Life is journey not a destinantion ...

Perempuan Pengumpul Bangkai

INDEX SATRIA GENDENG
Iblis Dari Neraka --oo0oo-- Kiamat Di Goa Sewu

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « 1 » ¦¤¤--

KERATON Demak di penghujung dini hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara mereka, mengawasi kejadian di samping satu tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.
Di tengah-tengah pelataran Taman Sari, seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh demikian pucat. Menderita sekali tampaknya.
Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia berusaha bergerak bangkit.
Di atas wuwungan ruang peristirahatan, berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu.
Dia mengenakan rompi putih dari kulit binatang, Matanya disarati oleh bersit kebingungan. Mimik wajahnya melepas sekian pertanyaan yang belum sempat terjawab. Menilik wajah itu, usianya terbilang cukup muda. Baru saja menginjak masa kedewasaan.
Wuwungan tempatnya berdiri berantakan. Centang-perentang. Genteng-genteng porak-poranda ke mana-mana. Setiap orang yang melihat, akan dengan mudah menilai, baru saja terjadi pertarungan sengit di atas sana. Mendapati Raden Patah telah berada keluar dari ruang peristirahatan nya, pemuda tadi segera menggenjot tubuh. Ringan. dia melompat turun. Geraknya bagai seekor rajawali muda perkasa yang baru saja memenangkan pertarungan di angkasa.
Tiba di bumi, cepat dia menjura hormat pada Raden Patah.
"Maafkan kelancangan saya, Kanjeng Susuhan...." haturnya khidmat.
Raja Demak berwibawa itu mengangkat tangan. Ada sebaris senyum la mat tersembul di bibirnya. Senyum yang sama sekali tak bisa dipahami oleh pemuda berambut kemerahan. Bukankah tak tepat waktunya untuk tersenyum setelah kekacauan"
"Tak usah kau meminta maaf, Nanda Satria," ujar Raja Demak, dengan suara berat berpengaruh. Dia melangkah, mendekati pemuda berambut kemerahan.
Puluhan prajurit pengawal keraton menyusul mempersembahkan juraan pada sang Raja Demak. Setelah menjura, dua orang prajurit bergegas membantu lelaki berpakaian hitamhitam yang terluka dalam untuk bangkit. Keduanya memegang pangkal lengan di dua sisi.
Tak ada tanda-tanda kalau lelaki itu akan ditawan, kendati kekacauan yang terjadi karena ulahnya. Bahkan ketika lelaki gagah berwajah tak kalah berwibawa dengan Raja Demak itu sudah dapat berdiri agak limbung, kedua prajurit tadi menghaturkan juraan.
Masih dengan tanda tanya di wajah, pemuda berambut kemerahan yang dipanggil Satria seorang pendekar muda belia yang belum cukup lama terjun ke dunia persilatan tanah Jawa menatap lelaki berpakaian hitam-hitam, beralih ke Raja Demak, dan akhirnya kembali lagi ke lelaki berpakaian hitam-hitam. Dia seperti ingin meminta penjelasan dari siapa pun yang sudi menjelaskan duduk perkara padanya.
Beberapa saat lalu, Satria telah bertarung dengan lelaki berpakaian hitam-hitam..... itu. Sebelumnya, lelaki berpakaian hitam serta kain hitam penutup wajah, mengendapendap di wuwungan keraton menuju ruang peristirahatan raja. Tindakan itu menimbulkan kecurigaan Satria. Dia menguntit sampai terjadi pertarungan. Yang mengejutkan, lawannya justru orang yang sudah cukup dikenalnya. Dia seorang patih kepercayaan raja, Bagaspati (bagian kisah ini dapat dibaca pada episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka").
"Maaf Kanjeng Susuhan Kalau saya boleh tahu, ada apa sebenarnya ini" Kenapa Kang Bagaspati mengendap-endap menuju ruang peristirahatan Kanjeng dengan pakaian penyamaran seperti itu, hingga memancing kecurigaan saya?" susul Satria.
Kendati masih merasakan luka dalam akibat bertarung sengit dengan si pemuda berambut kemerahan alias Satria Gendeng, Patih Bagaspati memperlihatkan senyum diamdiam mendengar pertanyaan barusan.
Dengan tenang, dimasukkannya kembali keris pusaka ke warangka. Selesai itu, dia menjura pada raja.
"Kau bisa menjelaskan sekarang, Dinda Bagaspati!" perintah raja kemudian.
Bagaspati mendekati Satria.
Satria terus menatapnya terheran-heran.
Mulutnya sampai ternganga tanpa sadar akibat terlalu dirasuki rasa penasaran.
Bagaspati menepuk bahu kekar pemuda itu. Satria masih saja manyun tak mengerti.
Setelah seluruh prajurit pengawal keraton diperintahkan Bagaspati untuk segera kembali ke tempat masing-masing, dan raja sudah kembali pula masuk ke dalam, Bagaspati menggandeng bahu pemuda di sampingnya. Diajaknya Satria melangkah lambat, menyusuri jalan setapak berbatu kerikil yang mengrangkai Taman Sari.
"Cepat jelaskan padaku, Kang, kenapa Kakang melakukan tindakan konyol Itu?" sungut Satria, tak sabar.
Bagaspati tersenyum. Dadanya jadi terasa sesak kembali. Tangannya mendekap dada.
"Jangan anggap perkataan ku lucu, Kang! Perbuatan Kakang memang konyol. Bagaimana kalau di antara kita sampai ada yang celaka?" "Nyatanya aku sudah 'celaka' di tanganmu, bukan?" seloroh Bagaspati, seperti gaya seorang kakak mencandai adik sendiri.
"O, jangan salahkan aku! Mana aku tahu kalau orang yang ku curigai ternyata Kakang sendiri. Lagi pula, siapa suruh Kakang mengenakan kain hitam penutup wajah segala"!" serbu Satria. Sumpah dikawini bidadari, dia tak sudi disalahkan.
"Baik baik, kau jangan sewot seperti itu."
"Baik apa?"
"Akan kuceritakan kenapa aku berbuat seperti itu."
"Aku memang sudah berharap dari tadi.
Bahkan sejak aku menyaksikan wajah Kakang sewaktu telentang waktu itu. Aku pikir Kakang mati. Celaka kalau sampai terjadi! Bagaimana tidak, Kakang sudah kuanggap kakak sendiri. Orang mana yang tega membunuh kakak sendiri, kecuali orang gila" Lagi pula...." Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Satria. Padahal, sebelumnya pemuda itu justru yang tak sabar meminta penjelasan. Sampai akhirnya Satria menyadari sendiri kebodohannya.
"He he he, aku terlalu banyak ngomong, ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan ma-lu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).
'Kau siap mendengar penjelasanku?" tanya Patih Bagaspati.
Satria mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon.
"Begini.." Bagaspati memulai.
"Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri...." "Ah, masa'"!" perangah Satria. Matanya membesar. Langkahnya terhenti.
"Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.' "Ah, buat apa menguji aku segala" Satria tak percaya. Benar-benar tak percaya! Apa alasannya menguji kepandaian kanuragannya" Apa tujuannya"
"Dengar dulu," potong Bagaspati ketika mulut Satria sudah memperlihatkan gelagat buruk kembali.
"Sengaja aku menyamar agar kau mencurigaiku. Setelah kau curiga, dan menganggap aku akan mencelakai Kanjeng Susuhan, tentu kau tak akan ragu-ragu lagi bertarung denganku dan mengeluarkan kepandaianmu.
Bahkan kau pun tak ragu-ragu membuat aku 'celaka'...."
"Bukan itu maksudku. Kang. Bukankah sudah kubilang kalau...."
"Ya ya, aku paham," potong Bagaspati kembali.
"Memang itu tujuan aku menyamar.
Agar kau tak ragu-ragu bertarung denganku.
Jadi kau tak perlu merasa bersalah."
"Baik, yang itu aku paham. Tapi, kenapa Kanjeng Susuhan hendak menguji kepandaian kanuragan ku?"
"Karena dia berniat mempercayakan padamu satu perkara besar?"
"Ah, masa'"!"
"Kanjeng Susuhan belakangan ini mencari orang yang bisa dipercaya untuk menangkap seorang pengacau besar berbahaya.
Hidup atau mati. Ketika bertemu dengan kau, Kanjeng Susuhan merasa kau bisa dipilih untuk menjalankan tugas itu...."
"Ah, masaaaaaaa'"!"
"Untuk itu, kau perlu diuji. Kanjeng Susuhan bukan tak yakin pada kemampuanmu.
Dia hanya ingin mengetahui sampai di mana tingkat kepandaianmu. Aku pun diperintah untuk mengujimu."
"Ah ah, masa' masa'"!"
"Dan tampaknya Kanjeng Susuhan telah yakin kini. Apa kau tak mau tahu siapa yang hendak kau hadapi dalam mengemban tugas dari Kanjeng Susuhan?"
"Ah, masa', eh iya ya! Siapa orangnya, Kang?" "Ki Ageng Sulut...,"
"Ah, Mak!" Satria kontan melotot. Ki Ageng Sulut" Lelaki tua sakti berjuluk Iblis Dari Neraka itulah yang dulu telah membuatnya terjengkang hampir modar dalam kerusuhan di Perguruan Cemeti Api (Baca kisahnya dalam episode : "Iblis Dari Neraka"!). Dia juga yang telah me-rebut senjata pusakanya Kail Naga Samudera. Tresnasari datang tergopoh-gopoh. Di kamarnya yang cukup jauh dari ruang peristirahatan raja, mendengar dua prajurit membicarakan pertarungan hebat Satria. Karena khawatir jejaka pujaannya kenapa-napa dia buru-buru keluar.
"Kau tak apa-apa, Satria"!" serbu Tresnasari, penuh kecemasan di wajahnya. Tangannya memagut pangkal lengan si pemuda kuat-kuat, akibat kecamuk perasaan.
Satria cengengesan. Malu hati dia pada Bagaspati.
"Sebenarnya, aku tak apa-apa...," ucap Satria.
"Entah kalau Kang Bagaspati ini," tambahnya, meledek.
Bagaspati bisa bilang apa kalau sudah dibegitukan"

* * *



--¤¤¦ « 2 » ¦¤¤--

ACARA pungut mantu diadakan oleh seorang saudagar besar Kadipaten Kudus.
Dalam acara itu, diadakan sayembara untuk mencari seorang suami bagi putri tunggal sang Saudagar. Bentuk sayembaranya adalah dengan menggelar pertandingan silat di atas panggung besar yang sudah disediakan di depan pelataran rumah besar saudagar itu.
Bagaspati mengajak Satria dan Tresnasari ke sana. Beberapa hari lalu, dia mendapat undangan untuk menghadiri acara tersebut. Biasa, para saudagar besar terkadang sering mencoba membuat 'pendekatan-pendekatan' dengan pejabat. Dengan begitu, usahanya secara tak langsung akan mendapat dukungan kekuasaan.
Bagaspati sendiri sebenarnya tak begitu berminat untuk menghadiri undangan sang Saudagar. Namun karena dia ingin menjaga citra pihak keraton, dia datang juga.
Dengan menunggang kuda, ketiganya sampai di gapura rumah yang dikelilingi tembok tinggi layaknya keraton itu. Empat orang centeng berwajah sangar lengkap dengan 'perkakas'nya menyambut mereka. Melihat Bagaspati, mereka cepat-cepat menyampaikan juraan.
"Selamat datang Gusti Patih...," sambut salah seorang dari mereka.
"Dan juga Nisanak dan Kisanak berdua," tambahnya, ditujukan untuk Satria dan Tresnasari.
Bagaspati mengangguk sekali, membalas sambutan mereka. Satria latah mengangguk.
Entah apa maksudnya. Tresnasari tertawa tertahan di belakangnya, geli menyaksikan lagak pemuda itu.
Ketiganya lalu diantar masuk oleh salah seorang centeng.
Pelataran rumah sudah ramai. Di sekeliling panggung, sudah hadir para undangan.
Di pendapa, tampak para kaum bangsawan dan beberapa pamong duduk di atas kursi. Di sekeliling panggung di depan pendapa, duduk di kursi puluhan pendekar-pendekar silat dari beberapa penjuru tanah Jawa. Mereka berminat besar untuk mengikuti sayembara yang diadakan. Sebagian hanya berniat untuk menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian silat yang dimiliki. Sebagian lain, datang dengan tujuan mendapatkan putri cantik si Saudagar yang telah disediakan layaknya 'piala'.
Putri sang Saudagar sendiri tak tampak di antara tamu di pendapa. Di sana tak ada seorang gadis pun. Kalaupun ada wanita, hanyalah istri-istri para undangan. Gadis itu tampaknya masih berada di dalam kamarnya.
Mungkin baru akan keluar setelah acara sayembara selesai.
Sang Saudagar tergopoh-gopoh menyambut kedatangan rombongan kecil Bagaspati. Dia seorang lelaki agak pendek. Berwajah bulat berlemak. Berperut buncit. Berpakaian seperti para ningrat tanah Jawa. Mengenakan blangkon dan kain lurik.
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang.
"Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!!" sambut sang Saudagar, berlebihan.
Bagaspati turun dari punggung kuda.
Diikuti Satria dan Tresnasari.
Kuda mereka digiring seorang kacung ke kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam, sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Satria dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya. Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Satria kembang-kempis. Baru sekali ini dia merasakan suasana seperti itu.
Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih yang dihormati. Sekali-kali, bolehlah bermimpi, gumam Satria dalam hati. Ngaco! Coba kalau tak ada Bagaspati, tak akan ada pula acara penghormatan sehebat itu. Bisa-bisa justru tendangan centeng mampir di pantatnya! Acara 'orang besar' memang tak bisa dikunjungi sembarang orang. Apalagi 'wong cilik' macam Satria. Hari ini ada pengecualian. Karena dia datang dengan seorang Patih Demak, tentunya! "Dinda Satria. Dinda!" Panggilan Bagaspati mengejutkan lamunan tinggi Satria. Pemuda lugu itu terperanjat. Cepat-cepat dia menoleh ke arah suara Bagaspati tadi.
Merah mukanya saat itu juga. Bagaimana tidak" Bagaspati sudah duduk di kursi yang disediakan bersama Tresnasari. Sementara dia masih saja melangkah. Bahkan, hampir sampai di tangga luar pendapa sebelah selatan. Satria tersenyum kecut. Buru-buru dia putar haluan. Siapa yang suruh melamun"

* * *



Setelah sekian mata acara yang menjemukan berlangsung, sayembara pertandingan silat pun dimulai. Satu orang pendekar dari tanah Parahiayangan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran naik ke panggung.
Pendekar ini mengenakan baju putih, celana dan ikat kepala hitam. Seorang lelaki berusia tak terlalu tua. Rambutnya panjang bergelombang. Di pinggangnya melilit sabuk kulit ular tempatnya menyelipkan kujang.
Sebentar dia memberi salam penghormatan kepada seluruh hadirin. Lalu diperkenalkannya diri. Nama dan daerah asal disebutkan. Juga julukannya.
Berikutnya seorang penantang menyusul naik panggung. Seorang lelaki muda Tiongkok yang datang dari Pecinan di kotapraja Demak.
Berambut panjang dikepang. Meski bermata sipit, wajahnya terbilang tampan. Kulitnya putih kemerahan. Mengenakan pakaian khas orang dari negeri asalnya, berwarna kuning dengan beberapa ikatan di bagian dada. Bercelana panjang dan bergandul tali.
Seperti lelaki pertama, pemuda Tiongkok itu pun menyampaikan hormat. serta memperkenalkan diri. Ucapannya agak terpatahpatah, kental dengan logat Tiongkoknya.
Keduanya pun mulai berhadapan satu dengan yang lain. Saling menghormat, kemudian memulai pertandingan. Pendekar dari Parahiayangan bergerak kian kemari, memainkan kembangan jurus-jurusnya.
Lambat, gemulai, dan indah disaksikan.
Laksana perawan penari.
"Hiaaa!" Si pemuda Tiongkok mengambil inisiatif serangan lebih dahulu. Dia tak ingin membuang waktu memainkan kembangan jurusjurus seperti dilakukan calon lawannya. Seni silat negerinya memang tidak sama dengan seni silat orang-orang tanah Parahiayangan.
Satu sambaran cakar elang memangkas udara. Tangan si pemuda Tiongkok mengancam. Jarinya mengejang tak beda dengan cakar-cakar burung raksasa perkasa. Jurusjurus khas negerinya memang diambil dari gerak-gerik hewan.
Sementara pertandingan berlangsung, Satria celingak-celinguk sendirian. Dia mulai tak betah dengan suasana itu. Orang-orang yang bersikap dengan tatakrama berlebihan di sekelilingnya, pertandingan silat yang baginya seperti menonton adu ayam atau adu domba, dan wajah-wajah para jago di sekeliling panggung yang keras dan tak nyaman dipandang. Heran, kenapa Kang Bagaspati bisa tahan dengan suasana ini, bisik Satria dalam hati. Satria mencolek lengan Bagaspati.
"Kang, aku permisi dulu, ya?" bisiknya.
"Mau ke mana?"
"Aku tak betah," aku Satria jujur.
Bagaspati tersenyum. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan. Semakin lama kenal pemuda itu, dia kian memaklumi sifatsifatnya. Kepolosan dan keluguannya terkadang begitu menggelikan. Namun, dengan begitu justru tercermin kemurnian hati si pemuda. Tak ada kepalsuan tersimpan. Tak ada kemunafikan. Tak seperti beberapa orang di sekitarnya.
"Boleh aku keluar cari angin, Kang?" susul Satria.
Bagaspati tak bisa mengiyakan. Juga tak bisa melarang. Mengiyakan sebenarnya bertentangan dengan tatakrama. Kesannya tidak sopan. Melarang pun percuma. Dalam suasana seperti itu, tentu sulit menjelaskan pada Satria tentang tatakrama. Akhirnya Bagaspati cuma bisa tersenyum kembali.
Satria sendiri menganggap senyuman Bagaspati sebagai tanda setuju. Satria pun bangkit dari kursi ukir Jepara.
Tresnasari di sebelahnya menatap tak mengerti. Mau apa dia" Tanyanya membatin.
"Mau ke mana kau?" tanya Tresnasari, berbisik.
"Cari angin," sahut Satria seenaknya, Tresnasari cemberut. Dari dulu, rasa kesalnya pada Satria sering kali merebak karena pemuda itu sepertinya tak pernah tahu tatakrama. Lebih menyebalkan lagi, dia sepertinya tak mau kenal dengan aturan tersebut.
Mendapati wajah asam Tresnasari, Satria cuma cengengesan.

* * *



Satria berkeliling di sekitar rumah besar milik sang Saudagar. Beberapa centeng bertampang seram memperhatikannya dengan pandangan curiga. Karena tahu Satria datang dengan seorang Patih Demak, mereka tak berani melarang. Kalau kebetulan berpapasan, mereka malah menjura, sambil tersenyum dibuat-buat. Satria tiba di sisi barat bangunan.
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di tengah-tengah taman, ada semacam kolam pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau bukan di tempat orang, dia akan segera buka pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke laut lepas di pantai Ketawang....
Hey, Satria terhenyak. Sebagian ingatan masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini, bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali tak terngiang di benaknya.
Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus, Satria beringsut mendekati dinding kayu di bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.
Jangan-jangan cuma salah dengar, pikirnya.
Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar, memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana.
"Siapa, ya?" gumam Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu mulai menduga-duga. Barangkali istri sang Saudagar" Kenapa menangis" Bisa saja karena kehabisan makanan untuk disuguhkan kepada tamu" Ah, ngawur! Apa itu anak gadis sang Saudagar yang sedang dipingit" Bisa saja dia menangis karena tak ingin dinikahkan dengan salah seorang pemenang sayembara" Lagi pula, bapak macam apa saudagar buncit' itu" Kenapa bisa-bisanya dia hendak menjodohkan anak gadis satu-satunya dengan orang yang belum tentu dikenal putrinya" Keterlaluan! Satria menggerutu panjang lebar dalam hati.
"Ehm ehm!" dehem Satria.
Tangisan di dalam sana terpancung.
"Siapa?" terdengar suara halus. Agak sengau karena baru menangis.
"Aku cuma seorang undangan, Nona," ucap Satria.
"Kenapa Nona menangis?" tanyanya. Usil sekali dia. Mau tahu urusan orang saja! "Tak apa-apa," jawab suara wanita di dalam sana.
"Sungguh?"
"Sungguh. Terima kasih, Saudara sudah memperhatikan ku...."
"Tuan sedang apa"!" bentak seseorang tiba-tiba dari kejauhan.
Satria mendelik. Sial, rutuknya. Dia tertangkap basah! Yang menegurnya barusan ternyata seorang centeng galak. Brewokan.
Berhidung besar. Bermata besar pula, seperti naga keracunan jengkol! Buru-buru Satria menjauhi dinding bangunan. Tangannya bergerak serba salah. Wajahnya apalagi. Mau tersenyum, malah kelihatan seperti ringisan orang yang 'khusuk' buang hajat. Centeng tadi berlari mendekat. Tangannya tak lepas dari gagang golok besar.
"Apa yang sedang Tuan lakukan?" ulangnya. Nadanya mengandung kemarahan, namun ditahan-tahan. Biar bagaimana, Satria tetap seorang tamu. Apalagi datang bersama seorang Patih Demak (lagi-lagi hal itu yang membuat Satria dihormati!).
"Eh, anu...," gagap Satria, kehabisan alasan. Orang seperti dia memang paling sulit berpura-pura. Apalagi mencari-cari alasan untuk berdusta.
Jendela mendadak terkuak. Di balik dinding tempat Satria nguping tadi, rupanya kamar anak gadis saudagar. Terang saja centeng brewok jadi 'kepingin' marah.
"Tak apa-apa, Kang!" sergah seorang gadis yang muncul dari jendela.
Centeng brewok menjura.
Satria menoleh. Matanya kembali mendelik. Sekali ini bukan kaget karena bentakan centeng. Melainkan karena terkejut tak alang kepalang menyaksikan wajah gadis di jendela.
Sumpah mampus Satria tak bisa percaya kalau gadis yang disaksikannya adalah Mayangseruni!

* * *



--¤¤¦ « 3 » ¦¤¤--

DI panggung sayembara, beberapa pertarungan telah selesai. Satu persatu peserta berjatuhan. Tak ada yang sampai kehilangan nyawa. Dalam pertarungan seperti itu, tak diperkenankan membunuh. Lawan cukup dikalahkan dengan berbagai macam cara.
Ketika peserta kesebelas tumbang, berkelebat bayangan membelah udara. Datang entah dari mana. Namun yang jelas tak datang dari jajaran bangku peserta di sekeliling panggung. Jleg! Berdirilah kini seorang kurus agak bungkuk. Mengenakan jubah hitam kusam pendek. Mengenakan tudung berbentuk kerucut dari anyaman bambu, menutupi seluruh kepala dan wajahnya. Padahal, dua peserta sebelumnya belum lagi turun.
"Tampaknya kau sudah tak sabar lagi, Kisanak?" tegur lelaki kekar berwajah klimis dan berpakaian perlente. Dialah pemenang pada pertandingan terakhir.
Sahutan orang bertudung cuma geraman berat, "Turunlah, kalau nyawamu masih ingin menetap di badan!" ancamnya sambil menudingkan tangan berbungkus kulit keriput. Melengaklah lelaki klimis perlente. Wajahnya berubah. Garis-garis keberangan merangas.
"Kau hanya bergurau, bukan?" desisnya.
"Jika tidak, kutunggu permohonan maafmu sekarang juga, Kisanak!"
"Cuih!" Padat penghinaan, orang bertudung malah meludah ke panggung.
Lelaki perlente merasa bukan panggung yang diludahi, melainkan wajahnya. Dia merasa terhina sekali. Dia merasa disepelekan di hadapan khalayak. Harga dirinya terasa diinjak-injak semena-mena.
"Bukan aku yang memulai keributan ini, Kisanak!" tandas lelaki perlente. Cukup sudah, pikirnya. Penghinaan terhadap dirinya tidak bisa dibiarkan. Orang bermulut lancang satu ini harus mendapat pelajaran agar dia tahu bagaimana bersopan-santun.
"Kau memang ingin minta mampus!" tebas orang bertudung, manakala calon lawannya kalap menerjang.
"Heaa!" Deb! Tendangan lurus datang ke arah orang bertudung. Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan dalam jarak yang begitu dekat. Wukh! Hantaman kaki cepat lelaki perlente lolos begitu saja. Sementara orang bertudung sepertinya tidak mengelak sedikit pun. Tibatiba saja, tubuhnya sudah berpindah dari tempatnya berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terperanjat pada gerak bagai bayangan orang bertudung, lelaki perlente tak ingin mundur atau sekadar mempertimbangkan kembali serangannya. Dengan kaki kanan yang masih terangkat, dikejarnya lawan. Deb! Deb! Deb! Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai pertandingan belum lama.
Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri, kepala orang bertudung tahu-tahu sudah condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak dipeluntirnya kepala orang bertudung.
Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab, putaran kaki lawan menutup ruang gerak yang bisa dijangkau otot lehernya.
Wukh! Tep! Bergerak bagai bayangan, tangan orang bertudung mendadak sontak terangkat, dan disambarnya kaki lancang lawan.
Mata lelaki perlente membeliak. Cengkeraman tangan lawan di pergelangan kakinya bagai himpitan rahang naga. Keras. Kuat.
Dan mengunci erat. Dia berusaha melepaskan kakinya. Tak bisa. Bahkan, meski dia telah berkutat sekalipun. Bahkan, meski telah pula dikerahkannya tenaga dalam keotot-otot di sekujur kakinya.
Perlahan tapi pasti, tangan orang kurus bertudung mengangkat sebelah kaki lawan.
Tentu saja si lelaki perlente sadar, kalau dia mencoba bertahan pada kuda-kudanya semula, selangkangannya akan robek. Bahkan, bukan tak mungkin akan terbelah dua.
Cepat atau lambat. Sesaat tadi, memang disadarinya pula betapa tenaga dalam lawan sulit terukur. Untuk menyelamatkan selangkangan nya, lelaki perlente melakukan tindakan terpaksa. Dia memanfaatkan tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk mengangkat tubuhnya ke udara. Lalu...
"Hiaa!" Wukh!! Deb! Dalam posisi miring di udara, tubuhnya berputar setengah lingkaran. Sebelah kaki yang bebas diayunkan berbareng dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya tangan lawan yang mencengkeram pergelangan kaki lainnya, sekaligus menghantam leher lawan.
Taktik serangan tak terduga lelaki perlente ternyata tak terlalu mengejutkan. Bahkan begitu mudah diduga lawan. Selain itu, tindakan lelaki perlente justru berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
Tep!. Seperti sebelumnya, sebelah tangan bebas orang bertudung bergerak amat cepat, dan menyambut sapuan kaki lawan. Pergelangannya dicengkeram kembali. Kini, kedua kaki lawan terkunci mati sempurna. Badannya sendiri kehilangan kendali.
Meluruklah dia.
Terkesiap wajahnya.
Tangannya terentang, mengira dapat menahan luncuran tubuhnya di atas tanah.
Perkiraan yang keliru. Sebab....
"Huaaahh!" Des! Satu clepakan ke depan kaki kurus orang bertudung menahan tubuhnya ke bumi. Korbannya hanya sempal mengeluh tertahan. Badannya tersentak ke atas. Ketika tubuhnya mulai meluncur turun lagi, kaki lawan menyambutnya kembali.
Degh! Dan sekali lagi.... Degh! Dan berkali-kali! Tak peduli, meski tubuh lawan tersentak-sentak meregang nyawa, kejang lalu mulai lemas. Sementara darah berhamburan kemana-mana. Keluar dari mulut, hidung, dan telinganya! Panggung yang beberapa waktu bersih dari anyir darah, kini tersapu warna merah di mana-mana.
Ternodai. Penonton berseru ramai. Para wanita memekik. Suasana keruh. Riuh.
Sehimpun caci maki melejit di angkasa.
Perbuatan keji! "Terkutuklah kau!" seru lelaki yang belum sempat turun dari panggung, orang yang sebelumnya telah dikalahkan lelaki perlente.
Dia pun turut murka atas perbuatan tak berperikemanusiaan orang bertudung.
Kemurkaan yang menggelegakkan darahnya.
"Cukup, Manusia Laknat!" Sambil berteriak serak, lelaki berperawakan pendek gempal menyerbu orang bertudung.
Wesh...Wesh! Kekejian orang bertudung menyebabkan lelaki berperawakan gempal tak ragu-ragu lagi bertindak. Tak tanggung-tanggung pula, dipergunakannya trisula yang hanya terselip di ikat pinggangnya selama ini.
Mudah, bahkan bisa disebut terlalu mudah orang bertudung mementahkan seluruh serangan nyalang lawan barunya. Padahal, tangannya masih mencengkeram dua pergelangan kaki lelaki perlente, menyebabkan kepala dan bahu lunglai lelaki malang itu tersuruk-suruk di permukaan panggung. Darah membentuk kelokan-kelokan mengerikan sepanjang seretan kepalanya.
Lelaki malang. Dan pada kejapan berikutnya.
"Cuih!" Ludah orang bertudung melesat. Terlebih dahulu menembus tudungnya, menciptakan lobang sebesar uang logam! Crresh! "Wuaa!" Lelaki berperawakan gempal meraungraung seketika. Trisula di tangannya terlepas.
Kedua tangannya mendekap wajah. Dari selasela tangannya mengalir darah segar! "Pergilah kau ke neraka menemani bangsat ini!" rutuk orang bertudung. Sebelah matanya meneroboskan bersit bengis dari lobang di tudung.
"Hih!" Sekelebatan dilemparnya tubuh korban pertama. Tangannya menyambar tudung. Dari balik tudung, dikeluarkannya sesuatu.
Cletarr! Mengangkasa suara menggidikkan. Kasar menggelegar, seakan menghantam ke segenap penjuru. Saat berikutnya, kepala lawan keduanya menggelinding, menyusul lesatan tubuh korban pertama. Gaduh, suasana makin riuh.
Para undangan kehormatan maupun undangan di sekeliling panggung bangkit serentak. Mereka tak bisa membiarkan ketelengasan tergelar lebih jauh di hadapan mereka.
Pada saat mereka menyadari itu, dua nyawa telah melayang.
Bagaspati berdiri tegang dengan rahang kejang. Matanya memerah. Seluruh otot di sekujur tubuhnya meregang. Terdengar desisnya.
Tak kentara. Namun jelas mengandung kegeraman memuncak! Satria yang berada cukup jauh pun terperanjat mendengar kegaduhan dari pelataran. Keterkejutan sebelumnya karena bertemu kembali dengan Mayangseruni terpangkas begitu saja. Mayangseruni sendiri tak bisa menduga apa yang sedang terjadi di panggung sana. Juga centeng brewok di depan Satria.
"Ada apa Satria?" tanya Mayangseruni.
"Aku tak tahu!" seru Satria. Cepat di-ayunnya langkah menuju pelataran.
"Satria tunggu!" pekik Mayangseruni.
Gadis yang masih mengenakan baju adat Jawa itu melompat dari jendela, menyusul Satria. Sulit berlari karena kain wironnya, Mayangseruni merobek saja kain tersebut pada bagian tengah. Sebagian paha sekal mulusnya pun tersembul manakala dia berlari.
Mayangseruni tak peduli.
Satria dan Mayangseruni tiba di pelataran. Di atas panggung, Bagaspati dan Tresnasari sedang menggempur seorang lawan.
Suasana sudah berubah kacau balau. Satu mayat dan sepotong kepala yang terjatuh di bawah panggung segera diurus beberapa centeng. Sementara di atas panggung, tersisa satu mayat tanpa kepala.
Para istri undangan di pendapa menjeritjerit kalang-kabut. Mereka berlarian keluar.
Kalau kebetulan suaminya termasuk seorang berjiwa satria, memilih untuk tetap berdiam di tempat. Sementara beberapa bangsawan dan saudagar bernyali kodok, serabutan berlari. Dengan istri masing-masing, mereka saling tarik-menarik tangan. Satu hendak ke sana, yang lain hendak ke sini! Para centeng bayaran segera membentuk kepungan di sepanjang panggung, bersamasama dengan para pendekar undangan. Mereka menganggap tak pantas membiarkan orang keji yang digempur Bagaspati dan Tresnasari lolos begitu saja.
Sang Saudagar, duda kaya yang ternyata ayah angkat Mayangseruni kelimpungan serba salah. Sewaktu menyaksikan anak angkat yang dipingitnya keluar bergandengan tangan dengan seorang pemuda berambut kemerahan, matanya mendelik besar-besar.
Tergopoh-gopoh dia berlari menemui Mayangseruni. Perut buncitnya terayun-ayun.
"Kau... kau apa yang kau lakukan di sini, Nduk"!" bentaknya dengan nada tinggi.
Mukanya memerah. Ludahnya tersembursembur.
"Masuk!" perintahnya.
Mayangseruni menggeleng.
"Masuk!" ulang saudagar gendut. Wajah Mayangseruni memperlihatkan guratan menentang.
"Aku selama ini sudah cukup menurut segala perintah Ayah. Sekarang, kuanggap sudah cukup!" tandasnya.
"Kurang ajar! Kau harus masuk dan menanti calon suamimu!"
"Tidak. Aku tak mau dijadikan alat oleh Ayah. Ayah tak pernah berniat mencarikan suami untukku. Melainkan, mencari pelindung untuk kepentingan Ayah sendiri. Ayah dengan sengaja mengundang orang-orang berpengaruh dan berkuasa untuk mengikuti sayembara. Jika salah seorang dari mereka berhasil menjadi suamiku, tentu Ayah akan memetik keuntungannya!" Makin mendelik mata sang Saudagar.
Darah tingginya kumat. Napasnya sesak. Jantungnya mendadak mogok kerja. Dan saudagar gendut pun tersengal-sengal sambil memegangi dadanya. Sebentar kemudian dia terjengkang. Satria tercengang sewaktu tahu saudagar gendut sudah telentang di tanah.
"Kau apakan ayahmu, Mayangseruni?" tanyanya, tak mengerti.
Sementara itu pertarungan di atas panggung menanjak makin panas. Teriakanteriakan Bagaspati dan Tresnasari terus bersahut-sahutan, menyelinapi deru angin pukulan, tendangan, dan gerak menggempur mereka. Kendati keduanya memiliki kepandaian yang cukup tinggi di dunia persilatan tanah Jawa, namun mereka seperti terlalu sulit untuk menundukkan lawan. Serbuan mereka hingga saat itu tak menghasilkan apa-apa.
Satria menggenggam telapak tangan Mayangseruni lebih keras. Diseretnya gadis itu, lebih mendekat ke arah panggung.
Tiba sekian tombak dari panggung.
Pendekar muda itu dipaksa menghentikan langkah tiba-tiba begitu matanya mampu menangkap wajah orang yang dikeroyok Bagaspati dan Tresnasari. Sekelebatan saja sudah cukup bagi Satria untuk mengenali orang itu. Juga cukup baginya untuk mengenali senjata berbentuk cambuk di tangannya, senjata yang dipergunakan untuk melecut putus leher korban terakhirnya.
"Ki Ageng Sulut?""!!!" perangahnya. Ma-ta pemuda bernyali naga itu lalu menyipit.
"Kau datang hendak mengantar nyawa dan Kail Naga Samudera padaku selagi aku hendak mulai mencarimu, Kakek Laknat," desisnya. Dan tampaknya tugas yang hendak dipercayakan Raja Demak padanya harus segera dimulai hari ini, meski perintah langsung belum lagi turun.
4 Dash! "Akh!" Belum lagi Satria beranjak dari tempatnya, Bagaspati sudah terhantam sambaran angin pukulan maut milik Ki Ageng Sulut yang sudah begitu dikenal sekaligus ditakuti banyak kalangan persilatan, 'Tepukan Iblis Kematian'. Terlemparlah Bagaspati dari atas panggung. Melayang sejauh sembilan tombak, lalu jatuh menimpa bumi bagai seonggok bangkai.
Tubuhnya ketika itu juga mengejang. Tak ada darah keluar. Namun, pendarahan dalam tubuhnya terjadi demikian parah. Dia tak sadarkan diri, saat berikutnya.
Tresnasari merasakan bulu ditengkuknya merinding hebat menyaksikan ketelengasan lawan. Hal itu menyebabkan kelengahan. Kelengahan menyebabkan kerugian besar dalam satu pertarungan. Terlebih pertarungan berbau maut.
Meski jarak tarung antara Tresnasari dengan lawan masih terpaut jauh, namun kesempurnaan peringan tubuh Ki Ageng Sulut memberinya kesempatan untuk menjangkau lawan begitu cepat. Sebelum lawan sempat menyadari kelengahannya sendiri, diterkamnya Tresnasari bagai mengejar bayangan. Satu tombak sebelum benar-benar tiba, telapak tangan si tua sesat menepuk udara. Hanya udara, namun akibatnya sungguh fatal bagi Tresnasari. Dash! "Ugh!" Giliran Tresnasari terkena sambaran angin 'Tepukan Iblis Kematian'. Tak beda dengan Bagaspati, tubuh gadis murid Nini Jonggrang itu terlempar deras keluar panggung. Untunglah, murid nenek sesat itu lebih siap daripada Bagaspati. Meski agak terlambat, Tresnasari sempat mengucurkan segenap kemampuan tenaga dalamnya ke kedua belah telapak tangan.
Sebenarnya, hanya dua telapak tangan yang tersambar angin pukulan lawan. Tapi tetap saja, akibatnya tak bisa dibilang ringan.
Sementara pengerahan tenaga dalam miliknya yang selama dua tahun ini mendapat godokan langsung dari tokoh jajaran atas golongan sesat, juga tak menipiskan kemungkinan mendapat luka lebih ringan.
Kalau dibanding-banding, Tresnasari memang bukanlah tandingan si Iblis Dari Neraka. Siapa Ki Ageng Sulut, siapa pula Tresnasari. Baik dari pengalaman, tingkat kesaktian, dan kematangan siasat bertarung, Ki Ageng Sulut jauh berada di atas lawan mudanya. Kendati, Tresnasari murid langsung Nini Jonggrang.
"Tresnaaa!!!" Satria berteriak kalap.
Di atas panggung, Ki Ageng Sulut berdiri pongah. Diangkatnya tinggi Kali Naga Samudera. Lalu serunya lantang, "Katakan pada Tabib Sakti Pulau Dedemit, aku akan meneruskan pembantaian demi pembantaian jika dia tetap tak ingin menyembuhkan penyakit ku dengan senjata ini!" (Seperti diketahui pada episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera" bahwa penyakit aneh Ki Ageng Sulut akan dapat disembuhkan dengan memanfaatkan tali Kail Naga Samudera yang terbuat dari ekor ikan pari pelangi langka.) Satria memburu, seperti memburunya tetes darah di sekujur tubuhnya. Seperti memburunya badai dari tengah laut! Napasnya mendengus, menanduknanduk udara. Belum sampai di dekat panggung, kakinya menghentak.
"Heaaa!!!" Seluruh mata menangkap lompatannya.
Keterpesonaan pun terjangkit.
Melayang tubuhnya, sengit. Bagai terbang memangkas langit.
Jarak yang demikian jauh terlampaui oleh Satria. Kakinya menjejak, tepat hanya satu jengkal dari tepian panggung pertandingan, yang kini telah berubah menjadi panggung pembantaian. Tak ada yang tak terpesona pada tindakannya. Jarak sepanjang setengah pelataran hanya mungkin dilalui oleh seorang berperingan tubuh teramat sempurna.
Untuk mencapai tingkatan Itu. seseorang harus menggojlok kemampuannya selama puluhan tahun. Sementara pemuda yang baru saja melakukan berusia tak lebih dari dua puluh tahun! "Siapa pemuda itu?" perangah beberapa orang.
"Aku belum pernah melihatnya di kalangan persilatan" Bagaimana mungkin dia mampu melakukan lompatan sesempurna itu?" kagum salah seorang dari beberapa pendekar di sekitar panggung.
Aku tak percaya dia dapat melakukannya! Aku tak percaya! Kalau bukan siluman, tentu dia orang sakti awet muda. Tak mungkin orang seusia dia dapat membuat lompatan itu!' seru tertahan yang lain.
Dalam' keadaan biasa, 'memang tak mungkin bagi Satria berbuat sehebat itu. Kalaupun kini mampu dilakukannya, semata karena bangkitnya tenaga sakti akibat reaksi zat abu-abu langka dasar terdalam Samudera Hindia dengan Ramuan Pulau Dedemit pemberian Ki Kusumo. Campuran yang telah menyatu dalam darah, daging, dan sumsumnya.
Dan akan meledak menjadikan tenaga dalamnya melimpah ruah bagai dikucurkan langsung dari langit ke ubun-ubunnya! Lepas dari segenap kekaguman yang tertumpah padanya, apakah Satria masih sempat peduli" Tidak mungkin. Sebab, yang bergolak, bergejolak, menggelegak dalam benaknya kini cuma kemurkaan besar! "Kubunuh kau!!" pekik si pemuda kalap.
Suara nya pecah dan bergeletar hebat.

* * *



Pantai Tanjung Karangbolong tak pernah berubah. Dari hari ke hari. Pukulan ombak dan deru yang dihasilkannya tetap serupa seperti hari-hari sebelumnya.
Di pondok tepi pantai tempat berdiamnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Ki Kusumo, salah seorang penghuninya keluar dengan wajah kusut.
"Heran, bisa-bisanya tengah hari bolong begini aku tertidur dan bermimpi pula," gerutu si tua bangkotan itu, sambil menggarukgaruk kulit kepala klimisnya. Kulit kering yang terkelupas dari kepalanya pun bertebaran tertiup angin. Dengan mata sayu, dia melangkah malas-malasan.
"Ada apa Panembahan?" tanya Ki Kusumo. Tabib tua kenamaan tanah Jawa yang beberapa waktu lalu tak bisa berbuat apa-apa karena luka parah akibat pertarungan hidupmati dengan Ki Ageng Sulut, kini sudah tampak bugar sama sekali. (Baca kembali episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera"!). Di bawah satu pohon kelapa, orangtua itu sedang melatih pernapasan.
Beberapa pekan belakangan dia juga sedang tekun melatih kaki cacatnya. Kaki kutung sebatas lutut itu kini disambung dengan logam runcing, dipesan khusus dari seorang pandai besi yang dulunya menjadi kepercayaan Raja Brawijaya yang pernah dikenalnya. Keadaan badannya kini, memaksa Ki Kusumo memperbaharui beberapa jurusjurusnya. Bahkan dia pun mulai mencoba menciptakan jurus-jurus baru, yang menekankan pada keampuhan logam runcing pengganti kakinya. Keadaan terpaksa memang sering kali membuat seseorang berusaha untuk menemukan kelebihannya di balik kekurangannya. Hal itu yang terjadi pada diri Ki Kusumo. Dalam sepekan terakhir, setidaknya lima jurus baru tercipta. Jurus-jurus yang berkaitan dengan 'senjata baru' di kaki kutungnya.
Hari ini, dia mencoba melatihnya kembali. Di depan tempatnya berada kini, ada tiang-tiang setinggi atap rumah. Di atas tiangtiang tersebut di gantung buah-buah kelapa.
Setiap buah kelapa sudah berlobang seukuran mata uang logam. Tentunya ujung runcing logam pengganti kakinya telah menembus setiap buah kelapa itu.
Untuk melatih ketepatan sasaran, bukan cuma kelapa dimanfaatkan Ki Kusumo. Orang tua itu pun menggantung beberapa mata uang kepeng. Setiap mata uang yang digantung kini telah terbagi dua, terbelah ujung runcing logam pengganti kaki Ki Kusumo.
Keringat Ki Kusumo belum lagi mengering ketika Dongdongka keluar dengan gerutuannya.
"Aku mimpi," jawab Dongdongka, atas pertanyaan Ki Kusumo barusan.
"Mimpi?"
"Ya. Keterlaluan kalau kau tak mengerti apa 'mimpi' itu!" Ki Kusumo terkekeh. Kebiasaan khasnya yang mulai sering muncul kembali hari-hari belakangan, menyusul kembalinya kesehatannya.
"Mimpi jelas aku tahu, Panembahan," kata Ki Kusumo seraya menghapus keringat di kening keriputnya dengan lengan baju.
"Aku cuma ingin tahu, mimpi apa yang telah Panembahan alami?" Dongdongka 'ngedeprok' seenaknya di atas pasir, seperti tingkah seorang bocah.
"Aku mimpi, murid kita diserang dua ekor ular. Ular jantan dan betina yang besuuuuuuaaaar! Kepalanya saja sebesar bukit! Matanya sebesar pintu gubuk kita! Aku heran, ular sebesar itu makanannya apa, ya" Kalau kerbau, pasti butuh satu kandang. Kalau padi pasti satu sawah. Ah, sejak kapan ular makan padi, ya?" Kalau ular makan uang rakyat" Ah itu mah, Ular 'kadutkadutan' yang bisa membedakan mana perawan, mana janda! He he he" Dari menceritakan mimpi, tua bangka itu mulai ngoceh ngalor-ngidul.
Ki Kusumo terdiam. Punggungnya disandarkan ke batang kelapa. Wajahnya diterkam kegalauan.
"Kira-kira, apa kau bisa menafsir arti mimpi ku itu, Kusumo?" Ki Kusumo tak memperhatikan pertanyaan Dongdongka. Matanya menerawang.
"Hey, Kusumo! Aku bertanya padamu, bukan pada dengkulku sendiri!" bentak Dongdongka. Ki Kusumo tersentak.
"Apa yang Panembahan tanyakan?"
"Ah, sudahlah!" tepis Dongdongka, keki sendiri. Dia bangkit. Dilangkahkannya kaki ke arah pantai.
Masih tetap dengan gerak malas. Matanya pun tetap sayu. Sebentar terkatup, sebentar membuka tanggung-tanggung.
Byurr! Bangkotan tua itu pun masuk ke dalam laut. Barangkali mau sedikit mendinginkan otaknya yang panas akibat mimpi siang bolong. Setidaknya sedikit menyegarkan badan.
Tinggal Ki Kusumo termenung sendiri.
Hati kecilnya memperingati, mimpi Dongdongka menjadi satu pertanda. Menurut tafsirannya, murid mereka Satria akan menghadapi lawan berbahaya. Dua lawan sekaligus.
Lelaki dan wanita yang bersekutu bersama! Tak lama, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah tampak lagi. Badannya basah kuyup. Baru keluar dari laut. Sambil terus menggaruk-garuk kepala dan mata terpejam, dia bergumam pada Ki Kusumo yang dilewatinya.
"Keterlaluan kau Kusumo. Nyam...
nyam.... Kenapa kau tak bilang, kalau arah gubuk kita bukan ke sana" Aku mau meneruskan tidur di gubuk. Bukan di dasar laut...."

* * *



Pertemuan-perpisahan. Dua kata tak terpisahkan. Satu ada untuk melengkapi yang lain. Kehidupan tak pernah lengkap dengan dua hal itu. Seperti juga Mayangseruni. Setelah terpisah sekian puluh tahun, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bertemu kembali dengan saudara kembarnya, Tresnasari.
Ketika itu dia menyaksikan Tresnasari terlempar dari atas panggung. Hatinya tertarik menyaksikan wajah Tresnasari begitu mirip dengan wajahnya. Saat itulah, dia teringat pada ucapan Satria beberapa waktu lalu. Kala bertemu pertama kali dengan Satria, pemuda itu menyangka dirinya sebagai seorang gadis yang dikenal Satria. Satria sempat menyebutnyebut nama Tresnasari. (Lihat kembali episode : "Geger Pesisir Jawa"!).
"Apakah kau Tresna?" tanya Mayangseruni dengan sehimpun kegempitaan di hati, setelah berlari kecil mendekati Tresnasari. Dibantunya Tresnasari bangkit.
Syukurlah, keadaan luka Tresnasari tak terbilang parah seperti dialami Bagaspati.
"Siapa kau?" balas tanya Tresnasari. Matanya ternanar menyaksikan betapa wajah gadis yang membantunya bangkit demikian mirip dengannya. Ibarat dirinya sedang berhadapan dengan cermin hidup! "Aku Mayangseruni! Saudara kembar mu!" tukas Mayangseruni, nyaris memekik kegirangan. Tresnasari terpaku. Bibir merah ranumnya terbuka.

* * *



--¤¤¦ « 5 » ¦¤¤--

NINI Jonggrang melantunkan sumpah serapah paling tajam untuk telinga manusia.
Bahkan mungkin untuk kuping kambing congek sekalipun. Pasalnya, dia melihat bagaimana murid tunggalnya, Tresnasari telah melanggar perintahnya mentah-mentah. Melanggar, artinya berkhianat. Tak peduli apakah sebagai gurunya, Perempuan Pengumpul Bangkai itu adalah seorang sesat. Yang namanya berkhianat, ya tetap berkhianat. Begitu menurut si nenek jelek sakti. Padahal, kalaupun ada guru yang paling pantas dikhianati, ya Nini Jonggrang orangnya.
Perempuan berusia alot layaknya Dongdongka itu 'nangkring 'di atas tembok pagar rumah sang Saudagar. Sambil menyaksikan seluruh huru-hara yang berlangsung di pekarangan, dia mencak-mencak ke sana ke mari.
Meski gerakannya lebih serampangan dari tingkah seekor bajing kegatalan, tak ada satu daun pun yang gugur karenanya. Bahkan daun kering sekalipun. Itu semua disebabkan karena Nini Jonggrang nenek moyangnya bajing" Jelas bukan! Kesempurnaan ilmu peringan tubuh yang sulit dicari tandingan yang menjadi penyebabnya.
Sewaktu Bagaspati, Satria, dan Tresnasari sedang dalam perjalanan dari keraton ke tempat undangan, tanpa disengaja Nini Jonggrang menyaksikan mereka. Sulit dia percaya kalau muridnya ternyata tak pernah membunuh si pendekar muda, Satria Gendeng. Malah disaksikannya sendiri Tresnasari tersenyum-senyum manja, berbincang bincang hangat, bergurau-gurau mesra, ber... ah, semuanya serba membuat nenek jelek itu jadi naik darah! Rasanya. darahnya naik ke ubun-ubun, lalu menukik ke pantat, terus terpantul naik lagi ke ubun-ubun. Bukan cuma marah. Nini Jonggrang juga malu pada keriputnya, pada dengkulnya, serta pada dunia dan seisinya.
Masa muridnya tak becus menjalankan tugas pertamanya" Apa sih, susahnya membunuh satu manusia" Percuma jadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai yang tersohor! Rutuk Nini Jonggrang.
(Apa dianggapnya manusia itu sama dengan kecoak") Sampai saat itu, Nini Jonggrang belum bertindak apa-apa. Perutnya masih terasa mulas karena terlalu dongkol pada Tresnasari. Lagi pula, dia juga tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan bagaimana murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul melolonglolong minta ampun dihajar Ki Ageng Sulut.
Salah satu hal yang bisa membuatnya merasakan puncak kepuasan! Kalau kesenangannya saja bisa membuat orang yang mendengar bergidik, tentu manusia satu ini sinting asli! Sementara pertarungan Satria dan Ki Ageng Sulut berlangsung sengit.
Di panggung, Satria bergerak cepat dan teratur. Terkadang melambat seperti orang uzur. Terkadang gemulai seperti penari. Jurus-jurus sakti si Dedengkot Sinting Kepala Gundul bagai mengalir deras dari tubuhnya, dan terwujud dalam setiap gerak.
Terkadang jurus-jurusnya berubah menggebu. Pukulannya menderu. Tendangannya membabi-buta, beruntun laksana gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, terdengar suara cukup keras. Pertanda setiap gerakannya mengandung tenaga kilat.
Lawannya, meski berusia tua, tak kalah hebat memainkan jurus-jurus maut. Kecepatan, kekuatan, dan kejalangan jurus 'Satria Gendeng' diimbangi, biarpun usia mereka bertaut amat jauh. Keduanya bergerak bagai dua malaikat maut. Masing-masing hendak mencabut nyawa lawan.
Melewati jurus-jurus keempat puluh, kelebatan gerak mereka sudah sulit diikuti mata awam. Yang tampak hanya dua larik bayangan yang bergerak kacau dan nyaris menyatu.
Satu bayangan hitam yang lain bayangan putih keabu-abuan.
Di antara dua kelebatan bayangan itu, terlihat pendar-pendar warna pelangi. Terkadang membentuk selubung yang mengungkung dua kelebatan bayangan hitam dan putih, terkadang membersit lurus, terkadang pula meluruk tajam. Sepanjang itu, terus terdengar bunyi bergemuruh seperti sabetansabetan petir di angkasa. Asal pendar cahaya pelangi dan bunyi bergemuruh itu berasal dari Kail Naga Samudera di tangan Ki Ageng Sulut. Seluruh mata di luar kancah pertarungan seperti tak sempat berkedip menyaksikan pertarungan dahsyat itu.
Suatu ketika....
"Hiaahaa! He he he!" Terlempar teriakan dari kerongkongan Satria disertai kekeh re-nyahnya. Saat itu, si pendekar muda sedang mengerahkan jurus-jurus andalan warisan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria makin terlihat gendeng. Dia berjumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya pun makin sulit diikuti mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di tepian panggung dia menandak-nandak ngawur. Pada bagian ini, pemuda itu seolah sedang bermain-main. Namun di balik itu, sebenarnya terkandung kehebatan tersendiri.
Orang yang menyaksikannya akan menganggap lelucon tengik. Namun bagi tokoh persilatan bermata jeli akan berpendapat lain. Mereka menemukan kekuatan tersembunyi di balik setiap gerakan kacaunya, atau kecerdikan, atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga, atau bahaya maut...! Suatu ketika, Satria menarik mundur tubuhnya beberapa tombak dari lawan dengan cara melejit ke udara. Di ujung panggung, dia menjejakkan kaki ringan.
Selanjutnya, dibuat satu hentakan keras-keras sambil menjatuhkan badan ke permukaan panggung. Dengan cara itu, tubuhnya meluncur di atas permukaan panggung.
Dengan posisi setengah terbaring, sebelah kakinya merentang lurus. Sebelah kaki yang Iain terlipat, menjadi tumpuan. Gelagatnya, dia hendak mematahkan pertahanan kudakuda lawan. Sementara tangannya siap menghujani bagian selangkangan lawan dengan pukulan tak terduga.
Wrrr! "Hieeeeeheeee!" Iblis Dari Neraka tentu tak mudah tertipu dengan siasat tarung lawan yang dinilai aneh oleh kalangan persilatan. Karena tokoh tua sesat ini kenal betul ciri bertarung guru si pendekar muda, Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Mata tuanya yang tak pernah kehilangan kejelian, membaca keadaan dengan cepat. Jika dia mencoba menghindari sodokan deras kaki membentang lawan dengan cara melompat, maka tangan lawan akan menyambutnya. Artinya, dia hanya memberi kesempatan lawan menghantam empuk-empuk selangkangannya. Dan memang itu yang tampaknya dikehendaki lawan.
Jika diputuskan untuk tidak melompat, maka risiko yang bisa dideritanya adalah patah kaki pada bagian lutut! Segenap kejelian dan kewaspadaan ditingkatkan Ki Ageng Sulut, menyambut kedatangan luncuran tubuh lawan mudanya di permukaan panggung. Dalam tempo yang demikian cepat, bahkan untuk hitungan kedipan mata! Dan....
"Hih!" Cerdik! Ki Ageng Sulut tidak melakukan lompatan. Tidak juga membiarkan lututnya patah oleh tandukan kaki lawan. Dia hanya merenggangkan kuda-kudanya lebar-lebar.
Gesit geraknya. Tangkas.
Kaki terentang Satria Gendeng lewat di tengah-tengah dua kaki lawan. Karena siasatnya gagal, dibuatnya satu serangan susulan. Sebelah kaki terlipatnya, mendadak sontak membuka dari bawah kaki yang terentang. Sapuan keras! Ssrrrs! Sebelah kaki lawan terancam.
Dalam keadaan berdiri dengan kaki terentang, tentu sulit bagi Ki Ageng Sulut untuk mengangkat sebelah kaki. Tua bangka keji itu tak kehilangan akal. Begitu tampak olehnya kaki lawan membuat sapuan, tangannya mengebutkan Kail Naga Samudera ke bawah.
Cletarr! Clep! Satria terkesiap.
Senjata pusaka di tangan tua bangka itu secepat kilat menukik lurus. Tajam. Tahutahu, kayu panggung tertembus. Sedangkan tali Kail Naga Samudera sendiri merentang tegang seperti potongan baja. Sapuan Satria tertahan seketika! Kaki pendekar muda itu nyaris saja terpantek langsung ke permukaan panggung! Kalau saja Ki Ageng Sulut memiliki ketepatan tinggi mempergunakan senjata pusaka di tangannya! Saat Satria terpesona..., Wukh! Degh! Satu tangan lawan membuat tamparan mendongkel dari bawah ke atas.
Dari posisi setengah terbaring di lantai panggung, kepala si anak muda tersentak teramat keras. Dagunya terhantam angin tamparan telapak tangan lawan, satu tombak sebelum telapak tangan itu menjangkau sasarannya sendiri. Akibat yang lebih hebat, Satria Gendeng langsung terangkat deras ke udara. Seperti dialami oleh Bagaspati maupun Tresnasari, tubuh pendekar muda itu melayang deras. Meluncur keluar panggung.
'Tepukan Iblis Kematian' baru saja menghajarnya! "Aaaahhh!" Para penonton pertarungan maut berseru. Pekat. Satria jatuh bergulingan. Dan baru berhenti ketika menghantam tangga batu pendapa telak-telak. Sebagian permukaan tangga batu pualam menjadi gompal! Segenap pandangan menombak ke arah dirinya. Bersit cemas bertaburan. Tak lama mereka seperti sama-sama menunda napas.
Ketika perlahan-lahan si pendekar muda beringsut bangkit, baru terdengar desah napas lega mereka. Tak urung pula, mereka memperdengarkan helaan terpesona. Terpesona karena jelas-jelas pendekar muda bau kencur itu telah terkena salah satu pukulan paling ditakuti di seantero dunia persilatan tanah Jawa. Namun, tak ada tanda-tanda kalau dia mengalami luka berbahaya. Di lain keadaan, 'Tepukan Iblis Kematian' bahkan sanggup melebur karang sebesar kerbau! Bukankah yang demikian itu mempesona mereka" Satria Gendeng mengeluh. Melenguh.
Suaranya parau. Betapapun sakit yang diderita, betapapun sesak mendera, betapapun mual dan pening terasa, yang jelas dia telah bangkit kembali kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat naik. Perlahan.
Urat-urat di bola mata itu memerah. Seperti milik banteng ketaton! Darah kehitaman mengalir lambat di antara hidung dan bibirnya. Wajahnya pun mematang, terbakar gelegak kemurkaannya.
"Khuaaaaaa!!!!" Satria melolong. Kepalanya mendongak.
Urat di lehernya menggelembung. Dia. seperti seekor serigala luka yang melampiaskan segenap kemarahan-nya melalui lolongan tinggi menohok angkasa.
Udara tergempur.
Getarannya menghancur.
Lapisan luar tembok pagar pecan terhambur. Dedaunan menggelepar-gelepar, gugur.
Puluhan orang harus menekan daun telinga kuat-kuat.
Si nenek jelek yang sedang nangkring di dahan satu pohon pun tergetar mendengar lolongan mengerikan itu. Hidungnya kembang kempis. Hampir saja lendir dan lobang hidung dekilnya terjatuh tanpa disadari.
"Bocah Bussssssuk! Bagaimana dia bisa memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara umurnya baru sejempol kukuku"!!" makinya sambil meringis-ringis.
Si pemuda sendiri tak pernah peduli pada semua itu. Dari tempatnya berpijak, dia menggenjot tubuh.
Wrrr! Tepp! Di tepi panggung, kembali dia memacakkan kuda-kuda.
Suasana mendadak dibungkam. Senyap, kebisuan yang memagut. Napas seakan tertunda kembali. Ki Ageng Sulut tak menyangka dia akan ikut terbawa pesona yang seolah terpancar gencar dari dalam diri si satria muda yang belum lagi cukup dikenal dunia persilatan tanah Jawa itu. Bahkan tak sempat ditariknya kembali tali Kail Naga Samudera yang menembus ke bawah lantai panggung.
Diam, si tua bangka keji itu dalam keterpanaan. Sampai geraman pemuda di depannya menyadarkan.
"Apakah kau tahu, Orang Tua Sesat.
Kematian tak pernah memilih-milih dan memihak siapa pun," desis Satria, sarat nada mengancam.
"Aku cuma berharap, semoga Gusti Yang Agung meminta nyawamu hari ini melalui tanganku...." Ada yang terasa bergetar di dalam diri Ki Ageng Sulut mendengar ucapan si anak muda. Aneh. Keganjilan yang menyeruak tak tertahan. Bagaimana mungkin seorang bocah ingusan dapat menggetarkan hati seorang tokoh kenamaan yang kekejamannya telah membuat tanah Jawa merinding selama berpuluh-puluh tahun lamanya" Semuanya seperti sulit dipercaya oleh Ki Ageng Sulut sendiri. Namun, dia tak bisa memungkirinya! Satu kelebihan yang tak dimiliki oleh pemuda kebanyakan. Dan akan sulit pula dimiliki oleh kalangan tua sekalipun. Sebentuk pancar kharisma kuat yang mungkin sanggup menggetarkan nyali seeker singa lapar! Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria Gendeng berpusing cepat serta liar. Pusingan tubuhnya merangsak deras menuju lawan. Bagai gasing raksasa yang sulit diduga. Tangannya sebentar terbentang, membuat putarannya melambat. Sebentar berikutnya terlipat dalam, menyebabkan putaran tubuhnya menjadi demikian sengit. Kegilaan itu tidak hanya sampai di sana. Di antara dengung yang diciptakan putaran tubuh si pendekar muda, terdengar pula suara berdesisan di bawahnya. Apa yang terjadi sungguh menabjubkan siapa, pun. yang menyaksikannya.
Begitupun Ki Ageng Sulut, tokoh nomor wahid golongan hitam yang menggemparkan dengan julukan Iblis Dari Neraka.
Ki Ageng Sulut tercekat. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri permukaan panggung mengeluarkan asap karena gesekan kaki Satria Gendeng yang menjadi tumpuan putaran! "Sinting! Aku tak pernah melihat Dongdongka melakukan pertarungan seperti itu.
Lalu jurus siapa yang bocah sial ini mainkan?"?" desis Ki Ageng Sulut, bergidik.
Sebenarnya, tak sekali pun Dedengkot Sinting Kepala Gundul menurunkan jurus aneh ini pada Satria. Kalaupun kini diperlihatkan oleh si pendekar muda, semata adalah kekuatan dorongan naluri kependekarannya.
Dorongan itu menyebabkan dia mengikuti saja gerakan yang lahir dari dalam, hingga tercipta sebentuk jurus ampuh tanpa disadarinya. Sedangkan kekuatan sakti yang mengendap dalam tubuhnya selama ini telah menyebabkan tenaga putarannya sanggup menciptakan gesekan teramat hebat di permukaan panggung!

* * *



--¤¤¦ « 6 » ¦¤¤--

MURID kualat!" Nini Jonggrang tahutahu sudah berada di belakang Tresnasari.
Bertolak pinggang. Cemberut wajahnya. Sudah jelek, jadi tambah jelek.
Tresnasari kaget bukan kepalang. Ketakutan, dia tersurut mundur ke belakang.
Mayangseruni yang belum mengerti duduk perkaranya menatap terheran-heran.
"Sini, kau!" bentak Nini Jonggrang, mendelik-delik menyeramkan.
Tresnasari menggeleng takut-takut. Sifat judes, bandel, dan ketusnya kabur entah ke mana kalau sudah berhadapan dengan nenek sakti penganut ilmu sesat itu. Siapa yang tak ngeri berhadapan dengan perempuan bangkotan seseram Perempuan Pengumpul Bangkai" Kendati muridnya sendiri" Jangankan mendengar bagaimana tabiat darah dinginnya selama ini, menyaksikan wajah dan penampilan rombengnya saja sudah bikin jantung 'empotempotan' separo soak.
Nini Jonggrang menggeram. Seperti dedemit pohon petai.
"Ke sini, kataku!" susul si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Tresnasari tetap tak ingin mendekat. Kepalanya menggeleng makin kuat. Wajahnya disergap ketakutan. Panas-dingin mungkin juga. Nini Jonggrang mendengus sekali. Diangkatnya tangan kurus berkulit keriput dan menebarkan bau bangkai busuk ke manamana. Kuku-kukunya panjang menghitam.
Jari kelingkingnya bergerak-gerak bagai seekor cacing pesakitan, membuat isyarat agar murid bandelnya mendekat. Matanya yang seni era h darah menerkam langsung ke manikmanik mata Tresnasari.
Tajam menusuk. Tresnasari kian gelagapan. Entah bagaimana, kakinya perlahan-lahan terseret dari tempat berpijak. Ada tenaga kasat mata menggeser kakinya. Gadis itu mencoba bertahan. Tak berhasil. Jangankan mempertahankan pijakan, menggerakkan otot dan sendi kakinya saja sudah demikian sulit.
Betapa Tresnasari yakin, mata iblis Nini Jonggrang telah mempengaruhinya. Mata itu pasti mengirim kekuatan tenung seorang perempuan penganut ilmu sesat, mengunci langsung segenap jaringan saraf kaki di otaknya. Mata yang Juga mengirim getarangetaran menakutkan ke hati.
Terkutuklah kau nenek setan! Maki Tresnasari, hanya berani dalam hati. Kalaupun punya keberanian, toh mulutnya pun terasa terbelenggu kekuatan tenung perempuan penganut ilmu sesat itu.
Tresnasari terus terseret perlahan.
Mayangseruni diam tak bergerak. Biarpun pengaruh tenung cuma ditujukan pada Tresnasari, namun gadis kembarannya itu seperti turut terkena getahnya. Dia takjub menyaksikan bagaimana hebat, betapa piawainya si nenek jelek mengatur tenaga dalam demikian rupa. Menurut Mayangseruni, sebagai orang yang cukup banyak belajar ilmuilmu olah kanuragan, tenaga dalam tersebut dikirim Nini Jonggrang melalui gerakan jari kelingkingnya. Bayangkan" Hanya dengan menggerakkan jari kelingking, Perempuan Pengumpul Bangkai 'sudah sanggup mengirim tenaga dalam yang dapat menyeret seseorang ke arah dirinya! Tresnasari tiba satu tombak di depan hidung gurunya, yang sampai detik ini tak akan sudi diakunya. Biar bumi kiamat dan mengeluarkan bangkai-bangkai berjalan dari perutnya, sekalipun! "Kenapa kau tak melakukan tugasmu, hen?" hardiknya kembali.
Tresnasari tergagap-gagap parah. Butirbutir keringat bersembulan di wajah dan leher jenjangnya.
"Ngomong tolol!" Susah payah setengah mampus gadis itu berusaha menggerakkan lidah, tak juga ada satu kata keluar. Kelu lidahnya. Kerongkongannya terasa sudah mau robek karena memaksa untuk berbicara.
Hidung Nini Jonggrang menyerupai paruh burung Nazar Hidung itu kembangkempis. Sewaktu mekar, terlihat kotoran berlendir menjijikkan. Baunya menyengat. Tangan yang tak sempat diturunkan mulai bergerak. Jari-jari kurus panjangnya turut bergerak-gerak. Kuku-kukunya melintas-lintas di depan wajah Tresnasari, membuat gadis itu makin pucat pasi.
"Kau tahu," mulainya lagi terseret.
"Sebagai murid, kau telah mengecewakanku.
Mengecewakan sekali! Kau mengkhianati tugas yang kuberikan. Itu artinya, secara tak langsung kau telah mengkhianatiku!" Nini Jonggrang mengusap lendir di lobang hidungnya dengan punggung tangan.
Tertawa terkikik dia. Tanpa satu alasan pun yang dianggap lucu.
"Bagi diriku, tak akan rugi bila seorang murid berkhianat. Aku bisa mencari murid yang lain. Yang setia. Yang mau menuruti apa perintahku, tak peduli dia ku perintah untuk menelan kotoran kerbau! Tidak seperti kau, Murid Kualat!" Nini Jonggrang terkikik-kikik lagi.
"Karena kau telah berkhianat, maka kau sendiri yang akan merasakan akibatnya! Kau tahu apa yang bisa kulakukan terhadap manusia" Aku bisa menguliti kulitnya, bisa menggeragot ubun-ubunnya dan ku sedot otaknya, aku akan melakukan apa pun yang ingin kulakukan," desis Perempuan Pengumpul Bangkai, menggempur nyali murid bandelnya.
"Dan untuk seorang murid murtad, tentu saja akan bisa melakukan lebih dari itu.
Lebih! Lebih! Lebiiih! Hik hik hik!"

* * *



Wuk wukh wukh! Pusingan tubuh Satria Gendeng tiba juga di dekat Ki Ageng Sulut. Sulit untuk menduga ke mana arah serangan yang hendak dilakukan pendekar muda itu. Setiap saat, tangannya bisa melontarkan pukulan, ke setiap arah. Juga kakinya bisa melepas tendangan, atau sapuan, atau tebasan. Yang juga tak terduga arahnya. Untuk menghadapi serangan ganjil ini, Iblis Dari Neraka tak bisa sembarangan melakukan gerakan. Atau sembarangan melancarkan serangan. Putaran tubuh lawan mudanya sendiri sudah membuat matanya jadi kehilangan konsentrasi. Menyerang dalam keadaan seperti itu dengan anggota badan malah bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. Lawan bisa membuat tangkisan, sekaligus serangan balasan tiba-tiba.
Kalau lawan lain, mungkin Ki Ageng Sulut tak akan begitu bingung melakukan serangan. Pengalamannya selama menerjuni dunia persilatan telah mengasah kewaspadaan dan ketajaman pandangan dan perhitungannya. Dengan cepat, dia bisa menangkap serangan mendadak lawan. Kendati itu dilakukan dari jarak tak lebih dari tiga jengkal. Lawan yang dihadapinya kini, bukan sembarang lawan. Dia adalah murid tunggal Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dan baru sekarang disadarinya benar-benar, kalau pemuda tanggung itu nyatanya bisa jauh lebih berbahaya dari gurunya sendiri! Ki Ageng Sulut tak habis mengerti dengan hal itu. Kenyataan memang berkata demikian. Gerakan si pendekar muda, demikian cepat. Tak terduga. Kekuatannya pun sulit diukur. Kecepatan dan kekuatan yang sulit terduga dan telah mengejutkan banyak pihak itulah yang menjadikannya berbahaya.
Jangankan Ki Ageng Sulut, Satria sendiri pun sebenarnya tak pernah menyadari kesaktian apa yang sebenarnya bersemayam dalam dirinya. Kesaktian alami yang sanggup melipatgandakan kekuatan dan kecepatannya. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu, sanggup melampaui satu-dua tingkat dari tokoh-tokoh jajaran atas tanah Jawa! Satu-satunya jalan yang dipikir terbaik oleh Ki Ageng Sulut adalah mendahului serangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Melainkan dengan senjata pusaka di tangannya.
Dengan Kail Naga Samudera! Senjata pusaka yang tak diragukan keampuhannya di tangan seorang yang tepat.
Wush!! Cletar! Menyambut tibanya putaran menggila tubuh lawan, Iblis Dari Neraka melecutkan Kail Naga Samudera. Suara celetar terdengar.
Sangar! Tali Kail Naga Samudera menggelepar sengit. Bersit cahaya pelangi menebar lebar.
Putaran menggila tubuh Satria Gendeng diterjang. Srrt! Ada yang menyentak hati Ki Ageng Sulut. Sekaligus menyentak tubuhnya. Dan ketika menyadari apa yang terjadi, semuanya telah terlambat. Dengan menakjubkan, tangan satria muda lawan nya telah menyambar lecutan secepat kilat Kail Naga Samudera. Tak terduga.
itulah hal yang sering kali mengejutkan siapa pun. Itu pula yang dikhawatirkan si tua bangka sesat. Kail Naga Samudera merentang.
Tegang. Tali di ujung kail mengeras dialiri dua tenaga dalam tingkat tinggi. Lebih keras daripada saat Iblis Dari Neraka menembuskannya ke lantai panggung.
Di dua kutub berseberangan, dua lawan berhadapan. Tampak diam. Pada dasarnya, mereka sedang berkutat. Badan mereka bergeletaran. Mata Satria terpejam. Sebaliknya, mata kelabu Iblis Dari Neraka membuka lebar. Tangan masing-masing terpagut ketat di ujung-ujung Kail Naga Samudera.
Detik-detik berjingkatan.
Keduanya makin tampak tegang.
Getaran tubuh mereka menanjak liar.
Peluh merembes deras. Pakaian mereka dibanjiri. Rahang keduanya seperti hendak retak oleh tekanan kegeraman. Bergemeletuk dalam. Wajah keduanya terbakar.
Tergarang darah mereka.
Oleh pengerahan tenaga melebihi batas.
Krrt! Seluruh mata penonton tak berani berkedip, takut kehilangan kesempatan besar itu. Mereka menyipit-nyipitkan mata, khawatir senjata pusaka yang begitu diminati banyak kalangan persilatan akan terputus menjadi dua.
"Kheeeaaaal"
"Khuuuaaaa!" Masing-masing lawan mulai pula melontarkan teriakan. Seperti hendak terputus urat leher keduanya.
Lalu.... Krrak! Panggung yang dibangun kokoh mulai tertular getaran tubuh si pendekar muda dan si tua terkutuk. Gemeretak ramai bersambungan, lamat lalu meruyak hebat. Sampai diakhiri oleh suara bergemuruh bagai terjadi gempa. Saat yang sama, panggung roboh berkeping-keping. Debu mengepul tinggi. Serakan-serakan kayu beterbangan menggila. Bagai ada angin puting beliung melanda.
Beberapa pecahan kayu melesat deras menuju siapa pun atau apa pun. Pepohonan yang kebetulan menghadang arahnya, langsung tertembus. Malang untuk orang-orang di sekeliling panggung yang tak cukup sigap menghadapi kejadian itu.
"Huaaa!" Lima orang tertembus pecahan kayu.
Dua menembus di kepala. Tiga lainnya di dada! Mereka ambruk kehilangan nyawa. Korban jatuh untuk yang kesekian.
Sementara di tengah kancah pertarungan, dua sosok yang petarungnya tak nampak. Debu tebal-tinggi menutupi. Mereka tentu di dalamnya. Entah dibagian mana.
Sementara sisa-sisa derak pecahan kayu yang jatuh masih terdengar.
Ketika debu mulai merayap turun kembali ke haribaan bumi, mulai nampak sosok dua manusia tangguh itu. Keduanya masih tak beranjak dari tempat semula. Hanya kini tak lagi berada di atas panggung. Melainkan, di atas bumi. Sebagian tubuh mereka sudah melesak masuk. Satria Gendeng sebatas lutut. Sedangkan lawannya sebatas paha.
Para pendekar seperti tak begitu peduli pada kejadian hancurnya panggung barusan.
Mereka mulai tegang kembali mengikuti adu tenaga dalam di kancah pertarungan. Setidaknya, mereka merasa ditakjubkan oleh kenyataan yang tergelar di sana. Batas melesaknya tubuh dua petarung, memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang mereka miliki. Jika Ki Ageng Sulut lebih dalam melesak, itu artinya Satria berada pada pengerahan tenaga dalam di atas Sawannya! Seorang pemuda bau kencur mengungguli tenaga dalam si Iblis Dari Neraka" Tak ada seorang pun yang tak menganggap itu kejadian luar biasa.
Sewaktu panggung hancur lebur, Nini Jonggrang terhenyak. Keasyikannya mempermainkan nyali murid bandelnya terpancung seketika. Dia menyumpah-nyumpah sewaktu sebilah potongan kayu melesat melewati hidungnya bengkoknya.
Sekarang, nenek tua itu pun dipaksa tak berkedip menyaksikan pertarungan. Dia menyumpah-nyumpah lagi. Lebih kotor dari sebelumnya. Kalau semula dia hanya terkejut karena ulah kayu yang tak permisi lewat di depan hidung, sekarang dia terkejut bercampur gusar. Bagaimana mungkin, Ki Ageng Sulut pasangan bejatnya di masa muda dahulu dapat kedodoran menghadapi tenaga dalam si bocah bau kencur" Nini Jonggrang pun dipersilakan terbengong-bengong, tanpa ada larangan untuk berhenti menyumpah! Kembali ke kancah adu tenaga dalam.
Seluruh bagian Kail Naga Samudera mulai mengepulkan asap. Berwarna putih kehitaman. Jenuh. Banyak hati semakin tercekam. Akankah senjata pusaka melegenda itu akan terputus" Akankah tiba riwayatnya berakhir" "Khiaaaa!" Banyak hati kini diciutkan oleh teriakan garang dari kerongkongan si pendekar muda pusat kekaguman mereka. Hati sebanyak itu makin menciut menyaksikan bagaimana tubuh pemuda itu mendadak mencelat dari tempatnya melesak.
Melayang deras, memanfaatkan tenaga tarikan lawan. Lawan tua bangkanya dikejutkan. Dia segera memutuskan tenaga tarikan. Setelah itu, dialihkannya tenaga dalam kebagian bawah tubuhnya. Kalau tetap terjepit bumi, maka keadaannya bisa disebut terjepit pula. Lawan akan segera memanfaatkan. Apalagi kini dia telah meluncur deras.
Sekejapan berikutnya, tubuh Ki Ageng Sulut mencelat pula.
Namun, usaha si tua bangka keji sudah terlambat. Bukan karena dia kurang cepat.
Melainkan karena lawan mudanya telah memanfaatkan tenaga tarikan Ki Ageng Sulut tadi ditambah pengalihan tenaga dalam untuk melakukan lompatan.
Di udara, Satria Gendeng menerkam tubuh lawan. Posisinya memang berada di atas angin.
Tak heran.... Dash! Satu kakinya bersarang di dada Iblis Dari Neraka. Begitu tubuh lawan terdorong keras di angkasa, tangan pemuda itu menyentak kuat-kuat. Srrrrtt! Kail Naga Samudera pun dapat direbut! Senjata pusaka itu kembali ke tangan pemiliknya....

* * *



Peribahasa 'di atas langit masih ada langit' sudah tak asing lagi bagi kalangan dunia persilatan. Setiap orang persilatan, tersohor atau tidak akan menyadari bahwa ilmu kanuragannya tak selalu menjadi yang paling hebat. Satu saat, akan ditemukan juga orang berilmu kanuragan lain di atas mereka. Cepat atau lambat. Tapi dalam perkara si pemuda tanggung bau kencur, Nini Jonggrang mentah-mentah tak bisa menerima peribahasa itu. Menurut pikirannya, orang yang dapat mengatasi kesaktian Ki Ageng Sulut alias Iblis Dari Neraka sepantasnya orang berusia lebih tua. Setidaknya sebaya dengan Ki Ageng Sulut sendiri.
Seumur hidupnya yang panjang seperti uluran benang layangan, tak pernah didengarnya orang begitu mudah mencapai kesaktian tertentu. Butuh waktu lama dalam hitungan puluhan tahun untuk bisa menandingi kesaktian si Iblis Dari Neraka. Itu pun tak menjamin seseorang dapat dengan mudah mengunggulinya. Yang disaksikannya sekarang justru bertolak-belakang, bahkan jungkir balik sama sekali dari semua pemikirannya itu. (itu pun kalau benar si perempuan tua sinting masih bisa berpikir sehat!) "Tak habis aku mengerti, pemuda hijau yang jakunnya mungkin baru 'membenjol' kemarin, bisa-bisanya mempecundangi si Sulut," rutuk Nini Jonggrang dalam hati. Tak puas-puasnya dia mengutuki Satria.
Dan si Truna Buluk tak akan sehebat itu mendidik seorang murid dalam waktu satudua tahun. Jadi, kenapa bocah ini bisa begitu hebat?" sambungnya, menyebut-nyebut nama Truna, nama lain Dedengkot Sinting Kepala Gundul pemberian Pertapa Sakti Gunung Sewu, (Seperti diketahui pada episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka", bahwa Nini Jonggrang dan Dongdongka adalah saudara seperguruan yang kemudian menjadi seteru).
Sejenak, Perempuan Pengumpul Bangkai itu melirik Tresnasari yang masih terpaku ketakutan. Bibirnya mencibir.
"Sementara aku saja tak akan mungkin mendidik murid kualat ini sampai sedemikian hebat hanya dalam waktu dua tahunan. Sial, kenapa aku jadi malah memuji murid si Truna Buluk. Memang sial! Memang sial!" Nenek penganut ilmu sesat itu menghentak-hentakkan kaki ke bumi, diselingi dengan semburan-semburan ludahnya.
"Cuah! Cuah! Cuah!" Kemudian dia mulai ingat lagi pada Tresnasari. Diliriknya perempuan cantik berkulit masih agak memucat karena selama dua tahun belakangan, dia hampir-hampir tak pernah mendapatkan sinar matahari. Tepatnya ketika dia terpaksa berguru di dasar jurang Gunung Sumbing (Baca kembali episode : "Kail Naga Samudera").
"Jadi, bagaimana mungkin kau bisa mengalahkan dia, murid kualat! Kalaupun kau menjalankan tugasku, rasanya tetap tak akan membawa hasil. Tapi, hey...." Dua bola mata menyeramkan Nini Jonggrang mendadak berbinar. Kelopaknya membesar. Bibirnya menyeringai. Ada sebetik akal licik dalam benaknya saat itu.
"Selama ku kuntit keluar dari keraton, tampaknya aku menemukan bahwa kau memendam rasa suka pada pemuda sialan itu, bukan" Hik hi hi! Atau malah lebih dari itu" Lebih, kau mengerti maksudku" Maksudku, kau tentu mencintai pemuda itu bukan" Jangan menyangkal! Aku tahu tingkah perempuan yang sedang dilanda kasmaran! Aku sendiri juga pernah muda, hik hi hi!" Tubuh bungkuk Nini Jonggrang terguncang-guncang, digempa tawa gelinya.
"Dan, aku bisa lihat juga kalau murid si Truna Buluk itu pun mencintaimu juga! Ini baru akal bagus! Baru ini akal bagus! Hik hi hi!" Perempuan tua sesat itu mengusapusapkan telapak tangannya. Bibir kendornya terus menyeringai.
"Baiklah, kau tentu masih ngeri aku menghukum mu, bukan" Sekarang, kau tak perlu takut. Aku tak akan menghukum mu.
Sebab, aku 'membutuhkan' kau memanfaatkan mu. Hi hi hi!' Nini Jonggrang bergerak cepat, menyambar tubuh Tresnasari. Dibopongnya sang murid. Setelah itu, dia melesat bagai setan.
Mayangseruni baru tersadar ketika Nini Jonggrang telah menghilang dari tempatnya.
"Tressnaaa!!" pekiknya melengking.
"Jangan tinggalkan aku lagi!!!!" Baru saja Mayangseruni bertemu dengan saudara kembarnya. Bahkan dia belum lagi cukup puas menikmati kemiripan wajahnya dengan Tresnasari. Lalu, nenek tua menyeramkan sudah merenggut saudara kembarnya yang telah sekian lama dinanti dan dicari.
Kerinduan kasih seorang saudara kembar yang tak ingin lebih lama menyiksa dirinya, menyebabkan Mayangseruni merasa kalau belahan nyawa dirinyalah yang baru saja dilarikan Nini Jonggrang.
Di tempat yang sama pada sudut berbeda, Satria mengurungkan niat untuk melabrak lawannya kembali begitu mendengar lengkingan Mayangseruni. Terutama karena Mayangseruni menjeritkan nama Tresnasari, gadis dambaan yang baru saja dijumpainya kembali. Nyalang dia melepas pandangan ke asal jeritan. Sekelebatan, masih sempat disaksikannya seorang nenek tua bungkuk melarikan sesosok tubuh di pundaknya.
"Tresna..." bisiknya menduga, galau.
Konsentrasi tarungnya jadi kacau balau seketika itu juga. Cepat digenjotnya tubuh, meninggalkan Ki Ageng Sulut yang tersuruksuruk mencoba bangkit.
"Apakah terjadi sesuatu pada Tresna, Mayang?" tanya Satria setibanya di tempat kejadian. Mayangseruni, gadis yang sesungguhnya bersifat lembut meskipun telah mempelajari seni bela diri itu terseguk kecil. Dia hendak menangis, tapi ditahan. Air mata menggenangi bawah matanya. Satu bulir tak urung bergulir di pipi.
"Tresna dilarikan oleh nenek tua," lapor Mayangseruni tercekat-cekat.
"Keparat!" maki Satria.
Satria menggenjot tubuh, menguras segenap kemampuan peringan tubuhnya. Pikirnya, tentu penculik kekasihnya itu belum pergi terlalu jauh. Sayang, sampai cukup lama mengejar, buruannya tak juga terlihat.
Kendati pemuda tangguh bertekad. baja itu tetap ngotot meneruskan pengejaran. Dia memang bukanlah seorang yang mudah putus asa. Namun, toh tak bisa dipungkiri kalau buruannya memang sudah tak terkejar.
Satria menghentikan pengejaran dengan perasaan kacau-balau tak karuan. Seperti juga dirasa oleh Mayangseruni, Satria merasakan kehilangan yang menyalip dan mengirisngiris hatinya. Belum lagi cukup waktu dia melepas kerinduan dengan Tresnasari, gadis itu sudah harus terlepas lagi dari genggaman cintanya.... Lunglai, Satria kembali ke tempat semula. Setibanya di sana, Ki Ageng Sulut sudah tak ditemukan lagi. Tua bangka sesat itu pun telah menyingkir dengan memanfaatkan kesempatan.

* * *



--¤¤¦ « 7 » ¦¤¤--

KURANG lebih dua puluh tahun lalu, Nyai Cemarawangi adalah seorang janda kaya dari Kadipaten Kudus. Hampir seluruh warga kadipaten mengenalnya. Bukan saja karena wanita itu seorang janda kembang pengundang 'kumbang-kumbang' jantan, juga terkenal karena kedermawanannya. Mendiang suami pertamanya meninggalkan warisan yang melimpah kepada Nyai Cemarawangi.
Harta itu kerap kali dipakai Nyai Cemarawangi untuk menolong rakyat yang tertindas.
Sebagai 'kembang' Kadipaten Kudus, Nyai Cemarawangi tak hanya berwajah cantik.
Dirinya dilengkapi pula dengan kulit kuning langsat, pinggul berlekuk padat, dada sekal, leher jenjang, serta betis dan paha yang segar sempurna. Kesempurnaan wajah dan tubuh itu telah memancing banyak lelaki untuk meminangnya. Berpuluh-puluh orang lelaki tak pernah cocok di hatinya. Yang datang, entah tua bangka yang nyaris pikun namun punya harta tak habis dipakai tujuh turunan, entah para pemuda ningrat, entah ningrat tua yang mencari istri kelima atau kesebelas. Banyak juga perjaka tulen yang belum tersenggolsenggol perempuan. Mereka bahkan terbilang tampan, baik, dan berbudi pekerti.
Lagi-lagi, Nyai Cemarawangi menolak dengan halus. Menurutnya, mereka semua belum cocok baginya. Bagaimana lelaki dambaan yang bisa menggantikan tempat mendiang suaminya, hanya dia yang tahu.
Tentu saja hal itu malah tambah memancing rasa penasaran banyak lelaki yang meminatinya. Suatu hari, datang seseorang melamar Nyai Cemarawangi. Orang itu bernama Artapati. Memang jodoh tak bisa diduga datangnya. Nyai Cemarawangi langsung bersimpati ketika bertemu untuk pertama kalidengannya. Janda kembang itu memberi kesempatan pada peminangnya untuk saling mengenal terlebih dahulu.
Sebagai seorang lelaki, Artapati memang memiliki segala hal yang didamba kebanyakan perempuan. Memiliki tubuh yang lebih besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran tubuh orang biasa. Bentuk badannya kekar berotot. Dadanya bidang mengembung, ditumbuhi bulu lebat. Lehernya besar, mengimbangi kekarnya bagian tubuh yang lain. Wajahnya, meski tergolong biasa-biasa saja. Namun, tetap menarik dengan sinar mata tegas serta tajam. Dengan dagu perseginya klimis.
Semenjak itu, Artapati sering berkunjung ke tempat Nyai Cemarawangi. Entah satu purnama sekali, atau sepekan sekali. Hal itu berlangsung hingga enam purnama.
Perlahan-lahan, Nyai Cemarawangi semakin dekat dengan peminangnya. Sedikit demi sedikit, dia pun mencoba menilai pribadi Artapati. Meski tak secara keseluruhan, namun sudah cukup banyak yang diketahuinya tentang orang itu. Dianggapnya Artapati adalah seorang lelaki sejati yang patut menjadi suaminya. Waktu demikian cepat menanam benihbenih asmara di hati si janda kembang. Simpatinya kini telah berubah menjadi cinta. Pada purnama keenam itulah, Nyai Cemarawangi memutuskan untuk menerima lamaran Artapati. Padahal tanpa diketahui oleh Nyai Cemarawangi sendiri, Artapati adalah lelaki dengan dua kepribadian. Dia akan bersikap layaknya seorang lelaki sejati di hadapan Nyai Cemarawangi. Namun sesungguhnya, dalam tingkah laku dan sikapnya itu tersembunyi serigala haus darah.
Artapati sendiri sudah sejak lama mengincar Nyai Cemarawangi. Karena kecantikannya, karena tubuhnya, namun yang paling menggiurkan dari semua itu adalah harta melimpah warisan suami terdahulunya.
Dan pernikahan pun berlangsung delapan purnama setelah perkenalan pertama mereka. Artapati telah memasang jerat yang demikian sempurna terhadap Nyai Cemarawangi. Dua tahun kemudian, Nyai Cemarawangi mengandung. Selama setengah tahun belakangan, sifat-sifat asli suaminya mulai mengapung ke permukaan. Dia sering mengasari Nyai Cemarawangi. Sering pula mabukmabukan selama berhari-hari. Berjudi menjadi makanan sehari-hari. Harta Nyai Cemarawangi diporotnya terus dari hari ke hari.
Namun, cinta memang aneh. Tabiatnya 'makhluk' penghuni hati itu sulit sekali dimengerti. Setiap orang sulit menentukan apa maunya cinta. Meski sifat-sifat asli Artapati telah ditelan bulat-bulat oleh Nyai Cemarawangi, perempuan cantik itu tetap mencintainya. Apa pun yang terjadi, tak bisa dipungkiri cinta terhadap diri suaminya telah menguasai. Lalu bayi dalam kandungannya pun lahir. Dua orang perempuan kembar yang diberi nama Tresnasari dan Mayangseruni. Pada usia satu tahun kedua bayi kembar itu, bencana datang. Sepasukan perampok mengobrak-abrik rumah Nyai Cemarawangi dan menguras hartanya.
Tak hanya sampai di situ, para perampok lalu membakar rumah Nyai Cemarawangi pula. Dalam keadaan panik, Nyai Cemarawangi hanya sempat menyelamatkan satu orang putrinya, yakni Tresnasari.
Tanpa diketahui oleh Nyai Cemarawangi, dalang perampokan itu sebenarnya adalah suaminya sendiri. Dia terlibat hutang amat besar di meja judi. Untuk membayarnya, Artapati tak akan mungkin sanggup. Untuk meminta harta istrinya, Artapati tak yakin Nyai Cemarawangi akan memberikan. Keputusasaan itu menyebabkan dia bergabung dengan gerombolan perampok.
Sewaktu perampokan berlangsung, Artapati mengenakan penutup wajah. Mengetahui seorang anaknya terperangkap dalam rumah terbakar, ikatan batin antara anak dengan ayah menyentuh perasaannya. Diselamatkannya anak itu. Dibawanya pergi dan diserahkan kepada suami-istri saudagar yang tak pernah dikarunia anak di Kadipaten Kudus. Pada sang Saudagar, Artapati tak lupa menceritakan tentang asal-usul bayi yang diberikan. Dia pun memberi satu tanda mata pada sang bayi. Sebuah kalung dengan mata logam berlambang Kerajaan Demak beraksara Arab. Kalung itu adalah satu-satunya harta peninggalan Nyai Cemarawangi, peninggalan dari mendiang suami pertamanya.
Sejak saat itu, Artapati tak pernah terlihat lagi. Dia terus bergabung dengan gerombolan perampok. Sampai akhirnya dia sendiri menjadi pemimpin gerombolan perampok yang menamakan diri Laskar Lawa Merah atau Panji Prajurit Siluman. Namanya diganti menjadi Dirgasura.
Sementara anak yang diberikan kepada saudagar Kudus adalah Mayangseruni. Dan kalung yang diberikan sebagai tanda mata itu pula yang akhirnya menjadi penyebab pertemuan kembali Mayangseruni dengan ayahnya. ( Untuk mengetahui tentang sepak terjang Laskar Lawa Merah, bacalah episode sebelumnya : "Geger Pesisir Jawa"!).
Mayangseruni selesai menceritakan tentang asal-usulnya pada Satria. Saat itu keduanya berkuda dalam perjalanan menuju Tanjung Karangbolong. Satria bermaksud menemui gurunya, Dongdongka dan Ki Kusumo untuk menanyakan tentang Nini Jonggrang.
Menurut Satria, tentu sesepuh dunia persilatan tanah Jawa seperti Dongdongka sudah banyak tahu tentang tokoh seangkatannya.
Tentu pula dia atau Ki Kusumo bisa memberi pertimbangan ke mana hendak memburu si Perempuan Pengumpul Bangkai itu, penculik Tresnasari. Mata Mayangseruni tampak menahan genangan bening. Wajahnya murung.
Satria menghela napas perlahan. Ingin dihiburnya gadis itu. Sayang, betapa sulitnya.
Sulit karena Satria merasa menjadi seorang pembunuh ayah seorang gadis selembut Mayangseruni. Terasa ada beban melebihi gunung karang. Bahkan untuk bicara saja teramat sulit. Satria berusaha juga, meski bagaimana.
"Aku benar-benar meminta kesediaanmu memaafkan ku, Mayang...," mulai Satria. Ma-ta bergaris tegarnya terjatuh ke bawah. Seperkasa bagaimanapun batinnya, dia tak kuasa untuk menatap langsung ke mata berkaca-kaca Mayangseruni. Menatap matanya, membuat Satria makin merasa bersalah.
"Karena kau telah membunuh ayahku?" tanya Mayangseruni.
Satria mengangguk.
Giliran Mayangseruni yang menarik napas.
"Kau tak perlu meminta maaf, Satria...," desahnya, tulus. Tak ada kesan hendak menyindir. Satria terpancing. Bagaimana mungkin seseorang dapat dengan mudah mengatakan seperti itu pada si pembunuh ayah kandungnya" Satria tak habis pikir. Ditatapnya gadis itu sesaat, melempar pertanyaan tak terucap.
Kendati sebelumnya dia begitu sulit melakukan.
"Karena, kalau aku menjadi dirimu, aku pun akan melakukan tindakan yang sama," kata Mayangseruni kembali.
"Maksudku, sudah sepantasnya ayahku mendapat hukuman setimpal. Mungkin dengan begitu, beban dosanya akan sedikit berkurang di hadapan Gusti Yang Agung nanti...," tambahnya tersendat oleh geletar halus. Dia hampir tak kuasa membendung tangis.
Satria trenyuh. Betapa mulianya hatimu, Mayangseruni. Puji Satria membatin. Seandainya semua wanita memiliki hati seperti dirimu, tentu bumi akan menjadi sejuk dan damai. Dan bulir bening itu akhirnya terjatuh juga di pipi si gadis.
Satria menjulurkan tangan dan menghapusnya.
"Terima kasih, Satria," ucap Mayangseruni, risih seraya bergegas menyapu kembali air matanya. Kau tahu, Satria. Sewaktu bertemu dengan ayahku, aku seperti dilimpahi keberkahan besar dari Gusti Yang Agung. Betapapun dia seorang kepala begal, betapapun bejatnya dia, betapapun dia akan dibakar di neraka, dia tetap ayahku. Darah dan daging ku adalah bagian dari dirinya. Tak bisa ku pungkiri, jalinan batin antara aku dan ayahku membuat aku merasakan kedamaian. Kendati saat itu aku tahu kalau Ayah adalah seorang yang kejam. Hingga kini, tak pernah aku mengerti hal itu...," tutur Mayangseruni, terkadang me-lamat sendu.
"Pertemuan itu, meski hanya semalam, benar-benar membuat aku seperti lahir kembali...." sambungnya.
"Dan aku ingin merasakan saat-saat seperti itu lagi jika telah berte-mu dengan saudara kembar ku, Tresnasari atau bertemu dengan ibuku yang selama ini tak pernah kukenal dekat." Mayangseruni memutus ucapan. Ditariknya napas beberapa kali. Pekat. Kental.
Seolah seluruh duka terbawa.
"Sewaktu berada di tenda Ayah malam itu, Ayah menceritakan seluruhnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Mata seorang begal bengis yang sulit dipercaya akan membendung air mata. Dia pun berkata bahwa dia menyesali seluruh perbuatannya telah menelantarkan aku, Tresna dan Ibu. Dia menyesal.
Di lain sisi, dia pun merasa telah terlambat....
Aku baru hendak mengatakan bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk bertobat, ketika kau datang melabrak." Satria makin merasa bersalah.
"Tapi, tetap aku tak ingin menyalahkanmu. Semua yang sudah berlalu, kuanggap selesai. Kita tak bisa menyalahkan ketentuan nasib, bukan" Sekarang ini, aku hanya ingin berkumpul kembali dengan saudara kembar ku, Tresna dan ibuku." Nyai Cemarawangi" Bisik Satria dalam hati. Haruskah kuberi tahu Mayangseruni kalau ibunya telah tiada" Apa bedanya diberi tahu atau tidak" Toh dia tetap akan mengetahuinya cepat atau lambat" Bukankah malah sebaiknya diberi tahu kini, agar dia tak terlalu berharap lagi"
"Tentang ibumu, Mayang," mulai Satria, memberanikan diri untuk memberi tahu. Kalimatnya tak dilanjutkan. Dia ragu.
"Oh, iya. Aku heran, kalau ternyata Dirgasura adalah ayahmu, kenapa dia tak mengakui Nyai Cemarawangi dan Tresnasari ketika aku dan mereka berurusan tanpa sengaja dengan Dirgasura di hutan perbatasan Ketawang-Jogoboyo" Waktu itu, salah seorang anak buah ayahmu mati terbunuh di tangan Tresnasari." Satria mengalihkan pembicaraan.
(Mengenai kejadian tersebut, bacalah episode pertama : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
"Ya, ayahku sempat menceritakan pertemuannya dengan Ibu dan Tresnasari. Saat itu, Ayah justru mengenali Ibu. Namun, ibulah yang tak mengenali Ayah. Selama menjadi Pemimpin Gerombolan Laskar Lawa Merah, penampilannya memang banyak berubah.
Menurutnya, dia berpura-pura tak mengenali Ibu. Ayah bahkan berusaha agar Ibu tak mengenalinya dengan cara menunjukkan sikap permusuhan. Mungkin dia begitu malu...," tutur Mayangseruni.
Satria mengira gadis itu telah terkena pancingannya untuk mengalihkan pembicaraan. Sayangnya tidak.
"Jadi, bagaimana dengan ibuku" Bukankah kau barusan hendak mengatakan sesuatu tentang beliau?" tanya Mayangseruni.
Satria terdiam.
Mayangseruni menunggu.
"Ibumu, Nyai Cemarawangi sebenarnya...." Satria ragu.
"Sebenarnya kenapa, Satria?" desak Mayangseruni.
"Sebenarnya dia telah meninggal dunia," kata Satria akhirnya.
Mayangseruni terdiam. Wajahnya beku.
Beberapa saat begitu. Sampai dia terisak tertahan-tahan. Mayangseruni tak sanggup lagi membendung tangis. Dia menghentikan langkah kuda. Dari atas pelana, gadis itu turun.
Membalikkan badan, dia menangis. Bahunya terguncang. Satria menyusul turun dari punggung kuda. Di dekat Mayangseruni, dia malah menjadi serba salah Apa yang mesti diperbuat" Sampai Mayangseruni menghambur ke dadanya dan menumpahkan tangis, Satria masih saja serba salah....
Ketika tangis Mayangseruni semakin pekat, barulah Satria sadar untuk memberinya pelukan hangat. Yang menghibur, yang menenteramkan, Meski kepedihan tak bisa disingkirkan. Juga balasan lembut di rambut legam tergerai Mayangseruni.
Angin mendesah, mencoba turut menghibur sebuah hati.
Juga mentari jingga di batas cakrawala sana.
"Kakaaaaang Suluuuut!" Nini Jonggrang memeluk Ki Ageng Sulut, merangkulnya kuat-kuat, menciumi pipinya bertubi-tubi, mengguncang-guncangkannya, lalu hendak diputar-putarnya pula. Untung Ki Ageng Sulut cepat-cepat berontak.
"Aku masih terluka dalam, Jonggrang.
Jangan macam-macam!" hardiknya, gusar.
"Urusan luka, soal belakang. Yang jelas, aku sudah begitu kangen padamu, Kaaaang!" rayu Nini Jonggrang kembali, mendayu-dayu, mengambil hati Ki Ageng Sulut.
Perempuan dan lelaki berusia alot itu bertemu di sebuah bangunan tua, bekas candi. Pertemuan kembali setelah sekian puluh tahun terpisah.
Ki Ageng Sulut mendengus sambil menaiki tangga terseok-seok. Luka dalam akibat tendangan Satria Gendeng masih mendekam cukup parah di bagian dadanya.
"Kita tidak muda lagi, Jonggrang. Bukan waktunya lagi kita bermesra-mesra seperti itu. Aku muak" gerutunya serak.
Nini Jonggrang menanggapinya dengan tawa terkikiknya.
"Apa salahnya orang sebangkotan kita bermesra-mesraan"! Apa salahnya, hik hi hi! Peduli setan pada dunia, peduli setan pada manusia, peduli setan pada setan, hik hi hi!" Di belakang Ki Ageng Sulut, nenek jelek itu melangkah mengekori.
Sampai di dalam ruang bangunan, si Iblis Dari Neraka duduk bersila. Wajahnya sudah demikian pucat. Darah sudah mengering di sebagian kerah jubah pendeknya.
"Aku tak habis mengerti, kenapa kau bisa dipecundangi oleh bocah ingusan itu, Kang Sulut" Seperti menyaksikan singa dikalahkan seekor anak kucing, hik hi hi!" mulai si nenek peot lagi, tak puas menggoda.
Mata Ki Ageng Sulut yang baru saja terpejam, membuka kembali. Bola matanya berkilat-kilat. Semakin gusar saja dia.
"Aku hendak memulihkan luka dalamku, Jonggrang. Jangan usik aku!" bentaknya.
"Kau jangan mengalihkan pembicaraan."
"Aku tidak mengalihkan pembicaraan.
Lukaku cukup parah. Tenaga tendangan bocah keparat itu hampir-hampir membuat isi dadaku berantakan...."
"Hik hi hi, akhirnya kau mengakui juga kehebatan bocah ingusan itu."
"Sudah, diamlah!"
"Hm hm hm, kalau saja aku masih muda, sudah ku gaet bocah itu. Kujadikan lelaki simpanan ku!"
"Kubilang diam!"
"Tapi, apa salahnya kalau setua ini aku memacarinya" Siapa tahu aku bisa sedikit awet muda" Hik hi hi!"
"Diam! Diam! Diaaaam!" Ki Ageng Sulut tak tahan lagi. Dia bangkit dengan wajah garang. Tangannya menghentak ke depan. Seketika itu juga menyemburlah gulungan udara berhawa panas yang menghasilkan asap putih pekat bergulung.
Gulungan hawa panas itu menerjang Nini Jonggrang. Wrrr! Si Perempuan Pengumpul Bangkai tak menghentikan kikik ketawanya. Enteng, dia mengangkat kedua telapak tangannya yang telentang. Wsss! Gulungan hawa panas dari tangan Ki Ageng Sulut seketika itu berubah arah. Semula menerkam lurus, kini membelok liar ke langit-langit bangunan.
Brrr! Begitu ujung gulungan hawa panas menerkam langit-langit batu candi, bagian itu pun hancur-lebur menjadi debu panas, mengeluarkan asap tebal.
Nini Jonggrang menggeram. Gusar pada perbuatan Ki Ageng Sulut pada dirinya. Matanya memelototi lelaki tua itu sangar-sangar.
Di lain sisi, Ki Ageng Sulut terbatukbatuk. Darah termuntah keluar dari mulutnya. Kental. Warnanya sudah menghitam. Dia terlalu memaksakan diri mengerahkan kesaktian pada saat menderita luka-dalamnya. Gelagatnya, luka dalam itu menjadi makin parah.
"Mampuslah kau!" maki si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Terbungkuk-bungkuk dia melangkah keluar. Langkahnya terbanting-banting. Kedongkolannya membengkak di tenggorokan.
Sepeninggalan Nini Jonggrang, Ki Ageng Sulut jatuh tersungkur di atas lututnya. Di dekap dadanya yang terasa panas dan sesak.
Tak lama kemudian, Nini Jonggrang sudah masuk lagi.
"Sekarang, kau jangan banyak mulut! Biar aku bantu kau menyalurkan hawa murni ke tubuh soak mu itu!" umpatnya ketus. Padahal. sebelumnya dia yang kelewat banyak mulut pada Ki Ageng Sulut. Dasar perempuan sesat sinting! Bibir kendornya manyun kian kemari. Orang yang melihatnya pasti khawatir kalau-kalau bibir itu lepas.
Sebelum memulai penyaluran hawa murni, masih juga Nini Jonggrang menjotos kepala Ki Ageng Sulut geram-geram. Kalau saja lelaki tua keji itu tidak dalam keadaan payah, sudah terjadi perang besar di dalam candi!

* * *



"Aku sengaja menemuimu karena satu keperluan!" Mulut ceriwis Nini Jonggrang mulai berkicau kembali, selesai disalurkannya hawa murni ke tubuh Ki Ageng Sulut. Kakek telengas itu kini sudah agak segar. Dia masih bersila. Nini Jonggrang sendiri sedang sibuk mondar-mandir seperti seorang mandor kerupuk.
"Kau tak bertanya?" susul si Perempuan Pengumpul Bangkai.
"Bertanya apa?" Nini Jonggrang melotot.
"Ya, bertanya apa keperluan yang ku maksud, Tolol!"
Ki Ageng Sulut malah mendengus.
"Ya, sudah! Aku juga tak butuh perhatianmu! Jelasnya, aku punya rencana. Kau harus setuju pada rencanaku. Kalau tidak, ku mampusi kau sekarang juga."
"Jangan banyak bicara, Jonggrang. Katakan saja apa rencanamu!"
"Bagus! Kau tentu sedang berusaha memaksa Kusumo untuk membantu mengobati penyakitmu, bukan?"
"Ya, lalu?"
"Sementara aku sedang berusaha untuk membalas sakit hatiku pada si Truna yang telah melaporkan perbuatan buruk ku pada Pertapa Sakti Gunung Sewu hingga aku dihukum bertahun-tahun dalam goa "Aku bosan mendengar cerita tentang hukuman dari gurumu itu, Jonggrang! Tak perlu kau ulang lagi!" "Cerewet kau! Nah, maksudku kita bisa bekerja sama lagi untuk mencapai tujuan masing-masing!"
"Bagaimana caranya?"
"Caranya?" Nini Jonggrang terkikik. Suara tawa melengkingnya menyesaki ruangan candi yang pengap dan lembab.
"Kau tahu, bocah ingusan yang bertarung dengan kau sebenarnya murid kesayangan si Truna!"
"Urusan Truna keparat itu adalah urusanmu! Lalu apa hubungannya denganku! Kau keparat sekali, Jonggrang!"
"Sabar, Tolol! Aku belum memberi tahu semuanya padamu!"
"Apa yang belum kau beri tahu!"
"Bahwa bocah ingusan itu pun murid Kusumo!! Hik hi hi! Kau terkejut?" Mata Ki Ageng Sulut menyipit. Kini, dia mulai bisa mengendusi apa maksud Nini Jonggrang. Bibirnya menyeringai, memberi satu penghargaan pada rencana si nenek peot jelek.
"Hik hi hi! Aku senang kalau wajahmu seperti itu! Kau jadi lebih ganteng!" Kunyuk buduk seantero jagat juga tahu, kalau Ki Ageng Sulut tak mungkin bisa dibilang ganteng! "Cepat katakan padaku, apa rencanamu sebenarnya, Jonggrang!" buru Ki Ageng Sulut.
Dia bangkit bersemangat dari silanya.
Bukannya cepat memberi tahu, si Perempuan Pengumpul Bangkai malah terkikik kembali, riuh rendah.
"Cepat, Jonggrang!"
"Iya iya! Sini kau!" Nini Jonggrang menyeret Ki Ageng Sulut layaknya kambing congek ke sudut ruangan yang gelap. Si perempuan tua bangka sesat berbisik di telinga Ki Ageng Sulut. Padahal apa perlunya" Toh tak ada yang mendengarkan mereka. Bodohnya, Ki Ageng Sulut mau saja melakoni tingkah gila si nenek jelek.
"Sat sut sat sut!" Ki Ageng Sulut mengangguk-angguk mendengar penuturan Nini Jonggrang di telinganya. Bibirnya makin memperlihatkan seringai. Matanya berkilat-kilat senang.
Nini Jonggrang lagi-lagi terkikik. Tak berhenti sampai dia jatuh tertidur karena pegal tertawa....

* * *



--¤¤¦ « 8 » ¦¤¤--

SATRIA dan Mayangseruni tiba di Tanjung Karangbolong siang itu. Dongdongka dan Ki Kusumo menyambut mereka dengan sukacita.
"Kakek!" Satria menghaturkan sembah pada Ki Kusumo yang tengah duduk di balai. Juga pada si Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru gendengnya yang sedang menggelantung seperti kelelawar di langit-langit gubuk. Kakinya diikat oleh seutas getah pepohonan kering, setebal benang namun lebih getas. Untuk menggantung kelereng saja tak bisa.
Dedengkot dunia persilatan tanah Jawa itu cengengesan menyaksikan muridnya kembali.
"Aku sedang melatih ilmu peringan tu-buhku," akunya pada Satria, meskipun sang murid sama sekali tidak bertanya.
"Maksudku, jangan sampai kawan gadismu menganggapku sinting. Jelek-jelek, aku tetap ingin jadi manusia. Tak ingin menjadi 'kalong'. Sebab cuma kalong yang tidur menggelantung seperti ini...," lanjutnya lagi, menjelaskan panjang-pendek.
Memangnya siapa yang bertanya" Dongdongka turun. Kakinya tetap dibiarkan diatas. Tangannya yang justru dijadikan tumpuan di lantai tanah gubuk. Tangannya itu dipakai untuk berjalan mendekati Satria. Satria dan Mayangseruni bingung. Bagaimana cara berbicara dengan orang tua yang sedang jungkir balik" Mau ikut-ikutan jungkir balik, tidak lucu. Tidak jungkir balik, apa kesannya tidak sopan" Jelekjelek, Dongdongka itu orang tua yang sepatutnya dihormati. Kesintingannya bolehlah dikesampingkan dulu.
"Kenapa kau cepat kembali" Kenapa pula kau bawa kawan gadismu ini ke tempat kami" tanya si sesepuh bertabiat sintingsintingan. Satria serba salah untuk menjawabnya.
Dia masih bingung mau ikut jungkir balik atau tidak. Akhirnya dia cuma bisa berjongkok sambil memiring-miringkan kepala.
Mayangseruni jadi latah ikut-ikutan. Si pemuda satria baru mau membuka mulut. Belum-belum, mulut Dongdongka mulai berkicau kembali.
"Coba ku tebak! Kau mau minta restu dari aku dan Kusumo, bukan?"
"Restu" Restu untuk apa, Kek?" Masih dengan kepala terbalik, Dongdongka melirik Satria. Lalu berganti ke Mayangseruni. Kembali ke Satria, lalu Mayang lagi. Begitu sampai beberapa kali.
Mengikuti bola mata si tua itu, Satria jadi pusing sendiri.
"Kau siapa" Eit, tak usah dijawab. Aku belum pikun-pikun benar. Kalau tak salah, kau gadis yang kutemui dulu ketika Cah Gendeng muridku ini terkena panah anak buah Dirgasura kunyuk itu, bukan" (Baca episode:" Kail Naga Samudera"!).
Dirgasura Kunyuk" Satria meringis. Kacau balau, keluhnya. Dia jadi tak enak hati pada Mayangseruni. Pasalnya, gurunya menyebut ayah gadis itu seenak udel.
Mayangseruni mengangguki ucapan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Bukankah kau hendak meminta restu untuk menikahi Cah Ayu ini?" tembak Dongdongka, bikin Satria malu hati pada Mayangseruni. Malu bukan main. Merah padamlah wajahnya. Saat itu, Satria cuma berharap Mayangseruni tak menyaksikan perubahan rona wajahnya. Malunya bisa dua kali lipat! "Bukan itu, Kek," sangkal Satria cepat-cepat.
"Bukan?" Kerut di kening Dedengkot Sinting Kepala Gundul bertambah. Dia menggenjot tangan sekali. Posisinya kini sudah waras. Setelah berbalik, dia langsung duduk bersila.
"Jadi apa maksudmu datang ke sini?"
"Aku hendak minta pertimbangan Kakek Dongdongka dan Kakek Kusumo." Satria ikut bersila di depan Dongdongka.
Mayangseruni turut pula. Disusul Ki Kusumo.
Orang tua berkaki baja itu merasa tak enak di atas balai sementara Dongdongka berada di bawah.
"Kau bicara sepotong-sepotong. Bikin aku pegal mendengarkannya rutuk Dongdongka. Tresna diculik, Kek...."
"Tresna diculik?" sela Ki Kusumo. Dari nada suara nya terdengar kalau orang tua itu cukup terkejut. Mustahil orang tua itu tak terkejut, kalau dia sendiri menyangka Mayangseruni adalah Tresnasari.
"Jadi siapa gadis ini?" lanjut Ki Kusumo, terheran-heran.
"Tresna siapa?" terabas Dongdongka.
Kepala Satria celingukan bergantian ke arah Ki Kusumo dan Dongdongka. Pertanyaan siapa yang mesti dijawab dahulu" Karena Satria tak cepat-cepat menjawab pertanyaan Dongdongka, Mayangseruni mencoba mengambil alih.
"Saudara kembar ku, Kek." jawab Mayangseruni cepat-cepat, menjawab pertanyaan Dongdongka. Sekaligus menjawab keheranan Ki Kusumo.
Saat yang sama, Satria juga menyahut.
"Dia kekasihku, Kek." Dongdongka cemberut, Jadi benar yang mana" Tresna itu saudara kembarnya Cah Ayu ini, atau kekasihmu, Cah Gendeng?" Satria manyun. Tangannya menggarukgaruk kepala tak gatal. Mulai kumat lagi kesintingan orang tua ini, gerutunya sebal.
Untung Ki Kusumo cepat-cepat menengahi. Kalau tidak, urusan baru akan selesai sampai tengah malam nanti! "Boleh aku bicara sebentar pada murid kita, Panembahan?" Kepala klimis Dongdongka mengangguk.
Wajahnya sendiri masih tetap asam.
Ki Kusumo mengajak Satria dan Mayangseruni keluar gubuk.
"Bilang pada muridmu itu, Kusumo! Masih muda jangan banyak bengong. Begitu jadinya kalau kebanyakan bengong. Ditanya begitu, jawabnya begini," rutuk Dongdongka sewaktu Satria, Ki Kusumo dan Mayangseruni melangkah keluar.
Si pendekar muda cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Di luar, Ki Kusumo mencoba menegaskan maksud kedatangan Satria.
"Kau katakan tadi Tresna diculik?" tanyanya.
Satria mengangguk.
"Seorang nenek. Aku tak begitu jelas melihatnya. Mungkin Mayang tahu, tambah Satria. Tanpa diminta, Mayangseruni pun memaparkan ciri-ciri nenek tua buruk rupa yang telah membawa lari Tresnasari. Seusai mendengar penuturan gadis itu, Ki Kusumo menarik napas dalam-dalam. Ada keresahan tersembunyi di antara desah napasnya.
"Kenapa, Kek?"
"Itu si Jonggrang!" teriak Dongdongka. Si manusia buluk satu itu sudah pula berdiri di pintu gubuk. Ki Kusumo mengangguk-angguk, membenarkan Dongdongka.
"Ya, dia memang Nini Jonggrang, si Perempuan Pengumpul Bangkai...." Dedengkot Sinting Kepala Gundul tergopoh-gopoh mendekat.
"Kau bertemu dengan si Jonggrang tengik itu, Cah Ayu?" tanyanya pada Mayangseruni. Wajahnya seperti baru saja dilanda angin ribut. Mayangseruni baru hendak menyahut, tapi nasibnya sama seperti Satria sebelumnya. Belum-belum, Dongdongka sudah berkicau lebih dahulu kepada Satria.
"Ah sekarang baru aku ingat!" sentak si tua bangka buluk sambil menjitak kepala gundulnya.
"Beberapa waktu lalu Jonggrang pernah mengancam mu, Cah Gendeng! Tapi, kulihat sampai sekarang kau masih tampak sehat-sehat saja. Artinya, Jonggrang itu cuma main gertak sambel! Ah, dasar biang sambel!" Lalu, tanpa menambah 'ba' atau 'bu' lagi, Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngeloyor, masuk kembali ke dalam gubuk.
Tobat tobat!

* * *



Dasar jurang Gunung Sumbing.
Nini Jonggrang membawa muridnya kembali ke sana. Dalam keadaan masih tertotok, Tresnasari direbahkan di atas tumpukan kerangka manusia yang banyak bertebaran di sepanjang dasar jurang.
Siang waktu itu. Seperti hari-hari biasa, tak ada beda antara siang dan ma lam di tempat tersebut. Kabut sepanjang waktu terus mengendap-endap seperti intaian segerombolan makhluk penghuni alam kegelapan.
Hawanya dingin dan lembab. Bau bangkai memadati hampir seluruh sudut.
"Kau murid kualat. Tak akan lagi kubiarkan kau membangkang perintahku," kata si Perempuan Pengumpul Bangkai. mengumbar kekesalannya pada Tresnasari.
"Seandainya kau tahu apa yang akan kulakukan terhadap dirimu, tentu kau akan menangis mengiba-iba padaku, hik hi hi!" Melangkah tertatih-tatih. Nini Jonggrang mendekati tumpukan kerangka manusia di sudut lain. Di atasnya, nenek tua menyeramkan itu duduk bersimpuh terbungkukbungkuk. Beberapa saat, dia terdiam.
Suara hembusan angin terpantul pantul.
merayapi permukaan dinding jurang. Terbentuklah gema lamat menyeramkan, Sebentar sunyi, sebentar terdengar.
Kala berikutnya, Nini Jonggrang mulai mengangkat tangan. Telapak tangannya disatukan. Matanya perlahan terpejam. Waktu terus merayap. Kemudian, bibir berkerut-merut dan tak kunjung kering dari lendir kental berkomatkamit. Nadanya naik-turun. Sebentar meninggi, sebentar melandai. Bisikan dari bibirnya seolah-olah menunggang gema desis angin. Mata berkelopak kendor dan berbiji besar itu mendadak terbuka lebar.
Membeliak, Lenguhnya serak.
Tangannya terangkat tinggi-tinggi ke atas. Menggapai-gapai seakan hendak menarik runtuh mulut jurang. Terdengar lagi jampi-jampi dari bibirnya. Bisikan-bisikan sesamar kabut. Sulit tertangkap maksudnya.
Melantun.... Menanjak tinggi.
Lalu menukik. Melambat. Lalu memburu. Menipis. Lalu memekat. Tubuh Tresnasari bergetar. Ada suatu kekuatan kasat mata yang menggempagempakannya. Entah kekuatan dari mana.
Derak suara benturan tulang-belulang terjangkit mengawal suara-suara ganjil dari kerongkongan si Perempuan Pengumpul Bangkai. Apa yang terjadi berikutnya adalah hal yang serba sulit dipercaya.
Badan Tresnasari terangkat perlahan.
Tetap dalam keadaan terbaring lurus serta kaku. Terangkat dan terangkat. Meninggi dan semakin tinggi.
Setelah mencapai ketinggian dua tombak, tubuh gadis yang tak sadarkan diri itu mulai berputar lambat. Mula-mula berputar menyamping, hingga kakinya mengarah ke Nini Jonggrang. Kemudian arah putarannya berubah. Tegak lurus. Hingga tubuh gadis itu tegak menghadap si nenek jelek dalam keadaan mengapung di angkasa.
"Buka matamu" perintah Nini Jonggrang dalam satu seruan serak. Terpecah. Tak kentara. Kedua kelopak mata berbulu lebat dan lentik Tresnasari membuka. Tidak. Lebih tepatnya, mendelik dengan tiba-tiba. Tak ada tanda-tanda kehidupan pada mimik pucatnya. Yang pekat terlihat hanya bias-bias daya tenung.
"Sekarang dengarkan apa kataku dan jalankan!" Nini Jonggrang berseru lagi.
"Kau adalah murid setia si Perempuan Pengumpul Bangkai. Kau juga abdi setia ku.
Sebagai murid, kuperintahkan kau untuk membunuh seorang pendekar muda bernama Satria. Ingat, Satria! Bunuhlah dia seperti kau menghabisi seekor kera tak berguna! Penggal kepalanya dan persembahkan padaku. Hiburlah aku, gurumu. Hiburlah aku, si Perempuan Pengumpul Bangkai, penganut ilmu sesat, ratu tenung tanah Jawa!" Kalimat-kalimat penuh hawa magis Nini Jonggrang terpancung sesaat. Sementara jarijari berkuku hitam panjang yang terangkat tinggi bergetar terus.
"Dan mulai kini, kau adalah seorang perempuan sesat! Sesat! Seperti sesatnya Sang Iblis Durjana!!!!" Dan melengkinglah kikik Nini jonggrang.
Mencelat-celat dari satu sudut dinding jurang ke sudut lain.

* * *



--¤¤¦ « 9 » ¦¤¤--

Heaaa! Heaaa!!" Satria menggebah kuda tunggangannya dengan kecepatan menggila. Di belakangnya, Mayangseruni mengikuti. Dua kuda jantan mereka menciptakan kepulan debu yang membubung pekat ke angkasa.
Tujuan Satria dan Mayangseruni adalah Gunung Sumbing, tempat kediaman si Perempuan Pengumpul Bangkai, Nini Jonggrang. Ki Kusumo telah memberi tahu Satria perihal tempat nenek penganut ilmu sesat itu selama tahun-tahun terakhir.
Sedang Dongdongka, seorang yang semestinya lebih tahu dari Ki Kusumo segala sesuatu yang berkaitan dengan Nini Jonggrang, malah lebih suka meneruskan 'tidur kalong'nya di langit-langit gubuk! Kalau tak begitu, bukan Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Butuh perjalanan beberapa hari untuk berkuda dari Tanjung Karangbolong ke Gunung Sumbing. Jarak sejauh itu, tak dipedulikan oleh Satria. Kalau perlu menempuh perjalanan sebulan pun, akan dilakoni. Yang ada dalam benaknya cuma satu tekad untuk menyelamatkan permata hatinya, gadis yang menitipkan cinta pertama pada si jejaka berjiwa satria. Sebenarnya, Satria tak begitu setuju Mayangseruni ikut serta. Dia khawatir akan terjadi hal-hal tak diinginkan terhadap diri saudara kembar Tresnasari itu. Apa mau dikata, justru Mayangseruni sendiri yang memaksa untuk ikut, Bahkan meski sudah turun larangan dari mulut Satria, dia tetap bersikeras. Menurutnya, keselamatan Tresnasari juga menjadi tanggung jawabnya sebagai saudara kandung. Satria menyerah. Dia terpaksa membiarkan gadis itu menyertainya ke Gunung Sumbing. Lagi pula, dia tak akan tahan kalau sekiranya si ayu itu merajuk. Baginya, rengekan perempuan selembut Mayangseruni lebih ampuh melantak hatinya daripada siksaan keras seorang algojo bengis.
Apakah nanti malah tak akan merepotkan atau Mayangseruni mendapat musibah, adalah persoalan belakangan. Toh, nasib manusia bukanlah ditentukan manusia lainnya. Cuma Tuhan pemilik hak mutlaknya.
Hari demi hari perjalanan berkuda berlalu. Beberapa kali sepasang muda-mudi itu harus singgah di kota kadipatenan yang dilewati untuk mengganti kuda dan membeli beberapa keperluan. Mereka jelas perlu mengganti kuda. Sekuat apa pun binatang tunggangan, tak akan sanggup diajak berlari terus-menerus dalam kecepatan tinggi. Untuk menempuh jarak yang demikian jauh pula.
Bayangkan saja, mereka harus menempuh lebih dari setengah jarak utara-selatan tanah Jawa! Halang-rintang yang mereka hadapi pun tak sedikit. Dua kali mereka dibegal. Dua kali pula mereka membuat pontang-panting kawanan begal itu. Tiga kali mereka harus berjalan kaki ke kota kadipaten berikutnya, karena kaki kuda tunggangan mengalami cedera. Serta halangan-halangan lain. Kecil atau besar. Menyusahkan sekali atau sedikit menyusahkan. Keduanya tak pernah menyerah. Apalagi sampai membatalkan perjalanan. Keduanya pada dasarnya adalah dua sosok manusia berhati baja. Tahan banting. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Dan satu hal yang terus membakar semangat keduanya agar tetap menggebu-gebu, cinta.
Satria mendapat dorongan semangat dari cintanya pada sang kekasih. Di lain pihak, Mayangseruni mendapatkan kobaran semangat dari cintanya pada seorang saudara kembar. Ya, cinta terkadang mampu menjelma menjadi api semangat yang menyala-nyala! Hari itu Satria dan Mayangseruni tiba di Kadipaten Wadaslintang. Kuda mereka melewati satu lembah rumput berbukit. Di tengah jalan, mereka melihat seseorang sedang duduk berteduh di atas batu sebesar kepala. Di dekatnya tumbuh pohon kamboja yang besar berdaun rindang.
Anehnya. orang itu duduk diam dengan kepala tertunduk dalam. Mengenakan caping yang semestinya dilepas jika memang berniat berteduh dan sedikit berangin-angin mengeringkan keringat.
"Bagaimana kalau kita bertanya dulu pada orang itu arah Kadipaten Wadaslintang, Satria?" usul Mayangseruni.
Sudah waktunya mereka mengganti kuda dan menyiapkan perbekalan baru lagi.
Meski sedikit curiga dengan orang itu, Satria mengangguk menyetujui.
Mayangseruni hendak menggiring langkah kudanya ke arah orang di bawah pohon.
Satria mencegahnya.
"Biar aku saja," kata si pemuda.
Satria turun dari kuda. Dia mendekat.
"Maaf, Kisanak," tegurnya.
Tak ada jawaban. Orang yang ditegur tetap diam. Bergeming pun tidak. Satria mengulang tegurannya. Sekali. Dua kali. Belum juga ada tanggapan.
Kecurigaan Satria makin menanjak naik.
Ada yang tak beres, duganya yakin. Apa mungkin dia sedang tertidur karena kelelahan" Duga sisi lain hatinya.
Hati-hati, dihampirinya orang itu lebih dekat. Tiba di sampingnya, disentuhnya bahu orang itu. Begitu tersentuh, orang itu malah jatuh tersungkur ke depan. Satria makin curiga. Di balikkannya badan orang itu. Terkesiaplah Satria demi menyaksikan bagian wajahnya.
Orang itu ternyata telah menjadi bangkai. Wajahnya sudah membusuk dan dipenuhi ulatulat kecil yang berpesta-pora memakan dagingnya! Menemukan lobang sebesar kepalan tangan di dada kiri mayat, Satria menilai orang itu mati karena kehilangan jantung.
Dengan kata lain, ada orang yang telah membunuhnya. Dengan cara di luar batas peri kemanusiaan. Mayangseruni hampir saja memekik.
Satria pun sempat dibuat bergidik. Pendekar muda itu tersurut mundur beberapa tindak ke belakang.
"Perbuatan biadab siapa ini?" desis Satria geram.
Mendadak kuda Satria meringkikringkik liar. Kaki depannya menendangnendang. Ada sesuatu telah mengusik naluri hewannya, sekaligus membuatnya demikian gelisah. Bahkan mungkin takut.
Tingkah serupa terjadi pula pada kuda tunggangan Mayangseruni. Mayangseruni mencoba mengendalikannya. Tak berhasil.
Kuda malah semakin jalang. Seakan-akan tuannya hendak dilontarkan dari punggung.
Jika perlu, diinjak-injak pula dengan keempat kakinya.
"Lompat Mayang!" seru Satria memperingatkan. Turut sadar pula dia bahwa kuda Mayangseruni tak mungkin dijinakkan. Ketakutan yang mengusiknya terlalu kuat.
Mayang mencelat turun. Gerakannya indah, meski posisinya di atas punggung kuda terbilang sulit.
Bersamaan dengan melompatnya Mayangseruni dari punggung kuda, ketika itu pula si binatang tunggangan mengejang, ambruk ke tanah menebar debu. Beberapa saat tubuhnya tersentak-sentak kuat, menggeliatgeliat, setelah itu kaku.
Kejadian serupa menimpa pula kuda Satria. Kejadian itu mengingatkan Satria Gendeng pada kejadian tempo hari, ketika untuk pertama kali berjumpa kembali dengan Bagaspati. Kuda Bagaspati pun mengalami nasib serupa. Seorang yang diyakini Satria menjadi dalangnya adalah Nini Jonggrang.
"Nini Jonggrang," bisik Satria, tak begitu yakin. Mungkinkah kematian kuda mereka kali ini perbuatan orang yang sama" Mayangseruni terpaku menatapi bangkai dua ekor kuda. Sedangkan Satria sibuk menebar pandangan siaga ke sekitar. Mungkin saja dia salah menduga tentang Nini Jonggrang. Namun, dia tak mungkin keliru bahwa semua kejadian itu didalangi seseorang. Sepanjang pandangannya terlepas, tak ada satu pun dapat dicurigai. Tak ada satu manusia pun. Bahkan Satria juga tak menyaksikan seekor binatang pun. Yang ada cuma gelaran lembah berumput pendek.
Bodoh, umpat Satria pada diri sendiri.
Kalaupun ada tempat persembunyian di daerah terbuka seperti itu ya cuma di atas pohon Kamboja! Pikiran Satria tadi pun diimbangi oleh getaran dalam hati kecilnya. Getaran yang memperingatkan akan satu bahaya di atas pohon. Bulu kuduknya merinding. Waswas, Satria menengadahkan kepala.
Puncak kecurigaan si pemuda berjiwa satria meletup manakala dari atas pohon Kamboja menukik satu bayangan. Secepat kilat. Menuju kepala Satria! Wrrr! Telinga tajam terlatih Satria menangkap suara halus mengancam.
Menggiring kabar kematian.
Menerkam bersama hawa maut.
Satria Gendeng terkesiap. Sepersekian kedip terasa seluruh jaringan saraf di tubuhnya menyentak seketika. Ototnya menegang.
Gerak refleks yang telah begitu terlatih menyebabkan dia melempar tubuh secepat kilat ke sisi.
"Haih!" Satria berhasil bangkit tanpa kekurangan apa-apa lima depa dari tempat semula.
Kuda-kuda langsung terbentuk. Wajahnya mengeras, beriring serbuan pandangannya ke arah kelebatan bayangan tadi.
Dua tindak dari pohon Kamboja besar, ditemukannya seseorang berdiri tegak. Kejang. Bagai cara berdiri mayat hidup.
Dua kali pendekar muda itu dipaksa terkesiap. Begitupun Mayang.
Mereka menyaksikan seseorang yang sebenarnya amat sulit mereka percayai. Tresnasari. Kedua muda-mudi itu tak percaya pada penglihatan mereka karena Tresnasari tidak seperti yang mereka kenal sebelumnya.
Mata gadis itu memancarkan hawa kematian, dan permusuhan. Wajahnya dingin.
Tak ada sedikit pun mimik muka yang menunjukkan kalau dia mengenali Satria dan Mayangseruni. Hal paling mengejutkan bagi kedua muda-mudi itu, di tangan Tresna terdapat benda hampir membusuk. Sewaktu diperhatikan ternyata sepotong jantung manusia.
"Tresna...," desis Satria dan Mayangseruni berbarengan. Keduanya saling menatap. Tengkuk mereka merinding. Terasa desir kengerian di diri masing-masing.
"Apa yang telah terjadi pada dirinya, Satria?" tanya Mayang cemas kelewat batas.
"Apakah dia telah membunuh orang itu dengan cara keji" Bagaimana mungkin dia melakukannya?" Satria tak menjawab. Bukan tak ingin, melainkan tak bisa. Bagaimana dia tahu apa yang telah terjadi pada diri gadis pujaannya setelah dilarikan oleh seorang nenek beberapa hari lalu" Mencari penjelasannya pada keadaan diri Tresna pun mustahil.
"Tresna" Apakah kau mengenali kami?" tanya Satria, ragu. Sebab dia melihat sinar permusuhan makin menyala-nyala pada sepasang bola mata gadis itu. Suatu yang tentu saja tidak wajar. Biasanya, Satria menemukan bersit kegembiraan di mata gadis itu jika Tresnasari berjumpa dengan dirinya. Atau sedang bersama dengannya.
Tanggapan Tresna lagi-lagi tidak seperti biasa. Gadis itu menyeringai. Seringai itu sendiri seolah bukan lahir dari dirinya.
Mayangseruni kian cemas pada keadaan saudara kembarnya. Dia mencoba mendekat.
Satria menahan.
"Biar aku yang mencoba," kata si pendekar muda.
Hati-hati, Satria lalu mendekat. Perlahan. Langkahnya satu-satu, seakan sedang berjalan di tepi tebing rapuh. Matanya terus menentang tatapan bengis Tresnasari.
Baru tiga langkah, Satria dipaksa memenggal langkah oleh tawa Tresnasari. Terkikik. Melengking tinggi. Tak juga seperti tawa Tresnasari yang dikenalnya. Satria ragu meneruskan langkahnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi padamu, Tresna" keluh Satria membatin. Saat berikutnya, ada bisikan dari hati kecil Satria. Bisikan itu memperingatinya akan bahaya lain sedang mendatangi dirinya.
Satria siaga. Matanya tak ingin dibiarkan terlepas dari Tresna. Dia sadar, perasaannya juga mengingatkan kalau Tresnasari kekasihnya dapat menerjangnya setiap saat dengan serangan yang teramat kejam. Namun peringatan dari hati kecilnya bukan tentang bahaya dari diri Tresnasari.
Karena khawatir Tresnasari menyerangnya, akhirnya Satria cuma bisa mempertajam pendengarannya. Tanpa berkedip, lamat-lamat, mulai didengarnya seliweran angin dari arah selatan.
Wsss! Sebisa-bisanya Satria Gendeng berjumpalitan ke arah samping. Dia tak perlu melihat apa atau siapa yang memburu ke arahnya. Seliweran angin tajam yang sekelebatan tertangkap telinganya sudah cukup baginya untuk menilai berapa besar bahaya yang datang.
"Hiaaa!" Sapuan angin kencang terasa berseliwer satu jengkal di sampingnya. Begitu Satria berhasil menguasai keseimbangan badannya kembali, disaksikannya seorang nenek tua sudah berdiri di dekat Tresnasari.
Entah bagaimana, tahu-tahu si nenek tua sudah tiba di sana. Satria maupun Mayangseruni tahu pasti nenek tua itu tak bersembunyi di atas pohon Kamboja. Kemungkinan besar dia sebelumnya bersembunyi di kejauhan. Lalu datang dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk tiba di sana. Sungguh satu tingkat peringan tubuh yang demikian sempurna. Kesempurnaan itu menyebabkan kedatangannya seperti angin.
Tanpa diketahui, kecuali setelah dia tiba.
Siapa dia" Siapa lagi kalau bukan Nini Jonggrang.
Satria langsung yakin kalau perempuan tua yang sedang dihadapi kini adalah Nini Jonggrang, perempuan sesat yang diceritakan Ki Kusumo dan Dongdongka sebelum dia dan Mayangseruni berangkat ke Gunung Sumbing. Kedua gurunya itu bercerita bahwa Nini Jonggrang mempunyai dendam pribadi dengan Dongdongka.
Setelah Truna, nama panggilan Dongdongka dari Pertapa Sakti Gunung Sewu melaporkan seluruh sepak terjang Jonggrang, Truna pun diperintah untuk membawa wanita itu pulang ke Gunung Sewu.
Truna berhasil menjalankan perintah eyang gurunya itu, dibawa kembali ke Gunung Sewu. Meski untuk itu dia harus bertarung habis-habisan menghadapi persengkongkolan Nini Jonggrang dan Ageng Sulut.
Bahkan Truna hampir saja kehilangan nyawa.
Di Gunung Sewu, Jonggrang menerima hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Dia dikurung dalam goa di sekitar lereng gunung itu selama lima tahun. Goa itu dinamakan Goa Kelelawar. Tempat bersarangnya kelelawar. Di dalam goa, keadaannya selalu lembab pengap karena kurang aliran udara, dan menebar bau busuk sepanjang waktu.
Tempat yang tak akan didiami oleh manusia waras, karena terlalu menyiksa.
Untuk menjaga agar Jonggrang tidak melarikan diri selama menjalani hukuman, Pertapa Sakti Gunung Sewu untuk sementara mengunci seluruh kesaktiannya, sampai masa hukuman perempuan itu selesai.
Selama lima tahun itu, Jonggrang benarbenar tersiksa. Kecantikan yang selama ini diagung-agungkan lenyap ditelan waktu. Kelembapan goa menyebabkan sekujur kulitnya ditumbuhi jamur-jamur dan penyakit kulit.
Rambutnya kotor menggumpal. Sementara selama itu pula dia tak pernah terkena sinar matahari. Ketika pertama kali keluar dan terkena sinar matahari, penglihatannya menjadi rusak. Tak ada lagi sebutan Jonggrang yang cantik molek bagi dirinya, seperti lima tahun lalu. Tak tersisa lagi kecantikan pada wajah dan tubuhnya. Setiap lelaki yang menyaksikannya akan meringis jijik. Seolah dirinya tak kurang menjijikkan dari seonggok bangkai.
Dendam pun lalu tersulut dalam diri Jonggrang terhadap Truna.
Sejak saat itu, dia berkeliling tanah Jawa mencari seorang guru yang bisa mengajarinya ajian sesat. Suatu hari dia bertemu dengan perempuan tua yang tak pernah bisa mati. Karena menganut ajian. Di adalah dukun tenung yang sudah berusia hampir empat ratus tahun. Dari perempuan tua itu, Jonggrang mempelajari ajian-ajian sesat seperti keinginannya selama ini.
Satu syarat puncak dalam menganut ajian sesat yang dipelajari, Jonggrang diharuskan mengumpulkan sembilan ratus sembilan puluh sembilan bangkai. Bangkai-bangkai itu harus pula hasil pembunuhan langsung tangan Jonggrang sendiri.
Setiap kali berhasil melakukan beberapa pembunuhan, Jonggrang memanfaatkan aliran sungai untuk membawa bangkai-bangkai itu ke tempat si dukun tenung perempuan.
Kejadian itulah yang pernah disaksikan Bagaspati ketika masih kecil (Tentang bayangan masa kecil Bagaspati, bacalah episode sebelumnya: "Iblis Dari Neraka"!). Sejak saat itu, dunia persilatan tanah Jawa digemparkan. Julukan disematkan un-tuknya Perempuan Pengumpul Bangkai! Selesai mendalami seluruh ajian sesatnya, Nini Jonggrang mulai melaksanakan niatnya untuk membalas dendam. Namun, hingga kini, tak pernah sekali pun dia melakukannya. Penghalangnya cuma satu, dia tak pernah bisa mengalahkan rasa cinta di hatinya terhadap Truna. Hingga kini.
Dendam dan cinta bertarung dalam dirinya. Selama bertahun-tahun dia tak bisa berbuat apa-apa.
Sampai dia mendengar kalau Truna atau Dongdongka memiliki murid. Melalui muridnya itu, dia hendak membalas dendam! Melalui Satria....

* * *



Satria tersentak dari lamunannya ketika Nini Jonggrang memperdengarkan tawa terkikik melengking. Seperti tawa yang diperdengarkan Tresnasari sebelumnya.
"Kaukah bocah yang telah mempecundangi Sulut itu" Hi hi, tak kusangka, setelah kulihat dari dekat, ternyata kau ganteng juga," koar Perempuan Pengumpul Bangkai, menggidikkan.
"Apa yang telah kau lakukan pada dia, Nek?" tanya Satria.
Nini Jonggrang melirik Tresnasari di sebelahnya.
"Kau mau tahu" Gadis ini telah menjadi pengikut ku. Dia akan melaksanakan apa saja kehendak dan perintahku."
"Nenek Laknat!"
"Aku suka kau menyebutku begitu, Cah! Hi hi hi!" Satria menggeram.
"Apa maumu sebenarnya dengan menahan dia?" susul Satria.
"Apa mauku" Dengar baik-baik, Cah!" tandas Nini Jonggrang. Wajahnya berubah keras, bengis sekaligus mengancam.
"Asa! kau tahu saja, Sulut tak akan bisa kau kalahkan dengan begitu mudah kalau saja dia tak sedang dirongrong penyakitnya!"
"Apa urusannya denganku, sehingga menahan dan mempengaruhi gadis yang dekat denganku"!" Nini Jonggrang terkikik.
"Akhirnya kau akui juga kalau kau dekat dengan gadis ini."
"Jangan banyak bicara, Nek. Katakan, apa urusannya penyakit tua bangka itu dengan diriku dan Tresna?"
"O, jadi perempuan ini bernama Tresna"' ledek Nini Jonggrang, kucing-kucingan.
Satria mulai geram. Namun diusahakan untuk tetap menahan amarahnya yang bergeliat hendak menjangkit.
"Hi hi hi, kau tadi bertanya apa" Kau ingin tahu kenapa gadis ini harus mengalami nasib seperti sekarang?" Satria mendengusi pertanyaan berteletele Nini Jonggrang. Toh, sudah jelas dia memang menanyakan itu. Bahkan sudah pula diulanginya. Dasar nenek busuk, umpatnya membatin. Sementara, Mayangseruni mendekatinya. Di sisi Satria, gadis itu berdiri. Garisgaris ketakutan tampak jelas di wajahnya.
Mungkin, itu pula alasan dia mendekati Satria, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan bila berdiri di dekat pendekar muda gagah itu.
"Kau jangan berlagak tolol! Senjata pusaka di pinggangmu itu bisa dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakitnya!" bentak Nini Jonggrang garang.
Satria melirik Kail Naga Samudera di pinggangnya. Menurut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, senjata pusaka yang begitu diminati oleh setiap kalangan persilatan itu telah berjodoh dengan dirinya.
Dengan senjata itu, dia dapat berbuat banyak dalam menjalankan tugas suci mulia menegakkan keadilan.
Namun, Satria juga sadar apa artinya bila orang yang dicintainya harus menderita karenanya" "Jadi kau menginginkan benda pusaka ini?"
"Jelas, Tolol!' Satria meloloskan benda itu dari ikat pinggangnya. Mayangseruni menyaksikan dengan kelopak mata menyipit dan alis bertaut Dia tak percaya kalau Satria sudi menyerahkan benda itu kepada si nenek sesat. Apa jadinya dunia persilatan jika senjata pusaka itu dikuasai orang bertabiat iblis" Mungkinkah Satria lu-put menyadari hal itu"
"Asal kau membebaskan pengaruh jahatmu terhadap gadis itu," aju Satria, memberikan syarat saat memegang Kail Naga Samudera di depannya.
"Satria...." Mayangseruni memperingati.
Satria meliriknya.
"Aku mencintai Tresna, Mayang. Aku tak mungkin membiarkan dia menjadi manusia tak berhati seperti itu," ucapnya, seolah mengeluh.
Mayangseruni tersentuh. Betapa besar cintanya pada Tresnasari. Diam-diam, Mayangseruni menjadi iri.
"Tapi, apa kau sadar...."
"Diam kau, Cah Perempuan!" hardik Nini Jonggrang, memangkas peringatan Mayangseruni pada Satria.
"Kau mau aku melepaskan pengaruh tenung ku pada gadis ini" Hi hi hi! Baik, kau akan mendapatkannya. Namun, ada satu syarat lagi sebelum itu kulakukan," sambung Ni-ni Jonggrang.
Satria menanti.
"Aku ingin, kau menggantikan tempat gadis ini"!" Bulu-bulu halus di tengkuk Satria meremang kuat mendengar perkataan terakhir si Perempuan Pengumpul Bangkai. Menggantikan tempat Tresnasari" Desis batinnya. Apakah itu berarti dia menyerahkan jiwanya untuk dikuasai oleh perempuan tua tukang tenung itu" Mayangseruni makin dilanda kecemasan. Tanpa sadar dia mendekap pangkal lengan Satria. Kekhawatiran yang teramat dalam menyusup ke dalam relung benaknya.
Apakah artinya itu" Mengapa dia begitu khawatir dengan si pendekar muda, Mayangseruni sendiri belum cukup memahami.
Manakala Satria dengan mantap tanpa perubahan mimik mengangguk, menyanggupi syarat Nini Jonggrang, Mayangseruni tak kuasa lagi menahan gemuruh hatinya.
"Tidak, Satria. Jangan kau lakukan itu!" Kelopak bawah matanya membendung garis bening. Tak lama genangan itu jatuh bergulir. Diam-diam pula, meruyak kembali rasa iri Mayangseruni terhadap saudara kembarnya. Bagaimana mungkin Satria rela berkorban untuk Tresnasari" Mengorbankan satu-satunya yang dimiliki" Jiwanya....
Nah lo, nah lo! Bagaimana jadinya itu" Benar tuh, si Satria Gendeng bakal dikuasai oleh tenung Nini Jonggrang" Ah, masa'" Terus, Ki Ageng Sulut bisa menguasai Kail Naga Samudera kembali" Ah, masaaaa'" Rencana si nenek jelek bau juga bakal berjalan" Apa jadinya kalau si tua bangka sinting Dongdongka tahu" Wuih seru sekali! Ah, masaaaaa'" SELESAI Ikuti Kelanjutannya dalam episode: "Kiamat di Goa Sewu"


INDEX SATRIA GENDENG
Iblis Dari Neraka --oo0oo-- Kiamat Di Goa Sewu
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.