Life is journey not a destinantion ...

Memburu Manusia Makam Keramat

INDEX SATRIA GENDENG
Pasukan Kelelawar --oo0oo-- Bangkitnya Dewa Petaka

SATRIA
Satria Gendeng
Episode I: PASUKAN KELELAWAR
Episode II: MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

JIKA ada pertanyaan, kenapa ada pertumpahan darah" Jawabannya tak pernah berubah dari awal peradaban manusia. Bahwa, angkara selalu menyulut hati manusia untuk melakukannya.
Iblis Durjana tak pernah lalai untuk menjalani janji ingkarnya pada Tuhan untuk menyesatkan insan. Perkelahian, peperangan atau pertempuran yang menjadi awal pertumpahan darah pun terus bergulir dari waktu ke waktu. Tak pernah mengenai batas perhentian kecuali dunia berakhir nanti.
Seperti halnya satu pertarungan yang sedang berlangsung di sebuah tempat dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Satu pertarungan sengit dan ganjil antara dua pihak. Ganjil, karena kedua belah pihak berseteru bertaut usia amat jauh. Dua tokoh dunia persilatan berusia tua melawan delapan bocah berusia tak lebih dari enam tahun! Satu di antaranya lawan para bocah adalah seorang tua bangka berusia menjelang senja. Kendati dari usia terbilang keropos, namun badannya subur.
Perutnya hampir sebesar gentong. Punuknya tebal seperti Sapi Benggala. Dengan tubuh seperti itu, lehernya nyaris tak kentara. Berwajah bulat. Berambut tipis kemerahan seperti rambut jagung. Tingginya kurang dari orang kebanyakan, membuatnya makin tampak buntal saja. Lelaki gemuk itu mengenakan pakaian berwarna kuningkuning. Julukan angker disematkan untuknya; Gendut Tangan Tunggal.
Yang lain adalah seorang lelaki lebih muda.
Tampangnya berangasan. Kentara jelas dari matanya yang besar berkilat-kilat. Sepertinya tak pernah berhenti melotot. Dagunya kasar. Kesan pada dirinya jadi lebih sangar dengan mengenakan pakaian serba hitam hingga ke ikat kepala. Dia adalah Pendekar Muka Bengis.
Dari penampilan, keduanya memang tak mencirikan seorang ksatria sejati. Bertarung dengan bocah-bocah ingusan pun bukan sikap ksatria. Bukan dengan begitu mereka orang-orang sesat. Sebaliknya Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal justru orang-orang golongan lurus. (Cerita lengkapnya dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!).
Lawan mereka, biarpun masih bau kencur ternyata tak bisa dipandang sebelah mata sedikit pun. Kelewat mudanya usia delapan bocah itu tak menjamin kemenangan mudah akan didapat oleh dua seterunya. Padahal kenyataannya, kedua lawan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh papan atas dunia persilatan.
Bukti akan hal itu adalah pertarungan yang sudah mencapai puncaknya. Masing-masing pihak sudah menjajaki keandalan jurus-jurus maut masing-masing. Sudah pula menjajaki tenaga dalam atau peringan tubuh yang begitu sering diandalkan untuk mementahkan serangan. Sampai sejauh itu, luka telah mereka derita. Namun, pertarungan tak kunjung usai.
Dua tokoh tua terlalu sulit untuk menumbangkan delapan bocah lawan mereka. Lebih buruk dari itu, mereka bahkan mulai menerima desakan-desakan dari para bocah yang di hari-hari belakangan meledakkan kegemparan dengan julukan Pasukan Kelelawar (Bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!). Perkembangan buruk dalam pertarungan seperti itu tentu merisaukan. Termasuk bagi dua tokoh yang telah banyak menelan asam garam.
Dengan menderita luka dalam tak ringan, mereka tahu gelagat. Jika tak segera mengambil langkah tepat, mereka bisa mati konyol. Satu risiko paling berat yang dapat menimpa mereka dalam kancah garang dunia persilatan.
Karenanya mereka bersepakat untuk mengambil jarak dan mulai mengerahkan kesaktian andalan. Keduanya kini berdiri berjajar dalam jarak empat-lima tombak. Mereka sama-sama siap dengan kuda-kuda garang. Pendekar Muka Bengis berdiri dengan dua telapak tangan bertemu di depan dada. Dengan cara itu, dia hendak mengerahkan pukulan 'Puting Beliung'. Satu pukulan jarak jauh langka yang menjadi satu kebanggaannya. Pukulan jarak jauh yang berwujud pusaranpusaran angin sebesar kepala manusia dan mencelat tak terduga bagai mengejar lawan.
Gendut Tangan Tunggal menyiapkan kudakuda dengan gaya agak gila. Tak karuan. Dia berjongkok dengan gaya seekor katak bunting atau seperti seorang yang hendak buang hajat. Entah mana lebih mirip. Perut buncitnya terjepit di antara paha, menyebabkan pusarnya bertambah me- nonjol keluar. Kedua tangannya menyentuh bumi.
Tak mau kalah dengan Pendekar Muka Bengis, dia pun hendak mengerahkan kepandaian kebanggaannya 'Dewa Katak Bumi' Di pihak Pasukan Kelelawar, delapan bocah membentuk barisan setengah lingkaran. Dengan langkah satu-satu yang demikian teratur, mereka mempersempit jarak dengan kedua lawan.
"Bocah-bocah tak pernah diajar sopan!" gerutu Gendut Tangan Tunggal setelah terbatuk dan mengeluarkan darah kehitaman.
"Hei Gendut, apa kau yakin bisa mengerahkan ilmu andalanmu?" tanya Pendekar Muka Bengis. .....Dia sendiri mengalami luka dalam tak ringan. Biar penampilannya tak kurang telengas dari siluman darah tinggi, Pendekar Muka Bengis bukan orang yang hanya mau memikirkan kepentingan sendiri. Bukankah tak segala sesuatu yang ber'kulit' buruk akan memiliki 'isi' buruk pula" Tak jarang, malah ada orang ber'kulit' bagus, namun 'isi'nya tak lebih dari kotoran busuk. Dasarnya, dia memang khawatir pada keadaan Gendut Tangan Tunggal. Hanya karena cara bertanyanya kurang mengena, jadi terdengar mengejek.
Gendut Tangan Tunggal mendengus.
"Sialan sekali.... Seperti kau tak menderita luka dalam saja!" gerutunya.
"Bagaimana" Apa kita akan serang mereka berbarengan?" seru Pendekar Muka Bengis kembali.
"Terserah! Tapi, aku bersedia mengalah, kendati usiaku lebih tua darimu!"
"Apa maksudmu?"
"Dengan segala hormat, ku persilakan kau duluan!"
"Gendut.... Gendut.... Bilang saja kau mulai gentar?"
"Sudah jangan banyak omong. Bocahbocah sialan itu sudah mau melabrak kita lagi, tuh! Cepat kau maju. Nanti aku menyusul!" hardiknya kalang-kabut, menyaksikan delapan lawan kecil mereka mulai melangkah dengan tatapan buas. Cara melangkah mereka seperti sekawanan serigala lapar mengintai mangsa. Mata mereka nyalang meradang. Mereka pun sebenarnya telah mengalami luka-luka tak ringan. Anehnya, delapan bocah itu seperti tak pernah menderita karenanya. Meski dengan merutuk lelaki berwajah berangasan yang juga menderita luka dalam itu maju merangsak.
"Heaaa!!" Melompat garang, diterjangnya jarak dengan para bocah sakti yang tinggal enam-tujuh depa. Kedua belah kakinya tertekuk. Sedangkan kedua kepalan tangannya mencecar di udara.
Deb deb deb deb! Empat kali pukulan 'Puting Beliung' dilepas oleh Pendekar Muka Bengis. Masing-masing tangannya melepas dua pukulan jarak jauh. Seketika itu pula tercipta empat gumpalan angin berputar, seukuran kepala manusia. Ada delapan lawan di depan. Namun, masih sulit untuk menentukan siapa empat orang yang akan menjadi sasaran, mengingat pukulan 'Puting Beliung' bergerak tak terduga. Melesat. Cepat. Keempat gumpalan angin berpusar menderu. Memburu. Dua pukulan 'Puting Beliung' yang berasal dari tangan kirinya menyempong ke kanan. Sebaliknya, yang berasal dari tangan kanan malah menyempong ke kiri.
Saling menyilang.
Meradang. Delapan anggota Pasukan Kelelawar seperti tak merasa gentar dengan ancaman pukulan 'Puting Beliung'. Menilik wajah mereka yang demikian dingin, boleh jadi mereka bahkan tak gentar menghadapi malaikat maut! "Sialan! Terbuat dari apa bocah-bocah ini, sampai-sampai mereka tak bergeming menanti pukulan ampuh si Bengis!" Sempat-sempatnya Gendut Tangan Tunggal berkomentar sambil menyapu keringat sebesar biji jagung di kening. Dia sendiri, selaku salah seorang tokoh jajaran atas masih segan untuk menjajal pukulan 'Puting Beliung'. Asal tahu saja, pukulan 'Puting Beliung' jarang luput menelan korban. Sekali terlepas, akan ada korban terkapar. Untuk orang-orang berilmu kedigdayaan tinggi sekalipun, pukulan jarak jauh itu tak bisa dianggap mainmain. Setidaknya mereka akan mengalami kesulitan besar untuk menghindari. Sebabnya sekali lagi, karena pukulan 'Puting Beliung' sama sekali tak terduga. Bergerak seperti punya nyawa dan mata sendiri! Pukulan 'Puting Beliung' makin dekat ke sasaran. Sudah tak diragukan, akan terlempar empat tubuh kecil. Arahnya makin jelas menuju dua orang di sisi kiri dan dua orang di sisi kanan barisan setengah lingkaran lawan. Keempat bocah seakan dituju maut! Wajah keempatnya mengeras. Rahang bertaut Tapi, tetap dengan paras dingin. Mimik tak kenal takut.
Boleh dikata, keempat bocah yang merasa dirinya akan menjadi sasaran pukulan jarak jauh lawan, telah bersiap sepenuhnya. Ketajaman pandangan mereka demikian mengagumkan. Memungkinkan mereka sanggup menangkap kecepatan laju pukulan 'Puting Beliung'. Seakan tukikan kilat dari langit pun dapat ditangkap. Kendati begitu, tak bisa dengan mudah mereka menduga dengan pasti arah pukulan 'Puting Beliung' selanjutnya. Dan hal itu terbukti kemudian. Dalam jarak yang sudah demikian dekat, gumpalan angin bertenaga dahsyat itu mendadak berubah arah. Amat cepat. Jauh lebih gesit dari gerakan burung walet di udara. Empat pusaran yang sebelumnya bergerak dengan arah mengembang, kini berbalik menciut. Dengan begitu, sasaran pun berubah. Yang dituju kini empat bocah di barisan tengah.
Keempat bocah yang kini menjadi sasaran memperdengarkan pekikan berbareng. Mereka berjuang untuk menghindar dengan melompat tinggi-tinggi ke udara.
Pukulan 'Puting Beliung' mengejar mereka! Sekuat bagaimanapun mereka berusaha menghindar, jarak sudah terlampau dekat. Tak mungkin lagi menghindar.
Pyar pyar pyar pyar! Seperti menerima komando yang sama, empat pukulan 'Puting Beliung' sama-sama menghantam dada sasaran masing-masing. Keempat bocah berteriak tertahan di udara. Napas mereka seperti dipancung seketika. Mereka berpentalan.
Jauh. Sekitar dua puluh tombak terlempar, barulah mereka jatuh berdebam.
"Sialan lagi! Bagaimana mereka masih bisa berdiri"!" Di kejauhan, Gendut Tangan Tunggal dipaksa berkomentar Lagi menyaksikan keempat bocah itu bangkit kembali. Mestinya, mereka telah mampus. Mestinya dada mereka telah remuk re-dam. Mana ada manusia yang masih bisa bertahan hidup kalau dada beserta isinya hancur" Tapi, yang disaksikan Gendut Tangan Tunggal sungguh membuatnya sulit berkedip.
Keempat bocah hanya mengeluarkan darah dari mulut dan hidungnya. Namun keadaan tubuh mereka tak menunjukkan kalau mereka baru saja terhajar salah satu pukulan terampuh di tanah Jawa. Kenyataan seperti itu lebih mengejutkan bagi Pendekar Muka Bengis, pemilik pukulan 'Puting Beliung' sendiri. Hatinya bertanya-tanya, antara tercengang dan kegusaran. Bagaimana mungkin mereka bisa bertahan dari pukulanku" Dalam ketercengangannya, sisa Pasukan Kelelawar menyerbu Pendekar Muka Bengis dibarengi pekikan melengking yang menggebrak nyali.
"Aaaiiiikh!!" Selaku warga persilatan yang kenyang ma kan asam garam, Pendekar Muka Bengis tentu saja terbiasa menyambut serangan mendadak. Gerak refleksnya sudah terlatih. Dalam ketercengangan ditambah serangan datang dari empat penjuru, keadaan jadi berbeda. Dia mencoba menghindar dengan kecepatan puncak ke sebelah kanan.
Sambaran cakar dua lawan dari arah kiri berhasil lolos. Sayangnya, dari arah kanan dua lawan lain siap menghajarnya.
Pendekar Muka Bengis mati langkah! Sebelum hantaman dua lawan mendarat di tubuhnya, Gendut Tangan Tunggal mencelat dari posisi berjongkoknya. Dia tak bisa tinggal diam terus.
"Krookhh!" Mengagumkan, dengan badan seberat dua orang dewasa, orang tua itu sanggup melayang tinggi dan gesit di angkasa. Tinggi. Tepat satu tindak di depan dua bocah penyerang, Gendut Tangan Tunggal menghadang dengan posisi berjongkok kembali. Dihentakkannya telapak tangan kanan ke depan. Sebelah tangan yang disegani banyak orang dari golongan lurus serta ditakuti banyak orang dari golongan sesat.
Sedangkan tangan kiri menyentuh bumi, seakan hendak menyedot kekuatan lahar dasar bumi ke dalam tubuhnya.
Sekejapan tubuhnya bergetar. Telapak tangan kanannya seketika berubah warna. Hitam. Di sekeliling telapak tangan menghitam itu berpendar tipis cahaya kebiruan.
Dash! Terjadi bentrokan hebat dengan dua bocah penyerang. Kekuatan perut bumi yang mengembang membentuk benteng tenaga dahsyat dari telapak Gendut Tangan Tunggal, memapak serangan keduanya. Seketika, tubuh kelebihan bobot Gendut Tangan Tunggal terpental ke belakang. Keras. Deras. Sederas pentalan tubuh dua lawannya. Dari tempat bentrokan, masing-masing pihak melayang sejauh dua puluh lima tombak! Pendekar Muka Bengis makin dibuat tercengang. Bertambah lagi ketika menyaksikan dua bocah yang terpental telah bangkit tanpa kurang satu apa pun seperti empat bocah sebelumnya.
Hanya ada bekas biru di bagian yang terhantam ajian 'Dewa Katak Bumi'.
Di lain pihak, Gendut Tangan Tunggal tak bangun Lagi. Bukan karena terjengkang terlalu keras. Melainkan karena tenaga hantaman tenaga sakti dua bocah tadi.
Pendekar Muka Bengis bergidik. Dia tahu bagaimana kehebatan ajian 'Dewa Katak Bumi' milik Gendut Tangan Tunggal. Ajian yang tidak hanya menjadi penghancur ampuh, namun juga dapat menjadi salah satu benteng tenaga terkuat di dunia persilatan tanah Jawa! "Apa si Gendut mampus?" desisnya. Semakin tak bisa dipercayainya saja ketangguhan bocah-bocah yang tengah dihadapi.
"Mereka bukan manusia. Mereka anak-anak dedemit yang keluar dari kerak neraka!" serapahnya.
Sekarang, dia tinggal sendiri. Harus menghadapi delapan bocah berkesaktian siluman sekaligus" Pendekar Muka Bengis mengerang. Garang.
Membakar keberanian.
Menghembuskan api tarung penghabisan.
"Peduli setan!" sentaknya seraya menerjang ke depan.


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

CUKUP jauh dari kancah pertarungan hidup-mati Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal, masih di wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, tiga orang terlihat di sekitar daerah persawahan terbengkalai.
Dua lelaki dan satu perempuan cantik.
Satu lelaki adalah seorang pemuda berambut panjang kemerahan. Tampan, namun juga kelugu-luguan. Mengenakan rompi bulu putih keabuan dari kulit hewan. Pada kain ikat pinggangnya terselip satu benda panjang hitam seperti toya pendek. Di dunia persilatan, hari-hari belakangan mulai dikenal dengan julukan Satria Gendeng, anak muda sakti murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa, Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki lain terlalu bertolak belakang dengan pemuda tadi. Tubuhnya cebol, tak lebih tinggi dari belukar. Wajahnya mirip-mirip perempuan. Berambut keriting. Kulit hitam. Dilengkapi dengan mata berkilat bengis, makin tak sedap saja lelaki itu untuk dipandang. Sementara kedua tangannya menggenggam logam berbentuk cakar. Julukan sangarnya Penjaga Gerbang Neraka.
Orang ketiga, adalah seorang wanita paruh baya. Tak sedikit pun kehilangan kecantikan di usianya yang terbilang tua. Sekujur tubuhnya seperti sengaja disolek begitu apik. Mungkin dari ubun-ubun hingga ujung kaki. Rambutnya tertata lurus, panjang dan menebarkan aroma wangi menusuk hidung. Ada ronce bunga melati menghiasi.
Perempuan dengan gerak-gerik mata genit itu mengenakan gaun putih panjang. Yang membuat dada kaum lelaki 'gedebak-gedebuk' adalah belahan memanjang di bagian bawah gaun, memperlihatkan kulit paha seputih susu! Sesuai dengan sikap dan tindak-tanduknya, perempuan ini digelari Dewi Melati oleh kalangan persilatan.
(Tentang asal-muasal pertemuan ketiganya, bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!).
"Siapa dia sebenarnya, Dewi Melati?" tanya Satria Gendeng pada si perempuan setengah baya.
Ada kecurigaan pada diri anak muda itu menyaksikan bagaimana cara Dewi Melati melirik si lelaki cebol. Bersit matanya sama sekali tak memancar-kan ketakutan. Padahal si orang cebol sudah jelas bersikap tak bersahabat pada Satria Gendeng sejak pertama kali bertemu. Kalau penyebabnya hanya karena si orang cebol selalu memusuhi orang asing, semestinya Dewi Melati pun akan menerima perlakuan serupa. Apakah mungkin Dewi Melati mempunyai hubungan dengan manusia cebol berwajah dingin" Dewi Melati tersenyum-senyum genit. Menyebalkan untuk dilihat di saat-saat menegangkan seperti dihadapi Satria Gendeng setelah mendapat serangan amat menggidikkan dari si cebol. Sebentar mata bulat indah mengandung daya pikat kuat mengerling pada si pemuda sakti. Sebentar kemudian, ditolehnya lelaki cebol.
Wajah lelaki cebol tak berubah. Tetap dingin. Tapi juga tak menampakkan perubahan. Ibarat karang yang tak bergeming ditanduki gelombang. Namun, sekali lagi Satria bisa menilai tak ada sinar permusuhan pada mata bengisnya.
"Perkenalkan, lelaki cebol ini bernama Patigeni...," tukas Dewi Melati, memperkenalkan si lelaki cebol. Sekarang menjadi jelas dugaan Satria.
"Sayang kau belum cukup lama turun ke dunia persilatan. Setidaknya, kalau kau seangkatan Pendekar Muka Bengis, tentu kau akan mendengar satu cerita tentang tokoh berjuluk Penjaga Gerbang Neraka. Dialah orangnya. Tokoh seangkatan dengan gurumu Dedengkot Sinting Kepala Gundul," sambung Dewi Melati.
"Dan yang harus kau tahu dari semua itu, dia adalah guruku...." Satria dibuat agak terkejut mendengar pengakuan Dewi Pemikat. Karena Dewi Melati menyebut orang yang diperkenalkan dengan sebutan yang tak sopan. Satria mengira, tentu Dewi Melati sudah kenal cukup lama. Tapi, tak sedikit pun ada dugaan kalau orang kerdil berjuluk Penjaga Gerbang Neraka adalah gurunya. Betapa tak punya adat Dewi Melati! "O, ya satu hal lagi yang perlu kau tahu. Di samping guruku, dia juga... suami angkatku. Hi hi hi...." Satria merengut. Suami angkat apa ada" Kalau anak angkat atau ayah angkat, dia sudah sering dengar. Lagi pula, bagaimana mungkin Dewi Melati mau dijadikan 'istri angkat' oleh orang yang seangkatan dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Setahu Satria, gurunya saja sudah demikian tua, sampai-sampai mengharap-harapkan kematian segera datang. Dewi Melati sudah kurang waras atau terlalu rakus"
"Ah, kau tak perlu pusing-pusing memikirkan perkataan ku yang terakhir itu. Aku juga sudah tak memusingkannya lagi. Bukan begitu, Pangeran ku?"
"Kenapa kau menyerangku, Pak Tua?" tanya Satria. Dia merasa harus bersikap sedikit hormat pada si lelaki cebol ketika tahu kalau Penjaga Gerbang Neraka seangkatan dengan gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ah, maafkan saja dia, Satria. Manusia kecil satu ini memang suka bertindak seenaknya.
Tingkahnya suka aneh-aneh. Maklum dia agak...," sambil menuntaskan kalimat, telunjuk Dewi Melati menyilang keningnya.
Astaga, jadi guru dan murid sama-sama sinting" Perangah Satria dalam hati. Pantas saja kalau begitu. Kalau orang sinting memang tak perlu alasan untuk menyerang orang. Namanya juga sinting! Sepertinya, sial sekali Satria seharian ini, bertemu dengan dua manusia kurang waras sekaligus! Apakah semua itu hanya karena zaman memang sudah edan dan manusianya banyak jadi ikut edan" Atau sebaliknya, karena sudah terlalu banyak orang tak waras, lalu zaman pun menjelma menjadi edan" Gurunya saja sangat keranjingan dengan sepak terjang kesinting-sintingan. Belum lagi terhitung Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal yang sepak terjangnya pun sulit untuk bisa disebut waras. Kalau besokbesok dia bertemu kembali dengan manusia semacam mereka, jangan-jangan semua orang memang sudah sinting semua! Tak salah ucapan gurunya dulu; bahwa dunia memang sudah terlalu sumpek dengan orang edan. Disadari atau tidak keedanannya. Jadi apa salahnya kalau kita berseru pada dunia; 'Mari kita bersama-sama edan-edanan'! Gendeng! "Hei, kenapa kau malah jadi bengong"!" sentak Dewi Melati.
Satria tersadar dari renungan singkatnya.
"Ah, tidak. Kupikir tadi dia gembong Pasukan Kelelawar," kelit Satria.
"O, tidak begitu...," kata Dewi Melati sambil mendekati Penjaga Gerbang Neraka.
Digandengnya lelaki cebol itu mesra. Dengan agak merundukkan badan, dirangkulnya pula mesra-mesra. Diciuminya, dielus-elus....
Satria jadi jengah. Ada juga perasaan iri.
Coba kalau dirinya yang jadi lelaki cebol itu. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi bagaimana sesungguhnya sifat Dewi Melati, Satria malah jadi merinding.
"Selama ini, dia tak pernah muncul dari sarangnya di puncak Gunung Krakatau. Sekarang dia keluar. Kau tahu sebabnya?" lanjut Dewi Melati.
Satria menggeleng. Sudah tahu dia belum cukup lama turun ke dunia persilatan, pakai tanya segala! "Karena dia punya hutang satu urusan dengan Manusia Makam Keramat?" Siapa Manusia Makam Keramat" Tanya Satria membatin. Satu orang sinting Lagi"

* * *



Tak peduli apakah akan mengalami nasib serupa dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis menggebrak kembali. Tak ada lagi pertimbangan lain, selain menguras segenap kesaktian pamungkasnya. Mengerahkan hingga penghabisan. Jika perlu, sampai nyawa terperah! Baginya, semua itu cuma persoalan bagaimana memperjuangkan kebenaran. Tak ada kebenaran yang ditegakkan dengan pengorbanan yang terlalu remeh. Kebenaran memang pahit. Dan pengorbanan nyawa tak lebih dari puncaknya segenap kepahitan. Namun begitu, untuk apa mempersoalkan kepahitan kalau kehormatan serta kebanggaan tertinggi bagi seorang ksatria sejati adalah mengorbankan miliknya yang paling berharga dan tak akan pernah dimiliki untuk kedua kali" Nyawa! Mengadu jiwa pun menjadi pilihan terbaik bagi Pendekar Muka Bengis. Untuk menghadapi lawan satu persatu, dia tak yakin mampu bertahan lebih lama. Tenaganya sudah banyak terkuras selama pertarungan panjang sebelumnya. Luka dalam yang diderita pun sudah tak memungkinkan dia untuk meningkatkan serangan seperti semula. Jalan satu-satunya, harus ada satu gebrakan sekaligus yang bisa menghajar seluruh lawan.
Terbetik satu taktik di kepalanya.
Setelah mengudara, tubuh lelaki berwajah berangasan itu hinggap di tengah-tengah posisi para lawan. Satu tempat yang sebenarnya terlalu banyak mengundung risiko. Dengan posisi sekarang, lawan justru memiliki kesempatan untuk mengucurkan serangan dari berbagai penjuru.
Pendekar Muka Bengis tidak bodoh. Bukan pula sekadar nekat. Gusar memang, tapi tak pernah gelap mata. Dia punya perhitungan sendiri.
Dengan perhitungannya, setidaknya pengorbanan nyawanya tak akan sia-sia.
Ketika delapan anggota Pasukan Kelelawar menyaksikan lawan menempatkan diri di tengahtengah, mereka langsung membentuk kepungan rapat. Tujuannya agar lawan terperangkap di tengah dan tak dapat lagi meloloskan diri.
Di lain pihak, tindakan seperti itu justru diharapkan oleh Pendekar Muka Bengis. Itulah tujuannya sengaja menempatkan diri di tengah posisi lawan. Satu pancingan cerdik! Dengan rapatnya kepungan lawan, Pendekar Muka Bengis akan mempunyai kesempatan besar untuk mendaratkan sekaligus satu ajian pamungkasnya ke arah delapan lawan. Rapatnya kepungan, berarti memendek pula jarak antara dirinya dengan delapan Pasukan Kelelawar. Memendeknya jarak, berarti memperkecil kesempatan bagi para lawan untuk menghindar jika dilepasnya serangan cepat dan mendadak.
"Cakram Mata Delapan!!!" Dibarengi teriakan menggeledek, Pendekar Muka Bengis memutar tubuh. Tangannya terkatup di dada. Saat putaran menjadi cepat, tangannya membentang. Ketika itulah membersit cahaya putih kemilau laksana sinar matahari. Memanjang dan menyebar ke delapan penjuru angin. Karena dilepas dengan tubuh berputar, maka bersit sinar putih itu membentuk cakram.
Zzzuiiiinnng! Perhitungan Pendekar Muka Bengis sejauh itu tak meleset. Kedelapan lawan tak bisa lagi menghindar. Terlampau sulit untuk jarak sedekat itu. Blar blar blar blar! Nyaris beruntun amat cepat, terdengar suara menggelegar bagai ada delapan lidah petir memangkas angkasa. Tak terdengar teriakan karena hantam-an ajian 'Cakram Mata Delapan' terlalu hebat menghajar. Kerongkongan setiap bocah ajaib seperti tercekat rasa sakit teramat sangat.
Bahkan, mungkin saja mereka tak pernah merasakan sakit itu jika ditilik bagaimana akibat ajian 'Cakram Mata Delapan'.
Di udara, tubuh mereka langsung mengepulkan debu pekat. Belum lagi sempat meninju tanah, tubuh mereka menghitam hangus.
Bergulingan mereka jatuh! Panas, asap menggelepar penuh. Laksana benda langit runtuh. Menggebuk tanah dan menjelma rapuh. Ketika guliran terhenti, tubuh delapan bocah itu pun diam tanpa geming. Senyap berucap. Satu demi satu, mata Pendekar Muka Bengis menatapi tubuh para lawan. Nafasnya terengah. Seluruh bagian tubuhnya seperti luruh satusatu ke tanah. Dia lunglai.
Selesai sudah, pikirnya lega. Sayang tak begitu kejadian selanjutnya. Hanya berselang lima tarikan napas, tubuh kedelapan bocah Pasukan Kelelawar mendadak bercelatan bangkit. Geraknya seperti sentakan ulat-ulat buah jambu. Tiba-tiba saja mereka sudah tegak kembali. Dengan sekujur tubuh menghangus, siapa yang percaya mereka masih punya nyawa" Dalam warna menghitam arang, kegarangan bersit bola mata mereka semakin kentara. Meski tubuh mereka masih mengepulkan asap. Mereka tatap Pendekar Muka Bengis. Layaknya menghujamkan tombak kasatmata ke nyali si lelaki yang kehabisan tenaga. Pendekar Muka Bengis kaku di tempat.
Jangan lagi untuk membangun serangan lanjutan, menggerakkan kaki saja sudah tak mampu. Kelopak matanya pun terasa diganjal tiang besar, membuatnya sama sekali tak bisa berkedip. Selanjutnya, kedelapan bocah yang sudah terpentalan jauh dari posisi masing-masing mengumandangkan jeritan. Berbareng, menumpuk getaran maha dahsyat di lapis demi lapis angkasa.
Tubuh Pendekar Muka Bengis sampai tergoncang. Detik selanjutnya, kejadian mencengangkan kembali disaksikan Pendekar Muka Bengis.
Menyusul terentangnya tangan dengan telapak terbuka, membersit cahaya kuning memanjang.
Setiap ujung cahaya dari telapak tangan mereka bertemu. Cincin raksasa terbentuk.
Ganjil. Ajaib. Perlahan-lahan, kulit gesang mereka mengalami kesembuhan. Bermula dari bagian kepala, berlanjut ke wajah, leher, dada, perut, hingga akhirnya seluruh tubuh mereka tuntas pulih kembali! Tak ada sisa bekas hangus. Sama sekali. Hanya bagian yang tumbuh rambut saja tampak botak. Dengan tenggorokan seperti disumpal gabah, susah payah Pendekar Muka Bengis merutuk.
"Mmmmereka bbennar-benar anak ded...
demith!" Bola matanya mendelik ke atas. Latin....
Bruk! Dia ambruk. Kalau dia masih sempat sadar sebentar saja, mungkin dia akan mengira dirinya sedang bermimpi. Mimpi apes yang sumpah mampus tak pernah ingin dialaminya lagi!

* * *



--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

LEBIH dari seratus tahun lalu, hidup seorang lelaki muda kurang waras berbadan cebol.
Nama aslinya Patigeni. Dia seorang pendekar. Sulit diduga jalan hidupnya.
Kerjanya mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Tak pernah suka pada keramaian. Karena itu dia lebih sering terlihat di tempat-tempat sepi.
Menurut beberapa kalangan persilatan yang pernah mengetahui asal-usulnya, ketidakwarasannya disebabkan karena dia pernah terjatuh dari satu jurang. Kala itu, Patigeni hanya dikenal terbatas oleh warga desa tempatnya tinggal sebagai pemuda yang selalu mengucilkan diri. Ketika ditemukan di dasar jurang oleh seorang penduduk desa, dia sudah dianggap mati. Seorang tabib ahli di desa sekitar bahkan dengan yakin menyatakan dia sudah benar-benar mati. Tak ada degup jantung selemah apa pun. Seperti tak ada lagi denyut nadinya.
Penduduk desa lalu mengurus mayatnya.
Dengan peradatan sederhana, dia hendak dikebumikan. Menjelang masuk liang lahat, para pengantar jenazah dibuat terkejut setengah modar.
Mayat si pemuda cebol bergerak dan bangkit lagi Acara lari tunggang-langgang pun berlangsung. Bahkan ada yang sempat pakai acara tambahan pula kencing di celana! Kata orang-orang 'pintar', Patigeni telah mengalami mati suri. Biasanya, orang yang mengalami mati suri akan mengalami perubahan besar dalam kehidupannya. Caranya memandang hidup berubah. Termasuk perbuatan dan tingkah lakunya. Penyebabnya karena mereka telah menyaksikan sendiri rahasia kematian. Kematian, satu kenyataan yang akan dihadapi setiap orang nanti, cepat atau lambat. Dengan kata lain, mere-ka telah mengalami salah satu kebenaran sejati dari hidup, yakni kematian itu sendiri. Ada yang mengalami perubahan yang baik.
Namun tak jarang mengalami perubahan buruk. Sepakterjangnya jadi terlihat aneh, akibat goncangan ji-wa.
Salah seorang yang mengalami kegoncangan jiwa setelah mati suri adalah si pemuda cebol.
Sejak saat itu, dia menjadi kurang waras. Apa yang dipikirkannya terlalu sulit dimengerti. Tingkahnya begitu ganjil di mata orang lain. Yang tak kalah aneh Lagi, enam purnama setelah mengalami mati suri, tahu-tahu Patigeni yang semula hanya dikenal sebagai pemuda desa yang mengucilkan diri karena cacat tubuhnya, menjelma menjadi tokoh sakti. Entah bagaimana, pada dirinya terdapat kesaktian. Padahal sepanjang sepengetahuan warga desa, tak pernah Patigeni berguru pada siapa pun.
Semula tak pernah ada yang menyadari kemunculan kesaktian si pemuda cebol. Sampai suatu saat, ketika dia tengah duduk menyendiri di satu kuburan tua, datang empat orang perampok.
Keempat perampok yang terkenal kejam di desadesa sekitar itu menyembunyikan harta panasnya di salah satu kuburan. Kebetulan sekali kuburan tersebut adalah tempat Patigeni duduk.
Keempat perampok dengan kasar mengusirnya. Patigeni tak beranjak. Kekalapan para perampok menanjak. Salah seorang perampok pun mencabut senjata. Sebuah golok besar yang tak pernah lupa diasah dan dimandikan dengan air kembang tujuh rupa, minyak wangi, dan dupa (Astaga, mau mengasah golok apa mau mengundang dedemit kendurian") Tak ada pikiran lain dalam benaknya dan benak rekannya yang lain selain mengirim si pengacau barbarian kerdil ke neraka! Ketika golok besar terayun beringas ke kepala pemuda cebol, Klang! Golok ajimat warisan nenek moyang si perampok terpatah dua. Sebagian mata golok sompal! Sementara itu, ubun-ubun calon korbannya tak mengalami lecet sedikit pun. Keempat perampok lari serabutan. Kembali lagi dengan rombongan lebih besar, lebih banyak dari rombongan lenong kampung. Gila juga, menghadapi satu orang saja seperti hendak ikut perang Baratayuda! Rombongan itu dalam sekejap kandas. Sebagian mati bergelimpangan seperti ikan asin dijemur. Sisanya lari kocar-kacir. Sekali ini, mereka tak kembali. Mereka kapok.
Sudah bawa 'modal' banyak-banyak, 'tekor' pula! Lalu kejadian demi kejadian pun berlangsung. Si pemuda cebol semakin diperhatikan oleh kalangan persilatan. Tak lama berselang, sudah tersebar desas-desus tentang julukan yang diberikan untuknya; Penjaga Gerbang Neraka! Disebut begitu, karena setiap orang yang setor nyawa kepadanya menjadi bangkai gosong.
Seperti dicelup-celup ke dalam neraka. (Celup" Memangnya teh apa") Sulit menganggapnya sebagai orang golongan lurus. Sama sulitnya dengan menganggap dirinya sebagai golongan sesat. Orang golongan putih tak ingin mendekati atau menganggapnya sekutu. Tak pula menganggapnya seteru. Begitu juga orang golongan sesat. Dia hanya asyik dengan diri sendiri. Kalau memperhatikan keadaannya sekilas, orang akan salah sangka terhadapnya. Patigeni terlihat begitu lemah. Cara jalannya kuyu. Sikapnya selalu layu. Selonong sanaselonong sini, seolah tak pernah makan lebih dari sekepal nasi sehari, seolah tai kucing pun tak gepeng terkena pi-jakannya. Tapi, jangan cobacoba mengusiknya.
Jika aturan itu dilanggar, jangan lagi orang, lalat, kecoa, kutu busuk, sampai kutu di kepala dukun pun diinjak-injak sampai tak berbentuk! Orang begitu yang disebut diam-diam sambuk. Jangan menggebuk kalau tak ingin kena gebuk. Jangan makan sabun kalau tak ingin mencret! Suatu kali si cebol berjuluk Penjaga Gerbang Neraka bertemu dengan seorang perempuan sebayanya. Cantik. Cinta memang tak pernah bisa ditebak kedatangannya. Begitu beradu pandang untuk pertama kali, Patigeni langsung jatuh cinta.
Masalah waras atau tidak, tak menjadi soal. Memangnya cuma orang waras saja yang punya hak untuk jatuh cinta" Si perempuan ternyata adalah seorang pendekar wanita. Berasal dari satu perguruan silat terpencil di Mataram. Dia mengembara ke tanah Pajajaran karena mengejar seorang pelarian Mataram yang telah membunuh orangtuanya.
Aneh, tidak aneh. Patigeni yang selama ini dianggap tidak waras oleh penduduk desa tempatnya, justru bisa bersikap layaknya seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan pada pendekar wanita tadi. Kata orangtua, cinta memendam kekuatan amat hebat. Dengan kekuatannya, cinta bahkan bisa mengendalikan arahnya sejarah. Percaya tidak" Itu kata orangtua. Yang jelas, bagi Patigeni si Penjaga Gerbang Neraka, cinta telah memberi semangat untuk keluar dari kesunyiannya. Sayang, dia merasa cintanya laksana punuk merindukan bulan. Biarpun ada kekuatan dalam dirinya, biarpun ada api menggelora dalam hatinya, kekuatan dan api itu ternyata tak dapat mengubah kenyataan bahwa si pendekar wanita tak dapat membalas cintanya.
Namun, berani sumpah mampus disambar kucing garong, (Memangnya Patigeni sejenis dendeng kering") cintanya pada si pendekar wanita tulus murni. Cinta tulus murni tak pernah ingin menguasai. Mencintai, ya mencintai. Tak perlu di-permasalahkan apakah orang yang dicintai mem- balas cintanya.
Beruntung, si pendekar wanita berhati emas. Tahu tak bisa membalas cinta Patigeni, dia membayarnya dengan cara lain.
Dijadikannya Patigeni sebagai saudara angkat.
Sejak saat itu, Patigeni yang kesepian sering terlihat bersama si pendekar wanita. Si pendekar wanita sendiri memberikan perhatian yang tak kalah tulus padanya layaknya seorang saudara kandung sejati. Semua kebaikan si pendekar wanita, cukup untuk menghibur Patigeni. Sekaligus, mengenyahkan kesepian yang beku sekian lama.
Mereka dekat. Hati keduanya lekat.
Berbagi rasa dengan cara masing-masing.
Sayang, selagi menikmati rasa cinta yang terpenjara, si pendekar wanita ditemukan tewas di sekitar pesisir tanah Jawa.
Kejadian itu meluluh-lantakkan hati Patigeni. Tak apa tak mendapatkan cintanya, asal jangan orangnya mati terbunuh secara mengenaskan. Ke mana lagi cintanya harus ditujukan kalau sang pujaan hati telah tiada" Kepada perempuan lain" Dunia tak selebar daun kolor, eh kelor, kan" Bagi Patigeni, tak akan datang cinta yang lain, seakan dunia sudah kebelet mau kiamat. Bukan main murkanya Patigeni pada si pembunuh. Apalagi menyaksikan bagaimana menyedihkannya keadaan si perempuan pujaan. Dia pun bersumpah, kalau perlu kepala dijadikan pantat, pantat dijadikan jidat, jidat dijadikan dengkul dan seterusnya, akan dituntutnya kematian perempuan itu! Selidik punya selidik, dengar punya dengar, Patigeni pun mengetahui pembunuhnya adalah pelarian yang dicari oleh si pendekar wanita.
Rupanya pendekar wanita itu telah menemukan orang yang dicarinya selama ini. Terjadi pertarungan. Dia tak sanggup mengungguli kesaktian lawan. Matilah dia. Semuanya di luar sepengetahuan Patigeni. Seandainya dari dulu perempuan itu mengatakan pada Patigeni untuk mencari sekaligus membunuh pembantai orangtuanya, tentu Patigeni akan melaksanakan.
Sayang, nasi telanjur jadi bubur. Kini, cuma tinggal persoalan hutang nyawa antara dirinya dengan si pelarian dari Mataram. Terakhir diketa-huinya kalau pembunuh perempuan pujaannya itu dikenal dengan julukan Manusia Makam Keramat! Mulai saat itu, Patigeni terus mencari dan memburu Manusia Makam Keramat.

* * *



Dewi Melati selesai memaparkan cerita pada Satria. Panjang-lebar. Sudah bertele-tele, mem-bosankan pula. Untung Satria termasuk pemuda yang sabar. Kalau tidak, sudah ditinggal lari perempuan bermulut kaleng rombeng itu! Heran, mendengarkan saja dia sudah merasa capek sendiri. Bagaimana mulut perempuan itu tidak meniran"
"Tapi aku tak pernah menemukan hubungan antara kisah gurumu dan Pasukan Kelelawar?" tanya Satria. Sudah hilir-mudik bercerita, tapi belum juga ketahuan juntrungannya. Memangnya dia mau ikut sinting seperti Dewi Melati dan manusia cebol itu"
"Begini, menurut Patigeni Cebol ini," mulai Dewi Melati lagi, tetap dengan katakata yang tidak tahu adat. Dia dapat mengerti cerita gurunya yang bisu dengan bahasa isyarat yang sudah biasa mereka lakukan.
"Sepak terjang Pasukan Kelelawar sangat mirip dengan Manusia Makam Keramat sebelum dia di buat mampus oleh seorang Prabu Pajajaran beberapa puluh tahun silam." Satria terperangah.
"Jadi manusia yang tengah kita bicarakan sudah mati"! Kalau sudah mati, apa gunanya dihubung-hubungkan dengan Pasukan Kelelawar?" Satria mulai sebal.
"Makanya dengarkan aku dulu, Sayang....
Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong.
Kalau urusan lain, aku setuju kau bernafsu begitu," goda Dewi Melati sambil mengerling mesum.
Satria meringis. Urusan lain apa" Buang hajat"! gerutunya.
"Kata Patigeni pula, dia yakin bahwa Pasukan Kelelawar mempunyai hubungan dengan Manusia Makam Keramat. Bisa jadi mereka muridnya. Bisa jadi cuma sekadar bocah-bocah yang diperalat."
"Kau jangan ngaco, Dewi Melati! Bagaimana mungkin orang yang sudah mati dapat memperalat orang lain" Kalaupun Pasukan Kelelawar murid orang itu, bagaimana caranya mereka berguru sementara Manusia Makam Keramat sendiri sudah ke neraka puluhan tahun silam?" Dewi Melati tertawa.
"Dia belum sampai di neraka," sanggahnya.
"Apa maksudmu?"
"Jasadnya memang sudah mati, tapi roh jahatnya sendiri belum. Dia terkungkung di batas dua alam. Sementara kesaktian durjananya tetap dia miliki. Kalau perkiraan Patigeni Cebol benar, maka sudah bisa dipastikan Manusia Makam Keramat mengambil murid atau memperalat bocahbocah itu dengan cara gaib. Tujuannya tentu saja untuk bisa kembali ke alam nyata." Satria tercenung. Sekali lagi, kalau perkiraan si cebol sakti benar, lantas lawan sesakti apa yang bakal dihadapinya" Setidaknya kesaktian Manusia Makam Keramat sebanding dengan gurunya sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Celaka dua betas kali dua belas!


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

DALAM pergantian waktu, terjadi pergantian peristiwa. Hari kemarin tertinggal. Hari baru datang. Mengiring sang hari baru, peristiwa lain terjadi. Namun dari waktu ke waktu, semuanya tak lebih dari pengulangan peristiwa yang telah la-lu.
Layaknya dunia persilatan yang mengenal garis tegas antara kebatilan dan kebenaran (meski banyak juga kebatilan mengabur sebagai kebenaran dan kebenaran mengabur dalam kebatilan.) Kebatilan menjangkit dan kebenaran berkutat bangkit. Semua terulang dari hari ke hari, dari itu ke itu juga. Hanya dengan 'warna' dan 'bentuk' yang berbeda. Dalam pergulatan tua dua kekuatan alam itu, berlaku kemenangan dan kekalahan. Kebenaran tak selalu harus menang. Namun, kebatilan pasti musnah. Hari baru. Matahari, bumi, udara, angkasa tetap yang dulu. Ada peristiwa lain mengisi hari ini. Dua sosok tubuh terlihat tergantung di atas dahan pohon tinggi besar. Tubuh mereka terbalik, lunglai tak berdaya. Kaki keduanya diikat dengan oyot pada dahan pohon.
Dua orang itu tak lain Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal. Dalam pertarungan penentuan terakhir, kehebatan mereka selaku dua tokoh ternama dunia persilatan ditumbangkan oleh delapan bocah Pasukan Kelelawar.
Kematian belum waktunya menjemput. Entah apa maksud delapan bocah laknat itu tidak menghabisi mereka. Kehangatan sinar mata hari mengusap sebagian tubuh mereka. Salah seorang dari mereka mulai siuman. Terdengar keluh berat Pendekar Muka Bengis. Matanya terbuka. Tak lama, Gendut Tangan Tunggal menyusul.
"Bagaimana aku bisa tidur terbalik seperti ini?" keluh Gendut Tangan Tunggal, seperti lengu-han sapi kekenyangan.
"Kau menjahili aku, Bengis"!" tudingnya sembarangan.
"Tidur"! Apa kau tak ingat kita bertarung dengan Pasukan Kelelawar. Kita dipencundangi!" hardik Pendekar Muka Bengis.
Telunjuk Gendut Tangan Tunggal menyentuh kening. Kerutan wajahnya merapat, mengingat-ingat.
"O, iya.... Pantas saja badanku terasa remuk semua. Lalu kenapa kita jadi begini?" ka-tanya.
"Mana aku tahu!" Pendekar Muka Bengis tak betah berlamalama digantung terbalik. Setelah merutuk, dia menyentak sedikit otot kakinya.
Oyot sebesar perge-langan tangan terputus. Biarpun tubuhnya masih mengeram luka dalam, lelaki itu masih cukup mampu berjumpalitan ringan. Dia berdiri agak oleng. Ketika dadanya terasa bagai hendak diledakkan dari dalam, cepat-cepat Pendekar Muka Bengis duduk bersila. Dia harus segera memulihkan tenaga dan meringankan luka dalamnya dengan bersemadi.
"Mau apa kau?" tanya Gendut Tangan Tunggal. Dibanding Pendekar Muka Bengis, luka dalamnya tak begitu parah.
"Kau pikir apa" Cari wangsit"!" sewot Pendekar Muka Bengis, menyahut.
"Bagaimana dengan aku?" susul Gendut Tangan Tunggal.
Pendekar Muka Bengis melirik dongkol.
"Apa maksudmu?" ucapnya, balik bertanya.
"Jangan gila kau, ya! Bantu aku turun! Apa kau tega membiarkan aku tergantung seperti ini"! Apa kau mau semua isi perutku pindah ke jidat"!" semprot Gendut Tangan Tunggal.
"Kau bisa melakukan sendiri, Gendut. Jangan seperti anak kecil!"
"Tak bisa! Tak bisa! Darah di kakiku sudah mengalir ke mana-mana. Kalau sudah begitu, aku tak bisa menggerakkan kaki seperti kau lakukan.
Itu memang penyakit bawaanku sejak bocah."
"Pergunakan tanganmu, Otak Udang!"
"Aku bisa menggerakkan tanganku. Tapi bagaimana dengan perutku" Perut ini menghalangi gerak tanganku untuk melepaskan oyot. Pikir kenapa"!" Dengan kejengkelan yang mencelat ke tenggorokan, Pendekar Muka Bengis bangkit dari silanya. Kalau saja bukan kawan, sudah dihantamnya perut gentong Gendut Tangan Tunggal dengan batang pohon.
"Buang-buang tenaga! Kenapa pakai bangkit segala"! Ambil saja batu kerikil lalu lemparkan... tes! Beres, bukan"!" omel Gendut Tangan Tunggal.
"Kalau aku nekat mengerahkan tenaga dalam lagi, aku bakal mampus. Kau memang mau aku mampus, ya"!"
"Ah, bilang-bilang sejak dulu, kenapa?"
"Sudah jangan banyak mulut!" Seperti orang awam yang tak menguasai tenaga dalam, akhirnya Pendekar Muka Bengis terpaksa membuka ikatan oyot di kaki Gendut Tangan Tunggal dengan tangannya.
Gedebuk! Tubuh si tua berperut gentong jatuh telak menghantam tanah.
"Sialan! Bilang-bilang kenapa kalau ikatannya sudah kau lepas"!" gerutunya sambil me-mijat-mijat bokong yang terhantam akar pohon merangas. Pendekar Muka Bengis sudah 'sakit perut' melayani omongan kawan menjengkelkannya. Dia bersila kembali. Belum-belum, Gendut Tangan Tunggal sudah bercuap lagi.
"Bengis, kenapa kau tak sekalian bantu aku berdiri" Kakiku masih belum bisa kugerakkan...," rengeknya.
Pendekar Muka Bengis 'geregetan'. Rahangnya bergemelutuk. Matanya melotot.
Selang beberapa saat kemudian, pasangan pendekar aneh itu sudah agak segar kembali. Tubuh mereka telah pulih. Setelah usaha pengobatan sendiri melalui semadi yang cukup berat, dibantu dengan obat milik Pendekar Muka Bengis.
"Sekarang, kita harus menemukan pendekar muda itu," mulai Pendekar Muka Bengis.
"Siapa maksudmu?"
"Satria," jawab Pendekar Muka Bengis dengan sumpah serapah di hati.
"Wah, iya! Bukankah dia sedang mengejar salah satu bocah Pasukan Kelelawar?"
"Makanya, kita harus segera mencarinya!!"
"Ke mana?"
"Yang pasti bukan ke kedai," sindir Pendekar Muka Bengis sambil 'ngeloyor' begitu saja meninggalkan kawan menyebalkannya.
Kedai" Gendut Tangan Tunggal bergumam sendiri. Terbayang nasi sambal terasi lengkap dengan lauk-pauknya. Lidahnya bersilap-silap.
Ikan bakar, kerupuk jengkol, jengkol muda, semur jengkol....
"Cepat, Gendut!!!" bentak Pendekar Muka Bengis tak sabaran.
"Eh jengkol... jengkol!" Gendut Tangan Tunggal terperanjat setengah modar.
Setelah itu, barulah diikuti langkah Pendekar Muka Bengis.
Tak lama, keduanya sudah terlihat melangkah ke arah barat. Di kejauhan masih terdengar sayup-sayup ocehan Gendut Tangan Tunggal.
"Usulmu untuk ke kedai cukup bagus! Kapan kita hendak ke sana?"

* * *



"Satriaaaaa! Hoi, Anak Muda! Kita berjumpa lagi!" Dari kejauhan, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis terlihat. Mereka berhasil menemukan Satria Gendeng yang masih bersama Dewi Melati dan Penjaga Gerbang Neraka.
Belum lagi sampai, manusia kelebihan lemak sudah teriak-teriak tak karuan, bikin rusuh suasana saja. Saat itu, Satria masih harus mendengarkan lanjutan cerita Dewi Melati yang sumpah mampus membuat dia mengantuk.
Dengan ucapan dilebih-lebihkan untuk mengambil hati si pemuda tampan, Dewi Melati berkata, Manusia Makam Keramat berniat kembali lagi dari kematian. Itulah berita yang dibawa Penjaga Gerbang Neraka pada Satria Gendeng khu- susnya. Dan pada dunia persilatan tanah Jawa umumnya. Andaikan niatnya itu terlaksana, maka dunia persilatan terancam mara bahaya besar. Mara bahaya mungkin belum cukup tepat untuk menggambarkannya. Yang lebih tepat; bencana! Melebihi keganasan letusan gunung merapi, badai raksasa, atau angin ribut! Karena kesaktian Manusia Makam Keramat yang telah berhasil kembali ke alam nyata, adalah kesaktian Dewa Petaka! Seperti diceritakan oleh Dewi Melati pada Satria Gendeng, gurunya (sekaligus 'suami angkatnya', entah apa maksudnya dengan istilah itu) selama ini mempunyai piutang nyawa pada Manusia Makam Keramat. Menurut cerita perempuan genit bermulut ceriwis itu lagi, selama memburu Manusia Makam Keramat, Penjaga Gerbang Neraka tak pernah berhasil berhadapan langsung. Dia selalu kehilangan jejak. Waktu sekian lama yang dibuang untuk memburu manusia keji berkesaktian tinggi itu akhirnya sia-sia. Didengar kabar bahwa Manusia Makam Keramat telah mati di tangan seorang Prabu Pajajaran.
Merasa dirinya tak bisa melaksanakan sumpah pada mendiang pendekar wanita dambaannya, si lelaki cebol pun lalu mengasingkan di-ri, Berpuluh-puluh tahun dia tak pernah beranjak dari puncak Gunung Krakatau. Di sana dia menjalani tapa geni. Tubuhnya sudah sulit dikenali. Sekujur badannya ditumbuhi jamur dan tumbuhan rambat. Rupanya sudah seperti arca batu.
Sampai suatu hari, seseorang datang ke tempat pertapaannya. Dia adalah seorang perempuan pelarian dari suatu desa di sekitar Krakatau.
Penduduk desa menuduhnya telah melakukan perbuatan mesum dengan beberapa pemuda. Padahal justru dirinya yang telah diperkosa di sebuah ladang pada malam buta. Kebenaran memang lahan yang dapat diputarbalikkan oleh kebusukan lidah. Bukannya berhasil menuntut perbuatan para lelaki keparat itu, dirinya malah ditu-duh sebagai wanita pembawa sial. Lalu penduduk desa hendak membunuhnya. Perempuan itu lari dari kejaran penduduk ke sekitar Gunung Krakatau. Tanpa sengaja, dia tiba di tempat pertapaan Penjaga Gerbang Neraka.
Satu hal yang menyebabkan si cebol sakti menyudahi tapa geninya adalah karena perempuan yang datang amat mirip dengan wanita pujaannya. Sejak saat itu, si perempuan yang menyimpan dendam pada penduduk desa dan kaum lelaki berguru pada Penjaga Gerbang Neraka.
"Jadi kau mirip dengan pendekar wanita yang dibunuh oleh Manusia Makam Keramat," gumam Satria ketika Dewi Melati menyambung ceritanya yang diputus waktu lalu.
"Bagus!" sentaknya.
"Apa yang bagus?" tanya Dewi Melati.
"Entahlah. Aku merasa mendapat satu gagasan untuk memancing kedatangan Pasukan Kelelawar." Mata berbulu lentik Dewi Melati membelalak, indah terlihat. Satria jadi bisa sedikit menikmati pesona itu. Ada getaran terasa manakala matanya mencoba melalap garis dan warna mata Dewi Melati.
"Apa maksudmu" Kau jangan punya gagasan macam-macam, Anak Muda!" sergahnya nyaris memekik.
"Tapi itu cuma gagasan," kilah Satria.
"Lagi pula, aku pun belum menjelaskan padamu men-genai gagasan ku itu, bukan" Memangnya aku memiliki gagasan apa?"
"Apa kau hendak menjadikan aku umpan?" tanya Dewi Melati, ragu.
"Tidak," Satria nyengir kuda.
"Maksudku, 'tidak salah'." Mata perempuan itu kian membelalak. Satria makin menikmati mata itu. Tak lama kemudian wajah Dewi Melati mulai tampak jelek. Dia kelewatan 'manyun' mendengar perkataan Satria terakhir.
"Lebih baik aku tersambar geledek bingung daripada harus diumpankan kepada Manusia Makam Keramat!!!" raung Dewi Melati, memekakkan telinga. Demi melihat istri angkatnya uring-uringan, Penjaga Gerbang Neraka tak bisa diam.
Dia ber-a-a-uk-uk mengomeli Satria habishabisan. Satria bengong.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis tiba. Keduanya jadi ikut bengong mendengar omelan 'sambar geledek' macam itu dari mulut seorang lelaki cebol. Perasaan, keduanya belum pernah berbuat kekeliruan apa-apa. Lalu apa yang salah"

* * *



Hujan deras melimpahi bumi malam itu.
Menggebu. Kilat meranggasi angkasa. Guntur menyalak, sambut menyambut Angkasa pekat. Tak ada yang bisa dipandang kecuali timbunan awan hitam di mana-mana.
Serbuan titik hujan tampaknya tak kunjung reda. Padahal hujan sudah berlangsung cukup lama. Suatu ketika, kilat membersit, bagai re-takan langit malam bercahaya.
Bumi seolah digempa sekejapan. Ubun-ubun satu pohon besar tersambar. Tak jauh dari tempat petir menukik, terdapat sebentang tanah kuburan. Di antara tonggaktonggak nisan dingin dan beku, terdapat makam berukuran paling besar. Nisannya terbuat dari ba-tu wadas sebesar kerbau berbentuk tengkorak manusia. Di bawah tanah makam, terkubur kerangka seorang pengacau besar yang pernah merongrong kekuasaan seorang Prabu Pajajaran.
Seorang berkesaktian mandraguna yang pernah menjadi pembunuh paling dingin sekian tokoh disegani di bumi Pajajaran.
Di permukaan nisan, terpahat sebaris kalimat; Manusia Makam Keramat. Hidup sebagai durjana! Mati sebagai durjana. Satu baris kalimat yang diberikan oleh sang Prabu Pajajaran yang telah membunuhnya.
Saat kilat berkelebat, nisan menggidikkan dalam sekedipan menjadi benderang. Guruh mengamuk. Lalu kilat menoreh kembali. Lagi dan lagi.
Guruh tak tinggal diam, terus menguntit. Malam jadi seperti pesta awal petaka.
Dari kepekatan malam dan rapatnya serbuan hujan, satu sosok kecil berlari lincah menembus semua itu. Bahunya membopong seorang wanita. Karena bertubuh kecil, sosok itu jadi terlihat tak seimbang dengan bebannya. Bukan dengan begitu dia mengalami kesulitan berarti. Tanpa pernah kehilangan kelincahan, sosok kecil itu bahkan mencelat-celat dari satu pucuk nisan ke pucuk lain. Sampai sosok itu tiba di makam bernisan tengkorak. Bertepatan dengan mengerjapnya kilat, mencelat suara gemuruh. Bukan berasal dari guruh, melainkan dari gundukan tanah makam.
Gemuruh menanjak makin keras.
Merangas beringas.
Deru hujan terlibas.
Salakan guntur dilindas.
Perlahan-lahan, gundukan tanah makam menjadi retak. Retakan merekah. Dari dalam rekahan, menyembur asap pekat, bergumpal-gumpal bagai kabut tengah malam. Lobang tercipta. Besar dan kian membesar. Di dalam liang lahat mengan-ga, terbujur mayat seorang lelaki kurus berambut putih panjang menumpuk di sekitar bahunya.
Kumis dan jenggotnya pun demikian panjang, menutupi sekujur dada. Juga kuku-kuku di jari kaki serta tangan. Karena sudah terlalu panjang, kuku hitam itu melingkar-lingkar di sekujur lengan dan telapak kaki. Tepat di dada kanannya, tertancap sebatang keris kecil berukuran sejengkal berwarna keperakan. Sebagian ujung mata keris menembus dadanya. Senjata itu milik salah seorang Prabu Pajajaran yang berhasil membunuh, sekaligus membangun prasasti kematian di makamnya. Prasasti untuk peringatan bagi setiap durjana yang mencoba membangun petaka! Asap tersapu angin. Menipis. Bersamaan dengan menipisnya asap, perlahan tampak sosok seseorang di tepi kuakan lebar gundukan makam.
Lelaki tua. Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan kurus. Berkumis putih tebal. Berambut panjang sebatas pinggang sewarna dengan kumisnya. Bersidekap dia, bertelanjang dada. Tubuhnya hanya ditutupi cawat kain berwarna hitam. Sepasang matanya seperti tak memiliki kelopak. Biji matanya putih menyeluruh. Kulit di seputar mata berwarna hitam.
Ada suatu keanehan. Wajah dan perawakan lelaki yang baru muncul amat serupa dengan mayat di liang lahat. Perbedaannya cuma pada panjangnya rambut, jenggot, dan kuku.
Di dalam liang lahat, sudah jelas terbujur Manusia Makam Keramat, sesuai dengan pahatan pada nisan. Dan orang tua yang baru muncul pun Manusia Makam Keramat! Yang satu jasadnya.
Yang lain arwahnya.
Jasad lelaki sakti yang pada zamannya pernah dianggap sebagai Sang Dewa Petaka itu tak pernah diterima bumi semenjak kematiannya, akibat kutukan salah seorang guru yang dibunuhnya.
(Baca kisah sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!) Hal itu menyebabkan rambut dan kukunya tetap tumbuh kendati arwahnya telah terpisah dari raga. Penyebab yang pasti tidak diterimanya jasad Manusia Makam Keramat oleh bumi sebenarnya bukan semata karena kutukan. Melainkan, karena manusia setengah dewa itu telah keliru mempelajari satu kitab sesat yang tak memiliki halaman terakhir. Karena kekeliruan itu, arwahnya terus terpenjara di batas dua alam.
"Kau telah datang muridku?" tanya Manusia Makam Keramat dengan bahasa gaib.
"Benar, Eyang. Tapi delapan orang dari kami...," lapor si bocah tanpa terlihat gerakan mulut sekecil apa pun. Sebelum kalimatnya selesai, sang guru sudah memotong.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami dihadang oleh seorang lelaki berwajah garang. Ketika kami sedang menggempurnya, datang tiga orang lain. Satu orang bertubuh gemuk buncit, satu orang wanita cantik yang dulu gagal kami culik dan seorang pemuda yang pernah mengusik tapa kami di goa. Lalu aku memutuskan untuk membawa perempuan ini dulu kepada Eyang." Wajah arwah Manusia Makam Keramat terlihat keruh. Matanya membersitkan sinar murka.
"Aku sudah tahu pemuda itu. Tapi aku belum tahu dua orang yang lain...," geramnya.
"Aku ingin sekali memperlihatkan bayangan semu lelaki gendut buncit dan perempuan cantik itu pada Eyang. Tapi tentu Eyang tahu aku tak bisa melakukannya tanpa melengkapi jumlah kami menjadi sembilan orang."
"Ya. Tunggu saudara seperguruanmu yang lain. Sekarang, kau lemparkan dulu perempuan itu ke dalam makam ku!" perintah arwah Manusia Makam Keramat.
"Baik, Eyang." Usai menyahut, si bocah yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari kejaran Satria Gendeng, segera melaksanakan perintah eyang gurunya. Perempuan di bahunya dicampakkan begitu saja layaknya bangkai binatang.
Ketika tubuh perempuan malang tadi terjatuh tepat di atas jasad Manusia Makam Keramat, mendadak petir kembali menyalak. Beberapa detik, kembali berlangsung sahut-sahutannya. Seakan, sedang berlangsung peperangan sengit para makhluk angkasa! Jasad Manusia Makam Keramat membersitkan cahaya merah dari setiap lobang poriporinya. Membersit lurus. Halus.
Menyatu di segenap ruang liang.
Membangun benderang.
Seakan ada tumpukan bara, dari dasar neraka! Tubuh si perempuan malang perlahanlahan tertelan cahaya merah itu. Bentuknya mengabur, mengabur, seperti diurai menjadi serpihan debu tertembus larik-larik cahaya halus. Di ujung semua itu, wujud perempuan malang tadi memupus, "Ha ha ha ha!!!!" Mencelat tawa Manusia Makam Keramat.
Garang. Lantang. Menyalipi deru hujan dan gelegak langit kelam. Bersamaan dengan itu, keris kecil di dada jasad Manusia Makam Keramat bergetaran jalang.
Getaran halus, namun cepat. Sebagian ujungnya kemudian terangkat. Setelah itu, keris beku kembali.
"Perempuan kedua puluh satu! Sepuluh orang lagi akan membuat keris laknat itu tercabut dari jasadku, dan aku akan bebas untuk bangkit kembali!!!!" raung Manusia Makam Keramat, ber-kawal kabut putih pekat yang menelannya.


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

MENEMUKAN Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis datang, Dewi Melati tersenyum samar. Ini dia, pikirnya sambil melirik si orang tua buncit dengan tatapan usil, sekaligus mengancam.
"Rupanya kau di sini juga, Dewi. Kupikir kau sudah diculik salah seorang bocah Pasukan Kelelawar!" celoteh Gendut Tangan Tunggal, pan-tang melihat wanita setengah baya cantik itu. Kalau bertemu, mereka sudah seperti kucing dengan anjing bengkak.
"Kuharap kau akan dijemput oleh mereka. Siapa tahu, perempuan sejenis dirimu memang diminati sekali oleh bocah-bocah itu," cecar Gendut Tangan Tunggal, tak puas.
"Kau hendak memuji" Siapa yang tak berminat padaku?" tangkis Dewi Melati sambil me-lenggokkan pinggul padat menantang dan me mir- ing-miringkan wajah genit.
"Bukan begitu. Aku pikir, otak mesum mu mungkin cukup gurih untuk disedot oleh mereka, siapa tahu. Hi hi hi!"
"Diam kau gendut bau!" Dewi Melati mendengus sinis. Wajahnya memerah. Hidungnya kembang-kempis macam kelinci betina. Penghinaan seperti itu tidak bisa dibiarkan, sumpahnya.
Lalu terbetiklah pikiran brengseknya.
Sambil mendekati 'suami angkatnya' dengan wajah tertekuk macam dompet tanggung bulan, dia menggerak-gerakkan tangan. Gelagatnya, dia sedang menyampaikan sesuatu pada Penjaga Gerbang Neraka dengan bahasa isyarat yang hanya dimengerti oleh mereka.
Gendut Tangan Tunggal terkikik geli. Dia tak pernah tahu bahwa si lelaki cebol bisu tuli.
Dan dasarnya dia memang rada-rada telat mikir, dia pun tak menyadari hal itu. Yang diperhatikannya cuma gerak-gerik Dewi Melati yang dianggap lucu. Wajah Satria merengut. Apa maunya Dewi Melati sekarang" Pertanyaan serupa itu baru terjawab kemudian, ketika wajah mungil mirip perempuan si Penjaga Gerbang Neraka mendadak merah padam.
Matanya berkilat-kilat menerkam Gendut Tangan Tunggal, Rahangnya mengeras. Gigi bergemeletukan. Melihat manusia kecil itu, Gendut Tangan Tunggal jadi ngeri juga. Bibirnya sebentarsebentar tersenyum, mencoba menjinakkan lelaki cebol yang mulai mendidih tanpa sebab yang diketahuinya. Sialnya, senyumnya itu lebih mirip cen-giran mengajak. Dan wajah Penjaga Gerbang Neraka makin kebakaran. Saking serba salahnya, Gendut Tangan Tunggal menyikut kawan di sebelahnya.
"Apa salahku, Bengis?" tanyanya pada Pendekar Muka Bengis.
Pendekar Muka Bengis angkat bahu. Apa peduliku" gerutunya dalam hati. Kalaupun aku tahu, aku pun tak akan ambil peduli! Sebaliknya, aku malah berharap kalau kau sedikit diacak-acak oleh manusia kerdil itu. Biar kau tahu rasa! Pendekar Muka Bengis membatin. Dia sebenarnya masih agak kesal dengan Gendut Tangan Tunggal.
"Pasti kerjaannya si Dewi Kaleng Rombeng," gumam Gendut Tangan Tunggal, mendugaduga. Tak mungkin ada asap kalau tak ada api! Dia baru sadar sekarang apa maksud Dewi Melati dengan gerak-gerakan tangan tadi... Bukankah itu bahasa orang bisu-tuli"
"Bisu-tuli"!" desis Gendut Tangan Tunggal tiba-tiba. Mendadak saja dia teringat sesuatu. Ingat 'seseorang' tepatnya. Lalu ditelitinya Penjaga Gerbang Neraka, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, lalu balik ke ubun-ubun lagi....
"Waduh!" keluhnya. Wajahnya yang biasa selalu bersemu kemerahan tiba-tiba pula memucat. Mulutnya membulat. Serba salah sikapnya.
Garuk sini salah, garuk sana salah. Tak digaruk, juga salah.
"Kenapa?" tanya Pendekar Muka Bengis, penasaran melihat tingkah Gendut Tangan Tunggal.
"Kau tanya kenapa"!" bentak Gendut Tangan Tunggal dengan mata mendelik.
Ngototnya minta ampun.
"Iya, kenapa"!" balas Pendekar Muka Bengis, tak kalah sengit. Pertanyaannya sebelumnya tidak pakai acara bentak-bentakan segala, kenapa mesti dijawab dengan kasar" Cuma manusia con-gek, tolol, dan pikun yang tak tersinggung dibegi-tukan! "Manusia cebol itu...," bisik Gendut Tangan Tunggal. Tanpa menyelesaikan ucapan, si orang tua gendut melirik Penjaga Gerbang Neraka takuttakut dengan sudut mata.
"Kenapa dengan dia?" Pendekar Muka Bengis makin penasaran.
Gendut Tangan Tunggal baru mau berbisik lagi, tapi terpancung dengan terjangan gila-gilaan Penjaga Gerbang Neraka. Ya, gila kecepatannya.
Ya, gila tenaga dalamnya. Ya, gila sangarnya. Ya, gila... orangnya! Orang tua gendut itu seketika berteriak sejadi-jadinya. Melolong-lolong seperti bocah bongsor takut disunat! Gila, kenapa si gendut ini" Pendekar Muka Bengis terbengong-bengong. Heran juga dia. Sebenarnya, apa yang begitu ditakuti tokoh kawakan macam Gendut Tangan Tunggal dari manusia sekecil itu" Dewi Melati terkikik-kikik geli. Badannya sampai terbungkuk-bungkuk sambil mendekap perut. Satria Gendeng lain lagi. Dia menepak jidat sendiri. Ampun, kegilaan macam apa lagi dilakukan orang-orang sinting ini" Gerutunya dalam hati.
"Tunggu! Tahan, oi-oi, tahan!" teriak Gendut Tangan Tunggal kelimpungan dalam kucuran serangan lawan cebolnya. Apalagi ketika Penjaga Gerbang Neraka sudah menggunakan senjata berbentuk cakarnya. Seolah begitu bernafsu dengan perut gentong lawan, Penjaga Gerbang Neraka mencecarkan senjatanya pada bagian tersebut.
Wukh wukh! Kendati kelihatan ketakutan, Gendut Tangan Tunggal tak bodoh membiarkan sambaran senjata lawan 'menggaruk' habis perutnya. Gadanya bergerak sekejapan, menghadang senjata lawan. Trang! Bentrokan terjadi. Gendut Tangan Tunggal mengaduh keras. Tangannya terasa seperti baru dibenturkan ke benteng baja. Gada di tangan kanan pasti terpental, kalau saja orang tua buncit itu menentang tenaga sentakan senjata lawan. Kendati berhasil mempertahankan senjatanya, Gendut Tangan Tunggal harus menerima akibat lain. Tubuhnya terpental amat jauh. Badan sebuntal dia seperti cuma berisi kentut! Sekarang, mata Pendekar Muka Bengis baru mulai terbuka. Sekarang, lelaki berwajah tak bersahabat tapi berhati mulia itu mulai dapat membaca alasan kawan tengiknya bertingkah tak karuan. Yang tetap belum jelas baginya, siapa orang cebol itu" Di kancah pertarungan, Penjaga Gerbang Neraka bahkan tak membiarkan lawan menjauh akibat dorongan tenaganya sendiri. Dia benarbenar kalap. Entah apa yang dikatakan Dewi Melati padanya sampai orang kecil berusia amat tua itu jadi mengamuk.
"Huuuk!" Dibayangi sentakan suara aneh, Penjaga Gerbang Neraka melempar sepasang cakar logamnya Ke arah layangan tubuh Gendut Tangan Tunggal. Dua senjata itu melayang deras. Jauh lebih cepat dari tubuh Gendut Tangan Tunggal hingga dalam sekejapan cepat menyusulnya.
Di udara, sepasang cakar logam itu berputar bagai sepasang kincir maut. Kecepatan putarannya menyebabkan kedua benda terlihat seperti cakram kembar. Posisi sulit bagi Gendut Tangan Tunggal. Saat terpental deras seperti itu, geraknya tentu saja jadi mati.
Kalaupun masih dapat dilakukan, tak akan sanggup melebihi kecepatan laju senjata kembar lawan.
Ancaman maut bagi si gendut! Pendekar Muka Bengis tak bisa membiarkan begitu saja kawannya berada dalam bahaya.
Biarpun Gendut Tangan Tunggal sering membuat otaknya jadi mendidih dengan tingkah tengiknya.
Di lain pihak, Satria Gendeng berpikir serupa.
"Heaa!"
"Haaaiiiiih!" Berbarengan keduanya mencelat, memangkas udara. Layaknya sepasang rajawali.
Satu cakar logam maut untuk satu orang.
Jarak yang tak begitu jauh dengan laju senjata Penjaga Gerbang Neraka memungkinkan mereka untuk bisa mengejarnya. Berhasil tidaknya mereka, sama sekali tidak ada jaminan! Sebab ketika mereka bersiap menghantamkan sampokan tangan ke senjata kembar, sang pemilik turut pula menggenjot tubuh. Arahnya sama dengan laju senjata kembar tadi. Satu-satunya tujuan, menghantam datangnya dua orang yang mencoba memangkas cakar logamnya.
Tiga manusia meluncur ke satu titik.
Ada pilihan berat untuk Satria Gendeng dan Pendekar Muka Bengis. Pertama, meneruskan niat untuk menyelamatkan Gendut Tangan Tunggal. Untuk itu, mereka harus berani mengambil risiko diserang oleh Penjaga Gerbang Neraka. Terkena hajarannya, bisa berarti membuang nyawa.
Setidaknya luka dalam amat parah. Akibat itu tak bisa disangsikan jika menilai bagaimana seorang kawakan macam Gendut Tangan Tunggal terpental deras hanya bentrokan senjata olehnya. Kedua, menyiapkan tangkisan terhadap serangan si orang tua cebol. Untuk itu, mereka akan kehilangan Gendut Tangan Tunggal. Mungkin dia bisa selamat, namun dengan luka yang akan membuatnya cacat seumur hidup! Pendekar Muka Bengis tak kehilangan cara. Dia memiliki satu pukulan yang memungkinkannya mengambil kedua pilihan sekaligus. Sebelum tiba di dekat luncuran senjata, dilepasnya pukulan jarak jauh, pukulan 'Puting Beliung' ke dua arah sekaligus. Satu ke arah senjata. Yang lain ke arah Penjaga Gerbang Neraka.
Satria Gendeng sendiri, sejak mencelat dari muka bumi tak berpikir apa-apa kecuali menyelamatkan nyawa Gendut Tangan Tunggal. Dia tak peduli betapa hebat tingkat tenaga lawan. Bahkan dia tak peduli pada keselamatan dirinya. Dirinya nomor dua! Maklum, dia masih tergolong hijau.
Dan sifat ksatria dalam gelegak darah mudanya cenderung mempengaruhinya melakukan itu.
Nekat, Satria menjegal laju satu cakar logam. Menyaksikan bahaya besar siap melalap si pemuda tampan yang membuat dirinya 'kegatalan', Dewi Melati menyetop kikik ramainya.
Wajahnya berganti menegang.
"Guruuuu, jangan!" pekiknya melengking.
Dia lupa kalau Penjaga Gerbang Neraka tak akan pernah mendengar teriakannya itu. Kalaupun bisa, dia tak akan mengerti.
Dan akhirnya....
Wrrrrr... Dash! Pekikan, teriakan deru pukulan jarak jauh, gaung senjata, dan suara hantaman bertindihan jadi satu dalam satu kejapan singkat.
Menyusul jatuhnya tubuh Gendut Tangan Tunggal, dua bayangan terpental ke dua arah berbeda. Satu bayangan berputaran ringan dan hinggap tanpa kurang satu apa. Sementara kedua senjata berbentuk cakar nyasar ke tempat lain, mencabik dua pohon besar hingga menjadi serpihan serat halus! Dua bayangan yang terpental adalah si pendekar muda Satria Gendeng, terhantam sentakan telapak tangan orang tua cebol. Bayangan lain adalah Penjaga Gerbang Neraka sendiri. Tepat ketika telapak tangannya menghantam tubuh Satria, pukulan 'Puting Beliung' menghantamnya pula.
Satria jatuh berdebam dan bergulingan liar hampir sejauh tiga puluh tombak. Belum jelas seberapa parah luka dideritanya. Sedangkan Penjaga Gerbang Neraka memperlihatkan unjuk peringan tubuh tingkat tinggi. Dengan memanfaatkan dorongan angin saja, dia sanggup menyeimbangkan tubuh di udara dan mendarat empuk seperti seekor kumbang hinggap di atas bunga! "Fhuiiih!" Gendut Tangan Tunggal menghela napas.
Keringat dingin di keningnya sebesar biji jagung.
Tangannya mengurut-urut dada lega.
"Dasar gendut bedebah!" maki Dewi Melati, berang.
"Semua ini gara-gara kau, manusia bau bawang!!!" Gendut Tangan Tunggal bangkit mendelikdelik. Tak sudi dia disalahkan sewenang-wenang.
"Kau bilang apa, kuntilanak, genderuwo, dukun beranak!" semburnya gencar.
"Kalau kau tadi tak mengatakan sesuatu padanya, mana mungkin dia jadi kalap begitu," omelnya lagi, membela diri seraya menunjuk sembunyi sembunyi ke arah orang tua cebol yang masih menatapnya bulat-bulat.
"Katakan padaku, kau mengatakan apa padanya" Apa kau bilang, aku menganggapnya jin penunggu sumur" Sandal jepit" Manusia ajaib dari pinggir empang" Apa" Apa"!!" Makin sengit saja mulut Gendut Tangan Tunggal.
"Kau baru saja mengatakannya, bukan"!" Wajah Gendut Tangan Tunggal memucat, memerah, memucat, memerah, lalu membiru.
"Apa maksudmu"!" tanyanya dengan lobang hidung kuncup-mekar.
Dewi Melati mencibir.
"Akan kukatakan semua ucapanmu tadi!" ancamnya.
"Jangan!!!" sergah Gendut Tangan Tunggal.
"Kalau begitu, akui bahwa semua ini karena salahmu!" Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk kesal perutnya.
"Kau memang sialan," gerutunya.
"Katakan!"
"Baik... baik. Semuanya gara-gara aku!"
"Katakan juga; aku memang manusia bau!"
"Apaaa"!!"
"Katakan!"
"Iya-iya, sialan. Aku memang manusia...."
"Katakan!"
"Bau!"
"Bagus!"
"Dasar genderuwo!" Pertengkaran mulut itu tak akan selesai sampai kiamat kalau saja tak ada yang menghentikan.
"Cukup!" bentak Pendekar Muka Bengis.
Wajahnya sekarang benar-benar jadi bengis asli.
Dia sudah pegal hati dengan segala pertengkaran memperebutkan pepesan kosong Dewi Melati dan Gendut Tangan Tunggal. Didekatinya si orang tua berperut boros. Dipelototinya seram-seram.
"Gendut. Sudah waktunya kau mengatakan padaku apa yang kau ketahui tentang orang itu!" tegasnya seraya memberi isyarat mata ke arah Penjaga Gerbang Neraka.
"Dia 'suami angkat'-ku!" serobot Dewi Melati.
"Aku tak tanya kau! Tunggu giliranmu!" bentak Pendekar Muka Bengis tambah seram.
Sambil memain-mainkan ujung kuku dan tak berani menatap kembali lelaki sewot di depannya, Gendut Tangan Tunggal mengatakan, "Kau memang tolol, Bengis. Masa' kau tak ingat pada orang persilatan bertubuh cebol, bisu, dan tuli?"
"Jangan bertele-tele!" Gendut Tangan Tunggal mendekatkan wajah ke telinga kawannya. Dia berbisik.
"Sssstt-suttt-sst!"
"Hah"!!"
"Aku tahu kau pasti akan terkejut mendengarnya, bukan?"
"Bukan itu! Mulutmu bau bawang!"
"Sialan kau! Dia itu.... Penjaga Gerbang Neraka!" kata Gendut Tangan Tunggal nyaris berseru. Dia tak sabaran.
"Hah"!!"
"Bau bawang lagi?"?" tanya orang tua buncit kebodohan.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

BAYANGKAN betapa usilnya Dewi Melati pada Gendut Tangan Tunggal karena dia telah mengatakan pada Penjaga Gerbang Neraka bahwa orang tua gendut itu telah lancang meminangnya" Bayangkan pula bagaimana mengkelapnya si tua bangka cebol sebagai 'suami angkatnya'" (Biarpun masih tak jelas apa maksud Dewi Melati dengan istilah 'suami angkat'!) Tahu sendiri, Dewi Melati dianggap Penjaga Gerbang Neraka sebagai peng-ganti pendekar wanita yang membuatnya merasakan cinta sekali sepanjang hidupnya" Tinggalkan dulu segala keruwetan tokohtokoh rada-rada sinting dunia persilatan itu. Kini, tengok dulu satu daerah yang masih termasuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Daerah di mana terdapat sebuah muara sungai yang bersambung dengan pantai. Hari terik. Panas yang demikian menyengat memaksa seorang penduduk desa untuk beristirahat sejenak di tepi muara. Seharian tadi dia pergi ke kotapraja Kerajaan Pajajaran untuk menjual beberapa ternaknya. Tak sampai tengah hari, binatang dagangannya sudah laku terjual. Haus menjadi jadi di tenggorokan. Seraya menyapu peluh, lelaki muda berkulit coklat gelap itu mendekati tepian sungai.
Pada batu besar di tepi sungai, dia berjongkok untuk menciduk air dengan tangan. Beberapa teguk, diminumnya air sungai berair jernih.
Puas memberantas rasa haus, dia hendak melanjutkan perjalanan kembali. Sebelum niatnya terlaksana, dilihatnya lobang besar yang mencekung dalam di tepian sungai tak jauh dari tempatnya berjongkok. Dari atas tadi, lobang berbentuk goa kecil itu tak terlihat karena terhalang oleh tanaman liar.
Semula lelaki muda itu tak terlalu tertarik.
Lobang seperti itu memang sering ditemui di tepi sungai. Mungkin akibat kikisan arus. Namun, lain perkara kalau dia menyaksikan samar-samar sesuatu sebesar manusia bergerak-gerak di dalam sana. Dari tempatnya kini, tak begitu jelas. Perut lobang agak gelap. Sulit menentukan benda apa gerangan. Kalau belut, tak mungkin sebesar itu.
Ular" Bukankah ular Sanca ada yang sebesar orang" Duganya was was Penasaran, hatinya ingin mencari tahu.
Namun, rasa takut membuatnya mengurungkan niat. Akhirnya dia naik kembali ke tepian.
Baru saja hendak beranjak, langkahnya segera dihentikan manakala disaksikannya sehelai pakaian perempuan terhanyut dari dalam lobang.
Timbul lagi kecurigaannya. Jangan-jangan yang kulihat dalam lobang memang benar manusia, pikirnya. Siapa tahu ada perempuan kampung yang hanyut ketika sedang mencuci di pinggir sungai.
Lelaki muda itu akhirnya kembali ke atas batu besar. Sebelumnya, dia mencari dahan pohon kering panjang. Dengan dahan itu, dikorekkoreknya lobang tadi. Beberapa saat kemudian, kecurigaannya terbukti. Dahan di tangannya tersangkut sesuatu. Ketika ditarik, ternyata rambut manusia, menyusul mayat seorang perempuan muda dari dalam lobang! Sekujur tubuhnya sudah agak membengkak. Kulitnya pucat kebiruan.
"Astaga, perempuan dari kampung mana ini" Malang sekali nasibnya...," gumam lelaki mu-da itu. Karena berpikir mayat yang ditemukannya cuma seorang perempuan malang yang hanyut oleh arus sungai, si lelaki muda berusaha mengangkatnya. Sebelum sempat melaksanakan itu, dia dikejutkan oleh mayat perempuan lain yang keluar dari dalam lobang karena terseret arus.
Matanya belum sempat berkedip ketika berturut-turut keluar lagi mayat-mayat lain. Ada lebih dari sepuluh mayat telah keluar dan terbawa arus sungai, dan itu belum juga berakhir. Semuanya perempuan! Semuanya dalam keadaan mengenaskan! Wajahnya yang semula tenang, sekarang berubah memucat. Seumur-umur, tak pernah didengarnya ada orang hanyut ramai-ramai. Mana perempuan semua. Kalau bukan mimpi siang bolong, pasti dia sedang mabuk. Air sungainya beracun" Atau....
Lelaki muda itu bergidik. Sudut bibirnya terungkit tinggi. Matanya jelalatan. Aku pasti sedang berdiri di tengah-tengah kerajaan siluman sungai, pikirnya. Siluman yang biasa memangsa jiwa perempuan untuk sarapan! Tak lama kemudian....
"Tuolooooooong!" Lintang-pukang, da melarikan diri. Uang hasil menjual ternaknya berceceran, dia tak pedu-li. Anak bininya tak makan seminggu pun, dia tak peduli. Daripada dirinya ikut jadi bangkai di sungai, lebih baik secepatnya minggat! Sepanjang jalan menuju desa, terus saja dia berteriak-teriak sampai serak.

* * *



Sekarang masalahnya jadi terang benderang buat Pendekar Muka Bengis. Kawan tengiknya, Gendut Tangan Tunggal memang pantas ciut nyali ketika menyadari siapa sesungguhnya tua bangka cebol berwajah seperti perempuan.
"Jadi, dia itu Penjaga Gerbang Neraka"!" Terperangah-perangah, Pendekar Muka Bengis mengulang bisikan Gendut Tangan Tunggal. Penjaga Gerbang Neraka untuk orang seangkatan Gendut Tangan Tunggal adalah momok.
Kendati berusia lebih muda, Pendekar Muka Bengis pun masih amat kenal dengan julukan besar itu. Julukan besar yang patut disejajarkan dengan seorang sesepuh dunia persilatan tanah Jawa, Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru Satria Gendeng! Sebenarnya, manusia cebol sakti itu tak perlu ditakuti oleh siapa pun. Penyebabnya karena dia tak pernah menurunkan tangan kejam pada siapa pun. Namun kalau sedikit saja ada orang mengusiknya, maka tak pandang dari golongan sesat atau lurus orang itu akan dihabisinya tanpa ampun. Sekali dia bertindak, maka akan jatuh korban nyawa. Sekecil apa pun kesalahan, bayarannya tetap nyawa! Kesaktian Penjaga Gerbang Neraka pada zamannya sulit dicari tandingan. Hanya ada beberapa orang yang dianggap setingkat dengannya.
Termasuk Manusia Makam Keramat. Biarpun keduanya tak pernah sekali pun bertarung, kalangan persilatan tetap yakin akan perimbangan kesaktian mereka.
Tampaknya, kisah-kisah para tokoh mandraguna sezaman dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah menjadi cerita yang terus tersebar dari mulut ke mulut, dari satu keturunan ke keturunan berikutnya.
Sementara usia mereka sudah demikian tua dan jarang menampakkan diri lagi, kebesaran nama mereka tetap menggetarkan nyali orangorang persilatan yang satu-dua generasi lebih mu-da. Seperti Gendut Tangan Tunggal yang mewakili tokoh generasi kedua Pendekar Muka Bengis mewakili generasi ketiga. Tak heran Gendut Tangan Tunggal langsung kelabakan setengah edan ketika Penjaga Gerbang Neraka mulai mengamuk.
"Kenapa kau tak bilang sejak tadi kalau dia adalah Penjaga Gerbang Neraka"!" bentak Pendekar Muka Bengis.
"Aku juga baru menyadari ketika perempuan kaleng rombeng itu berbicara dengan bahasa isyarat tangan padanya! Seingatku, hanya ada satu tokoh bertubuh cebol, tuli, dan bisu. Ya, Penjaga Gerbang Neraka itu!"
"Mampuslah kau, Gendut!"
"Apa maksudmu?"
"Apa kau lupa, Penjaga Gerbang Neraka tak pernah mau ada orang lain berbuat salah padanya. Sekali dia gusar, hanya nyawa yang akan bisa mendinginkan darahnya...." Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri.
Dengan suara berdesis-desis dia berkata, "Itulah makanya aku jadi kelimpungan tadi. Jadi, bagaimana sekarang?" Pendekar Muka Bengis melirik Penjaga Gerbang Neraka. Naga-naganya, tua bangka sakti mandraguna siap melancarkan serbuan ganasnya "Kau lihat bola matanya itu, Gendut," ucap Pendekar Muka Bengis.
"Kilat matanya begitu me-nyeramkan. Aku bisa merasakan bagaimana dia begitu berselera menyedot otakmu," lanjutnya tegang, nadanya seperti menakutnakuti. Apalagi paras wajahnya dibuat amat tegang. Matanya mendelik-delik setiap kali berkata.
Kontan Gendut Tangan Tunggal merabaraba ubun-ubun. Wajahnya sudah seperti orang kelupaan buang air sebulan penuh.
"Dan dia pun tampaknya begitu bernafsu untuk mengaduk-ngaduk isi perutmu dengan jarinya!" susul Pendekar Muka Bengis, nada bica-ranya kian menakut-nakuti.
Seketika Gendut Tangan Tunggal mendekap perutnya.
"Dia juga begitu ingin mencabut benda rahasiamu lalu mengunyahnya" Detik itu juga, Gendut Tangan Tunggal jadi pelanga-pelongo.
"Benda rahasia apa maksudmu?" tanyanya.
Pendekar Muka Bengis melirik selangkangan orang tua rakus itu.
"Mak!" jerit Gendut Tangan Tunggal sambil mendekap 'benda rahasia'nya erat-erat.
"Di samping itu, tampaknya dia pun begitu berhasrat untuk...."
"Diam diam diam! Kau sama sekali tidak membantuku menyelesaikan urusan ini, Bengis Sialan!" potong Gendut Tangan Tunggal, uring-uringan.
"Jadi apa yang harus kulakukan" Membantumu berkelahi menghadapinya" Ah, terima kasih banyak! Aku masih mau hidup lebih lama."
"Jadi bagaimana?" tanya Gendut Tangan Tunggal, suaranya sudah terdengar memelas.
"Mampuslah kau, Gendut!" Sebelum Penjaga Gerbang Neraka telanjur 'memporak-porandakan' si manusia kelebihan lemak, dari arah lain terdengar suara teriakan serabutan seseorang.
"Tuoo...looooong! Ada bangkai-bangkai perempuan di muara sungai! Ada perempuanperempuan bangkai! Bangkai di muaranya perempuan, eh anu... ada banyak bangkai perempuan di muara!" Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis, atau pun Dewi Melati sama-sama menoleh ke asal teriakan. Mereka menemukan seorang lelaki desa muda sedang berlari pontang-panting. Penjaga Gerbang Neraka sendiri turut menoleh. Bukannya dia mendengar teriakan tadi, melainkan karena kepekaan kulitnya yang sanggup untuk menangkap getaran suara dari jarak yang terbilang jauh.
Demi mendengar teriakan lelaki itu, Dewi Melati langsung terpikir pada beberapa perempuan yang diculik oleh Pasukan Kelelawar. Dia bersalto cepat. Dihadangnya si lelaki desa.
"Ada apa"!" tanyanya bernada menghardik seraya mencengkeram leher baju lelaki desa itu.
"Bu... bukan aku yang membunuh mereka.
Sumpah mampus, Nona! Me... mereka sudah kutemukan menjadi bang... kai. Pas... pas... pasti semua itu perbuatan silumansiluman sungai.
Percaya saja, Nona!" gagap si lelaki desa.
"Aku tak menanyakan itu, Tolol! Yang kutanyakan, apa yang telah kau lihat di muara sungai"!"
"Bang... bang... bangkai Nona!"
"Aku masih hidup, kunyuk!"
"Maksudku, ada banyak bangkai perempuan di muara sungai, No... na!" Dewi Melati melepaskan cengkeramannya pada leher baju lelaki itu.
"Aku yakin, mereka adalah tumbal Manusia Makam Keramat yang hari-hari terakhir diculik oleh Pasukan Kelelawar...," gumamnya.
"Bukan kelelawar, Nona! Tapi bangkaibangkai perempuan. Percaya saja, Nona!"
"Ah, pergi sajalah kau!" hardik Dewi Melati.
Si lelaki desa ngacir lagi.
Dewi Melati sendiri langsung menggenjot ilmu lari cepatnya menuju muara sungai. Menyaksikan 'istri angkat'nya beranjak pergi dengan ter-gesa-gesa, Penjaga Gerbang Neraka langsung membuntuti.
"Fhuahhh...," hembus Gendut Tangan Tunggal, lega.
"Selamat... selamat," gumamnya sambil mengurut dada, setelah kepergian si tua bangka cebol. Pendekar Muka Bengis lebih penasaran dengan berita tadi. Dia segera menyusul Dewi Melati dan Penjaga Gerbang Neraka. Disambarnya tas besar yang tergantung di bahu Gendut Tangan Tunggal, diseretnya untuk ikut. Kalau cuma disuruh, mana dia mau" Itu sama saja mendekati lagi Penjaga Gerbang Neraka. Ular mencari penggebuk!


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

SEPENINGGALAN empat tokoh persilatan yang bertabiat aneh-aneh tadi, tempat yang mereka tinggalkan menjadi sepi. Tak ada Lagi keributan yang membuat telinga pekak.
Di dekat semak-belukar lebat yang tumbuh di tanah agak melandai ke bawah, sesosok tubuh tergeletak diam. Ada luka dalam cukup parah mendekam dalam tubuhnya. Hal itu yang menyebabkannya tak bergerak kehilangan kesadaran.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis memang keterlaluan! Bagaimana mungkin dua manusia 'angot-angotan' itu melupakan begitu saja Satria di sana" Pemuda itu memang Satria Gendeng. Jatuh pingsan sekian lama setelah terhajar pukulan Penjaga Gerbang Neraka.
Alasan yang paling mungkin, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis lupa pada Satria Gendeng. Mereka tentu terlalu bernafsu untuk membuktikan berita yang dibawa pemuda desa sebelumnya. Saking bernafsu, mereka jadi lupa teman sendiri. Tidak sekalian lupa pada dengkul sendiri! Sendiri, Satria masih tergeletak. Posisi tubuhnya setengah tertelungkup. Tak ada gerak sekecil apa pun. Hanya tampak turun naik punggungnya. Napas yang lemah.
Waktu beringsut bergandengan dengan sepi. Beberapa satwa memperdengarkan bunyi.
Sebagian mengendap-endap dalam persembunyian. Semak-semak bergerak terusik mereka.
Namun, tak cuma satwa yang mengendap-endap di semak-semak. Di sisi lain sekitar tiga puluh depa ke tenggara dari tempat Satria Gendeng tergeletak, muncul sembilan kepala kecil dari belukar lebat.
Kepala-kepala itu bersembulan bergiliran.
Mata setajam sembilu, segarang kelelawar penghisap darah menatapi tubuh Satria Gendeng tanpa kedip. Tanpa menimbulkan suara, satu persatu para pengintai tadi melompat dari tempat persembunyian. Bahkan semak pun tak menimbulkan suara berarti. Hanya dengan sekali lompatan saja, kesembilan sosok itu berhasil mencapai tempat Satria Gendeng tergeletak. Mereka melayang melewati jarak sejauh itu seolah terbang! Sebentar kemudian, kesembilan sosok yang tak lain Pasukan Kelelawar itu sudah mengelilingi tubuh pemuda sakti tanah Jawa.
Salah seorang dari mereka membalikkan tubuh Satria Gendeng.
Manakala menyaksikan wajah Satria, kesembilan bocah menampakkan perubahan mimik. Ada kesan keterkejutan bercampur girang. Seolah paras wajah bocah kecil yang menemukan peti gula-gula.
Sejenak mereka saling bertukar pandang. Dengan isyarat mata, seolah mereka sedang berbicara satu dengan yang lain. Hanya dimengerti oleh mereka, para bocah ajaib itu berbicara.
"Bukankah orang ini yang telah mengusik tempat semadi kita waktu itu?" tanya seorang bocah. Yang lain membenarkan.
"Ini kesempatan kita untuk membawanya kepada Eyang!" usul satu bocah.
"Bukankah Eyang menyuruh kita untuk melaksanakan tugas kita saja. Soal orang ini, Eyang yang nanti akan mengurusnya. Begitu pesan Eyang dulu!" sergah yang lain.
"Tapi, bukankah Eyang menginginkan senjata milik orang ini"!" tukas bocah sebelumnya sambil menunjuk pada Kail Naga Samudera yang terselip diikat pinggang Satria Gendeng.
Kesembilan bocah itu saling menatap kembali. Mereka mengamati senjata pusaka Satria Gendeng bagai menatapi sesuatu yang begitu aneh. Seorang bocah yang tampaknya menjadi pemimpin di antara Pasukan Kelelawar, mulai berkata kembali.
"Kita memang tahu Eyang pernah bilang kalau dirinya menginginkan benda pusaka itu.
Cuma kita tidak tahu, apakah Eyang menghendaki benda itu saja atau sekaligus dengan pemiliknya...."
"Jadi?"
"Ku putuskan, sebaiknya kita pakai kesempatan ini, selagi orang itu masih tak sadarkan diri. Kalian berdua, sebaiknya membawa orang ini kepada Eyang. Sementara, aku dan yang lain akan mencari perempuan lain. Eyang Guru harus secepatnya dibebaskan dari kematiannya!" Delapan bocah yang lain mengangguk setuju. Setelah itu, dua bocah yang ditunjuk untuk membawa Satria Gendeng segera mendekati tubuh lunglai pemuda itu. Diangkatnya tubuh si pemuda. Bersama-sama, keduanya membopong Satria.
Bocah yang mengangguk sebelumnya, mengeluarkan suara. Seperti geraman, tapi berirama. Dua bocah pembopong Satria Gendeng mengangguk. Keduanya lalu meninggalkan tempat tersebut. Sedangkan sisanya pergi meninggalkan tempat itu ke arah berbeda.

* * *



Sore kehilangan kegarangan sinar matahari. Kendati begitu, bumi masih memendam panas.
Debu masih cukup ringan untuk diterbangkan angin. Melayap kian kemari. Terlebih ketika satu kereta kuda membelah jalan berkerikil dan berdebu.
Dari kejauhan kepulan debu terlihat. Terbangun tinggi dan rapuh. Kecepatan kereta kuda itu demikian menggila. Seolah sedang mengejar atau dikejar oleh segerombolan hantu pemakan manusia. Dari bentuknya, kereta kuda itu bukan sembarang kendaraan. Melainkan sebuah kereta kencana yang tergolong indah. Berwarna hitam dengan sepuhan emas pada logamnya di beberapa bagian. Ada dua kuda jantan putih perkasa menghela di depan. Kaisnya tak henti melepas lecutan cemeti ke udara. Cletar cletar! Kaisnya sendiri adalah seorang berpakaian hitam-hitam. Potongan pakaiannya bergaya ningrat Pajajaran. Mengenakan blangkon parahiyangan. Anehnya, wajah orang itu ditutup oleh semacam topeng ukiran kayu seperti tokoh pewayangan. Ke arah barat, kereta kencana terus menuju. Liar larinya. Ditingkahi ringkik jalang sepasang kuda.
Kepulan debu membanggakan diri.
Sepanjang angin sanggup menggebah. Ada sesuatu. Yang diburu.
Kereta kencana tiba di satu bukit yang tanahnya melandai. Bukit tandus berumput. Kusir bertopeng berteriak lantang, menyemangati dua hewan di depannya untuk terus melaju.
Bukit didaki. Kuda meringkik-ringkik, berkutat naik mengangkut beban.
Tiba di puncak bukit, kusir bertopeng menghentikan keretanya. Dia menggulung cemeti di tangan kanan. Lalu melompat turun ringan.
Di samping kereta kudanya, kusir tadi berdiri. Pandangannya terlepas bebas ke bawah sana.
Seakan elang angkuh tengah mengintai mangsa di angkasa. Menanti. Caranya mengawasi seperti telah begitu yakin pada apa atau siapa yang dinantinya. Sekian menit terlewat.
Tidak lama, matanya tertumbuk pada pemandangan di kejauhan. Dua bocah kecil yang berlari seperti dua macan gurun membopong seseorang. Terdengar hempasan napas kusir bertopeng. Merekalah yang dinantinya.
Sesaat orang itu meremas gagang cemeti di tangan kanannya.
"Saatnya bertindak," ucapnya, di antara dengus angin mengguliri bukit.
Dan tubuhnya mencelat tinggi-tinggi. Cambuknya menggelepar di udara. Ketika cambuk membuat satu sabetan ke belakang, terciptalah dorongan amat kuat yang meluncurkan tuannya seperti anak panah lepas dari busur.
Melayang. Satu tenaga dorongan cambuknya sanggup melemparnya hingga ke tepi bukit. Tubuhnya melayang turun. Kaki menjejak sekali.
"Heaa!" Berteriak dia. Seiring dengan itu, tubuhnya mencelat deras kembali ke angkasa. Tindakan yang sama diulangi. Cambuk bergeletar. Udara dibelah. Gelegar angker terdengar.
Cletarr! Tubuh lelaki itu pun melayang untuk kedua kalinya. Beberapa kali tindakan itu diulang, sampai akhirnya jarak dengan dua bocah terpangkas habis. Dia menjejakkan kaki, tepat delapan depa di depan dua buruannya.
"Berhenti kalian!" hardiknya.
Dua bocah yang tak lain anggota Pasukan Kelelawar terpaksa menghentikan lari. Mereka sebenarnya telah berusaha untuk melepaskan diri kejaran kusir bertopeng di udara. Namun, kecepatan lesatan tubuh pemburunya ternyata jauh lebih hebat. Dua bocah yang membopong Satria Gendeng menggeram penuh gusar karena ada orang yang telah melancangi mereka.
Bola mata keduanya yang telah memerah, kian memerah.
"Lepaskan!" perintah kusir bertopeng.
Hanya dengan satu kata, perintahnya cukup jelas bagi kedua bocah. Mereka harus melepaskan orang yang mereka bopong. Tapi, mereka sama sekali tak menggubris. Tidak untuk satu kedipan mata pun! Cletar! "Lepaskan!!!" ulang kusir bertopeng. Sekali ini dibayangi oleh salakan cemetinya. Dua bocah sakti tak sudi begitu saja menuruti. Keduanya tersurut mundur.
"Kalian memang makhluk 'buatan' si manusia durjana yang patut dikasihani," ucap kusir dari balik topeng kakunya.
"Namun, aku tak bisa membiarkan kalian membawa pemuda itu kepada Eyang Busuk kalian!" Kendati diucapkan dengan landai, katakata kusir bertopeng tetap menandaskan satu keputusan. Bahwa kedua bocah di depannya harus melepaskan Satria Gendeng. Jika tidak, maka tangan akan berbicara!


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

EMPAT orang sampai di muara sungai.
Siapa lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga Gerbang Neraka" Seperti kata pemuda desa, mereka menemukan mayat-mayat yang mulai digiring arus itu berasal dari sebuah lobang di tepian sungai yang tanahnya agak tinggi. Bernafsu, Penjaga Gerbang Neraka segera melompat ke sungai. Ada batu besar dekat lobang yang bisa dijadikan tempat hinggap, tapi dia tak ke sana.
Sebaliknya, seperti sengaja tubuhnya malah menuju permukaan sungai.
Dalam hati Gendut Tangan Tunggal membodoh-bodohi tua bangka kerdil itu. Bagaimana manusia tolol macam dia bisa menjadi momok menakutkan sampai sekarang" Setelah itu, Gendut Tangan Tunggal berubah kagum. Bagaimana tidak" Penjaga Makam Keramat telah hinggap di atas permukaan air sungai! Tepat di depan lobang berbentuk goa tadi. Lebih mengagumkan dari itu, tubuhnya tak turut terbawa arus, seakan tak pernah benar-benar menyentuh permukaan sungai.
Pendekar Muka Bengis pun tak kalah terkagum-kagum. Tak percuma orang tua cebol ini seangkatan dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, pujinya membatin.
Penjaga Gerbang Neraka mulai mengawasi lobang. Di dalam sana gelap. Sulit untuk bisa menentukan kedalamannya. Bangkai wanita terakhir sudah pula keluar dan terbawa arus laut. Tampak kalau dia sudah lupa pada persoalan dengan Gendut Tangan Tunggal. Karena urusan baru yang dihadapi kini diyakini berhubungan erat dengan Manusia Makam Keramat.
Tangan kecil berjari-jari pendek Penjaga Gerbang Neraka menyiapkan senjata. Nalurinya memperingati ada sesuatu di dalam sana yang mengandung bahaya maut.
Tiga orang di atas tepian sungai menatapnya dengan tegang.
Seperti bayangan, tubuh Penjaga Gerbang Neraka mulai maju. Tak sedikit pun terlihat orang kerdil berjiwa raksasa itu menggerakkan bagian tubuhnya. Bagi pemilik mata jeli dan terlatih seperti Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, hal itu dapat dipahami. Kesempurnaan peringan tubuh Penjaga Gerbang Neraka menyebabkan dia mampu memanfaatkan angin halus untuk menggeser posisinya di atas permukaan sungai.
Sungguh satu unjuk kebolehan langka! Selagi Penjaga Gerbang Neraka tiba tepat di depan mulut lobang, Pendekar Muka Bengis mendadak teringat sesuatu.
"Astaga, kita telah lupa pada anak muda itu...," gumamnya pada Gendut Tangan Tunggal.
Tanpa mengalihkan pandangan takjub ke arah Penjaga Gerbang Neraka, Gendut Tangan Tunggal menyahut segan-segan, "Anak muda siapa maksudmu?" Pendekar Muka Bengis gusar juga dengan jawaban berkesan kosong itu.
"Satria! Kau pikir siapa lagi"! Kau memang manusia kerbau! Apa kau lupa, pemuda itu mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanmu dari senjata tua bangka cebol itu"!" Mendapat semburan 'sambar geledek' macam itu, barulah Gendut Tangan Tunggal tersadar.
Kepalanya menoleh. Ditatapnya Pendekar Muka Bengis.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya, kebodohan.
Apa yang kita lakukan" Ulang Pendekar Muka Bengis dalam hati, menggerutu. Sekali lagi dan seterusnya, Gendut Tangan Tunggal memang manusia kerbau! Rutuknya, masih tetap membatin. Merasa ikut tolol kalau menjawab pertanyaan amat tolol kawannya, Pendekar Muka Bengis tak menunggu lebih lama. Segera digenjot tubuh, kembali ke tempat sebelumnya.
"Kau hendak ke mana, Bengis?" teriak Gendut Tangan Tunggal. Dibuntutinya lelaki berwajah tak sedap dipandang itu.
Satu pertanyaan amat tolol lagi! Kenapa dengan manusia satu ini" Apa karena kehabisan persediaan makanan di kantong besarnya dia menjadi agak ling-lung" Atau karena belum sempat menyikat makanan lagi, lalu cacing-cacing pe-liharaan dalam perutnya hijrah ke kepala lalu memangsa otaknya" Dasar manusia kerbau! Tiba di tempat tujuan, Pendekar Muka Bengis dibuat tertegun. Satria Gendeng sudah tak ada lagi di tempatnya terjatuh.
Lelaki itu hanya menemukan bercak-bercak darah yang belum sempat mengering. Besar kemungkinan akibat luka dalam yang dideritanya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bisik Pendekar Muka Bengis gamang. Menyelinap cepat kekhawatiran dalam dirinya. Kekhawatirannya bukan tak beralasan. Terakhir, diketahui bahwa murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu terlempar oleh hantaman Penjaga Gerbang Neraka.
Mungkinkah pendekar muda tanah Jawa itu telah meninggalkan tempat tersebut tanpa diketahui yang lain" Pendekar Muka Bengis tak begitu yakin. Kalau seandainya Satria masih sanggup bangkit, tentu dia tak akan pergi ke manamana. Dan tentu pula dia akan mengikuti yang lain menuju muara sungai.
Ada kemungkinan lain. Satria Gendeng menyaksikan sesuatu atau seseorang yang dicurigai lalu meninggalkan tempat itu untuk menyelidiki. Untuk kemungkinan satu ini, Pendekar Muka Bengis tak bisa memastikan. Tak ada sedikit pun petunjuk yang bisa menjelaskan kemungkinan tersebut. Gendut Tangan Tunggal tergopoh-gopoh sampai dan langsung bertanya.
"Dia ada?" Pendekar Muka Bengis cuma bisa menggeleng.
"Tidak ada" Jadi ke mana?" susul Gendut Tangan Tunggal.
Jawaban Pendekar Muka Bengis gelengan lagi.
"Aku khawatir, ketika pendekar muda itu tak sadarkan diri, ada seseorang yang membawanya," gumamnya kemudian.
"Kalau yang membawanya perawan desa denok, montok, ayu, dan mulusssss, aku juga mau!"
"Jangan bergurau, Gendut! Yang ku khawatirkan, jika salah seorang dari Pasukan Kelelawar kembali dan membawanya pergi!" Gendut Tangan Tunggal mengerutkan kening. Kepalanya mengangguk-anggguk berirama.
"Iya, juga ya...," gumamnya.
"Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyanya kemudian.
"Kita harus mencarinya?"
"Aku setuju. Tapi...."
"Tapi, apa?" Sebelum menjawab pertanyaan Pendekar Muka Bengis, orang tua buncit itu cengar-cengir tanpa dosa.
"Tapi, bisakah kita mencari perbekalan makanan dulu" Kantong ku ini sudah bures," ka-tanya seraya mengangkat tas besar hitam dari be- lakang punggungnya.

* * *



Kembali ke muara sungai.
Saat itu, Penjaga Gerbang Neraka sedang terdera detik-detik menegangkan. Dia sudah mencapai mulut lobang. Dengan segenap serat tubuh yang mengejang. Penyebabnya cuma satu. Tua bangka kerdil itu yakin bahwa lobang tepat ditemukannya bangkai para perempuan berhubungan dengan manusia iblis yang diburunya selama ini, Manusia Makam Keramat! Sesakti apa pun dirinya, tak bisa dipungkiri bahwa lawannya, Manusia Makam Keramat memiliki kesaktian sulit terukur. Satu buktinya adalah penyematan sebutan Sang Dewa Petaka pada dirinya! Lobang yang hanya setinggi paha dan selebar lengan manusia sudah pasti tak akan cukup untuk memuat belasan bangkai. Kecuali jika lobang itu berbentuk lorong panjang. Lorong panjang yang mungkin terbentuk oleh aliran sungai bawah tanah itu tentu dimanfaatkan pihak lawan untuk membuang bangkai-bangkai perempuan yang telah mereka culik. Jika benar begitu, maka besar kemungkinan lorong panjang aliran sungai bawah tanah berhubungan langsung dengan tempat persemayaman Manusia Makam Keramat dan Pasukan Kelelawar-nya. Hal itu diyakini benarbenar oleh Penjaga Gerbang Neraka.
Semak-belukar dan alang-alang di mulut lobang tersingkap ketika tubuh Penjaga Gerbang Neraka terus mengapung maju di atas permukaan air. Tinggi Penjaga Gerbang Neraka memungkinkan dia tak perlu merunduk untuk dapat melewati lobang. Sampai batas itu, tak ada kejadian apaapa. Bahkan sampai tubuh manusia kecil itu tertelan lobang.
Dewi Melati di tepian, tepat di atas lobang, makin tenggelam dalam ketercekaman. Sampai cukup lama dia tak mendengar suatu suara pun, serta tak menyaksikan kemunculan Penjaga Gerbang Neraka. Dewi Melati waswas.
Apakah sudah saatnya dia harus melompat turun ke sungai dan menyusul tua bangka cebol itu ke dalam lobang" Apa manfaatnya kalau dia ikut masuk, sementara lawan yang akan dihadapi kenyataannya tak mungkin ditandingi kesaktiannya, kecuali oleh gurunya sendiri"
"Ah, peduli setan!" tuntasnya. Dia tak bisa membiarkan lelaki cebol itu mengalami kesulitan sendiri! Sudah terlalu banyak jasanya pada Dewi Melati. Terlalu banyak. Kalaupun Dewi Melati mengorbankan nyawa untuknya, mungkin masih pantas! Tak menimbang untuk kesekian kali, perempuan cantik setengah baya itu melemparkan dua helai daun dari pohon di dekatnya.
Di atas sungai, daun mengapung. Dewi Melati meloncat. Tepat di atas kedua helai daun, dia berdiri. Tangannya membuat kipasan ke belakang.
Tubuhnya pun mulai meluncur perlahan menuju lobang. Jauh di ujung lorong sana, sesuatu sedang terjadi. Dan dua orang itu, sama sekali tak menyadari....

* * *



Ke mana hendak mencari si pendekar muda tanah Jawa, Satria Gendeng, bukan jadi perkara gampang buat Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Pasalnya, mereka sama sekali belum menemukan satu petunjuk berarti.
Keputusan sudah diambil. Mereka harus tetap mencari Satria. Tinggal bagaimana cara mereka mencari tahu tanda-tanda sebagai petunjuk untuk memulai pencarian. Kalau benar Satria dilarikan seseorang ketika sedang tak sadarkan diri, setidaknya mereka dapat menemukan jejak. Begitu pikir Pendekar Muka Bengis. Karenanya dia mulai meneliti tanah di sekitar tempat tersebut.
Dia melangkah merunduk-runduk.
Gendut Tangan Tunggal turut melangkah merunduk-runduk di sampingnya. Badan yang sudah sulit sedikit saja 'dilipat' karena besar perut yang kelewatan, membuat napas Gendut Tangan Tunggal tersengal-sengal. Belum lagi cukup lama mencari.
"Ngik... hhhh... ngik... hhhh." Manusia satu itu akhirnya tak tahan Lagi.
Dia menegakkan badan. Melakukan tindakan tadi, terasa sedang dicekik selusin genderuwo baginya.
Tolol sekali dia sudi menyiksa diri. Dengan wajah bersungut-sungut merah padam, dia membentak Pendekar Muka Bengis.
"Sejak tadi kita berjalan merundukrunduk. Sebenarnya ada apa, sih?" Tobat! Kalau tak tahu alasan berjalan merunduk-runduk seperti maling ayam kesiangan, kenapa 'bayi ajaib' itu pakai ikut-ikutan segala" Betapa malas dia sedikit berpikir untuk mencari pemecahan masalah hilangnya Satria Gendeng.
Bahkan sekadar untuk mengetahui alasan kawannya merunduk-runduk.
Jengkel, Pendekar Muka Bengis tak menyahut. Terus saja dia meneliti. Tak memakan waktu begitu lama, Pendekar Muka Bengis berhasil menemukan ceceran darah di antara semak.
"Ketemu!" seru Pendekar Muka Bengis tertahan. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa permisi sama sang empunya, langsung leher baju Gendut Tangan Tunggal ditariknya.
"Lihat. Kita harus mengikuti tetesan darah itu!" ujar Pendekar Muka Bengis seraya menunjuk ke arah semak-semak.
"Kau mengerti"! Gendut, apa kau mengerti"!" Percuma bentakan sesengit apa pun. Karena, orang yang ditanya sedang mendelik dengan lidah menjulur keluar. Rupanya, Pendekar Muka Bengis terlalu bernafsu menarik leher baju Gendut Tangan Tunggal! "Kau mencekik ku, sialan!" maki Gendut Tangan Tunggal setelah Pendekar Muka Bengis melepaskan cekalannya. Dalam hati, lelaki bertampang berangasan itu sebenarnya ingin lebih lama melakukannya. Kalau perlu sampai isi perut si manusia gentong keluar semua! Mampus, mampus sekalian! Untung Pendekar Muka Bengis masih punya prike'kerbau'an! "Baiknya, kita cepat ikuti saja ceceran darah itu!" sergah Pendekar Muka Bengis ketika tangan Gendut Tangan Tunggal teracung geram hendak menitipkan bogem.
"Bagaimana?" cecarnya, tak memberi kesempatan Gendut Tangan Tunggal untuk membalas. Gendut Tangan Tunggal jadi 'geregetan' sendiri. Karena terlalu ngotot ditahan-tahan, akhirnya keluar dari 'belakang'.
"Bagus!" ujar Pendekar Muka Bengis, mendapat jawaban pun belum. Apa dikiranya ucapan Gendut Tangan Tunggal memang lebih mirip kentut" Atau kentut Gendut Tangan Tunggal sebenarnya memang mirip ucapan"

* * *



Ancaman tengah mendatangi Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi Melati. Dari satu ujung lorong sungai bawah tanah. Mendekat, semakin dekat. Bentuknya berupa sinar merah benderang.
Laksana segumpal bara yang meluncur langsung dari dasar terdalam neraka. Warna sangar yang menyapu dinding tanah di sisi-sisi lorong. Seakan menggarangnya.
Melesat. Melahirkan suara halus, namun pekat.
Mirip desisan. Juga mirip dengung.
Di atas permukaan air, riaknya turut memerah. Berkelindan dalam setiap kelokan.
Sampai tiba. Mata Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi Melati dipaksa membelalak terlalu besar demi menyaksikan kedatangan cahaya merah dari arah depan mereka. Seketika, lorong menjadi amat terang. Kejap yang sama, mata kedua orang itu seperti dibutakan secara mendadak. Tanpa sadar, keduanya mengangkat tangan ke depan wajah untuk menghalangi terjangan cahaya teramat menyilaukan. Sudah pasti, akan terlalu sulit bagi tokoh sesakti apa pun menghindar di tempat yang terlampau sempit. Mengelak ke dinding lorong, serapat apa pun tak menjamin akan berhasil menghindar dari terjangan cahaya merah menyala.
Hanya ada satu tindakan bisa dilakukan.
Melepas hantaman balik ke arah cahaya tak dikenal. Jika berhasil, maka terjangan cahaya akan terhalau ke belakang kembali.
Dengan satu syarat, tenaga hantaman yang dilepas harus lebih kuat.
Jika tidak, maka sia-sia. Untung-untungan memang. Tapi, lebih baik berusaha ketimbang tidak sama sekali.
"Wuuuuuukhhh!" Seraya berteriak amat mengguntur, tua bangka cebol menyentak sepasang telapak tangannya ke depan. Ketika itu pula, mencelat dua larik sinar berwarna ungu.
Besarnya tak melebihi cahaya merah tak dikenal. Namun, kekuatannya belum bisa disebut lebih lemah. Itu ditentukan nanti, ketika keduanya bertumbukan.
Bagi Dewi Melati, tidak ada satu tindakan pun dapat dilakukan, kecuali terperangah dengan mulut dan mata terpentang lebar-lebar. Kalaupun hendak melakukan hantaman balik, dia harus mempertimbang posisi Penjaga Gerbang Neraka di depannya. Ssssss! Dua larik cahaya dari telapak tangan si manusia cebol tak kalah garang memperdengarkan deru. Menggebu. Dinding, langit-langit lorong, dan permukaan air menjadi medan cahaya ungu dan merah. Pada satu titik, dua cahaya berbeda itu bertemu. Satu menyerap yang lain. Melebur. Sunyi meringkus. Tanpa ada lagi desis, tanpa ada lagi deru, tanpa dengung. Hanya ada sebentuk warna baru perpaduan keduanya. Benderang berdenyutdenyut nyalang. Sebentar ungu meraja. Sebentar merah berkuasa. Hanya berselang dua tarikan napas.... Glar! Lorong digoncangkan. Air dihamburkan.
Dinding dan langit-langit tanah berguguran. Tubuh Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi Melati terpental keluar. Ramai, bersama dengan pecahan tanah kering, batu, dan air. Dari mulut lobang, mereka tak berhenti meluncur.
Cara mereka terpelanting keluar sungguh menggetarkan hati. Keduanya bagai dihempas oleh kekuatan badai samudera! Dari tepian sungai di mana lobang berada, mereka meluncur keluar, menyeberangi sungai dan menghajar beberapa batang pohon yang terbilang besar di tepian seberang hingga tumbang! Belum cukup sampai di situ, tubuh mereka bergulingan deras sampai semak belukar lebar menahan laju gulingan tubuh mereka.
Akan cukup beralasan kalau dikatakan pasangan guru-murid itu akan menggalami luka parah. Dewi Melati yang jatuh lebih jauh di belakang Penjaga Gerbang Neraka, saat itu juga kehilangan kesadaran. Setelah sebelumnya dia mengeluh berat dan memuntahkan cairan merah kehitaman dari mulutnya. Berbeda dengan perempuan kaleng rombeng itu, si tua bangka cebol nyatanya punya cukup andalan untuk menghadapi terjangan tenaga amat dahsyat tadi. Terbukti, dengan amat sigap dan tak kehilangan kelincahan setelah terhantam keras tubuhnya mencelat dari atas tanah.
"Huuuukh!" Satu hal lain yang patut dikagumi, lelaki cebol itu sama sekali tak mengalami luka! Di udara, tubuh kerdil Penjaga Gerbang Neraka berpusingan layaknya gasing. Amat cepat.
Karena terlampau cepat, bentuk tubuhnya jadi tak jelas Lagi. Bisa dibilang, yang nampak saat itu cuma seperti putaran lonjong berwarna ungu samar, warna pakaian yang dikenakannya. Bunyinya menderu-deru. Arahnya kembali menuju lobang di seberang. Sementara itu, dari mulut lobang sendiri telah mencelat keluar cahaya merah menyala biang keladi kejadian sebelumnya. Sampai detik itu, tak jelas bagi Penjaga Gerbang Neraka apa gerangan yang tengah dihadapi. Seperti sengaja hendak menantang pusingan menggila tubuh Penjaga Gerbang Neraka, cahaya tadi turut menerjang melewati sungai. Tepat di atas sungai, keduanya berbentrokan. Timbul ledakan sengit.
Suasana tercabik.
Sanggup merejam gendang telinga siapa saja yang mendengarnya! Menyusul kemudian dalam senggang waktu yang demikian cepat, pusingan tubuh tua bangka cebol tertahan di udara. Di lain pihak, cahaya merah menyilaukan menjadi terburai-burai menjelajah udara.
Tubuh Penjaga Gerbang Neraka lalu menukik turun. Menuju sungai. Sementara, cahaya yang semula menjadi serpihan kecil, mendapat kesempatan untuk menyatu kembali.
Dengan kali ini, berarti telah dua kali Penjaga Gerbang Neraka bertumbukan langsung dengan cahaya menyilaukan tadi. Dua kali harus berhadapan dengan sebentuk tenaga amat dahsyat seperti itu, tentu akan membuat tua bangka itu kehilangan banyak tenaga. Bukan tak mungkin pula, benturan terakhir akan menikamkan luka dalam parah. Lagi-lagi, manusia sakti bertubuh cebol itu patut mendapat acungan jempol. Meski tubuhnya menukik deras, dia tak pernah kehilangan keseimbangan. Dengan amat ringan, kakinya menjejak kembali di atas permukaan sungai! Kalaupun ada hal yang membuat tubuhnya agak oleng, karena setelah itu dia memuntahkan darah kehitaman. Sementara, cahaya merah telah berhasil merangkum kembali serpihan-serpihannya. Bentuknya kembali utuh. Melayang sesaat di atas permukaan sungai, bagai mengintai lawan. Setelah itu, dia menukik tajam ke tepian.


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

GENDUT Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis tiba di suatu tempat. Tepatnya di suatu hamparan padang Malang jangkung setinggi melebihi manusia. Di sana mereka kehilangan jejak. Bukan karena ceceran darah sudah tak ada Lagi. Melainkan karena sudah sulit untuk mencarinya di tempat seperti itu.
Besar kemungkinan, orang yang membawa lari Satria Gendeng sengaja melewati tempat tersebut untuk menghilangkan jejak. Dan dia berhasil.
"Sialan!" kutuk Gendut Tangan Tunggal sambil menyampoki ilalang, melampiaskan kegusaran.
"Cerdik juga!" puji Pendekar Muka Bengis.
"Orang tolol dari negeri paling tolol juga bi-sa melakukan apa yang kulakukan, Tolol!" sergah Gendut Tangan Tunggal, salah sambung. Disang-kanya si kawan bertampang garong memuji tindakannya barusan. Dilampiaskannya lagi kegusaran pada ilalang di depan. Berkali-kali.
Pendekar Muka Bengis cuma bisa gelenggeleng kepala. Tapi dia tak mau berdiam diri terus.
Harus ada tindakan lain diambil segera. Sayang dia belum tahu.
Gendut Tangan Tunggal yang sedang serabutan mengamuki ilalang, mendadak terdiam. Dia berdiri tanpa bergerak. Pandangannya melompong.
Wajahnya berubah. Sulit untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya.
"Ada apa, Gendut?" tanya Pendekar Muka Bengis, keheranan.
Tak ada jawaban.
Pendekar Muka Bengis mencoba menepuk punuknya. Sekali. Dua kali. Makin keras dan keras. Tapi, tetap saja Gendut Tangan Tunggal diam seperti orang tolol.
Lama kelamaan, Pendekar Muka Bengis mulai mengendusi sesuatu yang mencurigakan.
Pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri si gendut, pikirnya. Seperti ada seseorang yang menotok jalan darahnya. Tapi, itu tak mungkin. Kalau ada, tentunya Pendekar Muka Bengis bisa menyaksikan orang usil itu. Sementara yang dialami Gendut Tangan Tunggal begitu mendadak dan terjadi begitu saja. Selain itu, manusia berbadan boros yang dikenalnya selama ini tak pernah berkelakuan seperti itu sebelumnya.
Tapi, tetap ada kemungkinan seseorang menotoknya dari jarak jauh. Kalau benar begitu, pasti kesaktiannya amat tinggi, sampai Pendekar Muka Bengis tak pernah mengetahui tindakannya.
Untuk meyakinkan dugaan, tindakan terbaik yang harus dilakukan Pendekar Muka Bengis adalah memeriksa sekitar padang ilalang. Sampai beberapa saat memeriksa, tetap tak ditemukan seorang pun. Akhirnya, dia kembali ke tempat semula.
Gendut Tangan Tunggal masih di sana. Masih pula terdiam dengan keadaan yang terlihat amat tolol.
Sekarang teka-teki bertambah, rutuk Pendekar Muka Bengis dalam hati. Belum lagi diketahui ke mana Satria Gendeng, sekarang sudah terjadi sesuatu lagi pada diri kawannya. Kalau semua kejadian itu saling berkait dengan pihak lawan, semakin sulit saja bagi Pendekar Muka Bengis untuk mengukur kesaktiannya.
Sementara Pendekar Muka Bengis kepusingan sendiri, Gendut Tangan Tunggal mengalami kejadian ganjil dalam dirinya. Kendati tubuhnya terdiam kosong, dia merasakan hal lain yang ber tentangan sama sekali.
Dalam pandangannya, dia sedang memasuki suatu lingkungan yang asing sama sekali.
Tak ada lagi Pendekar Muka Bengis menemani.
Kawannya dalam pandangannya telah lenyap ditelan pusaran kabut yang memupus ke dalam satu lobang yang tak lebih besar dari ujung jarum di tempatnya berpijak. Suasana tempat yang dialaminya kini tak pernah disaksikan di mana pun di belahan jagat ini.
Ada warna-warni menyilaukan mata.
Menggerayang. Mengapung, menari-nari, serta melayang.
Berserat-serat.
Panas menjilat-jilat.
Ke mana pun mata memandang, ditemuinya suasana yang hampir serupa. Sepertinya dia telah terdampar dalam taman tanpa batas yang ditumbuhi tanaman ajaib.
Gendut Tangan Tunggal terpaku, seperti terpakunya dia di alam nyata.
Tata cahaya menyiksa makin kalap.
Kala berikutnya, datang sibakan gelap.
Warna menggidikkan nan kental.
Disusupi simbahan merah darah menggumpal-gumpal. Sebutlah Gendut Tangan Tunggal sebagai salah satu bangkotan penghuni papan atas dunia persilatan. Sebutlah dia sebagai kawakan yang kenyang makan asam garam. Namun, tak bisa dipungkiri rasa ngeri menghampiri. Dia tetap manusia yang memiliki rasa takut. Sifat ngaconya tak berarti dia benar-benar sinting, hingga tak memiliki rasa takut lagi.
Gendut Tangan Tunggal tersurut mundur.
Walau sudah melangkah beberapa tindak ke belakang, dirasa dirinya tak beranjak dari tempat semula. Tanah tempatnya melangkah seperti bergeser ke arah berlawanan.
"Sialan. Ada di mana aku ini" Mana si Bengis Sialan itu" Kenapa aku jadi sendiri?"" ceracau Gendut Tangan Tunggal, lintang-pukang. Keringat sebesar biji jagung terasa membanjir. Anehnya, ketika dia menyeka peluh, tangannya tak basah.
"Bengiiiiiisssss!! Di mana kau, Bengiiiiissss!" teriak Gendut Tangan Tunggal, parau.
Suaranya memantul kembali. Terulang-ulang. Tidak seperti menjauh. Sebaliknya, malah seperti mendekati dirinya, jauh lebih keras.
Dunia yang dimasukinya benar-benar bertentangan sama sekali dengan kenyataan! Perasaan Gendut Tangan Tunggal makin tak karuan. Apa lagi ketika dia merasa kakinya menginjak lobang di belakang. Keseimbangannya oleng. Dia berjuang untuk bersalto. Pengerahan peringan tubuh yang terbilang sempurna sebagai salah seorang tokoh kawakan tak membantu. Lebih buruk lagi, dia merasa kehilangan kemampuan peringan tubuh.
Tubuhnya jadi demikian memberat.
Tak kuasa bertahan lagi, dia pun terjatuh ke dalam lobang.
Gelap melingkupi.
Meluncur dia dalam lorong tegak lurus.
Laksana sumur tak berdasar. Lagi-lagi keadaan bertolak belakang dengan kenyataan. Jatuh, bukan berarti tubuhnya meluncur ke bawah. Sebaliknya, dia merasa dirinya melayang bagai dihempas kuat-kuat ke angkasa. Deg! Sesuatu menjegal geraknya. Tepat di atas kepala. Gendut Tangan Tunggal ingin tahu. Matanya melirik waswas. Dia terperanjat seperempat mampus. Kalau masih bocah, kepingin sekali saat itu dia kencing di celana. Yang dilihatnya adalah telapak tangan raksasa menjegal laju tubuhnya! Raksasa, ya raksasa. Besarnya empat kali ukuran tubuh Gendut Tangan Tunggal. Gendut Tangan Tunggal saja sudah berbadan boros, tapi masih kalah besar. Kalau telapak tangan saja sebesar itu, bagaimana lagi pemiliknya" Gendut Tangan Tunggal ingin menjerit sejadi-jadinya. Ingin mendelik sejadi-jadinya. Jika perlu, ingin 'kecepirit' sejadi-jadinya. Tapi kesempatan tak ada. Tangan raksasa itu sudah mencengkeram sengit. Tubuh buntal Gendut Tangan Tunggal hendak diremasnya. Mungkin jadi perkedel. Senaas-naasnya, menjadi kentut! "Maaak, mampus juga aku!!!" teriak Gendut Tangan Tunggal, tak malu-malu lagi pada na- ma besarnya selama ini. Lagi pula, mau malu sama siapa lagi" Di sana tak ada manusia sepotong pun. Gendut Tangan Tunggal merentangkan tangan. Ajian pamungkas yang dimilikinya dikerahkan dalam satu hentakan. Malang, seperti kemampuan peringan tubuhnya, seluruh ajian pamungkasnya pun menghilang. Dia tak punya apaapa lagi. Bagaimana bisa begitu" Di lain keadaan, Pendekar Muka Bengis menyaksikan tubuh kawannya yang semula berdiri mematung, mendadak roboh ke tanah. Cara ambruknya tak kurang hebat dari buah nangka satu kebon runtuh berbarengan. (Padahal kalau Pendekar Muka Bengis mau berusaha menyambarnya, tentu tak akan jadi begitu. Barangkali, ha-ti lelaki itu masih tetap menyimpan sisa kemangkelan pada sikap tengik Gendut Tangan Tunggal).
"Gendut! Gendut! Apa yang terjadi pada dirimu"!" Ditampar-tamparnya pipi empuk Gendut Tangan Tunggal keras-keras. Orang yang terjatuh telentang mendelik. Bola matanya membeliak ke atas. Wajahnya pucat. Tak ada darah sedikit pun di wajahnya. Tubuhnya dingin.
"Kau jangan mampus dulu, Biang Kerbau! Tugas kita belum selesai!" rutuk Pendekar Muka Bengis sambil menotok beberapa jalan darah yang bisa melancarkan peredaran darah ke kepala Gendut Tangan Tunggal.
Hasilnya nihil.
Gendut Tangan Tunggal makin kaku.
Kian dingin. Geram, Pendekar Muka Bengis mengancing rahang. Tangannya mengepal teramat keras. Uraturat lehernya mengencang, bersembulan.
Semua kejadian beruntun akhir-akhir ini membuat dia tak bisa menahan kemarahan lagi.
"Manusia Makam Keramat! Hadapi aku, Laknat! Jangan hanya berani main kucingkucingan seperti ini!!!" teriaknya, menggoncang.
Kekuatan suaranya, menebas ilalang.
Tumbuhan jangkung itu bagai ditebas oleh arit raksasa sepanjang terjangan gelombang suara mengandung tenaga dalam tinggi. Ledakan kemarahan seperti itu, tak pernah disangka sedikit pun olehnya akan mengundang satu bahaya. Bahaya yang sebelumnya mengganyang Gendut Tangan Tunggal. Pendekar Muka Bengis merasakan sesuatu yang tak biasa menjalari segenap aliran darahnya.
Amat bising. Tanpa menelan waktu lama, badannya tiba-tiba kaku di tempat.
Tak disangsikan, lagi sebentar lagi dia pun akan terdampar dalam dunia gaib menakutkan.
Dunia yang melemparnya terlampau jauh dari kenyataan....

* * *



--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

SATRIA Gendeng tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Terakhir diingatnya dia terkena hantaman Penjaga Gerbang Neraka ketika berusaha menyelamatkan Gendut Tangan Tunggal.
Dia baru saja siuman. Matanya masih berat untuk dibuka. Terutama akibat pening dan nyeri yang menggumpal-gumpal di kepala. Di samping itu, terasa sakit yang terus berdenyutdenyut hebat di bagian dadanya. Ada terpaan angin di wajah dan beberapa bagian badannya. Ketika mulai dapat menyadari posisi kepalanya yang menjuntai-juntai ke bawah, sadarlah pemuda sakti tanah Jawa itu bahwa dirinya sedang dibopong seseorang. Pembopongnya sendiri sedang berlari dengan mengerahkan peringan tubuh tingkat tinggi. Satria tahu itu. Cukup menilainya dari kekuatan terpaan angin di wajahnya.
Masalahnya sekarang, siapa orang ini" Tanya Satria Gendeng membatin.
Lamat-lamat, hidung Satria mencium bau sesuatu. Seperti bau orang yang tak pernah mandi setahun penuh.
Ah, tidak. Lebih mirip bau kambing bandot! Slompret sekali! Tapi, bau badan orang ini seperti pernah kukenal, bisik Satria dalam hati. Penasaran, dibukanya kelopak mata.
Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengenali orang satu ini. Begitu pandangannya lepas, Satria langsung disuguhkan pemandangan tak sedap.
Yang dilihatnya ternyata bagian bokong orang itu.
Mending kalau bagus. Sudah bau minta tobat, rupanya mirip moncong makhluk ajaib lagi! Naas juga. Pasti orang itu bongkok. Pasti sudah amat tua.
Tua" Bongkok" Bau" Satria makin yakin bahwa dia benar-benar kenal dengan ciri-ciri manusia satu ini. Bukan cuma kenal, tapi 'hafal'. Dan satu-satunya orang yang pernah dikenal dengan ciri-ciri serba 'rusak' seperti itu....
"Kau sudah bangun, Cah Gendeng"!" Semua tanda tanya di hati si pemuda dipotong teguran keras minta ampun.
Hey, suara itu! Sergah hati Satria. Sekarang, dia tak perlu lagi menyaksikan langsung 'tongkrongan' wajah pembopongnya. Semuanya sudah jelas. Dia benar-benar kenal dengan manusia satu ini! Belum sempat Satria kegirangan karena merasa mengenal dekat (bahkan amat dekat!) pembopongnya, tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan. Belum lagi jatuh ke tanah, pantatnya tera-sa pedas terkena tamparan.
"Iyau!" Satria memekik di udara.
Hebat juga cara pembopongnya menampar pantat Satria Gendeng. Padahal Satria sendiri sebelumnya telah dilempar cukup deras. Belum lagi hilang rasa pedas tadi, pantatnya sudah tertimpa musibah susulan. Pantatnya jatuh meninju tanah berbatu menonjol seperti kepalan jawara pasar burung! Masa' iya, anak didik dua tokoh besar tanah Jawa tak bisa mengatasi hal kecil macam itu. Mau berjumpalitan" Mana bisa kalau dia dalam keadaan tertotok" Malangnya, totokan itu baru dibebaskan si pembopong misterius setelah Satria Gendeng terjatuh telak bagai nangka matang.
Ini yang namanya orang brengsek.
Satria bangkit. Meringis-ringis sudah pasti.
Tangannya mengurut-urut tulang ekornya yang ngilu. Untung bagian itu tak turut menimpa tonjolan batu. Kalau sempat terjadi, bisa-bisa dia mencret di celana. Lalu, besoknya dia bakal jadi lumpuh seumur hidup! Sambil menggerutu mengutuki perbuatan orang misterius yang membawanya, Satria mencari-cari orang itu. Tak ada. Celinguk sana-celinguk sini percuma. Orang itu tak ditemukan.
"Ke mana dia?" bisik Satria sambil menggaruk-garuk kepala. Kecepatan geraknya sungguh luar biasa. Dia telah melakukan tiga tindakan beruntun dalam satu gerak cepat.
Pertama melempar tubuh Satria. Kedua menampar pantatnya, dan terakhir membebaskan totokannya. Sekarang, tahutahu saja orang itu sudah menghilang pula.
Satria Gendeng makin dibuat penasaran.
Meski belum sempat menyaksikan 'congor'nya, pemuda itu tetap yakin mengenal orang itu.
Sampai suatu ketika ubun-ubunnya dijotos dari belakang. Tak! Telak! Sakitnya terasa sampai ke lipatan ketiak! Satria Gendeng berbalik gesit. Tangannya dengan refleks siap melakukan hajaran balasan.
Sebelum sampai ke sasaran, tangannya langsung berhenti. Persis di depan wajahnya, sudah terpampang sepotong wajah jelek, keriput, dan serba bikin mulas.
"Apa lihat-lihat!" bentak orang itu.
Satria terbengong. Orang satu itu bukan sekadar dikenalnya. Bisa dibilang, Satria malah pernah hampir sableng selama bersamanya.
"Kakek Gundul?" Pemuda itu meringis. Kalau ada orang yang disebutnya 'kakek gundul' sambil meringis, ya cuma Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru sintingnya! "Mau apa Kakek menemuiku?" tanya Satria. Maksudnya cuma mau berbasa-basi. Tapi di telinga Dedengkot Sinting Kepala Gundul, kalimatnya benar-benar terasa 'basi'.
"Bocah slompret! Bukannya menanyakan kabar ku, kau malah bertanya seperti aku perlu sama kau saja!" sembur si tua keropos berkepala botak, sengit.
Satria garuk-garuk kepala. Gatal sih tidak.
"Ngomong yang enak! Jangan cuma garukgaruk kepala seperti biang monyet!"
"Kenapa Kakek ada di sini?" coba Satria la-gi. Mudah-mudahan sekali ini tidak keliru di telinga si bangkotan.
"Karena aku tidak ada di seberang laut, makanya aku di sini!" Ampun, masih keliru juga! "Maksudku, Kakek tentu punya tujuan meninggalkan Tanjung Karangbolong, bukan?"
"Tentu saja!" Satria menunggu kalimat gurunya lebih lanjut. Dia ingin dengar apa tujuannya 'keluar sa-rang'.
"Tanya! Tanya aku, kenapa aku meninggalkan Tanjung Karangbolong, begitu! Kau ini muridku apa bukan, hah" Masa' tidak ada perhatian sedikit sama gurunya"!" Ampun dua kali! Manusia ini kenapa selalu saja membuat orang jadi serba salah! "Jadi apa, Kek?"
"Aku masih 'jadi' orang! Kau pikir aku telah menjelma menjadi apa" Tokek?" Satria geleng-geleng kepala. Kalimat tak lengkap saja disalahkan seperti dirinya sudah menyambar jemuran orang satu kampung.
"Jadi, apa tujuan Kakek pergi dari Tanjung Karangbolong?" ulang Satria dengan kalimat kom-plit. Ditariknya napas, menyabarnyabarkan diri.
"Pakai tanya segala! Sudah tahu aku datang karena mencarimu. Semenjak kau berurusan dengan si Sulut dan si Jonggrang Jelek, (Kisah dua tokoh ini dapat dibaca pada episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka" dan "Perempuan Pengum-pul Bangkai"!) kau tak pernah pulang ke Tanjung Karangbolong, tahu! Kau tidak mau menengoki aku" Menengoki si Kusumo juga" (Tentang tokoh ini, baca pula episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!) Kalau sudah bosan dengan tampang kami berdua, bilang!" sembur Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak putusputus, biarpun nafasnya sudah soak.
"Aku... aku...." Satria kehabisan kata-kata.
Berondongan omelan dari bacot kendor bangkotan di depannya membuat dia mati kutu.
"Kau sudah merasa jago, ya" Sudah merasa jago?" Satria menggeleng. Mukanya terlipat.
Dan tahu-tahu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah mengirimkan jotosan keras ke jidatnya. Sekali ini, Satria tak mau membiarkan sa-ja tangan kurus gurunya mampir tanpa permisi. Bukan karena mau kurang ajar. Cuma, jotosan si bangkotan kerasnya tak kepalang. Kalau punya niat geger otak, sebaiknya diam saja.
"Ampun, Kakek!" teriak si anak muda seraya berkelit ke bawah.
"Eh, berani berkelit kau, ya"!" Mata Dedengkot Sinting Kepala Gundul mendelik.
"Bukan begitu, Kakek!" sergah Satria Gendeng kelabakan sambil melangkah mundur. Telapak tangannya diacungkan ke depan.
Sambil menaikkan cuping hidung, Dedengkot Sinting Kepala Gundul melanjutkan terjangan.
Kalau tak bisa mendaratkan jotosannya ke jidat sang murid, sepertinya dia akan mati berdiri penasaran. Wukh! Satria Gendeng berhasil mencegah jidatnya tertimpa musibah. Sekarang dengan cara menangkis. Gurunya tak hanya sampai di situ, tangannya yang lain sudah main pula.
Wukh! Deru yang dihasilkan jotosan Dedengkot Sinting Kepala Gundul makin santer. Satria makin membelalak. Gila, apa guruku mau membuat aku mampus" rutuknya dalam hati.
Satria makin dikelimpungkan ketika gurunya mengeluarkan jurus-jurus ampuh, termasuk 'Dedengkot Sinting Kegirangan' "Kakek, berhenti! Jangan macam-macam, ya"! Aku ini muridmu, bukan musuh bebuyutan mu. Berhenti, Kakek! Aku tidak mau main-main lagi. Apa kau tak tahu, seorang guru tak patut menyerang muridnya seperti ini. Apalagi murid teladan macam aku! Cukup cukup cukup! Oiiii, aku bilang cukup!" Penyakit si pemuda lugu pun kambuh lagi.
Terserang kegugupan sedikit saja, mulutnya langsung 'nyerocos' lebih seru dari sekarung mercon.
Jangan lagi gurunya, nenek moyang Dongdongka pun akan disemburnya.
"Murid teladan tai kucing kau! Jangan banyak bacot, tahu! Layani aku saja, Cah Gendeng!" bentak Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria Gendeng bersalto beberapa kali menjauh. Gurunya terus mengejar. Dengan susah payah, akhirnya dia berhasil membuat jarak. Dia berdiri sambil memelototi gurunya sendiri.
"Apa maksud Kakek dengan 'melayani'"!" tanyanya setengah ngotot. Urat lehernya sampai hampir mencelat keluar.
Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala Gundul mengacungkan tinjunya.
"Layani, ya layani. Kalau aku raja kau harus mencium telapak kakiku, tak peduli kakiku bau tai kerbau sekalipun. Karena aku bukan raja, melainkan seorang pendekar, maka kau harus me-layaniku layaknya pendekar! Tunjukkan kehebatanmu kalau kau adalah murid seorang sesepuh persilatan tanah Jawa!" lanjutnya, sama-sama ngotot. Mendengar omelan terakhir gurunya, Satria sekarang mulai bisa membaca kemauan bangkotan rada-rada sinting itu. Pasti Dongdongka hanya ingin menguji kepandaiannya setelah lama tak bertemu. Yang namanya guru, tentu saja khawatir muridnya tak mengasah kepandaian yang telah diturunkan selama Satria di luar pengawasannya. Kalau cuma itu, boleh-boleh saja, bisik Satria Gendeng dalam hati. Tapi, tentu saja tak bisa asal melayani. Tahu sendiri siapa Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk bisa mendaratkan pukulan sekali saja, mungkin harus bertukar jurus satu harian penuh. Ah, memangnya tak ada kerjaan lain apa" Jadi harus ada sedikit siasat untuk mengecoh tua bangka brengsek ini, pikir Satria.
"Baik!" seru Satria kemudian.
"Baik apa"!"
"Aku akan melayanimu!"
"Bagus!"
"Tapi harus ada aturan mainnya, Kakek!"
"Aturan main, tai kucing! Kau pikir aku sedang main-main, hah"!"
"Lho, bukankah Kakek cuma mau menguji aku"!"
"Menguji tai kucing! Aku mau 'ngamuk' padamu, Cah Gendeng!! 'Nguamuk'!" Ngamuk" Pusing lagi Satria sekarang. Kalau bukan hendak mengujinya, kenapa tak ada angin tak ada hujan bangkotan rada sinting ini mau mengamukinya" Apa salahnya"
"Jadi Kakek benar-benar marah padaku?" tanya si pemuda, kebodoh-bodohan.
"Pakai tanya lagi! Lihat tampangku. Kelihatan seperti orang sedang marah atau sedang mulas"!"
"Tapi... tapi, kenapa, Kek?"
"Dasar tolol, perhatikan dirimu! Pikir apa yang kurang!" Disuruh memperhatikan 'diri'nya, Satria Gendeng benar-benar menuruti. Dipelototi dirinya dari ujung kaki sampai dada.
Kalau biji matanya bisa dilepas sementara, tentu akan diperhatikan sampai ubun-ubun.
"Aku tak kurang apa-apa, Kek...," gumamnya, tetap tak merasa ada yang salah.
Dongdongka mulai angot. Kepalanya dijitak-jitak sendiri.
"Murid tolol, tolol, tolol! Ih ih ih!" Tuk-tak-tuk-bletak! Ramai. Seru. Dan... garing! Satria meringis-ringis. Perasaan dia yang sedang dijitaki begitu.
"Sekarang begini saja, Cah Tolol! Aku tanya kau...."
"Sungguh Kakek, aku tak kurang apa-apa!"
"Belum! Aku belum bertanya! Sekarang kau siap, aku mau bertanya. Mana senjata pusaka mu!!!" Kail Naga Samudera" Buru-buru Satria melepas pandangan ke ikat pinggangnya. Tobat! Senjata pusaka itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Satria curiga. Diliriknya Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Siapa tahu, penyakit sinting bangkotan itu sedang kambuh. Bisa saja dia sedang mengerjai ku, duganya sambil cengengesan.
Pikiran orang macam Dongdongka, biasanya gampang ditebak olehnya. Terutama karena dia pernah 'kenyang' belajar menjadi sinting langsung da-ri tua bangka itu! "Jangan melirik ku seperti itu. Aku sudah terlalu tua untuk main genit-genitan! Lagi pula...
ih, amit-amit!" Satria tambah cengengesn.
"Kakek sengaja menyembunyikannya, kan?" todongnya, yakin sekali.
"Kualat! Masuk neraka kau! Apa-apaan kau menuduhku macam itu!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul makin uring-uringan. Cengengesan Satria langsung terpental entah ke mana.
"Jadi, Kakek tidak menyembunyikannya?"
"Kau pikir, aku tolol" Kalau senjata itu ada padaku, untuk apa kutanyakan lagi padamu, ta-hu!"
"Iya, juga ya...."
"Pakai 'iya juga, ya' segala!"
"Jadi ke mana senjata itu, Kek?"
"Mana aku tahu! Kau tahu tidak"!" Satria Gendeng menggeleng, pasrah.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garukgaruk kepala sendiri, menebarkan kulit kering dari kepalanya ke mana-mana.
"Sial. Kalau kau tak tahu, buat apa aku bertanya!" rutuknya sebal sendiri.
Sesaat kemudian, mulut bangkotan itu sudah berkicau lagi. Dia bertanya pada muridnya apa yang terjadi selama ini. Satria pun menceritakan apa adanya. Sampai dia dibuat jatuh pingsan oleh pukulan Penjaga Gerbang Neraka. Setelah itu, dia tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-tahu, dia sudah di alas bopongan gurunya (tahu-tahu dia terkena 'musibah'!).
"Lalu bagaimana Kakek menemukan ku?" Satria Gendeng balik tanya.
Dongdongka mengingat-ingat sebentar.
"Aku mendapat firasat buruk di Tanjung Karangbolong. Jadi aku keluar 'kandang' dan pergi mencarimu. Kau kutemukan, sudah tak sadarkan diri di jalan setapak. Kau luka dalam. Aku cuma bisa menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, biar kekuatan tubuhmu pulih. Tapi, aku tak bisa menyembuhkan luka dalammu. Kau terkena pukulan langka. Rasanya aku kenal dengan pukulan itu.
Karena itu, aku hendak membawamu ke si Kusumo. Dia kan tahu banyak soal penyembuhan. Dari luka akibat pukulan sampai kurap. Aku yakin Kusumo bisa menyembuhkan luka dalammu. Aku sendiri sumpah mampus tak tahu apa-apa soal pengobatan. Paling-paling...."
"Kakek kakek! Ceritanya jangan mulur ke sana kemari!"
"O, iya. Jadi aku hendak membawamu ke Kusumo. Sampai di sini, kau sadar. Cuma begitu saja. Masih mau tambah?" Siapa ya, yang telah menyelamatkan Satria dari Pasukan Kelelawar" Kok, Kail Naga Samudera hilang" Tangan siapa yang usil" Soal dua manusia tengik, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, kenapa mereka jadi begitu, ya" Ngomong-ngomong juga, apa Manusia Makam Keramat berhasil melepaskan keris keramat dari tubuhnya" Ayo, siapa yang bakal memiliki keris sang Prabu Pajajaran itu" Tebak sendiri!

SELESAI

Segera tunggu lanjutannya!!! Serial Satria Gendeng dalam episode:
BANGKITNYA DEWA PETAKA


INDEX SATRIA GENDENG
Pasukan Kelelawar --oo0oo-- Bangkitnya Dewa Petaka

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers