Kitab Pembawa Bencana
tanztj
May 25, 2010
INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Misteri Si Cadar Berdarah --oo0oo-- Munculnya Kera Siluman |
JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : KITAB PEMBAWA BENCANA
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : KITAB PEMBAWA BENCANA
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::
Sudahkah Anda membaca Episode Bocah Kembaran Setan? Di situ telah membuktikan bahwa para pendekar banyak yang mati manakala menuju ke Lembah Bangkai untuk mencari Kitab Banyu Geni, sebab buku ini adalah yang terpenting dalam penjagaan prajurit Resi Wisang Geni yang terdiri dari para Jin.
Para pendekar dari dua golongan di dunia persilatan tidak tahu siapa sebenarnya yang mendapatkan kitab sakti dan dahsyat tersebut. Mereka hanya tahu bahwa buku tersebut berasal dari Lembah Bangkai. Di lingkaran kematian yang ada batu tegak sebagai tonggak telah roboh batu itu.
Jaladri dan Jaladru, dua orang tua beradik kembar dari perguruan Cakar Naga telah datang ke tempat-tempat tersebut. Terkait juga membahas mencari kitab tersebut, sekaligus untuk melihat Bocah Kembaran Setan. Namun sesampainya di Lembah Bangkai, mereka berdua hanya menemukan tulang belulang bekas manusia mati.
"Mungkin ini sisa-sisa tulang para prajurit Dari beberapa perguruan yang datang untuk memperebutkan Bocah Kembaran Setan ini, "kata Jaladri, tampak memandang dengan menyipit pada tulang belulang yang berserakan.
"Ya! Mungkin," jawab Jaladru.
"Kalau begitu sulit dahsyat pertempuran itu, Jaladru."
"Mungkin, Kakang."
"Sayang kita terlambat datang, Adikku."
"Benar. Kalau saja kita sudah sampai di sini," Jaladru menggumam.
"Tapi kita juga untung, Kakang."
"Mengapa kau berkata begitu, Adik?"
"Ya! Coba saja kalau kita sampai di sini saat Bocah Kembaran Setan masih merajalela, bukankah kita juga akan menerima nasib seperti mereka?" Jaladru menunjuk tulang-tulang yang berserakan, lalu gumamnya kemudian.
"Sungguh dahsyat bocah itu. Ia mampu membinasakan orang sebanyak ini yang terdiri dari para kaum persilatan. Dan mungkin di sini ada terdapat tokoh persilatan dari Perserikatan Iblis yang namanya di dunia persilatan sangat kondang."
"Benar juga katamu, Adik," Jaladri menambahkan.
"Ah, sudahlah. Bukankah kita ke sini untuk mencari Kitab Banyu Geni!?"
"Benar! Ayo, kita turun."
Dengan segera kedua pendekar kakak beradik tersebut menuruni Lembah Bangkai menuju tempat yang dinamakan Lingkaran Kematian. Keduanya sejenak terpaku, manakala melihat apa yang terjadi. Ternyata mereka tak merasakan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Mereka tak mendapatkan halangan atau pun kematian yang seperti dirasakan oleh orang-orang lain sebelum mereka.
"Aneh, Kakang."
"Ya!" jawab Jaladri pendek.
"Bukankah kata para pendekar, bahwa siapa saja yang memasuki Lingkaran Maut ini akan mati?" tanya Jaladru.
"Tetapi mengapa kita tidak mengalaminya?"
Jaladri dan Jaladru terheran-heran sendiri, sehingga keduanya nampak terdiam untuk beberapa saat mematung dengan mata mereka mengawasi tempat tersebut. Ada sebuah batu panjang besar dengan tengah-tengah berlubang tergeletak. Sepertinya batu tersebut dicabut dari tanah. Dan memang benar, batu tersebut dicabut dari tanah.
"Lihat, Kakang! Apakah bukan batu ini yang untuk menyimpan Kitab Banyu Geni?" Jaladru berseru seraya hampiri batu tersebut, diikuti oleh Jaladri yang juga merasa tertarik dengan seruan adiknya. Keduanya jongkok, mengawasi lubang yang terdapat di tengah-tengah batu tersebut.
"Benar! Batu inilah tempat kitab tersebut," Jaladri bergumam setelah memperhatikan dengan teliti keadaan batu tersebut.
"Kalau begitu kita telah kedahuluan oleh orang lain, Adikku."
"Sia-sia kita dari jauh datang kemari, Kakang."
"Kita jangan putus asa dulu, Adik. Kita belum gagal sepenuhnya," Jaladri mencoba menghibur diri, juga adiknya yang nampak kecewa.
"Bukankah yang telah mendapatkan kitab tersebut seorang manusia?"
"Ya!" jawab Jaladru pendek, nadanya putus asa
"Nah, untuk apa kita diberi bekal oleh guru kalau kita tidak dapat merebut kitab tersebut?" Jaladri kembali menghibur, menjadikan Jaladru manggut-manggut.
"Kita diberi bekal ilmu tinggi, percuma kalau kita harus putus asa."
"Benar juga, Kakang. Mari kita cari orang tersebut."
Dengan sekali lompat, kedua kakak beradik kembar itu segera keluar dari lingkaran maut, Kedua kakak beradik kembar tersebut bermaksud meninggalkan Lembah Bangkai, manakala terdengar seruan seseorang yang menghentikan mereka.
"Ki Sanak sekalian, tunggu!"
"Hem, siapa yang berteriak itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik."
Seorang lelaki tua setengah baya nampak berlari menuju ke arah mereka. Wajah orang itu nampak tidak baik-baik, menggambarkan bahwa orang tersebut bukan orang yang bertujuan baik pula. Kedua kakak beradik kembar itu tetap berdiri, menunggu kedatangan orang tersebut.
"Ki Sanak memanggil kami?" tanya Jaladri.
"Ya!" jawab orang itu pendek.
"Namaku Takasita. Aku berasal dari negeri Nippon."
"Kami tahu. Dari cara pakaianmu, kami tahu kalau Ki Sanak bukan orang pribumi. Yang kami tanyakan, ada keperluan apakah Ki Sanak menghentikan langkah kami?" tanya Jaladru agak jengkel.
"Ki Sanak berdua dari Lembah Bangkai?"
"Ya!" jawab Jaladri.
"Memang kami dari Lembah Bangkai."
"Ah, kebetulan!" Takasita nampak tersenyum, menjadikan kedua kakak beradik kembar tersebut kerutkan kening.
"Kebetulan sekali, jadi aku tak susah-susah mencari-carinya."
"Hai, apa yang kau maksud, Ki Sanak?" Jaladri kembali menanya, bingung tak mengerti dengan ucapan Takasita.
"Bukankah Ki Sanak berdua dari Lembah Bangkai?" kembali Takasita mengulang tanya, sepertinya hendak memastikan jawaban kedua orang yang ditanya.
"Benar! Ki Sanak ini mau mengapa? Katakanlah! Jangan sampai kami naik darah!" Jaladru nampak sewot. Darah mudanya membludak, seakan ingin muncrat dari ubun-ubun.
"Oh, janganlah Ki Sanak berdua begitu sewotnya," Takasita nampak tenang, seakan meremehkan kakak beradik kembar di hadapannya.
"Aku hanya mau meminta pada kalian apa yang telah kalian bawa dari Lembah Bangkai."
Terbelalak mata kedua kakak beradik kembar mendengar ucapan Takasita. Mereka bukannya takut bertarung dengan pendekar dari negeri Nippon ini, tetapi mereka saja tidak dapat apa-apa, eh malah disangka telah mendapatkan kitab tersebut. Bagaimana pun, jelas kedua kakak beradik kembar Jaladri dan Jaladru tersinggung.
"Kurang ajar, orang ini!" gumam hati Jaladri.
"Bangsat! Rupanya orang-orang Nippon juga telah mendengar mengenai kitab tersebut. Hem.
" Jaladru menggumam dalam hati.
"Bagaimana, Ki Sanak berdua?" Takasita kembali menanya, menjadikan kedua kakak beradik kembar tersebut makin menjadi-jadi amarahnya.
"Kalian serahkanlah pada kami, tentu kalian akan mendapatkan kemuliaan dari Sang Sinto."
"Setan Belang! Kau kira kami apa!" Jaladru menggeretak marah. Harga dirinya sebagai seorang anak Pribumi seakan diinjak oleh bangsa lain.
"Jangan kira kau akan semudah itu, orang asing!"
"Tenang, Adikku."
"Dia sudah keterlaluan, Kakang."
"Kuharap, tenang dulu, biarkan ia hendak bagaimana," Jaladri terus mencoba menenangkan kemarahan adiknya. Di pandanginya Takasita, seakan ingin mengorek segala apa yang ada pada pendekar negeri Nippon. Jaladri mencoba tersenyum ramah, lalu katanya kemudian: "Ki Sanak, kami harap engkau janganlah mengharapkan apa yang tidak ada pada diri kami. Kami memang dari Lembah Bangkai, tapi kami tak mendapatkan apa-apa."
"He, he, he...! Kau jangan berdusta, Ki Sanak," Takasita masih tak mau percaya. Matanya yang sipit terus memandang dengan jalang dan liar ke arah dua kakak beradik kembar yang juga memandang ke arahnya.
"Ki Sanak, jangan sampai aku marah, dan menurunkan tangan jahat pada kalian."
"Edan! Kau berani mengancam pada kami, orang asing!" Jaladru membentak marah.
"Kau kira kami takut dengan gertakanmu. Huh! Jangan harap kami akan mundur dengan orang seperti dirimu!"
"Kau menantangku, Ki Sanak?"
"Huh, mesti takut apa aku padamu!" Jaladru benar-benar sudah tak dapat menahan emosinya. Matanya nampak merah, membara bagaikan menyalakan api.
"Jadi kalian tak mau menyerahkan kitab tersebut!" Jaladri tersenyum.
"Kalau pun kitab tersebut ada berada di tangan kami, jelas kami tak akan menyerahkannya padamu. Apalagi kini kami tidak mendapatkannya," Jaladri berkata tenang, tidak seperti adiknya.
Takasita mendengus, lalu dengan cepat menghunus samurainya dari sarung.
"Srang...!" Mata Takasita melotot, sepertinya samurai di tangannya menghendaki agar dirinya segera mengadakan penyerangan terhadap dua orang pribumi tersebut. Tangan yang menggenggam Samurai nampak bergetar, ada kekuatan yang menyeretnya untuk melakukan tindakan. Dan...!
"Kalian akan menyesal, hiat...!" Takasita berkelebat dengan samurainya menyerang ke arah dua orang kakak beradik kembar. Samurai di tangannya berkelebat ganas, seakan mempunyai mata. Samurai mengkilap putih perak itu terus mencerca kedua kakak beradik kembar yang segera mengelakkannya.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mati, orang asing!" maki Jaladru.
"Srang...!" Jaladru pun hunus pedang, "Kakang, orang ini memang mencari gara-gara!"
"Memang, Adik. Lakukan apa yang kau mampu! Beri pelajaran padanya agar tahu siapa kita!" Jaladri memberi dorongan pada adiknya yang dengan segera kembali melompat memapaki serangan Takasita.
"Ayo orang asing, kita main-main!"
"Huah! Kau tak akan mampu, hiat...!"
Dua pendekar dari dua negara itu berkelebat dengan pedang di tangan masing-masing. Samurai di tangan Takasita terus mencerca ke arah Jaladru, namun Jaladru yang sudah mempunyai pengalaman tak mau dengan begitu saja mengalah. Jaladru pun dengan pedangnya bergerak cepat balik menyerang.
"Trang...!"
Terdengar dua buah benda baja beradu, manakala keduanya saling tebaskan pedang. Dua buah pedang saling beradu, menempel lekat bagaikan ada lemnya. Sebenarnya mereka kini tengah mengadu tenaga dalam yang disalurkan pada pedang mereka masing-masing. Tangan keduanya nampak bergetar, mata keduanya melotot marah. Dari pedang yang menempel keluar asap mengepul.
"Hiat...!" Takasita memekik.
"Hiat...!"
Dua orang itu kembali melompat ke belakang dengan tangan masih memegang pedang. Takasita tersenyum kecut, pedang samurai menyilang di mukanya. Sementara Jaladru nampak menggambarkan wajahnya dengan bengis. Pedangnya dimiringkan ke kanan, seolah-olah memberikan tanda bahwa dirinya telah siap untuk menentukan hidup atau mati. Mata keduanya saling pandang, dengan mulut mengatup rapat tak ada yang bicara. Napas keduanya mendengus, lalu dengan kembali memekik keduanya berkelebat menyerang.
"Hiat...!"
"Hiaaaaattt...!"
"Trang! Trang! Trang!"
Pedang mereka saling adu, melompat kembali, lalu balik menyerang dengan tebasan-tebasan pedang. Pertarungan keduanya nampak seru. Keduanya sama-sama mahir dalam menggunakan pedang, sama-sama lincah dan gesit. Kini tubuh keduanya tak kentara lagi, hilang tergulung oleh sinar pedang mereka yang bergerak dengan cepatnya.
Sementara Jaladru bertarung, Jaladri pun terus mengawasi adiknya. Jaladri pun nampak telah siaga penuh, siap membantu bila adiknya ternyata tak mampu mengalahkan pendekar dari negeri Nippon tersebut. Mata Jaladri membeliak, tak percaya bahwa adiknya telah mampu mengimbangi jurus-jurus yang dilancarkan oleh pendekar Nippon tersebut.
"Hem, sungguh pesat kemajuan adikku," gumam Jaladri.
Pertarungan kedua pendekar dengan senjata pedang terus berjalan. Tebasan-tebasan pedang mereka, menjadikan suara berdesir keras menjadikan angin yang menggelegar.
"Wuuuut! Wuuuut! Wuuut!"
Jaladru tebaskan pedangnya ke segenap penjuru tubuh lawan. Pedangnya nampak beringas, seakan ingin menghabisi apa yang ada di tubuh Takasita. Tersentak juga Takasita melihat ilmu pedang yang digunakan oleh lawannya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang yang dahsyat, seperti yang kini ia lihat. Tetapi sebagai seorang pendekar yang dipercaya oleh kaisar untuk menunaikan tugas, jelas Takasita tak mau mengalah begitu saja. Percuma kalau ia mengalah atau gentar dengan orang-orang pribumi, kalau harus jauh-jauh ia datang ke mari.
"Wuut...!"
Takasita balik menyerang, disertai dengan lompatan tubuhnya yang bergerak ringan. Gerakan tubuh Takasita bagaikan gerakan seekor rase yang lincah, sehingga setiap tebasan pedang Jaladru tak ada sebuah pun yang mengena sasarannya. Perlahan namun pasti, Takasita salurkan tenaganya ke pedang samurainya. Nampak samurai itu kini memerah laksana menyala, menjadikan Jaladru seketika terkesima melompat mundur berseru kaget.
"Ilmu Iblis!"
"He, he, he...! Kau telah tahu siapa aku, bukan?" Takasita tertawa bergelak, sepertinya merasa telah menang menghadapi pendekar tanah Jawa yang sudah kesohor.
"Aku harap kalian mengakui kekalahannya."
"Adikku, minggirlah! Biar aku yang berganti!" Jaladri yang melihat bahwa adiknya nampak tersentak kaget melihat ilmu lawan segera berseru.
"Minggirlah! Biar aku mencobanya!"
Jaladri segera melompat menghadang pendekar dari Nippon itu. Kini Jaladri benar-benar hendak mencoba sampai seberapa ilmu yang dimiliki oleh pendekar tersebut. Sengaja Jaladri pusatkan tenaga dalam tingkat tingginya pada tangan kanan, dimana tangan itu kini memegang pedang.
"Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak canggung-canggung memberikan pelajaran padaku," Jaladri berkata merendah, sebenarnya dalam kata-kata itu tersimpan sebuah kesombongan. Namun dikarenakan pendekar dari Nippon tersebut telah mampu membuat adiknya tersentak, Jaladri berkata tidak terus terang, tapi dengan sindiran halus.
"He, he, he...! Memang itu yang aku mau! Jangankan memberi pelajaran padamu, menjadi ketuamu pun aku sanggup!"
"Sombong!" dengus Jaladri dalam hati.
"Hem, baiklah, Ki Sanak. Kalau engkau memang mampu memberikan pelajaran padaku, maka aku akan mau dan sudi menjadi anak buahmu. Tetapi jika kau yang kalah, maka aku harap kau minggat dari tanah Jawa ini."
"He, he, he...! Kita mulai...?"
"Terserah padamu, Ki Sanak."
"Bersiaplah!"
Takasita memandangkan mata tajam, menghunjam dengan penuh kesombongan. Begitu pula dengan Jaladri, matanya nampak memancar penuh kebengisan. Memang Jaladri dan adiknya dididik oleh seorang tokoh keras, yang pikirannya sedikit miring. Tokoh tersebut pernah merajai dunia persilatan selama dua kali dasa warsa. Tokoh tersebut bernama Jalakumba atau Pendekar Sinting dari gunung Kidul. Setelah sepuluh tahun menghilang entah kemana, tiba-tiba Pendekar Sinting itu muncul kembali dengan mendirikan sebuah perguruan Cakar Naga. Dan dua orang kakak beradik kembar tersebutlah muridnya.
"Hiat...!" Takasita memekik, lalu berbarengan dengan pekikannya Takasita berkelebat dengan samurainya menyerang. Jaladri yang telah tahu kehebatan samurai tersebut, dengan penuh kewaspadaan balik menyerang.
"Wuuut! Wuuut! Wuuuut...!"
Pedang di tangan Jaladri berkelebat, membabat ke arah pedang samurai sekaligus menangkisnya. Dua buah pedang tersebut saling beradu.
"Trang...!"
Percikan api keluar dari beradunya dua pedang, menjadikan keduanya tersentak kaget. Mata Takasita melotot, tak percaya pada kenyataan yang ada, bahwa musuhnya kini bukanlah orang sembarangan. Terbukti tangannya nampak kesemutan manakala pedang mereka beradu. Walau di bibir Takasita tersenyum, namun senyum itu hanya berupa menutupi kekagetannya. Takasita segera melompat mundur, dan seperti biasanya ia silangkan samurainya di muka.
Sementara Jaladri yang sudah tahu seberapa ilmu lawan, nampak tenang. Disilangkannya tangan ke muka, sehingga pedang miring ke samping kiri tubuhnya. Walau ia telah tahu sampai seberapa ilmu lawan, namun Jaladri tak mau merendahkan begitu saja. Jaladri masih terngiang kata-kata gurunya, bahwa orang-orang sombong akan selalu lengah.
"Hiattt...!" Takasita memekik, lalu dengan cepat berkelebat dengan Samurainya menyerang.
"Hiiaaattt...!" Jaladri segera memapakinya. Dua tubuh itu segera melesat laksana terbang. Keduanya dengan pedang siap menentukan segala-galanya. Pedang-pedang di tangan keduanya berkelebat, cepat bagaikan tebasan-tebasan penuh tenaga. Jaladri lemparkan tubuh ke samping, lalu dengan kebat dihentakkan tangan kanannya.
Tersentak Takasita melihat musuhnya. Gerakan musuhnya begitu aneh dan sulit untuk dilakukan bagi orang biasa. Bagaimana mungkin orang bergerak membaliki serangan? Kalau bukan orang berilmu tinggi, tentunya gerakan yang dilakukan Jaladri adalah gerakan bunuh diri. Sebab dengan mudah, musuh akan segera menjadikan dirinya perkedel.
"Wuuut...!"
Takasita mencoba menyerang, babatkan pedang ke tubuh Jaladri yang membalik. Namun secepat kilat Jaladri rundukkan tubuh dan tusukan pedang ke arah Takasita. Takasita yang tidak menyangka bakal musuhnya berbuat demikian, tanpa ampun lagi tertusuk matanya oleh ujung pedang.
"Aaah...!" Takasita memekik, tubuhnya seketika goyah dan doyong ke belakang. Darah meleleh dari mata kirinya, yang pecah akibat tusukan pedang Jaladri.
Melihat Takasita terkapar dengan berlepotkan darah, seketika Jaladru hendak mengakhirinya dengan pedang. Namun secepatnya Jaladri melarangnya seraya berkata:
"Biarkan ia hidup untuk bukti pada pimpinannya bahwa susah untuk orang asing macam-macam di tanah Jawa."
"Tapi, Kakang...?"
"Maksudmu dia akan menuntut balas?" tanya Jaladri pada adiknya, yang mengangguk mengiyakan. Jaladri tersenyum, lalu kembali berkata.
"Kalaulah mereka ingin membalas dendam, tentunya mereka harus berpikir seribu kali untuk berbuat itu."
Takasita masih kelojotan menahan sakit. Darah masih meleleh dari mata kirinya yang hancur. Dengan tertatih-tatih Takasita bangkit.
"Kenapa engkau tak membunuhku?"
Jaladri tersenyum, lalu katanya: "Aku tak mau melumuri tanganku dengan darah kematian. Nah, kau telah kalah, maka aku minta kau secepatnya minggat angkat kaki dari tanah Jawa!"
"Akan aku balas semuanya ini!" Takasita segera berkelebat pergi dengan mata kiri yang hancur, meninggalkan Jaladri dan Jaladru yang hanya memandang kepergiannya.
Tak berapa lama kemudian setelah Takasita pergi, kedua kakak beradik kembar itu pun berkelebat meninggalkan Lembah Bangkai yang kembali sepi. Bercakan darah yang keluar dari mata Takasita, kini menggambar di situ, sepertinya memberi bukti bahwa di tempat tersebutlah awal dari segalanya. Apa yang bakal terjadi dengan Takasita? Dan apa yang akan melanda tanah Jawa nantinya?
* * * * *
:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::
Lelaki tua itu berjalan dengan santai, seakan ia tengah menikmati keindahan alam yang dilaluinya. Terkadang matanya memandang, lalu mengecap-ngecap bagaikan ngantuk. Lelaki tua itu bernama Sumping Tindik. Dan memang kalau kita melihat pada telinganya dengan cermat, kita akan melihat sebuah sumping* (Anting yang hanya batangnya saja) melekat di bawah telinganya. Orang boleh mengatakan ia genit, dan memang dia genit. Dia seorang pendekar tua golongan hitam yang suka usilan dengan pemuda ganteng. Dia adalah wadam atau bencong. Sampai seusianya, Sumping Tindik tidak nikah. Hal itu dikarenakan dia tidak menyukai wanita, tetapi ia menyukai sesamanya yaitu kaum lelaki.
"He, he, he...! Dengan aku membawa bungkusan ini, aku yakin banyak orang-orang yang mengira akulah pemilik Kitab Banyu Geni. He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa terkekeh.
"Hem, aneh benar orang-orang. Kitab yang mereka belum tahu di mana adanya mereka buru."
Sumping Tindik terus berjalan, mengelok jalanan, lalu terus lurus entah ke mana. Langkahnya tertatih, namun bila dilihat dengan cermat, Sumping Tindik bukannya berjalan biasa. Kakinya bagaikan tak menginjak tanah, ngambang. Jelas ia tengah menunjukkan betapa tingginya ilmu meringankan tubuhnya. Ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi, sukar untuk melakukan bila orang tersebut belum benar-benar sempurna lahir dan batinnya. Ilmu tersebut bernama Larian Bayang Setan. Sebuah ilmu langka yang hanya dimiliki oleh tokoh persilatan dari perguruan Semeru saja. Dan yang memilikinya hanya terdiri dari lima orang yang di antaranya Sumping Tindik sendiri.
"Aku yakin, dengan cara demikian aku akan mampu mendapatkan keterangan siapa adanya orang pemilik Kitab Banyu Geni. Sebab bukan tidak mungkin, orang tersebut akan mencak-mencak bila geger aku memiliki kitab tersebut. He, he, he.,.!" kembali Sumping Tindik berkata sendiri, tertawa terkekeh sendiri membayangkan segala apa khayalannya bakal terlaksana.
Tengah Sumping Tindik berjalan sambil tersenyum-senyum, nampak dari arah Timur seseorang berjalan berlawanan dengan arah yang ditujunya. Wajah orang itu nampak menggambarkan tergesa-gesa, sehingga ia seakan tak hiraukan dengan Sumping Tindik manakala berlalu melewatinya.
Jarak antara orang tersebut dengan Sumping Tindik makin jauh, manakala orang setengah baya itu terhenti langkahnya seakan tercenung sendiri. Orang itu membalikkan tubuhnya, memandang pada arah Timur di mana Sumping Tindik berjalan terus melangkah. Namun Sumping Tindik telah menghilang di kelokan, menjadikan orang tersebut kerutkan kening.
"Hem, ke mana lelaki tua renta itu?" gumamnya.
"Aku lihat tadi di pundaknya ada sebuah bungkusan. Apakah tidak mungkin bungkusan tersebut adalah Kitab Banyu Geni...? Orang itu datang dari wilayah Kulon, berarti dari arah Lembah Bangkai. Hem, aku harus mengejarnya, siapa tahu memang dia membawa kitab tersebut! Siapa tahu dia yang memang beruntung mendapatkan kitab tersebut, lalu disembunyikannya dahulu di sebuah tempat, dan kemudian baru diambilnya setelah keadaan sudah tenang... hem, ya! Aku akan mengejarnya!"
Merasa yakin bahwa dugaannya benar, segera orang tersebut berlari mengejar ke arah di mana Sumping Tindik menuju. Dengan ilmu larinya, orang tersebut berkelebat cepat hingga dalam sekejap saja ia telah mampu menyusul.
"Orang tua... tunggu...!" ia berteriak.
Sumping Tindik hentikan langkah, palingkan muka sesaat, lalu bagaikan tak acuh Sumping Tindik kembali melangkah meninggalkan tempatnya. Hal itu menjadikan lelaki setengah baya yang mengejar mangkel. Dengan agak dongkol lelaki tersebut kembali berlari mengejar. Hatinya keki melihat tingkah laku si kakek seolah-olah kakek itu menyepelekannya. Maka dengan sekali kebat saja, tiba-tiba lelaki setengah baya itu telah menghadang langkah Sumping Tindik yang cengar-cengir bagaikan orang linglung.
"He, he, he...! Ada apa kau nguber-nguber aku? Apakah kau demen padaku?" Sumping Tindik cekikikan, mengedipkan mata dengan genitnya.
"Ganteng bukan mukaku?"
Lelaki setengah baya itu jengkel bukan alang kepalang, mendengar ucapan kakek tersebut. Merah mukanya, matanya, sepertinya lelaki setengah baya itu telah membludak amarahnya yang sudah tidak terbendung lagi.
"Cih! Aku bukan mengejarmu karena tergila-gila padamu, Sumping Tindik!" maki lelaki setengah baya.
"Jangankan aku, kakek-kakek sepertimu juga tak akan mau dengan dirimu, orang norak!"
"He, he, he...!" Sumping Tindik tertawa.
"Lalu apa yang menjadikan kau mengejar-ngejar diriku, Krenggil?" Sumping Tindik bagaikan tak marah dihina sedemikian rupa. Malah dengan masih cengegesan ia berkata.
"Aku membutuhkan apa yang kau bawa."
"He, he, he...! Sudah aku duga," Sumping Tindik berkata dengan nada kebencong-bencongannya, sembar dan merendahkan pada Krenggil.
"Memang orang-orang akan mengejar-ngejarku kalau mereka tahu bahwa aku telah mendapatkan apa yang mereka cari-cari selama ini."
"Jadi benar apa yang aku katakan."
"Kau berkata apa?" Sumping Tindik berkata sinis, cibirkan bibirnya.
"Enak saja kau yang ngomong!"
Krenggil sebenarnya sudah tak tahan melihat tingkah laku bencong tua ini. Namun karena ada hal yang dimaksud, menjadikan Krenggil harus menahan amarahnya. Krenggil menghendaki kakek angin-anginan ini akan mau memberikan kitab Banyu Geni yang ada dalam bungkusannya dengan baik-baik. Bukankah itu akan memudahkannya? Tak perlu lagi Krenggil bersusah payah mencari, atau pun harus bertempur dengan kakek bencong ini.
"Sumping Tindik, aku mohon kau mau memberikan kitab tersebut."
"Kitab apa...?" tanya Sumping Tindik, sepertinya ia tak mengerti saja maksud ucapan Krenggil
"Kau jangan pura-pura, Sumping!" bentak Krenggil marah.
"Aku tidak berpura-pura. Kaulah yang mungkin berpura-pura saja."
Mengerut alis mata Krenggil mendengar ucapan Sumping Tindik. Hatinya panas, meledak-ledak bagaikan letupan api yang tak dapat ditahan lagi. Napasnya mendengus besar, menggambarkan bahwa Krenggil benar-benar sudah muak dengan tingkah laku si kakek bencong ini.
"Kau mau menyerahkan tidak, Sumping!" dengus Krenggil.
"Apa yang mesti aku serahkan, orang tolol!" balas Sumping Tindik tak kalah kerasnya, menjadikan dengungan di telinga Krenggil.
"Kalau kau mau mengambilnya, mengapa mesti meminta-minta padaku?!"
"Jadi kau tak mau menyerahkan kitab itu?!"
"Heh, sudah aku bilang, aku tak perduli denganmu!"
"Kurang ajar!" geretak Krenggil.
"Kau yang kurang ajar!"
"Setan!"
"Kau yang setan!"
Dua orang dari aliran sama itu saling adu mulut. Keduanya saling bentak saling maki dengan segala kemarahan. Sepertinya kedua orang tersebut tak ada yang mau mengalah. Dan puncak dari segalanya, keduanya saling tantang menantang untuk meneruskan pada adu ilmu mereka
"Aku lumatkan tubuh tuamu yang lapuk itu, Sumping!"
Sumping Tindik sunggingkan senyum, sinis dan berkata dengan nada mengejek.
"Lakukan bila engkau mampu, Krenggil!"
"Bujang lapuk!"
Bukan alang kepalang kemarahan Sumping Tindik mendengar ucapan Krenggil yang mengatakan dirinya bujang lapuk. Maka dengan mata melotot disertai dengan napas memburu liar, Sumping Tindik balik membentak: "Bangsat! Kau telah menghinaku. Kau harus mati! Kau harus mati, hu, hu..."
Dengan menangis Sumping Tindik berkelebat menyerang Krenggil. Segera Krenggil yang tidak mau dirinya jadi korban cakaran kuku si kakek lompatkan tubuh mengelak.
"Wuuuttt!"
Sumping Tindik sabetkan tangannya dengan kuku-kuku panjang hitam ke arah Krenggil. Angin pukulannya menderu, menjadikan Krenggil tersentak kaget, buang mukanya dan kirim tendangan ke arah perut Sumping Tindik yang mendalam karena Sumping Tindik doyongkan tubuh ke muka. Namun ternyata segala serangan yang dilancarkan Sumping Tindik hanyalah tipuan belaka. Dan manakala kaki Krenggil hendak sampai, segera Sumping Tindik ulurkan tangan ke bawah menangkap. Gerakan ini terkenal dengan jurus Kera Gila Menyelamkan Buaya. Sebuah gerakan yang cepat dan dilandasi dengan tenaga yang besar, mirip dengan tenaga orang gila.
Tersentak Krenggil melihat gerakan lawan. Maka dengan segera ia tarik kembali kakinya, dan ajukan jotosan ke arah muka musuh dengan jurus Gada Laksa Dewa Brahma. Dari jotosan itu anginnya saja nampak begitu panas membara, apalagi bila bogem mentah itu menerpa muka, sungguh tidak dapat dibayangkan.
Tetapi bukanlah Sumping Tindik kalau harus mengalah begitu saja pada musuh. Melihat musuhnya mengeluarkan jurus inti, Sumping Tindik tertawa gelak, lalu dengan cepat ia rubah gerakan tangan dan kakinya. Gerakan tangan dan kakinya sungguh aneh, tak lajimnya digunakan oleh orang persilatan. Setiap tangan Krenggil maju yang kanan, maka Sumping Tindik ajukan kaki sebelah kiri dengan tangan kanan menyiku, lalu siku itu menghantam dekat ke arah muka lawan. Itulah jurus Belah Gelombang, sebuah jurus yang mampu menjadikan musuh harus menarik diri dari jaraknya. Kalau tidak, maka mukanya akan remuk tersiku
"Uut...!" Krenggil memekik, lemparkan kepalanya ke samping, hindari sikutan tersebut.
"Rupanya kau makin hebat saja, Sumping?"
"He, he, he...! Dari dulu kau tahu bahwa aku memang hebat, bukan?" ucap Sumping Tindik sombong.
"Kalau aku tidak hebat, manalah mungkin aku mendapat sebutan pendekar? Dan mana mungkin aku mampu merajai dunia persilatan? He, he, he..."
"Kau boleh berbangga dengan apa yang telah engkau dapatkan dulu, namun kini kau harus tunduk padaku."
"Et! Tidak bisa, sobat." Mendengus Krenggil mendengar ucapan si kakek. Ia memang tahu bahwa ilmu kakek ini sungguh tinggi. Namun ia tak ingin segalanya gagal. Ia harus mampu merebut apa yang ada di punggung si kakek, yang tentunya adalah barang yang ia cari.
"Sumping, bagaimana jika kita damai saja?"
"Maksudmu...?" tanya Sumping Tindik demi mendengar ucapan Krenggil yang baginya aneh. Jelas aneh, sebab keduanya memang dari dulu walau sealiran selalu saja ada perselisihan. Dan kalau memang keduanya bersahabat, jelas itu tidak mungkin mereka lakukan. Keduanya bagaikan anjing dan kucing, walau tidak pernah saling menjatuhkan, tetapi cara mereka bersaing benar-benar merupakan permusuhan secara tidak langsung.
Krenggil yang yakin kalau dalam bungkusan itu tak lain hanyalah kitab Banyu Geni tersenyum, mencoba ramah. Ia berharap si kakek mau luluh juga hatinya. Walau pun mereka selalu bersaing untuk mendapatkan nama di dunia persilatan, tetapi mereka bukankah masih satu golongan? Siapa tahu persaingan keduanya dapat terselesaikan dengan adanya kitab tersebut. Tapi di hati Krenggil sungguh lain. Bukan harapan itu yang ada, melainkan sebuah kelicikan.
"Hem, kalau aku mampu mengelabuhinya, urusan dirinya bukanlah masalah. Apakah tidak mudah melenyapkannya?" kata hati Krenggil.
"Heh, mengapa engkau terdiam? Kalau engkau sudah kapok, segeralah minggat dari hadapanku!" bentak Sumping Tindik tak sabar melihat Krenggil masih terdiam.
"Tunggu! Bagaimana kalau kitab tersebut kita pelajari berdua? Bukankah dengan kita berdua menjadi satu maka aliran kita akan menjadi kokoh?" Krenggil mencoba merayu, dengan harapan hati Sumping Tindik mau menerimanya. Dan memang Sumping Tindik nampak terdiam, sepertinya tengah menimbang apa yang menjadi saran Krenggil.
"Dasar licik! Disangkanya aku tidak tahu maksud busuknya!" umpat hati Sumping Tindik.
"Jangan kira aku akan menerima akal busukmu walau kitab itu sebenarnya tidak berada di tanganku!"
"Tidak...!"
"Sumping... Kau menolaknya!?"
"Ya!" jawab Sumping Tindik tenang.
"Kau menginginkan mati, Sumping!"
Sumping Tindik tersenyum mendengar ucapan Krenggil. Dirasakannya ucapan Krenggil tak ubahnya hanya ucapan orang gendeng yang tengah menghayal.
"Mati...? Heh, kau bilang aku mencari kematian. Itu memang, Krenggil! Nah, kalau kau memang mampu membuatku mati, maka aku akan menyerahkan kitab yang aku bawa ini untukmu!"
"Edan! Kau benar-benar edan, Sumping!"
"Kau yang edan! Kau yang berteriak-teriak kaya orang edan!"
"Bangsat! Dasar, bujang lapuk!"
"Bedebah! Kau telah menghinaku dua kali, maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak kelewatan padamu. Hiat...!"
Tak dapat lagi kemarahan Sumping Tindik dicegah demi mendengar sindiran yang baginya terasa menghantam dahsyat dilontarkan oleh Krenggil untuk kedua kalinya. Kakek bencong itu kini bagaikan banteng ketaton berkelebat menyerang membabi buta. Dan sungguh dahsyat hantamannya. Karena hantamannya, seketika pepohonan yang ada di situ tumbang. Bebatuan yang menjadi pagar bergemuruh runtuh ke bawah.
Terbelalak mata Krenggil menyaksikan hal itu. Hatinya kini diliputi rasa takut. Tak ia sangka kalau ilmu kakek tua bencong ini makin bertambah saja. Namun untuk menghindar, jelas ia tidak akan mampu. Maka hanya melompat ke sana kemari saja yang dapat ia lakukan mengelakkan serangan si kakek.
"Aku bunuh kau, Krenggil! Aku bunuh! Hu, hu, hu...!"
Dengan menangis Sumping Tindik terus lancarkan serangan ganasnya mencerca Krenggil. Tak ada kesempatan bagi Krenggil untuk mengelakkannya dan pergi. Krenggil hanya mampu mengelakkan di tempat tersebut, sebuah tempat yang sangat tidak membuatnya leluasa bergerak.
"Edan! Kalau begini aku tak akan selamat!" Krenggil menggerutu dalam hatinya yang ciut.
"Wuuut...!"
Segelombang angin berkelebat mengarah ke arahnya, menjadikan Krenggil tersentak. Dengan gugup Krenggil yang sudah dalam keadaan terdesak balik menyerang dengan pukulannya.
"Wuuut...!"
"Bledar...!"
Ledakan seketika terdengar, manakala dua kekuatan tersebut bertemu. Akibat dari beradunya dua kekuatan tersebut, tak ayal kedua orang yang melontarkannya pun terdorong ke belakang. Krenggil terhempas jatuh ke tanah dengan darah meleleh dari sela-sela bibirnya, sementara si kakek tubuhnya tergontai-gontai. Namun si kakek masih mampu berdiri, memandang dengan senyum mengulas di bibirnya.
Krenggil yang sudah merasa tak bakalan ungkulan, serta merta dengan masih memegangi badannya yang sesak tinggalkan tempat tersebut sebelum si kakek melihatnya. Dan tinggallah si kakek terlonglong bengong melihat musuhnya telah tak ada di tempat tersebut. Merasa yakin bahwa musuhnya tentunya melarikan diri, segera si kakek pun berkelebat menyusul.
* * * * *
:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::
Dari kejauhan nampak sebuah kereta agung yang ditarik oleh empat ekor kuda melaju dengan cepatnya menyusuri jalanan berbatu. Kereta itu datangnya dari arah Timur, melaju menuju ke arah Barat. Setelah mendapatkan tikungan pertama, kereta itu rubah haluan, melaju menuju ke arah Utara. Penunggang kereta tersebut nampak dua orang, ditambah dengan kusir dan dua pengawal. Bila dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh mereka, jelas mereka adalah orang-orang tingkat ksatria atau dengan kata lain orang-orang dalem istana.
Dan memang mereka terdiri dari orang kalangan istana yang ditugaskan untuk mencari kitab yang telah meresahkan dunia persilatan. Salah seorang penunggangnya tak lain pangeran Salendra Wangsa, yang didampingi oleh adiknya pangeran Sangkar Samudra. Dua orang pangeran muda tersebut sengaja hendak mencari Kitab Banyu Geni dikarenakan keduanya diutus oleh guru-guru mereka untuk mencari kitab tersebut. Disamping keduanya langsung mencari, juga telah disebar pengumuman mengenai pencarian kitab tersebut. Isi pengumuman tersebut adalah:
"Barang siapa yang dapat menyerahkan kitab tersebut pada kerajaan, maka orang tersebut akan diangkat menjadi prajurit atau panglima prajurit di Kerajaan."
"Paman Klower, apa tak dapat kuda dipercepat larinya?" yang berkata pangeran Salendra Wangsa.
"Usahakanlah kuda-kuda ini dipercepat, sebab hari sebentar lagi akan beranjak menjadi malam. Bisa-bisa kita perangkap di tengah jalan."
"Daulat, Pangeran," jawab Klower, lalu dengan segera digebahnya lari sang kuda.
"Hia, hia, hia...!"
Kuda-kuda tersebutpun bagaikan kegirasan berlari dengan cepatnya, menerobos hutan untuk mencari jalan yang pintas. Namun manakala mereka benar-benar berada di tengah hutan, tiba-tiba kuda-kuda penarik kereta meringkik keras, hentikan larinya. Hal itu menjadikan kedua pangeran tersebut tersentak kaget, bertanya pada kusirnya.
"Ada apa, Klower?" yang bertanya pangeran Sangkar Samudra seraya longokkan kepala keluar.
"Mengapa kuda-kuda itu?"
"Entahlah, Pangeran."
"Suyud, kau keluarlah. Mengapa kudakuda itu?" Salendra Wangsa memerintah, yang dengan segera dilaksanakan oleh prajuritnya yang bernama Suyud. Suyud segera keluar, melangkah ke depan sambil mencari-cari gerangan apa hingga kuda-kuda tersebut berhenti.
"Ada apa, Suyud?" tanya Sangkar Samudra
Suyud nampak masih berusaha mencari apa penyebab hingga kuda-kuda penarik kereta menghentikan larinya? Suyud makin masuk ke dalam, melangkah dengan hati-hati. Suyud terus melangkah dengan golok siap tergenggam di tangan, masuk merambah semak belukar dalam hutan. Semua yang ada di kereta tegang, seakan langkah-langkah Suyud adalah langkah-langkah yang memastikan mereka. Sementara gelap mulai agak merambah, menjadikan bayang-bayang hitam bagi mereka.
"Aaah...!"
"Suyud...!" Pangeran Saledra Wangsa memekik, manakala terdengar pekikan Suyud dari dalam hutan. Dengan sigap sang pangeran bersama adiknya dan seorang pengawalnya melompat menuju ke tempat di mana Suyud memekik. Lari mereka begitu cepat, sehingga ketiganya bagaikan terbang melesat.
"Suyud...!"
Mata ketiganya mendelik, manakala melihat apa yang ada di hadapan mereka. Tubuh Suyud, tergeletak bermandikan darah di tanah dengan nyawa telah melayang. Kedua pangeran itu seketika nampak liar, menyapu gelapnya malam dalam hutan itu. Mata keduanya begitu berapi, seakan hendak membakar apa saja yang ada di situ.
"Kalian yang ada di sini, keluarlah! Hadapi aku, Sangkar Segara!" Sangkar Segara menggeretak marah, sehingga tanpa ada rasa takut ia berteriak.
"Anjing, Monyet, Iblis, Dedemit! Kalau kalian memang manusia atau apapun, tunjukkan muka-muka kalian! Cepat...!"
Tak ada jawaban, dan hanya desah angin malam yang menerpa mereka.
"Kita rambah hutan ini, Kakang."
"Baiklah," Salendra Wangsa menyetujui. Namun segera ia teringat pada kusirnya yang mereka tinggalkan.
"Tunggu dinda, apakah mang Klower kita tinggal?"
"Ah, benar!" Sangkar Samudra mendesah, manakala ingat bahwa di antara mereka ternyata masih ada orang lain.
"Ayo, Kakang. Kita jangan sampai kedahuluan oleh orang lain."
Dengan segera ketiga orang tersebut kembali menuju ke tempat di mana kereta berada. Dan betapa mereka kembali terbengong-bengong dengan mata melotot kaget disertai amarah yang meluap-luap. Apa yang mereka saksikan, sungguh-sungguh membuat darah kedua pangeran dan seorang prajuritnya mendidih. Mereka menyaksikan tubuh mang Klower sudah tak bernyawa lagi, mati dengan mata mendelik. Ada tali mengikat lehernya.
"Bangsat rendah! Rupanya mereka hendak main-main dengan kita, Kakang?!"
"Memang benar! Mereka sengaja memecah kita. Maka itu, kalian berdua jangan jauh-jauh dariku."
Ketiga orang dari istana itu melangkah perlahan, meninggalkan kembali kereta yang masih terdiam dengan sesosok mayat teman mereka.
"Kresek...!" Terdengar suara daun kering diinjak, menjadikan mata ketiganya membelalak dan memandang ke arah suara gemereseknya daun kering tersebut.
"Hati-hati, musuh telah dekat," Pangeran Salendra Wangsa berbisik memperingatkan adik dan prajuritnya.
Mereka terus melangkah dengan hati-hati, makin merambah ke tengah hutan yang makin gelap. Makin lama-makin ke dalam saja mereka melangkah. Namun sejauh itu, belum ada tandatanda bahwa mereka akan menemukan jejak-jejak orang yang telah membunuh prajurit dan tukang kusirnya.
"Hem, kemana mereka? Apakah mereka bukan manusia?" tanya Sangkar Segara yang sudah tak sabar nampak menggeretak. Tangannya telah siap dengan pedang terhunus. Dengan sekali kebat saja Sangkar Segara telah mendahului kakak dan prajuritnya memburu ke depan. Dan bagaikan orang gila saja, Sangkar Segara tebaskan pedangnya membabat segala apa saja yang ada. Mulutnya tiada henti memaki dan mengumpat-umpat.
"Bangsat! Keluar kalian jika kalian memang laki-laki! Keluar! Hadapi aku Sangkar Segara!"
Sangkar Segara terus mengumbar amarahnya, babatkan pedang dengan liar dan jalang. Tak dipikirkan olehnya segala apa yang bakal ia tanggung. Kemarahannya benar-benar tak terkendali, membara bagaikan nyala api yang siap membakar segalanya. Salendra Wangsa dan seorang prajuritnya tak dapat berkata apa-apa. Keduanya hanya mengikuti langkah adiknya menuju makin ke dalam hutan yang makin menyeramkan. Sementara Sangkar Samudra masih terus berteriakteriak dengan segala amarahnya. Pedang di tangannya masih berkelebat membabat segala apa saja.
Makin ketiganya masuk ke dalam, seketika terdengar kembali suara lolongan anjing hutan yang panjang. Mungkin kalau manusia biasa akan mengira bahwa lolongan itu benar-benar lolongan anjing hutan. Tapi bagi mereka, jelas bahwa lolongan tersebut tak lain sebuah isyarat dari seseorang. Demi mendengar hal tersebut, segera ketiganya bersiap dengan senjata mereka. Salendra Wangsa cabut keris pusakanya, sementara seorang prajuritnya cabut golok.
"Aauuuuuunngggg...!" kembali terdengar lolongan.
"Hati-hati, adik. Ini sebuah isyarat."
Dan benar juga apa yang dikatakan oleh Salendra Wangsa adanya. Belum saja mereka bertindak lebih jauh, tiba-tiba berkelebat beberapa sosok tubuh hitam-hitam menghadang mereka dengan pedang putih mengkilap siap menyerang. Ketiga orang tersebut tersentak, mundur tiga tindak.
"Ninja...!" pekik Suroso, prajurit.
"Heh, rupanya orang-orang Nippon telah menjarah tanah Jawa," Sangkar Segara turut menggumam.
"Apa yang kalian cari di negeri kami, hah!"
Tak ada jawaban dari mereka. Hanya mata mereka yang nampak saja yang memandang dengan tajam tanpa kedip. Napas mereka mendengus. Lalu dengan cepat mereka berkelebat menyerang ke arah ketiganya.
"Hiat...!"
"Edan! Mereka tak mengenal kompromi rupanya," dengus Sangkar Segara.
"Awas, Kakang...!"
Salendra Wangsa dengan sigap elakkan babatan samurai di tangan mereka, lalu dengan sebat dia pun balik menyerang dengan menusuk ke arah lawan. Pertarungan tiga dikeroyok oleh puluhan orang itu pun tak dapat dihindarkan. Mereka bergerak dalam gelapnya malam. Dan hanya sinar-sinar pedang mereka yang nampak berkelebat-kelebat saling serang, tusuk, dan elak.
"Hiat...!" Sangkar Segara yang sudah marah terus mengamuk, babatkan pedangnya. Sungguh dahsyat babatan pedang murid Resi Rama Kreta ini. Setiap babatannya, tak ayal lagi membawa pekikan kematian bagi musuh.
Namun musuh-musuhnya bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka tak lain murid-murid dari perguruan Samurai Merah yang sudah terlatih dengan segala keberaniannya dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dua orang mati di tangan Sangkar Segara, tidak menjadikan yang lainnya surut, bahkan dengan beringas lainnya merangsek.
"Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat membabat ke arah Sangkar Segara, yang dengan segera elakkan serangan, melompat ke belakang. Namun ternyata para ninja itu tak mau membiarkan lawannya dapat leluasa bergerak. Segera mereka kembali merangsek. Samurai di tangan mereka terus membabat, menjadikan Sangkar Segara harus menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengimbangi gerakkan mereka yang gesit dan cepat tersebut.
"Wuut! Wuut! Wuuuutt...!"
"Sret...!"
Tersentak Sangkar Segara dengan mata membeliak bercampur marah. Bagaimana tidak, kini pipinya tergores oleh senjata para ninja. Goresan tersebut menjadikan darah meleleh membasahi pipinya sebelah kiri. Sangkar Segara menggeram laksana harimau kelaparan, dan dengan cepat babatkan pedangnya.
"Kalian harus minggat dari sini! Hiat...!"
"Wuut...!"
Gerakan pedang Sangkar Segara begitu cepat, makin lama iramanya makin cepat. Tubuh Sangkar Segara tiba-tiba menghilang, lenyap digulung oleh sinar pedangnya yang bergulung-gulung bagaikan gangsing. Terbelalak para ninja yang mengeroyoknya, manakala melihat musuhnya mampu melakukan sebuah gerakan yang sukar untuk ditentukan keberadaannya. Sinar gulungan pedang Sangkar Segara terus bergerak menyerang mereka, yang hanya mampu menyurut mundur, tidak dapat lagi dengan seenaknya balas menyerang.
"Aaaaaaahhh...!"
Tiga kali berturut-turut terdengar lolongan panjang, manakala pedang di tangan Sangkar Segara membabat cepat. Tiga sosok tertutup kain hitam roboh bermandikan darah, ambruk, sesaat mengejang hingga akhirnya tergeletak dengan nyawa putus. Namun seperti semula, para ninja itu tak hiraukan kematian teman-teman mereka. Para ninja yang masih hidup kembali merangsek, malah mereka nampak makin beringas saja menyerang.
Di pihak lain, nampak Salendra Wangsa dengan kerisnya terus menyerang. Begitu juga dengan prajuritnya yang bersenjatakan golok. Keduanya nampak tak lagi memberikan kesempatan pada para ninja untuk mengatur posisi mereka. Keduanya terus memberikan tekanan-tekanan yang sangat sukar untuk dilepaskan oleh para ninja. Keris di tangan Wangsa terus mencerca, menusuk-nusuk ke arah dada lawan, menjadikan lawan harus hati-hati sekali menghadapi keris pusaka tersebut. Sambaran keris pusakanya saja mampu mengundang hawa panas yang teramat sangat. Mata para Ninja membeliak tak percaya, sebab baru kali ini mereka melihat senjata aneh. Sebuah senjata pendek yang mampu menggetarkan hati mereka.
Pertarungan tiga melawan puluhan Ninja itu terus berlangsung. Korban di pihak para Ninja terus berjatuhan. Namun demikian, para Ninja merah sepertinya tak mengenal rasa takut. Sekali teman mereka tergeletak mati, maka yang lainnya kembali merangsek.
"Sungguh kalian mencari mati, berani berkeliaran di tanah Jawa ini!" bentak Salendra Wangsa, yang terus merangsek dengan kerisnya. Tubuh Salendra Wangsa kini berkelebat dengan cepat, terbang dengan keris menusuk-nusuk dari atas menghunjam ke kepala para Ninja.
Para Ninja tersebut tersentak kaget, tak kira kalau musuhnya mampu melakukan gerakan seperti yang mereka kadang lakukan. Dan manakala mereka dalam kekagetan, tiba-tiba Salendra Wangsa telah menukik turun. Tangannya terjurus lurus ke bawah, siap hujamkan keris pusaka.
"Hiat...!"
"Cros! Cros! Cros...!"
Keris di tangan Salendra Wangsa bergerak bagaikan mempunyai mata. Keris itu bergerak cepat, menusuk-nusuk kepala lawan, menjadikan pekikan-pekikan kematian. Sebanyak lima orang Ninja seketika meregang nyawa, memekik sesaat, lalu akhirnya terkulai lemas dengan nyawa melayang. Namun keberhasilan kedua pangeran tersebut, tidak diikuti oleh prajuritnya. Dalam sekejap, tubuh prajurit itu tercincang habis oleh tebasan-tebasan samurai di tangan para Ninja.
"Aaaaaaaaaaa. !" Tak ayal lagi, dalam sekejap saja tubuh prajurit tersebut borat-baret dengan luka-luka yang menganga mengeluarkan darah segar. Sesaat tubuh prajurit itu meregang, lalu ambruk dengan tubuh hancur dan mata melotot, mati.
Tak alang kepalang lagi betapa gusar dan marahnya kedua pangeran itu melihat sisa pengawalnya telah kembali menemui kematian. Mata keduanya menyorot memendam hawa bengis penuh kematian.
"Bangsat-bangsat Nippon! Kalian harus enyah dari bumi ini, hiat...!" Sangkar Segara menggeretak marah. Kini dirinya nampak makin beringas dan penuh nafsu untuk menyarangkan pedangnya ke tubuh musuh-musuhnya. Dan memang benar, setiap kali kelebatan pedangnya, menyusul pekikan kematian para Ninja yang terbabat dengan puntung kepala mereka. Kini giliran para Ninja lainnya yang membeliak kaget. Sungguh di luar dugaan mereka, kalau pangeran dari tanah Jawa ini mampu berbuat yang di luar dugaan mereka.
"Hati-hati, Adikku...!" Salendra Wangsa memperingatkan. Dirinya juga kini bagaikan seekor burung Rajawali yang ganas, siap mematuk kepala musuh dengan keris pusaka di tangannya.
Sungguh-sungguh gerakan kedua pangeran Jawa itu buas, liar dan penuh mengarah pada kematian. Dan rupanya memang begitu akibatnya. Dalam beberapa gebrakan saja, para Ninja itu dibiarkan tidak berdaya sama sekali. Mereka hanya mampu bertahan, lalu akhirnya menjerit dan roboh dengan tubuh terbeset atau kepala bolong tertusuk-tusuk oleh keris Salendra Wangsa.
Melihat teman-temannya binasa, tiba-tiba salah seorang Ninja kembali mengaung: "Aaaauung...!"
Bersamaan dengan aungan tersebut, ninja-ninja yang lainnya tiba-tiba menghilang menerobos ke bumi. Semua Ninja yang masih hidup benar-benar menghilang, masuk ke dalam bumi setelah terlebih dahulu meledakkan sebuah benda kecil ke arah kedua pangeran Jawa.
Terbelalak mata Salendra Wangsa dan Sangkar Segara melihat hal tersebut. Belum pernah keduanya melihat sebuah kejadian aneh, layaknya seperti yang sekarang mereka hadapi. Mata kedua pangeran Jawa itu membeliak, berputar memandang ke arah di mana para Ninja tersebut menghilang. Keduanya nampak waspada, takut kalau-kalau para Ninja itu muncul kembali. Dan rupanya dugaan keduanya benar. Ninja-ninja tersebut kembali muncul, bertambah banyak saja.
"Edan! Rupanya mereka mengundang teman-teman mereka!" menggeretak Sangkar Samudra. Melompat ke belakang, manakala kakinya tiba-tiba hendak dibetot ke bawah.
"Kurang ajar, hiat...!"
Pertarungan para Ninja dan kedua pangeran Jawa itu kembali terjadi. Para Ninja itu kini makin bertambah banyak, berterbangan dari atas pohon, serta nongol dari bawah tanah. Kini kedua pangeran itu benar-benar harus menguras tenaga mereka untuk menghadapi para Ninja yang makin bertambah banyak. Kini kedua pangeran Jawa tersebut tidak lagi harus memandang para Ninja. Keduanya benar-benar harus menutup mata untuk mampu menghalau serangan. Dalam hati mereka hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh oleh para Ninja dari negeri Nippon yang terkenal berangasan dan kejam.
"Pangeran Jawa, lebih baik kalian menyerahlah!" terdengar seruan seseorang, manakala kedua pangeran itu tengah terus berkelebat menyerang.
"Bangsat! Keluar dirimu! Jangan bisanya hanya ngomong di belakang!" balik membentak Salendra Wangsa.
"Kalau kau ingin kami menyerah, maka langkahi dulu mayat kami! Keluarlah kau, kalau kau benar-benar seorang lelaki!"
"Kunyuk! Kau kira aku apa, hah!" Sangkar Segara tak kalah marahnya. Sambil tebaskan pedang yang membawa kematian bagi musuhnya ia terus menggeretak marah.
"Kalau kau memang ketuanya Ninja-ninja dungu ini, keluarlah! Hadapi kami, Monyet!"
"Hua, ha, ha...! Tak perlu aku keluar. Tunggulah, pasti kalian berdua akan mendapatkan hal yang sekiranya kalian belum pernah merasakannya."
"Bangsat! Akan aku leburkan semua anak buahmu ini, hiat!"
Sangkar Segara benar-benar sudah tak dapat menahan amarah. Tubuhnya berkelebat dengan cepat. Pedang di tangannya, laksana Dewa kematian yang setiap kebasannya menjadikan para musuh harus mengerang sesaat dan akhirnya tergeletak tanpa nyawa. Sangkar Segara benar-benar tak mengenal kompromi, terus mencerca seakan tak memberikan peluang sedikit pun bagi para Ninja. Kebatan pedangnya mampu menjadikan mata para Ninja membeliak, menahan napas. Hampir semua Ninja-ninja itu terpupus di tangan kedua pangeran Jawa yang makin beringas dan lapar oleh korban, manakala sebuah bayangan merah berkelebat, menghadang keduanya.
"Siapa kau!" bentak kedua pangeran Jawa itu bareng.
"Hua, ha, ha...! Aku Ninja Merah dari negeri Nippon. Aku sengaja datang kemari semata-mata ingin menyerukan pada orang-orang tanah Jawa untuk menyerah, lalu menjadi pengikutku!"
"Bangsat! Jangan kira kau akan mampu, Monyet!" Sangkar Segara menggeretak, lalu dengan cepat berkelebat menyerang ke arah si Ninja Merah yang dengan sigap bagaikan tak berarti serangan Sangkar Segara mengelakkannya.
Melihat musuhnya mampu mengelak, Sangkar Segara yang sudah dibakar amarah terus berusaha merangsek. Sementara Salendra Wangsa terus mencerca para Ninja yang terbengong diam, menjadikan mereka harus menerima segala resiko. Tanpa ampun lagi, dalam sekejap saja tubuh-tubuh mereka terbabat cepat oleh keris di tangan Salendra Wangsa. Betapa gusarnya Ninja yang lain menyaksikan hal tersebut. Bagaikan banteng ketaton mereka kembali merangsek, mengeroyok Salendra Wangsa dengan tebasantebasan Samurai bergantian.
"Wuuut...!"
"Ihh...!" Salendra Wangsa memekik tertahan. Hampir saja dirinya menjadi mangsa empuk samurai di tangan mereka yang tajam, kalau saja ia tidak segera berkelebat mengelakkannya. Sambil menggeretak marah, Salendra Wangsa kembali menyerang mereka gencar.
"Kalian harus mampus, hiat...!"
Mungkin karena dirasuki oleh amarah yang meluap-luap, menjadikan Salendran Wangsa nampak merah matanya. Tangannya bergerak cepat, babatkan dan tusukan keris dengan cepat. Keris di tangannya nampak menyala merah, sepertinya membersitkan api yang membara.
Pertarungan terus berlanjut, mereka nampaknya tak akan mau ada yang mengalah. Satu tujuan mereka, hidup untuk menang atau mati kalah. Kelebatan-kelebatan mereka, menjadikan sebuah bayang-bayang warna pakaian mereka memecah malam. Jurus demi jurus terus terlalui, seakan mereka tak akan ada yang mau mengalah atau menang.
Enam puluh jurus sudah terlampaui, namun nampaknya mereka tak merasakan capai atau penat. Rupanya dalam pertarungan itu hanya keberuntungan yang mampu berbicara. Maka sudah dapat dipastikan. Barang siapa yang nasibnya baik, tentunya akan menang. Dan barang siapa yang nasibnya buruk, dialah yang akan mengalami kehancuran. Tatkala kedua pangeran itu terdesak hebat oleh serangan-serangan para Ninja pimpinan Ninja Merah, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat hantamkan pukulan ke arah para ninja tersebut.
"Wuuuttt...!"
"Duar!"
Sebuah ledakan seketika menggema, manakala pukulan yang dilontarkan dari jarak jauh itu menghantamkan tubuh Ninja Merah. Tak ayal lagi, Ninja Merah seketika terpental ke belakang, melayang sesaat dan akhirnya jatuh terkulai di atas tanah. Dari cadar yang dipakainya, nampak meleleh darah segar. Tidak hanya Ninja Merah yang menjadi sasaran hantaman orang yang baru datang, tetapi juga, semua yang ada di tempat tersebut. Tanpa ayal lagi, anak buah Ninja Merah pun terhantam, berhamburan laksana tertiup badai. Tubuh mereka mencelat, lalu menjerit sesaat dan akhirnya mati. Sementara Ninja Merah yang merasa tak bakalan ungkulan melawan orang tersebut, tiba-tiba lenyap menghilang dengan didahului oleh sebuah ledakan.
Tinggallah kini kedua pangeran kakak beradik yang masih terbengong-bengong sendiri. Keduanya tak tahu siapa yang telah berbuat menyelamatkan diri mereka dari keroyokan Ninjaninja tersebut. Keduanya berusaha mencari, namun orang yang dicari tak ada di situ atau di sekeliling tempat tersebut. Bayangan merah saja yang berkelebat bagaikan terbang, meninggalkan hutan tersebut.
"Siapakah orang berpakaian merah itu, Kakang?"
"Entahlah. Yang pasti ia telah menolong kita," jawab Salendra Wangsa.
"Mari kita teruskan perjalanan."
Kedua kakak beradik pangeran tersebut dengan hati bertanya-tanya siapa adanya bayangan berpakaian merah terus melangkah kembali untuk melanjutkan perjalanan mereka. Dan malam pun kian larut, menyelimuti bumi yang nampak sunyi-senyap. Malam itu sebagai saksi, bahwa di hutan tersebut adalah awal dari segala yang kelak bakal terjadi. Siapakah bayangan berpakaian merah yang telah menolong kedua pangeran Jawa itu?
* * * * *
:::≡¦ [ EMPAT ] ¦≡:::
Pagi itu nampak Jaka Ndableg tengah tekun membaca kitab yang saat ini menjadi rebut an para pendekar. Kitab tersebut tidak lain Kitab Banyu Geni. Saking tekunnya Jaka mempelajari kitab tersebut, sampai-sampai kedatangan seseorang ke arahnya tidak diketahui. Lelaki tua renta berjanggut putih dengan pakaian ala resi berdiri di belakang Jaka yang duduk bersila dengan mata tak henti memandang tulisan dan gambar-gambar yang ada dalam buku tersebut. Buku yang terbuat dari lembaranlembaran kulit hewan, ditata sedemikian rupa.
Lelaki tua itu tampak tak bermaksud mengganggu ketenangan Jaka mempelajari kitab tersebut. Ia hanya memandang dengan mata mengerut, lalu kembali tersenyum. Jaka sendiri tak mendengar kedatangannya. Mungkin karena terlalu asyik dengan kitab yang dipelajarinya, atau karena segala konsentrasinya berada pada kitab tersebut. Dan memang konsentrasi Jaka ada pada kitab tersebut, sehingga tanpa sadar Jaka menggerakkan tangannya sesuai dengan tulisan dan gambar-gambar yang berada di kitab.
"Wuuus...!"
"Wut, wut, wut...!"
Tangan Jaka bergerak cepat, hingga menjadikan lelaki tua yang ada berdiri di belakangnya tersentak melotot sambil melompat mundur. Matanya tak berkedip ke arah Jaka yang tangannya masih bergerak cepat, dan makin lama makin cepat.
"Wut, wut, wut!"
"Inti Geni, hiat...!"
Tersentak lelaki tua renta yang menyaksikannya, manakala melihat apa yang terjadi tatkala Jaka mengucapkan nama jurus tersebut. Dari tangan Jaka nampak keluar jilatan-jilatan api yang makin lama-makin banyak, bergulung-gulung. Api tersebut bagaikan menyalak, seperti hendak mencari sasaran. Dengan segera Jaka hentakan api yang menyala di tangannya ke arah pepohonan yang dekat dengan tempatnya berlatih.
"Hiat...!"
"Wuuss...!"
"Dum...!"
Ledakan dahsyat menggema, lalu diikuti dengan tumbangnya pohon tersebut. Mata Jaka membelalak kaget, manakala melihat apa yang telah terjadi. Pohon tersebut seketika hitam legam kering kerontang, hangus terbakar sampai daundaunnya.
"Sungguh dahsyat!"
Jaka palingkan kepala memandang ke asal suara yang menggumam. Di sana, di belakangnya tak jauh dari dirinya duduk seorang lelaki tua renta yang sudah ia kenal benar bernama Ki Aswatama tersenyum acungkan jempol sambil manggut-manggutkan kepala.
"Baru jurus pertama sudah begitu dahsyatnya, apalagi bila jurus-jurus selanjutnya," Ki Aswatama kembali bergumam.
"Ah, kau terlalu merendah, Ki."
"Tidak, Jaka." Ki Aswatama berjalan menghampiri Jaka, lalu duduk di samping Jaka.
"Dunia persilatan dibuat kalang kabut saling tuduh menuduh untuk mendapatkan kitab ini. Beruntung kau Jaka."
Jaka terdiam mendengar penuturan orang tua renta yang telah makan asam garam kehidupan tersebut. Di helanya napas panjang, memandang terpaku pada apa yang telah diperbuat. Api masih menjalar menyelimuti pohon yang tumbang.
"Aku harus secepatnya menyelesaikan kitab, ini," gumam Jaka seraya kembali memandang Ki Aswatama.
"Kalau aku lama memendam diri, jelas dunia akan mudah terguncang oleh orang-orang yang mencari kesempatan."
"Memang, Jaka. Sekarang saja, selama tiga bulan kau berada di sini, dunia persilatan diguncang oleh gegernya kitab yang kini berada di tanganmu."
"Hem..." Jaka kembali menggumam.
"Apakah mereka bermaksud mencarinya?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama.
"Sejak dua pendekar kakak beradik kembar mendatangi Lembah Bangkai dan keduanya menemukan bahwa Lembah Bangkai kini sudah tak ada yang ditakuti, hampir semua orang persilatan datang berbondong-bondong ke tempat tersebut."
"Untuk apa...?" tanya Jaka tak mengerti.
Ki Aswatama menarik napas panjang, lemparkan pandangannya ke arah kayu yang kini menjadi arang terhantam oleh pukulan yang dilontarkan Jaka. Sebuah pukulan dahsyat dari kitab Banyu Geni, bernama Inti Geni.
"Sungguh sebuah kitab yang berisikan ajian-ajian dan jurus-jurus membahayakan. Aku rasa, tak akan ada dalam abad sekarang yang mampu menandingi isi Kitab Banyu Geni ini," Ki Aswatama berkata.
"Banyu Geni. Banyu artinya air, sedang Geni artinya api. Jadi Banyu Geni artinya Air dan Api. Sifat dari ilmu-ilmu yang ada di kitab ini adalah panas tapi dingin. Panas bila menghadapi musuh, tapi juga dingin dan dapat menyembuhkan orang yang dianggap teman."
Jaka Ndableg tersentak mendengar penuturan Ki Aswatama yang terasa mengena. Sungguh orang tua ini sangat bijak dan paningal dalam segalanya. Mampu menganalisa apa yang ada, tahu persis apa yang akan apa yang terjadi.
"Heh, rupanya Ki Aswatama tahu benar akan isi kitab ini," Jaka terbelalak kaget.
"Apakah Ki Aswatama telah membacanya?"
Orang tua itu gelengkan kepala, lalu katanya: "Aku mendengar penuturan kakekmu dulu. Aku dan kakekmu adalah teman karib yang sukar untuk dipisahkan. Dan ketahuilah olehmu, bahwa sebelum kakekmu mencipta kitab ini, ia terlebih dahulu mengutarakannya padaku. Apa isinya, juga apa kegunaannya."
"Kalau begitu, Ki Aswatama dapat membantuku?"
"Sedikit, Jaka."
"Oh, terimakasih, Ki. Aku harap, Ki Aswatama mau membantu diriku agar dapat dengan cepat mempelajari isi kitab ini."
"Akan aku usahakan, Jaka. Semoga dengan aku membantu kau akan segera dapat kembali muncul di dunia persilatan dan berjalan kembali sebagai roda penggiling penumpas kejahatan dan kebatilan."
"Akan aku usahakan, Ki," Jaka tersenyum, lalu dengan segera Jaka kembali menekuni isi kitab tersebut. Kini Jaka dibantu oleh Ki Aswatama. Segala apa yang sekiranya sangat susah bagi dirinya, tak segan-segan Jaka menanyakan-nya pada Ki Aswatama.
* * * * *
Hari demi hari Jaka lalui dengan belajar dan belajar. Sepertinya tak ada istilah lelah atau capai Jaka mempelajari isi Kitab Banyu Geni. Dengan bimbingan Ki Aswatama, Jaka terus melalap satu persatu segala isi yang terkandung dalam Kitab Banyu Geni. Pagi itu adalah yang keseratus hari, berarti telah tiga bulan lebih sepuluh hari Jaka menghilang dari dunia persilatan. Menghilangkan segala macam persoalan dunia persilatan semenjak ia mempelajari Kitab Banyu Geni.
Atas bimbingan Ki Aswatama, dalam sepuluh hari ini saja, Jaka telah mampu menelan dua jurus dahsyat lanjutan dari jurus pertama. Saat itu Jaka nampak duduk bersila, kaki saling tindih dengan kedua tangan menyatu telapaknya. Mata Jaka terpejam, mulut membisu diam.
Ki Aswatama nampak duduk di sampingnya. Seperti halnya dengan Jaka, Ki Aswatama pun kini tengah melakukan hal yang sama. Mata terpejam, kaki disilangkan saling tindih dengan tangan telapaknya saling katup. Namun Ki Aswatama tidak tengah benar-benar melakukan meditasi, Ki Aswatama hanya memberikan contoh bagaimana cara meditasi menyalurkan hawa murni yang baik dan benar, agar dalam melakukan latihan isi Kitab Banyu Geni benar-benar tidak salah kaprah. Sebab bila salah, maka nyawalah sebagai penggantinya.
Napas Jaka perlahan mengendur, teratur sedikit demi sedikit. Tangan masih saling katup, perlahan tangan itu bergerak, lalu berubah cepat. Tangan Jaka kini bagaikan kitiran, berputarputar laksana gasing. Dari putaran tersebut, seketika timbul api menyala-nyala menyelimuti tangannya. Itulah jurus Inti Geni, sebuah jurus pertama yang ada di dalam Kitab Banyu Geni. Setelah tangannya berapi, segera Jaka membuka mata. Mata itu melotot tak berkedip. Lama kelamaan, matanya terasa perih, makin lama makin perih hingga mengeluarkan api. Ya, mata Jaka kini mengeluarkan api.
"Hiat...! Mata Malaikat, hiat...!" Bareng dengan pekikan Jaka, segera matanya dipentang lebar-lebar. Dan dari pentangan mata tersebut, seketika membersit dua larik sinar merah membara ke arah pandangannya.
"Sroooot...!"
"Buuum...!"
Api menyala-nyala, membakar rumput yang ada di atas tanah yang terpandang oleh mata Jaka. Rumput tersebut seketika mengering, lalu terbakar dengan api menyala-nyala.
"Hebat! Hebat! Sungguh-sungguh ilmu yang tiada duanya!" Ki Aswatama menggumam sendiri. Belalakkan mata, memandang terpaku pada rerumputan yang tadinya menghijau kini telah terbakar oleh api yang keluar dari sorotan mata Jaka.
"Kini engkau telah dapat disejajarkan dengan Dewa Api. Dan memang engkaulah yang akan menjadi Dewa Api, Jaka. Setelah kau merampungkan isi buku tersebut, kau akan berubah menjadi Dewa Api. Dua dari lima ajian telah engkau kuasai."
Jaka hanya terdiam, tundukkan kepala mendengar petuah Ki Aswatama. Hatinya masgul, berbaur dengan kegembiraan yang teramat sangat. Sungguh karena bantuan Ki Aswatamalah hingga ia mampu mempelajari isi kitab tersebut dalam waktu yang relatip singkat. Dalam seratus hari saja, Jaka telah mampu menguasai dua dari lima ilmu yang terkandung dalam Kitab Banyu Geni.
* * * * *
Kita tinggalkan Jaka yang tengah dibimbing oleh Ki Aswatama mempelajari isi Kitab Banyu Geni yang sangat dahsyat tersebut. Marilah kita tengok di dunia luar, di mana para pendekar masih terus mencari-cari keberadaan kitab tersebut. Dua orang penunggang kuda yang telah kita kenal sebagai dua kakak beradik kembar Jaladri dan Jaladru, nampak memacu kuda-kuda mereka menuju ke arah Barat.
Rupanya keduanya masih penasaran dengan apa yang mereka dapatkan waktu setahun yang lalu, di mana mereka menemukan kegagalan mendapatkan Kitab Banyu Geni. Mereka berdua kembali memacu kuda mereka, sepertinya tak ingin di dahului oleh sore hari. Tengah keduanya memacu kuda-kuda mereka, tiba-tiba keduanya dikejutkan dengan suara lengkingan tinggi yang mirip dengan lengkingan anjing hutan.
"Aaaauuuuuunnnngggg...!"
"Heh, suara apakah itu, Kakang?"
"Entahlah, Adik. Aku rasa itu suara anjing hutan."
"Ah, biasanya anjing hutan berbunyi bila hari telah malam, Kakang."
Jaladri terdiam mendengar keterangan adiknya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Jaladru, bahwa anjing hutan akan melolong bila hari telah malam, Dan biasanya mereka melolong karena ada sesuatu yang mereka takutkan. Tapi kini anjing hutan itu melolong-lolong bukan pada saatnya. Hari masih senja, dan matahari masih nampak bersinar. Jaladri kerutkan kening, sepertinya menyangsikan suara anjing hutan tersebut. Matanya jalang memandang ke muka, di mana suara tersebut berasal.
"Kresek...!"
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Ada apa rupanya, Kakang?"
"Kau tidak mendengar adanya suara langkah kaki?"
Jaladru segera pusatkan pendengarannya. Dan memang ia kini mendengar suara langkah kaki ringan, lalu terdengar pula kebatan orang melompat ke atas dan hinggap di sebuah batang pohon.
"Benar! Rupanya mereka banyak jumlahnya, Kakang."
"Ya! Kita harus hati-hati."
Keduanya segera melompat dari kuda, berjalan perlahan. Tangan kedua pendekar kakak beradik kembar itu segera mencabut pedang-pedang yang tergantung di pundak mereka. Dan dengan pedang di tangan, keduanya kembali melangkah menyelusuri jalanan tengah hutan yang makin ke dalam makin sempit karena tertutup oleh semak belukar. Mata kedua pendekar kakak beradik itu liar, memandang pada sekelilingnya. Mata mereka bagaikan mata seekor burung rajawali yang tengah mengintai mangsa. Kaki mereka bagaikan tak berbeban, sehingga tak terdengar suara tapaknya melangkah.
"Kita makin dekat, Adik."
"Ya!" jawab Jaladru setengah berbisik.
"Hati-hati, Adik. Pusatkan segala panca indra..."
Keduanya kembali diam, dan hanya gerakan-gerakan anggota tubuh kedua kakak beradik kembar itu saja yang bicara. Manakala kaki mereka makin masuk ke dalam, tiba-tiba dari dalam tanah dan atas pohon bermunculan orang-orang bercadar hitam menghadang mereka dengan samurai siap mencerca tubuh keduanya.
"Hiat...!"
"Awas, Adik!" Jaladri memekik, sadarkan Jaladru yang segera melompat ke depan, lalu balikkan tubuh membabat dengan pedang yang telah siap.
"Wuuut...!"
Jaladru buang tubuhnya ke samping, hindari babatan pedang, yang hampir saja menggores lehernya. Dengan geram Jaladru balik babatkan pedang di tangannya.
"Wuuut...!"
"Aaaaaaaaaaa...!" Seorang Ninja hitam terkulai, meregang sejenak, lalu akhirnya mati. Dari mulutnya keluar darah meleleh, dengan perut tergores lebar.
Melihat rekannya terkena, secepat kilat ninja-ninja yang lain berkelebat menyerang. Jaladru tersentak, gulingkan tubuh hindari babatan ketiga Orang ninja yang tahu-tahu berada di depannya. Jaladru buang tubuh ke samping, lalu dengan sekali lompat Jaladru lentingkan tubuh ke angkasa. Pedang di tangannya siap menghunjam.
"Hiiiiaaaaatttt...!"
Terbelalak mata ketiga ninja itu, seakan tercekam rasa takut yang teramat sangat. Segera ketiganya babatkan pedang di tangan, hingga menjadikan sebuah suara beradunya benda-benda yang terbuat dari baja.
"Trang, trang, trang...!"
Jaladru babatkan pedang, dan seketika ketiga pedang samurai di tangan tiga ninja tersebut puntung. Mata ketiga ninja itu sejenak membeliak kaget, lalu mereka menjerit manakala pedang di tangan Jaladru kembali berkelebat membabat ke arah tubuh mereka.
"Aaaaaaa...!"
Satu persatu dari ketiganya rubuh. Sesaat ketiganya mengejang, lalu tak begitu lama kemudian tubuh ketiganya ambruk tanpa nyawa. Hal itu menjadikan bergidig juga bagi ninja-ninja lainnya. Kengerian seketika membayang di mata mereka, yang memandang dengan pandangan putus asa.
Di pihak lain, Jaladri yang ilmunya lebih tinggi dari ilmu adiknya nampak makin merajalela. Dalam beberapa gebrak saja tanpa mendapatkan kesulitan Jaladri mampu menumbangkan sepuluh ninja. Pedang di tangannya bagaikan Dewa Kala, setiap kelebatannya menjadikan jeritan kematian bagi ninja-ninja yang menghadang di depannya. Seperti saat itu juga, tangan Jaladri nampak berkelebat cepat. Tangan itu bagaikan berubah banyak, menyebatkan pedang.
"Wuuut! Wuuuut! Wuuuut !"
"Crasss...! Craaasss!"
Darah muncrat dari tubuh para ninja. Sesaat mereka memekik, lalu tubuh mereka doyong ke muka dan ambruk. Tubuh mereka sejenak mengejang, menggeliat dengan memegangi perut yang terluka, hingga akhirnya tergeletak tanpa nyawa.
"Siapa yang menyuruh kalian, hah!" Jaladri membentak.
"Katakan! Atau kalian ingin seperti temanteman kalian ini!" tambah Jaladru, tangannya memegang kepala seorang ninja yang telah dipenggalnya. Darah mengucur dari leher yang puntung, menetes ke bawah. Sementara matanya nampak mendelik, menyatakan bahwa dirinya mungkin menderita yang teramat sangat manakala pedang di tangan Jaladru memenggalnya.
"Ayo jawab! Jangan sampai aku habis sabar!"
Bukannya jawaban kata-kata dari pertanyaan Jaladri, namun sebaliknya. Dengan bengis disertai hawa pembunuhan, sisa ninja tersebut berkelebat menyerang. Sepuluh ninja itu nampak tak mengalami ketakutan, ganas menyebatkan pedang-pedang di tangan mereka.
"Bangsat! Rupanya kalian memang mencari mampus!" Jaladru membentak seraya lemparkan tubuh hindari serangan kesepuluh ninja tersebut.
"Jangan menyesal bila kalian seperti teman kalian ini."
"Hiaaaaatttt...!"
Dengan terlebih dahulu melemparkan puntungan kepala rekannya, ke arah ninja-ninja tersebut Jaladri segera balik menyerang. Pedangnya diputar dengan cepat, menyebat-nyebat segala apa yang ada di hadapannya. Menjadikan kesepuluh ninja itu seketika lompat ke belakang dengan mata membelalak kaget. Namun setelah melompat, kembali kesepuluh ninja pengeroyok itu maju bareng menyerang.
"Hiiiiaaaaaaattt...!"
"Huh! Kalian mencari mampus! Hiiiiiiaaaaaatttt!"
Jaladru tak mau kalah, segera kiblatkan pedang dan berlari memapaki kesepuluh ninja yang juga berlari ke arahnya dengan samurai mengkiblat ke arah Jaladru berada di depan muka mereka.
"Wuuut...!"
"Wuuuuuttt...!"
"Craaas...!"
"Aaaaahhh!" Satu orang dari sepuluh ninja itu mengerang, perutnya sobek terbeset pedang Jaladru. Pedang di tangan kesembilan ninja yang lainnya berkelebat, membabat tubuh Jaladru. Jaladru segera lemparkan tubuh ke angkasa, lalu berputar salto sejenak dan merosok ke bawah dengan pedang siap menghunjam. Pedang di tangan Jaladru bergerak cepat, manakala jarak antaranya dengan kesembilan ninja itu makin dekat. Pedang itu bagaikan haus darah. Dan...
"Wuuuutttt…!"
"Cras! Cras! Cras!"
"Aaaaaaaaaaa...!"
Satu persatu mereka menjerit. Dan satu persatu dari kesembilan ninja itu puntung kepalanya. Sejenak tubuh tanpa kepala itu tegak semburkan darah, lalu perlahan satu persatu ambruk ke tanah dengan nyawa terbang dan kepala menggelinding entah ke mana.
Seperti halnya Jaladru, Jaladri pun tak mau kalah dalam membantai musuh-musuhnya. Namun Jaladri tidaklah sesadis adiknya. Kalau Jaladru sebagai tukang penggal kepala, Jaladri tak mau julukan tersebut melekat pada dirinya. Dan hanya dengan membeset perut-perut musuh sajalah yang ia lakukan. Kelima ninja yang menyerang Jaladri tebaskan samurainya, mengarah ke leher. Jaladri segera rundukkan tubuh, lalu dengan gerakan yang sukar di ikuti tangan Jaladri berkelebat babatkan pedang ke perut lawan.
"Bret! Breeet...!"
Empat orang ninja melengking manakala perutnya terbobol pedang di tangan Jaladri. Keempatnya sejenak mendelik, dengan darah muncrat ke luar dari perut yang terbelah. Sejenak keempatnya terpatung gigit bibir menahan sakit, lalu ambruk sekarat mengejang dan akhirnya mati. Tinggal seorang ninja yang masih hidup. Ninja itu hendak melarikan diri, manakala dengan cepat Jaladru menghalangi niatnya.
Betapa gusar dan marah ninja tersebut. melihat Jaladru menghadang langkahnya. Dengan penuh kemarahan ninja tersebut berkelebat tebaskan pedang menyerang. Namun Jaladru yang sudah waspada dengan cepat lemparkan tubuh mengelak, lalu dengan memekik dahsyat Jaladru berkelebat kembali balik menyerang.
"Hiiiiaaaaaattt...!"
"Hiiiiaaaaattt...!"
Dua orang itu berlari dengan pedang siap di hadapan muka masing-masing. Keduanya berlari bagaikan kesetanan, lalu setelah dekat keduanya segera tebaskan pedang ke arah lawan masing-masing.
"Wuuut...!"
"Wuuut...!"
Jaladru egoskan badan mengelak, lalu dengan melompat manakala samurai lawan mengarah ke kakinya Jaladru tebaskan pedangnya.
Wuuuttt...!
Craaaas...!
"Aaaaaaaaaa....!" Ninja itu memekik, tangan kanannya yang memegang samurai puntung, terbabat oleh pedang di tangan Jaladri. Ninja tersebut tak mau putus asa. Dengan tangan kiri diambilnya samurai, lalu dengan segera ia bermaksud melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang). Namun sebelum hal itu terlaksana, dengan cepat Jaladru kembali tebaskan pedang ke arah tangan yang hendak mengambil pedang.
Wuuut...!
Ninja itu membeliak, urungkan hiat. Matanya memandang dengan kosong ke arah Jaladru. Jaladru sunggingkan senyum, hampiri ninja tersebut.
"Katakan padaku, siapa yang telah menyuruhmu?!"
"A... Aku... Aku bernama Ak... ki Koto. A... aku, di-perintah o-leh Ninja Merah:"
"Ninja Merah...!" Jaladru dan Jaladri tersentak, tak tahu siapa adanya Ninja Merah yang dikatakan oleh Aki Koto. Sejenak keduanya saling pandang, lalu ketika keduanya hendak kembali menanya...!
Mata Jaladri dan Jaladru seketika membeliak kaget, manakala melihat tubuh Aki Koto telah tak bernyawa lagi. Samurai telah menghunjam di dadanya. Dia telah mampu melakukan Harakiri. Sungguh tragis kematian para ninja. Mereka telah disumpah, menang dengan hasil atau kalah harus mati. Dan ternyata mereka nyatanya kalah hingga mereka pun sepantasnya mati.
Setelah sejenak memandang pada tubuh Aki Koto, kedua kakak beradik kembar itu kembali melesat pergi tinggalkan hutan tersebut. Hutan Lengkas Munyuk kembali sepi. Dua kali kejadian terjadi di hutan Lengkas Munyuk tersebut. Dan dua kali kegagalan di dapat para utusan negeri Nippon.
* * * * *
:::≡¦ [ 5 ] ¦≡:::
Tubuh Jaka Ndableg berjumpalitan di udara. Tangannya mengepal, dan kakinya menjejak pada angin. Bersamaan dengan tubuhnya mencapai titik kulminasi, Jaka Ndableg hantamkan tangan yang terdapat jilatan-jilatan api ke arah bebatuan yang berada di hadapannya.
Duuuaaarrr...!
Batu-batu hitam itu hancur lebur menjadi serpihan tepung terhantam oleh api yang keluar dari tangan Jaka Ndableg. Leburan batu tersebut muncrat, menggelapkan pandangan mata, seakan menjadi kabut tebal menyelimuti udara.
"Hebat! Hebat, Jaka!" Ki Aswatama berseru girang melihat hasil yang diperoleh oleh Jaka Ndableg.
"Nah, kau telah mampu menguasai ilmu semua yang ada di Kitab Banyu Geni. Sekarang lakukanlah ilmu pamungkasnya."
"Apakah itu perlu, Paman?" tanya Jaka seraya balikkan tubuh menghadap ke Ki Aswatama.
"Sangat perlu, Jaka."
"Untuk apa, Paman?"
Ki Aswatama tersenyum, lalu katanya: "Kalau kau tidak mencobanya, manalah mungkin kau tahu hasil yang engkau peroleh?"
Jaka terdiam, ucapan Ki Aswatama memang ada benarnya. Memang bila ia tak mencobanya, manalah mungkin ia tahu hasil yang telah ia peroleh. Sejenak Jaka terdiam, matanya memandang ke arah Ki Aswatama. Sepertinya Jaka ingin meyakinkan pada diri sendiri bahwa Ki Aswatama benar adanya berbicara.
"Lakukanlah, Jaka."
"Jadi aku harus mencoba dua ilmu pamungkas, Paman?"
"Ya!" jawab Ki Aswatama.
"Baiklah!" Jaka terdiam hening, seolah-olah ia tengah melakukan meditasi memusatkan segala panca indranya. Dan memang benar, Jaka saat itu tengah memusatkan segala panca indranya untuk melakukan pembuka ilmu Raga Geni. Ilmu yang merupakan inti dari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Kitab Banyu Geni. Tangan Jaka sedekap, bibir mengucap mantra sesuai dengan petunjuk kitab.
"Sukma Raga Geni... Sukma Raga Geni... Sukma Raga Geni!"
Berbarengan dengan suara Jaka memanjang menyebut ilmu tersebut, tiba-tiba hawa panas menyengat keluar dari tubuh Jaka Ndableg. Ki Aswatama tersentak, melompat mundur tak mampu menerima hawa panas yang keluar dari tubuh Jaka Ndableg.
Tubuh Jaka Ndableg seketika membara merah. Asap mengepul, bersamaan dengan makin memerahnya tubuh Jaka. Pakaian yang di kenakannya seketika turut terbakar. Beruntung celananya terbuat dari serat inti kayu yang kuat.
"Hiiiaaaatt...!"
Suara Jaka menggema, laksana suara halilintar tertimpa di bebatuan. Bersamaan dengan jeritan Jaka, tubuh Jaka Ndableg berkelebat. Tubuh itu terus berkelebat bagaikan terbang, berputar-putar di angkasa. Seketika angin di situ terasa panas menyengat, menjadikan daun-daun pohon mengering dan kemudian berguguran.
Tubuh Jaka terus berputar cepat, lalu dengan kebat tubuh itu mencelat menuju ke sebuah telaga yang berisi air. Tubuh Jaka mencelat, menyelam ke dalam air telaga. Seketika air telaga yang tadinya dingin menjadi mendidih. Hal tersebut menjadikan mata Ki Aswatama membeliak kaget. Ikan-ikan yang berada di telaga berhamburan, mencelat ke atas dan jatuh ke tanah dengan keadaan matang.
Ki Aswatama hanya mampu melongo, takjub menyaksikan apa yang telah terjadi. Kini Ki Aswatama benar-benar terkejut bukan alang kepalang. Bagaimana pun, semua akan kaget menyaksikan hal itu. Dan saking kagetnya, menjadikan lelaki tua renta itu tak tahan menahan besernya. Ki Aswatama pun seketika ngompol dengan tubuh bergetar gemetaran.
"Pyaar...!" Air Telaga muncrat ke angkasa, mendidih bagaikan dimasak. Bersamaan dengan mucratnya air telaga, tubuh Jaka Ndableg melompat terbang dari dalamnya.
Untuk kedua kali Ki Aswatama seorang tokoh persilatan yang sudah malang melintang di dunia persilatan harus membelalakkan mata. Tubuh Jaka terus terbang, lalu hinggap di atas sebuah cabang pohon. Tanpa ampun lagi, pohon yang ditenggeri Jaka seketika kering kerontang.
"Sudah Jaka! Sudah!"
"Bagaimana, Ki?" Jaka tersenyum.
"Hentikan dulu ilmumu, baru kau turun."
"Kenapa...?" tanya Jaka ngeledek.
"Apakah kau mau memanggang diriku?" Ki Aswatama nampak benar-benar ketakutan. Dan memang apa yang ditakuti Ki Aswatama benar. Kalau Jaka turun dalam keadaan masih menggunakan ilmu Raga Geninya, niscaya tubuhnya dalam sekejap saja akan matang.
"Aku mau turun, Ki."
"Ah...!" Ki Aswatama terbelalak kaget.
"Jangan! Lihat! Ikan-ikan ini saja dalam sekejap masak, apalagi diriku yang sudah kering kerontang?"
Jaka tersenyum.
"Tidak apa, Ki."
"Jangan...! Jangan, Jaka! Aku mohon, jangan kau lakukan itu bila kau memang menyayangi nyawa tuaku yang lapuk ini," Ki Aswatama meratap. Dan kini Ki Aswatama benar-benar menangis, takut kalau-kalau Jaka yang ndableg akan benar-benar melakukannya.
"Aku mohon, ampunilah nyawa tuaku."
Jaka tersenyum-senyum menyaksikan Ki Aswatama yang menangis mengiba-iba. Kemudian dengan masih bertengger di atas pohon tanpa hiraukan Ki Aswatama yang menangis, Jaka pun segera melakukan meditasi kembali untuk menuntaskan ilmunya dari tubuh. Sekejap saja manakala Jaka telah membaca mantra, api yang menyala-nyala di tubuhnya lenyap dalam seketika.
"Hiiiaat...!"
"Aooohh...!" Ki Aswatama memekik, manakala mendengar Jaka melompat turun.
"Mati aku!"
Ki Aswatama pejamkan mata. Ia siap untuk dibakar oleh api yang menyala-nyala di tubuh Jaka. Namun dugaannya meleset. Sampai sejauh ia pejamkan mata, tak ada rasa panas sedikit pun yang dirasakannya. Perlahan dengan takut-takut Ki Aswatama kembali membuka matanya. Dan bengonglah Ki Aswatama seketika manakala Jaka telah nempel di dekatnya.
"Bagaimana, Ki?"
"Hebat! Hebat...!"
Jaka kerutkan kening, manakala hidungnya yang tajam mencium bau pesing yang teramat sangat.
"Hai! Rupanya Ki Aswatama ngompol!"
Ki Aswatama seketika tersipu-sipu, manakala menyadari bahwa akibat gas cairnya tersebut menjadikan bau yang tidak sedap untuk diendus. Jaka gelengkan kepala, ada rasa kasihan menyelimuti matanya. Sungguh kasihan memang, gara-gara dirinya Ki Aswatama sampai terkencingkencing.
"Ki, apakah aku harus membuktikan juga ajian pamungkas yang aku pelajari dari Kitab Banyu Geni?" Jaka kembali menggoda, mencoba menghibur Ki Aswatama yang nampak pucat ketakutan dan malu.
Membeliak seketika mata Ki Aswatama mendengar ucapan Jaka. Kini Ki Aswatama benar-benar didera rasa takut bila Jaka harus kembali mengeluarkan ilmu pamungkas dari Kitab Banyu Geni. Baru pamungkas pertama saja telah menjadikan dirinya terkencing-kencing, apalagi jika pamungkas yang terakhir? Bisa-bisa Ki Aswatama terberak-berak.
"Nah Ki, menyingkirlah jauhan. Aku akan mencoba ilmu yang telah aku pelajari."
"Ah...!" Ki Aswatama memekik tertahan.
"Jangan, Jaka."
"Kenapa? Bukankah bila aku tidak mencobanya aku tidak akan tahu hasilnya?"
"Sungguh, hasilnya akan membahayakan dan menakutkan."
"Heh, mengapa Ki Aswatama sudah berpendapat begitu?" Jaka kerutkan kening mendengar ucapan Ki Aswatama yang dilandasi oleh rasa takut.
"Aku mohon, janganlah engkau keluarkan pamungkas akhirnya, Jaka." Ki Aswatama meratap.
"Baru saja pamungkas pertama, sudah menjadikan diriku terkencing-kencing. Apalagi pamungkas terakhir, bisa-bisa aku terberak-berak."
Mau tidak mau Jaka pun tersenyum juga mendengar penuturan Ki Aswatama. Digelengkan kepalanya, lalu dengan penuh perhatian seorang anak, Jaka segera membimbing tubuh tua Ki Aswatama menuju ke pondoknya.
* * * * *
Malam terasa dingin, menjadikan keadaan bagaikan tercekam sepi. Angin bertiup dengan kencang, laksana topan yang siap menerbangkan sesuatu. Ada sebuah keganjilan nampaknya, sehingga tidak biasanya angin bertiup menderu-deru.
Jaka yang tengah bersantai dengan tiduran seketika tersentak bangun. Perlahan-lahan ia melangkah, hingga Ki Aswatama yang tidur di sebelahnya tidak terjaga oleh langkahnya. Dengan mengendap-endap Jaka keluar dari pondok.
Angin makin lama makin kencang, menderu-deru menerpa ke arahnya. Walau pun dingin menggigil, namun Jaka terus mencoba meredam dinginnya dengan menyalurkan hawa murni ke segenap tubuhnya. Namun nampaknya angin tersebut sengaja menantangnya. Angin itu makin bertambah besar, hingga mampu menumbangkan pepohonan yang ada di tempat tersebut.
"Weeeerrrr...!"
"Dum!"
Ki Aswatama yang tengah tertidur, seketika terjaga demi mendengar bunyi pepohonan tumbang. Sejenak matanya didecapkan, lalu dengan tertatih-tatih lelaki tua renta yang bukan sembarangan tokoh itu keluar dari rumahnya. Dilihatnya Jaka tengah berdiri di situ, terdiam membisu.
"Jaka...!"
Jaka Ndableg palingkan kepala menghadap ke arah datangnya suara. Dan dilihatnya Ki Aswatama tengah berjalan tertatih-tatih menghampirinya.
"Ki..."
"Sedang apa kau, Jaka?"
"Tidakkah Ki Aswatama merasakan sesuatu keanehan dengan angin ini?" tanya Jaka, menjadikan kerut di kening Ki Aswatama.
"Cobalah Paman rasakan."
Ki Aswatama terpaku diam, merasakan dengan sukmanya.
"Benar, Jaka."
"Itulah, Paman. Aku rasa, ada orang atau siluman yang dengan sengaja menyerang ke arahku,"
"Dan ternyata tidak mempan," Ki Aswatama terkekeh.
"Itu semua karena kau telah mendapatkan segala isi Kitab Banyu Geni itu, Jaka."
Tengah keduanya terpaku diam, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang tak menampakkan orangnya. Gelak tawa itu melengking panjang, seakan hendak menakut-nakuti keduanya.
"Hua, ha, ha...! Haaaaaaa....! Haaaaaa...!"
"Apa itu, Jaka?" Ki Aswatama gemetaran.
"Tenanglah, Ki," ucap Jaka mencoba menghibur Ki Aswatama yang menggigil ketakutan.
"Tenanglah, bukankah ada aku?"
Angin bertiup makin kencang, menerpa segala apa saja yang berada di situ. Jaka yang bertelanjang dada, nampak merasakan juga dinginnya terpaan angin yang menusuk-nusuk pori-pori kulitnya.
"Weeeeerrrr...!" Angin kembali menderu, makin kencang dan kencang.
"Dum!" Sebuah pohon kelapa besar tumbang, hampir saja mengenai Jaka dan Ki Aswatama, kalau saja tidak segera menggeret tangan Ki Aswatama mencelat menghindar.
"Ki, menyingkirlah."
"Kau mau apa, Jaka?" tanya Ki Aswatama dengan ketakutan.
"Aku akan mencoba ilmu pamungkasku. Aku tahu, bahwa yang melakukan semua ini bukanlah manusia, tetapi iblis yang sengaja menggangguku."
Dengan masih ketakutan Ki Aswatama perlahan menyingkir menuju ke pondoknya kembali. Sementara Jaka nampak masih terdiam, mematung dengan kedua mata terpejam rapat-rapat. Jaka kini tengah melakukan meditasi, heningkan cipta untuk memusatkan segala panca indranya.
"Dewa Api...! Dewa Api...! Dewa Api..."
Berbarengan dengan suara Jaka yang panjang, dari tubuh Jaka Ndableg keluar api membakar sekujur tubuhnya dari ujung rambutnya sampai ke ujung kaki. Kini tampang Jaka bukanlah tampang pemuda tampan lagi, tetapi tampangnya kini tampang seorang dewasa yang menyeramkan. Matanya menyala, mengandung api yang siap disorotkan. Juga mulutnya, nampak di dalam mulut Jaka bergumpal-gumpal api yang juga siap dilemparkan menyerang.
"Huuuaaar...!"
Jaka menggeretak, kibaskan rambut apinya ke arah datangnya musuh. Bersamaan dengan rambut api itu melejit, melemparkan bola-bola api, dari mulut Dewa Api pun melesat pula api yang menyala-nyala. Hampir seluruh anggota badan Dewa Api mampu menjadikan kemusnahan.
"Aaaaaaaa...!" terdengar jeritan, namun tak juga nampak orangnya. Hanya api yang dilontarkan oleh Dewa Api saja yang nampak. Api tersebut menyala terang, melekat pada sesuatu mahluk yang tidak nampak. Dan bareng dengan api yang dilontarkan Dewa Api membakar tubuh mahluk yang tampak tersebut, angin pun seketika menghilang.
Dengan sekali kebat Dewa Api berkelebat menuju ke tempat di mana api menyala-nyala. Nampak kini olehnya, tumpukan debu-debu hitam legam, mengumpul di situ membentuk bentuk manusia. Setelah yakin bahwa dirinya mampu menjadi Dewa Api, tiba-tiba Jaka yang masih dalam keadaan ujud Dewa Api mencelat ke dalam gubug Ki Aswatama. Namun ternyata gubug tersebut tidak terbakar sama sekali. Entah apa yang dilakukan Jaka, yang membuat Ki Aswatama ketakutan kembali. Dan benar apa yang dikatakan Ki Aswatama benar-benar terberak-berak dibuat ketakutan.
Jaka yang tengah menjadi Dewa Api tampak tak hiraukan keadaan Ki Aswatama. Dia terus menuju ke kamarnya, di mana Kitab Banyu Geni disimpan. Diambilnya kitab tersebut, lalu dengan segera dibawanya ke luar. Di sana, di halaman pondok Kitab Banyu Geni sesuai dengan saran yang tertulis di bakar dengan api dari tubuhnya. Mata Jaka mendelik, mengarah ke arah kitab tersebut. Dan saat itu juga, Kitab Banyu Geni pun terlalap api yang ke luar dari mata Dewa Api. Sejenak Ki Aswatama yang terkencing-kencing terpaku, dan hanya terdiam memandang dari jauh di mana Jaka berdiri.
"Ki Aswatama, terimakasih atas segala jasamu," Dewa Api berkata.
"Kini sesuai dengan tugas dari kakek, aku harus mengadakan perhitungan dengan Dewa Laut. Nah, selamat tinggal! Jaga dirimu baik-baik, Ki...!"
Habis berucap begitu, Dewa Api berkelebat cepat meninggalkan Ki Aswatama. Kelebatannya bagaikan terbang, sehingga dalam sekejap saja tubuh Dewa Api lenyap entah ke mana. Yang Ki Aswatama tahu, Dewa Api berkelebat ke arah Kidul.
* * * * *
:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::
Betapa gusarnya Takasima mendapatkan kenyataan bahwa pasukan ninjanya dapat di kalahkan oleh orang-orang tanah Jawa. Kegusarannya menjadikan sebuah dendam, dendam yang akan menjadikan sebuah tragedi di tanah Jawa.
"Bagero! Orang-orang Jawa keparat!"
Semua anak buahnya yang berwajah tertutup dengan kain merah dan hanya mata mereka saja yang nampak, terdiam tak ada yang berani membuka suara. Semua ninja memang sudah disumpah dengan demikian. Mereka tak akan membantah pada pimpinannya, walau mungkin nyawa mereka akan menjadi sasarannya.
"Taka...!"
"Saya, Ketua," Taka menjawab.
"Kau pimpin anak buahmu untuk menyerang tanah Jawa," Takasima memerintah.
"Ingat! Jangan sekali-kali gagal! Kalau gagal, maka kaulah yang akan mendapatkan hukumannya!"
"Baiklah! Demi Ninja Merah, aku siap!" Taka Mora, adalah adik dari ketua Ninja Merah Takasima. Namun dalam keninjaan, tidak ada terdapat siapa adanya dia. Semua sama, semua harus menjunjung tinggi nama perserikatannya. Walau itu adik, kakak, atau pun orang tua mereka. Bila mereka gagal, maka hanya ada dua pilihan. Harakiri, atau dihukum pancung oleh yang lainnya.
Taka Mora berjalan meninggalkan ruang pertemuan, di mana kakaknya selaku ketua Ninja Merah nampak masih berbincang-bincang dengan beberapa tokoh samurai yang telah bergabung untuk bersama-sama membuat kerusuhan di tanah Jawa Dwipa. Di situ nampak panglima Sani Shiba, Panglima Tukebu, juga pendekar negeri Nippon Takanata.
"Panglima Sani Shiba, bagaimana rencana tuan?" Takasima menanya, setelah sejenak terdiam memandang kepergian adiknya untuk memimpin Ninja Merah menuju ke Jawa.
"Seperti engkau ketahui, bahwa pendekar tanah Jawa merupakan pendekar-pendekar pilih tanding. Untuk itu, aku dan para prajuritku saat ini tengah menyusun rencana yang matang," Sani Shiba menerangkan.
"Apakah tidak terlalu lama?" tanya Takasima.
Sani Shiba tersenyum, melirik pada dua rekannya yang tidak lain Panglima Tukebu dan Takanata. Dua orang ini telah disewa oleh kerajaan untuk tugas tersebut. Tukebu yang dulunya bukanlah seorang panglima, kini diangkat menjadi panglima ketiga.
"Bagi kami, lama tak menjadi apa, asalkan kemenangan," Takanata yang ngomong, nadanya mencerminkan keangkuhan. Mungkin dikarenakan dirinya sangat disegani di dataran Nippon, sebagai seorang pendekar yang pilih tanding.
Takasima angguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Takanata. Ia maklum kalau Takanata menyombong, sebab ia sendiri tahu persis siapa Takanata. Takasima mengenal Takanata sejak masih kecil. Keduanya merupakan satu keturunan, sehingga keduanya masih terikat oleh persaudaraan. Dan karena itulah, sehingga Takasima tak merasa harus takut-takut menghadapi para musuh yang terdiri dari kalangan istana.
Sebenarnya di kerajaan tengah terjadi pergolakan. Pergolakan tersebut dilakukan oleh Ninja Bersamurai Ular yang mengadakan pemberontakan. Namun sejauh ini, Ninja Bersamurai Ular tak pernah mampu menggulingkan tampuk kekuasaan kerajaan. Niatnya selalu terhalang oleh para Pendekar Samurai. Dan halangan itu makin terasa berat saja, tatkala Takanata bergabung dengan kerajaan.
"Kapan Tuan Panglima mengadakan invansi ke tanah Jawa?"
"Itu belum bisa kami katakan," jawab Panglima Sani Shiba.
"Kalau kami Invansi, apakah engkau akan turut?" Takanata bertanya.
"Mungkin! Sebab semuanya tergantung dengan keadaan."
"Maksudmu, Takasima?" tanya Takanata kembali.
"Kalau memang misi yang aku perintahkan melalui adikku gagal, maka aku akan secepatnya berangkat ke sana." Takasima tarik napas panjang, lalu katanya meneruskan.
"Takasita telah mendahului ke tanah Jawa. Dan sampai sekarang belum ada kabar beritanya."
"Hem, jadi pimpinan Ninja Hitam sudah mendahului kita?"
"Bukan hanya Takasita saja, tetapi anak buahnya yang berjumlah seratus orang telah terbantai."
"Apa...!" ketiga orang istana itu memekik kaget.
"Ninja Hitam dapat dibantai?"
"Ya! Itulah mengapa mereka meminta bantuan pada kita."
Ketiga orang istana itu terdiam, sepertinya ada guratan ketidakpercayaan akan diri mereka sendiri. Mereka kini harus membayangkan bagaimana diri mereka nantinya. Ninja Hitam yang merupakan serikat yang paling ditakuti pada aliran hitam di Nippon saja dapat dengan mudah tertumpas.
"Hem, ternyata orang-orang tanah Jawa Dwipa memiliki ilmu beladiri tinggi," gumam Takanata takjub.
"Tak aku sangka."
"Kabarnya mereka memiliki ilmu yang aneh," menambah Takasima, menjadikan ketiganya kembali terbelalak seraya bertanya tak mengerti.
"Ilmu aneh...?"
"Ilmu apakah?" Sani Shiba yang bertanya.
"Para pendekar tanah Jawa mampu mengeluarkan angin puting beliung. Di samping itu juga, senjata mereka mampu memangkas samurai-samurai yang kita miliki."
"Ah...!"
"Ya! Begitulah kabar yang aku terima dari Takasita."
Ketiga orang istana kembali terangguk-angguk mengerti. Kini ketiganya benar-benar harus berpikir untuk yang kesekian kali bila hendak mengadakan Invansi ke tanah Jawa. Bukan mustahil, ilmu mereka belum berarti bagi ilmu yang dimiliki oleh para pendekar tanah Jawa.
"Baiklah, Saudara Takasima, aku doakan misimu berhasil."
"Ya! Semoga kita mampu mengatasinya," Takanata berkata menambahkan ucapan Sani Shiba.
"Terimakasih! Trimakasih! Kami akan memberi kabar bila kami akan ke tanah Jawa."
Setelah ketiga orang istana menjura, yang dibalas juraan oleh Takasima, ketiganya segera berlalu meninggalkan perguruan Ninja Merah yang dipimpin oleh Takasima. Ketiganya kembali ke istana untuk mengadakan rencana. Dalam benak mereka terselip sebuah rasa takut, juga tak yakin pada kemampuan mereka.
* * * * *
DI TANAH JAWA DWIPA...
Jaka Ndableg yang tengah berlari dalam usahanya mencari musuh kakeknya, seketika hentikan larinya manakala terdengar suara seseorang berkata.
"Hendak kemana engkau, Cucuku?"
Jaka Ndableg tersentak, palingkan muka mencari asal suara tersebut. Tak ada orang di tempat tersebut, menjadikan Jaka terheranheran. Jelas suara itu dekat benar dengan dirinya.
"Kau jangan kaget, Cucuku," kembali suara itu menggema.
"Siapakah engkau...?"
"Aku kakekmu, Jaka. Aku Ki Paksi Anom, pemilik Kitab Banyu Geni."
Mendengar suara itu menyebut siapa dirinya, serta merta Jaka jatuhkan diri bersujud.
"Ampunkanlah cucumu yang tak tahu, Kek"
"Tidak mengapa, Jaka," kembali suara tersebut menggema.
"Kau hendak ke mana?"
"Bukankah menurut petunjuk di kitab cucu diharuskan mengadakan perhitungan dengan Dewa Segara?" Jaka menjelaskan, menjadikan Ki Paksi Anom tertawa mengekeh.
"Kenapa kakek tertawa?"
"Jaka cucuku. Dewa Segara sudah kau kalahkan."
"Ah...! Kenapa kakek bercanda?"
"Aku tidak bercanda, Cucuku. Aku serius. Bukankah semalam kau telah membinasakannya?"
Jaka kerutkan kening, mencoba mengingat-ingat segala kejadian yang semalam ia alami. Semalam ia memang telah bertarung dengan sesosok mahluk tanpa ujud. Apakah mahluk tersebut yang dimaksudkan kakeknya? "Apakah sesosok mahluk yang terbakar itu, Kek?"
"Benar, Cucuku. Dialah Dewa Segara."
"Hem, kalau begitu ia telah tahu bahwa aku cucumu hingga ia datang menemui diriku."
"Memang. Nah, kini kau pulanglah kembali. Kasihan Ki Aswatama. Dia adalah seorang teman baik. Dia rela berkorban demi sahabatnya. Kini dia dalam bahaya. Dia dalam penculikan oleh orang-orang asing."
"Benarkah itu, Kek?"
"Tak akan aku menjerumuskan dirimu, Cucuku. Cepatlah kau pulang. Ki Aswatama kini dalam keadaan bahaya."
"Baiklah, Kek."
Dengan terlebih dahulu menyembah, Jaka kemudian berkelebat tinggalkan tempat lapangan ilalang tersebut, balik menuju di mana Ki Aswatama tinggal. Saking angannya diburu oleh perasaan takut kalau-kalau Ki Aswatama benar-benar akan dicelakai oleh orang-orang asing yang dikatakan kakeknya, menjadikan Jaka berlari bagaikan kilat. Dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka melesat laksana terbang.
Tengah Jaka berlari menuju kembali, tiba-tiba langkahnya dihadang oleh puluhan orang-orang berkerudung merah mengerudungi seluruh tubuhnya. Orang-orang berpakaian dan kerudung serba merah yang tak lain Ninja Merah, nampak dengan siaga menghadang langkahnya. Samurai mengkilap tergenggam di tangan mereka masingmasing. Jaka tersentak, hentikan langkah. Dipandanginya wajah di balik cadar merah tersebut satu-satu, seakan ingin menembuskan pandangan matanya ke mata mereka.
"Siapakah kalian adanya? Dan mengapa kalian menghadangku?"
Semua ninja tak ada yang berbicara, diam mematung dengan Samurai yang telah siap sedia di tangan mereka masing-masing. Samurai itu menempel di muka mereka, lurus dengan mata menghadap ke arah Jaka.
"Hai, mengapa kalian diam?"
"Hiiiiiaaaat...!" Itulah jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Jaka Ndableg. Jawaban tersebut berupa serangan dari para Ninja Merah yang mendadak.
"Heh, mengapa kalian menyerangku...?" Jaka terheran-heran tak mengerti.
"Apa salah..." Belum juga ucapan Jaka selesai, Samurai di tangan mereka berkelebat membabat ke arah tubuh Jaka.
"Wuuut...!"
Jaka lemparkan tubuh ke samping, namun ternyata dari samping kirinya telah kembali seorang ninja babatkan pedangnya dengan cepat.
"Wuuuttt...!"
Jaka kini ke samping kanan, doyongkan tubuh hingga Samurai di tangan Ninja itu melesat beberapa centi di hadapannya. Tapi belum juga Jaka terapkan kakinya, tiba-tiba dari arah belakang berkelebat seorang Ninja dengan Samurai siap menghunjam ke tubuhnya.
"Wadauw...! Ampun, Oom... Mengapa kalian mencercaku?" Setelah menjerit begitu, segera Jaka rundukan kepala menghindar. Sikutnya bergerak, hingga...!
"Dugk...!"
Orang yang terkena sikutannya seketika menjerit, berguling-guling menahan sakit. Mukanya terasa remuk, tulang pipinya bagaikan hancur terkena sikutan Jaka. Melihat rekannya mampu dikalahkan, segera Ninja yang lainnya berkelebat bareng menyerang Jaka. Mereka dengan pedang terhunus mengkiblat ke arahnya lari kencang hendak menyerang.
"Wuuut...!"
Puluhan Samurai membabat ke tubuh Jaka, yang dengan segera lentingkan tubuh ke angkasa. Para Ninja Merah tersentak demi menyaksikan gerakan Jaka. Sejenak mereka terpaku. Dan manakala Jaka kembali turun sambil jejakkan kaki, mereka tak mampu lagi menghindar.
"Dug, dug, dug...!"
Kaki Jaka dengan telak menghantam muka ketiga ninja yang berada tidak jauh darinya. Seketika ketiga Ninja Merah tersebut memekik, berguling-guling dengan darah muncrat dari mulut dan hidungnya.
"Wadauw...!" Jaka kembali memekik, geserkan tubuh miring ke kanan mengelakan tebasan salah seorang Ninja Merah.
"Kalian terlalu! Kalian orang-orang asing tak tahu etika!"
Ninja-ninja itu tak hiraukan dengan rungutan Jaka. Mereka terus membabatkan samuraisamurainya. Hal ini menjadikan Jaka harus berjuang mati-matian untuk menghindari babatan samurai mereka. Dan hanya dengan menghandalkan ilmu meringan tubuh saja hal tersebut dapat dilakukan.
"Wuuut...!"
Jaka tersentak, lalu dengan segera doyongkan tubuh ke muka elakkan serangan dari belakang.
"Kurang ajar! Rupanya kalian persis binatang! Beraninya membokong!" Jaka maki-maki sendiri, egoskan tubuh menghindari serangan samurai yang membabat ke arahnya. Beberapa senti saja samurai tersebut melesat. Kalau saja Jaka tidak segera cepat menghindar, niscaya tubuhnya akan menjadi daging cincang.
"Wuuut...!"
Jaka kembali lemparkan tubuh ke angkasa, manakala ninja-ninja tersebut kembali bareng membabatkan samurai mereka. Dan manakala turun, segera Jaka kepalkan tangannya. Tubuh Jaka kini merosot ke bawah, siap untuk menghadapi samurai-samurai di tangan mereka. Samurai-samurai tersebut kini mengarah ke arahnya, siap menjadikan diri Jaka sate.
Jaka terus melaju ke bawah dengan tangan masih mengepal. Dan manakala benar-benar dirasa tepat, tanpa buang-buang waktu lagi Jaka keluarkan ilmu yang dipelajari dari Kitab Banyu Geninya. Jurus itu tak lain jurus ilmu Inti Geni. Dan saat itu pula, dari tangan Jaka Ndableg keluar api menyala-nyala menyelimuti tangannya.
Terkesiap para ninja itu demi melihat apa yang selama ini belum mereka ketahui. Hanya dalam dongeng saja hal itu mereka tahu. Tetapi di tanah Jawa kini mereka benar-benar melihat dengan mata kepala mereka, bukan hanya dongeng.
"Inti Geni, hiaaaaaatttt...!" Jaka lepaskan pukulan Inti Geninya. Dan api pun seketika membersit, lepas dari tangannya. Bola api itu melesat cepat, mengarah pada para ninja. Dengan semampunya, para Ninja Merah yang berjumlah hampir tiga puluh itu memekik lemparkan tubuh mereka menghindar.
"Duuum...!"
Ledakan seketika terjadi, manakala api itu mengena ke salah seorang ninja. Dalam sekejap saja, tubuh orang tersebut terbakar Inti Api. Orang itu mengerang, lalu tak lama kemudian merenggang nyawa dan mati dengan tubuh, hangus terbakar.
Betapa gusarnya teman-teman Ninja Merah lainnya melihat hal tersebut. Dengan nekad ninja lainnya berkelebat babatkan samurai ke arah Jaka. Tersentak Jaka Ndableg, kibaskan tangan yang berapi. Seketika api muncrat dari tangan Jaka, mendesing menuju ke arah ninja-ninja tersebut yang dengan segera lemparkan tubuh mereka menghindar.
"Wuuut...!"
Sebuah samurai berkelebat, hampir membabat putus leher Jaka kalau saja Jaka Ndableg tidak segera rundukkan kepala. Jaka egoskan tubuh, lalu dengan cepat tendangkan kaki ke belakang.
Duuuk!
"Aaaaaaa...!" Orang yang berada di belakangnya memekik. Kaki Jaka menghantam tulang keringnya, hingga tulang kering tersebut bagaikan retak.
"Gawat kalau aku tidak dengan senjata," gumam Jaka dalam hati. Matanya masih memandang tajam, menghunjam pada orang-orang yang beringas berdiri di hadapannya dengan samuraisamurai siap menyerang.
"Dening Ratu Siluman Darah, Datanglah!"
Tersentak ninja-ninja merah menyaksikan hal yang aneh di mata mereka. Bagaimana mungkin tiba-tiba Jaka telah menggenggam sebuah pedang bersinar-sinar kuning kemerah-merahan? Bagi mereka jelas hal itu suatu keanehan. Namun rupanya mereka tak mengenal rasa takut sedikit pun. Dengan menggeretak ninja-ninja merah itu berkelebat lari siap menyerang dengan samurai di tangan mereka.
"Hiiaaaaaa...!"
"Hem, kalian mencari mati!" rungut Jaka.
"Hiiiiaaaaattt !"
"Wuuut...! Wuuuttt...!" "Wuuuttt!"
Samurai-samurai di tangan para ninja itu terus membabat ke arah Jaka. Jaka dengan enteng mengelakkannya, lalu dengan cepat babatkan Pedang Siluman Darah ke arah samurai-samurai di tangan ninja-ninja merah tersebut.
"Wuuutttt! Wuuut!"
"Traaaaangg!"
Membeliak mata ninja-ninja tersebut menyaksikan samurai-samurai mereka telah puntung hingga tinggal genggamannya. Rasa takut di hati mereka bukan alang kepalang. Kini mereka sadar, bahwa senjata yang berada di tangan pemuda itu bukanlah sembarangan senjata.
"Aaaaaauuuuuunnnngggg...!"
Tengah mereka terpaku, tiba-tiba terdengar aungan panjang menggema. Secepat kilat ninjaninja tersebut berkelebat menghilang dari pandangan Jaka setelah terlebih dahulu melemparkan bom-bom asap.
"Heh, kemana mereka?" Jaka tersentak, mencari-cari keberadaan mereka.
"Aneh! Mereka dengan cepat menghilang!"
Dengan cepat setelah mengingat akan ucapan kakeknya Jaka berkelebat kembali menuju ke tempat Ki Aswatama. Larinya bagaikan terbang, karena dilandasi oleh ajian Angin Puyuh. Dan karena saking cepatnya, Jaka nampak bagaikan terbang, bukan berlari. Kakinya tidak menginjak rumput, melayang di angkasa.
* * * * *
:::≡¦ [ TUJUH ] ¦≡:::
"Biadab!" Jaka menggeretak marah.
"Sungguh biadab yang melakukan ini semua."
Segera Jaka hampiri tubuh tergeletak itu, lalu dengan penuh kasih dibopongnya tubuh penuh luka-luka ke atas, di mana dipan tua berada. Dibaringkan tubuh tua renta itu ke atas dipan, lalu setelah sejenak membaca mantra Jaka segera berkata-kata dengan sang Ratu Siluman Darah, "Sri Ratu, orang ini perlu bantuanmu."
"Siapa dia, Jaka?" terdengar suara wanita berkata.
"Dia Ki Aswatama. Ayah mengenalnya," jawab Jaka.
"Baiklah, Jaka. Kau telah menempuh segala ujian yang telah aku berikan secara tidak langsung padamu. Dengan adanya kau lulus ujian tersebut, maka sejak saat ini Pedang Siluman Darah resmi menjadi milikmu. Terimalah pedang itu yang kini dengan sarungnya. Jaga pedang itu baik-baik, sebab pedang itu adalah nyawamu."
"Baik, Sri Ratu. Segala ucapanmu akan aku junjung tinggi," Jaka menjawab.
"Tapi, apakah Sri Ratu sejak saat ini tak membantuku lagi?"
"Aku akan tetap membantumu, Jaka."
"Trimakasih, Sri Ratu."
"Nah, terimalah Pedang Siluman Darah. Tolonglah kakek tua itu."
Pedang Siluman Darah tiba-tiba tanpa sepengetahuan Jaka kini telah menempel di punggungnya dengan lengkap sarung serta tali yang tahu-tahu mengikat di tubuh Jaka. Jaka tersentak, melihat kenyataan tersebut. Dengan segera di tariknya Pedang Siluman Darah yang berada di sarungnya. Nampak sinar kuning kemerah-merahan memancar, menyilaukan mata. Jaka tersenyum senang, lalu dengan menjura ia berkata:
"Oh, terimakasih, Sri Ratu. Terimakasih atas segala kepercayaanmu padaku."
"Nah, lakukan apa yang sebaiknya engkau lakukan. Tempelkan Pedang Siluman Darah itu ke tubuh tua tersebut."
Tanpa membantah, Jaka segera lakukan apa yang diperintah oleh Ratu Siluman Darah. Di tempelkannya batang pedang pada luka-luka di tubuh Ki Aswatama. Dan dalam sekejap saja luka-luka itu menghilang, kering dengan sendirinya. Racun yang terdapat di dalam darah turut keluar, terhisap oleh Pedang Siluman Darah.
Ki Aswatama menggeliat sadar, membuka matanya perlahan-lahan. Matanya nampak terang, memandang sekelilingnya, lalu memandang pada Jaka Ndableg yang tersenyum dengan tangan masih mengenggam Pedang Siluman Darah.
"Di mana aku, Jaka?" tanyanya.
Jaka makin lebarkan senyum.
"Paman berada di pondok paman," jawab Jaka.
Ki Aswatama tersentak mendengar ucapan Jaka.
"Bukankah tadi aku dikeroyok oleh orang-orang berpakaian dan cadar serba merah?" gumamnya.
"Jadi benar Paman tadi dikeroyok oleh orang-orang asing?"
"Ya! Mereka menanyakan mengenai Kitab Banyu Geni."
Jaka terdiam mendengar jawaban Ki Aswatama. Kini ia tahu mengapa orang-orang asing tersebut mengeroyoknya di jalan. Mungkin mereka pun diperintah oleh pimpinannya untuk menghadang dirinya yang dianggap membawa Kitab Banyu Geni.
Mata Ki Aswatama tak lepas memandang pada pedang di tangan Jaka. Pedang aneh, yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan. Sebuah pedang yang mampu menggetarkan jantung bagi yang melihatnya. Ki Aswatama memang telah mendengar senjata milik cucu sepupunya itu, namun melihat bentuknya ia baru kini melihat.
"Tentunya itu Pedang Siluman Darah, Jaka?" tanyanya.
"Ya! Kini pedang ini resmi menjadi milikku."
"Ooh, betapa kau akan menjadi seorang pendekar yang tiada tanding, Jaka," Ki Aswatama menggumam.
"Tapi kau harus ingat bahwa nyawamu berada di ujung pedang tersebut, Jaka. Kau harus terus menjaganya."
"Benar katamu, Ki."
Tengah keduanya ngobrol, terdengar seruan dari luar memanggil nama Ki Aswatama.
"Aswatama, keluar kau!"
Terbelalak mata Jaka dan Ki Aswatama mendengar seruan tersebut. Jaka segera bangkit dari jongkoknya, berjalan dengan mantap keluar rumah di ikuti oleh Ki Aswatama di belakangnya yang telah pulih sehat bagaikan tiada pernah luka.
"Ki Aswatama, cepat keluar!"
"Apa yang membuatmu berteriak-teriak orang sinting!" Jaka memaki marah.
"Apakah kau kira kami tidak mendengar?"
"He, he, he...! Kebetulan! Kebetulan sekali!" orang tua renta berbadan agak bongkok yang tidak lain Sumping Tindik terkekeh memandang pada Jaka.
"Kebetulan, kau ada di sini, anak muda."
Jaka tersenyum kecut. Melangkah mendekat ke arah Sumping Tindik. Pedang Siluman Darah masih berada di sarungnya, belum layak Jaka mengeluarkannya. Mata Jaka memandang tajam ke arah Sumping Tindik. Dalam pandangannya terdapat tanda tanya, mengapa orang tua renta itu mengatakan kebetulan? Apakah orang tua bencong tersebut ada ganjelan dengannya?
"Siapa dia, Paman?" tanya Jaka pada Ki Aswatama.
"Dialah yang bernama Sumping Tindik, Jaka."
"Oohh... Jadi engkaulah yang bernama Nyi Sumping Tindik?"
"Eeh, apa kau bilang, anak muda?" Sumping Tindik pelototkan mata genit ke arah Jaka.
"Kalau saja yang ngomong bukan pemuda ganteng sepertimu, mungkin mulutnya sudah kubejek."
Jaka tertawa bergelak mendengar ucapan Ki Sumping Tindik yang kebencong-bencongan. Sementara Ki Aswatama, nampak berusaha tenang, Ki Aswatama tetap berjalan dan berhenti di samping Jaka.
"Hati-hati, Jaka. Orang tua itu suka sekali bila melihat lelaki tampan."
"Aku tahu, Paman," jawab Jaka.
"Sumping Tindik! Ada gerangan apa kau datang menemui Ki Aswatama?"
"Heee, heee, heeee..! Anak muda, aku datang ke mari karena menyangkut masalah Kitab Banyu Geni yang berada di tangan Ki Aswatama."
"Hem, kalau benar, kau mau apa?" Tanya Jaka.
"Heee, heee, heee...!" Sumping Tindik tersenyum, leletkan lidah dengan mata tak henti-hentinya memandang pada Jaka Ndableg yang tampan itu.
"Aku tak akan mengungkit-ungkit kitab tersebut asal kau mau melayani kemauanku, Anak muda."
"Edan!" maki Jaka dalam hati.
"Apa yang mesti aku lakukan, Nyi?" tanya Jaka berkelakar penuh ejekan.
"Apakah aku harus memijitimu dengan senjataku ini?"
"He, he, he...! Kau jangan bercanda, Anak ganteng." Sumping Tindik nampak remehkan apa yang kini tengah di tarik oleh tangan Jaka Ndableg dari sarungnya.
"Sraaang...!"
Melotot seketika mata Sumping Tindik menyaksikan apa yang kini tergenggam di tangan Jaka. Sebuah pedang yang sudah dikenal di dunia persilatan dan telah mengguncangkan dunia persilatan sekarang-sekarang ini. Pedang tersebut menyiratkan sinar kuning kemerah-merahan, membersit menyilaukan mata. Dan yang lebih aneh, dari ujungnya keluar darah menetes membasahi batang pedang. Sumping Tindik melompat ke belakang, tersentak kaget seraya memekik tertahan.
"Pendekar Pedang Siluman Darah...! Kau...?! Kaukah Pendekar Pedang Siluman Darah atau Jaka Ndableg?"
"Ya! Akulah Jaka Ndableg, yang akan menggantung nyawa busukmu!" Jaka menggeretak.
"Selama ini aku mencarimu, untuk menghukummu. Tetapi rupanya nasib mujur tengah berada di pihakmu, hingga aku tak tahu tempat persembunyianmu. Tapi kini kau datang sendiri setelah sepuluh tahun menghilang. Aku diperintah oleh para pendekar untuk menghukummu, Sumping!"
Sumping Tindik tersentak, makin menyurut mundur. Matanya kini bukan mata kebencongan, tapi mata Sumping Tindik menyorot tajam, menghunjam penuh kebencian pada Jaka. Bibirnya tersungging senyum, lalu dengan mengekeh dia pun berkata.
"He, he, he...! Apa yang akan kau perbuat, Jaka? Kau tak akan mampu,"
"Sombong!"
"He, he, he...! Kau terkejut, Jaka?!"
"Bedebah! Dasar Bujang Lapuk!"
Makin marah saja Sumping Tindik mendengar ucapan Jaka Ndableg yang mengatakan Bujang Lapuk padanya. Dan rupanya hanya ucapan itulah yang mampu membangkitkan amarah kakek tua renta bencong tersebut.
"Bangsat! Aku bunuh kau...! Hiaaaaattt...!"
Bagaikan seekor harimau lapar Sumping Tindik menerkam ke arah Jaka. Melihat Sumping Tindik menggunakan tangan kosong. Jaka pun dengan segera menyarungkan Pedang Siluman Darahnya dan memapaki serangan dengan tangan kosong pula.
"Kupecahkan batok kepalamu, Anak muda!"
"Wuuut...!"
Tangan Sumping Tindik berdesing, menghantam batok kepala Jaka Ndableg. Jaka segera rundukkan tubuhnya, sehingga tangan Sumping Tindik melesat di atas kepalanya beberapa mili.
Jaka kirimkan jotosan ke lambung Sumping Tindik. Dengan cepat Sumping Tindik buang badannya ke belakang, hindari jotosan tangan Jaka lalu balik menyerang dengan tendangan kaki kanannya membentuk sudut 45 derajat. Itulah jurus Kaki Kuda Menerpa Batu Karang.
"Wuuut...!"
Kaki Sumping Tindik menyerang dengan tendangan, mengarah ke kemaluan Jaka. Jaka tersentak kaget, lemparkan tubuh bersalto hindari tendangan yang mengarah ke barang miliknya. Belum juga Jaka mengetrapkan kakinya, Sumping Tindik telah kembali mencercanya dengan pukulan tangannya.
"Wuuuttt...!"
"Ah...!" Jaka balas dengan tangan kirinya menangkis
"Deb!"
Dua tangan itu saling beradu. Melihat hal tersebut, Sumping Tindik kembali tendangkan kakinya ke arah selangkangan Jaka. Namun dengan cepat Jaka balas dengan Jurus Kera Gila Menyapu Kaki Menghalang Tikus.
"Wuuut...!"
"Bletook...!"
"Wadauaauuuuw...!" Sumping Tindik memekik, manakala tulang kering kakinya beradu dengan tulang kering kaki Jaka yang masih muda. Walau Sumping Tindik telah menyalurkan tenaga dalamnya, namun Jaka pun tak diam begitu saja. Saat Sumping Tindik salurkan tenaga dalam, segera Jaka pun mengikutinya salurkan tenaga dalam pula.
Sumping Tindik pegangi tulang kering kakinya yang terasa remuk. Ia berputar-putar mencoba hilangkan rasa sakit yang teramat sangat. Dan manakala tangannya lepas dari tulang keringnya, nampak tulang keringnya membengkak. Rasa panas teramat sangat menyengat pada bengkakan tersebut.
"Kurang ajar! Kau harus membalas semua ini!" Sumping Tindik ambil Kipas Hitamnya. Kipas tersebut adalah senjatanya. Kehebatan kipas itu sudah di uji manakala ia masih merajai dunia persilatan. Sumping Tindik kipaskan Kipas Hitamnya. Angin puting beliung seketika keluar menerpa pada Jaka dan Ki Aswatama.
Jaka dan Ki Aswatama tersentak kaget, lompat ke belakang menghindar. Namun angin puting beliung itu terus saja menerpa tubuh mereka. Angin itu makin lama makin besar, dengan hawa yang mengandung rasa panas.
"Paman, menyingkirlah, biar aku yang menghadapi iblis ini."
Ki Aswatama tak membangkang, ia segera berlalu kembali ke pondoknya, meninggalkan Jaka yang masih menghadapi Sumping Tindik yang terkekeh-kekeh kipasan. Sumping Tindik menyangka bahwa Jaka akan mampu ia jatuhkan.
"Sriiing...!"
Tersentak Jaka manakala dari Kipas Hitam di tangan Sumping Tindik keluarkan puluhan pisau kecil mendesing ke arahnya. Dengan segera Jaka lemparkan tubuh menghindar, lalu dengan cepat tebaskan Pedang Siluman Darah ke arah pisau-pisau tersebut. Dalam sekali tebas saja pisau-pisau itu luluh lantah, berantakan dengan keadaan terpotong-potong.
Mata Sumping Tindik melotot, melihat pisau-pisau kecilnya dengan sekali kebat saja telah berantakan dibuatnya. Namun kegagalan pertama tidak menjadikan Sumping Tindik menyadari bahwa ilmu yang dimiliki oleh Jaka jauh berada di atasnya. Dan dengan nekad Sumping Tindik menggelegar menyerang.
"Hiiiiiaaaaaaattttt...!"
Jaka tersenyum melihat Sumping Tindik mencelat ke arahnya dengan maksud menyerang. Segera Jaka kiblatkan Pedang Siluman Darah ke arah datangnya Sumping Tindik dengan Kipas Hitamnya.
"Hiiiiaaaaaaaaaattt...!"
Kedua tubuh itu terbang melayang di udara. Keduanya dengan senjata masing-masing nampak melayang, kiblatkan senjata mereka ke arah lawan.
"Swiiing...!"
"Wuuut...!"
Jaka tebaskan Pedang Siluman Darah, memapaki serangan pisau-pisau maut yang dilancarkan oleh Sumping Tindik.
"Trang...!"
"Aaaaaaaah...!" Sumping Tindik memekik, manakala salah sebuah pisaunya mencelat balik menyerang ke arahnya. Pisau maut itu menghunjam di jidatnya, menjadikan sebuah pemandangan yang mengerikan.
"Kau...! Awas kau, nanti aku akan membuat perhitungan denganmu!"
Setelah berkata begitu, dengan cepat tak hiraukan Jaka lagi Sumping Tindik berkelebat pergi. Pisau mautnya masih menghunjam di kening, tak dilepaskan. Pisau tersebut sengaja dibiarkan menancap di keningnya. Dan kelak pisau tersebut akan sebagai bukti manakala ia hendak menuntut balas pada Jaka Ndableg.
Jaka hanya terpaku diam, memandang kepergian Sumping Tindik.
"Sungguh bencana! Kitab tersebut kalau tidak segera aku bakar, niscaya akan terus membawa bencana."
"Jaka, Tooloooongg...!"
Jaka yang masih mematung diam tersentak demi mendengar seruan Ki Aswatama. Dengan masih menggenggam Pedang Siluman Darah Jaka segera berkelebat menuju ke pondok di mana Ki Aswatama berada. Baru saja Jaka sampai di tengah jalan, terdengar seruan memekik Ki Aswatama.
"Aaahhhh...!"
"Bangsat!" Jaka merutuk marah, lalu dengan berkelebat terbang Jaka babatkan Pedang Siluman Darah. Tak ayal lagi, semua yang terkena hancur berantakan.
"Kalian orang-orang asing, Bangsat! Aku bunuh kalian!"
Jaka terus mencerca ninja-ninja merah itu dengan sabetan dan babatan pedangnya. Pedang Siluman Darah nampak membara laksana mengandung api. Kemarahan Jaka benar-benar sudah tidak dapat di bendung lagi.
"Wuuut...!"
"Awas...!" terdengar pimpinan Ninja Merah menyadarkan pada anak buahnya. Segera anak buahnya berkelebat menghindari tebasan pedang di tangan Jaka.
"Bagero! Orang Jawa keparat!"
"Bangsat! Kalianlah yang keparat!" Jaka memaki marah, mendengar makian pimpinan Ninja Merah. Dengan gusar terus mencerca mereka dengan tebasan-tebasan pedangnya.
"Wuuut...!"
"Aaahhhhhh....!" memekik seorang ninja, terbabat putus tubuhnya. Namun seketika mata ninja lainnya membeliak kaget, tatkala menyaksikan keanehan di tubuh rekannya. Tubuh rekannya yang terbabat tak mengeluarkan darah setetes pun.
"Bagero! Serang...!"
"Wuuut! Wuuut! Wuuut!"
Samurai di tangan mereka berkelebat dengan ganas menyerang Jaka. Tersentak Jaka segera elakkan serangan yang datangnya berbarengan tersebut. Namun tak ayal, sebuah samurai mampu menggores dadanya. Darah mengucur lewat goresan dada Jaka, menjadikan Jaka Ndableg nampak beringas. Matanya memandang dengan tajam, tubuhnya terpaku diam. Jaka kini benar-benar marah, sehingga tanpa sadar ia keluarkan ilmu dari Kitab Banyu Geni. Ilmu tersebut tak lain ilmu intinya yang bernama Dewa Geni.
"Dewa Geniii...! Dewa Geniiii! Dewa Geniiii...!" Tubuh Jaka kini benar-benar telah berubah menjadi Dewa Brahma atau Dewa Api. Di segenap tubuhnya kini tertutup api yang menyala-nyala. Tak urung juga Pedang Siluman Darah Pedang tersebut kini berubah menjadi sebilah pedang api.
Tersentak semua ninja merah melihat hal tersebut. Namun dengan segera pimpinannya yang tak lain Taka Moro memberikan perintah.
"Bagero! Serang siluman itu...!"
"Wuuut...! Wuuut...!"
Samurai di tangan ninja-ninja merah berkelebat membabat tubuh Jaka, namun bagaikan tak ada artinya samurai-samurai tersebut. Samurai-samurai itu seketika meleleh, berbarengan dengan pemiliknya yang langsung terpanggang. Sekejap saja semua ninja merah habis dengan tubuh terbakar menghitam jadi arang.
"Huaaaaa... Huahaaa...!" Dewa Api tertawa bergelak, lalu perlahan berjalan mendekati Taka Moro yang ketakutan.
"Kau tentunya pimpinan ninja-ninja ini, bukan?"
"Be... benar, tuan."
"Kau, aku bebaskan! Katakan pada yang menyuruhmu, bahwa di tanah Jawa tak akan kalian mampu berbuat apa-apa. Katakan juga Dewa Api akan menghukum mereka jikalau berani macam-macam di tanah Jawa. Nah, pergilah!"
Dengan penuh ketakutan Taka Moro menjura, lalu tanpa banyak kata lagi Taka Moro yang benar-benar tahu dan takut itu berkelebat pergi meninggalkan Jaka Ndableg si Dewa Api.
Jaka tertawa gelak, lalu dengan segera hampiri tubuh Ki Aswatama yang tergeletak. Di sarungkannya kembali Pedang Siluman Darah, lalu dengan ringan diangkatnya tubuh tua renta tanpa nyawa tersebut pergi ke luar.
Tubuh tua renta itu bagaikan tak terbakar di tangan Jaka Ndableg yang telah berubah menjadi Dewa Api. Dengan langkah ringan Jaka terus menuju ke tempat di mana tubuh tua itu hendak dikuburkan. Tempat di mana kakeknya dimakamkan.
S E L E S A I
MUNCULNYA KERA SILUMANINDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH | |
Misteri Si Cadar Berdarah --oo0oo-- Munculnya Kera Siluman |