Life is journey not a destinantion ...

Munculnya Kera Siluman

INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Kitab Pembawa Bencana --oo0oo-- Takanata Iblis Nippon



JAKA NDABLEG
Pendekar Pedang Siluman Darah
Karya: Sandro. S
EP : MUNCULNYA KERA SILUMAN

Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


:::≡¦ [ SATU ] ¦≡:::

Taka Moro yang telah dikalahkan oleh Jaka Ndableg terus berpindah tempat di mana Jaka Ndableg dan Ki Aswatama menetap. Taka Moro terus berlari, pindah hanya mencari dan bertemu Takasita yang masih berada di tanah Jawa. Ingin mengutarakan kegagalannya pada kakaknya Takasima, jelas tidak berani, sebab dengan begitu kakaknya akan menyuruhnya Harakiri atau menghukum pancung.
Taka Moro tanpa berpaling-paling terus berlari, dan berlari. Dia baru berhenti di tempat, di mana belukar hutan masih perawan. Sejenak ia menengok ke sekeliling, lalu setelah dirasa aman dengan sigap Taka Moro menghilang dalam rerimbunan pepohonan.
"Berhenti ...!" terdengar seorang berteriak.
Taka Moro segera hentikan langkah, lalu dengan kilat ia melemparkan senjata rahasianya yang membentuk bintang. Orang ini memiliki pedang, menangkis senjata rahasia yang dilemparkan Taka Moro.
"Traannggg...!"
"Setan! Berani ikut menyerang!" Kembali orang tersebut membentak, lalu dengan kilat membabatkan pedangnya menyerang Taka Moro. "Kurencah tubuhmu, Bangsat!"
Taka Moro berkata, segera egoskan tubuh mengelakkan tebasan pedang di tangan orang bercadar hitam tersebut. Merasa musuhnya mampu mengelak, segera bercak hitam kembali pertajam serangan. Pedangnya membabat dengan cepat dan beringas, seakan tak mau memberi kesempatan sekali pun bagi Taka Moro untuk membalas serangan.
"Wuuuttt...!"
Pedang orang tersebut membabat ke arah leher Taka Moro. Taka Moro segera lemparkan tubuh ke arah tujuan pedang orang bercadar, miringkan tubuhnya, lalu dengan cepat lemparkan tendangan ke arah musuh.
"Wuuuut...!"
"Wesssttt...!"
"Dug!"
Kaki Taka Moro telak menghantam iga orang yang menyerangnya, yang seketika itu terpelanting ke belakang. Namun orang tersebut kembali bangkit, dan dengan beringas kembali menyerang dengan membabi buta.
"Bajero! Kenapa engkau menyerangku, hah!" Taka Moro menggeretak penuh marah. Segera dia cabut samurainya, lalu dengan kebat dia balik menyerang.
"Wuuutt...!"
Samurai di tangan Taka Moro bergerak cepat, hampir saja mengenai sasaran kalau musuhnya tidak segera lompat mundur mengelak. Melihat musuhnya melompat, Taka Moro tampak tak mau menghentikan serangannya. Kembali dengan samurai siap menebas, Taka Moro melompat menyerang.
"Wuuut! Wuuuttt...!"
Samurai di tangan Taka Moro makin berkelebat dengan cepatnya. Kini samurai tersebut bagaikan hilang dari pandangannya, berubah menjadi bayang-bayang warna mengkilap. Musuhnya terus berusaha mengelak, dengan sesekali menangkiskan samurainya yang berada di tangan.
"Wuuuuuut! Wuuuutttt!"
"Traaanggg!"
Dua pedang saling beradu, menempel dengan tangan-tangan yang memegangnya bergetar. Mata kedua orang dalam topeng ninja itu saling melotot, memandang penuh waspada. Keduanya terdiam, saling paku pandangan, lalu dengan kembali berteriak keduanya melompat ke belakang.
"Hiiiiiaaaaa...!"
"Hiiiiiaaaaa...!"
Dua tubuh tertutup kain hitam dan merah itu saling melompat ke belakang, lalu kembali bersiap dengan samurai di tangan untuk kembali menyerang. Samurai di tangan keduanya bergerak cepat, seperti menggambarkan gerakangerakan yang sukar untuk diikuti.
"Hiiiiiaaaaa...!" Taka Moro memekik, tubuhnya berkelebat cepat melesat dengan samurai mengkiblat ke arah musuh.
Begitu juga dengan musuhnya, kini nampak bergerak cepat dengan samurai mengkiblat ke arah Taka Moro. Tubuh keduanya melompat, bersalto di udara, lalu dengan penuh kewaspadaan keduanya meluncur ke arah lawan. Samurai di tangan mereka benar-benar sebuah nyawa bagi mereka. Samurai tersebut kini bergerak cepat, mengibas ke arah tubuh musuh yang melejit.
"Trang...!"
Kembali dua samurai itu saling bertemu, menempel dengan mengeluarkan bunga api. Keduanya segera menarik senjata masing-masing, lalu dengan memekik lagi keduanya kembali menyerang menebaskan samurainya
Pertarungan dua ninja itu terus berjalan dengan sama-sama tak ada yang mau mengalah atau menang. Samurai di tangan mereka tak ubahnya sebagai penentu bagi hidup mereka. Di mana samurai itu akan menjadikan bumerang bagi diri mereka sendiri bila lengah, atau kurang mahir dalam menjalankannya.
Pertarungan itu terus berjalan, dan makin nampak seru saja. Taka Moro yang memang telah letih dengan perjalanan dan juga lelah oleh pertarungan dengan Jaka Ndableg, kini nampak terdesak. Samurai di tangan musuh nampak terus mencerca dirinya, menjadikan Taka Moro terdesak dan hanya mampu mundur.
"Wuuut...!"
Samurai musuh membabat ke arahnya, bermaksud membelah. Taka Moro terkesiap, lalu dengan segera dia rundukkan tubuh ke bawah hingga samurai musuh ada di atasnya. Tangannya segera pancangkan samurai ke atas, menangkis.
"Traang...!"
Dua samurai itu kembali beradu, menempel dengan kerasnya. Asap mengepul, keluar dari dua batang samurai yang menempel tersebut. Mata kedua orang yang saling tatap itu, membeliak marah membara. Sepertinya dua orang ninja tersebut tidaklah saling kenal satu dengan yang lainnya. Mulut mereka bisu, tanpa kata-kata ungkapan.
"Kenapa kau bermaksud membunuhku?" tanya Taka Moro.
"Aku hanya menjalankan tugas," jawab Ninja Hitam.
"Tugas...? Siapa yang menyuruhmu?"
"Itu rahasiaku!"
"Bedebah! Jangan harap kau mampu!"
"Akan aku buktikan! Hiaaaaaatttt...!"
Ninja Hitam tarik samurai, lalu dengan cepat kibaskan samurai tersebut membabat tubuh Taka Moro. Kalau Taka Moro tidak cepat mengelak, maka tak ayal lagi tubuhnya akan putung menjadi dua seperti pohon di belakangnya yang ambruk terbabat oleh samurai musuh. Mata Taka Moro membelalak, melihat apa yang terjadi pada pohon yang terbabat putus tersebut. Pohon itu seketika layu, lalu kering, dan akhirnya hangus terbakar oleh racun yang berada di samurai.
"Racun Fuji Hitam!" Taka Moro memekik.
"Bedebah! Rupanya kau memang Ninja Hitam yang berkelakuan hitam!"
"Jangan banyak omong, Taka Moro!"
"Kau telah mengenalku. Aku yakin, kau utusan seseorang untuk membunuhku!"
"Ya! Memang begitu adanya!"
"Katakan siapa yang mengutusmu, Bangsat!"
"Ini yang mengutusku!"
"Wuuut...!"
Tersentak Taka Moro diserang begitu tiba-tiba. Namun sebagai seorang ninja, ia telah digembleng dengan keberanian dan ilmu silat yang tidak rendah. Juga rasa patriot sebagai seorang ninja untuk lebih baik mati daripada mengalah pada lawan. Maka biarpun dicerca begitu rupa Taka Moro tidak mau menyerahkan nyawanya begitu saja, ia terus berusaha membalas menyerang. Namun rupanya keberuntungan dan tenaga yang dimiliki oleh Taka Moro benar-benar susut, sehingga bukannya Taka Moro mampu mengimbangi, bahkan makin lama makin terdesak hebat. Hampir saja samurai lawan mengakhiri segalanya, manakala berkelebat sebuah bayangan menyentakkan sang musuh.
"Wuuutttt...!"
Samurai musuh menderu, dan hampir membabat tubuh Taka Moro ketika bayangan coklat keabu-abuan dengan entengnya melesat, menghantam samurai tersebut.
"Nguuuk!"
"Dessstttt...!"
"Aaah...!" Ninja Hitam memekik, tarik kembali samurainya ke belakang. Tangannya gemetaran, seakan hantaman bayangan yang ternyata seekor kera menangkis samurainya. Ninja Hitam menyurut mundur, matanya membelalak.
"Ngguuukkk...!" kera itu kembali mengeluarkan suara, berdiri di sisi Taka Moro.
"Nguuuk! Nggguuuk!"
"Terima kasih, Kera Baik," Taka Moro bergumam, seraya memandang dengan hormat pada sang kera yang bagaikan acuh terus memandang ke arah Ninja Hitam.
"Bedebah! Rupanya binatang celaka ini ingin mampus!"
"Nguuuk!" Si kera cibirkan monyongnya.
"Bangsat! Ngeledek!" Ninja Hitam memaki marah.
"Aku jadikan dirimu perkedel, Monyet!"
"Wuuuuttt...!"
Samurai Ninja Hitam kembali berkelebat, kali ini mengarah pada kera yang dianggapnya telah ikut campur dalam masalahnya. Kera itu tampak tenang menyambuti serangan Ninja Hitam. Dan bagaikan menari-nari saja sang kera lompatkan tubuh ke atas pepohonan.
"Nguuuk!" kera tersebut garuk-garuk tubuh, lalu dengan gesit kembali melompat mengelak manakala samurai lawan membabat ke arahnya.
"Ngaaiiik...!"
"Wuuuut...!"
Ninja Hitam tak perduli dengan suara kera yang nampak telah marah. Ninja Hitam terus berusaha merangsek sang kera dengan babatanbabatan mautnya. Tapi bagaikan seorang manusia saja, kera tersebut dengan enteng mengelak berayun dari satu pohon ke pohon lainnya dengan terus mengguguk menyeramkan.
Kera itu benar-benar mengejek segala serangan yang dilancarkan oleh Ninja Hitam ke arahnya. Mulutnya terus menyeringai, dengan menunjukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing ke arah Ninja Hitam. Gusar dan marah Ninja Hitam merasa dipermainkan oleh seekor kera. Dengan kemarahan yang meluap Ninja Hitam membabi buta menyerang.
"Bagero! Kera Iblis! Hiaaaaaatttt...!"
"Wuuuttt...!"
"Nguuukk...!" Kera Siluman terkekeh, lompatkan tubuh makin ke atas pohon mengelakkan serangan Ninja Hitam. Tubuh Kera Siluman terus makin naik ke atas, menjadikan Ninja Hitam yang sudah terperangkap amarah dengan segera turut mengejar naik. Dengan tangannya yang kokoh dan kuat serta masih memegang samurai, Ninja Hitam memanjat pohon tersebut mengejar.
"Ngguuuk! Ngguuukkk!" Kera Siluman makin mengejek, menjadikan Ninja Hitam makin bertambah marah saja. Dengan cepat Ninja Hitam memanjat pohon jati tersebut. Namun sungguh ia tidak menyadari akan bahaya yang sebenarnya tengah mengancam dirinya. Dan manakala dirinya hampir sampai pada Kera Siluman, tiba-tiba kera tersebut mengerang dan dengan cepat tanpa dapat dielakkan menyerangnya.
"Ngggguuukkk! Ngaaaiiiikkkk...!"
"Wessssttt...!"
"Aaaahhhhhhhh...!" memekik seketika Ninja Hitam yang tidak mampu lagi menyelamatkan dirinya dari serangan Kera Siluman.
Samurainya lepas, sementara Kera Siluman kini telah mencengkeram lehernya dengan jari-jari berkuku runcing. Sesaat Kera Siluman menyeringai, lalu dengan ganas dan tanpa mengenal kasihan gigi-giginya yang tajam menghunjam di leher Ninja Hitam yang masih berusaha mengelakkannya.
Pergumulan dua mahluk itu terus terjadi, saling berusaha memenangkan pertarungan hidup dan mati. Tetapi rupanya kepanikan telah melanda Ninja Hitam, hingga dengan sendirinya tenaganya nampak makin bertambah kuat. Tapi walaupun begitu, Kera Siluman sepertinya tak mau mengampuni korban yang telah diincarnya. Kera Siluman semakin keras dan kokoh mencengkeram leher Ninja Hitam, manakala Ninja Hitam juga makin keras memberontak untuk melepaskannya.
"Taka Moro, tolonglah aku..."
"Tidak! Aku tak akan menolongmu!" Taka Moro berkata mengejek, menjadikan Ninja Hitam nampak makin ketakutan saja.
"Taka Moro, tolonglah aku...!"
Kata-kata tersebut adalah yang terakhir bagi Ninja Hitam memekik, lalu akhirnya Ninja Hitam menjerit menyayat manakala gigi-gigi Kera Siluman menghunjam ke lehernya. Sejenak Ninja Hitam kelojotan, meregang nyawa, sebelum akhirnya terkulai lemas dengan nyawa melayang.
Taka Moro yang tadi berani memandang ke arah dua mahluk itu saling gumul, kini nampak palingkan muka membuang pandangannya. Ada ketakutan menyelimuti dirinya melihat Kera Siluman tersebut dengan tanpa ampun membunuh Ninja Hitam. Darah mengalir dari leher yang berlubang, terhisap dengan rakusnya oleh Kera Siluman.
"Nguuukkk...!" Kera Siluman hentikan aksinya. Ditatapnya Taka Moro yang ketakutan, lalu dengan tenangnya berjalan mendekati Taka Moro. Dan belum juga Taka Moro hilang dari keterkejutannya, Kera Siluman telah menarik tangannya dan bagaikan terbang menggeret lengan Taka Moro pergi tinggalkan hutan tersebut. Taka Moro tak mampu berbuat apa-apa, kecuali diam dan menurut untuk selalu hidup.

* * * * *



:::≡¦ [ DUA ] ¦≡:::

Kereta kuda itu dipacu dengan kencangnya. Kereta kuda tersebut bagaikan menggila larinya. Orang yang berada di dalamnya tampak terguncang-guncang terbawa oleh kereta kuda tersebut. Entah karena apa, kereta kuda tersebut dijalankan dengan cepat oleh sang kusir.
"Paman Jantrang, ke mana tujuan kita?" seorang pemuda kecil dan tampan bertanya pada orang yang berada duduk disebelahnya, yang bernama Jantrang.
"Kenapa kita mesti lari dari keraton, Paman?"
Jantrang sejenak singkapkan kain penutup belakang kereta, lalu dengan suara keras berkata pada sang kusir.
"Kusir! Apakah kau tidak mampu menjalankan kuda-kuda lebih cepat?!"
"Bukankah ini telah begitu cepat, Tuan?"
"Diam! Jangan banyak omong! Lakukan apa yang aku katakan!" Jantrang membentak.
"Kau hanyalah seorang kusir, yang aku bayar untuk itu."
"Tapi..."
"Tapi apa? Apakah kau minta digantung hah!"
"Ah, mengapa tuan begitu kasar pada saya?"
"Huh...!" Jantrang tak menjawab, malah kembali dia singkapkan kain penutup kereta.
Siapa sebenarnya Jantrang tersebut? Dan siapa sebenarnya bocah kecil tampan yang berada di sebelah duduknya? Lalu mengapa Jantrang dengan bocah tersebut lari dari keraton? Bocah kecil itu bernama Raden Anggangga Gerta. Ia adalah putra raja Sutresna dari Kerajaan Bumi Jawa. Keberadaannya dengan Jantrang dikarenakan ia telah diculik oleh Jantrang. Marilah kita tengok kejadian sebelum hal ini terjadi.

* * * * *



Anggangga Gerta sebagai seorang anak raja haruslah mempunyai ilmu kanuragan di samping ilmu ketatanegaraan. Untuk memenuhi itu semua, sang raja yaitu Prabu Sutresna mendatangkan seorang guru untuk mendidik sang anak. Guru itu bernama Jaladri dan Jaladru, sepasang pendekar kakak beradik kembar. Dengan kedatangan Jaladri dan Jaladru, jelas keberadaan Jantrang sebagai hulubalang di kerajaan Bumi Jawa kini terbongkar kedoknya.
Jantrang yang telah sepuluh tahun lamanya mengabdi pada kerajaan, ternyata tak lain dari antek-anteknya Dewi Cendana Biru pemilik Kera Siluman yang sudah tak muncul-muncul lagi di dunia persilatan. Jaladri dan Jaladru yang hendak menjadi guru bagi pangeran kecil Anggangga Gerta seketika tersentak manakala keduanya mengetahui bahwa Jantrang menjadi hulubalang di situ.
"Kakang Jaladri, bukankah itu Jantrang?"
Jaladri ditanya oleh adiknya segera palingkan muka memandang ke arah yang ditunjuk oleh adiknya. Sejenak matanya mengawasi lekat-lekat kebenaran pandangannya. Dan ketika bertambah yakin Jaladri pun berkata.
"Benar! Ternyata kunyuk tersebut ada di sini!"
"Mari kita temui, Kakang."
Kedua kakak beradik kembar tersebut segera berjalan menemui Jantrang. Dan tak alang kagetnya Jantrang manakala kedua pendekar kembar tersebut mendekatinya. Mata Jantrang membeliak, lalu dengan berusaha tenang ia bertanya.
"Ada gerangan apa, Tuan-tuan pendekar?"
"Apakah kami tidak salah lihat?" Jaladru bertanya.
"Tentang apa, Tuan?" Jantrang masih berusaha menutup diri dengan balik menanya.
"Apakah ada yang dapat saya bantu?"
"Bukankah kau Jantrang?"
"Ya! Bukankah kau Jantrang adanya?" tambah Jaladri meneruskan pertanyaan adiknya, menjadikan Jantrang tersentak kaget.
Namun Jantrang tak mau membuka diri begitu saja, sebab ia tahu siapa adanya dua pendekar kembar tersebut. Jangankan dirinya sendiri mampu menghadapi, dengan Dewi sekalipun mungkin mereka belum dapat dikalahkan dengan mudah.
"Mungkin tuan-tuan salah lihat."
"Ah...!" kedua kakak beradik kembar memekik tertahan mendengar ucapan Jantrang.
"Manalah mungkin kami ini akan lupa?" gumam Jaladri.
"Ooh, mungkinkah manusia tak akan pernah lupa?" Jantrang balik bertanya, seakan ingin terus mengelabui kedua pendekar kakak beradik tersebut.
"Ah, sudahlah! Maaf tuan-tuan, kita di sini mempunyai tugas dan wewenang sendiri-sendiri. Nah, bukankah tuan-tuan mempunyai tugas untuk mendidik tuan pangeran?"
"Benar!" jawab keduanya serempak.
"Nah, saya permisi."
Kedua kakak beradik kembar tersebut tak dapat berkata apa-apa manakala Jantrang berlalu meninggalkannya. Keduanya hanya sesaat saling pandang, lalu dengan terlebih dahulu mengangkat bahu kedua pendekar kembar tersebut berlalu pergi meninggalkan tempat tersebut untuk menjalankan tugas mereka menjadi guru bagi pangeran. Terbelalak mata kedua pendekar kembar manakala mendapatkan diri murid mereka telah lenyap entah ke mana. Kedua kakak beradik kembar tersebut segera berusaha mencari keberadaan pangeran, muridnya. Seluruh pelosok padepokan dicari, namun diri murid mereka tidak juga ditemukan.
"Apakah tidak mungkin kalau Jantrang keparat itu yang telah berbuat rendah ini, Kakang?" tanya Jaladru setelah merasa pasti tak akan mampu menemukan Pangeran Anggangga Gerta.
"Ya! Aku rasa juga begitu," jawab Jaladri.
"Ayo, kita segera ke kerajaan untuk mengabarkan hal ini."
Dengan hati dongkol dan penuh kemarahan pada Jantrang kedua pendekar kembar tersebut segera berkelebat pergi menuju ke kerajaan untuk menyampaikan berita tersebut pada sang Raja.

* * * * *



"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah hilang," Jaladri menyampaikan berita, menjadikan Sri Baginda Raja tersentak seraya kerutkan kening.
"Hilang...? Hilang bagaimana?"
"Pangeran entah ke mana perginya. Mungkin pangeran telah diculik oleh Jantrang," Jaladru menambahkan.
"Jantrang?" Sri Baginda Raja memikir, mengingat-ingat nama Jantrang.
"Ah, benarkah?"
"Daulat, Sri Baginda. Sebenarnya hulubalang Utama Kerajaan bukanlah bernama Jalakatunda. Dia adalah Jantrang, sekutu Dewi Cendana Biru pemilik Kera Siluman."
Tersentak Sri Baginda dan Rama Patih mendengar penuturan Jaladri. Betapa tidak, mereka telah benar-benar merasa bodoh tak mau mengerti adanya musuh yang menyelinap di kerajaan.
"Apakah tuan-tuan pendekar tidak berdusta?" Rama patih bertanya.
"Apakah mungkin kami kurang selektif?"
Jaladri sunggingkan senyum, lalu katanya.
"Untuk apakah kami yang telah kalian kenal harus berdusta? Cobalah cari Jantrang di rumahnya. Kalau benar Jantrang ada, mungkin kamilah yang kurang becus dalam hal ini."
Sri Baginda Raja dan Rama Patih saling pandang. Keduanya membenarkan apa yang dikatakan oleh Jaladri, dan setelah sesaat berbuat begitu Sri Baginda Raja pun berkata: "Rama Patih, perintahkan tiga orang prajurit menemui Jantrang atau siapapun namanya!"
"Daulat, Baginda!" Rama Patih menyembah, lalu dengan segera berlalu meninggalkan keraton untuk menyuruh para prajuritnya menemui Jantrang.
Langkah Rama Patih nampak tergesa, terbukti dalam sekejap saja dia telah menghilang dari pandangan masuk ke tikungan jalan yang penuh sesak oleh rumah-rumah kediaman para prajurit keraton. Dan Rama Patih berhenti manakala telah berjalan cukup jauh meninggalkan keraton. Di situ berdiri beberapa rumah prajurit pilihan, yang sewaktu-waktu siaga bila diperintah.
"Prajurit...! Kumpulll...!"
Dari beberapa rumah keluar para prajurit demi mendengar seruan Rama Patih.
"Daulat, Patih...!"
"Daulat, Rama Patih...!"
"Kalian berkumpullah!"
Dengan tertib para prajurit tersebut berkumpul, membuat barisan berjejer di hadapan Rama Patih. Dan setelah melihat para prajurit berbaris, Rama Patih berjalan memeriksa barisannya.
"Kalian tahu apa yang telah terjadi?"
"Tidak, Rama Patih!" jawab semuanya bareng, lalu saling pandang seakan bertanya-tanya antara Satu dengan yang lainnya.
"Pangeran Anggangga hilang."
"Apa...!? Apakah Rama Patih tidak sedang menguji kami?"
"Tidak! Dan saya memang sengaja memanggil kalian untuk meminta pada tiga orang mencari sang Pangeran," Rama Patih menerangkan.
"Menurut tuan Pendekar Jaladri dan Jaladru, penculik Kanjeng Pangeran Alit tak lain hulubalang kita yang bernama Jalakatunda."
"Apabila memang benar!"
"Penggal kepalanya bila terbukti!"
"Kuliti saja, Rama Patih...!"
Rama Patih tak hiraukan pekikan para prajuritnya. Dia lebih memilih tenang, berjalan menunduk dengan pikiran yang diliputi rasa ketidak-mengertiannya tentang apa sebenarnya yang dicari Jalakantunda menculik Pangeran Anggangga.
"Mencari penyakit saja Jalakatunda," rungut Rama Patih kesal.
"Aku perintahkan, tiga orang di antara kalian siapa yang sanggup mencari dan menangkap Jalakatunda?" Rama Patih bertanya pada para prajuritnya.
"Kami...!"
"Hem, bagus! Ternyata kalian adalah para prajurit yang tinggi rasa nasionalismenya. Nah, aku minta tiga orang saja untuk menjalankan tugas ini." Rama Patih terdiam sejenak, mencari-cari siapa kiranya yang pantas untuk menjalankan semuanya. Matanya memandang satu persatu para prajurit yang nampaknya telah siap untuk ditunjuk. Setelah lama meneliti para prajuritnya, Rama Patih akhirnya berkata memerintahkan pada tiga orang prajurit.
"Soka Lima, Dayatri, Enggarta, kalian aku berikan wewenang untuk menjalankan tugas ini. Cari Jalakatunda dan Pangeran Anggangga Gerta. Kalian jangan kembali sebelum dapat menemukan keduanya. Dan bila Jalakatunda melawan, aku berikan pada kalian untuk menyingkirkannya. Mengerti kalian?"
"Daulat, Rama Patih. Segala titah akan kami junjung tinggi," jawab ketiga prajurit pilihan serempak.
"Bagus! Yang lainnya, geledah kediaman Jalakatunda!"
"Daulat, Rama Patih...!" jawab yang lainnya.
"Kerjakan!"
Tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya para prajurit Kerajaan Tanah Jawa itu bergegas menyebar untuk menjalankan tugas masing-masing. Ketiga prajurit pilihan bergerak dengan menunggang kuda mencari keberadaan Hulubalang Jalakatunda atau Jantrang. Sementara prajurit lainnya bergerak untuk menggeledah kediaman Jalakatunda.

* * * * *



Para prajurit yang menggeledah rumah kediaman Jalakatunda dengan segera sampai, dipimpin oleh seorang panglima prajurit yang bernama Raka Berka. Raka Berka merupakan seorang panglima perang yang disegani. Di samping otaknya yang pandai mengatur strategi perang, ia juga terkenal dengan keberaniannya yang pantang menyerah pada musuh dalam keadaan apa pun.
"Jalakatunda, keluar kau...!" Raka Berka berseru, manakala dirinya dan sepuluh orang prajurit telah tiba di tempat Jalakatunda berada.
Tak ada jawaban. Raka Berka kerutkan kening, lalu dengan mengibaskan tangan Raka Berka memerintah pada anak buahnya untuk menyerbu ke rumah Jalakatunda. Dan dengan penuh keberanian para prajurit Tanah Jawa itu bergerak dengan senjata siap di tangan menyerbu ke dalam rumah.
"Menyerahlah, Jalakatunda! Kau telah kami kepung!"
Kembali tak ada jawaban.
"Bedebah! Serang...!" dengan geram Raka Berka berseru memerintah pada kesepuluh anak buahnya yang dengan segera berkelebat menyerang ke dalam.
Semua prajurit itu dengan bareng menghancurkan kediaman Jalakatunda. Namun sungguh mereka terkesima tatkala melihat bahwa rumah tersebut telah kosong, tanpa ada penghuninya.
"Kosong, Panglima!"
"Kosong...?" Raka Berka menggumam sendiri.
"Ke mana larinya Jalakatunda keparat itu?!" Raka Berka yang tidak mau percaya begitu saja pada kesepuluh prajuritnya dengan segera berkelebat masuk ke dalam rumah tersebut. Dan apa yang dikatakan oleh kesepuluh prajuritnya ternyata benar adanya. Rumah tersebut telah kosong, dibiarkan dalam keadaan begitu rupa oleh pemiliknya. Raka Berka nampak makin sewot dan marah menerima kenyataan bahwa Jalakatunda benar-benar telah menculik Pangeran Anggangga Gerta.
"Iblis! Ini benar-benar penghinaan pada Raja!"
"Benar, Panglima! Kita penggal saja bila kita dapatkan!"
"Hem, mari kita kembali ke kerajaan untuk melaporkan hal ini pada Rama Patih!"
Segera kesebelas prajurit istana yang ditugaskan menyergap rumah Jalakatunda kembali menuju ke istana guna menemui pimpinannya yaitu Rama Patih. Kesebelas prajurit tersebut tampak kemurungan yang teramat sangat di wajahnya. Semua berjalan dengan diam, tak ada kata-kata menyelimuti mereka. Tengah mereka berjalan dengan bisu, tiba-tiba terdengar suara orang berkata mengejek.
"Orang-Orang istana bodoh!"
"Bangsat! Siapa kau!" Raka Berka balik membentak.
"Kalau kau manusia, tunjukkan mukamu, Bangsat...!"
"Hua, ha, ha...! Percuma aku menunjukkan mukaku. Aku merasa mukaku lebih berharga daripada muka kalian yang tidak ada artinya sama sekali!"
"Bedebah! Jangan kira kami akan membiarkan monyet usil sepertimu! Seraaanggg...!"
Dengan sekali berseru, maka kesepuluh prajurit-prajurit itu berkelebat menyerang ke tempat di mana suara tersebut datang. Namun kesepuluh orang prajurit kerajaan itu hanya mendapatkan bebatuan kosong belaka. Orang yang tadi mengirimkan suara tak ada di sekitar batu tersebut. Malah kini orang tersebut makin ganda tertawa dengan penuh ejekan.
"Hua, ha, ha...! Kalian benar-benar orang bodoh!"
"Bangsat! Jangan bisanya memaki saja! Keluarlah!" Raka Berka kembali membentak.
"Kalau kau tak mau keluar, jangan salahkan aku akan membuat dirimu hancur, Bajingan!"
"Hua, ha, ha...! Raka Berka, Raka Berka, omonganmu terlalu besar, tapi tak ada kenyataannya!" ejek suara itu.
"Bedebah!" Raka Berka menggeretak marah, matanya memandang liar ke segenap penjuru, sementara telinganya dipasang dengan tajam untuk mampu mendeteksi di mana keberadaan musuh. Tangannya telah siap menggenggam senjata berupa keris pusaka Karta Ludra, yaitu sebuah keris yang diberikan oleh gurunya manakala dirinya hendak mengabdi pada kerajaan.
"Hai! Pemilik suara pengecut! Kalau kau manusia yang memang berani, keluarlah dari persembunyianmu! Jangan sembunyi seperti itu! Hadapi Raka Berka!"
"Raka Berka! Sudah aku katakan, percuma aku menemui dirimu. Sebab tak ada artinya aku menemuimu! Kau tidaklah ada gunanya sama sekali bagiku!"
"Bangsat!" Raka Berka nampak gusar, emosinya sudah tidak dapat ditahan lagi.
"Serang...!"
Mendengar seruan dari pemimpinnya, maka dengan segera kesepuluh prajuritnya berkelebat menyerang ke arah suara tersebut. Namun belum juga mereka sampai pada tujuan, tiba-tiba mereka memekik. Tubuh mereka berjatuhan laksana dihempas oleh angin besar. Tubuh mereka berguling-guling ke bawah, menuruni bukit di mana suara tersebut berasal.
"Hua, ha, ha...! Apa kataku, Raka! Kalian tak akan mampu mengetahui di mana dan siapa aku adanya! Kalian minggatlah ke akherat sana!"
"Bangsat!" Raka Berka menggeretakkan giginya marah. Tangannya yang memegang keris pusaka tampak bergetar, seakan keris tersebut menghentak-hentak hendak membawa dirinya terbang menuju ke arah di mana suara tersebut berada. Matanya tak henti memandang pada kesepuluh anak buahnya yang masih mengerang kesakitan, lalu kembali memandang pada larikan bukit yang terpampang di hadapannya.
Orang yang memiliki suara seakan tidak memperdulikan bentakan Raka Berka, malah kini ia makin ganda tertawa. Sepertinya orang tersebut benar-benar hendak mengejek habis-habisan pada Raka Berka selaku Panglima Perang yang tidak mampu menjalankan tugasnya. Hal ini tidak saja menjadikan Raka Berka gusar, tapi kemarahannya sudah tak terbendung lagi. Maka dengan sekali lompat Raka Berka tebaskan keris pusaka ke arah bukit-bukit tersebut.
"Hiaaaattt...!"
"Duaaar...!" Bukit di hadapannya yang terkena tusukan keris pusaka tersebut seketika meledak dan runtuh dengan batu-batuan berhamburan. Sungguh dahsyat tuah keris di tangan Raka Berka, keris tersebut mampu menghancurkan bukit bebatuan yang nampak kokoh. Bersamaan dengan runtuhnya bukit tersebut, sebuah bayangan berkelebat mengelakkan serangan keris di tangan Raka Berka.
"Hebat! Hebat...!" Orang yang melompat ke luar dari persembunyian tersebut berkata, lalu dengan gerak cepat berkelebat menyerang Raka Berka.
"Bedebah! Rupanya kau, Rangaspati! Kau harus mampus!"
Raka Berka tak mau tinggal diam, dengan segera dia tusukkan keris pusakanya ke arah musuh. Larikan sinar merah yang keluar dari keris membersit mengarah pada Rangaspati. Segera Rangaspati lemparkan tubuh bersalto menghindar, hingga sinar merah yang keluar dari keris membersit beberapa senti di samping tubuhnya. Mata Rangaspati nampak membeliak, ada rasa ngeri memancar di sana. Keris pusaka di tangan Raka Berka bukanlah senjata sembarangan. Kemampuan tuah keris tersebut sungguh sudah kondang.
Raka Berka tak mau membiarkan musuhnya diam begitu saja, maka dengan penuh perhitungan kembali Raka Berka tebaskan keris pusakanya ke arah musuh. Rangaspati kini tidak mau nyawanya menjadi korban, segera ia kembali lemparkan tubuh ke samping dengan tangan kibaskan ke arah Raka Berka. Dari kibasan tangan Rangaspati keluar larikan sinar putih kebiru-biruan mendesing ke arah Raka Berka.
"Wuuut...!" Raka Berka kembali tebaskan keris pusaka menangkis ribuan jarum-jarum beracun yang dilemparkan oleh Rangaspati.
Trang, trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh, luluh lantak tersapu oleh babatan keris pusaka di tangan Raka Berka. Mata Rangaspati kembali membeliak, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Hem, sungguh bukan keris sembarangan," gumam hati Rangaspati.
"Aku tidak boleh main-main."
Rangaspati segera silangkan kedua tangannya di depan dada, lalu dengan memekik Rangaspati berkelebat menyerang ke arah Raka Berka. Dari kedua telapak tangan Rangaspati nampak dua larik sinar biru kehitam-hitaman, melesat ke arah Raka Berka.
"Mampus kau, Raka! Hiiiaaattt...!"
"Wuuutttstt...!"
"Jangan kira semudah itu, Rangaspati, Hiaaattt...!"
Raka Berka kembali berkelebat dengan keris pusaka yang siap di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya dengan segera menyalurkan tenaga dalam untuk siap memapaki serangan yang dilancarkan Rangaspati. Dua larik sinar yang mengandung tenaga dalam kini melesat ke udara, lalu...
"Duuuaaar...!" ledakan dahsyat menggema, manakala dua kekuatan tersebut saling beradu. Raka Berka lemparkan tubuh bersalto ke belakang, tertolak oleh dorongan tenaga. Begitu juga dengan Rangaspati. Tubuh Rangaspati pun tak luput terlempar ke belakang.
Semua prajurit kerajaan anak buah Raka Berka hanya terlongong tak ada yang dapat berbuat apa-apa. Kesepuluh orang prajurit tersebut nampak terpaku, diam menyaksikan pertarungan yang baru kali itu mereka saksikan. Raka Berka kembali memasang kudakudanya, lalu dengan keris pusaka masih tergenggam di tangannya Raka Berka memekik dan kembali melompat menyerang.
"Hiiiiaaattt...!" Keris di tangan Raka Berka bagaikan haus darah. Keris itu kini makin membara merah, sepertinya keris tersebut mengandung hawa membunuh, hawa ingin menghisap darah.
Melihat Raka Berka telah bangkit dan menyerang, dengan masih menahan rasa sakit di dadanya Rangaspati segera bangkit dari duduknya. Perlahan diaturnya napas agar tenang, lalu disalurkan tenaga dalam ke kedua telapak tangannya.
Kini jurus-jurus kematian telah keduanya rapalkan. Dan ajian pamungkas yang keduanya miliki benar-benar telah siap merenggut nyawa salah seorang di antara keduanya.
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Maattii kau, Rangas... Hiaaattt...!"
"Wuuuut...!"
"Wessssttt...!"
Raka Berka hantamkan ajiannya, begitu juga dengan Rangaspati. Rangaspati segera miringkan tubuh ke samping, lalu tangannya yang sudah dirasuki dengan ajian mengarah ke arah datangnya larikan sinar yang keluar dari tangan Raka Berka.
"Duaaar...!"
Dua tubuh itu tergontai-gontai ke belakang. Mata keduanya melotot, lalu dengan lemah keduanya ambruk jatuh. Sesaat keduanya terdiam, dari mulut mereka keluar lelehan darah menetes. Raka Berka nampak membeliak, lalu dengan mengibaskan tangannya memerintahkan pada kesepuluh anak buahnya untuk menyerang. Dan hal tersebut sungguh tidak diinginkan oleh Rangaspati yang juga dalam keadaan luka parah akibat bentrokan tenaga dengan Raka Berka.
Namun rupanya kesepuluh prajurit tersebut tak mau mengerti. Kesepuluh orang prajurit tersebut dengan beringas yang baru saja sembuh dari sakitnya menyerang dengan senjata di tangan mereka masing-masing.
"Hiiiaaat...!"
Rangaspati yang tidak mau mati dengan begitu saja dengan masih menahan sakit segera bangkit. Dengan kemarahan yang meluap-luap, Rangaspati papaki serangan kesepuluh orang prajurit kerajaan tersebut.
"Jangan kira aku mau mengalah begitu saja. Langkahi dulu mayatku. Hiaaattt...!"
Dengan tangan kosong Rangaspati segera hantamkan tangan memukul serta kaki menendang musuh. Pertarungan kembali berjalan. Walau dengan tangan kosong Rangaspati nampak dapat mengimbangi pengeroyokan tersebut.
"Wuuut...!"
Golok di tangan kesepuluh prajurit-prajurit itu berkelebat membabat. Segera Rangaspati miringkan tubuh, kaki diayun ke muka membentuk sebuah tendangan kipas. Itulah jurus Jaran Nyepak, sebuah jurus yang mengandalkan kecepatan gerak kaki dengan tapak kaki sebagai landasannya. Dalam dunia karate dinamakan Mawasi Giri.
"Plak!"
Kaki Rangaspati mendarat telak di pipi musuhnya, yang seketika itu memekik sambil memegangi pipinya yang memerah karena terkena tendangan. Namun begitu kesembilan prajurit lainnya tidak mau mengalah begitu saja. Kesembilan orang prajurit yang masih penasaran tersebut kembali membabatkan senjata di tangan mereka ke arah Rangaspati. Segera Rangaspati lemparkan tubuh ke atas mengelakkan serangan, lalu dengan menukik Rangaspati hantamkan pukulan ke arah musuh.
"Bug, bug, bug...!"
"Aaaahhh...!"
Tiga kali, pukulan telak tangan Rangaspati mendarat di muka musuh, dan tiga kali tiga orang prajurit yang terkena memekik, lalu bergulingguling menahan sakit dengan tangan memegangi muka. Melihat hal tersebut gusarlah Raka Berka, ia segera bangkit dan dengan membentak Raka Berka kembali berkelebat menyerang Rangaspati.
Serangan Raka Berka kini benar-benar serangan yang mengandung hawa kematian. Tangan Raka Berka terus mencerca, sepertinya ia tidak menghendaki Rangaspati mampu membalas serangannya. Dan memang benar, Rangaspati yang memang terluka nampak tidak mampu membalas. Rangaspati kini hanya mengelak dan mengelak setiap serangan yang dilancarkan oleh Raka Berka tanpa mampu membalas. Gerakan Rangaspati kini makin melemah, terdesak dengan hebatnya.
Sementara Raka Berka yang melihat musuhnya dapat terus didesak, nampak makin bertambah nafsu. Tangannya bergerak makin cepat. Dan pada sebuah kesempatan, tangan Raka Berka dengan telaknya berhasil menyampok muka Rangaspati. Seketika itu Rangaspati memekik, darah keluar dari pipinya yang tampak tergores kuku Raka Berka.
"Aaaaahhhh...!" Rangaspati terhuyung ke belakang dengan mata melotot. Luka barutan di pipinya terasa perih, sepertinya tangan Raka Berka mengandung racun. Matanya kunang-kunang melihat. Mulutnya tampak menggeram, dan dengan nekat Rangaspati segera menghadang serangan Raka Berka.
"Hiiiaaaattt...!"
Tubuh keduanya nampak bagaikan terbang, melompat ke udara. Dua tubuh itu kini saling berhadapan, lalu dengan cepat keduanya saling serang di udara. Tangan keduanya bergerak dengan cepat menghantam dan menangkis, begitu juga dengan kaki mereka. Namun nampak Rangaspati kini benar-benar lemah karena racun yang telah bersarang di darahnya. Dalam sekejap saja Raka Berka mampu menjadikan Rangaspati sebagai bulan-bulanan, sehingga tak ayal lagi Rangaspati kini dalam sekejap saja telah menjadi tumpuan tangan maut Raka Berka. Sampai akhirnya, sebuah tendangan telak menghantam ulu hatinya. Melengking Rangaspati seketika, tubuhnya terlonjak jauh ke belakang. Tubuh itu sejenak mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Raka Berka sejenak tercenung diam, memandang pada tubuh Rangaspati yang sudah tanpa nyawa. Namun seketika ia merasa dirinya bodoh, sebab bukankah Rangaspati yang tahu rahasia di mana keberadaan Dewi Cendana Biru dan Kera Silumannya?
"Ah, sungguh bodohnya aku ini. Mengapa tidak aku tanyakan di mana pimpinannya?" lenguh hati Raka Berka.
"Tidak! Kalau dia hidup, tidak mungkin aku dapat selamat... Prajurit..,! Kita teruskan ke kerajaan!"
Dengan segera keenam orang prajurit yang masih hidup segera mengusung empat orang rekannya yang telah binasa. Ketujuh orang tersebut kembali melangkahkan kaki mereka untuk meneruskan perjalanan menuju ke kerajaan.

* * * * *



:::≡¦ [ TIGA ] ¦≡:::

"Paman, mengapa aku kau ajak ke mari?" Pangeran Anggangga bertanya dengan nada cemas. Perasaan sebagai seorang anak-anak yang masih polos bagaikan menuntunnya untuk menanyakan keberadaannya.
"Apakah kita tidak salah jalan, Paman?"
"Tidak. Kita tidak salah jalan."
"Tapi, Paman..."
"Sudahlah, jangan banyak tanya."
Tersentak Pangeran kecil Anggangga mendengar bentakan hulubalangnya. Memang tidak seperti biasanya sang hulubalang berani padanya, apalagi membentak seperti sekarang.
"Aneh, kenapa Paman Hulubalang Jalakatunda kini membentakku? Apa salahku?" tanya Pangeran Anggangga dalam hati. Matanya memandang tiada kedip ke arah Jalakatunda, yang kini tertunduk diam. Sementara kereta masih berjalan, terombang-ambing oleh jalanan yang berbatu-batu.
"Paman, mengapa kita menuju ke hutan?" kembali Pangeran Anggangga bertanya.
"Sudah aku katakan. Diamlah!" bentak Jalakatunda.
"Paman..."
"Jangan banyak bicara!" potong Jalakatunda, menjadikan Pangeran Anggangga terlolong diam.
"Ingat! Kini akulah yang berkuasa, bukan dirimu, mengerti!"
"Me... mengerti, Paman," jawab Pangeran Anggangga dengan takut-takut. Matanya kini tak berani menentang pandang, tertunduk tanpa kata lagi.
Mendengar ucapan Jantrang atau Jalakatunda yang begitu kasar pada Pangeran Anggangga, sang kusir yang sedari tadi diam kini nampak palingkan muka ke arah dalam. Ada rasa kasihan dalam sorot mata sang kusir melihat pangeran kecil itu.
"Sungguh kasihan Pangeran. Hanya karena ambisi Iblis ia menjadi korban kebiadaban Jantrang yang tidak tahu balas budi," rungut sang kusir dalam hati.
"Apakah aku akan mengikuti kemauan Iblis ini dan membiarkan pangeran menderita?"
Sang kusir kini nampak memperlambat jalan kudanya, dengan harapan agar ada prajurit yang segera menyusul. Kuda-kuda itu kini bagaikan enggan berjalan, apalagi memang keadaan jalan di situ tidak enak. Jalanan berlubang dan banyak sekali bebatuan yang menghambat. Tidak jarang kedua orang penunggangnya harus terguncangguncang ke sana ke mari.
"Kusir, apa kau memang sengaja membuat perutku mules!" bentak Jantrang atau Jalakatunda sewot.
"Ah...!" sang kusir mengeluh.
"Sungguh saya tidak sengaja. Apakah tuan tidak melihat keadaan jalan ini?"
Jalakatunda terdiam mendengar ucapan sang kusir yang dirasakannya memang benar. Tapi bila ingat bahwa para prajurit kerajaan akan mengejarnya, maka rasa takut di hati Jantrang kembali muncul. Dan kembali Jantrang atau Jalakatunda kembali memerintah pada sang kusir untuk memacu kuda-kudanya.
"Kusir, percepat lari kuda!"
"Tidak bisa, Tuan."
"Bah! Jangan membantah, kusir!" Jantrang merungut kesal dan marah.
"Kerjakan apa yang aku perintahkan!"
"Tapi..."
"Jangan ngomong!" bentak Jantrang memutuskan.
Sang kusir terdiam, namun ia tidak segera menjalankan apa yang dikatakan oleh Jantrang. Hal ini menjadikan Jantrang makin-makin marahnya. Napasnya terdengar menderu, memburu dengan segala kemarahan yang ada. Dan tanpa sepengetahuan sang kusir Jantrang dengan sadis tanpa belas kasihan menghantamkan pukulannya ke arah sang kusir. Tanpa ampun lagi sang kusir yang tidak sadar memekik, lalu dengan kerasnya tubuh sang kusir terpelanting jatuh ke bawah.
"Aaaaahhhh...!"
"Bug!"
"Paman jahat!" Pangeran Anggangga memekik, ia menutupi mukanya dengan kedua tangan saking ngerinya melihat tubuh sang kusir yang terpelanting jatuh. Kuda-kuda penarik kereta itu kini meringkik, sepertinya kuda-kuda tersebut tahu bahaya. Dan kuda-kuda itu kini berserabutan lari pontang-panting. Hal itu menjadikan Jantrang panik. Dicobanya untuk mampu mengendalikan lari kuda-kuda itu, namun nampaknya ia tak akan berhasil. Kuda-kuda yang panik menyaksikan tuannya jatuh nampak makin beringas dan liar. Sekali-kali kuda-kuda tersebut meringkik, lalu mengangkatkan kakinya tinggi-tinggi.
"Kuda sialan!" Jantrang memaki, sementara Pangeran Anggangga nampak makin ketakutan.
"Kuda minta mampus! Mengapa kalian menjadi liar dan gila, hah!"
Kuda-kuda itu tak mau perduli, dan kuda-kuda itu pun dengan pontang panting melarikan kereta seenaknya. Tinggallah Jantrang dan Pangeran Anggangga yang ketakutan. Kuda-kuda tersebut kini lari dengan tak tentu arah. Jantrang terus berusaha mengendalikan lari kuda-kuda tersebut. Namun rupanya kuda-kuda itu benarbenar tak mau dikendalikan. Kuda-kuda itu benar-benar panik demi melihat tuannya terjatuh.
"Bahaya!" Jantrang memekik dalam hati.
"Aku harus berusaha menghindar... Tapi, bagaimana dengan pangeran itu? Ah, tak uruslah! Biar ia mau bagaimana!"
Dengan tanpa hiraukan Pangeran Anggangga yang menjerit-jerit ketakutan di dalam kereta, segera Jantrang melompat dari kereta yang makin menggila saja larinya. Tubuh Jantrang berguling-guling sesaat, sebelum kembali bangkit dan dengan pandangan acuh memperhatikan kereta yang masih lari dengan tak tentu itu membawa tubuh Pangeran Anggangga.
Kuda-kuda itu terus berlari membawa kereta yang ada Pangeran Anggangga di dalamnya. Pangeran Anggangga tampak menutup mukanya karena takut dengan kedua telapak tangan. Terkadang ia menjerit meminta tolong.
"Toooolooooongggg...!"
Kuda-kuda tersebut makin menggila saja larinya, mungkin kuda-kuda tersebut makin ketakutan mendengar seruan Pangeran Anggangga. Kereta tersebut kini menikung ke kelokan bukit, lalu lurus menuju ke arah jurang. Makin takut saja Pangeran Anggangga menyaksikan bahwa kuda-kuda tersebut kini menuju ke arah jurang.
"Oh, Rama, mungkinkah aku akan mati?" keluh hati Pangeran Anggangga.
"Kalau memang benar aku hendak mati di dasar jurang, maka sungguh mengerikannya!"
Pangeran Anggangga kini berusaha pasrah, pasrah menerima nasib yang bakal ia terima. Sementara kuda-kuda tersebut makin menggila larinya, sepertinya kuda-kuda itu tak hendak mau menghentikan larinya. Jarak kereta dengan jurang yang berada di depan makin lama makin dekat. Dan Pangeran Anggangga kini makin merapatkan telapak tangannya menutup kedua matanya.
"Matilah aku di sini!" keluhnya.
Tengah segalanya hendak terjadi, tiba-tiba kuda-kuda tersebut meringkik. Kuda-kuda tersebut bagaikan ketakutan, putar haluan ke arah yang berlawanan dengan arah yang dituju. Sementara tanpa sepengetahuan pangeran kecil itu, seorang pemuda nampak berkelebat mengejar lari sang kuda. Kelebatan pemuda itu begitu cepatnya, sepertinya pemuda tersebut tidak lari, namun terbang.
Pangeran yang merasa dirinya tidak jatuh, ke dalam jurang segera buka tangannya. Matanya kini membeliak tidak percaya pada apa yang ia saksikan. Kuda-kuda penarik kereta kini tidak lagi menuju ke jurang, malah kini kembali ke arah yang tadi. Namun kepanikan terus saja menggerogoti hati Pangeran Anggangga yang memang sudah takut. Hingga dengan menjerit Pangeran Anggangga berusaha meminta tolong juga berusaha membuang rasa panik yang kian merambah hatinya.
"Toooooollooooonggg…!"
Pemuda yang sedari tadi hanya menggiring lari kuda-kuda tersebut tampak tersentak mendengar seruan seorang bocah dalam kereta tersebut. Pemuda yang tidak lain Jaka Ndableg adanya sejenak kerutkan kening, lalu dengan secepat kilat setelah yakin bahwa segala pendengarannya benar adanya, segera Jaka pun mempercepat larinya memburu ke arah kereta tersebut.
"Heh, rupanya dalam kereta itu ada seorang bocah."
Tanpa pikir panjang lagi Jaka percepat larinya memburu ke kereta yang makin kencang larinya di hadapannya. Perasaannya sebagai seorang pendekar yang peka menyuruh hati Jaka untuk berusaha menolong bocah yang berada di dalam kereta. Dan dengan ajian Angin Puyuhnya, Jaka terus mempercepat pengejarannya. Dari Ajian Angin Puyuh tingkat pertama, kedua, sampai tingkat ketujuh yang merupakan ajian tingkat akhir dikerahkannya.
"Aku harus dapat mengejar kereta tersebut," Jaka terus berupaya memburu laju kereta yang liar dan jalang tersebut dengan harapan dapat menolong bocah yang berada di dalam kereta.
"Sungguh kasihan bocah tersebut. Sepertinya bocah yang ada di dalam kereta adalah anak seorang bangsawan. Ya, dilihat dari kereta yang ditumpangi, jelas milik seorang bangsawan kerajaan."
"Toooolllloooonnngggg...!" Pangeran Anggangga yang mendengar desahan angin orang berlari kembali berteriak meminta tolong dengan harapan orang yang mengejar keretanya mau menolong menghentikan kereta yang jalang dan liar tersebut. Dan memang dugaannya benar, ternyata pemuda Jaka Ndableg memang bermaksud menolongnya.
"Tenanglah, Dik. Kau jangan panik, aku akan berusaha menolongmu!" seru Jaka memberikan semangat pada Pangeran Anggangga yang tampak makin panik saja.
"Kau tak perlu cemas, sebab kuda-kuda ini kini sudah tidak menuju ke jurang!"
Kini Jaka benar-benar berlomba dengan kuda-kuda yang makin menggila. Dan dengan Ajian Angin Puyuh tingkat pamungkasnya, Jaka kini mampu mensejajari lari kuda-kuda tersebut. Dengan tanpa memperhitungkan lagi akan dirinya, segera Jaka melompat ke atas kereta. Diambilnya kais penarik kuda, lalu dengan segenap tenaga Jaka berusaha menghentikan lari kuda-kuda tersebut. Dan mungkin karena tenaga yang dikeluarkan oleh Jaka Ndableg terlalu besar, menjadikan kuda-kuda itu seketika meringkik sesaat, lalu akhirnya menggelepar mati.
Ya, kuda-kuda itu kini mati dengan mulut terbeset. Dan kereta itu pun seketika terhenti dengan kencangnya, menjadikan Pangeran Anggangga terlempar dari dalam kereta. Beruntung Jaka dengan segera menangkap tubuh pangeran tersebut dan membawanya pergi. Kalau tidak, tentunya tubuh Pangeran Anggangga akan hancur terbentur bebatuan yang berada di depannya ataupun akan patah tulangnya akibat menghantam depan kereta.
"Sungguh kasihan bocah ini," Jaka memandangi tubuh dan wajah Pangeran Anggangga yang pingsan karena takut. Perlahan diturunkannya tubuh Pangeran Anggangga, lalu dengan segera dicobanya membantu pernapasan sang pangeran. Disalurkannya tenaga dalamnya ke tubuh Pangeran Anggangga, sehingga pangeran tersebut kini nampak menggeliat siuman.
"Hem, kuat benar tenaga pangeran kecil ini."
Pangeran Anggangga membuka matanya, perlahan dipandangi sekelilingnya. Akhirnya mata Pangeran Anggangga tertuju pada sepasang mata Jaka Ndableg yang bibirnya terurai senyum. Berbeda dengan hulubalangnya, pemuda yang berjongkok di hadapannya kini nampak ramah dan penuh persaudaraan. Pemuda itu tampangnya lucu, mungkin suka bercanda.
"Siapakah kakak adanya?" tanya Anggangga setelah sekian lama terdiam memperhatikan Jaka Ndableg.
Jaka Ndableg makin lebarkan senyum.
"Aku...? Ah, aku hanyalah seorang pengelana saja yang kebetulan melihat keretamu dalam keadaan liar," Jaka Ndableg menjawab.
"Tak usahlah adik kecil memikirkan siapa adanya aku ini. Yang penting, adik kecil selamat."
Jaka Ndableg garuk-garuk kepalanya, lalu dengan bibir masih tersenyum Jaka kembali berkata: "Dilihat dari pakaian yang adik kecil kenakan, sepertinya adik kecil dari keturunan bangsawan."
"Oh, benar adanya apa yang dikatakan olehmu, Kak," jawab Pangeran Anggangga kini dengan bibir tersenyum, membalas uraian senyum yang dilontarkan Jaka Ndableg.
"Aku memang dari kerajaan. Aku adalah Pangeran Anggangga dari Kerajaan Bumi Jawa."
"Oh, sungguh aku tak tahu diri kalau begitu. Maafkan segala kebodohan patik," Jaka Ndableg menjura hormat, menjadikan Pangeran Anggangga tersenyum.
Ada rasa bangga di hati pangeran kecil itu menerima penghormatan dari Jaka, yang sepengetahuannya berilmu tinggi.
"Ah, tidak usahlah tuan pendekar berbuat begitu. Bukankah tanpa pertolongan tuan pendekar aku tak akan selamat?" Pangeran Anggangga berbasa basi, sepertinya ia pintar sekali dalam berbicara.
Hal itu menjadikan Jaka Ndableg terbelalak kaget hingga mulutnya menganga. Bagaimana mungkin anak sekecil itu. mampu melakukan penerapan gaya bahasa yang tinggi? Apakah karena kehidupannya yang selalu dalam lingkup istana yang menjadikan bocah kecil itu mampu berbuat begitu? Jaka Ndableg tak mampu menjawab segala pertanyaan hatinya. Belum juga hilang kagetnya Jaka Ndableg, tiba-tiba Pangeran Anggangga telah kembali berkata.
"Siapakah pendekar adanya?"
"Namaku Jaka Ndableg," jawab Jaka tenang.
Terbelalak mata Pangeran Anggangga mendengar penuturan Jaka tentang siapa adanya dirinya. Pangeran kecil itu sering mendengar desas desus tentang siapa adanya pendekar muda yang kini berada di hadapannya, tapi melihat langsung barulah kini ia lakukan dan hal itu kebetulan saja.
"Jadi...." Pangeran Anggangga tak mampu meneruskan ucapannya. Dipandangi tubuh Jaka dari ujung kaki hingga ujung rambut, sepertinya ingin membuktikan kebenaran penglihatannya. Dan setelah dapat menenangkan segalanya, pangeran kecil itu meneruskan ucapannya.
"Jadi kakakkah pendekar yang sering diceritakan oleh guru-guruku?"
"Siapakah guru-gurumu, Adik?"
"Guruku tak lain Sepasang Pendekar Kembar."
"Pendekar Kembar?" Jaka kerutkan kening.
"Kalau tidak salah, bukankah gurumu Jaladri dan Jaladru?"
"Ah, sungguh aku tak dapat menyangkal kebenarannya."
"Hem...." Jaka Ndableg kini menggumam.
"Kalau begitu aku tak dapat main-main dengan bocah ini. Gurunya tak lain sepasang pendekar yang sudah kondang namanya."
"Kenapa kakak melamun? Apakah kakak kenal dengan guru-guruku?" tanya Pangeran Anggangga mengejutkan Jaka yang berusaha tersenyum.
"Tidak kenal lagi Gurumu adalah orang-orang besar."
"Tapi kata guru, kakaklah yang seorang pendekar besar."
Jaka gelengkan kepala mendengar ucapan Pangeran Anggangga yang begitu mahir berdiplomasi.
"Kalau aku boleh meminta, sudilah kakak singgah ke kerajaan," pinta Pangeran Anggangga.
"Baiklah, Adik. Aku akan singgah ke kerajaanmu. Tapi, kalau boleh kakak tahu, mengapa adik sampai terbawa oleh kuda-kuda liar tersebut? Apakah adik tengah main-main?" tanya Jaka menjadikan Pangeran Anggangga tertunduk.
"Bukankah jarak Bukit Gelatik ini sangat jauh dengan kerajaan? Paling tidak setengah hari diperlukan waktu untuk menempuhnya?"
Dengan berderai air mata Pangeran Anggangga menceritakan segala apa yang dialami olehnya. Sementara Jaka nampak mendengarkan dengan seksama tanpa bermaksud bertanya dulu. Dan baru setelah Pangeran Anggangga usai, Jaka pun bertanya.
"Ke mana Jantrang pergi?"
"Hai, sepertinya kakak sangat mengenalnya?" Jaka tersenyum lagi, dan katanya.
"Aku bukan hanya mengenalnya, tapi aku juga mencari dirinya untuk mempertanggung-jawabkan atas segala tindakannya padamu, Adik."
"Ooh, rupanya kakak sangat memperhatikan diriku."
Jaka Ndableg kembali tersenyum mendengarkan ucapan Pangeran Angggangga, dan katanya kemudian.
"Bukan hanya diri adik yang harus aku perhatikan, tapi semua orang yang memerlukan pertolongan harus aku perhatikan."
Pangeran Anggangga akhirnya angguk-anggukkan kepala mengerti. Dan manakala Jaka mengajak dirinya untuk kembali ke kerajaan, Pangeran Anggangga tidak membantah. Keduanya pergi meninggalkan Bukit Gelatik.

* * * * *



"Nguuuk...! Nguuukkk...!" Kera itu kini terduduk dengan malas.
"Ngaik! Ngaik! Ngaik!"
"Mana Taka Moro?" wanita itu kini mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki sang kera.
"Taka Moro, temani si Beruk latihan...!"
Dari dalam gua tampak seorang lelaki muda yang tidak lain Taka Moro adanya keluar. Taka Moro sejenak menjura setelah berada di depan wanita berpakaian serba biru tersebut.
"Sri Ratu memanggil hamba?"
"Temani Beruk latihan, Taka!"
"Daulat, Sri Ratu," jawab Taka Moro.
"Ayo Beruk!"
"Nguuuk...! Nguuuuk...!" Si Beruk tampak kegirangan, lalu melompat ke pundak Taka Moro. Keduanya pun berjalan pergi meninggalkan wanita yang disebut oleh Taka Moro Ratu yang kembali melakukan meditasi setelah kepergian kedua sahabatnya.
Wanita berpakaian serba biru yang tidak lain Dewi Cendana Biru masih terus melakukan meditasi. Entah sudah berapa lama ia melakukan itu dan entah apa yang sedang dicarinya hingga ia kuat untuk terus melakukan hal tersebut.
"Hem, sebentar lagi dia datang," Dewi Cendana Biru menggumam sendiri, entah apa maksudnya dengan kata-kata sebentar lagi dia datang.
Bersamaan dengan habisnya gumamnya sang Dewi, terdengar desah angin menerpa ke arah Dewi Cendana Biru. Perlahan sang Dewi buka matanya, dan tiba-tiba ia telah melihat seorang lelaki tua renta berambut serba putih dengan mata menyorot tajam merah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut tampak tersenyum, batuk-batuk kecil dan kemudian terdengar berkata.
"Apa yang engkau maui, Istriku?" tanya lelaki tua bermata merah tajam membara.
"Kenapa engkau memanggilku?"
"Kakang, apakah engkau tidak ingin kau kembali berkuasa seperti manakala kau masih di dunia?"
"Tidak mungkin, Istriku. Aku kini telah beda dunia."
"Tapi Kerajaan Bumi Jawa adalah hakku."
Lelaki tua renta itu tersenyum, ada getaran berat terukir lewat senyumnya. Matanya yang tadi memerah, lamat-lamat menghilang dan berganti dengan kesayuan. Sepertinya lelaki tua renta itu tak ingin mengingat segala apa yang pernah terjadi semasa hidupnya. Tampak nafasnya mendesah berat, dengan tubuh terguncang manakala angin berhembus.
"Aku sudah melupakan semuanya, Istriku," lelaki itu berkata, nadanya mengeluh.
"Biarkan-lah aku hidup dengan tenang di alamku."
"Ah!" Dewi Cendana Biru mengeluh.
"Jadi kakang tidak mau membantuku?"
Ditariknya napas panjang mendengar ucapan istrinya. Rasa berat mengganjal di hati, seakan rasa berat tersebut sulit untuk dilenyapkan. Bayangan lelaki tua itu kembali terlintas pada kejadian di mana dirinya masih hidup. Kejadiankejadian yang menjadikan dirinya bagaikan terbelenggu oleh dosa-dosa kehidupan yang pernah ia alami.
"Sulit, Istriku!"
"Apanya yang sulit, Kakang?" tanya Dewi Cendana Biru, seakan tak mau melihat suaminya frustasi.
"Bukankah kau mampu melakukannya, Kakang?"
Kakek tua itu tersenyum.
"Aku kini bukan hidup di alam manusia, Istriku!"
"Tapi engkau bisa, Kakang."
"Bagaimana mungkin?" tanya lelaki tua itu.
"Bukankah engkau mampu merasuk ke mahluk lain?"
Terdiam lelaki tua tersebut mendengar penuturan istrinya. Matanya memandang tanpa kedip ke arah Dewi Cendana Biru yang tersenyum. Senyum maut sang Dewi itulah yang telah mampu menggoyahkan imannya. Dia rampas tahta pamannya yaitu ayah raja yang sekarang berkuasa atas kehendak istrinya, sehingga dirinya akhirnya harus menanggung beban dosa. Dan kemudian dirinya harus tersisih dari kerajaan sampai mati. Sebenarnya ia sudah tidak ingin segalanya terulang, namun bila istrinya telah tersenyum, dirinya bagaikan tiada daya untuk menolaknya.
"Pada siapa aku harus menitis, Istriku?"
Sejenak Dewi Cendana Biru terdiam, lalu setelah mendapat jawabannya sang Dewi pun berkata.
"Kakang masuklah ke tubuh si Beruk!"
"Apa...?!" tersentak kaget lelaki tua itu mendengar jawaban istrinya.
"Kau hendak menghinaku, Istriku!"
"Tidak! Sungguh bukan maksud Dinda menghina kakang. Tapi dinda ingin membuat sebuah kejadian yang belum pernah ada. Lagi pula, bukankah dengan kakang menitis di si Beruk semua sepak terjang kakang tidak akan ketahuan?"
Terdiam lelaki tua itu memikirkan ucapan istrinya. Tampaknya ia tengah meresapi segala saran istrinya. Lama lelaki tua itu terdiam, hingga akhirnya ia pun kembali berkata dengan nada pasrah.
"Baiklah, demi engkau aku akan menuruti segalanya, Istriku."
Berbunga-bunga Dewi Cendana Biru mendengar jawaban suaminya. Kini dengan suaminya menyanggupi apa yang dikehendakinya, tentunya segala apa yang dicita-citakan akan segera terlaksana.
"Terima kasih, Kakang. Terima kasih!" ucapnya berbahagia menyambut jawaban suaminya.
"Dengan Kakang berkenan membantu, pasti aku akan kembali pada masa kejayaanku. Aku akan benar-benar menjadi Ratu. Hua, ha, ha...!"
Kedua orang bekas suami istri yang sudah dirasuki iblis tersebut kini tertawa bergelak-gelak. Lelaki tua itu tak sadar keberadaan dirinya. Dirinya yang sudah seharusnya tenang di dunia kekekalan, harus bergentayangan kembali untuk membantu ambisi istrinya, ambisi iblis yang selalu merongrong manusia.
"Di mana si Beruk, Istriku?" tanya lelaki tua itu kemudian.
"Ada Kakang. Dia tengah berlatih dengan temannya, seorang manusia dari daratan Nippon."
"Apa...?" lelaki tua renta itu tersentak kaget mendengar jawaban istrinya tentang seorang lelaki dari Nippon.
"Jadi kau pun telah menyeleweng, Istriku?"
"Kakang...! Kakang jangan menuduh dulu. Sungguh aku selalu setia padamu!" Dewi Cendana Biru berkata.
"Walaupun engkau sudah di alam lain, tetapi aku tetap menjaga kesucian cintaku padamu. Dia aku jadikan anak buahku semata. Dia berilmu cukup tinggi, Kakang."
Lelaki tua itu angguk-anggukkan kepala mendengar tutur kata istrinya. Matanya kini tak henti-hentinya memandang pada istrinya yang masih cantik. Dan bila hal itu dilakukannya terus menerus, seketika hatinya kembali bergetar. Ada rasa yang seketika menggejolak di hatinya. Dan rasa itu terus meminta padanya untuk melakukan sesuatu. Perlahan lelaki tua yang sudah berada di alam lain itu melangkah mendekati tubuh istrinya. Perlahan direngkuhnya tubuh sang istri, yang dengan lembut menolaknya sembari berkata.
"Kakang, bukankah kau tak boleh melakukan hal ini dalam keadaan dirimu? Sabarlah! Bukankah dengan engkau berada di tubuh Si Beruk kita dapat melakukan hubungan suami istri seperti dulu lagi?"
Lelaki itu terjengah, sadar akan tindakannya. Memang dalam keadaannya yang sekarang, jelas hal itu tidak mungkin. Tapi apakah dengan dirinya menitis pada seekor kera ia akan dapat menghayati segalanya?
"Baiklah, Dinda. Sekarang tunjukkan aku di mana Si Beruk berada. Biar aku dengan segera dapat melakukan penitisan itu, sehingga aku akan segera dapat bersanding denganmu lagi."
Dewi Cendana Biru tersenyum, dan dengan tanpa kata lagi segera bangkit dari duduknya. Keduanya kemudian berjalan meninggalkan pancuran tersebut menuju ke tempat di mana Si Beruk dan Taka Moro berlatih.

* * * * *



Di sebuah dataran luas nampak dua mahluk Tuhan seekor kera dan seorang manusia yang tak lain Taka Moro dan Si Beruk tengah berlatih silat. Gerakan keduanya begitu gesit, lincah dan sulit untuk diikuti dengan mata. Taka Moro nampak seperti seekor kera yang liar dan ganas. Sesekali melompat ke sebuah cabang pohon diikuti oleh Si Beruk. Keduanya nampak serasi bergerak ke sana ke mari.
"Awas, Beruk! Aku menyerang. Hiiiaaat...!"
"Nguuuk! Nguuuk...!"
Si Beruk sepertinya mengerti. Manakala kaki dan tangan Taka Moro bergerak menyerangnya, segera Si Beruk melompat hindari serangan tersebut. Dan dengan cepat Si Beruk balik merangsek. Tangannya mencakar, kakinya menendang. Si Beruk melompat, lalu menukik dengan kedua tangan menyerang dengan cengkeraman.
"Nguuuukk...!" Si Beruk mendenguk, seakan memberi isyarat agar Taka Moro berhati-hati.
"Baik! Seranglah aku!" Taka Moro yang tahu akan gerakan-gerakan isyarat Si Beruk menjawab.
Kini Si Beruk kembali melompat, lalu dengan disertai desisan Si Beruk merangsek menyerang dengan cakaran-cakarannya yang mematikan. Tangan Si Beruk kini menjulur ke arah leher Taka Moro. Dengan cepat Taka Moro egoskan kepalanya mengelak, lalu kirimkan pukulan silang dengan nama Raja Kera Menyampok Mangsa
"Wuuut...!"
"Ngguuukk...!" Si Beruk tersentak, urungkan serangan menghindar. Kini tubuhnya berguling-guling ke tanah.
Taka Moro terus berusaha menyerang dengan kaki bermaksud menginjak. Namun setiap kali kaki Taka Moro menyerang, secepat itu pula Si Beruk gulingkan tubuhnya menghindar. Pertarungan terus berjalan, saling serang layaknya dua manusia tengah bertarung.
"Nggggguuuukkk...!" Si Beruk bersuara, lemparkan tubuh ke udara dan hinggap di sebuah cabang pohon. Matanya memandang penuh kewaspadaan.
"Nguk! Nguk!"
"Turunlah Beruk! Kenapa engkau nangkring?"
"Nguuuk!" Si Beruk gelengkan kepala.
"Hai, mengapa engkau malas, Beruk?" tanya Taka Moro tak mengerti dengan isyarat Si Beruk.
"Cepatlah turun! Bukankah kita akan berlatih?"
Tengah Si Beruk terdiam nongkrong di atas sebuah cabang pohon, nampak selarik sinar berkelebat menuju ke arahnya. Sinar tersebut melesat cepat, dan tanpa sepengetahuan Taka Moro sinar tersebut langsung masuk ke tubuh Si Beruk. Si Beruk tersentak, lalu bagaikan kesakitan Si Beruk lemparkan tubuh ke atas hingga tak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Tubuhnya meluncur dengan derasnya, dan ambruk jatuh ke tanah.
"Buug...!"
"Beruuukk...!" Taka Moro tersentak kaget melihat keadaan Si Beruk. Segera Taka Moro berlari menghampiri, namun belum juga sampai, seorang wanita yang ia tahu disebut Ratu telah muncul dan berdiri dekat dengan Si Beruk.
"Sri Ratu...?"
Sri Ratu Cendana Biru sunggingkan senyum, memikat. Senyumnya begitu manis, menutupi usianya yang sebenarnya telah begitu tuanya. Hati Taka Moro seketika berdegup melihat senyum Ratunya yang begitu manis. Darah kelelakiannya bergetar hebat, seolah menggelegar. Sri Ratu seakan tak hiraukan dengan keadaan Taka Moro. Ia kini berjalan mendekati Taka Moro, dan dengan bibir masih tersenyum, Sri Ratu rengkuh pundak Taka Moro yang seketika itu bergetar gemetaran.
"Sri Ratu...?"
"Sssttt...!"
Taka Moro tak mampu meneruskan katakatanya, manakala Sri Ratu Cendana Biru isyaratkan agar diam. Dan Taka Moro memang benarbenar diam membisu. Manakala bibir Sri Ratu lumatkan bibirnya Taka Moro hanya pasrah diam.

* * * * *



Baru sekali itu Taka Moro merasakan betapa nikmatnya berpadu dengan seorang wanita. Selama hidupnya baru kali itu Taka Moro menikmatinya, merasakan apa yang seharusnya belum ia rasakan. Rasanya ia tak ingin segera lepaskan tubuh Sri Ratu yang cantik kalau saja Sri Ratu pun menghendakiknya. Tapi Sri Ratu menghendaki segalanya berakhir. Sri Ratu melepaskan pelukannya, dan dengan tergesa-gesa segera mengemasi pakaiannya yang berantakan. Rerumputan dan pohon-pohon serta bebatuan jadi saksi telah adanya kejadian yang menimpa keduanya. Kejadian layaknya dua cucu Adam yang membutuhkan segalanya.
"Cepatlah, Taka!"
"Kenapa, Sri Ratu?" tanya Taka Moro tak mengerti demi mendengar perintah Ratu Cendana Biru agar dia segera mengenakan pakaiannya.
"Sesaat lagi Si Beruk sadar!" jawab Sri Ratu pendek, lalu dengan terburu-buru Sri Ratu tinggalkan tempat tersebut.
Tinggalkan Taka Moro yang masih berusaha mengemasi pakaiannya. Langkah Sri Ratu begitu ringan, beranjak menuju ke tempat Si Beruk berada. Si Beruk nampak menggeliat. Mata Si Beruk yang sudah dimasuki sukma lelaki suami Dewi Cendana Biru nampak merah menyala-nyala. Sejurus Si Beruk memandang ke arah Sri Ratu, lalu dengan manja Si Beruk yang sudah menjadi seekor Kera Siluman melompat memeluk tubuh Sri Ratu. Sri Ratu dengan penuh kemengertian segera menyambutnya.
"Nguuuk...!"
"Hem, kini kau telah menjadi Kera Siluman, Beruk!" Sri Ratu berkata.
"Kini otakmu sama dengan otak manusia, karena dalam ragamu bersemayam sukma manusia."
"Nguuuk! Nguuuk!"
"Bagus! Sekarang kau akan mampu membantuku dan dapat mendengar serta meresapi apa yang aku perintahkan, bukan?"
"Nguuuk...!" Si Beruk mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.
"Nguuuk...!"
"Kau akan selalu ditemani oleh temanmu yang biasanya. Kau kenal dengan dia, bukan?"
"Nguuuk...!"
"Ya! Dia Taka Moro, orang yang menjadi sahabatmu!" jawab Sri Ratu.
Dari semak-semak belukar tampak Taka Moro keluar. Berjalan menuju ke tempat di mana Dewi Cendana Biru tengah bercakap-cakap dengan Si Beruk.
"Itu dia, Beruk!" Sri Ratu menunjuk ke Taka Moro.
"Nguuuk...!" Si Beruk tajamkan mata memandang, sepertinya ia tengah mengingat-ingat orang tersebut. Memang dia dulu mengenal, namun setelah adanya penitisan sukma suami Dewi Cendana Biru, Si Beruk seakan tidak mengenal lagi Taka Moro. Mulutnya menyeringai, tunjukkan gigi-giginya yang tajam. Matanya menyorot makin menyala, seolah-olah memberi tanda bahwa dia kini makin kuat dan sakti.
Taka Moro tersentak melihat hal tersebut. Matanya tiada henti memandang bergantian pada Sri Ratu dan Beruk.
"Aneh Si Beruk, sepertinya ia tidak mengenaliku lagi. Apakah mungkin dalam sesaat ia pingsan, ia lupa padaku?" hati Taka Moro bertanya-tanya. Kakinya seketika terpaku diam di tempatnya, tidak berani ia terus melangkah mendekat, seakan ada kekuatan yang mendorongnya untuk tidak mengganggu apa yang telah terjadi.
Sri Ratu yang maklum segera memanggil Taka Moro, "Taka, ke marilah!"
Taka Moro perlahan melangkah mendekat.
"Nguuuk...!" Si Beruk seperti menambahkan berkata.
Taka Moro tersentak kaget manakala Si Beruk dengan tiba-tiba melompat dari dekapan Sri Ratu ke arahnya. Tak mampu Taka Moro mengelakkannya, sehingga Si Beruk dengan segera mampu memeluk leher Taka Moro yang terperanjat. Taka Moro kaget berbaur rasa sedikit takut, namun manakala melihat bahwa Si Beruk tidak ganas, Taka Moro pun dengan penuh persahabatan menerimanya. Dan dua mahluk itu pun nampak bercanda ria, layaknya seperti kala Si Beruk masih belum dititisi sukma lelaki tua suami Sri Ratu.
"Taka, Beruk, ayo kita kembali!"
"Daulat, Sri Ratu."
"Nguuukkk...!"
Ketiga mahluk Tuhan itu beriringan meninggalkan tempat tersebut kembali ke pancoran di mana mereka biasanya tinggal. Sepeninggalan ketiganya, nampak seorang lelaki berjalan menuju ke arah situ. Lelaki tersebut yang tidak lain Jantrang atau Jalakatunda berjalan dengan letih menuju ke Pancoran di mana Dewi Cendana Biru berada.

* * * * *



"Sampurasun...!" Jantrang menyapa manakala dirinya telah sampai.
"Rampes...!" terdengar dua orang menyahuti, menjadikan Jantrang tersentak kaget. Biasanya hanya seorang wanita saja yang menyahut, tapi kini dua orang.
"Siapakah yang bersama Sri Ratu?" tanya hati Jantrang.
"Jantrangkah yang datang?" kini Sri Ratu yang bertanya.
"Benar, Sri Ratu," jawab Jantrang.
"Masuklah!"
Jantrang sesaat menengok ke sekelilingnya, lalu setelah dirasa aman Jantrang segera berkelebat menembus semak belukar yang menutupi goa di belakangnya. Jantrang segera menjura hormat pada Sri Ratu, sementara matanya memandang tak putus...
=======================================================================================
"Apa yang mesti saya lakukan, Sri Ratu?"
"Bunuh dua pendekar itu! Mengerti, Taka?"
"Daulat!"
"Nguuukkk! Nguuukkk...!"
"Nah, berangkatlah kalian! Buat kerajaan resah! Kalian harus berhasil!" Sri ratu berkata dengan berapi-api, seakan kemarahannya tak dapat terbendung. Dendamnya pada Raja Kerajaan Bumi Jawa telah membakar hatinya yang mengatakan bahwa dirinyalah yang berhak atas tahta yang sekarang dipegang oleh Raja Sutresna. Sebab dirinya adalah istri Raden Sukra yang kini telah menitis di tubuh Si Beruk.
Dendam itu disimpannya manakala dirinya sendiri ditinggal oleh Sukra. Dan dendam itu muncul kembali ketika Jantrang datang dan menyanggupi akan membantu dirinya dengan imbalan pelayanan batin. Segalanya telah ia korbankan, termasuk harga dirinya. Dengan rela ia telah menyerahkan kehormatannya pada Jantrang.
"Aku harus berhasil! Aku harus dapat merebut tahta kerajaan!" Gemuruh hati Dewi Cendana Biru bila mengingat hal tersebut.
Ketiga rekannya yaitu Taka Moro, Jantrang, dan Si Beruk yang kini telah dititisi oleh sukma suaminya nampak berkelebat meninggalkan pancoran tersebut, meninggalkan dirinya yang kini nampak sepi sendirian tanpa teman. Dewi Cendana Biru nampak kembali melakukan meditasi pusatkan segala panca indra untuk membantu gerakan ketiganya.

* * * * *



:::≡¦ [ LIMA ] ¦≡:::

Jaka Ndableg yang masih berjalan dengan Pangeran Anggangga menuju ke kerajaan kini tengah memasuki perbatasan kerajaan. Kedatangan mereka seketika menjadi perhatian para warga yang berjubel-jubel ingin melihat kedatangan pangerannya yang hilang beberapa waktu yang lalu.
"Itukah penculiknya?" tanya seorang warga pada rekannya.
"Bukan!"
"Lalu, siapakah pemuda yang bersama pangeran kita?"
"Mungkin dia yang menolongnya," jawab yang lain.
Semua rakyat Kerajaan Bumi Jawa makin banyak berdatangan dan berdiri berjejer memberikan penghormatan pada pangerannya yang berjalan dengan Jaka Ndableg. Jaka Ndableg sebagai seorang pendekar segera balas menjura manakala melihat rakyat menjura. Hal itu menjadikan semua rakyat Kerajaan Bumi Jawa nampak terbengong-bengong keheranan. Betapa tidak! Biasanya para pendekar akan bangga dan hanya tersenyum saja menerima penghormatan mereka, tapi pendekar muda ini tak sombong. Pendekar muda ini balas menjura.
"Kakak Pendekar, tak usahlah kakak balas menghormati mereka, sebab mereka tak lebih rakyat biasa!" Pangeran Anggangga berkata menyuruh agar Jaka tidak membalas juraan mereka, karena menurut Pangeran Anggangga kedudukannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan rakyat.
Jaka Ndableg gelengkan kepala, lalu berkata: "Tidak begitu, Adik Pangeran. Kita semua sama di mata Tuhan. Hanya kita ditakdirkan hidup dalam keadaan beda."
Takjub seluruh rakyat mendengar ucapan Jaka Ndableg yang tidak sombong itu. Kini rasa hormat mereka makin bertambah pada Jaka. Seorang pendekar yang tidak sombong dan angkuh, yang mengerti akan tata krama.
"Kenapa mesti begitu, Kakak?"
"Ya! Tuhan menciptakan kita sama, dari tanah!" Jaka menerangkan.
"Tuhan akan lebih senang bila kita saling menghormati sesama kita."
"Kalau begitu tiada arti kedudukan kita sekarang, Kakak?"
"Tidak juga begitu, Adik. Kita diciptakan untuk menjadi pimpinan karena Tuhan telah mengatur dan menghendaki kita untuk melindungi orang yang lemah, bukannya kita malah menginjaknya."
"Sungguh kakak merupakan manusia yang sempurna!"
Jaka gelengkan kepala.
"Tidak, Adik Pangeran. Manusia tidak ada yang sempurna. Manusia ada kelebihan dan kekurangannya. Seperti Adik Pangeran, adik mungkin memiliki apa yang kakak tidak miliki."
"Contohnya?" tanya Pangeran Anggangga belum mengerti.
Jaka Ndableg hela napas sesaat, lalu sambil masih berjalan menuju ke kerajaan Jaka kembali berkata, "Contohnya Adik Pangeran memiliki pakaian yang bagus, kedudukan yang dihormati. Tidak seperti kakak, yang tidak memiliki semuanya dan tidak ada artinya di mata orang lain."
Pangeran Anggangga mengerti kini apa yang dimaksud oleh Jaka Ndableg. Memang manusia dikodratkan dengan kodratnya masing-masing. Dirinya dihormati karena kedudukannya sebagai seorang pangeran, tetapi dirinya tentu belum mampu menghadapi segala apa yang mampu dihadapi oleh Jaka Ndableg.
Keduanya terus melangkah, makin lama langkah mereka makin jauh meninggalkan kerumunan rakyat. Tak begitu lama kemudian keduanya sampai di alun-alun kerajaan. Dua orang prajurit nampak segera menghampiri, lalu manakala melihat siapa yang datang keduanya segera menyembah.
"Duh Pangeran, sungguh ayahanda telah menunggu," Prajurit itu berkata.
"Pangeran dari manakah?"
"Janganlah kalian bertanya dulu. Sekarang katakan pada Ayahanda bahwa aku datang bersama Kakak Pendekar," dengan lagak seorang pemimpin, Pangeran Kecil itu memerintah pada kedua prajuritnya. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg tersentak kaget.
"Bagaimana mungkin sifat bocah ini tidak berubah?" tanya Jaka dalam hati.
"Ah, kenapa aku mesti bodoh? Bukankah semua memang telah menjadi didikannya?"
"Daulat, Pangeran!" Kedua prajurit itu kembali menyembah, lalu segera keduanya bergegas pergi untuk melaporkan kedatangan pangerannya pada sang Raja.

* * * * *



"Ada gerangan apakah kalian menghadapku?"
"Ampun, Baginda. Pangeran Anggangga telah kembali."
"Apa...? Anakku kembali?" tanya Raja dengan muka cerah, berbunga mendengar anaknya yang diculik oleh hulubalangnya telah kembali.
"Di mana dia?"
Kedua prajurit itu hendak berkata, manakala Pangeran Anggangga tiba-tiba muncul.
"Daulat Ayahanda, Ananda datang bersama Kakak Pendekar."
"Anakku...!" Bagaikan rindunya tiada terkira sang Raja segera memburu ke arah anaknya. Dipeluknya sang anak dengan segenap kerinduan.
"Oh, terima kasih pendekar. Mungkin tanpa pertolonganmu anakku tak akan selamat."
Jaka tersenyum, menyembah dan berkata, "Ah, kebetulan saja saya menemukan Adik Pangeran dalam keadaan bahaya, terbawa oleh kereta dan kudanya yang liar."
"Jadi... jadi anakku ditinggalkan oleh Jalakatunda keparat itu?" sang Raja nampak menggeretak marah mendengar penuturan Jaka Ndableg.
"Iblis laknat! Prajurit...! Cari Iblis itu sampai ketemu, gantung dia di depan alun-alun!"
"Daulat, Baginda!" Dua orang prajurit tadi menyembah, lalu segera keduanya keluar meninggalkan Sitinggil di mana rajanya dan Jaka Ndableg dan Rama Patih masih tampak duduk di situ.
"Siapakah engkau adanya, Tuan Pendekar?" tanya sang Raja setelah kedua prajuritnya beranjak pergi.
"Aku atas nama pribadi dan kerajaan mengucapkan terima kasih.".
"Sudah menjadi tugas hamba, Baginda," jawab Jaka sambil menyembah.
"Nama hamba yang bodoh ini Jaka Ndableg."
Terbelalak mata Rama Patih dan Sri Baginda demi mendengar nama pemuda yang berada di hadapannya. Mulut mereka menganga, seperti menunjukkan bahwa nama Jaka benar-benar telah mereka kenal benar. Dan memang benar mereka telah mengenal nama pendekar muda tersebut.
"Ah...! Rupanya mataku yang tua ini yang tidak mau menyadari siapa adanya Tuan Pendekar," sang Raja berkata.
"Maafkan segala kebodohan kami."
"Tidak mengapa. Bahkan hambalah yang seharusnya meminta maaf, atas segala kejadian yang tidak mampu hamba atasi."
"Oh, sungguh mulia budimu, Tuan Pendekar." Sang Raja segera beranjak dari singgasananya, lalu bagaikan tidak merasa canggung sang Raja pun duduk di bawah di atas permadani di mana Jaka Ndableg duduk.
"Ah, mengapa Baginda mesti turun?" Tanya Jaka jengah.
"Tidak mengapa. Bukankah Tuan Pendekar selalu mengajarkan bahwa manusia itu sebenarnya sama?" Sang Raja balik bertanya, nadanya mengingatkan pada Jaka akan segala petuahnya.
"Nah, bukankah kita sama mahluk Tuhan?"
Jaka tersenyum menganggukkan kepalanya, begitu juga dengan Sri Baginda yang telah duduk di hadapan Jaka sambil bersila.
"Memang begitu, Ayahanda. Kakak Pendekar juga berkata begitu pada Angga," Anggangga ikut nimbrung berkata, menjadikan Jaka Ndableg mau tak mau harus mendesah. Kini dirinya benar-benar serba salah. Mau merendah dan menolak, jelas tidak mungkin, sebab Anggangga masih kecil. Biasanya anak kecil tak akan mau berdusta.
"Kau bisa saja, Adik Pangeran," akhirnya Jaka hanya dapat berkata begitu.
"Oh ya, di manakah kedua gurumu, Adik?"
"Siapa yang Tuan Pendekar maksudkan?" tanya Rama Patih.
"Itu Paman, Guru Jaladri dan Jaladru," jawab Pangeran Anggangga.
"Di manakah kedua guruku? Sungguh aku ingin bertemu dengan mereka. Aku juga ingin memperkenalkan Kakak Pendekar pada mereka."
"Ada, Pangeran. Keduanya tengah beristirahat."
"Di manakah, Paman?" desak Pangeran Anggangga.
"Keduanya tengah berada di padepokannya."
"Dapatkah Paman memanggilnya?"
Jaka pandangkan matanya ke arah Pangeran Anggangga, yang seketika tertunduk. Pangeran Anggangga tahu bahwa ucapannya tadi kurang berkenan pada Jaka Ndableg, maka dengan segera Pangeran Anggangga meminta maaf.
"Maafkan saya, Kakak Pendekar."
"Tak mengapa. Maafkan kelancangan hamba yang berani mendidik putera Paduka. Hamba melihat bahwa tindakan Adik Pangeran sangat tidak bijaksana. Kalaulah Paduka menyalahkan hamba, maka hamba siap menerima hukumannya," Jaka Ndableg berkata pada sang Raja meminta maaf atas tindakannya yang telah lancang.
"Sungguh itu semua hamba lakukan demi kebaikan Adik Pangeran semata."
"Ah, tidak mengapa. Bahkan aku merasa berterima kasih atas perhatian Tuan Pendekar pada anakku," balas sang Raja.
"Nah, Anggangga, sekarang kau akan dapat pendidikan etika dan sopan santun yang sangat berguna dari Tuan Pendekar. Kau seharusnya berterima kasih padanya."
"Daulat, Ayahanda."
"Aneh pendekar ini," gumam hati Rama Patih dalam hati melihat tindakan Jaka.
"Benar apa yang seringkali aku dengar, pendekar ini benar-benar aneh. Dia tak akan mau melakukan apa yang sekiranya tidak ia kehendaki. Tapi kini, secara tidak langsung ia telah memberikan didikan pada Pangeran Anggangga."
Keempat orang itu terus bercakap dengan sekali-kali diikuti oleh gelak tawa mereka. Tengah keempatnya saling bertukar pendapat, dua orang dari luar tampak berjalan menuju ke arah situ.
"Sampurasun...." sapa kedua orang yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.
"Rampes..." keempatnya segera menjawab.
"Guru...!" Suka cita seketika Pangeran Anggangga melihat gurunya datang.
"Oh, kita akhirnya dapat bersua kembali, Guru. Oh ya, akan murid kenalkan pada guru sekalian teman murid."
Dengan ketidak-mengertian, Jaladri dan Jaladru pun menurut manakala tangan mereka digandeng oleh sang murid. Pangeran Anggangga membawa kedua gurunya menuju ke tempat di mana Jaka Ndableg dan ayahnya serta Patih Rama Patih berada. Kedua gurunya saling pandang tak mengerti dengan kelakuan muridnya yang menggandeng tangan mereka ke tempat ayahandanya yang saat itu tengah bercakap-cakap dengan seorang pemuda.
"Kakak Pendekar, ini guruku."
Jaka Ndableg segera palingkan muka melihat ke arah datangnya Pangeran Anggangga. Seketika Jaka menjura setelah bangkit dari duduknya. Tak alang kepalang kagetnya Jaladri dan Jaladru manakala keduanya tahu siapa adanya pemuda yang dikenalkan oleh muridnya tersebut. Mulut keduanya menganga, mata keduanya melotot tak percaya.
"Jaka Ndableg...!" Jaladri dan Jaladru memekik.
"Oh, sungguh kami tidak menyangka akan dapat bersua dengan Tuan Pendekar yang kondang dengan sebutan Pendekar Pedang Siluman Darah. Ampunilah kami. Sungguh kami tidak memperhatikan senjata yang tergantung di pundak tuan. Kalau kami boleh menerka, tentunya senjata itulah Pedang Siluman Darah."
"Ah, ternyata mata kalian sungguh waspada. Aku tak dapat menyangkalnya," jawab Jaka.
Hal itu seketika menjadikan sang Raja dan Rama Patih serta Pangeran Anggangga terbelalak. Betapapun mereka tidak menyangka kalau pedang yang tergantung di pundak Jaka Ndableg adalah Pedang Siluman Darah yang telah menggegerkan dunia persilatan.
"Jadi benar bahwa pedang yang berada di pundakmu itu Pedang Siluman Darah?" tanya Raja Sutrisna ingin meyakinkan.
"Begitulah, Baginda."
Raja Prabu Sutrisna mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Jaka. Tak lama kemudian semua yang ada di situ pun terlibat pembicaraan. Keakraban segera menyelimuti mereka, termasuk Jaladri dan Jaladru. Walau Sepasang Pendekar Kembar itu dulu merupakan sepasang pendekar dari aliran sesat, namun kini nampaknya keduanya sadar bahwa segala tindakannya selama ini tiada guna.
"Bagaimana dengan Kitab Banyu Geni, Tuan Pendekar?" Jaladri tiba-tiba mengalihkan pembicaraan pada Kitab Banyu Geni yang telah dibakar oleh Jaka Ndableg.
"Apakah Tuan Pendekar benar telah mendapatkannya?"
Jaka Ndableg hendak menjawab, manakala terdengar suara ribut-ribut di luar. Dua orang prajurit kerajaan dengan tergopoh-gopoh masuk dan menjura di hadapan mereka.
"Ada apa, Prajurit?' tanya Rama Patih.
"Ampun Tuanku, seorang lelaki dengan muka rusak tengah mengamuk di alun-alun," jawab dua orang prajurit tersebut dengan tubuh gemetaran.
Hal itu menjadikan Jaka Ndableg tersentak dan bertanya.
"Apakah lelaki itu bertindik?"
"Be... benar apa yang tuan katakan!"
Jaka tertegun, dugaannya benar bahwa orang yang kini mengamuk tidak lain Sumping Tindik adanya.
"Ada apa orang itu mengamuk? Apakah dia mencariku?" tanya Jaka dalam hati. Segera Jaka bangkit dari duduknya dan menjura hormat, lalu bergegas Jaka yang diiringi oleh Jaladri dan Jaladru Gerta Rama Patih meninggalkan ruangan tersebut. Tak lama kemudian Sri Baginda dan anaknya pun menyusul keluar.
"Semua orang yang berada di dalam istana, keluarlah!"
Sumping Tindik nampak mengamuk, tangannya memukul setiap prajurit yang ditemuinya. Kakinya juga tak urung menyepak dan menendang ke arah para prajurit. Beberapa orang prajurit nampak telah tergeletak sekarat, sementara yang lainnya masih berusaha menghalau amukan Sumping Tindik.
Empat orang prajurit maju dengan tombak di tangan mereka, menyerang. Tombak di tangan keempat prajurit itu menusuk ke arah tubuh Sumping Tindik. Sumping Tindik segera cabut kalung yang melilit di lehernya, lalu dengan kalung itu Sumping Tindik hadapi serangan.
"Wuuut! Wuuuuttt...!"
Kalung yang terbuat dari baja dengan nama Kalung Setan itu diputar kencang, menjadikan angin putarannya besar menderu-deru ke arah musuh. Namun sepertinya keempat orang prajurit itu tidak mengenal takut. Keempatnya kembali tusukkan tombak di tangan mereka.
"Wuuuttt...!"
"Desssstttt...!"
"Praak! Prak! Prak! Praak...!"
Empat kali terdengar suara patahan tombak, manakala Kalung Setan di tangan Sumping Tindik beradu dengan tombak di tangan keempat prajurit. Keempat prajurit itu nampak tersentak, lompat mundur dengan mata tak percaya. Tombak di tangannya telah patah menjadi dua. Bukan itu saja, tangan mereka seketika melepuh bagaikan terbakar.
"Aahh...! Racun!" seorang prajurit yang tahu bahwa kalung di tangan Sumping Tindik beracun memekik. Wajahnya kini tampak pucat pasi.
"Kita kena racun!"
"Hi, hi, hi...! Kalian tak akan dapat hidup lebih dari dua belas jam! Kalian akan mati dengan tubuh hangus oleh racun yang ada di Kalung Setanku. Hi, hi, hi...!" Sumping Tindik tertawa bergelak.
"Sekarang kalian minggatlah, katakan pada raja kalian agar secepatnya menyerah kalah!"
"Bangsat! Jangan kira semudah itu!" salah seorang keempat prajurit itu membentak.
"Lebih baik kami mati daripada harus mengaku kalah olehmu, Iblis!"
"Hi, hi, hi...! Rupanya kalian prajurit-prajurit yang setia. Sayang, rajamu tidak akan dapat menolong nyawa kalian!"
Mata keempat prajurit itu nampak merah menyala, lalu dengan mendengus keempatnya kembali berkelebat menyerang. Kini di tangan mereka telah tergenggam keris yang sedari tadi terselip di pinggang.
"Langkahi mayat kami! Hiaaaattt...!"
Keempat prajurit keraton itu tusukkan keris berbareng ke arah Sumping Tindik. Keempatnya nampak kompak, bergerak dari empat penjuru angin. Jurus yang mereka keluarkan adalah jurus Serigala Menyergap Mangsa, yaitu sebuah jurus perang yang diajarkan oleh Jaladri dan Jaladru selama kedua Pendekar Kembar itu mengabdi pada kerajaan. Jurus yang mereka keluarkan sungguh jurus yang bukan sembarangan. Tapi kini mereka bukan menghadapi musuh kelas kecoa yang sekali gebrak saja mengkerut. Musuh yang kini mereka hadapi adalah musuh dari golongan kelas wahid pendekar, yang pernah malang melintang dan menjagoi dunia persilatan pada masanya.
Sumping Tindik nampak enteng saja mengelakkan tusukkan dan sabetan keris di tangan keempat prajurit itu. Tubuhnya hanya bergoyang bagaikan menari, namun goyangannya yang kebencongan tersebut bukanlah goyangan sembarangan dan kaku. Dan karena kekakuannya itu menjadikan angin kibasannya mampu menahan setiap laju gerakan musuh.
"Hi, hi, hi...! Percuma! Percuma!" Sumping Tindik ngomel sendiri, tangannya bergerak-gerak seakan menari. Tapi dari tangannya yang bergerak itu seketika keluar larikan sinar putih kebiru-biruan. Sinar itu membersit berpuluh-puluh banyaknya menyerang keempat prajurit.
"Awas! Jarum beracun...!"
Tersentak keempat prajurit itu demi mendengar peringatan yang diteriakkan oleh seorang pemuda. Keempatnya hendak mengelak, namun ternyata larikan jarum-jarum beracun itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan gerakan mereka. Tanpa ampun, keempatnya seketika memekik. Tubuh keempat prajurit itu seketika membiru, kejang sejenak dengan mata melotot, lalu akhirnya mati dengan tubuh kaku.
"Iblis! Kejam!" pemuda itu yang tidak lain Jaka Ndableg memaki-maki demi melihat kenyataan tersebut "Sumping Tindik, rupanya kecacatan mukamu tidak menjadikan engkau sadar!"
Sumping Tindik tengokkan mukanya memandang ke arah suara itu.
"Kau...?"
"Ya, aku!" jawab Jaka tenang, melangkahkan kakinya menghampiri Sumping Tindik.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Itu urusanku, Sumping Tindik!" jawab Jaka kembali.
"Tidak aku sangka, dulu kau aku ampuni dengan harapan kau mau bertobat. Tapi rupanya bukan tobat yang engkau lakukan, malah makin menjadi-jadi tindakanmu!"
Sumping Tindik menyengir kuda, sepertinya tak gubris segala ucapan Jaka Ndableg. Sementara dari dalam keraton bermunculan Jaladri dan Jaladru serta Rama Patih. Tidak ketinggalan Prabu Sutrisna dan Pangeran Anggangga. Sumping Tindik nampak makin tersentak manakala melihat siapa-siapa yang datang. Mungkin kalau hanya Rama Pati dan Rajanya ia tidak begitu kaget, tapi kini yang datang adalah orang-orang yang kini namanya tengah meninggi.
"Jaladri, Jaladru, kenapa pula engkau berada di sini?" tanya Sumping Tindik dengan nada kaget.
"Apakah kalian telah hilang nyalinya hingga kalian rela mengabdi pada kerajaan yang tak mau diuntung ini?"
Kalau saja Jaladri dan Jaladru tidak melihat adanya Jaka Ndableg di situ, mungkin keduanya akan melabrak mulut Sumping Tindik yang kurang ajar tersebut. Namun dikarenakan ada Jaka Ndableg, keduanya kini benar-benar menahan amarahnya. Hal itu menjadikan Sumping Tindik yang merasa cemoohannya berhasil makin menjadi-jadi.
"Huh! Kalian memang bangsa penjilat!"
"Tutup bacotmu, Bujang Lapuk!" Jaladru yang panasan memaki dengan sebutan Bujang Lapuk. Dan hal inilah yang menjadikan Sumping Tindik tak mau menerima.
"Bangsat! Aku bunuh kau, Monyet! Hu, hu, hu...!" Tanpa hiraukan Jaka, Sumping Tindik seketika menyerang Jaladri dan Jaladru dengan Kalung Setannya.
"Wuuut...!"
Kalung Setan itu membersit, menyerang ke arah Jaladri dan Jaladru. Segera Sepasang Pendekar Kembar itu lemparkan tubuh ke samping mengelakkan serangan. Kalung Setan melesatkan angin yang lolos beberapa senti saja di tengahtengah mereka.
"Wuuut...!"
kembali Kalung Setan mencerca, seakan tidak menghendaki musuh dapat mengatur posisi. Tapi kedua Pendekar Kembar itu bukanlah pendekar-pendekar kelas kroco. Walau mereka tahu siapa lawan yang tengah mereka hadapi, namun keduanya tak akan gentar sedikitpun apalagi kini ada Jaka Ndableg yang tentunya akan membantu mereka.
"Srang...!"
Terdengar bunyi pedang dicabut dari sarungnya manakala tangan kedua Pendekar Kembar itu meraba gagang pedang.
"Hati-hati, Sumping Tindik! Kami tidak akan main-main!" Jaladru menggeretak, lalu dengan secepat kilat ia berkelebat dengan pedang siap membabat. Jurus pedang kedua pendekar kakak beradik kembar itu sudah terkenal, tak dapat disangkalkan kehebatannya. Kini keduanya benar-benar telah mengeluarkan jurus-jurus tersebut. Pedang di tangan keduanya bergerak cepat laksana gasing. Pedang itu bagaikan menghilang, berubah menjadi warna-warna putih perak.
"Wuuuutttt...! Wuuuutttt...!"
Keduanya berkelebat bareng, tusukkan pedang ke arah tubuh Sumping Tindik. Sumping Tindik yang sudah tahu kehebatan ilmu pedang mereka segera putar kalungnya. Kini kalung di tangan Sumping Tindik berputar cepat, sama cepatnya dengan putaran pedang kedua pendekar kembar tersebut.
"Hiiiiaaaattt...!"
"Hiiiaaatttt...!"
Tiga sosok tubuh itu berkelebat cepat, saling mencelat ke udara dengan keadaan siap tempur. Senjata di tangan ketiganya nampak bergerak dengan cepatnya. Dua pasang pedang di tangan Jaladri dan Jaladru menusuk dengan jurus Dewa Pedang Menghancurkan Karang.
Melihat hal tersebut, dengan segera Sumping Tindik putar Kalung Setannya membentuk jurus Lingkaran Setan Memagar Neraka. Sebuah jurus yang sangat dibanggakan oleh para pendekar aliran sesat, yang diciptakan sendiri oleh Sumping Tindik. Gerakan Sumping Tindik nampak kaku, namun mengandung kelicikan.
"Hati-hati, Adik," Jaladri memperingatkan.
"Baik, Kakang! Kita serang. Hiaaattt...!"
Dua kakak beradik kembar itu mencelat dengan pedang masing-masing mengkiblat ke arah musuh. Gerakan keduanya bagaikan menggunting. Pedang di tangan keduanya saling menyilang, menjadikan mata pedang kini saling berhadapan.
"Hiiiaaattt...!"
"Puntung...!" Jaladru membentak.
"Wuuut...!"
"Trang...!"
Dua pedang di tangan kedua kakak beradik itu kini saling bertemu. Kalau orang lain, jelas akan puntung tubuhnya terkena sabetan pedang mereka. Namun kini bukanlah Sumping Tindik kalau tidak mampu mengelakkannya. Tubuh Sumping Tindik mencelat ke udara, manakala pedang keduanya saling bertemu. Gerakan lelaki bencong itu begitu gesit, hampir sulit dipercaya. Malah kini Sumping Tindik tertawa bergelak-gelak dengan tubuh nangkring di atas wuwungan keraton.
"He, he, he...! Kalian kira kalian mampu mengalahkan aku, heh!" Sumping Tindik mengejek.
"Turun kau, Bujang Lapuk!" maki Jaladru.
"Bangsat! Dua kali kau menghinaku! Hiaat...!"
Sumping Tindik bukan alang kepalang marahnya, sehingga dengan geram tubuhnya menyelorot ke bawah. Kalung Setan kini berputar dengan cepat. Tubuh Sumping Tindik kini bagaikan terbang, melaju ke arah dua kakak beradik kembar yang sudah siap menyambutinya.
"Mati Kowe!" Sumping Tindik kibaskan tangan, berbareng dengan hantamkan Kalung Setannya. Angin seketika menderu, bersamaan dengan mencelatnya larikan sinar putih kebiru-biruan dari balik lengan baju Sumping Tindik.
Jaka Ndableg masih berusaha diam, menyaksikan pertarungan dua tokoh yang tadinya satu golongan itu bertempur. Jaka tidak mau ikut campur dulu, sebab ia merasa Jaladri dan Jaladru akan mampu mengatasinya. Namun dugaannya sungguh meleset, ternyata Sumping Tindik benar-benar licik. Jaladri dan Jaladru yang menyangka kalau Sumping Tindik tidak akan mengeluarkan jarum-jarum beracunnya, tampak hanya memperhatikan Kalung Setannya dan berusaha menangkis manakala kalung tersebut menyerang. Tapi, dugaan mereka meleset. Manakala keduanya sibuk, Sumping Tindik segera serang keduanya dengan jarum-jarum beracun.
"Licik!" Jaka yang melihat hal tersebut segera berkelebat, babatkan Pedang Siluman Darah.
"Traangg...!"
Jarum-jarum beracun itu seketika runtuh tertebas Pedang Siluman Darah. Hal itu menjadikan Sumping Tindik mencelat mundur tersentak. Matanya kini memandang tajam pada Pedang Siluman Darah di tangan Jaka. Pedang yang telah menggegerkan dunia persilatan. Dari ujung pedang nampak mengalir darah merah membasahi batangnya.
"Pedang Siluman Darah!" Sumping Tindik dan yang melihat di situ terkesiap menyaksikan pedang tersebut.
"Sumping Tindik, aku sarankan kau menyerahlah!" Jaka Ndableg masih berusaha menahan kemarahan.
"Huh! Jangan harap, Jaka!" balas Sumping Tindik.
"Jangan mengira kau akan mampu mengalahkan aku kembali, Jaka!"
Jaka Ndableg memalingkan muka pada Jaladri dan Jaladru untuk meminta saran. Jaladri dan Jaladru hanya mengangguk, dan hal itu telah cukup bagi Jaka untuk bertindak. Namun Jaka bukanlah orang sombong. Walaupun ia berilmu tinggi, namun ia tidak mau begitu gegabahnya untuk bertindak.
"Sumping Tindik, apakah kau tidak mau sadar?"
"Huh! Sok suci!"BSumping Tindik yang memang mendendam pada Jaka tidak membuang-buang kesempatan. Segera dengan Tasbih Setannya ia berkelebat menyerang.
Diserang begitu rupa, tidak menjadikan Jaka Ndableg gentar. Bahkan dengan entengnya Jaka elakkan hantaman Kalung Setan Sumping Tindik dengan hanya egoskan kepalanya. Tubuh Jaka merunduk, lalu dengan segera tusukkan Pedang Siluman Darah ke arah lambung Sumping Tindik.
"Ah...!" Sumping Tindik mengeluh tertahan, urungkan serangannya, tolakan tubuh ke belakang. Tubuh Sumping Tindik mencelat ke belakang, lalu dengan masih terbang diputarkannya Kalung Setan di tangannya.
"Wuuuttt...!"
Jaka tersentak, rundukkan badan mengegoskan hantaman Kalung Setan. Hampir saja kepala Jaka terhantam, kalau tidak segera Jaka kiblatkan Pedang Siluman Darah ke atas. Hal ini menjadikan Sumping Tindik kembali urungkan penyerangan. Tapi dengan cepat Sumping Tindik kirimkan jarum-jarum beracun ke arah Jaka.
"Pengecut!" Jaka Ndableg memaki, kibaskan Pedang menangkis.
"Trang...!"
Jarum-jarum itu runtuh berjatuhan dengan patah menjadi dua terbabat Pedang Siluman Darah. Jaka segera lompat mundur, begitu juga dengan Sumping Tindik. Senjata di tangan keduanya kini dimasukkan kembali ke sarungnya. Keduanya saling memasang kuda-kuda. Mata keduanya saling pandang. Ketegangan kini terjadi, begitu juga dengan semua yang berada di situ. Kini semua mata melihat pada dua sosok tubuh yang saling diam tanpa reaksi. Rupanya kedua orang berilmu tinggi tersebut tengah merapalkan segala ajian yang keduanya miliki.
"Jaka Ndableg, sudah siapkah engkau mati?!" Sumping Tindik berkata mengejek.
"Sumping Tindik, tidak salahkah engkau berbicara?" Jaka balik bertanya.
"Aku kira, kaulah yang harus berpikir, Sumping!"
"Keluarkan ilmumu, Jaka!" Sumping Tindik masih bersuara.
"Nah, terimalah kematianmu! Terimalah Ajian Begal Nyawa! Hiaaaattttt...!"
Tubuh Sumping Tindik mencelat hendak menyerang ke arah Jaka. Sementara Jaka sendiri nampak masih terpaku diam pada tempatnya. Tangannya menyilang bersedakap, menjadikan semua yang menyaksikan tampak was-was. Tubuh Sumping Tindik yang dengan tangan membara telah melesat dan hampir sampai pada tubuh Jaka Ndableg.
"Aah, mengapa Jaka diam saja?" Jaladru dan Jaladri nampak was-was. Keduanya takut kalaukalau tubuh Jaka akan hancur terhantam Ajian Begal Nyawa.
"Hoaaarrrr...! Dewa Api...!"
Tubuh Jaka Ndableg seketika itu menyala dari ujung rambut ke ujung kaki. Api membakar tubuhnya, menyala-nyala. Kini Jaka benar-benar telah menjadi Dewa Api, yang siap membakar segala apa saja yang ada.
Tersentak semuanya termasuk Sumping Tindik. Sumping Tindik bermaksud mengurungkan serangannya, akan tetapi tubuhnya telah melaju dengan cepatnya dan sukar untuk dihentikan. Maka tak ayal lagi tubuh Sumping Tindik melesat ke arah tubuh Dewa Api yang nampak membara dengan api menjilat-jilat. Dan ketika tubuh Sumping Tindik menempel di tubuh Jaka yang telah menjadi Dewa Api, seketika Sumping Tindik menjerit kepanasan.
"Aaaaaa....!" Tubuh Sumping Tindik lengket dengan tubuh Jaka yang masih membara. Lalu setelah menjadi arang, tubuh Sumping Tindik mencelat ke udara.
"Hoooaaaarrrr...!" Jaka Ndableg hantamkan pukulan Inti Apinya ke arah tubuh Sumping Tindik.
"Duaaar...!"
Hancur lebur tubuh Sumping Tindik menjadi debu. Semua yang menyaksikan memejamkan matanya, manakala debu-debu itu berhamburan pecah dari tubuh Sumping Tindik. Benar-benar dahsyat dan mengerikan. Perlahan Jaka berubah kembali pada bentuk asalnya, manakala tubuh Sumping Tindik benar-benar telah sirna. Bersamaan dengan hilangnya api di tubuh Jaka, seketika tubuh Jaka menghilang entah ke mana.

* * * * *



:::≡¦ [ ENAM ] ¦≡:::

Sepeninggalan Jaka Ndableg, nampak di Kerajaan Bumi Jawa tiga mahluk dua manusia dan seekor kera datang. Kedatangan mereka bagaikan atas perintah seseorang. Tiga mahluk dengan dua manusia itu tidak lain Kera Siluman dan dua kambratnya yaitu Jantrang atau Jalakatunda dan Taka Moro, orang yang berpakaian serba merah dan muka tertutup lilitan kain merah pula. Dialah Si Ninja Merah!
"Ada keperluan apa kalian datang?" tanya Rama Patih yang menyambut kedatangan ketiga orang, dengan salah seorang di antara mereka ia kenal bernama Jalakatunda.
"Dan kau Jalakatunda, kau harus mempertanggung jawabkan tindakanmu!"
"Nguuuk...!" Kera Siluman menggeretak, sepertinya memendam hawa permusuhan pada segenap yang ada di situ. Berdiri di belakang Rama Patih, dua orang pendekar dengan wajah kembar yang tidak lain Jaladri dan Jaladru.
"Kera inikah yang dinamakan Kera Siluman?" tanya Jaladru pada kakaknya.
"Benar, Adik."
"Hem, mau apa mereka ke mari? Dan apakah Jantrang keparat itu hendak menyerahkan dirinya?" kembali Jaladru bertanya.
"Jantrang, kau datang tepat pada waktunya. Kau harus mempertanggung-jawabkan segala tindakanmu yang pengecut itu!"
"Enak kau ngomong, kawan!" Jantrang menyeringai.
"Nanti kalian akan segera tahu siapa adanya aku!"
"Bangsat! Jadi kau menantang kami, Jantrang!" Jaladru menggeretak marah.
Jantrang nampak masih tersenyum, sementara Taka Moro yang berdiri di depan dengan Kera Siluman nampak masih tenang. Matanya yang nampak dari lubang tudungnya mengawasi para prajurit yang berada di situ.
"Aku rasa, tentunya sebentar lagi akan terjadi pertarungan besar," gumam hati Taka Moro.
"Hem, para prajurit kerajaan ini nampaknya telah siaga untuk menghadapi kami."
Dan apa yang dibayangkan oleh Taka Moro benar adanya, karena dalam sekejap saja, manakala Rama Patih menyerukan untuk menangkap mereka seketika para prajurit yang sudah siap siaga itu bergerak mengurung. Taka Moro cabut samurainya dan dengan penuh kewaspadaan menghadapi musuh-musuh yang kini mengelilingi dirinya.
"Serbuuuu...!" Rama Patih berseru, yang dengan segera dilaksanakan oleh seluruh prajuritnya menyerang. Senjata-senjata di tangan para prajurit itu berkelebat menyerang ketiganya.
Dengan segera ketiga orang utusan Dewi Cendana Biru itu berkelebat mengelakkan serangan dan sesekali membalas. Setiap balasan mereka menjadikan pekikan kematian bagi yang terkena tendangan ataupun pukulan kaki dan tangan ketiga orang tersebut. Apalagi Taka Moro dengan samurainya, nampak beringas dan haus darah samurai di tangannya. Setiap kali samurai tersebut berkelebat, setiap kali itu juga nyawa musuh melayang. Ada yang puntung lehernya, terbabat muncrat perutnya, ataupun morat marit keadaan tubuh musuhnya terbeset-beset samurainya.
Melihat para prajurit banyak yang jadi korban, segera kedua Sepasang Pendekar Kembar berkelebat menghadang. Keduanya sudah terkenal akan kehebatan ilmu pedangnya. Bahkan keduanya pernah mempecundangi Takasima atau pimpinan Ninja Hitam dengan mata kiri hancur. Kini keduanya telah terjun menghadang ketiga utusan Dewi Cendana Biru. Namun keduanya juga Raka Barka yang saat itu turut membantu harus memikirkan siapa adanya Kera Siluman. Mungkin mereka mampu mengalahkan Taka Moro dan Jantrang atau yang lainnya, tapi dengan Kera Siluman yang di dalam raganya terdapat sukma Raden Sukra, mereka harus berpikir.
"Ninja Merah, kau adalah musuhku, bukan musuh prajurit-prajurit yang tidak tahu apa-apa!" bentak Jaladru.
Sedangkan Jaladri kini menghadapi Jantrang. Raka Barka tak mau ketinggalan, ia dengan para prajurit dan Rama Patih kini menghadapi Kera Siluman. Pertarungan orang-orang gagah yang sudah sekian lama malang melintang di dunia persilatan kini terjadi. Jaladru yang berilmu tinggi, tidak memberikan pada Ninja Merah atau Taka Moro sekali pun untuk dapat membalas menyerang. Pedang di tangan Jaladru bagaikan mempunyai mata. Pedang tersebut mencerca pada lambung lawan. Hal itu menjadikan Taka Moro harus berupaya mengimbanginya.
"Wuuuutttt...!" samurai di tangan Taka Moro berkelebat mencoba membabat pedang di tangan Jaladru yang kini siap membabat tubuhnya.
"Traanggg...!"
Dua pedang itu bertemu, menempel menjadi satu. Mata keduanya saling pandang, seakan keduanya kini saling menilai seberapa tinggi ilmu yang dimiliki lawan. Keringat bercucuran dari pelipis Jaladru dan Taka Moro. Tangan keduanya bergetar.
"Hiiiaaatttt...!" Taka Moro lepaskan samurai, lalu dengan cepat kibaskan samurai tersebut membentuk lingkaran.
Jaladru segera lompat ke belakang, lalu dengan cepat pula pedang di tangannya silangkan ke depan dada. Mata Jaladru tajam memandang pada musuh. Pedang yang menyilang itu perlahan membuka, itulah jurus Pedang Seriti Menjepit Mangsa. Sebuah jurus pedang yang sudah tingkat tinggi. Mungkin kalau musuh yang tidak tahu, akan menyangka bahwa gerakan tersebut adalah gerakan nekat. Namun bila yang mengerti akan ilmu pedang, mereka akan berpikir tujuh kali untuk melakukan penyerangan. Kelihatannya memang pertahanan Jaladru terbuka, akan tetapi sesungguhnya perkembangan jurus tersebut sangatlah berbahaya.
Dan benar! Manakala Taka Moro bergerak menyerang dengan samurainya, secepat kilat Jaladru silangkan gerak pedang. Pedang di tangan Jaladru sungguh aneh gerakannya. Gerakan pedang itu mengidal, namun angin yang keluar mampu menggetarkan samurai di tangan Taka Moro. Taka Moro mencoba terus mencerca, disodokkannya pedang samurai di tangannya ke arah tenggorokan lawan. Namun sungguh tak terduga Jaladru telah mendahului berkelebat dengan gerakan pedang membabatkan lehernya.
"Ah!" Taka Moro tersentak memekik tertahan, urungkan niatnya menyerang. Samurai di tangannya ditarik kembali, lalu dengan bersalto ia elakkan serangan.
Sementara di tempat lain, nampak Kera Siluman yang sudah dititisi oleh Raden Sukra nampak menghadapi pengeroyokan para prajurit kerajaan dengan entengnya. Tubuh Kera Siluman melompat ke sana ke mari, lalu dengan garuk-garuk tubuh tangannya bergerak menyambit.
"Wuuuttt...!"
Angin sampokan tangan Kera Siluman menderu, menjadikan pengeroyoknya mau tidak mau harus menghindar. Namun belum juga mereka hilang kagetnya, dengan cepat Kera Siluman telah melompat menyerang mereka kembali. Gerakan tangan dan kaki Kera Siluman itu sungguh cepat, hingga sukar untuk dielakkan oleh musuhnya. Tangan Kera Siluman itu kembali menyampok ke arah seorang prajurit. Prajurit itu bermaksud membalasnya dengan tusukan tombak, namun sungguh di luar akalnya, tiba-tiba Kera Siluman telah mendahuluinya. Kini tangan berkuku hitam panjang dan tajam itu telah lengket di leher prajurit tersebut.
"Ngguuuukkkk...!"
"Cepat serang dia!" Rama Patih memerintahkan pada anak buahnya.
Dengan segera anak buahnya berkelebat babatkan golok ke arah Kera Siluman, namun sungguh sial. Kera Siluman yang telah tahu dirinya terancam balik menyerang pada orang yang hendak membacokkan goloknya. Tak ampun lagi, orang tersebut seketika panik. Golok di tangannya bergerak liar, sehingga tanpa ia sadari, golok di tangannya telah membacok rekannya sendiri.
"Aaaaaaaa...!" tubuh prajurit yang terkena bacokan temannya untuk sesaat memekik, kejang dan akhirnya ambruk dengan darah deras mengucur lalu akhirnya mati.
Sementara prajurit yang satunya kini nampak panik ketakutan diserang dengan cercaan yang bertubi-tubi. Prajurit lainnya berusaha membantu, tapi akibatnya malah temannya sendiri yang terkena tusukan tombaknya. Kacau balau pertahanan para prajurit di bawah pimpinan Patih Rama Patih. Amukan Kera Siluman sungguh dahsyat, hampir setiap cakaran dan sampokan tangan serta kakinya menjadikan jerit para prajurit.
"Kepung Kera Edan ini!" Rama Patih memerintahkan.
Seketika para prajurit mengepung Kera Siluman. Serentak itu pula para prajurit dibantu oleh Raka Berka menyerang Kera Siluman. Tapi diserang begitu rupa tidak menjadikan Kera Siluman keder. Bahkan dengan garuk-garuk badan Kera Siluman melayani serangan mereka. Tangan kanannya yang tidak menggaruk diarahkan, lalu dengan menggeruk Kera Siluman yang tidak dikira oleh para prajurit mampu mengeluarkan pukulan jarak jauhnya hantamkan tangannya.
"Wuuusssttt...!"
Angin pukulan keluar dari telapak tangan Kera Siluman. Dan seketika memekiklah sepuluh prajurit yang terhantam angin pukulan tersebut. Tubuh kesepuluh prajurit tersebut mental ke belakang dengan dada bagaikan tertimpa ribuan kati. Tulang iga mereka remuk, dari mulut keluar darah segar. Sesaat kesepuluh prajurit itu meregang, lalu terkulai dengan nyawa melayang. Dada mereka menggurat gambar telapak tangan menghitam legam.
"Tapak Wisa...!" Rama Patih memekik demi melihat jenis pukulan yang dilontarkan Kera Siluman.
"Dari mana Kera Iblis ini mendapatkan pukulan Tapak Wisa?"
"Bukankah ia asuhannya Dewi Cendana Biru, Paman?"
Rama Patih angguk-anggukkan kepala demi mendengar penuturan Raka Berka. Kini ia baru ingat bahwa kera itu adalah asuhan Dewi Cendana Biru istri Raden Sukra.
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!" Kera Siluman nampak menari-nari melihat hasil dari pukulannya.
"Kera Iblis! Jangan bangga dulu, Kunyuk! Kau harus mampus di tanganku! Hiaaaatttt...!" Rama Patih yang sudah marah dengan segera menyerang Kera Siluman. Jurus-jurus andalannya seperti Topan Menghalau Naga Menderu, terarah ke arah Kera Siluman.
Namun bagaikan tak menghiraukan Kera Siluman nampak melompat ke atas, dan dengan entengnya berjumpalitan menghindar. Bahkan kini Kera Siluman itu menderu ke arah Rama Patih. Tangannya yang berkuku hitam dan tajam itu nampak siap mencengkeram leher Rama Patih. Rama Patih segera egoskan tubuh ke samping, hingga hanya beberapa senti saja tangan Kera Siluman melesat di sisi tubuhnya.
"Kunyuk! Serang Kera Iblis itu!" kembali Rama Patih memerintah. Dan walaupun dalam keadaan takut, para prajurit itu segera menjalankan tugasnya. Para prajurit kerajaan itu kembali berkelebat menyerang Kera Siluman.
Jaladri yang ilmunya memang berada di atas Jantrang beberapa tingkat, nampak tidak mengalami kesusahan untuk mendesak musuhnya. Jaladri kini nampak berkelebat-kelebat dengan pedang di tangannya.
"Menyerahlah kau, Jantrang!" Jaladari memperingatkan.
"Jangan harap!"
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus, Iblis!"
Jaladri kini kembali berkelebat, pedangnya menyambar-nyambar bagaikan sebilah pedang bermata. Ya, pedang di tangan Jaladri bagaikan memiliki mata sendiri. Pedang itu nampak buas dan ganas. Jaladri kibaskan pedang ke arah tubuh Jantrang, menjadikan Jantrang harus menguras tenaganya untuk mengelak. Keringat dingin mengucur deras di tubuh Jantrang. Ia tahu kalau Jaladri bukanlah tandingannya, tapi bila ia harus mengalah begitu saja, jelas ia akan mendapat murka Sri Ratu Dewi Cendana Biru.
Jaladri bagaikan kesetanan, mencerca Jantrang dengan tusukan dan tebasan pedangnya. Tinggallah Jantrang harus berusaha mengelakkan atau menangkis pedang di tangan Jaladri. Tapi bila keduanya saling adukan pedang, seketika tangan Jantrang bagaikan perih terasa. Tenaga dalam yang ia miliki jauh berada di bawah Jaladri yang memang merupakan tokoh silat yang sudah mempunyai nama.
"Aku peringatkan sekali lagi, menyerahlah!"
"Tidak!"
"Hem, rupanya kau benar-benar mencari mati!" Jaladri menderak, lalu dengan melentingkan tubuhnya Jaladri bergerak terbang. Pedang di tangannya kini mengkiblat ke arah muka Jantrang. Jantrang berusaha mengelakkannya namun secepat angin Jaladri yang menggunakan jurus Sapuan Dewa Pedang bergerak dengan cepat sukar diduga. Pedang di tangannya kini tampak menghilang, dan tiba-tiba....
"Aaaaaa...!" Jantrang memekik, pedang di tangan Jaladri ujungnya kini nancap di mata sebelah kanan. Dengan segera Jaladri cabut pedangnya, menjadikan Jantrang makin menyayat jeritannya.
"Uaaaaa...!"
Darah muncrat dari mata kanan Jantrang yang hancur. Tubuh Jantrang menggelepar-gelepar, tangan kanannya segera mendekap matanya yang hancur. Dengan berguling-guling Jantrang yang sekarat berusaha mempertahankan diri. Namun bagaikan tak kenal rasa kasihan Jaladri kembali tancapkan pedangnya ke arah tubuh Jantrang. Untuk kedua kalinya Jantrang menjerit, sebelum akhirnya kejang sesaat dan mati.
Bersamaan dengan matinya Jantrang, tiba-tiba berhembus angin besar menerpa mereka. Semua yang bertarung tersentak kaget. Namun belum juga mereka dapat tahu apa yang menjadi sebab, tiba-tiba sebuah bayangan berwarna biru telah mendahulukan serangan yang ditujukan pada Jaladri. Tanpa ampun lagi, Jaladri yang tidak menyangka akan diserang begitu rupa tak dapat mengelak. Jaladri terpental ke belakang. Dadanya terasa sakit dan sesak. Namun begitu Jaladri berusaha membalas menyerang.
"Kuntilanak! Hiaaaattt...!" Jaladri hantamkan tangannya ke arah bayangan biru tersebut.
Tapi bagaikan tak merasa apa-apa, bayangan biru itu kibaskan tangannya memapaki serangan Jaladri. Dan untuk kedua kalinya Jaladri memekik, tubuhnya bagaikan hangus terbakar.
Jaladru yang mendengar pekikan kematian kakaknya seketika alihkan perhatiannya ke arah datangnya suara tersebut. Hal itu menjadikan makanan empuk bagi Taka Moro. Tanpa menyianyiakan kesempatan Taka Moro segera babatkan samurainya ke arah tubuh Jaladru.
"Wuuuuuttttt...!"
"Craassss...!"
"Aaaaaa...!" Jaladru memekik, sesaat lalu ambruk dengan tubuh puntung menjadi dua.
Di pihak lain kini Kera Siluman nampak makin menggila setelah tahu siapa yang datang. Kera Siluman yang di tubuhnya bersemayam sukma Raden Sukra, nampak dengan penuh semangat lancarkan segala pukulan yang dimiliki. Maka dalam sekejap saja para prajurit dibikin bulan-bulanan. Yang lebih tragis adalah Raka Berka. Kepala Raka Berka dicopotnya dari leher, lalu bagaikan bola kepala itu ditendangnya. Morat maritlah pertahanan kerajaan, apalagi dengan matinya dua pendekar yang menjadi tumpuan mereka. Kini dengan beringas para iblis di bawah pimpinan Dewi Cendana Biru mengobrakabrik pertahanan kerajaan.
Sebelum ketiga orang yang menggila itu menyerang ke dalam, dengan cepat Patih Rama Patih berkelebat. Patih itu dengan cepat membawa tubuh Pangeran Anggangga pergi. Dan manakala ketiga iblis tersebut menjarah masuk, ketiganya hanya menemukan raja yang tampaknya pasrah, sementara Pangeran Anggangga dan Rama Patih telah menghilang entah ke mana. Dendamnya pada Raja Sutrisna telah menjadikan mata gelap Dewi Cendana Biru. Dengan penuh dendam itu Dewi Cendana Biru perintahkan pada Taka Moro untuk memenggal kepala Prabu Sutrisna yang pasrah.
"Taka, penggal kepalanya dan gantung di alun-alun!"
Taka Moro sejenak memandang pada Dewi Cendana Biru, nampaknya Taka Moro ragu, namun Dewi Cendana Biru pelototkan matanya hingga membuat Taka Moro akhirnya mengalah. Perlahan Taka Moro berjalan mendekat, tapi belum juga Taka Moro sampai, tiba-tiba dengan pengecut Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan tenaga dalamnya. Taka Moro sesaat memekik, ambruk dengan mulut keluar darah. Mata Taka Moro nampak mendelik, lalu dari mulutnya yang keluar darah terdengar caci maki yang ditujukan pada Dewi Cendana Biru.
"Kau...! Kau tidak lebih seorang iblis!"
"Mampuslah kau orang Nippon!"
"Bangsat! Kau harus mampus denganku!" Taka Moro yang sudah luka berusaha bangkit. Dan setelah mampu, segera Taka Moro babatkan samurainya menyerang.
Namun belum juga Taka Moro dapat berbuat, tiba-tiba Prabu Sutrisna telah menusukkan kerisnya dari belakang. Tak ayal lagi Taka Moro pun akhirnya ambruk terkulai di tanah mati.
"Bagus, Kakang! Kau telah menyelesaikan tugasmu! Sayang bocah itu dapat selamatkan diri," Dewi Cendana Biru berkata pada Prabu Sutrisna, lalu dengan penuh kerinduan Dewi Cendana Biru segera memeluk tubuh Prabu Sutrisna.
"Nguuuk...!" Kera Siluman nampak belingsatan melihat Dewi Cendana Biru tiba-tiba berpelukan dengan Prabu Sutrisna yang ia ketahui adalah musuhnya.
"Nguuuk...!"
Dewi Cendana Biru lemparkan senyum ke arah Kera Siluman, lalu dengan congkaknya sang Dewi pun berkata: "Minggatlah kau ke akherat sana, sebab aku kini telah mampu mengelabui orang-orang yang menghormatimu! Ketahuilah, aku dan kakang mas Sutrisna telah sekongkol untuk meracunimu! Hua, ha, ha...!"
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman menangis, lalu bagaikan menyesal kera itu berkelebat pergi tinggalkan keraton dengan membawa derita di hatinya.
Bersamaan dengan perginya Kera Siluman terdengar suara seseorang berkata.
"Dewi Iblis! Aku akan membalas segalanya! Aku akan membalas segala perbuatan kalian! Tunggulah kedatangan Pendekar Pedang Siluman Darah. Bersamanya aku akan memakan jantungmu, Dewi Iblis!"
Dewi Cendana Biru dan Prabu Sutrisna ganda tertawa, sepertinya ucapan Kera Siluman atau Raden Sukra tiada artinya sama sekali bagi mereka. Malah dengan congkak keduanya berseru membalas.
"Kami tak akan kalah oleh siapapun! Sebab kami memiliki Ajian Pelenyap Sukma! Panggillah pendekar di seantero jagad, aku dan kekasihku tak akan mengalah! Hua, ha, ha...!"
Dengan tenangnya kedua iblis berbentuk manusia itu berlalu masuk ke dalam kamar, di mana kenangan sepuluh tahun silam telah menggayut. Kenangan di mana awal pertama kali keduanya dengan sembunyi-sembunyi melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Dan kini keduanya pun melakukannya lagi, mungkin untuk selamanya sebelum ada orang yang membuka tabir siapa adanya kedua orang tersebut.

* * * * *



:::≡¦ [ 7 ] ¦≡:::

Jaka Ndableg yang tengah berjalan-jalan menikmati suasana pagi yang indah itu seketika hentikan langkah manakala tampak olehnya dari depan seorang lelaki dengan menggendong tubuh bocah kecil berlari-lari. Nampaknya lelaki itu telah lama berlari, sehingga di wajahnya nampak keletihan. Jaka tersentak setelah tahu siapa adanya lelaki tersebut, yang tidak lain Rama Patih adanya. Segera Jaka Ndableg pun berkelebat menyambut kedatangannya.
"Paman Rama Patih...!"
Rama Patih hentikan langkahnya manakala dilihatnya Jaka Ndableg telah berdiri menghadang langkahnya.
"Jaka...?!"
"Ada gerangan apa Paman dan Pangeran berlari-lari?" tanya Jaka ingin mengerti.
Rama Patih sejenak terdiam, kemudian setelah menurunkan tubuh Pangeran Anggangga, Rama Patih pun akhirnya bercerita tentang kedatangan Dewi Cendana Biru dan anak buahnya setelah kepergian Jaka.
"Sebenarnya Pangeran Anggangga bukanlah anak Dewi Cendana Biru atau pun Prabu Sutrisna."
"Jadi...?" Jaka nampak kebingungan.
"Bagaimana hal sebenarnya, Paman? Mengapa bisa rumit masalahnya?"
"Sepuluh tahun yang lalu, Raden Sukra memimpin di Kerajaan Bumi Jawa. Raden Sukra memiliki seorang istri yang cantik dan seorang selir yang tidak lain Dewi Cendana Biru. Namun tanpa sepengetahuan Raden Sukra, Dewi Cendana Biru sebenarnya mempunyai niat yang jelek. Suatu hari Dewi Cendana Biru dengan tanpa sepengetahuan Raden Sukra menjalin hubungan dengan Pangeran Sutrisna. Mulanya Pangeran Sutrisna menolak dikarenakan dia tahu bahwa tak baik bila ia harus mengadakan hubungan gelap dengan istri kakak sepupunya. Tapi karena desakan Dewi Cendana Biru, akhirnya Pangeran Sutrisna pun takluk. Sejak saat itu keduanya menjalin hubungan."
"Lalu, siapa adanya Pangeran Anggangga ini?" tanya Jaka sambil menunjuk pada Anggangga yang masih tertidur pulas padahal hari telah beranjak pagi.
"Aku belum mengerti masalahnya, Paman?"
Dengan panjang lebar akhirnya Rama Patih pun menceritakan siapa adanya Pangeran Anggangga. Jadi jelasnya Pangeran Anggangga adalah putra Raden Sukra dengan istrinya yang pertama. Berhubung untuk menutupi aib keduanya, maka Pangeran Anggangga diangkat oleh Raja sebagai anaknya. Sebenarnya Raja dan Dewi Cendana Biru telah berusaha melenyapkan pangeran ini dengan mengutus Jantrang untuk menculiknya. Beruntung Jaka Ndableg memergoki, kalau tidak tentunya Pangeran Anggangga telah mati. Dan kematiannya dianggap kecelakaan atau diculik oleh Jantrang.
"Sungguh biadab!" Jaka menggeretuk marah.
"Ya! Kasihan Raden Sukra dan Anggangga, sebab hidupnya kini benar-benar terancam," Rama Patih mengeluh.
"Aku harus mencegah perbuatan gila mereka! Aku harus menegakkan hal yang sebenarnya!" Jaka berkata.
"Ayo Paman, kita kembali ke kerajaan!"
"Untuk apa?"
Jaka Ndableg kerutkan kening mendengar pertanyaan Rama Patih. Dalam pertanyaan itu, tersirap kata-kata ketakutan yang teramat sangat. Hal itu menjadikan Jaka Ndableg makin ingin tahu apa sebenarnya yang dirahasiakan.
"Bukankah yang berhak atas kerajaan adalah Pangeran Anggangga, Paman?"
"Ya!"
"Nah, aku ingin kebenaran berdiri di muka bumi."
"Maksudmu, Tuan Pendekar?"
"Aku akan meminta mereka untuk minggat dari kerajaan dan menyerahkannya pada Pangeran Anggangga!"
"Ah...!"
"Kenapa, Paman?" tanya Jaka makin bingung.
"Mereka bukan manusia biasa, Tuan Pendekar."
"Maksud Paman?" Jaka makin tidak mengerti.
Rama Patih menghela napas sejenak. Matanya nampak berkaca-kaca. Sesaat sorot mata itu memandang hampa ke muka, lalu dengan berat memandang ke arah Jaka.
"Mereka tak akan dapat mati bila kita tak tahu sandi hidup mereka."
Mata Jaka seketika melotot demi mendengar ucapan Rama Patih. Baru kali ini ia mendengar ada manusia yang memiliki sandi kematian.
"Aneh...." gumam Jaka.
"Lalu harus bagaimana?"
"Entahlah, Tuan Pendekar! Mungkin dunia akan segera kiamat, sehingga iblis kini menguasai dunia."
"Akan aku coba, walaupun nyawaku sebagai taruhannya!" Setelah menjura hormat, Jaka Ndableg segera berkelebat meninggalkan Rama Patih dan Pangeran Anggangga untuk menuju ke kerajaan.
Sementara Rama Patih yang menyaksikan hanya mampu gelengkan kepala dengan mulut bergumam lirih.
"Sungguh-sungguh seorang pendekar yang mumpuni, yang tahu kewajiban. Tapi aku tak akan tinggal diam, aku harus membantunya." Rama Patih segera menggendong tubuh Pangeran Anggangga kembali, lalu dengan segera ia pun berkelebat menyusul ke arah Jaka Ndableg.
"Tuan Pendekar... Tuan Pendekar, tunggu!"
Jaka yang tengah berlari dengan segera menghentikan larinya demi mendengar seseorang berseru. Segera Jaka berusaha mencari asal suara itu. Namun ia tidak menemukan siapa-siapa di situ, dan hanya pepohonan belaka yang bergoyang tatkala dihembus angin.
"Aneh, siapa yang memanggilku?" Jaka terheran-heran sendiri.
"Siapa yang memanggilku...?!"
"Aku, Tuan Pendekar!"
Terbelalak Jaka Ndableg demi melihat seekor kera mampu berkata-kata layaknya manusia. Jaka mencoba meyakinkan bahwa kera itulah yang berbicara, maka Jaka pun kembali bertanya manakala kera tersebut makin dekat.
"Engkaukah yang berkata?"
"Benar! Akulah yang memanggilmu!" jawab Kera Siluman.
"Heh, aku kira kau bukanlah kera sembarangan. Siapakah engkau adanya?"
Ditanya begitu rupa oleh Jaka, seketika Kera Siluman melelehkan air mata menangis. Hal itu menjadikan Jaka iba. Perlahan dihampirinya kera tersebut, lalu dengan lembut dibelainya dengan tangan.
"Kenapa engkau menangis?"
"Nguuuk...! Aku sungguh menderita, Tuan Pendekar."
"Menderita...?" tanya Jaka.
"Maksudmu?"
Kera Siluman itu akhirnya menceritakan siapa adanya dirinya. Cerita Kera Siluman itu sungguh sama persis dengan apa yang dibeberkan oleh Rama Patih. Hal ini menjadikan Jaka yakin bahwa segalanya memang benar.
"Ketahuilah, Prabu Sukra. Aku pun sebenarnya hendak menuju ke kerajaan. Aku tahu bahwa yang berhak atas tahta kerajaan adalah anakmu Pangeran Anggangga."
"Itu benar, Tuan Pendekar!"
"Tapi aku kini dalam ketidak mengertian, Prabu."
"Maksud Tuan Pendekar?" tanya Kera Siluman.
"Aku diberi tahu oleh Rama Patih bahwa keduanya tidak akan mampu mati bila aku tidak mengetahui sandi kematiannya."
"Oooh..." Kera Siluman tampak tersenyum, lalu dengan manja Kera Siluman itu kembali berkata.
"Bukankah Tuan Pendekar memiliki Pedang Siluman Darah?"
"Ya!" jawab Jaka pendek.
"Lalu...?"
"Hanya dengan pedang itulah mereka dapat mati!"
"Baiklah kalau begitu. Maukah Kanjeng Prabu membantuku?"
"Dengan senang hati, Tuan Pendekar."
Setelah berkata-kata, kedua mahluk berbeda jenis itu berkelebat meninggalkan hutan tersebut untuk kembali menuju ke kerajaan guna menghadapi dua pasang iblis berbentuk manusia yang kini tengah mengangkangi kerajaan dan menyebarkan kemaksiatan.

* * * * *



Dua manusia iblis itu tengah memadu cinta yang tidak sah menurut aturan Tuhan, manakala terdengar di luar seseorang berseru memanggil mereka.
"Kurang ajar! Siapa yang siang-siang berani lancang!" Dewi Cendana Biru memaki sewot. Segera keduanya bergegas merapikan pakaiannya yang berserakan, lalu dengan beriringan keduanya segera menuju ke luar.
"Iblis-iblis berbentuk manusia, keluarlah kalian!" kembali terdengar seruan seseorang.
"Bangsat! Siapa yang berani bersuara lantang, hah!"
"Aku, Dewi Iblis!" jawab Jaka.
Dewi Cendana Biru pelototkan mata manakala melihat seorang pemuda ganteng dengan pundak memangku seekor kera yang tidak lain Kera Siluman, suaminya, tegar berdiri memandang ke arahnya.
"Hi, hi, hi...! Rupanya pendekar ini yang kau maksudkan, Sukra? Hi, hi, hi...! Kasihan, pendekar tampan dan gagah harus menjadi korban kami!" Dewi Cendana Biru mengejek.
"Bagaimana kalau kau menjadi pemuas nafsuku, anak gagah?"
Jaka seketika tertawa bergelak-gelak, menjadikan Dewi Cendana Biru dan Sutrisna tersentak kaget. Keduanya tidak menyangka kalau pemuda di hadapannya mampu mengirimkan suara lewat gelak tawa yang memekakkan telinga.
"Hua, ha hahaha...! Bagus juga saranmu, Dewi Iblis! Sayang, aku telah muak dengan keriputan usiamu!" Jaka berkata dengan penuh ejekan.
"Jangankan diriku, anjing kurapan pun tentunya akan menolaknya. Bukan begitu, Prabu?"
"Nguuuk! Nguuuk! Nguuuk...!"
"Kunyuk! Aku hancurkan kalian! Hiaaat...!" Dewi Cendana Biru dan Sutrisna dengan penuh amarah segera berkelebat menyerang Jaka dan Kera Siluman.
Segera Jaka berkelebat menghindar, lalu dengan cepat kirimkan tendangan ke arah keduanya. Tangannya didorongkan ke muka membentuk sebuah jurus lurus. Dan dari kepalan tangan Jaka keluar angin puting beliung menahan laju kedua musuhnya.
Dewi Cendana Biru kibaskan tangannya, lalu dengan cepat lolotkan gelang-gelang yang berada di tangannya. Seketika gelang-gelang itu melesat menyerang ke arah Jaka. Jaka Ndableg rundukkan kepala menghindar, hingga gelang-gelang tersebut melesat beberapa inci di atas kepalanya. Namun rupanya gelang itu telah dialiri tenaga dalam yang sempurna. Manakala gelang-gelang tersebut membentur pohon, seketika gelang-gelang tersebut balik menyerang Jaka. Jaka Ndableg segera lemparkan tubuh ke kanan.
"Swiiiingg...!" Kembali gelang-gelang maut itu mendesing di samping Jaka. Gelang itu berputar-putar, lalu dengan cepat kembali melesat menyerang Jaka.
"Kurang ajar!" Jaka memaki.
"Sraang...!"
Mata Dewi Cendana Biru dan Sutrisna seketika membelalak manakala melihat apa yang kini tergenggam di tangan Jaka Ndableg.
"Pedang Siluman Darah...!" keduanya memekik.
"Wuuuut...!"
Jaka kibaskan pedang manakala gelang-gelang maut itu kembali menyerangnya.
"Trang, trang, trang, trang, traaang...!"
Lima kali berturut-turut terdengar benturan benda logam, dan lima kali itu pula Pedang Siluman Darah membabat patah gelang-gelang maut tersebut.
"Bangsat! Kau telah menghancurkan senjataku!" maki Dewi Cendana Biru.
"Terimalah kematianmu, Anak muda! Hiaaatttt...!" Dewi Cendana Biru hantamkan pukulan Tapak Wisanya ke arah Jaka. Dengan segera Jaka kembali kibaskan Pedang Siluman Darah, hingga larikan pukulan itu seketika menghilang dengan didahului suara ledakan dahsyat.
"Duuuaaarrr...!"
"Ayo, Tuan Pendekar, jangan biarkan mereka berbuat seenaknya!" Kera Siluman yang masih nemplok di pundak Jaka memberi perintah.
"Apa yang mesti aku lakukan, Prabu?"
"Serang keduanya dengan pedang di tanganmu!"
"Baik!" Jaka Ndableg yang telah diberi tahu oleh Kera Siluman dengan segera berkelebat menyerang kedua iblis musuhnya. Keduanya nampak tersentak, dan dengan nekat keduanya mengirimkan serangan dengan Ajian Tapak Wisanya.
"Wuuuut...!" Jaka babatkan pedang, manakala dua larik sinar menderu ke arahnya. Kemarahan Jaka benar-benar telah membeledak, sehingga tanpa sadar kini tubuhnya membara. Hal itu menjadikan Kera Siluman kepanasan dan lompat menjauh. Tubuh Jaka yang kini sudah merapalkan ajian Banyu Geni berupa Dewa Geni kini benar-benar menjadi Dewa Geni. Matanya menyala, begitu juga rambutnya kini menjadi api.
Kembali kedua iblis musuhnya tersentak kaget. Keduanya kini benar-benar menemukan lawan yang setanding. Keduanya nampak menyurut mundur sedang dari mulut mereka seketika terdengar pekikan menyebut nama ajian yang dikeluarkan Jaka Ndableg.
"Dewa Geni...!"
"Kita serang, Dinda...!"
"Ayo, Kakang!"
"Hiaaaaatttt...!"
Kedua orang itu berkelebat dengan nekatnya menyerang dengan Ajian Tapak Wisa. Keduanya menyangka bahwa dirinya benar-benar tak akan dapat terkalahkan. Dewa Geni nampak membeliakkan mata, lalu dengan cepat Dewa Geni berkelebat memapaki keduanya. Pedang Siluman Darah kini bagaikan membara, api membakar pedang Siluman Darah menjadikan pedang tersebut kini menjadi pedang api.
"Hooaaaarrrr...!" Dewa Geni menggeretak, dan melesat bagaikan terbang memapaki kedua musuhnya.
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Hiiiiaaaatttt...!"
"Wuuuuttt...!"
"Wesssttt...!"
"Wuuuuttt...!"
Pedang Siluman Darah yang sudah menjadi api kini membersit ke arah musuh. Angin yang keluar dari tebasan pedang membara panas laksana neraka.
"Wua...! Tobaat...!"
Kedua orang itu memekik kepanasan, lalu menggelepar-gelepar di tanah. Kera Siluman yang sudah siap-siap hendak mengambil jantung Dewi Cendana Biru segera melompat, tangannya yang berkuku nampak liar mengorek-ngorek dada Dewi Cendana Biru, yang seketika itu kembali menjerit.
"Aaaaaa...!"
"Proot!" Jantung itu terbesot ke luar, menjadikan Dewi Cendana Biru saat itu juga terkulai mati. Dengan rakusnya Kera Siluman memakan jantung mentah milik Dewi Cendana Biru.
"Ngguuuukkk...!" Kera Siluman nampak kepuasan, akan tetapi ketika jantung itu telah habis, tiba-tiba tubuh kera itu terkulai lemah mengecil dan kecil hingga akhirnya menghilang lenyap tanpa bekas.
Hal itu menjadikan Jaka Ndableg yang melihatnya, terbengong-bengong tak mengerti.
"Aneh! Sungguh aneh semuanya!"
Jaka Ndableg akhirnya dengan penuh ketidak-mengertian berkelebat pergi tinggalkan dua sosok mayat yang tiba-tiba telah berubah menjadi tua renta keriput. Pergi untuk kembali mengembara, menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Hari itu juga, setelah kematian Dewi Cendana Biru dan Prabu Sutrisna, Pangeran Anggangga Gerta diangkat dan dinobatkan sebagai raja. Namun dikarenakan dia masih belia, untuk sementara tampuk kekuasaan dipegang oleh patihnya Rama Patih. Walaupun begitu, Rama Patih bersumpah yang isinya:
"Aku bersumpah, akan selalu siap sedia untuk mempertahankan Kedaulatan Kerajaan. Dan aku bersumpah, kelak apabila Pangeran Anggangga telah dewasa, kerajaan akan aku serahkan kembali padanya. Aku juga tak akan nikah untuk selamanya."
Pesta penobatan tersebut dilakukan dengan meriah. Tujuh hari tujuh malam hiburan digelarkan, semuanya untuk memberikan penghormatan. Di samping itu juga, hiburan dimaksudkan untuk menolak bala...

S E L E S A I

TAKANATA IBLIS NIPPON


INDEX PENDEKAR PEDANG SILUMAN DARAH
Kitab Pembawa Bencana --oo0oo-- Takanata Iblis Nippon


Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.