Life is journey not a destinantion ...

Pewaris Keris Kiai Kuning

INDEX SATRIA GENDENG
Rencana Manusia Terkutuk --oo0oo-Penghuni Kuil Neraka

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

HARI menggelinding. Pagi berganti siang. Siang berganti senja. Senja digantikan malam. Malam mengembalikan pagi kembali. Berputar sepanjang waktu.
Senja itu, entah senja ke berapa dalam berputarnya sang waktu, seseorang lelaki berjalan tergopoh-gopoh ke arah sebuah desa.
Lelaki berperut sebesar gentong itu membopong seseorang di bahunya. Memasuki sebuah desa, lelaki buncit tadi menghentikan langkah. Kepalanya menoleh kian kemari. Mencaricari. Yang disaksikan cuma rumah-rumah kampung, berdiri berjauhan seolah bermusuhan satu dengan yang lain. Baik desa atau rumah-rumah gubuknya semua dalam keadaan kotor. Laba-laba bersarang di mana-mana. Serangga dan binatang melata berkeliaran di beberapa sudut. Desa tampaknya sudah terbengkalai terlalu lama. Setahun mungkin lebih. Entah dua tahun, tiga, atau bertahun-tahun. Penghuninya sudah minggat semua. Bisa jadi di sana pernah terjangkit penyakit menular yang membuat semua penghuninya terpaksa hijrah ke tempat lain. Suasana lengang, laksana tanah pekuburan. Melihat keadaannya, setiap pendatang dengan cepat dapat menilai kalau de-sa itu adalah desa mati.
Angin mendengus-dengus, menerbangkan debu dan mempelantingkan ranting-ranting kering. Gulungan ranting kering sebesar kepala 'buto ijo' melanggar kaki orang tadi tanpa permisi. Terdengar dengusan sebal di antara dengus angin.
"Sambar geledek! Di mana manusia satu itu 'bersarang' Setiap rumah dan gubuk tak berbeda satu dengan yang lain. Semuanya centang-perenang tak karuan. Di rumah yang mana aku dapat menemukan si jelek itu?" gerutu orang itu, tersamar angin. Sambil meneruskan langkah, orang itu menggerutu lagi, "Aku sungsang-sumbel membopong si Bengis hendak mencari tabib, bukan mencari kecoa!" Sebentar, diusapnya peluh yang membanjir di sekujur keningnya. Bukan cuma kening, leher, punuk, bahkan hingga perut pun tak luput. Bisa disebut, lelaki tua berbadan subur makmur itu sudah mandi keringat yang baunya menyengat seperti lumbung bawang berjalan. Sekali lagi langkah dihentikan, dan dia pun berteriak-teriak.
"Tabib kolot bau pesing, di mana kau menyembunyikan diri"!" Sudah tiba dia, rupanya, di batas kesabaran.
Sampai mencari ke setiap rumah dan gubuk pun sudah tak mau dilakukan. Cara apa lagi yang lebih gampang mencari seseorang kecuali dengan berteriak memanggil-manggil orang yang dicari" Bagi orang yang telah kehabisan persediaan kesabaran, cara itu memang pilihan terbaik.
Gulungan ranting kering yang bergulingan digiring angin melanggar kaki lelaki tua tadi sekali lagi, membuatnya dongkol.
Terlebih karena ranting itu tersangkut pula di antara kedua kakinya.
"Ranting kering sialan, aku tak membutuhkanmu!" Ditendangnya ranting kering tadi gemas-gemas.
"Hey, Hantu Kera, aku punya keperluan denganmu! Jangan kau samakan aku dengan kambing congek seperti ini!" Saking dongkol setengah mampus pada orang yang disebut Hantu Kera, lelaki tua berbadan subur tadi membanting orang yang dibopongnya sejak tadi.
Gedebuk! Suara keras bak nangka jatuh dari pohon seperti itu tentu saja menggambarkan betapa telak orang yang dibanting menimpa bumi. Tak heran kalau terdengar keluhan lemah dari orang tadi.
Lelaki tua berbadan boros berperut buncit menampar kening sendiri. Matanya membeliak menatap orang yang baru dibantingnya.
"Aduuuuh, Bengis. Sumpah mampus aku tak bermaksud memperlakukanmu seperti itu. Kau kan tahu sendiri, aku sebenarnya malah berniat baik. Aku hendak mengobati luka parahmu, tapi tabib sialan itu tak muncul-muncul juga. Aku jadi jengkel, bukan" Kalau kau jadi aku, tentu kau akan jengkel juga. Iya tidak?" cerocos si gendut tak sempat menarik napas.
Orang yang diajak bicara tak bisa berbuat apaapa. Tertelungkup (setengah nungging) saja dia seperti seonggok kotoran keledai......
Tubuhnya terlalu lemah untuk 'membayar' perlakuan sewenang-wenang si gendut.
Menyumpah-nyumpah pun sudah terlalu susah. Kalau tidak, sudah dimuntahkan bogem seribu kali ke ubunubun si gendut.
"Biar... biar, sini kuangkat lagi tubuhmu," ujar si gendut seraya terburu mengangkat tubuh orang yang dipanggil 'Bengis' olehnya dari tanah. Lagaknya seperti seorang bapak teladan yang membangunkan anaknya ketika terjatuh.
"Hantu Kera, sambar geledek sekali kau! Sudah jangan main-main lagi! Aku sedang tak berselera main-main. Sekarang kau keluar saja dari tempat persembunyianmu!" lanjut si gendut, setelah membopong kembali tubuh orang tadi.
Tak lama, angin menderu lebih keras. Kian lama kian keras. Lebih keras, dan keras. Atap dari daun kelapa kering terdongkel dari tempatnya, lalu beter-bangan. Debu berbondong-bondong serabutan mengudara. Pakaian si gendut yang sebenarnya sudah mengetat erat di tubuh kelebihan lemaknya, masih sempat berkibar karenanya.
Rambutnya yang kekuningan pun diacak-acak. Giliran angin mendapat sumpahserapahnya. Pasalnya, matanya jadi kelilipan debu sebesar pentil korek (itu pun kalau masih bisa disebut sebagai debu!).
"Angin sialan, sialan, sialan!" Kekesalan itu malah mengulang kesialan untuk orang yang dibopongnya. Sekali lagi dia dibanting si gendut telak-telak ke tanah. Gedebuk! Sekali lagi si gendut pun memohon-mohon maaf. Tak sengaja katanya kali ini.
"Khak khak khak!" Seseorang menertawai kejadian itu dengan suara yang terdengar agak aneh, terdengar seperti pekikan seekor burung jalak. Di telinga si gendut yang sedang diberondong rasa sebal, suara tawa itu terdengar tak lebih dari raungan kentut sembilan puluh sembilan penyamun mulas.
"Akhirnya kau muncul juga, Tabib Jelek," makinya, menyambut seseorang yang baru saja muncul di jalan setapak yang mengkerangkai desa mati di kejauhan sana.
Orang yang muncul bertubuh tak terbilang tinggi, juga tak terbilang pendek. Umurnya tak terpaut jauh dengan lelaki gendut. Tak keliru jika sebelumnya si gendut menyebut-nyebutnya dengan nama Hantu Kera. Wajah orang itu memang tak lebih ganteng dari seekor kera. Bedanya, kalau kera memiliki bulu di sekitar wajahnya, sedangkan orang ini tidak. Mengenakan pakaian yang menempel rapat dari kulit macan jawa, dia berdiri seraya melambaikan tangan.
"Apa kabarmu, Gendut Tangan Tunggal"!" serunya dari kejauhan.
"Kabar... kabar, tai kucinglah!" rutuk si gendut yang dipanggil Gendut Tangan Tunggal oleh Hantu Ke-ra. Memang, dia adalah Gendut Tangan Tunggal, tokoh aliran putih yang belum lama dipengaruhi ramuan rahasia Manusia Makam Keramat. Belum lama kesadarannya dipulihkan kembali oleh Ki Danujaya, seorang tua yang berguru langsung kepada sang Prabu Pajajaran. Terakhir kali, orang tua doyan makan ini terlihat bersama Satria Gendeng. Ketika itu, mereka didatangi oleh Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi Melati.
Penjaga Gerbang Neraka ingin membunuh si pendekar muda setelah termakan siasat Manusia Makam Keramat. Satria berusaha menjelaskan duduk perkaranya melalui Dewi Melati, orang satu-satunya yang bisa ber-cakap-cakap dengan Penjaga Gerbang Neraka dengan bahasa isyarat. Sebelum Dewi Melati sempat menerangkan duduk perkara sebenarnya, seseorang tibatiba datang membokong. Dewi Melati terhajar, kendati Penjaga Gerbang Neraka sudah berusaha untuk menyelamatkannya. Nyawa perempuan genit itu tak dapat diselamatkan. Timbul pertanyaan, siapa orang yang menyerang Dewi Melati" Penyerangnya tak lain tak bukan, Pendekar Muka Bengis. Dia menjalankan perintah dari Manusia Makam Keramat untuk menyingkirkan Dewi Melati yang dianggap dapat mengacaukan siasat liciknya. Saat terjadi pembokongan, Pendekar Muka Bengis tak luput terkena hajaran kaki Penjaga Gerbang Neraka. Tubuhnya terlempar jauh. Hantaman seorang tokoh jajaran atas macam manusia cebol sakti itu, tentu tak bisa dianggap mainmain. Andai tak mati pun sudah amat beruntung. Luka dalam parah diderita oleh Pendekar Muka Bengis yang masih di bawah pengaruh Manusia Makam Keramat. Dia tergolek sekitar tiga puluh tombak dari tempat Penjaga Gerbang Neraka meraung-raungi kematian 'istri angkatnya'.
Tanpa sepengetahuan siapa-siapa, Gendut Tangan Tunggal membawa lari Pendekar Muka Bengis.
Dia tahu akibat apa yang akan diterima oleh kawan seperjuangannya yang berubah sesat itu, jika si manusia cebol murka atas kematian perempuan kesayangannya. Alasannya, Gendut Tangan Tunggal tahu bahwa tindakan telengas yang dilakukan Pendekar Muka Bengis bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan akibat pengaruh jahat ramuan Manusia Makam Keramat, seperti pernah dibicarakan Satria Gendeng padanya. Itu sebabnya, Satria tak menemukan Gendut Tangan Tunggal lagi di sekitar tempat tersebut (Semua kejadian tersebut dapat dibaca dalam kisah sebelumnya : "Rencana Manusia Terkutuk"!) Selama melarikan Pendekar Muka Bengis, Gendut Tangan Tunggal berusaha untuk menyembuhkan luka dalamnya. Usahanya sama sekali tak membawa hasil. Luka dalam akibat tendangan menggeledek Penjaga Gerbang Neraka yang bersarang di dadanya terla-lu sulit untuk ditaklukkan.
Penyaluran hawa murni tak membawa pengaruh apa-apa, kendati Gendut Tangan Tunggal telah begitu ngotot menyalurkannya. Dan kalaupun dia menjadi kurus kering karenanya, tetap tak akan menjamin luka dalam kawannya akan membaik. Putus asa campur sebal, campur 'keki' (campur keroncongan di perutnya), akhirnya Gendut Tangan Tunggal memutuskan untuk membawa kawannya itu ke seorang tabib yang pernah dikenalnya. Tabib itu adalah Hantu Kera yang kini ditemuinya.
"Ada apa kau datang ke tempatku" Kebanyakan orang justru menghindari Kampung Bangkai. Kau tahu sebabnya" Karena di sekitar kampung ini berkeliaran kuman-kuman penyakit menular yang masih sulit diketahui obatnya. Kenapa kau malah nekat datang" Mau terkena penyakit itu" Penyakit yang bisa membuat kulitmu 'borokan' sampai ke 'anu'-mu?"
"Jangan bicara mesum, Hantu Kera!"
"Maksudku, sampai ke 'ubun-ubun'-mu. Otakmu saja yang dekil!"
"Ah, kau pikir aku peduli dengan segala penyakit macam itu. Kau pikir aku juga akan ciut mendengar ceritamu itu. Kalau bocah ingusan kau takuttakuti seperti itu, mungkin bisa. Aku, hmm... tunggu dulu...."
"Khak khak khak! Kau memang bukan anak kecil, Gendut. Kau lebih pantas disebut sebagai jabang bayi Buto Cakil!"
"Jaga mulutmu, Hantu Kera! Aku bisa merobeknya dari tempatku berdiri!"
"Khak khak khak! Sudahlah, katakan saja apa tujuanmu datang ke tempatku?" Gendut Tangan Tunggal menunjuk Pendekar Muka Bengis yang masih tergolek di tanah.
"Jadi kau ke sini untuk meminta aku menolong kawanmu yang jelek itu?" tukas Hantu Kera.
"Kau sudah tahu, kenapa harus bertanya"!"
"Apa yang terjadi padanya?"
"Terkena tendangan manusia sial itu."
"Siapa maksudmu?"
"Penjaga Gerbang Neraka." Kepala Hantu Kera agak tersentak. Keningnya berlipat. Matanya menyempit.
"Kau bilang Penjaga Gerbang Neraka?"
"Memangnya kau dengar apa" Penjaga jamban nenek moyangmu?"
"Gawat...."
"Aku tahu keadaan kawanku ini. Dia memang sedang dalam keadaan gawat, kau tak perlu memberi tahu aku lagi. Yang penting sekarang kau cepat mengobatinya!" Kepala Hantu Kera menggeleng-geleng.
"Kenapa menggeleng" Kau tak mau membantuku" Sambar geledek sekali kau! Bukannya aku mau membangkit. Tapi kau mesti ingat, kau masih punya hutang padaku. Ingat kejadian tiga tahun lalu?"
"Ya ya, tentu saja aku ingat, Gendut. Tapi, bukan itu maksudku!"
"Habis apa"!"
"Aku tak yakin apakah kawanmu itu dapat kutolong atau tidak.... Penjaga Gerbang Neraka memiliki satu ajian ampuh yang tak dapat aku sembuhkan bila sudah bersarang di tubuh seseorang."
"Bah, tabib macam apa kau ini"!"
"Aku tabib kesohor setelah Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tapi terus terang, aku tak bisa menolongnya jika kawanmu benar-benar terkena ajian itu." Gendut Tangan Tunggal mencibir. Diangkatnya tubuh Pendekar Muka Bengis.
"Kalau begitu, aku akan mencari Tabib Sakti Pulau Dedemit saja."
"Dia pun tak mungkin bisa!"
"Kau jangan menghina beliau, Hantu Kera!"
"Aku berkata apa adanya. Tabib Sakti Pulau Dedemit pun tak akan bisa menyembuhkan kawanmu jika dia benar terkena ajian itu."
"Ah, kau memang tolol. Sejak tadi kau mengatakan 'jika benar kawanku ini terkena ajian itu'. Nyatanya kan, kau belum tahu pasti dia terkena ajian yang kau maksud atau bukan?" Mendadak Hantu Kera tergelak.
"Benar juga," akunya.
"Kalau begitu, bawalah dulu dia ke gubukku. Biar aku periksa luka dalamnya dulu!" Masih dengan sisa kedongkolan, Gendut Tangan Tunggal melangkah, mengikuti Hantu Kera ke sebuah gubuk paling buruk di antara gubuk dan rumah yang memang sudah buruk. Manusia ini pura-pura bodoh atau benar-benar bodoh" Orang lain malah mencari tempat yang paling nyaman untuk ditempati.
Kalau sanggup membangun istana di surga, mereka akan membangunnya. Sementara dia malah menempati gubuk jelek yang lebih bau dari kandang kerbau.
Sudah tempatnya dikepung penyakit menular lagi. Ah, tabiat manusia memang banyak yang aneh....


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

BAGAIMANA awal pertemuan Gendut Tangan Tunggal dengan Hantu Kera" Alkisah, Gendut Tangan Tunggal pernah satu kali berurusan dengannya beberapa waktu lalu. Tepatnya, tiga tahun tujuh bulan lima hari sebelum kedatangannya kali ini. Kala itu dia sedang berjalan menuju kotapraja.
Persediaan makanan dalam kantong besar di punggungnya sudah semakin menipis (biarpun untuk orang kebanyakan masih cukup untuk persediaan makan selama dua minggu!).
Karena itu, dia harus mencari (atau lebih tepat mengumpulkan) berbagai macam makanan dan mengisi kembali kantong makanannya sampai penuh sesak.
Tak peduli beratnya sampai setengah anak kerbau sekalipun. Belum sampai di batas kotapraja, kakinya tersandung sesuatu di jalan. Gendut Tangan Tunggal memeriksa benda itu. Mulutnya mengutuk-ngutuk.
Kalau sedang kehabisan persediaan makanan, mulutnya memang jadi amat rajin mengutuk. Sedikit-sedikit mengutuk. Ada lalat melanggarnya saja dia bisa mengutuk setengah harian.
Menyaksikan benda yang mengganjal langkahnya, orang tua doyan makan itu menjadi tertarik. Sebuah keranjang kecil dari anyaman kulit rotan. Barangkali makanan, pikirnya.
Diambilnya keranjang kecil itu. Ketika dibuka, isinya ternyata semacam buah-buah kecil seperti ceremai. Warnanya abu-abu. Diraupnya buah itu digenggam, dan diperhatikan.
"Buah apa ini?" bisiknya, bertanya pada diri sendiri. Dasar manusia bernafsu makan besar. kendati belum tahu jelas buah yang ditemukannya, Gendut Tangan Tunggal menjadi berliur menatapinya.
"Tampaknya sudah ranum," katanya lagi dengan lidah bersilap-silap. Lalu, tanpa pikir ini-itu lagi, langsung saja dimasukkannya segenggam buah itu ke dalam mulut. Dengan mulut penuh sesak, Gendut Tangan Tunggal mengunyah. Dua-tiga kali mengunyah, mendadak wajahnya mengeras. Matanya mendelik. Hidungnya kuncup-mekar. Kunyahannya terputus. Air mukanya pun berubah-ubah. Sebentar memerah, sebentar membiru.
"Khoeeekh!" Dia pun muntah di tempat. Isi perutnya seperti diaduk-aduk dan hendak keluar seluruhnya. Sulit menggambarkan rasa yang baru dicicipi si manusia rakus satu itu. Yang jelas, kepalanya langsung berkunang-kunang.
"Buah sambar geledek!!" makinya kalap. Dibantingnya keranjang tadi geram-geram.
"Hey, kau rupanya yang mencurinya"!" seru seseorang yang sudah tiba pula di tempat itu. Gendut Tangan Tunggal mencari-cari orang yang baru saja menuduhnya pencuri dengan bola mata masih berputar-putar tak karuan. Pengaruh buah yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling dan pandangannya berkunang-kunang menyebabkan dia jadi keliru melihat. Disaksikannya seekor kera besar sedang berdiri tepat lima langkah dari tempatnya. Anehnya, kera itu sedang memelototinya. Sudah begitu, pakai bertolak pinggang segala. Yang lebih aneh lagi, Gendut Tangan Tunggal barusan mendengar seruannya. Monyet ajaib dari mana ini" tanyanya dalam hati.
Kenyataan sebenarnya, si kera dalam pandangan Gendut Tangan Tunggal adalah Hantu Kera. Wajahnya memang mirip kera, karenanya dia mendapat julukan Hantu Kera. Tapi, keterlaluan sekali kalau ada orang yang menganggapnya benar-benar kera tulen.
"Kau yang baru saja bicara tadi. Nyet?" ceracau Gendut Tangan Tunggal. Matanya terjuling-juling. Sari buah yang dikunyahnya rupanya telah membuat dia setengah mabuk. Begitu cepat dan kuatnya pengaruh sari buah itu.
"Kutu busuk gemuk, kau bilang apa"!"
"Ah, rupanya benar! Kau memang monyet yang bisa bicara!!!" seru si orang tua gendut. Badan boros-nya pun mulai pula sempoyongan ke sana kemari Merasa baru saja dihina, Hantu Kera jadi kalap.
Diterjangnya Gendut Tangan Tunggal dengan satu lecutan punggung tangan.
Wukh! Dalam keadaan setengah mabuk, gerakan Gendut Tangan Tunggal tentu saja jadi tak terarah. Mestinya, dengan begitu lawan dapat lebih mudah menyarangkan serangan. Anehnya, Gendut Tangan Tunggal justru dapat berkelit amat mudah. Cara berkelit si manusia berbadan boros itu pun amat santai seolah memandang sebelah mata serangan lawan. Padahal serangan Hantu Kera termasuk amat cepat tak terduga, dan kalau menilik geraknya, Hantu Kera bisa disejajarkan dengan tokoh yang berada beberapa tingkat di atas Gendut Tangan Tunggal.
Makin merasa dihina saja Hantu Kera. Disusulkannya lagi serangan.
Wukh wukh wukh! Dengan santai dan tubuh tetap terhuyung kian kemari, lagi-lagi Gendut Tangan Tunggal berhasil menghindari gempuran beruntun Hantu Kera.
Hantu Kera makin kalap. Serangannya kian menghujani lawan. Sejauh itu, tak satu pun sempat mampir di tubuh Gendut Tangan Tunggal. Sedangkan Gendut Tangan Tunggal sendiri sama sekali tak melepas serangan balasan. Dia malah sibuk terkikik geli.
Terkadang cengar-cengir dengan mata terjuling-juling.
Dalam hati, Hantu Kera jadi terperangahperangah sendiri. Betapa gerakan lawan demikian gesit dan tangkas kendati terlihat seperti tak memiliki keseimbangan dan kuda-kuda yang kokoh.
Hantu Kera baru menutup kucuran serangannya setelah Gendut Tangan Tunggal tahu-tahu ambruk sendiri. Tubuhnya yang 'bengkak' berdebam menimpa bumi. Dia telentang. Tangannya terbuka lebar, kakinya terbuka lebar, bahkan sampai mata dan mulutnya pun terbuka lebar. Air liur pun mengalir dari sudut mulutnya. Tapi air muka orang tua itu seolah bahagia sekali.
Hantu Kera jadi mengernyitkan kening. Tangannya mengusap-usap dagu. Dia masih belum juga mengerti kenapa lawannya mendadak semaput dengan kebahagiaan di wajah" Sementara tak ada satu hantaman pun mendaratinya.
Kebingungan itu mulai menemui titik terang ketika matanya tertumbuk pada serakan buah aneh di tanah. Sebagian sudah hancur terkunyah. Bukan kunyahan binatang (binatang saja belum tentu berniat memakannya). Mudah diduga, kalau si manusia kelebihan berat badan itu mencoba memakannya.
Hantu Kera sendiri belum tahu jelas buah kecil yang ditemukan tanpa sengaja di pedalaman hutan ketika hendak mencari bahan-bahan untuk ramuan obat-obatan. Ketika hendak pulang, tanpa disadari keranjang obat-obatannya terjatuh.
"Pasti karena buah ini..." duganya, setelah menghampiri serakan buah. Dia berjongkok meneliti.
Diendusinya bau buah itu. Kemudian, diusapnya getah sebutir buah ke tangan dan dijilatnya dengan ujung lidah. Cepat Hantu Kera meludah.
"Rasanya aneh. Sedikit getah saja membuat pandanganku jadi berkunang-kunang. Anehnya, otototot dan sendiku jadi demikian enteng," gumam Hantu Kera lagi.
Sekarang, dia sudah yakin apa yang sesungguhnya terjadi pada si manusia lemak yang masih asyik dengan pingsannya itu.
"Aku harus menyelidiki buah ini," tandasnya kemudian. Untuk itu, diputuskan untuk membawa Gendut Tangan Tunggal ke gubuknya. Mungkin dia bisa disebut 'kelinci percobaan' yang tak disengaja. Atau 'kerbau percobaan'" Karena Gendut Tangan Tunggal yang telah terkena pengaruh langsung getah buah aneh itu, Hantu Kera bisa memulai penelitian darinya.
Setelah mengumpulkan kembali buah yang berserakan, Hantu Kera pun membopong tubuh Gendut Tangan Tunggal tanpa kesulitan. Selang setahun sekian bulan kemudian, Hantu Kera berhasil menciptakan jurus baru yang disebut 'Tarian Kera' dengan memanfaatkan getah buah itu.
Kalau kemudian Gendut Tangan Tunggal menyebut-nyebut soal utang Hantu Kera pada dirinya, itu karena si perut gentong merasa karena dirinyalah, Hantu Kera bisa menciptakan jurus baru yang ampuh.
Meski sebenarnya semua itu disebabkan oleh kerakusannya!

* * *



Satria Gendeng masih ternganga. Berkedip pun tidak. Tampangnya sudah setolol salah seorang punakawan di pewayangan. Malah kesannya lebih tolol lagi.
Dia bukan saja tak menyangka pada apa yang dilihatnya, tapi juga tak bisa percaya.
"Tidak bisa," katanya seperti berkilah.
"Semestinya kau Rara Lanjar!" (Pada episode sebelumnya, Satria ditemui seorang yang selama ini menjadi teka-teki karena selalu mengenakan topeng kayu Arjuna. Ketika itu Satria memaksa orang tersebut untuk melepaskan topengnya. Satria sudah yakin bahwa wajah di balik topeng adalah wajah Rara Lanjar.) Dugaan Satria Gendeng meleset. Dia kecele.
Di depannya berdiri seseorang. Dan orang itu tertawa ringan, renyah. Seorang pemuda gagah berkumis tipis, yang ketampanannya tak kalah dengan Satria sendiri. Usianya terpaut lebih tua tiga-empat tahun dari si pendekar muda, murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tangan kanannya memegang sebuah topeng kayu Arjuna yang baru saja dilepaskan dari wajahnya.
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku bukan orang yang kau sebutkan tadi?" tukasnya seraya tersenyum.
Satria Gendeng menggaruk-garuk jidat berkalikali. Dia masih juga berharap wajah yang dilihatnya adalah wajah seorang perempuan muda yang dikenalnya, Rara Lanjar. Heran juga. Padahal sudah jelas biji matanya menyaksikan seorang pemuda tampan berkumis tipis. Apa ada perempuan berkumis" Lagi pula, wajahnya memang bukan wajah Rara Lanjar.
Kendati ada sedikit kemiripan.
Kemiripan" Satria bertanya dalam hati.
"Jadi, siapa kau sebenarnya" Apa kau masih memiliki hubungan dengan Rara Lanjar?" terka Satria, menilai sedikit kemiripan wajah orang itu dengan gadis yang disebutnya.
Si pemuda berkumis tipis hendak memakai kembali topeng kayu di tangannya. Satria cepat mencegah.
"Tunggu!"
"Kenapa, bukankah kau sudah melihat wajahku" Dengan begitu, penasaranmu sudah terbayar bukan?" "Siapa bilang" Justru rasa penasaranku makin menjadi-jadi. Jangan kau kenakan topeng brengsek itu dulu, aku belum hafal benar wajahmu...." Pemuda berkumis tipis menuruti permintaan Satria Gendeng.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Siapa kau sebenarnya?" Satria mendapat gelengan.
"Kurasa belum saatnya aku mengatakan siapa aku sebenarnya," tolaknya atas pertanyaan barusan.
"Sial. Sudah pula kau buat aku makin penasaran, masih saja kau tambah-tambah rasa penasaranku," rutuk Satria Gendeng.
"Kalau begitu, katakan saja apa kau mempunyai hubungan dengan Rara Lanjar?" susul Satria Gendeng, tak puas.
Sekali lagi dia mendapat gelengan kepala.
"Sial lagi! Lantas pertanyaan apa yang harus kuajukan agar kau sudi menjawabnya"!" sewot si pendekar muda.
"Tidak ada."
"Nah, nah... kau makin menumpuk rasa penasaranku, bukan"!"
"Sudahlah...," ucap si pemuda berkumis seraya mengenakan kembali topeng ke wajahnya.
"Nanti akan kujelaskan semuanya padamu. Tidak sekarang," tandasnya, membuat tenggorokan Satria Gendeng terasa membenjol karena kesal.
"Sekarang, sebaiknya kau segera menyusul Rara Lanjar ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Dia menunggumu di sana."
"Hey, kau pikir siapa dirimu sampai seenaknya menyuruhku seperti itu"!" sergah Satria, mencakmencak.
"Maaf. Aku tidak memerintahmu. Aku justru meminta pertolonganmu...."
"Mestinya memang begitu," tukas Satria seraya menaikkan dagu. Sedang datang sifat tinggi hati yang ditulari Dedengkot Sinting Kepala Gundul, gurunya.
"Selain itu, aku juga meminta pertolongan lain padamu."
"Kau... sudah dikasih dengkul, ingin jidat!"
"Menyangkut Rara Lanjar juga, Tuan Pendekar," tambah si pemuda berkumis yang telah mengenakan topengnya kembali. Nada dan kalimatnya sedikit menaikkan harga diri Satria Gendeng dengan menyebutnya 'tuan pendekar'.
Satria jadi tak enak hati sendiri. Menolak pun jadi tak enak. Brengsek, makinya dalam hati. Memang sering kali ucapan yang agak 'mengangkat' seseorang dapat memperlancar urusan.
"Kenapa dengan Rara Lanjar?" tanya Satria akhirnya.
"Tolong kau bawa dia ke Goa Lumut Jingga selama sepekan terakhir ini. Selama pekan belum berakhir, jangan kau biarkan dia meninggalkan goa itu, apa pun yang terjadi. Dan apa pun yang terjadi pula, jangan sampai kau tak mengantarnya ke sana."
"Tunggu dulu! Kau sebut-sebut soal Goa Lumut Jingga padaku. Sedangkan aku sendiri seumur-umur baru mendengar nama goa seperti itu!"
"Letaknya di bahu sebelah timur Gunung Bukit tunggul." "Nan begitu.... Lantas kenapa harus ke goa itu, dan kenapa kau melarangnya meninggalkan tempat itu selama pekan terakhir ini?" Sebelum Satria Gendeng mendapat jawaban, dari kejauhan mencelat teriakan ganjil.
"Wuaaauuuhhhhh!!!" Satria menoleh. Dia dibuat terperanjat mengetahui siapa yang datang.
"Si cebol sialan itu," desisnya dengan mata membelalak dan mulut menganga. Siapa lagi kalau bukan Penjaga Gerbang Neraka" Seperti telah diketahui, manusia satu itu sedang memburu si pendekar muda. Lebih tepatnya menginginkan kepala Satria untuk ditukarkan lembaran rahasia kitab tulisan Prabu Pajajaran. Semenjak Dewi Melati mati oleh serangan mendadak Pendekar Muka Bengis, tertutup sudah kemungkinan bagi Satria untuk menjelaskan bahwa semua itu hanya muslihat Manusia Makam Keramat sendiri yang menginginkan mereka saling bunuh.
Tak tahu mau menyebut keadaan itu sebagai kesialan atau apa, yang jelas, mulai saat itu Satria Gendeng menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka yang kesaktiannya sudah sekaliber guru pendekar muda itu sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Diburu orang sesakti itu, apa tidak kesialan namanya" Meladeni percuma. Unggul belum tentu, masuk liang lahat bisa juga. Satu-satunya jalan terbaik bagi Satria cuma melarikan diri.
Peduli setan bakal dianggap pengecut atau tidak. Perkaranya bukan cuma takut mati. Hanya saja, Satria tidak ingin meladeni ketololan seseorang yang sudah termakan tipu daya Manusia Makam Keramat.
"Siapa dia?" tanya pemuda bertopeng, tanpa melepaskan pandangan ke arah Penjaga Gerbang Neraka yang terus menghambur dalam kecepatan menggila. Angin seperti ditungganginya. Ketinggian ilmu peringan tubuhnya, menyebabkan kakinya seperti tidak pernah menjejak bumi.
Wajah manusia cebol itu terlipat segaranggarangnya laksana muka naga gila yang siap melahap gunung api bulat-bulat tanpa dikunyah. Tangannya bergerak menderu-deru. Sulit mengikuti ke mana arah geraknya. Yang tampak cuma kelebatan-kelebatan cepat tak terarah. Mengamuk besar dia rupanya.
Bicara soal amukan kalap tokoh kerdil ini, Satria jadi mangkel juga. Apa pasalnya dia yang diamuki setengah edan seperti itu" Kalau masygul, gundah, dan sedih karena kehilangan Dewi Melati itu bisa di-maklumi. Tapi kalau semua kekalutan itu harus ditimpakan kepada diri Satria sebagai penyebabnya, itu lain perkara. Satria juga manusia. Dia makan makanan yang sama seperti juga Penjaga Gerbang Neraka (kecuali kalau makanan lelaki cebol itu kaki meja). Tak ada manusia yang tak marah kalau dirinya dipersalah-kan tanpa sebab. Inginnya dia balik mengamuki Penja-ga Gerbang Neraka. Tapi, apa bisa" Bisa-bisa malah dianggap ingin menantang bertarung sampai mampus.
Celaka dua belas namanya.
"Jangan pakai tanya siapa dia segala!" hardik Satria Gendeng serabutan.
Pemuda bertopeng menatap keheranan Satria di depannya. Tingkah pemuda berambut kemerahan itu seperti seorang yang sudah di depan jamban menanti giliran buang hajat.
"Kau ada masalah dengannya?" tanya pemuda bertopeng lagi, padahal Penjaga Gerbang Neraka makin dekat saja.
Satria mendelik jengkel.
"Kubilang jangan banyak tanya!" hardiknya lagi seraya membalikkan badan, hendak minggat dari tempat itu. Mendadak pula, dia berbalik lagi.
"Kau mau tolong aku, bukan?" tanyanya bergegas. Pemuda bertopeng mengangguk.
"Tolong kau tahan dia agar aku sempat lari cukup jauh!"
"Kenapa begitu?"
"Jangan banyak tanya! Kau mau tolong aku apa tidak"!" Satria berkoar-koar di depan hidung pemuda bertopeng. Matanya terus mendelik-delik.
"Baik... baik," jawab pemuda bertopeng, tetap dengan gaya yang tenang.
"Terima kasih banyak, kalau begitu! Semoga arwah nenek moyang melindungimu!" seru Satria Gendeng mengakhiri, seraya menggenjot segenap kemampuan lari cepatnya.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

MESKI tak habis pikir dengan sikap Satria Gendeng yang dianggapnya aneh, pemuda bertopeng Arjuna memenuhi juga permintaan pendekar muda itu sebelum dia sendiri 'ngacir'. Tak pernah disadarinya, menuruti permintaan si murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama saja mencari borok di liang lahat. Tahu sendiri siapa dan bagaimana lelaki cebol, Penjaga Gerbang Neraka" Satria sendiri menganggap permintaan 'brengsek'-nya hitung-hitung sebagai pelunasan kejengkelannya pada pemuda bertopeng yang dianggap telah mempermainkannya selama ini.
"Tunggu, Orang Tua!" tahan pemuda bertopeng begitu Penjaga Gerbang Neraka tiba di dekatnya. Si cebol besar adat mana mau peduli dengan teriakan itu" Dengar pun tidak, kendati pemuda bertopeng berteriak sampai serak di lobang telinganya. Dia terus merangsak menggila ke depan dengan teriakan yang tak kalah garang dengan seekor banteng jantan kerasukan setan sinting.
Tentu saja pemuda bertopeng dibuat ternganga.
Untung saja wajahnya tersembunyi, jika tidak tentu dia akan terlihat agak tolol. Gila benar, kenapa dengan orang satu ini" Pikirnya. Begitu tiba, Penjaga Gerbang Neraka langsung menyeruduk tanpa tedeng aling-aling. Tangannya membabat ke depan, serampangan. Suara angin tangannya menderu-deru.
Bet Wukh!! Tak mau terhantam serangan 'angin ribut' si lelaki cebol, pemuda bertopeng cepat melenting ke atas.
Badannya berputar dengan tubuh terbalik lurus. Di udara tangannya membuka lebar. Tampak dia siap menangkis jika tangan si lelaki cebol memburunya di udara. Tapi tidak terjadi.
Penjaga Gerbang Neraka seperti tidak peduli. Dia terus berlari melewati pemuda bertopeng yang sudah menjejakkan kaki kembali.
Telanjur berjanji pada Satria, pemuda bertopeng pun mengejar Penjaga Gerbang Neraka.
"Orang tua, berhenti!!" Orang yang diteriaki tak peduli. Bagaimana bisa peduli kalau telinganya saja tuli. Dan dengan ilmu lari cepat setingkat dengan tokoh kawakan macam Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tentu saja mengejarnya bukan pekerjaan mudah.
Pemuda bertopeng sendiri, meski usianya masih tergolong muda, nyatanya bukan sembarang orang.
Tingkat kesaktiannya pun mungkin dapat disejajarkan dengan orang yang kini dikejarnya. Tak percuma jika dia mampu mengecoh Manusia Makam Keramat ketika menyelamatkan Rara Lanjar waktu itu.
Dan adu kemampuan peringan tubuh pun terjadi. Keduanya bergerak laksana sepasang bayangan. Berkejaran.
Angin mendengus, menggebah debu sepanjang lintasan lari mereka.
Kejar-kejaran itu pasti akan menelan waktu berhari-hari tanpa kepastian apakah si pengejar akan mencapai orang yang dikejar, atau apakah orang yang dikejar akan meninggalkan si pengejar, kalau saja pemuda bertopeng tidak menghentikan pompaan ilmu lari cepatnya dengan tiba-tiba. Pasir tersembur ke depan, ketika kaki kokohnya menahan luncuran tubuh.
"Penjaga Gerbang Neraka," bisiknya dari balik topeng. Rupanya selama mengejar, dia teringat sesuatu. Tentang seorang bertubuh kecil berkesaktian tinggi yang sering didengar dari cerita gurunya.
"Pasti dia orang yang dimaksud Eyang. Tapi kenapa tampaknya bermusuhan dengan pendekar muda itu?" bisiknya lagi. Karena ketertegunannya itu, dia pun kehilangan buruan.
Tinggal urusan Satria Gendeng, apakah dia bisa melepaskan diri dari kejaran manusia cebol yang mungkin pikirannya sudah agak sinting itu.

* * *



Seperti kata pemuda bertopeng penuh tekateki, Rara Lanjar memang berada di gubuk di kaki Gunung Burangrang. Terakhir kali, dia diselamatkan oleh pemuda bertopeng Arjuna itu ketika Pendekar Muka Bengis membawanya ke Makam Keramat Maut untuk diserahkan kepada Manusia Makam Keramat.
Di dalam gubuk. Rara Lanjar tak pernah bisa tenang. Duduk sebentar di balai tak membuatnya nyaman, maka dia berdiri. Berdiri tak juga membuatnya merasa nyaman, maka dia pun berjalan hilirmudik. Masalahnya benak perempuan itu memang sedang disesaki pikiran-pikiran, khususnya yang berhubungan dengan orang bertopeng Arjuna. Telah ke sekian kali orang itu menyelamatkannya. Hingga saat itu, tak pernah diketahuinya siapa sesungguhnya orang itu. Rasa penasaran ingin mengetahui jati diri lelaki misterius mendatangkan kegelisahan pada diri Ra-ra Lanjar.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Sewaktu Manusia Makam Keramat hendak membawanya ke Makam Keramat Maut untuk pertama, dia diselamatkan oleh orang bertopeng lalu dibawa ke gubuk yang kini ditempatinya (Baca kembali episode sebelumnya : "Nisan Batu Mayit"!). Beberapa waktu lalu, dia pun diselamatkan dari Makam Keramat Maut, dan lelaki bertopeng itu pun membawanya ke gubuk di kaki Gunung Burangrang ini, pikirnya (Pada episode : "Rencana Manusia Terkutuk"!).
"Kemungkinan besar, gubuk ini adalah milik orang itu," sentak Rara Lanjar mendesis.
Dia berjingkat seolah menemukan titik terang untuk mengorek rahasia tersembunyi tentang si lelaki bertopeng Arjuna. Gubuk yang kini ditempatinya, me-nyimpan benda yang berhubungan dengan pemiliknya.
Siapa tahu benda itu dapat sedikit memberi petunjuk tentang diri pemiliknya, pikir Rara Lanjar lagi.
Dia pun mulai meneliti gubuk itu. Sampai beberapa lama mengaduk-aduk isi gubuk, tak ditemukan sesuatu pun yang dapat dijadikan petunjuk. Kelelahan mencari-cari, akhirnya Rara Lanjar jadi kesal sendiri.
Dihempaskannya tubuh ke balai sampai menimbulkan suara berderak keras. Telentang, dihelanya napas. Pandangannya mengarah ke langit-langit. Pada saat itulah, tanpa sengaja matanya menangkap gerakan bayangan seseorang dari sela-sela atap.
Rara Lanjar bangkit, beriring bangkitnya kesiagaan. Matanya mengikuti terus gerak ringan bayangan di atas atap. Kendatipun dia jenis dara pemberani, tak urung perasaan waswas menjalar dalam hatinya.
Dari pengalamannya waktu-waktu belakangan.
Rara Lanjar mengetahui bahwa seorang momok sesat yang mungkin paling ditakuti oleh hampir setiap kalangan persilatan sedang mengincar dirinya. Terbukti telah dua kali dia diculik dan dilarikan ke Makam Keramat Maut.
Kini, jika ada orang mengendap-endap di atas wuwungan, bukan tak mungkin orang itu adalah antek-antek Manusia Makam Keramat, prasangkanya.
Atau lebih buruk lagi, Manusia Makam Keramat sendiri"! Mempertimbangkan kemungkinan itu, Rara Lanjar berpikir untuk menyelinap keluar dari jendela gubuk. Jika benar orang di atas wuwungan adalah Manusia Makam Keramat, tak ada harapan dapat mengunggulinya dalam pertarungan. Jalan yang terbaik adalah menghindarinya selagi bisa.
Rara Lanjar pun berjingkat-jingkat ke jendela gubuk di sisi kanan. Kebetulan sekali, daun jendela sudah terbuka sejak tadi.
Dia bisa langsung melompat dengan mengerahkan peringan tubuh yang dimilikinya keluar. Belum lagi Rara Lanjar menghentak kaki, dilihatnya sesosok orang melayang turun tepat di depan jendela yang hendak dilaluinya.
Karena kaget, Rara Lanjar tersentak ke belakang. Dia memekik tertahan dengan tangan mendekap mulut.
"Jangan takut, Cah Ayu!" sapa orang di depan jendela gubuk.
Rara Lanjar tersudut. Diperhatikannya wajah yang tampak di jendela. Seorang lelaki tua berjenggot dan berambut putih, bergelung rambut di atas kepala.
Keteduhan dan wibawa terpancar dari wajahnya. Entah kenapa, perlahan ketakutan Rara Lanjar memupus.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Rara Lanjar.
"Aku Danujaya."
"Aku tak kenal kau."
"Benar. Tapi aku mengenalmu, Rara Lanjar."
"Dari mana kau mengetahui namaku" Dan bagaimana kau mengenalku?"
"Ceritanya panjang," kata orang tua yang mengaku bernama Ki Danujaya seraya bergerak, dan tibatiba saja dia sudah berada di dalam gubuk.
Lelaki tua inilah yang beberapa waktu mengungkapkan siapa dirinya kepada Satria Gendeng. Dia adalah murid Prabu Pajajaran yang mendapat amanat untuk menjaga keselamatan Rara Lanjar sejak dia diti-tipkan kepada Ki Arga Pasa sewaktu bayi (Baca serial Satria Gendeng dalam episode: "Rencana Manusia Terkutuk"!).
"Yang jelas, aku bermaksud untuk mengajakmu ke suatu tempat. Tak aman kau berada di sini karena menurut dugaanku Manusia Makam Keramat telah mengetahui tempat ini," kata Ki Danujaya. Dugaan orang tua berjenggot ini memang tak meleset dari kenyataan. Manusia Makam Keramat telah mengetahui tempat tersebut setelah Gendut Tangan Tunggal melaporkan padanya. Ketika itu Gendut Tangan Tunggal masih dalam pengaruh jahat Manusia Makam Keramat (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Rencana Manusia Terkutuk").
"Bagaimana aku bisa percaya kalau kau berada di pihakku?" kilah Rara Lanjar.
Ki Danujaya mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah gelang emas yang biasa dikenakan kaum aria (kalangan bangsawan dan raja-raja) di pangkal tangan.
"Itu milik ayahku!" sergah Rara Lanjar, terkejut.
Ki Danujaya menggeleng.
"Keliru. Ini milikku. Ki Arga Pasa memiliki gelang yang sama dengan milikku, karena keduanya sebenarnya sepasang. Sepasang gelang itu adalah milik seorang Prabu Pajajaran.
Sedangkan kau adalah salah seorang keturunannya. Kau tentu pernah mendengar dari mendiang Ki Arga Pasa tentang dirimu, bukan?" Mendengar nama ayahnya disebut-sebut, pandangan Rara Lanjar jadi menerawang. Terbayang kembali di pelupuk mata wajah kedua orangtuanya yang mati mengenaskan di tangan Manusia Makam Keramat.
"Ayah memang pernah menceritakan padaku bahwa aku adalah anak angkatnya. Dia pun pernah menunjukkan padaku gelang emas yang dimilikinya padaku. Dia tak pernah menceritakan apa-apa tentang asal-usulku. Hanya dia pernah berpesan, bahwa aku akan mengetahui riwayat diriku dari seorang yang memiliki gelang serupa dengan yang dimiliki Ayah," tu-turnya, agak tergetar pilu. Lalu matanya yang agak digenangi garis bening menatap Ki Danujaya.
"Kaukah orang yang dimaksud Ayah, Orang Tua?" tanyanya lirih.
Ki Danujaya mengangguk dengan sebaris senyum.

* * *



Sementara itu, Satria pun sudah tiba di kaki Gunung Burangrang. Sepanjang perjalanan dia berharap dapat bertemu kembali dengan Rara Lanjar, dan gadis itu tak kekurangan suatu apa pun. Heran juga, dia jadi agak kangen dengan dara itu setelah tak berjumpa dalam beberapa lama. Padahal sifat judesnya sama sekali menjengkelkan Satria. Belum lagi mulutnya yang ketus.
Gubuk di kejauhan sudah terlihat. Satria mempercepat langkah. Sebelum benar-benar dekat, mendadak dia menghentikan langkah. Dengan tangkas pula dia melompat tanpa suara ke balik pohon besar.
Baru saja didengarnya suara mencurigakan dari arah barat laut. Kuat dugaannya seseorang akan segera datang. Satria tak ingin ambil risiko. Siapa tahu orang yang datang justru dari pihak lawan.
Sekilas sa-ja sekelebatan bayangan tertangkap intaian matanya.
Dia berharap telah salah melihat, karena yang dilihatnya adalah sosok bertubuh kerdil. Karena merasa kurang yakin dengan penglihatannya barusan, pendekar muda itu mengintip dari balik pohon.
"Slompret, itu benar-benar si lelaki cebol! Bagaimana dia bisa sampai pula di sini secepat itu"!!" desisnya.
"Apa si Topeng Arjuna itu sudah pula dibuat mampus olehnya?" tambahnya, meringis ngeri.


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

SIANG tak lama lagi berakhir. Senja datang dengan keramahannya. Kabut perlahan-lahan menggenrayangi wilayah Kampung Bangkai yang terletak di dataran tinggi. Pada senja yang tak terlalu tua, udara di sekitar tempat itu sudah menusuk. Menjelang malam, mungkin sudah terasa membekukan. Sebaliknya, suasana di penghujung senja lebih terang dibanding desa-desa lain yang berada di bawahnya. Namun begitu, suasana angker tetap saja tak terusik. Terutama manakala kabut makin menebal dan meninggi serta menguasai seluruh wilayah Kampung Bangkai.
Di dalam gubuk paling kumuh dan bau tengik, Hantu Kera memeriksa tubuh Pendekar Muka Bengis.
Pendekar berwajah sangar itu sendiri terbaring tak berdaya di lantai kayu berdebu tebal. Ruangan di dalamnya sama sekali tak mencerminkan tempat menetap manusia. Jangan-jangan dedemit pun sudah tak mau menempatinya. Debu setebal ujung kuku melapisi seluruh permukaan lantai dan dinding. Belum lagi sarang laba-laba di langitlangit, kawanan kecoa yang berlari-larian bebas lepas, tikus-tikus gemuk yang melintas, dan masih banyak binatang kecil lain menjadikan tempat itu istana mereka. Gendut Tangan Tunggal saja yang tergolong agak jorok, masih harus menutup hidung dan meringis jijik. Sewaktu melihat seekor tikus gemuk, dia makin merasa tak betah di dalam gubuk itu. Terutama karena dia merasa 'dihina', tak tahu oleh siapa.
"Bagaimana, kau sudah selesai memeriksanya atau belum?" tanyanya tak sabar pada Hantu Kera.
Sementara Hantu Kera memeriksa di tengah ruangan, orang tua kelebihan lemak itu cuma berdiri di samping pintu. Satu tangannya terus menutup hidung, sedang tangan yang lain mendekap perut. Makin lama di dalam ruangan pengap itu, Gendut Tangan Tunggal makin merasa mual.
"Belum!" jawab Hantu Kera kasar, merasa ker-janya terganggu.
Belum lama berselang, Gendut Tangan Tunggal sudah bertanya lagi, "Sudah apa belum"!"
"Sudah!" jawab Hantu Kera, melegakan Gendut Tangan Tunggal. Lelaki berwajah mirip kera itu bangkit dari silanya. Kepalanya menggeleng-geleng.
Gendut Tangan Tunggal cemberut. Pasti ada yang tak beres, duganya.
Tanpa perlu ditanya, Hantu Kera berkata, "Benar dugaanku. Dia terkena ajian milik Penjaga Gerbang Neraka itu!"
"Jadi kau tak bisa menyembuhkannya?" Hantu Kera menggeleng seraya mencibir. Bibir bawahnya bertambah maju. Nyaris menggelantung.
"Kau memang tabib tolol!" maki Gendut Tangan Tunggal, jengkel.
"Bukannya tolol, Tolol! Aku hanya tak memiliki tumbuhan untuk dijadikan obatnya!" "Katakan padaku di mana tumbuhan itu, biar aku ambil!"
"Tak mudah."
"Peduli setan!"
"Kau tetap tak peduli kalau kukatakan bahwa tumbuhan obat itu hidup di Makam Keramat Maut?" Gendut Tangan Tunggal terdiam sebentar.
"Glek," dia menelan ludah susah payah. Mukanya kecut.
Hantu Kera tersenyum mencemooh.
"Bagaimana kalau Panembahan Kusumo" Dia bisa menyembuhkannya?" alih Gendut Tangan Tunggal.
"Sudah kubilang, dia pun tak bisa berbuat apaapa kecuali sudah mendapatkan obatnya."
"Jadi jalan satu-satunya, aku harus mengambil tumbuhan itu di Makam Keramat Maut?" Hantu Kera mengangguk mantap.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah lagi.

* * *



Kaki Gunung Burangrang.
Satria mulai agak panas-dingin ketika Penjaga Gerbang Neraka tidak melanjutkan larinya. Orang berbadan kecil itu malah berdiri celingukan dengan mata melotot. Cuping hidungnya mekar-kuncup. Buas sekali mukanya. Dalam hati Satria berdoa sendiri, memohon supaya manusia gelap mata itu segera menyingkir dan tempat itu. Tetap di balik pohon, pendekar muda itu tak berani menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Bahkan dia agak ngeri untuk sekadar menggerakkan jempol kakinya, khawatir gerakannya menimbulkan suara yang memancing perhatian 'pemburu'-nya. Bodohnya dia. Kalau dia ingat Penjaga Gerbang Neraka bertelinga soak, tentu dia akan menertawai dirinya sendiri.
Sekali lagi, ini bukan persoalan takut. Satria bukan termasuk seorang yang bernyali anak ayam.
Untuk keadaan-keadaan tertentu, dia bahkan bisa menjelma menjadi seekor naga perkasa yang tak memandang seberapa berbahaya kebatilan harus di tentang. Sekarang ini, dia cuma tak mau berurusan dengan seorang yang gelap mata. Orang gelap mata bisa lebih bodoh dari orang bodoh.
Menghadapi kegusaran orang bodoh, tak ada jalan paling baik kecuali menghindarinya.
Cukup lama Satria Gendeng 'mengkerut' di balik pohon. Sampai dia yakin sang pemburu sinting itu sudah menyingkir dari tempatnya. Hati-hati, dia pun mengintip dari balik pohon. Ditariknya napas lega.
Syukur, Penjaga Gerbang Neraka sudah tak ada.
Satria pun keluar dari tempat persembunyian.
Berjalan perlahan dengan pandangan siaga. Siapa tahu Penjaga Gerbang Neraka masih berada di sana.
"Benar-benar sudah aman," bisiknya ketika melangkah makin dekat ke gubuk. Sampai tiba di depan gubuk pun, manusia bertubuh cebol itu tak juga terlihat.
Santai, Satria Gendeng membuka pintu gubuk.
"Satria!!" sambut selenting suara wanita. Siapa lagi kalau bukan Rara Lanjar.
Rara Lanjar sendiri langsung menghambur ke arah Satria. Dirangkulnya pemuda itu kuat-kuat. Satria cuma bisa cengengesan serba salah ketika melihat Ki Danujaya berada di dalam gubuk juga. Sedikit malu hati dia.
"Kau tidak apa-apa, Lanjar?" tanya Satria setelah dara itu melepaskan pelukannya. Rara Lanjar menggeleng dengan senyum mengembang. Barangkali, dia rindu pada si pendekar muda tampan. Kemudian, ditariknya lengan si pemuda untuk masuk ke dalam gubuk. Manja sikapnya.
Baru saja Satria Gendeng melangkah masuk tiga tindak.... Brakk! Dinding sebelah barat gubuk jebol seketika.
Ada sesuatu atau seseorang telah melabrak dari luar.
Di antara hamburan kayu, terlihat sekelebatan bayangan kecil menerobos masuk, lalu berdiri tepat di depan lobang besar di dinding.
Satria Gendeng dipaksa melongo menyaksikan orang tak bertatakrama itu.... Penjaga Gerbang Nera-ka"! Mampuslah dia! Ki Danujaya berdiri paling dekat dengan tamu tak diundang itu. Menyaksikan sorot mata sangar Penjaga Gerbang Neraka ke arah Satria Gendeng, Ki Danujaya pun dapat membaca gelagat tak baik. Dia melangkah ke tengah, di antara Penjaga Gerbang Neraka dan Satria Gendeng. Ki Danujaya tak tahu ada masalah apa antara si pendekar muda dengan tokoh garang kalangan tua itu. Ki Danujaya pun tak begitu ingin tahu mengingat suasana dinilainya sudah terlalu panas.
Sebagai tokoh berusia lanjut, tentu dia pernah mendengar julukan Penjaga Gerbang Neraka, sekaligus mendengar dari selentingan kabar burung tentang sifat-sifat serta keadaan dirinya yang tuli dan bisu.
Sayangnya, orang tua berjenggot putih itu tak pernah berurusan langsung dengannya. Hal itu membuat pe-nilaian Ki Danujaya terhadap Penjaga Gerbang Neraka masih agak kabur. Dalam segala urusan yang tak jelas juntrungannya, termasuk menghadapi seseorang, tentu saja bisa terjadi hal-hal tak terduga. Itu dialami oleh Ki Danujaya! Ketika Ki Danujaya baru saja mengangkat tangan, hendak menyabarkan Penjaga Gemang Neraka, mendadak sontak lelaki tua cebol itu meloloskan sepasang senjatanya. Secepat kilat pula, diterjangnya Ki Danujaya, tanpa memberikan orang tua itu kesempatan sedikit pun untuk menyelesaikan niatnya.
Wesh! "Ki Danujaya, awas!!" Berkawal teriakan Satria Gendeng, Ki Danujaya melompat ke atas. Wajahnya disarati gurat keterperan-jatan teramat sangat. Tak pernah diduganya kalau orang cebol itu akan melakukan serangan demikian ti-ba-tiba. Ki Danujaya memang telah keliru menilai keadaan diri Penjaga Gerbang Neraka, seorang yang tak akan dapat tertahan oleh badai sekalipun jika sudah timbul keinginannya untuk membunuh. Kalau saat itu Penjaga Gerbang Neraka bernafsu untuk mencabut kepala si pendekar muda, maka Ki Danujaya tak akan bisa mencegahnya. Kalau masih tetap mencoba, maka Ki Danujaya harus bersiap-siap untuk mengadu jiwa dengan cebol sakti itu! Berhasil lolos dari sambaran sepasang cakar logam tadi bukan berarti telah lolos dari bahaya. Penjaga Gerbang Neraka sudah menyusulkan serangan berikutnya sementara Ki Danujaya sendiri masih melayang di udara. Sambaran ganda sepasang cakar logam dari dua sisi berbeda ke arah pangkal paha Ki Danujaya.
Wesh wesh! Menyaksikan keadaan itu, jiwa ksatria si pendekar muda langsung tersulut dan meledak. Seketika dia menjadi tak peduli akan telanjur menjadi seteru Penjaga Gerbang Neraka.
Diterjangnya Penjaga Gerbang Neraka untuk menyelamatkan Ki Danujaya.
Di lain pihak, Ki Danujaya sendiri sebenarnya sanggup untuk mementahkan serangan susulan lawan. Dengan gaya yang begitu indah, tubuhnya meliuk membuat gerakan berputar dengan posisi menukik seperti elang menyambar. Dengan sepasang telapak tangan dialiri tenaga dalam, dipapaknya senjata lawan.
Dash! Saat yang sama, Satria tiba dengan dua bogem keras ke arah siku tangan Penjaga Gerbang Neraka.
Tahu ada bahaya datang dari arah lain. Penjaga Gerbang Neraka cepat berguling ke depan. Tubuhnya yang kecil dimanfaatkan untuk melewati selangkangan Satria Gendeng yang kebetulan terbuka cukup lebar. Di bawah, mendadak kedua kakinya menyentak ke atas.
Mata Satria Gendeng mendelik. Burung warisan nenek moyangnya dalam keadaan bahaya. Tangannya cepat diturunkan ke bawah, mencoba menangkis.
Dab! Terjadi benturan. Akibatnya sungguh mencengangkan. Tubuh si pendekar muda langsung terpental ke atas, hingga menerobos atap daun kelapa kering!
Sebentuk tenaga dalam yang sempurna milik Penjaga Gerbang Neraka....
Ki Danujaya sendiri sempat dibuat terperanjat.
Tak berselang lama, tubuh Penjaga Gerbang Neraka pun melenting ke atas, menyusul Satria Gendeng. Ki Danujaya yang lebih dekat padanya seperti tak dipedulikan.
Dedaunan kelapa kering berhamburan ke udara dari dua bagian atap berbeda. Tubuh Satria Gendeng menyeruak lebih dahulu. Penjaga Gerbang Neraka menyusul kemudian. Satria mengembalikan keseimbangan tubuhnya dengan bersalto sekali, lalu menjejak ringan di atas wuwungan. Sedangkan Penjaga Gerbang Neraka langsung hinggap.
Belum lagi cukup kokoh Satria Gendeng memasang kuda-kuda, lawan cebolnya meluruk kembali ke arahnya dengan sehimpun kebuasan hewan buas.
"Khuaauu!!!" Lawan setangguh Penjaga Gerbang Neraka tak akan dihadapi Satria dengan sebelah mata. Lawan bersenjata, maka dia pun harus mempersenjatakan diri.
Srat ctetar! Kail Naga Samudera lolos dari pinggangnya.
Ruas-ruasnya meregang. Talinya melecut udara, menciptakan percikan bunga-bunga api.
Penjaga Gerbang Neraka menatap dengan mata nyalang. Ada percikan bunga api pula di matanya.
Percikan hawa membunuh nan membara, dari dasar hatinya. Keduanya saling berhadapan. Masing-masing berdiri di ujung wuwungan.
Nyawa siapa yang lebih dahulu terlempar dari raga"

* * *



Gendut Tangan Tunggal meninggalkan Kampung Bangkai. Dia merutuk sepanjang perjalanan menuju Makam Keramat Maut. Dia tahu di mana letak pemakaman rahasia yang penuh dengan ancaman maut itu. Tapi bukan itu masalahnya. Dia hanya agak 'jeri' memasukinya. Sudah jelas di sana menanti bahaya maut dari keadaan alamnya. Selain itu, ada lagi hal yang sangat mengadukaduk nyali Gendut Tangan Tunggal, yaitu Manusia Makam Keramat. Memasuki Makam Keramat Maut sama artinya memasuki 'sarang' si momok dunia persilatan paling menakutkan.
Sebagai seorang pendekar, dia merasa tak pantas menjadi jeri. Namun sebagai manusia, tentu saja dia merasa harus memaklumi diri. Tak ada manusia yang tak memiliki rasa takut. Sekecil apa pun pasti ada. Tak peduli manusia seberani apa. Hanya orang tak waras yang cuma punya keberanian tanpa ketakutan. Orang waras yang tak mengenal takut, tak lebih dari orang bodoh yang nekat.
"Sial juga si Bengis. Kenapa dia seperti tak punya kerjaan menyerang Dewi Melati sampai si jelita seronokan itu mampus. Apa dikiranya si lelaki cebol tak memiliki mata" Ya jelas saja dia ngamuk besar! Mentang-mentang dia sedang dikuasai pengaruh jahat Manusia Makam Keramat. Huh, kalau bukan teman, sudah kubiarkan dia mampus!" Sementara itu, sepeninggalan si manusia berbobot seperti kerbau, Kampung Bangkai dimasuki oleh orang lain pula.
Seorang yang bergerak demikian ringan. Begitu ringan, sampai terlihat seperti berlari di atas kabut.
Cepat. Begitu cepat, sampai rupanya tak jelas terlihat.
Melewati rumah dan gubuk terbengkalai, sampailah sosok tadi di gubuk tempat Hantu Kera tinggal.
Sejenak sosok itu berdiri di depan gubuk, di antara kepungan kabut.
"Kau ada di dalam, Eyang"!" serunya. Lalu terdengar sahutan dari dalam.
"Ya, masuklah!" Orang tadi masuk, menyibak kabut. Di dalam Hantu Kera menantinya sambil bersila tak jauh dari tubuh Pendekar Muka Bengis yang masih terbaring.
"Siapa dia, Eyang?" tanya orang tadi setelah menjura khidmat. Bersila dia di depan Hantu Kera.
Dari tatakramanya dan caranya menyebut Hantu Kera, bisa diduga kalau dia adalah murid Hantu Kera sendi-ri.
"Seorang pendekar yang terluka dalam oleh ajian milik Penjaga Gerbang Neraka," sahut Hantu Ke-ra.
"Penjaga Gerbang Neraka?" ulang orang di depannya, setengah berbisik.
"Ya. Bukankah orang itu pernah aku ceritakan padamu dulu?"
"Ya, Eyang. Tapi, bukan itu maksudku. Aku hanya teringat kejadian siang tadi. Kurasa aku telah bertemu dengannya. Orang tua itu mirip sekali dengan gambaran Guru tentang Penjaga Gerbang Neraka...."
"Bagaimana ceritanya, Wisnu?" Lalu orang yang dipanggil Wisnu oleh Hantu Kera menceritakan kejadian sebelumnya, ketika dia bertemu dengan Satria Gendeng, sampai akhirnya murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul dikejar-kejar oleh seorang lelaki tua cebol.
Ya, dia memang pemuda bertopeng penuh teka teki itu! "Kalau begitu, pendekar muda itu dalam kesulitan," gumam Hantu Kera.
"Kenapa begitu, Eyang?"
"Asal kau tahu, musuh besar Manusia Makam Keramat itu bertabiat amat sulit dipahami. Namun, kebanyakan orang persilatan sudah amat maklum bahwa dia tak akan membiarkan hidup seorang yang sudah dianggap seterunya. Aku tak tahu ada urusan apa antara pendekar muda itu dengan Penjaga Gerbang Neraka. Yang jelas, aku tak mau dia mengalami kesulitan saat harus membawa gadis itu ke Goa Lumut Jingga." Pemuda bernama lengkap Wisnu Bharata menjura.
"Kalau begitu, sebaiknya aku cepat mohon diri Eyang. Kupikir sebaiknya aku cepat menyusul pendekar muda itu ke gubuk di kaki Gunung Burangrang.
Dia tak boleh terlambat membawa Rara Lanjar ke Goa Lumut Jingga...." Hantu Kera mengangguk.
"Pergilah," katanya, mengakhiri.
Wisnu Bharata pun bangkit, keluar gubuk, lalu melesat kembali seperti kedatangannya.
Siapa Wisnu Bharata" Siapa pula Hantu Kera"


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

SAMPAI sekian jauh, pertarungan antara Satria Gendeng dengan Penjaga Gerbang Neraka tak menemui kesudahan. Keduanya sama-sama tangguh. Untuk tingkat kesaktian, Satria Gendeng memang terhitung masih di bawah lawan. Mungkin masih terpaut jauh.
Namun, dengan Kail Samudera di tangannya, tak akan jadi mudah bagi Penjaga Gerbang Neraka untuk meruntuhkan pertahanannya.
Berawal di ubun-ubun yang kini porakporanda. Medan laga bergeser terus makin ke selatan.
Sebelah kaki Gunung Burangrang itu adalah bagian yang paling berbahaya, karena banyak terdapat jurang-jurang yang tak cuma curam dan dalam, tapi juga berbatu runcing di dasarnya.
"Khuauuu!!" Jalannya pertarungan dikendalikan oleh serangan-serangan Penjaga Gerbang Neraka. Satria Gendeng didesak terus ke arah jurang yang menganga dua puluh tombak lagi di belakang.
Pendekar muda tanah Jawa itu harus menguras segenap kemampuan yang dimilikinya. Kegesitan Penjaga Gerbang Neraka yang sempat membuat hatinya tergetar sewaktu pertama kali berurusan dengannya sekarang ini benar-benar harus dihadapi sepenuhnya. Trash! Benturan kedua senjata masing-masing pihak entah sudah berapa ratus kali terjadi. Tak hanya me-lahirkan suara tajam mengoyak gendang teling, tapi juga menabur bunga-bunga api.
Riuh terbangun. Di sepanjang lintasan medan pertarungan. Keduanya laksana naga api angkasa.
Satu berpijar karena kobaran hawa membunuh. Yang lain berkobar karena kesadaran untuk menjaga nyawa. Penjaga Gerbang Neraka bertarung layaknya naga api angkasa yang luka. Tak ada pikiran lain dalam benak tokoh kawakan berbadan cebol itu selain menghabisi nyawa lawan, memenggal kepalanya, lalu menukarnya dengan lembaran rahasia bagian kitab tulisan sang Prabu Pajajaran Di lain pihak, Satria Gendeng bertarung dengan terpaksa. Kalau keadaan memungkinkan dia untuk menghindar, dia akan melakukannya. Sayang kesempatan itu sudah tertutup sama sekali, ketika dia akhirnya harus berhadapan juga dengan Penjaga Gerbang Neraka. Dalam pertarungan ini, dia tak punya tujuan yang jelas. Dan kalaupun harus mengerahkan segenap kemampuan ilmunya, bukan karena dia menginginkan kematian lawan, seperti lawan menginginkan kematiannya, melainkan karena semata dia harus membela diri dari incaran tangan kematian yang diku-curkan setiap saat oleh Penjaga Gerbang Neraka.
Bertarung dalam kondisi terpaksa sebenarnya tak pernah dikehendaki si pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu. Keterpaksaan membuat dia tak sepenuh hati bertarung. Dalam membangun serangan, Satria Gendeng melakukannya setengah-setengah, karena dia tahu pasti bahwa lawan hanya salah paham. Keadaan seperti itu lama kelamaan akan merugikan dirinya sendiri. Dengan kata lain, Satria Gendeng memiliki kelemahan dalam pertarungan.
Sampai suatu ketika, Satria Gendeng harus menelan bulat-bulat akibat dari kelemahannya tersebut. Satu hajaran telak bersarang di perutnya ketika tanpa terelakkan sebelah kaki lawan menanduk teramat cepat.
Deb! "Ah!" Dengan tubuh melengkung dalam, Satria Gendeng terlempar deras ke belakang. Darah segar tersembur dari mulutnya, menebar di udara, memerciki tanah. Perutnya terasa kaku sekaligus mual tak terhingga. Setelah melayang sejauh sembilan tombak, barulah dia terjatuh. Tak berhenti sampai di situ, tubuhnya bergulingan. Naas baginya. Di belakangnya, menganga jurang berkedalaman sulit diukur.
Dalam kesadaran yang timbul tenggelam, pendekar muda itu masih sempat menyaksikan mulut jurang yang siap menelannya. Segenap kemampuan dikerahkan tenaga untuk menghentikan guliran liar tubuhnya. Sayang tak berhasil. Jarak antara dirinya dengan mulut jurang sudah terlalu dekat.
Srak! Dia pun tergelincir. Untung saja satu tangannya sempat bergerak refleks, menggapai tonjolan batu di bibir jurang.
Tap! Sejenak Satria Gendeng bisa bernapas lega.
Tubuhnya urung jatuh ke dasar jurang yang penuh dengan batu-batu runcing laksana taring-taring siluman. Kejapan berikutnya, dia harus menahan napas dihela ketegangan ketika lawan meluruk menuju dirinya dengan segenap kebuasannya! Aku harus bisa mengangkat diri ke bibir jurang, teriak batin si pendekar muda.
Secepatnya! Dan harus lebih cepat dari lelaki cebol sial itu! Sekali lagi, Satria berkutat mengerahkan tenaga sendiri untuk mengangkat tubuhnya. Untuk melakukan itu, bukan kesulitan besar baginya. Dulu, dia sudah amat terbiasa melakukannya ketika menjalani gemblengan dasar dari seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dedemit. Ketika itu, hampir setiap hari dia harus merayapi karang terjal menuju puncaknya. Kalau sekarang dia hanya harus mengangkat tubuh dengan sebelah tangan, tentu tak akan menemui banyak kesulitan.
Lain perkara kalau otot di perutnya terasa makin mengejang akibat tendangan telak lawan. Belum lagi kepalanya yang terasa terus berputar-putar, membuat pandangannya berkunangkunang. Apalagi ditambah ketegangan menyadari lawan memburu dan siap menghantam remuk kepalanya.
"Heaaa!!!" Satria berteriak sekuat-kuatnya. Urat lehernya menggelembung seperti hendak pecah memuntahkan darah segar. Otot tangannya pun seketika mengeras.
Mengejang, membentuk liukan-liukan kasar.
Dan parasnya meradang.
Kaki menghentak dinding jurang, agar dapat mengangkat tubuhnya. Sebab hanya dengan cara itu dia berusaha menyelamatkan diri. Menggunakan otot perut untuk mencoba, tak berguna lagi. Otot bagian itu bagai sudah lumpuh.
Dalam saat-saat terdesak seperti itu, gejolak darahnya menanjak. Bersamaan dengan itu, bergejolak pula zat langka dari dasar terdalam Laut Selatan yang selama ini mengendap bersama ramuan sakti Tabib Sakti Pulau Dedemit. Tenaganya menjadi berlipat. Bagai mukjizat! (Baca serial Satria Gendeng dalam episode-episode awal: "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa"!).
Kalau sebelumnya tenaga mukjizat itu membawa keberuntungan untuk dirinya, sekarang ini justru sebaliknya. Manakala kakinya mengenai permukaan dinding jurang dengan kekuatan meraksasa, bukannya tubuhnya memantul ke atas, malah kakinya terbenam dalam ke dinding jurang. Tak lama terdengar derak bergemuruh. Drakkk! Bibir jurang terbelah!
Satria membeliak. Sial, pikirnya. Kenapa urusannya jadi runyam begini" Selain itu, tak ada lagi yang bisa diperbuat. Bibir jurang sudah telanjur terbelah. Bongkahannya siap menukik ke dasar jurang.
Dengan posisinya sekarang, barangkali Satria Gendeng akan menjadi pergedel di dasar jurang, tertumbuk bongkahan raksasa itu.
Pada situasi di ujung tanduk, sekelebat bayangan tiba-tiba melintas.
Teramat tangkas.
Dari depan, luncuran pesat lari Penjaga Gerbang Neraka dipapas.
Das! Si cebol sakti terhempas. Tanpa menyisakan waktu sedikit pun, kelebatan bayangan tadi mengubah arah geraknya.
Tep! Di tangkapnya ujung tali Kail Naga Samudera yang gagangnya masih dalam genggaman Satria Gendeng.
"Hih!" Wush! Tubuh si pendekar muda mencelat, meninggalkan bongkahan raksasa yang terjun bebas.
"Kau tak apa-apa?" tanya sang penyelamat setelah berhasil menangkap tubuh Satria Gendeng. Satria melirik wajahnya.
"Kau lagi," desisnya. Ada nada dongkol terikut dalam desisnya, menemukan topeng Arjuna yang ber-tengger di wajah itu. Seperti tak berniat berterima kasih, pendekar muda itu menghardik, "Turunkan aku! Kau pikir aku ini istrimu yang baru kau kawini dan hendak kau ajak masuk kamar?" Pemuda bertopeng menggeleng-gelengkan kepala perlahan. Tak tahu berterima kasih, makinya dalam hati. Agak kesal, dilepas begitu saja tubuh Satria.
Bruk! "Maak!" Tahu rasa Satria Gendeng. Punggungnya dicumbu batu. Perutnya jadi bertambah nyeri. Hidungnya kembang-kempis. Matanya membeliak-beliak.
"Aku meminta kau menurunkan aku, bukan menjatuhkan aku seperti ini"!" omelnya sambil meme-gangi perut.
Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka menggeram-geram di kejauhan. Papakan kuat sebelumnya tak berarti apa-apa buatnya. Memang tubuhnya terlempar. Hanya terlempar. Di udara dia berputaran bagai bola karet, lalu menjejakkan kaki ke bumi tanpa kurang apa-apa.
Masih meringis-ringis, Satria Gendeng melirik ke arah si cebol sakti itu.
"Kau lihat itu! Karena perbuatanmu, dia jadi makin sinting saja!!" semburnya lagi pada pemuda bertopeng. Entah disadari atau tidak, sifat tengik Dedengkot Sinting Kepala Gundul rupanya sudah tertular pa-da dirinya.
"Aku memang sengaja membuatnya murka padaku," tepis pemuda bertopeng.
Satria merengut.
"Kenapa bisa begitu" Kau ini sejenis manusia sok pahlawan apa"!"
"Tak perlu berdebat. Aku hanya ingin kau bisa melepaskan diri untuk sementara dari manusia gelap mata ini."
"Ah, kau benar-benar sok pahlawan!"
"Aku hanya berharap kau bisa membawa Rara Lanjar ke Goa Lumut Jingga."
"Tapi kau belum bilang apa-apa kenapa dara itu harus dibawa ke sana"!"
"Karena sepekan lagi, Manusia Makam Keramat akan memburunya habis-habisan. Hanya tempat itu yang tak akan disatroni olehnya."
"Kenapa begitu" Cepat kau jelaskan padaku sebelum si cebol sinting itu melabrak lagi"!"
"Karena lumut yang tumbuh dalam goa itu adalah pantangan dari ajian 'Bangkit Raga Pulang Nyawa' miliknya...." Satria masih hendak 'nyerocos', tapi Penjaga Gerbang Neraka sudah keburu berteriak-teriak ganas seraya memburu ke arah mereka. Bacotnya terbuka lebar-lebar seperti mulut buaya menguap.
"Cepatlah kau pergi dari tempat ini, dan bawa Rara Lanjar segera!" seru pemuda bertopeng, alias Wisnu Bharata.
Satria bangkit terseok.
"Kau sendiri bagaimana?" tanyanya pada Wisnu Bharata.
Dari balik topeng, mata Wisnu Bharata meliriknya. Setengik-tengiknya dia, rupanya tetap ada perhatian pada seseorang kendati aku sendiri baru dikenalnya, puji Wisnu Bharata.
"Biar aku yang akan menghadapinya sampai kau bisa membawa Lanjar!" Satria mengangguk. Mesti terlihat kesal, sinar matanya tetap mengisyaratkan rasa terima kasih mendalam. Wisnu Bharata bisa membaca itu. Lalu si pendekar muda beranjak.
"Bagaimana kau bisa kenal pada Rara Lanjar?" tanyanya kemudian, masih sempat-sempatnya.
"Pergi saja!" bentak Wisnu Bharata, terdengar galak. Di balik topeng, bibirnya tersenyum.

* * *



Senja tersungkur juga di batas waktunya. Sinar mentari menjenuh. Terkapar dia tanpa daya.
Satria berlari kesetanan kembali ke gubuk. Dalam benaknya berkecamuk kekhawatiran terhadap keselamatan Rara Lanjar. Pemuda bertopeng adalah sumber yang menurutnya bisa dipercaya, kendati sampai detik itu dia masih tetap menjadi teka-teki bagi Satria Gendeng.
Menurutnya, dalam pekan terakhir ini Rara Lanjar akan diintai bahaya besar dari Manusia Makam Keramat. Satria sebelumnya memang sudah tahu bahwa penjahat kawakan dunia persilatan itu mengincar Rara Lanjar untuk tumbalnya. Jika usaha sebelumnya gagal, sudah pasti usaha selanjutnya akan dilakukan lebih ngotot.
Berpikir bisa saja Manusia Makam Keramat mempercepat usaha penculikan Rara Lanjar, Satria ja-di kalang-kabut sendiri.
Setidaknya dia harus secepatnya tiba di gubuk dan memastikan apakah keadaan gadis itu baik-baik saja.
Sewaktu dia teringat bahwa sang dara sedang bersama Ki Danujaya, pendekar muda itu agak lebih tenang. Dia percaya pada kemampuan orang tua itu dalam menghadapi kesaktian Manusia Makam Keramat. Tak begitu lama, Satria tiba juga di tempat tujuan. Gubuk masih dalam keadaan centangperenang. Serpihan atap dari daun kelapa kering ber-taburan di mana-mana. Sepi.
Tak terlihat siapa-siapa.
"Mungkin mereka di dalam," pikir Satria.
Cepat pula dia memburu ke dalam. Di dalam sana pun tak ada seorang pun. Gubuk menawarkan kebisuan dengan suasananya yang kacau-balau.
"Ke mana mereka"!" gumam Satria, bertanya pada diri sendiri. Apa mungkin Ki Danujaya membawa Rara Lanjar ke tempat yang lebih aman" Bukan mustahil orang tua sakti itu pun mengetahui kalau sepekan terakhir ini Manusia Makam Keramat akan mengincar Rara Lanjar lagi.
Kalau benar dipindahkan ke tempat yang lebih aman, ke mana Rara Lanjar dibawa Ki Danujaya" Ke Goa Lumut Jingga" Bukankah menurut pemuda bertopeng, yang hingga kini belum juga dia ketahui namanya itu, tempat paling aman untuk Rara Lanjar adalah Goa Lumut Jingga di bahu Gunung Bukit tunggul" Memang tak mustahil pula Ki Danujaya pun mengetahui perihal tempat itu.
"Sebaiknya aku menyusul ke sana...," tandas Satria Gendeng, mengakhiri segenap kecamuk pikirannya. Dia baru hendak beranjak ketika dari jendela matanya tertumbuk pada sosok seseorang yang berdiri di luar. Seorang bercaping mengenakan jubah hitam.
"Siapa pula orang ini?" bisiknya, mendesis.
Menilik ciri-ciri orang itu, mendadak dia ingat pada cerita Dewi Melati beberapa waktu lalu. Menurut perempuan genit yang telah kehilangan nyawa itu, orang yang sengaja mengadu domba Satria dengan Penjaga Gerbang Neraka memiliki ciri-ciri serupa dengan orang yang kini dilihatnya. Mungkinkah dia itu Manusia Makam Keramat" Hati Satria tak urung bergetar. Diam dia tak menggerakkan sedikit pun bagian tubuhnya. Satria tahu, orang bercaping tak menyadari kalau dirinya berada dalam gubuk. Terbukti dari caranya berdiri menyampingi gubuk. Dari gerak-geriknya pula, tak ada tanda-tanda kalau orang itu mencurigai sesuatu di dalam gubuk, termasuk keberadaan Satria Gendeng.
Apa yang dinantinya dengan berdiri diam di sana" Penasaran, hati Satria bertanya-tanya tanpa melepaskan pandangan. Keadaan gubuk yang gelap dan daun jendela yang terkuak kecil, memungkinkan dia bisa terus mengikuti gerak-gerik orang bercaping tanpa terlihat. Sampai suatu saat, mata Satria Gendeng menangkap gerakan lain dari arah berlawanan dengan tempat orang bercaping berdiri. Satria menangkapnya dari celah-celah dinding kayu gubuk. Mulanya tak begitu jelas. Ketika orang itu berhenti mengayun langkahnya yang cepat, barulah Satria Gendeng bisa menyaksikan dengan jelas.
"Ki Danujaya?" desisnya. Jika orang bercaping adalah Manusia Makam Keramat, tentu akan terjadi pertarungan maha hebat antara kedua tokoh berkesaktian mandraguna itu, pikir Satria. Selanjutnya, dia malah berpikir lain.
Bagaimana mungkin mereka akan bertarung sementara orang bercaping sendiri tampaknya justru menanti kedatangan Ki Danujaya" Sementara, Ki Danujaya semestinya tak perlu menemuinya jika Rara Lanjar telah berhasil dibawa ke tempat yang lebih aman.
Sepertinya ada sesuatu yang tak beres, pikir pendekar muda itu mulai curiga. Sekarang, dia tak bi-sa secepatnya mengambil kesimpulan. Toh, sampai saat itu dia tak juga mengetahui siapa sesungguhnya orang bercaping.
Satria terus diam di tempat. Bagai area kayu yang diterbengkalaikan dalam kegelapan. Lamat-lamat, dia mendengar Ki Danujaya buka suara.
"Kau menerima tawaranku, Arya Sonta?" Arya Sonta" Itulah nama asli Manusia Makam Keramat! Sentak hati Satria Gendeng. Kecurigaan murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu makin menjangkit. Orang bercaping yang tak lain Manusia Makam Keramat, tepat seperti dugaan Satria, belum juga memberikan tanggapan atas pertanyaan Ki Danujaya.
Satria menanti dengan gemas. Cepatlah kau buka mulut keparat, maki Satria membatin. Dia jadi tak sabar mengetahui kesepakatan apa yang hendak dibuat kedua orang di luar.
Sampai akhirnya, Manusia Makam Keramat berbicara juga. Dan itu benar-benar membuat Satria bagai disambar seribu halilintar!! "Kau menginginkan aku membantumu mendapatkan Keris Kiai Kuning, dan sebagai imbalannya kau hendak menyerahkan gadis itu padaku?"


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

SEBUAH fakta telah terbentang di depan mata sang pendekar muda tanah Jawa, bahwa Rara Lanjar telah berada dalam genggaman bahaya. Bahaya itu sendiri datang bukan dari orang yang dianggap teramat mengincarnya. Tanpa terduga, bahaya justru berasal dari orang yang semula dianggap sebagai penyelamat! Satria Gendeng merasakan kemarahan yang tumbuh besar menjadi gelegak kemurkaan maha besar. Darahnya cepat menjalang. Inginnya dia keluar dan melabrak sehabis-habisnya Ki Danujaya, kalau sa-ja pikiran sehatnya tak cepat memperingati. Ki Danujaya sendiri saja, belum tentu sanggup dihadapi Satria Gendeng. Apalagi jika bersama Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat.
Mengikuti kemarahan buta hanya berarti kebodohan! Dengan amat sulit, Satria Gendeng berupaya menahan gelegak kemurkaannya. Wajahnya jadi merah tergarang. Tangannya mengeras. Keringat dingin bercucuran. Keparat kau, Ki Danujaya! Rutuk Satria membatin. Rupanya selama ini, wajah penuh damai dan wibawamu hanyalah topeng belaka. Rupanya kesan yang kau tawarkan di wajahmu cuma kepalsuan! Betapa mataku buta! Sampai pemuda itu pun tak luput mencaci maki diri.
Terbetik pikiran untuk segera mencari Rara Lanjar sepanjang Ki Danujaya tak berada bersamanya.
Tapi harus mencari ke mana" Sementara selama ini Ki Danujaya datang dan pergi secara penuh teka-teki. Dia tak pernah mengatakan dari mana dia datang dan ke mana dia pergi. Kalaupun Satria Gendeng tahu tempat tinggalnya, tak akan Rara Lanjar dibawa ke sana. Dia tak akan sebodoh itu.
Jadi apa yang harus kulakukan" Gundah hatinya. Satria ingat pada pemuda bertopeng. Kenapa dia tak mencoba menghubungi pemuda itu dulu" Selama ini, pemuda itu mengetahui cukup banyak hal tentang Rara Lanjar. Bukan tak mungkin kalau dia pun mengetahui tentang diri Ki Danujaya.
Menimbang hal itu, Satria segera beranjak hatihati, bagai berjingkat di atas debu, dia berjalan keluar dari pintu belakang gubuk. Sayangnya, pintu gubuk dalam keadaan tertutup. Satria tak yakin daun pintu tak menimbulkan derit yang memancing kecurigaan dua orang di luar.
Kalau sudah begini, apa akalnya" Lalu matanya mencari-cari, sampai tertumbuk pada lobang besar di wuwungan gubuk. Sebelumnya jebol oleh tubuh Satria dan Penjaga Gerbang Neraka.
Hanya jalan itu yang mungkin dilalui.
Satria membenahi posisi. Setelah itu dia mencelat ke atas. Ringan tanpa menimbulkan suara berar-ti.
Tap! Di atas wuwungan, kakinya mendarat dengan suara teramat halus. Hembusan angin cukup keras, memungkinkan suara pijakannya tersamarkan.
Dua orang di bawah, tak sempat menyadari keberadaan Satria Gendeng di atas wuwungan. Di samping karena posisi mereka, juga karena mereka tampaknya masih sibuk membuat kesepakatan.
Satria melanjutkan usaha meninggalkan tempat itu dengan melompat dari atas wuwungan ke pelataran belakang gubuk. Sekali lagi, usahanya berjalan mulus. Tak ada kecurigaan ditimbulkan. Setelah itu, secepatnya dia berlari mengerahkan segenap kemampuan peringan tubuh sekaligus lari cepatnya. Dia kembali ke tempat di mana sebelumnya justru ditinggalkan.

* * *



Di tempat tujuan Satria Gendeng, Wisnu Bharata dibuat cukup pontang-panting menghadapi Penjaga Gerbang Neraka. Amukan tokoh sakti berbadan cebol yang semula ditujukan kepada Satria Gendeng, ki-ni dilimpahkan kepada Wisnu Bharata. Apa mau dikata, pemuda bertopeng itu telah mengambil risiko berat untuk memberi kesempatan pada si pendekar muda tanah Jawa. Untuk itu, dia harus menghadapi amukan menggila Penjaga Gerbang Neraka.
Gencar layaknya hujan badai, gempuran demi gempuran Penjaga Gerbang Neraka mengincar setiap sudut lowong pertahanan Wisnu Bharata.
Wisnu Bharata sejauh itu tak sekali pun sempat memberikan peluang untuk lawan agar dapat menyarangkan satu-dua serangan. Untuk tingkat olah kanuragan dan kesaktian, pemuda satu ini tak kalah tangguh dari Penjaga Gerbang Neraka. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan sanggup menekan balik ben-teng pertahanan penjaga Gerbang Neraka.
Ketangguhan si pemuda membuktikan pada siapa pun, bahwa orang yang telah menggodoknya bukanlah orang sembarangan. Dalam dunia persilatan, nama Hantu Kera memang tak terlalu dikenal. Seolah tokoh berwajah kera itu hanya ingin menyembunyikan diri di satu sudut jagat. Siapa dirinya, bahkan hampir tak ada yang mengetahui secara jelas. Kalau Gendut Tangan Tunggal mengenalnya tiga tahun lalu, itu pun baru pertama kali. Sebelumnya, pendekar kalangan atas bertabiat aneh itu malah tak pernah sekali pun menyaksikan Hantu Kera, atau mengenal namanya sekalipun.
Kembali ke pertarungan.
Wisnu Bharata menyadari, tujuan sesungguhnya berhadapan dengan Penjaga Gerbang Neraka bukan untuk mengadu jiwa secara konyol. Dia hanya memberikan peluang pada Satria Gendeng untuk bisa menyingkir sementara waktu dari kejaran 'orang kalap' itu. Sekarang, tujuan itu sudah tercapai. Tak perlu lagi dia lebih lama meladeni kekalapan tokoh tua cebol itu.
Sayangnya, tak mudah untuk melepaskan diri dari tokoh sekaliber Penjaga Gerbang Neraka. Lari tak menjamin urusan selesai.
Penjaga Gerbang Neraka tentu akan mengejarnya. Dengan kesempurnaan peringan tubuhnya, tentu Wisnu Bharata akan mengalami kesulitan untuk lolos. Bisa-bisa terjadi kejar-kejaran tak lucu hingga berhari-hari.
Selagi bertarung demikian ketat, sulit juga bagi Wisnu Bharata untuk mencari akal mengelabui Penjaga Gerbang Neraka. Sepertinya tak ada pilihan lain ba-gi Wisnu Bharata kecuali menaklukkan manusia gelap mata satu ini. Mendapat sedikit kesempatan yang hanya beberapa kejapan, Wisnu membuat lompatan ke belakang.
Penjaga Gerbang Neraka terus memburu, seakan tak membiarkan lawan untuk menarik napas. Dengan cukup cerdik, Wisnu Bharata mengubah arah lompatannya ke depan, melompati kepala lawan yang meluruk ke arah berlawanan.
Karena tak menyangka lawan akan membalik arah lompatan demikian tiba-tiba, Penjaga Gerbang Neraka jadi kecele. Dia menyaksikan kecolongan ketika Wisnu Bharata lolos begitu saja di atas kepalanya.
Wisnu pun mendapatkan jarak aman. Dia berdiri. Tekadnya sudah bulat untuk mengalahkan lawan, tanpa harus membunuhnya. Tak menanti sampai lawan berbalik dan menyerangnya lagi, pemuda yang masih saja mengenakan topeng itu mengeluarkan satu kantong kulit kecil dari balik bajunya.
Kantong dibuka. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sebutir pil. Ditelannya pil itu. Berselang hanya ti-ga tarikan napas berikutnya, kuda-kuda pemuda itu tiba-tiba oleng. Dia berdiri terhuyung ke sana-ke mari.
Kedua kakinya seperti tak cukup punya kekuatan pijakan. Tubuhnya seperti melakukan tarian.
Lemah-gemulai. Tapi juga serba kacau.
Tangannya bergerak kian kemari.
Melantunkan letupan-letupan angin pukulan.
Inilah jurus 'Kera Menari', yang diciptakan Hantu Kera ketika tanpa sengaja dia berurusan dengan Gendut Tangan Tunggal yang menelan buah-buahan beracun, tiga tahun silam.
Menyaksikan lawan bersikap petantangpetenteng tak karuan, Penjaga Gerbang Neraka menggeram. Disangkanya dia sedang diledek.
Menjadi-jadi kemarahannya.
Meraung, diterjangnya lawan.
"Khuauuu!" Ujung senjatanya mencoba menikam leher lawan. Wisnu Bharata mendadak mengayun badan setengah putaran. Terlihat lambat, dan lemah. Tapi tetap bisa mementahkan tikaman senjata lawan. Saat memutar tubuh, senjata lawan seperti sengaja dibiarkan bersandar di punggungnya. Lawan merasa makin diejek karenanya. Apalagi ketika Wisnu Bharata menatapnya dengan mata sayu.
"Khuahuuu!" Penjaga Gerbang Neraka membabatkan senjatanya yang lain dari arah berbeda. Gerak yang begitu tiba-tiba seakan terkaman seekor singa ketika mangsa sudah sampai pada jarak jangkauannya.
Wisnu Bharata meliukkan tubuh. Ketika mata senjata lawan sudah tepat di depannya. Tangannya te-rangkat cepat, namun tetap gemulai. Tang!
Wukh! Senjata lawan terdongkel keras ke atas, terkena jentikan jari telunjuk Wisnu Bharata. Wajah sang ma-jikan pasti menjadi sasaran, kalau saja Penjaga Gerbang Neraka tak cepat menggeleng.
Detik itu pula, Penjaga Gerbang Neraka mulai mengendusi ketangguhan jurus-jurus ganjil lawan.
Namun, lawan seperti tak memberi kesempatan pada lelaki cebol itu untuk mengubah strategi. Dia mulai melakukan gempuran, membalik keadaan yang sebelumnya justru dikendalikan oleh Penjaga Gerbang Neraka. Jurus yang menggelikan jika diperhatikan, ternyata sanggup menekan terus seorang tokoh seangkatan dan sekelas Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dalam beberapa kesempatan, jurus 'Kera Menari' milik Wisnu Bharata malah sempat mematikan langkah Penjaga Gerbang Neraka.
Jika kepandaian bisa menyaingi, maka pengalaman Wisnu Bharata dibanding Penjaga Gerbang Neraka tentu belum apa-apa. Seujung kukunya saja barangkali. Dalam pertarungan seperti itu, lebih sering pengalaman justru menjadi satu penentu kemenangan.
Dan itu dibuktikan oleh Penjaga Gerbang Neraka kemudian.


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

GENDUT Tangan Tunggal tiba di Makam Keramat Maut. Berdiri dia, ragu, di gerbang daerah menakutkan itu. Gerbang berbentuk gapura dari susunan batu, berbentuk wajah dedemit yang sedang menganga lebar. Perut digaruk-garuknya entah sudah berapa la-ma. Tak peduli apakah kulit perutnya akan menjadi le-cet atau tidak. Wajahnya kecut. Sebentar-sebentar meringis sambil melayangkan pandangan jauh ke depan.
"Masuk, tidak.... Masuk, tidak.... Masuk, tidak...." Begitu terus yang digumamkannya, seakan sedang berzikir khusuk dengan dua kata itu. Dengan tampang dan tingkah seperti itu, siapa yang tak akan menyangka kalau dia tidak linglung" Sebentar-sebentar kepalanya menoleh ke belakang, seperti menimbang-nimbang untuk kembali.
Sampai akhirnya dia meninju kepala sendiri, berkali-kali. Sampai dia terdongakdongak.
"Kenapa kau jadi pengecut seperti ini!" rutuknya pada diri sendiri.
"Percuma saja kau mengaku menjadi pendekar kalau menghadapi bahaya saja masih panasdingin! Huh huh huh!" Lalu dibusungkannya dada, kendati tetap saja yang membusung perutnya. Dengan wajah digaranggarangkan, dia melangkah memasuki gerbang Makam Keramat Maut.
"Peduli setan dengan Manusia Makam Keramat! Peduli setan dengan bahaya jebakan maut di dalam sana! Peduli setan dengan keganasan alam di sana.
Peduli setan dengan nenek moyang setan!" makinya terus, mengipasi keberanian.
Baru juga tiga tindak dia melewati pintu gerbang, tanah tempatnya berpijak mendadak longsor, menciptakan bunyi menggetarkan nyali bagai desis ra-tusan ular dan gemuruh seribu derap kaki kuda.
"Wait!" teriak Gendut Tangan Tunggal. Dia melenting beberapa tombak ke depan.
Setelah menjejakkan kaki, dibalikkannya tubuh cepat-cepat tanpa merasa perlu melihat ke depan lagi. Kendati longsoran lebar telah terlewat, masih saja dia mencak-mencak.
"Mana"! Mana"! Ayo keluar"! Kau pikir aku takut"!" bentaknya kalang-kabut pada lobang longsoran.
Tak ada yang keluar dari sana.
Gendut Tangan Tunggal mendengus. Dagunya diangkat tinggi-tinggi. Sambil mencibir, dia mencemooh, "Hm, cuma sebegitu saja...." Dibalikkannya kembali badan. Baru berbalik, mulutnya berteriak kembali. Wajahnya terkesiap. Nyaris menjadi pucat Di depan hidungnya, sudah ada sesuatu menghadang.
"Chiaaa!" serunya lantang seraya menebas ke depan. Bruak! Tumbanglah sesuatu yang menghadang tadi, tertebas tenaga dalam Gendut Tangan Tunggal. Setelah itu, Gendut Tangan Tunggal jadi cengar-cengir sendiri.
Yang baru saja dihajarnya ternyata bukan apa-apa.
Cuma sebatang pohon kering. Salahnya sendiri tak mau lihat-lihat sebelumnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk perut.
"Kupikir apa...," gumamnya.
Langkah pun dilanjutkan.
Tak ada apa-apa lagi sepanjang lima puluh tombak ke depan. Melewati jarak itu, Gendut Tangan Tunggal mulai melihat gundukan-gundukan dan batubatu besar nisan kuburan. Angin membekukan berhembus. Kabut di mana-mana. Senja sudah sempurna saat itu. Cahaya sudah terlalu sekarat. Gelap mengendap-endap.
Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik. Rasanya dia sedang memasuki alam siluman. Perasaan aneh yang terus saja menggerayang di sekujur benaknya. Dengan aneh, kabut yang semula hanya mengapung di tempat, perlahan-lahan bergerak menuju dirinya. Entah perbuatan angin, entah perbuatan dedemit. Gendut Tangan Tunggal tersurut ke belakang.
Kabut seperti mengejarnya perlahan.
Tersurut lagi Gendut Tangan Tunggal.
Pada tindakan kaki berikutnya, mata Gendut Tangan Tunggal mendelik sebesar-besarnya. Bulu kuduknya meremang hebat. Dia merasa ada yang memegangi pergelangan kakinya dari bawah.
Mengejang Gendut Tangan Tunggal. Perutnya sampai tertekan ke atas.
"Huaaattt!" Kuda-kuda disentaknya. Pada gerakan kedua, dia membuat tendangan keras, seperti seorang pemain sepak bola kawakan membuat tendangan pisang.
Bletak! Sesuatu terkena tendangannya. Melayang.
Gendut Tangan Tunggal cemberut lagi menyaksikan benda yang melintir di udara itu. Cuma sepotong kerangka manusia. Rupanya dia tadi melangkah masuk ke tanah kuburan yang sudah hancur.
Sial, pikirnya. Cuma bikin kaget saja! Namun, kejadian selanjutnya dijamin tak cuma membuat dia kaget. Mendadak sontak dari sepuluh gundukan tanah di sekelilingnya, mencuat bendabenda aneh yang belum lagi jelas disaksikan oleh matanya. Tanah berhamburan.
Bunyi halus namun ramai tercipta. Ih, apa itu" Pikir Gendut Tangan Tunggal.
Mayat hidupkah" Pandangan ditajamkan. Mulai jelas terlihat sekarang, benda-benda setinggi manusia yang bersembulan dari setiap gundukan ternyata bukan bangkai hidup atau setan penasaran. Cuma sepuluh tonggak kayu selebar badan manusia. Bentuknya seperti nisan. Tapi tetap tak membuat Gendut Tangan Tunggal menjadi cukup lega. Karena hanya dalam selang waktu sedetik dari saat penyembulannya, bendabenda itu memperdengarkan suara berdesir tajam.
Srrr! "Waith!" Gendut Tangan Tunggal mencak sejurus, menanti bahaya mendatangi.
Ditunggu tunggu tak ada juga yang datang.
Apa yang bersuara tadi" Mendadak sontak Gendut Tangan Tunggal memekik, kaget bukan main ketika dari arah atas tahutahu jatuh jaring raksasa. Rupanya suara berdesir tadi berasal dari benda itu.
Gendut Tangan Tunggal gelagapan. Serimpung sana, serimpung sini. Dia sendiri tak pernah menyangka kalau yang menyergapnya dari atas cuma sebentang jaring. Dalam pikirannya, justru dia membayangkan sedang diterkam siluman ubur-ubur (apa ada") atau sejenisnya. Jelas saja dia jadi pontangpanting dipermainkan pikirannya sendiri. Dia mau berteriak minta tolong, tapi malu sama bodongnya. Kalaupun berteriak, siapa yang mau menolongnya" Tak lama, baru dia menyadari.
Sialan lagi, rutuknya membatin. Kenapa selalu saja dia jadi salah menilai gara-gara ketakutan yang tak ada juntrungan! "Jaring sambar geledek!" makinya seraya mengerahkan tenaga dalam untuk mencerai beraikan simpul jaring. Ssrt! Gendut Tangan Tunggal mendengus. Jaring tak koyak! "Dari bahan apa jaring ini dibuat" Kenapa alot sekali?" gerutunya.
Dan dicobanya sekali lagi. Tenaga dalam ditingkatkan beberapa tingkat lebih tinggi.
"Hih!" Srrrt! Hasilnya sami mawon! Jaring tetap tak koyak.
Gendut Tangan Tunggal mulai gelagapan lagi, mulai serabutan lagi. Tambah meningkat serabutannya manakala benda-benda yang mencuat dari gundukan di sekelilingnya mendadak bergerak.
"Apa lagi ini...?" desis si pendekar tua berperut buncit, berbadan tambun itu.
Sing-sing! Celaka dua belas! Mulut Gendut Tangan Tunggal menganga. Matanya membeliak. Disaksikannya sekelebatan ada puluhan susuk-susuk kayu kecil menghambur dari setiap tonggak di sekelilingnya. Kalau dia sedang berdiri bebas, mungkin serangan seperti itu cuma dianggapnya kentut. Lain perkara kalau tubuhnya sedang dililit jaring yang alotnya seperti tali pusat Gatotkaca! Mau tak mau, Gendut Tangan Tunggal bergulingan. Guling sana, guling sini. Teriak-teriakan tak karuan, menyumpahi habishabisan jaring yang sudah mengusilinya dan masih tetap betah mengeloninya.
Padahal kalau pikirannya sedikit jalan, mestinya dia khawatir Manusia Makam Keramat justru mendengar teriakannya. Kecuali manusia durjana itu bertelinga rombeng! Clep clep! Susuk-susuk kayu tadi menancap di manamana. Di tanah ada. Bahkan di tonggak yang saling berseberangan. Yang tak ada cuma di tubuh Gendut Tangan Tunggal. Syukur, selamat dia. Meskipun untuk itu dia harus berjuang seperti kucing mandi di pasir.
Sementara, tanah dan tonggak kayu yang terhujam susuk mengeluarkan asap kehitaman, yang nyaris tak kentara di dalam gelap senja tua. Bagian yang terkena menjadi hangus! Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kalau dia sudah berguling sungsang-sumbel dan masih terkena juga, tentu dia bakalan jadi kambing guling (gemuk)! Sekarang tinggal urusan jaring sambar geledek, pikirnya. Percuma mengerahkan tenaga dalam. Jaring ini tampaknya dibuat dari bahan yang akan menjadi kian alot kalau mendapat regangan. Kesal-kesal, Gendut Tangan Tunggal pun mulai unjuk gigi. Bukan mengeluarkan kesaktiannya. Dia cuma memakai 'gigi'nya untuk mengoyak jaring.
"Hih, nym... nym... nym...." Gigit sana-gigit sini, anehnya bisa juga jaring itu terkoyak. Satu simpulnya digagahi giginya. Putus.
Kalau sudah begitu, tentu saja jadi lebih gampang mengoyak sekaligus. Maka, Gendut Tangan Tunggal pun mengeluarkan tenaga dalamnya. Sekali ini tidak sia-sia. Jaring robek....
Brek! Nah, beres sudah! Mulut tua bangka itu bersilap-silap.
Rasanya kok enak juga, ya gumamnya. Keterlaluan.

* * *



Satria tiba kembali di tempat pertarungan antara Wisnu Bharata dengan Penjaga Gerbang Neraka.
Sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana. Cuma bekasbekas pertarungan yang centang-perenang seperti kapal pecah.
"Ke mana, pemuda bertopeng itu?" bisik Satria.
Matikah dia di tangan Penjaga Gerbang Neraka" Memang ada kemungkinan medan laga berpindah dari tempat itu. Tapi Satria Gendeng tak yakin, sebab tak ada tanda-tandanya.
Jadi ke mana dia" Satria melongok-longok. Di mana-mana, tak ada si pemuda bertopeng. Tak mungkin dia terjatuh pingsan di semak-semak atau tersangkut di atas pohon. Sepanjang arena pertarungan, tak ada semak yang perlu disibak, tak ada pohon yang perlu ditengok.
Kalau Penjaga Gerbang Neraka pun sudah tak ada lagi di sana, artinya pertarungan memang telah selesai. Sudah tentu ada pihak yang menang, dan ada yang 'ngejoprak', atau kedua-duanya sama-sama keok.
Kalau begitu, pasti ada tubuh yang tergeletak. Ini malah tidak ada sama sekali.
Bahkan bau si lelaki cebol nan galak pun sudah tak ada.
Ada juga kemungkinan lain. Pemuda bertopeng mencoba meloloskan diri dari amukan membabi buta Penjaga Gerbang Neraka. Dia lari, dan lawan mengejarnya. Bukankah tujuan pemuda bertopeng semula hanya ingin memberi kesempatan Satria membebaskan diri dari Penjaga Gerbang Neraka, bukannya hendak cari borok, apalagi cari mati" Dengan begitu, mana ada tubuh yang tergeletak" Barangkali pikiran terakhirnya benar. Kalau benar, Satria Gendeng harus merutuk. Dia ada keperluan mendesak dengan pemuda bertopeng. Kalau dia ngacir, ke mana harus dicari"
"Slompret juga...," gerutu Satria Gendeng. Ga-ra-gara si cebol sakti itu, urusannya jadi tak karuan.
Satria garuk-garuk kepala. Kebingungannya sudah melonjak sampai ke ubun-ubun, membuat kepalanya gatal minta ampun.
Sekarang apa yang bisa dilakukan" Menunggu saja sampai datang keajaiban" Beberapa saat kemudian, samar-samar Satria Gendeng mendengar suara keluhan seseorang. Terlalu samar, sampai Satria sendiri tak yakin apakah dia benar-benar mendengar keluhan itu, atau hanya mendengar bisikan angin lalu.
Pendekar muda itu mempertajam pendengaran.
Makin dipertajam, makin jelas keluhan itu. Asalnya dari arah jurang yang sebelumnya hendak menelan Satria Gendeng bulat-bulat "Ada seseorang di sana...," bisik Satria Gendeng tak yakin. Bagaimana tak yakin" Apa ada orang di balik bibir jurang" Sementara dasarnya saja sudah begitu dalam. Dengan kedalaman seperti itu, apa keluhan seseorang akan terdengar" Tapi sudah jelas dia memang mendengar suara keluhan tadi. Untuk meyakinkan diri, Satria melangkah mendekati bibir jurang. Di tepi, pendekar muda itu melongokkan kepala ke bawah. Dia terkejut, sekaligus tersenyum menyaksikan pemandangan di bawah sana.
Pada tepi jurang, sekitar sepuluh kaki dari tepinya, Satria menyaksikan seseorang tergantunggantung di atas sebuah pohon liar yang tumbuh di dinding jurang. Orang itu Wisnu Bharata! "Hei, kau di sana, rupanya!" seru Satria, girang bukan main. Kebingungan yang semula menggerecoki benaknya, pupus sudah entah ke mana.
Di bawah, Wisnu Bharata terbatuk-batuk.
Seandainya dia tak mengenakan topeng, tentu Satria Gendeng akan melihat wajahnya meringis pucat. Dia belum lama terkena hajaran pukulan Penjaga Gerbang Neraka. Agaknya terluka dalam, kendati tak begitu parah. Seperti dialami oleh Satria Gendeng sebelumnya, dia pun terlempar ke bibir jurang.
Untunglah, ketika terjatuh, tangannya masih sempat meraih dahan pohon liar, sehingga dia selamat dari kematian konyol.
Karena masih terluka dalam, dia tak bisa cepat-cepat berusaha mengangkat diri kembali. Di samping itu, dia akan mendapat keuntungan jika tak segera naik ke bibir jurang. Lawannya, si kerdil galak, justru menyangka dia sudah tamat di dasar jurang. Makanya, dia pun pergi dari tempat itu. Tujuannya hendak memulai kembali perburuannya terhadap Satria Gendeng. Orang yang diburu sendiri malah datang ke tempat itu. Bukan 'pucuk dicinta ulam pun tiba', pastinya! "Kau tak apa-apa?" tanya Satria Gendeng, seolah membayar pertanyaan yang pernah diajukan Wisnu Bharata ketika dia mendapat hajaran dari si cebol sakti pula sebelumnya.
Sepertinya mengejek. Padahal tidak. Dia tak sempat berpikir untuk mengejek segala macam. Hatinya sedang girang-girangnya.
Wisnu Bharata menggelengkan kepala.
"Bagus!" seru Satria Gendeng.
"Apa kau mau menolongku dulu, setelah itu baru kau boleh bertanya segala macam?" balas Wisnu.
Satria mengangguk dengan senyum lebar. Sekali lagi, tak ada niat untuk mengejek Wisnu Bharata.
Sekali lagi pula, pemuda itu melongok ke bawah, men-gukur-ukur jarak.
"Cukup," simpulnya kemudian.
Lalu, diloloskannya senjata pusaka dari ikat pinggang. Disentaknya hingga terulur. Lalu, ujungnya dijulurkan kepada Wisnu Bharata. Perkiraannya tak meleset. Ujung Kail Naga Samudera ternyata cukup menjangkau Wisnu Bharata.
Setelah Wisnu meraih ujung Kail Naga Samudera, Satria pun menyentak dengan sedikit penyaluran tenaga dalam.
"Hup!" Tubuh Wisnu Bharata terpental ke atas. Satria menangkapnya, seperti sebelumnya dia ditangkap Wisnu Bharata. Utangnya jadi lunas kini! Untungnya, pendekar muda yang terkadang bertingkah tengik itu tak berniat membanting begitu saja tubuh Wisnu Bharata seperti dilakukan Wisnu Bharata pada dirinya.
"Kau tak apa-apa?" tanya Wisnu. Satria nyen-gir.
"Mestinya, aku yang bertanya padamu seperti itu!" tukasnya.
"Aku hanya khawatir kau terkena satu ajian Penjaga Gerbang Neraka...," kata Wisnu, teringat pada nasib Pendekar Muka Bengis yang masih tergeletak di gubuk gurunya. Dia pun bersyukur, hantaman yang diterimanya tak terisi ajian tersebut pula.
"Ajian apa?" Kening Satria Gendeng berkerut.
"Ah, sudahlah...," hindar Wisnu Bharata. Dia tak ingin bertele-tele. Ada hal lain yang tak kalah penting ingin ditanyakan pada si pendekar muda.
"Kenapa kau kembali ke sini?" tanyanya kemudian.
"Itulah...," keluh Satria Gendeng.
"Aku tak bisa membawa Rara Lanjar ke Goa Lumut Jingga seperti permintaanmu."
"Kenapa" Apa yang terjadi pada dirinya?"
"Dia di tangan Ki Danujaya."
"Orang tua itu...."
"Kau mengenalnya?" Wisnu Bharata mengangguk. Dia pun mulai menceritakan suatu rahasia pada Satria Gendeng.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

BAGAIMANA urusan seru si perut gentong di Makam Keramat Maut" Saat itu, dia masih celingak celinguk tak menentu setelah berhasil menanggulangi beberapa bahaya jebakan maut yang memang telah dibangun di sekitar kuburan oleh pasukan Pajajaran atas perintah Prabu Pajajaran saat itu. Tujuannya hanya untuk menghalang-halangi orang-orang yang berusaha membangkitkan kembali Manusia Makam Keramat. Jika kini, Manusia Makam Keramat akhirnya bangkit juga, tentu saja menjadi teka-teki yang menuntut jawaban. Tentunya ada seseorang yang telah turun tangan dalam kebangkitannya tersebut. Seseorang yang berhasil lolos dari setiap jebakan maut di Makam Keramat Maut. Dan tentunya pula, orang yang telah memberikan ramuan rahasia milik Makam Keramat Maut pada bocah-bocah yang kemudian menjelma menjadi Pasukan Kelelawar (Bacalah serial Satria Gendeng dalam episode : "Pasukan Kelelawar"!). Sebab, tak mungkin tindakan itu dilakukan sendiri oleh Manusia Makam Keramat, sementara jasadnya sendiri masih dalam himpitan bumi. Siapakah orang itu" Kembali pada Gendut Tangan Tunggal. Sampai di mana dia kini, dia tak tahu. Kebingungan menjamahnya. Garuk-garuk perut lagi dia, kebiasaan yang selalu dilakukan jika sedang kebingungan (lebih rajin lagi kalau kelaparan!).
Sudah tiba dia di satu bagian Makam Keramat Maut yang lebih masuk ke dalam, Mestinya dia sudah menemukan batu besar, seperti kata Hantu Kera. Batu besar yang dijadikan semacam prasasti oleh sang Prabu untuk peringatan bagi setiap penjahat besar negeri.
Batu itu memang sudah tak ada lagi. Telah dihancurleburkan oleh Manusia Makam Keramat (Baca episode : "Nisan Batu Mayit"!). Mana bisa Gendut Tangan Tunggal menemukan lagi" Menurut Hantu Kera lagi, tumbuhan yang hendak dicari Gendut Tangan Tunggal berada di sebelah selatan batu besar.
"Si monyet ini bagaimana" Katanya aku akan menemukan batu besar. Batu besar apa" Yang ada cuma bongkahan-bongkahan kecil yang berhamburan di mana-mana...," gerutu Gendut Tangan Tunggal. Padahal serakan batu yang disaksikannya kini adalah batu besar yang telah dihancurkan Manusia Makam Keramat. Gendut Tangan Tunggal mengedarkan pandangan, penasaran. Barangkali aku belum sampai di tempat yang tepat, pikirnya. Tapi sejauh mata memandang, tak ditemukan juga batu yang dimaksud. Kabut menghalanginya, hingga pandangannya hanya mampu menjangkau hingga jarak lima tindak saja. Mana malam sudah bertambah matang.
Gendut Tangan Tunggal mengebut-ngebut kabut dengan kesal. Perbuatan sia-sia. Kabut tetap saja berkumpul dan berkumpul lagi. Mangkel hati, Gendut Tangan Tunggal melanjutkan saja langkah. Peduli setan nantinya dia akan tersasar di makam yang luasnya minta ampun itu. Ke selatan dia mengayun langkah, teringat kata-kata Han-tu Kera. Melangkah dua puluh tindak, Gendut Tangan Tunggal tersandung sesuatu.
"E... eeeh!" Gedubruk! Jatuhlah dia dengan perut mencium tanah lebih dahulu. Memantul sebentar, lalu berguling sekali, dan tertelungkup kembali.
Padahal kalau sedang dalam keadaan wajar, paling sulit dia untuk melakukan hal itu. Tanpa berhenti memaki-maki, Gendut Tangan Tunggal hendak bangkit. Niatnya urung. Hidungnya membaui sesuatu. Seperti bau daging bakar.
"Bau daging bakar," gumamnya dengan bibir menyeringai. Rasanya dia telah menemukan tanpa sengaja pohon yang dicarinya. Dia ingat, Hantu Kera mengatakan kalau tumbuhan itu mengeluarkan aroma seperti daging terbakar (sebenarnya, sempat juga Gendut Tangan Tunggal membayangkan sate bakar, atau panggang guling. Untung saja tak berkelanjutan).
Tokoh berbadan boros itu buru-buru bangkit.
Agak susah payah karena perutnya. Berdiri, tangannya menyibak-nyibak kabut dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.
Kabut tersingkir. Enyah cukup jauh, memberi kesempatan pada Gendut Tangan Tunggal untuk menyaksikan tumbuhan di depannya.
"Benar!" seru Gendut Tangan Tunggal tertahan.
Disaksikannya sebuah pohon setinggi setengah kaki.
Bentuknya tak begitu istimewa. Daunnya seperti sirih.
Batangnya meliuk-liuk. Warna pohonnya pun tak terlalu jauh dengan tumbuhan biasa. Hijau agak kemerahan. Persis seperti gambaran Hantu Kera pada dirinya.
Dengan perasaan gembira meluap-luap, Gendut Tangan Tunggal secepatnya menyambar pohon itu.
Tas! Satu rantingnya terpotes.
"Dapat kau," katanya penuh kemenangan.
Sekarang tinggal urusan pulang. Syukursyukur dia tetap tak berjumpa dengan Manusia Makam Keramat seperti sebelumnya. Biar semuanya berjalan mulus seperti jidat perawan, pikirnya. Memang Gendut Tangan Tunggal sedang beruntung. Manusia Makam Keramat sedang meninggalkan Makam Keramat Maut untuk satu urusan dengan Ki Danujaya.
Berbalik Gendut Tangan Tunggal, ke arah sebelumnya dia datang. Dia lupa lagi pada sesuatu yang mengganjal langkahnya. Pengulangan kejadian menjengkelkan pun terjadi. Tersandung lagi kakinya. Ah, bagaimana manusia satu ini" Keledai saja tak akan terjatuh pada lobang yang sama....
"Sambar geledek!" raung Gendut Tangan Tunggal. Benda apa yang usil berdiam di sana sampai dia perlu tersandung dua kali"! Geram, dia bangkit. Tangannya kembali mengebut-ngebut kabut. Sekali ini agak dikompori kemangkelan.
Sekejap, terlihatlah pemandangan di bawahnya.
Perhatian Gendut Tangan Tunggal terpancing.
"Apa ini?" Disaksikannya beberapa tonggak bambu yang ditanam berjajar. Ada sekitar delapan tonggak. Lebar lobang bambu sebesar kepalan tangan.
"Ah, apa perlunya aku pada bambu-bambu sambar geledek ini". Lalu salah satu batang bambu ditendangnya, jengkel.
Jedug! Tiba-tiba saja tanah yang dipijaknya terbelah.
Cepat, hingga tak memberi kesempatan pada Gendut Tangan Tunggal untuk melompat lagi.
Grukkk! Meluruk deras tubuh besar lelaki tua itu ke dalam lobang sedalam lima belas kaki. Dia tak tahu apa yang telah terjadi. Yang dia tahu, dirinya sudah berada di dalam lobang yang berpenerangan obor-obor di sekelilingnya. Lobang itu tak lebih lebar dari gubuk kecil.
Tampaknya sengaja dibuat untuk tujuan tertentu.
Ruangan lembab. Dingin.
Tengkuk Gendut Tangan Tunggal merinding.
Gendut Tangan Tunggal memandang sekelilingnya. Lobang dibuat seadanya. nilainya. Dan bambu-bambu yang tadi ditemukan rupanya dimanfaatkan untuk menyalurkan udara ke dalam lobang. Salah satu bambu yang ditendangnya adalah kunci pembuka pintu menuju lobang.
Tepat di tengah ruangan, ditemukannya beberapa benda asing, yang dinilai aneh berada di dalam sana. Ada kembang tujuh rupa. Ada mangkuk dupa.
ada kendi tanah liat yang tampaknya berisi air mawar, ada kain putih. Di atas kain putih, tergeletak satu nisan besar, lebih 'besar' dari badan Gendut Tangan Tunggal.
"Orang iseng mana yang tak punya kerjaan mengumpulkan semua benda-benda ini. Seperti perabotan dukun saja...," nilai Gendut Tangan Tunggal, dengan suara terlonjak-lonjak dihentak kegusaran. Dia gusar karena sekali lagi harus menerima kesialan.
Darahnya sudah menyundul-nyundul ubun-ubun. Harus dikeluarkannya kegusaran itu. Harus ada pelampiasan, jika tidak dia bakalan kejang terkena serangan darah tinggi.
Maka, dia pun menggeram bangkit.
Wajahnya seperti siluman kelaparan.
Seram. Sekaligus mengerikan.
Seraya mencerocoskan caci-maki tak kepalang tanggung. Saking tak kepalang tanggung, malah terdengar seperti dengking keledai.
Gubrak-gedubrak! Kendi dan mangkuk dupa ditendangnya. Pecah berkeping. Kembang tujuh rupa diinjak-injaknya sampai rata dengan tanah. Kain tujuh rupa dikoyakkoyaknya sampai menjadi cabikan kecil-kecil. Kecil sekali! Yang paling parah, dia juga menginjak habishabisan Nisan Batu Mayit dengan segenap tenaga membabi butanya. Akibatnya, benda itu terbelahbelah, entah menjadi berapa ratus keping!
Turun naik dada Gendut Tangan Tunggal. Demikian juga perutnya. Puas sudah. Rasanya sebanding dengan orang yang lega setelah menahan buang air selama sebulan. Kegusarannya tuntas terlampiaskan.
Disekanya peluh di dahi dan sedikit lendir di hidung.
Sekarang, dia harus kembali ke atas dan pulang ke Kampung Bangkai membawa tumbuhan yang diminta Hantu Kera. Dia tak tahu, dan sedikit pun tak menduga kalau semua benda yang diporak-porandakannya itu milik Manusia Makam Keramat. Tujuan mengumpulkan benda-benda itu adalah untuk mempersiapkan Malam Pemandian Nisan di bulan purnama yang berselang kurang dari sepekan mendatang. Nisan di atas kain putih menjadi tujuan utama. Dengan memandikan benda itu dengan darah seorang keturunan sang Prabu, maka kesaktian dalam benda keramat itu akan terbangkit. Tepatnya dibangkitkan oleh para mambang durjana.
Nisan Batu Mayit sebenarnya telah lama dipersiapkan oleh Manusia Makam Keramat sebelum dia sendiri terbunuh oleh sang Prabu. Sebenarnya pula, benda keramat itu tak harus dimandikan oleh darah perempuan keturunan sang Prabu. Sebelum Arya Sonta berhasil membangkitkan kekuatan magis benda itu, sang Prabu telah lebih dahulu membunuhnya. Saat sekarat itulah, di samping dia bersumpah akan menuntut nyawa setiap keturunan sang Prabu, dia juga bersumpah akan bangkit kembali dan menyempurnakan niatnya membangkitkan kekuatan Nisan Batu Mayit. Dan darah yang akan dituntutnya hanya darah salah seorang perempuan keturunan sang Prabu! Gendut Tangan Tunggal menengadahkan kepala ke atas. Dia berniat keluar dari lobang tanpa mempedulikan apa-apa lagi.
Ketinggian lobang hanya beberapa tombak. Tak menjadi masalah besar bagi Gendut Tangan Tunggal, biarpun berat badannya bisa membuat seekor keledai mencret di tempat jika ditungganginya.

* * *



Wisnu Bharata sebenarnya adalah salah seorang keturunan sang Prabu Pajajaran seperti halnya Rara Lanjar. Jika Rara Lanjar diserahkan kepada Ki Danujaya, maka Wisnu Bharata kepada Hantu Kera.
Hantu Kera sendiri adalah saudara seperguruan Ki Danujaya. Jadi sang Prabu, setelah meninggalkan takhta dan menjadi seorang pertapa, mengangkat dua orang murid. Murid tertua bernama Jarantang. Murid bungsu bernama Danujaya. Ki Jarantang inilah yang dikemudian hari dikenal dengan julukan Hantu Kera, kendati di dunia persilatan dirinya tak terlalu diketahui orang.
"Jadi, kau pun keturunan sang Prabu?" tanya Satria Gendeng setelah mendengar cerita Wisnu Bharata. Wisnu membenarkan.
"Hanya kami berdua keturunannya yang masih hidup karena luput dari kutukan Arya Sonta. Kami tak tahu kenapa kami tak terkena. Menurut cerita Eyang Guru, kami berdua menurunkan darah yang kuat dari sang Prabu, kakek buyut kami."
"Apakah Ki Danujaya mengetahui perihal dirimu?" "Tidak. Kakek Buyut sengaja merahasiakan pe-nyerahan diriku kepada murid tertuanya. Dia mendapat wangsit untuk melaksanakan hal itu tanpa dia sendiri mengetahui alasannya. Belakangan, barulah Eyang Guru dan aku mengetahui alasan itu. Rupanya, telah lama Ki Danujaya berniat berkhianat setelah dia turun gunung."
"Kau tahu dari mana?"
"Hanya dua orang yang mengetahui dengan jelas, kapan Manusia Makam Keramat bisa bangkit dari kuburnya. Yang pertama adalah guruku...."
"Dan Ki Danujaya!" sela Satria.
"Tepat."
"Tahu niat busuk saudara seperguruannya, Eyang Guru menugaskan aku untuk menggagalkannya. Karena takut Ki Danujaya akan mengenaliku, aku diperintah Eyang Guru untuk mengenakan topeng.
Menurut Eyang Guru, wajahku amat mirip dengan kakek buyutku. Dan itu bakal mengundang kecurigaan Ki Danujaya."
"Lalu untuk apa Ki Danujaya berkhianat?"
"Dia menginginkan Keris Kiai Kuning! Hanya pada malam kebangkitan Manusia Makam Keramat, keris itu bisa lepas dari jasadnya dan melayang kepada salah seorang keturunan sang Prabu. Ki Danujaya tentu mengira Rara Lanjar yang mewarisi keris itu. Dia keliru." "Jadi, kaulah pewaris Keris Kiai Kuning?" Wisnu Bharata mengangguk.
"Bodohnya aku," rutuk Satria kemudian, ketika dia ingat sesuatu.
"Kenapa?"
"Aku pernah bercerita pada Ki Danujaya tentang kehadiranmu yang penuh teka-teki dengan mengenakan topeng Arjuna itu. Juga tentang tindakanmu menyelamatkan Rara Lanjar!" Satria Gendeng memukul-mukul kepalanya.
"Tolol... tolol... tolol!" makinya, meningkahi setiap pukulan.
Alis Wisnu Bharata bertaut. Ditanggapinya perkataan Satria Gendeng dengan wajah mengetat. Sesuatu bergeliat dalam pikirannya.
"Karena itu, mungkin dia mulai mengendusi bahwa Rara Lanjar bukan satu-satunya keturunan Kakek Buyut. Lalu dia pun mengubah rencana dengan mencoba berselingkuh dengan Manusia Makam Keramat...," simpul Wisnu Bharata.
"Kalau begitu, aku tentu telah merusak rencanamu dengan mengatakan perihal dirimu pada Ki Danujaya," simpul Satria pula. Lalu ditinjuinya lagi jidat sendiri.
"Tolol...
tolol... tolol!"


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

SORE sebelum malam, Manusia Makam Keramat telah menyepakati tawaran Ki Danujaya untuk mendapatkan Rara Lanjar dengan imbalan, Manusia Makam Keramat membantu Ki Danujaya mendapatkan Keris Kiai Kuning.
Masih di dekat gubuk di kaki Gunung Burangrang, mereka mengakhiri perjanjian laknat itu.
"Bagaimana" Apakah kau menginginkan gadis itu sekarang juga" Atau menanti sampai bulan purnama muncul sepekan nanti?" tawar Ki Danujaya. Manusia Makam Keramat menimbang sejenak.
"Akan kuambil menjelang malam purnama," putusnya.
"Asal kau bisa menjamin gadis itu tetap di tanganmu! Jika tidak, jangan harap kau akan mendapatkan Keris Kiai Kuning yang kau inginkan itu!" Ki Danujaya tertawa.
Datar. Hambar.
"Kujamin, kau akan mendapatkan perawan itu!" tandasnya menegaskan.
Lalu Manusia Makam Keramat melesat. Disusul oleh Ki Danujaya kemudian.

* * *



Malam kian larut.
Satria Gendeng dan Wisnu Bharata sepakat tidak mencari Rara Lanjar. Penyebabnya karena mereka sama sekali tak tahu di mana Ki Danujaya menyembunyikannya. Mereka mengambil satu pilihan, menanti Manusia Makam Keramat di Makam Keramat Maut.
Jika kebetulan manusia durjana itu telah membawa Rara Lanjar, dengan terpaksa mereka akan merebut langsung dari tangannya. Andaipun tidak, mereka masih punya satu kesempatan untuk menguntit keluarnya Manusia Makam Keramat menemui Ki Danujaya untuk mendapatkan Rara Lanjar.
Keduanya hampir tiba di tempat tujuan, wilayah yang konon paling tak diminati oleh siapa pun kecuali orang-orang bosan hidup, Makam Keramat Maut. Di kejauhan mereka menyaksikan satu sosok tubuh berlari keluar dari gerbang Makam Keramat Maut. Keduanya cepat mencari tempat aman untuk bersembunyi, di balik batu besar di samping jalan setapak berbatu kasar. Dari kejauhan, mereka mengawasi sosok tadi.
Sosok yang sedang diintai ternyata berlari ke arah tempat mereka.
Keduanya tegang.
Bukan tak mungkin sosok itu adalah Manusia Makam Keramat, pikir keduanya. Tapi, makin lama diperhatikan, Satria makin merasa pernah melihat perawakan orang itu. Perawakan yang buntal seperti buntalan gombal. Ketika sinar bulan menyinari wajah orang itu, wajah Satria Gendeng berubah. Sedikit tersenyum, tapi juga agak meringis.
"Orang tua gendut!" panggilnya, berbisik.
Gendut Tangan Tunggal terlonjak tinggi-tinggi.
Larinya dihentikan mendadak. Sambil menjerit kaget seperti perawan takut melihat cacing, dia memasang kuda-kuda.
"Ini aku!" seru Satria lagi, tetap berbisik.
"Aku, siapa"!" Satria Gendeng muncul dari balik batu besar.
Gendut Tangan Tunggal pun terlonjak lagi. Sekarang lonjakan girang.
"Kau itu, Pemuda Gendeng?" tanyanya, padahal matanya sudah jelas melihat Satria.
Lalu dia tertawa, terkikik-kikik.
"Hi hi hi! Malam ini rupanya aku sedang bernasib baik. Masuk ke Makam Keramat Maut tanpa mendapat celaka, tanpa kepergok si Manusia Makam Keramat. Dan sekarang, aku bertemu seorang rekan sendiri! Kukira tadi kau Manusia Makam Keramat slat itu!" Brengsek orang ini, gerutu Satria Gendeng membatin. Mereka justru datang dengan mengendap-endap supaya tak tertangkap basah Manusia Makam Keramat, orang tua gendut ini malah ramai bercuapcuap sambil kakak-kikik.
Disambarnya saja krah baju orang tua itu.
Urusan 'kurang ajar', bisa di belakangi untuk sementara. Namanya juga sedang darurat.
"E ee eeh!" Gendut Tangan Tunggal tersuruk-suruk. Biar rasa dia! Satria Gendeng baru hendak bertanya apa yang dikerjakan orang tua itu di dalam Makam Keramat Maut. Tapi mulutnya kalah lincah oleh bacot Gendut Tangan Tunggal.
"Apa yang hendak kalian lakukan di sini sebenarnya?" tanya Gendut Tangan Tunggal.
"Lalu, siapa pula kau ini, Pemuda Kumis?" tanya Gendut Tangan Tunggal, kemudian.
"Cukup kau panggil aku Wisnu, Orang Tua...," ucap Wisnu memperkenalkan diri.
"Jadi namamu Wisnu?" sela Satria Gendeng, membingungkan Gendut Tangan Tunggal.
Orang tua tambun itu jadi melirik si pendekar muda. Wajahnya merengut. Bagaimana pemuda ini" Gerutunya dalam hati.
"Kami hendak mengintai Manusia Makam Keramat," kata Satria Gendeng tanpa melepaskan pandangan ke arah gerbang Makam Keramat Maut.
"Kau tak punya kerjaan, ya?" sungut Gendut Tangan Tunggal, tanpa mau tahu persoalan sebenarnya. Lalu Wisnu Bharata pun menjelaskan. Gendut Tangan Tunggal mengangguk-angguk.
"Baguslah kalau begitu!" ucapnya lagi seraya beranjak.
"Hendak ke mana kau, Orang Tua" Dan kenapa kau masuk ke dalam Makam Keramat?" tahan Satria Gendeng. Bertanya pun belum sempat, sudah mau ngeloyor saja, pikirnya.
Gendut Tangan Tunggal mengangkat tangan, memperlihatkan dahan pohon yang baru didapatnya.
"Sirih Bangkai?" gumam Wisnu.
"Betul! Sirih Bangkai nama pohon ini. Bagaimana kau bisa tahu, Anak Muda?"
"Guruku mengajarkan padaku banyak hal tentang tumbuhan obat-obatan."
"Baguslah kalau begitu," putus Gendut Tangan Tunggal lagi seraya beranjak kembali pula. Satria gemas. Ditariknya lagi krah baju Gendut Tangan Tunggal dari belakang.
"Apa lagi"!" bentak Gendut Tangan Tunggal, mendelik-delik.
"Untuk apa tumbuhan itu, Orang Tua?" gegas Satria.
"Untuk si Bengis. Apa kau tak tahu dia terkena tendangan Pendekar Muka Bengis sewaktu dia 'mengusili' Dewi Melati sampai mampus"!"
"Jadi Pak Tua Bengis yang telah melakukannya?" perangah Satria.
Sementara itu, Wisnu Bharata jadi ingat pada ucapan gurunya ketika dia menanyakan orang yang tergeletak di dalam gubuk Hantu Kera. Karena dia penasaran, maka dia bertanya, "Apakah kau telah membawa kawanmu ke Kampung Bangkai, Orang Tua?" Dan kedua pertanyaan itu membingungkan Gendut Tangan Tunggal. Mana dulu yang mesti dijawab. Tak mau pusing, dia menjawab sekaligus.
"Ya," ujarnya, singkat.
"Ssst!" Mendadak Satria Gendeng berdesis. Bola matanya mengarah ke gerbang Makam Keramat Maut.
Baru saja ada seorang yang masuk ke sana. Dan Satria Gendeng yakin kalau sosok yang dilihatnya kini adalah Manusia Makam Keramat.
"Tunggu apa lagi"!" tanya Gendut Tangan Tunggal berbisik, setelah sosok tadi menghilang di dalam Makam Keramat Maut. Wisnu Bharata dan Satria saling pandang.
"Kami mengintai bukan untuk menyerangnya di sini, Orang Tua," kata Wisnu menjelaskan. Dia merasa orang tua itu telah salah paham. Tapi yang salah paham rupanya justru Wisnu dan Satria.
"Bukan itu maksudku! Maksudku, tunggu apa lagi, ayo kita segera menyingkir dari sini!!!" Lalu manusia berbobot minta tobat itu pun mencelat dari tempatnya. Larilah dia kesetanan.
Tak lama Gendut Tangan Tunggal minggat, dari arah Makam Keramat Maut terdengar teriakan meraung-raung merobek angkasa malam. Menggidikkan.
Selain itu, membuat Satria Gendeng dan Wisnu Bharata saling pandang tak mengerti.
"Khuaaaa! Nisan Batu Mayitku!!! Nisan Batu Mayitkuuu!!!!!" Sejenak kemudian, barulah mereka mulai menyadari sesuatu. Pasti manusia kerbau tadi telah melakukan 'apa-apa' di dalam sana, yang membuat Manusia Makam Keramat melolong-lolong.
Keduanya mengetahui duduk perkaranya secara jelas ketika Manusia Makam Keramat keluar dari Makam Keramat Maut. Di depan gerbang dia berhenti dengan dada turun naik dihela kemurkaan. Matanya jalang mencari-cari.
Lalu mencelat kembali teriakan menggunturnya.
"Keparat! Manusia bosan hidup mana yang telah menghancurkan Nisan Batu Mayit-ku!!!" Satria Gendeng meringis. Bukan karena gentar mendengar teriakan tadi, melainkan geli membayangkan perbuatan 'usil' Gendut Tangan Tunggal.
Pikir punya pikir, ada gunanya juga orang tua satu itu. Dengan hancurnya Nisan Batu Mayit, tak akan mungkin lagi Manusia Makam Keramat membutuhkan darah Rara Lanjar. Namun begitu, baik Satria Gendeng maupun Wisnu harus tetap menjaga kemungkinan Manusia Makam Keramat masih ingin menghabisi nyawa gadis itu sebagai seorang keturunan sang Prabu! Selain itu, masih ada tugas berat yang diemban Wisnu Bharata, mengembalikan Manusia Makam Keramat ke dalam perut bumi. Juga mengembalikan Keris Kiai Kuning ke dada Manusia Makam Keramat!


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

PAGI lahir kembali. Burung memperdengarkan tembang semesta, bersama napas angin, berbareng degup anak-anak rimba belantara. Berjuta nyawa seperti lahir kembali dan menggiring kebahagiaan ke haribaan garba masing-masing.
Seseorang tampak berlari deras membelah barisan pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang dan liar. Caranya berlari memperlihatkan kehandalan peringan tubuhnya. Bisa dibilang sempurna. Bahkan untuk beberapa kalangan, amat sulit untuk dicapai. Dari kecepatan larinya yang demikian menggebu, tampak pula bahwa ada sesuatu yang diburu.
Orang itu adalah Manusia Makam Keramat. Pagi-pagi buta, manusia sesat itu sudah meninggalkan Makam Keramat Maut menuju suatu daerah di sekitar kaki Gunung Bukit tunggul. Berkelebatan terus. Murka dibawa. Sisa malam sebelumnya. Di suatu tempat yang lebih mirip padang rumput kecil bertanah melandai dan dikelilingi pepohonan cemara, Manusia Makam Keramat menghentikan larinya. Dia berdiri dengan ka-walan dengusan yang melebihi dengus seekor kuda jantan. Tangannya bertolak pinggang. Di balik caping, matanya mencari-cari sesuatu ke segenap penjuru angin. Nyalang.
"Danujaya, keluar kau!!!" teriaknya.
Menggemuruh. Mengawang.
"Danujaya, apa kau tuli"!" Serunya sekali lagi.
Meradang. Tak begitu lama, ketika angin sama sekali tak mempedulikan teriakan itu, seseorang lain pun hadir di tempat yang sama. Seorang lelaki tua berpakaian putih, berambut dan berjenggot putih. Dia tak lain Ki Danujaya, memenuhi panggilan Manusia Makam Keramat. Dari atas sebuah pepohonan, tubuhnya menukik deras. Gelepar pakaiannya memperdengarkan suara bergetar. Ki Danujaya menjejakkan kaki, sepuluh depa di depan Manusia Makam Keramat.
"Ada apa kau datang sepagi ini, Arya Sonta?"
"Aku hendak meminta gadis itu!"
"Tunggu dulu. Bukankah kau mengatakan padaku bahwa kau akan mengambilnya jika purnama sudah mengambang. Dan itu masih tersisa beberapa hari lagi?" Manusia Makam Keramat menggeram.
"Kukatakan, aku ingin mengambilnya hari ini!" Mata kelabu Ki Danujaya mengawasinya padat binar menyelidik "Kenapa berubah pikiran?" tanyanya.
"Aku tak membutuhkan gadis itu lagi!" tandas Manusia Makam Keramat, terseret kegeraman.
"Hari ini juga, aku ingin membunuhnya, dan kuhirup darahnya!" "Kenapa"!"
"Kau tanya kenapa?" desis Manusia Makam Keramat.
"Baik, akan kukatakan.
Seseorang keparat telah menghancurkan Nisan Batu Mayit-ku, benda yang ku-dapat dengan bertapa selama bertahun-tahun dulu!!! Keparat!" Ki Danujaya terdiam sesaat. Matanya tetap menyelidik, pikirannya berjalan. Kalau dia tak membutuhkan gadis itu lagi, bagaimana aku bisa membuatnya membantuku mendapatkan Keris Kiai Kuning" Bisiknya dalam hati.
"Jangan berdiam diri seperti itu, Danujaya. Aku datang bukan untuk melihatmu mematung! Cepat serahkan saja gadis itu padaku!!" Ki Danujaya menggeleng Tapi, mantap.
"Bagaimana bisa kuserahkan kalau kau tak membutuhkannya lagi?" ujarnya.
"Aku tak membutuhkan. Itu benar. Tapi, aku tetap ingin membunuhnya. Dia salah seorang keturunan Prabu Keparat itu. Aku tak akan puas sebelum seluruh keturunannya kuhabisi!"
"Bagaimana dengan kesepakatan kita" Apa kau tetap akan membantuku mendapatkan Keris Kiai Kuning setelah kuserahkan dia?" tawar Ki Danujaya, tak ingin kehilangan kesempatan.
Manusia Makam Keramat menggeram lagi. Untuk apa membuang tenaga lagi untuk orang lain sementara kepentingannya sendiri sudah tak lagi bisa diharapkan. Kesepakatan yang dilakukan kemarin dengan Ki Danujaya, baginya sudah menjadi barang basi.
"Keparat kau, Danujaya. Kenapa kau tak mencarinya saja di neraka"!" Ki Danujaya mendengus, nyaris menggeram pula.
"Kau tak akan mendapatkan gadis itu, selama kau tak bersumpah padaku untuk membantuku mendapatkan keris itu," tandasnya.
Datar. Tersamar. Manusia Makam Keramat terdiam, menimbang dalam gemuruh kemurkaan di dadanya.
"Kau pun keparat, Danujaya...," desisnya.
Ki Danujaya menyeringai. Apa pun perkataan Arya Sonta, dia merasa memiliki 'kunci penentu' yang tak bisa ditawar oleh lawan bicaranya. Itu membuatnya merasa telah menjadi pemenang sebelum bertanding. Cukup lama Manusia Makam Keramat menimbang. Tetap dalam gejolak kemurkaan dan kegusaran yang terus terperam sejak semalam.
"Kalau itu maumu, kau mendapatkannya, Keparat!" putus Manusia Makam Keramat, akhirnya.
Ki Danujaya tak mengatakan apa-apa. Hanya hatinya yang memekikkan kemenangan yang digenggamnya. Dengan senyum nyaris mendekati seringai, dia berkata, "Kalau begitu, kau tunggu di sini. Akan ku jemput perempuan itu sebentar!" Lalu tubuhnya melesat dari tempat.
Kembali lagi tak beberapa lama kemudian dengan membopong tubuh seorang perempuan. Siapa lagi kalau bukan Rara Lanjar.
"Lemparkan perempuan itu padaku!" seru Manusia Makam Keramat, tak sabar.
Ki Danujaya hendak memenuhi permintaan Arya Sonta barusan, namun mendadak seseorang mencegahnya.
"Jangan kau berikan, Danujaya!!!" Ki Danujaya menoleh cepat.
Manusia Makam Keramat menoleh pula.
Keduanya sama-sama menemukan sosok yang membuat mereka dipaksa terperanjat. Keheranan cepat merangas di diri masing-masing. Apa-apaan ini"! Perangah hati mereka.
Apa yang dilihat mereka" Seorang yang sama sekali berpenampilan tak dapat dibedakan dengan Manusia Makam Keramat, mengenakan jubah hitam yang sama, mengenakan caping yang sama...
Hanya bedanya, orang berjubah hitam yang baru datang membopong seseorang di bahunya. Entah pula siapa orang itu.
Manusia Makam Keramat menggeram, entah untuk yang ke berapa kali. Manusia keparat mana lagi yang punya nyali mempermainkannya, setelah semalam dia harus menelan kesialan dengan hancurnya Nisan Batu Mayit"
"Siapa kau?" tanya Ki Danujaya.
"Jangan tolol," hardik orang yang baru datang cepat.
"Matamu buta atau kau memang bodoh, mau saja dipermainkan orang itu!" sergah orang yang baru datang seraya menunjuk ke arah Manusia Makam Keramat sewenang-wenang.
Lalu katanya lagi, "Aku Arya Sonta, Danujaya!" Tersengatlah Ki Danujaya. Tersengat pula Manusia Makam Keramat. Ini benar-benar permainan tengik yang memuakkan, pikirnya. Dia pun tambah menggeram, dengan nada makin menghujam.
Sementara Ki Danujaya mulai tak bisa berpegang pada pendiriannya. Siapa harus dipercaya"
"Keparat kau! Siapa pun dirimu, kau cuma cari mampus dengan mengaku-ngaku sebagai diriku!!!" ancam Manusia Makam Keramat.
"Jangan bersandiwara lagi, 'Anak Muda'. Kau tak akan mendapatkan gadis itu dari tangan Danujaya.
Gadis itu milikku!" balas orang tadi.
Apa-apaan pula ini" Perangah Manusia Makam Keramat. Apa maksudnya aku disebut 'anak muda' oleh badut satu ini" Di lain pihak, Ki Danujaya kembali melepaskan pandangan curiga pada Manusia Makam Keramat. Manusia Makam Keramat mengangkat tangan, menunjuk si pengacau dengan tangan mengejang.
"Aku tak ada waktu untuk melayani lawakan mu, Keparat. Serahkan gadis itu padaku, Danujaya.
Sekarang!" katanya berganti pada Ki Danujaya.
Orang yang baru datang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau akan menyesal jika sempat kau berikan gadis itu padanya, Danujaya." Dengan tak kalah meyakinkan, orang yang baru datang berkata mendesis pada Ki Danujaya.
"Apa maksudmu?" Tak banyak kata, orang yang mengaku sebagai Manusia Makam Keramat itu melemparkan orang dalam bopongannya ke tengah-tengah.
Tubuh orang itu tergolek. Seorang pemuda berkumis. Menyaksikan wajahnya, alis putih Ki Danujaya bertaut. Keningnya bertambah kerutan. Dia seperti pernah mengenal wajah itu di masa silam.
"Kau heran" Kau ingin tahu siapa pemuda itu?" susul orang bercaping kedua. Tanpa menunggu jawaban Ki Danujaya, dilanjutkannya ucapan.
"Dia adalah seorang buyut Prabu Keparat itu! Dialah yang kau curigai selama ini setelah perempuan yang kau intai sejak kecil ternyata tak mewarisi Keris Kiai Kuning...."
"Pemuda bertopeng itu," desis Ki Danujaya, mulai terbawa oleh setiap perkataan yang amat meyakinkan dari mulut orang bercaping kedua.
Orang bercaping kedua mengeluarkan dua buah benda dari balik jubahnya.
"Ini yang kau maksud?" ucapnya seraya melempar benda pertama ke dekat tubuh pemuda yang dilemparnya, yang tak lain Wisnu Bharata. Sebuah topeng Arjuna seperti dimaksud Ki Danujaya. Sementara benda kedua yang berada di tangannya lebih membuat Ki Danujaya dan Manusia Makam Keramat sendiri terhenyak. Keduanya sama-sama mendesis, "Keris Kiai Kuning...."
"Ya. Keris ini yang kau mau, bukan?" mulai orang bercaping kedua lagi pada Ki Danujaya.
"Kau mau tahu kenapa pemuda ini bisa ku ringkus" Dia datang dengan seorang pendekar muda untuk mengintaiku di Makam Keramat Maut. Mereka pikir aku bodoh. Tidak! Justru merekalah yang bodoh. Aku berhasil mengelabui mereka. Kuhantam mereka, kudapatkan pemuda ini sekaligus keris pusakanya. Sedangkan pendekar muda yang bersamanya, berhasil meloloskan diri. Kini dia hendak mengelabuimu, Danujaya...." Lalu dilemparnya Keris Kiai Kuning hingga menancap di tanah dekat tubuh Wisnu Bharata. Lanjutnya, "Jika kau menginginkan keris itu, ambillah! Tapi serahkan gadis itu padaku! Setelah itu, kau boleh lu-dahi 'anak muda' bodoh yang telah mencoba mengelabuimu dengan mengaku sebagai diriku!" Menyaksikan Keris Kiai Kuning tertancap di tanah, Ki Danujaya menelan ludah. Itu benda yang telah bertahun-tahun dirindukannya. Itu benda yang dinantinya dengan penantian dan pengorbanan usia terlalu lama. Benda itu kini berada di depan matanya. Lalu untuk apa lagi gadis di bahunya.
Cepat di lemparnya Rara Lanjar ke arah orang bercaping kedua. Dan Rara Lanjar pun ditangkap tanpa kesulitan. Menyadari dirinya sudah tak dihitung lagi, juga setelah mendengar penuturan orang bercaping kedua belum lama, mengkelaplah hati orang yang datang pertama dan mengaku sebagai Manusia Makam Keramat.
"Khepaarat!!!" geramnya, melantak suasana.
Dengan mata gelap, karena sejak semalam dia membendung kemurkaan dan sekarang bobol seketika, Manusia Makam Keramat maju menerjang ke depan.
Hendak diburaikannya isi kepala orang yang telah lan-cang berbicara.
Tubuh Wisnu Bharata dilewati. Gelap mata adalah kebodohan. Bagi Manusia Makam Keramat, kebodohan itu berakibat amat parah. Karena hanya bernafsu menghabisi orang bercaping kedua secepatnya, dia tak memperhatikan lagi tubuh Wisnu Bharata yang dilewatinya. Ketika jarak Manusia Makam Keramat tinggal satu tindak darinya, mendadak sontak, tubuh Wisnu Bharata bergerak.
Teramat cepat. Dalam perhi-tungan waktu yang demikian tepat, tangannya menyambar Keris Kiai Kuning yang tertancap di sebelahnya. Diangkatnya ke atas, tepat menuju dada Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sendiri terkesiap bukan main. Dia tak menyangka kalau pemuda yang tergeletak ternyata hanya berpura-pura. Dia berusaha berkelit. Sayang, waktu dan jarak sudah tak memungkinkan dia untuk melepaskan diri dari ujung Keris Kiai Kuning.
Jlep! "Wuaaaa!!!!" Melengkinglah teriakan panjang. Menjangkit hingga angkasa. Menukik lagi.
Dan menggerayangi sekujur kaki gunung. Manusia Makam Keramat jatuh berlutut. Tangannya memegangi dada yang bersimbah darah, tempat bersarangnya Keris Kiai Kuning yang pernah mengirimnya ke himpitan perut bumi, dan tampaknya akan segera mengirimnya kembali ke tempat yang sama untuk kedua kali! Matanya mendelik di balik caping. Mulutnya mendesis-desis, di antara semburan-semburan darah yang membuih. Dia ingin melepaskan kutukankutukan yang pernah dilontarkan untuk sang Prabu dulu. Namun, tangan maut lebih cepat menjemputnya.
Ki Danujaya terhenyak. Dia tertegun sejenak.
Ketika sadar, Wisnu Bharata dan Satria Gendeng yang telah menyamar sebagai Manusia Makam Keramat dan telah melepas caping, menatapnya dengan pandangan menghunus. Ki Danujaya tersurut mundur. Keris Kiai Kuning telah tertembus lagi ke dada Arya Sonta si manusia terkutuk. Tak mungkin lagi benda itu dicabut. Dengan begitu, hilanglah kesempatan emas yang telah diban-gun selama bertahun-tahun.
Lantas, untuk apa lagi dia di sana" Ki Danujaya pun menyingkir, dibayangi tatapan Wisnu Bharata dengan sorot mata memancarkan kebencian sekaligus rasa kasihan.

* * *



Gendut Tangan Tunggal termenung di pinggir Kampung Bangkai. Di depannya, ada gundukan tanah masih basah. Bersila dia dengan wajah layu.
"Maafkan aku, Bengis. Sungguh aku telah berupaya sebisanya untuk mendapatkan tumbuhan itu.
Tapi, tampaknya Yang Maha Tunggal berkehendak lain. Aku memang mendapatkan tumbuhan itu. Tapi aku tiba terlambat. Kau telah lebih dahulu mati...," bisiknya di antara bisik resah angin. Dia bangkit. Hilang sudah segala ketengikannya.
"Selamat tinggal, Sahabat.... Apa pun yang telah kita jalani selama ini, kau tetap akan menjadi sahabat dalam hatiku...," katanya mengakhiri.
Gendut Tangan Tunggal melangkah gontai. Satu bagian jiwanya terasa telah hilang. Karena dia baru saja kehilangan seorang sahabat. Seperti kata Kahlil Gibran Sang Penyair; Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mendapat imbangan. Dialah ladang hati, yang dengan kasih kau taburi, Dan kau pungut buahnya penuh rasa terima kasih.
Dan dia pulalah naungan sejuk keteduhanmu, Sebuah pendiangan demi kehangatan sukmamu.
Karena kau menghampirinya di kala hati gersang kelaparan.
Dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian.... Gendut Tangan Tunggal baru saja kehilangan semua itu. Kapan dan bagaimana dia bisa mendapat ganti nanti" Hanya Yang Maha Tunggal yang tahu....

SELESAI

Segera terbit : Serial Satria Gendeng dalam episode:
PENGHUNI KUIL NERAKA


INDEX SATRIA GENDENG
Rencana Manusia Terkutuk --oo0oo-Penghuni Kuil Neraka
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.