Life is journey not a destinantion ...

Penghuni Kuil Neraka

INDEX SATRIA GENDENG
Pewaris Keris Kiai Kuning --oo0oo- Tiga Pendekar Aneh

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

DI BAWAH sinar rembulan yang meningkahi Gunung Arjuna, lima sosok tubuh tersuruk-suruk mendaki tebing jurang. Mereka kehabisan tenaga, tetapi tetap memaksakan diri merayap ke puncak gunung. Wajah mereka dipenati debu. Berpakaian compang-camping akibat tercabik karang tajam. Kaki dan tangan mereka penuh gurat-gurat darah, tersayat duri-duri semak.
Namun kelima orang yang ditaksir berusia sekitar tiga puluh sampai empat puluhan rupanya sekelompok orang berkemauan sekeras karang. Dan, agaknya mereka tengah melaksanakan tugas penting yang mengharuskan mereka berkejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan tak karuan, kepribadian kelima orang itu tetap menonjol. Wajah mereka cakap berseri. Berpakaian seragam. Mengenakan celana dan baju keprajuritan. Di lengan masing-masing melingkar logam tipis berwarna kuning keemasan. Sedang di pinggang, terselip pedang dengan bentuk seru-pa, mencerminkan bahwa mereka benar-benar para prajurit. Jerih payah kelima orang itu berhasil membuat mereka tiba di kuburan di tengah hutan, tak jauh dari puncak Gunung Arjuna.
Tiba-tiba mata kelima orang tadi terbelalak ketika tertumbuk pada sebongkah batu sebesar gajah. Di atas batu itu tersusun tujuh tengkorak manusia.
DI tengah batu, tergurat sebaris tulisan berhuruf Jawa Kuno yang artinya TUJUH DEWA KEMATIAN.
Tidak jauh dari letak batu, hanya berselang sekitar tiga tombak, berdiri bangunan yang mirip candi. Di muka bangunan, terpancang gapura. Di masing-masing sisi gapura, juga terdapat tengkorak kepala manusia.
Mata kelima prajurit tadi berkilatan bagai memancarkan api. Musuh besar mereka sudah di depan mata! "Kita serang!" Golak darah dan semangat kelima orang tersebut menyalakan keberanian. Dengan menghunus pedang, mereka melangkah mendekati bangunan tadi.
"Kita harus hati-hati!" Salah seorang yang melangkah paling depan memperingati.
Langkah mereka mendadak terhenti. Mereka termangu. Persis di depan bangunan, tepatnya di halaman depan, tampak berpuluh-puluh tengkorak manusia berserakan di tanah. Perlahan-lahan tapi pasti, kelima orang itu melangkah lebih dekat ke pintu masuk. Mata mereka terbentang tatkala menyaksikan di atas pintu gerbang terpancar cahaya lentera merah membentuk huruf-huruf bertuliskan; KUIL NERAKA!.....
"Di sini rupanya iblis-iblis itu bercokol," gumam salah seorang yang termuda di antara mereka.
"Ya, Adik Sentana." Siapa mereka sebenarnya" Cukupkah mereka punya nyali untuk memasuki Kuil Neraka, sarang persembunyian Tujuh Dewa Kematian"! Mereka adalah kelompok kecil ksatria yang mendapat gelar Prajurit Kembar. Para pendekar muda gagah berani. Keberanian mereka dalam melaksanakan tugas membasmi para penyamun telah menggegerkan tanah Jawa beberapa waktu lalu. Prajurit Kembar adalah utusan dari Kadipaten Lumajang.
Ketika itu, Adipati Lumajang bernama Wisnu Bernawa mendengar tentang keganasan Tujuh Dewa Kematian. Segera diperintahkannya Prajurit Kembar untuk menumpas dan menghentikan sepak terjang momok menakutkan itu.
Prajurit tertua bernama Darma Sukanta. Disusul oleh Aji Sukanta, lalu Surya Sukanta, Sukma Sukanta, dan yang termuda bernama Sentana Sukanta.
Karena wajah serta cara berpakaian mereka serupa, maka kalangan persilatan memberi julukan Prajurit Kembar. Hati-hati, Prajurit Kembar kini mencoba membuka pintu.
"Hm," dengus Darma Sukanta seraya melangkah lebar memasuki pintu gerbang. Di belakangnya, yang lain menyusul.
"Lihat Kakak Darma! Di dinding itu terdapat tulisan lagi...!" seru Sentana. Disusul dengan mengusap-usap tulisan yang tertutup debu.
"Bacakan!" perintah Darma, selesai adik bung-sunya membersihkan debu. Sentana membaca, "Setiap kali ada orang berkunjung, Kuil Neraka tentu bertambah penghuni...." Di ujung kalimat Sentana, mereka dikejutkan oleh lengkingan tawa yang menusuk gendang telinga.
"Ha ha ha ha!!!" Kelima Prajurit Kembar menutup rapat-rapat telinga masing-masing. Lamat-lamat, tawa tadi memupus. Suasana menjadi seperti sediakala, sunyi senyap tanpa suara apa-apa.
Sehimpun satwa seperti enggan memperdengarkan tembang milik masing-masing.
Yang meraja cuma kesunyian menikam.
Kalau bukan Prajurit Kembar, terlalu sedikit orang berani memasuki Kuil Neraka. Mendengar namanya saja sudah membuat bulu roma bergidik.
Menanggapi kejadian tadi, Prajurit Kembar memburu masuk lebih ke dalam, mencoba mencari sumber tawa. Mereka tiba di suatu ruangan seluas lapangan. Tegang, mereka pancang wajah ke muka.
Di antara selimut kabut, samar-samar tampak tujuh orang paderi berjubah hitam tengah berdiri berjajar. Satu orang berdiri terpisah di depan. Tangan dan kaki mereka tak terlihat karena tertutup jubah.
Kecuali bagian kepala yang rata-rata besar, melebihi ukuran orang biasa. Telinga mereka lebar. Mata bundar, tanpa alis di atasnya. Mulut mereka berkeriput, menandakan tidak ada lagi gigi yang tumbuh di baliknya. Ketujuh orang tersebut berperawakan sama. Hampir semua kurus.
Di samping mereka, ada satu pemandangan lain yang menarik perhatian Prajurit Kembar. Di sebelah kiri barisan Tujuh Dewa Kematian, tergeletak satu peti mati berukuran besar. Sepertinya, benda hitam menyeramkan itu sengaja dipersiapkan. Cuma saja, belum jelas untuk apa atau untuk siapa.
"O, kiranya inilah para manusia iblis yang berjuluk Tujuh Dewa Kematian" Entah dari mana asalusul manusia-manusia aneh ini...," gumam Darma Sukanta, dilapisi geraman.
Mendadak sontak, mencelat bunyi berderak dahsyat dari peti mati besar.
Peti terkuak. Gulungan asap menyeruak.
Dari dalam peti, muncul manusia yang lebih menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu.
Wajahnya teramat menakutkan. Tidak mengenakan pakaian, hanya cawat kecil menutupi bagian selangkangannya. Cawat itu terbuat dari logam berwarna kuning keemasan.
Ia tertawa meringkik-ringkik. Kemudian, dilangkahkannya kaki ke depan Tujuh Dewa Kematian.
Setelah itu, makhluk yang menyerupai mayat hidup itu menjura.
Salah seorang yang berdiri di depan mengangkat tangan ke atas. Ditudingnya Prajurit Kembar. Melihat komando dari salah seorang pemimpinnya, mayat hidup itu bangkit dari menjura, lalu menoleh ke arah Prajurit Kembar. Dengan suara meruncing, dia menggeram.
"Akan kubunuh kelima manusia dungu itu!" Kelima Prajurit Kembar menyiapkan kuda-kuda, siaga dengan pedang di tangan masing-masing.
"Adik-adikku, siapkan jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'!" komando Darma Sukanta.
Di ujung komando Darma Sukanta, enam saudaranya yang lain segera membentuk formasi pembuka jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'. Satu orang berdiri di depan, disusul yang lain membentuk jajaran memanjang.
Tak ragu lagi, Prajurit Kembar segera menerjang Manusia Mayat Hidup dengan menutup empat penjuru mata angin. Jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan' digunakan secara serentak, meliuk-liuk, menyambar ke kiri dan kanan.
Manusia Mayat Hidup menghadapi dengan tenang. Tebasan-tebasan pedang ditangkalnya dengan mudah. Sesekali, tubuhnya melentik ke udara seraya memberikan serangan balasan.
"Hiaah!!" Pertarungan berjalan kurang lebih beberapa menit. Kedua pihak belum tampak ada yang kalah. Pedang berdesingan, menyambar-nyambar seolah bernyawa. Formasi Jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan' sulit ditembus oleh Manusia Mayat Hidup. Tak heran kalau Prajurit Kembar sangat ditakuti para perampok di seluruh tanah Jawa.
Jurus yang digunakan Manusia Mayat Hidup sangat aneh. Tubuhnya lemas seperti belut. Kibasankibasan tangannya mengandung hawa dingin sehingga menyulitkan Prajurit Kembar untuk menghujamkan pedang ke dada lawan.
Di saat pertarungan sedang memuncak, tibatiba Manusia Mayat Hidup menghentakkan kaki. Tubuhnya melentik mundur, menghindari lawan, lalu mendarat dengan mulus persis di depan Tujuh Dewa Kematian. Prajurit Kembar pun berhenti dan berdiri tegak, menatap tajam ke arah musuh-musuh mereka.
"Apa maksud setan jelek ini menghentikan pertarungan Kakak Darma?" tanya Aji Sukanta.
"Apakah kau tidak melihatnya" Saat kita bertarung tadi, iblis yang berdiri paling depan mengangkat tangan kanannya...." Tapi apa maksud iblis itu menghentikan pertarungan" Bisik hati Aji Sukanta, seraya menatap tajam tak berkedip ke arah Tujuh Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian bergerak melingkar, mengitari Manusia Mayat Hidup. Manusia Mayat Hidup berdiri mematung. Tangannya membentuk sikusiku di dada. Kaki kanannya diangkat. Seketika, segulungan asap keluar dari lehernya. Kejadian itu tak berlangsung lama. Tujuh Dewa Kematian kembali dalam posisi semula. Hanya Manusia Mayat Hidup yang tidak berubah. Prajurit Kembar termangu-mangu melihat hal ganjil yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian.
Selesai melakukan semacam upacara singkat, Tujuh Dewa Kematian tertawa serempak.
"Huaa ha ha ha!!!!" Rupanya, yang barusan dilakukan adalah sebuah upacara kecil untuk menyambut pendatang baru yang masuk ke Kuil Neraka. Di sela gelak tawa yang bergema, lamat-lamat Manusia Mayat Hidup menurunkan tangan dan kaki kembali. Tawa pun terhenti.
Matanya menatap bengis ke arah Prajurit Kembar yang sejak tadi termangu-mangu menyaksikan kejadian yang mereka anggap ganjil.
Perlahan-lahan, Tujuh Dewa Kematian melangkah mendekati Prajurit Kembar. Senyuman sinis tersungging di mulut yang tak bergigi. Lebih kentara sebagai seringai. Alangkah mengerikan sekali senyuman itu....
"Kisanak sekalian, siapa yang mengutus kalian datang ke sini?" tanya seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Kami datang atas titah adipati," sahut Sukma Sukanta, datar.
"Kalian datang cuma mengantar nyawa!!" Mendengar perkataan bernada ancaman, darah Prajurit Kembar bergejolak. Diam-diam, Sentana Sukanta memaki dalam hati. Sebaliknya, justru ini hari terakhirmu, Setan-setan Jelek! Sesaat kemudian, seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang menjadi pemimpin menyusulkan pertanyaan, "Siapa kalian?"
"Kami adalah Prajurit Kembar!" jawab Darma Sukanta.
Si pemimpin tadi tertawa mencemooh.
"Sungguh besar sekali peruntungan kami hari ini, dapat menerima kunjungan Prajurit Kembar yang ditakuti para perampok tanah Jawa. Lalu, apa maksud dan tujuan kalian datang ke Kuil Neraka?" Dengan sikap tegas dan suara lantang, Darma Sukanta sebagai orang tertua menjawab pertanyaan itu.
"Aku serta keempat saudaraku datang ke sini untuk menghentikan sepak terjang kalian!"
"Ha ha ha haa!!" Tujuh Dewa Kematian malah tertawa. Kali ini tawa mereka bergulung-gulung, menderu bagai gemuruh petir. Kembali Prajurit Kembar menutupi telinga sambil mengatur tenaga dalam untuk menangkal suara tawa yang menusuk telinga.
Tawa Tujuh Dewa Kematian makin lama makin melengking, membubung ke angkasa. Dinding kuil berderak retak. Burung-burung malam di luar sana terjatuh dan mati. Kelelawar-kelelawar mencuit-cuit sekarat. Suasana di sekitar Gunung Arjuna jadi bergemuruh meliuk-liuk. Lebih jauh, tawa Dewa Kematian membangunkan penduduk yang berada jauh di kaki Gunung Arjuna. Prajurit Kembar dibuat kerepotan.
"Akh!" Sukma Sukanta dan Sentana terhuyunghuyung. Darah mulai merembes dari telinga dan hidung keduanya. Mulut mereka menyeringai kesakitan.
Dengan serentak, tawa terhenti. Suasana kembali seperti semula. Tubuh Surya Sukanta dan Sentana yang sebelumnya terhuyung-huyung menjadi limbung, lalu ambruk.

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

SUKMA Sukanta menggoncang-goncangkan tubuh kedua saudaranya seolah tak mempercayai kejadian yang menimpa kedua saudaranya. Darma Sukanta dan Aji Sukanta diam sesaat, lalu kepalanya menoleh ke arah Tujuh Dewa Kematian. Paras wajahnya terbakar. Tubuhnya menggigil menahan gejolak amarah yang memuncak. Digenggamnya pedang erat-erat seraya berkata, "Aku Darma Sukanta ingin sekali men-gunyah dagingmu, mengulitimu!! Kau telah membunuh kedua saudaraku, kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" Ketujuh momok sakti itu tetap berdiri di tempat, kemudian salah satu di antaranya menukas dikawal tawa tawar. Tiba-tiba pula wajahnya berubah menjadi garang. Dari mulutnya yang tak bergigi, keluarlah ucapan dengan nada garang.
"Sudah menjadi ketetapan berpuluh tahun bahwa, barang siapa memasuki Kuil Neraka tentu tidak akan keluar dengan selamat." Selesai berkata, ia mengacungkan tangan ke atas. Manusia Mayat Hidup yang sejak tadi mematung, perlahan-lahan mulai menurunkan tangan dan kakinya. Dia maju. Tiga tindak kemudian, dibalikkannya tubuh ke arah peti mati.
Ternyata Manusia Mayat Hidup melangkah mendekati peti itu. Tangannya terangkat ke depan. Mulutnya komat-kamit, kemudian dihentakkannya kaki kanan tiga kali ke lantai.
Duk duk duk!! Lambat-laun, peti itu terangkat ke atas. Diputarnya tubuh bersamaan dengan gerak peti mati ke arah tiga orang Prajurit Kembar yang tengah berdiri tegak. Manusia Mayat Hidup mengibaskan tangannya pelan tapi penuh tenaga. Angin menderu. Gemuruh menyentak peti mati. Benda besar itu meluncur deras ke arah tiga orang Prajurit Kembar.
Sisa tiga orang Prajurit Kembar yang sejak tadi berdiri tegak, terperangah menyadari bahwa mereka diserang dengan cepat. Mereka menghentakkan kaki.
Tubuh ketiganya melentik ke udara, menghindari terjangan peti mati. Peti itu pun menghantam tempat kosong. Des! Seperti bernyawa, peti itu berputar arah lalu menerjang kembali. Angin putarannya mendengusdengus. Dia terus berputar dan berputar, memburu dan memburu. Ketiga Prajurit Kembar jungkir balik ke sana kemari.
"Berhenti!!" perintah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
Manusia Mayat Hidup pun menghentikan manteranya. Bersamaan dengan itu, peti mati yang tadi mengamuk mendadak berhenti, kemudian jatuh berdebam.
"Mengapa dihentikan, Tuan" Aku ingin mem-bunuhnya! Sudah lama aku tak membunuh. Aku selalu terkurung di dalam peti itu!"
"Sabar. Kau tak perlu membunuh mereka. Aku ingin menjadikan mereka pengikutku," dengus ketua Tujuh Dewa Kematian. Sedangkan yang lain terdiam.
"Hai Darma Sukanta, bagaimana kalau kau dan kedua saudaramu menjadi budakku"! Kau setuju?"
"Cuih! Lebih baik kami bertarung sampai titik darah terakhir daripada menjadi budak setan-setan jelek macam kalian!"
"Kalau begitu, kau mencari mati!"
"Mati sekarang atau nanti, bagi kami sama saja. Yang jelas, lepaskan bayi-bayi yang kau culik dari desa Karang Haur!"
"Kenapa baru kau tanyakan sekarang?"
"Setan jelek, kenapa kau menculik para bayi serta membunuh orang-orang tak berdosa?" tanpa berniat menjawab, Aji Sukanta malah balik bertanya.
"Itu urusan kami! Kalian tak perlu tahu! Kini, bersiaplah untuk mati!" Selesai menebar ancaman, Ketua Tujuh Dewa Kematian mendorong tangan perlahan-lahan. Memang tampak tak bertenaga, tapi hebatnya tak terkira. Itulah jurus 'Petir Membelah Gunung'. Angin mendesis laksana suara seribu ekor ular. Segulung tenaga dahsyat melanda tiga orang Prajurit Kembar.
Tiga Prajurit Kembar tegak berdiri di tempat, bersiaga penuh menyambut badai serangan lawan dengan bersiap melontarkan pukulan 'Tandukan Banteng Kembar'. Tiga kekuatan yang melebur menjadi satu dilancarkan, mencoba menghadang serangan lawan.
Dark! Terpecah suara benturan pukulan kedua belah pihak. Heran, momok sakti itu tetap berdiri tegak.
Baik badan maupun kuda-kudanya tak bergemik sedikit pun.
Lain dengan tiga orang Prajurit Kembar. Mereka terpental membentur dinding, dan ambruk ke tanah.
Dari mulut ketiganya termuntah darah segar.
"Ukhh!" Dalam sekali gebrak, ketiganya menderita luka dalam yang berat. Dalam keadaan terluka, Darma Sukanta terhuyung-huyung menghampiri kedua adiknya yang tampak menderita luka lebih parah.
"Kau tidak apa-apa, Adikku?" tanya Darma Sukanta sambil menyeringai kesakitan.
"Dadaku sesak," keluh Aji Sukanta. Selesai berkata, dia mencoba mengatur pernapasan. Sedangkan Sukma Sukanta mengerang-erang seraya terbatuk-batuk kecil.
"Sukma, sebaiknya kau keluar dari tempat terkutuk ini. Di antara kita harus ada seorang yang selamat agar bisa menyampaikan berita pada Adipati Bernawa!" erang Darma Sukanta, tetap dengan mengatur hawa murni.
"Tidak, Kak! Kita pergi bersama, maka mati pun kita harus bersama!"
"Jangan gegabah! Iblis ini terlalu sakti untuk dihadapi. Cepat pergi dari sini! Biar aku dan Aji yang menghadapi mereka...." Dengan berat hati, Sukma Sukanta meninggalkan kedua kakaknya yang baru saja terluka. Tujuh Dewa Kematian tidak bertindak apa-apa. Momok sakti itu tetap tegak di tempat masing-masing.
Karena dalam sekali gebrak Prajurit Kembar menderita luka dalam yang berat, maka Darma Sukanta dan Aji Sukanta segera menguras tenaga yang masih tersisa untuk mengerahkan ilmu simpanan. Keduanya berusaha untuk menebus kekalahan.
Tetapi, gila benar momok sakti yang bergelar Tujuh Dewa Kematian itu. Hanya dengan mengebutkan lengan baju, maka tekanan angin pukulan yang dilontarkan dua bersaudara itu dapat ditahan.
Seiring dengan itu, sebentuk tenaga terpantul keras dan melempar kedua bersaudara itu sampai enam tombak. Kedua bersaudara itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita. Sesaat kemudian, mereka tak berkutik lagi....

* * *



Sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok.
Malam yang kelam sebentar lagi akan berganti fajar.
Sukma Sukanta keluar dari gerbang Kuil Neraka. Tak dihiraukannya luka dalam. Ia terus berlari menjauhi tempat laknat itu.
Fajar sudah menampakkan wajahnya. Kuil Neraka sudah jauh tertinggal. Jatuh bangun Sukma Sukanta. Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bersimbah peluh. Rasa sesak di dada menghimpit pernapasan.
Sampai tiba saatnya dia kehabisan tenaga. Pucat wajah Sukma Sukanta. Matanya berkunang-kunang.
Bumi terasa berputar.
Dengan susah payah, dia mencoba bangkit untuk melanjutkan langkah. Tapi tubuhnya terhuyung lalu tersuruk ke semak. Dicobanya untuk bangkit kembali. Tapi dia tak kuasa. Tubuhnya lemas. Sukma Sukanta cuma dapat tertelungkup. Erangan kesakitan terdengar bersambungan.
Sang Surya makin meninggi. Sinarnya makin terasa menyengat kulit. Sementara Sukma Sukanta masih tergolek tak berdaya di sisi jalan setapak.
Dari kejauhan terdengar suara siulan diselingi nyanyian sumbang. Siapakah si empunya suara" Muncul seorang pemuda yang baru beranjak dewasa.
Wajahnya tampan, bergaris rahang jantan. Pemuda itu masih saja bersiul-siul, melenggang enteng. Tampak terbersit keceriaan di wajahnya.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari kulit hewan. Bercelana pangsi biru sebatas lutut. Pada kain ikat pinggangnya terselip semacam tongkat pendek berwarna hitam. Berpangkal logam perak berbentuk kepala naga, berujung logam perak berbentuk ekor naga. Siulan si pemuda terpenggal. Ada suara erangan dari kejauhan mengusiknya. Seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan berpakaian seragam keprajuritan sedang merangkak-rangkak dibarengi erangan lemah di sisi jalan setapak. Dia adalah Sukma Sukanta.
Pemuda tadi tertarik. Dia berlari kecil menghampiri. Tiba di dekat Sukma Sukanta, pemuda itu cepat berjongkok dan segera membalik tubuhnya.
"Apa yang telah terjadi pada diri orang ini?" dengus si pemuda sambil memijat nadi Sukma Sukanta. Merasakan ada sentuhan hangat, Sukma Sukanta membuka matanya. Ditatapnya dalam-dalam wajah si pemuda.
"Si... siapa kau Adik Muda?" tanyanya tersendat-sendat.
"Jangan bertanya dulu. Sekarang duduklah.
Atur pernapasan lalu pusatkan pikiran," sergah si pemuda seraya membantu Sukma Sukanta untuk duduk.
"Terima kasih, Adik Muda...."
"Sudahlah.... Kita sesama manusia memang seharusnya saling tolong menolong. Siapa nama Kakang?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Namaku Sukma Sukanta. Aku prajurit kepercayaan Adipati Lumajang."
"O, pantas Kakang mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Lalu kenapa Kakang bisa di sini dengan tubuh terluka dalam?"
"Ceritanya panjang. Ah, aku belum tahu namamu, Adik Muda."
"Panggil aku Satria, Kang."
"Satria.... Nama yang cukup bagus. Ugh-ugh!" Sukma Sukanta terbatuk-batuk kecil. Pemuda yang mengaku bernama Satria merangkul tubuh Sukma Sukanta sambil berkata, "Sudahlah.... Kakang jangan banyak bicara dulu. Dada Kakang masih sesak."
"Biarlah. Aku tak apa-apa...."
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini dulu, Kang. Kita cari bantuan penduduk untuk merawat luka Kakang."
"Baiklah." Sukma Sukanta mencoba bangkit, dibantu Satria.

* * *



Waktu terus bergulir. Tak terasa sang surya telah condong ke sebelah barat. Dua orang yang saling merangkul seperti dua saudara sudah berada di jalan berbatu kerikil yang menuju desa terdekat. Keduanya tidak lain Sukma Sukanta dan Satria. Orang terakhir dikenal oleh kalangan persilatan sebagai salah seorang pendekar muda sakti berjuluk Satria Gendeng.
Keduanya menunggu di sisi jalan, kalau-kalau ada pedati yang lewat. Mereka berniat menumpang.
Nasib mereka memang sedang bagus. Tak lama menunggu, ada sebuah pedati melintas. Kusir pedati seorang lelaki tua berpakaian coklat dekil. Rambutnya putih, kaku seperti orang yang tak pernah keramas selama seribu satu tahun. Di atas kepalanya bertengger topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya redup, di-naungi alis lebat memutih.
Satria Gendeng langsung melambaikan tangan.
"Tunggu, Pak Tua!" Kuda meringkik karena tali kekang ditarik mendadak. Pedati berhenti, tak jauh di depan calon penumpangnya. Kusirnya tak sedikit pun melepas teguran. Wajahnya kekar membeku.
"Maaf, Pak Tua. Kami terpaksa mengganggu perjalananmu."
"Ada apa?" sentak Pak Kusir Tua.
"Kami ingin menumpang, Pak Tua!" Tak banyak kata atau tanya, si kusir tua membuat isyarat dengan gerakan kepala. Satria menganggap itu pertanda mereka diizinkan untuk naik. Meski dalam hati, Satria mengomel-ngomel juga pada sikap kusir tua yang dingin dan kaku. Apa dia baru saja 'dipecat' jadi suami oleh istrinya" Guraunya membatin.
Satria dan Sukma menaiki pedati. Pak Kusir Tua menggebah kuda kurusnya untuk melanjutkan perjalanan. Pedati berjalan lamat. Sesekali sang kusir melecut kudanya untuk mempercepat perjalanan. Tapi, tetap saja kuda kurus kering itu berjalan seperti binatang pesakitan.
Satria dan Sukma Sukanta duduk tenang di belakang kusir. Wajah Sukma Sukanta terus dikungkung kemurungan, seolah menyimpan timbunan duka di hati. Melihat wajah Sukma, Satria menepis lutut lelaki itu. Kebetulan mereka duduk berhadapan.
"Ada apa, Kang?"
"Ah, tidak...."
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Kakang murung?"
"Aku hanya ingat saudara-saudaraku."
"Kenapa dengan mereka" Oh ya, Kakang pun belum menjelaskan kenapa Kakang bisa berada di tempat tadi, sedangkan letak Kadipaten Lumajang cukup jauh dari tempat ini" Perlu waktu dua hari kalau berjalan kaki ke sana...."
"Aku lupa menceritakannya padamu. Sebagai seorang prajurit, aku selalu berada di mana saja. Dekat maupun jauh. Semua itu aku lakukan untuk melaksanakan perintah adipati dalam membasmi para perompak yang mengganggu rakyat...."
"Jadi, Kakang terluka waktu itu karena bertarung dengan perampok?" potong Satria.
"Ya. Mereka bisa disebut iblis!"
"Kenapa begitu" Siapa mereka sebenarnya, Kang?" susul Satria penasaran. Terbersit keinginta-huan di wajahnya.
"Mereka bergelar Tujuh Dewa Kematian, para penghuni Kuil Neraka. Keganasan mereka tak kepalang. Mereka membunuh tokoh-tokoh aliran putih dan membunuh Empu-empu kepercayaan adipati. Yang lebih menyakitkan lagi, mereka menculik bayi-bayi yang masih suci. Oleh karena itu, sebutan yang paling cocok adalah 'iblis'!!" Satria menghela napas panjang setelah mendengar penuturan Sukma Sukanta. Dia menggeser duduknya ke samping. Tanpa sengaja, benda berbentuk tongkat pendek menyembul keluar dari kain ikat pinggangnya.
"Benda apa itu, Adik Muda?" tanya Sukma Sukanta. Matanya menilik lekat-lekat ke pinggang Satria Gendeng.
"OOh, ini.... Cuma benda pemberian guruku, Kang," kilah Satria, tak ingin berterus terang.
Mendengar jawaban tadi, Sukma Sukanta tidak ingin memperpanjang masalah. Lelaki itu cukup maklum kalau Satria tampaknya tak ingin membicarakannya. Dia hanya menganguk-anggukkan kepala.
Lain halnya dengan kusir pedati. Dari diamnya, tiba-tiba dia terkekeh.
"He he he he!" Langkah kudanya terhenti. Hewan penghela pedati itu meringkik-ringkik dan berjingkat-jingkat. Satria dan Sukma Sukanta tak mengerti apa yang terjadi. Terbetik pertanyaan di hati masing-masing.
"Ada apa, Pak Tua?" tanya Sukma Sukanta. Kusir tua itu tak menjawab. Dia terus menyambung kekehnya, di-tingkahi ringkikan kuda. Merasakan ada gelagat tak baik, Satria bergegas melompat turun dari atas pedati.
Sukma Sukanta menyusul.

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

KALIAN kenapa turun. Cah?" Tanpa menoleh, si kusir tua bertanya.
"Kenapa Pak Tua tertawa dan kenapa pula kuda itu meringkik ringkik?" balas tanya Sukma Sukanta, curiga.
"Benda di pinggang Cah Gondrong itu...," ujar kusir tua. Lalu, kakinya dihentakkan. Dia melentik ringan ke udara. Mendarat mulus di atap pedati dengan posisi bersila. Matanya menghunus langsung ke arah ikat pinggang Satria Gendeng.
Satria sendiri malah cengengesan menyaksikan tingkah tua bangka itu. Perbuatannya terasa lucu bagi si pendekar muda berhati polos.
"Hey, Cah! Dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Kusir Tua sambil melompat turun. Nadanya agak menjangkit. Kesannya mulai kasar.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Satria balik bertanya.
"Eleh eleh... ditanya malah balik bertanya!"
"Kalau boleh kami tahu, siapa Pak Tua ini sebenarnya?" sela Sukma Sukanta.
"Aku Setan Syair!"
"Setan Syair"!" Sukma Sukanta terbelalak. Pernah didengarnya nama itu. Setan Syair sama biadabnya dengan Tujuh Dewa Kematian. Apa pun yang diinginkannya harus tercapai, kendati harus membunuh! Baginya, nyawa manusia tak lebih berharga dari lalat.
Kapan pun dia mau, di situlah dia membunuh.
"Setan Syair, sepertinya kau menginginkan benda milik sahabat mudaku ini?" susul Sukma Sukanta lagi.
Setan Syair mundur tiga langkah. Dia menarik napas. Kepalanya mendongak ke atas. Sikap seperti itu sudah amat dikenal kalangan persilatan sebagai satu ciri Setan Syair. Gelagatnya dia hendak mengumandangkan syair kematiannya.
"Rajawali terbang membumbung ke angkasa, melayang-layang mencari mangsa.
Yang kucari kini di depan mata, dipegang bocah yang masih belia" Lantunan syair berupa pantun melambung ke angkasa. Memantul di udara, menerjang pepohonan, membuat terdiam mematung siapa yang mendengarkan. Sukma Sukanta menutup telinga. Satria tetap berdiri tegak, tak bergemik sedikit pun. Pendekar mu-da itu hanya meringisringis. Satria bukan pemuda berotak udang. Dia tahu jelas apa yang dikehendaki si kusir tua dengan mengumandangkan syair murahannya dengan menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Pasti masalah Kail Naga Samudera, pikirnya. Senjata milikku ini selalu saja bikin perkara, rutuknya membatin.
"Pak Tua Setan Syair, apa maksudmu mengumandangkan syair itu di depanku?" seru Satria, berpu-ra-pura tak tahu "Jangan banyak tanya, Cah! Serahkan saja benda itu padaku! Kau tak layak memilikinya," desis Setan Syair. Diam-diam, hatinya menyembunyikan ra-sa kagum pada Satria yang tak terpengaruh kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya barusan. Satria menampar kening dengan mata membeliak.
"Rupanya kita salah menumpang. Ternyata orang yang kita tumpangi tak lebih dari tukang umbar syair pinggiran jalan yang senang merebut hak orang lain...," katanya pada Sukma Sukanta.
Sukma Sukanta dipaksa menautkan alis mendengar ucapan seenak dengkul Satria. Dia tahu benar siapa Setan Syair. Julukan yang tak bisa dimainmainkan kecuali hendak menyerahkan nyawa. Tapi pemuda satu ini" Apa sudah tak punya otak lagi dia" Terpukullah harga diri Si Setan Syair. Dia diremehkan oleh seorang pemuda yang baru beranjak dewasa.
"Bocah keparat!" makinya.
Setan Syair menatap dengan bersit mata menikam. Lalu, kepalanya mendongak kembali. Dia hendak mengumandangkan syairnya lagi.
"Aku Setan Syair. Bila ku berpijak, bumi berderak, awan berarak, manusia terbelalak.
Datang dari Goa Setan.
Mencari Kail Naga Samudera sebagai dambaan.
Kulumat siapa pun yang menjadi rintangan, ku koyak seperti hewan!" He he he he...." Kembali lantunan syair murahan bergulunggulung, dibarengi ringkikan kuda yang melengking nyaring.
"Kuda kurus meringkik, pertanda tangan kematian turun menukik...," sambungnya, lebih kentara sebagai ancaman tak langsung terhadap si pendekar muda tanah Jawa.
Mendadak syairnya terhenti, dipenggal oleh bentakan keras yang terpental dari kerongkongan Satria.
"Berhenti!!!" Suara Satria santer, tak hanya seperti pekikan bergeletar, namun juga mengguntur. Kekuatannya menyebabkan seekor burung yang kebetulan melayang di angkasa tersentak lalu menukik jatuh. Se-bentuk kesaktian yang sesungguhnya tak cukup pantas dimiliki orang semuda dia.
Sayang, untuk itu Sukma Sukanta harus menerima akibatnya juga. Dia hanya bisa mendekap telinga. Setan Syair tersentak. Dia tertegun sejenak.
Tak dinyana olehnya bocah yang baru beranjak dewasa dapat mengeluarkan bentakan yang mengandung tenaga dalam nyaris sempurna. Sementara, suara bertenaga dalam pada tingkat seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh-tokoh tua tertentu.
"Hm. Darimana bocah ini belajar ilmu olah kanuragan dan mengapa Kail Naga Samudera ada di tangannya?" Bisik hati Setan Syair.
"Bocah, cepat serahkan benda itu sekarang juga! Kalau tidak, kurobek-robek tubuhmu!"
"Ambil sendiri kalau kau mampu!" tantang Satria. Wajah Setan Syair menjadi beringas. Sinar matanya menyalak, menatap ke arah Satria. Lalu geramnya terseret, "Kau memang cari mampus!" Suasana yang semula hening, yang terdengar hanya derap langkah kuda kurus, kicauan burung di dahan, serta suara seretan daun kering di tanah, kini berubah menjadi suasana yang mengundang pertum-pahan darah. Gejolak hawa nafsu membunuh terpancar dari raut wajah Setan Syair. Matanya yang redup kini mendelik. Posisi tubuhnya membentuk kuda-kuda Jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Sukma Sukanta yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi terdiam, membisu seribu kata. Matanya terpentang tanpa kedip, memancarkan sinar ketakpercayaan pada perbuatan Satria, pemuda yang baru dikenalnya. Sedangkan direlung hatinya terlintas sejuta pertanyaan terhadap diri pemuda itu.
Di lain pihak, mata tajam dan jeli Satria menatap sejurus ke arah lawan yang sedang membentangkan kuda-kudanya. Satria Gendeng pun dengan gerakan ringan membuka jurus yang diturunkan oleh Ki Kusumo, "Mematuk Bunga Karang'.
Setan Syair siap menerjang. Sebelum itu, diawalinya dengan mengumandangkan syair berbau darah.
"Awan mendung bergulung.
Mengerubung bumi yang sebentar nanti berkabung Saksikan wahai gunung! Saksikan wahai burung! dan saksikan wahai para petarung!" Tubuh Setan Syair melesat dengan cepat ke arah pemuda berambut kemerahan. Pendekar muda itu pun menyambut serangan yang dilontarkan lawan.
Suasana berubah mencekam. Kibasan-kibasan jurus 'Mamatuk Bunga Karang' menerjang seperti menemukan geram murka seekor elang. Setan Syair pun mengimbangi dengan jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Kali ini dia tidak bisa menganggap enteng lawannya.
Kendati yang dihadapi seorang bocah baru beranjak dewasa.
"Hiaaat!" Debb deb! Setan Syair menerjang buas bagai singa lapar.
Jurus cakar landaknya menghantam, menerjang, mencakar-cakar ke arah dada Satria.
Satria bergerak ringan. Tubuhnya berkelit di sela-sela serangan lawan. Melihat serangannya selalu kandas dan dengan mudah dipatahkan, Setan Syair tambah geram. Kini serangan-serangannya berubah menjadi lebih cepat dan ganas. Cakar-cakarnya menyambar bagai kilat yang siap membobol gunung! Tubuh Satria Gendeng jungkir balik, melentiklentik, sesekali membentuk salto di udara. Jurusjurusnya kini berubah aneh. Meliuk-liuk lemas bagaikan seorang pemabuk. Kadang-kadang dia berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
Pertarungan berlangsung sudah tiga puluh jurus. Satria masih tetap bertahan dalam posisi semula.
Sedangkan Setan Syair tampak mulai terengah-engah kehabisan tenaga. Jurus-jurusnya mulai tak karuan.
Posisi kuda-kudanya sudah mulai oleng. Satu kesempatan emas terbuka bagi Satria Gendeng. Pemuda itu menghentakkan kaki kiri. Tubuhnya melentik ke udara, berputar cepat ke belakang. Kecepatan putarannya hampir tak dapat ditangkap mata biasa. Selanjutnya, Satria mendarat tepat di belakang Setan Syair. Tanpa membuang waktu, pendekar muda itu menghentak tangan, membuat dorongan berkekuatan penuh ke punggung Setan Syair.
Degh! "Eghk!" pekik Setan Syair. Cepat dia tersungkur ke depan, sejauh tiga tombak! Setan Syair mengerang-erang kesakitan di tanah tempatnya tersungkur. Tangannya mendekap dada. Darah segar keluar dari sudut bibirnya yang biru.
Betapa sakit bagian dalam tubuhnya. Terseok-seok, dia mencoba bangkit. Tak lama kemudian dia sudah sanggup berdiri dengan segala kegarangan. Tapi kegarangannya ditahan dalam dada yang sesak. Mulutnya menyeringai seraya berkata dengan nada syairnya.
"Aku malu, aku malu, aku malu.
Terunduk di depan bocah lugu.
Aku malu, aku malu, aku malu, Berwindu berguru, Aku malu, aku malu, aku malu.
Jurusku lumpuh di tangan bocah lugu.

Si Setan Syair tersenyum sinis. Dia sadar kalau bocah yang berdiri di depannya bukan bocah sembarangan. Kemudian dihentakkan kaki. Tubuhnya melentik membentuk salto di udara, dan mendarat tepat di kursi kusir pedati. Digenggamnya tali kekang erat-erat. Setelah itu digebahnya kuda kurus dengan hentakan kuat.
"Hiaa! Hiaa!" Kuda itu pun melanjutkan perjalanan dengan langkah tergontai-gontai. Kembali Setan Syair menyenandungkan syairnya dengan suara keras membahana.
"Aku datang dengan sengaja.
Aku pergi dengan hati luka.
Aku berjanji padamu pemuda.
Aku akan kembali padamu bersama sejuta celaka... sejuta celaka!"

Satria berdiri tegak sambil menatap tajam kepergian si Setan Syair dengan pedati tuanya sampai hilang di kelokan jalan. Yang terdengar hanya pantulan-pantulan syairnya yang kemudian lamat-lamat hilang terbawa angin. Sukma Sukanta yang sejak tadi menyaksikan pertarungan Satria dengan Setan Syair menjadi terheran-heran. Dalam hati dia berkata, "Aku tak menyangka tokoh tua macam Setan Syair dapat dikalahkan hanya dalam tiga puluh jurus! Padahal ilmunya sangat tinggi.... Siapa anak muda ini sebenarnya?" Sukma Sukanta beranjak dari tempatnya berdiri, melangkah ke arah Satria yang sedang memandang kepergian Setan Syair.
"Satria," tegur Sukma Sukanta.
Satria menoleh, sambil menyunggingkan senyum kebodoh-bodohan.
"Ada apa, Kang?" tanyanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sukma Sukanta.
Meski sudah bersikap wajar, matanya tak bisa menyembunyikan binar kekaguman sekaligus penasaran yang belum juga padam.
"Tidak, Kang."
"Aku sungguh tak menyangka kalau kau memiliki kesaktian yang dapat mempecundangi Setan Syair," sanjung Sukma Sukanta.
"Sekadar untuk jaga diri, Kang!" tukas Satria Gendeng sambil mengayun langkah, seperti tak terjadi apa-apa.
"Kau jangan merendahkan diri. Aku tahu siapa lawanmu tadi. Dia bukan orang sembarangan! Apa kau tak keberatan kalau aku menanyakan siapa dirimu sebenarnya?" Sukma Sukanta mengikuti.
"Kakang tahu siapa Setan Syair?" alih Satria, memancing pembicaraan lain yang tidak menyinggung-nyinggung tentang jati dirinya.
"Kau jangan sengaja mengalihkan pembicaraan, Adik Muda. Tak baik menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula!" Satria mengedikkan bahu.
"Apa lagi yang harus kukatakan pada Kakang.
Bukankah aku sudah mengatakan bahwa namaku Satria."
"Satria.... Satria.... Satria." Sukma Sukanta bergumam, mengulang-ulang nama pemuda itu. Kentara dari wajahnya dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Aku pernah mendengar selentingan kabar burung tentang seorang pendekar muda yang hari-hari belakangan makin santer terdengar. Cuma, aku tak jelas julukannya. Kaukah pendekar muda itu?" desak Sukma, penasaran.
"Banyak pendekar muda, Kang. Yang Kakang maksud yang mana?" kelit Satria. Dia berusaha untuk main kucing-kucingan.
Tahu pemuda di depannya tak ingin mengungkapkan jati dirinya, Sukma merasa harus memaklumi.
Hak setiap orang untuk berbicara, atau tidak bicara.
Dia hanya bisa menghela napas saja akhirnya.
"Bagaimana dengan pertanyaanku barusan, Kang" Soal Setan Syair," susul Satria.
"Ya, aku tahu dari cerita orang. Konon kabarnya Setan Syair bernama Subali. Dia putra seorang petani miskin dari Desa Karang Galing. Subali adalah seorang pemuda malas. Kebiasaannya hanya duduk termenung, keluyuran, dan membuat syair. Syairsyairnya diperuntukkan untuk memikat gadis-gadis.
Sampai pada saatnya salah seorang gadis cantik anak saudagar garam jatuh cinta pada Subali.
Cinta kasih mereka dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena orangtua si gadis tidak merestui hubungan mereka berdua. Tanpa sepengetahuan Subali, kekasihnya sudah dijodohkan dengan seorang pemuda anak angkat dari kerabat ayah si gadis. Tak lama kemudian, kekasihnya menikah dengan pemuda pilihan orang tuanya.
Pada saat pernikahan kekasihnya itu, diamdiam Subali pergi meninggalkan desanya serta kedua orangtuanya entah ke mana. Kini setelah tujuh puluh tahun berselang, dia muncul kembali dengan syair syairnya yang selalu berbau darah. Setiap kali kemunculan selalu saja ada darah tertumpah. Dia datang secara tiba-tiba pergi pun tiba-tiba tak ubah seperti setan. Kadang-kadang yang terdengar hanya suara syairnya yang keras membahana. Sedangkan orangnya sendiri tidak tampak. Atas dasar itulah orang-orang kalangan persilatan memberi Julukan Setan Syair.
Hanya itulah yang aku ketahui," Sukma Sukanta me-nyudahi ceritanya.
"Hm, mungkin dia melakukan itu semua akibat kekecewaannya. Dia membunuh sebagai pelampiasan gejolak hatinya yang kacau."
"Ya, mungkin juga. Tapi, sudahlah. Kita tak usah memikirkan Subali alias Setan Syair. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Bagaimana dengan luka Kakang?"
"Sudah tidak mengkhawatirkan, mungkin akibat hawa murni yang kau salurkan. Sehingga, dadaku tidak begitu sesak."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, Kang!"

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

KADIPATEN Lumajang adalah sebuah kadipaten yang cukup besar dibanding kadipaten lain di wilayah Jawa bagian timur. Di sekeliling pusat kekadipatenan berdiri benteng yang cukup tinggi. Di setiap sudut benteng terlihat para pengawal bersenjatakan tombak. Kadipaten ini dipimpin seorang adipati yang arif dan bijaksana. Terlihat dari kehidupan rakyatnya yang makmur. Tidak ada kemiskinan yang tampak. Kalaupun ada mungkin hanya karena terlewat dari pengamatan adipati. Senja perlahan-lahan beranjak mendekati malam. Rembulan menampakkan wajah, walaupun sedikit tertutup awan. Pada malam itu udara terasa pengap. Tepat di pusat kadipaten, tampak para penjaga kadipaten hilir-mudik di depan pintu gerbang dengan penuh kesiagaan. Di sisi lain, ada empat orang penjaga sedang duduk-duduk di sebuah gubuk jaga untuk menunggu giliran. Mereka bercakap-cakap sekadar menghilangkan kantuk.
"Hmm, udara panas sekali malam ini," keluh salah satu penjaga Sarkawi sambil membuka baju karena kegerahan.
"Yah, tidak biasanya," timpal temannya yang sedang duduk bersandar di tiang.
"Kamu gerah tidak, Jo" Aku gerah sekali nih...?" tanya Sarkawi lagi pada temannya, Joyo yang duduk bersandar.
"Gerah juga, sih. Tapi, tidak seperti kamu, pakai buka baju segala. Kamu gerah tidak, Min, No?" tanya Joyo pada Gimin dan Noyo yang sedang rebahrebahan di pelataran.
"Sama kayak kamu!" jawab Gimin, sedangkan Noyo diam saja.
"Aku heran, kenapa malam ini terasa pengap. Mungkin, mungkin akan ada sesuatu. Kita harus waspada," gumam Sarkawi.
Gimin dan Noyo bangkit dari rebahnya, lalu duduk bersila. Sedangkan Noyo berdiri, kemudian melangkah menghampiri Sarkawi sambil berkata.
"Betul, hari ini kita harus meningkat kewaspadaan sebab firasatku mengatakan akan ada sesuatu bakal terjadi di sini. Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Yo" Ketiganya temannya bertanya serempak. Noyo menatap tegas-tegas kawannya satu persatu, lalu berkata dengan nada setengah berbisik.
"Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang ke sini...."
"Iblis-iblis apa" Jangan menakut-nakuti kamu, Yo!" Sarkawi penasaran.
"Tujuh Dewa Kematian dari Kuil Neraka!" bisik Noyo bergidik.
"Sssst, sok tahu kamu!"
"Kamu takut" Biar kalau mereka datang, aku yang hadapi sendiri!" sergah Sarkawi congkak.
"Ala sok kamu! Kamu belum kenal dengan Dewa Kematian" Mereka terdiri dari tujuh orang aneh dan kejam. Pantang bagi mereka membiarkan musuh lolos. Jangankan kamu, yang bisanya cuma 'ngeloni' Iyem tukang masak Kanjeng Adipati, sedangkan Prajurit Kembar yang disegani sudah dua pekan belum kembali," damprat Noyo, ketus.
"Tenang kamu, Yo! Aku juga disegani oleh...."
"Mertuamu!" serobot Noyo.
"Eh, kamu belum tahu kalau aku punya jimat, dan silat?"
"Heem, coba kulihat?" tantang Noyo sambil mencibir. Sedangkan Gimin dan Joyo cuma tersenyum-senyum melihat tingkah mereka.
"Nih lihat jurus 'Kucing Bunting Bergulingguling'. Ciaat-ciaat!" Sarkawi menunjukkan jurus-jurusnya yang tak karuan.
"Huh, konyol!" cemooh Noyo sambil menggebrak Sarkawi. Tak ayal lagi, kuda-kuda Sarkawi jadi terseok. Dia jatuh.
Gedubrak! Sarkawi menyeringai kesakitan sambil mengelus-elus pantatnya yang menimpa batu. Gimin dan Joyo tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolan Sarkawi. Tiba-tiba tawa mereka mendadak terhenti. Mereka dikejutkan oleh suara ledakan keras dari arah pintu gerbang kadipaten. Disusul jeritan meninggi.
Memapas malam. Memagut nyali.
"Aaaa!" Serentak keempat penjaga yang sedang bergurau itu menoleh ke arah gerbang kadipaten. Mata mereka mendelik seolah-olah hendak mencelat keluar ketika melihat pintu gerbang ambrol berantakan, seakan ditanduk seratus ekor banteng gila. Daun pintunya terpental, lalu menimpa dua penjaga yang sedang bersiaga di baliknya.
Kedua penjaga itu tewas seketika setelah menjerit terlebih dahulu. Tubuh keduanya tewas dalam keadaan mengerikan, tertembus pecahan daun pintu.
Darah segar menyembur membasahi sekujur tubuh mereka. Keempat penjaga tadi masih saja mendelik tak berkedip. Belum lagi keterkejutan mereka sirna, mere-ka dipaksa lebih mendelik tatkala pandangan mereka beralih dan menyaksikan tujuh sosok dIselimuti kabut tipis. Di bawah sinar rembulan yang meningkahi malam, ketujuh sosok itu berjalan berjajar memasuki gerbang kadipaten.
Ketujuh orang itu berpakaian seragam hitamhitam seperti pakaian paderi. Tangan dan kaki mereka tidak terlihat karena tertutup pakaian bagian bawah.
Kini ketujuh orang tersebut sudah melintasi gerbang kadipaten dan berdiri di antara pintu gerbang dengan tempat peristirahatan Kanjeng Adipati. Para penjaga yang ada di sudut-sudut dan di belakang benteng berlarian ke arah tujuh sosok yang tidak lain Tujuh Dewa Kematian.
Penjaga-penjaga itu kemudian mengepung, bersenjatakan tombak yang siap menghujam ke dada Tujuh Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian menatap tajam ke arah para pengepung mereka. Dari tatapan mereka, terbersit keganasan tak terbayangkan. Di hadapan mereka tergeletak dua mayat penjaga yang menurut mereka menghalangi jalan. Lalu, salah satu di antara mereka yang berdiri paling tengah maju dua langkah ke depan, mendekati dua mayat tadi. Dengan kaki kanan, dienyahkan kedua mayat dengan bentakan ringan, tapi mengandung tenaga yang kuat. Kedua mayat seketika terpental dan terseret dua belas tombak! Mata penjaga yang mengepung Tujuh Dewa Kematian menjadi tak berkedip menyaksikan kejadian itu. Perlahan-lahan mereka tersurut mundur beberapa tindak. Lebih-lebih Sarkawi yang sebelumnya begitu congkak. Kini wajahnya berubah pucat. Kakinya gemetaran sampai terkencing-kencing di celana. Kemudian Sarkawi menyelinap di belakang Joyo.
Para penjaga yang tersurut mundur saling bertatapan satu sama lain. Salah seorang penjaga memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa maksud kalian datang ke sini"!"
"Aku ingin bertemu pemimpin kalian!" jawab seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang berdiri paling kiri.
"Ingin bertemu pemimpin kami" Kanjeng Adipati maksud kalian?"
"Ya. Suruh dia keluar sebelum kubumi hanguskan Kadipaten Lumajang ini!"
"Lalu, apa yang kalian inginkan dari pemimpin kami"!"
"Kau tak perlu tahu, Cecunguk!" Mendengar jawaban berbau penghinaan, penjaga yang bernyali itu menggeram. Dilemparkannya tombak ke arah orang yang menghinanya. Tombak itu pun meluncur cepat.
Wusss! Walaupun tak disertai tenaga dalam, ujung tombak yang runcing dari besi tak diragukan siap menembus jantung sasarannya.
Ketika tombak tinggal berjarak satu jari, dengan cepat momok ganas itu mengibaskan tangan.
Bess! Seketika hawa panas keluar dan kibasannya.
Tombak yang siap menembus jantungnya berbalik dan meluncur lebih cepat ke arah tuannya. Tak ayal lagi, penjaga yang tidak memiliki cukup ilmu bela diri itu tertembus senjata sendiri.
"Akh!" Penjaga itu menjerit keras dengan nada memilukan. Tubuhnya jatuh tak berkutik, bersimbah darah.
Sarkawi yang semula sudah terkencing-kencing makin ciut. Matanya mendelik. Juling sedikit dan tahu-tahu dia sudah pingsan! Para penjaga yang lain menjadi geram. Darah mereka mendidih. Mata mereka nanar penuh gejolak amarah yang memuncak, namun mereka tidak berani gegabah. Mereka sadar bahwa kesaktian Tujuh Dewa Kematian bukanlah tandingan mereka.
Tapi dua orang penjaga tak dapat menahan diri. Mereka maju menerjang ke arah seorang lawan yang telah membunuh teman mereka. Dengan bersenjatakan tombak di tangan, kedua orang itu menerjang dibarengi teriakan panjang.
"Ciaaa!" Momok ganas yang dituju sebagai sasaran diam tak bergeming. Ketika kedua penyerang siap menghujamkan tombak ke dadanya, lagi-lagi momok ganas itu mengibaskan tangan. Hawa panas pun kembali terasa.
Kedua penjaga yang begitu bernafsu membunuh pun terpental jauh ke samping. Mereka tewas seketika dengan wajah hangus legam.
Darah kental kehitaman keluar dari sudut bibir mereka.
Sarkawi kebetulan baru saja siuman. Kebetulan pula (memang dia sedang agak naas), salah satu mayat prajurit tadi jatuh tepat di dekatnya. Wajah mayat yang hangus dengan mata membeliak, berhadapan pula dengan 'moncong' antik Sarkasi. Akibatnya, lelaki banyak mulut itu langsung mendelik lagi. Dia itu menggigil di tempat. Tak lama dia kemudian, dia meneruskan pingsannya yang nyenyak! "Siapa lagi yang ingin mati seperti tikus buduk itu"!" seru salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Cukup!" Seruan keras terdengar dari arah belakang para penjaga yang sedang menghadang Tujuh Dewa Kematian. Para penjaga membalikkan badan ke belakang.
Serempak mereka menjura dalam.
"Sudahlah...." Suara berat tertahan keluar dari mulut seseorang yang sudah berdiri tegak dengan penuh kewibawaan. Pancaran matanya tajam. Tubuhnya tinggi besar dengan dada bidang. Lelaki itu mengenakan pakaian kebesaran kekadipatenan. Usianya terbilang lima puluh tahun, tapi masih tergambar sisa-sisa ketampanan di wajahnya.
Alis lebat menaungi kedua bola matanya. Kumis tebal menghiasi atas bibir, menambah sempurna wibawa di wajahnya. Lelaki yang dihormati itu adalah Adipati Wisnu Bernawa.
Para penjaga yang merundukkan kepalanya menegakkan badan. Sigap mereka diri kembali berbalik ke arah Tujuh Dewa Kematian.
"Ada angin apa yang membawa Tuan-tuan yang terhormat datang ke sini"!" tegur Wisnu Bernawa dengan nada penuh keagungan.
"Kau jangan berlagak pilon!" sahut momok yang berdiri di sebelah kanan sambil mengacungkan tangan ke arah Wisnu Bernawa.
Kening Wisnu Bernawa berkerut.
"Ke mana Prajurit Kembar yang kuutus untuk membasmi iblis-iblis keji ini" Apakah mereka belum sampai ke sarang iblis itu atau mereka tewas" Ah tidak...," ucapnya membatin.
"Hai Wisnu Bernawa! Kenapa kau diam" Apakah kau memikirkan kelima orang utusanmu yang kau tugaskan untuk menumpas kami"!" seru momok tadi, seakan bisa membaca pikiran Wisnu Bernawa. Wisnu Bernawa masih terdiam. Dalam hati, ada keraguan tentang keselamatan Prajurit Kembar utusannya.
"Wisnu Bernawa! Para prajurit utusanmu sudah kami enyahkan dari muka bumi! Atas kelancanganmu itu, kami akan menghukummu dengan ganjaran; kau harus menyerahkan putrimu sebagai tumbal Kuil Neraka pada purnama bulan ke tujuh!" Wisnu Bernawa tersentak. Bertepatan dengan itu, seorang dara cantik keluar dari kamar. Dara itu bertubuh semampai. Kulitnya kuning langsat. Bola matanya yang indah dihiasi dengan bulu mata lentik.
Dia berlari ke arah ayahnya sambil menangis. Gadis itu adalah Pitaloka, putri tunggal sang Adipati Lumajang, Wisnu Bernawa.
Tak lama berselang, menyusul seorang wanita setengah baya dari dalam. Wanita itu langsung menghampiri dan berdiri di belakang Wisnu Bernawa. Dia bernama Nyi Larasati, istri Wisnu Bernawa.
"Ibu...," lirih Pitaloka di sela tangisnya setelah melepaskan pelukan. Dia menghambur ke arah Nyi Larasati. Dipeluknya perempuan itu.
"Tenang anakku. Ayahmu tak akan merelakanmu dirampas oleh mereka...," Nyi Larasati berkata dengan nada penuh kasih seraya membelai rambut anaknya yang tergerai panjang.
"Aku takut Ibu..., aku takut," isak Pitaloka.
"Kakang, bagaimana ini" Walau apa pun yang terjadi, kita jangan menyerahkan putri kita kepada iblis-iblis itu," pinta istrinya pada Wisnu Bernawa.
"Aku mengerti Nyai," jawab Wisnu Bernawa.
Kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Wisnu Bernawa mendongak ke atas lalu kembali menatap Tujuh Dewa Kematian dengan tatapan penuh kemarahan.
Bibirnya bergetar.
"Tak ada pilihan lain, selain mempertahankan putriku," tekadnya dalam hati. Wisnu Bernawa melangkah mendekati Tujuh Dewa Kematian. Belum lagi dia beranjak cukup jauh.
"Jangan, Kang!" Nyi Larasati menghalangi langkah suaminya. Terbersit kecemasan mendalam di wajahnya.
"Tak perlu khawatir, Nyai," gumam Wisnu Bernawa, penuh keyakinan.
"Kalau begitu, Kakang harus hati-hati. Tampaknya mereka orang-orang yang sangat kejam," ucap Nyi Larasati.
Wisnu Bernawa menatap istrinya lekat-lekat. Di dalam hatinya ada keharuan sekaligus kebanggaan memiliki istri seperti Nyi Larasati, yang selalu tegar mendampingi suami dalam menghadapi situasi bagai-manapun. Memang itulah yang selalu diharapkan Wisnu Bernawa. Mungkin pula oleh setiap kaum adam.
Baginya, seorang istri yang tabah dan setia merupakan mahkota paling mulia di kolong jagat. Wisnu Bernawa beranjak mendekati Tujuh Dewa Kematian yang sedang berdiri dengan tangan bersidekap di dada. Kedua telapak tangan mereka dimasukkan ke dalam sela-sela lengan baju yang kebesaran. Wajah mereka kelam membesi. Mulut mereka yang keriput karena tak bergigi sesekali menyeringai.
Langkah Wisnu Bernawa diikuti oleh para prajurit tangguh yang bersenjatakan tombak. Sampai pada jarak kira-kira lima tombak jauhnya antara Wisnu Bernawa dan Tujuh Dewa Kematian, dia berdiri tegak dan menatap tajam ke arah para momok ganas itu.
"Dengarkan baik-baik, Tuan-tuan. Aku tidak akan menyerahkan putriku pada kalian sebab perbuatan kalian benar-benar biadab. Kalian menjadikan manusia sebagai korban persembahan, lalu kalian anggap apa nyawa manusia"!" tandas Wisnu Bernawa dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.
"He he he...." Seorang dari Tujuh Dewa Kematian terkekeh-kekeh lalu berkata dengan nada mengancam.
"Kau dan seluruh rakyatmu akan mendapat ganjaran yang lebih buruk apabila putrimu tidak kau serahkan pada kami!" Wisnu Bernawa tersentak. Telinganya bagai digempur selaksa petir. Wajahnya semerah darah. Namun dia cepat menguasai diri.

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

WISNU Bernawa tidak segera menjawab. Ditatapnya tajam-tajam momok yang melontarkan ancaman tadi. Pandangan bertumbukan. Dia merasakan ada getaran aneh menyelimuti hatinya ketika pandangannya sejurus menatap momok itu.
"Kalian boleh mengancam aku demikian. Aku adalah seorang adipati yang harus bertanggungjawab atas keselamatan rakyatku, juga keluargaku. Kalian mengerti"!"
"Jadi kau pilih mampus!"
"Mati adalah suatu hal yang biasa bagi setiap makhluk yang bernyawa. Itu pun urusan Sang Pencipta, bukan urusan kalian!" Wajah salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian bersungut-sungut. Kiranya dirinya terpojok. Lalu momok ganas itu mengangkat kedua tangannya setinggi dada. Disatukannya telapak tangannya di depan dada.
Tak lama berselang, asap hitam mengepul dari selasela telapak tangannya. Asap hitam itu lalu menggumpal-gumpal membentuk bundaran, laksana bola hitam.
Momok itu pun mulai merenggangkan telapak tangannya yang semula menyatu.
"Hiaa!!" Teriakan pendek keluar dari mulutnya seraya menghentakan tangan ke depan. Asap hitam menggumpal pun meluncur cepat ke arah Wisnu Bernawa.
Wisnu Bernawa yang sejak tadi memperhatikan gerakgerik tokoh keji itu terkesiap ketika gumpalan asap hitam hampir mengenai tubuhnya. Dengan cepat dia berkelit ke samping kanan dengan gerakan memutar.
Dharr! Satu letusan keras menggelegar. Ditambah menghamparnya hawa panas luar biasa. Pilar besar yang letaknya persis di belakang adipati pecah berantakan dengan warna berubah menjadi kehitaman dan mengepulkan asap.
Berpasang-pasang mata terbelalak. Para prajurit bergidik ngeri. Pilar dari batu cadas saja bisa hancur berantakan, bagaimana lagi kalau mengenai mereka" Tokoh jahat itu tertawa lebar.
"Wisnu Bernawa, lihatlah para prajuritmu! Tampaknya mereka ketakutan melihat kehebatan pukulan 'Selaksa Racun" aliran kami!" Wisnu Bernawa menggertakkan geraham. Dia harus bertindak untuk menimbulkan semangat baru kepada para prajuritnya yang kini dilanda kepanikan.
Prajurit!" teriak Wisnu Bernawa.
"Siap!" sahut para prajurit.
"Jangan kau pentingkan keselamatan pribadi! Utamakan keselamatan orang banyak. Usir mereka dari sini!" komando Wisnu Bernawa, lantang.
Seperti mendapat setetes air di padang pasir tandus, empat puluh prajurit kembali tegar dan penuh semangat. Tombak-tombak di tangan kembali dipegang erat-erat. Ujung-ujung tombak yang runcing diacungkan ke arah para lawan. Para prajurit bergerak maju.
Kemudian bergerak memutar mengelilingi ketujuh lawan yang berdiri mematung.
Wajah Tujuh Dewa kematian yang kelam membesi, kini berubah merah darah. Mulut mereka menyeringai menggidikkan.
"Serang!" seru Wisnu Bernawa.
Para prajurit pun menerjang dibarengi teriakanteriakan panjang. Suasana yang beberapa waktu sebelumnya damai penuh kelakar para prajurit yang bertugas jaga malam, kini berubah menjadi kancah pertempuran yang setiap saat siap menuntut tumpahan darah! Pitaloka dan Larasati masih berpelukan. Hati Larasati berdebar keras.
"Semoga Hyang Widhi menye-lamatkan kami semua...," keluh Nyai Larasati membatin.
Tujuh Dewa Kematian menyambut serangan para prajurit tangguh Kadipaten Lumajang dengan posisi tak bergeming sedikit pun. Hanya tangan mereka yang berkelebatan menghalau hujaman-hujaman tombak para ksatria Lumajang.
Dask dhak! "Hmm," Adipati Lumajang bergumam penuh arti. Kini para prajurit Lumajang bukan berhadapan dengan sesama prajurit biasa. Melainkan berhadapan dengan tujuh tokoh jahat yang bila mendengar namanya saja sudah membuat nyali menciut.
Dengan penuh semangat, para ksatria Lumajang menerjang. Satu orang terpental, yang lain menerjang. Susul menyusul.
Bagai amukan air bah.
Bertubi-tubi gempuran datang.
Wisnu Bernawa pun tidak tinggal diam. Dia segera menceburkan diri ke kancah pertarungan sengit.
Hanya seorang pemimpin pengecut yang hanya bisa melepas komando perang tanpa turut berjuang! Aneh, sungguh aneh. Tujuh Dewa Kematian tidak tampak terdesak walaupun mendapat serangan serupa itu. Sebaliknya, justru para prajurit yang dijadikan bulan-bulanan oleh mereka. Pertarungan berjalan sudah cukup lama. Tanpa disadari oleh Wisnu Bernawa dan prajurit-prajuritnya, ketujuh sosok manusia ganas berkepala botak dengan wajah hampir serupa, melakukan suatu gerakan aneh.
Tubuh ketujuh manusia ganas itu serentak bergerak memutar. Wess wes! Putaran tubuh mereka makin lama makin cepat. Seketika hawa di sekitar kancah pertarungan berubah menjadi panas disertai angin kencang menderuderu. Para prajurit yang mengepung beringsut mundur. Wisnu Bernawa tertegun.
"Kesaktian macam apa lagi yang mereka pertunjukkan?" Tiba-tiba terdengar tujuh ledakan keras disusul dengan suara jeritan bersusulan. Ternyata tujuh orang prajurit Lumajang jatuh bergelimpangan. Pipi kanan mereka menghitam dengan asap mengepul laksana tersambar petir.
Tujuh Dewa Kematian yang semula berputar, kini berhenti. Suara aneh keluar dari mulut masingmasing. Lalu, ketujuh momok itu menghambur ke atas dan bertengger di atas benteng kadipaten. Wisnu Bernawa dan para pengikutnya tersentak bukan alang kepalang.
"Kejar!" perintah Wisnu Bernawa. Separuh prajuritnya mengejar ke arah di mana Tujuh Dewa Kematian berada.
"Jahanam! Turun kalian!" teriak para prajurit.
"Itu pelajaran pertama bagi kalian yang tidak patuh pada kami. Wisnu Bernawa, kami tunggu kedatanganmu di Puncak Arjuna pada purnama bulan ketujuh!" selesai berkata, ketujuh tokoh sakti itu berkelebat cepat, lalu menghilang dari pandangan.
"Ayah...." Pitaloka berlari ke arah Wisnu Bernawa, diikuti Nyai Larasati.
Saat-saat menegangkan telah usai. Terlihat para prajurit berjalan lusuh ke tempat mereka semula.
Benarkan begitu adanya"
"Mereka datang lagi!" Suara keras keluar dari mulut salah seorang prajurit yang kebetulan masih berdiri di muka pintu kadipaten. Wisnu Bernawa dan para prajurit tersengat keterkejutan. Mereka berhamburan ke arah datangnya suara tadi.
"Mana"! Mana"!" tanya yang lain.
"Tuh, lihat!" sahut prajurit yang berteriak seraya menunjuk ke arah dua sosok bayangan yang melangkah menuju ke arah mereka.
Benar. Tampak dua sosok sedang berjalan dikegelapan malam ke arah mereka. Wisnu Bernawa menatap tegas-tegas, memasang pandangan lebih teliti.
"Kok, mereka cuma berdua" Yang lain ke mana?" bisik salah seorang prajurit yang mulai tegang.
"Mungkin yang lain lewat belakang," duga yang lain.
Para prajurit siap siaga. Mereka kembali menyiapkan senjata masing-masing.
Kedua sosok itu menghentikan langkah. Siapakah mereka" Kedua manusia itu adalah Sukma Sukanta bersama seorang pemuda berambut panjang kemerahan. Pemuda yang berkemauan sekeras baja dan berhati sehalus pualam. Dia adalah Satria Gendeng, murid kesayangan dua tokoh kenamaan tanah Jawa.
"Lihat Satria, rupanya mereka mengetahui ke-datangan kita!" ujar Sukma Sukanta, gembira.
"Betul, Kang," timpal Satria.
Keduanya melanjutkan langkah. Mendadak....
"Seraaaaang!" Sukma Sukanta tergelak heran. Begitu juga Satria. Mereka celingukan keheranan. Para prajurit mengepung, menutup seluruh penjuru mata angin.
"Hai kenapa kalian mengepung kami"! Tahan, tahan dulu!" cegah Sukma Sukanta serabutan. Sedangkan Satria masih tetap kebingungan.
Kekacauan yang baru saja sirna membuat para prajurit tidak dapat menilai dengan lebih seksama sia-pa kawan, siapa lawan.
Keganasan Tujuh Dewa Kematian yang mereka saksikan tadi, masih melekat di pelupuk mata para prajurit. Wajar saja mereka terlampau cemas pada setiap pendatang. Ditambah lagi gelapnya malam, membuat para prajurit sulit mengenali.
"Tahan!" seru Wisnu Bernawa. Para prajurit yang mengepung celingukan, kemudian mereka menoleh ke arah Wisnu Bernawa. Salah seorang prajurit beranjak mendekati sang Adipati. Prajurit itu pun membungkukkan badan tanda penghormatan.
"Ampun Kanjeng Adipati, kenapa Kanjeng menghentikan kami?" prajurit tadi bertanya.
"Apakah kau tidak mengenali siapa orang itu?" tukas adipati dengan nada mengomel.
"Ampun Kanjeng. Siapa mereka sebenarnya?"
"Dia Sukma Sukanta, salah satu dari Prajurit Kembar," susul Wisnu Bernawa.
Prajurit tadi tersentak kaget. Dia langsung berbalik ke arah tempat di mana Sukma dan Satria dikepung. Cepat-cepat dia menghaturkan sembah.
"Tahan, tahan! Beliau Sukma Sukanta!" teriaknya sambil menyibak kepungan para prajurit. Prajurit lain tersentak kaget mendengar nama itu. Sukma dan Satria menghela napas lega. Rupanya kejadian itu akibat kesalah pahaman semata, gumam Sukma Sukanta dalam hati. Serentak, para prajurit segera meletakkan senjata mereka di tanah. Kemudian dengan serentak pula mereka membungkukkan badan tanda memberi hormat. Sukma dan Satria membungkukkan badan pula, membalas penghormatan mereka.
Seorang prajurit melangkah mendekati Sukma dan Satria. Dipersilakannya kedua lelaki itu masuk untuk menghadap Kanjeng Adipati. Sementara sang Adipati sedang berdiri di muka pintu kadipaten, didampingi istri dan putrinya.
Sukma dan Satria kini sudah berada di hadapan sang Adipati. Keduanya menghaturkan sembah.
Adipati mengangkat sebelah tangannya. Kedua orang itu pun kembali menegakkan badan.
"Ampun Kanjeng. Hamba tidak berhasil menumpas iblis-iblis keji yang bersarang di puncak Arju-na," lapor Sukma.
"Sudahlah Sukma. Aku sudah tahu. Lalu ke mana empat saudaramu?" tanya sang Adipati.
Mendung menyelimuti raut wajah Sukma Sukanta. Dia tercenung diam. Dari sudut matanya tampak garis bening membentang.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Sukma?" tanya sang Adipati lagi.
"Mereka tewas," jawab Sukma, singkat.
"Iblis itu benar-benar keji!" maki Wisnu Bernawa.
"Kakang, sebaiknya kita bicarakan di dalam saja," usul Nyi Larasati.
Adipati setuju. Mereka beranjak. Para prajurit kembali ke tempat masing-masing. Kali ini penjagaan dilakukan dua kali lipat dari semula.
Waktu sudah melewati tengah malam. Saat itu, terdengar sayup-sayup kentongan malam bertalu tiga kali. Sementara di dalam ruang peristirahatan, Satria, Sukma Sukanta, adipati beserta istri dan putrinya sudah duduk di lantai beralaskan permadani indah. Di sudut ruangan terdapat guci-guci terbuat dari marmer Tiongkok.
Satria terkagum-kagum ketika melayangkan pandangan ke segenap penjuru dinding ruangan. Semuanya berhiaskan barang-barang bernilai seni tinggi.
Walaupun demikian, kesederhanaan pribadi adipati tetap tercermin dari sikapnya.
Hm, sosok adipati yang agung. Mempersilakan aku yang gembel ini duduk sejajar dengannya. Betulbetul seorang yang bijak..., puji Satria dalam hati.
"O, ya Kanjeng. Hamba lupa memperkenalkan sahabat muda hamba ini," ucap Wisnu Bernawa.
"Siapa adik muda ini?"
"Nama hamba Satria, Kanjeng."
"Di mana adik tinggal?"
"Hamba hanya seorang pengembara. Bumi adalah rumah hamba dan langit sebagai atapnya," jawab Satria. Wisnu Bernawa tersenyum mendengar jawaban yang dilontarkan Satria. Dilayangkannya pandangan ke arah Sukma Sukanta.
"Sebetulnya aku sudah mempunyai prasangka buruk terhadapmu, dan saudaramu." Sukma Sukanta terhenyak mendengar perkataan adipati. Dia menundukkan kepala. Hatinya tak karuan karena ada rasa kecewa. Dia tak menyangka kalau adipati akan berprasangka begitu. Sukma menegakkan kepala kembali.
"Maksud Kanjeng, hamba telah melalaikan tugas?"
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maksud Kanjeng?"
"Begini Sukma. Sebelum kau tiba, Tujuh Dewa Kematian telah mengacau lebih dahulu di sini."
"Apa"!" sentak Sukma Sukanta. Bukan alang kepalang terkejutnya dia, laksana disengat seribu lebah. Didongakkannya kepala ke langit-langit. Mulutnya bergemeletak menahan kemarahan. Tangannya mengepal kuat-kuat.
"Bedebah!"
"Sukma, mereka mengancam kami," Nyai Larasati menyela di sela kemarahan Sukma Sukanta.
"Apa yang mereka katakan Kanjeng Putri?"
"Mereka...." Belum sempat Nyai Larasati meneruskan pembicaraan, adipati sudah memotongnya.
"Sudahlah, Nyai. Suruh Sukma dan sahabat mudanya ini istirahat dulu. Pembicaraan kita teruskan besok saja...." Kelima orang itu kemudian bangkit dari duduknya. Adipati beserta istri dan putrinya beranjak ke arah kamar peristirahatan. Sedangkan Sukma dan Satria menuju ke arah pendapa kadipatenan yang letak- nya di sebelah kiri peristirahatan adipati.

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

WAKTU terus bergulir cepat. Malam yang kelam sudah berganti fajar. Para penjaga malam pun sudah berganti dengan penjaga-penjaga yang bertugas siang.
Sedangkan para petani sudah lebih dahulu pergi membawa keranjang seukuran pelukan orang dewasa.
Di keranjang terselip sebuah arit yang akan dipergunakan untuk membabat rumput hijau di ladang. Rumput-rumput itu nantinya dipergunakan sebagai santapan kuda-kuda peliharaan adipati.
Di pendapa kadipatenan, Sukma Sukanta duduk termenung. Matanya merah. Sepertinya dia tak bisa tidur semalaman. Sedangkan Satria masih mendengkur dengan nyenyak. Mungkin lelah sehabis melakukan perjalanan jauh. Dia memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat sepuas-puasnya. Ataukah tidak adanya sedikit pun masalah di benaknya" Ah, mana mungkin! Pada dasarnya setiap manusia yang hidup di kolong jagat pasti memiliki masalah sendiri-sendiri. Kecuali orang gila. Yang satu ini tidak memiliki masalah, melainkan menimbulkan masalah! Lalu mengapa Satria tidur begitu lelap, sedangkan situasi di Kadipaten Lumajang sedang genting" Hanya Satria sendiri yang dapat menjawab.
Sukma Sukanta masih tetap tak beranjak dari posisinya. Tatapan matanya kosong. Mendung masih menyelimutinya.
"Sungguh hidup ini terkadang terlalu berat untuk dilakoni. Belum lagi terselesaikan masalah yang satu, sudah muncul masalah baru" gumam hati kecil-nya. Dalam ketermenungan, Sukma mencoba menguak makna arti hidup dan kehidupan yang dialami sekarang ini. Sedangkan peristiwa yang belum lama dialaminya masih terbayang di pelupuk mata, membuat dia semakin larut dalam lamunan.
Tiba-tiba....
"Hoaaahhhhh!" SI Bocah Gendeng menguap lebar. Sukma tersentak dari lamunannya, lalu menoleh ke belakang. Dilihatnya sang sahabat muda sudah bangun dari tidur yang singkat. Satria mengusap-usap mata dengan punggung tangan seraya menguap lebar untuk kedua kalinya.
"Rupanya kau sudah bangun, Adik Satria...," tegur Sukma Sukanta.
"Oh, Kakang sudah bangun terlebih dahulu, rupanya!" Satria bangkit. Didekatinya Sukma Sukanta.
"Aku tak bisa tidur semalam. Perasaanku gelisah. Piki-ranku kacau," tandas Sukma Sukanta seraya menepuk kening.
"Yah, aku pun dapat merasakan apa yang Kakang rasakan. Kehilangan selalu membuat perasaan kita lowong. Seperti ada bagian diri kita yang tertinggal di masa lalu. Apalagi jika kehilangan orang-orang yang kita cintai...." Mata si pendekar muda menerawang jauh.
Jauh. Mengenang saat-saat dia kehilangan seorang yang dekat dengannya di Tanjung Karangbolong, Nyai Cemarawangi. Seorang wanita yang sudah seperti ibu angkatnya. Karena itu, dia pun bisa merasakan perasaan Sukma Sukanta.
(Tentang tokoh wanita ini, bacalah episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
Sukma mengernyitkan kening. Ditatapnya wajah Satria dalam-dalam. Bocah yang sepengetahuannya adalah seorang yang tak banyak mulut kini bisa bicara tepat dengan perasaan yang dialami beberapa hari belakangan ini.
"Kakang, aku akan senang sekali bila dapat membantu penderitaan yang Kakang rasakan sekarang." Wajah Sukma berbinar. Dia merasakan satu tawaran ikhlas keluar dari mulut bocah berkepribadian mengagumkan. Sebelum sempat mengatakan apaapa.... Tok tok tok! Pintu diketuk seseorang.
Sukma dan Satria saling tatap sejenak. Kemudian Sukma sendiri yang membuka pintu. Setelah dibuka, ternyata Bi Emban, pelayan adipati.
"Ada apa, Bi Emban?"
"Tuan berdua dipanggil untuk menghadap Kanjeng Adipati sekarang juga," jawab Bi Emban. Lalu, dia memohon diri.
"Ada apa, Kang?" tanya Satria.
"Kita diminta menghadap adipati sekarang," jawab Sukma Sukanta. Lalu dia merapikan pakaian dan rambutnya yang kusut. Satria latah ikut-ikutan.
Sekiranya menurut Sukma sudah siap, kedua sahabat baru itu langsung beranjak untuk menghadap Kanjeng Adipati.
Sementara di balai kadipatenan, sudah ada lima sesepuh setempat yang sengaja diundang pada malam itu juga oleh Adipati Wisnu Bernawa. Mereka duduk berjajar menghadap timur. Kelima sesepuh itu berperawakan sama. Dua orang menggunakan baju dan celana pangsi hitam. Yang satu berkumis lebat dan bergaris alis hitam. Rambutnya masih berwarna hitam. Sedangkan yang lain tidak berkumis. Matanya cekung dan bergaris alis tipis berwarna putih dengan rambut putih pula. Kedua orang itu tampak akrab sekali. Mereka bercakap-cakap berdua tanpa mempedulikan tiga orang lain di sisi mereka.
Tiga orang yang lain, tampaknya jengkel juga melihat kedua sosok tua berpakaian hitam-hitam. Mereka seperti tak tahu adat, ngobrol berdua saja tanpa mempedulikan yang lain.
Walaupun tampak jengkel, ketiga orang itu masih bisa bersikap ramah. Karena mereka menyadari keberadaan mereka di balai kadipatenan atas undangan langsung adipati.
Tak lama kemudian, muncul Sukma Sukanta dan Satria, mereka menghaturkan sembah kepada yang hadir.
"Rupanya ada yang lebih dahulu di sini," basa-basi Sukma.
Kelima orang tadi membalas dengan senyum.
Satria lain sendiri. Matanya justru mendelik ketika pandangannya tertumbuk ke arah deretan paling pinggir sebelah kiri. Di situ ada sesepuh desa bertubuh kurus, berkepala botak licin. Tak sehelai rambut pun tumbuh di kepalanya. Tubuh kurus itu dibungkus dengan baju putih yang agak kusut dan kusam. Satria jadi teringat pada gurunya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ada sedih bila Satria mengenang jasanya. Ada lucu bila Satria terbayang kepala klimisnya.
Orang berkepala botak sadar kalau dirinya diperhatikan Satria.
"Ada apa, Kisanak muda ini menatap aku demikian" Apakah aku mirip dengan kakek moyangmu?" dengusnya. Rupanya dia tidak enak hati.
"Ya, Ki. Aki ini mirip sekali dengan guruku!"
"Apanya yang mirip" Wajahku, penampilanku, atau... kepalaku?" Rupanya Aki berkepala botak itu ja-di juga jengkel. Terdengar dari nada suaranya yang ketus.
"Semuanya, Ki."
"Kalau begitu, gurumu itu orang yang jelek seperti aku." Satria akhirnya cuma bisa cengar-cengir serba salah.
"Bocah edan. Rupanya gurumu tidak mengajarkan tata-krama, sehingga kau berani bicara sembarangan," Keempat sesepuh yang lain tampak kebingungan melihat tingkah Satria yang terlalu polos. Kecuali Sukma. Dia sudah cukup mengenal Satria dan maklum karenanya. Bibirnya cuma menyembulkan senyum tipis.
"Bocah edan, siapa nama gurumu hingga kau samakan tampangnya denganku?" susul sesepuh berkepala botak, penasaran.
Satria geli sendiri. Rupanya orang satu ini tidak menerima bila disamakan dengan guruku, nilainya dalam hati.
"Bocah edan, ayo sebutkan siapa gurumu itu?" desak sesepuh botak. Marahnya menjadi dua kali lipat karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawaban. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menyebutkan siapa gurunya sebenarnya. Alasannya bukan karena dia malu memiliki guru yang terkenal dengan tabiat 'sinting-sintingan'-nya. Hanya saja, dia tak ingin membuat keributan kecil jika nama atau julukan tua bangka sakti itu disebut-sebut. Tahu sendiri, selaku sesepuh dunia persilatan tanah Jawa, nama Dedengkot Sinting Kepala Gundul sudah tercekam kuat di benak hampir seluruh warga persilatan. Bahkan orang biasa saja masih banyak yang mengetahui nama dan julukannya. Kalau nanti Satria mengaku sebagai muridnya, apa tidak membuat kegemparan kecil" Lagi pula, apa mereka mau begitu saja percaya" Jangan-jangan, bukan mendapat sanjungan, malah didapatnya cemoohan. Disangkanya nanti dia membual seperti tukang obat di pinggir jalan kotapraja, atau seperti para pedagang dan usahawan yang rajin membual untuk mengeruk keuntungan, atau....
"Bocah, ayo jawab!" Bentak sesepuh kepala botak lagi. Nadanya makin meruncing, makin menanjak. Bikin suasana makin terasa tak enak.
"Guruku cuma seorang tua kesepian yang sudah begitu bosan kehidupan dunia...," jawab Satria, berusaha untuk menutupnutupi.
"Aku cuma menanyakan namanya!" sambar sesepuh botak yang sudah kurus, galak pula.
Karena didesak, Satria akhirnya bicara apa adanya. Peduli setan apakah nantinya semua yang mendengar akan percaya atau tidak. Malah, barangkali lebih baik begitu, biar jati dirinya untuk sementara tetap tertutup rapat.
"Guruku, Dongdongka...." Kontan, tercenganglah semua orang yang hadir di sana. Tak terkecuali Sukma Sukanta.
"Apa aku tak salah dengar?" kejar sesepuh botak. Parasnya menampakkan ketidakpercayaan. Namun, kemarahannya sudah agak surut oleh ketercengangannya. Masih cukup bagus, pikir Satria. Ketimbang dia makin kalap karena merasa dibohongi.
Kelima orang di sana, termasuk Sukma Sukanta langsung memandangi si pendekar muda dari ubunubun ke ujung jempol kaki, lalu kembali lagi ke ubun-ubun. Mereka pernah mendengar selentingan kabar tentang ciri-ciri murid tunggal Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Sekarang mereka hendak mencocokkan dengan pemuda polos yang baru saja mengaku-ngaku sebagai murid Sang Sesepuh.
Makin lama diteliti, wajah mereka makin tak sedap bagi Satria. Memangnya enak diperhatikan dengan pandangan mereka yang seperti orang-orang yang berhasil menangkap basah pencopet kampung" Ketika mata sesepuh botak menangkap ujung Kail Naga Samudera, parasnya berubah. Dari bersit matanya tersirat bahwa dia kini percaya pada ucapan Satria. Ada selintas rasa malu yang lantas disembunyikan.
"Ya, benar! Aku memang seperti gurumu, Cah! Bahkan wajahku saja mirip beliau!" ledak sesepuh botak galak tadi, tiba-tiba.
Lalu dia tergelak-gelak sendiri.
Tengik juga orang satu ini. Sebelumnya dia begitu gusar karena Satria mengatakan dia mirip dengan gurunya. Sekarang, dia seperti bangga setengah modar. Sampai-sampai parasnya seperti mau modar benaran! "Maafkan aku, Bocah. Aku yang tua ini terlalu cepat tersinggung. Kupikir kau tadi berniat mengejek-ku...," tambahnya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Aki...," balas Satria.
Sementara Sukma Sukanta dan yang lain masih tetap menatapi si anak muda berambut kemerahan. Sampai wajah mereka pun berubah seperti orang yang baru saja mendapatkan ilham di atas jamban.
"Aku ingat! Aku ingat, sekarang!" cetus Sukma, tak kurang riuh dari sesepuh botak tadi. Pandangan sekarang terpusat ke arah Sukma Sukanta.
"Kau Satria Gendeng itu! Ya, kau Satria Gendeng! Jangan coba main kucing-kucingan lagi denganku, Satria!" tukasnya nyaris berseru dengan paras ke-girangan.
Satria celingukan. Kiri... kanan, kanan... kiri.
Bibirnya tersenyum serba salah. Kartunya sudah terbuka sekarang. Tapi, rasanya kok seperti baru saja ditelanjangi! Untung situasi yang lebih menyiksa daripada menahan buang hajat bagi Satria Gendeng segera berakhir ketika adipati datang.
Pintu masuk balai kadipatenan terbuka. Semua yang hadir di sana melayangkan pandangan sejurus ke arah pintu. Adipati Bernawa muncul.
Para sesepuh, Satria dan Sukma berdiri. Mereka sama-sama membungkukkan badan. Adipati mengangkat tangan setinggi dada. Mereka pun menegakkan badan, lalu duduk kembali ketika adipati sudah duduk terlebih dahulu.
Lima sesepuh, Satria dan Sukma duduk berjajar. Duduk paling pinggir adalah Ki Besi, seorang empu pandai besi dari Desa Karang Kuruk. Di sebelahnya, duduk lelaki tua seusia Ki Besi. Lelaki itu mengenakan seragam kuning susu. Dia bernama Ki Lengut. Di sebelah Ki Lengut, duduk orang tua berbaju merah hati dan bercelana pangsi hitam tambalan. Dia adalah Ki Sastro. Duduk di sebelah Ki Sastro, seorang tua berpakaian silat putih bercelana warna coklat kuning bernama Ki Mangku Langit. Menyusul lelaki tua berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat Namanya Ki Durga. Sedangkan lelaki yang berpakaian sama dengannya tapi tak berkumis adalah Ki Sentul Gusti.
"Aku pribadi mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kehadiran para sesepuh desa yang kami undang secara mendadak," Wisnu Bernawa membuka pembicaraan.
"Sama-sama Kanjeng!"
"Ada rencana apakah sehingga Kanjeng mengundang secara mendadak begini" Tidak seperti biasanya...," tanya Ki Besi.
Adipati memalingkan wajah ke arah orang tua gundul itu.
"Kita semua mengetahui, bahwa akhir-akhir ini, daerah kita sedang terancam. Kekejian yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian di sebagian besar wilayah Kadipaten Lumajang sungguh sudah melampaui betas. Aku tak mengerti, kenapa mereka hanya menghantui daerah kita...."
"Mungkin ada sesuatu yang mereka inginkan dari Kadipaten ini, Kanjeng!" Ki Sastro angkat bicara.
"Mungkin," timpal adipati, datar.
"Apa tindakan kita sekarang, Kanjeng?" tanya Ki Mangku Langit.
"Sebelumnya, kalian harus tahu dulu. Semalam mereka mengacau ke sini. Mereka pun memerintah aku untuk menyerahkan putriku pada purnama di bulan ke tujuh." Para sesepuh desa terdiam. Di wajah masingmasing terbersit kegeraman.
"Jadi apa rencana Kanjeng?" ulang Ki Mangku Langit.
"Rencanaku, aku ingin mengundang para tokoh aliran putih untuk bergabung melawan Tujuh Dewa Kematian. Untuk itu aku mengumpulkan kalian di sini. Aku berharap kalian semua dapat membantu menunjuk siapa saja tokoh-tokoh yang harus kita ajak kerjasama." Para sesepuh berembuk. Termasuk Sukma Sukanta. Satria bungkam. Sebagai orang paling muda, dia tak mau banyak mulut. Nguping saja sudah bagus! Kendati begitu, tetap saja para sesepuh mendesaknya meminta pertimbangan ini-itu. Maklum, biar usia terbilang mentah, mereka sudah banyak mendengar sepak-terjang Satria Gendeng yang banyak membuat kalangan berdecak kagum. Itu pun setelah mereka menyadari siapa sebenarnya Satria. Kalau tidak, mungkin dia cuma dianggap anak bawang. Tak lama rembukan tuntas. Tiga tokoh terpilih.
"Siapa yang nanti akan menyampaikan undangan?" aju Ki Besi selang beberapa saat kemudian.
"Biar aku!" sergah Satria.
"Kau?" tanya adipati. Matanya menyiratkan bahwa dia agak ragu pada kemampuan si anak muda.
Sukma Sukanta hendak memperkenalkan pada adipati siapa sebenarnya Satria. Belum-belum, Satria sudah menyikut perutnya diam-diam. Sampai Sukma meringis menahan mual. Dengan isyarat mata. dimintanya Sukma untuk tutup mulut.
"Percayalah, Kanjeng. Dia mampu melakukannya...," sela Ki Besi. menebas keragu-raguan adipati.
Diliriknya Satria Gendeng. Orang tua itu tersenyum penuh arti sambil mengelus-elus kepalanya yang klimis.

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

PAGI itu juga, Satria Gendeng berangkat menjalani tugas yang diemban dari Adipati Wisnu Bernawa.
Seekor kuda jantan gagah berwarna hitam telah disediakan oleh adipati untuknya. Dari halaman, pemuda itu dilepas oleh adipati dan Sukma Sukanta.
"Heaaa!" Usai memohon pamit, Satria menggebah kudanya. Kuda jantan meringkik. Kaki depannya menendang ke depan, setelah itu berlari nyalang. Gerbang yang masih tak karuan dilewati. Dua prajurit kekadipatenan memberi juraan serta ucapan selamat jalan penuh semangat.
Sekitar tiga puluh tombak melewati gerbang, seseorang menanti pendekar muda itu di bawah sebuah pohon Beringin besar rindang. Dari kejauhan agak sulit mengenalinya, karena rindangnya pohon.
Apalagi karena orang itu berdiri dengan posisi bersembunyi di sisi batang pohon.
Ketika sudah dekat, Satria harus memaksa kuda jantannya berhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" tanyanya dengan wajah keheranan.
Orang di bawah pohon ternyata Pitaloka, putri adipati. Gadis itu menghampiri Satria. Matanya melirik sesekali ke arah kadipatenan, takut-takut mata prajurit memergokinya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Tuan Pendekar," kata Pitaloka sesampainya di sisi kuda Satria.
Satria turun. Tak enak hati dia tetap di atas kuda sementara putri adipati di bawah. Persis di depan Pitaloka, si pendekar muda tanah Jawa itu berdiri. Mereka hanya dipisahkan jarak kurang dari satu tombak. Dalam jarak sedekat itu, Satria Gendeng baru bisa melihat dengan jelas paras Pitaloka. Sungguh ayu, pikir Satria. Matanya lembut. Garis wajahnya menawan, memancarkan kekuatan pesona kecantikan gadis-gadis Jawa. Semalam, kenapa aku tak begitu menyadari kalau gadis ini demikian ayu" Gumamnya membatin. Apa karena gelap malam" Atau karena aku terlalu malu untuk memperhatikannya karena berada di dekat adipati....
Diperhatikan seperti itu, Pitaloka jadi jengah sendiri. Kepalanya tertunduk. Pandangannya terbuang ke tanah. Semu merah merekah di kedua belahan pipinya. Satria sendiri baru menyadari kalau tatapannya sudah kelewatan. Kagum boleh saja. Tapi kalau sampai membuat gadis semanis dia menjadi jengah, apa tidak kelewatan namanya. Akhir-akhirnya, Satria jadi kikuk sendiri.
"Apa keperluan Putri denganku" Dan kenapa harus bertemu di tempat ini" Apa Putri tidak tahu kemungkinan bahaya yang akan menimpa Putri setelah kejadian semalam?" Seperti tak sempat menarik napas, Satria meruntunkan pertanyaan. Ini baru yang namanya gugup. Satria Gendeng merasa malu besar karena memperhatikan seorang gadis seperti menatapi makanan lezat yang mengundang untuk disantap.
Brengsek sekali kau Satria, makinya pada diri sendiri.
"Aku tahu itu, Tuan Pendekar," ucap Pitaloka sambil tetap merunduk. Karena jengah tetap berdiri berhadapan dengan seorang pemuda tampan (meski tatapan matanya agak kebodoh-bodohan), Pitaloka membalikkan badan. Dua tindak dia melangkah.
"Aku tahu bahaya apa yang akan kudapat," ulangnya.
"Tujuh Dewa Kematian memang meringankan diriku....
Tapi, aku benar-benar harus bertemu denganmu, Tuan Pendekar."
"Panggil aku Satria saja."
"Aku pun sudah tahu itu."
"Kau sudah tahu namaku?"
"Aku pun sudah tahu siapa kau sebenarnya...." Alis Satria bertaut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku mencuri-curi pembicaraan kalian di balai kadipatenan semalam. Kudengar Kang Sukma Sukanta menyebut-nyebutmu sebagai Satria Gendeng.... Pendekar muda yang sering kudengar diceritakan oleh beberapa prajurit kadipatenan" Satria nyengir sedikit. Sedikit cukup. Terlalu banyak, takut disangka besar kepala.
"Ah, aku cuma orang kecil yang ingin keadilan dan kebenaran tegak di bumi ini," katanya merendah.
Pitaloka berbalik.
"Karena itu, Kang Satria," mulai Pitaloka lagi.
Kini dia sudah mengganti panggilan 'Tuan Pendekar'nya dengan menyebut langsung nama Satria.
"Aku memohon sekali padamu agar dapat menyelamatkan kadipaten ini dari kekejaman tangan Tujuh Dewa Kematian," sambung si gadis, "Aku hanya berusaha. Semuanya Tuhan yang menentukan, Putri...."
"Panggil aku Pitaloka."
"Pitaloka," ralat Satria, agak bergumam sungkan.
"Aku berharap banyak padamu, Kang Satria. Karena hanya kau yang kuanggap dapat diandalkan untuk menyelesaikan petaka ini," tandas Pitaloka. Matanya yang jernih menatap langsung Satria. Membuat Satria merasa terpojok. Dia tertunduk. Sialan sekali, kenapa sekarang justru aku yang jadi tak punya nyali memandang matanya! Rutuk Satria di hati.
"Kau mau berjanji, Kang Satria?"
"Hah?" Satria gelagapan sendiri. Pertanyaan Pitaloka datang ketika pikirannya sendiri sedang ke ma-na-mana.
"Kau mau berjanji padaku?" ulang Pitaloka.
Gadis itu melangkah tambah dekat ke arah Satria.
Tampaknya dia ingin agar Satria mengucapkan janji.
Satria agak 'panas-dingin'. Dia memang jenis pemuda lugu yang jarang berurusan dengan perempuan. Terutama perempuan seayu Pitaloka. Itu bisa membuat perasaannya jungkir balik.
"Ya, aku berjanji," gegas Satria, seraya buru-buru menaiki kuda kembali. Dia cuma takut, kalaukalau Pitaloka memergoki kegugupannya. Wuh, pasti malu besar kalau sempat terjadi! Mendengar ucapan Satria, Pitaloka tersenyum, seperti membayar janji itu dengan senyum menawannya.
"Sekarang sebaiknya kau segera kembali, ng....
Pitaloka. Aku tak ingin terjadi apa-apa pada dirimu." kata Satria, setelah menyiapkan tali kendali.
Pitaloka merunduk. Perkataan terakhir Satria membuatnya risih.
Satria meringis. Slompret sekali, apa yang baru kuucapkan barusan! Rutuknya membatin. Tak mau jadi serba salah lebih lama, Satria Gendeng segera menggebah kuda jantannya.
Pitaloka melepasnya dengan pandangan penuh harap. Sampai Satria menghilang di kejauhan.

* * *



Waktu terus bergulir. Cepat bagai sekedipan mata. Bola penerang jagat sudah mendekati titik tertingginya. Sinar mentari yang menyorot garang tak membendung perjalanan seorang penunggang kuda.
Dia adalah Satria Gendeng.
Kadipaten Lumajang sudah jauh tertinggal kirakira dua kali penanakan nasi perjalanan. Satria yang duduk di punggung kuda hitamnya tiba-tiba menghentikan langkah kuda persis di persimpangan jalan. Pemuda berkepribadian mengagumkan itu mengeluarkan sesuatu berbentuk gulungan kecil dari kulit yang selama ini terselip di pinggangnya. Gulungan kulit tersebut adalah undangan yang ditujukan kepada tiga tokoh sakti aliran putih. Mereka terdiri dari tokoh yang namanya hampir terlupakan di dunia persilatan.
Satria membuka gulungan, lalu membacanya.
Pada gulungan pertama, Satria menemukan tulisan; 'Untuk Ki Jerangkong bergelar Dewa Gila di Lembah Pangrango, untuk Pengemis Tuak alias Ki Dagul di Pesisir Tuban, dan untuk Arya Wadam....' Tiga lembaran berikutnya berisi sama. Masingmasing gulungan ditujukan untuk ketiga tokoh yang tertera pada gulungan pertama.
'Aku mengundangmu untuk datang ke Kadipaten Lumajang. Ada kegentingan di Kadipaten Kami. Untuk itu, dengan segala hormat, aku meminta kesediaanmu untuk menyingsingkan lengan membantu kesulitan ka-mi.
Kesulitan kami tersebut bersangkut-paut dengan sepak terjang Tujuh Dewa Kematian. Tertanda, Wisnu Bernawa' Selesai membaca, Satria menggulungnya kembali. Diselipkannya ke tempat semula.
"Hm, ke mana dulu aku mesti pergi" Ke Pangrango, atau ke Tuban?" Satria terdiam sebentar. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Bibirnya meringis.
"Ke mana pula aku harus menemukan Arya Wadam" Adipati tak menjelaskan dalam surat perintahnya. Tapi tak mungkin adipati lupa menuliskan tempatnya...." Mulut pendekar muda itu komat-kamit kembali.
"Sebaiknya aku ke Lembah Pangrango dulu. Setelah itu ke pesisir Tuban. Urusan di mana Arya Wadam, bisa kupikirkan belakangan!" putusnya kemudian.
"Ngomong-ngomong, sekarang ini sudah masuk hari ke berapa bulan ke berapa, ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Dia celingukan mencari orang lewat yang mungkin bisa ditanyakan tentang hal itu.
Tak ada satu batang hidung pun ditemui, dia menampar jidatnya sendiri, disusul makian sebal.
"Setan alas, tidak ada seorang pun yang lewat! Ke mana aku harus bertanya?" Dari kelokan jalan di kejauhan, muncul pemuda sebayanya.
"Nah, ada orang lewat!" ujar Satria, nyaris berjingkat di atas kuda. Dia segera turun dari atas kudanya. Dia berdiri di sisi kuda, memegangi tali kendali.
Pemuda tadi kebetulan lewat di dekatnya. Seorang pemuda dekil yang melangkah kuyu. Lusuh mukanya seperti dirundung putus cinta. Pipinya biru seperti ba-ru dipukuli orang sekampung.
"Saudara," tegur Satria.
Pemuda dekil tetap berlalu, acuh tak acuh.
"Saudara Muda, aku ingin bertanya!" susul Satria lagi, mengutarakan maksudnya.
Pemuda dekil tadi menoleh. Wajahnya tak menawarkan sebetik pun keceriaan.
"Mau tanya apa kau"!" ketusnya Satria merengut.
"Ke mana arah Lembah Pangrango?" katanya.
"Kau harus menuju matahari tenggelam," jawab Pemuda Dekil seraya mengacungkan tangan malas. Selesai menjawab, dia pun melanjutkan langkah. Baru beberapa jejakan kaki, Satria mencegahnya.
"Tunggu Saudara Muda, aku ingin bertanya satu lagi!"
"Tanya apa lagi"!" sungut Pemuda Dekil.
"Sekarang hari ke berapa bulan ke berapa?"
"Kau manusia hidup atau sudah mampus" Dengan hari yang sering kau lewati saja tidak tahu!" Pemuda Dekil kembali meneruskan langkah.
"Hai, Saudara Muda! Tolong jawab dulu pertanyaanku!" seru Satria, setengah berteriak, setengahnya lagi dongkol.
Tapi Pemuda Dekil tak mempedulikannya. Menoleh saja tidak. Dia berjalan gontai dengan kepala tertunduk-tunduk dan wajah suntuk. Barangkali telinganya sudah ditutup rapat-rapat oleh setan buduk, umpat Satria membatin.
"Oh, nasib.... Mengapa aku memiliki nasib seperti ini?" Di kejauhan, si Pemuda Dekil meratapi nasibnya. Kepalanya lalu mendongak ke langit seraya menengadahkan tangan.
"Oh, Hyang Widhi... kenapa kau biarkan hamba-Mu telantar seperti ini?" Pemuda Dekil itu terus menyambung ratapannya. Kalau ada orang yang kebetulan berpapasan, tak diragukan mereka akan menganggapnya gila. Dia sendiri seperti tak peduli. Langkah terus diseretnya sampai dia berhenti di depan sebuah batu cadas. Matanya menatap ke depan. Pandangannya kosong melompong.
Satria cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan dari kejauhan. Tak lama, dia memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan.

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

HARI menjelang malam. Di suatu desa di mana para penduduknya selalu diliputi ketakutan. Terutama mereka yang memiliki bayi, rasa takut lebih menghantui. Takut kalau-kalau Tujuh Dewa Kematian menginginkan bayi mereka.
Malam menjenuh. Rembulan pucat, ditabiri awan pekat. Dari ujung desa, muncul sesosok tubuh di kegelapan malam. Dia berjalan. Langkahnya terseokseok. Tangan kanannya mendekap perut. Kurus tubuhnya, dibungkus sehelai pakaian yang kolor kecoklatan. Rambutnya kusut masai tertumpuk debu. Dialah pemuda dekil yang siang tadi berpapasan dengan Satria Gendeng.
"Oh, nasibku yang malang.... Kenapa sampai saat ini belum juga berganti senang" Hyang Widhi, Engkah Maha Tahu. Sampai kapan aku menanggung nasib ini" Kini perutku lapar...." Terdengar keluh kesahnya yang seperti tak putus-putus sejak siang tadi. Sejurus dia berdiri diam, mengamati rumah-rumah gubuk di sepanjang jalan setapak desa.
"Hoi, Orang-orang Kampung! Apakah kalian memiliki sedikit sisa makanan" Berilah aku, sekadar untuk mengganjal perut yang seharian belum bertemu makanan!" Di tengah-tengah kesunyian, dia berteriakteriak. Tak lagi dia peduli pada apa pun atau siapa pun.
"Wahai awan hitam kelam, janganlah kau halangi sinar Dewi Malam! Biarlah Dewi Malam tahu bahwa aku di sini sedang kelaparan!" Sambil mendongakkan kepala, pemuda dekil itu terus meratap-ratap dan berteriak-teriak.
Sementara para penduduk yang mendengarnya malah mendekap telinga rapat-rapat. Mereka sepertinya tak asing lagi mendengar keluh kesah dan teriakan kacau balau si pemuda dekil.
"Hai gembel, pergi kau!" hardik seorang penduduk dari dalam gubuknya.
"Aku bosan mendengar ra-tapanmu. Lebih baik aku mendengar suara kaleng rombeng!" tambahnya menusuk.
Si pemuda melanjutkan langkah. Kalau tak ada yang mau ambil peduli pada dirinya, lalu apa alasannya untuk tetap tinggal" Setelah cukup jauh Pemuda Dekil meninggalkan tempat sebelumnya, muncul pula satu bayangan dari arah yang sama di mana si pemuda muncul. Suara derak terdengar sayup-sayup. Ditingkahi pula dengan suara kerikil tergilas.
Ada satu pedati tua yang dikusiri seseorang.
Kegelapan malam sulit menyingkap siapa atau bagaimana sang kusir. Yang jelas, sejak siang tadi pedati itu terus menguntit si pemuda. Gerak-gerik Pemuda Dekil terus diawasi kusirnya. Semua itu sama sekali di luar pengetahuan orang yang dikuntit.

* * *



Pagi hari sudah merambat ke pertengahan siang. Pemuda gagah bergaris rahang jantan, Satria Gendeng tampak memacu kudanya merambah hutan, mendaki tanah berbukit.
Pada pertengahan hari, pendekar muda tangguh itu sampai di suatu perkampungan. Dia memperlambat langkah kudanya. Pertama yang hendak dituju adalah sebuah kedai makanan yang dari kejauhan sudah terlihat. Sesampainya di depan kedai, Satria menambat kudanya di sebuah tonggak bambu terletak di sebelah kiri kedai. Sementara di dalam kedai sudah ada sepuluh orang. Pengunjung di sudut kiri ada empat orang bertampang seram, mengenakan pakaian silat merah hati dan bercelana pangsi hitam. Di pinggang mereka melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan orang dewasa. Di ikat pinggang, mereka menyelipkan trisula berwarna perak mengkilat. Tubuh keempat orang itu tinggi besar. Satu orang di antara mereka memiliki perut buncit.
Satria mengambil tempat di tengah ruangan.
Belum lama duduk, datang seorang pelayan lelaki berusia muda. Mungkin masih bisa dibilang bocah.
"Makan, Den?" sambutnya, ramah sekaligus tak bertele-tele.
Satria mengangguk sekali.
"Perlu tuak juga?" susul si pelayan muda.
Satria menggeleng. Juga sekali.
Pelayan muda tadi mengangguk. Dia berbalik hendak mengambil pesanan yang diminta tamunya.
Kebetulan, pintu dapur kedai yang cukup besar itu melewati meja yang diduduki empat orang berpakaian merah hati. Tangan salah seorang dari mereka menghadang si bocah pelayan, mencengkeram leher bajunya, lalu menariknya kasar.
"Ambilkan kami tuak lagi!" seru si lelaki bertampang buruk dan kasar.
Si bocah pelayan mengangguk berkali-kali dengan wajah ketakutan setengah mampus, sampai cengkeraman kerah bajunya dilepas.
"Cepat jalan, Jongos!" hardik lelaki tadi seraya mendorong punggung si bocah pelayan. Dorongan itu terlalu keras. Tanpa perlu tenaga dalam, bocah kurus macam pelayan muda tentu tak akan bisa bertahan.
Dia 'nyelonong' ke depan, menuju meja lain yang diduduki oleh seseorang bertopi pandan seperti bakul nasi.
Menyambut tubuh si pelayan muda yang tak terkendali, tangan orang itu bergerak sedikit ke atas.
Dada si pelayan muda disanggahnya, tanpa membuat bocah pelayan itu kesakitan.
"Hati-hati kalau berjalan," katanya, seperti berbisik. Bocah pelayan geragapan.
"Ma... maaf, Den. Sssaya tak sengaja," kata bocah pelayan, memohon maaf.
Orang bertudung menurunkan tangan. Geraknya lambat, tenang, namun mantap. Selain tangan, tak ada anggota tubuh lainnya bergerak. Dia duduk seperti bersemadi. Tangannya dibiarkan tertelungkup di atas meja. Di depannya, terdapat kendi air putih dan gelas tanah liat.
"Bawakan aku makanan, Dik!" pintanya kemudian. Tetap dengan suara seperti orang berbisik.
"Nasi dengan lauk?" tanya bocah pelayan ter-bungkuk-bungkuk. Dia masih saja merasa telah berbuat salah, kendati bukan dia penyebab kejadian barusan.
"Boleh," sahut orang bertudung, enteng.
Bocah pelayan mengangguk. Dia baru hendak berbalik ketika orang bertudung menahannya.
"O, iya! Campurkan segelas arak pada nasiku." Bocah pelayan terbengong. Mencampurkan segelas arak pada nasi" Apa dia tak salah dengar" Itu permintaan aneh yang seumur-umur baru kali ini didengarnya....
"Mencampurkan segelas arak pada nasi, Den?" ulang Bocah pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian yang cukup perlente mengangguk.
"Aneh, ya?" tanyanya.
Si pelayan muda buru-buru menggeleng.
"Ah, soal selera, orang kan berbeda-beda. Rambut boleh sama hitam, tapi selera berlainan...," tukasnya seraya tertawa kecil.
"Ya... ya," timpal orang bertudung.
"Kalau begitu...." Belum selesai ucapan tambahannya, lelaki buruk rupa yang duduk pada kelompok orang berpakaian merah hati membentak kasar.
"Hei, Jongos! Bukankah aku meminta kau untuk mengambilkan arak! Kenapa kau masih berlamalama"!" Lalu dihantamnya meja.
Drak! Membuat piring-piring berhamburan ke lantai.
Tiga kawannya yang lain tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka anggap lucu dari kejadian itu.
Untung saja bocah pelayan tidak termasuk orang berpenyakit 'jantungan'. Badannya terlonjak di tempat. Wajahnya kontan memucat. Bibirnya gemetaran.
"Cepatlah kau layani mereka, Adik. Tak mengapa pesananku kau antar belakangan," pinta orang bertudung, sedikit memberi kelapangan pada bocah pelayan. Buru-buru pelayan muda itu beranjak ke arah dapur. Tak lama dia sudah keluar membawa dua kendi tuak. Dengan tangan gemetaran seperti dilanda lindu kecil, diletakkannya dua kendi tuak ke atas meja orang-orang berpakaian merah hati.
Baru hendak beranjak, tangan lelaki berperut buncit menahannya. Tak kalah kasar dengan cara lelaki sebelumnya.
"Kau berdiri di sini saja. Kami tak mau kalau kau tak ada saat kami memesan yang lain!" ujarnya dengan nada mengancam.
"Kau mengerti, heh?"" sam-barnya lagi. Matanya melirik sinis ke arah orang bertudung.
Sudah jelas niat sebenarnya. Lelaki berperut buncit sengaja menahan bocah pelayan agar pesanan orang bertudung tak sampai-sampai.
Keterlaluan memang.
Bocah pelayan menelan ludah. Dia tak bisa mengangguk atau menggeleng. Mengangguk berarti dia setuju untuk tak melayani pesanan orang bertudung.
Kalau menggeleng, sama artinya dia sengaja minta bogem mentah! "Apa kau tak bisa mengangguk" Lehermu kaku" Perlu aku buat agar lehermu bisa lemas"!" hardik lelaki lain, mendukung 'permainan' tengik kawannya.
Satria melirik malas-malas. Jangankan pesanan orang bertudung. Pesanannya pun belum jelas juntrungannya. Sudah sejak tadi dia menunggu. Perutnya sudah ngadat berat minta diisi. Pendekar muda itu menarik napas, menahannahan kesabaran.
Dia bangkit. Urusan manusia tengik macam begitu tak perlu membuatnya turun tangan. Hanya membuang tenaga. Sebaiknya dia mencari kedai lain, pikir Satria.
"Hei, mau ke mana kau Kisanak"!" cetus salah seorang lelaki berpakaian merah hati.
"Tak jadi makan karena merasa tak dilayani" Merasa tak dihargai"!" ledeknya seraya mengusapusap dagu berbewok tipis namun kasar.
Satria diam sebentar. Selesai cemoohan tadi, dia melanjutkan langkah.
"Ya, pergilah kau!" teriak lelaki gendut seraya menenggak tuak langsung dari kendi. Keempat lelaki itu tertawa tergelak-gelak, seakan para petarung yang baru memenangkan pertempuran hebat di medan laga. Cara tertawa mereka seolah-olah dunia mereka yang punya.
Satria tak mau ambil pusing. Dia meneruskan langkah. Sampai langkahnya tertahan oleh seruan datar orang bertudung.
"Adik Pelayan, tolong bawakan pesananku dan pesanan Kisanak berompi bulu itu!" Bocah pelayan melirik takut-takut. Sekali dia melirik orang bertudung, sekali dia melirik kawanan orang berpakaian merah hati. Sewaktu menyaksikan gagang senjata di balik pakaian orang kasar di depannya, dia menelan ludah.
"Sudahlah.... Ayo, ambilkan saja pesananku dan pesanan Kisanak itu," pinta orang bertudung, nadanya tak memaksa. Namun lebih dekat seperti orang yang bergurau. Bocah pelayan tak beranjak juga. Dia masih ngeri membayangkan senjata orang di depannya bergerak dan 'menyunat' lehernya. Apa mau dibegitukan"
"Kalau kau merasa susah seperti itu, kenapa kau tak mencoba pelihara 'kucing', Adik Pelayan...." Mendadak orang gendut bangkit dari kursi. Matanya berangasan. Wajahnya yang sudah merah karena pengaruh tuak menjadi lebih matang.
"Kau hendak mengatakan kalau kami ini sekawanan tikus, Bangsat"!" bentaknya, meledak-ledak.
Ludahnya menyembur seru, menghujani teman di depannya.
"Kau yang berkata begitu, bukan aku," kilah orang bertudung. Ketenangannya sama sekali tak teru-sik. Dia tetap duduk tak bergeming.
"Bangsat betul kau!" maki lelaki gendut, dibarengi dengan gerakan tangan menepis kendi tuak di atas meja. Wush! Angin menderu. Kendi berpusing di udara.
Melesat lurus. Cepat seperti terjangan anak panah. Orang bertudung tetap tak bergeming. Sudah nekat dia" Kala tak ada seorang pun percaya orang bertudung bisa menghindari terkaman kendi tuak yang meluncur ganas, jarinya tahu-tahu sudah menjentik. Gerakan yang kecil saja. Tapi, akibatnya cukup untuk membuat gelas di depannya mencelat seketika Sing.... Denging santer terdengar.
Mengkebiri deru dari Kendi tuak.
Prang! Gelas tadi menghantam kendi tuak. Kedua benda lebur berserpih. Yang tak kalah mengagumkan, seluruh pecahannya justru meluncur sengit ke arah kawanan orang berpakaian merah hati.
"Keparat!!" Dibarengi sumpah-serapah, keempat lelaki itu berhamburan dari tempatnya. Mereka harus membuang diri dari tempat masing-masing. Jika kalah cepat dari kepingan tadi, mereka akan bernasib serupa dengan meja kayu yang kini tertembus.
Satria melirik. Sikapnya acuh tak acuh. Dalam hati, dia mau tak mau mengagumi kepiawaian orang bertudung mengatur tenaga dalamnya. Mungkin orang akan luput menilai hal tersebut. Satria tidak.
Dia cukup jeli. Betapa sulit untuk membuat kepingan-kepingan gelas dan kendi tuak tidak mengenai bocah pelayan yang berdiri terlalu dekat dengan kawanan lelaki berpakaian merah.
Tindakannya menjegal luncuran kendi tuak dengan menjentik gelas saja sudah cukup memperlihatkan siapa dirinya. Ditambah dengan kehebatannya mengatur arah kepingan yang demikian banyak, makin jelas saja siapa dirinya. Dia bukan orang sembarangan, nilai Satria.
Keempat lelaki berpakaian merah hati berdiri pada tempat yang baru. Dua orang di atas meja. Sisanya mendarat di lantai. Wajah mereka sudah terbakar tak tertolong. Semuanya siap dengan kuda-kuda.
"Kau akan kurencah, Keparat!" geram lelaki gendut seraya menggenggam gagang senjata di pinggangnya.
"Kau sendiri?" tukas orang bertudung.
"Kenapa tak kau ajak kawanmu yang lain.
Biar cepat kuselesai-kan urusan dengan kalian...," kata orang bertudung.
Datar saja. Namun tajam menghujam.
Srang! Lelaki gendut tak bisa menahan tangan. Senjata diloloskan.
"Haaaahh!!" Dari atas meja, tubuhnya menerkam. Berat memang tubuhnya. Kalau dia tak memiliki cukup ilmu peringan tubuh, akan terlalu sulit baginya untuk melakukan tindakan itu. Senjata di tangannya menyabet udara. Arahnya ke batok kepala orang bertudung.
Wukh! Tebasan pertama! Orang tenang saja. Tangannya mengangkat kendi air dari atas meja. Masih sempat dia meneguk isinya sebelum akhirnya dia menangkis senjata lawan.
Tang! Sewajarnya kendi tanah liat akan pecah berhamburan. Tak wajar kalau tidak terjadi. Kenyataannya memang demikian. Siapa yang ingin terperangah, silakan. Lelaki gendut adalah orang pertama yang terperangah di udara.
Kesempatan baik untuk orang bercaping. Keterperangahan lawan dimanfaatkan. Tangannya menggerakkan kendi tanah liat kembali.
Wukh! Deras menuju kepala lawan. Jaraknya cuma satu lengan. Bahaya besar buat lelaki gendut. Sebelumnya dia menyaksikan sendiri senjatanya tidak sanggup membuat kendi terpecah, kendati dia sudah mengerahkan tenaga penuh. Kalau kepalanya sekarang yang harus bertumbukan dengan kendi tanah liat, apa yang bisa diharapkan" Masih di udara, lelaki buncit menjerit. Matanya ditutup rapat-rapat. Wajahnya terlipat. Ketakutan teramat sangat, sudah pasti.
Tepat hanya dua jari di depan hidung lelaki buncit, kendi tanah liat berhenti. Tubuhnya terus melayang. Karena merasa dia akan segera mampus, lelaki buncit tak sempat memikirkan lagi bagaimana menyeimbangkan badan. Dia jatuh berdebam menimpa meja. Meja sampai berantakan.
Cukup lama dia tak berdiri. Tengkurap saja di atas pecahan meja dengan tangan dan kaki tergantung seperti biang kura-kura sedang berjemur. Se-bentar kemudian matanya terbuka pelan-pelan. Tangannya memeriksa wajah. Tak ada yang kurang sedikit pun, pikirnya. Bagaimana bisa begitu" Bukankah kendi air di tangan prang bertudung sudah tak mungkin lagi luput dari kepalanya" Biarkan dia kebingungan sendiri. Tetap seperti kura-kura sampai kiamat pun biar saja! Sementara itu, ketiga kawannya masih juga belum menyadari siapa yang dihadapi sebenarnya. Terang saja, mereka memang belum menerima 'jatah'.
Jadi silakan saja kalau mereka mau memintanya.
"Bantai!" seru seorang di antara mereka. Lagak sekali. Seolah mereka tiga jago yang tak terkalahkan selama tujuh puluh tujuh turunan.
Ketiganya melompat berbarengan.
Silakan! Di pihak lawan, orang bertudung benar-benar tak berniat ke mana-mana. Sejenis manusia sakti pemalaskah dia" Siapa yang ambil pusing" Yang jelas, ketika serangan datang memberondong, dia meneguk air dalam kendi lagi. Beberapa teguk tertelan. Sisanya tetap di mulut.
Seperti sengaja bermain-main, dimancurkannya air dari mulut ke permukaan meja seperti air dari pan-curan kecil. Belum sempat ujung kucuran air menyentuh permukaan meja, jari tangannya menjentik.
Tas! Dua orang lawan yang menyerang dari sisi kanan mendadak kaku di tempat. Wajah mereka tetap dalam mimik buas. Sebelumnya pasti seram. Bisa membuat jantung orang jompo soak di tempat. Tapi kalau terus begitu tanpa berubah-ubah, malah jadi terlihat lucu. Kawannya yang paling akhir menyerang turut berhenti juga. Bukan kaku mendadak. Melainkan dia sendiri yang menghentikan geraknya. Matanya tak berkedip menatap dua kawannya. Bagaimana bisa dua orang mendadak kaku di tempat" Ceracau hatinya, gentar. Jangan-jangan, orang yang kuhadapi sekarang sejenis tukang sihir atau dukun santet, pikirnya was-was.
Sewaktu orang bertudung mulai menenggak air dalam kendi tanah liat kembali, lawan terakhir tadi menelan ludah susah payah. Apakah sekarang gilirannya" Ketimbang kaku, lebih baik minggat, pikirnya.
Cukup bijaksana. Sebab kalau tidak, urusan jadi agak lebih lama. Itu menurut pihak orang bertudung.
Lantas, lelaki tadi pun 'ngacir'! Berlomba dengan lelaki buncit yang sudah bangkit lebih dahulu.
Satria tersenyum kecil. Dia melangkah kembali ke mejanya. Sekarang sudah bertambah satu penilaian lagi untuk orang bertudung. Bahwa orang itu adalah ahli jalan darah. Kendati masih cukup sulit untuk menyaksikan percikan air yang dijentik orang bertopeng, namun Satria bisa menduga kelanjutannya. Percikan air dalam kecepatan amat tinggi itu menotok beberapa titik jalan darah dua orang lawannya. Itu yang menyebabkan mereka menjadi kaku mendadak. Itu pula yang menyebabkan lawan terakhir tak melihat kalau kawannya kaku karena tertotok.
Permainan lihai....
"Terimakasih, Saudara...," ucap Satria seraya menoleh pada orang bertudung.
"Terima kasih untuk apa?"
"Entahlah. Mungkin untuk kesediaanmu mengingatkan pelayan untuk membawakan pesananku?" kelakar Satria.
Tak terdengar orang bertudung tertawa. Tapi, Satria tetap percaya dia tersenyum di balik tudungnya.
"Dan, kau...," lanjut Satria, sambil mengarahkan pandangan ke arah bocah pelayan, "Kenapa masih berdiri di sana" Bukankah kau seharusnya mengan-tarkan pesanan kami?" Masih dengan wajah pucat dan bibir gemetar, bocah pelayan tersenyum. Bergegas dia melangkah ke dapur. Jalannya agak diseret. Bukan apa-apa. Dia sudah terkencing di celana!

* * *



Satria berniat melanjutkan perjalanan setelah perutnya cukup terisi. Sebelum keluar, dia hendak pamit pada orang bertudung yang duduk di meja belakang. Ketika menoleh, Satria sudah tak menemukan orang itu lagi. Di mejanya tertinggal beberapa keping kepeng yang cukup untuk membayar makanan dan minumannya, sekaligus kerusakan akibat keributan.
"Siapa orang itu?" gumam Satria ketika dia menaiki kudanya. Dalam hati, Satria agak menyesali kenapa dia tak menanyakan jati diri orang itu sejak mu-la. Sekarang orang itu sudah tak ada. Menyesal tak ada guna.
"Ah, kalau ada sumur di ladang, bolehlah menumpang mandi. Kalau umur panjang, mungkin nanti jumpa lagi" gumam pendekar muda itu lagi, menghibur diri. Lalu digebahnya kuda.
"Heaa!!!" Kuda berlari kencang.
Menyisakan debu yang mengambang di belakang.

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

SATRIA tiba di Lembah Pangrango, setelah menempuh berhari-hari perjalanan yang amat melelahkan. Pagi hari ketika itu. Malam sebelumnya, Satria memaksa untuk terus memacu kuda. Berhubung sudah dekat, dia tak ingin membuang waktu. Menurut perkiraannya, dia akan tiba pagi hari. Memang tak me-leset. Suasana nyaman menyambutnya. Sejuk mengepung. Matahari masih menyembul malu-malu di bahu lembah sebelah timur. Sinarnya masih lamat. Namun sudah cukup menghangatkan. Rerumputan hijau menghampar. Pepohonan di beberapa tempat masih dibasahi embun. Cemara bergerak kecil disapa angin.
Burung di atasnya menembangkan senandung alam.
Lembah Pangrango sudah seperti surga kecil.
Sesaat Satria menikmati seluruh keramahan alam di atas punggung kudanya. Rasanya, dia ingin terus menarik dada dan menikmati kesejukan itu untuk selamanya. Jelas itu tak mungkin. Pendekar muda itu lalu turun dari punggung binatang tunggangannya. Dituntunnya kuda itu sebentar, dan dibiarkan memakan rumput segar.
"Di bagian mana aku bisa menemukan dia?" gumamnya. Pandangannya menebar. Tak ada sedikit pun tanda-tanda seseorang pernah tinggal. Tak di mana pun, meski dia sudah memandang ke segenap penjuru.
Dewa Gila. Kalau menilik julukannya, Satria Gendeng yakin orang yang hendak ditemui memiliki tabiat aneh. Mungkin tak jauh beda dengan gurunya.
Karena itu dia disebut Dewa Gila. Orang bertabiat aneh, biasanya memiliki kebiasaan dan cara hidup yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Satria tertawa sendiri. Lucu juga, pikirnya. Kalau ada orang punya kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan orang banyak, lalu orang itu pun disebut tak waras. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja justru orang kebanyakan yang mungkin sudah tak waras. Sementara orang yang dituduh gila, sableng, sinting, gendeng, dan sebagainya justru orang yang masih tetap waras.
Yah, kalau jaman semakin edan, biasanya orang kebanyakan juga ikut edan. Mereka yang edan ini mana mau disebut tak waras" Buntut-buntutnya, mereka mencari 'kambing hitam'. Orang yang berlainan cara hidupnya dengan mereka pun dituding tak waras. Ini yang disebut; 'zaman jungkir-balik'! Yang salah bisa disebut benar.
Sebaliknya, yang benar malah dikatakan salah. Kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan kepala. Walhasil, kebanyakan orang pun menjalani hidup dengan 'pantat' sebagai kepalanya! Memutus renungannya, Satria Gendeng kemudian menambatkan tali kekang kuda ke batang pohon.
Dibiarkannya kuda jantan itu merumput. Satria sendiri melangkah, mencoba mencari tempat persembunyian Dewa Gila.
Menurut kabar burung, Dewa Gila sudah lama tak turun ke dunia persilatan. Menyepi atau mati, tak jelas lagi. Terhitung sudah empat puluh tahun dia tak menampakkan batang hidung. Sudah banyak kalangan muda persilatan yang tak mengenal rupa Dewa Gila kecuali julukannya. Termasuk Satria sendiri. Jadi kalau nanti dia mengalami kesulitan, bisa dianggap wajar saja.
"Hoiii, apa ada manusia di sekitar tempat ini?"!" Satria Gendeng mulai berteriak, memancing siapa pun keluar. Dia berharap ada 'sepotong' manusia bakal muncul. Bukan dedemit atau tikus lembah kesasar.
"Hooiii, apa ada yang mendengar"!!" Tak ada apa-apa. Tak muncul seorang pun seperti yang diharapkan. Satria tak cepat putus asa. Dia berteriak-teriak lagi.
Mungkin kalau dia meneriakkan nama Dewa Gila, orang yang dicarinya akan segera muncul. Siapa tahu"
"Dewa Gilaaaa!!!!" Masih tetap sama.
"Dewa Giiaaaa!! Aku ingin bertemu denganmu!!" Sampai teriakan pendekar muda itu berubah serak, tetap tak ada seorang pun muncul.
"Sial," rutuk Satria.
"Barangkali benar ucapan beberapa orang, Dewa Gila sudah mati. Kalau sudah jadi bangkai, mana mungkin bisa mendengar," rutuknya lagi, berkomat-kamit.
Mendadak saja....
Ngung! Sebentuk benda sebesar kepalan tangan melayang deras ke arah Satria Gendeng. Berputar hingga menghasilkan dengung.
Arahnya dari barisan pepohonan rindang di tepi lembah. Satria terkesiap.
Kesigapannya tak berkurang. Tangannya gesit memapak.
Tap! Sesuatu tertangkap tangannya. Ketika diteliti, ternyata hanya sepotong kincir kecil dari bambu yang biasa dibuat anak-anak untuk permainan.
"Apa-apaan ini?" bisik Satria tak mengerti.
Sebelum kebingungannya terjawab.
Ngung... ngung... ngung....
Mata Satria membelalak. Dari arah yang sama dengan kincir sebelumnya, bermunculan puluhan kincir lain. Berkejaran.
Cepat. Berdengung-dengung tumpang-tindih.
"Sial!!!" maki Satria Gendeng seraya berjumpalitan kian ke mari menghindari terjangan seluruh kincir.
Memang itu semacam mainan anak-anak. Tapi kalau mendengar dari dengung yang dihasilkan serta kecepatannya, bukan tak mustahil benda itu bisa melukainya. Bahkan bisa saja lebih parah dari itu... mampus! Trak trak! Karena dihujani terlalu deras, Satria Gendeng terpaksa mengeluarkan Kail Naga Samudera yang masih berbentuk tongkat pendek. Dengan senjata pusaka itu, dibabatnya beberapa kincir sampai hancur berantakan. Napas si pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu terengah-engah ketika serangan mendadak itu bisa diatasi.
"Heii, siapa kau"!" serunya kemudian, dengan posisi memasang kuda-kuda. Hanya bersiaga jika ada serangan mendadak susulan.
Sepi. Tak ada dengung lagi.
Sudah usai" Belum. Karena tak lama kemudian, datang lagi satu kincir yang lebih besar. Bahkan jauh lebih besar dari ukuran sebelumnya. Yang keluar sekarang bisa dibilang 'biang'-nya kincir, berukuran kira-kira seukuran setengah badan manusia! Yang satu ini bisa dipercaya sanggup memenggal kutung tangan atau kepalanya! Ngunggg!!! Arah serangan yang lurus saja agak memudahkan Satria Gendeng untuk menangkisnya dengan Kail Naga Samudera. Bodoh kalau dia mencoba memapaki dengan tangan telanjang.
Trak! Kincir besar tersentak ke samping. Arahnya berbelok, namun tak cukup membuat Satria Gendeng lega. Karena kejap berikutnya, arah senjata (itu pun kalau bisa disebut begitu!) ganjil itu berputar kembali menuju dirinya.
Satria baru sadar kalau benda itu dikendalikan dari jarak jauh ketika matanya menangkap benang halus yang membentang dari belakang kincir ke jajaran pepohonan rindang di tepi lembah. Betul-betul permainan yang tak bisa dianggap main-main! "Haih!"
Karena kincir besar berbelok demikian mendadak, Satria dipaksa untuk membuang diri ke samping.
Tubuhnya berjumpalitan di atas tanah. Kincir mengejarnya. Tak sempat lagi bagi Satria Gendeng untuk memperbaiki posisi kecuali terus berjumpalitan. Benar-benar dia dijadikan bulan-bulanan. Untung saja sewaktu menjalani godokan dari Tabib Sakti Pulau Dedemit, dia terbiasa menghadapi ancaman karang di tengah lautan yang berombak sangar. Naluri menyelamatkan dirinya jadi demikian tajam.
Satria Gendeng tak mau terus berjumpalitan sampai kepalanya tujuh keliling. Dalam kegentingan, dia mencari akal. Dibawanya kincir ke arah satu pohon besar. Ketika tiba di dekat pohon nanti, dia akan melompat tiba-tiba ke atas. Biar kincir itu menghantam pohon yang besarnya empat kali pelukan manusia.
Masa' iya kincir tidak hancur" Satria pun terus berjumpalitan ke arah pohon.
Sampai....
"Heeaa!!" Dia menjejakkan kaki tiba-tiba, dan langsung melompat ke atas dahan pohon yang lebih tinggi seper-ti rencananya. Sejauh itu memang berhasil. Namun kalau berharap kincir besar menghantam pohon, Satria Gendeng terlalu tergesa-gesa. Karena begitu tubuh Satria membuat atraksi cepat ke atas dahan pohon, kincir besar itu pun berbelok ke samping. Jaraknya padahal hanya tinggal dua jengkal lagi dari pohon.
Satria dibuat takjub. Bisa dinilainya kelihaian si pengendali kincir besar! Di kejauhan sana, tepatnya dari jajaran pohon rindang di tepi lembah, tercetus kekeh kecil yang renyah.
"He he he!!!" Satria mengerutkan kening. Apa aku tak salah dengan" Usik pikirannya. Suara kekeh itu bukan milik seorang tua, melainkan milik bocah kecil! Semula, Satria Gendeng mengira permainan berbahaya tadi dilakukan oleh Dewa Gila. Sepanjang pengetahuannya, Dewa Gila sudah tua bangka. Bukan bocah ingusan! Sedang dilanda kecamuk pikirannya, Satria Gendeng diserang lagi oleh kincir besar dari arah samping bawah. Ngungg! Pendekar muda itu melompat dari atas dahan.
Tras! Gila juga! Dahan sebesar paha manusia langsung terpenggal seperti sepotong pedang menebas batang pisang! Bagaimana kalau mata kincir sempat mengenai kakiku" Perangah Satria dalam hati.
Selanjutnya Satria mendarat empuk di tanah berumput. Tempat yang terbuka. Tentu saja akan lebih memberi keleluasaan bagi kincir besar untuk terus memburunya. Satria tidak bodoh. Dia punya rencana....
"Heaaa!!!" Srat, cletar! Kail Naga Samudera yang semula berbentuk tongkat pendek, mendadak terulur. Disusul oleh lecutan tali kail terbuat dari ekor pari pelangi. Sekarang, apa masih bisa kincir besar itu unjuk gigi jika berhadapan dengan senjata pusakaku" Ancam Satria dalam hati. Kincir besar pun memburunya.
Satria memang berharap begitu.
Ngungg! Kian dekat.... Saat kincir besar sudah mencapai jarak jangkau Kail Naga Samudera, Satria membuat lecutan mendadak disertai pengerahan tenaga dalam.
Wukh, cletar!! Seakan tahu betapa berbahayanya ujung Kail Naga Samudera, kincir besar mendadak membuat gerak kiri-kanan yang cepat. Lecutan pertama tak membawa hasil apa-apa. Sementara jarak semakin dekat.
Satria tersenyum, agak menyeringai. Kau kira aku tak bisa mengimbangi kecepatan gerak kincirmu" Dengusnya membatin. Untuk rencana itu, Satria tak beranjak dari tempat berdirinya. Agak nekat memang, tapi dia tahu pasti apa yang hendak diperbuatnya.
Ketika kincir semakin dekat dengan luncuran zig-zag, Satria mengebutkan kembali Kail Naga Samudera. Jika sebelumnya dari atas ke bawah, kini dari si-si ke sisi.
Wukh, cletar! Ujung Kail Naga Samudera membentuk liukan bertenaga dengan arah menyamping. Hal itu berakibat tertutupnya gerak kiri-kanan kincir besar.
Krakh! Tepat pada liukan sengit di ujung mata kail, kincir besar melepaskan suara keras. Satu mata kincirnya terhantam dan patah seketika.
Kincir besar jadi kehilangan keseimbangan. Sesaat benda itu melayang-layang ngawur. Sempoyongan sana-sini. Tak beda dengan layangan 'singit', atau pe-mabok kebanyakan minum.
Sampai akhirnya jatuh berdebam menimpa bumi.
Satria tergelak menyaksikan kejadian itu.
Di jajaran pepohonan rindang, malah terdengar rengekan yang kemudian berubah menjadi raungan menjadi-jadi. Eh, bocah siapa yang kehilangan mainan"

* * *




--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

TERLALU kecele Satria jika mengira rengekan yang didengarnya datang dari seorang bocah. Sebab ketika muncul seseorang dari jajaran rapat pepohonan, Satria menyaksikan seorang yang sama sekali tidak bi-sa disebut bocah. Badannya bongsor. Wajah kebodohbodohan. Kian parah penampilannya dengan mengenakan baju monyet.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung tangan, lelaki ketolol-tololan itu berjalan beberapa langkah ke arah Satria. Dia berhenti dalam jarak tiga puluh tombak.
"Hu hu hu... kau telah merusak mainanku, Kunyuk!" makinya merajuk-rajuk. Bibir bawahnya ma-ju sekian senti. Jelek tak tertolong. Satria serba salah. Mau meringis salah, mau tersenyum salah, mau tertawa apa lagi. Kalau tertawa, jangan-jangan disangka meledek. Bakalan kian menjadi tangisan yang sama sekali tak sedap masuk ke telinga itu. Sebenarnya pemandangan yang dilihatnya amat bisa membuat dia tersenyum. Tapi, apa pantas" Sepertinya dengan tersenyum dia merasa telah mengejek seorang berotak udang. Kalau meringis" Apa mungkin dia melakukan hanya karena ikut prihatin dengan kesedihan tengik si 'bocah ajaib'" Akhirnya, Satria cuma bisa garuk-garuk kepala.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Satria.
"Siapa... siapa. Pakai tanya segala. Kau pikir aku tak akan jadi marah karena kau berlagak ramah seperti itu. Huh, tak sudi!" omel si bocah tengik. Sebentar dia memutuskan rengekannya. Sebentar kemudian dia menyambung kembali. Dari lagak dan gayanya bicara, benar-benar tak bisa dibedakan dengan seorang bocah berumur tujuh tahun. Tapi, ya Tuhan. Orang ini bukan bocah lagi. Kalau bocah, apa iya kakinya 'kaya' dengan bulu. Tak terhitung bulu-bulu di tempat tersembunyi. Sudah berkumis pula.
Jenggot pun ada, kendati cuma beberapa lembar.
"Kau bukan Dewa Gila?" tanya Satria lagi, masih dikungkung kebingungan.
"Dewa Gila.... Dewa Gila. Seperti kau sudah kenal dengan guruku saja...."
"Hey jadi kau murid Dewa Gila?" perangah Satria.
"Diam! Aku tak menerima pertanyaan dari orang yang telah merusak mainanku!"
"Mainanmu"!" Dua kali Satria terperangah.
Mestinya sejak dari tadi. Sebelumnya bocah bongsor itu sudah menyebut-nyebut hal itu. Hanya karena Satria terkesima menyaksikan orang yang dikiranya cuma seorang bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun jika dinilai dari suaranya yang terdengar sebelumnya, dia tak begitu memperhatikan.
"Mainan katanya?" dengus Satria.
"Mainan yang bagus kalau bisa membuat aku nyaris mampus...." Satria mencak-mencak. Dihampirinya kincir besar milik si bocah bongsor. Ditendangnya benda itu gemas-gemas. Benda itu hancur berantakan. Lebih hancur dari sebelumnya. Sisa mata kincirnya berpentalan ke mana-mana.
"Huaaaaa!" Meraunglah si bocah ajaib. Suara raungannya melayap entah sampai ke mana.
"Itu yang kau bilang mainan?" dengus Satria, belum puas.
"Benda sial yang hampir saja membuat kepalaku menggelinding"! Kenapa kau tak kau jadikan saja semua senjata paling berbahaya di jagat ini sebagai mainanmu"!" semprotnya meledak-ledak.
"Tapi... tapi...," tercekat-cekat, si bocah ajaib yang sebenarnya lebih pantas disebut bocah ganjil, mencoba berkilah.
"Tapi, itu benar-benar mainanku, Bapak...." Satria mendelik. Sejak kapan aku jadi bapaknya" Lagi pula, apa wajahku sudah kelihatan tua sampai disebut begitu" Tampik Satria.
"Hey, jangan panggil aku Bapak!"
"Iya, Kakang...," katanya terseguk. Apalagi ketika mendapat bentakan Satria.
"Itu lebih bagus!"
"Jadi, Kakang mau membuatkan aku mainan baru, ya?"?" dari merengek-rengek, si bocah ajaib tersenyum-senyum. Kedua tangannya dikatupkan di depan wajah. Lalu badannya bergoyang-goyang. Sepertinya dia hendak mengambil hati Satria.
Satria merengut. Mimpi apa aku semalam sampai harus berhadapan dengan manusia ini" Keluhnya membatin.
"Mau apa tidak Kakang membuatkan aku mainan baru?" tanya si bocah ajaib. Senyumnya hilang karena tak juga mendapat jawaban dari Satria.
"Mau apa tidak?" Satria tetap diam. Tetap merengut.
"Mau apa tidak"!" Lalu nadanya mulai berubah galak kembali.
Mendelik pula matanya! "Sudah diam! Katakan saja, siapa kau sebenarnya" Apa hubunganmu dengan Dewa Gila"!" serbu Satria.
"Dia muridku, Bocah Brengsek!" Sebentuk suara mendadak memenggal.
Satria tersentak. Bukan semata karena tak menduga munculnya suara tadi. Melainkan dia merasakan betapa tenaga dalam yang terkandung dalam gelombang suara itu demikian hebat menggetarkan. Yang aneh, tidak di gendang telinga. Melainkan langsung ke dalam hatinya. Nyalinya seperti hendak dipaksa menciut. Satria berusaha menemukan sumber suara itu.
Tak pernah berhasil. Sumber suara itu seperti bisa da-ri mana saja. Seakan dari satu tempat yang tak ada di mana-mana. Pendekar muda itu celingukan ke sana kemari.
"Mencari siapa kau, heh"!" Terdengar kembali bentakan angker. Dari orang yang sama. Tetap tak bisa ditentukan dari mana sumbernya. Satria mulai berpikir, mungkin orang inilah Dewa Gila yang hendak ditemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba kalau begitu! "Hoi, apakah kau si tua Dewa Gila"!" seru Satria.
"Apa maumu bertanya-tanya?"
"Aku ada satu keperluan denganmu!!"
"Terangkan!"
"Bisakah kau keluar terlebih dahulu"!"
"Jelaskan saja, Brengsek!"
"Aku mendapat tugas dari Adipati Wisnu Bernawa!"
"Aku tak kenal dia!"
"Beliau Adipati Lumajang!"
"Mau Lumajang kek, mau neraka kek!"
"Baiklah... baiklah. Kalau kau tak mau tahu dengan beliau, setidaknya kau ingin melihat surat yang dititipkan padaku untukmu, bukan?"
"Tak perlu! Minggat saja kau dari tempat ini!"
"Ini soal besar! Kau dibutuhkan untuk membantu menyelesaikannya!"
"Membantu" Heh, kau pikir aku ini semacam jongos?" Satria geleng-geleng kepala.
Si bocah ajaib malah cengar-cengir. Dia kegirangan seperti hendak melompat langsung ke awan saja mendengar suara Dewa Gila yang diakui sebagai gurunya. Dan sebaliknya, Dewa Gila pun mengakui dia sebagai muridnya. Girang, karena Satria menurutnya sedang dipermainkan. Balas dendam cara seorang bocah....
"Tentu saja kau bukan jongos...," keluh Satria, pegal berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal.
"Kau mau pergi atau tidak"!" ancam suara tadi.
"Aku mengemban amanat, Orang Tua. Sebagai seorang ksatria, tak mungkin rasanya aku pergi sebelum amanat disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Aku siap menerima apa pun akibatnya, asal kau mau menyempatkan waktu membaca surat yang kubawa ini...."
"Pergi kataku! Atau kau akan kuinjak-injak sampai rata dengan tanah!" Astaga, apakah Dewa Gila itu sejenis tokoh Bima dalam pewayangan yang memiliki tubuh meraksasa sampai bisa menginjak-injak orang sampai rata dengan tanah" Satria berbisik dalam hati. Ngeri-ngeri, campur geli.
"Sudah kubilang aku tak bisa," tandas Satria.
"Pergi atau tidak?"
"Tidak, Orang Tua...," ucap Satria. Nadanya agak merendah, supaya bisa sedikit mengambil hati tua bangka yang belum lagi disaksikan rupa dan wajahnya.
"Hmm, kalau begitu terserah kaulah!" Nada suara si orang tua pun melandai. Rupanya dia termasuk manusia yang mudah tersentuh oleh sedikit kerendahan hati. Atau mungkin dia bisa menilai Satria sebagai seorang pemuda yang patut dihargai dengan kemantapan tekadnya untuk suatu yang diyakini"
"Bagaimana dengan surat dari adipati?"
Tak ada jawaban.
Satria curiga. Jangan-jangan orang tua itu sudah minggat dari tempatnya.
"Orang tua" Kau masih di sana"!" ulang Satria.
Tak juga ada jawaban.
Satria menghempas napas. Dia sudah menyimpulkan Dewa Gila telah pergi. Masih ada kemungkinan untuk menemukannya selama dia masih berada di Lembah Pangrango. Timbang punya timbang, mungkin dia memang tak sudi dilibatkan dalam masalah di Lumajang, pikir Satria. Kalau sudah begitu, percuma saja jika dia mencarinya kembali. Satria mendapat akal. Bocah ajaib itu mungkin bisa dimanfaatkan untuk membujuk gurunya. Bukankah orang semacam dia paling bisa merayu dengan gaya yang memelasnya seperti pernah dilakukan sebelumnya terhadap Satria. Kalau benar Dewa Gila termasuk orang tua yang cepat tersentuh dengan kerendahan hati, bukan tak mungkin kekerasan keputusannya akan luruh dengan rayuan memelas sang murid.
Satria menoleh ke tempat bocah berkumis tadi.
Sudah tidak ada.
"Sial...," rutuk Satria.
Selagi menikmati kekesalan, mendadak terdengar suara kekeh tawa.
Satria tersenyum. Suara itu milik Dewa Gila.
Berarti dia masih di sekitar tempat itu.
"Bagaimana, Orang Tua?" tukas Satria, meng-gebu.
"Soal surat itu maksudmu?"
"Benar!" Dewa Gila terkekeh lagi. Satria menautkan alis.
Apanya yang lucu sehingga perlu ditertawakan"
"Mau kau membacakan untukku...?" kata Dewa Gila lagi dengan nada malu-malu.
Satria Gendeng menampar kening sendiri. Sekarang dia baru tahu 'biang keladi' penyebab Dewa Gi-la menolak mentah-mentah surat Adipati Wisnu Bernawa. Dia pasti tidak bisa baca! Satria pun membuka surat tersebut, lalu dibacanya. Di ujung kalimat, mendadak saja mendesir angin tajam dari arah belakang.
Satria sigap membalikkan badan.
Tahu-tahu, di depan hidungnya sudah berdiri seorang kakek bungkuk yang tingginya hanya sebahu Satria. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Persis buah terung. Matanya besar sebelah. Rambutnya kasar dan awut-awutan berwarna kelabu. Orang tua itu mengenakan pakaian berwarna biru tua.
"Kau sebut-sebut soal Tujuh Dewa Kematian"!!" serunya persis di depan wajah Satria Gendeng.
Pendekar muda murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu meringis. Telinganya pekak tak kepalang.
Mau pecah rasanya gendang telinga. Tidak pecah, sudah beruntung besar.
"Kau dengar aku bertanya" Apa kau sebut tadi Tujuh Dewa Kematian"!" ulang Dewa Gila lebih meng-geledek.
Apa dikiranya Satria sudah tuli"
"Benar, Orang Tua," jawab Satria akhirnya.
Dewa Gila menghantamkan tinju ke telapak tangan.
"Kau tahu dengan Tujuh Dewa Kematian, Orang Tua?" tanya Satria, ingin tahu.
"Siapa yang tak kenal dengan tujuh manusia kembar banyak tingkah itu!" ucap Dewa Gila, dilapisi kegeraman.
"Bagus kalau begitu. Jadi kau menerima permintaan Adipati, bukan?" sergah Satria.
Dewa Gila mencibir. Diangkatnya tangan tinggitinggi. Sampai ketiaknya hampir mampir di dagu Satria Gendeng.
"Kalau aku kesal dengan Tujuh Dewa Kematian bukan berarti aku setuju dengan permintaan Adipati itu..."
"Jadi?" Dewa Gila menempatkan ujung telunjuknya di kening. Wajahnya berkerut lebih banyak dari sebelumnya.
"Aku akan menyuruh Joyolelano untuk mewakiliku!"
"Siapa dia?"
"Muridku itu...." Mak! Mau bilang apa Satria. Yang jelas matanya tak bisa ditahan untuk tidak mendelik.
"Kau hendak mengutus lelaki yang pikirannya tak lebih dari seorang bocah itu untuk satu urusan besar?" perangah Satria.
Wajahnya tertarik lebih ketat dari seorang yang terkejut disambar dedemit nyasar.
"Jangan kau sebut dia begitu!" hardik Dewa Gi-la.
"Asal kau tahu, di samping muridku, dia juga anakku!"
"Aku tak bermaksud menghina anakmu... dia anakmu" Bagaimana mungkin kau memiliki anak seperti itu" Dari perut siapa dia lahir?"
"Ya, dari perut istriku. Apa kau pikir dari perut kerbau"! Sudah, aku tak mau banyak mulut lagi denganmu. Pokoknya kau terima atau tidak?" Satria menghembuskan napas. Barangkali pepatah lama ada benarnya; 'tak ada rotan, akar pun ja-di'.
"Baiklah," putus Satria, akhirnya. Menyerah dia. Siapa pun tak bisa memaksakan kehendak terhadap orang lain. Apalagi menyangkut penegakan keadilan. Semuanya harus datang dari kesadaran pribadi terdalam.
"Tapi, asal kau berjanji tetap akan datang jika anakmu itu mendapat kesulitan...."
"Peduli setan dengan janji!" gerutu Dewa Gila seraya 'ngeloyor' begitu saja.
"Oh, ya Orang Tua! Aku ingin bertanya satu hal lagi!"
"Tanyakan sebelum aku menghilang seperti kentut!"
"Kau tahu bagaimana aku harus menemukan Arya Wadam?"
"Kau tak bisa mencarinya. Dia tak pernah tinggal di satu tempat!" kata Dewa Gila seraya terus melangkah.
"Jadi?"
"Kalau beruntung, kau akan bertemu dengannya secara kebetulan di sebuah kedai. Dia punya ciri tersendiri. Arya Wadam akan memesan nasi dicampur arak...." Satria terkesima. Dia ingat pernah menjumpai orang itu di kedai beberapa waktu lalu.... Jadi dia pernah bertemu Arya Wadam yang mungkin akan amat sulit dicari, dan dia meninggalkannya begitu saja" Apa mungkin si tua bangka Dewa Gila diwakili oleh si bocah berkumis untuk mengurus persoalan amat besar" Bagaimana lagi cara Satria bisa menemukan Arya Wadam" Siapa dan bagaimana sebenarnya dia"

SELESAI



INDEX SATRIA GENDENG
Pewaris Keris Kiai Kuning --oo0oo- Tiga Pendekar Aneh

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers