tanpa sadar sang raja menangis. Ia menangis atas sifatnya akhir-akhir ini pada sang anak. Kembali ingatannya melayang pada janjinya pada sang istri sebelum istrinya meninggal.
"Kanda, kalau aku meninggalkan kanda, aku mohon kanda mau mengasuh anak kita Atma Kusuma dengan baik. Janganlah kanda memarahi atau melukai perasaannya, kasihan dia. Dia masih terlalu remaja yang kekanak-kanakkan. Dia perlu bimbingan. Dia anak kita satu-satunya, hasil dari benih cinta kasih kita berdua."
"Aku berjanji, Dinda. Aku akan menyayanginya dengan sepenuh hati. Dia adalah anakku dia adalah darah dagingku. Dia anak kita satu-satunya?" tanya istrinya, yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh sang baginda menjadikan istrinya seketika memeluk dengan penuh kasih sayang. Sang raja seketika menangis, manakala istrinya telah meninggal dalam dekapannya. Isterinya meninggal dalam keadaan mengandung muda...
Sejak kematian istrinya, sang raja selalu berusaha menyayangi anaknya Atma Kusuma. Sesuai dengan janji yang telah ia ucapkan. Namun setelah kedatangan patih baru itu, pikirannya seketika berubah pada sang anak. Perhatiannya berkurang, malah ia sering memarahi sang anak walau belum tentu Atma Kusuma bersalah.

* * * * *



Malam itu adalah malam bulan purnama kesembilan, sehingga cahaya bulan tidak begitu terang. Seperti hari-hari biasanya, malam itu pun Atma Kusuma beraksi untuk membantu rakyatnya yang kekurangan. Maling Siluman atau Atma Kusuma malam itu tengah berlari menerobos malam, manakala terdengar olehnya dari sebuah rumah terdengar teriakan-teriakan meminta tolong.
"Toooolllooooong! Toloooong..."
Tersentak Maling Siluman menghentikan langkahnya.
"Hem, ada suara orang meminta tolong, kedengarannya dari arah Selatan. Aku harus ke sana, hiat....!" Sekali kelebat, tubuh Maling Siluman telah menghilang dengan cepatnya. Maling Siluman atau Atma Kusuma, terus berlari menuju ke arah usalnya suara itu.
Suara jeritan itu makin lama makin dekat, menjadikan Atma Kusuma atau Maling Siluman makin mempercepat larinya. Maling Siluman segera hentikan langkah, manakala tampak segerombolan manusia yang terpaku memandang tak dapat berbuat apa-apa pada rumah di hadapan mereka. Sepertinya mereka terkena ilmu sirep, sehingga mereka walau berdiri namun tidur.
"Hem rupanya orang-orang itu terkena ilmu sirep. Akan aku bangunkan mereka. Aku rasa, tengah terjadi apa-apa di dalam rumah itu. Hiaat.... wuhh"
Maling Siluman tiupkan napas dari jarak jauh ke arah orang-orang yang terpaku diam yang seketika itu tersadar dari tidurnya. Serta merta mereka segera memburu masuk ke dalam rumah di mana masih terdengar rintihan seorang wanita. Maling Siluman pun tak tinggal diam, ia segera meloncat menerobos masuk.
Tersentak semuanya termasuk Maling Siluman, melihat apa yang tengah terjadi. Seekor makhluk yang sangat menyeramkan menyerupai manusia namun berbulu lebat seperti monyet, tengah mengangkangi wanita yang terkulai lemas dengan tubuh yang tak bertutup sehelai pun. Makluk menyeramkan itu menyeringai, matanya memerah laksana api memandang pada orang-orang yang ada di situ.
"Gondoruwo....!" memekik semuanya setelah tahu makhluk itu.
Mahluk gondoruwo itu seketika tersentak. Namun belum juga mereka hilang kagetnya, tangan berkuku hitam panjang itu telah menghantam ke arah mereka. Seketika itu, lima orang warga memekik dengan dada robek tercakar oleh kuku beracun gondoruwo. Tubuh orang-orang yang terkena seketika membiru, lalu kejang sesaat dan mati.
Melihat hal itu, Maling Siluman yang telah berada di tempat itu segera kibaskan tangan mana kala tangan sang gondoruwo hendak kembali menyerang. Tersentak sang gondoruwo, tangannya dirasa panas bagai disulut api. Mata gondoruwo itu tajam memandang pada Maling Siluman, yang kini telah berdiri dengan mata memandang tajam pula ke arahnya.
"Siapa kau!"
Tersentak Maling Siluman, manakala mendengar bentakan makhluk yang sering disebut gondoruwo itu. Bukan hanya Maling Siluman saja yang tersentak kaget, seluruh orang yang ada di situ pun kaget mendengar gondoruwo itu membentak. Setahu mereka gondoruwo tak akan bisa berkata bila dalam keadaan wujud seperti itu. Maling Siluman tersenyum kecut, manakala mengenali suara itu. Suara yang seringkali ia dengar. Maling Siluman berusaha mengingat-ingat pemilik suara itu, namun sepertinya mengalami kebuntuan. Pikirannya seketika mencari akal untuk menjebak mahluk gondoruwo itu. Maka dengan segera Maling Siluman pun menjawab:
"Aku akan mengatakan siapa aku, kalau kau pun mau menunjukkan wujudmu yang asli. Aku tahu dan kenal suaramu, namun aku tak ingin gegabah menuduh. Nah, tunjukkan ujudmu dalam bentuk manusia!"
"Hua, ha, ha... Kau rupanya pintar. Baik, aku akan tunjukkan ujudku dalam bentuk manusia. Aku tak akan takut menghadapimu, Monyet kecil!"
Bersamaan dengan habisnya suara gondoruwo, seketika tubuh berbulu lebat itu perlahan-lahan mengalami perubahan. Kini makin tersentak saja Maling Siluman melihat hal itu, ternyata dugaannya benar bahwa mahluk yang bernama Gondoruwo yang suka mengganggu wanita adalah patih kerajaannya.
"Hem, kalau begitu, Iblis ini yang dulu mengganggu ibunda manakala ayahanda tak ada di istana. Bedebah, rupanya itu maksudnya menjadi patih. Dasar Iblis... Hari ini juga, aku harus melenyapkannya." bergumam hati Maling Siluman.
"Hem, rupanya kau cecunguknya yang telah membuat keresahan dan menyiksa rakyat kerajaan ini," menggeretak marah Maling Siluman, menjadikan patih Brah Amungkarti tersentak.
Ucapan Maling Siluman sungguh tajam dan pedas, menjadikan marah patih Brah Amungkarti yang dengan lantang membentak.
"Siapa kau, monyet kecil!"
"Akulah Maling Siluman yang akan menyingkirkanmu dari dunia ini, Iblis!"
Terbelalak semua yang ada di situ, manakala mengetahui bahwa orang bertutup serba hitam adalah orang yang selalu membantu rakyat. Nama Maling Siluman memang telah terkenal dengan segala tindakannya yang suka membantu rakyat. Meski demikian, rakyat belum mengetahui tampang dari sang penolong. Kini mereka tahu siapa orang yang menamakan dirinya Maling Siluman, yang kini dengan berani menghadapi patih Brah Amungkarti yang ternyata mahluk Iblis Gordoruwo.
"Hem, rupanya kau cecunguknya yang telah membuat resah. Hari ini juga, akan aku remas tubuhmu."
"Jangan sombong, Iblis busuk! Kaulah yang harus aku singkirkan agar kerajaan ini tenang seperti sedia kala. Rupanya kau pula yang telah menumbuhkan lintah-lintah penghisap darah rakyat."
"Kunyuk! Lancang mulutmu!" membentak marah Brah Amungkarti marah.
"Kubunuh kau, monyet!"
Bersamaan dengan habisnya suara patih Brah Amungkarti, sang patih segera melompat menyerang Maling Siluman yang dengan cepat berkelebat menghindari serangan. Dengan cepat, Maling Siluman berlari ke luar ruangan menuju halaman. Melihat Maling Siluman lari ke luar, serta merta Brah Amungkarti pun segera memburu ke luar.
"Jangan lari, Maling!"
"Aku tak lari, Iblis busuk! Aku menunggumu di luar!"
"Bedebah! Kalau kau tak aku binasakan, maka kaulah duri dalam daging. Kau akan membuat kesusahanku!"
"Hua, ha, ha... Rupanya kau takut bila seluruh rakyat akan mencincang tubuhmu." bergelak tawa Maling Siluman, menjadikan makin bertambah marah patih Brah Amungkarti. Dengan didahului menggeram bersamaan dengan berubah ujudnya kembali ke bentuk semula, Brah Amungkarti atau gondoruwo menyerang secara cepat Maling Siluman.
Diserang begitu cepat oleh gondoruwo, Maling Siluman gandakan tawa. Dengan entengnya Maling Siluman elakkan setiap serangan gondoruwo. Hal itu menjadikan sang gondoruwo makin mendengus penuh amarah. Ditingkatkan serangannya dengan harapan dapat segera menjatuhkan Maling Siluman. Namun seperti semula, Maling Siluman dengan masih bergelak tawa enteng saja mengelakkannya. Malah kini Maling Silumanlah yang mendesaknya.
Merasa dirinya telah terpepet, serta merta gondoruwo itu bersuit melengking. Napasnya memburu, membunyikan suara asing kedengarannya. Saat itu pula, dari bawah tanah bermunculan mahluk-mahluk menyeramkan. Mahlukmahluk berbentuk manusia tanpa daging melekat di tubuhnya, seketika itu menyerang Maling Siluman. Terbelalak mata semua yang melihatnya, manakala melihat apa yang muncul dari dalam tanah itu.
"Percuma kalian membantuku. Mereka bukan musuh kalian, biar aku saja. Kalian mundurlah. Sia-sia tenaga kalian." berseru Maling Siluman pada warga, yang seketika menurut mundur menjauh. Namun mereka pun telah siap dengan senjata, kalau-kalau mahluk-mahluk menyeramkan itu menyerang mereka.
Maling Siluman tersentak kaget, manakala seranganya tak berarti apa-apa bagi mahluk-mahluk menyeramkan itu. Setiap mahluk itu dihantam, mahluk itu menjadi dua. Dari dua menjadi empat, makin bertambah banyaklah mahlukmahluk menyeramkan itu mengeroyok Maling Siluman.
"Gusti Allah, apakah aku mampu menghadapi mereka semua?" keluh Maling Siluman dalam hati. Manakala Maling Siluman tengah dalam kebimbangan atas kemampuanya, tiba-tiba terdengar suara berkata digendang telinganya. Suara itu jelas sekali, dan begitu ia kenal betul. Pemilik suara itu adalah gurunya Sunan Kalijaga.
"Anakku, kau tak kan mampu mengalahkan mereka bila kau bertarung dengan hati bimbang dan ragu. Tenangkanlah hatimu. Dan pusatkan segalanya pada Yang Maha Kuasa Allah Subhanahu Wata alla. Tentunya kau masih ingat dengan apa yang aku katakan. Hadapi segala Iblis dan Syetan dengan segala ketenangan, lahir maupun batin. Hadapi mereka dengan Ayyatul Qursi, niscaya mereka akan hilang dari alam ini. Lakukanlah anakku."
"Terima kasih, Guru, Hamba akan selalu mengingat semua itu!"
Terkejut Maling Siluman manakala sebuah tangan tanpa daging berkelebat menyerang ke arahnya. Hampir saja mukanya terkena sabetan tangan berbau bangkai, kalau saja Maling Siluman tidak segera lemparkan tubuh ke belakang beberapa tombak. Sesaat Maling Siluman pejamkan mata, mulutnya membaca do'a surat Qhursi.

"Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. Laa ta'khudzuhuu sinatuw wa laa naum. Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh. Man dzal ladzii yasyfa'u 'indahuu illaa bi idznih. Ya'lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum. Wa laa yuhiithuuna bi syai-im min 'ilmihii illaa bi maa syaa-a. Wasi'a kursiyyuhus samaawaati wal ardha wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa Wahuwal 'aliyyul 'azhiim."

Bersamaan dengan habisnya ayattul Qhursi, seketika itu pula mahluk-mahluk menyeramkan itu memekik bagaikan terbakar oleh panas api neraka. Belum sempat sang gondoruwo sadar dari rasa panas yang menyengat tubuhnya, secepat kilat Maling Siluman hantamkan pukulan jarak jauhnya yang bernama Lampus Umur. Dengan Lampus Umur tingkat pemungkas, meledaklah tubuh gondoruwo itu hancur menjadi debu.
Maling Siluman pejamkan mata, hatinya berbisik mengucapkan syukur kehadiran Yang Maha Kuasa. Setelah melihat semuanya telah berlalu, segera Maling Siluman berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

Atma Kusuma atau Maling Siluman tersentak kaget, manakala didengarnya tangis bayi memecah keheningan malam yang tergusur oleh siraman air hujan. Dengan sedikit rasa takut, Maling Siluman segera berkelebat ke arah suara itu. Matanya seketika terbelalak kaget, manakala melihat seberkas sinar menyilaukan memancar ke arahnya. Setelah didekati, makin bertambah kaget Maling Siluman setelah tahu apa yang memancarkan sinar menyilaukan itu. Sinar itu keluar dari tubuh sang bayi yang tergeletak di atas makam ibundanya.
"Gusti Allah... Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Tiada kuasa selain Allah. Hem, apakah memang kodrat dari-Mu ya Allah hingga bunda melahirkan di dalam kubur?" mendo'a Maling Siluman, manakala melihat suatu keganjilan.
Betapa tidak kaget. Bayi itu sungguh-sungguh keluar dari liang kubur ibundanya yang telah mati. Dengan segera bayi itu diambilnya, lalu dengan berlari kencang bagaikan terbang Maling Siluman pergi membawa bayi itu menuju ke sebuah tempat. Sejak matinya patih Brah Amungkarti yang ternyata gondoruwo, Maling Siluman tidak lagi mau menjadi warga istana. Ia ingin meneruskan tugasnya membantu para pakir miskin, sesuai dengan gelarnya Maling Siluman.
Nama Maling Siluman, seketika menjadi buah bibir di kalangan rakyat yang menyukainya dan menganggap Maling Siluman adalah Dewa Penolong. Sebaliknya bagi para lintah darat dan tuan tanah, nama Maling Siluman adalah musuh yang harus dibasmi. Malam itu Maling Siluman tengah menjarah di rumah milik seorang tuan tanah yang kikir, manakala para penjaga memergoki dirinya.
Maling Siluman yang enggan untuk menurunkan tangan, hanya berlari meninggalkan para pengejarnya dengan membawa hasil curiannya yang akan dibagikan pada rakyat yang membutuhkannya. Maling Siluman berlari menerobos hujan, sampai akhirnya ia menemukan bayi aneh anak ibundanya yang telah mati.
Maling Siluman dengan membopong bayi itu, terus berlari menerobos malam. Dia segera menuju ke sebuah rumah penduduk yang tak begitu jauh dari tempatnya berlari. Hati-hati sekali Maling Siluman mengetuk pintu rumah, dengan harapan kedatangannya tidak diketahui oleh penduduk yang lain.
"Sampurasun..."
"Rampes..." menjawab suara seorang lelaki, lalu terdengar suara langkah kaki mengenakan bakyak menuju ke muka. Sesaat kemudian pintu rumah itu pun terbuka.
Seketika wajah pemilik rumah pucat, manakala melihat orang berkerudung hitam telah berdiri di hadapannya. Hampir saja orang itu kembali menutup pintu, manakala Maling Siluman segera berkata.
"Pak, aku tak bermaksud jahat padamu. Akulah Maling Siluman."
"Maling Siluman? Jadi kaukah Maling Siluman itu?" mengerut kening Pak tua kaget.
Maling Siluman menganggukkan kepala mengiyakan.
"Aku mohon, janganlah bapak menceritakannya pada orang lain. Cukup bapak saja yang mengetahui siapa adanya aku. Ini untuk bapak, semoga keluarga bapak dapat makan."
Maling Siluman segera menyodorkan sebungkus uang dan perhiasan pada pak tua itu, yang seketika melototkan mata tak percaya. Hingga pak tua itu hanya mampu bengong, menjadikan Maling Siluman tersenyum seraya berkata kembali.
"Jangan bapak ragu, aku menolong dengan ikhlas."
"Oh, terimakasih, Tuan." akhirnya pak tua itu dengan tangan gemetar dan mata berkaca-kaca bahagia menerima uang dan perhiasan yang diberikan oleh Maling Siluman padanya. Tengah pak tua terbengong-bengong mendapatkan uang sebanyak itu, tiba-tiba Maling Siluman kembali berkata.
"Pak tua, aku ingin meminta tolong padamu."
"Tentang apa, Tuan? Kami orang tak punya apa-apa."
"Aku tak meminta harta atau jasa yang berlebihan dari bapak, sebab pertolonganku bersipat ikhlas. Aku hanya ingin menitipkan anak dalam gendongan ini pada bapak. Bukankah bapak belum dikaruniai anak?"
"Oh, benar... Memang aku belum dikarunia anak seorang pun," menjawab pak tua itu dengan berbunga-bunga hatinya, manakala mendengar penolongnya hendak memberikan bayi padanya. Pak tua itu tersentak, manakala melihat bayi yang berada di gendongan Maling Siluman. Bayi itu memancarkan sinar menyala terang, menyilaukan mata yang melihatnya. Sampai-sampai pak tua itu bergumam saking kagetnya.
"Jagat Dewa Batara! Inikah bayi titisan Dewa?"
Maling Siluman hanya tersenyum mendengar gumamam pak tua.
"Jadi bapak mau merawat bayi ini?"
"Dengan senang hati. Tuan," menjawab pak tua dengan mata berbinar-binar bahagia. "Sungguh beruntung aku bila dapat merawat anak Dewa ini," bergumam hati pak tua.
"Baiklah, Pak tua. Aku titip anak ini. Kelak aku akan membantu biaya untuk ini semua."
"Ah, tak usahlah, Tuan."
Maling Siluman hanya tersenyum lalu dengan seketika berkelebat pergi menghilang dalam gelapnya malam. Pak tua membelalakkan mata, melotot kaget melihat orang yang telah memberikan uang dan bayi anak Dewa itu padanya. Segera pak tua masuk ke dalam, menutup pintu menuju ke kamarnya di mana sang istri tidur.
"Bune... Bune. Bangunlah, aku memperoleh anak,"
Istrinya tersentak bangun mendengar seruan suaminya. Serta merta, sang istri terbelalak seraya bertanya.
"Anak, Pakne?"
"Ya, lihatlah. Anak ini adalah anak Dewa."
"Anak Dewa...?" gumam istrinya bertanya.
"Iya... Lihat tubuh anak ini. Tubuhnya bercahaya, Bune."
"Wah, benar, Pakne. Oh Dewata Yang Agung, sungguh dia anak Dewa, Pakne?"
Dengan suka cita, kedua suami istri tua yang belum dikaruniai anak menimang-nimang bayi itu sambil berdendang ria penuh kebahagiaan. Sungguh tiada terkira kebahagiaan kedua orang tua itu. Ternyata, mereka memperoleh anak juga.

* * * * *



Hari demi hari terlalui oleh kedua suami istri tua itu dengan hati bahagia. Mereka mengasuh bayi itu, bagaikan mengasuh anak sendiri. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, dan tahun pun berganti windu. Pertumbuhan bayi itu begitu cepat, sepertinya bayi itu memang benar-benar anak Dewa. Dalam usia lima belas tahun, bayi yang diberi nama Ken Wijaksono berkembang tumbuh menjadi seorang pemuda yang lincah dan pintar.
Salah satu dari keanehannya, ia telah mahir dalam segala ilmu kanuragan tanpa dibimbing oleh seorang guru pun. Kedua orang tua asuhnya pun kaget, manakala mereka tahu bahwa sang anak telah mahir dalam ilmu kanuragan. Maka ketika keduanya melihat sang anak berlatih ilmu silat, dengan terheran-heran kedua orang tua itu bertanya pada sang anak.
"Ken, Anakku, dari mana kau memperoleh ilmu bela diri itu?"
"Ah, Ken tahu sendiri. Ayah. Bagi Ken, ilmu silat adalah suatu olah raga. Ya, sebagai penggerak badan. Ayah."
Tersenyum seraya geleng kepala sang ayah mendengar ucapan anak angkatnya. Ia menyadari kalau anak angkatnya adalah anak Dewa, yang sudah pasti akan menyerupai Dewa. Bagaimana menurut dia Dewa itu, maka anaknya pun pasti begitu juga. Kalau Dewa segalanya bisa tanpa belajar, anaknya pun mampu melakukan sesuatu tanpa belajar pula.
Lebih tersentak kaget kedua orang tua itu, manakala Ken Wijaksono hantamkan tangannya ke batu. Mulanya kedua orang itu menjerit, takut kalau-kalau tangan sang anak akan luka atau remuk. Namun ketakutan mereka seketika hilang, berganti dengan rasa kagum yang mendalam manakala melihat apa yang terjadi. Bukan tangan anaknya yang remuk, tapi batu itulah yang hancur menjadi serpihan-serpihan debu. Sungguh tak masuk di akal.
Begitulah yang dilakukan Ken Wijaksono setiap hari, belajar dan belajar memperdalam ilmu silat dan ulah kanuragan. Tanpa bimbingan orang lain, tanpa guru seorang pun. Dan karena merasa dirinya melebihi Dewa, jadilah Ken Wijaksono tumbuh sebagai seorang pemuda yang sombong dan takabur.
Kegemaran Ken Wijaksono, adalah menyabung ayam. Berhari-hari dia mengasuh ayam-ayamnya, memberi makan dan mendidik sang ayam untuk menjadi ayam tarung. Kalau sudah begitu, maka segalanya seperti terlupakan. Ken Wijaksono berkutat dengan ayam-ayamnya, ayam untuk disabung.
Bila sang ayam sudah benar-benar dapat dijadikan ayam sabungan, yaitu memenuhi syarat segalanya Ken Wijaksono pun membawa ayamnya ke arena persabungan. Memang ayamnya benar-benar ayam hebat, tak mau kalah dengan ayam-ayam orang lain. Begitulah, Ken Wijaksono menghidupi dirinya dan kedua orang tuanya dengan cara menyabung ayam.

* * * * *



Hari itu seperti biasanya Ken Wijaksono melakukan penyambungan ayam. Entah karena apa, ayamnya ternyata harus mengalami kekalahan. Ken Wijaksono tersentak kaget, sebab ia tak menyangka ayamnya akan kalah sedang uang seperser pun ia tak memegangnya.
"Ayo Ken, kau harus membayar padaku," berkata Tunggoro meminta bayaran.
"Aku tak punya uang," menjawab Ken Wijaksono tenang.
"Heh, kenapa begitu. Ken?"
"Diam! Sudah aku katakan, aku tak punya uang!" membentak Ken Wijaksono, menjadikan Tunggoro tersinggung. Mata Tunggoro memerah karena marah, lalu dengan mendengus Tunggoro membentak.
"Dasar anak setan!"
"Apa kau bilang, Kunyuk!"
"Anak Setan kau!" jawab Tunggoro marah.
"Bangsat! Kubunuh kau, Kunyuk!"
Tak ayal lagi, kedua orang anak muda itu pun berkelahi. Ken Wijaksono nampak beringas, serangannya mengarah pada hal-hal yang mematikan. Tunggoro tak mau mengalah begitu saja, ia pun berusaha merangsek Ken Wijaksono. Namun rupanya Tunggoro bukanlah tandingan Ken Wijaksono, yang mampu mempelajari segala ilmu silat dengan sendirinya. Mata Ken Wijaksono seketika berubah membiru, menyorot bagaikan sinar matahari. Dari badannya keluar sinar yang menyala merah membara. Menjadikan semua yang melihatnya tersentak kaget, serta merta semua berseru tertahan.
"Anak Dewa!"
"Hua, ha, ha... Memang akulah anak Dewa. Maka itu, kalian harus menurut padaku. Jangan sekali-kali kalian membantah, atau kalian minta seperti ini."
Secepat kilat Ken Wijaksono menghantamkan tangannya pada Tunggoro yang saat itu tengah terbelalak kaget. Tak ayal lagi, Tunggoro pun seketika menjerit. Tubuhnya hangus, lalu ambruk dan mati. Bergidig semua yang melihatnya, tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka juga ngeri untuk bertindak. Hal itu diketahui oleh Ken Wijaksono, yang dengan lantang berseru.
"Mulai hari ini, kalian harus mengakui aku sebagai ketua kalian. Kalian harus memberikan padaku uang dan barang-barang berharga lainnya. Kalau tidak, maka kalian akan menjadi seperti si Tunggoro ini, mengerti!"
"Mengerti, Ken..." jawab semuanya dengan ketakutan.
"Bagus! Serahkan uang yang kalian pegang padaku, cepat!"
Tanpa berani membantah, orang-orang itu pun segera menyerahkan uang yang mereka miliki pada Ken Wijaksono yang tertawa bergelak-gelak menerimanya.
"Ingat! Mulai hari ini, akulah pimpinanmu. Hua, ha, ha!"
Tubuh Ken Wijaksono berkelebat pergi meninggalkan orang-orang yang hanya tebengongbengong tanpa dapat berbuat apa-apa. Mereka baru tahu siapa adanya anak Dewa yang sering diceritakan dari mulut ke mulut oleh penduduk. Mereka tadinya menyangka kalau itu adalah hanya cerita kosong belaka. Namun kini mereka telah mengetahui kenyataannya, bahwa anak Dewa itu benar-benar ada.
Jadi jelas, bahwa segala ramalan orang-orang paranormal itu benar adanya. Anak Dewa itu kini telah menampakkan diri, sebagai Ken Wijaksono. Namun apa bila mereka mengingat ramalan tersebut, makin takut saja mereka. Menurut ramalan, anak Dewa akan membuat sebuah petaka besar di dunia persilatan. Adakah itu benar? Ikuti saja kisah ini...

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

Sebuah bayangan berkelebat menembus malam yang gelap, berlari menuju ke sebuah kampung. Bayangan itu milik seseorang lelaki, dengan tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Sejenak bayangan yang ternyata Maling Siluman berhenti, memandang ke belakang dan kemudian kembali berlari.
Meskipun kerajaan kini telah tenang dan aman dari gangguan Gondoruwo yang pernah membuat bencana, namun profesinya sebagai Maling Derma terus ia lakukan. Ia berusaha terus membantu orang-orang yang melarat. Hanya dengan cara itulah ia mampu membantu rakyatnya yang sangat menderita oleh kelaparan dan kemiskinan.
Ketika ia tengah berlari, dilihat olehnya sebuah sinar memancar dari rumah penduduk yang pernah ia singgahi. Seketika itu, Maling Siluman teringat akan bayi yang lima belas tahun silam diberikan pada kedua orang tua.
"Mungkinkah anak tersebut telah dewasa?" bergumam Maling Siluman dalam hati.
"Aku ingin melihatnya, bagaimana rupa anak tersebut sekarang."
Segera Maling Siluman kelebat menuju ke arah sinar itu muncul. Bagaikan kilat, Maling Siluman berlari hingga dalam waktu yang singkat dirinya telah berdiri di ambang pintu.
"Sampurasun " sapanya.
"Rampes... Siapakah di luar?" terdengar suara orang tua menyahuti.
"Aku pak tua. Aku Maling Siluman," menjawab Maling Siluman.
Tak berapa lama kemudian, pintu rumah itu pun terbuka dari dalam. Pak tua yang membuka pintu tersenyum seraya menganggukkan kepala hormat manakala dilihat olehnya Maling Siluman.
"Selamat malam, Pak tua."
"Malam, tuan pendekar. Ada gerangan apa tuan datang?"
"Aku ingin melihat anak itu, Pak tua..."
Tengah kedua orang itu bercakap-cakap, terdengar suara anak muda berseru menanya pada pak tua.
"Siapa yang datang, Ayah?"
"Suara siapakah itu pak tua?" tanya Maling Siluman.
"Itu anak Dewa, yang aku beri nama Ken Wijaksono," menjawab pak tua.
Dari dalam rumah, keluar seorang pemuda tampan yang tubuhnya memancarkan sinar merah. Pemuda itu adalah adiknya, walau bukan seayah namun satu kandungan. Mata Maling Siluman terbelalak, mana kala melihat pemuda yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu tersenyum menghormat.
"Siapakah paman ini, Ayah?" tanya pada pak tua.
"Dia teman ayah. Dia bernama Maling Siluman," jawab pak tua.
"Maling Siluman...? Bukankah Maling Siluman yang selalu membantu orang miskin itu, Ayah?" tanya Ken Wijaksono, seperti ia ingin memastikan kebenaran orang di hadapannya. ia telah mendengar nama Maling Siluman, baik dari ayahnya maupun dari teman-temannya yang telah menjadi anggota.
"Benar, Nak. Dialah Maling Siluman yang ayah ceritakan padamu."
"Oh, kalau begitu aku menyampaikan hormat."
Tersenyum Maling Siluman melihat anak tersebut. Anak itu ramah, namun di balik keramahannya, tersembunyi sifat yang ingin selalu berkuasa, manakala Maling Siluman menatap mata pemuda itu, seketika hatinya membatin.
"Sungguh-sungguh anak yang berbahaya, kalau tak mampu mendidiknya. Sorot mata anak ini, menunjukkan ambisi yang berlebihan. Hem, apakah ia mengikuti darah ayahnya yang Iblis itu? Kalau memang ya, tak dapat aku bayangkan apa yang bakal menimpa kerajaan ini dan dunia persilatan. Semoga bapak guru telah mengetahuinya, agar aku dapat meminta petunjuk dari beliau tentang anak ini."
"Kenapa paman ini tidak masuk saja? Aku ingin sekali melihat rupa dari paman ini. Kenapa paman tak mau membuka penutup mukanya?"
Tersentak kaget Maling Siluman mendengar permintaan Ken Wijaksono, yang sepertinya mengandung sesuatu maksud di balik ucapannya itu. Sebagai seorang pendekar yang telah malang melintang di dunia persilatan, dan juga murid dari Sunan Kalijaga Maling Siluman tak mau menunjukkan kekagetannya. Maka dengan suara halus layaknya orang menggumam, Maling Siluman berkata:
"Hem, apakah itu penting, Anak muda?"
"Penting, Paman. Aku rasa paman lebih baik membuka penutup muka dari pada harus menyembunyikan diri. Bukankah nama paman telah kondang? Apa perlunya paman takut?"
Makin tersentak saja Maling Siluman mendengar perkataan Ken Wijaksono. Belum pernah ia mendengar ucapan seorang anak muda yang lancang seperti anak ini. Apakah mungkin anak muda ini mempunyai maksud pada Maling Siluman?
Maling Siluman yang tak menghendaki identitas dirinya diketahui hanya mendesah, seraya berkata kembali! "Ah, sudahlah. Bukankah kau telah mengenalku? Aku Maling Siluman, ya maling Siluman. Tak perlu aku membuka tutup mukaku, semestinya kau pun memahami hal itu. Ken Wijaksono?"
Mendengar ucapan Maling Siluman, seketika Ken Wijaksono tertawa bergelak-gelak hingga tubuhnya berguncang-guncang terbawa oleh gelak tawa. Hal itu menjadikan Maling Siluman dan pak tua terbelalak kaget.
"Hai, rupanya nama Maling Siluman hanya isapan jempol!"
"Ken, Kau jangan lancang, Anakku?" berseru pak tua kaget. Ia tak menyangka kalau anak angkatnya akan lancang berbicara dengan orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Memang Ken Wijaksono tak mengetahui siapa adanya orang di hadapannya, namun semestinya ia menghormatinya.
"Aku tak lancang. Aku hanya ingin melihat wajah Maling Siluman sebenarnya. Kalau memang ia bermaksud baik, mana mungkin ia menutup mukanya!"
"Jadi kau memaksaku untuk membuka penutup mukaku?"
"Benar! Aku memang ingin melihat wajahmu yang tertutup kain hitam itu. Burukkah wajahmu, atau mungkin busuk!" Tersentak Maling Siluman mendengar ucapan Ken Wijaksono, yang sangat pedas dan menyakitkan. Namun kembali Maling Siluman hanya mendesah dalam hati.
"Gusti Allah, rupanya anak ini benar-benar menuruni ayahnya. Hem, apakah ini bukan suatu tanda bencana yang bakal menimpa kerajaan?"
"Maaf, aku tak dapat meluluskan permintaanmu," jawab Maling Siluman dengan tenangnya, menjadikan Ken Wijaksono melototkan mata marah.
Sepertinya, Ken Wijaksono merasa dirinya adalah orang yang harus ditakuti. Dirinya adalah keturunan Dewa, yang segala ucapannya harus dijalankan oleh yang diperintah. Seperti temantemannya, mereka pun menuruti apa yang dikata oleh Ken Wijaksono. Ken Wijaksono menyamakan teman-temannya dengan Maling Siluman. Baginya, semua orang di muka bumi ini harus menyembah dan tunduk pada dirinya. Maka manakala mendengar ucapan Maling Siluman yang menentangnya, marahlah Ken Wijaksono.
"Bedebah! Kalau kau tak mau membuka cadarmu, maka akulah yang akan membukanya sendiri. Maaf, hiat...!"
Tanpa dapat dicegah oleh ayahnya dan Maling Siluman, Ken Wijaksono yang menganggap dirinya yang harus ditakuti segera bergerak cepat. Tangannya berusaha menjambret kain penutup muka Maling Siluman, namun secepat kilat Maling Siluman segera egoskan tubuh menghindar seraya berseru:
"Anak tak tahu diri! Percuma kau dulu aku tolong! Kalau mengerti tindakanmu seperti Iblis, dulu aku tak menolongmu."
Tersentak kaget Ken Wijaksono mendengar makian Maling Siluman. Segera ia hentikan serangan, melompat mundur dan berdiri di sisi ayahnya seraya bertanya.
"Benarkah akan apa yang paman itu katakan, Ayah?"
Dengan mata menangis, pak tua itu menganggukinya.
"Jadi siapa sebenarnya aku?" gumam Ken Wijaksono bertanya. Ia kaget melihat ayahnya mengangguk. Mata Ken Wijaksono yang tadinya bersinar-sinar, seketika meredup. Ditatapnya bergantian sang ayah dan Maling Siluman, sepertinya ingin bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya itu.
"Memang benar apa yang dikatakan oleh pendekar Maling Siluman, Nak. Kau sebenarnya bukan anakku, tapi ditemukan oleh pendekar Maling Siluman di tengah kuburan. Sungguh kau telah berdosa besar bila berani padanya. Tanpa dia, mungkin kau tak akan selamat seperti sekarang. Entah kau akan dimakan apa malam itu. Maka itulah, Anakku. Kau janganlah terlalu sembrono pada pendekar Maling Siluman, yang secara tidak langsung merupakan orang yang telah menyelamatkan dirimu."
Tergetar hati Ken Wicaksono mendengar penuturan ayahnya. Serta merta ia jatuhkan diri bersujud di kaki Maling Siluman seraya menangis sesenggukan sesali dirinya yang tak tahu balas budi itu.
"Hukumlah saya... Hukumlah! Saya telah berani lancang pada tuan pendekar yang telah berjasa. Oh, sungguh aku anak tak tahu balas budi."
"Tak perlu kau tangisi. Aku menyadari kalau kau memang tak mengerti. Sudahlah, yang penting kau berbuat kebajikan saja aku sudah senang." menjawab Maling Siluman.
"Pak tua, tolong jaga anak ini baik-baik. Aku akan selalu membantumu bila diperlukan. Ini untuk sekedar ucapan terima kasihku padamu yang telah mengasuh anak ini."
Disodorkan sekantong uang pada pak tua, yang saat itu menolaknya seraya berkata.
"Kami tak dapat menerimanya, Tuan pendekar. Jasa tuan telah banyak kami terima. Kini kamilah yang seharusnya membantu, karena kami rasa tuan telah cukup banyak membantu kami"
"Baiklah, Pak tua. Kalau itu memang maumu, aku pun tak dapat memaksa. Aku mohon pamit," berkata Maling Siluman. Setelah terlebih dahulu mengusap rambut Ken Wijaksono, Maling Siluman pun berkelebat pergi meninggalkan rumah pak tua yang memandang kepergiannya dengan gelengan kepala.
Sementara Ken Wijaksono, hanya mampu memandang kepergian Maling Siluman dengan linangan air mata. Perasaannya sebagai seorang manusia tersengat juga, manakala merasa dirinya telah berlaku kurang ajar pada tuan penolongnya.
Setelah meninggalkan rumah pak tua, Maling Siluman pun seperti biasanya segera melakukan tugasnya. Malam itu adalah giliran rumah Datuk Lutung Gerek, seorang datuk sesat yang juga membuka praktek dukun cabul. Datuk itu juga menjadi tuan tanah yang kelewat kejamnya. Bila tanah penduduk tak dapat dibelinya, maka dengan kekerasanlah yang ia gunakan.
"Datuk ini memang benar-benar keterlaluan. Sifatnya tak ada beda dengan Iblis. Mungkin karena ia penganut Iblis, jadi ia pun mempunyai sifat Iblis pula," berkata hati Maling Siluman seraya mengendap-endap mendekati rumah sang Datuk.
Setelah dirasa aman, segera Maling Siluman berkelebat melompati pagar rumah sang Datuk dan hinggap di atas wuwungan genting rumah itu. Sesaat matanya memandang sekeliling, lalu setelah dirasa aman Maling Siluman itu segera membuka satu persatu genting. Setelah dirasa cukup, segera Maling Siluman berkelebat masuk turun ke bawah. Namun sungguh tak dinyana, kalau ternyata Datuk Lutung Gerek ternyata belum tidur.
Datuk Lutung Gerek serta merta tersentak, lalu membentak.
"Siapa kau!"
"Aku Maling Siluman," jawab Maling Siluman yang sudah merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan diri.
"Berikan uang serta perhiasan yang kau miliki padaku."
"Enak saja kau bilang! Langkahi dulu mayatku, Hiat...!"
Datuk Lutung Gerek yang memang sudah gedeg dengan berita-berita Maling Siluman, serta merta cabut golok yang tergantung di dinding kamar. Dengan didahului pekikkan. Datuk Lutung Gerek segera menyerang membabi buta. Golok di tangannya berkelebat cepat, tak ubahnya seperti mempunyai mata. Golok itu menusuknusuk ke arah jantung lawan.
Maling Siluman membersit, lemparkan tubuh ke atas lalu balik dengan tangan siap menghantam. Bersamaan dengan itu, Datuk Lutung Gerek berteriak menjadikan seketika para pengawalnya tersentak dan langsung menyerbu ke arah suara itu.
"Huh bahaya kalau begini. Aku harus segera bertindak!" membatin Maling Siluman, lalu dengan segera ia hantamkan pukulannya ke arah Datuk yang seketika itu tersentak dan berusaha menghindar. Namun sungguh malang, pukulan yang dilontarkan Maling Siluman ternyata lebih cepat bertindak.
"Bug, bug, bug!"
Tiga kali pukulan berturut-turut menghantam tubuh Datuk Lutung Gerek, yang seketika itu pula terhuyung-huyung ke belakang dengan darah meleleh di kedua sela-sela bibirnya. Tubuh sang Datuk terjajar ke tembok, perlahan menyosot turun ambruk ke bawah dan mati.
"Gusti Allah, sungguh aku telah membunuhnya. Oh..." Maling Siluman merasa terpukul manakala mengetahui bahwa dirinya telah menurunkan tangan keras. Dia menyesal, namun bila tidak begitu maka dirinya yang menjadi korban. Setelah mengambil barang-barang yang sekiranya perlu, Maling Siluman segera pergi meninggalkan rumah itu.

* * * * *



Sang Raja yang mendapat laporan tentang kematian Datuk Lutung Gerek, seketika merasa terkejut. Pikirannya kini berkecamuk macam-macam pertanyaan, siapakah sebenarnya Maling Siluman itu? Maling Siluman telah menghancurkan dua orang yang paling dekat dengan dirinya. Pertama patihnya, lalu kini Datuk Lutung Gerek. Sungguh perbuatan yang tak dapat dimaafkan oleh sang Raja.
Walau tindakkan Maling Siluman bertujuan membantu rakyatnya, namun bagi sang raja tindakan itu tidak berdasarkan pada tempatnya. Tindakan Maling Siluman harus dihentikan, namun untuk menghentikannya sangatlah tidak mudah. Sang raja belum tahu siapa sebenarnya Maling Siluman, dan apa tujuannya berbuat begitu rupa.
Maka untuk mendapatkan dan untuk menangkap Maling Siluman, sang raja segera membuat sayembara yang isinya "Barang siapa yang mampu menangkap Maling Siluman Hidup atau mati, dia akan mendapatkan kedudukan di kerajaan."
Berita itu sempat sampai di telinga pak tua dan anak angkatnya. Ken Wijaksono. Mereka bimbang harus berbuat bagaimana. Mereka tahu siapa adanya Maling Siluman, namun mereka masih menghargai jasa Maling Siluman yang telah membantu mereka.
"Bagaimana, Ayah? Apakah aku harus ikut dalam sayembara ini?"
Ditanya seperti itu oleh sang anak, seketika pak tua hanya terdiam tanpa dapat berkata apa. Hatinya yang merasa berhutang budi, sangatlah susah untuk memungkirinya. Pak tua hanya mampu terdiam bisu, dan bisu tanpa dapat bicara sepatah pun. Hal itu menjadikan anaknya kembali bertanya.
"Ayah, bagaimana menurut ayah?"
"Aku bingung, Anakku. Kalau kau mengikuti sayembara itu dan kau mampu menangkap Maling Siluman, secara tidak langsung kau telah berbuat yang tidak mengerti balas budi. Tapi bila kita membiarkannya, jelas kita telah menentang kerajaan. Sebagai seorang rakyat kita memang diperlukan. Tapi sebagai seorang manusia pribadi, kita akan selalu mengingat balas budi seseorang."
Ken Wijaksono seketika terdiam. Ia juga memikirkan tentang sebab akibatnya, tentang hati nurani dan keberadaannya. Sungguh suatu pilihan yang susah, yang mesti dipikirkan dengan penuh seksama. Mungkin karena tak mengerti harus berbuat apa. Ken Wijaksono hanya pergi ke luar meninggalkan sang ayah.
Angin malam bertiup dengan kencang, seperti menusuk dingin terasa di tulang. Ken Wijaksono masih berjalan dengan pikiran yang bimbang, menyusuri malam gulita tanpa sinar. Manakala ia terus berjalan, tiba-tiba terdengar olehnya seseorang berkata. Suara itu tanpa ujud, menjadikan Ken Wijaksono seketika itu tersentak kaget dan mencari siapa gerangan orang yang bicara itu.
"Ken Wijaksono, kau mendengar suaraku?"
"Ya, aku mendengar. Siapa kau...?" tanya Ken Wijaksono.
"Ken Wijaksono, kau adalah keturunanku. Maka kau harus menuruti apa yang akan aku perintahkan padamu," berkata suara itu kembali, menjadikan Ken Wijaksono tersentak kembali.
"Keturunanmu? Hai, apakah kau tidak ngelantur? Aku adalah anak Dewa, mana mungkin kau mengaku-aku nenek moyangku? Kalau kau benar nenek moyangku, jelas kau harus seperti aku. Akulah orang yang sakti."
"Hua, ha, ha... Bukan hanya jadi orang sakti saja, Anakku. Kau harus melebihi diriku, dan memang kau melebihi diriku. Kau sakti mandraguna, tak akan ada yang dapat menandingi dirimu."
"Kau menyebut anak padaku, siapakah dirimu?" tanya Ken Wijaksono seraya kerutkan kening.
"Kau jangan bercanda, atau barang kali kau hendak mempengaruhi aku?"
"Tidak, Anakku. Aku memang ayahmu. Aku sengaja mencetakmu di rahim permaisuri Raja Sukma Lelana. Aku berharap, kelak kau akan menjadi orang yang paling sakti, itulah sebabnya kau aku lindungi dari kematian bersama ibumu. Kau kumunculkan ke permukaan bumi, manakala saatnya kau lahir. Ibumu telah mati, sedangkan aku tak dapat keluar dari duniaku dunia Iblis. Maka itulah, aku hendak memintamu untuk menggantikan diriku."
Termakan juga rupanya hati Ken Wijaksono mendengar penuturan Iblis yang memang ayahnya yaitu Genderuwo, yang mati di tangan Maling Siluman. Hati kecilnya gundah, tak tahu harus berbuat bagaimana. Ingin ia menolak ucapan Iblis, tapi rasanya ada sesuatu yang menghendaki dirinya untuk mempercayai segala katakata Iblis itu.
"Baiklah kalau memang benar itu adanya. Apa yang hendak engkau perintahkan padaku? Dan siapa dirimu adanya?" tanya Ken Wijaksono, setelah sekian lama terdiam dengan pikirannya.
"Hua, ha, ha... Itu bagus. Nah, dengarlah. Aku bernama Gandarta atau Gondoruwo. Kau adalah titisanku, maka kau harus maha sakti melebihi diriku. Aku telah menitis di tubuhmu sejak saat ini. Bunuh Maling Siluman atau Atma Kusuma dan orang tua angkatmu. Karena merekalah yang kelak akan menghalangi semua tujuanmu. Bila semua telah kau bereskan, singkirkan raja bodoh itu. Kau harus menjadi raja di raja. Kuasai seluruhnya, termasuk semua perguruan-perguruan silat. Bila ada yang membangkang, bunuh saja!"
Ken Wijaksono untuk sesaat terdiam mendengar penuturan Iblis yang mengaku-aku sebagai ayahnya. Hatinya seketika bergolak, antara ucapan Iblis itu dengan perasaannya sebagai manusia. Bagaimana mungkin orang yang telah menolongnya harus dibunuh? Apakah itu suatu hukum alam yang gila...? Tengah Ken Wijaksono bimbang, kembali terdengar olehnya suara Iblis itu berkata.
"Bagaimana, Anakku? Kenapa kau terdiam? Kalau kau ingin menjadi orang yang sakti mandraguna dan ditakuti, janganlah kau bertindak dengan setengah-setengah. Lakukan segala apa yang sekiranya kau anggap itu harus dilakukan. Tantang kehidupan dengan jiwa besar dan kemenangan. Keraskan pendirian, kuatkan kemauan."
"Baiklah. Aku akan menuruti apa yang telah kau katakan. Kalau kau memang benar ayahku. Tapi kalau kau bukan, jangan harap kau dapat lolos dari tanganku walau kau Iblis marahkiyangan sekalipun. Ingat itu, Gondoruwo!"
"Hua, ha, ha... Jangan kuatir, Anakku. Kelak kau akan mendapatkan siapa adanya dirimu. Kau akan mampu mengubah dirimu menjadi Gondoruwo yang besar bila hal itu kau butuhkan yaitu dalam keadaan terdesak."
Bersamaan dengan habisnya ucapan Gandarwo, seketika melesatlah sebuah sinar masuk ke tubuh Ken Wijaksono melalui ubun-ubunnya. Sesaat Ken Wijaksono melotot, tenggorokannya bagaikan dicekik. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. Ingin rasanya ia berteriak, namun hal itu tak dapat ia lakukan. Tubuhnya kembali menyala terang, dan makin terang berwarna membara.
Tubuh Ken Wijaksono mengeluarkan asap, mengepul-ngepul bagaikan mendidih. Memang darahnya mendidih, bergelora laksana gunung berapi yang hendak meletus. Napasnya memburu, badannya kaku, mulutnya mengunci dengan gigi-gigi saling beradu. Saking bergolaknya darah di tubuh Ken Wijaksono, menjadikan Ken Wijaksono tak mampu menahannya. Pemuda itu akhirnya tergeletak pingsan.

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

Tiga orang berwajah cacat yang berjuluk Tiga Iblis Cacat Rupa nampak berlari-lari. Mereka sepertinya tengah menuju ke suatu tempat. Wajah ketiganya rusak menyeramkan, makin tampak menakutkan dengan roman muka yang tampak tak ada kebahagiaan sedikit pun.
Tiga Iblis Cacat Rupa itu, berlari tanpa banyak kata-kata. Dan mereka berhenti manakala tampak oleh mereka sebuah rumah yang mirip dengan pondok. Kanan kiri rumah tertutup dengan tembok. Hanya depan rumah saja yang terbuka. Ketiganya sesaat memandang hening, dengan sorot mata yang seakan menaruh kebencian.
"Lompong Wulung, keluar kau!" berseru si Jereng. Matanya yang jereng memandang aneh. Pandangannya nanar, ke mana ia memandang ke mana pula arah matanya. Tak ada jawaban dari dalam rumah, menjadikan ketiga iblis itu saling pandang.
"Kunyuk! Apa kau takut pada kami, Lompong Busuk!" kini giliran si Bopeng berseru.
"Kalau kau benar seorang pendekar, keluarlah! Jangan seperti tikus yang dikejar-kejar kucing. Kami datang untuk menagih janjimu."
Gembar gembor ketiga Iblis Cacat Rupa itu bagaikan berlalu begitu saja, tak ada jawaban dari dalam rumah. Rumah itu masih nampak sepi, gelap tak ada lampu secuil pun. Menyaksikan itu semua, geramlah hati ketiga Iblis Cacat Rupa.
"Bedebah! Rupanya sekarang kau pengecut, Lompong busuk!" menggeretak marah si Sumbing.
"Ayo kita serbu saja ke dalam!"
Berbareng ketiga iblis cacat serentak menghambur masuk ke dalam pagar rumah. Dengan langkah-langkah pasti, ketiganya memaku di muka pintu saling pandang.
"Dobrak saja!" berkata Jereng.
"Baiklah kalau kau tak mau keluar, kamilah yang masuk!" seru si Sumbing. Sepontan kaki kanannya menendang pintu dengan keras hingga pintu itu pun jebol.
"Awas serangan!" seru si Bopeng menyadarkan dua rekannya.
Dari dalam melesat beberapa tombak menyerang ke arah mereka. Serta merta ketiganya mencelat, menghindari serangan seraya mencaci maki.
"Kunyuk! Kau tak lebihnya seorang pengecut! Jangan harap kami mampu kau akali, Kunyuk!" membentak Jereng. Tangannya segera berkelebat cepat, tangkap salah satu tombak. Dengan mata jereng ternyata si Jereng sangat tajam penglihatannya. Dilemparkan tombak ke arah asal, seketika itu terdengar makian dari seseorang yang belum tampakkan mukanya.
"Bedebah! Rupanya kalian mencari mampus!"
"Anjing gudig! Kalau kau lelaki, keluarlah dari situ dan jangan hanya bisa ngomong!" membentak marah si Sumbing, demi mendengar seruan orang yang belum tampakkan rupa.
Tak berapa lama kemudian seberkas sinar merah tiba-tiba muncul. Suara itu makin lama makin dekat dan menerangi mereka. Ketiga Iblis Cacat Rupa itu tersentak manakala tahu siapa yang telah mengeluarkan sinar itu. Sinar itu keluar dari tubuh seorang pemuda, yang berjalan ke arah mereka, ketiga Iblis Cacat Rupa, maka tersentak mundur seraya membentak bertanya.
"Siapa kau!"
"Kalian telah menggangguku. Kalian harus mati!" menggeretak anak muda itu. Matanya tajam menghunjam, memandang pada ketiganya. Senyumnya sinis, mirip dengan senyum membawa kematian.
"Kalian tahu, akulah Anak Dewa! Akulah yang bakal memimpin kalian! Bila kalian menolak, maka jangan harap kalian akan hidup! Lihat itu!"
Pemuda itu menunjukkan telunjuknya, yang diikuti oleh ketiga Iblis Cacat Rupa memandang. Mata ketiganya seketika membeliak kaget manakala tampak oleh mereka sesosok mayat mengering tergeletak di sudut ruangan yang mereka kenali siapa adanya.
"Rupanya kau yang telah membunuh orang itu?" tanya ketiga Iblis kaget.
"Ya, kenapa?" jawab si pemuda.
"Kalau kalian rewel pun aku akan mengirim kalian ke akherat sepertinya."
"Sombong kau, Anak muda!" menggeretak si Sumbing marah. Ia merasa diremehkan oleh pemuda itu.
Namun pemuda itu bukannya takut, malah pemuda itu ganda tertawa.
"Hem, apa kalian ingin bukti?" tanyanya dengan sinis.
Ketiga Iblis Cacat Rupa itu tersentak kaget, manakala dilihat oleh mereka tangan pemuda itu memancarkan sinar merah. Dan ketika telunjuk Ken Wijaksono nama pemuda itu menunjuk, seketika dari jari telunjuk memancarkan sinar merah yang terasa panas tiada tara. Serta merta ketiga iblis itu melompat menghindar dengan mata mereka melotot kaget.
"Heh... Dari mana kau peroleh ajian Lulur Raga itu?" tanya ketiga Iblis Cacat Rupa kaget, sebab setahu mereka hanya patih Brah Amungkarti saja yang memiliki, tapi kenapa pemuda di hadapannya memiliki juga?
Pemuda itu ganda tertawa melihat ketakutan Iblis Cacat Rupa. Tangannya masih mencerca mereka dengan ajian tersebut, menjadikan ketiga Iblis Cacat Rupa harus berjuang mati-matian untuk mengelakkannya. Tubuh ketiga Iblis itu berjumpalitan, dipermainkan oleh serangan-serangan yang dilancarkan Ken Wijaksono. Ken Wijaksono bagai tak mau tahu, ia tetap mencerca dengan ajiannya yang bertubi-tubi dan mengarah bergantian pada ketiga Iblis Cacat Rupa.
"Hentikan! Kami mengakui keunggulanmu, kami mau menjadi pengikutmu," berseru si Bopeng yang tampak telah kecapaian. Napasnya ngos-ngosan dengan keringat bercucuran.
Mendengar permintaan si Bopeng, segera Ken Wijaksono hentikan serangan. Matanya kembali memandang pada ketiga iblis di hadapannya. Senyumnya tersungging penuh kemenangan, lalu dengan suara sinis berkata: "Baik, aku ampuni kalian karena kalian telah mengakui siapa aku adanya. Mulai hari ini juga, kalian harus dapat menaklukkan beberapa perguruan silat. Ajak mereka untuk bergabung, bila tidak mau kalian bunuh ketuanya atau hancurkan saja perguruan itu."
"Daulat, Ketua. Hari ini juga, engkaulah ketua kami!" menjawab ketiga iblis itu seraya menjura hormat, menjadikan Ken Wijaksono sunggingkan senyum.
Maka dengan meninggalkan gelak tawa berkepanjangan. Ken Wijaksono segera berkelebat pergi tinggalkan ketiga iblis yang hanya terbengong menyaksikan kepergiannya. Setelah sesaat terdiam Ketiga Iblis Cacat Rupa itu pun segera tinggalkan rumah Lompong Wulung, yang kembali sepi bagaikan tak berpenghuni.

* * * * *



Jaka Ndableg yang tengah berjalan menikmati suasana pagi, seketika matanya tertarik pada sebuah rumah yang pintunya terbuka. Pintu rumah itu seperti dibuka dengan paksa, sehingga keadaan pintu rumah itu berantakan.
"Hem, sepertinya ada sesuatu di rumah itu," bergumam Jaka dalam hati. Segera Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah berkelebat menuju ke rumah tersebut.
Langkahnya perlahan-lahan, sepertinya ia tak mau gegabah untuk menghadapi hal yang dapat saja terjadi kalau ternyata rumah itu jebakan untuk dirinya. Jaka sadar kalau musuhnya banyak menyebar di mana-mana, walau pun temannya juga ada di mana-mana. Bagai seekor kucing tengah mengintai tikus Jaka Ndableg melangkah dengan tumit kakinya, menjadikan langkahnya tak terdengar sama sekali. Matanya yang tajam laksana burung Raja wall, memandang tak berkedip pada sekeliling rumah itu.
"Sepi... Ya, sepi rumah ini. Sepertinya tadi malam telah terjadi sesuatu di sini," kembali Jaka bergumam. Setapak demi setapak langkahnya mendekati ke pintu rumah. Diambilnya sebuah batu kecil, lalu dilemparkan batu kecil itu ke dalam rumah.
"Bletok!"
Terdengar suara batu beradu dengan benda yang keras menyerupai batok kepala. Tak ada reaksi yang keluar dari dalam rumah. Perlahan Jaka menongolkan kepalanya melihat ke dalam. Seketika matanya memandang pada sesosok tubuh yang hitam legam bagaikan terbakar duduk di sudut ruangan itu.
"Sepertinya orang itu telah mati. Baik akan aku dekati," berkata Jaka. Segera dengan tangan siap menghantamkan pukulan tenaga dalamnya.
Jaka memasuki rumah itu. Memang benar, bahwa orang tersebut ternyata memang telah mati. Tubuh orang tersebut hangus bagaikan terbakar, menjadikan tubuhnya hitam legam laksana arang. Jaka hanya mampu gelengkan kepala, manakala tahu keadaan orang itu. Serta merta hatinya bergumam lirih, penuh kekeluan mengingat betapa dunia ini sangat banyak kejadian-kejadian yang sukar untuk dicerna oleh akal.
"Gusti Allah, gerangan apa yang telah terjadi? Sepertinya orang ini mati oleh pukulan yang sangat ganas. Hem, siapakah yang memiliki pukulan ganas yang menyerupai pukulan Tapak Bahanaku?"
Pertanyaan di hati Jaka, sepertinya tak ada jawaban. Semua membisu, tak mau menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi di rumah itu. Perlahan Jaka membopong tubuh hitam legam itu keluar, lalu menaruhnya di bawah sebuah pohon. Setelah menaruh tubuh orang itu, segera Jaka kembali masuk ke dalam untuk memeriksa apa yang dapat dijadikan bahan untuk dirinya mengenali siapa adanya orang tersebut Jaka segera membongkar almari yang ada di dalam kamar.
Dibukanya satu persatu pakaian yang ada di situ dengan harapan dapat memperoleh keterangan yang berguna untuk dirinya. Sekian lama Jaka membongkar-bongkar seluruh isi almari, namun Jaka tak menemukan sesuatu apapun yang berguna. Hampir saja Jaka putus asa, manakala matanya yang tajam memandang pada bumbung bambu yang terselip di pagar rumah.
"Mungkin di benda itu akan aku temui segala rahasia ini."
Segera Jaka mengambil bumbung tersebut dari selipan bilik rumah, lalu dibukanya tutup bumbung dan dikeluarkan segala isinya. Lembaran-lembaran daun lontar mengering keluar dari dalam bumbung tersebut. Lembaran-lembaran daun lontar itu terdapat tulisan yang ditulis dengan hurup jawa, berbunyi,
"Dunia persilatan akan mendapatkan bencana dengan datangnya manusia yang mengaku Anak Dewa, yang sebenarnya keturunan Iblis Gondoruwo. Hanya ada dua orang yang mampu mencegah segala tindakannya. Pertama seorang pemuda yang memiliki senjata pedang bernama Pedang Siluman Darah. Sedang yang seorang lagi, adalah murid Sunan Kalijaga yang bergelar Maling Siluman dengan ajiannya Lampus Umur yang belum ada tandingannya. Namun begitu, Maling Sakti tak akan mampu membinasakan Anak Dewa karena ia masih sedarah kandungan. Kini semuanya tinggal menyerahkan nasibnya pada pendekar muda yang tengah menggemparkan dunia persilatan dengan Pedangnya Siluman Darah."
"Hem, jadi kini di dunia persilatan akan muncul seorang pemuda sakti yang mengaku anak Dewa. Apa sih keistimewaannya, sehingga dia menyebut dirinya Anak Dewa? Aku jadi tertarik untuk menyelidikinya," gumam Jaka pada diri sendiri.
"Hai, kenapa aku sampai lupa untuk mengetahui siapa adanya penulis surat ini?"
Kembali Jaka membuka lipatan daun lontar itu, lalu dibacanya kembali. Di situ tertulis nama seorang penulisnya Lompong Wulung ditujukan surat itu untuk para tokoh persilatan golongan lurus.
"Kalau begitu aku akan menyampaikan surat ini pada para tokoh golongan lurus dulu, baru aku ingin menemui Maling Siluman. Sebab menurut surat ini, Maling Silumanlah yang diincar oleh Anak Dewa yang sebenarnya anak Iblis, Mengapa bisa begini, sih? Aku akan mencoba menanyakan pada Maling Siluman," berkata Jaka dalam hati.
Setelah mengubur mayat Lompong Wulung, dan memeriksa kembali keadaan rumah tersebut Jaka dengan segera berkelebat meninggalkan rumah itu dengan membawa surat dari daun Lontar.

* * * * *



Tengah Jaka berlari membawa surat yang ditulis di daun lontar, seketika langkahnya terhenti manakala telinganya yang tajam mendengar seorang wanita menjerit-jerit meminta tolong. Jaka yang tak suka bila seorang lelaki menyakiti wanita apalagi hendak memperkosanya segera membalikkan tubuhnya, kembali ke asal suara itu.
Tak sulit untuk Jaka menemukan di mana asal suara tersebut, karena telinganya yang tajam peka menerimanya. Melotot mata Jaka seketika, manakala melihat seorang lelaki muda tengah menggeret-geret tangan seorang gadis yang menjerit-jerit minta dilepaskan.
"Lepaskan aku, Kakang. Lepaskan...!"
"Tidak! Kau telah berbuat gila dengan orang lain," membentak si pemuda sewot. Matanya memandang tajam dan liar, sepertinya hendak menghunjam pada mata si gadis.
"Kau telah mengkhianati cintaku, Wulan. Kau telah berani menyeleweng dengan lelaki lain."
Melihat kenyataan bahwa kedua sepasang muda mudi itu hanyalah ribut masalah cemburu buta, seketika bergelak tawalah Jaka. Hal itu menjadikan kedua muda mudi itu tersentak kaget, dan langsung memandang pada Jaka. Si gadis yang bernama Wulan, tersenyum genit pada Jaka. Sedangkan pemuda yang sedari tadi menggeret-geret tangannya nampak melotot marah seraya membentak.
"Siapa kau. Kenapa kau tertawa?"
"Maaf, aku jadi teringat pada masa aku pacaran dulu. Seperti kau, aku pun seorang pemuda yang cemburuan. Sedikit-sedikit selalu cemburu bila melihat pacarku berbincang-bincang atau duduk-duduk dekat dengan orang lain, ya seperti kaulah persis," jawab Jaka seenaknya seraya geleng-gelengkan kepala dan bibir tersenyum-senyum, lalu dengan bibir mengurai senyum Jaka pun bermaksud pergi meninggalkan tempat itu manakala pemuda pacar sang gadis berseru menanggilnya.
"Hoi, tunggu!"
"Ada apa lagi?" tanya Jaka seraya hentikan larinya dan balik kembali.
"Aku ada perlu denganmu," menjawab si pemuda.
"Perlu? Perlu apa? Aku takut nanti mengganggu kalian."
"Tidak..."
"Ah, gampang lain waktu saja. Maaf, aku terburu-buru. Nah selamat bercintrongg. Hua, ha, ha..." Jaka tertawa bergelak-gelak sembari melangkah kembali berlalu meninggalkan kedua pemuda-pemudi itu, yang kini hanya tersenyum-senyum sembari gelengkan kepala melihat kelakuan Jaka.
Sang pemuda hanya tersenyum-senyum, sementara si gadis yang bernama Wulan tampak terdiam. Entah karena apa, seketika hati Wulan terpaut manakala melihat wajah Jaka.
"Sungguh tampan wajah pemuda itu, polos dan mengandung humor. Siapakah namanya? Ah, aku tak dapat menghilangkan wajahnya yang tampan itu, sepertinya tak akan menghilang dari pelupuk mataku," bergumam hati Wulan, sehingga Wulan pun terdiam dengan bibir tersenyum-senyum sendiri.
Melihat gadisnya tersenyum-senyum sendiri, pemuda yang tak lain Ken Wijaksono seketika memandang tak berkedip seraya kerutkan kening penuh rasa cemburu dan bertanya.
"Kau tertarik pemuda itu?"
"Kenapa kakang terus menerus cemburu begini rupa?" balik bertanya Wulan, sepertinya tak ingin mendengar pertanyaan yang hanya itu-itu saja dari mulut Ken Wijaksono.
"Apa sih yang menjadikan kakang begitu cemburu buta?"
"Karena aku mencintai dan menyayangimu," menjawab Ken Wijaksono, menjadikan Wulan tersenyum sinis.
"Kenapa kau tersenyum sinis begitu padaku, Wulan?"
"Ah, kakang terlalu berprasangka," mendesah Wulan mencoba menutupi apa yang ada di hatinya.
"Aku tak berprasangka. Itu benar, bukan?"
"Tidak! Bukankah sudah aku katakan bahwa cintaku hanya untuk kakang. Semestinya kakang jangan terlalu cemburu buta begitu. Apalah artinya pengekangan, Kakang..."
"Ah, sudahlah. Ayo kita pulang," mengajak Ken Wijaksono merasa kalah untuk berdebat dengan Wulan. Wulan hanya tersenyum, menurut melangkah pulang tanpa banyak bicara lagi.

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

Jaka Ndableg nampak berdiri kebingungan manakala melihat sungai membentang di depannya. Langkahnya untuk meneruskan ke tempat para tokoh persilatan terhenti, ia tak dapat melompati sungai yang lebar itu. Bila mengambil jalan memutar, jelas memerlukan waktu.
"Kuya, mengapa sungai sialan ini tiba-tiba menghadangku?" bergumam Jaka seraya garuk-garuk kepala yang tak gatal.
"Wow, aku ini seperti orang dungu saja. Kenapa aku tak menggunakan otakku yang sedari kecil aku pasang di jidat ini?"
Habis berkata begitu Jaka segera kembali menuju ke dalam hutan untuk mencari sebatang kayu yang bakal digunakannya untuk menyeberang sungai. Tak lama Jaka mencari kayu, kemudian ia pun kembali ke sungai untuk melakukan uji cobanya yaitu berjoget ria di atas sebatang cabang pohon dalam usahanya mengarungi sungai yang luas.
Ketika Jaka hendak melemparkan kayu itu ke sungai, tiba-tiba dilihatnya tiga orang tengah menuju ke arahnya dengan menaiki rakit bambu. Jaka tak segera melempar kayu yang telah digenggamnya, ia menunggu mereka yang tengah menaiki rakit seraya berseru.
"Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku numpang di rakit yang kalian pakai itu? Biarlah aku akan membayar untuk itu."
Ketika orang penunggang rakit itu tak bicara sepatah kata pun. Mereka terus mengayuh rakit itu makin lama makin menepi.
"Jadi kalian membolehkan aku ikut bersama kalian untuk menyeberang?" tanya Jaka.
Ketiga orang itu tak menjawab, mereka hanya menganggukkan kepala saja. Tanpa menghiraukan mereka, segera Jaka melompat turun dan menapakkan kakinya di atas rakit. Sesaat rakit oleng oleh tekanan kaki Jaka, menjadikan ketiga orang itu sedikit tersentak kaget. Dalam hati mereka menggumam, "Inikah Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah menggemparkan dunia persilatan?"
"Ki Sanak sekalian, kenapa kalian tak berbicara sepatah katapun? Apakah kalian tak menyukai aku ikut bersama kalian?" tanya Jaka setelah rakit itu berjalan sampai di tengah sungai yang sangat luas itu. Jawaban dari pertanyaan Jaka...
"Aoor..."
Tersentak Jaka seketika, manakala melihat rupa ketiga orang itu. Rupa ketiga orang itu sangat menakutkan dan menyeramkan. Mata mereka tak ada semua, begitu juga dengan hidung mereka. Sementara mulut mereka lebar ke samping, menganga memperlihatkan gigi-giginya yang runcing-runcing.
"Gusti Allah, siapakah mereka ini?" gumam Jaka dalam hati.
Belum juga Jaka tersadar dari kagetnya, serta merta ketiga mahluk menyeramkan itu serentak menyerangnya. Ketika tubuh mereka berkelebat, bau busuk seketika menyengat keluar dari tubuh ketiga orang itu, bau bangkai.
"Siapa kalian, Ki Sanak?" kembali Jaka bertanya.
"Aooh...." kembali jawaban itu yang terdengar.
Jaka tersentak manakala tangan ketiga mahluk yang bau bangkai itu menyerang ke arahnya. Serta merta Jaka berusaha menghindar, namun tangan salah satu mahluk menyeramkan itu tak dapat luput. Tangan itu menghantam telak di dada sebelah kirinya. Seketika baju yang dikenakan Jaka terbakar gosong, dengan kulit dada seketika menghitam. Tersentak Jaka melompat mundur, mulutnya mendengus penuh kekesalan. Namun dasar ia ndableg, walau marah Jaka nampak masih tersenyum-senyum.
"Setan... Kalau kalian memang ingin mengeroyokku, maka aku ingin kalian jawab dengan sejujur-jujurnya. Nah, dengar pertanyaanku. Bila kalian menjawab dengan jujur maka kalian akan memperoleh hadiah dari diriku berupa tiket gratis ke neraka. Siapa yang telah menyuruh kalian bergentayangan di dunia?"
"Gooar...oaar..."
"Eh, rupanya kalian menjawab dengan benar. Baiklah, aku akan memberikan tiket gratis untuk kalian menuju ke neraka. Bersiaplah, hiat...!"
Tanpa banyak bicara lagi Jaka yang melihat ketiga mahluk penyerangnya hendak kembali menyerang segera hantamkan ajian Getih Saktinya. Seketika itu pula, menjeritlah ketiga mahluk itu. Tubuh mereka seketika meleleh, dagingnya menghilang dan ambruk tinggal tulang belulang.
Namun belum juga Jaka dapat tersenyum panjang, tiba-tiba dari dalam air bermunculan mahluk yang lebih menyeramkan. Mahluk-mahluk itu berbadan hitam kecoklat-coklatan, dengan mata nongol ke luar dan lidah merah memanjang menjulur ke luar dari mulut mereka. Melihat hal itu Jaka yang memang ndableg seketika berseru.
"Ladahlah, kenapa kalian yang sudah tenang di dasar sungai ini muncul ke permukaan? Apakah kalian memang sengaja ingin sekedar melancong piknik? Wah, bagaimana kalau kalian tak memiliki transport untuk pulang?"
"Aor... Oaaoor..."
Mahluk-mahluk itu sepertinya mengerti kata-kata Jaka, terbukti mereka dengan segera membuka serangan. Bagaikan anak-anak SMA dan STM Budi Utomo, mereka pun berkelahi dengan cara keroyokan. Rupanya mode anak-anak SLTA di Jakarta yang suka bertempur keroyokan, dijadikan mode kaum iblis yang mengeroyok Jaka.
"Wadow... Kenapa iblis-iblis ini genit banget? Nih, untuk kalian...!" seru Jaka manakala lima iblis itu menyerangnya. Segera Jaka sodorkan tangannya yang telah dilampiri ajian Petir Sewu. Seketika muka kelima mahluk iblis itu meledak, terhantam petir yang keluar dari tangan Jaka. Namun belum juga Jaka dapat mengatur napas, mahluk-mahluk lain pun bermunculan menyerangnya.
"Tobat... Kenapa kalian suka bercanda dengan manusia seperti aku ini sih, Om Setan?" ucap Jaka dengan ndablegnya dan konyol. Sementara tubuhnya berkelebat-kelebat menghindari rangsekan mereka yang bertempur ala robot, atau ala orang-orang yang perutnya besar karena banyak memakan uang haram milik pemerintah.
"Apakah memang di dunia Iblis tak pernah ada istilah bercanda?" tanya Jaka masih ngebanyol.
"Kalau memang Oom-Oom sekalian ingin bercanda denganku, baiklah. Nih, aku berikan sebuah pertanyaan pada kalian. Kenapa setan-setan seperti kalian pada suka air kencing?"
"Aoor..." berseru mahluk-mahluk itu marah, yang tak mau diam atau menjawab pertanyaan Jaka. Mungkin mereka merasa kesindir oleh pertanyaan Jaka, mereka makin mengamuk.
"Waauh, kalau begini terus menerus aku tak akan mempunyai waktu lagi," keluh Jaka dalam hati.
"Aku harus memanggil Ratu Siluman Darah. Hem... Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Mahluk-mahluk menyeramkan itu seketika menyurut mundur manakala melihat Pedang Siluman Darah telah tergenggam di tangan Jaka. Namun belum juga mereka dapat berbuat banyak, Jaka dengan segera tebaskan pedang tersebut ke arah mereka. Seketika mereka menjerit.
"Aooooooo..." Tubuh mereka seketika itu pula hancur terbabat Pedang Siluman Darah menjadi serpihan-serpihan debu yang beterbangan dan akhirnya terbawa oleh air sungai.
Pedang Siluman Darah masih tergenggam di tangan Jaka yang bersiap-siap, kalau-kalau mahluk-mahluk itu muncul kembali. Rakit pun melaju membawa tubuh Jaka yang di tangannya masih menggenggam Pedang Siluman Darah menepi.

* * * * *



Malam kembali menyelimuti bumi, ketika terdengar suara orang bertengkar di sebuah rumah. Rumah itu milik pak tua, yang didiami pak tua dan anak angkatnya, Ken Wijaksono.
"Kau harus mati di tanganku karena kaulah yang kelak menghalangi kemauanku!" terdengar suara anak muda berkata. Anak muda itu tak lain Ken Wijaksono adanya. Di tangan Ken Wijaksono atau Anak Dewa tergenggam sebilah pedang. Mata Ken Wijaksono memandang penuh rasa pembunuhan pada pak tua yang juga tak mau kalah memandang padanya.
"Ken... Apa kau sudah gila! Aku ini ayahmu. Ken?" berkata pak tua mencoba menyadarkan Ken Wijaksono anaknya. Namun ternyata ucapannya berlalu begitu saja, sebab Ken Wijaksono hanya tersenyum sinis seraya kembali berkata:
"Kau bukan ayahku. Kaulah yang kelak menghalangi segala kemauanku. Setelah kau aku singkirkan dari muka bumi ini, maka tinggal aku menyingkirkan dua orang lagi yaitu Maling Siluman dan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bila semua telah aku lakukan, jadilah aku seorang maha diraja di dunia. Hua, ha, ha..."
"Itu semua tak akan pernah terjadi. Rupanya kau telah dirasuki oleh Iblis yang telah menteror kerajaan ini. Keluar kau, Iblis! Jangan kau ganggu anakku!" membentak pak tua.
Ken Wijaksono tersenyum kecut.
"Wiraba, kenapa kau bersembunyi di desa ini?" terdengar suara lain yang keluar dari mulut Ken Wijaksono, menjadikan pak tua yang ternyata bernama Wiraba tersentak kaget.
"Kau aku cari-cari, rupanya kau bersembunyi. Kau telah berbuat menghancurkan kerajaanku, maka kau harus hancur pula."
"Gandarta Iblis! Rupanya kau masih penasaran. Walaupun kau telah kalah oleh Maling Siluman, mengapa kau tak kapok-kapok, Iblis…" membentak Wiraba sengit.
"Hua, ha, ha... Aku bersumpah, tak akan aku mati tenang bila belum menjiret leher para pendekar itu. Aku akan menteror terus manusia sampai mereka mengakui akulah raja diraja mereka. Akan aku musnahkan pendekar Maling Siluman dan pendekar Pedang Siluman Darah!"
Kembali Gandarta atau Gundoruwo tertawa bergelak-gelak, lalu menghilang dan berganti suara Ken Wijaksono kembali. Ken Wijaksono nampak merandek, mendengus penuh amarah. Pedang di tangannya seketika berkelebat, menyerang Ki Wiraba.
Ki Wiraba yang ternyata bekas seorang pendekar yang pernah memporak-porandakan kerajaan Gundoruwo bukanlah orang sembarangan. Walau usianya telah lanjut, namun gerakannya ternyata masih gesit dan lincah. Pedang di tangan Ken Wijaksono seperti tak ada arti sama sekali bagi Wiraba. Setiap kali pedang itu hendak menebas ke arahnya, secepat itu pula Wiraba kelitkan tubuh dan balik menyerang.
Pertarungan dua musuh bebuyutan yang kini menjadi bapak dan anak angkat kembali berulang. Seperti dulu manakala Wiraba mampu memporak-porandakan kerajaan Gundoruwo, saat itu pula Wiraba nampak masih dapat mengatasi segala serangan yang dilancarkan musuhnya. Bahkan kini Wirabalah yang balik mendesak sang musuh, menjadikan musuhnya nampak keteter.
"Bedebah! Rupanya kau masih mampu, Wiraba!" membentak Ken Wijaksono marah.
"Namun hari ini giliranmu mengalami kehancuran, Wiraba. Hua, ha, ha "
"Jangan takabur, Iblis! Mari kita buktikan siapa yang berhak hidup di dunia!" balas Wiraba membentak marah. Tubuh tua itu masih berkelebat menyerang mendesak sang musuh yang nampaknya kian keteter
"Hem, kau memang masih kuat, Wiraba. Namun janganlah kau menyangka akan mampu mengalahkan aku lagi. Lihat ini..." Ken Wijaksono hentakkan kakinya ke tanah tiga kali. Tiba-tiba dari dalam tanah bermunculan mahluk-mahluk tengkorak yang menyebarkan bau busuk. Mahluk tengkorak sesaat memandang pada Ken Wijaksono, yang segera berseru memerintah.
"Serang!"
Tanpa banyak kata atau membandel, kesepuluh mahluk tengkorak hidup itu segera berkelebat bareng menyerang Wiraba. Tersentak Wiraba kaget, melihat musuhnya dengan seketika mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Ilmu Pemanggil Mayat, ternyata telah dimiliki oleh musuhnya. Tak ada jalan lain, Wiraba harus menggunakan ilmu-ilmu yang dimilikinya. Diserangnya mahluk-mahluk tengkorak hidup itu dengan ajian-ajian yang dimiliki.
"Luwung Geni. Hiat...!"
Telapak tangan Wiraba terbuka dengan jari-jari memegar. Dari tangan itu keluar segulungan api yang menyala-nyala, menghantam kesepuluh mahluk tengkorak hidup itu. Seketika kesepuluh mahluk itu terbakar. Namun belum juga Wiraba tenang, dari dalam tanah tiba-tiba muncul dua kali lipat mahluk-mahluk sejenis menyerangnya. Segera Wiraba kembali hantamkan ajiannya, meledaklah kedua puluh mahluk itu hancur.
Namun seperti semula, satu hilang dua terbilang. Kedua puluh mahluk itu menghilang, muncul empat puluh mahluk keluar dari dalam bumi menyerang ke arahnya. Hal itu menjadikan tenaga tua Wiraba akhirnya terkuras habis. Dan ketika melihat Wiraba lengah, segera Ken Wijaksono tebaskan pedangnya. Tak ayal lagi, tubuh tua itu terhuyung-huyung dengan luka menganga di tubuh belakang.
Mata Wiraba melotot penuh amarah, memandang tajam pada Ken Wijaksono yang tersenyum kecut. Dengan sisa-sisa tenaganya, Wiraba nekat menyerang dengan segenap ajiannya. Tanpa dapat dihindari oleh Ken Wijaksono, ajian yang dilontarkan Wiraba telak menghantam tubuhnya. Seketika tubuh Ken Wijaksono mental jauh. Jatuh ke luar rumah dengan darah meleleh di sela-sela bibirnya.
Sementara Wiraba sendiri, ambruk dan mati. Ternyata pedang yang digunakan oleh Ken Wijaksono mengandung racun yang sangat jahat. Kedua anak dan bapak angkat itu ambruk. Bedanya kalau Wiraba langsung terbang ke akherat, sedangkan Ken Wijaksono hanya pingsan karena luka dalam yang berat.

* * * * *



:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::

Pikiran Maling Siluman atau Atma Kusuma saat itu terasa tak enak. Bayangan pak tua itu selalu membayang di benaknya. Dalam bayangannya, pak tua tampak meratap meminta tolong dengan luka-luka menganga di gegernya.
"Hem, ada gerangan apakah hingga aku selalu dibayangi oleh pak tua itu?" bergumam hati Maling Siluman.
"Ah, mungkin memang pirasatku benar adanya. Baiklah aku akan datang ke sana."
Dengan terlebih menggunakan pakaian penutup tubuhnya yang serba hitam, Maling Siluman segera tinggalkan pondoknya untuk bertandang ke rumah pak tua. Larinya begitu cepat, sepertinya Maling Siluman tak ingin dirinya terlambat. Tubuh berseragam hitam itu berkelebat menembus gelapnya malam, menerobos semak belukar. Saking cepatnya Maling Siluman berlari, tak terasa angin yang dikeluarkan oleh kecepatan larinya menjadikan pohon-pohon bertiup dengan kencangnya. Itulah ajian Bayu Langkah Sewu, sebuah ajian yang sangat hebat dan belum ada tandingannya dalam hal lari.
Tersentak Maling Siluman, manakala melihat apa yang telah terjadi di rumah pak tua. Didapatinya tubuh pak tua telah terkulai menjadi mayat dengan luka menganga di punggungnya.
"Pak tua... pak tua...!"
Segera Maling Siluman angkat tubuh yang tergeletak itu. Dibawanya tubuh tua renta itu menuju ke pembaringan, lalu dengan penuh harapan ditempelkannya telinga di dada pak tua. Tak ada detak lagi.
"Siapakah yang telah berbuat begini? Dimana anak itu?" tanya Maling Siluman pada diri sendiri.
"Hem, apa tidak mungkin anak itu yang telah membunuhnya. Aku kira, anak itu telah dipengaruhi oleh ayahnya si Gondoruwo,"
Tengah Maling Siluman berpikir mengirangira siapa pembunuh pak tua, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seruan-seruan yang menyayat hati. Bersamaan dengan habisnya seruan-seruan itu, seketika muncul mahluk-mahluk menyeramkan dari dalam tanah yang langsung menyerang padanya. Tersentak Maling Siluman, serta merta ia pun lemparkan tubuh ke angkasa menghindar betotan tangan mahluk-mahluk menyeramkan yang bermaksud membetot kakinya.
"Setan! Rupanya mahluk-mahluk inilah yang telah menjadi abdi anak itu. Hem, sia-sia aku menolong anak durjana itu, kalau akhirnya menjadi petaka. Aku rasa, Gondoruwo telah mempengaruhinya. Dasar Iblis" menggerutu Maling Siluman seraya elakkan serangan yang mengarah padanya.
Mahluk-mahluk itu seperti kelaparan saja, terus merangsek menyerang Maling Siluman, Maling Siluman yang telah mengetahui bahwa mahluk itu tak dapat dibuat main-main, serta merta babatkan pedang pusaka ke arah mahluk-mahluk tersebut. Mahluk-mahluk menyeramkan itu seketika menjerit, lalu menghilang dari pandangan mata. Namun belum juga hilang rasa kaget Maling Siluman, seketika muncul mahluk-mahluk serupa yang jumlahnya makin bertambah banyak.
Tersentak Maling Siluman kaget seraya menggumam.
"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk ini bukan mahluk-mahluk sembarangan. Apakah aku akan mampu menghadapinya?"
Tengah Maling Siluman terjengah diam, tiba-tiba mahluk-mahluk menyeramkan itu telah kembali menyerangnya. Bau bangkai seketika menyengat hidung, manakala kedua puluh mahluk iblis itu berkelebat. Secepat kilat Maling Siluman elakkan serangan, babatkan pedangnya. Mahluk-mahluk iblis itu kembali menjerit dan raib dari pandangan. Tapi seperti semula, hilangnya dua puluh mahluk Iblis itu muncullah dua kali lipat mahluk serupa lainnya.
Kini benar-benar kaget Maling Siluman dibuatnya. Betapapun ia menggunakan senjata, niscaya ia akan kehabisan tenaga juga. Maling Siluman mencoba mencari akal, bagaimana mengalahkan mahluk-mahluk siluman itu. Dengan segera Maling Siluman bacakan Ayatul Qhursi. Seketika mahluk-mahluk menyeramkan itu tak mampu bergerak, diam pada tempatnya. Namun sungguh aneh dan benar-benar aneh. Mahluk-mahluk itu tak lebur sama sekali. Hal itu menjadikan konsentrasi Maling Siluman terpecah karena kaget, sehingga ia pun terlalai membaca ayatul Qhursi. Mahluk-mahluk itu segera tersadar dari diam dan kembali menyerangnya.
"Gusti Allah, apakah aku pun akan mati oleh mahluk-mahluk Iblis ini?" mengeluh Maling Siluman putus asa, manakala keempat puluh mahluk Iblis itu menyerangnya kembali, segera Maling Siluman hantamkan ajiannya Lampus Umur tingkat pamungkas. Lebur seketika keempat puluh mahluk Iblis itu.
Namun sungguh menjadikan Maling Siluman membuka lebar-lebar, takkala dari dalam tanah bermunculan mahluk-mahluk sejenis yang jumlahnya makin bertambah banyak. Dari empat puluh, kini menjadi delapan puluh hingga rumah itu pun seketika dipenuhi oleh mahluk-mahluk Iblis yang menyeringai seperti mengejek pada Maling Siluman. Maling Siluman tak mau menyerah begitu saja. Sebagai murid Sunan Kalijaga, ia telah digembleng oleh sang Sunan segala ilmu kanuragan dan batin yang kuat.
Kembali Maling Siluman hantamkan ajian Lampus Umur tingkat pamungkas. Dan kembali mahluk-mahluk Iblis itu lenyap, hancur. Tapi sungguh-sungguh tak dapat dipikir oleh akal, mahluk-mahluk itu kembali muncul dengan jumlah yang bertambah banyak. Menyaksikan hal itu, segera Maling Siluman lemparkan tubuh ke luar rumah seraya berseru.
"Mahluk-mahluk Iblis. Keluar kalian! Mari kita bertarung di sini. Hiat...!"
Kedatangan mahluk-mahluk Iblis itu dipapaki dengan hantaman ajian Lampus Umur tingkat pamungkas. Hancur leburlah mahluk-mahluk iblis itu bersamaan dengan hancurnya rumah pak tua menjadi debu. Kembali mahluk-mahluk itu muncul, dan kini berjumlah hampir dua ratus mahluk.
Tenaga Maling Siluman benar-benar telah terkuras karena mengumbar ajian Lampus Umur secara beruntun. Kini Maling Siluman benarbenar pasrah pada nasib. Daripada ia pulang atau lari meninggalkan tempat itu, lebih baik ia bertarung mati-matian.
Manakala mahluk-mahluk itu hendak kembali menyerang Maling Siluman, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan menghantamkan ajiannya ke arah mahluk-mahluk Iblis itu. Seketika hancur tubuh mahluk-mahluk Iblis terhantam ajian yang dilancarkan bayangan tersebut. Bayangan itu seketika telah berdiri di sisi Maling Siluman yang tersentak kaget seraya bertanya.
"Siapakah engkau, Ki Sanak?"
"Janganlah menanyakan dulu siapa adanya aku, yang penting sekarang bagaimana menghancurkan mahluk-mahluk itu dan menjadikan mereka kapok," menjawab pemuda yang ditanya oleh Maling Siluman dengan senyum mengembang di bibirnya.
Maling Siluman tak berkata lagi, manakala dari dalam tanah kembali muncul ratusan mahluk Iblis. Maling Siluman tersentak kaget, saat mendengar pemuda di sisinya berseru bagaikan tak merasa takut sedikitpun.
"Ayo, Oom-oom setan sekalian, apakah kalian ingin merasakan kue molen yang empuk? Mendekatlah ke mari, aku akan memberikan pada kalian dengan gratis cuma-cuma."
"Ki Sanak, apakah engkau tidak sedang bercanda?" tanya Maling Siluman terheran-heran menyaksikan tingkah pemuda disampingnya.
"Tidak, Ki Sanak, lihatlah aku akan memberikan pada mereka kue molen yang belum pernah mereka rasakan. Nah, lihatlah mereka rupanya menginginkan kue molen itu. Bersiaplah, Ki Sanak. Kita akan bermain tan jidor dengan Oom-Oom setan itu. Ya..." Pemuda yang tak lain si Jaka Ndableg berseru memperingatkan pada Maling Siluman, lalu tangannya dikiblatkan ke arah mahluk-mahluk Iblis yang segera mengarah ke arah mereka.
"Ajian Jamus Kalimusada. Hiat!"
"Duar! Duar! Duar!"
Ledakan berturut-turut membahana, menjadikan seluruh alam raya seketika bagaikan tercekam ketakutan demi Jaka Ndableg telah mengeluarkan ajian yang sungguh-sungguh tak dapat dikeluarkan dengan seenaknya. Bumi seketika bergoyang bagaikan diolengkan, bersamaan dengan angin yang datang menderu-deru. Pohon-pohon seketika tumbang, Jin marakayangan menjerit-jerit bagaikan terbakar panas api yang maha dahsyat. Saking hebatnya ajian Jamus Kalimusada yang dikeluarkan oleh Jaka Ndableg, sampai-sampai seluruh ratu Siluman yang ada di alamnya muncul dan menemui Jaka. Mereka seketika berkata sambil melelehkan air mata.
"Ampun, Tuan Pendekar, janganlah tuan pendekar mengeluarkan ajian Jamus Kalimusada. Oh, kami tak dapat tenang. Apapun yang tuan kehendaki, sekali-kali janganlah tuan pakai ajian itu. Sungguh-sungguh kiamat bagi dunia bila ajian tersebut tuan pendekar gunakan. Sekali lagi atas nama rakyatku, tariklah kembali ajian tersebut."
"Baiklah. Aku akan menarik ajian Jamus Kalimusada, asal kau mau tunjukan pada kami siapa adanya pelaku dari semua ini?" tanya Jaka Ndableg.
"Maksud Tuan Pendekar?"
"Siapakah orangnya yang telah melakukan ini semua? Kalau bangsamu, siapakah adanya?"
"Ampun, Tuan Pendekar, mahluk itu bukan bangsa kami, tapi bangsa Jin Marakayangan atau bangsa Iblis yang bernama Gondoruwo. Kini ia telah bersemayam pada diri seorang pemuda yang mengaku Anak Dewa," menjawab Sri Ratu siluman.
Dengan segera Jaka tarik kembali ajian Jamus Kalimusada, sehingga alam pun seketika tenang kembali. Bersamaan dengan itu, para ratu dan raja siluman menghilang pulang kembali ke alamnya masing-masing.
"Sungguh-sungguh ilmu yang dahsyat. Selama hidupku, baru kali ini aku melihat ilmu yang mampu membuat resah seluruh alam ini," bergumam Maling Siluman.
"Siapakah sebenarnya tuan pendekar ini?"
Jaka tersenyum sembari menjura hormat.
"Hamba yang masih muda dan bodoh ini bernama Jaka Ndableg."
"Apa...? Jadi kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah yang tengah menggegerkan dunia persilatan?" tanya Maling Siluman kaget, yang menjadikan Jaka Ndableg tersenyum seraya mengangguk mengiyakan.
"Pantas, kalau begitu."
"Ki Sanak sendiri. Kalau boleh aku tahu, siapakah Ki Sanak adanya? Dan kenapa pula Ki Sanak dikeroyok oleh mahluk-mahluk Iblis itu?" tanya Jaka balik.
"Aku yang rendah ini bernama Atma Kusuma atau Maling Siluman."
"Ah, ternyata tuan kah Maling Siluman itu?" desah Jaka yang diangguki oleh Maling Siluman atau Atma Kusuma.
"Sungguh aku tak menyangka kalau hari ini dapat bertemu dengan seorang pendekar penolong rakyat. Terimalah salam hormatku, sungguh aku telah berlaku tak sopan padamu."
Tersenyum Atma Kusuma atau Maling Siluman mendengar ucapan Jaka Ndableg. Maling Siluman hanya mampu gelengkan kepala, lucu melihat tingkah laku Jaka yang konyol. Dalam hati Maling Siluman berkata, "Ah, ternyata dalam kekonyolannya tersimpan kedigjayaan yang tinggi. Pantas kalau namanya sangat disegani oleh lawan maupun kawan."
"Apakah Tuan Pendekar Maling Budiman tidak mengerti siapa sebenarnya anak Dewa itu?" tanya Jaka kemudian, menjadikan Maling Siluman tersentak dari lamunannya.
Lalu dengan perlahan sambil keduanya berjalan Maling Siluman menceritakan siapa adanya Anak Dewa tersebut. Jaka yang mendengarkannya hanya manggut-manggut mengerti, tanpa banyak komentar atau pun menyela. Langkah keduanya begitu cepat, sepertinya mereka hendak memburu.
Jaka pun segera menceritakan tentang penemuannya di rumah Lompong Wulung, yang menjadikan dirinya mengerti tentang segala kejadian yang tengah menimpa kerajaan itu. Ditunjukkan surat yang terbuat dari daun lontar pada Maling Siluman, yang segera menerimanya dan membacanya.

* * * * *



:::≡¦ [ 8 ] ¦≡:::

Tergopoh-gopoh ketiga Iblis Cacat Rupa berlari. Sepertinya mereka tengah dikejar-kejar oleh seseorang musuh mereka. Napas ketiganya memburu, dengan keringat bercucuran di kedua keningnya. Wajah mereka yang biasanya sangar menakutkan, kini nampak pucat pasi. Sekali-kali mereka menengok ke belakang, lalu kembali mereka berlari dengan kencang sekencang-kencangnya.
"Apakah Maling Siluman ada di antara mereka, Sumbing?" tanya Jereng dengan napas ngos-ngosan.
"Aku kira tak ada," jawab Sumbing.
"Ah, kenapa kita mesti lari ketakutan?" keluh Bopeng.
"Ayo kita hadapi mereka. Apakah kita mesti takut pada kroco-kroco dunia persilatan?" tambahnya memberi semangat.
Orang yang dimaksud kroco-kroco oleh ketiga Iblis Cacat Rupa adalah para tokoh persilatan yang bergabung menjadi satu. Mereka memang bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan yang telah tahu sepak terjang mereka.
"Lagi pula, kenapa kita mesti takut pada Maling Edan itu?" menambah Sumbing memberikan keberanian pada kedua rekannya.
"Bukankah ada pimpinan kita si Anak Dewa?"
"Ah, benar. Ayo kita layani mereka. Kalau kita terdesak, bukankah kita dapat segera memanggil si Anak Dewa hanya dengan cara menyebut namanya?"
Sedang ketiganya bercakap-cakap, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara teriakan para tokoh persilatan yang telah mendekat ke arah mereka.
"Itu mereka, ganyang Iblis-Iblis itu!"
"Jangan biarkan hidup-hidup!"
Mendengar seruan-seruan para tokoh persilatan, seketika ketiga Iblis Cacat Rupa menggeretak marah. Dengan berani karena merasa tak ada orang yang ditakuti, serta merta ketiga Iblis Cacat Rupa berkelebat memapaki mereka. Tak ayal lagi, pertarungan tawuran itu pun terjadi.
Namun walau dikeroyok oleh sebanyak itu, ketiga Iblis Cacat Rupa tak merasa gentar. Ketiganya menyerang dengan membabi buta. Korban dari pihak persilatan aliran lurus pun berjatuhan. Hal itu menjadikan kemarahan tokoh-tokoh tua yang dengan segera menggempur ketiga Iblis Cacat Rupa.
Kini pertarungan makin seru, antara tokoh-tokoh tua dari aliran lurus dengan Tiga Iblis Cacat Rupa. Rupanya pengalaman memang lebih menentukan dalam hal ini, terbukti para tokoh tua dapat dengan mudah mendesak ketiga Iblis Cacat Rupa.
Hampir saja ketiga Iblis Cacat Rupa dapat mereka kalahkan, ketika secara tiba-tiba terdengar suara gelak tawa seorang yang dibarengi dengan berkelebatnya sesosok tubuh yang langsung menyerang ke arah tokoh-tokoh persilatan. Anak muda itu ternyata si Anak Dewa, menjadikan ketiga Iblis Cacat Rupa makin bertambah semangatnya merasa tuannya datang menolong.
Ketiganya pun segera balik menyerang para tokoh persilatan. Tak ayal lagi, para tokoh persilatan pun kini yang terdesak mundur. Apalagi si Anak Dewa sangat tinggi ilmunya, sehingga sukar untuk mengalahkannya. Walau para tokoh persilatan tahu bahwa si Anak Dewa bukanlah musuh mereka, namun demi membela keadilan mereka tak mau mengalah begitu saja. Dengan prinsip lebih baik mati untuk membela kebenaran, daripada mengalah untuk mengabdi pada Iblis, mereka tampak gagah berani.
Melihat kegigihan para tokoh persilatan, si Anak Dewa nampak tersentak kaget juga. Walaupun ia memiliki ilmu segudang, tapi kalau dikeroyok segitu banyaknya jelas tenaganya akan terkuras habis. Apalagi para pengeroyoknya seperti tak mengenai takut, terus merangseknya.
"Kalau begini terus menerus, aku rasa aku" pun tak akan mampu bertahan. Hem, lebih baik akan aku panggil sekutu-sekutuku."
Segera si Anak Dewa yang mendapat julukan dari kaum persilatan aliran lurus si Durjana, menghentakkan kakinya tiga kali berturut-turut ke tanah. Bersamaan dengan itu, dari dalam tanah muncul ratusan mahluk menyeramkan menyerang para tokoh persilatan. Melihat para sekutunya datang, segera Ken Wijaksono atau Anak Dewa melesat pergi diikuti oleh ketiga Iblis Cacat Rupa meninggalkan tempat pertarungan tersebut.
Kini para tokoh persilatan itu berhadapan dengan mahluk-mahluk menyeramkan yang tak mengenai kompromi. Tak ayal lagi, dalam sekejap saja lumatlah para tokoh persilatan dibantai dengan sadis oleh mahluk-mahluk Iblis tersebut. Tubuh mereka dicabik-cabik dan dimakan dengan menggidigkan.

* * * * *



Jaka Ndableg dan Maling Siluman yang siang itu tengah berjalan menyusuri hutan untuk memburu si Durjana, tersentak manakala melihat banyak tulang-tulang manusia berserakan. Tulang-tulang itu seperti baru saja dikuliti, sehingga masih banyak daging-daging yang melekat di situ. Mata kedua pendekar pembela kebenaran itu terbelalak, tak percaya pada apa yang mereka lihat hingga sampai-sampai keduanya berseru kaget.
"Gusti Allah, ternyata mahluk-mahluk itu makin mengganas!"
"Ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut."
"Benar apa katamu, Saudara Maling Siluman," jawab Jaka, yang masih jongkok sembari memunguti tulang-tulang tersebut. Keduanya segera mengubur tulang-tulang itu, sebagaimana layaknya.
"Kita harus bertindak cepat, jangan sampai didahului oleh mereka," gumam Jaka Ndableg, yang diangguki oleh Maling Siluman.
Setelah keduanya mengubur tulang-tulang tersebut, keduanya sesaat duduk-duduk di bawah sebuah pohon. Angin bertiup dengan semilir, menjadikan keduanya merasakan kantuk yang teramat sangat. Tersentak Jaka manakala merasakan hawa aneh di sekelilingnya. Ia sadar, kalau di situ tengah terjadi sesuatu yang hendak mengancam jiwanya dan Maling Siluman. Hawa kantuk makin merajah, menjadikan Maling Siluman seketika tak mampu kuasai diri. Maling Siluman pun akhirnya tertidur pulas. Jaka tersentak, segera ia duduk bersila heningkan cipta dan melakukan meditasi.
"Hem, ternyata ada mahluk yang sengaja menyirep. Baik. Maling Siluman dapat kalian akali, namun aku si Pendekar Pedang Siluman Darah tak akan mudah kalian tipu, Mahluk jelek!" menggeretak Jaka dalam hati. Segera Jaka hentakkan napasnya kencang, ke arah Maling Siluman, seketika itu Maling Siluman terjaga dari tidurnya.
"Ada gerangan apa, Saudara Jaka?" tanyanya terheran-heran, sepertinya ia baru saja terjaga dari mimpi. Jaka hanya memberi isyarat agar ia hati-hati.
Belum juga Maling Siluman mengerti apa maksud Jaka, tiba-tiba sekelompok wanita cantik yang entah dari mana datangnya muncul menuju ke arah mereka. Senyum wanita-wanita cantik itu nampak manis dan menggoda. Mungkin kalau lelaki lain akan jatuhlah hati mereka.
"Siapa mereka, Saudara Jaka?" tanya Maling Siluman tak mengerti seraya kerutkan kening.
"Hati-hatilah, mereka itu sebenarnya musuh kita. Mereka sengaja didatangkan oleh si Anak Dewa untuk mempengaruhi kita biar kita jatuh," jawab Jaka menerangkan.
"Kalau begitu mereka juga sebangsa mahluk Iblis itu?"
"Benar apa katamu, Maling Siluman. Lihatlah dengan mata batin yang tenang, kau pasti akan melihat siapa adanya mereka."
Maling Siluman segera menurut apa yang dikatakan Jaka. Segera Maling Siluman memusatkan segalanya pada satu tujuan, lalu dengan segera dibukanya mata batin. Tampak olehnya, bahwa wanita-wanita cantik tadi berubah meng jadi Kolong Wewe. Buah dada mereka panjang menjurai ke bawah, sementara mulut mereka lebar dengan taring-taring panjang menyeramkan. Mata mereka yang tampak lentik, kini merupakan mata yang lebar menakutkan berwarna merah membara.
"Bagaimana, Saudara Atma? Apakah kau telah tahu?"
"Benar.... Mereka tak ubahnya para Kalong Wewe," jawab Maling Sakti.
"Kita harus mendahului mereka."
"Baik, ayo kita mulai."
Tanpa diduga-duga oleh para Kalong Wewe itu, Jaka Ndableg dan Maling Siluman telah berkelebat menyerang mereka. Kalong Wewe itu tersentak dan berusaha mengelak, namun hantaman ajian Lampus Umur dan Tapak Bahana telah menghancur leburkan mereka yang seketika lebur menjadi serpihan-serpihan debu. Jaka dan Maling Siluman nampak tak mau memberi hati pada para Kalong Wewe. Mereka terus menghantamkan ajian yang mereka miliki tanpa memberi kesempatan pada para Kolong Wewe itu untuk balik menyerang.
Dihantam oleh dua ajian yang sangat dahsyat itu, seketika para Kalong Wewe itu menjerit. Tubuh mereka hangus terbakar, lalu hancur lebur menjadi abu. Sisa-sisa mereka yang masih hidup, seketika lari pontang panting dan menghilang di balik pohon gebang. Jaka dan Maling Siluman tak mau membiarkan mereka begitu saja, segera mereka pun menyerang pohon gebang itu dengan ajian yang mereka miliki. Seketika terdengar pekikkan kematian, bersamaan dengan ambruknya pohon gebang itu lebur terhantam dua ajian sekaligus.
Setelah merasa bahwa para demit itu benar-benar telah tak ada segera kedua pendekar itu berkelebat meninggalkan hutan untuk terus mencari si Anak Dewa atau Ken Wijaksono.

* * * * *



Kerajaan Purba Wisesa seketika diguncang oleh suatu pembunuhan sang Raja yang dilakukan oleh Anak Dewa. Namun begitu, semua rakyat tak ada yang berani menentangnya, sehingga Anak Dewa dengan segera dapat menjadikan kerajaan takluk dalam kuasaannya. Perombakan terjadi hari itu juga. Sebagai raja baru, jelas Anak Dewa tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas. Diperintahkan pada para prajuritnya untuk menangkap Maling Siluman dan Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Prajurit, cari kedua pendekar itu. Tangkap mereka hidup-hidup atau pun mati, segera!"
"Daulat, Baginda Anak Dewa, segala titah paduka akan kami junjung tinggi," menjawab sang Prajurit.
Hari itu juga, beberapa puluh prajurit kerajaan segera menjalankan tugasnya. Mereka harus menemukan dua pendekar yang namanya sangat kondang dan disegani baik lawan mau pun kawan. Setelah menjadi Raja, Anak Dewa segera mengangkat ketiga Iblis Cacat Rupa menjadi patihnya.
Ditambah lagi dengan patih utama yang ia angkat dari bangsa Iblis, yaitu Wulung Gembong. Wulung Gembong adalah panglima prajurit di kerajaan Gondoruwo, yang dapat meloloskan diri manakala Wiraba menghancurkan kerajaan tersebut. Kini Wulung Gembong diangkat kembali dengan kedudukkan yang lebih tinggi.
Semenjak Anak Dewa menjabat jadi raja, maka si Durjana itu pun dengan sewenang-wenang berbuat. Kesukaannya memperkosa anak-anak gadis makin menjadi-jadi, menjadikan Wulan makin lama makin tak suka padanya. Diam-diam Wulan mendendam pada Iblis Durjana.
Sebagai seorang wanita, jelas Wulan tak mau kaumnya dibuat semena-mena oleh Anak Dewa kekasihnya. Namun untuk berbuat, Wulan tak mampu menghadapi Anak Dewa atau si Durjana. Wulan hanya berharap akan datang pemuda yang ternyata Pendekar Pedang Siluman Darah.
"Kenapa akhir-akhir ini kakang berbuat terlalu biadab?" tanya Wulan pada suatu hari manakala keduanya tengah duduk-duduk memadu kasih yang sebenarnya hambar bagi Wulan.
Jawaban dari pertanyaan itu hanyalah senyum. Hal itu makin menjadikan Wulan dongkol dan dendam yang tiada takaran pada Ken Wijaksono. Sebenarnya dendam itu sejak lama bersarang di hati Wulan. Ayahnya dibunuh dengan sadis oleh pemuda ini, sedang kekasihnya juga begitu. Jadi jelaslah, bahwa Wulan menuruti kemauan Ken Wijaksono hanya untuk mencari kesempatan membalas sakit hati dan dendamnya pada pemuda ini.

* * * * *



Jaka dan Maling Siluman yang tengah memburu si Durjana seketika hentikan langkah manakala terdengar seruan prajurit, yang menyuruh mereka berhenti.
"Hai, ada apa kalian mencariku?" tanya Maling Siluman heran, manakala melihat prajurit kerajaan mencari-cari dirinya.
"Ampunkan kami, Pangeran Atma Kusuma," menjawab ketua prajurit, dengan suara tersendat sepertinya berat.
"Kerajaan kini telah berubah total."
"Berubah? Berubah bagaimana maksudmu, Tirta?" tanya Maling Siluman belum juga mengerti.
Dengan terlebih turun dari kudanya dan menyembah pada pangeran kerajaannya, Tirta Jumena selaku ketua prajurit segera menceritakan apa yang telah terjadi di kerajaan seminggu yang lalu. Tersentak Maling Siluman dan Jaka Ndableg, demi mendengar cerita yang dibeberkan oleh Tirta.
"Benarkah ucapanmu, Tirta?"
"Daulat, Kanjeng Pangeran," jawab Tirta kembali menyembah.
"Baiklah, aku dan saudara Jaka akan segera datang ke sana," berkata Maling Siluman.
"Ayo Jaka, kita ke kerajaan. Ternyata orang yang kita cari-cari telah membuat sebuah kekacauan di sana. Kita tak usah repot-repot lagi mencari-carinya."
"Ayo..." jawab Jaka.
Maka dengan segera kedua pendekar pembela kebenaran itu pun segera berkelebat mendahului prajurit yang mengenakan kuda menuju ke kerajaan.
"Rupanya memang apa yang menjadi bayanganku benar adanya," mendesah Maling Siluman seraya berlari, diikuti oleh Jaka yang berada di sampingnya.
"Maksudmu?"
"Dulu aku pernah membayangkan kalau Ramanda Prabu akan meninggal oleh keturunan patihnya yang ternyata Gondoruwo. Dan ternyata segalanya benar terjadi."
"Kalau begitu, dulu kerajaan dipimpin oleh patih Iblis?"
"Benar apa yang engkau katakan. Bahkan Brah Amungkarti jauh melebihi Iblis. Tindakan serta perbuatannya melebihi tindakan Iblis. Dia juga menggauli ibunda manakala Ramanda tengah tak ada, yang akhirnya ibunda lahir si Durjana itu."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Jaka masih belum mengerti.
"Ya, namanya saja Gondoruwo. Bukankah mahluk Iblis itu memang suka mengganggu wanita?" tanya Maling Siluman seperti pada diri sendiri.
"Mulanya juga aku kaget tatkala Ramanda yang katanya hendak pergi menemui raja seberang tiba-tiba datang kembali. Tak aku sangka kalau itu adalah tipu muslihat Iblis Gondoruwo."
"Lalu apakah Ibunda Ratu tak merasakan kelainan?"
"Entahlah, Jaka," mengeluh Maling Siluman, menjadikan Jaka turut trenyuh.
Kedua orang pendekar itu terus berlari dan berlari dengan ajian yang mereka miliki, sehingga lari mereka bagaikan tiupan angin saja. Tak berapa lama kemudian, kedua pendekar itu sampailah di alun-alun kerajaan. Semua mata rakyat memandang gembira kedatangan Maling Siluman, yang bagi mereka adalah penolong sekaligus pembelanya.
Rupanya kedatangan kedua pendekar itu telah diketahui oleh Anak Dewa. Maka kedatangan kedua pendekar itu disambut oleh serangan beruntun para prajurit. Berdesing-desing ratusan anak panah memburu tubuh kedua pendekar tersebut.
"Bedebah! Ternyata Anak Dewa tak lebihnya seorang pengecut!" memaki marah Maling Siluman, sementara tangannya dengan segera kibaskan pedang membabat putus seluruh anak panah.
"Kalau memang Anak Dewa menghendaki nyawa kami, kami minta keluarlah dan tangkap sendiri diri kami ini! Jangan seperti pengecut!"
Mendengar seruan Maling Siluman, marahlah Anak Dewa. Ia merasa dihina benar-benar di hadapan para prajuritnya. Maka dengan amarah yang meluap-luap di dada, Anak Dewa segera berkelebat diikuti oleh keempat patihnya.
"Aku datang, Maling Busuk!" membentak Anak Dewa.
"Hem, rupanya kau memang telah dikuasai oleh ayahmu yang Iblis. Menyesal aku dulu mengambilmu dari kuburan!"
Membeliak marah Anak Dewa hingga dari tubuhnya seketika memancarkan sinar merah membara laksana api. Tubuhnya mengepul mengeluarkan asap, matanya memandang tajam dengan sorot mata penuh hawa kematian. Lalu dengan suara parau laksana suara Gondoruwo, si Durjana membentak.
"Bedebah! Hari ini kalian akan aku lumatkan! Tentunya pemuda di sampingmu itu yang bernama Pendekar Pedang Siluman Darah, Maling busuk!"
"Hem, suaramu lantang penuh dengan kesombongan. Apakah nanti ilmumu dan keberanianmu juga besar dan lantang?" Jaka ikut nimbrung berkata. Dasar Jaka Ndableg, walau menghadapi musuh yang sudah diketahui kehebatannya masih saja ia cengar-cengir seperti tak memandang sebelah mata.
"Tubuhmu memang memancarkan cahaya, yang dapat digunakan sebagai lampu penerang bila gelap gulita. Tapi kenapa otakmu kok gelap?"
"Bangsat! Lancang kau berkata padaku, Anak edan!" menggeretak marah Anak Dewa mendengar ucapan Jaka yang ceplas ceplos bagaikan orang gendeng.
"Jangan salahkan kalau wajahmu yang tampan akan hilang hari ini juga!"
"Hemm benarkah itu? Mau dikemanakan wajahku yang tampan ini? Atau mungkin hendak untuk mengganti wajahmu yang buruk dan bau itu, Iblis dungu?" kembali Jaka ngelantur ngomong, menjadikan makin marah saja si Durjana.
"Pendekar Edan! Aku tak tenang bila belum menyate tubuhmu!" menggeretak si Durjana.
Namun hal itu bukannya menjadikan Jaka takut atau gentar, malah ia bagaikan digelitik tertawa bergelak gelak seraya berkata.
"Wadow, sadis amat... Memangnya aku ini apa, Mas?"
"Kunyuk! Akan aku buktikan, hiat...!"
Serta merta si Durjana menyerang Jaka, dibarengi dengan keempat patihnya yang menyerang Maling Siluman. Pertarungan pun segera terjadi. Dua pendekar itu harus menghadapi empat orang musuh. Namun begitu, nampaknya mereka seimbang, bahkan kedua pendekar itu malah mendesak musuh-musuhnya. Menerima kenyataan itu, serta merta si Durjana menggereng seraya hentakkan kaki ke tanah tiga kali. Maka dari dalam tanah muncullah puluhan mahluk menyeramkan mengeroyok dua pendekar.
Melihat hal itu, segera Jaka dan Maling Siluman bareng hantamkan ajian mereka. Luluh lantaklah mahluk-mahluk itu hangus terbakar. Namun untuk kedua kalinya, mahluk-mahluk itu kembali muncul dari dalam tanah. Kali ini jumlah mereka makin bertambah banyak. Jaka dan Maling Siluman yang telah beberapa kali menghadapi mahluk-mahluk itu tak mau main-main. Segera Jaka lemparkan tubuh ke belakang seraya berseru pada Maling Siluman.
"Saudara Maling Siluman, minggirlah. Hadapi mereka, biar aku yang menghadapi mahluk-mahluk genit ini. Mereka semestinya diberi hadiah tiket ke neraka sebagai hadiah atas kegenitan mereka yang bila mengikuti kontes pasti akan menjadi nomor urut super bawah."
Maling Siluman yang telah mengerti siapa adanya Jaka Ndableg, segera menurut mundur dan terus mencerca ketiga Iblis Cacat Rupa.
Sementara Jaka Ndableg, segera duduk bersila seperti tak gentar menghadapi mahluk-mahluk itu yang makin lama-makin mendekat.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Mahluk-mahluk itu seketika menjerit dan menghilang lenyap manakala melihat Pedang Siluman Darah telah tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Seketika Anak Dewa dan keempat patihnya terbelalak melihat pedang di tangan Jaka. Mata mereka tak berkedip, menyaksikan pedang yang dari ujungnya mengalir darah membasahi batang pedang. Tiba-tiba, Jaka yang tengah memusatkan segalanya pada pedang tersentak manakala si Durjana menyerangnya secara cepat tanpa diduga. Saking kagetnya Jaka, sehingga Jaka pun segera tebaskan Pedang Siluman Darah.
"Wuut...!"
"Ah...!" memekik si Durjana kaget, berbarengan dengan buntungnya tangan kiri terpenggal Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Tak dapat dibendung lagi kemarahan si Durjana, menerima kenyataan itu. Karena saking marahnya, sehingga tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi mahluk berbulu lebat menyerupai monyet namun tinggi dan besar.
Jaka tersentak kaget, sehingga ia terpaku diam melihat hal itu. Manakala tangan mahluk semi kingkong itu bergerak menyabetnya, Jaka pun terpental tak dapat menghindar. Dadanya terasa sesak, kepalanya terasa pening berkunang-kunang. Namun ketika untuk kedua kalinya Gondoruwo itu hendak menghantamnya lagi, dengan sisa-sisa tenaga Jaka berkelebat memburu dengan pedang Siluman Darah di tangannya.
"Hiat "
"Wuut... Wuut... Wuuuut...!" Tiga kali Pedang Siluman Darah berkelebat membabat tubuh Gondoruwo, yang seketika itu memekik lalu ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang-cincang.
Tengah semuanya terpaku menyaksikan kematian si Durjana atau Anak Dewa, seorang gadis tiba-tiba berkelebat dan mengambil kepala si Durjana. Tanpa dapat dicegah, tangan gadis yang bernama Wulan menghantam batok kepala si Durjana hingga remuk.
Di pihak lain, keempat patih kerajaan si Durjana menjerit manakala ajian Lampus Umur tingkat pamungkas yang dilancarkan oleh Maling Siluman menghantam tubuh mereka. Lebur seketika tubuh keempatnya menjadi debu, beterbangan ditiup angin yang seketika itu datang.
Jaka tersentak kaget, manakala pipinya tiba-tiba ada yang mencium. Setelah Jaka melihat, ternyata gadis Wulan yang telah memberi ciuman padanya. Wajah Wulan merah tersipu-sipu dipandang Jaka, menjadikannya seketika tertunduk malu."
"Kenapa kau menciumku?" tanya Jaka.
"Aku... aku... karena aku... aku mencintaimu."
Seketika semua yang ada di situ tersenyum mendengar pengakuan Wulan yang jujur, tinggallah Jaka yang geleng-geleng kepala.
Angin bertiup semilir, mengiringi kepergian Jaka meninggalkan kerajaan Purba Wisesa. Di belakangnya, nampak seorang gadis wanita muda yang tak lain Wulan melepas kepergiannya dengan tatapan mata yang penuh kagum. Air mata Wulan seketika meleleh, sepertinya tak rela kalau Jaka pergi meninggalkannya...

S E L E S A I

CINTA MEMENDAM DENDAM


INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Bidadari Selendang Ungu --oo0oo-- Cinta Memendam Dendam


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.