Kail Naga Samudera
tanztj
August 02, 2015
INDEX SATRIA GENDENG | |
Geger Pesisir Jawa --oo0oo-- Iblis Dari Neraka |
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--
Senja saat itu. Angin bertiup seperti harihari biasa, menjarahi pantai. Matahari membanggakan warna kuning lembayung nya. Juga seperti hari-hari biasa. Daun nyiur di mana-mana bergerak-gerak beranggukan bagai terkantuk-kantuk. Alam ramah. Semuanya nampak sumringah. Tidak untuk dua lelaki tua yang baru saja menyulut satu perkelahian besar.
"HeaaaH!"
Teriakan salah seorang di antaranya menggugurkan kedamaian, mencerabut keramahan alam dari mahligainya. Berkawal teriakan itu, sebentuk angin pukulan menderu ke arah lelaki tua lain. Berhawa panas. Berbentuk memanjang. Di sekelilingnya berpusingan asap berwarna kemerahan. Menjulur deras seolah naga api.
Wurr!
Pihak yang diserang adalah kakek berusia tujuh puluhan jika dilihat dari perawakan maupun wajahnya. Berpakaian hitam-hitam longgar. Berikat pinggang dari kulit buaya. Kepalanya diikat kain hitam, merangkum rambut putih sebatas bahu. Di atas bibirnya tumbuh kumis yang juga berwarna pucat. Lebat. Bertolak belakang dengan alisnya yang tumbuh jarang.
Bahu kanan orang tua itu membopong seorang perempuan berpakaian ungu. Terlalu sulit wajahnya dikenali karena posisi tubuhnya yang tertelungkup lemas di punggung pembopongnya. Rambutnya menjuntai-juntai. Keadaannya amat lemah. Begitupun tarikan napasnya. Hampir tak kentara. Bukan berarti dia sudah tak bernyawa
Pihak lain, yang baru saja melepas serangan pukulan jarak jauh berhawa panas adalah seorang kakek kurus kering. Berjubah hitam pendek sebatas paha. Berjenggot dan berambut tak kalah putih dengan lawannya. Tumbuh amat panjang. Jenggotnya bahkan tumbuh sampai mencapai lutut. Wajahnya dipenuhi kerut-merut. Kulit pipi bagian bawahnya malah sampai bergelantungan. Siapa mereka berdua?
Andai ada segelintir orang persilatan yang menyaksikan ketegangan yang terus memuncak antara kedua orang tua itu, tentu mereka akan segera menyingkir. Buat mereka, itu jalan terbaik. Sebab, dua orang itu adalah sepasang tokoh kalangan atas dunia persilatan yang tak hanya disegani, tapi juga memiliki kesaktian sulit tertandingi. Ibarat penghuni hutan, mereka adalah raja diraja singa. Berurusan dengan mereka tak akan menjamin keunggulan. Untuk Iblis Dari Neraka, bahkan bisa berarti mengundang tangan kematian dengan sengaja!
Kakek yang membopong wanita menyandang julukan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Siapa lagi tokoh tua yang memiliki gelar itu kecuali si tua Ki Kusumo?
Sementara penyerangnya, yang siap menjadi seterunya dalam kancah pertarungan besar itu menyandang julukan sangar: Iblis Dari Neraka. Sangar melebihi perawakannya sendiri yang begitu kurus. Ki Kusumo memanggilnya Ki Ageng Sulut. Tokoh sakti mandraguna dari dunia hitam yang telah memburunya sekian lama (Untuk mengetahui awal kejadiannya, bacalah episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa")!
Serbuan serangan pembuka dari Ki Ageng Sulut atas diri Ki Kusumo tidak cukup berarti buat orang tua ahli segala macam jenis obat dan seni penyembuhan itu. Meskipun dia dibebani tubuh seorang perempuan di bahunya.
Pukulan jarak jauh Ki Ageng Sulut datang.
Bagai menundukkan maut.
Ki Kusumo tak membiarkan tubuhnya terpanggang hawa panas pukulan tersebut. Tak dihadapinya dengan pukulan peredam. Untuk pertarungan awal, hanya akan membuang tenaga secara sia-sia melakukan hal demikian. Karenanya orang tua itu hanya berusaha mengelak.
Tak ada teriakan pertanda kesukaran, tubuh Ki Kusumo melenting ringan ke atas. Amat ringan. Tak terlihat kakinya melakukan hentakan. Dia seperti melayang lurus begitu saja. Seperti terlontarkan oleh tenaga dorongan hebat dari dasar bumi. Cukup mencengangkan. Terutama karena lesatan tegak lurus tubuh Ki Kusumo sanggup mencapai ketinggian sampai sepuluh tombak!
Lalu tubuhnya menukik kembali ketika angin pukulan berhawa panas lawan telah lewat.
Disebut menukik pun tak terlalu tepat. Karena Ki Kusumo melayang turun seperti mengendarai angin. Perlahan-lahan bagai sehelai bulu.
Bagi Ki Kusumo tindakan itu tak lebih dari sekadar usaha menyelamatkan diri. Bagi lawannya, tindakan tadi seperti hendak memamerkan satu kelihaian. Penghinaan bagi KI Ageng Sulut. Dari seorang yang berusia di bawahnya. Tak cuma itu, pamor dan kebesaran julukan Iblis Dari Neraka pun jauh lebih lama menggegerkan di tanah Jawa. Pun di dunia persilatan. Jauh sekian tahun mendahului Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Keparat! Kau jangan pamer kelihaian peringan tubuhmu padaku, Kusumo!" maki Ki Ageng Sulut.....
"Kenapa kau berpikir begitu, Ki Ageng Sulut?" sambut Ki Kusumo, si Tabib Sakti Pulau Dedemit, sesampainya kembali di tanah.
"Apa kau pikir karena aku tak sebanding dengan kedigdayaanmu yang mendirikan bulu kuduk?" tambah Ki Kusumo, mencoba memancing kegusaran lawan kian dalam.
Bukan ucapan pedas memerahkan telinga tadi yang justru menampar harga diri si tua kurus kering, manusia keji tak berhati itu. Yang lebih menghinakan bagi dirinya adalah cara Ki Kusumo melepas kekehnya di akhir perkataan barusan.
Kekeh itu dalam benak Ki Ageng Sulut seolah ditujukan untuk seekor anak kera. Bukankah dengan begitu, Ki Kusumo hanya menganggapnya
seekor anak kera? Itu keterlaluan, geram Ki Ageng Sulut.
"Jangan kau mencoba menipu diri, Kusumo. Kenyataannya, aku memang lebih digdaya darimu!" pangkas Ki Ageng Sulut, memastikan keberadaan nama besarnya.
"Kau ingin mengatakan kau lebih sakti da-
riku?"
"Tentu! Ya, aku lebih sakti darimu. Jauh lebih sakti. Karena aku adalah Iblis Dari Neraka!"
"He he he! Tapi kenapa Iblis Dari Neraka yang sakti mandraguna membutuhkan pertolonganku?"
"Keparat! Jaga mulutmu Kusumo!"
"Ya... ya.... Aku memang harus menjaga mulutku. Tentunya kau tak ingin mendengar aibmu, bukan? Bahwa seorang sakti mandraguna yang memiliki nama besar seperti kau datang ke sini untuk meminta pertolonganku. Lalu kalau aku tak bersedia, jangan-jangan kau memohonmohon padaku. Dengan penuh memelas, tentunya!"
"Kau memang keparat, Kusumo! HeaaH"
Kegusaran Ki Ageng Sulut menjadikan alasan baginya untuk melancarkan serangan berikutnya.
Tidak dengan pukulan jarak jauh berhawa panas yang sanggup membakar udara seperti sebelumnya. Kali ini dia mempergunakan tepukantepukan telapak tangan. Dari caranya melakukan serangan tampak sekali kalau kakek kurus kering
sakti satu ini hendak melampiaskan kegusaran. Hendak dijadikannya lawan sebagai sasaran terjangan. Setidak-tidaknya menganggap Ki Kusumo sebagai sebatang pohon pisang yang akan demikian mudah dikepruk remuk dengan telapak tangannya!
Plok plok plok plok!
Dari tempatnya berdiri, cukup jauh dari tempat lawan, kaki Ki Ageng Sulut bergerak cepat menuju Ki Kusumo. Langkah-langkahnya pendek. Namun amat bertenaga. Nyalang. Tapi juga teratur. Kekuatannya kentara sekali dari suara berdebam yang tercipta.
Berbarengan dengan setiap hentakan langkahnya, kedua telapak tangannya ditepukkan lurus ke depan. Bunyinya santer. Memekakkan telinga. Sekaligus menggetarkan udara dan nyali. Sepertinya kedua lengan tokoh tua bangka itu telah berubah wujud menjadi dua bilah batang logam keras yang setiap saat akan meremukkan lawan.
Jarak makin menyempit.
Ki Ageng Sulut makin dekat. Padat ancaman. Wajahnya berkobar-kobar dengan kemarahan teramat besar.
"Tepukan Iblis Kematian...," bisik Ki Kusumo, cukup tahu jurus apa yang sedang dilancarkan lawan ke arahnya. Satu jurus yang sudah dianggap sebagai jawaranya jurus-jurus dunia persilatan. Hanya dimiliki oleh Ki Ageng Sulut semata. Tak ada orang lain!
Mematikan bukan karena lawan terkena tepukan itu. Melainkan ketika lawan tersambar angin yang dihasilkan tepukannya. Jangankan tubuh manusia, sebongkah pecahan benteng keraton pun dapat dihancurkannya hanya dengan sekali tepukan. Untuk melepas angin tepukan mautnya, si pemilik membutuhkan jarak sedikitnya satu tombak. Lebih jauh dari itu, tenaga angin tepukan bahkan tak bisa membinasakan seekor lalat. Dengan alasan itulah, Ki Ageng Sulut berusaha untuk mempersempit jarak.
Sungguh jurus yang aneh. Sulit pula dimengerti. Namun bagi Ki Kusumo, tak terlalu aneh atau pun sulit dimengerti. Dia dapat membaca bahwa lawan sengaja membatasi jarak jangkau tenaga dalamnya. Dengan cara itu, kekuatan tenaga pukulan jarak jauhnya dapat dipadatkan sedemikian rupa. Seperti memadatkan timbunan mesiu agar dapat menciptakan kekuatan ledakan yang hebat!
Lepas dari itu, bukan berarti Ki Kusumo memandang remeh serangan lawan. Bahkan, dia menyadari benar posisinya. Ancaman yang serupa dengan patukan moncong seekor naga sedang mengarah ke dirinya! Jelas berbahaya!
Ki Ageng Sulut rupanya tahu benar bagaimana memanfaatkan keadaan lawan. Ki Kusumo saat itu sedang membopong seorang wanita. Nyai Cemarawangi. Akan teramat sulit baginya jika dipaksa untuk melakukan pertarungan jarak dekat. Segala kerepotan akan menyudutkannya menjadi pihak terdesak. Terutama karena dia harus berhati-hati agar wanita di bahunya tidak menjadi sasaran serangan lawan.
Boleh pula dia berkoar bahwa kesaktiannya berada jauh di atas lawan. Boleh saja Iblis Dari Neraka menyanjung dirinya sebagai tokoh yang lebih banyak makan asam garam ketimbang Ki Kusumo. Namun, tak sedikit pun kepastian bahwa Ki Kusumo adalah seorang tokoh yang mentah.
Maksud Ki Ageng Sulut pun terbaca oleh Ki Kusumo.
Untuk tidak menempatkan posisinya menjadi sulit, Ki Kusumo cepat mengambil tindakan. Sebelum lawan benar-benar sampai pada jarak serangan mautnya, dengan gesit Ki Kusumo melompat jauh-jauh ke belakang. Hinggap di bawah batang pohon kelapa, meletakkan tubuh Nyai Cemarawangi di atas pasir, lalu sesegera nya menggenjot tubuh kembali. Langsung dihadangnya laju lawan di tengah jalan dengan satu terkaman seperti seekor kucing liar yang siap mencabik lawan dengan keempat kakinya.
"HeaaaH!"
Ki Ageng Sulut dipaksa terperanjat. Tentu saja, karena dia tak pernah menyangka lawannya akan melakukan tindakan seperti itu. Dikiranya, Ki Kusumo justru akan menanti. Menanti sampai 'Tepukan Iblis Kematian' menanduknya. Setelah itu baru dia berkelit.
Nyatanya kini, tabib sakti itu malah sengaja mempercepat sempitnya jarak. Semuanya di luar perhitungan Ki Ageng Sulut. Padahal, kakek bengis itu sudah memperhitungkan pada langkah ke berapa dia akan melepas 'Tepukan Iblis Kematian'-nya!
Wukh!
Tanpa membiarkan lawan mengatur posisinya agar dapat melepas 'Tepukan Iblis Kematian', kaki Ki Kusumo sudah lebih dahulu membabat menyamping. Kepala lawan hendak dilontarkannya dari leher!
"Keparat!"
Ki Ageng Sulut memaki. Memaki saja tidak cukup untuk menyelamatkan kepalanya. Dia harus pula berjumpalitan ke depan. Tubuhnya bergelundung beberapa kali. Sengaja mengambil jarak agar dia dapat mengatur serangan berikutnya.
Ki Kusumo tidak memberi kesempatan. Diburunya lagi arah gerak lawan. Sekedipan mata, kakinya menjejak pasir. Kedip berikutnya dia sudah memutar tubuh lurus di udara, mengejar lawan. Tangannya kali ini membuat berpuluhpuluh patukan deras di udara. Menuju Ki Ageng Sulut.
Deb deb deb deb!
Ki Ageng Sulut cepat bangkit. Matanya menyipit sepersekian kejap sebelum terjangan lawan tiba. Mulutnya sempat melepas desisan.
"Mencuri Bunga Karang!"
Itulah nama jurus yang kini diperlihatkan Ki Kusumo. Satu jurus yang tak kalah hebat dari Tepukan Iblis Kematian'. Bukan cuma pamor, namun benar-benar kehebatannya. Jurus itu pun hanya dimiliki oleh Ki Kusumo. Satu jurus berhawa kematian yang diciptakannya di Pulau Dedemit.
Jurus yang mengandalkan patukan jari beracun yang lebih mirip dengan gaya seseorang menyambar bunga karang dari permukaan laut. Satu patukan bisa berarti seratus racun mematikan. Karena patukan jurus 'Mencuri Bunga Karang' memang mengandalkan tenaga dalam yang dibaurkan dengan serbuk di sekujur jari tangan Ki Kusumo. Racun tersebut amat halus, nyaris tak kentara oleh pandangan.
Sekali lawan terpagut, maka jari tangan Ki Kusumo akan menjepit kulitnya. Dalam sekelebatan, jari tangan Ki Kusumo akan mencerabut kulit itu, sekaligus membiarkan racun di jarinya mengalir melalui luka menganga di bagian tubuh lawan! Tak kalah berbahaya dengan 'Tepukan Iblis Kematian'. Jelas!
Namun jurus itu hanya dipergunakan oleh Ki Kusumo sewaktu-waktu. Kesannya kejam. Dia sendiri memang tak suka. Kecuali jika harus menghadapi orang semacam Iblis Dari Neraka, dia tak akan ragu-ragu mempergunakannya. Tak akan!
Deb!
Satu patukan merangsak leher Ki Ageng Sulut. Sudah terlampau dekat untuk bisa menghindar. Mau tak mau kakek bengis itu menyambutnya. Ditekuknya kedua tangan dalam-dalam. Dibuatnya satu tepukan yang akan menahan patukan jari lawan. Jika perlu, meremukkannya.
Plok!
Tepat ketika telapak tangan Ki Ageng Sulut melakukan tumbukan, jari tangan lawan amat gesit tertarik kembali ke belakang. Lebih cepat dari kelitan kepala seekor ular sendok. Berselang amat cepat, tangan Ki Kusumo yang lain mematuk ke wajah lawan.
"Keparat!" maki Ki Ageng Sulut, merasa hampir dikecohkan lawan. Untung saja ketangkasan lehernya mampu dapat menyelamatkan wajahnya dari pagutan maut jari tangan lawan. Dia menggeleng amat cepat ke samping. Tak urung, pipinya merasakan pedih tersambar angin patukan Ki Kusumo.
Tepat keputusan Ki Kusumo untuk mengimbangi serangan lawan dengan 'Mencuri Bunga Karang'. Karena jurus ini pun mengandalkan serangan pada jarak dekat. Bahkan bisa amat dekat. Menyebabkan lawan sulit mengatur jarak untuk melepas 'Tepukan Iblis Kematian'-nya.
Sebelum Ki Kusumo mencecarnya lebih deras seperti serbuan hujan, Ki Ageng Sulut memutuskan untuk mengubah taktik tarungnya. Tidak bisa dia mengimbangi serangan lawan hanya dengan 'Tepukan Iblis Kematian'. Ibarat tak imbangnya kelincahan seekor ular dengan beruang besar. Meskipun tenaga beruang jauh lebih tangguh dari seekor ular sekalipun. Namun, bisa sang ular akan mematikan si beruang kalau dia kalah cepat menempatkan serangan.
Ki Ageng Sulut melompat jauh-jauh. Dia berdiri dengan mata memerah. Seranglah, desisnya dalam hati pada Ki Kusumo. Karena ketika terjangan lawan datang nanti, dia akan menyambutnya dengan satu jurus amat berbahaya yang terlalu menakutkan untuk kalangan persilatan di seluruh penjuru mata angin!
--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--
Kadipaten Pandan adalah satu dari dua wilayah yang terakhir menjadi mangsa empuk Laskar Lawa Merah. Satu daerah lain adalah Kadipaten Ayah. Dengan rencana yang matang, Dirgasura mencuri-curi kesempatan melakukan gerakan gila-gilaan saat patroli pasukan Demak belum terlihat di dua kadipaten tersebut.
Ketika kekacauan terjangkit, ketika rumahrumah penduduk dilalap jago merah yang sengaja disulut oleh anak buah Dirgasura, ketika penduduk berteriak-teriak ketakutan, ketika darah mereka tertumpah memboreh wajah bumi, ketika harta benda dikuras, ketika itulah gerombolah Laskar Lawa Merah diusik oleh kedatangan dua muda-mudi.
Mereka Satria dan Mayangseruni.
Satria yang dianggap mempunyai hutang nyawa terhadap kematian salah seorang anggota Laskar Lawa Merah di Kadipaten Ayah akhirnya harus berurusan langsung dengan Dirgasura. Begitupun Mayangseruni, gadis yang semula dikira Tresnasari.
Pada satu saat, ketika Satria siap menghantamkan dua sikunya ke telinga Dirgasura bersama kemarahan yang meledak-ledak, satu anak panah beracun milik seorang anak buah Dirgasura menembus punggungnya. Pemuda tanggung itu jatuh dari bahu Dirgasura (Lihat kembali episode sebelumnya: "Geger Pesisir Jawa!"
Saat itu, Satria tersungkur jatuh. Sebagai lelaki yang sering mendapat sebutan manusia setengah raksasa, tinggi Dirgasura hampir dua kali orang biasa. Jatuh dari atas tubuhnya membuat Satria amat keras meninju tanah.
Persoalan gawatnya bukan di sana. Melainkan pada anak panah yang menancap di punggungnya.
Ketika terjatuh, posisi Satria amat membahayakan.
Dia jatuh ke belakang. Menyebabkan anak panah yang menancap di punggungnya tertekan masuk lebih kuat menembus tubuhnya. Mengerikan!
Sampai hampir seluruh bagian anak panah itu menembus keluar dari bagian dada pemuda tanggung itu. Batangnya berboreh darah. Dia terkulai setelah terlebih dahulu tubuhnya menggeliat mengenaskan beberapa saat.
Pemandangan mengenaskan itulah yang membuat hati Mayangseruni begitu miris. Pilu menyaksikan keadaan kawan muda barunya yang belum lagi sempat diketahui namanya. Geram, terlampau geram menelan kelaliman kelewat batas telah terjadi lagi di depan matanya. Gadis ayu itu dibakar kemurkaan. Menggelegak bagai lahar!
"Kau akan membayar nyawanya dengan nyawamu, Manusia Terkutuk!!" pekik Mayangseruni, menumpahkan panas membakar dalam dirinya dalam kutukan.
Pedangnya digerakkan nyalang.
Wukh wukh!
"HaiihH"
Diserbunya Dirgasura kalap. Sepasang senjata di kedua belah tangannya diputar bersilangan dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Kecepatannya membuat putaran kedua pedang membentuk tameng samar yang aneh.
Satu tombak di dekat Dirgasura, pedang di tangan kiri Mayangseruni menyabet deras ke leher lawan.
Dirgasura berkelit mudah. Kepalanya menggeleng ke sisi.
Mayangseruni menyusupkan tusukan ke arah gelengan kepala lawan. Kekalapannya semakin menjadi. Wajahnya beringas. Keayuan nya nyaris terselubungi pancar keberingasannya.
Dalam serangan berbahaya gadis itu, mulut Dirgasura sempat-sempatnya memperdengarkan tawa.
Seraya tergelak pendek dia menggerakkan lehernya satu putaran, seolah seekor ular yang mencoba merembeti pedang lawan. Satu perbuatan yang mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Bisa saja dia tersayat sisi pedang lawan. Namun itu tak terjadi sama sekali. Itulah maksudnya. Dengan begitu, dia hendak mengejek lawan mudanya. Mendorongnya semakin terjerembab dalam kekalapan.
Mayangseruni merasa dipermainkan.
"Bajingan!"
Jarak tarung yang diperdekat oleh Dirgasura, tak memungkinkan gadis itu untuk melancarkan gempuran pedang. Kakinya membuat sapuan, terseret di atas tanah. Hendak dibabatnya kuda-kuda lawan. Jika keseimbangan lawan terusik sedikit saja, maka dengan mudah mata pedangnya akan menyayat kulit tenggorokan Dirgasura yang sengaja melingkari pedang Mayangseruni dengan leher betonnya.
Gelak Dirgasura terlontar lagi. Dia tahu benar maksud Mayangseruni. Hanya dengan mengangkat kaki bergantian amat cepat, dia berhasil mementahkan sapuan kaki Mayangseruni.
Si pendekar wanita muda makin terperangkap dalam kekalapannya. Serangan dipergencar. Namun tidak berarti lebih terarah. Kemarahan dalam dirinya telah membuatnya tak begitu memperhatikan siasat serangan. Jurus-jurusnya jadi kacau membabi-buta.
Dirgasura, si Tangan Seribu Dewa, menganggap dirinya mendapatkan boneka kecil yang bisa dijadikan mainannya. Dijadikan bulanbulanan yang mengasyikkan.
Empat tusukan beruntun hendak disarangkan Mayangseruni di empat bagian mematikan tubuh Dirgasura. Si Tangan Seribu Dewa memperlihatkan kebolehannya yang menyebabkan orang-orang persilatan menjulukinya demikian. Tangannya yang terkenal cepat bagai milik seribu Dewa, bergerak laksana bayangan.
Tring tring tring tring!
Hanya dengan sebelah tangan, empat tusukan sengit beruntun pedang Mayangseruni dijentikinya. Setiap kali terkena jentikan jari Dirgasura, pedang Mayangseruni tergetar. Tangannya dilanda rasa nyeri. Pergelangannya lemas. Hampir saja dia melepaskan begitu saja kedua senjatanya.
Sementara Dirgasura memperlihatkan kepongahannya dengan mengangsurkan sebelah tangan yang lain di belakang punggungnya. Mayangseruni tersurut mundur. Jentikan jari lawan terakhir membuat tangan kanannya terasa lumpuh sejenak.
"Kenapa mundur, Anak Manis?" ledek Dirgasura beriring senyum sinisnya yang teramat memuakkan di mata Mayangseruni.
"Apa kau tak mau bermain-main lagi?" sambung si lelaki setengah raksasa ini.
Sia-sia banyak mulut dengan manusia hewan seperti dia, gusar Mayangseruni dalam hati. Lagi pula, kemarahannya tak memberinya kesempatan untuk itu.
Dengan sekali dengusan, pendekar wanita berusia muda itu mempersiapkan kembali jurus pedangnya. Pedangnya disilangkan di depan wajah. Membentuk gaya gunting besar.
"HiaaaH"
Dengan tiba-tiba, diterkamnya lawan. Mayangseruni terbang lurus seperti sebatang tombak. Di tengah jalan, tubuhnya berputar. Sepasang pedang yang bersilangan menjadi ujung serangan mematikan. Bagai mata pelobang bumi yang berputar.
Bagi Dirgasura, serangan lawan tak lebih dari kesempatan untuk membuktikan bagaimana pamor kecepatan tangannya. Kecepatan Tangan Seribu Dewa!
Begitu putaran pedang bersilangan yang kekuatannya berpusat pada putaran tubuh Mayangseruni di udara hendak mencabik-cabik tubuhnya. Dirgasura membuat tamparantamparan secepat bayangan dengan sebelah tangan. Seolah lelaki setengah raksasa itu sedang menghalau serbuan seribu lebah!
Luar biasaa!
Mengagumkan!
Terutama bagi para antek-antek Dirgasura. Bagaimana tidak?
Karena hanya mengandalkan kuku-kuku di ujung jarinya. Dirgasura memapaki pusingan pedang bersilangan lawan. Hanya dengan kuku-kuku di ujung jarinya! Pengerahan te-naga dalam ke ujung jari-jemarinya menyebabkan putaran pedang Mayangseruni tertahan seketika.
Lebih mencengangkan lagi, putaran tubuh pendekar wanita muda itu pun terjegal. Tubuhnya tersentak. Kemudian menukik jatuh. Bersamaan dengan itu, sepasang tangan Dirgasura melaku-kan pagutan pada ujung pedang lawan dengan ja-ri telunjuk dan ibu jari.
Krep!
Mayangseruni dipaksa terkesiap. Bahaya besar baginya. Pada saat tubuhnya menukik se-perti itu, akan sangat sulit baginya untuk membuat kuda-kuda baru. Lawan setiap saat bisa mengayun kaki, menyambut tukikan tubuhnya.
Kekhawatiran Mayangseruni menjadi bera-lasan. Dirgasura benar-benar melakukan sambu-tan berbahaya dengan dongketan kaki lurus ke atas. Mayangseruni memekik kecil. Dia tahu tendangan yang mengarah lawan ke ulu hatinya akan berakibat fatal! Maut siap menyambut. Dalam beberapa kedip mata lagi. Mayangseruni tak sempat berbuat lain, kecuali pasrah.
Bletak!
"Aaaah!" Raungan tinggi berat terdengar berdebam di udara. Bukan dari mulut mungil Mayangseru-ni. Melainkan dari kerongkongan si manusia se-tengah raksasa.
Apa yang terjadi?
Pada saat kaki Dirgasura mendongkel telak-telak ulu hati Mayangseruni, mendadak saja berseliweran angin pukulan tak berwujud. Kaki Dirgasura terhantam. Sekaligus menyelamatkan ulu hati Mayangseruni dari ancaman kaki itu.
Entah siapa yang telah berulah. Belum je-las bagi siapa pun. Yang pasti, Dirgasura merasakan sakit sampai ke ubun-ubun. Dapat dinilai da-ri suara raungannya. Rasa sakit yang juga me-maksa si Tangan Seribu Dewa melepaskan pagu-tan jarinya pada sepasang pedang lawan.
Belum cukup sampai di situ, satu samba-ran deras merangsak kembali. Dada Dirgasura menjadi sasaran empuk.
Dash!
Sang pemimpin gerombolan begal yang di-takuti terjajar kuat ke belakang. Tak sempat berteriak, karena jalan pernapasannya menyempit seketika. Hanya parasnya saja yang berubah membiru kala itu juga.
"Tak sepantasnya kau bertengkar dengan bocah baru besar seperti dia, Kunyuk Bongsor!" Sembur seseorang tiba-tiba. Belum tampak wu-judnya. Namun suaranya sudah berada di mana-mana. Menggaung seperti sahutan guntur di ke-jauhan. Meninju gendang telinga.
Seluruh anggota Laskar Lawa Merah men-cari-cari ke segenap penjuru. Siapa manusia yang telah berani mengacau tindakan serangan pemimpin gerombolan begal yang begitu ditakuti di sepanjang Pesisir Selatan tanah Jawa?
Niscaya mereka tak akan punya nyali un-tuk memperdengarkan pertanyaan macam itu jika tahu siapa si pengacau sesungguhnya.
Siapa dia? Seorang sesepuh di antara sese-puh dunia persilatan. Si tokoh yang dianggap setengah siluman. Manusia bangkotan yang merin-dukan mati tapi tak kunjung kesampaian....
"Panembahan Dongdongka...," Desis Dirgasura, ketika pandangannya yang mengabur me-nyaksikan seorang kakek bungkuk kurus kering berkepala botak melayang menuju kancah keribu-tan! Bertengger angker di atas pelepah daun kelapa sambil memukul-mukuli kepala klimisnya dengan bambu kuning di tangan.
Sebagian besar kalangan persilatan per-caya, kalau dedengkot itu sudah memukul-mukuli kepala sendiri berarti dia sedang marah besar. Akan ada nyawa yang melayang di tangannya. Hampir dapat dipastikan!
Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah tiba. Apa jadinya nanti?
--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--
Seorang gadis yang sebenarnya berwajah menawan jika tak dirundung kesedihan. Berambut hitam panjang dibuntut kuda. Berpakaian silat warna merah hati. Di ikat pinggangnya terselip sepasang belati.
Lembah dikepung oleh barisan pegunungan. Dingin kesannya. Dengan warna kelabu kehitaman di kejauhan. Di tepi lembah yang berbatuan, pegunungan, pepohonan randu tumbuh jarang. Kabut sudah semenjak tadi merayapi segenap penjuru. Senja memang makin lelah. Cahaya makin terengah. Sebentar lagi malam. Sisa kuning matahari hanya cukup untuk menerangi jalan.
Inikah akhir hidup? Tanyanya mendesah lirih dalam hati. Biarpun dunia tak menampakkan tanda-tanda akan segera kiamat, namun bagi gadis itu rasanya hidup telah terputus.
Saksikanlah keruh wajahnya. Bagai mendung kelabu. Binar yang mestinya hadir dalam pandangan mata gadis remaja sebayanya tak ada lagi semenjak dia mengetahui tentang suatu yang amat memukul hatinya. Ibunda tercintanya akan segera mati. Direnggut penyakit tak terobati, yang sejak lama mendekam dalam tubuhnya. Seperti seonggok racun yang perlahan tapi pasti meracuni dari dalam. Dan pada waktunya membunuhnya tanpa ampun.
Dia adalah Tresnasari. Bocah perempuan remaja kawan dekat Satria. Dara yang untuk pertama kalinya menyiram hati pemuda tanggung itu dengan guyuran cinta pertama. Menyejukkan. Namun juga menyakitkan ketika terjadi perpisahan.
Sejak mengetahui Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit, ternyata tak bisa menyembuhkan penyakit Nyai Cemarawangi, Ibunya tercinta, Tresnasari pergi dari Tanjung Karangbolong. Meninggalkan sepotong hati gamang oleh rasa kehilangan milik Satria (Baca episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa")!
Tresnasari terus berjalan.
Melangkah terus. Dalam kebisuan dan kesepian benaknya sendiri. Dia tak tahu keluh apa lagi yang hendak diperdengarkan hatinya. Lelah sudah. Biar hatinya sunyi.
Jangkrik mulai berderik. Satwa malam lain mulai pula menyenandungkan suara masingmasing. Semuanya terdengar sengau di telinga Tresnasari. Semuanya pun terdengar lirih.
Dia terus berjalan.
Siapa pun tak bisa menghiburnya. Apa pun tak mampu menghiburnya. Walaupun dirinya sendiri. Kehancuran semata yang menggeluti segenap rasanya.
Dia terus berjalan.
Tresnasari akhirnya sampai di ujung jalan setapak. Tanpa sadar, langkahnya telah menggiringnya tiba di tepi jurang terjal. Gelap mulai menjadi kelam. Malam telah benar-benar hadir.
Matanya menatap lusuh ke bawah. Ke kegelapan jurang yang segelap asanya. Di sana, tak ada sebetik cahaya pun. Di sana senyap. Laksana kesenyapan yang kini menguasainya. Dingin. Menggidikkan. Memanggil-manggilnya.
"Nyai...," desah Tresnasari, nyaris tak kentara. "Tak ada lagi gunanya aku hidup kalau Nyai nantinya akan mati. Aku tak bisa berpikir lagi apa yang harus aku lakukan jika Nyai tiada...."
Lalu menyembul samar bisikan halus dari dasar hatinya. Bisikan yang menghasut agar dia mengakhiri saja seluruh kesah ini. Mengakhiri. Kegelapan jurang di bawah sana pun seperti menyeruak bisikan serupa. Perlahan, tapi gencar. Makin gencar dan makin menghasut.
Tresnasari terisak. Ditutupnya wajah dengan kedua telapak tangan. Beberapa saat bahunya terguncang-guncang kecil diberondong kepedihan serta kesedihan.
Lalu tubuhnya gontai. Pada saatnya, dia sempoyongan ke depan. Mulut jurang dalam pun menyambutnya!
Sepi kembali di sana.
Dingin mengendap-endap.
* * *
"Biang kunyuk macam apa kau, tegateganya berbuat sesial ini pada bocah-bocah baru besar!" maki Dedengkot Sinting Kepala Gundul setibanya di atas tanah. Kepalanya makin gencar saja diketuk-ketuk dengan batang bambu kuning.
Tanpa sadar, seluruh anggota gerombolan Laskar Lawa Merah tersurut mundur beberapa tindak. Ketakutan membayangi benak mereka. Termasuk Dirgasura sendiri. Lelaki setengah raksasa itu mundur dengan memegangi dada. Mulutnya terbasuh darah segar. Mulutnya terkekang rapat. Apa yang hendak dikatakannya pada kakek yang kesaktiannya tak tertandingi? Bagaimana pula dia berkata sementara dadanya demikian sesak? Jangan lagi berkata, sekadar menarik napas saja sudah teramat sulit.
Dongdongka mendelik-delik. Kaki sekurus batang kayai keringnya melangkah dari pelepah kelapa. Didekatinya tubuh tak bergerak Satria. Seraya melangkah bersungut-sungut, mulutnya menggerutu.
"Kalau kudapati bocah gendeng ini sudah tak punya nyawa, kalian tahu sendiri!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul sampai di dekat Satria. Kalau melihat letak anak panah yang menembus tubuhnya, Dongdongka tahu nyawa anak itu tidak terancam. Batang anak panah hanya meleset sedikit dari jantungnya. Paruparunya pun luput. Kalau terluka parah bisa juga. Tapi tidak akan menyebabkan kematian.
"Hei bocah gendeng, apa kau sudah mati?!" tanyanya.
Ditendangnya pantat pemuda tanggung itu.
Satria tetap tak bergerak.
Dongdongka mengernyit. Kelopak matanya membesar memperhatikan bagaimana sekujur kulit bocah yang ditaksirnya untuk dijadikan murid telah membiru. Penasaran dia merundukkan tubuh lebih dekat. Dada anak itu juga tak bergerak. Tak ada naik-turun napasnya. Sedikit pun.
Dia masih kurang yakin juga. Dipukulpukulkannya ujung bambu kuning ke batok kepala Satria.
"Yah, jangan-jangan mati juga bocah gendeng ini" gumamnya.
Tak ingin terus dipermainkan keraguannya, Dongdongka mendekatkan jari tangannya ke urat nadi di leher pemuda tanggung itu. Dongdongka lega. Masih terasa denyutnya. Tapi, otak sinting sang sesepuh sinting ini rupanya tak bisa menyia-nyiakan kesempatan baik untuk melakukan satu kesintingan.
"Kalian telah membunuhnya! Kalian telah membunuhnya, tahu! Mampus, anak gendeng ini telah mampus!" teriak Dedengkot Sinting Kepala Gundul kelabakan, seperti kerasukan setan pusing satu kelurahan.
Anak buah Dirgasura makin tersurut mundur. Ketakutan mereka makin menjadi-jadi. Kiamat., kiamat, bisik hati masing-masing, ciut.
Kalau sudah begitu, rasanya mereka sudah tak punya harapan mendapat kesempatan hidup.
Sewaktu Dedengkot Sinting Kepala Gundul bangkit dan membalikkan tubuh dengan mata mencorong semerah-merahnya, beberapa anak buah Dirgasura yang bernyali tanggung mulai rajin menelan ludah.
"Ini keterlaluan! Keterlaluan, tahu! Tahukah kalian kalau bocah ini akan kujadikan murid? Kalian itu sial, tahu?!" sumpah serapah Dongdongka melantun. Saking marahnya, tangan orang tua kelewat uzur itu menggerak-gerakkan batang bambu tak sadar. Bambu memperdengarkan dengung menyeramkan. Ujungnya nyaris tak kentara karena begitu hebatnya getaran. Bahkan udara di sekitarnya mulai memanas, hingga mengepulkan asap tipis.
Tambah rajin saja beberapa anak buah Dirgasura menelan ludah.
"Sekarang...," mulai Dongdongka lagi. Dadanya yang mirip papan penggilasan naik turun tak beraturan. Sejenak kalimatnya disunat. Dia diam. Diedarkannya pandangan sebengisbengisnya kepada setiap anggota Laskar Lawa Merah.
"Yang telah memanah bocah ini... tunjuk tangan!" mulainya kembali dengan bentakan menggeledek pada dua kata terakhir.
Seorang anak buah Dirgasura saat itu juga tersentak tak alang kepalang. Biji matanya mendelik. Mulutnya menganga. Napasnya tergagap.
Sebentar kemudian, dia ambruk dengan mata masih mendelik ketakutan. Usut punya usut, rupanya dia yang telah melepas anak panah beracun ke tubuh Satria.
Heran, bisa-bisanya Dirgasura punya anak buah macam dia?
"Ayo tunjuk tangan!!" sentak Dongdongka lebih keras. Masalahnya, tak satu pun anggota Laskar Lawa Merah mengangkat tangannya. Bukan karena takut mengaku. Apalagi malu-malu kucing. Cuma, di antara mereka memang tidak ada yang telah memanah Satria. Pelakunya sudah ngejoprak lebih dulu.
Dan siapa nyana, kalau Tangan Seribu Dewa, pemimpin gerombolan paling bengis di sepanjang Pesisir Selatan tanah Jawa nyatanya tak bisa berbuat apa-apa menghadapi sesepuh edan dunia persilatan di tanah Jawa itu?
"Tak ada yang mau tunjuk tangan juga?!" tandas Dongdongka kehilangan kesabaran. "Kalau begitu, kalian semua akan merasakan akibatnya!" ancamnya.
Dongdongka baru hendak mengamuk, Dirgasura akhirnya angkat bicara.
"Tunggu Panembahan.... Maafkan kami karena telah lancang. Kami tidak tahu kalau bocah itu hendak kaujadikan murid...."
Dongdongka mendengus.
"Kalau tak tahu, makanya tanya!" semprotnya. "Jadi kau ketua gerombolan kentut ini?" katanya lagi.
Dirgasura tak bisa banyak macam menghadapi Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dia memaksakan diri menjura dengan dada yang masih nyeri. Keangkuhannya terdepak entah ke mana. Hilanglah pamornya selaku pemimpin gerombolan perampok bengis seperti kentut tertiup... raja kentut!
"Benar Panembahan...."
"Siapa kau?!"" susul Dongdongka. Dia tak mengenal Dirgasura. Padahal namanya sudah demikian santer mengobrak-abriknya penduduk Pesisir Selatan tanah Jawa.
"Aku Dirgasura, Panembahan."
"Dirgasura Laksonosuiya...."
"Maksudku, julukanmu!"
Dirgasura ragu. Untuk apa menyebutkan julukannya? Sebesar-besarnya julukan Tangan Seribu Dewa, tak akan sebanding dengan kebesaran si sesepuh sinting ini. Laksana kentut dengan... raja kentut!
"Sebut!"
"Tangan Seribu Dewa...."
Mata Dongdongka menyipit mendengar julukan yang disebutkan Dirgasura. Dirgasura sendiri agak waswas. Jangan-jangan sang sesepuh pernah mencarinya karena satu urusan.
"Ah, aku tak kenal! Julukan jelek macam apa itu.... 'Jangan Ribut Dewa'?" ketus Dongdongka akhirnya. Salah dengar rupanya dia. Dasar tua bangka, ya tua bangka juga. Telinganya kadang-kadang mabok!
Setelah itu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tergelak-gelak seru. Sendirian saja. Memangnya mau mengajak siapa?
"Sudah, menyingkir kalian!" bentaknya akhirnya.
Dirgasura tak mengerti, Ketuanya saja bingung, apalagi anak buahnya.
"Kalian tuli?! Sana kalian menyingkir, sebelum aku berubah pikiran!" ulang Dongdongka.
Dirgasura menyingkir ragu. Dia melangkah waswas, takut-takut Dedengkot Sinting Kepala Gundul melakukan tindakan untuk menghukumnya. Nyatanya, sampai mereka cukup jauh menghela kuda, Dongdongka tak mengejar mereka. Atau melakukan tindakan apa pun terhadap mereka.
Tua bangka itu memang sulit dimengerti
"Kau juga menyingkir!" bentak Dongdongka pada Mayangseruni, sepeninggal Laskar Lawa Merah. Si pendekar muda belia itu sendiri saat itu hendak mendekati tubuh Satria.
"Tapi dia kawanku, Kek," kilah Mayangseruni. Dia tidak begitu mengenal siapa sesungguhnya tokoh tua edan di dekatnya itu.
"Mau kawan kek, mau kekasihmu kek, mau suamimu kek, mau kakekmu kek, pokoknya kau menyingkir!"
"Tapi kau akan menolongnya, bukan?" Sewaktu berkata, wajah Mayangseruni tampak memelas.
"Tidak, dia akan kulempar ke kandang buaya! Ya, jelas saja. Bukankah aku sudah bilang tadi kalau bocah gendeng ini akan kujadikan muridku..." sungut Dongdongka. Dihampirinya Satria. Diangkatnya tubuh pemuda tanggung itu dengan sebelah tangan. Caranya seperti sedang mengangkat seikat kayu kering. Padahal tubuh kakek uzur itu jauh tak meyakinkan untuk bisa mengangkat se ember air sekalipun. Ditelungkupkannya Satria di bahunya.
Lalu dia pun beranjak. Santai saja langkahnya. Sebelum jauh dia menoleh pada Mayangseruni yang melepas kepergiannya.
"Aku pinjam dulu kekasihmu ini ya, Cah Ajar. Kapan-kapan kukembalikan. Utuh!" bisiknya dengan sebaris senyum kekurangan gigi.
Dasar sinting!
Wajah Mayangseruni memerah. Tak jelas, apakah Dongdongka tahu atau tidak. Lelaki tua itu sudah berkelebat hilang dari tempatnya semula.
--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--
Satria dibawanya ke tempat Ki Kusumo. Memang bukan tempat aneh seperti biasanya si manusia langka itu 'bersemayam'. Pasalnya, Dongdongka membutuhkan pertolongan Ki Kusumo untuk menawarkan racun yang sudah telanjur mengaduk-aduk tubuh bagian dalam Satria.
Soal kesaktian, Dongdongka nomor wahid di tanah Jawa ini. Hampir-hampir tak ada satu orang pesaing pun. Kalau bicara soal obatmengobati, dia buta sama sekali. Jangankan soal menangani racun ganas, mengobati panu saja barangkali tak tahu. Tanjung Karangbolong tentu saja ditujunya. Tanpa membutuhkan waktu lama, Dedengkot Sinting Kepala Gundul akhirnya tiba di tujuan. Setibanya di sana, ditemukannya gubuk Ki Kusumo sudah musnah terbakar. Cuma tersisa puing-puing arang menghitam. Asap tipis mengambang lamat ke udara. Sejenak melayang lalu pupus diterabas angin pantai.
"Weh, dedemit mana yang habis mengamuk?" perangah Dongdongka.
"Ke mana pula si Kusumo?" gumamnya.
Masih dengan membopong Satria di bahunya, kakek jelek itu mencari-cari KI Kusumo. Di gubuk yang sudah menjadi tumpukan arang jelas tak ada. Bodoh sekali kalau dia mencari ke sana. Maka dicarinya si Tabib Sakti Pulau Dedemit ke sekitar tempat itu.
Sekian lama mencari, Ki Kusumo tak kunjung ditemukan.
"Ke mana keropos satu ini," gerutu Dongdongka, jengket juga.
Mungkin dia pergi agak jauh, pikirnya. Agar dapat melihat lebih jelas ke tempat yang agak jauh, diputuskannya untuk naik ke puncak pohon kelapa.
"Hup!"
Ringan saja, Dongdongka menggenjot tubuh. Dia melenting ke satu batang pohon kelapa. Kakinya menjejak sekali, lalu tubuhnya melenting lebih tinggi ke pohon kelapa di sebelahnya. Di pohon kedua dia menjejak, menggenjot tubuh lebih tinggi, kemudian mencelat ke pohon kelapa pertama kembali. Begitu seterusnya. Sampai dia tiba di pucuk salah satu pohon.
Di pucuk kelapa berupa bakal daun meruncing yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menahan bobot seberat buah kelapa sekalipun, Dongdongka mulai berteriak-teriak memanggilmanggil Ki Kusumo.
"MooooU Moooo!!! MooooH!"
Tiga kali berteriak 'mooo', dia mulai sadar kalau dirinya malah mirip sapi kelaparan. Usaha sia-sia, pikirnya. Tak tahu ke mana si tabib jelek itu, sumpah serapahnya membatin. Pasti ada kejadian yang tak terduga menyebabkan dia meninggalkan gubuknya. Dalam keadaan hangus pula.
Dongdongka turun. Diletakkannya tubuh Satria di atas pelepah daun kepala. Ditelitinya lagi denyut nadi di leher pemuda tanggung yang kian membiru itu.
"Waduh!"
Dongdongka terperanjat bukan main. Ternyata denyut nadi Satria sudah tak terasa lagi. Benar-benar tak terasa. Biarpun Dongdongka sudah menekan jarinya kuat-kuat atau membiarkannya lama-lama. Baru dia sadar, sewaktu meletakkan Satria, tubuh pemuda tanggung itu terasa sudah agak mengejang. Dedengkot Sinting Kepala Gundul meraba telapak tangan pemuda tanggung itu. Dingin.
Wajah tua bangka itu murung seketika. Satu-satunya kesimpulan: Satria telah mati! Dongdongka lalu berjongkok di sisi tubuh terbaring Satria. Bertopang dagu pula.
"Cah Gendeng.... Cah Gendeng.... Sial sekali nasibmu. Kusumo si tabib jelek itu mestinya ada di sini saat kubutuhkan untuk menawarkan racun di tubuhmu. Tapi dia tidak ada. Gubuknya saja sudah gosong...," ocehnya ngelantur seorang diri. Kepalanya menggeleng-geleng seperti orang linglung.
"Kalau aku, jelas tidak bisa berbuat apaapa. Urusan racun dan segala tai kucing macam itu, mana aku tahu.... Ah, sial benar nasibmu. Padahal, aku yang sudah kelewat 'ngebet' kepingin mati saja, belum juga terkabulkan. E, kau yang masih hijau dengan mulus melangkahiku. Betapa kurang ajarnya kau, eh betapa sialnya nasibmu...."
Sedang sendu-sendunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyesali nasib Satria (nasibnya juga yang sulit mati, barangkali), matanya tertumbuk pada seonggok tubuh. Tergeletak cukup jauh dari tempatnya.
"Nah, itu siapa?"
Dongdongka buru-buru bangkit. Harapannya timbul. Siapa tahu itu Kusumo yang sedang istirahat setelah kecapaian membakar gubuknya sendiri, pikirnya ngaco. Kalau benar, siapa tahu juga nyawa calon muridnya bisa diselamatkan. Tabib sehebat Kusumo tentu tahu mana orang yang benar-benar telah mampus, dan mana yang belum, harapnya lagi.
Sewaktu makin dekat, tua bangka itu malah kecewa. Orang itu nyatanya bukan Ki Kusumo. Melainkan Nyai Cemarawangi. Tergeletak menyedihkan nyaris mendekati bibir pantai. Di bagian dada atasnya terdapat bekas luka menghangus.
Dongdongka meneliti sejenak.
"Iblis Dari Neraka. Kenapa tua bangka jelek itu membunuh perempuan ini...," bisiknya, setelah mengetahui jenis pukulan yang bersarang di dada Nyai Cemarawangi.
Ya, perempuan itu telah menemui ajal. Bukan karena penyakit tak tersembuhkan. Melainkan karena terkena serangan nyasar Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka ketika sedang bertarung sengit dengan Ki Kusumo.
Siapa yang bisa menduga cara kematian menjemput seseorang?
Lalu bagaimana dengan nasib Ki Kusumo?
* * *
Daerah terakhir Tresnasari terlihat berada di sekitar kaki Gunung Sumbing, sudah demikian jauh dari Tanjung Karangbolong. Sejak meninggalkan gubuk Ki Kusumo, Tresnasari terus melarikan kudanya. Berhenti sejenak membiarkan kudanya beristirahat dan makan, lalu pergi lagi. Dia sendiri hampir-hampir tak ingin menyentuh makanan. Tak ada selera lagi. Paling hanya minum beberapa teguk air jika haus begitu mencekik leher.
Berhari-hari berkuda dalam keadaan kekurangan makan seperti itu tentu saja merongrong ketahanan tubuhnya sendiri. Gadis muda itu melemah dan semakin melemah. Sewaktu tiba di sekitar kaki Gunung Sumbing, Tresnasari terjatuh lemas dari atas kudanya. Untuk beberapa saat dia tak sadarkan diri.
Ketika hujan gerimis turun, dia tersadar. Kuda tunggangannya sudah tak ditemukan lagi.
Tresnasari melanjutkan perjalanan tanpa tujuan. Tak peduli apakah tubuhnya masih begitu lemas. Tak peduli harus berjalan terseok-seok lunglai. Sampai akhirnya dia tiba di bibir jurang yang menelannya.
Saat itu tubuhnya meluncur deras menuju kegelapan jurang. Sulit menduga dasar jurang, mengingat wilayah sekitar Gunung Sumbing tergolong daerah tertinggi di tanah Jawa bagian Tengah. Banyak lekukan-lekukan alam dalam membentuk jurang berbatu-batu.
Bukan keputusan untuk melakukan bunuh diri menyebabkan dia jatuh. Keputusasaan memang telah begitu pekat dalam benaknya. Namun, sama sekali belum cukup untuk membuatnya melakukan tindakan bodoh seperti itu.
Kalaupun dia akhirnya tergelincir masuk jurang, penyebabnya karena tubuhnya sudah demikian lemah. Kesanggupan tubuhnya sampai pada batas yang tak bisa lagi dipertahankan nya. Sewaktu berdiri di bibir jurang, matanya mendadak berkunang-kunang. Kepalanya memberat. Pandangan menjadi gelap, segelap dasar jurang.
Ketika itulah Tresnasari tergelincir.
Tresnasari meluncur terus. Kesadarannya timbul-tenggelam. Di dasar jurang, apa yang akan menyambut tubuhnya? Batu-batu berukuran lebih besar dari kerbau?
Lamat-lamat, ketika kesadarannya mulai mengapung, Tresnasari merasakan tubuhnya menghantam sesuatu di dasar jurang. Bukan sesuatu yang keras. Bukan batu cadas besar. Bukan semak atau pepohonan. Sesuatu yang lain, yang telah menyelamatkannya dari kematian.
Meski begitu, tak urung dia merasakan ada tulang di pangkal lengannya patah. Rasa sakit luar biasa menyergap.
Selebihnya kegelapan dan keheningan. Karena Tresnasari tak sadarkan diri.
Waktu berlalu.
Pagi hari menjelang. Matahari menghangatkan wajah bumi. Namun kekuasaan sinarnya tidak sanggup mencapai dasar jurang tempat Tresnasari terjatuh. Mulut jurang terlalu sempit dengan bagian bawah semakin melebar. Tak mungkin bagi sinar matahari untuk menerobos langsung sampai ke dasarnya. Hanya pantulanpantulan sinar dari mulut jurang saja yang bisa memberi sedikit penerangan.
Di dasar jurang, kabut pekat masih menggumpal-gumpal seolah enggan enyah. Dingin meraja.
Tresnasari tersadar. Keluh perlahannya terdengar. Perlahan gadis muda itu menggerakkan badan. Kepalanya diangkat agak berat.
Setelah beberapa saat, baru dia dapat mengingat-ingat kejadian apa yang telah menimpanya.
"Apakah aku telah mati?" tanyanya ragu. Karena sepanjang ingatannya dia telah masuk jurang cukup dalam. Satu keajaiban seandainya dia tidak mati.
Gadis itu mencoba mengamati sekitarnya. Pandangannya masih kabur. Meski begitu sudah cukup untuk memperhatikan mulut jurang diatas sana. Juga tebing tanah berbatu yang nyaris tegak. Beberapa pohon tampak tumbuh di tebing, seakan tangan-tangan makhluk dasar bumi yang menjulur keluar.
Tresnasari bergidik sendiri. Rasa dingin menggigit menyebabkan bulu kuduknya meremang demikian hebat.
"Aneh," bisiknya.
"Aku benar-benar masih hidup...."
Dicobanya bangkit. Baru saja dia berusaha menggerakkan tubuh lebih jauh, mulutnya mengeluh. Tulang pangkal lengan di bahunya terasa demikian sakit. Pasti ada yang patah. Sambil mendekap bahu yang direjam nyeri, Tresnasari meneruskan niat. Sebelum dia benar-benar berdiri, dia dikejutkan oleh sesuatu selama ini ditumpanginya.
"Apa ini?" tanyanya heran, mengurungkan niat untuk bangkit.
Kabut tebal kira-kira setinggi lutut di dasar jurang menyulitkannya mencari tahu. Penasaran. Tresnasari mempergunakan tangannya untuk meraba-raba. Mendadak dia tersentak bangkit. Wajahnya berubah memucat. Parasnya dilanda garis keterkejutan yang berbaur dengan ketakutan.
"Mayat...," bisiknya, mendesis.
Dia yakin benar pada rabaan tangannya. Bahwa yang selama ini ditumpanginya adalah tubuh manusia mati. Dan begitu kabut sedikit menyingkir, Tresnasari dibuat lebih terperanjat, Ternyata di tempatnya jatuh tidak hanya ada satu mayat. Melainkan lebih dari sepuluh mayat lelaki! Semuanya saling tumpang-tindih. Keadaan mayat-mayat itu mengerikan. Seluruhnya telah kehilangan Kepala!
Rupanya, tumpukan bangkai tanpa kepala itulah yang telah menyelamatkan nyawanya. Dia terjatuh di atasnya hingga nyawanya tak harus terlempar.
Tresnasari tersurut mundur beberapa tindak. Sampai tebing menghadangnya.
"Perbuatan biadab siapa ini?" desisnya bergidik.
Jawaban dari pertanyaan yang sesungguhnya ungkapan kengerian itu adalah sebentang tawa terkikik. Melengking. Meninggi. Mencelatcelat dari sisi-sisi tebing.
"Hi hi hi hi!"
Tawa seorang wanita tua. Mendirikan buluroma.
Menyusul kemudian kelebatan cepat bagai sosok hantu dari satu sudut gelap jurang. Bayangan itu berhenti di atas sebuah batu paling besar berbentuk mirip tengkorak kepala manusia berukuran dua ekor banteng.
"Sss... siapa kau?!" tanya Tresnasari. Nadanya tercekat. Kalaupun ada keberanian yang mengalir dalam diri gadis berjiwa pendekar itu, tak urung dia digebah ketakutan. Ini bukan satu pengalaman yang terbiasa dihadapi seperti bertarung dengan seorang lelaki beringas. Di luar itu, Tresnasari merasa sedang berhadapan dengan siluman perempuan. Pengalaman seperti itu tak pernah dialaminya. Itu yang menyebabkan ketakutannya terjangkit.
"Hi hi hi!"
Jawaban pertanyaan Tresnasari sekali lagi disambut dengan kikik mendenging.
Napas si gadis muda memburu. Ditatapnya sosok bayangan yang berdiri dalam kungkungan kegelapan.
"Kuharap, kau mau mengatakan padaku, siapa kau sebenarnya?" ulang Tresnasari, memberanikan diri.
"Lucu!" sentak wanita tua yang belum lagi menampakkan rupanya.
"Pada saat aku sedang merindukan murid, tiba-tiba saja ada bocah perempuan jatuh dari langit! Hi Hi Hi!" lengkingnya jauh lebih meninggi dari sebelumnya, seakan dia mendapat kegembiraan tak alang kepalang.
"Apa maksudmu?"
"Apa maksudku?" Suara si nenek terdengar meraung. Ada nada mengancam. Ada hawa menakutkan.
Dari atas batu tempatnya berdiri, si nenek melangkah. Melangkah, dan melangkah. Sampai pantulan cahaya pagi dari bibir jurang menerangi wajahnya,
Mata Tresnasari dibuat membelalak menyaksikan wajah perempuan tua menggidikkan itu. Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat kemerahan. Sekeliling matanya berwarna biru. Wajah perempuan itu dipenuhi keriput bercampur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut. Tak terlihat kalau wajah nenek itu dialiri darah.
Pakaian yang dikenakannya sudah tak lagi menunjukkan kewajaran seorang manusia. Mengenakan baju dari bahan yang biasa dipakai untuk kain kafan. Sudah tercabik-cabik parah. Kotor. Juga menebar bau bangkai menyengat.
"Kau pikir bisa menolak dari ketentuanku!" geram si nenek. Ditatapnya bulat-bulat Tresnasari dengan sudut mata.
"Ak... aku tak mengerti maksudmu, Nek...," kata Tresrnasari terbata. Langkahnya makin tersurut di sepanjang sisi tebing. Sementara si nenek terus mendekatinya. Perlahan. Selangkah demi selangkah.
Tanpa mengacuhkan ucapan si gadis yang ketakutan, nenek buruk rupa itu menengadah ke bibir jurang. Borok di lehernya tertarik, menyebabkan lendir nanah keluar. Menjijikkan! Lalu terdengar teriakannya. Lebih mirip dengking panjang binatang malam.
"Aku dapat murid!!! Hi hi hi!"
--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--
Lalu, tiba-tiba bisa saja berubah sama sekali. Menjadikan segala kejadian menjadi sulit dimengerti.
Satu misal, Dongdongka. Sungsangsungbel dia berusaha agar Satria bisa jadi muridnya. Namun belakangan, si pemuda tanggung malah modar dibantai racun. Seperti telah diketahui, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa Satria telah menemui ajal. Selama hampir setengah harian, orang tua bertabiat aneh itu tak beranjak dari sisi tubuh Satria. Berjongkok saja seperti orang yang terlalu khusuk buang hajat. Sementara itu, mulutnya terus ngoceh tanpa juntrungan tentang kesialan nasib si pemuda tanggung.
Setelah puas, baru terpikir olehnya untuk segera mengubur tubuh si pemuda malang. Lantas, melayap ke mana saja pikirannya untuk melakukan hal itu selama setengah harian? Sedangkan jenazah Nyai Cemarawangi pun dibiarkan terbengkalai.
Mulailah Dongdongka menggali tanah berpasir yang agak jauh dari bibir pantai. Hanya dengan menggunakan bambu kuning sebesar jari, dia menggali tanah. Caranya? Soal cara, dia tak begitu tahu cara lebih sopan ketimbang penggali kubur. Namun bicara soal kecepatan, ternyata dia jauh lebih cepat menggali dari seribu satu penggali kubur mana pun.
Pertama-tama, bambu kuning ditancapkan di atas tanah seperti menusukkan batang lidi ke dalam tepung. Kemudian ujung bambu yang masih berada di luar mulai diputar-putarnya.
Wrrrr!
Saat itu juga tanah berhamburan. Lobang di bagian bambu yang menancap semakin lama semakin membesar, membesar, dan membesar. Tak sampai sepeminum teh, sudah tercipta lobang besar. Di luar rencana, ukuran lobang malah kebesaran. Setidak-tidaknya cukup untuk mengubur dua ekor kerbau hamil!
"Gara-gara terlalu enak melobangi..." gumamnya sambil meringis membayangkan 'lobang' yang lain. Ini manusia memang sinting. Katanya sudah kebelet mau mati, tapi pikirannya tetap saja mesum!
Lobang selesai. Tubuh Satria pun diangkatnya. Tak perlu dikafani, pikir Dongdongka. Hanya merepotkan dia saja. Sudah bagus dia mau menguburkan! Kalau tak ada pikiran segila itu di otaknya, mana mungkin dia punya julukan Dedengkot 'Sinting' Kepala Gundul?
"Nan, beristirahatlah dengan santai...," katanya, memberi ucapan terakhir pada Satria. Lalu....
Bruk!
Dilemparkan begitu saja tubuh Satria ke dalam lobang. Mulai ditimbuninya tubuh Satria dengan tanah. Baru seperempat lobang tertimbuni, matanya menyipit mendadak. Dia melihat timbunan tanah bergerak-gerak. Seperti ada sesuatu yang beringsut perlahan di dalamnya.
"Gila, daerah apa ini? Cacing-cacingnya kenapa begitu tak sabaran. Aku belum lagi selesai menimbun tanah...," gerutu Dongdongka.
Kakek aneh itu acuh lagi. Diteruskannya menimbuni tanah dengan kakinya. Baru satu-dua tarikan napas, timbunan tanah bergerak lagi.
Rasa penasarannya terpancing juga. Kedongkolan pun mulai pula merayap. Mau diberi pelajaran cacing-cacing ini barangkali, rutuknya dalam hati. Dongdongka pun berjongkok. Pokoknya, kalau sedikit saja terlihat ubun-ubun seekor cacing, akan langsung dipentungnya dengan bambu kuning. Memangnya cacing punya ubunubun apa?
Sewaktu makin dekat memperhatikan timbunan tanah, mendadak saja ada sesuatu menerobos keluar. Kontan Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlonjak. Tinggi, tinggi sekali.... Di udara mulut peotnya melepas teriakan kaget diselingi sumpah serapah.
Namun ketika menyaksikan benda apa yang menerobos keluar, mulutnya langsung berubah haluan. Semula memaki-maki, kini malah tersenyum lebar disertai teriakan gembira. Sebab yang dilihatnya adalah tangan Satria. Disusul kepala dan dada pemuda tanggung itu keluar dari timbunan tanah!
Tiba di tanah, Dongdongka bersorak-sorak. Dia berteriak-teriak lebih gila dari orang gila di pojok bumi mana pun. Dia melonjak-lonjak. Dia
berjinjit-jinjit.
"Kau hidup kembali, Cah Gendeeeeeeeng!" serunya panjaaaaang!
Satria yang masih duduk dengan setengah tubuh tertimbun tanah menatap tua bangka itu terlolong-lolong. Memangnya sejak kapan aku mati? Bisik hatinya keheranan. Sebab yang diingat terakhir kali, dia sedang bertarung dengan Dirgasura. Lalu ada sesuatu yang menembus punggungnya. Setelah itu dia tak sadarkan diri.
Kulit pemuda tanggung itu sudah tak lagi membiru. Tampaknya, racun yang mengendap dalam tubuhnya telah musnah sama sekali. Tentu bukan satu hal yang cukup ajaib jika hal itu terjadi. Karena selama ini dia telah meminum Ramuan Pulau Dedemit racikan Ki Kusumo. Ramuan yang membuatnya kebal terhadap segala jenis racun paling ganas.
Selain itu, bekas luka yang menembus punggung hingga ke dadanya sudah mengering sama sekali. Bahkan sudah tampak memulih. Benar-benar ramuan ampuh yang diberikan KI Kusumo selama ini!
Sewaktu Dongdongka menyangka Satria mati, jaringan badan pemuda tanggung itu sendiri sedang melakukan perlawanan keras terhadap racun ganas. Akibat langsung yang ditimbulkan adalah berhentinya denyut nadi beberapa saat.
Untung saja si manusia uzur bertingkah tengik tak buru-buru menguburnya. Kalau tidak, Satria akan benar-benar mampus. Dijamin!
"Apa yang telah terjadi padaku, Kakek Gundul?" tanya Satria. Beringsut dia bangkit dari timbunan tanah. Matanya menatapi sekitar lobang, padat kesan keheranan.
"Apa yang terjadi?! Hua ha ha! Kau mati, tahu! Dan tahu-tahu kau hidup lagi. Ini baru seru, baru seru!"
"Aku sama sekali tak mengerti?"
"Kau pikir aku juga mengerti?" perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Jadi apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Satria dibuat makin penasaran. Dia keluar dari lobang. Berjalan gontai ke dekat Dongdongka, Sebatang pohon kelapa rebah didudukinya.
"Kau ingat, kalau kau sedang terlibat perkelahian sengit dengan manusia bongsor jelek di Kadipaten Pandan, kan?"
Satria mengangguk.
"Nah, ketika kau sudah hampir membuat mampus manusia bongsor jelek itu, tahu-tahu ada panah menembus punggungmu... cep! Siapa lagi kalau bukan anak buah si manusia bongsor jelek yang melakukan itu padamu! Kau tahu, anak panah itu beracun...." Mulut Dongdongka memonyong.
"Racun guuuaaaanas! Wih, ngeri aku!"
Satria mengangguk-angguk pelan.
"O, jadi karena itu aku tak sadarkan diri?" gumamnya.
"Bukan cuma tak sadarkan diri, tahu! Kau malah mati. Mampus, tahu?!" pelotot Dongdongka, ngotot.
"Tapi, aku kok masih hidup?"
"Bukan masih hidup, tahu! Yang benar, kau telah hidup kembali...."
"... tahu?!" serobot Satria, kesal dengan ekor kalimat Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang membosankan.
Dongdongka manyun.
"Lalu bagaimana dengan nasib gadis itu?" susul Satria. Yang dimaksud tentu Mayangseruni.
"Gadis yang mana?"
"Gadis yang ikut bertarung denganku melawan Dirgasura."
"Dirgasura siapa?"
"Manusia bongsor jelek itu."
"O, si 'Jangan Ribut Dewa' itu bernama Dirgasura ya...."
"Jadi ke mana gadis itu?"
"Gadis itu? Gadis yang pakai dua pedang itu, kan?"
"Iya...." Lama-lama, bisa terkena serangan darah tinggi juga Satria.
"Dia sudah kusuruh pergi," tukas Dongdongka, enteng saja.
"Kenapa kau suruh pergi, Kakek Gundul?" protes Satria. Dia masih punya satu urusan penting dengan Mayangseruni. Kuat dugaannya kalau Mayangseruni masih ada hubungan dengan Tresnasari. Bukankah waktu itu dia menanyakan pada Satria seorang gadis yang mirip dengannya?
"Karena dia tak ada urusan denganku. Jadinya kusuruh pergi saja."
"Tapi, aku punya urusan dengannya."
"Mana aku tahu. Kau tidak pernah bilang padaku. Makanya, kalau mau mati ingat-ingat untuk meninggalkan pesan. Mentang-mentang kau keenakan mati waktu itu...." Dongdongka ini 'ngelindur' atau masih sadar? Dianggapnya mati itu semacam tamasya apa? Lagi pula, siapa yang mati?
Satria menggeleng-gelengkan kepala. Pusing tujuh keliling kepalanya menghadapi manusia bertabiat sinting satu ini.
"Ah, sudahlah...," tepis Satria akhirnya. Harapannya cuma bisa bertemu kembali satu hari dengan Mayangseruni.
Satria mengedarkan pandangan.
"Eh, bukankah aku di tempat Ki Kusumo?" tanya Satria kemudian.
"Ho-oh!"
"Kenapa dengan gubuknya?"
"Kusumo kekurangan kayu bakar, barangkali."
Percuma menanggapi sahutan seenak udel Dongdongka. Satria mengedarkan pandangan lagi. Dia merasa ada yang tak beres. Pasti telah terjadi sesuatu di tempat itu, duganya yakin. Diketemukannya jenazah Nyai Cemarawangi.
"Nyai...," sentak Satria, setengah berteriak. Diburunya jenazah perempuan setengah baya malang itu.
"Apa yang terjadi dengannya, Kakek Gundul?!" teriak Satria, ketika tiba di dekat jenazah Nyai Cemarawangi yang mengenaskan keadaannya.
"Jadi dia Nyaimu, ya?"
"Apa yang terjadi?!!" raung Satria. Kegalauannya mendapati Nyai Cemarawangi mati mengenaskan seperti itu menyebabkan dia tak bisa menguasai diri.
"Hey, bukan aku yang membunuhnya?" kilah Dongdongka.
"Siapa?!" dengus Satria. Matanya memerah. Wajahnya terbakar. Kegeraman menanjak demikian cepat ke ubun-ubunnya.
"Kau jangan melotot seperti itu padaku, tahu?!" omel Dongdongka, merasa 'kena getahnya'.
Satria berlari gusar memburu ke arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Siapa yang telah membunuhnya?!" teriaknya serak. Nyaris saja kerah jubah si tua bangka dicengkeramnya.
"Sabar, sabar. Kau jangan seperti cacing kebakaran jenggot, eh kakek kepanasan, eh cacing kakek jenggot, eh cacing kepanasan jenggotnya terbakar, eh cacing jenggot terbakar kakek... aduh, susah amat aku ngomong kalau kau sewot begini!" (Maksud si tua bangka itu sebenarnya; seperti cacing kepanasan. Atau; seperti kakek kebakaran jenggot)!
Napas Satria mendengus-dengus. Dadanya te rlonj ak- lonj ak.
"Aku sudah memeriksa luka di tubuh perempuan itu. Aku mengenal pukulan itu. Biasa orang sebangkotan aku tak mengenal banyak jenis pukulan? Kan keterlaluan?"
"Siapa pembunuhnyaaaa!!" bentak Satria,
kalap.
"Iya! Iya! Busyet kau keterlaluan sekali, Cah Gendeng! Pembunuhnya si kakek jelek : Ageng Sulut... tahu?!"
"Dia akan membayar nyawa Nyai!!" pekik Satria meninggi, mencelat ke angkasa.
"Aku juga berpikir begitu, Cah Gendeng. Tapi kau tak akan sanggup melawannya hua ha ha!"
"Aku tak peduli!"
"Jangan begitu. Setidaknya, kau harus menjadi muridku dulu. Benar, kan?"
Satria melangkah gusar. Mondar-mandir di depan si kakek bertabiat sinting. Sampai kepala klimisnya harus menoleh ke kanan dan ke kiri seperti seekor kakak tua.
"Kau mau menjadi muridku, kan?" tanya Dongdongka, penuh harap.
Satria tidak berniat menyahut. Yang berkecamuk dalam benaknya saat itu cuma kemarahan. Menggelegak. Bergejolak
"Maulah...," rayu Dongdongka.
Satria malah makin cepat mondar-mandir. Menghamburkan pasir pantai dengan langkahlangkah berat gusarnya.
Terus mengikuti gerakan Satria, lama-lama Dedengkot Sinting Kepala Gundul Jadi pusing sendiri. Hidungnya kembang-kempis. Aku jadi mau marah juga nih, gerutunya tak kentara. Akhirnya. ...
"Mau, tahu!!" bentak Dongdongka, sewot.
* * *
Dalam beberapa hari belakangan, Satria dirundung kemurungan. Kerjanya hanya duduk melamun di dekat puing-puing arang gubuk Ki Kusumo. Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih bersamanya. Tak ada hal lain yang ingin dilakukan pemuda tanggung itu, kecuali merenung. Dan tak ada hal lain yang ingin dilakukan Dongdongka, kecuali terus merayu-rayu Satria agar mau menjadi muridnya.
Kepergian Tresnasari beberapa waktu lalu sudah begitu memukul batinnya. Benih cinta pertamanya seperti dibawa lari dengan kepergian tanpa pesan gadis ayu itu. Belum lagi Tresnasari diketemukan, Nyai Cemarawangi menemui ajal dengan cara amat menyedihkan. Dua kali batin Satria tertinju. Dua kali dia kehilangan. Jiwanya dipenuhi lebam.
Bagi Satria, Nyai Cemarawangi sudah begitu dekat dengan dirinya. Perhatian yang dicurahkan Nyai Cemarawangi pada dirinya layaknya seorang Ibu terhadap anak. Ketulusannya mengguyur hati Satria, memberinya kesejukan. Kebaikannya ibarat lampu penerang ditengah kegelapan. Ya, pada saat Satria merasa kesepian karena tak pernah tahu menahu banyak perihal tentang diri dan asal-usulnya, Nyai Cemarawangi datang menawarkan kasih seorang ibu.
Lantas, bagaimana Satria tidak merasa kehilangan?
Walaupun sebenarnya pemuda tanggung itu amat tahu kalau Nyai Cemarawangi cepat atau lambat akan menemui ajal juga. Penyakit mematokkan usianya. Tuhan berkehendak begitu. Tapi, Satria tak akan sudi menerima cara kematian yang dialami oleh Nyai Cemarawangi. Kalau saja tak ada manusia keji yang merenggut nyawanya, tentu perempuan welas-asih itu masih bisa menikmati hari. Setidaknya dia masih bisa menikmati harapan untuk bisa sembuh.
Sesak terasa dada Satria.
Sekarang, ke mana pula Ki Kusumo? Keluhnya membeban. Seperti juga Tresnasari dan Nyai Cemarawangi, kakek itu pun termasuk orang yang sudah telanjur dekat dengan Satria. Kesalahannya tak jujur pada Satria tentang penyakit Nyai Cemarawangi, bukanlah hal yang tak termaafkan. Pemuda tanggung berhati sebening permukaan pualam dan sekokoh baja itu yakin, Ki Kusumo memiliki alasan sendiri. Satria bahkan telah memaafkannya. Kalau ingat kebaikan Ki Kusumo selama ini, dia jadi kian diombangambing rasa kehilangan.
Lamat-lamat Satria terkenang kembali seluruh pintalan hari-harinya bersama Tresnasari, Nyai Cemarawangi, dan Ki Kusumo. Hari-hari yang penuh tantangan, namun juga kegembiraan. Hari-hari yang berat, tapi sekaligus sarat kebahagiaan.
Sampai semuanya direnggut darinya. Dirampas. Dileburkan....
Satria gusar. Ada dendam. Sulit untuk menunjukan dendam itu pada siapa, Pada Tuhan? Tak mungkin. Apa pun yang dikehendaki-Nya, adalah kebaikan bagi setiap manusia. Satusatunya orang yang bisa disalahkan adalah Ki Ageng Sulut Iblis Dari Neraka!
"KI Ageng Sulut...," bisik Satria. Nadanya diayun dendam.
Di belakangnya, Dongdongka tiba.
"Ayolah, Cah Gendeng. Kau mestinya mau menjadi muridku. Bukankah kau ingin membalas perbuatan Ageng Sulut sialan terhadap Nyaimu?" rayu Dongdongka, suatu kali. Dia sudah kehabisan akal menghadapi kemurungan Satria yang menjadi-jadi.
"Dia bukan Nyaiku, Kek. Tapi, dia orang yang begitu ku sayangi tiga tahun terakhir ini..." desah Satria.
"Aku tidak peduli. Mau Nyaimu atau bukan, yang penting kau mau menjadi muridku!"
Satria mendadak bangkit. Dia berbalik. Ditatapnya mata tua Dongdongka. Ada sepercik bara terbakar dalam pandangannya.
"Jadi, hanya itu yang kau pedulikan?" sindir Satria terseret.
"Kau hanya peduli aku bisa menjadi muridmu dan menurunkan kesaktianmu yang hebat itu? Kau hanya ingin dirimu senang!"
Lalu ditinggalkannya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan langkah terbanting.
Kesewotan Dongdongka terpancing. Terbungkuk-bungkuk, diikutinya langkah Satria.
"Kau jangan bertingkah tengik seperti itu, Cah Gendeng! Kau pikir kau ini siapa, hah?! Tak ada seorang pun yang berani menampikku, tak ada yang punya nyali meremehkanku, apalagi sampai membentakku!!"
Satria tak peduli.
"Kau memang bocah gendeng tak tahu diuntung! Ratusan pendekar tanah Jawa telah kutolak mentah-mentah. Padahal mereka hanya memohon agar aku sudi menurunkan pada mereka satu-dua kesaktian! Kau tahu itu?! Kau dengar itu?!"
Satria tetap jalan. Malah langkahnya dipercepat.
Dongdongka terus mengikuti. Wajahnya makin porak-poranda karena merasa dijadikan bulan-bulanan tingkah bocah bau kencur!
"Berhenti, Cah Gendeng! Kau harus mendengarkan perkataanku! Kalau tidak...."
"Kalau tidak apa?!" mendadak Satria berbalik. Ditantangnya tatapan membelalak-belalak Dongdongka.
"Kalau tidak... kalau tidak...." Dongdongka kehabisan kata-kata. Pemuda sial, rutuknya dalam hati. Kenapa selalu saja tatapan mata tajamnya membuat aku sulit bicara.
"Kalau tidak, kau akan membunuhku semena-mena seperti Ki Ageng Sulut membunuh Nyai Cemarawangi?!" gempur Satria, makin menyudutkan Dongdongka.
"Huh!"
Didahului dengusan, Satria berjalan kembali.
"Aku tak akan melakukan itu, Cah Gendeng! Aku bukan Ageng Sulut jelek itu! Dia itu kejam, aku tidak. Mungkin sedikit-sedikit... maksudku, biarpun aku sinting, tapi masih punya rasa kemanusiaan. Hey, Cah Gendeng!"
Satria terus mengayuh langkahnya, meninggalkan Dongdongka yang berdiri tanpa berani mengikuti. Tapi mulutnya terus saja mencerocos.
Ketika Satria menghilang dari pandangan
"Cah Gendeng, Cah Gendeng! Kau tak bisa berbuat begitu padaku. Tak bisa. Kau harus menolong aku. Hu... hu hu huuuuu!"
Sang sesepuh sinting para sepuh dunia persilatan menjatuhkan dirinya ke atas pasir. Dengan tertelungkup seperti bocah kecil, dia menangis sesegukan.
Sore harinya Satria baru kembali. Setengah harian itu, dia menguapkan segala kegundahannya dengan berjalan menyusuri pantai Karangbolong. Menikmati pemandangan laut dan angin segar, membuat pikirannya jadi agak jernih.
Sampai di dekat puing-puing gubuk, Satria dibuat terheran-heran dengan perbuatan Dongdongka. Orang tua yang selalu bertingkah sinting itu sedang tertelungkup. Bahunya bergonjanggonjang. Kegilaan macam apa lagi yang sedang dilakukannya? Tanya hati Satria.
Satria mendekat.
Kian dekat, telinganya makin jelas mendengar sesegukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Astaga, dia menangis! Perangah Satria. Cepat-cepat dihampirinya Dongdongka. Diangkatnya bahu kurus kakek sakti itu perlahan. Sesintingsintingnya orang tua itu, Satria tak akan tega membiarkannya terombang-ambing dalam kesedihan.
"Kenapa kau menangis, Kek?" tanya Satria. Suaranya tak sepedas sebelumnya. Sekarang terdengar lembut, bersahabat. Juga penuh kasih.
Dongdongka buru-buru menyapu air matanya. Dengan air mata masih menggenang di kelopak mata bawahnya ditatapnya Satria nanap.
"Aku sedih karena kau tak sudi menjadi muridku...," ucapnya perlahan.
"Apa?" Satria tersentak. Satria terhenyak. Tak disangkanya kalau kepiluan si orang tua ternyata bermuasal dari dirinya. Dari penolakannya menjadi murid Dongdongka. Pemuda tanggung itu terduduk lunglai. Betapa berdosanya dia telah membuat orang tua menjadi sesedih itu.
Satria bisu. Diam seribu bahasa. Wajahnya tertunduk. Pandangannya terjatuh ke butiran pasir. Tak kuasa lagi ditatapnya mata Dongdongka.
"Kau tahu, Cah. Aku sudah demikian muak dengan dunia ini. Usiaku sudah terlalu uzur. Telah terlalu lama aku hidup. Sampai aku bosan dengan segala kebusukan manusia. Bosan dengan kemunafikan, bosan dengan keculasan, bosan dengan kebiadaban, bosan dengan segala tipu daya mereka..." tutur Dongdongka terbata. Satu-satu. Pada saat itu, seperti hilang menguap segala kesintingannya selama ini. Pada saat itu pula, tak ada kesan sebersit pun kalau dia adalah seorang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa yang demikian disegani dan ditakuti. Semuanya pupus, dihisap oleh gelombang lara dalam dirinya.
"Sudah lama aku memimpikan dapat meninggalkan dunia. Aku begitu ingin mati. Tapi segenap kesaktianku menyebabkan aku menjadi sulit untuk begitu. Rasanya aku akan semakin lama dijejali kebusukan dunia ini jika kesaktianku masih tetap kumiliki...," sambung Dongdongka.
"Karena itu aku harus mencari seorang murid. Murid yang dapat kuberikan seluruh kesaktianku. Dengan kuserahkan segala kesaktianku, aku akan menemui ajal dengan tenang. Namun, aku tidak bisa sembarangan menurunkan ilmuku. Kau tahu, semakin banyak saja manusia yang sulit dipercaya di dunia ini. Seringkali amanat dikhianati hanya karena keinginan kecil."
Dongdongka menghentikan penuturannya beberapa saat. Dihelanya napas berat. Seakan sedang mengangkat beban yang demikian berat dari dadanya.
"Lalu aku bertemu kau. Beberapa lama kuperhatikan kau. Sampai akhirnya aku tahu, aku yakin kalau kaulah yang pantas untuk menerima amanat ku. Kau orang yang pantas untuk menjadi muridku, Cah...."
Wajah Dongdongka terjatuh.
"Sayang, kau tak sudi menjadi murid tua bangka macam aku," desahnya, terdengar lirih.
"Padahal, kau bocah baik. Kau berhati mulia. Kau pantas menjadi seorang pendekar besar yang menerima kesaktianku...."
"Cukup, Kek," tahan Satria. Dia tak kuasa mendengarkan penuturan yang mengiris-ngiris perasaannya.
Keduanya terdiam. Beberapa lama.
"Baiklah. Aku bersedia menjadi muridmu...," ucap Satria, akhirnya.
Dongdongka menatap dengan sinar mata tak percaya. Genangan air mata di kelopak mata bagian bawahnya semakin mengembang. Senyum tuanya mekar, berbareng dengan jatuhnya bulir bening dari kedua mata berkerutnya.
Dan dipeluknya si pemuda tanggung kuat-
kuat.
Angin mempermainkan nyiur. Ombak memperdengarkan debur. Senja pun luruh di batas waktu. Semuanya menyaksikan. Bukankah ketulusan hati membuat segalanya menjadi begitu damai?
--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--
Terhitung sudah puluhan jurus telah berlalu. Pertarungan mereka tetap saja sengit. Alot. Tanpa ada tanda-tanda akan segera berakhir. Keduanya memang sama-sama tangguh. Kesaktian masing-masing tak diragukan. Sementara waktu telah menelan perkelahian mereka cukup lama. Sudah hampir satu hari penuh.
Bertarung dalam waktu demikian lama tentu akan banyak menyita tenaga. Apalagi bagi dua lelaki berusia senja seperti mereka. Namun, sekali lagi nama besar Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Iblis Dari Neraka bukanlah sekadar omong kosong. Perkelahian yang sengit menguras tenaga itu nyatanya tak membuat keduanya kehilangan kegarangan.
Sementara itu, baik Ki Kusumo ataupun Ki Ageng Sulut sudah sama-sama mengalami luka. Tak bisa dibilang remeh. Menilik sudut bibir dan hidung mereka yang mengeluarkan darah, setidaknya telah bersarang luka dalam cukup parah. Itu pun tetap tak mengurangi keampuhan pertukaran serangan keduanya.
Mereka benar-benar tangguh, perkasa seperti dua ekor naga jantan tua.
Melampaui seratus jurus, mulai tampak kedigdayaan Ki Ageng Sulut dalam penguasaan kesaktian. Perlahan tapi pasti, Ki Ageng Sulut merayap mengungguli lawannya. Pada saatnya, dia sudah berada di atas angin. Tak percuma dia sesumbar sebelumnya pada Ki Kusumo.
Jurus demi jurus mengalir bagai amukan air bah.Tenaga dalam berbentrokan.Kegesitan dan kecepatan saling memburu.Teriakan tarung memenggal satu sama
lain.Keduanya tetap bagai naga tua!
Sampai suatu ketika....
"HiaaaH!"
Dash!
Dari medan laga yang terlihat seperti pusingan angin puting beliung, tubuh Ki Kusumo terlempar. Deras. Keras. Mulutnya menyemburkan darah segar. Selang meluncur lebih dari sepuluh tombak ke belakang, punggung Ki Kusumo menghantam telak-telak bukit karang besar.
Kakek perkasa itu jatuh melorot. Dia kehilangan taji tarungnya.
Di sana, Ki Ageng Sulut berdiri menyeringai. Matanya mencemooh tegas-tegas ke arah lawannya. Di sudut bibirnya merembes darah. Namun dia tahu, lukanya tak separah lawan. Masih bisa dia berdiri gagah. Masih sanggup dia menggempur hingga seratus jurus lagi. Sedangkan lawannya kini?
"Sekarang kau baru menyadari siapa aku sesungguhnya, bukan?! Ageng Sulut, Iblis Dari Neraka. Raja diraja kesaktian. Momok dunia persilatan!" sesumbar Ki Ageng Sulut, congkak. Selama berkata, ditepuknya dada.
Ki Kusumo berupaya bangkit. Dadanya sesak. Seperti ada beton sebesar banteng menindihnya. Napasnya terseret. Tangannya mendekap dada. Baru sempat menggerakkan tulang punggungnya, darah sudah termuntah lagi dari mulutnya.
"Terkutuk kau Ki Ageng Sulut!" sumpah Ki Kusumo, nyaris tak kentara.
Ki Ageng Sulut tertawa. Suaranya tidak seperti orang tertawa. Terdengar lebih mirip dengking keledai gusar. Dia mendengar jelas serapah lawannya. Biarpun jaraknya cukup jauh dan diucapkan samar oleh Ki Kusumo.
"Kau sudah tak bisa lagi melawanku, Kusumo. Kenapa tak mengaku kalah saja?!" cemooh Ki Ageng Sulut tak puas.
"Aku memang terluka parah. Namun tak berarti aku akan menyerah padamu!" tandas Ki Kusumo mendesis datar.
"Tak menyerah? Tak menyerah?" Ki Ageng Sulut tertawa lagi. Suara tawa yang memuakkan di telinga siapa pun.
"Kau akan segera mampus, Kusumo. Sebaiknya kau sadari itu. Aku akan memberimu kesempatan untuk hidup, bahkan untuk seratus tahun lagi. Syaratnya, kau harus...."
"Tidak!" terabas Ki Kusumo tegas.
"Keparat!"
"Jangan kau mengira aku akan sudi menolongmu menyembuhkan penyakitmu. Terkutuklah kau Ki Ageng Sulut. Semoga penyakitmu merongrongmu selama hidup!"
Rahang Ki Ageng Sulut mengeras. Kejang. Tegang. Terdengar gemeletuk dalam.
"Kau keras kepala! Aku bersumpah, kau akan menyesal...."
"Kau ingin membunuhku? Lakukan, Iblis Dari Neraka terkutuk! Lakukan!" tantang Ki Kusumo. Dia berusaha mengangkat dada. Sekali lagi, darah termuntah keluar dari mulutnya.
Tangan Ki Ageng Sulut mengeras, menyusul rahangnya. Akan dibunuhnya Ki Kusumo. Dibunuhnya! Kepala lelaki tua itu akan diremukkan dengan satu pukulan jarak jauh. Dia bersumpah! Namun, itu tak mungkin dilakukan. Ki Ageng Sulut menyadari benar, Ki Kusumo memegang kartu yang menentukan.
"Kenapa kau terdiam? Bukankah kau begitu ingin membunuhku?" ledek Ki Kusumo.
Tidak mungkin Ki Ageng Sulut membunuhnya! Tak mungkin!
Ki Kusumo berusaha tertawa. Sulit. Menarik napas pun sudah demikian susah payah. Baik dirinya maupun lawan, sama-sama tahu kalau dirinya dibunuh maka tak ada lagi yang bisa menyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut. Tak seorang pun. Kalaupun ada, maka tabib itu berada amat jauh dari tanah Jawa. Mungkin di negeri Tiongkok. Tapi itu pun tak menjamin dengan mudah ditemukan. Lagi pula, penyakit Ki Ageng Sulut mempunyai pantangan. Dia tak boleh terkena air laut di bagian kulit mana pun. Karenanya tak ada alasan baginya untuk mengambil resiko menyeberangi samudera. Tepatnya, dia tak cukup berani melakukan itu!
Sedang di tanah Jawa ini, hanya Ki Kusumo satu-satunya tabib yang dapat diandalkan untuk menyembuhkan penyakit Ki Ageng Sulut.
Si Iblis Dari Neraka tersudut. Kendati posisinya berada di atas saat itu.
Penyakit apa yang diderita tokoh sesat ini? Penyakit menjijikkan yang telah merongrongnya selama berpuluh tahun. Di dadanya tumbuh semacam jamur yang membusukkan kulitnya. Mula-mula hanya terdapat di satu bagian kecil dada kanannya. Makin hari, jamur itu tumbuh makin membesar. Melebar. Kulitnya memerah, lalu mulai membusuk. Dari kulit, jamur itu merambat membusukkan dagingnya!
Selang beberapa puluh tahun, penyakit menjijikkan itu telah memakan seluruh dada Ki Ageng Sulut. Sekujur dada kakek bengis itu kini hanya dipenuhi daging busuk berwarna merah kehitaman. Berlendir dan selalu mengeluarkan nanah. Anehnya, tak ada sedikit pun bau menebar darinya!
Ketika mengetahui ada seorang tabib yang dipercaya kalangan Kerajaan Majapahit beberapa puluh tahun lalu, Ki Ageng Sulut berusaha segera menemuinya.
Pertama kali bertemu, Ki Ageng Sulut datang layaknya orang baik-baik. Bahkan dia dapat meyakinkan Ki Kusumo hingga mau menjadi seorang teman dekat baginya. Mereka makin dekat. Dan Ki Kusumo pun menyanggupi dapat menyembuhkan penyakitnya itu.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sewaktu Ki Kusumo tahu sepak terjang calon pasiennya di dunia persilatan, dia mengurungkan niat mengobati.
Tentu saja Ki Ageng Sulut menjadi gusar. Kesaktiannya yang sudah menjadi momok menakutkan saat itu, hendak dimanfaatkan untuk memaksa si Tabib Sakti. Kala yang sama, Ki Kusumo telah menyepi ke Pulau Dedemit.
Ki Ageng Sulut hendak menyatroninya. Sayang, bentangan laut menyurutkan tekadnya. Hatinya kecut membayangkan tubuhnya akan dengan cepat membusuk ketika terpercik air laut.
Bertahun-tahun Ki Ageng Sulut mengintai kemunculan Ki Kusumo ke tanah Jawa setiap lima tahun sekali. Namun selama itu, tak pernah sekali pun dia sanggup melacaknya. Apalagi menemukannya. Kini, setelah berusaha sekian tahun akhirnya ditemukan pula tabib sakti itu.
Sebenarnya, Ki Ageng Sulut tak perlu memaksa Ki Kusumo untuk merawatnya sekian lama. Ketika pertama kali tabib kesohor bukan saja di seantero tanah Jawa namun sampai ke negeri seberang itu menyanggupi akan mengobati penyakit Ki Ageng Sulut, dia pernah menjelaskan obatnya.
"Penyakitmu akan bisa disembuhkan dengan rendaman ekor pari pelangi. Satu makhluk laut yang hanya pernah hidup di Laut Jawa dua ratus tahun lalu," kata Ki Kusumo waktu itu.
"Apakah kau memilikinya?" tanya Ki AgengSulut
Ki Kusumo mengangguk.
"Bagus!"
Karena tak mempunyai prasangka apa pun terhadap calon pasiennya, kecuali rasa persahabatan, Ki Kusumo mengungkapkan lagi.
"Sayang, aku telah menyatukannya menjadi satu bagian senjata pusaka, Kail Naga Samudera!"
Begitu pernah diungkapkan Ki Kusumo pada Ki Ageng Sulut. Jadi, si Iblis Dari Neraka hanya perlu memaksa Ki Kusumo berbicara mengenai tempat penyimpanan senjata pusaka Kail Naga Samudera.
"Katakan padaku di mana kau sembunyikan Kail Naga Samudera, Kusumo!" tekan Ki Ageng Sulut
"Aku tahu pada akhirnya kau akan menuntut benda itu!"
"Jangan banyak cincong! Katakan saja di mana benda itu!"
"Kau memang bodoh, Ki Ageng Sulut! Kenapa kau pikir aku akan memberikan Kail Naga Samudera padamu?!"
"Bedebah keparat!"
"Dan kebodohanmu itu pun telah menyebabkan kau membuang tenaga sia-sia bertarung denganku. Kau tahu bukan, aku tetap tak akan memberikan Kail Naga Samudera padamu!"
"Semestinya kau memang kubunuh, Ku-
sumo!"
"Di situlah kebodohanmu yang lain. Kau sebenarnya pun tahu, kalau kau membunuhku kau tak akan mendapatkan Kail Naga Samudera selamanya! Dan membusuklah tubuhmu perlahan-lahan sampai ajal menjelang..."
Ki Ageng Sulut mendengus-dengus. Tanpa diduga oleh Ki Kusumo, manusia sesat keji itu berkata, "Kau salah menduga tentang diriku, Kusumo. Kalau kenyataannya kau tak akan memberikan Kail Naga Samudera padaku, maka sama saja bagiku untuk membunuhmu atau tidak membunuhmu! Lagi pula, aku akan lebih puas mati membusuk setelah kau kubuat mampus!"
Sadarlah Ki Kusumo kini bahwa dirinya terlalu mudah menduga Ki Ageng Sulut. Semestinya, orang tua itu menyadari kalau manusia macam Ki Ageng Sulut sering sulit diduga tabiatnya.
Sang tabib sakti menegang.
Nyawanya dirasa sudah sampai di tenggo-
rokan.
Terutama ketika Ki Ageng Sulut mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya....
* * *
Perubahan memang tak terelakkan. Hukum alam telah berbicara. Tak ada satu pun di semesta ini yang tetap. Dari satu kejapan mata ke kejapan selanjutnya, selalu berubah. Tak bumi. Tak langit. Tak usia.
Kalau kemarin-kemarin Satria begitu ngotot menolak tawaran Ki Kusumo dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk menjadi muridnya tiba-tiba saja ini hari dia telah resmi menjadi seorang murid. Perubahan telah terjadi. Siapa yang sanggup menahannya?
Hari ini, di pantai Tanjung Karangbolong dua lelaki bertaut usia amat jauh terlihat berdiri menghadap Samudera Hindia. Mereka adalah Satria. Bersama si tua bangka bertabiat sinting, Dongdongka. Terhitung mulai hari ini, pelajaran untuk si pemuda tanggung dimulai.
Setelah berdiri mengheningkan cipta, memakukan karsa dan rasa untuk beberapa lama, Dongdongka mulai bergerak. Kakinya melangkah mantap di atas pasir.
"Untuk menjadi muridku, pertama-tama kau harus belajar menjadi 'sinting'," katanya memulai.
Satria merengut. Pelajaran sinting macam apa ini? Ditatapnya sang guru dengan pandangan memprotes. Mulutnya baru hendak melancarkan pertanyaan. Dongdongka sudah keburu mengangkat tangan, mengacungkan dua jarinya.
"Yang kedua, jangan dulu banyak tanya!"
Satria bungkam. Guru tetap guru. Kalau dia sudah bertekad untuk belajar dari orang tua itu, sesinting-sintingnya Dongdongka, peraturannya harus dilaksanakan. Biasanya, di sanalah letak keberhasilan seorang murid.
"Kenapa kau harus belajar 'sinting'?!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul mengajukan pertanyaan.
Satria tak tahu jawabannya. Tapi mulutnya tetap gatal hendak mengajukan protes. Belumbelum, si tua bangka yang terus berjalan mengitarinya mulai berkicau lagi.
"Asal kau tahu. Di dunia ini, sudah banyak orang 'sakit'. Kau tahu maksudnya? Banyak orang yang sebenarnya terserang penyakit jiwa. Satu contoh, ketamakan itu sebenarnya pun penyakit jiwa. Orang berjiwa sehat, tak mungkin melepaskan begitu saja keinginan tamaknya. Apalagi? Banyak! Kebanyakan timbul dari sifat-sifat tercela yang meruyak dari benak lalu berwujud dalam perilaku....
Satria pusing mendengarkan khotbah Dongdongka. Sebenarnya dia hendak menurunkan ilmu bela diri atau sedang belajar ilmu kudu? Kudu menjadi sinting seperti orang tua itu?
"Kapan belajar ilmu bela dirinya, Kek?"
"Kubilang jangan banyak tanya! Kau telah melanggar peraturan kedua. Hukumannya, kau harus melompat-lompat di tempat dengan gaya seekor kodok bunting!"
Satria mendelik.
"Laksanakan!" bentak Dongdongka.
Terpaksa Satria mulai melompat-lompat.
"Yang tinggi!" seru Dongdongka.
"Harus berapa kali aku melompat, Kek?!" tanya Satria.
"Kau melanggar lagi peraturan kedua!"
Satria mendelik lagi. Hukuman 'lompat kodok bunting' saja belum lagi selesai. Sudah ada lagi pelanggaran baru menurut gurunya. Bagaimana ini?
"Sebagai hukuman pelanggaran kedua, kau harus melompat sambil menyuarakan suara kodok!"
Mak?!
Satria terperangah dalam hati. Untuk memprotes dia tak punya nyali. Takut Dongdongka menambahkan hukuman untuknya. Ini benarbenar pelajaran menjadi orang sinting, pikirnya.
Satria melompat-lompat. Tinggi. Napasnya sudah terengah-engah. Belum lagi dia harus menirukan suara kodok.
"Krok.... Hhhh.... Krok.... HHhhh!"
"Yang keras!"
"Krrrooookkk!!! Hhhhh.... Krrooookkk"
"Cah Bagus!"
Selagi Satria menjadi 'kodok bunting', Dongdongka meneruskan khotbahnya.
"Jadi sampai di mana penjelasanku tadi? O, iya. Karena banyak orang di dunia ini sudah terserang penyakit jiwa. Maka, anggaplah sudah banyak orang 'sinting' berkeliaran di muka bumi ini. Memang tak seperti 'sinting'nya orang sinting. Kau mengerti maksudku?"
"KroookhH"
"Maksudku, kesintingan mereka sudah tidak disadari lagi karena sudah dianggap perbuatan biasa. Nah, agar kita tidak jadi ikut 'sakit', kita harus belajar mengetahui sifat-sifat apa saja yang bisa menjadikan jiwa kita 'sakit'. Untuk mengetahui dalamnya lautan, tentunya kita harus menyelam. Untuk mengetahui apakah kita termasuk orang 'sakit' atau bukan, aku memutuskan untuk bertingkah seperti orang 'sakit'! Kau mengerti maksudku?!"
"Krrokkh!!"
"Ya, anggaplah kau mengerti. Meski sebenarnya, aku sendiri tak mengerti.... Jadi, peraturan pertama itu harus kau laksanakan selama menjadi muridku! Belajarlah menjadi orang 'sinting'!"
Pelajaran pertama selesai untuk hari itu. Dongdongka pergi begitu saja meninggalkan Satria. Muridnya sendiri jatuh telentang kecapaian di atas pasir. Mulutnya terengah-engah. Karena keseringan menyuarakan suara kodok, dengusan napasnya pun tanpa sadar memperdengarkan suara kodok.
"Krrooohhhhh! Hos-hoshos!"
Kalau hari ini Satria menjadi 'kodok bunting', jangan-jangan besok disuruh menjadi kerbau bunting?! Mana tahan!
--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--
"Mau apa mereka kembali?" tanya Mayangseruni seraya bangkit.
Laskar Lawa Merah di bawah sana melarikan kuda tunggangan dengan cara menggila. Ada sepuluh lelaki berperawakan dan penampilan kasar memacu kuda seperti kesetanan. Keliru Mayangseruni mengira mereka hanya kembali. Sebenarnya mereka sedang dikejar oleh sepasukan tentara Kerajaan Demak.
Selang beberapa saat kemudian, sudah tampak kepulan debu yang jauh lebih tinggi ke angkasa. Asalnya dari gerak laju pasukan berkuda Kerajaan Demak. Jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang. Tentu saja itu menciutkan nyali sepuluh anggota Laskar Lawa Merah yang entah kenapa terpisah dari pasukan induknya itu.
Pertanda bahwa Pasukan khusus Kerajaan Demak yang ditugaskan untuk menangani gerombolan perampok Laskar Lawa Merah telah mulai memasuki wilayah tersebut.
Saat Mayangseruni memperhatikan kejarkejaran di kejauhan sana, tanpa disadari seseorang sudah berdiri di belakangnya.
"Kau harus bertanggung jawab terhadap nyawa seluruh anak buahku seandainya pasukan Demak berhasil menumpas mereka, Nona!"
Mayangseruni terperanjat. Cepat dia berbalik. Ditemukannya Dirgasura. Berdiri dengan kesan mengancam, serta siap menggempur.
"Apa maksudmu?" kesiap Mayangseruni.
"Jangan berpura-pura lagi padaku, Nona. Kau kira mataku sudah buta? Kau adalah matamata Demak! Kau datang lebih dahulu ke sini untuk menyelidiki gerakan kami. Setelah kami masuk, kau kirimkan berita kepada pasukan Demak. Kau membuat perangkap yang cukup bagus untuk kami!" tuding Dirgasura.
"Jangan asal menuduh!"
"Sia-sia kau hendak mengelabui aku. Aku sudah terbiasa dengan siasat. Aku sudah mengalami banyak persoalan, Nona. Bahkan sampai tanah seberang. Bodoh sekali kalau aku tak bisa mengendusi siasat macam ini!"
"Kau telah keliru menilaiku, Kisanak!"
"Keliru? Bagaimana dengan kalung ini?!" Dirgasura mengangkat tangan kanan, memperlihatkan satu kalung perak berlambang Kerajaan Demak dengan baris aksara Arab.
Wajah Mayangseruni berubah. Tampak jelas keterkejutannya. Langsung dirabanya dada. Kalung yang selama ini dikenakan sudah tak ada lagi di sana. Kalung miliknya telah berpindah tangan. Tentu Dirgasura telah merampasnya tanpa disadari oleh gadis ayu itu ketika dia terlibat pertarungan dengan si kepala begal.
"Kau masih mau mungkir?" Dirgasura menyudutkan.
Mayangseruni merasa jati dirinya telah terbuka. Dia tak mungkin mengelak lagi. Percuma untuk menyangkal. Dirgasura dengan amat cerdik membuat gadis tanggung itu mengaku secara tak langsung dengan memperlihatkan kalung miliknya.
"Aku memang berasal dari Demak...," akunya.
"Bagus!"
"Tapi aku bukan mata-mata seperti katamu!"
"Ha ha ha ha!"
Dirgasura melangkah beberapa tindak, mempersempit jarak dengan Mayangseruni. Pandangannya menombak tajam ke wajah gadis itu, menebarkan ketegangan.
"Kau mau aku percaya?" desis Dirgasura. Mimik wajahnya memperlihatkan ancaman. Juga gerak-geriknya.
Bahaya menjelang, pikir Mayangseruni. Dia harus bersiaga terhadap segala kemungkinan. Maka, diloloskannya sepasang pedang dari warangka di punggungnya. Cepat pula dipasangnya kuda-kuda. Dengan Dirgasura di hadapannya, itu bisa berarti ancaman yang lebih berbahaya dari tiga ekor harimau lapar. Mayangseruni menyadari hal itu.
Srang!
"Ha ha ha ha!" gelak Dirgasura. Tak tahu apa yang dianggapnya lucu.
"Jangan paksa aku, Dirgasura!" ancam Mayangseruni. Perlahan langkahnya tersurut mundur, menjaga jarak. Semakin sempit jaraknya dengan Dirgasura, akan memberi semakin kesempatan besar bagi lelaki setengah raksasa itu melakukan serangan mendadak.
"Sudah kukatakan, aku bukan mata-mata Demak!" serunya kembali, mencoba meyakinkan Dirgasura.
Usaha sia-sia. Naga-naganya, Dirgasura justru lebih percaya pada kecurigaannya sendiri. Akan sia-sia pula bagi Mayangseruni untuk mengemukakan tujuan sebenarnya dia datang ke daerah itu.
Jalan satu-satunya adalah meloloskan diri. Artinya, dia harus bertarung kembali dengan kepala perampok paling ditakuti di Pesisir Selatan Jawa.
Pilihannya kini, menyerang atau diserang terlebih dahulu.
Mayangseruni memutuskan menyerang lebih dahulu.
"Heaaa!!"
* * *
Waktu beringsut. Tanpa disiasati, waktu justru terasa melesat terlampau cepat. Banyak orang tak menyadari, sampai mereka menemukan usia mereka telah sedikit tersisa.
Empat bulan terlewati.
Pantai Tanjung Karangbolong.
Satria sudah memasuki purnama keempat masa bergurunya dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ketika itu, dia terlihat sedang melatih jurus-jurus yang telah diturunkan padanya. Pemuda itu cepat menangkap. Jurus-jurus awal milik sang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa yang sebenarnya sulit dapat 'ditelan'nya hanya dalam tempo demikian singkat. Untuk jurus-jurus awal saja, seorang pendekar yang sudah berbekal cukup ilmu olah kanuragan membutuhkan waktu setengah tahun.
Tak percuma Dongdongka mengangkatnya menjadi murid. Tak salah pula lelaki tua bertabiat sinting itu memilihnya. Bukan cuma punya bakat. Dia pun memiliki kecerdasan dalam menangkap seluruh pelajaran. Namun kunci utamanya adalah kekuatan hatinya. Dia tak pantang putus asa. Tak pernah berdamai dengan kata menyerah. Semangatnya adalah api yang tak padam meski disiram guyuran hujan. Kemauannya adalah lahar yang terus menggelegak. Dalam dirinya tertanam nilai-nilai luhur. Budi pekerti yang mengakar, kehalusan perasaan yang menghujam, kearifan yang dalam, keperkasaan yang menjulang.
Satria memang calon seorang 'Satria' sejati!
Hari ini, dia diperintah untuk memperagakan seluruh jurus yang telah didapat. Dia bergerak cepat dan teratur. Terkadang melambat seperti jompo. Terkadang gemulai seperti penari.
Di lain saat, jurus-jurusnya berubah menggebu. Pukulannya menderu. Tendangannya membabi buta, beruntun laksana gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, terdengar suara cukup keras. Pertanda setiap gerakannya mengandung tenaga kuat.
Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Wajahnya mematang. Digarang sinar matahari. Juga karena aliran darah yang terpacu liar.
Di tengah-tengah jurus, pemuda itu melompat-lompat, berjingkat-jingkat. Tangannya menampar-nampar kening sendiri. Wajahnya berubah. Dari garang tanpa senyum, kini mengumbar cengengesan sejadi-jadinya. Kakinya menendang tak karuan ke sana kemari. Satu tangan yang lain meliuk-liuk seperti mengikuti irama lagu yang tak terdengar.
"Haa-haa! He he he!"
Terlempar teriakan disertai kekeh renyahnya.
Dongdongka duduk memperhatikannya di atas sebatang lidi sepanjang tiga jengkal, tak terlihat kalau satu ujung lidi menancap di pasir. Bahkan hanya tampak menyentuh permukaannya saja.
Plok Plok Plok!
Tua bangka itu bertepuk tangan menyaksikan muridnya memainkan kegilaan di tengahtengah jurus-jurus yang diperagakan. Mulutnya berteriak-teriak riuh rendah, menandingi suara gemuruh ombak yang siap berjuang mendaki pantai.
"Aku suka bagian itu! Aku suka sekali! Ha ha ha!"
Satria makin terlihat gendeng. Dia berjumpalitan ke sana kemari. Tubuhnya pun dipenuhi pasir. Disusul dengan gerakan menandak ngawur.
Pada bagian ini, pemuda itu seolah sedang bermain-main. Namun di balik itu, sebenarnya terkandung kehebatan tersendiri. Orang yang menyaksikannya akan menganggap lelucon tengik. Namun bagi tokoh persilatan bermata jeli akan berpendapat lain. Mereka akan menemukan kekuatan tersembunyi di balik setiap gerakan kacaunya, atau kecerdikan, atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga, atau bahaya maut! Seperti....
"Hieeeee-heeee!"
Prak prak prak!
Gerakan lemah gemulai sebelah tangan Satria menampar beruntun satu batang pohon kelapa. Kelihatannya seperti tidak sengaja. Akibat yang ditimbulkannya cukup mencengangkan. Batang pohon kelapa itu menjadi tercabik setengah bagian. Menurun berturut-turut dalam jarak yang nyaris sama!
Dongdongka bertepuk tangan lagi. Lebih riuh. Lebih bersemangat.
"Jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'mu sudah cukup matang, Satria! Bagus-bagusbagus!"
Satria menjura. Menutup jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'. Dadanya masih turun naik. Sebaliknya, wajahnya masih memancarkan semangat. Bahkan sepertinya dia belum cukup puas, kendati gurunya sudah cukup banyak memuji.
"Apa ada jurus baru yang hendak kau ajarkan padaku, Kek?" tanya Satria.
Dongdongka menggeleng-gelengkan kepala. Muridnya satu ini benar-benar membuatnya kewalahan. Menurut perkiraan Dongdongka, Satria tak akan bisa mencapai jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' setidaknya sampai dua-tiga purnama mendatang. Sekarang, belum-belum dia sudah minta nambah!
"Kunyuk kecil! Kenapa kau tidak bisa sedikit bersabar, Cah Gendeng!" rutuk Dongdongka. Dari atas lidi, tubuhnya mencelat kecil. Dia berdiri bertolak pinggang.
"Segala hal yang baik harus disegerakan, Kek. Bukan begitu?" kilah Satria.
"Ndas mu!"
Satria terkekeh. Dihampirinya sang guru.
"Apakah 'kesintingan'ku dalam jurus tadi sudah cukup sempurna, Kek?" tanyanya lagi. Ingin tahu penilaian gurunya lebih banyak.
Dongdongka mencibir.
"Bagaimana, ya..."
Satria menunggu.
"Tampaknya, kau malah lebih 'sinting' dari aku! Hua-ha-ha ha!"
Keduanya lalu beranjak meninggalkan pantai. Latihan hari itu selesai. Mereka akan beristirahat sejenak di gubuk Ki Kusumo yang telah dibangun kembali oleh keduanya.
"Sebentar!" tahan Dongdongka, baru saja beberapa tindak mereka melangkah.
Mata kelabu Dedengkot Sinting Kepala Gundul melirik ke atas. Pada buah kelapa muda di satu pohon. Buahnya lebat, mengundang selera.
"Aku haus. Tentu segar kalau kita minum air kelapa setelah latihan seperti ini. Setuju pada pendapatku bukan?"
"Setuju!" seru Satria.
"Nah, sebagai murid, tentu kau mau sedikit menyenangkan gurumu, bukan?"
"Maksudnya?"
"Maksudku, kau yang naik memetik kelapa, Tolol!"
Wajah Satria langsung kecut. Soal letih habis latihan sebenarnya tak menjadi soal. Cuma, sepanjang pengetahuannya gurunya itu akan sangat mudah kalau cuma menginginkan buah kelapa muda. Tak perlu memanjat, dia tinggal menjentikkan kerikil dengan tenaga dalam. Tentu kelapa akan berjatuhan. Kenapa harus aku juga disuruh memetik? Gerutunya dalam hati.
Tapi dilaksanakannya juga perintah sang guru. Dihampirinya satu pohon. Satria mulai memanjat. Baru tiga-empat tombak dia memanjat, tahu-tahu....
Wush! Bugh!
"Wadau!"
Satria jatuh berdebam. Pantatnya meninju pasir telak. Sakitnya sampai ke ulu hati. Bahkan ke jempol kaki. Guru ahli 'kesintingan'nya telah melepas pukulan jarak jauh ringan. Menyebabkan pemuda tanggung itu terjatuh.
"Aku tidak menyuruhmu memanjat seperti kunyuk kurang makan, Cah Gendeng!!" teriak Dongdongka sengit.
"Tapi tadi Kakek menyuruhku memetik kelapa, bukan?"
"Iya, tapi tidak dengan cara seperti itu!"
Satria menggaruk-garuk kepala. Bingung juga dia. Disuruh memetik buah kelapa, tapi dilarang memanjat. Jadi harus bagaimana. Memelototinya sampai buah kelapa berjatuhan sendiri? Ah, itu sih bukan 'sinting' pura-pura lagi, itu sinting benaran!
"Jangan cuma garuk-garuk kepala seperti itu! Bangun!" hardik Dongdongka.
Satria bangkit. Tangannya mengurut-urut pantat yang masih terasa pegal berdenyut.
"Jadi caranya bagaimana, Kek?" tanya Satria terdengar memelas. Dia meringis-ringis. Bukan karena pegal di sekitar pantatnya. Melainkan karena tak tahu cara yang dimaui gurunya.
"Pikirkan sendiri! Pokoknya, sore nanti aku harus sudah meminum air kelapa muda! Awas, kalau ketahuan kau masih berusaha memanjat!" ancam si tua bangka.
Seenaknya, Dongdongka lalu ngeloyor pergi-
Tinggal Satria garuk-garuk kepala tak gatal. Sendiri. Dia diberondong kebingungan. Apa maunya kakek satu ini? Pikirnya keras.
Pikir! Perintah benaknya, mengingat perkataan sang guru. Satria pun berkutat memikirkan. Berdiri salah, maka dia duduk. Duduk pun salah, maka dia berdiri lagi. Duduk lagi, berdiri lagi. Duduk lagi, berdiri lagi. Belum juga dia dapat mencari cara yang lain agar dapat memetik kelapa tanpa harus memanjat.
Pakai galah? Bisik hatinya. Mau cari bamboo panjang di mana? Di sepanjang pantai ini, tak ada pohon bambu. Atau dilempari saja dengan batu? Masa iya kelapa muda yang berserat alot dapat jatuh hanya karana dilempari?
"Brengsek..." rutuk Satria, dongkol sendiri.
Akhirnya terpikir lagi olehnya sesuatu. Bukankah gurunya dapat dengan mudah menjentik kerikil kecil untuk menjatuhkan buah kelapa dengan menyalurkan sedikit tenaga dalam?
Lalu, kenapa harus memerintah muridnya?
Tentu ada maksud di balik itu. Sudah pasti ini berhubungan dengan pelajaran olah kanuragan yang telah didapat. Pasti kakek itu hendak mengujiku, duga Satria yakin.
Sadar dirinya cuma sedang diuji, Satria pun mulai mengingat-ingat kembali seluruh pelajaran olah kanuragan yang telah didapatnya.
"Aku dapat!" pekik pemuda tanggung berkemauan keras itu akhirnya.
Dia ingat sekarang, pada satu bagian jurus Dedengkot Gendeng Kegirangan ada penekanan kekuatan di bagian kaki. Beberapa minggu terakhir gurunya memerintah dia untuk melatih kedua kakinya dengan cara menyeret beban seberat setengah anak kerbau sambil berlari di atas pasir.
Sudah hampir sepuluh pekan setiap hari hal itu dilakukan. Tentu sekarang sudah terlihat hasilnya. Cuma saja, sampai saat itu Satria belum menyadari. Untuk mengetahuinya, tentu dia harus menguji sendiri.
Aku harus mencoba apakah otot-otot kakiku sudah cukup kuat, pikir Satria.
Lalu, dicarinya dua pohon kelapa yang tumbuh berdampingan yang jaraknya tak begitu jauh. Setelah sekian lama dicari, akhirnya ditemukan juga. Jarak antara keduanya cukup lebar. Sekitar tiga-empat depa.
Satria pun mulai mempersiapkan diri. Mula-mula, dipusatkan segenap karsa dan rasanya sejenak. Setelah sampai pada titik kekhusukan tertentu, dia mencoba menghimpun tenaga di sekujur otot kakinya.
Pada saatnya....
"Hhhh...." "
Diiringi hempasan napas, Satria berlari kuat. Tiba di satu batang pohon, kakinya menjejak dan dihentakkan kuat-kuat. Tubuhnya pun terlempar. Otot kakinya yang terlatih selama ini, baik selama mengarungi lautan menuju Pulau Dedemit atau selama berlari dengan beban, membuat hentakan itu demikian bertenaga. Tubuhnya terlempar. Mencelat seperti seekor bajing ke arah pohon di sebelahnya.
Ketajaman mata dan ketepatan perhitungannya yang terlatih dalam menghadapi karang di sekitar Pulau Dedemit membantunya untuk menempatkan dengan tepat pijakan berikutnya pada batang pohon kelapa.
Begitu kakinya menjejak dan dihentakkan, tubuhnya mencelat lagi ke pohon kelapa sebelahnya. Lebih tinggi dari sebelumnya. Begitu seterusnya, hingga akhirnya dia tiba di satu puncak pohon kelapa.
"Berhasil!!! Aku berhasiiilll!!!" teriak Satria kegirangan di atas pohon kelapa.
Dari dalam gubuk, diam-diam Dongdongka memperhatikan pemuda tanggung itu dengan sinar mata terkagum-kagum. Dia bangga punya murid seperti Satria. Tampaknya aku dan Kusumo telah cukup berhasil mendidiknya, bisik hatinya.
"Kakek aku berhasiiill!!" teriak Satria tidak puas.
Dongdongka keluar. Pura-pura tidak tahu dia.
"Mana kelapanya?" bentaknya dari bawah. Satria melongo seketika. Baru sadar, dia telah sampai di puncak pohon kelapa mandul!
--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--
"Saaaatriaaaa!!!"
Pemuda tanggung yang dipanggil terlonjak kaget. Dia terjaga dari tidurnya. Matanya mengerjap-erjap. Sayu karena masih mengantuk. Kalau tak salah, tadi dalam mimpi dia bertemu bidadari. Sialnya, kenapa suara bidadari itu begitu cempreng seperti kaleng rombeng?
"Satriaaaa!"
E, bujubuneng! Rupanya suara itu bukan teriakan bidadari cantik dalam mimpinya. Telinga Satria hafal benar dengan suara panggilan menyakitkan telinga seperti itu. Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Siapa lagi?
Satria tergopoh-gopoh keluar gubuk. Langkahnya sempoyongan.
"Ada apa, Kek?" tanyanya masih dengan mata mengerjap-erjap dan wajah kalang kabut.
"Ke sini kau!" perintah Dongdongka. Orang tua aneh itu sedang duduk mencekung sendiri menghadap laut. Hampir setiap malam dia melakukan itu. Mungkin sedang merenungi perjalanan hidup yang telah demikian lelah. Satria menghampiri.
Sebelum sampai, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memperlihatkan sesuatu di tangannya. Tanpa berbalik, membiarkan punggung bungkuknya menghadap Satria.
"Kau dapat dari mana benda ini?" tanyanya.
Malam gelap. Cahaya bulan sabit samarsamar. Satria memperjelas pandangan. Sesuatu di tangan gurunya adalah benda yang pernah ditemukannya tanpa sengaja di Pulau Dedemit. Benda berbentuk bambu kuning sepanjang satu jengkal. Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain berbentuk ekor naga berwarna sama.
(Untuk mengetahui lebih jelas, baca kembali episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa")!
"O, itu,..," desah Satria sambil menguap lebar-lebar.
"Cepat jawab!"
"Aku menemukannya di Pulau Dedemit!"
"Sudah kuduga...."
"Sudah itu saja, Kek? Aku masih ngantuk...."
"Belum! Duduk kau!"
Dalam hati Satria mengeluh. Bidadari dalam mimpinya pasti sudah pergi jauh entah ke mana. Syukur-syukur masih menantinya di kolong balai
"Aku ingin bicara padamu tentang benda ini," ucap Dongdongka. Nada suaranya mendatar. Tak setinggi sebelumnya.
"Ho-oh... ho-oh...," sahut Satria, dibarengi kuapan lebar tambahan. Matanya sebentarsebentar terpejam. Sebentar terbuka. Angin laut yang sepoi-sepoi basah memperparah kantuknya.
Bletak!
Matanya kontan mendelik. Jidatnya baru saja dijitak Dongdongka.
"Buka matamu lebar. Pasang telinga baikbaik...."
Satria meringis-ringis sambil mengurut jidat.
"Iya, Kek...," sungutnya.
"Aku menemukan benda ini di bawah balaimu. Pasti kau yang telah meletakkannya di sana. Kau tahu benda apa ini?" susul Dongdongka kemudian.
Pemuda tanggung di sisinya menggeleng.
"Barangkali cangklong...."
"Jangan menjawab sebelum kusuruh!"
Tadi ditanya! Gerutu Satria dalam hati.
"Benda ini adalah benda pusaka, tahu?!"
Waduh, mulai lagi penyakit lama gurunya. Kata 'tahu' di akhir kalimat itu benar-benar menyebalkan! Kenapa dia senang sekali menyebut 'tahu'.... Eh, apa katanya tadi? Satria tercekat. Kasak-kusuk hatinya tersunat.
"Benda pusaka?" perangahnya. Mulutnya menganga.
Dongdongka mengangguk.
"Orang terakhir yang memiliki ini adalah Kusumo."
"Ki Kusumo? Jadi benda pusaka itu milik Ki Kusumo. Waduh, sungguh aku tak tahu kalau benda itu milik Ki Kusumo, Kek. Aku justru menganggap benda itu cuma kerajinan tangan biasa...," Satria gelagapan. Takut disalahkan.
Dongdongka tak berkata apa-apa. Ditariknya ekor naga pada ujung benda itu.
Srrt!
Lalu batang yang semula pendek kini memanjang. Ada bagian-bagian yang rupanya dapat ditekan masuk ke dalam. Selain itu, logam berbentuk ekor naga dihubungkan pula oleh ekor pari kering. Warnanya aneh. Seperti warna pelangi.
Dongdongka berdiri. Dihampirinya bibir pantai. Di batas pasir di mana ombak tak bisa lagi mendaki, dia berhenti. Berdiri diam beberapa saat. Tak lama berselang, tangannya mulai menggerak-gerakkan benda yang telah berubah seperti kail di tangannya.
Wuk wuk wuk!
Mata kail logam berbentuk ekor naga berputar, memperdengarkan suara keras menggidikkan. Makin lama, suaranya makin santer. Tak seperti bergaung. Lebih tepat dikatakan bergemuruh.
Satria beringsut mundur. Wajahnya ketakutan.
Disangkanya Dongdongka akan mencambuknya karena telah lancang membawa benda pusaka milik Ki Kusumo. Pemuda tanggung itu makin kecut menyaksikan ekor pari yang berputar membersitkan warna-warni pelangi di kegelapan malam! Berpendar melingkar selebar wuwungan gubuk!
Dan ketika Dongdongka melecutkan benda di tangannya ke arah ombak.
Cletarr! Wrrr!
Ada cahaya pelangi terbersit dari ujung kail. Menuju ombak besar dan menerkamnya. Kala itu juga, ombak terpecah. Terbentuk sibakan memanjang sesaat, membuat dasar pantai terlihat!
Mata Satria tak berkedip menyaksikan itu. Mulutnya menganga lebar-lebar. Kantuknya terbang entah ke mana.
"Kau lihat itu?" tanya Dongdongka tanpa berbalik atau menoleh.
Si pemuda tanggung yang ditanya cuma mengangguk-angguk seperti orang tolol.
"Aku hanya mengerahkan sedikit tenaga dalamku. Hanya sedikit. Namun benda pusaka ini telah sanggup membelah ombak! Ada kekuatan sakti yang terkandung di dalamnya.... Benda seperti ini tidak boleh jatuh ke tangan orang sesat. Harus ada pewaris yang tepat untuk menerima amanat benda ini."
"Kekuatan sakti?" ulang Satria latah.
Dongdongka menghampiri Satria. Orang tua itu menepuk bahu si pemuda tanggung.
"Benda ini jadi milikmu...," ucapnya datar.
Satria bagai disambar geledek.
"Kusumo telah mewasiatkan padaku bahwa benda pusaka ini akan jadi milikmu. Jauh hari setelah kami bersepakat untuk mengangkatmu menjadi murid kami. Dia memang telah yakin kau akan menemukan Kail Naga Samudera ini di tempat rahasianya."
Terus saja pemuda tanggung itu melongo.
"Tapi, kau baru siap mendapatkan benda pusaka ini jika kau sudah selesai berguru denganku!"
* * *
Satria hari itu sedang berjalan di sekitar hutan perbatasan Pandan-Kutowinangun. Gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyuruhnya untuk berburu rusa. Dia hendak makan enak, makan besar, begitu kata Dongdongka. Tak mau makan daging kelinci atau ayam hutan yang lebih mudah didapatkan. Dia cuma mau makan daging rusa panggang! Kakek tua itu seperti perempuan sedang ngidam saja!
Ada seekor rusa gemuk sedang asyik makan semak.
Satria tersenyum. Buruannya menanti. Dipersiapkannya anak panah. Cukup hanya dengan sekali bidik, akan didapatkannya rusa jantan gemuk itu. Akan dibawanya pulang ke gubuk, biar gurunya merasa senang, pikirnya.
Agar tak meleset, Satria mengendap-endap lebih dekat.
Sialnya, dia menginjak ranting kering.
Krak!
Rusa itu pun lari.
"Brengsek!" rutuk Satria. Sekarang, dia harus mencari lagi buruan yang lain. Tak putus semangat, pemuda tanggung itu meneruskan perburuan.
Rejeki memang tak kemana-mana kalau berjodoh. Rusa yang sebelumnya dilihat ternyata tak beranjak terlalu jauh dari tempat semula. Kembali Satria mempersiapkan anak panah. Busur direntangkan dengan mantap. Jaraknya sudah cukup bagus. Mata tajamnya pun sebelah menyipit, melakukan bidikan.
Wukh!
Busur melepas anak panah. Anak panah melesat. Dan tepat mengenai si rusa jantan.
Ketika didekati, ternyata ada dua anak panah telah menembus tubuh hewan itu. Satu milik Satria. Menancap di sisi kiri rusuknya. Yang lain entah milik siapa. Menancap di rusuk kanan.
Tak lama berselang keluar pemilik anak panah.
Seorang prajurit pasukan Demak yang pernah mengajari Satria beberapa jurus dasar keprajuritan.
"Hey, bukankah kau Satria?!"
"Kang Punggawa?!" seru Satria, mengenali lelaki itu. "Anak panah ini milik Kakang?" tanyanya kemudian.
Si prajurit mengangguk.
"Jadi bagaimana dengan rusa ini?" tanya Satria. Dia tak merasa berhak memiliki rusa itu sendiri.
"Sudahlah. Aku bisa mendapatkan rusa yang lain. Lagi pula bukan cuma aku yang ditugaskan memburu rusa. Kami butuh beberapa ekor untuk persediaan makanan pasukan."
"Jadi tugas pasukan Demak menumpas gerombolan begal itu belum juga berhasil?"
Prajurit itu menggeleng. Wajahnya berusaha menyembunyikan kekecewaan.
"Sebenarnya, kami telah berhasil mengepung mereka. Namun ada satu hal yang membuat kami tak bisa berkutik...."
Lalu prajurit itu pun bercerita tentang kejadian beberapa pekan lalu.
Pasukan Demak di bawah pimpinan Sena Bagaspati waktu itu berhasil mengepung posisi Laskar Lawa Merah di hutan perbatasan Pandan Kutowinangun. Setelah memergoki beberapa orang anggota Laskar Lawa Merah tanpa sengaja, pasukan Demak berhasil menemukan pasukan induk Laskar Lawa Merah.
Hal itu pun berkat siasat cerdik Bagaspati. Ketika sepuluh anggota begal sedang diburu pasukannya, sengaja Bagaspati memerintahkan seluruh pasukan untuk menghentikan pengejaran.
Hanya dirinya saja yang melanjutkan pengejaran. Dengan begitu tujuannya berubah menjadi pengintaian. Dan memang itu yang diinginkan Bagaspati. Dia memang merasa harus mengambil alih sendiri tanggung jawab pengintaian berbahaya tersebut. Sementara tanggung-jawab memimpin pasukan diserahkan kepada wakilnya.
Dengan cara itu, sepuluh anggota begal Laskar Lawa Merah menyangka telah lolos dari kejaran. Sementara dengan diam-diam, Bagaspati terus menguntit mereka. Bagaspati yakin, suatu saat, mereka akan membawanya langsung ke pasukan induk di bawah pimpinan gerombolan Dirgasura.
Siasat tersebut berhasil membawanya ke posisi pasukan induk Laskar Lawa Merah di sekitar tempat yang dikepung kini. Bagaspati kembali secepatnya ke pasukannya. Lalu dengan satu gerakan kilat, pasukannya mengepung posisi gerombolan Laskar Lawa Merah.
Dirgasura ketika itu marah besar mendapati ke sepuluh anak buahnya menggabungkan diri. Selaku seorang pimpinan gerombolan begal yang banyak menelan asam garam peperangan di beberapa medan, tentu saja dia mengkhawatirkan penggabungan mereka malah akan menuntun pasukan Demak ke posisi pasukan induknya. Kalau tak memikirkan kekuatannya akan berkurang untuk menghadapi pasukan Demak, akan dibunuhnya kesepuluh anak buah yang ceroboh itu.
Kekhawatirannya terbukti. Sayang, tak ada tindakan lain dapat dilakukan. Karena sudah terlambat. Pasukan Demak sudah lebih cepat mengepung. Namun, Dirgasura adalah seorang ahli siasat. Sebelum semua itu terjadi, dia telah memperhitungkan kemungkinan tersebut. Satu 'tameng rahasia' telah dipersiapkan. Akan dipergunakannya jika keadaan telah begitu mendesak.
Mayangserunilah 'tameng rahasia' itu! Perempuan muda ayu itu berhasil diringkusnya ketika ke sepuluh anak buahnya terpergok pasukan Demak.
"Jadi, kami terpaksa mundur teratur ketika Dirgasura busuk itu mengancam sanderanya. Perbuatan busuk yang dulu pernah pula dilakukan ketika terjadi pembantaian pasukan kami di Kadipaten Ketawang.... (Bacalah episode pertama : "Tabib Sakti Pulau Dedemit")!" Prajurit Demak yang bertemu dengan Satria mengakhiri ceritanya.
Satria tentu saja tak jelas mengenai sandera perempuan Dirgasura. Sebab lelaki di depannya hanya menceritakan tentang secara gamblang. Tanpa menjelaskan rinci siapa perempuan yang disandera.
"Kakang tahu siapa wanita itu?" tanya Satria.
"Itulah!" tukas prajurit Demak itu. "Di samping karena kami tak mungkin mempertaruhkan nyawanya, ternyata gadis itu adalah seorang putri Patih Kerajaan Demak!"
"Namanya?" susul Satria. Entah bagaimana perasaannya mendadak jadi tak enak. Ada semacam firasat bahwa sandera perempuan Dirgasura dikenalnya. Karenanya dia jadi begitu penasaran.
"Aku pernah mendengar namanya. Sebentar...." Prajurit tadi mengingat-ingat. "O, iya! Mayangseruni."
Tersentaklah Satria bagai disengat puluhan kalajengking.
"Perempuan sebaya saya, Kang?"
"Iya. Kok tahu?"
"Rambutnya diekor kuda?"
"Iya-iya!" "
"Wajahnya ayu, berbaju kuning, bercelana pangsi merah hati?!"
"Iyaaa! Eh, kau kenal dia, ya?"
"Kacau-balau!!"
"Kacau-balau?! Siapa yang kacau-balau?!"
"Dia itu kawanku, Kang!"
"Kawanmu?!"
"Kalau begitu, Kakang sekarang beri tahu saya di mana Laskar Lawa Merah berada sekarang!"
"Memangnya?"
"Aku akan ke sana. Mau menyelamatkan Mayangseruni!"
Kening prajurit tadi berkerut. Alisnya bertaut. "Kau jangan bergurau?!"
"Ah, Kakang Ini!"
"Ah, kau ini!"
"Sungguh Kang, aku tak bergurau!"
--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--
Sebelum masuk, dia sempat mengintip dari celah gubuk. Gubuk sepi. Dedengkot Sinting Kepala Gundul tidak ada. Barangkali sedang tepekur di tepi pantai seperti malam-malam biasa.
Dongdongka tak ada. Artinya kesempatan besar bagi Satria untuk memulai rencananya. Rencana yang tercetus begitu saja ketika dia mendengar penuturan prajurit Demak bahwa Mayangseruni telah disandera Laskar Lawa Merah.
Di dalam gubuk, Satria mulai mencari-cari. Ditengoknya kolong balai. Benda yang dicari tak ada di sana. Ditengoknya pula tempat lain. Tak ada juga. Semakin lama mencari, pemuda itu mulai kesal. Dia mulai mengobrak-abrik isi gubuk. Balai diterbalikkannya. Kaki balai dari bambu ditelitinya. Siapa tahu benda yang dicari ada di dalamnya. Tak ada juga. Napas Satria sudah turunnaik. Karena kesal.
Bukan karena kecapaian mencari. Seluruh isi gubuk sudah dibongkar-bongkarnya. Balai sudah. Tempayan sudah. Tak ada juga. Dia diam sebentar. Matanya melayap ke mana-mana, menduga-duga di mana lagi tempat yang paling memungkinkan untuk mencari benda yang dimauinya.
Di atap? Kepalanya menggeleng. Sulit menyembunyikan sesuatu di atap gubuk yang tak berlangit-langit.
Dipendam di bawah lantai tanah gubuk? Satria menggeleng lagi. Gurunya bukan sejenis makhluk yang suka melakukan pekerjaan menyulitkan. Lagi pula tak ada tanda-tanda kalau tanah di dalam gubuk pernah digali.
Lantas di mana?
Mendadak pintu berderit. Satria menyangka Dongdongka telah kembali. Brengsek kalau begitu. Dia belum lagi menemukan benda yang dicari. Kalau kakek itu sudah pulang, dia tak bisa lagi meneruskan pencarian.
Tak ada yang masuk juga. Rupanya tadi hanya hembusan angin menggerakkan pintu dari bilik bambu. Saat itulah, mata si pemuda tanggung melihat kerangka di sisi pintu. Kerangka itu terbuat dari bambu bulan sebesar pergelangan tangan. Dan ruas bambunya di bagian atas tak terlalu dalam. Cukup untuk menyembunyikan benda yang dicarinya.
Bibir Satria menyeringai jelek. Pasti Kakek Dongdongka menyimpannya di sana! Duganya yakin. Bagi Satria, pikiran orang tua macam Dedengkot Sinting Kepala Gundul mudah sekali diduga, meskipun saktinya seperti siluman pengangguran. Padahal orang lain malah bisa dibuat pusing tujuh kali tujuh keliling!
Dengan keyakinan luber, Satria buru-buru memeriksa kerangka pintu. Tepat sekali perkiraannya! Benda yang dicari-carinya memang disembunyikan di sana oleh Dongdongka. Kali Naga Samudera.
Satria memang tak main-main ketika berkata akan menolong Mayangseruni di sarang Laskar Lawa Merah. Kail Naga Samudera dirasa amat dibutuhkan untuk menghadapi mereka. Mau bilang apa lagi. Pemuda tanggung satu itu kerapkali bertindak agak gendeng. Bahkan jauh hari sebelum berguru pada Dedengkot Sinting. Paling tidak, begitulah anggapan prajurit Demak yang bertemu dengan Satria di hutan siang tadi.
Baru saja Satria hendak beranjak, terdengar siulan sember, menyenandungkan lagu tak jelas. Tak lama, terdengar seruan serak Dongdongka.
"Makan besaaarr! Satriaaa! Rupanya kau berhasil mendapatkan rusa jantan besar. Gemuk lagi. Kau benar-benar murid berbakti!"
Satria merutuk dalam hati sejadi-jadinya. Rencananya bisa gagal dengan kepulangan kakek aneh itu. Cepat-cepat disembunyikan Kail Naga Samudera di balik punggungnya. Dan mumpung si tua itu belum masuk ke dalam, dia harus mengambil tindakan cepat. Keluar dari jendela belakang.
Berjingkat-jingkat Satria menuju jendela.
Dinaiki nya jendela.
Sewaktu berhasil naik dan hendak turun.... "Ngomong-ngomong, kau berniat minggat atau apa?"
Dongdongka sudah berdiri bersandar di bilik sisi jendela. Alis matanya terungkit-ungkit.
Kacau balau! Gerutu. Satria dalam hati. Dia meringis. Terus dia berusaha cengengesan. Tanpa sedikit pun mimik meyakinkan.
"Hehehe...."
Dedengkot Sinting Kepala Gundul ber 'he he he' juga.
"Aku iseng tak ada kerjaan Kek. Jadi, kupanjat saja jendela. He he he...."
"Kok bisa begitu, ya? He he he...," ledek Dongdongka dengan paras yang menyebalkan. "Berikan Kail Naga Samudera itu padaku!" bentaknya. "Cepuuuuaaat!"
Bersungut-sungut, Satria turun dari jendela gubuk.
"Tapi aku membutuhkan pusaka ini, Kek...," rajuknya.
"Ah, tai kucing! Kau belum membutuhkan benda itu sampai kau benar-benar telah mewariskan seluruh kesaktianku!" tumpas Dongdongka.
Wajah pemuda tanggung itu cemberut. Asam sekali.
"Ayo serahkan!" paksa Dongdongka. Tangannya menjulur ke depan. Jarinya bergerakgerak meminta.
"Baiklah," tandas Satria. Tahu-tahu timbul akal kancilnya. Diserahkan Kail Naga Samudera seperti tak punya masalah apa-apa. Setelah itu, dia ngeloyor pergi.
"Mau ke mana kau?!"
"Entahlah!"
"Minggat?!"
"Iya, minggat!"
Wajah Dongdongka berubah pucat. Minggat? Ancaman paling menyeramkan bagi tua b angka itu.
"Bagaimana dengan panggang rusa kita?" dicobanya merajai Satria.
"Silakan Kakek menghabiskan sendiri...."
Dongdongka garuk-garuk kepala.
"Bag... bagaimana dengan pelajaran olah kanuraganmu, Cah Gendeng?"
"Aku tidak mau lagi!"
Meringislah bibir peyot Dongdongka. Itu sebenarnya hal yang paling ditakuti Dongdongka. Buru-buru dikuntitnya langkah si pemuda tanggung. Di belakang pemuda itu, Dongdongka bertanya lagi.
"Memangnya kenapa?"
"Karena aku mau berhenti!"
"Iya, tapi kenapa?"
"Entahlah...."
"O, kau ingin benda ini, kan?"
Satria menghentikan langkahnya. Diam-diam dia tersenyum di depan Dongdongka. Kakek itu tak tahu senyum kancilnya. Meski tak melihat, Satria yakin Kakek Dongdongka sedang menyodorkan Kali Naga Samudera di belakangnya.
"Ya," jawab Satria mantap sambil membalikkan tubuh cepat.
Tapi dia kecele. Matanya melotot. Sebab yang disodorkan Dongdongka adalah... buntut rusa jantan!
"Kau ingin benda ini?" ulang Dongdongka. Dia terkekeh.
"Aku berhenti jadi murid mu!" ketus Satria sambil memb alik kan badan kembali. Dia melanjutkan langkah gusar.
"Baik-baik. Kail Naga Samudera boleh kau pegang. Asal kau memberitahu apa tujuanmu?" Dongdongka akhirnya menyerah.
"Kalau kau tetap mau aku menjadi muridmu, kau harus menyerahkan Kail Naga Samudera itu padaku tanpa banyak tanya. Tanpa syarat."
Dongdongka manyun. Sebenarnya yang murid itu Satria atau dia? Sebal juga punya murid satu ini. Suka membuat pegal perasaan. Sayang Satria cuma satu-satunya murid pilihannya. Kalau tidak, sudah dicekiknya sejak dulu!
"Nih...."
Pasrah, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyerahkan Kail Naga Samudera pada muridnya.
Satria meneruskan langkah tergesa setelah menerima Kail Naga Samudera. Wajahnya cerah.
Seperti ular kadut baru menelan seekor tikus sawah.
"Katanya kau tak pergi kalau kuberikan benda itu?" protes Dongdongka, tak mengerti.
Satria menoleh dengan senyumnya.
"Aku ada sedikit urusan, Kek. Aku janji akan kembali. Aku cuma meminjam benda ini sebentar saja. Nanti juga kukembalikan," katanya, berubah sopan.
Dongdongka cuma bisa mengangkat bahu. "Terserah kaulah...," gumamnya pasrah. Satria pergi. Pakai melambaikan tangan pula! Bikin Dongdongka makin sebel saja.
* * *
Menjelang tengah malam.
Setelah kepergian Satria, Dongdongka mendapat tamu tak terduga-duga. Seorang yang sudah dikenalnya datang. Dedengkot Sinting Kepala Gundul tidak merasa senang menerimanya. Bukan karena bermusuhan. Melainkan karena orang itu adalah Ki Kusumo yang keadaannya sangat menyedihkan. Bahkan bisa disebut mengerikan.
Ki Kusumo datang menyeret-nyeret diri di pasir. Kedua belah kakinya sudah tak ada! Kutung di batas lutut. Luka-luka yang dideritannya terlalu parah. Darah tercecer sepanjang seretan tubuhnya di pasir pantai. Sudah banyak darah yang telah mengalir keluar. Nyawanya di ambang maut.
Hanya keteguhan hatinya yang membuat dia masih sanggup mencapai tempat itu.
Ki Ageng Sulut, yang lebih dikenal dengan julukan sangar sebagai Iblis Dari Neraka, telah mengutungi kakinya. Sewaktu datuk sesat itu menanyakan perihal Kail Naga Samudera pada Ki Kusumo, dia tak mendapat jawaban sedikit pun. Kegusarannya meletus menjadi tindakan biadab. Dia memaksa Ki Kusumo bicara dengan mengancam akan memotong bagian tubuhnya.
Karena sang tabib kenamaan yang sudah tak berdaya tak juga mau berbicara, maka ancaman itu pun dilaksanakan. Dengan sabetan 'Tangan Baja Merah'-nya, Ki Ageng Sulut membabat satu kaki Ki Kusumo. Saat menguasai keadaan sepenuhnya seperti itu, dengan amat mudah Ki Ageng Sulut melakukan tindakan keji terhadap Ki Kusumo.
Sekali lagi Ki Ageng Sulut menurunkan ancaman. Ki Kusumo harus bicara. Jika tidak, sebelah kakinya yang lain akan menyusul.
Jawaban Ki Kusumo cuma senyum menantang.
Dan sebelah kakinya pun menjadi korban berikutnya. Sekali ini bukan karena Ki Ageng Sulut ingin membuktikan ancamannya. Melainkan dia dibuat amat murka oleh kekeraskepalaan Ki Kusumo. Dalam hati kerasnya, bergaung-gaung keinginan untuk membunuh saja Ki Kusumo. Namun dia tak bisa melakukannya. Sebab dia tahu benar, jika Ki Kusumo dibunuh, maka kesempatannya untuk mendapatkan pemunah penyakitnya akan hilang.
Yakin kalau Ki Kusumo tetap tak akan bicara, akhirnya Ki Ageng Sulut meninggalkan lawannya begitu saja. Toh, suatu hari dia bisa melaksanakan siasat lain. Meskipun untuk itu dia harus sedikit lebih lama menderita penyakit menjijikkannya.
"Kusumo, kenapa dengan dirimu?!" seru Dongdongka. Bukan main terperanjatnya sesepuh itu menyaksikan keadaan Ki Kusumo.
Terengah-engah, terputus-putus, juga tersendat-sendat seolah berkutat mempertahankan nyawa di ujung tenggorokan, Ki Kusumo membisikkan sesuatu pada Dongdongka.
"Kk.... Kail Naga Samudera. Ki Ageng Sulut datang untuk mengincarnya...."
Tak sempat menambah satu kata pun pada kalimatnya, Ki Kusumo sudah jatuh tak sadarkan diri.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terhenyak.
Bahaya besar sedang mengincar Satria. Pada saat yang sama, nyawa Ki Kusumo pun dalam keadaan terancam. Jika tidak segera ditolong, tabib ternama itu akan segera mati dan tanah Jawa akan kehilangan dirinya.
Siapa yang harus didahulukan?
--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--
Sebenarnya prajurit Demak yang ditemuinya di hutan waktu itu tidak memberitahukan padanya lokasi terakhir gerombolan perampok. Dianggapnya, Satria hanya main-main. Lagi pula urusan itu adalah wewenang kerajaan, terlalu besar untuk dibicarakan pada seorang bocah baru besar seperti Satria. Terutama posisi terakhir Laskar Lawa Merah.
Satria memang tak tergolong pemuda tanggung berhati cebol. Dia tak menyerah untuk mencari tahu. Diputarnya otak. Didapatnya akal. Diam-diam disatroninya pasukan Demak. Caranya dengan menguntit prajurit Demak yang ditemuinya.
Di barak sementara pasukan Demak, Satria menguping setiap pembicaraan prajurit Demak. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka menyebut-nyebut nama tempat di mana Laskar Lawa Merah terakhir dikepung.
Kembali ke Satria. Sudah cukup lama pemuda tanggung itu mengintai markas darurat Laskar Lawa Merah. Mayangseruni belum terlihat juga. Hanya ada anggota begal. Sebagian sedang duduk tertawa-tawa sambil menenggak arak diseputar api unggun besar. Sebagian lain tertidur di bawah pohon. Lainnya berjaga-jaga. Jumlah mereka tak kurang dari empat puluh orang! Bahkan mungkin lebih!
Dirgasura tak tampak di antara mereka. Besar kemungkinan lelaki setengah raksasa berdarah dingin itu menempati tenda kulit satusatunya yang berdiri di sana. Dari celah-celah tenda, menyelinap lamat-lamat cahaya lentera.
Kalau di mana-mana tak ada, besar kemungkinan pula Mayangseruni berada di tempat yang sama. Tentu Dirgasura merasa harus menjaga langsung gadis itu di dalam tendanya, pikir Satria.
"Atau...." Satria mendesis. Terpikir olehnya lelaki laknat itu melakukan perbuatan tak senonoh pada Mayangseruni. Kalau itu sempat terjadi, Satria bersumpah akan membunuh Dirgasura meski nyawanya harus ditukar dengan nyawa pemimpin gerombolan itu!
Satria harus memastikan apakah Mayangseruni tidak kenapa-napa. Dia begitu khawatir terhadap keselamatannya. Sepertinya dia menganggap Mayangseruni sebagai Tresnasari saja. Perlahan-lahan, dia mengendap sangat hati-hati.
Dalam jarak lima tombak dari tenda, Satria berhenti. Dia tak ingin mengambil resiko. Jika benar Dirgasura berada dalam tenda, maka gerak-geriknya akan diketahui oleh telinganya. Pendengarannya tentu sudah amat terlatih. Terlalu dekat Satria mengintai, akan semakin besar kemungkinan Dirgasura mengetahui keberadaannya.
Angin bertiup. Menyingkap kerai penutup tenda. Saat itulah Satria mempunyai kesempatan untuk mencuri pandangan ke dalam tenda. Kenyataannya, Mayangseruni memang berada di dalam tenda. Begitu Juga Dirgasura.
Anehnya, kenapa Mayangseruni tampak sedang berbincang-bincang akrab dengan Dirgasura? Satria yakin dirinya tak salah lihat. Kerai cukup lama terkuak angin. Cukup waktu baginya untuk mencuri-curi pandangan dengan jelas. Dia tak mungkin salah lihat!
"Tak mungkin...," bisik Satria amat perlahan, tak percaya pada pandangannya sendiri. Namun sekali lagi, matanya memang tak salah lihat.
Kini, menyeruak keraguan dalam dirinya. Tentang siapa sesungguhnya Mayangseruni. Apa mungkin Mayangseruni adalah anggota gerombolan Laskar Lawa Merah. Mungkinkah dia mata dan telinga Dirgasura di luar sana? Kalau memang begitu, masih adakah alasannya menyelamatkan Mayangseruni?
Keraguan makin menggumpal-gumpal.
Tanpa sadar, Satria tersurut mundur akibat keterkejutannya sendiri. Di belakangnya, sebatang ranting kering tergeletak. Benda itu terinjak tak sengaja.
Krak!
"Hoi, siapa itu?!" terdengar teriakan Dirgasura dari dalam tenda. Sangar. Bergemuruh. Satria tercekat.
Sebelum sempat dia menyadari keadaannya, satu deru santer terdengar dari arah samping. Satria melempar pandangan siaga. Disaksikannya ada mata tombak menuju dirinya. Deras.
"Haih!"
Berkawal satu teriakan, pemuda itu bergerak refleks membuang tubuh ke depan. Tombak luput memangsa dirinya dan menancap di satu batang pohon. Satria sendiri bergulingan sebentar. Ketika bangkit kembali dengan pancangan kuda-kuda, anak buah Dirgasura sudah mengepungnya dengan senjata lengkap. Posisinya benar-benar terjepit. Dia melompat ke arah yang keliru, semata hanya mengikuti dorongan nalurinya saja. Namun itu malah menempatkan dirinya tepat di depan tenda Dirgasura.
Jaringan otot Satria mengeras.
Saraf-sarafnya berdenyut, menggiring ketegangan. Memuncak.
Kerai tenda tersingkap oleh terjangan seseorang dari dalam. Dirgasura keluar dengan wajah garangnya.
Tak ada waktu lagi untuk menunggu, desis hati Satria. Pilihannya: mendahului atau didahului!
Maka, diloloskannya Kail Naga Samudera dari balik bajunya.
Srttt!
Benda kecil itu memanjang ketika disentak.
Detik berikutnya, Satria mengayunkan mata kail berbentuk ekor naga ke arah Dirgasura.
Wuk!
Meski dalam keadaan tidak siap, Dirgasura sanggup menghindari sambaran mata logam tajam yang hendak mengoyak tenggorokannya. Dia hanya mundur satu tindak. Disusul dengan terkaman ke depan. Satu hentakan tangan ke tanah dilakukan. Tubuhnya berjumpalitan sekali di udara dan hinggap dengan kuda-kuda kokoh.
Dirgasura berdiri di depan Satria. Dengan segala kebengisannya.
"Kau lagi...," desisnya geram, menemukan
Satria.
Satria panik. Biar bagaimanapun dia tetap pemuda tanggung hijau. Tak banyak pengalaman tarung dimilikinya. Kepanikan itu mendorongnya untuk melakukan serangan susulan yang membabi buta.
Wukh wukh wukh!
Kali Naga Samudera diputarnya bagai kesetanan. Tenaga sakti berkat perbauran Ramuan Pulau Dedemit dengan zat langka dasar samudera yang mengendap dalam dirinya pun terpancar keluar. Tersalur deras ke tangannya, lalu menyeruak ke dalam Kail Naga Samudera.
Malam kala itu juga menjadi terang benderang. Warna pelangi menebar dalam jarak satudua tombak. Mengepung tubuh si pemuda tanggung. Kala yang sama, beberapa anak buah Dirgasura memekik nyaris berbarengan.
Lalu tubuh-tubuh berjatuhan. Ada yang kehilangan kepala. Ada yang terpotong setengah badan. Ada yang terbelah dadanya....
Dirgasura sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuh sekuat-kuatnya ke belakang. Tak urung kulit perutnya tersayat oleh angin putaran Kail Naga Samudera. Sepertinya, angin putaran senjata pusaka di tangan pemuda tanggung itu telah menjelma menjadi mata pedang kasat mata!
Ketika sanggup menempatkan diri cukup jauh dari ancaman maut senjata si pemuda tanggung, mata Dirgasura dibuat tak berkedip menyadari benda apa yang berada di tangan lawan berusia hijaunya.
"Kail Naga Samudera...," desis Dirgasura terseret, bergetaran. Berdesir hatinya bukan karena kehebatan si pemuda tanggung, melainkan karena kebesaran kabar burung tentang Kail Naga Samudera. Yang menggetarkan. Yang menciutkan nyali!
Di lain pihak, Satria sendiri dibuat terperangah-perangah sendiri. Bagaimana mungkin dia melakukan semua itu? Bagaimana mungkin limaenam orang begal menemui ajal seketika dengan cara yang demikian menggidikkan di tangannya?
Hanya karena kepanikan makin menguasai dirinya, dia tak bisa lagi mempersoalkan semua itu. Yang ada dalam benaknya saat itu cuma gemuruh nyalang.
Seluruh anak buah Dirgasura memburu kearahnya. Dengan senjata masing-masing! Satria makin kesetanan!
"Dedengkot Gendeng Kegirangan!" serunya memberi api pada keberaniannya sendiri.
Lalu mengalirlah dalam setiap geraknya jurus-jurus awal milik sesepuh di antara sepuh dunia persilatan tanah Jawa : Dedengot Sinting Tanah Jawa.
Satria berpusing sebentar, seakan hendak membuat kepalanya menjadi pusing sendiri. Ketika putaran liarnya terhenti, wajahnya telah berubah sama sekali. Dari kesan bergaris ketakutan, kini memperlihatkan kemahagirangan tak terukur. Mimiknya telah menjelma menjadi lekuk wajah orang-orang sinting.
Sekali lagi, dalam keadaan terdesak seperti itu Satria mengalami ketangguhan tiba-tiba secara mencengangkan. Jurus-jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' seperti telah menjadi bagian darah dan dagingnya.
"Hua-hua-ha-hai!"
Menyusul gerakan amat ngawur diperlihatkannya. Sebentar dia mencak-mencak. Sebentar kemudian dia berjingkat-jingkat, melompatlompat, meraung-raung. Setiap pergantian gerak, berguguran satu demi satu anak buah Dirgasura. Mati dalam keadaan tak kalah mengerikan dari korban Satria sebelumnya.
Satria tergelak-gelak. Dia benar-benar bagai telah kerasukan dedemit sinting Alas Roban!
Di tangannya, Kail Naga Samudera bagai moncong kematian yang setiap saat mematuk nyawa. Satu demi satu. Padahal 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' adalah jurus-jurus tangan kosong. Namun entah bagaimana Satria mampu begitu saja membuatnya menjadi serangkai gerak mematikan dengan Kail Naga Samudera di tangannya.
Dirgasura sekali lagi tak berkedip. Lamatlamat, dikenalinya jurus-jurus itu. Jurus-jurus yang tak pernah dimiliki satu pun tokoh persilatan tanah Jawa, kecuali Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Lalu kenapa tiba-tiba seorang bocah hijau memilikinya? Bahkan menurut pengamatannya sendiri, jurus-jurus itu telah berkembang dari bentuk awalnya.
Keterperangahan Dirgasura tak sempat berlangsung lama. Karena Satria mendadak bergulingan di tanah. Sambil memekik seperti orang mabuk, sebelah kakinya menanduk ke depan dari bawah. Perut Dirgasura terancam bobol!
Gerakan amat cepat dan tiba-tiba si pemuda tanggung membuat Dirgasura tak sempat lagi menghindar. Dia hanya bisa melakukan tangkisan dengan sepasang pergelangan tangannya.
Dakh
"Aahhhk!"
Tubuh Dirgasura terjengkang ke belakang. Dia sungguh tak menyangka betapa dahysat tenaga tendangan bocah itu. Tangannya terasa nyeri luar biasa. Kalau dia tak menyalurkan tenaga dalam ke pergelangannya, tentu tulangnya telah remuk! Padahal jelas-jelas tubuh lawan jauh lebih kecil dibanding dirinya yang dua kali lebih besar dari orang dewasa biasa.
Dirgasura cepat menyentak otot perutnya. Bangkit dengan gaya sentakan seekor ulat jambu. Sebelum kuda-kudanya kokoh, lawan kecilnya telah menerjang kembali.
Ganas.
Meledak-ledak.
Satria telah menjelma menjadi Dewa Kematian Kecil. Penebar maut berpendar warna pelangi!
Terkaman Satria datang. Seperti ancaman seekor kucing liar di udara terhadap seekor ular. Tangannya hendak melakukan tamparan beruntun. Seperti ketika dia melakukannya pada batang pohon kelapa dalam latihan. Wajah, leher, dan dada Dirgasura sasarannya.
Dirgasura sekali lagi tak punya kesempatan untuk menghindar. Tamparan pertama memang sempat diluputkan. Kepalanya menggeleng cepat ke sisi. Tamparan kedua yang mengarah ke lehernya terpaksa harus dipapaki dengan tangan kanan.
Prak!
Punggung tangan Dirgasura remuk! Dia menjerit tertahan.
Tamparan ketiga Satria menyusul.
Dirgasura tahu, dadanya akan segera remuk seperti tulang punggung tangan kanannya. Namun bodoh sekali kalau dibiarkan itu terjadi.
Dia memilih untuk menangkis sekali lagi tamparan lawan dengan tangan kirinya. Dengan resiko akan mengalami keadaan serupa seperti tangan kanan.
Prak!
"Wuaa!"
Sekali lagi terdengar suara tulang remuk. Giliran punggung tangan kiri Dirgasura.
Satria seperti tak puas dengan hasil serangannya.
Dia memekik. Entah kegirangan. Entah pekikan kemenangan. Entah. Yang jelas sorot matanya begitu mengerikan dalam pandangan lawan. Meski sudut bibirnya terus memperlihatkan cengiran sinting.
Hanya dengan satu sentakan kaki yang sudah terlatih dalam membelah samudera dan berlari dengan beban di pantai, dia melompat melampaui kepala Dirgasura. Dengan kedua tangan terluka parah, tak mungkin lagi bagi Dirgasura untuk menyerang ke bagian atas.
Dirgasura hanya bisa mengikuti gerakan kilat Satria dengan pandangan seperti orang tercekik. Kejap berikutnya, lehernya benar-benar terkena cekikan.
Satria telah melibatkan tali Kail Naga Samudera yang terbuat dari ekor Pari Pelangi ke leher lawan. Dan satu hentakan penuh dilakukan, mengandung tenaga sakti meledak-ledak di sekujur saraf tangannya.
Sekejapan saja, sepasang bola mata Dirgasura mendelik penuh. Wajahnya bagai diterjang gelegak darahnya sendiri. Merah. Sematang mentari di ujung samudera. Lidahnya menjulur keluar. Dia meregang-regang. Kedua tangannya tak kuasa lagi untuk melepaskan jeratan Kail Naga Samudera di lehernya.
Terlepas erangan tercekik.
Nyawa Dirgasura merayap menuju pintu kematian. Tubuhnya perlahan-lahan merambat turun, tersimpuh dan akhirnya jatuh, saat Satria mengendorkan jeratan Kail Naga Samudera.
Dirgasura tertelungkup tanpa nyawa. Dari dalam tenda, terdengar pekikan seorang wanita.
"AyaaahH"
SELESAI
Segera terbit! Serial Satria Gendeng dalam episode :IBLIS DARI NERAKA
INDEX SATRIA GENDENG | |
Geger Pesisir Jawa --oo0oo-- Iblis Dari Neraka |