Life is journey not a destinantion ...

Badai Di Keraton Demak

INDEX SATRIA GENDENG
Setan Madat --oo0oo Siluman Bukit Menjangan

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

HUTAN Sawangan. Sebuah hutan yang terdiri dari pohon-pohon berbatang besar. Bak barisan iblis dari neraka, pohonpohon besar itu mengepung sebuah bangunan mirip istana yang juga dikelilingi perkebunan madat.
Ada sebuah huru-hara meruyak di sana.
Penyerbuan atas sebuah kemungkaran. Satria Gendeng dan Arya Wadam yang dibantu para penduduk Desa Sedayu berusaha membumihanguskan markas Setan Madat. Tak ada yang dapat mencegah lagi. Berlangsung makin panas dan dahsyat (Sebaiknya baca dulu episode: "Setan Madat").
Pertarungan hampir sampai pada puncaknya. Satria Gendeng terlibat perseteruan matimatian. Bukan main! Tebasan dua puluh golok lawan berpakaian serba hitamnya dihindari dengan liukan-liukan indah bak gerakan pesut laut.
Hingga pada akhirnya....
"Hieee-heee...!" Teriakan aneh nan cempreng yang lebih cempreng daripada burung camar laut terlontar dari mulut si pendekar muda. Saat itu Satria tengah mengerahkan jurus yang dinilai aneh oleh ka-langan persilatan. Jurus andalan warisan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Tak percuma ada tambahan nama Gendeng di belakang nama aslinya. Satria berjumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya makin sulit diikuti mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti mendadak, sekaligus menyarangkan satu pukulan dahsyat ke tubuh salah seorang pengeroyoknya. Buk! Salah seorang lelaki berpakaian serba hitam terlempar. Melayang, lalu menabrak tiang so-ko guru istana Setan Madat.
Bruk! Apes sekali nasibnya. Kepalanya yang terlebih dahulu menghantam. Akibatnya, dia tak bangkit-bangkit lagi. Orang-orang berpakaian serba hitam lainnya terperangah. Sudah sekian jurus menyerang, tapi tak satu pun yang berhasil melumpuhkan pemuda itu.
Kelihatannya, Satria tengah bermain-main.
Namun bagi tokoh persilatan berpandangan jeli, justru gerakannya mengandung suatu kekuatan tersendiri. Bisa jadi orang-orang berpakaian serba hitam yang mengeroyoknya akan menganggap le-lucon tengik. Sehingga mereka jadi terperangah begitu. Tapi begitu melihat salah seorang kawan mereka dibuat tak berkutik, baru mereka sadar bahwa di balik setiap gerakan kacau si pemuda terdapat bahaya maut! Satria sendiri telah kembali bergerak. Makin kacau! Ketika mendadak berhenti, tangannya mengambil korban lagi. Tiga orang sekaligus yang berdiri berdekatan.
Duk!
Diegh!
Desss!
Tiga kali mengalami nasib naas pula. Tubuh mereka berpentalan. Jotosan Satria yang mendarat di perut, rusuk, dan dada membuat mereka tak bangun-bangun lagi. Sisa lelaki berpakaian hitam lainnya kembali melongo. Kecepatan, ketepatan, dan kedahsyatan serangan lawan meruntuhkan nyali mereka.
Sayang rasanya kalau serangan berhenti sampai di situ. Begitu menurut perhitungan Satria. Maka selagi para lawan terpaku, dibuatnya satu hentakan keras-keras sambil menjatuhkan badan ke permukaan tanah. Begitu mendekati beberapa orang lawan, kedua kakinya bergerak cepat. Amat cepat, melepas jejakkan dahsyat.
Bukk! Begh! Empat orang jatuh secara bersamaan. Dua orang terhantam bagian selangkangan, dua orang di bagian ulu hati. Sulit rasanya bagi mereka untuk bangkit kembali. Dua orang yang mendapat jatah pada bagian selangkangan malah lebih menderita lagi. Benda kebanggaan mereka kontan pecah. Mereka berguling-guling, menikmati penderitaan maha hebat.
Melihat delapan orang kawan mereka bisa dijatuhkan dengan mudah, sisa orang berpakaian hitam lainnya mulai sadar, siapa lawan yang dihadapi. Nyali mereka makin jatuh. Tak ada gairah lagi bagi mereka untuk melanjutkan pertarungan, kecuali gairah untuk cepat-cepat melarikan diri.
Satria sendiri mulai membaca keadaan. Dia tahu, nyali para lawan makin rontok. Tapi bukan berarti serangannya berhenti.
Begitu bangkit, tubuhnya tahu-tahu meletik ke atas. Di udara, kedua kakinya menekuk. Begitu mendekati dua orang lawan, kedua kakinya menyentak.
Dess!
Desss!
Dua orang lagi jatuh terhantam tendangan Satria...... Malah dari mulut mereka langsung terlontar percikan darah segar.
Tendangan si pemuda itu tepat mendarat di dada, membuat kedua lawan tak bangun lagi.
Tak ada nyali lagi di hati sisa para anak buah Setan Madat lainnya. Begitu melihat dua orang teman mereka terkapar, kesepuluh orang itu segera membuat jurus baru. Jurus langkah seribu, alias kabur.
Satria Gendeng tak ingin mengejar. Pandangannya kini melekat pada pertarungan antara Arya Wadam dengan Setan Madat. Makin seru dan mendebarkan. Masing-masing telah mengerahkan jurus-jurus andalan.
Deb! Deb! Dua buah pukulan dibuat Arya Wadam.
Keras dan bertenaga dalam tinggi. Satu mengarah ke dada, yang lain menyusul ke dagu. Setan Madat menarik tubuhnya ke samping, tanpa menggeser kuda-kudanya. Dari situ, sikut kirinya melaju dalam kecepatan tinggi. Menusuk langsung ke iga lawan.
Dashh!
"Setan!"
Merasa kecolongan, satu sumpah serapah terlontar dari bibir si gadis. Bagian iganya terasa nyeri bukan main. Sodokan sikut Setan Madat benar-benar membuat mulutnya meringis. Tubuhnya tiga tombak terjajar ke samping.
Satu tatapan tajam menusuk menghujam ke bola mata Setan Madat. Asalnya, dari si gadis berjiwa sekeras baja. Alamlah yang menempanya demikian. Sejak bayi, dia tak mengenal kedua orangtuanya. Arya Wadam dulu ditemukan oleh seorang tokoh silat wanita di tengah sebuah hutan. Dipelihara dalam tempaan keras di tengah kaum lelaki, membuat sifatnya bagai lelaki. Dia sama sekali tak sudi direndahkan oleh kaum lelaki. Maka mendapat sodokan keras seperti itu.
"Hiaa...!"
Dikawal bentakan keras, sebuah terjangan dibuat Arya Wadam. Kaki kirinya lurus ke bawah, sedang kaki kanan menekuk hampir menyentuh tonjolan di dadanya. Tangan kanan rata di depan dada, sedang tangan kiri terangkat ke atas. Sebuah serbuan yang tak kepalang tanggung, karena membawa sebentuk kemarahan yang siap dilampiaskan. Di tempatnya, Setan Madat menarik kaki kirinya ke belakang. Tangan kirinya mengepal di sisi pinggang. Sedang tangan kanannya yang memegang cangklong panjang berada di atas kepala. Menurutnya, cangklongnya akan digunakan untuk menahan terjangan kaki kiri lawan, sedangkan tangan kirinya siap menyampok dari bawah. Tapi apa yang sudah terencana di benaknya tak selalu menjadi kenyataan. Cerdik, Arya Wadam sengaja mengumpankan kaki kirinya yang tiba-tiba menjulur ke depan.
Wutt...!
Lima jari sebelum cangklong Setan Madat menghantam, Arya Wadam cepat menarik kaki kirinya kembali. Dan sebelum sampokan tangan kiri lawan datang, tubuhnya telah dienyahkan ke kiri. Lalu kaki kanannya menyambar deras ke wajah. Diegh! Sekali saja ujung telapak kaki kanan Arya Wadam mampir di rahang tirus lawan tuanya.
Tapi itu cukup beralasan untuk menciptakan satu pekik kesakitan yang terlontar dari kerongkongan kurus Setan Madat. Tubuh kurusnya sendiri terjengkang ke belakang, lalu mencium tanah.
"Chuah! Jahanam! Ku cabik-cabik tubuhmu, Perempuan Sundal!" Sebentuk kemarahan terlontar bersama cairan ludah bercampur darah dari bibir kendor hitam Setan Madat.
Kemurkaan menggelegakkan darahnya.
Urat-urat merah bola matanya makin jelas. Lewat satu sentakan urat perut, Setan Madat bangkit. Sejenak matanya menyapu ke sekeliling.
Sial! Rupanya aku tinggal sendirian! Ke mana anak buahku" Rutuk Setan Madat. Dan kegeramannya makin memuncak ketika perkebunan madatnya sudah terkepung api, nyaris tak terselamatkan lagi.
"Chiaa...!" Sarat kegeraman, Setan Madat menerjang. Rasa nyeri di bagian pipi tak dirasakannya lagi. Tubuhnya sudah terbang lurus seperti tombak. Tangan kanan telah memutar-mutar cangklong.
Wukh! Wukh!
Dua buah tebasan dibuat Setan Madat.
Liar dan ganas. Sayang, calon korbannya telah memperhitungkan gerakannya. Dijatuhkannya tubuh ke belakang. Dan dengan bertumpu pada kedua tangan, kedua kaki Arya Wadam menyentak ke atas, ketika tubuh Setan Madat lewat di atasnya. Lalu....
Beghh!
Apes. Itu yang dialami Setan Madat. Ulu hati dan dadanya menjadi sasaran kedua kaki lawan. Akibatnya, tubuh kurusnya terlempar ke atas. Pekikan menyayat terlempar dari mulutnya.
Sementara Arya Wadam telah berdiri di tanah kembali.
"Ini saatnya," desisnya.
Selagi tubuh Setan Madat meluncur turun tak terkendali, si gadis telah melesat bak anak panah. Kaki kanannya terjulur dan kaki kiri menekuk ke dalam. Arahnya, sudah pasti tubuh Setan Madat.
"Hiaah!"
Dashh!
Prakk!
Satu sabetan kaki kanan telah menghantam kepala Setan Madat. Lelaki tua bangka itu terpental kembali sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Kepalanya retak mengucurkan darah segar. Dan ketika jatuh mencium tanah, dia sudah melejang-lejang meregang nyawa.
Arya Wadam sendiri telah menjejakkan kakinya di tanah. Tajam diperhatikannya jasad Setan Madat yang tak berkutik lagi, mati. Dan dia baru menoleh ketika di belakangnya terdengar suara langkah kaki halus.

* * *



"Sudah kuduga! Sudah kuduga! Kau pasti akan mampu mengalahkannya!" kata Satria meledak-ledak. Lagaknya seperti seorang guru besar terhadap muridnya.
Arya Wadam tersenyum. Manis sekali.
"Terima kasih, Satria," ucap Arya Wadam, risih seraya bergegas menyapu peluh di wajahnya. Desahan napasnya terdengar.
"Sejak tadi aku hanya menonton saja. Habis aku yakin dalam dua gebrakan lagi kau pasti bisa mengalahkan Setan Madat," lanjut Satria tanpa diminta.
"Kepandaian Setan Madat setaraf denganku, Satria. Kurasa kau mampu menjatuhkannya dalam segebrakan saja," Arya Wadam balik me-muji Satria.
Sejujurnya, benar apa kata Arya Wadam.
Satria tahu itu. Cuma karena ingin membesarkan hati si gadis, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Satria. Dan kini si pemuda hanya cengar-cengir saja.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam.
"Kau memang hebat," jawab Satria.
"Bukan. Maksudku, apa yang harus kita lakukan lagi?"
"Oh, itu," Satria memandang berkeliling.
Tampaknya, para penduduk Desa Sedayu yang membantunya menyerang tempat ini telah menguasai istana milik Setan Madat.
"Nah, itu Ki Rengges dan Ki Rembang!" tunjuk Satria ketika dua lelaki tua muncul di pintu istana. Kedua lelaki tua yang ditunjuk Satria menghampiri. Wajah suka cita diperlihatkan mereka.
"Bagaimana, Pak Tua" Apa langkah kita selanjutnya?" aju Satria langsung saja. Satu tombak di hadapan si pendekar muda dan Arya Wadam, kedua lelaki tua itu berhenti.
"Semua sudah kami bereskan, Satria. Seluruh perkebunan madat milik Setan Madat telah kami bakar. Para pekerja paksa yang berasal dari desa kami telah kami suruh pulang. Sedangkan gadis-gadis yang disekap Setan Madat telah kami temukan. Dan mereka juga sudah kami suruh pulang," lapor Ki Rengges langsung.
"Kami mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan kau, Satria. Juga, padamu, Cah Ayu," timpal Ki Rembang.
"Jangan berterima kasih pada kami, Pak Tua. Berterima kasihlah pada Tuhan," ujar Satria.
"Kalau begitu, marilah kita rayakan kemenangan ini di desa, Satria," ajak Ki Rengges.
"Kemenangan ini tak perlu dirayakan, tapi disyukuri. Ungkapan rasa syukur itu sebaiknya kau wujudkan dalam bentuk kepemimpinan yang arif dan bijaksana. Ciptakanlah kedamaian dan ketenteraman desa seperti dulu, sebelum Setan Madat menguasai desamu, seperti yang pernah diceritakan Ki Rembang padaku." Entah malaikat mana yang menyusupi tubuh Satria.
Kata-katanya bak seorang resi dengan wejanganwejangan halusnya.
Ki Rengges melirik Ki Rembang. Malu hatinya bila mengingat masa dia menjadi anak buah Setan Madat. Dan ternyata sebuah pengalaman tak mengenakan menjadi anak buah tokoh sesat telah membuka matanya. Sekaligus, membuka hatinya yang selama ini tertutup kegelapan.

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

BULAN sepotong menggantung di angkasa.
Malam pekat. Bukit Menjangan terkepung rapat oleh kabut. Dengusan angin tak mampu mengusir. Hawa dingin menggigit kulit, membuat binatang-binatang malam tak ingin keluar dari sarangnya. Tidak dengan dua orang manusia yang tengah duduk berhadapan di pelataran sebuah reruntuhan sebuah bangunan mirip candi. Mereka seperti tak peduli oleh gelapnya malam. Juga tak peduli oleh dinginnya hembusan angin bukit yang begitu menusuk. Siapakah mereka" Yang duduk di atas sebuah batu besar bekas reruntuhan candi itu adalah seorang lelaki tua. Rambutnya panjang tak terurus. Hidungnya bengkok seperti paruh burung betet. Matanya tajam mencorong berwarna hijau. Bajunya panjang mirip jubah berwarna kelabu. Tangan kirinya diletakkan di atas dengkul keroposnya. Sedang tangan kanan memegang tongkat butut dari kayu hutan. Di depan si lelaki tua adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Wajahnya dihiasi kumis dan brewok. Pakaiannya tak menggambarkan kalau dia tokoh persilatan, tapi sebagai tokoh kerajaan. Sebuah pakaian yang hanya dikenakan oleh seorang panglima.
"Apa kau sudah yakin dengan keputusanmu, Ganang?" buka si lelaki tua, memecah keheningan yang baru saja berlangsung.
"Sudah, Guru. Takhta kerajaan harus kurebut. Aku sudah terlalu sakit hati dengan Kanjeng Gusti. Pihak kerajaan malah kini mengucilkan ku. Yang paling menyakitkan, adikku dihukum gantung oleh Kanjeng Gusti," sahut lelaki tinggi besar. Dialah Panglima Ganang Laksono.
Setelah bertemu Setan Madat untuk mengambil tiga peti uang kepeng guna membiayai pemberontakannya, Panglima Ganang Laksono langsung menuju Bukit Menjangan tempat gurunya bermukim. Sang Guru dikenal sebagai Ki Ageng Wirakrama. Dalam dunia persilatan, dia dikenal sebagai tokoh setengah siluman. Karena konon, istrinya pun siluman asli.
Sewaktu markas Setan Madat di Hutan Sawangan diserang Satria Gendeng, Arya Wadam, dan para penduduk Desa Sedayu, Ganang Laksono telah lama meninggalkan tempat itu.
"He he he.... Bagus, bagus. Aku mendukung rencanamu. Kapan akan kau laksanakan?" kekeh Ki Ageng Wirakrama.
"Dalam waktu dekat ini, Guru. Dan kuharap Guru sudi membantu memperlancar jalannya rencanaku," pinta Panglima Ganang Laksono, tanpa sungkan-sungkan.
"O, tentu. Tentu aku akan membantumu.
Walau baru beberapa tahun kau jadi muridku, aku tak segan-segan untuk membantumu. Tapi, kau harus ingat. Aku tak mau tenagaku sia-sia.
He he he...," kata si tua jelek itu mengingatkan.
"Aku mengerti kebutuhan Guru. Temanku Setan Madat banyak menyimpan gadis-gadis desa. Nanti bisa kusuruh dia untuk menyediakannya," kata Ganang Laksono, penuh semangat.
"Slompret! Dua tahun terakhir ini, aku selalu diawasi istriku, Kampret! Sejak aku kepergok Nini Berek tengah menggarap seorang gadis, dia memberi hukuman padaku. Aku tidak boleh tidur lagi dengannya!" semprot Ki Ageng Wirakrama.
Tercekat Danang Laksono mendengarnya.
Gila! Nafsu nenek tua bangka istri guruku ini masih besar saja! Begitu kata hati lelaki tinggi besar ini. Lelaki ini juga pernah bertemu dengan istri Ki Ageng Wirakrama yang dipanggil Nini Berek. Bukan saja perempuan itu sudah keropos dengan tubuh melengkung, tapi juga berwajah mengerikan. Wajahnya saja penuh borok berlendir berbau busuk. Rambutnya tipis berwarna putih, nyaris tak pernah dicuci. Bisa jadi malah sengaja untuk perternakan kutu. Matanya celong ke dalam, namun memancarkan sinar kemerahan. Mulutnya bergigi hitam, tak pernah membuang tembakau sirihnya. Dan Ki Ageng Wirakrama masih mau bermain cinta dengannya" Orang paling bodoh pun rasanya akan lari terbirit-birit bila harus bercinta dengan Nini Berek.
"Kau tentu mau bilang aku gila mau bercinta dengan Istriku, bukan?" sergap Ki Ageng Wirakrama.
Ganang Laksono tercekat. Serba salah.
Mau bilang iya, takut sang Guru marah. Mau bilang tidak, memang begitu kenyataannya.
"Mmm, maksudku bukan begitu, Guru," gagap Danang Laksono.
"Alaahh...! Aku sudah tahu apa yang kau pikirkan!" tepis lelaki tua bangka itu.
"Asal kau tahu saja, Ganang. Istriku bisa merubah wujudnya menjadi seorang gadis cantik untuk menambah gairahku. He he he...." Kini Ganang Laksono baru mengerti. Dan dia makin merasa bodoh ketika menyadari bahwa istri gurunya adalah sebangsa siluman. Bukankah bangsa siluman bisa merubah wujudnya menjadi apa saja" Bahkan mungkin bisa merubah wujud menjadi sejumput upil sekalipun.
"Sekarang, imbalan apa yang harus kuberikan kepada Guru?" aju Ganang Laksono lebih lanjut.
"Gampang.... Di dunia ini ada sebuah senjata pusaka. Namanya, Kail Naga Samudera. Cari, dan rebut senjata itu," sabda Ki Ageng Wirakrama.
"Kail Naga Samudera" Siapa pemiliknya" Dan bagaimana bentuknya?" sebut Ganang Laksono, bertanya-tanya.
"Aku juga belum pernah melihat bentuknya. Tapi kabarnya, senjata pusaka itu seperti sebatang tongkat kecil.
Pangkalnya dari logam dengan ujung berbentuk kepala naga. Sedang ujungnya berbentuk ekor naga. Soal pemiliknya, kalau tak salah bernama Ki Kusumo.
Tapi menurut kabar pula senjata itu telah diwariskan kepada muridnya."
"Siapa?"
"Satria Gendeng."

* * *



"Kau tak mengenakan tudungmu lagi, Arya?" tanya Satria, iseng-iseng sewaktu mereka singgah di sebuah kedai untuk menuju Kerajaan Demak. Saat ini, siang terik memanggang. Sejak tadi pagi, Satria Gendeng dan Arya Wadam telah meninggalkan Desa Sedayu. Mereka harus segera menuju Kerajaan Demak untuk melaporkan tentang pemberontakan yang akan dilakukan seorang panglima.
"Tudungku kutinggal di sebuah penginapan di Desa Karangkemboja. Dan lagi, rasanya tak perlu aku menggunakannya lagi, agar kau puas memandang wajahku. Tidak ngintip-ngintip lagi," goda Arya Wadam, mulai berani kepada si pemuda.
Agar aku puas katanya" Lonjak si pemuda tengil ini. Mana pernah aku merasa puas" Malah kalau boleh, pipinya sekalian kuci..., ah! Kenapa pikiranku jadi ngaco begini.
Nanti kalau Tresnawati tahu, bagaimana" Tidak! Aku tidak boleh mengkhianatinya! Satria terus bermain dengan kata-kata hatinya sendiri.
"Apa yang kau lamunkan, Satria" Gadismu, ya?" terjang Arya Wadam menyudutkan si pemuda.
Lamunan pemuda bertabiat sinting ini terampas oleh kata-kata Arya Wadam. Wajahnya mendadak sontak memerah. Lalu berubah hijau.
Lalu kelabu. Tak menentu. Sikapnya jadi serba salah.
"Ah, tidak," sanggahnya. Padahal kalau Arya Wadam tahu bahwa dalam benaknya tengah tergambar wajah Tresnawati, bisa jadi wanita ini kontan meninggalkannya. (Untuk mengetahui tentang Tresnawati yang menjadi kekasih Satria Gendeng baca episode perdana sampai Kiamat Di Goa Sewu).
"Justru aku sedang menikmati cantiknya wajahmu," Satria berdusta.
Wajah Arya Wadam makin tersipu. Katakata si pemuda justru makin mengobarkan api asmara dalam dadanya. Benarkah pemuda ini" Jujurkah kata-katanya" Pertanyaan dalam dada Arya Wadam menyeretnya ke dalam sebuah keragu-raguan. Untuk menyebut perasaannya itu sebagai benih cinta, apakah terlalu tergesa-gesa" Arya Wadam sendiri belum cukup yakin. Namun begitu, sulit dipungkiri kalau dalam hatinya ada perasaan yang sulit diceritakan. Si gadis berusaha menghalau perasaannya itu, tapi tetap saja tak mampu. Malah tanpa sadar, matanya menghujam lurus pada bola mata pemuda perkasa di depannya.
Untungnya, Arya Wadam cepat menyadari ketika pelayan kedai datang membawa pesanan makanan mereka.
"Pesanannya, Den," kata si pelayan lelaki.
Usianya paling setengah baya.
"Terima kasih," ucap Satria, ikut membantu meletakkan hidangan yang dipesan.
Si pelayan pergi, setelah tugasnya selesai.
Mata Satria masih terpaku di wajah Arya Wadam.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Satria?" tegur Arya Wadam, jengah juga dipandangi seperti itu. Dan memang, sejak bertemu pemuda tengik ini sifat si gadis yang semula kelaki-lakian mulai berubah sedikit demi sedikit. Apakah karena dia mencintai Satria" Bukankah terlalu pagi kalau menyebut bahwa yang ada di dalam hatinya adalah cinta"
"Aku sendiri heran, kenapa aku terus memandangimu, ya" Tapi rasanya mubazir kalau wajahmu dilewatkan begitu saja," sahut Satria, terus terang.
"Sudahlah, makan dulu hidangan kita.
Nanti keburu dingin." Arya Wadam tak peduli lagi seandainya Satria mau melahap wajahnya sekalipun. Segera dilahapnya nasi campur arak pesanannya. Dan ketika matanya melirik, Satria telah asyik dengan santapannya. Ikan mujair bakar dengan lalap petai.
"Kau sudah punya kekasih, Satria?" panc-ing Arya Wadam. Sikapnya pura-pura tak peduli. Terus dilahapnya santapannya.
"Sudah," jawab Satria, pendek.
Arya Wadam nyaris tersedak. Pemuda ini sudah punya kekasih" Sentaknya dalam hati.
Lantas, apa maksudnya dia mencari-cariku sampai ke Desa Sedayu segala" Seketika Arya Wadam menghentikan suapannya.
"Ja..., jadi kau...," gagap Arya Wadam tanpa berkelanjutan.
Satria masih tetap tak peduli. Asyik sekali dia dengan santapannya. Kadang jarinya sibuk menarik duri mujair dari mulutnya. Sedangkan bibirnya monyong-monyong, terasa pedas ketika melahap lalap petai.
Tiba-tiba Arya Wadam berdiri. Telunjuk lentiknya menuding ke wajah si pemuda.
"Ternyata aku sedang berhadapan dengan pemuda tengik hidung belang yang pintar memasang jerat!" desisnya. Matanya mendelik, nyaris melompat dari rongganya. Terarah ke manik-manik mata Satria.
Tudingan Arya Wadam membuat si anak muda tersentak. Dan ini makin membuat makannya jadi kalap. Suapannya makin seru, menjejali nasi ke dalam mulut. Sementara, matanya menatap lekat tak mengerti ke bola-bola mata indah Arya Wadam. Arya Wadam tak kuat lagi mengendalikan perasaannya. Sekali menyentak kakinya, tubuhnya sudah menghambur keluar kedai. Tinggal Satria yang terbengong-bengong.
"Apa yang salah dengan jawabanku?" tanyanya seraya menaruh beberapa kepeng ke atas meja untuk membayar makanan.
Cepat, Satria Gendeng menyusul keluar.
Tapi Arya Wadam sudah tak terlihat lagi. Tinggal tangan si pemuda menggarukgaruk kepala yang tak gatal.

* * *



"Satria Gendeng" Rasanya aku pernah mendengar nama itu?" tanya Ganang Laksono untuk dirinya sendiri.
"Tapi di mana aku pernah mengenalnya?" Di atas kudanya, Panglima Ganang Laksono tercenung. Dia berusaha mengingat-ingat orang yang bernama Satria Gendeng. Dan ketika ingatannya tertuju pada Bagaspati, barulah kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, aku baru ingat. Beberapa tahun lalu sebelum Bagaspati diangkat menjadi Patih sekarang ini, orang yang bernama Satria Gendeng pernah mendapat penghargaan dari Kanjeng Susuhan, karena telah berjasa menumpas gerombolan Laskar Lawa Merah pimpinan Dirgasura.
Hmm.... Pantas, guruku berminat sekali pada Kail Naga Samudera...." (Untuk mengetahui tentang Bagaspati dan Dirgasura, baca episode: "Tabib Sakti Pulau Dedemit", "Geger Pesisir Tanah Jawa", dan "Kail Naga Samudera").
Perlahan namun pasti, Panglima Ganang Laksono mengarahkan lari kudanya menuju Kadipaten Kutowinangun. Dia akan menemui kakak iparnya yang menjadi adipati di sana. Pembicaraan mengenai pemberontakan untuk sementara ini harus secara rahasia. Untuk itu, dia merasa belum perlu membawa orang-orang; terdekatnya. Setelah berpamitan pada gurunya tadi pagi, Panglima Ganang Laksono tak ingin berlamalama lagi. Yang jelas, dia merasa sudah mendapat kepastian kalau gurunya akan bersedia membantunya. Hanya saja, setelah takhta Kerajaan Demak nanti bisa direbutnya, dia harus bersusah payah mencari pemuda bernama Satria Gendeng untuk merebut Kail Naga Samudera.
Siang terik memanggang bumi.
Keringat di tubuh lelaki tinggi besar ini telah membasahi tubuh. Diperkirakan, sore nanti dia baru tiba di Kadipaten Kutowinangun. Sungguh suatu perjalanan yang amat melelahkan.
Memasuki sebuah mulut hutan, mendadak Panglima Ganang Laksono menghentikan lari kudanya. Mata tajamnya menyapu ke sekeliling. Sekelebatan tadi, matanya menangkap sebuah bayangan melesat, dan menghilang di balik sebuah pohon besar tepat di mulut hutan.
Dan sebelum dia menarik gagang pedangnya.... Wusss...! Tak percuma Panglima Ganang Laksono berguru pada Ki Ageng Wirakrama. Sebuah angin halus didengarnya. Lewat satu hentakan kaki lelaki tinggi besar itu melempar tubuhnya ke atas.
Tak! "Hieeekhh...!" Kuda tunggangan Panglima Ganang Laksono kontan tersungkur. Angin halus yang berupa totokan jarak jauh menghantam lehernya. Penunggangnya sendiri telah sampai di bumi dengan mata nyalang.
"Jangan cari perkara denganku! Keluar!" Keadaan sunyi. Hanya belaian angin siang yang mendesah resah menerpa sang Panglima.
Dan kegeraman pun memuncak, hendak meledakkan dada lelaki tinggi besar ini. Karena orang yang barusan melepaskan serangan gelap tetap tak mau menunjukkan batang hidungnya.
Sejenak Panglima Ganang Laksono menatap kuda tunggangannya yang juga mengangkut tiga peti uang kepeng. Melihat kudanya yang terpuruk kaku akibat tertotok, bisa dipastikan kalau orang yang menotok tadi memiliki kepandaian tinggi. Selain bisa menotok dari jarak jauh, desir angin totokannya pun nyaris tak terdengar.
"Jahanam! Tunjukkan muka jelekmu! Jangan jadi orang pengecut!" Bergema. Suara teriakan Panglima Ganang Laksono barusan juga disertai tenaga dalam lumayan. Bisa jadi bila tokoh rendahan akan langsung berteriak kesakitan. Tapi rupanya yang dite-riaki bukan tokoh kemarin sore.
Karena....
"Hiaha ha ha...!" Sebuah tawa dahsyat bertenaga dalam lebih tinggi justru membuat Panglima Ganang Laksono jatuh duduk. Dadanya langsung berguncang keras. Biji matanya mendelik tak percaya.
Salah besar kalau Panglima Ganang Laksono menduga bahwa si pemilik tawa tadi adalah seorang yang bertubuh besar. Dan salah besar la-gi kalau asal suara tawa tadi dari balik sebuah pohon besar yang semula diduganya.
"Jangan banyak bertingkah kalau cuma punya kepandaian seujung kuku...," sebuah suara dari belakang Panglima Ganang Laksono terdengar. Sang Panglima tercekat. Sungguh tak diduga kalau suara itu berasal dari belakangnya.
Sebab dia merasa pasti kalau suara itu tadi berasal dari arah depan. Perlahan, kepalanya menoleh ke belakang Terhenyak kembali sang Panglima. Ternyata orang yang ada di belakangnya tingginya tak lebih dari pahanya. Seorang lelaki yang usianya sulit diukur. Wajahnya penuh keriput dengan kumis dan jenggot berwarna putih menjuntai ke bawah. Matanya sipit segaris. Kalau tertawa, nyaris tak melihat. Rambutnya putih digelung ke atas. Pakaiannya panjang mirip jubah berwarna abu-abu.
"Si..., siapa kau, Orang Tua"!" tanya Panglima Ganang Laksono, tergagap.
Keberaniannya terdepak entah ke mana. Dia cepat bangkit dan berbalik.
"Aku" Kau tanya siapa aku" Pantas..., pantas. Ternyata orang di hadapanku ini terlalu banyak meringkuk di ketiak istrinya. Tak pernah terjun dalam kancah persilatan. Pantas kalau dia tak mengenaliku," oceh si tua kecil ini. Merah wajah Panglima Ganang Laksono Dadanya bergemuruh. Kalau tak ingat bahwa dirinya barusan dijatuhkan, sudah diterjangnya si tua sialan ini.
"Mestinya kau harus tahu, siapa yang kau hadapi sekarang ini, Orang Tua?" desis Panglima Ganang Laksono. Maksudnya mau menggertak.
Tapi suaranya malah bergetar, menggambarkan ketakutannya.
"Mau Setan Belang, kek. Aku tak peduli, siapa dirimu. Yang penting aku mau meminta tiga peti uang kepeng di atas kudamu!" sembur si kakek kecil.
"Berarti kau berurusan dengan Panglima Ganang Laksono dari Kerajaan Demak!"
"Sudah kubilang, aku tak peduli! Mau berurusan dengan Kerajaan Setan pun, tiga peti ke-pengan itu harus jadi milikku!" Panglima Ganang Laksono berusaha mengumpulkan keberaniannya yang tercecer. Dienyahkannya dugaan kalau lelaki tua sialan ini memiliki kepandaian tinggi. Boleh jadi si tua bangka itu hanya pandai dalam ilmu totok. Jadi, belum tentu pandai dalam olah kanuragan. Di sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga tak ingin tiga peti uang kepengnya lenyap begitu saja. Bila itu sampai terjadi, bagaimana dia membiayai pemberontakan" Tapi tenaga dalam lelaki tua ini amat tinggi! Begitu teriak hati Panglima Ganang Laksono.
Ah, itu mungkin karena aku terlalu kaget saja, tukasnya sendiri.
"Kalau begitu, langkahi mayatku dulu!" geram Panglima Ganang Laksono, mendelik.
"He he he.,.. Nyalimu mulai tumbuh lagi, ya" Kau mau bertingkah di hadapan Bocah Tua Sakti" Boleh..., boleh. Sini! Kau kujadikan mayat dulu, biar bisa kulangkahi!"
"Keparat! Chiaaa...!" Satu terjangan dahsyat dibuat Panglima Ganang Laksono. Menyadari calon lawan di hadapannya tidak bisa dianggap main-main, pedangnya segera dicabut.
Wutt! Sambil menerjang, Panglima Ganang Laksono mengebutkan pedangnya. Ganas dan mematikan. Deru anginnya mengisyaratkan kematian.
Sementara calon korbannya tak bergemik sedikit pun. Sikapnya tetap tenang, seolah suka rela menyediakan tubuh kecilnya dirancah pedang berkilatan. Tapi lima jari lagi pedang itu menebas dari samping....
"Weee, tidak kena!" ejek si kakek bernama Bocah Tua Sakti.
Dengan kecepatannya, Bocah Tua Sakti melenting tinggi ke atas. Di udara, kedua kakinya mampir di kepala Panglima Ganang Laksono.
Duk! Duk! Pelan saja kaki Bocah Tua Sakti hinggap kurang ajar di kepala, tapi sungguh membuat Panglima Ganang Laksono merasa amat terhina.
Begitu berbalik, segera dipersiapkannya jurusjurus pemberian Ki Ageng Wirakrama.
Tepat ketika Panglima Ganang Laksono memasukkan pedangnya, kuda-kuda kokohnya telah terpasang. Kini kedua tangannya bersilang di atas kepala. Sementara, lawan malah memandang dengan kening berkerut. Seolah ada sesuatu yang membekas dalam ingatannya.
Dan sebelum Panglima Ganang Laksono menerjang....
"Tunggu..., tunggu...," kata si kakek kecil se-enaknya.
"Kau hendak membuka Jurus 'Menangkap Setan Gila' ya" Ayo, ngaku....
Hmm.... Apa hubunganmu dengan Ki Ageng Wirakrama?"
"Dia guruku."
"Edan! Kenapa tidak bilang dari tadi"!"

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

KE MANAKAH Arya Wadam" Jangan tanya, bagaimana terpukulnya gadis itu. Setelah menyadari kalau cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, Arya Wadam berlari tak jelas arah. Apa yang selama ini diimpi-impikan kandas sudah. Saat itu juga dia ingin mendepak bayangan Satria dari ingatannya. Tapi semakin dia berusaha, bayangan bocah tengik itu tetap saja sulit dihapus Setegar-tegarnya Arya Wadam, ternyata dihadapkan urusan cinta tak mampu juga si gadis membendung perasaannya. Tak urung air matanya bobol juga ketika tiba di pinggiran Sungai Bogowonto.
Oh, Gusti Agung.... Kenapa dunia terlalu kejam buatku" Jeritnya, merana. Arya Wadam sebenarnya memang tergolong gadis tegar. Sejak bayi dia sudah kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya. Sejak ditemukan di tengah sebuah hutan, dia dididik oleh seorang tokoh silat wanita yang awet muda. Selama dididik, yang didapat hanyalah gemblengan yang begitu keras di tengah kaum lelaki. Tak heran kalau kemudian penampi-lannya mirip lelaki, sebelum bertemu Satria Gendeng. Memang, gurunya cukup sayang padanya.
Tapi apakah itu cukup" Dan selagi ada pemuda tampan yang menaruh perhatian padanya, selagi ada pemuda sakti yang telah mencuri sekeping hatinya, haruskah dia mengingkari perasaannya" Wajarkah kalau dia mengharap kasih sayang dari si pemuda" Harapan tinggal harapan. Yang ada kini kenyataan, bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Apakah Arya Wadam terlalu besar perasaan" Haruskah dia menyalahkan Satria yang telah mengoyak perasaannya"
"Tak seharusnya kau hanyut dalam angan kosong, Arya!" Dalam duduknya yang bersandar di bawah pohon, Arya Wadam tersentak. Sebuah suara yang amat dikenalnya telah memberangus lamunannya. Cepat, kepalanya menoleh ke kiri.
"Guru...!" sebutnya, lirih.
Arya Wadam beringsut. Ditubruknya kaki seorang wanita cantik berpakaian putih yang tahu-tahu telah berdiri di samping kiri sejauh satu tombak. Kapan wanita cantik itu datang, Arya Wadam tak tahu. Atau karena perasaannya sedang terkepung oleh kegalauan sehingga panca indranya tertutup" Di ujung kaki wanita yang dipanggil guru, Arya Wadam menumpahkan segala perasaannya.
Tangisnya pun meledak.
"Tak pantas seorang pendekar menangis meraung-raung begitu! Bangun!" bentak si wanita cantik.
"Ampun, Guru.... Tapi salahkah aku kalau mengikuti kodratku" Tapi, ah! Percuma. Guru tak tahu persoalannya!"
"Persoalanmu hanya persoalan cinta. Dan cintamu bertepuk sebelah tangan pada seorang pemuda bertabiat sinting bernama Satria Gendeng!" Arya Wadam melengak. Tangisnya kontan berhenti. Guru tahu persoalanku" Katanya, bertanya sendiri dalam hati. Tak percaya, Arya Wadam mendongak. Kedua matanya menghujam ke arah manik-manik mata bersinar lembut milik gurunya. Sinar mata si gadis menyiratkan ketidakpercayaan.
"Aku mengikutimu sejak kau berada di kedai bersama pemuda tengik itu, Arya. Aku tahu, apa yang kalian bicarakan di kedai!" jelas sang Guru, menjawab keheranan muridnya.
"Ja..., ja-di...."
"Ya! Aku tahu semuanya! Dan kau tak perlu jadi cengeng seperti itu. Bukankah pemuda itu telah berkata jujur" Kau harus hargai kejujurannya!" sambar sang Guru.
"Guru membela Satria Gendeng?" tukas Arya Wadam, kecewa.
"Masalahnya bukan aku membela atau tidak. Yang jadi persoalan adalah, kau belum bisa mengendalikan perasaanmu sendiri. Dengarlah!" Wanita cantik itu meraih bahu Arya Wadam untuk berdiri.
"Sekarang aku mau tanya. Apakah pemuda itu telah menyatakan cintanya padamu?" Arya Wadam menggeleng. Lemah sekali.
"Nah, kenapa kau merasa begitu terpukul" Aku mengerti, kau adalah seorang gadis yang haus kasih sayang. Kedua orangtuamu telah membuangmu tanpa kasih sayang. Wajar kalau kau saat ini membutuhkan kasih sayang, selain dariku. Tapi tidak seharusnya kau menjadi cengeng begitu. Ada hal lain yang lebih penting dari sekadar menangisi impian kosong. Jelas, pemuda itu tidak mencintaimu. Maka, lupakanlah dia.
Buktikan bahwa kau adalah seorang pendekar berkepribadian tegar tanpa harus cengeng dengan persoalan cinta," papar wanita cantik itu. Diam-diam Arya Wadam menelaah setiap kata yang diucapkan gurunya. Si gadis tahu, betapa tegarnya kepribadian wanita yang awet muda itu. Dulu, gurunya pun mempunyai suami yang mati terbunuh di sebuah tempat yang bernama Kuil Neraka, sebelum ditempati Tujuh Dewa Kematian. Sejak saat itu, sang Guru telah kehilangan kasih sayang. Dia tetap menyendiri tanpa peduli pada urusan cinta (Baca episode : "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
Nini Prameswari namanya. Begitu si wanita cantik guru Arya Wadam biasa dipanggil. Berkat kesaktiannya, dia masih tetap awet muda. Malah bagi orang yang tak tahu, antara Nini Prameswari dengan Arya Wadam bagaikan adik kakak saja. Paling tidak umur mereka selisih satu dua tahun.
Tapi sebenarnya, usia Nini Prameswari sudah hampir mencapai seratus tahun.
"Tapi kalau Satria Gendeng tak mencintaiku, kenapa dia mencari-cari aku" Bahkan meminta bantuan gurunya yang bernama Dongdongka untuk mencariku?" tuntut Arya Wadam. Sekadar untuk memuaskan hatinya.
"Ini! Ini yang namanya besar perasaan. Kalau orang lain mencari dirimu, apalagi yang mencari adalah seorang pemuda, belum tentu karena dilandasi cinta. Bisa jadi hanya karena suka saja.
Dan antara cinta dan suka hanya dibatasi benang yang amat tipis. Jadi, kau harus hati-hati mengendalikan perasaanmu," urai Nini Prameswara, panjang lebar.
Terbukalah kini kesuraman di hati Arya Wadam. Tak ada lagi air mata di pipi. Sejak tadi dia memang telah berusaha menghapusnya. Sebening pualam, kini pikirannya terasa bersih. Bibirnya mulai menampakkan senyum. Manis sekali.
"Tataplah hari depan yang lebih cerah, Muridku," lanjut Nini Prameswari.
"Sekarang, ada suatu hal yang mesti kubicarakan padamu."
"Apa itu, Guru?"
"Aku telah tahu, siapa kedua orangtuamu yang telah tega membuang dirimu ke hutan."
"Apa?"

* * *



"Waahhh, urusannya kenapa jadi begini?" keluh Satria, ketika tiba di ujung jalan sebuah pinggiran desa. Di depannya, menghadang sawah ladang menghampar.
"Rasanya tak mungkin Arya Wadam bersembunyi di sawah atau ladang itu. Dia bukan sejenis tikus sawah." Kepala si anak muda celingukan, mirip maling jemuran. Berusaha dicarinya gadis itu dengan mata tajamnya. Tetap tak ada hasil.
"Ke mana tujuanku sekarang" Ke Kerajaan Demak atau terus mencari Arya Wadam" Kalau aku terus mencari Arya Wadam, bisa memakan waktu lama. Sementara, keadaan Kerajaan Demak bakal terancam. Ah, perempuan.... perempuan. Rupanya perhatianku selama ini disalah artikan oleh Arya Wadam. Kan aku cuma ingin ketemu dia. Kan aku cuma penasaran kenapa waktu itu dia meninggalkan aku begitu saja setelah menyelesaikan urusan di Kuil Neraka" Kan aku cuma ingin jadi sahabatnya" Kan aku cuma mengagumi kecantikannya" Kan aku..., slompret! Kenapa aku juga begitu mengkhawatirkan keselamatannya?" Satria terbelenggu keragu-raguan. Kekhawatiran memang menimbulkan keragu-raguan.
Dan keragu-raguan adalah cikal bakal kekalahan.
Tiba-tiba saja, kata-kata bijak menyentil kesada-ran Si pemuda. Entah, malaikat mana yang membisiki kupingnya.
"Ah, kupikir Arya Wadam bisa mengerti aku. Dia telah cukup dewasa untuk mengerti arti sebuah kejujuran. Bukankah aku sudah berkata jujur" Jadi, aku tak perlu mengkhawatirkannya lagi. Dan sebaiknya, aku segera menuju Kerajaan Demak!" tegas si anak muda.
Di ujung kalimatnya, Satria menghentakkan kakinya, Kini tubuhnya melesat bagaikan dikejar setan, karena mengerahkan ilmu lari cepatnya. Yang hanya bayangan putih saja saat tubuhnya meluncur bak anak panah lepas dari busur. Tiba di jalan yang membelah dua buah bukit, lesatan si pemuda perkasa terhenti. Ada sesuatu yang mengganggu pendengarannya. Kejap kemudian....
"Heaaa...!" Trangg...! Satria tercekat. Sebuah suara pertarungan rupanya yang tadi mengusik kupingnya, sehingga langkahnya terhenti. Kini celingukannya makin seru saja.

* * *



Sebuah pertarungan seru tergelar di balik Bukit Srondol. Sepasukan orang berpakaian prajurit bertarung habis-habisan menghadapi seorang lelaki tua kurus berjubah panjang warna kelabu. Hanya seorang lelaki tua, tapi telah mampu merobohkan beberapa prajurit dengan dada bolong seperti bekas tusukan benda tumpul.
Wukh! Wukh! Si kakek berambut tak terurus itu memutar-mutar tongkat bututnya. Perlahan saja kelihatannya. Tapi angin sambarannya mampu menggoyahkan kuda-kuda para prajurit yang mengepungnya. Mata mencorongnya yang berwarna hijau menatap satu persatu para pengepungnya.
Dari sikapnya jelas, kalau dia tak puas dengan hanya memakan beberapa korban saja.
Tak jauh dari tempat pertarungan, berdiri seorang lelaki gagah. Wajahnya bersih. Tak begitu tampan, tapi memancarkan ketegasan dan wibawa. Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal kecil pun yang luput dari perhatiannya. Dari pa-kaiannya bisa ditebak kalau lelaki setengah baya itu berpangkat Mahapatih. Pendeknya, atasannya para patih. Siapakah lelaki itu" Dari umbul-umbul lambang kerajaan yang dibawa beberapa prajurit yang tak ikut bertarung, bisa dipastikan kalau lelaki gagah itu berasal dari Kerajaan Demak. Dan kalau melihat raut wajahnya, jelas kalau dia adalah Bagaspati yang kini telah berpangkat Mahapatih.
Tak jauh dari Bagaspati, lima orang prajurit berjaga-jaga mengelilingi sebuah kereta kencana indah. Di dalamnya, menunggu waswas tiga manusia yang harus benar-benar dilindungi. Mereka adalah Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri Prabaningrat, dan anak gadis mereka yang bernama Dewi Sekardadu.
Cras! Cras! Dua prajurit Demak tersungkur. Sambaran tongkat lelaki tua tadi menelan korban kembali.
Perut dua prajurit itu terkoyak, membuat isinya terburai. Darah pun kembali membasahi bumi.
"Hmm, sepertinya Panglima Darmakusuma dan anak buahnya tak mampu menanggulangi keganasan si tua itu. Kalau begitu, aku harus turun tangan," gumam Mahapatih Bagaspati. Mahapatih Bagaspati menghela napas sesak. Dalam. Sarat kemarahan.
"Mundur!" teriaknya, lantang.
Para prajurit Demak yang hendak membuka pertarungan lagi cepat bergerak mundur. Perintah adalah perintah. Walaupun mereka masih bernafsu menyerang. Bernafsu melihat temanteman mereka telah terbujur kaku bersimbah darah. Tapi perintah atasan harus dijunjungi tinggi.
Apalagi terhadap seorang yang patut dihormati sekaligus dijunjung seperti Mahapatih Bagaspati.
Demikian pula Panglima Darmakusuma.
Sebenarnya, dia malu untuk mundur dari arena pertarungan. Sekian jurus menggebrak, tapi tak satu pun yang bisa membuat lawan tuanya jera.
Bahkan tadi, nyaris kepalanya kena gebuk tongkat butut lelaki tua yang tak lain Ki Ageng Wirakrama. Langkah mantap Bagaspati merampas keheningan yang tercipta sejenak. Tegar dan penuh percaya diri, didekatinya Ki Ageng Wirakrama. Ti-ga tombak di depan si tua bangka itu, mahapatih perkasa ini berhenti.
"Kau muncul langsung menyerang kami.
Sebenarnya, apa maumu, Pak Tua," tegur Mahapatih Bagaspati. Tegas penuh wibawa.
"Mauku" Kau bilang mauku" Banyak! Kemauanku banyak. Termasuk melenyapkanmu dari muka jagat ini!" jawab Ki Ageng Wirakrama.
Dingin dan datar.
"Rasanya, pihak Kerajaan Demak tak mempunyai persoalan denganmu. Kenapa kau begitu bernafsu untuk melampiaskan kemauanmu?"
"Itu urusanku! Dan aku tak perlu men-gungkapkannya padamu. Tapi yang pasti aku menginginkan Putri Dewi Sekardadu," jawab Ki Ageng Wirakrama, lantang.
Alis tebal Mahapatih Bagaspati bertaut.
Apa-apa ini" Tanyanya, makin bingung. Makhluk tua ini benar-benar tak jelas, apa maunya. Datang langsung menyerang, kini yang dimauinya malah Putri Dewi Sekardadu. Semula, dikira lela-ki tua itu hanyalah seorang perampok yang sengaja membegal orang-orang kerajaan ataupun saudagar. Tak tahunya, malah Dewi Sekardadu yang jadi incaran.
"Terlalu sulit permintaanmu untuk diluluskan. Putri Dewi Sekardadu adalah junjungan kami. Dan aku wajib melindunginya!" terabas Mahapatih Bagaspati, tegas dan tandas.
"Boleh..., boleh. Tak ada yang melarang kalau kau merasa wajib melindungi junjunganmu. Tapi sayang, keputusanku tak bisa diubah barang seujung upil sekalipun. Jadi bersiap-siaplah untuk mampus bila kau berniat menghalanghalangi!"
"Hatimu telah berkarat, Pak Tua. Jiwamu terlalu kusam. Tidakkah kau menyadari bahwa umurmu tinggal sisa-sisa belaka?"
"Bedebah! Kau belum kenal aku rupanya! Ageng Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa tak bakalan mundur berhadapan denganmu!" Mengelam wajah Ki Ageng Wirakrama. Kemarahannya siap membuncah. Mata hijaunya mendelik. Dada keroposnya turun naik. Amat cepat. Wukh! Wukh! Ki Ageng Wirakrama memutar tongkatnya di depan dada. Jangan ditanya, bagaimana suara angin yang ditimbulkan. Seolah, dia ingin meron-tokkan nyali calon lawannya.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah mencabut keluar kerisnya. Dibuatnya kuda-kuda setelah menarik kaki kiri ke belakang. Tatapannya lurus, hendak menembus manik-manik mata Ki Ageng Wirakrama. Kerisnya sendiri kini telah tersilang di depan mata.
"Majulah, Kakek Busuk! Rasanya dunia pun teramat jijik membiarkanmu berkeliaran menebar petaka!"
"Jahanam! Kuremukkan kepalamu! Hiaaa...!" Wukh! Sarat tenaga dalam tinggi, tongkat butut Ki Ageng Wirakrama mengebut dari samping kepala.
Hendak dihancurkannya kepala sang patih itu.
Suara menderu terdengar, udara terbelah oleh ke-rasnya sambaran.
Lincah, Mahapatih Bagaspati menarik tubuhnya ke belakang. Begitu sambaran tongkat butut lewat, dibabatkannya ujung keris langsung ke leher lawan.
Udara tergores tajam.
Leher Ki Ageng Wirakrama terancam.
Tapi si tua bangka ini terlalu cerdik untuk ditebas keris begitu saja. Entah bagaimana caranya, tubuhnya tahu-tahu telah merunduk seraya menyodokkan tongkatnya.
Duk!
"Hekh!" Untung saja Mahapatih Bagaspati telah melapisi perutnya dengan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, bagian yang tersodok tongkat butut barusan tidak tertembus. Tapi tak urung, perutnya terasa mulas bukan main. Dua tindak dia terjajar ke belakang.
"Sekarang rasakan tongkat bututku! Hiaaa...." Selagi lawan belum tuntas meringis menahan sakit, Ki Ageng Wirakrama telah kembali melompat membuat serangan berbahaya. Dengkul kropos kanannya terangkat hampir menyentuh dada. Tongkatnya berputaran di atas kepala.
Udara robek terbabat tongkat.
Mahapatih Bagaspati tercekat.
Akankah dia melawat ke akhirat"
"Hih!" Dengan keberanian luar biasa, Mahapatih Bagaspati justru menyongsong lompatan lawan.
Kerisnya diangkat ke atas hendak memapak sambaran tongkat. Sedangkan kaki kiri dan tangan kiri berjaga-jaga bila lawan melepaskan serangan dengan kaki.
Di udara, keris Mahapatih Bagaspati membentur tongkat butut Ki Ageng Wirakrama. Seperti dugaannya, dengkul monyong tua bangka itu menyentak hendak menanduk perutnya kembali. Secepatnya, melindunginya dengan menekuk kaki kiri. Tapi siapa nyana kalau tiba-tiba tangan ki-ri kurus milik Ki Ageng Wirakrama tiba-tiba bergerak dari bawah ke atas. Ini yang luput dari perhatian Mahapatih Bagaspati.
Lalu.... Diegh! Tubuh lelaki gagah andalan Kerajaan Demak itu terdongkel di udara. Keras hingga terlempar tiga tombak jauhnya. Pekik kesakitan terlempar dari mulut Mahapatih Bagaspati. Mahapatih Bagaspati membesut darah di bibirnya yang terhantam jotosan lawan. Sebagian darahnya yang tersisa diluncurkan lewat mulut bersama ludah. Lewat satu sentakan, lelaki ini berusaha bangkit. Ditatapnya lawan yang telah siap mengirim serangan susulan.
"Sekarang saatnya kau mampus di tanganku, Keparat Busuk!" sembur Ki Ageng Wirakrama, begitu membuat kuda-kuda rendah.
Bed! Bed! Di depan dada, tangan kiri kurus kering Ki Ageng Wirakrama membuat beberapa gerakan.
Cepat, berisi tenaga dalam tinggi. Gerakannya ba-ru berhenti ketika telapak tangan kirinya membuka di atas pinggang, dengan jari-jari mengarah ke bawah.
Semua yang ada di tempat ini jadi tegang.
Menanti, serangan keji apa yang akan dilepaskan tua bangka itu. Padahal, para prajurit serta Panglima Darmakusuma bisa saja ikut membantu menyerang tadi. Cuma mereka telah tunduk pada perintah Mahapatih Bagaspati.
Mahapatih Bagaspati sendiri telah berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Dan melihat lawan sepertinya bersiap melepas pukulan jarak jauh, segera disiapkannya pula pukulan an-dalannya.
"Hiaaahhh...!" Dengan kawalan teriakan panjang Ki Ageng Wirakrama membuka serangan. Sebentuk angin tajam memangkas udara begitu tangan kirinya menghentak. Wusss...! Dahsyat. Semua tercekat.
Di tempatnya, Mahapatih Bagaspati bersiap. Keris di tangan kanan telah berpindah ke tangan kiri. Sedang telapak tangan kanan itu sendiri telah membuka di depan dada.
Satu tombak lagi angin serangan lawan datang, telapak tangan kanan Mahapatih Bagaspati telah menghentak. Sebentuk angin yang menderu tajam pun bergerak memapak.
Lalu.... Blanggg...! Apes. Kali ini Mahapatih Bagaspati kembali apes. Tubuhnya tergempur sejauh sepuluh tombak. Pekik menyayat terlontar dari tenggorokannya. Susah payah, lelaki gagah ini berusaha bangkit. Dadanya turun naik amat cepat. Adu tenaga dalam barusan cukup mengguncangkan isi dadanya. Sejenak Mahapatih Bagaspati menoleh ke arah Panglima Darmakusuma dan para prajuritnya yang siap membantu bila ada perintah. Ta-pi sedikit pun sang Patih tak memberi isyarat apa-apa. Tatapan Mahapatih Bagaspati kini menghujam tajam ke arah Ki Ageng Wirakrama. Lelaki tua kurus ini tadi hanya tergetar mundur bebera-pa langkah saja. Dan kini, dia telah siap menuntaskan pertarungan.
"Hia ha ha...! Pukulan 'Angin Setan'-ku tadi belum seberapa, Lelaki Busuk! Kini kau rasakan yang lebih dahsyat lagi!" ancamnya, ganas.
Tapi....
"Hia ha ha.... Pukulan yang hanya pantas untuk memecahkan krupuk dipamerkan di sini! Hia ha ha...! Ada orang tua cacingan berkeliaran di jalan...." Sebuah suara lain dengan tawa menyebalkan menimpali kata-kata penuh ancaman Ki Ageng Wirakrama. Suara siapakah itu"

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

PANGLIMA Ganang Laksono bisa bernapas lega. Ternyata begitu dia menjelaskan kalau dirinya adalah murid Ki Ageng Wirakrama, Bocah Tua Sakti yang semula hendak membunuhnya malah kini memeluknya. Kontan saja napas leganya jadi terberangus oleh bau prengus tua bangka itu. Gila! Makinya dalam hati. Bau tubuhnya mirip kambing buduk! Sudah berapa bulan tua bangka ini tak mandi" Tanyanya pada diri sendiri.
"Aku adik kandung gurumu, Cah. Jadi, kau boleh memanggilku Paman Guru. Wah, untung kita tak jadi bertarung, ya?" cerocos Bocah Tua Sakti, tak juga melepaskan pelukannya. Gila-gilaan dia. Malah sesekali kepalanya yang jarang keramas digusel-guselkan ke bagian selangkangan sang Panglima.
Tinggal Panglima Ganang Laksono yang cengar-cengir. Entah merasa malu, atau malah ke-enakan" Maklum, sudah beberapa bulan ini dia tak kumpul bersama istrinya.
Panglima Ganang Laksono punya kesempatan untuk melepaskan diri dari bekapan lelaki tua yang tingginya hanya sepahanya itu. Disentak-kannya tangan tua bangka itu, lalu cepat bersujud di ujung kaki Bocah Tua Sakti. Bukan. Bukan untuk menyatakan hormat secara ikhlas, tapi sekalian mencari hawa segar setelah hidungnya terkepung bau kambing buduk di tubuh Bocah Tua Sakti. Tapi yang didapat....
Bah! Ujung kakinya malah habis menginjak kotoran kerbau! Maki hati Panglima Ganang Laksono. Apes juga nasibnya kali ini. Jangan ditanya bagaimana kecewanya.
"Makanya, kalau dipeluk diam saja. Tak usah berontak. Bau tubuhku kan lebih sedap dibanding bau kotoran kerbau?" ledek Bocah Tua Sakti, seperti mengerti tingkah Panglima Ganang Laksono.
Malu rasanya lelaki gagah itu mengangkat tubuhnya. Wajahnya merah. Jantungnya berdegup kencang. Jangan-jangan, paman guruku ini akan tersinggung. Begitu keluhnya.
"Ah, sudahlah. Ayo berdiri. Hei, siapa na-mamu?" Bocah Tua Sakti meraih bahu Panglima Ganang Laksono.
"Ganang Laksono, Paman Guru," sahut lelaki gagah itu, tanpa berani menatap wajah lelaki tua di hadapannya. Wajahnya ditundukkan amat dalam.
"Hm..., Ganang Laksono. Melihat pakaian-mu, sepertinya kau pembesar kerajaan, ya" Dari mana kau berasal?"
"Dari Kerajaan Demak, Paman Guru."
"Weh, weh, weh.... Orang kerajaan berguru pada seorang tokoh sesat macam kakakku. Pasti ada apa-apanya. Iya, kan?" tebak si tua pendek ini sok tahu.
"Begitulah, Paman Guru. Malah jika Paman Guru sudi, aku mau jadi murid Paman sekalian."
"O, jangan..., jangan.... Ilmuku bertolak belakang dengan Kakang Ageng Wirakrama. Jika kau menuntut ilmu dariku, sama saja kau bunuh diri. Sifat ilmuku dengan ilmu kakangku saling menyerang. Dan bila kau tak kuat, kalau hanya menderita kelumpuhan saja masih lumayan. Tapi kalau kau mampus, bagaimana" Bisa-bisa aku yang kena semprot kakangku," urai Bocah Tua Sakti, gamblang.
Bergidik Panglima Ganang Laksono mendengarnya. Untung tadi dia cuma basa-basi, untuk sekadar menghargai kepandaian paman gurunya.
"Hei, kau belum cerita. Ke mana tujuan-mu" Dan kenapa kau membawa uang kepeng sebanyak itu," dengan ekor matanya, Bocah Tua Sakti melirik tiga peti uang kepeng yang masih terikat di atas kuda milik Panglima Ganang Laksono yang masih terbaring.
"Aku sebenarnya baru saja menemui Guru.
Aku bermaksud meminta bantuannya untuk menyokong pemberontakan yang akan kulaksanakan pekan depan. Tujuanku sekarang adalah menghubungi kakak iparku yang menjadi Adipati di Kutowinangun. Dia pun akan ikut bergabung denganku untuk menumbangkan takhta Kerajaan Demak. Sedangkan tiga peti uang kepeng itu kugunakan untuk membiayai pemberontakan," papar Panglima Ganang Laksono. Dia merasa tak perlu menyembunyikan rencananya lagi di hadapan lelaki tua pendek di hadapannya ini. Karena dianggap, Bocah Tua Sakti pasti akan mendukung rencananya. Mengingat, dia adalah adik kandung gurunya, Ki Ageng Wirakrama.
"Pemberontakan" Pemberontakan terhadap siapa?" tanya Bocah Tua Sakti, penuh ketidak-mengertian.
"Terhadap takhta Kerajaan Demak."
"Bodoh! Aku tidak tuli! Kau tadi telah menyebutkannya. Maksudku, siapa pemegang takhta sekarang ini"!"
"Gusti Prabu Sutawijaya."
"O, jadi yang memegang tampuk kekuasaan si Sutawijaya. Maklum, sudah tujuh tahun aku merantau ke Swarnadwipa. Dan baru kemarin aku menginjakkan kaki lagi ke tanah Jawadwipa. Kupikir yang menjadi raja masih Raden Patah," kepala Bocah Tua Sakti manggut-manggut.
"Paman bersedia membantu rencanaku" Kalau rencana ini berhasil, jangankan tiga peti uang kepeng yang hendak Paman rebut tadi. Dua puluh peti emas berlian akan kuberikan," tembak Panglima Ganang Laksono, langsung. Bibirnya tersenyum cerah, membayangkan rencananya akan berhasil bila didukung tokoh sakti macam lelaki tua pendek di hadapannya.
"O, gampang..., gampang. Tapi aku harus bertemu dulu pada Kakangku. Oh, ya. Di mana dia tinggal sekarang?" sahut Bocah Tua Sakti, tersenyum lebar.
"Di Bukit Menjangan, Paman," jawab panglima Ganang Laksono, semangat.
"Nah, sekarang teruskanlah perjalananmu ke Kutowinangun," ujar Bocah Tua Sakti seraya berbalik.
"Tunggu, Paman!" Langkah lelaki tua pendek itu tertahan di udara. Tanpa menurunkan kaki kanannya, kepalanya menoleh.
"Ada apa lagi?" tanyanya datar.
"Kudaku masih tertotok, Paman."
"Siapa bilang" Lihat saja kalau kau tak percaya!" Panglima Ganang Laksono menoleh ke arah kudanya. Terhenyak dia melihat kudanya telah bangkit berdiri dalam keadaan segar bugar.
Kapan tua bangka ini membebaskan totokan pada kudaku" Tanyanya, sulit mengerti. Sebab, dia tadi tak melihat gerakan apa-apa yang dibuat Bocah Tua Sakti.
"Kalau begitu, te...?" Kembali Panglima Ganang Laksono tercekat. Sebab begitu kepalanya menoleh kembali ke depan, Bocah tua Sakti telah lenyap entah ke mana. Kata-katanya pun terbungkam saat itu juga. Matanya mendelik dengan mulut terbuka lebar. Kalau ada lalat mabuk, mungkin mulut lelaki tinggi besar ini dikira sebuah goa mengerikan yang dipenuhi hawa busuk tak karuan.
Panglima Ganang Laksono menggelenggeleng tak percaya. Sungguh dia kagum terhadap kepandaian adik kandung gurunya itu.

* * *



Jangan ditanya, bagaimana terperanjatnya Arya Wadam mendengar penuturan gurunya. Kedua orangtuanya masih hidup" Di mana mereka sekarang" Kenapa mereka begitu tega membuang ku" Sehimpun pertanyaan siap diberondongkan ke arah gurunya.
"Guru.... Benarkah apa yang Guru katakan?" tuntut Arya Wadam. Dadanya berdebar keras menunggu jawaban Nini Prameswari. Si wanita awet muda membuang pandangannya ke permukaan Sungai Bogowonto yang mengalir tenang. Riak-riak kecil tercipta saat permukaan sungai membentur tepian.
"Kau lihat batu di seberang sana, Arya?" tunjuk Nini Prameswari ke arah seberang.
Arya menatap ke arah yang ditunjuk gurunya. Tanpa menoleh, kepalanya mengangguk.
Ada apa lagi dengan batu itu" Tanya hatinya.
"Batu itu juga punya sejarah, Arya. Tak mungkin dia berada begitu saja di tempat itu.
Pasti ada asal-usulnya. Batu tercipta dari kumpulan tanah di dasar bumi yang mengeras. Perjalanan sejarahnya membuat batu itu terlontar dari dalam perut bumi oleh letusan gunung berapi.
Terseret arus sungai, membuat batu itu kini berada di seberang sana. Begitu pula manusia. Tak mungkin ada begitu saja, tanpa adanya kedua orangtua. Kau adalah manusia, Arya. Tentu saja kau punya asal-usul. Dan kau patut menelusurinya," sahut Nini Prameswari, malah makin membuat Arya bingung dan pusing tujuh keliling.
"Iya, tapi siapa kedua orangtua ku, Guru?" terabas gadis cantik ini. Tak sadar dia menuntut jawaban gamblang gurunya.
"Dari salah seorang tokoh persilatan, aku mendengar kabar bahwa dia beberapa purnama yang lalu telah mengalahkan seorang tokoh sesat berkepandaian tinggi. Kalau tak salah namanya Setan Penyair. Saat sekarat, Setan Penyair menyatakan tobatnya. Dan dia juga bercerita telah menculik seorang bayi dari Kadipaten Kutowinangun. Karena si jabang bayi terus menerus menangis, Setan Penyair yang semula menginginkan tebusan dari Adipati Kutowinangun, akhirnya membuang si jabang bayi ke tengah hutan. Hingga akhirnya, bayi itu ditemukan Remeng dan Poleng," tutur Nini Prameswari.
"Jadi, bayi itu aku, Guru?" eekat Arya Wadam.
"Ya," desah Nini Prameswari.
Tatapannya dihujamkan ke biji mata indah Arya Wadam.
"Yang menculikku Setan Penyair?" susul si gadis. Ingatannya langsung tertuju pada wajah tua Setan Penyair.
Dulu, Arya Wadam juga pernah bertemu Setan Penyair. Tepatnya ketika bersama Satria Gendeng waktu hendak menuju Kadipaten Lumajang. Saat itu Setan Penyair tengah bertarung me-lawan Raja Pencuri Dari Selatan untuk memperebutkan Kail Naga Samudera. Sedangkan Arya Wadam sendiri tengah mencari Raja Pencuri Dari Selatan yang telah mencuri pedang pendek milik Paman Remeng dan Poleng. Seperti diketahui, Remeng dan Poleng adalah orang yang juga menemukan Arya Wadam, sekaligus merawatnya (Silakan baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
Mengingat semua itu, Arya Wadam jadi menyesal, kenapa waktu itu membiarkan Setan Penyair pergi begitu saja. Kendati dirinya terluka dalam, tapi paling tidak bisa melampiaskan kemarahannya. Sayangnya, waktu itu dia tak tahu bahwa Setan Penyair-lah yang membuangnya ke tengah hutan.
"Kau mengenalnya, Arya?" Pertanyaan Nini Prameswari membuyarkan lamunan Arya Wadam. Kepala si gadis menggeleng perlahan.
"Tidak, Guru. Aku tidak mengenal Setan Penyair secara langsung.
Aku hanya pernah melihat orangnya saja," Jelasnya, terus terang.
"Sayang, keterangan ini baru kudapat seminggu yang lalu. Untuk itu aku segera mencaricarimu. Dan ketika kulihat kau bersama Satria Gendeng di kedai, aku tak ingin mengusikmu. Karena kulihat kau begitu marah pada pemuda itu," Jelas si wanita awet muda.
"Oh, terima kasih, Guru. Kau telah bersusah payah mencari-cariku. Balasan apa yang mesti kuberikan untuk membayar budi-budi Guru selama ini?"
"Tidak, Muridku. Asal kau bisa berkumpul lagi dengan kedua orangtuamu setelah belasan tahun berpisah, aku sudah cukup bahagia. Nah, pergilah kau sekarang ke Kadipaten Kutowinangun. Mudah-mudahan kedua orangtuamu masih menjadi adipati di sana. Kalaupun sudah tidak menjadi adipati di sana, kau bisa minta keterangan tentang kedua orangtuamu" Mata sembab Arya Wadam menatap lurus pada manik-manik mata gurunya. Seketika, dipeluknya Nini Prameswari penuh perasaan. Seolaholah dia ingin melampiaskan kerinduan terhadap kedua orangtuanya pada gurunya.

* * *



"Siapa kau, Bocah Buduk"!" bentak Ki Ageng Wirakrama begitu melihat seorang pemuda tampan berpakaian rompi warna putih dari kulit binatang tahu-tahu telah berdiri dua tombak di samping kanan. Garis rahangnya kokoh melambangkan kejantanan. Rambutnya panjang hampir melewati bahu berwarna kemerahan. Celananya pangsi sebatas bawah lutut.
Dialah Satria. Bocah tengik bertabiat nyaris sinting yang selalu membuat ciut nyali calon lawannya hanya dengan pancaran matanya. Bocah tengik yang selalu membuat lawan gusar, hingga tak mampu berkata-kata.
"Wah, ada ramai-ramai begini" Ada hajatan, ya?" cerocosnya, kalem.
"Bangsat! Kau belum menjawab pertanyaanku, Bocah!" maki Ki Ageng Wirakrama merasa tak dihargai oleh bocah kemarin sore. Sebenarnya kalau tak sedang dirasuki hawa amarah, gampang saja tua bangka ini mengenali pemuda di depannya. Tinggal lihat saja sebatang tongkat kecil yang terselip di kain pengikat pinggang si pemuda. Sebuah tongkat di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain berbentuk ekor naga berwarna sama.
"Aku Satria," sahut bocah tengik itu. Begitu mendapat jawaban, mata Ki Ageng Wirakrama langsung melompat. Arahnya, ke pinggang si pemuda.
"Jadi kau yang bernama Satria Gendeng yang selama ini membuat dunia persilatan goncang oleh nama bau busuk seperti itu" Hua ha ha.... Kukira orang yang bernama Satria Gendeng sudah banyak makan asam garam dunia persilatan. Tak tahunya, hanya bocah bau kencur yang masih doyan makan bubur di pinggir sumur...," ejek lelaki tua bangka ini setelah merasa yakin kalau di pinggang si pemuda terselip senjata Kail Naga Samudera.
"Hua ha ha.... Kukira yang ada di depanku manusia. Tak tahunya hanya orang-orangan sawah yang sudah bau tanah tapi banyak bertingkah!" balas Satria, lantang.
Tawa Ki Ageng Wirakrama kontan terberangus. Mata bersinar hijaunya mendelik, menghujam ke arah bola mata si pemuda. Dengan tatapan matanya, seolah dia ingin menjatuhkan nyali Satria Gendeng.
Bukan Satria namanya kalau dipelototi begitu saja sudah kendor semangatnya. Ditentangnya mata Ki Ageng Wirakrama dengan pancaran sinar matanya yang mengandung perbawa amat kuat. Edan! Edan! Cekat Ki Ageng Wirakrama dalam hati. Tatapan pemuda ini justru membuatku bergetar. Bocah sialan ini ternyata tak bisa dianggap main-main.
"Cepat serahkan Kail Naga Samudera yang kau bawa itu, Bocah. Dan kau serta orang-orang kerajaan itu akan kuampuni!" sentak Ki Ageng Wirakrama, sekalian mendepak rasa bergetar dalam dadanya.
Slompret! Kenapa senjata sialan ini selalu jadi incaran tokoh-tokoh persilatan golongan bengkok" Seru Satria dalam hati. Juga kenapa mereka selalu menginginkan benda yang bukan haknya" Gampang sekali mereka bilang begitu"
"Kau mau ini?" Satria melirik ke pinggangnya. Sebaris senyum tercipta di bibirnya.
"Tak usah banyak tanya, Bocah! Apa kau ingin mampus sekarang juga seperti prajuritprajurit sialan itu"!" seru Ki Ageng Wirakrama, menunjuk mayat-mayat prajurit Demak yang ber-gelimpangan bersimbah darah.
"Gampang sekali kau memaksa meminta barang yang bukan hakmu?" tukas Satria enteng.
"Keparat busuk! Kalau begitu kau harus mampus sekarang juga! Heaa...!" Di ujung kalimatnya, si tua bangka menerjang. Tongkat bututnya bergerak dari samping kepala. Hendak diremukkannya kepala lawan dengan sekali kepruk.
Wukh! Cepat. Bahkan teramat cepat sambaran tongkat butut si tua bangka. Sebentuk angin pun merobek udara. Sementara, calon korbannya masih tenang-tenang saja.
"Hih!" Sejengkal lagi tongkat butut menghajar, si pemuda merendahkan tubuhnya, lalu bergerak ke samping berlawanan dengan arah sambaran tongkat. Tapi ternyata lawan tuanya telah memperhitungkan. Begitu serangan luput, tubuhnya berputar amat cepat. Kaki kanannya langsung membuat tendangan berputar setengah lingkaran.
Duk! Perut Satria telak sekali terhajar. Tubuhnya terpental deras ke belakang sejauh dua tombak dan jatuh nyusruk di tanah. Satria Gendeng mengeluh. Melenguh. Betapa pun sakit yang diderita, betapa pun sesak mendera, yang jelas dia telah bangkit kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat naik.
Perlahan. Amat perlahan.
Urat-urat di bola mata si pemuda memerah. Darah mudanya pun mendidih. Darah segar mengalir di sudut-sudut bibirnya. Tendangan Ki Ageng Wirakrama tadi memang teramat kuat.
Bahkan sangat dahsyat. Tak heran kalau wajah Satria kini mematang, terbakar gelegak kemurkaannya.
"Khuaaa...!!!" Sebentuk kemarahan lewat teriakan merobek angkasa terdengar. Urat di leher Satria telah mengembung. Kegarangannya bagaikan naga muda yang siap melampiaskan segenap kemarahannya melalui teriakan tinggi hendak menohok langit. Getaran suara Satria membahana.
Bergema. Daun-daun berguguran tak mampu menahannya. Semua orang yang ada di tempat ini harus menekan daun telinga kuat-kuat.
Tak urung pula Mahapati Bagaspati. Namun di sisi lain dia jadi amat mengagumi pada pemuda hijau yang sangat dikenalnya. Tadi pun dia ingin langsung menyapa. Tapi karena Satria telah terlibat pembicaraan seru dengan Ki Ageng Wirakrama, dia berusaha menahan diri. Apalagi dalam hatinya timbul keyakinan kalau Satria Gendeng pasti bisa mengatasi lawan. Itu yang membuatnya tak ragu-ragu untuk membiarkan Satria dalam menghadapi lawan.
"Bocah sialan! Bagaimana mungkin dia memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara usianya belum seberapa"!" desis batinnya, mulai dirasuki kegentaran.
Sesaat suasana jadi bungkam. Kebisuan telah memagut. Napas seakan tertunda untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya.
Mata tua Ki Ageng Wirakrama mulai terbuka, siapa lawan yang dihadapinya. Kabar santer yang selama ini tertangkap telinganya menjadi nyata. Ketidakpercayaan pada kabar itu kini terberangus sudah. Dan tanpa sadar, dia jadi ikut terbawa pesona yang terpancar gencar dari dalam diri pemuda perkasa yang telah menjadi buah bibir dunia persilatan.
"Jangan memaksaku untuk menjadi malaikat maut buatmu, Orang Tua! Aku masih memberimu kesempatan bertobat, walau kau telah membunuhi prajurit-prajurit itu!" Ada yang terasa bergetar dalam dada Ki Ageng Wirakrama mendengar ucapan si pemuda.
Kegentaran mulai meruyak dalam dirinya. Apa yang hendak diperbuat anak muda ini"


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

"HAI-AI-AIIII!!!" Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria Gendeng berjumpalitan ke sana kemari. Lalu gerakannya seperti orang menari-nari seperti orang suku pedalaman. Benar-benar mirip orang gila gerakannya. Kegilaan itu tak cukup sampai di si-tu. Kadang tubuhnya malah melonjak-lonjak dengan mulut meringis-ringis.
Kegilaan apa yang tengah diperagakan si pemuda" Tak ada yang tahu. Di balik gerakangerakan tak beraturannya, justru terkandung sebuah kekuatan dahsyat. Inilah jurus aneh yang diwariskan Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang diberi nama 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'. Satria sendiri merasa belum pernah menggabungkannya dengan Jurus 'Mencuri Bunga Karang'. Kalau itu sudah dilakukannya, bukan tak mungkin Ki Ageng Wirakrama makin tercekat lagi.
Menghadapi jurus lawan mudanya saat ini saja, lelaki tua itu sudah demikian terpukau.
Seabrek-abrek bergelimang dalam dunia persilatan, baru kali ini dia melihat jurus aneh yang tak ada pakemnya dalam aturan jurus-jurus silat.
Semuanya serba ngawur dan acak.
Tapi, siapa sangka justru jurus itu yang membuat Ki Ageng Wirakrama harus menambah kewaspadaannya. Bahkan kalau saja lelaki tua bangka itu menyadari, sebenarnya dalam tubuh si pemuda tengah bergolak suatu kekuatan sakti yang mengendap dalam tubuhnya. Hal ini terdorong oleh naluri kependekarannya yang terbakar oleh pembantaian demi pembantaian yang dilakukan si tua bangka itu.
"Sinting! Benar-benar sinting! Jurus apa yang diperlihatkannya"!" desis Ki Ageng Wirakrama, bergidik.
Kejap selanjutnya, Satria telah merangsak seperti banteng muda terluka.
"Huiii-aiiii...." Teriakan Satria Gendeng yang menyentak, membuat Ki Ageng Wirakrama bertindak. Dalam kuda-kuda kokohnya, dia berniat memamerkan tingkat tenaga dalamnya. Bagi tokoh persilatan yang patut diperhitungkan macam dia, adalah suatu kepuasan tersendiri untuk memamerkan tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, konon kabarnya Ki Ageng Wirakrama berwujud setengah manusia dan setengah siluman. Itu terjadi akibat perkawinannya dengan putri siluman. Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Ki Ageng Wirakrama mengibas kedua tangannya ke depan.
"Heaaa...!" Berrrr...! Luar biasa. Sebentuk angin putting beliung tercipta dari kedua tangan si tua bangka itu. Menerjang, melibas apa saja yang ada di depan.
Termasuk, terjangan lawan mudanya yang menggila. Sekejapan, terjangan Satria Gendeng tertahan. Tapi di luar dugaan, bentrokan barusan tak sanggup memenggal gerakan si pemuda. Saat ini, kekuatan-kekuatan sakti yang telah mengendap dalam tubuh Satria tengah bekerja. Maka kejap berikutnya, Satria telah berhasil menelusup di pusat putaran angin.
Tak ada waktu lagi untuk menghindar bagi Ki Ageng Wirakrama. Jarak dengan lawan mudanya telah demikian cepat. Dan....
Dash! Seketika itu juga tubuh Ki Ageng Wirakrama melayang deras ke belakang, setelah tinju geledek lawan mudanya bersarang di dadanya. Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sampai lima belas tombak lebih.
"Bajingan!" rutuk Ki Ageng Wirakrama, begitu jatuh di tanah. Kedua tangannya memegangi dada. Dia berusaha bangkit walau dengan ringisan jeleknya. Napasnya terasa sesak. Bahkan terasa panas pada bagian dalam dadanya.
Di tengah kegeraman memuncak, pancaran mata hijau Ki Ageng Wirakrama makin berkilatan.
Kini dia merasa harus mengerahkan aji pamungkasnya. Cepat dibuatnya beberapa gerakan untuk menghilangkan sesak napas dalam dadanya. Kini kakinya telah memancang bumi. Tatapannya nyalang ke arah Satria Gendeng yang telah berdiri kokoh di tanah.
Menggeram. Kemurkaan Ki Ageng Wirakrama makin berkobar. Sebagai tokoh tua, tak sudi dia dipermainkan bocah bau kencur macam Satria Gendeng. Maka saat itu pula tenaga dalamnya mengalir deras ke matanya yang makin mencorong tajam. Kejap berikutnya....
Slaps! Slapss! Dua buah sinar hijau menerabas udara.
Suara gesekannya terdengar melengking, menusuk telinga. Dari kedua mata yang mencorong itulah kedua sinar hijau itu muncul.
Menggila. Menciptakan asap hitam saat bergesekan dengan udara. Lebih gila lagi, kedua sinar hijau itu lantas meliuk-liuk bagaikan ular yang hendak membelit.
Di tempatnya, Satria tercekat. Masih mengandalkan jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan' dicobanya untuk bertahan. Si pemuda melompat ke sana kemari sambil berjingkrakan. Memang jurus ini juga menekankan pada segi pertahanan dengan gerakan tak beraturan. Tapi sesungguhnya pula, dalam pertahanan itu sendiri tersimpan sebuah serangan mendadak dengan gerakan-gerakan tak terduga.
Seperti memiliki mata, liukan kedua sinar hijau lawan terus memburu Satria Gendeng. Makin cepat dan ganas. Hingga akhirnya.....
Wert! "Kehh...!" Kedua biji mata Satria mendelik. Salah satu sinar hijau berhasil membelit lehernya. Sementara sinar yang satu lagi menyusul membelit dadanya. Bak tangan-tangan gaib, sinar-sinar itu makin kuat mencengkeram. Dan napasnya pun makin sesak saja. Kini tubuh kekar pemuda itu menggeliat-geliat.
Akankah sampai di sini saja riwayat si pemuda perkasa"

* * *



Malam kembali meraja.
Kebisuan mencekam terusik oleh suara langkah kaki menuju Bukit Menjangan. Tiba di sebuah pelataran bangunan mirip reruntuhan candi, si pemilik langkah berhenti. Dalam siraman sinar bulan sabit, kepala sosok yang tingginya hanya setengah tombak itu celingukan.
"Setan! Ke mana Kakang Ageng Wirakrama" Katanya sekarang tinggal di tempat ini" Tapi kenapa sepi-sepi saja. Kok tidak ada sambutan untukku?" rutuk lelaki tua pendek yang tak lain Bocah Tua Sakti.
Si lelaki tua pendek kembali celingukan.
Sepi. Terpaan angin membelai kulitnya. Lembut.
Mempermainkan kumis dan jenggotnya yang menjuntai ke bawah. Juga jubah abu-abunya yang menggeletar berkibar-kibar.
Baru saja Bocah Tua Sakti hendak melanjutkan langkahnya....
Wesss.... Desir angin halus menerabas udara. Membawa sebentuk hawa kematian mengerikan. Cepat, lelaki tua bangka ini menoleh ke belakang, asal desir angin halus tadi.
"Setan belang!" rutuknya, lalu cepat men-genyahkan tubuhnya ke samping kiri.
Sambaran si penyerang gelap lewat begitu saja.
Lima tombak di depan Bocah Tua Sakti, seekor ular putih sepanjang satu tombak lebih yang menjadi penyerang gelap berbalik. Mendesis-desis, siap melancarkan serangan selanjutnya. Di tempatnya, Bocah Tua Sakti memasang kewaspadaan. Kedua tangannya bersilang di depan dada. Matanya tajam, mengikuti gerakan meliuk si ular putih.
Kejap berikutnya, si ular putih mencelat.
Melesat ganas, membelah udara. Desisannya makin keras, menggelitik lubang telinga.
"Ssss...!"
"Hih!" Dua jengkal lagi si ular putih memagut, tubuh Bocah Tua Sakti membuat salto rendah. Di udara, kedua tangannya bergerak cepat seperti menepuk. Arahnya, kepala si ular putih.
Tep! Kepala ular putih berhasil dijepit kedua telapak tangan Bocah Tua Sakti. Tepat ketika lelaki tua pendek itu sampai di bumi, sebuah kenyataan lain menyentaknya.
"Setan kudis! Ular putih ini ternyata hanya sebuah tongkat putih! Ini jelas sihir.... Sihir ini jelas.... Jelas ini sihir.... Jelas sihir ini..., ah! Aku mau ngomong apa sih"! Oh, ya. Pasti ini perbuatan kakangku. Tapi, bukankah tongkatnya berwarna hitam kusam" Apakah..., Nini Berek! Keluar kau"! Aku muak dengan sihir murahan yang kau buat! Ayo, cepat!" tiba-tiba Bocah Tua Sakti berteriak. Tak tanggungtanggung, tenaga dalam tinggi langsung tersalur dalam suaranya.
"Hi hi hi.... Aku belum tuli, Bocah Tua Sak-ti. Dan lagi, kenapa mesti harus berteriak-teriak kalau aku ada di atas kepalamu?" Bocah Tua Sakti terjingkat. Kepalanya kontan mendongak. Terlihat satu sosok tubuh tengah menggantung di sebuah ranting kecil pohon be-limbing. Bak kelelawar, kakinya berada di atas, sementara kepalanya hanya beberapa jengkal di atas kepala Bocah Tua Sakti.
"Bah! Lagakmu seperti codot saja, Nini Berek! Ayo turun. Lihat! Dua bola di dadamu nyaris jatuh. Apa kau tidak malu?" seru Bocah Tua Sakti.
Sejenak sosok perempuan yang menggantung di ranting kecil itu melirik ke arah tonjolan besar di dadanya. Lalu bibirnya tersenyum nakal.
"Ah, dasar pikiranmu saja yang kotor, Bocah Tua Sakti. Tapi kalau kau mau, bolehlah mencicipi," ledeknya, makin nakal.
"Dasar perempuan siluman! Tak boleh melihat lelaki nganggur sedikit. Bisa-bisa aku perang tanding dengan Kakang Ageng Wirakrama. Masa' istri kakak sendiri dimakan juga. Ayo, cepat turun!" Perempuan yang menggelantung itu mem-berengut. Rayuannya tak mempan membangkitkan kelaki-lakian adik iparnya. Dari menggelantungnya, dia melompat dengan satu putaran indah. Manis sekali gerakannya, bertanda kepandaiannya tak bisa diragukan lagi.
Tentu saja. Wong perempuan ini keturunan siluman. Waktu menggantung tubuhnya tadi, ranting kecil sebesar lidi itu sama sekali tak melengkung. Apalagi berayun-ayun.
Seolah yang menggandul adalah sebentuk asap berwujud manusia saja. Menginjak tanah, perempuan bernama Nini Berek tersenyum. Wajahnya terlihat cantik. Padahal, usianya nyaris tak terhitung. Rambutnya hitam digelung. Tubuhnya padat. Pakaiannya ketat berwarna kuning, sama dengan kulitnya.
"Kembalikan tongkatku!" ujarnya, tegas.
Bocah Tua Sakti melempar tongkat putih di tangannya yang tadi berwujud ular putih. Wajahnya menyiratkan ketidaksenangannya terhadap istri kakaknya ini.
"Mana Kakang Ageng Wirakrama?" tanyanya langsung.
"Mana kutahu" Aku saja baru kembali dari Laut Selatan untuk bertemu Nyai Roro Kidul," sahut Nini Berek.
"Lantas kenapa kau harus merubah wujud mu jadi perempuan cantik seperti ini kalau hanya untuk bertemu sesama siluman?"
"Biasa.... Aku perlu sari pati pemudapemuda bodoh untuk menambah gairahku pada Kakang Ageng Wirakrama. Tapi, baiklah. Aku akan merubah wujudku dulu." Di ujung kalimatnya, Nini Berek melipat tangannya di depan dada. Matanya terpejam dengan mulut komat-kamit. Lalu....
Besss.... Perlahan namun pasti, sekujur tubuh perempuan ini telah terkepung asap putih. Berawal tipis, lalu menebal. Kejap kemudian, asap mulai terusir oleh angin malam. Bocah Tua Sakti terpaksa menutup hidungnya, karena bau asap begitu busuk, menyodok-nyodok pernapasannya.
Asap menghilang.
Pemandangan mengerikan terpampang.
Wujud Nini Berek tak lagi seorang perempuan cantik. Yang ada di hadapan Bocah Tua Sakti sekarang adalah perempuan tua bertubuh melengkung berpakaian jubah warna kelabu.
Tongkat putih menjadi penyangga tubuhnya yang keropos. Wajahnya mengerikan. Penuh borok berlendir berbau busuk. Rambutnya tak lagi hitam tergelung, tapi tipis berwarna putih. Matanya celong ke dalam, memancarkan sinar kemerahan. Bahkan entah dari mana, tahu-tahu mulutnya telah mengunyah sirih.
Prot! Seenaknya, nenek jelek ini menyemburkan ludah sirihnya yang berwarna darah. Cairan merah meluncur, memangkas udara. Gesekannya dengan udara menimbulkan deru angin tajam.
Crashhh! Dahsyat! Sebongkah batu reruntuhan candi yang tertembus cairan merah itu kontan berlubang amat dalam. Bagaimana dengan tubuh manusia" Bocah Tua Sakti tak ingin menjawabnya, karena tak begitu peduli dengan tingkah konyol si nenek jelek.
"Kudengar suamimu telah mempunyai murid, Nini?" tanya lelaki tua pendek itu.
"Ya. Dia orang kerajaan. Tapi persetan dengan orang kerajaan. Maunya dihormati, tapi kalau ada kesusahan datang ke sini," cibir si nenek jelek.
"Tapikan justru dia hendak memberontak?" tukas Bocah Tua Sakti.
"Mana kutahu" Sejak dia berguru dengan suamiku tak pernah kudengar rencana itu. Kau sendiri tahu dari mana?" balik Nini Berek.
"Siang tadi aku bertemu dengan murid suamimu. Dia bercerita banyak tentang rencananya.
Bahkan aku tahu tempat tinggal kakangku justru dari dia. Sejak kapan kalian pindah ke sini?"
"Sejak aku memergoki kakangmu bermain serong dengan wanita lain. Enam tahun yang lalu.
Untuk menghindari agar dia tidak main serong la-gi, dia kuajak pindah ke Bukit Menjangan ini. Ta-pi sialnya, ketika aku berkunjung ke Laut Selatan, tetap saja kesempatan itu digunakan suamiku untuk bermain cinta dengan gadis-gadis desa.
Muridnya yang orang kerajaan itulah yang selalu mencarikannya. Dia menculiknya dari desa-desa.
Dan ketika ku pergoki lagi, barulah aku memberikan ancaman dengan tidak akan memberikan kekuatan lagi padanya. Bahkan kalau aku mau, ilmunya bisa kucabut sekarang juga," papar Nini Berek, semangat.
Bocah Tua Sakti jadi cengar-cengir sendiri.
Kepalanya menggeleng-geleng. Dia maklum, sejak muda kakangnya memang selalu doyan gadisgadis desa. Itu sebabnya begitu mendengar penuturan kakak iparnya, dia tak terkejut lagi.
"Bilang pada suamimu, Nini. Jangan ikut campur urusan kerajaan. Bisa gawat jadinya. Dan lagi, kenapa suamimu begitu percaya dengan muridnya yang hanya beberapa tahun berguru?" ingat Bocah Tua Sakti. Kendati lelaki tua pendek ini sebenarnya adalah tokoh silat golongan putih, tapi amat mencintai kakangnya yang justru dari golongan hitam. Bocah Tua Sakti sejak dulu dikenal sebagai tokoh yang selalu memerangi keangkaramurkaan.
Hanya karena ulah kakangnya sajalah yang membuatnya harus menyingkir ke tanah Swarnadwipa. Tanpa diketahui Bocah Tua Sakti, Ki Ageng Wirakrama yang semula dikenalnya sebagai pendekar yang berada di jalan lurus, tahu-tahu terlibat persekongkolan dengan beberapa datuk sesat.
Memang, Bocah Tua Sakti yang sebenarnya bernama Ageng Wiradharma tahu kalau kakaknya doyan perempuan. Tapi itu bukan berarti harus terjun ke dunia hitam. Ini yang amat disesalinya.
Bahkan setelah kawin dengan Nini Berek, Ki Ageng Wirakrama dan beberapa datuk sesat lain, terlibat dalam pembunuhan beberapa tokoh putih. Bocah Tua Sakti makin serba salah. Bila ikut memerangi, berarti harus berhadapan dengan kakaknya. Bila tidak, berarti harus ingkar da-ri sumpahnya sebagai pendekar pembela keadilan dan penumpas keangkaramurkaan.
Pikir punya pikir, akhirnya Ki Ageng Wirakrama menyingkir ke seberang. Tepatnya, ke tanah Swarnadwipa. Di sana dia mengabdi di Kerajaan Tulang Bawang.
Sebenarnya, apa yang membuat Ki Ageng Wirakrama terjerumus dalam dunia hitam" Harta dan wanita. Nafsu macam itu yang sampai saat ini tak pupus dari hati Ki Ageng Wirakrama. Kalau sekarang lelaki tua suami Nini Berek itu terlihat seperti orang papa, itu tidak lain hartanya telah kandas di meja judi. Lalu sejak kawin dengan Nini Berek, nafsunya terhadap harta lenyap begitu sa-ja. Tinggal nafsunya terhadap wanita saja yang masih menggelora dalam dada.
Merasa rindu pada kakangnya, membuat Bocah Tua Sakti kembali ke tanah Jawadwipa.
Tujuh tahun baginya cukup sudah untuk melupakan peristiwa memalukan yang dibuat Ki Ageng Wirakrama.

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

HIDUP atau mati.
Itu pilihan yang harus dibuat Satria Gendeng. Napasnya kian sesak. Matanya mendelik liar. Cekikan sinar hijau pada leher dan dadanya makin ketat. Nasib Satria Gendeng benar-benar bagai telur di ujung tanduk.
"Hia ha ha.... Tamat riwayatmu, Bocah Sinting! Sebentar lagi Kail Naga Samudera akan berpindah ke tanganku!" seru Ki Ageng Wirakrama, pongah.
Di saat yang begini, si anak muda jadi teringat waktu bertarung dengan Nini Jonggrang.
Dengan ilmu gaibnya, wanita itu berhasil mencekiknya hingga nyaris mau mampus. Untungnya, ada bisikan halus di telinga Satria untuk mening-katkan semadinya. Dan akhirnya, Satria bisa memenangkan pertarungan. (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Kiamat di Goa Sewu").
Tapi jenis serangan yang membelit leher Satria berlainan dengan yang dilakukan Nini Jonggrang. Bila Nini Jonggrang berupa ilmu sihir, maka apa yang dilakukan Ki Ageng Wirakrama hanya sejenis ajian. Bila ilmu sihir harus dilawan dengan kekuatan batin lewat semadi, maka ajian harus dilawan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Lihat, Orang-orang Demak! Nyawa pemuda ini sebentar lagi akan terdepak dari raganya oleh ajian 'Jerat Setan'-ku. Kukira sekarang aku-lah yang akan menguasai dunia persilatan! Hua ha ha...." Tawa pongah Ki Ageng Wirakrama membelah udara. Menggetarkan semua orang yang menyaksikan si pemuda perkasa bergelut dengan maut. Menggeliat-geliat dengan mata melotot. Apa yang akan dilakukan Satria" Menyerah" Pasrah" Tidak! Itu tak ada dalam kamus hidup si pendekar muda. Justru dalam keadaan begini, kemarahannya makin memuncak. Menggelegak, hampir membuncah. Hal inilah yang membuat gejolak tenaga sakti dalam tubuhnya makin luar biasa. Di dorong kemarahan luar biasa, tenaga sakti Satria makin berlipat ganda entah berapa kali. Dan hal inilah yang tak disadari Ki Ageng Wirakrama. Kesombongan telah menutup akal-nya. Kepongahan membuatnya ingin cepat-cepat menghabisi lawan mudanya. Akan digempurnya dada si pemuda dengan pukulan maut terakhirnya. Merasa yakin dengan keputusannya, lelaki tua bangka ini meluruk menerjang. Tangan kanan yang masih mengendalikan sinar hijau telah terkepal.
"Kheaaa...!" Dikawal teriakan menggila, tangan terkepal Ki Ageng Wirakrama menderu ke arah dada Satria. Saat itu juga....
"Khuaaa...!" Teriakan tak kalah menggila terlontar dari kerongkongan si anak muda. Sentakan tenaga sakti berlipat ganda yang mendekam dalam tubuhnya membuatnya mampu melepaskan diri dari cengkeraman sinar-sinar hijau yang membelitnya. Sinar-sinar hijau lenyap entah ke mana.
Sementara Ki Ageng Wirakrama telah telanjur melepaskan pukulan mautnya.
Sejari lagi pukulan datang, Satria Gendeng mengangkat tangan kirinya untuk memapak pukulan. Sedang tangan kanannya bergerak menghantam dada keropos si tua bangka yang tak menyangka kalau lawan mudanya dapat membebaskan diri dari belitan sinar-sinar hijaunya.
Dash! Tubuh keropos Ki Ageng Wirakrama seketika melayang deras ke belakang. Hantaman lawan mudanya yang saat itu tengah dialiri tenaga saktinya membuat dadanya jebol seketika. Darah hitam pun berceceran sepanjang luncuran tubuhnya. Dua puluh tombak dari tempat semula, tubuh Ki Ageng Wirakrama jatuh mencium tanah.
Menggeliat-geliat sebentar, lalu diam sama sekali.
Mati dengan dada ambrol.
Perlahan namun pasti rahang kaku Satria mengendur. Sorot matanya tak segarang tadi. Desah napas lega tersembur dari mulut dan hidungnya. Desah napas lain pun ikut terhembus dari mulut dan hidung orang-orang yang ada di tempat ini.
"Adi Satria...." Sebuah suara panggilan menyentak keterpanaan Satria Gendeng pada hasil serangannya. Si pemuda menoleh. Bibirnya segera membuat senyum yang ditujukan pada orang yang memanggilnya. Mahapatih Bagaspati.
"Kang Bagaspati.... Wah, sudah naik pangkat rupanya. Kulihat pakaian yang kau kenakan beda dengan beberapa waktu yang lalu," celoteh si pemuda, seolah telah melupakan pertarungannya yang mendebarkan barusan. Malah masih sempat-sempatnya meledek.
"Kembali..., kembali kau berjasa pada Kerajaan Demak. Kau patut mendapat penghargaan lagi, Adi. Aku sungguh kagum padamu.... Apa kabarmu, Adi. Mari-mari, kuajak kau bertemu dengan Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya," cerocos Mahapatih Bagaspati, tak dapat lagi menahan ke-gembiraannya mendapat pertolongan si anak muda yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya.
"Sabar..., sabar, Kang. Aku punya berita buruk buatmu," ujar Satria, tak ingin terburu-buru.
"Kabar buruk apa?" cekat Mahapatih Bagaspati.
"Pemberontakan."
"Pemberontakan apa"! Ah, kau jangan bercanda, Adi Satria. Siapa yang hendak memberontak?"
"Di Kerajaan Demak ada yang bernama Ganang Laksono?"
"Ada. Memang kenapa?"
"Dialah orang yang hendak memberontak."
"Apa"!"

* * *



Kadipaten Kutowinangun di pagi hari.
Roda kehidupan mulai berputar.
Matahari bersinar menepis awan samar.
Arya Wadam tiba di gerbang kadipaten. Sikapnya yang ragu-ragu justru mengundang kecurigaan dua prajurit yang berdiri menjaga gerbang.
Prajurit yang berkumis lebat maju beberapa tindak. Tampangnya dibuat segalak mungkin. Biji matanya dilebarkan.
"Apa yang hendak kau perbuat di sini, Cah Ayu?" tegur si penjaga berkumis, sok galak.
"Aku hendak bertemu Adipati Kutowinangun," sahut Arya Wadam pendek.
"Wah, tidak sembarang orang bisa bertemu Kanjeng Adipati. Ada keperluan apa kau ingin bertemu dengannya?" cecar si prajurit. Sikapnya dibuat sewibawa mungkin.
"Urusan penting."
"Bah! Orang macam kau punya urusan penting dengan Kanjeng Adipati" Sayang, beliau tak punya waktu untuk mengurusi orang macam kau. Kalau orang macam kau paling hanya urusan perut. Sudah sana pergi. Untung kau perempuan. Kalau lelaki sudah kudepak dari tadi!" usir si prajurit makin keterlaluan.
Gigi-gigi Arya Wadam bergemelutuk. Cukup sudah penghinaan ini. Prajurit satu ini tampaknya hanya mau menunjukkan kalau dirinya perlu ditakuti. Perlu dihormati sebagai tameng kadipaten. Terutama perlu dihormati oleh wong cilik macam Arya Wadam. Cuma saja caranya salah. Ini yang harus dibenahi.
"Kuharap kau bisa menjaga mulut kotormu, Prajurit. Kadipaten tak butuh manusia galak, tapi butuh manusia digdaya dan berwibawa demi menjaga keharuman kadipaten," jawab Arya Wadam lugas. Sekaligus menohok perasaan si prajurit. Membeliaklah mata prajurit berkumis lebat ini. Setan! Begitu makinya. Bocah perempuan ini telah menghinaku! Kemarahan si prajurit pun membludak.
"Laknat! Kau berhadapan dengan prajurit Kadipaten Kutowinangun, tahu," teriak si prajurit berkumis, kalap. Saking keras kata-katanya, percikan ludahnya pun ikut meluncur dari mulut.
"Aku memang bukan berhadapan dengan anjing buduk. Tapi berhadapan dengan anjing kadipaten yang cuma mengandalkan kegalakan untuk menakut-nakuti wong cilik. Bukan begitu, Prajurit?" gumam Arya Wadam, enteng.
Makin murka saja si prajurit.
"Sarpan! Bantu aku meringkus perempuan tengik ini!" teriaknya, pada prajurit lain yang masih berdiri memperhatikan dekat pintu gerbang.
Jelas sudah kalau nyali si prajurit berkumis ternyata hanya seujung kuku. Buktinya, untuk meringkus seorang wanita saja masih butuh bantuan temannya. Bukankah itu pengecut namanya" Hanya karena si prajurit terlalu bernafsu, sehingga kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Masa' meringkus seorang perempuan saja kau butuh teman, Rungkut" Kau bilang, kau pernah mengalahkan gembong perampok Hutan Kemanjen?" ledek si prajurit yang dipanggil Sarpan.
Baru prajurit bernama Rungkut menyadari kebodohannya. Artinya, secara tak langsung dia buka rahasia kalau ceritanya pada Sarpan hanya isapan jempol belaka. Dan itu sekaligus menunjukkan kepengecutannya terhadap Arya Wadam.
Bukankah mustahil kalau meringkus gembong perampok berani, tapi menghadapi wanita muda seperti Arya Wadam gentar" Sepertinya, hal itu wajar saja. Sebab, diamdiam waktu bicara tadi Arya Wadam mengerahkan tenaga dalam pada kedua matanya. Sehingga waktu prajurit Rungkut memandangnya, nyalinya sedikit terdepak. Bahkan dalam tubuhnya seperti ada getaran-getaran aneh yang membuatnya bergidik.
"Setan kau, Sarpan! Baik! Akan kubuktikan kalau aku mampu meringkus kucing betina ini!" maki prajurit Rungkut.
Di ujung kalimatnya, prajurit Rungkut menyodokkan tombaknya ke perut Arya Wadam.
Menurut perhitungannya, mata tombaknya jelas akan menembus sasaran. Keyakinannya timbul, karena calon korbannya seperti tak bergemik sedikit pun dari tempatnya.
Wutt! "Hiih!" Sejari lagi tombak menghujam, perut si gadis surut ke belakang. Mata tombak memang menghujam ke perut, tapi tertahan dilipatan perut. Seolah, mata tombak terjepit di antara dua buah batu yang amat keras.
Pengerahan tenaga dalam Arya Wadam-lah yang membuat mata tombak seperti terjepit tak dapat tercabut lagi.
Mata si prajurit berkumis mendelik. Tak percaya melihat tombaknya seperti tak berpengaruh apa-apa bagi lawan. Dan sebelum si prajurit menuntaskan keheranannya, tangan Arya Wadam telah bergerak menghantam batang tombak.
Tak! Tombak patah jadi dua bagian. Bagian yang terjepit di perut Arya Wadam mendadak tersentak. Meluncur ganas setelah Arya Wadam menegangkan otot-otot perutnya. Sungguh suatu permainan tenaga dalam yang sangat luar biasa di mata si prajurit.
Sebisanya, prajurit Rungkut membuang tubuh kalau tak mau terhajar luncuran potongan tombak yang disentakkan lewat perut lawan. Dan selagi tubuhnya bergulingan, lawan telah mengejar. Tepat ketika berdiri, sodokan dengkul Arya Wadam telah mendahului.
Beghk! Mantap, dengkul Arya Wadam mendarat di perut si prajurit pongah. Mata si prajurit kembali mendelik. Mulutnya meringis serba salah. Rasa mual luar biasa mengaduk-aduk perutnya. Apes nasibnya kali ini. Lebih apes lagi, jatuh terduduknya tepat di atas batu agak runcing. Akibatnya, makin melotot saja matanya. Batu runcing itu kurang ajar sekali menelusup ke..., ah, makin seru saja ringisannya.
"Hei, kau apakan temanku!" teriak prajurit Sarpan, terbengong-bengong.
"Dia terlalu pongah untuk dijadikan prajurit. Dan aku hanya sedikit memberi pelajaran agar sedikit bisa menghargai wong cilik," sahut Arya Wadam, tenang.
Si prajurit Sarpan kembali menoleh ke arah temannya. Antara rasa iba dengan rasa senang bercampur jadi satu. Iba karena hal itu terjadi pada temannya. Senang, karena dengan begitu prajurit Rungkut tak lagi omong besar. Sebab selama ini, prajurit Rungkut memang dikenal sebagai prajurit yang cuma pintar ngomong, galak, sekaligus pongah.
Di dada prajurit Sarpan sendiri sebenarnya telah timbul kegentaran yang amat sangat melihat kedigdayaan wanita yang ternyata tak bisa dianggap remeh ini. Namun dia berusaha menenangkan perasaannya.
"Sebenarnya, Nona mau ketemu siapa?" tanya prajurit Sarpan, berusaha ramah.
"Aku ingin bertemu Adipati Kutowinangun," sahut Arya Wadam, tegas.
"Beliau ada. Tapi...."
"Biarkan dia masuk, Prajurit!" Sebuah suara tegas memenggal kata-kata prajurit Sarpan, Saat itu juga si prajurit menoleh, lalu langsung menjura.
Inikah Adipati Kutowinangun" Seketika timbul pertanyaan di hati Arya Wadam. Dan jantungnya pun berdebar-debar....

* * *



"Kenapa kakangku belum pulang juga" Ke mana dia sebenarnya?" tanya Bocah Tua Sakti berkata-kata sendiri.
Semalaman lelaki tua pendek ini menunggu Ki Ageng Wirakrama. Sambil menunggu, dia berbincang-bincang dengan kakak iparnya, Nini Berek. Tapi yang ditunggu-tunggu ternyata tak muncul juga. Bahkan sampai Nini Berek tertidur, Bocah Tua Sakti masih setia menunggu. Kerinduan selama tujuh tahun dipendam membuat Ki Ageng Wiradharma begitu ingin bertemu kakaknya. Dan dia rela tak memejamkan mata hanya untuk menanti sang kakak.
Semalam, Bocah Tua Sakti pun memohon pada Nini Berek agar menasihati suaminya untuk tidak terlibat dengan urusan kerajaan. Tapi perempuan tua jelek itu seperti tak peduli. Bahkan dia bertekad untuk ikut membantu suaminya kalau memang dianggap perlu. Karena selama ini perempuan itu percaya kalau hanya untuk menghadapi orang-orang kerajaan, Ki Ageng Wirakrama bisa mengatasinya.
Mendapat jawaban tak peduli dari mulut Nini Berek, Bocah Tua Sakti kecewa berat. Padahal, dia ingin kakangnya bisa berubah untuk meninggalkan dunia sesat. Tapi justru jawaban Istri kakaknya ini seolah malah kian menjerat Ki Ageng Wirakrama terjerat dalam kegelapan. Sampai pada akhirnya lamunan Ki Ageng Wiradharma terpenggal oleh....
"Gawat! Gawat...! Bocah Tua Sakti! Kemari cepat!" Teriakan meledak-ledak terdengar dari mulut Nini Berek. Dari nada suaranya Bocah Tua Sakti bisa menafsir kalau perempuan tua jelek itu tengah kalap bukan main. Maka cepat tubuhnya beringsut bangkit. Mantap, kakinya melangkah menghampiri Nini Berek yang tidur di sebuah batu bekas reruntuhan candi.
"Ada apa, Nini" Kenapa kau tampak kalap begitu?" tanya Bocah Tua Sakti, heran.
Prot! Bukannya menjawab, Nini Berek malah menyemprotkan ludah sirihnya yang tak pernah lepas dari mulut kendornya. Dari duduknya di atas batu, dia melompat turun.
"Aku mendapat firasat tak enak, Wiradharma! Aku melihat Kakang Ageng Wirakrama dibawa seekor naga raksasa," lapornya meledak-ledak.
"Hah"! Jadi Kakang Ageng Wirakrama telah datang, Nini" Kapan datangnya" Kok aku tak melihat. Dan kenapa kau biarkan naga itu membawanya pergi"!" ledak Bocah Tua Sakti, bertubi-tubi. Nyaris tak memberi kesempatan Nini Berek menarik napas.
"Dalam mimpi, Goblok!" Tak tahan lagi, tongkat di tangan Nini Berek bergerak ke kepala Bocah Tua Sakti.
Tak! "Adaaaooo! Kenapa kau pukul aku, Nini" Kau sendiri yang bilang kalau Kakang Ageng Wirakrama dibawa seekor naga raksasa!" sergah Bocah Tua Sakti. Mulutnya meringisringis, merasakan sakit berdenyut-denyut di kepalanya.
"Iya, tapi ini hanya dalam mimpi!"
"Lho" Memang bangsa siluman bisa bermimpi?"
"Memang hanya manusia saja yang boleh bermimpi"! Hanya bedanya, bangsa siluman bisa memilih mimpi. Sedangkan bangsa manusia tidak. Bila aku bisa memilih mimpi enak-enak, kau tak bisa mengelak dari mimpi buruk!" jelas Nini Berek.
"Lha, buktinya kau mimpi buruk?" tukas Bocah Tua Sakti tak mau kalah.
"Yang ini lain. Mimpiku sekarang ini berupa firasat. Bukan mimpi biasa. Ketika aku minta mimpi bertemu Kakang Ageng Wirakrama, justru yang muncul sangat mengerikan. Kakang Ageng Wirakrama telah dibawa seekor naga amat besar.
Jelas, ini pertanda buruk!" Bocah Tua Sakti tercekat. Pertanda apa ini" Tanyanya dalam hati. Seolah ingin mendapatkan penjelasan dari perempuan tua jelek itu, matanya terus menghujam ke biji mata celong Ni-ni Berek.
"Mau apa kau lihat-lihat"! Naksir, ya"!" bentak Nini Berek.
Naksir katanya" Ya, ampun! Orang gila saja mungkin akan berpikir dua kali untuk melihat wajah Nini Berek. Dan lagi, bisa-bisanya dia berkata begitu sementara katanya tadi mendapat firasat jelek. Ah, dasar perempuan siluman! Seru Bocah Tua Sakti, tatap dalam hati.
"Iya, tapi pertanda buruk apa" Tolong jelaskan, Nini!" desak Bocah Tua Sakti, tak sabar.
Tatapannya penuh tuntutan.
"Itu berarti umur suamiku tak panjang. Bisa jadi malah sudah tewas," sahut perempuan jelek itu, terus terang.
"Kau jangan bercanda, Nini!"
"Apa kau lihat aku sedang bercanda?" cibir si nenek jelek.
"Kira-kira, di mana suamimu tewas"!" kejar Bocah Tua Sakti.
"Hm..., ya. Tunggu..., tunggu. Kuingatingat dulu tempat yang tergambar dalam mimpiku itu...." Si nenek jelek memejamkan matanya. Kepalanya mengangguk-angguk. Bukan. Maksudnya bukan setuju kalau suaminya tewas. Dia mengangguk karena memang mau mengangguk. Sekaligus, mengingat-ingat di mana tempat yang tergambar di mimpinya.
"Di mana, Nini?" usik Bocah Tua Sakti.
"Apanya?" Si perempuan jelek malah balik bertanya.
"Lho" Bukannya kau sedang mengingatingat tempat suamimu dibawa oleh seekor naga raksasa" Di mana tempatnya"!" semprot Bocah Tua Sakti, sewot.
"Wah, aku salah mengingat-ingat. Yang timbul dalam pikiranku malah tempat di mana aku pertama kali merasakan nikmatnya malam pertama. Tunggu..., tunggu...." Jawaban Nini Berek makin membuat dongkol Bocah Tua Sakti. Kepalan tangan centeng pun kalah besar dengan rasa dongkol di lehernya.
"Hm, ya! Aku ingat. Di Bukit Srondol. Tepatnya, di kaki bukit itu!" sentak Nini Berek.
"Kalau begitu, aku sekarang juga mohon pamit. Aku harus cepat ke Bukit Srondol. Siapa tahu Kakang Ageng Wirakrama masih sehat wal'afiat!" Di ujung kalimatnya, Bocah Tua Sakti itu menyentak kakinya. Seketika tubuhnya telah meluncur cepat. Arahnya, Bukit Srondol.
"Taruhan, aku bakal sampai lebih dahulu, Wiradharma!" teriak Nini Berek bertabiat aneh itu.

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

SETELAH diterima oleh Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya di pendopo Keraton Demak, Satria dipersilakan untuk berbincang-bincang dengan Mahapatih Bagaspati di Taman Sari. Sekalian, melepas rindu pada orang penting di kerajaan ini yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri.
"O, jadi Kanjeng Susuhan telah wafat beberapa waktu yang lalu, ya Kang?" buka Satria.
"Ya, begitulah. Namanya juga umur. Dan lagi, Kanjeng Susuhan memang sudah sangat tua," desah Mahapatih Bagaspati.
"Maaf, Kang, Aku sungguh baru mendengar kabar itu dari mulut Gusti Prabu tadi," ucap Satria, polos.
"Sudahlah. Aku dan Kanjeng Gusti Prabu memaklumi kalau kau senang berpetualang. Dan yang penting sekarang, memikirkan siasat yang akan kita jalankan untuk menghadapi Ganang Laksono.... Hmm, tak kusangka. Di balik diamnya manusia itu tersimpan maksudmaksud busuk,"
gumam Mahapatih Bagaspati.
Tadi, di pendopo Satria Gendeng sudah diberi penjelasan siapa itu Ganang Laksono. Menurut penjelasan Mahapatih Bagaspati, Panglima Ganang Laksono sudah lama mengundurkan diri dari jabatan panglima. Tepatnya, dua bulan setelah adik kandungnya dihukum mati oleh pihak kerajaan karena tertangkap basah berzina dengan istri orang.
Semula pihak kerajaan tak berprasangka buruk atas pengunduran diri Panglima Ganang Laksono. Namun kecurigaan sedikit demi sedikit mulai muncul setelah sekian tahun Panglima Ganang Laksono lenyap seperti ditelan bumi.
Dan begitu Satria menceritakan tentang apa yang diceritakan Arya Wadam mengenai akan adanya pemberontakan, kecurigaan pihak Kerajaan Demak makin beralasan. Dan itu artinya, kerajaan dalam keadaan genting.
"Tapi, Kang. Aku belum jelas benar mengenai kunjungan Gusti Prabu Sutawijaya ke Kadipaten Kutowinangun," Satria mengalihkan pembicaraan. Sikap Mahapatih Bagaspati benar-benar seperti seorang kakak pada adik kandungnya. Direngkuhnya bahu kekar si anak muda perkasa yang duduk di sampingnya.
"Memangnya tadi kau tak memperhatikan penjelasan Gusti Prabu?" tanyanya.
Satria menggeleng perlahan.
"Perhatianku saat itu justru pada wajah Dewi Sekardadu, putri Kanjeng Gusti Prabu. Kalau kuperhatikan, wajahnya mirip..., mirip..., Arya Wadam. Ya! Aku kok ingat sekarang"! Betul! Wajahnya mirip Arya Wadam temanku!" cerocosnya, meledak-ledak.
Mahapatih Bagaspati jadi heran. Kenapa anak muda di sampingnya ini mendadak jadi sawan begitu" Setan apa yang merasukinya" Lebih sinting lagi, dicengkeramnya bahu Mahapatih Bagaspati dan diguncang-guncangkan dengan keras.
"Hei, hei! Apa-apaan kau ini, Adi Satria! Lihat! Kau jadi pusat perhatian para prajurit di sekitar Taman Sari ini! Apa kau tak malu bertingkah begitu?" tegur Mahapatih Bagaspati antara kesal campur geli. Malah kalau bisa campur racun.
"Maaf, Kang. Aku terlalu gembira. Tapi, apa bergembira di sini dilarang?" Satria melepaskan cengkeramannya di bahu Mahapatih Bagaspati.
"Ya, boleh saja. Tapi jangan sampai kalap begitu," Mahapatih Bagaspati menggeleng-geleng.
"Lantas, apa yang membuatmu gembira?" susul-nya.
"Anu, Kang. Anu...," Satria malah tersengal.
"Tadi aku sudah cerita tentang temanku yang bernama Arya Wadam, kan?" Satria menepuk jidatnya sendiri.
"Maaf, aku lupa. Maksudku, aku tadi menyinggung sedikit tentang temanku yang bernama Arya Wadam.
Nah, temanku itu mengaku telah dibuang oleh kedua orangtuanya di sebuah hutan. Dia lalu diketemukan oleh seorang tokoh silat wanita yang konon kabarnya awet muda. Singkat cerita, begitu telah besar dan muncul di dunia persilatan, Arya Wadam bertemu denganku. Tapi karena suatu persoalan, dia meninggalkan ku. Lantas sekarang, ketika tadi aku melihat wajah Dewi Sekardadu, ternyata wajahnya mirip sekali dengan Arya Wadam. Jangan-jangan!"
"Bisa jadi, Adi Satria!" potong Mahapatih Bagaspati langsung menangkap jalan pikiran Satria Gendeng.
"Nah, sebaiknya kembali ku jelaskan dulu cerita Kanjeng Gusti Prabu tadi."

* * *



Sewaktu masih menjadi Putra Mahkota, Sutawijaya telah mempunyai dua orang anak kembar. Anak yang lahir pertama diberi nama Dewi Sekarputri. Sedangkan adik kembarnya bernama Dewi Sekardadu. Menurut adat tanah Jawa, jika salah satu bayi ingin selamat, maka harus dipisahkan hingga menjelang dewasa. Maka diputuskanlah Dewi Sekarputri si anak pertama untuk dititipkan pada Adipati Kutowinangun. Setiap setahun sekali, utusan kerajaan datang untuk menanyakan perkembangan Dewi Sekarputri. Dan dari pihak kadipaten selalu menjawab bahwa keselamatan Dewi Sekarputri selalu terjaga. Dan menurut penjelasan pihak kadipaten Dewi Sekarputri tengah dititipkan pada seorang resi untuk dididik budi pekertinya, serta ilmu olah kanuragan.
Selama delapan belas tahun Sutawijaya percaya dengan penjelasan pihak kadipaten. Karena selama itu Sutawijaya tak boleh menengoknya kecuali usia Dewi Sekarputri telah genap delapan belas tahun, maka baru beberapa hari yang lalu Sutawijaya bisa menengok putri sulungnya.
Tapi apa yang didapat" Nihil. Ketika Sutawijaya yang kini telah memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Demak berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun yang saat itu sudah dijabat putranya, sang adipati baru menjelaskan keadaan sebenarnya. Bahwa, sejak masih bayi Dewi Sekarputri telah diculik oleh seorang tokoh sesat bernama Setan Penyair. Dengan tersedu-sedu, Adipati Kutowinangun lama memohon ampun. Dia berusaha menjelaskan kalau pihak kadipaten telah menyediakan uang tebusan untuk si penculik. Tapi entah kenapa, tokoh berjuluk Setan Penyair itu justru tak kembali-kembali lagi.
Kiprahnya seolah lenyap bersama sang jabang bayi.
Untuk melegakan hati Sutawijaya, Adipati Kutowinangun terpaksa berdusta dengan mengatakan bahwa Dewi Sekarputri tengah dititipkan pada seorang resi. Sampai jabatannya diserahkan pada anaknya, Adipati Kutowinangun lama berpe-san kepada Adipati Kutowinangun yang baru agar merahasiakan hal tentang Dewi Sekarputri sampai Gusti Prabu Sutawijaya datang.
Untung saja, Gusti Prabu Sutawijaya berjiwa besar. Dia menganggap, Adipati Kutowinangun lama tidak bersalah. Karena kejadian penculikan itu toh di luar perkiraannya.
Dan lagi, Adipati Kutowinangun waktu itu telah berusaha menyediakan uang tebusan, sekaligus mencari tokoh bernama Subali alias Setan Penyair.
Sepulang dari Kadipaten Kutowinangun, rombongan Gusti Prabu Sutawijaya yang didampingi Mahapatih Bagaspati serta Panglima Darma Kusuma dicegat tokoh sesat yang mengaku bernama Ki Ageng Wirakrama.

* * *



"Dan manusia sesat itu akhirnya dapat kau kalahkan, Adi Satria," Mahapatih Bagaspati menatap kagum pada anak muda di sampingnya. Yang ditatap malah seperti tak peduli. Matanya menerawang pada bayang semu. Bayangbayang yang menggelitiknya ke arah kisah pertemuannya dengan Arya Wadam yang semula disangka seorang lelaki. Dan begitu tudung Arya Wadam dibuka, terperanjatlah si anak muda.
Satria Gendeng tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa cantiknya Arya Wadam.
Sayang si pemuda saat ini telah mempunyai kekasih yang juga tengah berpetualang dalam dunia persilatan. Tresnawati namanya.
Dan mereka telah berjanji bulan purnama nanti akan bertemu di Tanjung Karangbolong.
"Hei, kau melamun, Adi Satria?" Mahapatih Bagaspati mengibas-ngibas telapak tangannya di depan wajah Satria.
Tebakan lelaki ini memang tepat. Tapi akibatnya bayangan wajah Tresnawati malah terusir seketika itu juga.
"Sekarang aku yakin, Arya Wadam jelas kembarannya Dewi Sekardadu," kata Satria, seperti berkata untuk dirinya sendiri.
"Aku pun juga berpikiran demikian, Adi.
Tapi di mana sekarang Arya Wadam?"
"Iya, ya. Di mana dia sekarang, ya" Waktu meninggalkan ku di kedai dekat Desa Sedayu, dia dalam keadaan marah. Aku berusaha menca-rinya, tapi hasilnya nihil," desah Satria.
Sejenak suasana terkepung keheningan.
Bungkam. Tak ada yang bersuara.
Mendadak.
"Chi-huiii...!" lonjak Satria tiba-tiba.
"Ada apa, Adi?" Malah Mahapatih Bagaspati yang terheran-heran.
Tingkah bocah bertabiat sinting itu memang kebangetan....

* * *



Di pendopo kadipaten, Arya Wadam duduk berhadapan dengan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh delapan tahun.
Gagah, menampakkan kewibawaan. Wajahnya cukup tampan dengan kumis tipis menghias di bawah hidungnya.
Pakaiannya indah, sebagaimana layaknya adipati.
"Apa maksudmu mencariku, Arya"!" tanya lelaki tampan yang memang Adipati Kutowinangun, setelah sebelumnya menanyakan nama si gadis.
"Aku hendak mencari keterangan tentang kedua orangtua ku. Menurut guruku, kedua orangtua ku berasal dari kadipaten ini. Atau malah bisa jadi adipati di kadipaten ini," jelas Arya Wadam, terus terang.
"Aku adipati di sini. Tapi semua anakku la-ki-laki. Jadi bagaimana maksudmu?"
"Menurut guruku, waktu aku masih bayi, aku diculik oleh tokoh sesat berjuluk Setan Penyair. Lalu oleh Setan Penyair, aku dibuang di sebuah hutan, hingga kemudian ditemukan oleh guruku," Jelas Arya Wadam.
Adipati Kutowinangun tersentak. Ingatannya langsung tertuju pada peristiwa sekitar delapan belas tahun yang lalu. Saat itu, kedua orangtuanya dititipi seorang bayi perempuan oleh Gusti Prabu Sutawijaya. Baru beberapa hari, si jabang bayi telah diculik oleh Setan Penyair.
Kejap berikutnya, tatapan Adipati Kutowinangun yang bernama Brata Wisnu ini menatap Arya Wadam. Pandangannya seolah menyelidik.
Tapi sejurus kemudian senyumnya terkembang.
Sulit mengartikan senyum lelaki itu.
"Aku tidak bermaksud membenarkan, tapi juga tidak bermaksud menyalahkan. Memang kuakui, kedua orangtua ku memang pernah dititipi bayi perempuan yang kemudian diculik oleh Setan Penyair. Bayi itu adalah anak dari Gusti Pra-bu Sutawijaya.
Tapi mohon kau mengerti. Dunia ini penuh tipu muslihat. Bisa saja ada seseorang yang mengaku-aku sebagai anak raja, yang pada akhirnya ternyata bukan. Sedihnya lagi, orang itu menyimpan maksud-maksud tertentu, mengeruk keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Misalnya peristiwa yang dialami...."
"Cukup!" potong Arya Wadam.
"Kedatanganku ke sini bukan bermaksud mengemisngemis agar diakui anak! Aku sudah cukup bahagia hidup menyatu dengan alam. Kedatanganku ke sini hanya sekadar membuktikan, apakah kedua orangtua ku masih ada atau tidak. Kanjeng Adipati jangan menuduh yang bukanbukan!" sentaknya, geram bukan main.
"O, o, o.... Jangan salah paham, Arya. Aku tidak bermaksud menuduhmu begitu," Adipati Brata Wisnu menggerak-gerakkan telunjuknya di depan wajah.
"Justru aku merasa berterima kasih kau mau datang ke tempat ini.
Melihat kepan-daianmu tadi dalam menjatuhkan prajuritku dengan mudah, aku yakin kalau kau adalah seorang tokoh persilatan. Maka aku benar-benar mendapat penghargaan didatangi pendekar macam kau.
Dan soal kedua orangtuamu, jangan khawatir.
Nanti bisa kita buktikan setelah kau kupertemukan dengan kedua orangtua ku. Karena, beliaulah yang waktu itu dititipi oleh Gusti Prabu. Kau setuju?" Senyum ramah Adipati Kutowinagun terkembang. Tak ada yang tahu kalau dalam senyumnya tersimpan jerat-jerat berbisa.
Dengan pasti Arya Wadam mengangguk.
Dia merasa tertantang untuk membuktikan kebenaran ucapannya. Siapa tahu, kedua orang Adipati Kutowinangun ini bisa mengenali dengan tanda-tanda khusus yang ada di tubuhnya.
"Nah, untuk sementara, kau beristirahatlah. Sambil menunggu kedua orangtua ku yang sedang berkunjung ke rumah seorang kerabat, kau bisa beristirahat di kamar. Biar nanti seorang emban yang akan mengantarmu," kata Adipati Brata Wisnu, ramah sekali.

* * *



Di sebuah ruangan khusus, Adipati Kutowinangun duduk berhadapan dengan seorang lelaki gagah berpakaian panglima. Siapa lagi kalau bukan Panglima Ganang Laksono"
"He he he.... Umpan telah masuk perangkap, Adi Ganang!" kekeh Adipati Brata Wisnu.
"Maksudmu, gadis yang datang ke tempat ini tadi?" tanya Panglima Ganang Laksono.
"Ya! Ketika aku melihat wajahnya, ternyata mirip sekali dengan Dewi Sekardadu.
Dan mendengar ceritanya, aku semakin yakin kalau gadis itu kakak dari Dewi Sekardadu. Untung aku tadi menyuruhmu menyingkir, Adi Ganang. Aku takut, kau mengenalinya. Atau sebaliknya, dia mengenalimu," kata Adipati Kutowinangun ini.
"Benar, Kakang Brata. Biar bagaimanapun kedatanganku ke sini harus dirahasiakan. Citacita belum tercapai. Dan kita butuh kewaspadaan tinggi!" tegas Panglima Ganang Laksono.
"Bila gadis itu sudah menjadi tawanan kita, maka tinggal menggertak Gusti Prabu saja. Kita bunuh gadis itu, atau dia harus menyerahkan takhta kepadamu. He he he...!"
"Sungguh pucuk dicinta ulam tiba. Kau memang cerdik Kakang Brata. Tak percuma kau menjadi kakak iparku."
"Ya, tapi jangan lupa janjimu. Bila kau jadi Raja Demak, wilayah kadipaten ini harus lepas dari Kerajaan Demak. Karena, aku ingin mendirikan kerajaan sendiri."
"O, jangan khawatir, Kakang. Ludah yang telah kukeluarkan tak mungkin kujilat lagi.
Hmmm, kira-kira gadis itu sudah semaput belum?"
"Menurut waktunya, gadis itu harus sudah pingsan. Tapi apa salahnya kalau aku memerik-sanya." Di akhir kalimatnya, Adipati Brata Wisnu bangkit dari duduknya. Dengan langkah mantap, kakinya bergerak keluar ruangan khusus ini. Segera ditelusurinya lorong keraton.
Tadi, Adipati Brata Wisnu memerintahkan pelayan untuk membubuhi racun di dalam makanan dan minuman yang disediakan untuk Arya Wadam. Sejenis racun ganas yang bekerja lambat.
Diperkirakan bila gadis itu menelannya, bisa langsung pingsan. Layaknya tertidur, dalam beberapa hari nyawanya tak tertolong lagi. Di depan pintu kamar yang disediakan Arya Wadam, Adipati Brata Wisnu menghentikan langkahnya. Sejenak telinganya dipasang tajamtajam. Tak ada suara sedikit pun yang terdengar.
Tok! Tok! Lelaki setengah baya ini mengetuk pintu.
Tak ada sahutan. Kembali diulangi ketukannya.
Tetap sama. Dan ini membuat bibirnya tersenyum. Segera dibukanya pintu kamar.
"He he he.... Tidurlah untuk selamanya, Gadis Bodoh!" kekehnya, memuakkan.

* * *



"Aku jadi penasaran, rencana apa yang akan kau buat, Adi Satria?" tanya Mahapatih Bagaspati. Dia yakin pemuda ini pasti berotak encer macam bubur.
"Siapa bilang aku punya rencana?" balik Satria, menjengkelkan.
"Lantas, kenapa kau melonjak kegirangan begitu?"
"Apa di sini ada larangan melonjak kegirangan" Wah, ada ya" Kalau begitu maafkan sikapku, Kang. Aku tak tahu kalau di sini ada larangan melonjak kegirangan," ucap Satria, polos.
Amat polos. Malah kini Mahapatih Bagaspati yang bungkam. Bocah bertabiat sinting macam Satria kadang memang menjengkelkan. Tapi di lain saat bisa seperti malaikat penyelamat. Untuk saat ini, Mahapatih Bagaspati tak tahu harus memilih yang mana.
"Kang, kalau boleh tahu, Panglima Ganang Laksono punya kerabat yang jadi pembesar di wilayah Kerajaan Demak ini atau tidak"!" tanya Satria tiba-tiba.
Sejenak Mahapatih Bagaspati berpikir keras. Lalu tiba-tiba secercah senyum tergambar di wajahnya.
"Aku tahu jalan pikiranmu, Adi!" tebaknya langsung.
"Kau pasti mencurigai kerabat Panglima Ganang Laksono itu, bukan" Boleh, boleh.
Walau aku belum percaya penuh, tapi setidaknya bisa dibuktikan dulu. Ya, Panglima Ganang Laksono memang mempunyai kerabat yang jadi pembesar. Dan bodohnya, aku baru berpikir sekarang kalau Adipati Kutowinangun adalah kakak ipar Panglima Ganang Laksono. Sedangkan Adipati Purworejo adalah sepupu panglima pengkhianat itu. Tapi apa mungkin mereka berkhianat pula dengan mengadakan persekongkolan?"
"Bukankah kau bilang perlu dibuktikan dulu. Lantas, apa salahnya?" tukas Satria, mele-tus begitu saja.
"Caranya?" Satria mendekatkan mulutnya ke telinga Mahapatih Bagaspati. Lalu yang terdengar hanya suara mirip mendesis. Kejap kemudian, kepala patih itu mengangguk-angguk.
"Boleh..., boleh. Begitu juga boleh. Aku se-tujui rencanamu. Kapan akan dilaksanakan?" tanya Mahapatih Bagaspati.
"'Kalau bisa secepatnya. Lebih cepat lebih baik. Tapi Kakang mau tidak bersusah payah?" sahut Satria.
"O, tentu. Tentu. Demi kejayaan Kerajaan Demak, aku rela berkorban jiwa dan raga!" tandas lelaki gagah ini.
"Nah, kalau begitu pikiranku jadi tenang," desah Satria, sok tua.
"Sungguh aku kagum dengan otak cerdasmu, Adi Satria. Entah, bagaimana nasib Kerajaan Demak bila tidak ada dirimu, Adi," puji sang Mahapatih, tulus.
Tapi yang dipuji seenaknya ngeloyor pergi begitu saja. Terutama ketika Satria melihat Dewi Sekardadu muncul di Taman Sari ini. Tinggal Mahapatih Bagaspati yang terbengong-bengong.
Lantas kepalanya menggeleng pelan.

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

JAHANAMMMM! Siapa yang membunuh Suamikuuuu"!! Hu hu hu... aku harus menuntut balasss.... Hu hu hu...." Keheningan Bukit Srondol terbelah oleh teriakan yang disusul tangis meledak-ledak dari mulut Nini Berek. Di depannya terdapat sebuah makam bertanah merah dengan nisan dari tongkat butut berwarna hitam. Tongkat yang dikenalinya sebagai milik Ki Ageng Wirakrama. Makam itulah yang ditangisinya.
Memang, sebelum meninggalkan tempat ini, prajurit-prajurit Demak menguburkan mayat Ki Ageng Wirakrama di kaki Bukit Srondol ini. Lelaki tua sesat itu tewas setelah bertarung habis-habisan dengan pendekar perkasa yang saat ini menggoncangkan dunia persilatan. Satria Gendeng. Di sebelah Nini Berek yang berjongkok di depan makam, berdiri terpekur Bocah Tua Sakti.
Sungguh hati lelaki tua ini menyesal tak dapat bertemu dengan kakaknya. Menyesal, kenapa sejak dulu tidak menasihati kakangnya. Menyesal kenapa baru sekarang ini pulang ke tanah Jawa.
"Firasatku terbukti, Wiradharma! Lihat! Suamiku telah menyatu dengan tanah! Sekarang, apa kau masih tak percaya dengan mimpiku. Hu hu hu.... Oh, Kakang Ageng Wirakrama.... Kini aku sebatang kara. Kenapa begitu cepat kau meninggalkan aku. Siapa yang membunuhmu, Kakang" Siapa" Ayo jawab, Kakang!" oceh Nini Berek tak karuan. Tangisnya makin menjadi-jadi. Sinting juga wanita ini. Suaminya sudah mati, tapi masih juga diajak omong. Tapi memang bisa dimaklumi. Pikirannya saat ini sedang kalap.
Bukankah orang kalap suka bicara seenaknya"
"Sudahlah, Nini. Mungkin memang sudah takdir umur kakangku hanya sampai di sini. Biarkan dia beristirahat dengan tenang," ujar Bocah Tua Sakti, lembut.
"Tidak! Arwah suamiku tak bakalan tenang sebelum aku menemukan pembunuhnya!" sentak Nini Berek, keras kepala.
Bocah Tua Sakti hanya mampu menggeleng-geleng kepala. Sebagai tokoh putih, dia cukup menyadari kematian kakangnya. Memang ada rasa menyesal pada dirinya, karena belum sempat bertemu setelah sekian lama mengembara ke Swarnadwipa. Tapi penyesalan memang tak harus dipendam dalam hati. Dia percaya, segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Kalau begitu, aku harus kembali ke Swarnadwipa, Nini. Aku harus menghilangkan kekecewaan ini dengan pergi merantau," kata Bocah Tua Sakti.
"Kau terlalu, Wiradharma. Kakangmu dibunuh orang, kau malah pergi. Mestinya kau harus membalaskan dendam kakangmu!" sentak Nini Berek.
"Tidak, Nini. Apalah artinya dendam. Kalau dituruti, dendam tak pernah akan habis. Mungkin saja Yang Maha Kuasa telah menentukan bahwa kematiannya memang harus di tangan orang. Dan dengan demikian, dia sekaligus membayar dosadosa yang telah diperbuatnya dahulu," tegas lelaki tua pendek itu bijak.
"Baik! Kalau kau mau pergi, pergi sekarang juga! Ingat jangan pernah lagi menganggap kalau aku ini kakak iparmu!" usir Nini Berek makin kalap.
"Maaf, Nini. Biar bagaimana, kau tetap kakak iparku. Tapi tolong jangan paksa aku untuk mengikuti hawa nafsumu"
"Cepat pergi kataku! Pergiiii!!!" Tanpa kata, Bocah Tua Sakti melangkah perlahan. Sejenak kepalanya masih menoleh ke arah makam kakangnya. Lalu mantap sekali kakinya menjejak tanah dan berkelebat cepat.
Nini Berek tak peduli lagi. Sejenak dipandanginya kuburan Ki Ageng Wirakrama. Tepat ketika Bocah Tua Sakti tak terlihat lagi, perempuan tua jelek ini bangkit, bertumpu dengan tongkat putihnya. Dan tiba-tiba, tongkat putihnya bergerak, mendongkel setiap bongkahan tanah merah makam suaminya.
Makin lama makin banyak tanah terkumpul di pinggir makam. Sedang makam itu sendiri makin berlubang dalam. Tak sabar, Nini Berek mengerahkan tenaga dalamnya. Maka dalam sekejapan, makam telah terbongkar seluruhnya.
Begitu mendapati jasad suaminya. Nini Berek cepat meraih dengan tangan kiri. Lalu diletakkannya jasad kaku itu di pundak. Sekali menyentakkan kaki, tubuh Nini Berek telah berada di atas Setelah meraih tongkat butut Ki Ageng Wirakrama, si nenek jelek berkelebat meninggalkan kesunyian kaki Bukit Srondol.

* * *



Rencana Adipati Kutowinangun berjalan mulus, semulus kulit bayi. Di kamar yang disediakan, Arya Wadam tergolek pingsan. Itu setelah si gadis tanpa banyak curiga menyantap hidangan yang disediakan. Perutnya mulas saat itu juga, Kepalanya pening berdenyut-denyut. Pandangannya makin mengabur. Bahkan tenggorokannya terasa panas seperti baru saja menelan bara. Si gadis mau berteriak. Tapi sedikit pun tak ada suara yang berhasil terlontar dari mulutnya. Jangankan berteriak, untuk menelan ludah saja tak mampu. Sementara, keringat dingin menyeruak dari setiap lubang pori-porinya. Wajahnya pun kian pucat saja. Itu pertanda, racun ganas yang dibubuhi dalam makanan telah bekerja.
Artinya, perlahan-lahan racun akan menjalar dalam setiap jaringan saraf-saraf.
Jika hal itu didiamkan dalam jangka dua minggu, jangan harap nyawa Arya Wadam akan selamat. Dalam keadaan begini. Adipati Kutowinangun dan Panglima Ganang Laksono akan memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan Gusti Prabu Sutawijaya agar menyerahkan takhta kerajaan kepada Panglima Ganang Laksono.
Bukankah dengan demikian Panglima Ganang Laksono tak perlu susah payah membujuk beberapa pembesar kerajaan untuk menyokong rencananya" Bukankah dengan demikian dia tak perlu mengutak-atik tiga peti uang kepeng yang didapat dari Setan Madat"
"Bagaimana jalannya perundingan dengan Gusti Prabu Sutawijaya nanti, Kakang Brata?" tanya Panglima Ganang Laksono, semangat.
Di ruangan pendopo, lelaki tinggi besar itu duduk berhadapan dengan Adipati Kutowinangun. Sebuah meja bulat menjadi pembatas. Di atasnya, terhidang buah-buahan ranum kemerahan mengundang selera. Sebuah guci tuak dan dua buah cangkir bambu juga ada di sana.
"Gampang. Aku akan mengutus beberapa prajurit untuk menyerahkan surat ancaman. Kita jelaskan kalau Dewi Sekarputri ternyata masih hidup, dan kini berada di tangan kira. Tentu saja untuk mengambilnya tak semudah itu. Terlebih dahulu, Gusti Prabu harus membuat surat pernyataan yang isinya, segera menyerahkan takhta Kerajaan Demak tanpa syarat, dan tanpa paksaan dari pihak mana pun kepadamu. Surat harus diserahkan Gusti Prabu sendiri. Bila surat sudah di tangan kita, langsung ringkus saja dia. Lalu, kau cepat pergi ke kerajaan. Umumkan bahwa kau telah ditunjuk Gusti Prabu untuk memerintah Kerajaan Demak. Kau jelas?" papar Adipati Brata Wisnu.
"Sangat jelas. Sangat jelas. Lantas, kalau pembesar kerajaan banyak yang tak percaya?"
"Tunjukkan surat pernyataan itu."
"Kalau mereka tetap tak percaya?"
"Nyawa Dewi Sekarputri dan nyawa Gusti Prabu ada di tangan kita!" Secercah senyum langsung tergambar di wajah Panglima Ganang Laksono. Dalam hati, dia benar-benar mengagumi kecerdikan kakak iparnya. Tak percuma dia mengajak kakak iparnya untuk bergabung menumbangkan takhta Kerajaan Demak.
"Nah, sekarang bagaimana rencanamu selanjutnya, Adi Ganang?" tanya Adipati Brata Wisnu lebih lanjut.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi untuk mengajak bergabung saudara sepupuku di Kadipaten Purworejo," sahut Panglima Ganang Laksono.
"Maksudmu, Adipati Lirboyo?"
"Benar. Tapi sebelum itu aku harus menemui guruku lebih dulu di Bukit Menjangan. Mudah-mudahan guruku sudah menghubungi teman-temannya untuk membantuku dalam mengadakan pemberontakan nanti."
"Dan aku akan segera mengirimkanutusan ke Kerajaan Demak besok pagi. Aku yakin, Gusti Prabu akan terkejut membaca surat kita.
Ha ha ha...." Suara tawa Adipati Kutowinangun bergema di sekitar ruangan pendopo. Juga tawa keras Panglima Ganang Laksono. Dalam benaknya pun telah terbayang kalau dirinya tengah duduk di singgasana Kerajaan Demak.

* * *



Tanpa diketahui, sebuah bayangan kasat mata tengah mendengarkan pembicaraan antara Adipati Kutowinangun dengan Panglima Ganang Laksono. Sebuah bayangan yang kalau diperhatikan berbentuk seorang anak muda tampan. Bajunya rompi putih dari kulit binatang. Bergaris rahang jantan. Bermata sembilu.
Celananya pangsi sebatas lutut.
Dialah Satria. Apa yang dilakukan pemuda bertabiat sinting tapi berotak cerdas itu" Inilah bagian dari rencana si anak muda perkasa. Akal cerdiknya menyuruhnya untuk segera menggunakan ajian 'Melepas Sukma' yang diwariskan guru gendengnya, Dongdongka.
Waktu masih berada di Kerajaan Demak, Satria Gendeng menjelaskan rencananya setelah tahu bahwa ada dua adipati yang dicurigai menjadi pengkhianat dengan mendukung rencana Panglima Ganang Laksono. Kecurigaan itu cukup beralasan, karena sudah sekian lama Panglima Ganang Laksono tak terlihat di sekitar keraton kerajaan. Bahkan ada beberapa telik sandi yang pernah melihat kalau panglima pengkhianat itu sering berkunjung ke Kadipaten Kutowinangun dan Purworejo. Semula pihak kerajaan tak begitu menanggapi. Tapi ketika mendengar kalau, Panglima Ganang Laksono akan mengadakan pemberontakan, mau tak mau kecurigaan pun dilimpahkan pada kedua kadipaten tadi.
Berangkat dari alasan itu, Satria lantas memutuskan untuk mencari tahu ke Kadipaten Kutowinangun. Sedangkan Mahapatih Bagaspati berwarna beberapa telik sandi mencari tahu ke Kadipaten Purworejo. Tentu saja, Satria tak mau menjelaskan bagaimana caranya nanti menyusup ke Kadipaten Kutowinangun.
Senja telah terpuruk ketika Satria tiba di bagian belakang keraton kerajaan. Mata tajamnya yang telah terbiasa melihat dalam gelap sewaktu berada di goa tempat kediaman Ki Kusumo berusaha menelusuri tiap-tiap celah yang mungkin bi-sa ditembusnya Di tembok keraton sebelah utara, si pemuda perkasa melihat kalau di situ terdapat titik celah yang bisa ditembusnya. Di dekat tembok dia melihat ada beberapa pohon pinang setinggi atap keraton.
Dari tempatnya berdiri, Satria langsung mencelat. Mula-mula ke arah pohon pinang yang tak jauh darinya. Kakinya langsung menghentak sekali ke batang pinang. Lalu mencelat lagi ke arah tembok. Sekali menghentak lagi, tubuhnya mendekati pohon pinang dekat tembok sebelah utara. Sekali lagi menghentak, tubuhnya mencelat ke arah atap ketaton. Satu rangkaian gerak yang sering dilatihnya di Tanjung Karangbolong.
Dengan ilmu peringan tubuh yang selalu dilatihnya, Satria mengendap-endap di atas atap keraton. Nyatanya, hasil godokan Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap kemampuan peringan tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil sangat sempurna. Keberadaannya sama sekali tak diketahui oleh prajurit-prajurit kadipaten yang berjaga-jaga di tembok bagian utara. Sasaran yang dituju Satria adalah pendopo. Biasanya, sebagaimana adat orang-orang keraton, sehabis makan malam mereka berbincangbincang di ruang utama pendopo. Itulah yang dipelajari si anak muda berotak cerdas selama berada di keraton Kerajaan Demak.
Tiba di atas pendopo, Satria langsung menelusup dengan membuka beberapa atap genting.
Di situ dia mencuri dengar pembicaraan beberapa orang tentang Dewi Sekarputri yang diketahuinya adalah nama asli Arya Wadam. Saat itu juga, si pemuda perkasa mencari-cari letak kamar penye-kapan. Susan payah mencari, akhirnya Satria dapat menemukan kamar tempat Arya Wadam disekap. Maka di atas langit-langit itu pula si bocah bertabiat sinting ini bersemadi. Langsung dike-rahkannya aji 'Melepas Sukma' warisan guru gendeng yang amat dihormatinya. Dongdongka. Itulah, kenapa Satria kini enak-enak mencuri dengar pembicaraan antara Adipati Kutowinangun dengan Panglima Ganang Laksono dalam wujud kasat mata.

* * *



Malam makin tertatih-tatih menuju dini hari. Keraton Kadipaten makin terkepung kesunyian. Semua penghuninya telah terseret ke dalam arus mimpi melenakan. Kecuali para prajurit penjaga, dan Satria Gendeng yang tengah menja-lankan rencananya.
Dari atas langit-langit kamar tempat Arya Wadam disekap, si bocah bertabiat sinting yang telah bersatu lagi dengan jasadnya itu segera melompat ringan. Langsung diperiksanya keadaan si gadis.
"He he he.... Tak kusangka kalau kau berada di sini, Arya. Akhirnya kau kutemukan juga.
Tapi, kenapa wajahmu pucat begini" Dan.... Ya, ampun.... Detak jantungmu lemah sekali" Naganaganya kau.... Slompret! Kau pingsan, Arya Wadam! Kukira kau enak-enakan tidur di sini," cerocos si pemuda dalam desahan nyaris tak terdengar. Si pemuda berusaha mencari tahu, kenapa Arya Wadam sampai pingsan begitu. Segera wajahnya didekatkan ke mulut Arya Wadam yang berbibir indah tapi berwarna kebiruan itu. Hidung si pemuda mengendus-endus.
"Slompret lagi! Kau keracunan, Arya! Wah, dia harus cepat-cepat disembuhkan. Dari baunya aku tahu, racun yang bersarang di tubuhnya tergolong ganas dan bergerak lambat. Hmmm.... aku harus menotoknya untuk menghambat menjalarnya racun ke seluruh jaringan sarafnya. Tapi aku tak mungkin menyembuhkannya di sini. Karena akan memakan waktu. Kalau gadis ini sampai siuman di tempat ini, bisa gagal rencanaku. Jadi, aku harus membawanya pergi sekarang juga," Satria segera meraih tubuh Arya Wadam yang terbaring di pembaringan.
Sekali menghentak lantai, tubuhnya telah mencelat ke atas langit-langit lewat lubang yang dibuatnya. Sambil memondong Arya Wadam, Satria keluar menuju atap lewat genting-genting. La-lu tubuhnya mencelat kembali keluar keraton lewat jalan yang tadi ditempuhnya saat menuju ke sini. Sekejapan, dia telah menghilang dalam kegelapan. Meninggalkan para prajurit yang terkantuk-kantuk, dan siap dimaki-maki Adipati Kutowinangun akibat kelalaian mereka.


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

PAGI beranjak Sudah sejak tadi Panglima Ganang Laksono meninggalkan Kadipaten Kutowinangun. Hatinya sudah tak sabar lagi untuk menemui gurunya di Bukit Menjangan. Setidaknya, dia bisa minta bantuan gurunya nanti untuk mendampinginya saat membacakan surat pernyataan Gusti Prabu Sutawijaya. Makin nyata saja bayangan dalam benaknya kalau dirinya nanti bakal duduk di singgasana Kerajaan Demak.
Tak lama setelah keberangkatan Panglima Ganang Laksono, orang-orang yang diutus Adipati Kutowinangun untuk membawa surat ancaman pun berangkat. Dengan kuda-kuda pilihan, mereka segera berpacu meninggalkan kadipaten.
Baru saja Adipati Kutowinangun hendak menikmati sarapannya...
"Kanjeng Gusti Adipati! Gadis yang disekap di kamarnya telah menghilang!" Seorang prajurit tergopoh-gopoh datang melapor.
"Apa?"!!" lonjak sang Adipati, menghentikan suapannya di depan mulut.
"Tidak mungkin! Sekarang panggilkan emban yang tiap pagi membersihkan kamarnya!"
"Baik, Kanjeng," sahut si prajurit, langsung menjura. Lalu dia berlalu dari hadapan Adipati Brata Wisnu. Berdebar, Adipati Brata Wisnu menunggu kedatangan emban yang biasa membersihkan kamar yang ditempati Dewi Sekarputri. Dia jadi tak bernafsu lagi. Sejak istrinya meninggal dunia dia selalu sarapan sendiri saja. Sementara sepagi ini, kedua anak laki-lakinya masih terlelap dalam mimpi.
Sedangkan kedua orangtuanya yang sudah cukup sepuh tinggal di rumah lain, tapi masih di lingkungan keraton.
Sang emban, seorang perempuan setengah baya bertubuh gempal muncul terbungkukbungkuk.
"Kanjeng Gusti memanggil hamba?" tanyanya, sangat sopan.
"Benar gadis yang ada di kamar itu telah hilang"!" tembak Adipati Brata Wisnu, langsung.
"Benar, Kanjeng Gusti. Tadi waktu hamba hendak membersihkan kamarnya, gadis itu sudah tidak ada."
"Mana mungkin"!" terabas lelaki ini, keras.
Matanya mendelik.
"Gadis itu dalam keadaan pingsan. Jadi tak mungkin dia pergi begitu saja, kalau tidak ada yang membawanya!"
"Bisa jadi begitu, Kanjeng Gusti. Karena, langit-langit kamar gadis itu kini berlubang cukup besar," tambah sang emban.
"Apa"! Celaka! Kalau bukan karena ada seseorang yang menelusup ke keraton ini, pasti ada pengkhianat di kadipaten! Emban! Suruh salah seorang prajurit untuk mengumpulkan para pembesar kadipaten. Bilang, aku akan mengadakan rapat mendadak sekarang juga!" sabdanya, penuh ketegasan.
"Baik, Kanjeng Gusti," sahut sang emban, lalu berlalu dari tempat ini.

* * *



"Apa"! Guru telah tewas"!" sentak Panglima Ganang Laksono ketika siang ini tiba di Bukit Menjangan, tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama almarhum.
"Ya! Dan kau sebagai muridnya harus bisa membalaskan sakit hatinya!" desis perempuan tua bungkuk. Wajahnya dipenuhi borok berlendir yang menyebarkan bau busuk menyengat. Rambutnya tipis. Mulutnya tak lepas dengan sirihnya.
Prot! Lendir merah meluncur dari bibir kendor si nenek jelek yang tak lain Nini Berek. Begitu menghujam ke sebuah batu reruntuhan candi, langsung tercipta lobang cukup dalam.
Panglima Ganang Laksono memandang takjub. Padahal, dia sudah sering melihat si nenek jelek bertingkah demikian. Namun kekagumannya segera terpangkas oleh keingintahuannya tentang siapa yang membunuh Ki Ageng Wirakrama.
"Siapa yang membunuhnya, Nini Guru?" tanyanya.
"Aku belum tahu pasti. Tapi kalau melihat bekas pukulan di tubuhnya, ada dugaan di benakku kalau itu hasil pukulan Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul," sahut si nenek jelek.
"Siapa dia, Nini Guru?"
"Seorang sesepuhnya para sesepuh dunia persilatan golongan putih. Kau bisa menyelidikinya nanti."
"Baik, Nini Guru. Tapi bolehkah aku melihat mayat Guru untuk yang terakhir kali?" pinta Panglima Ganang Laksono, hatihati.
"Tidak! Peti tempat bersemayamnya suamiku kini tak boleh dibuka-buka. Dia telah kubalsem. Suatu saat nanti, suamiku akan bangkit untuk menuntut balas!" sahut Nini Berek, tegas.
"Maksud Nini Guru...."
"Ya! Suamiku akan hidup lagi, tapi dengan jiwa yang lain. Kau tak bakal dikenalinya lagi.
Dan tugasmu sekarang, cari keterangan tentang Dongdongka sialan itu. Mengerti"!"
"Mengerti, Guru," sahut Panglima Ganang Laksono, agak tercekat.
"Dan kalau begitu, aku mohon pamit."
"Ya, pergilah...." Panglima Ganang Laksono menjura, lalu berbalik. Dihampirinya kuda tunggangannya. Sekali menyentak kaki, tubuhnya telah melayang, lalu hinggap di punggung kuda.
"Heaaa...!" Sekali menyentak tali kekang kuda, Panglima Ganang Laksono pergi meninggalkan Bukit Menjangan. Ada rasa kecewa di hati lelaki tinggi besar ini menyadari gurunya telah tewas. Setidaknya, rencananya sedikit melenceng. Tapi dia yakin akan bisa mengatasinya. Kalau hanya untuk mendampingi dirinya saat membacakan surat pernyataan Gusti Prabu nanti, dia bisa minta pertolongan tokoh sesat lainnya. Di sisi lain, Panglima Ganang Laksono juga gembira atas kematian gurunya. Sebab dengan demikian dia terbebas dari tugas mencari senjata pusaka Kail Naga Samudera milik Satria Gendeng.

* * *



Rapat mendadak yang diadakan Adipati Kutowinangun berlangsung mendebarkan. Para pejabat saling curiga satu sama lain tentang siapa yang menjadi pengkhianat.
Dari punggawa hingga patih melirik, mencari siapa di antara mereka yang telah berkhianat.
Sebelumnya, Adipati Kutowinangun telah habis-habisan memaki para prajuritnya yang mendapat tugas jaga semalam. Bahkan mereka langsung mendapat hukuman penjara bawah tanah, dan nantinya akan dihukum gantung.
"Kalau kalian tak ada yang mau mengaku, baiklah! Untuk saat ini aku masih percaya dengan kesetiaan kalian. Tapi yang jelas, kadipaten, telah kecolongan oleh seorang penyusup. Maka untuk sementara, aku beranggapan si penyusup adalah orang luar. Tapi bila nanti di antara kalian terbukti sebagai pengkhianat, hukuman pancung imbalannya!" tegas Adipati Brata Wisnu.
Bergidik semua pejabat kadipaten yang ada di tempat ini. Kembali mereka saling berpandangan dengan sinar mata curiga. Suasana sejenak dikepung keheningan.
"Untuk membuktikan kesetiaan kalian," sambung sang Adipati.
"Aku memerintahkan kalian untuk bersiap-siap angkat senjata. Kita akan menggempur Kerajaan Demak!" Suara bergumam bak sekawanan lebah mendengung terdengar. Para pejabat kadipaten benar-benar terkejut dengan keputusan Adipati Kutowinangun. Sungguh hal itu di luar akal. Sebab menggempur kerajaan sama saja seperti sekawanan laron menghampiri api. Bukan saja pasukan Kerajaan Demak sangat besar, tapi juga dipimpin oleh panglima-panglima perang berkepandaian tinggi.
Selagi mereka berada di ambang keraguan....
"Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba mengganggu sebentar," tiba-tiba seorang prajurit masuk ke ruangan ini dan langsung melapor.
"Di luar sana, pasukan Kerajaan Demak telah mengepung keraton. Dan oleh Panglima Darma Kusuma dari Kerajaan Demak, Kanjeng Gusti dimohon keluar."
"Setan! Kita kalah cepat! Nah, para pembantuku yang setia. Ini saatnya untuk membuktikan kesetiaan Kalian. Cepat cabut senjata! Kita songsong pasukan Kerajaan Demak!" ujar sang Adipati, lantang.
Para pejabat kadipaten terlihat ragu-ragu.
Sebagian sudah ada yang memegang gagang keris, tapi sebagian lagi masih ada yang tetap diam di tempatnya.
"Hei, kenapa kalian ragu-ragu"!" bertanya Adipati Kutowinangun.
Seorang patih kadipaten yang berusia cukup tua berdiri dari. duduknya. Wajahnya penuh kewibawaan. Namanya, Patih Rumeksa. Tindaktanduknya amat mengagumkan, sehingga amat dihormati di kadipaten ini.
"Tidak, Kanjeng Adipati. Kami bukan bermaksud menolak perintah. Tapi, menyerang Kerajaan Demak sama saja melanggar sumpah ayah Kanjeng Adipati sendiri. Bukankah beliau telah bersumpah di hadapan Raden Patah untuk selalu setia terhadap Kerajaan Demak" Sebaiknya, akhiri saja sandiwara ini. Sejak semula, aku sudah tak setuju terhadap rencana Kanjeng yang ingin menekan Gusti Prabu Sutawijaya dengan menyekap Dewi Sekarputri yang baru saja ditemukan.
Bukankah orangtua Kanjeng dulu pernah dititipi Dewi Sekarputri yang kemudian hilang lantaran diculik" Perbuatan Kanjeng sama saja menyakiti orang tua Kanjeng Sendiri," buka Patih Rumeksa.
"Setan kau, Patih! Aku yakin, kaulah pengkhianat itu. Kau telah menolak perintah. Berat hukumannya Patih!" ledak sang Adipati sampai mendengus-dengus.
"Aku tak keberatan dihukum berat sekalipun. Tapi aku yakin berada di pihak yang benar.
Dan kupikir-pikir, justru Kanjeng sendiri yang ja-di pengkhianat. Menyerang Kerajaan Demak sama saja pengkhianat. Mengingkari sumpah, juga pengkhianat. Bertindak tanduk tercela, juga pengkhianat. Maka semestinya, Kanjeng sendiri yang harus ditangkap.
"Benar!" timpal seorang lelaki berpangkat panglima.
"Aku tidak sudi berkhianat terhadap Kerajaan Demak. Justru kerajaan itu sudah sangat berjasa dalam menumpas musuh-musuh kita.
Lantas kenapa kita memusuhinya?"
"Ya, benar!" tambah panglima yang lain.
"Aku tidak sudi berkhianat!"
"Aku juga!"
"Aku juga!" Adipati Kutowinangun makin blingsatan sendiri. Ternyata hampir seluruh pejabat kadipaten menentang rencananya. Dan kegeramannya pun memuncak. Dia sungguh tak menyangka kalau akibatnya akan seperti ini "Bangsat! Kalian adalah bawahanku, tahu"!" bentaknya, lantang.
"Mereka benar, Anakku...." Sebuah suara penuh wibawa mendadak menyeruak di sekitar ruangan ini. Tak lama, seorang lelaki tua berpakaian seperti jubah putih memasuki ruangan.
"Ayahanda...?" sebut Adipati Kutowinangun. Semua yang hadir di ruangan ini memberi hormat dengan menakupkan telapak tangan di depan dada. Tubuh mereka membungkuk sedikit.
Hening. Belum ada yang bersuara.
"Mereka benar, kau adalah pengkhianat," buka si orang tua, penuh perbawa dalam suaranya.
"Untuk itu, kau harus mendapat hukuman dari Kerajaan Demak! Sungguh, aku menyesali sikapmu selama ini. Kenapa kau terlalu silau dengan kekuasaan" Nah, sebagai anak seorang ksatria sejati, kau pun juga harus bersikap ksatria. Temuilah Panglima Derma Kusuma. Serahkan dirimu untuk dibawa ke Kerajaan Demak."
"Tapi, Ayahanda...."
"Jangan membantah! Aku sudah tahu semua rencana busukmu. Kau terlalu terbuai oleh janji-janji manis adik iparmu!" potong si tua yang tak lain Ayahanda Adipati Kutowinangun itu sendiri. Dia dikenal Sukma Dewa Brata. Setelah meletakkan jabatan Adipati Kutowinangun, dia lebih banyak mendekatkan diri pada Yang Maha Tunggal.
"Tidak, Ayah! Aku tak sudi dihukum!" tolak Adipati Brata Wisnu.
"Hmmm, kau keras kepala," gumam Ki Sukma Dewa Barata. Lalu kepalanya menoleh pada Patih Rumeksa.
"Rumeksa! Sebagai orang yang ku tugasi mengawasi tabiat anakku, maka sekarang kau ku tugasi menangkapnya!"
"Baik, Kanjeng Sepuh," sahut Patih Rumeksa, mantap.
"Tidak! Tidak ada yang bisa menangkapku!" tiba-tiba Adipati Kutowinangun mencabut kerisnya. Lalu.... Crep! "Akhh!!" Tanpa ada yang dapat mencegah, Adipati Kutowinangun menghujamkan kerisnya ke perutnya sendiri. Saat itu juga lelaki setengah baya ini ambruk dengan tubuh bersimbah darah.
Semua yang ada di tempat ini hanya melongo. Mata mereka mendelik dengan mulut ternganga-nganga. Sungguh mereka tak percaya dengan tindakan nekat sang Adipati....


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

BEGITU tiba di halaman keraton Kadipaten Purworejo, betapa terperanjatnya Panglima Ganang Laksono. Yang menyambutnya kali ini bukan lagi saudara sepupunya yang menjadi adipati di sini, tapi Mahapatih Bagaspati.
"Cukup sudah permainanmu, Ganang Laksono," sambut Mahapatih Bagaspati. Tenang dan datar suaranya.
"Apa-apaan ini, Mahapatih Bagaspati"! Aku ke sini untuk menengok adik sepupuku. Dan permainan apa yang kau maksudkan?" kilah Panglima Ganang Laksono.
"Adik sepupumu telah kami amankan di kerajaan. Dan dia telah mengakui bahwa kau mengajaknya untuk mendukung pemberontakan yang akan kau lakukan!" tegas Mahapatih Bagaspati. Berubah wajah Panglima Ganang Laksono. Dari merah, kelabu, hijau, lalu kembali ke merah.
Tapi dia masih berusaha mengendalikan perasaannya dengan bersikap wajar.
"Kusarankan baik-baik, menyerahlah. Para prajurit di sini telah siap meringkusmu," lanjut Mahapatih Bagaspati.
"Mustahil! Bisa saja adik sepupuku mengada-ada. Kau belum cukup bukti, Mahapatih!" elak Panglima Ganang Laksono.
"Jadi, kau ingin bukti lagi" Baik." Mahapatih Bagaspati lantas bertepuk beberapa kali. Plok! Plok! Plok! Di kejap kemudian, dari pintu keraton muncul seorang pemuda tampan. Pakaiannya rompi putih dari kulit binatang. Siapa lagi kalau bukan Satria.
Tapi bukan itu yang membuat Panglima Ganang Laksono tercekat, nyaris tak percaya. Justru mata melototnya melekat kuat pada seorang lelaki tua pendek yang terhalang langkah si pemuda.
"Bocah Tua Sakti...?" cekatnya.
Satria Gendeng dan Bocah Tua Sakti berhenti di samping Mahapatih Bagaspati. Tanpa kata, mereka menatap Panglima Ganang Laksono yang jadi salah tingkah.
Bagaimana Bocah Tua Sakti sampai ada di sini" Ketika Mahapatih Bagaspati hendak berangkat menuju Kadipaten Purworejo sebagaimana Satria, Bocah Tua Sakti datang ke Kerajaan Demak. Setelah kematian kakangnya, lelaki tua pendek itu merasa bersalah jika tak melaporkan pemberontakan yang hendak dilakukan murid kakangnya. Artinya, justru dia malah akan menambah dosa kakangnya. Dan lagi sebagai pendekar, dia juga tak sudi keangkaramurkaan menebar di mana-mana. Untuk itu, diputuskannya untuk pergi ke Kerajaan Demak setelah diusir oleh Nini Berek.
Di Kerajaan Demak, Bocah Tua Sakti disambut baik oleh Mahapatih Bagaspati. Lalu diajaklah orang tua pendek itu ke Kadipaten Purworejo, sekaligus untuk membuat mati kutu Panglima Ganang Laksono.
Sedangkan Satria Gendeng juga segera menuju Kadipaten Purworejo, setelah mengobati Arya Wadam alias Dewi Sekarputri dengan ramuan obat-obatan penawar racun. Tak percuma si pemuda perkasa menjadi murid Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Satria pergi menuju Kadipaten Purworejo, si gadis berangsur-angsur sembuh.
Lewat penjelasan Satria, Mahapatih Bagaspati yakin kalau Panglima Ganang Laksono akan menuju Kadipaten Purworejo.
Panglima Ganang Laksono makin mati kutu. Sungguh dia menyesal menceritakan rencananya pada lelaki tua pendek berjuluk Bocah Tua Sakti. Dikiranya, Bocah Tua Sakti segolongan dengan gurunya, Ki Ageng Wirakrama. Tak tahunya" Tapi kenapa waktu bertemu denganku Bocah Tua Sakti seolah-olah ingin merampok" Begitu pertanyaan yang timbul di benak Panglima Ganang Laksono.

* * *



"Maaf, Ganang Laksono. Aku tidak segolongan dengan kakangku. Kalaupun waktu itu aku hendak merampokmu, sebenarnya yang kubutuhkan hanya beberapa kepeng saja. Untuk ongkos pulang ke Swarnadwipa. Maklum, aku kehabisan ongkos. He he he.... Tapi, kan aku tak ja-di merampok" Aku minta maaf lagi, terpaksa aku harus melaporkan rencanamu pada pihak Kerajaan Demak. Aku ingin menebus dosa-dosa kakangku dengan perbuatan baik. Yah, mudahmudahan saja kakangku akan berterima kasih padaku di akhirat sana," kata Bocah Tua Sakti, seperti mengerti jalan pikiran Panglima Ganang Laksono. Panglima Ganang Laksono tak menyahut.
Hanya matanya kian menyorot tajam pada si tua pendek. Giginya bergemelutuk. Dadanya berdegup keras. Kemarahan benar-benar mengadukaduk dadanya. Tapi yang dihadapinya adalah Mahapatih Bagaspati. Panglima Ganang Laksono tahu, kedigdayaan Mahapatih Bagaspati nyaris tak ada tandingannya di Kerajaan Demak. Di sebelah Mahapatih Bagaspati ada Bocah Tua Sakti, tokoh tua yang pernah menjatuhkannya waktu pertama kali bertemu di mulut sebuah hutan.
Perhatian Panglima Ganang Laksono lantas beralih pada Satria Gendeng. Ya, aku ingat! Pemuda ini yang bernama Satria Gendeng, yang pernah dibawa ke keraton oleh si keparat Bagaspati. Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang"! Rutuknya, dalam hati. Keyakinan lelaki ini makin kuat setelah matanya tertumbuk pada sebatang tongkat kecil berujung kepala ular naga berwarna emas dan ujung satunya lagi berwarna sama di pinggang si pemuda.
Menurut Guru, itulah senjata Kail Naga Samudera. Bisik hati Panglima Ganang Laksono lagi. Edan! Kalau waktu itu saja dia bisa mengalahkan Dirgasura dan pasukannya, bagaimana dengan aku" Rutuknya lagi, terbalut kegentaran amat dalam. (Tentang Dirgasura, baca episode: "Tabib Sakti Pulau Dedemit" sampai "Kail Naga Samudera").
Maka makin lengkaplah kegentaran di hati panglima pengkhianat ini. Semangatnya yang berkobar pupus sudah. Melawan tak berani, menyerah gengsi. Lantas apa yang akan diperbuatnya"
"Kalian tak akan bisa menangkapku! Heaaah...!" Dikawal bentakan memangkas udara, Panglima Ganang Laksono mencabut pedangnya. Tiga orang di depannya cepat melompat mundur, membuat jarak. Langsung bersiaga, menjaga segala kemungkinan.
Tidak. Tidak ada serangan yang dibuat Panglima Ganang Laksono. Karena begitu senjata pedangnya dicabut, langsung diarahkan ke perutnya sendiri. Cepat. Teramat cepat untuk dicegah. Dan....
Crep! "Aaaahhhh...!" Kembali. Perbuatan pengecut kembali diperlihatkan manusia tengik macam Panglima Ganang Laksono. Jadi sangat beralasan kalau pihak Kerajaan Demak tak begitu memperhatikan ki-prahnya. Tak mempedulikan kenaikan pangkatnya. Kerajaan Demak sebenarnya tak butuh manusia gampang putus asa macam Panglima Ganang Laksono. Kalaupun pangkatnya sampai jenjang panglima, itu tak lain karena mendiang ayahnya pernah berjasa pada Kerajaan Demak.
Itu saja. Tubuh bersimbah darah Panglima Ganang Laksono luruh ke tanah. Erangan kesakitan menyertai keberangkatannya ke alam baka. Membawa cita-citanya yang tak sampai. Membawa kedengkian berujung dendam. Membawa kepengecutannya....

* * *



Haru dan bahagia.
Kedua perasaan itu yang mengaduk-aduk hati Gusti Prabu Sutawijaya, Permaisuri Prabaningrat, Dewi Sekardadu, dan Arya Wadam alias Dewi Sekarputri. Melihat ketiga wanita di hadapannya saling berangkulan disertai ledakan tangis, Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu lagi membendung luncuran air matanya. Setegartegarnya lelaki ini, sehebat-hebatnya cobaan yang menimpa kerajaannya, ternyata Gusti Prabu Sutawijaya tak mampu menahan keharuannya setelah bertemu putri sulungnya yang hilang selama belasan tahun. Meski belum sembuh benar setelah racun dalam tubuhnya telah dipunahkan Satria Gendeng, tapi Arya Wadam sudah mampu duduk di pembaringan. Semula dia merasa heran, karena orang-orang di sekelilingnya terasa asing. Bahkan ketika matanya merayapi sekeliling ruangan, dia merasa kalau sebelumnya bukan berada di ruangan ini.
Tentu saja, karena gadis ini sekarang telah berada di Kerajaan Demak.
Begitu mata si gadis bertumbukan dengan wajah Dewi Sekardadu, keheranannya makin menjadi-jadi. Betapa tidak" Arya Wadam bagaikan bercermin saja saat menatap wajah Dewi Sekardadu. Begitu mirip.
Perlahan namun jelas, akhirnya Gusti Prabu Sutawijaya menjelaskan apa yang terjadi.
Sampai akhirnya, di ruangan kamar bertata apik ini hanya dipenuhi suara tangis penuh keharuan.
"Akhirnya kita berkumpul lagi, Anakku...," desah Permaisuri Prabaningrat, terus saja menci-umi Arya Wadam.
"Sejak dulu aku yakin, kalau kau masih hidup, Kak.... Sebab kalau kau mati, pasti hatiku akan hampa. Kau adalah kakak kembarku, Kak. Jasad kita dua, tapi jiwa kita satu. Sakitmu adalah sakitku. Dukamu adalah dukaku. Selama kau hilang, ada-ada saja rasa sakit yang kuderita.
Dan bila kau merasa senang, hatiku pun ikut senang," tutur Dewi Sekardadu, sambil merangkul kakak kembarnya.
"Yang Maha Kuasa telah menunjukkan kekuasaannya. Dia telah menyatukan kita. Semoga tak ada lagi yang dapat memisahkan kita, kecuali kematian...," kata Gusti Prabu Sutawijaya, mena-tapi putri sulungnya penuh keharuan.
Arya Wadam tak sanggup berkata-kata.
Dan perasaannya memang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Hanya bibir ranumnya saja yang bergetar. Hilang sudah sifat kelaki-lakiannya selama ini. Yang ada kini hanya keinginan untuk mereguk kasih sayang dari kedua orangtuanya. Seperti yang didambakan selama ini.

* * *



Tapi, bagaimana dengan Nini Berek" Bisakah perempuan tua itu mewujudkan dendamnya" Bagaimana jadinya bila Dongdongka dituduh sebagai pembunuh Ki Ageng Wirakrama"

SELESAI

Segera menyusul:
SILUMAN BUKIT MENJANGAN


INDEX SATRIA GENDENG
Setan Madat --oo0oo Siluman Bukit Menjangan
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.