Kiamat Di Goa Sewu
tanztj
August 02, 2015
INDEX SATRIA GENDENG | |
Perempuan Pengumpul Bangkai --oo0oo-- Pasukan Kelelawar |
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--
Sebentang lembah berbukit. Tempat di mana rerumputan liar tumbuh menghampar. Tempat di mana seseorang bisa melihat cakrawala dengan lapang.
Juga tempat bagi empat orang yang sedang terlibat satu urusan. Sementara keempatnya seperti tak pernah cukup peduli pada rona langit di atas sana yang berubah murung. Bukan karena mendung meraja. Melainkan kehadiran perlahan sang senja. Bahkan, mereka seperti tak ambil pusing pada gelimpangan dua bangkai kuda dan satu bangkai manusia yang nyaris membusuk di dekat mereka.
Segerumunan lalat justru telah membangun pesta-pora di atas ketiga bangkai. Bersama dengungnya yang mendompleng tiupan angin.
Keempat orang itu berdiri di dekat sebatang pohon kamboja besar. Seorang nenek tua bersisian dengan seorang gadis muda. Berseberangan dengan mereka, ada sepasang muda-mudi berusia sebaya.
Si nenek berusia sangat tua. Jelas sekali dari perawakan atau wajahnya. Dia mengenakan pakaian putih yang tidak cuma dekil namun juga berkesan muram sekaligus seram. Tercabik-cabik di sana-sini. Selain itu, menebarkan bau bangkai busuk menusuk.
Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat kemerahan. Sekeliling matanya berwarna biru kehitaman.
Wajah perempuan tua bangka itu dipenuhi keriput bercampur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut.
Tak terlihat tanda-tanda kalau wajah nenek itu dialiri darah.
Dua gadis yang berdiri berseberangan berwajah sulit dibedakan. ibarat pinang dibelah dua. Samasama berambut panjang hitam. Sama-sama cantik. Itu berarti pula, sama-sama memiliki pesona yang sanggup menabuh deras-deras detak jantung kaum lelaki.
Bedanya, perempuan muda di sebelah nenek tua berwajah agak pucat, dingin dan beku. Seolah parasnya tak memiliki secercah pun api kehidupan. Pun pada sepasang bola mata bulatnya yang sesungguhnya demikian indah. Dia mengenakan pakaian berwarna merah hati. Sedangkan paras muka perempuan muda yang lain justru bertolak belakang. Dia memiliki sinar mata yang demikian lembut.
Selembut cahaya senja merah jingga di ufuk barat. Ada garis-garis kekhawatiran mendalam tergurat di wajah ayunya manakala menemukan keadaan gadis yang mirip dengannya. Kekhawatiran terdalam yang belum tentu bisa dirasakan orang lain. Perempuan muda itu mengenakan pakaian adat tanah Jawa berwarna coklat.
Dari pakaian yang dikenakan, orang lain akan cepat menduga bahwa tiga orang di antara mereka adalah warga persilatan. Sementara gadis berpakaian adat tanah Jawa" Orang terakhir adalah pemuda belia tampan berperawakan kekar. Mengenakan rompi tebal dari bulu hewan berwarna putih keabu-abuan. Bercelana hitam sebatas lutut. Rambutnya lurus panjang kemerahan hingga melewati bahu.
Mereka tentu saja Nini Jonggrang, Tresnasari, Mayangseruni, dan pendekar muda yang belum lama hadir dalam gonjang-ganjing persilatan tanah Jawa.
Siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng" Murid dua tokoh tua kesohor; Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit" Nenek sejelek kuntilanak lama terjemur tentu saja Nini Jonggrang. Tua bangka golongan sesat yang lebih menggetarkan rimba persilatan dengan julukan sangar; Perempuan Pengumpul Bangkai! Dua gadis berwajah dan perawakan begitu mirip tak lain tak bukan Tresnasari dan Mayangseruni.
Seperti diketahui, Tresnasari saat itu sedang dalam pengaruh tenung jahat Nini Jonggrang. Perempuan Pengumpul Bangkai hanya akan melepaskan Tresnasari dari pengaruh tenungnya jika Satria bersedia menyerahkan diri untuk menggantikan Tresnasari. (Bacalah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai"!).
"Bagaimana aku yakin padamu bahwa kau akan melepaskan gadis itu dari pengaruh tenungmu jika aku bersedia menggantikan tempatnya?" aju Satria, jumawa. Tak tampak sama sekali kegetaran di wajahnya.
"Satria!" sergah Mayangseruni. Ditatapnya pemuda perkasa di sebelahnya dengan sinar mata tak menerima. Kendati perkenalannya dengan pendekar muda itu belum terbilang berusia cukup lama, entah kenapa Mayangseruni sudah merasa begitu dekat dengan pribadi Satria.
Untuk menyebut perasaannya itu sebagai benih cinta, mungkin terlalu tergesa-gesa. Mayangseruni belum cukup yakin. Namun begitu, sulit dipungkiri ada perasaan yang sulit diceritakan. Lebih kuat dari sekadar rasa suka terhadap diri si perjaka. Lebih jauh dari sekadar simpati. Atau mungkin tanpa disadari telah tumbuh benih cinta di hatinya" Dihalau oleh perasaan khawatir terhadap keselamatan Satria, tanpa sadar tangan Mayangseruni sudah merenggut erat pangkal lengan pemuda di sampingnya. Sikapnya seolah seorang yang tak sudi membiarkan sesuatu yang begitu disayanginya terlepas dari genggaman.
Satria melirik sebentar kepada Mayangseruni.
Bersit ketegaran di sepasang bola matanya tak bergeming. Lalu pandangannya beralih kepada renggutan tangan Mayangseruni yang makin menguat di pangkal lengannya. Mayangseruni sadar akan perbuatan tak disadarinya. Dia jadi jengah sendiri. Tertunduk, dibuangnya pandangan ke bawah.
"Kau tak bisa menuruti begitu saja kemauan nenek busuk itu, Satria," kata Mayangseruni. Hampir-hampir tak terdengar. Lirih.
"Jika aku tak melakukannya, bagaimana dengan saudara kembar mu, Tresnasari?" Pertanyaan Satria tak dijawab Mayangseruni.
Gadis muda ayu itu sama sekali tak bisa menjawabnya. Mau menjawab apa" Toh, kenyataannya dia pun begitu menyayangi Tresnasari, meski saudara kembarnya baru saja dijumpai. Posisinya memang sulit untuk menjawab pertanyaan Satria barusan. Dia seperti mendapat buah Simalakama. Tak mungkin dia sudi membiarkan Tresnasari terus dalam pengaruh tenung Nini Jonggrang. Di lain sisi, Mayangseruni pun sama tak sudi melepaskan Satria untuk menggantikan tempat Tresnasari.
"Apakah tak ada cara lain, Satria?" bisik Mayangseruni, lemah. Masih pula terdengar lirih.
Nini Jonggrang menertawai ucapannya. Kikik mendirikan bulu romanya merebak ke angkasa, melanglanginya beberapa saat, lalu pupus dilarikan angin.
"Jangan bodoh, Anak Perempuan! Tak ada pilihan lain bagi bocah ganteng ini selain menerima persyaratan ku. Kau tahu sebabnya" Karena aku tahu dia tak bisa membohongi hatinya sendiri. Dia mencintai gadis yang ku tenung ini. Dia lebih mengkhawatirkan keselamatan nyawa gadis pujaannya ketimbang nyawa sendiri!" cerocos Nini Jonggrang.
Bulat mata Mayangseruni menerobos manik mata Satria. Ingin ditemukannya jawaban pada mata bergaris tegas pemuda itu.
"Benarkah Satria?" tanyanya......
"Benar apa?" Satria belum sempat menanggapi maksud pertanyaan Mayangseruni. Perhatiannya masih terhunus lurus pada Nini Jonggrang. Bersama segenap kemarahan yang coba dikuasainya.
"Benar kau ber...," tiba-tiba Mayangseruni ragu untuk menuntaskan pertanyaan.
Apa haknya menanyakan itu pada Satria" Apa haknya" Umpat hatinya.
"Ya," jawab Satria, sesaat setelah mengerti arah pertanyaan Mayangseruni.
"Aku memang mencintai saudara kembar mu, Mayang. Sangat mencintainya.
Karenanya, aku lebih rela mengorbankan diriku daripada Tresna," tuntasnya, menandaskan.
"Sekarang kau menjadi mengerti alasan menggantikan tempat Tresna, bukan" Tapi, kau tak perlu khawatir padaku. Cobalah percaya padaku." Mendengarnya, entah kenapa Mayangseruni merasakan kekecewaan merayap lamat-lamat. Mendengarnya, entah kenapa rasa iri itu datang lagi. Satu hal lain yang menyelinap di relung terdalam hatinya adalah keterpaksaan membiarkan Satria menerima persyaratan Nini Jonggrang. Biar bagaimanapun, Satria sendiri yang telah menjatuhkan pilihan. Dia tak bisa melarang.
"Sekarang, aku ingin dengar darimu, Nenek.
Apakah kau bisa menjamin dengan mempertaruhkan nama besarmu untuk melepaskan gadis yang kucintai itu apabila aku menggantikan tempatnya?" Satria meminta ketegasan untuk kedua kalinya.
"Hi hi hi! Untuk seorang bodoh bau kencur yang baru saja mencium anyirnya rimba persilatan, kau termasuk bocah bernyali besar. Patut dikagumi.
Perkataan mu seakan menantang langsung nama besar Perempuan Pengumpul Bangkai! Hi hi hi, bedebah sekali kau, Bocah!"
"Aku tak membutuhkan basa-basimu itu, Nek.
Katakan padaku, apakah kau sanggup bersumpah dengan nama besarmu untuk melepaskan gadis itu"!" tebas Satria, tak ingin bertele-tele.
"Baik baik! Hi hi hi, memang benar-benar bedebah kau! Sekarang, kau boleh melempar lebih dahulu Kail Naga Samudera di tanganmu itu!" Tak banyak ucap, Satria melemparkan benda pusaka di tangannya.
Nini Jonggrang menyambut dengan sikap penuh kemenangan.
"Dan kau bocah perawan, silakan pergi dari sini! Kembalilah ke tempatmu. Nanti, saudara kembar mu yang akan datang menemuimu. Asal jangan kau harapkan perjaka ini. Dia akan menjadi milikku. Jadi milikku!" Mayangseruni tak bergeming dari tempatnya.
Hatinya masih terlalu berat membiarkan Satria menjadi tumbal. Bahkan dia merasa tak sanggup menggerakkan kakinya. Tangan kekar Satria singgah dibahunya, menyadarkan gadis ayu berhati lembut itu.
"Kembalilah ke Tanjung Karangbolong," bisik Satria. Mayangseruni menatap Satria. Di mata pemuda tampan itu, terlihat isyarat kecil. Mayangseruni mengerti. Satria memintanya untuk menemui Ki Kusumo dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dengan cerdik, Satria hanya menyebutkan nama tempat tinggal dua tokoh rimba persilatan itu. Satria tampaknya tahu benar, meski dia berbisik sepelan apa pun, telinga Nini Jonggrang tetap akan mendengarnya. Karenanya, dia mengatakan maksudnya. dengan kalimat yang lain.
Mayangseruni masih tetap menatap Satria lekat-lekat. Garis bening di kedua bola matanya makin menggenang.
"Kau harus percaya padaku, Mayang. Aku akan baik-baik saja. Aku berjanji padamu," Satria meyakinkan diri gadis itu.
Bulir bening menggelinding.
Di satu pipi Mayangseruni.
Berat hati, gadis itu berbalik pergi.
Langkahnya gamang.
Di kejauhan, isaknya terdengar tertahan.
--¤¤¦ «DUA » ¦¤¤--
Ki Kusumo tak terlihat bersamanya. Tidak di dalam gubuk. Tak juga di luar.
Sejak kepergian Satria dan Mayangseruni menuju Gunung Sumbing, Ki Kusumo pun meninggalkan gubuk. Dia khawatir akan keselamatan sepasang muda-mudi itu. Terutama karena nantinya mereka akan menghadapi seorang tokoh perempuan jahat sakti, Nini Jonggrang. Sebenarnya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit yang terhitung tokoh kelas atas persilatan tanah Jawa bukanlah tandingan sepadan Nini Jonggrang alias si Perempuan Pengumpul Bangkai. Dulu saja, Ki Kusumo telah gagal menghadapi kesaktian Ki Ageng Sulut. Kegagalan yang menuntut tumbal sepasang kakinya. (Baca kisahnya pada episode: "Iblis Dari Neraka"!). Sementara untuk tingkat kesaktian. Si Perempuan Pengumpul Bangkai berada beberapa tingkat di atas Ki Ageng Sulut sendiri. Diakui atau tidak oleh pendeta tua laknat berjuluk Iblis Dari Neraka itu.
Kalaupun Ki Kusumo tetap juga memutuskan untuk menguntit Satria dan Mayangseruni dalam perjalanan ke Gunung Sumbing, semata karena dia tak bisa membiarkan muridnya seorang diri menghadapi tokoh tak terkalahkan sejenis Nini Jonggrang. Belum lagi beban yang harus dipikul Satria dengan turut sertanya Mayangseruni. Nyawa gadis itu tentu saja akan menjadi tanggung jawabnya. Bukannya Ki Kusumo merendahkan kemampuan ilmu bela diri gadis itu.
Hanya saja, dia sudah cukup lama mengenal manusia macam apa Perempuan Pengumpul Bangkai sesungguhnya.
"Hendak ke mana kau, Kusumo?" tanya Dongdongka waktu itu, ketika Ki Kusumo baru saja hendak beranjak meninggalkan gubuk.
"Aku khawatir pada keselamatan murid kita, Panembahan," jawab Ki Kusumo, seadanya.
"Kau khawatir, lalu hendak menjaganya, begitu?" Ki Kusumo mengiyakan.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencibir, jelek.
"Kapan Bocah Gendeng itu akan belajar kalau kau terus saja menyuapinya" Kau tahu maksudku?" khotbah Dongdongka. Lantas lanjutnya.
"Biarkan dia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, tahu! Karena hanya pengalaman semata yang bisa menjadi guru terbaiknya. Kita sebagai gurunya hanya membantunya memberi sesuatu yang belum dimiliki, tahu"!" Tumben sekali manusia bertabiat sinting itu berbicara agak waras. Biasanya perkataannya bisa lebih ngaco dari ocehan Beo pusing.
Dalam hati, Ki Kusumo tak menyalahkan pendapat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tadi.
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada Bocah Gendeng kita itu. Iya, kan" Apa kau pernah berpikir, rasa sayang yang berlebihan terkadang malah membuat seseorang menjadi manja. Pribadinya tak cukup ditempa karena hidup keenakan. Mengerti maksudku, Kusumo?" Ki Kusumo mengangguk.
"Aku memang sayang pada bocah itu, Panembahan. Seperti sayangnya aku pada cucu sendiri. Tapi, bukan karena itu aku berniat menguntitnya menuju Gunung Sumbing?" sangkal Ki Kusumo halus dan bertatakrama selaku orang yang sedang berbicara pada sesepuh persilatan tanah Jawa.
"Jadi?" Wajah Dongdongka mendongak, penasaran dengan alasan Ki Kusumo.
"Justru aku sadar, bocah itu masih belum banyak belajar tentang seluk-beluk rimba persilatan. Dia belum cukup mengenal bagaimana tabiat rimba persilatan. Dia masih terlalu hijau. Bekal oleh kanuragan dan kesaktian dari kita, tampaknya belum cukup baginya. Sementara orang yang akan dihadapi adalah orang yang sudah berkubang demikian lama di rimba persilatan. Bahkan jauh lebih banyak menelan asam garam ketimbang diriku. Sebagai gurunya, tentu saja aku menginginkan dia belajar banyak dari hidup. Namun, sebagai gurunya pula, aku merasa bertanggung jawab untuk mengawasi dia agar tak salah langkah.
Tut Wuri Handayani, maksudku, Panembahan...," tutur sang tabib kenamaan tanah Jawa, santun.
Dongdongka mengangguk-angguk perlahan.
Tak jelas apakah dia mengangguk paham atau justru mengangguk karena mengantuk. Karena saat itu, kelopak matanya terkatup.
Karena Dedengkot Sinting kepala Gundul tak menanggapi lebih lanjut alasannya, Ki Kusumo segera saja pamit. Dia yakin pada alasannya. Seperti dia yakin Dongdongka telah mengerti pula pada alasan itu! Sepeninggalan Ki Kusumo, sebelah mata Dongdongka memicing hati-hati. Sebelah bola matanya itu melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki Kusumo benar-benar telah keluar dari gubuk.
Sebentar kemudian, dia bergumam sendiri.
"Slompret, benar juga apa kata Kusumo tadi, ya...." Rupanya tadi itu dia cuma berpura-pura mengantuk. Sebab, dia tahu kalau alasan yang dikemukakan Ki Kusumo ada benarnya. Maklum, dia rada malu mengakuinya. Gengsi begitu! Nah, jika sekarang dia terlihat bersemadi, apalagi yang dilakukannya kalau bukan hendak 'mengawasi' murid gendengnya dari jauh" Tentunya dengan mempergunakan ajian 'Melepas Sukma' yang dimilikinya. Ajian yang hanya diturunkan oleh Pertapa Sakti Gunung Sewu pada dirinya. Nini Jonggrang kendati sebagai kakak perguruannya saja tak pernah menerima ajian tersebut.
'Melepas Sukma' sendiri adalah satu ajian langka yang jarang dimiliki oleh orang-orang persilatan. Orang yang memiliki atau mampu mempelajarinya dapat dihitung dengan jari. Salah seorang di antaranya adalah Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dan satu orang yang dengan luar biasa dapat menerima ajian tersebut kendati usianya masih terlalu muda dan dianggap banyak kalangan tidak mungkin adalah Satri Gendeng. Ketika terakhir kali menerima ajian 'Melepas Sukma', Satria menerima beberapa wejangan-wejangan yang berkaitan dengan hal itu.
"Badan manusia itu terbagi dua, tahu," mulai Dongdongka waktu itu.
"Kita memiliki badan besar yang kita sebut wadag atau jasad dan memiliki badan halus yang kita sebut sukma atau roh. Sejak kita lahir, sukma terpatri di dalam wadag. Namun, ada saatnya, sukma kita tercerabut...."
"Saat kita mati, Kakek?" sela Satria.
"Kau memang cerdas!"
"Lalu, di bagian dalam diri kita yang mana sukma itu berada?"
"Pertanyaanmu juga cerdas, Cah Gendeng! Sukma bersemayam di dalam kalbu! Di sanalah tempat sukma hidup dan diberi makan...."
"Makan" Apakah sukma kita butuh makan?"
"Seperti wadag yang membutuhkan makanan, sukma pun butuh pula 'makanan'. Kalau wadag harus menerima makanan bersifat zahir, maka Tuhan Semesta Alam menempatkan sukma atau roh itu dalam keadaan amat bersih, amat suci. Kehidupan di dunia inilah yang menjadi perjuangan bagi manusia untuk menjaga agar sukmanya tetap bersih, atau mengotorinya sekotor-kotornya hingga menjadi sakit dan mati." Dongdongka berhenti sebentar.
"Segala tingkah-lakumu, perbuatanmu, sikapmu, sepak terjang mu akan menjadi 'makanan' sukma.
Setiap kali kau berbuat kebaikan, maka sukma mu menjadi bertambah hidup. Sebaliknya, setiap kali kau berbuat kebatilan, maka sukma mu menjadi kian mati.
Kalau sukma mu telah mati di dalam kalbu, sementara umurmu masih panjang, maka kau tak lagi menjadi manusia." "Kalau tidak lagi menjadi manusia, menjadi apa, Kek?"
"Menjadi 'bangkai hidup'. Maksudnya, karena sukma telah mati, maka kalbu mu menjadi membatu.
Kau tak lagi memiliki sifat-sifat kemanusiaan, kecuali sifat-sifat yang lebih tercela dari binatang. Tak bisa lagi kau membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Padahal baik tidaknya seseorang tergantung dari kalbunya!" Satria tercenung sejenak.
"Lalu apa hubungannya dengan ajian 'Melepas Sukma' yang kau berikan padaku, Kek?" susulnya kemudian.
"Pertanyaan cerdas lagi! Kau memang patut dibanggakan!"
"Apa, Kek"!"
"Sabar, Kunyuk!" Satria garuk-garuk kepala.
Dongdongka terdiam dengan kerutan dalam di kening.
"Begini," mulai Dedengkot Sinting Kepala Gundul lagi.
"Seperti telah kubilang tadi, bahwa ada saatnya sukma tercerabut dari wadag. Yaitu saat kita mati. Ajian 'Melepas Sukma' sebenarnya adalah sebentuk kehendak suci dari kalbu yang sanggup mengatur sukma. Dengan dorongan kehendak kalbu yang suci, kita dapat menghelanya keluar dari wadag."
"Artinya, pada saat sukma kita itu keluar dari wadag, maka wadag kita tak bisa berbuat apa pun?"
"Benar! Kendati begitu, jasad kita tetap hidup.
Hanya dia telah kehilangan tenaga penggeraknya, hingga tak bisa melakukan apa-apa!"
"Jadi kunci untuk mendapatkan ajian 'Melepas Sukma' adalah kehendak suci kalbu" Kalbu kita harus benar-benar bersih" Begitu kau pernah bilang sebelumnya, bukan?" simpul Satria Gendeng.
"Hue he he! Kau memang murid cerdas! Sial sekali kau!" Lalu.... Plak! Jitakan sengit Dongdongka mampir di jidat Satria Gendeng! Apes....
* * *
Kembali ke Wadaslintang.
Sepeninggalan Mayangseruni, Nini Jonggrang terkikik, melimpahi angkasa dengan nada kemenangan.
"Tiba waktunya bagimu untuk menerima tenung ku, Pemuda Keparat!" sentak si nenek ahli tenung hitam itu di ujung tawa membuncahnya. Satria mendengus.
"Tak bisa, Nenek Busuk. Aku telah meluluskan permintaanmu yang pertama. Aku telah menyerahkan Kail Naga Samudera padamu. Sekarang, giliranmu melepaskan gadis itu dari pengaruh tenung jahatmu!" tandasnya tegas seraya menunjuk ke arah Tresnasari.
Tresnasari saat itu masih mematung seolah bangkai hidup bernyawa. Kasihan sekali menyaksikan betapa pucat wajahnya. Betapa tak ada sinar kehidupan di wajah cantik itu.
"Hi hi hi, kau pikir kau punya pilihan?"
"Aku punya pilihan. Pertama, aku bersedia memenuhi seluruh syaratmu, selama aku yakin kau tak menipuku. Kedua, aku tak akan menuruti mu jika aku yakin kau hendak berbuat licik. Jika yang kedua yang kau inginkan, aku lebih suka mati bersama dengan gadis itu setelah kau kubunuh terlebih dahulu," ancam Satria.
"Baik baik. Kau mendapatkan apa yang kau mau, Pemuda Keparat!" desis Nini Jonggrang. Ketika itu, tanpa disadari justru dialah yang tak punya pilihan. Ucapan penuh kemantapan Satria telah menjungkirbalikkan keadaan untuk sementara.
"Sekarang kau menyingkir agak jauh!" perintah Nini Jonggrang pada Satria.
"Aku akan mulai membebaskan gadis kesayangan mu ini!" Sejenak dua bola mata berurat kemerahannya mendeliki Satria.
"Jangan pernah berpikir untuk menyerangku saat aku membebaskan bocah perawan ini!" ancamnya mengerikan. Satria beringsut mundur perlahan sesuai perintah Nini Jonggrang. Dia sadar, ancaman terakhir si nenek ahli tenung tak bisa dibuat main-main. Tentu Nini Jonggrang akan menyiapkan sebentuk benteng pertahanan yang tak disadari Satria untuk berjagajaga agar Satria tak menyerangnya saat membebaskan tenung dari diri Tresnasari.
* * *
Malam beringsut turun, berkawal kabut yang merayap lamat-lamat. Sisa merah jingga sekarat di batas ufuk barat. Sebentar lagi, sinar mentari binasa.
Nini Jonggrang memulai upacara gaibnya untuk melepaskan pengaruh tenung pada diri Tresnasari.
Mula-mula perempuan tua aliran sesat itu duduk bersila sekitar tiga tombak di depan Tresnasari.
Beberapa lama, terdengar geram terseret dalam diamnya. Matanya tajam menghunus, tepat ke manik mata muridnya yang dianggap murtad.
Detik berjingkat.
Geramnya melamat.
Mendadak sontak, Nini Jonggrang berteriak.
Serak namun juga melantak.
Dalam, sekaligus berdebam.
Tak sadar, si perjaka sakti teringsut mundur.
Kendati keberaniannya mungkin bisa diandalkan untuk menghadapi moncong kematian, tak urung hatinya menjadi tergetar. Gentar. Jeritan iblis besar neraka mana yang telah merasuki suaranya" bisik Satria Gendeng membatin Berikutnya, tangan Perempuan Pengumpul Bangkai terangkat naik. Tinggi-tinggi. Seakan hendak melepaskannya langsung ke langit yang mulai dicekam kegelapan. Telapak tangannya terbuka menghadap Tresnasari. Jari-jemari kurus berbalut kulit keriput berlendirnya mengejang, menegakkan kuku-kuku hitam runcing. Si tua terkutuk itu bergetar.
Dalam irama kasar.
Pertunjukan menggidikkan tak selesai sampai di situ. Bahkan, sesungguhnya baru saja dimulai.
Tresnasari yang semula berdiri diam tanpa sedikit pun geming, mendadak terangkat naik satu-dua jengkal dari permukaan bumi. Naik, tetap dalam keadaan tegak. Mengapung sekian lama, tanpa terusik apa-apa. Jeritan Nini Jonggrang melandai turun.
Bersamaan dengan itu, Tresnasari bergerak lagi. Masih dalam posisi tegak, tubuhnya yang mengapung di udara berputar perlahan begitu rupa sampai posisinya telentang lurus. Kini, yang terlihat seolaholah gadis itu sedang tertidur di atas angin. Mengapung diam.
"Ghrrr...." Nini Jonggrang mulai menggeram lagi.
Jari-jari tangannya bergetar makin hebat. Napasnya menanduk-nanduk udara. Dadanya tersentaksentak seperti diserang sengal hebat. Dari mulutnya, melantunlah mantera-mantera gaib yang mendirikan sekujur bulu halus di tubuh Satria. Ada dorongan tenaga magis terasa di sana. Kekuasaan angkara yang menggelegar-gelegar keluar dari alam kegelapan. Nini Jonggrang telah mengundangnya.
Satria dipaksa beringsut mundur setengah tindak ke belakang. Sepanjang hayat, belum pernah dialaminya peristiwa semenggidikan itu. Seperti pernah dikatakan Ki Kusumo pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul waktu lalu. Satria memang terlalu hijau. Mentahnya pengalaman akan menjadi satu kelemahan Beruntung, dia tergolong pemuda berhati kokoh, bernyali tak rapuh.
Upacara gaib berlanjut terus.
Sementara Satria terpana-pana menyaksikan seluruh kejadian yang berlangsung di depan mata....
"Ssst!" Terdengar bisikan seseorang di belakangnya.
Satria menoleh. Dia terperanjat berbaur senang menemukan orang tadi. Mulutnya menganga, hendak mengucapkan sesuatu. Orang yang datang diam-diam cepat menempatkan jari telunjuknya di depan bibir.
Orang itu ternyata Dongdongka, Dedengkot Sinting Kepala Gundul! "Aku cuma menampakkan sukmaku padamu saja. Jadi, si nenek peot bau itu tak akan melihatku atau mendengarku. Kalau kau ingin berbicara, pergunakan bahasa batin!" Dalam hati, Satria mendumal kesal: Kalau memang cuma dia yang bisa melihat dan mendengar kehadiran sukma gurunya, kenapa tua bangka itu pakai berbisik segala" Apa karena kurang kerjaan atau itu bagian dari kesintingannya"
"Bersemadilah dalam posisi mu sekarang. Jangan memancing kecurigaan si Jonggrang. Setelah kau mencapai tahap semadi mu, barulah kau bisa menyampaikan ucapan batin kepadaku. Ngerti tidak kau"!" lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, menjelaskan. Satria mengangguk sambil melirik hati-hati Nini Jonggrang. Segera perintah guru sintingnya dijalan-kan. Tetap berdiri seolah-olah sedang asyik menyaksikan upacara gaib Perempuan Pengumpul Bangkai, Satria memasuki tahap semadinya.
"Aku tak tahu kau sudah sinting atau tidak!" sembur Sukma Dongdongka setelah Satria siap.
"Apa maksudmu, Kakek?"
"Apa maksudku"!" Sukma Dongdongka mendelik.
"Kau akan membiarkan dirimu menjadi pengganti Bocah Perawan Jelita itu menjadi tawanan tenung si Jonggrang! Apa itu bukan sinting" Terus terang saja, aku mengajarkan kau supaya berpura-pura sinting dalam tingkah. Bukan sinting benaran, tahu"!" semburnya habis-habisan.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Dari sawah turun ke kali! Ya, aku tahu karena selama ini Sukmaku terus menguntit mu, Cah Tolol!"
"Jadi Kakek mau tahu kenapa aku bersedia melakukannya?"
"Betul!"
"Aduh, Kakek ini bagaimana" Coba saja Kakek pikirkan sebentar..."
"Kurang ajar semata kau! Aku gurumu, bukan jongosmu. Masa' aku kau suruh-suruh begitu!"
"Maksudku tentang ajian 'Melepas Sukma'!"
"Alah-alah, sudah jelaskan saja, Gendeng! Jangan ngalor-ngidul tak karuan. Kau cuma bikin pegal perasaanku saja, tahu!" Sementara Nini Jonggrang tak pernah menyadari kehadiran gaib bekas saudara seperguruannya.
Satria pun menjelaskan alasannya pada tua bangka bertingkah sinting-sintingan itu.
Ketika Nini Jonggrang mengajukan syarat untuk membebaskan Tresnasari dari pengaruh tenungnya, Satria teringat pada seluruh wejangan-wejangan gurunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul beberapa waktu lalu tentang ajian 'Melepas Sukma'. Dari wejangan itu, Satria yakin bahwa dia dapat memanfaatkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh pengaruh tentang Nini Jonggrang.
Menurut penilaiannya, pengaruh tenung itu hanya akan mengkerangkeng sukma seseorang sehingga tak berdaya dan menuruti seluruh perintah si Perempuan Pengumpul Bangkai. Satria yakin, jika sukmanya keluar dari wadag, maka tak ada kesempatan lagi bagi pengaruh tenung itu untuk menguasai dirinya. Rencananya, jika nanti Tresnasari telah dibebaskan, maka Satria akan membiarkan dirinya ditenung Nini Jonggrang. Pada saat yang sama, dia akan mengerahkan ajian 'Melepas Sukma'. Tepat saat pengaruh tenung menerobos masuk dalam kalbunya dan hendak mengkerangkeng sukmanya, maka sukmanya akan lebih dahulu keluar! Sebuah rencana cerdik yang berisiko tinggi. Bagaimana tidak" Selama menerima ajian 'Melepas Sukma' dari gurunya, baru sekali ini Satria mencoba memanfaatkannya. Selain itu, dia belum lagi bisa memastikan apakah seluruh perkiraannya itu benar-benar akan berjalan mulus.
Sepertinya, si pendekar muda sedang berjudi dengan nyawa sendiri! "Buagus, buaaaagus!" Sukma Dedengkot Sinting Kepala Gundul memuji-muji, usai mendengar penuturan muridnya.
"Kalau begitu alasanmu, aku juga setuju. Kau memang cerdas, Cah Gendeng Slompret! Kau tak perlu ragu-ragu melaksanakan rencanamu! Aku mendukungnya! Biar he he he... biar he he he...."
"Biar apa, Kek?"
"Biar si Jonggrang itu uring-uringan sampai terkencing-kencing begitu tahu akan bau kencur macam kau telah mengecohkannya mentah-mentah. Bukankah itu menyenangkan"! Hue he he!!!"
"Tapi aku bukan anak bau kencur lagi, Kek," bantah Satria. Dedengkot Sinting Kepala Gundul mana peduli.
Dia masih sibuk terkekeh-kekeh geli.
"Kalau begitu, sebenarnya kau tak perlu bantuanku lagi, bukan?" tanyanya kemudian, masih di sela-sela kekehnya.
"Terima kasih, Kek. Aku sudah yakin sekarang!" tegas dan mantap, Satria menjawab.
"Memang benar apa kataku. Kau sebenarnya memang bisa diandalkan. Si Kusumo saja yang macam-macam. Pakai mengkhawatirkan kau segala macam. Huh, memangnya kau masih bau kencur, ya" Kalau bau popok memang benar!" Setelah puas mengejek muridnya sendiri, Sukma Dongdongka memupus perlahan, kembali ke gubuknya. Di gubuknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari sila diamnya. Mulutnya langsung mengumpat-umpat berkepanjangan begitu merasakan celananya basah kuyup. Rupanya, bukannya Nini Jonggrang yang terkencing-kencing di celana seperti dikatakan sebelumnya. Justru dia yang terkena musibah itu. Pasalnya, sukmanya terlalu kelewatan terkekeh.... Biar rasa!
--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--
Dia masih ragu pada keselamatan saudara kembarnya.
Seragu akan keselamatan Satria.
Manakala teringat permintaan Satria untuk segera ke Tanjung Karangbolong, Mayangseruni menjadi bersemangat. Langkahnya dipercepat. Tak bisa dia terus ragu untuk melanjutkan perjalanan atau kembali ke Wadaslintang. Keraguan seperti itu, toh tak akan menyelesaikan masalah.
Satria benar, pikirnya dalam hati. Yang terbaik dilakukan saat itu adalah segera menemui Ki Kusumo dan Dongdongka segera. Dengan begitu, dia bisa meminta bantuan untuk Satria dan Tresnasari yang terjebak dalam permainan busuk Nini Jonggrang.
Sadar akan hal itu, langkah si gadis ayu makin cepat, cepat dan kian cepat. Kemudian tampak dia berlari kecil. Sampai akhirnya dia mencoba mengandalkan ilmu lari cepatnya yang tak seberapa. Sepanjang berlari, wajahnya tak lekang dari garis-garis kecemasan.
Sedangkan hatinya terbakar oleh api semangat untuk segera tiba di Tanjung Karangbolong. Untuk tiba di sana, gadis ayu itu tak bisa hanya mengandalkan kedua kakinya. Dia harus cepat mendapatkan kuda di desa terdekat. Untuk itu, Mayangseruni belum tahu arah mana yang akan dituju. Sebelum tiba di Wadaslintang bersama Satria, mereka memang tak sempat mencari kuda pengganti. Kuda tunggangan mereka malah mengalami nasib naas setibanya di Wadaslintang.
Karena kebingungan, Mayangseruni menghentikan larinya. Ditebarnya pandangan ke segenap penjuru. Siapa tahu ada orang yang bisa ditanya tentang arah desa terdekat. Lebih bagus lagi kalau dia melihat tanda-tanda sebuah desa.
Namun sejauh pandangannya mampu menjangkau, tak ada sesuatu seperti harapannya. Tak seorang pun terlihat. Juga tak ada tanda-tanda sebuah desa. Yang ditemukannya adalah bentangan hutan kecil dipenuhi sesemakan dan pohon randu kurus.
Sementara itu, tanpa disadari malam telah menjelang. Matahari telah terbenam sama sekali. Tak bisa lagi dia menentukan arah yang jelas. Mayangseruni merutuk.
"Aku tersesat," gerutunya.
Sekarang apa yang bisa dilakukan" Tanya hatinya. Gusar, jengkel, khawatir, takut teraduk menjadi satu dalam benaknya.
Perasaannya makin tak menentu saja. Dia mencoba meneruskan langkah dengan cara menduga-duga. Ketika sudah melangkah cukup lama, tahu-tahu dia kembali ke tempat semula. Tanpa berniat menyerah, Mayangseruni mencoba lagi. Mencoba dan mencoba. Hasilnya, berulang-ulang kali dia kembali lagi ke tempat yang itu-itu juga.
Lelembut mana yang telah menggiringku kembali dan kembali lagi ke tempat ini" rutuk gadis ayu yang mulai digelayuti rasa lelah itu. Wajahnya sudah terbasuh basah oleh keringat sendiri. Begitupun pakaiannya. Bahkan kain wiron yang sebelumnya telah dirobek di pekarangan rumah ayah angkatnya kian tak karuan bentuknya. Koyak-koyak di sana-sini tercabik belukar berduri yang tumbuh di tempat tersebut.
Kelelahan yang nyaris sampai puncaknya tak membuat Mayangseruni memutuskan untuk istirahat.
Baginya, istirahat berarti menyerah. Berarti pula, dia membiarkan Satria dan Tresnasari tak mendapatkan bantuan apa-apa. Itu terlalu bodoh! Namun, kenyataannya dia tak bisa memungkiri bahwa tubuhnya memang sudah terlalu letih. Akhirnya dia terjatuh. Untung saja, ada sebatang pohon randu yang menyanggah tubuh. Tersengal-sengal dada Mayangseruni. Pada saat itulah, sesosok bayangan menerabas kepekatan malam, di antara pucuk-pucuk semak belukar. Geraknya bagai kelebatan hantu. Demikian cepat. Bahkan, hampir saja tak terkejar oleh pandangan mata. Dan secara kebetulan, mata lelah Mayangseruni sempat menangkap kelebatan bayangan tadi. Dari bersandar pada batang pohon randu, gadis itu memaksa tubuhnya untuk tegak kembali. Degup jantung yang sebelumnya memang sudah berdentam-dentam, makin memburu saja. Sepasang bola mata bulat berbulu lentik miliknya mencari-cari nyalang.
"Siapa di sana"!" serunya.
Tak ada sahutan.
Senyap. Hanya menyelinap suara derik jangkrik di antara hembusan angin malam.
"Siapa di sana"!" ulang Mayangseruni. Kian deras saja detak jantungnya. Menegang tubuhnya. Kelelahan seakan menguap begitu saja.
Tak kunjung ada sahutan.
Sampai kelebatan bayangan itu melintas kembali. Tak jauh di sisi Mayangseruni. Gadis itu tak tahu apa yang akan terjadi setelah itu. Hanya, nalurinya mengingatkan akan datangnya bahaya.
Dengan tubuh yang sudah banyak kehilangan banyak tenaga, tentunya akan sangat sulit bagi Mayangseruni untuk menghindar. Menyambutnya justru akan membahayakan diri sendiri. Tak melaksanakan apa-apa tentu saja lebih bodoh.
Secepat mungkin dengan tenaga tersisa, Mayangseruni mencoba melompat ke samping. Sayang, gerak kelebatan tadi lebih cepat tiba.
Tep! Ada tangan mencekal pergelangan tangannya.
Keras. Sekeras kuncian cakar-cakar rajawali. Disusul oleh teguran yang sama sekali tak ramah.
"Hendak ke mana kau, Anak Perawan?" Di sisinya, telah berdiri seorang. Dalam kegelapan malam seperti itu, sulit bagi Mayangseruni ini untuk mengenali wajah penyergapnya. Sinar bendabenda langit pun tak banyak berguna karena dia berdiri di bawah satu pohon randu berdaun cukup lebat.
Yang dilihatnya hanya bayangan orang itu. Seorang yang agak bungkuk dan kurus. Mengenakan jubah.
Selebihnya terlalu samar.
Mayangseruni demikian terkesiap. Dia bukanlah gadis lemah. Untuk keberanian, bahkan dia memilikinya lebih dari kebanyakan wanita sebayanya. Tapi, kehadiran tiba-tiba si penyergap tak dikenal itu membuat ketakutan Mayangseruni meruyak tak terhindari.
"Hiaaa!" Dengan memompa sisa tenaga kembali, Mayangseruni berusaha melepaskan cekalan tangan si penyergap. Sebelah tangannya berusaha memapas cekalan. Tangan yang lain berkutat untuk melonggarkan cengkeraman lawan.
Tanpa melepaskan tangan si gadis ayu, sang penyergap dengan amat mudah menangkap tangan Mayangseruni yang lain.
Tep! Mayangseruni tak menyerah sampai di sana.
Kakinya bergerak naik, hendak menanduk perut sang penyergap yang kini berhadapan dengannya.
Masih dengan mudah, sang penyergap bergeser sedikit. Tendangan Mayangseruni memakan angin. Satu totokan cepat menyusul kemudian.
Kejap berikutnya, tubuh Mayangseruni menjadi lunglai.
"Kau akan menerima ganjaran atas kelancanganmu padaku tempo hari!" dengus sang penyergap seraya membopong tubuh Mayangseruni ke atas bahu
* * *
Ki Kusumo terus mengawasi kejadian di bawah pohon kamboja di lembah berbukit wilayah Wadaslintang. Sejak Nini Jonggrang muncul, Ki Kusumo tiba di tempat tersebut. Dari satu bukit, dia mengawasi. Tepatnya, dari balik batu bukit yang menjorok keluar.
Jarak tempatnya cukup jauh dengan tempat kejadian.
Dengan jarak itu, masih cukup jelas baginya untuk mengawasi seluruh sepak terjang Perempuan Pengumpul Bangkai. Lembah terbuka dan cahaya bulan membantunya. Sayang, sama sekali tak dapat didengarnya seluruh perdebatan yang terjadi di sana. Terlalu jauh untuk itu. Sampai saat itu, belum ada tindakan yang ingin dilakukan orang tua ahli pengobatan tersohor tanah Jawa itu. Tak, ada. Dia masih merasa keadaan muridnya, Satria cukup aman. Dan kepergian Mayangseruni membuatnya lebih yakin pada keselamatan Satria. Setidaknya, beban bagi Satria sedikit berkurang jika nantinya terpaksa harus menghadapi Nini Jonggrang. Satu-satunya yang mungkin akan menjadi beban Satria kini tinggal Tresnasari.
Menyaksikan kembali gadis itu, Ki Kusumo jadi teringat pada seorang perempuan yang mati karena penyakit tak tersembuhkan. Wanita ibu kandung Tresnasari. Tentunya wanita yang dimaksud adalah Nyai Cemarawangi. Terngiang kembali dalam benak orang tua itu hari-hari terakhir bersama Nyai Cemarawangi yang sudah dianggap sebagai anak sendiri, bersama Tresnasari dan juga Satria Tersembul senyum samarnya, begitu dia merasakan kembali betapa mereka sudah seperti keluarga besar di Tanjung Karangbolong.
"Apa yang hendak dilakukan nenek busuk itu pada Tresna?" desis Ki Kusumo."Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku bersumpah akan menya-bung nyawa denganmu, Tua Bangka Terkutuk!" sumpah Ki Kusumo. Sedang tegang-tegangnya mengawasi, mendadak Ki Kusumo merasakan kehadiran seseorang dari arah selatan. Matanya cepat mencari-cari.
"Apa yang sedang kau lakukan sebenarnya, Kusumo?" usik orang yang telah berdiri di bukit sebelah selatan, di tempat yang lebih tinggi. Berjarak sekitar dua puluh tombak.
Ki Kusumo terkesiap. Orang yang disaksikannya ternyata Ki Ageng Sulut. Di bahu pendeta tua murtad itu ada seorang perempuan tertelungkup lunglai.
Rambut hitam panjangnya terjuntai-juntai, menutupi wajahnya. Dari pakaiannya, Ki Kusumo seperti pernah melihat perempuan itu.
"Kenapa, Kusumo Keparat"!" susul Ki Ageng Sulut. Disaksikannya mata kelabu Ki Kusumo sedang berusaha mengenali orang yang dibopong.
"O, kau ingin tahu siapa perempuan yang kubawa ini"! Apa kau merasa pernah melihat" Atau mungkin saja kau memang mengenali?" sambungnya.
"Nah, lihatlah!" Lalu dengan kasar, tangan Ki Ageng Sulut menjambak rambut perempuan di bahunya. Kepala perempuan itu menengadah.
Bukan main terperanjatnya Ki Kusumo. Kini dia tak perlu mengingat pakaian wanita itu. Wajah yang dilihatnya sudah cukup jelas untuk menyimpulkan siapa perempuan malang itu.
"Mayangseruni?"
"O, rupanya tak keliru dugaanku. Kau mengenal perempuan ini. Kebetulan sekali kalau begitu," cemooh si Iblis Dari Neraka.
"Dengan begitu, aku punya satu 'pegangan', ya siapa tahu dapat kumanfaatkan untuk memaksamu membantu menyembuhkan penyakitku. Bukan begitu, Tabib Keparat"!"
"Bedebah kau, Ki Sulut!" Ki Ageng Sulut tertawa janggal. Bibirnya hanya menyudut kecil seperti menyeringai. Sementara alunan tawanya begitu datar. Adalah satu hal langka jika tua bangka itu tertawa. Sebagai manusia, boleh dibilang dia termasuk jenis orang bermuka batu. Bahkan hampir-hampir tak ada satu warga persilatan pun pernah melihatnya tertawa. Kalau sekali ini dia melakukannya, Ki Kusumo yakin ada sesuatu yang disembunyikan Ki Ageng Sulut. Ada sesuatu yang tak beres! Apa yang ada dalam benak orang terkutuk ini" Bisik Ki Kusumo. Perasaannya mulai waswas. Dia tak bisa mengabaikan kehadiran Ki Ageng Sulut di tempat yang sama dengan Nini Jonggrang. Dulu, dua manusia bejat itu pernah bersekutu dalam kebatilan. Bukan mustahil kalau mereka kini memiliki rencana bersama untuk menjalani satu siasat licik.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Ki Kusumo tentang mimpi yang pernah diceritakan Dedengkot Sinting Kepala Gundul padanya beberapa waktu lalu.
Dalam mimpinya, Dongdongka melihat Satria dikeroyok habis-habisan dua ekor ular besar. Ular besar jantan dan betina. (Bacalah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai"!).
Kalau mimpi itu berhubungan dengan peristiwa kali ini, tentu sepasang ular dalam mimpi Dedengkot Sinting Kepala Gundul adalah simbol dari Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai! Ki Kusumo menjadi bergidik.
--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--
"Aku takut, Satria.... Aku takut...," keluhnya di dada bidang Satria Gendeng.
Satria Gendeng berusaha menenangkan Tresnasari dengan mengelus-elus rambutnya. Dibalasnya pelukan gadis itu, membenamkan wajah ketakutan Tresnasari ke dada bidangnya.
"Tenang, Tresna. Tenanglah. Tak akan terjadi apa-apa pada dirimu," ucap Satria Gendeng, mencoba menenangkan kekasihnya "Cukup segala kecengengan kalian! Sekarang, kau harus bersiap menjadi budakku, Cah Tampan!" sentak Nini Jonggrang. Dia sudah bangkit dari silanya.
Tangannya menunjuk Satria Gendeng dengan mimik wajah tak sabar.
Mendengar bentakan Nini Jonggrang, Tresnasari mengangkat kepala dari dada Satria Gendeng. Matanya agak membelalak, menatap Satria Gendeng.
"Apa maksud perkataannya, Satria" Aku tak mengerti" Apakah kau...." Pertanyaan beruntun si gadis terpancung. Satria Gendeng menghentikannya dengan menempatkan jari telunjuk ke bibir mungil memucat Tresnasari.
"Kuminta kau jangan banyak bertanya, Tresna.
Sekarang, kau harus kembali ke Tanjung Karangbolong. Mayang - saudara kembar mu menunggu di sana.
Sudah lama dia ingin bertemu denganmu," kata Satria Gendeng.
"Gadis yang mirip denganku itu" Yang dulu bertemu di tempat Saudagar Kudus itu?" Untuk dua pertanyaan, Satria Gendeng mengangguk sekali.
"Jadi benar dia saudara kembar ku?"
"Ya, Tresna. Kau bisa menanyakan langsung padanya nanti. Sekarang, kuharap kau secepatnya pergi dari tempat ini."
"Bagaimana dengan kau sendiri, Satria" Dan apa pula maksud Nenek Guru dengan mengatakan bahwa kau akan menjadi budaknya"!"
"Aku akan baik-baik saja...." Tresnasari tak bisa percaya begitu saja ucapan Satria Gendeng, kendati pemuda itu mengucapkannya dengan nada yang sedemikian tenang dan mantap. Seketika, ditolehnya Perempuan Pengumpul Bangkai dengan tatapan nyalang.
"Tidak, aku tak akan pergi kecuali denganmu!" tandasnya kemudian.
"Aku tak akan membiarkan kau bersama Nenek Guru, Satria. Apakah kau tak tahu, dia punya niatan keji terhadap dirimu!" serbunya.
Satria Gendeng menggeleng.
"Tresna!" Bentakan Nini Jonggrang melantak.
"Kau terlalu rewel, Murid Murtad! Cepat pergi dari sini sebelum aku berubah pikiran!"
"Tapi Nenek Guru...." Tresnasari masih berusa-ha membantah. Namun hardikan Nini Jonggrang men- dahuluinya.
"Jangan panggil aku Nenek Guru lagi! Kau murid murtad. Kau bukan muridku lagi!!! Dari aku pun tak membutuhkan mu lagi. Bersyukurlah aku tak menghukum mu. Kau tahu sebabnya" Karena pemuda itu telah bersedia menjadi pengganti mu?" Paras jelita Tresnasari makin tak karuan mendengar perkataan Nini Jonggrang. Dia merasa sesuatu yang mengerikan akan menimpa pemuda pujaannya.
Apalagi dia tahu benar tabiat durjana Perempuan Pengumpul Bangkai yang pernah menjadi gurunya sekian lama. Perlahan tapi pasti, rasa penasarannya menjelma menjadi ketakutan dan kepanikan. Dia takut dan panik karena merasa akan kehilangan Satria Gendeng.
Merasa bahwa gurunya yang berilmu siluman sanggup berbuat apa saja pada kekasihnya, termasuk perbuatan paling biadab yang tak pernah dilakukan manusia sekalipun. Tresnasari tak mau itu terjadi.
"Apa maksudnya"!" pekik Tresnasari dengan wajah kacau. Bergantian, dipandanginya Nini Jonggrang dan Satria Gendeng, seakan mengharapkan jawaban dari mereka.
Nini Jonggrang malah terkikik.
Satria Gendeng diam.
Dingin. Tanpa perubahan apa-apa di wajahnya. Apa yang bisa dikatakannya pada Tresnasari" Mengatakan padanya apa adanya cuma akan membuat rencananya jadi berantakan. Bisa saja Tresnasari tak akan pergi dan berkeras untuk tetap bersama Satria Gendeng. Di lain sisi, tujuan Satria Gendeng sebenarnya adalah untuk menyingkirkan jauh-jauh gadis itu dari jangkauan Nini Jonggrang terlebih dahulu.
Hal itu makin memompa kepanikan Tresnasari.
Diserbunya Satria Gendeng. Lalu dengan liar dicengkeramnya kerah baju pemuda itu. Tampaknya, si gadis jelita sudah kehilangan kendali.
"Katakan padaku Satria, apa yang hendak diperbuat nenek itu padamu"! Katakan! Kenapa kau hanya diam saja, Satria"! Kenapa"!" jerit Tresnasari makin kalap. Dipukulinya dada Satria Gendeng dengan sisi kepalan tangan. Berkali-kali, bertubi.
Satria Gendeng tetap mematung bagai karang.
Tegak. Tanpa kata. Tubuhnya hanya bergetar sedikit akibat pukulan-pukulan Tresnasari yang mulai terisak-isak. Sampai akhirnya pukulan Tresnasari melemah dan melemah ketika Satria Gendeng merangkulnya kuat-kuat.
Di dada pemuda. itu, Tresnasari menangis sesegukan.
"Aku sayang padamu, Satria. Aku telah kehilangan ibuku. Aku tak mau kehilangan orang yang kucintai lagi," ucapnya tersamar isak.
"Aku tahu, Tresna. Aku pun menyayangi mu.
Karena itu, aku tak mau kau tetap di dekat nenek tua terkutuk itu. Pergilah. Aku akan menemui kembali.
Jangan pernah takut kehilangan aku. Aku berjanji...."
"Hey, keparat kalian! Kalian pikir, aku senang menyaksikan adegan sialan itu!!!" umpat Nini Jonggrang, sewot sendiri. Kesewotannya naik ke tenggorokan. Lendir kental menggumpal.
"Khoek cuh!" Wusss! Lendir berbau busuk dari tenggorokan Perempuan Pengumpul Bangkai melesat lebih cepat, lebih ganas dan lebih tajam dari anak panah. Tujuannya punggung Tresnasari yang membelakangi Nini Jonggrang! Satria Gendeng menyadari datangnya ancaman berhawa maut.
"Heaaa!" Masih dengan memeluk tubuh Tresnasari, tubuhnya melenting cepat ke udara. Dalam keadaan demikian sulit karena harus memeluk tubuh kekasihnya, Satria Gendeng berjumpalitan ke arah belakang di udara. Lima tombak dari tempat semula, kedua mudamudi itu tiba kembali di bumi.
"Kau telah bersumpah dengan nama besarmu untuk tidak mencelakakan gadis ini, Nenek Terkutuk!" umpat Satria Gendeng tajam.
"Aku muak dengan tingkah kalian! Cepat kau suruh pergi perawan sial itu. Atau aku akan melanggar sumpahku. Peduli setan dengan segala nama besar!" Wajah Satria Gendeng beralih pada Tresnasari.
"Ku mohon, Tresna. Pergilah...."
"Tidak!" pekik Tresnasari. Dia berontak dari pelukan perjaka pujaannya.
Satria Gendeng sungguh tak pernah menduga hal itu. Juga tak pernah menyangka kalau Tresnasari akan bertindak nekat menghambur ke arah Perempuan Pengumpul Bangkai! "Tresnasari, jangan!" seru Satria Gendeng, mencegah. Dia khawatir setengah mati Tresnasari akan menyerang nenek sakti aliran sesat itu. Padahal tingkat kesaktian Nini Jonggrang tak akan bisa ditandingi oleh Tresnasari. Itu artinya, Tresnasari hanya mencari celaka. Yang lebih parah, dia hanya mencari mati! Terlambat.
Tresnasari telah lebih dahulu tiba di dekat Nini Jonggrang. Dugaan Satria Gendeng meleset. Tresnasari rupanya tak berniat menyerang guru sesatnya. Dan gelagatnya, Nini Jonggrang pun tahu akan hal itu.
Yang dilakukan Tresnasari sungguh di luar perkiraan. Gadis yang pernah dikenal Satria Gendeng begitu judes, galak, dan berani itu justru menubruk kaki Nini Jonggrang. Dia bersimpuh. Dia menangis tersedak-sedak.
"Nenek Guru, jangan kau bunuh dia! Jangan Nenek Guru. Ku mohon sekali padamu. Dia satusatunya orang yang ku sayangi di dunia ini...," pinta Tresnasari, giris.
Giris dan pilu pula hati Satria Gendeng menyaksikan adegan tersebut. Bagaimana kau demikian banyak berubah Tresna" tanya Satria Gendeng, pedih di batin. Mungkinkah karena tergoncang setelah kepergian ibunya" Atau karena selama ini Nini Jonggrang telah begitu banyak mempengaruhinya" Lepas dari semua itu, betapa dia menyadari kini, cinta Tresnasari padanya demikian besar. Cinta yang menyebabkan dia tak ragu untuk bersimpuh di kaki guru sesatnya sendiri. Rasa cinta itu pun yang telah melumpuhkan akal sehatnya. Padahal, tak sepantasnya dia melakukan itu pada orang durjana macam Nini Jonggrang.
"Menyingkir, Murid Murtad!" hardik Nini Jonggrang. Tresnasari terus sesegukan memohon.
Satria Gendeng muak dengan sikap angkuh perempuan tua itu. Membiarkan Tresnasari terus mengiba seperti itu akan makin menyuburkan keangkuhan Nini Jonggrang. Karenanya, Satria Gendeng segera menghampiri Tresnasari.
Belum dua tindak, Satria Gendeng sudah dikejutkan oleh erangan pendek Tresnasari.
"Akh!" Disaksikannya, tubuh sang kekasih terpental deras ke arah belakang. Tak jelas di mata Satria Gendeng, apa yang telah dilakukan Nini Jonggrang. Satusatunya dugaan, nenek tua berhati iblis itu telah melancarkan serangan hebat dari jarak dekat! Tindakan keji! Seketika hati Satria Gendeng terbakar.
Garang. Rahangnya mengeras. Giginya bergemelutuk.
"Perempuan tua laknat, kubunuh kau!!!" pekiknya meninggi dan menggetarkan.
Sepersekian kejap berikutnya, tubuhnya sudah memburu cepat ke arah Perempuan Pengumpul Bangkai. Rencananya untuk mengecoh Nini Jonggrang hancur sudah tanpa diduga.
Terjangan Satria Gendeng memburu ganas ke arah Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak ada yang lebih membuatnya demikian kalap kecuali tindakan keji Nini Jonggrang terhadap Tresnasari. Kekejian yang harus dibayar tuntas! Tak ada lagi rencana mengecoh Nini Jonggrang.
Semuanya langsung diberangus kemarahan menggelegak yang tak terkuasai lagi. Setelah sebelumnya Tresnasari kehilangan akal sehat. Kali ini giliran Satria Gendeng. Dunia persilatan mengenal keadaan itu sebagai musuh tak terlihat dan juga paling berbahaya. Kemarahan yang tak terkendali hanya akan menyebabkan kerugian. Terutama dalam pertempuran. Seseorang akan menjadi demikian mudah dipermainkan lawan.
Benteng pertahanannya menjadi sangat rapuh. Dan jurus-jurusnya jadi demikian tak terkendali lagi.
Sekali lagi, ucapan Ki Kusumo pada Dongdongka sepatutnya diperhitungkan oleh Dongdongka sendiri. Satria Gendeng memang tak bisa hanya mengandalkan kesaktian yang diturunkan dua guru besarnya.
Selaku seorang pendekar, dia masih butuh hal lain agar benar-benar siap menghadapi keganasan rimba persilatan. Semuanya itu tidak akan didapatnya melalui didikan seorang guru sesakti apa pun, namun harus didapat melalui tempaan pengalaman. Menelan asam-garam persilatan sebanyak-banyaknya. Dan justru hal terakhir tersebut yang belum dimilikinya.
Dia tak lebih dari seorang pendekar berbekal kesaktian tinggi, namun hijau dalam pengalaman. Dia tetap saja bisa disebut bau kencur. Sampai-sampai tak disadarinya kesalahan besar sudah dilakukan dengan mengumbar kemarahan.
"Heaaa!" Nini Jonggrang menyeringai menanti serangan brutal Satria Gendeng. Betapapun tahu serangan lawan amat berbahaya, perempuan tua laknat itu pun tahu kalau lawannya telah melakukan kesalahan besar. Yang tak disadari sama sekali! Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai mendadak terangkat seperti terbang, mementahkan terjangan menggila Satria Gendeng.
Bagi banyak kalangan yang mendalami ilmu 'Peringan Tubuh', sulit untuk mempercayai kejadian itu. Bagaimana caranya Nini Jonggrang membuat tubuhnya melesat cukup tinggi ke atas sementara tak terlihat satu bagian tubuhnya pun melakukan hentakan" Tidak di bagian otot pinggang. Tak pula di bagian kaki. Mungkinkah itu karena kekuatan tenungnya" Atau kesempurnaan peringan tubuhnya sudah melampaui batas-batas kesempurnaan" Dear! Pukulan menyamping bertenaga dalam dahsyat milik Satria Gendeng seketika melabrak pohon kamboja di dekat tempat berdiri Nini Jonggrang. Padahal jarak antara Satria Gendeng dengan pohon naas itu masih sekitar tiga tombak. Itu pertanda, angin pukulan si pemuda saja sudah demikian dahsyat. Bayangkan jika tangannya langsung mendarati tubuh keropos si Perempuan Pengumpul Bangkai"
"Hi hi hi. Jangan kau tumpahkan kemarahan pada pohon itu, Cah!" ejek Perempuan Pengumpul Bangkai. Di ujung salah satu daun tetumbangan pohon kamboja, nenek sakti itu sudah bersila. Lagi-lagi pamer kehebatan ilmu peringan tubuh! Satria Gendeng tak banyak melonggarkan waktu untuk serangan berikutnya. Dia siap menerjang kembali dengan keganasan sepuluh ekor banteng ketaton! Sebelum itu, tangannya membentuk bentangan seperti sayap seekor burung raksasa perkasa. Berselang dengan gerakan itu, tangannya diturunkan cepat bertenaga ke satu titik di depan perutnya, seperti gerakan cakar rajawali menyambar mangsa. Terdengar gemeretak tulang-tulangnya, beriring menggelembung otot-otot di sekitar lengan dan dada.
Deb! Dengan satu sentakan, tangannya ditarik kembali ke atas. Jari kedua tangannya menghadap ke depan seperti bentuk kepala ular yang siap melakukan patukan. Selanjutnya....
"Heaaaaa!" Satria Gendeng menerkam udara. Tubuhnya lurus dan garang menerjang Nini Jonggrang. Saat meluncur di udara, tangannya bertubi-tubi membuat patukan-patukan sengit. Beruntun, cepat, dan membangun deru santer.
Deb deb deb! Itulah satu jurus yang diturunkan oleh Ki Kusumo. Jurus yang memiliki nama sangar, 'Mencuri Bunga Karang'. Seruntun serangan yang amat mengandalkan kecepatan gerak tangan. Diciptakan Ki Kusumo ketika dia berada di Pulau Dedemit.
Sesungguhnya, patut dipuji keputusan Satria Gendeng untuk mempergunakan jurus itu. Kendati kemarahannya mungkin sudah hendak menjebol ubun-ubun sendiri, namun Satria Gendeng masih bisa menyaksikan bagaimana kecepatan Nini Jonggrang menghindari terjangan pertamanya. Nalurinya sebagai seorang bocah yang hidup dalam gemblengan keras alam, membuatnya mengambil kesimpulan dengan cepat. Gerakan cepat lawan, hanya mungkin dilakoni dengan jurus jenis menyerang yang mengandalkan kecepatan seperti 'Mencuri Bunga Karang'! Begitu tiba di hadapan Nini Jonggrang, patukan sengit Satria Gendeng tak disambut layaknya orang bertarung oleh Nini Jonggrang. Dia tak bergerak dari posisi silanya untuk menghindar. Bahkan, tak menggerakkan tangan untuk menangkis serangan.
Yang dilakukan Nini Jonggrang sungguh di luar kelaziman. Dia malah berteriak kuat-kuat. Tak mungkin teriakan itu lahir karena ketakutan pada serangan lawan, menilai bahwa Nini Jonggrang adalah salah satu tokoh tak tertandingi di rimba persilatan tanah Jawa.
"Aaaaaaiiiiikh!" Beriring terlepasnya teriakan menghentak suasana, terkaman tubuh Satria Gendeng terhenti seketika, seakan ada tembok kasatmata yang tebal membentengi sekitar satu tombak di hadapan Nini Jonggrang! Lebih dari itu, Satria Gendeng pun mencelat kembali ke belakang. Ada semacam pantulan amat kuat dirasakan oleh pemuda sakti itu.
Dengan berjungkir balik di udara, Satria Gendeng berhasil menguasai keseimbangannya. Dia menjejak kembali ke bumi. Patukan-patukan ganasnya barusan bahkan tak sempat menyentuh kulit si Perempuan Pengumpul Bangkai. Padahal, jurus 'Mencuri Bunga Karang' hanya akan berbahaya jika berhasil mematuk, menjepit lalu mencerabut kulit lawan. Jari tangan yang sudah digodok dengan campuran serbuk racun tak terlihat tentu akan sangat mematikan, meski luka yang dibuat kecil saja di kulit.
Dalam kegusaran memuncak, masih sempat Satria Gendeng menyadari bahwa tenaga dalam lawannya demikian sempurna. Dengan cara menyalurkan tenaga dalam melalui teriakan saja; Nini Jonggrang telah berhasil melumpuhkan terkaman berbahayanya. Bagaimana pula jika dia telah mempergunakan kedua tangannya" Kendati begitu, kemarahan tetaplah kemarahan. Terlalu sulit bagi akal sehat Satria Gendeng untuk memberi pertimbangan. Tak berselang tiga tarik napas kemudian, Satria Gendeng sudah melabrak si Perempuan Pengumpul Bangkai kembali.
--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--
"Satria," bisiknya cemas.
"Kenapa Kusumo" Kau takut muridmu mampus di tangan Jonggrang?" ledek Ki Ageng Sulut. Ki Kusumo mendengus sarat.
Pekat.
"Jika terjadi apa-apa pada muridku, aku bersumpah akan mengadu jiwa dengan kalian!" Mendengar ancaman Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut malah menanggapi dengan seringai mengejek.
"Kau ini tolol, Kusumo. Bagaimana bisa mengancam kami sementara kakimu saja sudah tak lengkap seperti itu" Kupikir, tahu diri sedikitlah kau. Apa kau lupa, hanya menghadapiku saja kau sudah kehilangan sepasang kaki" Bagaimana lagi kau akan menghadapi kami berdua dengan keadaan seperti itu?" Meski Ki Kusumo sudah kenyang makan asamgaram, tak urung wajahnya menjadi merah dicemooh oleh Ki Ageng Sulut demikian rupa. Kata-katanya terlalu menginjak-injak semena-mena harga dirinya. Menginjak-injak kepalanya. Nama besar mungkin tak terlalu dipersoalkan. Namun, sebagai orang yang merasa memiliki kehormatan, dia merasa tak sepatutnya diperlakukan seperti itu.
"Kau mau kita bermain-main seperti waktu itu lagi?" cemooh Ki Ageng Sulut, kian memanas-manasi.
"Ayolah kalau begitu! Kenapa kau masih menunggu lebih lama" Kalau kemarin kau kehilangan sepasang kaki, kalau beruntung, siapa tahu kau akan kehilangan sepasang tangan!" Ki Kusumo tak mau cepat terpancing. Betapapun, orang tua ahli pengobatan kenamaan tanah Jawa itu harus sadar posisinya sama sekali tak menguntungkan. Terutama karena Ki Ageng Sulut sedang membopong Mayangseruni. Tak perlu waktu lama Ki Kusumo meyakinkan kalau gadis itu memang Mayangseruni setelah melihat wajahnya. Wajahnya yang demikian mirip dengan Tresnasari tak menyebabkan Ki Kusumo menjadi salah sangka. Sebab, yang diketahuinya, Tresnasari sendiri sedang berada di lembah bawah bukit bersama Satria Gendeng dan Nini Jonggrang. Di lain sisi, Ki Kusumo tahu dia harus membantu Satria Gendeng secepatnya. Paling tidak, dia bisa mengarahkan pertarungan muridnya agar tidak membabi-buta, membahayakan diri sendiri.
Jika dia memutuskan untuk segera turun, tak pelak lagi Ki Ageng Sulut akan menghalanginya. Dengan begitu, pertarungan tak akan bisa dielakkan.
Keadaan Ki Kusumo terjepit.
Serba salah. Dalam keadaan kebingungan untuk membuat keputusan, seseorang tak diundang tahu-tahu sudah nadir di antara mereka.
"Apa aku bisa numpang lewat"!" terdengar sua-ra yang agak sengau seperti sedang terserang pilek.
Ki Kusumo menoleh.
Ki Ageng Sulut pun begitu.
Ada seorang berdiri hanya empat tombak di belakang Ki Ageng Sulut Seorang lelaki berusia cukup muda. Sekitar tiga puluhan, jika ditilik dari parasnya. Biarpun tampan dan bersih. Wajahnya juga lucu. Ada kesan kebodohbodohan. Biar matanya seperti milik seorang bocah yang tak mengenal masalah. Hidungnya mancung dan bangir. Namun, beberapa kali terlihat mengembang kempis seperti kelinci. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan tergerai apik seperti rambut perawan genit.
Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi separo kepala bagian atasnya. Pemuda kebodohbodohan itu mengenakan pakaian sederhana berwarna serupa dengan kain pengikat kepalanya. Kendati sederhana, namun licin sekaligus bersih. Sepertinya, debu pun sulit untuk singgah. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip sehelai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Kening Ki Kusumo mengernyit. Siapa pemuda ini, tanyanya membatin.
Ki Ageng Sulut sebenarnya harus merasa heran. Pemuda itu telah berdiri di belakangnya tanpa diketahui sedikit pun.
Kehadirannya seperti hantu. Untuk seorang seperti Ki Ageng Sulut, seekor laba-laba kecil merayap beberapa tombak di belakangnya pun dapat dengan cepat disadari.
Hanya karena pikirannya sedang disibuki oleh urusan dengan Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut jadi tak begitu peduli.
"Cepatlah kau menyingkir dari tempat itu, Pemuda! Kau tak berharap akan berurusan denganku.
Sebab, kau akan menyesal nantinya!" hardik Ki Ageng Sulut. Si pemuda meringis tanpa beranjak dari tempatnya. Garuk-garuk dengkul sebentar, lalu meringis sekali lagi. Lebih sumringah dari sebelumnya.
"Keparat," rutuk Ki Ageng Sulut berdesis.
"Hei, apa telingamu sudah tuli"! Kubilang, cepatlah kau menyingkir!" terjangnya, mulai gusar.
Minta ampun. Lagi-lagi si pemuda meringis.
Cuping hidungnya kembang-kempis. Tak lama kemudian, dia bersin kuat-kuat di tempat dengan suara seperti dengking keledai.
"Haaaaa chuinggggg!" Sambil mengusap-usap hidungnya dengan punggung tangan, pemuda kebodohan tadi berujar, "Maaf. Aku tak bisa mendengar orang berbicara keras-keras. Setiap kali ada orang membentak, aku jadi ingin bersin." Dia meringis lagi.
"Kau sengaja mengejek ku. Rupanya kau memang ingin cari mampus!" ancam Ki Ageng Sulut.
Seperti tak peduli geraman gusar Iblis Dari Neraka yang ditakuti warga rimba persilatan tanah Jawa, Pemuda kebodohan malah membungkukkan badan.
Satu tangannya terjulur ke bawah.
"Permisi, permisi. Aku numpang lewat...." Tanpa merasa pernah berbuat kekeliruan, pemuda itu melintas di depan Ki Ageng Sulut.
Kontan tua bangka aliran sesat itu jadi mengkelap.
"Kunyuk! Hih!" Tangan Ki Ageng Sulut bergerak, membuat tamparan telengas ke punggung pemuda yang setengah membungkuk. Ki Kusumo terkesiap. Dia hendak mencegah. Tapi kalah cepat.
Dugh! Pemuda Kebodohan tersungkur. Wajahnya mencium batu sebesar kepala kerbau. Meski kelihatan remeh, pukulan Ki Ageng Sulut tadi sebenarnya bisa membuat tulang seseorang menjadi terpatah lima bagian di dalam. Akibat itu, tentunya akan menimpa Pemuda Kebodohan. Dia bisa mati mendadak. Setidaknya sekarat. Apa lagi kalau mengingat wajahnya membentur batu bukit Tak mungkin Ki Kusumo berdiam diri saja menyaksikan kezaliman terjadi di depan hidungnya. Perlakuan Ki Ageng Sulut harus mendapat ganjaran setimpal. Tak peduli apakah kesaktian orang tua sesat itu berada di atas Ki Kusumo! Baru saja Ki Kusumo hendak bertindak, Pemuda Kebodohan sudah bangkit. Caranya bangkit terlihat santai. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia mengalami luka. Bahkan sekadar luka kecil yang membuat dia mengeluh.
"Permisi...," katanya lagi pada Ki Ageng Sulut, seraya meneruskan sikap setengah membungkuk. Dia melintasi Ki Ageng Sulut begitu saja.
Ki Ageng Sulut melongo. Sebentar dia menjadi seperti orang linglung sambil mengikuti gerakan Pemuda Kebodohan dengan pandangannya. Setelah, Pemuda Kebodohan sudah lewat dari depan hidungnya, barulah dia tersadar.
"Keparat! Kau kira dapat dengan mudah mempermainkan ku!!!" amuknya kalap. Terbakar wajahnya seperti terbakar kemarahannya.
"Berhenti kau!" Seraya berseru, Ki Ageng Sulut melompat sekali. Di depan Pemuda Kebodohan, orang tua sesat itu menghadang "Kau pikir, sedang berhadapan dengan siapa sampai kau berani pamer kehebatan, Pemuda Bodoh!!!" maki Ki Ageng Sulut.
Menanggapi omelan Iblis Dari Neraka yang sering membuat nyali banyak kalangan persilatan bergetar, Pemuda Kebodohan malah meringis.
Jelek. Cuping hidungnya kembang-kempis.
"Huaa... huaaa... chuingg!" Di depan hidung Ki Ageng Sulut, pemuda itu bersih! Bukan salahnya. Bukankah sebelumnya dia sudah bilang bahwa dia tak bisa mendengar suara keras-keras, seperti makian Ki Ageng Sulut" Yang jadi masalah, apakah tua bangka Iblis Dari Neraka sudi menerima" Ki Ageng Sulut mendelik sejadi-jadinya. Cuping hidungnya jadi ikut kembang-kempis saking murka.
Jarang ada orang berani menghinanya. Siapa tak kenal keangkeran julukan Iblis Dari Neraka" Bersin di depan hidungnya bahkan lebih dari sekadar penghinaan.
Penghinaan di atas penghinaan! "Permisi lagi...," kata Pemuda Kebodohan polos, menanggapi perubahan mimik wajah Ki Ageng Sulut.
Seraya membungkukkan badan untuk kesekian kali, dia hendak melintas lagi di depan Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut merasa menjadi kambing congek kalau dibiarkan saja pemuda itu melintas. Tangannya segera bergerak. Gelegak darah yang menanduk hingga ke ubun-ubun, membuatnya tak segan lagi melancarkan hantaman paling berbahaya.
Dash! Keras! Menerpa bagian mematikan yang terletak di belakang kepala Pemuda Kebodohan. Seketika tubuhnya ambruk seolah buah nangka besar yang menukik ke bumi. Menurut perkiraan Ki Kusumo, tentu tulang leher pemuda itu akan lebur seketika seperti sekam.
"Mampuslah kau keparat!" umpat Ki Ageng Sulut, puas menyaksikan Pemuda Kebodohan jatuh tertelungkup. Sebentar kemudian, alisnya berkernyit rapatrapat. Memang pemuda itu tersungkur. Tak bisa dibilang tertelungkup. Posisinya malah lebih bisa disebut 'nungging'. Apa mungkin seseorang yang terkena hantaman maut akan terjatuh dalam posisi menyebalkan seperti itu" Tapi, kalau melihat tak ada gerakan sama sekali, Ki Ageng Sulut tak yakin Pemuda Kebodohan masih bernyawa. Barangkali saja memang kebetulan jatuhnya seperti itu.
Setelah cukup lama tubuh Pemuda Kebodohan tak bergerak, Ki Ageng Sulut baru menyeringai puas: "Betapa tolol kau, Pemuda Sial! Tak ada yang bisa kau pamerkan pada iblis Dari Neraka!!!" sesumbar Ki Ageng Sulut, pongah.
Baru selesai mulut tua bangka itu bungkam....
"Haa haaa haaaa chuuingngngng!" Sepanjang umur dunia yang renta, tak pernah ada bangkai bisa bersin. Tak peduli bangkai apa pun.
Kambing, kerbau, kelinci, ayam, atau manusia. Kalau terdengar Lelaki Kebodohan bersin, kesimpulannya mudah saja, dia belum mampus sama sekali. Jangankan mampus, terluka saja mungkin tidak. Kalau dia terluka dan sadar, tentunya yang terdengar adalah keluhan. Bukannya bersin! Sekarang, Ki Ageng Sulut dipaksa menyadari siapa sesungguhnya orang bertampang tolol ini. Mengenai siapa dia, sampai saat ini, Ki Ageng Sulut tak pernah mengenalnya. Bahkan selama malangmelintang si persilatan tanah Jawa, tak pernah sekali pun dilihatnya orang itu. Hanya satu hal yang menjadi benar-benar jelas, bahwa si lelaki bertampang tolol bukanlah orang sembarangan. Iblis Dari Neraka bukan julukan kosong di persilatan tanah Jawa. Kesaktiannya, kendati masih terus dirongrong penyakit, tetap menjadi momok menakutinya. Jika sebagian kesaktiannya saja tak bisa sedikit pun melukai orang bertampang tolol itu, bagaimana mungkin Ki Ageng Sulut tetap menganggapnya remeh" Seperti Ki Ageng Sulut, Ki Kusumo pun mengalami keterkejutan serupa. Dia pun dipaksa menyadari betapa lelaki bertampang tolol itu bukanlah sembarang orang. Yang jadi pertanyaan, siapa dia sebenarnya" Kalau dia salah seorang tokoh sakti tanah Jawa ini, kenapa Ki Kusumo tak pernah menyaksikannya" Sementara, kehadirannya ke tempat ini tampaknya punya tujuan sendiri. Tujuan apa, Ki Kusumo belum jelas benar. Cuma, tabib kenamaan berkaki logam itu berharap, si lelaki bertampang tolol tidak memihak golongan sesat....
"Permisi...," ulang lelaki bertampang tolol, sesaat setelah dia bangkit sambil menepuk-nepuk debu di baju bagian depannya.
Selanjutnya dia ngeloyor seperti tak pernah terjadi apa-apa. Seperti terkena pengaruh tenung, Ki Ageng Sulut mendiamkan orang itu. Ki Kusumo pun hanya terpaku menatap lelaki bertampang tolol melangkah santai.
--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--
Tuhanku, betapa tak pantas kuhirup hawa Swarga Namun Tuhanku, betapa aku tak mampu terkapar dalam gelegak Neraka. Jadi Tuhanku, Hanya kuharap kucuran ampunan-Mu.
Dalam kerap napas nistaku.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari tidur lelapnya oleh kidung sendu berlirik penuh makna hidup itu. Belakangan ini, sejak usahanya untuk mati gagal total (Baca episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka"!), dia jadi lebih banyak tidur. Dengan tidur, dia berharap masalahnya untuk sementara bisa disingkirkan. Ketimbang harus melarikan masalah kepada hal yang bukan-bukan, pikirnya. Ya seperti minum arak sampai mabuk, ya main perempuan nakal sampai teler, ya main judi sampai keblinger, ya membenturkan kepala ke pintu! Di balai bambu di dalam gubuknya, dia duduk mencekung. Sebentar dia menggaruk kepala. Kulit kering dari kepala 'plontos'nya beterbangan sesuka hati.
Matanya masih mengerjap-erjap, masih cukup berat.
Kantuknya belum minggat benar. Anehnya, dia tak berniat melanjutkan tidur. Entah bagaimana, kidung tadi seolah mempunyai kekuatan yang mengusik sampai ke relung batin si tua bangka bertabiat sinting.
Hingga mampu menyingkirkan kantuknya. Padahal kawanan nyamuk sebesar kecoa saja belum tentu bisa mengusik tidurnya. Itu pun kalau benar-benar ada nyamuk sebongsor kecoa! "Kidung siapa yang begitu merdu" Sialnya, kenapa aku malah jadi terjaga dan tak bisa tidur lagi.
Kan, semestinya aku jadi tambah pulas. Aneh juga, ya..." Slompret sekali!" Diawali gerutuan, Dedengkot Sinting Kepala Gundul meninggalkan balai. Di luar gubuk dilihatnya seorang bercaping duduk menundukkan kepala di atas tumbangan pohon kelapa yang biasa diduduki Dongdongka dan Satria dulu. Dari pakaiannya, Dongdongka tahu kalau orang itu lelaki. Mengenakan baju dan celana berwarna ungu. Ikat pinggangnya berwarna merah. Tangan kiri lelaki itu asyik mengilik-ngilik lobang telinga dengan sehelai bulu rajawali.
Jauh melatar belakangnya, sinar rembulan merayapi permukaan laut yang agak tenang. Ombak masih tetap cukup besar menampar-nampar pantai.
"Selamat malam," sapa tamu tak diundang, tanpa menoleh. Suaranya agak sengau.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cemberut.
"Aku tahu ini malam," gerutunya.
"Masalahnya, apa kau tahu malam itu waktunya orang tidur"!" ujar-nya, mulai sok galak. Mau 'unjuk gigi' dia, kendati giginya sudah tinggal sisa.
"Kalau kau ingin mencapai tingkat kesempurnaan hidup, tentunya kau tak akan menghabiskan seluruh malam untuk tidur saja."
"Ah, sok tahu kau! Eh, lagi pula siapa kau ini sebenarnya" Kenapa lancang-lancangnya kau mengajari aku" Kau tahu, aku ini sudah terlalu tua untuk kau ceramahi macam itu. Tahu"!" Tetap masyuk mengilik-ngilik telinga, orang bercaping berkata lagi, "Aku bukan mengajari. Cuma mengingatkan...."
"Ah, apa bedanya! Itu kan cuma silat lidahmu saja. Sebenarnya kau memang bermaksud menggurui ku. Biar terdengar agak sopan, kau bilang saja 'mengingatkan'! Wuhh!!!" Sambil berkata, bibir Dongdongka mencibir. Tangannya menepis udara. 'Selonong' sana-sini, Dongdongka melangkah keluar dari gubuknya. Pintu gubuk dibanting begitu saja. Sepertinya gubuk itu hampir saja roboh.
"Sekarang, langsung saja bilang padaku, apa maksud kedatanganmu ke tempat ini"!" todong Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak mau bertele-tele.
"Tak ada. Cuma, aku ingin menengokimu!"
"Weh, memangnya aku perlu kau tengoki" Kenal pun tidak padamu!"
"Kenal atau tidak, bukankah tak ada larangan seseorang menengoki orang lain?"
"Aku melarang!" Orang bercaping tertawa ringan. Suara tawa sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Kepala Gundul, seperti menggonggong.
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel seperti ini?" Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum dibersihkan.
"Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau memiliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau merasa dihina."
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini siapa" Mbah buyut ku" Bapak moyang ku" Mbokku" Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang kepalang.
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula, tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan kau tentang satu hal!"
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau berdalih!"
"Dengarkan dulu aku."
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar Dedengkot Sinting Kepala Gundul sambil menjitak-jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar.
"Sekarang, sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan kidungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!" omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul tak karuan. Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terkekeh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedengkot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' dibegitukan.
"Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak mau mendengarkan aku dulu" Sebentar saja?" tawarnya lagi.
"Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil dengan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya.
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cincong begitu. Tahu"!" Kepala di balik caping orang itu menggelenggeleng.
"Masih saja sempat-sempatnya menggeleng! Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali kau!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai mencak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke mana-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai ngebet kawin. Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sesepuh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja memiliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes! Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikutnya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan kelapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu kecil. Dedengkot Sinting Kepala Gundul kaget sendiri setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting seperti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercaping.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat" Aku, kan bisa berdosa, tahu"! Dosa, apa kau belum pernah lihat"!," seperti pernah lihat dosa saja, Dongdongka menyambung omelannya kembali. Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu.
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah.
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga.
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu dari golongan sesat atau bukan. Sejengkel apa pun dia terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya.
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus badannya pula" Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak yakin.
Menurut perkiraannya, tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa sekali kalau sampai terjadi.
"Ya." Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dongdongka malah jadi terperanjat.
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" tanyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatirkan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya.
Bagaimana tua bangka satu ini" Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pantas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa batang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, sudah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus sekarang; Mana mungkin dia masih bisa bicara" Atau seperti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia belum mampus"
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku masih bisa bicara." Usai menjawab, orang bercaping terkekeh dengan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit bawang.
"Mestinya kau sudah mampus, tahu"!" Dongdongka ngotot.
"Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang persoalan kecil saja!" Persoalan kecil" Persoalan kecil yang bagaimana" Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil" Apa berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu sulit dipercaya persoalan kecil" Bibir Dongdongka menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia" Jangan-jangan, dia salah seorang patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul" Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya" bisik hati Dongdongka. Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Diselipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.
"Karena kau tak ingin mendengarkan peringatanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai melangkah. Arahnya menuju laut.
Makin membuat curiga Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam.
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!" Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak.
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping penuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mudanya....
"Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai menyadari siapa orang tadi. Dia pun berguling-gulingan di atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya" Sudah telanjur sinting asli dia" TUJUH "HAI-AI-AIIIII" Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncaknya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam dirinya. Menyebabkan segenap saraf, aliran darah, dan otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaankeadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tenaga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran ramuan Pulau Dedemit dengan zat langka dari dasar Laut Selatan! Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya, tentu saja dari perasaan cinta yang demikian mendalam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasari, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng.
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini adalah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami, maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu sebelumnya! Akibatnya sungguh memukau perempuan tua bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan.
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sendiri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya terlalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat sentakan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit.
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang pori-porinya. Wajah pemuda itu seperti mengalami perubahan. Warnanya sebentar merah matang. Sebentar kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci.
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas! Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu.
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus 'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama, segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', menekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari.
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga, dan pertahanan yang tak teratur.
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun.
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempurna dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuhkan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk bagai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan untuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup menggabungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian singkat, disebabkan karena dorongan naluri kependekarannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami untuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak tenaga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang pernah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-ga! Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperlihatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Dalam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya tarung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau kencurnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi, kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku" Sialan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, merutuk. (Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang menyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Truna - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berceloteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa jantan luka.
"Huiiii-aiiiiiiii!" Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer kesaktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat! Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!" Glar! Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara bertumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng.
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersentak. Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawannya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempatan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau dekat. Dash! Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang melayang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya.
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh dua puluh tombak! Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh telentang.
"Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada.
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian dalam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyengat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus aliran napas. Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi, dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sintingsintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mudah lagi. Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau kencurnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perempuan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia masih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak teratur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat seperti seorang kakek tua kekurangan makan. Terkadang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkatjingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedigdayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti Pulau Dedemit. Sewaktu Satria Gendeng membaurkan keduanya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng memaksa perempuan tua yang punya pamor menakutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan, tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksikan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan terperangah takjub mengetahui seorang pemuda kemarin sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bangkai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persilatan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan tanah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat, Satria Gendeng! Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Nini Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping.
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan.
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar kehormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun pernah menempatkan tamparan ke pipinya selama puluhan tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya! Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai mencapai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram. Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan sulit untuk memancing kekalapan tokoh yang banyak makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian besar dalam satu pertarungan. Apalagi pertarungan maut.
"Hmrrrhh!" Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, pertanda kebengisan yang buta siap termuntahkan.
"Kau akan mampus hari ini juga di tanganku, Bocah Keparat!!!" Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ketika itu juga melupakan rencananya yang sudah demikian matang disusun selama beberapa waktu sebelumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya, Iblis Dari Neraka.
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekalapan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pengumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput perempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggangnya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang telah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya.
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya untuk menyingkirkan Satria Gendeng! Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Dengan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga Samudera sudah tak ada lagi! Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera terlepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemungkinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, mencari-cari. Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak tepat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Jarak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gendeng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan.
Nyalang. Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan sekecil apa pun. Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memiliki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk mengadu tingkat kemampuan peringan tubuh! "Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Naga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga dalam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak mungkin untuk menguasai banyak kesaktian sekaligus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus diuji.
"Heaaa!"
"Haaaiiiii!!" Sekedipan mata berbarengan keduanya menggenjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan.
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayangan. Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda.
Menuju satu titik pasti.
Tep! Dash! Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi, dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan, menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah melukai kekasih tercintanya! Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati lawan! Licikkah" Tidak. Karena semua itu tak pernah terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat hantaman lawan sebelumnya.
Menderita luka jauh lebih parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu hampir kehilangan kesadaran! DELAPAN "JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah Keparat!" Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjegal. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksikannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut.
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala disaksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tombak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Satria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat menggapit geram leher gadis itu. Jari-jari tangan yang lain menjapit tenggorokan Mayangseruni.
Gelagatnya, Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria Gendeng masih menggempur Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau meneruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak oleh jariku!" Kendati kemarahan sudah demikian meluapluap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kemarahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian sakit.
"Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gendeng.
"Jangan gegabah, Satria!" Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Ditemukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak jelas Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus merasa gembira dengan kedatangan salah seorang gurunya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseruni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si Tabib Sakti Pulau Dedemit - membuat ketegangan pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya susut perlahan. Meski tak punah sama sekali.
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang masih dilelehi darah kehitaman segera mengembangkan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa tidak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekalahan ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatukbatuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, darah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna memang tidak bisa dibuat main-main, bukan" Atau kau belum yakin sampai tendangannya menjebol dada kurus mu"!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-pi, dia tak sanggup berbuat apaapa kecuali mengumpat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat itu; "Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-riknya Nini Jonggrang.
"Bagaimana Jonggrang" Anak bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera" Me-nurutmu bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu jawabannya!" Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk mencuri-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tangan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut.
"Kau dan muridmu itu harus mendengar apa kataku dan menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan bagaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?" Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengikat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posisinya pun sedang terjepit dengan disanderanya Mayangseruni. Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kenamaan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenyataan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memiliki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini Jonggrang. Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perlahan. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk.
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah salah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang sikap tak satria atau harga diri"
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Kusumo! Jangan coba-coba memunculkan batang hidung sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukannya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuterima di Goa Sewu!" (Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan bahwa Nini Jonggrang menerima hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu, telah menggiringnya untuk menerima hukuman tersebut. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk membalas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pada bekas saudara seperguruannya itu).
* * *
Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di batas-batas ombak. Segerombolan burung camar memekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa melanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak kedatangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dilakukannya kini malah duduk terbengong-bengong.
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku benar-benar buta semalam. Eyang Guru...." Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan tanah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terlepas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah berkedip.
"Kenapa aku jadi begitu tolol" Kenapa aku jadi begitu tolol, Eyang Guru?" Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru' dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia lebih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada sebabnya. Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri.
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijumpainya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan bersih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos.
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wajahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan tergerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus bersih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah bertemu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'! "Eyang Guru!!" Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal setengah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat menyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mestinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak main bentak sana bentak sini pada orang yang telah mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya sendiri, baru dia tahu rasa! Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti bergerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus, mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau menghukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Walhasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Beberapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran hebat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdongka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap kepalanya akan pecah terbelah dua. Sayangnya lagi, buah kelapa itu yang malah hancur berantakan.
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang pohon kelapa menjadi korban! Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang telah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinarbinar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak.
"Eyang. Guru!" Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dongdongka namun tetap awet muda itu sedang santai berkipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dongdongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Seperti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengangkat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam mulut.
"Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Semalam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterlaluannya aku, ya" Masa Guru sendiri sampai tak dikenali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang gurunya sudah berpindah di belakang Dedengkot Sinting Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah dianggap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru dipantati" Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya.
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya sudah bertambah lagi "Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang Guru. Huaa whuaa aung aung!"
"Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti anak kecil seperti itu, Truna!" Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah.
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang kesekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya.
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang kaki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertubi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pantang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gundul harus direm mendadak ketika mendengar suara orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Pertama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada dirimu?" Dongdongka mendongak dengan wajah melompong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja! Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran kerbau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram.
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang maju karena terheran-heran itu! Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu dia, sedang berjalan santai menuju selatan! Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul mengejar.
"Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!" cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dongdongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah miring'nya.
"Kenapa, Eyang Guru" Kenapa" Aku memang bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau menghukum aku dengan tidak menganggap aku muridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-ka, mendayu-dayu sambil berjalan membungkukbungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu, jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia biasa...." Dongdongka manggut-manggut. Raungannya sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau, memang begitu caranya menangis" Tak pernah keluar airmata" "Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung sekarang ini?" Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna."
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting," mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali.
"Pertama, karena aku ingin berguru dengan seseorang...." Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak berguru lagi" Apa-apaan ini" Manusia sesakti dia mestinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sendiri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terdengar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin! "Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menurut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seorang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada beliau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan mengenal Tuhan...." Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang turun gunung?" tanyanya.
"Tentang Jonggrang." Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu sesat itu didapatnya dari salah seorang perempuan musuh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak menyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada intiinti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh tahun...." "Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang..
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata batinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya.
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!" Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubungannya Satria Gendeng dengan semua ini" Apa maksud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi, Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.
Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingungan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang sudah dari sananya "Kenapa Eyang Guru jadi menghubunghubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu" Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana" Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sampai sekarang...." Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah.
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengendap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sinting Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan.
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pesan gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang menerima penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing" Tepatkah tempat yang hendak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu ini"
--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih dahulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. pertapanya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu berani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tubuhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Sulut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibopong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyaksikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur peredaran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam, tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas nyawa Mayangseruni.
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pengumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslintang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjalanan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpahku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus menerima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tombak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sanderanya.
"Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-hancurnya kalau Bocah Jahanam ini hendak macammacam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa yang mesti dilakukannya.
"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini Jonggrang disusul tawa terkikiknya yang mencelat masuk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan dan kian menjauh.
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebelumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya mengerahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak.
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan.
Menggidikkan. Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang diperbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan" Sementara Ki Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseruni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa harus membokong" Apakah nanti tindakan itu tak membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah! Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Betapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!" Clep! "Aaaa!" Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terkejut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengkingkan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketika terpancung. Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan Perempuan Pengumpul Bangkai. Belati yang telah la-ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering dipergu- nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi! Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak dahulu. Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu telah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, lamat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap berpura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat yang tak terduga! Tanpa memberi kesempatan bagi Nini Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresnasari mencabut belati dari paha mangsanya Bres! Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuhnya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melemparkan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng Sulut. Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput.
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu sebesar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika belatinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Sulut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru membuat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi korban! Tindakan tak terduga-duga Tresnasari membuat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk sepersekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayangseruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari terkaman sepasang belati Tresnasari.
Mayangseruni terlempar.
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak! Wrrr! Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu saja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Perhatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kancah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari.
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah memporak-porandakan kemenangan sementara si Perempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka! Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa betina tua.
"Khuuaaaa!" Wikh wiikh wikh wiikh! Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi siapa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sentakan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai taring-taring setan terbang! Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis! Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, udara menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang.
Deras.
"Satria awas!!!" Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas langsung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar memangkas angin ribut! Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Satria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, dipapas oleh dua batang logam.
Tring tring! Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di belakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit! Tampaknya kekacauan akan segera berubah menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran berseteru.
* * *
Dengan mengandalkan pengerahan segenap ilmu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tujuan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana.
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' menemukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana mungkin dia menemukan muridnya atau Nini Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada di Gunung Sewu" Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah. Lereng juga. Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan, pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak ditemukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja malam nanti menjadi malam petaka! Setelah agak senewen mencari, barulah tua bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melampiaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu.
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!" gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!" Karena waktu sudah sangat mendesak. Dedengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung Sewu.
--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurusjurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo.
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya.
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo, bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemungkinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni, Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam gempuran habis-habisan si pendekar muda. Benar-benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Selama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai, Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu kesaktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa meletakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing.
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab dan dipelajarinya sendiri.
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir dari tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi ancaman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari segera memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat tersebut.
"Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Jahanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini Jonggrang berjuang untuk melepaskan diri dari hujanan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hendak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan serangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Kepala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa lacur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah malam, tak kunjung-kunjung tiba Tepat tengah malam menjejak pada detiknya, sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari kedatangannya. Hingga.... Ssss! "Ngiiii!" Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Melintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki Ageng Sulut! Menyusul desisan amat kuat seperti berasal dari moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya muncul semacam pendaran cahaya halus semerah darah namun menusuk mata. Cahaya halus itu merambat dan mengembang keluar dari tubuh Nini Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara.
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah sekitar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan besar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Semuanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di tengah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga jarak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang sedang berlangsung" tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Menoleh dengan wajah tercengang.
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari langit mana yang telah merasuki dirinya" Perangah si pendekar muda. Begitu angin reda, terlihatlah wujud menyeramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya memanjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!" Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai berjingkat di antara lorong pegunungan.
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat.
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang dihadapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian" Hati nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrahkan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar geraman berlapis terpelanting dari kerongkongan Perempuan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menjulur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria Gendeng Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Satria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna segelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa diketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap! Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih kesigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!" Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi tercabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memangkas udara. Hingga empat tombak didepan Nini Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa potongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar tersebut. Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja dia tak bisa menguasai diri, saat itu juga dia akan muntah.
"Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah mendengar Perempuan Pengumpul Bangkai memiliki tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketahuinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terjadi. Dia melongo-longo menyaksikan Nini Jonggrang.
"Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi muda kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak tahunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-mentarnya, antara gumaman dan rutukan. Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sana. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memakukan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golongan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat setelah disadari lawannya telah menghilang.
"Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi" Aku tak mengerti...."
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan bahaya!" Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh.
Dongdongka menahannya.
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!" Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian genting" Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terputus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api sebesar kepala bayi! Wuk wuk wuk! Deru santer bagai kepakan sayap rajawali raksasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menuju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng tercekam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya, maka dia akan punah...." Kendati tak mengerti siapa yang telah membisikinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati" tanyanya membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu untuk mencapai hal itu.
Semadi! Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang demikian mendesak" Bagaimana dengan bola-bola api yang meluncur demikian sengit ke arahnya"
"Cepat!" Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gendeng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak.
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng langsung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam batin. Entah bagaimana, dalam situasi yang tak me-mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gendeng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya dalam hitungan waktu kedipan mata! Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!! Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub mendatanginya.
"Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan dari tenggorokan Nini Jonggrang.
"Tak kusangka kau sanggup menghancurkan permainan ku, Bocah Jahanam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar, "Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan hendak menggoyahkan kemantapan hati si satria muda.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gendeng.
"Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis sekutu mu di neraka sana!!!!" terjang Satria Gendeng garang.
"Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!" koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi.
Kali ini lebih nyaring melengking.
"Buktikanlah, Satria Gendeng! Buktikan...," tantangnya, memancing kemarahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani," tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus terampuhnya. Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu, Cah Bau Kencur" Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!" Deb! Wes! Sampokan tangan kanan Satria Gendeng membabat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gendeng dengan sepasang telapak tangannya.
Tep! Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam tajam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib memperingatkan kembali.
Sayang....
"Aaaah!" Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya demikian pedih. Seperti ada racun membakar yang tersembur ke biji matanya.
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tangan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal! "Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gendeng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap, disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit telapak tangan lawan, dengan cerdik Satria Gendeng melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya dilakukan tanpa melihat! Dakh! Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai terhempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah terkena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras sekalipun. Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih cepat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawannya kembali.
"Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya tipu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu.
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong si pendekar muda pemberani untuk kesekian kali.
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gendeng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samping. Wuk! Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perempuan Siluman!"
"Khaaah! Jebol igamu!" Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Kalau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan terhantam juga salah satu serangan gencar lawan.
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontangpanting, tapi secepat kedipan mata, tangannya menekuk di depan dada.
Dakh! Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikutnya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus. Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sasaran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap.
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Satria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh ujung jarinya. Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi kekuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bisikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu titik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri, sebuah semburan sinar seperti hujanan paku membara tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Menderu menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Seluruh tubuhnya menghilang di antara kepungan cahaya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening seperti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam siluman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah bentuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan sejengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat dari perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun langsung dicengkeramnya.
Krep! Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap.
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengembangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga meregang nyawa" Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam semadinya. Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti dipatah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran siksaan itu.
"Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya, matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar muda itu beberapa waktu lalu. Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliatgeliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di sekujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terdengar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gurunya. Bagai bara masuk ke dalam air, begitu bunyi desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Perempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan tinggi. Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang memupus. Hilang. Selang sekian tarikan napas setelah menghilangnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI
Segera hadir!! Serial Satria Gendeng dalam episode:PASUKAN KELELAWAR
INDEX SATRIA GENDENG | |
Perempuan Pengumpul Bangkai --oo0oo-- Pasukan Kelelawar |