Memburu Bah Jenar
tanztj
May 20, 2010
INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Titisan Budak Iblis --oo0oo-- Hidung Belang Penghisap Darah |
JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : MEMBURU BAH JENAR
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : MEMBURU BAH JENAR
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
Dari sebuah rumah yang letaknya tak jauh dengan hutan, terdengar isak tangis seorang wanita. Bila kita melihatnya ke dalam, di sana kita akan menyaksikan seorang wanita muda tengah duduk dengan kedua tangan menutup muka. Rupanya wanita muda itu tengah menangis, entah apa yang ditangisinya.
"Gusti Allah. Kenapa diriku sejelek ini? Hingga aku selalu disisihkan dalam pergaulan?"
Mana kala tangannya membuka dari muka, tampaklah seraut muka yang hancur berantakan bagai tak berbentuk lagi. Kedua pipinya tampak membusuk, sementara hidungnya membesar sebesar buah terung. Saat wanita itu memandang wajahnya pada cermin, seketika ia menjerit dan menghantam cermin di hadapannya dengan batu hingga pecah berantakan.
"Tidak...! Tidak! Wajahku tidak seperti ini. Hu, hu, hu..."
Wanita itu terus menangis, seakan tak rela wajahnya yang dulu cantik berubah menjadi seraut wajah busuk dan bau. Jangankan pria-pria ganteng, pria jelek pun tak akan mau mengambilnya menjadi istri. Setelah menangis sesenggukan untuk beberapa lama, wanita itupun tampak tercenung. Angannya seketika kembali melayang pada masa silam, mana kala wajahnya masih cantik jelita.
Dua tahun yang lalu wajahnya cantik jelita, hingga banyak pria yang mengaguminya, berlomba-lomba untuk mendapatkan dirinya. Namun sejauh itu tak pernah ada yang mampu memenuhi syarat yang telah ia tentukan dalam hati. Adapun syarat yang ia tentukan untuk mendapatkan pasangan, tak lain seorang lelaki yang tampan, kaya, dan mempunyai kedigdayaan tinggi. Untuk memenuhi syarat tersebut, wanita itu yang bernama Nyi Sarpa Rakinten membuat suatu sayembara.
Berduyun-duyun sang juragan datang untuk mengikuti sayembara tersebut, dengan harapan dapat mempersunting Nyi Sarpa Rakinten yang cantik jelita. Maka saat itu juga diadakanlah pemilihan calon yang cocok untuk menjadi pendamping Nyi Sarpa Rakinten. Pertama dilakukan pemilihan siapa-siapa yang paling ganteng dan kaya. Setelah diseleksi dengan seksama oleh Nyi Sarpa Rukinten sendiri, dipilihlah sepuluh orang laki-laki yang paling kaya di antara dua puluh lima orang.
Syarat pertama telah selesai, dilanjutkan dengan syarat kedua yaitu mencari siapa yang paling tinggi ilmu kadigjayaannya. Maka satu persatu dari kesepuluh orang yang telah memenuhi syarat pertama diadu. Jika telah ada yang menang dialah yang berhak menjadi pendampingnya. Namun setelah hal itu berlanjut dan telah ada seorang di antara kesepuluh juragan itu yang menang, ternyata Nyi Sarpa Rakinten mengingkarinya.
"Mengapa kau tak mau menerimaku yang telah memenuhi segala syarat-syarat yang telah kau ajukan?" tanya Gantra agak kecewa dan marah, merasa dirinya telah dikhianati dan dibohongi oleh Nyi Sarpa Rakinten.
"Maafkan aku, Gantra. Sebenarnya aku telah mempunyai calon suami."
"Nyi Sarpa Rakinten! Kalau memang itu keputusanmu, jangan salahkan aku suatu saat mukamu yang cantik jelita akan menjadi busuk! Hingga tak ada seorangpun termasuk calon suamimu yang sudi denganmu! Camkan itu!"
Habis berkata begitu, dengan penuh kekecewaan Gantra segera berlari meninggalkan Nyi Sarpa Rakinten yang hanya terbelalak sesaat. Lalu dengan meremehkan ucapan Gantra, Nyi Sarpa Rakinten mencibirkan bibirnya.
"Hem... keki rupanya. Mana aku mau dengannya yang telah mempunyai anak isteri? Isterinya saja enggak pernah diurusi, apalagi nanti punya isteri dua?" Habis berkata mengejek begitu. Nyi Sarpa Rakinten segera mengegoskan tubuhnya kembali masuk ke dalam rumahnya. Direbahkan tubuhnya di utas dipan
* * * * *
Rasa kecewa dan kesalnya pada Nyi Sarpa Rukinten yang telah mentah-mentah menolaknya menjadi suami, menjadikan Gantra tak dapat tenang. Ia belum puas bila belum mampu membuat wajah Nyi Sarpa Rukinten hancur, hingga tak seorang pemuda atau pria manapun yang mau menjadi kekasihnya.
Dendam memang susah untuk dilupakan begitu saja, karena dendam merupakan pengaruh syetan yang menghendaki manusia lupa pada sesamanya. Bila dendam telah melekat dalam hati, maka manusia tak akan mengenal yang namanya kasih sayang.
Seperti halnya Gantra, yang malam itu tak mampu memicingkan matanya barang sekejappun. Ingatannya kembali pada ucapan Nyi Sarpa Rukinten, "Mengurusi satu isteri saja kau tak becus, apalagi mengurusi dua isteri? Lagi pula aku telah memiliki calon suami yang saat ini tengah berada di rantau."
"Sarpa Rukinten, brengsek! Kalau aku tak mampu membuatmu di benci oleh semua orang, jangan sebut aku Gantra lagi!" memaki Gantra sendirian.
Isterinya yang saat itu mendengar bertanya, terheran-heran.
"Kang, kau memaki-maki siapa?"
"Ah... tidak! Aku tidak apa-apa. Mungkin aku tadi melamun dan teringat pada waktu aku masih menjadi prajurit."
Mendengar ucapan suaminya, seketika sang isteri tampak mengangguk-angguk mengerti seraya mendesah.
"Ooh...!" lalu segera mengegoskan tubuhnya kembali masuk ke dalam kamar. Tak lama kemudian, terdengar dengkurnya yang menggema membuat Gantra menggerutu kesal.
"Dasar jelek! Tidur saja mendengkur begitu rupa. Menyesal aku menuruti kemauan bapak, kalau akhirnya aku mendapatkan isteri macam begini. Hem, Nyi Sarpa Rukinten, dendamku padamu tak akan hilang bila aku belum dapat membuatmu menderita."
Malam itu juga Gantra bertekad untuk mencari seorang dukun, yang bisa mengguna-gunai Nyi Sarpa Rukinten. Namun bukan guna-guna pelet tapi guna-guna agar muka Nyi Sarpa Rukinten yang sombong dan angkuh itu menjadi buruk. Hingga tak ada seorang pun yang nantinya mau menjadi suami.
"Ke mana aku harus mendapatkan seorang dukun?" bertanya Gantra pada diri sendiri. Kembali ia tercenung bingung. Di mana dukun yang mampu melakukan kehendaknya itu. Setelah sekian lama termenung, Gantra teringat pada seorang temannya bernama Ki Panganoman yang bertempat tinggal di kaki gunung Galunggung.
"Ah! Aku harap ia mampu melakukan itu," gumam hati Gantra. Kepalanya yang tak berat diangguk-anggukan seperti memahami sesuatu.
Dengan perlahan-lahan menuruni tangga rumahnya, Gantra segera keluar untuk menuju ke tempat Ki Panganoman. Malam itu pula, Gantra pergi menuju ke Ki Panganoman. Ketika matahari telah terbit redup di ufuk Timur, Gantra telah sampai pada tujuan yaitu sebuah gubug yang terletak di kaki bukit gunung Galunggung. Dengan wajah berseri-seri, Gantra segera mempercepat langkahnya. Rasa capai, kantuk tak dihiraukannya. Bahkan mana kala telah tiba di depan rumah Ki Panganoman, Gantra nampak makin bersemangat
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" terdengar jawaban seseorang dari gubug, disusul dengan keluarnya seorang lelaki yang usianya sebaya dengan Gantra.
"Eh, kau, Gantra! Kapan datang? Angin apa yang telah membawamu ke mari?"
"Maaf, Kakang Panganoman! Aku tak pernah mengunjungimu setelah kita keluar dari keprajuritan. Angin buruk yang telah mengingatkan aku padamu."
Mengerut alis mata Ki Panganoman mendengar apa yang telah dikatakan oleh temannya seraya bergumam.
"Angin buruk? Gerangan apakah itu? Hingga kau mengatakan angin buruk, Gantra?"
Sesaat Gantra terdiam seperti malu untuk menceritakan hal apa yang sebenarnya terjadi. Ki Panganoman yang mendapatkan Gantra diam, akhirnya bertanya kembali.
"Gantra, kalau kau tak mau mengutarakannya padaku. Untuk apa kau datang jauh-jauh ke sini?"
Didesak begitu rupa oleh Ki Panganoman, Gantra pun akhirnya dengan malu-malu mengutarakan juga.
"Kakang Panganoman, sebenarnya hal ini masalah wanita."
"Masalah wanita? Istrimu...?" bertanya Ki Panganoman tak mengerti memandang tajam pada Gantra, yang hanya mampu menundukan wajah karena malu. Setelah mengatur napas, akhirnya Gantra dengan suara berat menceritakan
"Seminggu yang lalu aku mendengar sebuah pengumuman yang disebar oleh seorang wanita bernama Nyi Sarpa Rukinten."
"Tentang apa itu?"
"Nyi Sarpa Rukinten menyebar pengumuman berisikan sebuah sayembara. Barang siapa yang kaya, tampan, dan memiliki ilmu silat tinggi akan berhak menjadi suaminya. Akupun segera ikut ambil bagian dan melamar. Namun setelah segala persyaratan aku penuhi, dia ternyata hanya berdusta dan mempermainkan aku, bahkan mengejekku yang sangat menyakitkan."
Ki Panganoman terangguk-angguk kepalanya mendengar cerita Gantra. Setelah Gantra mengakhiri ceritanya, Ki Panganomanpun segera kembali bertanya: "Lalu maksudmu, bagaimana?"
"Kakang Panganoman, dendam dan kekecewaanku pada Nyi Sarpa Rakinten yang telah mempermainkan aku ingin aku balas! Jangan karena wajahnya cantik, lalu semena-mena mempermainkan lelaki!"
"Maksudmu, Gantra?"
"Apakah kakang tak mengerti?" bertanya Gantra seperti tak percaya, yang hanya dijawab dengan gelengan kepala Ki Panganoman.
"Aku ingin membalas sakit hatiku pada Sarpa Rukinten. Aku ingin agar wajahnya yang cantik itu, kakang bikin buruk. Bukankah dengan demikian ia tak akan sombong?"
Ki Panganoman menarik napas panjangpanjang demi mendengar ucapan Gantra. Kembali kepalanya digeleng-gelengkan, lalu ucapnya kemudian: "Apakah kau siap menanggung resiko nantinya, Gantra?"
Tercenung Gantra seketika itu. Sepertinya ia tengah berpikir meresapi ucapan Ki Panganoman yang dirasa memang ada benarnya juga. Namun karena dendam yang lebih menguasai hatinya, Gantra akhirnya menjawab, membikin Ki Panganoman mendesah berat.
"Aku siap menanggung akibatnya nanti, Kakang. Asalkan dendamku padanya dapat terbalaskan."
"Aah...! Apakah kau telah berpikir masak-masak, Gantra?"
"Sudah! Aku telah memikirkannya. Dan aku telah siap menanggung akibatnya kelak."
Menggeleng lemah kepala Ki Panganoman mendengar ucapan Gantra. Muka Ki Panganoman seketika berubah redup seakan menyesali tindakan Gantra yang terlalu gegabah. Hingga membuat Gantra untuk kedua kalinya berkata:
"Kenapa, Kakang?"
"Apakah kau benar-benar, Gantra?"
"Ya!" menjawab Gantra seraya menganggukan kepalanya, membuat Ki Panganoman kembali geleng-geleng kepala sebelum kembali berkata:
"Kalau itu yang menjadi keputusanmu, maka aku tak dapat lagi menolaknya. Namun perlu kau ingat! Bahwa segala resikonya nanti berada di tanganmu, jangan kau bawa-bawa aku."
"Baik, Kakang. Aku telah siap."
Terangguk-angguk kepala Ki Panganoman mendengar ucapan Gantra yang teguh.
"Pulanglah kau. Tunggulah akibatnya nanti pada waktu kurang dari tujuh hari."
"Terimakasih, Kakang."
Setelah menyalami Ki Panganoman Gantra pun segera kembali pulang ke rumah untuk menunggu hasilnya.
Ki Panganoman hanya mampu menggelengkan kepalanya setelah kepergian Gantra, sebelum ia kembali membalikkan tubuhnya masuk ke dalam pondokannya yang kecil dan terpencil jauh dari keramaian orang.
Dengan wajah berseri-seri, Gantra berjalan pulang bagaikan tak merasakan lelah setelah semalam tak tidur dan tanpa istirahat. Di hatinya hanya ada satu kala. Dendamku terlunasi sudah!
Waktu yang ditentukan oleh Ki Panganoman ternyata tak meleset. Terbukti kurang dari tujuh hari tersebar kabar bahwa Nyi Sarpa Rukinten sakit aneh. Sakit yang membuat wajahnya seketika mengeluarkan benjolan-benjolan bernanah dan bila digaruk seketika memecah menjadi koreng.
Bagaikan tak mengerti saja, Gantra segera memacu kudanya menuju tempat Nyi Sarpa Rukinten. Wajah Gantra tampak berseri-seri mengingat bakal apa yang akan dilihatnya. Ditambatkan tali kudanya pada sebatang pohon di halaman rumah Nyi Sarpa Rukinten. Dan dengan bergegas. Gantra segera menyeruak menyisihkan orang-orang yang melihatnya untuk dapat masuk. Terbelalak mata Gantra seketika itu, manakala melihat hasil yang telah diperolehnya. Walaupun muka tampak meredup sedih, namun hatinya seketika itu bersorak gembira.
"Hem... rasa-kanlah akibat kesombonganmu!"
Nyi Sarpa Rukinten yang tengah menangis, seketika memandang tajam pada Gantra dengan sorot mata penuh kebencian. Dan dari mulutnya terdengar suara membentak marah.
"Kau! Kaulah yang telah melakukan ini semua! Kau bajingan! Kau bajingan...!" Bersamaan dengan itu. Nyi Sarpa Rukinten segera menyerang Gantra. Semua orang yang ada di situ tercengang tanpa dapat mencegah.
Diserang dan dituduh begitu oleh Nyi Sarpa Rukinten, membuat Gantra tak dapat mengelakkannya. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya seketika sempoyongan terhantam pukulan Nyi Sarpa Rukinten. Meski tanpa bobot, namun begitu keras karena tengah diselimuti kemarahan.
"Kau bukan lelaki! Kenapa aku tolak cintamu kau membikin mukaku begini? Kenapa?!"
Demi mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang disertai tangis, seketika semua yang ada di situ serentak mengeroyok Gantra. Mau tak mau Gantra pun harus berpikir dahulu sebelum ia bertindak gegabah. Makakala ada kesempatan lolos, Gantra pun dengan segera melentingkan tubuhnya ke atas dan hinggap di punggung kudanya. Dengan segera dibukanya tali kuda yang ditambat.
Dan dengan tanpa menengok lagi, Gantra segera menggebah kudanya yang seketika lari kencang meninggalkan semua orang yang mengejarnya. Mereka yang mengejarnya pun akhirnya tak dapat berbuat apa-apa, kecuali kembali pada Nyai Sarpa Rukinten yang telah minggat entah ke mana.
* * * * *
:::≡¦ [ 2 ] ¦≡:::
"Nyi Sarpa Rukinten, kalau kau ingin wajahmu kembali seperti sedia kala, datanglah pada seorang dukun yang bertempat tinggal di kaki gunung Sembung. Carilah olehmu sebuah goa. Di situ kau akan menemukan orang yang aku maksud. Mintalah pertolongan padanya dan janganlah kau membantah apa yang dikatakannya. Nah, berangkatlah sekarang juga!"
Terperanjat Nyi Sarpa Rukinten, demi mendengar suara lelaki yang tanpa menunjukan bentuk jasadnya. Dengan hati tak mengerti Nyi Sarpa Rukinten memandang ke atas atap rumahnya.
"Siapakah kau, Ki Sanak?"
"Jangan kau tanyakan siapa aku adanya. Yang pasti aku ingin menolongmu dengan menunjukkan tempat di mana kau dapat mengembalikan wajahmu," menjawab suara lelaki itu. Disusul dengan suara hembusan angin bersama hilangnya suara orang itu.
"Apakah aku harus percaya?" bertanya hati Nyi Sarpa Rukinten.
"Tapi akan aku coba dulu. Mungkin orang itu memang benar-benar ingin menolongku. Aku yakin kalau orang yang dimaksud mempunyai ilmu yang tinggi hingga aku nanti akan mampu belajar ilmu padanya untuk menuntut balas pada Gantra jahanam itu. Hem. karena dia, mukaku jadi begini rupa."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, malam itu juga Nyi Sarpa Rukinten pergi menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh suara lelaki itu. Dengan bekal semangat dan keinginan untuk dapat memulihkan wajahnya seperti semula. Nyi Sarpa Rukinten menerobos gelapnya malam. Pikirannya melayang penuh rasa dendam pada Gantra. Bagaikan kesetanan Nyi Sarpa Rukinten memacu kudanya.
Bah Jenar yang tengah melihat baskom berisi air dengan bunga tujuh warna tampak tersenyum senang. Seorang wanita tengah memacu kudanya menuju ke tempat di mana ia berada.
"Berhasil! Aku berhasil mempengaruhinya. Istriku akan dapat hidup lagi walau dengan menggunakan jasad gadis itu. Ha, ha, ha...!" bergelak tawa Bah Jenar, hingga menggema di setiap sudut gubugnya.
"Ayo! Teruskan langkahmu ke mari. Jangan kau ragu, Nduk!" berkata Bah Jenar pada gambar di permukaan air yang ada di baskom. Tampak orang dalam air itu memandang ke arahnya sesaat seperti kebingungan.
"Ayo! Hela kudamu menuju ke Selatan. Jangan kau bingung, Nduk."
Gadis dalam penglihatan Bah Jenar di air baskom itu tampak memalingkan mukanya ke Selatan, dengan segera memacu kudanya menuju tempat yang ditunjukan oleh Bah Jenar.
Terkekeh-kekeh Bah Jenar. Melihat gadis itu telah menuju ke arah di mana ia tinggal. Bah Jenar dengan gembira segera menyambutnya di ambang pintu. Tak lama kemudian tampak seorang gadis dengan menunggang kuda menuju ke arahnya.
"Bagus, bagus! Tak sia-sia aku menunggu sampai sepuluh tahun lamanya. Akhirnya aku berhasil mendapatkan orang yang akan menjadi tempat roh istriku. Semoga tak akan mengalami kesulitan," berkata Bah Jenar pada diri sendiri.
Sementara itu orang penunggang kuda yang tak lain dari Nyi Sarpa Rukinten makin dekat ke arahnya. Gadis itu memacu kudanya dengan cepat menaiki bukit di mana Bah Jenar saat itu tengah berdiri memandang ke arahnya.
"Sampurasun...!" menyapa Nyi Sarpa Rukinten.
"Rampes...! Siapakah gerangan dirimu, Ki Sanak? Dan ada keperluan apakah datang ke mari?" bertanya Bah Jenar pura-pura tak mengerti.
"Mbah... menurut wangsit yang saya terima, saya akan dapat mengembalikan muka saya secantik dulu lagi oleh pertolongan mbah."
Mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten, seketika alis mata Bah Jenar mengerut sepertinya terkejut. Lalu dengan pura-pura tak mengerti. Bah Jenarpun bertanya: "Apakah kau merasa yakin?"
"Saya yakin. Mbah. Sebab saya langsung menerima wangsit itu."
Tertawa Bah Jenar mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang tampak terbengong-bengong tak mengerti.
"Kenapa, Mbah?"
"Tidak apa-apa. Apakah kau telah memikirkannya masak-masak?"
"Tentang apa itu. Mbah?" tanya Nyi Sarpa Rukinten seraya mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Apa yang kau terima dari wangsit itu?"
Terdiam Nyi Sarpa Rukinten memandang ke wajah Bah Jenar yang masih tersenyum, sepertinya hendak menanyakan isi hati dan pandangan mata Bah Jenar yang tajam menghujam.
"Saya menerima ucapan dari seseorang yang menunjukkan di mana saya mesti datang untuk menyembuhkan mukaku."
"Lalu apakah ada syaratnya?"
"Ada, Mbah."
"Apa syaratnya?"
Untuk kedua kalinya Nyi Sarpa Rukinten terdiam sesaat memandang Bah Jenar, sebelum akhirnya kembali berkata: "Orang yang telah memberi wangsit padaku mengatakan, bahwa aku harus menuruti apa kata Mbah."
"Bagus! Memang, untuk menyembuhkan mukamu itu, kau harus menurut segala kata-kataku. Mari silahkan masuk! Kita ngobrol-ngobrol dulu di dalam goa."
Terkejut Nyi Sarpa Rukinten mendengar kata-kata Bah Jenar, hingga seketika itu terdengar desisnya kaget.
"Goa! Mana goa, Mbah?"
Terkekeh-kekeh Bah Jenar mendengar pertanyaan Nyi Sarpa Rukinten yang sepertinya kebingungan. Dengan segera Bah Jenar menerangkan:
"Ini adalah goa, bukan gubug seperti kau lihat. Eh, siapakah namamu?"
"Nama saya, Sarpa Rukinten!"
"Ayo, masuk Sarpa Rukinten!" mengajak Bah Jenar, yang segera diikuti oleh Nyi Sarpa Rukinten.
Nyi Sarpa Rukinten kini percaya bahwa itu adalah sebuah goa bukan gubug yang diduganya. Dalam goa itu terdapat seperangkat dapur dan sebuah batu datar untuk tidur. Di samping batu datar itu terlihat sebuah peti mati, hingga mengundang Nyi Sarpa Rukinten bertanya seketika:
"Peti mati siapa. Mbah?"
Seketika mata Bah Jenar terbelalak memandang ke arahnya, seakan mengisyaratkan padanya untuk tidak bertanya-tanya pada hal-hal tersebut. Muka Bah Jenar yang tadinya banyak senyum, kini nampak redup sedih. Hingga membuat Nyi Sarpa Rukinten terbersit rasa takut. Dan dengan terbata-bata berkata kembali:
"Maafkan saya. Mbah. Sungguh saya tidak sengaja kalau pertanyaan saya telah menyinggung perasaan Mbah."
Menggeleng lemah kepala Bah Jenar. Sementara matanya terus memandang tajam pada Nyi Sarpa Rukinten yang hanya mampu menunduk tak berani untuk balik menatap.
Kebisuanpun menyelimuti kedua orang itu untuk beberapa saat lamanya. Akhirnya terdengar suara Bah Jenar yang serak berkata: "Sudahlah... jangan kau pikirkan hal itu. Yang penting, kau harus menurut apa yang aku perintahkan padamu nanti. Sekarang kita ngobrol dulu."
"Baik, Mbah. Aku akan selalu menuruti apa yang kau ucapkan, asalkan mukaku akan kembali seperti sedia kala. Apapun nantinya yang akan ditugaskan mbah padaku, akan aku laksanakan. Aku telah mampu membuat perhitungan dengan orang yang telah membuat mukaku rusak."
Terkekeh kembali Bah Jenar mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Dalam hati Bah Jenarpun berkata senang.
"Bagus, bagus! Memang hal itulah yang aku kehendaki. Bila praktekku berhasil, maka aku akan dapat membalas dendam pada tokoh-tokoh persilatan yang telah membuatku terasing di dunia ini."
Nyi Sarpa Rukinten hanya terdiam menunduk, tak dihiraukan tawa Bah Jenar yang seperti tawa setan yang menggema di setiap ruangan goa itu.
"Sarpa Rukinten."
"Ya, Mbah?" menjawab Nyi Sarpa Rukinten seketika. Mukanya yang tadinya tertunduk, kini didongakkan memandang pada Bah Jenar yang menandangnya tanpa berkedip.
"Kalau kau nanti aku sembuhkan. Apakah kau mau membantuku?"
"Aku mau. Mbah!" menjawab Nyi Sarpa Rukinten yang membuat Bah Jenar kembali tertawa, sembari mengangguk-anggukan kepalanya. Sesaat setelah terdiam memandang Nyi Sarpa Rukinten, Bah Jenar kembali bertanya:
"Bisakah kau menceritakan padaku, mengapa mukamu yang tadinya cantik berubah menjadi begitu?"
Nyi Sarpa Rukinten terdiam sesaat. Lalu dengan terlebih dahulu menarik napas panjang seperti menekan kekesalan di hatinya manakala mengenang kejadian itu. Nyi Sarpa Rukinten menerangkan.
"Kejadian itu sekitar seminggu yang lalu, manakala aku ingin mencoba mengetahui apakah lelaki tertarik padaku? Dengan menyebar pengumuman yang berisikan sayembara. Banyak lelaki yang datang untuk mengikuti sayembara itu, di antaranya seorang juragan yang bernama Gantra. Setelah semuanya menyetujui syarat-syarat yang aku ajukan mereka pun bertanding untuk menjadi yang paling sakti ilmunya. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Gantra, seorang juragan yang telah mempunyai isteri dan anak. Jelas hal itu aku tolak"
Bah Jenar tampak mendengarkannya dengan sesekali mengangguk-anggukan kepala. Lalu Bah Jenarpun bertanya setelah Nyi Sarpa Rukinten mengakhiri ceritanya.
"Lalu Gantra kecewa?"
"Ya, Mbah."
Bah Jenar menarik napas panjang sesaat sembari memandang pada wajah Nyi Sarpa Rukinten. Tergetar hati Bah Jenar mana kala mendalamkan pandangannya. Di balik keburukan wajah itu, tampak kecantikan yang dapat mengundang rangsangan setiap lelaki. Begitu juga Bah Jenar yang melihat dengan seksama..Darah Bah Jenar menggelegar penuh rangsangan, manakala terus menajamkan tatapan matanya ke wajah Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya yang memang penuh iblis berkata.
"Kalau dia sudah kembali seperti sedia kala, maka aku harus mendapatkannya untuk menjadikan pengganti isteriku." Dengan ilmu peletnya yang disalurkan lewat sorotan mata. Bah Jenarpun berkata:
"Pandanglah mataku, Sarpa Rukinten! Pandanglah...!"
Ucapan Bah Jenar menggaung di telinga Nyi Sarpa Rukinten. Mendesak otaknya untuk mau menuruti ucapan itu. Hingga tanpa ragu-ragu, Nyi Sarpa Rukinten pun segera menuruti ucapan itu. Dipandangnya sorot mata Bah Jenar yang penuh daya magis dengan kedua matanya. Seketika di hati Nyi Sarpa Rukinten tergetar sesuatu perasaan aneh. Napasnya saat itu juga memburu liar, menjadikan dadanya terasa menyesak. Di hadapannya kini bukanlah Bah Jenar lagi, namun seorang dewa gagah yang menjadi idamannya. Dengan tanpa malu-malu lagi, Nyi Sarpa Rukinten pun segera mendekat ke arah Bah Jenar yang tersenyum penuh kemenangan.
"Duduklah di atas batu datar itu! Bukalah seluruh pakaian yang kau kenakan, lalu rebahkan tubuhmu!"
Dengan pikiran diliputi khayalan-khalayan. Nyi Sarpa Rukinten pun segera membuka satu persatu pakaiannya hingga tak tersisa sehelai benangpun. Lalu dengan penuh senyum, Nyi Sarpa Rukinten segera membaringkan tubuhnya terlentang di atas sebuah batu datar yang telah ada.
Bah Jenar tersenyum puas, melangkahkan kakinya perlahan menuju ke tempat di mana Nyi Sarpa Rukinten terbaring. Maka tak dapat dikata lagi. keduanyapun seketika terlibat dalam dekapan setan yang telah merasuk di jiwa mereka. Bagaikan seekor macan yang kelaparan. Bah Jenar menggeluti tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang menjerit manakala kegadisannya terenggut.
"Aah...!"
Bah Jenar tersenyum senang, sedang Nyi Sarpa Rukinten kini hanya dapat merintih dan merintih setelah membercikkan darah perawannya.
* * * * *
Bah Jenar tampak duduk bersila. Di hadapannya duduk pula Nyi Sarpa Rukinten. Keduanya tampak terdiam sesaat, lalu terdengar Bah Jenar berkata: "Nyi Sarpa Rukinten, untuk mengembalikan wajahmu seperti sedia kala, kau perlu melakukan mandi tujuh kali dengan tujuh macam bunga. Setelah itu, kau harus meneteskan darah ke atas peti mati itu."
"Untuk apa. Mbah?"
"Janganlah membantah. Nyi. Lakukanlah apa yang aku katakan padamu bila kau ingin wajahmu seperti sedia kala," berkata Bah Jenar.
Dengan tanpa berani menentang lagi, akhirnya Nyi Sarpa Rukintenpun menurut. Malam itu juga dengan ditemani Bah Jenar, Nyi Sarpa Rukinten segera melaksanakan apa yang telah diperintahkan padanya. Tujuh sumur yang ada di sekitar situ didatanginya satu persatu. Setiap kali ia mandi di setiap sumur, saat itu juga bunga-bunga ditaburkan oleh Bah Jenar ke atas rambutnya.
Satu sumur, dua, tiga, empat, tak terjadi reaksi apa-apa. Namun ketika sumur yang keenam, terdengar jeritan Nyi Sarpa Rukinten menyayat. Tampak kulit di wajahnya yang busuk itu, meleleh dan mengelupas. Berbareng dengan itu, wajah Nyi Sarpa Rukinten pun kini berganti seperti semula. Dan ketika sumur yang ketujuh. Nyi Sarpa Rukinten benar-benar seperti bidadari.
Hal itu menjadikan Bah Jenar membeliakan matanya takjub. Memandang tak berkedip sepertinya tak percaya pada apa yang ada di hadapannya. Hingga tanpa sadar. Bah Jenar memekik memanggil sebuah nama.
"Isteriku, Roro Asih. Kaukah itu?"
"Benar, Kakang. Kenapa kau membangunkan tidurku?" berkata Nyi Sarpa Rukinten, namun suaranya lain sembari tersenyum memandang pada Bah Jenar.
"Kalau kau ingin penitisan ini berhasil dengan baik, maka kau harus menyuruh gadis ini meneteskan darahnya pada peti mati itu bersamaan dengan darahmu."
"Baiklah, isteriku. Aku akan melaksanakannya kembali apa yang telah kita rencanakan dahulu. Ayo. kita ke dalam!" mengajak Bah Jenar seraya menggandeng tangan Nyi Sarpa Rukinten.
Dengan didahului membakar dupa di depan peti mati. Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten segera duduk bersimpuh. Dari mulut kedua orang itu terdengar ucapan mantra yang tak jelas. Setelah selesai mengucap mantra, keduanya segera bangkit dari duduk. Berbarengan keduanya segera menusuk jari tengah tangannya dengan sebuah duri.
Seketika dari tusukan itu keluar cairan merah menetes ke atas peti mati. Asap hitam seketika mengepul bergulung-gulung ke angkasa, manakala darah keduanya jatuh ke permukaan peti mati itu. Asap itu perlahan-lahan masuk ke dalam tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang menjerit-jerit bagaikan dibeset kulit tubuhnya.
"Aaahhh...!!!"
Dibanting-bantingkan tubuhnya ke tembok goa, sepertinya tak tahan dengan sakit yang tengah dideritanya. Lama hal itu dilakukan, hingga akhirnya tubuh Nyi Sarpa Rukintenpun jatuh pingsan.
Dengan penuh perasaan. Bah Jenar segera mengangkat tubuh Nyi Sarpa Rukinten ke atas baru datar. Dibaringkannya tubuh Nyi Sarpa Rukinten di atas batu datar itu. Lalu dengan penuh nafsu Bah Jenar pun segera mendekap tubuh Nyi Sarpa Rukinten yang tengah pingsan. Untuk kedua kalinya. Bah Jenar dapat menyalurkan nafsunya tanpa ada perlawanan.
Menjerit sadar Nyi Sarpa Rukinten sesaat, kemudian tersenyum manakala memandang pada Bah Jenar. Sepertinya puas menerima perlakuan itu. Bersamaan dengan keduanya mencapai kepuasan, meledaklah seketika peti mati di samping mereka. Bah Jenar tersentak hampir melompat kalau saja Nyi Sarpa Rukinten yang kini dikuasai oleh roh isterinya tidak segera memeluknya erat.
"Jleger...! Duar...!"
Lempengan-lempengan papan dari peti mati itu berhamburan, bersamaan dengan melayangnya sesosok tubuh terbungkus kain kafan putih. Tubuh terbungkus kain kafan putih itu melesat terbang ke luar goa, menjadikan longlongan anjing hutan seketika menggema. Bah Jenar dan Nyi Sarpa Rukinten terlelap kecapaian dengan napas dan keringat mengalir deras dari tubuh mereka.
Ke manakah larinya mayat dalam bungkusan kain kafan itu? Yang tiba-tiba saja terbang melesat meninggalkan goa yang menjadi tempatnya selama sepuluh tahun.
Longlongan anjing liar terus menggema, bagaikan sebuah lolongan kengerian. Bersamaan dengan itu di angkasa tampak seberkas warna putih terbang berputar-putar sesaat di atas goa. Lalu setelah merasa puas. Mayat itupun seketika melesat dengan cepatnya.
* * * * *
:::≡¦ [ 3 ] ¦≡:::
"Aauunggg...! Aaauuunggg!"
"Kang! Apakah kau tak mendengar suara anjing melolong?" bertanya Oip pada ketiga teman rondanya yang seketika itu juga menghentikan membanting gaplenya dan memandang pada Oip seraya mendengarkan dengan seksama.
"Benar! Ini malam apa, Sa?" tanya Jumana pada Karsa yang seketika mengerutkan keningnya, dan menjawab:
"Malam jum'at, Kang!"
"Malam jum'at!" memekik ketiga orang lainnya berbarengan.
"Jum'at apa, Sa?" kembali Jumana bertanya.
"Jum'at Kliwon!"
Untuk kedua kalinya ketiga orang itu terbelalak mendengar jawaban Karsa seraya kembali memekik "Jum'at Kliwon?"
"Ah! Biasanya juga tak ada apa-apa, kok"
"Jangan begitu. Sa. Kau dengar suara lolongan anjing itu?" bertanya Oip, yang bulu kuduknya telah meremang berdiri karena takut. Sementara matanya seketika liar memandang ke sana ke mari, sepertinya mencari-cari sesuatu.
"Ah! Sudahlah! Ayo kita teruskan main gaplenya," mengajak Taras pada ketiga temannya. Akhirnya dengan tanpa memperdulikan lagi atau memang ingin menghibur diri dari rasa takut, keempat orang itupun segera kembali main gaple.
Dari kejauhan tampak sebuah benda berwarna putih melayang-layang mendekat ke arah mereka. Oip yang menghadap ke arah Timur dan memang telah merasa takut, seketika matanya terbelalak mana kala melihat benda itu. Keringat dingin keluar deras dari tubuh Oip kala benda putih itu makin lama makin dekat ke tempat itu.
"Kang, aku ingin buang air sebentar." Oip segera bergegas pergi meninggalkan ketiga temannya yang memandang kepergiannya dengan mengerutkan mata. Dengan terburu-buru larinya, Oip segera meninggalkan ketiga temannya yang masih main. Namun seketika langkahnya terhenti, manakala di hadapannya tampak sebuah benda putih tegak berdiri menghadangnya.
"Po... pocong!" memekik Oip seketika, lalu ambruk tak sadarkan diri lagi.
Sementara pocong yang menghadangnya segera menghilang entah ke mana meninggalkan Oip yang masih tergeletak pingsan.
* * * * *
"Ke mana si Oip. Lama benar ia buang airnya?" berkata Jumana, sembari membanting gaple. Ketika kepalanya mendongak ke muka. Tampak olehnya sebuah pocong berputar-putar di atas gardu, di mana dia tengah main gaple. Matanya seketika terbelalak memandang tak berkedip hingga mengundang tanya kedua temannya.
"Ada apa, Kang Jumana? Sepertinya kau ketakutan?" tanya Darsa seraya memandang ke arah yang tengah dipandang deh Jumana. Namun tak dilihatnya apa-apa di situ, membuat Darsa kembali memandang pada Jumana yang beringsut-ingsut hendak pergi.
"Heh... mau ke mana kau, Jumana?" bertanya Taras.
"Aku mules, nih. Aku ingin beol," Jumana segera berlari pergi, mengundang gelak tawa Taras.
Belum juga Jumana lari pergi, Darsa pun dengan alasan mau beli lontong di Mpo Suri segera meninggalkan Taras yang masih tenang di gardu sendirian.
"Heran! Kenapa mereka lama perginya. Jangan-jangan mereka memang sengaja meninggalkanku untuk ronda sendirian. Huh, dasar pemalas semua!"
"Siapa, Kang yang pemalas?"
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya membuat Taras terbelalak dan memalingkan muka ke belakang. Tampak seorang wanita cantik tersenyum padanya membuat hati Taras seketika deg deg plas. Dengan tergagap Taras menjawabnya.
"Anu... teman-teman saya. Mereka katanya sebentar hendak buang air. eh tahunya amblas"
"Jadi kakang kini sendirian?"
"Ya," menjawab Taras. Matanya memandang tak berkedip. Sementara dalam hatinya berkata: "Wah... denok bener, nih cewek. Untung ketiganya pergi, kalau tidak. Wah, bisa-bisa berebutan. Dasar rejeki nomplok, dingin-dingin begini ada cewek yang menyamperi."
Tengah Taras melamun, terdengar lagi suara gadis itu berkata padanya: "Boleh aku nemanin. Kang?"
Terbelalak mata Taras mendengar ucapan gadis di sampingnya, yang telah menawarkan jasa untuk menemaninya ronda. Maka dengan hati berbunga-bunga, Taraspun dengan segera menjawab senang.
"Wah...! Kalau memang neng mau nemani, boleh. Bahkan aku sangat senang. Ayo masuk ke gardu. Neng!"
Gadis itu dengan masih tersenyum segera menurut masuk ke dalam gardu, menjadikan Taras makin deg deg plas. Apalagi kala melihat ke bawah tubuh gadis itu. Di paha, pakaiannya tersibak. Hingga tampaklah pahanya yang mulus, membuat lidah Taras seketika melelet.
"Kok kakang memandangku begitu?" tanya gadis itu manja, menjadikan Taras kembali tergagap.
Namun dengan segera tangannya yang jahil bereaksi ke mana-mana. Gadis itu bukannya marah diperlakukan begitu, bahkan sepertinya ia membiarkan tangan Taras.
"Neng...! Siapa sih nama Neng? Geulis nian neng ini. Apakah sudah punya pacar?"
Ditanya seperti itu oleh Taras, si gadis tampak makin melebarkan senyumnya. Dengan genit makin merapatkan tubuhnya menempel ke tubuh Taras. Membuat Taras kelabakan panas dingin.
"Akang tidak takut sendirian?" tanya si gadis.
"Kan ada neng?"
Semakin gadis itu melebarkan senyum, makin membuat Taras gemas. Dengan segera, Taras yang sudah tak mampu membendung gejolak nafsunya memeluk tubuh gadis di sampingnya yang hanya terdiam. Mata Taras yang terpejam tak mengetahui siapa sebenarnya yang tengah didekapnya. Maka, mana kala hidungnya mencium bau wangi bunga kematian, Taras hanya berpikir.
"Mungkin minyak wangi yang dipakai oleh si gadis."
"Kau memakai minyak wangi. Neng?"
"Aku tak pernah memakai minyak wangi, Kang. Mungkin di sini ada setan?"
Tersentak Taras mendengar ucapan si gadis hingga segera matanya terbuka. Dan betapa terkejutnya Taras, kala mengetahuinya bahwa yang dipeluknya adalah sebuah pocong.
"Po... pocong...!"
Taras yang tersentak dengan segera bermaksud melarikan diri, namun kakinya bagaikan terpatri di situ. Hingga iapun tak mampu untuk memindahkan langkahnya. Sementara di belakang, pocong itu meloncat-loncat ke arahnya dengan disertai rintihan yang makin membuat Taras ketakutan. Saking takutnya Taras saat itu, hingga iapun akhirnya tergeletak pingsan.
Dari kejauhan terdengar suara orang-orang kampung berseru dengan obor di tangan mereka. Suara-suara orang kampung membuat pocong itu seperti terkesima. Dan dengan segera terbang meninggalkan tubuh Taras.
"Itu...! Itu dia!"
Segera penduduk kampung berlari mencoba mengejarnya, namun pocong itu telah terbang ke angkasa dan melesat pergi meninggalkan mereka menuju ke arah gunung Galunggung.
* * * * *
Pagi harinya seluruh penduduk kampung ramai membicarakannya. Komentar dari sana-sini bergema, sepertinya tahu saja mereka itu.
"Wah, kalau begitu Taras pernah, dong pacaran sama hantu."
"Untung si Taras tidak sampai melakukannya. Kalau sampai, wah dia akan terbawa olehnya."
"Mengapa sekarang ada hantu lagi? Padahal dulu kan tak ada?"
"Mungkin hantu itu hantu jejadian yang dibuat oleh orang berilmu hitam untuk mendapatkan kekayaan."
Di pasar, di sawah, di kebun, atau di mana saja. Semua membicarakan perihal kejadian semalam yang telah dialami oleh keempat orang peronda. Sementara itu di kantor balai desa, pak Lurah beserta sesepuh desa dan pamong-pamongnya tengah membahas masalah hantu pocong tersebut. Di situ tampak Darsa, Oip, Jumana, dan Taras yang menjadi saksi utamanya untuk ditanyai.
"Jadi jelaslah. Bahwa desa kita ini telah dijarah oleh seseorang yang berilmu hitam untuk menakut-nakuti kita, hingga kalau kita takut maka dengan mudah dia akan membuat keonaran dan pencurian. Untuk itu, mulai sekarang petugas ronda yang mulanya satu gardu empat orang harus ditambah menjadi sepuluh orang. Bagaimana?" Pak Lurah berbicara penuh semangat, menjadikan semua yang hadir terdiam tak ada yang berkomentar. Namun kebisuan rapat itu seketika terpecah, mana kala tampak seorang tua menyapa mereka memberi salam:
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab semuanya serempak. Pak Lurah segera menghampiri.
Dengan terbatuk-batuk dahulu, lelaki tua itu berkata: "Aku ingin menawarkan jasa pada kalian. Aku akan berusaha mengusir pocong yang tengah mengganggu kampung ini."
Terbelalak mata semuanya yang hadir. Seketika semua mata tertuju pada orang tua itu yang tampaknya hanya tersenyum tenang. Sebelum warganya berkata, pak Lurah pun segera mendahului bertanya.
"Apakah bapak benar-benar ingin menolong kami?"
"Ya! Aku ingin menolong kalian dari teror itu. Aku mampu untuk mengusir hantu pocong itu, tapi dengan satu syarat."
"Syarat! Syarat apakah itu?" bertanya pak Lurah terperanjat, demi mendengar ucapan orang itu. Seperti pak Lurah, seluruh orang hadir di situ pun terperanjat dengan mulut mengumam.
"Syarat."
"Ya! Semuanya memang harus ada syaratnya..."
Pak Lurah sesaat terdiam memandang pada warganya yang turut terdiam tanpa reaksi. Setelah beberapa lama terdiam, pak Lurah akhirnya berkata: "Baiklah! Sekarang katakan apa yang menjadi syaratnya."
Kembali dengan diawali batuk-batuk, lelaki tua renta itu berkata: "Syarat itu tidak sulit. Kalian sediakan saja kembang desa yang masih perawan. Taruhlah di sebelah Timur desa nanti malam!"
"Apa....! Syarat gila! Jangan mengail di air yang keruh. Pak Tua! Kami tengah memikirkan bagaimana yang baik, eh malah pak tua meminta syarat macam-macam" Pak Lurah tampak agak sewot.
Bagaikan tak bersalah apa-apa, lelaki tua itu hanya tersenyum sepertinya sinis. Dan dengan hendak pergi, lelaki tua itupun berkata: "Kalau memang tidak mau memenuhi syarat, ya aku pun tak memaksanya. Urusilah oleh olehmu sendiri."
"Tunggu, Pak Tua!"
"Ada apa lagi. Pak Lurah?"
Walaupun agak mangkel juga kepala desa melihat tingkah laku orang tua itu. Namun karena didorong oleh rasa tanggung jawab sebagai ketua kampung, akhirnya pak Lurah pun berkata dengan perasaan sabar.
"Pak tua. Apakah tak dapat syarat itu diganti? Misalnya dengan uang atau perhiasan?"
"Tidak bisa. Pak Lurah. Kalau itu syaratnya, maka tak akan dapat diganti dengan yang lainnya. Bila kau tak sanggup, aku pun dengan menyesal tak dapat mengusir hantu pocong itu." Bagai orang tenar saja yang suka sombong, lelaki tua itu kembali hendak pergi, tetapi pak Lurah segera memanggilnya kembali.
"Pak tua, tunggu!"
Dengan senyum sinis, lelaki tua itu kembali menghentikan langkah kakinya. Memandang kembali ke arah pak Lurah sembari bertanya: "Ada apa lagi? Apakah kau menyetujuinya?"
"Sebentar pak tua, aku dan wargaku ingin berbicara denganmu. Sebab untuk memenuhi syarat tersebut, kami harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu."
Terkekeh pak tua mendengar ucapan pak Lurah.
"Baiklah, baiklah! Sekarang bermusyawarahlah."
Pak Lurah segera menemui kembali warga dan sesepuh desa yang saat itu tengah berkumpul. Dengan segera, pak Lurahpun memimpin rapat untuk memutuskan bagaimana baiknya dengan syarat yang diajukan oleh orang tua itu. Akhirnya diputuskan untuk menyetujui saja syarat yang diminta oleh lelaki tua itu. Setelah menimbang dan memikirnya secara untung ruginya. Terkekeh lelaki tua dan berkata sebelum pergi.
"Baiklah, kalau begitu. Nanti malam tepat jam dua belas, kalian harus telah mempersiapkan gadis itu dan meninggalkannya sendirian."
* * * * *
Malam telah tiba dengan sejuta misteri. Lambat laun gelap makin menyekat menyelimuti muka bumi dengan segala kehidupan yang ada. Ketika malam makin larut, tampak beberapa orang berjalan menuju ke arah Timur desa. Bersama mereka berjalan seorang gadis dengan tangan diikat. Rombongan itu yang ternyata pak Lurah beserta beberapa orang pamongnya terus melangkah menuju ke perbatasan kampung. Langkahlangkah mereka seperti diseret, karena rasa takut yang telah menjarah hati mereka.
"Kau berani di sini sendirian, Sri?" bertanya pak Lurah dengan nada iba pada Sri Ayulistio, anaknya yang bersedia untuk dijadikan tumbal.
"Berani, Ayah. Relakanlah kepergian Sri, demi untuk ketentraman desa ini."
Makin trenyuh hati pak Lurah mendengar jawaban anaknya yang paling ia sayangi. Mata pak Lurah seketika meneteskan air mata lak kuasa untuk menahannya. Dengan seketika dipeluknya tubuh Sri yang tampak tersenyum bagaikan tak ada rasa takut sedikitpun di hatinya.
"Tak usah ayah menangis. Kalau memang Tuhan menghendaki umur Sri panjang, insya Allah, Sri akan selamat. Sekarang pergilah ayah dan paman semua, biarkanlah Sri sendirian menunggu kedatangan pak tua itu di sini."
Tanpa banyak kata lagi, kelima orang lelaki itupun segera pergi meninggalkan tubuh Si Ayulistio yang tampak tegar tanpa rasa takut setetespun di darahnya. Angin malam meniup begitu dinginnya, menerpa tubuh Sri yang tampak menggigil kedinginan. Matanya memandang tak berkedip ke muka, di mana terpampang gunung Galunggung menjulang tinggi. Ketika waktu telah begitu larut, sesosok tubuh berkelebat dengan cepatnya menuju ke arah itu.
"Bagus, bagus! Ternyata mereka memang orang-orang bodoh yang mau dibohongi!" bergumam lelaki itu dalam hati seraya mendekat ke arah Sri Ayulistio.
"Siapa kau!" membentak Sri manakala melihat lelaki itu mendekatinya. Lelaki itu tersenyum padanya.
"Akulah yang menyuruh pada pak Lurah untuk mengorbankanmu sebagai tumbal. Apakah kau telah siap?"
"Aku telah siap!" menjawab Sri Ayulistio mantap.
Lelaki itu tampak mengangguk-anggukan kepala dan dengan seketika tangannya membeset pakaian yang tengah dikenakan oleh Sri. Terbelalak mata Sri Ayulistio manakala lelaki itu dengan liar memeluk dan menggelutinya. Sri Ayulistio yang sadar bahwa lelaki itu bermaksud buruk, seketika meronta. Menendang selangkangan lelaki itu, yang seketika memekik kesakitan seraya memegangi miliknya.
Sri Ayulistio segera berusaha melepaskan ikatan tali di tangannya. Lelaki itu telah dapat menguasai diri dan kembali berusaha memeluknya. Karena tangan terikat hingga Sri Ayu pun tak dapat mengelakannya. Tubuhnya seketika, ditelentangkan oleh lelaki itu, yang dengan buas mencabik-cabik seluruh pakaiannya.
Tengah lelaki itu hendak melampiaskan nafsu binatangnya, seketika terdengar suara tawa yang mendirikan bulu kuduk. Berbarengan dengan itu, tubuh lelaki itu tiba-tiba terangkat ke udara sembari meronta-ronta dicengkeram oleh seorang wanita yang berpakaian serba putih. Wanita berpakaian serba putih itu terus membawa tubuh lelaki itu jauh dan jauh. Hingga akhirnya tak tampak lagi oleh pandangan Ayulistio, yang segera pergi meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kampungnya.
Diceritakannya pada ayah dan warga kampungnya, bahwa sebenarnya pocong itu tidak bermaksud jahat. Bahkan telah menolongnya dari pemerkosaan lelaki yang mengaku dukun itu.
"Syukurlah, Anakkku. Rupanya Tuhan selalu bersamamu," berkata pak Lurah dengan terharu mendapatkan anak gadisnya tak jadi terkena musibah.
Maka sejak itu pula, tersebarlah berita bahwa sebenarnya pocong itu tak jahat. Bahkan pocong itu telah menolong anak Lurahnya dari maksud jahat lelaki yang mengaku dukun.
* * * * *
:::≡¦ [ 4 ] ¦≡:::
"Ada apa, Kakang. Sepertinya kau tengah gelisah?"
"Entahlah. Nyi. Sejak sore hari hatiku tak tenang," menjawab Gantra. Isterinya bukan ikut prihatin malah langsung menyemprot marah.
"Oh! Jadi hatimu tak tenang karena memikirkan cewek lain!"
"Heh! Apa-apaan kau ini, Nyi. Bukannya turut memikirkan bagaimana diri suaminya, eh malah memarahi. Isteri macam apa kau, Nyi?"
"Enak saja mikirin kamu! Mikirin anak-anakmu yang nakal-nakal saja aku pusing, apalagi mesti mikirin dirimu yang play boy! Makanya jadi lelaki jangan loncer!"
"Diam! Menyesal aku memperistrimu. Kalau aku dulu tahu, kau ternyata tak lebihnya hanya seorang perempuan jalang!"
Pertengkaranpun tak dapat dihindarkan di antara kedua suami isteri itu. Sang suami yang memang hatinya sedang tak tenang, memaki-maki pada sang isteri. Sebaliknya sang isteri yang mengetahui suaminya berengsek, tak mau kalah menyemprotkan dengan kata-kata kasar dan jorok. Tengah keduanya bertengkar, tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh salam yang diucapkan oleh seorang wanita. Langsung saja, kedua suami istri itu diam.
"Sampurasun...!"
"Rampes...!" menjawab keduanya hampir berbarengan seraya memandang pada seorang wanita yang telah berdiri dengan bibir terurai senyum.
"Apa benar ini rumah tuan Gantra?" bertanya wanita muda, membuat rasa cemburu di hati isteri Gantra yang seketika cemberut. Sementara Gantra dengan segera menyambut wanita itu dengan bibir terurai senyum pula.
"Siapakah nona ini?"
"Apakah tuan telah lupa pada saya? Baru setengah tahun yang lalu tuan mengenal saya."
Seketika Gantra mengerutkan kening mendengar ucapan wanita muda di hadapannya. Hatinya berpikir-pikir, menerka-nerka siapa sebenarnya wanita cantik itu karena memang Gantra tengah memanas-manasi isterinya, sepontan saja Gantra segera pura-pura mengenalnya.
"Oh, ya. Ada keperluan apakah hingga nona malam-malam berkunjung ke mari?"
Pertanyaan yang maksudnya hanya main-main belaka itu seketika mendapat sambutan yang tak terduga oleh Gantra. Wanita cantik itu tersenyum seraya menjawab dengan nada manja. Menjadikan Gantra seketika gemes dan geregetan dibuatnya.
"Tuan Gantra, rasanya tak enak kalau kita ngobrol-ngobrol di sini. Aku khawatir isterimu akan cemburu."
"Lalu di manakah menurut nona tempat yang enak?" bertanya Gantra terkejut, mana kala mengetahui bahwa wanita itu benar-benar ingin mengajaknya berbincang-bincang.
Dengan didahului kedipan matanya, gadis itu menunjuk ke arah di mana hutan terpampang luas menghampar. Hingga makin membuat Gantra melototkan matanya dengan hati gembira.
"He... percuma tak dapat menundukan wanita, hingga sampai tergila-gila seperti gadis ini." Hati Gantra yang tak mengetahui siapa adanya gadis itu bergumam senang. Dan tanpa berpikir lagi Gantra-pun segera menuruti langkah gadis itu pergi menuju hutan Jati.
Kebahagiaan Gantra seketika lenyap, manakala gadis itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak setelah sampai di dalam hutan jauh dari rumahnya. Mendengar suara tawa gadis itu, seketika bulu kuduk Gantra meremang berdiri. Namun demikian dicobanya untuk tenang.
"Gantra, lupakah kau padaku?"
"Siapa kau!" membentak Gantra di antara rasa takutnya.
"Gantra! Setengah tahun yang lalu kau telah merusak wajahku. Sekarang katakan padaku, siapa yang telah menolongmu untuk menenungku? Ayo jawab, Gantra!" Mata gadis itu liar, seperti hendak mencengkeram dan mencekik Gantra. Mulut gadis cantik itu menyeringai, tampaklah gigi-giginya yang runcing dan tajam.
Tergagap Gantra berucap menyebut nama gadis di hadapannya yang menurut perkiraannya telah mati.
"Kau... kau Nyi Sarpa Rukinten?"
"Benar, Gantra. Aku Nyi Sarpa Rukinten yang telah kau buat mukaku menjadi buruk. Namun ternyata aku tidak mati akibat tenungmu. Dan oleh karena itu aku akan menuntut balas atas tindakanmu. Katakan siapa yang telah kau perintahkan untuk membuat mukaku rusak, Gantra!" membentak Nyi Sarpa Rukinten.
Gantra tertawa bergelak-gelak setelah tahu siapa adanya gadis di hadapannya. Lalu dengan meremehkan. Gantrapun berkata: "Nyi Sarpa Rukinten. Jangan harap kau akan dapat membalas semuanya. Dan jangan harap kau akan mengetahui siapa yang telah aku suruh merusak wajahmu. Kalau kau ingin membalas dendam padaku, lakukanlah bila kau mampu!"
"Rupanya kau terlalu gegabah memandangku. Gantra. Jangan salahkan kalau akhirnya aku akan membuatmu menderita seumur-umur. Heaaat!"
Dengan didahului pekikan nyaring. Nyi Sarpa Rukinten yang telah marah segera menyerang Gantra dengan cepatnya. Hingga membuat Gantra terkesima seketika itu. Bagaimana mungkin, dalam setengah tahun Nyi Sarpa Rukinten telah dapat menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi seperti yang tengah dipergunakan untuk menyerangnya?
Demi melihat hal itu, secepatnya Gantra segera berkelit mengegoskan tubuhnya menghindari serangan itu. Dan dengan cepat Gantra balik menyerang yang mau tidak mau harus dielakan oleh Nyi Sarpa Rukinten. Pertarunganpun kini berjalan dengan seru. Dengan masing-masing berusaha menjatuhkan musuhnya. Jurus-jurus keduanya di keluarkan dengan cepat hingga sukar untuk dipandang oleh mata biasa. Kini keduanya tak tampak lagi, hanya bayang-bayang pakaian yang digunakan saja yang kelihatan. Walaupun Gantra telah menguras habis ilmu-ilmu silatnya. Namun bagaikan menghadapi seorang pesilat kelas wahid saja, Gantra dibuat kalang kabut oleh serangan-serangan yang dilancarkan Nyi Sarpa Rukinten.
"Hem... Aku rasa ini tentu bukan Nyi Rukinten yang sesungguhnya. Aku merasa ada kelainan dalam setiap gerak-geriknya. Apakah ia telah bersekutu dengan siluman? Baik, akan aku coba dengan ilmu kedigdayaan. Semoga aku dapat menundukannya," mengeluh Gantra seketika mana kala melihat musuhnya tak merasa capai atau susut serangannya. Bahkan seketika Gantra dibuat terkejut, kala dengan tiba-tiba tangan Nyi Sarpa Rukinten telah mencakar mukanya hingga mengeluarkan darah.
"Iblis! Jangan kira aku akan membiarkan kau seenaknya mempermainkan aku. Terimalah ajian pelebur Gaib. Hiat...!"
Dengan segera Gantra mengarahkan ajiannya. Seketika itu, Nyi Sarpa Rukinten memekik manakala ajian itu menghantam tubuhnya. Tampaklah kini di hadapan Gantra bukan Nyi Sarpa Rukinten, tapi seorang wanita yang tubuhnya telah menjadi tulang belulang. Gantra menyipitkan matanya, seakan pernah mengetahui siapa wanita di hadapannya.
"Hem...! Rupanya kau hidup lagi. Tentu suamimu yang telah berbuat ulah ini. Jangan harap aku takut menghadapimu. Dewi Tengkorak Hidup!"
Dengan didahului dengusan panjang. Dewi Tengkorak Hidup segera berkelebat menyerang Gantra. Pekikannya seketika menyayat hati, seperti pekikan seorang yang histeris. Pekikan itu sangat kuatnya karena mengandung tenaga dalam. Mau tak mau Gantra pun dengan segera mengatur jalan pernapasannya, menutup pada gendang telinganya yang terasa nyeri. Dengan segera Gantra pun balas menyerang Dewi Tengkorak Hidup.
Hutan yang tadinya sepi, malam itu seketika terpecahkan oleh suara hentakan dan pekikan dua orang yang tengah terlibat pertarungan. Segala macam ilmu kedigdayaan telah terkuras oleh Gantra. Namun ternyata musuhnya bukanlah tokoh silat yang dapat diremehkan. Musuhnya yang kini dihadapi adalah tokoh persilatan kelas wahid yang pernah menjajahi dunia persilatan beberapa tahun yang lalu. Hingga dengan seketika, terkuras habislah tenaga Gantra.
"Gantra! Hari ini juga aku akan mengambil nyawamu."
"Dewi Muka Tengkorak Hidup! Kenapa tiba-tiba kau hendak membunuhku? Apakah aku pernah berbuat salah padamu?"
"Hi, hi.... hi...! Gantra, kenapa kau sepenakut itu? Aku dengar kau salah seorang bekas prajurit kerajaan Sangkur Aji yang terkenal gagah berani. Mana buktinya, Gantra! Kalau aku hendak membunuhmu, itu karena aku merasa berhutang budi pada si pemilik tubuh ini yang telah dengan ikhlas meminjamkannya padaku. Hi... hi... hi...!"
Merinding bulu kuduk Gantra seketika. Keringat dingin pun mengalir dengan derasnya. Hatinya seketika gundah dan bimbang untuk bertindak. Menyerang dan melawan, akan sia-sia karena Dewi Tengkorak Hidup bukanlah tokoh sembarangan. Tapi bila tak melawan, berarti ia telah rela untuk diambil nyawanya. Dan mati dengan cara pengecut.
"Tidak! Aku tak mau mengalah begitu saja!" berkata hati Gantra.
Dengan nekad Gantra pun segera berkelebat menyerang Dewi Tengkorak hidup yang seketika mengelakan serangannya. Dengan ajian Siliwangi Gantra seketika berubah menjadi harimau yang dengan ganasnya menyerang Dewi Tengkorak Hidup. Seketika itu juga kekuatan dua siluman pun bertarung.
"Hiat...!"
"Auumm...!"
Keduanya segera melompat dan bertemu di udara dengan mengadu dua kesaktian. Gantra terlempar jauh ke belakang dengan tubuh hangus dan nyawa melayang. Sementara Dewi Tengkorak Hidup, terjajar lima tombak ke belakang. Di wajah Dewi Tengkorak Hidup terbersit senyum sinis. Lalu dengan tanpa menghiraukan mayat Gantra, Dewi Tengkorak Hidup segera berkelebat pergi meninggalkannya.
* * * * *
Dari kejauhan Jaka melihat orang-orang berkerumun mengundang perhatiannya untuk segera mendekatinya. Dengan meminta jalan pada orang-orang yang berkerumun Jaka akhirnya dapat melihat gerangan apa yang telah menjadi tontonan orang-orang tersebut. Sebuah mayat telah tergeletak dengan tubuh hangus, seperti habis terbakar.
Jaka yang melihatnya hanya mampu menggelengkan kepala dan bergumam dalam hati.
"Sungguh perbuatan biadab."
Dengan hati-hati sekali, Jaka segera memeriksa tubuh orang yang telah mati tersebut. Seketika Jaka tersentak mana kala mengenali jenis pukulan itu. Pukulan itu ternyata sebuah ajian Kecubung Biru yang hanya dimiliki oleh seorang tokoh sesat, yang hidup sekitar tiga puluh tahun yang silam.
"Kecubung Biru!"
Mendengar ucapan Jaka yang nadanya kaget seketika semua orang yang ada di situ memandangnya. Namun Jaka dengan tanpa memperdulikan pandangan orang-orang di situ segera berkelebat pergi untuk meneruskan perjalanannya.
"Hem... Apakah aku akan meneruskan perjalananku memenuhi panggilan Tengku Loreng? Atau aku harus menangani masalah yang baru saja terlihat? Aku mempunyai pirasat bahwa orang yang membunuh lelaki itu adalah orang yang menurut guru pernah bentrok dengan guru. Kalau begitu ada orang yang memanfaatkannya lagi," berkata Jaka dalam hati.
Dengan mempercepat langkah kakinya, Jaka segera mencari sebuah kedai untuk mengisi perut yang sedari tadi berkeroncong ria. Tanpa mendapat kesulitan, Jaka segera dapat menemukan sebuah kedai yang cukup besar. Maka dengan segera Jaka pun masuk ke dalam kedai yang siang itu telah penuh oleh pengunjung. Manakala Jaka tengah mencari-cari tempat duduk, tiba-tiba telinganya mendengar orang bercakap-cakap.
"Mungkin kematian Ki Gantra ada hubungannya dengan mayat yang menakutnakuti kampung Cimone."
"Mungkin juga. Sebab semenjak adanya pocong itu, banyak pula kematian dan bayi-bayi yang hilang. Apakah mungkin ada seseorang yang memanfaatkannya?"
Tertarik juga Jaka mendengar percakapan kedua orang itu. Maka dengan terlebih dahulu menjura hormat, Jaka meminta ijin untuk duduk dengan mereka.
"Maaf, Ki Sanak sekalian. Bolehkah aku turut bercakap-cakap?"
Sesaat kedua lelaki itu terdiam memandang pada Jaka yang masih tersenyum ramah. Kedua orang itupun akhirnya mengangguk membolehkan.
"Terimakasih. Oh, ya. Tadi aku mendengar Ki Sanak bercakap-cakap masalah kematian seorang juragan di hutan itu. Apakah Ki Sanak mengenal juragan itu?" tanya Jaka, menjadikan kedua orang itu seketika memandang Jaka dengan pandangan penuh selidik.
"Janganlah Ki Sanak berdua berlalu mengkhawatirkan siapa adanya diriku ini, tak lebihnya seperti Ki Sanak berdua. Aku hanya ingin mengetahui saja, siapa sebenarnya lelaki yang ditemukan mati di dalam hutan sebelah barat sana?" Walaupun Jaka telah memberitahukan siapa sebenarnya dirinya, namun kedua lelaki itu tampak tak segera mau percaya. Sepertinya masih ada rasa tak yakin, mana kala memandang pakaian yang dikenakan oleh Jaka.
"Ki Sanak orang persilatan?" bertanya salah seorang dari keduanya, membuat Jaka seketika memandang pada pakaiannya.
Mau tak mau, Jaka akhirnya mengangguk.
"Memang benar aku orang persilatan. Tapi percayalah bahwa aku bukanlah antek-antek si pembunuh juragan itu "
Akhirnya kedua orang itu mempercayai ucapan Jaka. Dan dengan tanpa sungkansungkan segera menceritakan siapa sebenarnya juragan yang mati itu serta sebab-sebab kematiannya.
"Begitulah. Mungkin karena dendam, hingga gadis yang bernama Nyi Sarpa Rukinten akhirnya membunuh Ki Gantra yang telah membuat wajahnya rusak."
"Lalu, dimanakah aku dapat menemui isteri Gantra?" tanya Jaka setelah menganggukanggukan kepala mengerti.
Kedua orang itu kembali saling pandang, lalu salah seorang dari mereka yang Jaka tahu bernama Baduduh kembali berkata: "Pergilah ke arah Utara. Tak jauh dari situ ada sebuah rumah yang cukup besar. Rumah susun yang di bawahnya digunakan untuk kandang ayam dan bebek, itulah rumah juragan Gantra. Saat ini mungkin keadaan rumah itu tengah ramai. Saudaranya yang bernama Ki Panganoman akan datang juga. Sebenarnya keduanya bukanlah saudara. Namun karena keduanya bekas prajurit-prajurit kerajaan Sangkur Aji hingga keduanya pun mengikat tali persaudaraan. Mungkin kau dapat mengetahuinya disitu lebih jelas lagi dari Ki Panganoman sendiri."
"Baiklah! Aku ucapkan terimakasih pada kalian yang telah mau menceritakannya padaku. Nah, aku hendak permisi dulu untuk menuju ke rumah Ki Gantra." hendak berkelebat pergi, manakala terdengar seorang berseru memanggil namanya.
"Jaka, tunggu!"
Jaka yang hendak buru-buru dengan terpaksa menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah orang yang memanggil namanya. Terkejut dan senang Jaka manakala melihat yang memanggil namanya.
"Hai. Kaukah Ki Barwi Setra?"
"Ya! Mau ke manakah kau, Jaka?" bertanya Ki Barwi.
Demi mendengar nama pemuda itu disebut oleh kakek-kakek yang sudah terkenal di wilayah kulon, seketika semua yang ada di kedai itu terperangah dengan mata melotot. Merekapun berbisik-bisik, bertanya-tanya pada diri sendiri, "Inikah tokoh silat muda yang telah menggetarkan dunia persilatan?"
Belum juga mereka dapat menjawab pertanyaan hati mereka, secepat kilat kedua orang yang merupakan tokoh-tokoh persilatan itu telah berkelebat pergi meninggalkan kedai. Hingga pengunjung kedai pun hanya mampu terbengong-bengong.
* * * * *
:::≡¦ [ 5 ] ¦≡:::
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ki?" tanya Jaka
"Maksudmu?"
"Tentang kematian Ki Gantra. Apakah Ki Barwi ada pikiran lain?"
"Tidak ada. Lebih baik nanti kita tanyakan saja pada kakak angkatnya yang bernama Ki Panganoman," menjawab Ki Barwi setelah memahami maksud ucapan Jaka.
Lalu dengan segera keduanya pun berlari kembali. Tak lama kemudian keduanya pun telah tiba di tempat itu.
"Sampurasun...!" menyapa keduanya hampir bersamaan yang seketika mendapat sahutan dari Ki Panganoman, yang telah tahu lebih dahulu kedatangan kedua tokoh itu.
"Rampes...! Adakah sesuatu hal yang penting hingga Ki Barwi berkunjung ke mari?"
"Sebenarnya bukan aku yang berkepentingan. Tapi temanku ini yang ingin mengetahui gerangan apa yang telah terjadi. Mungkin saja kau dapat menceritakannya, Ki Panganoman?"
Seketika Ki Panganoman memandang pada Jaka dan Jaka yang segera menjura hormat. Ki Panganoman merasa rikuh dihormat begitu rupa. Apalagi di hadapan Ki Barwi yang merupakan tokoh persilatan di wilayah Kulon.
"Siapakah teman anda, Ki Barwi?" bertanya Ki Panganoman setelah sesaat memandang pada Jaka yang tersenyum.
"Temanku ini bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman."
"Apa?! Oh.... Sungguh aku ini telah buta rupanya, hingga tak tahu siapa orang yang seharusnya aku hormati. Maafkan aku. Tuan pendekar Jaka." Tersentak Ki Panganoman manakala mengetahui siapa sebenarnya pemuda di samping Ki Barwi, yang tak lain seorang pendekar yang telah kondang namanya dengan julukan Pendekar Pedang Siluman.
Hal itu menjadikan Jaka rikuh.
"Ki Panganoman. Janganlah Ki Panganoman terlalu meninggikan keadaanku yang sebenarnya tak ada artinya. Sebab nama besar merupakan milik orang-orang kerajaan belaka, bukan milik orang semacamku. Ah, sudahlah. Aku datang ke sini sebenarnya hanya kebetulan. Namun mana kala aku melihat sesuatu kejanggalan pada kematian Ki Gantra, seketika aku jadi tertarik untuk membuka tabir itu. Apakah Ki Panganoman tidak melihat adanya sesuatu kelainan pada kematian Ki Gantra?"
Seketika kedua orang tua itu terbelalak manakala mendengar ucapan Jaka. Karena saking kagetnya sampai-sampai kedua orang tua itu bergumam terperangah.
"Kelainan!"
"Kelainan apa maksudmu. Tuan pendekar?" menyambung Ki Panganoman bertanya.
"Cobalah Ki Barwi teliti, kematian Ki Gantra mengingatkanku pada seorang tokoh wanita yang hidup sekitar tiga puluh tahun silam yang bernama Dewi Tengkorak Hidup."
"Ah. Benar katamu, Jaka. Aku kini ingat hal itu. Memang kematian Gantra sangat beralasan ke situ. Tapi apakah mungkin orang yang telah mati hidup kembali?" tanya Ki Barwi
"Itulah yang kini sedang aku pikirkan, Ki. Aku mempunyai suatu kesimpulan, bahwa Dewi Tengkorak Hidup telah diperalat kembali oleh suaminya yaitu Bah Jenar. Maka dari itulah, aku datang ke mari untuk menanyakan pada Ki Panganoman."
"Tentang apa. Tuan Pendekar?" bertanya Ki Panganoman.
"Apakah sebelumnya telah terjadi sesuatu keributan antara Ki Gantra dengan orang lain?"
"Kalau yang ia ceritakan padaku sebenarnya memang ada. Begini ceritanya." Lalu dengan tanpa menambah ataupun mengurangi, Ki Panganoman pun segera menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi sebelum kematian Ki Gantra. Sementara itu Jaka dan Ki Barwi tampak dengan seksama mendengarkan.
"Hem.... Kalau begitu memang tepat dugaanku, bahwa Bah Jenar memang masih hidup. Berusaha mengembangkan sayapnya lagi untuk mengacau dunia persilatan. Baiklah, Ki Panganoman. Aku tak bisa berlama-lama di sini untuk turut serta memberikan penghormatan terakhir pada adik Ki Panganoman. Saat ini juga aku mohon pamit."
Belum juga kedua orang tua itu sempat bicara, seketika tubuh Jaka telah menghilang dengan cepatnya. Kedua orang tua itu hanya mampu terbengong, seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh bukan omong kosong. Ternyata memang ilmunya bukan isapan jempol belaka. Pantas kalau dia sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Di samping ilmunya tinggi juga baik budi dan tidak sombong." Ki Panganoman terkagum-kagum seketika itu. Sementara Ki Barwi yang memang telah mengetahui siapa sebenarnya Jaka tampak tersenyum-senyum.
Lalu dengan berbarengan keduanya segera naik ke tangga menuju tempat di mana tubuh Ki Gantra telah terbaring meninggal, untuk secepatnya disemayamkan.
* * * * *
"Sungguh-sungguh suatu petaka, jika benar-benar Dewi Tengkorak hidup. Hidup kembali. Aku jadi tak mengerti, mengapa Dewi Tengkorak yang bisa hidup lagi dengan tubuh seorang gadis dan dengan darah bayi dapat hidup lagi? Apakah Nyi Sarpa Rukinten yang dikatakan oleh Ki Panganoman memang telah mengiklaskan tubuhnya untuk ditempati roh Dewi Tengkorak Hidup? Mungkin juga," bergumam Jaka dalam hati sembari berjalan menyusuri pematang sawah yang tampak mengering akibat kemarau panjang.
Tengah ia menyusuri pematang sawah, tiba-tiba telinganya mendengar sebuah jeritan seorang wanita. Tanpa pikir panjang lagi, Jaka segera bergegas lari menuju ke arah datangnya suara itu. Ternyata suara jeritan seorang gadis yang tengah tenggelam di sungai. Tanpa menunggu waktu lagi, Jaka pun dengan segera terjun ke sungai dan berusaha menolongnya.
Diangkatnya tubuh gadis itu ke darat, lalu dengan segera direbahkannya di rerumputan. Mungkin karena panik, hingga Jaka tak begitu memperhatikan keadaan gadis itu. Baru setelah gadis itu di darat, Jaka baru menyadari keadaan gadis yang ditolongnya. Gadis itu ternyata tak memakai sehelai benangpun, hingga Jaka seketika tersentak manakala melihat tubuh si gadis yang masih tergeletak seperti dalam pingsan. Mana kala Jaka hendak membalikan tubuhnya, seketika si gadis itu segera mengalungkan tangannya ke leher Jaka. Hingga membuat seketika Jaka membelalakan matanya.
"Heh! Jangan kau berbuat gila seperti ini. Ketahuilah, bahwa aku tak senang bila kau berbuat begini rupa. Sekarang carilah bajumu dulu baru nanti kita ngobrol," berkata Jaka sembari melepaskan pelukan si gadis yang tampaknya merengut marah, namun hal itu tak dihiraukan oleh Jaka yang segera meninggalkan tubuh si gadis.
Dengan sungkan-sungkan, gadis itupun segera beranjak menuju ke sebuah batu di mana pakaiannya tersimpan. Setelah memakai pakaian, dengan segera gadis itu menemui Jaka yang telah menunggunya di balik pohon.
"Kenapa kau sepertinya tak menghiraukan aku. Tuan Pendekar? Apakah memang aku kurang cantik?" bertanya gadis itu tanpa malu-malu sehingga Jaka membelalakkan mata demi mendengar ucapannya.
"Bukan begitu. Nona. Aku tidak bermaksud merendahkan kecantikanmu. Kau memang cantik, bahkan hampir seperti bidadari. Namun aku tak menyukai tindakanmu yang terlalu agresip. Apakah nona tak menyadari bahwa tindakan nona akan merugikan nona sendiri?"
Diberi tahu begitu rupa bukannya menjadikan gadis itu sadar, malah dengan gusar itu berkata: "Ah... jangan sok suci! Aku tahu bahwa kau pun tak lebihnya dari laki-laki lain. Pura-pura tak mau."
"Wow! Lancang benar ucapanmu! Kalau memang kau menganggap aku begitu, baiklah...?"
Maka dengan tanpa menghiraukan gadis itu lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkannya. Si gadis hanya terdiam tanpa dapat mencegahnya. Setelah kepergian Jaka, gadis itu segera berkelebat pergi dengan cepatnya. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya telah menghilang dari pandangan.
Malam telah tiba seketika Jaka dengan segera mencari tempat penginapan untuk beristirahat tidur. Namun ketika ia sadar bahwa ia harus segera membekuk orang yang telah membuat keonaran di desa itu, diurungkan niatnya untuk memesan kamar. Hal itu membuat pemilik penginapan terbengong-bengong melihat tingkah lakunya. Jaka Ndableg segera pergi meninggalkan penginapan itu menuju ke hutan di mana ditemukan mayat Ki Gantra kemarin.
Dengan memilih pohon yang agak besar, Jaka pun segera melompat ke atas. Dengan duduk bertengger Jaka mengawasi desa di sebelah hutan. Manakala malam telah makin larut Jaka tersentak dari duduknya. Dilihatnya sebuah bayangan putih terbang dengan cepatnya dari gunung Galunggung menuju ke arah desa.
"Hai! Benda itu seperti pocong. Hem, aku rasa ini suatu kebetulan. Akan aku coba mengikuti ke mana perginya. Siapa tahu aku dapat membuka tabir dari kematian Ki Gantra, sekaligus aku ingin membuktikan bahwa yang membunuh Ki Gantra adalah Dewi Tengkorak Hidup," berkata Jaka dalam hati.
Dengan segera Jaka berkelebat dari atas pohon, berlari mengejar pocong itu dengan menggunakan ajian Sapta Bayu. Jarak antaranya dengan pocong yang dikejarnyapun tak begitu jauh. Sengaja Jaka tidak menghadang pocong itu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan pocong di desa itu.
"Sepertinya rumah Ki Gantra yang menjadi tujuannya. Hem... Ke manapun larinya mainan Bah Jenar ini, akan aku kejar walau ke ujung duniapun. Hia...!" Dengan menambah larinya
Memang benar apa yang dikirakan Jaka. Pocong itu memang datang ke rumah Ki Gantra yang saat itu tengah ramai oleh orang kendurian. Semua orang yang tengah kendurian tersentak kaget, melihat pocong datang ke tempat itu.
"Po... pocong...!" berteriak seorang wanita yang pertama kali melihatnya, mengundang perhatian yang lainnya. Seketika itu gegerlah orangorang di tempat itu. Ki Panganoman yang masih berada di situ dengan segera menghadang.
"Siapa, kau! Jangan membuat orang-orang takut dengan tingkah lakumu. Aku tahu, kalau kau sebenarnya bukan pocong benaran. Kau tak lain dari bonekanya Bah Jenar." Ki Panganoman segera mencabut keris Berhulu Naga dari sarungnya.
Melihat Ki Panganoman telah mencabut kerisnya, si pocong bukannya takut. Bahkan dengan tawanya yang mendirikan bulu kuduk, pocong itu berputar-putar laksana gasing. Ki Panganoman dengan segera menusukkan keris pusaka Berhulu Naga ke tubuh pocong itu. Seketika kain putih yang menutupi pocong terkoyak, manakala ujung keris Berhulu Naga menyentuhnya.
Terbelalak orang yang berada dalam gulungan kain kafan. Matanya melotot tak percaya pada keris yang berada di tangan Ki Panganoman. Dengan geram wanita cantik itu membentaknya.
"Ki Panganoman! Kaulah yang telah membuat mukaku rusak dengan santetmu. Untuk itulah, aku hendak menagih hutang yang telah kau berikan setengah tahun yang lalu."
"Siapa, kau?!"
Tertawa cekikikan gadis cantik di depan Ki Panganoman, mendengar pertanyaan Ki Panganoman yang nadanya membentak. Lalu dengan berkata memperkenalkan namanya, gadis itu segera berkelebat menyerang Ki Panganoman.
"Akulah Nyi Sarpa Rukinten, yang telah kau santet hingga mukaku rusak. Kini dengan sembuhnya mukaku, aku akan menuntut balas padamu. Bersiaplah! Hi hi hi...!"
"Tidak mungkin. Kau bukan Nyi Sarpa Rukinten. Tapi kau adalah Dewi Tengkorak Hidup yang telah dipengaruhi jiwa Nyi Sarpa Rukinten."
"Terserah apa yang kau katakan, Ki Panganoman! Yang penting bagiku kau harus lenyap dari dunia ini menyusul adik angkatmu!"
Mendengar ucapan Dewi Tengkorak Hidup, maka dengan tanpa sungkan-sungkan Ki Panganoman segera menggunakan keris Berhulu Naga memapak serangan Nyi Sarpa Rukinten yang sebenarnya Dewi Tengkorak Hidup.
Tanpa dapat dicegah, keduanya pun segera terlibat perkelahian sengit. Sementara orangorang yang tengah kendurian, dengan segera ikut serta membantu Ki Panganoman mengepung Nyi Sarpa Rukinten. Tubuh Nyi Sarpa Rukinten berputar cepat seperti gasing membuat pengeroyoknya seketika pusing. Setiap tendangan atau pukulannya, mengundang pekikan bagi yang terkena. Satu persatu pihak pengeroyok jatuh terjejak atau terhantam tangan kecil Nyi Sarpa Rukinten.
Membelalak mata Ki Panganoman seketika, melihat orang-orang yang membantunya tak ada seorangpun yang mampu menjamah atau menyentuh kulit Nyi Sarpa Rukinten. Maka dengan keris Berhulu Naga di tangannya, Ki Panganoman pun menyerang Nyi Sarpa Rukinten. Kini keduanya telah saling serang dan elak tanpa diricuhi oleh orang-orang lain. Tampak jelas, ilmu Ki Panganoman berada di bawah Nyi Sarpa Rukinten. Hingga dengan beberapa jurus saja, tampak Ki Panganoman terdesak dengan hebatnya. Hal itu menjadikan terbelalak mata Jaka yang tengah menontonnya dari balik daun pohon. Hingga dengan nada kuatir, Jaka pun menggumam lirih.
"Bahaya! Kalau aku tidak segera membantunya."
Namun manakala dia hendak melompat turun. Tiba-tiba dari dalam rumah Ki Gantra, berkelebat sesosok tubuh tua menerjang pada Nyi Sarpa Rukinten yang segera mengelakannya, memandang tajam pada lelaki tua itu. Lalu dengan mendengus. Nyi Sarpa Rukiten membentak.
"Hem... apa urusanmu, tua bangka! Apakah kau juga ingin mati di tanganku!"
"Nyi Sarpa Rukinten palsu! Jangan kau kira mata tuaku telah rabun. Hingga tak dapat melihat siapa adanya dirimu. Dewi Tengkorak Hidup! Duniamu bukan di sini, tapi di neraka sana!" berkata lelaki tua yang telah menolong Ki Panganoman yang ternyata Ki Barwi adanya.
Dikatakan begitu oleh Ki Barwi menjadikan Dewi Tengkorak makin melorotkan mata. Dengan didahului bentakan. Dewi Tengkorak segera menyerang Ki Barwi.
"Rupanya kau telah bosan hidup di dunia ini, Barwi! Bersiaplah untuk kukirim ke akherat!"
Kedua tokoh persilatan yang berlainan aliran itu kini bertemu lagi, setelah hampir tiga puluh tahun salah seorang dari ketiganya hilang. Ketiga tokoh persilatan dari wilayah Barat masing-masing Ki Barwi, Bah Jenar, dan Dewi Tengkorak Hidup. Bah Jenar dan Dewi Tengkorak, merupakan sepasang pendekar sesat. Sementara Ki Barwi, merupakan musuh bebuyutan dari keduanya sejak mereka masih muda.
Maka sudah dapat dipastikan, bahwa Ki Barwi akan mampu mengimbangi seranganserangan Dewi Tengkorak yang berusaha untuk segera menghentikan Ki Barwi. Namun demikian jauhnya, Ki Barwi masih mampu menangkal serangan-serangan Dewi Tengkorak Hidup yang makin gencar menyerangnya.
"Hiaaaat! Mati kau, Barwi!"
Ki Barwi tersentak, manakala dari tangan Dewi Tengkorak Hidup menyemprot selarik cairan hitam yang berbau bangkai menuju ke arahnya. Dengan setengah kaget, Ki Barwi berguling ke tanah dan menghindarinya. Ki Barwi berhasil menghindari serangan Racun Mayat yang dilontarkan oleh Dewi Tengkorak Hidup. Namun sungguhpun demikian, dadanya terasa sesak manakala mencium bau bangkai yang keluar dari cairan itu.
Jaka yang sedari tadi mengawasinya, terbelalak matanya melihat tubuh orang-orang yang terkena cairan racun itu. Tubuh mereka seketika habis terkikis, hingga tinggal tulang belulang belaka. Dan dari membusuknya daging mereka, keluar jentik-jentik yang menggidikkan.
"Sungguh-sungguh menggidigkan! Kalau bukan Ki Barwi, mungkin tubuhnya akan seperti orang-orang itu," bergumam Jaka yang masih berusaha tenang tak segera membantu. Ia tak mau kalau Ki Barwi akan merasa direndahkan. Maka itulah Jaka memandang perlu untuk jadi penonton. Namun begitu, hatinya tak tenang.
"Bagaimana aku harus berbuat? Aku tak enak kalau nanti Ki Barwi merasa terhina. Tapi kalau gelagatnya seperti ini, maka mau tak mau aku harus menolongnya. Tapi apakah aku akan mampu meredam ilmu yang dimiliki oleh Dewi Tengkorak?" bertanya-tanya hati Jaka ragu.
Sementara itu. Dewi Tengkorak lelah kembali menyerang Ki Barwi dengan ajian Racun Mayatnya membuat Ki Barwi jumpalitan kayak monyet.
"Duh! Kenapa iblis ini mampu memiliki ajian seganas ini? Ah! Apakah aku mampu untuk menghadapinya? Akan aku coba dengan ajian Langsat Biru," membatin Ki Barwi. Manakala Dewi Tengkorak Hidup kembali menyerang Ki Barwi pun segera menyambut dengan ajian Langsat Birunya.
"Hissstttt!"
"Crooottttsss!"
Dua ajian yang berupa cairan itu, seketika bertemu di tengah-tengah mereka. Tapi dengan seketika Ki Barwi segera menarik ajiannya kembali dengan muka memucat. Tubuhnya bergetar hebat dengan mata melotot tak percaya. Tampak tangannya seketika membusuk di telapaknya. Seperti halnya Ki Barwi, Jaka pun terkesiap melihat apa yang dialami oleh tokoh tua itu. Maka, ketika Dewi Tengkorak hendak kembali menyerang Ki Barwi dengan seketika Jaka berkelebat menghantamkan Pedang Silumannya menangkis cairan racun itu.
"Hiaaattt!"
"Busssttt...!"
Cairan hitam legam bagaikan tear itu lenyap terhisap ke dalam Pedang Siluman menjadikan Dewi Tengkorak membelalakan matanya kaget. Dan dari mulut Dewi Tengkorak membersit suara kaget manakala melihat siapa adanya orang yang berdiri di hadapannya.
"Kau...!"
Tak hanya Dewi Tengkorak, Jaka pun juga tersentak mundur mana kala mengetahui siapa adanya gadis di hadapannya. Gadis itu telah dikenalnya ketika gadis itu hampir saja tenggelam dalam sungai.
"Hem... Rupanya kau gadis binal? Tak kusangka kalau kau adalah penjelmaan Dewi Siluman Tengkorak Hidup. Pantas kalau kelakuanmu sangat jalang," berkata Jaka mengejek, menjadikan Nyi Sarpa Rukinten marah.
Matanya yang sedari tadi redup, kini memerah marah penuh napsu membunuh.
"Siapa kau, Anak muda! Jangan kau mati tak bernama!"
Jaka tampak tenang dengan senyum mengembang di bibirnya, "Dewi Tengkorak Hidup, aku minta tinggalkan tubuh gadis itu. Sungguh suatu perbuatan biadab bila kau memanfaatkan tubuh gadis yang tak berdosa itu."
"Tak berdosa. Hi hi hi! Anak muda, janganlah kau berkata bagaikan seorang pendeta. Dirimu sendiri sungguh sangat memalukan membuat najis yang terlalu besar. Bukankah kau telah memperkosaku ketika kita bertemu di kali?"
Terbelalak mata Ki Barwi dan lainnya, mendengar pendekar muda itu dituduh telah memperkosa iblis Tengkorak. Namun mereka tak berani berbuat apa-apa, hanya membiarkan Jaka menghadapi Dewi Tengkorak.
"Sundel! Cuih! Jangankan diriku. Anjing kurap pun mungkin akan menolakmu. Tengkorak Cabul!"
Mendengar cacian Jaka, marahlah Dewi Tengkorak. Merasa ajian Racun Mayatnya tak mampu dibendung oleh Ki Barwi, ia menyangka Jaka pun tak akan mampu menghadapinya. Maka dengan tanpa ragu-ragu lagi. Dewi Tengkorak segera menyerang Jaka dengan ajian tersebut.
"Hiat...!"
Diserang begitu cepat dengan ajian Racun Mayat tidak menjadikan Jaka keder. Dikibaskan Pedang Siluman Darah membentuk sebuah lingkaran yang segera melindungi dirinya. Ajian Racun Mayat dengan derasnya menyemprot dari tangan Dewi Tengkorak, menyerang pada Jaka. Namun seketika mata Dewi Tengkorak terbelalak, manakala ia melihat serangannya dengan mudah ditangkis oleh pemuda itu. Bahkan yang makin membuatnya terkejut, serangannya berbalik menyerang dirinya.
"Bedebah!" makinya sambil berusaha mengelakan serangan balik ajiannya dengan menjatuhkan diri ke tanah.
"Drootttt!"
Hampir saja kepalanya terhantam cairan Racun Mayat miliknya sendiri kalau ia tak segera memiringkan kepala ke kanan. Racun Mayat pun melesat beberapa senti di samping kepalanya. Kini tahulah Dewi Tengkorak siapa sebenarnya pemuda yang tengah dihadapinya. Matanya membeliak tajam memandang pada Jaka yang tampak tersenyum. Dengan segera Dewi Tengkorak bangkit dan tanpa diduga oleh Jaka, Dewi Tengkorak berkelebat pergi melarikan diri.
Jaka bermaksud mengejarnya. Mana kala ia teringat pada Ki Barwi iapun segera mengurungkan niatnya. Segera dihampirinya Ki Barwi yang tengah terduduk sambil memegangi tangannya yang membusuk di telapaknya.
"Hem... Ini harus dipotong, Ki," berkata Jaka menyarankan.
"Potonglah, Jaka. Kalau memang hanya itu yang bisa dilakukan," menjawab Ki Barwi pasrah.
Sesaat Jaka terdiam ragu sepertinya tak tega untuk melakukannya. Manakala Jaka masih terdiam, terdengar suara Ki Panganoman berkata:
"Kenapa kau ragu, Jaka? Kalau memang itu yang dapat menolong nyawa Ki Barwi, maka lakukanlah dengan hati yang penuh."
"Benar, Jaka. Aku tak akan merasa kecewa bila tanganku yang membusuk ini kau potong. Lakukanlah," lanjut Ki Barwi menambahkan ucapan Ki Panganoman membuat Jaka makin tak tega.
"Lakukanlah, Jaka?"
Karena didorong terus oleh Ki Barwi dan Ki Panganoman, maka Jaka pun akhirnya menyanggupi. Ditariknya Pedang Siluman yang telah diselipkan di balik pakaiannya. Sinar Pedang Siluman tampak menyala terang. Dengan memejamkan matanya, Jaka segera menebaskan tangan Ki Barwi.
"Aaahhh...!" menjerit Ki Barwi sesaat, manakala Pedang Siluman membabat putus tangannya. Namun seketika matanya membelalak kala melihat tangannya tak meneteskan darah sedikitpun dan telah sembuh dengan cepatnya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" bergumam Ki Barwi. Ki Panganoman juga tak mengerti dengan apa yang terjadi.
Belum juga kedua orang tua itu mendapat jawabannya, Jaka telah berkelebat pergi meninggalkan mereka yang hanya terbengong-bengong.
"Ki Barwi dan Ki Panganoman, aku akan ke gunung Galunggung untuk mengejar Dewi Tengkorak"
Kedua orang tua itu hanya dapat menggelengkan kepala, tanpa mampu mencegahnya! Lalu dengan dibantu orang-orang lainnya, Ki Barwi segera bangkit dan berjalan menuju ke rumah Gantra untuk membicarakan bagaimana sebaiknya yang hendak mereka lakukan.
* * * * *
:::≡¦ [ 6 ] ¦≡:::
"Kenapa, Nyi? Sepertinya kau tengah menghadapi sesuatu?"
"Benar, Bah. Aku tengah menghadapi kesulitan."
"Kesulitan!" terjengah Bah Jenar kaget. Matanya membeliak, memandang pada wajah Nyi Sarpa Rukinten yang nampak pucat pasai.
"Kesulitan apa, Nyi?"
"Aku telah menghadapi seorang pendekar muda yang berilmu tinggi. Kenalkah kau dengannya, Mbah?"
"Anak muda? Hem... Siapakah gerangan anak muda yang kau maksud?"
"Mana aku tahu. Yang pasti pemuda itu ada di pihak orang-orang golongan lurus. Ia telah membantu Ki Barwi mana kala aku hendak menghabisi nyawa orang tua itu," menjawab Nyi Sarpa Rukinten yang menjadikan Bah Jenar mengernyitkan keningnya.
"Hem... apakah ia memakai senjata?"
"Ya! Anak muda itu memakai senjata yang berbentuk pedang."
"Tidak salah lagi!" berseru Bah Jenar sepertinya kaget.
"Kenapa, Ki? Sepertinya kau mengenal pemuda itu."
"Benar! Aku akhir-akhir ini mendengar selentingan tentang seorang pemuda yang sakti dengan senjatanya yang berbentuk pedang." Bergumam Bah Jenar, membuat Nyi Sarpa Rukinten membeliakkan mata.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ki?"
"Kau hadapilah dia. Kau jajal ilmunya," menjawab Bah Jenar kalem.
Terkejut Nyi Sarpa Rukinten yang tak menyangka bahwa Bah Jenar akan menyuruhnya untuk menghadapi pendekar muda yang tinggi ilmunya. Maka dengan setengah menolak Nyi Sarpa Rukinten berkata: "Bah! Aku sudah menghadapinya dan nyatanya aku jauh ilmunya dibandingkan dengan pemuda itu."
"Jangan kau pengecut, Nyi?"
"Aku tidak pengecut! Kaulah yang pengecut, Bah! Kenapa kau tidak menghadapinya sendiri?" berkata Nyi Sarpa Rukinten agak kesal merasa dirinya akan dijadikan tameng oleh Bah Jenar.
"Diam! Kau harus nurut padaku karena akulah yang berkuasa di sini. Apakah kau mau menjadi mayat lagi?" mengancam Bah Jenar membuat Nyi Sarpa Rukinten yang telah dipakai jasadnya untuk bersemayam Dewi Tengkorak Hidup, tampak bergetar gemetar dengan wajah pucat.
Ia tahu kata-kata Bah Jenar bukanlah gertak sambal belaka, seperti kata-kata anak kecil. Bila Bah Jenar melakukan hal itu, maka ia pun tak akan dapat bergentayangan seperti sekarang. Namun bila ia menurut kata-kata Bah Jenar ia pun akan hancur. Ibarat makan buah simalakama saja layaknya Nyi Sarpa Rukinten, di makan tubuh binasa tidak dimakan pun tubuh tak dapat seperti sekarang. Karena bingung. Nyi Sarpa Rukinten pun akhirnya hanya dapat menangis.
"Bagaimana, Nyi? Apa kau mau?" bertanya Bah Jenar
Dengan perasaan takut Nyi Sarpa Rukinten pun akhirnya mengangguk membuat Bah Jenar seketika tertawa bergelak-gelak menggema di sudut-sudut goa.
"Nah, Nyi. Aku akan pergi. Bila nanti kau memang tak mampu menghadapinya, maka kau bisa menyusulku atau lebih baik mati saja daripada merepotkanku."
"Ke mana, Bah?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya mangkel mendengar ucapan Bah Jenar yang sepertinya tak membutuhkan dirinya lagi.
"Aku akan menemui temanku Tengku Loreng di Pulau Andalas."
Walaupun hati Nyi Sarpa Rukinten marah pada Bah Jenar, namun untuk melakukan perlawanan ia tak mampu sebab Bah Jenarlah yang tahu persis siapa dirinya.bDi samping itu, Bah Jenar tahu kelemahannya. Maka apa bila ia melawan berarti kematianlah baginya. Karena Bah Jenar sudah pasti akan menutup jalan kehidupannya. Mau tak mau, ia pun harus mau menuruti kata-kata Bah Jenar yang bermaksud memperalatnya. Hati Nyi Sarpa Rukinten menangis pedih, manakala mengingat betapa dirinya sekarang dalam kekuasaan orang lain.
"Mbah Jenar keparat! Mentang-mentang sekarang aku tak cantik seperti dulu lagi hingga dengan seenaknya dia berbuat dan menyuruhku. Tidak! Aku tak mau binasa oleh pemuda pendekar itu. Aku lebih baik memberi tahukan saja pada pendekar muda itu, bahwa Bah Jenar sekarang tengah ke pulau Andalas untuk meminta tolong pada temannya. Tengku Loreng."
Dengan lesu Nyi Sarpa Rukinten terduduk melamun, menanti kedatangan Jaka untuk memberi tahukan siapa adanya yang telah menyuruhnya menteror orang-orang persilatan.
* * * * *
Tengah Nyi Sarpa Rukinten duduk melamun, terdengar suara Jaka berseru memanggil namanya. Hingga dengan seketika Nyi Sarpa Rukinten yang tak lain dari Dewi Tengkorak tersentak dari lamunannya. Dengan langkah lesu. Nyi Sarpa Rukinten pun segera bergegas menemui Jaka di luar goa.
"Rupanya di sini persembunyianmu. Iblis! Di mana Bah Jenar kambratmu berada?" tanya Jaka dengan sikap siap siaga memandang tajam pada Dewi Tengkorak yang hanya menunduk lesu.
"Tuan pendekar. Kalau kau mau mengampuni selembar nyawaku, maka aku berjanji tak akan berbuat kejahatan lagi. Dan akupun akan melepaskan tubuh gadis ini. Juga akan aku beri tahukan di mana adanya Bah Jenar sekarang. Sungguh, bukan maksudku untuk menteror orang-orang kalau tidak disuruh oleh Bah Jenar," Dewi Tengkorak mengiba, sepertinya ia ingin membuka siapa sebenarnya pelaku dari semua tindakannya.
"Kau tidak berdusta?"
"Tidak! Bahkan aku akan senang bila Bah Jenar dapat segera menyusulku. Karena dengan begitu ia tak akan dapat membuat aku menderita."
"Menderita? Maksudmu, Dewi?" bertanya Jaka tak mengerti, seraya memandang pada Dewi Tengkorak yang berdiri dihadapannya.
Sesaat Dewi Tengkorak terdiam.
"Benar, Tuan pendekar. Dulu ketika kami masih muda kami sempat berikrar. Barang siapa yang mati lebih dahulu maka akan menjadi abdi bagi yang masih hidup. Ketika itu aku menyanggupi, sebab aku waktu itu tengah berurusan dengan Ki Barwi yang telah menolak cintaku. Mulanya kami bertiga, aku, Bah Jenar dan Ki Barwi adalah merupakan tiga serangkai yang ke mana-mana selalu bersama-sama. Pada suatu hari aku merasakan ada getaran cinta di hatiku pada Ki Barwi yang pendiam dan tenang. Rupanya Ki Barwi yang tahu bahwa Bah Jenar mencintaiku tak mau menerima cintaku membuat hatiku seketika mendendam padanya. Akhirnya pecahlah kami. Bah Jenar yang memang mencintaiku setengah mati, membantuku memusuhi Ki Barwi. Namun sejauh itu, kami berdua tak pernah mampu mengalahkannya. Pada suatu ketika aku dan Bah Jenar memperoleh sebuah petunjuk berupa kitab pusaka. Maka dengan mempelajari kitab itu, aku mampu mengalahkan Ki Barwi. Namun ketika aku hendak menurunkan tangan jahat pada Ki Barwi, seorang pendekar muda tiba-tiba datang menolongnya. Karena merasa tinggi ilmu yang kumiliki, hingga akupun menjadi orang yang sombong dan memandang rendah pada semua orang. Tapi ternyata pendekar muda yang bernama Boyong mampu mengalahkanku hingga tubuhku hancur. Mungkin karena kutukan ilmu itu, aku tak dapat mati sebelum sekutupun mati. Kalau aku boleh tahu, siapakah sebenarnya engkau tuan pendekar?"
"Aku adalah murid tunggal Empat Pendekar Sakti dari Chandra Bilawa yang di antaranya Ki Bayong" menjawab Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah yang seketika itu mengejutkan Dewi Tengkorak Hidup. Hingga saking terkejutnya. Dewi Tengkorak Hidup bergumam tak sadar.
"Pantas, pantas!"
"Apa yang kau bilang pantas?"
"Ya... pantas saja kalau kau masih semuda ini memiliki ilmu yang tinggi melebihi ilmu pendekar-pendekar kawakan, karena kau digembleng oleh empat orang Pendekar Sakti sekaligus."
"Baiklah, Dewi. Nyawamu aku ampuni. Sekarang tunjukkan padaku di mana Bah Jenar berada? Kedua, kalau kau tak menginsafi segala tindakanmu, maka aku tak akan segan-segan menghukummu. Nah, katakan di mana Bah Jenar sekarang?"
"Bah Jenar telah pergi."
"Pergi? Pergi ke mana? Kau jangan membohongi aku. Dewi!" berkata Jaka tak percaya dengan nada marah, menyangka kalau Dewi Tengkorak telah mendustainya.
"Benar, Tuan Pendekar. Bah Jenar pergi ke pulau Andalas untuk meminta bantuan pada sahabatnya yang bernama Tengku Loreng."
"Apa?! Bah Jenar mau meminta bantuan pada Tengku Loreng?" Tersentak Jaka seketika itu, demi mendengar keterangan dari Dewi Tengkorak Maka dengan tanpa bicara lagi, Jaka segera berkelebat meninggalkan Nyi Sarpa Rukinten yang terbengong-bengong menyaksikan kepergiannya.
Setelah beberapa saat kepergian Jaka, Nyi Sarpa Rukinten pun segera menyusulnya. Entah ada perasaan apa di hati Nyi Sarpa Rukinten, yang seketika telah tergetar. Wajah Jaka selalu membayang dalam benaknya. Maka sebelum pergi, hatinya sempat berbisik
"Sungguh aku tak rela bila pemuda itu harus menjadi korban Bah Jenar. Apapun yang terjadi, aku harus mampu menghalangi niat Bah Jenar. Bila perlu aku rela berkorban untuknya." Dengan segera Nyi Sarpa Rukinten berkelebat menuju ke arah mana Jaka pergi.
Pagi telah kembali datang, membiaskan sinar kemerahmerahan di ufuk Timur manakala ayam jantan berkokok. Mampukah Jaka mengejar Bah Jenar...???
* * * * *
Bah Jenar tampak terus berlari walaupun hari telah menjelang pagi. Malah tampak Bah Jenar makin mempercepat larinya, terus menuju ke arah Barat di mana hamparan hutan lebat membentang luas.
"Sungguh bahaya kalau sampai anak muda itu dapat mengejarku. Sedang untuk menuju ke Sunda Kelapa aku harus menempuh perjalanan sekitar tiga hari. Hem... aku akan mencari kuda dulu sebelum melanjutkan perjalananku."
Ketika Bah Jenar tengah terus berlari, tiba-tiba dia tersentak manakala seorang wanita berdiri menghadangnya dengan senyum yang cukup membuat dada lelaki bergemuruh risuh. Mata Bah Jenar seketika melotot, melihat tubuh wanita cantik itu tanpa sehelai benangpun polos berdiri dengan kaki melipat satu sama lain. Melelet lidah Bah Jenar, bagaikan tak kuasa lagi menahan gejolak birahi. Wanita itu sepertinya memasang jerat dengan senyumnya, hingga membuat Bah Jenar melototkan mata manakala wanita itu makin mendekat ke arahnya. Dengan terbata-bata Bah Jenar bertanya.
"Si... siapakah Ni Sanak?"
"Hi, hi, hi. Kaukah yang bernama Bah Jenar?"
"Be... benar. Siapakah Ni Sanak sebenarnya? Dan dari mana Ni Sanak mengenal namaku?"
"Hi, hi, hi..." Kembali wanita itu tertawa cekikikan, tangannya melambai mengundang Bah Jenar.
"Maukah kau menjadi pendampingku, Bah?"
Kaget bercampur senang beraduk menjadi satu di hati Bah Jenar yang segera menurut mendekat dengan senyum play boy tuanya.
"Siapakah, Ni Sanak sebenarnya?" kembali Bah Jenar mengulang pertanyaan itu. Matanya terus mengawasi tubuh wanita itu yang tak tertutup sehelai benangpun.
"Kau mau tahu namaku?"
Bah Jenar mengangguk sembari menyambut tangan wanita itu yang putih mulus. Keduanya segera melangkah sembari bergandeng tangan.
"Nanti juga kau akan tahu siapa aku sebenarnya. Yang penting sekarang kau mau menjadi pendampingku," berkata wanita itu yang dengan segera menarik tangan Bah Jenar pergi menghilang entah ke mana dalam seketika.
Bah Jenar tersentak, manakala dirinya telah berada pada sebuah ruangan yang mirip dengan ruangan itu, kala melihat banyak pasukan bersenjata lengkap berdiri dengan siaga.
"Di manakah aku?" bertanya Bah Jenar.
Wanita yang tadi bersamanya kini tengah duduk di sebuah singgasana megah. Terbuat dari gading gajah hingga nampak indah. Di bibir wanita itu tergurat senyuman, sementara matanya menyorot suatu kewibawaan. Dari mulutnya yang tersungging senyuman, terbersit suaranya yang halus dan merdu berkata:
"Bah Jenar. Inilah kerajaanku. Kini kau tengah berada di kerajaan Siluman Buaya Sungai Condong. Aku memang sengaja mencarimu. Menurut wangsit yang aku terima, bahwa kaulah yang akan mampu memberikan keturunan pada kami. Bersediakah kau menjadi suamiku. Bah?"
Tersentak Bah Jenar seketika, manakala dia mendengar ucapan Ratu Siluman Buaya Kali Condong. Dirinya yang saat itu tengah terbengong-bengong tak mengerti, seketika membeliakan matanya kaget.
"Bagaimana, Bah Jenar?" kembali Ratu Siluman Buaya Biru bertanya, demi dilihatnya Bah Jenar masih terdiam tak menjawab.
"Ba... baiklah! Aku menerimanya, tapi dengan syarat."
"Apa syaratmu. Bah?"
Sesaat Bah Jenar terdiam membisu, memandang pada Ratu Siluman Buaya Kali Condong. Lalu dengan menyembah terlebih dahulu. Bah Jenar mengucapkan apa yang menjadi syaratnya.
"Aku hanya meminta satu syarat, Sri Ratu."
"Apa? Katakanlah." mendesak Ratu Siluman Buaya Biru bertanya, tak sabar menunggu ucapan yang bakalan dilontarkan oleh Bah Jenar.
Kembali Bah Jenar terdiam menunduk, tak segera menjawabnya. Dihelanya napas panjangpanjang, lalu dengan suara berat Bah Jenar pun kembali berkata.
"Ampun, Sri Ratu. Saat ini hamba lengah dikejar-kejar oleh seorang pemuda."
"Heh! Bukankah kau memiliki ilmu segudang, Bah? Mengapa kau mesti takut dengan seorang pemuda?" bertanya Sri Ratu seraya mengerutkan kening manakala mendengar ucapan Bah Jenar. Dalam hatinya bertanya-tanya.
"Bagaimana mungkin, Bah Jenar yang terkenal dengan ilmu-ilmu silumannya takut menghadapi seorang pemuda? Siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah ia juga siluman sepertiku?"
"Tidak demikian halnya, Sri Ratu. Pemuda itu jauh lebih tinggi ilmunya bila dibandingkan dengan ilmuku."
"Ah! Apakah kau tak sedang mengada-ada. Bah?"
"Pemuda itu bukan pemuda sembarangan. Ia berilmu tinggi dan memiliki sebuah senjata yang bernama Pedang Siluman. Senjata itu merupakan sebuah senjata pusaka yang aneh."
"Aneh? Apa keanehannya?" bertanya Ratu Siluman Buaya Biru yang tampaknya masih tak percaya. Matanya memandang tak berkedip pada Bah Jenar yang menunduk tak berani membalas memandang.
Dengan terlebih dahulu menelan ludah manakala paha Ratu Siluman Buaya Biru terangkat dan ia melihatnya. Bah Jenarpun kembali berkata: "Benar, Sri Ratu. Senjata itu akan muncul bila berhadapan dengan seorang musuh."
"Cek, ck, ck! Luar biasa. Apakah kau telah mencobanya. Bah?"
"Belum, Sri Ratu."
"Kenapa kau merasa yakin kalau kau tak mampu menghadapinya?" bertanya Sri Ratu menjadikan Bah Jenar seperti tersindir. Dengan tersenyum malu Bah Jenar makin menundukan kepalanya.
"Aku sudah tahu syarat apa yang hendak kau pinta. Kau menghendaki aku melindungimu, bukan?" kembali Sri Ratu bertanya. Dijawab dengan anggukan kepala oleh Bah Jenar.
"Baiklah, Bah. Aku akan melindungimu, asal kau memang bersedia menjadi pendampingku."
"Dengan senang hati, Sri Ratu." menjawab Bah Jenar dengan perasaan bahagia, sebab ia akan mendapatkan dua-duanya. Pertama ia akan mendapatkan perlindungan dari Ratu Siluman Buaya Biru. Kedua ia akan mendapatkan tubuh Ratu Siluman Buaya Biru yang denok montok serta cantik wajahnya.
Demi mendengar jawaban Bah Jenar, dengan seketika Ratu Siluman Buaya Biru kembali tersenyum. Lalu dengan tubuh yang tak tertutup sehelai benangpun. Ratu Siluman Buaya Biru berjalan mendekati Bah Jenar. Diulurkannya tangan pada Bah Jenar yang menyambutnya dengan suka cita sembari tersenyum. Lalu keduanya pun seketika melangkah menuju ke sebuah kamar yang telah disediakan.
Manakala tirai kelambu telah ditutup keduanya pun segera bercumbu rayu layaknya seperti pengantin baru. Satu persatu pakaian yang dikenakan Bah Jenar terlepas dari badan. Napas Bah Jenar terdengar memburu, layaknya seperti seekor kuda tengah berpacu kala matanya melirik ke arah selangkangan Ratu Siluman Buaya Biru. Matanya melotot tajam memandang tak berkedip, sementara tangannya tak hentihentinya bergerak liar meraba-raba ke sekujur tubuh Ratu Siluman Buaya yang mendesis-desis.
Tak berapa lama antaranya, keduanyapun segera bergumul-gumul. Napas keduanya memburu liar, seirama dengan alunan birahi yang telah menggeluti perasaan mereka. Bah Jenar tak menyadari apa yang tengah ia geluti waktu itu, yang sebenarnya seekor buaya biru. Buaya itu meregang kejang, manakala Bah Jenar tampak menggelosor loyo tertidur di sisinya.
* * * * *
:::≡¦ [ 7 ] ¦≡:::
"Aneh! Ke mana lenyapnya Bah Jenar? Padahal aku telah mengerahkan Ajian Angin Puyuh tingkat akhir yang berarti aku telah berlari dengan kencangnya melebihi lari seekor kuda yang kuat sekalipun atau melebihi terbangnya burung camar. Hem, aku tak yakin kalau Bah Jenar mampu menghilang. Jangan-jangan " Belum habis pikirannya mengira-ngira, terdengar suara bunyi-bunyian gamelan menggema di gendang telinganya. Semakin ia mendengar, semakin dekat saja rasanya bunyi-bunyian itu.
"Hem... tentu ada yang sengaja hendak menggangguku. Aku rasa bangsa siluman penunggu hutan ini. Baik, akan aku lihat macam apa bangsa siluman yang siang-siang begini membisingkan telingaku."
Sejenak Jaka terdiam membisu dengan mata terpejam rapat. Lalu dengan perlahan, kedua tangannya direntangkan lebar-lebar membentuk sebuah garis lurus. Dan dengan sekuat tenaga, Jaka kembali menyatukan kedua tangannya.
"Ajian Penyibak Alam Gaib. Hiattt..!"
"Wuss...!"
Angin seketika berhembus dengan kencang menerpa segala apa yang berada di dekatnya. Sekilas ada semacam lendiran lebar sepanjang empat tombak, membentang di hadapannya. Ketika jari telunjuk Jaka bergerak menotok lendir itu, seketika terbentanglah di hadapannya sebuah kota.
"Hem... rupanya di kota Siluman ini. Aku ingin tahu ada apa gerangan di kota siluman ini." Dengan menggunakan sukmanya Jaka berkelebat menuju ke dalam kota Siluman yang tampak ramai. Janur mayang dan umbul-umbul terpajang di sana-sini, menghias di setiap pelosok kota. Seorang pemuda siluman tengah berjalan mana kala menghampiri.
"Ki Sanak. Gerangan apakah yang tengah berlangsung di kota ini? Hingga begitu banyak yang datang mengunjunginya?"
Sesaat pemuda itu memandang padanya. Mau tak mau Jaka pun akhirnya memandang pada dirinya sendiri dengan terbengong-bengong.
"Adakah keanehan pada diriku, Ki Sanak?"
"Kau bukan penduduk sini, Ki Sanak? Sepertinya kau warga manusia. Kebetulan sekali kalau begitu," berkata pemuda itu yang menjadikan Jaka terbelalak tak mengerti.
"Kebetulan sekali. Apa maksud ucapannya?"
Belum juga hilang rasa kaget di hatinya, seketika pemuda di hadapannya telah kembali berkata: "Kebetulan sekali. Ketahuilah olehmu, Ki Sanak. Bahwa negariku tengah dilanda musibah yang sangat menyedihkan."
"Musibah?" desis Jaka.
"Kenapa? Sepertinya kau terkejut, Ki Sanak?"
"Bagaimana tidak. Kau bilang kerajaan tengah dilanda musibah. Tapi mengapa aku mendengar suara gamelan?"
"Ah, sudahlah. Sekarang juga kau akan aku ajak menghadap ratu kami yang mulia Ratu Siluman Bumi. Ayo!" mengajak pemuda itu yang oleh Jaka walaupun dengan hati bertanya-tanya.
* * * * *
Di bangsal istana, tampak tengah berkumpul para patih dan pembesar lainnya. Mereka sepertinya tengah menanti-nanti gerangan apa yang bakal dititahkan oleh Sri Ratu. Dari dalam istana, tampak seorang wanita cantik berjalan diiringi oleh dayang-dayang menuju ke sebuah bangku yang berada di bangsal itu. Matanya yang jeli memandang tajam. Semua yang hadir di situ, seketika menyembah tanpa ada seorangpun yang berani menatapnya.
Sri Ratu duduk dengan anggun di tahta berukir ular kobra di atasnya. Mahkota yang dikenakan oleh Sri Ratu pun berukir ular kobra dengan kepala menjuruk ke muka seperti garang.
"Paman Patih Sanca Siti Abang. Apakah telah kau dapatkan keterangan di mana pusaka itu?" berkata Sri Ratu dengan suaranya yang merdu. Walaupun begitu, tak seorang pun di antara punggawanya yang berani menentangnya. Mata Sri Ratu memandang tajam pada patihnya yang segera menyembah.
"Ampun, Sri Ratu. hamba telah mendapatkan keterangan, siapa yang telah berani mencuri pusaka kerajaan. Pencurinya tak lain adalah seorang manusia yang kini bersekongkol dengan kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut ahli tenung bernama Bah Jenar."
"Hem... pantas kalau ia bisa mengambil pusaka itu. Sebab pusaka Keris Naga Runting hanya dapat dijamah oleh kaum kita dan bangsa manusia saja. Sedang bangsa lain tak akan mampu memegangnya," berkata Sri Ratu seraya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Kalau begitu, maka hanya manusia saja yang dapat mengambilnya kembali. Kalau pusaka itu tidak segera direbut, sungguh petaka bagi kita dan bagi bangsa manusia."
Tengah mereka berpikir bagaimana caranya merebut pusaka itu dari tangan Siluman Buaya Biru Kali Condong. Seorang pemuda datang menghadap. Dengan menyembah terlebih dahulu, pemuda itu segera menyampaikan maksud kedatangannya.
"Ampun, Sri Ratu. Hamba ingin menyampaikan sesuatu."
"Tentang apa itu?" bertanya Sri Ratu.
"Hamba datang bersama seorang manusia yang mungkin dialah orang yang dimaksud oleh Sri Ratu."
Seketika seluruh yang ada di situ membelalakkan matanya manakala seorang pemuda tampan santai masuk ke dalam badan menjura hormat dengan cengengesan.
"Ini orang yang hamba maksudkan, Sri Ratu," kembali pemuda itu berkata, demi melihat orang yang bersamanya telah masuk ke dalam.
Sri Ratu terdiam memandang dengan mata tak berkedip pada pemuda yang baru datang.
"Hem... apakah pemuda setampan ini akan mampu menghadapi Bah Jenar? Sungguh aku tak tega kalau akhirnya pemuda itu menjadi korban. Tampan nian! Sungguh dia akan menjadi rebutan para gadis manusia." Saking takjubnya Sri Ratu memandang wajah Jaka, hingga tak disadari kalau ia tengah melamun. Pandangannya melekat pada wajah Jaka yang berani menentang pandangan Sri Ratu.
Tercekat pemuda temannya manakala melihat Jaka dengan berani memandang pada Sri Ratu. Hati pemuda di sampingnya gundah. Takut kalau-kalau Sri Ratu akan murka, ketika ia melirik ke arah Sri Ratu, sungguh ia terkesima. Betapa tidak! Sri Ratu ternyata juga mengurai senyum memandang dengan mata sayu pada pemuda di sampingnya.
Lama Sri Ratu terdiam saling pandang dengan Jaka, sepertinya mereka berdua tengah mendalami isi hati masing-masing. Lalu setelah beberapa saat terdiam, Sri Ratu akhirnya berkata dengan suara lembut:
"Anak muda tampan, siapakah namamu?"
"Hamba bernama Jaka, Sri Ratu," menjawab Jaka dengan masih menaruh hormat, menjadikan Sri Ratu makin melebarkan senyum. Sepertinya di balik senyum itu tersembunyi suatu harapan yang kini melekat di balik kedua matanya yang indah dan sayu.
"Jaka, maukah kau membantu kami?"
"Membantu? Membantu apa? Aku sendiri tak mampu apa-apa."
Kembali Sri Ratu tersenyum lebar demi melihat kekonyolan yang ada pada diri Jaka. Dengan menahan geli melihat tingkah Jaka, Sri Ratu kembali berkata: "Pusaka kerajaan ini telah dicuri oleh orang, yaitu kaum bangsamu atas perintah kerajaan Siluman Buaya Biru. Orang itu menurut ahli nujumku bernama Bah Jenar."
"Untuk apa kerajaan Siluman Buaya Biru mencuri pusaka kerajaan yang Sri Ratu pimpin ini?"
Kembali Sri Ratu memandang tajam pada Jaka sepertinya tengah menyelidik siapa sebenarnya pemuda di hadapannya. Setelah memandang untuk beberapa saat, terdengar Sri Ratu kembali berkata: "Sepuluh tahun yang lalu kerajaan ini dengan kerajaan Siluman Buaya Biru bentrok gara-gara memperebutkan seorang manusia tampan yang memiliki sebuah pusaka bernama Naga Runting. Namun ternyata orang itu tidak menanggapi rasa cinta kami. Bahkan dengan terus terang, orang itu mengatakan bahwa maksudnya tak lain untuk menyerahkan pusaka Naga Runting itu pada kerajaan kami. Merasa cintanya ditolak, penguasa Siluman Buaya Biru menuduh kamilah yang membuat gara-gara dan menghasut orang tersebut. Jelas saja kami tak mau tinggal diam. Maka untuk kedua kalinya kami berperang, namun dengan adanya pusaka Naga Runting berada di tangan kami, maka kami dapat mengalahkan kerajaan Buaya Biru. Rupanya dendam mereka terus membara di hati dan mereka pun terus berusaha untuk mengambil pusaka Naga Runting. Beberapa kali mereka mencoba, namun selalu gagal karena pusaka itu tak dapat dijamah oleh kaumnya. Dengan datangnya manusia di kerjaan Siluman Buaya Birulah, pusaka kerajaan ini dapat diambil. Mungkin mereka tengah mempersiapkan penyerangan kembali."
Jaka terangguk-angguk mendengarkan apa yang diutarakan oleh Sri Ratu.
"Sri Ratu, tadi Sri Ratu mengatakan bahwa pencurinya bernama Bah Jenar."
"Benar, Jaka. Ada apa?"
"Kebetulan. Aku sendiri tengah mencarinya."
"Kebetulan apa, Jaka?" Sri Ratu kembali bertanya.
"Aku datang ke sini ternyata tak sia-sia, karena aku datang ke sini tengah mencari orang tersebut yang telah membuat keonaran di dunia manusia. Baiklah Sri Ratu, hamba siap untuk membantu."
Tersenyum senang semua yang hadir di situ, manakala mendengar ucapan Jaka yang sepertinya gong untuk bertindak. Maka dengan penuh harap, Sri Ratu pun berkata: "Jaka, maukah kau untuk sementara tinggal di sini?"
Sesaat Jaka terdiam.
"Hamba mau, asalkan hamba diperkenankan dapat membawa jasad wadag hamba terlebih dahulu yang tengah hamba tinggalkan. Karena dengan jasad hamba, hamba akan dapat leluasa bertindak"
"Baiklah, Jaka. Kau boleh mengambil terlebih dahulu jasad wadagmu yang kau tinggal di alam dunia. Nah, bawalah ini. Dengan batu ini, kau dapat keluar masuk ke mari tanpa terlebih dahulu meninggalkan jasadmu," berkata Sri Ratu seraya menyerahkan sebutir batu sebesar pala dengan ukiran ular cobra pada Jaka yang segera menerimanya.
"Ambilah jasadmu. Dengan batu itu, kau akan bebas leluasa membuka tabir dunia siluman. Hingga sewaktu-waktu kau dapat berkunjung ke mari."
Maka dengan diantar beberapa prajurit siluman, Jaka pun segera pergi untuk mengambil jasadnya yang ia tinggalkan di alam kehidupan manusia.
* * * * *
Tersentak Jaka seketika setelah rohnya kembali ke jasadnya, tatkala melihat ada orang lain yang duduk di sebelahnya. Saking kagetnya Jaka mendapatkan orang itu, matanya seketika terbelalak dan mulutnya berdesah.
"Ah... kaukah Nyi Sarpa Rukinten? Sudah lamakah kau datang?"
Nyi Sarpa Rukinten dengan menyenderkan kepalanya di bahu Jaka ia pun berkata: "Aku sengaja menyusulmu, Jaka. Sungguh aku merasakan bahwa aku sebenarnya telah jatuh hati padamu. Rasa takutku kehilangan kamu menjadikan aku ingin selalu berada di sisimu."
"Ah! Sungguh aku bahagia mendengarnya. Nyi. Tapi..." Jaka tak segera meneruskan ucapannya, menjadikan Nyi Sarpa Rukinten seketika memandangnya dengan penuh tanya.
"Tapi apa, Jaka? Apakah aku di matamu kurang cantik?"
"Bukan itu maksudku. Nyi. Kau sangat cantik. Bahkan bidadaripun akan kalah dengan kecantikanmu. Kalau saja aku belum bertunangan, aku rasa aku sangat senang mendengar ucapanmu itu," berkata Jaka menerangkan.
"Tak apa, Jaka. Walaupun kau jadikan aku isteri yang kesepuluh sekalipun," Nyi Sarpa Rukinten tampak makin merebahkan kepalanya dari pundak beralih pada pangkuan Jaka yang hanya dapat diam. Namun ketika tangan Nyi Sarpa Rukinten hendak merangkul lehernya, dengan segera Jaka mencegahnya.
"Jangan. Nyi!"
"Kenapa, Jaka? Apakah kau tak mencintaiku?"
"Bukan itu maksudku. Ketahuilah olehmu, bahwa Bah Jenar sekarang berada di sekitar sini."
Tersentak Nyi Sarpa Rukinten seketika itu, demi mendengar ucapan Jaka. Matanya membeliak ketakutan, sepertinya mendengar ribuan suara hantu saja. Dengan rasa tak begitu percaya, Nyi Sarpa Rukinten bertanya: "Kau tak membohongiku, Jaka?"
"Tidak! Malah aku sebenarnya tengah menjalankan tugas untuk menghalangi maksud Bah Jenar. Untuk itulah Nyi, aku harap kau segeralah pergi dari sini dahulu agar jangan sampai Bah Jenar mengetahuimu. Sungguh aku tak dapat membayangkan kalau Bah Jenar akan mengetahui dirimu bersekongkol denganku. Bukankah itu suatu petaka besar bagimu?"
"Benar, Jaka. Jadi haruskah aku selalu menahan rindu padamu?" Kata-kata Nyi Sarpa Rukinten yang polos menjadikan Jaka terheran-heran bertanya-tanya dalam hati.
"Apakah ini Nyi Sarpa Rukinten yang asli? Bukan dalam pengaruh Dewi Tengkorak? Apakah Dewi Tengkorak telah pergi? Bukankah Dewi Tengkorak akan pergi bila Bah Jenar telah mati?" Jaka tersenyum-senyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Lalu dengan senyum di bibirnya, Jaka pun berkata:
"Nyi... ku harap kau mampu menahan diri, sebab di sini banyak bangsa siluman. Bah Jenar pun sekarang tengah berada di alam siluman. Eh... apakah kau tak mampu melihatnya. Nyi? Bukankah kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Hidup?"
"Tidak. Aku tak dapat melihat alam siluman karena aku sekarang telah terbebas dari pengaruh Dewi Tengkorak."
Terbelalak mata Jaka seketika mendengar ucapan Nyi Sarpa Rukinten. Hatinya tak begitu percaya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, sedangkan Bah Jenar masih hidup. Jaka yang telah menyangka hal itu, tak banyak bertanya lagi. Lalu dengan berbisik, Jaka menyarankan agar Nyi Sarpa Rukinten segera pergi dahulu kembali ke desanya.
"Tapi aku tak berani, Jaka. Aku saat ini tengah diburu oleh pendekar-pendekar golongan lurus persilatan." berkata Nyi Sarpa Rukinten mengiba menjadikan Jaka kasihan melihatnya. Maka dengan terlebih dahulu garuk-garuk kepala, Jaka pun akhirnya berkata:
"Baiklah, Nyi. Aku akan menemanimu pulang dan memberi tahukan pada tokoh-tokoh persilatan bahwa kau tak bersalah. Sebentar! Aku akan memberitahukan terlebih dahulu pada Sri Ratu Siluman Penguasa Tanah."
Terbelalak mata Nyi Sarpa Rukinten manakala tiba-tiba Jaka telah menghilang dari sisinya. Bagaikan orang yang linglung. Nyi Sarpa Rukinten terbengong mencari-cari. Tak berapa lama antaranya Jaka tiba-tiba telah muncul kembali. Hal itu menjadikan Nyi Sarpa Rukinten merambek, menyangka dipermainkan.
"Kau nakal, Jaka. Biar aku di sini saja," berkata Nyi Sarpa Rukinten ngambek menjadikan Jaka blingsatan tak mengerti. Mau tak mau Jaka pun harus merayu-rayu terlebih dahulu. Dan ketika Nyi Sarpa Rukinten memeluknya, Jaka tampak hanya diam membiarkan bibirnya dicium dengan mesra. Dengan tertawa-tawa keduanya segera berkelebat pergi meninggalkan hutan itu.
* * * * *
:::≡¦ [ 8 ] ¦≡:::
"Hancurkan goa iblis ini! Buang segala apa yang ada di dalamnya atau bakar!" berseru Ki Barwa, orang-orang yang telah berada di situ dengan segera mengobrak-abrik isi goad an membakarnya.
"Lihat! Apakah ada setannya? Tidak bukan? Tak ada pocong atau dedemit lainnya. Semua merupakan permainan Bah Jenar belaka! Maka bila Bah Jenar telah pergi atau mati, setan dedemitnya pun akan mati!"
Seluruh warga dengan menumpahkan segala kejengkelan dan kemarahannya membakar serta memporak porandakan goa itu. Asap dan api mengepul membumbung tinggi manakala api melahap segala isi goa itu. sorak sorai kemenangan warga desa berkumandang, menggema mengisi lerung-lerung hutan dan bukit-bukit. Walaupun mereka telah mengetahui bahwa Bah Jenar telah pergi meninggalkan goa itu, namun tokoh-tokoh persilatan tampak terus berjaga-jaga kalau-kalau ada hal-hal yang dapat membahayakan warga.
Akhirnya goa iblis itu habis termakan api, hingga tinggal puing-puing bebatuan dan debu-debu yang beterbangan ditiup angin. Setelah melihat hasilnya dengan wajah berseri-seri seluruh warga desa segera kembali menuju ke kampung di balik hutan yang beberapa waktu lalu telah menjadi teror Bah Jenar.
* * * * *
Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten yang telah datang di desa itu tampak terbengong-bengong manakala melihat penduduk desa tak ada yang di rumah. Yang ada hanyalah ibu-ibu dan anak-anak kecil, yang segera bersembunyi manakala melihat kedatangan Nyi Sarpa Rukinten.
"Lihatlah, Jaka bukankah mereka masih menganggapku seperti pada waktu aku dalam kuasaan Dewi Tengkorak?"
"Sabarlah mungkin mereka masih terbayang manakala kau dalam kuasa Dewi Tengkorak Sebenarnya Dewi Tengkorak pun tak salah."
"Kok, begitu?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten tak mengerti.
"Ya! Ketika dia tengah masih menguasai dirimu, ia sempat berkata padaku bahwa dirinya sebenarnya enggan melakukan kekejaman kalau saja tidak dipengaruhi oleh Bah Jerat yang akan membinasakannya bila ia menolak."
"Apa kau percaya dengan ucapan iblis, Jaka?"
"Maksudmu?"
"Apakah kau yakin bahwa Dewi Tengkorak akan menghentikan terornya? Ketahuilah, Jaka. Bahwa Dewi Tengkorak tak akan menghentikan terornya sebelum sempat mendapatkan kitab yang akan memulihkan dirinya dari sekarang."
"Aku belum mengerti maksudmu." Jaka tampak makin bingung, mendengarkan segala ucapan Nyi Sarpa Rukinten yang membeberkan perihal Dewi Tengkorak.
Nyi Sarpa Rukinten tersenyum manja. Matanya memandang lekat-lekat pada Jaka yang segera membalas tersenyum.
"Sebelum ia membebaskan diriku, ia sempat berkata padaku bahwa ia sengaja mengalah padamu agar usahanya untuk mendapatkan kitab Loh Gawening Urip tidak engkau campuri. Kedua ia sengaja mengalihkan perhatianmu untuk terus memburu Bah Jenar yang nantinya akan menghalangi maksudnya. Karena bila Bah Jenar masih hidup, maka ia akan menjadi penghalang selain dirimu. Untuk itulah, ia pura-pura menyerah dan mengalihkan perhatianmu pada Bah Jenar."
"Oh begitu?" bergumam Jaka sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
"Lalu, apakah ia tak menceritakan ke mana ia sekarang pergi?"
Sesaat Nyi Sarpa Rukinten terdiam menjelikan matanya yang indah pada Jaka.
"Dia hanya berkata akan ke gunung Tengger untuk mencari kitab Loh Gawening Urip. Katanya kitab itu dapat menjadikan orang yang mempelajarinya akan menghidupkan orang yang telah mati."
"Jadi Bah Jenar waktu itu belum mempunyai kitab itu?"
"Belum. Bah Jenar hanya bermaksud menakut-nakuti saja agar tokoh-tokoh persilatan akan merasa takut padanya."
"Kenapa begitu?" tanya Jaka makin tak mengerti.
"Ya. Sebab dengan kitab Loh Gawening Urip di tangannya, maka Bah Jenar akan mampu menjadikan orang yang telah mati hidup kembali. Bahkan dirinya tak akan dapat mati," menjelaskan Nyi Sarpa Rukinten.
Sementara Jaka hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seperti mengerti. Keduanya terus melangkah seiring menuju ke tempat di mana dulu menjadi kediaman Nyi Sarpa Rukinten. Tengah keduanya berjalan, keduanya tersentak manakala terdengar suara orang-orang yang berlari-lari menuju ke arah mereka.
"Itu dia iblisnya!"
"Cincang...!"
"Gantung...!"
"Tapi, dia kan cantik? Apa tidak lebih baik kita jadikan bini?"
"Ngaco! Apa kau mau menjadi santapan iblis?" berkata yang lain, menimpali ucapan lelaki yang merasa iba juga.
Jaka dan Nyi Sarpa Rukinten seketika terbelalak melihat orang-orang itu sepertinya penuh amarah pada Nyi Sarpa Rukinten. Nyi Sarpa Rukinten hendak berlari pergi, tatkala dengan cepat Jaka mencegahnya.
"Jangan pergi!"
"Kenapa? Apakah kau akan membiarkan tubuhku dibeset-beset oleh mereka yang tak mengerti sebenarnya?" bertanya Nyi Sarpa Rukinten dengan nada cemas dan was-was. Hingga tangannya seperti berontak dalam genggaman Jaka.
"Aku harap kau tak perlu khawatir. Biar nanti aku yang akan memberi tahukan pada mereka."
Akhirnya Nyi Sarpa Rukinten pun hanya menurut diam, membiarkan apa yang bakal terjadi dengan dirinya. Sementara orang-orang itu semakin dekat memandang dengan penuh kebencian dan keberingasan.
"Iblis! Kenapa kau tak segera menyerah saja!" berkata seorang yang terlebih dahulu sampai.
"Ki Sanak, aku harap kau jangan terlalu dipengaruhi oleh emosi. Apakah kau yakin bahwa gadis yang bersamaku ini yang telah membuat teror?" tanya Jaka mencoba menengahi.
"Cuih! Rupanya kau juga pendekar mata keranjang. Sudah tahu kalau dia telah membuat keributan dan teror, mengapa pula kau lindungi?" membentak orang tadi.
Jaka masih berusaha menahan sabar, walau dirinya telah dicaci maki. Dengan penuh kesabaran yang ada, Jaka pun kembali berkata: "Ki Sanak, aku harap kau jangan menuduh sembarangan. Aku bukannya hendak melindungi hal yang salah, tapi hendaknya kau dapat menahan diri."
Bagaikan tak mau mendengar ucapan Jaka, orang itu terus memandang tajam pada Nyi Sarpa Rukinten. Matanya yang beringas sepertinya hendak menelan bulat-bulat Nyi Sarpa Rukinten.
"Kau, jangan banyak alasan! Aku tahu, kalau kau sebenarnya mencintai gadis itu hingga kau yang kesohor sebagai seorang pendekar, sebenarnya kini tak ubahnya bagaikan kebo yang tercongok hidungnya," orang itu berkata bagaikan sangat benci pada Jaka. Hingga segalanya seketika itu ditumpukan pada Jaka.
Geram hati Jaka mendengar ucapan lelaki itu. Namun demikian, ia tetap berusaha menahan kemarahannya, ia tak menginginkan adanya pertumpahan darah akibat kesalahpahaman. Napasnya tampak memburu, kesal dan marah beraduk menjadi satu. Manakala Jaka tengah memandang tajam pada lelaki di hadapannya. Tiba-tiba dari arah depannya muncul beberapa orang tokoh persilatan wilayah kulon yang diikuti oleh warga desa. Tampak perubahan di wajah kelima orang manakala melihat orang-orang warga desa yang dipimpin oleh beberapa tokoh persilatan dari Kulon tiba menuju ke tempatnya.
"Hai! Ke mana saja kau. Jaka?" berseru Ki Barwa, demi melihat Jaka tengah berdiri di hadapan lima orang asing yang belum ia kenal.
"Siapakah kelima orang ini, Jaka? Apakah mereka teman-temanmu?"
Terbelalak mata Jaka mendengar pertanyaan Ki Barwa. Begitu juga kelima orang yang tengah berdiri di hadapannya. Tampak wajah kelima orang itu begitu tegang. Sesaat memandang pada Jaka, sesaat berikutnya memandang pada Ki Barwa dan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Dengan penuh curiga dan marah, Jaka segera membentak kelima orang itu.
"Siapa kalian!"
Bukannya jawaban yang diperoleh oleh Jaka dari kelima orang itu. Malah sebaliknya kelima orang itu dengan segera menyerang secara tiba-tiba. Beruntung Jaka waspada segera ia berkelit menghindari serangan kelima orang musuhnya.
"Siapa kalian? Apakah kalian sengaja membuat halangan untuk menghalangiku? Kenapa kalian tiba-tiba memusuhiku?" kembali Jaka bertanya dengan tak mengerti, ia terus berusaha menghindari serangan-serangan yang dilakukan kelima musuhnya.
Ki Barwa dan Ki Panganoman yang juga tersentak manakala mengetahui kelima orang itu menyerang Jaka bermaksud membantu, seketika dengan segera Jaka mencegahnya.
"Tak usah Ki Sanak berdua repot-repot. Aku yakin mereka memang menghendaki nyawaku."
"Tapi orang-orang ini sungguh-sungguh tak punya rasa kemanusiaan, Jaka?" berkata Ki Barwa tak puas.
"Memang mereka bukanlah bangsa manusia, Ki Barwa. Lihatlah! Sebentar lagi kalian semua akan mengetahui siapa sebenarnya mereka."
Habis berkata begitu dengan segera Jaka melentingkan tubuhnya ke angkasa. Dengan tubuh yang masih melenting tinggi Jaka segera bersemedi sembari berdiri. Sesaat semuanya terbelalak melihat tingkah Jaka yang bagi mereka sungguh suatu kemustahilan. Bagaimana mungkin orang yang tengah bersalto dapat melakukan meditasi dengan baik seperti yang dilakukan Jaka?
Belum juga hilang rasa heran mereka, tiba-tiba Jaka telah membuat semua mata terbelalak bercampur rasa ngeri. Tatkala tangan Jaka membentuk sebuah sibakan, seketika kelima orang musuhnya menjerit, melengking dengan kerasnya. Bukan itu saja, tiba-tiba raut wajah kelima orang itu berubah menjadi muka-muka buaya.
"Ah...!" memekik Ki Barwa bersama semua yang ada di situ.
"Lihatlah! Kalau saja kalian tak teliti, maka kalian akan mendapat duri dalam daging. Mereka adalah siluman-siluman Buaya Biru Kali Condong yang tengah diperintah oleh kambratnya Bah Jenar untuk menghalangi aku agar aku tak segera membantu seterusnya Siluman Penguasa Bumi."
Mendengar ucapan Jaka, maka dengan segera orang-orang yang ada di situ berkelebat mengeroyok kelima siluman. Pertempuran masal pun segera terjadi dengan serunya. Tampak kegigihan terus berada di pihak warga desa walau telah banyak jatuh korban tetap terus bersemangat. Di hati mereka hanya ada satu tujuan, menang untuk mencapai kedamaian atau mati tak tahu lagi apa yang bakal terjadi meneror desanya. Dengan dikomando oleh Ki Barwa dan Ki Panganoman, warga desa terus merangsek dengan penuh semangat. Repot juga kelima siluman utusan Buaya Biru menghadapi ratusan masa yang tampaknya tak pernah mau mengalah.
"Bahaya, Kakang Longgar, kalau kita terus menerus menghadapi mereka. Apalagi kita berada jauh dari wilayah kita," berkata salah seorang siluman pada temannya.
"Benar, adi Ginjling. Kalau kita terus menerus begini, maka tak ayal kitalah yang bakalan kalah," menyahuti Longgar.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Terpaksa kita harus menarik diri," menjawab Longgar.
"Kabur maksud kakang?" bertanya Ginjling, diangguki oleh Longgar.
Warga desa yang tak mengerti bahasa siluman itu, tak menyadari bahwa musuh mereka bermaksud melarikan diri. Maka manakala kelima siluman buaya itu berteriak, mereka menyangka kelima siluman itu hendak menyerang, dengan segera warga desa mundur sesaat untuk bersiapsiap. Namun rupanya hal itulah yang tengah ditunggu-tunggu oleh kelima siluman itu, yang dengan segera berkelebat lari meninggalkan tokoh persilatan dan warga desa.
"Jangan lari!" membentak warga dan bermaksud mengejar mana kala Jaka dengan segera mencegahnya.
"Jangan dikejar!"
"Kenapa, Jaka?"
"Ingat Ki Barwa. Kalau kalian mengejar mereka, maka mereka akan menjebak kalian ke wilayah mereka. Apakah kalian akan sanggup menghadapi ilmu-ilmu siluman mereka?"
Terdiam semuanya mendengar ucapan Jaka, yang dirasa memang benar adanya. Setelah sesaat terdiam, terdengar kembali Ki Barwa bertanya.
"Lalu, apakah kita akan membiarkan mereka kembali menteror desa ini?"
"Tidak, Ki. Aku akan menyusul mereka. Ketahuilah, bahwa kini di dunia siluman tengah terjadi sebuah permusuhan. Permusuhan itu bermula dari perebutan keris Naga Runting. Salah satu pihak yang bermusuhan adalah kerajaan siluman kelima siluman itu yang ditumpangi oleh Bah Jenar. Karena memang kebetulan, aku pun akhirnya terlibat pula di situ. Pertama aku hendak memburu Bah Jenar yang telah membuat teror di desa ini. Kedua aku merasa perlu membantu kerajaan Siluman Penguasa Bumi yang memang berada di pihak yang benar. Dialah yang berhak atas keris pusaka Naga Runting yang telah dicuri oleh Bah Jenar atas perintah Ratu Siluman Buaya Biru. Aku datang ke mari untuk memberi tahukan pada kalian bahwa Nyi Sarpa Rukinten tak bersalah. Dan perlu kalian ketahui, bahwa Nyi Sarpa Rukinten kini telah bebas dari pengaruh Dewi Tengkorak. Aku titip Nyi Sarpa Rukinten pada kalian. Jadikanlah ia sebagai warga kalian yang baik."
Bersamaan dengan habis ucapannya. Seketika itu pula Jaka telah lenyap dari hadapan mereka yang terbengong-bengong bingung. Seperti halnya Nyi Sarpa Rukinten yang terperangah hampir jatuh manakala tangannya tiba-tiba lepas dari genggaman Jaka.
* * * * *
:::≡¦ [ 9 ] ¦≡:::
"Wahai para ponggawa, apakah kalian telah siap dengan pasukannya masing-masing!"
"Kami siap. Maha Raja Bah Jenar!"
"Bagus!"
Dengan diiringi oleh dua orang prajurit pilihan. Bah Jenar berjalan tegap memeriksa seluruh pasukannya. Di atas pendopo, Sri Ratu memperhatikannya dengan bibir terurai senyum. Di pangkuannya seorang bayi tertidur. Itulah anak keturunan Bah Jenar.
"Cipluk, lihat ayahmu. Bukankah ayahmu gagah?" berkata Sri Ratu pada bayinya, demi melihat Bah Jenar yang dengan gagahnya bagai seorang komandan pasukan tengah meneliti pasukannya. Memang Bah Jenar saat itu tengah menjadi komandan pasukan Siluman Buaya Biru yang hendak mengadakan penyerbuan ke Kerajaan Siluman Penguasa Bumi.
"Pasukan... siap berjalan!"
Mendengar komando, seketika semua pasukan Siluman Buaya Biru berjalan menuju ke Kerajaan Siluman Penguasa Bumi. Langkah mereka begitu rapi. Di wajah mereka tergambar kebahagiaan walau mereka hendak menuju ke medan laga.
Bah Jenar segera menghampiri isterinya yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, setelah pasukannya berjalan. Digendongnya sang anak lalu dicium. Matanya memandang pada Sri Ratu yang tersenyum. Lalu dengan penuh nafsu dibimbingnya Sri Ratu menuju ke dalam. Sementara itu pasukannya terus berjalan dengan langkah pasti. Tangan mereka menggenggam senjata beraneka ragam. Golok, pedang, panah, dan senjata lainnya.
"Sungguh bodoh Sri Ratu," berbisik seorang prajurit pada temannya yang seketika membelalakkan mata kaget dan bertanya.
"Kenapa...?"
"Bayangkan. Padahal masih banyak kaum kita yang gagah, kenapa mesti memilih bangsa manusia? Sudah tua renta pula."
"Heh, kenapa kau terlalu memikirkannya?"
"Betapa tidak! Bukankah Bah Jenar sebentar lagi loyo? Kasihan Sri Ratu yang tampaknya manis hot itu."
Seketika tertawalah temannya demi mendengar ucapan itu. Hingga karena saking kencangnya mereka tertawa menjadikan pimpinan mereka mendengar dan berseru:
"Hai! Apa yang kalian tertawakan!"
Terdiam keduanya seketika. Ada perasaan takut di wajah keduanya.
"Ampun, Tuan Patih, hamba hanya menghibur diri."
"Benar, Tuan Patih," lanjut yang diajak ngobrol.
"Sudah!" berkata sang Patih pendek, nadanya begitu sengit.
Kedua siluman itu diam tanpa berani berkata-kata kembali. Melangkahkan kakinya mengikuti pasukan yang lain.
* * * * *
Tersentak seluruh rakyat Siluman Penguasa Bumi, manakala melihat dari kejauhan beribu-ribu pasukan Siluman Buaya Biru menuju ke kerajaannya. Dengan segera, warga siluman itu berserabutan sembari berteriak-teriak penuh ketakutan.
"Musuh datang...!"
"Siluman-siluman Buaya Biru datang!"
"Laporkan pada Sri ratu!" memerintah salah satu siluman.
Dengan segera orang yang diperintah berlari menuju kerajaan. Napasnya ngos-ngosan ketika sampai menjadikan Sri Ratu mengerutkan kening melihatnya.
"Ada gerangan apa, rakyatku? Nampaknya kau ketakutan."
"Ampun, Sri Ratu. Hamba melihat..."
"Melihat apa?"
"Hamba melihat Siluman-siluman Buaya Biru..."
"Heh, kenapa dengan Buaya Biru?" mengerut alis mata Ratu Siluman Penguasa Bumi mendengar ucapan warganya. Matanya seketika menyorot tajam, memandang pada warganya yang hanya menunduk.
"Katakan, ada apa...?"
"Buaya Biru hendak menyerang..."
"Apa...!" tersentak kaget Sri Ratu bersama patihnya, demi mendengar laporan warganya. Karena saking kagetnya, semua seketika berdiri dari duduknya.
"Apakah kau tak berdusta?"
"Tidak, Sri Ratu. Mana berani hamba berdusta," menjawab warganya dengan masih menunduk, tak berani untuk menentang pandang pada Sri Ratunya.
Sri Ratu tampak terkesiap. Matanya sekali-kali memandang pada para patih, lalu berganti memandang ke atas di mana terbentang langit-langit yang terbuat dari batu pualam murni.
"Paman Patih, siapkan semua prajurit!" perintahnya.
"Daulat, Sri Ratu."
Dengan terlebih dahulu menyembah, sang patih segera berlalu meninggalkan bangsal. Bergegas sang patih menuju ke barak prajurit.
"Semua prajurit, kumpul..!"
Bagai semua terganggu tidurnya, semua prajurit kerajaan Siluman Penguasa Bumi berbondong-bondong keluar dari barak-barak mereka. Lalu dengan keadaan siap, semuanya berkumpul di alun-alun kerajaan.
"Ada gerangan apa. Paman Patih?" bertanya hulubalang
"Kita hendak diserang."
"Diserang...!" berseru semua prajurit kaget.
"Ya, kita akan diserang musuh."
"Dari mana musuh itu. Paman Patih?" tanya hulubalang.
"Dari kerajaan Buaya Kali Condong."
Terbelalak semua prajurit mendengar penuturan patihnya. Mata mereka yang tadinya redup, seketika berubah membara bagai terbakar api. Dari mulut mereka terdengar teriakan semangat.
"Ganyang musuh! Ganyang Buaya Biru...!"
"Hancurkan...! Tumpas sampai ke Ratu-ratunya!"
"Ayo, perintahkan kami segera!"
Tersenyum sang patih gembira, melihat prajurit-prajuritnya sangat besar rasa patriotnya pada kerajaan. Diangguk-anggukkan kepalanya, lalu ucapnya: "Kalian semua telah siap perang?"
"Kami siap...!"
"Kami siaga! Ganyang musuh! Ganyang pencuri...!"
"Baiklah! Siapkan segala senjata, kita hadang mereka!"
Mendengar ucapan patihnya, serta merta seluruh prajurit bersorak gembira. Lalu dengan segera, mereka berkelebatan kembali ke barak untuk mengambil senjata. Tak berapa lama kemudian, mereka telah kembali berkumpul dengan senjata yang ada di tangan masing-masing.
"Pasukan... Maju...!" berseru sang patih memberi perintah.
Tanpa harus diperintah untuk kedua kalinya, semua prajurit segera berjalan keluar dari alun-alun. Langkah mereka seperti mantap, dengan hati penuh rasa percaya diri. Bagi mereka perang merupakan jalan terbaik, daripada harus mengalah pada Kerajaan Siluman Buaya Biru.
Kedua pasukan dari dua kerajaan siluman terus berjalan menuju ke perbatasan. Bila dilihat dari kejauhan, maka tampaklah bagaikan seekor ular raksasa yang berjalan. Hal itu disebabkan karena saking banyak prajurit yang berjalan memanjang.
Di tempat lain. Bah Jenar tampak tengah duduk-duduk dengan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. Mereka tampaknya tengah ngobrol membicarakan rencana mereka menyerbu Kerajaan Penguasa Bumi.
"Apakah Kakang Jenar telah yakin kalau kita akan menang?"
"Aku yakin, sebab keris Naga Runting kini ada padaku. Bukankah mereka tanpa keris tersebut tak berarti apa-apa?"
"Memang benar apa yang Kangmas katakan. Tapi..." Sri Ratu tak meneruskan katakatanya. Hal itu menjadikan Bah Jenar mengerutkan alis matanya, dan bertanya dengan nada kaget.
"Tapi apa. Istriku?"
"Aku merasa kuatir, Kangmas."
"Kuatir? Kuwatir apa?"
"Firasatku mengatakan bahwa Kerajaan Penguasa Bumi akan dapat mengalahkan kita."
Terbelalak mata Bah Jenar mendengar penuturan Sri Ratu. Matanya seketika memandang tajam, seperti hendak menggali apa yang sebenarnya berada di dalam hati Sri Ratu. Lalu dengan terlebih dahulu mendesah. Bah Jenar berkata lemah: "Ah, sudahlah. Jangan terlalu kau pikirkan. Yang pasti, aku harus mampu menundukkan Kerajaan Penguasa Bumi. Bukan begitu, Isteriku?"
Tersenyum Sri Ratu mendengar ucapan Bah Jenar. Hatinya terhibur oleh kata-kata Bah Jenar yang dirasakannya bagai angin sejuk, yang menyeka segala gundah di hati. Dengan bibir dicobanya tersenyum, Sri Ratu kembali berkata.
"Itu yang kuharapkan, Kakang?"
"Harapanmu akan menjadi nyata, Istriku!" berkata Bah Jenar pasti, menjadikan Sri Ratu makin melebarkan senyum. Lalu dengan manja dipeluknya Bah Jenar Kembali keduanya hendak memadu kasih manakala terdengar anaknya menangis.
"Uuuu... Uuuu...!" Tangisan bayi itu, bukanlah tangisan bayi manusia. Tangisan Bayi itu merupakan tangisan bayi buaya. Bah Jenar segera mengurungkan niatnya. Dihampiri anaknya, lalu digendong. Sementara isterinya tampak tersenyum, seraya bergayut di pundaknya
Diserahkannya si kecil pada sang isteri setelah terdiam. Bah Jenar segera berlalu ke tempat senjata. Diambilnya sebilah tombak yang bernama Kyai Wulung dan sebilah keris yang memancarkan sinar merah membara. Itulah keris Naga Runting. Dipandangi keris Naga Runting dengan tersenyum. Diselipkan keris itu pada belakang tubuhnya. Lalu dengan langkah mantap. Bah Jenar bergegas menemui isterinya.
"Aku berangkat, Isteriku. Do'amu akan menyertaiku"
"Berangkatlah, Kakang."
Dengan diiringi tatapan mata sang isteri yaitu Sri Ratu Siluman Buaya Biru, Bah Jenar segera memacu kudanya pergi menuju ke medan laga. Tak dirasa oleh Sri Ratu, air matanya menetes di kedua pipinya.
"Ah! Kau akan kehilangan ayah. Anakku." berkata Sri Ratu pada anaknya yang berada dalam gendongan., Ia sadar, bahwa wangsit yang semalam ia terima akan benar terjadi pada suaminya.
"Oh...! Rupanya Yang Widi tak berkenan dan menurunkan seorang penolong untuk kerajaan Penguasa Bumi. Pemuda itu... pemuda itu bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siuman Darah," bergumam Sri Ratu, kembali mengingat wangsit yang telah ia terima semalam.
Kembali dipandangnya Bah Jenar yang terus memacu kudanya, hingga hilang dari pandangan. Sri Ratu tersadar dari lamunannya manakala anaknya menangis karena tertetes air matanya. Dengan penuh kasih, diajaknya bayi itu masuk menuju ke ruangan khusus. Bayi kecil itu diteletangkan di atas baskom. Dari mulut Sri Ratu terdengar desisan-desisan panjang. Sepertinya Sri Ratu tengah merapalkan sebuah mantra.
Bersamaan dengan itu, asap dupa tampak mengepul. Asap dupa makin besar dan besar manakala Sri Ratu makin mengeraskan desisannya. Tampak sebuah bayangan. Bayangan itu perlahan-lahan makin nyata. Tampaklah kini seorang nenek-nenek tua yang tersenyum ke arah Sri Ratu.
"Ada apa. Cucuku. Hingga kau memanggil diriku?"
"Nek! Aku minta tolong padamu."
"Hem... Tentang apa?"
"Bisakah nenek mencegah pendekar muda yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman agar ia tak dapat datang?"
Mengerut kening si nenek tua demi mendengar permintaan Sri Ratu. Matanya sesaat menyipit, hingga kerutan-kerutan di wajahnya makin jelas menambah keseraman wajah tuanya.
"Hanya itu yang kau minta?"
"Ia. Nek..."
"Baiklah, akan aku coba"
"Terimakasih, Nek."
Setelah menyanggupi apa yang menjadi permintaan Sri Ratu Siluman Buaya Biru. si nenek seketika lenyap dari pandangan. Bersamaan dengan hilangnya si nenek, terdengar suaranya bergema.
"Akan aku coba menghadangnya. Hi, hi, hi..."
Habis memanggil si nenek, Sri Ratu segera menghampiri anaknya kembali. Diambilnya sang anak lalu dengan perlahan diangkat bayi itu di atas pedupaan.
"Cipluk Sendang. Kalau kelak kau besar, carilah olehmu seorang pendekar yang bernama Jaka Ndableg atau Pendekar Pedang Siluman Darah."
Suara Sri Ratu menggema mengisi ruangan itu. Bersama habisnya ucapan Sri Ratu, asap dupa makin membesar. Sementara Cipluk yang terpanggang bukannya menangis, malah anak orok itu tertawa-tawa sepertinya mengerti apa yang dikatakan ibunya.
* * * * *
Jaka Ndableg yang tengah berlari menuju ke hutan di mana tempat bermarkasnya Siluman Penguasa Bumi, seketika menghentikan langkahnya manakala tampak sebuah pusaran angin menghadang.
"Hai, apa lagi yang mereka maui?" bertanya Jaka dalam hati demi melihat pusaran angin yang menghadang langkahnya. Jaka telah tahu siapa pelaku itu, maka dengan lantang ia berseru: "Kampret busuk! Nenek centil, untuk apa kau main gasing begitu? Apa kau tak malu dengan anak-anak kecil?"
Terbelalak nenek siluman Buaya Biru demi mendengar Jaka telah mengetahui siapa dirinya. Maka mau tak mau, si nenek segera menghentikan ajiannya. Melihat si nenek telah menghentikan ajiannya kembali Jaka Ndableg yang memang Ndableg berseru:
"Duh si nenek! Apa kau tidak takut jatuh? Sepantasnya dalam usiamu yang telah tua renta melata-lata itu, kau tinggal menunggu sang malaikat saja. Eeh... malah main gasing. Apa kau tak sadar keadaan dirimu, Nek?"
"Anak sundel! Lancang kau berbicara, siapa kau sebenarnya?"
"Eh, Nek. Bukankah kau tadi mengatakan aku anak sundel. Kenapa kau tanyakan lagi siapa diriku? Wah, dasar nenek sudah pikun..."
Menggeretak marah si nenek mendengar ucapan Jaka yang konyol. Maka ketika Jaka Ndableg dengan acuh hendak berlalu, si nenek segera berkelebat menghadangnya.bMelihat si nenek tiba-tiba telah menghadang langkahnya, dengan pura-pura kaget Jaka berseru:
"Wah! Rupanya si nenek jago juga main lompat tali. Genit amat kau, Nek?"
"Edan! Dasar anak edan?"
"Heh, siapa yang edan, Nek? Kau edan, Nek? Wah! Kau harus dipasung kalau begitu. Memang pantas kalau kau dipasung. Pertama, kau jadi tak genit lagi seperti anak balita atau Batas Liang Tanah alias harus dimusiumkan."
"Diam!" membentak si nenek marah.
Namun Jaka yang dasarnya Ndableg tidak mau memperdulikan bentakan si nenek yang disertai pelotan mata. Bahkan dengan cengar-cengir bagaikan anak hilang, Jaka kembali berseru: "La dalah. Galak amat, Nek. Apa itu mulut enggak rombeng nantinya bila dipakai untuk membentak-bentak terus?"
Tak dapat lagi si nenek menahan marah, demi mendengar olok-olok Jaka yang telah kelewatan. Dengan didahului pekikkan, si nenek segera menyerang Jaka. Diserang begitu rupa, bukannya Jaka gentar. Bahkan dengan lagak seperti tak tahu saja, Jaka berkelit. Dari mulutnya yang memang suka usilan kembali berseru!
"Tobat, Nek...! Jangan jitak saya...!"
Habis berteriak seperti itu, Jaka segera melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu dengan cepat, Jaka balikkan tubuh bersalto dan tahu-tahu telah bergerak di belakang si nenek. Sebelum si nenek tersadar, Jaka dengan jahil menjambak rambutnya. Diangkatnya tubuh si nenek ke atas, lalu dengan cepat diikatkan rambut si nenek dengan cabang pohon kelor hingga si nenek seketika memekik kesakitan. Tubuhnya bergerak-gerak berusaha melepaskan ikatan itu, namun ikatan Jaka ternyata sangat kencang.
Setelah mengikatkan rambut si nenek pada cabang pohon kelor, Jaka segera melompat turun. Diambil selembar daun talas yang banyak uletnya, lalu dengan segera dibawanya ke atas. Melotot mata si nenek siluman Buaya Biru, melihat apa yang dipegang Jaka. Takut dan geli beraduk menjadi satu, hingga si nenek nampak gemetaran. Jaka yang suka usilan terus makin mendekatkan ulat-ulat kecil itu ke wajah si nenek yang makin ketakutan, sampai-sampai si nenek siluman itu terkencing-kencing.
"Wah... kenapa ngompol, Nek?" berkata Jaka.
"Nah, karena ompolmu baunya bukan main aku jadi enggan untuk menemanimu main-main. Aku mau pergi, ah... selamat tinggal. Nenek. Kencinglah di situ sesuka hatimu. Ha, ha, ha...!"
"Lepaskan aku. Anak muda," meminta si nenek ketika Jaka hendak berlalu pergi.
"Ah, ogah. Bau ompol!" menjawab Jaka seenaknya dan kembali berlalu meninggalkan si nenek yang masih terkatung-katung dengan rambut terikat di cabang pohon Kelor. Dengan mengambil pala yang diberikan oleh Sri Ratu Penguasa Bumi, Jaka segera menyibak alam siluman.
* * * * *
Bergegas Jaka menuju ke Kerajaan Siluman Penguasa Bumi untuk menemui Sri Ratu. Maka dengan menggunakan ajian Angin Puyuh, Jaka berlari dengan cepatnya. Tak begitu lama ia berlari, akhirnya Jaka sampai di Kerajaan Siluman Penguasa Bumi. Mengerut alis mata Jaka manakala melihat Kerajaan tampak sepi. Dicobanya mencari barang seujud Siluman, namun tak ditemukannya. Tanpa membuang-buang Waktu, Jaka dengan segera masuk ke dalam istana.
"Sampurasun...!"
Sepi, tak ada jawaban.
"Sampurasun...! Adakah Sri Ratu di dalam?" kembali Jaka berseru.
"Rampes...! Kaukah, Jaka?" terdengar suara Sri Ratu menjawab.
"Ya, aku Jaka."
Tak berapa lama kemudian. Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi keluar. Wajahnya yang pucat, seketika berseri-seri demi melihat Jaka. Bibirnya yang mungil, seketika terurai senyum.
"Kenapa sepi. Sri Ratu? Ke mana semuanya?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, Sri Ratu tak segera menjawab. Mukanya yang tadi berseri, kini tampak sayu. Dengan terlebih dahulu mendesah, Sri Ratu akhirnya berkata: "Kerajaan Siluman Buaya Biru telah menyerang. Kini semua prajurit tengah menghadang di perbatasan."
"Ah, kalau begitu aku terlambat datang!"
"Belum, Jaka. Kau belum terlambat, sebab para prajurit kini masih bertempur..." berkata Sri Ratu demi mendengar ucapan Jaka yang nadanya seperti menyesal. Ditatapnya lekat-lekat mata Jaka, yang saat itu juga memandang ke arahnya.
"Kalau begitu aku harus segera ke sana." Jaka hendak segera berlalu, ketika Sri Ratu memanggilnya.
"Jaka..."
Jaka segera menghentikan langkahnya kembali memandang pada Sri Ratu yang tersenyum menghampirinya. Tanpa diduga oleh Jaka sebelumnya, Sri Ratu tiba-tiba memeluknya. Tergagap Jaka seketika, namun ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali diam. Dan ketika Sri Ratu mendekatkan bibirnya, Jaka hanya mampu menerimanya. Keduanya segera terdiam bisu, dengan bibir mereka saling beradu. Ketika Sri Ratu hendak mengajaknya makin jauh, Jaka segera berkata:
"Sri Ratu, bukannya aku menolak. Tapi bukan saatnya kita bermesra-mesraan, sedang para prajurit tengah menghadapi perang. Aku hendak ke sana untuk membantu."
"Aku ikut, Jaka."
"Ikut...?" bertanya Jaka seperti pada diri sendiri, kaget mendengar permintaan Sri Ratu. Ditatapnya kembali wajah Sri Ratu, yang tersenyum sembari menganggukkan kepala. Sepertinya memberi keyakinan. Akhirnya Jaka hanya dapat mendesah sembari berkata: "Baiklah..."
Dengan segera Jaka mengambil seekor kuda. Keduanya segera memacu kuda dengan cepat, menuju ke daerah perbatasan di mana kedua pasukan perang dua kerajaan siluman tengah saling bertempur.
* * * * *
Pertempuran telah terjadi. Korban di antara kedua belah pihak telah banyak berjatuhan. Pekik kematian menggema, bersamaan dengan robohnya para prajurit yang meregang nyawa. Seperti para prajuritnya yang tengah bertempur, kedua pimpinannya pun tak mau tinggal diam. Bah Jenar selaku pimpinan Kerajaan Buaya Biru, tengah berhadapan dengan Patih Sanca Siti Abang.
"Pencuri busuk! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Kau harus mati. Manusia durjana!" membentak Patih Sanca.
"Hua, ha. ha... Putih dungu! Jangan harap kau mampu mengalahkan aku. Walau kau siluman, namun dengan keris Naga Runting di tanganku kau tak akan mampu menghadapiku. Menyerahlah!"
"Manusia laknat. Jangan harap aku mau menyerah padamu. Ayo, kita buktikan siapa di antara kita yang paling unggul!"
Secepat kilat, Patih Sanca berkelebat menyerang Bah Jenar. Diserang begitu cepatnya, Bah Jenar tidak mau tinggal diam. Bah Jenar segera mengelak dan balik menyerang. Pertarungan kedua pimpinan itu kembali berlangsung. Masingmasing dengan ilmu yang mereka miliki berusaha menggempur lawan. Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Dari jurus-jurus silat biasa, kini mereka menginjak ke jurus-jurus siluman. Segala ajian yang mereka miliki telah mereka keluarkan. Banyak sudah korban berjatuhan terkena ajian mereka.
* * * * *
Jaka dan Sri Ratu Siluman Penguasa Bumi terus memacu kudanya dengan cepat, sepertinya mereka ingin segera sampai di tempat yang dituju, berkali-kali keduanya menggebrak kais, membuat kuda-kuda yang ditumpangi seketika meringkik dan mempercepat larinya.
"Sebentar lagi kita sampai, Jaka."
"Hem... Itu bagus. Ayo, kita percepat. Hia, hia, hia...!"
Kembali keduanya menghentakkan kais kuda yang membuat kuda meringkik dan kembali lari makin kencang. Hingga tak begitu lama kemudian, keduanya pun sampai ke tempat tujuan. Perang masih begitu ramai. Pekik-pekik kematian terus bersahut-sahutan silih berganti. Darah telah banjir membasahi lapangan tempat pertempuran. Namun sejauh itu, kedua pasukan kerajaan siluman seperti tak ada yang bakal kalah.
Bah Jenar yang kini berada di atas angin, terus mendesak Patih Sanca dengan keris Naga Runting. Tusukkan-tusukkannya, selalu mengarah pada tempat-tempat yang mematikan. Karena terpepet terus, makin lama keseimbangan Patih Sanca makin berkurang. Hingga seketika keris Naga Runting hampir saja mengakhiri hidupnya. Keris Naga Runting berkelebat dengan cepat, menusuk ke arah lambung Patih Sanca.
Hampir saja keris di tangan Bah Jenar mengoyakkan perut Sanca manakala sebuah bayangan berkelebat dengan cepat menghantamkan ilmu pukulannya ke arah keris tersebut. Bergetar Bah Jenar menarik serangannya. Dirasakan olehnya hawa pukulan yang dilontarkan seseorang telah mampu membuat tangannya kesemutan. Belum hilang rasa kaget Bah Jenar, terdengar suara seorang anak muda berkata menyapa.
"Selamat berjumpa. Bah Jenar? Kenapa kau lari dari tanggung jawabmu?"
"Kau...!" Terbelalak mata Bah Jenar, menatap tajam pada pemuda yang berdiri di hadapannya.
"Siapa, kau...!"
"Aku Jaka Ndableg, yang biasa disebut tokoh persilatan dengan sebutan Pendekar Pedang Siluman Darah."
"Jadi, kau..." Pucat pasai wajah Bah Jenar setelah tahu siapa adanya pemuda di hadapannya yang masih tersenyum. Namun setelah ingat bahwa keris Naga Runting di tangan, Bah Jenar tumbuh keberaniannya. Maka dengan didahului dengan hentakkan. Bah Jenar segera menyerang Jaka Ndableg.
"Wao! Rupanya kau tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Sayang kurang gesit. Bah! Apa karena kau terlalu diperas tenaganya untuk meladeni Ratumu. Bah?"
Marahlah Bah Jenar bukan alang kepelang diledek begitu rupa oleh Jaka Ndableg.
"Setan kecil! Rupanya kau mencari mampus!"
"Hai! Apakah kau tak salah ngomong. Bah...? Bukankah kau sendiri yang suka main setan-setanan dengan Ratu Siluman Buaya Biru? Kapan kau menjadi iblis. Bah...?"
"Anak gila! Terimalah kematianmu. Heaatt...!" Bah Jenar yang sudah begitu marah, tak dapat mengontrol serangannya. Namun dengan keris Naga Runting di tangannya. Bah Jenar bagaikan tak pernah capai. Dicercanya Jaka yang terus menghindar.
"Bahaya! Ternyata keris di tangannya yang sangat berbahaya. Hem, keris itu mampu menyedot tenagaku." menggumam Jaka dalam hati.
"Rupanya kau takut juga, Anak muda. Nah, bersiaplah untuk mati."
"Jangan bangga dulu seperti anak kecil dapat permen, Bah... lihat ini...!"
Jaka dengan segera melancarkan ajiannya.
"Aji Getih Sakti. Hiaat...!"
Tubuh Bah Jenar yang tak sempat mengelak, seketika terhantam ajian tersebut. Namun betapa terbelalaknya mata Jaka manakala dilihatnya Bah Jenar tak mempan dihantam ajian Getih Sakti. Bahkan dengan congkaknya. Bah Jenar yang merasa di atas angin berseru:
"Keluarkan semua yang kau miliki. Anak muda. Aku dengan keris Naga Runting, tak akan dapat kau kalahkan."
"Jangan sombong. Bah. Lihat ini!"
Kembali Jaka Ndableg melancarkan Ajiannya Bledeg Sewu. Namun seperti yang pertama, Bledeg Sewu tak berarti apa-apa. Dihantamnya lagi Bah Jenar dengan Ajian Tapak Prahara. Kembali tak apa-apa.
"Hem, rupanya keris itulah penyebabnya. Baik, akan aku coba dengan menggunakan senjata juga," bergumam Jaka dalam hati. Lalu dengan segera, Jaka merapalkan ucapan memanggil Ratu Siluman Darah.
"Dening Ratu Siluman Darah, datanglah." Tiba-tiba di tangan Jaka telah tergenggam sebatang pedang yang mengeluarkan warna kuning kemerah-merahan. Dari ujung pedang, menetes darah merah membasahi batangnya.
Terbelalak Bah Jenar melihat hal itu. Matanya melotot tajam memandang pada pedang yang tergenggam di tangan Jaka Ndableg. Tak sadar, mulutnya mendesis.
"Pendekar Pedang Siluman Darah!"
"Bersiaplah, Bah Jenar...!"
"Hem, jangan kau anggap akan mampu mengalahkanku. Walaupun kau menggunakan Pedang Siluman Darah. Hiat...!" Bah Jenar segera berkelebat menyerang dengan keris Naga Runting yang mengiblat ke arah Jaka.
Melihat Bah Jenar telah berkelebat menyerang. Segera Jaka pun memapakinya. Pedang Siluman Darah segera diluruskan mengiblat ke muka.
"Hiaaaaaatttttt!"
Trang!
"Aaaaaaaahhhhhhh...!" memekik Bah Jenar manakala Pedang Siluman Darah membabat tangannya hingga buntung. Keris Naga Runting mencelat dengan tangan yang putus. Belum juga Bah Jenar terdiam dari pekikkan, tiba-tiba Pedang Siluman Darah di tangan Jaka kembali berkelebat dan membelah tubuh Bah Jenar menjadi dua.
"Aaaaaaaa... aaaaaaaa!" kembali Bah Jenar memekik, kali ini untuk terakhir. Tubuhnya telah terbelah menjadi dua. Namun sungguh aneh, tubuh yang terbelah itu tak ada setetes darahpun yang mengalir.
Bersorak-sorai para prajurit Siluman Penguasa Bumi menyambut kemenangan itu. Sri Ratu tersenyum melebar, lalu dengan segera menghampiri Jaka. Tanpa malu-malu, diciumnya Jaka di hadapan para prajuritnya.
Di tempat lain. Ratu Siluman Buaya Biru seketika meneteskan air mata. la telah tahu, bahwa suaminya telah binasa di tangan Pendekar Pedang Siluman Darah. Karena dendamnya pada Pendekar Pedang Siluman Darah begitu menggelegar di dadanya. Sampai-sampai, Sri Ratu bersumpah.
"Aku bersumpah. Anakku kelak akan menuntut balas!"
Bersamaan dengan habisnya ucapan Sri Ratu Siluman Buaya Biru, petir seketika menggelegar-gelegar sepertinya merestui dan menyaksikan sumpah tersebut. Nah, untuk dapat mengetahui bagaimana akibat sumpah Ratu Siluman Buaya Biru, silahkan ikuti lanjutan Pendekar Siluman Darah selanjutnya.
S E L E S A I
HIDUNG BELANG PENGHISAP DARAHINDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Titisan Budak Iblis --oo0oo-- Hidung Belang Penghisap Darah |