Life is journey not a destinantion ...

Iblis Dari Neraka

INDEX SATRIA GENDENG
Kail Naga Samudera --oo0oo-- Perempuan Pengumpul Bangkai

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

SEORANG pemuda berusia belasan merenung sendiri di sebentang pagi yang dikurung mendung. Mendung di angkasa sana, seakan bertakhta pula di wajahnya. Wajah tampan. Bergaris rahang jantan.
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan.
Angin dingin berlarian. Pakaiannya diusili, bergeletaran kecil. Juga rambutnya. Juga kulitnya. tapis tak mengusik keheningannya. Tak menggugah kebisuannya. Si pemuda tetap diam. Duduk bersandar dan bertopang dagu di atas dahan pohon besar.
Matanya menombak lurus dan senyap ke arah ubun-ubun mentari merah muda di tepi bumi sebeiah tmur.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari kulit hewan. Bercelana pangsi putih sebatas lutut. Pada kain putih pengikat pinggangnya terselip semacam tongkat pendek berwarna hitam.
Berpangkal logam perak kepala naga, berujung logam perak ekor naga.
Beberapa waktu belakangan, ada banyak bayang-bayang kejadian menjajah benaknya. Membuatnya lebih sering terdiam seperti saat ini dilakukan.
Baginya, betapa hidup begitu sulit untuk dipahami. Mencari satu maknanya saja terasa tak cukup usia yang dimiliki. Setiap kejadian seakan terputus sama sekali dengan kejadian lain. Terputus karena dibatasi sekat waktu.
Namun siapa nyana, semuanya ternyata berkait seperti rantai tak terputus. Dan ujung rantai itu adalah pernyataan bahwa hidup bukanlah miliknya semata. Melainkan juga milik Sang Pemilik Kejadian dan Waktu itu sendiri. Renungan si pemuda terpenggal.
Ada suara di kejauhan. Mengusiknya. Seekor kuda berlari kencang.
Mengarak debu tinggi dan panjang.
Penunggangnya seorang lelaki berusia tiga puluhan tahun. Berpakaian biru tua.
Mengenakan ikat kepala kuning berlambangkan satu perguruan silat bergambar cemeti lidah api. Di wajahnya tergambar ketergesaan luar biasa bertumbukkan dengan ketakutan.
Dilarikannya kuda bagai kesetanan.
Pemuda tadi tertarik. Dia melompat turun dari dahan pohon. Kebetulan sekaii penunggang kuda melewati tempatnya. Segera saja dia berteriak, mencoba menghentikan.
"Tunggu, Kakang!" Kuda meringkik karena tali kekang ditarik mendadak. Lalu berhenti tak jauh di depan pemuda tadi.
"Kenapa tampaknya Kakang tergesa-gesa sekali" Dan dari wajah Kakang, tampaknya ada kesulitan. Apakah aku bisa membantumu?" tegur si pemuda belasan.
Tanpa turun dari kuda tunggangannya, lelaki tiga puluhan tadi berkata, "Aku tergesa-gesa, Adik Muda.
Tolong jangan kau halangi jalanku!" Suara keras. Bukan karena berniat membentak. Melainkan karena dia dipengaruhi ketergesaannya.
"Maaf, Kakang. Aku bukan hendak menghalangi jalanmu. Aku hanya berharap dapat membantu jika kau punya kesulitan. Sungguh...."..... Penunggang kuda menggeleng singkat.
"Sayang. Aku tak yakin kau dapat membantu...." Setelah itu digebahnya kuda hitam tunggangannya dengan hentakan kuat berbareng teriakan keras. Kuda meringkik kembali. Lebih keras. Didahului dengan mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi akibat hentakan yang membuatnya terkejut, kuda itu pun melanjutkan lari.
Mau tak mau, si pemuda menyingkirkan tubuh ke sisi jalan agar tak terlanggar kuda.
"Izinkan aku membantumu, Kang!" seru si pemuda penasaran begitu kuda melewatinya. Jawaban yang didapat cuma teriakan-teriakan menggila si penunggang untuk memacu lari kuda lebih cepat. Dan debu yang melayap ke wajahnya. Si pemuda berambut kemerahan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dibuntutinya terus penunggang kuda tadi dengan pandangan. Menjauh dan makin jauh. Sampai dilihatnya penunggang tadi membalikkan lari kudanya kembali ke arahnya.
"Baiklah. Mungkin kau bisa menolong kami!" ujarnya, dengan napas terengah-engah.
"Kenapa kau berubah pikiran, Kang?" tanya si pemuda.
"Tak ada waktu menjelaskannya! Tapi, akan kujelaskan juga dengan singkat. Aku berubah pikiran karena kulihat kau memiliki senjata itu!" sahut penunggang kuda. Matanya melirik ke ikat pinggang si pemuda. Pada tongkat naga hitam pendek.
Si pemuda turut melirik ke arah ikat pinggangnya. Wajahnya memperlihatkan mimik ketidak mengertian.
Kenapa karena senjata di pinggangnya"
"Tak ada waktu untuk menjelaskan!" seru si penunggang kuda, ketika mata pemuda yang menawarkan pertolongan bertanya dengan pandangan matanya.
"Sebaiknya cepat kau pergi ke utara. Sekitar sepenanakan nasi berkuda, kau akan menemui perguruan silat kami. Di sana ada seorang yang sedang mengamuk membantai anggota perguruan!" Belum lagi kalimatnya selesai, lelaki penunggang kuda sudah memutar kudanya dan menggebah kembali.
"Kakang sendiri hendak ke mana"!" tanya anak muda belasan.
"Aku harus memberitahukan hal ini pada Guru Besar kami! Dia sedang beristirahat di pendapanya di Lembah Kaliangkrik!"

* * *



Perguruan Cemeti Api.
Terletak di sebelah utara wilayah Kaliangkrik. Di sana sedang terjadi kekacauan besar ketika si pemuda berambut kemerahan tiba. Kekacauan yang sebenarnya lebih tepat disebut prahara berdarah. Kancah di mana nyawa begitu gampang beterbangan.
Satu orang tokoh sesat sedang mengamuk membantai satu persatu murid Perguruan Cemeti Api yang sedang ditinggalkan guru besarnya itu. Satu persatu nyawa terbang. Teriakan demi teriakan maut melengking bersahutan.
Tumpang-tindih. Satu memenggal yang lain. Pelataran perguruan telah banjir oleh darah. Tak kurang dua puluh orang telah menemui ajal. Perbuatan teramat biadab! Tokoh sesat itu adalah seorang kakek tua seram. Kurus-kering tubuhnya. Berjubah hitam pendek sebatas paha.
Berjenggot putih amat panjang hingga mencapai lutut. usia yang demikian tua, membuat wajahnya di-penati oleh kerut-merut. Sampaisampai, pipi di bagian bawahnya ber-gelantungan.
Kira-kira seperempat hari sebelumnya, orang tua keji itu datang mengikuti seorang murid Cemeti Api yang baru pulang bertandang dari perguruan sahabat di Wadaslintang.
Diam-diam, dia menyusup masuk ke dalam perguruan tanpa diketahui. Bangunan utama perguruan dimasukinya. Demikian juga pondokan para murid. Dia mencari-cari sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Ketika yang dicarinya tak kunjung ditemukan, timbul kegusarannya. Kakek tua itu keluar ke pelataran perguruan.
Di sana dia berteriak-teriak berg-muruh dengan penyaluran tenaga dalam tinggi.
Seluruh penghuni Perguruan Cemeti Api tersentak. Mereka berhamburan keluar.
Pancasona mencoba menanyakan maksud kedatangan tak santun tamu tak diundang itu.
"Apa maksud kedatanganmu ke tempat kami, Orang Tua?"
"Aku mencari seorang pemuda!" jawab sang tamu tak diundang.
"Di sini banyak pemuda. Pemuda yang mana yang kau maksud" Siapa namanya?" "Tak peduli siapa namanya. Yang jelas, pemuda itu membawa senjata pusaka....
Kail Naga Samudera!' Hanya Pancasona yang terperanjat mendengar kalimat terakhir tamu tak diundang tadi. Di antara para murid, dialah yang paling banyak tahu tentang dunia persilatan. Termasuk Kail Naga Samudera.
Gurunya yang tergolong kalangan tua sering bercerita tentang seluk-beluk dunia persilatan padanya.
Tentang tokoh-tokohnya, tentang kejadian kejadiannya Juga tentang senjatasenjata pusaka yang pernan menciptakan kegegeran.
Salah satunya tentang Kail Naga Samudera. Senjata pusaka yang sudah demikian lama menghilang dari dunia persilatan. Dikabarkan hanyalah bagian dongeng belaka. Menurut selentingan cerita senjata itu sebenarnya adalah cemeti milik salah seorang dari tiga Jendral Tiongkok yang diutus Kubilai Khan untuk menyerang Prabu Kertanegara, Raja Singasari.
Alkisah, ketiga Jendral Tiongkok ini diperintah Kubilai Khan, cucu Jengis Khan Sang Penakluk Perkasa dari Mongol, untuk membalas penghinaan Raja Kertanegara terhadap utusan Tiongkok bernama Meng-ki. Telinga Mengki dibuat cacat oleh Raja Kertanegara. Pasukan besar Tiongkok pun menyertai ketiga jendral itu.
Setibanya di tanah Jawa Raja Kertanegara ternyata sudah wafat.
Kerajaan Singasari telah ditaklukkan oleh Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang.
Sementara itu, Kerajaan Majapahit didirikan oleh menantu Prabu Kertanegara, Raden Wijaya. Raden Wijaya sendiri saat itu sedang diburu oleh pihak Kediri.
Dengan siasatnya, pasukan Tiongkok akhirnya dikelabui oleh Raden Wijaya. Dia memanfaatkan kekuatan pasukan Tiongkok untuk menyerang Singasari yang telah dikuasai oleh Jayakatwang. Ketiga Jendral Tiongkok; Chepi, Jhekomisu, dan Kau Hsing tak pernah menyadari Singasari telah dikuasai Kediri. Mereka yang masih menyangka Prabu Kertanegara menguasai Singasari segera menyerbu. Pasukan Raden Wijaya membantu penyerangan tersebut Untuk meruntuhkan kekuasaan Jayakatwang yang telah merebut Kediri.
Negeri Majapahit yang semula hendak dibumi hanguskan tentara Kediri pun dapat diselamatkan berkat bantuan tentara Tiongkok.
Sampai akhirnya, Daha sebagai pusat pemerintahan Kediri jatuh.
Kerajaan Kediri berhasil dikuasai oleh bala tentara Tiongkok dan bala tentara Raden Wijaya. Chepi sebagai salah seorang perwira Tiongkok menganggap Raden Wijaya telah berjasa dalam membantu penyerangan mereka. Dia hendak menghadiahkan Raden Wijaya satu cambuk pusaka berbentuk naga.
Sebelum niatnya terlaksana, Raden Wijaya telah berbalik menyerang bala tentara Tiongkok. Mereka hendak diusir dari tanah Jawa. Saat kekacauan itu, cambuk Chepi yang telah menelan banyak nyawa dicuri, dan menghilang tanpa diketahui rimbanya seiama ratusan tahun.
Seperti diketahui, orang terakhir yang memiliki cambuk pusaka itu ternyata adalah Ki Kusumo, si Tabib Sakti Pulau Dedemit. Dialah yang telah menemukan benda pusaka itu berada di Pulau Dedemit. Dinamakannya cambuk pusaka itu, Kail Naga Samudera. Sebelumnya, tali cambuknya diganti dengan ekor pari pelangi dan disimpan kembali di tempat rahasia. Sampai akhirnya Satria menemukan tanpa sengaja cambuk pusaka itu. (Bacalah episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera") "Kenapa kau mengira kalau salah seorang murid perguruan kami memiliki Kail Naga Samudera, Orang Tua?" tanya Pancasona lebih jauh, setelah seluruh cerita tentang Kail Naga Samudera terlintas di benaknya.
"Aku curiga, pemuda itu akan memperdalam jurus-jurus cemeti di perguruan ini! Lagi pula, bukankah guru besarnya sudah lama memimpikan benda itu untuk dijadikan senjata-nya"!" Pancasona memperlihatkan senyum kecil. Dia tak bermaksud mengejek.
Hanya dianggapnya lucu perkataan orang tua tadi.
Senyum kecil itu justru dianggap lain oleh kakek tua kurus.
Kecurigaannya makin menyubur dalam dirinya. Dia menganggap Pancasona sengaja menyembunyikan sesuatu. Makin kuat dugaannya kalau Perguruan Cemeti Api memang telah menerima seorang murid baru yang membawa Kail Naga Samudera.
Akibatnya, dia pun mengamuk. Jauh lebih buas dan ganas dari seekor singa hutan jantan kelaparan. Caranya membunuh mengingatkan siapa pun pada ketelengasan seekor ular mematuk katak. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, ketika itu pula darah kental kehitaman tersembur. Dan nyawa pun terpental dari raga sang korban.
Di sekujur tangan dan kakinya yang terus berkelebat, berpusingan asap tipis membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Lingkaran-lingkaran asap tipis sesekali berubah warna menjadi merah bara.
Menyala. Menerkam ke calon korban.
Korban kesekian tersungkur.
Tubuhnya nyaris mengering. Biru kehitaman. Berdebam di bumi, dan melepas asap tipis kelam.
Pemuda berambut merah berdiri tercekam di pintu gerbang perguruan.
Tak berkedip, disaksikannya seluruh kejadian. Hati kecilnya tertikam geram. Dia tak habis mengerti mengapa sampai ada orang sebegitu tega membunuh sekiah puluh nyawa. Dan masih pula tak cukup. Dari apa terbuat hatinya" Darahnya dibuat mendidih.
Melepuhkan perasaannya.
Dia merasa harus bertindak.
Harus! "Berhenti kau manusia durjana!!!!" serunya nyaris berupa pekik bergeletaran. Suara teriakannya teramat mengguntur. Kekuatannya menyebabkan gerbang berderak. Pagar perguruan dari susunan potongan batang pohon bergetar. Debunya berguguran. Permukaan bumi bagai diusik lini. Dedaunan di dahan pohon-pohon randu yang tumbuh di sekitar pelataran perguruan turut berguguran. Mayat-mayat yang bergelimpangan, sekedipan mata tersentak berbarengan, seolah nyawanya berjuang untuk kembaii.Sayangnya, beberapa murid perguruan pun harus menerima akibat.
Mereka langsung mendekap telinga kuatkuat. Dengan tubuh mengerut. Untung saja akibat itu tak terlalu parah bagi mereka. Tak ada yang sempat jatuh tak sadarkan diri.
Sebentuk kesaktian yang sebenarnya tak pantas dimiliki oleh orang semuda dia. Usianya belasan.
Sementara suara bertenaga dalam dengan tingkat seperti itu hanya bisa didapat tokoh-tokoh tua tertentu yang telah mencapai tingkat olah kanuragan tertentu pula.
Hal luar biasa.
Menyentak amukan si kakek kurus jelek. Memenggalnya dalam sekejap.
Kakek telengas itu menghentikan seluruh gerakan mautnya. Berhenti dalam kuda-kuda terakhir. Mata kelabunya memburu ke arah datangnya suara.
Ditemukannya pemuda berambut merah tadi.
"Siapa kau, Cah! Seberapa besar nyalimu hingga berani-beraninya kau menghentikan aku!!" geram kakek kurus jelek, padat ancaman. Suaranya serak terseret.
Terdengar dalam, buas dan menerkam nyali.
"Siapa kau, Kakek Busuk! Seberapa keras hatimu sampai kau tega berbuat sekejam itu pada mereka"!" balas pemuda berambut merah. Matanya membersitkan kobaran kemarahan.
Sesuatu akan segera terjadi.
Nampaknya adalah pertarungan sengit. Seorang anggota Perguruan Cemeti Api terlihat melompat mendekat ke arah si pemuda. Dari penampilannya, tampak kalau dia termasuk salah seorang murid perguruan yang cukup berpengaruh.
Wajahnya keras, memperlihatkan ketegasan sikap dan ketegaran hati.
Mengenakan pakaian merah api, berbeda dengan anggota perguruan lain yang mengenakan pakaian warna biru tua seperti penunggang kuda yang ditemui pemuda berambut merah beberapa waktu lalu.
Namanya Pancasona. Murid tertua Perguruan Cemeti Api yang diberi kepercayaan memimpin perguruan selama Guru Besar Cemeti Api sedang menyepi.
Orang satu ini rupanya tak begitu yakin pada kehadiran si pemuda. Tak yakin pada kemampuannya. Apalagi dapat menghadapi kakek kurus kering.
"Pergi dari sini, Adik Muda!" peringatnya keras.
Pemuda berambut merah menoleh.
"Apa yang sesungguhnya telah terjadi, Kang"!" tanyanya.
"Bukan urusanmu, Adik Muda. Kau harus segera menyingkir dari tempat ini. Aku tak mau terjadi apa-apa pada dirimu!" Bukannya menyingkir, pemuda berambut merah malah melangkah melewati gerbang perguruan. Langkahnya tak memperlihatkan dia memiliki tingkat ilmu peringan tubuh yang tinggi.
Serampangan. Walau diwarnai kesan kegarangan.
"Aku tak akan menyingkir dari tempat ini kalau kakek busuk itu tak menyingkir lebih dahulu!" tandasnya sengit. Wajahnya tak berkedip mendelik penuh-penuh pada kakek kurus.
"Bocah bau kencur keparat! Besar sekali nyalimu memerintahkan aku Ki Ageng Sulut menyingkir dari tempat ini!" Pandangan Pancasona menyergap wajah kakek tua yang berdiri dengan segenap kebengisannya. Tiba-tiba hatinya bergetar hebat. Ki Ageng Sulut" Tak beda dengan Pancasona, pemuda berambut merah pun seketika menatap kakek kurus kering dengan pandangan mata menombak tajam.
"Ki Ageng Sulut...," desisnya perlahan, namun terisi kegeraman penuh.

* * *



--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

KI Ageng Sulut. Nama yang tak asing lagi bagi si pemuda berambut kemerahan. Mendengar nama itu, mengingatkannya pada kejadian silam.
Tentang kematian mengenaskan seorang wanita yang dekat dengan dirinya.
Wanita yang disayangi sebagaimana anak menyayangi ibunya sendiri. Kendati dia bukanlah darah dan daging wanita itu.
Nama wanita itu Nyai Cemarawangi.
Mati akibat pukulan Ki Ageng Sulut yang tak lain dedengkot golongan sesat berjulukan menggetarkan Iblis Dari Neraka! "Rupanya kaulah orangnya," geram anak muda belasan yang pernah begitu dekat dengan Nyai Cemarawangi. Siapa dia" Dia adalah Satria. Lelaki hijau yang baru saja memasuki kancah persilatan. Dalam waktu yang terbilang singkat, dia berhasil membuat kegegeran dengan mengoyak-ngoyak kekuatan gerombolan perampok besar di sekitar Pesisir Selatan Jawa Tengah, Laskar Lawa Merah. Pemimpinnya berhasil dilemparkan ke neraka! Sejak hari itu, namanya sering dihubung-hubungkan dengan sesepuh di antara sepuh dunia persilatan yang terkenal dengan julukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Bukan cuma itu, beberapa kalangan mulai menyebut-nyebut dirinya sebagai seorang pendekar muda baru yang siap menjadi besar. Mereka pun tak luput memberinya julukan. Satria Gendeng! Satria Gendeng" Ya, julukan yang lahir karena kekhasan jurus-jurusnya.
Gerakan-gerakan tempur maut yang begitu mirip dengan tingkah orang sinting! Jurus warisan dari sang guru, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Kenyataannya, orang tua sakti bertabiat kurang waras itu belum lagi tuntas menurunkan segenap kesaktiannya pada Satria. Selama ini, hanya terbatas pada jurus-jurus awal saja yang diturunkan. Kalau dengan sebegitu saja si pemuda berambut merah sudah demikian menggedor dunia persilatan, bagaimana pula jika dia telah berhasil menerima seluruh warisan ilmu kesaktian sang dedengkot" Setelah tiga bulan berlalu, Satria belum sekali pun bertemu kembali dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul bernama asli Dongdongka itu.
Dia melanglang tanpa tujuan. Melang-kahkan kaki ke mana pun kaki hendak menuju.
Satu hal yang memancing niatnya untuk meneruskan perjalanan adalah keinginan untuk bertemu dengan Tresnasari. Lalu bagaimana dengan Mayang seruni" Gadis yang begitu mirip dengan Tresnasari" Gadis yang tak disangka tak diduga ternyata putri Dirgasura, si pemimpin gerombolan perampok Laskar Lawa Merah" (Lihat kembali episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera")! Dendam pun merangas cepat di sekujur dada Satria. Bagai api yang lahap melalap.
Tercetus dengusnya.
Termuntah murkanya.
Bayaran setimpal harus dituntut.
Nyawa dilunasi nyawa! "Kau harus mati di tanganku, Manusia Busuk Keji!" maki Satria.
Otot di sekujur tangannya mengeras. Uratnya seperti menggelembung Hat. Perlahan, dalam getaran hebat digenggamnya gagang tongkat kecil berbentuk naga yang terselip di kain ikat pinggangnya. Sret! Wajah Ki Ageng Sulut berubah.
Matanya nyalang, menemukan benda dalam genggaman calon lawannya kini. Sebentar kemudian terdengar bisiknya.
"Kail Naga Samudera...." Hampir berbarengan dengan bisikan kakek kurus itu, Pancasona pun mendesiskan kalimat serupa.
Dan, senjata pusaka Kail Naga Samudera terangkat tinggi di tangan Satria. Mengabarkan ancaman.

* * *



Jauh dari prahara di Perguruan Cemeti Api, tepatnya di wilayah Tanjung Karangbolong, tempat di mana beberapa waktu lalu seorang anak muda ditempa ilmu olah kanuragan oleh dua tokoh dunia persilatan kalangan atas, Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di sana terdapat gubuk kecil. Di gubuk itu pula dua tokoh ternama tersebut kini berada.
Seperti diketahui, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit mengalami luka berat setelah bertarung amat sengit dengan seteru lamanya Iblis Dari Neraka. Sepasang kaki Ki Kusumo dibuntungi oleh kakek bengis bernama Ki Ageng Sulut itu. Hanya karena Ki Kusumo tak sudi mengobati penyakit menahun yang diderita Ki Ageng Sulut.
Dalam keadaan luka parah dan banyak kehilangan darah, Ki Kusumo mati-matian pulang ke Tanjung Karangbolong.
Kebetulan di sana ada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Sesepuh para sepuh dunia persilatan tanah Jawa itu selama beberapa lama memang sedang menggodok Satria, menurunkan kesaktiannya pada murid 'gendeng'nya.
Sementara Satria sendiri sudah meninggalkan tempat tersebut untuk menyelamatkan Mayangseruni yang menurut kabar dari seorang prajurit Demak telah disandera oleh kawanan begal Laskar Lawa Merah.
Ketika itulah tergelar dua pilihan di hadapan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedua-duanya sama-sama sulit. Antara menolong Ki Kusumo terlebih dahulu, atau menyusul muridnya yang jelas-jelas terancam oleh Ki Ageng Sulut. Sebab menurut Ki Kusumo sendiri, datuk aliran sesat itu menghendaki Kail Naga Samudera. Di lain sisi, Satria telah pergi membawa senjata pusaka itu tanpa membertahukan tujuannya (Bacalah episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera")! Dongdongka saat itu ibarat mendapatkan buah simalakama. Serba-salah.
Kalau diputuskan menolong Ki Kusumo, maka nyawa Satria yang akan terancam.
Sebaliknya, kalau diputuskan untuk menyusul Satria, justru nyawa Ki Kusumo yang akan melayang. Membingungkan. Kalau kepalanya masih berambut, bisabisa menjadi rontok. Untung sudah klimis sempurna! Sesakti-saktinya dia, tak mungkin dia berada di dua tempat dalam waktu yang sama. Kalaupun banyak desas-desus kalangan persilatan tanah Jawa rnenyebutkan dirinya bisa terlihat di dua tempat dalam waktu yang sama, itu tak menjamin dia bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus di dua tempat tersebut.
Kejadian yang disaksikan beberapa orang persilatan itu sebenarnya hanya bentuk kewaskitaan batin Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Karena kemampuan batinnya sudah mencapai taraf waskita, Dedengkot Sinting Kepala Gundul dapat melepas sementara badan halusnya dan meninggalkan wadagnya dengan cara bersemadi. Orang yang tak memiliki ketajaman mata batin, tentu mengira badan halus yang disaksikannya adalah Dongdongka sendiri. Akhir-akhirnya, Sang Sesepuh memutuskan untuk menyelamatkan Ki Kusumo terlebih dahulu. Menurut penilaiannya, keadaan Ki Kusumo jauh lebih mendesak. Dalam beberapa saja, orang tua ahli pengobatan itu akan mati kehabisan darah. Kendati untuk melaksanakan itu Dongdongka sempat juga menggerutu sepanjang arak-arakan semut rangrang! Sambil berharap-harap cemas agar murid bandelnya tak cepat-cepat ditemukan oleh Ki Ageng Sulut.
"Kusumo, kira-kira ke mana bocah itu pergi, ya?" tanya Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ki Kusumo masih belum pulih benar. Masih terbaring di atas balai. Kedua kakinya terbalut kain putih. Setelah sekian lama dalam perawatan, kaki buntungnya sudah mengering. Sebenarnya, Dongdongka tak cukup pandai merawat Ki Kusumo. Pada awalnya, tua bangka bertabiat gila gilaan itu hanya menotok jalan darah di bagian kaki Ki Kusumo yang telah buntung sebatas lutut. Tujuannya agar darah tidak lagi mengalir keluar.
Selanjutnya, dia menyalurkan hawa murni selama hampir tiga hari tiga malam. Terus menerus, tanpa henti.
Hari ke empat, saat Dongdongka sendiri sudah nyaris kehabisan tenaga, Ki Kusumo baru siuman. Setelah siuman itulah, Dongdongka meminta petunjukKi Kusumo agar dia dapat melakukan perawatan secara baik sebagaimana seorang tabib. Setidak-tidaknya tabib karbitan! Dengan petunjuk dari Ki Kusumo, Dongdongka pun dapat membuatkan ramuan-ramuan khusus untuk pemulihan kesehatan tabib ternama tanah Jawa itu.
Sampai hari ini, hasilnya sudah terlihat. Wajah Ki Kusumo sudah tak tampak memucat lagi. Meski masih lemah, namun sudah jauh lebih baik keti-bang hari-hari sebelumnya. Lebih jauh, bahkan dia sudah bisa bangkit.
Meski hanya duduk di tepi balai.
"Apakah Satria tidak bilang ke mana dia hendak pergi, Panembahan?" Ki Kusumo balik bertanya. Dari berbaring, ia mencoba duduk. Tak beradat rasanya berbincang dengan orang yang jauh lebih tua dengan berbaring, nilai Ki Kusumo.
Dongdongka sendiri sedang duduk bertopang dagu di pintu gubuk. Seperti perawan menunggu perjaka tunangan.
Wajahnya asam. Tak enak dipandang.
Malah masih lebih enak memandang bakiak butut berjamur.
Terdengar Dongdongka menggerutu.
"Kalau dia bilang, sudah aku susul bocah gendeng itu. Kau ini bagaimana, Kusumo"!" Wajah Ki Kusumo berubah cemas.
"Aku khawatir Ki Ageng Sulut menemukannya," desahnya.
"Aku juga khawatir begitu," timpal Dongdongka. Wajahnya bertambah asam.
"Kalau saja aku sanggup mencarinya," gumam Ki Kusumo.
"Kalau saja aku tak sedang mera-watmu," balas Dongdongka. Sepertinya dia mengungkit-ungkit keputusan untuk menolong Ki Kusumo. Sepertinya dia menyesal.
Padahai tidak. Ikhlas tidak ikhlas, memang sudah begitu tabiatnya.
Suka menjengkelkan siapa saja. Ki Kusumo sudah lama maklum.
"Apakah tak sebaiknya Panembahan mencari Satria" Kurasa aku sudah cukup sehat untuk ditinggal...," usul Ki Kusumo.
"Kan sudah kubilang, kalau tahu di mana bocah brengsek itu sekarang, aku sudah terbang subuh-subuh tadi!" Ah, serba salah berbicara dengan manusia buluk macam Dongdongka! Ki Kusumo terdiam. Apa akalnya agar dapat menyelamatkan Satria dari cengkeraman tangan Ki Ageng Sulut" Orang tua itu berpikir keras. Sayangnya, tak ada satu jalan pun ditemukan.
Buntu. Dongdongka mendadak terkikik geli.
"Kenapa Panembahan?" tanya Ki Kusumo kebingungan, tak paham kenapa tak ada angin tak ada hujan, Dongdongka tertawa sendiri.
Bukan tak ada sebab. Ki Kusumo cuma tak tahu. Dongdongka tertawa karena dia teringat bagaimana dia telah dipecundangi mentah-mentah oleh 'si bocah gendeng' ketika Satria hendak pergi. Juga karena dia teringat bagaimana dia benar-benar dibuat mati kutu oleh sikap Satria hari-hari sebelumnya. Mestinya, murid macam itu tak perlu dipusingkan. Mau pergi, kek. Mau mampus, kek. Mau dimakan genderuwo, kek.
Anehnya, justru dia sekarang malah, mengkhawatirkan keselamatannya.
Memusingkannya sampai tujuh keliling.
Apa yang begitu itu tidak lucu" Sampai akhirnya Dongdongka bangkit.
"Begini saja...," ucapnya sambil melangkah masuk ke tengah ruang gubuk.
Ki Kusumo menunggu kelanjutan ucapan Dongdongka.
Dongdongka malah menjatuhkan pantat di lantai tanah. Bersila, melipat tangan didada, lalu memejamkan mata.
Sia-sia Ki Kusumo menunggu ucapan orang tua bertabiat sinting itu. Apa maksudnya, cuma dia yang tahu. Sekali lagi, memang serba salah berbicara dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul!

* * *



--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

KAIL Naga Samudera di tangan Satria memperlihatkan kehebatannya. Di depan puluhan pasang mata yang menatap nanar murid-murid Perguruan Cemeti Api. Termasuk di hadapan sepasang mata yang membersitkan nafsu menguasai, mata milik Ki Ageng Sulut.
Wukh wukh wukh! Ekor pari pelangi, ekor binatang samudera yang telah musnah sekitar dua ratus tahun lalu, memancarkan sinar warna-warni manakala tangan pemiliknya memutar benda itu layaknya cemeti yang setiap saat siap dilecutkan.
Merah. Kuning. Hijau. Jingga. Menyelubungi tubuh Satria. Melingkar-lingkar, tiada berpangkal.
Suasana berubah mencekam. Deru Kail Naga Samudera seperti menyalak-nyalak. Mendengarnya seolah menemukan geram murka seekor naga.
Beberapa murid Perguruan Cemeti Api tersurut mundur tak sadar. Ki Ageng Sulut justru melepas tawa nyaring mendengking-dengking, hendak membabat wibawa deru senjata pusaka di tangan Satria. Pendekar muda berusia hijau kalap.
"Pergilah kau ke neraka!" maki-nya. Dan dia menerjang. Buas. Sepasang kaki kokohnya menghantami pelataran perguruan. Berdebam. Tangannya membuat satu lecutan sengit.
Wukh! Cletar! Udara seketika terbakar. Bunga api ramai bertaburan sesaat. Detik berikutnya, pupus diseret sambaran udara yang terbawa lecutan.
Sekali lagi, beberapa murid Cemeti Api tersurut. Kali ini dibayangi ketercekatan pada wajah masing-masing. Betapa mengerikan senjata pusaka di tangan Satria dalam pandangan mereka. Berapa menggedor nyali! Satria melepas lecutan kedua.
Sekali ini diarahkan langsung ke arah lawan. Tepatnya, ke bagian wajah Ki Ageng Sulut. Wukh..cletar! Kalau murid-murid Cemeti Api merasa kecut, Ki Ageng Sulut sebagai pihak yang harus berurusan langsung dengan kehebatan Kail Naga Samudera malah sempat tertawa. Sekejapan sebelum ujung Kail Naga Samudera menjemput sasarannya.
Begitu tiba, ujung senjata pusaka itu tak berhasil memangsa sasaran.
Bagai setan, Ki Ageng Sulut berkelit sekali. Sulit menentukan ke arah mana, karena tiba-tiba saja tubuhnya bagai melebur dengan udara.
Baru detik berikutnya sosok datuk aliran sesat itu terlihat kembali.
Hanya berpindah tak lebih dari setengah langkah dari tempat semula! Posisi menghindar yang amat berbahaya, yang sengaja dilakukannya.
Mata tajam nan jeli Satria menangkap sosok lawan sepersekian detik lebih cepat dari para penonton pertarungan. Tangkas dia memberi sambutan. Satu sodokan lurus punggung kakinya melayang. Arahnya dada lawan.
Ki Ageng Sulut tergelak singkat.
Apakah serangan lawan hanya dianggapnya sebagai permainan" Kenyataannya memang tak bertolak belakang. Dengan mudah dia mengelak.
Bahkan terlalu mudah. Disusul dengan satu dongkelan tangan di bawah terjangan kaki Satria.
Degh! Satria memekik. Tubuhnya ikut terdongkel. Terasa selangkangannya hendak terbelah. Di udara, tubuhnya dipaksa berputar nyalang.
Satu kesempatan emas terbuka bagi Ki Ageng Sulut. Tangannya yang barusan mendongkel cepat menyampok ke samping, mengejar arah putaran Satria.
Dash! "Egh!" Pekikan si anak muda sekali ini dipaksa lahir karena hantaman telak punggung tangan lawan di dadanya.
Diaterpental. Tak tanggung-tanggung, nyaris sejauh tujuh tombak. Padahal, sampokan punggung datuk aliran sesat tadi sepertinya tak akan membunuh seekor lalat pun! "Aku tak berselera membunuhmu, Bocah Bau Kencur! Berikan saja senjata itu padaku! Kau sendiri boleh menyingkir dari sini!" Satria mengerang-erang di tanah tempatnya tersungkur. Tangannya mendekap dada. Mulutnya dibasahi darah segar. Betapa sesak dadanya. Betapa sakit seluruh bagian dalam tubuhnya.
Namun, sinar matanya sendiri seakan tak pernah menganggap sakit dan sesak itu ada. Matanya tetap memancarkan tantangan seekor singa muda. Tetap melecutkan kesan keangkeran padat ancaman. Sebentuk keberanian menghadapi tokoh paling ditakuti seantero persilatan tanah Jawa yang terlampau jarang dimiliki oleh pemuda lain seusianya. Mendengar peringatan lawannya, bibir Satria malah tersungging, mencemooh.
"Kau boleh memiliki benda ini kalau kau telah berhasil membuatku mampus," tandasnya, tegas.
Satria bangkit. Biar terseok. Tak lama, dia sudah sanggup berdiri dengan segala kegarangannya. Tempaan keras selama ini membuat ketahanan tubuhnya demikian mengagumkan. Tangannya mengeras lagi. Terutama genggaman pada Kail Naga Samudera.
"Kau mau benda ini?" Satria melecutkan Kail Naga Samudera.
"Rebutlah dari tanganku!" tantangnya. Rupanya dia memilih untuk bertahan, setelah serangan sebelumnya tidak membawa hasil.
"Keparat kecil! Kau benar-benar tak tahu adat!!!! Jangan menyesal bila kulempar kau ke liang lahat!" Pancingan Satria berhasil menjerumuskan kegusaran lawan lebih dalam. Rencananya untuk bertahan sekarang terwujud dengan menghamburnya serangan Ki Ageng Sulut.
"Hiah!" Wukh! Tangan kurus berbalut kulit keriput Ki Ageng Sulut, Si Iblis Dari Neraka yang terkenal menakutkan dengan pukulan menyalanya, menerkam leher, dada, dan perut Satria. Ganas tak terkata.
Satria tegang. Pukulan beruntun datang dengan cepat. Namun pemuda berjiwa ksatria itu telah siap.
Matanya bahkan telah menangkap dengan demikian jeli ke mana arah serangan lawan. Hanya dalam waktu yang demikian sempit, dipusatkannya segenap perhatian kepada serangan lawan.
Dibangkitkannya kesiagaan yang telah terlatih selama mengarungi samudera berkarang tajam di sekitar Pulau Dedemit. Pada puncaknya....
"Haaaa!" Berbareng teriakan menggila seakan hendak mengoyak pita suara di kerongkongan sendiri, Satria membuat tiga gerakan dari jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' yang dikembangkan sendiri secara naluriah olehnya saat itu juga.
Plak! Plak! plak! Serbuan tiga pukulan beruntun Ki Ageng Sulut termentahkan. Padahal rentang waktu antara satu pukulan dengan yang lain demikian sempit.
Mungkin lebih cepat dari waktu yang dipergunakan seekor ular untuk mematuk mangsa! Ki Ageng Sulut dipaksa terperangah. Tak disangka sama sekali lawan bau kencurnya sanggup bergerak cepat mempecundangi serangan cepatnya. Lebih dari itu, datuk sesat golongan sesat kalangan atas ini pun dibuat sekejap terpana mengetahui lawan mudanya sama sekali tak beranjak dari tempat semula. Tenaga pukulan beruntunnya seperti tak mengusik kuda-kuda pemuda tanggung itu. Kakinya seperti terpacak dan mengakar ke dalam bumi.
Ki Ageng Sulut terlalu meremehkannya! Selang beberapa kejap berikutnya, dalam tenggang waktu yang demikian singkat, Satria mengirim serangan balasan. Pinggangnya meliuk gemulai menyamping lebih dahulu. Seperti seorang perawan penari ular. Lawan sulit menduga apa yang hendak dilakukannya. Tangannya mengembang.
Lawan mengira kedua tangan itu hendak menumbuknya dari samping kiri kanan.
Kala berikutnya, punggung pemuda tanggung itu yang justru membuat dorongan bertenaga ke ulu hati Ki Ageng Sulut.
Serangan yang ganjil dan benarbenar sulit diduga! Ki Ageng Sulut kecele.
Karena dasarnya dia tokoh yang telah kenyang makan asam garam, gerakan memperdaya lawan tidak sempat mendarat di sasarannya. Dia hanya agak kelimpungan dalam menghindar. Membuat badannya agak terhuyung ke belakang.
Posisinya jadi kurang menguntungkan.
Satria tak menyia-nyiakan kesempatan. Jarak yang agak terentang lebih lebar dengan lawan memberinya peluang untuk menyambar kepala lawan dengan sapuan tinggi menyamping dengan kakinya. Sikap meremehkan lawan Ki Ageng Sulut telah membawa akibat buruk untuknya sendiri. Dalam rangkaian serangan yang belum terputus, sudah telanjur untuk memperbaiki sikap.
Satu-satunya jalan adalah mengambil jarak aman terlebih dahulu. Setelah itu, memulai gempuran baru.
Untuk itu, Ki Ageng Sulut harus bisa menyelamatkan diri dari sapuan kaki lawan mudanya yang demikian cepat. Hampir-hampir tak memberi kesempatan untuk dibendung dalam pertahanan yang demikian rapuh bagi Ki Ageng Sulut.
Sekali lagi Sang Datuk Sangar dibuat kelimpungan. Dia memilih untuk menangkis serangan. Menghindar terlalu sulit. Di samping posisinya sudah demikian terjepit, belum tentu gerakan menghindarnya bisa meiebihi kecepatan sapuan kaki lawan.
Saat yang sama, tenaga tendangan Satria dialiri tenaga dalam berkekuatan tinggi yang seringkali mengalir keluar tanpa disadarinya.
Tenaga dalam yang lahir begitu saja akibat berbaurnya Ramuan Pulau Dedemit racikan Ki Kusumo dengan zat langka dasar samudera. Tenaga dalam yang pernah melempar beberapa nyawa anggota Laskar Lawa Merah hanya dalam sekali kepruk! Tenaga dalam yang hanya bisa diperoleh oleh para pendekar-pendekar berusia lanjut dalam tempaan bertahun-tahun.
Dagh! "Keparat!" maki Ki Ageng Sulut, terdengar lebih mirip erangan.
Pergelangan tangannya terasa nyeri teramat sangat. Berdenyut-denyut sampai ke uiu hati. Bahkan kekokohan tangkisannya menjadi tergoyahkan.
Tangannya terdorong kuat. Hampir saja menghajar kepalanya sendiri.
Dengan memanfaatkan tenaga kuat sapuan kaki lawan pada pergelangan tangannya, Ki Ageng Sulut memperlebar jarak.
Kemudian dia melakukan putaran tubuh di atas tanah empat kali. Dan akhirnya menjejak kembali ke bumi.
Jemari tangan kanan yang dipergunakan untuk menangkis tadi tampak meremas-remas, mencoba mengenyahkan rasa nyeri yang masih saja berdenyar-denyar.
Siapa anak muda sundal ini" Rutuknya membatin. Kenapa tenaga dalamnya sudah seperti orang persilatan kalangan atas" Kalau kukira-kira, mungkin tak jauh beda dengan kekuatan tenaga dalamku sendiri, bisik-bisik hati Ki Ageng Sulut berlanjut. Sementara matanya tak kunjung terlepas menatap lawan bau kencurnya.

* * *



Di gubuk tepi pantai Tanjung Karangbolong, Ki Kusumo hanya bisa menatapi keheran-heranan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Sebelumnya dia terus menggerutu, memusingkan bagaimana cara menyelamatkan murid mereka yang besar kemungkinan sedang dalam intaian bahaya.
Sekarang, tak ada angin tak ada kentut, tiba-tiba saja dia duduk bersila di tengah ruangan.
Sudah lewat sepeminum teh, Sang Sesepuh Persilatan tanah Jawa itu begitu. Sampai sejauh itu, Ki Kusumo masih tetap saja menduga-duga apa maksudnya. Orang tua ahli pengobatan itu terus memperhatikan. Sampai suatu ketika, samar-samar Ki Kusumo menyaksikan sebentuk sinar lembut tipis merayap keluar dari sekujur badan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Pada awalnya demikian samar.
Nyaris saja mata Ki Kusumo tak menangkapnya. Lama kelamaan, sinar itu makin tegas. Berangsur-angsur pula sinar tadi merayap naik ke atas tubuh Dongdongka. Bentuknya menjadi lebih jelas dan lebih jelas. Ki Kusumo baru mengerti maksud sahabat tuanya ketika disaksikan dengan seutuhnya kini sinar dari dalam tubuhnya telah berwujud Dongdongka.
Wujud kembaran itu seperti terlepas dari badan si tua bangka yang diam tanpa gemik. Pada akhirnya, wujud kembaran Dongdongka terlepas dari jasad aslinya.
Penampakannya benar-benar sulit dibedakan, antara Dongdongka yang sedang duduk bersila dengan kembarannya yang kini berdiri tegak di depannya. Ki Kusumo tak berbuat apa pun.
Juga tak berniat mengusik Dongdongka yang bersila. Ataupun menegur kembarannya yang berdiri diam.
Sepenuhnya dia telah paham, yang terbaik baginya adalah diam.
Dalam beberapa tarikan napas, kembaran Dongdongka sirna dari tempatnya.

* * *



"Kenapa kau menyingkir seperti itu, Orang Tua Busuk" Bukankah kau katakan kau ingin memiliki benda ini?" cemooh Satria. Diacungkannya Kail Naga Samudera ke depan.
Ki Ageng Sulut menggeram. Cukup sudah, tandasnya dalam hati. Dia tak bisa main-main lagi dengan pemuda tanggung yang dianggapnya bau kencur namun kenyataannya memiliki tenaga dalam nyaris setingkat dengannya.
Permainan usai! Kedua tangan orang tua keriput itu bergerak. Untuk gerakan yang baru, terlihat getaran kecil namun hebat.
Lama kelamaan, di sekujur tangannya berpendaran sinar lamat merah bara.
Ki Ageng Sulut mulai mengerahkan kesaktian yang telah begitu lama menjadi momok menakutkan dunia persilatan tanah Jawa! Geraknya makin melambat. Sebaliknya, pendaran merah bara di sekujur tangannya makin menguat. Wajahnya terpulas cahaya itu. Membangun kesan mengerikan. Padat ancaman.
Satria sadar, dia kini dihadapkan pada ancaman amat berbahaya. Nyawanya jadi taruhan. Bersamaan dengan hembusan napas panjang Ki Ageng Sulut, tepattiga langkah dari Satria, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul muncul. Secara tiba-tiba! Seolah dedemit gentayangan yang keluar dari persemayamannya.
Semuanya terkesiap.
Satria. Begitupun seluruh murid Perguruan Cemeti Api.
Tak terkecuali Ki Ageng Sulut.
Baginya, tokoh tua satu ini adalah lawan paling berat yang pernah hidup di bumi Jawadwipa ini. Seteru paling tangguh. Padanan yang paling berbahaya. Sebab, kesaktian mereka bisa terbilang setingkat. Hanya jalan yang mereka ambil bersilangan satu dengan yang lain. Ki Ageng Sulut memilih jalan sesat. Sebaliknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memilih jalan lurus. Kesaktian sepadan keduanya membuat mereka harus bertumbukan sebagai seteru.
Terhitung sudah lima kali mereka pernah berurusan. Keduanya mengadu kesaktian. Sampai saat itu, tak ada satu pun yang dapat dikatakan menggenggam kemenangan.
Kalau Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu hadir hari ini, itu bisa berarti hilangnya kesempatan Ki Ageng Sulut mendapatkan Kail Naga Samudera.
Padahal dia telah menanti saat itu selama puluhan tahun. Puluhan tahun! Bukan waktu yang singkat. Terutama kalau dia harus menderita penyakit menjijikkan! Ki Ageng Sulut benci keadaan itu.
Dia benar-benar gusar.
Di lain pihak, Dongdongka berbisik perlahan pada Satria, murid gendengnya.
"Satria, kembali kau! Sekarang juga!"
"Tapi," kilah Satria.
"Jangan pakai tetapi. Kau harus kembali sekarang juga! Tak mungkin kau unggul menghadapi kakek jelek itu! Atau kau mau membiarkan tanah Jawa menjadi ladang pembantaian berdarah?"
"Apa maksudmu?"
"Percayalah. Kakek jelek itu, cepat atau lambat akan berhasil merebut Kail Naga Samudera dari tanganmu, karena kau belum siap menghadapinya. Jika pusaka itu sampai jatuh ke tangannya, maka prahara besar akan segera meledak di tanah Jawa ini...."

* * *



--¤¤¦ « 4 » ¦¤¤--

JURANG di kaki Gunung Sumbing.
Seorang gadis muda tanggung sedang digantung pada satu pohon tak begitu besar yang tumbuh miring di dindsng jurang. Kakinya diikat dengan oyot pohon.
Sedangkan kepalanya tergantung ke bawah. Rambut panjangnya tergerai lunglai menutupi bagian besar wajahnya. Keadaan gadis muda itu sungguh berantakan. Wajahnya sudah kotor.
Begitupun pakaiannya dan rambutnya.
Mengenakan pakaian pendekar wanita berwarna merah hati. Sudah demikian kusam warnanya. Tangannya terikat di sisi tubuh oleh oyot pohon yang sama.
Dari sela-sela geraian rambutnya, tampak wajahnya yang cantik.
Keadaannya yang dekil tak menutupi pancar pesona di wajahnya. Wajah itu agak pucat Bibirnya mungil dan berwarna pucat pula. Matanya yang berbulu lentik hitam terpejam. Tubuh gadis muda itu tergantung diam, seolah-olah telah kehilangan nyawa.
Dasar jurang gelap, sulit bagi cahaya matahari terjun langsung hingga ke sana. Tak banyak pohon yang sanggup hidup tanpa sinar matahari seperti itu. Kalaupun ada, hanya enam tujuh pohon yang tumbuh menyamping di dinding jurang. Itu pun karena mereka masih dapat menerima sedikit cahaya matahari yang kebetulan bisa menerobos hingga tempat nya.
Ketika sore menapak, suasana makin menjadi kelam.
Kabut bergerak iambanterhuyung, merayapi dasar jurang dan kaki tebing.
Sepanjang hari, kabut memang tak pernah beranjak dari tempat itu.
Jangankan malam, di siang hari pun tetap ada. Keadaannya yang lembab dan dingin memungkinkan hal itu terjadi.
Tak di bawah tempat gadis muda tadi tergantung, tergeletak tumpukan kerangka manusia. Sebagian di antaranya masih memiliki daging mem-busuk. Ulat-ulat menjijikkan bergeliat-geliat di sekitarnya.
Bau bangkai menebar ke mana-mana, seakan memadatkan segenap penjuru dasar jurang. Satu sosok bayangan lalu keluar dari satu sudut tebing. Kegelapan menyelimutinya. Di antara gerayangan kabut, sosok itu seperti penjelmaan hantu dasar jurang. Terbungkuk-bungkuk dia bergerak mendekati tempat gadis muda tadi tergantung. Dari baya-ngannya, tampak rambutnya yang panjang dan kaku. Sulit menentukan pakaian yang dikenakan. Namun samarsamar tampak seperti mengenakan kurungan kain compang-camping yang sama kaku dengan rambutnya.
Tepat di bawah gadis muda yang tergantung, sosok bayangan seorang nenek itu berhenti. Kepala nya menengadah, melihat si gadis muda.
Sebentar kemudian, tubuhnya terguncang-guncang bersama kikik meningginya.
"Apa kau masih bersikeras, Gadis Hijau"!"tanyanya kemudian. Suaranya serak.
Mengusik bulu roma.
"Ayo bicaralah. Jangan diam saja seperti itu. Aku tahu kau masih sadar, bukan?" lanjutnya. Lamat-lamat, bola mata sayu gadis muda terbuka. Kalau saja keadaannya tak begitu kacau seperti saat itu, tentu sepasang bola matanya akan memperlihatkan daya pikat sempurna.
Sesempurna purnama yang mengambangi angkasa raya.
Bibir pucat keringnya bergerak kecil.
"Kenapa kau berbuat seperti ini padaku, Nek?" desahnya, lemah. Hampir-hampir sulit didengar.
"Hi hi hi! Kau jangan melucu, Gadis Hijau. Aku memintamu menjadi muridku. Tapi kau menolak. Kau membuatku jadi marah. Lalu bagaimana aku tidak ingin memberimu pelajaran?"
"Tapi, kau tak berhak memaksaku...."
"Siapa bilang"! Kau telah lancang memasuki tempat kediamanku. Karena kau kini berada di tempatku, maka aku berhak bertindak apa saja terhadapmu...," serbu si nenek berwajah amat menjijikkan. Dua bola matanya besar.
Biji matanya berurat kemerahan.
Sekeliling matanya berwarna biru legam. Seluruh wajahnya dipenuhi keriput bercampur kudis berlendir.
Bibirnya pucat berkerut-kerut.
"Aku tak pernah bermaksud lancang ke tempatmu, Nek."
"Hi hi hi, siapa peduli! Yang jelas, hukumku adalah hukumku. Aku yang menentukan apakah kau salah atau tidak. Karena kau kuputuskan bersalah, maka kau harus menerima hukuman. Kau bisa lepas dari hukumanku apabila kau menjadi muridku!" Beberapa saat si gadis tak mengeluarkan kalimat susulan. Lidahnya yang terlalu kelu sudah sulit untuk mengeluarkan kata tambahan. Ditambah lagi rasa kering kerontang mencekik kerongkongannya.
"Baiklah, aku bersedia," katanya samar, akhirnya.
Si nenek buruk rupa tertawa kegirangan. Kikik menyeramkan merambahi tebing, menelusupi kabut.
Seperti dengking sekawanan siluman perempuan.

* * *



Ki Ageng Sulut tertawa tanpa tedeng aling-aling ketika mengetahui bahwa Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang tiba-tiba datang pada Kenyataannya bukan wujud sempurna. Hanya badan halus orang tua sakti itu saja yang tiba. Sedangkan wadagnya sendiri di tinggal dalam gubuk di pantai Tanjung Karangbolong.
Si datuk sesat mengetahui hal itu ketika menyaksikan wujud seteru lamanya tak berbuat apa-apa, kecuali berdiri di tempatnya. Meskipun Ki Ageng Sulut tak bisa mendengar langsung bisikan batin yang dikatakan badan halus Dongdongka kepada Satria, namun tokoh sesat kelas atas itu sedikit banyak bisa menduga apa maksudnya. Lagi pula, kalau memang Dongdongka telah hadir di sana tentu dia tak akan berdiam diri demikian rupa seperti karobing congek.
Sebaliknya, besar kemungkinan dia akan kegirangan setengah mampus bakal berurusan kembali dengan musuh sesat terberat. (Kegirangan" Jangan heran.
Maklumlah, dia memang 'sinting'!) Melihat semua gelagat itu, Ki Ageng Sulut pun mulai menyadari.
Ketika terakhir berbicara dengan Ki Kusumo, rupanya tercetus pemikiran Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk berusaha menghubungi murid bandelnya dengan jalan melepas badan halusnya.
Karena badan halus tak lagi terbatas oleh ruang, Dongdongka dapat menjumpai Satria di mana pun dia berada. Juga dengan waktu yang teramat singkat.
Setelah hampir sekian lama memusingkan cara menyelamatkan muridnya, baru kali itu si tua bangka terpikir demikian" Jadi, selama ini 'ngelantur' ke mana saja pikirannya" Kembali ke halaman Perguruan Cemeti Api. Menunggu lebih lama, tentu akan teramat bodoh bagi Ki Ageng Sulut.
Terutama setelah mengetahui keberadaan Dedengkot Sakti Kepala Gundul sebenarnya.
Karena itu pula, dia menghambur kembali ke arah Satria. Tak dihiraukan penampakkan badan halus tua bangka seterunya.
Pada kenyataannya, ketika dengan sengaja Ki Ageng Sulut melanggar Dongdongka, memang tidak terjadi apa pun. Orang tua bengis aliran sesat itu seperti melanggar asap. Sekelebatan kemudian, penampakan Dedengkot Sakti Kepala Gundul memupus bagai dilarikan angin.
"Mampuslah kau, Bocah!" seru Ki Ageng Sulut seraya menusukkan jari-jari kanan berwarna merah bara ke tenggorokan lawan muda belianya.
Ganas. Sadar peringatan gurunya, Satria siaga menyambut lawan. Terlambat sudah untuk melaksanakan perintah Dedengkot Sakti Kepala Gundul untuk segera menyingkir dari tempat tersebut. Lagi pula, Satria sendiri memang tak sedikit pun memiliki niat untuk melakukannya. Tak ada kata mundur dalam bertempur! Maju menjemput maut.
Rebah tanpa nyawa, lebih baik daripada menyingkir.
Deb! Sekian kedip lilin sebelum jemari merah bara si Iblis Dari Neraka merobek tenggorokannya, Satria tangkas mengangkat batang Kail Naga Samudera.
Dengan senjata pusaka itu, ditangkisnya serangan bengis lawan.
Gempuran pertama dapat dimentahkan. Namun, bukan berarti dia telah lolos dari ancaman maut. Sebab, satu patukan tangan lawan yang lain mencoba mencuri dari samping. Pelipis Satria hendak dilobanginya! Satria sadar sesadar-sadarnya, lawan bisa mengirimnya ke liang lahat cepat atau lambat. Peringatan gurunya bukanlah main-main semata. Orang seperti Dongdongka saja sudah menganggap Ki Ageng Sulut begitu berbahaya, apalagi untuk Satria" Sementara Dongdongka adalah satu tokoh persilatan tanah Jawa yang julukannya saja sudah sanggup menggebuk nyali warga persilatan seantero Jawa Dwipa.
Sedangkan Satria sendiri" Cuma bocah baru besar. Hijau. Tak terlalu meleset pula untuk dikatakan bau kencur.
Menghadapi empat jari maut yang meleset tajam ke pelipisnya, Satria tidak ingin mengambil risiko dengan menghadangnya. Jika dia mencoba menangkis, besar kemungkinan tangannya akan tertembus. Karena tampaknya, patukan jari tangan si Tua Bangka telah dialiri tenaga dalam tingkat tinggi. Sekaligus pengerahan kesaktian yang mengandung tenaga panas luar biasa. Panas yang sanggup melobangi kulit, daging bahkan tulang. Seperti baja membara menembus lilin! "Haiiih!" Kepala anak muda itu berkelit tangkas ke belakang. Jari tangan lawan lewat begitu saja, dua jengkal di depan wajahnya. Ketika itu, tercium bau udara terbakar. Salah satu kehebatan yang dihasilkan jurus Tepukan Iblis Kematian'. Celakanya, Satria sedikit pun tak menyadari kehandalan jurus ini.
'Tepukan Iblis Kematian' adalah salah satu jurus maut milik si Iblis Dari Neraka yang begitu khas. Karena inti kekuatannya bukan terletak pada hantaman tangan langsung pemiliknya, melainkan pada angin sambarannya! Memang, Satria bukanlah Ki Kusumo yang mengetahui dengan jelas kehebatan jurus lawan ( kisah pertarungan Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit, dengan Ki Ageng Sulut dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Kail Naga Samudera")! Bukan pula seteru besar bagi Ki Ageng Sulut layaknya Dongdongka. Dia hanyalah seorang pemuda tanggung yang baru saja memasuki medan ganas dunia persilatan.
Akibatnya.... Srat! Inti kekuatan pada angin sambaran tangan Ki Ageng Sulut melebur benteng keraton dalam jarak sekitar satu tombak, langsung menyambar kepala si pemuda tanggung.
"Akh!" Ketika itu juga, Satria terlempar deras ke belakang.
Keras. Udara terbelah luncuran tubuhnya.
Jauh. Pada saatnya, jatuh berdebam meninju bumi. Satria tak kuasa bangkit lagi.

* * *



Dari semadinya, Dongdongka tersentak. Keheningannya terkoyak. Dia bangkit seperti bocah kecil baru tersadar dari mimpi menakutkan. Wajah berkeriputnya tertarik tegang. Kelopak matanya mendelik-delik seolah tercekik.
"Bencana... bencana...." Sumpah serapahnya menyusul kemudian. Di depan balai Ki Kusumo, tua bangka itu hilir-mudik sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri dengan bambu tipis yang tak pernah lepas dari tangannya. Tak lepas, meski sedang buang hajat sekalipun. Ki Kusumo kebingungan. Namun, setidaknya dia bisa mengendusi sesuatu yang genting telah terjadi.
"Ada apa Panembahan?" tanyanya.
"Celaka seratus tujuh belas! Bocah gendeng kita 'ngejoprak', prak! Si Jelek Ageng Sulut bisa-bisa melarikan Kail Naga Samudera...," cerocos Dongdongka, menyemburnyemburkan ludah sendiri.
Ki Kusumo mendesis. Entah apa yang diucapkannya.
"Celaka...," ujarnya kemudian.
"Aku juga bilang begitu barusan, bukan"!"
"Jadi, apa yang harus kita lakukan"!"
"Aku ingin sekali memenggal kepala si Jelek Ageng Sulut itu, yang atas dan yang 'bawah'!"
"Maksudku, bagaimana dengan Satria?"
"Sudah kubilang, dia 'ngejoprak'!" "Bagaimana kita bisa menolongnya, maksudku?" Dongdongka menepak kening keraskeras.
"Astaga, iya ya! Kenapa aku jadi lupa pada bocah gendeng itu. Kalau dia mati lebih dulu, bagaimana pula aku bisa mati"!" Dongdongka menerjang pintu gubuk begitu saja. Gedubrak! Pintu gubuk hancur berantakan.

* * *



--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

DUA tahun berlalu. Tanpa terasa, bagai hembusan angin datang dari negeri yang jauh dan tiba-tiba saja sampai. Waktu memang selalu piawai memperdayai manusia.
Sejak peristiwa di Perguruan Cemeti Api, dunia persilatan tanah Jawa kehilangan dua tokoh besar: Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Keduanya tak terdengar kabar beritanya.
Menghilang dari dunia persilatan seolah menguapnya genangan air di gurun luas.
Sebaliknya, julukan Iblis Dari Neraka merebakkan ketakutan di mana-mana. Di banyak tempat, tak peduli di sudutsudut tanah Jawa, orang tua telengas sakti itu menebar bencana.
Sepak terjangnya kian berangasan.
Terutama setelah menguasai Kail Naga Samudera yang berhasil direbutnya dari tangan Satria. Pembantaian besar-besaran berlanjut dari hari ke hari.
Sudah tak terhitung perguruan silat yang disatroni. Warganya ditum-pas seolah sekawanan lalat. Darah membalurkan anyir di bumi tanah Jawa.
Ini hari di sana. Besok di sini.
Satu nama terus disebut-sebut dengan sehimpun nada ketakutan di mana-mana. Satu nama terus dihubung-hubungkan dengan setiap pembantaian keji....
Iblis Dari Neraka! Tua bangka bertabiat iblis yang selalu membawa senjata pusaka berbentuk naga sepanjang dua tahun belakangan.
Bagaimana pula dengan nasib si pemuda tanggung berhati pualam bertekad baja" Di mana pula Ki Kusumo dan Dongdongka"

* * *



Kotapraja Kerajaan Demak. Siang yang terik. Seorang pemuda berjalan gagah.
Usianya masih tergolong muda, belum mencapai kepala dua. Badannya kekar berotot.
Rambutnya lurus, memanjang kemerahan sampai batas bahu. Wajahnya tak begitu tampan, namun memancarkan daya tarik kuat. Terutama pada matanya. Sepasang bola mata pemuda itu memancarkan kepribadiannya. Ada kesan ketegasan, kewibawaan, kemantapan hati, kejernihan jiwa. Semuanya ber-gabung dan menciptakan kekuatan tadi di matanya. Rahangnya terlihat kokoh dengan garis yang memikat. Bibirnya tipis. Ada bulu-bulu kehijauan di sekujur dagu dan rahangnya.
Membuatnya makin terlihat gagah.
Pemuda itu mengenakan pakaian bulu dari kulit binatang berwarna kelabu. Bercelana sebatas lutut berwarna hijau tua. Kepalanya ditutup caping lebar, menyembunyikan ketampanannya di balik bayang-bayang.
Suasana di alun-alun cukup ramai, tak terlihat seperti hari-hari biasa.
Beberapa pedati yang ditarik lembu tampak melintasi jalan Pesiar Raya, jalan utama yang menghubungkan pela-buhan dengan Keraton. Jalan Pesiar Raya terbuat dari susunan bata.
Beberapa orang berjalan hilir-mudik.
Kebanyakan rakyat jelata. Sementara satu-dua orang priyayi atau saudagar melintas dengan mengendarai kuda.
Hari pasaran jatuh pada hari itu.
Hari di mana para pedagang memanfaatkan beberapa tempat di sekitar kotapraja untuk mengadu peruntungan.
Di beberapa sudut terlihat para pandai besi dari kampung pandean menggelar dagangannya. Di sudut lain, terlihat beberapa pedagang dari Gujarat yang khusus datang dari kampung Pekojan di sekitar alun-alun. Sudut lain sudah pula diisi oleh pedagang-pedagang dari kampung Kauman lain. Termasuk para pedagang Cina dari Pecinan. Bersebelahan dengan alun-alun, tepatnya di sebelah Selatan, berdiri keraton. Tembok dan gapura keraton terlihat megah dan kokoh. Dua orang prajurit selalu tampak berjaga di kedua sisi gapura.
Di sebelah barat alun-alun, berdiri satu bangunan megah, tempat penduduk muslim melaksanakan salat.
Bentuknya segi empat. Memiliki atap bersusun. Mereka menyebutnya Masjid Raya.
Pemuda yang baru tiba berjalan tak cepat, tak juga lambat. Langkah-langkahnya mantap, memperlihatkan kekokohan kakinya. Tiba di persim-pangan jalan langkah si pemuda terhenti. Ada iring-iringan kecil melintas dari arah utara.
Di depan iring-iringan terlihat seorang penunggang kuda. Pakaian yang dikenakan memperlihatkan jabatan penting dalam keperwiraan kerajaan. Di belakang pengendara kuda, berbaris empat orang prajurit berseragam. Salah seorang di antaranya membawa semacam umbul-umbul hijau bergambar simbol kebesaran Kerajaan Demak. Tak terlihat terlalu mewah, namun kesannya megah berwibawa.
Beberapa orang yang kebetulan berjalan berbarengan dengan pemuda berambut kemerahan turut berhenti.
Sikap mereka berubah. Ada gelagat kalau mereka berusaha bersikap hormat pada iring-iringan yang lewat.
Iring-iringan melintas. Saat itu, si pemuda bercaping sempat mencuri pandang ke arah lelaki gagah penunggang kuda. Dia dibuat terkejut demi menemukan wajah orang itu. Tanpa sadar, dilepasnya caping seraya menyebutkan satu nama.
"Kakang Bagaspati...." Ucapannya tadi sampai ke telinga penunggang kuda. Sebentuk suara berwibawa mencelat keluar dari kerongkongannya. Berat, agak serak.
Berpengaruh.
"Berhenti!" Empat punggawa di belakangnya berhenti. Beriring dengan ditariknya tali kekang kuda.
"Satria" Bukankah kau Satria?" sapa penunggang kuda. Nadanya terdengar membubung dihempas kegirangan. Wajah itu memang dikenali pemuda berbaju kulit binatang. Wajah bersih.
Tak begitu tampan, namun bermuatan prabawa. Usianya masih terbilang belum terlalu tua, menjelang masa-masa kematangan. Pada sepasang bola matanya, terpancar ketajaman, seakan dapat menemukan satu kuman tersembunyi di dasar lautan. Dia adalah orang penting dalam jajaran keperwiraan Kerajaan Demak.
Namanya Abdul Malik Bagaspati. Seorang yang sudah tak asing lagi bagi si pemuda.
Ketika bertemu sekitar dua tahun lalu, jabatannya masih Manggala.
Kalau menilik dari pakaiannya, tentu jabatannya sudah menanjak beberapa tingkat. Besar kemungkinan sebagai imbal jasa dari Raja Demak atas keberhasilannya menumpas gerombolan Laskar Lawa Merah.
(Baca kembali kisah sebelumnya: "Geger Pesisir Jawa") Di lain sisi, ada kenyataan lain yang tak mungkin dipungkiri oleh Bagaspati. Keberhasilan tugas mulianya tersebut bukanlah semata keberhasilannya memimpin pasukan. Melainkan, karena uluran tangan seorang pemuda belia yang meledakkan kegemparan hebat di segenap penjuru dunia persilatan dengan membunuh pemimpin gerombolan Laskar Lawa Merah, Dirgasura.
Kenyataan itu memberatkan hati Bagaspati menerima penghargaan jasa langsung dari Raden Fatah. Penyebabnya, dia merasa tak pantas untuk itu. Sebaliknya, seluruh penghargaan semestinya dilimpahkan kepada pemuda belia yang telah membantunya.
Dengan jujur, Bagaspati mengungkapkan hal ikhwal keberhasilan penumpasan Laskar Lawa Merah kepada Raden Patah. Dia sungguh tak ingin nanti anak cucunya mengejeknya sebagai seorang pahlawan kesiangan. Orang yang sesumbar tentang jasa-jasanya pada negara setelah perjuangan mencapai keberhasilan untuk mendapatkan bintang jasa. Sementara di medan perjuangan dahulu, justru dia tak lebih dari seorang badut pengecut.
Si pemuda belia kini dijumpai kembali. Dialah Satria. Tokoh muda kita. Selang dua tahun ini, wajah, perawakan sekaligus penampilannya memang cukup jauh berubah. Kendati demikian, tak ada kesulitan sedikit pun bagi Bagaspati untuk mengenalinya.
Bagaspati turun dari punggung kuda. Dihampirinya Satria dengan suka-cita melimpah pada parasnya.
Dirangkulnya pemuda itu hangat-hangat, seolah sahabat lama yang baru saja berjumpa kembali selama bertahun-tahun. Tawanya bahkan terdengar meletup-letup, meski sebagai seorang abdi dalam istana dia selalu berusaha untuk tidak begitu. Orang-orang yang kebetulan berdiri di sana menatap terheran-heran pada pemuda berbaju bulu binatang.
Hati mereka tak habis bertanya, bagaimana seorang perwira tinggi Kerajaan Demak bisa begitu suka cita bertemu dengan seorang pemuda yang penampilannya saja tak lebih bagus dari seorang penggembala kerbau"

* * *



Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri si anak muda setelah kejadian di Perguruan Cemeti Api" Ketika itu Dongdongka jelas mengetahui di mana keberadaan murid gendengnya setelah dia melepas jasad halusnya dari wadag. Mengetahui keadaan Satria dalam kegentingan, segera disusulnya pemuda itu.
Di sana, ternyata Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka sudah tidak ada lagi di tempatnya. Pergi membawa senjata pusaka yang seharusnya berjodoh dengan Satria, Kail Naga Samudera.
Dibawanya kembali Satria ke Tanjung Karangbolong.
Di sana, Ki Kusumo mengobatinya.
Setelah sembuh, Satria digodok kembali oleh mereka dua tokoh kelas atas dunia persilatan tanah Jawa. Itu sebabnya selama dua tahun mereka seperti hilang disembunyikan zaman.
Selama dua tahun lebih, pemuda berhati pualam, berkehendak sekeras baja murni menjalani tempaan. Baik itu berupa tempaan jasmani maupun rohani.
Jurus-jurus silat tingkat tinggi Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit diterimanya.
Ajian-ajian ampuh dipelajarinya.
Nilai-nilai darma kesatriaan dikucur-kan ke dalam batin nya. Bagai sosok Gatotkaca yang harus dimasukkan dalam Kawah Candradimuka untuk mencapai tingkat demi tingkat kesaktiannya.
Usai dua tahun.
Apakah dengan begitu Sang Dedengkot Gendeng Dongdongka berhasil mencapai keinginannya untuk menemui ajal sendiri yang sudah begitu lama didamba" Pertanyaan yang tak mudah untuk ditemukan jawabannya. Karena, apa pun alasannya, bagaimanapun ngototnya usaha diperjuangkan tokoh sakti sesepuh para sepuh golongan lurus bertabiat sinting itu, urusan kematian bukan sekali-kali ditentukan seenak udel oleh dirinya sendiri. Nyawa adalah milik Sang Pencipta. Datang dari-Nya, dan kelak akan kembali padaNya.
Kapan waktu kembalinya si nyawa, Juga menjadi hak-Nya untuk menentukan.
Seperti sudah dimaklumi, menurut perhitungan Dongdongka, dia akan segera memasuki pintu kematian dengan tenang dan damai setelah tuntas menurunkan seluruh kesaktian pada murid pilihannya.
Pada purnama kedua puluh lima, satu purnama setelah seluruh ilmu Ki Kusumo dan Dongdongka diwariskan kepada Satria, Dongdongka memanggil pemuda itu.
Dongdongka duduk bersila di tepi pantai kala itu. Menghadap samudera yang tak pernah lelah mengayun gelombang. Tak pernah letih menyenandungkan puji-pujian kepada Sang Pencipta. Duduknya hening. Napasnya pun seolah larut dalam setiap desah ombak.
Satria mendatanginya dari belakang.
"Kenapa Kakek memanggilku?" tanya pemuda tanggung itu.
Tak ada jawaban sampai beberapa tarikan napas. Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih mempertahankan keheningannya.
"Duduklah di sebelahku, Cah Gendeng," pinta Dongdongka sejurus kemudian.
Satria memenuhi permintaan gurunya. Bersilalah dia tepat di sisi kiri Dongdongka. Menghadap samudera seperti gurunya.
"Aku ingin menyampaikan satu hal yang penting kepada dirimu, Cah," mulai Dongdongka. Suaranya perlahan, menyelinapi setiap desir angin pantai.
"Katakan padaku, Kakek." Dongdongka menghimpun napas.
Dalam. Padat. Sarat. Mata kelabunya mencengkeramai setiap gemulai samudera di kejauhan sana.
"Dua tahun lebih kau telah menerima ilmu-ilmu dariku, juga dari Kusumo. Malam ini, tuntas sudah kewajiban kami terhadapmu." Tak ada tanda-tanda kalau kesintingan Sang Dedengkot Sinting hari itu akan kambuh. Kata-katanya mengalir demikian datar.
"Tiba waktunya bagi kami berdua untuk melepasmu, memberimu kesempatan untuk mengamalkan seluruh kepandaian yang telah kau miliki. Bukan hanya sekadar untuk 'hidup'. Lebih dari itu, kami berharap kau dapat mengamalkannya untuk 'kehidupan'" Satria tepekur mendengarkan. Rasa nya, memang sudah semestinya dia cepat-cepat kembali ke dunia persilatan. Ada banyak urusan yang sebelumnya tak terselesaikan. Satu ha! besar yang begitu mengusik pikirannya adalah Ki Ageng Sulut. Orang yang bertanggung jawab pada kematian Nyai Cemarawangi, juga orang yang telah merampas Kaii Naga Samudera dari Satria. Suatu saat, akan direbut nya kembali senjata pusaka itu, tekad Satria membatin.
"Sebelum kau kulepas, ada satu pemberian akhir dariku yang hendak kuserahkan padamu malam ini," lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Apa itu, Kakek?"
"Ajian Melepas Sukma'. Satu ajian yang tak bisa dipelajari sembarang orang, kecuali bagi yang memiliki kemurnian hati Kemurnian itu mendo-rongnya untuk selalu membersihkan sukma. Kebersihan sukma itulah yang memungkinkannya untuk mendapatkan ajian 'Melepas Sukma'." Melepas Sukma" Satria bertanya membatin. Ajian macam apa lagi itu" Sebentar, dia pun teringat pada kejadian ketika Ki Ageng Sulut menggempur habis-habisan di pelataran Perguruan Cemeti Api. Bukankah dia menyaksikan gurunya datang, yang pada dasarnya kehadirannya itu hanya diwakili oleh sukmanya"
"Untuk hal itu, kau tak memerlukan waktu lama.
Aku cukup memasukkan 'kunci'nya ke dalam dirimu.
Sebab, kau telah memenuhi syarat untuk menerimanya."
"Kunci?" gumam Satria. Di benaknya, terbayang sebentuk kunci sebesar jempol kaki Buto Ijo. Bagaimana caranya benda seperti itu hendak dimasukkan ke dalam dirinya" Jangan-jangan gurunya hendak memaksanya menelan kunci. Atau setidak-tidaknya, akan dibuat semacam lobang di udelnya untuk memasukkan kunci itu. Apa iya begitu" Satria meringis. Ngeri.
"Kunci, Kakek?" tanyanya, ingin meyakinkan diri sendiri.
Dongdongka mengangguk.
"Besar apa tidak?" susui Satria sambil menelan ludah susah-payah.
Dongdongka kontan tergelak-gelak detik itu juga.
Tepat tengah malam, keduanya sudah terlihat duduk bersila berhadapan. Masih di tempat yang sama.
Telapak tangan keduanya bertemu di depan.
Dalam diam, dalam hening, dalam bisu yang dalam, keduanya tetap mempertahankan posisi.
Lama. Malam beringsut. Dini hari jatuh.
Pada kokok ayam pertama, tubuh keduanya tampak mulai bergetar.
Awalnya hanya sebentuk getaran halus.
Lama kelamaan makin kasar. Selanjutnya seperti ada hentakanhentakan yang memaksa tubuh keduanya melonjak-lonjak kecil.
Kening, wajah, leher, dan sebagian tubuh Dongdongka dibasahi peluh. Asap tipis mengepul lamat dari setiap lobang pori-pori kulitnya.
Sebaliknya, tubuh Satria justru tampak diserang oleh rasa dingin luar biasa.
Uap tipis mengambang lambat. Juga dari seluruh lobang pori-porinya. Bibirnya sudah tampak membiru. Gigi-giginya saling beradu, bergemeletak halus.
Lalu rembang pagi mengambang diam-diam di cakrawala sebelah timur Getaran tubuh kedua guru-murid itu pun melemah dan melemah. Sampai akhirnya tenang kembali. Hening kembali. Bisu kembali.
Tangan Satria terjatuh, beriring terjatuhnya tangan si tua bangka Dongdongka. Satria yakin segalanya telah usai. Selama itu, dia tak merasakan apa pun. Aneh memang. Padahal mestinya dia mendapatkan serangan rasa dingin yang menyengat hingga ke tulang sumsum. Seingatnya, dia hanya merasakan ada sesuatu mengalir sejuk dari telapak tangan gurunya. Mengalir lagi melalui telapak tangannya lalu berdesir cepat bagai meliuknya seekor belut ke bagian dalam badannya di antara tulang belikat. Selain itu. tak ada.
Kelopak matanya pun dibuka. Kaget juga dia begitu menyaksikan pemandangan yang dilihatnya di depan.
Matanya sampai membesar.
Matikah Dongdongka" Bukankah menurut perkiraan Dongdongka sendiri, dia akan segera dijemput maut jika seluruh kesaktiannya telah diturunkan pada sang murid, termasuk ajian akhir 'Melepas Sukma'" Dua tiga tindak dari tempat Satria, si tua bangka ternyata sedang nungging di atas pasir.
Apa yang sedang dilakukan Kakek" Satria kebingungan. Disangkanya tindakan Dongdongka sebagai bagian dari upacara penyerahan kunci ajian 'Melepas Sukma'. Satria keliru besar.
Sebab, tak lama kemudian terdengar suara raungan Dongdongka.
"Tobat tobaaaat, ya Gusti Agung! Kenapa aku belum modar juga!" Dan Dongdongka pun menangis seperti anak monyet kehabisan jatah pisang.

* * *



--¤¤¦ « 6 » ¦¤¤--

KUUNDANG kau ke keraton, Satria!" cetus Bagaspati yang kini telah menjadi salah seorang Patih Kerajaan Demak. Satria tercengang. Ke keraton" Bukan main, pikirnya. Tempat yang sebenarnya tak pernah mimpi untuk dimasuki.
Tempat orang-orang besar.
Bukan dirinya. Karena dia cuma satu dari wong cilik. Bahkan dengan keadaannya kini yang tidak pernah lagi mengetahui asal-usulnya, dia mungkin lebih pantas disebut gembel pengelana.
Gubuk mungkin lebih pantas untuknya.
Atau padang rumput, atau lembah, atau bukit, gunung yang semuanya terbuka.
Sementara atapnya adalah langit.
Meskipun, langit dan bentangan bumi pada hakikatnya jauh lebih megah dari keraton termegah sekalipun....
"Jangan terdiam seperti itu, Dinda Satria!" tegur Bagaspati ketika ajakannya ditanggapi Satria dengan mulut menganga. Baru kali itu pula disebutnya Satria dengan panggilan Dinda, sebagai orang yang berusia lebih muda. Seolah-olah Satria sudah benar-benar berada dalam lingkup tata krama kraton.
"Maksud Kakang, bertemu dengan Raja?" Mata Satria mulai membesar.
Lugu sekali dia. Sifat murni seorang bocah yang masih saja dimilikinya meski usianya sudah menapaki awal kedewasaan. Bagaspati tersenyum.
"Itulah maksudku! Sudah lama aku ingin memperkenalkan kau dengan Kanjeng Susuhan!"
"Memperkenalkan aku?" Nganga si pemuda tanggung makin melebar.
"Aku sudah menjelaskan, bukan aku yang sebenarnya paling berjasa besar menumpas Laskar Lawa Merah. Bukan aku.
Tapi, tampaknya Kanjeng Susuhan tak cukup puas sebelum dia menjumpai langsung orang yang kumaksud."
"Kakang sudah bertemu orangnya?" tanya Satria. Lagi-lagi lugu.
"Tentu saja kau!"
"Aku?"?"" Satria nyengir-nyengir kuda.
"Ah, masaaaaak"!" Anak muda itu masih belum mengerti benar kenapa dia hendak dipertemukan dengan Raja Demak yang menguasai sebagian besar tanah Jawa" Mulutnya mau mengulur pertanyaan untuk keadan yang belum dimengertinya, tapi Bagaspati sudah mempersilahkan dia untuk menaiki kuda. Setelah sebelumnya dia naik lebih dahulu.
Kaki Satria baru saja sampai pada pijakan di sisi perut kuda ketika satu kelebatan tiba-tiba memangkas udara dari arah samping. Arahnya deras menuju Satria. Ada desir tajam mengancam terbawa kelebatan itu.
Menyambar laksana tukikan elang.
Wesh! Satria menggerakkan tangan sekali, menyambut kelebatan bayangan seseorang. Satu tamparan amat cepat yang akan memenggal telak-telak kelebatan tadi. Hampir bisa dipastikan.
Namun, kejadiannya justru tak begitu. Sambutan tangan kokoh si pendekar muda tak lebih memangsa angin. Arah gerak kelebatan tadi mendadak berubah pada jarak dan kecepatan yang sebenarnya nyaris tidak mungkin untuk melakukan tindakan itu.
Seperti gerak Dewa Penunggang Angin.... Luar biasa!! Selanjutnya kuda milik Bagaspati meringkik nyalang. Kelebatan sosok bayangan tadi mengejutkan, menyebabkan binatang itu mendepak-depakkan kaki depan tinggi-tinggi ke atas. Liar.
Bagaspati susah-payah berusaha menenangkan hewan itu kembali dengan ketangkasan yang terlatih selaku seorang Patih kepercayaan.
Satria sendiri sudah memutar badan, mengikuti arah gerakan kelebatan bayangan tadi. Sekali lagi dia dipaksa terperanjat manakala menyadari matanya tidak lagi menangkap apa pun. Kelebatan bayangan tadi sudah menghilang. Udara seakan telah menyembunyikannya.
Mata tajam Satria mencari-cari.
Waspada. Disiapkannya kuda-kuda, tanpa mempedulikan apakah kuda jantan besar di belakangnya akan menghantamkan kaki depan ke bokongnya. Pada dasarnya, Satria memang lebih mengkhawatirkan kelebatan bayangan tadi. Dia cepat menilai bahwa orang yang hendak mencari perkara barusan bukan orang sembarangan. Kesaktiannya sulit diukur olehnya, kendati dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dua tokoh kenamaan tanah Jawa....
Menurut perkiraannya pula, bisa jadi orang itu setingkat dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ya, Satria yakin! Lantas bagaimana dia tak menanggapnya sebagai satu bahaya besar, jauh lebih besar dari amukan seekor kuda liar" Bagaspati masih berkutat di atas punggung kuda agar tak terlempar, keempat prajurit pengawalnya memper-siapkan posisi. Tombak di tangan mereka diacungkan ke depan. Mata keempatnya turut mencari-cari si biang keladi.
Sampai terdengar suara cekikik tinggi dari pucuk pohon besar yang tumbuh di tepi jalan utama. Mendirikan bulu roma siapa pun pendengarnya.
"Hi hi hi hi!" Satria mendongak. Keempat prajurit turut pula. Sama-sama mereka temukan pemandangan menggetarkan nyali. Di pucuk pohon tempat asal tawa telah bertengger seorang nenek tua, yang tidak hanya jelek tapi sekaligus mengerikan.
Bagaspati yang merasa sia-sia menjinakkan kuda jantan nya segera saja melompat tangkas dari punggung hewan itu. Dengan sekali putaran ringan di udara, dia menempatkan diri di samping kiri Satria.
"Siapa dia Kang Bagaspati?" aju Satria.
Bagsspati sudah pula menyaksikan nenek jelek di pucuk pohon. Wajahnya berubah. Mengeras. Ada garis-garis yang sulit diterjemahkan. Bersit matanya yang selama ini tak pernah kehilangan ketegasan untuk beberapa jenak seperti tergetar, laksana pancar api lilin terhembus angin. Bukan persoalan takut penyebabnya. Apalagi untuk seorang ksatria sejati seperti dirinya. Lebih tepatnya ada sebentuk keterperanjatan teramat sangat.
"Nini Jonggrang...," desisnya kemudian, dalam getar suara yang sulit disembunyikan. Seperti dugaan Satria, Nini Jonggrang memang seorang nenek yang tingkat kesaktiannya tak berbeda dengan gurunya sendiri Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di rimba persilatan tanah Jawa, Nini Jonggrang lebih dikenal dengan julukan Nenek Pengumpul Bangkai.
"Hey, anak muda berambut merah!" tukas nenek yang disebut Patih Bagaspati dengan nama Nini Jonggrang.
Tidak ada lagi anak muda berambut merah lain yang dimaksudnya kecuali Satria.
Satria terpana-pana. Apa urusannya dengan si nenek jelek itu sampai dia yang pertama kali ditukasi" Apa telah terjadi kesalah pahaman" Tak peduli pada keterpanaan Satria, nenek jelek tadi menyambung ucapan bersuara sama serak dengan teriakan lapar sekawanan burung pemakan bangkai.
"Katakan pada gurumu, Dongdongka, bahwa urusan lama antara aku dengannya belum lagi tuntas. Kau sebagai muridnya, akan menerima pula ganjaran atas kesalahan yang telah dibuat gurumu terhadapku!" Meski berpantang untuk membiarkan rasa takut tumbuh dalam dirinya, tak urung Satria merinding mendengar ancaman barusan. Jangan pernah menganggap ancamannya main-main, begitu hati kecilnya memperingati.
"Ada urusan apa antara kau dan guruku sebenarnya, Nenek?" tanya Satria berseru.
Dia tak ingin terjerumus dalam satu urusan yang sama sekali tak diketahui sebab musababnya.
Jawaban yang didapat cuma tawa terkikik pendek menohok langit. Untuk yang terakhir, terisi oleh tenaga dalam berkekuatan tak terukur.
Satria mendekap telinga kuatkuat. Tubuhnya terbungkuk mengejang.
Liang telinganya seperti dirasuki oleh ular berbisa. Patih Bagaspati mengalami keadaan serupa.
Keempat prajurit pengawal mengalami nasib lebih sial. Mereka langsung terjengkang di tempat tanpa sempat menjerit. Sebagian selaput otak mereka pecah di dalam. Dari lobang telinga mereka mengalir darah segar. Mereka memang tak memiliki tingkat tenaga dalam seperti Patih Bagaspati atau Satria.
Lebih gila dari itu, ada sekitar tiga orang lain yang harus mengalami nasib tak kalah menyedihkan dengan keempat prajurit. Mereka cuma rakyat jelata yang kebetulan berada amat dekat dengan tempat kejadian. Mereka tentu saja tak tahu menahu. Namun, mereka tetap membayar terpaksa dengan nyawa.
Begitu gema kikik hanyut dalam gelombang di angkasa, Satria membuka mata. Disaksikannya seluruh dedaunan tempat si nenek bertengger telah rontok sama sekali.
Tak ada sisa sehelai pun.
Terpangkas tuntas.
Sedangkan Patih Bagaspati menemukan kuda jantan gagah dari tanah Arab miliknya telah terbujur mengejang. Mulutnya mengeluarkan buih yang masih mengalir lambat.
Satria menggeram amat dalam saat pandangannya berpindah ke arah tujuh sosok mayat yang bergelimpangan di sekitar jalan utama. Darahnya mendidih. Terutama karena disaksikannya tiga orang lelaki desa yang hendak berdagang di kotapraja dan kebetulan berjalan satu arah dengannya, telah turut terbantai.
Tahu pula dia kini bahwa nenek sakti bernama Nini Jonggrang tadi bukanlah manusia sejenis gurunya.
Sesinting-sintingnya Dongdongka, tak akan begitu gampang menurunkan tangan keji pada orang lemah. Dia memang bukan seorang sesepuh yang begitu gencar menegakkan keadilan dan memerangi kebatilan. Namun dia masih cukup pantas untuk disebut sebagai tokoh golongan putih.
Sedangkan Nini Jonggrang tak lebih dari tokoh aliran sesat!

* * *



--¤¤¦ « 7 » ¦¤¤--

SATRIA dan Patih Bagaspati terpaksa kembali ke kraton berdua tanpa prajurit pengawal. Jarak tak begitu jauh ke keraton. Itu sebabnya mereka cukup berjalan kaki. Jenazah keempat prajurit dan tiga orang desa untuk sementara diurus oleh beberapa orang warga. Patih Bagaspati sendiri yang meminta tolong pada mereka.
"Kalau aku boleh tahu, ada urusan apa antara gurumu dengan Nini Jonggrang?" tanya Bagaspati, dalam perjalanan menuju kraton. Satria menggeleng.
"Aku tak tahu jelas, Kang," jawabnya."Kakek Dongdongka pun tak pernah menceritakan tentang itu padaku." Bagaspati mengangguk-angguk. Jawaban Satria sudah memadai. Meskipun dia tak mendapatkan jawaban atas persoalan yang sebenarnya.
Dalam segala hal yang menyangkut keamanan seluruh wilayah Kerajaan Demak, Bagaspati merasa bertanggung-jawab.
Apalagi karena dalam urusan yang baru diketahuinya ini telah jatuh tujuh korban jiwa. Dia harus mengetahui inti permasalahan sebenarnya. Karena, sudah tentu Raja Demak akan menanyakan jatuhnya korban jiwa tersebut langsung padanya. Namun karena Satria tidak tahu menahu, dia bisa menyelidikinya lain kali.
Hal paling mengusik Bagaspati sebenarnya adalah kemunculan Nini Jonggrang. Ketakutan besar yang pernah terjadi puluhan tahun silam memb-yang kembali di benak Bagaspati. Waktu itu dia masih begitu kecil, masih berusia delapan tahun.
Ketika bermain di pinggir sungai di satu wilayah Kediri, dia menyaksikan puluhan mayat lelaki dibawa arus sungai. Di atas salah satu bangkai, berdiri perempuan tua mengerikan. Dia tertawa terkikik-kikik menggidikkan, seakan baru saja menemukan kepuasan teramat sangat.
Saat melewati tempat Bagaspati kecil bersembunyi, perempuan menjelang tua itu melirik. Matanya merah seperti hendak membakar dari jauh nyali si bocah. Bibirnya menyeringai dengan lelehan lendir berwarna kemerahan.
Bagaspati kecil tersuruk mundur ketakutan. Si perempuan menjelang tua malah meneruskan tawa, dan terus dibawa arus sungai dengan menunggang bangkai.
Beberapa lama kemudian, didengarnya kegemparan yang melibas segenap wilayah Kediri, Tentang pembantaian orangorang persilatan yang dilakukan oleh perempuan menjelang tua. Satu julukan terus didesas-desuskan ke mana pun dia pergi.... Perempuan Pengumpul Bangkai.
Ada kabar burung santer bergulir di segenap penjuru Kediri bahwa Perempuan Pengumpul Bangkai adalah wanita yang menuntut ajian sesat.
Untuk penyempurna kesaktiannya, dia membutuhkan sejumlah mayat. Mayat itu sendiri harus didapatkannya dengan jalan membunuh langsung.
Setiap mayat yang berhasil didapatnya, dipindahkan ke satu tempat tersembunyi melalui sungai....
Bayang-bayang menakutkan masa kecil Bagaspati dibuyarkan oleh hadangan tangan Satria di depan dadanya.
"Ada apa Satria?" tanyanya.
Pemuda di sisinya hanya menatap lurus ke depan. Bagaspati mengikuti arah tatapan Satria. Ditemukannya seorang sedang menghadang jalan mereka. Orang itu mengenakan caping lebar. Bayangan caping menutupi seluruh wajahnya dan sebagian dadanya.
Untuk sementara, masih sulit untuk menentukan lelaki atau perempuan.
Tubuhnya tak terlalu tinggi. Berpakaian serba hitam. Kulitnya putih.
Sedikit memucat.
"Kenapa menghadang jalan kami, Saudara?" Bagaspati melontar pertanyaan. Seperti enggan untuk mengeluarkan suaranya, penghadang tadi menggangkat tangan kanan. Ditunjuknya Satria dengan gerak lambat berkesan mengancam. Satria merengut.
"Ada apa dengan diriku?" protesnya tak menerima. Jelas-jelas dia merasa baru kali ini berjumpa dengan orang itu. Satria yakin, meskipun dia belum bisa menemukan wajah di balik caping itu. Lalu kenapa tibatiba dia mendapat tudingan.
Sial benar nasibnya ini hari.
Dengan kali ini dia sudah mendapatkan urusan dua kali. Kedua-duanya dari orang yang sama sekali tak dikenalnya.
Pertama dari seorang nenek jelek.
Sekarang dari orang bercaping yang wajahnya mungkin rata, atau hidungnya sebesar dengkul. Dan siapa tahu pula dengkulnya malah sebesar hidung" Menjengkelkan! "Kau harus bertarung denganku!" tandas orang bercaping. Suaranya seperti sengaja hendak disamarkan.
Namun sudah cukup jelas bagi telinga Satria maupun Bagaspati.
Nah, lo! Satria tambah merengut.
Ini lebih gila lagi, pikirnya. Tak ada angin tak ada kentut, bisa-bisanya orang itu mengharuskan dia untuk bertarung. Apa tidak gila kedengarannya"
"Aku tak punya urusan denganmu!" tepis Satria. Bukan persoalan takut.
Dia hanya tak ingin berurusan tanpa alasan jelas.
"Tak perlu membuat urusan denganku dulu untuk memulai pertarungan!" Satria mengeraskan rahang keraskeras. Kalau terus begini, bisa-bisa dia terpancing untuk bertarung juga akhirnya. Dongkol sebesar kepalan centeng terasa melonjak ke tenggorokan mendengar perkataan orang bercaping.
Masa bertarung tanpa ada urusan" Itu kan, sama saja dengan orang gila yang tertawa tanpa sebab" Orang ini gila apa waras" Satria berjuang untuk tetap tenang. Sabar, pikirnya. Beberapa persoalan biasanya cukup diselesaikan dengan kesabaran.
Bagaspati maju dua tindak.
Jabatannya sebagai seorang petinggi istana menyebabkannya merasa harus menjadi penengah dalam persoalan dalam negeri. Biarpun pada dasarnya setiap tanggung jawab dalam negeri tidak dibebankan padanya.
"Sebaiknya kita membicarakan masalah ini dengan kepala dingin, Kisanak," ucapnya. Dari caranya menyebut 'kisanak' tampaknya dia menganggap penghadang tadi seorang lelaki.
"Tak perlu!" tepis si penghadang tegas.
Angkuh sekali orang ini, rutuk Satria dalam hati. Tak bisa tidak, kejengkelannya bertambah membesar.
Entah sebesar panu atau koreng.
Pokoknya membesar.
"Tapi leluhur bumi JawaDwipa ini mewariskan musyawarah pada kita, bukan?" Bagaspati terus mencoba.
"Kubilang tak perlu! Aku hanya harus bertarung dengan dia dan membunuhnya!" hardik si penghadang.
Tambah lagi kejengkelan Satria.
Sekarang, kejengkelannya sudah luber.
Kesabarannya sakarat. Sedikit lagi.
Yang jelas penyebab utamanya adalah ucapan terakhir si penghadang. Membunuhku" Cibir Satria membatin. Apa dikiranya dia sejenis lalat dari selokan keraton yang gampang ditepuk, plok! Lantas modar" Sial benar! Kesabaran Satria, si pemuda yang mulai sering disebut-sebut dengan julukan Ksatria Gendeng ini benar-benar bures ketika si penghadang melepas tendangan terbang berbahaya ke pelipis Bagaspati....
"Hiaa!" Deb! Sodokan punggung kaki penyerangnya dihindari Bagaspati.
Mulus. Tak tampak gelagat Sang Patih Demak satu ini hendak membalas. Tak seperti Satria, kematangan usia dan godokan keprajuritan yang diterimanya selama ini membuat dia lebih bisa menguasai diri.
Kejap berikutnya, tubuh orang bercaping berputar di udara. Kaki yang lain membuat satu sapuan menyamping.
Arahnya tetap pelipis Bagaspati.
Bagaspati merasa dikejar. Dia tak bisa menghindar lebih jauh. Karenanya, dihadangnya sapuan kaki lawan dengan kedua pergelangan tangannya.
Dash! Orang bercaping tak puas sampai di situ. Tiba di bumi, kedua tangannya mencecar bergantian. Sasarannya beberapa titik mematikan di tubuh Bagaspati. Serbuan yang terbilang kejam untuk seorang yang belum pernah berurusan dengan lawan sekalipun! Bagaspati mengendusi hawa mematikan dalam setiap gempuran tangan lawan. Bersamaan dengan itu, tumbuh kesadaran dalam dirinya, serangan lawan tak bisa dihadapi hanya dengan menangkis atau menghidar semata. Harus ada perlawanan.
Selain itu, dari benturan pertama tadi saja Sang Patih Kerajaan Demak itu sudah bisa mengukur tingkat ilmu kanuragan lawan. Jika tak salah menduga, lawan berada setingkat dengan dirinya untuk kehandalan memainkan jurusjurus silat. Dan untuk satu hal kekuatan tenaga dalam orang bercaping malah berada di atas Bagaspati.
Bahaya setiap saat mendatangi Bagaspati. Dab! Dab! dab! Satu gerak tangan lawan mematuk lurus ke tenggorokan Bagaspati.
Bagaspati mencoba menahan dengan telapak tangannya. Karena tenaga dalamnya berada sekian tingkat di bawah lawan, tangannya terdorong. Hampir saja menghantam wajah sendiri.
Sisa gempuran tangan lawan memburu cepat, deras, ganas ke jantung, ulu hati, dan dua buah pinggangnya.
Kejap itulah Bagaspati menyadari satu hal lagi. Dalam kerepotan menghadapi serbuan tangan lawan, matanya membeliak lebar. Tak sadar, didesiskannya satu kalimat....
'"Enam Patukan Sang Pengumpul Mayat'!" Untuk melepas kalimat itu, Bagaspati harus membayar cukup mahai.
Lawan mendadak sontak menaikkan kaki kanan tinggi-tinggi. Mata Bagaspati mengikuti tanpa sadar. Begitu kepalanya mendongak, kaki lawan membuat gerakan memenggal dari atas.
"Ahk!" Tubuh Sang Patih Perkasa terdorong. Langkahnya kacau, tak bisa lagi mengendalikan kuda-kuda. Wajahnya berhasil didarati telapak kaki lawan.
"Kang Bagaspati!" Satria tercekat. Untuk bertindak, tampaknya sudah terlambat. Namun untuk menyelamatkan nyawa satu-satunya perwira tinggi yang begitu setia dengan Raden Fattah, dia masih punya kesempatan.
"Heeaaatt"

* * *



--¤¤¦ « 8 » ¦¤¤--

JANGAN tanya bagaimana gusarnya Satria menyaksikari sepak terjang orang bercaping. Sudah cukup dia berdiam. Sudah cukup. Api tak mungkin tak membakar kalau tak ada yang menyulut. Seperti seekor singa jantan, Satria menerkam untuk menyelamatkan Bagaspati dari patukan sepasang tangan orang bercaping yang mengancam tenggorokannya, titik tubuh yang sedang terbuka lebar saat lelaki itu menengadah kesakitan. Tidak, mungkin lebih tepat diibaratkan seperti seekor lumba-lumba jantan yang sedang menukik ke permukaan laut setelah menggapai udara.
Wukh! Dash! Benturan hebat terjadi di udara siang yang semakin bersinar garang.
Antara ujung jari-jemari orang bercaping dengan tinju Satria.
"Aih!" Pekikan mencelat dari kerongkongan orang bertopeng. Pekikan asli yang tak lagi dibuat-buat. Tak lagi disamarkan demikian rupa. Sebentuk suara yang semakin jelas menunjukkan apakah orang itu perempuan atau lelaki. Berbareng dengan itu, Satria pun mengeluh tertahan.
Tubuh dua seteru itu terpental.
Melayang di udara beberapa tombak seperti dua batang bambu yang dihempas ledakan mesiu. Keduanya berputaran di udara. Keduanya memang menguasai peringan tubuh cukup sempurna. Dan tingkat tenaga dalam mereka pun sepertinya cukup berimbang.
Satria berhasil memacakkan kaki.
Demikian pula lawannya.
Meskipun tampak berimbang, dalam segebrakan barusan Satria mendapatkan sedikit kemenangan. Entah bagaimana caranya, tangan pemuda baru turun ke rimba persilatan itu sudah memegang caping lawan. Kini, terbukalah penampakan wajah orang bercaping. Parasnya bukanlah teka-teki lagi, bukan pula rahasia lagi. Wajah yang diterjang tegas-tegas sinar matahari siang si pemilik caping memaksa Satria terperangah.
Dia tak hanya kaget. Juga tak menyangka. Wajah itu... memang telah mendekam cukup lama dalam ingatannya! Bahkan sudah begitu lekat. Lekat, seketat mulut kerang dasar samudera! "Mayangseruni?"?""

* * *



Dongdongka sedang tepekur merenungi perjalanan nasibnya. Karena sudah terlalu lama hidup di atas dunia, dia sampai tak tahu pasti sudah berapa usianya. Mungkin lebih dari seratus. Atau dua ratus" Atau lebih" Semenjak belasan tahun belakangan, dia dibuat sebal, kesal, dongkol, jengkel, dan sejenisnya dengan segala tingkah tengik dunia.
Seperti seorang yang telah begitu kekenyangan memakan sesuatu sampai akhirnya malah menimbulkan kemuakan.
Inginnya dia mati, biar terlepas seluruh beban yang selalu menggang-gunya selama masih bernapas dan menyaksikan ketengikan tadi.
Dan, kalau sedang ingat pada Tuhan, doanya cuma satu. Dimohonnya agar Sang Gusti Agung segera mengirim malaikat maut untuknya. Sampai sekarang, doa itu belum juga terkabul, bul bul! Kadang-kadang, sempat terpikir oleh sesepuh bangkotan ini bahwa Tuhan mungkin kikir. Dia toh, tak minta macammacam. Orang lain silakan me-mohon setengah mampus sampai terjungkal-jungkal untuk mendapatkan harta sebanyak dunia dan seisinya, atau jabatan setinggi ubun-ubun langit, atau kesenangan yang melimpah ruah seperti adonan bubur kebanyakan air.
Sedangkan dia kan, cuma minta mati. Mati, mati, mati. Sekali lagi mati! Apa susahnya buat Tuhan" Waktu melihat lalat yang begitu mudah mampus tergenjet kotoran kerbau, Dongdongka cemburu.
Waktu ada seekor semut mati dengan sukses tenggelam di genangan air, Dongdongka juga ngiri banget-banget.
Begitu gampangnya mereka mati" Jangan-jangan Tuhan bukannya kikir.
Barangkali, cuma pilih kasih" Idih, hidup kenapa sulit sekali dimengerti! Si tua bangka sesepuh dunia persilatan tanah Jawa itu berada di tepi sungai. Sudah cukup jauh dari Tanjung Karangbolong. Di atas sebuah batu besar, dia berjongkok. Apa enaknya tepekur sambil berjongkok" Maklum, saking kebelet mau mati, cara duduk yang lebih nyaman saja sampai lupa.
Bertopang dagu dia. Matanya sayu tanpa binar menatapi arus sungai yang mengalir lambat tenang. Gemericik damainya tak pernah bisa dinikmati Dongdongka. Seperti juga tak bisa dinikmatinya kerlap-kerlip pantulan sinar matahari di permukaan sungai.
Bibir kendor leiaki bosan hidup itu terus menggumamkan satu kata berulang-ulang.
"Mati... mati... mati...
mati...." Kasihan dia. Sikapnya sudah seperti orang linglung. Sinting sih, tidak. Sebab, dia sendiri sebenar nya sudah terbiasa bertingkah sinting.
Malah dia mulai bosan dengan hal itu.
Suatu saat, pandangan hambarnya diusik oleh seekor burung kecil yang menukik tiba tiba dari udara menuju permukaan air sungai. Tukikannya cepat dan tangkas. Di permukaan sungai, burung kecil itu menyambar seekor ikan kecil. Dibawa larinya si ikan kecil ke udara.
Ikan kecil malang menggelepar gelepar di himpitan paruh si burung.
Maut seperti akan segera menjemputnya.
Dan sebentar lagi, tentu dia akan menjadi isi perut burung yang menyambarnya dari permukaan sungai.
Entah bagaimana, Dongdongka terus mengikuti arah terbang burung itu. Dia sebenarnya tak tertarik. Namun, ada semacam dorongan hati untuk terus mengamati.
Di udara lepas bebas, ternyata tak cukup bebas untuk si burung. Dari arah selatan tiba-tiba saja menyambar cepat dan bengis seekor rajawali besar. Crep! Burung tadi dicengkeramnya dengan cakar kokoh. Burung pemakan ikan yang hanya berukuran sedikit lebih besar dari cakar sang rajawali ganti menggelepar-gelepar meregang maut.
Sementara itu, ikan kecil di paruhnya terlepas. Bebas. Jatuh pun bebas.
Plung!! Kembalilah dia ke sungai.
Si burung pemangsa ikan dilarikan ke awang-awang oleh rajawali perkasa, Dongdongka terpesona. Semula dia menganggap nyawa si ikan kecil akan segera tamat hanya dalam beberapa kedip mata berikutnya. Kenyataan yang dilihatnya kini berbalik sama sekali.
Si ikan kecil kini tampak riang berlarian dalam beningnya air sungai.
Sementara nasib si burung pemangsa ikan entah bagaimana.
Dongdongka dengan takjub terus mengikuti gerak-gerik si ikan kecil yang ternyata seekor betina berperut buncit.
Merenangi sungai dia, menentang arusnya sejenak, lalu berkelok mengikuti ke mana air sungai mengalir. Beberapa saat kemudian, si ikan kecil berenang menuju bawah batu yang diduduki Dongdongka. Melenggaklenggok dia seperti menggeniti hati murung Dongdongka.
Dongdongka makin terpincut untuk mengamatinya. Aih, lucunya. Aih menggemaskannya.... Lalu, disaksikannya si ikan kecil mengeluarkan telur-telur dari mulutnya. Berhamburanlah telur-telur halus ke sekitar permukaan batu berlumut. Usai semua itu, Dongdongka sontak bangkit dari jongkoknya. Wajahnya entah bagaimana berubah terang ben-derang. Bak mendung yang tersibak, memperlihatkan pancaran sinar mentari.
Bibir peyotnya memasang senyum lepas.
Senyum teramat bebas, seperti udara bebas atau arus sungai bebas.
Lalu terdengar bisiknya, "Gusti Agung, ternyata Engkau tidaklah kikir atau piiih kasih. Kau membiarkan aku tetap hidup karena Kau memiliki rencana lain untukku. Seperti Kau membiarkan hidup ikan kecil itu agar dapat menelurkan telur-telurnya untuk kelanjutan kehidupan yang Kau pelihara...." Mata si tua digenangi garis bening. Keharu biruan Dongdongka dibuyarkan oleh teriakan cempreng memekakkan telinga.
"Dongdongkaaaa!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul berbalik. Seorang nenek peyot jelek sudah berdiri dilepi sungai dengan sikap permusuhan.
"Kau" Apa maumu menemuiku, Jonggrang"!!" Wajah Dongdongka berubah. Ada garis-garis kegusaran merangas.
"Hi hi hii"
"Jangan ketawa!"
"Hi hi hi! Suka-suka aku!"
"Hi hi hi," cibir Dongdongka.
"Kau sudah jelek. Kalau tertawa jadi tambah jelek, tahu!"
"Hi hi hi, kau juga jelek!"
"Dibanding kau, masih jelek aku"
"Memang!"
"Eh, maksudku, dibanding aku, masih bagus kau!"
"Memang, hi hi hi!"
"Eh, salah lagi. Brengsek! Ah, sudah! Sekarang katakan, apa maumu menemuiku" Bukankah sudah hampir empat puluh tahun kita tak bertemu" Dan sampai aku mati nanti, lebih baik tetap begitu!"
"Empat puluh sembilan tahun, tiga bulan, sembilan hari tepatnya!"
"Masa bodoh!"
"Aku hanya ingin menjelaskan padamu kalau utangmu padaku akan segera kau lunasi!" Mata Dongdongka membesar. Mendengar kata 'utang' disebut-sebut si nenek yang tak lain Nini Jonggrang, kakek bangkotan itu seperti disulut api.
"Apa maksudmu"!" bentaknya. Dia bertolak pinggang.
"Muridmu. Kau tentu masih ingat kalau kau tak terlalu pikun, bukan?"
"Muridku, kenapa dengan murid-ku"!"
"Kau akan tahu nanti!"
"Sekarang saja, tahu!" Dengan membubungkan cekikik tak sedap di telinga, Nini Jonggrang berkelebat dari tempatnya bagai setan perempuan mau datang kendurian.
"Jonggrang!!! Kalau sampai terjadi apa-apa pada muridku, kulit kendor di jidatmu akan kukuliti! Kulit jidatmu itu akan kubuat kantong kemenyan, tahu! Hey Jonggrang, kau dengar aku?"?"!!!!!"

* * *



Meski telah dua tahun tak pernah berjumpa kembali, ingatan Satria pada perempuan muda belia seusianya yang berdiri berhadapan dengannya kini tak akan mungkin dilupakan. Wajah yang kemiripannya nyaris sempurna dengan seseorang yang menempatkan bilah cinta pertama dalam diri si anak muda, Tresnasari. Karena itu, dia tak akan mungkin lupa! Siapa gadis berwajah mirip Tresnasari yang dijumpainya dua tahun lalu kalau bukan Mayangseruni. Dan nama itu baru saja didesiskan Satria dengan sehimpun rasa kaget.
Gadis itu pun memperlihatkan keterkejutan di raut wajahnya demi menyaksikan jelas-jelas paras orang yang ditantangnya untuk bertarung.
Selama ini, tampaknya dia tak melihat langsung wajah calon lawannya karena terhalang oleh caping lebar. Ketika caping itu terebut oleh tangan Satria, semuanya pun berubah.
Kejadiannya begitu tampak aneh.
Siapa pun akan menganggap begitu.
Termasuk anggapan Satria sebelumnya.
Bagaimana mungkin gadis muda itu tahu-tahu hendak membunuh orang yang belum lagi dilihat wajahnya secara langsung" Namun semuanya akan menjadi jelas bila mengetahui duduk persoalan sebenarnya. Baik bagi Satria ataupun si gadis sendiri.
"Mayangseruni, aku tak menyangka kau akan sedendam ini padaku setelah aku membunuh ayahmu, Dirgasura (Untuk mengetahui bagian kisah tersebut, bacalah episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera")! Waktu itu, mana aku tahu kalau pemimpin gerombolan Laskar Lawa Merah adalah ayah kandungmu sendiri.... Sampai saat ini, bahkan aku tak mengetahui secara jelas, bagaimana asal-usul kau sebenarnya.
Sampai kau harus bertemu dengan ayah kandung yang sebelumnya sama sekali tak kau kenali...." Satria nyerocos panjang lebar. Dia yakin sekali kalau tindakan penyerangan yang dilakukan si gadis disebabkan dendam terhadap dirinya. Gadis berambut panjang lepas yang berdiri sejauh delapan langkah dari tempat Satria mulai pula memperlihatkan keheranan atas setiap perkataan yang didengarnya dari mulut Satria.
"Apakah kau benar-benar Satria?" tanyanya ragu. Satria jadi bengong ditanya seperti itu.
"Apa maksudmu bertanya begitu" Aku memang Satria. Kau pikir siapa?" Satria balik bertanya. Dengan keheranan yang tak kurang sarat di wajahnya.
"Lalu, kenapa kau memanggilku Mayangseruni" Siapa dia?" susul si gadis berparas ayu yang keayuannya itu mulai mematang dieram usia menjelang dewasa.
Satria tak mengerti ini. Semuanya betul-betul membingungkan. Padahal dia sudah begitu yakin bahwa gadis yang berhadapan dengannya kini adalah Mayangseruni. Dan kalau Mayangseruni memusuhinya, tentu karena Satria pernah punya hutang nyawa membunuh ayahnya. Tapi, sekarang gadis muda ayu itu malah mengaku dirinya bukan Mayangseruni. Apa-apaan ini" Tiba-tiba, plak! Satria menampar keningnya kuat-kuat. Pikirannya jadi terbuka sekarang. Dia ingat, dulu dia pernah salah menyangka. Mayangseruni dikira Tresnasari. Kali ini, dia yakin telah salah menyangka lagi.
"Apakah kau...." Satria tak melanjutkan ucapan. Mungkinkah gadis yang disaksikannya kini benar-benar Tresnasari" Gadis impiannya yang telah hilang sekian lama" Yang kehilangannya membawa lari cinta pertama si perjaka gagah dalam ketidakpastian"
"Aku Tresnasari, Satria" Apa kau lupa padaku?"
"Tresnasari?" Nama gadis itu akhirnya terlahir dalam gumaman ragu Satria.
Si dara nan ayu melangkah.
Satu... dua... tiga tindak. Ragu.
Sinar matanya berbinar-binar. Wajahnya sendiri masih dikungkung kebingungan atas sikap Satria. Satria sendiri malah bengong seperti kerbau linglung.
Sampai akhirnya, Tresnasari menghambur ke arah Satria. Satria didekapnya kuat-kuat. Hangat.
Gegap. Wajahnya tersuruk dalam di bahu kekar si perjaka muda yang kini telah menjadi seorang pemuda gagah (meskipun sifat lugunya masih belum minggat-minggat juga!). Terdengar seguk kecilnya di telinga Satria.
Satria masih saja bengong.
Melompong.

* * *



--¤¤¦ « 9 » ¦¤¤--

KERATON Demak. Di ruang pendapa.
Tresnasari selesai menuturkan cerita dirinya selama lebih kurang dua tahun terakhir ini pada Satria. Bahwa dia terpaksa menjadi murid Nini Jonggrang, seorang wanita tua penganut ilmu sesat yang menyandang julukan mengerikan sepanjang lebih dari tiga puluh tahun terakhir.
Lalu kenapa Tresnasari jadi menyerang Satria waktu itu" Si dara ayu yang menanjak dewasa seperti juga Satria itu pun menjelaskan. Nini Jonggrang memang telah mempunyai rencana semenjak Tresnasari menjadi muridnya.
Dia hendak menuntut balas dendam pada Dongdongka. Namun karena satu sebab, dia tak bisa langsung menuntutnya pada Dongdongka. Karena dia mendengar kabar Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah mengangkat murid, maka dia hendak membalaskan dendamnya melalui Satria, murid Dongdongka.
Setelah dianggap telah cukup berguru, Tresnasari sebagai muridnya diperintah untuk menyingkirkan seseorang. Tak dijelaskan padanya siapa yang harus dibunuh. Dan kenapa harus membunuh. Dia hanya diantar ke kotapraja untuk menemui seseorang yang telah diamat-amati beberapa lama oleh Nini Jonggrang. Semula Tresnasari tidak sudi menuruti perintah gurunya. Namun karena gurunya menurunkan ancaman, dia tak bisa berbuat banyak. Biar bagaimanapun, keadaan jiwa Tresnasari memang dalam keadaan lemah semenjak kehilangan ibu tercintanya. Dia begitu rapuh. Sehingga, dengan mudah Nini Jonggrang menguasainya.
Karena tak ingin menyaksikan wajah orang yang hendak dibunuhnya, Tresnasari mengenakan caping. Dia tak ingin nantinya dibayang-bayangi bayangan wajah orang yang dibunuhnya.
Apalagi jika di belakang hari diketahuinya kalau orang itu tak pantas mati.
"Jadi selama dua tahun ini kau telah berguru pada perempuan tua sesat itu"!" perangah Satria.
Tresnasari mengangguk perlahan.
Ada garis penyesalan di wajahnya.
"Kenapa Tresnasari" Kenapa?" Tresnasari seperti tak suka mendengar pertanyaan jejaka yang juga telah memperkenalkan ke dalam relung hatinya cinta pertama itu. Dia merasa sedang diadili. Karenanya dia tak ingin menjawab pertanyaan terakhir Satria.
Satria mengheia napas. Dirangkulnya bahu gadis di sisinya, lembut.
"Maaf kalau kau merasa tersinggung dengan pertanyaanku, Tresna. Namun yang jelas, aku tak ingin menghakimimu. Sama sekali tidak.
Sebab, menurut penilaianku, tak ada yang batil di alam semesta ini. Tak juga ilmu olah kanuragan yang kau pelajari. Hakikat kebatilan itu hanya terjadi karena kita salah menempatkan sesuatu pada tempat semestinya...," papar Satria. Sebentar dia berhenti. Diulurnya napas.
"Dalam hal ini, ilmu olah kanuragan apa pun akan menjadi batil jika dipakai untuk jalan sesat. Jadi yang sesat sebenarnya adalah manusia pemiliknya. Itu maksudku. Kau paham?" Barulah Tresnasari mau mengangguk. Lega rasanya perjaka pujaan yang sempat disebalinya bukan main saat awal perkenalannya itu tidak berniat menyudutkannya. Apa lagi hendak menghakimi.
"Terima kasih, Satria," hatur Tresnasari. Haru. Dibalasnya rangkulan tangan Satria dengan pelukan kecil.
Lalu keduanya menikmati keheningan yang terpadu menjadi satu dalam percakapan hati yang hanya bisa dimengerti oleh mereka sendiri.
"Bagaimana dengan nasib ibuku?" tanya Tresnasari kemudian. Sebelumnya, wajah ayu gadis itu berubah murung.
"Dia telah tiada, Tresna. Aku menyesal sekali."
"Bukan itu maksud pertanyaanku.
Aku tahu, beliau telah meninggal karena penyakitnya. Yang ingin kutanyakan, apakah dia meninggal dalam keadaan menderita?" Giris hati Satria mendengar pertanyaan bergetar disesaki kesedihan dalam Tresnasari. Keluguannya menitah-nya untuk mengatakan segala sesuatu apa adanya. Namun kebijakannya menimbang lain. Tentu hati Tresnasari akan terluka parah andai dikatakan kalau....
"Tidak Tresna. Ibumu meninggal dengan tenang. Dengan damai," akhirnya Satria terpaksa berdusta.
Tresnasari terdiam. Tatapannya menerawang lowong. Sepertinya dia melacaki hari-hari yang telah lewat selama dia bersama ibu tercintanya.
Dan tanpa terasa ada titik bening mengguliri pipi.
Satria tak bisa berkata apa pun.
Dia hanya bisa menawarkan pelukan penghibur. Dia berharap pelukan itu dapat sedikit mngobati pedih di hati Tresnasari.
Keduanya hening lagi.
Bagaspati datang beberapa saat kemudian. Di tangga pendapa, sesaat dia berhenti. Ragu, apakah mesti diusiknya dua insan yang sedang menikmati kebisuan itu"
"Silakan Kakang," ucap Satria, menyadari Bagaspati sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka, Malu-malu dia melepas pelukan. Bibirnya cengir sini cengir sana.
Tresnasari tergesa menghapus genangan air matanya. Dia pun berusaha tersenyum meski rapuh.
Bagaspati tersenyum. Dia maklum pada keadaan Satria atau Tresnasari.
Dulu pun dia pernah muda, bukan"
"Kanjeng Susuhan berkenan bertemu denganmu, Dinda Satria, Dinda Tresnasari." Kabarnya kemudian.
"Yak. kami siap! Eh, apa"!" Satria jadi kaget sendiri. Jadi, Raja Demak berkenan bertemu dengan mereka berdua" Benar begitu" Rasanya sulit dipercaya! Kita akan bertemu Raja, Tresna! Kanjeng Susuhan!" Satria hampir saja berjingkat kegirangan. Sewaktu kepala Bagaspati menggeleng-geleng, pemuda itu jadi malu hati sendiri. Buru-buru diperbaikinya sikap.
"Ehm ehm! Baik Kang Bagaspati.
Kalau begitu, kami 'persilakan' Kakang untuk membawa kami ke hadapan Kanjeng Susuhan, kata Satria dengan gaya seorang ningrat. Lagak!

* * *



"Ke mana Cah Gendeng itu, Kusumo?" Dedengkot Sinting Kepala Gundul datang sradak-sruduk ke gubuk di tepi pantai Tanjung Karangbolong. Semadi Ki Kusumo jadi berantakan gara-gara bangkotan satu ini. Sudah masuk tak ketuk pintu. pakai teriak-teriak lagi.
"Dia tak berkata padaku hendak ke mana," jawab Ki Kusumo. Saat itu si tabib kenamaan tanah Jawa yang tak memiliki kaki lagi sedang di atas balai.
"Kacau balau!" Alis putih jarang Ki Kusumo mengernyit. Baik sikap, sifat atau sepak terjang sesepuh gendeng yang tetap dihormatinya itu kerap kali membuatnya pusing sendiri. Kacau balau, apa maksudnya" Kalau persoalan tak jadi mati, sudah beberapa hari Ki Kusumo tahu. Rasanya persoalan itu belum cukup bisa disebut kacau balau.
Sebaliknya, kesintingan Si Tua Bangka Sinting malah melorot.
Jadi persoalan mana yang dianggap kacau balau"
"Apa maksudmu, Panembahan?"
"Anu.... Jonggrang mulai cari gara-gara lagi padaku!"
"Nini Jonggrang?"
"Iya, Kusumo. jonggrang, nenek jelek bau itu! Apa tadi aku debut 'jomplang' atau jamblang'" Eh, bagaimana kau ini, Kusumo?"
"Apa maunya si Perempuan Pengumpul Bangkai itu?" .
"Tidak mau apa-apa. Cuma dia memang sirik saja! Dia mau balas dendam padaku! Bayangkan, Kusumo! Bayangkan!" Dongdongka melempar pantat teposnya ke balai. Balai bambu sampai berderak mau patah. Lalu dipeluknya lutut. Dagunya ditopangkan ke salah satu dengkul antiknya. Dia pun manyun.
"Lalu apa hubungannya dengan Satria?" Ki Kusumo ingin tahu lebih jelas.
Dongdongka menggerakkan leher, menaikkan kepala. Bernafsu. Persis seperti onta padang pasir yang celingukan mencari mata air di gurun.
"Tai kucing, si Jonggrang ini! Aku yakin dia punya niat jelek pada Cah Gendeng kita. Niat jelek, tahu"! Seperti mukanya yang jelek itu! Ah, aku sebal sama dia!" Ki Kusumo mengangguk-angguk.
Sampai di sana, dia tak butuh bertanya lagi. Semuanya sudah agak jelas di benak orang tua yang bersifat amat bertolak belakang dengan Dongdongka.
Kalaupun belum jelas, rasanya percuma bertanya lebih banyak saat Dedengkot Sinting Kepala Gundul sedang sewot.
Namun, ada keresahan yang menjalar diam-diam di dalam diri Ki Kusumo. Keresahan yang dilahirkan oleh kecemasan pada keselamatan Satria, murid kesayangannya. Sebab, dia tahu benar siapa yang mengincar, pemuda hijau itu.
Untuk dirinya saja yang sudah demikian kenyang makan asam garam.
Nini Jonggrang terhitung lawan yang sulit. Bukan saja sulit untuk ditandingi kesaktiannya. Namun juga sulit untuk diduga segala rencananya.
Di dunia persilatan tanah Jawa, Nini Jonggrang alias Perempuan Pengumpul Bangkai, tak lebih dari dedemit betina yang tega melakukan seribu satu kekejian tak berperi kemanusiaan. , Belum lagi satu persoalan lain yang tak kalah mengkhawatirkan, Ki Ageng Sulut yang sepak terjangnya kian bengis hari-hari belakangan. Ki Kusumo tahu, si Iblis Dari Neraka itu sengaja mengumbar kekejaman dengan tujuan memaksa Ki Kusumo secara tak langsung mengobati penyakitnya dengan Kail Naga Samudera. Jika Kail Naga Samudera telah dikuasainya, tentu dia tinggal mengusahakan agar Ki Kusumo bersedia mengobati" Sementara ini, Ki Ageng Sulut memang tak pernah tahu kalau Satria termasuk murid Ki Kusumo. Lalu, bagaimana pula jika dia mengetahui" Bukankah cepat atau lambat, kabar burung akan sampai ke telinganya, dan dia akan tahu tentang hal itu"

* * *



Beberapa puluh tahun silam Dongdongka dan Nini Jonggrang adalah sepasang pendekar kenamaan. Malang melintang di dunia persilatan dengan jutukan besar Dewa dan Dewi Pegunungan Sewu, sesuai dengan nama tempat asal mereka memperdalam ilmu olah kanuragan. Dongdongka masih berdarah ningrat bergaris keturunan raja Majapahit.
Seperti juga Ki Kusumo yang berdarah ningrat Singasari, Dongdongka meninggalkan gelar dan kehidupan kening-ratannya. Sejak bocah, dia pergi dari keluarganya tanpa embel-embel apa pun.
Seperti layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Nama aslinya pun dilupakan.
Tujuannya adalah menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Di Pegunungan Sewu dia berhasil berguru dengan seorang pertapa sakti tak dikenal. Pertapa sakti itu telah pula memiliki seorang murid perempuan bernama Jonggrang. Keduanya lalu menjadi saudara seperguruan.
Setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di Pegunungan Sewu, tibalah waktu bagi keduanya untuk turun gunung. Saat itu. keduanya telah menanjak dewasa.
Dongdongka tumbuh sebagai pendekar muda gagah, tampan, sekaligus sakti.
(Padahal sekarang ini, genderuwo saja tak akan nafsu mendekatinya!). Jonggrang pun demikian. Dia menjadi pendekar wanita muda yang ranum, baik wajah, ataupun tubuhnya.
Jonggrang sebagai kakak seperguruan Dongdongka, diam-diam memendam cinta pada sang perjaka gagah. Cintanya itu hanya bertepuk sebelah tangan. Dongdongka tak lebih menganggapnya sebagai seorang kakak seperguruan. tak lebih, tak kurang.
Kalaupun ada rasa sayang, maka rasa sayang itu demikian tulus tanpa disertai gelora asmara.
Jonggrang pada dasarnya adalah seorang wanita penggoda. Gelora birahinya sangat besar dan sulit terhendung. Kelemahannya itu seringkali menjerumuskan dirinya ke dalam tindakantindakan bodoh. Si pertapa tua sakti guru mereka menyadari hal itu. Karenanya, dia berwanti-wanti teramat sangat pada Dongdongka muda untuk. mengawasi dan menjaganya. Sang pertama tua sakti sesungguhnya telah berusaha untuk mengikir sifat tercela tersebut dalam diri Jonggrang melalui godokan-godokan batin. Namun, tampaknya tak cukup berhasil. Hal itu berkenaan dengan masa kecil Jonggrang. Dia besar di tempat mesum. Ibunya seorang wanita penghibur kelas tinggi, langganan para pejabat bejat di kotapraja. Masa kecilnya harus dicekoki dengan hal-hal seperti itu. Bahkan pada usia dua belas tahun dia telah mengalami perlakukan binatang dari seorang pejabat bejat yang mempengaruhinya melepas keperawanan.
Suatu hari terjadi keributan besar di tempat mesum tersebut. Rumah mewah tempat penjualan kehormatan wanita itu terbakar. Jonggrang yang kala itu berusia lima belas tahun berhasil diselamatkan Oleh Sang Pertapa Tua. Sang Pertapa Tua begitu prihatin dengan keadaan murid pertamanya itu.
Kehadiran Dongdongka muda, sedikit menghiburnya dan memberinya harapan agar dapat menjaga Jonggrang jika saat turun gunung tiba.
Pernah suatu hari, Jonggrang mencoba menggoda Dongdongka. Saat itu mereka berada ditengah hutan. Keduanya hendak ke kota. Karena kemalaman, mereka memutuskan untuk bermalam di tepi danau di tengah hutan.
Hujan turun deras melimpahi hutan. Mereka hanya bisa berteduh di bawah batang pohon raksasa tumbang.
Hawa demikian dingin. Di samping karena malam sudah cukup larut, angin pun bertiup sejadi-jadinya. Tak mungkin mereka membuat api unggun pada saat seperti itu. Akhirnya, mereka hanya berusaha menghangatkan tubuh dengan jalan mengatur peredaran hawa murni dalam aliran darah.
"Truna...," desah Jonggrang, menyebut Dongdongka dengan nama panggilan pemberian guru mereka.
Dongdongka muda alias Truna yang sedang bersila dalam posisi bersemadi membuka matanya perlahan.
"Kenapa, Nyi?" tanyanya. Dilirik-nya Jonggrang yang meringkuk setengah terbaring di sudut tetumbangan pohon raksasa. Tangannya mendekap dada rapat-rapat. Sampai sebagian buah dadanya agak menyembul dari balik belahan pakaiannya.
"Apakah kau tak merasakan dingin?" tanya Jonggrang. Matanya sayu menatap wajah bergaris kuat Dongdongka yang dibasahi tempias hujan. Sudah beberapa saat dipandanginya sekujur tubuh pemuda Truna ketika pemuda itu tenggelam dalam kekhusukannya bersemadi. Dada bidangnya yang turun naik perlahan diguliri oleh titik-titik air hujan. Juga lehernya yang kokoh, juga otot-otot pinggangnya.
Juga.... Semua itu membakar birahinya.
mengangkat gairahnya ke ubun-ubun, mendidihkannya.
Pemuda Truna menggeleng.
"Aku bisa mengatasinya dengan sedikit bersemadi...
katanya lagi.
"Kenapa Nyai tak melakukannya juga agar dapat mengusir dingin?" Jonggrang menggeleng. Mata sayu menantang yang berhias bulu mata hitam lentiknya terus merayapi wajah basah pemuda tampak di dekatnya.
"Kenapa?" Truna tak memiliki prasangka apa-apa. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya pikiran macam-macam. Karenanya dia jadi tak paham kenapa kakak seperguruannya tak mencoba mengatur peredaran hawa murni sementara perempuan itu bisa melakukannya.
"Kenapa?" Jonggrang mengulang pertanyaan Truna dengan nada mengundang. Mendesah, mendesis basah.
Dari tempatnya, dia pun bersingsut.
Geraknya melata, seperti seekor ular betina yang mengundang pejantannya. Di dekatinya Truna. Napasnya terpacu, terpicu gairah liar dalam dirinya.
"Apakah tak sebaiknya kita melakukan sesuatu yang mudah dan menyenangkan untuk kita berdua?" lanjut Jonggrang sambil melayapkan tangannya ke dada bidang Truna, melatainya, menikmatinya.
"Maksud, Nyai?" Truna tetap tak paham. Namun, sebagai seorang pemuda, tak urung darahnya berdesir cepat menerima sapuan-sapuan telapak tangan lembut bergeletar.
"Kau tak tahu maksudku?" Mata Jonggrang menerkam penuh ke manik mata Truna, memamahnya bulat-bulat. Ber-sitnya seperti mengerang-erang menga-lunkan undangan. Tangan Jonggrang makin tak terkendali. Melayap, melata, kesegenap dada basah Truna. Bahkan dengus napasnya terasa menghangatkan leher kokoh Truna.
Truna kian diamuk gejolak yang memberontak kuat di dasar dirinya.
Dadanya berdentam, membuat tangan Jonggrang seperti merasakan sambutan menggairahkan.
"Apakah kau tak ingin....?" Kalimat Jonggrang terputus ketika dengan tiba-tiba Truna bangkit mendadak. Pemuda gagah itu mulai sadar tujuan Jonggrang sebenarnya. Dia bukan tak memiliki keinginan itu, dia bukan seorang pemuda tanpa gairah. Namun, dia teringat pada pesan gurunya. Kalau dia malah menyambuti undangan Jonggrang, bukankah sama artinya pagar makan tanaman" Apakah dengan begitu dia masih bisa disebut manusia" Ataukah seekor anjing pemangsa domba yang semestinya dilindungi" Di bawah limpahan hujan yang membasahi kuyup-kuyup tubuhnya, Truna menatap Jonggrang dengan sinar mata tak percaya.
"Kenapa, Truna" Kenapa?" desis Jonggrang di antara deru angin dan luruhan hujan.
"Apakah kau takut Guru mengetahui perbuatan kita" Atau aku tak cukup menarik buatmu?" Jonggrang ikut bangkit.
Di tengah gempuran hujan, keduanya berdiri berhadapan. Basah pakaian mereka. Dingin menjalari kulit. Namun gejolak dalam diri Jonggrang tak berubah. Tetap mendidih.
Pakaiannya yang basah menyebabkan lekuk-lekuk sempurna tubuhnya membentuk nyata.
Ada sembulan putih, halus, dan padat dari belahan pakaian di dadanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Truna, Apakah aku tak cukup menarik buatmu?" ulang Jonggrang, makin samar.
Makin dikaburkan desis dan desah, mencoba menjamah tungku darah muda Truna.
Truna masih terpaku tanpa geming.
Matanya masih menatap tak percaya.
Jonggrang tak berhenti sampai di situ. Dalam gerak lambat gemulai di antara butir-butir air hujan, tangannya membuka belahan pakaian di bagian dadanya. Sembulan putih, padat, sekal itu makin nampak sempurna di mata pria mana pun. Begitupun di mata Truna.
Lalu Jonggrang mengeluh di hadapan Truna, menggeliatkan leher jenjang putih dan basahnya. Melenguh lagi. Mendesahkan panggilan yang sulit didengarkan. Namun, begitu mudah untuk diterjemahkan.
"Ayo, Truna...." Dan tangan lentik basahnya menjemput leher kokoh Truna.
"Tidak!!!" sentak Truna keras-keras. Dia berontak dari seluruh tenung birahi yang terpancar keluar dari sekujur tubuh Jonggrang. Dia berkutat dan berhasil melawan. Dia bukan anjing, atau semacam pagar pemangsa tanaman! Ditinggalkannya tempat itu segera, menembus lebatnya hujan.
Tinggal Jonggrang yang memekikmekik memanggil Truna.

* * *



Setelah peristiwa itu, Truna tak bertemu dengan Jonggrang kembali. Pagi harinya, ketika hujan reda dan matahari menyapa, Truna mencoba kembali ke tempat teirakhir. Jonggrang sudah tak ada lagi di sana.
Timbul penyesalan dalam diri Truna. Menyesal harus pergi meninggalkan Jonggrang, kakak seperguruannya yang diamanatkan Sang Pertapa Tua untuk dijaganya. Namun, tak sekalipun dia menyesali penolakannya atas ajakan Jonggrang.
Sejak hari itu, dengan rasa tanggung jawab yang tak luntur sedikit pun, dicarinya Jonggrang.
Setengah tahun mencari, si kakak seperguruan tak kunjung ditemukan. Sampai akhirnya, Truna berhasil bertemu kembali dengan Jonggrang di sebuah desa. Dia bersama seorang pendeta yang sebaya dengannya.
Mula-mula Truna bersyukur. Menurut penilaiannya, tentu Jonggrang dapat berubah setelah kenal dengan pendeta.
Tentu nilai-nilai rohaniah dapat menenteram gairah birahinya yang demikian binal. Karena itu, Truna memutuskan untuk mengawasi kakak seperguruannya dari jauh saja.
Kenyataan berujar lain. Setelah diawasi sekian lama, barulah terbuka kedok si pendeta muda. Ternyata pendeta muda itu adalah seorang tokoh sesat dari kalangan pendeta. Pakaiannya saja seorang pendeta, namun tabiatnya tak lebih mulia dari hewan.
Dia mengetahui nilai-nilai kebajikan seperti mengenal setiap jarinya, namun seluruh pehgetahuan keagamaan di kepalanya cuma dijadikan modal untuk mencari pengaruh dalam masyarakat.
Bersama Jonggrang, keduanya melakukan beberapa kebatilan tersamar.
Jonggrang mula-mula diumpankan kepada beberapa pejabat kerajaan. Setelah itu, Sang Pendeta Muka Dua datang memberi ancaman pada si pejabat korban mereka agar mau memberi apa-apa yang mereka minta. Jika tidak, maka Sang Pendeta Muka Dua akan melaporkan kemesumannya bersama Jonggrang kepada raja.
Hal itu terus berlanjut berkalikali. Truna tak tahan lagi. Sebagai seorang yang dididik dengan nilai-nilai keksatriaan, dia tak bisa mendiamkan begitu rupa perbuatan kakak seperguruannya bersama Sang Pendeta Muka Dua. Suatu hari, Truna pun memutuskan untuk mencegah berlanjutnya perbuatan mereka.
Ketika itulah, terjadi pertarungan hebat antara Truna dan Sang Pendeta Muka Dua. Tak ada yang unggul ataupun kalah. Keduanya sama-sama mengalami luka parah.
Sisa cinta Jonggrang yang masih mengendap dalam dirinya terhadap Truna menyebabkan dia mencoba membawa Truna kembali ke Pegunungan Sewu.
Beberapa lama kemudian, atas perawatan Sang Pertapa Tua, Truna berhasil disembuhkan. Truna. kini berhutang budi pada Jonggrang yang telah membawanya kembali pada guru mereka, sehingga dia berhasil diselamatkan. Karenanya, dia tak sampai hati untuk melaporkan segala tabiat buruk Jonggrang selama turun gunung.
Untuk mencegah sifat tercela Jonggrang yang demikian liar, Truna malah bersedia berkorban. Dengan jiwa seorang lelaki sejati, dimintanya Sang Pertapa Tua untuk menikahi mereka berdua.
Keduanya menikah. Untuk beberapa tahun, mereka kembali ke dunia persilatan. Sebab, ilmu yang telah mereka dapatkan harus diamalkan. Selama beberapa tahun itulah, sepasang suami-istri muda itu dikenal dengan julukan Dewa-Dewi dari Pegunungan Sewu.
Namun, setan memang tak pernah berhenti berjuang untuk menyesatkan manusia. Penyakit lama Jonggrang kambuh lagi ketika untuk kedua kalinya dia bertemu dengan Sang Pendeta Muka Dua.
Dia lari bersama lelaki bejat itu.
Cukup sudah bagi Truna untuk menutup-nutupi perbuatan Jonggrang pada guru mereka. Truna memutuskan untuk pulang ke Pegunungan Sewu dan melaporkan segalanya pada Sang Pertapa Tua.
Tentu saja gurunya menjadi prihatin. Juga gusar. Prihatin karena biar bagaimanapun, dia menyayangi Jonggrang seperti putrinya sendiri.
Gusar karena Jonggrang telah berkhi-anat pada satu ikatan suci pernikahan.
Maka, dengan berat hati Sang Pertapa Tua memutuskan untuk menghukum Jonggrang. Truna diperintah untuk membawanya kembali.
Truna kembali. Dunia persilatan tanah Jawa saat itu digemparkan oleh perbuatan sepasang lelaki-wanita bertopeng yang melakukan penculikan-penculikan terhadap beberapa perjaka tampan dan gadis cantik.
Selidik punya selidik, Truna akhirnya mengetahui kalau kedua pengacau itu adalah Jonggrang dan pasangan bejatnya. Mereka menculik untuk memuaskan birahi liar keduanya.
Suatu kali, Truna berhasil memergoki mereka. Dengan hormat, Truna meminta Jonggrang kembali ke Pegunungan Sewu untuk memenuhi panggilan guru mereka. Tahu, dirinya bakal dihukum, Jonggrang malah hendak melarikan diri. Truna terpaksa menahan.
Sampai pecahlah perkelahian.
Dibantu Sang Pendeta Muka Dua, Jonggrang menggempur Truna. Truna dapat dikalahkan, Sebagian tubuhnya lumpuh akibat kekejaman dua lawannya.
Sang pendekar muda kemudian menyepi untuk beberapa lama, guna memulihkan keadaannya dan menyempurnakan ilmu olah kanuragan. Dia bersumpah tak akan kembali ke Pegunungan Sewu sebelum berhasil membawa Jonggrang.
Pada saat yang sama, Jonggrang pun memperdalam kesaktian bersama pasangannya.
Pasangan perempuan itu di hari belakangan dikenal dengan julukan Iblis Dari Neraka. Siapa lagi kalau bukan Ki Ageng Sulut"

* * *



--¤¤¦ « 10 » ¦¤¤--

ALAM tiba. Setelah siang itu Satria dan Tresnasari mendapat kehormatan untuk bertemu langsung dengan Raden Patah, Raja Demak penguasa sebagian tanah Jawa, Satria dan Tresnasari dipersilahkan untuk menginap dikeraton. Perjumpaannya dengan Raden Patah sebenarnya ber-kaitan dengan peristiwa penumpasan Laskar Lawa Merah waktu lalu. Sang Raja Demak ingin sekali bertemu dengan Satria muda yang sering.kali disebut-sebut oleh patihnya, Bagaspati. Dia merasa wajib menyampaikan penghargaan langsung pada si pendekar muda atas jasanya membantu pemberantasan Laskar Lawa Merah.
Sewaktu Raden Patah mengungkap rasa terima kasihnya pada Satria di ruang kebesaran, pemuda lugu itu cuma cengar-cengir tak habis-habisnya. Tak peduli giginya menjadi kering. Raden Patah dengan tulus pun memberikan pujian pada si pendekar muda. Katanya.
negeri ini membutuhkan satria-satria muda. Para pendekar yang tak hanya bermodal keberanian, namun juga memiliki jiwa luhur, penjunjung nilai-nilai yang ditetapkan Illahi. Lagi-lagi Satria cengar-cengir lugu. Dalam hati, Satria merasa tak pantas mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita masyarakat, Satria merasa tak berarti apa-apa.
Pernah Satria mendengar, masa muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua.
Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemukapemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.
Membayangkan masa muda Raden Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Satria untuk mengikuti jejaknya.
Malam sudah cukup larut. Satria diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar tersendiri, berseberangan dengan tempat Satria. Lirih, terdengar senandung jangkrik. Mendayu, bertiup bayu malam.
Keraton terpaku hening. Suasana hening. Satu-dua punggawa tampak hilir mudik di beberapa tempat. Lengkap persenjataan masing-masing. Seluruh keraton diterangi oleh lampu-lampu minyak yang ditempatkan di beberapa tempat. Malam terus berlanjut.
Diawal dini hari, satu bayangan berkelindan ringan tanpa suara di atas wuwungan keraton. Geraknya nyaris tanpa suara. Seolah seekor semut pun tak mati terkena pijakannya. Bergerak terus dia menuju tempat peristirahatan raja. Tanpa satu prajurit pun mengendusi kehadirannya.
Dikamarnya, Satria direjam kegelisahan. Sulit sekali dipejamkan matanya. Meskipun dia sudah berusaha berbaring di atas ranjang beraroma harum setanggi. Berkali-kali dicobanya merebahkan diri. Matanya memang bisa dipejamkan.
Namun, sama sekali tak bisa terpulas.
Ada getar-getar halus yang terus mengusiknya. Semacam firasat yang belum lagi jelas.
Satria pun akhirnya hanya bisa mondar-mandir di sisi pembaringan.
Angin melayap masuk lamat-lamat dari kisi-kisi di atas jendela. Saat itu, entah kenapa ada dbrongan dalam dirinya untuk menguak mulut jendela.
Tanpa niat apa pun, Satria membuka jendela. Setidaknya, nanti dia bisa sedikit menikmati udara malam yang segar bersahabat di luar, pikirnya.
Jendela terkuak.
Kala yang sama, secara kebetulan matanya menangkap kelebatan bayangan di atas wuwungan, dalam kegelapan langit malam. Pakaian hitam-hitam yang dikenakan membuat orang itu nyaris tersamar kegelapan. Mata Satria tak bisa begitu saja diperdaya. Ketajamannya telah terlatih sekian lama dalam tempaan yang berat selama merenangi Lautan Selatan di sekitar Pulau Dedemit. Kegelapan goa tempat kediaman Ki Kusumo waktu itu pun telah membuatnya terbiasa bergerak di tempat gelap atau melatih penglihatannya dalam kegelapan (Untuk lebih jelasnya, ikuti kisah Satria Gendeng : "Geger Pesisir Jawa')! Satria yakin orang berpakaian hitam-hitam itu bermaksud buruk. Kalau menilik arah bergeraknya, tentu sasarannya adalah Raden Patah langsung.
"Apa maunya orang ini," desis Satria halus.
Jiwa kependekarannya terbakar.
Cepat, dilompatinya jendela Dari mulut jendela, tubuhnya langsung mencelat.
Mula-mula ke arah dinding kayu yang berhadapan dengan jendela. Kakinya menghentak sekali ke permukaan dinding. Lalu Satria mencelat ke arah beriawanan, langsung menuju wuwungan.
Satu rangkai gerak yang selalu dilatihnya saat Dongdongka uringuringan meminta minum air kelapa (Baca dalam episode: Kail Naga Samudera")! Seorang prajurit yang kebetulan melewati sisi kamarnya bahkan tak menyadari kalau Satria baru saja melintas di sisinya. Dia malah asyik menyenandungkan tembang lamat-lamat.
Di atas wuwungan yang berseberangan dengan si penyusup gelap, Satria terus mengintai. Hasil godokan Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap kemampuan peringan tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil sempurna.
Untuk menghindar agar penyusup gelap tadi tak melihatnya. Satria berusaha mengatur jarak.
Penyusup gelap sampai tepatdi atas wuwungan ruang peristirahatan raja. Tak dilanjutkannya gerak.
Artinya, dugaan Satria tak meleset.
Makin besar kemungkinan penyusup gelap itu hendak mengincar Raden Patah.
Sebelum semuanya jadi serba terlambat, Satria berpikir untuk mendahului saja.
"Hei!" hardiknya sangar. Sengaja dia berdiri tegak tanpa mengendapendap lagi. Penyusup gelap tersentak sejenak.
Dia menoleh sigap ke arah hardikan berasal. Sinar lampu minyak dari taman sari menyapu. Kalau saja orang itu tak mengenakan kain hitam penutup wajah, tentu Satria bisa langsung menyaksikan parasnya.
Mengetahui dirinya telah tertangkap basah, si penyusup gelap.
berusaha melarikan diri. Satria tak mungkin mendiamkannya. Dia harus menangkapnya. Setidaknya untuk mengo-rek keterangan.
"Haaaa!" Satria melompat disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan segenap peringan tubuhnya. Bentangan jarak antara tempatnya dan tempat si penyusup yang terbilang jauh terpangkas lompatannya.
Sekelebatan dia bagai kelelawar terbang di kegelapan wuwungan. Jleg! Tepat di depan si penyusup, Satria hinggap menghadang.
"Heaah!" Sring! Entah bagaimana caranya. tangan penyusup gelap sudah menggenggam keris panjang. Dibabatkannya ujung keris langsung ke leher Satria.
Udara tergores tajam.
Leher Satria terancam.
Tertusuk atau tergorok.
"Hih!" Satria meninggikan telapak tangannya, membentuk benteng. Sulit menangkis sambaran senjata lawan yang membentuk gerakan miring setengah lingkaran. Dibutuhkan ketajaman seekor elang untuk raenempatkan tangkisan.
Salah-salah, tangan Satria tertembus keris, atau tersayat ujungnya! Plak! Tepat di kepalan tangan lawan.
telapak tangan Satria berhasil memapak. Lawan menyusulkan sabetan. Kerisnya menggores udara malam lagi, membalikkan arah putaran sedikit lebih ke bawah. Perut Satria sasarannya.
Wess! Satria kali ini membiarkan saja.
Benar-benar membiarkan. Seakan dengan sengaja hendak ditadahinya sambaran ujung keris dengan perutnya.
Jarak menipis. Dan ancaman membesar. Lawan menyangka kerisnya akan segera bersarang telak di perut si pendekar belia. Satria Gendeng.
Sekedip mata lagi, isi perut pemuda tangguh akan segera bobol keluar.
Kecele! Karena tanpa terduga-duga otot perut Satria mengempis. Tanpa sedikit pun menggerakkan badan. Dan ujung keris lawan hanya terlewat seujung kuku. Satu perhitungan yang luar biasa jeli, tajam dan berisiko amat fatal! Justru dengan begitu, Satria langsung dapat memetik keuntungan lawan yang semula mengira sudah mendapatkan posisi di atas angin menjadi lengah. Tangan Satria menyentak cepat dari dua sudut berbeda.
Wess! Degh! "Aah!" Tubuh lawan terdorong. Di atas wuwungan, dia terjengkang. Sebagian gentingnya hancur. Kalau saja rangkanya tak cukup kuat, tentu tubuh penyusup gelap akan menjebol masuk ke dalam ruang istirahat raja.
"Berdirilah!" gertak Satria sambil menaikkan sudut bibirnya, mencemooh lawan. Jari telunjuknya diacungkan dan digerak-gerakkan seperti geliatan seekor cacing kepanasan.
Si penyusup menggeram. Hanya dengan satu sentakan otot perut dan pinggang, dia bangkit.
Jarak antara keduanya kini cukup renggang. Sementara itu, keributan di atas wuwungan telah mengundang seluruh punggawa pengawal keraton berhamburan keluar di sekitar tempat kejadian.
Mereka menyaksikan dua sosok sedang berdiri dalam kuda-kuda masingmasing. Raden Patah sendiri sudah keluar dengan wajah yang tetap memperlihatkan ketenangan luar biasa.
Wajahnya seolah permukaan danau yang membeku.
Si penyusup gelap, tampak menggerak-gerakkan kedua tangannya. Sesekali terdengar hempasan-hempasan napasnya. Diacungkannya keris tinggi tinggi ke udara. Lalu....
"Heaaa!" Zzzz! Keris di tangannya memancarkan cahaya merah! Si penyusup gelap membuat gerakan menyabet searah dengan tempat berdiri Satria.
Wezzz! Serangkum cahaya merah terjulur memanjang, meluruk langsung dan hendak menanduk Satria Gendeng.
Satria terperangah. Dalam keterkejutan luar biasa itu, tak ada tindakan yang bisa dilakukannya. Namun kekuatan terpendam dalam dirinya akibat pengaruh zat dasar samudera dan ramuan Pulau Dedemit justru bergolak amat cepat. Lebih cepat dari desir darahnya sendiri. Bahkart lebih cepat dari terjangan cahaya merah lawan.
"Haaakh!" Lolongan menggidikkan menggempur angkasa malam. Melejit langsung dari tenggorokan si pendekar muda, manakala tubuhnya tertanduk cahaya merah tadi.
Getaran hebat terjadi. , Genting hancur. Kepingannya seperti berlompatan riuh.
Dan tubuh penyusup gelap turut tergetar.
"Huaaah" Belum lagi ujung lolongan Satria tercapai, lolongan dari kerongkongan lawannya menyusul. Beberapa saat kemudian.... Blar! Cahaya merah membersit lebar, mengembang. Lelaki berpakaian hitam-hitam terpental deras ke belakang. Sentakan amat kuat membuat kain penutup wajahnya saat itu juga terlepas.
Dia jatuh bergulingan deras ke bawah, di antara keping-keping genting keraton.
Lalu bumi menyambutnya. Telentang, tubuhnya terengah-engah. Darah membasahi sudut bibirnya. Saat itulah Satria dipaksa terperanjat menyaksikan wajah penyusup gelap itu.
"Kang Bagaspati?"?""

* * *



Kenapa dengan Bagaspati ini" Apa benar dia ingin mengincar Raja Demak" Benar apa tidak" Lalu, ada urusan apa si nenek jelek, peyot, bau (hidup lagi!) Nini Jonggrang dengan Dongdongka" Bagaimana kalau dia tahu muridnya yang diperintah untuk membunuh Satria, eh malah bermasyuk-masyuk dengan pemuda itu" Ikuti kelanjutannya dalam episode: "Perempuan Pengumpul Bangkai"

SELESAI



INDEX SATRIA GENDENG
Kail Naga Samudera --oo0oo-- Perempuan Pengumpul Bangkai
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.