Life is journey not a destinantion ...

Geger Pesisir Jawa

INDEX SATRIA GENDENG
Tabib Sakti Pulau Dedemit --oo0oo--Kail Naga Samudera

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

Angkara tak kunjung mati di bumi mana pun.
Setiap kali pertiwi merintih Lahir pula sang ksatria
Menjawab angkara dengan caranya
Meski darah harus tertumpah
Meski jiwa tercacah
Meski tubuh harus terencah
Ini dunia, di mana dia menanam darma Adalah dia pewaris bumi ini
Adalah dia yang tetap hidup Meski telah mati

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

SATRIA berkutat sendiri, melawan tarikan lumpur yang lamat tapi pasti terus menelan dirinya. Semakin dia bergeliat untuk mencapai tepian lumpur dalam yang sulit ditentukan dasarnya, semakin cepat saja tubuhnya tertelan. Di batas leher, matanya membesar. Dia mulai merasa usianya tinggal beberapa tarikan napas saja.
Biar seberani apa pun dia, kendati sekeras apa pun tekadnya untuk menyelamatkan diri, tak urung kepanikan meruyak juga. Dia mulai kelabakan. Terlebih ketika batas dagunya mulai terendam permukaan lumpur berpasir dan berbau lumut itu. Kepanikan tersebut menyebabkan dirinya makin tak bisa lagi mengendalikan gerakan. Karena itu puia dia makin cepat tertelan. Lalu mulutnya pun mulai pula tenggelam dalam permukaan lumpur. Matanya semakin membesar. Kini dia tahu semakin banyak dia bergerak, akan semakin cepat tubuhnya tenggelam. Namun, jika tidak berusaha untuk menyelamatkan diri sendiri, siapa lagi yang akan menolongnya? Ah, siapa tahu ada orang yang kebetulan lewat, pikirnya.
"Tuuooooloooong!" Teriaknya sekuat mungkin. Tak ada seorang pun menampakkan batang hidung. Di kejauhan cuma terdengar suara-suara hewan hutan yang saling bersahut-sahutan untuk memikat pasangan masing-masing. Satria pantang putus asa. Dia mencoba kembali. Lebih keras. Jika perlu sampai urat lehernya membengkak sebesar cangklong.
"Tuuoooloooong Ooooiii, apa ada orang?! Tuoolooong aku, niiiihhh!"
Sama saja. Tetap tak ada yang datang. Paling cuma seekor kadal pohon yang melongo menatapinya dari satu dahan.
Satria makin merasa dirinya cuma menanti merangkaknya detik demi detik ajal sendiri. Akhirnya dia cuma bisa pasrah. Diserahkannya semua. Terutama jiwanya pada Sang Penguasa Segenap Jiwa di Semesta Jagat. Matanya terpejam.
Sampai suatu ketika, telinga bocah tiga belas tahunan itu mendengar sayup-sayup suara halus menghampiri dirinya. Bunyinya mirip desis seekor ular kecil, namun lebih halus. Berpikir kalau ada seekor binatang berbisa sedang mendekati dirinya, Satria membuka mata.
Matanya membelalak besar sekali. Sekali ini bukan karena dia dilanda kepanikan, melainkan keheranan. Disaksikannya ada sebilah bambu kuning kecil berukuran tak lebih besar dari jari telunjuknya sedang meluncur tegak lurus di atas permukaan lumpur Tingginya sekitar setengah jengkal. Bergerak tegak lurus membelah lumpur menuju Satria seolah makhluk lumpur kecil bertubuh kaku.
Apa itu? Bisik batinnya terperangah-perangah. Apa dia telah menyaksikan khayalan sendiri disebabkan nyawanya sebentar lagi akan melayang? Atau ada makhluk halus yang mulai menggoda hatinya untuk meminta pertolongan?
Kurang satu tombak dari tempat Satria, tonggak bambu kecii itu berhenti bergerak. Terdengar suara desis yang kian kentara di pendengaran bocah itu. Seperti desah napas. Desah napas?
Satria tak bisa mempercayai itu. Apa mungkin sebilah bambu tengah bernapas? Namun keadaan terancam maut tak memungkinkannya untuk bertanya-tanya dalam hati lebih jauh. Karena lumpur sudah tiba di batas hidungnya. Satria tergagap. Lehernya berusaha dijulurkan sejauh mungkin agar dapat terus bernapas. Sayangnya, usaha itu malah makin membuat tubuhnya tenggelam lebih dalam.
Blup!
Tak bisa Iagi Satria bernapas. Seluruh jalan napasnya sudah tertutup lumpur. Tinggal mata dan sebagian kepalanya saja yang masih terlihat. Matanya sendiri membesar seakan hendak mencelat keluar. Tangannya meronta-ronta di atas permukaan iumpur. Tapi, sudah terlambat untuk meminta tolong pada siapa pun. Kerut di keningnya memperlihatkan betapa anak itu tengah meregang nyawa. Napas yang terputus menyebabkan kulit wajahnya mulai membiru.
Sampai akhirnya, kepalanya benar-benar terbenam sama sekali. Tinggal tangannya menggapai-gapai. Dari gerak yang liar, semakin melemah dan lunglai.
Di dalam sana, Satria merasakan seluruh tubuhnya seperti dihimpit dari segenap penjuru...... Dadanya sesak. Mustahil sudah baginya untuk mendapatkan udara segar di dalam lumpur kotor berbau itu. Semuanya gelap. Dia merasakan kepalanya memberat. Rasa nyeri pun berdenyut-denyut. Sebelum bocah berkehendak sekeras baja itu kehilangan kesadarannya. Lamat-lamat dia merasakan kakinya menyentuh sesuatu. Sesuatu yang agak lunak dan kendor seperti daging seorang Jompo.
Jangan-jangan dia mulai berkhayal lagi? Tidak. Satria tidak sedang terbawa khayal akibat keadaan menjeiang maut. Sebab sebelum anak Itu sendiri mempercayal apa yang dipijaknya, mendadak saja tubuhnya terangkat kuat-kuat ke atas.
Blubshh!
Keterkejutannya memaksa dia berteriak kuat-kuat.
"Wuaaaaaaoooooo!"
Lalu tubuhnya benar-benar mencelat keluar dari permukaan lumpur maut, jauh menuju tepiannya! Setelah itu, menyusul mencelat keluar sesosok tubuh yang tak kalah bersimbah lumpur kehitaman dari dalam Iumpur.
Satria jatuh tertelungkup di semak-semak rimbun.
Empat depa di belakangnya, seseorang telah berdiri kaku bagai dedemit lumpur. Tangannya tersilang di dada. Seluruh tubuhnya kotor oleh lumpur kehitaman. Seperti juga kepala tak berambut. Termasuk wajah kerut-kerut tanpa sehelai bulu. Sementara bagian terlarangnya cuma ditutupi oleh kulit ular sanca. Ternyata orang itu seorang kakek amat tua kurus kering. Mulutnya mengulum-ngulum sebilah bambu kuning sepanjang dua tombak yang besarnya tak lebih dari jari telunjuk. Ujung bambu itu yang sebelumnya disaksikan Satria.
"Bocah tak tahu adat Apa kau tak punya mata?! Seenaknya saja kau menginjak perutku!" Teriak si kakek berlumpur dengan mata kelabu membesar dan menyipit bergantian.
Mendengar suara bentakan dari arah belakang, Satria tercekat. Tanpa sempat membebaskan diri dari cengkeraman semak-semak, cepat-cepat dia menoleh. Mulutnya sekeiika itu juga menganga lebar-lebar. Lobang hidungnya kembang-kempis. Matanya tak berkedip. Bocah penuh lumpur itu yakin, seyakin-yakinnya kaiau dia sedang berhadapan dengan dedemit lumpur yang belum lama terbetik dalam benaknya.
"Aaa... aa... aa," Gagapnya. Tak tahu sebenarnya dia hendak mengucapkan apa. Niat bicara pun tidak. Kakek berlumpur merengut.
"Sudah menginjak pantatku, kau meledekku juga. Dasar bocah gendeng tak tahu adat" Makinya kembali.
"Ke sini kau" Perintahnya lagi pada Satria. Satria menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau tak bisa bangun?" Tanya si kakek berlumpur. Sesudahnya dia meraih bambu dari mulutnya. Dengan bambu itu dia membuat satu kebutan kecil menyamping di udara.
Wukhh
Kebutan tadi kecil saja. Bahkan sepertinya tak bisa membunuh seekor lalat yang mungkin kebetulan lewat. Tapi, hasil yang terjadi sungguh luar biasa. Angin kebutannya ternyata sanggup mengangkat tubuh Satria saat itu juga.
"Wuaaoooo!" Sekali lagi Satria berteriak serabutan di udara. Bruk! Dia jatuh terduduk tepat di depan si kakek berlumpur.
"Katakan padaku, siapa kau sebenarnya bocah tak tahu adat" Bentak si kakek botak penuh lumpur seraya bertolak pinggang dl depan Satria yang mendongak pucat menatapinya.
"Ak... ku Satria."
"Satria. Hm nama yang tak begitu buruk. Apa maumu main-main di lumpur?" Main-main? Main-main apa? Orang sudah mau mampus kenapa dibilang main-main? Protes Satria dalam hati. Kalau dipikir-pikir lagi, pantas saja orang tua ini menyebutnya sedang main-main. Sedang dia sendiri dengan seenak hati menyelam di dalam lumpur? Mau apa dia di dalam sana? Hati Satria bertanya-tanya Iagi.
"Kakek sendiri kenapa 'main-main' di dalam Iumpur?" Cetus Satria, tak tahan terhadap rasa penasarannya. Latah, diekorinya pertanyaan orang tua berkepala gundul di depannya.
"Main-main?! Kau bilang aku sedang main-main?" Si kakek aneh mendelik.
"Aku sedang bertapa, tahu!"
"Tidak tahu," Jawab Satria.
"Pantas saja...." Si kakek menganguk-angguk.
"Jadi kau ini... ah, Brengsek! Kau belum menjawab pertanyaanku barusan bukan?"
"Aku terjatuh ke dalam lumpur itu, Kek. Tak sengaja...," Aku Satria, terdengar memelas.
"Kalau kau tak keblinger, kau tentu tak terjerumus ke dalam lumpur, tahu!" Tidak tahu, Kek."
"Bocah gendeng! Kau sudah dua kaii bilang tak tahu. Kau pikir aku bertanya padamu."
"Ada kakek berjenggot mau menenggelamkan aku ke dalam lumpur tempatmu bertapa...."
"Aku juga tak menanyakan itu!"
"Kakek jenggot itu menjentikkan jarinya sedikit, lalu... wuishhh, aku terlempar jauh dan jatuh ke dalam lumpur," Cecar Satria, tak peduli. Tunggu, kau tadi menyebut kakek jenggot?" Satria mengangguk.
"Hm.... Hm.... Hm.,.. Mau apa si jahanam Iblis Dari Neraka Itu."
"Jadi Kakek kenal?"
"Kenal, tahu!"
"Tidak tahu, Kek...."
"Ah, sial kau! Sana pergi! Aku mau melanjutkan tapaku yang kau ganggu. Untung tadi aku masih berpikir untuk melemparmu keluar dari lumpur." Si kakek botak mencelat dari tempatnya berdiri. Tubuhnya masuk kembali ke dalam lumpur. Yang terlihat cuma ujung bambu kuningnya, berdesis halus menghembuskan napasnya dari dalam.

* * *



--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

KEBERINGASAN Laskar Lawa Merah di sepanjang pesisir Jawa Tengah kian hari kian merajalela. Perampokan-perampokan keji berlangsung. Pembunuhan serta pembantaian berdarah tak terelakkan.
Setelah membumi hanguskan desa-desa di sekitar perbatasan Ketawang-Jogoboyo, mereka terus merambah daerah demi daerah. Seperti wabah mengerikan, gerombolan itu merambat ke bagian timur tanah Jawa. Daerah pesisir siap mereka hancurkan.
Dirgasura makin unjuk taring di mana pun dia berada. Juiukan besarnya Tangan Seribu Dewa terikut dalam setiap pembantaian dan perampokan besar. Di samping nama angker gerombolannya yang kian santer di telinga penduduk tanah Jawa dan warga persilatan, julukannya pun makin membuat banyak nyali menjadi gentar.
Kecongkakan, keangkuhan, dan kekejiannya tambah menjadi jadi. Dia merasa dirinya begitu besar. Seolah telah digenggamnya bulat-bulat tanah Jawa.
Pihak Demak yang kini telah menjadi penguasa hampir sebagian besar tanah Jawa, merasa kerepotan juga menghadapi rongrongan Dirgasura dan gerombolannya. Beberapa punggawa pilihan yang tergabung dalam pasukan khusus ditugaskan di bawah pimpinan seorang manggaia untuk menumpas mereka. Sayang belum ada hasil. Di samping karena Laskar Lawa Merah suiit untuk ditaklukkan. Gerakan mereka juga tak mudah untuk dilacak. Satu saat mereka bisa terlihat di satu desa. Setelah menghancurkan daerah tersebut, tiba-tiba saja mereka menghilang seperti segerombolan hantu. Lalu dalam beberapa hari gerombolan orang-orang kejli itu tak pernah menampakkan diri tanpa diketahui kabarnya. Beberapa hari berselang, mereka membuat kejutan baru dengan membuat huru-hara di daerah lain pula.
Manggala Demak yang bertanggung jawab pada penumpasan Laskar Lawa Merah bernama Abdul Malik Bagaspati. Seorang ksatria muda berperawakan gagah. Wajahnya bersih. Tak begitu tampan, namun memancarkan ketegasan dan wibawa. Sinar matanya tajam, seolah tak ada satu hal kecil pun luput dari pengamatannya. Sore itu, pasukan Demak di bawah pimpinan Manggala Bagaspati terlihat berpatroli di sekitar wilayah Ketawang-Jogoboyo. Jumlah mereka tak kurang dari tiga puluh orang. Wajah-wajah para punggawa sudah tampak suntuk. Kepenatan serta keletihan menyerang mereka semua setelah satu harian penuh menjelajah wilayah tersebut. Sementara orang-orang yang mereka buru tak juga ditemukan.
"Kita bermalam di sini" Seru Bagaspati yang berjalan paling depan. Hanya wajah lelaki satu itu yang tak tampak ingin dipermainkan kesuntukan sendiri. Masih saja dia teriihat tegar dan berwibawa dalam keadaan yang demikian berat untuk sepa-ukan orang yang gagah seperti mereka.
"Dirikan tenda!!" Aba-abanya kembali, memerintahkan para punggawa yang bertanggung jawab pada seiuruh keperluan pasukan. Termasuk tenda-tenda dari kuiit hewan.
Anak buah Bagaspati meski dalam keadaan banyak kehilangan tenaga dan gairah segera bergerak sigap. Komando dari atasan tetap komando. Meski bagaimanapun keadaan mereka saat itu. Perintah atasan harus dijunjung, pikir mereka. Apalagi terhadap seorang yang patut dihormati sekaligus dijunjung seperti Manggala Bagaspati.
Tak begitu lama, beberapa tenda selesai. Seorang prajurit tampak mengumpulkan dahan-dahan kering untuk mempersiapkan api unggun. Bagaspati cepat mencegahnya. Dalam keadaan seperti itu, api unggun dapat memancing kecurigaan lawan, kata Bagaspati.
Akhirnya mereka bermalam dalam gelap. Pembagian tugas pun diiakukan. Beberapa prajurit bergantian melakukan penjagaan sementara yang lain beristirahat di dalam tenda. Bagaspati sendiri sama sekaii tak bisa memicingkan mata. Dia bersila resah di depan tendanya dalam diam. Di antara derik jangkrik, terdengar hembusan napasnya yang teratur dan panjang. Jelas, ksatria muda kepercayaan Raja Demak itu tak ingin lengah barang sekejap pun.
Malam terus menyarangkan dingin ke tubuh setiap makhluk. Beberapa saat lagi, hari menjelang tengah malam. Bagaspati mulai merasakan serangan kantuk yang luar biasa. Kelopak matanya berat bagai diganduli oleh beban satu kati. Untuk mengusir kantuk dan hawa dingin, dia berniat hendak melakukan semadi sejenak. Niatnya terpancung manakala telinga lelaki gagah itu mendengar suara mencurigakan dari arah samping tendanya.
Srek!
Kepalanya menoleh siaga. Matanya tak berkedip, berusaha menembus kegelapan. Perlahan tangan kanannya menjemput gagang keris di pinggang. Setiap saat, keris itu siap dihunuskan lalu langsung dihujamkan.
Dari balik semak yang diawasi Bagaspati, sebentuk kepala muncul ragu-ragu. Orang itu rupanya hendak mengintip. Tapi karena terlalu ceroboh, kepalanya malah telanjur terlihat.
"He-he-he, selamat malam Paman," Sapanya seraya menampakkan diri bulat-bulat. Dia telah kepalang tertangkap basah. Orang itu ternyata bocah tanggung berusia tiga belasan. Tak salah lagi... Satria! Dihampirinya tenda Bagaspati. Mulutnya terus cengengesan. Telapak tangannya terus diusap-usapkan satu dengan yang iain. Tiga prajurit yang terdekat dengan tenda Bagaspati menatapi Satria dengan pandangan melompong kebingungan.
"Apa yang tengah kau lakukan di tengah hutan ini, Bocah?" Tanya Bagaspati seraya memasukkan kembaii kerisnya yang telah dikeluarkan setengah.
"Mau...." Satria ragu-ragu. Jangan-jangan mereka orang-orang sesat, pikirnya.
"Ayo, katakan saja," Pinta Bagaspati seraya bangkit dari silanya. Ditawarinya Satria sebaris senyum ramah.
"Kami adalah orang-orang dari Kerajaan Demak. Kau tak perlu takut atau curiga pada kami. Apa kau tersesat?" Satria menggeleng.
"Lalu?" Susul Bagaspati. Wajah anak tanggung itu berubah mengeras. Bibirnya agak menyorong ke depan. Dibarengi dengusan, dia berkata.
"Aku sedang mencari Dirgasura! Aku ingin menyeretnya ke tempat Bibi Cemarawangi karena orang itu telah membuatnya terluka..."
Dirgasura? Gembong Laskar Lawa Merah yang terkenai keji? Apa-apaan bocah macam dia mencari Dirgasura? Bagaspati kini wajib untuk melompong bengong. Terlebih tiga punggawa di dekatnya....

* * *



Ki Kusumo tak pernah kehilangan pengawasan terhadap si bocah kecil Satria. Semenjak anak yang diharapkan menjadi murid pewaris kepandaiannya itu meninggalkan pantai Ketawang, Ki Kusumo terus mengikuti.
Dengan alasan tertentu, orang tua itu meninggalkan Nyai Cemarawangi dan anaknya di gubuk itu. Ada satu hal tentang keadaan Nyai Cemarawangi yang hanya diketahui oieh Ki Kusumo, alias Tabib Sakti Pulau Dedemit Bahwa penyakit Nyai Cemarawangi sebenarnya penyakit yang belum diketahui obatnya. Selama ini tak pernah ada satu pun orang yang selamat dari renggutan penyakit tersebut. Perlahan-lahan, tubuh orang itu akan makin melemah dan melemah. Sampai akhirnya menemui ajal. Kendati Ki Kusumo adalah seorang tabib sakti yang keahlian dan pengetahuannya sudah demikian piawai, tak juga dapat berbuat banyak untuk menoiong Nyai Cemarawangi. Satu-satunya usaha yang bisa dilakukan cuma membantunya agar dapat bertahan hidup lebih lama. Tanpa dapat menyembuhkan penyakit itu sendiri. Itu sebabnya Ki Kusumo berpikir akan sia-sia saja jika dia tetap berusaha menyembuhkan penyakit wanita itu. Diputuskannya untuk mengekori ke mana langkah Satria, bocah yang disebutnya setengah gendeng itu.
Dari balik semak-belukar lebat, orang tua itu mengintip tempat bermalam pasukan Demak di bawah pimpinan Manggala Bagaspati. Satria sendiri sudah dapat menyesuaikan diri dengan mereka. Anak itu ditawari langsung oieh Manggala Bagaspati untuk turut bermalam bersama. Diam-diam, manggala muda itu tertarik juga dengan diri Satria yang dianggapnya unik. Terutama keberaniannya hendak menantang Dirgasura. Keberanian atau kenekatan?
Di sana, tepatnya di depan tenda Manggala Bagaspati, Satria sedang asyik bercakap-cakap perlahan dengan seorang prajurit.
Di tempat berbeda, berseberangan dengan tempat mengintai Ki Kusumo. Sesosok tubuh yang lain pun tengah mengintai dari kegelapan dl balik sebuah pohon besar. Tak beda dengan Ki Kusumo, mata orang itu pun terus mengawasi setiap gerak-gerik Satria.
Ah, anak itu benar-benar jadi pusat perhatian rupanya? Tapi, siapa pula orang itu? Orang itu bertubuh kurus. Berkepala botak. Hanya mengenakan semacam cawat kulit ular Sanca penutup bagian 'terlarang'nya. Tepat! Dialah kakek pertapa yang ditemui Satria di dalam lumpur hutan perbatasan Ketawang Jogoboyo beberapa waktu lalu!
Mau apa puia dia? Luar biasanya, orang tua kurus kering seperti pisang terjemur itu pun ternyata berminat besar terhadap diri Satria. Seperti juga Ki Kusumo, dia merasa tertarik pada pandangan pertama untuk mengangkat Satria menjadi muridnya! Apa anak itu tidak luar biasa jadinya?
Dongdongka nama aslinya. Nama yang terlalu ganjil untuk lidah orang tanah Jawa. Tapi siapa yang peduli pada nama itu. Mau nama seaneh apa pun dan dari mana pun, orang tak begitu ambil pusing iagi. Terutama kalau telah mendengar julukan Kakek Dongdongka sebenarnya . Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
Dia adalah dedengkot dari segala dedengkot dunia persilatan. Hidup malang-melintang jauh sebelum lahirnya nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit. Usianya sulit ditentukan. Mungkin sudah mendekati bilangan dua abad. Atau lebih! Orang sudah tak bisa lagi memperkirakan berapa usianya. Kalangan sebayanya saja kebanyakan sudah mati puluhan tahun silam. Dia sendiri terus bertahan dengan cara hidupnya yang teramat ganjii.
Kalangan persiiatan menyebut nyebutnya sebagai manusia setengah siluman. Bagaimana tidak? Terkadang dia muncul seperti angin tanpa terduga-duga. Lalu bertahun-tahun dia tidak menampakkan diri. Beberapa orang menemukannya sedang bertapa di puncak bukit kering-kerontang. Yang lain menemukannya sedang bergelantungan seperti kelelawar di pucuk cemara. Ada juga yang menemukannya sedang telentang mengapung sambil bersiul-siul di atas permukaan telaga. Anehnya, mereka menyaksikan hal itu di saat yang sama dan tempat berbeda!
Menurut kabar burung, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sedang berusaha untuk mati. Ini lebih gila lagi! Sementara orang lain berusaha mati-matian untuk memperpanjang usia dan menjauhi kematlan, dia malah mengharap-harapkannya. Bahkan mengusahakannya? Menurut desas-desus yang sering berseliweran pula, manusia sakti mandraguna ini sudah bosan dengan hidupnya sendiri. Dia sudah benar-benar jemu dengan usianya yang tak kunjung menemui ajal. Bosan hidup, tapi sulit mati. Maklum, kesaktiannya sudah telanjur melampaui batas tampung kemampuan dirinya sendiri.
Ada satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar dia dapat menemui ajal. Bunuh diri? Bukan. itu cara pengecut yang tak pernah terpikirkan oleh manusia sepuh macam dia. Dia harus mengangkat seorang murld yang dapat menurunkan seluruh kesaktiannya. Artinya, pada saat menurunkan kesaktian itu, terjadi perpindahan kesaktian. Jika seluruh kesaktiannya telah mengalir masuk ke dalam tubuh sang murid, maka dengan amat mudah dia akan mati sendiri. Jangankan dibunuh, terlanggar lalat saja sudah cukup untuk membunuhnya!
Masalahnya, Dongdongka tak pernah merasa cocok dengan beberapa calon muridnya yang sudah dicari-cari selama bertahun-tahun. Semuanya tak masuk hitungan, menurutnya. Padahal jumiah yang ditaksirnya sudah mencapai bilangan ratusan orang.
Sampai kemarin sore dia bertemu dengan Satria. Cerita baru tentang pencarian murid si manusia setengah siluman itu pun membuka lembar baru. Ketika Satria berada dalam lumpur tempatnya bertapa, dedengkot itu merasakan satu hawa kuat yang membuatnya terbangun dari tapa. Ada sebentuk kekuatan yang terpancar dari dalam tubuh anak itu ketika dia menjelang bahaya maut. Kekuatan yang terpancar dari dalam karena ketangguhan hatinya. Sebab itu Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun terjaga dari tapanya. Didekatinya tubuh Satria yang nyaris mampus tenggelam. Lalu dilemparnya anak itu keluar. Untuk lebih jelas menyaksikan siapa anak luar biasa yang telah berhasil menyunat tapanya, Dongdongka keluar dari Iumpur. Di atas sana, firasatnya ternyata terbukti. Dengan mata tuanya yang amat jeli dan tajam, dia melihat susunan tulang Satria yang begitu bagus. Meski kurus, tubuhnya tak tampak lemah. Bahkan memperlihatkan kekokohan. Tapi yang lebih berkesan dari semua itu bagi Dongdongka adalah sinar mata anak itu. Didapatinya kekuatan jiwa anak itu. Satu kekuatan yang sulit dibendung siapa pun jika dorongan kehendak sanubarinya sudah berbicara.
Makin naksir saja Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
Meski naksirnya sudah seperti orang terlambat buang hajat, Dongdongka tidak mau memperlihatkan hal itu pada Satria. Dia tak ingin siapa pun calon muridnya menjadi besar kepala karena dibutuhkan olehnya. Maka, Dongdongka pun berpura-pura acuh Setelah Satria beranjak pergi, dedengkot segera keluar lagi dari lumpur. Diikutinya ke mana kaki anak itu melangkah. Sampai anak itu ke tempat pasukan Demak kini.

* * *



--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

KAU harus belajar olah kanuragan dulu untuk menghadapi Dirgasura, Satria," Nasihat prajurit yang berbicara akrab dengan Satria.
"Kenapa begitu?" Tanya Satria.
"Kupikir setiap orang punya kelemahan. Juga Dirgasura. Kalau aku tahu kelemahannya, tentu aku akan dapat mengalahkannya," Tepis Satria, cerdas. Si prajurit terbahak.
"Kau cerdik. Tapi itu belum cukup. Dirgasura itu licik. Aku tak meragukan kecerdikanmu. Tapi, kelicikan Dirgasura kuyakin dapat mengungguli kecerdikanmu," Katanya kemudian.
"Jadi, aku harus belajar olah kanuragan, begitu?"
"Ya. Kau harus bisa mengungguli kesaktian orang itu!"
Satria mencibir. "Yang kutahu selama ini, orang-orang yang pandai berkelahi kebanyakan sombong. Lihat saja Dirgasura. Mentang-mentang dia memiiiki kepandaian tinggi, seenaknya saja dia bertindak keji pada Bibi Cemarawangi!"
"Tidak semua orang, Satria. Semua itu akan berpulang kembali pada diri masing-masing. Sesuatu yang baik akan jadi baik kalau orang yang memilikinya memang baik. Termasuk kepandaian silat."
Satria mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, Kakang ajarkan aku satu-dua jurus yang Kakang punya!"
Wajah si prajurit berbinar. Entah mengapa dia merasa mendapat kehormatan untuk mengajarkan anak berkepribadian mengagumkan seperti Satria. Padahal kenai pun baru kali itu.
Keduanya ke tengah-tengah pelataran di depan tenda-tenda. Lalu mulailah keduanya bergerak. Setiap kail si prajurit mencontohkan kembangan kembangan jurus silat, Satria langsung dapat menangkapnya dengan baik dan tepat. Itu membuat si guru dadakan menjadi semakin bersemangat mengajarkan muridnya.
Tanpa terasa sudah terlewat sembilan jurus dasar.
"Sekarang, coba kau ulangi dari awal," Pinta si prajurit.
Satria mengangguk. Penuh keyakinan, dia mulai memperagakan jurus demi jurus dari awai hingga akhir. Meskipun gerakannya masih tergolong lambat dan kuda-kudanya masih tak terlalu tegar, namun semua jurus dapat diperlihatkan dengan baik tanpa terlewat satu bagian pun.
Sang guru dadakan terpana-pana. Tak disangkanya dia akan mendapatkan murid yang begitu cepat tanggap!
"Perkuat kuda-kudamu, Satria! Silat itu menekankan pada pertahanan dan pembelaan diri. Untuk bisa memanfaatkan tenaga serangan lawan agar dapat menjadi keuntungan untuk kita, kuda-kuda harus benar-benar kokoh!" Sela Manggala Bagaspati yang sejak lama rupanya terus memperhatikan gerakan Satria. Dia pun dibuat terkagum-kagum.
Satria berhenti sejenak pada jurus keempat. Dicamkannya baik-baik kata-kata Manggala Bagaspati. Lalu dengan cepat otak cerdasnya mengolah.
Sebentar kemudian, dia memulai lagi. Sekali ini, gerakannya langsung memperlihatkan kekuatan. Setiap ucapan Bagaspati nyatanya langsung dilaksanakan dengan baik oleh Satria.
Bagaspati pun menggeleng-gelengkan kepala. Sembilan jurus selesai dimainkan Satria. Bagaspati memanggil seorang prajurit lain.
"Coba kau serang dia," Perintahnya pada prajurit yang tergopoh-gopoh mendatangi. Si prajurit mengernyitkan kening. Apa ini perintah sungguhan? Pikirnya.
"Ayo, tunggu apa lagi!" Sentak Bagaspati. Meski dengan benak terus bertanya-tanya, prajurit tadi akhirnya melangkah ke arah Satria.
"Kakang mau apa?" Tanya Satria.
"Aku diperintah untuk menyerangmu. Kau siap?" Bisik si prajurit. Satria cengengesan
"Kita coba saja, Kang" Sergahnya, penuh keyakinan. Si prajurit pun mulai menyerang.
"Hiaa!!" Satu pukulan lurus mengarah ke dada kurus Satria. Pukulan yang sebenarnya tak sesuai dengan teriakan yang terdengar garang. Pukulan itu dilakukan tidak sungguh-sungguh. Si prajurit tampaknya tidak begitu yakin untuk menyerang bocah kurus macam Satria. Apaiagi dia baru saja mempelajari beberapa jurus, cuma beberapa jurus!
Tak diduga, Satria berkelit gesit ke samping. Tangan kurusnya tak mungkin bisa mengalahkan kekuatan tangan kekar si prajurit. Namun, Satria tidak lupa perkataan Bagaspati untuk memanfaatkan kekuatan lawan. Disorongkannya sedikit dengkulnya ke atas dengan posisi tubuh agak miring ke samping. Satu bagian dari jurus keempat.
Begh!
"Ngek!"
Tubuh penyerangnya menekuk ke depan. Kedua tangannya memegangi perut yang kontan mulas. Sambll tersenyum-senyum serba salah menahan mual, prajurit tadi menegakkan tubuh perlahan. Satria cengengesan.
"Maaf ya, Kang. Namanya juga latihan...," Bisiknya.
"Siap untuk serangan kedua?" Tanya si prajurit pada Satria dengan suara tertekan seperti penderita sakit perut mejan. Dalam hati, dia menyumpahi diri sendiri. Kenapa tak diserangnya saja sungguh-sungguh bocah itu. Kalau sejak tadi begitu, dia tak perlu merasakan mual dan malu pada Manggala Bagaspati, pimpinannya.
"Hiaa!"
Serangan kedua meluruk. Lebih cepat, lebih bertenaga, lebih rumit dari sebelumnya. Selain itu, tampak jelas kesungguhan dalam serangan kali ini. Satria tegang.
Manggala Bagaspati melangkah lebih dekat. Lelaki besar gagah itu makin berminat pada pertunjukan kecil itu.
Beriring serbuan si prajurit, Satria melempar teriakan lantang. Amat keras. Nadanya melengking. Membuat telinga si penyerangnya terasa pekak.
"Heaaath!"
Teriakan itu tak dilakukan tanpa maksud apa-apa. Satria sengaja hendak mengacaukan kemantapan serangan lawan dengan teriakan sinting barusan. Hasilnya memang langsung terlihat. Serangan lawan latihnya saat itu langsung terganggu. Sasaran serangannya yang semula ke arah dada kiri Satria menjadi sedikit melenceng keluar.
Satria cepat memanfaatkan. Tanpa berpindah dari tempatnya, dia memiringkan tubuh sedikit. Pukulan lurus lawan latihnya lewat hanya satu jari dari sasaran. Tubuh anak itu berpindah cepat merapat ke lawan latihnya. Dengan cara itu, si bocah langsung mengunci mati serangan jarak jauh si prajurit. Selanjutnya, sepasangtangan kurus bocah itu cepat menyodok dari bawah.
Begh-begh!
Dua sasaran pukulan masuk kedua bagian tubuh lawan latihnya. Satu mendarat di ulu hati. Sisanya mendarat di lengan bawah si prajurit. Meski tenaga pukulan Satria tak begitu keras, tak urung memaksa lawan latihnya mengeluh.
Rasa sakit yang menyerang ulu hati lawan latihnya dimanfaatkan pula dengan cepat oleh Satria. Pada saat itu, kuda-kuda lawan dapat dipastikan dalam keadaan paling lemah. Satria menjatuhkan tubuhnya cepat.
"Hih!"
Kedua kakinya menggunting pertahanan lawan dari bawah.
"E-e-eeeee...."
Bruk!
Prajurit berbadan jauh lebih besar dari Satria pun jatuh berdebam.
Bertambah terperangahlah Bagaspati menyaksikan kecekatan Satria mengalahkan lawan tandingnya. Baginya, kemenangan dua gebrakan bocah kurus berambut kemerahan itu tergolong luar biasa. Pertama karena jurus yang dipergunakannya untuk menghadapi lawan tanding masih sangat baru bagi dirinya sendiri. Kedua, ukuran tubuh dan pengalaman lawan tandingnya jauh di atas Satria. Seiain itu, Bagaspati juga melihat telah ada kombinasi jurus yang cantik diperlihatkan Satria saat keadaannya berada amat dekat dengan posisi lawan. Jika jurus ketiga yang murni hanya menekankan pada serangan jarak dekat, maka Satria sudah menggabungkannya sekaligus dengan jurus kedelapan yang menekankan pada pematahan pertahanan bawah lawan.
"Luar biasa. Anak ini hebat," Puji Bagaspati tanpa sadar. Dan kata 'hebat' dalam perkataannya tidak sekali itu saja diucapkan. Tak kurang dari empat kali kata tersebut diulang-ulangnya. Juga dilakukan tanpa sadar.
Di dua tempat tersembunyi, dua tokoh tua kelas atas pun turut memuji kehebatan si bocah. Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit tak henti-hentinya menggelengkan kepala. Bibirnya mengumbar senyum, memperiihatkan rasa yakin yang makin menyubur untuk mengangkat Satria sebagai muridnya. Di lain sudut, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah sampai berdecak-decak. Hatinya tak habis-habis menyumpahi kegemilangan Satria dalam menangkap jurus-jurus dasar yang diajarkan padanya.
"Edan-edan-edan....Gendeng-genden ggendeng...." Sampai tanpa sadar, tercetus juga sumpah serapah berbau pujian itu dari mulutnya.
"Heiiii! Siapa itu?!" Seru Bagaspati sigap. Telinga tajam seorang kepala pasukan miliknya tentu saja dapat menangkap dengan jeias gerutuan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ki Kusumo yang berpendengaran jauh lebih tajam dari kucing hutan liar pun mendengar gerutuan tadi. Latah tidak latah, dia turut bertanya sendiri.
"Siapa itu?" Desisnya.
Pada saat itu pula, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menangkap desisan halus Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Siapa Itu?!" Seru Dongdongka pula. Semuanya latah!

* * *



Dedengkot Sinting Kepala Gundul sirna dari tempat pengintaiannya bagai angin. Tahu-tahu saja dia sudah berdiri di samping kiri Satria. Pada saat yang sama, kelebatan tubuh Ki Kusumo mendarat di samping kanan bocah itu.
"Kakek Gundul?" Gumam Satria begitu menoleh ke kiri. Mulanya dia agak pangling karena Kakek Dongdongka sudah tidak bersimbah lumpur kehitaman lagi.
"Pak Tua Kusumo?" Gumamnya pula begitu menoleh ke kanan.
Dua orang tua itu sendiri saling pandang satu sama lain. Mereka tentu saja sudah saling mengetahui siapa yang kini dihadapi. Cuma dalam hal ini Ki Kusumo merasa sebagai orang yang berada dibawah Kakek Dongdongka. Baginya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul adalah sesepuh yang pantas mendapat penghormatannya. Kendati tingkahnya keedan-edanan.
"Salam hormatku, Panembahan Dongdongka...," Tabik Ki Kusumo cepat, setelah sadar dia tengah berhadapan dengan tetua di antara tetua dunia persilatan. Sepuhnya para sesepuh.
Manggala Bagaspati yang semula agak berang karena tempat bermalam pasukannya diintai secara diam-diam, terperanjat mendengar nama yang disebutkan Ki Kusumo. Sama terperanjatnya manakala dia melihat wajah Ki Kusumo yang kebetulan berdiri menghadapnya.
Panembahan Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit? Dan Panembahan Dongdongka, alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul? Ada pertanda apa ini, sampai-sampai dua tokoh kawakan hadir berbarengan di tempat bermalam pasukanku? Apa aku semalam mimpi kejatuhan bulan? Pikir Bagaspati, nyaris tak percaya.
Bagaspati juga tak habis pikir ketika Satria seenak udel menegur dua tokoh sesepuh itu dengan panggilan sekenanya. Apa tak salah dengar aku? Anak itu memanggil Panembahan Dongdongka dengan 'Kakek Gundul'? Dan menyebut Panembahan Kusumo dengan 'Pak Tua Kusumo'? Kasak-kusuk hati Bagaspati kembali. Sebagai seorang lelaki yang hidup dalam jalan keksatriaan, tentu saja Bagaspati tumbuh besar dengan cerita-cerita tentang orang-orang besar. Termasuk pula kisah-kisah kesaktian dua tokoh yang baru saja hadir itu.
"Salam hormatku, Panembahan Kusumo.... Panembahan Dongdongka," Hatur Bagaspati cepat-cepat. Dia menjura takzim dalam-dalam. Diikuti oieh para punggawa yang cepat-cepat berlarian mendekat. Sekarang, resmilah Satria menjadi pusat kerumunan mereka! Anak itu sibuk celingak-celinguk menatapi para punggawa Kerajaan Demak menjura.

* * *



--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

Di pantai Ketawang, sekitar empat puluh kilometer dari pantai yang terkena bencana badai raksasa beberapa waktu lalu. Tepatnya di gubuk kecil terbengkalai yang dimanfaatkan Ki Kusumo untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Tresnasari...," Panggil Nyai Cemarawangi. Wanita itu masih terbaring lemah, tak berdaya dirongrong penyakitnya di atas balai bambu. Tresnasari yang sedang berdiri termenung di mulut jendela gubuk menghadap laut segera mendekat. Ditempatinya pinggiran balai. Duduk di sana.
"Kita sudah berusaha mengobati penyakitku Ini, Cah Ayu. Banyak sudah tabib kita datangi, tapi hasilnya tak memenuhi harapan kita. Bukannya ibundamu ini putus asa. Tapi untuk mendatangi tabib lain rasanya aku sudah tak sanggup...." Tresnasari tepekur mendengarkan. Hatinya masygul. Hatinya giris. Pilu dan prihatin. Kepalanya terus tertunduk menatapi sisi balai. Sementara tangannya terus memijat-mijat lembut sarat kasih pada ibunya. Nyai Cemarawangi melanjutkan.
"Karena itu, Nduk.... Tolong kau carikan tabib untukku. Satu-satunya harapanku cuma pada seorang tabib sakti yang amat sulit ditemui."
"Sebutkan namanya, Nyai. Tresna siap mencarinya."
"Dia dijuluki Tabib Sakti Pulau Dedemit. Menurut banyak orang, tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya. Dahuiu dia dipercayai pihak istana Kerajaan Majapahit karena keahliannya itu. Carilah dia. Mintalah pertolongan padanya untuk mengobati sakit ibundamu ini, Nduk...," Lanjut Nyai Cemarawangi lirih. Bibir pucatnya bergetar seakan amat sulit untuk mengucapkan patah demi patah kata. Tresnasari menatap sayu ibunya. Dijemputnya tangan wanita itu. Terasa dingin. Lalu digenggamnya.
"Aku ingin sekaii memenuhi permintaan Nyai. Tapi, bagaimana dengan Nyai sendiri? Kalau aku pergi, siapa yang akan mengurus Nyai?" Kepala Nyai Cemarawangi menggeieng perlahan.
"Cuma itu yang dapat kau lakukan, Nduk. Kalau kau tetap di sini, maka penyakit ini cepat atau lambat akan memakan tubuhku dari dalam. Aku akan mati karena tak diobati. Bukankah lebih baik kita berusaha, ketimbang hanya pasrah menunggu nasib? ingat Nduk, kita ini manusia. Niiai kehormatan manusia tergantung dari apa yang diusahakannya. Dari sana Tuhan menilai hamba-Nya...." Tak terasa air mata Tresnasari bergulir jatuh mendengar seluruh ucapan ibundanya.
"Doakan aku agar dapat menemukan tabib itu, Nyai," Katanya akhirnya. Mulai saat Iitu, dia merasa harus memasrahkan keadaan ibu tercintanya pada Sang Penguasa Alam Semesta, sementara dia mencari Tabib Sakti Pulau Dedemit. Orang tua sakti ahli pengobatan yang sesungguhnya sudah ditemuinya beberapa waktu lalu.

* * *



Malam makin pekat. Merayap, waktu mendekati dinihari. Dingin menjenuh di segenap penjuru. Hanya mengandalkan sinar bulan sabit pucat, orang-orang di tempat bermalam pasukan Demak berdiri di tempat masing-masing.
Seusai semua prajurit menghaturkan jura pada dua orang sesepuh yang dihormati oleh kalangan keraton Majapahit sebelumnya dan juga oleh kalangan dunia persilatan, salah seorang dari mereka mendekat kepada Manggala Bagaspati. Didahului oleh juraan, dia berkata berbisik pada atasannya itu.
"Sena Bagaspati, anak itu adaiah salah seorang yang menolong saya dari kejaran orang-orang Dirgasura...."
Prajurit itu adalah orang yang ditolong Satria, Tresnasari dan Cemarawangi di perbatasan hutan Ketawang-Jogoboyo beberapa hari lalu. Ketika keadaan memanas dengan kemunculan Dirgasura yang mengetahui anak buahnya telah mampus di tangan seorang bocah perempuan tanggung, prajurit itu dengan diam-diam melarikan diri. Maksud sebenarnya tidaklah sepengecut itu. Dia hanya memanfaatkan kesempatan untuk bisa segera melaporkan seluruh drama pembantaian pasukan Demak oleh gerombolan Dirgasura.
Karena itu, ketika Ki Kusumo membawa Cemarawangi dan Satria bersama Tresnasari ke gubuk terbengkalai di tepi pantai Ketawang, prajurit yang penuh luka-luka itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Atas laporannya pula, beberapa hari kemudian turun titah langsung dari Raden Patah, penguasa Demak yang berhasil menjatuhkan Majapahit untuk melaksanakan penumpasan terhadap gerombolan keji Laskar Lawa Merah. Sebagai salah seorang punggawa yang banyak tahu keadaan hutan perbatasan Ketawang-Jogoboyo, prajurit itu memohon untuk disertakan kembali dalam pasukan di bawah pimpinan Bagaspati. Bagaspati mengikuti arah lirikan anak buah yang membisikinya. Tertuju pada Satria.
"Jadi, bocah ini yang kau laporkan waktu itu?" Tanya Bagaspati, ingin meyakinkan diri.
"Benar, Sena (gelar untuk kepala pasukan}," Sahut si prajurit cepat.
"Kenapa baru kau laporkan sekarang?"
"Saya baru mengenalinya," Ucap si prajurit. Sebelumnya, dia memang bertugas jaga di sebelah barat daya tempat bermalam. Cukup jauh dari tempat Satria.
Bagaspati mengangguk-angguk. Hatinya kembali berbicara sendiri. Ah, lagi-lagi anak ini. Malam ini, kenapa setiap orang tiba-tiba seperti menaruh perhatian amat besar pada bocah ini? Terdengar deheman Ki Kusumo. Bagaspati sadar, dia telah agak lancang membiarkan dua tamu kehormatannya.
"Maaf, Panembahan Kusumo, Panembahan Dongdongka. Sebenarnya apa tujuan kaiian berdua ke tempat kami?" Mulai Bagaspati Iagi.
"Aku ingin membawa bocah ini," Sergah Ki Kusumo dan Dongdongka berbarengan. Keduanya lalu saling pandang. Ki Kusumo yang lebih memiliki rasa hormat dalam terhadap sesepuh tanah Jawa Dongdongka, segera merundukkan badan. Kedua telapak tangannya dipertemukan di depan hidung.
"Apa saya tak salah dengar. Apakah Panembahan ingin membawa bocah ini juga?" Tanyanya merendah. Sikap yang diperlihatkan tanpa kepura-puraan sebetik pun.
"Kau sendiri, kudengar ingin membawa anak ini? Ada perlu apa?" Balik tanya Dongdongka. Dengan bambu kuningnya, diketuk-ketuknya ubun-ubun Satria. Anak itu sampai meringis-rlngis kesakitan.
Ki Kusumo ragu sejenak. ingin diutarakannya langsung maksudnya membawa Satria untuk mengangkatnya menjadi murid. Pertimbangannya, kaiau dia harus mengatakan hal itu di depan si bocah, apa tidak mungkin dia malah jadi besar kepala? Sebelumnya saja dia sudah susah payah membujuk. Apalagi kalau sampai bocah agak gendeng itu tahu dia ngotot mengekorinya terus. Lain pertimbangan, tak bertatakrama rasanya kalau menunda jawaban atas pertanyaan seorang sesepuh.
"Saya hendak mengangkatnya menjadi murid, Panembahan...," Aku Ki Kusumo akhirnya. Dongdongka tergelak-gelak. Ki Kusumo mengernyitkan kening. Apa ucapannya ada yang keliru? Tanyanya bingung membatin.
"Asal kau tahu, aku sendiri sebenarnya datang ke sini karena ingin membawa bocah Ini untuk kujadikan muridku!" Seru Dongdongka di antara gelak tersendatnya. Ki Kusumo makin mengernyitkan kening. Kacau, pikirnya. Biar bagaimana, tak mungkin dia memperebutkan Satria terhadap orang macam Dongdongka. Di samping tak hormat, juga tak pantas.
"Jadi bagaimana, Kusumo? Apa aku harus meminta izin padamu dulu untuk mengangkat dia menjadi murid?" Tanya Dongdongka. Tangan isengnya lagi-lagi mengetuk-ngetuk ubun-ubun Satria dengan batang bambu kuning. Satria meringis-ringis. Ki Kusumo untuk kesekian kalinya menjura. Rasa segannya terlampau besar. Benar-benar dihormatinya keberadaan seorang Dongdongka. Bagi Ki Kusumo, orang tua itu jauh lebih tinggi derajatnya dari seorang resi. Serta jauh lebih mandraguna dari seorang mahapatih sekalipun.
"Tentu saja tidak Panembahan."
"Jadi kau membiarkan aku begitu saja membawa anak ini? Bukankah kau pun sebenarnya berminat sekali?"
"Benar Panembahan. Tapi, saya yakin. Anak ini membutuhkan gembelengan terbaik dari orang yang terbaik. Orang itu adalah Panembahan sendiri..." Dongdongka tertawa Iagi. Malu hati pula dia menerima segenap pujian Ki Kusumo. Hanya karena tak tahu cara menutupinya, akhirnya dia cuma bisa tertawa.
"Terima kasih Kusumo. Kau lebih bijak dari seorang resi!" Balas puji Dongdongka.
"Tapi, aku tak ingin mengecewakan keinginan besarmu terhadap anak ini. Bagaimana kalau kita buat perjanjian?"
"Perjanjian?"
"Ya. Setiap enam purnama, kita berganti menurunkan kepandaian kita pada anak ini. Bagaimana?"
"Usul yang baik, Panembahan...." Dongdongka mengangguk-angguk puas. Ki Kusumo tak begitu yakin. Sebab, sudah cukup tahu siapa Satria. Masalahnya, apakah anak itu kini sudah berminat untuk diangkat menjadi murid?
"Bagaimana dengan kau sendiri, Bocah?" Lempar Dongdongka pada Satria. Yang dikhawatirkan Ki Kusumo terjadi. Dengan wajah asam, Satria menjawab.
"Aku tidak mau." Dongdongka mendelik. Tidak bisa dipercaya! Ki Kusumo memejamkan mata. Mau geii tak mungkin. Mau kesal tak pada tempatnya. Mau tak mau, dia cuma bisa memejamkan mata. Sisa orang di sana, termasuk Bagaspati melongo hebat. Kegendengan apa lagi yang hendak dipamerkan bocah ini?
"Kau gendeng?!" Hardik Dongdongka.
"Masa dengan dia kau menerima ajaran jurus-jurusnya, sedangkan aku kau tolak mentah-mentah?" Omelnya seraya menunjuk prajurit yang belum lama menurunkan sembilan jurus dasar keprajuritan pada Satria. Wajah prajurit itu langsung terbakar. Dia sungguh tak enak hati terhadap sang sesepuh. Tak enak hati, setengah mati!
"Itu persoalan lain, Kakek Gundul."
"Memang lain. Jelas lain! Kalau kau menjadi muridku, kau akan mendapat olah kanuragan tingkat tinggi. Bukan sekadar jurus-jurus sederhana." Kepala Satria menggeleng-geleng.
"Bukan itu. Kakang itu mengajariku dan aku menerimanya. Kenapa?"
"Kenapa kau tanya aku?" Sewot Dongdongka.
"Karena aku menghargai sikap persahabatannya."
"Lalu kenapa denganku, heh?"
"Kau... ah, nanti kau marah."
"Katakan saja, Cah Gendeng!"
"Kau menawariku menjadi muridmu dengan sikap angkuh."
"Gendeng-gendeng-gendeng! Kau biiang aku angkuh?! Memedi dari mana yang membisikkan ke kupingmu kalau aku ini angkuh?"
"Buktinya kau sekarang marah-marah."
"Memangnya tidak boleh?"
"Kalau kau berniat tulus, semestinya kau tak perlu memaksakan orang lain untuk menjadi muridmu. Kalau kau tak memaksa, kau tak perlu marah-marah. Tapi karena kau memaksa, maka kau jadi marah-marah. Kau marah-marah karena kau merasa harga dirimu disembarangi. Kau menganggap, tak seorang pun pantas menyembarangimu, bukan? Lalu apa lagi namanya itu, kalau bukan angkuh?" Mata Dongdongka makin mendelik. Mendelik. Dan mendelik. Tak terasa sedikit pun kerut di kelopaknya. Dia ingin mengomel lagi. Tapi, kalimat panjang-pendek terakhir bocah di depannya membuat dia mati kutu. Mulutnya terkunci. Biarpun dadanya gedebak-gedebuk menahan masygul kelewatan.
"Sudah, lebih baik aku pergi saja. Dari pada kalian terus meributkan aku". Putus Satria santai. Kakinya terus beranjak. Anak itu ngeloyor pergi begitu saja. Kemana? Cuma dia yang tau. Siapa yang bisa melarang? Tidak ada. Tak juga Ki Kusumo. Tak juga Dongdongka. itulah hebatnya!

* * *



--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

PAGI menjelang slang. Kembali pada Tresnasari. Entah ke mana gadis ayu tanggung itu hendak mencari tabib yang dimaksud ibundanya. Tabib Sakti Pulau Dedemit. Namanya saja baru sekali itu didengar. Bagaimana pula dia tahu orangnya? Satu-satunya jalan keluar, dia harus mencaritahu lebih dahulu sebanyak-banyaknya tentang Tabib Sakti Pulau Dedemit. Harus ada orang yang bisa dimintai keterangan. Sayang, sampai sekarang Tresnasari pun tak tahu hendak bertanya pada siapa.
Galau, Pilu, Nelangsa, Berbaur terus rasa-rasa itu dalam dirinya sepanjang perjalanan. Tak kunjung mengering kelopak bawah matanya dari air mata. Kemurungan seakan mendung yang terus mengurung dalam musim hujan panjang.
Gadis tanggung itu terlihat berjalan menuju utara. Di tengah perjalanan, dia mendengar suara gemeretak suara semak kering terinjak. Dihentikannya langkah. Tegang. Matanya melirik siaga ke arah datangnya suara. Tempat tersebut terlalu rimbun. Sukar menentukan apakah di baliknya ada seorang pengintai. Atau sekadar seekor binatang.
Tresnasari tak ingin terlalu ambil resiko. Setiap saat kemungkinan bertemu kembali dengan orang-orang Laskar Lawa Merah bisa saja terjadi. Sebaliknya, terlalu dini untuk memastikan apakah dia terancam bahaya atau tidak.
Maka, Tresnasari memutuskan untuk membuat satu tipuan kecil. Dia berpura-pura melanjutkan langkah. Ditujunya dua buah pohon sebesar pelukan tiga orang dewasa yang tumbuh bersisian. Ketika melewati sepasang pohon besar itu, cepat-cepat dia membuat langkah cepat. Geraknya seolah hendak melarikan diri. Padahal dia cuma bersembunyi di balik dua pohon besar itu.
Dari sela-sela sempit antara dua pohon tadi, si gadis ayu berjiwa ksatria mengawasi arah yang baru saja dilaluinya. Belum ada tanda-tanda. Semak-semak tempat terdengarnya suara ranting semak patah tetap bisu. Tetap tiada geming.
Kecurigaan merangas Iagi. Jangan-jangan, pengintainya adalah seorang berkepandaian kanuragan cukup tinggi hingga dapat bergerak lebih cepat dari Tresnasari.
Ketegangan makin menanjak naik.
Tresnasari mulai gelisah. Kepalanya menoleh waswas ke belakang. Ke samping kiri. Juga kanan. Sama saja. Tetap tak ada tanda-tanda adanya bahaya akan menanduknya tiba-tiba. Sampai akhirnya telinga gadis tanggung itu mendengar Iagi suara dari arah semak-semak. Sekarang makin jelas kalau suara itu berasal dari langkah kaki seseorang.
Tegang. Tresnasari beringsut ke sisi pohon, tempat yang leluasa untuk melakukan serangan pembuka. Diremasnya kepalan tangannya. Menyipit pula sepasang kelopak mata bulat indahnya. Jika nanti dia melihat sedikit saja sosok seorang keluar dari rimbun semak-semak, akan langsung diterjangnya dengan tendangan terbang.
Srk! Seseorang keluar.
"Haaiiih!" Tendangan terbang Tresnasari merangsak.
Bugh!
Orang yang baru hendak muncul dari balik semak urung keluar. Tubuhnya terlempar kembali ke rerimbunan. Menghasilkan suara bergemerisik riuh.
"Siapa kau?!" Seru Tresnasari gagah. Telah berdiri dia dengan kuda-kudanya. Tangannya mengepal di depan dada.
Sahutan pertanyaan barusan cuma keluhan. Menyusul bunyi gemerisik perlahan. Setelah itu, muncul lambat sebentuk kepala yang sudah tak asing lag! bagi mata Tresnasari.
"Kambing buduk...."
"Kenapa kau menyerangku seperti itu?!" Maki Satria. Bibirnya tak lekang dari ringisan. Anak itu berjalan keluar sambil memegangi dada kurusnya yang terhajar telak kaki kanan Tresnasari barusan.
"Kau sendiri, kenapa mengintai-intai seperti itu?!" Balas Tresnasari jauh iebih sengit. Jauh lebih galak.
"Aku tidak mengintai. Kebetulan aku lewat daerah ini. Kulihat kau melintas. Lalu aku menyusulmu. Kupikir kau perlu bantuan," Runtun Satria sambil menjatuhkan tubuh ke rumput kering. Dadanya masih sesak. Berdiri rasanya terlalu menyiksa. Benar-benar mujarab tendangan Tresnasari.
"Ah, kau terlalu besar perasaan. Mana pernah aku membutuhkan pertolonganmu!" Tresnasari melangkah. Ditinggalkan nya Satria. Wajahnya manyun berat.
"Hei, tunggu!" Satria bangkit. Tertunduk-tunduk menahan sesak, dia lari menyusul.
"Jangan mengikutiku!" Bentak Tresnasari. Diacungkannya sepasang kepalan tangan ke depan. Naga-naganya, dia hendak mengancam Satria. Kalau bocah berambut kemerahan itu mau ngotot mengikuti, silakan telan kepalannya. Mungkin begitu maksudnya. Satria kontan mengerem langkah.
"Apa-apaan kau ini?! Aku cuma ingin tahu bagaimana kabar Nyai Cemarawangi...."
"Dia bukan nyaimu."
"Aku tahu, tahu!"
"Kalau begitu, cepat minggat! Aku atau ibuku tak sudi lagi berurusan dengan kambing buduk macam kau!" Kambing buduk? Kalau dihitung hitung dari awal, tentu sebutan itu telah keluar dari bibir Tresnasari lebih dari hitungan satu purnama. Kalau bentuknya seperti sepotong tahu, tentu sudah jadi sekeranjang. Lama-lama, Satria merasa jengkei juga disebut terus seperti itu. Kesabaran seseorang ada batasnya, bukan?
"Hei, jangan coba kau sebut-sebut aku kambing buduk lagi!" Ancam bocah itu. Sekaii ini mukanya benar-benar merah. Benar-benar tersinggung dia. Tersinggung sampai ke ujung jempol kaki yang paling ujung!
"Kalau aku tidak mau, apa kau akan menghajarku? Heh, bisa apa kambing buduk macam kau!" Sembur Tresnasari, tak peduli. Padahai dia sempat juga merasa bergidik menatap sinar mata Satria yang begitu mendebarkan. Rasanya ada kelebatan sinar kuat yang langsung menerkam ke jantungnya.
"Kau sebut lagi aku kambing buduk!"
"Ya. Apa kau tuli, Kambing Buduk!" Satria memperlihatkan barisan giginya. Dia geram. Tapi siapa nyana? Pasalnya, wajahnya itu jadi lebih mirip orang sakit sawan.
"Kau mau menghajarku? Ayo hajar! Ayo!" Tantang Tresnasari. Satria tak sabar Iagi. Jangan mentang-mentang aku tak pandai berkelahi lantas seenaknya dia mengolok-olok, geramnya membatin. Tapi, dia masih sanggup menahan diri untuk tidak menyerang. Tresnasari tak puas hanya memaki-maki habis Satria. Didekatinya anak itu. Ditepaknya kening Satria.
"Ayo, katanya kau mau menghajarku?!" Tantang Trenasari, makin menjadi. Tamparan di kening Satria mendarat sekali Iagi. Sekali Iagi. Bures sudah kesabaran Satria. Sekarang dijamin benar-benar sudah bures. Maka....
"Heaaa!"
Satu sentakan tangan cepat dibuatnya. Awal jurus kelima yang pernah didapatnya dari prajurit Demak.
Tresnasari terkejut. Tak mengira kalau si kambing buduk bisa melakukan serangan juga. Untung dia masih sigap. Sambil memutar tangan cepat ke samping, dipapakinya serangan gusar Satria.
Dakh!!
Lantas, jarinya menjapit cepat pergelangan tangan bocah Itu. Satu tarikan ke dalam dilakukan. Tubuh Satria mau tak mau terdorong ke depan. Saat itulah dengkul Tresnasari masuk ke perut Satria. Bocah itu merunduk. Ulu hatinya terasa ambrol. Tak cukup sampai di situ, kaki Tresnasari menyilang di belakang tubuh goyah Satria. Dibuatnya satu hentakan tangan di tubuh Satria. Hentakan kecil saja. Dalam keseimbangan yang terlalu goyah, hentakan kecil itu cukup mendorong deras Satria ke belakang. Kakinya pun terganjal kaki Tresnasari yang memalang di belakang tubuhnya.
Bruk!
Satria terjungkal.
"Huh, cuma sebegitu saja! Sudah kubilang, mana bisa kambing buduk berkelahi". Satria bangkit terseok. Kemarahannya makin membengkak. Sebesar raja bisul masih mending, ini mungkin sudah lebih bengkak dari kerbau bengkak. Sambil mendengus-dengus, dia memasang kuda-kuda.
"Baik, kalau itu yang kau mau," Katanya terseret.
"Sekarang, kau boleh serang aku!" Tantangnya.
Tak jauh dari tempat keributan, dua sosok tua bangka sedang asyik menonton dari rerimbunan dua pohon tua yang sebelumnya dimana tempat Tresnasari untuk bersembunyi. Mereka duduk uncang-uncang kaki jauh di dahan paling atas. Tempat yang paling aman agar tidak diketahui dua bocah berbeda kelamin di bawah sana. Mereka adalah Dongdongka dan Ki Kusumo.
"Kusumo, kutantang kau bertaruh. Menurutmu, siapa di antara mereka yang akan memenangkan perkelahian?" Bisik Dongdongka. Ki Kusumo tersenyum. Ada-ada saja si sesepuh ini, bisik hatinya.
"Bagaimana menurutmu sendiri, Panembahan Dongdongka?"
"Aku pegang si bocah gendeng kurang ajar itu."
"Sebenarnya aku pun ingin memegang anak itu. Tapi...."
"Tapi aku telah memegangnya bukan?"
"Kalau, begitu...."
"Kaiau begitu, kau pegang bocah perempuan ayu itu. Siapa yang kalah taruhan harus menggendong selama satu harian penuh. Bagaimana?" Ki Kusumo terkekeh hati-hati, khawatir terdengar dua bocah yang sedang 'panas-panasan' di bawah.
"Hailt!"
Tresnasari tak mau merentangkan waktu lebih lama lagi. Dilepasnya satu sapuan kaki setengah putaran tubuh. Sisi kakinya mengancam kepala Satria. Sekali ini, dia keliru menilai bocah berambut kemerahan. Dikiranya Satria tetap mudah diperdayakan dengan serangan langsung seperti itu.
Tiba-tiba Satria menjatuhkan tubuhnya cepat. Amat cepat, tepat ketika Tresnasari mengangkat satu kakinya ke atas. Kecepatan itu dimungkinkan karena Satria sudah benar-benar siap menghadapi setiap saat arah serangan gadis tanggung.
Di atas tanah, kaki Satria menyapu cepat, setengah putaran ke arah berbeda dengan sapuan kaki Tresnasari yang menebas tempat kosong di atasnya.
Dsh!
Tresnasari baru menyadari kesalahannya ketika kaki Satria sudah telanjur membabat sebelah kakinya yang berpijak di tanah. Keterlambatan itu tak begitu parah bagi Tresnasari. Dia masih sempat mempergunakan otot perut untuk bersalto sekali ke belakang.
Sayang, mata Satria yang dasarnya jeli dapat membaca gerak Tresnasari. Belum sempat Tresnasari menjejakkan kaki, bocah tanggung kurus itu sudah bergulingan di tanah, menyusul tubuh Tresnasari.
Manakaia Tresnasari hendak menjejakkan kaki, Satria sudah terlebih dahulu menyambutnya dengan sodoran cukup keras telapak kaki kanannya.
Begh!
Tak ayal Iagi, Tresnasari yang belum cukup siap menerima serangan terhantam kaki lawan kurusnya di bagian perut.
Tresnasari tersurut mundur. Hampir saja dia jatuh. Hanya karena pertahanan kakinya sudah begitu terlatih, menyebabkan dia hanya terhuyung sebentar. Matanya membeliak besar, tak percaya sama sekali kalau sekarang si kambing buduk bisa meloloskan satu tendangan telak ke perutnya!
Jurus-jurus sederhana dari seorang prajurit Demak yang berhasil diolah otak cerdasnya menjadi serangkaian serangan cerdik, baru saja dipertunjukkan Satria. Itulah salah satu bakat si bocah kurus yang ditangkap dengan jeli oleh Ki Kusumo maupun Dongdongka.
Padahal, jurus-jurus seperti Itu biasanya mesti dipelajari tiga-empat pekan agar bisa matang oleh anak sebaya Satria. Satria bangkit. Dia memasang kuda-kudanya lagi. Matanya menghujam dalam warna merah ke arah Tresnasari.
"Apakah kau masih penasaran untuk melanjutkan?" Tantang Satria, garang.
Tresnasari ragu sejenak. Saat berikutnya, kemarahannya terungkit naik lagi. Sebelum serangan gusarnya menyerbu Satria, bocah kurus berambut kemerahan itu berteriak.
"Cukup, Tresna!" Sentak Satria cepat. Baru sekali itu tercetus keluar panggilan 'Tresna' dari mulutnya. Dan itu sungguh berpengaruh pada si gadis yang sedang kalap. Seolah panggilan itu mengingatkannya pada orang-orang yang dekat dengan dirinya. Seperti cara Nyai Cemarawangi memanggilnya. Tresnasari mengurungkan niat untuk menyerang.
"Aku minta maaf," Hatur Satria.
Suaranya merendah, mencoba mendinginkan kemarahan Tresnasari. Biar bagaimana, Satria menyadari tak ada gunanya melanjutkan keributan itu. Semuanya cuma pepesan kosong. Lagi pula, dia tak akan sudi sekali lagi menyakiti Tresnasari. Tepatnya tak tega. Kalau tadi dia akhirnya melakukan kekerasan, semata karena kegusarannya sudah tak terkendali. Satria cuma khilaf.
"Maukah kau memaafkan aku, Tresna. Terus terang, tadi aku khilaf...," Hatur Satria Iagi. Suaranya makin melandai. Terus turun bagai memelas. Sisi kelembutan seorang wanita di diri Tresnasari akhirnya mampu mengalahkan segala rusuh, segenap kemarahan yang berontak di sisi lain. Kalimat bernada terus melandai Satria, telah berhasil membuka sisi kelembutan Tresnasari.
"Sebenarnya, kenapa kita mesti berkelahi seperti ini? Apakah aku membencimu? Kurasa tidak. Atau karena aku pernah punya salah padamu?" Lanjut Satria. Tresnasari tak kuat menghadapi tatapan mata Satria. Sebelumnya mata itu demikian sangar dibakar kemarahan. Kini sejuk sama sekali. Bahkan rasa sejuk itu bisa dirasakan Tresnasari hingga ke bilik hatinya. Kepala gadis ayu tanggung itu merunduk dalam.
"Sudahlah. Bagaimana kalau kita lupakan semua itu?" Tresnasari tak menjawab usulan Satria.
"Bagaimana kalau kita berkenalan dari awal kembali?" Tawar Satria sekali lagi. Perlahan, dia mendekati Tresnasari.
"Aku belum puas kalau belum membalas tendanganmu tadi!" Sergah Tresnasari. Nadanya terdengar merajuk. Satria menghela napas.
"Kalau begitu, silakan kau hajar aku." Lantas lebih didekatinya Tresnasari. Sampai jaraknya tinggal satu lengan.
"Kau boleh menghajarku di mana pun kau suka," Kata Satria pasrah, namun terdengar mantap.
"Tapi, kumohon dengan amat sangat, jangan kau hajar bagian dadaku lagi ya...," Tambahnya meringis seperti bocah tolol, seraya memperlihatkah memar biru akibat tendangan keras Tresnasari sebelumnya. Lalu, Tresnasari pun tertawa tertahan.

* * *



"Tabib Sakti Pulau Dedemit?!" Perangah Satria. Baru saja dia selesai mendengar penuturan Tresnasari yang menceritakan kalau ibunya meminta dia menemui Tabib Sakti Pulau Dedemit. Setelah beberapa saat berlalu dari suasana panas di antara mereka sebelumnya, keduanya sudah tampak berjalan beriringan. Akrab adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan jalinan hubungan baru yang mereka simpul kembali bersama. Walaupun Tresnasari masih agak sungkan-sungkan. Kecuali Satria. Dia acuh saja. Usai sudah segala kegusaran. Tak ada dendam. Karena begitulah dunia mereka. Dunia nan polos.
"Jadi kau pernah mendengar nama itu, Satria?"
"Sebentar aku ingat-ingat dulu." Belum Iagi cukup waktu untuk disebut 'sebentar', mulut Satria sudah berbicara lagi.
"lya, aku ingat sekarang!"
"Siapa orang itu, Satria!" Pekik Tresnasari kegirangan.
"Aku pernah bertemu dengan seorang kakek jelek berjenggot. Dia menyebut-nyebut Ki Kusumo dengan julukan itu!" Tresnasari terdiam. Matanya menatapi wajah bocah tanggung di depannya.
"Maksudmu, Ki Kusumo yang dulu menolong kita dari tangan lelaki bernama Dirgasura itu?" Tanyanya dengan alis hampir bertaut.
"Betul!" Satria berjingkat.
"Jadi selama ini, Pak Tua Kusumo telah menutup-nutupi siapa dirinya sebenamya?"
"Betul lagi!" Berjingkat-jingkat lagi dia.
"Tapi, kenapa dia tak langsung mengobati Nyai ketika di gubuk tepi pantai Ketawang?" Tanya Tresnasari. Nadanya seperti bergumam, seperti bertanya ragu pada diri sendiri.
"Yang itu, aku tak tahu." Satria tidak bisa berjingkat-jingkat lagi. Wajahnya muram. Secepatnya pula berubah cerah kembali.
"Tapi, kita bisa segera mencari tahu kenapa Pak Tua begitu, Tresna!" Sentaknya.
"Bagaimana maksudmu?" Satria mengangkat jarinya. Sebelah matanya mengerdip, memberi isyarat pada Tresnasari untuk memperhatikan.
"Oiiii, Pak Tua Kusumo! Tolonglah keluar segera!"
Buat Tresnasari, itu bukanlah jawaban yang tepat untuk pertanyaannya barusan. Sebaliknya, perbuatan Satria dianggapnya tak punya alasan sama sekali. Sama sekali tak masuk akal. Tentu saja dia beranggapan begitu. Seandainya dia tahu alasan sesungguhnya Satria, kebingungan Itu tak akan terjadi.
"Aku tahu kau terus mengikutiku Pak Tua! Jadi, keluarlah!"
Sepi. Tak ada seorang pun menampakkan diri.
Satria dongkol. Dia yakin Ki Kusumo masih mengekorinya. Seperti sebelum-sebelumnya. Tresnasari sendiri makin merengut-rengut tak mengerti. Satria tak kehilangan akal.
"Kalau kau tak Ingin keluar, sumpah mati disambar kambing mabok aku tak akan sudi menjadi muridmu!!!" Cukup dengan satu kalimat terakhir itu, orang yang dimaksud Satria akhirnya menampakkan diri juga. Dari balik batu besar yang bertengger di tanah meninggi, Ki Kusumo melompat amat ringan. Dia berdiri di depan kedua bocah tanggung tadl.
"He-he-he, apa kabar, Pak Tua Kusumo?" Sambut Satria, merasa menang.
"Ada apa sebenarnya sampai kau berteriak-teriak setengah gendeng seperti itu? Kau tahu, aku tidak tuli, Cah Bagus?" Ucap Ki Kusumo. Satria tak buru-buru menjawab. Diliriknya Tresnasari, Karena bocah perempuan itulah yang punya urusan besar dengan Ki Kusumo.
"Pak Tua, apakah kau tabib yang berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" Tanya Tresnasari.
"Ya."
"Kenapa selama ini kau tak mencoba menyembuhkan penyakit ibuku? Bukankah sewaktu di gubuk itu kau sudah tahu ibuku membutuhkan pengobatan?"
Ki Kusumo terdiam sebentar. Sulit untuk mengutarakan alasan sebenarnya. Jika diungkap, tentu akan membuat hati gadis tanggung itu akan terluka. Bagaimana menjelaskan pada seseorang kalau ibu tercintanya tak mungkin disembuhkan? Bahwa Ibu tercintanya itu akan segera menemui ajal dalam beberapa waktu Iagi? "Karena kau atau ibumu tak meminta," Jawab Ki Kusumo, menyembunyikan alasan sesungguhnya.
"Kalau begitu, sekarang aku memintamu dengan amat sangat. Tolonglah kau sembuhkan ibuku...," Pinta Tresnasari memelas.
Ki Kusumo iba. Trenyuh juga jiwa tuanya. Tidak sepantasnya dia membiarkan seorang gadis ranum yang baru mekar menjadi sedih. Harus ada yang menghiburnya, pikir orang tua ahli obat-obatan dan pengobatan itu.
"Baiklah," Putus KI Kusumo.
"Tapi...." Dipenggalnya kalimat lanjutan. Diliriknya Satria. Satu rencana yang telah lama dipikirkan dalam benaknya pun harus bisa dimulai hari ini, tekadnya lagi dalam hati.
"Tapi apa, Ki?" Desak Tresnasari.
"Tapi, aku punya syarat. Bocah itu harus bersedia menjadi muridku!" Tandas Ki Kusumo seraya melempar isyarat kepada Satria dengan gerak wajahnya. Satria dibuat gusar dengan keputusan Ki Kusumo.
"Kenapa kau begitu licik, Pak Tua?" Sungutnya.
"Menolong sesama itu kewajibanmu. Kenapa kau harus berpamrih untuk melakukan tindakan mulia..." Ki Kusumo tak mau lagi dikalahkan oleh si bocah berambut kemerahan. Hari ini, dia harus menerima penuh kesepakatan dari Satria untuk menjadi muridnya. Kalau tidak, dia tidak bisa yakin lagi memiliki rencana yang cukup baik dari itu.
"Baik. Aku tidak akan meminta kau menjadi muridku. Tapi, kuminta kau untuk membantuku menyembuhkan ibu Cah Ayu ini. Kau bilang menolong sesama adalah pekerjaan mulia bukan?" Lanjut Ki Kusumo, meneruskan rencananya untuk menundukkan si bocah.
"Apa yang bisa kuperbuat?"
"Mudah saja...," Tukas Ki Kusumo dengan sebaris senyum samar kemenangan. Satria, si bocah penuh bakat, cerdik, keras dan agak gendeng, kini nyaris berada dalam genggamannya!

* * *



Pulau Dedemit.
Pulau terpencil. Terletak di sekitar Samudera Hindia berombak besar. Pada saat-saat tertentu atau musim-musim angin tertentu, ombak di sekitar wilayah itu bisa menjelma menjadi tangan-tangan raksasa mengerikan.
Pulau kecil yang sebenarnya cuma tersusun dari bukit-bukit karang tanpa kehidupan. Di mana-mana cuma ada karang. Tempat bersarangnya ratusan ribu burung-burung manyar.
Tepat dari Tanjung Karangbolong, Pulau Dedemit samar-samar terlihat.
Siang itu, Ki Kusumo berdiri bersama Satria ditepi pantai Tanjung Karangbolong. Tepatnya di ubun-ubun karang tinggi yang setiap saat diterjang ombak Laut Seiatan, menit demi menit, tanpa henti. Keduanya memandang di kejauhan. Pada bayangan samar yang menyerupai dedernit yang tak lain Puiau Dedernit adanya.
Beberapa hari lalu, mereka baru saja hijrah ke tempat tersebut. Nyai Cemarawangi dibawa serta dengan pedati. Di sana mereka mendirikan gubuk kecil, khusus untuk tempat Ki Kusumo merawat Nyai Cemarawangi. Begitu kata Ki Kusumo pada Satria dan Tresnasari.
Ombak terpecah karena terbentur karang di bawah Satria dan Ki Kusumo. Semburannya menerkam ke segala arah. Tubuh keduanya basah. Sekali-kali, hantaman ombak yang sudah melemah dihadang karang menjangkau kaki mereka. Angin menderu-deru. Menyibak apa saja yang sanggup disibak.
"Kau lihat pulau itu, Satria?" Mulai Ki Kusumo.
Satria mengangguk. Wajahnya tak berubah. Matanya terus terhujam pekat ke arah bentuk menyeramkan di kejauhan sana.
"Di sana aku menyimpan seluruh bahan-bahan ramuan yang kubutuhkan untuk menyembuhkan Nyai Cemarawangi. Aku yakin kau memiliki jiwa ksatria. Itu artinya, kau memiliki keberanian luar biasa. Tak mudah dikalahkan oleh ancaman. Kau tentu tak takut mengarungi ombak besar itu bukan?"
"Apa maksudmu, Pak Tua?" Satria menoleh sejenak pada lelaki tua di sebelahnya.
"Untuk menolong wanita itu, terpaksa aku memintamu membantuku...," Sambung Ki Kusumo. Dia tahu dirinya kini sedang berdusta pada seorang bocah lugu, polos tanpa dosa. Tapi jika niatnya untuk satu hal yang baik, tak mengapa. Toh nilai segala tindakan ditentukan dari niat awal, pikirnya.
"Katakan saja, Pak Tua. Apa pun yang kau pinta, aku sudah siap melaksanakannya. Aku merasa harus membantu Nyai Cemarawangi yang baik semampuku!" Sela Satria, mengisi kekosongan kalimat Ki Kusumo.
"Kuminta kau untuk mengambil bahan-bahan obat-obatanku di sana. Untuk itu, kau harus berenang menembus ombak Laut Selatan. Kau sanggup?"
"Sanggup, Pak Tua!" Tandas Satria, tak ragu. Tiada kegentaran dalam nada suaranya. "Tapi, kenapa tidak mempergunakan perahu saja. Pak Tua?"
"Tidak mungkin. Pulau Dedemit itu sebenarnya hanya puncak gunung karang dasar laut yang menjorok ke permukaan. Kalau kau mempergunakan perahu, maka ombak setiap saat bisa menumbukkannya ketepi karang. Perahu akan hancur. Jadi, semuanya tergantung dari kemampuanmu berenang daiam ombak besar...."
Satria terdiam sejenak. Membayangkan semua perkataan Ki Kusumo, dia jadi tahu tugasnya bukan tugas enteng. Ini menyangkut nyawa satu-satunya. Salah perhitungan sedikit saja, dia akan mati. Tapi, Satria tak ingin jadi gentar dengan membayangkan terus.
"Aku sanggup, Pak Tua.... Sanggup!" Putus Satria, bulat.
"Bagus. Mulai besok, kau harus mulai ke sana!"

* * *



Sehari terlewati.
Tiba waktunya bagi Satria untuk menjalankan tugas berat yang dibebankan padanya. Selama Ki Kusumo merawat dan mengobati Nyai Cemarawangi, maka bocah berhati baja itu yang akan berenang pulang-balik dari pantai Tanjung Karangbolong ke Pulau Dedemit untuk mengambii segala keperluan Ki Kusumo.
Ombak besar memburu ke pantai. Susul-menyusul ketepian, sampai akhirnya surut kelelahan di batas pasir yang tak bisa lagi didaki.
Satria berdiri, menatapi riuh gelombang. Di kejauhan, gulungan gulungan ombak begitu mengerikan. Tapi, tak sedikit pun menitipkan kengerian itu ke dalam diri Satria. Tekadnya seolah sudah mengeras bagai waja murni. Di antara tarian angker ombak Laut Selatan, berdiri menjulang pulau kecil yang samar. Ke sana dia hendak menuju. Berenang mempertaruhkan nyawa.
Jarak yang mesti ditempuh Satria pun bukan jarak yang pendek. Seorang ahli renang seperti pencari mutiara alam, setidaknya membutuhkan waktu seperempat hari berenang untuk sampai ke sana. Ditambah tantangan sang ombak, dan ancaman karang-karang tajam di sepanjang tepian Pulau Dedemit, lengkap sudah beratnya tugas yang diemban bocah yang besar di tepi pantai itu.
Mulai saat ini, kemampuan renangnya, ketahanan tubuhnya, dan kekuatan hatinya yang pernah mendarah-daging sebagai seorang anak tepi pantai akan diuji.
Apa pun yang terjadi, dia tetap akan maju. Mundur, tak pernah terpikir.
Tatapan lurus padat tekad di pancar mata anak itu disudahi dengan beberapa tarikan napas panjang. Matanya terpejam sebentar. Dia hendak memanjatkan doa daiam hati, memohon kekuatan dari Pemilik Dirinya.
"Kau sudah siap, Satria?" Tanya Ki Kusumo di belakangnya.
Bocah itu mengangguk tanpa menoleh.
"Jika kau tiba di Pulau Dedemit, naiklah dari sisi tenggara. Kau harus mendaki karang paling tinggi di sebelah itu. Jika tiba di puncaknya, kau akan menemukan goa besar tak terlalu dalam. Di dinding goa itu, aku menyimpan semua bahan-bahan obat-obatanku. Ambillah satu tabung bambu berwarna hitam pada barisan paling kiri," Tutur Ki Kusumo panjang lebar.
"Itu saja, Pak Tua?" Satria menoleh.
"Ya. itu saja!" Satria menarik napas dalam-dalam, memadatkan rongga paru-parunya dengan udara. Lalu dia pun memulai melangkah menuju ombak. Sikapnya gagah menantang tantangan. Namun tak pernah tampak angkuh.
Sesaat kemudian, tubuhnya sudah tertelan ombak. Ki Kusumo melepasnya dengan pandangan bangga.

* * *



--¤¤¦ « 6 » ¦¤¤--

DUA tahun berlalu. Selama itu, dalam tiga kali sepekan Satria selalu merenangi Lautan Selatan yang terkenal ganas. Pada awal-awalnya, dia banyak menemui kesulitan. Dengan susah-payah dan tenaga terkuras, dia baru berhasii tiba di Pulau Dedemit selama setengah hari penuh.
Menjelang tiba di tepian pulau karang itu, sempat dia diombang kian kemari. Dalam keadaan yang demikian payah, amat sulit baginya untuk menghindari diri dari ancaman karang-karang tajam yang mencuat bagai gigi-gerigi hantu. Hanya dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya dia sanggup untuk menyelamatkan diri. Itu pun masih dengan luka-luka memanjang di beberapa bagian tubuhnya akibat tergores karang.
Keletihan luar biasa, rasa pedih karena luka yang basah oleh air laut, belum cukup untuk Satria. Untuk bisa mendapatkan pesanan yang diminta Ki Kusumo, dia harus pula mendaki gunung karang terjal, licin, dan tajam.
Tanpa kenal kata putus asa, bocah berhati baja itu meneruskan usahanya. Didakinya gunung karang. Baru beberapa tombak saja dia mendaki, ujung jari-jemari tangannya sudah berdarah tersayat gigir karang.
Tak ada kata menyerah. Satria meneruskan. Dia bertekad, lebih baik mati dalam perjuangan mulia, ketimbang harus mundur kembali!
Menjelang tiba di puncak, seluruh jaringan ototnya sudah bagai mati rasa. Sendi-sendinya sudah teramat suiit digerakkan. Matanya pun berkunang-kunang. Sampai akhirnya, daya tahan tubuh anak itu tak bisa Iagi membendung seluruh keletihan teramat sangat. Di bibir goa, dia jatuh pingsan.
Satria sadar kembali setengah hari setelah dia tak sadarkan diri. Merasa telah melalaikan tugas yang diembannya, Satria bergegas masuk ke dalam goa tanpa mempedulikan betapa seluruh tubuhnya dirundung iinu, sakit dan nyeri menyiksa.
Di sana, diambilnya tabung bambu berwarna hitam yang diminta Ki Kusumo. Setelah itu, harus diulangnya kembaii perjuangan hidup-mati yang telah dilakukan sebelumnya. Menuruni gunung karang, dan menyeberangi Laut Selatan!
Selama itu, Ki Kusumo selalu memberinya ramuan-ramuan khusus. Setiap hari Satria harus meminumnya. Setelah meminum ramuan tersebut, tubuh si bocah perkasa terasa segar kembali. Rasa letihnya perlahan hilang dan Iinu beratnya tersingkirkan. Untuk menyembuhkan luka-lukanya, Ki Kusumo membalurkan pula ramuan tertentu di tubuh anak itu.
Beberapa hari berikutnya, Satria masih merasakan perjuangan terlampau berat. Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan. Minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, dia mulai terbiasa dengan semua itu.
Bulan ketiga, dia sudah berhasil menembus kelemahan dirinya sendiri. Saat tiba dibibir goa, bocah itu tak Iagi kehilangan kesadaran.
Bulan kelima, si anak berjiwa satria sejati sudah dapat menyeberangi Laut Selatan hanya dengan memakan waktu sepertiga hari. Dan dapat mendaki bukit karang lebih cepat dari sebelumnya.
Minggu demi minggu melesat tak terasa. Demikian pula bulan demi bulan. Pada bulan-bulan berikutnya, Satria sudah mampu merenangi Laut Selatan segagah seekor singa laut. Dia bahkan dapat mendahului perahu-perahu nelayan yang kebetulan berpapasan dengannya. Jarak antara Tanjung Karangbolong dengan Pulau Dedemit sudah bisa ditempuhnya hanya dalam jangka waktu kurang dari seperlima hari!
Waktu mengendap diam-diam.
Selama itu, Satria terus berenang pulang-pergi mengambil bahan-bahan obat milik Ki Kusumo dari Tanjang Karangbolong Pulau Dedemit. Ketika persediaan bahan obat-obatan habis, Ki Kusumo tak memerintahkan Satria menghentikan kerja teramat berat itu. Dia meminta agar Satria mencari beberapa bunga karang yang katanya hanya tumbuh di tepi Pulau Dedemit. Khasiat bunga karang tersebut dapat membantu penyembuhan Nyai Cemarawangi, begitu menurut Ki Kusumo.
Kerja mati-matian untuk si bocah berlanjut terus.
Dua setengah tahun pun terlampaui.
Ketika itu Satria tampak di dalam goa karang Pulau Dedemit. Tabung bambu berisi bahan obat-obatan Ki Kusumo sudah demikian menipis. Sampai saat itu, tak sekali pun si orang tua mengatakan sesuatu. Tak juga menanyakan pada Satria apakah tabung-tabungnya masih tersedia cukup banyak.
Di rak yang sebenarnya hanya semacam lobang persegi empat memanjang di dinding goa, hanya tersisa tiga tabung bambu. Menurut perkiraan Satria, tentu dalam satu pekan ke depan, ketiga tabung itu pun akan habis dibawa.
Kalau sampai saat itu Ki Kusumo tak menyadari tabung-tabungnya telah hampir habis, rasanya tak mungkin. Dia pemilik seluruh tabung sekaligus tempat tersebut. Sudah bertahun-tahun goa itu ditempatinya. Sudah tentu seorang pemilik tak akan lupa berapa banyak benda-benda yang dimiliki di dalamnya. Apalagi kalau sekadar tabung-tabung bambu.
Sementara selama mengobati Nyai Cemarawangi, tentunya Ki Kusumo terus memperhitungkan persediaan bahan obat-obatannya sepanjang masa pengobatan.
Jadi, mustahil Ki Kusumo lupa atau tak sadar kaiau persediaan tabung sudah hampir habis, simpul Satria. Besar kemungkinan, memang masih ada persediaan bahan obat-obatan lain, duganya lebih jauh. Mungkin saja Ki Kusumo menaruhnya di tempat lain dalam goa.
Satria memutuskan untuk mencarinya. Supaya besok-besok dia tak perlu repot-repot lagi mencari, pikirnya. Lalu dimasukinya ruangan goa agak ke dalam. Di dalam, ruangan agak gelap. Udaranya pun lembab dan dingin. Karena tak dapat melihat dengan jelas, Satria berusaha meraba-raba dinding goa. Siapa tahu ada rak di bagian dinding karang yang lain.
Suatu ketika, tangannya menemukan lobang berukuran kecil yang amat pas dengan ukuran tangannya. Satria tentu saja tidak mencari lobang itu. Mana mungkin Ki Kusumo menempatkan sebegitu banyak bahan obat-obatan di tempat sekecil itu, pikirnya.
Satria urung melewatinya begitu saja. Karena dia merasakan ada pancaran hawa hangat yang berbeda dari ruangan lain di dalam goa ketika tangannya tanpa sengaja menyentuh sisi lobang. Aneh, pikirnya. Apa mungkin ada ruangan terbuka yang terhubung dengan lobang kecil ini, bisik hatinya penasaran. Hanya karena dorongan rasa penasaran, dirogohnya juga lobang tadi dengan tangannya. Lebih anehnya lagi, lobang itu ternyata buntu. Tangan Satria hanya masuk hingga sebatas siku. Menyentuh sesuatu yang dirasanya amat ganjil. Berarti lobang itu tak menghubungkan dengan ruang terbuka sama sekali. Lantas, kenapa terasa hangat? Makin penasaran saja Satria. Keingintahuannya menjangkit, makin menjadi-jadi. Seingatnya, Ki Kusumo tak pernah bercerita atau mengatakan tentang adanya lobang berhawa hangat tersebut.
Satria ingin melongok ke dalam. Sayang ruangan terlampau gelap. Tak kehilangan akal, dicarinya di ruangan goa yang agak terang sesuatu yang bisa dijadikan penerang. Pikirnya, masa iya Ki Kusumo tak pernah membutuhkan obor atau semacamnya selama tinggal di tempat Itu. Dugaannya terbukti. Di samping mulut goa tertancap sebatang obor.
Kini tinggal masalah apinya. Sekali lagi, Satria menduga-duga. Pasti pula Ki Kusumo memiliki batu pemantik atau sejenisnya untuk menyalakan obor. Dia pun mulai mencari-cari lagi. Untuk menemukan yang satu itu, Satria agak menemui kesulitan. Sudah dicarinya ke mana-mana, tak ditemukan juga. Setelah hampir bosan mencari, benda itu baru ditemukan. Terpencil di salah satu sudut sehingga nyaris terlihat menjadi bagian dinding goa.
Karena terlalu ingin tahu, tak dinyalakannya dulu obor. Dibawanya kedua benda tersebut ke dekat lobang. Di depan lobang, baru dia berusaha menyalakannya. Batu pemantik hitam sebesar kepalan tangan dibenturkannya ke dinding goa di dekat lobang.
Tak!
Tiba-tiba saja sesuatu terjadi tanpa terduga. Batu yang semula dianggap Satria sebagai pemantik tak bisa menempel di permukaan dinding. Terpikir oleh Satria, tentu ada semacam daya sembrani alam dalam dinding karang tempatnya memukulkan batu pemantik. Kalau kenyataannya begitu, tentu tak akan terlalu sulit dia melepaskannya kembali. Namun, kala dicobanya ternyata batu melekat ketat dan liat.
"Apa pula ini," Gumam Satria, kebingungan.
Dicobanya untuk menarik batu tadi. Sulit. Tenaga dikerahkan. Batu itu tetap tak bergemik dari tempat menempelnya, seakan ada kekuatan magnit alam raksasa yang mengikatnya kuat-kuat.
Keanehan susulan tersebut menyebabkan Satria semakin penasaran saja. Dia tetap bersikeras untuk mencabut batu pemantik tadi dari tempat menempelnya. Dikerahkannya kembali seluruh tenaga. Sekali ini, tangannya tergelincir dari permukaan batu pemantik. Rupanya batu itu cukup licin. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal itu, Satria harus mempergunakan kelima ujung jarinya.
Usahanya diianjutkan. Satria sekali ini merasa benar-benar harus mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya. Jika perlu sampai tak tersisa. Dia harus dapat melepasnya pada sentakan terakhir ini. Agar tarikannya lebih kuat, sengaja ditopangkannya kaki pada dinding goa.
Satria memulai dengan satu teriakan keras.
"Heaaaat"
Ujung jari-jari yang dipergunakan untuk mencengkeram sudut batu menjadi teramat perih dan sakit luar biasa. Padahai solama ini jari-jari itu sudah demikian menebal, kebal dan terlatih selama dipergunakan untuk mendaki gigir bukit karang.
Batu masih belum beringsut.
Satria terus berkutat. Dia tak sudi menyerah.
Sampai beberapa saat berlalu, kelima ujung jarinya sudah mengeluarkan darah dari sela-sela kuku. Pedihnya tak alang kepalang. Satria berusaha untuk tak merasakan itu. Dia terus berkutat ketat.
Kekokohan otot-otot jarinya yang selama ini berubah menjadi demikian kuat serta alot sungguh-sungguh diuji kemampuannya. Biarpun dia dapat mengangkat tubuhnya hanya dengan bertahan pada dua jari di gigir karang yang begitu tipis, hal itu tak menjamin dia dengan mudah mencabut batu tadi.
Sampai batu tadi pun mulai bergeser dari tempatnya. Perlahan bergeser mendekati lobang kecil. Satria sengaja menggiringnya ke sana. Sebab bila batu tersebut sudah tergelincir ke lobang, tentu dia akan terlepas dengan sendirinya.
Jarak ke lobang makin dekat. Satria terus berkutat.
"Hiaa!"
Dengan kawalan satu teriakan kembali, batu pemantik itu berhasil digelincirkan ke lobang. Pada saat itu pula, terpercik bunga api. Menyusul semburan lidah api berasal dari lobang. Nyaris saja wajah Satria tersambar andai saja dia tak berdiri lebih rendah dari lobang.
Tubuh anak yang kini telah tumbuh menjadi pemuda tanggung itu sendiri terpental. Bukan karena terkejut. Melainkan karena semburan lidah api tadi diiringi ledakan kuat yang melempar tubuhnya amat keras ke sisi dinding goa yang lain.
Amat keras, punggung Satria menghajar dinding goa. Tulang punggungnya terasa remuk-redam. Meringis-ringis, dia mencoba bangkit. Sebelum tubuhnya sempat ditegakkan kembali, terjadi ledakan kedua. Lebih keras dari sebelumnya. Lidah api pun menyembur lebih besar dan berkobar. Untung saja jarak pemuda tanggung itu sudah cukup jauh. Meski begitu, tak urung Satria mengangkat kedua tangannya dl depan wajah, menghalangi hawa panas yang menerjang.
Bersamaan dengan ledakan tadi terpental keluar sebuah benda dari lobang berapi. Meluncur cepat bagai sebutir anak peluru. Dan menancap di dinding goa dua jengkal di atas kepala Satria seakan mata tombak yang menembus dinding kayu.
Saat berikutnya, kobaran lidah api dari mulut lobang kecil perlahan-lahan menjinak, menjinak, menjinak dan akhirnya mati. Tinggal asap tipis putih pekat mengepul dan mengambang malas ke segenap ruangan.
Satria lega, Dia bangkit.
Benda yang menancap di dinding goa diperhatikannya dengan teliti. Hanya sebuah benda berbentuk seperti bambu kuning kecii sepanjang satu jengkal. Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas. Di sekitarnya mengepul asap putih.
"Apa ini?" Tanya Satria keheranan.
Tentu panas, pikir Satria. Coba-coba disentuhnya. Aneh, benda itu justru terasa sejuk. Penasaran. Ditariknya benda itu dari dinding. Tak seperti usaha mengangkat batu pemantik, kali ini dia menemui kemudahan. Sebab, dinding dl sekeliling bambu kuning itu telah menjadi abu.
Kini, terlihatlah wujud sempurnanya. Pada ujung yang lain, terdapat logam berwarna serupa dengan hiasan kepala naga. Cuma bentuknya menyerupai ekor naga.
"Menarik juga benda ini. Biar kusimpan saja," Gumam Satria, tak terpikir olehnya hal lain kecuali hanya ingin menyimpan benda itu.

* * *



Seorang anak muda tanggung yang baru menginjak masa akhil baligh tampak berenang gagah di antara gejolak gelombang Laut Selatan pada musim angin barat. Pada musim seperti itu, tak ada satu nelayan pun punya nyali untuk turun ke laut. Tidak bagi anak muda tanggung ini. Bagai seekor hiu jantan perkasa, dibelahnya gelombang demi gelombang.
Setibanya di tepi pantai, bergegas dia berlari. Tubuhnya basah. Otot-otot di sekujur tubuhnya kekar kenyal. Dadanya bidang. Hampir di sekujur tubuh gagah itu tampak bekas luka-luka lama memanjang. Rambut basahnya yang berwarna bergumpal sampai ke bawah bahu kekarnya. Wajahnya tampan, berdagu kokoh. Matanya bergaris setajam sembilu.
Dialah Satria.
Hari itu, tepat dua tahun setengah dia melaksanakan tugas yang dibebankan Ki Kusumo kepadanya. Di tangan anak muda tanggung itu tergenggam seikat bunga karang.
"Satria!" Terdengar satu panggilan.
Satria menoleh ke arah bukit karang di tepi pantai yang menjorok ke laut. Dl sana berdiri Ki Kusumo. Jubah putih panjangnya bergeletar liar dipermainkan angin kencang.
"Kemari kau!"
Anak muda tanggung Itu memenuhi panggilan Ki Kusumo. Dengan amat ringan, dia berlari. Kecepatan kakinya berlari tak seperti anak muda sebayanya. Kekokohan kakinya yang selama dua tahun setengah selalu berkutat mengayuh dalam gelombang, membuatnya sanggup berlari seperti seekor rubah.
Tak beberapa tarikan napas, Satria sudah sampai di atas bukit karang di mana Ki Kusumo berdiri. Anak muda tanggung itu hendak menyerahkan seikat bunga karang dl tangannya, tapi Ki Kusumo malah menyuruhnya lebih mendekat.
"Aku ingin berbicara padamu tentang satu rahasia yang selama ini aku simpan diam-diam," Katanya datar. Ditepuknya bahu Satria.
"Rahasia?" Satria tak mengerti. Dia memang tak akan mengerti sebelum Ki Kusumo mengungkapnya.
Orang tua berperawakan yang masih tampak gagah itu berjalan mendekati bibir bukit karang. Sebentar dia menarik napas, seakan hendak mengangkat sesuatu dari dadanya. Matanya terlepas bebas ke arah samudera yang sedang resah.
Satria menunggu.
"Sebenarnya, penyakit Nyai Cemarawangi tak dapat disembuhkan...," Ungkap Ki Kusumo, nyaris tersamar deru angin laut.
"Apa?!" Tersentaklah Satria.
"Apa aku tak salah dengar, Pak Tua?"
"Tidak, Cah Bagus. Kau tak salah dengar. Penyakit Nyai Cemarawangi sampai sekarang belum diketahui obatnya. Aku sendiri yang sudah mengenal lebih dari seribu satu jenis penyakit dan mempelajari lebih dari seribu satu obat-obatan tak mempunyai daya untuk membantunya...."
Gusar, Satria mendekati Ki Kusumo. Langkahnya dibanting bagai berniat meruntuhkan karang.
"Jadi, untuk apa aku berjuang mati-matian selama ini mengarungi lautan?!" Protesnya, nyaris berteriak. Sungguh, dia merasa telah didustai selama ini. Dusta yang telah menyebabkan dirinya mempertaruhkan nyawa demi satu hal yang sia. Demi satu pepesan kosong belaka!
"Jadi selama ini kau sudah tahu kalau penyakit Nyai Cemarawangi tak bisa disembuhkan?!"
"Ya."
"Kau...." Satria teramat geram. Rahangnya mengejang. Giginya bergemerutuk. Dicampakkannya kuat-kuat bunga karang dl tangannya ke bibir pantai di bawah sana.
"Tapi, aku punya alasan sendiri, Satria." Ki Kusumo berbalik. Wajahnya tak berubah. Tetap memperlihatkan wibawa dan ketenangan daiam.
"Aku tak peduli pada alasanmu, Pak Tua. Yang jelas, selama ini kau telah mendustaiku!" Lalu digerakkannya kaki. Pergi. Ditinggalkannya Ki Kusumo, membawa segumpal kegusaran yang tumpang-tindih dengan kekecewaan dan kemasygulan.
"Satria tunggu!"
Percuma Ki Kusumo berusaha menahan. Saat ini, apa pun alasan dikemukakan, tak akan membuat Satria mendengarkan. Dia sedang dikungkung galau. Percuma untuk menjeiaskan. Orang tua itu menyadari. Dibiarkannya anak muda tanggung itu pergi. Ada saatnya dia bisa menjelaskan secara gamblang alasan rahasianya yang tersembunyi selama ini. Ada saatnya....
Ki Kusumo menarik napas kembali. Membiarkan hawa dari Laut Selatan mengisi rongga paru-parunya.

* * *



Membawa kegalauan, Satria tak kembali ke gubuk. Dia tak bisa sama sekali memberitahukan semua yang didengar langsung dari pengakuan Ki Kusumo kepada Tresnasari, jika tak ingin dua wanita itu akan menjadi kecewa terlampau dalam. Sama saja artinya, mengoyak-ngoyak seluruh harapan gadis itu. Sama saja dengan menumbuk hatinya.
Satria tak mau itu terjadi.
Dia memilih pergi meninggalkan pantai Tanjung Karangbolong, sekadar untuk mendinginkan rasa panas mendidih dalam dirinya. Ditujunya pusat kota Kadipaten Ayah.
Satria tiba di sana setelah menempuh perjalanan berkuda selama satu hari penuh. Hari saat itu menjelang siang. Matahari bersinar tak terlaiu menyengat. Angkasa dipenati awan putih yang berarak lambat tenang.
Dimulai dengan menguasai daerah-daerah sekitarnya Pesisir Utara Jawa seperti Jepara, Semarang, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik, pasukan Demak merambat terus mengembangkan sayap kekuasaannya meliputi daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah. Daerah Pesisir Selatan Jawa, adalah salah satu wilayah yang mulai pula dikuasainya. Termasuk Kadipaten Ayah. Namun karena jauh dari pusat kekuasaan Demak, pengawasan untuk daerah itu jadi agak lemah. Itu menyebabkan masuk dengan bebas banyak orang dari berbagai kalangan. Karena itu pula, Laskar Lawa Merah di bawah pimpinan Dirgasura memilih untuk lebih banyak bergerak di sekitar Pesisir Selatan Jawa.
Kota kadipatenan saat itu sedang tampak lengang. Beberapa orang tampak berjalan mengangkut keranjang-keranjang ikan yang mereka angkut dengan pedati dari pantai.
Rumah-rumah penduduk berderet berjauhan sepanjang jaian tanah. Tiga-empat bangunan tampaknya adalah kelontong dan kedai makan. Di tengah-tengah barisan rumah sebelah kiri, berdiri semacam pendapa yang digunakan saudagar ikan untuk menimbang dan membeli hasil tangkapan laut dari para nelayan. Sang saudagar adalah seorang Cina dari pecinan di wilayah sekitar.
Di beberapa tempat, tumbuh pepohonan kelapa yang diam dan melambai kala angin bertiup semilir.
Ketika Satria memasuki jalan, beberapa pasang mata menatapinya dengan pandangan curiga. Mungkin di antara mereka ada yang cemas kalau-kalau Satria atau setiap pendatang asing adalah mata-mata geromboian Laskar Lawa Merah yang hendak mencari mangsa.
Di depan sebuah kedai, Satria menghentikan kuda tunggangannya. Ditambatkan tali kekang binatang itu pada satu pohon kelapa. Dia sendiri masuk ke dalam kedai. Perutnya mulai mengamuk minta jatah. Memang sudah waktunya makan siang.
Belum sempat melewati mulut pintu, Satria dikejutkan oleh keributan berasal dari dalam kedai. Menyusul tubuh seseorang terlempar mundur keluar amat deras dan tiba-tiba.
Secara refleks, Satria mengelak ke sisi. Tubuh orang tadi luput menerjang dirinya. Satria sendiri saat itu dibuat terheran-heran dengan kesigapannya berkelit. Sungguh dia tak menyangka berhasil lolos dari terjangan tubuh orang tadi. Sebab di samping luncuran tubuh orang itu demikian cepat, juga begitu mendadak. Sedangkan jaraknya dengan pintu kedai saja tak lebih dari dua langkah. Daiam jarak sedekat itu, tentu amat sulit melakukan elakan. Tapi kenyataannya, dia dapat melakukan dengan amat sempurna.
Sementara orang yang terlempar mundur keluar jatuh bergulingan di jalan berpasir, Satria malah terheran-heran pada dirinya sendiri. Bagaimana aku dapat melakukan itu? Tanya hatinya tak mengerti. Bagaimana aku dapat bergerak secepat dan sesigap itu?
Hal itulah yang selama ini tak pernah disadari oieh Satria sendiri. Tempaan selama mengarungi Laut Selatan telah menjadikan dirinya pemuda tanggung luar biasa. Terbiasanya dia untuk mewaspadai ancaman karang, membentuk ketajaman pandangan matanya layaknya mata seekor rajawali. Dan perjuangan berat menembus kekuatan gelombang lautan membuat otot-otot tubuhnya demikian cepat bereaksi. Jari-jari tangannya yang terbiasa digunakan untuk mendaki gigir karang, membentuknya menjadi jari sekokoh dan sekuat batang rotan. Selain itu, ada hal lain yang tak kalah luar biasa. Dan itu belum sempat dialaminya. Pun disadarinya.
Dalam keterperangahan pada diri sendiri, seseorang lain menerjang keluar dari dalam kedai. Seorang lelaki berperawakan kasar, berpakaian dan ikat kepala hitam. Rambutnya botak. Wajahnya cacat. Ada sayatan memanjang dari mata kanan ke leher sebelah kiri. Dagunya brewok panjang serta kasar. Dari bola matanya yang berwarna merah, tampak sekali kalau lelaki itu sedang dalam keadaan mabuk.
"Kucincang kau, Keparat!" Teriaknya seraya menghunus golok besar.
Satria beringsut mundur satu-dua tindak, memberikan orang berangasan tadi jalan. Tindakan Satria rupanya tak cukup bagi si brewok. Dia ingin jalannya lebih bebas. Tepatnya, dia tak Ingin ada seorang pun di dekatnya!
"Minggir kau!" Hardiknya seraya mengayunkan golok ke arah Satria. Ganas. Cepat. Arahnya menuju leher!
Wukh!
Satria tercekat. Jaraknya hanya satu tindak dari si penyerang. Bagaimana mungkin dia bisa menghindar dalam keadaan tidak siap?

* * *



--¤¤¦ « 7 » ¦¤¤--

KEJADIAN yang tak terduga dialami lagi oleh Satria. Dengan gesit, badannya mencondong ke belakang. Itu dilakukan tanpa disadarinya sendiri. Sebentuk gerak refleks yang lahir begitu saja dalam keadaan terancam. Sabetan golok si lelaki kalap tadi pun hanya membabat angin.
Lagi-lagi, daya refleks yang terlatih selama menghadapi ancaman karang di sekitar Pulau Dedemit telah tercetus keluar di diri pemuda tanggung itu. Lagi-lagi pula, Satria dibuat terheran-heran kembali. Apa pula yang telah kulakukan? Bagaimana aku dapat dengan cepat menghindari sabetan golok yang demikian dekat?
Pertanyaan-pertanyaan ulangan tadi tak mendapat jawaban. Karena lelaki brewok di sebelahnya makin kalap. Sabetan yang tak berhasil memangsa leher sasaran, membuatnya menjadi lebih berang. Makin berangasan. Amukan yang mestinya tertuju pada lelaki yang terlempar keluar, akhirnya nyasar kepada Satria.
"Heaa!" Dalam ketercekatan yang makin membengkak, Satria tak bisa lagi berpikir apa yang mesti dilakukannya. Namun, ketika matanya menangkap kerjapan mata golok di tangan lelaki brewok hendak membelah kepalanya, Satria bergerak refleks kembali. Dia menyingkir ke samping. Serangan kedua luput.
Serangan berikutnya mengejar. Sabetan ganas menderu, memburunya. Berkali-kali mata golok lelaki brewok hanya memakan angin dan memakan angin. Lelaki brewok makin berang. Pengaruh arak dalam tubuhnya makin membakar kemarahannya. Kekalapan memuncak. Serangannya makin gencar, laksana serbuan hujan.
Sampai akhirnya....
Begh!
Serangan bertubi-tubi, penuh nafsu dan mengurung seluruh ruang gerak Satria pada akhirnya menemukan satu sasaran. Saat itu, perhatian si pemuda tanggung terpecah pada tubuh lelaki yang terlempar keluar dari kedai. Serbuan serangan lawan telah menggiring keduanya ke dekat lelaki itu. Pada saat tusukan golok mengancam perut Satria, di belakangnya lelaki tadi berdiri terhuyung. Jika pemuda tanggung itu berkelit ke samping, maka orang di belakangnya akan menjadi sasaran. Terpaksa, menghindar ke belakang seraya menerkam tubuh lelaki tadi.
Saat itulah, satu tendangan silang lawannya datang dari arah kiri. Bahunya terkena. Tendangan itu sebenarnya begitu keras. Dilepas oieh lelaki berotot pula. Kalau pemuda lain, tentu akan tersungkur jatuh dua-tiga tombak. Tidak untuk Satria. Dia hanya tersurut satu tindak ke samping. Kakinya tetap tegar memacak bumi.
Rasa nyeri di bagian bahunya membangkitkan kemarahan pemuda itu. Matanya mendadak memerah. Pandangannya menghujam. Satu tangannya memegangi bahu yang terhajar. Tangan itu mengeras, memperlihatkan otot-otot yang mengeras kejang. Tangannya mengepal bagai meremuk-redamkan sesuatu dalam genggaman.
Begitu lelaki brewok melabrak kembali. Satria berteriak. Sebentuk luapan kemarahan terlempar dari kerongkongannya. Bersamaan dengan itu, wajahnya terbakar merah. Di keningnya terlihat gelembung urat-urat kemarahan.
"Heaaaat"
Disongsongnya gebrakan lawan dengan langkah maju yang berdebam. Tanah berpasir jalan tersibak, berhamburan.
Wukhh
Ayunan golok lawan mengincar dadanya. Hendak membelah dada bidang pemuda itu dari samping.
Gerakan refleks seluruh syaraf dan otot Satria kini sudah berbeda dari sebelumnya. Jika sebelumnya dia hanya berusaha menyelamatkan diri. Sekarang, gerakan itu terpicu pula oleh kemarahan dan kegusarannya. Marah atas kesemena-menaan lelaki brewok. Gusar pada kelaliman.
Sambaran mata golok lawan dlsambutnya dengan satu tendangan yang menyerupai gerak kayuhan ekor hiu jantan.
Wukh!!
Krak!!
Ketajaman matanya mendukung tendangan tadl tepat mendarat pada pergelangan tangan lelaki brewok. Goloknya kontan terpental amat jauh, lantas nyangsang dl atap kedai. Pemiliknya sendiri berteriak luar biasa keras. Rupanya, hantaman punggung kaki Satria menyebabkan pergelangan tangannya remuk seketika!
Sebelum lelaki brewok sempat menikmati rasa sakit yang meruyak sampai ke ulu hati, satu tohokan jari-jemari Satria menanduk langsung ke dadanya.
Dep!!
Tangan kokoh berjari berwarna merah kebiruan yang selama ini selalu menentang kekuatan gelombang dan menaklukkan gunung karang, masuk telak di dada lelaki brewok. Seketika itu terdengar suara derak terpendam menggiris hati. Hanya dengan kekuatan jarinya, tiga tulang iga lelaki brewok terpatah di dalam. Tubuhnya terjajar deras ke belakang. Saat yang sama, darah tersembur keluar dari mulutnya.
Lelaki itu terjengkang ke belakang. Di tanah, dia berkelojotan beberapa lama. Di akhir gerak, dia mengejang. Lalu terkulai.
Satria berdiri terpana. Tangannya bergetar hebat. Apa yang baru kulakukan? Apa yang baru kulakukan? Jerit hatinya.
Apakah aku telah membunuh lelaki itu? Apakah aku telah membunuhnya? Mata pemuda tanggung itu menatapi nanar tangannya yang terus terangkat di depan wajah.
Itulah keluar biasaan lain yang kini terjadi dalam dirinya. Pengaruh ramuan obat-obatan racikan Ki Kusumo yang selama ini diminumnya tanpa diketahui Satria, bahkan oleh sang Tabib Sakti Pulau Dedemit sendiri, telah menyatu dan bersenyawa dengan zat yang terhisap masuk ke dalam tubuh Satria ketika terjadi bencana badai besar dahulu ( Bacalah episode sebelumnya "Tabib Sakti Pulau Dedemit").
Kenyataan seperti itu jauh di luar pikiran dan rencana Ki Kusumo. Orang tua itu sebenamya memberikan ramuan-ramuan yang akan membuat tubuh anak asuhnya akan menjadi kebal terhadap segala jenis racun paling berbisa. Ramuan hasil racikannya sendiri selama dia mendekam di Pulau Dedemit. Ramuan yang belum pernah diketemukan tabib lain. Campuran rumit antara beberapa resep-resep obat-obatan Tiongkok yang dipelajarinya selama puluhan tahun! Dinamainya ramuan tersebut Ramuan Pulau Dedemit, sesuai dengan nama tempat di mana dia berhasil menemukannya.
Dengan alasan untuk menghilangkan rasa sakit dan letih tubuh Satria, Ki Kusumo memberikan Ramuan Pulau Dedemit. Tanpa dinyana tanpa diduga, ramuan tersebut justru menjadi berkembang khasiatnya setelah berbaur menyatu dan bersenyawa dengan zat dasar terdalam Samudera Hindia di dalam tubuh Satria.
Zat yang menyelubungi sel-sel otak Satria dan membuat seluruh ingatan masa lalunya nyaris menghilang itu akan dapat membangkitkan tenaga tak terduga setaraf dengan tenaga dalam tingkat tinggi seorang datuk dunia persilatan setelah bersenyawa dengan Ramuan Pulau Dedemit. Tenaga dalam itu sebenarnya dapat diatur sekehendak hati oleh Satria. Cukup dengan memusatkan seluruh indra, rasa dan karsanya pada satu titik di bagian otaknya, maka tenaga sakti itu pun tersalur keluar. Titik tersebut amat dekat dengan pengendali rasa marah di satu bagian tengah jaringan otaknya. Tak heran, ketika dia menjadi murka, maka tenaga itu pun terbentuk nyata.
Kembali pada Satria.
Rasa panik tak terkendali pada kejadian yang tak terbayangkan tadi membuat Satria melarikan diri dari tempat itu. Diburunya kuda. Melompat ke punggungnya. Digebahnya binatang itu, lari liar sepanjang jalan.
Sepeninggalan Satria, seseorang keluar dari kedai. Diawasinya Satria di kejauhan, Bersit keji berbaur sekam penasaran terpancar di kedua bola matanya. Seorang lelaki kurus berkulit hitam. Berkepala botak. Dialah tangan kanan Dirgasura. Lelaki keturunan India.
Pandangannya beralih ke arah tubuh lelaki brewok di tepi Jaian. Matanya menyipit geram. Lelaki yang mengalami nasib naas di tangan si pemuda tanggung itu adalah anak buahnya sendiri, seorang anggota gerombolan Laskar Lawa Merah!
Suatu hari, nyawa anak buahnya harus dlbayar oleh nyawa pula....

* * *



Pemuda tanggung berambut merah, Satria, tiba kembali di Tanjung Karangbolong dengan perasaan tak menentu. Sehimpun perasaan campur aduk mengacau dalam dirinya. Ada perasaan bersalah, ada penyesalan. Ada kemarahan terhadap diri, ada kekecewaan. Ada gusar, galau, dan perasaan-perasaan lain yang sulit terjabarkan.
KI Kusumo menyambutnya dengan wajah yang tak memancarkan apa-apa. Muram. Sebabnya bukan karena dia telah mengecewakan Satria beberapa hari lalu. Ada sebab lain. Dan tampaknya dia hendak mengutarakan ganjalan yang memburamkan wajahnya itu pada si pemuda tanggung.
"Syukurlah kau sudah kembali, Satria." Satria turun dari kudanya. Dia tak ingin berkata apa-apa. Minatnya untuk bicara seperti dikunci mati. Bukan karena persoalan tempo hari. Sebab, kekecewaannya pada Ki Kusumo sudah tak mengusik lagi. Telah digusur habis oleh peristiwa di kota Kadipaten Ayah.
"Aku hendak mengatakan sesuatu padamu, Satria...," Lanjut Ki Kusumo kembali.
Kuyu, Satria menatap orang tua yang selama tiga tahun ini sudah amat dekat bagai seorang kakek bagi dirinya. Ada beban berat ditemukan pemuda itu dalam pandangan Ki Kusumo.
"Akhirnya, Tresnasari mengetahui tentang rahasia itu, Satria," Keluh Ki Kusumo.
Satria terpancing. Ada sesuatu terjadi pada Tresnasari selama aku tak di sini? Tanya hatinya. Gadis ayu yang kini mulai menginjak masa ranumnya selaku seorang dara itu memang mudah mempengaruhi diri Satria. Dalam keadaan kacau, pemuda itu masih bisa menikmati desir perasaannya terhadap Tresnasari. Gadis itu ibarat gerimis kecil dalam kemarau panjang bagi Satria. Ibarat keteduhan yang seringkali dapat menaungi kegersangan hatinya. Maklum, di hatinya telah tumbuh makin subur asmara.
"Kenapa dengan Tresna, Pak Tua?" Tanya Satria. Mata tua Ki Kusumo menerawang. Jauh. Teramat jauh, seolah tak dapat diraih siapa pun. Rupanya dia sedang merekam ulang peristiwa beberapa hari lalu ketika dia mengungkap rahasianya pada Satria.
"ketika kita berbicara waktu itu di atas karang, tanpa sengaja Tresna mendengarnya...." Ah, hatinya tentu terkoyak mendengar berita itu, sesal Satria. Luka terlampau dalam setelah selama ini berharap terlalu banyak penyakit ibunya akan dapat disembuhkan oieh Ki Kusumo.
"Lalu ke mana dia sekarang, KI?"
"Pergi. Entah ke mana. Dia hanya meninggalkan surat ini...."
Ki Kusumo mengangsurkan gulungan daun lontar kering berisi surat Tresnasari.
Satria menerimanya, membuka, dan dibaca.

"Aku bukannya tak cinta dengan Nyai. Aku bukan anak yang tak ingin mengabdi dengannya. Tapi, aku tak akan kuasa menemaninya menemui ajal. Tak sanggup aku menungguinya sementara dia hanya menunggu saat akhir hidupnya.
Aku kecewa padamu, Pak Tua Kusumo. Bukan karena kau tak bisa menyembuhkan ibuku. Tapi karena selama ini kau telah memberi harapan terlampau tinggi padaku. Juga pada Nyai. Aku pergi. Entah hendak ke mana. Jangan cari aku.
Salam untuk Satria. Dia telah banyak berusaha dan berjuang sampai harus mempertaruhkan nyawanya demi seorang wanita penyakitan yang sama sekali bukan keluarganya dan belum lagi cukup lama dikenalnya. Aku dulu telah keliru menilainya. Kini aku sadar, Satria adalah Ksatria.
Tresnasari"


Satria meremas daun lontar di tangannya. Rasa getir menyelinap lebih cepat dari remasan tangannya sendiri. Ada yang dirasa hilang seusai membaca surat Tresna. Hilang bersama kepergian Tresnasari. Getir itu makin pekat. Kian karam di dasar hatinya.
"Aku turut menyesal, Satria," Desah Ki Kusumo.
"Semestinya, aku tak perlu memberikan harapan terlampau besar pada gadis itu. Aku yang tua ini, rupanya sudah tak bisa lagi berpikir cukup bijak," Keluhnya.
"Semua itu kulakukan hanya karena aku teramat berhasrat menjadikanmu murid...."
"Cukup Pak Tua. Semuanya sudah terjadi. Tak perlu kau sesali terlalu dalam," Ucap Satria.
"Setelah merenung satu-dua hari ini, aku pun sadar tak sepantasnya aku menyesali perbuatanmu. Jika ini memang kehendak Tuhan, maka itu sama saja aku menyesali ketetapan-Nya.." Ki Kusumo tersentuh mendengar kata-kata sekilau permata yang mengalir sejuk dari mulut seorang pemuda tanggung di depannya. Dia merasa jadi seorang anak kecil yang sedang diwejangi orangtuanya.
"Aku pamit dulu, Ki...," Hatur Satria kemudian. Ki Kusumo tak perlu bertanya. Dia cukup tahu hendak ke mana Satria. Hati yang didekap kasih milik Satria, telah menitahnya untuk segera mencari Tresnasari. Kendati Satria belum tahu hendak mencari ke mana. Wakau tak pasti apakah pujaan hatinya akan diketemukan....

* * *



--¤¤¦ « 8 » ¦¤¤--

HAL yang paling ditakuti oleh penduduk sekitar Pesisir Selatan Tanah Jawa beberapa tahun terakhir adalah sepak terjang Laskar Lawa Merah. Kekejaman mereka benar-benar menjadi wabah mengerikan. Baik dalam kenyataan maupun dalam benak penduduk.
Beberapa pekan belakangan, setelah pasukan khusus Demak di bawah pimpinan Bagaspati tak berhasil menemukan gerombolan tersebut, Laskar Lawa Merah mulai menampakkan diri kembali di sekitar wilayah Kadipaten Pandan. Wilayah yang diapit oleh Ketawang dan Ayah.
Sore, Cuaca sumringah. Angin bertiup santun. Hari seperti dicelup ke dalam warna kemerahan matahari senja. Keadaan seperti suasana hati seorang bocah yang riang. Tak ada tanda-tanda bahwa hari itu akan segera tersulut malapetaka besar.
Awalnya, dengan masuknya sepasukan berkuda. Terdiri dari lebih tiga puluh lelaki berpenampilan kasar, seram, dan memancarkan hawa membunuh. Terutama karena masing-masing penunggang kuda siap dengan berjenis senjata tajam. Tak ada tanda-tanda kalau mereka adalah pasukan dari satu kedaulatan kerajaan. Bukan pasukan Kerajaan Demak. Bukan pasukan Kerajaan Banten. Bukan pula dari kerajaan mana pun. Karena mereka adalah Laskar Lawa Merah.
Mereka memasuki gerbang kadipaten. Dari cara mereka bergerak lambat dan tak terlalu tergesa-gesa, tampak jelas kalau mereka tak menganggap ada satu ancaman sedikit pun bagi keberadaan mereka. Bisa jadi mereka hanya sedang memamerkan kekuatan mereka. Atau sekadar berangkuh-angkuh dengan nama gerombolan yang telah berhasil menggetarkan nyali, sekaligus membangun kegegeran di sepanjang Pesisir Selatan Tanah Jawa.
Dirgasura, berkuda pada barisan paling depan dengan segala pencerminan sikap seorang kepala gerombolan perampok paling ditakuti. Di sampingnya, berkuda tangan kanan paling ampuhnya, lelaki keling yang biasa dipanggil Keling Gundul oleh Dirgasura sendiri. Nama aslinya hampir tak pernah diketahui. Bahkan hampir-hampir dilupakan oleh pemiliknya sendiri.
Tak ada tujuan yang lebih pasti jika Laskar Lawa Merah sudah memasuki satu daerah, kecuall hendak melakukan perampokan, penjarahan dan meledakkan malapetaka besar-besaran. Dan rencana itu rupanya sudah dipersiapkan dengan cermat jauh-jauh hari sebelumnya dengan mengutus dua orang mata-mata. Satu orang adalah Keling Gundul dan seorang lagi adalah lelaki brewok yang mati di tangan Satria. Ketika bentrok dengan pemuda berambut kemerahan itu di kota Kadipaten Ayah, keduanya sedang mempelajari daerah sasaran perampokan. Tanpa sengaja lelaki brewok berurusan dengan Satria.
Kejadian itu telah dilaporkan secara lengkap oleh Keling Gundul kepada Dirgasura, melengkapi laporan hasil pengamatannya terhadap daerah yang akan dijadikan korban keganasan mereka.
Untuk gerakan kali ini, Dirgasura tampaknya berminat besar untuk menjalankan gerakan besar-besaran, mengeruk harta dan wanita di tiga wilayah sekaligus. Kadipaten Pandan, Tanjung Karangbolong dan terus menyisir ke barat menuju Kadipaten Ayah. Mereka bukannya tak tahu kalau pasukan Demak sedang memburu mereka. Namun, karena laporan Keling Gundul menyebutkan kalau kedua tempat tersebut aman dari pasukan Demak di bawah pimpinan Bagaspati, Dirgasura memutuskan untuk segera melaksanakan rencana secepatnya.
Sebelum Demak merembeskan kekuatan pasukan khususnya ketiga wilayah tersebut, iniiah saatnya mereka bergerak, pikir Dirgasura. Saatnya mereka membumi hanguskan sehancur hancurnya ketiga wilayah tersebut.
Selain rencana besar-besaran itu, Dirgasura pun mempunyai rencana lain. Dia ingin mencari seorang pemuda tanggung yang telah lancang menghabisi nyawa salah seorang anak buahnya. Di benaknya, sudah mengepul-ngepul niat untuk menghabisi pemuda itu di hadapan penduduk. Baginya, tindakan serupa itu amat perlu dilakukan. Guna dijadikan contoh dan memberi pelajaran bagi siapa saja yang punya nyali menentang Laskar Lawa Merah!
Pada saat yang sama, Satria memasuki pula Kadipaten Pandan melalui sisi berlawanan dengan gerakan Laskar Lawa Merah. Pemuda itu hendak mencari Tresnasari di sana. Menurut pemikirannya, tentu daerah terdekat dengan Tanjung Karangbolong tersebut amat besar kemungkinannya disinggahi oleh Tresnasari. Untuk perhitungan jarak, sebenarnya Kadipaten Ayah lebih dekat Iagi. Belum lama berselang dia baru saja menyinggahi daerah tersebut. Tak dijumpainya Tresnasari selama di sana. Dengan begitu, Satria berkesimpulan bahwa ada baiknya kalau dia mencari ke tempat lain yang masih dekat dengan Tanjung Karangbolong dahulu.
Kejadian beberapa hari sebelumnya, manakala dia untuk pertama kalinya membunuh, masih tetap menghantuinya. Setiap kali menyembul bayangan-bayangan tersebut dalam benaknya. Menyudutkannya dalam ketakutan, dalam rasa bersalah mendalam. Meski bagaimanapun, dia tetap seorang pemuda tanggung yang masih terlalu lugu. Perbuatannya dianggap kesalahan paling besar yang pernah dilakukan selama hidup. Untuk itu, dia ingin tak memaafkan dirinya. Dalam hati, Satria bersumpah tak akan mempelajari ilmu silat.
Tiba di satu rumah penduduk, Satria mencoba bertanya pada penghuninya.
Tak ada jawaban memuaskan didapatkan. Penghuni rumah tersebut tak pernah melihat seorang gadis seperti gambaran Satria.
Rumah lain ditanyakan. Hasilnya sama saja. Mereka tetap tak pernah menyaksikan Tresnasari. Beberapa orang yang kebetulan melintas dijalan pun tak luput ditanyakan. Mereka juga menjawab sama, tak tahu menahu.
Sampai suatu ketika, dari kejauhan Satria menyaksikan seseorang keluar dari satu penginapan kecil terletak di pinggiran Kekadipatenan Pandan. Seorang gadis sebaya Tresnasari.
Satria cepat menggebah kudanya. Didekatinya gadis tadi. Bukan sekadar ingin bertanya. Melainkan dia dibuat penasaran karena bentuk tubuh gadis itu amat mirip dengan Tresnasari jika diperhatikan dari belakang. Dengan rambut hitam panjang diekor kuda sebatas pinggang. Berpakaian seorang pendekar wanita. Baju bagian atas berwarna kuning. Bercelana pangsi di bawah lutut berwarna merah hati. Warna kulitnya juga seperti Tresnasari.
Hanya satu hal yang berbeda. Kalau Tresnasari menyandang dua belati di ikatan pinggangnya. Gadis ini menyandang sepasang pedang bersilangan di punggungnya. Kalau hanya soal itu, bisa Tresnasari mengganti senjatanya. Bukankah di sepanjang Pesisir Utara Tanah Jawa banyak terdapat perkampungan pandai besi. Tresnasari bisa memesan dua pasang pedang kembar untuk mengganti senjatanya, pikir Satria.
Semakin dekat, Satria semakin yakin kalau gadis itu benar-benar Tresnasari. Jaraknya semakin dekat. Satria tak ragu lagi akan dugaannya ketika gadis tadi menoleh. Suara langkah kuda tunggangan Satria memancing perhatiannya.
"Tresna!" Seru Satria kegirangan bukan main. Cepat dia melompat turun dari punggung kuda. Padat rasa sukacita, Satria menghambur ke arah si gadis. Hendak dirangkulnya.
Selama tiga tahun terakhir semenjak Satria bertekad untuk mambantu penyembuhan Nyai Cemarawangi dengan mengambil segala keperluan Ki Kusumo di Pulau Dedemit, hubungannya dengan Tresnasari menjadi demikian karib. Kemana-mana, mereka selalu tampak berdua. Pergi bersama, pulang bersama. Keceriaan Tresna adalah keceriaan Satria. Kegembiraan Tresna adalah kembiraan Satria puia, Mereka bagai api dan asap yang tak terpisahkan. Keakraban mereka tak bedanya dengan sepasang adik-kakak yang baru bertemu setelah sekian tahun berpisah. Sementara lambat-laun, rasa suka dalam diri keduanya menumbuhkan kecambah-kecambah cinta.
Srang!
Satria dibuat terperanjat dengan sambutan yang diterimanya. Gadis Itu meloloskan sepasang pedangnya dengan sinar mata menghujamkan kecurigaan terhadap Satria. Diacungkannya sepasang pedang itu ke depan.
"Tresna, apa yang kau lalukan? Ini aku, Satria...," Perangah Satria.
"Aku tak kenal kau!" Sahut si gadis. Dari sorot matanya tergambar jelas kalau dia tidak main-main dengan ucapan barusan. Juga tidak dimaksudkan untuk berdusta.
Satria jadi tak mengerti.
"Lagi pula namaku bukan Tresna," Tambah sigadis, tegas.
"Bukan?" Satria bertanya ragu.
Diperhatikannya lagi wajah gadis yang masih mengacungkan pedang. Memang dia Tresna, pikir Satria. Kalau memang benar, kenapa dia harus menyangkal. Apakah Tresna tak ingin bertemu denganku lagi? Satria gundah. Tapi, ketika Satria mencari tahu dari sinar mata gadis tadi, tak ada sebetik kebohongan di sana. Semua kata-kata yang diucapkan pada Satria tampaknya tak pernah dimaksudkan mengelabui siapa pun. Satria bimbang.
Karena tak yakin, diamatinya lagi wajah gadis tadi. Benar-benar mirip. Benar-benar membuat Satria yakin kalau dia memang Tresnasari. Tapi tunggu dulu.... Benaknya memperingati. Ada satu perbedaan ditemukan Satria. Tidak pada fisik gadis itu. Untuk hal satu itu, tak ada sedikit pun yang bisa ditemukan perbedaannya dengan Tresnasari. Satria justru menemukan perbedaan dalam cara gadis itu memandang. Sinar matanya berbeda dengan Tresna. Sinar mata gadis itu tak berkesan judes seperti Tresna. Lebih lembut, walau membersitkan kecurigaan terhadap diri Satria. Lebih dewasa pula. Dan satu perbedaan lagi baru disadari Satria. Nada suaranyaterdengar cukup santun meskipun agak membentak.
Jangan-jangan dia memang bukan Tresna, ragu Satria.
"Kau bukan Tresna?" Terjulur juga pertanyaan kebodoh-bodohan dari mulut pemuda tanggung itu. Si gadis menggeleng kecil.
"Aku Mayang. Mayangseruni," Katanya, memperkenalkan diri.
"Oh, maaf. Kukira kau adalah seorang yang kukenal," Ujar Satria, akhirnya menyadari kekeliruannya. Gadis bernama Mayangseruni memasukkan sepasang pedangnya kembali ke sarung di punggungnya.
"Boleh aku bertanya...," Katanya lebih jauh, sewaktu Satria sendiri baru hendak pamit.
"Apakah kau sedang mencari orang yang amat mirip denganku?" Tanya Mayangseruni melanjutkan.
"Benar. Kau pernah melihatnya?"' baiik tanya Satria, bersemangat.
"Tidak...." Satria kecewa. Mayangseruni hendak menambahkan sebelum teriakan bersahut-sahutan terdengar dari kejauhan. Keduanya dibuat terperanjat.
"Sesuatu sedang terjadi di sana," Desis Mayangseruni. Matanya menatap nyalang ke arah datangnya jeritan tumpang tindih barusan.
"Aku harus ke sana!" Bertepatan dengan kalimat terakhir Mayangseruni, Satria pun berpikiran sama. Dia sudah lebih dahulu naik ke punggung kuda. Digebahnya kuda.
"Hey, tunggu! Aku ikut! seru Mayangseruni. Berbarengan teriakannya, tubuh gadis sebaya dan amat mirip Tresnasari itu mencelat ringan ke udara, berputaran beberapa kali, dan hinggap di pelana belakang. Gerak yang cukup sulit, mengingat kuda Satria sudah teianjur berlari kencang.

* * *



Ki Kusumo didatangi seseorang di gubuknya di tepi pantai Tanjung Karangbolong. Kakek kurus kurus kering berjubah hitam pendek sebatas paha. Berjenggot dan berambut putih awut-awutan amat panjang hingga mencapai lutut. Menurut Dedengkot Sinting Kepala Gundul pada Satria waktu Itu, kakek ini berjuluk Iblis Dari Neraka. Berdiri bertolak pinggang. Pada jarak lebih dari tiga puluh depa dari gubuk yang dipergunakan Ki Kusumo untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Kusumo! Kusumo keluar kau! Aku tahu kau berada di dalam sana!!" Teriak si kakek buluk. Suaranya menggetarkan gubuk. Dari gubuk, tak ada sambutan apa-apa. Pun sekadar sahutan.
"Bajingan kau, Kusumo! Kau pikir aku sudi terus-menerus main kucing-kucingan denganmu!" Seru si kakek buluk kembali. Suaranya makin menggelegar saja. Seperti ada sehimpun petir yang menyalak berbarengan. Menyebabkan gubuk yang jaraknya terbilang jauh dari tempatnya berdiri bergetar kembali. Lebih hebat. Sampai-sampai beberapa bilah kayu di bagian dinding menjadi berpecahan.
Sementara Iblis Dari Neraka semakin tak sabar. Pipi kendornya bergetar, menahan kegeraman. Merah matanya, mempertegas urat-urat halus yang merangas seperti akar.
"Kusumo!!"
Untuk yang terakhir kalinya, Iblis Dari Neraka meneriakan nama Ki Kusumo. Itu batas kesabarannya. Setelah itu, akan lain perkara.
"Baik kaiau itu yang kau mau, Keparat...," Desis kakek buluk Iblis Dari Neraka, padat ancaman.
"Heeaaa!" Teriakan parau mencelat dari kerongkongan tua bangka tokoh kalangan atas dunia hitam itu. Seperti suara ribuan ekor kelelawar yang menjerit berbarengan.
Tangannya bergerak sekedipan.
Wuush!
Lalu, serangkum angin pukulan berhawa amat panas menerjang beringas ke arah gubuk. Memangsanya hangus. Menjadikannya terbakar dilalap api.
Sejenak iblis Dari Neraka mengawasi raja merah yang sedang berpesta-pora melalap gubuk itu. Terdengar gemeretak ramai kayu terbakar. Terdengar deru lidah api yang menggapai-gapai. Tapi, tak teriihat sedikit pun tanda kalau di dalamnya ada manusia.
"Keparat!" Merasa telah dipermainkan mentah-mentah, Iblis Dari Neraka semakin panas. Tak beda dengan gejolak api ciptaannya yang memangsa gubuk.
Sampai mata tua nan tajamnya menyaksikan satu bayangan berkelebat cepat ke arah kobaran api. Terdengar lagi bunyi gemeretak. Kali ini lebih keras, karena ada kayu berapi yang didobrak paksa.
Iblis Dari Neraka tersenyum. Dia sekarang tahu, usahanya tak sia-sia.
Detik berikutnya, terdengar teriakan lantang.
Seseorang mencoba menembus kepungan api dari atap yang sudah tuntas dilalap api. Kembali terlintas kelebatan bayangan Mencelat keluar. Tegak lurus, menjebol atap yang tak lebih kepungan api. Pada batas tertinggi, kelebatan bayangan yang sudah membopong sesuatu tadi berjungkir-balik di udara, Menjadikan pucuk pohon kelapa sebagai pijakan. Di atas ketinggian pohon, dia kini berdiri.
Dialah Ki Kusumo. Baru saja diselamatkannya Nyai Cemarawangi dari api. Memang agak terlambat. Jika tidak, tentu gubuknya tak akan bernasib sesial itu. Untuk keadaan Nyai Cemarawangi, tak kurang apa-apa. Hanya pernapasannya agak terganggu oleh asap.
Beberapa saat lalu, Ki Kusumo memang tidak berada dalam gubuk. Dia sedang keluar mencari beberapa butir buah kelapa untuk diberikan airnya kepada Nyai Cemarawangi. Ketika mendengar suara teriakan mengguntur di kejauhan menyebut-nyebut namanya, sadarlah Ki Kusumo kaau bahaya sedang mengancam keselamatan perempuan sakit di dalam gubuknya.
Orang tua itu cepat kembali. Belum lagi tiba, dilihatnya api sudah membumbung tinggi.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib Keparat!" Seru ibiis Dari Neraka, menyambut kehadiran Tabib Sakti Pulau Dedemit. Telah bertahun-tahun kakek buluk itu mencari, memburu dan melacak jejak Ki Kusumo. Berpuiuh tahun. Bagi manusia tua bangka seperti dia, tentu waktu selama itu akan menjengkelkan. Usianya makin digerogoti waktu. Sementara pencarian tak menemui titik terang.
Baru hari ini pencarian menjengkelkan itu berakhir. Setelah dalam beberapa pekan dia terus melacak jejak demi jejak akhirnya, akhirnya kakek sakti Pulau Dedemit ditemukannya pula.
"Kenapa kau masih saja mencariku, Ki Ageng Sulut! Bukankah lima tahun lalu sudah kunyatakan padamu, aku tak akan sudi mengobati penyakitmu!!" Balas Ki Kusumo dari pucuk pohon kelapa.
"Jangan bodoh, Kusumo Keparat! Kau tahu, apa akibatnya jika kau menentang permintaanku?!"
Ki Kusumo terkekeh. Beberapa hari belakangan, kekeh khasnya itu menghilang sejak dia mengungkapkan rahasianya pada Satria. Sedikit rasa sesal waktu itu mengganggunya karena telah mengecewakan dua muda-mudi tanggung yang sudah begitu lekat di dasar hatinya.
"Aku tahu, Ki Ageng Sulut. Jelas aku tahu!" Sahut Ki Kusumo. Dari caranya menyebut nama asii Iblis Dari Neraka, juga dari caranya menduga arah ancaman kakek buluk tadi, tampak sekali kala Ki Kusumo sebenarnya cukup mengenai Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka.
"Kalau begitu, kenapa kau tak segera memenuhi permintaanku!!"
"Karena aku tak pernah takut mati! Terlebih mati di tangan seorang sepertimu, Ki Ageng Sulut, manusia terkutuk. Semoga kau dimurkai Para Dewa!!"
"Keparat kau Kusumo!!"
Di ujung makian geramnya, Iblis Dari Neraka mengebutkan telapak tangan....

* * *



--¤¤¦ « 9 » ¦¤¤--

SATRIA dan Mayangseruni menemukan pemandangan menggetarkan. Sepasukan lelaki berkuda sedang membakar-bakari rumah-rumah penduduk. Sebagian yang lain sibuk mengangikuti harta-benda, binatang ternak sampai wanita-wanita muda. Kuda-kuda meringkik. Hewan ternak memperdengarkan suara-suara. Mereka tertawa-tawa. Api bergemeletak memangsa kayu. Jeritan warga terus berlanjut.
Kebiadaban Laskar Lawa Merah sedang merebak!
"Manusia-manusia busuk!" Geram Mayangseruni, menyaksikan seluruh kejadian yang terjadi di depan matanya.
"ini tidak bisa dibiarkan!"
Tidak bisa dibiarkan. Memang. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Mereka cuma dua muda-mudi tanggung. Sementara gerombolan Laskar Lawa Merah tak kurang dari tiga puluh lelaki kasar bersenjata lengkap. Dirgasura si Tangan Seribu Dewa ada pula di sana. Beserta tangan kanan andalannya sekaligus, Keling Gundul!
"Tunggu!" Satria berusaha mencegah Mayangseruni yang langsung melompat turun dari pelana. Sepasang pedangnya diloloskan tepat ketika kakinya menjejak bumi. Usaha Satria sia-sia. Mayang seruni sudah lebih cepat berjumpalitan berkali-kali di atas tanah. Pedang di tangannya turut berputaran, memantulkan cahaya merah senja. Membuat tubuhnya terlihat seperti cakram raksasa berwarna kemerahan.
"Hiaaattt"
Srat!
Salah seorang anggota Laskar Lawa Merah yang sedang terlaiu masyuk menciumi seorang perawan desa terbabat pedang Mayangseruni. Satu pedang membabat lehernya dari kiri. Pedang yang lain dari kanan. Tak beda terkena gunting raksasa, kepala si begal langsung menggelinding, tanpa sempat mengeluarkan suara teriakan.
Mayangseruni bergerak lagi. Berputar seperti cakram kembali, mendekati seorang anak buah Dirgasura lain yang sedang membopong peti.
"Heaat"
Srat!
Darah tersembur. Badan tersayat. Memanjang dari pangkai leher hingga ke perut! Begal satu itu pun menemui ajal.
Kemarahan Mayangseruni belum tuntas. Dia seperti haus darah. Buas, sebuas singa betina lapar. Gadis tanggung bersenjatakan sepasang pedang itu pun bergerak lagi. Didekatinya seorang begal lain dengan cara serupa dengan sebelumnya.
Kebetulan yang ditujunya adalah Keling Gundul!
"Haiiit!"
Tiba di dekat lelaki hitam kelam itu, badan si gadis tanggung perkasa menerkam lurus layaknya tombak. Sepasang pedangnya diacungkan ke depan. Hendak ditembusnya dada Keling Gundul.
Sekali Ini, Mayangseruni tidak menghadapi begal yang mudah ditaklukkan.
Keling Gundul dengan tangkas membuang tubuhnya ke belakang. Dia berjumpalitan, bertepatan dengan lewatnya terkaman Mayangseruni di atasnya. Ketika berdiri kembali, lelaki itu sudah berdiri di belakang lawan.
Mayangseruni berpendengaran tajam. Mendengar ada sepasang kaki menjejak di belakangnya, cepat dia memutar pedang disertai dengan putaran otot perut dan pinggangnya.
Wukh!!!
Keling Gundul terbeliak, tak menyangka kalau lawan bisa menduga posisinya begitu cepat. Cepat ditundukkannya badan. Jika tidak, kepalanya akan langsung menggelinding!
Saat merunduk, Keling Gundul mencoba memanfaatkan ruang kpsong pada pertahanan bagian bawah lawan. Tangannya mencakar ke depan. Kedua lutut Mayangseruni hendak diremukkan dengan cengkeramannya.
Mayangseruni tak tinggal diam. Kaki kanannya melakukan sampokan menyamping.
Namun tanpa diduga, Keling Gundul menarik kembali cakarnya di tengah jalan. Selanjutnya, posisinya berubah amat cepat. Kakinya berpindah ke depan, melakukan satu sapuan di atas tanah.
Tak ayal lagi, tersapulah satu kaki Mayangseruni yang dipergunakan untuk bertahan. Gadis itu memekik. Tubuhnya oleng. Hampir tumbang, kaiau saja dia tak segera berjumpaiitan ke belakang.
Keduanya berdiri berhadapan dalam jarak empat tombak.
Keling Gundul tertawa cengengesan. Satu ujung bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan ejekan.
Mayangseruni menyilangkan pedangnya di depan. Mata bulat indahnya tajam tak berkedip mewaspadai iawan.
"Kau akan menyesal, Perawan!" Cemooh Keling Gundul dengan logat yang kaku.
Mayangseruni menyahutinya dengan satu ayunan pedang di udara, menciptakan deru keras menyentak.
Keling Gundul tak mau lagi didahului lawan. Dia bergegas menerjang. Seruntun tendangan cepat beruntun seperti gasing kembang menuju lawan.
Wukh!!!
Mayangseruni terjajar mundur, menghindari tendangan berantal lawan. Tanpa disadarinya, seorang begal lain siap menghujamkan kapak ketengkuk halusnya!
"Seruni awass!!!!"
Ketika mata kapak mendesing cepat, ketika Mayangseruni luput menyadari bahaya yang siap merenggut nyawanya, ketika itulah teriakan seseorang terdengar. Disusul dengan terjangan menggila seperti orang kesetanan, menubruk begal dl belakang Mayangseruni seperti menyergap seorang maling.
Perbuatan siapa lagi kalau bukan Satria?
Mayangseruni tak sempat menoleh. Dia repot meladeni serangan bertubi-tubi Keling Gundul.
Di lain sisi, Satria bergumul di atas tanah dengan begal yang disergapnya. Keduanya bergulingan. Saling himpit, saling tindih. Sampai akhirnya.
"Hih!"
Satria sempat membebaskan satu tangannya. Satu hantaman tinju didaratkan ke wajah lawan. Dalam keadaan terjepit dan diamuk kemarahan seperti itu, tanpa disadari kembali menggelegak tenaga sakti yang terbentuk dalam tubuhnya akibat menyatunya ramuan pemberian Ki Kusumo serta zat dasar Samudera Hindia dengan seluruh jaringan sarafnya. Tenaga listrik yang terkandung dalam jaringan syarafnya meningkat beratus-ratus kali lipat. Yang kemudian terkumpul dalam tinjunya!
Drak!
Tatkala tinju Satria mendarat, hancurlah wajah si begal. Wajahnya yang sudah jelek jadi tambah jelek. Hidung peseknya amblas ke dalam. Tulang pipinya remuk. Demikian juga tulang keningnya. Wajahnya nyaris membentuk kepalan tangan!
Satria melotot. Dia mundur. Ketakutan terhadap dirinya sendiri. Lagi-lagi aku membunuh! Lagi-lagi aku membunuh! Pekik hatinya tak termuntahkan.
"Hey, awas di belakangmu!"
Berganti. Mayangseruni kail ini memperingati Satria akan ancaman bahaya dari arah belakang.
Refleks, Satria membalikkan tubuh. Matanya terbelalak mendapati Keling Gundul dengan sehimpun dendam di wajahnya melepas pukulan ganda ke dadanya.
Mayangseruni berusaha mencegah dengan membabat kaki Keling Gundul. Luput. Gerak kaki lelaki itu lebih cepat dari ayunan pedangnya. Kini tinggal tergantung Satria. Dia harus membela diri bila ingin selamat dari pukulan bertenaga penuh yang dapat menghancurkan tulang dadanya seketika. Tampaknya pertimbangan untuk menyelamatkan diri tidak terbetik sama sekaii daiam diri pemuda tanggung itu. Karena gerak refleksnya sudah terlebih dahulu menentukan tindakan penyelamatan.
"Khhaaa!!"
Satria bukannya mundur atau mengelak kesisi, justru melakukan terjangan ke depan! Gendeng, seperti sering disebut-sebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Menjelang berbenturan dengan kepalan Keling Gundul, Satria mengalihkan gerak badannya secara tiba-tiba ke bawah. Gerak itu sering dialaminya ketika dia harus mengendalikan tubuh menghindari mata karang yang tinggal beberapa jengkal menyayat tubuhnya di sekitar Pulau Dedemit. Pemuda itu berguling sekali. Kakinya terangkat tinggi, seolah gerakan lumba-lumba yang hendak menampar udara dengan ekornya.
Prak!
Dari arah menyamping, punggung kaki Satria menghajar telak pelipis Keling Gundul! Wajahnya hancur sebelah. Tulangnya jangan dikata. Satu biji matanya nyaris terlempar keluar.
Tubuh Keling Gundui tumbang seketika.
Beberapa anak buah Dirgasura yang menyaksikan kejadian itu dibuat terpana-pana sesaat. Mereka bagai ditenung berbarengan. Tak percaya pada penglihatan sendiri. Kalau seorang tangan kanan andalan pemimpin mereka dapat mati dengan mudah oleh seorang anak muda tanggung yang tak pernah mereka dengar nama atau julukannya di dunia persilatan!
Mayangseruni di samping lega Satria dapat selamat, tak urung terpana juga. Dia sendiri harus mengerahkan sekian puluh jurus untuk menghadapi lelaki tadi. Itu pun belum ada tanda-tanda dia dapat mengalahkan. Tapi, pemuda yang baru dikenalnya dan sama sekali belum diketahui namanya ini mampu membuat mampus hanya dalam sekali gebrakan tak terduga! Gila!!
Pendekar muda dari mana dia sebenarnya? Pikir Mayangseruni lebih jauh. Tak pernah diketahuinya kalau Satria cuma seorang pemuda kampung yang mengalami banyak kejadian luar biasa.
Salah seorang yang turut menyaksikan kejadian itu adalah sang pemimpin gerombolan sendiri. Dirgasura! Dia menggeram berat parau. Matanya menatap beringas ke arah pemuda tanggung yang telah menamatkan riwayat tangan kanannya. Rahangnya mengeras, sekeras kepalannya. Bergemelutuk. Bergemeletak.
Menurut perkiraannya, tentu inilah pemuda yang diceritakan Keling Gundul. Orang yang harus bertanggung jawab atas kematian anak buahnya di kota Kadipaten Ayah. Dan kini bertanggung jawab pada seorang tangan kanannya yang mati di depan matanya sendiri!
Kalau memperhatikan wajah pemuda itu, Dirgasura merasa pernah melihatnya. Entah di mana. Entah kapan. Tapi, dalam benaknya masih terbekas guratan wajah pemuda itu. Hanya ada beberapa perubahan. Namun, itu tak terlalu berpengaruh dalam ingatan Dirgasura.
"Bangsat, aku pernah melihat anak Ini! Kenapa aku jadi tak ingat!!" Rutuknya gemas.
Dl lain kancah, Satria dan Mayangseruni bersiap menghadapi kepungan tujuh begal. Keduanya saling merapatkan punggung. Mereka dikelilingi. Sementara ketujuh orang itu berputar-putar perlahan tak henti, mencoba mengecoh pertahanan kedua lawan dan membuyarkan konsentrasi mereka.
Manakala seseorang dari mereka memberi isyarat dengan gerak bola mata pada yang lain untuk melakukan sergapan serentak, terdengar seruan lantang membahana.
"Mereka bagianku!!!"
Semuanya tersurut mundur, membiarkan menjadi mentah kepungan yang semula sudah terbentuk cukup matang. Sebab, yang barusan berteriak adalah seorang yang tak bisa mereka tolak segala perintah pun titahnya. Dirgasura.
Dirgasura berjalan mendekati Satria dan Mayangseruni. Langkah-langkahnya berdebam. Tubuhnya perkasa seperti karang. Cara berjalannya menyiratkan segala kebesaran juiukan dan gerombolan di bawah pimpinannya.
"Sebutkan namamu, Anak Muda!" Gertak Dirgasura, menjelang jaraknya hanya tinggal enam tombak.
"Tak perlu, Laknat! Kenapa kau pikir kami akan sudi menyebutkan nama padamu?!" Caci Mayangseruni, tak gentar menghadapi gertakan tak main-main seorang lelaki setengah raksasa seperti Dirgasura.
Dirgasura tergelak.
Suaranya pecah bertaburan ke segenap tempat. "Kau punya nyali besar, Cah Ayu. Tapi, aku tak bertanya padamu. Aku cuma ingin tahu siapa pemuda yang berada di dekatmu" Satria mendengus.
"Kau lupa padaku, Dirgasura."
"Ah, jadi kita memang pernah berjumpa?"
"Di perbatasan hutan Ketawang Jogoboyo. Ketika itu kau menyingkir seperti seorang pengecut hanya karena menghadapi seorang leiaki tua!!"
Terpukullah harga diri Dirgasura. Di depan batang hidung anak buahnya sendiri, dia diremehkan oleh seorang pemuda tanggung yang baru besar. Dihina. Ubun-ubun nya di injak-injak! Keterlaluan.
Sekaligus dia ingat siapa pemuda itu sebenarnya. Dia ingat dengan jelas sekarang. Anak muda itu pernah membuatnya berang karena tak mempan dengan kekuatan tenaga suaranya waktu itu. Bocah yang dulu dianggapnya seorang sakti muda yang berpura-pura bodoh.
"Jadi, kaulah orangnya...," Desis Dirgasura. Terbakar lagi kemarahan yang telah terpendam selama tiga tahun.
Dengusan berat terdengar dari hidung lelaki tinggi besar itu. Seperti dengus banteng ketaton yang siap melobangi benteng beton dengan tanduknya.
"Rupanya, hari ini aku akan memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk mengirimmu ke neraka!!"
Kala itu pula, Satria sendiri sudah tak lagi memikirkan penyesalannya terhadap kematian tiga orang anggota Laskar Lawa Merah yang terbunuh olehnya. Dia sendiri terbakar kemarahan yang serupa dengan kemarahan Dirgasura. Kemarahan yang tertunda selama tiga tahun.
"Meskipun kau sakti mandraguna seperti Dewa, aku tak akan mundur untuk menghadapimu." Sumpah pemuda berhati tangguh itu pun tercetus. Pertanda dia tak peduli lagi apakah dia harus membunuh untuk kesekian kalinya. Atau sebaliknya, harus terbunuh mengenaskan di tempat itu!
Karena kemarahannya adalah kebencian terhadap angkara murka.
Mendengar ucapan menantang dari seorang pemuda yang dianggapnya terlalu bau kencur, tak ayal lagi Dirgasura menjadi mata gelap.
"Semestinya, sudah sejak dulu kau kubunuh, Bocah Keparat!" Ancamnya, lebih mengerikan dari geraman seekor beruang hitam besar!'
Tak gentar pada tatapan Dirgasura yang membersitkan nafsu membunuh, Satria balas menatap. Tatapannya menerkam. Tak kalah tajam dari tatapan si lelaki bertubuh setengah raksasa yang mendengus-dengus. Matanya seperti telah digantikan oleh sepasang bola mata rajawali. Mengancam, tegar, perkasa, dan berpancar sekuat karang.
Sesaat, Dirgasura lelaki yang terkenal buas, keji, berangasan dan bernyali hewan, dibuat terhenyak menemukan tatapan Satria. Sungguh, tak pernah ditemukannya tatapan seorang pemuda tanggung semenggidikkan seperti itu. Tak pernah dialaminya tatapan yang mampu menikam langsung ke benaknya.
"Kau ingin membunuhku?! Lakukan, Lelaki Busuk!" Desis Satria.
Dirgasura menyadari ada satu kekuatan hebat dari hati pemuda itu yang menyebabkan tatapannya demikian berpengaruh hebat pada lawan. Tatapan itu hanya dimiliki oleh orang-orang waskita dalam batin. Entah bagaimana pemuda satu ini bisa memilikinya. Sebab sepanjang pengetahuan Dirgasura sendiri, kewaskitaan teramat sulit dirangkul. Biasanya hanya orang-orang tertentu memilikinya. Itu pun setelah menjalani godokan selama puluhan tahun.
Dirgasura tak ingin terjebak oleh kekuatan pancaran mata si pemuda tanggung. Terutama dia tak ingin terpengaruh oleh kekuatan tatapan calon lawan bau kencurnya. Jalan terbaik, dia harus melakukan serangan sebelum dia sendiri tersurut mundur karena pengaruh tersebut. Maka....
"Kurencah kau!!!"
Terjangan kasar pun dilakukan. Dirgasura berlari beringas. Kedua kakinya berdebam berat di atas tanah. Hal itu sengaja dilakukan dengan menyalurkan tenaga dalam pada setiap jejakan kakinya. Tujuannya untuk menggedor nyali lawan. Bukan berarti Dirgasura tak cukup memiliki kehandalan peringan tubuh.
Tapi, Dirgasura salah menduga. Meski tergolong bocah bau kencur, tak banyak menelan asam garam dunia persilatan, Satria tak mudah digertak begitu rupa. Dengan keberanian seekor naga muda dia malah menyambut terjangan lawan dengan maju ke depan.
"Heaaatt"
Pada jarak tiga-empat langkah sebelum keduanya bertemu, tinju geledek Dirgasura melayang deras buas. Kepala Satria hendak ditumbuk hancur.
Kejelian mata Satria tak terpedaya. Hanya dengan mengandalkan naluri mempertahankan diri, tangannya menyabet menyamping, menebas tinju lurus Iawan. Kedua tangan mereka beradu keras.
Saat itulah tenaga sakti yang terbentuk tanpa sengaja dalam diri Satria teralir deras menuju lengannya. Membludak, Meledak-ledak.
"Nghh!" Dirgasura mengeluh tertahan. Bangsat, makinya dalam hati. Pergelangan tangannya berdenyar-denyar. Rasanya ada puluhan batang jarum terikut dalam aliran darahnya. Pemuda keparat ini ternyata tak bisa dianggap remeh, sumpahnya membatin. Mestinya, tangan pemuda itu remuk. Setidaknya mengalami patah tulang parah. Penyebabnya karena Dirgasura telah melepas tenaga dalam dari pernapasan perutnya. Tenaga dalam seperti itu bisa dimanfaatkan untuk mematahkan dua bilah balok setebal dua jengkal. Kenyataan yang terjadi malah bertolak-belakang! Itu membuat Dirgasura kian gusar. Kebengisannya makin meruyak. Dia harus berhasil merencah-rencah tubuh pemuda itu menjadi potongan-potongan kecil, agar dapat menyelamatkan mukanya di hadapan sekian puluh anak buahnya sendiri! Selang sekedipan dari tumbukan tangan keduanya, Dirgasura menyusulkan cengkeraman bengis tangan kirinya ke dada kiri lawan. Sebagai tindakan awal merencah-rencah lawan, jantung Satria akan dicerabutnya! Tak mudah untuk Dirgasura. Sekali lagi ketajaman mata Satria menitah nalurinya untuk bertindak tepat. Kakinya terangkat membentuk sudut. Dengkulnya naik tinggi, menyodok dari bawah.
"Ngkh!"
Dua kali dengan ini, Dirgasura harus mengeluh tertahan.
"Jahanam!" Geramnya, makin dipermalukan. Berbarengan dengan cacian, tubuhnya berputar seperti gasing besar. Di tengah jaian, putaran yang dimaksud hanya untuk mengelabui berhenti. Kakinya melayang di udara. Gerakan membabat seperti kayuhan dahsyat menyemping.
Sekali ini, mata Satria kalah cepat dengan datangnya tendangan lawan.
Begh!
Bahunya terhantam. Tubuhnya terpental. Bagaimana tidak, kalau tendangan tadi dilakukan oleh seorang lelaki bertubuh dua kali lebih besar dari orang biasa. Belum lagi terhitung tenaga dalam yang disalurkan.
Di tanah, Satria terjengkang. Rasa sakit luar biasa memaksa tangannya mendekap bahu.
Mayangseruni memekik kecli. Dia tak tega menyaksikan bagaimana tubuh Satria terpental bagai seonggok daging kering. Mendengus sekali, lalu diputarnya sepasang pedang di kedua tangan.
"Hiaa!!"
Wukh wukh!
Diserbunya Dirgasura dengan dua sabetan pedang saling menyilang.
Dengan mudah dan gesit biarpun tubuhnya besar, Dirgasura berkelit enteng. Hanya disisakannya jarak satu jari dari mata pedang Mayangseruni. Seolah dia ingin mempertunjukkan bahwa serangan lawan tak berarti apa-apa baginya, kecuali sekadar angin lalu.
Mayangseruni geram diremehkan.
Pedangnya menusuk deras. Kedua belah dada gempal berbulu Dirgasura yang berlapis baju baja. Suara deru santer tusukan pedangnya mengisyaratkan kalau dua senjata itu sanggup menembus baju baja lawan dan langsung mendekam ke dalam dadanya.
Dirgasura tahu. Tapi dia malah seperti sengaja membiarkan dua tusukan itu mengarah terus ke dadanya. Sampai sudah dekat, sepasang tangannya membuat kepakan tanggung ke depan.
Tusukan pedang Mayangseruni lolos terus. Tapi tidak menembus sasaran. Melainkan hanya melenceng tipis kedua ketiak lawan. Ketika itu juga. Dirgasura membuat jepitan menghentak dengan kedua ketiaknya.
Mayangseruni terkesiap. Pedangnya tak bisa ditarik pulang. Disentaknya kuat-kuat. Tak lepas. Sepertinya sepasang pedang itu sedang dijepit dua bukit.
Dirgasura menyeringai. Matanya melalap wajah keruh Mayangseruni dengan buas. Lehernya bergerak perlahan kebelakang. Otot-otot di bagian itu menggelembung.
Di iain sisi, Satria membelalak. Memang dia masih terlalu buta dengan olah kanuragan. Namun, kecerdasannya tak mudah tertipu. Cepat dia membuat kesimpulan kaiau Dirgasura hendak memanfaatkan kekuatan otot leher dan kekerasan batok kepalanya untuk menghancurkan wajah Mayangseruni!
Satria berlari nyalang. Dia tak ingin terjadi apa-apa pada gadis yang baru dikenainya. Gadis yang amat mirip dengan seorang yang teramat lengket di hatinya. Membayangkan Mayangseruni dalam ancaman maut, seperti menemukan Tresnasari yang terancam bahaya.
Kepala lelaki setengah raksasa itu! Pekik naluri Satria. Bagaimana caranya dia menyerang bagian tubuh lawan yang tersulit seperti itu? Tak sebetik pun terpikirkan caranya. Satria hanya menerjang, mengikuti setiap aba-aba nalurinya.
Tepat ketika leher Dirgasura mulai bergerak cepat, ketika itu pula Satria menyentak kedua kakinya. Jarak yang masih cukup jauh dari lawan hendak dipersingkatnya dengan satu terkaman.
Dia tak menyadari seluruhnya apa yang saat itu diperbuat Yang jelas, tubuhnya melayang ringan, karena sentakan bertenaga luar biasa dari sepasang kakinya.
Dirgasura tercekat menangkap kelebatan dari arah depan. Diurungkannya menghancurkan wajah Mayangseruni. Bagi Mayangseruni sendiri, kelengahan Dirgasura dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Pijakannya dilepas dari tanah. Sengaja diperberat bobot tubuhnya. Tinggi tubuh Dirgasura memungkinkan dia seketika menggelantung dengan berpegang pada kedua gagang pedang. Saat yang sama sepasang kakinya membuat sentakan lurus ke atas serta bertenaga ke bawah leher lawan yang sedang menengadah menyaksikan sergapan tinggi tubuh Satria.
Degh!!
Tendangan Mayangseruni ternyata tak cukup kuat untuk menggoyahkan kekokohan tubuh Dirgasura. Namun, ada keuntungan lain dari tindakannya itu. Sepasang pedangnya dapat ditarik kembali, sekaligus menyayat kulit ketiak Dirgasura.
Si manusia setengah raksasa berteriak. Mirip lolongan serigala. Perhatiannya terbelah-belah sudah, memberikan kesempatan untuk Satria hinggap di punggungnya setelah terlebih dahulu memanfaatkan bahu lebar lawan untuk membalikkan posisi badannya.
Kini, sepasang kaki Satria mutlak menjepit leher Dirgasura. Berbahaya hagi Dirgasura! Bukan masalah jauhnya ukuran kaki pemuda tanggung dengan tubuh meraksasa Dirgasura, Akan tetapi, tenaga jepitan kakinya sudah pula tersalurkan tenaga sakti dari dalam tubuh pemuda itu. Jepitannya jadi amat menyesakkan. Seperti hendak menggunting dua bagian tulang leher Dirgasura!
Di atas bahu Dirgasura, Satria sudah bersiap pula mengangkat kedua lengannya. Tangannya membentuk sudut rapat. Kedua sikunya diarahkan ke telinga lawan.
Sebelum telinga Dirgasura menjadi tuli seketika oleh hantaman siku bertenaga sakti yang bergolak tanpa disadari oleh si pemuda tanggung sendiri, satu anak panah menikam punggungnya. Satria mengejang.
Anak panah beracun mematikan miiik seorang anak buah setia baru saja bersarang, nyaris menembus dinding paru-paru kanannya!
Tak begitu lama, tubuhnya ambruk ke tanah.
Mayangseruni yang baru saja hendak menghambur kembaii ke arah Dirgasura dipaksa memekik pendek namun menohok angkasa....

* * *



Bagaimana nasib Satria?
Siapa Mayang seruni sebenarnya?
Bisakah sesepuh para sepuh dunia persilatan, Dongdongka membujuk pemuda gendeng berhati baja itu agar menjadi pewaris kesaktiannya?

SELESAI

Ikuti Kelanjutan Kisah Satria Gendeng dalam episode.
"KAIL NAGA SAMUDERA"


INDEX SATRIA GENDENG
Tabib Sakti Pulau Dedemit --oo0oo--Kail Naga Samudera
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.