Life is journey not a destinantion ...

Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu

INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Pendekar Pedang Siluman Darah --oo0oo-- Titisan Budak Iblis



JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : RATU PENGGODA SILUMAN MUKA AYU

Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

SEORANG lelaki tua tampak tengah duduk bersila, dihadapannya duduk seorang pemuda. Mereka tampaknya tengah membicarakan sesuatu hal. Sesekali nafas lelaki tua itu memburu, sepertinya dalam hati orang tua itu ada ganjalan yang memendam. Pemuda yang duduk di hadapannya tampak hanya menundukkan muka, tak banyak bicara. Sesaat setelah lama terdiam, lelaki tua itu pun tampak memulai berkata:
"Lima puluh tahun yang lalu, di kaki gunung Slamet ada sepasang pendekar suami istri. Keduanya merupakan pendekar-pendekar kelas wahid, yang disegani kawan maupun lawan."
"Hai! Untuk apa Ki Perwana menceritakan kejadian lima puluh tahun yang silam? Bukankah aku diundang ke mari untuk membicarakan sesuatu masalah?" tanya pemuda yang duduk di hadapan Ki Perwana, yang tersenyum demi mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Benar, Jaka! Sengaja aku menceritakan kejadian lima puluh tahun yang silam, yang memang ada kaitannya dengan apa yang akan kita bicarakan."
Mengerut kening Jaka, demi mendengar ucapan Ki Perwana.
"Untuk apa?"
Tersenyum Ki Perwana kembali, mendengar pertanyaan Jaka yang hanya terbengong-bengong melihat Ki Perwana tersenyum. Hingga karena tak mengerti akan apa yang disenyumi Ki Perwana, Jaka kembali bertanya.
"Kenapa paman tersenyum? Adakah aku telah membuat sebuah pertanyaan yang sangat lucu?"
"Tidak begitu, Jaka. Sebenarnya pertanyaanmu bagus. Aku tersenyum bukan karena pertanyaanmu. Namun aku tersenyum melihat kau begitu terkejut mendengar cerita ku. Perlu kau ingat, Jaka!"
"Tentang apa itu, Paman?"
"Sebenarnya cerita ku ada kaitannya dengan apa yang nantinya akan aku minta tolong padamu," tandas Ki Perwana hingga membuat Jaka hanya manggut-manggut, tanpa banyak berkata-kata lagi. Demi melihat Jaka atau Pendekar Pedang Siluman terdiam, Ki Perwana pun segera meneruskan ceritanya.
Di sebuah desa yang berada di kaki gunung Slamet, lima puluh tahun yang lalu. Tersebutlah sepasang pendekar suami-istri. Mereka merupakan pendekar-pendekar kelas wahid. Disegani baik lawan, maupun kawan. Kedua suami istri itu mempunyai ilmu kedigdayaan yang tinggi. Sang suami bernama Ki Jagalaya, sedang yang istri bernama Dewi Kalandasan. Sudah menjadi kebiasaan semua pendekar-pendekar persilatan. Kedua suami istri itu pun, suka mengadakan petualangan-petualangan guna menambah pengalaman.
Kedua pendekar suami-istri itu adalah murid-murid seorang tokoh persilatan, yang namanya telah kondang di masa itu. Guru mereka adalah, Ki Tapak Waringin. Karena keduanya sukar untuk dipisahkan, maka Ki Tapak Waringin pun menjodohkan keduanya, menjadi sepasang suami istri. Setelah kedua pendekar itu menyatu, makin bertambah pula kekuatannya. Dengan senjata yang mereka miliki, yaitu TriSula Sakti, lengkaplah apa yang dimiliki oleh kedua pendekar itu.
Kecantikan Dewi Kalandasan yang tiada cacat celanya, telah mengundang Tumenggung Tambak Yasa tergila-gila. Dengan mengutus prajurit-prajuritnya, Tumenggung Tambak Yasa bermaksud meminta Dewi Kalandasan dari tangan Jagalaya untuk dijadikan istrinya. Hal itu membuat Jagalaya seakan diinjak-injak martabat dan harga dirinya. Maka dengan berani, Jagalaya menentang tindakan Tumenggung seraya berkata pada prajurit-prajurit utusan Tumenggung
"Sampaikan pada Tumenggungmu! Jangan karena dia menjadi Tumenggung, lalu hendak semena-mena! Istriku adalah harga diriku, yang harus aku pertahankan walau dengan nyawaku!"
Mendengar ucapan Jagalaya yang dirasa menentang Tumenggung nya. Salah satu prajurit yang menjadi pimpinan, marah dan berkata: "Jagalaya! Tumenggung telah memberikan kehormatan padamu. Tapi rupanya kau malah menghina dan menentang. Jangan salahkan kalau nantinya berakibat tak baik bagimu!"
Habis berkata begitu, pimpinan prajurit pun segera mengajak anak buahnya pergi meninggalkan Jagalaya yang hanya terbengong-bengong tak mengerti apa yang menjadikan Tumenggung hendak berbuat gila. Tercenung Jagalaya setelah kepergian lima prajurit Ketemenggungan. Hatinya bimbang, dan bertanya-tanya:
"Mengapa Tumenggung Tambak Yasa hendak mengambil istriku? Apakah sudah sedemikian buruknya watak dan kepribadian Tumenggung? Kalau memang benar apa yang akan dikatakan pimpinan prajurit itu, celakalah aku ini. Tapi masalah harga diri, apapun resikonya, aku harus dapat menghalangi niat buruk Tumenggung gila itu!" Ketika Jagalaya tengah dilanda kebimbangan, Dewi Kalandasan istrinya datang menghampiri sembari bertanya.
"Ada apakah, Kakang? Tampaknya Kakang tengah memikirkan sesuatu. Kalau boleh dinda mengetahui, gerangan apakah yang tengah menjadi buah pikiran Kakang?"
Tersentak Jagalaya seketika, yang tak menyangka kalau istrinya telah hadir di situ dan mengajukan pertanyaan secara tiba-tiba. Maka dengan masih terkejut, Jagalaya segera menceritakan akan apa yang tengah dipikirkannya.
"Demikianlah, Di Ajeng! Aku bingung. Apakah mungkin seorang istri diberikan pada orang lain?"
Dewi Kalandasan sesaat tercenung diam, demi mendengar ucapan sang suami. Ditatapnya wajah Jagalaya yang tampak murung. Sesaat kemudian, Dewi Kalandasan tampak tersenyum.
"Kakang, bolehkah aku berpendapat?"
"Apakah itu, Di Ajeng?" tanya Jagalaya.
"Kakang Mas Jagalaya, kalau menurut dinda, maka lebih baik Kakang mengabulkan permintaan Kanjeng Tumenggung..."
"Gila! Apa kau tidak berpikir bagaimana nanti orang-orang persilatan akan membicarakan dan menjelekkan namaku! Di mana harga diriku?!" Tersentak Jagalaya mendengar penuturan dan saran istrinya. Hingga membuat Jagalaya marah. Merasa saran istrinya, adalah suatu saran yang makin menjerumuskan.
Dewi Kalandasan bukannya takut mendengar bentakan suaminya, bahkan dengan tersenyum bagaikan tak bersalah ia kembali berkata.
"Kakang jangan marah dulu. Dengarkan pendapatku, hingga aku selesai. Kalau nanti dirasa oleh Kakang kurang baik, Kakang boleh menolaknya"
Semarah apapun Jagalaya saat itu, dirayu dengan senyuman maut Dewi Kalandasan seketika hilanglah marahnya dan berubah menjadi senyum yang mengulas dibibir.
"Maafkan Kakang, Di Ajeng! Kakang marah karena terlalu cintanya pada Di Ajeng. Kakang takut Di Ajeng pergi meninggalkan Kakang. Apalah jadinya kalau Di Ajeng meninggalkan Kakang, yang sangat mencintai dan mengasihi Di Ajeng. Sekarang katakanlah, apa yang menjadi saran Di Ajeng."
Makin melebar senyum di bibir Dewi Kalandasan, mendengar ucapan sang suami. Dengan melendotkan badan pada tubuh suaminya, Dewi Kalandasan kembali berkata: "Kakang mas! Kalau Kakang mas menghendaki perubahan status, maka hendaklah Kakang mas mau mengabulkan permintaan Tumenggung."
Terbelalak mata Jagalaya, demi mendengar ucapan istrinya. Hampir saja ia bangkit dari duduknya, kalau saja sang istri tidak segera mencegah.
"Tenang dulu, Kakang. Bukankah dinda belum selesai bicara?"
"Tapi apa yang menjadi saran Di Ajeng itu, bagi Kakang merupakan tindakan gila! Bagaimana mungkin! Kalau Di Ajeng Kakang serahkan pada Tumenggung, apalah akibat yang akan Kakang terima. Bagaimana pula tanggapan dari tokoh-tokoh persilatan, juga tanggapan dari guru? Semua akan akan menyalahkan Kakang yang tak mampu mempertahankan kewajibannya. Semua akan menganggap Kakang terlalu mengalah pada penguasa. Tidak, Di Ajeng!"
Kemarahan Jagalaya bukannya menjadikan Dewi Kalandasan takut, maupun mengalah. Bahkan dengan tersenyum-senyum, Dewi Kalandasan kembali berkata: "Kakang, aku tahu perasaan Kakang. Seperti juga perasaanku pada Kakang. Aku merasa takut kehilangan Kakang. Namun, saran ku itu hanya bersifat sementara. Apabila kita telah dapat mengambil hati Tumenggung, maka kita akan mudah untuk mempengaruhinya. Aku bermaksud agar Kakang nantinya dapat menguasai Ketemenggungan. Bukankah itu akan menjadikan kehormatan bagi kita, Kakang?"
Terdiam Jagalaya mendengar kata-kata istrinya. Pikirannya seketika terbang melayang, bertanya-tanya dan menimbang-nimbang. Setelah sesaat terdiam, Jagalaya tampak tersenyum.
"Hm... Kau pintar Di Ajeng. Tapi apakah hal itu akan mudah kita laksanakan? Tidakkah kau berpikir apa akibatnya? Aku takut nanti kita sendiri yang susah."
"Menurut Kakang?"
Ditariknya nafas panjang-panjang oleh Jagalaya, sebelum dia kembali berkata menerangkan.
"Di Ajeng, memang kita nanti mampu menguasai Ketemenggungan. Namun, apakah massa tidak akan menilai kita? Apakah semudah itu kita menutup telinga? Susah Di Ajeng."
Dewi Kalandasan tersenyum kem- bali, bukan memikir mendengar ucapan suaminya. Sepertinya ucapan sang suami, hanyalah kata-kata kiasan yang tak ada arti sama sekali. Sepertinya ia telah memprogram apa yang bakalan terjadi. Maka dengan masih bergayut di pundak sang suami, Dewi Kalandasan kembali berkata:
"Kakang, bagiku hal itu mudah."
"Mudah...? Bagaimana kau bisa bilang mudah, Di Ajeng?" tanya Jagalaya mengernyitkan dahi, tak memahami kata-kata yang diucapkan oleh istrinya.
Makin melebar senyum Dewi Kalandasan, mendengar suaminya berkata. Lalu dengan melepaskan rangkulannya dari pundak Jagalaya dan melangkah meninggalkannya, Dewi Kalandasan pun berkata menerangkan maksudnya.
"Kakang mas... kalau Tumenggung telah kita kuasai hatinya, segala sesuatunya akan mudah untuk kita lakukan. Pertama, kita akan memanfaatkan dirinya sebagai perisai kita. Kedua, kita akan memanfaatkan dirinya sebagai boneka kita. Sedang perjalanannya, adalah diri kita. Bukankah hal itu akan lebih baik? Orang tak akan mengetahui kalau sebenarnya kitalah yang menjalankan Pemerintahan, karena Tumenggung masih duduk di kursinya. Kita juga dapat menjaga nama baik kita, karena ada Tumenggung yang sebenarnya telah kita kuasai. Bagaimana, Kakangmas?"
Diangguk-anggukkan kepala seperti mengerti dan memahami kata-kata istrinya. Hati Jagalaya bangga, mendengar ucapan istrinya yang terasa bagaikan penyebar semangat.
"Cek, cek, cek! Sungguh tidak kusangka, kalau Di Ajeng mempunyai pikiran yang pintar. Kalau memang itu yang Di Ajeng kehendaki, maka demi rasa sayang kanda menyetujuinya."
"Terima kasih, Kanda! Nah... nanti kalau Tumenggung datang ke mari, bilang saja kalau aku mau dengannya. Aku mohon, hanya kita berdua saja yang mengetahuinya."
Tertawa tergelak-gelak kedua suami istri itu, setelah keduanya mencapai kesepakatan. Lalu dengan bergelak tawa, keduanya pun segera masuk ke dalam kamar.


:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

Keesokan harinya tampak sepuluh prajurit Ketemenggungan, menuju ke arah kediaman Jagalaya. Jagalaya yang telah mengerti akan apa yang bakal dilakukan oleh kesepuluh prajurit itu, dengan segera menemui mereka sebelum tiba.
"Selamat datang prajurit-prajurit Ketemenggungan! Apa kabar dengan Kanjeng Tumenggung Tambak Yasa?"
Kesepuluh prajurit itu seketika saling pandang, mendengar sapaan ramah dari Jagalaya yang lain dengan hari kemarin.
"Apakah ini suatu taktik mu saja, Jagalaya? kau bermaksud menjebak kami?" tanya ketua prajurit masih penuh selidik.
Jagalaya tersenyum demi mendengar ucapan ketua prajurit. Lalu dengan menjura hormat, Jagalaya berkata.
"Bagiku, tak ada jebak-jebakan. Aku seorang persilatan, yang menjunjung tinggi sifat kesatriaan. Kalau kalian memandangku dari kejadian kemarin, sungguh kalian salah. Aku sengaja menghadang kalian bukan untuk bertempur, namun untuk meneruskan masalah kemarin."
"Hem... apa kata-katamu dapat aku pegang, Jagalaya?"
Jagalaya seketika tertawa bergelak-gelak, mendengar pertanyaan ketua prajurit yang dirasakannya sangat khawatir. Dengan masih tertawa bergelak-gelak, Jagalaya kembali berkata.
"Apakah pantas seorang prajurit yang gagah berani sepertimu meragukan itikad baik seseorang?"
"Ah! Rupanya kau pintar berdiplomasi, Jagalaya! Baiklah, memang sepantasnya aku harus mempercayai kata-katamu. Nah, apa yang hendak kau lakukan dengan menghadang kami?"
Untuk yang kesekian kalinya Jagalaya tertawa.
"Perlu kalian ketahui, aku menghadang kalian di sini, semata-mata ingin memberitahukan pada kalian tentang kabar yang gembira."
"Kabar gembira? Jangan bercanda, Jagalaya! Ingat, kami tidak segan-segan memenggal kepalamu jika kau dusta!" bentak kepala prajurit, menganggap Jagalaya hanya ingin mempermainkannya saja.
"Kalau kau ternyata berdusta, maka tak akan ada ampun lagi bagimu!"
"Baik! Kalau memang aku berdusta pada kalian, aku rela untuk kalian penggal kepalaku. Nah, dengarlah! Aku ingin memberikan istriku pada Tumenggung. Sampaikan pada Tumenggung salam dariku."
Terbelalak kesepuluh prajurit Ketemenggungan demi mendengar hal yang tak terduga-duga oleh mereka. Maka dengan seketika, kesepuluh prajurit itu pun tertawa bergelak-gelak.
"Bagus-bagus! Itu memang jalan yang baik! Baiklah, aku akan segera menyampaikan pada Kanjeng Tumenggung. Persiapkan olehmu penyambutan."
"Akan aku persiapkan semuanya," kata Jagalaya dengan menjura hormat, yang disambut dengan senyum oleh kesepuluh prajurit Ketemenggungan.
Dengan segera, kesepuluh prajurit Ketemenggungan menghela kais kuda mereka. Di wajah-wajah mereka nampak kebahagiaan. Mereka memacu kuda dengan cepatnya, ingin segera menyampaikan berita gembira pada Kanjeng Tumenggung.
Sepeninggal kesepuluh prajurit Ketemenggungan, tampak Jagalaya tercenung seperti tengah berpikir sesuatu. Matanya menyipit sempit, keningnya berkerut, hatinya gundah dan bertanya-tanya.
"Apakah semua dapat berjalan lancar? Apakah istriku tidak mendustai ku?"
Segera Jagalaya berkelebat meninggalkan tempat itu, kembali menuju rumah kediamannya. Di ruang tengah tampak istrinya telah duduk dengan anggun menyambut kedatangannya dengan senyum dan bertanya.
"Bagaimana Kakang?"
"Sudah aku lakukan. Tapi aku ragu..."
"Ragu? Ragu tentang apa, Kakang?" tanya Dewi Kalandasan sembari menghampiri suaminya yang berdiri di ambang pintu.
Mata Jagalaya tampak memandang tajam pada istrinya. Jagalaya tak berkata barang sepatah pun, sepertinya ia enggan untuk mengatakannya. Hal itu membuat Dewi Kalandasan makin mendalamkan kerutan keningnya. Lalu dengan bibir terurai senyum, Dewi Kalandasan pun berucap:
"Kakang ragu dengan niatku?"
"Ya!" jawab Jagalaya pendek.
"Mengapa Kakang mesti berpikir begitu?"
"Entahlah, Di Ajeng. Aku mendapat firasat, bahwa kita tak akan dapat menyatu kembali."
Makin tersentak kaget Dewi Kalandasan, mendengar kata-kata yang diucapkan suaminya. Hingga saking kagetnya sampai mulut sang Dewi melongo bengong. Mata sang Dewi terus memandang pada Jagalaya dengan berlinang. Sepertinya ia tak mengharapkan ucapan itu keluar dari mulut sang suami. Dengan linangan air mata, Dewi Kalandasan memekik.
"Tidak! Kakang jangan menakuti aku!"
"Aku tidak menakuti mu, Di Ajeng!"
"Kalau begitu Kakang tidak percaya padaku?" tanya Dewi Kalandasan, sepertinya memelas membuat Jagalaya mau tak mau akhirnya luluh juga hatinya. Dan dengan perlahan setengah berbisik ia berkata.
"Aku percaya padamu, Di Ajeng. Namun kodrat tak mungkin kita tentang, karena itu merupakan suratan Yang Kuasa."
Dengan penuh perasaan risau, Dewi Kalandasan segera memeluk erat tubuh suaminya. Ditumpahkannya isak tangis di dada Jagalaya, yang turut sedih menerima kenyataan itu.
"Apakah kita tidak dapat mencari jalan?"
"Maksudmu Di Ajeng?"
"Apakah kita tidak lebih baik membatalkan rencana kita?"
"Yang Di Ajeng maksudkan, kita lebih baik menghadapi Tumenggung dan prajuritnya?" tanya Jagalaya, yang di angguki oleh istrinya.
"Bagaimana, Kakang? Dari pada aku harus berpisah denganmu, lebih baik kita menentang walau kematian hasilnya."
Tercenung Jagalaya mendengar ucapan istrinya. Hatinya bimbang akan tujuan hidupnya. Apakah ia mampu menghadapi tantangan dan menentang Kodrat? Rasanya tak mungkin bila manusia harus menentang kodrat.
"Kenapa Yang Maha Kuasa memberikan kodrat? Apakah aku pernah berbuat lancang menentang-Nya? Oh Gusti Allah, apakah gerangan yang hendak Kau limpahkan pada kami?" tanya hati Jagalaya. Hatinya terasa sakit dan pahit bila mengenang wangsit yang telah ia terima semalam.
"Kenapa Kakang hanya terdiam?" Tersentak Jagalaya dari lamunannya, manakala sang istri bertanya kembali meminta kepastian. Bagaikan orang yang tak mempunyai semangat hidup, Jagalaya hanya mampu menggeleng. Makin menambah keras tangis Dewi Kalandasan, melihat gelengan lemah sang suami. Dipeluknya tubuh Jagalaya dengan erat-erat, seakan ia tak mau berpisah lagi.

* * * * *




Dari kejauhan tampak rombongan Tumenggung Tambak Yasa tengah berjalan menuju ke tempat Jagalaya. Langkah kaki kuda mereka diperlambat, dengan tujuan supaya tuan rumah segera keluar menjemput. Namun sampai sekian lama dan hampir tiba di lapangan rumah Jagalaya tak seorang pun tampak keluar.
"Wangkur! Mana Jagalaya? Mengapa dia dan calon istriku tak pernah muncul-muncul, padahal kita telah tiba."
"Ampun, tuan ku! Mungkin keduanya tengah mempersiapkan diri," jawab Wangkur, yang segera turun dari kudanya dan berjalan menuju ke rumah Jagalaya.
"Jagalaya! Jagalaya buka pintu! Mengapa kau mengurung diri dalam rumah?" Tak ada jawaban dari dalam rumah, membuat Wangkur mengernyitkan alis matanya.
"Ke mana dia?" tanya hati Wangkur.
"Bukankah kemarin telah menemui diriku, dengan maksud memberikan istrinya pada Tumenggung? Mengapa dia sekarang tak ada?"
Saking penasaran dan marah, karena merasa dipermainkan, dengan sekuat tenaga, Wangkur segera mendobrak pintu rumah itu. Dan betapa terkejutnya Wangkur, kala secepat kilat sebuah tombak melayang ke arahnya. Belum sempat ia sadar, tombak itu telah berkelebat dengan cepat, menghantam dan menembus tubuhnya. Seketika Wangkur mengejang dengan tubuh bermandikan darah, ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi.
Melihat ketua prajuritnya mati, marahlah Tumenggung Tambak Yasa, yang segera melompat dari kudanya dan menghambur ke dalam rumah dengan caci maki dan umpatan kemarahan.
"Jagalaya keparat! Keluar kau! Jangan beraninya hanya main kucing-kucingan. Ayo, keluar!"
Namun jawaban dari caci maki itu, hanyalah desingan anak panah yang beratus-ratus jumlahnya menyerbu ke arahnya. Dengan kembali mencaci maki, Tumenggung Tambak Yasa segera mengelakkan serangan gelap itu.
"Iblis laknat! Rupanya kau sengaja menjebakku. Jangan salahkan kalau nanti aku memenggal kepalamu!"
Sesaat tampak diam hening tak ada jawaban. Tumenggung Tambak Yasa dengan disertai prajuritnya, berjalan perlahan menyusuri ruangan depan rumah itu. Untuk kedua kalinya Tumenggung Tambak Yasa tersentak dan segera mengibaskan pedangnya, ratusan anak panah kembali berkelebat menuju ke arahnya. Walaupun Tumenggung Tambak Yasa dapat berhasil mengelakkan serangan itu. Namun tak urung anak buahnya yang terkena. Seketika memekiklah prajurit-prajurit itu ambruk dengan nyawa yang hilang.
Terbelalak mata Tumenggung Tambak Yasa, melihat kejadian didepan matanya. Hatinya mulai bimbang. Namun karena didorong oleh rasa penasaran dan marah, Tumenggung Tambak Yasa pun nekad melangkah terus menuju kedalam. Mata Tumenggung Tambak Yasa yang tajam, segera dapat menangkap berkelebatnya seseorang. Dengan menggeram marah, Tumenggung Tambak Yasa segera berkelebat menyerang orang yang berada dihadapannya.
"Brak...!"
Tersentak Tumenggung Tambak Yasa, kala mengetahui bahwa yang diserangnya tadi hanyalah sebuah kaca. Belum juga habis kekagetan Tumenggung, tiba-tiba terdengar suara tawa seorang wanita di belakangnya. Terkesiap darah Tumenggung Tambak Yasa, manakala melihat keadaan wanita yang berdiri di hadapannya. Darah kelelakiannya seketika menggelegar-gelegar, menyaksikan pemandangan yang dapat meleletkan lidah.
Wanita di hadapannya tersenyum manis, dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Matanya yang lentik menatap tajam ke arah Tumenggung, sepertinya mengundang Tumenggung Tambak Yasa untuk menghampiri. Memang benar! Tumenggung Tambak Yasa segera menghampiri wanita yang kini tengah berdiri di hadapannya dengan mengurai senyum. Kecantikan wanita itu, membuat Tumenggung Tambak Yasa lupa pada keadaan. Yang ada di pikiran Tumenggung, hanyalah nafsu untuk dapat mencicipi tubuh mulus dan putih bersih itu.
"Ayo, Kanjeng Tumenggung! Kenapa kau diam saja? Bukankah kau ingin menikmati tubuhku? Mumpung suamiku tengah tak ada," kata wanita itu yang menjadikan Tumenggung Tambak Yasa makin menggelegar darahnya.
Hati Tumenggung Tambak Yasa bimbang, untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Ia tahu kalau wanita dihadapannya adalah seorang tokoh persilatan, istri dari Jagalaya yang tak boleh dianggap enteng. Namun ia juga mengetahui kalau wanita itu menginginkannya, untuk menemani membuang rasa sepi.
Karena tak tahan melihat tubuh Dewi Kalandasan yang mulus dan menor, Tumenggung Tambak Yasa seketika lupa akan tujuan semula. Ia tak ingat bahwa dirinya tengah dalam ancaman bahaya, yang sewaktu-waktu akan datang kala ia lengah. Maka dengan menggigit bibir menahan nafsu, Tumenggung Tambak Yasa melompat menubruk tubuh Dewi Kalandasan yang masih tersenyum berdiri tanpa sehelai benang pun.
Tak terpikirkan oleh Tumenggung Tambak Yasa, kalau Dewi Kalandasan bermaksud mempermainkannya. Ketika tubuh Tumenggung Tambak Yasa hampir menyentuh tubuh Dewi Kalandasan, sang Dewi dengan enteng berkelit ke samping. Tak ayal lagi tubuh Tumenggung menubruk tempat kosong, dan langsung nyungsep mencium tanah.
Gusar hati Tumenggung Tambak Yasa, merasa dipermainkan. Dewi Kalandasan, masih tersenyum dan makin menantang. Dibukanya kaki kiri ke samping di antara duduknya. Hal itu membuat Tumenggung Tambak Yasa bagaikan terserang demam berdarah. Tubuhnya menggigil gemetaran, matanya melotot tak berkedip memandang ke selang*angan Dewi Kalandasan yang tersenyum sembari berkata:
"Ayolah, Kanjeng Tumenggung! Jangan terlalu lama. Aku takut kalau-kalau suamiku pulang." Nada ucapan sang Dewi yang manja, membuat Tumenggung Tambak Yasa yang tadinya marah berubah menjadi senang dan nafsu.
Untuk kedua kalinya, Dewi Kalandasan segera mengelakkan diri dari pelukan Tumenggung Tambak Yasa. Dan untuk kedua kalinya, Tumenggung Tambak Yasa harus menubruk angin langsung mencium tanah.
"Bedebah! Rupanya kau hendak mempermainkan aku, sundel!"
"Mengapa kau begitu marah, Tumenggung? Bukankah untuk mendapatkan sesuatu yang enak kita harus bersusah-susah dulu? Ayolah, jangan putus asa!"
Ditantang seperti itu membuat darahnya makin menggelora. Muka yang tadinya membara marah, berubah menjadi senyum penuh harapan dan keramahan.
"Kali ini aku harus berhasil!" memberiak hati Tumenggung Tambak Yasa. Dengan tanpa diduga oleh Dewi Kalandasan sebelumnya, Tumenggung Tambak Yasa telah menyalurkan ajian penyirepnya.
"Harus kena!"
Bersamaan dengan ucapan itu, Tumenggung Tambak Yasa telah menghantarkan ajian Penyirep Sukma ke arah Dewi Kalandasan. Sang Dewi yang tak menyangka bakal diserang dengan ajian itu, tersentak dan berusaha menghinadar. Namun luncuran ajian itu lebih cepat. Hingga sang Dewi pun tak mampu lagi untuk mengelakkannya. Tubuh sang Dewi seketika lemas dan tertidur tanpa sadar. Tertawa Tumenggung Tambak Yasa, merasa usahanya berhasil. Dengan tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, dibopongnya tubuh Dewi Kalandasan yang tanpa sehelai benang itu ke dalam kamar.
"Ha...ha... ha..! Akhirnya aku dapat merasakan kenikmatan dari tubuhnya."
Hanya itu yang terdengar dari mulut Tumenggung Tambak Yasa, lalu keadaan di situ pun seketika sepi. Hanya desah-desah panjang saja yang masih menggelitik gendang telinga.

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

Tersentak Dewi Kalandasan kala menemukan dirinya tergeletak dengan tubuh terasa ngilu semua. Setelah ia kembali sadar ingatannya, seketika ia pun menjerit dan menangis. Kini ia telah menyadari bahwa dirinya telah menjadi pemuas nafsu Tumenggung Tambak Yasa, yang telah memperkosanya kala ia tengah tak sadarkan diri.
Kala Dewi Kalandasan tengah menangis sesenggukan mengingat petaka yang telah menimpa dirinya, tampak seorang lelaki telah berdiri di ambang pintu. Kedatangan lelaki itu yang tanpa sepengetahuan dirinya, membuat Dewi Kalandasan makin mengguguk tangisnya dan memeluk kaki lelaki yang tak lain dari pada suaminya sendiri Jagalaya.
"Apa yang aku takutkan ternyata benar adanya, Di Ajeng." Mendengar ucapan Jagalaya yang tampak sinis, menjadikan makin histeris Dewi Kalandasan.
"Ampunilah aku, Kang Mas!"
"Tak bisa aku mengampunimu, Di Ajeng! Yang mampu mengampuni dirimu, hanyalah hati nurani mu sendiri dan yang Maha Esa!"
"Kang Mas!"
Bagaikan tak mendengar ratapan Dewi Kalandasan, Jagalaya tersenyum sinis yang terasa menyakitkan hati Dewi Kalandasan.
"Sudah kasep, Di Ajeng. Memang kodrat kita harus begini."
"Tidak...! Tak maukah Kang Mas mengampuni saya?"
Jagalaya hanya menggeleng lemah, bagaikan sebuah robot yang bisu. Lalu dengan tanpa menghiraukan ratap tangis Dewi Kalandasan, Jagalaya segera berlalu. Dewi Kalandasan segera berlari, memburu dan memeluk kaki Jagalaya sembari terus terisak menangis. Mungkin karena kecewa, Dewi Kalandasan pun dengan lantang setengah berteriak mengucapkan sumpah:
"Kalau Kang Mas tak sudi mengampuni diri saya lagi, aku bersumpah! Akan aku buat semua lelaki dan khususnya keturunan Kang Mas untuk bertekuk lutut padaku! Akan aku bunuh mereka setelah menerima kepuasan dariku!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Dewi Kalandasan, seketika itu pula awan bergulung-gulung, menggumpal menjadi satu. Petir bersahut-sahutan, tak ubahnya sebuah keputusan dari sumpah tersebut. Jagalaya yang tak memikirkan sampai disitu, tersentak kaget. Dari mulutnya terdengar desah, pertanda menyayangkan ucapan istrinya.
"Ah! Kenapa kau berkata begitu, Di Ajeng? Apakah kau tak mengerti akibatnya?"
"Aku mengerti, Kang Mas. Namun apalah artinya hidupku ini, yang telah hancur oleh keteledoran diri sendiri. Maafkan aku, Kang Mas. Untuk memulainya, maka aku akan mengorbankan tubuhku ini."
Setelah berkata begitu, Dewi Kalandasan segera pergi meninggalkan Jagalaya yang hanya terbengong-bengong memandang kepergiannya. Perasaannya kini diliputi oleh kesal, yang tak mungkin untuk diganti. Dengan hati yang penuh rasa bersalah, Jagalaya segera berlalu pergi meninggalkan rumahnya entah ke mana.

* * * * *





"Tambak Yasa, keluar kau!"
Terdengar seruan seorang wanita, yang berdiri di depan pintu rumah kediaman Tumenggung Tambak Yasa. Dari dalam rumah seorang prajurit nampak dengan wajah beringas menghampirinya. Lalu dengan mata berapi-api, si prajurit segera bertanya dengan membentak
"Heh, wanita! Apakah kau telah gila! Hingga kau berteriak-teriak seenak udel mu?"
Ditanya begitu rupa, bukan men-jadikan wanita itu mengkerut nyalinya. Bahkan dengan mata melotot si wanita balik membentak prajurit itu.
"Kau prajurit Tumenggung Tambak Yasa? Cepat katakan pada tuanmu, aku Dewi Kalandasan menunggunya! Cepat...!"
"Dewi Kalandasan. Rupanya kau ketagihan dengan Tumenggung. Ah, sayang Kanjeng Tumenggung sedang tidur bersama istrinya. Kalau mau aku pun dapat melebihi Tumenggung."
Tersenyum Dewi Kalandasan mendengar ucapan prajurit Ketemenggungan, lalu dengan mengurai senyum si Dewi pun perlahan menghampiri prajurit itu. Dirangkulnya leher prajurit itu, yang seketika badannya terasa panas dingin. Nafas prajurit itu tampak memburu bagaikan kuda binal, sembari tangannya yang jahil beroperasi ke setiap pelosok tubuh Dewi Kalandasan yang tampak terdiam.
Ketika tangan sang prajurit hendak makin merajalela, Dewi Kalandasan tersenyum sembari membisikkan sesuatu pada prajurit yang seketika itu mengangguk sambil meleletkan lidahnya. Tak berapa lama keduanya pun segera masuk ke dalam rumah Tumenggung paling belakang, yang biasanya dipakai untuk gudang. Setelah pintu gudang tertutup. Tak lama kemudian terdengar pekikan kematian, hingga membuat Tumenggung dan istrinya yang tengah beristirahat tersentak bangun.
"Ada apakah di gudang?"
Tumenggung Tambak Yasa segera pergi meninggalkan istrinya yang hanya terbengong sesaat, lalu mengikuti langkah suaminya menuju ke gudang. Kala pintu gudang terbuka, saat itu pula Tumenggung Tambak Yasa membelalakkan matanya. Tubuh prajurit jaganya telah tergeletak tanpa nyawa. Lebih tersentak kaget lagi Tumenggung Tambak Yasa, kala Dewi Kalandasan tiba-tiba muncul.
"Selamat jumpa lagi, Tumenggung! Apa kabarmu?"
"Kau...!" tergagap Tumenggung Tambak Yasa berkata, setelah tahu siapa wanita yang menyapanya.
"Ya, aku. Apakah kau masih ingat kenangan manis kemarin? Apakah kau ingin mengulangi lagi, Kanjeng Tumenggung?"
Melotot Tumenggung Tambak Yasa, yang merasa terbuka kedoknya di muka sang istri. Maka bagaikan orang tak mengenal, Tumenggung Tambak Yasa membentak marah.
"Wanita sinting! Apa perlumu datang-datang ke mari?"
Tertawa Dewi Kalandasan mendengar ucapan Tumenggung Tambak Yasa, yang sepertinya tak mengenalinya.
"Tumenggung edan! Kau adalah seorang lelaki pengecut! Setelah kau dapatkan pelayanan dariku, kini kau hendak lari dari tanggung jawab. Aku ke mari untuk meminta tanggung jawabmu."
Membeliak mata istri Tumenggung Tambak Yasa, mendengar ucapan wanita yang berdiri di hadapannya. Sesaat matanya memandang pada si wanita, lalu beralih memandang pada suaminya yang tertunduk takut-takut.
"Apa yang telah diperbuat suamiku padamu, Di Ajeng?" tanyanya.
Dengan terisak-isak Dewi Kalandasan pun menceritakan, apa yang telah terjadi pada dirinya dengan Kanjeng Tumenggung Tambak Yasa.
Seketika istri Tumenggung melototkan mata, mana kala mendengar penuturan Dewi Kalandasan. Mata istri Tumenggung tak henti-hentinya memandang bergantian, pada suaminya yang hanya mampu menunduk dan pada Dewi Kalandasan yang masih menangis.
"Di Ajeng... kalau memang suamiku telah melakukannya padamu, maka aku pun tak akan menghalangi kalian untuk menjadi suami istri. Kang Mas Tumenggung, kuharap kau mau bertanggung jawab."
Terbelalak mata Tumenggung Tambak Yasa mendengar ucapan istrinya. Hatinya begitu marah pada Dewi Kalandasan yang telah membuat istrinya terpukul. Maka dengan membentak, Tumenggung Tambak Yasa segera menghardik.
"Kuntilanak! Apa perlumu menceritakan nista di sini!"
"Hem... kalau aku kuntilanak, bukankah kau itu gendrewo?" Tersenyum sinis Dewi Kalandasan, membuat Tumenggung Tambak Yasa menggeretak marah. Giginya yang beradu terdengar berkeriut-keriut, dengan mata melotot.
"Kuntilanak busuk! Kau telah lancang padaku. Apakah kau tak mengetahui siapa aku?"
"Aku tahu siapa kau sebenarnya. Kau tak ubahnya lelaki buaya yang suka usilan dengan rumah tangga orang! Kalau kau tak mau bertanggung jawab, jangan salahkan bila akan menyesal nantinya." Ucapan Dewi Kalandasan sepertinya tak adi artinya bagi Tumenggung Tambak Yasa yang merasa telah mampu menjatuhkan Dewi Kalandasan.
Maka dengan tersenyum sinis, Tumenggung Tambak Yasa berkata: "Apa yang hendak kau lakukan, kuntilanak?"
Sebelum Dewi Kalandasan berkata menyahuti, seketika istri Tumenggung Tambak Yasa telah mendahului berkata: "Sudahlah, Kakang. Kalau memang kau merasa telah melakukannya, kenapa lari dari tanggung jawab? Seperti halnya aku. Di Ajeng ini pun tak mau dipermainkan."
"Tapi itu tidak benar, Di Ajeng! Dia hanya mengarang cerita, agar kita hancur!" Tumenggung Tambak Yasa berusaha mengelak, yang membuat Dewi Kalandasan seketika itu marah.
"Pengecut! Kenapa dulu kau merayu-rayu aku? Kenapa kau memaksa pada suamiku, agar dia mau memberikan diriku padamu. Sekarang setelah kau dapatkan kehormatanku, kau hendak lari dari tanggung jawab! Lelaki macam apa kau!" Dengan penuh kemarahan Dewi Kalandasan menyerang Tumenggung Tambak Yasa, yang terperanjat dan menghindar.
Melihat suaminya diserang tibatiba, istri Tumenggung Tambak Yasa seketika itu pula memekik, karena takut. Hal itu mengundang para prajurit, yang segera datang menghampiri. Tak ayal lagi. Para prajurit segera mengeroyok Dewi Kalandasan yang mengamuk. Perkelahian itu pun tak dapat dihindarkan lagi. Dengan membabi buta, Dewi Kalandasan terus merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang tampak makin terdesak. Sementara kelima prajuritnya, tak mampu harus berbuat apa melihat Tumenggungnya terdesak begitu hebat. Baru ketika terdengar seruan dari Tumenggung Tambak Yasa, para prajurit itu segera membantu.
"Prajurit geblek! Kenapa kalian bengong saja! Ayo bantu aku!"
"Hem... benar apa yang aku katakan! Kau tak ubahnya seorang lelaki pengecut, yang hanya bisa merusak rumah tangga orang lain. Hari ini juga, kau harus mampus ditanganku! Hiat...!"
Dewi Kalandasan berkelebat cepat dan makin cepat, menyerang dan merangsek Tumenggung Tambak Yasa yang makin kelabakan tak dapat berbuat apa-apa. Sia-sia prajurit-prajurit itu hendak membantu. Sebelum mereka mampu menyentuh kulit Dewi Kalandasan, Dewi Kalandasan telah mendahului menghantam mereka dengan pukulan jarak jauhnya. Pekik kematian seketika menggema susul-menyusul, diikuti dengan ambruknya kelima prajurit Ketemenggungan.
Terbeliak mata Tumenggung Tambak Yasa kaget melihat kejadian itu. Kini Tumenggung Tambak Yasa baru menyadari, bahwa nama sepasang pendekar bukan nama kosong belaka. Wajahnya seketika pucat pasi, sepertinya tak ada harapan. Sebelum Tumenggung Tambak Yasa tersadar dari kepanikannya, tiba-tiba Dewi Kalandasan telah mengebutkan tangannya. Seketika angin keluar dari kebutan tangan Dewi Kalandasan menderu, disertai hawa dingin yang amat sangat.
Melotot kaget Tumenggung Tambak Yasa sembari melompat mundur mencoba mengelakkan serangan itu dan balik menyerang. Tapi sungguh fatal akibatnya. Serangan Tumenggung Tambak Yasa, malah berbalik menyerang tuannya.
"Ah...!" Lengkingan panjang keluar dari mulut Tumenggung Tambak Yasa, yang akhirnya ambruk dengan tubuh membiru beku.
Setelah mendapatkan Tumenggung telah mati di tangannya, dengan tertawa gembira, Dewi Kalandasan segera berlalu pergi meninggalkan kediaman Tumenggung. Istri Tumenggung Tambak Yasa tak dapat berbuat apa-apa, kecuali menangis dan menangis. Menangisi kematian suaminya yang mati akibat perbuatannya sendiri.
Langit kelam bergayut di kediaman Tumenggung Tambak Yasa, yang kembali sunyi-senyap bagaikan di pekuburan. Mayat bergelimpangan di sana-sini, menjadikan sebuah pemandangan yang mengerikan, mendirikan bulu kuduk bagi yang melihatnya. Angin sepoi-sepoi di sore hari, mengiringi kepergian istri Tumenggung yang berjalan sembari menangis. Melangkah terus sang waktu, yang tak diam atau beristirahat...!

* * * * *



:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::

Sesaat Ki Perwana menarik nafasnya, Jaka Ndableg kembali bertanya: "Lalu bagaimana tindakan kerajaan pada masa itu, Paman?"
"Sebentar kita istirahat dulu. Ayo, diminum kopinya!"
"Terima kasih, Paman."
Jaka pun segera mengangkat cangkir kopi yang ada di hadapannya, yang terbuat dari tanah liat. Diminumnya kopi hangat habis tak tersisa, membuat Ki Perwana tersenyum senang dan berkomentar.
"Memang kopi dapat membuat mata kita tak mengantuk."
"Benar katamu, Paman. Tadi aku begitu ngantuk, Eh... setelah aku minum kopi, rasa kantuk ku seketika lenyap."
Kedua orang itu tertawa bergelak-gelak. Mata keduanya tampak berlinanglinang, menahan air mata yang hendak jatuh menetes.
"Ayo, Paman. Ceritakan lagi, sebab hari hampir menjelang subuh. Aku takut kita tak ada waktu lagi. Bukankah aku harus segera pergi untuk mencari Kala Peningasan?"
"Hai! Ada apakah kau dengan Kala Peningasan, Jaka?" tanya Ki Perwana kaget, mendengar ucapan Jaka tentang Kala Peningasan.
"Bukankah ia seorang tokoh silat golongan lurus?"
"Semua orang persilatan telah tertipu, Paman."
"Maksudmu...?" Ki Perwana tersentak, mendengar penuturan Jaka yang tidak diduga-duganya. Sesaat Jaka terdiam menundukkan muka memandang pada tikar duduknya, sebelum akhirnya ia pun menceritakan tentang Kala Peningasan.
"Dia dengan berkedok sebagai tokoh persilatan golongan lurus, telah mencuri beberapa Kitab dan pusaka-pusaka sakti. Pusaka milik perguruan Teratai Putih telah dicurinya. Begitu juga dengan Kitab Lembayung Mas milik perguruan Jalak Mas, telah digondolnya."
Terangguk-angguk Ki Perwana mendengar penuturan Jaka yang menyadarkan dirinya tentang siapa sebenarnya Kala Peningasan yang dari dulu dikenalnya sebagai seorang tokoh golongan lurus. Namun begitu, Ki Perwana tak mau langsung menggaris bawahi. Maka sebelum memutuskan untuk menentukan dugaannya, Ki Perwana pun segera bertanya.
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Dari laporan perguruan-perguruan yang telah dicuri Kitab atau pusakanya, yang kini meminta padaku untuk mencarikannya."
"Kalau begitu, sungguh berat tugasmu."
"Maksud, Paman?"
Ki Perwana sesaat tersenyum sembari menggelengkan kepala, sebelum kembali berkata.
"Sungguh berat tugasmu, Jaka. Pertama kau harus mampu mendapatkan kembali Kitab dan pusaka-pusaka yang telah dicuri oleh Kala Peningasan. Kedua, kau akan aku minta tolong untuk menghentikan sepak terjang Nyi Dewi Kalandasan."
"Apa...! Dewi Kalandasan masih hidup?"
Kaget Jaka seketika itu, manakala dirinya diminta tolong untuk menghentikan sepak terjang Dewi Kalandasan. Bukannya ia takut atau repot, namun ia menyangka kalau Dewi Kalandasan hanya hidup kala lima puluh tahun yang silam bukan sampai sekarang.
"Apakah Paman tidak tengah bercanda?"
"Tidak, Jaka. Ini memang benarbenar tugas yang harus kau emban, sebagai seorang pendekar golongan lurus sejati."
"Maksud Paman?" Kembali Jaka bertanya.
"Sebagai seorang pendekar yang kondang sepertimu, maka tindakan Dewi Kalandasan merupakan musuh yang harus dibasmi. Sebab bila dibiarkan berlarut-larut, akan membuat petaka di dunia ini."
Terdiam Jaka mendengar penuturan Ki Perwana, yang dirasakan memang benar adanya. Lalu dengan rasa ingin tahu, Jaka segera bertanya.
"Apa yang telah diperbuat oleh Dewi Kalandasan? Hingga akan membuat petaka di dunia, Paman?"
Ki Perwana tak segera menjawab. Ditariknya nafas sesaat untuk membuang rasa kantuk, sebelum kembali ia berkata: "Sejak sumpah yang ia ikrarkan, maka setelah membunuh Tumenggung Tambak Yasa, ia menjadi buronan kerajaan."
Setelah kembali terdiam sesaat memandang pada Jaka yang tampaknya tak ngantuk sedikit pun Ki Perwana kembali menceritakan lanjutan kejadian lima puluh tahun yang silam. Dengan matinya Tumenggung Tambak Yasa, membuat murka sang Raja kerajaan Trenggiling Wesi. Segera sang raja memerintahkan pasukan kerajaan untuk mencari dan menangkap pelaku pembunuhan Tumenggung Tambak Yasa, yang diketahui adalah seorang wanita. Saat itu juga disebar pengumuman di seantero kerajaan.
'Barang siapa yang mampu menangkap Dewi Kalandasan hidup, atau mati. Akan mendapatkan hadiah dari raja berupa kedudukan dan jabatan yang sangat memuaskan! Raja Trenggiling Wesi' Semua tokoh persilatan yang membaca pengumuman itu, segera berlomba memburu Dewi Kalandasan. Namun sejauh itu, mereka selalu menemui kegagalan.

* * * * *




Pada suatu pagi di padepokan Gunung Tengger, tampak seorang guru yang tengah dihadapi oleh muridnya. Guru itu bernama Ki Paksi Anom atau Pendekar Seruling Emas dengan muridnya yang bernama Eka Bilawa.
"Heh. Bukankah itu kakek dan ayahku?" tanya Jaka seketika, demi mendengar nama orang-orang tersebut.
"Benar! Kedua murid dan guru itu adalah kakek dan ayahmu."
"Teruskanlah cerita paman."
Sesaat Ki Perwana tersenyum sesaat, sebelum kembali meneruskan ceritanya yang telah dipotong oleh pertanyaan Jaka. Kedua murid dan guru yang tak lain dari Ki paksi Anom dan Eka Bilawa, tengah membicarakan tentang desas-desus yang saat itu melanda kerajaan.
Ki Paksi Anom selaku tokoh persilatan golongan lurus, merasa ikut bertanggung jawab dengan kejadian yang telah menimpa kerajaan. Maka Ki Paksi Anom pun memanggil muridnya, untuk membahas masalah yang tengah dihadapi kerajaan dan bagaimana untuk menanggulanginya.
"Eka Bilawa, Kerajaan kini tengah dilanda oleh sebuah kejadian yang sangat berat. Tumenggung Tambak Yasa mati terbunuh oleh seorang wanita, yang tak lain dari Dewi Kalandasan."
"Dewi Kalandasan istrinya Jagalaya, Guru?"
"Benar! Dia telah membunuh Tumenggung Tambak Yasa, yang telah membuat keluarganya berantakan. Rupanya Dewi Kalandasan sangat terpukul oleh tindakan suaminya, setelah dirinya ternoda oleh Tumenggung Tambak Yasa. Bahkan Dewi Kalandasan pernah bersumpah, akan membunuh semua lelaki setelah lelaki itu mendapat kepuasan dari tubuhnya."
Terkesiap darah Eka Bilawa mendengar penuturan gurunya.
"Sungguh tindakan biadab yang harus dicegah secepatnya, Guru?"
"Benar Bilawa! Kita sebagai orang persilatan, dituntut untuk dapat mencegah meluas nya Sumpah Dewi Kalandasan. Maka dari itu aku memanggilmu untuk membicarakan masalah ini. Aku harap kau mau mengerti, Bilawa?"
"Hamba mengerti, Guru!" kata Eka Bilawa.
Hari itu juga, Eka Bilawa segera pergi meninggalkan padepokan Gunung Tengger untuk mencari Dewi Kalandasan yang telah membuat geger kerajaan. Setelah beberapa waktu lamanya berjalan dalam usahanya mencari Dewi Kalandasan, akhirnya Eka Bilawa menemukan persembunyian si Dewi.
"Dewi Kalandasan, keluar kau!"
Mendengar seruan seorang pemuda di luar gubuknya. Dewi Kalandasan yang saat itu tengah memadu nafsunya dengan pemuda mangsanya, tersentak dan melompat ke luar.
"Brengsek! Siapa kau? Lancang benar berbicara lantang padaku!"
Berkelebat Dewi Kalandasan menuju ke halaman gubuknya, di mana Eka Bilawa tengah berdiri menunggu kemunculannya. Demi melihat seorang pemuda tampan, seketika Dewi Kalandasan tercenung. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba hati si Dewi terajut benang-benang aneh. Dewi Kalandasan pun hanya mampu mematung sembari memandang Eka Bilawa, dengan senyum yang mampu membuat jantung setiap lelaki akan bergetar. Dengan bibir tersenyum manis, Dewi Kalandasan pun menghampiri Eka Bilawa yang masih berdiri termangu di tempatnya menyaksikan kecantikan Dewi Kalandasan.
"Siapa kau pemuda tampan?" tanya Dewi Kalandasan merajuk membuat Eka Bilawa kelabakan bingung.
Hatinya sebagai seorang pemuda, seketika menggejolak mengajak dirinya untuk menyambut rasa suka yang dilontarkan sang Dewi. Namun kala mengingat gurunya, Eka Bilawa segera sadar akan tugasnya. Dengan membuang rasa yang ada di hatinya, Eka Bilawa pun segera berkata: "Aku Eka Bilawa, yang akan menangkapmu untuk mempertanggungjawabkan atas semua tindakanmu."
"Ah... sungguhkah kau bermaksud menyerahkan diriku pada raja?"
"Mengapa tidak! Kau telah membuat keonaran di kerajaan dengan membunuh Tumenggung Tambak Yasa, sepantasnyalah kau harus dihukum!" kata Eka Bilawa, setelah mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang sepertinya mengundang rasa iba. Namun sebagai seorang tokoh persilatan, dan merupakan murid terkasih Paksi Anom ia harus mampu mempertimbangkan kebenaran walaupun perasaannya berkata lain.
Mendengar ucapan Eka Bilawa, seketika Dewi Kalandasan meneteskan air mata. Dan dengan penuh rasa iba, Dewi Kalandasan mencoba mempengaruhi.
"Eka Bilawa. Bukankah kau seorang pendekar yang berbudi luhur? Mengapa kau tak mampu mempertimbangkan dan membedakan kebenaran dan keadilan? Aku membunuh Tumenggung Tambak Yasa, karena dia telah membuat rumah tangga ku hancur. Salahkah bila aku menuntut?"
"Kau tidak salah. Tapi menuntut itu ada cara dan aturannya, tidak sembarangan membunuh sepertimu!"
Hati Dewi Kalandasan yang telah terpanah asmara, saat memandang Eka Bilawa seketika memekik.
"Oh... betapa semua lelaki di dunia ini sama! Semua egois! Semua tak mengerti perasaanku!" Dengan linangan air mata, Dewi Kalandasan pun kembali berkata.
"Eka Bilawa, apakah kau bersungguh-sungguh?"
"Ya!" jawab Eka Bilawa pendek. Matanya memandang tajam pada Dewi Kalandasan, yang saat itu kembali menitikkan air mata. Lalu dengan menangis terisak Dewi Kalandasan pun kembali berucap membuat Eka Bilawa tersentak.
"Baiklah! Aku akan menyerah tanpa syarat. Asalkan kau mau menerima cintaku, yang telah lama membeku. Terus terang Bilawa, aku mencintaimu, aku tertarik sejak melihatmu."
Trenyuh hati Bilawa mendengar ucapan Dewi Kalandasan, yang polos dan dengan sepenuh hati. Namun kewajibannya menuntut agar ia tidak memperdulikan ucapan Dewi Kalandasan. Setelah sesaat terdiam, Eka Bilawa akhirnya berkata perlahan.
"Maaf Dewi Kalandasan. Aku tak mampu mengabulkan permohonan mu. Aku harus menjalankan tugasku. Kau masih mempunyai suami yang sah. Janganlah kau memburu nafsu setan, yang akhirnya membuatmu celaka."
Membeliak mata Dewi Kalandasan mendengar ucapan Eka Bilawa, yang dirasa telah kembali menghancurkan harapannya. Maka dengan histeris dan amarah. Dewi Kalandasan pun berkata: "Diam! Aku tak perlu khotbah mu! Kalau kau tak mau menerima diriku, maka jangan salahkan kalau aku menolak untuk menuruti kemauanmu. Jangan harap kau mampu menangkapku. Walaupun kau murid Paksi Anom, namun aku tak mau menuruti ucapanmu."
"Kau menantangku, Dewi?" Eka Bilawa mendesah panjang, manakala mendengar Dewi Kalandasan menantangnya. Sebenarnya hatinya ragu untuk menerima tantangan itu, disebabkan ia juga merasa iba. Apalagi dalam hati Eka Bilawa ada tersirap perasaan yang sukar dimengerti, yang menggebu-gebu manakala beradu pandang dengan Dewi Kalandasan.
"Kuharap kau tidak dalam keadaan sadar, Dewi."
"Apa maksud mu?"
"Aku mengharapkan di antara kita tak terjadi bentrokan."
Diam seketika Dewi Kalandasan mendengar ucapan Eka Bilawa yang telah memetik hatinya. Namun kalau dia harus mengalah begitu saja tanpa menerima balasan permintaannya, sia-sialah. Di samping ia akan mendekam dalam penjara kerajaan, ia juga tak akan mendapatkan balasan cintanya dari Eka Bilawa. Setelah berpikir untuk beberapa saat, Dewi Kalandasan pun kembali berkata:
"Memang aku pun enggan untuk bentrok denganmu, namun aku tak mau pengorbanan ku sia-sia. Aku akan menyerah pada kerajaan, asalkan kau mau menerima cintaku..."
Bimbang juga hati Eka Bilawa mendengar ucapan Dewi Kalandasan yang begitu mengharukan dan polos. Tapi kalau mengingat tugas, Eka Bilawa mau tak mau harus berpikir kembali. Maka setelah diam berpikir untuk beberapa saat lamanya, Eka Bilawa akhirnya kembali berkata: "Baiklah! Aku akan menerima cinta mu, asalkan kau mau menghentikan perbuatanmu sekaligus menyerahkan dirimu pada kerajaan."
"Kau tak berdusta, Bilawa?"
Dengan lemah Eka Bilawa menggeleng, yang menjadikan Dewi Kalandasan seketika itu senang hatinya. Dengan tanpa malu-malu lagi, dipeluknya tubuh Eka Bilawa yang masih terdiam mematung.
Hari itu juga Dewi Kalandasan menyerah pada kerajaan untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang telah ia lakukan. Hari itu juga, Dewi Kalandasan harus mendekam dalam penjara kerajaan.

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

Setelah lima tahun mendekam dalam tahanan, Dewi Kalandasan segera pergi mencari Eka Bilawa untuk menagih janji. Lama dia mencari Eka Bilawa yang belum diketahui di mana tempatnya. Akhirnya setelah setahun ia mencari-cari, Eka Bilawa dapat diketemukan. Dengan penuh harapan, Dewi Kalandasan pun mengutarakan maksud hatinya. Tapi jawaban Eka Bilawa sangat mengagetkan Dewi Kalandasan sekaligus makin menambah dendam pada semua lelaki.
"Aku telah mengalah untuk menyerah pada kerajaan. Maka hari ini juga, aku menagih janjimu."
"Ah...!"
"Kenapa, Bilawa?" tanya Dewi Kalandasan.
"Aku tak dapat, Dewi. Maafkan aku!" Mengeluh Eka Bilawa, sepertinya penuh sesal.
Mendengar ucapan Eka Bilawa, seketika meledaklah amarah Dewi Kalandasan.
"Kau tak ubahnya lelaki lain! Kau penipu, Bilawa!" Air mata Dewi Kalandasan yang tengah dilanda marah, tampak berlinang-linang menggayut di kelopak matanya. Melihat hal itu Eka Bilawa seketika iba hatinya.
"Dewi, maafkan aku. Bukannya aku bermaksud mengingkari apa yang pernah aku ucapkan padamu, namun aku kini telah mempunyai istri hingga tak mungkin bagiku menerima cinta mu. Juga aku pikir, kau masih mempunyai suami."
"Alasan! Kau hanya membuat alasan saja! Aku benci! Aku benci padamu! Sekarang mari kita buktikan siapa di antara kita yang berhak untuk hidup didunia ini lebih lama!"
"Dewi...! Apakah kau sadar berkata begitu?"
"Aku sadar, Bilawa! Aku sadar bahwa aku tak ada artinya bagimu dan bagi dunia. Untuk itu, aku lebih baik mati atau terus hidup dengan sumpahku untuk membunuh semua lelaki yang telah mendapat kepuasan dariku!" Ucapan Dewi Kalandasan yang disertai emosi, menjadikan dirinya bagai seekor harimau betina. Matanya yang redup dan indah, seketika liar memerah.
Melihat hal itu, Eka Bilawa merasa terpukul juga. Hingga seketika itu juga, Eka Bilawa hanya mampu menundukkan muka. Dalam hatinya membatin penuh iba: "Ah... Betapa dia selalu dalam penderitaan. Namun haruskah aku menuruti kemauannya? Haruskah aku menentang keputusan guru? Sebenarnya aku iba dan kasihan melihatnya. Tapi bila aku menurutinya, apakah tidak menyalahi hukum? Bagaimana nanti orang-orang persilatan menuduhku? Sungguh suatu keputusan yang perlu memakan pikiran."
"Kenapa kau terdiam, Bilawa! Ayo! Kita tentukan siapa di antara kita yang berhak menghirup udara bebas lebih lama lagi!"
Belum juga Eka Bilawa mampu berkata, tiba-tiba Dewi Kalandasan telah menyerangnya dengan cepat. Tersentak Eka Bilawa, hampir saja tubuhnya terhantam pukulan maut Dewi Kalandasan. Dengan melompat, Eka Bilawa segera berteriak.
"Tunggu! Apakah tak ada jalan lain bagi kita?"
"Jalan lain hanya bila kau mau menerimaku, Bilawa!" Dewi Kalandasan terus merangsek Eka Bilawa, yang terus berusaha menghindar tanpa membalas menyerang sekali pun. Hal itu membuat Dewi Kalandasan makin marah.
"Kenapa kau hanya menghindar, Bilawa! Kalau kau memang laki-laki, seranglah aku!"
Eka Bilawa segera duduk bersujud dengan mata terpejam, siap untuk menerima kematian. Eka Bilawa telah siap untuk segala-galanya, demi kepuasan Dewi Kalandasan. Namun apa yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Dewi Kalandasan yang hendak menghantamkan tangan segera mengurungkan niatnya. Dengan menangis tersedu-sedu, Dewi Kalandasan akhirnya duduk berlutut di hadapan Eka Bilawa seraya berucap lirih di antara isak tangisnya.
"Aku tak mampu! Aku tak mampu untuk membunuhmu. Aku... aku sangat mencintaimu. Hu.... hu...!"
Perlahan-lahan Eka Bilawa membuka matanya, memandang pada Dewi Kalandasan yang kini menangis terisak-isak. Hatinya yang penuh kasih, seketika menggugahnya untuk turut menitikkan air mata. Eka Bilawa akhirnya hanya dapat menangis, melihat kepedihan Dewi Kalandasan.
"Kenapa kau mengurungkan niatmu, Dewi? Lakukanlah bila hal itu akan membuatmu tenang!"
Makin seru tangis Dewi Kalandasan mendengar ucapan Eka Bilawa yang pasrah dan siap untuk menerima segalanya. Maka dengan menangis tersedusedu, Dewi Kalandasan segera berlalu pergi meninggalkannya.
Sesaat setelah dirinya sadar, dengan segera Eka Bilawa berlari mengejar Dewi Kalandasan.
"Dewi tunggu!"
"Jangan hiraukan aku! Aku benci kamu! Aku benci!" Dewi Kalandasan terus berlari. Manakala tampak jurang menganga di hadapan sang Dewi, dengan segera Eka Bilawa mempercepat larinya. Maka dalam sekejap, Eka Bilawa telah berhasil menghadang langkah sang Dewi.
"Berhenti, Dewi!"
"Jangan halangi aku! Minggir!" pekik Dewi Kalandasan, disertai dengan serangan.
Tersentak Eka Bilawa melihat kenekatan Dewi Kalandasan. Dengan segera Eka Bilawa mengelit. Hal itu mengakibatkan fatal bagi Dewi Kalandasan yang tengah dilanda emosi. Tubuhnya yang melaju, terus melayang ke bawah jurang.
"Dewi...!" Eka Bilawa memekik dan berusaha menolong. Namun terlambat sebab tubuh Dewi Kalandasan telah deras meluncur ke bawah, dengan lengkingan yang menyayat.
Eka Bilawa hanya terpaku, memandang ke bawah jurang di mana tubuh Dewi Kalandasan terjatuh. Dengan wajah lesu, Eka Bilawa segera balik kembali ke tempatnya.
"Sungguh tragis kematiannya," gumam Eka Bilawa dalam hati.
Kala tubuh Dewi Kalandasan meluncur jatuh dari atas, sebuah bayangan dengan cepatnya meluncur dan menyambar tubuh Dewi yang telah pingsan karena panik.
"Tapp..."
Bagaikan menangkap sehelai daun, orang itu menyambar tubuh Dewi Kalandasan, sebelum sampai ke dasar jurang. Dengan lari bagaikan angin, orang itu segera membawa tubuh Dewi Kalandasan pergi menuju ke sebuah tempat.
"Kasihan gadis ini. Sepertinya ia telah mengalami tekanan batin yang berat. Kalau saja dia tidak mempunyai dasar yang kuat, niscaya dia telah gila." Setelah bergumam sesaat sembari merebahkan tubuh Dewi Kalandasan, wanita tua itu segera kembali berlari ke luar.
Tak lama kemudian orang tua itu telah kembali. Di tangannya membawa daun dan akar-akar pohon untuk obat. Ditatapnya tubuh Dewi Kalandasan sesaat, sebelum ia berlalu menuju ke sebuah ruangan. Diracik nya jamu-jamuan yang terbuat dari akar dan daun-daunan. Lalu setelah selesai orang tua itu pun segera kembali menuju di mana Dewi Kalandasan terbaring pingsan. Sedikit demi sedikit, diminumkan jamu yang telah diramu nya ke mulut Dewi Kalandasan.
Setelah beberapa saat jamu itu diminumkan, tampak perubahan di tubuh Dewi Kalandasan. Tubuh Dewi Kalandasan tampak memerah bagaikan menyala. Keringat seketika keluar dari pori-pori tubuh Dewi Kalandasan, banyak bagaikan mandi. Dibukanya pakaian Dewi Kalandasan satu persatu, sampai benar-benar tubuh Dewi Kalandasan tak tertutup sehelai benang pun. Kepala wanita tua itu menggeleng lemah, memandang tubuh Dewi Kalandasan yang putih bersih bagaikan tak bernoda sedikit pun. Dibaluri nya tubuh Dewi Kalandasan dengan ramuan obat yang diraciknya, sampai ke seluruh badan.
Tubuh Dewi Kalandasan yang telanjang, makin nampak bersinar terang. Lambat laun, perubahan pada tubuh Dewi Kalandasan berlangsung. Si Nenek tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepalanya, dan bergumam lirih.
"Bagus! Bagus. Ternyata tak sia-sia aku menolongnya."
Dengan penuh kesabaran si nenek menunggui Dewi Kalandasan yang tengah pingsan, yang akhirnya tampak perlahan-lahan membuka kedua matanya. Makin melebar senyum si nenek, menyaksikan Dewi Kalandasan telah siuman. Matanya yang menyipit, memandang tak berkedip.
Dewi Kalandasan heran melihat tubuhnya tak berpakaian sebenang pun. Kala dilihatnya seorang wanita tua ada di sisinya, dengan segera Dewi Kalandasan bertanya: "Di mana aku? Dan siapakah engkau?"
Terkekeh si nenek mendengar pertanyaannya, menampakkan gigi-giginya yang kuning dan tajam. Kemudian terdengar suaranya yang serak dan parau.
"Kau berada di rumahku. Kau telah kutolong kala kau terjatuh ke dalam jurang. Kalau kau ingin tahu namaku, biasanya orang menyebutku "Ratu Siluman Muka Ayu" karena aku mampu mengubah wajahku yang keriput ini menjadi cantik bak bidadari."
Terkekeh wanita tua itu, dibarengi dengan perubahan paras mukanya yang seketika itu mengejutkan Dewi Kalandasan. Muka yang tadinya penuh keriputan, seketika berubah menjadi cantik bak bidadari setelah si nenek membacakan mantra.
"Bagaimana Dewi Kalandasan? Apakah kau percaya?"
"Hai! Rupanya kau telah mengenal namaku. Dari mana kau tahu namaku?"
Ditanya seperti itu si nenek terkekeh-kekeh. Dengan terlebih dulu mengubah wajahnya kembali ke bentuk semula, si nenek kembali berkata: "Jangan kaget, Dewi. Aku memang dapat mengenalmu, bila kau mengerutkan matamu."
"Bagaimana si nenek mengenaliku hanya dari mataku? Ah! Jangan-jangan dia malaikat," kata Dewi Kalandasan dalam hati.
"Kau rupanya bimbang, Dewi? Jangan bimbang! Sebab akan menjadikan dirimu terombang ambing oleh kehidupan. Kalau kau menentukan sikap, maka lakukanlah sikapmu."
"Nenek sangat tajam penglihatan batinnya. Apakah nenek adalah seorang malaikat yang menyamar?"
Terkekeh-kekeh kembali Dewi Muka Ayu mendengar pertanyaan Dewi Kalandasan. Lalu dengan menggeleng-gelengkan kepala, si nenek Iblis Siluman Muka Ayu berkata: "Aku bukannya malaikat. Aku orang biasa sepertimu, yang punya kekurangan serta kelebihan. Kalau kau ingin dapat seperti aku, maka kelak kau pun akan mendapatkannya. Dengan syarat, kau harus menjadi muridku. Kau mau?"
Sesaat Dewi Kalandasan tercenung diam, memikirkan keputusan apa yang harus ia utarakan pada si nenek. Mengingat dendamnya pada Braja Denta karena cintanya ditolak, Dewi Kalandasan pun segera memutuskan untuk menerima tawaran Siluman Muka Ayu.
"Baiklah, Nenek. Aku menerima tawaranmu. Aku siap untuk menjadi muridmu."
"Bagus, bagus! Mulai sekarang, kau harus memanggilku dengan sebutan guru!"
"Baiklah, Guru. Saat ini juga, aku siap untuk menjadi muridmu."
Terkekeh si nenek, mana kala mendengar ucapan Dewi Kalandasan. Saking senangnya, si nenek tampak melompat-lompat bagaikan anak kecil kegirangan. Sejak saat itu pula, Dewi Kalandasan pun menjadi murid tunggal Siluman Muka Ayu.

* * * * *



:::≡¦ [ENAM ] ¦≡:::


"Lalu bagaimana dengan ayahku setelah itu?" tanya Jaka setelah melihat Ki Perwana terdiam menghentikan ceritanya, untuk menarik nafas.
"Kau belum ngantuk, Jaka?"
"Belum, Paman. Ceritakanlah seluruhnya, biar aku mengerti dan tahu apa yang menjadikan paman begitu tertarik dalam masalah ini. Hingga paman mengundangku untuk datang ke mari."
"Wah, wah, wah. Sebenarnya paman sendiri telah mengantuk. Namun karena melihatmu masih belum apa-apa paman hilang kantuknya. Kau memang benar-benar seorang tokoh persilatan yang mumpuni. Tak heran kalau kau mampu mengatasi segala kesusahan, apalagi masalah ngantuk, bukan begitu, Jaka?"
"Ah, paman terlalu meninggikan. Saya rasa semua orang sama," kata Jaka mengelak tuduhan yang dilontarkan Ki Perwana yang kembali tersenyum dan mengangkat cangkir kopinya untuk diminum.
Setelah berguru pada Siluman Muka Ayu, bertambahlah ilmu yang dimiliki oleh Dewi Kalandasan. Dendamnya pada Eka Bilawa yang mendorongnya untuk mampu menyerap segala ilmu yang diajarkan oleh Siluman Muka Ayu. Hingga dalam waktu yang singkat, Dewi Kalandasan telah menguasai ilmu-ilmu Siluman Muka Ayu.
Di antara ilmu-ilmu silumannya, ada sejenis ilmu yang akan membuatnya tampak ayu dan awet muda. Ilmu itu, bernama ajian Ronggeng. Sedangkan ilmu yang ganas, yang ia kuasai dari Siluman Muka Ayu adalah sebuah ajian yang sungguh dahsyat bernama Ajian Lebur Raga. Yang bila dihantamkan pada musuhnya, seketika musuhnya akan menjadi tepung.
Setelah mendapatkan seluruh ilmu dari Siluman Muka Ayu, Dewi Kalandasan pun bermaksud mengadakan perhitungan pada semua lelaki, khususnya pada Eka Bilawa yang dicintainya sekaligus dibencinya. Saat itu juga kembali dunia persilatan dibuat geger, dengan ulah seorang wanita cantik yang membunuh setiap lelaki yang telah menerima kepuasan darinya. Petualangannya begitu menggemparkan, sampai mengundang perhatian Ki Paksi, yang segera mengundang muridnya.
"Ada gerangan apa lagi, hingga guru memanggilku?"
"Ketahuilah, Bilawa. Dunia persilatan kini tengah kembali digegerkan oleh tingkah seorang wanita cantik, yang sepak terjang nya sungguh kelewat telengas dan biadab."
"Maksud Guru?" Eka Bilawa yang memang belum mendengar dan mengetahuinya, kembali bertanya pada gurunya.
Paksi Anom sesaat mengangguk-anggukkan kepala, sebelum kembali berkata menerangkan.
"Wanita itu setiap beraksi selalu meninggalkan selembar daun lontar, yang bertuliskan "Hadiah untuk Eka Bilawa."
"Ah! Siapa kira-kira wanita itu, guru?"
"Menurut pengamatan mata batin ku, wanita itu orang yang dulu pernah berbuat yang sama. Wanita itu tak lain dari Dewi Kalandasan yang masih hidup kala jatuh ke dalam jurang," kata Paksi Anom menjelaskan, membuat Eka Bilawa makin tersentak kaget hingga mendesah.
"Ah... Apa itu mungkin, guru? Sedangkan Dewi Kalandasan jatuh ke dalam jurang yang terjal dan dalam?"
"Mungkin...! Di dunia ini segalanya dapat mungkin terjadi."
"Kalau begitu Dewi Kalandasan ada yang menolongnya?"
"Benar katamu, anakku. Dewi Kalandasan memang ada yang menolong manakala terjatuh dalam jurang, hingga tubuhnya selamat."
Tercenung Eka Bilawa mendengar pertuturan gurunya. Ia tak menyangka kalau Dewi Kalandasan masih hidup, dan kini mendendam padanya karena ia telah menolak cintanya.
"Kalau begitu, sungguh suatu petaka besar bagi dunia. Lambat atau cepat, Dewi Kalandasan akan menemuiku. Maka sebelum banyak korban, aku harus mencari dan mencegah tindakannya..." Termasygul Eka Bilawa dalam hati, manakala mengingat apa yang bakal terjadi di dunia persilatan bila ia tak segera mencegah tindakan telengas Dewi Kalandasan.
"Tak adakah orang persilatan yang berusaha menghalangi niat Dewi Kalandasan, guru?"
"Sudah, namun semuanya menemui kegagalan. Perlu kau tahu, biasanya orang-orang itu, tak mampu menghadapi rayuan Dewi Kalandasan."
"Maksud guru?" Masih Eka Bilawa tak memahami apa yang dikatakan gurunya, yang seketika itu memandang padanya sembari tersenyum.
Setelah sesaat menarik nafas panjang-panjang, Paksi Anom segera kembali berkata menerangkan: "Dalam menjalankan aksinya wanita yang bernama Dewi Kalandasan selalu merayu setiap laki-laki dengan kecantikan wajahnya dan kemulusan tubuhnya. Bila laki-laki itu telah terjebak rayuannya, maka jadilah laki-laki itu terbuai oleh bisikan setan. Dan setelah lelaki itu mendapat kepuasan darinya, lelaki itu pun dengan telengas dan biadab dibunuh..."
Mengerti lah Eka Bilawa setelah gurunya menerangkan. Maka dengan didahului desahan, Eka Bilawa bertanya.
"Lalu apa yang harus hamba kerjakan, guru?"
"Sebagai seorang pembela kebenaran serta keadilan, kau harus dapat mencegah tindakannya agar tidak meluas dan memakan korban lebih banyak lagi. Hati-hatilah! Sebab dia kini bukan Dewi Kalandasan yang dulu kau kenal. Dia sekarang Dewi Kalandasan yang memiliki ilmu-ilmu Siluman. Di antara ilmu silumannya, ia memiliki ilmu yang sangat ganas dan berbahaya. Ilmu itu bernama Ajian Lebur Raga. Barang siapa terkena ajian itu, niscaya tubuhnya akan menjadi tepung."
Terkesiap Eka Bilawa mendengar penuturan gurunya, tentang ilmu yang dimiliki oleh Dewi Kalandasan. Keraguan di hatinya seketika timbul, dan menjadikan sebuah pertanyaan.
"Mampukah aku mengalahkannya? Kalau aku tak mampu, maka akulah yang bakal menjadi korbannya."
Paksi Anom yang memang cermat, segera mengetahui apa yang tengah tersirat di hati muridnya. Maka dengan mengurai senyum di bibir, Paksi Anom segera menegur: "Bilawa, kau rupanya bimbang. Jangan kau takut dan bimbang menghadapinya, sebab ilmu yang ia miliki tak lebih tinggi dari ilmumu. Karena kau menggunakannya pada kebenaran. Maka Yang Maha Kuasa akan selalu melindungimu. Percayalah, bahwa ilmu yang kau miliki akan mampu mengatasi ilmunya. Kalau ia memiliki ajian Lebur Raga, kau pun memiliki Ajian Tapak Yaksa bukan?"
"Terima kasih atas nasehat yang guru berikan, kini hati hamba telah tenang dan penuh kepercayaan. Kapankah hamba diperkenankan untuk menghentikan sepak terjang Dewi Kalandasan, guru?" Hatinya kini tenang dan yakin akan kemampuan yang ia miliki, walau ia pun harus menyadari bahwa keberuntungan yang dilimpahkan Tuhan jugalah yang bakal mampu memberikan kemenangan.
"Sebelum kau menghadangnya. Aku sarankan kau terlebih dahulu menghubungi suaminya, Jagalaya di kaki gunung Semeru. Berangkatlah ke sana."
Setelah habis ucapan gurunya, Eka Bilawa menjura hormat meminta ijin dan doa restu untuk menemui Ki Jagalaya sekaligus untuk mencegah tindakan Dewi Kalandasan.
"Guru, hamba mohon doa restu. Hari ini juga murid akan pergi menemui Ki Jagalaya sekaligus menghentikan sepak terjang Dewi Kalandasan yang terlalu telengas..."
"Pergilah, anakku. Aku doakan semoga kau berhasil," kata Ki Paksi Anom, seraya membelai rambut Eka Bilawa yang masih menjura hormat dan menyembah.
Dengan diikuti gurunya sampai ke pelataran rumah, Eka Bilawa segera berlalu pergi meninggalkan kediaman gurunya untuk menemui Ki jagalaya di kaki gunung Semeru.

* * * * *




Di kaki gunung Semeru tampak sebuah pondok kecil, yang tenang dan sunyi. Sepertinya pondok itu tak ada penghuninya, sepi menyendiri. Namun bila kita menengok ke dalam pondok, kita akan melihat seorang lelaki tengah khusuk bermeditasi. Kala lelaki itu tengah khusuk melakukan semedinya, tiba-tiba seberkas sinar tampak masuk ke pondok melalui jeruji jendela yang terbuat dari bambu belahan. Belum juga lelaki itu hilang dari kekagetannya, cahaya itu telah berubah menjadi sesosok tubuh manusia yang telah berdiri di hadapannya sembari menjura hormat, dan menyapa ramah.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" jawab lelaki yang tengah semedi, yang tak henti-hentinya memandang kaget pada sosok pemuda yang berdiri di hadapannya yang datangnya secara tiba-tiba.
"Siapakah Ki sanak adanya?"
"Maafkan kelancanganku mengganggu meditasi mu, namaku Eka Bilawa. Aku sengaja datang ke mari, karena diutus oleh guruku."
"Siapakah guru Ki sanak adanya? Dan ada keperluan apa yang Ki Sanak tuju hingga bertandang ke mari?"
"Guruku bernama Paksi Anom. Aku datang ke mari untuk meminta pendapatmu tentang sepak terjang istrimu Dewi Kalandasan. Bagaimana menurutmu, Ki Jagalaya?"
Seketika terkesiap Jagalaya demi mendengar nama orang yang disebut, sebelum akhirnya ia bertanya kembali.
"Maksud Ki sanak?"
"Istrimu kini telah membuat keonaran di dunia persilatan. Dengan mengandalkan tubuhnya, istrimu telah menjerat dan membunuh banyak lelaki. Apakah kau akan membiarkannya?"
Jagalaya seketika tersentak manakala mendengarkan penuturan Eka Bilawa tak menyangka kalau tindakan istrinya telah sedemikian jauhnya. melampaui nilai-nilai kemanusiaan. Maka setelah terdiam sesaat, Jagalaya pun dengan terlebih dahulu menarik nafas berkata pasrah: "Ki sanak Eka Bilawa. Kalau memang hal itu perlu adanya tindakan, Aku serahkan padamu sepenuhnya. Aku yakin, Ki sanak mengerti apa yang harus Ki sanak lakukan."
"Baiklah, kalau itu keputusanmu. Berarti aku telah mendapatkan mandat darimu. Terima kasih terlebih dulu aku ucapkan, dan aku pun mohon diri untuk segera menemui istrimu yang tengah berkelana mencari mangsa."
Maka kedua orang itu pun segera saling bersalaman, sebelum akhirnya Eka Bilawa segera pergi meninggalkan padepokan Jagalaya. Dengan diiringi Jagalaya hingga ke lereng gunung Kelud, Eka Bilawa segera berlalu pergi untuk menjalankan tugasnya menghadang sepak terjang Dewi Kalandasan.
Kala Eka Bilawa tengah berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang menghadang langkahnya. Merasa tak mengenal lelaki itu, Eka Bilawa segera bertanya.
"Ki sanak. Apakah gerangan hingga Ki sanak menghadang langkahku?"
Di tanya seperti itu, lelaki itu bukannya menjawab, malah dengan mata menyipit, dipandanginya tubuh Eka Bilawa bagaikan menyelidik. Hal itu membuat Eka Bilawa makin tak mengerti, hingga untuk kedua kalinya bertanya: "Ki sanak! Adakah sesuatu yang menjadi perhatian pada diriku?"
Belum juga ada jawaban dari lelaki tua renta berbadan bongkok. Malah dengan mulut menyeringai, lelaki tua berbadan bongkok itu berkata ngawur bagaikan orang gila. Hingga membuat Eka Bilawa terpaksa mengerutkan kening, tak mengerti akan apa yang diucapkan oleh lelaki tua bongkok itu.
"Sungguh beruntung orang yang berjalan pada jalan kebenaran. Karena dirinya selalu tenang dan damai. Namun bila berjalan dalam kekhilafan, niscaya dirinya tak pernah bahagia. Iblis dan setan selalu menggoda."
"Hai, sepertinya kau tengah bersyair, Ki sanak! Apa maksud syair mu itu?"
Terkekeh lelaki tua bongkok itu, sepertinya tertawa pada diri sendiri. Lalu dengan masih memandang pada Eka Bilawa, lelaki tua berbadan bongkok itu menerangkan maksudnya.
"Pendekar Eka Bilawa, ketahuilah, bahwa di utara sana kau akan menemui tantangan. Berhati-hatilah, karena petaka akan datang secara tiba-tiba bila kau lengah dan menyepelekan hal-hal yang kau anggap sepele. Jangan kau terpengaruh dengan rayuan mautnya."
Bersamaan dengan habisnya ucapan lelaki tua bongkok itu, lenyap pula tubuh lelaki tua bongkok di hadapannya. Seketika Eka Bilawa tersentak, mendapatkan lelaki tua itu tak ada lagi di hadapannya. Belum habis keterkejutan Eka Bilawa, tiba-tiba terdengar suara lelaki tua bongkok itu berkata kembali padanya.
"Eka Bilawa, kau tak perlu terkejut, sebab aku adalah manusia semacammu. Bila kau hendak melangkah mencari Dewi Kalandasan, maka pergunakanlah penangkal ilmu silumannya dengan bambu kuning yang ada di hadapanmu."
"Siapa kau sebenarnya, Ki sanak?"
Terkekeh suara lelaki tua bongkok itu, sebelum akhirnya kembali terdengar berkata menjawab: "Aku adalah orang yang selalu dekat denganmu."
Terkesiap Eka Bilawa kala mendengar ucapan orang tua berbadan bongkok, yang seketika mengingatkannya pada seseorang yang selalu dekat dengannya. Setelah merasa pasti, dengan segera Eka Bilawa bersujud sembari menyembah dan berkata: "Guru! Ah, mengapa guru menyamar?"
"Ha... ha... ha...! Rupanya ingatanmu masih tajam. Nah, sekarang pergilah kau ke arah utara. Di sana kau akan menemui korban-korban Dewi Kalandasan, yang terlalu sadis dan telengas. Jangan kau terpengaruh oleh rayuannya, yang akan menjadikan lemah imanmu. Pusatkan segala pikiranmu pada Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya Dialah yang dapat melindungimu. Ingat! Kalau musuhmu telah tak berdaya, jangan kau lalu menurunkan tangan jahatmu. Biarkanlah ia sadar sendiri."
"Baiklah, guru. Hamba akan selalu mengingat petuah dan pesan yang guru berikan. Kini hamba mohon pamit."
Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Paksi Anom, maka Eka Bilawa segera meneruskan langkahnya menuju ke arah yang diberikan gurunya untuk menemui Dewi Kalandasan yang makin telengas dan membawa banyak korban.
"Kalau tidak segera dicegah. Aku khawatir korban makin bertambah banyak. Aku harus segera mencegahnya." Maka dengan menggunakan ajian angin puyuh Eka Bilawa segera berlari menuju ke arah utara. Karena menggunakan ajian angin puyuh hingga Eka Bilawa seperti angin saja berlari.

* * * * *




Di dalam sebuah gubuk tampak seorang lelaki tengah menggeluti seorang wanita. Keduanya tampak telanjang tanpa sehelai benang pun, manakala sebuah sinar berkelebat masuk ke dalam dan mengejutkan mereka. Kedua orang yang tengah dipengaruhi setan, segera tersentak dan melepaskan pelukan masing-masing. Sementara bayangan yang tadi berkelebat, tampak seorang pemuda yang kini berdiri mematung di sudut ruangan dengan wajah menghadap ke bilik.
"Siapa kau?" tanya Dewi Kalandasan, yang segera bangkit dari terlentangnya dengan terlebih dahulu mengibaskan tubuh pemuda yang sedari tadi menggelutinya. Kibasan tangan Dewi Kalandasan, menjadikan pemuda itu menjerit dan meregang mati.
"Gunakan pakaianmu dulu, nanti aku akan memberitahukan mu siapa aku sebenarnya."
Dewi Kalandasan segera menyadari keadaan tubuhnya, dengan segera dikenakan pakaiannya sebelum akhirnya ia kembali bertanya lagi setelah pakaiannya melekat di tubuhnya.
"Siapakah kau, Ki sanak? Apakah kau juga ingin merasakan kehangatan tubuhku?"
Perlahan lelaki itu membalikkan tubuhnya menghadap ke Dewi Kalandasan yang terkejut setelah tahu siapa adanya lelaki itu. Yang dengan senyumnya berkata:
"Ternyata tindakanmu makin menjadi-jadi, Dewi Kalandasan?"
"Bilawa! Untuk apa kau datang ke mari?"
"Hem... kalaupun aku tak datang ke mari, pasti suatu saat kau pun akan datang menemuiku, untuk menuntut dendam cinta mu bukan?"
"Benar, Bilawa memang aku hendak menagih janjimu. Aku akan mengambil nyawamu, yang telah tega membuatku menderita batin."
"Kalau itu yang engkau mau, lakukanlah bila mampu."
Menggeretak gigi Dewi Kalandasan, mendengar ucapan Eka Bilawa. Maka dengan terlebih dahulu menggeram marah, Dewi Kalandasan segera menyerang.
"Eka Bilawa keparat! Jangan sesalkan tindakanku! Hiat...!"
Eka Bilawa yang telah waspada, dengan segera mengelak dan balik menyerang.
"Hiat...!"
Perkelahian kedua orang yang pernah terjerat cinta di hati masing-masing, tak dapat dicegah lagi. Keduanya berkelebat-kelebat dengan cepatnya, saling serang dan elak. Jurus demi jurus terlampaui. Manakala jurus yang kedua puluh lima hendak berjalan, seketika tubuh Dewi Kalandasan tampak melompat mundur. Lalu dengan disertai pekikan, Dewi Kalandasan pun kembali menyerang dengan ilmunya.
"Terimalah kematianmu, Bilawa! Ajian Lebur Raga! Hiat...!"
Dari tangan Dewi Kalandasan, tampak selarik sinar merah membara berkelebat di samping kiri Eka Bilawa yang segera mengelak. Sedetik saja Eka Bilawa terlambat, maka nyawanya akan melayang.
Mendengus Eka Bilawa seketika, manakala melihat kehebatan ajian yang baru saja dilancarkan oleh Dewi Kalandasan. Maka dengan mendengus, Eka Bilawa segera mengimbanginya dengan jurus Ajian Tapak Bahana.
"Tapak Bahana! Hiat...!"
Keduanya segera melompat ke udara, dan berbareng keduanya menghantamkan ajian masing-masing. Seketika dua ajian pamungkas itu berada di udara, menjadikan sebuah ledakan dahsyat.
"Duar...!"
Tubuh keduanya terdorong ke belakang. Eka Bilawa tergetar tubuhnya, dan menyurut kakinya tiga langkah. Sementara Dewi Kalandasan tampak terdorong lima tombak, dengan mulut mengeluarkan darah segar. Tanpa menghiraukan Eka Bilawa, Dewi Kalandasan yang terluka dalam itu berkelebat pergi. Eka Bilawa hanya terbengong-bengong tanpa bermaksud mengejarnya.
"Sejak kejadian itu, Dewi Kalandasan tak terdengar lagi kabar beritanya hilang bagaikan tertelan bumi." Mengakhiri Ki Perwana berkata, yang membuat Jaka termangu diam. Setelah sesaat terdiam, Jaka bertanya kembali.
"Lalu apa yang menjadikan perhatian paman saat ini?"
Seketika Ki Perwana tersentak, manakala mendengar pertanyaan Jaka. Setelah menguap sesaat, Ki Perwana segera menerangkan apa yang menjadikan perhatiannya hingga mengundang Jaka datang ke tempatnya.
"Setelah sekian lama menghilang! Dewi Kalandasan tiba-tiba muncul dan membuat keonaran lagi. Maka sebagai orang yang bertumpu pada kebenaran dan ketentraman, aku tak bisa berdiam diri begitu saja. Namun untuk mencegah tindakannya, hanya kaulah yang mampu untuk mengatasinya."
Mengerut alis mata Jaka mendengar ucapan Ki Perwana. Dengan masih tak mengerti, Jaka bertanya: "Hai! Mengapa mesti aku? Apakah tak ada pendekar lain yang berusaha mencegahnya?"
"Sudah, Jaka. Berpuluh-puluh pendekar telah berusaha mencegahnya. Namun kesemuanya hanya mengalami kegagalan dan menemui kematian yang mengerikan, yaitu barang miliknya hilang terbetot."
"Hah! Sungguh mengerikan, paman!" Terbelalak mata Jaka mendengar penuturan Ki Perwana. Hatinya tersengat juga, bila membayangkan tindakan yang dilakukan Dewi Kalandasan.
"Itulah, Jaka. Mengapa aku mengundangmu ke mari. Sebab hanya pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti yang mampu menghadapinya, Karena kau satu-satunya pewaris ilmu Empat Pendekar Sakti, aku minta tolong padamu. Kau sanggup bukan?"
Setelah mendengar ucapan Ki Perwana dan sesaat terdiam berpikir, Jaka akhirnya berkata juga: "Aku akan berusaha membantu. Namun aku tak dapat menjanjikannya, karena aku pun belum yakin pada kemampuanku. Di samping itu pula, aku harus mencari orang yang bernama Kala Peningasan yang telah mencuri Kitab dan pusaka-pusaka milik beberapa perguruan."
"Tak mengapa, yang penting bagi kami, kau mau membantu. Kini hari sebentar lagi pagi. Tidakkah kau bermaksud istirahat barang sekejap untuk memulihkan tenagamu?"
Dengan segera kedua orang itu pun berlalu menuju ke dipan masing-masing yang ada di rumah itu, untuk tidur. Mungkin karena telah mengantuk, keduanya pun segera terlelap tidur. Rumah itu pun kini tampak sunyi, dan hanya suara dengkuran Ki Perwana saja yang mengumandang memecahkan kesunyian malam itu. Walau Jaka merasa bising oleh dengkuran Ki Perwana, namun karena rasa kantuk telah menggayut di kedua matanya Jaka akhirnya tertidur pulas.

* * * * *



:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::

Di kaki gunung Slamet tampak sebuah padepokan berdiri dengan megahnya. Di sekelilingnya terpagar betonan dari batu bata merah, makin menambah kemegahan bangunan itu. Di pintu depan untuk masuk ke dalam, dua orang penjaga tampak selalu siaga dan seksama. Mata kedua orang itu, selalu liar memandang orang yang lalu lalang jalan di situ. Tengah kedua penjaga pintu gerbang itu memandang ke orang-orang yang berjalan di muka tempat itu, seorang pemuda tiba-tiba memberi salam:
"Sampurasun...!"
Dengan agak terkejut, kedua penjaga pintu gerbang segera menjawab dengan mata penuh selidik: "Rampes...! Siapakah Ki Sanak ini? Dan ada keperluan apakah Ki Sanak datang ke mari?"
Pemuda yang baru datang dengan menggunakan caping lebar dengan segera berkata: "Namaku, Loh Gamyar. Aku sengaja datang kemari, dengan maksud ingin mengabdi pada Ratu mu. Sampaikanlah salam hormatku pada Ratu kalian."
Kedua penjaga pintu gerbang itu, tidak segera menuruti ucapannya. Malah dengan mata tajam, keduanya memandang penuh selidik Setelah sesaat memandang, salah seorang penjaga itupun berkata: "Baiklah, tunggu sebentar." Pengawal itupun segera masuk ke dalam, untuk menemui pimpinannya Ratu Siluman Muka Ayu.
Sang Ratu yang tengah duduk-duduk dengan didampingi abdi setianya yang rata-rata pemuda, menyipitkan mata demi melihat penjaga pintu gerbang datang menghadapnya dengan senyuman.
"Ada apa, Warma? Seperti mendapat rejeki saja kau tersenyum-senyum."
"Ampun, Sri Ratu. Ada seorang pemuda gagah yang hendak mengabdikan diri pada Sri Ratu," menjawab Warma setelah menjura hormat.
Sri Ratu tersenyum, lalu dengan penuh wibawa Sri Ratu pun kembali berkata menyuruh pada Warma.
"Warma, siapakah nama pemuda itu?"
"Dia bernama Loh Gamyar, Sri Ratu."
"Suruh dia masuk untuk menghadap ku."
"Daulat, Sri Ratu," berkata Warma seraya menyembah, lalu dengan segera berlalu meninggalkan Sri Ratu yang kembali bermesraan dengan abdi-abdinya.
"Tuan Loh Gamyar. Tuan diperkenankan masuk untuk menemui Sri Ratu," berkata Warma setelah sampai kembali ke pintu gerbang.
"Ke mana aku harus menemui Ratu mu?"
"Aku akan mengantarmu, ayo!"
Dengan diantar Warma, Loh Gamyar pun segera menuju ke tempat Sri Ratu berada. Tak berapa lama mereka melangkah masuk, keduanyapun segera tiba di tempat Sri Ratu berada. Warma segera masuk mendahului, sementara Loh Gamyar menunggu di luar. Warma dengan segera menghadap Sri Ratu dan menyampaikan berita bahwa pemuda itu ada di luar.
"Ampun, Sri Ratu. Pemuda itu kini menunggu di luar."
Sri Ratu yang tengah bercumbu rayu dengan abdi-abdinya, seketika menghentikan cumbuannya dan langsung menghadap ke Warma sembari berkata: "Suruh dia masuk!"
"Daulat, Sri Ratu!"
Bergegas Warma kembali ke luar menemui Loh Gamyar.
"Tuan diperkenankan masuk!"
Kedua orang itupun akhirnya masuk ke dalam ruangan yang besar. Tampak oleh Loh Gamyar seorang wanita cantik dengan pakaian yang minim sekali duduk dengan posisi merangsang. Senyumnya menghias bibir yang makin menambah anggun dan cantiknya. Setelah Loh Gamyar menyembah, terdengar suara Ratu Siluman Muka Ayu berkata: "Loh Gamyar. Benarkah kau hendak mengabdi padaku?"
"Benar, Sri Ratu."
"Baiklah, Loh Gamyar. Kau aku terima sebagai abdi ku. Kau tahu apa yang harus kau kerjakan?"
Sesaat Loh Gamyar terdiam memandang wajah Sri Ratu dengan pandangan kurang ajar. Semestinya Sri Ratu marah, namun demi melihat wajah Loh Gamyar yang tampan, Sri Ratu bukannya marah tapi tersenyum. Dengan perlahan Sri Ratu beranjak dari tempat duduknya, menuju ke Loh Gamyar yang tampaknya terdiam saja. Diajaknya Loh Gamyar menuju ke sebuah ruangan yang bertirai putih bersih.
"Loh Gamyar. Sudahkah kau pikirkan semuanya?" tanya Sri Ratu kala keduanya telah masuk ke dalam peraduan pada Loh Gamyar yang masih terdiam memandang wajah Sri Ratu.
"Sungguh benar-benar cantik," bergumam hati Loh Gamyar.
"Pantas kalau tokoh-tokoh persilatan akan mudah ditaklukannya." Loh Gamyar bagaikan orang bodoh saja mengangguk, lalu dengan penuh nafsu Loh Gamyar merengkuh tubuh Sri Ratu.
Mendesah-desah Sri Ratu Siluman Muka Ayu manakala tangan Loh Gamyar bergerayangan menuju ke seluruh tubuh.
"Jangan kau hentikan, Loh!" rengek Sri Ratu yang telah dilanda nafsu, menjadikan Loh Gamyar makin bertambah semangat.
Kedua orang itupun terus memburu emosi, yang bersamaan dengan nafsu di hati mereka. Napas keduanya memburu, bak kuda-kuda yang tengah berpacu. Tak lama antaranya, keduanya terlelap dalam heningnya alunan rasa yang menderu di setiap sentuhan-sentuhan birahi.

* * * * *




Mendengar desah-desah di dalam kamar Sri Ratu, menjadikan emosi abdi-abdi yang lainnya. Wajah-wajah mereka seketika membara, penuh nafsu dan kebencian pada Loh Gamyar yang dianggapnya telah merebut hati Sri Ratu. Salah seorang dari keenam abdi Sri Ratu nekad menerobos masuk ke dalam, membuat Loh Gamyar dan Sri Ratu terperanjat.
"Mau apa kau masuk ke sini, Londang!" membentak Sri Ratu marah, melihat Londang dengan napas memburu hendak mencengkeram pundak Loh Gamyar yang segera mengelak.
"Heh... Kenapa kau tiba-tiba hendak menyerangku, Ki Sanak?" bertanya Loh Gamyar tak mengerti, setelah dirinya dapat mengelakkan cengkeraman Londang.
Namun Londang yang dipengaruhi oleh rasa cemburu tak mau menjawab. Bahkan dengan mendengus da mata menyorot penuh kebencian pada Loh Gamyar, Londang kembali menyerang.
Murka Sri Ratu melihat tingkah laku Londang. Matanya yang tadi redup dan jeli, berubah memerah penuh bara kematian. Tak dapat terelakkan lagi oleh Londang, manakala tangan Sri Ratu yang dialiri tenaga dalam menghantam tubuhnya. Seketika tubuh Londang hancur menjadi tepung, berserakan memenuhi lantai.
Loh Gamyar yang menyaksikan hal itu, tak terasa bergumam lirih penuh kekagetan.
"Ajian Tapak Bahana!"
Terbelalak mata Sri Ratu, manakala mendengar ucapan Loh Gamyar. Maka dengan masih kaget, Sri Ratu Siluman Muka Ayu bertanya: "Apa yang tadi kau katakan, Loh?"
"Tidak!! Hamba tidak berkata apa-apa," menjawab Loh Gamyar terbatabata.
"Sungguh bahaya mulutku ini. Kalau saja Sri Ratu mendengar jelas, ah...." menggumam hati Loh Gamyar.
Sri Ratu Siluman Muka Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya, memandang tajam pada Loh Gamyar, sepertinya tak percaya pada apa yang dikatakan oleh Loh Gamyar. Maka seketika, terdengar Sri Ratu kembali bertanya pada Loh Gamyar: "Loh, kau berdusta padaku. Aku dengar kau tadi mengatakan Bahana, apa itu?"
"Ampun, Sri Ratu. Hamba tadi saking kagumnya melihat ajian yang dilontarkan oleh Sri Ratu, hingga tak sengaja hamba bergumam bahaya. Sedangkan apa yang menjadi nama ajian Sri Ratu, hamba sendiri tidak mengerti apa-apa."
Sri Ratu kini tersenyum melebar dan dengan penuh gejolak di hatinya, didekatinya kembali Loh Gamyar. Direngkuhnya leher Loh Gamyar yang hanya diam menurut. Keduanyapun kembali terlelap dalam alunan kasih berbaur nafsu.

* * * * *




Hari begitu panasnya, kala seseorang pemuda tampak berjalan dengan lambat menuju ke sebuah kedai yang tak jauh dari tempatnya berjalan.
"Wah... perut ini telah minta jatah. Sudah seminggu aku mencari Kala Peningasan. Namun sejauh aku melangkah, belum juga aku temui. Ke mana aku harus mencarinya? Apakah aku menemui Loh saja?" berkata Jaka dalam hati.
Dirogohnya kantong yang ada di balik sabuknya, lalu dikeluarkan uang yang masih tersisa.
"Waah... duitku hampir habis." Ditimang-timang duit itu hingga berbunyi,
"Kalau sampai dalam dua tiga hari ini aku belum dapat menemukan Kala Peningasan, sungguh bodohnya aku ini. Huh... pusing!" sambil menggumam dalam hati, Jaka Ndableg segera masuk ke dalam kedai.
Setelah mengambil tempat duduk, Jaka Ndableg segera memesan makanan pada pelayan kedai. Tak berapa lama antaranya, pesanannya pun telah datang. Maka dengan segera disantapnya seluruh makanan yang ter hidangkan. Sekejap saja makanan di piring itu tuntas tak tersisa.
"Hem. Perutku sekarang kenyang. Ah. Lebih baik aku istirahat dulu sambil mengademkan badan yang sedari tadi disengat matahari," gumamnya dalam hati, lalu dengan menyenderkan tubuh pada tiang penyangga atap, Jaka duduk beristirahat.
Tengah Jaka beristirahat melepas lelah, seseorang lelaki masuk ke dalam kedai. Lelaki yang tak lain adalah Kala Peningasan, tampak memandang ke sekeliling ruangan kedai itu. Setelah dirasakannya aman, Kala Peningasan dengan segera mengambil duduk tiga bangku dari Jaka beristirahat.
"Pelayan, beri aku nasi satu piring dengan lauk-pauknya. Jangan lupa sekendi tuak," pintanya pada pelayan kedai, yang dengan segera mengangguk dan berlalu pergi meninggalkannya untuk mengambil pesanannya.
"Hem... rupanya di sini kau kutemui, Kunyuk! Kau telah membuatku pusing," bergumam Jaka dalam hati. Dibiarkannya Kala Peningasan menyantap makanannya lebih dulu, sementara ia tampak masih pura-pura tidur sambil menunggu Kala Peningasan makan.
Mata Kala Peningasan tampak liar, memandang ke sekeliling ruangan kedai. Seketika matanya tertuju pada seorang pemuda yang tengah tertidur dengan menyenderkan tubuhnya ke tiang penyangga. Hatinya seketika gelisah manakala mengetahui bahwa pemuda itu tak lain Jaka adanya.
Bagaikan tak mengetahui adanya Kala Peningasan, Jaka dengan segera bangun dari tidurnya dan membayar makanan yang telah dimakannya. Lalu dengan tak memandang selirikpun pada Kala Peningasan. Jaka Ndableg segera berlalu pergi meninggalkan kedai itu.
Tersenyum Kala Peningasan yang merasa telah aman dari incaran Jaka, yang dianggapnya tak mengetahui keberadaan dirinya. Dengan hati tenang Kala Peningasan segera menyantap makanannya.
"Rupanya ia tak mengetahuiku. Ah... kalau dia sampai mengetahuiku, niscaya dia telah menangkapku. Semoga saja ia benar-benar tak tahu," bergumam hati Kala Peningasan senang.
Setelah habis menyantap makanan bergegas Kala Peningasan membayar. Kemudian segera Kala Peningasan berlalu meninggalkan kedai itu dengan bernyanyi-nyanyi bagaikan seorang yang mendapat hadiah dari Raja. Kala Peningasan melangkah sudah agak jauh dari kedai, terdengar seseorang memanggil namanya yang dikenalnya suara itu milik Jaka.
"Selamat bertemu, Kala Peningasan! Bagaimana keadaanmu sekarang? Bagaimana pula usahamu yang telah mampu mengelabui orang-orang persilatan? aku berharap kau akan mampu menerima hukuman dari orang-orang persilatan, khususnya perguruan-perguruan yang kau curi pusaka atau kitabnya."
Tersentak Kala Peningasan seraya memandang sekelilingnya, mencari orang yang telah berbicara. Mendapatkan bahwa orang yang telah berbicara tak ada tongkrongannya, Kala Peningasan segera berseru: "Hai! Kalau kau memang manusia adanya, tunjukkan mukamu!"
Habis ucapan Kala Peningasan, seketika berkelebat sesosok tubuh dari atas pohon yang telah berdiri di hadapannya. Tubuh itu yang tak lain Jaka adanya, tampak tersenyum sepertinya ramah dan kembali berkata: "Aku, Kala Peningasan! Masih mengenalku, bukan?"
Melihat Jaka Ndableg. yang telah menyapanya, dengan seketika Kala Peningasan hendak berlari pergi. Namun dengan segera, Jaka memburunya. Dengan ajian Angin Puyuh, Jaka dengan segera mencegat di muka Kala Peningasan.
"Mau lari ke mana kau, Kala Peningasan? Aku ingin kau mau mengembalikan Kitab dan pusaka yang telah kau curi dari pemiliknya."
"Jangan harap kau akan mampu mendapatkan Kitab dan pusaka yang telah aku curi. Kau terlalu lancang mencampuri urusanku. Maka janganlah kau menyesal bila kelak kau akan menderita."
"Hem... jangan kau mengancamku, Kala Peningasan! Kalau kelak aku menderita, itu adalah suratan Yang Kuasa. Sekarang aku meminta pertanggungan jawabmu atas tindakanmu."
Mendengus marah Kala Peningasan mendengar ucapan Jaka. Maka dengan mata memerah marah, Kala Peningasan mengeretakkan gigi-giginya dan dengan seketika menyerang. Jaka yang telah waspada dari semula, dengan segera mengegoskan tubuhnya mengelakan serangan Kala Peningasan sembari membentak marah.
"Rupanya kau memang iblis, Kala Peningasan! Dengan berkedok sebagai pendekar lurus, kau mencuri pusaka dan Kitab milik beberapa perguruan! Sungguh perbuatanmu tak dapat dimaafkan."
"Jangan banyak omong! Kalau kau memang pendekar yang kesohor, lakukanlah apa yang kau bisa. Tapi jangan harap kalau aku mau memberikan apa yang telah aku peroleh."
Maka tak dapat dicegah lagi, kedua orang itupun dengan seketika saling serang dan elak. Jurus demi jurus tingkat tinggi, dikeluarkannya untuk dapat menjatuhkan lawan. Kala Peningasan bukanlah tokoh persilatan sembarangan, hingga ilmuilmunya juga bukanlah ilmu ringan. Tak ayal lagi, Jaka harus waspada dan hati-hati. Setiap sambaran Kala Peningasan selalu mengeluarkan hawa panas dan deru angin.
Begitu juga halnya dengan Jaka yang telah kondang di dunia persilatan, bukanlah lawan yang enteng bagi Kala Peningasan. Nama besarnya sebagai Pendekar Pedang Siluman, telah menggetarkan dunia persilatan waktu itu. Maka sudah dapat dipastikan bila dua tokoh persilatan bertemu, akan menjadikan sebuah pertarungan yang sayat dan seru.
"Matilah kau!" bentak Kala Peningasan dibarengi dengan lompatan tubuhnya ke belakang. Lalu dengan cepat dari tangan Kala Peningasan melarik seberkas sinar putih kekuning-kuningan.
Jaka tersentak manakala mengetahui apa yang menderu-deru, yang ke luar dari tangan Kala Peningasan. Ribuan jarum-jarum beracun, beterbangan ke arahnya.
"Licik!" Dengan segera tangannya yang telah disaluri tenaga dalam serta didasari Ajian Bayu Sakti. Bunyi angin kibasan Bayu Sakti telah meruntuhkan puluhan jarum berbisa itu. Manakala Jaka tengah sibuk menghalau jarum beracun yang ia taburkan, tidak disia-siakan oleh Kala Peningasan yang segera pergi meninggalkan Jaka secara diam-diam.
Betapa gusarnya Jaka seketika itu manakala melihat musuhnya telah berlalu entah ke mana.
"Bedebah! Licik benar dia. Jangan harap bisa lolos dariku!" menggeretak Jaka marah, lalu dengan segera berkelebat mengejar Kala Peningasan yang telah pergi.

* * * * *



:::≡¦ [ DELAPAN ] ¦≡:::

Malam telah tiba ketika tampak sebuah bayangan berkelebat dari satu atap ke atap lainnya yang ada di kawasan wilayah Ratu Siluman Muka Ayu. Bayangan itu milik seorang lelaki, nampaknya tengah bermaksud menyelidiki sesuatu yang ada di dalam kawasan itu.
"Untung Sri Ratu sangat mencintaiku, kalau tidak. Mungkin aku sudah dijadikan bregedel semacam gacoan-gacoannya yang lima orang itu. Aku jadi tertarik untuk mengetahui di mana Sri Ratu mengeksekusi gacoannya? Mengapa mereka hilang begitu saja?"
Setelah tercenung sesaat, kembali bayangan lelaki itu berkelebat menuju ke satu rumah ke rumah yang lainnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ketika telah sampai pada tempat yang dituju, yaitu sebuah bangunan yang terletak paling belakang. Lelaki itu segera melompat turun dan segera mengendap-endap.
"Mungkin di sini tempat Sri Ratu mengeksekusi gacoannya. Akan ku coba menyelidiki tempat ini, hup!" Lelaki itu segera melompat lagi ke semaksemak manakala tampak olehnya seorang peronda keliling.
Peronda itu tampak berhenti lama di tempat itu, di mana lelaki tadi bersembunyi. Sepertinya peronda itu melihat sebuah bayangan berkelebat menyusup dalam semak-semak.
"Sepertinya tadi aku melihat seseorang di sini, ke manakah? Atau jangan-jangan hanya mataku saja yang sudah rabun?"
Peronda itu membatin, mengingatingat dan mengucak-ucak mata, seperti tak yakin pada penglihatannya. Lalu setelah mengucak-ucak mata, kembali peronda itu melotot ke arah semaksemak membuat orang yang bersembunyi merasa was-was juga.
"Kalau tidak aku lumpuhkan bisa-bisa orang ini akan membuat kesusahan, hup!"
Seketika sebuah serangan datang tiba-tiba menyerang si peronda yang tersentak dan berusaha melawan. Namun dengan segera si penyerang menotok urat darahnya, hingga si peronda terkulai lemas seketika. Tanpa membuang waktu lagi, orang yang menyerang si peronda dengan segera berkelebat menuju ke pintu bangunan itu. Dengan hati-hati sekali dibukanya pintu bangunan itu. Namun tak urung, pintu itu berderit juga dimakan usia. Sesaat orang itu berhenti membuka pintu. Memandang celingukan ke belakang, takut-takut ada orang yang mendengar dan datang ke arahnya.
Setelah dirasa aman, orang itupun kembali membuka pintu perlahan-lahan. Namun kembali pintu berderit menjadikan rasa was-was pada orang yang membukanya. Setelah pintu terbuka agak lebar, lelaki itu dengan segera menyelinap masuk ke dalam. Betapa tersentaknya lelaki itu manakala melihat tulang belulang berserakan di sana-sini.
"Jagad Dewa Batara! Apa gerangan yang telah memakan orang-orang ini? Padahal baru dua hari yang lalu orang-orang ini menghilang," membatin lelaki yang tak lain Loh Gamyar menyaksikan kengerian yang terpampang di depan matanya.
"Hem... Aku rasa ada sesuatu di balik kamar yang tertutup itu. Kudengar suara dengkur yang sangat keras. Coba aku intip dari lobang angin itu."
Dengan melangkah perlahan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, Loh Gamyar segera mendekati lobang angin. Seketika wajahnya tampak pucat pasi, manakala melihat apa yang sebenarnya tengah mendengkur di balik pintu besi itu. Sesosok tubuh binatang besar yang menyerupai ular tengah tertidur pulas karena kekenyangan.
"Jagat Dewa Batara! Ternyata bukan dibunuh seperti biasanya. Namun dimakankan pada binatang ini. Oh... mungkinkah aku juga bakal seperti orang-orang itu?" mengeluh pendek Loh Gamyar dalam hati. Dengan hati-hati sekali, Loh Gamyar segera berlalu pergi meninggalkan lobang angin. Ia takut kalau-kalau mahluk yang tengah tertidur itu mendengar suara langkahnya.
"Hem... Aku tahu sekarang. Ternyata Sri Ratu Siluman Muka Ayu memelihara binatang ini. Atau... jangan-jangan binatang inilah yang menjadikan Sri Ratu awet muda dan sakti," bergumam hati Loh Gamyar, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kembali ruangan itu.
Dengan berkelebat cepat laksana seekor kera, Loh Gamyar kembali menyusuri atap demi atap bangunan yang ada di situ. Hatinya kini bertanya-tanya, gerangan apa yang menjadikan Sri Ratu memelihara mahluk seperti ular namun besar itu? Tengah Loh Gamyar berkelebat dari atap yang satu ke atap yang lain, tiga orang peronda keliling melihat. Ketiga orang itu hendak berseru manakala Loh Gamyar dengan segera mengibaskan tangan. Seketika ketiga orang yang hendak berteriak itu terdiam, mengejoprak ke tanah. Rupanya Loh Gamyar telah menyerang mereka dengan totokan mautnya, hingga mereka seketika terkulai lemas.
"Bahaya kalau aku terus-terusan begini. Bisa-bisa aku kepergok oleh yang lainnya dan hal itu akan menjadikan kegagalan usahaku. Kalau Jaka ada di sini, mungkin aku tak perlu khawatir. Aku merasa yakin, kalau Jaka yang mampu menghadapi Sri Ratu. Kedua-duanya memiliki ajian yang sama yaitu Tapak Bahana. Hem... dari mana Sri Ratu mendapatkan ajian itu?"
Setelah sesaat Loh Gamyar tercenung, dengan segera iapun berkelebat turun dan menyelinap masuk ke dalam kamarnya. Selang tak berapa lama antaranya, Sri Ratu datang menemuinya dan menanyakan apakah ia tak mendengar keributan di luar?
"Ampun, Sri Ratu. Hamba tidak mendengar sama sekali. Mungkin hamba terlelap tidur karena terlalu lelah," menjawab Loh Gamyar, yang pura-pura menggeliat bangun dari tidurnya.
"Memang gerangan apakah yang telah terjadi?"
Rupanya Sri Ratu mempercayainya. Sri Ratu pun tampak tersenyum manis sembari merapatkan tubuhnya pada tubuh Loh Gamyar. Dengan lembut Sri Ratu berbisik manja: "Sudahlah... Tak perlu kau risaukan. Jangan kau khawatir! Aku akan segera dapat menangkap orang yang telah membuat keonaran itu. Marilah kita bersenang-senang, Loh?"
Sri Ratu segera merengkuh tubuh Loh yang hanya diam menurut, masuk ke dalam peraduan di mana Loh Gamyar tidur. Dalam hati Loh Gamyar terbersit pertanyaan, tentang ucapan Sri Ratu yang tampaknya tak mengandung apa-apa. Namun bila dianalisa, jelas ucapannya merupakan sindiran bagi dirinya.
"Apakah Sri Ratu mengetahui bahwa aku yang telah berbuat? Ah... moga-moga tidak benar firasat ku. Kalaupun memang benar, maka aku harus pura-pura tak mengerti." Loh Gamyar menuruti Sri Ratu Siluman Muka Ayu, diboyongnya tubuh Sri Ratu yang tersenyum senang memandang padanya.
"Kau sungguh tampan, Loh. Maka aku sangat sayang padamu," berbisik Ratu Siluman Muka Ayu manakala keduanya masuk ke dalam peraduan dan langsung menutup tirai putih. Keduanya pun akhirnya hening tanpa kata. Hanya keluh panjang Sri Ratu yang terdengar, memecah keheningan.

* * * * *




Terkejut penjaga pintu gerbang melihat beberapa tokoh persilatan datang. Mata kedua penjaga pintu masuk terbelalak dengan mulut ternganga lebar.
"Kang Warma, sepertinya mereka dari golongan kaum persilatan. Ada apa gerangan, ya?" bergumam teman Warma.
"Ayo, kang Warma beri tahukan pada Sri Ratu!"
Dengan tanpa protes atau menolak, Warma segera bergegas masuk ke dalam untuk menemui Sri Ratu. Langkah Warma nampak tergopoh-gopoh menjadikan Sri Ratu yang melihatnya tampak mengernyitkan alis.
"Ada apa, Warma? Sepertinya ada sesuatu yang penting. Hingga mukamu pucat pasi seperti itu?"
"Ampun, Sri Ratu. Orang-orang persilatan berdatangan menuju ke mari"
"Apa? Orang-orang persilatan datang ke mari?" bertanya Sri Ratu Siluman Muka Ayu tampak terkejut, demi mendengar laporan Warman. Matanya yang jeli dan indah, seketika berubah menjadi beringas. Lalu dengan tanpa bicara lagi, Sri Ratu segera meninggalkan Loh Gamyar yang masih terbengong tak mengerti.
"Kebetulan! Dengan adanya orang-orang persilatan datang ke mari, aku ada kesempatan untuk menyelidiki keadaan di sini. Aku harap Jaka Ndableg akan segera datang," bergumam hati Loh Gamyar. Bibirnya mengurai senyum setelah kepergian Sri Ratu.
Dengan berkelebat cepat, Loh Gamyar segera keluar dari pondoknya. Pondok di mana Loh Gamyar berada, tak jauh dengan bangunan di mana Sri Ratu beristirahat. Dengan segera, Loh Gamyar menuju ke bangunan utama di mana tempat Sri Ratu melakukan upacara keagamaan.
"Semoga semuanya tengah tertuju pada kedatangan para tokoh persilatan."
Memang benar apa yang diharapkan Loh Gamyar. Saat itu semua penghuni padepokan Ratu Siluman Muka Ayu tengah tertuju perhatiannya pada kedatangan para tokoh persilatan yang kini tengah berkumpul di halaman padepokan.
"Aku harap Sri Ratu kalian segera keluar menemui kami!" berseru salah seorang tokoh persilatan dari perguruan Walang Keket.
Mendengar temannya berseru, dari pihak lainpun segera turut berseru menyuruh Sri Ratu Siluman Muka Ayu segera keluar.
"Benar! Katakan pada Ratu kalian, kami orang-orang persilatan ingin meminta tanggung jawabnya atas kematian beberapa pemuda murid-murid perguruan!"
Tengah di halaman padepokan terjadi keributan. Di dalam padepokan dengan leluasa Loh Gamyar berkelebat-kelebat menuju ke bangunan yang satu ke bangunan yang lain.
"Coba aku selidiki bangunan yang menjadi tempat pemujaan Sri Ratu. Aku merasa curiga, jangan-jangan ada apaa-panya."
Loh Gamyar segera menuju ke bangunan besar itu, di mana Sri Ratu mengadakan upacara keagamaan. Dengan hati-hati sekali, Loh Gamyar segera melompat ke atas genting bangunan itu. Perlahan Loh Gamyar membuka genting. Mata Loh Gamyar terbelalak, melihat apa yang ia saksikan di bawah. Pemandangan yang sangat mengerikan terpampang di mata Loh Gamyar. Loh Gamyar hampir jatuh karena saking kagetnya.
"Jagad Dewa Batara! Sungguh aku tak menyangka kalau Sri Ratu yang cantik jelita, ternyata seorang yang mempunyai penyakit gila. Betapa sadisnya perbuatan Sri Ratu."
Loh Gamyar mengeretakkan gigi-giginya manakala menyaksikan pemandangan di bawah. Tampak pemuda-pemuda tampan, dengan tangan dan kaki diikat serta anggota tubuh yang hilang dari tempatnya.
"Alat kelamin pemuda-pemuda itu telah hilang entah ke mana. Mungkin dibetot oleh Sri Ratu, atau memang telah putus sendiri."
Setelah untuk beberapa lama Loh Gamyar memandang bergidik pada keadaan di bawah. Segera Loh Gamyar melompat ke ruangan lain yang tak jauh dari kamar itu. Kembali Loh Gamyar membuka salah satu genting dan menyaksikan keadaan di bawahnya. Tampak dalam keremangan sebuah lampu lentera yang terbuat dari bambu, sebuah dupa mengepul menyengatkan bau kemenyan.
Di samping kiri dupa, terpampang sebuah meja dan kursi. Di depan meja dan kursi, tampak sebuah kaca yang dibawahnya tergeletak sebuah baskom. Dan untuk kedua kalinya Loh Gamyar terperanjat hampir memekik manakala menyaksikan apa yang terdapat dalam baskom itu yang tak lain dari kemaluan lelaki yang diawetkan.
"Jagad Dewa Batara! Hal ini tak boleh dibiarkan."
Dari kejauhan Loh Gamyar dapat menyaksikan keributan dan pertempuran antara Sri Ratu yang tengah dikeroyok oleh tokoh-tokoh persilatan. Sri Ratu Siluman Muka Ayu nampak berkelebat-kelebat dengan cepatnya. Setiap kelebatan tangan dan kakinya menjadikan pekik-pekik kematian yang terkena.
Seperti yang Loh Gamyar lihat kala Sri Ratu menghantam tubuh Londang. Saat itu juga Sri Ratu tengah mengamuk dengan ajian Tapak Bahana. Akibat dari hantaman ajian itu luluh lantaklah semua pengeroyoknya. Korban demi korban berjatuhan dari pihak para tokoh persilatan. Loh Gamyar seketika hatinya menjerit menyaksikan kejadian itu. Tapi untuk segera membantu ia merasa belum waktunya. Loh Gamyar merasa belum mampu untuk menghadapi Sri Ratu yang berkepandaian tinggi. Namun bila dibiarkan terus menerus, niscaya akan habislah para tokoh persilatan itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" bertanya Loh Gamyar dengan mata berlinang manakala menyaksikan korbankorban tak berdosa di tangan Sri Ratu Siluman Muka Ayu.
"Kalau aku membantunya secara terang-terangan, maka gagallah rencanaku untuk mengetahui kelemahan-kelemahan Sri Ratu. Namun kalau aku tak membantu mereka, bagaimana mereka? Bisa-bisa akan habis."
Karena bingungnya, Loh Gamyar hanya dapat menangis dan menangis tak tahu barus bagaimana. Tengah ia menangis bingung, sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang jelas terdengar di telinganya.
"Jangan kau menangis, Loh! Kau adalah laki-laki. Pantang kau cengeng seperti itu. Bila mereka memang menjadi korban, maka mereka adalah korban kesatria. Memang mereka terlalu gegabah, menghadapi Sri Ratu Siluman. Kalau kau hendak bertindak, tunggulah olehmu anak muda yang bernama Jaka... Jaka Ndableg!"
"Guru! Di mana kau?" berseru Loh Gamyar lirih memanggil suara yang dikenalnya, suara gurunya. Namun sang guru hanya terdiam tanpa menjawab panggilan Loh Gamyar. Dengan perasaan perih menyaksikan keadaan di luar padepokan, Loh Gamyar segera melompat turun dari wuwungan dan kembali masuk ke dalam Pertarungan antara Ratu Siluman Muka Ayu dan para tokoh persilatan masih berlangsung. Dari arah Utara seseorang berkelebat menuju ke tempat itu. Orang yang baru datang nampak bingung melihat hal itu. Hatinya gundah penuh keraguan. Gundah harus berbuat apa dalam hal itu.
Bagi orang-orang persilatan golongan lurus, namanya merupakan sahabat karena mereka belum mengetahui siapa sebenarnya Kala Peningasan. Kalau Kala Peningasan ikut membantu Ratu Siluman. Tak ayal lagi, semua tokoh persilatan akan mengetahui siapa dia sebenarnya. Dan secara tak langsung, Kala Peningasan akan membuka kedoknya sendiri. Namun untuk membantu para tokoh persilatan, ia tak berani menghadapi Sri Ratu yang sudah ia ketahui kehebatan ilmunya.
"Huh...! Mengapa hal ini sampai terjadi?" bergumam hati Kala Peningasan mengeluh. Dengan penuh keragu-raguan, Kala Peningasan segera memutar tubuhnya balik ke samping tembok padepokan.
"Aku harap kalian segera pergi dari sini sebelum kesabaranku hilang!" membentak Ratu Siluman Muka Ayu.
"Ratu Iblis Cabul! Jangan harap kami mau menuruti kata-katamu sebelum nyawa kami lepas dari raga!" tak kalah seorang dari tokoh dari perguruan Samudra Putih membentak, dibarengi dengan kelebatan tubuhnya menyerang Sri Ratu.
"Hem... kalau itu yang kalian mau. Jangan salahkan kalau aku bertindak terlalu telengas! Bersiaplah. Hiat...!"
Dengan segera Sri Ratu pun memapaki serangan tokoh persilatan dari Samudra Putih itu yang dibantu oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya. Mereka kembali terlibat pertempuran seru, tanpa ada yang dapat mencegah atau pun melerai. Semuanya telah dibelenggu dengan hawa nafsu dan amarah, hingga serangan-serangan mereka pun menjurus pada arah kematian.
"Hari ini juga kau harus lenyap dari muka bumi ini, Ratu Cabul!" Habis berkata begitu, segera seorang tokoh persilatan dari perguruan Teratai Putih mengibaskan tangannya. Dari tangan itu, seketika berdesing puluhan bunga teratai meluncur deras menuju ke tubuh Sri Ratu yang dengan segera mengkiblatkan tangannya ke arah desingan itu.
Seketika bunga-bunga teratai putih itu, hancur berantakan jatuh ke tanah. Terkesiap tokoh wanita dari Teratai Putih menyaksikan senjata andalannya dapat dengan mudah diluluhlantahkan. Matanya melotot memandang tak percaya. Maka dengan penuh amarah, Teratai Putih kembali menyerang dengan didahului makian:
"Iblis laknat! Jangan bersenang dulu, terimalah ini lagi. Hiat...!" Kembali tokoh Teratai Putih mengibaskan tangannya. Dan kembali dari tangannya beterbangan puluhan bunga teratai mendesing ke arah Ratu Siluman yang tengah repot menghadapi serangan tokoh persilatan lainnya.
Mata Ratu Siluman Muka Ayu membelalak liar memandang pada desingan yang menderu ke arahnya. Dan dengan memaki marah, Ratu Siluman Muka Ayu kembali kiblatkan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya tertuju pada pengeroyok yang lain.
"Pembokong pengecut! Jangan harap kau akan mampu melukai dan membokongku, hiat...!"
Untuk kedua kalinya, bunga-bunga teratai itupun hancur terhantam pukulan Ratu Siluman Muka Ayu. Bahkan angin pukulannya terus meluncur menyerang ke Anggrek Putih yang hampir saja terkena kalau tidak cepat-cepat mengelak.
"Hem... hampir saja aku terkena pukulannya," menggumam Anggrek Putih sambil jatuhkan diri ke tanah, menghindari angin pukulan Ratu Siluman yang mendesing sekuku jari di atas kepalanya.
Sementara itu, Kala Peningasan yang bimbang hatinya segera melompat masuk ke dalam padepokan melalui tembok yang mengelilingi padepokan itu. Hatinya tersentak manakala melihat tulang belulang berserakan di sana-sini. Walaupun ia telah lama mengabdi pada Ratu Siluman Muka Ayu, namun baru kali ini ia melihat tulang belulang berserakan di tempat pembuangan sampah. Manakala ia teliti dan pandangi dengan seksama, betapa terkesiapnya Kala Peningasan, ketika tahu ternyata tulang belulang itu adalah tulang manusia.
"Hem... kenapa banyak tulang belulang di sini? Siapakah yang suka makan tubuh manusia? Jangan-jangan Sri Ratu," bergidik tengkuk Kala Peningasan mengingat hal itu.
Belum sempat hilang rasa ngerinya, terdengar suara yang makin mendirikan bulu kuduknya hingga Kala Peningasan melompat saking kagetnya.
"Haaarrr...! Ssttt...! Sssstrt...!"
Belum hilang rasa kaget Kala Peningasan mendengar suara itu. Tiba-tiba ia melihat sosok tubuh hitam besar dan panjang, menjalar ke luar dari tempat yang tak jauh dari dirinya. Sosok tubuh yang ternyata ular besar dan panjang, terus menjalar ke luar menuju ke muka padepokan. Hampir copot jantung Kala Peningasan menyaksikan hal itu.
Tak kalah kagetnya Loh Gamyar yang tengah merenung manakala mendengar suara desisan keras. Dengan penuh rasa ingin tahu, Loh Gamyar segera menengok ke arah suara itu. Betapa terbelalak mata Loh Gamyar melihat ular besar dan panjang yang ia tahu suka makan orang itu, berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke arah di mana Ratu Siluman dan tokoh-tokoh persilatan tengah bertempur.
"Apa yang hendak dilakukan ular setan itu? Kenapa ular itu tiba-tiba keluar? Siapa yang telah berani mengeluarkannya?" bertanya-tanya hati Loh Gamyar mengira-ngira apa yang bakal terjadi.
Ular itu terus berjalan menuju ke muka padepokan, di mana Ratu Siluman tengah bertempur melawan tokoh-tokoh persilatan. Tersentak tokoh-tokoh persilatan ketika melihat kedatangan ular raksasa ke arah mereka. Maka seketika itu terpecahlah perhatian mereka. Hal itu tidak disia-siakan oleh Ratu Siluman Muka Ayu yang dengan bengisnya mengumbar hantaman ajian Lebur Raganya. Tak kalah hebatnya ular besar itu. Bagaikan orang layaknya menyerang para tokoh persilatan.
"Jangan takut saudara-saudara! Kita bagi dua! Sebagian menyerang ular keparat ini, sebagian lagi menyerang Ratu Siluman Cabul!" berseru tokoh persilatan Rajawali Emas, yang dengan segera dilaksanakan oleh teman-temannya dari tokoh persilatan lain.
"Lebih baik kalian menyerah dan menjadi abdiku. Daripada kalian mati sia-sia dimangsa oleh sekutuku ini!"
"Cuih! Pantang bagi kami menyerah kalau nyawa kami masih tersisa di tubuh!" menggeretak tokoh dari perguruan Randu Sanga yang dengan segera berkelebat mendahului rekan-rekannya menyerang Ratu Siluman Muka Ayu.
Pertarungan pun kembali berlangsung. Kini tampak makin seru dengan datangnya ular iblis membantu Ratu Siluman menghadapi para tokoh persilatan. Setiap hantaman ekor ular raksasa itu menjadikan bunyi ledakan dahsyat.
"Duar...!"
Mau tak mau, tokoh-tokoh persilatan yang menyerangnya harus gesit berkelebat mengelak. Kalau tidak Hancurlah tubuh mereka terhantam kibasan ekor ular raksasa itu.
"Percuma kita teruskan! Kita akan sia-sia menghadapi iblis-iblis ini. Lebih baik kita mundur dulu sambil menyusun rencana lagi," berbisik Ki Randu Sanga pada Nyi Mayang Jingga yang mengangguk mengiyakan.
"Benar, Ki. Aku melihat ilmu Ratu Iblis itu seperti ilmu yang dimiliki oleh pendekar Pedang Siluman Darah."
"Maksudmu pendekar Jaka Ndableg?"
"Benar, Ki! Aku rasa, hanya pendekar muda itulah yang dapat menghadapi Ratu Siluman ini."
Ki Randu Sanga tampak manggut-manggut mengerti. Lalu dengan berseru Ki Randu Sanga pun memerintahkan pada tokoh persilatan lain untuk mundur.
"Saudara-saudara, kita mundur dulu!"
"Kenapa, Ki?" bertanya tokoh-tokoh persilatan lain.
"Yang penting mundur!"
Tanpa banyak omong lagi, semuanya segera berkelebat pergi meninggalkan Ratu Siluman dan ular raksasa nya yang tertawa-tawa melihat musuh-musuhnya lari serabutan.
"Ayo, kakang kita kembali masuk!" ajak Ratu Siluman Muka Ayu pada ular raksasa itu, yang segera mengikuti langkah Ratu Siluman Muka Ayu masuk ke lingkungan padepokan.

* * * * *



:::≡¦ [ SEMBILAN ] ¦≡:::

Jaka tampak berjalan dengan lesu, setelah seharian berlari-lari dalam usahanya mengejar Kala Peningasan yang berhasil lolos darinya setelah berbuat curang. Hatinya mangkel dan marah serta penuh kekecewaan atas lolosnya buronannya yang kini menjadikan maksudkan untuk menemui Loh yang sekaligus menghentikan sepak terjang Ratu Siluman Muka Ayu tersendat.
"Sialan! Kalau begini terus menerus, mana mungkin aku akan segera menemui Loh. Aku takut kalau-kalau nanti Loh telah menjadi korban Ratu Siluman itu," membatin Jaka Ndableg.
Tengah dirinya tercenung melamun sembari berjalan, tiba-tiba dirasakan olehnya tiupan angin janggal menerpa gendang telinganya dan mendengungkan sebuah kalimat.
"Pendekar! Janganlah kau mementingkan urusanmu saja, tapi kaupun harus turut prihatin pada kejadian yang lebih penting yang sekarang tengah menimpa para tokoh persilatan."
"Siapa kau, Ki Sanak? Kau mampu menembus lapisan dimensi udara. Siapakah dirimu, Ki Sanak?"
"Aku hanyalah orang biasa. Aku bermukim di kaki gunung Semeru," terdengar jawaban dari orang yang berkata, mengejutkan Jaka yang mendengarnya.
"Hmm... kalau begitu, cukup jauh kau mengirim suara padaku. Aku yakin, kau bukan orang sembarangan. Siapakah dirimu kalau boleh aku mengetahui?"
"Aku adalah Jagalaya adanya."
Terkesiap darah Jaka saat itu, mendengar orang yang mengirim suaranya menyebutkan namanya. Tanpa terkendali, Jaka kembali mendesah: "Ah, Ki Jagalaya. Mengapa kau tak segera turun tangan melihat istrimu terlalu melengas? Apakah kau tak mempunyai rasa kemanusiaan?"
"Oh, memang benar katamu, Anak muda. Aku memang tak punya perasaan, hingga membiarkan korban berjatuhan di tangan istriku. Sungguh aku adalah orang yang tak tahu diri." Terdengar isak tangis Ki Jagalaya menjadikan Jaka seketika turut iba. Hampir saja Jaka ikut meneteskan air mata kalau tak segera Ki Jagalaya kembali berkata:
"Anak muda, sebenarnya akupun ingin menghentikan sepak terjang istriku yang kelewat melengas. Namun karena aku telah bersumpah, tak akan dapat melakukannya. Namun aku juga merasa takut."
"Kenapa? Apakah ilmu istrimu jauh lebih tinggi dari ilmumu?"
"Bukan itu yang aku takuti, anak muda. Tapi ketahuilah, bahwa istriku tak akan mati sempurna! Maka janganlah kaget, bila nanti istriku akan berubah ujud menjadi binatang yang menjijikkan. Sebab dia telah bersumpah dan mengikat janji dengan Siluman Ular Hitam. Aku menyesal mengapa istriku sampai senekad itu?"
"Kenapa kau menyesal, Ki Jagalaya? Bukankah kau yang kala itu meninggalkannya, ketika istrimu diketahui telah diperkosa oleh Tumenggung Tambak Yasa?"
"Hai! Kau mengetahui semua riwayatku. Dari manakah kau mengetahuinya, Anak muda?" Ada rasa kaget terdengar dari ucapan Ki Jagalaya manakala mendengar Jaka membeberkan rahasia pribadinya. Hingga Ki Jagalaya sepertinya terjaga dari lamunannya dan terkenang kembali kejadian lima puluh tahun yang silam.
"Bukankah kejadian itu sudah lima puluh tahun yang silam? Kala umurku baru tiga puluh lima tahun?"
"Benar! Kejadian itu sekitar lima puluh tahun yang silam. Aku mengetahuinya dari Ki Perwana, yang memintaku untuk mencegah tindakan istrimu."
Sesaat terdengar desah panjang Ki Jagalaya manakala mendengar ucapan Jaka. Tak berapa lama antaranya kembali terdengar suara Ki Jagalaya berkata: "Perwana... Jadi kau telah bertemu dengan murid tunggalku?"
Tak kalah kagetnya Jaka saat itu kala mengetahui bahwa Ki Perwana adalah murid tunggal Ki Jagalaya. Hingga saking kagetnya, Jaka Ndableg kembali mendesah.
"Ah. Tak kusangka, kalau Ki Jagalaya adalah guru Paman Perwana."
"Kalau begitu, bukankah kau cucu Ki Paksi Anom?" bertanya Ki Jagalaya, seraya menekankan nada suaranya kala mengucapkan nama kakek Jaka Ndableg.
"Kebetulan, kebetulan!"
"Hai! Apanya yang kau maksud kebetulan, Ki?" bertanya Jaka tak mengerti, mengerutkan keningnya dalamdalam membuat Ki Jagalaya tertawa bergelak-gelak bagaikan seorang anak mendapatkan telur.
"Anak muda. Kalau memang kau benar cucu Ki Paksi Anom, maka aku meminta tolong padamu untuk segera menghentikan sepak terjang istriku yang kelewat telengas. Sebab bila tidak segera kau hentikan, maka korban akan banyak berjatuhan. Dengar anak muda, tak ada orang yang mampu mengalahkan istriku, kalau orang itu bukan anak dari Eka Bilawa."
"Mengapa kau begitu pasti, Ki? Apakah kau tak mengetahui bahwa di atas langit masih ada langit?"
"Kau benar, anak muda. Di atas langit masih ada langit, di seberang laut masih ada lautan yang lebih luas. Namun bila ilmu setinggi apapun, kalau digunakan dalam hal kejahatan maka akan lemahlah kasiatnya."
Jaka terdiam hening mendengarkan petuah Ki Jagalaya yang ternyata guru Ki Perwana adanya. Kemudian terdengar lagi ucapan Ki Jagalaya meneruskan setelah sesaat terdiam.
"Mantapkanlah langkahmu, Anak muda. Segalanya kembalikanlah pada Yang Wenang."
"Apakah Ki Jagalaya dapat menolongku?"
"Ah... rupanya kau seperti ayahmu, suka merendahkan diri."
"Bukan begitu. Ki! Aku adalah orang biasa yang ada kekurangannya dan kelebihannya. Maka tak jarang bila aku akan berbuat salah. Untuk itulah, Ki. Aku meminta petunjuk darimu, di mana kelemahan istrimu?"
"Ah! Sayang sekali, Anak muda. Aku sendiri tak tahu. Tapi janganlah kau khawatir, aku akan membantumu dari jauh. Nah, berangkatlah menuju ke arah Utara. Di sana kau akan menemukan padepokan yang besar, itulah tempat kediaman istriku. Hati-hatilah dengan pasangan istriku, yaitu Siluman Ular."
"Baiklah, Ki. Aku minta pamit!" Dengan terlebih dahulu menjura ke arah Tenggara, Jaka segera berlalu pergi meninggalkan tempat itu ke arah Utara di mana Gunung Slamet tampak menjulang tinggi.

* * * * *





"Bagaimana usahamu, Kala Peningasan?" terdengar suara Ratu Siluman Muka Ayu bertanya pada Kala Peningasan yang duduk di bawah menghadap padanya.
Sesaat Kala Peningasan menundukkan wajah, mengatur pernapasan sebelum akhirnya berkata: "Hamba telah menjalankan tugas hamba dengan baik, Tuan Putri yang mulia. Namun hamba hampir saja celaka,"
"Kenapa? Apakah ada orang yang bermaksud menghalangimu?"
"Benar, Tuan Putri yang mulia. Hamba memang hampir saja celaka oleh seseorang yang memang telah mengetahui tindakan hamba."
Sri Ratu Siluman Muka Ayu memandang sesaat pada Loh Gamyar yang terduduk di sampingnya. Lalu setelah Loh Gamyar mengangguk, Ratu Siluman itu pun kembali bertanya pada Kala Peningasan.
"Siapakah orang itu adanya, Kala?"
"Dia adalah seorang pendekar muda, bernama Jaka Ndableg!"
Terkesiap darah Loh Gamyar mendengar nama Jaka disebut Kala Peningasan. Hatinya seketika gembira, sebab Jaka akhirnya akan datang juga ke situ. Yang dengan begitu, makin besarlah harapan Loh Gamyar untuk dapat dengan segera membekuk Ratu Siluman ini.
"Semoga Jaka Ndableg secepatnya datang ke mari," berkata hati Loh Gamyar senang membayangkan Jaka akan membantunya untuk menghentikan sepak terjang Sri Ratu yang kelewat telengas.
"Aku telah mengetahui semuanya di sini. Kalau nanti ia tiba, maka aku harus mampu membunuh ular Siluman itu. Sebab kekuatan Ratu, berada pada ular itu." Loh Gamyar bergumam dalam hati.
"Kau kenal orang yang disebut Kala Peningasan, Loh?" bertanya Ratu Siluman Muka Ayu, yang seketika mengejutkan Loh Gamyar dari lamunannya.
"Ti... tidak, Sri Ratu!"
"Bagaimana rupanya, Kala?" Kini Sri Ratu bertanya pada Kala Peningasan, yang dengan menyembah terlebih dahulu segera menceritakan sembari melukis raut wajah Jaka pada lantai.
Tergetar hati Ratu Siluman Muka Ayu manakala menyaksikan lukisan yang dibuat Kala Peningasan. Hatinya seketika bergumam, tertarik melihat wajah Jaka: "Sungguh tampan! Ah... kalau saja dia mau bersamaku, maka Loh Gamyar harus aku buang. Biarpun aku harus mati hancur, aku rela. Asalkan aku dapat memilikinya."
Saking tertariknya memandang wajah Jaka, sampai-sampai Sri Ratu terdiam untuk beberapa lamanya. Hingga membuat Loh Gamyar dan Kala Peningasan hanya mengerutkan alis matanya. Loh Gamyar yang telah mengerti apa yang saat itu tersirap di hati Sri Ratu, hanya tersenyum seraya berkata dalam hati.
"Rupanya Ratu Siluman ini telah jatuh cinta pada Jaka. Kalau sampai Jaka dapat dipengaruhinya, maka akulah yang akan dikorbankan pada mahluk itu."
Tengah Sri Ratu termenung memandangi lukisan di lantai, seketika seorang penjaga pintu gerbang tergopoh-gopoh masuk. Hingga membuat Sri Ratu tersentak dan memandang heran melihat penjaga pintu gerbangnya tampak pucat.
"Ada apa, Warma? Seperti kau ketakutan?"
"Ampun, Sri Ratu yang mulia. Seorang pemuda tampan telah datang ke mari dan bermaksud menemui Sri Ratu."
Sri Ratu tampak tersenyum mendengar ucapan penjaga pintu gerbang, seraya menggeleng-gelengkan kepala dan berkata: "Warma, Warma! Kenapa kau begitu takutnya? Adakah pemuda itu mengamuk?"
"Tidak, Sri Ratu?"
"Apakah rupa pemuda itu seperti gambar ini?" kembali Sri Ratu bertanya sembari menunjukkan gambar yang tertera di atas lantai.
Hingga seketika ia membelalakkan mata Warma yang mendesah panjang.
"Ah! Benar Sri Ratu. Memang dialah orangnya,"
"Suruh dia masuk, Warma!"
Dengan segera tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, Warma berlalu pergi dengan terlebih dahulu menyembah pada ratunya.
Bersorak hati Loh Gamyar senang, sebab rencananya akan dapat berjalan lancar.
"Hem. Sungguh tepat kedatangannya ke mari."
Seperti halnya Loh Gamyar, Sri Ratu pun dalam hati bersorak senang menyangka kalau Jaka akan mampu ditundukannya. Dia berharap Jaka akan mau menerima cintanya dan akan mau menjadi suaminya.
Lain Sri Ratu dengan Loh Gamyar, yang hatinya saat itu senang walau tujuannya berbeda. Kala Peningasan sebaliknya, rasa takut dan was-was beraduk menjadi satu. Hingga membuat wajahnya pucat dan keringat dinginpun mengucur deras dari kedua pelipisnya, mengundang tanya Sri Ratu yang melihatnya.
"Kenapa kau, Kala? Sepertinya kau begitu takutnya pada pemuda itu?"
Kala Peningasan menganggukkan kepalanya membuat Sri Ratu tersenyum mengembang di bibirnya. Hingga wajahnya yang cantik, tampak makin bertambah cantik. Lalu dengan senyum melebar, Sri Ratu kembali berkata:
"Tak perlu kau takut, Kala. Bila dia telah aku kuasai, maka dia akan tunduk padaku. Aku rasa, kecantikanku mampu mengatasinya."
Ketika Sri Ratu hendak berbicara lagi, terdengar seruan seorang pemuda lantang dengan sopannya berteriak memanggil nama asli Sri Ratu.
"Nyi Dewi Kalandasan, apakah kau masih akan terus membuat onar dunia dengan sepak terjangmu yang kelewat telengas?"
Terbelalak mata Sri Ratu Siluman Muka Ayu manakala mendengar nama aslinya disebut oleh pemuda yang tibatiba telah berdiri di hadapannya. Maka dengan masih diliputi rasa kaget, Dewi Kalandasan atau Sri Ratu Siluman Muka Ayu balik membentak bertanya:
"Siapa kau! Dari mana kau tahu namaku?!"
Tertawa bergelak-gelak Jaka mendengar bentakan Dewi Kalandasan, yang seketika itu menyipitkan matanya melihat Jaka tertawa bergelak-gelak. Jarang ada orang yang berani tertawa begitu di hadapannya, namun pemuda tampan dan agak kurang ajar ini berani melakukannya. Maka membatin Dewi Kalandasan, penuh rasa heran.
"Hem... berani benar anak muda ini. Jarang ada orang yang berani demikian padaku dan baru kali ini ada orang muda yang sembrono. Kalau saja hatiku tak terpikat olehnya, tak akan aku ampuni kesembronoan dan kekurangajarannya ini."
"Dewi Kalandasan! Apakah kau tak pernah ada rasa kasihan, hingga kau begitu telengas pada kaum laki-laki? Sudah berapa korban di tanganmu. Dari Tumenggung Tambak Yasa, hingga sekarang. Sungguh perbuatanmu seperti perbuatan Iblis!"
Mendengar kata-kara Jaka yang pedas, seketika wajah Sri Ratu Siluman Muka Ayu yang tadinya tersenyum berubah menjadi beringas. Lalu dengan mendengus marah, Ratu Siluman itu kembali membentak.
"Anak muda! Tadinya aku bermaksud baik padamu. Tadinya aku hendak menjadikanmu suamiku, tapi kau telah terlalu lancang dan kurang ajar. Maka jangan salahkan kalau aku terlalu telengas padamu!"
Napas Dewi Kalandasan memburu karena marah. Matanya seketika memerah penuh bara emosi. Sementara gigi-giginya terdengar beradu menjadikan bunyi bergemeretukkan. Maka dengan penuh amarah, Ratu Siluman Muka Ayu atau Dewi Kalandasan segera berseru menyuruh pada Loh Gamyar untuk menyerang Jaka Ndableg.
"Loh Gamyar, serang dia!"
Loh Gamyar bukannya menjalankan perintah Dewi Kalandasan, malah dengan tersenyum berkata: "Jangan harap aku akan menuruti perintahmu, Dewi. Jaka, hati-hatilah. Aku akan membunuh ular peliharaannya sebab di situlah letak kekuatannya. Jangan sekali-kali kau terpengaruh pada sorot matanya." berbisik Loh Gamyar yang membuat marah Dewi Kalandasan mengetahui bahwa ternyata Loh Gamyar tak lebih adalah musuh dalam selimut.
"Loh Gamyar! Ternyata kau adalah mata-mata. Jangan harap kau dapat lolos dengan pemuda ini! Hiat...!" Dewi Kalandasan yang telah kecewa manakala tahu siapa sebenarnya Loh Gamyar adanya, segera bermaksud menyerangnya. Namun dengan segera, Jaka memapakinya.
"Jangan kau serang dia. Akulah musuhmu! Hiat...!"
Tak ayal lagi keduanya seketika terlibat pertarungan. Sementara Wayan Suba atau Loh Gamyar dengan segera berkelebat menuju ke tempat di mana ular raksasa itu berada dengan terlebih dulu memberitahukan pada Jaka.
"Jaka! Jangan sampai kau terpedaya oleh sorot matanya!"
"Bedebah! Rupanya kau mau mampus, penipu!" Habis berkata begitu Ratu Siluman Muka Ayu segera mengkiblatkan tangannya yang telah dialiri ajian Lebur Raga ke arah Loh Gamyar yang berkelebat menuju ke luar.
Melihat hal itu, Jaka dengan segera memapakinya dengan membabatkan Pedang Siluman yang telah berada di tangannya, hingga buyarlah ajian Lebur Raga seketika itu. Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu menyaksikan keampuhan pedang di tangan Jaka yang telah mampu membuyarkan serangannya. Seketika hatinya bimbang untuk terus menyerang. Namun karena telah dirasupi nafsu dan amarah, Ratu Siluman Muka Ayu pun terus berusaha mencerca Jaka.
Keduanya segera saling serang dan elak dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Tak jarang ajian-ajian yang mereka miliki mereka keluarkan. Betapa tersentaknya Jaka, kala melihat ajian yang dikeluarkan oleh Ratu Siluman Muka Ayu. Karena ajian-ajian itu telah ia kenal betul siapa pemiliknya. Seperti Ajian Raja Brahma milik perguruan Rajawali Sakti. Serat Gampar milik Perguruan Teratai Putih dan banyak lagi.
Melihat Jaka terkejut, seketika Ratu Siluman Muka Ayu tertawa terkekeh-kekeh sembari berseru: "Anak muda! Rupanya kau takut menghadapiku dengan segudang ajian yang sepertinya kau kenal! Itu belum seberapa! Lihatlah ini!"
Makin tersentak kaget Jaka manakala melihat sebuah benda yang berada di genggaman Ratu Siluman Muka Ayu. Benda itu adalah Pusaka Pedang Rajawali, milik perguruan Rajawali Sakti pula.
"Kebetulan! Ternyata kau telah bersekongkol pula dengan maling dungu! Jadi aku tak sia-sia datang ke mari."
"Jangan bangga dulu, Anak muda! Orang lain boleh takut mendengar nama besarmu. Namun aku Ratu Siluman Muka Ayu, tak akan gentar sedikit pun. Hiat...!"
Dengan secepat kilat, Sri Ratu Siluman Muka Ayu kembali menyerang Kelana yang segera berkelebat menghindar. Pedang pusaka Rajawali berkelebat cepat di tangan Ratu Siluman menjadikan Jaka agak repot dibuatnya. Sepertinya Dewi Kalandasan atau Ratu Siluman Muka Ayu tak memberi kesempatan sedetikpun pada Kelana untuk bernapas. Ia terus memburu dengan pedang Pusaka Rajawali di tangannya.
Mau tak mau Jaka harus mengimbanginya dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sesekali Jaka mencoba membalik menyerang, dengan tipuan agar mampu memancing Ratu Siluman untuk melonggarkan serangannya.
"Brettt...!"
Baju yang dipakainya sobek manakala pedang di tangan Ratu Siluman Muka Ayu membeset tubuhnya. Marahlah Jaka saat itu juga, demi melihat pakaiannya telah terkoyak oleh pedang di tangan Ratu Siluman Muka Ayu. Tak dapat dibayangkan betapa gusar dan marahnya Jaka. Pedang Siluman Darah di tangannya seketika meneteskan darah dari ujungnya.
"Bedebah! Kau telah mendahului. Jangan salahkan kalau aku bertindak kejam! Hati-hatilah, hiat...!" Secepat angin Jaka berkelebat melompat, menyerang Ratu Siluman Muka Ayu yang segera memapakinya.
Trang...! Terkesiap Ratu Siluman Muka Ayu menyaksikan apa yang terjadi. Pedang pusaka di tangannya jatuh menjadi dua kala berbenturan dengan Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Melotot mata Dewi Ratu Siluman kaget.
"Hebat juga senjatamu, Anak muda. Tapi jangan berbangga dulu. Sebab aku belum kalah dan mungkin tak akan pernah kalah olehmu,"
"Sombong!"
"Hati-hatilah, Anak muda! Terimalah ini! Hiat...!" Dari tangan Dewi Kalandasan seketika memancar sinar merah membara yang mengejutkan Jaka hingga seketika dari mulutnya keluar gumaman:
"Hem... Ajian Tapak Bahana! Baik! Aku pun memilikinya. Hiat...!"
Jaka segera mengeluarkan Ajian Tapak Prahara hingga seketika tangannya berubah membara merah. Hal itu menjadikan Ratu Siluman Muka Ayu terbelalak menyaksikan pemuda musuhnya pun mempunyai ilmu seperti orang yang dicintainya sekaligus dibenci yaitu Eka Bilawa. Maka dengan seketika, Dewi Kalandasan atau Ratu Siluman Muka Ayu membentak bertanya.
"Ada hubungan apa kau dengan Eka Bilawa, Anak muda?"
"Aku adalah anaknya," menjawab Jaka makin membuat Ratu Siluman Muka Ayu membelalakkan matanya lebar-lebar. Seketika membatin Ratu Siluman Muka Ayu manakala tahu siapa sebenarnya pemuda di hadapannya.
"Pantas, kalau ia memiliki ilmu tersebut!"
Namun Dewi Kalandasan yang sudah dikuasai Iblis, tak segera menyadari. Bahkan dengan nekadnya ia kembali menyerang Jaka dengan ajian Segara Brahma. Dengan segera Jaka memapakinya dengan ajian Jamus Kalimusada, menjadikan dua kekuatan dahsyat beradu saat itu juga.
"Duar...!"
Jaka terdorong ke belakang lima tombak, sementara Ratu Siluman Muka Ayu terdorong tujuh tombak dengan muka memucat dan darah meleleh dari selasela bibirnya. Bersamaan dengan itu Loh Gamyar dapat membunuh ular siluman yang seketika berubah menjadi ujud manusia laki-laki setelah bertarung beberapa waktu lamanya.
Lelaki yang berubah dari ular raksasa itu berwajah sangat menakutkan dengan gigi-giginya yang runcing ke luar. Lelaki iblis itu seketika kembali menyerang Loh Gamyar. Namun kala lelaki itu hendak merenggut nyawa Loh Gamyar, seketika sebuah bayangan berkelebat menghantam tubuh laki-laki menakutkan itu yang seketika sempoyongan. Belum hilang rasa ngeri Loh Gamyar, terdengar seorang tua berkata memerintah:
"Tinggalkan tempat ini! Biar aku yang menghadapi mahluk siluman ini!"
Tanpa membuang waktu lagi, Loh Gamyar segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Lelaki tua itu kini tengah berhadap-hadapan dengan mahluk siluman yang telah tegak kembali dengan mata beringas memandang ke arah orang itu.
"Kenapa kau ikut campur, Ki Jagalaya? Apakah kau tak kasihan melihat istrimu?" berkata laki-laki siluman itu.
"Lebih kasihan kalau istriku selalu dipengaruhi olehmu. Maka untuk itulah aku turun ke dunia ramai lagi."
"Hem... kau memang lelaki tak tahu diri!" Habis berkata begitu, lelaki siluman itupun kembali menyerang. Hingga dengan segera Jagalaya pun berkelit dan balik menyerang. Pertarungan pun terjadi dengan serunya, membuat goncangan bangunan di situ apabila keduanya mengadu kesaktian.
Sementara itu Jaka tengah terus mendesak Ratu Siluman Muka Ayu. Dengan Pedang Siluman Darah di tangannya, membuat Jaka makin tampak di atas. Sementara Ratu Siluman Muka Ayu, kini makin terdesak oleh tebasan-tebasan Pedang Siluman Darah yang dilakukan Jaka. Hingga pada suatu kesempatan, Jaka dengan segera menebaskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Ratu Siluman Muka Ayu. Melengkinglah suara Ratu Siluman Muka Ayu seketika dengan tubuh terpotong jadi dua.
Dengan menahan sakit yang tak terkira, Ratu Siluman Muka Ayu berguling-guling di tanah. Tubuhnya yang terpotong kembali menyatu dan berubah. Mulutnya memanjang, kupingnya menghilang, kaki dan tangannya pun menghilang dan memanjang. Tubuh Ratu Siluman Muka Ayu berubah menjadi sosok tubuh yang melata, yang dengan segera berlalu pergi meninggalkan Jaka yang hanya terbengong-bengong heran. Di pihak lain Ki Jagalaya masih bertempur melawan Siluman Ular yang tampak masih memiliki tenaga walau telah beberapa kali dihantam dengan pukulan sakti Jagalaya.
Tengah keduanya bertarung, tampak seekor ular besar menjalar menuju ke arah mereka. Dari mulut ular itu mendesis dan terdengar suara seorang wanita berkata: "Kakang Jagalaya. Maafkanlah aku. Aku tak dapat kembali padamu. Kakang Welang, ayo kita pergi!"
"Kenapa kita harus pergi, istriku?" bertanya mahluk Siluman Ular itu pada ular yang menjalar. Sepertinya Welang tak ingin segera pergi dari tempat itu.
"Ayolah, Kakang! Di sini ada seorang pendekar keturunan Eka Bilawa. Kau tak akan mampu menghadapinya. Apabila sampai ia mengetahuinya, sungguh petaka bagimu."
Walaupun sudah diperingatkan oleh Ratu Siluman Muka Ayu, namun Welang nampaknya tak mau percaya begitu saja. Hingga apa yang dikatakan Ratu Siluman Muka Ayu menjadi kebenaran. Jaka yang sedari tadi mengikuti langkah ular jejadian itu sampai pula ke tempat itu.
"Cilaka, Kakang! Pemuda itu telah datang!"
"Hem... mau lari ke mana, kalian?" bertanya Jaka yang segera membabatkan Pedang Silumannya ke tubuh Siluman Ular yang tengah bertempur dengan Ki Jagalaya. Saking cepatnya tebasan itu tak dapat Siluman Ular mengelakkannya. Maka...!
"Aaahhh...!" menjeritlah Siluman Ular itu manakala Pedang Siluman Darah menebas tubuhnya. Seketika itu pula tubuhnya berubah pada ujud semula berbentuk ular. Mendesis-desis dan berlalu pergi dengan seketika.
Bersamaan dengan perginya kedua ular Siluman itu, lenyap pula lelaki tua di hadapan Jaka. Pedang Siluman Darah di tangan Jaka turut lenyap.
"Hei! Ke mana gerangan lelaki tua itu?"
"Anak muda! Aku mengucapkan terima kasih padamu karena kau telah membebaskan istriku. Kini aku tenang bertapa. Selamat tinggal, Anak muda!"
Jaka hanya diam mamatung sesaat. Setelah ingat akan Loh Gamyar dan Kala Peningasan, Jaka segera berkelebat mencari mereka. Tak begitu lama terdengar olehnya dua orang tengah bertempur. Maka dengan segera Jaka menemui mereka yang ternyata Wayan Saba dengan Kala Peningasan.
Melihat Jaka datang, dengan segera Kala Peningasan bersujud meminta ampun.
"Aku meminta ampun, Jaka. Sebenarnya bukan maksudku mencuri Kitab dan pusaka milik beberapa perguruan. Aku hanya diperintah oleh Sri Ratu Siluman Muka Ayu dengan imbalan aku mendapat pelayanannya setiap seminggu sekali."
Jaka hanya mampu menggelengkan kepalanya, sementara Loh Gamyar yang merasakan pelayanan Sri Ratu Siluman Muka Ayu atau Dewi Kalandasan bergidik setelah mengetahui siapa sebenarnya sang Ratu itu.
"Jadi aku telah tidur dengan ular? Pantas setiap kali main, selalu mendesis-desis. Oh ya, Jaka. Aku melihat sesuatu yang aneh di tempat itu."
Dengan diikuti Jaka dan Kala Peningasan, Loh Gamyar segera menuju ke suatu tempat di mana ia melihat sesuatu keganjilan. Terbelalak Jaka dan Kala Peningasan manakala melihat beberapa pemuda telanjang dengan kelamin hilang entah ke mana dan tubuh telah mati.
"Apakah kau juga tahu di mana Ratu Siluman itu menyimpan kitab-kitab yang kau curi, Kala?" bertanya Jaka, yang segera diangguki oleh Kala Peningasan.
Setelah mengambil kitab-kitab dan pusaka yang telah dicuri milik beberapa persilatan, Jaka segera berlalu meninggalkan Wayan Saba dan Kala Peningasan yang hanya terbengong-bengong keheranan. Demi menyaksikan betapa cepatnya Jaka hilang dari pandangannya, hingga keduanya hanya mampu saling pandang.

S E L E S A I

TITISAN BUDAK IBLIS


INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Pendekar Pedang Siluman Darah --oo0oo-- Titisan Budak Iblis


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.