Titisan Budak Iblis
tanztj
May 20, 2010
INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu --oo0oo-- Memburu Bah Jenar |
JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : TITISAN BUDAK IBLIS
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : TITISAN BUDAK IBLIS
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
"Apakah aku akan selamanya menganggap ini? Sementara anak-anak dan istriku selalu meminta kemakmuran dan harta yang lebih? Ah, haruskah aku selalu mengalah? Tidak! Aku harus mampu mengubah nasibku," desisnya dalam hati.
Ditatapnya sesaat rumah yang sudah sepuluh tahun di huni bersama istri dan anak-anak. Lalu dengan langkah gontai, lelaki itu berjalan pergi meninggalkan Rumah. Tanpa tujuan yang pasti, lelaki itu terus berjalan dalam remang-remang pagi. Sampai terasa terasa telah berada di hutan. Suara-suara binatang hutan yang ia lewati takkan membuatnya mundur. Diteruskannya langkah, ditentukannya hati.
"Terus... Langkahkan kakimu ke Arah Selatan. Di sana kau pasti akan mendapatkan semua yang selama ini kau impikan." Terdengar suara seseorang berbisik.
Lelaki itu seketika menghentikan langkahnya. Dicarinya suara itu, namun tak ditemuinya orang lain selain dirinya sendiri dan pohon-pohon di tengah hutan yang ia lewati.
"Siapa kau? Kenapa kau menyuruhku untuk terus melangkah ke Selatan? Kalau kau mau menolongku, katakanlah tempat yang kau tunjukkan itu," ucap lelaki itu pada pepohonan di hadapannya.
"Kebo Pangasan, kau dengar suara ku...?" bertanya suara itu pada lelaki yang berjalan sendiri itu.
Kebo Pangasan tersentak kaget ketika namanya diketahui oleh orang yang bersuara itu yang belum juga menampakkan ujudnya.
Melihat Kebo Pangasan terkejut, kembali terdengar suara itu bergema.
"Jangan kau kaget, Kebo Pangasan. Setiap orang yang melewati hutan ini aku pasti tahu maksudnya. Bukankah kau ingin mempunyai ilmu yang tinggi yang tak ada tandingannya? Dan bukankah kau ingin hidup bahagia tanpa capai-capai bekerja?"
Makin terkejut saja Kebo Pangasan mendengar ucapan orang tanpa ujud yang sepertinya tahu segala apa yang ada dalam hatinya. Padahal niatnya untuk dapat memiliki ilmu yang tinggi dan ingin dapat kebahagiaan hanya dalam hatinya saja. Belum habis rasa kaget di hati Kebo Pangasan. Terdengar kembali suara orang yang belum menampakkan dirinya berkata: "Sudah aku katakan bahwa siapa yang melewati daerah ini, aku akan mengetahui maksudnya, Pangasan."
"Siapa kau?" bertanya Kebo Pangasan sembari memandang sekelilingnya mencari orang yang bersuara itu.
"Hua, ha, ha. Akulah penghuni kegelapan! Akulah Ki Budak Iblis pemilik Ajian Karang Kikir!"
"Jadi, jadi. Kau, kau...." berkata terbata-bata Kebo Pangasan setelah mendengar orang yang bersuara itu menyebut namanya.
Yang kembali terdengar suaranya memotong ucapan Kebo Pangasan.
"Ya, akulah Ki Budak Iblis penghuni kegelapan. Apakah tekadmu telah bulat, Kebo Pangasan?"
"Benar, Ki. Tekadku untuk menjadi orang sakti dan selalu dikelilingi kebahagiaan telah bulat di hati," menjawab Kebo Pangasan tanpa pikir panjang lagi.
"Bagus! Sekarang berjalanlah terus ke arah Selatan dan jangan menengok ke belakang lagi. Nanti bila kau menemukan sebuah rumah yang tampak angker, masuklah kau ke situ. Di situ akan kau temui sebuah makam yang di atasnya tertancap sebatang tongkat Bambu Kuning. Cabutlah tongkat itu. Maka saat itu pula, kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan," berkata Ki Budak Iblis memberi petunjuk.
"Mulai hari ini dan setelah kau menjalankan tugasmu mencabut bambu kuning yang di atas makam itu maka aku akan masuk ke dalam dirimu. Lakukan...!"
"Baik, guru. Hamba akan selalu menurut perintah guru," menjawab Kebo Pangasan sembari menjura hormat.
Terdengarlah kembali gelak tawa dari Ki Budak Iblis demi melihat Kebo Pangasan memanggil guru.
"Ha, ha, ha. Bagus-bagus! Nah, laksanakanlah apa yang telah kuperintahkan!"
Bagai seorang yang kena sihir, Kebo Pangasan pun segera menurut melangkah menuju tempat yang telah diberitahukan oleh Ki Budak Iblis. Sudah cukup jauh Kebo Pangasan melangkah menuruti apa yang dikatakan Ki Budak Iblis. Tampak keringatnya meleleh di kedua pelipisnya walau udara saat itu masih sejuk. Sedang Kebo Pangasan berjalan, terdengar kembali suara Ki Budak Iblis berkata: "Kebo Pangasan, setelah kau sampai di tempat yang aku katakan, jangan sekaligus kau cabut bambu kuning itu. Tapi tunggulah sampai hari menjelang malam."
"Mengapa?" bertanya Kebo Pangasan tak mengerti.
"Jangan banyak tanya! Kau harus menurut padaku sebab jiwamu kini telah aku kuasai, mengerti!" membentak Ki Budak Iblis.
Kebo Pangasan pun menurut dan berkata: "Ampun, guru. Hamba tidak sekalikali melanggar perintah guru."
"Bagus! Memang kaulah yang bakalan menjadi muridku yang setia. Yang kelak akan mewarisi ilmu-ilmuku. Kelak kau tak akan ada tandingannya di jagad raya ini. Kau akan merajai dunia persilatan dan tak akan bisa mati. Ha, ha, ha!" Suara itu menggema di antara pepohonan hutan. Membuat suasana menjadi seram menakutkan. Binatang-binatang hutan pun seketika beterbangan seperti di gebyar dari tidurnya.
Pagi telah datang ketika istri Kebo Pangasan bangun dari tidurnya. Ia tak mendapatkan lagi sang suami. Maka dengan segera istri Kebo Pangasan lari ke luar untuk mencarinya, yang biasanya duduk di serambi muka bila pagi-pagi begini. Namun orang yang dicarinya ternyata tak ada. Membuat hatinya seketika gundah dan bertanya-tanya.
"Ke mana Kakang Kebo Pangasan?"
"Kakang Kebo Pangasan! Di mana kau, Kakang?!" berseru istri Kebo Pangasan sembari mencari-cari suaminya. Dicarinya ke sekeliling rumah, namun tak ditemukannya. Segera ia berlari menuju ladang tempat suaminya bekerja. Namun kembali tak ditemukannya. Dengan menjerit-jerit, ia pun segera meminta tolong pada tetangga-tetangganya yang seketika terbangun dan berhamburan datang sembari bertanya.
"Ada apa gerangan, Juminten?"
"Suamiku hilang," menjawab Juminten dengan wajah pucat dan bingung.
Terbelalak mata orang-orang itu mendengar ucapan Juminten, seraya bertanya kaget.
"Apa? Hilang? Bagaimana mungkin orang setua dia hilang?"
Maka dengan segera kentongan tanda bahaya segera dibunyikan sehingga mengundang semua penduduk kampung itu datang. Dengan dikomando oleh ketua kampung, warga desa pun segera mencarinya. Matahari di ufuk Timur tampak merona merah pertanda hari telah menginjak siang. Namun sejauh itu Kebo Pangasan tak ditemukan juga membuat desas-desus di antara para warga. Desa pun ramai.
"Jangan-jangan Kebo Pangasan diculik," berkata salah seorang dari warga desa membuka desas-desus itu.
"Ah! Kau, Jang. Untuk apa menculik Kebo Pangasan? Toh tak ada yang dapat diambil darinya," berkata yang lainnya tak percaya.
"Lho, Kang Jumad tidak mengerti. Maksudku bukan diculik orang," berkata Ujang tak mau kalah.
Membuat Jumad mengernyitkan alis matanya dan bertanya.
"Maksudmu, diculik apa?"
"Itu lho, Kang, Dedemit yang suka usilan," menjawab Ujang kalem.
"Ooh... ya ya. Lalu untuk apa?" bertanya yang lain ingin tahu. Yang rupanya tertarik oleh omongan Ujang.
"Mana aku tahu. Tanyakan saja pada Dedemit itu," menjawab Ujang kembali sekenanya membuat yang mendengar terbelalak.
Saat itu juga, ucapan Ujang pun menyebar ke seluruh pelosok desa. Orang-orang pun ramai membicarakannya, dari satu mulut ke mulut yang lain. Apalagi ibu-ibu, dalam sekejap saja saling membicarakannya sembari ngobrol dengan tetangga.
Sementara itu, Kebo Pangasan yang digegerkan oleh penduduk kampungnya hilang. Tampak masih berjalan menuju arah Selatan mengikuti Ki Budak Iblis.
Matahari telah tampak ketika Kebo Pangasan tiba di sebuah rumah. Rumah itu kosong dan terpencil dari keramaian dan dengan keadaan yang sangat mengerikan, gelap danbbau. Di sana sini terdapat sarang laba-laba besar dan kotoran-kotoran kelelawar yang bersarang di situ.
Ketika Kebo Pangasan masuk, seketika ratusan ekor kelelawar beterbangan dari sarangnya. Sepertinya kedatangan Kebo Pangasan telah mengganggu ketenangan tidurnya. Kelelawar-kelelawar itu terbang berserabutan sampai-sampai ada yang menabrak muka Kebo Pangasan.
"Kelelawar iblis, sialan!" memaki Kebo Pangasan sembari menepiskan hewan malam itu hingga terpental jatuh ke tanah dan mati. Habis Kebo Pangasan memaki-maki, terdengar suara membentaknya: "Kau bilang apa!"
Terbelalak mata Kebo Pangasan saking terperanjatnya. Seketika itu pula mukanya pucat pasi. Lalu dengan terbata-bata karena takut, Kebo Pangasan pun berkata meminta maaf.
"Ampun, Guru. Hamba tidak sengaja mengatakannya karena hamba tidak mengerti. Semoga guru mau mengampuninya."
"Ingat! Kau untuk selamanya tidak boleh mengucapkan kata itu untuk memaki. Sebab kau sendiri adalah pengikutnya. Mengerti, Pangasan?"
"Hamba mengerti, Guru," Kebo Pangasan masih ketakutan.
"Kebo Pangasan, hari ini juga sampai matahari terbenam lakukanlah olehmu Tapa Brata."
"Di mana hamba melakukannya?" bertanya Kebo Pangasan.
"Lakukanlah di depan makam itu!"
Dengan merunduk-runduk Kebo Pangasan segera menuju ke depan makam, tepatnya di depan sebatang bambu kuning yang tertancap di atas makam itu. Dengan menyilangkan kedua tangannya bersidekap serta kedua kakinya dilipat Kebo Pangasan pun segera mengheningkan cipta. Dipusatkannya segenap panca indra pada satu tujuan, yaitu ketenangan batin dan kekokohan niatnya untuk menjadi orang yang tersakti di muka bumi ini.
Mentari telah condong ke Barat pertanda sore pun tiba. Detik-detik menegangkan sesaat lagi akan datang. Bersamaan burung-burung pulang ke sarangnya. Kembali terdengar suara Ki Budak Iblis berkata memerintah.
"Bangunlah, Kebo Pangasan! Laksanakan tugas mu. Cabut bambu yang menghunjam di atas makam. Lakukanlah...!" Suara perintah itu bergema berulang-ulang yang menjadikan Kebo Pangasan bagai seekor kerbau, menurut bangkit dari duduknya dengan mata memandang pada bambu kuning yang menancap di atas makam. Sesaat hatinya bergetar. Sepertinya ada kekuatan aneh yang terpancar dari bambu kuning itu membuat Kebo Pangasan terdiam mematung tanpa dapat berbuat apa-apa.
Bambu itu mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata Kebo Pangasan, sehingga Kebo Pangasan seketika menutup matanya dengan tangan. Gejolak penasaran antara ucapan yang merupakan perintah iblis, berperang dengan suara lain yang entah dari mana datangnya.
"Jangan kau lakukan itu, Kebo Pangasan!"
"Lakukanlah, Kebo Pangasan! Bukankah kau ingin menjadi orang yang tersakti di dunia persilatan? Dan bukankah kau ingin hidup bergelimpangan dengan kebahagiaan? Ayo. Lakukanlah!"
"Jangan kau ikuti ucapannya, pergilah segera! Anak dan istrimu telah menantimu. Mereka akan bahagia lahir dan batin bila kau mencari rejeki di jalan Tuhan. Pergilah!"
"Bodoh, kalau kau pergi! Tak akan ada kesempatan lain seperti ini selama dalam hidupmu. Lakukanlah!"
Akhirnya dengan tangan gemetar dan dada bergemuruh tak menentu, dicabutnya bambu kuning yang menancap di atas makam itu. Bersamaan dengan tercabutnya bambu kuning, seketika keluarlah ledakan dari dalam makam. Hingga saking kagetnya, Kebo Pangasan terpental ke belakang dengan kepala membentur tembok. Dari dalam makam yang meledak keluar sesosok tubuh lelaki kurus kering tak ubahnya bagai mayat hidup.
"Hua, ha, ha! Aku kini telah bebas, telah bebas! Cita-citaku untuk merajai dunia persilatan, akhirnya akan terwujud," berkata lelaki tua berbadan kurus kering yang baru keluar dari makam. Menjadikan bulu kuduk Kebo Pangasan seketika merinding berdiri. Ketakutannya makin bertambah, manakala melihat lelaki tua di hadapannya memandang ke arahnya dengan sorot mata tajam.
"Buang bambu sialan itu, Kebo Pangasan!" katanya kemudian menyuruh pada Kebo Pangasan.
Bagai terhipnotis tanpa daya untuk melawan atau menentang, Kebo Pangasan pun menurut. Segera dibuangnya bambu kuning itu jauh-jauh membuat lelaki tua yang baru saja keluar dari makam itu kembali tertawa bergelak-gelak senang melihat Kebo Pangasan menuruti membuang bambu kuning yang sedari tadi digenggamnya.
Perlahan lelaki tua itu mendekati Kebo Pangasan yang masih terdiam membisu penuh ketakutan.
"Kebo Pangasan, kau tak perlu takut padaku sebab sebentar lagi aku akan menitis di badanmu. Aku akan meminjam badanmu demi cita-citaku menguasai dunia persilatan," berkata Ki Budak Iblis sembari tertawa bergelak-gelak.
Melihat Kebo Pangasan masih terdiam. Kembali Ki Budak Iblis berkata dengan nada suaranya agak merendah.
"Kebo Pangasan, sebelum aku menitis pada tubuhmu, perlu aku beritahukan sesuatu padamu, dengarlah! Pertama, dengan menitisnya tubuhku ke tubuh mu maka kau akan menjadi orang yang tersakti di jagad raya ini. Kedua setiap bulan purnama kau harus mendapatkan seorang gadis!"
"Untuk apa gadis itu, Guru?" bertanya Kebo Pangasan belum mengerti setelah sekian lama terdiam dalam ketakutan dan keterkejutannya.
Mendengar pertanyaan Kebo Pangasan, Ki Budak iblis kembali berkata: "Setelah kau jadikan pemuas nafsumu, maka segeralah kau korbankan gadis itu untuk penguasa puncak iblis. Bila kau setiap bulan purnama mengadakan persetubuhan dengan seorang gadis maka kau akan makin tinggi ilmunya serta awet muda. Ketiga... jangan sekali-kali kau mengucapkan sekutumu untuk mencaci maki sebab hal itu akan menjadikan murkanya. Kau mengerti, Kebo Pangasan?"
"Mengerti, Guru. Guru...." berkata Kebo Pangasan terputus.
Membuat Ki Budak Iblis mengernyitkan alis matanya dan bertanya.
"Ada apa, Kebo Pangasan? Apakah kau tak sanggup melakukannya?"
"Bukan itu, Guru. Hamba sanggup melakukan apa yang menjadi perintah guru. Tapi, bolehkah hamba tahu...?" kembali Kebo Pangasan tak meneruskan ucapannya. Takut kalau-kalau gurunya murka bila mendengar pertanyaannya.
Sang guru yang mengerti keraguan di hati Kebo Pangasan segera bertanya dengan nada pelan.
"Katakanlah, kau mau bertanya tentang apa?"
"Ampun, Guru. Sedari tadi hamba berpikir, kenapa guru yang sesakti ini harus terkubur hidup-hidup? Lalu siapakah orangnya yang telah memperdayai guru?"
Ki Budak Iblis bergelak tawa demi mendengar pertanyaan Kebo Pangasan yang dirasakannya sangat baik. Lalu setelah tawanya reda, Ki Budak Iblis pun segera menceritakannya: "Dulu... Kira-kira seratus tahun yang silam, aku adalah seorang pemuda yang berkemauan keras sepertimu, ingin merajai dunia persilatan. Aku benci dan dendam pada orang-orang persilatan dari golongan lurus yang telah membunuh kedua orang tuaku karena kesalahpahaman. Orang tuaku difitnah oleh orang-orang persilatan bahwa orang tuakulah yang telah membuat keonaran di dunia persilatan...."
Sesaat Ki Budak Iblis terdiam. Di wajahnya yang angker tampak kesedihan yang mendalam manakala kembali mengingat keadaan dirinya seratus tahun yang silam. Kebo Pangasan pun turut terdiam. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya untuk bertanya ataupun berkatakata. Ia pun seakan terbawa oleh cerita yang tengah dibeberkan oleh gurunya tentang kehidupan sewaktu muda. Setelah menghela nafas dalam-dalam, Ki Budak Iblis meneruskan ceritanya: "Melihat kedua orang tuaku dibunuh dengan sadisnya. Saat itu pula aku benci dan dendam pada kaum golongan putih. Maka dengan tekad yang kuat, aku pun segera berkelana mencari seorang guru yang sakti yang mampu memberi ilmu yang tinggi. Hingga pada suatu ketika aka menemukan seorang tokoh silat dari golongan hitam yang sakti, yang mana setelah kuketahui ternyata tokoh itulah yang telah membuat keonaran di dunia persilatan. Setelah aku diterima sebagai muridnya. Maka aku pun giat berlatih ilmu silat dan ilmu kesaktian yang diajarkan olehnya. Hingga pada suatu ketika sepak terjang guruku akhirnya diketahui oleh tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Guruku pun saat itu juga dibunuh. Tapi sebelum beliau wafat, beliau berpesan padaku untuk mempelajari sebuah Kitab yang sampai beliau wafat belum beliau pelajari."
Sesaat kembali Ki Budak Iblis menghentikan ucapannya. Memandang pada Kebo Pangasan yang memilih diam tanpa banyak bicara.
"Ajian yang ada pada buku itu, bernama Aji Karang Kikir. Barang siapa yang mampu menjalankannya maka ia akan menjadi orang yang sakti. Tidak bisa mati atau luka oleh senjata maupun ilmu macam apapun. Bilapun mati, tubuhnya tak akan hancur sampai kapanpun. Dia juga akan dapat hidup bila lidah petir menyambar di atas makamnya."
Mendengar cerita gurunya, tanpa disadari Kebo Pangasan berkata menggumam: "Ilmu yang aneh dan langka."
"Benar! Ilmu yang aneh dan langka," berkata Ki Budak Iblis membenarkannya ucapan Kebo Pangasan. Kemudian Ki Budak Iblis pun kembali meneruskan ceritanya: "Karena ilmu itu begitu hebat. Maka dengan giat dan semangat untuk dapat menuntut balas kematian kedua orang tuaku, aku segera mempelajarinya. Setelah ilmu itu aku kuasai, aku segera turun gunung untuk mencari orang-orang yang telah membunuh dan memfitnah kedua orang tuaku. Sesaat itu juga dunia persilatan dapat aku kuasai dengan cepat. Semua kaum persilatan dari golongan hitam memihak dan menjadi pengikutku. Kamipun seketika menjadi momok orang-orang persilatan. Sepak terjang kami yang ganas dan liar membuat kaum persilatan golongan lurus mencoba menghalangi. Tak satupun dari mereka yang dapat mengalahkanku. Sebab dengan ajian Karang Kikir aku tak akan mempan dengan segala macam pusaka ataupun ajian apapun. Suatu hari, datang ke tempatku seorang pemuda yang bernama Ki Bayong. Ia diutus oleh para tokoh golongan lurus untuk menyadarkan atau membunuhku. Memang, saat itu di dunia persilatan ada dua tokoh silat yang kesaktiannya sukar untuk ditandingi. Pertama aku dan yang seorang lagi seorang pemuda yang bernama Bayong Sulaya. Yang merupakan salah satu dari empat pendekar."
Kembali Ki Budak Iblis terdiam menghela nafas. Matanya memandang pada Kebo Pangasan yang masih terdiam bagai tak berhasrat untuk bertanya maupun berkata-kata. Melihat Kebo Pangasan terdiam dan hanya mendengarkan ucapannya. Maka Ki Budak Iblis pun melanjutkan ceritanya: "Akhirnya, setelah kami tak dapat menyatukan jalan dan cara-cara kami, kami pun bertarung. Tadinya aku tak mengira kalau pemuda yang menantangku itu akan dapat mengimbangi ilmuku. Bahkan dia dapat mendesakku terus menerus. Hingga suatu ketika dia menghantamkan ajian Petir Sewu. Waktu itu aku cukup ngeri demi melihat api keluar dari kedua tangannya dan membakar tubuhku. Namun kengerianku seketika lenyap saat tubuhku ternyata tak terbakar secuilpun. Merasa ajiannya tak mempan, dia kembali menghantamku dengan ajian lain yang bernama Jamus Kalima Sada. Ajian itu benar-benar dahsyat, hingga aku pingsan dibuatnya. Ketika aku pingsan, secara hidup-hidup aku dilemparkan ke dalam sumur yang kemudian diurugnya dengan tanah dan dikunci dengan tongkat bambu kuning yang telah dimantra-mantrai."
"Kalau begitu bambu kuning merupakan penangkal ajian Karang Kikir, Guru?" bertanya Kebo Pangasan.
"Benar! Dan perlu kau ingat bahwa hanya keturunan Sidik Paningal sajalah yang mampu mengalahkan. Maka itu, apa bila kau bertemu dengan muridnya lebih baik kau menyingkir saja. Jangan sekali-kali mencoba melawannya. Percuma," menerangkan Ki Budak Iblis.
"Ciri-ciri pewaris ilmu Ki Bayong, setahuku memiliki sebuah senjata aneh yaitu sebuah Pedang Siluman. Dan karena kehebatan pedang itu hingga ia bergelar Pendekar Pedang Siluman Darah dari kawah Chandra Bilawa."
"Akan hamba ingat apa yang menjadi pesan guru," berkata Kebo Pangasan.
"Kebo Pangasan, bersiaplah! Kita akan menjadi satu kesatuan. Maka pusatkan segalanya pada satu tujuan hingga penyatuan ini tak mengalami hambatan."
Habis berkata begitu, Ki Budak Iblis segera mengheningkan cipta yang diikuti Kebo Pangasan yang turut mengheningkan cipta. Diaturnya pernafasan dengan mata terpejam sepertinya telah siap menerima penitisan itu. Tak berapa lama kemudian dari tubuh Ki Budak Iblis tampak keluar asap hitam bergulung-gulung masuk ke tubuh Kebo Pangasan. Ki Budak Iblis pun hilang.
Mata Kebo Pangasan yang habis terpejam perlahan-lahan terbuka. Perlahan-lahan nampak pula perubahan terjadi pada diri Kebo Pangasan. Matanya yang tadinya sayu berubah menjadi merah membara bagaikan mengandung api. Mata yang membara itu sesaat memandang pada makam di hadapannya. Lalu dengan tertawa bergelak-gelak Kebo Pangasan berkelebat meninggalkan rumah itu.
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
Tampak seorang gadis tengah berlari dengan wajah pucat dan napas memburu cepat. Sepertinya gadis itu tengah dikejar oleh seorang. Gadis itu makin pucat ketakutan manakala dua orang lelaki di belakangnya makin dekat. Gadis itu tersentak menghentikan langkahnya kala salah seorang lelaki pengejarnya tiba-tiba telah berdiri menghadang di depannya dengan senyum sinis.
"Hem, bukankah sudah aku katakan. Lebih baik kau serahkan benda itu daripada bermain kucing-kucingan seperti ini!" berkata seorang dari dua lelaki itu.
"Huh! Sudah kukatakan, kitab itu tidak berada di tanganku. Kenapa kalian tak mau percaya?" Mendengus sang gadis sengit.
"Jangan kau bohongi kami! Kami tahu bahwa kaulah pencuri kitab Siung Balung milik perguruan Kate Sakti. Kenapa kau masih mungkir?" Lelaki satunya yang baru datang turut berkata.
"Benar, Nona. Mengakulah dan serahkan kitab itu pada kami. Niscaya kami akan mengampunimu," menimpali orang pertama berkata.
Mendengar ucapan kedua lelaki yang mengejarnya, gadis itu melototkan mata sembari membentak: "Kalian orang-orang Naga Branjangan yang terkenal sebagai orang-orang yang gagah. Semestinya kalian mengerti tata krama persilatan dan menjunjung tinggi kebenaran! Mengapa kalian tak mau mempercayai ucapanku? Aku tak merasa mengambil kitab Siung Balung milik perguruan Kate Sakti! Kalian salah terka!"
Namun tampaknya kedua Naga Branjangan itu tak mau percaya. Maka dengan sinis salah seorang dari kedua Naga Branjangan itu kembali berkata: "Nona! Jangan kau coba-coba mendustai kami. Kami tahu pasti bahwa kau yang malam itu telah ke luar dari perguruan Kate Sakti. Kami yakin kaulah yang telah mencuri kitab pusaka itu."
Wajah gadis itu seketika merah membara saking marahnya. Lalu dengan membentak gadis itu berkata: "Naga Branjangan! Kalau kalian tak mau percaya padaku, lalu kalian mau percaya pada siapa? Tak kusangka, orang-orang Naga Branjangan yang terkenal bijaksana ternyata tak lebih dari orang-orang pengecut dan tak tahu diri. Apakah dengan perbuatan kalian ingin merebut Kitab Pusaka Kate Sakti nama kalian tidak akan buruk?"
Mendengar ucapan tajam sang gadis yang terasa bagai Kala yang menyengat. Seketika wajah kedua Naga Branjangan merah padam. Dari mulut mereka membersit dengusan marah dan salah seorang dari mereka berkata: "Hem, rupanya kau masih ingin menipu kami dengan mulutmu yang berbisa. Ingat! Kami tak akan segan-segan menurunkan tangan bila kau tak mau segera menyerahkan kitab itu."
Tersenyum sinis sang gadis mendengar gertakan salah seorang dari kedua Naga Branjangan. Lalu dengan tersenyum sinis gadis itu pun berkata: "Naga Branjangan! Kalau kalian tak mau percaya padaku, aku pun tak ingin banyak mulut dengan kalian. Sekarang enyahlah dari sini sebab aku tak membawa apa yang kalian kehendaki."
"Perempuan iblis! Apa hakmu mengusir kami! Kami tak akan pergi sebelum kau serahkan kitab itu. Cepat serahkan atau kami terpaksa bertindak dengan kekerasan!" membentak salah seorang dari Naga Branjangan yang berwajah lonjong seperti ular. Sementara seorang lagi tampak mencibirkan bibirnya mengejek.
Walaupun dirinya tengah menghadapi orang-orang yang sudah terkenal di dunia persilatan. Namun gadis itu tak bergeming dengan keputusannya. Maka setelah tersenyum dingin, gadis itu membentak.
"Sudah aku bilang! Bahwa apa yang kalian maksudkan tak ada padaku. Kalau kalian ingin memakai kekerasan. Silahkan! Aku Dewi Rambi, tak akan mundur setapakpun menghadapi kalian!"
Melotot mata kedua Naga Branjangan mendengar ucapan si gadis itu. Lalu dengan mendengus Naga Branjangan Muda berkata: "Kakang Naga Merah, rupanya dia lebih memilih kita memakai kekerasan ketimbang menyerahkan kitab itu. Bagaimana, Kakang?"
Setelah menarik napas sesaat, Naga Merah pun akhirnya berkata: "Memang! Tapi aku rasa tak pantas bila kita mengeroyoknya, Adik. Maka lebih baik kau sendiri sajalah yang memberi pelajaran agar dia sadar siapa kita adanya."
"Kenapa mesti satu-satu? Kalian maju barengpun aku tak akan gentar. Ayo, majulah kalian bareng agar dengan segera dapat kuselesaikan," berkata Dewi Rambi dengan senyum sinis mengejek. Membuat kedua Naga Branjangan makin bertambah marah.
"Setan alas! Jangan sombong, Kuntilanak!" memaki Naga Merah sembari mengegoskan kepalanya. Hal itu merupakan suatu isyarat bagi adiknya yang dengan segera bergerak menyerang Dewi Rambi didahului bentakan makian.
"Waspadalah. Hiat...!"
Dewi Rambi yang telah waspada dengan segera mengegoskan tubuhnya sedikit mengelak, hingga serangan Naga Muda yang kencang dan keras hanya mendapatkan angin belaka. Merasa serangannya tak mengena, makin marahlah Naga Branjangan Muda. Diserangnya Dewi Rambi kembali dengan tak tanggung-tanggung menggunakan jurus Naga Membelah Bumi. Tangan Naga Muda bergerak dengan cepatnya membuat Dewi Rambi bingung manakala melihat tangan Naga Muda tiba-tiba berjumlah banyak merangsek menyerangnya "Wuut!, Wuut! Wuut...!"
Dewi Rambi tersentak sesaat manakala tangan Naga Muda hendak menjamah buah dadanya. Lalu dengan menepiskan dengan tangannya Dewi Rambi segera mengelak. Namun ternyata serangan yang dilancarkan oleh Naga Muda barusan ternyata tipuan belaka untuk memancing Dewi Rambi. Serangan sebenarnya datang manakala Dewi Rambi berkelit. Hingga...! "Wuut! Plak!"
Sebuah tamparan tangan kiri Naga Muda tak mampu dielakkan oleh Dewi Rambi. Maka tak ayal lagi Dewi Rambi pun seketika terhuyung ke belakang dengan pipi merah tergurat tangan Naga Muda.
Tersentak Jaka melihat hal itu, sehingga matanya membeliak. Namun ketika ia bermaksud melompat turun untuk membantu, diurungkan niatnya manakala melihat Dewi Rambi telah berdiri dan siap bertarung lagi.
Dengan amarah yang meluap di dadanya. Dewi Rambi seketika menjerit dan menyerang Naga Muda dengan bertubi-tubi. Serangannya tampak ganas dengan jurus-jurus yang sukar diterka oleh Naga Muda. Serangan Dewi Rambi sangat berbahaya, karena yang diincarnya jantung lawan. Tak lama kemudian, Naga Muda menjerit manakala tangan Dewi Rambi yang kecil dan lembut menghantam telak ulu hatinya. Tubuh Naga Muda terhuyung dan ambruk ke tanah dengan mulut melelehkan darah.
Demi melihat Naga Muda terluka, tak ayal lagi Naga Merah gusar dan marah. Didahului dengan pekikkan, Naga Merah segera berkelebat cepat menyerang Dewi Rambi. Pertarungan kembali terjadi yang kali ini makin seru. Keduanya sama-sama tangguh dan lincah.
Melihat musuhnya sukar untuk dijatuhkan, Naga Merah segera menggunakan jurus Naga Mabok. Lalu dengan terlebih dahulu memekik, Naga Merah kembali menyerang. Tangannya bergerak begitu cepat. Menjadikan Dewi Rambi hanya dapat bertahan dan mengelak tanpa dapat membalas sekalipun.
Ketika sebuah pukulan dahsyat yang bernama Ekor Naga Menghantam Karang hendak menghantam Dewi Rambi, saat itu juga Naga Merah memekik. Tangan yang hampir menjamah tubuh Dewi Rambi segera ditarik kembali.
"Iblis laknat! Siapa yang telah membokong!" berseru Naga Merah penuh marah sembari mencari orangnya.
Ketika Naga Merah lengah dengan keras dihantamnya tengkuk Naga Merah oleh Dewi Rambi. Menjadikan Naga Merah itu pingsan seketika. Melihat musuhnya sudah tak berdaya, Dewi Rambi bermaksud menghabisi nyawa Naga Merah. Tapi sebelum hal itu terlaksana. Tiba-tiba terdengar suara bentakan.
"Jangan...!" Bareng dengan habisnya suara itu tahu-tahu seseorang pemuda telah berdiri di hadapannya.
Tersentak kaget Dewi Rambi hingga niatnya untuk membunuh Naga Merah menjadi urung. Ditatapnya pemuda yang berdiri di hadapannya. Pemuda itu menyunggingkan senyum membuat Dewi Rambi membelalakkan matanya marah. Dengan nada ketus Dewi Rambi pun bertanya: "Siapa kau! Mengapa mencampuri urusanku?!"
Mendengar pertanyaan Dewi Rambi yang ketus dan galak, pemuda itu makin melebarkan senyumnya.
"Galak amat, Nona? Maaf. Bukannya aku ingin mencampuri urusanmu, Nona. Tapi aku tak ingin kau membunuh musuhmu yang tak berdaya!"
"Itu urusanku! Karena bila mereka tak kubunuh. Merekalah yang akan membunuhku," berkata Dewi Rambi kesal.
"Aku rasa tidak, Nona. Sebab mereka sebenarnya hanya menginginkan kitab pusaka itu saja. Apakah mereka mengatakannya benar?"
"Siapa kau? Mengapa kau membela kedua Naga Branjangan?"
"Aku tak membela siapa-siapa. Tidak kedua orang itu, atau pun kau. Tapi, aku tak suka bila ada orang yang hendak membunuh musuhnya yang sudah tak berdaya. Karena sifat itu adalah sifat seorang pengecut. Nah, Dewi Rambi. Kalau kau memang benar-benar telah mencuri kita pusaka milik Kate Sakti. Kenapa kau tak mengembalikannya? Bukankah ilmu itu tak berguna bagimu?" berkata Jaka dengan tenangnya serta penuh selidik.
Dewi Rambi sesaat terdiam. Matanya memandang tajam pada Jaka. Tak terasa, tiba-tiba muncul sebersit rasa yang aneh di hati Dewi Rambi. Perasaan itu menimbulkan sesuatu hasrat yang besar, hasrat ingin mengatakannya. Perlahan dengan bibir bergetar, Dewi Kambi berkata lembut: "Apakah kau juga menuduhku mencuri kitab itu? Sedangkan aku sendiri tidak mengerti buku macam apa?" Wajah Dewi Rambi pun kelihatan sendu. Hampir saja ia menangis kalau Jaka tak segera berkata: "Sudahlah, Dewi Rambi. Kalau kau tidak merasa mencurinya. Lalu siapa sebenarnya pencuri dan pemilik kitab itu? Aku dengar tadi kedua Naga Branjangan itu menyebut nama Kate. Siapa pula mereka?"
Entah perasaan apa yang tumbuh di hatinya, Dewi Rambi seakan bahagia berbicara dengan Jaka. Maka dengan tak sungkan lagi, Dewi Rambi pun segera menceritakan hal mula mengapa dirinya dikejar-kejar oleh kedua Naga Branjangan. Juga tentang siapa pemilik kitab Kate Sakti. Sedangkan pencurinya, Dewi Rambi tidak mengetahui.
"Begitulah. Karena aku baru saja keluar dari perguruan Kate Sakti, kedua Naga Branjangan menyangka akulah pencurinya. Padahal aku datang ke situ karena mengemban tugas dari guruku," kata Dewi Rambi menjelaskan.
"Hem, kalau begitu kalian telah salah paham?" bergumam Jaka.
"Benar..."
Kedua Naga Branjangan yang telah terbangun dari pingsannya, seketika hendak menyerang Dewi Rambi. Dengan segera Jaka mencegahnya.
"Tunggu!"
Kedua Naga Branjangan tersentak dan tak jadi meneruskan serangannya. Kedua Naga Branjangan terkesiap kaget demi dilihatnya telah ada orang lain di antara mereka yang telah mencegahnya.
"Siapa kau! Mengapa kau bermaksud melindungi iblis perempuan itu?" Naga Merah tahu siapa orang yang kini tengah berdiri di hadapannya. Ia yakin bahwa orang itulah yang tadi menghantamnya dengan buah mangga.
"Ki sanak, aku tak bermaksud melindungi gadis di belakangku. Namun perlu kalian ketahui bahwa kalian telah salah tuduh," berkata Jaka dengan penuh ketenangan dan kesabaran.
Sementara Dewi Rambi tampak sedikit tegang, takut kalau-kalau anak muda yang membelanya akan menjadi sasaran kemarahan kedua Naga Branjangan.
Kedua Naga Branjangan seketika saling pandang demi mendengar ucapan Jaka, kemudian Naga Merah pun bertanya: "Dari mana kau tahu bahwa kami salah tuduh, Anak muda?"
Jaka sesaat tersenyum sembari melirik pada Dewi Rambi yang juga tersenyum menganggukkan kepalanya.
"Ki Sanak Naga Branjangan, sebenarnya gadis ini bukanlah pencurinya..."
Belum habis ucapan Jaka, Naga Muda telah memotongnya.
"Ah, rupanya kau telah tersihir oleh gadis iblis itu, anak muda. Semua ucapan gadis itu bohong! Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku bahwa gadis itu telah keluar dari perguruan Kate Sakti."
Jaka kembali tersenyum demi mendengar ucapan Naga Muda. Setelah melirik pada Dewi Rambi, Jaka kembali berkata: "Memang benar ucapanmu, Ki Sanak. Gadis ini memang baru saja ke luar dari perguruan Kate Sakti. Namun itu juga karena dia mendapat tugas dari gurunya untuk membicarakan sesuatu hal dengan pemimpin perguruan Kate Sakti. Lagi pula, apalah artinya kitab ilmu Empat Kate Sakti untuknya juga untuk kalian yang jangkung-jangkung. Aku rasa kitab itu memuat jurus-jurus dan ilmu-ilmu untuk orang kate, Bukan begitu, Ki Sanak?"
Sadarlah kini kedua Naga Branjangan demi mendengar ucapan Jaka.."Memang untuk apa kitab itu kalau nantinya tidak dapat dipergunakan?" Berkata hati keduanya.
Melihat kedua Naga Branjangan terdiam, Jaka segera meneruskan bicara.
"Aku rasa pencuri kitab itu adalah orang kate juga yang mengerti arti kitab itu. Bukankah lebih baik kita tanyakan saja langsung pada pemimpin perguruan Kate Sakti? Dan apabila perlu, kita menolongnya untuk mencarikan pencurinya."
Mendengar saran yang dilontarkan Jaka, Naga Merah pun segera menimpali.
"Benar! Ayo kita ke sana."
Saat itu juga keempatnya segera melesat pergi menuju ke perguruan Kate Sakti dengan maksud yang sama, yaitu untuk menanyakan siapa sebenarnya pencuri Kitab perguruan Kate Sakti?
* * * * *
Suasana di perguruan Kate Sakti saat itu tampak sepi. Hanya penjaga-penjaga bertubuh pendek dan kecil yang tengah melakukan penjagaan. Keempat penjaga kate itu segera siaga manakala dilihatnya keempat orang berlari menuju ke tempat perguruannya.
"Siapa kalian?" bertanya keras kate Putih. Walaupun tubuhnya kecil dan kerdil, namun suaranya begitu kerasnya hingga membuat keempat orang yang dibentaknya segera menghentikan langkah mereka.
"Kami berdua dari Naga Branjangan, dan kedua orang ini adalah teman kami. Kami bermaksud menemui ketua kalian, Empat Kate Sakti," menjawab Naga Merah dengan sabar. Sementara ketiga orang lainnya hanya terdiam menunggu apa yang akan dilakukan oleh keempat kate itu.
Keempat kate penjaga itu sesaat saling pandang, kemudian Kate Putih kembali bertanya: "Ada keperluan apa kalian ingin bertemu ketua kami?"
Ditanya seperti itu keempat orang yang terdiri dari kakak beradik Naga Branjangan, Dewi Rambi dan Jaka saling pandang bingung. Lalu setelah diam saling pandang, Jaka segera berkata mendahului ketiga temannya: "Kami ingin menemui ketua kalian, karena kami ingin membantu ketua kalian untuk mencari pencuri kitab Empat Kate Sakti yang hilang. Nah, sekarang katakan pada ketua kalian tentang hal ini."
Sesaat keempat kate penjaga itu tampak ragu, memandang lekat-lekat pada Jaka dengan diam. Melihat hal itu, kembali Jaka meneruskan ucapannya: "Kalian tak perlu kuatir. Kami bukan orang-orang jahat dan tentunya kalian telah mengenal gadis ini, bukan?"
"Benar. Bukankah kalian telah mengenalku barusan? Maka tak perlu kalian curiga pada kami. Sekarang ijinkanlah kami menemui ketua kalian," berkata Dewi Rambi meneruskan.
Demi dilihatnya Dewi Rambi, keempat kate penjaga pun kini percaya. Dipersilahkannya keempat tamu itu masuk, dikawal oleh Kate Kuning dan Merah. Ketika mereka sampai di depan sebuah bangunan yang cukup besar, Kate Kuning segera menyuruh mereka menunggu di luar sementara dia sendiri segera melesat pergi menemui keempat ketuanya.
Selang tak berapa kemudian, dari dalam bangunan rumah itu ke luar keempat orang kate lain bersama kate kuning yang berjalan di belakang. Keempat orang kate itu sesaat memandang satu persatu tamunya. Lalu ketika dilihatnya Dewi Rambi ada bersama mereka, Kate Utama berseru: "Hai! Bukankah kau Dewi Rambi?"
"Ya aku," menjawab Dewi Rambi tersenyum senang, karena keempat ketua kate itu masih mengenalinya.
"Ada gerangan apa, hingga sang Dewi kembali ke mari? Dan siapakah ketiga temanmu itu?" bertanya kembali Kate Utama mewakili ketiga adiknya. Melihat cara jalan mereka, Jaka hampir saja tertawa. Namun segera diurungkannya sebab ia tahu kalau mereka bakalan marah.
"Ini teman-temanku. Yang dua orang ini bernama Naga Branjangan."
Mendengar penuturan Dewi Rambi yang mengatakan bahwa kedua orang temannya adalah Naga Branjangan, serta merta keempat ketua kate membelalakkan mata dan menghormat sembari berkata bareng.
"Ah, ternyata kami mendapat kehormatan yang sangat besar hingga tuan berdua berkenan datang ke tempat kami. Maaf, bila kami tak menyambut kedatangan tuan-tuan dengan kehormatan, dikarenakan sekarang kami dalam kebingungan dengan hilangnya kitab perguruan."
Melihat keempat ketua kate itu menjura hormat. Maka dengan tak segan-segan kedua Naga Branjangan membalas menjura hormat seraya Naga merah berkata: "Ah, sungguh kami sangat berterima kasih atas sambutan saudara, Empat Kate Sakti. Betapa kami tak pantas menerima kehormatan dari saudara-saudara yang kami rasa lebih dibandingkan kami berdua."
Setelah kedua Naga Branjangan itu membalas sapaannya, keempat kate itu kembali bertanya ditujukan pada Dewi Rambi.
"Siapa pula anak muda di sampingmu, Dewi?"
Sebelum Dewi Rambi berkata dengan segera Jaka telah mendahuluinya menjawab: "Aku yang bodoh ini, bernama Jaka. Orang sering menyebutkan Jaka Ndableg."
Keempat ketua Kate Sakti tersentak dan meloncat ke belakang saking kagetnya demi mendengar nama pemuda itu. Naga Branjangan dan Dewi Rambi pun tampak terkejut. Sementara Jaka sendiri yang tak mengerti mengapa keempat Ketua Kate Sakti itu melompat kaget hanya diam saja. Bahkan ia terkejut ketika keempat ketua Kate Sakti itu bersujud di hadapannya sembari berkata: "Duh! Mengapa kami tak mengenal adat?"
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut keempat Ketua Kate Sakti, makin menambah kebingungan Jaka. Hingga tanpa sadar ia pun menggumam.
"Hai...! Mengapa kalian berkata begitu? Dan apa pula yang kalian lakukan terhadapku?"
Bagai tak mendengar ucapan Jaka, keempat Ketua Kate Sakti dan Kate Kuning tetap bersujud sembari berkata: "Duh, tuan pendekar! Maafkanlah atas kelakuan kami yang tak mengenal adat ini. Bila tuan tak berkenan, maka kami pun siap untuk dihukum."
Makin tambah tak mengerti saja Jaka melihat perilaku keempat Kate Sakti itu. Bagaimana mungkin ia menerima sembah sujud mereka. Sedang ia saja kenal tahu keempat ketua Kate Sakti? Tapi kenapa mereka bagai telah mengenalnya? Dan yang lebih membuat Jaka tak mengerti, mereka menghormati dirinya bagai tuan mereka. Saking tak mengertinya, Jaka pun menggumam berkata: "Aku tak mengerti kenapa kalian begitu takutnya padaku? Bukankah aku ini tak ubahnya seperti kalian? Bangunlah dari sujud kalian dan jelaskan mengapa kalian bersikap hormat padaku yang baru kalian kenal?"
Bagaikan diperintah oleh tuannya, mereka segera bangkit dari sujudnya. Lalu Ketua Utama berkata mewakili ketiga adiknya: "Sesungguhnya kami adalah murid-murid dari Kate Siluman, yaitu ajudan dari Eyang Guru Tuan yang bernama Empat Pendekar Sakti dari Kawah Chandra Bilawa. Sudah dijadikan adat jika seorang ajudan atau abdi harus selalu menghormati tuannya. Maka, karena tuan adalah murid dari Empat Pendekar Sakti, sepantasnyalah kami sebagai abdi harus menghormatinya."
Kini Jaka tampak memahami, tapi ada satu hal yang ia belum mengerti. Mengapa mereka tahu kalau dirinya adalah murid dari Empat Pendekar Sakti? Maka dengan tak tinggi hati, Jaka bertanya kembali dengan hormat: "Saudara Empat Kate Sakti! Dari mana kalian tahu kalau aku adalah murid dari Empat Pendekar Sakti? Bukankah kalian baru mengenalku?"
"Ampun, Tuan pendekar. Janganlah tuan menghormat pada kami, sebab hal itu akan menjadikan kami merasa sedih," berkata Ketua Utama.
Mmbuat Jaka tersentak kaget dan dalam hati berkata. Aneh! Kenapa bisa begitu? "Kenapa kalian harus sedih? Toh aku rasanya lebih muda dibandingkan dengan kalian," berkata Jaka tak mengerti. Tampak Keempat ketua Kate Sakti menundukkan kepalanya hormat lalu terdengar kembali Ketua Utama berkata menerangkannya: "Bila kami menerima hormat tuan yang merupakan junjungan kami, hal itu akan menjadikan kemurkaan Eyang Kate Siluman. Sebab beliau telah berpesan pada kami, agar jangan sekali-kali menerima hormat dari junjungan kami yaitu murid ataupun cucu murid Empat Pendekar Sakti, karena pamali. Mengenai kami telah tahu tuan adalah murid Empat Pendekar Sakti, dikarenakan kami telah mendapat petunjuk dari Eyang Kate Siluman almarhum."
"Petunjuk apa?" bertanya Jaka ingin tahu. Sementara ketiga sahabatnya yang kini telah tahu siapa dirinya hanya terdiam menunduk. Sepertinya tak ada keberanian untuk menatap dan berkata-kata dengan Jaka yang ternyata seorang tokoh persilatan yang disegani oleh tokoh-tokoh persilatan lainnya.
Setelah menarik napas panjang, sesaat kembali untuk kesekian kalinya Ketua Utama Kate Sakti berkata: "Petunjuk itu mengatakan: Jikalau kami bertemu dengan orang yang bernama Jaka yang memiliki senjata aneh dan sakti bernama Pedang Siluman Darah maka kami disuruh mengabdi padanya dengan segenap jiwa dan raga kami. Maka ketika kami mendengar nama tuan, kami merasa yakin bahwa tuanlah orang yang dimaksud Eyang guru walaupun kami belum melihat senjata tuan yang bernama Pedang Siluman Darah. Untuk itulah, bila tuan pendekar berkenan sudilah tuan menunjukkan senjata tersebut!"
Jaka Ndableg semula ragu untuk meluluskan permintaan keempat Kate Sakti. Dipandanginya satu persatu keempat ketua Kate Sakti, lalu beralih pada ketiga temannya yang masih tertunduk tak berani memandangnya. Setelah terdiam sesaat Jaka pun berkata: "Baiklah. Aku mengeluarkan senjataku bukan untuk pamer. Tapi karena aku merasa harus menghormati kalian sebagai tuan rumah." Setelah habis berkata begitu, Jaka pun meraba benda yang terselip di punggungnya. Dikeluarkannya senjata Pedang Siluman Darah dari sarungnya yang tergantung di pundak.
Ketika benda yang berbentuk Pedang itu keluar, hawa panas terasa melanda di sekeliling tempat itu. Keempat Ketua Kate Sakti tersentak mundur. Begitu juga halnya dengan Naga Branjangan dan Dewi Rambi. Mata mereka melotot kaget melihat senjata yang digenggam Jaka dan dari mulut ketiga temannya seketika bergumam kaget: "Pedang Siluman Darah..."
"Bagaimana? Apakah kalian telah puas?" bertanya Jaka sembari menyarungkan kembali senjatanya.
Keempat ketua Kate Sakti serentak mengangguk. Lalu untuk kedua kalinya mereka serempak bersujud dan berkata.
"Ampun, Tuan pendekar. Ijinkanlah kami mengabdi pada tuan dengan segenap jiwa raga. Kami akan mengikuti ke mana tuanku pendekar pergi dan menuruti apa ucapan tuan."
Jaka tak dapat berkata apa-apa melihat keempatnya sujud di bawah kakinya. Ia bingung harus berbuat apa. Apakah mungkin akan mengajak Keempat Kate Sakti itu turut bersamanya? Belum juga hilang kebingungannya. Keempat Kate Sakti itu telah kembali berkata: "Tuan Pendekar. Bila tuan tak berkenan menerima kami untuk mengabdi pada tuan. Maka lebih baik bunuhlah kami daripada kami kelak mendapat murka dari Eyang guru."
Trenyuh juga hati Jaka mendengar permintaan mereka yang meratap. Sebagai seorang yang dididik untuk menyayangi dan mengasihi sesamanya, Jaka pun tak dapat menolak. Maka dengan perasaan iba, ia pun berkata: "Baiklah, kalian boleh mengikutiku. Namun aku tak memaksakan. Lalu siapakah yang bakal memegang pimpinan di perguruan Kate Sakti?"
"Hal itu tak menjadi masalah, Tuanku. Sebab di sini banyak yang mampu untuk dipercaya memegang tampuk pimpinan. Kami telah bicarakan sebelum kami bertemu dengan tuan pendekar," berkata Ketua Utama.
Jaka hanya menganggukanggukan kepalanya, dan untuk kesekian kalinya dipandangi satu persatu ketiga temannya sembari bertanya: "Bagaimana dengan kalian? Apakah juga ingin ikut bersamaku?"
Mendengar ucapan Jaka yang bernada kelakar, ketiga orang temannya yang tadi tegang kini tampak tersenyum saling pandang.
"Kuharap kalian bertiga tak usah gontok-gontokkan lagi. Ikatlah tali persaudaraan di antara kalian. Sebab tenaga kalian kelak akan dibutuhkan," lanjutnya berkata.
"Terima kasih, Tuan Pendekar. Kami yang bodoh ini akan selalu menurut apa yang diucapkan tuan," berkata Naga Merah sembari menjura hormat, lalu dengan adiknya ia pergi meninggalkan Jaka diikuti oleh Dewi Rambi.
Setelah diadakan penobatan ketua baru beserta wakil-wakilnya serta telah beres semuanya, keempat Ketua Kate Sakti pun segera mengikuti ke mana Jaka pergi untuk mengabdi padanya yang dianggap oleh keempat Ketua Kate Sakti itu sebagai tuannya!
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
Malam itu di sebuah pegunungan tampak berkelebat seseorang dengan memanggul tubuh seorang gadis di pundaknya. Orang itu sesaat memandang ke sekelilingnya, setelah dirasa aman, orang itu segera berkelebat masuk ke goa yang di depannya tertutup semak-semak tinggi.
Setelah berada di dalam goa, orang itu segera membukakan cadar penutup mukanya. Tampaklah wajah lelaki yang tak lain adalah Kebo Pangasan yang memandang pada tubuh wanita muda yang tergeletak pingsan di hadapannya. Dibukanya satu persatu pakaian yang dikenakan gadis itu, hingga benar-benar telanjang tanpa sehelai benangpun. Membuat air liur Kebo Pangasan menetes dengan mata memandang penuh nafsu.
Perlahan Kebo Pangasan yang telah dirasuki jiwa Ki Budak Iblis, tubuh gadis yang telah telanjang tanpa berkutik itu sesaat kemudian terdengar erangan gadis itu. Kebo Pangasan tertawa tergelak-gelak setelah melampiaskan napsunya. Sambil membetulkan pakaiannya, Kebo Pangasan pun menengadahkan mukanya ke langit-langit goa sembari berseru: "Akulah orang tersakti di dunia persilatan! Tak akan ada seorangpun yang mampu mengalahkanku! Ha... ha...!"
Sambil tertawa-tawa dibopongnya tubuh gadis telanjang yang dalam keadaan pingsan menuju ke puncak Karang Hantu. Ketika Kebo Pangasan sedang berkelebat berlari menuju ke puncak Karang Hantu. Tak diketahui olehnya sesosok bayangan lain telah sedari tadi menguntit dirinya.
Bayangan orang itu terus mengikuti langkah Kebo Pangasan. Dengan hati bertanya-tanya.
"Untuk apa gadis itu dibawa ke puncak Karang Hantu? Siapa pula orang itu? Berani benar mendatangi puncak Karang Hantu yang terkenal angker."
Bukit Karang Hantu tampak sepi dengan hawa dingin menyelimuti sekitarnya. Kesepian bukit Karang Hantu seketika tergugah oleh derap langkah kaki seseorang yang menuju ke arah situ. Manakala ia merasa ada orang yang menguntitnya, orang itu seketika menghentikan langkahnya Maka setelah menotok urat jalan darah gadis yang dibopongnya dan melemparkan tubuh gadis itu ke semak-semak. Segera orang itu berkelebat membalik dari lain arah. Orang yang sedari tadi menguntit tersentak kaget manakala orang yang sedari tadi diikutinya lenyap.
"Ke mana orang tadi? Jangan-jangan..."
Belum juga habis hatinya bertanya. Tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat menyerangnya. Orang yang sedari tadi menguntit tersentak diserang begitu cepat. Beruntung ia masih dapat mengelakkannya. Mendapatkan musuhnya bisa mengelakkan serangannya, geramlah hati Kebo Pangasan. Serta merta kembali diserangnya orang itu dengan ilmu tingkat tinggi. Rupanya Kebo Pangasan tak mau membuang-buang waktu begitu saja, hingga ajian Weling Welirang pun segera dikeluarkannya.
Dari tangan Kebo Pangasan tampak memancar cahaya biru keunguan membuat orang yang menguntitnya tersentak. Ketika ajian itu dilepaskan, orang itu berusaha menghindar. Namun ia kalah cepat dengan Kebo Pangasan yang menghantamnya. Maka tanpa ampun lagi.
"Aah...! Aah...!" Orang itu seketika melolong panjang, kala ajian Weling Welirang menghantam tubuhnya. Orang itu seketika mati dengan tubuh hangus.
Belum puas sampai di situ, ditendangnya tubuh orang itu hingga terpental jatuh ke dalam jurang. Lalu kembali terdengar gelak tawa Kebo Pangasan penuh kemenangan. Masih dengan gelak tawa, Kebo Pangasan segera berkelebat menuju ke tempat gadis itu ditaruhnya. Baru sekali ini Kebo Pangasan datang ke lembah Karang Hantu sejak penyatuan dirinya dengan Ki Budak Iblis. Hatinya tergetar saat melihat keanehan-keanehan di bukit Karang Hantu itu. Tampak serombongan lelaki berjalan menuju ke arahnya dengan menundukkan kepalanya. Setelah jarak mereka kira-kira dua tombak lagi, rombongan laki-laki yang berjumlah enam orang itu seketika menghormat padanya.
Melihat keenam lelaki yang terdiam tanpa bicara dengan segera Kebo Pangasan bertanya: "Ki Sanak. Siapa yang kau sembah?"
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka, bahkan keenam lelaki itu makin merundukkan sujudnya. Saking pengin tahunya wajah keenam lelaki itu, segera Kebo Pangasan bertanya membentak: "Hai! Kenapa kalian hanya membisu?"
Mendengar bentak Kebo Pangasan, keenam laki-laki itu seketika mendongakkan wajah mereka. Seketika Kebo Pangasan menyurut mundur demi melihat wajah keenam lelaki yang sedari tadi terdiam. Wajah keenam lelaki itu sungguh menakutkan dengan kedua matanya tak ada hingga hanya lubang besar yang tampak menganga dalam. Begitu juga halnya dengan hidung dan mulutnya. Hidungnya telah hancur menyebarkan bau bangkai yang menyesakkan. Sementara mulutnya tak berbicara tampak taring-taring tajam mencuat ke luar.
Sedang Kebo Pangasan terpukau, tiba-tiba salah seorang dari keenam lelaki setan itu memberi perintah pada Kebo Pangasan dengan menggerakkan kepalanya. Lalu dengan beriringan mereka berjalan di belakang Kebo Pangasan yang tampak ketakutan. Sementara tubuh gadis yang masih pingsan itu kini dibopong oleh salah seorang dari mereka.
Untuk kedua kalinya Kebo Pangasan terbelalak kaget. Ketika mereka menembus kabut yang menutupi di depan mereka, keanehan kembali terjadi. Keenam orang yang tadi tampak menyeramkan kini berubah menjadi laki-laki gagah dan tampan. Matanya yang tadinya tak ada, kini telah ada pada tempatnya. Begitu juga halnya dengan anggota tubuh yang lain, mengalami perubahan yang sangat cepat.
Di hadapannya, kini terpampang sebuah ruangan yang sangat luas. Sementara di sekelilingnya tampak para pengawal bersenjata siaga di tempatnya. Salah seorang dari keenam lelaki itu menjura hormat pada seorang wanita yang duduk di sebuah singgasana. Wanita itu tampak tersenyum saat memandang pada Kebo Pangasan, lalu dari bibirnya yang mungil terdengar suaranya yang merdu berkata: "Kebo Pangasan, kau adalah tangan kananku karena di tubuhmu kini bersemayan jiwa Ki Budak Iblis. Mendekatlah kau ke mari."
Bagai kena sihir, Kebo Pangasan menurut berjalan mendekati sang ratu yang masih tampak tersenyum. Semua yang hadir di situ seketika berlalu pergi satu persatu meninggalkan Kebo Pangasan yang hanya berdua dengan Sri Ratu.
"Kebo Pangasan! Seperti kala Ki Budak Iblis dulu, maka sebagai penerusnya kaupun harus selalu datang ke mari setiap bulan purnama untuk memenuhi tugasmu. Kau mengerti apa tugasmu?"
"Ampun, Sri Ratu, hamba hanya tahu jika bulan purnama tiba, harus mendapatkan seorang gadis untuk dijadikan pemuas nafsu. Setelah itu hamba diperintahkan untuk menggantung gadis tersebut."
Sang Ratu tersenyum demi mendengar jawaban Kebo Pangasan, lalu iapun kembali berkata: "Ada yang lain, Kebo Pangasan?"
"Tentang apa gerangan, Sri Ratu?" bertanya Kebo Pangasan tak mengerti.
Untuk kesekian kalinya Sri Ratu tampak tersenyum. Tidak segera menjawab. Sebaliknya, Sri Ratu segera menghampiri Kebo Pangasan yang tengah sujud. Dipegangnya pundak Kebo Pangasan untuk berdiri. Lalu diajaknya Kebo Pangasan melangkah menuju ke singgasananya. Setelah sampai keduanya di singgasana, terdengar Sri Ratu berbisik pada Kebo Pangasan: "Sebentar lagi kau akan mengerti, Kebo Pangasan...." Setelah berkata begitu dibukanya seluruh pakaian yang dikenakannya hingga tampak tubuh Sri Ratu kini benar-benar tak tertutup sehelai benangpun. Tubuh Sri Ratu tampak melenggak-lenggok dengan gaya erotis menjadikan Kebo Pangasan seketika terangsang hebat. Maka dengan liar dan tak sabar, Kebo Pangasan pun segera menubruk tubuh Sri Ratu yang penuh rangsangan.
* * * * *
Dunia persilatan kembali dihebohkan dengan tergantungnya seorang gadis yang kemarin menghilang. Semua tokoh persilatan golongan lurus tampak berang. Sebab sampai sejauh ini belum ada yang tahu identitas orang yang berbuat keji itu. Maka Ki Sapta Hanggara yang menjadi pimpinan tertinggi kaum persilatan dari golongan lurus segera mengundang semua anggotanya untuk membicarakannya.
Di sebuah rumah yang lebih tepat disebut padepokan, semua kaum persilatan dari golongan lurus berkumpul. Tampak di situ Ki Sapta Hanggara, Suryo Pati. Elang Putih, Komara, Terate Emas, Ki Ageng Watu Gunung dan yang lainnya. Mereka tengah berembug mencari jalan ke luar untuk memecahkan masalah yang kini melanda dunia persilatan.
"Saudara-saudara segolongan yang saya hormati. Akhir-akhir ini suatu malapetaka telah melanda pulau Jawa, di mana telah tersebar desas-desus adanya seorang tokoh golongan sesat yang sepak terjangnya mengingatkan kita pada cerita kakek-kakek kita, tentang seorang tokoh sakti yang hidup pada seratus tahun yang silam...." berkata Ki Sapta Hanggara membuka rembug. Semua yang hadir tampak mendengarkan dengan seksama, diam tak ada yang berkata.
Melihat semua yang hadir terdiam, kembali Ki Sapta Hanggara berkata melanjutkan.
"Namun menurut cerita yang aku dengar dari kakekku, orang tersebut yang bernama Ki Budak Iblis telah dikubur hidup-hidup oleh seorang tokoh dari golongan kita yang sangat mumpuni, bernama Empat Pendekar Sakti. Yang membuat aku tak habis pikir, mana mungkin orang itu bisa bangkit kembali? Sedangkan Empat Pendekar Sakti telah menguncinya dengan sebatang bambu kuning? Apakah telah ada orang yang berani datang ke tempat itu dan secara tidak sengaja telah mencabut bambu kuning tersebut?!"
Kembali semua tak ada yang berkata, diam dengan hati bertanya-tanya.
"Mungkinkah orang lain telah berani datang ke tempat yang terkenal angker itu?" Tak berapa lama, setelah lama diam Ki Ageng Warn Gunung berkata: "Saudara, Ketua. Menurut dugaanku, memang ada orang lain yang telah datang ke tempat itu. Adapun tujuan orang itu mungkin mencari keserakahan duniawi. Dengan kata lain ia ingin meminjam Ki Budak Iblis demi ambisinya untuk dapat menguasai dunia persilatan dan kebahagiaan semata."
Seketika semua yang hadir membelalakkan mata demi mendengar pendapat Ki Ageng Watu Gunung. Memang beralasan ucapannya, sebab Ki Ageng Watu Gunung adalah orang tertua diantara mereka. Di samping itu pula ilmu Ki Ageng Watu Gunung memang berada di atas tiga tingkat dibandingkan dengan ilmu yang mereka miliki.
"Menurut Ki Ageng, siapakah gerangan orang tersebut?" bertanya Suryo Pati ingin tahu.
Ki Ageng Watu Gunung seketika mengernyitkan alis matanya, lalu katanya kemudian: "Aku sendiri tak tahu. Itu kukatakan hanya menurut pendapatku. Benar tidaknya, aku sendiri belum membuktikannya."
"Tapi menurut kami pendapat Ki Ageng memang beralasan. Pertama, tak mungkin Ki Budak Iblis akan dapat bangkit dari kuburnya yang telah dikunci oleh Empat Pendekar Sakti kalau tidak atas pertolongan orang lain. Kedua, bentuk tubuh orang yang sekarang menghebohkan sangat berbeda dengan apa yang pernah aku dengar dari cerita kakekku. Kakekku menceritakan bahwa Ki Budak Iblis berbadan kurus dan kering, sementara orang yang kini menghebohkan berbadan besar. Jelaslah bahwa pendapat Ki Ageng sangatlah masuk akal. Bukan begitu, Saudara Elang Putih?" berkata Teratai Emas, yang merupakan satu-satunya tokoh silat wanita di situ sembari berkata pada Elang Putih minta pendapat.
Elang Putih yang sedari tadi terdiam mendengarkan tampak mengangguk, lalu bertanya: "Memang benar ucapan saudari Teratai Emas."
Setelah mereka merasa yakin bahwa orang yang kini membuat keonaran bukan Ki Budak Iblis, maka semua yang hadir segera mengadakan pembicaraan bagaimana cara untuk menghentikan sepak terjangnya, Dengan keputusan bulat, mereka menyetujui kalau nanti pada bulan purnama yang akan datang akan mengurung lembah Karang Hantu. Mereka juga akan memberitahukan pada semua warga yang punya anak gadis untuk dapatlah melindungi dan menjaganya atau secepatnya dinikahkan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
* * * * *
Malam begitu dingin ketika tampak sesosok tubuh berkelebat menuju ke sebuah rumah di mana dulu menjadi kediamannya. Di dalam rumah bilik itu tampak seorang wanita dan dua anaknya tengah tertidur pulas. Lelaki yang tadi berkelebat dengan cepatnya segera melompat ke atas genting dengan ringannya, hingga tak terdengar suara sedikitpun.
Dibukanya satu persatu genting rumah dengan perlahan lalu lelaki yang bercadar hitam itu mengintip ke bawah. Tampak istri Kebo Pangasan tertidur dengan pulasnya hingga ia tak merasakan kain yang dipakainya tersingkap. Orang yang mengintai di atas genting sesaat meleletkan lidahnya, demi melihat pemandangan di bawah.
"Istriku. Ternyata kau masih cantik," berkata hatinya. Setelah tercenung sesaat, lelaki bercadar itu pun segera turun ke bawah dengan perlahan tanpa menimbulkan suara. Hingga wanita yang tengah tertidur itu tak mendengar sama sekali.
Perlahan lelaki itu mendekati tubuh wanita yang masih tertidur dan dengan penuh nafsu yang membara di dadanya lelaki itu menggumulinya. Hingga membuat si wanita terjaga dan menjerit untuk sesaat, sebelum akhirnya terkulai lemas dengan rintihan-rintihan kecil. Setelah puas menyalurkan nafsu iblisnya, tampak lelaki bercadar itu meninggalkan sebuah bungkusan kain hitam sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan wanita itu.
Tampak wanita itu menggeliat bangun, badannya terasa ngilu, ketika ia bermaksud pergi ke belakang, matanya tertuju pada sebuah bungkusan kain hitam yang terletak di tanah. Dengan agak sedikit takut diambilnya bungkusan itu, dan dibukanya. Seketika itu matanya terbelalak kaget manakala melihat isi kantong itu. Isi kantong itu berupa uang emas dan perhiasan yang banyak jumlahnya. Berbinar-binar senang mimik muka wanita itu karena mendapatkan emas sebanyak itu, "Jangan-jangan...!" Seketika hatinya yang bahagia berubah menjadi ketakutan kala ia membayangkan kalau orang yang tadi memperkosanya akan datang kembali untuk mengambil bungkusan yang tertinggal. Seketika istri Kebo Pangasan menjerit minta tolong membuat seluruh tetangganya segera berdatangan ke rumahnya.
"Tolong...! tolong...!"
"Ada apa...? Ada apa, Nyi...?" bertanya tetangganya yang telah datang di rumahnya. Kentongan tanda bahaya pun segera dibunyikan, hingga makin tambah banyak orang-orang yang datang.
Dengan tersedu-sedu, Juminten pun menceritakan apa yang telah terjadi padanya.
"Tadi ada orang yang datang ke rumahku, entah dari mana masuknya tiba-tiba telah ada di kamarku. Dan... dan, orang itu telah... telah...." Juminten tak segera meneruskan ucapannya, membuat semua yang hadir tak sabar ingin tahu dan bertanya: "Telah apa, Juminten? Apakah telah mencuri?"
"I... ya," jawab Juminten tergagap.
"Apa yang telah dicurinya?!" bertanya tetua kampung. Ditanya begitu Juminten tersipu-sipu malu.
"Juminten! Ini urusan serius, jangan cengengesan. Ayo katakan apa yang telah dicurinya?"
Melihat kemarahan tetua kampung, Juminten dengan nada terputus-putus karena takut bercampur malu berkata menjawab: "Anu.... ia telah mencuri punyaku."
"Punyamu apa?"
"Anu... dia telah memperkosaku," menjawab Juminten sembari tersipu malu.
Seketika semua orang yang hadir di situ terbelalak kaget melototkan mata dengan mulut menggumam. Rasa ngeri kalau-kalau istrinya pun akan mendapatkan hal yang sama. Membuat lelaki yang telah punya istri bergegas pulang ke rumah masing-masing tanpa menghiraukan Juminten lagi.
Paginya seluruh kampung Waringin gempar oleh kejadian yang dialami oleh Juminten yang segera tersebar ke mana-mana. Ke kampung sebelah, bahkan sampai kampung yang jauh. Hal itu juga terdengar oleh kaum persilatan yang menganggapnya hanyalah kejadian biasa yang dilakukan oleh kebanyakan maling-maling.
* * * * *
Sementara di sebuah tempat yang cukup jauh dari keramaian, tampak seorang lelaki tengah duduk melamun sendiri. Lelaki itu tak lain dari pada Kebo Pangasan. Tengah memikirkan keluarganya.
"Betapa menderitanya istri dan anakku. Namun bila aku kembali pada mereka niscaya akan lebih menderita. Dan sepak terjangku akan segera diketahui oleh dunia persilatan," berkata Kebo Pangasan membatin Sekilas ia memandangi ke depan, di mana terhampar hutan belantara yang lebat, yang belum terjamah sekali pun oleh orang. Setelah terdiam sesaat, Kebo Pangasan segera melipatkan kakinya bersila dengan tangannya dilipatkan ke depan. Diaturnya jalan pernafasan, lalu direntangkan kedua tangannya dan...
Duar...! Batu sebesar kerbau seketika hancur berkeping-keping terhantam oleh pukulan jarak jauh yang dilontarkannya. Sekilas Kebo Pangasan tersenyum senang. Lalu dari mulutnya terdengar gelak tawa dan ucapan sombong; "Ha… ha...! Akulah orang tersakti di dunia saat ini. Tak akan ada orang yang mampu mengalahkanku," Kemudian ia pun berlalu pergi dari situ meninggalkan gelak tawa berkepanjangan yang mengema di antara bebatuan gunung dan hutan.
Dengan menggunakan wajah palsu, Kebo Pangasan segera meninggalkan hutan Seribu Iblis (Alas Roban) menuju kearah Utara. Dengan berlari, tak berapa lama kemudian Kebo Pangasan pun telah tiba di tempat tujuan. Sebuah kampung yang tampak sepi bagai tak berpenghuni. Matanya tajam memandang sekelilingnya yang tampak sepi bagai tak berpenghuni. Seketika telinganya yang tajam mendengar bisik-bisik orang yang berasal dari rumah yang tampaknya sepi. Di sebelah kanan jalan yang dilewatinya.
Dengan segera Kebo Pangasan berkelebat masuk, membuat orang yang ada di dalam rumah itu terbengong. Tiba-tiba pintu belakang rumah jebol oleh sebuah hantaman yang cukup kuat, dibarengi dengan berkelebat masuknya Kebo Pangasan. Ketiga lelaki yang sedang terbengong-bengong, seketika menduprak ketakutan demi melihat orang yang sedari tadi diperhatikannya kini telah berdiri di hadapannya.
"Sedang apa kalian di sini?" bertanya Kebo Pangasan membuat ketiga laki-laki itu makin ketakutan. Dengan tubuh menggigil, ketiga orang itu berkata: "Am... ampun. Jangan bunuh kami sebab kami tak punya apa-apa."
"Siapa yang hendak membunuh kalian? Kenapa pula dengan desa ini?" bertanya Kebo Pangasan yang wajahnya tertutup kain cadar.
Mendengar ucapan Kebo Pangasan, seketika mereka tampak agak tenang. Maka dengan masih agak gemetar, salah seorang dari mereka menceritakan hal yang terjadi di desa itu.
"Jadi semua wanitanya mengungsi karena takut diculik?" bertanya Kebo Pangasan pura-pura tak mengerti. Hatinya tersenyum senang sebab secara tak langsung kini ia telah memperoleh petunjuk di mana sebenarnya semua penghuni desa itu.
"Benar, Tuan pendekar. Karena menurut desas-desus yang kami terima orang itu begitu sakti dan kejam," menjawab seorang yang tadi bercerita. Sementara kedua temannya hanya terdiam.
"Kalian tahu siapa adanya tokoh itu?" bertanya Kebo Pangasan dengan bibirnya tampak tersungging senyuman sinis yang jelas nampak kelihatan dari tarikan kain cadar yang dipakainya.
"Apakah kalian pengin tahu?" bertanya Kebo Pangasan, menjadikan ketiga orang itu tersentak kaget. Namun belum sempat ketiga orang itu berkata, Kebo Pangasan telah mendahuluinya.
"Ketahuilah. Akulah orang yang telah membuat semua warga ketakutan."
Demi mendengar pengakuan dari orang yang berdiri di hadapan mereka, seketika ketiganya makin gemetaran dengan mulut mereka menganga karena kaget. Belum juga mereka berucap, sebuah hantaman telah membuat mereka seketika meregangkan nyawa. Setelah membunuh ketiga orang itu, kembali Kebo Pangasan tertawa bergelakgelak. Lalu dengan sekali kelebat Kebo Pangasan pun telah berlalu pergi.
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
Seorang pelayan seketika menghampiri Jaka dan Keempat Kate Sakti dengan maksud menanyakan apa yang mereka pesan, seketika Jaka bertanya mendahului.
"Gerangan apa yang telah menjadikan desa ini begitu sepi?!"
Ditanya seperti itu; seketika pucat pasi wajah sang pelayan dan hendak buru-buru berlalu kala Jaka segera mencekal tangannya.
"Hai. Mengapa kau bertingkah begitu? Apa kau kira aku dan keempat temanku seperti pengemis?" bertanya Jaka kembali dengan agak marah, melihat tingkah pelayan kedai yang dianggapnya kurang sopan. Belum juga pelayan itu menjawab, Kate Bungsu yang memang panasan berkata: "Pelayan! Jangan kau kira kami ini miskin. Kalau boleh, segala yang ada di kedai ini akan kami beli!"
Wajah pelayan kedai itu begitu pucat demi mendengar bentakan Kate Bungsu. Lalu dengan terbata-bata pelayan kedai pun berkata: "Ampun, Tuan-tuan. Bukanlah hamba hendak merendahkan Tuan-tuan, namun hamba tak berani menjawab pertanyaan Tuan-tuan tentang kejadian di desa ini."
Tercengang Jaka mendengar jawaban pelayan kedai. Lalu tanyanya kemudian: "Pelayan, mengapa kau begitu takutnya untuk menceritakan pada kami? Apakah ada yang mengancammu? "
Karena ditanya terus menerus, maka tanpa sadar pelayan kedai pun akhirnya bercerita juga tentang apa yang menjadi ketakutannya, yang juga menjadi ketakutan orang-orang di desa itu.
"Begitulah, Tuan-tuan. Apabila bulan purnama tiba, tentu ada seorang gadis yang digantung di lembah Karang Hantu dengan tubuh telanjang."
Kembali Jaka tampak membelalakkan mata, tak luput juga Keempat Kate Sakti dan dari mulut mereka terdengar membersit suara.
"Sadis...! Apakah tak ada orang yang mencoba menghalanginya?"
Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar dua orang yang sedari tadi acuh berkata: "Kau terlalu gegabah berbicara, Ki Sanak. Apakah kau tak tahu dan sengaja membuat petaka?"
Jaka membelalakkan mata demi mendengar bentakan salah satu dari kedua orang yang duduk di sudut kedai. Jaka tahu bahwa ucapan itu jelas ditujukan padanya, maka dengan segera Jaka pun menjawab: "Kami tidak berbicara dengan anda, Ki Sanak. Kenapa anda begitu perduli?"
Marah orang itu mendengar ucapan Jaka yang dirasakan menyinggung dan menyepelekannya. Maka dengan geram, kembali salah seorang di antara keduanya dengan congkak berkata: "Rupanya kau belum tahu adat anak muda! Kau belum mengenal siapa aku, sehingga kau begitu enteng ngebacot!"
Keempat Kate Sakti mendengus marah demi mendengar tuannya dimaki seperti itu. Maka Kate Panengah yang terkenal penyabar, seketika bangkit amarahnya.
"Hai, Gondoruwo tak pernah mandi! Badanmu begitu bau. Kalau kalian tak segera meminta ampun pada tuanku, jangan menyesal kalau kami menghajar mulutmu yang bau terasi itu!"
"Hai, Tuyul. Tubuh mu kerdil, tapi suaramu lantang bagai kaleng rombeng. Buktikan segala ucapanmu kalau kalian mampu, Tuyul jelek."
"Bedebah! Berani lancang kalian pada kami, jangan salahkan bila kami bertindak. Siapa nama kalian, Gondoruwo?" membentak Kate Bungsu membela kakaknya.
"Tuyul jelek! Kalau kau ingin tahu nama kami, baik kami katakan. Kami harap kalian tak akan lari terbirit-birit setelah mendengar nama kami!" berkata salah seorang dari kedua Bumerang "Katakan nama kalian. Jangan sampai kalian kalah tanpa nama." berkoar Kate Bungsu dengan nada mengejek membuat kedua Bumerang itu marah.
"Tuyul jelek! Kami terkenal dengan julukan Sepasang Bumerang Dari Wetan. Bersiaplah kalian untuk mati!"
Salah satu dari Bumerang itu berkelebat menyerang keempat Kate Sakti. Melihat serangan itu, Keempat Kate Sakti dengan bergerak cepat menghindar, dan segera balik menyerang dengan membentuk sebuah lingkaran mengurung Bumerang Dari Wetan. Jurus-jurus yang digunakan oleh Empat Kate Sakti tampak aneh dan lucu-lucu, persis seperti kera. Satunya menyerang, yang lainnya segera menyambung.
Tersentak kaget Bumerang demi melihat jurus aneh yang dikeluarkan oleh Keempat Kate Sakti yang bernama jurus Empat Kera Menyambit Durian. Bumerang Dari Wetan terlebih dahulu membentak sebelum akhirnya mengubah jurus yang lain yaitu jurus Bumerang Menghalau Angin Topan.
Hampir empat puluh jurus sudah mereka lalui, namun tampaknya tak akan ada yang bakal menang ataupun kalah. Ketika hampir menginjak jurus yang kelima puluh, seketika itu Keempat Kate Sakti segera melompat saling tumpuk menjadi satu dan kembali menyerang Bumerang. Rupanya jurus yang mereka keluarkan, adalah jurus Kera Gendong Menjolok Mangga. Salah seorang dari Kate Sakti yang berada di pundak atas melompat menghantam muka Bumerang. Seketika Bumerang melolong kesakitan, dari hidungnya mengalir darah segar. Seketika itu tubuh Bumerang limbung ke belakang.
Melihat adiknya dapat dikalahkan oleh Keempat Kate Sakti, Bumerang tua dengan marah berkelebat hendak menyerang. Seketika sebuah bayangan berkelebat menghadangnya membuat Bumerang tua mengurungkan niatnya. Demi melihat Jaka yang menghadang, Bumerang tua tanpa banyak kata lagi mendengus dan menyerang. Jaka dengan segera berkelit sambil tertawa bergelak-gelak.
Keempat Kate Sakti yang telah dapat menjatuhkan musuhnya, dengan segera duduk di kursi sambil menonton pertarungan tuannya dengan Bumerang tua. Orang-orang dikedai itupun segera menghentikan makannya, menonton pertandingan tersebut. Tanpa mengalami kesulitan, Jaka dengan mudah dapat menguasai pertarungan tersebut. Tubuhnya bergerak dengan cepat. Dan...! "Bug...! Bug...! Bug...!"
Tiga kali berturut-turut pukulan Jaka mendarat telak di tubuh Bumerang tua yang seketika itu terjengkang ke belakang, ambruk. Merasa tak akan bakal unggulan, segera kedua Bumerang dari Wetan mengambil langkah seribu tanpa memandang lagi pada kelima musuhnya. Seketika itu, orang-orang yang berada di kedai segera menyoraki mereka yang makin terbirit-birit larinya.
Pelayan kedai yang dari tadi hanya menonton seketika menghampiri Jaka dan Keempat Kate Sakti. Lalu dengan muka manis ia bertanya: "Apa yang hendak tuan-tuan pesan?"
"Kami minta sediakan lima piring nasi dan lauk pauknya serta lima gelas air," pinta Jaka.
Tanpa banyak kata, pelayan kedai itu segera berlalu meninggalkan Jaka dan Keempat Kate Sakti. Tak seberapa lama kemudian, pelayan kedai itu kembali dengan segala pesanan yang mereka pinta.
"Silahkan disantap, Tuan-tuan," berkata pelayan kedai.
"Terima kasih," jawab Jaka pendek.
Tanpa banyak kata lagi, kelimanya segera menyantap makanannya, sehingga dalam waktu yang cepat habislah makanan mereka. Setelah membayar seluruh makanan yang mereka makan, kelimanya segera pergi melanjutkan perjalanannya mencari pencuri kitab Kate sakti.
* * * * *
Di perguruan Kate Sakti, saat itu tengah terjadi kerusuhan yang dilakukan oleh sekelompok penjahat, bernama Komplotan Hantu Gemet. Di bangsal perguruan, tampak Kate Merah yang menjabat tetua setelah kepergian Keempat Kate Sakti tengah berhadapan dengan ketua pengacau Hantu Gemet. Bertarung satu lawan satu. Kate Merah yang merupakan murid utama dari Keempat Kate Sakti, telah mendapatkan gemblengan yang tinggi dari keempat gurunya, hingga bagaikan seekor kera liar Kate Merah berkelebat-kelebat dengan cepatnya menyerang dan sesekali berkelit.
Di lain pihak, ketua Hantu Gemet juga bukan tokoh sembarangan yang berilmu cetek. Maka perkelahian yang mereka lakukan adalah perkelahian tingkat tinggi dengan jurus-jurus tingkat tinggi pula. Korban telah berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun begitu tampaknya kedua belah pihak tak ada yang mau mengalah. Bahkan pertarungan makin bertambah seru. Begitu juga dengan kedua pimpinannya, yang kini masih bertarung.
Kala hampir mendekati jurus yang keseratus, di saat Kate Merah tampaknya terpepet. Tiba-tiba tiga sosok bayangan berkelebat dengan cepat menghadang ketua Hantu Gemet yang seketika terperanjat dan melompat mundur.
Kate Merah tampak tersenyum senang manakala mengetahui orang-orang yang datang dan dari mulut Kate Merah membersit ucapan gembira: "Ah... rupanya tuan Naga Branjangan dan nona Dewi. Ada gerangan apakah, hingga tuan-tuan dan nona kembali berkunjung ke mari?"
"Aku dan adikku kebetulan lewat, ketika mendengar jeritan di sini yang menggugah hati kami untuk datang melihat apa yang terjadi. Karena kami telah menganggap perguruan Kate Sakti adalah saudara kami," berkata Naga Branjangan tua seraya memandang pada adiknya dan Dewi Rambi yang tersenyum sembari mengangguk.
"Benar, Kate Merah. Sejak kejadian tiga bulan yang lalu kami telah sepakat untuk menjadikan Kate Sakti sebagai salah satu dari kami." berkata Naga Branjangan muda menambahkan.
"Ya... maka sebagai saudara bila ada satu yang menderita, akan menderitalah semuanya," tambah Dewi Rambi kemudian yang membuat Hantu Gemet seketika gusar.
Serta merta Hantu Gemet segera menyerang ketiga orang yang barusan datang, yang dianggapnya mengacaukan rencananya untuk menghancurkan musuh bebuyutannya, yaitu Perguruan Kate Sakti. Mendapat serangan yang datangnya mendadak, seketika keempatnya berkelit menghindar. Naga Branjangan Tua tua segera menyuruh adik dan kedua temannya untuk menyingkir dan membantu yang lainnya.
"Biarkan setan ini urusanku, kalian bantulah yang lain."
Dengan segera ketiganya berkelebat menuju ke tempat prajurit Kate Sakti yang bertempur melawati anak buah Hantu Gemet. Melihat ada orang dan keduanya membantu, seketika prajurit kate itu bertambah semangat.
Kate Merah, Dewi Rambi dan Naga Branjangan muda mengamuk bagaikan banteng ketaton. Tangan dan kaki mereka selalu mencabut nyawa bagi yang terkena tamparan dan dupakan mereka. Di lain tempat, tampak Naga Branjangan tua tengah bertempur menghadapi ketua Hantu Gemet. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persilatan utama, hingga pertarungan mereka begitu cepat dan sukar untuk diikuti dengan mata.
Namun dari perkelahian itu, tampak bahwa Naga Branjangan berada di atas dua tingkat ilmunya dibanding dengan Hantu Gemet. Hingga ketika mencapai jurus keenam puluh satu Naga Branjangan dapat mendesak musuhnya. Dengan jurus Naga Membelah Lautan tampak Naga Branjangan memekik dan melambung ke angkasa lalu kembali menukik dengan tangan membuat cakar. Dan...! "Aaa... aaah...!" Terdengar pekik Hantu Gemet ketika tangan Naga Branjangan menghantam batok kepalanya yang seketika pecah dan mengeluarkan darah.
Tubuh Hantu Gemet untuk sesaat berkelojotan, sebelum akhirnya terkulai kaku tanpa nyawa. Naga Branjangan yang melihat pertarungan masih berlangsung. Dengan seketika melempar tubuh Hantu Gemet yang telah mati ke tengah-tengah pertempuran.
Demi melihat ketuanya telah mati, seketika semua anggota Hantu Gemet menyerah kalah dan mohon diampuni. Atas kebijaksanaan Kate Merah, merekapun diampuni dengan syarat harus kembali ke jalan yang lurus.
Setelah mengurusi dan menguburkan mereka yang mati dan beramah tamah dengan Kate Merah, ketiganya segera memohon pamit untuk meneruskan perjalanan mereka yang diundang oleh para tokoh persilatan golongan mengadakan pertemuan demi pengepungan Bukit Iblis. Dengan diantar oleh Kate Merah ke depan pintu gerbang, perguruan Kate Sakti, ketiganya pun berlalu pergi.
* * * * *
Di kediaman Ki Sapta Hanggara yang berupa padepokan, tampak kaum persilatan dari golongan lurus kembali berkumpul. Seperti pada waktu pertemuan pertama kali, tampak pula di pertemuan itu tokoh-tokoh persilatan yang dulu hadir ditambah dengan Dewi Tudung Emas, Dua Naga Branjangan, Langlang Buana, Dewi Raga Padmi dan Dewi Rambi. Dengan penuh persaudaraan sebagai kaum satu golongan, mereka tampak akrab dan saling menghormati.
Tak lama mereka menunggu, dalam pesanggrahan Ki Sapta Hanggara keluar diiringi oleh Ki Ageng Watu Gunung dan Suryo Pati. Demi melihat Ki sapta Hanggara telah hadir, semua tokoh persilatan golongan lurus segera menjura hormat.
"Terima kasih atas kedatangan saudara-saudaraku segolongan. Silahkan duduk," berkata Ki Sapta Hanggara mempersilahkan tamu-tamunya, yang menurut duduk dengan tenangnya.
Ki Sapta Hanggara dan kedua rekannya pun segera mengambil tempat duduk yang masih kosong. Lalu dengan dipimpin oleh Ki Ageng Watu Gunung semuanya sesaat terdiam berdoa.
"Seperti yang telah kita bicarakan pada pertemuan pertama, maka pertemuan ini juga membahas masalah bagaimana caranya menanggulangi sepak terjang orang yang selalu mengambil korban pada setiap bulan purnama. Juga rencana kita untuk menyerbu Bukit Karang Iblis, yang diketahui tempat penggantungan korban," berkata Ki Sapta Hanggara setelah selesai berdoa untuk kelangsungan dan ketertiban pertemuan itu.
"Menurut penyelidikan yang telah kita lakukan, orang yang kini membuat bencana di dunia ini merupakan penitisan dari Ki Budak Iblis yang telah dikubur hidup-hidup oleh Ki Bayong atau Pendekar Suci seratus tahun yang silam. Karena orang itu titisan dari Ki Budak Iblis maka sudah pasti orang itu pun mewarisi ilmu yang dimiliki oleh Ki Budak Iblis yaitu ajian Karang Kikir, yang pemiliknya tak akan bisa mati selamanya kecuali hari akhir atau kiamat. Dan bilapun mati, maka yang dapat membunuhnya tak lain adalah pewaris ilmu Ki Bayong. Siapakah yang bersedia mencari murid Ki Bayong?"
Mendengar nama Ki Bayong atau Pendekar Suci, seketika Naga Branjangan dan Dewi Rambi teringat pada seorang pemuda yang menjadi sahabatnya yang bernama Jaka. Maka dengan segera Naga Branjangan tua berkata: "Maaf, Ketua. Bila orang itu yang ketua maksud, kami sanggup menemukannya karena kami bertiga telah menjadi sahabat-sahabatnya."
Mendengar pengakuan Naga Branjangan tua, seketika semua yang hadir terbelalak dengan mulut tergurai senyum kegembiraan. Lalu terdengar Ki Sapta Hanggara kembali bertanya. Yang kali ini ditujukan pada Branjangan muda.
"Benarkah yang telah dikatakan kakakmu, Branjangan?"
"Benar, Tetua," menjawab Branjangan muda.
"Benar apa yang dikatakan kedua Naga Branjangan, Rambi?"
"Benar, Tetua. Memang kami merupakan sahabat-sahabat Pendekar Pedang Siluman Darah. Kami bertemu dengannya di perguruan Kate Sakti, tiga bulan yang lalu."
Semua mata seketika memandang pada Dewi Rambi dan kedua Naga Branjangan, tak luput juga Ki Sapta Hanggara yang kembali berkata: "Kalau begitu. Aku meminta kesediaan kalian yang memang telah tahu pasti pendekar itu untuk menyampaikan salam dari kami sekaligus meminta bantuannya. Kami yakin Pendekar Pedang Siluman Darah akan menerimanya dan mau membantu kita."
Setelah ketiganya meminta pamit, segera ketiganya pergi mencari Jaka yang belum tentu rimbanya. Namun demi kedamaian dan ketentraman dunia persilatan, tanpa mengeluh ketiganya segera menjalankan tugasnya Sepeninggalan Naga Branjangan dan Dewi Rambi yang telah mencari Jaka, rapatpun diteruskan. Tengah berlangsung rapat itu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh datangnya tokoh golongan sesat yang membuat keonaran.
Seorang penjaga pintu gerbang padepokan yang luka berlari menemui Ki Sapta Hanggara yang tersentak kaget. Begitu juga halnya dengan yang lainnya yang segera memapahnya duduk. Dengan suara terputus-putus, penjaga pintu gerbang pun segera menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar penuturan penjaga pintu gerbang, seketika semua yang hadir menjadi gusar dan marah. Tanpa dapat dicegah, mereka segera berlari ke luar menuju ke pintu gerbang. Darah mereka seketika mendidih demi dilihatnya perbuatan kaum persilatan golongan sesat tengah menyiksa salah seorang penjaga pintu gerbang lainnya.
"Iblis-iblis laknat! Apa maksud kalian membuat keributan di sini?" membentak Elang Putih dengan geramnya. Kedua tangannya mengepal sesaat, lalu membuka membentuk cakar elang. Itulah Jurus Elang Menyambar Naga yang merupakan salah satu jurus yang paling berbahaya dan ganas. Jarang jurus itu dipergunakan oleh Elang Putih bila tidak dalam keadaan terpaksa. Tapi karena amarah yang telah meluap-luap melihat perlakuan golongan sesat pada orang yang lemah, menjadikan Elang Putih mengeluarkan jurus itu.
Tubuh Elang Putih berkelebat dengan cepat melayang bagaikan terbang. Lalu dengan tangan yang siap mencengkram ia menukik ke bawah. Demi melihat Elang Putih telah mengawali, yang lainnya pun segera terjun membantu. Perkelahian antar dua golongan persilatan pun tak dapat dicegah, hingga halaman padepokan itupun kini menjadi ajang pertarungan.
Dari golongan hitam yang dipimpin oleh Walmaka, tampak menyambuti serangan kaum persilatan golongan lurus. Sedang seru-serunya kedua golongan itu bertempur, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat dengan cepatnya terjun ke arena pertarungan dan dengan seketika menghantamkan ilmunya pada orang dari golongan sesat.
Kaum persilatan dari golongan lurus sesaat terkesiap melihat orang yang baru datang, menyerang dengan ajiannya menghantam orang-orang dari golongan sesat. Makin keteter saja kaum persilatan dari golongan sesat dengan kedatangan orang asing itu, maka dengan segera Walmaka selaku ketua segera menyuruh anak buahnya untuk mundur.
"Mundur...!"
Bersamaan dengan mundurnya golongan sesaat, saat itu juga orang asing yang telah membuat perlawanan golongan sesaat terhenti berkelebat pergi meninggalkan kaum persilatan golongan lurus yang masih tak mengerti dengan tingkahnya.
* * * * *
Sudah hampir seluruh wilayah didatangi oleh ketiga orang itu yang terdiri dari Naga Branjangan bersaudara dan Dewi Rambi, namun jejak Jaka dan Keempat Kate Sakti belum juga mereka temui. Siang itu ketika ketiganya berlari menerobos hutan jati, tiba-tiba mereka mendengar suara orang memanggil namanya "Saudara Naga Branjangan, Dewi Rambi... mau ke mana kalian?"
Naga Branjangan dan Dewi Rambi segera menghentikan langkahnya. Mereka segera mencari pemilik suara itu yang mereka kenal.
"Saudara Jaka, di mana kau berada?" bertanya Dewi Rambi, setelah tak menemukan orang yang memanggil namanya.
"Dewi Rambi dan Naga Branjangan, aku ada kira-kira seratus tombak di belakang kalian," terdengar suara Jaka kembali menggema.
Ketiganya segera berbalik, berjalan dengan menghitung langkah mereka. Setelah mereka berjalan pada jarak yang telah ditentukan Jaka, mereka menemukan Jaka dan Keempat Kate Sakti tengah duduk di atas sebatang cabang.
Melihat kedatangan kedua Naga Branjangan dan Dewi Rambi, kelimanya segera turun sembari menjura hormat.
"Selamat jumpa sahabat-sahabatku? Ada gerangan apa, sampai kalian begitu terburu-buru?" tanya Jaka.
"Kami tengah mengemban tugas dari ketua kaum persilatan golongan lurus untuk mencarimu," jawab Naga Branjangan tua.
Jaka tersentak kaget demi mendengar dirinya dicari oleh kaum persilatan golongan lurus; "Ada apakah gerangan? Apakah aku pernah berbuat salah?" tanya Jaka dalam hati. Lalu dengan menarik napas sesaat Jaka kemudian berkata: "Saudara Naga Branjangan. Kalau memang itu tugas yang diamanatkan ketua kalian, laksanakan..."
"Ah, terima kasih atas kesediaan saudara sebelumnya. Masalah kedua, mungkin saudara telah mendengar adanya desas-desus tentang seorang tokoh sakti yang perbuatannya terlalu biadab. Di mana setiap bulan purnama tiba orang itu akan mengambil korban seorang gadis."
"Ya, itu aku telah mendengar. Lalu apakah kalian menuduh aku yang berbuat semua itu?" tanya Jaka, menjadikan ketiganya tersentak dan dengan segera Dewi Rambi berkata menerangkan.
"Saudara Jaka. Menurut wangsit yang diperoleh ketua serta penyelidikan yang dilakukan oleh Ki Ageng Watu Gunung, didapat suatu kesimpulan bahwa tokoh itu adalah titisan Budak Iblis yang telah dikubur hidup-hidup oleh gurumu dua puluh tahun yang silam. Karena kami tahu bahwa kau adalah murid Ki Bayong atau Pendekar Hati Suci, maka kami sepakat meminta bantuanmu. Karena hanya kaulah yang mampu mengalahkannya..."
Jaka mengangguk-angguk mengerti. Setelah semuanya memahami, mereka segera bergegas pergi menuju ke padepokan Sapta Sakti, di mana teman-teman mereka dari golongan putih tengah menunggu.
* * * * *
:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::
Bila sedang beristirahat keempat Kate Sakti itu menghiburnya dengan bernyanyi-nyanyi atau berlatih ilmu silat yang belum mereka rampungkan selama menjadi ketua perguruan Kate Sakti. Siang itu Jaka dan Keempat Kate Sakti tengah menyusuri sepanjang pesisir pantai, ketika dari kejauhan tampak seorang lelaki berlari-lari menuju ke arah mereka.
"Tuan, sepertinya orang itu perlu pertolongan kita," berkata Kate Utama.
"Benar ucapanmu, Utama. Memang orang itu tampak memerlukan bantuan. Sepertinya ia tengah dikejar-kejar oleh seseorang," berkata Jaka.
"Coba kau tanyakan padanya, Pangguluh?"
Tanpa membantah Pangguluh segera menghampiri orang yang masih berlari menuju ke arah mereka. Walau tubuhnya Kate, namun karena larinya dilandasi dengan ajian Kate Terbang, maka dalam sekejap saja Kate Pangguluh telah sampai pada orang tersebut yang nampak mengernyitkan kening.
"Ki Sanak, kalau boleh aku tahu, kenapa engkau berlari bagai dikejar setan?" tanya Pangguluh sembari mengimbangi lari orang itu.
Melihat seorang kate dapat mengimbangi larinya, orang itu seketika menghentikan langkahnya dan menatap pada Pangguluh dengan terheran-heran.
"Hai! Kenapa Ki Sanak memperhatikan diriku begitu dalamnya? Apakah ada yang aneh pada diriku?" seru Pangguluh bertanya manakala melihat orang itu memperhatikannya dengan tajam "Benar! Memang ada keanehan pada dirimu, Ki Sanak," menjawab orang itu.
Mendengar jawaban dari orang itu, Pangguluh seketika memandangi dirinya. Memang dirinya aneh, pendek dan kerdil. Tapi apakah seseorang bisa dinilai dari kekerdilan tubuhnya? Hampir saja Pangguluh tersinggung marah kalau orang itu tidak segera kembali berkata menerangkan maksud ucapannya.
"Maaf, Ki Sanak. Bukannya aku bermaksud mengejekmu. Tidak. Yang aku maksud aneh, kenapa kau yang kecil ini dapat mengikuti langkahku?"
"Ooh, maafkan aku yang tak menyadari, Ki Sanak. Kembali pada soal semula, mengapa Ki Sanak berlari-lari seperti ketakutan? Apakah Ki Sanak memang tengah dikejar-kejar oleh seseorang?"
Setelah kembali memandang ke belakang dan dilihatnya tak ada orang lain, maka dengan napas ngos-ngosan orang itu berkata.
"Benar Ki Sanak. Aku memang tengah dikejar-kejar oleh seorang yang menginginkan nyawaku."
"Hai, kenapa bisa begitu?" bertanya Pangguluh terkejut "Memang rasanya aneh. Tapi hal itu benar-benar terjadi pada diriku. Mulanya begini...."
Orang itu pun menceritakan tentang seorang wanita yang mempunyai kebiasaan yang buruk, yaitu memperkosa lelaki untuk pemuas nafsunya. Wanita tua itu suatu hari bertemu dengannya dan memaksa untuk melayani nafsu iblisnya. Namun lelaki yang bernama Darma itu menolak, hingga terjadilah pertempuran. Tapi ternyata ilmu si wanita berada jauh di atasnya, hingga Darma pun akhirnya terpepet.
Beruntung saat itu juga muncul seorang lelaki bercadar hitam-hitam menolongnya yang saat itu juga bertarung dengan wanita itu. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Darma untuk melarikan diri. Tapi rupanya hal itu diketahui oleh si wanita yang langsung mengejarnya, tanpa memperdulikan lelaki bercadar itu. Bersamaan dengan habisnya Darma bercerita, saat itu juga tampak seorang wanita berlari-lari menuju ke arah mereka. Darma seketika hendak kembali berlari manakala Pangguluh segera mencegahnya.
"Tak usah kau lari Ki Sanak!"
Mendengar ucapan Pangguluh, maka makin ketakutan saja Darma. Ia menyangka kalau Pangguluh adalah sekutu Dewi Kembang Iblis yang saat itu menuju ke arahnya.
"Ampunilah aku! Bebaskankah aku! Sungguh aku tak kuat," berkata Darma. meratap membuat Pangguluh tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Jangan kuatir, Ki Sanak, Aku tak sejahat apa yang kau kira. Bahkan aku bermaksud menolongmu. Tenanglah!" berkata Pangguluh menghibur Darma yang tampak pucat pasi wajahnya oleh ketakutan.
Darma untuk sesaat merasa tenang demi mendengar akan maksud Pangguluh sebenarnya. Namun dihatinya masih tersisa rasa was-was, takut kalau-kalau lelaki cebol ini sekutu Dewi Bunga Iblis. Darma makin ketakutan manakala Dewi Bunga Iblis makin dekat. Sementara lelaki cebol itu tampak masih tenang, bahkan tersenyum-senyum.
Dewi Bunga Iblis yang telah datang seketika menyeringai. Lalu dengan suara parau berkata.
"Akhirnya aku dapatkan juga kau, Anak muda."
Tangan si Dewi hendak mencengkeram pundak Darma, ketika secara kilat Pangguluh menghantam tangannya. Dewi Bunga Iblis seketika memekik kesakitan dan secepatnya menarik tangan ke belakang mengurungkan niatnya. Dari mulutnya terdengar sumpah serapah yang ditujukan pada Pangguluh.
"Kate sialan! Kau telah berani lancang menyakitiku. Waspadalah, jangan sampai kau lengah, kunyuk cebol!"
Setelah berkata begitu Dewi Bunga Iblis seketika menyerang Pangguluh. Pangguluh yang memang telah waspada dengan gesit mengelakannya, sembari tangannya yang pendek dijulurkan ke muka Dewi Bunga Iblis. Tampak tangan yang kecil dan pendek menjadi panjang bagaikan karet, sehingga membuat si Dewi tersentak mundur. Namun rupanya serangan yang dilakukan oleh Pangguluh hanya merupakan pancingan belaka. Sedang serangan yang sebetulnya, menyusul setelah Dewi Bunga Iblis mengelak mundur. Hingga...! "Dest! Bug...! Bug...!"
Tiga hantaman telak bersarang di dada Dewi Bunga Iblis, yang seketika itu tampak sempoyongan sembari memegangi dadanya yang terasa sakit.
Geram Dewi Bunga Iblis menerima kenyataan itu, maka tanpa disangka oleh Pangguluh, Dewi Bunga Iblis seketika merogoh sesuatu dari balik pakaiannya. Dan tampak lembaran-lembaran bunga mawar beterbangan mengancam jiwa Pangguluh yang tak mampu berbuat apa-apa.
Hampir saja nyawa Pangguluh melayang oleh racun bunga mawar yang dilemparkan Dewi Bunga Iblis. Kalau saja sebuah bayangan tak segera berkelebat dan menghantamkan pukulannya yang menjadikan bunga-bunga mawar itu seketika rontok berjatuhan ke tanah.
Terbelalak Dewi Bunga Iblis sembari melompat mundur, ketika ia tahu bahwa orang yang telah menghancurkan senjatanya tak lain hanya seorang pemuda yang dengan suara dingin berkata pada Dewi Bunga Iblis "Dewi Bunga Iblis, rupanya ketuaan usiamu tidak menjadikan kesadaran yang timbul, bahkan kau makin dikuasai oleh iblis yang bersemayam di hatimu."
Sang Dewi tampak menggeram mendengar ucapan pemuda yang tak lain Jaka adanya. Lalu dengan membentak sang Dewi pun bertanya.
"Anak muda! Tak tahukah dengan siapa kau sedang bicara?"
"Aku tahu. Aku kini tengah berbicara dengan iblis berbentuk manusia" menjawab Jaka dengan senyum mengejek, yang membuat Dewi Bunga Iblis makin marah dan gusar. Hingga dengan sengitnya Dewi Bunga Iblis kembali membentak.
"Sayang dengan wajahmu yang tampan itu, Anak muda, kalau akhirnya kau harus mati di tanganku." mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis yang sombong dan takabur, tertawalah Jaka bergelak-gelak yang disertai ajian Raja Geledek.
Seketika semua yang ada di situ tersentak dan berusaha menutup pendengarannya yang terasa perih dan sakit dengan tenaga dalam mereka. Melihat semuanya tampak menderita akibat gelak tawanya, maka Jaka pun segera menghentikannya dan kembali berkata pada Dewi Bunga Iblis "Dewi Bunga Iblis. Sebelum aku berubah pendirian, kuharap kau segera enyah dari sini!"
"Sombong! jangan kau kira aku akan mengalah padamu begitu saja, setelah mendengar tawamu yang memang hebat. Tunggulah kau di sini aku akan kembali lagi ke mari." Setelah berkata begitu, Dewi Bunga Iblis pun segera berlalu meninggalkan mereka.
Jaka hanya mampu menggelengkan kepala demi melihat hal itu, lalu dengan bergumam Jaka berkata pada Keempat Kate Sakti: "Inilah kehidupan. Kadang kita menemukan hai yang aneh-aneh. Bayangkan, orang setua Dewi Bunga Iblis masih gila oleh hal-hal yang bersifat duniawi, seharusnya dia telah insyaf dan sadar. Tapi karena jiwanya telah diperdaya oleh iblis maka ia jadi lupa akan kenyataan dan keadaan dirinya."
"Benar Tuanku. Memang kalau iblis telah menguasai diri kita, yang ada hanyalah keindahan dan kebahagiaan maya belaka," berkata Penengah menimpali ucapan Jaka.
"Hai, kenapa teman kita yang baru ini tidak kita ajak ngobrol? Ki Sanak, kalau boleh aku tahu, siapa namamu?" bertanya Jaka pada Darma yang segera menjura hormat sebelum akhirnya berkata.
"Ampun, Tuan pendekar. Hamba bernama Darma, berasal dari desa Kulon Probo. Hamba mengucapkan terima kasih pada tuan pendekar yang telah berkenan menolong diri hamba yang bodoh dan hina ini."
Mendengar ucapan Darma yang merendah, Jaka tampak menggelengkan kepalanya, sementara di bibirnya tergerai senyum ramah berlapis dengan kewibawaan akan seorang yang berbudi pekerti. Dengan memegang pundak Darma yang masih menjura, Jaka pun berkata: "Saudara Darma. Tak perlu kau merendah seperti itu dan tak perlu kau berterima kasih kepadaku. Sudah menjadi tugasku sebagai manusia untuk saling menolong pada sesamanya yang memerlukan pertolongan. Bukan begitu Utama?"
"Benar, Gusti. Kita hidup memang perlu saling tolong menolong. Tolong menolonglah dalam kebajikan, sebab hal itu akan memberikan rasa ketenangan dan kedamaian hati kita." berkata Kate Utama meneruskan ucapan Jaka.
Sedang asyiknya mereka ngobrol, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bentakan dari seseorang yang jaraknya masih agak jauh dari mereka. Ketika mereka memandang ke arah asal suara bentakan itu, tampak seorang lelaki dengan tubuh kurus ceking dan tinggi berlari menuju ke arah mereka. Di belakangnya tampak Dewi Bunga Iblis mengikuti.
"Mana orang yang telah menyakitimu, Manis?" bertanya si kurus ceking pada Dewi Bunga Iblis yang tampak manja, dan berkata: "Itu, Kakang. Aku hendak diperkosa olehnya," berkata membela diri, membuat Jaka yang mendengarnya tersentak dengan hatinya memaki-maki.
"Dasar, Iblis! Pintar saja mengarang cerita. Dia yang hendak memperkosa Darma, eh malah aku yang dijadikan sasaran!"
Kata-kata yang dilontarkan oleh Dewi Bunga Iblis, ternyata ditangkap juga oleh Keempat Kate Sakti. Merasa tuannya difitnah dengan geram Kate Bungsu yang sedari tadi diam menggerutu kesal: "Iblis, Jalang...! Mengapa kau tak mengatakan hal yang sebenarnya? Kenapa kau memfitnah? Tuan, biar hamba memberi adat sedikit pada iblis gila itu," meminta Kate Bungsu pada Jaka yang segera menggelengkan kepala sembari berkata menenangkan Kate Bungsu dan ketiga kakak seperguruannya.
"Tenanglah. Biarkan ia hendak berkata apa. Kita tunggu saja kedatangan mereka."
Mendengar ucapan tuannya, seketika Keempat Kate Sakti terdiam dan menurut. Mereka dengan sabar menunggu kedatangan Dewi Iblis Bunga dan kekasihnya yang masih berlari menuju ke arah mereka.
"Itu, Kakang. Orang yang hendak memperkosaku," berkata Dewi Bunga Iblis pada kekasihnya dan ditunjuknya Jaka yang tampak tersenyum tenang.
Demi melihat orang yang ditunjuk istrinya tak lebih dari seorang pemuda, maka si jangkung kurus dengan nada meremehkan berkata: "Anak muda! Jangan karena kau masih muda dan ganteng, lalu kau bermaksud memperkosa kekasihku. Ayo, bila kau memang laki-laki lawanlah aku. Aku Ki Buyut Belatung tak akan mundur menghadapimu."
Jaka tampak tersenyum-senyum mendengar ucapan Ki Buyut Belatung yang mencak-mencak bagai kebakaran jenggot. Dengan masih tersenyum, Jaka pun membalas berkata: "Ki Buyut Belatung, tidakkah kau berpikir waras? Atau memang kau telah gila oleh rayuan nenek di sampingmu? Seharusnya kau berpikir, apakah mungkin aku ini pantas memperkosa? Kalaulah yang hendak diperkosa itu bidadari, baru kau boleh percaya. Tapi nenek di sampingmu... ha... ha...! Anjing kurapan juga tak akan bernafsu melihatnya."
"Setan alas! Berani kau menghina kekasihku yang cantik ini!" membentak marah Ki Buyut Belatung demi mendengar pemuda itu menghina kekasihnya.
Mendengar ucapan Ki Buyut Belatung, seketika semua yang ada di situ termasuk Darma tak dapat lagi menahan gelak tawanya.
"Dasar, Iblis gila! Kalau kekasihmu yang kaya tempe bongkrek itu kau bilang cantik, lalu yang jelek kaya apa?" berkata Kate Bungsu berolok-olok yang makin membuat Ki Buyut Belatung mendengus marah.
Sementara Dewi Bunga Iblis terus mengojok-ojokinya hingga membuat Ki Buyut Belatung makin terbakar marah.
"Lihat, Kakang, mereka menghina kita. Apakah kakang mau tinggal diam?" berkata Dewi Bunga Iblis memanas-manasi, membuat Ki Buyut Belatung menggeram marah.
"Tenang kasihku. Demi cintaku padamu akan aku hajar mereka semua."
Mendengar ucapan Ki Buyut Belatung kembali semuanya tertawa tergelak-gelak, lalu berkatalah Penengah mengejek: "Hai Ki Buyut Belatung, seharusnya kau berkaca dengan pacarmu itu. Pantaskah kalian berpacaran? Kalau memang pantas, maka kalian pantasnya berpacaran di liang kubur."
Kemarahan Ki Buyut Belatung tak dapat dicegah lagi, maka dengan sekali bentak tubuhnya segera meloncat menyerang Jaka yang berdiri di hadapannya. Sementara Dewi Bunga Iblis pun tak mau ketinggalan, turut menyerang pada Keempat Kate Sakti yang dengan gesitnya mengelak dan membalas menyerang bergantian dengan jurus Empat Kera Memetik Buah Apel. Serangan mereka susul menyusul, bagaikan layaknya empat ekor Monyet yang tengah berebut memetik buah apel.
Tak menyangka akan mendapatkan serangan yang datangnya bertubi-tubi dan bergantian itu, terbelalak Dewi Bunga Iblis yang terdesak ke belakang. Memang Keempat Kate Sakti sengaja tak memberi kesempatan sekali pun pada Dewi Bunga Iblis untuk mengambil bunga beracunnya.
Sementara itu, Jaka yang tengah menghadapi serangan Ki Buyut Belatung dengan tenang menghindari serangan Ki Buyut. Tampaknya Jaka tak mau menurunkan tangan jahatnya, hingga ia hanya menghindar dan menghindar sembari bersiul-siul.
Melihat musuhnya hanya menghindar, makin berang dan marahlah Ki Buyut Belatung yang dengan membentak dirubahnya jurus serangannya. Walaupun begitu, Jaka yang diserang masih tampak tenang dan santai. Bahkan Jaka yang memang ingin meledek Ki Buyut Belatung, dengan jahil menjitak kepala Ki Buyut Belatung yang botak.
Terbelalak Ki Buyut Belatung ketika jaka yang tanpa sepengetahuannya telah menjitak kepalanya tanpa dapat dicegah, hingga melelehlah nyali Ki Buyut "Ah... kalau pemuda ini ingin melukaiku, niscaya dengan mudah dia akan mampu," mengeluh Ki Buyut Belatung dalam hati. Dan tanpa memperdulikan Dewi Bunga Iblis yang masih dikeroyok oleh Keempat Kate Sakti, Ki Buyut Belatung langsung pergi meninggalkan mereka Jaka yang kini tenang karena musuhnya telah pergi ngacir, duduk sambil menonton pertarungan Keempat Kate Sakti yang tengah mengeroyok Dewi Bunga Iblis.
Melihat orang yang diandalkannya lari, Dewi Bunga Iblis tampak agak bimbang dan takut, hingga konsentrasinya buyar saat itu juga. Hal itu membuat Keempat Kate Sakti makin di atas angin. Dan...! "Bret!" Tangan Bungsu dengan jahilnya menyobek celana yang dikenakan Dewi Bunga Iblis, yang seketika itu melorot ke bawah. Jaka segera membuang mukanya demi melihat hal itu, sementara Dewi Bunga Iblis berlari pontang-panting dengan badan di bawah tak tertutup.
Menyaksikan hal itu keempat Kate Sakti tertawa bergelak-gelak dan mengolok-oloknya yang makin membuat kencang lari Dewi Bunga Iblis. Setelah keadaan kembali tenang, keenam orang itu segera melanjutkan perjalanannya menuju ke arah Timur.
"Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu, Darma? Apakah kau tak berhasrat pulang ke rumahmu?" bertanya Jaka ketika mereka kembali melangkah pergi.
Sesaat tampak wajah Darma sayu, menjadikan Jaka mengerutkan alis matanya dan berkata: "Hai, kenapa kau Darma? Apakah ucapanku telah menyinggung perasaanmu?"
"Tidak, Tuan! Bukan karena ucapan tuan yang membuatku bersedih. Namun selama iblis itu masih bercokol di wilayahku rasanya aku tak berani kembali pulang;" berkata Darma menerangkan.
Jaka tercenung sesaat dengan hati berkata: "Memang benar apa yang dikatakan oleh Darma. Selama iblis masih bercokol di daerahnya, maka tak akan tentram kaum lelaki."
"Baiklah, Darma. Aku akan mengantarmu ke desamu, sekalian ingin mencoba menyadarkan iblis itu. Ayo saudara-saudaraku, kita antar Darma ke desanya," berkata Jaka mengajak Keempat Kate Sakti.
Keenam orang itupun kini menuju ke desa di mana Darma tinggal, yang letaknya tak begitu jauh. Hingga tak berapa lama kemudian, sambil ngobrol mereka telah sampai ke desa itu. Desa itu tampak sepi, rumah-rumah penduduk kelihatan tak ada penghuninya. Hal itu mengundang perhatian Jaka yang segera bertanya pada Darma.
"Kenapa rumah penduduk tampak sepi, Darma? Ke mana mereka semua?"
"Sebenarnya mereka ada, namun mereka tak berani keluar dari rumah. Mereka takut akan kekejaman yang dilakukan oleh bajak laut Kolanglang yang selalu merampok dan menculik gadis-gadis." berkata Darma menjelaskan.
Demi mendengar nama Kolanglang oleh Darma, seketika keempat Kate Sakti terbelalak. Lalu tanpa sadar Kate Utama berkata: "Hem... rupanya pencuri itu ada di sini, Tuanku."
"Pencuri? Siapa yang kau maksud? Dan telah mencuri apa?" bertanya Jaka belum mengerti akan maksud ucapan Utama.
Utama segera menceritakan tentang kitab pusaka Empat Kate Sakti yang ditulis oleh Eyang gurunya atas saran Ki Bayong atau Pendekar Suci yang telah dicuri orang yang bernama Kolanglang.
"Hem... kalau begitu kita tak perlu cape-cape mencarinya. Aku rasa Darma dapat membantu kita. Bukan begitu, Darma?" bertanya Jaka setelah mendengar cerita Utama.
"Demi tuan-tuan semua, tugas apapun yang dibebankan pada diri hamba, akan hamba laksanakan." menjawab Darma dengan penuh keikhlasan.
Mendengar pernyataan yang diucapkan Darma, Jaka menggelengkan kepala sembari tersenyum di bibirnya dan berkata: "Tidak untuk kami, Darma. Namun semua untuk warga desa dan dirimu sendiri yang selama ini terbelenggu oleh ketamakan dan kekejaman mereka. Juga mengenai tugas yang akan aku berikan padamu tidak berat, kau hanya menunjukkan di mana sarang ketua bajak laut Kolanglang. Biarlah kami yang akan menangani sendiri."
Tak terasa mereka telah sampai di mana rumah Darma berada. Maka untuk sekedar melepas lelah, merekapun mampir ke rumah Darma. Melihat Darma telah kembali bersama kelima orang asing, seketika mengundang seluruh tetangganya untuk menghampiri. Apa lagi ketika istri Darma menceritakan tentang orang-orang asing itu, yang katanya hendak memberantas bajak laut Kolanglang. Makin membuat semuanya ingin tahu dan ingin mengenai mereka. Setelah Darma selesai melepas rindu dengan keluarganya, tak lama kemudian mereka segera berangkat kembali menuju ke sarang Kolanglang.
* * * * *
Di sebuah rumah yang terpencil yang letaknya di tengah-tengah hutan bakau, tampak seorang lelaki tengah tertidur mendengkur di dipan yang ada di depan rumahnya. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru memanggil namanya.
"Kolanglang! Aku datang...!" Bersama dengan habisnya suara itu, dari semak-semak pohon bakau muncul empat orang kate menuju ke arahnya duduk.
"Siapa kalian!" membentak Kolanglang setelah terbangun dari tidurnya.
Mendengar pertanyaan Kolanglang, seketika keempat Kate Sakti tertawa bergelak-gelak dan si Utama pun berkata mewakili adik-adiknya.
"Kolanglang. Aku dan adik-adikku datang akan mengambil Kitab yang kau curi sekaligus juga mengambil nyawa anjingmu, Kolanglang!"
"Ka... kalian Keempat Kate Sakti?!" terbata-bata Kolanglang bertanya pada Keempat Kate Sakti yang menyeringai, membuat Kolanglang makin takut. Kolanglang telah tahu siapa adanya keempat Kate Sakti itu. Maka demi melihat keempat ada di hadapannya, surutlah keberanian Kolanglang. Tanpa diduga oleh Keempat Kate Sakti. Kolanglang berusaha melarikan diri. Beruntung saat itu Jaka dan Darma telah menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Kolanglang? Bukankah kau adalah seorang ketua bajak laut yang disegani? Nah, kuharap kau mau meladeni keempat saudaraku itu," berkata Jaka dengan dingin.
Kolanglang yang tidak tahu siapa adanya pemuda yang tengah berdiri menghadangnya, menganggap ilmu pemuda itu di bawah Keempat Kate Sakti. Maka dengan membentak, Kolanglang nekad menyerang Jaka yang tampak hanya menggeserkan kakinya sedikit untuk mengelak. Merasa serangannya tak mendapat sasaran, Kolanglang kembali melancarkan serangannya bertubi-tubi membuat Jaka agak sedikit repot. Namun.... ketika Jaka mengeluarkan jurus Lumba-lumba Menari, dalam segebrakan saja Kolanglang tertampar sabetan kaki Jaka. Saat itu juga, Kolanglang sadar bahwa pemuda yang berkelahi dengannya bukan sembarangan pemuda. Dengan tubuh ngejuprak ke tanah karena tertampar oleh kaki Jaka. Kolanglang menangis dan bersujud meminta ampun.
"Ampunilah selembar nyawa hamba! Hamba akan mengembalikan kitab keempat Kate Sakti."
"Baik. Aku ampuni nyawamu, Kolanglang. Nah, sekarang kembalikan kitab itu pada pemiliknya dan berjanjilah bahwa kau tak akan mengganggu penduduk di sini, Mengerti?!" berkata Jaka.
Kolanglang mengangguk. Lalu dengan segera memberikan Kitab itu pada Keempat Kate Sakti. Setelah mendapat kitab itu kembali, kelimanya kembali meneruskan perjalanan meninggalkan desa itu untuk mengembara.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
Semua yang hadir di situ takjub demi mendengar ucapan Jaka yang merendah. Biasanya orang yang berilmu tinggi akan senang bila dihormati. Tapi sebaliknya pemuda itu tampak enggan untuk menerima penghormatan, hal itu menandakan betapa luhur hatinya.
"Anak muda dan kalian semuanya. Kami persilahkan duduk." berkata Ki Sapta Hanggara.
Tanpa ada yang membantah semuanya segera duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah semua yang hadir duduk di tempatnya, Ki Sapta Hanggarara pun segera membuka kata dengan bertanya pada Jaka: "Anak muda. Kami tahu kau adalah pendekar Pedang Siluman Darah pewaris ilmu-ilmu Empat Pendekar Sakti. Tapi kami minta, sudilah anda membuktikannya pada kami kebenarannya."
"Maksud ketua?" bertanya Jaka belum mengerti.
Sesaat Ki Sapta Hanggarara tersenyum lalu ucapnya kemudian: "Kalau benar engkau Pendekar Pedang Siluman Darah, maka kami yakin kau memiliki sebuah senjata aneh itu. Tunjukanlah pada kami. Percayalah, kami dari golongan lurus tak akan memperdayaimu."
"Benar, Anak muda! Kami hanya membutuhkan kepastian," berkata Ki Ageng Watu Gunung menambahkan.
Sesaat Jaka terdiam. Lalu perlahan tangannya segera merogoh baju belakangnya dan mengeluarkan pedang pusaka, "Pedang Siluman Darah."
Semua yang hadir tersentak kaget dan memekik.
"Ah...!"
Hampir saja mereka terjengkang dari duduknya, kalau keseimbangan mereka hilang. Dari Pedang Siluman Darah yang tiba-tiba datang di tangan Jaka, ujungnya meneteskan darah.
"Sudahkah kalian semua yakin?" bertanya Jaka menyarungkan pedangnya kembali.
"Maafkan kami, Anak muda!" berkata Ki Sapta Hanggarara.
"Tak apa! Kalian memang berhak untuk mencurigai aku." membalas Jaka berkata.
"Kami mohon, demi ketentraman kehidupan kau mau membantu kami menghancurkan titisan Budak Iblis." berkata Ki Sapta Hanggarara kembali.
Setelah Jaka menyanggupi, maka diputuskannya untuk mendatangi Lembah Karang Iblis nanti malam. Karena nanti malam adalah bulan purnama penuh. Di mana akan ada penculikan gadis untuk tumbal iblis.
* * * * *
Di sebuah hutan yang tak pernah di jamah oleh manusia karena terkenal keangkerannya, tampak seorang lelaki berdiri memandang pada sebuah lembah yang bernama Lembah Karang Iblis. Mata lelaki yang wajahnya tertutup oleh kain cadar sampai di bawah mata tampak berkaca-kaca, seperti ada sesuatu yang bergolak di hatinya.
"Bulan purnama telah tiba lagi, aku harus segera mendapatkan seorang gadis untuk tumbal," berkata hatinya. Seketika ia berkelebat dengan cepatnya meninggalkan hutan itu yang kembali diselimuti sepi.
Tak berapa lama setelah kepergian orang bercadar itu. Tampak dua bocah kecil keluar dari rumah tua yang dulu terdapat makam Budak Iblis. Kedua bocah itu segera berjalan melangkah semakin jauh meninggalkan rumah tersebut. Sedang mereka berjalan, salah seorang dari bocah itu melihat sebuah batangan bambu berwarna kuning tergeletak di tanah. Naluri bocah menyuruhnya untuk mengambil bambu kuning yang tergeletak, tanpa mengerti apa fungsinya. Malam hampir tiba ketika dua bocah itu telah keluar dari hutan yang terkenal angker itu menuju keperbatasan kampung penduduk.
"Kakang, hendak ke mana kita?" bertanya bocah kecil itu pada kakaknya.
"Entahlah, Dik. Aku sendiri tak tahu harus ke mana, namun daripada di rumah yang menakutkan itu. Hiey... Ayo cepat, nanti kita kemalaman!" ajak sang kakak. Dengan bergandengan, kedua bocah kecil itu segera berlari-lari pergi.
Bulan Purnama makin tinggi, pertanda malam makin larut. Dari kejauhan tampak serombongan orang berjalan sambil mengendap-endap menuju ke Bukit Karang Iblis. Tengah mereka berjalan, mereka seketika menghentikan langkahnya ketika tampak dua sosok tubuh kecil berjalan ke arah mereka. Segera rombongan orang yang tak lain kaum persilatan golongan lurus bersama Jaka bersembunyi di balik semak-semak. Setelah kedua bocah kecil itu makin mendekat, seketika Jaka tersentak dan langsung mendekat ke arah bocah tersebut.
"Hai... bukankah kalian anak Juminten?" tanya Jaka.
"Benar, kami anak Juminten. Siapakah paman adanya?" balik bertanya bocah yang agak besar.
"Kalian mungkin lupa padaku. Tapi bila kalian melihat keempat temanku, mungkin kalian tak lupa. Sebentar."
Jaka segera berkelebat pergi memanggil Keempat Kate Sakti. Setelah Keempat Kate Sakti itu keluar, kedua bocah kecil itu seketika ingat siapa adanya orang-orang di hadapannya.
"Ya, aku ingat. Kalau tak salah, bukankah paman yang bernama Jaka Ndableg?" bertanya si sulung.
"Benar! Ternyata ingatanmu tajam. Hai, dari mana kau memperoleh tongkat bambu kuning itu? Dan di mana ibumu?"
Terkejut Jaka Ndableg demi melihat bambu kuning yang menurut Ki Sapta Hanggara adalah merupakan kunci makam Budak Iblis berada di tangan bocah kecil itu. Dengan polos, bocah kecil itu menceritakan dari mana ia memperoleh tongkat itu. Makin yakinlah Jaka akan apa yang telah diduganya.
"Sedang ibumu, di mana?"
"Ibu mati oleh ayah," menjawab bocah itu dengan mata berlinang. Membuat Jaka dan Keempat Kate Sakti tersentak sembari berseru.
"Mati...! Kenapa ayahmu membunuh ibumu?"
"Entahlah, Paman. Akhir-akhir ini ayah seperti orang gila. Ayah juga sering membawa tubuh gadis yang katanya untuk korban penguasa Bukit Karang Iblis."
Makin terbelalak kaget Jaka dan Keempat Kate Sakti demi mendengar penuturan bocah kecil tersebut. Kini mereka tahu siapa pelaku dari kesemuanya, yang telah menteror dunia.
"Bocah, ikutlah kami dahulu. Saudaraku Empat Kate Sakti, ajaklah kedua bocah ini dan lindungi mereka."
"Baik Tuan."
Sepeninggalan Keempat Kate Sakti dan kedua bocah itu, Jaka segera berkelebat menyusul teman-temannya yang telah berjalan mendahuluinya ke Bukit Karang Iblis.
* * * * *
Malam makin larut dan bulan semakin tinggi, ketika dari arah Selatan seorang berlari menuju ke Bukit Karang Iblis. Melihat orang yang mereka tunggu-tunggu telah datang, semua tampak tegang. Hanya Jaka yang masih tampak tenang yang segera berkelebat memisahkan diri.
Lelaki yang di gendongannya membopong sesosok tubuh wanita, sesaat memandang sekelilingnya. Ketika dirasa aman, lelaki bercadar itu hendak berkelebat pergi manakala terdengar suara orang berteriak memburunya. Melihat banyak orang mengejarnya, lelaki bercadar itu hendak melarikan diri. Tetapi, ternyata bukit itu telah terkurung oleh tokoh-tokoh persilatan.
"Mau lari ke mana kau, Iblis?! Dosamu telah terlalu banyak, maka hari ini kau harus musnah dari muka bumi!" membentak Suro Pati.
Melihat tak ada orang yang ditakuti di antara mereka, seketika orang bercadar itu tertawa tergelak-gelak.
"Hua, ha... ha... Apa yang hendak kalian lakukan padaku? Kalian tak akan mampu mengalahkanku. Apa lagi membunuhku."
"Takabur! Jangan sombong, Iblis!" Elang Putih turut membentak.
Namun orang bercadar itu sepertinya tak perduli, malah dengan tertawa kembali berkata.
"Wahai semua yang ada di sini, menyerahlah padaku. Akulah yang akan menjadi pimpinan kalian."
"Edan! Saudara-saudara, serang...!"
Mendengar Ki Sapta Hanggara berseru, maka bagaikan air bah semua tokoh persilatan bergerak menyerbu. Tak ayal lagi, orang bercadar itu dikeroyok oleh seratus tokoh persilatan. Dikeroyok sebanyak itu, tidak menjadikan orang bercadar itu gentar. Bahkan dengan ganda tertawa, orang bercadar itu memapaki serangan mereka. Bersamaan dengan kelebatan tubuhnya, tangan dan kakinya bergerak cepat menghantam dan menendang. Gerakannya begitu gesit, walaupun di pundaknya membopong tubuh seorang gadis. Setiap tendangan atau pukulannya, menjadikan jeritan kematian orang-orang yang terkena.
Korban demi korban dari pihak tokoh persilatan terus berjatuhan. Namun hal ini tidak menjadikan patah semangat orang-orang persilatan. Mereka terus menyerang dengan bersemboyan, "Lebih baik mati membela kebenaran dan keadilan, daripada hidup dalam cengkeraman iblis."
Ketika para pengeroyok itu terteter, tiba-tiba terdengar seruan.
"Mundur!"
Bersama dengan habisnya suara itu, seketika berkelebat sesosok tubuh menghadang orang bercadar. Orang bercadar itu seketika melompat mundur, matanya melotot demi mengetahui siapa adanya pemuda di hadapannya.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!" menggumam hati orang bercadar kaget.
Jaka yang sudah mendengar kehebatan ilmu orang bercadar di hadapannya dengan tenang berkata; "Ki Sanak, kuharap kau mau menyerah"
Mendengar ucapan Jaka, lelaki bercadar itu mendengus marah dan dengan tanpa bicara ia menyerang. Jaka yang telah menduga akan diserang, dengan segera mengelakkannya. Lalu dengan cepat, Jaka segera balik menyerang. Kini pertarungan tampak seimbang, satu lawan satu. Keduanya merupakan tokoh-tokoh persilatan yang mumpuni. Keduanya merupakan pertemuan dua puluh lima tahun yang silam, walau keduanya hanya titisan dan murid belaka.
Karena keduanya merupakan wakil-wakil dari tokoh-tokoh sakti pada jamannya, maka pertempuran antara keduanya tampak seru. Mereka menggunakan jurus-jurus yang pernah dipakai pada dua. puluh lima tahun yang silam. Ketika mencapai jurus yang ke 100, Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah tiba-tiba melentingkan tubuhnya ke angkasa. Ketika ia kembali turun, tangannya segera diarahkan pada musuhnya.
"Ajian Getih Sakti. Hiaat!"
Saking terkesimanya, lelaki bercadar itu tak dapat mengelakannya. Seketika tubuh lelaki bercadar itu terhantam cairan merah membara. Tubuh lelaki bercadar itu terbakar, namun sepertinya lelaki itu tak merasa panas. Bahkan dengan cepatnya, lelaki bercadar itu balik menyerang.
Diserang secara mendadak, tidak menjadikan Jaka bingung atau mati langkah. Dengan terlebih dahulu bersuit panjang, Jaka segera menghantamkan ajian Petir Sewu. Ledakan-ledakan yang dahsyat menggema, menghantam tubuh lelaki bercadar itu. Namun seperti Getih Sakti, Petir Sewu pun tak mempan. Jangankan tubuh lelaki itu hancur, hangus pun tidak. Bahkan dengan nada mengejek, lelaki bercadar itu berkata: "Jaka Ndableg, keluarkan semua ajianmu. Aku, Kebo Pangasan tak akan mampu kau kalahkan!"
"Sombong kau, Kebo Pangasan! Terimalah ini. Hiat...!" Jaka segera berkelebat menyerang, Ajian Tapak Prahara telah dirapalkan.
"Ajian Tapak Prahara, terimalah ini Pangasan!" segera Jaka menghantamkan ajiannya.
"Hua, ha, ha... Jaka Ndableg, percuma kau menguras tenaga. Aku, Budak Iblis tak akan dapat kau kalahkan!"
Tersentak Jaka seketika itu, demi melihat apa yang terjadi. Ajian Tapak Prahara yang dahsyat, tidak mengakibatkan apa-apa di tubuh Kebo Pangasan.
"Tobat, Gusti. Dengan cara apa aku untuk mengalahkannya?" mengeluh hati Jaka.
Tengah Jaka terbengong diam, tibatiba terdengar Kebo Pangasan berteriak lantang: "Hai anak muda! Rupanya telah habis ilmumu, sehingga kau terbengong bagai sapi ompong. Ternyata ajian Empat Pendekar Sakti, tak ada apa-apanya. Hua, ha, ha...!"
"Jangan sombong, Pangasan!" membentak Jaka marah.
"Bersiaplah untuk mati!"
"Hua, ha, ha.... sedari tadi kau ngomong begitu. Tapi nyatanya hanya omongan kosong! Adakah ajianmu lagi? Keluarkanlah semuanya, bila perlu keluarkan senjatamu yang terkenal itu. Aku, Kebo Pangasan tak akan mundur."
"Baik, kalau itu yang engkau maui. Bersiaplah Kebo Pangasan!" Habis berkata begitu, Jaka segera terdiam mengheningkan cipta. Jaka tak memperdulikan apa yang diucapkan Kebo Pangasan.
"Dening Ratu Siluman Darah. Datanglah!"
Terbelalak mata semua yang ada, di situ termasuk Kebo Pangasan demi melihat hal yang sukar diterka oleh pikirannya. Pedang Siluman Darah yang menggemparkan dunia persilatan, tiba-tiba telah berada di tangan Jaka. Dari ujung pedang, meleleh darah membasahi batangnya.
Tengah Kebo Pangasan terdiam kaget, secepat kilat Jaka berkelebat menyerang. Ditebaskan Pedang Siluman Darah ke tubuh Kebo Pangasan. Kebo Pangasan bermaksud memapakinya dengan ajian yang ia miliki. Tapi belum juga Kebo Pangasan menyerang, Jaka telah mendahului membabatkan Pedang Siluman Darah. Memekik seketika Kebo Pangasan, tubuhnya terbelah menjadi dua.
Kembali untuk kedua kalinya semua terbelalak demi melihat suatu keanehan. Tubuh Kebo Pangasan yang terbelah, tak ada setetes darahpun. Darahnya telah terhisap habis oleh Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Tengah mereka terdiam menyaksikan kematian Kebo Pangasan, juga terkesiap oleh keajaiban Pedang Siluman Darah. Mereka dikejutkan oleh pekikan dua anak kecil yang menangisi kematian ayah mereka.
"Sudahlah, Nak. Jangan kau menangis," berkata Jaka terharu. Pedang Siluman Darah masih tergenggam di tangannya berwarna merah menyala.
"Paman sungguh hebat. Aku kagum denganmu, Paman!"
"Ah, Kau sungguh pintar, Anak manis. Sekarang kau ikutlah bersama paman Kate Sakti."
Tengah Jaka berkata-kata dengan kedua bocah kecil itu, Pedang Siluman Darah seketika terbang membawa tubuhnya ke puncak bukit. Jaka tersentak dan mengikuti ke mana pedang itu melesat membawa tubuhnya. Sedangkan semua tokoh persilatan, hanya memandang takjub tanpa dapat berbuat apa-apa. Pedang Siluman Darah terus membawa tubuh Jaka menuju ke atas Bukit Karang Iblis. Pedang itu berhenti manakala telah sampai di atas, membuat Jaka tak mengerti. Tengah Jaka kebingungan, terdengar sayup-sayup ayahnya si penghuni Kawah Chandra Bilawa yaitu Eka Bilawa berkata: "Anakku... selama penghuni Bukit Karang Iblis belum sirna, akan bahayalah dunia persilatan. Kau harus mampu membunuhnya. Walaupun dia iblis, namun Pedang Siluman Darah akan mampu membunuhnya."
"Ayah...! Di mana ayah?"
"Aku selalu ada di sisimu, Anakku." Berkata suara Bilawa.
"Kenapa ayah tidak menampakkan diri?" tanya Jaka seraya mencari-cari di mana gerangan ayahnya.
"Ha, ha, ha... kau lucu, Anakku, Ayah tak dapat menampakkan ujud, karena ayah kini bukan penghuni alam manusia. Sudahlah Anakku, tak perlu kau bersedih. Kini ayah telah bersama emakmu lagi."
"Jadi...ada emak ada di sini?" tanya Jaka berseri.
"Emak, kenapa emak tak ngomong?"
"Ada apa, Anakku?" bertanya suara wanita, menjadikan Jaka makin tersenyum senang.
"Cepatlah kau lakukan apa yang telah ayahmu perintahkan. Kau harus mampu, Anakku. Emak kini telah hidup bahagia bersama ayahmu, jangan kau pikirkan. Kau harus lebih banyak memikirkan nasib kaummu dari orang-orang jahat. Nah, lakukanlah!"
"Baik, Emak. Ayah, apa yang harus Jaka lakukan?"
"Tebaskan pedangmu ke muka, kau akan mendapatkan apa yang kini kau tak dapat melihatnya."
Mendengar penuturan ayahnya, Jaka dengan segera menebaskan Pedang Siluman Darah ke muka. Seketika terpampanglah, sebuah kerajaan di mana Ratu Iblis Karang Bolong telah duduk di atas singgasananya. Ratu Iblis itu tersenyum pada Jaka, namun Jaka yang sudah dipesan wanti-wanti oleh ayah dan emaknya tak mau perduli. Dengan Pedang Siluman Darah, ditebaskannya pedang itu ke tubuh Ratu Iblis. Seketika melengkinglah sang Ratu, sirna dari hadapannya. Darah hitam legam tampak membasahi Pedang Siluman Darah. Bersamaan dengan matinya Ratu Iblis Karang Bolong, seketika kerajaan itu meledak. Secepat kilat Pedang Siluman Darah membawa Jaka terbang kembali.
Para tokoh persilatan tersentak kaget, mana kala Bukit Karang Bolong yang ada di hadapannya meledak. Suara ledakannya menggelegar kencang, menyemburkan bebatuan.
"Ooh, Pendekar muda itu...!" Tak dapat Ki Sapta Hanggara meneruskan kata-katanya.
Ki Sapta Hanggara menyangka kalau Jaka telah mati bersama ledakan bukit. Bukan hanya Ki Sapta Hanggara yang menangis, semuanya pun turut menitikkan air mata. Yang lebih sedih di antara mereka rupanya keempat Kate Sakti. Keempatnya menangis menggerung-gerung bagaikan anak kecil.
"Duh tuan Pendekar, mengapa tuan meninggalkan kami?"
"Benar, Kakang Utama. Mengapa kita tak dapat mengabdi lebih lama pada tuan kita?"
Tengah keempat Kate Sakti dan lainnya menangis, tiba-tiba terdengar suara Jaka bergema.
"Kenapa kalian menangis? Aku masih selamat. Aku telah pergi untuk meneruskan pengembaraanku. Selamat tinggal semuanya. Kate Sakti, kembalilah kalian pada perguruan..."
Betapa gembiranya keempat Kate Sakti demi mendengar tuannya berkata. Dengan melompat-lompat kegirangan yang membikin semuanya tertawa-tawa, keempat Kate Sakti bernyanyi-nyanyi sambil melangkah pulang.
S E L E S A I
MEMBURU BAH JENARINDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Ratu Penggoda Siluman Muka Ayu --oo0oo-- Memburu Bah Jenar |