Life is journey not a destinantion ...

Pasukan Kelelawar

INDEX SATRIA GENDENG
Kiamat Di Goa Sewu --oo0oo-- Memburu Manusia Makam Keramat

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

MALAM itu langit tak menampakkan wajah ramah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada hari-hari seperti itu, semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan bulat penuh. Sayang itu tak terwujud, karena bulan purnama bernasib sama dengan gugus gemintang. Rona langit malam seperti mati. Denyut bendabenda angkasa bagai dibungkam para makhlukmakhluk gaib. Alam lengang. Detak waktu terasa begi-tu lamban bagai langkahlangkah para pengantar jena-zah. Kilat mengerjap. Petir mengguntur kemudian.
Salakannya garang. Sahut-sahutan suara dari langit itu pun tak terputus. Seakan ada dua makhluk raksasa angkasa yang sedang bersabung mengadu gada.
Hujan sengit tertabur.
Bumi terguyur. Kacau ke segenap arah, angin menghambur.
Dedaunan gugur.
Dalam liang demi liang, satwa tepekur.
Di tengah-tengah serbuan hujan tengah malam buta, kebanyakan orang akan lebih suka membungkus diri rapat-rapat dengan selimut tebal di atas balai. Pergi ke mana pun, menjadi pekerjaan yang sama sekali tak nyaman. Dingin. Menakutkan.
Agak gila kalau ada orang masih mau-maunya keluar dan berjalan di tengah-tengah alam yang semakin uring-uringan itu.
Apalagi kalau orang itu masih berumur terlalu muda.
Yang pasti memang gila! Sembilan orang bocah berumur tak lebih dari delapan tahun berlari-lari kecil melintasi hutan malam itu. Dalam dingin yang meng-hujam, mereka semua tak mengenakan baju. Kecuali mengenakan kain pembungkus seperti popok bayi. Kesembilan bocah-bocah itu terus berlari menuju tengga-ra. Melintasi semakbelukar, onak-berduri dan pepohonan raksasa. Tanpa kesulitan berarti. Tanpa bias takut di wajah masing-masing.
Gerak mereka ringan layaknya sekawanan anak-anak mambang penjaga hutan. Mencelat-celat gesit bila ada halangan di depan. Berjumpalitan bila terbentang lobang atau genangan air. Mereka bahkan lebih lincah dari sekawanan kera manakala mereka melompat-lompat di antara dahan-dahan pepohonan.
Mereka terus berlari. Sampai mereka memasuki batas Desa Pengging. Seperti sembilan bayangan, bocah-bocah itu melintasi jalan tanah yang digenangi air.
Kecepatan lari mereka luar biasa. Tak ada bocah sanggup berlari lebih gesit dari seekor serigala. Apalagi seu-sia mereka. Dengan kecepatan seperti itu dan serbuan hujan yang demikian pekat di malam kelewat pekat mereka nyaris tak terlihat. Manakala kilat berkelebat, selintas kilas bayangan sembilan bocah itu tampak.
Salah seorang yang berlari paling depan mendadak mengangkat tangan. Isyarat berhenti diperlihatkan. Delapan bocah lain menuruti aba-aba. Di tengah jalan tanah agak lebar yang mengkerangkal desa, kesembilannya berdiri diam. Tak peduli pada hujan yang mengkuyupi.
Mata bocah paling depan sejenak jelalatan liar.
Bersitnya seperti seekor hewan buas mencari mangsa.
Pada satu rumah panggung paling besar di dekat jalan, mata setajam sembilunya berhenti. Menghunus sesaat tatapannya. Lekat pada rumah berlampu tempel itu.
Terdengar suara geramnya di antara gemuruh hujan, Tanpa menoleh, tangannya kembali memberi aba-aba. Lalu kedelapan bocah lain berpencar tangkas.
Setelah itu, si bocah pemimpin menyusul. Delapan bocah yang beranjak lebih dulu membentuk kepungan dari delapan penjuru berbeda. Hanya bocah terakhir yang tak turut......
Di tempat masing-masing, mereka berdiri diam.
Cukup lama. Tanpa dikomando, kedelapan bocah pengepung berbarengan merentangkan tangan. Kejadian berikutnya sungguh menakjubkan! Dari kesepuluh ujung jari mereka membersit cahaya kuning memanjang. Setiap ujung juluran cahaya kuning bertemu satu dengan yang lain, membentuk gelang besar yang melingkari rumah. Tepat ketika setiap ujung cahaya kuning ber-sambung, bocah kesembilan melenting ringan tanpa suara. Di udara tubuhnya membungkal seperti bola karet. Melewati lingkaran cahaya kuning, dia hinggap hanya dua tindak di depan pintu rumah panggung.
Sementara itu, di dalam rumah sepasang pengantin yang baru menikah beberapa hari lalu, baru hendak melakukan 'pekerjaan rumah' mereka. Biasa, yang namanya pengantin baru pasti masih serba hangat. Jangankan hujan besar, hujan badai pun kalau bisa diacuhkan saja. Semangat tempur mereka masih menggebu-gebu, pasti! Si lelaki berusia setengah baya. Kendati cukup berusia, wajahnya masih tetap menarik. Setidaktidaknya, dia masih punya banyak harta untuk membeli satu dua perawan desa. Terserah mau suka atau tidak. Kalau uang sudah bicara, calon mertua pun bisa diurus! Buktinya, perempuan yang serumah dengannya kini adalah istri keempat! Masih muda dan denok pula. Weleh, betapa dunia ini benar-benar menjadi sorga buatnya! "Neng, ayo Neng...," rayu si suami, mendayu-dayu penuh nada cumbu.
Gombal! Tapi, beruntung buat si lelaki, istri keempatnya kali ini tidak terpaksa kawin dengannya. Pesonanya sebagai lelaki, rupanya masih cukup ampuh untuk melumpuhkan hati sang istri keempat yang bertaut usia dua puluh tahun itu.
"Apa, Kang?" balas si istri muda, tak kalah mendayu. Matanya mengerling genit.
Membuat perasaan suaminya menjadi begitu 'serrrr'. Jangan-jangan, kerbau jantan pun bisa ikut 'serrr' tertimpa kerlingan genitnya.
Perlahan, sang suami memulai gerilya. Didekatinya perempuan denok yang setengah terbaring di balai berkasur jerami empuk berseprai halus. Duduklah dia di sisi pembaringan. Tangannya mulai lapar, mengusap-usap paha istrinya yang ditutupi kain wiron.
"Dingin, ya Neng?"
"Kalau hujan, memang dingin Kang. Memangnya kenapa?"
"Ah, Neng ini..."
"Ah, Kakang ini...." Lalu, tangan sang suami mulai menjalar ke batik kain wiron, menjelajahi paha putih mulus istri mudanya. Terdengar desah halus. Istrinya menikmati, ketika sepasang dada sekal padatnya mendapat giliran.
Usapan makin menggebu menyatroni.
Pakaian luruh satu-satu.
Darah bergejolak.
Erangan menanjak.
Ketika 'pekerjaan rumah' hendak memasuki tahap puncak, mendadak saja keduanya diserang kantuk maha hebat. Saking hebatnya, keduanya sampai tak sempat merasakan kantuk itu sendiri. Tahu-tahu saja, keduanya sudah terpulas bagai dua bayi kembar berlainan jenis.

* * *



Waktu terlewat tak terasa. Malam pupus ditelan rembang pagi. Hujan jinak sejak dini hari. Pagi datang.
Damai. Sampai kedamaian pagi digebrak satu teriakan.
"Culiiiiiik!" Seorang penduduk desa lari blingsatan di tengah pagi berkabut. Lelaki setengah baya yang belum lama kawin dengan istri keempat! Keluar dari rumahnya yang lebih besar dari rumah penduduk lain. Dia terus berteriak-teriak keras. Kehening-heningan suasana dikeruhkan.
Warga cepat berhamburan.
Jalan becek tak dipedulikan.
"Ada apa. To, mas" Ada apa?" tanya satu te-tangga.
"Sampean ini, piye to" Pagipagi begini sudah teriak-teriak ndak karuan"!" tukas yang lain.
Kerumunan terbentuk, Di tengah kerumunan, lelaki setengah baya tadi terus kelimpungan. Sebentar diremas-remasnya rambut.
Sebentar-sebentar, matanya jelalatan mencari-cari. Wajahnya benar-benar kalang-kabut.
"Eling-eling, Mas!" tegur seorang warga, perempuan tua bertubuh gemuk yang masih memeluk guling jerami.
"Eling-eling, ndasmu! Aku masih waras!" maki si lelaki setengah baya.
"Lha terus kenapa sampean seperti orang kerasukan?"
"Biniku!"
"Bini sampean yang mana" Tukiyem, Samijem, Juminten, apa si Wuragil?"
"Wuragil, Mas! Wuragil!!! Aduh!"
"Kenapa bini mudamu itu" Kenapa Wuragil" Tak mau masakin sampean makanan?"
"Bukan!"
"Tak mau nyuci, nyapu, tidurnya ngorok?"
"Bukan bukan bukan! Waduh, sampean ini guoblok!"
"E, lahdalah! Jangan ngegoblok-gobloki sembarangan, to! Aku kan cuma belum ngerti si Wuragil itu kenapa. Kenapa sampean ini guooblok sekali"!"
"Memangnya Wuragil ndak mau sampean ajak tidur, Mas?" sela yang lain.
"Huss, ini masih pagi! Jangan ngomong yang ndak-ndak!"
"Hus hus hus! Kenapa kalian yang jadi ribut! Urusan Wuragil saja belum beres!"
"Iya, Mas! Bilang saja kalau Wuragil mau sampean cerai. Biar jandanya buat aku!"
"Diaaam, guooblok!"
"Ngomong, Mas! Ngomong!"
"Wuragil ada yang nyuliiiiiiik!" teriak lelaki setengah baya keras-keras.
Habisnya, orang-orang di se-kelilingnya malah ribut sendiri.
"Oooo, ada yang nyulik Wuragil to" Aku kira apa.... Eh, apa"! Wuragil ada yang nyulik"! E, lahdalah! Wong baru kawin seminggu, kok diculik" Tunggu setahun begitu, biar sampean puas dulu, ya Mas" Setelah itu baru...."
"Setelah itu baru ndasmu tak totok!"
"Siapa yang nyulik Wuragil, Mas"!" Lelaki setengah baya menjambak-jambak rambut. Mukanya terlipat-lipat.
"Aku sendiri tak percaya!" jawabnya.
"Tak percaya Wuragil sudah jadi bini sampean" Lha kok bisa gitu?"
"Bukan, guoblok!"
"Terus apa?"
"Tak percaya kalau Wuragil diculik. bocahbocah!"
"Ah, masa'" Sampean ndak ngelindur" Yakin ndak ngelindur!"
"Sampean ini mau nolong apa mau ngenyek" Jangkrik! Aku bilang betul. Si Wuragil diculik bocah-bocah! Sebesar-besar ini," lapor lelaki setengah baya sambil menempatkan tangan ke bagian pinggang, memberi tahu tinggi bocah-bocah yang telah menculik istri mudanya.
"He he he, ya wis. Bubar bubar! Si Mas ini cuma ngeguyon!"
"Juangkrik!!!" Saking dongkol dianggap cuma bergurau, lelaki setengah baya jadi kalap. Memang dia sudah uringuringan. Sekarang, ada yang mencoba cari-cari perka-ra. Tak ayal lagi, si lelaki setengah baya langsung melabrak orang tadi. Bogem setengah mentahnya muntah ke bibir orang itu.
Dugh! "Waduh, samfean ini ghimfana, to" Masa' aku difukul"!"
"Sudah sudah!" seorang penghulu desa kebetulan sudah tiba. Jika tidak, keributan antar warga bisa meledak di pagi buta.
"Sekarang, sampean ikut saja ke balai desa! Bi-ar urusannya diselesaikan di sana!" tegas, penghulu desa memerintah lelaki setengah baya untuk mengiku-tinya.
Begitulah cerita di Desa Pengging.
Sejak hari itu, kejadian yang sama berulang kembali di desa-dasa lain. Kejadiannya benar-benar serupa. Perempuan-perempuan muda diculik. Tak peduli perawan, atau bukan. Lajang atau janda. Dan kabar yang santer terdengar dari beberapa saksi mata di tempat kejadian, para penculiknya adalah sekawanan bocah yang usianya tak lebih dari lima-enam tahun! Tak cuma penduduk biasa, bahkan padepokan perguruan silat pun disatroni. Beberapa padepokan sempat kecolongan. Meski sempat memergoki dan berusaha untuk menangkap penculik-penculik kecil itu.
Tidak ada hasil. Seorang perempuan muda tetap hilang. Bahkan harus ditambah dengan beberapa murid perguruan yang mati mengenaskan di tangan bocahbocah itu. Semenjak itu pula, mulai santer desas-desus untuk sebutan mereka; "Pasukan Kelelawar".


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

SIANG itu tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Matahari bersinar sengit. Condong sepenggalan dari atas ubun-ubun. Panas bukan main.
Padahal hari-hari sebelumnya hujan masih bertandang. Penghuni bumi, dipersilakan untuk mengeluh.
Senandung alam tak pernah berubah dari waktu ke waktu. Pagi, siang, senja, atau malam. Entah hujan, mendung, badai, atau terang benderang. Senandung tetap berupa puji-pujian yang gaib kepada Tuhan Semesta Alam.
Berbeda dengan milik alam, senandung yang terulur dari mulut seseorang kali ini adalah sebentuk pujian pada sang kekasih pujaan. Kekasih pujaan" Mungkinkah dia hanya sedang menyenandungkan gurauan. Betapa tidak, dia adalah seorang tua bangka yang usianya mungkin sudah menjelang senja. Kepalanya berambut jarang dan tipis. Warnanya seperti rambut jagung. Wajahnya bulat, ditumpuki lemak.
Mengimbangi badannya yang subur makmur layaknya tanah Jawa Dwipa. Saking suburnya, perutnya pun hampir sebesar gentong. Punuknya tebal seperti Sapi Benggala. Lehernya nyaris tak kentara. Dengan tinggi yang kurang dari orang kebanyakan, makin buntal sa-ja penampilannya. Lelaki gemuk itu mengenakan pakaian berwarna kuning-kuning. Mencolok dalam suasana panas terik seperti saat itu. Lemak di tubuhnya yang mungkin terus bertambah setiap minggu menyebabkan bajunya menjadi mengetat. Akibatnya, sebagian lemak perutnya terlipat. Pusarnya pun 'jelalatan' ke mana-mana.
Mending kalau tidak bodong! Sambil melangkah berat, orang tua gendut menyandang senjata besar di bahu kiri. Berbentuk gada dari logam hitam sepanjang lengan. Pada pangkal gada tempat tangannya menggenggam, terdapat lukisan timbul berupa kepala babi bertaring besar. Cocok untuk dirinya.
Di belakang punggungnya, tergantung tas kulit besar sebuntal perutnya. Semua isinya makanan. Nasi ada. Daging ada. Tempe, ikan bakar, bahkan sampai jengkol dan sandal jepit dari kulit lembu. Yang terakhir, tentu saja bukan termasuk makanannya. Kecuali kalau sudah tak ada lagi yang bisa dimakan! Manusia satu ini, mungkin tak beda dengan kerbau. Mulutnya tak berhenti mengunyah. Tangan kanannya selalu rajin mengambil makanan dari dalam tas kulit besar.
Diselingi siulan centang-perentang ke manamana (terdengar lebih mirip suara kentut garing), si orang tua gendut bersenandung. Tak ada masalah sepanjang perjalanan. Peluh mengkuyupi pakaian, tak dipedulikan. Wajahnya yang memerah tergarang sinar matahari, tak mengurangi keceriaan.
Sampai seseorang mengusiknya.
"Berhenti, Orang Tua Gendut!"
"Berhenti?" ulang orang tua gendut tadi sambil tetap mengunyah, menyebabkan suaranya jadi tak jelas. Matanya melirik acuh ke arah penghadangnya.
Seorang lelaki lebih muda. Tampangnya berangasan.
Matanya seperti tidak pernah berhenti melotot. Dagunya kasar. Sudut bibirnya selalu terungkit naik. Kalau ada orang lihat, mungkin dikira habis perang besar dengan istrinya. Atau bisa juga dikira belum sempat buang air selama dua minggu! Pakaian orang ini serba hitam. Bahkan hingga ke ikat kepala.
"Kenapa?" susul orang tua gendut.
"Kau hendak ke mana"!" Orang tua gendut mengunyah sebentar.
"Ke Pengging," jawabnya kemudian.
"Kalau begitu, kau harus menjalani pemeriksaan terlebih dahulu!"
"Jangan ngaco!"
"Beberapa hari lalu, ada penculikan di Pengging."
"Apa urusannya denganku?"
"Penculiknya bocah-bocah."
"Sialan, kau anggap aku ini masih bocah"! Lihat pakai biji matamu, jangan pakai dengkul! Aku ini tua bangka! Eh, tunggu dulu.... Apa tadi kau berkata penculiknya bocah-bocah?"
"Betul!"
"Kok bisa begitu?"
"Mana aku tahu. Memangnya aku ini bapak moyang mereka"!"
"Maksudku, bagaimana orang-orang bisa kecolongan hanya oleh para bocah" Itu kan peristiwa yang menggelikan. Hi hi hi, apa di Pengging semua orang begitu tolol?"
"Peduli setan apakah kau menganggap peristiwa itu lucu atau tidak. Yang jelas, kau harus ikut aku sekarang ke Balai Desa.
Aku telah dibayar mahal oleh seorang saudagar yang menjadi sesepuh desa untuk menyelidiki semua orang asing yang berniat memasuki Pengging."
"Kalau aku tidak sudi?"
"Ku paksa!"
"Boleh coba!" Jago bayaran memasang kuda-kuda. Siap membekuk orang tua gendut. Kalau bisa dengan sekali gebrakan.
"Terima ini!" Berkawal seruan menggelegar, si jago bayaran bertampang sadis mulai membuka serangan. Dari caranya menggebrak, kentara sekali dia bukanlah sejenis petarung kampungan yang cuma memiliki ilmu kanuragan cetek.
Wukh! Tangannya mematuk cepat. Jari telunjuknya mengarah ke satu titik jalan darah tersembunyi di bagian leher lawan. Satu titik yang terlalu sulit mengingat leher lawan terlalu rapat karena kegemukan. Gelagatnya, akan dibuatnya satu totokan pelumpuh. Dari serangan pembuka tersebut, bisa diketahui kalau si jago bayaran, bukanlah sejenis orang telengas, bertolak belakang dengan wajahnya. Kendati badannya seperti sulit untuk diajak bergerak, orang tua gendut ternyata tak kalah cepat menggerakkan tangan kanannya. Tangannya terangkat. Dua jarinya menyambut kedatangan totokan jari lawan. Tep! Si jago bayaran sempat dibuat terkesiap sekejapan. Jari telunjuknya ternyata telah dijepit dua jari lawan. Secepatnya ditariknya tangan, menyadari kemungkinan lawan hendak mematahkan jarinya.
"Hih!" Jari itu tak bisa ditarik kembali dengan mudah.
O, unjuk kebolehan, geram si lelaki bertampang bengis, merasa ditantang. Tanpa menunggu terlalu lama, dia mengerahkan tenaga dalam ke ujung jari telunjuknya. Jika semula dia berusaha menarik karena terdorong oleh gerakan refleks, sekarang jari telunjuknya justru terus ditekan ke depan, tetap mengarah pada leher si orang tua gendut.
Merasakan lawan mulai menyalurkan tenaga dalam lebih kuat ke jari telunjuknya, orang tua berperut gendut tak tinggal diam. Berselang amat singkat, dia pun cepat memompa tenaga dalamnya ke dua jari yang menjepit telunjuk lawan.
Rttttakk! Terdengar tulang jemari bergemeletak. Sekejapan saja, jari yang saling terpagut itu menjadi berubah warna. Memerah. Juga mengejang bagai hendak terbetot putus. Sementara wajah kedua petarung ikut memerah, layaknya kepiting rebus, kendati tak menampakkan perubahan mimik.
Semestinya, kedua petarung itu tahu bahwa tindakan mereka sama saja mempertaruhkan jari untuk membuktikan keunggulan tenaga dalam masingmasing. Artinya, siapa yang memiliki tenaga dalam lebih rendah akan menerima akibat terputusnya jari! Di lain sisi, sebenarnya mereka bisa menghindari adu tenaga dalam yang mempertaruhkan bagian tubuh yang selamanya tak mungkin mendapatkan ganti itu. Salah seorang dari mereka bisa melakukan serangan dengan tangan yang lain atau dengan kaki.
Namun tindakan itu sama sekali tak dilakukan. Keduanya tampak begitu yakin dengan kemampuan tenaga dalam masing-masing.
Sekitar sepuluh tarikan napas ke depan, si orang tua gendut tampak mulai terdesak. Tanpa diduga, lawan yang berusia lebih muda nyatanya memiliki tingkat tenaga dalam satudua tingkat di atasnya. Wajah si orang tua gendut mulai menegang. Keringat sebesar biji jagung keluar di sekujur wajah dan lehernya.
Dua jari penjepitnya bergetaran hebat.
Mendapati perubahan wajah lawan, si jago bayaran menaikkan sudut bibir, seolah mengejek. Dia tahu posisi sedang di atas angin.
"Kau hendak mematahkan jariku" Ayo, patahkanlah!" cemoohnya dengan suara tertekan-tekan.
Si orang tua gendut tahu kalau diteruskan, bisa-bisa telunjuk lawan akan memecah jepitan dua jarinya. Bukan lagi jalan darahnya akan tertotok, melainkan lehernya akan berlobang! Sementara kalau dia harus melepaskan jepitan jarinya, maka dia harus menghadapi kemungkinan lehernya lebih cepat tertembus jari lawan. Apa akalnya untuk menghindari setiap kemungkinan berbahaya itu" Dengan sedikit 'bermain kayu', si orang tua gendut menyemburkan sisa makanan dalam mulutnya.
"Phuaaaah!" Sisa makanan yang hanya berupa, remahanremahan kecil melesat lurus ke wajah lawan.
"Curang!" maki lelaki berwajah garang seraya mencondongkan badan ke belakang.
Semburan lawan lewat satu jengkal di atas wajahnya, meluruk terus dan memangsa satu batang pohon besar seukuran pelukan manusia. Besss! Layaknya butiran peluru panas, remah-remah makanan tadi menembus batang pohon hingga keluar di sisi lain! Sewaktu lelaki bertampang seram sedang blingsatan mencondongkan tubuh ke belakang, tentu saja tenaga dorongan jarinya menjadi mentah seketika.
Dengan begitu, si orang tua gendut terbebas dari an-caman. Dia pun gesit memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan jepitan tangannya. Cepat pula dia membuang tubuh ke belakang seperti bola karet besar yang terpantul di permukaan tanah. Gusar bukan main lelaki bertampang seram.
Sebelum perkelahian berlangsung lebih jauh....
"Tunggu dulu!" tahan orang tua berbadan subur.
"Aku tak mau ribut-ribut.
Sebaiknya begini saja.
Kuberi kau kesempatan untuk menjajal kesaktian. Kalau aku kalah, aku akan ikut denganmu. Jika kau yang kalah, kau harus membiarkan aku berjalan sesuka ku." Jago bayaran mendengus. Apa manusia kelebihan lemak ini mengira tugasnya cuma tai kucing" Sepertinya dia terlalu menganggap main-main.
"Jangan bengong begitu" Berani apa tidak?" Kalau ditantang, jadi perkara lain buat jago bayaran. Seorang jago, pantang menolak tantangan.
Apalagi hanya dari seorang aneh yang lebih mirip jin botol dan sejenisnya itu ketimbang seorang manusia warga dunia persilatan.
"Kau menantang ya, Orang Tua Gendut?"
"Terserah kau mau menganggap apa."
"Jadi!"
"Mau 'jadi' apa" Kecoa" Kutu air?"
"Maksudku, aku menerima tantanganmu!" Orang tua gendut nyengir kuda. Sumringah sekali.
"Karena aku yang menantang, maka aku yang akan menentukan aturan mainnya," katanya lagi, mau enak sendiri.
Tangan orang tua berperut gentong itu lalu mengambil sesuatu dari tas besarnya. Ketika telapak tangannya dibuka, tampaklah segenggam kacang kedelai. Seraya memperlihatkan pada jago bayaran, dia berkata "Begini aturan permainannya. Ku tebarkan segenggam kedelai ini ke udara.
Siapa di antara kita yang berhasil mengumpulkan biji paling banyak, maka dia akan memenangkan permainan." Sungguh satu tantangan yang akan membuktikan seberapa hebat ilmu meringankan tubuh dan kecepatan gerak mereka! Selain itu, kecepatan gerak membutuhkan pengaturan tenaga dalam ke otot-otot tertentu. Semakin kuat penyaluran tenaga dalam, maka gerak yang dihasilkan akan semakin cepat. Di lain sisi, jika tenaga dalam terlalu kuat dikerahkan, bisa-bisa tak ada sebutir kedelai pun yang utuh ketika tergenggam. Apalagi kedelai di tangan orang tua gendut adalah kedelai bakar yang nyaris garing. Artinya, dibu-tuhkan pula kepiawaian penyaluran tenaga dalam sampai batas ketelitian yang pelik! Tantangan seperti itu tentu saja tak akan dibuat oleh sembarang orang. Untuk banyak kalangan persilatan, tantangan macam itu memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Jauh lebih tinggi dari sekedar mengadu kekuatan tenaga dalam secara langsung.
Kendati tahu betapa sulitnya tantangan tersebut, tak tampak kegelisahan pada wajah jago bayaran.
Bibirnya malah menyunggingkan senyum samar.
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan orang tua gendut bergerak amat cepat.
Ssst! Wrrr! Potongan biji kedelai pun bertebaran di udara.
Terlampau cepat untuk dihitung. Si penantang rupanya sudah unjuk kebolehan saat menebar kedelai.
Kedelai mencelat bagai peluru. Jangankan menghitung, melihatnya saja sudah begitu sulit. Lalu bagaimana pula mereka dapat mengumpulkannya di udara" Pekerjaan yang tampak mustahil bagi siapa pun. Namun tidak bagi orang-orang yang memiliki ilmu kedigdayaan pada papan puncak dunia persilatan. Dan tampaknya jago bayaran adalah salah satu tokoh itu.
Buktinya....
"Heaaa!"
"Huaaah!" Berbarengan dua lelaki itu menyusul tebaran kedelai ke udara. Tubuh mereka melenting ringan bagai dua lesatan malaikat pencabut nyawa. Gerak mereka hanya tampak sebagai kelebatan dua potong bayangan. Bahkan orang tua gendut yang mestinya mengalami banyak kesulitan dengan bobot badannya, malah tak kalah hebat dengan orang yang ditantang.
Jleg! Nyaris berbarengan, keduanya tiba kembali di bumi. Kedua tangan mereka tergenggam. Sementara itu, tak ada sebutir kedelai pun sempat menyentuh tanah! "Sekarang buka tanganmu!" perintah orang tua gendut.
"Kenapa bukan kau lebih dahulu"!"
"Karena aku yang menantangmu!" ngotot orang tua gendut, lagi-lagi mau enaknya saja. Jago bayaran membuka telapak tangannya. Di tangan kiri ada sembilan butir kedelai. Tangan kanan dua belas butir. Semuanya masih dalam keadaan utuh pula! "Hi hi hi, kau pasti 'keok' kalau hanya bisa mengumpulkan sebegitu!" leceh orang tua gendut.
"Buktikan! Jangan cuma banyak mulut!" Giliran orang tua gendut membuka telapak tangannya. Tangan kanan terlebih dahulu. Di sana ada dua puluh butir kedelai! Mata jago bayaran dipaksa menyipit kagum. Kalau tangan kanan saja sudah bisa mengumpulkan sebegitu banyak, bagaimana jika ditambah dengan tangan yang lain"
"Kau masih ingin melihat kedelai di tangan kiri ku?" tanya orang tua gendut.
Jago bayaran tak menyahut. Dia tahu, posisinya mungkin saja sudah tak menguntungkan.
Tak menunggu jawaban, orang tua gendut membuka telapak tangan kiri. Ternyata... kosong! Namun, bukan berarti jago bayaran langsung merasa unggul. Dia yakin sekali, penantangnya senga-ja tak mempergunakan tangan kiri. Jadi selagi menjemput kedelai di udara, dia hanya mempergunakan sebelah tangan. Bisa dibayangkan betapa cepat tangan kanan orang tua gendut" Tiba-tiba lelaki seram bertampang tak sedap dipandang itu teringat sesuatu. Di dunia persilatan tanah Jawa, ada satu tokoh yang begitu kesohor dengan kecepatan tangan kanannya. Penyebabnya karena tangan kirinya agak lumpuh.
"Hi hi hi. Tangan kiriku memang kosong!" cengenges orang tua gendut.
"Kau.... Gendut Tangan Tunggal"!" tanya jago bayaran ragu, teringat satu julukan besar.
"Betul! Dan kau.... Pendekar Muka Bengis" Pendekar yang kerjanya hanya memburu upah itu, bukan"!"
"Aku tak menyangka kalau hari ini akan berjumpa denganmu, Gendut Tangan Tunggal!" Paras lelaki yang disebut sebagai Pendekar Muka Bengis itu memperlihatkan rasa senang.
"Aku pun begitu! Tak kusangka juga bahwa parasmu tak seperti yang kubayangkan!"
"Jadi, bagaimana wajahku dibanding yang kau bayangkan?"
"Kau ternyata jauh lebih jelek. Hi hi hi!" Lalu keduanya tertawa berderai-derai.
"Nah, urusan selesai. Sekarang, kau harus ikut aku! Ingat, kau telah kalah jumlah dalam mengumpulkan kedelai!" penggal Pendekar Muka Bengis.
"Eit, tunggu dulu!" sergah Gendut Tangan Tunggal. Dari mulutnya, dia melepehkan dua butir biji kedelai lagi.
"Aku menang satu biji!" serunya penuh kemenangan.
Heran, bagaimana manusia 'pemamah biak' itu bisa menahan mulutnya cukup lama agar tidak mengunyah dua butir kedelai bakar" Mestinya itu dianggap sebagai satu keajaiban!


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

DI sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ilalang jangkung, sebentang peristiwa mengagumkan sedang berlangsung. Seseorang tampak sedang mencelat-celat ringan di pucuk-pucuk ilalang. Geraknya lebih ringan dari seekor lebah atau lalat sekalipun. Dan lebih gesit dari seekor rubah muda.
Sesekali dia melenting ringan ke udara, mengapung beberapa saat bagai sedang mengendarai angin, lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang. Terkadang, dia mengibaskan sepasang telapak tangannya hingga menimbulkan tiupan angin kencang melibas setiap pucuk ilalang. Luar biasanya, potongan pada setiap ujung ilalang memiliki ukuran yang sama. Seakan baru saja ditebas oleh sebuah arit raksasa.
Orang yang melenting-lenting lebih ringan dari selembar bulu itu berusia cukup muda. Usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya demikian sedap dipandang. Bermata sarat dengan binar semangat hidup.
Berambut lurus sebahu, berwarna kemerahan. Berperawakan kekar dan gagah.
Sewaktu melakukan gerakan-gerakan yang hanya mampu dilakukan oleh para tokoh kelas atas itu, bulu-bulu halus pada rompi kulitnya bergeletaran diusik angin. Di kain ikat pinggangnya terselip seba-tang tongkat hitam sepanjang satu jengkal lebih. Satu ujungnya berbentuk kepala naga.
Sesekali siulnya mengalun.
Riang, renyah. Polos, lincah. Seperti tak ada sebentuk beban pun menjamah.
Sampai akhirnya pemuda itu tiba di dekat sebuah bukit kapur kering kerontang. Tak ada tumbuhan bisa hidup di permukaan bukit. Bahkan rerumputan yang biasanya bandel pun tidak. Di kaki bukit itu, ditemukannya mulut sebuah goa. Goa tersebut tidak terlalu besar. Tinggi mulutnya hanya satu setengah tombak. Lebarnya tak lebih dari dua depa. Namun kalau menilik bagian dalamnya yang demikian gelap, tentu goa itu amat dalam.
Pemuda berambut kemerahan sebenarnya tak tertarik sama sekali dengan bukit kapur itu. Begitupun dengan goa di kakinya.
Tak ada satu pun yang menarik untuk dilihat.
Sebaliknya, suasana di tempat itu lebih bisa disebut tak sedap dipandang. Terlebih untuk dinikma-ti. Kering, gersang, lengang. Tak jauh beda dengan pekuburan tandus. Dia lebih suka melanjutkan perjalanan ke arah barat.
Baru saja si pemuda hendak melanjutkan perjalanan, terdengar olehnya sebentuk suara dari mulut goa. Kepalanya menoleh.
"Suara apa itu?" tanyanya, Sejenak dia terdiam dengan pendengaran dipertajam. Ada suara desah angin yang terpantul dari dinding-dinding goa. Jika hanya suara itu, dia tak perlu menghentikan langkah.
Suara-suara seperti itu sudah cukup dikenalnya, biasa terdengar dari sebuah goa yang menghadap tempat terbuka.
Sementara suara yang didengarnya selintas tadi terdengar seperti suara dengkur kecil. Suara napas halus. Kendati muda, namun telinganya sudah begitu terlatih untuk membedakan suara-suara yang amat halus sekalipun.
"Apa jangan-jangan aku salah dengar?" bisiknya mulai ragu, setelah lama telinganya tak menemukan suara mencurigakan seperti sebelumnya.
Merasa dirinya cuma tertipu oleh angin, pemuda itu memutuskan untuk melanjutkan langkah. Lagilagi langkahnya urung. Sekali lagi didengarnya suara dengkur halus itu.
"Aneh juga," gumamnya. Sekali ini, dia tak ra-gu. Dia yakin telah mendengar sebentuk dengkur halus yang sebenarnya nyaris tersamar di antara desah angin.
"Siapa yang tidur tengah hari bolong di tempat ini" Di dalam goa sedalam ini, tentu hanya tua bangka yang berani tidur. Tapi yang kudengar kenapa dengkur halus?" Terpercik ketertarikannya.
Untuk benar-benar meyakinkan apa yang telah didengarnya, pemuda itu bersila. Dia bersemadi beberapa saat. Kekuatan dalam dirinya dipusatkan bulatbulat ke indera pendengarannya. Di antara desah angin yang membangun dengung asing tak teratur, makin lama makin jelas didengarnya suara dengkur halus. Semakin dia memusatkan pendengaran, bertambah pula dengkur halus yang terdengar.
"Ada sembilan dengkur halus berbeda," gumamnya kembali, setelah membuka mata. Semadinya selesai.
"Aku yakin itu dengkur bocah-bocah yang usianya tak lebih dari limaenam tahun. Apa yang dilakukan mereka di dalam sana" Apakah mereka tersesat di lorong dalam goa. Mereka tak bisa keluar lalu tertidur karena kelelahan?" Timbang punya timbang, pemuda berambut kemerahan itu akhirnya memutuskan untuk memeriksa perut goa. Siapa tahu memang benar ada anakanak desa setempat yang tersasar dalam lorong goa, pikirnya. Goa dimasuki. Suasana asing terasa. Asing bukan karena pemuda itu sebelumnya tak pernah menjejakkan kaki di tempat gelap dan lembab itu. Melainkan keasingan yang sulit dijelaskan. Terasa dia sedang melangkah dalam alam yang lain. Tak sampai tiga langkah melewati mulut goa, entah kenapa jantung pemuda itu berdetak lebih keras. Mengeras, dan akhirnya menjadi sengit.
"Aneh." Sekali lagi dia menggumamkan kata tersebut.
Tujuh tombak lebih ke dalam, kelengangan meringkus total. Tak ada selintas bunyi apa pun. Bahkan detak jantung terpacu dalam dadanya sendiri sampai terasa olehnya. Itu pun aneh. Dan kemungkinan besar akan makin banyak keanehan akan ditemui semakin ke dalam dia masuk. Apa mungkin begitu" Menyadari banyak keanehan, si pemuda berambut kemerahan mulai waswas. Tanpa sadar dikerahkannya ilmu meringankan tubuh sampai tingkat tertentu. Langkahnya jadi demikian ringan. Bahkan sampai tak terdengar.
Segala bisikan hatinya menjadi buyar seketika manakala dirinya diserang tiba-tiba oleh bau busuk menyengat hidung. Bau teramat memuakkan. Tak seperti bau bangkai, tapi lebih menyengat. Nyaris muntah si pemuda dibuatnya.
Lebih parah lagi, bau busuk itu seperti menerjang langsung ke dalam otaknya.
Mendadak kepalanya menjadi memberat. Pening dibayangi rasa mual. Buru-buru dia mendekap hidung.
Tapi, itu tak cukup menolong. Agar dia tak pingsan di tempat, mau tak mau dikerahkannya hawa murni ke saluran pernapasan. Dengan cara itu, dia bisa bertahan sampai masuk lebih dalam nanti. Bau apa ini" Apa ini yang orang bilang bau dedemit borokan" Rutuknya membatin.
Pemuda berambut kemerahan terus berjalan.
Sudah telanjur basah untuk kembali. Apa pun yang terjadi di dalam sana nanti, akan dihadapi. Baik itu keadaan yang membutuhkan uluran tangannya. Atau sebaliknya, akan mengancam jiwanya sendiri! Lama kelamaan, dia merasa lantai goa tempatnya berjalan semakin menurun saja. Hawa semakin lembab. Dingin meningkat dan akhirnya terasa menusuk.
"Sialan, apa lagi yang akan kutemui nanti?" gerutunya jengkel.
Mulai pula dia meragukan dugaannya. Jika sebelumnya dia menganggap ada bocah-bocah yang membutuhkan pertolongan, sekarang dia tak yakin lagi. Bagaimana mungkin bocah-bocah kecil sanggup bertahan dengan bau busuk mematikan dan dingin kelewatan" Bagaimana mungkin mereka bisa tidur hingga mendengkur" Apa jangan-jangan, ada orang sakti yang mengusili dirinya" Atau tokoh sesat kalangan atas yang ingin mempertunjukkan kedigdayaan" Keterlaluan kalau benar begitu! Sampai kedalaman tertentu, dinding goa terlihat berpendar keputihan. Ruangan jadi remangremang, cukup untuk menyaksikan seluruh bagian goa. Mata si pemuda dibuat terbelalak manakala menyaksikan sesuatu di sepanjang langit-langit goa di bagian tersebut.
Ada sembilan bocah seumur yang rata-rata hanya lima-enam tahun sedang menggelantung di langit-langit. Kaki mereka melekat pada langit-langit. Se-dangkan kepala mereka menjuntai ke bawah. Dengan tangan terlipat di dada, mereka mirip sekali dengan sekawanan kelelawar! Kelopak mata kesembilan bocah itu terpentang lebar. Semula si pemuda berambut kemerahan mengira bocah-bocah ajaib itu sedang menatapnya dengan tatapan menghunus. Nyatanya tidak. Biarpun mata terbuka, mereka sebenarnya sedang tertidur. Dengkur halus yang terdengar oleh telinga si pemuda sebelumnya adalah dengkur mereka.
Mata mereka itu.... Hati pemuda berambut kemerahan bergidik. Ada sesuatu yang ganjil pada bola mata kesembilan bocah ajaib.
Mata mereka tak seperti layaknya mata manusia. Jauh lebih mirip dengan bola mata kelelawar. Kemerahan. Sementara warna hitamnya tegak memipih.
Mengamati kaki sembilan bocah yang melekat pada langit-langit goa, si pemuda dibuat berdecak dalam hati. Bagaimana mungkin manusia mampu menempel seperti seekor cecak" Dilakukan oleh bocah pula" Karena terlalu dirasuk ketercengangan, tak sadar decak pemuda itu akhirnya terlahir. Dalam ruangan tertutup dan berdinding rapat seperti itu, tentu sa-ja suara decakan jadi amat jelas terdengar.
Bukan cuma itu. Suara decaknya telah pula mengusik tidur sembilan bocah aneh! Diawali dengan gerakan kepala, satu bocah terjaga. Matanya kini benar-benar terhujam pada sang tamu tak diundang.
Bengis. Pandangan yang terasa berhawa anyir. Pemuda berambut kemerahan bergidik bukan main. Kakinya tersurut mundur. Lalu....
"Khaaaiiiikh!" Bocah yang mula-mula terjaga melepas lengkingan panjang. Seperti suara seekor kelelawar terancam bahaya. Dan bagi kelelawar liar, tanda bahaya da-ri satu anggota kawanan akan diterima dengan cepat oleh yang lain. Rupanya, hal itu pun berlaku bagi kawanan bocah aneh. Delapan bocah yang lain terjaga.
Bagai menerima satu komando, serentak mereka melepas lengkingan panjang.
"Khhaaaaiikh!" Goa digempakan.
Dindingnya bergetar dan berguguran.
Saat yang sama, tubuh si pemuda seperti disentak oleh satu kekuatan raksasa kasat mata. Dia ter-lempar ke belakang.
Menghantam dinding telak-telak, menciptakan lobang besar. Untung saja langitlangit di atasnya tak cukup rapuh. Jika tidak, tentu dia sudah terkubur hiduphidup. Dari mulut pemuda berambut kemerahan termuntah darah segar. Tak dinyana lagi, teriakan gabungan sembilan bocah ajaib mengandung tenaga dalam amat tinggi.
Namun, si pemuda sendiri tampaknya bukan sembarang pemuda. Kendati tubuhnya baru saja menghantam dinding goa hingga hancur, kendati mulutnya memuntahkan darah, dia masih sanggup bang kit kembali. Kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba mengenyahkan rasa pening luar biasa.
Bukan. Dia memang bukan pemuda tak punya nama. Atau pemuda desa dungu. Dia adalah seorang tokoh muda persilatan tanah Jawa yang julukannya mulai sering berseliwer keras di telinga warga persilatan lain. Satria Gendeng. Murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa sekaligus; Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit! Berdiri kembali dengan posisi agak gontai, si pemuda menyaksikan kesembilan bocah berlompatan turun. Amat ringan, layaknya tokoh-tokoh persilatan kelas atas, mereka menjejak lantai goa. Berjajar mereka berdiri. Sikap kental permusuhan diperlihatkan.
Dari tatapan mengerikan, atau dari gurat wajah mere-ka.
"Siapa kalian ini sebenarnya?" tanya Satria Gendeng. Kewaspadaan ditingkatkan sepenuhnya. Tak ada sahutan terdengar. Kecuali hanya geraman berkeliaran di sepanjang dinding goa Satria Gendeng bergidik. Sedang berhadapan dengan apa atau siapa dirinya" Mungkinkah dengan binatang-binatang liar ajaib berwujud manusia" Atau anak-anak siluman penghuni goa"
"Aku datang ke sini dengan niat baik. Kukira kalian membutuhkan pertolongan. Jadi, tak ada niat sama sekali untuk mengusik kalian atau mencari permusuhan," coba Satria kembali.
Hanya embikan kambing congek yang pantas tak mendapat jawaban. Satria bukan jenis itu. Dia agak kesal karena perkataannya tak mendapat jawaban semestinya. Tapi, dia sadar juga bahwa bocahbocah di hadapannya kini bukan seperti bocah kebanyakan.
"Baik, kalau kalian tak suka aku di sini, aku akan keluar," kata Satria, akhirnya. Bukannya dia takut dengan sikap mengancam kesembilan bocah itu.
Dia hanya tak ingin mencari perkara dalam urusan yang sama sekali tak jelas. Hanya membuang tenaga percuma. Satria mundur perlahan. Tetap siaga. Tangannya diangkat ke depan, mencoba meyakinkan kesembilan bocah yang tak cuma ajaib tapi juga liar itu.
Sialnya, setiap kali Satria melangkah mundur, sembilan bocah di depannya pun maju setindak. Jaraknya jadi tak kunjung menjauh. Dia tak mungkin berbalik badan dan pergi begitu saja. Bisa-bisa diterjang dari belakang.
Satria menarik napas. Dadanya masih terasa sesak.
"Baik. Apa mau kalian sebenarnya" Kalian mau aku meminta maaf karena telah mengusik tidur kalian" Baik, aku minta maaf. Sekarang apa lagi?" tanya Satria Gendeng, kejengkelannya sekarang mulai tak bisa diam. Satu orang bocah menggeram dengan nada tinggi. Sebelah sudut bibirnya terungkit, memperlihatkan gigi taring. Geramannya itu berarti untuk yang lain. Delapan bocah di belakangnya mulai melangkah maju. Satria menepak kening sendiri.
"Tolol sekali aku ini! Terang saja mereka tak mengerti perkataan ku. Biar sampai berbusa aku 'membacot', mereka tetap tak akan mengerti. Rupanya mereka berbicara dengan bahasa isyarat sendiri!" Jadi bagaimana jadinya sekarang" Delapan bocah yang jelas-jelas memiliki kehebatan tak main-main mulai melangkah maju.
Naga-naganya, Satria hendak dipermak. Iseng-iseng, Satria si pendekar muda yang sifatnya terkadang agak lugu mencoba ikut-ikut menggeram. Siapa tahu kesembilan bocah itu mengerti.
"Grrrrrr... grrr... grrrr!" Sampai perut si pendekar muda mulas sendiri, kedelapan bocah itu tak menghentikan langkah.
Kacau balau, pikir Satria. Kalau dia menggeram sekali lagi, jangan-jangan malah diartikan lain. Bisa saja dikira hendak menantang bersabung.
Jadi bagaimana ini" Satria Gendeng kehilangan akal. Dia cuma bisa menggaruk-garuk jidat...


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

PENDEKAR Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal saling berangkulan. Seru, sekaligus blingsatan. Memang keduanya belum pernah bertemu sama sekali. Namun, sikap mereka seperti dua orang sahabat lama yang telah berpisah selama puluhan tahun dan baru bertemu kembali hari itu.
"Aku tak menyangka akhirnya bertemu dengan orang yang sudah demikian lama begitu ingin kutemui!" seru Gendut Tangan Tunggal sambil mengangkat-angkat tubuh Pendekar Muka Bengis yang dirangkulnya.
"Aku juga begitu, Gendut Tangan Tunggal! Tapi jangan kau 'kocok-kocok' aku seperti ini! Isi perutku bisa keluar semua!" erang Pendekar Muka Bengis, sesak dihimpit tangan dan perut kawan barunya.
"Oh, maaf Muka Bengis," ucap Gendut Tangan Tunggal seraya melepaskan rangkulan bernafsunya.
"Ngomong ngomong, kenapa kau begitu ingin berjumpa denganku?" tanyanya kemudian.
"Karena aku...," wajah Pendekar Muka Bengis tertekuk.
"Aku tak tahulah! Sepertinya, aku cuma merasa memiliki kesamaan denganmu."
"Kesamaan?" gumam Gendut Tangan Tunggal sambil membanding-bandingkan tubuhnya dengan lelaki depannya. Wajah tak sama. Apalagi bagian leher ke Bawah. Lalu, apanya yang sama"
"Kau tentu tahu maksudku! Sebagai seorang satria, kita sama-sama punya kekurangan!" Ya, kendati namanya berkesan sadis, Pendekar Muka Bengis sebenarnya masih dapat digolongkan sebagai tokoh persilatan golongan lurus. Di balik wajah sangarnya, terpendam sifat-sifat seorang satria. Hatinya tak seburuk parasnya.
Sifat-sifatnya itu terlihat nyata dari sepakterjangnya. Dia menerima pekerjaan sebagai orang bayaran hanya bila pekerjaan yang diterimanya menyungkut penegakan keadilan dan penumpasan kelaliman. Selain itu, dibayar sekarung uang emas pun dia tak akan sudi! Memang, seorang satria sejati tak memandang pamrih. Apalagi urusan imbalan jasa. Namun, rambut boleh sama hitam, pendapat, dan keyakinan orang berbeda-beda. Pendekar Muka Bengis berpikir dengan cara menjadi seorang jago bayaran dia tak perlu memburu kelaliman. Karena, orang akan segera mendatanginya untuk meminta tolong memberantas perkara itu.
Bukan dengan begitu dia tak sudi membela orang lemah jika tak ada bayaran. Untuk membela kepentingan beberapa orang lemah yang menyangkut nyawa, dia bahkan rela hanya dibayar dengan seikat singkong mentah atau sekeranjang telor ayam! Aneh memang.
Tapi, begitulah cara yang ditempuh Pendekar Muka Bengis! Lain Pendekar Muka Bengis, lain pula Gendut Tangan Tunggal! Meski samasama tokoh persilatan golongan lurus, cara yang ditempuh Gendut Tangan Tunggal berbeda pula. Dia memilih untuk terus melan-glang. Jalan ke sana, jalan ke sini. Ngalor-ngidul, nge-tan-ngulon. Setiap saat dia menemukan angkara murka, maka dia akan langsung turun tangan.
Tak ada manusia sempurna. Kejelekan Gendut Tangan Tunggal cuma satu. Mulutnya sulit berhenti mengunyah makanan! Makanya biarpun menggelendang sana-sini, bobot tubuhnya tak pernah turunturun. Dijamin! Sifat-sifat mereka itulah yang dianggap sebagai 'kekurangan' oleh Pendekar Muka Bengis.
Yang namanya Gendut Tangan Tunggal, tetap saja tak bisa memahami maksud kawan barunya.
Otaknya mungkin sudah kelewat rapat dibungkus lemak! Mendengar kata 'kekurangan', dia malah memperhatikan kembali badan borosnya.
"Badan sesubur ini, apa kekurangannya" Selama ini, yang ku tahu aku justru 'kelebihan'," gumamnya tak kentara. Tanpa peduli lebih lanjut, diambilnya sepotong besar ubi rebus dari dalam tas besar.
Pendekar Muka Bengis menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah! Begini saja, kau tetap seorang satria yang ingin menegakkan keadilan dan membasmi angkara murka, bukan?" aju Pendekar Muka Bengis, setelah menolak tawaran ubi rebus dari kawan barunya.
"Ya ya ya," sahut Gendut Tangan Tunggal dengan mulut penuh dengan ubi rebus.
"Bagaimana kalau kau ikut aku menuntaskan masalah ini?"
"Masalah apa?"
"Bocah-bocah itu."
"Bocah-bocah yang melakukan penculikan" Ah, kupikir tadi kau cuma bergurau. Jadi kejadian itu benar-benar terjadi?"
"Lalu, buat apa aku bersedia dibayar orangorang desa dengan seikat rumput?" Gendut Tangan Tunggal terperangah. Ubi di mulutnya sampai tersembur.
"Kau cuma dibayar dengan seikat rumput"!"
"Ya, untuk makanan sekandang kerbau yang diberikan sekaligus untukku," gurau Pendekar Muka Bengis.
"Hi hi hi. Sialan kau!"
"Jadi bagaimana" Apa kau mau bekerjasama denganku menyelesaikan perkara ini" Jangan khawatir, kau akan menerima bagianmu! Lima ekor kerbau jantan!"
"Hey, menerima bayaran bukan gayaku!"
"Bagaimana dengan daging kerbau pangganya?" Gendut Tangan Tunggal meringis. Lidahnya bersilap-silap.
"Kalau itu yang kau tawarkan, mana mungkin aku bisa menolaknya" Hi hi hii!"

* * *



Satria Gendeng benar-benar jadi diserang oleh sekawanan bocah-bocah ajaib. Beriring geraman serempak pertanda kemarahan menggelegak, delapan bocah yang maju sebelumnya langsung membuat terkaman ke depan.
Delapan lawan yang menyerang sekaligus tentu bukan perkara enteng. Dibutuhkan kecepatan patukan seekor ular dan kejelian seekor elang untuk menghadapinya. Terlebih para penyerangnya memiliki kehandalan tarung yang hebat. Untunglah pendekar muda itu bukan tergolong orang berkepandaian tanggung.
Godokan dan gemblengan yang diterimanya dari dua tokoh besar ditambah pengalamannya selama turun ke dunia persilatan, sudah cukup dapat diandalkan untuk menghadapi serangan semacam itu.
Meski tak membentuk kepungan terlebih dahulu karena keadaan goa tak cukup lebar, serangan kedelapan bocah ajaib ternyata benar-benar serempak.
Waktunya nyaris bersamaan dengan kecepatan yang sungguh mengagumkan. Tiga bocah yang paling depan menerkam dengan tangan membentuk cakar. Sasarannya tubuh bagian tengah Satria Gendeng. Seperti gelombang, tiga bocah lain di belakangnya membarengi. Mereka menerkam ke arah badan bagian atas. Sementara dua bocah yang lain menggelundungkan badan cepat dan tangkas. Kuda-kuda Satria Gendeng hendak dilantaknya.
Satu-satunya cara paling jitu untuk menyelamatkan diri bagi Satria Gendeng adalah membuat pula satu gebrakan sekaligus.
Yang dapat melumpuhkan semua titik serangan para lawan. Jika tidak begitu, ada kemungkinan satu terjangan akan lolos. Padahal dalam satu pertarungan berbau maut, kecolongan pada gebrakan awal akan sangat berpengaruh besar bagi keselamatan jiwa si petarung. Terkadang pula bisa turut menentukan kekalahan atau kemenangannya.
"Heaaaaa!" Satria menggelundung cepat, berlawanan arah dengan gulingan dua bocah penyerangannya. Dengan cara itu, dia berhasil menghindari enam titik serangan lawan sekaligus. Namun, belum berarti telah terhindar dari dua titik serangan sisa yang dilakukan oleh dua bocah menggelinding.
Dak! dakh! Dengan dua kakinya, Satria Gendeng berusaha memapak serangan dua bocah yang berguling. Dia tak berniat membuat serangan balasan mengingat lawanlawannya masih di bawah umur.
Pertimbangan manusiawi seperti itu nyatanya membuat dia jadi rugi sendiri. Karena dengan amat tangkas, dua bocah yang menggelinding menangkap sepasang kakinya. Seperti kerang, keduanya menjepit kaki si pendekar muda dalam posisi setengah telentang. Pada saat yang sama, enam bocah yang sebelumnya menerkam membuat satu akrobatik cantik di udara. Mereka saling mengaitkan tangan untuk membalikkan arah serangan sebagian dari mereka. Tiga bocah yang di atas mengayuh tangannya agar tiga bocah lain yang melayang di bawah mereka berbalik arah.
Dengan kaki terkunci, akan amat sulit bagi Satria Gendeng menghindari serangan tiga bocah yang datang dari atas. Untuk melepaskan kuncian pada kakinya, tak akan mudah dilakukan dalam waktu yang demikian mendesak. Sementara kalau dia tetap berusaha untuk melepaskan kuncian, maka tiga bocah yang meluncur dari atas akan meremukkan dadanya.
Satria yakin itu. Sebelumnya saja dia sudah merasakan bagaimana kehebatan tenaga dalam bocah-bocah itu. Mau tak mau, Satria Gendeng melepas Kail Naga Samudera-nya.
Ruas-ruas batang kail pusakanya membentang.
Srt wukh! "Maaf!" seru Satria, merasa terpaksa bertindak kasar. Cletar! Bersama kejapan cahaya pelangi, tali Kail Naga Samudera membantai serangan ganas tiga bocah di udara.
"Aaaaaiikkh!" Ketiganya menjerit berbarengan. Seperti ekor naga mengamuk, tali senjata pusaka Satria Gendeng menyampok dada mereka cepat bergilir. Mereka terpental kembali ke udara. Langit-langit goa tertinju tubuh mereka. Ketika itulah terdengar guruh amat keras.
Seperti suara gempa yang bergeliat dari dasar bumi dan berbaur dengan suara guruh. Satria Gendeng tercekat. Sama sekali tak disangkanya kalau hantaman tubuh ketiga bocah itu akan menggugurkan goa! Mereka semua bisa mampus terkubur di dalamnya! "Hei, lepaskan kedua kakiku!" hardik Satria kelimpungan setengah edan.
Dua bocah yang mengunci kakinya malah menggeram. Kiamat, pikir Satria. Kenal saja belum, sudah mengajak-ngajak ke neraka! Kalau mau mampus, kenapa tidak sendiri saja! "Lepaskan aku! Kalian mau terkubur hiduphidup di dalam goa ini" Tidak, kan" Aku sendiri tidak! Sungguh!" Satria mencerocos. Memang begitulah ke-biasaannya saat sedang kebingungan. Jawaban yang didapat lagi-lagi cuma geraman.
Sialan sekali! Baik, putus Satria. Jelas-jelas dia tak sudi mati konyol, Jadi, jangan salahkan dia kalau dia bertindak kasar lagi pada anak di bawah umur itu.
"Maafkan aku!" serunya, seraya mengayun kembali Kail Naga Samudera.
Cletar! Seperti dengking dua anak serigala, dua bocah yang mengunci kakinya menjerit. Keduanya kontan terpental jauh. Sengaja Satria tak menyalurkan tenaga dalam penuh. Namun karena kemukjizatan senjata pusaka yang sanggup melipatgandakan kekuatan pemiliknya ke dalam cambukan tali kail, tanpa diduga membuat kedua bocah ajaib tadi memuntahkan darah segar dari mulutnya.
"A, cilaka!" rutuk Satria. Rambutnya diremas geram. Bisa berdosa kalau dua bocah itu mampus, pikirnya. Sementara itu, langit-langit goa mulai runtuh.
Batu-batu yang membentuk taring runcing berjatuhan, siap menembus siapa saja yang berada di bawahnya.
Gemuruh makin riuh. Kiamat kecil sedang berlangsung. Satria Gendeng tak bisa berlama-lama menyesali tindakannya terhadap para bocah ajaib.
Blingsatan dia bangkit.
Memburu, dikerahkannya segenap kemampuan peringan tubuh untuk keluar dari perut goa. Hanya berjarak dua tiga tombak di belakangnya, batu sebesar setengah kerbau jantan berjatuhan seperti mengejar-nya. Tiba di mulut goa, kiamat kecil di dalam sana mencapai puncaknya. Seluruh langit-langit goa berguguran tandas. Debu bersemburan keluar. Batu-batu bercelatan. Suara riuh yang terpendam mengakhiri se-galanya.
Satria berdiri terpaku. Seperti orang tolol, dia cuma bisa bergumam sendiri.
"Kasihan sekali kalian. Mati muda sebelum sempat mencicipi kedewasaan. Padahal aku belum lagi tahu siapa kalian sebenarnya!" Lalu desah nafasnya terdengar.
Berat berbeban.

* * *



Sesuai kesepakatan, Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal akhirnya memulai pencarian sembilan bocah yang telah menggemparkan dunia persilatan hari-hari belakangan. Percuma kalau hanya menanyai semua orang asing yang berniat memasuki Pengging. Belum tentu mereka berkaitan dengan urusan tersebut. Bila butuh air, tentunya jalan terbaik adalah menemukan sumber mata air. Dalam perkara ini, untuk menyelesaikannya tentu harus mencari dulu biang keladinya. Begitu pikir Pendekar Muka Bengis. Gendut Tangan Tunggal sendiri, tak berpikir apa-apa. Dia lebih suka memikirkan persediaan makanan di tas besarnya. Sampai detik itu, mereka belum jelas benar apakah penculikan yang dilakukan oleh sembilan bocah yang mulai santer dengan julukan Pasukan Kelelawar itu didalangi seseorang atau tidak. Setidaknya, mereka harus membekuk terlebih dahulu sembilan bocah penculik itu untuk mendapatkan keterangan.
"Jika dipikir-pikir kembali, tak mungkin sembilan bocah kecil bisa meledakkan kegemparan dengan sepak-terjangnya. Besar kemungkinan, ada seorang tokoh sakti yang berdiri di belakang mereka," simpul Pendekar Muka Bengis dalam perjalanan mereka ke arah utara. Mereka memutuskan untuk mengambil arah tersebut sesuai keterangan beberapa saksi mata di sekitar Pengging.
Gendut Tangan Tunggal mengangguk-angguk.
Pendekar Muka Bengis meneruskan, "'Si Dalang' itu bisa saja telah menurunkan beberapa kesaktian pada Pasukan Kelelawar.
Atau lain kemungkinan.
Pasukan Kelelawar dikendalikannya. Lagi pula, apa gunanya bagi bocah-bocah belum cukup umur seperti mereka menculiki para perempuan?"
"Jangan tanya aku. Mana aku tahu...," tukas Gendut Tangan Tunggal asal bunyi.
Selagi santai berjalan, keduanya tiba-tiba dikejutkan oleh kelebatan seseorang yang melintas amat cepat dari arah depan. Angin lari orang itu membuat jagung bakar di tangan Gendut Tangan Tunggal terpental. Jangan tanya betapa kekinya Gendut Tangan Tunggal.
"Kadal bunting!" sambil memaki, orang tua berbadan boros itu mengejar jagungnya yang sebenarnya cuma tinggal tersisa satu dua gigitan lagi.
Pendekar Muka Bengis tak begitu peduli pada tingkah tengik Gendut Tangan Tunggal. Apalagi pada jagungnya! Dia lebih tertarik untuk segera menghadang orang lancang yang lewat tanpa permisi tadi.
"Berhenti kau!" Mengerahkan ilmu lari cepat yang dimiliki, dikejarnya orang tadi. Lamat-lamat dilihatnya sosok orang yang dikejar. Seorang pemuda baru besar tapi, kalau melihat caranya lari seperti setan kesiangan, Pendekar Muka Bengis jadi bertanya-tanya dalam hati.
Apa mungkin seorang pemuda memiliki ilmu lari cepat yang demikian hebat" Sebab pada kenyataannya, kendati sudah mengejar cukup jauh jarak antara dirinya dengan orang yang dikejar tak kunjung menyusut. Bahkan berkalikali dia nyaris kehilangan jejak.
Ah, dunia persilatan belakangan ini jadi makin sulit dimengerti, rutuk Pendekar Muka Bengis membatin. Belum lama tersiar kabar bahwa ada sembilan bocah ajaib membuat beberapa kalangan persilatan kedodoran. Sekarang, ada lagi pemuda tanggung yang ilmu lari cepatnya membuat lelaki bermuka sangar itu kedodoran pula.
Sampai tiba di dekat muara sungai kecil, Pendekar Muka Bengis jadi juga kehilangan jejak. Sial benar! Pikirnya. Sayang buruannya lolos. Padahal, dia sudah curiga bahwa buruannya berhubungan dengan Pasukan Kelelawar. Setidak-tidaknya, Pasukan Kelelawar dengan buruannya barusan punya kesamaan. Mereka sama-sama muda dan memiliki kepandaian tinggi. Bedanya cuma pada pertautan usia saja.
Selagi celinguk sana celinguk sini, seseorang mendadak mendarat turun di depannya.
Jleg! Tentu saja hal itu menyebabkan Pendekar Muka Bengis Kaget bukan kepalang. Disangkanya orang itu hendak melakukan serangan mendadak. Ketimbang terkapar karena diserang, lebih baik menyerang terlebih dahulu, pikirnya.
"Mampus kau!!!" Pendekar Muka Bengis melepas pukulan jarak jauhnya. Tenaga dalamnya tergolong disegani di dunia persilatan. Dengan bekal seperti itu, pukulan jarak jauh yang dilancarkannya bisa amat berbahaya bagi siapa saja. Satu pukulan jarak jauh yang amat khas miliknya adalah pukulan 'Puting Beliung'. Pukulan yang membentuk pusaran-pusaran angin sebesar kepala manusia. Setiap pusaran sanggup menciptakan lobang sebesar pintu gubuk di karang keras! Bahayanya, karena pukulan ini berpusing, maka arahnya jadi sulit terduga.
Whuss! Dua pusaran pukulan jarak jauh menerkam.
Dari sepasang telapak tangan Pendekar Muka Bengis.
"Heaa!" Sasaran berteriak dan mencelat kembali ke udara. Tempatnya mendarat hanya sempat dijadikan jejakan secepat kilat. Di udara, tubuhnya membungkal. Pukulan 'Puting Beliung' seperti mengejar.
Sadar sejenis pukulan langka sedang dihadapi, orang tadi membentang tubuh seketika, lalu berpusing miring dalam satu rangkaian gerak memukau. Putaran tubuhnya amat kuat, searah dengan pusaran angin pukulan lawan. Karenanya kejaran pukulan 'Puting Beliung' menjadi kacau. Usahanya tak sia-sia. Meski agak sungsang-sumbel, pukulan jarak jauh yang tergolong sulit itu dapat dihindarinya.
Gemas bukan main Pendekar Muka Bengis. Kalau ada miliknya yang bisa disombongkan, maka pukulan 'Puting Beliung' adalah salah satunya. Di dunia persilatan, pukulannya itu bahkan punya keangkeran sendiri. Jarang ada orang bisa luput darinya. Beberapa tokoh persilatan malah memilih untuk memapaki pukulan itu dengan mengambil resiko terluka karena menganggap sia-sia untuk menghindarinya Menurut sebagian kalangan, pukulan 'putting Beliung' seperti punya mata dan nyawa sendiri! Tapi menghadapi orang yang ternyata pemuda yang belum lama menjadi buruannya, pukulan kebanggaan Pendekar Muka Bengis dapat diperdayai demikian rupa! Pendekar Muka Bengis tak sudi percaya! Masa' seorang pemuda bau kencur bisa berbuat itu" Di atas satu tangkai bunga liar, pemuda tadi hinggap. Tak kalah ringan dari seekor lebah.
"Tunggu!" serunya menyaksikan Pendekar Mu-ka Bengis hendak melepas pukulan jarak jauh lagi.
"Kenapa kau menyerangku begitu rupa"!"
"Jangan pura-pura! Kau hendak mencelakai ku, bukan"!" balas Pendekar Muka Bengis.
"Itu fitnah! Aku tak berniat menyerangmu. Justru aku mengira kau punya niat jelek dengan membuntuti ku! Sebenarnya, kenapa kau membuntuti aku?" susul anak muda itu.
Pendekar Muka Bengis menyipitkan mata. Diperhatikannya orang di depan. Seorang pemuda berambut kemerahan. Mengenakan rompi bulu putih keabuan dari kulit binatang. Rasa-rasanya, dia pernah mendenyar selentingan kabar tentang ciri-ciri anak muda satu ini. Tapi kapan" Di mana"
"Siapa kau sebenarnya?" aju Pendekar Muka Bengis. Pertanyaan pemuda di depannya barusan tak dipedulikan.
"Bukankah semestinya aku yang bertanya begitu?"
"Alah, buatku yang lebih tua, itu boleh-boleh saja!"
"Kalau begitu, jawab dulu pertanyaanku. Baru kujawab pertanyaanmu!" tandas si pemuda, tegas. Wajahnya yang tampan namun berkesan lugu tak berubah.
"Sial benar. Baik, kau tanya apa tadi?"
"Kenapa Kakang membuntuti ku?" ulang si pemuda.
"Karena kau lari. Kalau kau tak lari, mana mungkin aku buntuti?"
"Aku ingin tahu alasanmu, Kang."
"Kau mencurigakan!"
"Apa setiap orang yang berlari mencurigakan" Apa Kakang pikir aku maling jemuran?"
"Bukan maling jemuran! Aku berpikir kau itu semacam maling perempuan!" Si pemuda bertampang lugu malah cengengesan. Tawa renyahnya terdengar.
"Kakang bisa saja bergurau!"
"Aku tak bergurau sialan! Aku sedang memburu bocah-bocah kecil yang telah menculik beberapa orang perempuan belakangan ini. Aku curiga padamu.
Biarpun tampangmu tidak menunjukkan kalau kau bocah di bawah umur. Tapi...."
"Tapi aku memang bukan maling perempuan, bukan?"
"Mana aku tahu!" Seseorang datang dan memberangus pertengkaran mulut itu. Gendut Tangan Tunggal telah menyusul pula.
"Hoooi, ada apa ini"!" teriaknya, belum lagi sampai.
"Aku curiga padanya!" lapor Pendekar Muka Bengis.
"Curiga kenapa?" tanya Gendut Tangan Tunggal sambil mengusap keringat yang membanjir di bagian pusarnya.
"Ah, apa aku harus menjelaskan juga alasan ku mencurigai pemuda ini padamu"!" bentak Pendekar Muka Bengis, dongkol.
"Kalau kau sudi...," sahut Gendut Tangan Tunggal.
"Jelas aku tidak sudi!"
"Cukup-cukup!" Si anak muda menengahi.
"Sebaiknya kalian menjelaskan saja padaku. Biar perkaranya tidak jadi ruwet seperti ini!"
"He-eh, kau kira kau ini siapa menyuruh kami menjelaskan persoalan"!" cemooh Pendekar Muka Bengis, gengsinya tersenggol sedikit oleh perkataan si pemuda.
"Aku tak menyuruh. Cuma meminta."
"Sudah biar aku saja. yang menjelaskan kalau kau tidak mau...," sela Gendut Tangan Tunggal. Sikapnya yang selalu santai itu sering bikin banyak orang jadi mangkel. Termasuk Pendekar Muka Bengis.
"Terima kasih Pak Tua Gemuk," hatur si pemuda.
Sebentar Gendut Tangan Tunggal menggarukgaruk kulit perutnya, hingga terdengar suara lucu seperti dengkur kakek-kakek.
"Ngomong-ngomong, dari mana aku mulai menjelaskannya?" tanya kemudian pada Pendekar Muka Bengis. Wajahnya tak berdosa sekali. Pendekar Muka Bengis cuma bisa meringis kesal.


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

SATRIA Gendeng tak bisa tidak dibuat tercengang-cengang di tempat berdiri. Goa sudah runtuh.
Ruangannya sudah tertutup oleh timbunan batu sama sekali. Batu yang beratnya saja sudah bisa membuat keledai jadi perkedel. Mulut goa bahkan sudah tak berbentuk lagi.
Satu-satunya keyakinan Satria saat itu, sembilan bocah di dalam goa sudah mampus. Mau tidak mampus bagaimana lagi" Tapi begitu baru beberapa saat dia berdiri terpaku di depan reruntuhan goa, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri batu-batu besar bergeseran seperti ada sebentuk kekuatan raksasa bergeliat dari dalam.
Dan tak lama berselang, muncul kepala berukuran kecil. Mendeliklah Satria.
Itu salah seorang bocah yang ditemuinya! Satu persatu, mereka keluar. Tubuh mereka dipenuhi debu dan pasir berkapur. Tapi yang namanya tubuh mereka, tak ada sedikit pun luka.
Bahkan sekadar goresan kecil! "Astaga, badan mereka dibuat dari adonan besi atau apa?" gumam Satria terpesona. Bahkan dia terus terbengong-bengong seperti sapi bodong sementara kesembilan bocah ajaib tadi sudah keluar semua dan berdiri berjajar. Mata bocah-bocah itu melalapi Satria dengan tatapan ganas.
Satria baru tersadar ketika salah seorang dari mereka mengaum keras.
"E-eh, mau apa lagi bocah-bocah ini?" tanya Satria, mulai waspada. Orang-orang tua bilang, 'jangan jatuh pada lobang yang sama'. Kalau sudah mengalami sesuatu sebelumnya, jangan sampai tidak belajar setelah itu. Yang dia tahu sebelumnya, kalau salah seorang bocah menggeram, maka kedelapan bocah yang lain akan segera melakukan serangan. Kalau sekarang mengaum, apa bukan tak mungkin mereka berniat merencah-rencah dagingnya" Kekhawatiran si pendekar muda tak terbukti.
Bocah-bocah ajaib ternyata malah bergerak seketika dari tempatnya berdiri. Bukan untuk melakukan serbuan, melainkan melarikan diri! "Heei, tunggu!" cegah Satria.
Dikejarnya mereka.
Sampai dia berpapasan dengan dua orang di tengah jalan, bocah-bocah itu tak terkejar. Akhirnya, dia kehilangan jejak di dekat muara sungai kecil, tempatnya bertemu dengan Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal.
Satria selesai memaparkan ceritanya pada kedua warga persilatan yang baru ditemuinya. Gendut Tangan Tunggal tak jadi menjelaskan apa pun. Sementara, Pendekar Muka Bengis yang sifatnya keras kepala malah menyudutkan Satria terus dengan kecurigaan-nya. Mau tak mau, Satria yang akhirnya menjelaskan kenapa dia harus berlarian seperti maling jemuran.
"Jadi, kau telah berurusan langsung dengan Pasukan Kelelawar itu?" Pendekar Muka Bengis men-gajukan pertanyaan, belum lagi Satria cukup mengambil napas.
"Bocah-bocah itukah yang kalian cari?" tanya balik Satria.
"Ya ya, betul! Betul apa tidak, Muka Bengis?" sergah Gendut Tangan Tunggal, sok tahu.
"Kalau menilai penuturan mu barusan, aku yakin merekalah Pasukan Kelelawar yang menggemparkan dunia persilatan belakangan ini," ucap Pendekar Muka Bengis, membenarkan.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang telah mereka perbuat sampai begitu menghebohkan banyak pihak?" tanya Satria. Keingintahuannya terhadap bocah-bocah ajaib itu makin menyalanyala saja. Dengan singkat, Pendekar Muka Bengis pun menjelaskan. Satria mendengarkan penuh perhatian.
"Nah, kini giliran aku bertanya padamu. Siapa kau sebenarnya. Aku penasaran dengan dirimu. Rasarasanya aku pernah mendengar selentingan kabar tentang seorang warga persilatan yang berciri-ciri sepertimu...," susul Pendekar Muka Bengis, selesai menuntaskan penjelasannya.
"Aku Satria, Kang," ucap Satria, memperkenal-kan diri. Tangan disodorkan ke depan. Tapi, dasar Pendekar Muka Bengis memang besar adat, dia malah menepis tangan Satria.
"Tak perlu bersalaman segala! Aku juga tak per-lu namamu. Yang aku mau tahu, apa julukanmu. Kau memiliki ilmu lari cepat yang... ng lumayan. Jangan besar kepala dulu! Aku tak berniat memujimu. Aku hanya ingin mengambil kesimpulan, dengan begitu pasti kau warga persilatan!"
"Guruku menyebutku Satria Gendeng. Dan orang persilatan pun latah menyebutku begitu."
"Wait!" pekik Pendekar Muka Bengis tiba-tiba sambil menampar jidat sendiri.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga!" serunya berulang-ulang. Wajahnya langsung berubah.
Ketidakramahannya tahu-tahu mental entah ke mana.
"Kau menduga apa?" sela Gendut Tangan Tunggal, sejak tadi dia malah asyik mencukil-cukil sisa jagung di antara gigigiginya yang masih utuh, biarpun kuningnya tak tanggung-tanggung "Kau tak tahu" Satria Gendeng itu! Murid Panembahan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu! Murid Penembahan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu! Pendekar muda yang pernah bikin Perempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka kocar-kacir itu! Anak muda yang memegang senjata pusaka Ka...."
"Cukup cukup cukup, Muka Bengis! Kau pikir cuma kau saja yang pernah mendengar julukan anak muda yang hebat itu?" Hidung si pendekar muda kembang-kempis tak menentu mendengar semua pujian. Pujian yang sebenarnya sekadar cetusan rasa kagum dua tokoh berusia lebih tua darinya.
"Cuma yang tak jelas buatku, kapan kau pernah berjumpa dengan si pendekar muda Satria Gendeng itu?" tuntas Gendut Tangan Tunggal, ketinggalan kereta.
"Astaga...," perangah Pendekar Muka Bengis.
Bola matanya membalik ke atas. Ke mana saja telinga manusia gentong ini sejak tadi, makinya dalam hati.
"Aku sedang membicarakan anak muda ini, Gendut!"
"Maksudmu, anak muda ini yang berjuluk Satria Gendeng itu?"
"Iya!"
"Murid Ki Kusumo" Murid Dongdongka?"
"Iya iya, Gendut! Bukankah aku sudah bilang barusan"!" Mulut bulat Gendut Tangan Tunggal menganga lebar. Matanya mengawasi Satria seperti tatapan wadam yang bertemu perjaka genteng.
Satria meringis.
"Hi hi hi, aku senang berjumpa denganmu, anak muda gendeng!!" ledak orang tua rakus itu. Lantas diterjangnya Satria.
Dipeluknya, dirangkulnya, di-putar-putar dan dikocok-kocoknya. Belum lagi seruntun ciuman bernafsu ke pipinya. Gila juga! Tinggal Satria terengah-engah kehabisan napas. Mana bau badan Gendut Tangan Tunggal sudah seperti gudang bawang busuk! Apes! "Aku tak menyangka akan bertemu dengan anak muda jempolan sepertimu! Ini benar-benar hari baikku!" sorak Gendut Tangan Tunggal selesai melepaskan rangkulannya.
"Sekarang ceritakan padaku bagaimana kau dapat membuat kedodoran si tua bangka kejam; Iblis Dari Neraka dan nenek sihir jelek; Perempuan Pengumpul Bangkai"! Ayo cerita, aku mau dengar!" serbunya lagi.
Satria cengengesan lugu.
"Ceritanya panjang, Pak Tua."
"Tak apa-apa. Bila perlu kau bercerita sampai mau kiamat nanti, pasti aku dengarkan!"
"Dengkulmu, Gendut! Kau kira urusan kita sudah selesai!?" hardik Pendekar Muka Bengis, galak.
"Bagaimana dengan Pasukan Kelelawar"!"
"Oh, iya! Bagaimana kalau kau turut kami meringkus Pasukan Kelelawar itu, Anak Muda"!" usul Gendut Tangan Tunggal.
"Bagaimana, ya...," timbang Satria. Sebenarnya, persoalan Pasukan Kelelawar, masih terlalu awam baginya. Dia belum cukup jelas mengetahui duduk perkaranya. Kebetulan saja dia berurusan tanpa disengaja dengan mereka sebelumnya.
"Dia mau!" serobot Gendut Tangan Tunggal.
Aduh emak, mimpi apa Satria semalam"

* * *



Kembali ke Pasukan Kelelawar! Sementara itu, Pasukan Kelelawar terus berlari setelah lolos dari kejaran Satria Gendeng. Mereka menuju bagian barat tanah Jawa. Sampai di suatu tempat yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, mereka berhenti. Hari saat itu sudah luluh. Sinar dilumat oleh kegelapan me-remang. Di tanah pekuburan di atas bukit karet, mereka berdiri diam. Mengitari satu kuburan tua bernisan batu gunung. Bentuk nisan berbentuk tengkorak manusia. Tanpa nama, tanpa keterangan apa-apa di atasnya. Ada seseorang yang mereka nanti.
Pekuburan bisu. Kelenggangannya menghantui.
Gelap sudah tak terbendung kedatangannya berkawal kabut tebal. Di atas gundukan-gundukan tanah kuburan. Gumpalan putih tambun itu menggerayang perlahan ke mana-mana.
Detik merangkak dalam diam Pasukan Kelelawar. Mereka seperti sembilan mayat hidup kecil.
Kabut mendekat, seperti perlahan menyergap.
Kesembilan bocah kecil itu terundung tuntas. Hingga mereka, benar-benar tertelan. Ketika kabut sirna tepat di atas batu nisan besar, telah duduk bersila seseorang. Lelaki tua yang penampilannya lebih mirip hantu daripada manusia.
Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan kurus. Berkumis putih dan tebal. Berambut putih panjang. Lelaki tua itu bertelanjang dada. Seperti Pasukan Kelelawar, dia pun hanya mempergunakan kain cawat pembungkus berwarna hitam.
Bagian yang paling mengerikan pada wajah si lelaki tua adalah matanya. Sepasang matanya seperti tak pernah mengatup atau berkedip seolah tak memiliki kelopak. Biji matanya putih menyeluruh. Kulit di seputar mata berwarna hitam.
Tak bergerak. Bersidekap. Ketika lolong anjing hutan terdengar untuk pertama kali, tangan kurus berbalut kulit keriputnya bergerak perlahan. Terpentang ke depan. Lalu terpancarlah api merah terang dari ujung tangan lelaki tua itu.
Tak seperti wajarnya, api yang menjilat-jilat ke segala arah, api dari tangannya justru berbentuk lurus seperti gelaran kain panjang menyala. Lalu api tadi menyelubungi para bocah. Aneh. Mereka tak terbakar karenanya! "Apa yang telah terjadi pada kalian, Murid-muridku?" Mencelat suara serak menjangkit milik orang tua kurus. Mulutnya tak tampak bergerak. Begitupun pita suara dalam tenggorokannya. Kemungkinan besar, si lelaki tua berbicara dengan sembilan bocah yang disebut sebagai muridnya itu dengan mempergunakan kekuatan batin. Selubung api merah tipis itu menjadi penghantarnya.
Tanpa terlihat menggerakkan bibir, salah seorang bocah menjawab, "Seseorang telah mengusik tapa kami, Eyang."
"Siapa orang yang lancang itu?"
"Seorang pemuda, Eyang. Usianya tiga kali lebih tua dari kami. Dia membawa senjata berbentuk kail yang begitu ampuh...."
"Perlihatkan padaku!"
"Baik, Eyang." Lalu, dari bola mata bocah yang berdiri paling depan, menjulur keluar sebentuk dua gulung api kecil.
Kedua gulungan api menyatu di depan wajahnya. Dalam selimut api tipis orang tua kurus, gulungan api itu menyatu kembali.
Berkasnya memupus, lalu diganti-kan oleh wujud semu seseorang yang berdiri di antara lelaki tua dan Pasukan Kelelawar. Gambar maya yang telah direkam oleh otak si bocah dan kini diperlihatkan secara gaib kepada eyang gurunya. Siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng"
"Hmm, Kail Naga Samudera...."
"Eyang kenal dengan senjata miliknya itu?"
"Aku bukan saja kenal, bahkan tahu jelas dengan riwayatnya. Sudah demikian lama aku mengidamkan senjata pusaka itu untuk menyempurnakan kesaktianku." Sejenak suara gaib lelaki tua menghampa.
"Tapi, siapa bocah bau kencur yang telah memilikinya ini" Siapa dia" Bagaimana dia bisa memiliki benda keramat itu dalam usia yang demikian muda" Sementara, aku yang sudah berkubang usia belum juga sempat memegangnya...."
"Katakan pada kami, Eyang. Apakah kami harus merebut senjata pusaka itu darinya?"
"Tidak. Kalian selesaikan dulu tugas kalian.
Pemuda itu akan kuurus sendiri nanti!" Gurat wajah lelaki tua itu sedikit berubah. Matanya memancarkan angkara.
"Aku, Manusia Makam Keramat yang telah lama dilupakan orang, akan segera menjadikan bumi persilatan sebagai tempatku membangun kekuasaan! Dan Kail Naga Samudera harus terlebih dahulu kumiliki! Aku harus menjadi raja diraja! Penguasa di atas penguasa!"

* * *



Manusia Makam Keramat.
Adalah lelaki tokoh tua masa lalu yang telah mati di tangan seorang Prabu Pajajaran, jauh sebelum masa Prabu Siliwangi. Di masa itu, dia adalah seorang penjahat penganut ilmu sesat. Momok yang menakutkan segenap wilayah kekuasaan Pajajaran. Orang yang begitu berhasrat untuk merengkuh takhta raja.
Nama aslinya Arya Sonta, seorang pelarian dari Mataram yang kemudian menuntut ilmu kedigdayaan di tanah Parahiayangan. Ditakuti oleh setiap orang di penjuru Pajajaran karena satu ilmu sesat yang dimilikinya. Ilmu sesat itu sudah demikian langka sehingga hampir-hampir tak pernah ada lagi yang memilikinya.
Entah karena peruntungan, Arya Sonta keparat tanpa sengaja menemukan kitab ilmu sesat itu.
Saat itu, Arya Sonta telah berhasil berguru pada beberapa orang pertapa dan empu dari berbagai penjuru tanah Pajajaran. Setiap kali dia berhasil mene-lan ilmu-ilmu yang didapat, maka gurunya dibunuh secara licik. Ketidakpuasannya terhadap kesaktian membuat dia semakin haus dan haus. Dari satu tempat ke tempat lain, dia berguru lalu membunuh sang guru.
Suatu hari dia selesai menyerap ilmu-ilmu yang diturunkan salah seorang pertapa yang menyadari kesalahannya menurunkan kesaktian pada Arya Sonta.
Sayangnya, Arya Sonta telanjur pula mengetahui hal itu. Segera Arya Sonta berupaya menyingkirkan si pertapa. Jika sebelumnya dia tak banyak mengalami kesulitan membunuh guru-gurunya karena mereka tak pernah menyadari kebusukan hati sang murid, maka kini Arya Sonta harus berjuang keras.
Siasat liciknya tak bisa mengecohkan sang pertapa. Akhirnya keduanya terlibat pertarungan. Amat sengit. Bahkan berlangsung hingga dua hari dua malam tanpa henti. Malang tak dapat ditolak, nyawa sang pertapa akhirnya harus terlepas juga. Keris Arya Sonta menikam jantungnya.
Sebelum ajal menjelang, pertapa itu sempat mengutuk murid murtadnya. Arya Sonta tak akan mati dengan tenang. Jika ajal menjemputnya nanti, maka jiwanya akan terkungkung merana di antara gerbang dua dunia, antara alam nyata dan alam gaib.
Arya Sonta tak pernah menanggapi kutukan itu. Dia terus mengembarai tanah Pajajaran, menambah dan menambah ilmunya. Seminggu setelah pembunuhan itu, dia tersesat di Rimba Perawan. Menurut cerita-cerita, hutan tersebut adalah wilayah kekuasaan para mambang dan dedemit.
Nyali Arya Sonta tak pernah ciut. Dengan keangkuhannya, dia terus membelah Rimba Perawan.
Di tengah perjalanan, dia melintasi batas wilayah kekuasaan para mambang.
Penghuninya menjadi murka.
Satu mambang penguasa menampakkan diri saat itu juga di hadapan Arya Sonta.
Tahu dirinya akan dihukum oleh sang mambang, Arya Sonta tak terima begitu saja. Dia melakukan perlawanan keras. Segenap ilmu yang pernah diterimanya dikerahkan untuk mengalahkan mambang itu. Berhari-hari kedua makhluk dari dua alam berbeda itu bertarung. Pertarungan teramat panjang yang terpental bolak-balik dari alam nyata ke alam gaib atau sebaliknya. Pertarungan paling berat yang pernah dialami oleh Arya Sonta mengingat lawannya bukan lagi manusia.
Keberuntungan rupanya masih membiarkan kemenangan berada di pihak Arya Sonta. Mambang penunggu rimba dapat ditaklukkan. Arya Sonta yang tak pernah mengenal kata ampun untuk lawan, hendak membunuhnya.
Mambang penunggu hutan meminta pengampunan Arya Sonta. Dia berjanji akan menunjukkan satu tempat tersembunyi diperut Rimba Perawan, tempat terkuburnya satu kitab sakti. Tentu saja Arya Sonta tak menolak tawaran itu, karena perjalanannya memang hendak menambah kesaktian lebih banyak. Dari petunjuk sang mambang, lelaki berhati angkara murka itu mencari tempat terkuburnya kitab sakti.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya ditemukan. Kitab Sakti Penghuni Makam! Dari kitab itulah dia berhasil menguasai satu ilmu sesat yang kemudian amat ditakuti segenap penjuru Pajajaran.
Karena kerakusannya juga, dia tak menyadari bahwa ada halaman terakhir dari kitab tersebut yang hilang. Halaman terakhir itu menjelaskan bahwa Kesaktian Penghuni Makam bisa berakibat amat buruk bagi pemiliknya. Jika si pemilik menemui ajal, maka nyawanya tak akan diterima bumi dengan tenang. Dia akan terkunci di batas dua alam! Lalu kutukan pertapa dulu pun terbukti manakala Prabu Pajajaran yang sakti mandraguna berhasil mengalahkan kesaktian Arya Sonta, sekaligus mengi-rimnya ke penjara jiwa di antara dua alam....
ENAM KETIKA pagi datang, Satria Gendeng bersama dua rekan barunya terlihat berada di suatu tempat di batas wilayah Pajajaran.
Sebelumnya ketiganya telah bersepakat untuk meneruskan pencarian ke barat, arah yang terakhir ditempuh oleh Pasukan Kelelawar ketika dikejar Satria Gendeng. Karena malam menghadang, ketiganya bersepakat untuk beristirahat dahulu di tempat tersebut.
"Bangun, Gendut! Matahari sudah naik tinggi! Kita harus segera melanjutkan pencarian!" gebah Pendekar Muka Bengis.
Gendut Tangan Tunggal tidur telentang seenaknya di atas rumput. Dengkurnya tak pernah putusputus semenjak dia mulai merebahkan badan. Bahkan hingga Pendekar Muka Bengis membangunkannya.
"Hmmm nyam.., nyam...," ceracau Gendut Tangan Tunggal seraya membenahi liur yang berantakan di dagunya. Bukannya segera terjaga, orang tua tukang makan itu malah menggolekkan badan ke sisi lain. Tak cuma jago makan, rupanya dia pun jago tidur.
Pendekar Muka Bengis jadi mangkel. Ditendangnya pantat orang tua gendut itu gemas-gemas.
Tubuh buntal Gendut Tangan Tunggal bergulingan sejauh sepuluh tombak. Brengsek sekali, dia tak juga terjaga. Astaga, dia tidur atau mampus" Rutuk batin Pendekar Muka Bengis.
Satria yang sudah sejak kokok ayam jantan pertama terjaga, menjadi geli sendiri menyaksikan tingkah dua tokoh persilatan itu.
Gendut Tangan Tunggal akhirnya baru bisa terjaga setelah dua kali ditendang oleh Pendekar Muka Bengis. Bukan tendangannya yang membuat dia ter-bangun. Melainkan karena dia terguling kembali dan tercebur ke dalam mata air kecil! Beberapa saat kemudian, ketiganya benarbenar siap melanjutkan perjalanan.
"Bagaimana kalau sekarang kita mulai berpencar?" usul Satria.
"Kenapa, Anak Muda" Bukankah lebih enak berjalan bersama-sama seperti ini?"
"Tapi pekerjaan kita akan terhambat jika kita terus bersama. Akan lebih cepat kita menemukan Pasukan Kelelawar seandainya kita berpencar, bukan" Dua hari nanti, kita akan berkumpul kembali di tempat ini untuk melapor satu dengan yang lain..," dalih Satria Gendeng.
Pendekar Muka Bengis tampaknya mendukung usul si anak muda.
"Ya, Jika ada yang tak kembali, yang lain akan menyusul ke arah yang ditujunya.
Gagasan mu bagus! Kenapa aku yang lebih tua dan lebih banyak makan asam garam tak berpikir sampai sana?" timpalnya.
"Kau yang lebih muda dariku saja tidak, apalagi aku?" sela Gendut Tangan Tunggal.
"Ya, itu karena otakmu sudah terlalu malas diajak berpikir hal lain, kecuali makanan!" gerutu Pendekar Muka Bengis.
"Kau bilang apa?"
"Kubilang, dengan tubuh seperti itu, kau memang terlihat tampan," kelit Pendekar Muka Bengis.
Wajah Gendut Tangan Tunggal sumringah. Bibirnya tersenyum lebar-lebar.
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berpencar saja. Siapa tahu aku akan berjumpa perempuan cantik yang terpikat denganku. Bukankah tadi kau bilang aku tampan?" Satria Gendeng dan Pendekar Muka Bengis bu ru-buru berbalik dan melangkah pergi ke arah masing-masing. Mereka tak ingin diketahui sedang menahan tawa oleh si orang tua gendut.

* * *



Dua kali sepenanakan nasi Satria Gendeng menempuh arah yang dituju. Selama itu, tak ada satu tanda-tanda apa pun yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak Pasukan Kelelawar. Sampai suatu ketika, terdengar senandung membahana yang sengaja dilepas seseorang dengan ilmu mengirim suara.
Merangas. Udara terpangkas.
Sulit bagi Satria Gendeng untuk menentukan asalnya. Senandung yang menggetarkan itu seperti mencelat-celat dari satu ke lain tempat.
Ada yang terasa merasuk langsung ke benak si pendekar muda. Sebentuk gempuran batin yang terkandung dalam suara jarak jauh tadi.
Memaksa tubuhnya bergetaran.
Menggigil. Seperti ditenggelamkan dalam lautan es.
Satria sadar, ada seseorang mandraguna yang sengaja mengarahkan suara jarak jauh itu kepada dirinya. Memang tak cukup membahayakan. Hanya bisa mencoba membuat kegentaran nyalinya. Semacam gertakan istimewa. Namun begitu, bukan berarti bisa di-remehkan. Semakin lama gelombang suara itu menggoncang benak, akan semakin tersiksa dirinya.
Harus ada perlawanan! Satria pun berteriak.
"Berhentiiiiii!" Jangan sekali menjajal tenaga dalam si pendekar muda bau kencur. Karena tingkat tenaga dalamnya pada keadaan-keadaan tertentu bisa melimpah bagai gelegak lahar! Itu terbukti. Suara jarak jauh tadi terpancung seketika.
"Bedebah!" Meluncur makian gusar seseorang dari satu tempat. Satria Gendeng cepat menoleh. Ditemukannya seorang perempuan setengah baya. Kecantikannya masih demikian melekat di wajahnya. Bahkan tak kalah dengan wanita muda. Berambut panjang, hitam tergerai dengan ronce bunga melati. Pakaiannya resik.
Bergaun putih panjang dengan renda-renda indah. Belahannya memanjang hingga ke pangkal paha, memperlihatkan kulit nyaris seputih susu.
Entah kapan perempuan itu sudah berdiri di sana. Satria tak pernah mengetahui. Hanya, ketika matanya menemukan perempuan itu, langsung saja tercium wangi bunga melati. Keras, semerbak.
"Bocah ingusan dari mana kau sampai bisa mengungguli ajian 'Senandung Dewi Bunga'"!" Satria Gendeng terpana. Berkedip sekali rasanya rugi setengah mati. Mulutnya menganga. Sukursukur kalau liurnya tak jatuh. Terpesona dia akan ke-molekan yang ditawarkan perempuan tadi. Selama hidup, dia hanya mengenal satu dua wanita cantik.
Tresnasari salah satunya (Baca episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!) Perempuan satu ini, bukan cuma cantik. Wajahnya seperti menebat pesona pemikat.
"Sebut julukanmu, Anak Muda Ingusan! Jangan cuma bengong seperti itu!" hardik si perempuan cantik. Tubuhnya mencelat dari tempat berdiri. Melayang ringan di udara, dan hinggap tak lebih dari lima tombak di depan Satria Gendeng.
Satria masih melompong.
"Aku berbicara padamu, Pemuda Ingusan!" bentak perempuan cantik, lebih keras.
Barulah pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu tersadar. Dia tergagap.
"Aku" Kau tanya aku"!" Perempuan cantik berdehem, mengiyakan.
"Tanya apa?" susul Satria, ketololan.
"Julukanmu!"
"Lagi lagi julukan.... Kenapa setiap orang persilatan selalu menanyakan itu" Apa perlunya?" gumam Satria.
"Bicara yang jelas!"
"Begini, Bibi..."
"Aku bukan bibimu!" Mata indah perempuan itu melotot.
"Eh, begini Nona...."
"Kurang ajar, aku lebih tua darimu!" Makin besar matanya mendelik.
Satria garuk-garuk jidat.
"Begini ng... siapa pun kau, untuk apa menanyakan julukanku" Kupikir julukanku tak ada gunanya bagimu!"
"Berguna! Karena aku sedang mencari seseorang! Karena orang itu belum pernah kutemui dan hanya julukannya saja yang kuketahui, maka aku harus tahu julukan setiap orang persilatan yang kutemui."
"Siapa yang kau cari?"
"Apa pedulimu!"
"Barangkali aku bisa bantu."
"Anak muda ingusan macam kau" Ah, seberapa banyak kau kenal tokoh-tokoh persilatan dengan umurmu, heh"!" Secantik-cantiknya perempuan itu, kalau bicaranya selalu bikin hati pegal, lama-lama Satria jadi sebal juga.
"Kalau kau tak mau kubantu, ya sudah!" Satria berbalik. Langkahnya urung karena perempuan bergaun putih melompat melewatinya lalu menghadang.
"Kau pikir bisa seenaknya pergi setelah kau tak menjawab pertanyaan Dewi Melati." Belum selesai membentak, tangan perempuan yang mengaku sebagai Dewi Melati melayang cepat ke wajah Satria. Deras. Kukunya yang panjang dan diberi pewarna merah menimbulkan desing tajam.
Satria tak ingin wajahnya yang sudah cukup tampan jadi berantakan. Dia menoleh. Tangan Dewi Melati lewat hanya dua jari dari wajahnya. Tidak urung Satria merasakan pedih mendera. Denyarnya sampai terasa ke ubun-ubun.
"Kuku beracun...," desis Satria tak kentara. Pelajaran ketabiban yang didapat dari salah seorang gurunya sudah cukup menjadi modal untuk mengenali berbagai jenis racun.
Dewi Melati menyusulkan serangan dengan sabetan kuku menyamping. Masih dengan tangan yang sama. Swing! Satria mencelat ke belakang, mengambil jarak aman.
"Tahan! Bukankah kita tak punya urusan apa-apa"!"
"Salah! Kau telah menghinaku!" tepis Dewi Melati. Lantas diterjangnya lagi Satria Gendeng.
"Menghina"!" Sambil berkelit, Satria Gendeng memprotes. Matanya melotot. Dia merasa tak pernah menghina siapa-siapa.
"Kau telah mempecundangi ajian 'Senandung Dewi Bunga' milikku. Itu berarti kau telah menghina-ku!"
"Kalau begitu, aku minta maaf! Sungguh!" teriak Satria, kelimpungan dalam hujanan serangan lawan cantiknya yang membabi-buta.
"Tiada maaf bagimu!" Sekali lagi Satria Gendeng mengambil jarak.
Cilaka, serapah pendekar muda sakti itu dalam hati. Kalau begitu, urusannya bisa jadi runyam. Lebih runyam dari benang kusut! Kalau Dewi Brengsek ini tak memaafkan kesalahan yang tak pernah kuperbuat, pasti dia akan ngotot untuk menghukumku, pikir Satria. Kalau dilayani kemarahannya, berarti aku harus bertarung. Cuma orang gila yang mau bertarung mati-matian tanpa alasan. Tapi kalau menghindar, bukan tak mungkin dia akan mengejarku, pikir Satria lagi, mumet. Jadi, apa akalku sekarang" Tak ada cukup waktu untuk memikirkan jalan keluarnya. Dewi Melati sudah menerjangnya kembali seperti celeng hutan mabok duren. Namun, sempitnya waktu seperti itu tak menutup gagasan yang agak gila di benak si pemuda sakti.
Toh, si tua bangka Dedengkot Sinting Kepala Gundul memang mendidiknya untuk bertingkah sedikit gila. Jadi apa ruginya kalau dicoba" Maka.,.. Sraat! Satria tak menghindar ketika sambaran kuku Dewi Melati menyayat bahunya. Pakaian di bagian tangan robek, bersamaan dengan mengalirnya darah. Kalau sadar kuku lawan beracun, bukankah tindakannya itu agak gila"
"Kena kau!" pekik Dewi Melati kegirangan.
Satria mengeluh tertahan. Dia cepat terjengkang ke belakang. Di tanah, tubuhnya kelojotan.
"Makan racun ku itu!" maki Dewi Melati, puas.
Lalu dia melangkah santai, meninggalkan Satria yang masih terus mengejang-ngejang. Lebih parah dari cacing kepanasan.
Lebih sengit dari ayam disem-belih.

* * *



--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

SEPENINGGALAN Dewi Melati, Satria Gendeng benar-benar tak bergerak lagi. Selang beberapa saat kemudian, sebelah matanya tiba-tiba memicing. Melirik kanan-kiri. Setelah yakin perempuan cantik agak edan tadi sudah tak ada lagi di tempatnya, Satria Gendeng bangkit.
"Perempuan brengsek...," gerutunya sambil me-nepuki pakaian yang dipenuhi debu.
Luka di bahunya segera di balut dengan sobekan kain.
"Apa maunya dia sebenarnya" Siapa orang yang dicarinya?" tanyanya, pada diri sendiri. Agak penasaran juga dia. Tapi mengingat masih punya urusan penting, Satria akhirnya tak terlalu mau mempedulikan. Racun milik Dewi Melati sebenarnya sama sekali tak membahayakan dirinya. Terlebih mengancam nyawanya. Kalau sebelum itu tubuhnya menggelepargelepar, semata karena Satria Gendeng hanya berpura-pura. Pendekar muda itu memang kebal terhadap beberapa jenis racun. Penyebabnya karena di tubuhnya telah mendekam Ramuan Pulau Dedemit dan zat langka dasar Laut Selatan terdalam. Percampuran keduanya tidak hanya membentuk tenaga sakti yang bisa menggelegak sewaktu-waktu, tapi juga kekebalan terhadap racun. (Bacalah episode sebelumnya: "Tabib Sakti Pulau Dedemit") Akal bulusnya berjalan amat mulus! Sedikit luka tak mengapa. Yang penting urusannya dengan Dewi Melati jadi tidak bertele-tele. Seraya menggerutu ber-kepanjangan, Satria Gendeng meneruskan perjalanan.
Setengah hari terlewat. Sampai saat itu tetap saja Satria tak menemukan petunjuk tentang Pasukan Kelelawar. Bahkan hingga malam hampir turun kembali ke peraduannya. Menjelang senja yang demikian menua. pendekar muda itu tiba di dekat telaga kecil.
Sementara, Satria memutuskan untuk mengisi perut dahulu. Sejak bangun pagi, perutnya belum sedikit pun terisi makanan. Cacing-cacing di dalamnya sudah terus ribut meminta jatah.
"Hmm telaga ini tentu ada ikannya," harap Satria. Tentu sedap melahap ikan bakar di sore berhawa cukup dingin seperti kebanyakan wilayah Parahiayangan, pikirnya.
Tak perlu terlalu pusing memikirkan bagaimana cara mendapatkan ikan dari telaga itu. Satria meloloskan Kail Naga Samudera dari kain ikat pinggangnya.
Ruas kail membentang. Talinya menggelepar. Mata ter-latihnya yang setajam pandangan elang sesaat mengawasi permukaan telaga. Seekor ikan gabus besar muncul cepat ke permukaan, menciptakan gelombang kecil yang melebar.
Dengan kegesitan mengejar kecepatan gerak sang ikan, tangan si pendekar muda mengayun kail di tangannya ke belakang.
Kemudian mengayun amat cepat ke depan.
Wukh pyar! Logam pada mata Kail Naga Samudera berbentuk ekor naga menukik sengit, menembus permukaan danau tanpa menghasilkan percikan berarti. Pada sentakan berikut, mata kail sudah mencelat keluar dari air. Di atasnya ada seekor ikan gabus sebesar setengah lengan yang tertembus.
Satria tertawa kecil.
"Mengasyikkan juga," ucapnya.
Selama memiliki kail pusaka di tangannya, tak pernah sekali pun dipergunakan untuk mengail seperti sekarang ini. Ternyata mempergunakan benda pusaka itu untuk memancing cukup mengasyikkan.
Ikan gabus yang didapatnya sudah cukup untuk mengganjal perut. Perutnya bukan sejenis perut Gendut Tangan Tunggal. Kalau orang tua rakus itu bi-sa menyikat habis lima ekor ikan besar, satu ikan bagi Satria sudah lebih dari cukup. Kendati tak mempunyai alasan untuk mencari tambahan ikan, timbul keingi-nan Satria untuk mencoba mendapatkan ikan kedua.
Satria menunggu kembali gelombang kecil yang dihasilkan oleh ikan. Tak lama dilihatnya. Tangannya cepat bergerak mengayun kail pusaka. Wukh pyar! Sewaktu tangannya hendak membetot kail ke permukaan, ada sesuatu yang terasa tersangkut pada mata kail. Bukan ikan. Satria bisa memastikan, karena tali kailnya terlalu berat ditarik. Kalau pun ternyata ikan, tentunya seukuran manusia! Sebesar manusia" Ikan telaga apa yang berukuran sebesar itu.
Satria penasaran.
Kail ditarik dengan perasaan tegang. Mula-mula terlihat ikan gabus sedang yang telah tertembus masuk ke tali kail. Selanjutnya....
Manusia" Satria Gendeng benar-benar dibuat tercekat ketika ujung kail tiba di permukaan. Ternyata yang berada di ujung kail benarbenar manusia! Buru-buru Satria melompat ke dalam telaga.
Dia harus segera menolongnya. Siapa tahu orang itu masih bernyawa, timbangnya.
Hanya dengan berenang sebentar, dia berhasil menjemput tubuh orang malang itu. Diangkatnya ke tepi.
Orang yang ditolong lelaki berusia tiga puluhan.
Masih cukup tua dibanding usia Satria sendiri.
Dari keadaan tubuhnya, Satria yakin orang itu mengalami luka dalam. Kemungkinan besar, luka dalam itu pula yang menyebabkan dia hampir mati tenggelam.
Di bawah satu pohon cukup rindang, Satria mencoba memberikan pertolongan pertama.
Waktu berlalu. Api unggun menyala di tepi telaga. Satria telah menyiapkannya sejak tadi. Tubuh orang yang nyaris tenggelam dalam telaga dibaringkan di tepi api unggun. Biar suhu badannya normal kembali. Satria telah pula menyalurkan hawa murni dan memberikan pil untuk meringankan luka-luka dalam yang diderita orang itu. Selesai itu semua, dia tinggal menanti orang yang ditolongnya siuman. Sambil menanti, dia membakar dua ekor ikan yang didapat di atas api.
Menjelang waktu isya, orang itu akhirnya mulai siuman. Matanya mengerjap-erjap diterjang cahaya api unggun. Menemukan Satria sedang duduk tenang di depan api unggun, dia bertanya seraya berusaha bangkit.
"Siapa kau, Adik Muda?" Satria menoleh dan menahannya agar tidak bangkit.
"Jangan banyak bergerak dulu, Kakak. Beristirahatlah sampai aku bisa membawamu ke tabib di desa terdekat," katanya.
"Apakah kau yang telah menolongku?" tanya lelaki tadi.
Satria mengangguk.
"Aku kebetulan lewat. Kebetulan pula menemukan Kakak hampir tenggelam." Wajah lelaki tadi tampak lega, kendati pucatnya masih kentara.
"Apa yang telah terjadi pada Kakak sebenarnya?" susul Satria. Disodorkannya ikan bakar pada lelaki tadi. Baunya benarbenar mengundang selera. Ta-pi, tentu saja tak cukup untuk membuat lelaki tiga puluhan itu melahapnya langsung.
"Panggil aku, Suta. Aku terlibat pertarungan dengan seorang wanita cabul." Sebentar dia meneliti wajah penolongnya.
Lanjutnya, "Apa kau orang persilatan?"
"Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu, kau tentu kenal dengan Dewi Melati?" Dewi Melati" Satria teringat peristiwa siang tadi ketika berurusan dengan seorang perempuan yang dianggapnya agak edan. Bukankah perempuan cantik itu mengaku bernama Dewi Melati"
"Jadi semua ini ulah Dewi Melati?" Lelaki bernama Suta mengangguk.
Satria melepas ikan bakar yang sejak tadi dibolak-balikkan di atas api. Perkataan Suta membuatnya jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh cerita Suta hingga berurusan dengan Dewi Melati.
"Ada urusan apa Kakak Suta dengan Dewi Melati?" Suta menggeleng.
"Tidak ada urusan apa-apa?" tanya Satria, ingin meyakinkan jawaban Suta.
"Ya. Aku tak punya urusan apa-apa dengannya."
"Sialan!" maki Satria. Kedongkolannya pada sepak-terjang Dewi Melati muncul lagi. Apa maunya perempuan itu. Bagaimana dia bisa seenak perut memusuhi orang tanpa alasan jelas" Apa dikiranya dunia ini punya nenek moyangnya"
"Siapa yang kau maki, Adik Muda?"
"Ah, tidak Kakak Suta. Jadi, bagaimana ceritanya sampai dia berjumpa denganmu?"
"Aku sebenarnya sedang pulang ke perguruanku. Kudengar kabar, salah seorang murid putri perguruan kami diculik oleh Pasukan Kelelawar...." Kalau tadi Satria sempat memaki di mulut, sekarang dia mengutuk lagi. Cuma dalam hati. Dia tak ingin cerita orang yang ditolongnya jadi terganggu. Tadi Dewi Melati. Kini, Pasukan Kelelawar. Kenapa dua na-ma itu jadi sering kudengar" Bisik hatinya. Dan keduanya sama-sama membuat tenggorokan si pendekar muda terasa membengkak karena gusar.
"Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan Dewi Melati," Suta melanjutkan cerita.
"Dia menanyakan siapa diriku dan apa julukanku. Kukatakan padanya, aku cuma seorang murid perguruan silat biasa.
Aku tak punya julukan besar di dunia persilatan. Lalu, mulailah dia mencaci maki aku. Biarpun aku tak sebanding dengan kepandaiannya, aku tentu tak sudi diperlakukan begitu. Sebelum aku sempat marah, dia terlebih dahulu memaksaku mengatakan sesuatu yang tak kuketahui...."
"Mengatakan apa, Kakak Suta?"
"Aku dipaksa mengatakan, di mana beradanya seorang pendekar muda yang namanya membuat kegemparan di dunia persilatan belakangan ini. Karena aku tak tahu, aku tak bisa menjawab. Dia ngamuk besar. Diserangnya aku. Aku tentu saja berusaha bertahan.
Tapi tak berhasil. Hanya dalam satu dua gebrakan, aku dibuat terpental pingsan dan langsung terlempar ke dalam telaga!" Satria penasaran.
"Tadi Kakak Suta menyebut-nyebut tentang pendekar muda yang dicari Dewi Melati. Siapa pendekar muda yang kau maksud?"
"Satria Gendeng," jawab Suta.
Alis Satria bertaut serapat-rapatnya. Di samping terkejut, sekarang dia jadi tahu siapa orang yang sedang dicari-cari Dewi Melati. Yang dia tidak tahu, untuk apa perempuan itu mencari-cari dirinya" Sepanjang ingatannya, tak pernah sekali pun dia berjumpa dengan Dewi Melati.
Apalagi berurusan dengannya, sampai siang tadi.
"Aneh juga...," gumam Satria.
"Kau mengatakan sesuatu, Adik Muda?"
"Oh, tidak..., " kelit Satria.
"Apa Dewi Melati berkata pada Kakak Suta tentang alasannya mencari aku, eh Satria Gendeng itu?" kejar Satria lagi, makin penasaran.
Suta menggeleng.
Satria menarik napas. Dia makin 'geregetan' saja pada Dewi Melati.
"Sebaiknya Kakak Suta beristirahat. Besok pagi-pagi sekali aku akan mengantarmu ke tabib terdekat," kata Satria akhirnya.
"Bagaimana dengan ikan bakar ini?" tanya Suta seraya mengangkat panggang ikan pemberian Satria.
Sejak tadi, dia hanya memegangnya. Tak sempat makan karena diberondong oleh pertanyaan pemuda di depannya. Satria nyengir.
"Oh, iya! Aku 'hampir' lupa," katanya, malu ha-ti.
Keesokan harinya, Satria memenuhi janjinya untuk mengantarkan Suta ke tabib di desa terdekat.
Tabib ditemukan. Dengan begitu, Satria segera pamit.
Sebelum pergi, Suta menahannya.
"Aku lupa menanyakan sesuatu padamu, Adik Muda...," katanya di pintu rumah tabib.
Satria menunggu.
"Siapa namamu?" sambung Suta.
"Panggil aku Satria, Kakak."
"Satu lagi yang ingin kutanyakan."
"Apa?"
"Aku sempat melihat pancing yang kau gunakan. Bentuknya agak aneh. Aku jadi teringat pada kisah tentang senjata pusaka yang begitu diminati oleh kalangan persilatan...." Sejenak Suta mengawasi Satria. tatapannya seperti menyelidik. Satria jadi tak enak hati.
"Apa kaukah pendekar muda berjuluk Satria Gendeng itu?" tanya Suta, agak ragu.
Satria merasa tersudut. Dia tak bisa menyembunyikan jati dirinya lagi pada Suta. Pada dasarnya, pemuda lugu itu memang paling sulit untuk berdusta.
Dengan cengengesan yang khas, Satria akhirnya mengaku. Wajah Suta lantas dipenati suka-cita. Adalah satu kehormatan baginya bisa mengenal seorang pendekar muda murid langsung dua tokoh besar tanah Jawa.
"Kebetulan sekali kalau begitu," sambung Suta.
"Aku harus menyampaikan padamu bahwa Dewi Melati sempat kudengar menyebut-nyebut pula tentang Pasukan Kelelawar. Sayang aku kurang jelas. Namun, aku yakin itu ada hubungannya dengan maksudnya mencari dirimu." Tanda tanya untuk si pendekar muda tanah Jawa bertambah lagi...

* * *



Gendut Tangan Tunggal mengeluh karena siang begitu terik menukik di ubun-ubun. Keringatnya sudah membanjir. Semua ini gara-gara Pendekar Muka Bengis, gerutunya. Coba kalau tidak diajak mencari Pasukan Kelelawar, tentu dia sudah telentang pulas di bawah pohon rindang. Sudah begitu, susah sekali menemukan bocah-bocah ajaib pembuat onar itu. Padahal, besok siang mereka sudah harus kembali berkumpul kembali di tempat mereka berpisah.
Menyesal sudah tak berguna. Kendati tak henti berkeluh kesah, orang tua kelebihan lemak itu terus berjalan. Untuk sedikit menghibur diri, dia merogoh tas hitam besar di belakang punggungnya. Rogoh sana-rogoh sini, tak ada juga makanan ditemui. Sialan, makinya sebal. Persediaan makanannya pun habis.
Sialnya jadi lengkap hari ini! Belum, belum cukup lengkap. Ada lagi kesialan baru yang sungguh mati membuat Gendut Tangan Tunggal mulas karena jengkel tak tertolong. Pasalnya, seseorang tiba-tiba datang menghadang. Seorang perempuan. Dan Gendut Tangan Tunggal cukup kenal dengan perempuan itu.
"Mau ke mana kau, Gendut"!" tegur si perempuan penghadang. Caranya dan nadanya menegur sama sekali tak beradat. Terdengar kurang ajar di telinga Gendut Tangan Tunggal.
Biar jelek-jelek, dia kan lebih tua. Mana tatakrama orang yang lebih muda seperti perempuan yang menghadangnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk jengkel, kepalanya, seakan hendak merontokkan rambut sendiri.
"Iiiiih, mau apa kau menghadangku, Dewi Melati"!" tanyanya geregetan sekali.
"Aku mau tanya sesuatu, Gendut!"
"Jangan panggil aku terus dengan sebutan itu!"
"Sebutan apa" Gendut" Bukankah kau memang gendut" Apa aku harus menyebut mu 'kerempeng'" Kau tidak melihat kenyataan!"
"Tapi aku tersinggung! Setidak-tidaknya, kau menyebut julukanku dengan lengkap. Aku merasa lebih dihargai kalau begitu. Kalau kau terus panggil aku begitu sama saja kau hendak mencari perkara denganku!"
"Kita memang masih punya perkara yang belum selesai. Kau pernah punya hutang denganku. Sekarang aku akan menagihnya!"
"Sialan kau Dewi Melati. Memangnya aku berhutang apa?"
"Dulu kau pernah mengalahkan aku."
"Itu kan karena kau yang menantang!"
"Tapi, aku tak menerima kekalahan itu!"
"Ah, 'lihat kenyataan' Dewi Melati. Kepandaianmu memang tak sebanding denganku. Apa itu belum cukup?" tangkis Gendut Tangan Tunggal, me-makai perkataan Dewi Melati sendiri.
"Kalau begitu, aku tak akan mempersoalkan lagi perkara itu." .
"Bagus-bagus! Memang harus begitu!"
"Tapi dengan satu syarat!"
"Sialan! Kenapa kau tak...."
"Biarkan aku bicara dulu, Gendut!" jegal Dewi Melati, sengit.
Gendut Tangan Tunggal mengusap dada. Jantung orang tua macam dia sudah terbilang soak untuk menerima hardikan seorang perempuan kaleng rombeng macam Dewi Melati. Mudah-mudahan suatu hari mulutnya berbusa, kutuknya dalam hati.
"Aku mau kau memberi tahu aku, di mana Satria Gendeng?" lanjut Dewi Melati, tak memberi kesempatan untuk Gendut Tangan Tunggal.
"Satria Gendeng" Kau tanya pendekar muda itu" Hi hi hi!"
"Jangan tertawa, Gendut. Kau tambah jelek!" Gendut Tangan Tunggal langsung bungkam.
Paling sebal kalau dirinya disebut jelek. Kemarin kalau tidak salah Pendekar Muka Bengis justru menyebut-nya tampan. Jadi mana yang benar" Ah, perempuan kaleng rombeng itu saja yang sirik! "Apa yang kau tahu tentang Satria Gendeng!" serbu perempuan yang tak saja cerewet, tapi tersohor sangat genit itu.
"Aku tak akan mengatakan padamu di mana anak muda itu sebelum kau jelaskan alasanmu mencarinya!" tandas Gendut Tangan Tunggal, tegas. Dia merasa telah memegang kartu mati milik Dewi Melati.
Dewi Melati menggeram. Matanya menatap galak.
"Apa" Kau mau mengajak bertarung lagi?" tantang Gendut Tangan Tunggal. Ibarat permainan catur, dia telah menang satu langkah.
"Gendut! Keparat jelek bau bawang!" serapah Dewi Melati berpentalan. Tangannya sudah teracung, hendak melabrak orang tua berbadan boros di depannya.
"Ayo, seranglah aku! Aku tak akan memberita-hukan di mana anak muda itu padamu! Hi hi hi..." Gendut Tangan Tunggal makin senang menyaksikan kejengkelan Dewi Melati Sementara itu, Satria sendiri tanpa sengaja telah tiba pula di tempat tersebut. Mendengar ribut-ribut di kejauhan, dia segera mendekat. Di kejauhan disak-sikannya Gendut Tangan Tunggal. Begitu tahu siapa orang yang perang mulut dengannya, Satria mengurungkan niat untuk menghampiri mereka. Dia mengintai dulu di balik sebuah pohon besar.
"Katakan Gendut, di mana Satria Gendeng sebenarnya! Katakan! Katakan!" Dewi Melati menjerit-jerit di depan Gendut Tangan Tunggal sambil menjambak-jambak rambut sendiri. Kakinya menjejak-jejak tanah serabutan. Tingkahnya sudah mirip nenek-nenek pikun kehabisan sirih.
Kemarahan pada Gendut Tangan Tunggal yang tak kesampaian, dilimpahkan pada diri sendiri.
Gendut Tangan Tunggal jadi melongo. Satria pun melongo. Mereka lebih melongo lagi ketika menyaksikan Dewi Melati yang penampilannya sudah amburadul terduduk menangis di tanah. Terisak-isak sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan berkalikali. Nah lo" Hati-hati Gendut Tangan Tunggal mendekat.
Dia tak mau tiba-tiba perempuan itu mencakar wajahnya. Siapa tahu dia memang sudah sinting....
"Kau tak mau bilang padaku, kenapa kau mencari pendekar muda itu?" ucap Gendut Tangan Tunggal. Jadi kasihan juga dia menyaksikan perempuan itu.
"Hu hu hiik hik, beberapa hari lalu, aku dikejar-kejar oleh Pasukan Kelelawar! Aku hendak diculik seperti perempuan-perempuan lain. Mereka benar-benar anak dedemit. Aku berusaha melawan, tapi mereka hampir membuat aku mampus. Untung aku sempat lari...." Kepala Gendut Tangan Tunggal menggeleng sana-sini.
"Kau jangan ngaco! Aku tak tanya itu. Yang aku tanya, apa alasanmu mencari Satria Gendeng!" sem-burnya sengit.
Dengan mata sembab, Dewi Melati memelototi Gendut Tangan Tunggal.
"Ya, itu tadi! Aku ingin meminta dia melindungiku dari tangan Pasukan Kelelawar. Satu saat, mereka pasti akan kembali untuk menculik ku, Aku kan ngeri! Hiii...." Gendut Tangan Tunggal terkikik. Entah kenapa dia menganggap alasan perempuan itu menggelikan.
Satria di tempat persembunyiannya terus melongo. Jadi, cuma karena itu Dewi Melati mencaricarinya setengah edan"


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

KARENA Gendut Tangan Tunggal tak mau berhenti menertawainya, lama kelamaan Dewi Melati jadi bernafsu juga. Dibarengi jeritan gusar, jadi pula akhirnya diserangnya orang tua itu. Urusan unggul atau tidak, soal belakangan. Juga urusan keperluannya menanyakan keberadaan Satria Gendeng.
Pokoknya sekarang ini hanya ada satu keinginan Dewi Melati: mencakar-cakar kulit berlemak Gendut Tangan Tunggal.
"Hiiiiih!" Wukh! Kuku panjang Dewi Melati menyambar wajah Gendut Tangan Tunggal.
Hanya dengan mengandalkan tangan kanannya yang hidup, Gendut Tangan Tunggal menangkis. Selanjutnya gada di tangan itu terayun. Hanya dengan mengerahkan kekuatan otot pada pergelangan tangan saja, senjata besar dan berat itu menderu bagai suara angin ribut.
Kalau Dewi Melati tidak cepat merunduk, kepalanya bukan cuma remuk. Bisa saja berantakan.
"Bangsat, tenaga dalamnya ternyata masih tetap ampun!" maki Dewi Melati, manakala merasakan angin pukulan gada lawan membuat tengkuknya ber-denyar. Namun begitu, dia belum mau mengalah.
Dikejarnya lagi lawan dengan serangan baru.
Rambutnya yang panjang diayunkan. Seketika rambut itu menjadi mengeras bagai sehimpun lempengan baja halus, hendak menusuk perut buncit lawan.
Wukh! "Kau memang perempuan bawel tak tahu diri!" seru Gendut Tangan Tunggal, tanpa berniat menghindar. Dengan sengaja, dia malah menyorongkan perutnya ke depan. Ketika ujung rambut lawan hampir tiba, nafasnya ditarik kuat-kuat.
"Hhhhhup!" Dalam satu sentakan napas cepat, kulit perut Gendut Tangan Tunggal membesar menjadi hampir dua kali lipat! Duph! Terdengar bunyi teredam begitu rambut lawan mendaratinya. Yang terjadi kemudian lagi-lagi membuat Dewi Melati harus mengakui kelebihan tenaga dalam lawan. Rambutnya yang telah mengeras bagai baja mendadak terpantul balik tanpa sedikit pun melukai kulit perut lawan. Lecet saja tidak! Perut si orang tua gendut seakan telah berubah menjadi bantalan karet kenyal. Lebih dari itu, tubuh perempuan itu turut ter-sentak ke belakang.
"Sialan," geram Dewi Melati.
Gendut Tangan Tunggal malah asyik mengeluselus perutnya.
"Masih penasaran" Kau tak akan unggul dari aku selama kau masih mengandalkan kepandaiankepandaian yang itu-itu juga. Kalau pun kau memiliki ilmu simpanan baru, aku mau sedikit mencicipi. Dan rasanya, kau tetap tak akan mengalahkanku," ledek-nya santai.
"Kau benar, Gendut! Setelah aku kau kalahkan waktu itu, aku sudah menambah beberapa kepandaian yang akan membuat perutmu pecah! Nih, kau terimalah!" Dewi Melati menggerakkan kepala cepat. Rambut hitamnya tersibak. Ronce bunga melati pada rambutnya terlepas dan bercelatan memperdengarkan desing tajam. Zing! Bunga-bunga kecil berwarna putih yang dipandang sekilas begitu damai dan tak berbahaya ternyata menjelma menjadi senjata rahasia maut. Di udara, bunga-bunga itu berputaran seperti bor kecil terbang.
Jangankan tubuh manusia, pohon paling keras pun dapat ditembus dengan amat mudah. Selain itu, seluruh ruang gerak lawan telah ditutupnya dari segenap arah. Kalau hanya begitu, Gendut Tangan Tunggal masih dapat dengan mudah mementahkannya. Sebagai tokoh disegani, dia memiliki tangan kanan andalan yang bisa memutar gadanya hingga membentuk tameng berputar. Lain perkara kalau di tengah jalan senjata rahasia lawan mendadak meletup. Dari letupan kecil yang terdengar ramai, tertebarlah asap berwarna hitam kebiruan. Sekejapan saja, pandangan lawan menjadi kacau balau. Saat itulah Dewi Melati mempergunakan kesempatan untuk melepaskan senjata rahasia lain.
Tangannya berkelebat.
Zzzz! Meluncurlah puluhan jarum-jarum kecil yang selama ini tersimpan di bawah kuku panjangnya. Melewati asap pekat, Gendut Tangan Tunggal diserbu.
Dalam kepungan asap yang hampir membutakan pandangan, akan amat sulit bagi orang tua itu untuk menghindari jarum-jarum beracun lawan.
Jlep jlep jlep! "Kena kau, Gendut!" sorak Dewi Melati, girang luar biasa mendengar suara halus tadi. Satria di tempat pengintaiannya menjadi cemas akan keselamatan orang tua berbadan gemuk yang baru dikenalnya. Betapa licik serangan perempuan itu, nilainya. Untuk bertindak, mungkin sudah terlambat.
Sebaiknya menunggu sampai asap tebal sirna untuk memastikan keadaan Gendut Tangan Tunggal, timbangnya. Angin menepis.
Asap menipis. Perlahan, kepekatan tersingkap. Samar-samar, mulai terlihat sosok buntal di sana.
"Cetek!" Terlepas seruan. Tentu saja dari mulut Gendut Tangan Tunggal. Orang tua itu sedang duduk beruncang kaki di tanah. Dia asyik menghitung jarum-jarum yang menancap di bawah sebelah sandal kayunya! Karena tetap tak berhasil menghajar Gendut Tangan Tunggal, akhirnya Dewi Melati sebal sendiri.
Dia mulai merengek. Kejadian yang membuat Gendut Tangan Tunggal geli terulang lagi. Dewi Melati menja-tuhkan diri, duduk menangis terisak-isak. Satria keluar dari tempat persembunyian. Sulit baginya untuk diam di tempat dan tak mempedulikan apa yang terjadi ketika menyaksikan air mata wanita.
Biarpun sebenarnya masih tersisa kegusaran terhadap Dewi Melati. Terutama perbuatannya terhadap Suta.
Kalau cuma hendak bertemu dengan seseorang, kenapa harus menurunkan tangan kejam pada orang lain yang tak bersalah dan sama sekali tak tahu menahu" Sekarang, teka-teki tentang Dewi Melati terjawab sudah. Gendut Tangan Tunggal tambah terkikik geli begitu menyaksikan si pendekar muda tanah Jawa muncul diam-diam dari arah belakang Dewi Melati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikirnya. Nasib baik mungkin sedang berpihak pada Dewi Melati. Tanpa perlu mencari lagi, orang yang diharapkan tiba-tiba muncul. Itu pun dianggapnya lucu.
"Hei, Perempuan Kaleng Rombeng!" tukasnya pada Dewi Melati yang masih sibuk terisak.
"Kau masih mau bertemu dengan Satria Gendeng atau tidak?" Mendengar tawaran tadi, wajah perempuan cantik itu terangkat.
"Tentu saja aku mau! Apa kau tak lihat aku menangis karena begitu ingin bertemu dengannya" Sumpah mati, aku hanya percaya Satria Gendeng yang bisa melindungiku dari tangan Pasukan Kelelawar...," tegur Dewi Melati.
"Kenapa begitu?"
"Karena... karena... ah, kau banyak tanya! Kenapa tak kau katakan saja di mana Satria Gendeng berada sekarang?"
"Dia ada di sini..." Wajah Dewi Melati berubah. Dari mendung, menjadi cerah.
"Mana mana dia?" tanyanya bersemangat. Matanya melirik ke sana-ke sini. Satria Gendeng jelas tak ditemukan.
Karena pemuda itu berdiri tepat di belakangnya. Lain masalah kalau perempuan itu sedikit menoleh ke belakang.
Menyaksikan kejadian itu, Gendut Tangan Tunggal terkikik geli.
"Mana dia, Gendut!" bentak Dewi Melati, tidak sabar.
"Ada di belakangmu," ucap Satria, menyela.
Dewi Melati jelas segera berbalik bersemangat.
Ingin sekali dilihatnya wajah pendekar muda sakti yang menjadi harapannya untuk berlindung dari penculikan Pasukan Kelelawar.
Manakala menyaksikan Satria, seketika itu pula wajah Dewi Melati jadi sepucat mayat. Sejenak dia melompong bengong seperti kehilangan akal sehat. Matanya menatap tak berkedip. Mulutnya menganga. Tak heran, wajah cantiknya jadi terlihat bodoh juga.
"Kau... kau...," gagapnya. Sungguh dia tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Bagaimana tidak" Dia telah yakin benar bahwa pemuda yang ditemuinya itu tempo hari telah mampus oleh racun kukunya.
Orang mati mana mungkin bisa hidup lagi" Kalau hantunya, bisa jadi.
Dewi Melati nyaris bangkit terbirit.
"Jangan dekati aku! Kau pasti setan gentayangan!" hardiknya sambil melangkah mundur. Tak diingatnya apakah yang berdiri di belakangnya barusan adalah Satria Gendeng seperti kata Gendut Tangan Tunggal.
"Jangan ngaco!" sambar Gendut tangan Tunggal.
"Gendut, aku telah membunuh pemuda ini waktu itu! Racun ku sangat ampuh. Belum ada satu orang pun yang bisa mempertahankan nyawa sampai tiga tarikan napas jika terkena racun dari kuku ku.
Dia pasti setan gentayangan!" bisik Dewi Melati.
"Kubilang kau jangan ngaco! Dia itu Satria Gendeng yang kau cari!"
"Satria Gendeng" Dia orangnya" Astaga, Gendut! Kenapa kau tak bilang sejak tadi?"?" Gendut Tangan Tunggal garuk-garuk kepala.
Perasaan, aku sudah mengatakan hal itu pada Dewi Melati. Aku yang lupa mengatakannya, atau dia yang tuli" Setelah itu, tanpa menambahkan 'ba' atau 'bu' lagi, Dewi Melati langsung menghambur ke arah Satria. Satria dipeluknya hangat-hangat, membuat si pemuda gelagapan tak karuan. Masalahnya, dua pasang 'bukit' padat Dewi Melati mengganjal dadanya.
Belum lagi wangi tubuhnya yang bisa membuat pemuda polos itu melayang-layang sejenak.
"Tak pernah kusangka kalau pendekar muda yang membuat geger dunia persilatan ternyata gagah dan tampan," pujinya, genit. Tangannya bergelayut manja di bahu Satria. Sikapnya seolah tak pernah berbuat salah seujung kuku pun pada Satria.
"Terus terang, jangan dulu berharap banyak aku akan menolong kesulitanmu!" kata Satria, berpura-pura bersikap dingin.
Wajahnya sengaja dibuat ka-ku.
"Kenapa?" lengak Dewi Melati. Banyak lelaki yang begitu berharap pada dirinya.
Karena itu, dia yakin bisa mendapatkan apa saja dari seorang pria, karena dia akan sudi memberi imbalan jasa yang paling diminati lelaki. Dengan modal kecantikan yang menjadi bunga mekar merona mengundang untuk dipetik di dunia persilatan. Masa' iya seorang yang sedang menyala-nyala api mudanya seperti Satria Gendeng akan menolaknya. Tapi kenyataannya sekarang"
"Kau sama sekali tak pantas untuk mendapat perlindungan ku!" tandas Satria dengan sedikit keangkuhan. Bolehlah angkuh sedikit, kalau tujuannya untuk memberi pelajaran perempuan satu ini, pikirnya.
"Kenapa?" pertanyaan Dewi Melati kali ini di-bumbui oleh rayuan nan mendayudayu. Tangannya dengan gemulai mengelus-elus dagu Satria. Matanya mengerling nakal. Tubuhnya sengaja sedikit digesekgesekkan ke dada Satria.
Kendati tetap memasang wajah dingin, hati Satria tak urung berdesir. Rasanya dia mau meringis, ta-pi dia akan berjuang menahannya. Kalau perlu sampai terkentut-kentut.
"Karena kau perempuan sesat! Kau bisa membunuh seseorang tanpa alasan yang jelas!"
"Di dunia ini, sudah banyak orang yang tak perlu punya alasan jelas untuk membunuh, bukan" Orang membunuh untuk perempuan, orang membunuh untuk kekuasaan, untuk sekeping uang, bahkan mungkin hanya untuk sepotong terasi. Apa kau pikir itu alasan yang jelas, Sayang" Lalu, apa bedanya kalau aku bertindak sama?"
"Ngaco!" Yang dongkol malah Gendut Tangan Tunggal.
"Karena itu kau bukan termasuk orang yang patut kutolong!"
"Jangan begitu, Sayang...," rengek Dewi Melati, makin menggoda.
Gendut Tangan Tunggal mencibir sambil berbisik mengikuti ucapan Dewi Melati.
Satria melepaskan pelukan Dewi Melati.
"Carilah pertolongan pada yang lain!" tegasnya.
Dia berbalik membelakangi.
Wajah Dewi Melati mulai mendung lagi. Bibirnya tertekuk ke bawah.
"Tak ada yang bisa menolongku selain kau...," katanya merajuk.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena aku tahu siapa dalang Pasukan Kelelawar itu. Tak ada orang yang kuyakini dapat menandingi kesaktiannya, kecuali dirimu." Satria membalikkan badan.
"Kau tahu siapa dalang semua ini?" Dewi Melati tersenyum penuh kemenangan.
"Kau bertanya padaku?" tanyanya, berpurapura. Sekarang giliran dia yang berbalik membelakan-gi.
"Ya, katakan padaku!"
"Kalau kau bersumpah akan menyelamatkan aku dari Pasukan Kelelawar, akan kukatakan padamu siapa orang itu." Sialan, rutuk Satria. Kenapa jadi dia yang harus menerima persyaratan. Apa itu tidak terbalik"
"Bagaimana?" susul Dewi Melati.
Belum lagi Satria sempat memikirkan persyaratan Dewi Melati, dari kejauhan terdengar teriakan tarung orang bersabung nyawa.
Ketiga orang itu menoleh berbarengan.
"Aku seperti mengenal suara itu," desis Satria.
Entah kapan dan di mana.
"Itu si Muka Bengis! Apa yang terjadi padanya"!" seru Gendut Tangan Tunggal, mengingatkan Satria Gendeng.
Satria tak menunggu lebih lama, dia menggenjot tubuh. Berlari seperti mengejar angin. Gendut Tangan Tunggal tunggang langgang membawa bobot tubuhnya berlari. Kendati begitu, dia tak kehilangan kegesitan dan kelincahan sedikit pun. Dewi Melati men-gekori mereka. Dia tak sudi kehilangan Satria Gendeng. Ketika Satria Gendeng, Gendut Tangan Tunggal dan Dewi Melati tiba, sudah berlangsung pertarungan sengit antara Pendekar Muka Bengis dengan Pasukan Kelelawar. Tujuh orang mengadakan pengeroyokan.
Dua sisanya tampak membopong seorang perempuan di pinggir kancah pertarungan.
Menyaksikan kedatangan mereka, salah seorang bocah memberi isyarat pada dua bocah pembopong perempuan. Lalu kedua bocah itu pergi meninggalkan tempat.
"Kau kejar dua bocah itu, Anak Muda! Aku akan membantu si Muka Bengis!" seru Gendut Tangan Tunggal.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Dewi Melati, merasa diterbengkalaikan.
"Terserah!" sahut Gendut Tangan Tunggal.


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

MATAHARI menyembul kembali di ufuk timur.
Sinar merah tembaganya belum terlalu menjerang.
Lamat, ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum siang nanti menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Lahan sawah di salah satu wilayah Kulon Jawa dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Untuk kebanyakan daerah Kulon, dingin terlalu merasuk kulit. Bahkan terasa menyiksa. Satria Gendeng tiba di sana. Setelah melakukan pengejaran panjang melelahkan hampir satu harian, dia berjuang keras agar tidak kehilangan jejak dua dari Pasukan Kelelawar yang dikejarnya. Tekadnya, menyelamatkan perempuan yang dilarikan dua bocah itu.
Sudah dikerahkan segenap kemampuan ilmu lari cepatnya. Sampai di tempat itu, akhirnya dia kehilangan buruan juga.
Dengan dua kali kecolongan seperti itu, Satria menjadi sadar betapa lawan yang akan dihadapinya demikian berat untuk dihadapi. Kalau bocah-bocah itu saja sudah sanggup mengecohkan dirinya, bagaimana pula orang yang berdiri sebagai dalang semua itu" Ma-ka, wajar bila Pendekar Muka Bengis mengajak Gendut Tangan Tunggal dan Satria Gendeng untuk bergabung.
Kini, pendekar muda pewaris kesaktian dua tokoh utama tanah Jawa itu berjalan menyusuri pematang yang mengkerangkai hamparan sawah luas terbengkalai. Disiapkannya segenap kesiagaan. Matanya diusahakan untuk tidak berkedip. Bahkan kalau bisa, napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah tumpukan sisa tanaman padi kering yang tertimbun tinggi seperti gunung kecil, Satria Gendeng merasakan ada hawa aneh merasuk kulitnya.
"Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Satria pada diri sendiri.
Dia merasakan, tapi tak bisa mengerti keanehan apa gerangan. Panca inderanya sendiri tak menangkap keganjilan apa-apa.
Tidak matanya. Tidak telinga. Hidung, atau juga kulitnya.
Karena bisikan nalurinya demikian kuat, Satria Gendeng menghentikan langkah. Dia diam. Tak ada niat baginya untuk menggerakkan bagian tubuh mana pun, kecuali kedua bola matanya. Diperhatikannya se-keliling dengan rasa waswas yang menjangkit cepat.
Telinganya dipasang sekuat mungkin. Siapa tahu dia mendengar suara angin bokongan belakang.
Senyap. Suasana seperti mati. Bahkan angin beku.
Setelah menanti sekian lama dan tak muncul satu serangan pun, Satria Gendeng mulai meragukan perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutan ku bakal menghadapi lawan yang demikian berat membuat aku mulai merasakan keanehan-keanehan?" bisiknya lagi pada diri sendiri.
"Tapi, entah kenapa hati kecilku demikian kuat mengatakan ada orang yang sedang mengawasi ku...." Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspadaannya secuil pun, Satria mencoba menggerakkan kaki lagi. Tak sampai kakinya menjejak ke depan, mendadak saja ada sekelebat bayangan menerkam amat cepat dari atap gubuk.
Mula-mula bayangan itu menerobos dari puncak gundukan sisa padi kering. Membuat potonganpotongannya berhamburan ke udara bagai dihempas topan. Satria saat itu terkesiap. Seluruh jaringan tubuhnya menegang.
Mengejang. Mengencang. Tangannya mengepal keras, terangkat ke depan. Dari puncak gundukan, kelebatan bayangan tadi bergerak cepat dan lurus ke arah si pendekar mu-da sakti. Jarak Satria dengan gundukan cukup jauh.
Ada sekitar lima belas tombak. Semestinya gerak lompatan bayangan itu agak terhambat gaya tarik bumi.
Tapi, yang disaksikan Satria Gendeng sekelebatan sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagaimana tidak" Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-olah tidak terpengaruh sedikit pun oleh gaya tarik bu-mi.
Meluncur lurus bagai terbang.
Ringan, seolah menunggang bayu! Sekejapan berikutnya, Satria Gendeng bertanya dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihadapi?"
" Wrrr! Berkawal deru santer mirip geletaran kain, kelebatan bayangan tadi sampai di depan Satria Gendeng. Kesiagaan yang telah terjaga sebelumnya tak cukup membawa hasil menguntungkan bagi Satria Gendeng. Dia sudah berusaha berkelit dari terkaman ganas itu. Sayangnya, kelitannya ternyata kurang cepat dibanding sambaran bayangan tadi. Tak ayal lagi....
Srat! Sesuatu terkoyak. Satria Gendeng cepat melirik bagian bahu kanannya. Dilihatnya pakaian di bagian itu tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa menilai benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya. Sebuah senjata tajam bermata tiga! Satria Gendeng cukup lega mengetahui kulit tubuhnya tak ikut tersayat. Bisa dibayangkan bagaimana jika dia benar-benar tersambar telak kelebatan bayangan tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, membe-set daging di dalamnya, dan memperlihatkan tulang di bagian dalam, Itu sungguh menggidikkan! Untuk benar-benar lega, Satria Gendeng belum bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering, menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan gerak yang dilakukan dengan cara demikian memukau! Satria Gendeng sendiri, dalam hal kecepatan telah menjalani godokan demikian keras. Kalangan persilatan bisa mengacungkan ibu jari tinggi-tinggi untuk beberapa kemampuannya saat mempecundangi dua tokoh sesat kalangan atas; Perempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka. (Baca kisahnya dalam episode : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan "Kiamat di Goa Sewu"!) Membandingkan kehebatan kepandaiannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak muda pewaris kesaktian Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu jadi kurang yakin apakah kecepatan geraknya sanggup mengimbangi kelincahan kelebatan bayangan yang sampai saat itu tak jelas rupanya.... Sambaran berikutnya tak kalah cepat.
Beringas. Ganas. Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher Satria Gendeng. Karena sebelumnya sudah masuk dalam kegentingan, kepekaan naluri Satria Gendeng menjadi meningkat. Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu peringan tubuh miliknya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendorong tubuh terlalu kuat, Satria Gendeng membuat satu putaran salto. Dia menjejakkan kaki sebelas depa dari bayangan tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah pula berdiri.
Kini dilihatnya seorang lelaki tua cebol berwajah mirip perempuan. Tingginya hanya lebih sedikit da-ri lutut Satria. Rambutnya kriting. Kulitnya hitam.
Pancar matanya seperti hendak menaklukkan setiap nyali orang yang ditemui. Kedua belah tangannya memegang cakar dari logam. Senjata itulah yang telah menyayat kulit tangan Satria Gendeng, "Mungkinkah dia yang mendalangi Pasukan Kelelawar?" desis si anak muda terpana. Dugaan tersebut muncul karena Satria membandingkan perawakan orang yang dilihatnya dengan perawakan Pasukan Kelelawar. Mereka sama-sama kecil.
"Siapa kau, Orang Tua" Kenapa kau menyerangku?" tanya Satria. Dugaan hanya akan menjadi tuduhan jika tak didasari bukti yang kuat. Karenanya dia merasa harus bertanya.
Terdengar suara aneh dari mulut si orang cebol.
Satria tak terlalu lama menyimpulkan bahwa penyerangnya bisu. Sayang sekali. Berarti, sulit baginya untuk mencari keterangan siapa orang itu sesungguhnya. Lebih disayangkan lagi, orang cebol bisu berkesaktian tinggi itu sama sekali tak berniat bersahabat.
Dari gelagatnya, Satria Gendeng tahu akan ada serangan lanjutan darinya....
Tegang, amat hati-hati dan padat kewaspadaan, Satria meloloskan Kail Naga Samuderanya. Dia tak yakin akan bisa menghadapi lawannya kali ini hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Sebelumnya saja sudah terbukti, kecepatan gerak orang cebol bagaikan dedemit. Pendekar muda itu sadar benar, serangan sebelumnya tak lebih dari salam perkenalan. Si orang cebol tak sungguh-sungguh untuk membabatnya. Kalau tidak, mungkin dia sudah mendapat luka menganga. Atau lebih parah lagi, dia mungkin sudah terkapar dengan leher tergorok.
Kalau sekali ini serangan manusia cebol dilakukan sungguh-sungguh, Satria harus yakin benar dia bisa menghadapinya tanpa harus terluka parah atau kehilangan nyawa. Untuk itu dia membutuhkan Kail Naga Samudera di tangannya. Dengan senjata itu, dia tidak saja dapat mengandalkan pertahanannya, tapi juga dapat meningkatkan ketajaman serangannya.
Bertepatan dengan berkelebatnya kembali tubuh orang cebol, Satria cepat membuat hentakan pada batang Kail Naga Samudera yang masih berbentuk tongkat hitam pendek.
Srang! Seketika, dari kedua sisi di bagian kepala naga, keluar dua lempeng logam tipis berbentuk sayap naga.
Sepanjang lengkung pada sisinya amat tajam.
Trang! Sambaran cepat senjata lawan yang sepenuh kesiagaan telah dinantinya, langsung dipapaki.
Suara dentang meledak lantang.
Bunga api terpercik terang.
Kelebatan tubuh si cebol memantul balik, berjumpalitan cepat di angkasa, kemudian berdiri kembali di tempat semula, seolah dia tak pernah beranjak dari tempat tersebut! Satria heran ketika lawan asingnya tak melanjutkan gebrakan nan menakjubkan. Harus diakui oleh Satria sendiri, seandainya lawan membuat satu serangan berantai tak terputus dengan kecepatan seperti tadi, Satria tak yakin dirinya belum tentu sanggup bertahan. Sekarang, lawan justru hanya diam memperhatikannya. Namun, sewaktu Satria menyaksikan mata si cebol, ternyata dia sedang mengamati tegas-tegas Kail Naga Samudera. Tak diragukan lagi, tentunya senjata pusaka itu yang telah memenggal niatnya untuk melanjutkan serangan.
Satria mengangkat Kail Naga Samudera di tangannya. Menurut dugaannya, tentu si cebol menginginkan benda itu seperti kebanyakan tokoh sesat dunia persilatan. Namun, bukan tak menutup kemungkinan, Kail Naga Samudera telah mengingatkannya pada sesuatu hingga dia menghentikan serangan.
Orang itu Dewi Melati. Dia memutuskan untuk mencoba mengikuti Satria, ketimbang harus menonton pertarungan di tempat sebelumnya. Toh, kepentingannya memang dengan Satria Gendeng. Sewaktu menguntit pengejaran pendekar muda itu, Dewi Melati sempat kehilangan jejak. Dia baru berhasil melacaknya setelah berusaha beberapa lama. Dari caranya menempatkan diri di tengahtengah dua orang yang saling berhadapan, tampak ada niat tertentu hendak dilakukan Dewi Melati.... Itu yang belum bisa diduga Satria Gendeng.

* * *



Di lain tempat, pertarungan antara Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis melawan tujuh Pasukan Kelelawar masih berlangsung sengit.
Kendati pertempuran sudah berjalan satu harian penuh, kedua belah pihak masih tetap sanggup mengerahkan jurus-jurus ampuh. Berkali-kali mereka telah bertukar serangan. Hajaran berkali-kali pula harus mereka terima dari lawan masing-masing.
Sebagai dua tokoh papan atas, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis tetap merasa kelimpungan menghadapi tujuh bocah ajaib. Keduanya bahkan telah mengalami luka dalam tak ringan. Tenaga mereka semakin terus terkuras.
Di lain pihak, lawan mereka pun mengalami luka-luka dalam. Namun, mereka seperti tak pernah kehabisan tenaga untuk ditumpahkan ke dalam serangan. Gempuran mereka terus melanda bagai air bah.
Sampai suatu ketika Gendut Tangan Tunggal memutuskan untuk mempergunakan ilmu andalannya. Dia sudah merasa kedudukan tarung mereka semakin tak menguntungkan. Dari tengah-tengah arena, tubuh buntalnya melejit jauh ke belakang.
"Pergunakan ilmu andalanmu, Muka Bengis! Semakin lama kita bertukar jurus dengan mereka, akan kian terkuras tenaga kita!!" serunya di udara, memperingatkan kawan seperjuangannya.
Pendekar Muka Bengis sejak tadi pun mulai berpikir begitu. Merasa satu pendapat, cepat pula dia membebaskan diri dari keroyokan lawan-lawan ingu-sannya. Melejit ke udara, diikutinya Gendut Tangan Tunggal. Keduanya hinggap di tanah tak berjauhan.
Keduanya memasang kuda-kuda.
Ada ketegangan terpancar dari wajah mereka.
Kentara sekali, kalau mereka menganggap pertarungan itu sebagai taruhan nyawa. Urusan yang menyangkut hidup dan mati! Artinya, akan terjadi bentrokan dahsyat dari dua belah pihak. Bentrokan ilmu yang mungkin menjadi penentu siapa yang harus lebih dahulu lebur! Ketika para lawan memburu, kedua tokoh itu berteriak berbarengan....
"Heaaaaahh!!"

* * *



Siapa sih si orang cebol bisu itu" Apa maunya, sih menyerang Satria Gendeng" Mau kenalan pasti tidak! Nah, kalau maunya si perempuan genit Dewi Melati apa" Pertarungan sengit Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis menghadapi ketujuh bocah bakal dimenangkan siapa" Atau lebih serem lagi; pihak mana yang bakal menjadi bangkai lebih dahulu" Ngomong-ngomong, apa rencana Manusia Makam Keramat memerintah Pasukan Kelelawar untuk menculik perempuan-perempuan" Buat dijadikan bini barangkali, ya" Huss...!!!!

SELESAI

Segera ikuti kelanjutan kisahnya!!! dalam episode:
MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT


INDEX SATRIA GENDENG
Kiamat Di Goa Sewu --oo0oo-- Memburu Manusia Makam Keramat

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers