Life is journey not a destinantion ...

Bangkitnya Dewa Petaka

INDEX SATRIA GENDENG
Memburu Manusia Makam Keramat --oo0oo-- Nisan Batu Mayit

SATRIA
Satria Gendeng
Episode I: PASUKAN KELELAWAR
Episode II: MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT
Episode III: BANGKITNYA DEWA PETAKA
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

PEREMPUAN ketiga puluh. Adalah syarat puncak bagi seorang tokoh sesat berjuluk Manusia Makam Keramat untuk bangkit dari kematiannya. Kematian yang telah memenjarakan arwahnya dalam dingin dan kebekuan himpitan dua alam. Antara alam nyata dan gaib. Kematian yang diterima melalui tangan seorang Prabu Pajajaran, yang telah menikamkan keris pusaka ke dadanya! Perempuan ketiga puluh. Telah datang untuknya. Malam ini. Dipersembahkan oleh iringan para bocah terkutuk yang menjadi momok dengan sebutan Pasukan Kelelawar. Mereka, para bocah yang menerima seribu satu kutukan dan sumpah serapah dari golongan lurus telah berhasil hingga saat itu melaksanakan segala titah sang Eyang Guru. Dari kejaran tokoh-tokoh ternama, mereka pun berhasil lolos
Mereka, sembilan manusia muda namun berkedigdayaan sebanding dengan tokoh-tokoh jajaran atas dunia persilatan, datang dengan segala kesan keangkeran ke tempat di mana jasad manusia durjana terbaring. Di bahu salah seorang bocah, tertelungkup lunglai seorang perempuan muda. Perempuan ketiga puluh. Tumbal yang akan disediakan untuk melantak batas gerbang dua alam yang membelenggu sang durjana sekian lama
Perempuan ketiga puluh
Dalam kepekatan kabut serta engahan angin, Pasukan Kelelawar sampai di makam Eyang Guru mereka. Malam gulita. Satwa tak punya nyali untuk bersuara. Dalam kungkungan sepi, mereka mengitari makam paling besar bernisan raksasa dari batu berbentuk tengkorak manusia
Perempuan ketiga puluh
Perempuan ketiga puluh! Perempuan ketiga puluh...
Perempuan penyempurna bangkitnya sang Dewa Petaka! Akankah simbahan darah membanjiri tanah Jawa"

* * *



"Hua hua haa...!" Tawa keras terdengar mengusik kesunyian pagi. Panjang, sarat ke gempitaan. Gemanya merambat ke seluruh pelosok
Suara itu berasal dari salah satu di antara sekian banyak kuburan kuno yang terdapat di Makam Keramat Maut. Sebuah pemakaman yang hampir tidak pernah didatangi orang. Masalahnya, setiap orang yang datang ke sana jarang yang kembali lagi. Mungkin itu sebabnya, tempat itu dinamakan Makam Keramat Maut. Menurut cerita yang tersebar di dunia persilatan, di sekitar Makam Keramat Maut banyak terdapat tempat-tempat berbahaya. Lumpur hidup serta jalanjalan setapak yang terdapat di antara hamparan ilalang setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan bahaya sangat menyiksa bagi korbannya. Selain itu, di sana banyak berkeliaran kelelawar-kelelawar ganas
Semua itu hanya merupakan sebagian kecil dari bahaya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju ke Makam Keramat Maut. Tak aneh kalau tempat itu ditakuti tokoh-tokoh persilatan, dan dinamakan Makam Keramat Maut! Mendadak dari dalam kuburan kuno berbatu nisan tengkorak sebesar kerbau, tempat asal tawa membahana tadi, melesat sesosok tubuh. Gerakannya cepat luar biasa. Yang terlihat hanya sekelebatan bayangan hitam dalam bentuk tidak jelas. Sesaat kemudian, di depan bangunan kuno itu telah berdiri seorang kakek kurus berambut dan berjenggot putih amat panjang. Ujungnya bahkan sampai di tanah. Wajahnya sepucat manusia yang darahnya habis terperah. Bukan itu saja yang menggidikkan. Kuku-kuku di jari tangan dan kakinya demikian panjang melingkarlingkar. Perawakannya kurus, hanya seperti tulang terbungkus kulit. Dia hanya mengenakan cawat dari kain.
"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk me-wujudkan cita-citaku dulu! Aku bersumpah seluruh bumi Pajajaran dan dunia persilatan akan bertekuk lutut padaku...!" Usai berkata demikian, si kakek merangkapkan kedua tangannya ke dada. Tiba-tiba saja dari sela gi-ginya keluar taring panjang. Sepasang matanya pun berubah. Bola mata hitamnya menjadi tegak memipih, tajam berkilat mengeluarkan sinar kehijauan, Hanya sesaat saja, dia bersikap demikian. Kemudian, diawali bunyi menggeram serak layaknya keluar dari mulut gorila, dia melompat ke atas
Sungguh menakjubkan! Ringan bukan main gerakannya. Lebih ringan dari sehelai bulu tubuhnya melayang ke atas. Setibanya di sana, tangan kanannya dikibaskan
Wuttt! Blarrr! .....
Bunyi berderak keras langsung terdengar ketika angin kibasan tangannya menghantam batu nisan sebesar kerbau yang berada di atas liang lahat di mana dia keluar sebelumnya. Apa pun tujuannya, kentara sekali dia begitu membenci nisan liang lahat sendiri
Jleg! Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, si kakek kurus langsung mengumbar kembali tawanya
Terdengar lepas sesak dengan nada kepuasan
"Tak ada lagi prasasti terkutuk itu! Aku telah kembali!! Aku telah kembali sang Prabu! Kuharap seluruh darah keturunanmu akan membasahi kerongkongan ku!" Masih dengan tawa keras, dia melesat meninggalkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali menghentakkan kaki yang terlihat begitu enteng, dia telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki ilmu meringankan tubuh sangat tinggi, jarak seperti itu tak akan bisa dicapai! Baru beberapa kali lesatan, kakek kurus tadi menghentikan langkah. Pandangannya diarahkan ke depan, di mana terhampar ilalang setinggi satu setengah tombak. Wajahnya membeku. Sesuatu sedang terlintas dalam benaknya
Dipandanginya seluruh wilayah Makam Keramat Maut. Tempat di mana selama lebih dari seratus tahun jasadnya terkungkung bumi. Menyaksikan Makam Keramat Maut baginya seperti membayangi wajah Prabu Pajajaran yang telah membunuhnya. Itu mengobarkan kebencian tak terhingga dalam dirinya. Kebencian yang bersumber pada sang Prabu, dan merambat pada seluruh keturunannya! Tanpa alasan yang bisa dimengerti siapa pun kecuali dirinya, untuk kesekian kalinya dia tertawa bergelak-gelak. Cukup lama. Sebelum akhirnya berhenti. Lebih tepatnya lagi dihentikan secara mendadak
Mendadak pula ia memutar tubuhnya, dengan arah gerakan ke kanan. Itu pun dibarengi dengan gerakan tangannya. Mendadak...
Bluppp! Ajaib! Tubuh si kakek kontan lenyap. Di tempatnya berdiri semula hanya tampak kepulan asap
Wujudnya raib! Sementara, ke manakah sembilan bocah sakti para budaknya, menjadi tanda tanya

* * *



Matahari telah bergeser jauh dari tempatnya semula. Meskipun demikian tetap belum mencapai titik puncaknya, ketika sebuah rombongan kecil kereta kuda, memasuki mulut Hutan Rangkas
Rombongan kecil itu terdiri dari sebuah kereta dan delapan ekor kuda pengiring. Kedelapan ekor kuda ditunggangi para lelaki gagah. Posisinya melindungi kereta. Tiga di bagian belakang dan depan. Sedangkan pada masing-masing sisi kereta, terdapat satu
Seperti juga binatang-binatang tunggangan yang semuanya berwarna coklat, sosok-sosok gagah di atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian dengan warna serupa. Pada bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar seekor kuda bersayap. Pedang bergagang kepala kuda, tampak di balik punggung mereka. Senjata-senjata itu membuktikan kalau rombongan ini bukan orang-orang lemah
Melihat sikap para penunggang yang terlihat begitu melindungi kereta, bisa diduga kalau orang yang berada di dalamnya dari kalangan berdarah biru
Dengan lambang kebesaran Kerajaan Pajajaran pada pintu kereta kuda, orang akan makin yakin pada dugaan itu. Setidaknya di dalam sana duduk keluarga raja.
"Tahan...!" Mendadak salah satu dari tiga penunggang terdepan, berkata dengan suara pelan sambil mengangkat tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang kudanya. Seketika itu pula, rombongan yang berada di belakang tiga sosok itu menghentikan langkah kuda mereka. Seiring dengan dilakukannya tindakan itu, masing-masing sosok berpakaian merah muda bersikap waspada. Masalahnya, mereka melihat adanya penghadang. Seorang kakek kurus kering berambut dan berjenggot amat panjang. Berdiri diam layaknya tonggak mati. Tangannya bersidekap di dada
Sementara itu salah satu dari tiga penunggang kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis jarang, melompat turun. Indah dan manis dilihat gerakannya
Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tidak terdengar adanya bunyi berarti. Hal itu menjadi pertanda kalau ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi
Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki berkumis jarang itu menghampiri sosok berjubah hitam yang berdiri dalam jarak sepuluh tombak di depannya. Tentu saja tindakan lelaki berkumis jarang yang bisa dipastikan pimpinan rombongan kecil itu, tidak luput dari perhatian rekan-rekannya dan si penghadang.
"Maaf, Orang Tua. Bisakah kau menyingkir sebentar" Kami hendak lewat, dan tengah memburu waktu," ucap lelaki berkumis jarang, pelan dan sopan
Tak ada jawaban. Bahkan sekadar helaan napas. Penghadang tadi seolah tak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Kelopak matanya bahkan tertutup. Lelaki tadi menautkan alis. Tak mungkin orang tua ini sedang bersemadi di tengah jalan dengan posisi yang tak lazim pula, pikirnya. Diperhatikannya wajah si penghadang cermat-cermat. Saat itu, melintas getaran ketakutan yang sulit dipahami dalam dirinya. Dia bergidik. Entah kenapa
"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui, kami adalah orang-orang dari Perguruan Kuda Langit
Kebetulan sekali, aku pemimpin rombongan ini. Namaku Wicaksana. Saat ini kami tengah mendapat tugas, yang harus cepat kami laksanakan. Berarti kami tidak punya banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau dapat menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah kami kesempatan untuk lewat," pinta lelaki tadi, mencoba kembali
"Cuiihhh...!" Tanggapan dari si penghadang adalah semburan ludah ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali caranya.
"Siapa pun adanya kalian aku tidak peduli! Dari Perguruan Kuda Langit atau Perguruan Kuda Setan, bukan urusanku! Yang jelas, kalian harus menyerahkan penumpang dalam kereta kuda itu!"
"Keparat...!" Terdengar suara makian keras bernada penuh kemarahan. Kemudian disusul dengan melompatnya salah seorang penunggang kuda yang tadi berada di sebelah Wicaksana. Dia adalah seorang lelaki bertubuh pendek gendut
"Biar aku yang akan melemparkan orang tua sombong itu, Kang!" pinta lelaki pendek gendut ketika telah berada di dekat Wicaksana. Wicaksana tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ditatapnya wajah lelaki pendek gendut itu, sejenak
"Baik! Tapi, hati-hati, Loringga! Jangan bertindak sembrono. Aku yakin dia bukan orang sembarangan," beri tahu lelaki berkumis jarang seraya melangkah mundur, memberi kesempatan pada rekannya
"Mengapa harus membuang-buang waktu"! Lebih baik kalian semua maju berbarengan!" tantang si kakek kurus, tanpa menyembunyikan kesan sombong pada wajah membatunya
Karuan saja, hal itu membuat semua orang yang berada di dalam rombongan Perguruan Kuda Langit jadi gusar
Hal yang sama pun dialami oleh Loringga! Kemarahannya semakin berkobar mendengar sesumbar lawannya. Maka diputuskan untuk segera melaksanakan maksudnya.
"Orang tua sombong! Lihat serangan! Hih!" Loringga membuka serangannya dengan se buah tendangan lurus ke arah dada. Deru angin cukup keras yang mengiringi tibanya serangan itu menjadi pertanda kalau pemuda bertubuh pendek gendut itu memiliki tenaga dalam cukup kuat
Tapi orang yang diserang tetap bersikap tenang
Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia akan melakukan tindakan. Baik tangkisan atau elakan. Membuka mata saja tidak! Begitu serangan Loringga menyambar semakin dekat, si kakek kurus itu menurunkan kedua tangannya. Sebuah tindakan yang membuat ancaman bahaya semakin besar. Betapa tidak" Karena bagian dadanya semakin dibuka lebar-lebar
Karuan saja hal ini membuat semua orang yang berada di situ merasa terkejut. Tak terkecuali Loringga! Sudah gilakah si kakek kurus itu! Kalau tidak, mana mungkin membiarkan serangan lawan menghantamnya" Ataukah dia memiliki kepandaian yang demikian tinggi, sehingga berani menerima serangan lawan"

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

PERTANYAAN demi pertanyaan itu menggayuti semua kepala anggota rombongan Perguruan Kuda Langit. Sekarang, mereka hanya menunggu kenyataan yang akan terjadi dengan perasaan tegang
Anggota Perguruan Kuda Langit tidak perlu menunggu lama untuk membuktikan kenyataan itu
Karena sesaat kemudian...
Bukkk! Telak dan keras sekali kaki Loringga mendarat di dada si kakek kurus
Akibat selanjutnya benar-benar mengejutkan hati. Betapa tidak" Kalau menurut perhitungan, tulang rusuk si kakek kurus pasti jebol! Tapi yang terjadi tidak demikian. Loringga-lah yang menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi kakinya
Pemuda bertubuh pendek gendut ini merasakan betapa kakinya seperti bukan menghantam tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi, mengenai bongkahan batu karang! Rasa sakit yang tidak tertolong langsung menderanya
Tentu saja rekan-rekan Loringga merasa terkejut bukan main melihat hal itu. Sekarang mereka sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi. Bagai diberi perintah mereka serempak melompat dari punggung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan untuk membantu Loringga. Tapi....
"Hentikan! Jangan ada seorang pun yang berpindah dari kedudukan masing-masing!" Seruan Wicaksana membuat anggota rombongan Perguruan Kuda Langit yang berada di samping dan di belakang kereta, menghentikan tindakan. Mereka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu
"Hua hua haa...! Mengapa berhenti" Tidak usah malu-malu! Teruskan saja maksud kalian untuk mengeroyokku, agar pertarungan jadi lebih menarik! Hua hua haa...!" Si kakek kurus mengeluarkan pernyataannya dengan penuh ejekan. Sikapnya, terlihat memandang rendah sekali.
"Siapa kau, Orang Tua"! Mengapa tanpa alasan apa pun kau mengganggu kami"! Setahuku, pihak Perguruan Kuda Langit tidak pernah mempunyai urusan denganmu!" ujar Wicaksana sambil melangkah maju
Sama sekali tidak dipedulikannya sikap sombong si kakek kurus.
"Hua hua haa...!" Lagi-lagi kakek kurus itu tertawa sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan Wicaksana.
"Apa gunanya aku memperkenalkan diri pada cecunguk macam kalian, hm" Namun, aku masih cukup punya kebaikan. Kalian boleh menyebutku Manusia Makam Keramat! Kau dengar"!"
"Manusia Makam Keramat"!" gumam Wicaksana dengan dahi berkernyit
Lelaki berkumis jarang mencoba mengingatingat, barangkali saja pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai lelah dia menguras otaknya, tetap tidak didapatkannya tokoh persilatan yang mempunyai nama seperti itu
"Kau belum mengemukakan alasanmu menghadang perjalanan kami, Orang Tua?" susul Wicaksana bernada mengingatkan
"Sederhana saja," timpal Manusia Makam Keramat, tenang.
"Apa"!" tanya Wicaksana, ingin tahu
"Membuang cecunguk macam kalian ke neraka!" tandas Manusia Makam Keramat
"Keparat!" maki Wicaksana, geram karena merasa dipermainkan oleh Manusia Makam Keramat. Se- lanjutnya.... Srattt! Sinar terang menyilaukan mata mencuat ketika pimpinan rombongan Perguruan Kuda Langit ini mencabut pedangnya. Kejadian yang menimpa diri Loringga, menyebabkan Wicaksana tanpa ragu-ragu lagi menghunus senjata. Disadari kalau Manusia Makam Keramat adalah seorang lawan yang amat tangguh! "Hmmmrr...!" Sebuah dengusan pendek dari Manusia Makam Keramat yang menyambuti tindakan Wicaksana. Juga seperti sebelumnya, si kakek kurus ini tetap bersikap tenang seolah-olah tidak ada bahaya maut yang men-gancamnya
"Cabut senjatamu, Manusia Makam Keramat!" seru Wicaksana ketika melihat lawan masih berdiam diri.
"Tidak usah berlagak gagah, Anak Muda," ejek Manusia Makam Keramat
"Seranglah aku! Jangan ra-gu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuanmu."
"Sombong! Ingat, Orang Tua! Jangan salahkan aku telah bertindak curang menyerang lawan yang tidak bersenjata. Tapi kau sendiri telah mengabaikan kesempatan yang kuberikan!"
"Tidak usah banyak mulut, Anak Muda! Kau memang bukan pengecut, serang aku!" tandas Manusia Makam Keramat, tak peduli! Kontan wajah Wicaksana merah padam. Sepasang matanya pun berkilat-kilat memancarkan amarah. Sikap Manusia Makam Keramat yang terlalu sombong, penyebab utamanya. Lalu...
"Hiaaat...!" Diawali teriakan nyaring yang membuat suasana di sekitar tempat itu bergetar hebat, Wicaksana melancarkan serangan pertamanya. Ditusukkan pedangnya ke arah leher Manusia Makam Keramat! Cittt! Bunyi mencicit dari udara yang terobek, terdengar ketika pedang Wicaksana meluncur menuju sasaran. Cepat bukan main meluncurnya serangan itu
Tapi masih lebih cepat lagi gerakan Manusia Makam Keramat. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke kanan, tanpa bergeser dari tempatnya semula, Manusia Makam Keramat telah membuat serangan itu kandas. Ujung pedang Wicaksana lewat beberapa jari di sebelah kiri leher Manusia Makam Keramat
Melihat serangan pertamanya, berhasil dielakkan lawan secara mudah, Wicaksana jadi penasaran
Segera dikirimkan serangan susulan yang merupakan kelanjutan sebelumnya. Diayunkan pedangnya secara mendatar ke arah leher lagi! Wuttt! Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Wicaksana hanya mengenai angin. Karena Manusia Makam Keramat telah menarik kepalanya ke belakang
Sungguh hebatnya, hal itu dilakukan tanpa menggeser kaki! Tapi Wicaksana tidak menjadi putus asa karenanya. Bahkan sebaliknya! Serangan-serangan yang dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di tubuh Manusia Makam Keramat disertai bunyi mencicit yang menyakitkan telinga
Berturut-turut Wicaksana melancarkan serangan dahsyat secara bertubi-tubi. Tapi semua itu berhasil dielakkan oleh Manusia Makam Keramat tanpa menggeser kaki seujung kuku pun! Laksana bayangan, tubuhnya digerakkan ke sana kemari untuk mengelakkan semua serangan Wicaksana
"Heih!" Wicaksana menggertakkan gigi. Perasaan marah dan sakit hati berkecamuk di hatinya mendapati serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan lawan secara demikian mudah. Sebagai akibatnya, serangan-serangan yang dikirimkannya pun semakin dahsyat! "Sekarang giliranku!" Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya pedang Wicaksana, terdengar seruan Manusia Makam Keramat. Tapi Wicaksana yang tengah dilanda amarah tidak mempedulikannya. Dia terus saja melancarkan serangan. Pedang di tangannya dikelebatkan ke arah berbagai bagian berbahaya di tubuh Manusia Makam Keramat. Namun...
Tappp! "Akh!" Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut Wicaksana ketika batang pedangnya kena dicengkeram Manusia Makam Keramat. Memang, kejadiannya berlangsung demikian cepat dan tak terduga-duga
Meskipun demikian Wicaksana tidak menjadi kehilangan akal karenanya. Secepat batang pedangnya tercengkeram, secepat itu pula ditariknya seraya mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tergambar di benaknya jari-jari tangan Manusia Makam Keramat akan putus tersayat mata pedang. Paling tidak, tangan itu akan terluka! Jika hal itu terjadi, pasti Manusia Makam Keramat akan melepaskan cengkeramannya
Tapi harapan Wicaksana pupus seketika. Pedang itu sama sekali tidak bergeming dari cengkeraman tangan Manusia Makam Keramat. Seolah-olah bukan tercengkeram oleh tangan manusia, melainkan dihimpit kaki gajah! Betapa pun telah dikerahkan seluruh tenaganya, tetap saja tidak bergerak! Meskipun demikian, Wicaksana tidak putus asa. Tetap diteruskan maksudnya sampai wajahnya merah padam dan nafasnya terengah-engah
Berbeda dengan Wicaksana, keadaan Manusia Makam Keramat biasa saja. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Raut wajahnya tetap seperti semula
Beku. Membatu. Semua kejadian ini disaksikan secara jelas oleh semua anggota Perguruan Kuda Langit. Terutama sekali oleh Loringga dan rekannya yang berada di bagian terdepan. Tanpa diberi tahu pun mereka menyadari sepenuhnya kalau pimpinan mereka berada dalam keadaan tidak menguntungkan! Tahu kalau keadaan itu dibiarkan akan membahayakan keselamatan Wicaksana, Loringga dan rekannya langsung bertindak! Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya menghunus senjata masingmasing. Kemudian melompat ke dalam kancah pertarungan. Shing, shing! Bunyi mendesing langsung terdengar ketika dua batang pedang meluncur ke arah leher Manusia Makam Keramat. Loringga mengirimkan serangan dari sebelah kanan, sedangkan rekannya dari arah berlawanan. Kedua serangan itu dilakukan dari atas. Tindakan itu mengingatkan orang akan seekor burung elang yang hendak menerkam mangsanya
Menukik. Sengit. Hebat dan cepat datangnya serangan gabungan ini. Namun Manusia Makam Keramat melayani jauh lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang mencengkeram bergerak, terdengar bunyi derak dalam, disusul dengan patahnya batang pedang Wicaksana! Padahal, saat itu Wicaksana tengah bersitegang menarik senjatanya! Kelanjutan dari kejadian itu sudah dapat didu-ga! Wicaksana terjengkang deras ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri. Potongan pedangnya tergenggam di tangan Manusia Makam Keramat! Di saat itulah, Manusia Makam Keramat bertindak! Tangan kanannya dikibaskan! Shinggg! Seketika itu pula potongan pedang Wicaksana meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah pemiliknya sendiri! Padahal, saat itu Wicaksana masih dalam keadaan kehilangan keseimbangan. Moncong maut mendekat! Sementara itu, tindakan si kakek kurus tidak berhenti hanya sampai di situ. Terbukti kedua tangannya langsung disampokkan ke atas
Trekkk trekkk cappp! "Akh...!" Menakjubkan! Dalam waktu sekejapan saja rentetan kejadian itu terjadi! Kegagalan yang dialami oleh Loringga dan rekannya. Serangan mereka berhasil dilumpuhkan oleh Manusia Makam Keramat dengan sampokan tangannya yang membuat pedang mereka terpatah-patah, hampir berbarengan dengan amblasnya potongan pedang Wicaksana di perut majikannya sendiri. Itulah sebabnya, Wicaksana memekik kesakitan! "Kakang...!" Loringga dan rekannya menjerit kaget melihat kejadian yang menimpa Wicaksana. Jeritan itu langsung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang akibat sampokan kuat tangan Manusia Makam Keramat
Seiring keluarnya jeritan itu, Loringga dan rekannya langsung meluruk ke arah Wicaksana yang masih berdiri limbung sambil memegangi perutnya
Kenyataan ini menunjukkan ketangguhan daya tahan Wicaksana. Dia masih mampu hinggap di tanah dengan bertumpu pada kedua kaki. Padahal, saat itu perutnya tertembus potongan pedang
Bukan hanya Loringga dan anggota Perguruan Kuda Langit yang satu kelompok dengan Wicaksana saja, yang meluruk ke arah lelaki berkumis jarang itu
Anggota rombongan Perguruan Kuda Langit yang lainnya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Manusia Makam Keramat hanya tertawa-tawa. Tawa gembira penuh dengan nada ejekan

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

BERTEPATAN dengan malam di mana tumbal perempuan terakhir dipersembahkan sembilan bocah Pasukan Kelelawar, terjadi satu peristiwa langka. Malam itu, langit dirobek oleh terjangan selarik sinar terang berwarna putih kekuningan
Benderang, namun tak menyilaukan
Gesit, sengit, tak menggiring bayangan
Sinar itu terbang dari arah Makam Keramat Maut menuju selatan. Melesat bagaikan bintang jatuh
Melanglangi angkasa untuk sekian kedip mata, lalu menukik ke satu desa yang terletak di sekitar Hutan Rangkas. Di batas Hutan Rangkas dengan Desa Lebak, seseorang berdiri membatu. Dalam diam, dalam hening malam. Kepekatan malam yang tiada memiliki sebetik cahaya dari benda langit, membuat wujudnya hanya tampak sebagai seonggok bayangan yang tegak memancangi gelap. Kepalanya menengadah ke angkasa
Dalam diam, dalam hening malam
Tak ada yang cukup tahu siapa dirinya. Seperti tak ada yang cukup tahu pula apa yang dinantinya, serta kilau apa yang sedang melesati angkasa raya Pada waktunya, sinar putih kekuningan tiba di atas orang itu untuk satu tujuan. Geraknya makin dekat. Makin pasti menuju dirinya
Sampai.... Wsss! Tep! Tepat ketika tukikan sinar putih kekuningan mendatanginya dari arah depan, orang tadi mengangkat sebelah tangan. Tak kalah cepat dengan terjangan sinar. Dengan tangan kanannya, disambutnya sinar putih kekuningan. Yang paling mempesona dari tindakannya, sinar itu ditangkapnya! Bersama bunyi seperti sebuah benda bertumbukan dengan telapak tangan, sinar itu pun dalam genggaman. Cahayanya mencuat dari sela-sela jari
Memanjang hingga merayapi wajah dan sebagian tubuh orang tadi. Kini, terlihat samar bahwa orang itu mengenakan topeng kayu Arjuna. Kepalanya mengenakan blangkon parahiyangan. Sedangkan pakaiannya seperti ningrat Pajajaran
Dalam beberapa tarikan napas, sinar di genggamannya seperti berdenyut-denyut. Perlahan lalu memupus. Sinarnya melamat, tapi tak sampai sekarat
Perlahan-lahan pula, wujud sinar itu menjelma ke dalam bentuk kecil padat
Sebatang keris wesi kuning yang panjangnya tak lebih dari satu jengkal! Membara, bukan dalam warna merah menyala. Melainkan kuning keemasan
Keris itu diacungkan lebih tinggi lagi, seakan hendak menohok langit. Ketika senjata keramat itu tepat di atas ubun-ubunnya, orang bertopeng berkata
Terpendam, dalam
Berat. Pekat Samar. Bergeletar. Di sehimpun senyap mayapada
"Eyang! Kuterima Keris Kiai Kuning ini sebagai amanat amat berat darimu. Tugasmu menumpas sang Dewa Petaka dahulu, akan ku alihkan ke tanganku...." Selesai berkata yang lebih pantas disebut sebagai sumpah, orang bertopeng mendekatkan keris yang disebutnya dengan nama Kiai Kuning ke depan wajah
Setelah itu, dia menjemput sarung keris yang sejak lama terselip di balik kain ikat pinggangnya. Sarung keris berukir indah
Terlihat sudah begitu tua, tapi tak sedikit pun kehilangan keangkeran
Manakala keris memasuki warangkanya, mendadak saja sinarnya meredup dan hilang
"Kiai Kuning telah kembali ke 'singgasana'-nya
Sekali tercabut, harus ada darah manusia durjana memandikannya...," bisik orang bertopeng lagi sambil menatap keris. Sesaat kemudian, diselipkannya keris tadi ke ikat pinggang. Tubuhnya berkelebat. Mencelat bagai hantu. Dan sirna di rerimbunan rimba

* * *



Ada dua manusia bertaut usia sedang perang mulut di sebuah tempat. Mereka sama-sama ngotot untuk menang. Tak peduli kalau urat leher mereka pecah sekalipun. Yang satu menuding-nuding yang lain
Yang dituding bersungut-sungut sebal. Yang satu mencaci-maki yang lain bertubi-tubi. Yang dicaci maki habis-habisan menggerutu
Orang pertama, yang lebih seru meruntunkan omelan 'sambar geledek'nya, adalah orang tua kurus kering. Punggungnya agak melengkung. Tulang iganya sudah seperti penggilasan. Kepalanya gundul subur
Subur dengan busik, maksudnya. Wajahnya tak pernah dianggap siapa pun sedap dipandang. Tak terkecuali oleh monyet perempuan yang genit sekalipun. Gi-ginya sudah banyak yang rontok. Tapi jangan tanya kalau dia tersenyum! Senyumnya itu... hmmm, menyebalkan! Tak ambil pusing dengan badan yang tinggal sebatang, dia nekat bertelanjang dada. Cuma orang nekat yang berani mempermalukan diri sendiri seperti itu. Peduli setan orang menganggapnya kerangka berjalan! Kalaupun ada yang ditutupi, cuma perabotan kesayangannya. Itu pun dengan kain bau tengik, yang rendamannya cukup untuk meracuni seribu satu tua bangka macam dirinya
Tanya soal nama, tua bangka ini yang namanya Dongdongka. Kedengaran aneh. Padahal memang aneh. Kalau ada orang yang punya nama tanpa juntrungan seperti itu, Dongdongka salah satunya. Apalah arti sebuah nama (Yang penting bawa rezeki!). Julu-kannya di dunia persilatan bukan sekadar sebutan kosong. Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Manusia rada-rada 'miring' yang kesaktiannya disegani seantero dunia-akhirat, eh dunia persilatan! Kata banyak kalangan, dialah sesepuhnya dunia persilatan. Dan kata dia, orang-oranglah yang menyebutnya sesepuh. Tak perlu memusingkan pendapat mana yang benar, yang jelas dedengkot satu ini adalah guru besar si anak muda yang sedang diomelinya
O, iya. Bicara sedikit soal si anak muda. Dia adalah pemuda berambut panjang kemerahan. Perkasa, dan berwajah tampan. Bertolak belakang dengan perawakannya yang terlihat gagah, sorot matanya justru memancarkan keluguan. Dia mengenakan rompi bulu berwarna putih keabuan dari samakan kulit hewan. Celana pangsinya sebatas lutut
Cukup" Belum" Pemuda ini juga yang belakangan membuat geger dunia persilatan dengan julukan Satria Gendeng. Pewaris kesaktian Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Pembuat onar bagi kalangan sesat. Momok bagi orang biadab
Sekarang cukup! (Kalau belum cukup juga, bacalah episode: "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa"!) Ceritanya, setiap hari dalam satu pekan, tak peduli malam atau siang Satria terus menerus diberondong omelan guru setengah sintingnya. Kalau orang lain setua dia, biasanya sudah mampus kehabisan napas. Tapi yang namanya Dongdongka, mengomel seribu tahun lagi pun masih sanggup! Siapa yang tak jadi mangkel kalau dibegitukan" Satria tentu saja jadi mulas berkali-kali. Menghindar tak bisa. Lari tak akan mungkin. Si dedengkot satu itu, tua-tua tak bisa dengan mudah dikecohkan. Kadal pun tak bisa mengadalinya. Itu susahnya! Perkara sebenarnya cuma satu. Kail Naga Samudera telah raib dari tangan Satria. Itu terjadi ketika pendekar muda itu tak sadarkan diri terkena pukulan tua bangka cebol, Penjaga Gerbang Neraka (Baca kembali kisahnya pada episode: "Memburu Manusia Makam Keramat'!)
Menurut si tua keropos Dongdongka, Satria ditemukannya dalam keadaan pingsan di tepi bukit dalam keadaan luka dalam. Orangnya ditemukan, tapi senjata pusakanya hilang. Dongdongka ngamuk besar
Barangkali dia lebih suka menemukan senjata pusaka itu, dan muridnya silakan hilang" Untung dia gurunya. Kalau tidak, Satria bakal menyumpahinya sebagai 'guru kualat'! Ada pepatah bilang, 'sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga'. Biarpun Dongdongka bukan tupai, atau hendak menyamakannya dengan bajing, dalam hal ini, sekuat-kuatnya dia mengomel, toh akhirnya bungkam juga. Bibirnya mungkin sudah kering dan kaku. Maunya terus, tapi apa daya bacot tak sampai.
"Sudah, Kek?" tanya Satria, santai sambil duduk bersiul-siul
"Stompret! Bukannya mikir, kau malah bersiul!"
"Aku juga sedang berpikir. Kalau Kakek berhenti mengomel beberapa hari lalu, tentu aku akan menemukan jalan keluar untuk menemukan Kail Naga Samudera!"
"Tai kucing!"
"Mengomel lagi...."
"Sekarang mikir!"
"Sudah."
"Apa yang kau dapat?"
"Kupikir, sebaiknya Kakek pulang saja ke Tanjung Karangbolong."
"Murid kualat!" Dukk! Dari arah belakang, telapak kaki Dedengkot Sinting Kepala Gundul mampir di ubun-ubun Satria
"Sekarang pikirkan yang benar!"
"Sudah."
"Apa?" Mata Dongdongka melotot. Persis di depan hidung muridnya, dia bertolak pinggang.
"Jangan coba-coba main-main lagi, Kunyuk! Ku tendang mu-kamu baru tahu!" ancamnya
Satria ngeri juga. Padahal tadinya mau menjawab; kupikir telapak kakimu bau jemuran jengkol, Kek! Tapi tidak jadi. Dia ngeri wajahnya didarati telapak kaki bau itu
"Kupikir, sebaiknya aku kembali dulu ke tempat kejadian. Dari sana, aku bisa mulai menyelidiki." Kepala plontos Dongdongka menganggukangguk.
"Pemikiran yang bagus." Satria bangkit
"Kalau begitu, aku berangkat!"
"Tunggu dulu!" Satria menghela napas. Apa lagi maunya tua bangka satu ini, keluhnya
"Ceritakan dulu masalah yang tengah kau hadapi padaku! Aku ingin tahu sekecil-kecilnya. Jangan sampai ada yang lewat! Mengerti?""!!" Mau tak mau, Satria akhirnya bercerita. Dari urusannya dengan Pasukan Kelelawar, sampai bertemu dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga Gerbang Neraka. Persoalan Manusia Makam Keramat pun tak luput diceritakan.
"Kau menyebut-nyebut soal Manusia Makam Keramat"!!" Mendadak Dongdongka berteriak ngotot sekali. Kuping Satria tidak tuli. Tapi kalau caranya begitu, dia bisa benar-benar tuli! "Si Arya Sonta?""!!!" Dongdongka berteriak lagi
Tambah ngotot.
"Mana aku tahu?" Sehabis menjawab, pendekar muda itu jadi bengong sendiri
"Apa barusan Kakek menyebut nama asli Manusia Makam Keramat?" tanyanya kemudian
"Kau tuli!! Jelas, aku menyebut namanya!!!" Masih saja Dongdongka berteriak-teriak layaknya gagak bertemu makanan
"Tak usah berteriak-teriak, Kek. Aku belum tuli! Aku cuma ingin tahu, bagaimana Kakek bisa tahu nama orang itu?"
"Ya, tahu! Aku memang sudah mengenalnya sejak muda. Bahkan ketika masih bocah. Aku dan dia pernah besar bersama di Mataram, tahu! Terus terang, dia itu kakak kandungku! Tapi terus terang juga, aku malu punya saudara macam dia. Sejak muda dia sudah jadi anak kualat, anak slompret, tengik, anak kunyuk kurang ajar! Bayangkan saja, masa' dia pernah berniat melemparkan aku dari jurang" Dan...." Mulut Dongdongka kembali membuat kericuhan. Satria bengong sendiri. Bukan tekun mendengarkan ocehan gurunya. Dia cuma tak menyangka kalau biang keladi Pasukan Kelelawar yang demikian menggemparkan jagat persilatan ternyata masih kakak kandung gurunya

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

MASIH dengan tawa yang tidak putus, Manusia Makam Keramat memperhatikan semua kekalutan rombongan Perguruan Kuda Langit. Tampak olehnya, Loringga dan kawan-kawannya mengerumuni Wicaksana. Tubuh pimpinan rombongan Perguruan Kuda Langit itu setengah terbaring di tanah. Kalau saja tidak ada tangan Loringga yang menegakkan punggungnya, pasti tubuh Wicaksana terbaring
"Kang...! Kuatkan dirimu, Kang...! Kau akan selamat...," ucap Loringga terbata-bata dengan suara bergetar
Terlihat jelas kesedihan Loringga, baik dalam nada suara maupun tarikan wajahnya. Gambaran perasaan yang sama membias di wajah semua anggota Perguruan Kuda Langit
"Tidak, Loringga. Hhh..., aku... sudah ti... tidak kuat lagi. Lak... laksanakan tugas kalian se... sebaikbaiknya. Lekas... akh...!" Seiring dengan terkulai kepalanya, nyawa Wicaksana pun melayang ke alam abadi.
"Kang...! Kang Wicaksana...!" Penuh perasaan kalap, Loringga mengguncangguncangkan tubuh Wicaksana sambil memanggilmanggil namanya. Sikap lelaki pendek berperut gendut menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian Wicaksana. Penyebabnya bukan semata karena mereka sau- dara seperguruan. Lebih dari itu, Wicaksana adalah kakak kandung Loringga
"Hua hua haa...!" Tawa gembira digumpali nada mengejek membuat Loringga dan rekan-rekannya teringat kembali akan keberadaan Manusia Makam Keramat di situ
Seiring dengan itu, perasaan geram dan keinginan untuk membalas dendam pun menjangkit
"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan semua sakit hatimu!" Sambil berkata demikian, dengan hati-hati Loringga membaringkan tubuh Wicaksana di tanah. Kemudian dia bangkit. Ditatapnya lawan. Matanya menyala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di sana! "Kubunuh kau, Iblis Keji!" desis Loringga dengan suara bergetar. Lalu...
Srattt! Pantulan sinar mencuat ketika lelaki pendek gendut yang tengah dilanda amarah ini, mencabut pedangnya. Bukan hanya Loringga saja yang menghunus senjatanya. Enam rekannya pun melakukan tindakan yang sama. Dalam cekaman perasaan marah, rombongan Perguruan Kuda Langit ini seperti tidak mempedulikan nilai-nilai keksatriaan lagi
Betapa tidak" Lawan yang akan dihadapi hanya seorang dan bertangan kosong. Sementara mereka berjumlah tujuh orang! Itu pun masih ditambah lagi dengan adanya senjata di genggaman. Kelihatannya tidak adil sekali! Tapi persoalannya bukan terletak di sana. Yang jelas, mereka harus melakukan tindakan itu, mengingat kesaktian lawan masih sulit terukur. Jika tidak, besar kemungkinan mereka akan tumpas satu demi satu seperti nasib Wicaksana
Manusia Makam Keramat sepertinya tidak mempedulikan serbuan para lawan. Bahkan sikapnya menunjukkan justru dia memandang remeh. Tampak jelas dari sikap dingin dan kebekuannya
"Hiaaat...!" Diawali sebuah teriakan keras, Loringga yang telah tak kuat lagi menahan amarahnya, mulai bergerak. Rekan-rekannya pun mengikuti. Mereka tahu, Loringga bukan tandingan Manusia Makam Keramat yang sakti. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek gendut itu akan tewas di tangan lawannya. Pertarungan lebih ganas pun meletus lagi. Tujuh orang gagah dari Perguruan Kuda Langit menyerang laksana kuda langit. Pedang-pedang di tangan mereka berkelebatan cepat mengancam berbagai bagian tubuh Manusia Makam Keramat
Tapi Manusia Makam Keramat tetap bersikap tenang. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu menyambar dekat. Baru setelah itu, si kakek kurus ini menanggapi
Menggiriskan sekali tindakan Manusia Makam Keramat! Babatan, dan tusukan senjata lawan dipapaknya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras seperti ada benda-benda keras beradu, terdengar keti-ka sepasang tangan Manusia Makam Keramat berbenturan dengan senjata lawan-lawannya
Hebatnya, kedua tangan Manusia Makam Keramat sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, setiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan Kuda Langit terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan terasa sakit-sakit
Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gentar karenanya. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang mendera, rombongan Perguruan Kuda Langit kembali melancarkan serangan. Pertarungan sengit pun kembali berlanjut
Pertarungan berlangsung tak imbang. Kendati banyak dalam jumlah, para lawan si kakek kurus dibuat blingsatan. Rombongan Perguruan Kuda Langit harus mengakui kalau Manusia Makam Keramat memang terlalu kuat untuk dapat ditandingi
Sebenarnya, sejak semula pun sudah dapat diketahui kalau Manusia Makam Keramat memang terlalu tangguh untuk dihadapi oleh rombongan Perguruan Kuda Langit. Keadaan Loringga dan kawan-kawannya tak ubahnya dengan semut-semut yang menerjang api, roboh sebelum berhasil mendekati sasaran
"Hua hua haa...! Hanya sampai di sinikah kemampuan kalian" Benar-benar mengecewakan!" ujar Manusia Makam Keramat keras, mengatasi bisingnya suasana pertarungan. Jelas, dia mengerahkan tenaga dalam pada suaranya
Tidak ada tanggapan sama sekali dari mulut anggota rombongan Perguruan Kuda Langit. Walaupun sebenarnya hati mereka bagai terbakar, karena perasaan geram yang melanda. Tapi, yang dilakukan mereka adalah semakin memperhebat serangannya
Ada tanggapan atau tidak atas ucapannya, Manusia Makam Keramat tidak mempedulikan
"Sekarang aku akan membalas! Bersiaplah kalian...!" Usai berkata demikian, si kakek kurus menjejakkan kaki. Seketika tubuhnya mencelat tinggi ke atas, melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu...
Jleg! Ringan laksana kapas jatuh, Manusia Makam Keramat mendaratkan kedua kakinya di tanah, di luar kepungan. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi dirangkapkan kedua tangannya, seperti tengah memeluk. Sekejapan itu juga mengepul asap putih
Manusia Makam Keramat menyusun jari-jari tangannya berkuku panjang melingkar membentuk cakar-cakar aneh. Kaki kanannya terletak di depan agak ditekuk. Sedangkan kaki kirinya di belakang, sedikit lurus. Inilah salah satu ajian sesatnya 'Kelelawar Penghisap Darah'! Cukup aneh pembukaan ajian 'Kelelawar Penghisap Darah' milik Manusia Makam Keramat. Rombongan Perguruan Kuda Langit menjadi agak keheranan karenanya. Tapi hanya sesaat saja Loringga dan kawankawannya dikungkung perasaan heran. Kemudian, dengan diawali teriakan-teriakan keras memekakkan telinga mereka meluruk ke arah Manusia Makam Keramat. Pedang di tangan mereka siap untuk dikelebatkan.
"Aarkg!" Bunyi mengeram keras terdengar dari mulut Manusia Makam Keramat. Nyaring, serak serta menyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, Manusia Makam Keramat melakukan tindakan yang sama dengan lawan-lawannya. Dia memapak serbuan rombongan Perguruan Kuda Langit
Melihat hal ini Loringga tidak tinggal diam
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera menyambut papakan Manusia Makam Keramat dengan ayunan pedang. Shing, shing, shing! Crat, crat, crat! "Akh, akh, akh...!" Rentetan kejadian itu berlangsung demikian cepat sehingga sulit untuk dirinci. Jelasnya, jeritan menyayat hati keluar susul-menyusul dari mulut rombongan Perguruan Kuda Langit
Itu pun masih disusul dengan berpentalannya tubuh-tubuh mereka ke belakang. Jatuh bergedebuk di tanah. Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya mengejang, kaku selamanya
"Hua hua haa...!" Manusia Makam Keramat tertawa bergelak. Keras dan penuh kegembiraan. Dirayapinya mayat tujuh orang lawannya sejenak. Mereka semua menjadi korban kedahsyatan ajian 'Kelelawar Penghisap Darah'nya. Memang, ajian itu demikian dahsyat! Dalam penggunaannya, tubuh Manusia Makam Keramat jadi sedemikian ringannya. Kecepatan geraknya pun menakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak itu, Manusia Makam Keramat berhasil membinasakan lawan-lawan seperti menepuki nyamuk. Ketujuh anggota Perguruan Kuda Langit itu tewas terkena sambaran cakar aneh si kakek kurus
Masih dengan tawa yang belum putus, Manusia Makam Keramat mengalihkan perhatian ke arah kereta. Pertama kali yang dilihatnya adalah sang kusir kereta. Karuan saja hal itu membuat sang kusir yang merupakan salah satu anggota Perguruan Kuda Langit, meremang bulu kuduknya. Nyalinya kontan menciut
Baru kali itu disaksikannya bola mata si kakek kurus
Hijau. Begitu menghunus
Pekat dengan kilat anyir
Disadari kalau dia bukan tandingan Manusia Makam Keramat yang demikian menggiriskan! Karena kegentaran itu, sang kusir mengambil tindakan pengamanan. Ctar, ctar! "Hiya! Hiyaaa...!" Dengan perasaan kalang-kabut yang melimpah di wajahnya, sang kusir menggebah kudanya. Kontan binatang tunggangan itu berlari
"Hih!" Manusia Makam Keramat hanya mendengus melihat tindakan yang diambil sang kusir! Dengan sorot mata bengis, dijumputnya sebutir batu kerikil, dan dijentikkannya ke arah binatang penghela kereta itu
Tukk! Sesaat kemudian, akibat yang sungguh mengagumkan hati langsung terjadi. Lari kuda penarik kereta itu langsung terhenti
Demikian mendadak kejadiannya. Peristiwa itu membuat si kusir kelabakan. Perasaan takut yang mendera, membuatnya tidak dapat berpikir panjang. Cambuk di tangannya langsung dilecutkan ke bagian belakang tubuh kuda! Ctar, ctar, ctar! Keras bukan kepalang bunyi yang terdengar
Udara tergeletar
Sang kusir bertenaga jauh lebih kuat dari sebelumnya. Tapi sampai telah melecutkan cambuk, tetap saja kuda itu diam mengarca! Hal ini membuat sang kusir sadar kalau tindakan yang diambilnya sia-sia
Meskipun tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi, si kusir kereta itu yakin kalau Manusia Makam Keramat telah berhasil menotok kaku kudanya dari jauh dengan sebutir batu kerikil! Dari perasaan takut, anggota Perguruan Kuda Langit yang bertugas sebagai kusir kereta ini, menjadi nekat. Pedang yang tergantung di punggung langsung dicabutnya. Kemudian dia melompat turun
Jleg! Secepat kedua kakinya menginjak tanah, secepat itu pula sang kusir melancarkan serangan ke arah Manusia Makam Keramat
Pedangnya diputar laksana kincir, kemudian ditusukkan ke arah dada lawannya
Manusia Makam Keramat hanya tersenyum mengejek melihat serangan sisa anggota Perguruan Kuda Langit itu. Ditunggunya hingga dekat, baru kemudian tangannya bergerak cepat! Teppp! Mata pedang anggota Perguruan Kuda Langit itu telah berhasil ditangkap Manusia Makam Keramat
Sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Manusia Makam Keramat telah lebih dahulu bertindak. Dikerahkan sebagian tenaga dalamnya untuk menyorongkan pedang yang telah dicengkeram. Akibatnya...
Cappp! "Akh...!" Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan jeritan menyayat ketika pedangnya sendiri menancap di perutnya hingga tembus ke punggung. Tentu saja dengan gagang lebih dulu
Wajah sisa anggota Perguruan Kuda Langit menegang menahan rasa sakit menjangkit. Sepasang matanya pun membelalak lebar. Namun hal itu hanya berlangsung sekejap saja. Begitu Manusia Makam Keramat melepaskan cekalannya, tubuh si kusir itu pun ambruk.
"Hua hua haa...!" Entah untuk yang keberapa kalinya, Manusia Makam Keramat kembali mengumbar tawa puas
Hanya saja kali ini lebih singkat dari sebelumnya
Setelah menghentikan tawa, Manusia Makam Keramat mengayunkan langkah menghampiri kereta kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilangkahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menakjubkan! Hanya dengan sekali mengayunkan kaki, dia telah berada di dekat kereta
"Hih!" Brakkk! Daun pintu kereta kuda itu langsung jebol menimbulkan bunyi hingar-bingar ketika tangan Manusia Makam Keramat yang berisi tenaga dalam kuat menariknya.
"Auwww...!" Teriakan melengking nyaring mencelat keluar seiring jebolnya pintu kereta itu. Menilik suaranya bisa diketahui kalau penumpang kereta adalah seorang wanita! Di dalam kereta duduk dengan tubuh menggigil seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun
Meskipun sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tangan, bisa diketahui kalau wajahnya sangat cantik. Terbukti kulitnya putih, halus, dan mulus! Pakaian indah berwarna merah muda yang membungkus tubuh montoknya menjadi pertanda kalau gadis itu berasal dari satu keluarga ningrat "Hih!" Sorot kekejaman langsung membayang di wajah dan sepasang mata Manusia Makam Keramat ketika melihat isi kereta kuda itu
Sementara itu, si gadis berpakaian merah muda semakin ketakutan. Disadari adanya bahaya mengancam. Maka tanpa pikir panjang lagi, masih dengan jeritan-jeritan meminta pertolongan, dibukanya pintu kereta yang satu lagi! Kreett...! Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis berpakaian merah muda langsung melompat keluar
Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan hendak melarikan diri"
"Akan lari ke mana kau, Gadis Cantik"!" desis Manusia Makam Keramat penuh ancaman. Tanpa perubahan paras wajah sedikit pun, diambilnya sebutir kerikil dan dilemparkannya ke arah gadis berpakaian merah muda itu
Wuttt! Tukkk! "Akh...!" Berkawal jeritan kesakitan, tubuh gadis tadi langsung tersungkur di tanah. Batu yang dilemparkan Manusia Makam Keramat mengenai belakang lututnya
Sebelum gadis buruannya berbuat sesuatu, Manusia Makam Keramat telah melesat, menyambar tubuhnya dan membawanya kabur dari situ
"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak gadis berpakaian merah muda, kalap! Tapi Manusia Makam Keramat tidak mempedulikannya. Dia terus berlari. Hanya dengan beberapa kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap

* * *



Jauh dari tempat pembantaian, masih di dalam wilayah Kerajaan Pajajaran, sepasang perempuan dan lelaki berjalan menuju selatan. Yang perempuan berusia setengah baya. Terlepas dari usianya yang terbilang cukup tua, wajahnya sendiri masih mempesona, jika belum cukup untuk disebut cantik. Luar biasa memang pada usia seperti dia. Sebaliknya, tak terlalu luar biasa sebenarnya kalau menilai riasan wajahnya yang begitu apik serta cara berpakaiannya yang mencolok
Mungkin kekuatan pesonanya datang dari sana
Mungkin juga tidak
Perempuan paro baya berambut hitam panjang tergerai. Rambutnya dihiasi ronce bunga melati yang menaburkan wangi setiap waktu. Dia mengenakan pakaian sutera putih panjang seperti gaun, dengan belahan panjang di bagian bawah sampai pangkal paha
Dari cara berjalan yang melenggak-lenggok seperti sengaja memainkan tari pinggul, jelas perempuan ini mempunyai perangai genit
Lelaki di sebelahnya adalah seorang kerdil
Tingginya hanya di bawah pinggang perempuan separo baya tadi. Berwajah mirip perempuan. Rambutnya keriting. Berkulit hitam. Sementara matanya selalu membersitkan kilatan menyeramkan. Mendukung kebengisan pancar mata, di kedua belah tangannya tergenggam senjata logam berbentuk cakar bermata tiga
Mereka adalah pasangan guru-murid (atau suami-istri edan-edanan), Dewi Melati dan Penjaga Gerbang Neraka. Terakhir kali, mereka terlibat dalam satu peristiwa menegangkan di tepi sebuah sungai
Di tepi sungai tempat seorang penduduk desa menemukan mayat-mayat perempuan, keduanya berurusan dengan cahaya aneh yang datang dari dalam lorong anak sungai bawah tanah. Cahaya aneh itu memiliki kekuatan teramat dahsyat. Mereka yang sedang berusaha untuk menyelidiki lorong terpental oleh ter-jangannya
Setelah berbenturan dengan tenaga dalam Penjaga Gerbang Neraka yang memiliki nama asli Patigeni, cahaya itu menjadi terburai. Beberapa saat kemudian, seluruh serpihan cahaya menyatu kembali. Lalu menukik dan kembali ke dalam lorong. (Baca episode sebelumnya: "Memburu Manusia Makam Keramat'!)
Penjaga Gerbang Neraka ketika itu pula mencoba mengejar ke dalam lorong
Kesaktian tua bangka cebol itu memang mengagumkan. Dia patut mendapatkan acungan jempol, mungkin dari seluruh warga persilatan. Setelah melompat dari tepian sungai, tubuhnya kembali mengapung di atas permukaan air, seperti dilakukan sebelumnya. Hanya dengan satu perbedaan. Jika sebelumnya dia mengapung di atas air dan bergerak perlahan ke dalam lorong, maka kali ini dia bergerak laksana terkaman seekor macan pohon
Wrrr!!! Dengan mengandalkan tenaga dorongan dari sepasang senjatanya yang diputar bagai dua bilah baling-baling, tubuh Penjaga Gerbang Neraka melesat di atas air dengan posisi menghadap ke belakang
Entah memiliki mata di belakang kepala, mulut lorong yang sempit dimasukinya tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Ditambah kecepatan meluncur yang demikian menggila, tentu saja tindakannya menjadi satu unjuk kebolehan yang mengagumkan! Tetap dengan memutar sepasang senjata di kedua belah tangan sebagai baling-baling pendorong, Penjaga Gerbang Neraka meluncur mengejar cahaya aneh yang telah lebih dahulu melesat ke dalam lorong anak sungai bawah tanah
Ukuran tubuh yang kecil, memungkinkan di untuk bergerak lincah dalam tempat yang demikian sempit. Beberapa kali ujung senjatanya dihalangi oleh dinding sempit. Tua bangka cebol itu pantang dihalangi. Dia menerjang terus dalam posisi mundur, tetap meluncur di atas permukaan anak sungai bawah tanah. Senjatanya pun berbenturan dengan dinding lorong. Tanah basah berhamburan ke segenap arah
Bunga api berpercikan manakala ujung senjatanya menghajar bebatuan
Riuh sepanjang lorong
Laksana ada seekor naga mengamuk dalam liangnya! Berliku-liku lorong yang ditempuh, tak membuat si tua bangka cebol menjadi kehilangan kecepatan. Bahkan bisa dibilang dia hampir-hampir menyamai kecepatan cahaya yang dikejar
Sampai satu tikungan lorong yang membentuk tiga percabangan, Patigeni kehilangan jejak buruannya. Dihentikannya putaran senjata di tangan
Sunyi. Sisa batu dan tanah yang gugur ke dalam anak sungai di lantai lorong terdengar lamat-lamat
Di tengah persimpangan yang menyerupai ruangan agak lebar, Penjaga Gerbang Neraka berdiri diam di atas permukaan air. Arus anak sungai di bawahnya memperdengarkan gemericik ketika terpisah ke arah percabangan
Patigeni tak terusik
Diam. Siaga. Kehilangan buruan, bukan berarti dia harus lengah terhadap setiap kemungkinan. Sebelumnya dia telah memburu. Bukan tak mungkin saat berikutnya dia menjelma menjadi buruan
Menanti tegang untuk sekian lama, tak mendatangkan apa-apa. Suasana tetap hening. Hanya suara gemericik air yang merayap samar. Tak ada apa-apa
Tidak juga serangan menggila seperti sebelumnya
Patigeni mendengus. Gusar, telah kehilangan buruan yang mungkin dapat membawanya kepada musuh besar yang tak pernah ditemuinya, Manusia Makam Keramat! Sekarang ini, dia cuma harus memutuskan apakah dia harus memilih salah satu percabangan anak sungai untuk dimasuki, atau dia kembali. Menimbang dia belum tentu berhasil mengikut cahaya misterius tadi dengan memilih salah satu percabangan lorong, Penjaga Gerbang Neraka memutuskan untuk keluar terlebih dahulu. Sebaiknya dia menemui Dewi Melati dulu. Bukan tak mungkin wanita itu menjadi sasaran penculikan Pasukan Kelelawar ketika Patigeni sendiri tetap bersikeras dalam lorong
Menimbang hal itu, si tua bangka Cebol bisu, dan tuli memutuskan untuk kembali ke tempat semula
Kekhawatirannya tak terbukti. Dewi Melati masih menunggu di luar. Setelah itu, mereka memutuskan untuk melakukan pencarian dari darat. Patigeni yakin, cepat atau lambat kesempatan untuk menghadapi Manusia Makam Keramat akan terjadi

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

MATAHARI belum lagi menampakkan diri. Sinarnya masih terhalang oleh pekatnya kabut pagi. Masih gelap! Tapi, dalam suasana seperti itu seorang pemuda telah tampak berjalan santai di pinggir Hutan Rangkas. Pemuda itu tak lain pendekar muda tanah Jawa, Satria Gendeng. Setelah bertemu dengan Dongdongka, gurunya yang menemukannya dalam keadaan tak sadarkan diri waktu itu, dia meneruskan pencarian. Sejak pingsan terkena pukulan Penjaga Gerbang Neraka, Satria kehilangan arah penyelidikan sama sekali. Sekarang dia harus mulai dari awal. Di samping harus menemukan bocah-bocah penculik perempuan, Pasukan Kelelawar, dia juga harus mencari dua rekan tengiknya; Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Itu sebenarnya sudah cukup berat. Akan makin berat kalau dia harus pula mencari tahu siapa yang telah merampas senjata pusakanya ketika dia tak sadarkan diri
Agak ke timur tepi hutan, terdapat bentangan sungai tak begitu besar. Airnya jernih. Dasarnya yang berpasir dan berbatu bahkan tampak dengan jelas, kendati sinar surya masih lamat. Pagi yang segar tentunya saat yang tepat untuk mandi, mengingat badannya sudah sebau ketiak dedemit! Pikir Satria
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cukup tinggi, tanpa membutuhkan waktu terlalu lama, pemuda itu telah berada dekat dengan tempat yang dituju. Tak lama, Satria sudah melompat ke sungai, setelah sebelumnya melepaskan pakaian
Byuurrr...! Air sungai yang semula mengalir tenang bergolak ketika tubuh Satria menampar air. Pemuda murid dua sesepuh persilatan ini berenang sampai ke tengah sungai, tempat yang lebih dalam. Menyelam. Menikmati belaian kesejukan
Pada saat si pendekar muda berwajah kekanakan itu menyelam, dari arah selatan datang seorang gadis cantik berpakaian warna putih. Gadis cantik itu membawa sebuah keranjang berisi pakaian yang hendak dicuci di sungai itu. Usai meletakkan bakul berisi pakaian di atas batu sungai, dia melepaskan bebatan kain batik coklat yang membungkus tubuhnya. Kesegaran air sungai mengundangnya untuk mandi. Urusan mencuci pakaian, bisa ditunda sebentar, pikirnya
Sebelum kainnya telanjur terlepas...
Byarrr...! Dari tengah sungai, menyembul mendadak sebuah kepala berkawal bunyi ramai sibakan air. Rambutnya centang-perenang ke mana-mana, menutupi wajah yang keluar dari dalam air. Mulutnya membulat seperti mujair seraya mengeluarkan suara tarikan napas yang tak kalah menyeramkan dari kentut siluman
Seketika itu pula gadis cantik berbebat kain mendekap mulut. Matanya membulat penuh. Mendelik bisa jadi. Dia mengira ada sebangsa siluman sungai muncul kepagian. Tapi apa iya ada siluman keluar sepagi ini, pikirnya. Akhirnya dia merutuki kebodohannya sendiri. Bisa saja kepala yang muncul dari dalam sungai cuma kepala orang yang sedang mandi
Gadis berbebat kain itu segera menjemput bakul cucian. Mengendap-endap, dia bersembunyi di balik batu besar. Bukan apa-apa, dia cuma belum begitu yakin benar pada orang yang muncul dari dalam sungai tadi. Perempuan atau lelaki" Dari tempatnya kini, dia mengintip siapa orang yang tengah mandi di pagi buta. Tidak seperti biasanya, sepagi ini ada orang yang mandi di sungai. Karena gadis cantik berbebat kain merasa yakin bahwa belum ada penduduk desa sekitar, terutama para gadis-gadis yang berangkat ke sungai sepagi ini, selain dirinya. Usaha gadis cantik mencari tahu siapa orang yang mandi itu tidak sia-sia. Dia berhasil melihat jelas punggung orang yang sedang mandi dari kejauhan
Tapi itu belum cukup
Rambut panjang" Tanyanya membatin. Keningnya berkerut.
"Aneh! Setahuku gadis-gadis di desa ini tidak ada yang mempunyai rambut panjang kemerahan. Kalau begitu siapa dia, ya?" tanya gadis berbebat kain itu dalam hati
Deggg! Tiba-tiba saja wajah gadis cantik itu memerah seketika. Betapa tidak" Karena ketika orang yang sedang mandi itu membalikkan tubuhnya, disaksikannya dada orang itu tampak bidang. Tidak ada buah dadanya! Sejak zaman apa, seorang gadis yang mempunyai dada bidang" Hal inilah yang membuat wajah gadis cantik itu memerah. Dia terkejut. Tanpa sengaja kaki gadis cantik itu menyentuh sebuah batu. Sialnya lagi batu itu bergulir ke bawah. Diiringi bunyi riuh ba-tu itu menggelinding ke arah sungai
Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian Satria yang sedang mandi. Seketika itu pula, dia langsung menghentikan kesibukan mandinya dan mengedarkan pandangan ke asal keributan kecil
"Hey, siapa di situ" Cepat tunjukkan diri...!" seru Satria Gendeng
Tidak ada sahutan
Cukup lama.
"Hemm.... Baiklah kalau kau memang tidak mau menunjukkan diri. Jangan salahkan aku jika kau...." Ancam Satria Gendeng. Sengaja kalimatnya di-penggal untuk membuat pancingan, agar orang yang membuatnya curiga muncul
Sementara itu gadis cantik berbebat kain nampak mulai bingung. Diam-diam dia menyesali seruntun kebodohannya.
"Baiklah jika memang kau mau mencari penyakit denganku...!" tegas Satria Gendeng, sambil melesat menyambar pakaian. Kalau tidak begitu, bisa terlihat perabotannya! Mendengar ancaman Satria, karuan saja si gadis cantik semakin kelabakan. Perasaan gelisah melanda hatinya. Dadanya berdentam-dentam kencang
Mau bilang apa dia nanti" Mengintip perjaka mandi"! Mau ditaruh di mana mukanya" Di bakul cucian" Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti
Tapi sebelum gadis itu bergerak keluar, orang yang diintipnya telah berada di hadapannya. Seketika tubuh gadis cantik itu bergetar hebat
"Siapa kau..."! Mengapa kau mengintip aku mandi"!" tanya Satria Gendeng bersungut-sungut. Heran juga Satria. Masa' iya ada perempuan senang mengintip" Gila apa" Pikirnya, "Ak... akhu..., tid... tiddakk senggajaa...!" jawab gadis berbebat kain, tergagap. Pandangan matanya merunduk ke tanah. Tidak mampu melihat wajah orang di hadapannya. Malu hati sebesar bukit! "Siapa namamu, Nona?"
"Aku.... Rara Lanjar," jawab singkat si gadis bernama Rara Lanjar
"Apa tujuanmu berada di sini dan mengintip ku begitu rupa?" tanya Satria sambil melihat rona merah pada kedua pipi Rara Lanjar. Caranya bertanya agak sengit. Maklum, dia merasa dipermalukan
"Aku sedang mencuci pakaian. Tidak bermaksud apa-apa...," kembali gadis cantik itu menjawab pertanyaan Satria Gendeng dengan wajah tertunduk
"Mencuci pakaian dengan cara bersembunyi seperti ini" Jangan ngaco! Bilang saja kau sejenis perempuan 'gatal'!?" semprot Satria, keki. Kian terbakar wajah putih mulus Rara Lanjar mendengar ucapan pemuda di depannya yang dianggapnya sama sekali tidak berperasaan. Bacot pemuda semacam ini mesti disumpal kepalan, gusarnya
"Kurang ajar!" Sambil memaki, tangan perempuan itu melepas tamparan. Tamparan yang tidak mungkin dilakukan oleh perempuan desa biasa. Terlalu bertenaga. Sebelum sampai saja, angin sambarannya sudah terasa
Satria tidak bisa tidak dibuat agak terperanjat
Semula dikira gadis di depannya cuma gadis desa biasa. Kalau cuma sempat terperanjat, bisa sial besar dia. Tamparan perempuan itu bisa saja membuat mulutnya 'penyok'! Makanya Satria buru-buru menolehkan kepala. Tamparan lewat di depannya
Si gadis tak puas. Sepertinya baru akan puas kalau kepalannya sudah menyodok mulut si pemuda sampai ke tenggorokan. Ini yang namanya tindakan memberi pelajaran pada pemuda bermulut lancang! Lalu kaki mulusnya terangkat, membuat sapuan ke tempat Satria berpijak. Kainnya tersingkap lebar. Sampai ke pangkal paha. Mulusnya minta tobat
Bagi si pemuda, 'pemandangan bagus' itu bisa berarti dua hal. Pertama, 'rezeki nomplok' di pagi buta
Kedua, 'kesialan'. Kesialan karena matanya jadi tak berkedip mengikuti gerakan pangkal paha yang merentang aduhai itu. Meski gerakannya cepat, tapi tetap nikmat. Karena itu (sialnya), dia jadi tertegun
Dak! Tulang kering di kakinya kontan tersapu kaki Rara Lanjar. Keras. Telak. Satria berteriak dengan ma-ta menjuling
"Wadau!" Keseimbangan tubuhnya oleng. Dia hendak bersalto ke belakang. Tapi, tangan Rara Lanjar sudah lebih cepat memburunya
Bukh! Dadanya terhantam. Tubuhnya ambruk ke belakang. Sungai menantinya
Byur! Basah! "Sial!!!" umpat Satria sambil menatapi pakaiannya yang kuyup semua. Dia bangkit dengan bibir maju mundur. Demi nenek moyang gurunya yang sinting, akan dimaki-makinya perempuan brengsek itu! Habishabisan. Didekatinya lagi Rara Lanjar
Belum sempat mulutnya menyemprotkan makian, Satria sudah keduluan
"Cuih! Untuk apa aku mengintip mu yang tidak ada gunanya buatku"! Kalau bicara hati-hati! Lihat du-lu, apa aku punya tampang wanita nakal"! Jawab pemuda bermulut lancang! Jangan-jangan, justru kau yang termasuk pemuda nakal!!" omel Rara Lanjar, lebat seperti hujan
Satria jadi bengong. Bukankah mestinya dia yang mengomel" Berhasil menekan rasa malunya dengan kegusaran, Rara Lanjar mendongakkan kepala. Ditantangnya mata pemuda di hadapannya. Tegas-tegas
Saat itulah, entah bagaimana terbetik keterpakuan pada mata si gadis menyaksikan ketampanan wajah pemuda di hadapannya. Perasaan jadi berubah lagi. Jadi rada pontang-panting, makin dijungkirbalikkan. Gundah. Campur resah
Campur sebal, campur baur dengan es campur, eh campur malu! "Kenapa kau memandangku seperti itu, Nona?" bentak Satria Gendeng. Masih saja dia bersungutsungut tak sedap
Rara Lanjar gelagapan
"Kau juga belum jawab pertanyaanku tadi, apa yang sedang kau lakukan di sini"!" serbu Satria lagi
"Aku tidak mengintip mu! Aku memang ingin mencuci pakaian. Kalaupun aku bersembunyi, panjang juga ceritanya!" balas Rara Lanjar mulai memberani-kan diri
"Jelaskan saja!" Si gadis sejenak menarik napas panjang, menenangkan kerusuhan perasaannya. Setelah terasa tenang, barulah Rara Lanjar kembali memandang wajah pemuda tampan di depannya
Satria yang melihat lebih jelas lagi wajah Rara Lanjar jadi berdecak kagum. Sungguh indah dan elok paras wajah Rara Lanjar. Tidak kalah dengan wajah Mayangseruni atau Tresnasari. Dua gadis yang pernah dikenalnya. Tapi, perasaan 'dipermalukan' jadi soal lain. Dia tidak terima diintip! "Ayo, jelaskan padaku, Nona!" desak Satria
"Sebenarnya aku tidak bermaksud mengintip mu mandi. Karena perlu kau ketahui, bahwa sungai ini khusus untuk para gadis yang boleh mandi dan mencuci di sini. Sedangkan untuk pemuda sebelah utara sungai ini. Jadi aku kaget dan malu ketika tahu kau sedang mandi. Makanya aku sembunyi. Kau juga yang salah!" tukas Rara Lanjar
"Eee.... Mana aku tahu di sini cuma tempat untuk para gadis," kata Satria Gendeng, mulai menurun nada suaranya. Sadar kalau dirinya yang salah
Anak muda itu tersenyum-senyum kebodohan
Cengar-cengir serba salah. Sejelek anak monyet. Untung dia bukan anak monyet! "Kalau benar begitu aku minta maaf, Nona!" ujar Satria, malu-malu
"Aku juga minta maaf, Kang" balas Rara Lanjar, merunduk ketika mengingat peristiwa sebelumnya
Terpaksa kalimatnya terpenggal
"Panggil saja aku Satria...," ujar Satria Gendeng. Lupa mengenalkan dirinya
"Siapa pula nama-mu, Nona?"
"Rara Lanjar," sahutnya perlahan
Tak lama kemudian mereka dilingkupi suasana hening. Masing-masing tidak ada yang berbicara. Sama-sama kehabisan kata. Sehingga akhirnya Satria Gendeng memutuskan untuk pamit saja. Daripada harus terus seperti orang tolol, pikirnya
"Oh ya, Rara Lanjar. Aku minta diri untuk melanjutkan perjalananku pagi ini...," pamitnya, mengusik lamunan gadis cantik di depannya. Rara Lanjar yang melamun dan menatap kosong ke depan menjadi tergagap ketika mendengar pamitan pemuda yang baru dikenalnya
"Oh, silakan, Satria...," jawabnya dengan terbata-bata. Ringan, Satria Gendeng kembali melangkahkan kaki, melanjutkan perjalanannya. Belum lama Satria Gendeng melangkah...
"Satria! Nanti malam di tempatku ada pesta panen! Kalau kau sempat, datanglah ke Desa Lebak! Aku mengundangmu...!" teriak Rara Lanjar
Satria Gendeng yang mendengar teriakan Rara Lanjar, hanya tersenyum di kejauhan

* * *



"Hemm.... Ada apa, ya?" gumam Satria sambil menghentikan ayunan kakinya. Anak muda itu tengah memasuki Hutan Rangkas lebih ke dalam
"Suara apa ya?" bisiknya lagi seraya menggaruk-garuk kening Satria mencoba memperuncing pendengarannya untuk meyakinkan apa yang tengah didengarnya
Dia tercenung sejenak seperti tengah memperkirakan sesuatu.
"Sepertinya suara itu teriakan orang meminta pertolongan," duga pemuda berambut kemerahan itu, lebih meyakinkan dari sebelumnya.
"Suara yang tertangkap oleh telingaku terlalu lemah. Jadi, susah bagiku untuk dapat memastikan dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, meskipun hanya sekali, mungkin bisa kuketahui sumbernya," ujar pemuda tampan berompi bulu pada dirinya sendiri
Satria menatap ke sekeliling hutan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang dipikirkan oleh pemuda bersifat lugu itu
"Hutan ini cukup luas juga. Bagaimana aku dapat mencari sumber suara tadi tanpa mengetahui arahnya, laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami! Sulit!"
"Tapi... biar bagaimanapun aku harus mencari sumber suara itu." Kembali murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu berbicara sendiri. Sinting juga, barangkali! Satria melakukan pencarian secara lambat
Masalahnya, dia tak tahu arah yang harus ditempuh
Sambil menindakkan kaki, pendengarannya dipasang tajam-tajam. Hal itu dilakukan dengan sepercik harapan yang bergayut di hati. Barangkali saja, jeritan itu kembali terdengar
Cukup lama juga pendekar muda sakti pembuat kegegeran di tanah Jawa, momok kalangan sesat itu melakukan pencarian. Tak jarang dia harus memapas semak-semak yang menghalangi perjalanannya
Sampai akhirnya...
"Hemm.... Garis apa itu?" Satria Gendeng mengarahkan pandangan ke tanah yang terdapat cekungan selebar tiga jari pada bagian tanah hutan yang tidak tertutup rumput. Cekungan itu memanjang. Jumlahnya tidak hanya satu melainkan sepasang! Jarak antara keduanya terpisah sekitar setengah tombak! "Hemm.... Bukankah garis memanjang ini adalah jejak roda kereta..."!" gumam Satria Gendeng, meyakinkan apa yang baru dilihatnya. Selain jejak kereta kuda yang memanjang dari barat ke timur ditemukannya pula jejak-jejak kuda
"Apakah jejak kereta ini mempunyai hubungannya dengan asal jeritan yang tadi kudengar?" Kembali Satria Gendeng berbicara pada dirinya sendiri
Memang dalam kesunyian hutan ada baiknya berbicara sendiri untuk mengusir rasa sepi. Toh, binatang hutan atau pepohonan tak akan menganggapnya sinting! Merasa menemukan titik terang, Satria mulai mengamati rentang jejak kereta kuda sepanjang jalan tanah. "Masalahnya sekarang, ke arah mana kereta kuda itu pergi?" gumamnya kemudian.
"Ke timur, atau ke barat?" Pemuda berambut kemerahan itu tidak perlu berpikir terlalu keras untuk menentukan arah yang semestinya ditujunya. Dari posisi bekas telapak kuda di tanah, dia bisa langsung memastikan arah jejak ta-di. Lengkungan bekas tapal kuda semuanya mengarah ke barat. Jadi, arah itu yang harus dituju! Langsung saja kakinya melangkah lebar mengikuti jejak-jejak ta-di
Satria harus teliti sekali. Masalahnya, beberapa kali jejak roda kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak berbekas sama sekali ketika melewati tanah berumput tebal. Syukurlah, berkat keuletannya, penyelidikan itu pun sampai pada tempat di mana Manusia Makam Keramat melakukan penghadangan
"Hemm...," gumam Satria Gendeng untuk kesekian kali, sambil melepas pandangan tegas-tegas ke depan. Disaksikannya suatu pemandangan yang demikian mencolok! Sehingga meskipun jaraknya masih cukup jauh, dia merasa telah melihat di depan mata! Cukup menggiriskan hati pemandangan yang terpampang di hadapan pendekar muda itu. Mayatmayat anggota Perguruan Kuda Langit berserakan di sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak jauh dari situ, tampak sebuah kereta dengan binatang penghelanya yang masih berdiri kaku seperti patung
Satria bertindak sangat hati-hati dan waspada
Pikirnya, mungkin saja pelakunya belum pergi jauh
Sekujur otot dan urat saraf pemuda itu menegang waspada. Pendengaran dan penglihatannya dipasang setajam mungkin, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan pendekar muda ini sia-sia. Sampai berada dekat dengan gelimpangan mayat, peristiwa yang tidak diharapkan tidak terjadi. Suasana tetap lengang
"Hem... brengsek! Bagaimana aku dapat menyimpulkan apa yang telah terjadi dari mayat-mayat ini?" gumam Satria Gendeng, tetap memasang sikap waspada
Satria Gendeng tidak mampu berbuat lain. Dia hanya tercenung beberapa saat lamanya seakan-akan tengah mencari jawaban bagi pertanyaannya sendiri
"Apa iya, orang-orang yang terbunuh dicegat oleh perampok-perampok hutan ini" Sepertinya mayatmayat di sini berasal dari satu kelompok" Andaikan yang menghadang mereka adalah para perampok hutan ini, tapi kenapa tak ada tanda-tanda ada benda berharga yang hilang. Berarti, bukan perampokperampok yang telah mencegat perjalanan kelompok ini." Kembali Satria Gendeng hanya mampu menduga-duga. Satria Gendeng hanya mengangkat bahu. Bingung memikirkan kejadian yang tidak pasti juntrungannya itu.
"Sekarang tinggal satu lagi yang belum aku periksa yaitu kereta! Aku yakin, orang yang berada di dalam kereta merupakan tokoh penting. Buktinya dia dikawal!" pikirnya kembali Di dalam kereta yang pintunya telah rusak, dia tak menemukan apa-apa. Nihil
"Kosong..."!" desis pemuda tampan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul ketika telah berada tepat di samping kereta itu
"Hemmm...!" Satria Gendeng bergumam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Diperhatikannya pintu kereta yang tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang menceritakan pun, sudah bisa ditebak peristiwa yang telah terjadi.
"Mungkinkah suara orang minta tolong ada hubungannya dengan semua peristiwa ini. Tapi, karena jaraknya terlampau jauh, tidak terdengar secara jelas." Sampai sebegitu jauh, tak juga ditemukannya titik terang. Akhirnya, Satria memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Siapa tahu di tengah perjalanan dia bisa menemukan ceceran petunjuk atas peristiwa tersebut. Sampai dia tiba di suatu tempat, cukup jauh dari tempat pembantaian rombongan tadi
"Ah...!" Satria mengeluarkan seruan tertahan. Lebih mendekati keluhan. Kepalanya tertunduk, tak kuasa menyaksikan pemandangan di depannya. Tak jauh darinya, dalam jarak sekitar tiga belas tombak terpampang tubuh seorang gadis berpakaian merah muda dalam keadaan mengerikan
Tubuh perempuan itu menempel di atas sebatang pohon besar. Tangan dan kaki agak terentang lebar. Keadaannya amat menggiriskan hati! Tubuhnya kelihatan hampir kering. Pakaiannya sudah koyak moyak di sana-sini. Malah, keadaan si gadis malang nyaris telanjang
"Hemm.... Biadab!" Setelah terdiam beberapa saat lamanya karena hatinya terguncang, keluar juga sebuah makian dari mulut Satria Gendeng. Tarikan wajah dan sorot matanya memancarkan kemarahan yang amat sangat
"Siapa pun pelakunya, dia tidak layak untuk dibiarkan hidup lebih lama!" Dengan kemarahan membludak di dada, Satria menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat dia tidak dapat melihat mengapa tubuh gadis berpakaian merah muda itu dapat menempel di batang pohon
Hanya dalam beberapa langkahan kaki, si pendekar muda tanah Jawa dapat mengetahuinya. Hal itu membuat kemarahannya semakin bergejolak
"Iblis!" Kembali makian geram keluar dari mulut Satria ketika dia telah melihat mengapa tubuh gadis malang itu dapat menempel pada batang pohon. Telapak tangan dan kakinya dipakukan dengan pasak dari kayu sebesar ibu jari ke pohon! "Kalau aku tidak dapat menemukan dan membasmi iblis keji ini. Jangan biarkan aku hidup, oh Gus-ti!" janji Satria sungguh-sungguh
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda tampan murid tua bangka sinting, Dongdongka, langsung menggenjotkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas! Gesit. Cepat. Tangkas. Begitu Satria Gendeng melayang turun, tangannya telah membopong tubuh gadis berpakaian merah muda tadi
Ringan laksana sehelai daun kering, Satria Gendeng menjejakkan kedua kakinya di tanah. Diperhatikannya keadaan mayat gadis berpakaian merah muda itu yang nampak pucat. Sekilas pendekar murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu melihat dua titik kemerahan pada leher gadis cantik itu yang sangat putih. Dua titik itu layaknya bekas sebuah gigitan. Entah itu gigitan manusia atau binatang buas. Kalau gigitan binatang buas kenapa mayat gadis cantik ini bisa di-pasak di batang pohon" Jelas ini adalah perbuatan manusia, tapi siapa" Setelah berpikir keras dan tidak menemukan tanda-tanda yang cukup berarti, Satria Gendeng lalu merebahkan tubuh mayat gadis itu di tanah. Kemudian, dicarinya tempat yang layak untuk menguburnya. Sementara itu, Satria tidak tahu semua gerakgeriknya diperhatikan oleh seseorang yang bertengger di atas pohon cukup lebat! Orang itu adalah kakek durjana, Manusia Makam Keramat. Satria terus diawasinya. Bahkan sampai dia menguburkan mayat gadis berpakaian merah muda
Sepasang mata Manusia Makam Keramat itu tampak berpijar ketika mendengar ucapan Satria Gendeng seusai menguburkan mayat gadis berpakaian merah muda itu.
"Siapa pun dirimu, aku berjanji untuk membalaskan kematianmu. Akan kucari pelaku perbuatan keji ini!" ucap Satria Gendeng sambil mendongakkan wajahnya.
"Hhh...!" Satria menghela napas berat seusai mengucapkan sumpahnya
Agak gontai, pendekar muda itu melangkah pergi. Sepeninggalan Satria...
Diiringi suara mendesir, Manusia Makam Keramat meluncur turun dari pohon tempatnya bertengger. Ditatap gundukan tanah merah yang masih basah
Tatapannya sulit diterjemahkan
"Kau bukan keturunan sang Prabu, Perempuan Sundal! Aku bisa mencicipi darahmu. Aku bisa merasakan apakah kau keturunan Prabu Keparat itu atau bukan! Ternyata kau bukan keturunannya! Aku telah tertipu.... Keparat mana yang berani mempermainkan aku," desisnya dengan nada gusar tanpa terlihat menggerakkan bibir

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

SANG surya telah sejak tadi tenggelam di barat
Kini sang dewi malam menggantikan tugasnya, menerangi persada dari kungkungan kegelapan. Meskipun saat itu tidak muncul dalam bentuknya yang utuh, bulan cukup mampu untuk mengusir kegelapan
Langit cerah. Bintang-gemintang menaburi angkasa, berkelip-kelip ceria karena tak ada segumpal pun awan menggantung di sana. Semua itu menjadikan suasana semakin sumringah
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja yang cerah ceria. Hal yang sama pun terjadi pula di Desa Lebak. Obor-obor terpancang ditiap-tiap rumah penduduk, dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya sehingga membuat keadaan desa terang benderang. Jelas, ada acara sedang berlangsung di desa tersebut. Tidak keliru jika ada orang menduga seperti itu
Terbukti, di mulut desa terpampang umbul-umbul yang indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan yang sama terpampang di depan rumah Ki Arga Pasa
Di tempat tinggal Ki Arga Pasa, di Perguruan Belalang Putih, nampak meriah. Umbul-umbul terpajang, berderet dengan rapi dan teratur mulai dari pintu gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun terpancang di sana-sini, membuat tempat itu terangbenderang laksana siang hari
Hal demikian tidak aneh karena saat itu tengah dilangsungkan pesta panen sawah. Tak pelak lagi, kesibukan pun melanda Perguruan Belalang Putih. Karena pada saat itu Perguruan Belalang Putihlah yang menjadi tuan rumah dalam pesta panen sawah itu
Sehingga murid-murid perguruan itu, yang tidak berapa banyak, tampak kerepotan melayani para tamu yang datang untuk merayakan hasil panen
Kegegeran yang dilakukan oleh Pasukan Kelelawar waktu-waktu belakangan tidak membuat surut semangat Desa Lebak untuk merayakan pesta panen sawah. Hal itu terbukti dengan banyaknya tamu yang berdatangan untuk merayakan
Tamu-tamu yang hadir tidak sedikit. Ketua Perguruan Belalang Putih adalah orang yang terpandang, disegani, sekaligus dihormati. Tidak hanya di dalam Desa Lebak saja. Tapi juga dari desa-desa sekitar. Sehingga mereka cukup merasa aman dan tidak terlalu takut bila muncul Pasukan Kelelawar. Ki Arga Pasa sendiri terlihat setenang permukaan telaga. Tidak ada garis kekhawatiran di wajahnya. Sementara itu di pendapa, duduk keluarga kehormatan Ki Arga Pasa. Tak henti-henti mereka bergembira. Tawa terbahak-bahak jarak terputus
Rara Lanjar, putri sulungnya yang sangat cantik tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada para tamu. Terlihat jelas, betapa keluarga Ki Arga Pasa sangat bergembira. Tak aneh, karena pesta, panen itu berlangsung atas bantuan-bantuan dari para penduduk dan segenap murid perguruan dengan suka rela
Tak jauh dari tempat duduk keluarga Ki Arga Pasa, tampak pula keluarga Kepala Desa Lebak, dan tamu-tamu kehormatan yang terdiri dari kepala-kepala desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa Lebak.
"Hasil panen mu tahun ini nampaknya cukup besar juga hasilnya, Arga." Ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berbebat kain. Raut wajahnya terlihat gagah dengan kumis tebal melintang yang menghias bawah hidungnya.
"Hal itu memang sudah semestinya. Mengapa kau berkata demikian, Damar"!" tanya seorang kakek berpakaian merah dengan mulut menyunggingkan senyum geli
Meskipun senyum menghias bibir, tapi tetap saja tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu
Bentuk wajahnya yang persegi penuh ditumbuhi bulu
Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! Sepasang alisnya tebal dan hitam. Potongan tubuhnya pun tidak kalah angker, tinggi besar
Bukan hanya itu. Pada bagian dada kanan dan dada kiri pakaiannya pun tersulam gambar seekor kuda terbang! Lengkaplah sudah semua hal yang membuat kakek ini terlihat angker! "Ah tidak, Manda"!" sahut lelaki berkumis melintang yang dipanggil Damar, bernada berkelit.
"Kau kan tahu kalau sawahku hanya berselisih tidak jauh dengan milik Ki Arga Pasa! Kalau kali ini dia pesta panen besar, mudah-mudahan nanti dia mau membagikan beberapa petak sawahnya kepadaku. Dengan begitu bukankah nantinya aku yang bakalan mendapat kesempatan untuk merayakan pesta panen besar..."!"
"Ha ha ha...!" Serempak, bagai diberi perintah, Ki Arga Pasa dan kakek berpakaian merah yang dipanggil Manda yang mempunyai nama lengkap Manda Langit, tertawa bergelak. Kelihatan geli mendengar pernyataan Damar yang bernama lengkap Damar Sakti
"Mengapa kalian tertawa"!" tanya Damar Sakti setengah memprotes
"Kami hanya merasa geli saja, Damar," Ki Arga Pasa yang menjawab, setengah tertawa. Ini menjadi pertanda kalau perasaan geli masih melanda hatinya
"Benar, Damar," sambut Manda Langit mendukung pernyataan Ketua Perguruan Belalang Putih
"Mengapa kau sepertinya berkeinginan sekali untuk melaksanakan pesta panen sawah"! Hendak kau ke manakan julukan Pendekar Tendangan Maut, jika kau masih berpikiran akan harta dunia!"
"Tepat!" timpal Ki Arga Pasa, cepat.
"Bahkan aku berani bertaruh kalau, keampuhan tendangan mu semakin meningkat dengan semakin meningkatnya latihanmu ketimbang mengurus sawah!"
"Ha ha ha...!" Sekarang ganti Damar Sakti yang berjuluk Pendekar Tendangan Maut yang tertawa ter-kekeh.
"Luar biasa! Ternyata waktu yang sekian lamanya tidak mengubah sikap kalian! Kurasa sudah saatnya kalian berdua membuang puji-pujian kosong itu! Apa hebatnya, ilmu 'Tendangan Maut'-ku dibanding jurus 'Kuda Langit' milikmu, Manda"! Atau permainan langkahmu yang mampu menghancurkan apa saja yang terbentur, Arga"!" ujar Damar Sakti bernada merendah
"Ha ha ha...!" Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa da Manda Langit tertawa bergelak
"Lagi pula, bukan cuma aku saja yang cuma mengurus keampuhan kedigdayaan. Kudengar kabar, perguruanmu menyediakan jasa pengawalan baik bagi orang-orang yang hendak berpergian jauh, maupun untuk pengiriman barang berharga"! Bukankah demikian, Manda"!" sambung Damar Sakti
"Hhh...!" Manda Langit malah menghela napas berat
Wajah mendadak berubah muram
Karuan saja perubahan sikap kakek berwajah mirip harimau ini membuat Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut merasa heran. Senyum yang tersungging di bibir pun kontan lenyap. Tetapi sekarang, dengan pandang mata penuh selidik dan penult rasa ingin tahu, keduanya menatap wajah Manda Langit
"Mengapa, Manda"! Adakah ucapanku yang salah dan tidak berkenan di hatimu"!" tanya Pendekar Tendangan Maut, bernada sungguh-sungguh
Tidak ada lagi nada main-main dalam suara Damar Sakti. Masalahnya, seperti juga Ki Arga Pasa, dia tahu kalau Manda Langit tidak akan bersikap seperti itu, apabila tidak ada masalah yang melanda
"Tidak, Damar. Tidak ada yang salah dengan ucapanmu," Manda Langit menggelengkan kepala sambil tersenyum
Baik Ki Arga Pasa maupun Pendekar Tendangan Maut, bukan orang bodoh. Itulah sebabnya, mereka tahu kalau senyum Manda Langit hanya pulasan dan tidak keluar dari lubuk hatinya. Karuan saja hal itu membuat kedua tokoh itu penasaran, terutama sekali Pendekar Tendangan Maut yang memang memiliki watak agak 'panasan'
"Kalau orang lain, mungkin dapat kau bohongi, Manda. Pada kami, kau tidak mungkin dapat. Mulutmu mungkin dapat membohongi kami, tapi matamu mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak percaya lagi pada kami, Manda"! Sehingga kau tidak mau mengemukakan masalah yang kau hadapi"!" Terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan Pendekar Tendangan Maut
Manda Langit tetap diam
Melihat hal ini, Ki Arga Pasa merasa khawatir Pendekar Tendangan Maut akan mengeluarkan ucapan dengan nada lebih keras lagi. Maka diputuskan untuk mendahului berbicara
"Apa yang dikatakan Damar benar, Manda
Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya tidak pada tempatnya kalau kau menyembunyikan masalah yang kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah kami juga. Katakanlah, Manda! Jangan buat kami penasaran. Ingatkah kau akan ikrar kita bertiga setelah berhasil menghancurleburkan Gerombolan Singa Siluman"!" Rupanya ucapan Ki Arga Pasa yang bernada lembut mengenai sasarannya. Terbukti, ada reaksi di wajah Manda Langit sungguhpun dia masih tetap diam. Melihat hal ini, Pendekar Tendangan Maut bermaksud untuk menyambung ucapannya yang tadi tertunda karena didahului oleh Ki Arga Pasa. Tapi sebelum maksudnya dilaksanakan, Ki Arga Pasa telah lebih dulu memberi isyarat padanya untuk membiarkan Manda Langit
Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Damar Sakti bersedia menuruti isyarat yang diberikan rekannya. Dia tahu, Ketua Perguruan Belalang Putih itu mempunyai alasan yang cukup kuat, sehingga melarangnya berbicara lagi
Dugaan Pendekar Tendangan Maut tidak salah
Ki Arga Pasa memang mempunyai alasan kuat. Ketua Perguruan Belalang Putih itu yakin kalau Manda Langit terpengaruh oleh ucapannya. Keluarnya penjelasan kakek tinggi besar itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Memang benar demikian. Ucapan Ki Arga Pasa mempunyai pengaruh kuat. Ucapan itu mengingatkan Manda Langit akan masa-masa mudanya. Dulu, lebih dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Arga Pasa dan Damar Sakti adalah pendekar-pendekar pembela kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan, mereka pasti turun tangan. Mereka selalu berhasil menumpasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hitam yang ditewaskan sehingga membuat nama mereka menjulang di dunia persilatan
Semula ketiga tokoh pembela kebenaran ini tidak saling mengenal. Mereka baru berkenalan dan saling bahu-membahu ketika menghadapi kelompok perampok yang terkenal dengan julukan Gerombolan Singa Siluman, karena setiap kali melakukan keonaran selalu mengamuk laksana singa, dan jejak mereka sulit untuk dicari. Lenyap begitu saja laksana siluman
Kalau saja tidak bekerjasama, mungkin mereka telah tewas. Gerombolan Singa Siluman memang amat tangguh dan juga licik. Melalui kerjasama yang rapi, ketiganya berhasil menumpas Gerombolan Singa Siluman. Di antara mereka, Ki Arga Pasa lebih dituakan
Itulah kebersamaan mereka yang terakhir. Sejak saat itu mereka berpisah, menempuh sendirisendiri. Sebelum berpisah mereka sempat berjanji untuk saling membantu apabila di antara mereka bertiga mendapat kesulitan
"Hhh...!" Manda Langit menghela napas berat ketika teringat akan kejadian yang membebani pikirannya. Kemudian dialihkan pandangannya ke arah Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan maut yang masih menunggunya berbagi masalah
"Kalian memang kawan-kawan yang baik," ujar Manda Langit mengawali pembicaraannya
"Semula aku tidak ingin memberitahukan kepada siapa pun karena hal ini memang tanggung jawabku."
"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, Manda. Ketahuilah, masalahmu adalah masalah kami juga! Bukankah demikian, Arga"!" Pendekar Tendangan Maut langsung saja menyelak
Ki Arga Pasa menganggukkan kepala
"Benar, Manda. Apa yang dikatakan Damar Sakti sama sekali tidak salah. Masalahmu adalah masalah kami juga. Tentu saja sepanjang masalah itu tidak menyangkut urusan dalam perguruan! Namun, meskipun demikian ada baiknya kau menceritakannya pada kami. Percayalah, andaikata kami pandang urusan itu terlampau pribadi, dengan senang hati akan kami biarkan kau menuntaskannya sendiri." Pendekar Tendangan Maut menganggukanggukkan kepala. Disadari kalau ucapan Ki Arga Pasa ada benar. Pandangan Ketua Perguruan Belalang Putih itu demikian bijaksana. Dalam hati Damar Sakti merasa salut atas sikap Ki Arga Pasa. Bukan hanya Pendekar Tendangan Maut yang mengakui kebenaran pendapat Ki Arga Pasa. Manda Langit pun demikian. Berdasarkan ucapan itu, tidak ada alasan lagi baginya untuk menyembunyikan masalah yang merisaukan hatinya
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baikbaik," ujar Manda Langit memulai kisahnya.
"Seperti yang dikatakan Damar Sakti tadi, aku memang mempunyai sebuah perguruan yang kuberi nama Perguruan Kuda Langit. Cukup banyak murid yang kumiliki
Karena satu kesulitan, akhirnya aku mempunyai pemikiran menggunakan kepandaian mereka untuk mencari penghasilan." Sampai di sini Manda Langit menghentikan ucapannya untuk mengambil napas
"Sejak saat itu, Perguruan Kuda Langit menyediakan jasa pengawalan. Segala kegiatan, baik untuk pengiriman barang-barang berharga maupun pengawalan atas orang yang melakukan perjalanan." Lagi-lagi Manda Langit menghentikan cerita
Hanya saja kali ini digunakan untuk melihat tanggapan kedua rekannya. Tapi Ki Arga Pasa maupun Pendekar Tendangan Maut tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dengan sabar mereka menunggu hingga Ketua Perguruan Kuda Langit itu melanjutkan cerita dan menyelesaikannya
Sebenarnya, baik Ki Arga Pasa maupun Daman Sakti sudah dapat menerka kelanjutan cerita Manda Langit. Tapi, mereka tidak mau menyela. Bagai telah bersepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk mendengarkan hingga Manda Langit menyelesaikan kisahnya. Memang kemudian, Manda Langit langsung melanjutkan cerita ketika melihat tidak ada tanggapan dari kedua rekannya
"Beberapa hari yang lalu, datang orang asing berpenampilan aneh. Dia mengendarai kereta kencana milik keluarga Raja Pajajaran. Dari pakaiannya ku yakin dia seorang lelaki berdarah biru Pajajaran. Yang kuanggap aneh, dia mengenakan topeng wayang. Aku ingat jelas, topengnya itu berupa wajah Arjuna. Pada kami, dia meminta untuk mengantarkan kereta kencana ke istana. Permintaan itu pun kuanggap aneh. Kenapa tidak dia saja yang membawa kalau dia sendiri adalah salah seorang keluarga kerajaan" Karena menganggap pelanggan adalah raja, kami bersedia juga membawa kereta kencana itu ke istana." Untuk yang kesekian kalinya Manda Langit menghentikan cerita. Malah kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyiratkan perasaan terpukul yang amat sangat
Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut tidak mau mengusik. Mereka malah membiarkannya
Keduanya tahu, tidak ada gunanya menghibur Manda Langit. Pada saat itu, si kakek tinggi besar sama sekali tidak membutuhkannya
Mulai lagi Manda langit menghela napas
Sarat. Padat. Juga berbeban.
"Sejak mula, aku merasa memiliki firasat buruk. Namun, aku mempercayai rombongan muridmuridku yang mengantarkan kereta kencana itu. Tiga hari yang lalu, burung elang perak dengan kain hitam di kaki kanannya tiba di perguruanku. Saat itulah aku menyadari firasat buruk ku beralasan. Bahaya besar menimpa rombongan yang mengawal kereta kencana!"
"Tunggu dulu, Manda," sela Pendekar Tendangan Maut, cepat.
"Burung elang dengan kain hitam di kaki kanannya"! Aku tidak mengerti maksudmu"!" Manda Langit menatap wajah Damar Sakti sejenak. Kemudian dialihkan pandangannya ke arah Ki Arga Pasa.
"Begini, Arga, Damar. Aku mempunyai cara untuk mengetahui keadaan murid-muridku yang tengah mengadakan pengawalan. Caranya adalah dengan memanfaatkan burung elang yang telah kami latih. Jika rombongan muridku telah berhasil melaksanakan tugas tanpa halangan, mereka akan melepas burung elang berikat kain hijau yang akan terbang pulang ke perguruan. Sementara, jika rombongan berada dalam bahaya, maka burung elang akan diikatkan kain hitam di kakinya." Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mengerti
"Tahu akan kejadian itu, segera saja kuutus beberapa murid kepercayaan ku untuk menyelidikinya
Mereka menemukan rombongan pengawal kereta kencana telah dibantai. Salah seorang yang sedang sekarat sempat melaporkan kejadian yang menimpa." Alis putih orang tua itu bertaut. Keningnya berkerut. Ketat.
"Ada satu hal yang tak bisa ku mengerti. Menurut laporan muridku yang sekarat, mereka secara kebetulan mengangkut seorang perempuan yang hendak menumpang di tengah jalan. Perempuan itu kebetulan hendak ke kotapraja. Tak ada satu orang muridku yang keberatan kalau perempuan itu menumpang di dalam kereta kencana. Di tengah jalan, mereka dihadang seorang kakek keji. Mereka bertugas untuk melindungi kereta kencana agar tiba di istana. Tapi, anehnya, penghadang itu justru menginginkan perempuan di dalamnya...."

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

MENDADAK.
"Hua hua ha...!" Tergulir di angkasa suara tawa menggelegar mengalahkan segenap keramaian di pesta panen Desa Lebak. Setiap dada tergetar
Setiap telinga seperti dipekakkan bersamaan
Tanah bagai diusik lini
Kulit kering dedaunan terkelupas
Daun kering gugur, di udara menggelepargelepar. Puluhan orang terkapar seketika dengan tangan mendekap telinga. Menggelepar-gelepar mereka di atas tanah. Kebanyakan dari mereka cuma penduduk desa yang tak memiliki olah kanuragan sedikit pun
Sebagian bahkan orang yang sudah cukup lama menekuni ilmu olah kanuragan
Yang sanggup bertahan dengan susah payah, cuma beberapa gelintir orang. Itu pun dengan darah yang mengalir dari hidung dan telinga. Segenap mata mereka dipaksa tertuju ke sumber tawa. Tidak terkecuali mata ketiga pentolan tua yang disegani; Ki Arga Pasa, Pendekar Tendangan Maut, dan Ki Manda Langit. Hanya mereka dan beberapa ketua perguruan undangan yang tak tampak terlalu menderita. Kendati mereka memiliki ilmu olah kanuragan yang ditakuti banyak orang dari golongan sesat, tak urung sorot ma-ta ketiganya mengubur keterkejutan. Keterkejutan itu tentu saja beralasan. Baik Ki Arga Pasa, Pendekar Tendangan Maut, maupun Ki Manda Langit, sama-sama bisa merasakan betapa dada mereka agak sesak akibat guncangan tenaga tawa tadi. Mereka pun cepat sadar kalau pemilik tawa memiliki tenaga dalam amat kuat
Berarti, tamu tak diundang itu adalah seorang berkepandaian tinggi. Kalau tidak datang dengan niat baik, berarti pula dia calon lawan amat tangguh
Tawa tadi ternyata berasal dari bagian depan perguruan. Entah bagaimana caranya dia masuk, tahu-tahu bisa berada di dalam tanpa sepengetahuan murid-murid Ki Arga Pasa yang bertugas menjaga pintu gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Dalam arti kata tidak ada tamu yang datang lagi
Kenyataan ini pun mengejutkan penjagapenjaga gerbang. Dengan agak tergesa-gesa, dua di antara mereka bergerak menghampiri sang pemilik tawa yang telah berada di dalam
"Hey! Berhenti! Mengapa kau menimbulkan keributan di sini"! Cepat keluar sebelum ku patahpatahkan tulang-tulang kakimu!" ancam salah seorang murid Perguruan Belalang Putih bermulut besar
Sang pemilik tawa seorang tua berambut dan berjenggot kelewat panjang. Dia menghentikan tawa
Wajahnya tetap ditundukkan, tersembunyi di sela-sela rambut. Masih dengan wajah menunduk dibalikkannya tubuh, menghadap dua orang murid Perguruan Belalang Putih yang menghampiri
"Benarkah kalian mampu melakukan padaku" Kalau begitu, lakukanlah!" sahut sosok berjubah hitam, tenang. Dia tidak lain Manusia Makam Keramat! Sementara itu Ki Arga Pasa mengernyitkan dahi menyaksikan Manusia Makam Keramat. Terlihat jelas kalau dia tengah mengingat-ingat keras. Ada selintas pikiran mengusik benaknya
Sementara sepasang matanya menatap penuh selidik pada sosok tamu tak diundang. Sikap orang tua itu tak luput dari perhatian rekan-rekannya. Karuan saja, hal itu membuat Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut merasa heran.
"Mengapa, Arga"! Apakah kau mengenalnya?" tanya Ki Manda Langit, ingin tahu
"Entahlah, Manda," jawab Ki Arga Pasa bernada tidak yakin.
"Rasanya aku pernah mengenal ciri-ciri orang ini. Di mana aku mendengar atau melihat ciri-ciri seperti itu, aku belum ingat...." Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut saling pandang
"Ingat-ingatlah, Arga!" tukas Pendekar Tendangan Maut.
"Aku yakin kau mempunyai pengamatan dan ingatan yang tajam."
"Apa yang dikatakan Damar Sakti memang tidak keliru, Arga," dukung Ki Manda Langit, "Kita tidak tahu seberapa tinggi kepandaiannya. Jika kau tahu sesuatu tentang diri manusia busuk tak dikenal ini, ten-tu kita dapat mempertimbangkan cara untuk menghadapinya." Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Arga Pasa untuk terus memperhatikan sosok Manusia Makam Keramat. Ingin diketahuinya, bagaimana tindakan Manusia Makam Keramat itu dengan ancaman dua orang muridnya. Di lain pihak, ketiga tokoh itu tak bisa berdiam diri saja. Dua murid perguruan yang mencoba mengusir sang tamu tak diundang besar kemungkinan berada di moncong maut
Sementara itu, salah seorang murid Perguruan Belalang Putih yang berbibir tebal rupanya sudah tidak kuat lagi menahan sabar
Tanpa menunggu lebih lama lagi dilancarkan serangan berupa pukulan bertubi-tubi ke arah dada Manusia Makam Keramat! "Hmh!" Manusia Makam Keramat hanya mendengus melihat serangan lawan. Wajahnya memperlihatkan kesan seolah dia hanya sedang menghadapi seekor kepinding. Dan itu bukan sekadar pepesan kosong
Prakkk! "Aaakh...!" Lelaki berbibir tebal itu hanya sempat mengeluarkan jeritan panjang ketika tangan Manusia Makam Keramat itu menghantam batok kepalanya hingga hancur berantakan. Seketika itu pula nyawanya melayang meninggalkan raga
Tentu saja kejadian yang demikian mengejutkan itu membuat semua orang yang berada di situ terperanjat. Tak terkecuali, Ki Arga Pasa, Pendekar Tendangan Maut, dan Ki Manda Langit
Hanya Manusia Makam Keramat yang bersikap tidak peduli. Tanpa memperhatikan orang-orang mengerubungi murid Perguruan Belalang Putih yang tewas, dibalikkannya tubuh. Lalu diayunkan langkahnya ke arah ruang pendapa
Di saat, Manusia Makam Keramat membalikkan tubuh itulah, rambutnya tersingkap angin. Sekilas, hanya sekilas saja Ki Arga Pasa sempat melihat wajahnya. Tapi itu pun sudah cukup baginya untuk menangkap lekuk dan gurat wajah si manusia laknat
Dia makin ingat pada sesuatu. Makin dekat pada petunjuk di kepalanya...
"'Kitab' itu...!" desis Ki Arga Pasa tanpa menyembunyikan perasaan kagetnya
Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut yang baru bersiap hendak melompat turun, mengurungkan niatnya
"Apa yang kau katakan, Arga"! 'Kitab' apa yang kau maksud"!" sergah Damar Sakti, memburu
Hampir berbareng dengan pertanyaan Ki Damar Sakti, dari Ki Manda Langit pun itu keluar pertanyaan senada. Namun jawaban kedua sahabatnya tak mendapat jawaban dari Ki Arga Pasa sendiri. Dia justru lebih dahulu melompat. Satu hal yang membuatnya tak lagi mempedulikan pertanyaan Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti, Manusia Makam Keramat menghampiri tempat anak sulungnya! Tanpa pikir panjang lagi, Ketua Perguruan Belalang Putih itu langsung bersalto beberapa kali di udara, sebelum akhirnya kemudian meluruk turun sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke arah kepala Manusia Makam Keramat. Tindakannya laksana seekor burung elang menyambar mangsa
Melihat serangan ini, terpaksa Manusia Makam Keramat mengurungkan maksudnya untuk mendekati Rara Lanjar. Karena kalau dia bersikeras meneruskan maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Arga Pasa yang akan lebih dulu tiba
Manusia Makam Keramat tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia dapat mengukur, betapa dahsyatnya serangan itu. Cengkeraman Ki Arga Pasa mampu membuat batu karang paling keras hancur lebur! Dapat diperkirakan apabila mengenai kepala manusia yang jelas tak sekeras karang! Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat tidak memperlihatkan kegentaran. Tanpa ragu-ragu, dipapaknya serangan itu dengan sampokan kedua tangannya. Plak! Plakkk! "Aekhg...!" Jerit keterkejutan bercampur kesakitan keluar dari mulut Ki Arga Pasa begitu tangannya berbenturan dengan tangan Manusia Makam Keramat. Jari-jari kedua tangannya terasa sakit luar biasa. Menyengat ke segenap urat sarafnya. Untuk beberapa saat, kedua tangannya tak bisa digerakkan! Lebih parah lagi, tubuh Ki Arga Pasa langsung terpental jauh ke belakang! Padahal, Manusia Makam Keramat sama sekali tidak bergeming. Hal itu menunjukkan betapa tenaga dalam lawan, berada jauh di atas guru Perguruan Belalang Putih
Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua yang menyaksikan. Tidak salahkah penglihatan mereka" Benarkah Ki Arga Pasa terjengkang karena berbenturan dengan lawannya" Ki Arga yang begitu disegani" Pertanyaan demi pertanyaan membebani benak orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Tak terkecuali Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut. Mereka bertambah tak yakin dapat mengukur tingkat kedigdayaan lawan. Kendati tak ada rasa gentar dalam diri mereka
Ki Arga Pasa bukan sembarang tokoh. Dia merupakan pentolan tokoh golongan putih! Walaupun tidak termasuk dedengkot atau datuk, tapi tak mudah menemukan tokoh yang memiliki kepandaian setingkat dengannya. Kalau kenyataannya dalam benturan tenaga dalam, lawan lebih unggul, bagaimana lagi keduanya dapat menjajaki kesaktian kakek berambut dan berjenggot amat panjang itu" Atau, jangan-jangan Ki Arga Pasa tidak mengerahkan seluruh tenaganya! Mungkin tidak, mungkin iya" Mereka tidak tahu kalau Ki Arga Pasa telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam serangan tadi! Ketua Perguruan Belalang Putih tidak gegabah melancarkan serangan. Hanya dia seorang yang sadar betul lawan yang tengah dihadapi. Ya, hanya dia! Sementara, begitu melihat tubuh Ki Arga Pasa terlempar, murid-murid Perguruan Belalang Putih langsung bergerak untuk melancarkan serangan
Tapi....
"Tahan...!" Mendengar cegahan itu, murid-murid Perguruan Belalang Putih pun mengurungkan niat. Bukan karena takut pada Manusia Makam Keramat, melainkan karena mereka patuh sepenuhnya pada guru mereka.
"Hua hua haa...! Ternyata kau cukup jeli juga," cemooh Manusia Makam Keramat, terselubung pujian
Manusia Makam Keramat kembali tertawa tergelak-gelak. Meledak-ledak
Mendengar penuturan kental dengan nada pongah, Ki Arga hanya menggeram, menahan rasa sakit yang masih saja menjalar. Kian yakin saja dirinya terhadap jati diri kakek tua berambut dan berjenggot panjang itu. Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti melompat ke belakangnya
"Kau tak apa-apa, Arga?" serbu Ki Damar Sakti
Ki Arga Pasa mengangguk kecil, nyaris tak kentara. Dia tak begitu memperhatikan kehadiran dua sahabat di belakangnya. Matanya tegas-tegas terhujam ke arah Manusia Makam Keramat
Dalam ketercekaman, bibir orang tua itu berbisik lamat-lamat
"Rupanya, kaulah manusia durjana itu. Aku memang telah curiga ketika belakangan ini ada kegegeran Pasukan Kelelawar. Kau telah kembali, manusia pembawa petaka.... Tak kusangka aku akan berhadapan langsung denganmu...."
"Apa yang kau katakan, Arga!?" pangkas Ki Manda Langit. Rasanya gundah jika rasa penasaran menjadi tergantung-gantung tak pasti
Tetap tanpa melepaskan pandangan dari Manusia Makam Keramat, Ki Arga Pasa berkata lagi. Ucapannya hampir-hampir mendesis
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Bersiaplah kalian untuk bertarung hidup-mati!" Kedua sahabat di belakangnya saling pandang dengan kelopak mata menyempit

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

SESUATU memang telah terjadi pada diri Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Sulit pula untuk dimengerti oleh mereka berdua
Tanpa sebab yang jelas, tentu saja kejadian yang mereka alami menjadi sulit dimengerti. Begitupun dijelaskan
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis masih tampak berada di sekitar bentangan ladang ilalang jangkung. Masih berdiri diam laksana dua patung batu tak bernyawa
Masih saja mereka merasakan diri masing-masing didamparkan dalam alam lain yang penuh dengan pemandangan dan suasana asing sama sekali. Saat itu, keduanya sedang dalam usaha mencari Satria Gendeng yang mereka anggap hilang
Ketika tiba di padang ilalang itulah mereka mengalami kejadian tak terduga
(Baca episode sebelumnya: "Memburu Manusia Makam Keramat"!)
Lama mereka mengalami kejadian aneh itu, sampai mereka sendiri tak bisa menentukan sudah berapa hari berapa malam keduanya mengalami hal itu
Sampai akhirnya, keduanya tersadar. Jika sebelumnya, Gendut Tangan Tunggal mengalami kejadian aneh itu lebih dahulu, setelah itu menyusul Pendekar Muka Bengis. Kesadaran mereka justru terjadi berbarengan.
"Apa yang telah terjadi pada diriku sebenarnya?" tanya Gendut Tangan Tunggal
"Apa yang terjadi pada dirimu" Aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi pada diriku sebenarnya," jawab Pendekar Muka Bengis
Kendati kawan berwajah garang di sebelahnya sama sekali tidak menanyakan kejadian yang dialaminya, Gendut Tangan Tunggal menceritakan juga
"Aku seperti dilempar ke satu alam asing. Benar-benar aneh. Apa iya aku hanya sedang berkhayal" Tapi, kenapa bisa begitu" Lalu perut sebesar gentong-nya digaruk-garuk berirama, pertanda kebingungan besar sedang melanda benaknya
"Apa yang kau alami?" susul Gendut Tangan Tunggal.
"Aku pun mengalami hal serupa, Gendut!"
"Ah!" sentak Gendut Tangan Tunggal tak percaya.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Mana aku tahu! Semuanya begitu aneh...."
"Iya benar! Aneh, ajaib...." Pendekar Muka Bengis terdiam memikirkan sesuatu. Lain dengan Gendut Tangan Tunggal. Mulut orang tua berbadan subur itu tak bisa berhenti
"Jadi bagaimana sekarang" Apa kita menghentikan saja pencarian kita" Sebab kupikir kita telah memasuki wilayah...." Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik.
"Aku merasa kita telah lancang memasuki tempat para siluman...."
"Diam kau, Gendut!" hardik Pendekar Muka Bengis.
"Beri kesempatan padaku untuk berpikir!"
"Ya, teruslah berpikir sampai para siluman menyedot otakmu!" gerutu Gendut Tangan Tunggal
"Aku yakin, ada seseorang yang telah melakukan sesuatu pada kita...," simpul Pendekar Muka Bengis.
"Siapa orangnya" Dan 'sesuatu' apa maksudmu?"
"Aku belum tahu."
"Kalau begitu, percuma kau berpikir. Sudah, sebaiknya kita kembali. Tak perlu kita lanjutkan pencarian pemuda itu. Kupikir, dia pun bisa menjaga di rinya sendiri." Dengan wajah terlipat, Gendut Tangan Tunggal meninggalkan tempat tersebut. Langkahnya terbanting-banting gusar di tanah
"Tidak bisa begitu, Gendut!" sergah Pendekar Muka Bengis
Gendut Tangan Tunggal tak peduli. Kalau sudah begitu maunya, mana dia dengar ucapan kawannya tadi" Dia terus saja berjalan meninggalkan batas tepian padang ilalang
Tampaknya dia agak seram juga untuk melanjutkan pencarian menembus padang ilalang lebat yang tingginya mencapai kepala manusia itu. Dalam benaknya, masih bergentayangan bayangan-bayangan yang dialaminya. Dugaan-dugaan yang tidak-tidak pun berseliweran. Cuma karena takut dianggap penakut, dia tak menampakkannya di wajah
Jengkel juga Pendekar Muka Bengis dengan sikap kawannya yang selalu bikin perut mulas itu. Di belakang, dia mengekori. Sampai berjalan cukup jauh meninggalkan batas padang ilalang, Gendut Tangan Tunggal tak juga mau menghentikan langkah. Hilang kesabaran Pendekar Muka Bengis. Disentaknya kaki
Tubuhnya melompat tinggi mendahului Gendut Tangan Tunggal dari atas. Di depan orang tua berperut buncit itu, Pendekar Muka Bengis menghadang
"Berhenti, Gendut!" hardiknya, masygul
"Jangan halangi jalanku, Bengis!" balas Gendut Tangan Tunggal
"Bagaimana kau ini! Sudah jelas pendekar muda itu sedang dalam kesulitan. Kau sudah lihat ceceran darahnya, bukan" Lalu kenapa kau seperti tidak peduli"!"
"Aku bukan tak peduli!"
"Lantas apa"!"
"Aku cuma.... Ah, menyingkir saja kau! Pokoknya, aku tak mau meneruskan pencarian. Titik!" Wajah Pendekar Muka Bengis mencemooh
"Bilang saja kau takut. Begitu, bukan?" Mendeliklah mata Gendut Tangan Tunggal. Wajahnya jadi merah padam. Masa' dirinya disebut begitu" Kendati dalam hati dia memang menyembunyikan sedikit ketakutan, Gendut Tangan Tunggal tetap tak sudi diangggap pengecut. Biar yang bicara Dewa sekalipun, dia bisa melabraknya! "Aku, Gendut Tangan Tunggal, pantang untuk takut!" sesumbarnya
"Lalu kenapa kau hendak kembali?" Pendekar Muka Bengis makin memojokkan
Cuping hidung Gendut Tangan Tunggal kembang-kempis. Dia merasa terpojok. Karena tak bisa menemukan alasan untuk berdalih, dia jadi mangkel sendiri.
"Minggir, Bengis. Jangan halangi jalanku!!!" te-riaknya kalap
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Aku berjanji akan melabrakmu!"
"Lakukan saja kalau itu maumu!" Sudah bures kesabaran Gendut Tangan Tunggal. Disodorkannya satu sampokan tangan ke depan
Keras. Tujuannnya bukan untuk melakukan serangan
Dia hanya ingin membuat Pendekar Muka Bengis menyingkir dari jalannya
Pendekar Muka Bengis berkelit ke belakang
Wajahnya memerah. Sama sekali dia tak menyangka kalau temannya akan benar-benar menyerang. Parasnya memperlihatkan keterperangahan. Dia telah salah menyangka maksud Gendut Tangan Tunggal menyampokkan tangan.
"Hei, kau benar-benar hendak melabrakku, rupanya! Kau sungguh-sungguh, heh"!"
"Bukan begitu maksudku...." Gendut Tangan Tunggal hendak menjelaskan, tapi Pendekar Muka Bengis sudah melancarkan balasan yang lebih mirip serangan gusar
Sialan, pikir Gendut Tangan Tunggal. Sebenarnya, dia tak mau berkelahi dengan kawan sendiri. Tapi sekarang dia terpaksa harus melakukannya
Wukh! Sodokan kaki Pendekar Muka Bengis mendatangi kepala Gendut Tangan Tunggal. Benar-benar dengan niat menyerang, tidak seperti tindakan Gendut Tangan Tunggal sebelumnya
Gendut Tangan Tunggal bisa menilainya dari angin tendangan kawannya itu
Kawan" Bah! Sekarang dia pun jadi sulit untuk menyebut Pendekar Muka Bengis kawan
Tak mau mukanya jadi sasaran telapak kaki Pendekar Muka Bengis, Gendut Tangan Tunggal memapaknya dengan tangan kanan. Ketika terbentur, mulut orang tua tukang makan itu menganga
Dia terjajar mundur. Pedas sekali telapak tangannya. Rasanya seperti baru ditampar dengan lempengan baja.
"Kau menyerangku dengan sungguh-sungguh, Bengis! Kau memang berniat membuat mukaku berantakan, ya"!" Meledak juga kemarahan Gendut Tangan Tunggal.
"Kalau itu maumu, baik!" Lalu, dipasangnya kuda-kuda. Jurus-jurus ampuhnya siap dikucurkan. Dia tak mau sungkan atau ragu lagi menghadapi kawan yang mulai brengsek. Bersamaan dengan itu, Pendekar Muka Bengis pun mempersiapkan jurus-jurusnya pula. Dia pun menganggap kawannya mulai brengsek dan patut mendapat sedikit pelajaran
"Heaaa!!!"
"Whuaaa!!!" Berkawal teriakan yang mencelat dari tenggorokan masing-masing, kedua pihak memulai perkelahian. Keduanya sudah tak mau banyak berpikir lagi
Dan tak mau banyak menimbang. Mereka sudah dikuasai kemarahan
Pertukaran jurus pun tak bisa dihindari
Jurus-jurus ampuh dua tokoh kenamaan tanah Jawa. Dua tokoh bertabiat aneh
Dua pendekar tua berbeda angkatan yang berdiri dalam satu panji yang sama, panji golongan lurus
Lucu kalau mereka sekarang berseteru. Lepas dari itu, bukankah manusia memang selalu berbuat keliru" Sampai beberapa belas jurus berselang, mendadak saja Pendekar Muka Bengis melompat jauh ke belakang. Dia mengambil jarak cukup jauh. Agak aneh untuk tokoh kawakan macam dirinya harus mengambil jarak pada saat dia belum dalam posisi terdesak
Apalagi jarak yang diambilnya cukup jauh. Kalau cuma ingin memperbaharui posisi, kenapa harus sejauh itu"
"Tunggu, Gendut!" serunya
"Apa, kau mulai merasa takut" Makanya, jangan kau bilang aku yang takut!"
"Bukan begitu! Apa kau tak merasakan sesuatu yang ganjil pada dirimu"!"
"Apa"!"
"Kau merasa kekuatan tenaga dalammu makin lama makin berkurang"!" Gendut Tangan Tunggal terdiam sejenak. Sebelah tangannya menggaruk-garuk perut, "Sebenarnya, aku juga ingin menanyakan itu padamu...," jawabnya sambil meringis
"Kau merasakan juga?" Mendengar pengakuan kawannya, lelaki berwajah garang itu tak urung terperanjat.
"Iya. Kau tahu kenapa sebabnya?" Pendekar Muka Bengis menggeleng
"Ada yang aneh," gumamnya kemudian.
"Aku yakin, ini masih ada hubungannya dengan kejadian yang kita alami sebelumnya di padang ilalang itu...." Garukan tangan Gendut Tangan Tunggal pada perutnya makin seru. Sampai-sampai suaranya terdengar ramai. Tak cukup merdu untuk telinga siapa pun. Sebelumnya dia sudah dibikin bingung. Sekarang kebingungannya makin menjadi-jadi. Tampangnya sudah tak karuan lagi
Sepertinya dia akan berhenti menggaruk perut sampai kiamat kalau saja tidak ada suara teriakan bercampur tangisan dari jarak tak jauh dari tempat mereka. Pendekar Muka Bengis menoleh ke asal suara
"Apa itu?" tanya Gendut Tangan Tunggal kebodohan. Bagaimana tidak bodoh, sudah jelas yang di- dengarnya teriakan dan tangisan
Pendekar Muka Bengis tak menunggu lama
Dia cepat melompat dari tempatnya. Berlari, diburunya asal suara tadi. Kawan buncitnya menyusul di belakang. Kira-kira berlari seratus langkah, keduanya tiba di dekat pepohonan besar. Di bawah satu pohon mereka menyaksikan hal yang sebenarnya sulit untuk dipercaya. Keduanya menemukan Pasukan Kelelawar
Kalau itu saja, mungkin mereka tak terlalu heran. Sebaliknya, bisa jadi mereka justru menjadi senang dan tegang. Senang karena dengan menemukan bocah-bocah aneh itu, berarti mereka menemukan jalan untuk menuntaskan persoalan yang merongrong dunia persilatan hari-hari belakangan. Tegang, karena tahu mereka akan menghadapi lawan yang sulit untuk dika-lahkan. Yang sulit dipercaya, kesembilan bocah itu sedang duduk berkumpul di bawah pohon sambil menangis. Yang satu menggerung-gerung. Yang lain sesegukan. Yang satu merengek-rengek, yang lain menjerit-jerit. Tingkah mereka sudah tak beda dengan bocahbocah kecil yang kehilangan orang tua. Tak tampak la-gi kegarangan, keganasan, keberingasan mereka seperti sebelumnya. Mereka benar-benar telah menjelma kembali menjadi bocah biasa!

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

KEMBALI ke Perguruan Belalang Putih
Ki Arga Pasa melompat maju beberapa tombak lebih dekat ke arah tamu tak diundang pembuat keonaran. Seperti sengaja menghadang, dia berdiri hanya empat-lima tindak dari Manusia Makam Keramat
"Apa maumu datang ke tempat ini sebenarnya, Orang Tua Asing?" tanyanya. Dari caranya bertanya, tampak jelas kalau Ki Arga Pasa begitu hati-hati
"Menyingkir saja dari hadapanku! Aku tak punya urusan apa-apa denganmu!"
"Aku tuan rumah di sini. Apa pun yang terjadi di perguruanku berarti urusanku juga!"
"Jangan banyak bicara! Katakan, di mana ketua perguruan yang memiliki lambang ini!" Usai berucap kasar, Manusia Makam Keramat menunjukkan sobekan kain yang selama ini terus dalam genggamannya. Sobekan bergambar kuda langit yang didapat dari salah seorang pengawal kereta kencana! Ki Arga Pasa dibuat terkesiap. Secara tak sadar, dia menoleh ke belakang pada sahabatnya, Ki Manda Langit yang masih berdiri cukup jauh
Mengikuti gerak mata Ki Arga Pasa, pandangan Manusia Makam Keramat pun turut berhenti pada Ketua Perguruan Kuda Langit itu. Bibirnya menyeringai
Tanpa perlu mendapat jawaban atas pertanyaan sebelumnya, dia telah menemukan orang yang dicari
Ki Manda Langit yang baru sempat melihat carikan kain ketika Ki Arga Pasa menoleh, menaikkan alis. Matanya menatap sang tamu tak diundang dengan sorot mata curiga. Dia hendak turut maju ke depan. Tapi Ki Arga Pasa cepat mencegah dengan isyarat tangan.
"Ada perlu apa kau dengan sahabatku?"
"O, jadi ketua perguruan dengan lambang ini adalah sahabatmu"!" sinis Manusia Makam Keramat, berpura-pura tak tahu.
"Aku hendak memaksanya bicara tentang orang yang meminta jasa perguruannya mengawal kereta kencana Pajajaran beberapa hari lalu
Jelas?"
"Apa hubunganmu dengan pembantaian rombongan itu?" selidik Ki Arga Pasa
Satu pertanyaan yang tak perlu. Sebenarnya, Ketua Perguruan Belalang Putih itu sudah punya dugaan kuat bahwa orang yang dihadapinya kini adalah biang keladi pembantaian itu
Hanya karena dia adalah seorang satria sejati, tak patut baginya untuk langsung menjatuhkan tuduhan
"Aku yang membunuh mereka," jawab Manusia Makam Keramat, berbisik seraya menyorongkan kepala ke depan. Seolah dia hendak mengolok-olok
Ki Arga Pasa mendengus gusar. Kini, tak ada lagi alasan untuk tetap berdiam diri
"Manusia tua terkutuk! Semoga segenap isi bumi dan langit mengutuk perbuatanmu!" Saru saja ucapan yang dikeluarkannya pupus disambar angin, Ki Arga Pasa langsung melancarkan serangan. Ketua Perguruan Belalang Putih ini membuka serangannya dengan sebuah tendangan kaki kanan lurus ke arah pusar
Wuttt! Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri, tanpa memindahkan kaki, Manusia Makam Keramat telah berhasil membuat serangan lawan mengenai tempat kosong! Kaki Ki Arga Pasa meluncur beberapa jari di sebelah kanan Manusia Makam Keramat
Tapi, serangan Ki Arga Pasa tidak terhenti sampai di situ! Kegagalan serangan pertama sudah dalam perhitungannya. Begitu Manusia Makam Keramat itu berhasil mengelak, segera disusul dengan serangan lanjutan. Sadar akan kelihaian lawan, Ki Arga Pasa tidak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Hebat bukan main serangan-serangan Ki Arga Pasa. Bunyi menderu, mengaung, dan bergemuruh, mengiringi bergeraknya tangan atau kakinya. Susulmenyusul hampir tanpa henti laksana amukan badai! Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat mampu meredam semua serangannya. Lincah menunggang angin dan gesit bagai mengendara kilat, Manusia Makam Keramat mengelakkan semua serangan itu. Semuanya dilakukan seperti tanpa mengalami kesulitan sama sekali
Pada satu kesempatan, dia mengambil jarak
"Kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku selama sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaikbaiknya!" ujar Manusia Makam Keramat dengan sorot mata menikam
"Tutup mulutmu, Manusia Jahanam!" maki Ki Arga Pasa penuh perasaan geram
Sebagai akibat kegusaran yang terus menanjak naik, serangan-serangan yang dilancarkan Pemimpin Belalang Putih itu pun semakin dahsyat. Ucapan lawan tadi dianggapnya telah secara tak langsung menginjak-injak kepala
Meski Ki Arga Pasa telah menguras seluruh kemampuannya, tetap saja semua serangannya berhasil dielakkan Manusia Makam Keramat. Kesombongan dan sesumbar kakek durjana yang telah kembali dari kematian memang beralasan! Kesanggupannya berbicara di saat serangan Ki Arga Pasa bertubi menghujani, membuktikan kalau serangan-serangan lawan tidak cukup merepotkannya
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah sepuluh jurus Ki Arga Pasa melancarkan serangan sejak, Manusia Makam Keramat melontarkan tantangan angkuhnya. Selama itu, tak satu jurus pun mengenai sasaran.
"Sekarang giliranku...!" ujar Manusia Makam Keramat bernada memperingatkan
"Bersiap-siaplah, Lelaki Tua Keropos! Ketahuilah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!"
"Tutup mulutmu, Jahanam!" Makian penuh kegeraman menyambuti pernyataan Manusia Makam Keramat. Itu pun masih ditambah lagi dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah leher! "Hih...!" Manusia Makam Keramat mendengus melihat serangan itu. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia akan mengelak. Dengan kata lain, berarti Manusia Makam Keramat memang telah siap dengan siasat tarung di benaknya. Ternyata tidak salah! Begitu kaki Ki Arga Pasa menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, Manusia Makam Keramat menggerakkan tangan kanannya. Akibatnya...
Tepp! "Heihhh..."!" Ki Arga Pasa memekik kaget melihat pergelangan kakinya dicekal lawan. Tahu bahaya besar mengancam, buru-buru ditarik kakinya agar dapat terlepas dari cekalan
Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa dilanda kekagetan. Jangankan menarik, membuat bergeming saja pun dia tidak mampu. Seolah-olah kakinya telah terjepit oleh dua buah bukit! "Hua hua ha...!" Manusia Makam Keramat tertawa tergelak melihat Wajah Ki Arga Pasa merah padam saat mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kakinya
Masih dengan tawa belum putus, Manusia Makam Keramat menggerakkan jari-jari tangannya
Meremas. Krekk...! "Aaakh...!" Ki Arga Pasa tidak mampu menahan keluarnya jerit kesakitan dari mulutnya ketika tulang-tulang kakinya remuk akibat remasan tangan Manusia Makam Keramat. Tindakan Manusia Makam Keramat tidak terhenti sampai di situ saja. Tangannya dihentakkan
Kuat! Tak pelak lagi tubuh Ki Arga Pasa terhuyung ke arahnya. Padahal, Ki Arga Pasa telah berusaha mem-pertahankan diri
Di saat tubuh Ki Arga Pasa melayang, tangan kiri Manusia Makam Keramat bergerak menyampok! Wuttt! Prakk! "Aaa...!" Hanya jeritan panjang saja yang dapat dikeluarkan Ki Arga Pasa sebelum akhirnya tubuh itu ambruk ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali kematian Ketua Perguruan Belalang Putih itu! Peristiwa itu berlangsung demikian cepat. Tak seorang pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sadar ketika tubuh Ki Arga Pasa telah ambruk ke tanah
"Biaaadab!" Hampir berbareng bentakan keras itu keluar dari mulut Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut. Bersamaan dengan keluarnya teriakan, keduanya melesat dari tempatnya
Cepat gerakan kedua kawan Ki Arga Pasa itu
Bersamaan dengan itu murid-murid Perguruan Belalang Putih menghambur ke tengah arena! Diawali teriakan-teriakan bernada kemarahan yang mengguncang, mereka menyerang Manusia Makam Keramat
Tempat yang lebih dekat dengan Manusia Makam Keramat memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu daripada Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut. Karena murid-murid Perguruan Belalang Putih itu menggunakan senjata, dan melakukan penyerangan secara serempak, tak pelak lagi hujan senjata meluruk ke berbagai bagian tubuh Manusia Makam Keramat. Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Manusia Makam Keramat menyelinap di antara sambaran senjata lawan. Hasilnya, serangan murid-murid Perguruan Belalang Putih mengenai tempat kosong! Dengan cara yang hampir sulit dipercaya, Manusia Makam Keramat itu telah melesat keluar dari kepungan
Dengan kebekuan wajah dan ketenangan mengagumkan, si kakek durjana menghampiri tempat Rara Lanjar berada. Mata berurat kemerahannya seperti menyorot tajam. Ada yang diamati olehnya pada diri Rara Lanjar. Cara menatapnya sulit diterjemahkan
Rupanya dia menemukan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri
Hal itu pula yang menyebabkan dia begitu berniat melarikan Rara Lanjar. Dan semua itu luput dari perhatian siapa pun. Juga oleh Ki Arga Pasa sebelum dia tewas
"Aku bisa merasakan, siapa dirimu sebenarnya, Anak Gadis. Kau tak bisa menipuku...," desisnya ter-samar riuh-rendah suara murid-murid Perguruan Belalang Putih. Manusia Makam Keramat makin dekat
Makin pasti untuk menuntaskan niat Menyambar si gadis, lalu minggat! Minggat" Ya. Semula, tujuannya datang ke tempat itu adalah melacak jejak Pemimpin Perguruan Kuda Langit. Dia hendak mengorek keterangan tentang kereta kencana yang dikawal oleh orang-orang perguruan tersebut. Paling tidak, bisa didapatnya nama orang yang telah meminta jasa pengawalan itu
Namun ketika dia menyaksikan untuk pertama kali Rara Lanjar, mendadak terbersit pikiran lain dalam benaknya. Terutama karena dia 'mengendus' sesuatu pada diri Rara Lanjar! Hanya saja, cuma dia sendiri yang tahu
Karuan saja orang yang berada satu ruangan dengan gadis itu menjadi kelabakan bukan kepalang
Disadari akan datangnya ancaman maut. Sementara Rara Lanjar sudah tak sadarkan diri dipangkuan ibunya. Rupanya guncangan batin melihat kematian ayahnya di depan matanya terlalu berat untuknya
Tapi sebelum Manusia Makam Keramat berhasil melaksanakan maksudnya terhadap istri Ki Arga Pasa yang telah bersiap-siap untuk mengadakan perlawanan.... Jleg! Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut telah berada di depannya
"Manusia setan! Makhluk seperti kau tidak layak untuk dibiarkan hidup!" geram Ki Manda Langit
Manusia Makam Keramat tersenyum mengejek
Diperhatikannya Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut, sesaat. Diliriknya lambang kuda terbang pada pakaian Ki Manda Langit.
"Aku memang datang karena satu urusan denganmu"! Berkaitan dengan rombongan yang kubantai beberapa waktu lalu! Cukup sulit aku menelusuri jejak perguruanmu," tukasnya pada sang Pemimpin Perguruan Kuda Langit
Ki Manda Langit berseru terkesiap. Sama sekali tidak disangka kalau dia akan bertemu dengan penjagal murid-muridnya
"Rupanya kau yang telah melakukan tindakan keji itu! Kau telah membunuh murid-muridku, Manusia Biadab!!"
"Ooo... jadi mereka murid-muridmu" Lalu siapa gadis yang ada di dalam kereta" Anakmu-kah"! Semula aku berharap dia salah satu orang yang ingin kehi-rup darahnya. Namun ternyata bukan! Kau pikir, aku dapat tertipu?" ejek Manusia Makam Keramat tenang
"Sayang gadis cantik itu bukanlah salah seorang yang tengah aku buru. Tapi dia telah membuat aku gusar, maka...."
"Jahanam! Kepaaraatt.... Mampuslah kau!" Tanpa menunggu Manusia Makam Keramat menyelesaikan ucapannya, Ki Manda Langit langsung melancarkan serangan dengan setimbun kegeraman
Tanpa mendengar secara lengkap pun, sudah dapat diduga nasib si gadis yang dimaksud tadi! Mati! Melihat Ki Manda Langit telah menyerang, Pendekar Tendangan Maut tidak tinggal diam. Dia pun melakukan hal yang sama. Disadari kalau Ki Manda Langit tak akan mampu menghadapi Manusia Makam Keramat sendirian. Dengan satu pertimbangan, tingkat kepandaian Ketua Perguruan Elang Perak itu setingka-tan dengan Ki Arga Pasa
Tapi rupanya Manusia Makam Keramat tidak berminat untuk bertarung. Terbukti, dia tidak menyambuti serangan lawan-lawannya. Digenjotkan kaki, sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala kedua penyerangnya
Begitu kakinya mendarat di tanah, langsung saja dia melesat ke arah Rara Lanjar. Jelas, Manusia Makam Keramat itu mengincar putri Ki Arga Pasa
Melihat hal ini Kumparan, murid tertua yang berada di dekatnya tidak bisa tinggal diam. Dia tidak ingin putri tunggal ketuanya mengalami nasib yang sama dengan ayahnya. Dengan modal agak nekat, dihadangnya Manusia Makam Keramat. Langsung disambutnya kedatangan orang tua berwatak bejat itu dengan tusukan goloknya
Hadangan itu tidak membuat Manusia Makam Keramat mengurungkan niat. Ditangkapnya golok Kumparan. Kemudian hanya dengan sekali sentak, tubuh Kumparan telah dilemparkannya
Lalu dengan kecepatan tidak mengendor, Manusia Makam Keramat meluncur ke arah Rara Lanjar
Maka.... Tappp! Crash! "Aaah!" Begitu membunuh istri Ketua Perguruan Belalang Putih, tubuh putri Ki Arga Pasa berhasil ditangkap, lalu Manusia Makam Keramat melesat meninggalkan tempat itu
Tentu saja Ki Manda Langit, Pendekar Tendangan Maut, murid-murid Perguruan Belalang Putih, dan yang lain-lain tidak akan membiarkan hal itu terjadi
Mereka pun melakukan penghadangan
Tapi kejadian sebelumnya pun kembali terulang. Dengan mudah Manusia Makam Keramat itu berhasil meloloskan diri dari hadangan. Lalu, hanya dengan beberapa kali lesatan, manusia yang sudah seperti setengah siluman itu telah berada di luar markas Perguruan Belalang Putih
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat tidak menekan kecepatan larinya. Dia terus saja melesat dengan kecepatan tinggi
Hanya dalam waktu singkat, markas Perguruan Belalang Putih telah berhasil ditinggalkannya
Di tengah jalan, manusia terkutuk itu menghentikan langkah sejenak. Didongakkan kepala. Ditatapinya rembulan. Menyaksikan bulan hanya tinggal beberapa jengkal dari takhta puncaknya, wajah bengis sarat keriputnya tertarik ketat.
"Aku harus cepat membawa perawan ini ke Makam Keramat Maut sebelum bulan menggantung tepat di atas kepala...," bisiknya bergetar, seperti seseorang yang dilanda kekhawatiran kental

* * *




--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

"BERHENTI...!" Terdengar bentakan keras yang mencoba menahan lari Manusia Makam Keramat. Menggelegar laksana sambaran gledek. Jelas, bentakan itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi
Tapi bukan Manusia Makam Keramat kalau menjadi gentar karenanya. Dengan berani dia malah menghentikan langkah larinya. Dibalikkannya tubuh untuk melihat orang yang dianggapnya telah lancang menahannya. Berjarak lima tombak dari Manusia Makam Keramat, berdiri seorang pemuda berambut panjang kemerahan. Mengenakan rompi bulu dari kulit hewan
Tubuhnya tinggi tegap. Siapa lagi kalau bukan murid Dongdongka dan Ki Kusumo alias Satria Gendeng
"Jika kau memang masih ingin hidup. Cepat serahkan wanita itu, Manusia Biadab!" seru Satria Gendeng, mengancam
"Lagi-lagi kau," sahut Manusia Makam Keramat sambil tersenyum mengejek.
"Kuberi kesempatan untuk pergi dari sini sebelum aku mengubah keputusan! Cepat menyingkir! Atau kau ingin mengalami nasib sama dengan rombongan yang kau temukan di hutan beberapa hari yang lalu"!" Satria Gendeng langsung kaget mendengar ucapan itu. Sama sekali tidak disangka kalau orang tua ini yang telah melakukan kekejian terhadap gadis yang dia kuburkan! Memang, Satria Gendeng telah mengetahui kalau Manusia Makam Keramat menculik putri sulung Ki Arga Pasa, Rara Lanjar. Di tengah perjalanan menuju Desa Lebak, dia bertemu dengan rombongan Ki Manda Langit yang masih terus melakukan pengejaran
"Jadi... kau penjahat terkutuk itu"!" desis Satria Gendeng dengan geram
"Kalau begitu, mampuslah!" Wuttt! Bunyi deru angin keras terdengar ketika Satria Gendeng melancarkan serangan. Tangan kanannya membentuk patukan, diluncurkan ke arah ulu hati Manusia Makam Keramat. Dalam cekaman kemarahan menggelegak, Satria Gendeng telah mengeluarkan jurus 'Mencuri Bunga Karang', pemberian Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Ah...!" Manusia Makam Keramat berseru kaget ketika melihat gerakan Satria Gendeng murid tunggal dua tokoh kenamaan persilatan. Setiap gerakannya menimbulkan getaran-getaran, cukup membuat hatinya bergetar. Sekali lihat saja dia tahu kalau kepandaian pemuda berwajah seperti bocah itu lebih tinggi dibandingkan dengan Ki Arga Pasa. Oleh karena itu, Manusia Makam Keramat tidak berani bertindak main-main
"High!" Sambil menggertakkan gigi, dipapaknya serangan Satria Gendeng dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga...
Plakk...! Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu berbenturan. Sesaat kemudian, tubuh Satria Gendeng terjajar satu tindak ke belakang. Sama dengan Satria Gendeng, Manusia Makam Keramat terjajar satu tindak ke belakang. Hal ini menunjukkan kalau tenaga dalam manusia yang bangkit dari kematiannya itu sama tinggi dari lawannya
Sementara itu, Manusia Makam Keramat mulai sadar kalau lawannya kali ini jauh lebih sakti dari Ki Arga Pasa. Disadari pula jurus-jurus Satria Gendeng cukup membahayakan dirinya. Maka, dilemparkan tubuh Rara Lanjar di tanah. Dia pun mempersiapkan jurus-jurus ampuhnya! Cit, cit, cit! Diiringi bunyi berdecit nyaring yang keluar dari gerakan tangannya yang berkuku panjang dan hitam, Manusia Makam Keramat melompat menerjang Satria Gendeng. Ketika tengah berada di udara, tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis
Wettt! Hanya dengan mencondongkan badan, Satria Gendeng telah berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Manusia Makam Keramat lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Meskipun demikian, saking kerasnya tenaga yang terkandung di dalam serangan itu, seluruh pakaian Satria sampai berkibaran keras
"Keparat...! Lihai juga kau, Bocah!" geram Manusia Makam Keramat
Karuan saja kenyataan ini membuat Manusia Makam Keramat gelisah. Disadari kalau Satria Gendeng terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pu-la, andaikan dapat pun, membutuhkan waktu lama
Padahal dia tidak ingin berlama-lama di tempat ini
Ada satu hal yang harus diburunya sebelum tengah malam nanti. Hal itu meletakkan dirinya pada keadaan yang tidak menguntungkan
Apabila Ki Manda Langit datang membantu lawan yang dihadapinya atau rombongan pengejar dari Perguruan Belalang Putih tiba dan mengeroyoknya, dia makin tak punya kesempatan untuk tiba di Makam Keramat Maut sebelum tengah malam! Terbetik di pikirannya untuk melarikan diri se-mentara ini
Sebelum lawan membayar serangannya, Manusia Makam Keramat telah lebih dahulu menggenjot tubuh. Rara Lanjar disambarnya seperti gerak seekor elang menyambar mangsa. Dari satu pohon, dia melentik ke pohon lain
Tapi....
"Hendak lari ke mana kau!" Bagai siluman muda kesetanan, Satria Gendeng memburu lawannya. Kelincahan Manusia Makam Keramat di udara, diimbanginya dengan sempurna. Kejar-kejaran berlangsung sengit. Lama kelamaan, si kakek durjana jadi gusar sendiri. Bagaimana mungkin bocah semuda dia mampu mengimbangi gerakanku" Penasaran dengan kelihaian lawan mudanya, yang muncul kemudian adalah kegeraman menggelegak. Di atas tanah, dia telah berdiri dengan segenap muatan kemarahan dalam diri
"Akan kulayani kalau itu maumu, Bocah," desisnya seraya melempar tubuh Rara Lanjar untuk kedua kali begitu saja di salah serumpun semak
Kegagalan serangan sebelumnya telah cukup meledakkan kegusaran Manusia Makam Keramat. Kini, dinantinya Satria dengan hati yang lebih mengkelap. Tanpa sempat memberi kesempatan pada Satria untuk mendarat mantap, Manusia Makam Keramat sudah mengucurkan serangan
Serangan-serangan lanjutannya semakin dahsyat. Lagi-lagi, Satria Gendeng sanggup meladeninya
Berkat jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan'-nya yang mulai dikerahkan untuk mengimbangi kecepatan dan kesangaran gerakan-gerakan Manusia Makam Keramat. Bahkan serangan-serangan balasan yang dikirimkan pemuda berambut panjang dikepang itu tak kalah dahsyatnya
Tak pelak lagi, pertarungan sengit dan menarik antara dua tokoh yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi
Sungguh hebat bukan main pertarungan yang terjadi. Bunyi menderu, bergemuruh, dan mengaung, menyemaraki jalannya pertarungan. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Masalahnya, kedua be-lah pihak memang memiliki kecepatan gerak mengagumkan
Memang, ilmu yang dimiliki Satria Gendeng dan Manusia Makam Keramat sama-sama menitik beratkan pada kemampuan ilmu meringankan tubuh! Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Selama itu belum nampak adanya tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Pertarungan masih berlangsung seimbang
Masuk lebih ke dalam pada jurus-jurus inti, si kakek durjana merasa pernah mengenal gaya serangan Satria. Hatinya bertanya-tanya. Sia-sia kalau dia hanya mengulang-ulang pertanyaan di hati. Pada satu kesempatan, Manusia Makam Keramat mengambil jarak. Dia mencelat dari bumi, melayang seperti hantu lalu menjejak di batang pohon sebesar lengan
Satria mengira lawannya hanya bermaksud menjadikan pohon itu sebagai tumpuan untuk melompat ke tempat lain. Kalau benar, dia bisa memburu ke arah yang mungkin diambil lawan dan menyambutnya selagi di udara. Dugaannya keliru. Begitu kakinya berhasil menjejak di batang pohon kecil yang tegak lurus, Manusia Makam Keramat sama sekali tak beranjak lagi. Dia menempel laksana cecak! Menyaksikan unjuk kebolehan itu, dalam benak si pendekar muda melintas bayangan kejadian beberapa waktu lalu. Ketika pertama kali menemukan Pasukan Kelelawar di dalam goa, disaksikannya bocahbocah sakti itu pun dapat menempel di langit-langit goa. Apa hubungan orang tua sesat ini dengan Pasukan Kelelawar, tanyanya membatin. Sebelum sempat mengajukan pertanyaan, lawan telah mendahului
"Ada hubungan apa kau dengan Truna"!" lon-tarnya. Satria sejenak terpaku. Dia berpikir sejenak
Truna" Diingat-ingatnya nama itu. Bukankah kalau tak salah nama itu adalah nama semasa muda gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Bagaimana dia bisa tahu nama asli gurunya" Dan kala teringat pengakuan Dongdongka beberapa hari lalu yang mengatakan bahwa Manusia Makam Keramat adalah saudara lelakinya, Satria pun mulai dapat mengendusi siapa sesungguhnya sang lawan
"Jadi kaulah biang keladi Pasukan Kelelawar itu...," desisnya.
"Pantas saja rupa mu membuatku demikian muak....' "Kau belum menjawab pertanyaanku, Bocah! Jangan sampai tubuhmu kupreteli satu persatu untuk memaksamu bicara! Katakan, ada hubungan apa kau dengan Truna"!"
"Dia muridku!!!!" Menyalak satu sahutan yang menggoncangkan udara....

* * *



Apa maunya Manusia Makam Keramat menculik Rara Lanjar" Kenapa dia iseng banget" Siapa manusia bertopeng Arjuna yang mendapat Keris Kiai Kuning" Kok bisa begitu, hah" Kitab apa yang dimaksud Ki Arga Pasa" Nah, urusan Pasukan Kelelawar yang ditemukan dua pasangan tengik, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis gimana" Kok tahu-tahu jadi berubah menjadi anak-anak ileran"

SELESAI



INDEX SATRIA GENDENG
Memburu Manusia Makam Keramat --oo0oo-- Nisan Batu Mayit
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.