Life is journey not a destinantion ...

Nisan Batu Mayit

INDEX SATRIA GENDENG
Bangkitnya Dewa Petaka --oo0oo-- Rencana Manusia Terkutuk

SATRIA
Satria Gendeng
Episode I: PASUKAN KELELAWAR
Episode II: MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT
Episode III: BANGKITNYA DEWA PETAKA
Episode IV : NISAN BATU MAYIT
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

SEBENARNYA terlalu sulit untuk menentukan di mana harus berdiri saat kebenaran menjadi teramat pahit dan pedih. Memutuskan untuk berdiri di atas kebenaran itu sendiri seakan-akan sengaja menjerumuskan diri ke dalam kawah yang tak hanya menyiksa, namun terkadang dapat membunuh. Berdiri membelakangi kebenaran mungkin lebih mudah. Bahkan cenderung begitu menyenangkan, bagai menikmati roti hangat di tengah malam dingin. Dan itulah kenyataan yang ditawarkan sang dunia yang telah demikian renta. Disuguhkannya tiga pilihan yang selalu dapat diambil salah satunya; berdiri di atas kebenaran, membelakangi, dan lari dari kebenaran, atau menginjak-injak kebenaran.
Seperti kenyataan manis dan pahit, kebenaran tak pernah lebih bisa dinikmati, kecuali pahitnya. Dan rasa manis itu tak akan kunjung nyata, kecuali ketika rasa pahit sudah terhayati secara penuh. Bukankah pahit ada karena manusia kenal rasa manis" Seorang manusia bernama Arya Sonta telah memilih satu di antara tiga pilihan hidup. Dia memutuskan untuk menginjak-injak kebenaran berpuluhpuluh tahun lalu hanya untuk memuaskan kerakusan nafsunya. Karena pilihannya itu pula, dia harus menerima nasib dimusnahkan oleh seorang raja yang justru berdiri di atas kebenaran dan menjadi seterunya. Matilah dia. Membawa segenap kemaksiatan ke dalam liang lahat. Namun, selama dunia masih berdenyut, tak ada yang bisa menjamin kebenaran akan tetap tegak sebagai pemenang. Pada saatnya, kebatilan akan bangkit kembali dan mengacungkan tantangan. Begitu pula Arya Sonta. Dari kematian, dia bangkit kembali.
Diusungnya kembali sebutan yang telah lama terkubur; Manusia Makam Keramat! Berarti, sekali lagi ketajaman kebenaran diuji.
Sekali lagi, ketajamannya harus mampu menghadapi tantangan kebatilan.
Namun begitu, kebenaran selalu punya 'sesuatu' untuk dipergunakan membabat 'lawan abadi'nya. Untuk Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat, 'sesuatu' yang dimaksud adalah....
Keris Kiai Kuning!

* * *



Malam menua, pekat dengan hawa dingin. Kekelaman tak terusik sinar gemintang dan bulan. Detik-detik merayap menuju tepat tengah malam. Di batas Desa Rangkas, sesosok bayangan memangkas udara dingin. Asalnya dari atas sebuah pohon besar. Melintas cepat seperti setan kesiangan ke bawah, lalu hinggap tanpa suara di atas tanah.
Di bawah sendiri, telah menanti dua sosok tubuh. Satu orang berperawakan gagah. Dia seorang pemuda berambut panjang. Mengenakan rompi bulu dari samakan kulit hewan. Yang lain adalah lelaki kurus. Usianya jauh bertaut dengan si pemuda. Terlalu tua. Rambutnya terlalu panjang. Ujungnya bahkan sampai tergerai di tanah. Wajahnya terlalu seram untuk ukuran manusia. Apalagi dengan jenggot yang tak kalah panjang dengan rambutnya. Tanpa pakaian. Dia hanya mengenakan balutan kain kotor pengganti celana. Tak begitu jauh dari tempat kedua lelaki berbeda usia itu berdiri, seorang perempuan tergeletak tak sadarkan diri di dekat semak belukar. Perempuan yang terbilang ayu dan bertubuh sintal. Dari pakaiannya, dia lebih kentara sebagai gadis desa biasa ketimbang wanita warga persilatan. Orang yang baru turun dari atas pohon berusia tak kalah tua dengan lelaki berambut panjang. Kepalanya gundul sehabis-habisnya. Sepertinya, sudah tak ada harapan rambutnya bakal tumbuh lagi, kecuali untuk jamur atau kudis. Wajahnya tak terlalu jelek.
Yah, mirip-mirip siluman pasar yang paling ganteng..... begitu! Badannya sudah kurus kering. Dia pun mengenakan penutup kain dekil sebagai pengganti celana.
Begitu tiba, manusia keropos yang tak lebih dari sekumpulan tulang hidup itu langsung mengomel sepanjang gerbong kereta tebu. Ricuhnya melebihi teriakan burung Cucarawa satu kadipaten! Kata-katanya sulit dimengerti. Omelannya terlalu cepat dan simpang siur. Kalau sudah begitu, siapa yang bakal merasa diomeli" Sewaktu nafasnya sudah hampir putus, baru kalimatnya agak bisa dimengerti.
"Dasar manusia kualat! Tak pernah kapokkapoknya kau berbuat brengsek hos... hos... hos!" Si pemuda menyambut kehadirannya dengan senyum mengembang. Sumringah, kendati sedikit meringis.
"Apa kabar, Kek?" sapanya.
Sahutannya sungguh tak nyaman didengar.
"Apa kabar" Tai kucing, diam kau! Ini urusan orang tua. Kau bocah, cukup tutup mulut!!" Lalu, dengan langkah dibanting-banting sampai menyebabkan tanah bergetar dan pohon menggigil, orang tua berkepala 'plontos' mendekati lelaki tua berambut panjang.
"Truna.... Apa kabarmu, Tua Bangka?" sambut Manusia Makam Keramat. Nama semasa muda Dongdongka disebutnya. Di dunia persilatan, hanya segelin-tir orang yang mengetahui nama muda Dongdongka.
Itu pun terbatas pada orang-orang yang sudah amat mengenalnya. Walhasil, Arya Sonta si Manusia Makam Keramat pasti salah seorang yang sudah amat mengenal sesepuh persilatan itu.
Kenyataannya memang demikian. Arya Sonta adalah saudara Dongdongka sendiri. Saudara satu ayah lain ibu. Mereka sempat tumbuh besar bersama di Mataram ketika masih kecil. (Baca kembali episode sebelumnya: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Dongdongka mendengus sekali, lalu dua kali, tiga kali, dan berkali-kali. Dia sudah mirip banteng jantan tua yang siap mengamuk. Seraya bertolak pinggang tinggi-tinggi, (memperlihatkan ketiak yang sudah kehabisan bulu) si tua berjuluk Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu mulai berkoar lagi.
"Katakan padaku Arya Sial, apa maumu sebenarnya"!" Mendapati pertanyaan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Manusia Makam Keramat malah memperdengarkan tawa.
"Kau memang tolol, Truna! Kau pikir untuk apa aku bangkit dari alam yang amat gelap" Untuk sekadar melihat tampang memuakkan mu" Tidak, Truna! Aku kembali dengan satu tujuan. Takhta Pajajaran yang dulu luput ku genggam, harus dapat ku raih kali ini. Lebih dari itu, aku ingin seluruh kalangan persilatan menciumi telapak kakiku setiap pagi dan sore!!!" sesumbar Manusia Makam Keramat, di ujung ledakan tawanya.
"Kau memang bejat, Arya! Kau tahu itu"!" caci Dongdongka.
"Apa kau baru mengenalku, Truna" Hm" Memang begitulah aku.... Setelah puluhan tahun mengenal aku, apa kau berharap aku tiba-tiba berubah menjadi malaikat suci?""
"Aku berharap kau berubah menjadi kotoran kerbau!" sergah Dongdongka.
Manusia Makam Keramat tertawa lagi.
"Kau pun tetap tak berubah, Truna. Kau sadari itu" Lalu untuk apa kau berharap aku berubah" Apa kau mengira langit akan menjadi bumi" Bumi menjadi matahari" Matahari menjadi angin" Mereka memainkan peran sendiri-sendiri!"
"Tapi kau bukan bumi, langit, matahari, angin, atau tai kucing, dan segala macam! Kau manusia Arya. Manusia punya kemampuan untuk mengubah peran dirinya. Kecuali kau bukan manusia. Kecuali kau tak lebih dari penjelmaan iblis durjana! Sepanjang usia semesta yang renta ini, iblis tetap memerankan kedurjanaan. Apa kau seperti itu?"
"Jangan menceramahi aku, Truna!"
"Siapa yang bilang aku menceramahi mu" Aku mengingatkan mu, tahu! Sebagai seorang saudara, aku punya kewajiban untuk itu!"
"Tapi aku tak memerlukannya!" Sisa gigi di mulut Dedengkot Sinting Kepala Gundul bergemeletukan. 'Geregetan' sekali dia dengan saudaranya ini. Dari dulu sampai sekarang, yang na-manya Arya Sonta tak pernah bisa membuat darahnya jadi sedikit tenang.
"Tai kucing, tai kucing, tai kucing kau Arya!" Akhirnya, Dongdongka cuma bisa menyumpahnyumpah sampai jakunnya hampir mau meloncat keluar. Manusia Makam Keramat sendiri seperti tak mempedulikan kegusaran Dongdongka. Mata berbinar menggidikkannya malah menerkam rembulan di langit.
Makin dekat ke tengah malam. Bulan kian tiba di pucuk peredarannya. Wajah Arya Sonta berubah. Garisgaris parasnya mengejang. Lalu, matanya beralih ke arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ku ingatkan kepadamu, Truna! Jangan coba halangi jalanku! Perintahkan pula muridmu itu agar menyingkir!!" tandasnya kemudian, pekat api pada setiap kata.
Diam-diam, Satria yang sejak tadi hanya berdiri di belakang guru 'sinting'-nya, memperhatikan sikap Manusia Makam Keramat.
"Kenapa tampaknya kau begitu tergesa, Manusia Makam Keramat" Apakah mengambangnya bulan tepat di atas kepala menjadi satu saat yang teramat genting untukmu?" sindir si pendekar muda. Mendengar muridnya menyela, Dongdongka mendelik. Murid sialan, pikirnya. Sudah disuruh diam, masih saja membacot! Badannya berbalik. Di depan Satria, dia bertolak pinggang. Wajahnya lebih seram dari jelangkung tengah malam.
"Kubilang jangan ikut campur!" hardiknya. Tapi setelah itu, keningnya berkerut tinggi-tinggi. Matanya menyipit.
"Kau tadi bilang apa, Cah Gendeng?" tanyanya dengan nada melandai.
"Arya Sial itu begitu mengkhawatirkan bulan tengah malam, ya?" cecarnya. Mendadak wajah keriput tua bangka itu menjadi cerah. Bulan pun kalah cerah.
"Aha, aku tahu!" serunya sambil berjingkat dan membalikkan badan kembali ke arah Manusia Makam Keramat.
"Kau ada satu keperluan yang mendesak dan amat genting, bukan" Begitu Arya" Kau hendak melaksanakan sesuatu yang berhubungan dengan niatmu menaklukkan dunia persilatan tengah malam nanti" He he he...." Satria cuma bisa merutuk dalam hati. Makanya, dengarkan dulu kalau orang bicara! Sementara itu, di kejauhan terdengar suarasuara orang yang berlari. Jumlahnya puluhan orang.
Menuju tempat di mana ketiga orang itu berdiri. Satria tahu, mereka tentu orang Perguruan Belalang Putih bersama Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit. Selain Satria sendiri, mereka pun mengejar Manusia Makam Keramat setelah kejadian di Perguruan Belalang Putih.
Pada kejadian itu, beberapa orang murid mati terbantai di tangan Manusia Makam Keramat. Termasuk guru besarnya, Ki Arga Pasa. Sementara Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit adalah sahabat mendiang Ki Arga Pasa yang hendak menuntut kematiannya.
Di samping alasan itu, Arya Sonta telah melarikan pula putri tunggal Ki Arga Pasa. Gadis itulah yang kini tergolek di sudut dekat semak. (Baca kembali serial Satria Gendeng dalam episode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Sadar dirinya akan makin dibuat kehilangan waktu lebih banyak, Manusia Makam Keramat menjadi gusar. Dari gelagatnya, mulai terlihat tanda-tanda kalau dia hendak menyambar tubuh Rara Lanjar dan melarikannya. Untunglah mata jeli Satria Gendeng tak luput menangkap hal itu. Dengan maksud untuk memancing agar Manusia Makam Keramat tak melaksanakan niatnya, Satria segera berseru pada gurunya, "Lihatlah Kakek! Betapa seorang sakti yang mampu bangkit dari kematiannya ternyata menjadi gelisah mendengar sebegitu banyak lawan datang!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul menoleh dengan cuping hidung kembang-kempis serabutan.
"Kau benar-benar tak mengerti ucapanku atau tuli, hah"! Kubilang diam! Jangan ikut campur!" ben-taknya, untuk kesekian kali.
Satria Gendeng jadi garuk-garuk jidat sendiri.
Rasanya, pikiranku dengan pikiran manusia renta satu ini tak akan sejalan sampai bumi memuntahkan kembali mayat-mayat dari kubur sekalipun, kalau caranya begini, gerutu Satria membatin.
Untunglah, pancingan pendekar muda sebelumnya tidak cuma menghasilkan bentakan menyebalkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Manusia Makam Keramat pun rupanya terpengaruh pula.
"Kau jangan sembarangan buka mulut, Bocah!" hardiknya, mengguntur. Nyali siapa pun yang mendengarnya tak akan luput tergetar.
Satria ngeri untuk berbicara lagi selama belum dapat 'restu' dari gurunya. Tapi, ah peduli setan! Pikir murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu. Urusan sedang genting. Dia tak bisa berdiam diri kalau Rara Lanjar ayu yang pernah mempermalukannya di tepi sungai hendak dilarikan Manusia Makam Keramat! "Lalu, kenapa kau tampak begitu kalut, Orang Tua" Kenapa" Atau kau memang benar-benar hendak mengejar batas waktu tengah malam untuk satu kepentingan maha besar bagi dirimu?" gempur Satria Gendeng, menyudutkan Manusia Makam Keramat. Perkataan Satria bagi Manusia Makam Keramat terasa seperti mengunci mati semua dalih. Dia tak bisa berkata apa-apa. Sampaisampai dia tak habis mengerti kenapa bocah bau kencur yang baru beranjak dewasa bisa mempermainkannya dengan perkataan menyudutkan demikian rupa.
Yang akhir-akhirnya meledak dalam diri Manusia Makam Keramat cuma kegusaran memuncak.
"Kau memang bocah bedebah!" Begitu tahu muridnya menyudutkan Arya Sonta, Dongdongka tak lagi membentak Satria. Dia malah cengar-cengir sendirian.
Bahkan dia mulai latah pula menyudutkan Manusia Makam Keramat.
"Ya, kenapa" Ayo kenapa, Arya"! Jawab!" Rahang Manusia Makam Keramat mengeras.
Matanya memancarkan api kemarahan berkobaran.
Wajahnya mengeras.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terkekeh.
"Kau tak menjawab" Itu artinya, dugaanku memang benar. Kau memang sedang memburu batas waktu tengah malam! He he he...," ejek Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Seenaknya saja dia mengaku telah menduga bahwa Manusia Makam Keramat sedang memburu batas waktu tengah malam! Satria hendak di kemanakan"
"Kalian guru dan murid keparat!!!" Muntah kemarahan Manusia Makam Keramat. Itu dibarengi pula dengan termuntahnya terjangan ke arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

DEDENGKOT Sinting Kepala Gundul menyambut serangan Manusia Makam Keramat dengan cara yang terlalu mengundang risiko tinggi. Dia hanya membuat sedikit geseran badan menyamping. Padahal sabetan kuku panjang yang melingkar-lingkar seperti akar pohon milik Manusia Makam Keramat amat berbahaya. Terutama karena sang Dewa Petaka mengalirkan tenaga dalam tingkat tinggi ke sekujur otot tangannya. Wezzz! Dedengkot Sinting Kepala Gundul nyengir sejelek-jeleknya ketika sabetan lawan luput hanya satu jari di sampingnya. Kalau bukan tua bangka sesepuh persilatan itu, tentu akan tersentak lebih dari empat tindak ke belakang hanya karena angin sabetan kuku Manusia Makam Keramat! "Enteng!" ledek Dongdongka, tanpa mengubah posisi badan yang masih sedikit miring ke samping.
Gayanya sudah seperti seorang penari jaipong kehilangan suara gendang.
Manusia Makam Keramat makin mengamuk.
Dia melanjutkan terjangan jauh lebih menggebu. Cakar tangan yang lain menyayat udara.
Suaranya mengiris telinga.
Tajam. Kepala gundul Dongdongka hendak dijadikan sasaran.
"Pecah kepalamu, Truna!" Wezzzz! "Hati-hati dengan kuku mu, Arya! Sudah berapa tahun kau tak pernah memotongnya" Barangkali, kuku mu sudah dijadikan sarang kutu busuk satu kampung!" oceh Dedengkot Sinting Kepala Gundul seraya serabutan menghindar.
Manusia Makam Keramat tak membiarkan lawan menarik napas lega. Terus dicecarnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan sabetan-sabetan kuku membabi-buta. Terlalu banyak menghindar, Dedengkot Sinting Kepala Gundul akhirnya bosan sendiri.
"Tolong izinkan aku menangkis dan membalas, Arya Slompret!" tukasnya, dibayangi papakan tangan keroposnya yang sesungguhnya bisa lebih ampuh dari satu peti mesiu.
Dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul tampaknya tak hanya berniat menangkis. Lebih jauh, dia berharap dapat mempermainkan lawan lebih jauh.
Kendati dia sendiri menyadari benar, mempermainkan Arya Sonta seperti bermain-main dengan maut. Sebutlah Dongdongka adalah seorang yang diakui banyak kalangan sebagai sesepuh dunia persilatan, namun dalam menghadapi lawan yang seangkatan dengannya ini, Dongdongka tak bisa terlalu berharap banyak untuk dapat mengunggulinya.
Tap! "Dapat!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul benar-benar menangkap dua kuku jari Manusia Makam Keramat! Tangannya mencekal kuat. Bagai kerang samudera menjepit mangsa!! Tindakan lawan sama sekali tak diduga Manusia Makam Keramat. Dia semula mengira Dedengkot Sinting Kepala Gundul akan menghindar lagi. Setidaknya menangkis. Tak terpikir kalau lawan sekali ini justru menangkap kuku jarinya.
Detik berikutnya, tangan kurus berbalut kulit keriput sang sesepuh 'setengah sinting' dunia persilatan tanah Jawa membuat peluntiran ke dalam. Tenaga dalam berkekuatan hebat mengaliri tangannya. Hanya dalam satu-dua kejap lagi, kuku panjang melingkar Manusia Makam Keramat akan terpatah! Manusia Makam Keramat merasa ditantang mentah-mentah! "Kau hendak mengadu kekuatan, Truna Keparat! Baik...," desis Arya Sonta, menyambuti tantangan tak langsung lawan.
Sebelum kukunya mengalami nasib naas, Manusia Makam Keramat sudah secepatnya mengalirkan kuat-kuat tenaga dalam ke sekujur tangannya. Biarpun sebenarnya dia dapat mematahkan usaha lawan dengan melakukan satu gerakan tipuan yang memancing Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk melepaskan cengkeraman tangannya. Nyata-nyata Manusia Makam Keramat memang hendak mengajak lawan untuk mengadu kesaktian! Ada sentakan keras pada tangan dua manusia tua sakti mandraguna itu manakala sebentuk aliran tenaga teramat kuat bertumbukan.
Getaran itu sanggup menciptakan bunyi bergetar pada udara.
Bunyi yang tipis meruncing. Juga dibauri denging. Menyusul kemudian, asap kebiru-biruan mengembang dari sela-sela cengkeraman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Menyaksikan hal terakhir, mata kelabu si tua bangka Dongdongka menjadi membesar. Ada bersit keterpanjatan yang tak bisa disembunyikan.
"Bangsat satu ini mulai unjuk taring. Dia telah mengerahkan inti 'Semburan Naga Bintang'-nya," keluh Dedengkot Sinting Kepala Gundul dalam hati.
'Semburan Naga Bintang' pada masa kejayaan nama besar dua tua bangka itu, adalah ajian yang paling dihindari oleh setiap lawan. Bukan saja mampu menciptakan panas dahsyat yang dapat melebur biji baja, namun juga mengandung racun yang dapat membusukkan daging perlahan-lahan pada tubuh korbannya. Pembusukan perlahan-lahan itu akan sangat menyiksa dalam waktu yang cukup lama. Hidup korban yang menderita tak lebih dari bangkai bernya-wa yang merasakan kesakitan tak terperi manakala sedikit demi sedikit daging badannya membusuk! Hal itulah yang menyebabkan banyak lawan Arya Sonta menjadi gentar.
Wajar saja kalau Dongdongka menjadi tersentak karenanya. Pada saat itu, tangannya yang menyentuh langsung kuku lawan akan memungkinkan dia terjangkit racun dari ajian 'Semburan Naga Bintang'! Maut siap menyapanya! Dedengkot Sinting Kepala Gundul cepat menyadari. Dengan perhitungan agar tidak telanjur terserang racun 'Semburan Naga Bintang', Dedengkot Sinting Kepala Gundul langsung mengerahkan salah satu kesaktian pamungkas pada tangan lain, ajian 'Gunung Api Menyembur Langit'! Sebelah tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang bebas mendadak berpendar kemerahan laksana warna lahar! Cepat menohok dari bawah. Karena mengira Dedengkot Sinting Kepala Gundul akan melayani adu kekuatan, Manusia Makam Keramat tak menyadari tangan lawan yang lain menanduk ke arah perutnya.
Dash! Saat yang sama, Dongdongka melepas cengkeramannya pada kuku Manusia Makam Keramat. Akibatnya, manusia yang berhasil bangkit dari kematiannya itu langsung terpental sengit ke belakang.
Kendati luncuran tubuhnya deras tak kepalang, dengan cantik Arya Sonta sanggup memanfaatkan tekanan udara untuk mengendalikan kembali keseimbangan tubuh. Dia berputaran di udara. Hanya karena hantaman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul bukanlah serangan sembarangan, Arya Sonta tak berhasil mempertahankan kekuatan kakinya untuk berpijak di bumi. Dia tersungkur ke belakang, terseret dua-tiga tombak, lalu terkapar di tanah. Perlahan-lahan, dia bangkit kemudian. Sementara itu, Dongdongka sibuk meniup-niup telapak tangannya yang tersengat 'Semburan Naga Bintang'. Sebentar kemudian, dia malah tertegun menyaksikan Arya Sonta telah tegak kembali di atas kuda-kudanya.
Slompret empat puluh kali untukmu, Arya! Makinya dalam hati. Bagaimana dia masih dapat bangkit setelah terkena ajian 'Gunung Api Menyembur Langit' milikku" Perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul membatin. Dalam perhitungan Dongdongka, bagian dalam perut lawan akan hancur berlobang-lobang seperti terkena hujanan biji baja membara. Keampuhan itu yang akan diakibatkan ajiannya pada tubuh lawan. Kalau isi perut sudah hancur, tak ada seorang pun yang bisa menjamin nyawa akan tetap di badan. Tapi, Arya Sonta Slompret ini" Kala itulah Dongdongka mulai menyadari satu hal yang hampir saja terlupa karena sudah terkubur waktu demikian lama. Arya Sonta tak pernah bisa dibunuh oleh senjata atau pukulan apa pun, kecuali oleh.... Ah, Dongdongka lupa pada kelemahan saudara kandung kualatnya itu.

* * *



Rombongan Ki Damar Sakti dan Ki Manda langit akhirnya tiba. Tanpa memperhatikan keberadaan seorang sesepuh persilatan tanah Jawa yang seharusnya dihormati, dua ketua perguruan itu langsung menghambur ke arah Manusia Makam Keramat. Mereka terlalu dirasuk kemurkaan atas perbuatan sang dewa petaka sebelumnya.
Pertarungan sengit antara dua sahabat setia Ki Arga Pasa dengan Manusia Makam Keramat tak bisa dicegah lagi. Kekalapan Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti meletus. Serangan pertama gagal, disusul dengan serangan berikutnya. Tak peduli lagi sepasang lelaki tua pemimpin dua perguruan silat itu pada siapa mereka berhadapan.
Lawannya jelas bukan orang sembarangan. Kalau sahabat mereka, Ki Arga Pasa yang memiliki kedigdayaan di atas mereka saja bisa disingkirkan tanpa banyak kesulitan, bagaimana lagi mereka" Namun bagi Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit sendiri, persoalannya sekarang bukanlah kedigdayaan siapa lebih unggul. Melainkan, bagaimana mereka bisa menuntut pelunasan hutang nyawa terhadap kematian seorang sahabat. Nyawa harus ditebus nyawa, pikir keduanya. Dan kalaupun tak berhasil melunaskan dendam dengan mencabut nyawa lawan, setidaknya mereka tetap merasa puas.
Tanpa disadari Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit, justru itu menjadi satu kesalahan fatal. Dalam satu pertarungan, api dendam tak menjamin seorang keluar menjadi pemenang. Bahkan sering kali letupan nafsu justru membawa akibat merugikan diri sendiri.
Terbukti ketika satu tendangan maut kesekian dicoba didaratkan Ki Damar Sakti ke dada lawan, Manusia Makam Keramat mendadak membuat gerakan tak terduga. Lelaki setengah siluman itu mu-la-mula berkelit ke sisi.
Dilanjutkan dengan gerakan pinggul setengah putaran. Dan dari sisi tubuhnya, ti-ba-tiba berseliwer benda lurus ke arah Ki Damar Sakti.
Ki Damar Sakti tercekat. Kesiagaannya selama ini hanya dipusatkan pada serangan kuku lawan. Dia tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan bagian tubuh lain. Pada detik itu, Ki Damar Sakti sudah terlambat menyadari.
Desh! Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ternyata kaki kiri Manusia Makam Keramat. Bagian tubuh lawan tersebut menghantam layaknya sebatang balok besar. Padahal, dalam hal jurus-jurus yang men-gandalkan keampuhan kaki, Ki Manda Langit adalah seorang ahlinya.
Tubuh lelaki berjuluk Tendangan Maut itu terjengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"He he he!" Manusia Makam Keramat terkekeh.
Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Ki Damar Sakti meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani menentang Manusia Makam Keramat!!!" Ki Manda Langit teramat gusar menyaksikan keadaan nasib sahabat seperjuangannya. Ditatapnya Manusia Makam Keramat dengan pandangan menghanguskan. "Kenapa kalian tak maju serentak saja"!" ledek Manusia Makam Keramat meremehkan sekali. Ki Manda Langit hendak beranjak maju. Tapi tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul membentang di depan, menghadangnya.
"Belum waktunya," bisik Dongdongka, tegas.
Di belakang mereka, Ki Damar Sakti beringsut bangkit kembali. Dengan mata merah pekat, dia melangkah tertatih.
"Aku belum menyerah, Durjana!" erangnya ber-getaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau lelaki berkumis tebal itu terluka dalam. Tak ada darah kehitaman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih memungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Ki Damar Sakti hendak memulai kembali terjangannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan sang sesepuh dunia persilatan, Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsarakan banyak orang, Arya?" ucap Dedengkot Sinting Kepala Gundul, setelah sebelumnya dia melangkah maju beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh manusia. Kau pun membunuh guru-gurumu. Kini setelah puluhan tahun berlalu, dan kau berhasil bangkit dari kuburmu, masih juga kau belum puas?" Tak kentara lagi sifat 'angot-angotan' tua bangka itu. Yang lebih menonjol sekarang, justru sikap seorang yang begitu memprihatinkan keadaan saudara kandungnya. Kalau dipikir-pikir lagi, memang agak aneh juga. Ada apa gerangan sampai tua bangka biang 'kesintingan' ini mendadak bisa bersikap waras" Apa dia mulai main akal-akalan" Satria Gendeng tak senang mendengar perkataan gurunya barusan. Meski dia murid Dongdongka, bukan berarti dia harus selalu setuju dengannya. Baginya, perkataan Dedengkot Sinting Kepala Gundul bukanlah yang tepat untuk dikatakan pada sejenis manusia terkutuk seperti Arya Sonta.
"Kenapa Kakek ini"!" protes Satria Gendeng gusar. Dia maju ke depan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, lalu ditentangnya Manusia Makam Keramat dengan cara bertolak pinggang.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menghela napas. Dia mengerti bagaimana sifat anak muda seper-ti Satria sebenarnya. Darah mudanya terkadang lebih mempengaruhi sikapnya ketimbang pikiran jernih.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menepuk bahu muridnya. Ketika pemuda lugu namun beradat keras itu menoleh, ditatapnya mata Satria Gendeng lekat-lekat.
"Aku bukan takut berurusan dengan Arya Slompret ini, tahu! Cuma saja aku punya alasan! Kita harus menghindari dulu manusia laknat ini. Percuma kau bertarung jungkir-balik dengannya. Sampai kau mampus, dia tak akan bisa kau bunuh!" ucap Dongdongka dengan mengirim suara batin.
"Kenapa begitu?" Satria memprotes lagi. Sekali ini dengan suara batin pula.
Sepasang guru murid itu memang telah menguasai satu ajian yang disebut 'Melepas Sukma'. Salah satu kelebihannya adalah dapat mengirim suara batin antara satu pemilik ajian dengan pemilik yang lain.
"Dasar bocah ingusan! Apa kau pikir aku yang setua ini tidak tahu siapa Arya Sonta itu"! Dia hanya dapat dibunuh dengan satu senjata pusaka, tahu! Kalau tak salah, senjata itu adalah... ah, aku belum sempat tahu! Pokoknya senjata itu milik Prabu Pajajaran yang berhasil membunuhnya untuk pertama kali!"
"Jadi bagaimana Truna!" sentak Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat.
"Kau boleh pergi dengan tenang dari tempat ini.
Aku tak akan menghalangi...." Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit terperangah. Mana mungkin Dedengkot Sinting Kepala Gundul bisa berkata seperti itu" Apa mungkin seorang sesepuh dunia persilatan akan mengambil keputusan demikian bodoh" Manusia Makam Keramat telah membunuh Ki Arga Pasa. Jelas-jelas itu kesalahan yang tak bisa dibiarkan seperti membiarkan berlalunya angin! Untunglah Satria Gendeng cepat memberi isyarat dengan kelopak mata ketika kedua pendekar tua itu hendak bertindak lebih jauh.
"Ha ha haa!" Manusia Makam Keramat tertawa meriah.
"Apakah dengan begitu berarti kau membiarkan aku pula untuk membawa perempuan itu"!" tukasnya sambil menunjuk Rara Lanjar yang tergolek di dekat semak.
Bibir kusut Dongdongka bergerak-gerak. Sekarang posisinya jadi sulit. Terlalu gila kalau membiarkan saudara kandung laknatnya itu membawa Rara Lanjar. Slompret besar kau, Arya, kutuknya membatin.
Aku harus mengubah siasat! Pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Semampunya dia harus menghindari pertarungan langsung antar mereka dengan Manusia Makam Keramat. Kepala licinnya sebentar kemudian mengangguk-angguk. Dengan tatapan yakin, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyahut, "Ya, kau bisa membawa perempuan itu!"
"Apa"!" Hampir serempak, Satria, Ki Manda Langit, Ki Damar Sakti berseru tertahan.
Guruku sudah resmi edan barangkali" Rutuk Satria, tak habis mengerti.

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

KENDATI diombang-ambing keterkejutan, Satria, Ki Damar Sakti, Ki Manda Langit, dan seluruh murid Perguruan Belalang Putih hanya dapat menyaksikan kepergian Manusia Makam Keramat membawa Rara Lanjar. Mereka toh tak dapat berkata apa-apa. Pada kenyataannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul jauh lebih banyak makan asam-garam ketimbang mereka.
Dengan pertimbangan itu, sudah sepantasnya mereka mempercayai seluruh perhitungan Dongdongka.
Sebelum pergi, Manusia Makam Keramat menoleh pada si tua bangka guru Satria Gendeng. Pandangannya mencemooh.
"Kau telah membuat keputusan yang tak hanya tepat, namun juga amat berguna bagi mereka semua, Truna! Kau tahu pasti, jika kau tak membiarkan aku pergi, maka akan banyak nyawa melayang!" Peduli setan bau! Rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul membatin.
"Selamat tinggal! Kuharap, jangan sampai ada seorang pun yang mencoba membuntuti ku. Tak juga kau, Truna. Jika perkataan ku dilanggar, jangan harap perempuan ini akan tetap hidup." Manusia Makam Keramat mengakhiri ucapan dengan ancaman seraya berkelebat cepat meninggalkan tempat.
Satria masih menatapi gurunya dengan pandangan tak puas.
"Apa lihat-lihat"!" hardik Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sewot merasa ditentang oleh murid gendengnya.
"Apa Kakek akan diam saja?" tanya Satria tetap tak mengerti jalan pikiran manusia buluk tapi sakti minta ampun itu.
Dongdongka mencibir.
"Tentu saja tidak?"
"Lalu, apa yang akan Kakek lakukan?" desak Satria Gendeng, meminta penjelasan.
"Kau pikir apa?" Dongdongka seperti main kucing-kucingan. Itu membuat semua orang jadi agak gemas. Kalau saja dia bukan seorang tua yang disegani dan dihormati, mungkin sudah habis dikeroyok.
"Apa"!" ulang Satria, makin tak sabar. Cuma dia seorang yang masih berani ngotot dengan sang sesepuh persilatan.
"Aku akan mengikutinya, Tolol!" ledak Dongdongka dibarengi sontokan keras ke jidat muridnya.
Satria meringis-ringis. Tapi mulutnya masih belum puas mengajukan pertanyaan.
"Kakek tahu sendiri, Manusia Makam Keramat bukan orang yang bisa dimain-mainkan. Bagaimana kalau dia tahu Kakek menguntitnya" Aku cuma khawatir keadaan Rara Lanjar. Apa Kakek tidak?"
"Eit, tunggu dulu sampai situ! Siapa yang kau maksud Rara Lanjar?"
"Gadis itu, Kek!"
"Gadis itu yang mana, Gendeng! Bicara jangan bertele-tele! Aku tak ingin kehilangan jejak Arya Slompret itu!"
"Perempuan yang dibawa Manusia Makam Keramat!"
"O, kau sudah mengenalnya, ya" Dasar bocah gatal! Kau tak bisa melihat perempuan berjidat licin, ya" Ceritakan padaku, bagaimana kau bertemu dengannya?" Sinting juga, pikir Satria. Belum lama dia yang dibentak supaya jangan bertele-tele. Sekarang justru gurunya sendiri yang mulai bicara ngelantur! "Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Kek!"
"Aku juga tahu itu! Jangan mengingatkan aku, Bocah Sok Tahu!" Memang serba salah! "Sudah, sebaiknya aku segera 'minggat' dari si-ni!" putus Dedengkot Sinting Kepala Gundul, akhirnya.
Dia berkelebat laksana bayangan. Tak kalah gesit dengan gerakan Manusia Makam Keramat.
"Tapi bagaimana kalau manusia durjana itu tahu Kakek menguntitnya?""!!!" teriak Satria. Pertanyaan itu memang belum sempat dijawab oleh Dongdongka. Dongdongka kembali lagi (masih sempat-sempatnya!). Tepat di depan hidung muridnya, lelaki uzur itu bertolak pinggang.
"Kau pikir, untuk apa perempuan itu dibawa susah-susah?" tanyanya dengan mata mendelik.
"Itu karena dia pasti membutuhkan perempuan itu. Dia tak akan berani membunuhnya kalau perempuan itu sendiri amat penting baginya. Kau mengerti?"
"Penting untuk apa?"
"Mana aku tahu" Kenapa kau tak tanyakan saja pada Arya Sial itu"!" Lalu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul berkelebat lagi. Dan cepat lenyap di pekatnya malam yang mulai menapaki menit-menit tengah malam. Tinggal Satria Gendeng mengumpat-umpat sendiri.

* * *



Manusia Makam Keramat terus berlari bagai dikejar segerombolan hantu pemburu manusia. Waktunya makin sempit. Tengah malam, saat di mana bulan menggantung tepat di puncaknya hanya tinggal beberapa saat lagi. Satu kesempatan besar, akan ditentukan oleh kehebatan ilmu lari cepatnya.
Di kejauhan, secara diam-diam Dedengkot Sinting Kepala Gundul terus mengikutinya. Dalam hal lari cepat, tua bangka itu setara dengan orang yang dikun-titnya. Karena itu, kendati jaraknya cukup jauh, dia tak begitu kerepotan.
Sampai pengejarannya tiba di suatu tempat yang tanahnya agak membentuk bukit-bukit kecil. Karena keadaan tanah turun-naik, suatu ketika tubuh Manusia Makam Keramat tak tampak dari pengawasan mata Dongdongka. Manusia Makam Keramat telah melewati bukit kecil, sementara Dedengkot Sinting Kepala Gundul masih berada di seberangnya. Bukit itu yang menghalangi pandangan Dongdongka.
Kekhawatiran Dedengkot Sinting Kepala Gundul saat itu cuma satu. Dia khawatir akan kehilangan jejak setelah sosok Manusia Makam Keramat luput beberapa saat dari pandangannya.
Kekhawatirannya terbukti kemudian. Saat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tiba pula di seberang lain bukit kecil tadi, Manusia Makam Keramat sudah tak terlihat lagi.
"Biang kutu jelek!" maki Dedengkot Sinting Kepala Gundul mendesis-desis.
Kepalanya dijotos-jotos sendiri bertubi-tubi. Gelagat seperti itu pertanda dia mulai jengkel. Walaupun Dongdongka sudah berusaha mengerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya untuk meneliti wilayah sekitar, Manusia Makam Keramat tetap tak ditemukan. Meski hanya penampakan bokongnya. Sampai Dongdongka akhirnya menyerah. Dia melempar pantat geram-geram ke tanah. Kesal serasa mau mampus setengah sekarat pada diri sendiri.
Bayangan di kepalanya Satria akan mengomelinya habis-habisan. Tahu sendiri adat Satria. Biarpun gurunya, Dongdongka tak bisa menjamin dirinya akan selamat dari 'kegendengan' si murid yang bikin susah kalau sudah kambuh! Meringis-ringislah wajah keriput Dedengkot Sinting Kepala Gundul membayangkan 'semprotan' Satria. Lalu, ringisannya menghilang cepat ketika mendengar suara teriakan mengguruh di kejauhan.
"Nah, apa pula itu?" bisiknya seraya bergegas bangkit.
Secepatnya dia mengerahkan kembali ilmu lari cepat, mengejar arah suara teriakan tadi.
Di tempat yang dituju, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menemukan Manusia Makam Keramat! Syukur... syukur, bisik Dongdongka dalam hati. Cuma, ada satu yang kurang.
Perempuan yang digondolnya sudah tak ada lagi di bahu manusia terkutuk itu. Sementara, Manusia Makam Keramat sendiri sedang sibuk memaki-maki kasar. Entah siapa yang dimakinya.
Entah pula ke mana Rara Lanjar....

* * *



Sepekan terlewati sejak kejadian berdarah di Perguruan Belalang Putih. Palguna, salah seorang murid kepercayaan Ki Arga Pasa terlihat di dalam pendapa perguruan. Lelaki muda berperawakan kurus itu berjalan hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya. Wajahnya menampakkan kebimbangan kental. Selaku seorang murid kepercayaan, kematian gurunya, Ki Arga Pasa tentu saja membuat perasaannya demikian tak menentu. Tapi yang merisaukannya kali ini bukan hal itu. Ada sesuatu yang lain.
Lama Palguna hanya melakukan hal itu. Sebentar-sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya satu bagian lantai gubuk dengan mata nanar. Tangannya mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ragu. Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula memperhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya seraya bergegas mengambil cangkul kecil dari gantun-gan dinding. Membawa benda tadi, didekati bagian lantai tanah yang sejak tadi diperhatikan. Di bagian tersebut, Palguna mulai menghujamkan mata cangkul dengan wajah mengeras. Gambaran rasa tegang dan waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selang seperempat jam berikutnya, sudah tercipta lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki.
Di dasar lobang, didapat satu peti kayu berkerangka baja. Kayunya sudah tampak begitu tua. Di permukaan kayu, terdapat pahatan berukir. Kendati tua, namun tetap terlihat kokoh. Sedangkan kerangka bajanya sudah berkarat.
Peti tersebut diangkat Palguna dari dasar lobang. Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di tepinya. Untuk beberapa saat, si lelaki kurus berkumis tipis itu hanya memandangi peti. Keraguan mulai me-ruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam bersit sinar matanya.
Ketika ingat kematian menge-naskan Ki Arga Pasa dan beberapa saudara seperguruannya, wajah lelaki muda itu mengeras. Garisgarisnya menguat, menebarkan hawa kegeraman, lalu menyingkirkan keraguan dalam dirinya.
Perlahan-lahan bayang kejadian yang pernah dialami beberapa minggu lalu kembali terngiang dalam benaknya. Mendiang Ki Arga Pasa pernah menitipkan satu amanat padanya.
"Kutitipkan satu kitab padamu, Palguna. Kau adalah salah seorang murid yang sangat aku percaya.
Jika, aku tak ada umur, kuharap kau dapat mewakili ku untuk mengeluarkan kitab itu dari tempat persembunyiannya jika waktunya tiba," ucap Ki Arga Pasa, sekitar tiga tahun lalu.
"Kapan waktu yang kau maksud, Eyang Guru?" tanya Palguna.
"Ketika timbul kegegeran besar di bumi Pajajaran ini."
"Kegegeran?"
"Ya. Geger karena banyak perempuan hilang tak tentu rimbanya. Setelah itu, menyusul kegegeran lain. Datangnya seorang durjana yang membunuh tanpa perasaan."
"Bagaimana ciri-ciri orang itu, Eyang?"
"Menurut kitab tulisan Prabu Pajajaran yang berkuasa waktu itu, si manusia durjana akan datang dengan rambut, jenggot, dan kuku yang demikian panjang. Di dadanya, ada bekas luka kecil bekas tusukan senjata...." Palguna ketika itu terdiam sejenak, memakukan seluruh wasiat gurunya dalam-dalam di dalam benak.
"Lalu, bila semua itu telah terjadi, aku harus mengeluarkan kitab itu?" ucapnya, menyusulkan pertanyaan.
"Tepat. Itu pun kalau aku tak ada umur."
"Kalau Guru sendiri...," Palguna memutus sebentar ucapannya.
"Maafkan aku Guru, kalau Guru sendiri telah tiada, untuk apa lagi kitab itu dikeluarkan?" Dengan paras yang tetap memancarkan kewi-bawaan, Ki Arga Pasa menjawab pertanyaan sungkan muridnya.
"Karena dalam kitab itu, tertulis secara lengkap kisah tentang seorang manusia laknat yang akan bangkit kembali suatu hari nanti. Kitab itu pula yang akan menjelaskan tentang kelemahan manusia durjana itu. Yaitu tentang senjata pusaka milik sang Prabu Pajajaran yang telah menewaskannya untuk pertama kali." Wajah Palguna menampakkan sedikit ketidak-mengertian.
"Apa hubungannya orang itu dengan si pembuat kegegeran yang sebelumnya Eyang katakan?" Dengan senyum samar, Ki Arga Pasa menyahut, "Si pembuat kegegeran dan manusia laknat yang bangkit dari kematian adalah orang yang sama."
"Maksud Guru?"
"Kegegeran akan dibuatnya manakala dia berhasil bangkit." Palguna tersadar dari lamunan singkatnya. Seluruh wasiat gurunya telah terbukti sepekan lalu. Beberapa waktu sebelumnya, kegemparan tentang hilangnya para perempuan pun telah berlangsung.
Seolah, Ki Arga Pasa telah mempunyai firasat buruk sehingga dia meninggalkan wasiat beberapa minggu sebelum kematiannya.
Jika seluruh kejadian seperti diwasiatkan gurunya telah terjadi, berarti Palguna harus melaksanakan wasiat itu. Dia harus mengeluarkan kitab yang dimaksud dari tempatnya. Hanya yang jadi masalah, apa yang harus dilakukan dengan kitab itu setelah dia berhasil mengeluarkannya" Jika harus diberikan pada seseorang, pada siapa harus diserahkan" Masalah itu luput diungkapkan Ki Arga Pasa karena waktu itu ber-tandang seorang ketua perguruan sahabatnya.
Selain dia, ada seorang lagi yang pernah diwasiati tentang kitab tersebut oleh Ki Arga Pasa. Orang itu adalah Rara Lanjar.
Kini, Rara Lanjar tak ada. Menurut laporan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, anak gadis Ki Arga Pasa itu telah lolos dari tangan Manusia Makam Keramat.
Namun, kenapa dia masih belum kembali juga" Bukankah Rara Lanjar lebih berhak untuk melaksanakan wasiat Ki Arga Pasa ketimbang dirinya" Sejenak Palguna kembali dihadang keraguan.
Apa dia punya pilihan lain" Tak mungkin dia terus menunggu Rara Lanjar tanpa kepastian. Karena dia merasa punya tanggung jawab untuk melaksanakan pesan yang sempat disampaikan gurunya, murid kepercayaan itu pun membulatkan tekad.
Dengan rahang mengejang, tangan Palguna lambat-lambat mendekati peti di depannya. Tangan kurus itu agak bergetar, pertanda dia hendak melakukan sesuatu yang pasti amat berat untuk dikerjakan.
Tutup peti lalu dibukanya berkawal ketegangan, seakan ingin membunuh keraguan yang masih mencecarnya bertubi. Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal satu jari. Sampulnya terbuat dari kayu tipis berukir. Sedangkan lembar-lembar didalamnya terbuat daun lontar kering. Palguna terpaku sejenak menatapi gurat permukaan kitab tadi, lekuk demi lekuk. Tangannya makin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman pertama, ditemukan dua baris tulisan lain. Kutulis kitab ini sebagai peringatan bagi anakcucuku, yang kelak akan berhadapan langsung dengan Arya Sonta... si Manusia Makam Keramat! Sampai di situ, Palguna tak berani lagi membuka halaman selanjutnya. Sudah jelas dia bukanlah salah seorang keturunan Prabu Pajajaran yang telah me-nulis kitab tersebut. Tak ada hak baginya untuk membaca! Kalau begitu, siapa yang akan membacanya"


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

SEPULUH hari berlalu. Di kaki Gunung Burangrang, saat itu terlihat seorang wanita muda sedang berdiri mematung sendiri.
Tangannya disilangkan di dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping karena memiliki hidung yang mancung membentuk bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil merah matang, juga karena matanya berbulu lebat, dan lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak menyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang tergurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang menanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk ukuran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekokohannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dikepang berayun-ayun dipermainkan angin.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di mana matahari terus saja merambat turun. Sinar benda langit raksasa itu mulai pula meredup matang kemerahan. Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan.
Hanya karena ada satu hal penting yang mesti diurusnya, mau tak mau dia melakukannya juga.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan terlihat seseorang tergesa berjalan menuju dirinya. Se-sekali orang itu berlari-lari kecil.
Setibanya di dekat perempuan tadi, lelaki yang ternyata seorang pemuda tampan berambut panjang kemerahan sebatas bahu, mengenakan rompi bulu dari kulit hewan itu langsung meruntunkan pertanyaan.
"Astaga, ternyata kau benar selamat, Rara Lanjar! Aku hampir-hampir tak bisa mempercayai laporan guruku waktu itu" Bagaimana kau bisa lolos dari tangan manusia durjana itu" Siapa yang membantu menyelamatkanmu" Kau melihat wajah si penyelamatnya?" Perempuan itu memang Rara Lanjar. Masih menjadi teka-teki bagaimana dia bisa selamat. Tak heran, pemuda yang baru tiba begitu menggebu-gebu bertanya. Pemuda itu tentu saja Satria Gendeng. Seha-ri sebelumnya, dia menerima pesan dari seseorang penduduk desa bahwa seseorang menantinya di kaki Gunung Burangrang. Tak dinyana kalau orang itu ternyata Rara Lanjar.
Bukannya menjawab pertanyaan Satria sebelumnya, Rara Lanjar malah menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur Satria.
Menanggapi teguran barusan, Rara Lanjar mencibir.
Bahkan nyaris cemberut. Wajahnya keruh. Tampak sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggumu di sini" Setengah harian! Selama itu, aku digarang matahari. Apa kau tak bisa lebih cepat datang"! Aku menunggumu di sini bukan memintamu untuk men-gencani ku. Ini urusan genting!" Sambutan yang tak nyaman bagi si pemuda! Wajahnya jadi berubah kebodohan, tak tahu harus bilang apa. Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Kenapa"!"
"Aku kesal setengah mati!"
"Kesal...?" ulang Satria Gendeng dengan nada bertanya, tanpa perasaan bersalah pula. Wajahnya makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya Rara Lanjar malah berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan mimik wajah pemuda di depannya.
"Satria.... Satria...," katanya terseret tawa tertahan. Bibir mungil ranumnya didekap. Satria menjadi lega. Sebelumnya dia mengira bakalan kena dampratan habis-habisan karena sudah terlambat datang. Semua gara-gara ulah guru brengseknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Tua bangka itu meminta dia untuk mencarikan seekor rusa jantan untuk dipanggang. Penyakit lamanya kambuh, kepingin sedikit dimanja oleh muridnya. Seperti dulu ketika Satria masih berguru di Tanjung Karangbolong.
Brengsek sekali! (Baca serial Satria Gendeng dalam episode "Kail Naga Samudera"!).
"He he he!" Satria ikut tertawa.
"Diam!" bentak si perempuan.
"Aku tertawa bukan berarti kejengkelan ku padamu hilang." Lalu.... Duk! Satu tinju dari tangan mungil si wanita mencumbu hidung Satria Gendeng. Anak muda itu meringis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hidungnya yang berdenyutdenyut.
"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Satria Gendeng cuma bisa mengekori dari belakang kalau tidak ingin hidungnya didarati tinju lagi.
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian putih ke balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat semula.

* * *



Saat itu keduanya sudah berangkat menuju Perguruan Belalang Putih dengan menggunakan pedati yang sebelumnya telah dipersiapkan Rara Lanjar. Rencananya di sana mereka akan mengambil kitab.
Di tengah perjalanan, Satria Gendeng mulai lagi mengungkit-ungkit pertanyaannya yang belum terjawab.
"Kau belum menceritakan padaku, bagaimana kau bisa selamat dari tangan Manusia Makam Keramat, Lanjar?" tanyanya sambil menghentak kecil tali kendali pedati. Di sebelahnya, Rara Lanjar menatap ke depan.
Pandangannya seperti menerawang sebentar.
"Aku memang diselamatkan seseorang...," katanya di sela hempasan napas.
Satria menoleh. Wajahnya menampakkan penasaran yang makin membukit.
"Siapa orang itu?" susulnya.
Rara Lanjar menggeleng.
"Aku tak tahu," katanya.
"Cuma dia mengenakan topeng kayu Arjuna. Mengenakan blangkon Para- hiyangan dan berpakaian seperti seorang ningrat Pajajaran...."
"Orang aneh.... Siapa dia, ya?" gumam Satria Gendeng, merasa dilemparkan ke dalam teka-teki.
Lalu keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai suatu ketika sekelebatan bayangan teramat cepat mendadak melintas cepat di sisi kiri sepasang kuda penarik pedati. Kedua hewan itu meringkik-ringkik karena demikian terkejut. Dua kaki depan mereka terangkat tinggi-tinggi seakan hendak melemparkan tubuh penumpangnya dari atas pedati. Kedua muda-mudi itu terlonjak-lonjak di bang-ku pedati. Untuk beberapa hentakan punggung kuda, mereka nyaris terlempar. Rara Lanjar merangkul eraterat pinggang Satria. Untung saja kesigapan tangan Satria mencengkeram tali kendali tak kalah kuat dari hentakan punggung kuda.
Tak beberapa lama, Satria sudah berhasil mengendalikan kedua hewan itu. Meski begitu, kaki dua binatang itu masih saja bergerak-gerak gelisah. Kalau tak segera ditenangkan Satria Gendeng, tentu keduanya akan panik kembali.
"Kenapa dengan kuda-kuda ini?" aju Satria, tak mengerti pada apa yang sesungguhnya terjadi.
"Mungkin ada hewan kecil yang telah mengejutkan mereka," sahut Rara Lanjar. Nafasnya masih turun-naik tak teratur.
Dibenarkannya letak duduk, sedikit malu hati karena baru saja merangkul pinggang pemuda di sisinya terlalu erat.
"Hewan kecil" Hewan kecil apa" Aku tak mengerti. Aku sama sekali tak melihat ada hewan melintas.
Kalau pun ada, aku tak yakin dapat membuat kuda kita menjadi liar seperti itu," tukas Satria Gendeng.
Satria curiga ada seseorang yang hendak usil pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, dilepas pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Sepanjang jangkauan penglihatannya, hanya ada jajaran pepohonan dan gerombolan semak belukar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu menganggap perkataan Rara Lanjar tidak keliru. Mungkin ada hewan kecil yang mengejutkan kuda penarik pedati mereka. Sementara Satria sendiri mungkin tak begi-tu menyadari.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu kembali ke Perguruan Belalang Putih?" tanya Satria pada Rara Lanjar, setelah beberapa jauh berlalu.
"Ada laporan bahwa ayahku mewasiatkan satu kitab pada Palguna...."
"Siapa Palguna?" sela Satria, tak sabar menunggu sampai Rara Lanjar menyelesaikan ucapan.
"Murid kepercayaan Ayah...."
"Kitab apa yang diwasiatkan padanya?" serobot Satria lagi. Dan lagi-lagi dia memangkas ucapan Rara Lanjar. Dua kali diperlakukan begitu, Rara Lanjar jadi mangkel sendiri. Dipasangnya wajah 'perang'. Setelah itu dia diam tanpa peduli pada pertanyaan Satria.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, Lanjar," usik Satria. Anak muda itu sibuk menyentak-nyentak tali kekang. Tak disadarinya kalau perempuan di sebelahnya sedang merajuk.
"Kalau kau tak banyak tanya, semua keingintahuan mu bakal terjawab!" Satria sampai terlonjak. Rara Lanjar terlalu teriak membentak di depan telinganya.
"Kau ini apa-apaan?" sungut Satria, sambil meringis mengusap-usap telinganya.
"Kau mau mendengarkan aku atau tidak?" ancam Rara Lanjar.
Dengan tak kalah merajuk, Satria menggerutu.
"Terserah kau...." Rara Lanjar tersipu sembunyi-sembunyi menyaksikan wajah pendekar muda yang mulai punya nama besar di dunia persilatan itu. Tampangnya tampak jadi seperti orang keracunan jengkol kalau sedang merajuk.
Tapi, Rara Lanjar jadi ngeri juga kalau Satria terus memasang wajah seperti itu sepanjang perjalanan. Bisa seperti berpedati dengan Hanoman murka! "Kau mau aku melanjutkan penjelasanku, Satria?" rayu Rara Lanjar.
"Tak perlu!"
"Ya, sudah!" Keduanya terdiam dengan wajah terlipat. Akhirnya, jadi juga mereka seperti sepasang Hanoman murka! Entah siapa yang lebih mirip....


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

KI Manda Langit didatangi dua orang asing di perguruannya. Seorang perempuan setengah baya, dan seorang lelaki cebol. Yang perempuan, kendati sudah memasuki usia setengah baya masih memiliki pancar kecantikan pada wajahnya. Pesonanya mengundang hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar kuat go-daan birahi. Matanya berbulu lebat, merangsang serta berkesan nakal. Bibirnya merah ranum. Kulit putih halus tanpa cacat, terbungkus gaun sutera putih panjang yang memiliki belahan panjang pada bagian paha.
Sedang lelaki di sisinya bertampang seperti perempuan. Sebaliknya, matanya memancarkan ketelengasan. Seolah dia tak pernah memandang siapa pun jika saatnya harus membunuh. Tubuhnya cebol. Rambutnya keriting, dan kulitnya hitam. Di tali pinggangnya terselip sepasang senjata berupa cakar logam ber-mata tiga.
Wajah keduanya tak sebetik pun memperlihatkan sikap bersahabat ketika menegur Ki Manda Langit. Pemimpin Perguruan Kuda Terbang itu tak menyangka akan kedatangan tamu saat perguruannya sedang menghentikan kegiatan sepekan penuh untuk memperingati hari berkabung meninggalkan Ki Arga Pasa. Saat itu dia sendiri sedang berada di kamar pribadinya untuk menyepi ketika salah seorang murid melaporkan bahwa mereka kedatangan tamu tak di-undang. Kalau saja kedua tamu meminta izin terlebih dahulu pada murid yang berjaga di gerbang, mereka tak akan pernah diizinkan untuk masuk mengingat Ki Manda Langit tak ingin diusik. Namun karena mereka melompat pagar, membuat kekacauan dan memaksa untuk bertemu dengan Ki Manda Langit, mau tak mau seorang murid akhirnya melaporkan pada Ki Manda Langit.
"Kau yang bernama Manda Langit, pemimpin perguruan ini"!" sapa perempuan cantik bergaun putih ketika Ki Manda Langit sudah tiba di halaman depan perguruan. Ki Manda Langit mengangguk sekali. Biarpun sebenarnya dia tak suka pada cara si tamu wanita menegur.
"Ada keperluan apa sampai kalian datang ke perguruan kami?" tanyanya kemudian.
"Kami ingin meminta sedikit keterangan padamu, Manda Langit!" susul wanita cantik bergaun putih.
"Tidakkah kalian berpikir bahwa aku belum tentu sudi menyahuti pertanyaan orang yang masuk ke pekarangan orang lain tanpa tata krama?" sindir Ki Manda Langit.
Si perempuan tersenyum tanggung.
"Kurasa, kau tak membutuhkan permintaan maaf kami, bukan" Kami pun tak begitu sudi untuk memohon maaf kepadamu. Selain itu, aku tak akan terlalu rewel dan banyak tingkah jika seandainya kau mau memberi tahu kami tentang seorang sahabatmu yang kudengar tewas di tangan Manusia Makam Keramat." Ki Manda Langit terdiam demi nama Manusia Makam Keramat disebut-sebut.
Wajahnya membeku.
"Apa tujuan kalian menanyakan hal itu?" Ki Manda Langit balik bertanya.
"Itu urusan kami, Manda langit. Kau tak perlu mengetahuinya," sahut perempuan bergaun putih lagi.
"Kalau begitu caranya, aku pun tak akan bersedia menjawab pertanyaanmu. Kuharap kalian segera meninggalkan perguruan ini. Aku tak ingin ada kekerasan selama masa berkabung...," tandas Ki Manda Langit, seraya membalikkan badan untuk masuk kembali ke kamar pribadinya.
Si cebol menggeram. Tampak sekali dia benarbenar gusar pada sikap Ki Manda Langit. Dia hendak maju, memberi pelajaran pada Ki Manda Langit. Tapi, tangan perempuan cantik di sebelahnya cepat menahan.
"Tunggu, Manda Langit!" cegah si perempuan bergaun, menahan langkah Ketua Perguruan Kuda Langit itu. Ki Manda Langit membalikkan badan.
Seraya menebar senyum menggoda, perempuan bergaun melangkah dua tindak ke depan. Beberapa murid Perguruan Kuda Langit bergerak ke depan pula dengan sikap siaga. Mereka tentu tak ingin terjadi serangan mendadak terhadap guru mereka.
"Bukankah tak seharusnya kita bersikap tegang seperti ini" Kami cuma ingin menanyakan apakah sahabatmu yang tewas di tangan Manusia Makam Keramat menyebut-nyebut satu kitab?" ujar perempuan cantik tadi pada Ki Manda Langit. Wajah Ki Manda Langit langsung berubah.
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya. Wajahnya memperlihatkan gurat keingintahuan mendalam. Perempuan bergaun putih mulai melangkah hilir-mudik. Pinggul padatnya melenggang-lenggok genit.
Tanpa menghentikan langkah yang demikian gemulai di mata setiap lelaki, dia berkata, "Kami mendengar kabar bahwa Manusia Makam Keramat mendatangi Perguruan Belalang Putih dan membunuh ketuanya, Arga Pasa. Tak mungkin dia datang tanpa tujuan, bukan" Karena kau adalah salah seorang sahabat Arga Pasa, tentu kau tahu banyak tentang dirinya." Si perempuan cantik berhenti sebentar, sambil mengulum ujung jarinya.
"Mmm, oya! Kenapa kami bisa tahu" Itu pertanyaanmu, bukan" Perlu kau ketahui, Manda Langit.
Lelaki cebol yang bersamaku ini adalah Penjaga Gerbang Neraka...." Untuk kedua kalinya, wajah Ki Arga Pasa berubah kembali. Sekali ini menyiratkan keterkejutan yang tak bisa disembunyikannya.
Terlalu kalau Ki Manda Langit tak pernah mendengar julukan Penjaga Gerbang Neraka. Salah satu tokoh kesohor yang hampir-hampir sulit dimengerti.
Teramat jarang terlihat, namun nama besarnya tak pernah lekang oleh masa. Karena itu pula wajahnya jarang dikenal. Termasuk oleh Ki Manda Langit sendiri.
"Kau terkejut, bukan" Terkejut karena tokoh seangkatan Dedengkot Sinting Kepala Gundul ini akan turun kembali ke dunia persilatan?"" ujar si perempuan cantik.
"Nah," lanjutnya kemudian.
"Perlu kau ketahui pula, bahwa lelaki cebol berjuluk Penjaga Gerbang Neraka ini adalah salah seorang musuh lama Manusia Makam Keramat. Selama ini dia memburunya. Suatu kali, perburuan itu menjadi sia-sia karena Manusia Makam Keramat mati terbunuh oleh seorang Prabu Pajajaran. Kini, musuhnya itu telah bangkit. Kau tahu artinya" Artinya, dia punya kesempatan kedua untuk memburu Manusia Makam Keramat dan melunasi dendamnya...." Ki Manda Langit menimbang-nimbang sejenak.
Kepalanya mengangguk-angguk perlahan.
"Bagaimana aku percaya kalau lelaki itu adalah Penjaga Gerbang Neraka?" ajunya pada perempuan yang tak lain Dewi Melati, pendamping genit Penjaga Gerbang Neraka. Beberapa waktu lalu, perburuan mereka mengikuti jejak Manusia Makam Keramat mene- mui jalan buntu. Tak lama, tersebar kabar bahwa Manusia Makam Keramat telah membantai rombongan murid Kuda Langit yang bertugas mengantar kereta kencana. Keduanya pun lalu mengusut hal itu sampai mereka tiba di Perguruan Kuda Langit.
(Untuk mengetahui tentang mereka berdua, bacalah dua episode sebelumnya : "Memburu Manusia Makam Keramat" dan "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau perlu bukti" Baik," kata Dewi Melati. Didekatinya Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan bahasa isyarat tangan yang hanya dimengerti oleh mereka, keduanya berbicara beberapa saat. Lelaki cebol itu terlihat mengangguk kecil.
Lalu....
"Grrrhhh!" Dibuka erangan serak meledak, Penjaga Gerbang Neraka mendadak meloloskan sepasang senjatanya. Teramat cepat, hampir tak dapat diikuti pandangan tangannya bergerak. Senjatanya terlepas, berpusing liar di udara, membubungkan suara menderu.
Wukh wukh wukh! Di tengah jalan, dua logam maut milik Penjaga Gerbang Neraka berhenti meluncur, namun tetap berputar liar bagai sepasang cakra milik dewa.
Terlalu sulit untuk mengendalikan senjata yang sedang meluncur di udara. Apalagi menghentikan lajunya secara mendadak. Bagi sebagian besar kalangan, hal itu tergolong mustahil.
Tidak untuk Penjaga Gerbang Neraka! Kendati kejadian itu sudah luar biasa, masih ada pula keluarbiasaan yang lebih mencengangkan.
Sepasang senjata yang terus berpusing berdampingan itu mendadak menebar cahaya kuning samar. Cahaya mengembang membentuk pusaran. Pada saatnya, pendaran cahaya membersit ke satu arah.
Cdar! Sepuluh pohon besar dalam satu barisan lurus langsung bertumbangan, bagai rumput terpangkas sabit! Sebentuk tenaga dahsyat yang dieram di dalam sepasang senjata dari logam....
Kecuali Dewi Melati, semua yang menyaksikan kejadian itu menjadi terperangah. Ki Manda Langit pun tak luput.
"Ajian Cakra Kuning," bisiknya perlahan, me-nyebutkan satu ajian yang hanya dimiliki oleh Penjaga Gerbang Neraka. Dan itu sudah diketahui oleh sebagian besar kalangan persilatan.
Sekarang, sahabat baik mendiang Ki Arga Pasa percaya pada ucapan Dewi Melati.
"Karena tampaknya kau sudah percaya, sudikah kau menjawab pertanyaanku?" tukas Dewi Melati.
"Ya, mendiang sahabatku memang menyebutnyebut tentang satu kitab." Akhirnya, Ki Manda Langit masih bersedia memberikan jawaban.
"Bagus! Yang ingin ku tahu, apakah Arga Pasa pernah mengatakan di mana dia menyimpan kitab itu?"
"Apa yang kalian harapkan dari kitab itu sebenarnya?"
"Kau terlalu rewel, Manda Langit. Tapi, aku masih berbaik hati untuk menjelaskan. Menurut lelaki cebol ini, kitab itu berisi tentang riwayat Manusia Makam Keramat. Ditulis oleh Prabu Pajajaran yang telah membunuhnya untuk pertama kali. Dalam kitab itulah bisa ditemukan kunci kelemahan Manusia Makam Keramat. Selain dari itu, dia tak akan dapat dibunuh! Kalau kau menginginkan pembunuh sahabatmu itu dapat secepatnya dikembalikan ke neraka oleh si cebol ini, sebaiknya kau mengatakan di mana Arga Pasa meletakkan kitab itu...." Ki Manda Langit menggeleng perlahan.
"Sebenarnya, aku pun menginginkan Manusia Makam Keramat terkubur kembali di perut bumi. Tapi, sebelum kematiannya, Arga Pasa tak sempat menyebut-nyebut tempat penyimpanan kitab itu," katanya setengah mengeluh.
"Sial!" maki Dewi Melati.
Buntu. Pencarian mereka menemui jalan buntu kembali.
"Aku percaya kalian akan mengenyahkan Manusia Makam Keramat. Karena itu, kusarankan kalian sebaiknya menanyakan tentang hal itu pada muridmurid kepercayaan Arga Pasa. Mungkin saja salah seorang di antara mereka pernah dititipkan pesan. Asal kuminta, kalian tidak mempergunakan cara kekerasan sewaktu meminta keterangan.
Bibir Dewi Melati mengembang lebar. Matanya mengerling nakal.
"Kalau kau masih muda, akan kuhadiahkan ciuman hangat, Manda Langit," pujinya seraya menarik lengan Penjaga Gerbang Neraka keluar halaman perguruan.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

SATRIA dengan Rara Lanjar akhirnya tiba di tempat tujuan. Dari Gunung Burangrang ke Perguruan Belalang Putih memakan waktu dua hari dua malam.
Tiba di gerbang perguruan, mereka langsung disambut oleh tiga orang murid yang mendapat giliran tugas jaga. Mereka bergegas mendekat dengan wajah kalut. Besar kemungkinan, ada sesuatu telah terjadi.
Belum lagi pedati memasuki pintu gerbang, seorang murid langsung berseru, "Kitab itu telah hilang, Nona Lanjar!" Mata Rara Lanjar membeliak.
"Apa"!" Dia cepat melompat turun dari pedati.
"Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya meledak-ledak. Wajah terbakar. Sepantasnya dia lebih kalut dan gusar dari murid Perguruan Belalang Putih.
"Kakang Palguna yang mengetahui secara jelas kejadiannya!" susul murid yang lain.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rara Lanjar melangkah memasuki pintu gerbang. Langkahnya terbanting-banting keras.
Satria mengangkat bahu. Rasanya dia sudah diacuhkan.... Pendekar muda itu pun melompat turun dari pedati. Seorang murid perguruan yang masih berdiri di sana dimintanya untuk memasukkan pedati.
Dia sendiri menyusul Rara Lanjar.
"Di mana sekarang Kakang Palguna?" tanya Ra-ra Lanjar, selagi melangkah diiringi dua orang murid Perguruan Belalang Putih.
"Dia sedang dirawat oleh tabib perguruan, terluka dalam karena bertarung dengan orang yang melarikan kitab itu!" lapor murid di sebelah kiri.
Di belakang mereka, Satria mengekori seperti kacung. Keempatnya tiba di ruang perawatan Palguna.
Melihat putri Ki Arga Pasa tiba, dia memaksakan diri untuk bangkit. Rara Lanjar menahannya agar tetap berbaring. Setelah meminta tabib perguruan untuk keluar, Palguna mulai menerima pertanyaan demi pertanyaan gadis itu.
"Ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi, Kang?" tanya Rara Lanjar. Kendati telah berusaha menguasai kegusaran, tak urung nafasnya masih terdengar rusuh.
"Empat hari lalu, ketika kitab yang diwasiatkan Eyang baru saja ku keluarkan dari tempat persembu-nyiannya. Datang seorang bertopeng kayu Arjuna. Entah bagaimana caranya dia bisa lolos dari penjagaan para murid yang sedang bertugas. Tahu-tahu saja dia sudah berada di belakangku. Tanpa banyak cakap dia hendak merebut kitab itu dari tanganku." Palguna terbatuk-batuk kecil, menyebabkan ceritanya terpenggal sementara.
Rara Lanjar dan Satria saling bertatapan. Hati mereka sama-sama bertanya. Seorang bertopeng Arjuna" Bukankah dia pula orang yang telah menyelamatkan Rara Lanjar dari Manusia Makam Keramat" Benar-benar sulit dimengerti....
"Lalu?" desak Rara Lanjar.
"Aku berusaha mempertahankannya. Tapi kedigdayaan orang itu ternyata jauh di atasku. Hanya dalam satu dua gebrakan, aku sudah dapat dijatuhkan dengan mudah.... Maafkan aku, Nona Lanjar. Aku me-nyesal sekali tak dapat menjalani pesan Eyang dengan baik. Kalau kau hendak menghukumku, aku siap." Rara Lanjar hanya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.
"Bukan masalah berhasil atau tidak kau menjalankan kewajibanmu. Melainkan, apakah kau telah berbuat yang terbaik untuk menjalaninya. Kau telah melakukan yang terbaik, Kang. Jadi semuanya dapat dimaafkan," tandas Rara Lanjar, tegas dan arif.
Dalam hati, Satria mengacungkan jempol. Urusan memang jadi lebih lancar jika setiap pihak bisa dengan bijak menilai keadaan! Ah, belajar dari mana kau, Lanjar" Ketika menyaksikan seorang murid lewat di dekat pintu ruang perawatan, mendadak saja Satria teringat kejadian yang dialami sebelumnya ketika berpedati dengan Rara Lanjar.
"Kau ingat peristiwa di perjalanan itu, Lanjar?" ucap Satria, di telinga si dara.
Rara Lanjar menoleh. Dengan pandangannya, dia bertanya. Mungkin dia sudah melupakan peristiwa yang dianggap remeh itu.
"Ketika kuda-kuda kita menjadi liar dan hampir-hampir tak dapat dikendalikan...." Satria Gendeng mengingatkan.
Rara Lanjar mengangguk sekali. Dia baru mengerti maksud Satria. Alisnya yang legam agak terlipat.
"Apa kau berpikir bahwa orang bertopeng Arjuna itulah yang melintas mendahului kita, lalu ke sini untuk merebut kitab itu?" Satria menggeleng, ragu.
"Tapi aku kurang yakin. Kedatangan orang bertopeng ke perguruan ini untuk merebut kitab itu terjadi empat hari lalu.
Sedangkan kejadian yang kita alami baru berselang dua hari...," katanya seperti bergumam.
"Jadi maksudmu?"
"Aku tak tahu, Lanjar. Namun perasaanku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."

* * *



Satria Gendeng dan Rara Lanjar masih belum mengerti kenapa orang bertopeng kayu Arjuna merampas kitab pemberian mendiang Ki Arga Pasa. Satria sudah mulai meruntunkan gerutuannya. Dongkol bukan main hati anak muda itu mengetahui dirinya telah didahului seseorang.
Rasanya seperti baru saja dipermainkan.
Ketika itu keduanya berada di halaman Perguruan Belalang Putih.
Rara Lanjar bukannya tak dongkol. Lebih dari itu, sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana perasaannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak karuan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita itu pun turut tak karuan. Inginnya dia menjungkirbalikkan apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusarannya.
"Aku hampir tak percaya kalau orang bertopeng Arjuna itu merebut kitab rahasia milik ayahku, setelah sebelumnya dia menyelamatkan aku dari tangan Manusia Makam Keramat!" geramnya.
"Aku tak tahu apa maksudnya dengan semua itu...."
"Ssttt!" Kedongkolan Rara Lanjar dijegal desis mulut Satria Gendeng. Mata anak muda itu menatapnya tanpa berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati Rara Lanjar.
Perempuan yang semula sedang meruntunkan kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini mencoba menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya terlaksana, selantun suara siulan berirama amat tajam mendadak tercipta.
Menyeruak angkasa.
Menerjang gendang telinga.
Telinga kedua muda-mudi itu terasa direjam telak-telak. Gendang telinga mereka sudah terasa hendak terkoyak. Keduanya cepat mendekap telinga dengan kedua tangan.
Kasihan Rara Lanjar. Dia merasakan siksaan rasa sakit yang lebih parah dari Satria. Penyebabnya jelas karena tingkat tenaga dalamnya berada jauh di bawah tenaga dalam Satria Gendeng.
"Berhentiiii!" teriakan mengguntur keluar dari pita suara Satria, bagai hendak menggempur langit! Tak ada lain yang hendak diperbuat Satria Gendeng dengan teriakan yang disalurkan tenaga dalam tadi, kecuali melawan suara siulan berkekuatan tenaga dalam amat tinggi milik si orang usil. Dugaannya meleset sama sekali! Suara siulan ternyata tetap bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya tak sedikit pun berkurang.
Ini benar-benar mengejutkan Satria Gendeng, sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh. Satria sungguh mampus tak menerima perlakuan seperti itu.
Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-ubun. Dia mengkelap. Masih dengan tangan mendekap telinga, dikerahkannya tenaga dalam kesaluran napas di tenggorokan. Sekali ini, kemengkelapan si pendekar muda menyebabkan tenaga sakti dari dalam tubuhnya turut meledak. Jarang orang persilatan dapat menandingi kekuatan sakti Satria Gendeng pada tingkat demikian.
Saat bersamaan, si Rara Lanjar pun hendak melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah Satria membutuhkan bantuannya atau tidak, Rara Lanjar merasa harus melawan serangan suara lawan yang membuat gendang telinganya nyaris pecah.
"Heaaaaa!!!!" Berbarengan, dua teriakan terlepas dari dua kerongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke tingkat puncak.
Melawan kekuatan siulan.
Hasilnya ternyata tetap tak cukup untuk membuat siulan tadi tertebas di udara! Ini gila, pikir Satria.
Satu-satunya pertanyaan besar yang melintas di benaknya saat itu adalah siapa yang sebenarnya tengah kuhadapi kini" Sementara tubuh Satria mulai terhuyunghuyung, Rara Lanjar justru telah tersungkur di atas lututnya. Hanya berselang dua tarikan napas, gadis itu pun ambruk terlungkup.
"Rara Lanjar! Kau tak apa-apa"!" teriak pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul, mencoba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa ditangkap Rara lanjar.
Tak ada jawaban. Rara Lanjar tetap tergeletak tak bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadarkan diri.
"Kalau sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, akan ku rencah-rencah dagingmu!!!" umbar Satria Gendeng, sarat kemurkaan.
Siulan mendadak terhenti. Bukan karena kekuatan teriakan anak muda itu telah berhasil mempecundangi, melainkan si pemilik suara siulan rupanya memang sudah bosan dengan permainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pada dirinya?" Terdengar sebentuk suara yang sama sekali tak dikenali Satria. Dari warna suaranya, Satria menilai kalau orang yang sedang berurusan dengannya adalah seorang tua bangka.
Satria Gendeng menurunkan tangan dari telinga. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi.
Hanya suara jarak jauh.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya"!" hardik Satria, tak kurang kegeraman.
Jawabannya cuma tawa berat.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara tawa jelek mu itu!" Lagi-lagi terdengar tawa.
"Dasar anak muda! Rupanya kau selalu tak mau tahu sedang berurusan dengan siapa"!"
"Ya, siapa kau"! Bukankah itu yang memang ku tanyakan tadi padamuuuuu!!!" Satria Gendeng makin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nyaris putus karena begitu geram berteriak. Matanya melotot-lotot.
Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan. Wajahnya sudah lebih parah dari manusia pesakitan! Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak terduga-duga, bahkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Seorang lelaki tua telah berdiri hanya satu tindak di belakangnya! Sulit mengukur usianya. Yang pasti sudah lebih dari seratus tahun. Jenggotnya putih tergerai sampai dada. Rambutnya pun putih, digelung di atas kepa-la dengan ikatan dari kulit hewan. Wajahnya memancarkan kharisma yang kuat. Menatapnya seperti menyaksikan mentari di ambang pagi. Bersinar, namun sejuk. Tubuhnya dibalut kain putih seperti seorang paderi, memanjang hingga menutupi kaki.
Sampai beberapa lama, Satria tetap tak menyadari kehadirannya, seolah tarikan nafasnya pun tak terdengar.
Siapa pula kakek ini"

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

ADA tangan lembut menyentuh bahu si pendekar muda tanah Jawa. Satria terkesiap. Dia membalikkan badan. Ditemukannya seorang kakek tua penuh wibawa. Kakek itu tersenyum kecil.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Satria Gendeng.
"Kau tak perlu banyak tanya, Anak Muda. Sebaiknya, kau segera membawa gadis itu pergi dari perguruan ini...," ucap kakek tua berpakaian putih.
"Kenapa kau berkata begitu" Bukankah kau orang yang belum lama bermain-main dengan tenaga dalam itu, Orang Tua" Dan aku yakin pula, bahwa kau pula yang telah membuat kuda-kuda penarik pedati kami waktu itu menjadi tak tenang!" Satria tetap penasaran. Si kakek mengangguk.
"Tapi aku tak bermaksud main-main seperti katamu."
"Lalu?" serobot Satria. Masih ada sisa kegusarannya.
"Kulakukan karena aku harus membuat gadis itu tak sadarkan diri untuk sementara."
"Kenapa?" cecar Satria. Si kakek tersenyum.
"Aku punya alasan sendiri. Kuharap aku bisa menjelaskan lain waktu. Sekarang ini, yang penting kau segera pergi membawa gadis itu dari tempat ini...."
"Kenapa harus pergi?" Satria tetap rewel.
"Karena Arya Sonta akan segera sampai di tempat ini dalam beberapa lama lagi." Arya Sonta" Manusia Makam Keramat itu" Bisik murid Manusia Makam Keramat dalam hati. Dari cara kakek tua ini menyebut nama asli Manusia Makam Keramat, tampaknya dia cukup mengenal siapa Arya Sonta. Caranya menyebut nama Arya Sonta, mengingatkan Satria pada cara gurunya. Ada dugaan dalam diri Satria bahwa kakek ini pun mempunyai urusan lama dengan Manusia Makam Keramat.
Dan anehnya, Satria bisa mempercayai begitu saja ucapan si kakek. Rasanya telinganya hanya menangkap suara yang jernih dan tulus, tanpa getar dus-ta sedikit pun. Sebenarnya, ada hal aneh lain yang luput diperhatikan Satria. Seluruh murid Perguruan Belalang Putih tak ada satu pun yang keluar. Padahal sebelumnya terjadi pertarungan suara bertenaga dalam seru yang menggetar sampai keluar lingkungan perguruan! Satria Gendeng cepat menjemput Rara Lanjar yang masih tak sadarkan diri di halaman perguruan.
Diangkatnya, lalu dia bersiap meninggalkan tempat itu. Sebelum menggenjot tubuh, Satria masih sempat berkata, "Kau masih hutang penjelasan padaku, Orang Tua!" Kakek tadi hanya menyahuti dengan senyum.
Yang lagi-lagi penuh kekuatan wibawa.
Sepeninggalan Satria, seseorang tiba di muka Perguruan Belalang Putih. Tepat seperti ucapan si kakek berpakaian putih, orang itu adalah Arya Sonta! Dia kembali untuk mengulang kembali usahanya menculik Rara Lanjar setelah tempo hari gagal.
Menyaksikan seseorang telah menyambutnya di gerbang Perguruan Belalang Putih, Manusia Makam Keramat mendengus.
"Siapa kau"!" tanyanya, menghardik. Sejenak dia meneliti wajah orang tua yang berdiri hanya sebelas tombak dari tempatnya. Ada garis-garis di wajah itu yang mengingatkan Arya Sonta pada seseorang. Terutama matanya yang memancarkan kekuatan kharisma.
Dia merasa pernah mengenal mata itu. Kapan" Di mana" Dia berusaha mengingatnya, tapi tak berhasil.
Niat untuk secepatnya mendapatkan Rara Lanjar kembali, menghanguskan keinginannya untuk berusaha mengingat keras wajah si kakek.
Kembali dihujamkan pandangan ke arah kakek berjenggot putih. Sekali lagi, dilontarkan pertanyaan.
"Siapa kau, Tua Bangka"!" Tak ada sahutan dari si kakek. Dia hanya tersenyum dengan tangan terlipat di depan dada.
Merasa dilecehkan, Manusia Makam Keramat menjadi gusar. Tergulir geraman berat dari kerongkongannya. Matanya menerjang garang, seolah hendak mengunyah bulat-bulat si kakek.
"Aku bertanya padamu!" Kegusarannya meledak menjadi teriakan mengguntur.
Tanah gemetar, retak di beberapa tempat.
Pepohonan berderak, kulitnya mengelupas.
Dedaunan gugur, bagai runtuhan hujan.
Angin digebah, berbalik arah.
Kain putih di tubuh si kakek menggelepargelepar. Di beberapa tempat bahkan terkoyak. Cabikannya tersungkur bersama daun.
Tapi si kakek sendiri sama sekali tak bergeming. Berdiri dia, bagai arca tanpa terusik sedikit juga.
Bahkan masih bisa mengumbar senyumnya.
Kulit hidung Manusia Makam Keramat terlipat.
Matanya berkilat. Barisan gigi bertaringnya diperlihatkan. Dia memang terkesiap menyaksikan kenyataan itu. Namun, keangkuhannya tak memungkinkan dia memperlihatkan pada wajahnya.
"Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Manusia Renta"!" geramnya, mengancam.
"Aku tahu," Si kakek buka suara.
"Kau adalah manusia durjana yang memimpikan kekuasaan mutlak...," lanjutnya. Kata-katanya mengalir datar. Seolah momok menakutkan yang pernah menghantui dunia persilatan berpuluh tahun silam tak bisa menggetarkan nyalinya barang sekejap.
"Aku tidak hanya memimpikan kekuasaan dan keabadian ku. Aku akan mendapatkannya satu hari! Kau dengar"!"
"Apa kau sadar, terkadang manusia tak bisa membedakan hidup dengan kenyataan atau hidup dengan mimpi. Kau tergolong orang kedua. Kau cuma hidup dengan mimpi. Selamanya kau tak akan mendapatkan kekuasaan mutlak. Kau mungkin bisa menguasai bumi Pajajaran, atau seluruh tanah Jawa, atau seluruh dunia. Ketika kau memandang langit, barulah kau sadar kekuasaanmu cuma setitik debu tak berarti yang akan tergilas masa pada waktunya. Mutlakkah itu?"
"Jangan berkhotbah, Keparat!"
"Tak ada yang ingin peduli pada hikmah hidup kecuali hewan," sindir si kakek, tak mempedulikan me-luapnya kemarahan Manusia Makam Keramat. Kian digarang saja kemarahan Manusia Makam Keramat. Pada waktunya, dia menuding dengan segenap kenyalangan parasnya.
"Menyingkir, atau kau akan mampus!"
"Kau tak perlu bertindak kasar padaku. Tanpa kau paksa, aku pun akan menyingkir. Aku tak akan melayanimu bertarung, karena aku sudah meninggalkan jalan kekerasan. Tapi tetap ku ingatkan, kau tak akan mendapatkan gadis itu.
Dia sudah tak ada lagi di sini setelah aku memperingati. Kalau kau ingin menyalahkan aku, silakan. Kalau kau ingin mengumbar kemarahan padaku, silakan. Aku tak akan melawan...," tutur si kakek seraya melangkah perlahan dengan tenang ke arah Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sebenarnya agak bertanya-tanya bagaimana kakek tua asing itu tahu kalau kedatangannya hendak menculik Rara Lanjar. Kehera-nan itu tak terlalu menarik perhatiannya. Manusia durjana itu lebih terpancing ke arah ucapan si kakek yang mengatakan Rara Lanjar telah pergi karena pe-ringatannya. Manusia Makam Keramat tak perlu meragukan kebenaran ucapan itu, kalau si kakek sendiri sudah dapat mengetahui tujuannya datang. Hanya saja dia menjadi geram karenanya. Dia merasa dipermainkan mentah-mentah.
"Berkhotbahlah kau di neraka!" serunya, meng-gempar seraya melepas pukulan bertenaga dalam ke dada kakek berjenggot putih.
Tangan Manusia Makam Keramat melesat deras. Angin menderu di sekitarnya.
Sebelum tiba di dada kakek berjenggot putih, pukulannya tiba-tiba saja terpantul. Tangannya seakan baru saja menghantam dinding karet tak terlihat! Terperangahlah Manusia Makam Keramat.
Keangkuhannya, tak bisa lagi menyembunyikan kekaguman yang semestinya sejak tadi terlihat di wajahnya.
Dan dengan tenang, kakek berjenggot terus melangkah. Dia melintas begitu saja tepat di samping Manusia Makam Keramat.
Napas Arya Sonta mendengus. Keparat ini rupanya hendak menjajal kesaktianku, serapahnya dalam hati. Kau akan merasakan satu ajian pamungkas ku, ancamnya membatin dengan sekujur otot badan mengejang menahan amukan kemurkaan.
Manusia Makam Keramat berteriak, siap melancarkan ajian pamungkas. Tubuhnya berbalik cepat.
Wushh! Ketika kedua tangannya membuat gerakan menyibak udara, membersitlah cahaya merah membara, membentuk bola api raksasa. Hawa panasnya bergulung-gulung sampai jauh. Sayangnya, si kakek berjenggot telah raib entah ke mana. Padahal, hanya sekedipan mata sebelumnya dia masih di belakang Manusia Makam Keramat!

* * *



Malam itu langit tak menampakkan wajah ramah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada tanggal di bulan tersebut, semestinya cakrawala bertabur cahaya bulan bulat penuh. Sayang itu tak terwujud, karena bulan purnama bernasib sama dengan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa pada setiap musim penghujan. Arakan awan pekat, bekukan udara dingin, gelap yang meraja adalah hal biasa. Tapi, akan jadi tak biasa kalau nyatanya suasana seperti itu terbangun pada musim-musim panas seperti sekarang.
Ada yang tak beres dengan alam" Pertanyaan yang sesungguhnya amat pantas dipertanyakan siapa pun, oleh manusia dari mana pun, kecuali oleh seorang tua yang kini berdiri sendiri di satu pekuburan angker, Makam Keramat Maut.
Orang tua itu berambut amat panjang, tergerai sampai ke tanah. Begitupun jenggotnya. Seperti tidak ingin sedikit pun memperlihatkan wajahnya dibiarkan rambut depannya menjuntai liar.
Wajah orang itu seperti suasana malam. Dingin dan memeram kegelapan, pancaran kehitaman jiwanya. Kulit wajahnya pucat, seakan darahnya telah terperah sekian puluh tahun lalu. Bibirnya kerontang, pecah-pecah seperti dataran di bawah kakinya. Di kedua sudut bibirnya menyembul gigi taring kecil.
Sepasang matanya selalu melesatkan pandangan menikam.
Besar dan berwarna kehijauan di sekujur kelopaknya.
Penampilannya tak mencerminkan yang lain kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam kelam yang membalut bagian terlarangnya. Di pusat hamparan pekuburan kuno yang dikepung keangkeran dan ancaman maut, orang menyeramkan tadi memacakkan kaki. Dia diam mengarca.
Tangannya menjuntai tanpa kehendak. Angin membekukan mengusik rambut dan pakaiannya. Dia tak peduli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada suasana mencekam, atau bahkan dia seperti tak peduli pada dirinya sendiri.
Yang ingin dilakukannya saat itu cuma mendongakkan kepala kaku-kaku ke angkasa. Tepat ke gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang menyemburatkan cahaya tipis bulan. Tirus wajahnya sepintas menampakkan susunan tulang pipi yang menonjol bengis. Jika ada yang melihatnya, maka orang itu akan sulit menentukan, apakah dia manusia atau mayat hidup. Pada saatnya, gumpalan awan tambun tergebah angin. Purnama di atas sana sejenak punya kesempatan meneroboskan cahayanya. Lalu cahaya pucat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat; wajah si tadi. Mendapati siraman cahaya bulan, orang ini seperti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak menghirup rasa dari cahaya bulan. Setelah tertahan beberapa saat, barulah dia menghempas dadanya kembali. Seperti sebelumnya, dada itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cukup lama pada bulan untuk menyiramkan cahayanya ke bumi. Waktu pun merayap. Pada menit kesekian dari titik tengah malam, bulan bulat perlahan-lahan ditelan awan.
Tepat ketika bulan tertelan penuh oleh gumpalan hitam, tadi mendengus-dengus berkali-kali. Tubuh kurus merunduk dalam hingga bersujud mencium tanah. Perlahan-lahan, dia mulai merayap. Hidungnya terus mendengus dan mengendus seperti seekor anjing melacak jejak.
Setelah merayap dengan cara yang terlalu aneh, tubuh orang itu berhenti. Pada satu kuburan sederha-na yang tanahnya nyaris datar karena telah ratusan tahun terbengkalai.
Sejenak dia terdiam. Kemudian bangkit mendadak sekali. Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menjejak, dia sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya dia tak tersungkur. Sengaja dia menjatuhkan kedua lututnya. Selanjutnya, dengan tangan berkuku panjang yang melingkar-lingkar dia mulai menggali, mengais, mendongkel sarat kejalangan. Tingkahnya serupa dengan anjing malam yang hendak menggali penda-man seonggok tulang.
Caranya menggali tak lagi seperti manusia biasa. Tangannya mengais amat kuat, seakan ada tenaga puluhan makhluk-makhluk gaib yang merasuk dalam dirinya. Setiap kali tangannya mencakar tanah, maka bongkahan besar tanah terhambur keluar.
Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk liang besar. Lebar lingkarannya sekitar sembilan kaki dengan kedalaman tak kurang dari lima depa. Di dasar lobang, mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggila si tua berambut panjang terhenti sejenak. Diamatinya benda itu tanpa kedip di mata. Bagai seorang yang memendam kerindungan asing, diusap-usapnya tonjolan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di permukaannya. Dia bahkan menciumi benda itu dengan garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, dia sudah mulai mengais-ngais lagi, seperti mencoba mengeluarkan benda menonjol tadi.
Jika melihat bentuknya, orang masih sulit menduga benda apa gerangan. Ketika benda itu berhasil dikeluarkan, barulah tampak jelas wujud sesungguhnya. Satu nisan batu berbentuk segi empat. Tebalnya hampir dua jengkal.
Lebarnya lebih dari tubuh tua aneh itu sendiri! Kendati begitu, tak ada kesulitan saat si tua mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Ha ha ha ha...! Nisan keramat dari batu keramat, kau akan menjadikan ku penguasa jagat!" pekik si kurus menyaingi sentakan petir. Ya, dia telah mendapatkan sesuatu yang begitu meluapkan perasaannya. Kegempitaan di wajahnya pupus seketika manakala melintas sesuatu di benaknya. Tentang kegagalannya membawa seorang gadis beberapa waktu lalu.
Karena darah gadis itu, 'hanya darah gadis itu' yang akan membangkitkan kekuatan dahsyat Nisan Batu Mayit di tangannya. Di mana darahnya harus memandikan batu nisan tepat ketika bulan purnama menggantung di pucuknya.
Dua kali sudah usahanya untuk membawa perempuan itu ke Makam Keramat Maut lantak di tengah jalan. Usaha terakhir telah dikacaukan oleh seorang lelaki tua yang berhasil mendahuluinya mengingatkan Satria dan Rara Lanjar, sekaligus mengecohkan kesaktiannya di depan Perguruan Belalang Putih. Lain kali, dia tak sudi gagal lagi! Harus didapatnya perempuan itu! Perempuan yang dimaksud adalah.... Rara Lanjar! Dia sendiri, tak lain Manusia Makam Keramat. Arya Sonta menyeringai dingin.
"Aku harus mengatur siasat lain untuk mendapatkan perempuan yang masih bersama murid Truna Keparat itu!" desisnya, bertekad.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

DI salah satu sudut wilayah Kulon Jawa, seseorang tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal. Dia mengenakan caping lebar, berjubah hitam panjang menjangkau betis. Dengan kepala merunduk, akan sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan wajahnya. Tangannya bersidekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan arah orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda berlari menggila. Debu membubung pekat, mengekori setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara teriakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan. Bertumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap kaki kuda. Pada pakaian mereka, tersulam gambar kuda terbang. Dengan gambar itu, mereka mudah dikenali sebagai orang Perguruan Kuda Langit, muridmurid Ki Manda Langit.
"Hea! Hea! Heaaaa!!!!" Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang yang berdiri di tengah jalan. Semakin memperpendek pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin cepat kemungkinan orang di tengah jalan akan terinjak-injak. Namun tampaknya, dia tak pernah merasakan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga penunggang yang seluruhnya terpaksa menyentak tali kekang tunggangan masing-masing.
Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda kekar perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan tiga binatang itu terangkat tinggi ke atas, seraya melakukan gerakan menendangnendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan seperti itu" Tidakkah kau sadar kau hanya akan mencelakakan diri sendiri?" Salah satu penunggang berkumis tebal mencoba menegur. Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik pun tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat penting! Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sambung orang berkumis tebal, masih berusaha untuk bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebelum kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas penghadang. Suaranya terdengar samar. Seakan orang itu malas berbicara. Biar begitu, terdengar amat berte-kanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap.
"Apa yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang berkumis.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana Satria Gendeng berada?" Ketiga orang yang berada di atas punggung kuda tersenyum. Mereka hampir saja tertawa kalau tak segera menahannya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak kami ketahui keberadaannya. Kisanak pasti sedang bergurau kalau menganggap salah seorang di antara kami mengetahuinya...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku pada siapa aku bisa mencari keterangan tentang diri Bocah Busuk itu."

Mendengar nada bicara yang seperti memandang sebelah mata nama besar pendekar muda dari tanah Jawa itu, ketiga penunggang kuda saling menatap kembali. Siapa orang ini sebenarnya" Bisik hati masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa Kisanak pada Satria Gendeng?" Tanpa menjawab pertanyaan penghadang barusan, penunggang berusia paling muda justru balik bertanya.
Penghadang tak menjawab sepatah katapun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Caping lebarnya tetap ditundukkan. Sampai....
"Jangan banyak mulut, jawab saja pertanyaanku"!!!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerong-kongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk ukuran seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu, hardikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam melalui gelombang suara.
Tiga kuda jantan besar di sana meringkik ketakutan. Mereka seperti disentak oleh salakan guntur.
Dengan nyalang mereka menendang-nendangkan kaki depan tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak dilemparkan dari punggung.
Untung saja ketiga tadi memiliki cukup kemahiran dalam seni menunggang kuda. Ketiga penunggang kuda berjuang untuk menenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tangan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat ketiga hewan gagah itu tenang kembali. Sewaktu mereka melepas perhatian pada penghadang, orang itu ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka tak mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, mereka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara sejauh mata memandang, hanya ada hamparan ladang jagung kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka masih bisa menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan dedemit?" tanya berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan seperti orang kebanyakan minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tempat ini. Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat ini.... Lagi pula, kita harus segera ke padepokan Ki Damar Sakti." Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut kuda. Tali kekang dilecutkan, ketiga kuda siap berpacu di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari, debu bahkan belum sempat menebar jauh, sayupsayup terdengar suara dengung di belakang ketiganya.
Suara asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih dahulu seperti sebelumnya, mereka menoleh ke belakang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pemandangan yang membuat bulu tengkuk mereka menegang seketika. Mata mereka mendelik sebesarbesarnya. Otot di tubuh mereka serentak mengejang tegang. Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan sesosok tubuh bergerak cepat di kejauhan. Yang membuat mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena sosok itu mengapung dua tombak di atas tanah! Getaran pakaiannya menimbulkan desis tajam yang berbaur dengan dengung. Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan oleh terkaman sosok tadi. Seperti rajawali, orang sakti tak dikenal itu menyambar dua kepala penunggang kuda dengan cakar depannya.
Cras! Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala menggelinding. Tubuhnya seperti terserang keram. Dia akan bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja kuda tunggangannya tak segera lari sepenuh kekuatan, bagai dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas tunggangan dua temannya.
Nasibnya, memang masih bagus. Meski dia harus terkencing-kencing di celana.

* * *



Tiga orang terlibat perkelahian menggila. Dua di antaranya mengeroyok satu orang.
Salah satu pengeroyok adalah seorang tua bangka yang usianya mungkin sudah menjelang senja.
Kepalanya berambut jarang dan tipis. Warna rambutnya seperti jagung. Wajahnya bulat, ditimbuni lemak, mengimbangi badannya yang subur. Perutnya saja hampir sebesar gentong. Punuknya tebal. Lelaki gemuk ini mengenakan pakaian berwarna kuning-kuning mencolok. Pengeroyok lain seorang lelaki lebih muda.
Tampangnya berangasan. Matanya seperti tak pernah berhenti mendelik. Dagunya kasar. Sudut bibirnya selalu terungkit naik seakan menyeringai. Dengan pakaian serba hitam, lelaki ini makin terlihat sangar.
Sedangkan orang yang dikeroyok adalah salah seorang sahabat Ki Arga Pasa. Wajahnya banjir peluh, memperlihatkan raut tegar dalam usianya. Dia adalah Ki Damar Sakti. Tokoh berjuluk Tendangan Maut itu adalah lelaki setengah baya berebat kain dengan kumis tebal.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gerakan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cukup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemampuan yang diandalkan untuk bertahan dari serangan kedua lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan kedua kaki mautnya, Ki Damar Sakti berusaha mengimbangi serangan-serangan para pengeroyoknya. Sementara di pihak para pengeroyok, hanya orang tua gendut mempergunakan senjata berupa gada batu besar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tempat yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang yang dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri da-ri kepungan.
Tiba di tepi sebuah telaga, Ki Damar Sakti jatuh dalam keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak lebih leluasa dalam usaha melepaskan diri dari kepungan. Telaga terbentang di belakangnya. Sementara di depan, dua lawan setiap saat dapat menendangnya ke liang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana pun, Ki Damar Sakti!" cibir orang tua gendut, mencoba meruntuhkan semangat perlawanan Ki Damar Sakti.
"Ya. Dan hari ini kau akan segera mati, jika tak mengatakan pada kami di mana sepasang muda-mudi itu!" timpal orang berwajah bengis.
"Kenapa kalian begitu menginginkan mereka"!" tanya Ki Damar Sakti, serak. Dadanya kembangkempis tak beraturan. Wajahnya setiap kali membersitkan kelelahan. Tampaknya meski dia punya cukup kepandaian kanuragan tinggi untuk bertahan, tak urung dia kepayahan.
Orang tua gendut terkikik geli. Sehabis tertawa singkat, wajahnya berubah berangasan kembali.
"Kau tak perlu pusing-pusing memikirkan tujuan kami!" tukasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu yang busuk pada mereka, bukan"!" kecam Ki Damar Sakti.
"Itu sebabnya kau merasa harus tutup mulut"! Jangan bodoh! Jadilah orang pandai yang tahu kapan harus tutup mulut dan kapan harus buka mulut. Dengan begitu, kau akan selamat," sela lelaki berwajah bengis.
"Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dariku.
Kalaupun aku tahu di mana mereka, aku tetap tak akan memberi tahu kalian, Manusia-manusia Laknat!" maki Ki Damar Sakti gusar.
Si tua gendut terkikik meriah. Sulit menentukan apa yang dianggapnya lucu dari makian Ki Damar Sakti tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap menerjangkan sinar haus darah ke arah lawan.
"Itu artinya, kau meminta mati!" tandas lelaki bertampang bengis, mengancam.
"Kau tak bisa mengancamku!" Orang tua gendut mencibir. Gadanya ditumbuk-tumbukkan ke bumi. Lalu serunya, "Sekarang, berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu, sebab kami akan segera mengirimmu ke akhirat!" Akhir ucapan orang tua gendut menjadi pemicu pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertubuh boros itu memulai dengan satu lepasan gada menggeledek di atas selangkangan lawan.

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

UKH! Deb! Ki Damar Sakti tahu dirinya tak mungkin lagi menghindar ke mana pun, selain memapaki senjata lawan. Dengan agak nekat, disambutnya gada si Tua Gendut dengan kakinya.
Prak! Hantaman hebat mengenai ujung gada dari batu alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata orang tua gendut berserpihan menebari udara dalam pecahan-pecahan kecil. Tendangan ampuh Ki Damar Sakti penyebabnya! Orang tua gendut terkesiap. Semula dia memang tak memperkirakan hadangan tendangan lawan memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan tendangan lawan sanggup melantakkan senjatanya.
Padahal, batu yang dijadikan senjatanya termasuk ba-tu mulia yang memiliki kekerasan tak diragukan.
Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesiapannya tadi manakala kaki lawan lain menderu pula mengejar dirinya.
Wukh! Untung saja, tinju lelaki bengis memenggal niat Ki Damar Sakti. Dan pada kejap berikutnya, kaki lelaki bengis terayun pula.
"Haih!" Jarak yang terlalu dekat memaksa Ki Damar Sakti berjumpalitan ke depan, melewati kepala lelaki bengis. Sayang, di sana sudah menunggu lawan lain, orang tua gendut yang sebelumnya berhasil melompat ke belakang. Pijakan kaki Ki Damar Sakti di tanah disambut oleh sepakan setengah putaran kaki itu.
Zeb! Sekali lagi, Ki Damar Sakti pontang-panting menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya di-remukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu dekat ke arah si Tua Gendut. Belum lagi nafasnya lega, Lelaki Bengis mulai pula melepas gempuran. Tangannya membelah udara, memperdengarkan desing tipis di sisi buruannya, sementara tubuh Ki Damar Sakti sendiri masih berada di udara. Ki Damar Sakti benar-benar hendak dijadikan bulan-bulanan! Keadaan yang sudah amat terjepit membuat Ki Damar Sakti tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa lincah pun dia. Jalan satusatunya, dia harus memen-tahkan ancaman serangan tangan lawan tadi. Dengan posisi tanggung, untung-untungan disampoknya tusukan hebat tangan Lelaki Bengis.
Dag! Cuma satu harapan Ki Damar Sakti agar ujung jari maut itu urung menghantam iganya. Sayang, tena-ga yang mengaliri tangan lawan nyatanya jauh dari perkiraan. Sampokannya terpantul saat itu juga. Nyeri luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang kepalang menerjang bagian bahu kirinya. Tendangan susulan lelaki berwajah seram rupanya telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu melontarkan tubuh Ki Damar Sakti ke tengah-tengah telaga. Byur! Permukaan telaga menelannya bulat-bulat.
Air beriak. Gelombangnya mengembang sampai jauh, membentuk cincin-cincin bergerak. Perlahan-lahan, riak permukaan telaga menghilang. Tubuh tadi tak kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia"
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar menemui ajal, Bengis?" tanya si Tua Gendut.
"Aku yakin sekali," sahut berwajah seram yang dipanggil Bengis.
"Tendangan ku mengenai dada kirinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!" tambahnya yakin.
Setelah puas memastikan bahwa lawan tak muncul kembali di permukaan telaga, keduanya meninggalkan tempat itu dengan wajah dingin.
Mereka adalah pasangan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Begitukah" Apa yang telah terjadi pada diri mereka sehingga harus memusuhi Ki Damar Sakti yang jelas-jelas adalah tokoh golongan lurus" Pertanyaan itu akan terjawab jika kembali pada kejadian beberapa hari sebelumnya.
Beberapa hari ke belakang.
Ketika itu, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis sedang terpana menemukan bocahbocah Pasukan Kelelawar menjelma menjadi bocahbocah tak punya dosa di bawah sebuah pohon besar.
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Apa yang terjadi pada diri mereka?" tanya Gendut Tangan Tunggal terheran-heran.
"Aku sendiri tak habis mengerti," jawab Pendekar Muka Bengis dengan mata tak lepas dari sekumpulan bocah yang sebagian dari mereka lantas menangis menyaksikan wajahnya.
"Lihatlah, Bengis. Jika dulu mereka mampu membuat kita kalang-kabut, sekarang melihat wajahmu pun mereka sudah ketakutan," tukas Gendut Tangan Tunggal, nyaris tertawa geli dia melihatnya.
Pendekar Muka Bengis menyikut perut gentong Gendut Tangan Tunggal, mengingatkannya agar tidak bermain-main di saat yang membutuhkan pemikiran seperti itu. Pendekar Muka Bengis mencoba mendekati mereka. Baru satu tindak, beberapa anak makin menggerung-gerung. Bahkan ada yang sempat menjerit-jerit segala. Pendekar Muka Bengis meringis. Dia mundur teratur.
"Kau lagi! Sudah tahu wajahmu menakutkan mereka, kenapa mesti kau dekati lagi!" kecam kawan buncitnya. Hampir saja tawa gelinya hendak meledak lagi.
"Sekali saja kau tertawa, akan ku kuras isi pe-rutmu, Buncit!" ancam Pendekar Muka Bengis, dongkol.
"Baik, baik. Aku cuma ingin tahu, sebenarnya apa maumu mendekati mereka?"
"Pakai otakmu, Buncit. Setidaknya, mereka bisa kita tanya. Mungkin mereka ingat sesuatu saat mereka menjadi Pasukan Kelelawar!"
"Ooooo...." Mulut Gendut Tangan Tunggal membundar.
"Jangan cuma memajukan mulut, Buncit. Sebaiknya, kau saja yang menanyakan mereka!" hardik Pendekar Muka Bengis.
"Kau yakin mereka tak akan takut padaku?"
"Perutmu mungkin akan mereka anggap lucu, daripada dianggap seram!"
"Kutu busuk!" Sambil menggerutu, Gendut Tangan Tunggal hati-hati mendekati kesembilan bocah itu.
"Kenapa kalian menangis?" tanyanya kemudian ketika tiba di dekat para bocah.
Gendut Tangan Tunggal setengah berjongkok untuk bisa lebih dekat pada mereka 'setengah' berjongkok pun rasanya sudah begitu menyiksa untuknya mengingat perutnya seperti sudah hendak meledak keluar.
Sementara itu, Pendekar Muka Bengis jengkel sendiri. Kenapa kalian menangis" Gerutunya mengikuti ucapan Gendut Tangan Tunggal. Pertanyaan bodoh macam apa itu" Tentu saja mereka menangis karena ketakutan! Manusia kerbau satu ini apa tak bisa mengajukan pertanyaan yang lebih tepat" Pendekar Muka Bengis menggerutu terus dalam hati.
Terisak-isak, salah seorang bocah paling tua mulai berani berkata.
"Aku... aku takut..."
"Takut" Pada genderuwo di belakangku ini?" lanjut Gendut Tangan Tunggal sambil menunjuk persis di depan hidung Pendekar Muka Bengis.
"Sial kau, Buncit! Tanyakan pada mereka, kenapa mereka bisa sampai di sini!" bisik Pendekar Muka Bengis mendengus-dengus, tertahan-tahan.
"Oh, iya. Kenapa kalian bisa sampai di sini?" Bocah yang sebelumnya bicara sesenggukan lagi. Yang lain menimpali.
"Waktu itu aku sedang main di desa ku...," mulai si bocah kembali, dengan ucapan-ucapan cadel.
"Ya, terus" Terus?"
"Tiba-tiba ada dua orang jelek melarikan aku dengan pedati...."
"Orang jelek seperti dia?" sela Gendut Tangan Tunggal sambil menuding lagi Pendekar Muka Bengis.
"Diam kau, Buncit!" bisik Pendekar Muka Bengis, mendesis-desis kesal.
"Lalu kedua orang itu melakukan apa terhadapmu?"
"Mereka memaksa aku meminum sesuatu. Aku takut, jadi aku meminumnya. Selesai minum aku jadi mengantuk. Aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku sudah digantung terbalik di atas sebuah pohon...."
"Lalu"! Lalu"!" Gendut Tangan Tunggal menjadi seru sendiri. Dia sudah seperti biang bocah yang sedang mendengarkan dongeng dari kakek moyang-nya.
Apa tidak terbalik"
"Karena ikatannya tak begitu kencang, aku berhasil melepaskan diriku. Dua hari kemudian, aku seperti...," si bocah mulai menangis lagi. Tergambar ketakutan teramat sangat pada wajahnya, membuat dia tampak begitu pucat.
"Ssssst, tak apa-apa.... Tak apa-apa...," bujuk Gendut Tangan Tunggal sambil mengusap-usap kepala si bocah.
"Lanjutkan ceritamu." Si bocah melanjutkan. Katanya hari itu dia merasakan keanehan. Dia seperti dibawa masuk ke dalam alam lain yang sulit sekali untuk dijelaskan. Setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, dia sudah berada di bawah pohon yang ditemukan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis bersama bocah lain. Sewaktu semua bocah ditanya, mereka menceritakan kejadian serupa.
"Aneh...," nilai Pendekar Muka Bengis setelah mendengar seluruh penuturan si bocah.
"Siapa dua orang yang telah menculik mereka dari desa masing-masing, ya?" gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Aku rasa, mereka adalah orang suruhan Manusia Makam Keramat, sebelum manusia itu bangkit dari kematian. Mungkin saja arwahnya mengancam dua lelaki yang tampaknya hanya orang desa biasa yang percaya pada kekuatan-kekuatan alam lelembut.... Kedua orang itu tentu memaksa para bocah untuk meminum ramuan yang mengakibatkan mereka tunduk pada semua perintah Manusia Makam Keramat!"
"Tapi...," Gendut Tangan Tunggal menggarukgaruk kepala, lalu perutnya.
"Apa yang kau pikirkan, Buncit?" tanya Pendekar Muka Bengis, ingin tahu sesuatu yang mengusik pikiran kawan brengseknya.
Dengan wajah setengah terlipat, Gendut Tangan Tunggal bertanya, "Apa kau tak menyadari kejadian yang dialami para bocah ini persis seperti kita alami...?"
"Astaga...," Pendekar Muka Bengis terperangah.
Dia baru ingat pada kejadian waktu itu, di mana mere-ka pun mengalami kejadian serupa. Tiba-tiba bulu kuduk pasangan ganjil itu meremang hebat. Mereka tak mengerti, tapi mereka merasakan ketakutan menerobos langsung ke ceruk nyali.
Mereka bergidik. Teramat sangat.
"Jangan-jangan..." Sekali lagi Gendut Tangan Tunggal memotong kalimat.
"Jangan-jangan apa, Buncit"! Bicara yang benar, jangan membuat aku mati berdiri karena penasaran!"
"Jangan-jangan, kita pun dipaksa meminum sesuatu ramuan ketika kita tak sadarkan diri setelah bertarung dengan Pasukan Kelelawar...."
"Artinya," bisik Pendekar Muka Bengis, tersa-mar getar kengerian.
"Kita bisa saja menjelma menjadi budak manusia iblis itu...."


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

SEPENINGGALAN Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, telaga tempat Ki Damar Sakti terjatuh menjadi sunyi kembali. Bisu suasana. Hanya ada desis angin yang merambah sela-sela dedaunan pohon dan meluncuri permukaan telaga.
Sampai suatu saat, terdengar gericik halus air telaga dari salah satu tepinya. Satu kepala muncul.
Menyusul badan, sampai tampak jelas keseluruhan perawakan orang itu. Ki Damar Sakti belum mati. Dia keluar dari telaga dalam keadaan basah kuyup. Keadaan itu memang tak akan menjadi masalah. Persoalannya, di tubuh sahabat Ki Arga Pasa itu kini mende-kam luka dalam yang tak ringan. Jika tak cepat ditolong, besar kemungkinan nyawanya akan melayang.
Tersuruk-suruk, lelaki tua berjuluk si Tendangan Maut itu mengangkat diri dari telaga. Lemah geraknya. Hampir-hampir dia tak kuat melakukan. Sebelum benar-benar bisa mengangkat diri, beberapa kali dia terjatuh kembali.
Di tepi telaga berlumpur, Ki Damar Sakti merayap. Bermandi lumpur sudah pasti. Tak hanya badan, tapi juga wajah. Setiap kali dia hendak bangkit, saat itu juga tubuhnya terpuruk dan jatuh kembali ke tanah berlumpur coklat kehitaman.
Susah-payah, perjuangan antara hidup dan mati, Ki Damar Sakti sampai pula di bagian tanah yang kering. Tak ada lumpur, berarti tak licin. Sayang keadaan tubuhnya tak menjamin dia dapat dengan mudah untuk bangkit dan berjalan.
Setelah sempat jatuh bangun kesekian kali, Ki Damar Sakti bisa juga berjalan.
Terseok-seok dia.
Melangkah terus.
Berkutat mempertahankan nyawa.
Setiap hitungan langkah, dirasakannya bumi makin sulit dipijak. Semuanya mengambang. Pandangannya mengabur. Tapi tekadnya tak bisa mengalahkannya untuk tidak meneruskan langkah.
Tak jauh, dua pasang mata mengawasi. Dari tempat tersembunyi yang sulit untuk ditemukan Ki Damar Sakti. Kalau pun mereka tak sembunyi, Ki Damar Sakti pun tak akan terlalu memperhatikan keberadaan mereka. Salah seorang pengintai menyeringai.
"Sudah kukatakan, dia akan mengantar kita kepada muda-mudi yang kita cari...," desisnya. Orang itu adalah Pendekar Muka Bengis. Di sebelahnya siapa lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal. Mereka sengaja berpura-pura pergi meninggalkan tempat itu untuk memberikan kesempatan pada Ki Damar Sakti keluar dari telaga.
Kalau sebelumnya mereka berkata telah yakin akan kematian Ki Damar Sakti, itu pun cuma siasat.
Mereka ingin memastikan Ki Damar Sakti tak curiga ketika mereka menguntit diam-diam. Lagi pula, Gendut Tangan Tunggal tahu kekuatan hantamannya pada tubuh Ki Damar Sakti. Dia mengukur, hantamannya hanya akan mengakibatkan pendekar tua itu akan mengalami luka dalam parah. Tidak membuatnya mati. Dan kemungkinan mati karena tenggelam pun terlalu kecil, mengingat kedalaman telaga tak lebih dari leher manusia.
Tampak jelas, perangai, watak dan pikiran dua pendekar golongan lurus itu telah dijungkir-balikkan oleh Manusia Makam Keramat.
Benak mereka diputar menjadi licik, telengas, dan tak berbelas dan hanya bertujuan untuk mengabdi pada Manusia Makam Keramat. Kekuatan tenaga dalam mereka yang sebelumnya perlahan-lahan lenyap selama mereka belum terpengaruh oleh permainan Manusia Makam Keramat, kini justru menjadi berlipat ganda. Boleh dibilang, mereka telah menjelma menjadi boneka tangguh Manusia Makam Keramat! "Tentu 'majikan' kita akan senang jika kita telah mendapatkan sepasang muda-mudi itu!" timpal Gendut Tangan Tunggal, disebutnya Manusia Makam Keramat dengan sebutan majikan. Makin memperjelas siapa mereka sesungguhnya kini.
"Tentu... tentu...," sahut Pendekar Muka Bengis.

* * *



Ke mana Satria Gendeng dan Rara Lanjar pergi" Kedua muda-mudi itu tampak di sekitar Gunung Burangrang. Setelah mendapat peringatan dari kakek tua berpakaian putih, mereka memutuskan untuk kembali ke gunung itu. Di samping karena tempatnya cukup jauh dari Perguruan Belalang Putih yang setiap saat bisa disantroni kembali oleh Manusia Makam Keramat, juga Gunung Burangrang cukup aman untuk bersembunyi. Di samping itu, mereka cukup dekat dengan Perguruan Kaki Baja yang dipimpin Ki Damar Sakti. Sebelumnya, mereka sempat pula mengunjungi Ki Damar Sakti di perguruannya untuk menanyakan beberapa hal yang menyangkut kitab titipan Ki Arga Pasa. Sayangnya, Ki Damar Sakti tak tahu menahu soal itu. Termasuk tentang orang bertopeng Arjuna yang telah menjadi teka-teki bagi Satria dan Rara Lanjar.
Di kaki gunung tempat mereka bersembunyi kini, ada sebuah gubuk kecil yang terawat. Cocok sekali untuk tempat menyepi. Di gubuk itu keduanya tinggal untuk sementara. Gubuk itu terawat apik.
Lengkap dengan perabotan sederhana. Sepertinya tempat itu dirawat oleh seseorang.
Hingga hari itu, sudah terlewat empat hari tiga malam tepatnya. Memang tidur satu atap, tapi dijamin tak satu ranjang. Berani Satria mencoba-coba, Rara Lanjar bisa berubah lebih galak dari macan betina sakit gigi! "Bagaimana kau tahu di tempat ini ada gubuk yang bisa ditinggali, Lanjar?" tanya Satria.
"Itu yang belum kuceritakan kepadamu," ucap Rara Lanjar.
"Cerita apa?"
"Setelah dibebaskan dari tangan Manusia Makam Keramat, aku dibawa oleh orang bertopeng Arjuna ke tempat ini...."
"Begitukah?"
"Kau tak percaya padaku"!"
"Bukan begitu." Satria mendekati Rara Lanjar. Matanya menatap dengan tatapan berpikir.
"Apa kau tak bertanya-tanya dalam hati?" susulnya, setengah berbisik.
Rara Lanjar menunggu.
"Bukankah tempat ini dekat dengan Perguruan Kaki Baja?" kata Satria lagi.
"Lalu?"
"Masa' kau tak bisa menduga sesuatu?" lengak Satria dengan wajah hampir mendongak.
"Kau bertele-tele, Satria!"
"Bukan aku yang bertele-tele. Hanya otakmu yang mungkin...."
"Mungkin apa" Kau mau mengatakan aku agak tolol?" Mata Rara Lanjar membeliak. Satria cengengesan.
"Maksudku, apa kau tak merasa curiga kalau orang bertopeng itu sebenarnya Ki Damar Sakti?" sambung Satria kemudian.
"Untuk apa Ki Damar Sakti merebut kitab titipan ayahku, setelah menyelamatkanku" Bukankah kalau dia berniat menguasai kitab itu, aku dapat dianggap sebagai ancaman" Kenapa dia tak membiarkan aku dibantai oleh Manusia Makam Keramat?" Satria garuk-garuk kepala.
"Iya juga, ya...," gumamnya buntu.
Karena kalah berdebat, dia melangkah sambil memain-mainkan anak rambut, persis seperti perawan kampung malu-malu kucing.
"Kau tahu, sebenarnya aku tak suka kalau kita harus bersembunyi seperti cecurut tak punya nyali seperti ini," gerutu Satria pada sahabat wanitanya yang sebenarnya belum cukup lama dikenal. Namun karena Rara Lanjar tergolong perempuan penuh keyakinan diri, riang, lincah bersahabat, dia bisa cepat akrab dengan siapa saja. Termasuk Satria. Satria Gendeng berdiri pada sebuah batu besar.
Matanya melayap ke kejauhan. Di bawah sana, membentang pemandangan hijau yang tuntas. Sejuk. Damai. Alam punya kemewahan.
"Kau kira aku suka?" sergah Rara Lanjar, seraya melempar ranting kering. Dia duduk di atas serumpun rumput dengan berongkang kaki. Salah satu sifat perempuan satu ini memang agak kelelakilelakian. Namun tetap bisa dipercaya bahwa dia adalah wanita tulen.
"Maksudku, apa tidak ada yang bisa kita lakukan?"
"Melakukan apa?" Dari membelakangi Rara Lanjar, Satria Gendeng berbalik.
"Mencari tahu apa maunya Manusia Makam Keramat terhadapmu sebenarnya, misalnya!"
"Bagaimana caranya" Mendatangi sarangnya" Apa kau yakin dapat mengungguli kesaktiannya tanpa senjata yang bisa menewaskan lelaki terkutuk itu?" Satria menggedikkan bahu.
"Iya juga, ya...," keluhnya. Kalah lagi Satria berdebat. Rasanya menyebalkan juga buatnya. Apalagi ini menyangkut perempuan.
Satria jadi serba salah lagi. Ke sini salah. Ke sana juga salah. Berdiri salah, duduk salah. Mondar-mandir dia, sampai langkahnya dihentikan oleh suara mencurigakan yang datang dari semak-semak.
Krak! Suara ranting kering patah terinjak.
Rara Lanjar menoleh ke arah Satria. Pandangannya seolah bertanya apakah si pendekar muda tanah Jawa mendengar suara mencurigakan itu juga.
Satria balas menatap. Telunjuknya diacungkan di depan bibir, meminta Rara Lanjar untuk tetap diam di tempat. Bahkan tidak untuk mengeluarkan suara.
Keduanya menanti. Mereka tak ingin bertindak tergesa. Takut-takut kalau suara tadi dihasilkan oleh binatang liar semata.
Tapi tidak juga.
Hanya selang dua tarikan napas....
Krassk! Suara lebih keras terdengar. Menyusul tubuh seseorang menyeruak semak-semak.
Satria dan Rara Lanjar tercekat. Mereka memasang kuda-kuda. Serangan jelas tak datang. Karena orang yang menyeruak semak langsung jatuh tertelungkup.
"Ki Damar Sakti!" jerit Rara Lanjar, ketika menyaksikan wajah orang itu.
Keduanya segera memburu. Satria Gendeng membalikkan badan pendekar tua itu. Di atas pahanya, kepala Ki Damar Sakti disandarkan.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Orang Tua?" tanya Satria. Ki Damar Sakti melenguh berat.
Wajahnya pucat.
Nafasnya tak teratur, terpenggal-penggal. Lalu pingsanlah dia.
Satria menatap tak mengerti kepada Rara Lanjar.
"Apa yang kau tunggu lagi, Pendekar Tolol!" sembur Rara Lanjar.
"Cepat kau bawa dia ke gubuk! Kita harus segera menolongnya!!" tambahnya hampir memekik di depan telinga Satria Gendeng.
Satria sampai meringis-ringis. Salahnya juga masih sempat menatap Rara Lanjar. Cuma, ya jangan berteriak di depan telinga begitu kenapa" Gerutu Satria membatin sambil membopong tubuh Ki Damar Sakti ke gubuk.
Persis ketika tubuh mereka tertelan ke dalam gubuk, dua orang muncul. Tentu saja mereka adalah Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal.
Mereka telah tiba di tempat buruan! Keduanya saling menatap sejenak dengan bersit mata dua ekor serigala yang siap melahap mangsa.
Bibir mereka menyeringai, mengisyaratkan sesuatu yang hanya dimengerti keduanya. Gendut Tangan Tunggal. Keduanya pun melangkah menuju gubuk.
Yang jelas, mereka telah memiliki rencana untuk menjebak sepasang muda-mudi di dalam gubuk agar keduanya dapat dicengkeram oleh Manusia Makam Keramat! Sandiwara apa yang hendak mereka mainkan"
"Hoooi, ada orang di sana?"!" seru Gendut Tangan Tunggal berpura-pura, setelah tak begitu melangkah mendekati gubuk. Kebengisan yang terpancar di wajahnya disembunyikan demikian rapi.
Pintu gubuk terkuak. Rara Lanjar muncul. Dia tak mengenali kedua orang yang datang. Karenanya matanya memancarkan kecurigaan berlebihan.
Satria pun muncul. Dia sempat terbelalak menyaksikan kedua orang di luar. Sebentar kemudian, dia sudah keluar dengan teriakan keras.
"Rupanya kalian dua tua bangka tengik!!"

* * *



Sehari berlalu.
Ki Damar Sakti belum juga siuman. Satria sudah berusaha sebisanya menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya. Hasilnya memang cukup menggembirakan sejauh itu. Wajah Ki Damar Sakti sudah tak tampak pucat lagi. Tapi, luka dalam pendekar tua itu tak hanya cukup disembuhkan dengan menyalurkan hawa murni. Harus ada tabib yang mengobatinya, begitu menurut Satria. Pukulan yang menghajar Ki Damar Sakti tampaknya bukan sembarang pukulan.
Satria sudah salah menduga. Dengan menyalurkan hawa murni, sebenarnya sudah cukup untuk membuat Ki Damar Sakti siuman. Namun, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis yang berpura-pura turut membantu menyalurkan hawa murni, diam-diam menyalurkan tenaga perusak ke dalam tubuh Ki Damar Sakti. Bisa saja mereka membunuh langsung dengan cara itu. Namun, mereka tak melakukan. Mereka tak ingin Satria curiga. Maka dipilihnya jalan kedua. Ki Damar Sakti akan dibunuh dengan ca-ra perlahan-lahan.
"Tampaknya, di antara kita harus ada yang menjemput tabib di desa terdekat," usul Satria.
"Aku yang akan melakukannya!" tukas Rara Lanjar. Gadis itu rupanya terlalu khawatir pada keadaan sahabat mendiang ayahnya. Sampai dia lupa kalau dirinya sedang diincar oleh seseorang di luar sana.
"Tidak," putus Satria.
"Manusia Makam Keramat saat ini sedang mengincar-incar mu. Akan sangat berbahaya jika kau meninggalkan tempat ini."
"Aku tak peduli!" kilah Rara Lanjar, bersikeras.
"Biar aku saja!" aju Pendekar Muka Bengis, menyela.
"Kalau kau; aku setuju!" tandas Satria Gendeng.
"Sebaiknya kau segera pergi, Bengis," ucap Gendut Tangan Tunggal. Di bola matanya, terbetik isyarat. Pendekar Muka Bengis mengangguk sekali. Dia melangkah keluar gubuk. Tak ada niat sedikit pun dalam benaknya untuk mencarikan Ki Damar Sakti seorang tabib. Dia mengajukan diri hanya agar mendapat alasan untuk melapor pada Manusia Makam Keramat! Kelicikan tersembunyi yang begitu mudah lahir semenjak mereka berada dalam pengaruh Manusia Makam Keramat. Sepeninggalan Pendekar Muka Bengis, Satria keluar gubuk. Dia perlu sedikit hawa segar setelah lelah menguras tenaga saat menyalurkan hawa murni ke tubuh Ki Damar Sakti.
Rara Lanjar diam di tempat. Duduk di bangku kayu di sebelah pembaringan Ki Damar Sakti. Kekhawatirannya menyebabkan dia tak sampai hati untuk meninggalkan Ki Damar Sakti begitu saja. Padahal, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Di luar, Satria Gendeng mengayun langkah perlahan meninggalkan gubuk agak jauh. Dia ingin lebih menikmati hawa kaki Pegunungan Burangrang yang bersahabat. Apalagi kebetulan saat itu sedang pagi ha-ri.
Ada kabut lembut di pucuk Burangrang.
Ada hawa sejuk.
Ada kicau burung.
Ada sehimpun kedamaian.
Andai saja perangai manusia sedamai suasana pagi seperti itu. Mungkin tak perlu lagi ada pertumpahan darah. Mungkin tak diperlukan lagi bala tentara, mungkin tak diperlukan lagi senjata. Mungkin....
Satria mendesah. Berkali-kali dia memadatkan paru-paru dengan hawa sejuk. Saat pandangannya melata, matanya tertumbuk pada sebatang pohon besar. Alangkah tenangnya bila berleha-leha sejenak di bawah pohon besar rindang, pikir Satria. Didekatinya pohon berukuran tiga kali pelukan manusia itu.
Di bawahnya, pada akar pohon yang menjorok naik, dia merebahkan diri. Matanya menerawang ke atas. Daun pohon teramat rimbun. Cahaya matahari pagi tak sanggup menembusnya.
Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada satu dahan pohon besar di atas. Ada yang agak ganjil dari batang pohon itu. Seperti ada lobang yang sengaja ditutupi oleh oyot-oyot pepohonan. Satria jadi tertarik.
Pendekar muda itu bangkit. Hanya dengan sekali lompatan ringan, dia tiba di dahan pohon yang dicurigai. Apakah ini hanya lobang pohon biasa" Hatinya bertanya-tanya, ketika telah lebih dekat mengamati.
Atau ini semacam lobang tempat hewan melata bersarang" Tapi kalau melihat keadaannya, Satria yakin ada orang yang dengan sengaja membuatnya. Bisa terlihat dari bentuknya yang tak alami. Lagi pula, kera-tannya seperti hasil keratan senjata tajam.
Karena penasaran, Satria memasukkan tangan ke dalam lobang. Cukup dalam. Sampai sikunya masuk. Sesuatu tersentuh tangannya. Apa ini" Tanyanya bergumam. Seperti batang logam.... Hati-hati, Satria mengeluarkan benda yang didapatnya. Begitu benda itu keluar dari mulut lobang, Satria dipaksa terperanjat.
Bagaimana tidak terperanjat kalau yang ditemukannya ternyata senjatanya sendiri yang beberapa waktu lalu menghilang tak tentu rimba"
"Kail Naga Samudera?" bisik Satria.
"Bagaimana bisa sampai tersembunyi di tempat ini?"" Ragu-ragu Satria mengamati lagi. Dia mungkin masih belum percaya. Ada kemungkinan benda itu palsu. Atau sebuah tombak pendek yang kebetulan berbentuk serupa dengan Kail Naga Samudera. Ketika batang logam ditarik, bentuknya pun memanjang, terbagi atas beberapa ruas. Di ruang paling ujung, terdapat tali dari ekor pari berwarna pelangi.
Tak salah lagi, itu memang Kail Naga Samudera! Di hati si pemuda bergerombol berbagai perasaan yang campur aduk. Senang, terkejut, bingung, juga penasaran. Benar-benar sulit dimengerti bagaimana senjata pusakanya bisa sampai di sana. Benarbenar sulit dimengerti.
Setiap teka-teki, selalu ada jawaban, pikir Satria. Sekarang pun, dia bisa memulai usaha untuk mencari jawaban. Ditatapnya lagi lobang pada dahan pohon besar.
"Apalagi yang kau sembunyikan selain Kail Naga Samudera-ku?" gumamnya.
Kedua kali, tangannya merogoh dalam-dalam.
Dua kali pula, tangannya menyentuh sesuatu. Sekarang dia merasakan sesuatu yang agak lebar. Bahannya seperti dari kayu.
Satria mengeluarkannya.
"Topeng Arjuna...?" bisiknya dengan nada bertanya. Setelah kail Naga Samudera, topeng kayu Arju-na, lalu apa lagi" Makin penasaran saja Satria Gendeng. Sekali lagi tangannya merogoh lobang. Ada satu benda tersisa. Benda terakhir itu pun dikeluarkannya.
Dan, yang disaksikannya kini tak kalah mengejutkan.
Dia menemukan sebuah kitab berkulit kayu.
"Aku yakin, ini adalah kitab yang dititipkan Ki Arga Pasa pada murid kepercayaannya...," duga Satria, kendati dia belum pernah menyaksikan sendiri kitab itu. Pertanyaan sekarang, siapa orang yang telah mengumpulkan semua benda itu di dalam lobang" Jawabannya, sudah pasti si orang bertopeng yang menyembunyikan alat penyamarannya di dalam lobang.
Bukankah orang bertopeng yang telah merebut kitab titipan Ki Arga Pasa dari tangan Palguna" Dan bukan tak mungkin, dia pula yang telah memindahkan tubuh Satria ketika pendekar muda itu dalam keadaan pingsan (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Memburu Manusia Makam Keramat!"), lalu mengambil Kail Naga Samudera.
"Siapa dia?"?" desis Satria.

* * *



Nah ini baru seru banget, dah! Ayo, siapa si orang bertopeng" Serunya juga, dua tokoh sakti telah menjadi 'boneka mainan' Manusia Makam Keramat! Bisa dibayangkan" Kalau belum bisa membayangkan, sebaiknya baca terus lanjutannya....
Sementara itu, (tahu sendiri!) Satria Gendeng tak akan menyadari kalau dua sahabat tengiknya telah menjelma menjadi budakbudak manusia durjana. Bagaimana Satria Gendeng bisa menghadapinya nanti" Ini pasti muslihat yang dijanjikan Manusia Makam Keramat. Apa lagi rencananya setelah itu" Jangan luput dari ketegangan berikutnya....

SELESAI

Segera menyusullll Serial Satria Gendeng dalam episode:
RENCANA MANUSIA TERKUTUK


INDEX SATRIA GENDENG
Bangkitnya Dewa Petaka --oo0oo-- Rencana Manusia Terkutuk
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.