Life is journey not a destinantion ...

Cinta Memendam Dendam

INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Sumpah Si Durjana --oo0oo-- Pertarungan Dua Datuk



JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : CINTA MEMENDAM DENDAM

Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

CINTA, suatu tanggapan yang indah. Cinta terlahir sejak jaman dahulu, sejak manusia belum mengenal tulisan serta bahasa. Dulu walau hanya dengan isyarat, namun tetap saja dinamakan cinta. Bagi mereka yang tengah menyanyikan alunan cinta, merasakan indahnya dunia. Lupa akan semua yang terjadi, lupa akan terjadi.
Meskipun semuanya akan berubah, tetapi dengan cinta segalanya menjadi indah. Itulah Cinta, yang datang membuat hati senang dan lupa segalanya. Yang pergi membuat luka yang tiada dapat terobati. Kadang cinta mampu membuat orang gila, merana bahkan trauma.
Dua muda mudi tengah duduk-duduk di tepi telaga, tampak nampak mesra. Sekali-kali saling saling lempar senyum, atau saling cubit-mencubit. Gelak tawa pun membahana, saat salah satu dari kata ganti-kata yang mungkin bagi siapa saja lagi dianggap lucu.
"Kakang, apakah kita akan selalu begini terus menerus?"
"Maksudmu, Dinda?" tanya si pemuda yang bernama Warakas sembari menatap si gadis yang bernama Sulastri. Lebih dari tiga bulan menjalin cinta, lewat pandangan pertama yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi.
"Apakah kita akan selalu begini?" kembali Sulastri bertanya.
Warakas terdiam hening nan bisu, ia belum memikirkan akan apa yang dinamakan perkawinan. Lagi pula, bukankah ia baru mengenal Sulastri tiga bulan yang lalu? "Ah, kesusu anak ini," gumam hati Warakas, "Apakah dikira untuk perkawinan cuma kawin saja? Kalau kawin saja sih, aku mau. Tapi membentuk sebuah keluarga, aku belum siap lahir maupun batin."
"Bagaimana, Kakang? Kenapa kau tercenung diam?"
"Ah, ti-tidak," jawab Warakas terbata karena tersentak oleh pertanyaan Sulastri yang tiba-tiba.
"Sulastri, untuk membentuk sebuah perkawinan kita perlu adanya modal yang kuat. Bukan hanya siap mental, namun kita harus siap segalanya. Apalagi aku belum mempunyai pekerjaan tetap. Apakah kita akan menuruni orang tua kita yang menjadi petani? Ah, aku tak sanggup untuk itu, Sulastri? Aku telah dididik oleh guru segala macam ilmu, apakah aku hanya menyerah pada nasib? Aku ingin kita nantinya kaya, dan hidup serba cukup. Cukup sandang pangan, cukup segalanya. Kau harus sabar, Sulastri."
Sulastri yang gadis lugu, seketika manggut-manggut dengan hati senang demi mendengar segala cita-cita kekasihnya. Entahlah, mengapa Sulastri mempercayai segala omongan Warakas. Padahal ia belum tahu siapa sebenarnya Warakas, lalu dengan maksud apa pemuda gagah itu mendekatinya.
Padahal banyak gadis-gadis di kampung Sulastri yang tertarik pada Warakas, namun Warakas kenapa memilih dirinya yang bodoh dan anak orang tak mampu? Banyak anak Lurah atau para pamong praja yang menyukainya, tapi kenapa Warakas memilih Sulastri? Kalau ingat itu semua Sulastri hanya dapat tersenyum, senyum polos dari seorang gadis desa yang lugu.
Mungkin karena Sulastri merupakan gadis desa yang masih polos dan lugu itulah, yang membuat Warakas memilihnya. Mungkinkah ada maksud lain di hati Warakas pada Sulastri? Entah, yang tahu pasti adalah Warakas sendiri sebagai pelaku utama dalam jalinan cinta yang keduanya bina.
Awal pertemuan cinta mereka awali dengan pandangan pertama yang indah, yang mampu mengguratkan sebuah catatan tersendiri di hati insan Tuhan itu. Waktu itu Warakas datang ke kampung Dukuh Gempol dengan tujuan menemui pamannya yang menjadi seorang guru ngaji.
Sulastri yang juga mengaji di tempat Kyai Safei, tiba-tiba hatinya menjadi gundah manakala mengadu pandang dengan Warakas. Mata keduanya beradu, seakan ingin mengulur benang-benang yang telah mereka rajut. Dan tanpa malu-malu, Warakas malam itu juga menawarkan jasa pada Sulastri untuk mengantarkan ke rumah.
"Aku antar, ya?"
"Ah tak usah, aku berani kok," jawab Sulastri sembari tersenyum ramah. Senyumnya itulah yang membuat jantung Warakas seketika berdegup dengan kencang. Perasaannya tak menentu, bergelut dengan segala macam kalimat.
"Tapi bolehkan kalau aku mengenalmu?" tanya Warakas kemudian.
Sulastri hanya terdiam, matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba mulut Sulastri yang mungil berseru pada temannya, "Hamidah, ayo kita bareng berjalan!"
Tersentak Warakas mendengar seruan Sulastri, yang dirasa telah mengacuhkannya. Hati Warakas seketika bergumul dengan rasa, dan berkata dengan keluh.
"Hem, rupanya dia belum kenal siapa aku. Nanti kaulah yang akan mengejar-ngejar aku..."
Dengan hati masih dipenuhi seribu macam perasaan Warakas akhirnya berlalu kembali ke rumah pamannya, tak hiraukan lagi pada segala gelap malam yang menyelubungi bumi. Malam itu Warakas tak dapat tidur, bayangan wajah Sulastri terus menggayut dalam benaknya. Perasaan untuk menaklukkan Sulastri terus meledak-ledak di dalam hatinya, seperti bara api yang tak mau padam begitu lupa. Entahlah, sepertinya dalam hati Warakas hanya ada satu wajah, Sulastri.
"Aku harus dapat! Ya, aku harus dapat menaklukkannya!" desah Warakas dalam hati. Matanya yang sedari tadi diajak tidur, tak juga mau terpejam. Perasaan kecewa karena ditolak mengantar Sulastri ke rumah, menjadikan Warakas bagaikan ditantang.
Seperti halnya Warakas, saat itu juga Sulastri pun merasakan hal yang serupa. Perasaan bersalah telah menolak Warakas untuk mengantarnya, seperti menjelajahi hati. Entahlah, mengapa Warakas yang baru ia kenal begitu menggurat hati? Sulastri sebenarnya pun menaruh hati pada Warakas, namun karena merasa orang tak punya dan bodoh menjadikan Sulastri menekan sedapat mungkin perasaannya.
"Apakah mungkin, aku yang bodoh dan miskin ini menerima cinta Warakas yang pintar dan keturunan orang berada? Apakah nantinya aku tidak dijadikan sebagai budaknya, bukan sebagai istri?"
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menjadikan Sulastri terus menekan gejolak jiwanya. Belum juga masalah keluarga, apakah mungkin orang tua Warakas akan mau menerimanya? Ya, memang biasanya orang akan melakukan penyeleksian yang ketat pada segala yang bakal menjadi milik diri atau anggota dirinya.
Seperti halnya Warakas, Sulastri pun malam itu tak dapat memejamkan mata barang sekejappun. Bayangan Wakaras, bayangan keadaan diri, juga bayangan keluarga Warakas yang Santri. Ah, semuanya seperti memaksa hati Sulastri untuk berpikir dan berpikir sebelum menerima cinta Warakas.
"Ooh, adakah cinta harus mengenal kelas? Adakah aku dilahirkan sesuai dengan kodratku? Kenapa aku tak menjadi anak orang berada seperti Warakas, sehingga aku dapat mendampinginya? Oh... Warakas, mungkinkah kita akan dapat menyatu...?" keluh Sulastri penuh kebimbangan.
Malam itu pun, dilalui Sulastri dan Warakas dengan segala macam pikiran. Kadang Sulastri atau Warakas tersenyum geli sembari gelengkan kepala, entah apa yang keduanya pikirkan. Malam pun berlanjut, membawa hening dan sunyi. Ketika lamat-lamat terdengar kokok sang ayam, keduanya baru dapat tertidur. Hal itu menjadikan keduanya lupa sholat Subuh. Pada waktu Kyai Safei membangunkan kemenakannya, mata Kyai Syafei seketika terbelalak. Bagaimana mungkin, sang kemenakan masih tertidur padahal hari telah pagi.
"Warakas! Warakas, bangunlah hari sudah pagi. Apakah kau tidak sholat Subuh?" tanya Kyai Safei membangunkan Warakas. Warakas sesaat menggeliat, lalu bangun dengan terlebih dahulu mengucak-ucak matanya yang masih terasa ngantuk.
"Astagfirullah! Warakas, kau...!" seru Kyai Safei kaget, menjadikan Warakas celigukan bagai orang kebingungan seraya bertanya tak mengerti.
"Ada apa, Paman?"
"Kau ngompol...?" tanya Kyai Safei kembali, matanya membelalak kaget tak percaya.
"Kau..."
"Ah...." Warakas tersentak, serta merta menutupkan tangannya ke bawah. Dengan terbata-bata Warakas segera mengatakan apa yang menjadikan dirinya bisa begitu.
"Ma... maaf, Paman. A... aku..."
"Ah, sudahlah. Ayo kau mandi besar, sana!"
Dengan tanpa banyak kata lagi Warakas segera berlari ke belakang menuju sumur. Perasaan malunya, menjadikan Warakas melipir berjalan meninggalkan pamannya yang hanya geleng-geleng kepala. Dengan tersenyum kecut, sang paman pun segera berlalu pergi.

* * * * *



Sebagaimana kata pepatah, orang akan berusaha mendapatkan apa yang belum ia dapatkan walau dengan pengorbanan yang besar. Seperti pepatah tersebut, Warakas pun tak mau mundur begitu saja. Apalagi Sulastri telah mampu membuat ia terkencing dalam tidur, menjadikan Warakas mau tak mau terus berusaha mendapatkannya.
"Sulastri, terus terang aku..."
"Aku kenapa? Kenapa kau gugup?" tanya Sulastri pada Warakas, demi mendengar ucapan Warakas yang gugup yang saat itu kembali menghadangnya manakala Sulastri habis mengaji di Kyai Safei.
"Bukankah kau laki-laki, kenapa mesti gugup? Katakanlah!"
Mendengar ucapan Sulastri yang sepertinya mendorong, Warakas seketika tersenyum. Dan setelah terlebih dahulu menyeka keringat yang ada di pelipis, Warakas pun berkata, walau masih tampak tersendat.
"Sulastri, aku... aku mencintaimu..."
"Ah!" tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas. Walau hati kecilnya sebenarnya berkata, "Oh, mengapa aku miskin? Mengapa aku diciptakan untuk menjadi orang miskin?"
"Kenapa, Sulastri? Apakah kau tak mau menerima cintaku?"
"Bu... bukan," jawab Sulastri tersentak dari lamunannya. Mata Sulastri berkaca-kaca, seakan ia ingin menangis. Ya, Sulastri ingin sekali menangis. Tapi tangis apa? Apakah tangis bahagia? Atau barangkali tangis akibat luapan emosinya? "Aku hanya kaget!"
"Kaget...? Kaget kenapa...?" tanya Warakas masih belum mengerti, matanya menyipit sempit memandang pada Sulastri yang akhirnya tertunduk. Dan tiba-tiba dari mata Sulastri mengalir air bening, meleleh membasahi pipi.
"Kenapa kau menangis, Sulastri? Kau sedih?"
Sulastri gelengkan kepala, menjadikan Warakas terpaku tak tahu harus berbuat apa. Keduanya hanya terdiam membisu, tanpa kata tanpa reaksi. Warakas masih terus terbawa oleh alunan kebisuan, dengan tatapan matanya memandang pada mata Sulastri yang menangis.
"Ehm... ehm!"
Tersentak keduanya manakala mendengar suara deheman. Seketika keduanya menengok ke arah suara itu. Mata keduanya terbelalak, manakala tahu siapa adanya yang datang.
"Paman..." desah Warakas.
"Guru..."
Kyai Safei tersenyum melihat murid dan kemenakannya kaget. Digelengkan kepala dengan senyum yang masih terurai di bibir, lalu katanya kemudian, "Sulastri, apakah kau tak pulang? Hari telah larut... Warakas, antarkan dia!"
"Ti..." Sulastri hendak menolak, manakala dengan segera Kyai Safei memotongnya.
"Jangan menolak, Lastri! Hari telah begini larut, tak baik untuk seorang gadis."
"Benar apa yang diutarakan paman, memang tak baik kalau seorang gadis malam-malam begini harus berjalan sendirian. Percayalah padaku, aku dengan tulus mengantarmu," menambahkan Warakas, sementara bibirnya masih terurai senyum.
Sulastri akhirnya hanya terdiam dan diam dengan seribu macam perasaan yang ada di dalam hati. Kedua muda-mudi itu pun akhirnya berjalan beriringan meninggalkan pondok Kyai Safei. Kyai Safei hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat kemenakannya yang nampak mempunyai hati dengan muridnya.
"Memang cocok mereka. Ah, apakah aku akan tega membiarkan hati mereka gundah?" keluh Kyai Safei dalam hati.
"Biarlah! Kalau memang jodoh, mau apa lagi?"
Kedua muda-mudi itu berjalan dalam diam, tanpa ada yang berani untuk mendahului berkata. Hanya sekali-kali keduanya saling pandang, lalu bibir mereka pun tersenyum. Hingga dengan pandang dan senyum itulah, kedua muda mudi yang tengah dimabuk asmara mengutarakan apa yang terkandung dalam hati mereka.
"Lastri..."
"Ya..." jawab Lastri setengah mendesah.
"Apakah kau tak suka denganku?" tanya Warakas kemudian, setelah untuk beberapa lama hanya diam dan diam. Mata Warakas yang tajam, menghunjam tajam pada mata Sulastri. Keduanya berhenti melangkah, saling pandang dan kaitkan hati. Tak terasa, tangan Warakas perlahan menggenggam tangan Sulastri.
Mulanya Sulastri bermaksud menolak, namun ketika ditatapnya mata Warakas yang seakan mengandung harapan, Sulastri pun hanya diam. Tangan keduanya saling remas, membuat sebuah keratan-keratan lembut yang menjalar hingga ke hati keduanya. Keduanya lama diam, tangan mereka saling kait dan mata mereka saling pandang. Ah, mesranya cinta. Lama kejadian itu berjalan, sehingga tak terasa waktu makin berlalu dengan cepat. Setelah dirasa telah begitu lama, Warakas pun kembali mengajak Sulastri berjalan.
"Kau mau menerima cintaku, Lastri?" tanya Warakas.
"Apakah perlu aku katakan lagi, Kakang?"
"Ah, sungguh sejuk kedengarannya kau sebut aku, Kakang!" ledek Warakas menjadikan Sulastri seketika memelototkan mata. Melihat hat itu Warakas bukannya takut, bahkan dengan lembut dipetiknya mata Sulastri dengan jari telunjuk. Sulastri merengah, seperti merasakan indahnya malam itu.
"Apakah pantas aku yang miskin ini untuk mencintaimu, Kakang?"
"Kenapa tidak, Lastri," jawab Warakas, menjadikan binar-binar kebahagiaan di mata Sulastri.
"Cinta tak mengenal miskin atau kaya, juga golongan atau segala macam tetek bengek. Yang penting cinta, ya cinta."
Sulastri tersenyum melebar mendengar ucapan Warakas.
"Kenapa tersenyum?" Warakas menyipitkan mata demi melihat manis Sulastri yang menghias bibir.
"Adakah yang lucu?"
"Ada! Dan memang ada," jawab Sulastri manja.
"Apa itu, Lastri?"
"Kau... Ya, kau lucu, Kakang."
Kedua muda mudi itu akhirnya kembali bergelak tawa, saling gandeng tangan melangkah menuju ke rumah Sulastri yang telah tampak di hadapan mereka. Kini hati mereka berbunga, ya bunga cinta kasih yang semestinya dialami oleh anak cucu Adam. Bukankah cinta memang dicipta untuk kita? Bukankah cinta itu suci? Tapi kenapa masih banyak orang yang mengagungkan cinta akhirnya jatuh? Salah siapakah ini semua? Apakah pelakunya? Atau alam cinta yang makin lama makin membara?
Entahlah, yang penting cinta itu indah dan suci. Tapi kenapa kadang kala diwarnai oleh tuntutan-tuntutan psikologi? Jangankan manusia, malaikat pun mungkin tak akan mampu untuk menjawabnya. Ya, banyak gadis-gadis korban cinta. Mulut yang mendayu dayu dengan segala rayuan, terkadang hilang manakala telah mencicipi keperawanan... Oh, apakah ini pertanda cinta telah pudar maknanya?
Ketika keduanya telah sampai di depan rumah Sulastri, Warakas kembali berkata.
"Lastri, mungkin esok kita kan dapat bertemu lagi?"
"Kenapa tidak, Kakang," jawab Sulastri dengan senyum.
"Selamat malam, Lastri!" "Malam, Kakang," jawab Sulastri.
Setelah untuk sesaat keduanya kembali saling pandang, Sulastri akhirnya masuk ke dalam rumah setelah dilihatnya Warakas berlalu pergi kembali ke pondok pamannya. Kini hati Sulastri berbunga, bunga yang hanya tumbuh untuk sekali dan tak pernah akan tumbuh lagi. Walaupun tumbuh, tentu bunga itu tak akan seindah pertama.
Dengan senyum di bibir Sulastri melangkah perlahan, sehingga kedua orang tuanya hanya bengong tak mengerti dengan tingkah laku anaknya. Sulastri lupa mengucap salam, membuat kedua orang tuanya makin membelalakkan mata kaget. Betapa tidak!
Hari ini Sulastri jelas berbeda dengan harihari biasanya. Biasanya Sulastri datang-datang mengucap salam, tapi kini? Sulastri nyelonong saja, tak hiraukan kedua orang tuanya yang tengah bercakap-cakap sambil menikmati kopi dan sepiring singkong rebus. Ketika Sulastri hendak langsung masuk ke dalam kamar, sang ayah berseru memanggilnya.
"Lastri...!"
Sulastri menghentikan langkahnya, mematung di depan pintu kamarnya.
"Ya, Ayah?" jawabnya tanpa reaksi.
"Kemarilah sebentar!"
Dengan perasaan takut-takut Sulastri membalikkan tubuh, lalu melangkah dengan pelan menuju di mana ayah dan ibunya tengah duduk. Mukanya tertunduk, seakan ada rasa takut yang amat sangat. Tangannya yang menggenggam Al-Quran gemetaran, hampir tak kuasa memegang beban.
"Duduklah, Nak!"
Lega hati Sulastri mendengar ucapan ayahnya yang melemah. Dengan pelan sekali Sulastri jatuhkan pantatnya di atas kursi bamboo yang menghiasi ruangan itu.
"Ada apa Ayah?" tanyanya setelah duduk dengan muka menunduk.
"Kau lupa sesuatu, Anakku?"
Sulastri mengerutkan kening mendengar ucapan ayahnya. Setahunya ia tak lupa sesuatu apapun. Segala tugas rumah telah ia kerjakan sebelum ia berangkat ngaji.
"Apa yang telah aku lupakan?" tanya hatinya bimbang.
"Bukankah aku telah melakukannya semua? Segala pekerjaan rumah telah aku bereskan. Lalu apa yang sebenarnya dikatakan ayah?"
"Apakah Lastri telah lalai. Ayah?" tanya Sulastri dengan agak takut-takut, menjadikan sang ayah tersenyum.
Sulastri adalah anak mereka paling sulung. Adiknya dua laki-laki semua, sehingga Sulastri benarbenar merupakan anak wanita satu-satunya. Pantaslah kalau segala kehendak-nya dituruti. Namun demikian, Sulastri tak menjadi gadis tak tahu aturan. Dia merupakan gadis paling pendiam dan ramah serta tawakal.
"Benar, Anakku!"
"Tentang apakah, Ayah?" tanya Sulastri masih belum mengerti.
"Kau hari ini aneh," kata ayahnya seperti berkata pada dirinya sendiri, menjadikan Sulastri terjengah makin tak mengerti.
"Biasanya sepulang ngaji kau mengucap salam, namun malam hari ini kau kayak arca ngeloyor saja pergi."
"Ah...." Sulastri terjengah. Ia baru menyadari kalau tindakannya telah lali, benar-benar lalai.
"Semua gara-gara Warakas. Ya, gara-gara dia jadi aku melalaikan segala kebiasaanku," keluh Sulastri dalam hati.
"Tapi, Warakas... Oh, sungguh-sungguhkah aku akan dapat mengambil cintanya yang suci dan murni? Ooh, Warakas..."
"Kau melamun, Anakku? Kenapa?"
Tersentak Sulastri mendengar pertanyaan ayahnya. Segera ia betulkan duduknya, dengan serta merta dicobanya untuk membuang gambaran kekagetannya dengan senyum.
"Ti... tidak, Ayah!"
"Ya, sudahlah. Sekarang kau tidurlah!" kata ayahnya nadanya memerintah.
"Terima kasih, Ayah. Assalamualaikum, Ayah, Ibu."
"Waalaikum Salam, Anakku," jawab kedua orang tuanya bareng.
Kedua orang tua itu hanya saling pandang setelah kepergian anaknya yang dirasa bertindak aneh hari itu. Keduanya tak tahu kalau sang anak tengah merasakan apa yang dinamakan cinta. Oh... kalau saja mereka tahu, mungkin mereka pun akan mendesah berat.

* * * * *



:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

Perjalanan cinta kadangkala tidak selamanya indah. Ada kalanya cinta menjadikan derita, namun ada kalanya cinta membuat orang bahagia. Cinta yang sesungguhnyalah yang menjadikan orang bahagia, dan biasanya dikatakan cinta suci.
Perjalanan cinta Sulastri pun terus berlanjut. Dari bersembunyi-sembunyi, lama kelamaan Warakas pun memberanikan diri datang ke rumah Sulastri untuk menemui kedua orang tua Sulastri. Seperti halnya malam itu manakala Sulastri pulang dari ngaji, Warakas yang ingin menunjukkan pada kedua orang tua Sulastri bahwa dirinya benar-benar bertanggung jawab datang menemui.
Warakas malam itu tak sendirian, namun ditemani oleh seorang teman dekatnya yang ia kenal sejak berada di rumah pamannya, Kyai Safei. Malam itu maksud Warakas ingin mengutarakan hal yang ada di hatinya pada kedua orang tua Sulastri, namun ternyata yang ada saat itu hanya ibu Sulastri.
"Benarkah nak Warakas ingin menjalin hubungan dengan Sulastri, anakku?" tanya ibu Sulastri ingin meyakinkan, yang diangguki oleh Warakas sembari berkata:
"Benar ibu. Saya sengaja datang ke mari sematamata untuk mengutarakan maksud hati saya."
"Ah, kenapa nak Warakas harus mencintai anakku?" tanya ibu Sulastri seakan tak yakin.
"Nak Warakas tahu sendiri keadaan keluarga Sulastri, miskin dan bodoh. Apakah nantinya nak Warakas tidak menyesal mengambil Sulastri menjadi isteri?"
"Tidak, Ibu..."
"Benar, Bibi," timpal teman Warakas.
"Percayalah kalau temanku ini adalah benar-benar baik dan ingin mengambil isteri pada dik Sulastri. Bukankah bibi telah mengetahui siapa adanya paman temanku ini?"
Wanita setengah baya itu untuk sesaat mendesah panjang, hatinya seperti ingin melepaskan segala apa saja yang melekat. Mata tuanya menatap pada Warakas, yang duduk di hadapannya dengan menundukkan muka. Setelah sesaat menarik napas panjang, wanita setengah baya itu kembali berkata:
"Aku tak melarang kalau nak Warakas memang benar-benar ingin menjadikan anakku isteri. Tapi seperti yang aku katakan tadi, apakah nak Warakas tidak malu mengambil isteri anak orang kere?"
Warakas terdiam bisu, seakan ucapan wanita setengah baya itu menghunjam legam di hatinya. Nada ucapan wanita setengah baya itu, seakan menghentakkan perasaannya.
"Tidak, Ibu. Aku bermaksud mengambil Lastri menjadi isteriku sekaligus aku ingin mengangkat martabat keluarga ini."
"Benar, Bibi. Percayalah, bahwa temanku ini akan benar-benar menolong keluarga bibi. Kalau memang nanti dia berbuat yang tidak-tidak, maka akulah yang akan bertanggung jawab," kembali teman Warakas yang sudah dikenal oleh wanita setengah baya itu menambahkan. Bahkan pemuda itu berani menjadikan dirinya sebagai jaminan.
Hal itu membuat hati Priyani, ibu Sulastri, terkesima. Maka tanpa menimbang atau memikirkan apa-apa yang nanti bakal terjadi, Priyani pun hanya dapat mendesah.
"Ah... aku sebagai orang tua tak dapat berkata apa-apa, semuanya kembali terserah pada Lastri saja. Kalau memang Lastri pun menerima cinta nak Warakas, ibu hanya dapat mendoakan semoga kalian akan kekal selamanya. Bukan begitu, Nak Indra?"
"Benar, Bibi. Memang sebaiknya begitu," jawab Indra, matanya melirik pada Warakas dengan bibir terurai senyum.
"Nak Warakas, kini segala telah beres, maka aku pesan padamu jangan sekali-kali kau membuat hal yang tidak-tidak. Baiklah, Ibu, kami pamit undur..."
"Eh, bukankah kalian belum kami suguhi?"
"Ah, tak usahlah repot-repot," ucap Warakas dengan hormat.
Setelah kedua anak muda itu menyalami Priyani dan Lastri, keduanya segera berlalu meninggalkan rumah itu. Keduanya hanya diam, tanpa kata-kata yang dapat dijadikan uraian bisunya malam.

* * * * *



Sejak saat itu hubungan Warakas dan Sulastri pun tak sembunyi-sembunyi lagi. Pulang pergi mengaji Sulastri selalu ada yang mendampingi. Keduanya nampak rukun-rukun saja, mesra dan nampak harmonis. Karena keharmonisan merekalah, sampai-sampai banyak orang yang tak suka. Biasanya mereka kebanyakan gadis-gadis yang dulu menjadi teman Sulastri. Mereka yang mengejar-ngejar Warakas, ternyata Sulastri yang mendapatkannya.
Ucapan sinis dan segala macam cemoohan yang datangnya dari orang-orang yang tak senang silih berganti. Namun kedua remaja yang sedang dimabuk asmara tak menggubrisnya. Bagi mereka, yang penting cinta mereka berjalan sebagaimana mestinya. Apalah artinya orang lain yang tidak menjalankan.
Namun sekuat-kuatnya hati manusia, akhirnya terkena juga api kesal. Begitu juga dengan Sulastri, ia pun merasakan kekesalan pada orang-orang yang mencemoohnya. Pada suatu hari, Sulastri pun mengatakannya pada Warakas tentang orang-orang yang nadanya sinis pada hubungan keduanya.
"Kakang, aku tak kuat lagi mendengar ucapan-ucapan mereka."
"Kenapa, Lastri? Apakah yang telah mereka lakukan? Bukankah mereka hanya memandang dan melihat saja? Kau tak usah memikirkan mereka, namun pikirkanlah tentang hubungan kita."
"Tapi aku tak kuat, Kakang," menangis Sulastri dalam dekapan Warakas, sepertinya di dada Warakaslah segalanya akan menjadi tenang. Ditumpahkan segala suka duka yang ia alami, yang menurutnya tak akan dapat orang lain untuk memecahkannya.
"Sudahlah, Lastri. Kau tak perlu menangis," ucap Warakas mencoba menghibur hati sang kekasih.
Dan memang benar, Sulastri akhirnya diam dalam dekapan tangan Warakas yang kokoh. Sulastri terlena oleh perasaannya yang kecewa pada seluruh teman-temannya yang kini menjauhi. Dan manakala untuk pertama kalinya bibir Warakas mencium bibirnya, Sulastri tak mampu berkata-kata. Mulanya Sulastri terjengah bermaksud menolak, tapi ketika bibir Warakas makin dalam mengulum bibirnya, Sulastri akhirnya terdiam. Bahkan Sulastri malah membalasnya dengan mesra.
"Lastri, aku ingin kita segera menikah."
"Itu yang kita inginkan, Kakang," desah Sulastri manja.
"Aku akan mencari kerja di kerajaan, Lastri."
Tersentak Sulastri mendengar ucapan Warakas, sepertinya tersentak oleh ledakan halilintar saja sampai-sampai mata Sulastri terbelalak. Hati Sulastri seketika gundah gulana, takut kalau-kalau Warakas nanti akan melupakannya setelah di kerajaan.
"Kenapa, Lastri? Apakah kau tak percaya padaku?" tanya Warakas demi melihat kekagetan Sulastri.
"Percayalah, aku hanya mencintaimu. Tak mungkin ada gadis lain yang bakal menyinggahi hatiku," tambahnya mencoba menghibur hati Sulastri.
"Aku takut, Kakang!?"
"Takut kenapa, Lastri?"
"Aku takut kakang akan melupakanku. Bukankah nanti di kerajaan banyak gadis-gadis yang melebihi diriku?"
Warakas tersenyum sembari gelengkan kepala demi mendengar ucapan Sulastri. Makin dieratkan pelukannya, menjadikan napas Sulastri tersengal-sengal. Lalu dengan kata-kata mesra yang membuai Sulastri, Warakas pun kembali berkata: "Percayalah, Lastri. Apapun kenyataannya yang bakal aku hadapi, hanya kaulah yang nantinya mendampingi diriku."
"Benarkah itu, Kakang?" tanya Sulastri ingin kepastian.
Warakas hanya menganggukkan kepala disertai dengan bibir terurai senyum. Kemudian kedua muda mudi itu pun diam dengan bibir-bibir mereka saling beradu. Tangan Warakas seketika tanpa dapat dicegah bergerak liar, menyusuri lekuk demi lekuk tubuh Sulastri. Dan ketika tangan Warakas makin menggila, Sulastri yang ingat akan keadaan dirinya segera menyadarkan Warakas.
"Jangan, Kakang! Kita belum resmi..."
"Tapi...." tergagap Warakas tak mampu membendung gejolak nafsu yang telah melonjak-lonjak di hatinya.
"Aku ingin, Lastri."
"Tidak, Kakang! Ingat, kau kemenakan pak Kyai."
Terjengah Warakas demi mendengar ucapan Sulastri. Dengan tersentak kaget Warakas segera melepaskan tangannya dari tubuh Sulastri yang seketika kembali tersenyum. Ditatapnya Sulastri lekat-lekat, seperti hendak menembus ke hati.
"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri.
"Baiklah, Lastri, tapi aku minta kau jangan ceritakan ini pada kedua orang tuamu."
Sulastri hanya menganggukkan kepala. Perasaannya gundah, antara harus menuruti apa kata Warakas dengan perasaannya yang penuh ketakutan kalaukalau orang tuanya marah. Karena hatinya terjerat segala macam perasaan, menjadikan Sulastri terdiam. Begitu juga halnya Warakas, diam membisu. Mungkin ia pun merasakan hal serupa, serba salah... Entahlah.

* * * * *



Dengan diiringi tatapan Mata Sulastri, Warakas pun berangkat menuju ke kerajaan untuk mencari kerja. Memang tujuannya turun gunung setelah lama berguru adalah mengabdi pada kerajaan. Namun kini ia terpikat pada seorang gadis, Sulastri, manakala ia singgah di rumah pamannya, Kyai Safei....
Kini Sulastri sendiri, tanpa Warakas yang biasanya memberikan rasa manja, memberikan bungabunga cinta. Warakas pergi untuk mencari kerja di kerajaan. Siang malam Sulastri berdoa semoga Warakas dapat segera mendapatkan kerja dan diterima mengabdi di kerajaan.
Sebulan dua bulan berlalu sudah, Warakas telah pergi ke kerajaan. Ketika menginjak bulan ketiga, Warakas mengirim surat melalui utusannya pada Sulastri. Berbunga hati Sulastri mendapatkan surat dari Warakas. Surat yang sangat dinanti-nantikan untuk menghibur hatinya yang telah lama sunyi dan bisu.
Dengan segera Sulastri membuka lembaran daun lontar yang berisi surat dari Warakas. Matanya berkaca-kaca gembira, senyumnya mengurai. Perlahan dengan hati berbunga-bunga Sulastri membaca bait demi bait larikan isi surat itu. Hati Sulastri bersorak girang manakala membaca isi surat itu, yang mengabarkan tentang Warakas yang telah diterima sebagai prajurit kepala di kerajaan. Maka dengan bersorak girang Sulastri segera menemui ibunya untuk memberitahukan hal surat Warakas tersebut.
"Ibu, bacalah surat ini!"
"Dari siapakah, Lastri?" tanya sang ibu terheranheran melihat tingkah anaknya. Begitu juga dengan ayahnya, merasa turut berbahagia. Dengan segera sang ibu pun membaca isi surat itu setelah Sulastri memberitahukan bahwa surat itu dari Warakas.
Menemui dinda Sulastri,
Dinda, kini kakang telah diterima sebagai prajurit kepala pada kerajaan. Kakang senang sekali, semoga begitu juga halnya dengan dinda Sulastri dan keluarga. Oh ya, Dinda, Kakang akan datang bulan depan. Kerinduan kakang pada dinda sudah tak tertahankan lagi. Tunggu kedatangan kakang, Dinda. Salam untuk ayah dan ibu, juga kedua adikmu. Dariku,
Warakas
Berseri-seri wajah keluarga Sulastri. Mereka merasakan bahwa Warakas memang benar-benar ingin membantu keluarga mereka. Mereka meyakini bahwa Warakas memang tak main-main dengan apa yang pernah diucapkan bersama temannya, Indra. Yang lebih bahagia adalah Sulastri. Ia begitu senangnya karena sang kekasih akan datang untuk mengisi kembali hari-harinya yang indah walau hanya sesaat.

* * * * *



Dari kejauhan tampak tiga orang penunggang kuda berjalan dengan kencang, sepertinya si penunggang ingin segera sampai di tempat tujuan. Paling depan nampak seorang pimpinan prajurit, pakaiannya nampak indah dan mentereng. Wajahnya yang tampan, menampakkan kewibawaan sempurna. Bila dilihat sepintas, maka nampaklah bahwa dia tak lain Warakas. Sementara dua orang lainnya adalah dua anak buahnya yang sengaja dia bawa untuk menemani.
"Apakah kita masih jauh, Gusti?" tanya sang pengawal yang bernama Sastono.
"Tidak! Sebentar lagi kita bakal sampai pada tempat yang kita tuju," jawab Warakas.
"Lihat! Di depan sana sudah nampak pedukuan. Itulah pedukuan yang kita tuju. Ayo, kita percepat kuda kita!"
"Daulat, Gusti."
Ketiganya segera memacu lari kuda mereka yang memacu bagaikan kelebatan angin. Kuda-kuda itu bagai tak mengenal lelah, terus berlari membawa tubuh ketiga tuannya. Tak lama kemudian, ketiganya pun telah sampai pada sebuah pedukuan. Warakas segera menuju ke tempat Sulastri, sementara kedua anak buahnya disuruhnya untuk sementara menetap di rumah sang paman.
"Kakang Warakas Kaukah, Kakang?" seru Sulastri girang, demi dilihatnya Warakas datang. Betapa tak dapat terkendali rasa rindu yang selama ini terpendam. Maka tanpa malu-malu Sulastri pun segera memeluk sang kekasih tercinta yang baru tiba.
"Kau nampaknya senang di kerajaan, sampai-sampai kau gemuk, Kakang... !"
"Kau bisa saja, Dinda. Sungguh kakang sangat rindu padamu."
"Aah... Kakang...." lenguh Sulastri manja. Tanpa sungkan lagi, direbahkan kepalanya pada dada Warakas. Keduanya segera masuk ke dalam rumah.
"Apakah Kakang benar-benar masih mencintai ku?"
"Lastri.... Bagaimana mungkin aku tak menyintaimu," ucap Warakas membersitkan rasa yakin pada hati Sulastri.
"Kalau aku tak menyintaimu, apa mungkin aku datang dari kerajaan jauh-jauh begini. Untuk apa...?"
Sulastri seketika terdiam manja. Matanya memandang tak berkedip, memancar dengan penuh harap yang sangat dalam. Entah karena apa, tiba-tiba hatinya cemburu. Ya, hatinya cemburu, takut kalau-kalau Warakas di kerajaan mendapatkan gadis lain. Gadis yang cantik dan kaya, yang sesuai dengan martabat Warakas sebagai seorang kepala pasukan.
"Aku takut, Kakang," lenguh Sulastri.
"Kenapa mesti takut?" tanya Warakas tak mengerti. Dibimbingnya Sulastri melangkah, dan duduk berdampingan di kursi.
"Apa yang kau takuti, Lastri?"
"Aku takut kehilangan dirimu, Kakang!"
"Ah, kenapa kau berpikiran begitu?" Warakas tersenyum.
"Bukankah telah aku katakan bahwa hanya kaulah yang aku cintai."
"Benarkah, Kakang?" tanya Sulastri ingin memastikan.
"Benar. Tak akan aku mencintai gadis lain selain dirimu."
Jawaban Warakas menjadikan Sulastri seakan tentram hatinya. Ya, jawaban Warakas begitu meyakinkan, seakan-akan ingin menjadikan diri kekasihnya mau menyerahkan segalanya. Dan memang kenyataannya begitu. Sungguh pun wanita tak tahu apa sebenarnya makna ucapan laki-laki, namun tetap saja wanita selalu merasakan perasaan tersendiri bila mendengar janji-janji yang muluk-muluk. Bila sudah begitu, maka hanya ada satu pilihan dalam hati wanita yaitu menyerahkan segenap jiwa dan raga.

* * * * *



Malam datang begitu cepatnya, seperti ingin mengulang kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada malam-malam yang lalu. Malam itu nampak dua anak manusia berjalan menikmati indahnya purnama. Dua remaja. Itu adalah Warakas dan Sulastri, entah keduanya hendak pergi ke mana.
Tak seperti biasa-biasanya, malam itu keduanya hanya diam seribu bahasa. Tanpa kata yang terucap, hanya sekali-kali mata keduanya saling pandang. Keduanya terus melangkah dalam gelapnya malam, menembus pohon-pohon yang berdiri bagaikan bayang-bayang. Keduanya akhirnya berhenti pada sebuah tempat, yang merupakan tempat indah bagi keduanya. Malam merambah dengan dingin, menjadikan pori-pori tubuh seperti tersengat. Angin berhembus perlahan, namun menjadikan rasa tersendiri di hati kedua insan itu.
"Sulastri...." Warakas membuka kata setelah sekian lama diam.
"Hem, ada apa, Kakang?" tanya Sulastri manja.
"Kau mencintai ku?"
"Apakah Kakang kurang yakin?" Ditanya seperti itu, menjadikan Warakas terdiam. Kakinya melangkah ke luar dari gubuk. Ditatapnya rembulan yang sedang bergayut terang, sepertinya jadi saksi cinta keduanya. Melihat Warakas berjalan ke luar, Sulastri pun dengan segera mengikuti. Keduanya kembali hening dalam bisu, hanya tatapan mata mereka yang berkata-kata.
"Apa yang kakang pikirkan?"
Warakas tersentak, memandang tajam pada Sulastri yang tersenyum manis. Melihat Sulastri tersenyum, seketika darah kelelakian Warakas bergemuruh laksana badai. Perlahan tangan Warakas bereaksi, entah untuk apa. Tiba-tiba saja, Warakas membimbing tubuh Sulastri ke dalam. Direbahkan tubuh gadis itu di atas tumpukan jerami, menjadikan Sulastri bingung.
Namun kemudian Sulastri menyadari apa arti semuanya. Tanpa banyak kata lagi, Sulastri akhirnya diam menerima segalanya. Bahkan kini Sulastri yang makin bereaksi. Matanya perlahan memejam, lalu menjerit sesaat ketika Warakas menghentakkan segala nafsu yang menggebu pada dirinya.
"Aaah.... Kakang...!" Hanya kata itu saja yang terucap dari lenguhan mulut Sulastri yang akhirnya terkulai lemah.
Darah menetes dari apa yang selama ini dipertahankan, terkoyak-koyak oleh nafsu setan. Namun Sulastri tak menyesal sedikit pun, bahkan ia bangga. Ya, Sulastri bangga telah mampu menunjukkan kesetiaannya, walau kesetiaan itu bukan pada tempatnya.
"Kita pulang, Kakang," pinta Sulastri setelah sekian lama tercenung. Entah apa yang tengah bergayut dalam pikirannya setelah kejadian itu.
"Hari sudah malam, aku takut ayah dan ibuku mencurigai apa yang telah aku alami!"
"Baiklah, ayo kita pulang!"
"Kakang..."
"Hem, ada apa lagi, Lastri?"
"Apakah Kakang nanti mau bertanggung jawab? Kapankah kita nikah, Kakang?" tanya Sulastri dengan mata berlinang, menjadikan Warakas seketika terhenyak.
"Kau takut aku meninggalkanmu?"
Sulastri hanya mengangguk mengiyakan.
"Tak akan lama lagi, kita akan nikah," menambahkan Warakas berkata, menjadikan Sulastri seketika bagaikan mendengar seribu macam kata-kata indah. Bahagia melantun di hatinya, kebahagiaan akan menjadi seorang isteri dari orang yang mempunyai kedudukan di istana. Keduanya dengan diam akhirnya berjalan pulang, merambah malam yang makin sepi tertimpa oleh tiupan angin.
Esok telah tiba menyibakkan sinar mentari yang indah. Dengan penuh linangan air mata, Sulastri melepaskan kepergian Warakas untuk menunaikan tugasnya kembali. Segala apa yang dialami oleh dirinya dengan Warakas dipendam dalam-dalam. Tak seorang pun yang berhak tahu, begitu juga keluarganya. Sampai-sampai manakala Sulastri mengigau dan ditanya oleh sang ibu, bagaikan tak mengalami apa-apa, Sulastri berusaha menyembunyikan apa sebenarnya yang selalu membayang di lubuk hatinya.
"Kau mengigau dan merintih-rintih, Anakku?" tanya sang ibu, setelah membangunkan Sulastri.
"Kenapa, Anakku?"
Sulastri sesaat tercenung diam, tanpa dapat menjawab segala pertanyaan ibunya. Pikirannya kembali melayang pada segala kejadian yang ia alami bersama Warakas kemarin malam. Kejadian yang telah menjadikan dirinya tak dapat untuk melupakan. Kejadian yang baru pernah dialaminya, selama ia menjadi seorang gadis. Kejadian itu pula menjadikan kehormatannya serta keperawanannya hilang. Sedangkan keperawanan merupakan nilai pokok yang semestinya dipertahankan sebagai seorang gadis.
"Kenapa aku mesti memberikannya pada Warakas? Kenapa aku tidak menolaknya?" keluh Sulastri dalam hati.
"Ah, tidak! Kami berbuat atas dasar suka sama suka. Aku rela keperawananku terenggut olehnya. Dia aku cintai dan kasihi. Oh... Warakas, semoga kau benar-benar mau mempertanggung-jawabkan segala apa yang telah kau lakukan padaku...!"
Melihat anaknya hanya terdiam, menjadikan sang ibu untuk kedua kalinya bertanya.
"Kenapa, Anakku? Apakah kau dengan Warakas ada masalah?"
"Ti... tidak, Ibu!" jawab Sulastri tergagap.
Hal itu menjadikan sang ibu tak mau percaya begitu saja, lalu untuk kesekian kalinya sang ibu mendesah panjang tak mengerti apa yang sebenarnya terpaut di hati anak gadisnya. Dalam hati sang ibu menerka-nerka, apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun semua dibuangnya jauh-jauh, ia tak ingin hal itu benar-benar telah melanda anak gadisnya.
"Mungkinkah Warakas telah.... telah... Ah, tidak! Betapa aku sebagai orang tua akan malu bila hal itu benar-benar terjadi. Anakku dapat menjaga diri!" keluh sang ibu mencoba membuang segala perasaan yang tak baik. Walau hatinya mengeluh, namun di bibir sang ibu tergurat juga seulas senyum. Dan dengan suara lembut penuh kasih, sang ibu pun berkata.
"Kau sakit, Nak?"
Sulastri menggeleng lemah, menjadikan ibunya hanya mengerutkan kening.
"Lalu kenapa dengan dirimu?"
"Aku tak apa-apa, Ibu," jawab Sulastri menutupi segala kegelisahan hatinya.
"Aku ngantuk, Ibu."
"Tidurlah kalau kau memang mengantuk," akhirnya sang ibu pun hanya mengalah diam. Perlahan ditinggalkan anaknya yang kembali tidur yang sebenarnya tidak tidur.
Pikiran Sulastri malam itu benar-benar diisi dengan segala macam pertanyaan. Pertanyaan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang ditakutinya, juga pertanyaan bagaimana dengan Warakas selanjutnya. Sulastri hanya membisu, mata melelehkan air mata.
"Akankah aku mengatakannya terus terang pada ibu?" tanya hati Sulastri bimbang.
"Apakah nanti tidak mungkin ibu... Oh, tidak! Aku tak mau kalau ibu yang menerimanya. Bagaimana dengan adik-adikku? Dia masih butuh kasih sayang. Tuhan, ampunilah aku! Sungguh aku adalah hambaMu yang tak menghargai rahmatMu. Aku telah terbujuk oleh rayuan setan."
Malam itu dihabiskan Sulastri dengan menangis. Ya, menangisi segala yang telah ia alami. Kegelisahannya timbul, mendera di hatinya yang gundah. Baru manakala ayam jantan berkokok, mata Sulastri akhirnya dapat terpejam, meskipun itu dipaksakan juga. Untuk sesaat Sulastri dapat melupakan bayangbayang hidupnya. Dan ketika matanya kembali membuka, maka bayang-bayang hidupnya akan kembali muncul menggoda, menyuruhnya untuk berpikir dan berpikir.

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

Hari berulang menjadi minggu, demikian juga halnya minggu yang berulang menjadi bulan. Tiga bulan sudah semenjak kejadian itu Warakas tak memberikan kabar apa-apa lagi pada Sulastri, hal itu menjadikan Sulastri seketika gundah. Rasa takut menyelimuti hatinya, apalagi kini ia telah terlambat datang bulan.
Sebagaimana layaknya seorang gadis, jelas keterlambatan datang bulan menjadikan suatu ketakutan yang teramat sangat. Pagi itu manakala Sulastri hendak mencuci pakaian di sungai, dirasakan olehnya keganjilan pada dirinya. Perutnya terasa mual-mual, lalu kemudian Sulastri pun muntah-muntah.
"Kenapa aku?" tanyanya pada diri sendiri.
Sulastri yang baru pertama kali mengalami kejadian yang aneh, menjadikannya bingung. Bingung harus berbuat apa. Dengan wajah pucat, Sulastri kembali pulang ke rumah. Hal itu menjadikan kedua orang tuanya bertanya-tanya tak mengerti.
"Kenapa kau pulang lagi, Anakku?" tanya ibunya seraya kerutkan kening melihat wajah Sulastri yang pucat.
"Kau sakit, Nak?"
Kebimbangan dan bingung terus melanda hati Sulastri, menjadikan Sulastri tercenung diam tanpa dapat berkata-kata. Ia bingung harus menjawab apa atas pertanyaan ibunya. Haruskah ia mengakui segala apa yang dirasa? Ia takut untuk mengutarakan hal itu, sebab tidak mungkin tidak ibunya akan kecewa. Apalagi bila ayahnya mendengar, apalah yang akan terjadi pada dirinya.
"Ti... tidak, Ibu. Lastri hanya pening saja," jawab Lastri.
"Kau tadi tidak sarapan?" kembali ibunya bertanya.
Sulastri hanya mengangguk mengiyakan.
"Kalau memang kau sakit, istirahatlah...!"
Mendengar ucapan ibunya, Sulastri segera menurut. Dengan langkah terseret bagaikan berat, Sulastri melangkah menuju ke dalam kamarnya. Direbahkan tubuhnya, dengan segala pikiran yang belum ia kenali benar apa yang tengah ia alami.
"Inikah yang dinamakan hamil?" tanya Sulastri pada diri sendiri, seakan tak percaya pada apa yang dirasa olehnya saat itu.
"Tidak! Aku tidak mau hamil!" Sulastri akhirnya menangis, dan menangis tak tahu harus berbuat apa.
Hal itu menjadikan sang ibu yang ada di luar tersentak kaget, demi mendengar isak tangis anaknya. Serta merta sang ibu pun segera melangkah masuk ke kamar Sulastri. Terjengah Sulastri seketika, manakala dilihatnya sang ibu tiba-tiba telah berdiri mematung di pintu kamar. Serta merta, Sulastri pun memeluk ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Mengerut mata sang ibu melihat hal itu. Ia tak mengerti kenapa sang anak tiba-tiba menangis. Dengan perasaan tak mengerti, sang ibu pun bertanya.
"Kenapa kau menangis, Anakku?"
Ditanya seperti itu, menjadikan tangis Sulastri makin mengencang. Makin membuat sang ibu tak mengerti, yang kembali mengulang pertanyaan.
"Sulastri, kenapa kau menangis? Apakah kau... kau hamil?"
Terjengah seketika Sulastri mendengar pertanyaan ibunya. Matanya yang menangis, seketika memandang penuh rasa bersalah pada sang ibu. Mulutnya gemetaran, sepertinya hendak mengutarakan apa yang telah terjadi. Dan memang benar, hati Sulastri yang sudah tak kuat dengan segala macam kecamuk seketika menjerit. Jeritan itu bukan saja di dalam hati, namun lewat mulutnya yang mungil.
"Ibuuuuu...!"
"Lastri, Anakku. Benarkah akan apa yang ibu duga, Nak?"
Sulastri tak dapat menjawab, malah makin mengencangkan tangisnya yang menyayat. Perlahan-lahan dari mulutnya yang sedari tadi terkunci, keluar satu persatu kata-kata, "A... aku... aku hamil, Bu!"
Kedua ibu dan anak itu pun akhirnya saling tangis, seakan ingin mengeluarkan segala beban berat yang ada di hati mereka. Penyesalan tiada guna, menjadikan manusia kadang frustasi. Namun sebagai seorang ibu, Priyanti berusaha mau mengerti. Dengan penuh rasa kasih, dibelainya rambut sang anak seraya berkata.
"Sudahlah, Anakku. Semua ini mungkin sudah digariskan oleh Gusti Allah. Terimalah dengan lapang dada, jangan kau kecewa atas segalanya."
"Tidak, Bu. Lastri akan mencari kakang Warakas. Lastri akan meminta tanggung jawabnya."
"Itu terserah padamu. Tapi ibu minta, janganlah kau bawa semuanya pada hidupmu. Anggaplah semua hanyalah mimpi. Juga ingat, jangan sampai ayahmu tahu!" tutur Priyanti dengan rasa haru, yang diangguki oleh anaknya.
Tengah kedua anak dan ibu itu saling tangis, tibatiba sang ayah datang menemui mereka. Sang ayah yang baru saja pulang dari sawah, seketika bertanya tak mengerti. Beruntung Priyanti mau menutupi keadaan anaknya yang sesungguhnya.
"Kenapa anak kita, Bu?"
"Ti... tidak apa-apa. Ia hanya pusing karena tadi pagi berangkat nyuci tidak sarapan dulu," jawab sang isteri menutupi.
"Kok sudah pulang dari sawah, Pa?"
"Entahlah, Bu. Perasaanku tiba-tiba tak enak," jawab Ki Cokro yang mengejutkan sang isteri.
Namun mengingat suaminya galak, Priyanti pun dengan segera mengalihkan perhatian suaminya dengan kembali bertanya.
"Bagaimana dengan jagung kita, Pak?"
"Alhamdulilah subur. Mungkin dalam bulan-bulan ini kita akan memetik buahnya," jawab Ki Cokro.
"Tolong bikinkan aku kopi, Bu!"
Tanpa banyak bicara lagi Priyanti segera menuruti apa yang diminta suaminya. Dengan segera ia pergi berlalu menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Tak lama kemudian, Priyanti pun telah kembali menemui sang suami dengan segelas kopi dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya.
"Anak kita tidak bareng makan?" tanya Ki Cokro.
"Dia sedang tak enak badan. Biarlah dia nanti bersama adik-adiknya," jawab sang isteri menutupi. Ya, memang begitulah kenyataan sebagai ibu. Ia walau sejahat apapun, tak akan mau membuka rahasia anaknya pada sang suami apalagi pada orang lain. Kedua suami isteri itu pun akhirnya makan bersama-sama.

* * * * *



Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Sulastri malam itu keluar meninggalkan rumah. Tujuannya hanya satu, menemui Warakas di kerajaan untuk meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya. Dengan berjalan kaki, bagaikan tanpa merasa takut sedikitpun Sulastri dengan segala tekadnya terus menyusuri jalan setapak yang dapat dilewati.
Manakala Sulastri tengah berjalan merambah malam, tiba-tiba terdengar gemereseknya daun-daun kering terinjak. Rasa takut seketika menjalari tubuhnya, menjadikan Sulastri menghentikan langkahnya. Belum juga hilang rasa takutnya, tiba-tiba...
"Hua, ha, ha... anak manis, mau ke mana malam-malam begini keluyuran?" terdengar suara orang bergelak tawa, makin menjadikan bulu kuduk Sulastri meremang.
"Siapa kau?!" Sulastri mencoba memberanikan diri membentak.
"Hua, ha, ha... Akulah penunggu daerah ini!" Bersamaan dengan habisnya ucapan itu, sekonyongkonyong sesosok tubuh berkelebat dan tiba-tiba telah menotok jalan darahnya.
Sulastri terkulai lemas, tanpa dapat berkata-kata barang sepatah pun. Sulastri mencoba berontak, namun ternyata bopongan orang itu lebih kuat. Dibawanya tubuh Sulastri entah ke mana. Ketika dilihatnya ada sebuah gubuk yang terpampang di depannya, orang yang membawa tubuh Sulastri segera menghentikan larinya. Dibawanya tubuh kaku Sulastri masuk ke gubuk tersebut.
"Anak manis. Sungguh kebetulan sekali. Lama aku tak merasakan enaknya mendekap tubuh seorang gadis, eh malam ini akhirnya aku mendapatkannya juga," terkekeh lelaki berwajah rusak, menjadikan Sulastri seketika membeliak.
Rasa takut seketika menyelimuti dirinya. Ingin Sulastri berteriak, tapi mulutnya seakan susah untuk berkata-kata. Belum juga Sulastri hilang takutnya, lelaki berwajah buruk itu telah mendekap tubuhnya. Tak dapat lagi Sulastri berbuat apaapa menghadapi laki-laki berwajah buruk yang bagaikan singa kelaparan menerkam dan menggeluti tubuhnya. Sulastri hanya dapat meregang lalu akhirnya pingsan.
Setelah dapat melampiaskan nafsunya, lelaki berwajah buruk itu segera pergi meninggalkan tubuh Sulastri yang masih tergeletak pingsan dengan meninggalkan gelak tawa berkepanjangan.

* * * * *



Ketika pagi telah datang, nampak seorang pemuda berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Pemuda itu tak lain adalah Jaka Ndableg, terus melangkahkan kakinya menikmati alam pagi yang sejuk dan indah. Manakala ia tengah asyik bernyanyi-nyanyi, tiba-tiba telinganya menangkap desah napas berat dari arah gubuk.
Sesaat Jaka terdiam memusatkan pendengarannya, lalu setelah yakin bahwa memang di gubuk itu ada seseorang, Jaka segera berkelebat memasuki gubuk tersebut. Dan betapa terkejutnya Jaka manakala melihat apa yang ada di dalam gubuk. Saking terkejutnya, sampai-sampai Jaka mendesah.
"Ooh Gusti Allah, gerangan apa yang terjadi?" Dihampirinya gadis itu, yang masih tergeletak tanpa berkata. Diperiksa denyut nadi sang gadis, seketika Jaka tertawa sendiri memikirkan ketololannya.
"Tolol aku, kenapa orang hidup aku periksa denyut nadinya?"
Jaka geleng-gelengkan kepala, sesaat ia memandangi tubuh sang gadis. Ia bingung harus berbuat apa terhadap gadis itu, sehingga hanya diam saja sambil tercenung Jaka di situ.
"Ah, kenapa aku begini dungunya?" keluh Jaka dalam hati.
"Nona, kenapakah engkau?"
Gadis itu nampak memalingkan wajah menghadap Jaka, lalu gadis itu menangis membuat Jaka tersentak bingung tak mengerti. Spontan itu juga Jaka kembali bertanya.
"Kenapa nona menangis?"
Gadis itu masih tetap diam tanpa bicara, sedang air matanya terus meleleh membasahi pipi. Hal itu membuat Jaka serba salah tingkah.
"Bagaimana gadis ini? Oh, barangkali ia gagu," ucap Jaka setengah mengeluh dalam hati. Kemudian Jaka pun segera berkata kembali dengan bahasa isyarat.
Namun kembali gadis itu hanya geleng kepala tak mengerti seraya menunjuk pada urat lehernya. Kini tahulah Jaka bahwa gadis itu tengah dalam keadaan tertotok.
"Ooh, jadi kau tertotok," gumam Jaka setengah bertanya.
"Maaf, Nona. Sungguh aku tak mengerti. Baiklah akan aku bantu membuka totokan itu. Hoop... ya!"
"Tuk, tuk, tuk!"
Tiga kali Jaka menotok urat nadi si gadis yang seketika itu mengeluh. Tak lama kemudian, gadis itu pun dapat berkata-kata. Namun gadis itu masih menangis.
"Kenapa nona berada di sini?" tanya Jaka setelah membuka totokan pada leher si gadis.
"Namaku Sulastri. Aku... aku telah diperkosa oleh orang yang mukanya buruk," jawab Sulastri sambil terus menangis, menjadikan Jaka turut iba melihatnya.
Jaka juga seketika terperanjat kaget, manakala mendengar gadis itu menyebut nama lelaki bermuka buruk. Saking kagetnya Jaka mendengar gadis itu menyebut lelaki bermuka buruk, seketika Jaka memekik.
"Iblis Muka Bangkai! Heh, apakah nona tahu ke mana ia pergi?"
Sulastri hanya menggeleng lemah.
"Sayang...!" keluh Jaka seakan berkata pada diri sendiri menjadikan Sulastri seketika hentikan tangisnya. Ditatapnya wajah Jaka lekat-lekat, sepertinya ingin menanyakan tentang sesuatu. Dan memang benar. Manakala Jaka tengah tercenung, gadis itu pun seketika bertanya.
"Apakah tuan kenal dengan orang itu?"
"Ya, bukan saja kenal, tapi musuhku yang harus aku tangkap hidup atau mati!" jawab Jaka seraya memandang pada wajah Sulastri.
"Oh..." lenguh Sulastri demi mendengar pengakuan Jaka. Ia mengira kalau Jaka adalah teman si Iblis Muka Bangkai.
"Kenapa Nona melenguh?" tanya Jaka tak mengerti.
"Aku kira... aku kira tuan adalah temannya iblis yang tuan tadi sebutkan!" jawab Sulastri seraya menunduk. Sementara Jaka hanya mampu tersenyum seraya gelengkan kepala sembari bergumam.
"Nona, nona... apakah tampangku mirip hantu?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Sulastri yang menangis tersenyum walau senyumnya nampak dipaksakan. Kelakuan Jaka yang lucu itulah, yang mengakibatkan Sulastri tersenyum. Seketika hilang segala perih di hatinya, terhibur oleh kelucuan Jaka yang seperti alami. Dan memang benar Jaka melakukannya dari alam, bukan dibuat-buat. Itulah sebabnya dia diberi julukan Jaka Ndableg.
"Kenapa Nona tersenyum-senyum? Apakah aku lucu?" kembali Jaka bertanya.
Sulastri tersipu-sipu seraya mengusap air matanya.
"Kau eh tuan lucu," ucap Sulastri terbata.
"Lucu...? Apanya yang lucu?" tanya Jaka tak mengerti.
"Malah aku kira kaulah yang lucu. Kau tadi hendak mengatakan kamu, kenapa mesti kau ganti dengan tuan? Apakah aku pantas menjadi seorang juragan atau tuan tanah? Tidak bukan?"
Sulastri seketika terdiam sembari lebarkan senyumnya. Tingkah laku Jaka dan segala ucapannya, menjadikan Sulastri rasanya hilang segala beban hidup yang selama ini ia tanggung. Sulastri tundukkan muka malu, manakala Jaka memandangnya.
"Eh Nona, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kau ada di sini? Lalu hendak ke manakah tujuanmu?" tanya Jaka tiba-tiba, menjadikan Sulastri tersentak kaget.
"Mengapa kau sampai bertemu dengan iblis itu?" tambah Jaka.
Sulastri masih menundukkan muka. Dan dengan suara terbata-bata serta tangisnya meleleh lagi, Sulastri pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, dari mana ia, serta hendak ke mana tujuannya.
"Begitulah, Tuan."
"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja namaku Jaka Ndableg!"
Kembali Sulastri tersenyum, kali ini tak dapat menahan gelak tawanya hingga Sulastri pun seketika tertawa terpingkal-pingkal demi mendengar nama pemuda itu. Hal itu menjadikan Jaka seketika kerutkan kening tak mengerti seraya kembali bertanya.
"Hei, mengapa engkau tertawa, Nona? Adakah kelucuan lagi pada ucapanku?"
"Benar! Memang Tu... eh kau lucu, Jaka," jawab Sulastri masih terpingkal-pingkal.
"Lucunya?" tanya Jaka masih belum mengerti.
"Kau pemuda tampan dan gagah, mengapa namanya mirip-mirip nama orang..."
"Orang apa?" tanya Jaka demi mendengar Sulastri berkata tak dilanjutkan.
"Orang gila maksudmu?"
Sulastri hanya menganggukkan kepala, menjadikan Jaka seketika ikut tertawa tergelak-gelak setelah mengerti. Maka kini giliran Sulastrilah yang mengerutkan kening bingung. Bagaimana mungkin pemuda ini malah tertawa disebut orang gila, bukankah orang lain akan marah-marah? Belum juga Sulastri memahami apa yang tengah diketawakan Jaka, tiba-tiba Jaka telah kembali berkata menerangkan apa yang menjadikan dirinya tertawa.
"Memang nama julukanku lucu. Itu semua ada ceritanya tersendiri. Dulu manakala aku masih remaja, aku merupakan anak yang suka ndableg, sampai-sampai emakku marah melihat tingkahku. Begitu pula dengan teman-temanku. Karena aku ndableg, sehingga mereka menyebutku dengan nama embel-embelan Ndableg. Sedang namaku yang sebenarnya adalah Jaka Surya Kelana. Begitulah manusia, kadangkala nama julukan lebih terkenal daripada namanya yang asli. Oh ya, Nona. Kalau boleh aku tahu, apa tujuan nona hendak ke Kerajaan Panjang Sulara?"
"Aku hendak mencari kekasihku."
"Kekasihmu...?" tanya Jaka sedikit kaget.
"Ya, kekasihku yang telah menanam benih di perutku," jawab Sulastri menjadikan Jaka seketika beliakkan mata kaget.
Sampai-sampai mata Jaka seketika melotot demi mendengar apa yang telah diucapkan oleh Sulastri. Tak disadari oleh Jaka yang ndableg, lidahnya seketika nyeletuk.
"Wah, kenapa nona sampai kecelakaan begitu rupa?"
"Aku tidak kecelakaan, Jaka."
"Jadi...? Aku jadi tidak mengerti, Nona."
"Aku melakukannya atas dasar cinta kasih yang tulus."
"Oooh... begitu?" mendesah Jaka panjang, terheran-heran mendengar ucapan Sulastri.
"Kalau begitu nona korban dari kekurangpercayaan diri nona. Nona serahkan segalanya demi cinta yang tiada bukti? Oh, sungguh kasihan...!"
Mendengar ucapan Jaka yang seakan mengibakan dirinya, seketika Sulastri kembali menangis sesenggukan. Hatinya terasa perih bila mengingat segalanya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Jaka, bahwa dia adalah korban dari kebodohannya sendiri.
"Ya, aku memang terlalu bodoh. Hanya karena janji-janji muluk dan sanjungan yang berisi dusta aku jatuh," mengeluh Sulastri dalam hati. Tangis Sulastri makin merembes deras, manakala kembali Jaka menyentuh dagunya dengan takut-takut seraya berkata.
"Sudahlah, Nona. Janganlah nona terlalu menyesali apa yang telah terjadi, toh semuanya belum jelas. Apakah nona ingin aku temani ke Kerajaan Panjang Sulara? Kebetulan, aku hendak menemui temanku yang berada di sana."
Sulastri tak dapat berkata-kata, ia nampak masih sedih mengingat keadaan dirinya. Belum juga ia mendapatkan kepastian dari Warakas, di tengah jalan ia telah diperkosa oleh Iblis Muka Bangkai. Sungguh menderitanya hidup Sulastri, ibarat habis jatuh tertimpa tangga.
"Sudahlah nona, aku harap nona mau tabah menghadapinya. Kalau nanti memang kekasih nona tak bertanggung jawab, nona bisa melakukan tindakan. Biarlah aku nanti akan membantumu mengadukan hal itu pada sang raja," kembali Jaka berkata menghibur, sehingga Sulastri pun seketika menghentikan tangisnya.
"Benarkah kau hendak menolongku, Jaka?"
"Ya, kenapa? Apakah kau menyangka aku menolongmu karena atas dasar pamrih? Ooh, tidak, Nona. Aku hanya ingin kau mau tabah menghadapi segalanya. Aku tak memerlukan pamrih darimu. Maaf, bukannya aku ingin merendahkanmu," jawab Jaka demi mendengar pertanyaan Sulastri.
"Ah, sudahlah. Mari kita ke kerajaan!"
"Apakah kau tak repot, Jaka? Bukankah kau hendak mengejar Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri bermaksud mengingatkan Jaka, namun Jaka seketika tersenyum seraya berkata.
"Biarlah iblis itu untuk sementara aku umbar. Kalau memang nanti masanya tiba, aku pun akan menghukum tindakannya yang telah membawa korban banyak termasuk dirimu."
"Jadi... jadi iblis itu suka memperkosa?" tanya Sulastri tersentak kaget. Keringat dingin seketika bercucuran demi mengingat kejadian yang menimpa dirinya tadi malam.
"Mukanya sungguh mengerikan, Jaka!"
"Ya, karena itulah ia merasa terasing. Dan karena mukanya mengerikan dan berbau busuk, dia memperkosa gadis-gadis," ucap Jaka menerangkan.
"Ayolah, kita berangkat ke kerajaan. Aku rasa hari masih pagi hingga kita sampai di sana tidak terlalu kemalaman."
Kedua orang yang baru kenal itu pun akhirnya berangkat menuju ke kerajaan. Angin pagi berhembus lambat, mengikuti langkah keduanya. Sinar matahari masih belum begitu panas, apalagi ditambah dengan kicau burung yang bernyanyi makin menjadikan hawa sejuk bagi yang menikmatinya.

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

Betapa luluh lantak hati Sulastri bagaikan dicabik-cabik dengan jarum seribu banyaknya setelah menerima apa yang dia alami. Ternyata Warakas yang dituju dan diharapkan mau menerima dirinya sekaligus mempertanggung-jawabkan segala yang telah dibuatnya, ternyata bertindak sebaliknya. Warakas kini telah bersanding dengan seorang gadis dari keturunan ningrat yang cantik rupawan.
"Siapa kau?!" tanya Warakas setengah membentak, manakala mendengar panggilan Sulastri.
"Aku rasa, aku tak mengenalmu. Pergilah! Jangan sampai aku menyuruh prajurit-prajuritku untuk mengusir kalian!"
Sulastri hanya mampu menangis dan menangis melihat perilaku Warakas yang tidak diduga-duganya. Sementara Jaka yang mengantarkannya, seketika darahnya mendidih mendengar ucapan Warakas yang sombong dan takabur. Maka dengan geramnya Jaka pun tak mau kalah membentak.
"Warakas! Kau jangan sombong oleh kedudukanmu. Kalau kau memang melakukan segala perbuatan biadab itu, hendaklah kau mau bertanggung-jawab pada segalanya yang terjadi. Ternyata kau tak lebih seorang manusia berhati binatang!"
"Bedebah! Berani lancang mulutmu, Anak muda!"
"Kenapa tidak, orang sombong! Bagiku, tak ada yang perlu ditakuti kalau memang berada di pihak yang benar," jawab Jaka kalem, menjadikan Warakas seketika itu naik darahnya.
Maka dengan terlebih dahulu menggeram Warakas kembali membentak seraya berkelebat hendak menyerang Jaka.
"Anak edan! Kau rupanya memang perlu diajar tata krama, hiat!"
Melihat Warakas bermaksud menyerangnya, dengan cepat Jaka yang sudah muak melihat tingkah laku panglima prajurit itu segera bersiap-siap. Hampir saja kedua orang muda itu hendak bertarung, manakala dengan segera Sulastri mencegahnya dengan menjerit karena marah.
"Sudah! Kalau memang kau tak mengenali aku, tak apa. Ingat Warakas, kelak aku akan menuntut mu!" Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan lagi pada Warakas yang tersentak mundur karena kaget, Sulastri segera berlari sambil menangis. Luka hatinya begitu mendalam, sepertinya susah untuk menyembuhkannya. Orang yang sangat dicintai dan diagungkan ternyata tak lebih dari seorang penipu. Sambil terus menjerit-jerit, Sulastri terus berlari entah ke mana.
Hal itu menjadikan Jaka seketika tersentak dan melotot marah pada Warakas seraya membentak gusar.
"Iblis kau, Warakas! Percuma kau menjadi panglima, kalau sifatmu tak lebih dari sifat iblis yang busuk. Kau tega menelantarkan seorang gadis yang telah kau renggut keperawanannya. Benih itu tumbuh, menjadikan beban baginya. Laki-laki macam apa kau, Warakas? Tak lebih hanya seorang buaya!"
"Diam!" bentak Warakas yang seketika tersentak dari lamunannya melamuni kepergian Sulastri.
"Apakah kau tak dapat diam, Anak edan!"
"Hem, percuma kau menyesal. Percuma, Warakas!" seru Jaka sinis menjadikan Warakas seketika menggeram marah mendengarnya.
Maka tak ayal lagi, Warakas yang tengah bingung seketika menyerang Jaka dengan senjata pusakanya Kyai Lutung Gumilir, sejenis tombak sakti yang menjadi kebanggaan para prajurit, barang siapa yang memegang senjata tersebut, maka dialah yang dapat menjadi panglima prajurit kerajaan.
Diserang begitu tiba-tiba oleh Warakas, dengan segera Jaka pun berkelebat menghindar. Sekali-kali kakinya melayang, menyodok ke perut Warakas. Namun dengan segera Warakas pun membalasnya dengan menusukkan tombak Kyai Lutung Gumilir.
Hawa dingin menggigil seketika keluar dari tombak itu. Jaka tersentak kaget dan melompat mundur ketika merasakan hawa dingin yang melebihi hawa salju. Mata Jaka seketika terbelalak, menjadikan Warakas yang sombong tertawa bergelak-gelak. Dengan congkaknya Warakas seketika berseru lantang penuh ejekan.
"Anak edan! Aku harap kau menyerah dan jangan banyak turut campur dengan urusanku!"
"Sombong kau, Warakas! Jangan harap aku mau menyerah pada iblis macammu!" balik membentak Jaka dengan marahnya.
Tak ayal lagi, Warakas yang sudah di atas angin kembali berkelebat menyerang Jaka.
"Mampuslah kau, Anak Edan!" Ditusukkan senjata Kyai Lutung Gumilir ke arah Jaka, yang seketika berkelit menyamping.
Jaka segera balik menyerang dengan ajian Getih Saktinya, teriaklah Warakas manakala tahu ilmu yang tengah ditakuti oleh hampir seluruh kerabat istana tiba-tiba muncul menghadangnya. Maka dengan wajah pucat pasi Warakas segera melemparkan tubuh ke samping menghindar. Tak ayal lagi, tembok rumahnya seketika membara.
Warakas hendak kembali menyerang Jaka, manakala terdengar seruan seseorang mencegahnya. Warakas pun mengurungkan niatnya, ia juga sebenarnya telah jeri melihat ajian Getih Sakti yang telah menggemparkan dunia persilatan. Beruntung ada orang yang datang, kalau tidak...
"Hentikan, Warakas! Apakah kau tidak tahu siapa yang tengah kau hadapi?" seru orang itu.
"Percuma kau melawan pendekar muda itu. Jangankan dirimu, kakek gurumu pun aku rasa tak akan mampu menghadapinya!"
"Paman Sodra Jumawa!" seru Warakas tersentak.
Sodra Jumawa segera menjura hormat pada Jaka, sepertinya tak menghiraukan Warakas yang terheranheran melihat tingkah laku patih kerajaan. Hati Warakas seketika bertanya-tanya, melihat apa yang dilakukan oleh Sodra Jumawa.
"Hem, kenapa paman patih Sodra Jumawa menghormatinya? Apakah pemuda itu saudara sang raja?" tanya Warakas pada diri sendiri.
Tengah Warakas tak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya, tiba-tiba Sodra Jumawa berkata setengah menyuruh.
"Warakas, menghormatlah padanya. Kalau kau ingin tahu siapa adanya pemuda ini, dialah Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah!"
Terbelalak mata Warakas demi mengetahui siapa adanya pemuda yang tadi dianggapnya pemuda gelandangan. Ia tak menyangka kalau Pendekar Pedang Siluman Darahlah yang tengah ia hadapi.
"Pantas kalau ia memiliki ajian Getih Sakti," gumam Warakas dalam hati. Rasa sesal telah berani lancang membentak dan memaki-maki Pendekar Pedang Siluman Darah, menjadi-kan Warakas seketika bersujud meminta ampun.
"Ampuni segala tindakanku yang tak tahu sopan santun, Tuan Pendekar!"
"Ah, sudahlah. Semua bagiku tak jadi apa. Sekarang yang penting kau harus mau menerima gadis itu."
"Tapi..."
"Jangan kau ingkar janji, Warakas. Apakah kau ingin aku mengatakannya pada patihmu ini tentang segalanya?" potong Jaka dengan agak sedikit gusar demi mendengar Warakas hendak kembali tak mengakui bahwa ia tak bertindak pada Sulastri.
"Bagaimana, Warakas? Kau tinggal pilih. Aku katakan semuanya pada saudara Sodra Jumawa, atau kau mau mengakui segalanya dan menyusul Sulastri?"
"Ba... baiklah, Tuan Pendekar. Aku akan menyusulnya."
"Bagus! Sekarang susullah olehmu, mumpung Sulastri belum lama pergi."
Dengan tanpa banyak menentang lagi Warakas pun segera menuruti apa yang dikatakan Jaka. Bergegas Warakas mengambil kuda dari kandangnya, lalu setelah menghormat pada Jaka dan Patih Sodra Jumawa, Warakas pun segera hentakkan kudanya melaju untuk menyusul kepergian Sulastri.
Setelah kepergian Warakas menyusul Sulastri, Sodra Jumawa segera mengajak Jaka untuk mampir ke rumahnya. Maka kedua orang sahabat itu pun segera berlalu meninggalkan rumah Warakas menuju ke rumah Sodra Jumawa.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Warakas? Tadi kau menyebut-nyebut nama seorang gadis, ada apakah dengan gadis itu sama Warakas?" tanya Sodra Jumawa sembari melangkah pada Jaka yang hanya tersenyum-senyum.
"Biasa urusan anak muda. Mereka dulu pernah menjalin cinta, dan... ya. itulah. Karena merasa cinta itu agung, sehingga si gadis tak memikirkan apa yang bakal terjadi. Diserahkan segala yang ada pada dirinya termasuk kehormatan yang seharusnya dijaga."
Terbelalak mata Sodra Jumawa mendengar penuturan Jaka Ndableg. Giginya seketika bergemerutuk menahan marah. Bagaimana tidak, Warakas yang dianggapnya baik tata kramanya, ternyata telah berbuat yang menjijikkan.
"Kurang ajar, anak itu! Dia pantas dihukum!"
"Jangan, saudara Sodra. Bila itu terjadi, makanmakin tak menentu tindakannya. Biarlah Warakas sendiri yang menyelesaikannya dengan Sulastri, toh dia kini tengah mengejar dan mau mengakui segala kesalahannya. Sebagai seorang pimpinan, kau tak perlu terlalu keras pada bawahan," cegah Jaka.
"Tapi dia sudah keterlaluan, saudara Jaka. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang pimpinan prajurit mempunyai watak seperti itu? Jangan-jangan, seluruh gadis di kerajaan ini akan habis olehnya."
Jaka tersenyum mendengar ucapan sahabatnya. Ia memaklumi betapa Sodra Jumawa yang bijaksana akan marah bila mengerti tingkah laku anak buahnya. Namun sebagai seorang pendekar Jaka dengan segera berusaha menyadarkan sahabatnya dengan berkata.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Seperti juga dengan aku, aku pun sangat menyesalkan tindakannya. Kalau saja tak keburu kau datang, entah sudah bagaimana aku ini. Mungkin tanganku akan terlalu telengas padanya yang terlalu angkuh dan sombong, atau barangkali Pedang Siluman Darah telah menghisap darahnya. Ah, sudahlah. Tak perlu kita masalahkan, yang penting sekarang dia mau mengakui segala tindakannya. Kita tunggu saja apa yang bakal ia lakukan pada gadis itu. Kalau ternyata dia melakukannya dengan tak baik, maka aku pun tak akan segan-segan untuk menurunkan tangan."
Sodra Jurnawa terdiam menurut apa yang dikatakan Jaka. Keduanya kembali melangkah menuju ke kediaman Sodra Jumawa. Walau pikiran mereka diliputi segala masalah Warakas, namun keduanya nampak tenang bahkan tiada ekspresi di wajah mereka tentang kekalutan.

* * * * *



Sulastri terus berlari dengan menangis. Langkahnya begitu cepat, sepertinya dibantu oleh tenaga lain. Sulastri terus menjerit-jerit dan terkadang-kadang menyumpah-nyumpah nama Warakas. Mungkin saking terpukulnya, sehingga Sulastri pun berlari bagaikan kesetanan. Ditambah lagi dengan dendam yang melanda di hatinya, menjadikan Sulastri tak menghiraukan panggilan seseorang yang berada di belakangnya.
"Sulastri... Tunggu...!"
Sulastri sesaat menengok ke belakang, lalu ketika dilihatnya siapa adanya orang yang memanggilnya Sulastri bukannya berhenti dari larinya bahkan makin mempercepat.
"Lastri... Aku Warakas kekasihmu...!"
"Percuma kau menyebut-nyebut aku kekasih, iblis! Aku tak perlu kau. Aku perlu mati untuk dapat menyekik lehermu. Ingat itu Warakas, aku akan mati dan datang untuk menuntut balas atas segala apa yang telah kau lakukan. Aku tak rela kalau cintaku kau sia-siakan!"
"Aku minta maaf, Lastri...!"
"Tidak! Minta maaflah nanti kalau kita sudah sama-sama di akherat sana!" pekik Sulastri histeris. Ia menangis dan terus berlari bagaikan tak mengenal capai.
Kejar mengejarpun terus berjalan, sepertinya kedua orang itu tak ada yang mau mengalah. Warakas terus memacu kudanya agar berlari makin cepat. Namun sepertinya Sulastri pun makin cepat pula berlari, sehingga jarak keduanya bukan makin lama makin pendek malah makin melebar dan jauh saja.
"Sulastri... Awas di depanmu jurang!" seru Warakas manakala melihat jurang telah menganga di hadapan Sulastri.
"Aku tak perduli! Biar aku mati saja!"
"Jangan, Lastri! Jangan...!" Warakas seketika berkelebat mencoba menghalangi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Warakas telah melompat dengan cepat, dan berdiri di hadapan Sulastri.
Melihat hal itu, tiba-tiba Sulastri yang telah kalap menggeram marah. Dengan didahului pekikan, Sulastri seketika tanpa disadari menyerang Warakas. Tersentak Warakas mendapat serangan tersebut, seketika Warakas pun berkelit mengelakkannya. Namun sungguh tak diduga oleh Warakas, kalau Sulastri akhirnya benar-benar nekad. Tanpa ampun lagi, seketika tubuh Sulastri melayang jatuh ke dalam jurang dengan diikuti oleh pekikannya yang menyayat.
"Aaaaaahhhhh...!"
Warakas sejenak terpaku diam, sebelum akhirnya menjerit seraya memburu ke bawah jurang.
"Lastriiii...!" Warakas seketika tercenung sembari memandang ke bawah jurang, di mana tubuh Sulastri hilang jatuh ke bawah. Maka dengan lesu Warakas pun segera kembali meninggalkan jurang itu, menghampiri kudanya yang masih berdiri menunggu tuannya.
"Maafkan aku, Lastri," keluh Warakas penuh sesal.
"Sungguh aku telah berdosa besar padamu..."
Dituntunnya sang kuda melangkah meninggalkan jurang itu, jurang yang telah menelan tubuh Sulastri bekas kekasihnya. Perasaan Warakas seketika gundah, tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana nanti menceritakan pada Pendekar Pedang Siluman Darah? Bagaimana pula ia harus mempertanggung-jawabkan? Bila mengingat itu semua, seketika Warakas pun menangis. Dan dengan langkah gontai bagaikan tak bersemangat Warakas pun terus menuntun kudanya melangkah pergi....

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

Setelah mendengar penuturan dari Warakas tentang apa yang dialami Sulastri, Jaka Ndableg pun segera meminta pamit pada temannya yaitu Sodra Jumawa untuk meneruskan pengembaraannya. Niat Jaka yang utama, adalah menyelidiki apakah ucapan Warakas benar adanya? Kalau ternyata kematian Sulastri yang menjatuhkan diri ke jurang itu atas kekerasan, maka Jaka tak akan segan-segan lagi berbuat menurunkan tangan telengas pada Warakas seperti dikatakan oleh Sodra Jumawa.
"Aku pamit undur. Sodra."
"Ah, mengapa terburu-buru, Jaka?" tanya Sodra seakan tak ingin pertemuan itu segera berakhir dengan perpisahan. Rasa kangennya pada Jaka yang menjadi sahabatnya belum terlunasi. Namun Sodra Jumawa maklum siapa adanya Jaka, yang memang dipenuhi dengan segala macam masalah dunia persilatan.
"Ya, begitulah seorang pendekar sepertinya. Tak ada waktu sesaat pun baginya untuk dapat mengasoh. Segala waktu diserahkan untuk kepentingan orang banyak. Sungguh aku merasa kagum padanya. Dialah seorang pendekar sejati, yang mengutamakan kepentingan orang banyak di atas kepentingan diri sendiri," gumam Sodra Jumawa dalam hati.
"Kau tahu sendiri apa yang telah menjadi kebiasaanku Sodra?"
"Oh, aku mengerti. Kebiasaanmu adalah mengutamakan kepentingan orang banyak di atas kepentingan diri sendiri. Kau rela berkorban untuk ketentraman dunia, walau nyawamu sebagai taruhannya."
"Rupanya kau bisa bercanda juga, Sodra? Apakah kau tak menjadi dagelan. Ha, ha, ha...!"
Sodra Jumawa hanya dapat geleng-geleng kepala mendengar ucapan Jaka yang bercanda. Maka tak ayal lagi, kedua sahabat itu akhirnya tumpahkan gelak tawanya menjadikan ruangan itu seketika seperti terbelah oleh gelak tawa mereka.
"Baiklah, Jaka. Aku tak dapat mencegahmu, karena aku tahu kau bukan milikku seorang. Kau adalah seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan, jadi kau adalah milik masyarakat. Aku hanya dapat mengiringi dengan doa, semoga kau selalu dalam lindungan Gusti Allah dan selalu dalam kemenangannya."
"Terima kasih, Sodra." Setelah terlebih dahulu menjura hormat, tanpa sepengetahuan Sodra secepat kilat Jaka berkelebat.
Hal itu menjadikan Sodra seketika terjengah heran. Mata Sodra seketika mencari-cari, namun ternyata Jaka telah jauh meninggalkannya. Tinggallah Sodra yang hanya dapat geleng kepala.
Jaka terus berlari dengan tujuan mencari jurang yang telah dikatakan oleh Warakas. Tengah Jaka berlari, tiba-tiba dia dikejutkan oleh desingan ratusan anak panah yang mengarah ke arahnya. Serta merta Jaka lemparkan tubuh ke atas untuk menghindar.
"Monyet-monyet gudigan! Siapa yang telah bertindak seperti monyet?" ngerompil Jaka sewot. Tangannya secepat kilat berkelebat, dan ditangkapnya puluhan anak panah yang mendesing-desing tertuju ke arahnya.
"Hei... kalau kalian memang monyet, keluarlah!"
"Hua, ha, ha... Jadi kau kira aku ini monyet! Cuih! Kau pun tak lebih dari kunyuk!" bentak seorang lelaki pendek dengan kepala gundul yang tiba-tiba berkelebat dari semak-semak.
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, manakala melihat tubuh kate di hadapannya. Orang kate itu lucu, berbadan kelewat gendut dan kepala botak ditambah lagi dengan matanya yang besar bagaikan mata buta.
"Anak edan! Apa perlumu tertawa, hah!" kembali manusia kate itu membentak, manakala tahu bahwa Jaka mentertawai dirinya.
Hal itu menjadikan Jaka malah ganda tawa, lalu dengan terpingkal-pingkal Jaka pun berkata mengejek.
"Duh... duh! Kalau kau mau marah-marah, percuma saja. Mendingan kau mendaftarkan diri saja pada PT ABC, siapa tahu tubuhmu yang kerdil nan lucu itu dapat dimanfaatkan untuk iklan!"
"Bedebah! Lancang kau berucap, Anak Siluman!"
"Hua, ha, ha... Kau lucu, Oom kerdil," gelak Jaka tertawa seraya berkata.
"Tubuhmu kelewatan. Sudah pendek, eh malah gemuknya bukan main. Kau persis kodok bangkong, hua, ha, ha..."
"Bangsat! Kucincang tubuhmu, Anak Edan! Suiit....!"
Lelaki cebol gemuk yang mirip raksasa matanya seketika membunyikan suitan. Maka dari balik semaksemak keluarlah puluhan cebol mengepung Jaka. Jaka yang dasarnya ndableg, seketika tertawa bergelak.
"Hua, ha, ha.... Rombongan tuyul dari mana kalian?"
"Edan! Kau terlalu meremehkan kami! Apakah kau belum tahu siapa kami, Anak edan!"
"Wuah, aku tahu nama julukan kalian. Kalian mendapat julukan di dunia persilatan. Seratus Tuyul Pencuri Uang yang bau air kencing. Hua, ha, ha...!"
"Slompret! Anak edan ini tak perlu dikasih hati. Serang!"
Mendengar komando itu, secepat kilat puluhan orang kate lucu berkepala botak dan bermata lebar itu menyerang Jaka. Senjata mereka yang berbentuk arit pendek atau parang, berkelebat-kelebat dengan gerakan-gerakan tak beraturan tampaknya. Namun gerakan-gerakan itu bila dipahami benar-benar akan menjadikan sebuah gerakan yang sangat berbahaya. Gerakan yang kaku itu, selalu membawa angin besar menerpa pada tubuh dan wajah Jaka.
"Wadaow, kenapa tuyul-tuyul ini galak amat, sih? Apakah kalian tak pernah makan sesaji?" mengomel Jaka dengan gelak tawanya, menjadikan ketiga puluh tuyul yang bergelar Tri Dasa Buta Kuntet makin merengkah marah. Mereka tanpa banyak bicara lagi terus berusaha merangsek Jaka. Hampir saja Jaka keteter oleh serangan mereka yang datangnya bertubi-tubi dan silih berganti.
"Edan! Kenapa kalian anak kecil sudah berani kurang ajar, hah! Apa kalian belum pernah dikasih pelajaran? Nih, aku berikan pelajaran tata krama pada kalian!" Setelah berkata begitu, secepat kilat Jaka berkelebat bagaikan seekor burung Srigunting. Tangannya menyambar-nyambar, dan...
"Tap..." Tangan Jaka seketika bergerak cepat menangkap kepala salah seorang dari kate-kate itu. Tak ampun lagi, dibawanya tubuh kate itu ke atas dan dipelintirnya kumis kate itu. Maka menjeritlah kate itu karena kumisnya tercabut dari tempatnya.
"Tobat...!"
"Hua, ha, ha... Siapa lagi yang ingin mengikuti kursus mencuri kelapa?" ledek Jaka dengan ndablegnya, sepertinya ia tak merasa sungguh-sungguh berkelahi.
Sementara kate yang kumisnya telah lepas, nampak berguling-guling sembari memegangi kumisnya yang tinggal sebelah. Air matanya mengalir deras, rasa sakit yang teramat sangat melanda tubuhnya. Makin marahlah kate lainnya melihat hal itu, yang dengan segera kembali mengurung Jaka Ndableg.
"Wah, rupanya kalian menginginkan mainan berupa kepiting. Oh memang menurut cerita, tuyul suka kepiting. Baiklah, aku akan memberi kalian seekor kepiting. Nah, ini yang pertama!"
Ditangkapnya seorang lagi kate itu, lalu dengan tangan membentuk capit dipelintirnya leher kate itu. Menjeritlah seketika sang kate, sampai-sampai lehernya berbunyi, "Kretek!"
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Anak edan!" membentak marah ketua kate itu, demi melihat anak buahnya dua orang menggerung-gerung kesakitan. Parang di tangannya berkelebat cepat, hampir saja membabat tubuh Jaka kalau saja Jaka tidak waspada.
"Ampun, Oom Tuyul! Kenapa kau galak amat, sih...? Apakah kau kurang sesaji? Nah, aku akan memberimu sesaji berupa nasi salak!" Habis berkata begitu Jaka segera kembali berkelebat dengan cepat. Dikiblatkan tangan kanannya dengan jari-jari membuka, lalu dengan cepat tangan itu bergerak. Namun belum juga tangan Jaka menghantam kening ketua kate, tiba-tiba seseorang berkelebat menghadangnya.
"Dessst...!"
Jaka segera tarik undur serangan, manakala bayangan itu menghantam tangannya. Tangan Jaka seketika kesemutan, terhantam oleh sebuah pukulan oleh bayangan orang tersebut yang kini telah berdiri dengan senyum sinis padanya. Tersentak Jaka Ndableg, manakala tahu siapa adanya orang yang datang dan telah memukul tangannya hingga kesemutan. Karena sudah mengenal siapa adanya orang yang datang, serta merta Jaka berseru.
"Datuk Tuyul Setan! Rupanya kaulah biang dari semua ini. Hem, apa maksudmu memerintah pada anak buahmu si Tuyul Tri Dasa Buta Kuntet menyerangku?"
"Hua, ha, ha... Jaka Ndableg, aku ingin melihat sebagaimana ilmu yang kau miliki sebagai seorang pendekar yang ditakuti oleh para tokoh golongan sesat. Aku ingin mengujimu, Ndableg!"
"Hem, rupanya kau tak lebih dari seorang pengecut! Kenapa tidak kau sendiri yang menghadapiku?" bentak Jaka marah. merasa kalau dirinya telah ditipu mentah-mentah oleh Datuk Tuyul Setan.
Namun Datuk Tuyul Setan bukannya gentar mendengar bentakan Jaka, bahkan sebaliknya sang Datuk tertawa renyah.
"Bukankah aku kini telah menghadapimu?"
"Apa maumu, Datuk Iblis?" "Mauku...? Kau harus melepaskan gelarmu sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan. Biarkan kami golongan hitam bertindak sesuai dengan kemauan kami!"
"Apa kau kira semudah itu, Datuk?"
"Kenapa tidak? Kami akan membuktikannya, Anak muda!"
"Jangan mimpi, Datuk! Jangankan untuk menuju cita-citamu, untuk bernapas pun kalian akan senen kemis," ejek Jaka, menjadikan sang Datuk seketika menggeram marah.
Maka dengan didahului dengan bentakan sang Datuk seketika berkelebat menyerang. Tubuhnya yang kecil cebol, layaknya seekor katak melompat menangkap nyamuk. Ya, memang sang datuk tengah menggunakan jurus Kodok Bangkong Menangkap Nyamuk. Jurus itu merupakan jurus andalan para kate, sebab jurus tersebut merupakan jurus yang sangat ampuh. Jarang musuh dapat lolos dari sergapan jurus tersebut.
Tapi Jaka bukanlah pendekar sembarangan. Percuma ia digembleng oleh lima guru sekaligus. Empat gurunya merupakan tokoh-tokoh yang pernah merajai dunia persilatan. Apalagi Ki Bayong yang terkenal dengan julukan Pendekar Hati Suci, sungguh tak ada tandingannya pada masa itu. Belum lagi gurunya dari alam siluman yang datang bila dipanggil dengan bentuk pedang pusaka.
Maka menghadapi gempuran Datuk Tuyul Setan yang menggunakan jurus Kodok Bangkong Menangkap Nyamuk, tak menjadikan Jaka keteter. Bahkan Jaka dengan masih bergelak tawa ria melayainya. Tarian-tarian tangan Jaka yang mengeluarkan jurus Kupu-Kupu Berbisa didikan Nyi Rukmini, menjadikan pudar jurus Kodok Bangkong.
Terperanjat kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat apa yang telah terjadi. Jurus yang diandalkan oleh hampir seluruh tokoh kate, ternyata dapat dengan mudah dihancur-leburkan oleh pendekar muda yang bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah. Maka makin gusarlah Datuk Tuyul Setan menerima hal itu.
"Jangan bangga dulu, Anak muda! Aku belum kalah!"
"Aku tak merasa bangga," jawab Jaka tenang.
"Ini untukmu! Hiat...!" Selarik sinar hitam berkelebat cepat, keluar dari telapak tangan Datuk Tuyul Setan. Sesaat Jaka tersentak mundur, lalu dengan segera elakkan pukulan itu.
"Wah, bagaimana kalau kau dijadikan tukang panah kerajaan? Mungkin kau akan salah sasaran. Atau mungkin temanmu sendiri yang terkena. Lihat...!"
Memang benar apa yang dikatakan Jaka, pukulan Datuk Tuyul Setan yang bernama ajian Lutuk Gayung melesat beberapa jengkal dari tubuh Jaka dan menghantam telak pada anak buahnya. Seketika ketiga anak buahnya menjerit, lalu mati dengan tubuh membiru. Tubuh mereka terkena racun yang paling ganas, yaitu racun Kecubung Ungu.
"Ah, ternyata Datuk Iblis ini memiliki racun Kecubung Ungu. Kalau saja aku tak cepat menghindar, sungguh berbahaya," keluh Jaka dalam hati. Dan Jaka pun untuk kedua kalinya tersentak kaget, manakala sebuah pukulan serupa kembali berkelebat ke arahnya. Karena untuk mengelakkannya tak mampu, serta merta dengan tanpa perhitungan lagi Jaka hantamkan ajian Getih Sakti.
"Sreet...!"
"Crooot...!"
"Blum!"
Terdengar ledakan dahsyat, manakala dua ajian itu bertemu di udara. Kedua orang pemiliknya seketika terpental ke belakang namun sungguh menjadikan Jaka parah menerimanya. Dari mulut pendekar kita, meleleh darah kehitam-hitaman. Rupanya racun Kecubung Ungu yang dilontarkan bersamaan dengan ajian Lutuk Gayung, menghantam tubuhnya. Tanpa ayal lagi, tubuh Jaka seketika itu terkena racun ganas. Melihat Jaka dalam keadaan luka, meledaklah tawa Datuk Tuyul Setan.
"Hua, ha, ha... ternyata ilmumu hanya sekuku hitam, Anak muda! Dengar olehmu, kau akan mati dalam waktu tiga jam apabila kau tak segera menyembuhkannya dengan obat penawar yang aku miliki. Maka itu, aku ingin jawabanmu. Maukah kau menjadi anggota Persekutuan Iblis? Jawab olehmu! Bila kau menolak, maka kematian-lah yang akan kau alami. Tapi bila kau menerima, aku akan memberikan obat penawarnya pada dirimu!"
Jaka terdiam menahan sakit yang teramat sangat. Denyut jantungnya memburu liar, bagaikan aliran darahnya merambah cepat. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya, sampai-sampai baju yang dikenakan basah kuyup. Baju berwarna perak yang dihadiahkan oleh ayahnya, seketika itu basah kuyup.
"Ooh Gusti Allah, apakah aku akan mati di tangan Datuk Iblis ini?" keluh Jaka dalam hati. Matanya makin lama makin suram, berkunang-kunang untuk melihat. Manakala tubuh Jaka hendak jatuh, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dan menyambar tubuh itu.
Tersentak kaget Datuk Tuyul Setan demi melihat seseorang cebol seperti dirinya telah mengangkat tubuh Jaka dan membawanya pergi. Maka dengan membentak Datuk Tuyul Setan pun segera berkelebat mengejarnya.
"Bedebah! Siapa kau? Jangan lari!"
Namun bagaikan tak mendengar bentakan sang Datuk, tubuh cebol itu terus saja berlari membawa tubuh Jaka yang tergeletak pingsan. Walaupun tubuhnya cebol, namun larinya begitu cepat hingga dalam sekejap saja tubuh cebol itu telah jauh meninggalkan Datuk Tuyul Setan bersama anak buahnya yang terus mengejar.
"Bedebah! Kita telah kehilangan jejaknya!" gerutu Datuk Tuyul Setan, manakala tak lagi dilihatnya orang cebol yang dikejarnya.
"Siapakah dia adanya...?"
"Entahlah, Tuan. Tubuh orang itu seperti kita," jawab ketua Tri Dasa Buto Kuntet.
"Apakah tidak mungkin teman kita sendiri yang bermaksud menguasai rencana kita?"
Sang Datuk manggut-manggut mendengar penuturan anak buahnya. Matanya masih memandang ke bawah jurang di mana orang kate seperti dirinya yang membawa tubuh Jaka berkelebat. Dengan tanpa hasil, Datuk Tuyul Setan akhirnya kembali berkelebat pergi meninggalkan jurang di depannya untuk kembali menemui rekan-rekannya sesama golongan.
"Ayo kita balik! Siapa tahu memang dia rekan kita!"
"Daulat Gusti," jawab seluruh anak buahnya hormat.
Maka dengan diiringi anak buahnya yang masih hidup, sang Datuk kembali melangkah pergi meninggalkan tempat itu sekaligus meninggalkan mayat-mayat anak buahnya yang bergelimpangan. Dan tegalan itu pun kembali sepi, bagaikan tiada kehidupan disitu.
Apakah pendekar kita dapat tertolong nyawanya? Nah, ikuti terus bab selanjutnya...!

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

Di pagi yang cerah, terdengar seruan seseorang berteriak-teriak memecahkan keheningan pagi. Orang itu adalah seorang gadis muda yang tengah mendalami ilmu silat. Gadis itu tak lain daripada Sulastri adanya yang terjatuh di dalam jurang. Duduk di hadapannya agak jauh, seorang wanita tua renta yang tak lain gurunya bernama Eyang Silir.
"Hiat...!"
Tubuh Sulastri berkelebat cepat laksana seekor tupai yang lincah, hinggap dari satu pohon bambu ke pohon bambu yang lainnya. Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat pohon-pohon bambu itu yang seketika puntung terpangkas oleh tebasan pedang tersebut. Wajah sang guru nampak bahagia, menyaksikan kemajuan muridnya yang begitu pesatnya.
"Bagus, Lastri! Ulangi lagi dari awal!" seru sang guru memberi semangat.
Lastri sesaat menjura hormat, lalu kembali ia pun membuka jurus yang telah ia pelajari. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa Lastri yang telah jatuh ke bawah jurang tahutahu hidup? Nah, marilah kita kembali ke kejadian itu....
Setelah menyerang Warakas yang telah mengecewakan hatinya, Sulastri nekad menceburkan dirinya ke jurang yang curam dan terjal. Tujuannya hanya satu, mati. Ya, menurutnya dengan mati bunuh diri arwahnya akan penasaran dan dapat menuntut balas. Sulastri seketika pejamkan mata, siap untuk menyambut elmaut.
Tapi ajal bukanlah kuasa manusia macam Sulastri, maka ketika Sulastri melayang ke bawah, seketika sebuah bayangan berkelebat menangkap tubuhnya. Bayangan itu yang ternyata milik seorang nenek sakti, meluncur membawa tubuh Sulastri yang pingsan menuju ke pondoknya. Diberinya Sulastri obat, sedang kandungan Sulastri ternyata telah keguguran. Mungkin kandungan itu telah terbentur-bentur oleh bebatuan yang menerjal.
Nenek sakti yang bernama Eyang Silir, seketika merasa iba melihat Sulastri. Maka manakala Sulastri telah sadar dari pingsannya, Eyang Silir Kuning pun menanyai kenapa Sulastri sampai berbuat nekad hendak bunuh diri.
"Saya telah frustasi, Eyang. Saya... saya telah dikecewakan oleh seorang lelaki yang telah merenggut kehormatan saya. Lelaki itu sungguh sangat saya cintai..."
"Bodoh! Mana ada cinta sejati!" bentak Eyang Silir Kuning, sepertinya marah demi mendengar penuturan Sulastri. Hal itu menjadikan Sulastri kaget bercampur dengan heran tak mengerti.
"Kenapa karena itu kau hendak bunuh diri?"
"Saya... saya sudah tak kuat menanggungnya, Eyang! Saya tak mempunyai pilihan lain kecuali mati bunuh diri, agar arwahku penasaran yang akhirnya nanti dapat menuntut balas pada orang-orang yang telah membuatku menderita."
"Pikiran picik!" kembali Eyang Silir Kuning membentak.
"Apa kau kira dengan berbuat begitu bebanmu akan enteng? Huh, dasar anak tolol! Malah dengan berbuat begitu, bebanmu makin bertumpuk. Di dunia kau menderita, sedang di akherat kau akan merana tak diterima oleh Sang Pencipta!"
Sulastri seketika terdiam demi mendengar penuturan Eyang Silir Kuning. Dirasakan olehnya memang benar akan apa yang telah dikatakan oleh Eyang Silir Kuning. Tak terasa air matanya meleleh deras, sepertinya hendak membuang segala derita.
"Kau tahu siapa adanya Warakas itu?" tanya Eyang Silir, menjadikan Sulastri seketika mendongakkan mukanya memandang pada si Eyang. Sesaat setelah terdiam memandang pada Eyang Silir, Sulastri akhirnya hanya menggeleng kepala.
"Warakas itu bukanlah kemenakan Kyai Safei. Dia adalah seorang yang disuruh oleh gurunya Datuk Lingo Ketek untuk mengacaukan kerajaan dengan cara menyamar sebagai kemenakan Kyai Safei. Karena gurunya tokoh sesat seperti diriku, hingga ia pun akhirnya jadilah tokoh sesat pula. Memang di antara kami, yaitu aku dan Datuk Lingo Ketek terjadi perselisihan. Aku memang kurang sepaham dengan cara-caranya. Karena kekurang-sepahaman itulah, menjadikan diriku dengan dirinya selalu bertentangan. Kami sering kali bersitegang, namun untuk menentukan pertarungan antara kami belum juga terlaksana. Karena di samping kami sealiran, juga kami selalu dihalangi oleh teman-teman kami. Maka itulah, kau jangan kaget kalau tindakan Warakas bukanlah tindakan orang yang baik. Kau yang bodoh! Kenapa kau mudah percaya dengan rayuan lelaki. Aku pun dulu seperti dirimu. Aku juga korban dari kebiadaban lelaki!"
Eyang Silir sesaat menghentikan ucapannya. Dari matanya yang telah tua mengalir air mata. Eyang Silir menangis manakala mengingat pengalaman hidupnya.
"Kenapa Eyang menangis?" tanya Sulastri agak memberanikan diri manakala melihat Eyang Silir menangis.
Eyang Silir seketika tersentak, menghapus air matanya seraya memandang pada Sulastri. Ditatapnya lekat-lekat wajah Sulastri, sepertinya ingin memperbandingkan duka yang ada di wajah Sulastri dengan duka yang ada di wajahnya. Setelah sekian lama terdiam dengan mata menatap Sulastri, Eyang Silir pun kembali berkata.
"Nasibmu seperti aku, Lastri. Aku pun dulu termakan oleh rayuan lelaki yang tak lain dari gurunya Warakas!"
Terbelalak Sulastri seketika manakala mendengar penuturan Eyang Silir. Namun belum sempat Sulastri bertanya, Eyang Silir telah mendahuluinya bercerita tentang kehidupannya.
"Lima puluh tahun yang lalu, kala aku masih remaja, seorang pemuda bernama Briah Sumenep datang ke tempatku. Dia datang baik-baik padaku dan menyatakan cintanya yang tulus. Sebagai seorang gadis lugu, aku pun menerima cintanya. Mulanya aku tak melihat adanya tanda-tanda kalau dia akan buruk padaku. Ketika cinta terus berjalan, aku pasrahkan segenap jiwa dan ragaku hanya untuk dia seorang. Sampai akhirnya kehormatanku pun terenggutnya. Aku seperti dirimu, pikiranku oleng tak tentu. Dan aku pun nekad hendak membunuh diri. Namun niat itu aku urungkan, karena aku merasa sia-sia bila sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran harus mengalah begitu saja. Aku pun saat itu mencari guru, dengan tujuan kelak aku akan menuntut balas. Maka dengan segala daya dan upaya, aku pun mencari guru yang benar-benar sakti yang dapat memberiku ilmu tinggi. Lama aku mencari seorang guru, hingga akhirnya aku hampir putus asa. Dalam keputusasaanku, aku mendapat petunjuk dari suara gaib agar aku mengabdi pada seorang tokoh sesat bernama Datuk Walabar. Mulanya aku bimbang, sebab keluargaku semua menjadi seorang pendeta. Tapi manakala aku kembali ingat pada dendam, akupun membulatkan tekad!"
"Lalu Eyang berguru juga?" tanya Sulastri.
Eyang Silir Kuning mendesah sesaat. Ditariknya napas panjang-panjang, dan ditatapnya sejenak wajah Sulastri yang kini agak tenang dari ketegangan. Setelah kembali menarik napas berat, Silir Kuning pun kembali berkata.
"Ya, aku hari itu juga berangkat menemui Datuk Walabar. Betapa aku saat itu dalam kebimbangan untuk memilih. Apakah aku terus mengikuti keluargaku menjadi Pendeta, atau aku harus menjadi seorang tokoh sesat yang bakal mampu membalas sakit hati pada Briah Sumenep yang telah mengecewakan aku. Akhirnya dorongan untuk membalas dendam itulah yang aku pilih. Lima tahun aku berguru pada Datuk Walabar. Lima tahun pula aku digembleng dengan beraneka macam ilmu. Namun hatiku seketika menjerit kembali, manakala guruku yang aku hormati mengkoyakkan segalanya. Malam naas itu, kehormatanku kembali terenggut oleh guruku sendiri. Aku pasrah, ya pasrah segalanya. Demi cita-citaku, aku telah mengorbankan segala yang aku miliki. Akhirnya, aku beranggapan bahwa semua lelaki itu sama tak lebihnya dari buaya. Di situlah dendamku pada semua lelaki tumbuh. Setelah aku merampungkan seluruh ilmu yang diajarkan oleh Datuk Walabar, aku bunuh guru biadab itu. Entahlah, saat itu aku tak merasakan adanya takut. Yang ada dalam benakku hanya satu, menghancurkan setiap lelaki. Karena lelaki bagiku hanya bajingan. Aku terus berkelana mencari korban dengan harapan dapat bertemu Briah Sumenep. Karena kekejamanku, sampai-sampai banyak korban laki-laki di tanganku. Aku pun saat itu mendapat julukan Dewi Bunga Malam Kematian. Nama besarku makin hari makin melambung, namun harapanku untuk menjumpai orang yang bernama Briah Sumenep tak aku temui. Ternyata Briah Sumenep adalah nama samaran. Nama aslinya Suntoro atau Datuk Lingo Ketek. Setelah aku mendapatkan nama asli Briah Sumenep, aku pun segera memburunya. Namun manakala aku telah bertemu dengannya, rasa cintaku kembali tumbuh. Entah karena apa, aku tak berani menyakitinya walau dia telah menyakiti diriku. Itulah makanya aku bersumpah, bahwa kelak setelah aku mengangkat murid maka muridkulah yang akan membalaskannya. Namun ternyata aku menemukan dirimu yang juga senasib denganku. Tapi tak apa, kau harus mampu membasmi keturunan Lingo Ketek. Basmi Warakas, biar gurunya aku yang akan tangani bila memang ia turut campur. Kini aku sudah tua, maka tak ada lagi istilah kasihan. Dia telah membuatku menderita, merasa rendah diri hingga aku tak nikah sampai sekarang!"
"Jadi... jadi... Eyang mau mengangkatku menjadi muridmu?"
"Benar, Lastri. Aku akan turunkan segala ilmu yang aku miliki untuk membalas segala kekesalan hatiku sekaligus kekesalan dan dendam hatimu pada murid Lingo Ketek. Kau mau, Lastri?"
Mendengar pertanyaan Eyang Silir Kuning yang memintanya untuk menjadi murid, seketika Sulastri jatuhkan diri menyembah. Dari mulutnya yang bergetar keluar ucapan yang seperti sumpah.
"Baiklah, Guru. Aku akan menjadi muridmu yang baik. Kelak aku akan membalas segala apa yang pernah guru alami juga dengan diriku. Aku akan menumpas segala cucu dan anak murid Lingo Ketek!"
"Bagus! Tak sia-sia aku menemukan dirimu. Nah, mulai besok aku akan menurunkan segala ilmu yang aku miliki!"
Maka sejak saat itu Sulastri pun digembleng oleh Eyang Silir Kuning yang menjadi gurunya. Seorang datuk sesat yang nasibnya seperti nasib dirinya sendiri.

* * * * *



Jaka Ndableg yang dilarikan oleh seorang kate dalam keadaan pingsan masih pingsan saat itu juga. Kate yang menolongnya tampak masih agak cemas melihatnya, walau pil pemunah racun itu telah ia minumkan pada Jaka. Memang racun Kecubung Ungu merupakan racun yang ganas. Racun itu cepat reaksinya bila tidak segera mendapat pertolongan.
"Hem, pendekar muda ini pun mengalami hal serupa. Sungguh suatu racun yang sangat membahayakan. Keterlaluan Datuk Tuyul Setan, aku harus mencegahnya agar tidak terus berlarut-larut. Orang akan menyangka kalau akulah pelaku semuanya. Oh, Datuk Tuyul Setan harus secepatnya aku cegah! Kalau tidak, maka korban demi korban akan selalu berjatuhan," gumam lelaki kate itu yang berdiri di samping tubuh Jaka.
Perlahan mata Jaka Ndableg membuka, ia siuman dari pingsannya. Matanya memandang satu persatu apa saja yang berada di ruangan itu, lalu akhirnya terpaut pada wajah lelaki tua yang berdiri di sampingnya dengan tubuh pendek. Lelaki tua kate itu tersenyum, menjadikan Jaka yang telah tahu siapa adanya lelaki kate itu balas tersenyum sembari berkata.
"Terima kasih atas segala pertolonganmu, Ki. Oya, siapakah namamu, Ki?" tanya Jaka.
Lelaki tua kate itu tersenyum melebar, lalu dengan masih memandang pada Jaka yang terbaring, Lelaki tua kate itu pun berkata: "Namaku yang rendah dan kerdil sekerdil tubuhku, Loras Jingga atau sering orang menyebutku Pendekar Kate dari Matahari."
Terbelalak mata Jaka mendengar nama dan julukan orang yang telah menolongnya. Tidak disangkasangka, kalau akhirnya ia harus menjumpai Pendekar Kate yang sudah terkenal. Serta merta Jaka bangkit dari tidurnya seraya menjura hormat berkata.
"Ooh, maafkan atas segala tingkahku pada Pendekar Kate!"
"Siapakah adanya engkau, Anak muda?" tanya Kate Dari Matahari setelah untuk sesaat mengangguk-anggukkan kepala.
"Dan kenapa pula kau harus berurusan dengan Datuk Iblis itu?"
"Aku yang bodoh dan telah dapat dikalahkan oleh Datuk Tuyul Setan bernama Jaka Ndableg "
"Jaka Ndableg,..?!" tersentak Pendekar Kate Matahari demi mendengar nama Jaka Ndableg, sampai-sampai tubuhnya yang kerdil itu melompat karena kagetnya.
"Jadi... jadi kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah itu, Anak muda?"
"Itulah adanya, Ki..."
Makin kaget saja Kate Matahari setelah pasti bahwa pendekar itu adalah Pendekar Pedang Siluman Darah. Maka tanpa sungkan-sungkan ia pun segera menjura hormat.
"Ooh, sungguh mata tuaku tak dapat membedakan dengan baik. Ternyata aku terlalu bodoh. Aku sungguh-sungguh tak menyadari, kalau ternyata orang yang aku tolong adalah seorang pendekar kelas wahid yang namanya tengah menggemparkan dunia persilatan dengan senjata pusakanya!"
"Ah, tak usahlah Ki Kate terlalu merendah. Bila dibandingkan dengan namamu yang agung, namaku belum ada sekuku hitam," balas Jaka.
"Oh ya, Ki. Tahukah kau di mana kediaman Datuk Tuyul Setan? Lalu apakah penangkal dari racun Kecubung Ungu?"
Seketika Pendekar Kate Matahari terdiam manakala mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jaka. Nafasnya mendesah berat, sementara matanya terpejam. Setelah berbuat begitu agak sedikit lama, tiba-tiba Pendekar Kate Matahari menangis. Hal itu menjadikan Jaka seketika tersentak tak mengerti, dan bertanya.
"Kenapa Ki Kate menangis? Adakah aku telah berbuat kekeliruan yang menyinggung perasaan Ki Kate? Atau mungkin ucapanku telah membuat Ki Kate terenyuh...?"
"Bukan itu yang aku tangisi. Aku menangisi tentang racun Kecubung Ungu. Sungguh aku ini telah berdosa besar..."
"Hei, apa maksudmu, Ki?" tanya Jaka bingung.
"Racun Kecubung Ungu adalah hasil ciptaanku. Maka sungguh aku sangat menyesal telah semena-mena memberikan pada Datuk Tuyul Setan, kalau akhirnya digunakan untuk kejahatan dan pemuas ambisinya yang ingin merajai golongan sesat. Mungkin tak akan lama lagi, para Datuk akan bertarung satu sama lainnya."
Terbelalak mata Jaka mendengar penuturan Kate Matahari, sekaligus ia jadi tahu akan apa yang tengah bergolak di antara pada datuk sesat yang selalu berlomba untuk saling menyatakan dirinya yang paling sakti. Nah, untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh para datuk sesat, silahkan anda baca serial Pendekar Pedang Siluman Darah berikutnya yang berjudul Pertarungan Dua Datuk.
"Hem, akan ramai akibatnya kalau sampai benarbenar terjadi!" gumam Jaka.
"Ya, mereka akan saling mengadu kesaktian untuk memperebutkan jabatan sebagai ketua datuk."
"Apakah tak ada faktor lain yang mengakibatkan mereka saling tuduh menuduh, Ki?" tanya Jaka mencoba ingin tahu.
"Maksudmu, pendekar?"
"Mungkin ada faktor lain di antara mereka. Misalnya saja perselisihan yang menyangkut diri mereka."
"Memang ada. Seperti Datuk Lingo Ketek dan Eyang Silir Kuning. Keduanya terdapat sengketa masalah cinta. Keduanya dulu sewaktu muda pernah menjalin cinta, namun akhirnya Lingo Ketek mengkhianati cinta Eyang Silir Kuning setelah dirinya merusak kehormatan Eyang Silir Kuning!"
"Wuah, kalau begitu mereka terpentok masalah cinta?" tanya Jaka seperti berbicara pada diri sendiri.
"Ooh, sungguh dunia ini penuh keanehan. Sampai-sampai mereka selalu terjerat oleh iblis. Cinta... Ah, mengapa semua gara-gara cinta banyak orang menderita dan putus asa? Seperti temanku, dia pun gara-gara cinta akhirnya mengalami hal yang tragis, mati menceburkan diri ke jurang!"
Pendekar Kate Matahari hanya dapat mendesah panjang, dengan sekali-kali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun tak habis pikir, mengapa orang-orang selalu melakukan kesalahan-kesalahan? Mengapa kadang para wanita tak mau menyadari segala apa yang bakal terjadi? Kalau sudah begini, apakah dapat menutupi segala kenyataannya?
"Jaka, kalau kau ingin menyelesaikan masalah mu dengan Datuk Tuyul Setan, akupun ingin meminta tolong padamu. Mintalah padanya Kitab Racun Kecubung Ungu. Dulu dia meminta padaku dengan menangis-nangis. Aku tak tega melihatnya, sehingga aku tak memikir untuk apa kitab tersebut. Baru kini aku sadari, kalau hal itu bila didiamkan berlarut-larut sangat bahaya. Ingat, kalau kau menghadapi racun Kecubung Ungu lagi, usahakan dirimu jangan menapak di tanah. Sebab ajian itu tak akan mempan pada orang yang kakinya berada di atas angin!"
"Baiklah, Ki. Aku akan berusaha mengambil kitab tersebut. Aku mohon pamit!" Jaka segera menjura hormat, yang dibalas dengan menjura juga oleh Pendekar Kate Matahari.
Namun betapa kagetnya Pendekar Kate Matahari, manakala ia menegakkan kepalanya ternyata Jaka Ndableg telah tak ada di hadapannya.
"Sungguh pendekar aneh," gumam Kate Matahari seraya gelengkan kepala, lalu setelah itu ia pun berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.

* * * * *



:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::

Jaka yang telah sembuh dari pengaruh racun Kecubung Ungu segera berkelebat pergi meninggalkan Kate Matahari untuk kembali meneruskan pengembaraannya. Ia juga hendak mencari Datuk Tuyul Setan yang telah dapat menjatuhkan dirinya. Namun bukan karena itu tujuan Jaka, tapi Jaka kini mengemban tugas dari Kate Matahari untuk meminta Kitab Racun Kecubung Ungu.
Sebuah kitab ilmu silat yang dicampur dengan obat-obatan milik Kate Matahari. Kalau kitab itu tak segera diamankan dari tangan Datuk Tuyul Setan, niscaya dunia persilatan khususnya para tokohtokoh persilatan akan menjadi korban. Apalagi akan diadakan pertarungan antar datuk untuk mencari seorang pimpinan bagi golongan hitam.
"Aku harus dapat mengambil kitab tersebut. Kalau sudah mendapatkan kitab itu, maka aku akan menuju ke kerajaan yang aku dengar kini dalam keadaan goncang. Kerajaan dalam keadaan yang gawat oleh pemberontakan. Hem, siapakah yang menjadi biang pemberontakan di kerajaan?" gumam Jaka dalam hati.
Dengan menggunakan ajian Angin Puyuhnya Jaka berkelebat dengan cepat laksana angin berlari entah ke mana. Namun seketika langkahnya terhenti, manakala di hadapannya serombongan pasukan kerajaan tiba-tiba menghadangnya.
"Mau apa mereka dengan diriku?" tanya Jaka pada diri sendiri.
"Berhenti!" menyuruh ketua prajurit yang ternyata bukan Warakas adanya. Jaka segera menurut dan menghentikan langkahnya.
"Kaukah yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah?"
Ditanya begitu rupa, seketika Jaka mengerutkan keningnya. Ia tak habis pikir, mengapa orang-orang kerajaan yang telah mengenalnya tiba-tiba saja menanyakan siapa adanya dirinya? Jaka tersenyum, dipandangi satu persatu dari mereka. Saat itu juga Jaka tak mengenali satu di antara mereka yang benar-benar prajurit.
"Hem, prajurit-prajurit gadungan," gumam Jaka dalam hati.
"Ada keperluan apa Ki Sanak sekalian mencegah perjalananku?"
"Aku tanya, apakah, kau Jaka Ndableg? Bukan malah kau yang balik bertanya, Anak sundel!" bentak ketua prajurit gadungan itu marah.
Namun Jaka yang dasarnya ndableg bukannya ketakutan terkencingkencing, bahkan Jaka tertawa bergelak-gelak mendengar gertakan ketua prajurit.
"Hua, ha, ha... Kau bukan ketua prajurit kerajaan, apa hakmu menanyai aku?"
"Setan belang! Akan ku lumatkan dirimu yang sombong!"
"Huh, omonganmu bikin perutku mulas saja. Kau tak lebihnya dari lalat-lalat kotor. Untuk itu, sepantasnya kau aku singkirkan agar perutku bisa sembuh kembali!"
Tak alang kepalang marahnya pimpinan prajurit gadungan itu mendengar ucapan Jaka yang menganggap dirinya seekor lalat yang menjijikkan. Pimpinan prajurit gadungan itu mendengus marah, lalu dengan membentak dia berseru.
"Anak Edan! Jangan salahkan kalau kami merencah tubuhmu. Serang...!"
Mendengar komando dari pimpinannya, seketika kelima puluh prajurit-prajurit gadungan itu berkelebat menyerang Jaka dengan serempak. Tombak-tombak yang berada di tangan mereka bergerak laksana hendak menyate tubuh Jaka.
"Waduh.... kenapa aku hendak kalian jadikan sate?" seru Jaka seraya melompat menghindar.
"Eit, meleset. Kau ternyata belum bisa menjadi pesate profesional. Nih, aku ajari kalau ingin tahu!"
Setelah berkata begitu, segera Jaka merampas tombak orang tersebut yang tersentak dan berusaha mempertahankan. Namun hentakan tangan Jaka yang membetot lebih keras, menjadikan tombak itu seakan membetot tangan prajurit gadungan yang melenguh kesakitan. Belum juga prajurit itu dapat menguasai diri, Jaka dengan segera cocokkan ujung tombak pada mata prajurit tersebut. Tak ayal lagi, prajurit itu melengking kesakitan, menjerit-jerit dengan tangan mendekap matanya yang melelehkan darah. Mata kanannya hilang, tercocok tombak di tangan Jaka.
"Nah, kalian lihat. Aku akan mengambili satu persatu mata kalian, yang akan kujadikan sate nikmat sate mata manusia. Ayo, siapa lagi yang dengan suka rela mengorbankan matanya sebelah?"
Mendengar seruan Jaka, bukannya mereka takut. Bahkan sebaliknya, mereka nampak makin beringas menyerang. Melihat hal itu, serta merta Jaka membuang tombak di tangannya dan memapaki serangan tersebut. Melihat Jaka tak bersenjata, makin meledaklah keberanian para prajurit gadungan itu. Tak ayal lagi, mereka dengan ganas mencerca Jaka dengan tombak siap menghunjam tubuh pendekar kita. Namun begitu Jaka nampak masih tenang, bahkan dengan ketawatawa Jaka melayani mereka.
"Wah, rupanya kalian orang udik, hingga kalian tak pernah merasakan nikmatnya Kue Molen. Apakah kalian ingin menikmati kue molen? Baik, ini aku beri...!" Habis berkata begitu Jaka segera kiblatkan tangannya yang mengepal pada musuh. Tangannya bergerak cepat, dan...
"Dug, dug, dug, dug...!"
Empat kali berturut-turut terdengar hantaman tangan Jaka, dan empat kali pula terdengar pekikan orang yang terkena hantaman. Mereka seketika mendekap mukanya, sementara dari hidung mereka keluar cairan merah. Ya, hidung mereka berdarah, terhantam pisang molen Jaka yang keras.
"Hua, ha, ha... Siapa lagi? Nanti kalau kau yang menjadi ketua, aku ada sedikit permainan untukmu!"
"Bedebah! Jangan kira aku akan mengalah padamu, Kunyuk!" bentak ketua prajurit gadungan, menjadikan Jaka tergelak tawa.
"Hua, ha, ha... kau rupanya pintar ngomong. Mengapa tidak menjadi penjual obat saja?" ledek Jaka.
"Bangsat! Aku cincang tubuhmu! Serang...!" Kembali sisa-sisa mereka berkelebat menyerang
Jaka, yang dengan segera berkelit dari tusukan tombak. Kaki dan tangan Jaka berkelebat cepat, menendang dan menghantamkan pisang molen pada musuh-musuhnya. Tak ayal lagi, musuh-musuhnya satu persatu menjerit dibuat tersungkur mencium tanah. Tinggallah ketuanya yang nampak gemetaran, namun Jaka yang telah gedeg tak mau ambil perduli. Karena merekalah langkahnya untuk mengejar Datuk Tuyul Setan terhenti.
"Nah, karena tinggal dirimu, maka aku akan memberikan sebuah permainan!" Habis berkata begitu, Jaka segera totok urat tulang pimpinan prajurit gadungan yang seketika itu ngeduprak duduk tak dapat bergerak. Habis melakukan itu Jaka segera berkelebat pergi meninggalkan pimpinan prajurit itu yang tak mengerti. Tak lama kemudian, Jaka telah kembali dengan tangan membawa beberapa lembar daun yang banyak ulatnya.
"Nah, inilah permainanku bagi orang yang suka menipu! Ulat-ulat daun inilah yang akan menggigit tubuhmu sedikit demi sedikit!"
Terbelalak mata lelaki itu mendengar ucapan Jaka, namun untuk berbuat apa-apa ia tak mampu sebab tubuhnya telah ditotok urat tulangnya.
"Jangan...! Ampunilah aku! Jangan kau buat aku terkencing-kencing ketakutan...!" pinta lelaki itu dengan ketakutan.
Namun Jaka hanya tersenyum sembari gelengkan kepala. Perlahan Jaka melangkah mendekati tubuh lelaki itu yang tengah menggejubrak. Satu persatu daun itu ditaruhnya di tubuh orang tersebut. Tak ayal lagi, lelaki yang tadi membentak berani seketika keluar keringat dinginnya deras membasahi tubuh. Dan yang lebih dari itu, seketika dari miliknya keluar cairan yang baunya minta ampun.
"Uh, kenapa kau kayak anak kecil?" sentak Jaka merasa bau yang menusuk hidung ke luar dari tubuh lelaki itu yang gemetaran. Lelaki itu menangis, tak mampu lagi mempertahankan diri dan pingsan.
Melihat lelaki itu pingsan, segera Jaka yang memang ndableg berkelebat pergi meninggalkannya untuk meneruskan tujuannya mencari Datuk Tuyul Setan. Tengah Jaka berlari hendak meneruskan langkahnya, tiba-tiba ia teringat pada pimpinan prajurit tadi.
"Ah, kenapa aku dungu? Kenapa aku membiarkan segera kejadian berlalu begitu rupa? Hem, akan aku tanyakan pada lelaki itu!"
Segera Jaka balik menuju ke tempat yang tadi. Langkah larinya dipercepat, sehingga dalam waktu yang relatif singkat Jaka pun telah sampai kembali ke tempat itu. Tubuh lelaki itu masih pingsan, sementara ulat-ulat daun telah hilang dari tubuhnya. Dengan segera Jaka menempeleng pipi lelaki itu, yang seketika tersentak bangun kaget.
"Kau...?" lelaki itu tergagap sadar.
"Ya, aku. Aku akan mengampunimu. asalkan kau mau mengatakan siapa adanya dirimu dan siapa pula yang menyuruhmu!"
Lelaki itu sesaat menatap Jaka lekat, lalu dengan mendesah panjang lelaki itu pun akhirnya berkata.
"Namaku Jarang Legong. Aku disuruh oleh... Akh...!"
Lelaki yang bernama Jaran Legong seketika memekik, manakala sebuah benda berkelebat ke tubuhnya. Benda yang berupa belati berkepala burung gagak menancap di punggungnya. Seketika tubuh Jaran Legong membiru, bagaikan terkena racun jahat.
Jaka tersentak kaget melihat hal itu, seketika Jaka berkelebat mencari siapa adanya orang yang telah berbuat begitu. Namun ternyata orang yang berbuat itu telah berlalu meninggalkan tempatnya. Segera Jaka memburu mengejar, digunakan ajian Angin Puyuhnya hingga Jaka pun berkelebat bagaikan angin.
"Berhenti kau!" seru Jaka manakala dilihatnya seseorang berlari di depannya. Orang itu seketika menghentikan langkahnya, berdiri menghadapi Jaka.
"Kaukah yang telah melemparkan pisau itu?"
Ditanya begitu bukannya orang bertopeng itu menjawab, malah orang bertopeng itu seketika mendengus dan berkelebat menyerang Jaka. Diserang begitu rupa, seketika Jaka Pun mengelakkannya.
"Orang gendeng, kenapa engkau menyerangku?" bentak Jaka marah.
Namun orang itu bagaikan tak mendengar, terus merangsek Jaka dengan jurus-jurus yang mematikan. Tersentak Jaka seketika, maka dengan segera Jaka pun berusaha mengelakkannya. Tubuh kedua orang itu berkelebat cepat, saling serang dan elak. Jaka yang geram melihat musuhnya, tanpa sungkan-sungkan lagi melayani.
"Buka kedokmu, Ki Sanak!" bentak Jaka.
Orang itu tak menggubrisnya, malah serangannya makin menjadi-jadi. Merasa ucapannya tak digubris oleh orang berkedok, maka marahlah Jaka. Tubuhnya bergerak cepat, tangannya menyambar-nyambar berusaha membuka kedok penutup wajah orang itu. Namun sejauh itu Jaka tak dapat melaksanakannya, sebab setiap tangan Jaka bergerak hendak mencopot kedok saat itu pula tangan orang itu berkelebat menangkisnya atau melompat mundur.
"Hem, kalau begini terus menerus aku pasti terdesak!" gumam orang berkedok itu dalam hati.
"Kenapa guru tak datang-datang?"
"Eh, rupanya kau pintar mengelak, Setan! Kenapa kau berbuat begitu? Baiklah, akan aku buka kedokmu biar aku dapat melihat siapa adanya dirimu!"
Jaka kembali berkelebat dengan cepat, tangannya berusaha membuka kedok musuhnya. Jurus-jurus ajaran Ki Barwa yang menggunakan nama burung Jalak terus dipakainya. Dari jurus Jalak Mematuk Cacing, Jalak Mengepak Sayap hingga jurus Jalak Menyapu Awan. Namun demikian ternyata semua tak berhasil membuka kedok orang tersebut.
"Bahaya, bahaya kalau begini!" pekik orang berkedok dalam hati. Kini ia benar-benar terdesak oleh serangan-serangan yang dilancarkan Jalak ke arahnya.
"Kenapa guru tak juga datang?"
Jaka yang merasa dipermainkan dengan segera merubah jurus-jurusnya. Dari jurus-jurus yang diajarkan oleh Nyi Rukmini, tubuh Jaka kini bagaikan kupu-kupu, menari-nari lemah gemulai. Tapi dari tarian itu, mendesir-desir angin kencang laksana topan. Sengaja Jaka menyalurkan tenaga angin puyuhnya dengan harapan mampu membuka kedok orang tersebut.
Dan ternyata memang benar, kedok yang dipakai orang itu seketika terbuka. Kedok itu terbang ditiup oleh angin puting beliung yang keluar dari kibasan tangan Jaka. Seketika Jaka tersentak kaget, manakala melihat siapa adanya orang yang telah menggunakan kedok tersebut.
"Warakas! Apa maksudmu dengan semua ini?" Belum juga Warakas menjawab, tiba-tiba terdengar bentakan seseorang yang diikuti oleh gemuruhnya puluhan orang lain yang berkelebat menuju ke arah Jaka.
"Paman guru, Datuk!" seru Warakas setelah melihat siapa adanya orang yang datang. Orang itu ternyata tak lain Datuk Tuyul Setan dan anak buahnya Tri Dadsa Buto Kuntet.
"He, he, he... ternyata umurmu diberi panjang, Pendekar? Tapi hari ini umurmu tak akan sampai dalam waktu tiga jam," ucap Datuk Tuyul Setan sinis.
"Datuk Iblis! Aku memang mencari dirimu...!"
"Mencari diriku? Hua, ha, ha... rupanya kau tak kerasan lagi hidup di dunia. Apakah kau mau minta tolong padaku untuk mengirimmu ke akherat, atau barangkali kau mau menjadi anggotaku?"
"Jangan mimpi aku akan menjadi anggotamu! Aku mencarimu untuk meminta Kitab Racun Kecubung Ungu milik Kate Matahari!"
Terbelalak mata Datuk Tuyul Setan mendengar nama Kate Matahari diucapkan oleh Jaka. Seketika hatinya bergumam, "Hem, kalau begitu Kate Mataharilah yang telah menolongnya. Edan! Kalau memang begitu aku rasa pendekar muda ini pun telah mengetahui rahasia kelemahan racun Kecubung Ungu. Hem, tapi aku tak akan gentar menghadapinya. Aku telah memiliki ilmu yang tinggi, aku telah bersekutu dengan penguasa Bukit Tengkorak!"
"Kenapa kau terdiam, datuk? Apakah kau takut?" Jaka berkata mengejek, menjadikan Datuk Tuyul Setan seketika menggeram marah.
Maka dengan didahului dengan bentakan, Datuk Tuyul Setan seketika berkelebat menyerang Jaka.
"Kau harus mampus, Anak Edan!"
"Eit... kenapa kesusu, Datuk?" Dengan segera Jaka berkelit dari hantaman sang Datuk.
Merasa musuhnya dapat menghindar, serta merta Datuk Tuyul Setan menambah serangannya. Pertarungan pun tak dapat dihindarkan. Keduanya sama-sama tinggi ilmunya, sehingga pertarungan keduanya bagaikan pertarungan dua bayangan saja. Ya, mereka kini menghilang dalam gulungan warna pakaian yang dikenakan. Sinar perak yang keluar dari pakaian Jaka mengkilap-kilap diterpa matahari, sementara sinar hitam yang keluar dari jubah datuk memberikan suatu gambaran keseraman.
"Bangsat! Rupanya aku harus berbuat lebih banyak. Terimalah kematianmu, Anak Muda!" Datuk Tuyul Setan tiba-tiba melancarkan ajian yang berupa sinar merah membara.
Jaka tersentak kaget, ia segera melompat mundur untuk mengelakkannya. Namun sinar itu bergerak cepat, sehingga Jaka tak sempat lagi menghindarinya. Maka dengan segera Jaka pun menghantamkan pukulan yang dilandasi ajian Getih Sakti.
"Getih Sakti, hiaat...!"
"Crooot...!"
"Wessst...!"
"Duar...!"
Terpental tubuh keduanya ke belakang, menjadikan tubuh mereka jatuh bergedebugan menimpa tanah. Jaka seketika tersentak, sebab dari pukulan itu tangannya tiba-tiba membiru. Terkekeh Datuk Tuyul Setan melihat hal itu, lalu ia pun segera bangkit dari duduknya akibat jatuh.
"Bagaimana, Pendekar? Apakah kau mengakui keunggulanku?"
"Jangan harap, Datuk Iblis! Lebih baik aku mati di tanganmu daripada aku harus menjadi budak iblis!" menggeretak Jaka marah.
"Baiklah kalau itu yang engkau mau. Bersiaplah untuk mati!" menggeretak sang Datuk.
"Anak-anak, rencang tubuhnya!"
Tak ayal lagi, tuyul-tuyul kate itu pun seketika berkelebat memburu ke arah Jaka. Kate-kate itu begitu ganasnya, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang runcing. Jaka seketika tersentak dan berusaha bangun walau dengan tangan yang sakit.
"Tuyul-tuyul edan! Terimalah ini, hiat...!"
Terbelalak mata kate-kate itu demi melihat apa yang terjadi. Tangan Jaka yang tadinya membiru seketika membara bagaikan mengandung bara api yang panasnya bukan main. Itulah ajian Tapak Bahana, sebuah ajian yang sangat dahsyat. Jaka sudah begitu marah, sehingga ia pun tak sungkan-sungkan mengeluarkan ajiannya yang dahsyat tersebut.
"Ajian Tapak Bahana, hiat...!" Bareng dengan pekikannya, tubuh Jaka berkelebat bagaikan terbang. Tangannya yang membara laksana bara api neraka, berkelebat mengiblat ke arah musuh-musuhnya.
Tanpa ampun lagi, seketika tubuh musuh-musuhnya yang terkena hangus lalu hancur menjadi debu beterbangan disapu angin pukulan Jaka. Bergidik musuh-musuhnya yang masih hidup. Namun belum sempat mereka berpikir, terdengar kembali seruan sang datuk.
"Serang lagi, jangan kalian mengalah!"
Dengan hati setengah takut, mereka pun kembali menyerang Jaka. Jaka yang rupanya sudah marah, tak mau lagi meladeni mereka dengan main-main. Maka tangannya yang telah disaluri Ajian Tapak Bahana terus berkeliaran mencari mangsa. Jerit kematian susul menyusul, dibarengi dengan sirnanya tubuh-tubuh kate itu satu persatu menjadi debu. Melihat hal itu, Warakas seketika terbeliak. Ia baru tahu siapa adanya pendekar muda itu. Maka tanpa sepengetahuan Datuk Tuyul Setan, Warakas segera berkelebat pergi meninggalkan tempat pertempuran itu.
Jaka yang memang sudah dilanda amarah, tanpa sungkan-sungkan lagi terus menghantamkan ajian Tapak Bahana. Dan tak ayal lagi, tubuh-tubuh mereka yang mengeroyok seketika lenyap menjadi abu.
Tengah Warakas berlari menghindari perkelahian Jaka yang dikeroyok oleh anak buah Datuk Tuyul Setan, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh suara gelak tawa seorang wanita.
"Siapa kau?" bentak Warakas, matanya tajam memandang pada seorang wanita yang berdiri di hadapannya secara tiba-tiba dengan cadar hitam menutupi mukanya.
"Warakas, mengapa kau seperti ketakutan. Akulah Sulastri yang dulu engkau kecewakan! Aku rohnya datang untuk menuntut balas!"
"Bedebah! Aku tak percaya!" geretak Warakas marah.
"Kalau kau benar-benar Sulastri jelas kau kini berada di neraka bersama setan!"
"Hua, ha, ha.... Memang aku kini bersama setan. Tapi kau pun tak ubahnya iblis laknat. Kau ternyata bukan orang baik-baik, tapi kau adalah iblis buaya yang suka mengganggu gadis. Untuk itulah, aku akan mengirimmu ke akherat sana, hiat...!"
"Jangan mimpi, Sundel Bolong! Hiat...!"
Warakas yang sudah menyadari siapa adanya wanita itu, seketika memapaki serangan Sulastri yang berkelebat laksana burung seriti. Jurus demi jurus terus berlalu, sepertinya mereka ingin segera menjatuhkan satu sama lainnya. Namun ternyata keduanya sama-sama tangguh, sama-sama berilmu cukup tinggi
"Kau harus mati bersamaku, Warakas keparat!"
"Huh, tak sudi. Menyingkirlah kau di akherat sana!"
Kedua orang bekas kekasih itu seketika berkelebat saling serang dengan jurus-jurus intinya. Tanpa ayal lagi, seketika terdengar ledakan dahsyat membahana manakala tangan keduanya beradu.
"Duar...!"
Terpental tubuh Warakas ke belakang, dari bibirnya muncrat cairan darah. Sementara Sulastri, tampak mengalami hal yang hampir serupa. Namun nampaknya masih dapat tertolong. Tengah kedua muda mudi itu dalam keadaan yang mengkhawatirkan, seketika berkelebat tubuh-tubuh tua menuju ke situ.
"Warakas, muridku...! Kau...!" Datuk Lingo Ketek seketika menangis, manakala melihat muridnya telah mati. Sesaat Datuk Lingo Ketek memandang ke arah orang yang telah mengadu ilmu dengan muridnya, tampaklah siapa adanya orang tersebut. Orang yang telah mengadu ilmu dengan Warakas, tak lain murid dari bekas kekasihnya Eyang Silir Kuning yang kini nampak membantu membangunkan tubuh muridnya.
"Kenapa kau mengadu muridku dengan muridmu, Nini?" tanya Lingo Ketek setelah tahu siapa adanya mereka.
"Hi, hi, hi... aku.... Siapa yang mengadu?" balik bertanya Eyang Silir Kuning.
"Ketahuilah olehmu. Lingo, gadis muridku ini pun telah sakit hati pada muridmu yang tak bertanggung jawab atas perbuatannya. Gadis ini aku temukan dalam keadaan mengandung yang akhirnya keguguran akibat ulah muridmu. Dasar laki-laki tak bertanggung jawab!"
"Nenek peot! Kalau saja aku tak mencintaimu, sudah aku remas mulutmu yang usil!"
"Kakek jelek bulukan. Kalau aku juga tak menyintaimu, sudah aku betot milikmu, agar tidak lagi menjadi laki-laki, hi, hi, hi...! Bagaimana? Apakah kita akan saling mengadu ilmu seperti murid-murid kita yang bernasib sama?"
"Baik, aku akan mengadu ilmu denganmu. Tapi nanti, nanti bila pertemuan antar Datuk!" Habis berkata begitu Datuk Lingo Ketek segera berkelebat seraya membopong tubuh Warakas pergi meninggalkan Eyang Silir Kuning yang masih tersenyum-senyum sembari memapah muridnya berjalan.
"Diakah yang bernama Datuk Lingo Ketek, Guru?"
"Benar, Muridku. Nanti kau boleh ikut menyaksikan bagaimana aku akan mencabut miliknya. Tapi... tapi aku sayang padanya..." Eyang Silir Kuning seketika menangis, manakala ia teringat bahwa cintanya yang suci telah terkait hanya pada Datuk Lingo Ketek.
"Sudahlah, Guru..."
Dengan saling beriringan kedua murid dan guru itu pun melangkah pergi, keduanya entah hendak ke mana terus berjalan menuju ke arah Barat.

* * * * *



:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::

Melihat anak buahnya hancur menjadi debu dihantam oleh Ajian Tapak Bahana yang dilontarkan Jaka, marahlah Datuk Tuyul Setan. Seketika itu ia melengking, menjerit sembari menyerang.
"Kau harus membayar kesemuanya ini, Anak Edan!"
"Eit, rupanya kau pun beringas juga, Datuk!"
"Jangan banyak bacot! Ayo kita tentukan siapa diantara kita yang harus menjadi penghuni akherat sana!"
"Waow, nada bicaramu bagaikan malaikat. Baik, aku layani apa yang menjadi maumu."
Kedua orang yang bertentangan haluan itu akhirnya terlibat dalam perkelahian. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat, sepertinya kedua orang itu ingin secepatnya menyudahi pertarungan. Namun keduanya nampak sama-sama tangguh, sama-sama tinggi ilmunya.
"Terimalah jurus Bekutakku, hiat...!"
"Hua, ha, ha... Jurus macam orang teler kau gunakan, mana mungkin mampu berbuat?" ledek Jaka, menjadikan Datuk Tuyul Setan menggeretak marah.
"Bedebah! Jangan sombong kau, Anak muda!"
Tanpa banyak bicara lagi, kedua orang itu kembali berkelebat saling serang dan elak. Karena keduanya saking serunya bertarung, sampai-sampai keduanya tak menghiraukan bahwa dua pasang mata sedari tadi mengawasinya. Dua orang itu tak lain daripada murid dan guru yaitu Eyang Silir Kuning dan Sulastri.
"Guru, orang itu adalah Pendekar Jaka Ndableg si Pendekar Pedang Siluman Darah!" tutur Sulastri memberitahukan pada gurunya yang seketika itu terbelalak kaget seraya bergumam.
"Pendekar Pedang Siluman Darah...?"
"Ya, dialah orangnya. Masih muda dan tampan, ya guru?"
Sang guru hanya mengangguk sembari tersenyum mendengar pengakuan muridnya yang dirasa polos. Matanya tak henti-henti mengawasi gerakan-gerakan si pemuda yang baru ia tahu adalah Pendekar Pedang Siluman Darah yang telah tersohor namanya.
"Ah, siapa yang seorang lagi...?" tanya Sulastri pada gurunya yang seketika tersentak dari perhatiannya.
"Seorang lagi adalah Datuk Tuyul Setan atau Datuk Bermuka-muka," jawab gurunya menerangkan, menjadikan Sulastri seketika mengerutkan keningnya tak mengerti maksud gurunya.
"Mengapa diberi nama Datuk Bermuka-muka?"
Sang guru masih mengawasi jalannya pertarungan kedua orang yang berilmu cukup tinggi itu, lalu dengan tanpa memalingkan muka pada muridnya ia menjawab.
"Datuk Bermuka-muka adalah nama lain dari Datuk Tuyul Setan. Karena saking bisanya ia mengubah muka, jadilah ia diberi gelar oleh kaum datuk dengan sebutan tersebut. Kadang kala mukanya bisa membusuk bila tengah marah. Kadang kala mukanya mirip dengan muka hantu yang menakutkan!"
"Apakah tidak mungkin kalau ia juga mengaku-aku Iblis Muka Bangkai?" tanya Sulastri menerka-nerka.
"Ya...." jawab sang guru, yang menjadikan muka Sulastri seketika berubah merah membara.
Tiba-tiba terdengar Sulastri memekik berseru.
"Jaka... dia adalah Iblis Muka Busuk. Dialah yang telah memperkosaku!"
Tersentak Datuk Tuyul Setan dan Jaka Ndableg yang tengah bertarung. Seketika mereka menghentikan pertarungan. Tubuh Sulastri berkelebat dengan cepat, lalu tanpa diduga oleh Datuk Tuyul Setan, Sulastri telah menyerangnya. Diserang begitu rupa, sang Datuk dengan menggeram menghantamkan ajian Racun Kecubung Ungunya.
"Awas Lastri...!" Jaka memekik memperingatkan.
Namun ternyata, Lastri yang tak menyadari seketika terus memburu hingga....
"Aaahhh...!" jerit Sulastri, tubuhnya terhantam oleh ajian Kecubung Ungu. Dalam sekejap saja tubuh Sulastri telah berubah membiru terserang racun yang ganas.
"Lastri...!" jerit Eyang Silir Kuning memburu tubuh sang murid yang terpental dengan keadaan tak bernyawa lagi.
"Kau harus mati Datuk! Kau harus mati di tanganku! Hiat...!"
"Nyi Silir Kuning, mengapa kau memusuhi aku?" tanya Datuk Tuyul Setan sembari mengelakkan serangan Nyi Silir Kuning.
"Jangan banyak omong, kau telah membunuh muridku satu-satunya, maka kau pun harus mati di tanganku. Hiat...!" Tanpa sungkan-sungkan lagi Nyi Silir Kuning segera menyerang Datuk Tuyul Setan dengan segala ajian yang dimilikinya.
Namun Datuk Tuyul setan ternyata bukan musuh yang enteng. Melihat Eyang Silir Kuning menyerang, serta merta Datuk Tuyul Setan membentak.
"Minggir...!"
Tersentak Eyang Silir Kuning manakala dirasakan tubuhnya seperti ada yang mendorong ke belakang. Eyang Silir Kuning segera mengerahkan tenaga dalam menghindar. Namun belum juga ia tersadar, tiba-tiba Datuk Tuyul Setan telah menghantamkan ajiannya Racun Kecubung Ungu. Hampir saja ajian itu menghantam tubuh Eyang Silir Kuning ketika secara tiba-tiba sebuah petir yang dahsyat menghalanginya.
"Bletar...!"
Petir yang dilancarkan oleh Jaka dengan ajiannya Sewu Petir, dapat menghalangi niat Datuk Tuyul Setan. Sang Datuk tarik kembali serangannya dan kini beralih memandang pada Jaka dengan sorot mata marah. Perlahan-lahan, wajahnya seketika berubah membusuk yang mengeluarkan hawa busuk yang teramat sangat menyekat.
"Iblis Muka Busuk...!" Kedua orang itu seketika melompat mundur manakala tahu siapa yang kini tengah dihadapi.
"Hem, sungguh bahaya kalau aku mendekatinya. Aku harus mengadakan perlawanan dari jarak jauh!" gumam Jaka.
"Pendekar, jangan biarkan mahluk itu mendahului kita!"
"Tenanglah, Nini... Ajian Petir Sewu! Hiat...!" Jaka segera melancarkan ajian Petir Sewu kembali, menghantam tubuh mahluk bermuka busuk yang menyebarkan hawa beracun.
Namun Jaka seketika tersentak, manakala melihat apa yang terjadi. Ketika suara ledakan hilang, ternyata mahluk itu masih berdiri dengan kokoh. Gigi-giginya menyeringai, keluar dari mulutnya yang rusak morat marit. Dari koreng-koreng itu, menetes cairan yang menyebarkan bau busuk. Perlahan mahluk itu berjalan menghampiri mereka, menjadikan Jaka dan Eyang Silir Kuning seketika tersentak kaget. Dan manakala mahluk itu menyerang, secepat itu pula kedua orang yang diserang melemparkan tubuh ke samping men-jauh.
"Kalian harus mati... Kalian harus mati! Hua, ha, ha,..!"
"Eyang Silir Kuning, menyingkirlah! Biarkan aku yang akan menghadapi mahluk iblis ini!"
Tanpa banyak membantah, Eyang Silir Kuning segera berlari menepi. Kini tinggallah Jaka sendiri menghadapi mahluk Iblis yang perlahan-lahan melangkah mendekatinya.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah!"
Iblis Muka Busuk seketika melompat mundur, padahal jarak antara dia dengan Jaka tinggal beberapa jengkal lagi, manakala Pedang Siluman Darah tiba-tiba telah tergenggam di tangan Jaka. Melihat sinar pedang yang menyala terang kuning kemerah-merahan, seketika mata Iblis Muka Busuk membeliak kesilauan.
"Hiat...!" Segera Jaka berkelebat cepat dengan Pedang Siluman Darah di tangannya. Dengan cepat sambil menahan napas, ditebaskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Iblis Muka Busuk. Seketika menjeritlah Iblis Muka Busuk untuk sesaat sebelum akhirnya ambruk dengan tubuh terpotong menjadi dua. Melihat musuhnya telah mati, secepat kilat Jaka lompat ke belakang. Dan....
"Hoak... hoak!" Saking lamanya menahan bau busuk yang menyengat, Jaka muntah-muntah. Melihat hal itu Eyang Silir Kuning dengan segera membantunya.
"Tak usah, Eyang. Aku tak apa-apa," ucap Jaka sembari kembali berdiri.
"Nah, Eyang aku mohon pamit!" Habis berkata begitu, tiba-tiba tubuh Jaka telah berkelebat pergi dan lenyap dengan cepat.
Eyang Silir Kuning hanya terbengong, tanpa mampu harus berbuat apa.
"Sungguh luar biasa pendekar muda itu. Pantas kalau namanya begitu disegani dan ditakuti!" gumamnya. Eyang Silir Kuning pun segera berkelebat dengan membawa tubuh muridnya pergi...
Nah, apakah yang akan terjadi dengan Eyang Silir Kuning? Lalu bagaimana pula tindakannya dengan bekas kekasihnya Lingo Ketek? Lalu apakah yang terjadi pada Kerajaan Panjang Sulara? Nah, bila ingin tahu segalanya silahkan ikuti kisah berikutnya dengan judul Pertarungan Dua Datuk!

S E L E S A I

PERTARUNGAN DUA DATUK


INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Sumpah Si Durjana --oo0oo-- Pertarungan Dua Datuk


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.