Life is journey not a destinantion ...

Setan Madat

INDEX SATRIA GENDENG
Tumbal Tujuh Dewa Kematian --oo0oo Badai Di Keraton Demak

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

PAGI masih muda. Tanda-tanda kehidupan mulai merangkak menggapai harapan yang belum pasti. Mayapada seperti tengah dilanda duka. Pagi yang mestinya penuh kecerahan dan keceriaan kali ini tak nampak di Sedayu. Sebuah desa yang tak jauh dari perbatasan Kerajaan Demak.
Mestinya pagi ini diisi oleh kegiatankegiatan kehidupan. Tapi kali ini terasa mati. Tak terlihat para petani yang berangkat menuju sawah ladangnya. Tak terlihat pula para pedagang yang biasa mangkal di pasar desa. Bocah-bocah kecil yang biasa berlari-larian di tiap-tiap jalan desa dengan canda rianya, kini tak terlihat lagi.
Semuanya terlihat sepi.
Mati. Pintu-pintu maupun jendela-jendela di tiap-tiap rumah tertutup rapat. Bahkan mungkin terkunci dari dalam. Tak ada suara yang terdengar dari rumah-rumah itu. Entah, apa yang terjadi di Desa Sedayu ini.
Dari mulut desa yang masih terkepung kabut, seorang pemuda berusia belasan berjalan tenang. Wajahnya tampan. Bergaris rahang jantan.
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan.
Pakaiannya rompi berwarna putih dari kulit binatang. Celananya pangsi sebatas lutut. Pada kain putih pengikat pinggangnya ter-selip semacam tongkat berkeping logam perak ekor naga.
"Aneh.... Sepi sekali desa ini. Seperti mati.
Apa semua penduduknya masih molor" Kebluk amat" Atau desa ini memang sudah tak berpenghuni?" desah si pemuda sambil terus melangkah menuju jantung desa.
Dialah Satria. Sesekali pemuda murid Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan murid Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit ini berpaling ke kiri dan kanan. Dan keningnya berkerut membentuk lipatan kain wiron saat melihat ke salah satu rumah yang terletak di sudut jalan.
"Heh"! Jendela rumah di pojokan sana tadi kulihat terbuka sedikit. Kenapa ketika aku memandang ke sana tiba-tiba tertutup kembali" Pasti ada yang sedang mengintip. Apa yang ditakutkannya" Jelas, desa ini ada penghuninya. Tapi mereka seperti ketakutan. Ada apa, ya" Apa takut padaku" Masa' pemuda tampan macam aku ditakuti" Kalau begitu, hebat amat aku ini, ya?" Satria berkata-kata sendiri dalam hati. Dan kecurigaan membuat hatinya penasaran.
"Ah, sebaiknya kuhampiri saja rumah di sudut jalan itu." Tenang, si pemuda melangkah. Wajah sumringahnya dipasang. Pandangannya yang setajam sembilu mengarah pada rumah yang dituju.
"Sampurasun...," ucap Satria ketika tiba dua tombak di depan pintu rumah yang diduga ada penghuninya.
Tak ada jawaban. Hanya saja si pemuda menangkap suara tarikan napas seseorang di dalam rumah itu yang semakin lama semakin memburu.
"Sampurasun...," ulang si pemuda tak patah semangat. Bukan Satria namanya kalau gampang patah semangat. Sementara otak cerdik Satria berputar, mencari cara agar penghuni rumah di depannya membukakan pintu.
"Walah! Sombong sekali penghuni rumah ini" Ya! Aku ada cara agar mereka keluar," letus Satria. Bibirnya tersenyum cerdik. Sejenak Satria celingukan ke kiri dan kanan. Ketika merasa yakin tak ada orang yang mengintip, kakinya melangkah mundur dua tindak.
"Kalau tak mau membuka pintu, ya sudah.
Jalan lagi, ahh....
" Di ujung kalimatnya, kaki Satria menghentak. Tubuhnya melompat tinggi ke udara, lalu hinggap di atas rumah yang didatanginya tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Sejenak si pemuda menunggu di atas atap sambil tersenyum-senyum.
Benar saja. Tak lama dari rumah yang dihinggapinya keluar seorang lelaki setengah baya bertelanjang dada, memamerkan tubuhnya yang kurus kering bak papan penggilesan clingukan, seperti mencari-cari.
Di saat pandangan si lelaki keropos tertuju ke depan, Satria melompat turun dengan gerakan ringan. Kembali tanpa suara sedikit pun kakinya mendarat di belakang lelaki yang tengah celingukan.
"Apa yang kau cari, Pak Tua?" tegur Satria polos sambil mencoel bahu lelaki itu......
"Warakadah...!" Lelaki bertelanjang dada itu terjingkat. Untung saja jantungnya menempel kuat dalam rongganya. Kalau tidak, dia bisa mati berdiri. Hanya saja tanpa terasa bagian selangkangannya telah basah karena terkencingkencing.
"Tenang, Pak Tua. Aku orang baik-baik.
Aku hanya kebetulan lewat di desa ini. Yah..., ba-rangkali saja kau sudi menawarkan aku secangkir kopi dan sepotong singkong rebus," Satria cengar-cengir bagai orang tak punya dosa. Padahal, dia hampir saja membuat lelaki di depannya mati berdiri.
"Be..., benar kau orang jauh dari tempat ini" Jangan-jangan kau orangnya Setan Madat?" gagap lelaki kurus kering ini. Saking kurusnya, tulang-tulang tuanya bertonjolan tertutup kulit keriput berwarna keling.
"Setan Madat" Siapa dia" Seram amat namanya?" Satria malah bertanya. Dari katakatanya jelas kalau si pemuda memang tak kenal dengan orang yang disebut si tua ini.
"Dia tokoh sesat yang sekarang menguasai desa ini. Tapi, tempat tinggalnya di tengah Hutan Sawangan. Kau sendiri siapa, Anak Muda?" susul lelaki itu.
"Aku" Seperti katamu tadi, aku orang jauh dari tempat ini. Namaku Satria," sahut si pendekar muda polos.
"Apa kau sendiri tak takut dengan Setan Madat?"
"Takut" Dengar namanya sih, memang menakutkan. Apa orangnya memang berwajah seperti dedemit sawah, Pak Tua" Kalau benar, boleh jadi aku takut. Hiiyy...!" oceh si pemuda. Kedua bahunya terangkat ke atas.
"O..., jadi kau memang belum tahu.... Kalau begitu, mari cepat masuk. Aku khawatir ada orang-orangnya Setan Madat yang mengetahui kehadiranmu. Sebab, lelaki telengas itu akan membunuh orang asing yang berani memasuki desa ini," ajak lelaki ini, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya. Satria mengikuti dari belakang.

* * *



"Sesungguhnya, apa yang tengah terjadi di desa ini, Ki Rembang" Kenapa penduduknya begitu ketakutan?" tanya Satria pada lelaki pemilik rumah yang disinggahinya.
Satria duduk berhadapan dengan lelaki yang mengaku bernama Ki Rembang. Di atas meja tersaji dua cangkir kopi dan sepiring singkong rebus. Tiga buah potongan singkong telah singgah di perut si pemuda. Sementara di tangan kanannya telah pula tergenggam potongan singkong yang telah digigitnya.
Ditanya begitu, Ki Rembang malah menundukkan kepala. Sepertinya ada beban berat dalam dadanya yang hendak dimuntahkan keluar. Matanya merembang.
Ah, cengeng sekali Pak Tua ini. Belumbelum sudah seperti gadis yang mau dikawin paksa, desah si pemuda dalam hati.
"Lho" Kok malah menangis, Ki Rembang.
Kau kan belum cerita apa-apa. Cerita dulu, baru kau boleh menangis," celetuk si pemuda seenak udelnya.
Terpaksa Ki Rembang membuat senyum lebar. Buru-buru punggung tangannya menghapus air mala yang siap meluncur ke pipi.
"Aku hanya teringat anak istriku, Satria. istriku tewas dibunuh anak buah Setan Madat ketika menghalangi anakku Ratih yang dibawa mereka," tutur Ki Rembang.
Satria baru sadar kalau keadaan rumah ini memang terlihat sepi. Tadi saja, Ki Rembang sendiri yang memasak singkong rebus dan menyeduh kopi.
"Sudah lima purnama Setan Madat menguasai desa ini. Dan sejak itu pula semua penduduk harus membayar upeti yang mencekik leher.
Belum lagi, kami juga harus menyerahkan anakanak gadis kami pada tiap purnama. Bagi penduduk yang menentang, nyawa taruhannya. Sementara, kami sendiri tak berani mengungsi. Karena, anak buah Setan Madat menyebar di mana-mana, memata-matai kegiatan kami. Pendeknya, mereka telah menebar petaka di desa ini," papar Ki Rembang, penuh kegalauan.
Satria belum berkata-kata. Benaknya masih membayangkan penderitaan penduduk desa ini. Naluri kependekarannya terbangkit. Gerahamnya bergemelutuk, menyiratkan kemarahan siap membuncah.
"Tenang, Pak Tua. Akan kuberi pelajaran orang-orang telengas itu. Kalau perlu, mereka harus mencium pantatmu dulu, baru kuberi ampun," desis Satria, asal keluar saja dari mulutnya.
"Kau mungkin belum tahu, bagaimana keadaan sebenarnya, sehingga bisa berkata begitu. Jangan dulu kau hadapi Setan Madat. Baru menghadapi anak buahnya mungkin kau sudah lari terbirit-birit. Belum lama saja, kudengar ada seorang tokoh persilatan golongan putih yang mencoba menolong desa ini dari penderitaan, harus merelakan nyawanya di tangan anak buah Setan Madat. Kalau tak salah dia bernama Ki Rumeksa yang dikenal sebagai Pendekar Kelana," tutur Ki Rembang, seperti meremehkan tekad mulia si pendekar muda.
Satria sama sekali tak tersinggung diremehkan begitu. Tapi bukan berarti tekadnya terjegal begitu saja. Apa pun alasannya, dia memang paling tak sudi harkat manusia diinjak-injak oleh ketidakadilan. Segendenggendengnya Satria Gendeng, lebih gendeng lagi kalau dia tak turun tangan.
"Ya, aku memang pernah mendengar nama Pendekar Kelana. Tapi apa benar dia mati di tangan Setan Madat" Bukankah kesaktiannya amat tinggi?" tanya Satria seperti untuk dirinya sendiri.
"Kabarnya memang belum pasti. Tapi aku yakin, buktinya Setan Madat masih bercokol dan makin merajalela. Sementara kabar Pendekar Kelana sudah tidak terdengar lagi. Malah kabar kematiannya yang katanya tercebur ke dalam jurang setelah mendapat pukulan maut dari Setan Madat sudah santer terdengar di mana-mana," tandas Ki Rembang, meyakinkan.
Satria terdiam. Wajah kekarnya menegang.
Suasana terkurung sepi.
Hening.
"Sekarang coba ceritakan, bagaimana saja sepak terjang Setan Madat itu, Pak Tua?" cetus si pemuda, membongkar keheningan.
"Dia bagaikan raja kecil di tengah Hutan Sawangan. Pemuda-pemuda desa ini dibawa untuk dijadikan prajuritnya. Gadis-gadis diboyong untuk pemuas nafsu. Sementara orang-orang tua dan anak-anak dijadikan pekerja paksa di perkebunan madat milik Setan Madat. Setiap purnama, para kaki tangan Setan Madat datang ke sini untuk memungut upeti, sekaligus membawa orangorang desa yang ditunjuk."
"Lalu, bagaimana kepala desanya" Apa tidak bertindak?"
"Ah, dia lagi. Semua penduduk sudah tahu kalau Ki Rengges justru merupakan kaki tangan Setan Madat pula." Giris hati Satria mendengar penuturan Ki Rembang. Menurut si pemuda, sebagai kepala desa mestinya harus melindungi rakyatnya. Apa gunanya dipilih oleh rakyat kalau akhirnya malah menindas rakyat" Bukankah pemilihan kepala desa berdasarkan kesepakatan rakyat" Artinya, rakyat menunjuk seseorang menjadi kepala desa dengan harapan si kepala desa bisa mengayomi kepentingan masyarakatnya. Tapi ini" Kini tak ada lagi yang bersuara. Suasana kembali terkurung sepi. Di luar sana, angin siang mendesis-desis, meratapi keadaan desa ini. Namun tiba-tiba, Satria mengangkat tangan kanannya.
"Ada beberapa orang di luar sana, Pak Tua.
Dan mereka kini berhenti di depan rumahmu," bisik Satria, memberi tahu.
Baru saja kata-kata Satria tuntas....
"Rembang! Keluar kau! Bawa tamu asingmu sekalian!" Sejenak Ki Rembang terpaku dengan mata melotot. Hatinya gusar bukan main, karena orang-orang di luar sana sepertinya telah tahu apa yang terjadi di rumahnya. Sikapnya jadi serba salah. Antara rasa takut dengan rasa menyesal telah berani menerima seorang makhluk kelaparan macam Satria.
"Siapakah orang-orang di luar sana?"

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

TEMUILAH mereka dulu, Pak Tua. Biar aku belakangan. Aku mau tahu dulu, apa mau mereka," kata Satria, tenang. Ki Rembang mengangguk setelah menguasai perasaannya.
Kakinya lantas bergerak menuju pintu rumahnya yang tertutup rapat dan di kunci dari dalam.
Satria Gendeng memang tak mau gegabah dalam bertindak. Siapa tahu, orang-orang di luar sana hanya ingin memastikan siapa yang datang.
Lagian, si pemuda berharap Ki Rembang bisa menyelesaikan masalah tanpa adu urat atau adu jotos. Pintu telah terbuka. Dari celah pintu yang terbuka pendekar muda ini sempat melihat beberapa orang berdiri di halaman rumah Ki Rembang. Dua orang berusia sebaya dengan Ki Rembang. Lima orang lainnya bertampang telengas.
Dua orang sudah uzur, sisanya masih mudamuda.
"O, Ki Rengges. Ada apa, Ki?" sapa Ki Rembang ramah, begitu tiba di halaman. Sementara hatinya bertanya-tanya heran, mengapa kepala desanya bisa tahu kalau rumahnya kedatangan tamu asing.
"Jangan berbasa-basi, Rembang! Kau tadi telah kedatangan tamu asing. Aku tahu, itu. Nah, cepat suruh keluar tamumu itu!" ujar Ki Rengges kasar. Bentakannya disertai, semprotan ludahnya. Maklum, dua giginya telah tanggal di bagian depan.
"Dia hanya mampir sebentar, Ki. Dia kelaparan dan butuh makan," Ki Rembang berusaha menjelaskan.
"Persetan dengan alasanmu. Kau telah melanggar aturan yang dibuat Setan Madat bahwa setiap orang yang datang ke desa ini harus lapor ke rumahku!" sembur Ki Rengges. Urat-urat lehernya mengembung saking ngototnya menyumpah serapah.
"Jangan mencari bahaya, Ki Rembang," timpal lelaki di sebelah Ki Rengges.
"Dia hanya seorang pemuda kelaparan, Ki Rawit. Tak berarti apa-apa," kilah Ki Rembang.
"Tak berarti apa-apa katamu" Rawit! Ceritakan, apa yang kau lihat tadi pagi!" terabas Ki Rengges.
"Tadi pagi aku melihat seorang pemuda melompat ke atas atap rumah Ki Rembang. Menilik gerakannya, dia pasti tokoh persilatan," jelas lelaki yang bernama Rawit.
Ki Rembang tak bisa berkelit lagi. Usahanya untuk menutupi kehadiran seorang pemuda kandas begitu saja. Dalam hati dia hanya bisa merutuki kepengecutan Ki Rengges, kepala desa ini. Hanya karena takut mampus, dia rela mengorbankan penduduknya demi kepentingan Setan Madat.
"Nah, Rembang. Adakah orang yang tak berarti apa-apa bisa melompat ke atas atap rumahmu. Apa namanya orang itu kalau ternyata memiliki kepandaian" Kau tak bisa mungkir lagi, Rembang. Ayo, mana pemuda asing itu"!" tekan Ki Rengges. Mata liarnya lantas melirik ke arah dua tokoh persilatan yang merupakan kaki tangankaki tangan Setan Madat. Lalu tatapannya beralih pada tiga orang yang menjadi keroconya Setan Madat. Mungkin dengan memandang begitu dia bermaksud minta dukungan.
Dan harapan lelaki berpakaian surjan itu terkabul.
"Jangan mencari penyakit, Rembang! Serahkan saja pemuda itu ke hadapan kami. Maka, nyawamu akan selamat," dukung lelaki berpakaian serba merah.
Dalam hati, Ki Rembang merutuk. Siapa yang cari penyakit" Penyakit panunya saja belum sempat diobati, masa' sekarang cari penyakit lagi"
"Cepat, Rembang! Panggil orang it...."
"Tak usah dipanggil aku datang sendiri, kok." Kata-kata Ki Rengges terpangkas oleh suara dari dalam rumah Ki Rembang.
Dari dalam pintu keluar seorang pemuda tampan. Garis rahangnya jantan dengan tatapan setajam sembilu. Satria namanya. Semua yang bercokol di tempat itu seperti tertenung oleh tatapan yang seperti mengandung perbawa kuat milik si pemuda. Kalau pemuda itu jahil, mungkin dengan bentakannya mereka langsung jatuh terduduk.
Satria sendiri sudah berdiri di sisi Ki Rembang. Sikapnya tetap tenang.
"Sebutkan siapa dirimu, Anak Muda"!" bentak Ki Rengges berusaha menunjukkan kewibawaannya di hadapan si pemuda. Tapi bagi Satria sikap lelaki itu tak lebih dari penjilat murahan saja.
"Aku hanya pemuda loyo yang tak berarti apa-apa. Namaku Satria. Lantas, kenapa aku dicurigai" Aku ke tempat ini hanya sekadar lewat.
Kebetulan perutku lapar, lalu sekadar minta sepotong singkong dan secangkir kopi. Apa itu salah?" cerocos si pemuda.
"Benar, Ki Rengges. Orang itulah yang tadi kulihat melompat ke atas atap rumah Ki Rembang. Tingkah lakunya patut dicurigai, Ki!" sambar Ki Rawit, berbisik.
Satria yang memiliki pendengaran tajam tak urung mendengar pula bisikan Ki Rawit barusan. Sungguh, di hati pendekar muda ini timbul rasa menyesal karena telah bertindak ceroboh di halaman rumah Ki Rembang. Buktinya, tindakan itu ternyata diintai oleh salah seorang penduduk desa ini yang menjadi anak buah Ki Rengges. Dan akibatnya, Ki Rembanglah yang ketiban pulung.
Apa bukan cilaka dua belas itu namanya?"
"Maaf, Pak Tua. Ki Rembang tidak salah.
Akulah yang memaksanya untuk masuk ke rumahnya. Habis, cacing-cacing dalam perutku nakal-nakal sih. Padahal, semalam sudah kuberi makan. Tapi tetap saja bandel," oceh si pemuda tak jelas juntrungannya.
"Kau tahu, Anak Muda. Desa ini tertutup bagi orang asing. Kalau ada orang yang masuk, harus lapor dulu kepadaku, kepala desa di sini," Ki Rengges menepuk dadanya sendiri. Terlalu keras, membuat dada ringkihnya nyaris jebol. Hampir dia terbatuk, untung cepat ditahannya. Malu dong kalau menepuk dadanya sendiri sampai terbatuk-batuk. Hanya saja mulutnya yang berbibir kendor cengar-cengir serba salah. Nyesal juga hatinya karena terlalu semangat menunjukkan kegalakannya.
"Dan kau telah melanggarnya, Anak Muda!" serobot Ki Rawit ikut-ikutan galak. Siapa tahu nanti Ki Rengges menaikkan gajinya.
Tak mau memperpanjang urusan, Satria mencoba mengalah.
"Baiklah, aku mengaku salah. Apa keinginan kalian sekarang" Aku pergi dari sini" Gampang. Kaki tinggal melangkah, apa susahnya?" Tenang, kaki si pemuda melangkah.
"Pak Tua Rembang, kuucapkan terima kasih atas sarapan dan keramahanmu," ucapnya sambil berlalu. Ki Rengges dan Ki Rawit bergeser memberi jalan pada Satria. Tapi, tidak bagi lima orang kaki tangan-kaki tangan Setan Madat. Dua orang yang berusia cukup uzur dengan pakaian hijau dan merah malah langsung memasang muka garang.
Yang berpakaian hijau kepalanya plontos pelit rambut. Matanya besar, nyaris keluar dari rongganya. Bibirnya yang keriput mirip gombal lecek melepas senyum meremehkan. Dia dikenal sebagai Laba-laba Hijau. Di tangannya melilit lipatan jaring seperti Jala.
Sementara yang berpakaian serba merah adalah lelaki uzur dengan rambut sebahu berwarna putih. Kepalanya diikat kain berwarna merah pula. Matanya memerah penuh nafsu membunuh. Dia dikenal sebagai Jalak Merah.
"Kau boleh pergi setelah jadi mayat, Bocah!" dengus Jalak Merah garang. Kata-katanya terdengar menggetarkan, hendak meruntuhkan nyali si pemuda.
Tapi bukan Satria namanya kalau digertak begitu saja sudah kendor semangatnya. Pendekar muda itu malah tertawa renyah, serenyah krupuk udang.
"Yang benar saja, Pak Tua. Kalau aku jadi mayat, mana bisa pergi dari sini" Memang aku mayat hidup" Kalau kau bisa jadi. Karena tanpa perlu jadi mayat, wajahmu sudah seperti mayat, sih," oceh Satria.
Memerahlah wajah Jalak Merah. Giginya langsung bergemelutuk. Pipinya mengembung dengan urat-urat leher bertonjolan. Kemarahannya siap terbongkar.
"Bocah tengik ini terlalu merendahkanmu, Jalak Merah. Cari mati rupanya pemuda cacingan ini!" Laba-laba Hijau mengompori.
"Kau benar, Laba-laba Hijau! Mari kita habisi dia!"
"Sabar, sabar, Pak Tua. Rasanya kita tak ada silang sengketa. Jadi, sudahilah persoalan ki-ta. Tak ada gunanya kita bertarung yang hanya memperebutkan pepesan kosong," cegah Satria.
"Apa katamu, Kunyuk Kecil"! Kau telah menghinaku, tahu"!" bentak Jalak Merah, gusar bukan main.
"Lho" Jadi kata-kataku tadi menghinamu.
tho" Waa, mana aku tahu" Nah, sekarang aku mau tanya, kau mayat apa bukan?" tukas Satria tenang.
"Bukan!"
"Ya, sudah. Kalau kau tak merasa jadi mayat, kenapa mesti marah?"
"Setan alas! Kau memang patut diberi pelajaran, Kunyuk Dekil!" Terjebak dengan kata-kata Satria, kemarahan Jalak Merah makin membuncah. Dengan kepalanya, dia memberi isyarat pada tiga lelaki yang semuanya berpakaian serba hitam untuk menyerang pemuda tengil itu.
Tiga orang langsung melompat dengan golok terhunus.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, heh"! Masih muda sudah banyak tingkah!" Meluncur serapah susulan salah satu orang berpakaian serba hitam. Dilanjutkan dengan sambaran golok keras sekaligus deras ke batang leher lawan bau kencurnya.
Wukh! Mata golok besar itu tinggal berjarak satu jari lagi di sisi Leher Satria. Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit pemuda tengil ini merun-dukkan badan. Lalu sambil melempar tubuh ke samping, tangan kanannya terjulur lurus ke perut lawan. Begh! "Ngekh!" Mata penyerangnya mendelik. Masih di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan badan setengah membungkuk. Tangannya menekap perut yang terasa diaduk-aduk. Raut wajahnya" Busyet! Menyeramkan sekali untuk dikatakan sebagai wajah manusia. Mulutnya meringis begitu hebat. Monyet beranak pun kalah hebat dengan ringisannya. Pasti dia merasakan penderitaan lahir dan batin Satria Gendeng sudah berdiri kembali. Terlihat senyum nakalnya tersembul samar Melihat salah seorang kawan mereka dibegitukan dengan mudah oleh pemuda kemarin sore, dua lelaki lain makin meringis. Dikira, kawan mereka terlalu bertindak ceroboh, sehingga dengan mudah lawan bau kencur mereka bisa memperdayai. Dan mereka menganggap, serangan Satria tadi hanya kebetulan saja bisa mendarat telak di perut kawan mereka.
Dasar manusia besar kepala, mereka benar-benar tak melihat bagaimana Satria menyerang tadi. Dengan kecepatan mengagumkan, si pemuda mampu berkelit sekaligus mendaratkan kepalan tangannya. Kecepatan tak terukur si pemuda benar-benar tak dianggap oleh orang-orang itu. Dan mereka menganggapnya hanya sebuah kebetulan"
"Tak kusangka, rupanya kau punya sedikit kepandaian juga, Bocah Bau Kencur! Sekarang, jaga seranganku! Heaaa...!" Dikawal bentakan garang, si lelaki berpakaian serba hitam menyerang. Ayunan goloknya membabat dari atas ke bawah secara menyamping. Dengan begitu dia bermaksud membelah tubuh si pemuda. Sungguh suatu serangan keji.
Dua atau tiga jari lagi mata golok membabat, Satria menyambutnya dengan satu sampokan kaki yang terangkat sampai menyentuh hidungnya. Wukh! Kraakk! Ketajaman mata si pemuda mendukung papakannya tadi tepat mendarat pada pergelangan tangan lawan. Golok itu kontan terpental amat jauh, lantas nyangsang di atap rumah Ki Rembang. Si penyerang sendiri berteriak luar biasa. Tak disangkal lagi, sampokan kaki Satria menyebabkan pergelangan tangannya remuk seketika Sebelum si lelaki serba hitam menikmati rasa sakitnya, dengan jurus 'Patukan Bunga Karang', jari-jari Satria telanjur menyodok ke depan.
Buk! "Aaakh...!" Tangan kokoh si pemuda yang membentuk patukan elang laut, mendarat telak di ulu hati lawan. Seketika terdengar suara berdebam menggiriskan hati. Tubuh lelaki itu roboh tanpa dapat bergerak lagi. Mungkin semaput, tak kuat menahan rasa nyeri yang melanda ulu hati.
Lawan berpakaian serba hitam yang masih tersisa tak kunjung menyerang. Entah dibekam rasa takut luar biasa melihat kehebatan lawan mudanya, entah kakinya terlalu berat untuk diajak melangkah. Yang jelas, nyalinya memang telah kabur entah ke mana. Wajah pucatnya pun disimbahi keringat dingin.
Dan Sekali Satria membentak...
"Hiaaa...!" Lelaki itu kontan ambruk tak sadarkan diri. Padahal, Satria cuma membentak. Sedikit pun pk menggerakkan tangannya.
Jalak Merah dan Laba-laba hijau tak urung jadi terpana. Hanya satu dua gebrakan, ternyata pemuda bau kencur itu bisa menjatuhkan lawan dengan mudahnya. Sementara, Ki Rengges dan Ki Rawit sudah sejak tadi bersembunyi di balik semak. Kegalakan mereka tadi pun terusir melihat kehebatan pemuda yang menjadi tamu asing di desa ini.
"Kau hanya mendapat lawan tikus-tikus cecurut, Bocah Tengil!" desis Jalak Merah.
"O, jadi yang kuhadapi sekarang ini kucing-kucing buduk?" sahut Satria seenaknya.
"Bangsat! Kau sudah keterlaluan, Bocah! Terima seranganku! Heaaa...!" Jalak Merah menerjang ganas, diikuti Laba-laba Hijau. Pertarungan pun tak terelakkan lagi. Ki Rembang sendiri sudah beringsut mundur, memasuki rumahnya. Dia merasa, lebih baik menonton pertarungan dari celah-celah dinding bilik rumahnya saja. Demikian pula beberapa penduduk yang mendengar suara ribut-ribut itu. Walau tetap di dalam rumah, mereka berusaha mencari tahu, apa yang terjadi.

* * *



Siang terik di Tanjung Karangbolong. Ki Kusumo khusuk dengan semadinya. Sedang Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah khusuk dengan tidurnya. Di sebuah tiang, lelaki uzur panjang umur itu menempelkan begitu saja tubuhnya mirip cicak menempel di dinding. Memang banyak tingkah aneh para sesepuh dunia persilatan. Tapi rasanya tak ada yang sanggup mengalahkan keanehan Dongdongka.
"Sudah lama kita tak bertemu murid kita, Kusumo," entah sedang mengigau atau sudah terbangun, kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir lecek Dongdongka.
Semadi Ki Kusumo terampas. Matanya kontan membuka. Di atas dipan, dia beringsut sedikit ke bibir dipan. Kakinya yang buntung sebatas lutut dan disambung dengan logam runcing diselonjorkan.
"Kau benar, Panembahan. Tapi dari kabar yang kudengar, dia mendapat tugas dari Adipati Lumajang untuk mengantarkan surat pada Tiga Pendekar Aneh. Kabarnya, Kadipaten Lumajang mendapat ancaman dari Tujuh Dewa Kematian.
Itu sebabnya, sang Adipati minta bantuan Dewa Gila, Pengemis Tuak, dan Arya Wadam. Entah, apakah urusan itu sudah selesai atau belum.
Mudah-mudahan murid kita berhasil menyampaikan amanat sang Adipati pada ketiga pendekar aneh itu," tutur Ki Kusumo. (Untuk mengetahui tentang kerusuhan di Kadipaten Lumajang, baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Kau tak percaya dengan kemampuan murid kita, Kusumo?" celetuk Dongdongka.
"Bukan begitu, Panembahan. Aku hanya khawatir. Karena kudengar Tujuh Dewa Kematian memiliki ilmu sesat yang susah dicari tandingannya. Kau tahu, Panembahan. Murid kita tak bisa tinggal diam melihat keangkaramurkaan. Dan kurasa, dia belum sanggup menghadapi Tujuh Desa Kematian," keluh Ki Kusumo.
"Anak tengik itu jangan terlalu dikhawatirkan, Kusumo!" cibir Dongdongka. Jelek sekali wajahnya kalau sedang begini.
"Dia jangan terlalu banyak disuapi. Biar pengalaman yang menem-panya. Kau tahu maksudku" Pengalaman adalah guru yang terbaik buat bocah itu. Kita sebagai gurunya hanya memberi sesuatu yang belum dimilikinya, tahu"!" Ki Kusumo mengiyakan. Tapi dalam hatinya jadi tertawa sendiri. Betapa tidak" Bukankah Dongdongka sendiri yang mengusik semadinya dengan keluh kesah terhadap Satria" Bukankah itu juga menyiratkan kekhawatirannya"
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada Bocah Gendeng kita itu. Iya, kan" Tapi kuingatkan, jangan terlalu berlebihan, nanti malah membuatnya manja. Mengerti maksudku, Kusumo?" Ki Kusumo mengangguk.
Tumben sekali si tua bertabiat sinting ini bisa berbicara agak waras. Padahal, biasanya kata-katanya bisa lebih tak jelas juntrungannya ketimbang monyet mabuk.
"Benar, Panembahan. Tapi bukankah Panembahan sendiri yang membuka pembicaraan tentang Satria" Bukankah itu juga mewakili kekhawatiran Panembahan sendiri?" Di ujung kata-kata Ki Kusumo, Dongdongka malah kembali memejamkan matanya. Di tiang itu, Dongdongka seperti tertidur.
"Jadi apa salahnya kalau Panembahan mencari tahu keadaan bocah kita itu?" Kata-kata Ki Kusumo tak ditanggapi lebih lanjut oleh Dongdongka. Ki Kusumo segera pamit keluar gubuk yang ditinggali mereka.
Sepeninggal Ki Kusumo, Dongdongka memicingkan mata hati-hati. Sebelah bola matanya melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki Kusumo benar-benar telah keluar gubuk.
"Slompret! Dia menyudutkanku!" Bisa jadi Dongdongka pura-pura tertidur.
Maklum, dia malu disudutkan Ki Kusumo tadi.
Cuma karena gengsi, maaf saja kalau kata-kata Ki Kusumo tak ingin didengarnya.
Kini si tua bangka bertabiat sinting ini kembali memejamkan matanya. Aneh sekali cara lelaki bangkotan ini bersemadi. Dengan menempel pada tiang tanpa menyentuh tanah sedikit pun, kedua tangannya bersidakap. Matanya kembali terpejam. Jika dia sekarang terlihat semadi, bisa jadi dia tengah mengawasi muridnya dari jarak jauh.
Maka ajian 'Melepas Sukma' yang dimilikinya pun dikerahkan. Sebuah ajian yang hanya diturunkan pada dirinya oleh Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Memang, jarang tokoh persilatan yang mampu memiliki ajian 'Melepas Sukma'. Kalaupun ada, pasti bisa dihitung dengan jari. Salah satunya adalah Satria Gendeng, yang diturunkan oleh Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sebenarnya, penurunan ajian 'Melepas Sukma' pada seorang anak muda bisa dianggap kejadian luar biasa. Sebab, biasanya hanya tokoh yang mempunyai kewaskitaan tinggi saja yang mampu mempelajarinya. Tapi nyatanya, ajian itu berhasil diturunkan pada Satria Gendeng.
Makin khusuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul bersemadi, maka dari kepalanya mengepul asap tipis membentuk bayangan mirip Dongdongka. Lambat laun, bayangan itu utuh lalu keluar dari jasad asli si tua bangka ini. Sejenak bayangan itu menatap jasad Dongdongka, lalu melayang keluar gubuk.

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

SABETAN golok besar Jalak Merah memangkas udara. Namun si pemuda tengik seperti tak ingin bergemik. Seolah dia suka rela menyediakan tubuhnya untuk dirancah. Hanya saja di balik diamnya justru dia tengah mengukur, sampai di mana kekuatan lawan.
Dua jari lagi golok lawan menebas lehernya, tangan si pemuda bergerak cepat. Dipapaknya gerakan golok lawan. Sebuah cara bertahan yang mengandung bahaya besar.
Pak! Serangan pertama luput.
Jalak Merah makin geram. Serangannya dilanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut. Penuh tenaga dan terbalut kebengisan. Tapi sayang, lawan calon korban dengkulnya telah mengenyahkan tubuhnya ke kanan. Malah bersamaan dengan itu, tangan kanannya yang membentuk kepala ular menemui sasaran di tubuh Jalak Merah. Begh! Jalak Merah terjajar. Perutnya yang jadi sasaran seperti teraduk-aduk. Mulutnya meringis-ringis jelek. Kasihan sekali dia. Saking kerasnya sodokan tangan lawan ke perut, tanpa dapat ditahan angin sialan berhawa busuk tanpa permisi meluncur dari pantatnya.
"Sialan kau, Pak Tua Jelek! Mulas, sih mulas. Tapi jangan kentut sembarangan dong!" ejek Satria. Telingannya yang tajam sempat juga mendengar bunyi sialan tadi.
"Jahanam! Kurancah tubuhmu, Bocah!" Wukh! Kembali ayunan golok lawan mengincar dada Satria. Hendak membelah dada bidang si pemuda dari samping. Satria mengembangkan jurusnya menjadi Jurus 'Mencuri Bunga Karang'.
Lentur, si pemuda membuang tubuhnya ke belakang, sehingga punggungnya sejajar tanah. Lalu dengan sentakan perutnya, tubuhnya diputar.
Gerakannya mirip lumba-lumba bergulingan di tengah samudera. Dan pada saat itu pula kaki kanannya menyampok saat tebasan golok lawan lewat. Buk! "Heekhh!" Lagi-lagi kaki kanan Satria mampir di perut lawan yang sudah telanjur maju dua tindak. Lagilagi, mulut si tua bangka itu meringis-ringis seperti orang hendak buang hajat. Lagi-lagi pula angin sialan kembali meluncur dari perutnya.
Bahkan kali ini dengan sedikit ampasnya.
"Wah, kau pasti cepirit, Pak Tua!" tebak Satria, yakin.
Makin merah wajah Jalak Merah. Sebentuk kemarahan sebenarnya siap dilampiaskan. Tapi apa daya, perutnya makin tak terkendali. Tubuhnya pun masih menekuk seperti udang. Kedua tangannya terus memegangi perut.
"Kunyuk keparat! Hadapi aku, Bocah sialan!" Sederet sumpah serapah mengalir deras dari mulut kendor Laba-laba Hijau.
Bahkan pula diiringi tebaran deras jaring yang membelit tangannya. Werrrtt! Jaring mengembang, menyergap si pemuda. Tebarannya disertai angin menderu. Tajam, memangkas udara.
"Hei, hei! Kau kira aku ikan sepat, Pak Nelayan! Kau salah alamat kalau menjaring ikan di sini!" cerocos si bocah tengik berhati baja begitu bangkit berdiri.
Di ujung kalimatnya, justru si pemuda membuat gerakan luar biasa. Entah kapan menyentak kakinya, tahu-tahu membuat salto beberapa kali ke samping. Cepat luar biasa. Gerakan ini sering dibuatnya ketika si pemuda harus berenang dari Tanjung Karangbolong ke Pulau Dedemit di Lautan Hindia. Biasanya ketika hampir mencapai bibir pantai, dia sering berpapasan dengan nelayan yang tengah menebar jalanya.
Untuk menghindarinya, terpaksa Satria harus berkelit. (Untuk apa yang dilakukan Satria di Pulau Dedemit, baca episode : Tabib Sakti Pulau Dedemit").
Jaring Laba-laba Hijau hanya menangkap angin. Sasarannya sendiri tahu-tahu malah sudah meluncur deras. Sepertinya Satria tak ingin berlama-lama. Kedua tangannya yang membentuk kepala ular mengebut bertubi-tubi.
Bed! Bed! Laba-laba Hijau tersentak. Terhenyak, nyaris tak mampu berbuat apa-apa. Tapi kesadarannya segera bangkit. Kalau tidak begitu, sudah pasti kebutan tangan lawan akan membuat giginya rontok. Cepat tubuhnya dibuang ke samping. Tapi, justru itu yang ditunggu Satria. Cepat sekali pergerakan si bocah bertabiat sinting ini.
Ketika lawan terlihat membuang tubuh ke samping, tiba-tiba tubuhnya berputar seraya melepas tendangan setengah lingkaran.
Dess! Tendangan Satria tepat menghadang laju tubuh Laba-laba Hijau. Si tua bangka itu kontan terlempar, dan jatuh mencium tanah. Wajah meringisnya malah lebih mengerikan lagi. Karena bibir kendornya telah bercampur darah. Agaknya, tendangan Satria yang sedikit disertai tenaga dalam itu cukup kuat menggedor dada kerempengnya. Di tengah penderitaannya, Jalak Merah terperangah melihat kawannya ambruk dalam sekali gebrakan di tangan lawan muda bau kencurnya. Dia sebenarnya ingin melawan lagi. Tapi, itu lho. Mulas di perutnya tak kunjung reda. Apalagi, ada sedikit ampas di pantatnya, sehingga membuatnya terganggu. Malu juga dia kalau baunya sampai tercium lawan mudanya. Bisa matang wajahnya kalau diejek terus menerus. Mungkin karena angin saat ini bertiup cukup keras, membuat baunya tak tercium.
Sok gagah, Jalak Merah menegakkan tubuhnya. Seolah, tak terjadi apa-apa terhadap dirinya.
"Siapa kau sesungguhnya, Pemuda Tengik"! Lama-lama kuperhatikan, jurus-jurusmu seperti milik Ki Kusumo. Hmm, apa hubunganmu dengan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" tanya Jalak Merah lantang ketika matanya menerjang lurus ke pinggang si pemuda yang sudah berhadapan dengannya.
"Tadi sudah kukatakan, namaku Satria.
Apa kurang jelas?" sahut Satria.
"Maksudku julukanmu, Setan!" bentak Jalak Merah. Ini yang paling sulit. Satria paling kesal kalau jati dirinya diutak-atik.
"Satria, ya Satria. Ti-tik!" jawabnya, mangkel.
"Bocah kunyuk! Kau tidak tahu, siapa kami"!" gertak Jalak Merah. Matanya kian mendelik.
"Tidak," sahut Satria enteng.
"Kami kaki tangan-kaki tangan Setan Madat, tahu"!"
"Tidak."
"Kalau kau belum tahu, akan kuberi tahu.
Setan Madat adalah salah satu biangnya tokoh sesat yang bersarang di Hutan Sawangan, tahu"!"
"Tidak."
"Bangsat! Jadi kau tidak takut pada kami, Kunyuk Tengik"!"
"Tidak." Mestinya, kemarahan Jalak Merah sudah terbongkar. Tapi dia berusaha menahannya sekuat mungkin. Entah kenapa, ketika melihat tongkat pendek yang terselip di kain ikat pinggang lawan mudanya, nyalinya seperti terdepak entah ke mana. Kail Naga Samudera" Sebut tua bangka ini.
Sebagai tokoh tua, tak heran kalau Jalak Merah pernah mendengar adanya sebuah senjata pusaka yang memiliki perbawa luar biasa. Setahunya, senjata itu dimiliki oleh tokoh putih berkepandaian tinggi yang berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tapi, kenapa senjata itu ada di tangan pemuda ini" Apakah dia murid Ki Kusumo" Sehimpun pertanyaan memenuhi benak Jalak Merah.
Si pemuda belum mengeluarkan senjata andalannya. Bagaimana kalau Kail Naga Samudera dikeluarkan" Nyali Jalak Merah kian menguap ketika menyadari hal itu. Jelas, pemuda ini tidak bisa dianggap main-main.
Masih berusaha menyembunyikan kegentarannya, Jalak Merah membantu Laba-laba Hijau bangkit berdiri. Ada sejuta dendam membara di relung hati mereka. Tapi bukan untuk dilampiaskan sekarang. Nanti. Terutama bila Setan Madat ikut turun tangan. Untuk itu mereka merasa harus segera melaporkan hal ini pada Setan Madat. Rasanya, memang hanya Setan Madat yang mampu menghadapi pemuda bau kencur itu.
"Kami belum kalah, Bocah Edan! Tunggulah pembalasan kami nanti!" desis Jalak Merah.
"Saatnya nanti kau akan meratap-ratap minta ampun pada kami, Bocah! Tunggu saja!" timpal Laba-laba Hijau.
Seperti mendapat kata sepakat mereka segera beranjak dari tempat ini. Tiga orang berbaju hitam yang salah seorang sudah siuman segera mengikuti. Satria memandang kepergian mereka dengan mata tajamnya. Kepalanya menggeleng-geleng melihat kepengecutan mereka.
Sementara itu, Ki Rengges dan Ki Rawit diam-diam juga pergi dari tempat persembunyiannya. Melihat kesaktian si pemuda, rasanya mereka tak ingin cari persoalan. Buktinya, Jalak Merah dan Laba-laba Hijau saja sudah pontangpanting begitu. Apalagi mereka yang baru punya ilmu olah kanuragan dua-tiga jurus" Baru saja Satria berbalik hendak melangkah menuju rumah Ki Rembang, tiba-tiba....
"Hantu...!" Ki Rembang pontang-panting keluar dari rumahnya. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetar dengan gigi bergemelutuk.
"Tenang, Pak Tua. Tenang. Masa' siangsiang begini ada hantu" Di mana hantunya?" Satria berusaha menenangkan lelaki tua kurus kering itu.
"Cobalah kau masuk ke dalam rumahku.
Ada kakek-kakek tahu-tahu muncul di belakangku. Wajahnya menyeramkan!" lapor Ki Rembang setelah berusaha menenangkan hatinya.
Satria cepat melangkah menuju rumah Ki Rembang. Tak urung hati si pemuda jadi tegang ketika dua tombak sebelum tiba di rumah itu, pintu telah terbuka dengan sendirinya. Hanya saja hati Satria tak mudah digertak begitu saja. Segera dimasukinya rumah itu.
"Kakek Dongdongka?" sebut Satria begitu tiba di ambang pintu.
"Slompret! Kutanya baik-baik orang itu malah aku dikira hantu!" omel seorang lelaki tua bangka berkepala gundul. Tubuhnya hanya ditu-tupi kulit ular sanca pada bagian terlarangnya.
Dialah lelaki bertabiat sinting. Dongdongka namanya.

* * *



"Kau keterlaluan, Cah! Sudah berapa purnama kau tak pulang ke Tanjung Karangbolong"!" omel Dongdongka.
"Maaf, Kek. Aku masih ada urusan penting," sahut Satria tenang.
"Soal perempuan?"
"Begitulah."
"Sudah kau apakan perempuan itu?"
"Jangan ngawur, Kek. Sebetulnya, aku masih mencari seorang pendekar bertabiat aneh. Dia seorang perempuan, tapi berpenampilan seperti lelaki. Namanya Arya Wadam. Di tengah pencarianku, aku tiba di desa ini. Dan ternyata, desa ini sedang tertimpa petaka. Ada seorang tokoh sesat yang berjuluk Setan Madat. Dia telah menguasai desa ini dan memaksa rakyat untuk membayar upeti yang mencekik Leher. Bahkan gadisgadis desa ini juga diangkut ke markasnya di Hutan Sawangan. Para pemudanya dijadikan prajurit. Sedangkan anak-anak dan orang tua dijadikan pekerja paksa di perkebunan madat milik Setan Madat. Juga, dia te...."
"Sudah, sudah! Puyeng aku mendengar ceritamu! Aku ke sini bukan mau dengar ceritamu, tahu" Aku cuma mau melihat keadaanmu. Ginigini, aku juga mengkhawatirkan keadaanmu, tahu"!" penggal si tua bangka bertabiat aneh itu.
Satria Gendeng terdiam. Bibirnya cemberut kecewa.
"Pokoknya setelah tugasmu selesai, kau harus pulang ke Tanjung Karangbolong!" susul Dongdongka.
"Kalau aku tak mau?" ledek Satria.
"Harus mau!"
"Kalau tetap tak mau?"
"Slompret! Kau akan kupaksa tahu"!" Satria tertawa ringan.
"Malah tertawa!" bentak Dongdongka.
"Sejak kapan Kakek jadi pikun?" tukas Satria.
"Pikun bagaimana"!"
"Mana bisa Kakek memaksaku, sedangkan Kakek sedang mengerahkan ajian 'Melepas Sukma'" Kalau begitu, aku sama saja dipaksa sama lelembut, dong?" sambar Satria.
Alamak! Dongdongka merutuki kebodohannya sendiri. Tentu saja dengan tubuh yang berupa bayangan dia tak bakal mungkin memaksa Satria untuk pulang ke Tanjung Karangbolong.
Habis, bagaimana mungkin sebentuk roh bisa menjewer telinga pemuda tengik macam Satria"
"Begini saja, Kek," buka Satria lagi.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka, sewot.
"Selesai aku menumpas Setan Madat dan keroco-keroconya, aku mau mencari Arya Wadam dulu," jelas Satria, tak peduli kemarahan si kakek.
"Soal perempuan lagi! Tapi cantik apa tidak?" Yang begini, ini. Sudah tua bangka bau tanah, pura-pura marah mendengar muridnya akan berurusan dengan perempuan, lalu tiba-tiba tanya cantik apa tidak. Malah wajah marahnya mendadak sirna, berganti tatapan berbinar-binar.
"Ingat, Kek. Dengkul Kakek sudah keropos.
Lagian, jatah anak muda masih mau disambar saja!" cibir Satria.
"Bagaimana ciri-cirinya" Biar kucari dia!" sambar si tua bangka makin berbinar-binar.
"Lho" Lho" Tak kusangka kalau Kakek masih punya semangat tinggi kalau soal perempuan.
Baru aku ingat sekarang. Ada pepatah bilang, tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi. Ibarat kelapa, makin tua makin banyak santennya. He he...."
"Dasar bocah gendeng! Aku justru ingin membantumu, Tolol!" sentak Dongdongka.
"Bantu bagaimana, Kek?" tanya Satria, penasaran.
Dongdongka tak menyahut. Bibirnya tersenyum-senyum meledek, membuat si pemuda tengil ini makin penasaran. Sekarang baru tahu rasa kau, Cah Gendeng! Maki si kakek. Kubuat kau makin penasaran.
"Ayo dong, Kek," desak si pemuda.
Makin hebat saja cengiran si kakek.
Satria makin penasaran. Sementara bayangan Arya Wadam makin menggila dalam benaknya. Waktu itu, dia benar-benar penasaran dengan sikap Arya Wadam. Setelah menumpas Tujuh Dewa Kematian, gadis itu pergi begitu saja.
Dan ketika Satria mampir di kedai tempat pertemuan mereka pertama dulu, si bocah pelayan memberinya surat yang ternyata dari Arya Wadam. Dalam surat itu, Arya Wadam mengungkapkan segala isi hatinya. Dan Satria menangkap isyarat bahwa Arya Wadam menyukainya. Tapi waktu itu, Satria belum yakin dengan kata hatinya. Siapa tahu itu hanya permainan perasaannya saja. Tapi ketika sekian lama tak bertemu gadis itu, si pemuda merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Itu sebabnya, dia memutuskan untuk mencari Arya Wadam. (Untuk mengetahui tentang Arya Wadam, baca episode: "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Ayo dong, Kek. Bagaimana caranya kau membantuku?" desak Satria lagi.
"He he he.... Penasaran juga kau rupanya, Bocah Kunyuk! Pokoknya, begini saja," kata si kakek.
"Tidak, begitu saja!" potong Satria.
"Setan kau! Begini! Suatu saat nanti, kau pasti akan ketemu Arya Wadam. Nah, makanya coba ceritakan bagaimana ciri-cirinya!" Satria tercenung. Dikumpulkannya ingatan tentang bagaimana wajah Arya Wadam.
"Wajah cantik, Kek," buka Satria, yakin.
"Mana ada seorang gadis berwajah ganteng.
Di mana-mana namanya gadis ya cantik!" potong Dongdongka.
Satria menelan kekecewaan. Dongkolnya bukan main. Bahkan melebihi kepalan seorang centeng.
"Maksudku, wajahnya begini!" Satria memberi jempol tangannya.
"Lantas?" "Dia selalu memakai tudung seperti bakul nasi. Bila tudungnya dibuka, matanya begitu memikat. Alis matanya menukik. Tatapan matanya tajam. Hidungnya mancung dengan bibir merah merekah. Kebiasaannya selalu makan nasi dicampur arak. Pakaiannya serba putih. Kau bisa menemuinya di kedai-kedai, Kek!" papar Satria semangat.
Saking semangatnya, dia tak sadar kalau gurunya telah menghilang dari tempat ini.
"Sial! Mulutku sampai berbusa, dia tegateganya meninggalkan aku sendiri!" rutuk Satria.
Si pemuda tiba-tiba teringat pada Ki Rembang. Cepat dia melangkah keluar rumah gubuk itu. Dilihatnya lelaki kurus pemilik rumah ini masih berdiri gelisah menunggu.
"Bagaimana, Satria. Benar kan di rumahku ada hantunya"!" terabas Ki Rembang langsung.
Dia berharap Satria mendukung kata-katanya.
Harapannya terkabul. Kepala Satria terlihat mengangguk.
"Tapi hantu doyan nasi, Pak Tua. Aku malah sempat berbincang-bincang dengannya," kata Satria seenaknya.
"Kau yang benar, Satria! Mana ada hantu doyan nasi! Yang ada hantu doyan kembang dan kemenyan!" sanggah si tua kurus ini.
"Sudahlah, Pak Tua. Tak perlu mempersoalkan hantu itu lagi. Dia sudah kuusir secara baik-baik. Dia berjanji tak akan mengganggumu lagi," bual si pemuda. Dalam hatinya dia tertawa tergelak-gelak. Betapa tidak.
Wajah Dongdongka bisa jadi memang pantas untuk menakut-nakuti anak kecil dan lelaki tua macam Ki Rembang.
Karena kata-kata si pemuda terdengar meyakinkan, maka makin lengkap saja kekaguman Ki Rembang terhadap Satria. Bayangkan saja. Selain bisa mengusir tokoh-tokoh silat berwatak telengas, pemuda itu ternyata juga bisa mengusir dedemit! Apa bukan hebat namanya"
"Benar hantu itu bilang begitu, Satria?" Ki Rembang penasaran.
"Benar! Tapi dia akan datang lagi kalau penduduk di sini masih berjiwa pengecut. Maksudku, takut terhadap keadaan yang terjadi di desa ini," oceh Satria sok tua.
"Aku tak mengerti?"
"Begini, Pak Tua. Kau bilang, sudah lima purnama desa ini dikuasai Setan Madat. Tapi karena kalian terlalu dipengaruhi bayang-bayang ketakutan, terutama dalam menghadapi para anak buah Setan Madat, penduduk desa ini jadi seperti kalah sebelum berperang. Padahal kalau mau bersatu, aku yakin para anak buah Setan Madat bisa dicegah. Nah sekarang aku mau tanya, apa yang menyebabkan penduduk desa ini begitu gampang dikuasai oleh Setan Madat?"
"Ceritanya panjang, Satria," desah Ki Rembang.
"Aku bersedia mendengarkan."
"Baiklah...."

* * *



Sebelum Desa Sedayu dikuasai Setan Madat, desa ini tergolong makmur, aman, tenteram, gemah ripah loh jinawi. Sebagian besar rakyatnya hidup berkecukupan. Baik dari hasil sawah ladang, peternakan, maupun perdagangan.
Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang terusir dari desa itu karena kepergok berzina dengan istri kepala desa. Si pemuda pergi entah ke mana. Tapi dua puluh sembilan tahun kemudian, pemuda yang bernama Warengkeh itu datang kembali secara diam-diam. Secara diam-diam pula, dia menyebar madat dengan menyamar sebagai penjual rokok. Setiap rokok yang dijualnya telah dicampur madat. Dan bagi si pembeli, akan ditambah dua batang rokok bila membeli satu batang.
Karena menganggap rokok milik Warengkeh begitu nikmat, bahkan sampai melambungkan perasaan ke surga, pelanggan di desa ini makin melimpah. Akibatnya, hampir semua lelaki di desa ini berlomba-lomba membeli rokok racikan Warengkeh. Melihat keadaan penduduk mulai dimabuk kenikmatan, Warengkeh mulai melancarkan balas dendamnya yang dipendam selama dua puluh sembilan tahun. Saat itu pula dia beserta anak buahnya menyerbu Desa Sedayu.
Tentu saja, tak ada perlawanan berarti dari penduduk yang telah mabuk madat. Apalagi, kepala desanya juga paling doyan madat. Maka sejak itulah Desa Sedayu jatuh ke tangan Warengkeh. Usut punya usut, ternyata Warengkeh telah berguru dengan tokoh sesat di Negeri Gajah Putih, di semenanjung Malaya. Konon, di negeri itu memang gudangnya madat. Pulang dari negeri itu, Warengkeh membawa bibit-bibit tanaman madat yang kemudian dikembangkan di Hutan Sawangan. Dengan kesaktian dan pengaruhnya, Warengkeh yang menjuluki dirinya Setan Madat sebentar saja sudah banyak memiliki pengikut.
Bahkan setelah Desa Sedayu berhasil dikuasai, sang Kepala Desa ikut-ikutan jadi pengikutnya.

* * *



"Begitulah ceritanya, Satria," kata Ki Rembang menutup ceritanya.
Satria masih bungkam. Hatinya jadi menggiris bila melihat keadaan desa ini sekarang. Ternyata sepinya desa ini bukan saja karena penduduknya banyak diangkut ke Hutan Sawangan, tapi banyak pula yang masih terkulai menikmati bayangan semu asap-asap madat.
"Anak muda!" Terdengar panggilan, membegal kata-kata yang hendak dilontarkan Satria. Si pemuda langsung menoleh ke arah suara tadi.
"Ki Rengges" Ada apa dia ke sini lagi?" tanyanya, heran.

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

HARI makin tua. Matahari terpuruk di ufuk barat. Senja di Desa Karangkemboja Wetan. Cahaya merah jingga matahari menciptakan bayangan panjang dari orang-orang yang berlalu lalang.
Sebagian penduduk mengakhiri sisa-sisa waktu ini dengan beristirahat di rumah masing-masing.
Sebagian lagi lebih memilih cari hiburan di luar rumah sekalian cuci mata.
Bagi para pendatang atau petualang, mereka lebih memilih sebuah kedai yang cukup ramai di desa ini. Lima lelaki bertampang kasar duduk di meja paling tengah. Gelak tawa mereka berderai, seolah mencari perhatian dari para pengunjung lainnya. Di sudut ruang kedai, seseorang berpakaian perlente warna putih seperti tak ingin pedu-li melihat kegaduhan itu.
Tudung seperti bakul nasi yang dikenakannya membuat wajahnya sulit dikenali. Tapi dari makanan yang terhidang di mejanya yang mengepulkan asap bercampur aroma arak bisa diduga kalau orang itu tak lain dari Arya Wadam. Salah satu Pendekar Aneh yang menjadi sahabat baru bagi Satria Gendeng.
Suasana makin panas. Pengaruh tuak membuat kelima lelaki berpakaian serba hitam itu semakin bertindak liar. Sudah sepuluh guci arak telah habis mereka sikat. Tindakan mereka makin tak terkendali. Pelayan yang semuanya wanita mulai diusili.
"Aauuu...!" Seorang pelayan wanita berparas cantik jadi sasaran. Salah satu lelaki kasar itu tiba-tiba meraih pinggang si pelayan.
Begitu jatuh di pangkuannya, bibir dowernya langsung nyosor ke pipi si pelayan. Si pelayan cantik hanya bisa menjerit ngeri. Matanya kontan terpejam penuh ketakutan ketika bibir dower tadi mendarat di pipinya. Selain bau arak, aroma bau jengkol juga tercium dari mulut besar si lelaki. Untung si lelaki kasar sege-ra melepaskannya.
Tapi ibarat terlepas dari mulut macan masuk ke mulut buaya, begitu terlepas, lelaki kasar lainnya segera menyambar si pelayan. Maka kembali pipi halusnya menjadi santapan mengasyikkan bagi buaya-buaya darat itu.
"Lepaskan, Tuan.... Aku mohon...," ratap si pelayan.
"Kau akan kulepaskan setelah kami puas.
Sayang, kami tak akan pernah puas melihat perawan montok macam kau, ha ha ha...!" umbar si lelaki kasar. Lalu dia menyerahkan perempuan dalam dekapannya ke lelaki lain.
Mendapat jatah, si lelaki kasar yang disodori perempuan itu terlonjak kegirangan. Mata merahnya akibat pengaruh arak langsung berbinar mengerikan.
Sementara itu, para pengunjung kedai lainnya satu persatu mulai meninggalkan kedai.
Mereka merasa lebih baik tak ikut campur ketimbang cari penyakit. Juga pelayan-pelayan wanita lainnya. Sedangkan si pemilik kedai, sudah sejak tadi melepas tanggung jawabnya terhadap keselamatan para pegawainya. Lebih baik dia bersembunyi dulu ketimbang berurusan dengan kelima lelaki yang membuat onar di kedainya. Toh kalau terjadi apa-apa terhadap pegawainya yang semuanya wanita, dia dengan cepat bisa menggantinya dengan pegawai baru" Inikah sifat manusia" Mencari keuntungan mau, tapi bertanggung jawab nanti dulu" Sejari lagi bibir kasar lelaki ketiga yang hendak mencium wanita pelayan itu tiba, sebuah benda kecil yang berkecepatan tinggi melesat ganas. Nginggg...! Dikawal lengkingan nyaring akibat gesekan dengan udara, benda kecil itu langsung menghantam pipi lelaki yang hendak mendaratkan bibir kasarnya ke pipi si pelayan.
Tak...! "Adaauu...!" Si lelaki menjerit kesakitan. Pegangannya terhadap si pelayan dilepaskan. Sementara tangannya langsung memegangi pipi. Begitu tangan diturunkan, ternyata telah bersimbah darah. Lebih gila lagi, pipinya bolong. Menembus dari pipi kanan ke pipi kiri. Di telapak tangan kirinya yang memegangi pipi kiri, terdapat sebutir nasi yang telah bercampur darah. Hanya sebutir nasi! Keempat lelaki kasar kawan dari lelaki yang sedang naas ini menebar pandangan ke sekeliling. Mata mereka makin beringas. Dan mereka yakin, pengunjung kedai yang ada di sudut ruangan sebagai pelakunya. Sebab, kedai nyaris kosong kecuali mereka berlima dan seseorang memakai tudung itu. Sedangkan pelayan wanita yang jadi korban kebuasan mereka sudah menyingkir begitu mendapat kesempatan.
"Bangat! Pasti dia yang cari gara-gara dengan kita!" tunjuk salah seorang, garang.
"Siapa lagi kalau bukan kunyuk itu. Di dalam ruangan ini cuma ada kita dan dia!" timpal yang lainnya.
"Beri pelajaran padanya, Kang! Biar dia tahu, siapa kita sebenarnya!" Sementara orang yang jadi sasaran kemarahan masih terlihat tenang dengan santapannya.
Sedikit pun tidak merasa terusik mendengar sumpah serapah yang jelas ditujukan buatnya.
Geram, lelaki paling tua di antara kelima orang kasar meraih satu sendok makan di atas meja. Langsung dilemparkannya sekuat tenaga ke arah orang bertudung itu.
Ngungg...! Suara berdengung mengawal luncuran sendok. Dahsyat juga. Tapi tak sedahsyat luncuran sebutir nasi tadi. Sungguh. Kemarahan membuat mata kelima lelaki ini buta. Sebutir nasi yang tak seberapa, mampu menembus dinding pipi salah seorang dari mereka. Bukankah ini berarti si pelempar memiliki tenaga dalam tinggi" Ini yang luput dari perhatian mereka. Tak ada gerakan apa pun dari orang bertudung saat sebatang sendok siap menghajar lehernya. Tapi dua jengkal lagi sang sendok hinggap di sasaran orang bertudung itu menggerakan tangannya seperti mengibas. Perlahan sekali. Hasilnya, luar biasa! Bed! Tak! Ngungng...! Sang sendok berbalik arah. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Arahnya, jelas menuju orang yang melempar tadi. Sebisanya, lelaki kasar itu menghindar. Sialnya, dia melompat ke arah lelaki yang tengah dirundung malang akibat pipinya bolong tertembus sebutir nasi.
Gabrukk...! "Adaaooo...!" Maka makin lengkaplah kemalangan lelaki yang pipinya bolong itu. Tengah dia nunggingnungging menikmati sakit di pipinya, kali ini malah tertiban bobot berat temannya.
Sang sendok terus meluncur ganas. Kali ini dinding ruangan kedai sasarannya.
Clap! Bukan main! Sang sendok menancap hampir setengahnya di dinding kayu jati yang tebalnya setengah jari! Bagaimana kalau kepala manusia yang ditembusnya" Tiga lelaki kasar mendelik tak percaya ke arah sendok tadi. Lalu delikan mata mereka menghujam telak-telak ke arah si orang bertudung. Dasar tak bisa membuka mata, tetap saja kejadian barusan tak dianggap sebagai pelajaran.
Mereka belum puas kalau belum mencabik-cabik orang bertudung itu dengan golok.
Srat! Sraat! Sraatt! Tiga buah golok tercabut sudah dari sarungnya. Berbarengan, ketiga lelaki kasar ini berlompatan mengepung Arya Wadam.
"Hei, Tikus Busuk! Kau mau berurusan dengan Gerombolan Setan Madat, ya"!" bentak yang paling kiri.
Di balik tudung bakul nasinya, kening Arya Wadam berkerut. Setan Madat" Siapa pula dia" Tanyanya dalam hati.
"Bangsat! Kau tuli, ya"!" bentak lelaki yang berdiri di tengah.
"Kalian tak perlu mengumbar bacot kalau baru punya kepandaian seujung kuku!" sahut Arya Wadam, menyakitkan.
Merah padamlah wajah ketiga lelaki kasar ini. Dari merah, berubah biru. Lalu, berganti hijau. Dengusan napas kegeraman mereka bak sapi jantan melihat pasangannya. Menderu liar, siap membuncah "Makanlah ini!" Berkawal teriakan membelah udara, lelaki yang berada paling kiri membabatkan goloknya.
Arahnya, hendak menebas tudung yang dikenakan Arya Wadam. Sekaligus, hendak membelah kepala pemiliknya. Ganas dan menggidikkan.
Wukh! Tak ada gerakan yang dibuat Arya Wadam.
Tenang sekali sikapnya. Dua orang teman lelaki kasar itu malah sudah menduga, darah akan segera memancur. Tapi apa yang terjadi"
"Aaakhh...!" Sebuah teriakan memilukan terdengar.
Bukan. Bukan terlontar dari mulut Arya Wadam.
Tapi justru dari mulut penyerangnya. Kenapa bisa begitu" Cerdik sekali Arya Wadam.
Waktu ketiga lelaki kasar tadi menghampirinya, di ujung jari telunjuk tangan kanannya telah disiapkan sebutir nasi. Dan ketika dua jari la-gi golok itu mendarat ditudungnya, dijentikkannya sebutir nasi itu saat tangannya berada di bawah. Kedahsyatan tenaga dalam milik Arya Wadam membuat butiran nasi itu langsung menembus bagian selangkangan penyerangnya, tepat mengenai kantong menyannya.
Terlonjak-lonjak lelaki kasar itu menikmati rasa sakit luar biasa pada daerah terlarangnya.
Goloknya pun mental entah ke mana. Mulutnya meringis serba salah. Bahkan tubuhnya langsung berguling-gulingan, menabrak meja dan bangku di dalam kedai.
Dua orang teman si lelaki kasar terlongo bengong. Sungguh mereka tak mengerti, apa yang terjadi terhadap teman mereka itu.
"Bangsat! Kau apakan temanku, heh"!" semprot lelaki yang tadi berdiri paling tengah.
"Minta disunat kali," sahut Arya Wadam enteng.
"Kambing buduk! Kurang ajar! Terima seranganku!" Berbarengan, dua lelaki kasar di depan Arya Wadam membabatkan golok. Dahsyat juga, tapi tak membuat Arya Wadam bergemik dari tempatnya. Padahal, babatan golok dari kanan kirinya siap membelah tubuhnya.
"Hup!" Masih dalam keadaan duduk, Arya Wadam menarik tubuhnya ke belakang. Bangku yang didudukinya condong ke belakang dengan dua kaki.
Sedangkan kedua kaki wanita ini terangkat cepat, seraya membawa meja di depannya ke atas.
Traasss! Traasss! Meja kontan terbelah jadi dua bagian. Satu bagian jatuh menumpahkan hidangan di atasnya, sebagian lagi dipergunakan Arya Wadam. Dijejaknya potongan meja itu untuk menyampok kedua penyerangnya sambil melompat bangkit dari duduknya. Diegh! Diegh! Pekikan kedua lelaki kasar dipaksa lahir membelah udara. Sampokan lewat belahan meja membuat tubuh mereka terdongkel ke atas dan ambruk di lantai kedai.
Arya Wadam sendiri telah berdiri siap menanti serangan selanjutnya. Tapi kedua lawan malah mengerang-erang dengan ringisan memelas. Kegarangan mereka sirna sudah. Hajaran yang mendarat di rahang masing-masing membuat mata mereka berkunang-kunang. Sementara mulut mereka dipenuhi darah. Kalau sudah begini, mereka persis nenek-nenek mengunyah sirih sambil buang hajat. Kasihan sekali.
Tertatih-tatih, kedua lelaki kasar itu bangkit. Mereka segera menghampiri kawan mereka yang masih asyik memegangi benda kesayangannya dengan mulut meringis-ringis menggelikan.
"Cepat pergi dari sini sebelum aku bertindak lebih jauh!" ancam Arya Wadam.
Masih terselimut dendam, ketiga lelaki kasar itu segera pergi meninggalkan kedai. Sedang dua teman mereka yang lain sudah sejak tadi keluar kedai begitu melihat salah seorang terjengkang sambil memegangi benda kesayangannya.
"Hebat..., hebat! Seorang gadis bisa menjinakkan lima binatang liar...." Perhatian Arya Wadam mendadak terpangkas oleh suara sember dari belakangnya. Tangkas, dia berbalik dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Orang Tua?"
"He he he...."

* * *



Kenapa Ki Rengges kembali lagi ke rumah Ki Rembang lagi" Mungkinkah dia masih penasaran pada Satria" Kenapa kali ini kegarangannya hilang"
"Jangan khawatir, Pak Tua. Aku sebentar lagi akan pamitan dengan Pak Tua Rembang," terabas Satria langsung begitu Ki Rengges tiba dua tombak di hadapannya.
Senja saat itu makin tua. Kegelapan mulai mengurung Desa Sedayu. Ki Rembang telah memasang sentir di depan rumahnya. Cahaya lemah menjelita wajah-wajah mereka.
"Jangan, Anak Muda. Jangan kau tinggalkan desa ini," cegah Ki Rengges, membuat Satria jadi bingung.
Apa-apaan ini" Tadi dia penuh semangat hendak mengusirku. Tapi sekarang" Setan apa yang merasuki tubuhnya sehingga bisa berubah demikian cepat. Atau jangan-jangan dia sedang mengigau. Satria berkata-kata sendiri dalam hati.
"Aku tak mengerti maksudmu. Pak Tua" Tadi kau begitu bersemangat hendak mengusirku.
Sekarang kau malah menahanku. Kok kau jadi plin-plan begitu" Jangan-jangan kau kesambet memedi sawah?" cerocos Satria seenaknya.
"Ya, aku mengaku salah, Anak Muda. Tapi tolong, Jangan kau tinggalkan desa ini. Aku mohon. Dan kalau bisa, bebaskanlah desa ini dari tangan Setan Madat serta begundalbegundalnya...," ratap Ki Rengges.
Setan apa lagi yang membuat Ki Rengges jadi berubah haluan. Kalau semula selama ini dia jadi kaki tangan Setan Madat, kenapa sekarang memusuhinya" Dan kenapa wajahnya demikian memelas meratap pada Satria"
"Maaf, Pak Tua. Aku tak bisa percaya begitu saja kepadamu," kata Satria, sok jual mahal.
"Lantas, apa yang harus kulakukan agar kau percaya" Sungguh aku menyesal jadi kaki tangan mereka, Anak Muda. Se..., Setan Madat kini malah mengincar anak gadisku satusatunya," ratap Ki Rengges. Tak malu-malu, dia mulai menangis meraung-raung.
"Tolong, Anak Muda. Dia anak gadis satu-satunya. Tak mungkin aku menyerahkannya pada Setan Madat. Biar aku kaki tangannya, aku lebih menyayangi putriku.
Bahkan anakku akan bunuh diri bila diserahkan kepada Setan Madat. Hu hu hu.... Tolong, Anak Muda...." Beginikah sifat seorang sesepuh desa" Kata batin Satria. Semula petantang-petenteng di atas penderitaan orang lain. Sekarang ketika penderitaan itu menimpa dirinya, dia meratap-ratap minta tolong. Muak juga si pemuda melihat sifat kepengecutan Ki Rengges. Tapi jiwa kependekaran pemuda ini berkata lain. Biar bagaimana, Satria harus menolong.
"Kapan kau tahu kalau anakmu akan diminta Setan Madat?" tanya Satria akhirnya.
"Tadi ketika aku pulang dari sini, utusan Setan Madat datang memberi surat ini," Ki Rengges memberikan surat pada Satria.
Si pemuda langsung membaca surat dari Setan Madat. Selesai membaca, bukan diberikan kembali pada Ki Rengges, tapi diremas-remasnya.
Kini dia yakin dengan kata-kata Ki Rengges.
"Sekarang bagaimana baiknya, Pak Tua?" tanya Satria.
"Lho" Yang jadi pendekar kan kau, bukan aku. Jadi bagaimana baiknya menurutmu?" balik Ki Rengges. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang membasahi pipinya.
"Menurutku, sebaiknya aku mengisi perutku dulu," sahut Satria seenaknya. Lalu wajahnya dialihkan ke arah Ki Rembang.
"Pak Tua Rembang, apa masih ada singkong rebus tadi pagi?" tanyanya, enteng. Merasa sebagai orang yang dibutuhkan, besar kepala juga pendekar satu ini.
"Oh, ada, ada, Satria. Mari kita masuk dulu. Kita ngobrol-ngobrol di dalam," jawab Ki Rembang langsung saja.
"Mari Ki Rengges, masuk dalam gubukku," ajaknya kepada kepala desanya.
Sungguh sejak pertama kali menjabat kepala desa, baru kali ini Ki Rengges memasuki rumah Ki Rembang. Menurutnya, bisa jatuh gengsi bila memasuki gubuk yang mungkin hanya disenggol anjing akan roboh itu.
* * "Aku memang sudah mendengar keadaan di desa ini dari Pak Tua Rembang. Tapi bolehlah kalau kau mau menambahkan sedikit," kata Satria. Saat ini si pendekar muda duduk mengelilingi meja bersama Ki Rembang dan Ki Rengges.
"Terus terang, aku menyatakan permohonan maaf dan penyesalanku pada Ki Rembang. Istrinya telah jadi korban kebiadaban Setan Madat.
Juga anak gadisnya. Semua ini gara-garaku. Aku terlalu mengikuti ajakan setan untuk menghisap madat. Bahkan hampir semua penduduk desa ini juga telah terbuai oleh nikmatnya madat. Aku masa bodoh terhadap rakyatku. Sehingga dengan mudah Setan Madat bersama anak buahnya bisa menguasai desa ini. Sampai pada akhirnya, aku ditekan untuk ikut bergabung dengan mereka.
Katanya kalau aku tidak mau bergabung, anak gadisku akan di bawa. Aku sendiri akan dibunuh.
Tanpa banyak cincong, aku menuruti ajakan mereka. Tapi nyatanya, ketika Setan Madat melihat anak gadisku dengan mata kepalanya sendiri, keputusannya berubah. Semula, dia hanya meminta biasa saja. Tapi, lewat surat ini, dia sudah berani mengancamku. Dan ketika hal ini kuceritakan pada anakku Ratih, dia mengancam akan bunuh diri.... Hu hu hu...." Di akhir ceritanya, Ki Rengges malah meledakkan tangisnya.
"Aku..., aku juga minta maaf pada rakyatku. Entah sudah berapa gadis yang dikirim ke Hutan Sawangan demi memenuhi nafsu bejad Setan Madat. Juga, berapa banyak pemuda, orang tua, serta anak-anak yang menjadi budak-budak Setan Madat. Hu hu hu.... Padahal kalau dulu mereka tak terbuai madat, kita bisa bersatu melawan Setan Madat dan anak buahnya. Hu hu hu...." Terlambat! Maki Satria dalam hati. Nah, ketahuan, Ki Rengges sendiri juga ikut-ikutan terbuai madat, walaupun tak begitu parah. Eh, dia malah menyesali rakyatnya yang sudah menjadi budak-budak madat.
"Sudahlah, Pak Tua. Menangis tak akan bisa menyelesaikan masalah. Dan itu hanya pantas dilakukan oleh perempuan," ujar Satria. Gila juga pendekar muda satu ini.
Berani-beraninya dia menasihati orang tua. Seorang kepala desa lagi! Dan anehnya, yang dinasihati malah manggutmanggut. Seolah, kata-kata Satria keluar dari mulut seorang resi.
Dan sang Resi Satria dengan enaknya mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku. Diambilnya singkong rebus masakan Ki Rembang tadi pagi.
"Kalau tak salah, seluruh kegiatan anak buah-anak buah Setan Madat dilakukan pada saat purnama. Kapan ya, purnama berlangsung?" cetus Satria, memecah keheningan sejenak.
"Besok, Satria," Ki Rembang yang menjawab.
"Giliran gadis anak siapa yang akan diangkut?"
"Aku!" Ki Rengges mengacung.
"Apa kau tadi tak membaca surat yang kuberikan?"
"Maaf, aku lupa, Pak Tua. Oh, ya. Ke mana perginya orang-orang Setan Madat yang tadi pagi bertarung denganku, Pak Tua?" tanya Satria langsung.
"Katanya mereka langsung ke Hutan Sawangan. Pasti mereka hendak melaporkan kejadian tadi pagi pada Setan Madat," jelas Ki Rengges.
"Kalau begitu kau perlu menyiapkan hidangan yang enak-enak, Pak Tua."
"Untuk apa"! Untuk mereka"! Maaf saja! Aku bertekad sekarang untuk melawan mereka!" lonjak Ki Rengges.
"Siapa bilang untuk mereka" Mendingan untuk aku saja. Maaf, dari pagi aku belum kena nasi. Makan singkong terus takut kentut melulu.
He he he...," oceh si pemuda, lalu menoleh ke arah Ki Rembang.
"Maaf, Pak Tua Rembang. Bu-kannya aku tak suka singkongmu. Tapi kebanyakan singkong juga tidak baik, lho." Dasar Satria. Mau makan enak saja, pakai ngomong ngalor-ngidul. Tapi orang seperti Ki Rengges sekali-kali memang perlu dikerjai. Biar rada kapok, gitu.

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

SIAPAKAH lelaki tua keropos yang ditemui Arya Wadam di kedai Desa Karangkemboja Wetan" Siapa lagi kalau bukan Dongdongka" Semula, Arya Wadam tak mau percaya begitu saja. Tapi ketika teringat cerita Satria tentang gurunya, Arya Wadam baru yakin kalau lelaki keropos di belakangnya memang Dongdongka alias, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dari pertemuan singkat itu, Dongdongka bilang bahwa Satria tengah mencari-cari Arya Wadam. Dan bocah gendeng itu, kata Dongdongka lagi, kini berada di Desa Sedayu untuk menumpas gerombolan Setan Madat.
"Satria mencari-cari aku?" tanya Arya Wadam pada dirinya sendiri. Kini dia terbaring di sebuah ruangan penginapan, masih di Desa Karangkemboja Wetan. Malam kian larut, merangkak menuju pagi. Di luar sana keadaan telah sepi.
Anjing-anjing liar melolong-lolong manggiriskan.
Saat ini sulit bagi Arya Wadam untuk menutup kelopak matanya. Seolah di matanya ada sebatang lidi yang mengganjal sehingga kelopaknya sulit dipejamkan. Sedangkan bayangan wajah Satria terus saja menyita benaknya. Menggumpal jadi satu menjadi sebentuk kerinduan. Padahal, Arya Wadam sudah menyisihkan angan-angannya untuk bisa bersama-sama pendekar muda itu.
Arya Wadam merasa tak pantas berdampingan dengan pendekar sakti murid Dongdongka dan Ki Kusumo itu. Apalagi bila mengingat keadaan dirinya. Ada semacam benang merah yang membuat gadis ini tak meneruskan niatannya mendekati Satria. Untuk itu dia merasa lebih baik meninggalkan Satria setelah bersama-sama menghancurkan Tujuh Dewa Kematian di Kuil Neraka beberapa purnama yang lalu.
"Ada apa Satria mencari-cari aku" Apakah dia sudah membaca suratku yang kutitipkan pada seorang bocah pelayan kedai di Desa..., ah aku lupa namanya. Tapi yang pasti, aku yakin kalau Satria sudah membaca suratku. Hmmm..., mengertikah dia akan makna suratku. Ah, aku rasa pemuda itu tidak sebodoh yang aku duga. Dia mencari-cari aku, berarti dia mengerti maksud suratku...." Wajar kalau seorang gadis seperti Arya Wadam berharap setinggi gunung. Sebagai tokoh silat wanita, tentu saja impiannya adalah mendapatkan kekasih dari kalangan pendekar pula.
Tentu saja dengan kesaktian yang melebihinya.
Dan itu ada pada diri Satria.
Tapi kalau cinta hanya bertepuk sebelah tangan, apa mau dipaksa" Apakah Arya Wadam terlalu dipermainkan perasannya sendiri" Jangan-jangan kalau Arya Wadam terus mengejarngejar, Satria malah jadi besar kepala. Atau malah si pemuda memang tidak mencintainya lantaran keadaan dirinya yang seperti lelaki" Sulit Arya Wadam untuk menjawabnya.
"Tapi, Satria saat ini pasti butuh bantuan.
Dia ada di Desa Sedayu untuk membantu menghentikan sepak terjang Setan Madat. Oh, ya. Lima orang lelaki kasar berpakaian serba hitam yang membuat onar di kedai sore tadi kalau tak salah mengaku sebagai kaki tangan Setan Madat. Berarti, sepak terjang Setan Madat mulai merambah desa ini. Ah, aku akan membantu Sa...." Lamunan Arya Wadam terjegal oleh suara langkah halus mendekati pintu kamarnya. Kecurigaannya pun terbangkit. Cepat dimatikannya lampu di sisi pembaringan.
Ruangan gelap. Suara langkah halus makin nyata, berhenti di pintu kamarnya. Siapa dia" Bisik hati Arya Wadam.

* * *



Hutan Sawangan. Sebuah hutan tak terlalu besar di pinggiran selatan wilayah Demak. Ada kegiatan membahayakan di dalam hutan itu yang luput dari perhatian pihak kerajaan.
Di tengah hutan itulah Setan Madat membangun kerajaan kecilnya. Sebuah kerajaan yang siap meruntuhkan kedaulatan dan kewibawaan Kerajaan Demak.
Sebuah bangunan yang dikelilingi perkebunan madat di tengah Hutan Sawangan. Begitu megah walau tak terlalu besar. Empat buah tiang besar dari kayu gelondongan yang diukir indah menjadi penyangga bagian depan bangunan dari kayu jati ukiran Jepara. Semua dinding juga berukir, menggambarkan kegagahan sang Rahwana.
Maklum, Setan Madat pengagum berat tokoh hitam pewayangan dalam lakon Rama-Shinta.
Di sekeliling bangunan berukir itu berjagajaga puluhan pemuda berpakaian serba hitam. Di dalamnya, Setan Madat sendiri tengah berpesta pora bersama para pengikutnya.
Di kiri-kanan pangkuan Setan Madat, duduk dua gadis berwajah murung. Tak ada keceriaan di wajah mereka selain kepasrahan. Lelaki berusia sekitar setengah abad itu sesekali menciumi dua gadis di pangkuannya. Setiap kali ciumannya, disambut gelak tawa para pengikutnya.
Sementara kedua gadis itu hanya bisa menyumpah serapah dalam hati tanpa bisa berbuat apa-apa. Habis, mana sudi mereka dicium lelaki tua berwajah tirus itu" Matanya saja memerah, memancarkan kebengisan. Bibirnya kendor berwarna hitam. Mulutnya selalu menebarkan bau madat yang menyesakkan dada. Lelaki berpakaian mirip jubah berwarna hitam ini selalu tak jauh dari cangklong panjangnya yang selalu berisi tembakau bercampur madat.
Di depan Setan Madat duduk lelaki tua berpakaian serba merah. Rambutnya putih sebahu diikat kain merah. Siapa lagi makhluk telengas itu kalau bukan Jalak Merah. Di pangkuan lelaki uzur ini tak disinggahi seekor gadis pun.
Maklum, walaupun julukannya memakai nama burung, tapi sebenarnya burung si kakek telah lama mati. Dia sudah berusaha berobat ke tabibtabib maupun dukun-dukun, tetap saja burungnya tak bisa gagah di atas ranjang. Malah saking putus asanya, dia bertekad hendak memotong saja burungnya. Lama berpikir, si kakek berpakaian merah ini akhirnya memutuskan untuk membiarkan burung sialannya itu. Karena kalau dipikir lebih panjang, bagaimana kata orang bila dia kepergok mandi di kali tanpa memiliki burung" Paling tidak, sang burung merupakan tanda kalau dia adalah seorang lelaki.
Lain halnya dengan lelaki tua berkepala gundul dengan pakaian serba hijau di sebelah Jalak Merah. Lelaki yang tak lain Laba-laba Hijau memang dikenal doyan perempuan. Nafsunya memang kelewat besar, walau tak diimbangi dengan kemampuannya di atas ranjang. Saking besar nafsunya, baru bersanding dengan perempuan saja sudah bocor duluan. Walhasil, di tempat tidur dia cuma mendengkur saja sambil menikmati mimpi-mimpi indahnya. Maka tak heran kalau di pangkuannya juga tak terdapat seekor gadis pun.
Tentu saja dia malu, karena takut bocor di depan Setan Madat. Karena kalau sampai kejadian, bisa jadi Setan Madat akan menertawakannya habishabisan. Di tempatnya, Laba-laba Hijau hanya memandang penuh minat melihat keasyikan Setan Madat. Jakunnya turun naik, menelan ludah susah payah membayangkan kenikmatan di depannya. Puas dengan keasyikannya, Setan Madat mengusir kedua gadis tadi. Dua gadis itu cepat berlalu dengan wajah menampakkan kengerian mendalam. Sementara Setan Madat segera meraih cangklong panjangnya. Dihisapnya dalam-dalam sumber asap di dalam mangkuk cangklong. Nikmat sekali. Lalu bibir hitamnya tersenyumsenyum sendiri. Mirip monyet ke sambet.
"Kita masih menunggu sahabatku dari Kerajaan Demak. Dia adalah seorang panglima yang ingin menumbangkan Kerajaan Demak. Tapi sambil menunggu bolehlah kalian memberi laporan kepadaku," kata Setan Madat, datar. Tampaknya benaknya tengah melayang-layang menuju surga terbuai oleh kenikmatan madat.
"Ketika tadi pagi aku dan Laba-laba Hijau mengunjungi desa Sedayu untuk menarik sebagian upeti, di rumah warga Ki Rengges terdapat bocah asing. Dia tanpa izin memasuki desa itu, Ketua," buka Jalak Merah "Hanya seorang bocah kau repot-repot melapor padaku, Jalak Merah?" tukas Setan Madat kalem.
"Bukan. Maksudku, seorang pemuda," ralat Jalak Merah.
"Hanya seorang pemuda" Tapi kalian bisa mengatasinya, bukan?"
"Bukan, eh! Maksudku, pemuda itu amat sakti. Bahkan dia membawa pusaka Kail Naga Samudera. Kami terpaksa menghindar, mengingat pusaka itu amat dahsyat."
"Kail Naga Samudera"!" cekat Setan Madat.
Cangklong yang hendak dihisapnya diletakkan kembali.
"Ceritakan tentang pemuda itu!"
"Dia pasti muridnya Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit. Ciri-cirinya, memakai rompi dari kulit binatang berwarna putih. Celananya pangsi berwarna hitam. Rambutnya panjang sebahu berwarna kemerahan. Matanya...."
"Cukup! Cukup! Aku sudah tahu siapa pemuda itu, walau belum pernah bertemu. Ya, berarti sekarang kita telah berurusan dengan pemuda kemarin sore yang saat ini menjadi buah bibir kaum persilatan. Satria Gendeng keparat!" Mata Setan Madat mendelik. Warna merah membara pada dua bola matanya menyiratkan kegeraman luar biasa.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau sampai bergidik melihat sinar merah penuh kemarahan di bola mata Setan Madat. Memang, walaupun kedua lelaki bangkotan itu cukup banyak makan asam garam dunia persilatan, tapi pengetahuan mereka tentang tokoh-tokoh saat ini masih kurang. Ditambah lagi, perkembangan ilmu silat mereka pun mentok sampai di situ. Tak ada kemauan di hati mereka untuk berguru pada tokoh sakti yang lebih hebat ilmunya.
Baru setelah Setan Madat menaklukkan mereka, kedua lelaki bangkotan ini sadar bahwa menambah ilmu itu suatu hal yang amat penting.
Ketinggian hati mereka yang menganggap diri paling sakti terkikis oleh kesaktian milik Setan Madat. Di atas langit, masih ada langit. Begitu ka-ta pepatah.
Kedua lelaki bangkotan itu merasa sadar, tapi mereka juga merasa sudah terlalu tua untuk menambah ilmu. Paling tidak membutuhkan waktu puluhan tahun, begitu kata mereka waktu itu.
Sementara usia mereka hanya tinggal sisa-sisa saja. Itu pun kalau Tuhan berbaik hati dengan memanjangkan usia mereka.
Tapi anehnya, walaupun sampai saat ini Tuhan masih memanjangkan umur mereka, tetap saja Jalak Merah dan Laba-laba Hijau tak pernah berpikir untuk tobat.
Kedua lelaki bangkotan ini sebenarnya saudara satu perguruan aliran putih. Karena keduanya kepergok berzina dengan beberapa gadis desa, sang Guru mengusir mereka dari perguruan. Bahkan sang Guru sempat bersumpah, kedua murid bejadnya itu tak akan punya kejantanan lagi. Apalagi untuk mempunyai istri. Dan nyatanya, sumpah itu terbukti. Dua bulan kemudian, burung milik Jalak Merah seolah seperti mati. Sedangkan milik Laba-laba Hijau, masih untung sedikit. Kendati bisa berkluruk, tapi cuma sesaat. Setelah itu, bocor....
Sejak itulah kedua lelaki ini memutuskan untuk terjun ke dunia sesat....

* * *



Arya Wadam pura-pura tertidur. Napasnya diatur sedemikian rupa agar dengkurannya terdengar wajar. Sosok di luar kamar mulai membuka pintu.
Hati-hati sekali. Baru saja pintu terbuka sedikit, mendadak pintu tertutup kembali. Mungkinkah sosok itu tahu kalau Arya Wadam belum tidur" Kenapa dia tidak jadi masuk" Padahal, Arya Wadam sudah siap mengempos tenaganya untuk membekuk orang yang hendak memasuki kamarnya. Penasaran, Arya Wadam bangkit. Penuh kehati-hatian, gadis ini segera mendekati pintu.
Telinganya dipasang tajam-tajam di daun pintu.
Tak ada suara mencurigakan, selain desah napas di balik pintu.
Tangkas dan waspada, Arya Wadam membuka pintu. Wutt!!! "Eh"!"

* * *



"Siapa kau"!" terabas Arya Wadam, langsung meringkus seorang wanita di depan pintu kamarnya.
"Ma..., maaf Nona Pendekar. A..., aku pelayan kedai yang petang tadi Nona Pendekar tolong," gagap si pelayan kedai.
"Ada apa kau ke sini" Mengapa sikapmu begitu mencurigakan?" terjang Arya Wadam, namun segera melepas ringkusannya.
"Maaf, Nona Pendekar...."
"Panggil aku Arya Wadam!"
"Baik, Non, eh! Arya Wadam. Begini, mmm.... Bolehkah kita berbincang-bincang di dalam?" pinta wanita pelayan itu.
Arya Wadam tercenung sejenak. Lalu, "Baik. Masuklah." Si wanita pelayan segera masuk kamar.
Arya Wadam mengikuti. Mereka sama-sama menghenyakkan pantat di ranjang kamar, setelah Arya Wadam menutup pintu rapat-rapat.
"Nah, sekarang ceritakan, apa maksudmu datang ke kamarku secara mencurigakan?" todong Arya Wadam, langsung saja setelah menyalakan lampu minyak dengan pemantik api.
"Aku perlu hati-hati ke sini, Arya. Mereka sangat berbahaya," jelas si pelayan.
"Mereka" Siapa mereka?" Kening Arya Wadam berkerut.
"Anak buah Setan Madat. Mereka ada di mana-mana."
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau adalah seorang pendekar, Arya. Aku yakin itu. Setelah kau membuat pontang-panting anak buah Setan Madat petang tadi, aku diamdiam mengikutimu, hingga aku tahu kau menginap di sini. Dan ketika aku kembali ke kedai telah ada orang-orang berpakaian serba hitam lainnya dan seorang lelaki setengah baya berpakaian panglima Kerajaan Demak. Untungnya mereka tak tahu kalau lima orang teman mereka sebelumnya habis kau lumpuhkan di kedai itu"
"Langsung saja ke pangkal persoalannya!" ujar Arya Wadam, tak sabar.
"Baik. Ketika aku tiba di sana, aku mencuri dengar pembicaraan mereka. Ternyata, panglima Kerajaan Demak itu akan membuat pemberontakan terhadap Raja. Untuk itu, dia perlu dana untuk menyuap prajurit-prajurit Demak agar ikut memberontak. Dan dana itu akan diperolehnya dari Setan Madat. Sebab dari hasil penjualan madatnya, Setan Madat kini sudah seperti raja kecil saja," papar si pelayan.
Arya Wadam manggut-manggut. Tudungnya tak dikenakan lagi. Maka wajah cantiknya pun jadi bahan kekaguman si pelayan. Dia tak menyangka ada pendekar wanita begitu cantik.
Muda, lagi. Sepengetahuannya, seorang pendekar telah berusia tua dan berwajah pas-pasan. Tapi begitu melihat Arya Wadam, pendapatnya pun tersapu begitu saja.
"Lantas, apakah panglima itu masih ada?" tanya Arya Wadam, mulai tertarik.
"Kira-kira sudah sepeminum teh dia meninggalkan kedai bersama orang-orang berpakaian serba hitam itu," ungkap si pelayan.
"Ke mana mereka pergi?"
"Menurut yang kudengar, ke Hutan Sawangan." Arya Wadam tercenung kembali. Dia berusaha mengingat, di mana letak Hutan Sawangan.
Suasana hening dalam keremangan lampu minyak. Mendadak.... Wusss!!! "Awass...!" Arya Wadam langsung menubruk si pelayan. Suara angin menderu yang mengiringi luncuran sebuah benda berkilatan sempat dirasakan Arya Wadam. Kepekaan nalurinya mengisyaratkan ada bahaya mengintai.
Clap! Benda berkilatan tadi langsung menancap di pintu kamar. Arahnya dari dinding bilik tepat di belakang mereka. Begitu jatuh di lantai bersama si pelayan, Arya Wadam langsung menghujamkan pandangannya ke arah benda berkilatan tadi yang menancap di pintu. Sebuah belati.
Penuh kesigapan, Arya Wadam bangkit berdiri. Lalu....
"Hiaaa...!" Brosss...! Dinding bilik penginapan diterjang Arya Wadam. Seketika tercipta lobang besar seukuran tubuhnya. Si penerjang sendiri segera mendaratkan kakinya di luar kedai. Matanya nyalang menyapu ke sekeliling. Sepi.
Penasaran, Arya Wadam berkelebat mengelilingi penginapan. Tetap tak ada seorang pun yang ditemuinya. Hanya keremangan yang ada dan tiupan angin yang mendengus-dengus. Arya Wadam yakin, si pelempar pisau memiliki kepandaian tinggi. Buktinya, begitu cepat dia menghilang setelah melempar pisau. Tapi siapa" Kelima lelaki yang kuhajar petang tadi" Tidak mungkin! Sanggah Arya Wadam dalam hati.
Kepandaian mereka belum seberapa. Gerakan silat mereka masih lambat dan kasar, walaupun mempunyai tenaga dalam lumayan. Sedang si pelempar pisau, selain mempunyai indera pendengaran tinggi, juga mempunyai Ilmu meringankan tubuh sempurna. Buktinya, dia bisa menentukan di mana sosok manusia yang jadi sasarannya, dan cepat bisa menghilang begitu habis melempar pisau. Di depan kedai, Arya Wadam masih bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tapi sebelum semua pertanyaannya terjawab....
"Aaa...!" Arya Wadam tercekat. Ingatannya langsung tertuju pada si pelayan di kamarnya. Entah kenapa, dia begitu mencemaskannya. Maka cepat gadis ini masuk ke dalam kedai.
Apa yang terjadi pada diri si pelayan..."

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

AKU menugaskan pada kalian berdua untuk merebut Kail Naga Samudera dari Satria Gendeng!" titah Setan Madat kepada Jalak Merah dan Laba-laba Hijau.
Tercekat kedua lelaki bangkotan itu. Sekejapan mereka saling memandang, lalu beralih pada Setan Madat. Sinar mata mereka sarat akan keragu-raguan.
"Apa tidak salah pendengaran kami, Ketua?" Jalak Merah menyahuti.
"Apa kau sudah tuli, Jalak Merah?" balik Setan Madat.
"Kail Naga Samudera amat dahsyat, Ketua?" bela Laba-laba Hijau.
"Tapi pemiliknya hanya pemuda kemarin sore, bukan?" Memang, pemiliknya pemuda kemarin sore.
Tapi kepandaiannya" Jalak Merah dan Laba-laba Hijau menggerutu dalam hati. Bisa jadi seenaknya Setan Madat berkata begitu, karena memang belum menjajal kehebatan pendekar tengik murid Dongdongka dan Ki Kusumo itu.
"Jangan khawatir. Kalian besok akan dibantu sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Namanya Pratamp Shirapong. Dia ahli melempar pisau. Sekarang dia sedang berada di Desa Karangkemboja Wetan untuk membantu Sugiri yang katanya mempunyai persoalan dengan seorang pendekar bertudung. Sebentar lagi dia juga datang.
Mungkin bersamaan waktunya dengan kedatangan Panglima Ganang Laksono di istanaku ini," cetus Setan Madat.
Legalah hati kedua lelaki bangkotan itu.
Sesak napas yang mendadak menyerang dada sirna sudah. Dan sebelum ada yang membuka suara, dari arah pintu datang seorang pemuda berpakaian serba hitam.
Si pemuda memberi hormat sejenak. Tubuhnya dibungkukkan sedikit. Lalu dibukanya senyum lebar.
"Ketua, tamu kehormatan telah tiba," lapor si pemuda.
"Suruh langsung masuk," sahut Setan Madat.
"Baik," Si pemuda segera menghormat lagi.
Lalu dia berjalan gagah keluar.
Tak ada sepuluh hitungan, dari arah pintu muncul seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya jelas menandakan kalau dia adalah seorang panglima kerajaan. Wajahnya kokoh dihiasi kumis dan brewok. Pancaran matanya tajam. Di pinggangnya terselip sebuah pedang.
"Selamat datang di istana kecilku, Panglima Ganang Laksono," sambut Setan Madat. Sikapnya terkesan dibuat-buat.
"Terima kasih sobatku, Setan Madat.
Sungguh suatu kehormatan besar aku bisa bertemu denganmu, setelah sekian tahun kita tidak berjumpa," ucap Panglima bernama Ganang Laksono ini. Kedua lelaki ini saling bersalaman. Setan Madat lantas membawa sahabatnya ke kursi di sebelahnya.
"Tak perlu banyak beristiadatan di istanaku, Panglima. Kau dan aku sudah seperti saudara. Kalau tiada kau, mana mungkin aku berhasil membawa bibit-bibit madat ke tanah Jawadwipa ini. Walhasil, aku kini bagaikan raja kecil di Hutan Sawangan ini. Kekayaanku sekarang melimpah. Dan itu berkat jasamu, Panglima," kata Setan Madat.
"Dan kau sekarang mengerti kepentinganku, bukan?" todong Panglima Ganang Laksono, tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, tentu. Tentu, Panglima. Berapa pun biaya yang kau butuhkan, aku pasti akan membantu mewujudkan cita-citamu dalam merebut takhta Kerajaan Demak. Dengan begitu, bukankah nantinya kita akan meningkatkan kerja sama?" Panglima Ganang Laksono tertawa terba-hak. Ada nada kepuasan dalam setiap tarikan tawanya.
"Oh, ya. Kuperkenalkan para pembantuku," lanjut Setan Madat.
"Yang memakai pakaian serba merah bernama Jalak Merah.
Sedangkan yang berpakaian serba hijau bernama Laba-laba Hijau." Kedua tokoh sesat yang disebut Setan Madat berdiri dari duduknya. Tubuh mereka membungkuk sedikit, memberi hormat pada Panglima Ganang Laksono. Sementara sang panglima hanya mengangguk sedikit. Pelit kelihatannya untuk memberi balasan penghormatan lebih banyak.
Maklum, pejabat kerajaan rata-rata memang begitu. Terutama, mereka yang merasa dirinya dibutuhkan.
"Aku juga mengundang sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Sebentar lagi dia akan muncul.
Namanya, Pratamp Shirapong. Setelah dia menyelesaikan tugasku, dia bisa kau pinjam untuk membantumu merebut takhta kerajaan. Dia ahli melempar pisau. Kau pasti tertarik dengan kepandaiannya," tambah Setan Madat.
"Terima kasih, atas jerih payahmu, Setan Madat. Aku tak akan melupakan budimu. Kelak bila aku berhasil merebut takhta, kau akan kuangkat menjadi salah satu menteriku," sambut Panglima Ganang Laksono.
"Ha ha ha.... Dan aku akan dikelilingi banyak selir. Ha ha ha.... Kalau begitu dari sekarang aku mesti rajin minum ramuan obat kuat, biar tak cepat loyo.... Ha ha ha...." Tawa meledak di ruangan ini. Bahu masing-masing berguncang keras, seolah cita-cita mereka sudah tergenggam di telapak tangan. Ada keyakinan kuat di hati sang Panglima. Betapa tidak" Kadipaten Kutowinangun dan Kadipaten Purworejo telah siap mendukungnya dalam merebut takhta Kerajaan Demak. Apalagi sekarang dibantu beberapa tokoh hitam berkepandaian lumayan. Panglima Ganang Laksono adalah salah satu panglima yang tak puas dengan aturan kerajaan. Dia telah cukup lama mengabdi di kerajaan, tapi tetap saja pangkatnya masih panglima. Dia berharap, Raden Sutawijaya yang menjadi raja saat itu mengangkatnya menjadi adipati di salah satu wilayah kekuasaan Demak. Lelaki ini merasa sudah sangat berjasa kepada kerajaan, tapi nasibnya tak masuk hitungan. Malah, kawankawannya yang waktu itu masih menjadi punggawa kini sudah berpangkat panglima. Bahkan sudah ada yang diangkat menjadi adipati di wilayah timur Demak Ketidakpuasan itu menimbulkan dendam.
Ibarat api tersiram minyak, dendam itu makin membara ketika adik Panglima Ganang Laksono dihukum mati karena dituduh melarikan istri orang. Saat itu sang Panglima hanya pasrah. Tapi dalam hatinya, dia merasa harus melaksanakan dendamnya itu. Dalam suatu kesempatan, Panglima Ganang Laksono pergi ke Kadipaten Kutowinangun.
Sang Adipati yang masih kakak ipar Panglima Ganang Laksono, gampang saja termakan bujuk rayu. Demikian pula Adipati Purworejo yang masih sepupunya. Mereka semua termakan ucapan berbisa sang Panglima, sehingga bersedia membantu untuk meruntuhkan takhta Kerajaan Demak. Tentu saja, untuk mewujudkan impiannya itu Panglima Ganang Laksono butuh biaya banyak. Dasar nasibnya sedang bagus, di pantai Demak dia bertemu seorang saudagar yang mengaku bernama Warengkeh. Ketika sang panglima bermaksud menangkapnya karena si saudagar membawa berkarung-karung bibit madat dalam perahunya, timbullah dalam benaknya untuk memanfaatkan saudagar itu.
Dari kesepakatan yang terjadi, Panglima Ganang Laksono akan memperoleh biaya dari Warengkeh yang kemudian dikenal sebagai Setan Madat. Sedangkan Setan Madat diberi perlindungan menanam bibit-bibit madat itu di tempat yang tersembunyi. Bila panen, madat-madat itu akan dijual ke seluruh pelosok lewat kaki-kaki tangan Setan Madat. Dan hasilnya dibagi dua, antara Setan Madat dengan Panglima Ganang Laksono.
Sekian tahun, Setan Madat menjual madat itu hanya sembunyi-sembunyi. Tapi beberapa purnama belakangan ini, dia menjualnya secara terang-terangan. Dan bila ada kaki tangannya yang tertangkap, maka Panglima Ganang Laksonolah yang membebaskannya.

* * *



Brakk! Arya Wadam mendobrak pintu kamar penginapannya. Tapi di tempat tidurnya telah tergolek si pelayan wanita yang menemuinya tadi. Tepat di dada kirinya tertancap sebilah belati. Cepat wanita itu menghampiri si pelayan. Tak ada gerakan sedikit pun pada tubuh si pelayan ketika Arya Wadam memeriksa. Si pelayan telah mati.
"Sialan! Rupanya si pelempar pisau menggunakan kesempatan selagi aku mencarinya.
Atau, si pelempar pisau ada beberapa orang. Satu orang memancingku agar keluar, sementara yang lainnya masuk melalui pintu" Ya, aku yakin begitu," bisik Arya Wadam berkata sendiri.
Selagi Arya Wadam membenahi mayat si pelayan, dari arah pintu bermunculan beberapa keamanan dan orang-orang yang menginap di penginapan ini.
"Dia pembunuhnya, Kisanak. Aku melihatnya," tunjuk seorang lelaki berpakaian serba hitam pada Arya Wadam.
Arya Wadam mengenali orang yang menunjuknya. Dia adalah salah seorang lelaki anak buah Setan Madat yang dibuat pontang-panting olehnya petang tadi.
"Slompret! Jangan menuduh sembarangan, Keparat! Aku sedang memeriksanya, tahu"!" bentak Arya Wadam, kalap.
"Bohong! Aku tadi melihatnya. Dia mengendap-endap masuk kamar ini lalu sekejap kemudian terdengar teriakan. Pasti dia pelakunya! Ayo kita tangkap!"
"Wah, jadi gawat urusannya!" desis Arya Wadam perlahan dengan sikap waspada.
Percuma saja sepertinya Arya Wadam berusaha berkelit. Sebab, orang-orang di depan pintu mulai mengurungnya. Sejenak tatapannya menghujam pada lelaki yang memfitnahnya. Dia melihat, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Arya Wadam tak ingin ada korban jatuh dari orang-orang tak bersalah. Dia tahu pasti, pa-ra lelaki yang mulai bergerak ke arahnya ini hanya terpengaruh ucapan lelaki berbaju hitam itu. Untuk meladeni, rasanya tidak pada tempatnya. Untuk itu, Arya Wadam merasa lebih baik menghindar.
"Hap!" Lewat satu teriakan, Arya Wadam melenting ke belakang. Langsung diterobosnya lobang pada dinding yang dibuatnya tadi, ketika mengejar orang yang melempar pisau. Begitu mendarat, tubuhnya segera melesat meninggalkan kedai.
Cepat sekali Arya Wadam berlari. Samarsamar telinganya masih mendengar seruan orangorang yang mengejarnya. Tapi dia tak peduli. Lesatannya makin cepat, menuju Desa Sedayu....

* * *



"Tak kusangka, pendekar bertudung itu ternyata seorang wanita. Dialah yang mempecundangi teman-temanku, Tuan Pratamp! Aku harus mengejarnya!" kata seorang lelaki berpakaian serba hitam di depan penginapan di Desa Karangkemboja Wetan.
"Tak perlu, Sugiri!" sergah lelaki setengah baya berpakaian dari kulit gajah yang disamak halus. Di sekeliling pinggangnya berjejer barisan belati. Wajahnya lebar dengan mata agak sipit.
Hidungnya mekar berlobang besar. Tanpa kumis dan jenggot. Rambutnya sebahu, tapi botak pada bagian atasnya. Celananya pangsi berwarna hitam. Dialah Pratamp Shirapong dari Negeri Gajah Putih atau Campa (Negeri Gajah Putih atau Campa, sekarang dikenai sebagai Muangthai/Thailand di Semenanjung Malaka. Di negerinya dia dikenai sebagai Belati Iblis).
"Kenapa, Tuan Pratamp?" tukas lelaki bernama Sugiri. Nadanya kurang puas.
"Jangan terlalu buang tenaga, Sugiri," jelas Pratamp Shirapong dengan logat Campa yang kental.
"Pertama kita harus cepat kembali ke Hutan Sawangan. Kedua, besok kita harus menuju Desa Sedayu. Ketiga, pendekar wanita itu akan berpikir dua kali jika kembali ke desa ini. Jelas penduduk desa ini telah mengenalinya. Sehingga ruang gerak wanita itu akan sangat ter-batas.
Dan kau sendiri akan bebas menjalankan tugas Setan Madat dalam menyebar madat di desa ini.
Kau paham?"
"Wah, Tuan Pratamp ternyata sangat cerdik. Tak percuma Ketua mengundang Tuan ke Jawadwipa ini," puji Sugiri.
Pratamp Shirapong makin membusungkan dada dipuji begitu. Tarikan senyumnya justru menyiratkan kalau dia sangat meremehkan kepandaian para penduduk pribumi. Termasuk, Sugiri. Baginya, Sugiri tak lebih dari kucing buduk.
Mengeong-ngeong terlalu keras, begitu digertak lari terbirit-birit.
Bukan tanpa alasan Sugiri memuji Pratamp Shirapong begitu tinggi. Sewaktu kembali ke Hutan Sawangan setelah dia dan empat kawannya petangnya dibuat pontang-panting oleh Arya Wadam, Sugiri sudah melihat kehebatan Pratamp Shirapong dalam melempar pisau.
Dengan mata tertutup, dari jarak sekitar sepuluh tombak Pratamp Shirapong mampu membidik sasaran yang hanya berupa sebiji buah duku. Tak tanggung-tanggung, sebutir buah duku sebesar kelereng itu diletakkan di atas kepala botak salah seorang anak buah Setan Madat. Begitu pisau meleset....
Wesss....! Tak! Brukk! Bukan hanya buah duku yang terpental.
Lelaki botak yang kepalanya dijadikan tempat menaruh duku pun ambruk pingsan. Betapa tidak" Semula dia dengan gagahnya menyediakan kepalanya untuk ditaruh buah duku. Dipikirnya, mata Pratamp Shirapong tak ditutup. Tapi begitu salah seorang anak buah Setan Madat menutup mata lelaki dari Negeri Campa itu, si lelaki botak mulai menggigil ketakutan.
Wajahnya pucat bukan main. Matanya melotot nyaris keluar dari rongganya. Dengkulnya gemetar. Dan dari selangkangannya muncul mata air berbau pesing bukan main. Ketika buah duku tersambar pisau, kesadaran lelaki botak itu telah lenyap bersama angin lalu. Kasihan dia. Maunya sih sok gagah di depan Setan Madat. Tak tahunya, malah disiram air satu ember untuk menyadarkannya.
Di malam itu, Sugiri tak kuat menahan tawanya melihat si lelaki botak menderita lahir batin begitu. Tapi. Justru tawanya mengundang perhatian Pratamp Sharapong. Dan sekali lelaki dari Campa ini mengebutkan tangannya....
Wess.... Clap! "Aaahh....
" Sugiri mendesah lirih. Dia yang saat itu berdiri bersender di bawah tiang soko guru kediaman Setan Madat melirik ke bawah. Dan jantungnya nyaris copot ketika melihat pisau yang dilemparkan Pratamp Shirapong menancap di dekat selangkangannya, langsung menembus tiang dari kayu berukir. Untung saja pisau itu hanya menembus kain celana, hanya beberapa rambut dari kantong menyannya. Tapi tak urung, ada mata air berbau pesing pula yang tiba-tiba muncul dari situ...
Keyakinan makin bertambah, ketika di Desa Karangkemboja Wetan Pratamp Shirapong membuktikan keahliannya dalam menentukan sasaran. Hanya sayang, waktu itu yang jadi sasaran Arya Wadam. Sehingga tak mudah bagi si pisau menyentuh pendekar wanita itu.
Kepergian Pratamp Shirapong ke desa ini juga berkat perintah Setan Madat, setelah Sugiri melaporkan bahwa dia dan empat kawannya diganggu oleh seorang pendekar bertudung.
Selesai melaporkan, bersama Pratamp Shirapong, Sugiri kembali ke kedai, tepat ketika Panglima Ganang Laksono belum lama meninggalkan kedai. Setelah bertanya-tanya, Sugiri mendapat keterangan kalau pendekar bertudung itu menginap di seberang kedai tempat terjadi keributan petang sebelumnya.

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

NANTI malam, purnama tiba.
Seperti peraturan yang dibuat Setan Madat, pada malam itu Kepala Desa Rengges harus sudah menyiapkan upeti, seorang gadis, dan seorang lelaki yang akan dibawa ke Hutan Sawangan. Bila purnama-purnama sebelumnya Ki Rengges akan penuh suka cita menyerahkan semua permintaan Setan Madat, kali ini nanti dulu.
Apalagi gadis yang akan diserahkan kali ini adalah anaknya sendiri. Ratih. Karena pada surat Setan Madat kemarin siang, Ki Rengges diharuskan untuk menyerahkan anak gadis satu-satunya pada Setan Madat. Itu setelah beberapa hari yang lalu, lelaki sesat itu melihat dengan mata kepala sendiri, betapa cantiknya anak Ki Rengges. Selain sayang pada anak satu-satunya, tentu saja Ki Rengges amat kecewa, karena Setan Madat telah melanggar janjinya. Karena sebelum Ki Rengges jadi pengikutnya, Setan Madat berjanji untuk tidak mengganggu keluarga kepala desa itu. Tapi, memang sia-sia bersepakat dengan tokoh sesat macam Setan Madat. Janji tinggal janji.
Soal dipenuhi, sampai berak kapur tak akan terjadi. Sejak itulah Ki Rengges sadar akan kekeliruannya. Apalagi setelah di desanya datang seorang pendekar muda bernama Satria. Lelaki tua ini bertekad untuk menentang Setan Madat. Dan untuk menebus dosa-dosanya pada para penduduk dia bertekad untuk ikut menghadang para pengikut Setan Madat.
Tapi, Satria Gendeng punya siasat tersendiri. Si pemuda tengik ini cukup mengerti dengan tekad Ki Rengges. Namun dia tak bisa membiarkan Ki Rengges bertarung dengan mengandalkan kepandaian yang seadanya. Sebab dengan kejadian kemarin, si pemuda yakin kalau Setan Madat akan membawa kekuatan yang lebih kuat.
Siasat apakah yang akan dijalankan pemuda bertabiat tengik itu"

* * *



Seperti biasa, Ki Rengges menyambut para anak buah Setan Madat dengan pesta besar. Makanan dan minuman berlimpah ruah. Juga madat. Ruangan di rumah Ki Rengges bagaikan dipenuhi kabut. Semuanya menyesakkan dan memabukkan.
"Bagaimana, Ki Rengges" Apakah kau sudah menyediakan semua permintaan Setan Madat?" tanya Jalak Merah. Lelaki berpakaian serba merah ini duduk berdampingan dengan Laba-laba Hijau. Sedangkan Pratamp Shirapong yang memang ditugasi untuk mengawal kedua lelaki bangkotan itu duduk di sebelah Ki Rengges.
Di ruangan yang mereka tempati tak banyak dikepung oleh asap rokok berisi madat, karena berada paling dalam. Ki Rengges berusaha untuk tidak mengundang kecurigaan dengan bersikap sewajarnya.
"Oh, itu. Semuanya sudah kusiapkan," sahut Ki Rengges, pendek.
"Lantas. Ke mana pemuda bernama Satria yang kemarin menjadi tamu asing di desa ini?" cetus Laba-laba Hijau. Dia mana sudi mengatakan, mana pemuda yang mengalahkannya"
"Dia sudah pergi kemarin," sahut Ki Rengges, pendek lagi.
"Kalau dia masih ada, pasti akan berlutut minta ampun pada kami. Kau lihat. Di sebelahmu duduk seorang tokoh tingkat tinggi dari Negeri Campa. Dia ahli melempar pisau. Namanya, Pratamp Shirapong," kata Laba-laba Hijau bangga.
Matanya mengarah pada Pratamp Shirapong.
"Siapa" Macam Ompong?" Ki Rengges mendekatkan telinga ke arah Laba-laba Hijau.
Mungkin karena di ruang depan sana suasana terlalu dikepung kebisingan. Atau memang Ki Rengges sendiri yang sudah rada tuli"
"Jangan sembarangan kau, Ki!" ledak Laba-laba Hijau.
"Dia tak akan memberi ampun pada setiap lawan!"
"Oh, maaf. Habis, di luar berisik sekali," ucap Ki Rengges buru-buru.
"Siapa tadi?"
"Pratamp Shirapong." Ki Rengges tak mau menyebut nama itu.
Takut salah. Kalau salah lagi, lelaki dari Negeri Campa di sebelahnya sudah mengepalkan jari tangannya.
"Nah, sekarang, cepat keluarkan anak gadismu, Ki Rengges. Setan Madat sepertinya sudah tak sabar untuk memilikinya," cetus Jalak Merah.
"Sabar, sabar. Nikmatilah makanan di ruangan depan sana dulu. Istriku masak sangat banyak tadi siang," ujar Ki Rengges.
"Tidak. Kami tidak lapar. Cukup tuak ini saja yang menjadi hidangan kami," tolak Laba-laba Hijau.
Jawaban Laba-laba Hijau agaknya mewakili Jalak Merah dan Pratamp Shirapong. Buktinya, kepala mereka mengangguk-angguk tanda setuju.
Tapi bagi Ki Rengges jawaban itu makin membuatnya gelisah.
Gawat! Bisa gagal rencana Satria! Gerutu Ki Rengges dalam hati. Matanya sebentarsebentar melirik ke kamar Ratih. Lalu ke arah keramaian di depan sana. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Kenapa kau, Ki" Kau gelisah sekali" Ada yang mengkhawatirkanmu?" tanya Laba-laba Hijau, curiga.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya masuk angin sedikit," tangkis Ki Rengges.
"Apa kau keberatan anak gadismu dibawa ke Hutan Sawangan" Kalau keberatan bilang saja.
Jadi kami gampang memberesimu sekarang juga," kali ini Pratamp Shirapong yang buka mulut setelah dari tadi diam saja. Mungkin manusia ini terlalu asyik dengan suguhan madat Ki Rengges.
Buktinya matanya memerah saat menatap nyalang pada lelaki tua kepala desa itu.
"Tid..., tidak. Ak..., aku tidak keberatan.
Tap..., tapi hanya merasa sedih harus berpisah dari anakku," gagap Ki Rengges.
"Bagaimana kau ini, Ki. Kau kan salah satu anggota Setan Madat. Dan kau bebas menengok anakmu di Hutan Sawangan kapan saja. Nah, sekarang panggil anakmu," ujar Jalak Merah tegas.
Ki Rengges mulai beranjak ketika di ruangan depan suasana gaduh mulai agak reda. Suara gelak tawa mulai menipis. Yang ada kini hanya ocehan-ocehan tak beraturan dan gumamangumaman tak bermakna.
Tepat ketika Ki Rengges memasuki kamar Ratih, beberapa orang berpakaian serba hitam yang menjadi prajuritnya Setan Madat bertumbangan. Dan suasana pun senyap.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau terpana saling pandang. Sedang Pratamp Shirapong lebih hebat lagi. Matanya mendelik seolah tak bakal mengatup lagi. Giginya bergemelutuk seketika.
"Bajingaaaann! Kita dikelabui tua bangka itu!" ledak Pratamp Shirapong langsung menyusul ke kamar Ratih, mengejar Ki Rengges. Jalak Merah dan Laba-laba Hijau melompat ke arah ruangan depan. Di lantai, sepuluh orang berpakaian serba hitam teman mereka telah terbujur nyenyak. Kedua tua bangka ini segera memeriksa makanan dan minuman yang terhidang. Mengendus-endus, mirip kucing dapur.
"Benar kata Pratamp Shirapong. Kita tertipu. Makanan dan minuman ini mengandung madat berkadar tinggi yang dicampur ramuan tertentu, sehingga membuat mereka mabuk sangat berat! Keparat tua bangka itu!" sumpah serapah terlontar dari bibir kendor Jalak Merah. Tanpa menjawab kata-kata Jalak Merah, Laba-laba Hijau segera kembali ke tempat semula, lalu menyusul Pratamp Shirapong. Jalak Merah segera mengikuti.
Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap sepuluh orang berpakaian serba hitam itu" Inilah sebagian dari siasat Satria. Tak percuma rupanya bocah tengik itu menjadi murid Tabib Sakti Pulau Dedemit. Soal ramu meramu, jangan tanya. Walau tak setaraf gurunya, paling tidak si pemuda punya bekal tentang obatobatan. Maka ketika pemuda ini minta madat pada Ki Rengges, lelaki tua ini jadi mendelik tak percaya. Tingkah apa lagi yang akan dibuatnya" Apa Satria sudah keranjingan madat" Tidak. Si pemuda justru meraciknya dengan beberapa getah tumbuhan yang juga mengandung zat-zat pelumpuh syaraf. Biasanya, tumbuhan itu digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dalam pengobatan. Racik punya racik, lalu ditambah jahe, kunyit, dan bawang putih, Satria lantas mencampurkannya dengan masakan yang dibuat istri Ki Rengges. Untuk minumannya, Satria tinggal menambahkan sari jeruk nipis pada tuak yang terhidang. Hasilnya, cukup memuaskan walau agak melenceng sedikit.
Sedianya, Satria mengharapkan Jalak Merah dan Laba-laba Hijau serta Pratamp Shirapong ikut maka dan minum di rumah Ki Rengges. Tapi ternyata mereka menolak. Padahal kalau mereka mau, kan tinggal membekuk saja" Itu sebabnya, mengapa Ki Rengges tampak demikian gelisah.
Setelah membubuhkan racikan pembius pada makanan dan minuman, Satria menyuruh istri dan anak Ki Rengges menyingkir dari rumahnya. Itu semata-mata demi keamanan mereka.

* * *



"Mana tua bangka itu, Tuan Pratamp?" tanya Jalak Merah begitu lelaki dari Negeri Campa itu keluar dari kamar Ratih.
"Melarikan diri dari jendela. Kita telah diti-pu mentah-mentah. Rupanya lelaki keparat itu telah berkhianat. Huh! Sejak datang ke tempat ini sebenarnya aku sudah curiga!" dengus Pratamp Shirapong.
"Dan ternyata, aku hanya menemani dua kerbau tua berotak udang!"
"Kau jangan menyalahkan kami, Bangsat! Mana kami tahu kalau tertipu begini"!" bentak Laba-laba Hijau. Terhina sekali dia dikatakan kerbau tua. Berotak udang, lagi.
"Nyatanya" Kalian sebelum pergi ke tempat ini sudah bercerita kalau ada seorang pemuda yang memasuki wilayah ini. Lalu, pemuda itu berseteru dengan kalian?" tukas Pratamp Shirapong.
"Iya, tapi apa hubungannya dengan kejadian ini"!" tuntut Jalak Merah. Tentu saja Jalak Merah juga merasa harga dirinya terinjak-injak.
"Bisa saja pemuda itu mempengaruhi Ki Rengges. Lalu lelaki tua keparat itu sadar, dan Jadi berkhianat terhadap kita."
"Tidak bisa! Ki Rengges telah disumpah sebelum masuk menjadi pengikut Setan Madat!" Laba-laba Hijau bersikeras.
"Apalah artinya sumpah kalau harus kehilangan orang yang disayangi?" balik Pratamp Shirapong.
"Maksudmu?"
"Ah, dasar kalian memang berotak bebal! Putri Ki Rengges itu anak satu-satunya. Dan dia diinginkan oleh Setan Madat. Lantas apakah Ki Rengges membiarkan begitu saja anaknya diambil" Dan mumpung ada seorang pendekar di desanya, kenapa tidak dimanfaatkan tenaga si pendekar" Masihkah kalian belum mengerti?"
"Boleh jadi kami mengerti. Tapi cabut dulu kata-kata penghinaanmu tadi!" ledak Jalak Merah. Makin merah wajah Laba-laba Hijau dan Setan Merah. Dada mereka turun naik, siap meledakkan amarah. Mata mereka pun mendelik gusar. Untuk saat ini, mereka tak ingin memandang Pratamp Shirapong sebagai kawan lagi. Tak pandang bahwa lelaki asal Negeri Campa itu adalah kawan dekat Setan Madat. Kata-kata Pratamp tadi benar-benar menusuk dalam perasaan mereka.
Jangan dikira mentang-mentang mereka tokoh sesat, lantas tak punya perasaan.
"Jadi kalian tersinggung dengan katakataku tadi?" balik lelaki berwajah lebar ini.
"Jelas kami tersinggung!"
"Lalu, apa mau kalian" Bertarung" Kutunggu kalian di luar!" Di ujung kalimatnya, Pratamp Shirapong melesat keluar rumah Ki Rengges. Sejenak Jalak Merah dan Laba-laba Hijau saling memandang.
Lalu ketika kepala Laba-laba Hijau mengegos, keduanya segera menyusul Pratamp Shirapong.
Baru saja kedua kaki Jalak Merah dan Laba-laba Hijau mendarat....
Wuss...! Dua buah pisau milik lelaki asal Negeri Campa itu meluncur dahsyat. Angin menderu mengiringi luncurannya, seperti hendak merobek udara. Kalau kedua lelaki bangkotan itu tokoh kemarin sore, pasti tak akan mampu berkelit.
"Hiaaah...." Dua jengkal lagi dua pisau menggila itu menyentuh sasaran, kedua lelaki uzur ini melentik tinggi. Di udara, mereka berputaran sejenak.
Lalu tak tanggung-tanggung, mereka segera melontarkan pukulan jarak jauh.
Bed! Bed! Tepat ketika kedua pisau tadi menghujam dinding rumah Ki Rengges, dua pukulan jarak jauh milik Jalak Merah dan Laba-laba Hijau meluncur menerabas udara. Saat bergesekan dengan udara, hawa panas mengiringi. Liar dan dahsyat.
"Khaaa...!" Tak mau kalah, Pratamp Shirapong mengerahkan pukulan jarak jauh andalan negerinya.
Tak percuma dia diundang ke Jawadwipa oleh Setan Madat kalau hanya punya kepandaian seujung kuku. Ganas, dua buah angin dahsyat melesat. Dipapaknya kedua angin menderu dari kedua tangan lawan. Blaaggg! Masing-masing pihak terpental mundur.
Belum ada yang kalah. Ketiga orang yang saling menjajal tingkat tenaga dalam itu bangkit kembali. Mata masing-masing menyorot tajam, berusaha menilai satu sama lain.
Pratamp Shirapong menggeser langkahnya ke kiri, tetap dengan kuda-kuda kokohnya. Sedang Jalak Merah lebih aneh lagi. Berlompatan seperti burung jalak, dia memutari lawan. Juga Laba-laba Hijau. Dengan gerakan seperti labalaba menjerat mangsa, dia memutari lawan dengan langkah mundur. Kedua tangannya membentuk cakar, menghadap ke dalam seperti orang memeluk. Pertarungan dahsyat siap berkobar. Siapakah yang bakal jadi pemenang"

* * *



Penduduk Desa Sedayu secara sembunyisembunyl tak ingin terlewat untuk menyaksikan pertarungan dahsyat di depan halaman rumah Ki Rengges yang cukup luas. Sebelumnya, Ki Rengges dan Satria juga sudah memperingatkan mereka untuk tidak dekat-dekat dengan rumah Ki Rengges. Para penduduk mematuhi. Mereka hanya menonton dari balik Jendela, pintu, kandang sapi, atau kubangan tanah. Itu pun dari jarak yang cukup jauh.
Sedangkan Satria dan Ki Rengges sendiri tengah bersembunyi di balik semak yang diperkirakan cukup aman untuk berlindung. Dari sinar mata maupun tarikan bibir si pemuda, bisa ditebak kalau Satria cukup puas dengan hasil siasatnya.
"Apa yang mereka rebutkan, Pak Tua" Sepotong ayam masakan istrimu" He he he.... Seekor anjing berkelahi dengan dua ekor kucing gara-gara sepotong ayam," oceh si pemuda berbisik.
"Ah, masa' gara-gara sepotong ayam?" tukas Ki Rengges, terbawa ocehan si bocah tengik.
"Ya, pasti gara-gara siasatmu! Mereka pasti saling tuduh, begitu melihat orangorang berpakaian serba hitam itu ngejoprak tak berdaya!" Aku juga sudah tahu, Pak Tua! Sambar si pemuda dalam hati. Kalau sudah tahu, kenapa tanya" Ah, tengik juga bocah ini. Satria lantas mengalihkan perhatian ke arah pertarungan kembali.
"Taruhan, Pak Tua" Kau pegang siapa?" ocehnya lagi.
"Kelihatannya, lelaki berwajah lebar yang tadi mengaku bernama Pratamp Shirapong yang menang. Gerakan silatnya lebih cepat dan ganas.
Tapi, gerakannya kok sepertinya bukan seperti silat Jawa" Aneh sekali," cetus Ki Rengges.
"Lho" Kau sendiri yang tadi cerita, kalau lelaki itu dari Negeri Campa. Ya, pasti silatnya bera-liran sana!" tukas Satria.
"Oh, iya. Aku lupa." Hari kian merangkak menuju petang. Kegelapan mulai mengepung. Matahari kian lelah setelah seharian menertawakan isi dunia ini. Cuaca mulai dirasuki hawa dingin. Tapi pertarungan justru kian memanas.
"Heaaa...!" Di kawal satu bentakan yang menghentak jantung, Laba-laba Hijau mendahului Jalak Merah dalam menyerang. Begitu tepat berada di depan Pratamp Shirapong tubuhnya mencelat dengan kaki kanan terjulur ke wajah lawan. Ganas sekali.
"Hiaaa...." Jalak Merah tak mau kalah. Dari samping kiri dia melompat bak seekor burung jalak melihat ular pohon. Kedua tangannya yang mengembang layaknya sayap menyambar-nyambar ganas.
Tenang, Pratamp Shirapong menanti serangan. Perhatiannya terpaksa harus dibagi dua.
Tapi dari tarikan wajahnya, bisa dipastikan kalau dia tak menganggap remeh kedua serangan lawan.
"Chaaa...!" Dua jari lagi tendangan Laba-laba Hijau mendarat, Pratamp Shirapong memalangkan tangannya ke depan wajah. Sedangkan kaki kirinya terangkat lurus, menghadang serangan Jalak Merah dari samping.
Krak! Cepat sekali Pratamp Shirapong menggunting kaki Laba-laba Hijau dengan kedua tangannya. Suara berderak tulang patah terdengar. Lelaki botak berbaju serba hijau itu langsung jatuh di tanah dan meringis serba salah. Ringisannya makin membuat wajahnya sulit di-gambarkan.
Jelek sekali. Tak! Pada saat yang sama, kaki Pratamp Shirapong terhantam kibasan tangan Jalak Merah. Sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi. Tapi, apa hasilnya" Malah tubuh Jalak Merah yang terjajar dua tombak jauhnya. Dia tadi bagaikan menghantam kaki baja yang kerasnya minta ampun. Jalak, Merah menganggap, sambaran tangannya tadi bakal mematahkan kaki lawan. Tapi justru tangannya yang berdenyar-denyar sampai ke lubuk hati.
Itulah kecerdikan lelaki dari Negeri Campa itu. Ketika menghadang serangan Jalak Merah, tentu saja kaki kirinya telah dilapisi dengan tena-ga dalam tinggi. Ketika adu pukulan jarak jauh tadi, sengaja lelaki berwajah lebar ini mengerahkan sedikit tenaga dalamnya di bawah kedua lawan. Karena dia tahu, kalau lawan sudah terpancing amarahnya, apalagi dari golongan sesat, akan langsung mengerahkan tenaga dalam setinggi-tingginya. Apalagi, macam Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang memang terlalu bodoh untuk dipecundangi. Kedua lelaki bangkotan itu tentu mengira kalau tenaga dalam Pratamp Shirapong hanya beda sedikit di bawah mereka. Maka dengan keyakinan kuat, mereka memantapkan serangan. Dan Pratamp Shirapong boleh berbangga hati melihat hasil kerja otak cerdiknya. Kedua lawan tampak menderita lahir batin. Tenaga dalamnya yang dikira lawan tak seberapa, ternyata dahsyat bukan kepalang. Dan itu memang salah kedua lelaki bangkotan itu sendiri. Terlalu ceroboh, dan gampang terbawa amarah.
"Bajingan! Kuhancurkan kepalamu, Orang Campa!" robek Jalak Merah lewat suara sembernya. Tak sudi dia melihat sahabat karibnya dibuat cedera seperti itu. Begitu bangkit, diterjangnya Pratamp Shirapongi! Kali ini, lelaki berpakaian serba merah ini tak mau main-main lagi. Begitu menerjang, golok besarnya segera tercabut dari pinggang.
Wukh! Wukh! Dua tebasan menggila dibuat Jalak Merah.
Dalam hati, lelaki ini menyesali, kenapa tadi Laba-laba Hijau terlalu ceroboh sehingga lupa menggunakan jaringnya. Tapi sebentar kemudian dia juga merutuki kebodohannya sendiri, kenapa tidak menggunakan golok dari tadi"
"Hup!" Satu liukan manis dibuat Pratamp Shirapong. Ketika golok besar lawan menebas dari kanan ke kiri, lelaki dari Campa ini menarik tubuhnya ke belakang agak ke kiri. Dan ketika golok menyabet dari kiri ke kanan, tubuhnya sudah merendah. Lalu sekali menyentak kakinya ke depan, maka kepalanya sudah meluncur lurus ke perut Jalak Merah.
Bekhh! "Heekkh!" Jalak Merah melongo tak percaya. Bibir kendornya lantas menjebik-jebik seperti orang berusaha buang hajat, tapi tak keluar-keluar. Kepala Pratamp Shirapong mantap sekali menghantam ulu hatinya. Penderitaan luar biasa pun dialami lelaki bangkotan itu. Bahkan saat sang kepalan menghantam, angin dahsyat tak tahu malu ikut keluar dari pantat teposnya. Soal sakit, jangan tanya lagi. Buktinya saat jatuh terduduk, mulutnya langsung meringis dengan kedua tangan memegangi perut yang terasa diaduk-aduk. Sementara, golok-goloknya ngelayap entah ke mana.
"Sekarang, giliran kepalamu yang akan kuhancurkan. Hih!" Seiring dengusannya, Pratamp Shirapong melepas tendangan ke kepala lawan. Pelan sekali kelihatannya. Tapi dari angin yang menderu terasa kalau tendangan itu tidak bisa dianggap mainmain. Sebodoh-bodohnya Jalak Merah, akan lebih bodoh lagi kalau tak cepat menghindar. Sesakit-sakit di perutnya, akan lebih sakit kalau kepalanya hancur. Jelas, dia merasakan angin dahsyat mengiringi tendangan lawan. Padahal, dia kini dalam keadaan terduduk, menikmati sakitnya.
"Uts...!" Jalak Merah membuang tubuh ke kanan.
Dia cepat berguling-guling, sementara tendangan lawan hanya memangkas angin.
"Jahanam! Masih alot juga kau rupanya!" sembur Pratamp Shirapong.
Selagi Jalak Merah masih bergulingan, Pratamp Shirapong sudah memasang kuda-kuda kokoh. Kedua tangannya menyatu pada bagian pergelangan tangan, membuka di depan pusar.
Bed! "Jalak Merah, awaaaass!" Laba-laba Hijau berusaha memperingatkan Jalak Merah yang bergulir ke arahnya. Tapi rasanya, teriakannya sia-sia saja. Untuk itu, semangatnya segera dikempos. Lalu sebisanya, dia melompat sambil menghentakkan tangan, memapak pukulan jarak jauh ganas milik Pratamp Shirapong. Blakkk! Sebentuk angin bertenaga ribuan kati menghentak dada Laba-laba Hijau. Sementara angin pukulannya sendiri seperti ambyar begitu saja, bahkan mungkin ikut menyatu dengan angin pukulan lawan. Akibatnya, lelaki botak itu terpental jauh, lalu menabrak sebuah pohon besar tak jauh dari halaman rumah Ki Rengges.
Tetesan darah merah saat tubuh Laba-laba Hijau meluncur mengisyaratkan kalau lelaki botak itu terluka dalam amat parah. Bahkan saat tubuhnya menyentuh tanah, sudah tak bergerakgerak lagi. Jalak Merah yang baru saja bangkit berdiri tercekat. Matanya memandang tak percaya ke arah jasad sahabatnya. Liar, kini matanya menghujam ke tubuh Pratamp Shirapong yang tersenyum mengejek.
"Kau harus bayar nyawa sahabatku, Keparat! Heaaa...!"
"Kau jangan bisa omong terus. Buktikan! Hiaaa...!" Dua teriakan terdengar saling susul. Bukan sekadar bersaing siapa paling keras, tapi juga bersaing nyawa siapa yang bakal lepas. Mereka sama-sama mengerahkan pukulan jarak jauh berisi tenaga dalam tinggi. Tak ada yang bisa mencegah pertarungan kecuali kematian. Kejap selanjutnya.... Blaamm! Benturan hebat terjadi di udara yang merambat malam. Begitu hebatnya, hingga menciptakan bunga api ke segala arah. Terangnya bulan purnama makin diperterang lagi oleh bungabunga api tadi, walau hanya sekejap.
"Aahh...!" Pekikan menyayat terdengar dari kerongkongan Jalak Merah. Pekikan asli tak dibuatbuat. Penuh penderitaan. Seiring pekikannya, tubuh lelaki bangkotan itu terpental. Melayang di udara seperti dihempas kekuatan dahsyat.
Bruk! Keras, tubuh Jalak Merah mencium tanah.
Kedot juga nyawa manusia uzur ini. Walaupun dari mulutnya mengalir darah berwarna kehitaman, tapi dia berusaha untuk bangkit.
Sebelum Jalak Merah berhasil dengan usahanya, Pratamp Shirapong telah memasang kuda-kuda kokohnya kembali. Agaknya dia bernafsu untuk segera mengakhiri umur lelaki tua lawannya. Tapi sebelum hal itu terjadi, entah dari mana datangnya tahu-tahu di belakang Pratamp Shirapong telah berdiri seseorang.
"Tahan serangan. Tak sepantasnya kau bertarung dengan lawan yang tak berdaya!" Melengak, Pratamp Shirapong berbalik.
Matanya yang sipit dibukanya lebar-lebar. Siapa perempuan cantik di depannya yang membentak tadi"
"Siapa kau"!"

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

ARYA Wadam"! Apa yang dilakukannya di sini" Ah, pasti dia mencari aku. Dan itu pasti berkat pertolongan Kakek Dongdongka. Tapi, wah celaka! Kenapa dia malah ikut-ikutan menghadapi orang Campa itu"!" gerutu Satria masih di balik semak tempat persembunyiannya.
"Kau kenal gadis yang baru datang itu, Satria?" tanya Ki Rengges.
"Dialah gadis yang kucari-cari, sehingga aku sampai di desamu ini, Pak Tua," jawab Satria Jujur.
"Kalau begitu, kenapa kau masih saja bersembunyi di sini?" Ya! Kenapa aku masih bersembunyi di sini" Sambar Satria merutuki keterpanaannya. Pemuda tengik ini segera keluar dari persembunyiannya. Enteng sekali langkahnya. Entah apa penyebabnya. Karena ada Arya Wadam yang tengah dicari-carinya, atau karena siasat yang disusunnya berhasil dengan baik.
"Arya Wadam! Ke mana saja kau" Kucaricari, tak tahunya malah muncul di sini," kata Satria, nyerocos begitu saja.
Seolah dia tak menganggap kalau Pratamp Shirapong ada di situ.
Begitu berbalik, Arya Wadam tersentak. Satria" Jerit hatinya. Wajahnya yang semula tegang menghadapi Pratamp Shirapong kontan berbalur kebahagiaan. Walau sudah menduga kalau bocah tengik itu ada di desa ini, tak urung gadis ini merasa bergetar bukan main.
"Apa yang kau lakukan di sini" Menghadapi kunyuk Campa itu" Ah, dia tak berarti buatmu.
Biar aku saja yang menghadapinya. Biar lebih cepat selesai urusan," ujar Satria seenaknya.
"Kau tanya apa yang kulakukan di sini, Satria" Kok pertanyaanmu begitu?" ucap Arya Wadam, galau.
Satria jadi blingsatan. Bodoh! Rutuknya.
Kenapa aku malah tanya begitu"
"Maksudku, kau di sini mencari aku, ya" Eh, bukan. Maksudku, apa kau sudah bertemu Kakek Dongdongka" Dan apakah dia su...."
"Bangsat!" Bentakan berisi tenaga dalam merampas suara Satria. Si pemuda melengak. Dadanya berguncang hebat. Untung dia cepat menguasai diri.
Ditatapnya tajam-tajam kedua bola mata Pratamp Shirapong yang membentak tadi.
Dahsyat! Jahanam! Desis Pratamp Shirapong dalam hati. Tatapan pemuda itu membuat sukmaku seolah bergetar! Tatapan guruku pun tak segarang ini. Dan tanpa sadar, kaki lelaki ini bergerak mundur.
"Kau anggap aku apa, heh"!" bentak Pratamp Shirapong, tak segarang tadi.
"Kau mau kuanggap apa" Nyamuk" Lalat" Kepinding" Atau, kecoak?" balik Satria tenang.
Dia sudah berdiri di samping Arya Wadam kini.
"Pemuda kemarin sore mau jual lagak. Siapa namamu, Bocah?" cibir Pratamp Shirapong.
"Satria."
"Melihat ciri-cirimu, menurut Setan Madat kau adalah Satria Gendeng. Betul itu?"
"Tolong jangan sekadar melihat ciri-cirinya.
Bisa jadi Setan Madat tak lengkap menyebutkan ciri-ciriku. Ada satu hal yang menjadi ciri-ciri utamaku."
"Apa itu?"
"Ketampanan wajahku. Jangan ngiri, ya.
Aku maklum, tampangmu tak lebih dari kunyuk Campa," ejek Satria, habis-habisan.
"Jahanam! Mulut lancangmu perlu kurobek-robek sekarang juga! Heaaa...!"
"Minggir dulu, Arya. Nanti obrolan kita dilanjut lagi." Arya Wadam menurut. Diberinya kesempatan buat Satria dalam menghadapi lawan.
Kemurkaan Pratamp Shirapong dibuktikan dengan serangan pukulan bertubi-tubi. Kepala dan dada lawan jadi sasaran. Kecepatannya luar biasa, dikawal suara menggetarkan sukma.
Bed! Bed! Satria mengenyahkan tubuhnya ke samping kiri. Kaki kanannya bergerak maju secara menyilang, lalu kaki kiri membuat sapuan ke perut lawan. Wutt! Lawan rupanya telah membaca gerakan Satria. Ditahannya kaki kiri pemuda tengik itu dengan tangan kanan.
Pak! Menggunakan tenaga benturan, Pratamp Shirapong memutar tubuhnya. Kaki kirinya langsung melepas tendangan setengah lingkaran. Sasarannya, dada lawan yang hendak menegakkan tubuhnya. Satria tercekat. Sungguh tak disangka lawan pun bergerak secepat itu. Kini baru terbukti bahwa makhluk dari Campa ini mempunyai gerakan silat yang sangat cepat. Tapi bukan Satria namanya kalau begitu saja sudah patah semangat. Secepatnya, si pemuda memalangkan kedua tangannya di depan dada.
Pak! Luar biasa. Tubuh Satria sampai terdongkel, lalu jatuh terduduk di tanah. Napasnya ngosngosan. Tangannya terasa nyeri bukan main sampai ke tulang sumsum. Ringisan jeleknya mengisyaratkan kalau tendangan tadi adalah sebuah peringatan baginya.
Pratamp Shirapong telah berada dalam sikap siap sedia. Kuda-kudanya dipasang kokoh.
Tatapannya nyalang, memandang lawan yang seperti kakek-kakek terserang encok.
Di dada Satria, kemarahan mulai merasuki benaknya. Kendati tidak seharusnya kemarahan itu kepada Pratamp Shirapong, karena urusannya adalah dengan Setan Madat, tapi sudah cukup beralasan baginya untuk sedikit melampiaskannya pada lelaki ini. Sebab, biar bagaimanapun, Pratamp Shirapong termasuk kaki tangan Setan Madat yang cukup berbahaya.
"Hup!" Lewat satu sentakan perut, Satria Gendeng bangkit. Tatapannya kian nyalang, hendak melahap tubuh lawan. Darahnya dibuat mendidih.
"Boleh juga kemampuanmu, Anak Muda, Tapi kau akan kubuat mampus! Heaaa...!" Kalap, Pratamp Shirapong menerjang. Tendangan lurus datang ke arah si pendekar muda.
Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan dalam jarak yang demikian dekat.
Deb! Deb! Hantaman kaki lelaki dari Campa itu hanya menyambar angin, menampar-nampar udara. Sementara si calon sasaran justru telah berpindah tempat, berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terkejut pada gerak bagai bayangan lelaki Campa, Satria tak ingin mundur barang setapak pun. Dikejarnya Pratamp Shirapong.
"Hiaaa...!" Tendangan lurus pula dibuat Satria. Tubuh lawan yang baru mendarat hendak dijadikan sasaran. Dikawal teriakan naga muda murka, si pemuda tengik tak mau menyia-nyiakan kesempatan, selagi lawan belum membuka jurus baru.
Sayang, Satria salah perhitungan. Karena mendadak, tubuh Pratamp Shirapong berbalik dengan tangan kanan menghentak. Tidak dengan kuda-kuda, tapi hanya memutar tubuh. Maka pukulan jarak jauh terlontar sudah. Akibatnya....
Splasssh.... Blangg...! Tubuh pendekar muda itu terlempar jauh....

* * *



"Satria...!" Bebas dari tercekatnya, Arya Wadam menghambur ke arah jatuhnya Satria Gendeng.
Langsung diraihnya bahu si pemuda, dan disandarkan di paha kirinya.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam, khawatir.
"Enak...," sahut Satria lirih. Darah mengalir di sudut-sudut bibir.
"Kau terluka dalam begini enak?"
"Maksudku, bersender di pahamu enak." Arya Wadam serba salah. Mau marah keadaan Satria sedang begini. Mau tak marah, katakata si pemuda membuatnya jengkel setengah mati. Entah, setan mana yang merasuki pemuda tengik ini.
"Biar dia kuhadapi, Satria!" cetus Arya Wadam, diletakkannya tubuh Satria di tanah. Sial! Baru enak-enakan tidur di paha Arya Wadam, sekarang malah tidur di samping kotoran ayam! Satria memaki dalam hati.
Satria tak bisa menggerutu lebih banyak lagi, karena harus memusatkan perhatian pada, pertarungan antara Arya Wadam dengan Pratamp Shirapong yang baru saja berlangsung.
Deb! Deb! Deb! Tiga sodokan sisi telapak kaki Arya Wadam lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata Arya Wadam sendiri yang boleh dibilang cukup diperhitungkan dalam dunia persilatan. Kepala lelaki dari Campa itu seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sama sekali tak bergeming. Bila kaki gadis itu menohok ke samping kiri, kepala lawan tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya.
Di akhir serangan beruntun barusan, kaki Arya Wadam membuat satu putaran dengan bertumpu pada sendi lututnya. Seakan hendak dipuntirnya Pratamp Shirapong.
Kecil kemungkinan selamat bila manusia dari Campa itu hanya menggerakkan lehernya kali ini. Sebab, putaran kaki lawan telah menutup ruang gerak otot lehernya.
Wutt! Kembali bergerak bagai bayangan, tangan Pratamp Shirapong mendadak terangkat. Lalu disambarnya kaki lancang si gadis.
Tap! Mata Arya Wadam membeliak. Cengkeraman tangan di kakinya bagai sebuah penjepit raksasa yang sanggup meremukkan tulang-tulang kaki si gadis. Keras. Kuat. Dan mengunci erat, Arya Wadam berusaha melepaskan kakinya dengan mengerahkan tenaga dalam. Tidak bisa.
Perlahan tapi pasti, tangan kekar Pratamp Shirapong mengangkat kaki Arya Wadam. Tentu saja si gadis sadar, kalau tetap bertahan demikian, tangan jahil lelaki ini pasti akan menjalar ke daerah terlarangnya.
Untuk menyelamatkan miliknya yang paling berharga, Arya Wadam segera memanfaatkan tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk mengangkat tubuhnya ke udara.
Lalu....
"Hiaaa...!" Dalam keadaan miring di udara, Arya Wadam memutar tubuhnya setengah lingkaran. Sebelah kakinya yang bebas diayunkan berbareng dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya, tangan lawan yang mencengkeram kaki lainnya, sekaligus menghantam leher.
Sayang, serangan Arya Wadam mudah dibaca Pratamp Shirapong. Sama sekali tak berbahaya. Apalagi sanggup menyetak nyali lawan. Sebelum serangannya sampai, lawan telah mencengkeram kaki dengan kedua tangannya, sekaligus memutar tubuh Arya Wadam di udara.
Dan... Shuuttt.... Tubuh Arya Wadam terlempar deras. Sangat deras. Brukkk! Luncuran tubuh si gadis baru berhenti ketika menabrak pohon mangga di halaman rumah Ki Rengges. Dari mulut si gadis meleleh darah segar. Benturan antara badan dengan pohon yang amat keras, membuatnya meringis-ringis.
Sebelum Arya Wadam bisa berbuat apaapa, Pratamp Shirapong telah melanjutkan serangannya. Lebih gila lagi, kali ini ditelapak tangan kanannya telah terdapat dua buah pisau belati sepanjang satu jengkal. Dan dalam sekejapan....
Wuss...! Wuss!! Meluruklah dua buah pisau belati membawa angin keras.
Terkesiaplah wajah Arya Wadam, si calon korban. Namun mendadak....
Cletarr! Trang! Trang! Gila! Sungguh gila! Pada saat yang gawat itu tiba-tiba Satria Gendeng yang telah bisa mengobati dirinya dengan menyalurkan hawa murni telah meluruk cepat.
Di tangan kanannya telah tergenggam senjata Kail Naga Samudera yang langsung dilecutkan. Hasilnya, kedua pisau belati itu tertahan, lalu mendadak meluncur ke si pemilik. Luncurannya lebih hebat semula.
Melotot, Pratamp Shirapong membuang tubuhnya ke samping kalau tak mau jadi santapan belatinya sendiri. Dengan wajah gusar, dia berusaha bangkit. Inikah senjata Kail Naga Samudera yang diinginkan Setan Madat" Hati Pratamp Shirapong berbisik lirih. Matanya tak lepas melekat pada senjata di tangan lawan mudanya. Pantas, Setan Madat begitu berminat. Senjata itu memang dahsyat, bisik hatinya lagi.
"Serahkan senjata itu baik-baik padaku, Anak Muda. Maka nyawamu akan kuampuni," kata lelaki dari Negeri Campa itu, dingin.
"Kau mau benda ini?" Satria melecutkan Kail Naga Samudera.
Sekaligus melampiaskan kekesalannya, karena masih ada saja makhluk yang menginginkan senjata pusakanya. Malah dengan cara seenaknya, tanpa susah payah. Meminta.
"Rebutlah dari tanganku?" tantangnya.
"Keparat laknat! Kau kira aku tak bisa merebut dari tanganmu! Lihat saja! Heaaa...!" Bertubi-tubi, Pratamp Shirapong mengebutkan tangannya. Tahu-tahu beberapa pisau belati telah melesat. Amat cepat. Ganas. Lebih ganas dari sebelumnya.
Cekatan, si pemuda memutar Kail Naga Samudera secepat mungkin. Secepat yang dia mampu. Secepat kekuatan angin menghempaskan ombak di pantai karang.
Trang! Trang! Trang! Tiga buah pisau belati terhantam ujung Kail Naga Samudera yang berupa ekor naga. Dua buah mental tak jelas ke mana. Sisanya memutar balik, meluncur balik ke si pemilik tadi berdiri.
Wuss...! Namun Pratamp Shirapong telah lebih dulu berpindah tempat. Tubuhnya telah meletik ke udara. Dari ketinggian sekitar tiga tombak, lelaki sesat ini melepaskan pukulan jarak jauh. Kuat.
Bertenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!" Splash! Suara menderu mengiring luncuran sebentuk angin keras mengancam keselamatan Satria.
Apa yang dilakukan si pemuda bertabiat sederhana namun ceplas-ceplos itu"

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

JUSTRU Satria makin memutar Kail Naga Samudera lebih ganas lagi. Hanya saja, kalau semula membentuk lingkaran ke depan, maka kali ini membentuk lingkaran ke atas. Seakan gulungan putaran Kail Naga Samudera memayungi tubuhnya. Akibat putaran yang sangat kuat, tercipta satu benteng kasat mata yang amat kokoh di atas kepala Satria. Dan ketika angin pukulan Pratamp Shirapong menghantam....
Cplashhh...! "Heh"!" Masih di udara, Pratamp Shirapong mendelik. Pukulan jarak jauh miliknya justru berbalik ke arahnya. Padahal, dikerahkan dengan tenaga dalam tinggi. Malah luncurannya lebih cepat dari sebelumnya. Tak bisa lagi dia menghindar dalam keadaan di udara.
Lalu.... Blangg...! Pratamp Shirapong terpental. Melayang deras berkawal pekikan terlontar dari kerongkongan. Ketika jatuh di tanah, dia menggeliat sebentar. Kejap kemudian tubuhnya sudah mengejang kaku. Mati di negeri orang.
Satria Gendeng telah memasukkan kembali Kail Naga Samudera ke pinggangnya. Ditatapnya sejenak mayat Pratamp Shirapong dari jarak sepuluh tombak. Lalu perhatiannya beralih pada Arya Wadam.
"Kau tak apa-apa, Arya?" tanya Satria. Di-tolongnya Arya Wadam berdiri.
Ketika terjadi pertarungan antara Satria dengan Pratamp Shirapong tadi, si gadis berusaha menyembuhkan luka dalamnya yang tak begitu parah dengan menyalurkan hawa murni.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Arya Wadam, tak ingin dikasihani.
"Untuk menjaga kesehatanmu, minumlah obat ini," Satria mengambil sebutir obat dari balik kain di pinggangnya. Lalu diserahkannya obat pulung pada Arya Wadam.
Tersenyum, Arya Wadam menggeleng.
"Luka dalamku tak begitu parah, Satria. Dengan hawa murni, sebentar saja sudah sembuh," tolaknya. Satria kembali memasukkan obat pulung itu ke dalam ikat kain di pinggangnya.
"Apa kabarmu, Arya. Wajahmu makin cantik saja," cetus Satria memberanikan diri. Entah kenapa, hanya pada Arya Wadam pemuda tengik ini susah bersikap wajar. Sifat ceplas-ceplosnya mendadak lenyap. Padahal kalau soal cinta, dia tidak buta sama sekali. Artinya, Satria punya pengalamanlah walau cuma sedikit. Tapi terhadap Arya Wadam pengalamannya seperti tak berarti sama sekali. Untung saja, Satria cukup pandai merubah kekakuannya. Dia mampu mengendalikan diri agar tidak keseleo lidah lagi. Kata-katanya mulai diatur rapi.
"Merayu, ya?" balik Arya Wadam.
"Kalau itu kau anggap merayu, memang kenapa?" Kali ini Arya Wadam yang memerah dadu wajahnya. Tak sanggup dia menatap balik Satria.
Si pemuda seolah hendak menelannya bulat-bulat lewat tatapan matanya. Membuat si gadis tertunduk. Tersipu malu, tapi mau.
"Apakah kau bertemu Kakek Dongdongka, Arya?" tanya Satria memecah kebisuan.
"Ya," jawab Arya Wadam pendek, tetap me-nunduk.
"Dia bilang apa?"
"Katanya kau menunggu di desa ini. Kau mencari-cari aku, ya?"
"Ya. Aku memang mencari-carimu. Habis, aku penasaran denganmu. Kenapa setelah kita menumpas Tujuh Dewa Kematian di puncak Gunung Arjuna kau menghilang begitu saja?"
"Bukankah kau sudah membaca suratku?"
"Itulah yang membuatku makin penasaran mencarimu, hingga ke desa ini. Untung Kakek Dongdongka sudi menemuiku di sini, sekaligus menolongku. Oh, ya. Di mana Kakek Dongdongka menemuimu?"
"Di Desa Karangkemboja Wetan."
"Lho" Bukankah perjalanan ke desa ini hanya setengah harian" Kenapa baru sampai malam ini?"
"Aku ragu-ragu menemuimu. Masa' seorang gadis mendatangi pemuda?"
"Lho" Apa salahnya?" tukas Satria.
"Setan mana yang membuat aturan seperti itu?"
"Menurut adat timur, seorang gadis tak boleh menghampiri pemuda. Pamali namanya. Memang aku gadis murahan?" jawab Arya Wadam mantap.
"Lho, kalau pemuda menghampiri gadis namanya pemuda murahan dong. Memangnya aku pemuda murahan?" balik Satria.
"Ah, ngomong denganmu sama saja ngomong dengan nenek-nenek kehilangan sirih. Malah kau lebih cerewet lagi," ledek Arya Wadam.
Kini keduanya tak ada yang membuka suara lagi. Dan tiba-tiba kening Satria Gendeng berkerut. Penuh tanda tanya.
"Eh, ke mana jasad Laba-laba Hijau tadi?" tanya Satria.
"Tadi ketika kau bertarung dengan lelaki dari Campa itu, kakek yang berpakaian merah dengan tertatih-tatih membawa pergi mayat kakek yang berkepala botak. Kasihan mereka," desah Arya Wadam.
"Ah, kau tak perlu kasihan pada mereka! Kedua kakek itu setali tiga uang dengan lelaki da-ri Negeri Campa itu!" sahut Satria.
"Maksudmu?"
"Semula, mereka berkawan. Akrab sekali.
Tapi setelah kukadali, mereka jadi bertarung sengit dan akibatnya, kau lihat sendiri."
"Aku kurang mengerti ceritamu?"
"Nantilah kuceritakan panjang lebar. Sebaiknya kita masuk rumah Ki Rengges dulu. Aku yakin dia berada di dalam, setelah bersamaku bersembunyi tadi."

* * *



Dengan kebesaran hati, para penduduk Desa dayu telah memaafkan segala kesalahan Ki Rengges. Itu pun berkat jasa Satria yang memberikan pengertian pada mereka. Bahkan si pemuda bertabiat tengik itu ternyata juga bisa menyadarkan para penduduk yang sudah lama terbuai asap madat. Hebat juga pengaruhnya bocah itu! Di rumah Ki Rengges, para penduduk juga telah menyatukan tekad untuk bergotong royong melawan Setan Madat. Gotong royong mereka sebelumnya, dibuktikan dengan menguburkan mayat Pratamp Shirapong dan memberesi sepuluh anak buah Setan Madat yang dibuat mabuk oleh Satria. Kepada Arya Wadam, juga kepada para penduduk Desa Sedayu, Satria Gendeng menjelaskan siasat yang dijalankan ketika melumpuhkan anak buah Setan Madat. Walaupun siasat itu agak melenceng sedikit, tapi tetap berhasil gemilang. Maka semakin kagum saja Arya Wadam terhadap otak encer Satria. Sungguh tak disangka, ternyata pemuda bertabiat sinting itu memiliki otak seencer bubur.
Malam itu pun di depan Arya Wadam, Ki Rengges, Ki Rembang, dan para penduduk lainnya, Satria kembali memaparkan langkah selanjutnya.
"Sekarang, langkah selanjutnya adalah menghadapi Setan Madat. Tapi aku yakin, Setan Madat akan penasaran, lalu menyatroni desa ini," cetus Satria.
"Dia pasti kebingungan, kenapa para pengikutnya tak kembali ke markas."
"Oh, ya. Bagaimana dengan sepuluh anak buah Setan Madat yang kita tawan di gudang belakang rumahku?" tanya Ki Rengges.
"Tenang. Pak Tua. Totokan yang kuberikan cukup untuk membuat mereka istirahat selama empat hari. Dan dalam empat hari itu pula, kita harus sudah menyelesaikan urusan dengan Setan Madat," tegas Satria.
"Kalau kalian bicara soal Setan Madat, aku baru ingat. Di Desa Karangkemboja Wetan pun aku telah berurusan dengan anak buah Setan Madat. Kelihatannya mereka mulai meluaskan sayap ke desa itu pula," cetus Arya Wadam.
Semua mata langsung menghujam ke tubuh Arya Wadam. Si gadis cantik ini bersemangat bercerita.
"Malahan menurut keterangan yang kudapat, Setan Madat juga bekerja sama dengan seorang panglima Kerajaan Demak. Aku tak tahu namanya. Tapi yang jelas, usianya setengah baya.
Badannya gagah dengan kumis dan brewok," lanjut Arya Wadam.
Panglima Bagaspati" Sebut hati Satria, tiba-tiba. Tak mungkin" Sanggahnya.
"Kira-kira, apa tujuan panglima itu berkawan dengan Setan Madat, Arya?" susul Satria, penasaran.
"Pemberontakan."
"Apa"!" Satria Gendeng tercekat. Matanya melebar dengan mulut ternganga.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Arya Wadam?"
"Apa aku pernah berdusta padamu?" Satria tercenung. Kusut sekali pikirannya.
Belum juga urusan dengan Setan Madat tuntas, dia mendengar ada seorang panglima Kerajaan Demak hendak memberontak. Maka saat itu juga naluri kependekarannya terbangkit.
Panglima Bagaspati di Kerajaan Demak adalah sahabat karib Satria. Bahkan si pemuda tengik ini pernah mendapat penghargaan dari kerajaan berkat jasa-jasanya menumpas gerombolan perampok bernama Laskar Lawa Merah yang dipimpin Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa.
(Baca episode : "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Naga Samudera").
Tentu saja, Satria tak sudi ada seorang panglima hendak berkhianat terhadap kerajaan yang sekarang dipimpin oleh Kanjeng Sutawijaya.
Dia harus bertindak. Kalau berlarut-larut, makin sulit untuk memadamkan. Ibarat api jangan dibiarkan menjalar. Kendalikan sejak masih kecil.
"Kalau begitu, kita harus bagi-bagi tugas...."

* * *




--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

BAJINGOAANNN...!" ledak Setan Madat murka. Di hadapannya, terbujur dua sosok mayat. Yang terbalut pakaian hijau adalah mayat lelaki tua berkepala botak. Itulah mayat Labalaba Hijau. Di atasnya, dalam keadaan memeluk adalah mayat Jalak Merah.
Sebelum Jalak Merah menghembuskan napas yang terakhir, dia sempat bercerita kalau luka dalamnya akibat perbuatan Pratamp Shirapong. Tapi bukan itu yang membuat teriakan Setan Madat begitu keras menggetarkan ruangan istana kecilnya. Juga bukan pula meneriaki kematian sahabatnya dari negeri se-berang itu. Tidak.
Setan Madat tak memiliki tabiat cengeng dengan menyesali kematian sahabatnya. Apalagi kematian Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang baginya hanya dianggap dua kucing tua buduk.
Kemarahan Setan Madat disebabkan, kegagalan para anak buahnya dalam merebut Kail Naga Samudera dari tangan Pendekar Gendeng.
Ini yang amat disesalkannya.
"Bangsat! Aku harus cepat menghubungi kawan-kawan segolongan. Atau kalau perlu meminta bantuan Panglima Ganang Laksono untuk menghantam Satria Gendeng! Hmm.... Dari cerita Jalak Merah tadi aku menangkap isyarat kalau Ki Rengges yang menjadi anak buahku telah berkhianat. Dengan begitu, dia telah bersekutu dengan pemuda asing itu. Berarti, mereka menyusun kekuatan untuk menghadapiku. Aku mendahului sebelum didahului!" Tanpa menghiraukan kedua mayat Jalak Men dan Laba-laba Hijau, Setan Madat melangkah keluar istananya. Kakinya mantap menjejak lantai. Tiba di luar, matanya beredar ke sekeliling.
"Sugiri...!" teriaknya.
Salah seorang lelaki berpakaian serba hitam yang menggerombol di pojokan tergopohgopoh menghadap. Wajahnya kasar. Giginya ompong di tengah. Terlihat ketika dia tersenyum yang lebih mirip seringai.
"Kumpulkan anak-anak! Kita serang Desa Sedayu sekarang juga! Sekalian aku ingin menjajal kehebatan pemuda tengik bernama Satria Gendeng!" sabda Setan Madat.
"Baik, Tuan," sahut Sugiri mantap.
"Juga, sisakan beberapa orang untuk mengawasi para pekerja dan gadis-gadis di Kaputren.
Lekas pergi!" ledak Setan Madat.
Dada lelaki ini kian menggemuruh. Terutama bila mengingat pengkhianatan yang dilakukan Ki Rengges. Ingin direjamnya lelaki kepala desa itu bila berada di depannya.
Sementara, matahari pagi mulai mengintip malu-malu di ufuk timurnya. Tapi sinarnya tak membuat cerah wajah Setan Madat. Wajahnya kian mengelam dengan tatapan mata merah.
Baru saja para anak buah Setan Madat berkumpul di halaman....
"Hoi! Ada apa ini rame-rame" Pembagian jatah beras, ya" Aku ikut, dong!"

* * *



Dari arah pagar halaman depan, tiba-tiba melompat seorang pemuda berbaju rompi dari kulit binatang berwarna putih. Wajahnya tampan.
Bergaris rahang jantan. Tatapan matanya setajam sembilu. Rambutnya panjang sebahu berwarna kemerahan. Pada lilitan kain ikat pinggangnya terselip semacam tongkat pendek. Berpangkal logam berbentuk kepala naga. Ujungnya menyerupai ekor naga. Dialah Satria. Wajahnya dipasang tenang. Senyum sumringahnya menghiasi bibirnya yang kemerahan.
"Siapa yang bernama Setan Madat tunjuk tangan!" oceh si pemuda seenaknya. Matanya pu-ra-pura menyapu para anak buah Setan Madat yang sudah mengelilinginya. Padahal, hatinya sudah yakin kalau yang berdiri dekat tiang soko guru di istana kecil itu adalah Setan Madat "Lagakmu memuakkan, Satria Gendeng!" Bukan main bentakan Setan Madat. Langsung dikerahkannya tenaga dalam pada bentakannya. Akibatnya, beberapa anak buah Setan Madat yang mempunyai tenaga dalam pas-pasan langsung jatuh berlutut dengan telinga nyaris pecah.
"Wah, di sini tak ada orang yang bernama Setan Madat, ya" Kok tak ada yang mau tunjuk tangan, sih" Kalau begitu aku pulang saja, deh!" kata Satria, tak terpengaruh bentakan Setan Madat yang terisi tenaga dalam tinggi tadi.
Sedikit kagum Setan Madat melihat ketangguhan si pemuda. Namun itu tak mengurangi tekadnya untuk membunuh pemuda kemarin sore yang kini suka rela mengantarkan nyawa ke istananya.
"Aku, Setan Madat!" sebut lelaki berwajah tirus itu.
"O, kau yang bernama Setan Madat" Dari tadi, kek!"
"Jangan banyak lagak di depanku, Satria Gendeng. Kau kini berada di kandang macan, tahu"!"
"Yang ku tahu, aku berada di kandang bajingan-bajingan perusak masyarakat.
Kau tanam madat dan kau ramu dengan rokok-rokokmu, lalu kau sebarkan ke masyarakat. Kau hancurkan masa depan pemuda dan gadis desa hanya demi nafsu iblismu!"
"Aku tak banyak waktu untuk mendengar khotbahmu, Pemuda Tengik! Hadapi dulu prajurit-prajuritku. Baru kau boleh berhadapan denganku!"
"Siapa pun yang menghalangi langkahku, jangan salahkan kalau daku bertindak kejam!" ancam Satria.
"Jangan banyak bacot! Anak-anak! Serang...!" Begitu mendengar perintah Setan Madat, sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam di bawah pimpinan Sugiri menyerang Satria. Ganas dan menggetarkan. Apalagi, mereka telah menghunus golok sejak tadi. Maka begitu menyerang, kilatan-kilatan golok akibat jilatan sinar matahari bersliweran di seluruh penjuru mengurung si pemuda.
Pada saat yang sama, di kebun-kebun milik Setan Madat terdengar teriakan-teriakan membahana.
"Bakar...! Bakar...!" Tahu-tahu, api telah mengepung kebunkebun madat milik Setan Madat. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Arya Wadam, Ki Rengges, dan para penduduk Desa Sedayu yang selama ini menyimpan dendam pada Setan Madat. Tentu saja tindakan mereka dibantu oleh para pekerja paksa yang juga berasal dari Desa Sedayu. Malah beberapa pemuda yang selama ini dijadikan prajurit oleh Setan Madat, begitu melihat orang tua mereka ikut menyerang tempat ini, jadi berbalik ikut membantu.
"Keparat! Mereka tak bisa didiamkan!" dengus Setan Madat Sekali menghentakkan kakinya, tubuh Setan Madat telah meluncur keluar halaman. Tapi baru saja menjejak tanah, seorang gadis telah berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Keparat!"
"Siapa kau"!" bentak Setan Madat.
"Aku Arya Wadam," sahut gadis yang memang Arya Wadam.
"Apa urusanmu di sini" Kau tak perlu ikut campur. Aku menyayangkan kulitmu yang putih halus. Jangan-jangan nanti terkena cangklong panjangku ini," Setan Madat mencabut cangklong dari kain ikat pinggangnya.
"Justru aku ingin merasakan kehebatan cangklongmu itu, Setan Madat!" tantang Arya Wadam.
"Jahanam! Terima seranganku! Heaa...!" Ganas, Setan Madat membabatkan cangklongnya yang ternyata juga berguna sebagai senjata mematikan. Keras. Sambarannya seolah hendak merobek udara.
Sedikit menarik tubuhnya ke belakang, Arya Wadam mengangkat tangan kirinya. Dipapaknya sabetan cangklong Setan Madat.
Pak! Tangan Arya Wadam tepat menghantam tangan Setan Madat. Tapi justru tangan gadis cantik itu sendiri yang berdenyut-denyut seperti mau remuk tulangnya. Tubuhnya pun tergeser ke kanan, seiring gerakan tangan Setan Madat.
Dari benturan barusan, Arya Wadam bisa menilai kalau tenaga dalam lawan sedikit berada di atasnya. Tapi bukan berarti dia kalah. Wanita ini tak mau dibilang kalah, sebelum nyawa terputus dari badan.
Begitu menguasai keadaan, Arya Wadam memutar tubuhnya. Kaki kanan cepat membuat tendangan melingkar. Calon sasarannya adalah rahang lawan. Bed! Bed! Bed! Tiga kali Arya Wadam mengibaskan sisi telapak kakinya. Tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Karena, Setan Madat dengan cerdik merundukkan tubuhnya. Bahkan seketika dia berputar, melepas sapuan keras ke kaki Arya Wadam yang satunya. Pak! Bruk! Arya Wadam jatuh terduduk. Keras sekali pantatnya mencium tanah. Dan dia segera menggulingkan tubuhnya, menghindari hantaman cangklong panjang milik Setan Madat.
Bluk! Mangkuk cangklong hanya menghantam tanah kosong. Sedang yang jadi sasaran telah berdiri sigap dengan sikap siap tarung kembali.
Di tempat lain, Satria Gendeng mulai mengerahkan jurus warisan Ki Kusumo. Dalam menghadapi serbuan puluhan golok, tubuhnya meliuk-liuk seperti pesut dengan tangan membentuk patuk, siap menghujam di tubuh lawan.
Agaknya, pemuda ini tengah mengerahkan Jurus 'Patukan Bunga Karang'.

* * *



Mampukah Satria Gendeng dan Arya Wadam, serta penduduk Desa Sedayu menghancurkan markas Setan Madat" Bagaimanakah pemberontakan yang akan dibuat Panglima Ganang Laksono" Bisakah Satria Gendeng menggagalkannya" Agar tidak penasaran, ikuti lanjutannya di....

SELESAI

Segera menyusul:
BADAI DI KERATON DEMAK


INDEX SATRIA GENDENG
Tumbal Tujuh Dewa Kematian --oo0oo Badai Di Keraton Demak
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.