Life is journey not a destinantion ...

Tiga Pendekar Aneh

INDEX SATRIA GENDENG
Penghuni Kuil Neraka --oo0oo- Tumbal Tujuh Dewa Kematian

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

MATAHARI pagi kian merambat. Kini sudah menempati titik tertingginya, butiran-butiran embun sudah tidak lagi bergayut di dedaunan karena terhisap oleh sinar hangat bola penerang jagat.
Siang yang cerah, tampak dari kejauhan dua sosok manusia sedang menuruni lembah Pangrango.
Satu orang di antaranya seorang pemuda tampan bergaris rahang jantan. Dia duduk di atas punggung kuda. Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi seperti kesetanan. Rambutnya yang panjang kemerahan melambai-lambai diterpa angin, seolah-olah mengucapkan selamat tinggal pada pepohonan dan hewan liar. Dia adalah Satria Gendeng, murid dua tokoh sakti kenamaan persilatan.
Sedang yang lain adalah seorang lelaki berbadan bongsor dan berkumis, mengenakan baju monyet. Namanya Joyolelono, anak sekaligus murid tunggal Ki Jerangkong alias Dewa Gila. Kendati berpenampilan tak meyakinkan, dia bukan tokoh yang bisa disembarangi begitu saja.
"Hia! Hia!" Satria terus menggebah kuda tunggangannya.
Sementara Joyolelono berlari sambil berjingkrakjingkrak kegirangan, mengikuti derap langkah kuda.
Tingkahnya seperti bocah yang sedang menyambut sang ayah yang baru pulang dari rantau.
"Hoi! Ho!" teriaknya 'gila-gilaan'.
Kuda terus dipacu oleh Satria. Sedangkan Joyolelono pun terus berlari mengimbangi kecepatan langkah kuda, bahkan sesekali dia dapat berlari mendahului kecepatan lari kuda tunggangan Satria Gendeng.
"Ayo, Kakang! Kejar aku!" seru si 'bocah' berkumis yang sedang berlari sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Slompret!" maki Satria.
"Aku dianggap sedang main kejar-kejaran! Hm, harus kuakui lelaki tengik ini memiliki ilmu lari cepat sangat baik sekali...," gumamnya dalam hati.
"Ayo Kakang! Dipercepat sedikit lari kudamu! Ayo kejar aku!" ejek Joyolelono, sepuluh tombak di depan kuda Satria Gendeng.
"Baik bocah berkumis, kususul kau!" timpal Satria. Pada akhirnya dia meladeni juga ajakan konyol Joyolelono. Memang bukan saatnya bermain-main, tapi kalau tidak dilayani malah bisa membuat runyam lelaki kebocahan di depan sana. Dia bisa 'ngadat' di tengah jalan. Lebih baik menjinakkan seekor badak liar ketimbang membujuknya jika sudah 'ngadat'! Joyolelono, biarpun kekanak-kanakan dan berotak tanggung, merupakan wakil dari Dewa Gila. Sesuai julukannya, Dewa Gila memang benar-benar 'gila'! Seenak perutnya sendiri dia memberi keputusan tanpa dipikir-pikir lebih dahulu untuk mengutus Joyolelono.... Keduanya terus kejar-kejaran, sampai pada akhirnya tiba di suatu jalan yang di kiri-kanannya terhampar sawah luas, seluas mata memandang. Bentangan sawah itu sudah ditanami padi, sebentar lagi akan muncul tangkai-tangkainya.
Dalam keadaan memacu kuda, Satria Gendeng melayangkan pandangan ke sekitar. Daun-daun padi yang hijau terhampar luas bagaikan permadani raksasa yang sengaja dibentangkan oleh Yang Maha Kuasa.
Satria memperlambat langkah kudanya, tak peduli dengan Joyolelono yang terus berlari sambil berjingkrak-jingkrak.
"Hoii, Kakang! Kenapa lambat sekali"! Ayo, kita main kejar-kejaran terus!" teriak Joyolelono dari kejauhan.
"Cukup! Kudaku sudah lelah!" sahut Satria.
Mendengar jawaban tadi, Joyolelono kemudian membanting pantat di tepi jalan berumput. Lalu dihentak-hentakkannya kaki. Mulutnya mengembung sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku benci, aku benci! Dia tidak mau mainmain dengan aku," rengek Joyolelono.
Satria yang melihat tingkahnya dari kejauhan, segera menghampiri.
"Hal, Bocah Berkumis! Kenapa cemberut seperti katak minta hujan?" tegur Satria dengan nada meledek.
"Hu hu hu! Aku benci kau!" jawab bocah berkumis sambil mengusap-usap mata dengan punggung tangan.
"Benci kenapa, slompret!" Bocah berkumis makin bertambah keras tangisnya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Satria.
"Hu hu hu! Aku bukan 'slompret'. Kau yang biang 'slompret'!" kilah Joyolelono. Satria jadi bingung sendiri. Dia memijat-mijat kening kepusingan. Sepertinya dia sedang berpikir bagaimana caranya menghentikan tangis bocah berkumis agar dapat melanjutkan perjalanan kembali.
Sial, jadi juga dia menjinakkan orang yang adatnya lebih dari biangnya segala biang badak!

* * *



Ketika itu matahari menjerang garang penghuni bumi di belahan mana pun. Tak terkecuali pantai pesisir Tuban. Keangkuhan sang mentari seperti hendak mendidihkan isi lautan. Ombak bergulung ke tepian berpasir yang menjadi kehangatan......
Di atas pasir yang terhampar sepanjang pantai, sepasang insan berjalan tergesa-gesa. Jejak mereka memanjang ke belakang. Arah langkah keduanya menuju sebuah gubuk. Gubuk tersebut dibangun tinggitinggi, ditopang empat batang pohon kelapa yang ujungnya ditebang. Sungguh unik. Siapa yang akan berpikir kalau penghuni gubuk adalah orang waras" Kalau tidak gendeng, siapa yang mau membangun rumah setinggi itu" Sementara, tak terlihat ada satu tangga pun menuju ke atas.
Mereka adalah Satria Gendeng dan Joyolelono.
Murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa sudah tak menunggangi kuda. Hewan itu sudah dilepasnya memasuki perbatasan Tuban setelah terlalu lelah dia membawa tuannya menempuh jarak sebegitu jauh.
Kuda saja menurut Satria merasakan kelelahan. Herannya, si kumis bertampang tolol tetap segar-segar saja. Wajahnya dari memulai perjalanan sampai saat itu tetap saja cerah-ceria seperti orang yang menang lotere. Tujuan ke Tuban tentunya untuk menyampaikan surat kepada Adipati Wisnu Bernawa kepada Ki Dagul alias Pengemis Tuak.
Tiga puluh tombak dari gubuk di atas batang pohon kelapa, kedua pemuda itu menghentikan langkah. Mereka berdiri sejenak. Wajah keduanya dipaksa meringis terkena terjangan sinar matahari manakala mendongak ke arah gubuk. Tangan Satria Gendeng terangkai di depan kening, mencoba menghalangi sengatan sinar matahari yang mengganggu pandangan. Lelaki bertampang tolol melakukan juga. Sekadar iseng melatahi perbuatan pemuda di sebelahnya.
"Kata orang, di sini dia tinggal," gumam Satria, tersamar bisikan angin pantai.
"Apa sekarang ini dia ada di dalam sana?" tambahnya.
Langkah dilanjutkan. Lebih dekat ke arah gubuk, si pemuda menghentikan langkah kembali. Diangkatnya kedua tangan ke depan mulut. Dia berteriak keras.
"Ki Dagul! Apakah kau berada di dalam?" Latah pula Joyolelono di sebelahnya hendak ikut berteriak. Baru mengangkat tangan di depan mulut, dia mengurungkan niat untuk berteriak. Tangannya malah menggaruk-garuk kepala. Dia lupa apa yang baru saja diteriakkan Satria tadi. Akhirnya dia berteriak 'semau gua'.
"Di dalam Ki Dagul ada apa"!!" Tak lama terdengar sahutan. Nada suaranya terdengar agak malas, serak, dan sumbang, seperti orang 'ngelindur', atau seperti orang yang baru menenggak segentong tuak.
"Siapa...?"
"Aku utusan dari Adipati Lumajang!"
"Siapa...?" ulang orang di dalam gubuk.
"Satria!"
"Menurutku, kau mau mengibuliku. Aku tahu, Adipati Lumajang bernama Wisnu Bernawa, bukan Satria...."
"Aku barusan mengatakan padamu bahwa na-maku Satria!" seru si pemuda, mengetahui jawabannya sudah keliru. Rupanya orang di dalam gubuk hendak menanyakan nama Adipati Lumajang dengan pertanyaan kedua. Bukan menanyakan namanya.
"Ooooh, kau mau mengaku sebagai Adipati Lumajang" Maaf saja, aku tak tertipu...." Satria merengut. Sudah panas ditimpa terik mentari, masih saja ada orang yang membuatnya tambah panas. Kalau tak berotak soak, pasti orang itu sedang mabuk berat, pikirnya.
"Aku memang diutus oleh Adipati Wisnu Bernawa. Namaku Satria!" serunya, meralat kesalahpa-haman orang di dalam gubuk.
"Ooo, begitu.... Kenapa Wisnu Bernawa mengutusmu?"
"Ada pesan yang harus disampaikan padamu!"
"Naiklah ke atas!" Si pemuda mengangguk, tak jelas mengangguki siapa. Dia melangkah lebih dekat. Terdiam sebentar, memikirkan cara naik ke atas gubuk di atas dahan pohon kelapa tanpa tangga. Pekerjaan yang agak sulit.
Memanjat terlalu makan waktu. Apalagi dengan batang yang polos tanpa lobang-lobang undakan. Tapi bagi si pemuda yang lebih kesohor sebagai salah seorang pendekar muda tanah Jawa kenamaan dengan julukan Satria Gendeng, bukan perkara terlalu sulit untuk naik ke atas sana tanpa harus memanjat. Di kepalanya, terbayang kembali peristiwa beberapa tahun silam, ketika dia masih berada dalam godokan salah seorang guru 'sinting-sintingannya', Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Suatu kali, gurunya itu pernah menyuruhnya memetikan pohon kelapa tanpa alat bantu apa-apa, dan tak pula diperbolehkan untuk memanjat seperti seeker anak kera. Keadaannya persis seperti sekarang dihadapi. Perpaduan antara kecerdikan dan hasil godokan teramat keras mengakibatkan dirinya bisa melaksanakan perintah gurunya yang tak lebih dari satu ujian (Baca kisah-kisah perdana: "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Naga Samudera"!) Caranya kini diulangi kembali untuk naik ke atas gubuk. Dia menjejak kaki, melompat dengan pengerahan segenap peringan tubuh ke satu batang pohon kelapa. Ketika tiba di dahan itu, kakinya kembali menjejak dan memantulkan tubuhnya lebih tinggi ke dahan lain di sebelahnya. Dari dahan itu, tubuhnya memantul kembali ke dahan sebelumnya. Begitu seterusnya, sampai dia tiba di depan pintu gubuk yang berlantai kayu. Di bawah, lelaki bertampang tolol pelangapelongo sendiri. Mau turut ke atas, agak malas. Dia lebih suka menunggu di bawah. Lalu dilemparnya pantat ke pasir. Dipandanginya seekor keong laut yang merangkak-rangkak di dekatnya sambil cengar-cengir sendiri. Tep! Begitu Satria menjejakkan kaki, bau tuak menyengat hidungnya. Begitu menyengat, sampai-sampai hidungnya mendengus-denguskan napas. Asalnya dari pintu gubuk yang agak terkuak. Hebatnya, aroma tuak itu saja sudah sanggup membuat kepala si pendekar muda merasa pusing tujuh keliling. Jangan-jangan, tuaknya malah bisa meracuni orang lain. Tuak sekeras apa yang telah diminum penghuni gubuk ini" Tanyanya membatin.
"Masuklah!" Dari dalam gubuk, mencelat suara yang serak, malas dan sumbang tadi.
Satria Gendeng melangkah setindak. Didorongnya pintu gubuk. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam ruangan yang gelap dan pengap itu. Jerami kering di mana-mana. Kotor sekali. Pantasnya disebut kandang kerbau, nilai Satria. Baru saja terkuak, dari arah dalam mendadak saja terdengar suara semburan.
"Fruaah!!!" Sekilas, mata Satria Gendeng menangkap percikan air menerjang ke arahnya. Untung saja kesiagaan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu tetap terjaga. Sigap, dia melompat dengan tubuh membungkal. Berputar sekali, lalu hinggap kembali di tempat semula. Semburan tadi lewat begitu saja, hanya setengah jengkal dari punggungnya. Meski begitu, punggungnya sendiri merasakan panas seperti disengat bara. Masih belum jelas ba-gi si pendekar muda, rasa panas itu berasal dari kerasnya tuak yang disemburkan, atau dari tenaga dalam pemiliknya. Namun, dari situ sudah cukup baginya untuk menilai betapa tinggi kesaktian orang di dalam gubuk.
"Maaf Cah. Sudah jadi kebiasaanku kalau melihat sinar matahari masuk ke dalam gubuk, aku langsung berkumur dan membuang sisa kumurnya. Kebiasaanku kalau baru bangun tidur tengah hari bolong," ceracau orang setengah mabuk di dalam gubuk. Seorang tua, bersandar setengah telentang di dinding gubuk dari kayu. Rambutnya merah keemasan dan kaku berantakan. Wajahnya merah matang akibat pengaruh tuak. Matanya sayu, terkatup-katup. Ukuran tubuhnya lebih kecil dari kebanyakan orang. Mengenakan pakaian yang amat kumal. Saking kumal, Satria Gendeng menyaksikan berapa ekor kepinding merangkakrangkak di sela-selanya. Satria Gendeng dibuat merinding. Orang inilah yang bernama Ki Dagul. Di dunia persilatan lebih dikenal dengan julukan Pengemis Tuak.
"Kenapa masih berdiri di sana" Mana surat yang kau bawa untukku" Hik..," seru si orang tua disusul seguknya. Satria melangkah hati-hati. Cuma berjaga-jaga jangan sampai mulut Ki Dagul yang usil menyemburnya lagi.
"Cepat Cah! Kenapa kau seperti orang pesakitan begitu"!" bentak Ki Dagul dengan mata mendelik.
Satria Gendeng menyerahkan selembar gulungan kulit yang diambil dari kain ikat pinggangnya pada Ki Dagul. Ki Dagul menerima, lalu dibentangkan persis di depan hidungnya. Beberapa saat dia sibuk bergu-mam sendiri. Gumamannya susah dibedakan dengan suara orang menguap.
Srk! Tiba-tiba saja dia menutup lembaran kulit tadi.
Wajahnya terlihat kembali dengan paras yang berubah tegang. Buktinya matanya mendelik besar.
"Tujuh Dewa Kematian," Geramnya.
"Kau mengenal mereka, Orang Tua?"
"Bukan kenal lagi, aku memang berseteru dengan mereka dari dulu, hik.... Mereka musuh bebuyutanku!" sentak Pengemis Tuak dengan mata terus mendelik-delik pada Satria.
Ngamuk pada Tujuh Dewa Kematian, kenapa melototnya padaku, gerutu Satria Gendeng dalam hati.
"Kau tahu, mereka sudah berkali-kali berurusan denganku sejak masih berguru bersama di Tuban.
Ya, mereka memang pernah jadi saudara seperguruanku. Kau tak percaya" Terserah kau saja. Yang jelas, mereka itu telah berkhianat pada Eyang Guru. Aku yang akhirnya jadi repot menjalankan titah Eyang Guru untuk menghukum mereka. Bayangkan, selama puluhan tahun aku harus bertemu dan bertarung, bertemu dan bertarung, dan selalu dipecundangi mereka.
Manusia-manusia sialan itu entah berguru dengan siapa. Dedemit barangkali! Heg.... Sekarang ini, aku tak mau kalah lagi. Aku sudah mempersiapkan ilmuilmu baruku. Biar mereka tahu rasa sewaktu aku menghukum mereka, hik.... iya, kan?"" Satria Gendeng jadi pusing sendiri mendengarkan cerita ngalor-ngidul Ki Dagul.
"Kalau begitu, kuharap kau secepatnya pergi ke Lumajang. Adipati Wisnu Bernawa mengharapkan sekali kedatanganmu," ucapnya buru-buru, daripada mulut orang tua berambut kaku masai itu meneruskan ceritanya yang sama sekali tak menarik itu.
"Sudah berbuat apa mereka pada Adipati"!!" sentak Pengemis Tuak kembali seraya bangkit mendadak. Lagaknya hendak 'pamer' kemarahan. Namun, karena masih dipengaruhi tuak yang diminumnya, badannya sempoyongan ke samping dan malah menambrak dinding kayo. Untung gubuk itu masih cukup kuat, jika tidak tentu tubuhnya sudah jatuh bebas ke bawah.
"Mereka meminta Pitaloka sebagai tumbal."
"Bangsat! Berani-beraninya mereka berbuat itu!" Mendadak Ki Dagul terdiam dengan kening berkerut dan mata terkantukkantuk. Katanya, "Tapi, ngomong-ngomong, siapa Pitaloka?"
"Putri tunggal Adipati."
"Bangsat lagi! Mereka benar-benar kepingin kutebas habis, hik.... Bayangkan saja, mereka beraniberaninya meminta putri Adipati - sahabatku - untuk dijadikan tumbal"! Keterlaluan, kan" Heg.... iya, kan?" Di belakang cerocosannya, Pengemis Tuak menenggak tuak dalam kendi di tangan kanannya. Beberapa teguk ditelan. Sisanya dikumpulkan dalam mulut.
"Fruaii!" Geram, disemburkannya tuak dalam mulutnya ke segenap arah. Satria sampai-sampai harus merunduk sambil memegangi kepalanya.
Wsssss! Bes bes bes! Ketika Satria Gendeng mengedarkan pandangan, sudah terlihat puluhan lobang mengelilingi sekitar dinding. Sinar matahari meranggas masuk melalui setiap lobang, membentuk cahaya memanjang yang saling menyilang tak karuan. Satria Gendeng meringisringis sendiri. Coba kalau tadi dia tak sempat merunduk. Mungkin jidatnya senasib dengan dinding itu! "Kau tahu Cah" Akan kubuat Tujuh Dewa Kematian seperti dinding itu jika mereka berani merebut putri Adipati, hik...," ancam Pengemis Tuak dengan muka makin merah, terbakar kemarahan sekaligus terbakar kerasnya tuak. Setelah itu, sekali lagi Ki Dagul terdiam mendadak.
Keningnya berkerut lagi. Matanya tak mau berhenti terkatup-katup sayu.
"Lho, jadi Adipati sudah punya putri?" perangahnya dengan mata membelalak.
Terlambat mikir lagi dia. Satria Gendeng geleng-geleng kepala. Ini susahnya kalau berbicara dengan tukang mabuk! Heran juga dia. Bagaimana Adipati Wisnu Bernawa bisa punya sahabat seperti Ki Dagul, seperti diakui Ki Dagul sendiri barusan"
"Jadi, kapan kau akan berangkat?" tanya Satria, meminta ketegasan.
"Begini saja," putus Ki Dagul seraya menenggak kembali kendi tuak di tangannya.
Sekali tenggak, entah berapa teguk. Cara minumnya seperti seekor onta gurun. Satria Gendeng menunggu ucapan selanjutnya.
Tapi.... Bruk! Pengemis Tuak malah ambruk di tempat!

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

Di SEBUAH desa kecil yang menjadi pusat kegiatan warga masyarakat, seseorang berjalan di jalan tanah kering yang mengkerangkai desa. Beberapa rumah berdiri di sisi jalan dalam jarak yang cukup berjauhan. Sebagian bangunan berupa kelontong dan satu dua di antaranya adalah kedai makanan. Orang itu mengenakan topi pandan berbentuk seperti bakul nasi.
Mengenakan pakaian silat warna hitam dengan buntalan kain kusam di belakang bahunya.
Tenang berjalan menyusuri terus jalan tanah, tibalah orang itu di depan sebuah kedai. Dia berbelok arah, menuju kedai sederhana yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai warung makan rakyat.
Di depan meja besar yang menyediakan makanan kecil hingga lauk-pauk, terdapat bangku kayu panjang. Ditempatinya satu sisi bangku tersebut dengan gerak-gerik yang demikian lemah perlahan seakan seorang pesakitan. Orang yang melihatnya mungkin menganggap orang itu belum makan selama dua harian. Seorang wanita setengah baya pemilik kedai berdiri di belakang meja besar. Dia menawarkan tamunya dengan keramahan wajar, tak dibuat-buat.
Tanpa berniat membuka tudungnya yang terlihat begitu bikin gerah, orang tadi mengajukan pesanannya.
"Sediakan nasi dicampur arak, Nyi," katanya dengan suara yang datar dan agak mendesis, nyaris tak kentara. Bagus perempuan setengah baya pemilik kedai tidak tuli. Kendati harus menyorongkan kepala, dia menangkap pesanan tamunya. Alisnya agak bertaut mendengar pesanan tadi. Apa dia tak salah dengar, pikirnya. Masak nasi dicampur arak"
"Nasi campur arak?" ulang pemilik kedai, ingin meyakinkan diri.
Tak banyak cakap, orang bertudung mengangguk. Tak banyak cakap pula, pemilik kedai pun menyiapkan pesanan tadi.
"Pucuk dicinta, ulam pun tiba!" seru seseorang dari arah belakang. Suaranya keras, kasar, juga agak angkuh, Tidak ada kesan bertatakrama sedikit pun.
Orang bertudung tak menggubris. Menoleh saja tidak.
"Hei, Orang Bertudung! Tak perlu kau berpura-pura dan bersembunyi di balik tudungmu lagi! Aku sudah tahu bahwa kau adalah Arya Wadam!" Pemilik kedai merengket ketakutan. Disaksikan olehnya dua lelaki berperawakan seram. Sudah samasama berjambang lebar, masih pula membawa senjata mengerikan, rantai berbandul bola baja berduri. Di tangan keduanya, bola berduri sebesar kepala bayi diayun-ayunkan seakan hendak menggertak setiap nyali yang melihatnya. Meski tidak kembar, penampilan keduanya tak jauh berbeda. Mengenakan pakaian biru tua. Wajah salah seorang di antaranya cacat oleh bekas luka sayatan memanjang dari kening kiri ke rahang kanan. Luka itu telah membutakan sebelah matanya.
"Kau masih punya utang padaku, Arya Wadam! Hari ini aku akan menagihnya!" Tiga kali sudah bentakan orang berjambang lebat, berwajah cacat tak mendapat gubrisan dari orang bertudung yang dipanggil Arya Wadam. Tentu saja hal itu membuat darah orang berwajah cacat mendidih.
Murka dia. Bergemelutuk rahangnya.
"Keparat kau, Arya! Kau dengar aku"!" berge-muruh hardikan lelaki berwajah cacat, melantak suasana. Pemilik warung makin ciut.
Puncak kegusaran orang berwajah cacat tiba.
Dikawal geraman berat, tangannya memutar-mutar rantai bola baja berduri. Menghasilkan suara dengung keras. Ngung... wrr! Pada saatnya, senjata itu meluncur juga. Rantainya terjulur cepat. Ujungnya menerkam ke arah kepala orang bertudung. Orang yang hendak dijadikan sasaran sendiri seperti tak pernah menyadari bahaya besar mendatanginya. Dia masih duduk tanpa bergerak. Bahkan dadanya seperti tak pernah mengembang untuk menarik napas.
Perempuan setengah baya pemilik kedai menjerit keras-keras. Masih untung kalau dia tidak semaput.
Tidak untungnya, dia terpaksa terkencing-kencing di tempat. Begitu bandul berduri tinggal sejenggal lagi me-remukkan batok kepalanya. Orang bertudung mendadak membalikkan badan. Tangannya bergerak cepat ke atas. Tep! Mengagumkan. Ditangkapnya ujung rantai itu seperti gerakan menepuk nyamuk. Dan berhasil! Bandul berduri terhenti seketika hanya dua jari dari wajahnya.
"Apa kabar. Paman Remeng" Paman Poleng?" sapa orang bertudung, datar dan dingin.
Pemilik rantai baja mendengus. Kemarahannya tentu saja tak mudah lunas hanya dengan teguran yang terdengar tak cukup ramah itu.
"Kadal kau, Arya!" hardiknya sambil menyentak rantai baja dengan kasar.
Arya Wadam melepaskan ujung rantai baja dari himpitan tangannya. Dia membiarkan saja lelaki berwajah cacat mendapatkan kembali senjatanya secara utuh. Tak perlu ada adu tenaga dalam.
"Jangan sekali-kali kau tak menyahut jika kau kupanggil, Tolol!" maki orang berwajah cacat kembali, masih tersisa kegusarannya. Lalu dia melangkah mendekati orang bertudung yang dipanggilnya Arya Wa- dam. Sementara lelaki berjambang kedua tak beranjak dari tempat semula.
Arya Wadam inilah orang ketiga yang hendak ditemui Satria Gendeng untuk menyampaikan amanat dari Adipati Wisnu Bernawa. Beberapa waktu lalu, pendekar muda itu tanpa sengaja bertemu dengannya di sebuah kedai. Namun karena belum pernah mengenal ciri-ciri Arya Wadam, Satria Gendeng luput menyampaikan amanat itu (Untuk lebih jelasnya, bacalah episode awal: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Maaf, Paman. Kupikir bukan kau...," kata Arya Wadam.
Tiba di dekat Arya Wadam, lelaki berwajah cacat bernama Remeng mencoba menyambar tudungnya.
Tangan Arya Wadam bergerak tak kalah cepat.
Tep! Ditangkapnya pergelangan tangan Remeng.
Seketika Remeng tergelak-gelak di tempat.
"Kadal kau Arya Wadam! Rupanya semakin hari gerakanmu makin sempurna saja! Ha ha ha!" Remeng menoleh pada lelaki berjambang lebar yang sejak tadi hanya berdiri di belakang sana.
"Hei, Poleng! Ke sini kau! Apa kau tak mau sedikit berbasa-basi dengan si kadal ini"!" Lelaki yang dipanggil Poleng berjalan mendekat.
Tak seperti Remeng, lelaki ini lebih banyak diam. Bahkan paras wajahnya tak berubah sama sekali ketika mendekati Arya Wadam. Entah wajahnya terbuat dari batu atau apa.
"Bagaimana soal utangku?" tanya Remeng kemudian, ketika Poleng tetap saja dingin, tanpa berniat berbasa-basi dengan Arya Wadam.
"Masih sulit, Paman. Aku belum juga menemukan Keparat yang melarikan pedang itu. Sulit melacaknya"
"Maling busuk! Awas jika kau kudapatkan Raja Pencuri Dari Selatan!"
"Tapi aku berjanji akan mendapatkan benda itu kembali, Paman. Dengan begitu, aku dapat melunasi utang janji pada Paman." Remeng tergelak-gelak. Cekakakan keras-keras tanpa ambil pusing pada perempuan tua pemilik warung yang makin merengket-rengket ketakutan mendengar suara tawanya.
"Eh, ya! Kudengar dari beberapa orang persilatan, ada seseorang sedang mencarimu!" sentak Remeng di akhir tawanya.
"Kau sudah dengar berita itu?" Arya Wadam menggeleng.
"Kau ini bagaimana" Melanglang ngalor-ngidul tapi luput mendengar berita yang bersangkutan dengan dirimu sendiri!"
"Apa yang Paman tahu tentang berita itu?"
"Iya itu. Ada orang yang mencarimu! Seorang pemuda. Belum jelas siapa dia. Tapi kalau mendengar ucapan beberapa orang persilatan yang sempat melihatnya, ciri-ciri orang itu mengingatkan aku pada seorang pendekar muda tanah Jawa." Arya Wadam menanti.
Remeng mendekatkan mulutnya ke sisi kepala Arya Wadam. Dia berbisik. Seolah dia begitu khawatir seseorang mendengar perkataan yang hendak diucapkannya.
"Apa kau pernah berurusan dengan murid Panembahan Dongdongka dan Panembahan Kusumo?" Meski tetap menjaga gerak-gerik tenangnya, tak urung kepala Arya Wadam terhenyak.
"Satria Gendeng?" tanyanya, seperti berbisik pula. Remeng mengangguk sambil menegakkan kembali badannya. Sebelah matanya terus menatap ke arah tudung Arya Wadam.
"Untuk apa aku berurusan dengan seorang pendekar golongan lurus seperti dia" Kecuali dia bertingkah macam-macam dan kebetulan bertemu denganku...," kata Arya Wadam. Nada suaranya datar kembali.
"Paman tahu ciri-ciri pendekar itu?" lanjutnya.
Menyahuti pertanyaan Arya Wadam, Remeng menuturkan ciri-ciri Satria Gendeng yang pernah didengarnya dari selentingan kabar.
"Dia seorang pemuda. Tampan. Berusia dua puluhan. Mengenakan rompi bulu putih. Rambutnya kemerahan. Ng... Oya, satu lagi yang menjadi ciri khasnya. Dia memiliki senjata pusaka berbentuk kail yang bisa dipendekkan seperti tongkat. Aku lupa namanya...."
"Kail Naga Samudera. Aku pernah mendengarnya, Paman." Sejenak Arya Wadam terdiam. Dia membayangkan ciri-ciri orang yang baru saja dipaparkan Remeng.
Di benaknya, terbayang kembali seseorang yang pernah dijumpainya di suatu kedai beberapa waktu lalu.
"Rasanya aku pernah menjumpainya. Kalau benar berita itu bahwa dia sedang mencariku, entah kenapa waktu itu dia malah tak begitu mempedulikan ku...," gumam Arya Wadam.

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

WAKTU berlalu. Perlahan-lahan Sang Surya menyembul dari ufuk timur. Sinar kuning keemasannya menebar di seluruh wajah bumi, menerobos celahcelah dedaunan, hingga membentuk sehimpun garis lurus. Salah satu garis cahaya jatuh tepat di pelupuk mata seorang pemuda yang sedang lelap tidur di sela akar pohon raksasa.
Kehangatan membuatnya terjaga.
Matanya terbuka.
"Sudah siang!" cekatnya.
Pemuda yang tak lain Satria Gendeng itu terperangah sendiri sambil celingukan ke sana kemari, mencari-cari sesuatu. Tak begitu lama, telinganya menangkap dengkur halus dari atas kepalanya. Satria mendongak. Sesuatu yang dicarinya ditemukan. Sebenarnya bukan sekadar 'sesuatu', melainkan seseorang yang hari-hari terakhir menjadi rekan seperjalanannya, Joyolelono. Mengetahui Joyolelono masih berada di dekatnya, Satria agak tenang. Dia menguap sebentar seraya menggeliat-geliatkan badan.
"Slompret benar si Arya Wadam," gumamnya.
"Ke mana lagi aku harus mencari dia." Dalam benaknya, Satria mengkhawatirkan batas waktu purnama yang sudah demikian dekat. Pada saat itu, Tujuh Dewa Kematian akan merampas Pitaloka, putri sang Adipati. Sementara itu, tugasnya saja masih belum lagi dituntaskan. Kalau sampai Arya Wadam tak didapatkan hingga menjelang purnama, apakah dia harus kembali ke Lumajang dan mengatakan pada Adipati Wisnu Bernawa bahwa tugas yang diembannya tak berhasil secara sempurna. Malu bukan main Satria pada dirinya, kalau begitu. Ya, malu pada nama besarnya, ya malu pada kedua gurunya.
"Sebaiknya, pencarian Arya Wadam secepatnya ku lanjutkan," putus Satria. Dia melirik ke atas kembali, ke arah di mana Joyolelono masih saja pulas dengan dengkur merdunya.
"Hei, Joyo, turun kau!" seru Satria. Si kumis bertabiat kebocahan tak mendengar teriakan tadi. Bukannya melihat Joyolelono terbangun, Satria malah mendapatkan sesuatu yang lain. Tetesan berbau minta tobat mengalir dari sudut bibir Joyolelono. Bisa dibilang rejeki nomplok pagipagi buat Satria. Bayangkan saja kalau lendir itu jatuh tepat ke arah wajahnya" Untung Satria cepat menggeser tubuh ke samping. Parasnya tampak ngeri-ngeri. Lebih ngeri ketimbang tertiban hantaman gada Minakjingga. Tak urung Satria menutup hidung. Kepalanya berkunang-kunang demi telanjur mencium lendir dari mulut Joyolelono. Dalam hati, dia mengutuk.
"Hai, bangun kau!!" hardiknya kembali dengan sedikit penyaluran tenaga dalam.
Jika tidak begitu, mana bisa Joyolelono terbangun. Tidurnya lebih hebat dari pingsan. Orang pingsan saja tidak akan seperti itu. Bentakan bertenaga dalam Satria membawa hasil. Bocah ajaib berkumis itu tersentak. Gelagapan sebentar dia. Tubuhnya oleng, lalu meluncur jatuh.
Dengan sebelah mata masih terpejam, Joyolelono bangkit.
"Kau nanti menemui Adipati Lumajang sendiri.
Aku akan meneruskan pencarian Arya Wadam," kata Satria, menjelaskan rencananya.
Joyolelono menguap lebar-lebar. Mulutnya mengenyam-enyam.
"Hei, kau mengerti apa yang kukatakan"!" bentak Satria, agak kesal.
Joyolelono mengangguk.
Bagus, ujar Satria dalam hati.
"Sekarang, ayo kita berangkat!" ajaknya seraya melangkah ke arah kuda tertambat di dekat semak.
Satria tak mendengar suara langkah di belakangnya. Dia pun menoleh.
Minta ampun! Joyolelono sudah pulas lagi sambil berdiri!

* * *



Seorang lelaki pelanga-pelongo di depan gerbang kadipaten Lumajang. Wajah lelaki itu kebodohbodohan. Penampilannya membuat orang lain terkikik geli. Bayangkan, dia memakai baju monyet! Pantasnya yang mengenakan pakaian itu seorang bocah kecil, bukan lelaki berkumis dan berjenggot jarang macam dia! Seorang prajurit kadipatenan yang melihatnya segera menghampiri.
"Ada perlu apa?" Si kumis berbaju monyet malah tengak-tengok seperti menganggap pertanyaan prajurit kadipatenan tadi tak lebih dari hembusan kentut.
"Maaf, Saudara punya kepentingan di sini?" ulang si prajurit kadipatenan.
Si kumis mengangguk. Bibirnya tersenyum tanggung. Antara mimik wajah orang telat buang hajat dengan mimik orang ketiban rejeki nomplok.
"Ada perlu apa?" ulang si penjaga.
Jawaban si kumis malah anggukan lagi. Ditambah senyum tanggung yang tak beda jauh dengan sebelumnya. Sekarang, tangannya mulai menggarukgaruk kepala pula. Dia cengengesan.
"Kalau tak ada keperluan apa-apa, sebaiknya Saudara segera pergi dari sini!" peringat si penjaga gerbang. Meski bertampang galak, cara bicaranya cukup bertatakrama. Mungkin karena dia merasa sedang berhadapan dengan seorang yang tak memerlukan sikap garang, melotot sambil memeluntir-meluntir ujung kumis baplang. Si kumis cengengesan lagi. Sebelah alis matanya terungkit-ungkit. Mulaslah perasaan penjaga gerbang. Dari sabar, sampai tak sabar. Dari ramah, sampai mulai kepingin marah-marah. Sewaktu menilik kembali penampilan si kumis, kemarahan ditahannya.
Dia berusaha untuk tetap memaklumi.
Sambil memegang bahu si kumis, pengawal tadi berbicara perlahan di dekat telinganya.
"Sebaiknya kau 'bermain' di tempat lain, ya" Main yang jauh dari sini. Di sini bukan tempat bermain. Di sini tempat Kanjeng Adipati. Kalau kau main di sini, nanti Kanjeng Adipati marah, lho!" Apa pun yang dikatakan si prajurit, meski dia mengatakan dunia kebelet kiamat, tetap saja jawaban si kumis cuma cengengesan.
Prajurit tadi menarik napas. Mulai tak sabar lagi dia. Tangannya pun mulai memeluntir-meluntir ujung kumis. Dia menggeram, niatnya mau sedikit menakut-nakuti. Matanya melotot.
"Pergi!" bentaknya kemudian dengan kegalakan seorang centeng terlambat gajian.
Tangannya menud-ing jauh-jauh.
Yang bikin pegal hati si prajurit, lelaki berkumis dengan serta-merta menirukan ulahnya. Matanya bahkan mendelik lebih hebat. Sampai si prajurit sendi-ri ngeri melihatnya.
Giliran si prajurit yang garuk-garuk kepala.
Mau diapakan lagi orang macam ini" Pikirnya dalam hati, kehabisan akal. Apa perlu pakai kekerasan" Apa nanti dibilang tak punya rasa perikemanusiaan" Ah peduli setan! Menganggap orang di depannya cuma seorang 'anak kecil' berumur tua, si prajurit pun menjalankan cara-cara yang biasa dipakai untuk menangani anak kecil. Dijewernya telinga bocah berkumis.
"E-eh, malah meledek...," gerutu si prajurit kembali melihat bocah berkumis itu masih saja cengengesan.
Jeweran pun dikeraskan lagi.
Cengengesan juga balasannya.
Lebih dikeraskan.
Masih tetap cengengesan.
Mata si prajurit mendelik. Jewerannya lebih dikeraskan lagi. Bahkan sampai otot tangannya bertonjolan dan wajahnya memerah. Lama-lama, hati si prajurit jadi ciut sendiri. Orang macam apa ini" Masa' sudah dijewer sekuat tenaga masih bisa cengengesan begitu rupa" Jeweran dilepaskan. Si prajurit mundur teratur dengan mata tetap tak berkedip mengawasi si bocah berkumis yang masih saja... cengengesan! Sampai dengan tiba-tiba, si bocah berkumis berteriak keras-keras.
"Suaaakiiiiitt!!!" Si prajurit mencelat dari tempatnya. Jantungnya hampir mau rontok saat itu juga. Kepalanya berdenyut tujuh puluh tujuh keliling. Untung dia tak sempat jatuh. Cuma sempoyongan karena terlalu kaget. Dua prajurit lain datang mendengar teriakan sambar geledek Joyolelono.
Bocah berkumis yang menyatroni pintu gerbang ke kadipatenan Lumajang adalah Joyolelono. Satria menyuruhnya untuk menghadap Adipati lebih dahulu sementara dia menyelesaikan urusan dengan Arya Wadam. Satria mengantar wakil Dewa Gila itu sampai ke batas Kadipaten. Selanjutnya dia meneruskan perjalanan. Dia berpikir, tentunya tak akan terlalu sulit bagi Joyolelono menemukan kadipaten setelah diantar cukup dekat ke tempat tujuan. Toh otaknya tak terlalu anjlok daripada otak keledai.
Memang dia bisa tiba juga di sana. Itu pun setelah ada seorang penduduk desa yang mengantarnya.
Cuma masalahnya, bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia hendak menghadap Adipati Wisnu Bernawa sebagai wakil Dewa Gila. Itu yang tak sempat terpikir oleh si pendekar muda, Satria Gendeng.
Maka, jadilah dia membuat masalah di depan gerbang.
"Ada apa ini"!" seru dua prajurit yang baru datang tergopoh-gopoh.
Prajurit yang belum lagi hilang terkejutnya, menunjuk Joyolelono dengan wajah pucat pasi seperti menantu serong kepergok mertua.
"Kenapa dengan orang itu"!" tanya satu prajurit tak mengerti. Melihat Joyolelono mulai cengengesan lagi, bagaimana dia tidak jadi bingung sendiri"
"Usir dia!" kata si prajurit 'jantungan'.
Dengan dahi berkerut, kedua prajurit menuruti permintaan rekannya.
"Pergi kau!" bentak prajurit pertama. Sikapnya benar-benar galak, garang dan seram. Rupanya, orang satu ini tergolong petugas kamtib yang suka main 'sapu bersih'. Tak ada kompromi, atau sedikit timbang rasa, biarpun berhadapan dengan orang yang keliha-tan lemah.
Dari tadi terus disuruh pergi, pikir Joyolelono.
Memangnya apa salahku" Joyolelono menggeleng.
"Sup, kau beri sedikit dia pelajaran," bisik prajurit pertama pada rekan disebelahnya. Orang yang dipanggil Sup' (entah namanya Yusup, Supardi, Supeno, atau Sup kaki...) mengangguk sekali. Kalau temannya sudah dibuat pucat nyaris mati berdiri, memang mestinya orang ini diberi sedikit pelajaran. Sikat saja, pikirnya. Dengan gemas, tangan kanan orang itu menyiapkan sedikit sontekan kecil ke jidat bocah berkumis. Sontekan kecil saja cukuplah. Kalau bisa bikin benjol sebesar telur angsa, boleh juga.
"Hih!" Bletak! "Whuaaa-haaa!" Mencelat raungan kesakitan. Keliru kalau menyangka raungan itu berasal dari tenggorokan Joyolelono. Memang ada jidat yang kena jitak. Tapi bukan jidat Joyolelono. Justru jidat prajurit yang berniat men-jitaknya. Rupanya Joyolelono sudah lebih dahulu punya niat yang sama. Dia sudah mulai dongkol dengan mereka. Lalu tanpa berniat pamit atau sekadar mengucap 'kulonuwun', Joyolelono melompat ke atas gerbang kadipatenan. Geraknya agak blingsatan, tapi tetap mengagumkan. Ringan dia menjejak sekali di pucuk benteng beton, lalu melompat masuk ke pekarangan.

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

ADIPATI Wisnu Bernawa tak bisa tinggal diam ketika mendengar keributan dari pekarangan kadipatenan. Apalagi didengarnya teriakan-teriakan para prajurit pengawal.
"Ada apa ini?" tanya Wisnu Beranawa setibanya di luar. Dua orang prajurit tergopoh-gopoh menghadap.
"Ada orang asing memasuki kadipatenan, Kanjeng Adipati," lapor seorang dari mereka.
Tak perlu ditunjuk oleh seorang prajurit pun, Wisnu Bernawa langsung dapat menduga siapa penelusup yang dimaksudkan dalam laporan sang prajurit barusan. Dilihatnya seorang lelaki muda berkumis.
Wajahnya cukup mengesankan. Khususnya 'mengesankan' seorang yang berotak sejempol. Cengiran diumbar sepuas-puasnya ke segenap penjuru. Tak perduli pada Adipati, punggawa, bibi emban yang kebetulan mengintip dari jendela kaputrenan, tukang kebun, atau pada beberapa ekor kuda di pekarangan depan yang membalas cengirannya. Pokoknya pukul rata! Kalau cuma itu, Adipati tak terlalu memusingkan.
Tapi kalau dia menyaksikan pakaian si penelusup, ya mau tidak mau dia mengernyitkan kening juga.
"Siapakah engkau, Adik Muda?" tanya Wisnu Bernawa. Nada suaranya datar, namun lantang. Tak terkesan adanya kemarahan, kendati sekadar kegusaran. Joyolelono mengangguk-anggukkan kepala. Ditanya apa, jawabannya apa. Melangkah dia ke arah Wisnu Bernawa tanpa perasaan berdosa.
Beberapa punggawa mulai hendak bergerak menyorongkan tombak.
Wisnu Bernawa mengangkat tangan kanan. Para punggawa mengurungkan niat. Joyolelono cemberut. Mendengus sekali dia dengan wajah bermusuhan.
Dua punggawa yang sebelumnya melapor harus menyingkir ke samping ketika lelaki kekanak-kanakan itu menyerobot tempat mereka di depan Wisnu Bernawa. Joyolelono menundukkan badan. Cara menjuranya berbeda dengan kebiasaan kadipatenan. Dia merunduk dalam-dalam sampai jidatnya menyentuh dengkul sendiri.
"Jelaskan maksud kedatanganmu ke sini. Adik Muda," pinta Wisnu Bernawa.
Tapi Joyolelono tampaknya masih betah merunduk. Kepalanya belum juga diangkat. Setelah Wisnu Bernawa memerintah, barulah dia menegakkan badan kembali. Lalu, Adipati Lumajang itu mengulang pertanyaannya.
"Aku.... Dewa Gila," jawab Joyolelono.
Wisnu Bernawa mau tak mau tersenyum mendengar jawaban tamu brengseknya itu. Dia cukup kenal Dewa Gila alias Ki Jerangkong. Setidaknya dia tahu bagaimana rupa dan perawakannya. Kalau orang di depannya kini mengaku Dewa Gila, apa Wisnu Bernawa tak merasa sedang dikibuli oleh tukang tipu kelas teri"
"Sudahlah, kau tak perlu berbohong padaku...," ucap Wisnu Bernawa.
"Aku.... Dewa Gila," ulang Joyolelono, tak mau mundur dari pengakuan pertama.
Wisnu Bernawa menggeleng-geleng kepala.
Joyolelono sengit sendiri.
"Aku.... Dewa Gila, muridnya!!!" cetusnya hampir berteriak mengembungkan urat leher. Sekarang baru jelas duduk perkaranya bagi Wisnu Bernawa.
"Mana Ki Jerangkong?" tanya Wisnu Bernawa lagi. Sebab yang diharapkan kedatangannya sebenarnya adalah Dewa Gila sendiri.
Joyolelono cuma mengacungkan jarinya ke mana-mana dengan wajah tetap tertekuk.
"Jadi Ki Jerangkong mengutusmu?" Joyolelono mengangguki pertanyaan Wisnu Bernawa, tak peduli mengerti atau tidak.
"Ada halangan apa beliau sampai bisa tak datang?" Joyolelono menggeleng.
"Kau tidak tahu?" Joyolelono mengangguk.
Kalau jawabannya cuma menggeleng dan mengangguk, sampai dunia menelorkan buto ijo pun, masalah tak akan beres-beres.
Sang Adipati pun menarik napas. Sesabarsabarnya dia, lama-lama pegal juga hatinya menghadapi manusia satu ini. Tak habis pikir juga dia, kenapa Ki Jerangkong harus mengutus muridnya untuk sebuah urusan besar seperti ini. Kalau tak menghormati Ki Jerangkong sebagai seorang sesepuh, Wisnu Bernawa tentu sudah merasa terhina. Syukurnya dia sadar bahwa tak selamanya keputusan seseorang dapat disalahkan begitu saja. Apalagi dalam hal ini Ki Jerangkong memiliki hak sendiri untuk menolak atau menerima undangan seorang penguasa seperti Adipati Lumajang. Memaksakan kehendak bagi seorang penguasa cuma akan membuat kepercayaan yang diberikan kepadanya akan terkikis, timbang Wisnu Bernawa.
"Kalau begitu, ajaklah tamu kita ini beristirahat dulu!" perintahnya kemudian pada salah seorang punggawa. Punggawa yang diperintah bengong sendiri.
Kanjeng Adipati apa sudah salah makan" Sergahnya membatin. Belum lagi perintah dilaksanakan, dari arah gerbang sudah terdengar pula teriakan gaduh para punggawa penjaga gerbang.
"Ada penelusup lagi!!!" Geger lagi seluruh penghuni Kadipatenan Lumajang. Sekarang, siapa yang menelusup" Salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian" Atau orang tengik lagi seperti sebelumnya"

* * *



Malam sebelumnya, di mana uap dingin pembawa embun menebar ke segenap penjuru, lalu membasahi apa saja di atas permukaan bumi. Lolongan srigala susul-menyusul memapas-mapas malam. Suasana mencekam, membuat nyali siapa pun menjadi terpagut kengerian. Para penduduk yang berada di sekitar Gunung Arjuna tak ada yang berani keluar, walaupun sedang mulas menahan buang hajat. Mereka memilih diam di atas ranjang, menanti mentari menyembul dari ufuk timur.
Tidak bagi tujuh manusia berkepala botak di Puncak Arjuna sana. Mereka duduk bersila membentuk sebuah lingkaran di atas sebongkah batu datar besar. Mata mereka terpejam rapat. Tangan mereka menyatu satu dengan yang lain.
Mereka adalah Tujuh Dewa Kematian yang sedang melakukan semadi. Mereka sedang menyempurnakan ilmu sesat yang belum kunjung sempurna. Terutama disebabkan karena untuk mencapai taraf itu, mereka harus mengorbankan seorang perempuan suci yang memiliki ciri-ciri tertentu. Perempuan itu, disamping perawan, juga harus seorang yang memiliki tiga bintik tahi lalat di leher belakangnya. Terakhir, dia harus lahir tepat ketika terjadi gerhana bulan.
Semua persyaratan itu mereka dapatkan pada diri Pitaloka, anak Adipati Wisnu Bernawa yang menjelang purnama depan akan dituntut oleh mereka. Memang sejak lama, mereka mengawasi gadis manis itu.
Mereka pun selama ini menggali-gali masa lalu Pitaloka, termasuk hari lahirnya. Ketika yakin bahwa gadis itu cocok untuk menjadi tumbal penyempurnaan ilmu sesat mereka, mereka pun sewenang-wenang menuntutnya langsung dari orangtua Pitaloka, Wisnu Bernawa. Wisnu Bernawa yang sejak semula memang sudah memaklumatkan Tujuh Dewa Kematian sebagai musuh negeri dan rakyat yang harus diberantas, tentu saja menjadi gusar. Sebelumnya, dia memerintah Tujuh Prajurit Kembar untuk menumpas mereka. Setidaknya menggiring mereka ke pengadilan kadipatenan untuk menjalani hukuman. Namun, utusan berjiwa satria itu malah mengalami nasib mengenaskan, gugur terbunuh di Puncak Arjuna dan hanya satu orang yang kembali dengan selamat. Usaha kedua dijalankan Wisnu Bernawa dengan mengusahakan mengundang tiga tokoh persilatan sakti. Satrialah yang kemudian menyediakan diri untuk mengantarkan undangannya.
(Seluruh kisah itu dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
Kembali kepada Tujuh Dewa Kematian. Kini, mereka menyatu satu dengan yang lain perlahanlahan. Beberapa saat berikutnya, tangan mereka bergetar. Asap tipis berwarna hitam pekat keluar dari se-la-sela jari. Getaran makin hebat. Pada puncaknya, terkerahkan hawa panas yang meranggas.
Tubuh mereka bersimbah peluh. Batu datar yang mereka duduki yang semula dibasahi embun, mulai kering mengepulkan asap tipis. Seekor Jangkring melompat ke batu itu. Naas baginya. Dalam sekejap, si jangkrik terkapar hangus.
Sekonyong-konyong....
Glar! Letusan memantul ke segenap penjuru. Tubuh ke tujuh manusia sesat itu terseret mundur tanpa bergeming dari posisi semula. Darah hitam mengalir keluar dari sudut bibir masing-masing.
Peralahan-lahan mereka bangkit.
"Keparat, ajian itu menghantam kita!" maki salah seorang.
"Itu karena kita belum melengkapi seluruh syaratnya!"
"Artinya, jika kita tetap ngotot untuk memper-gunakannya dalam satu pertarungan, maka kita harus siap menelan akibatnya. Mungkin lebih buruk dari akibat yang kini kita alami."
"Kecuali kita menyelesaikan upacara persembahan di purnama mendatang!"
"Tersisa delapan hari lagi," sela yang lain.
"Sebaiknya, kita segera bersiap-siap. Aku tak mau kita kehilangan perawan calon tumbal yang telah kita incar sejak dia masih hijau!" Ketujuh manusia sesat beranjak meninggalkan tempat itu dengan luka akibat penolakan tenaga yang mereka salurkan ke tubuh masing-masing.

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

APA mau dikata, satu makhluk brengsek lain telah telanjur menyatroni Kadipatenan Lumajang, biar pun para punggawa serabutan dan kelimpungan macam sekumpulan kakek kebakaran jenggot. Orang itu adalah lelaki tua bangka. Tahu-tahu sudah saja dia tidur-tiduran di atas wuwungan kaputren. Sudah bergaya santai, masih juga dia menenggak satu dua kali tuak dalam guci sebesar pelukan tangan orang dewasa. Kalau saja seorang prajurit tak melihatnya lebih awal, tentu dia sudah benar-benar terpulas di atas sa-na.
Kalau sebelumnya si pengacau berpenampilan aneh. Orang ini berpenampilan agak berantakan. Pakaian kumal, menebar seribu satu bebauan ke manamana. Rambutnya merah keemasan dan kaku minta ampun. Berwajah merah, bermata sayu, "Hei, siapa yang berada di atas sana?" seru seorang punggawa kadipaten.
Keterlaluan, seruan itu diacuhkan. Jawaban yang terdengar malah sendawa keras susul-menyusul, nyaris bertubi-tubi. Setelah mendapat teriakan kaleng rombeng untuk ketiga kalinya, barulah dia mulai ber-suara.
"Mana si Wisnu Bernawa?"" Hik...." Kontan terlonjaklah seluruh punggawa. Ini orang tak tahu adat sekali! Masak nama Kanjeng Adipati disebut secara 'bugil' begitu" Mau disodokkan galah ke mulutnya apa"
"Kau jangan sembarangan bicara!" sembur punggawa yang lain, kalap. Matanya mendelik. Ludahnya menyemprot-nyemprot. Sementara Adipati sendiri justru masih adem-ayem saja. Cuma dia masih berdiri cukup jauh untuk bisa melihat dengan jelas siapa si pembuat onar baru.
"Sesukaku saja. Ini mulutku, jadi terserah apa mauku bicara...." Yang begini ini namanya sudah berani menginjak-injak kepala! Seorang punggawa pun jadi tak sabar. Tangannya bergerak. Tombak melayang. Sebagai seorang yang terlatih mempergunakan tombak, lemparannya tentu saja tak asal sampai. Kalau dia mengarahkan ke perut, perut sasaran yang akan termakan.
Kalau ke dada, ya kena dada. Kalau ke jidat, ya kena jidat. Kalau melempar ke arah jidat kena jempol kaki, itu punggawa mesti dipensiunkan secepatnya.
Wsss! Mata tombak mengarah bengis ke rusuk kiri calon korban. Calon korban sendiri tak pernah menganggap dia akan menjadi calon bangkai. Tenang-tenang saja sikapnya, seakan ancaman mata tombak tak lebih dari ujung peniti untuknya.
Dan ketika mata tombak nyaris sampai, dari posisi tidur mendadak saja tubuhnya tegak mendadak tanpa terlihat menggerakkan apa-apa. Sepertinya dia telah memanfaatkan tiupan angin sepoi-sepoi belaka untuk berdiri. Padahal, kalau seorang mandraguna bermata jeli dapat langsung menilai bahwa orang itu telah mempergunakan sentakan otot punggungnya dengan menyalurkan tenaga dalam. Dengan begitu, tenaga dalam orang itu tentu saja sudah amat sempurna. Unjuk gigi yang patut dapat acungan jempol.
Dengan terhuyung-huyung, seakan tenaganya sudah terperas habis, dia melangkah di atas wuwungan. Sebentar-sebentar dia merundukkan kepala, mencoba mengintip dari lobang udara. Keputren tempatnya putri-putri kadipatenan, termasuk putri adipati sendiri. Barangkali orang brengsek itu berharap dia sempat mendapat rejeki nomplok dapat mengintip seorang perempuan kadipaten. Bik emban putri adipati bolehlah. Syukur-syukur putri adipati sendiri.
Makin galak saja para punggawa dibuatnya.
Mereka berbarengan mendelikkan mata. Beberapa orang yang punya kepandaian lebih segera melompat naik ke atas wuwungan. Mereka sampai lupa kalau adipati belum menurunkan perintah apa-apa.
Tiga orang menyusul si pengacau. Kemampuan peringan tubuh yang lumayan membuat mereka bisa berlari cukup lincah di atas wuwungan tanpa membuat kerusakan berarti. Tiba di dekat si pengacau, tiga orang itu langsung menggebrak.
"Ciaaah!" Sebatang golok membelah udara. Arahnya menuju batok kepala si pemabuk.
Pengacau baru itu menoleh tenang. Matanya tersayu-sayu. Ketika mata golok hendak tiba, badannya terhuyung ke samping. Sengaja tak sengaja, yang jelas bacokan tadi tak sampai ke sasaran. Luput hanya dua jari dari kepala si pengacau. Dua punggawa yang lain menusukkan tombak berbareng. Dari atas dan bawah. Satu ke tenggorokan, yang lain ke 'isi' selangkangan. Termasuk serangan kejam. Namun, dua punggawa sudah tak lagi peduli rupanya. Mereka sudah telanjur kalap. Kalau orang kalap apa masih bisa pikir atau menimbang macammacam" Si pengacau tak bisa hanya mengandalkan huyungan tubuhnya untuk mementahkan serangan ini. Dia butuh sedikit gerakan lain. Sedikit saja sudah cukup. Seperti gerakan yang tak disengaja, dia meneguk isi guci.
Trang! Tombak pertama yang mengarah ke tenggorokan tentu saja terhadang guci besar dari logamnya.
Yang satu luput. Tinggal sisanya yang mengarah ke 'isi' selangkangan, daerah paling berbahaya kalau sempat 'bocor'. Karena tak ingin ada kebocoran, badan si pengacau pun bergerak lagi.
Lagi-lagi, gerakannya seperti tak disengaja. Dia seperti terhuyung ke depan.
Karena hendak menyeimbangkan tubuh agar tidak nyelonong, kedua kakinya berjinjit. Pantat pun sedikit ditunggingkan ke belakang.
Wsss! Dan tusukan tombak yang tak menghormati wilayah-wilayah 'hutan lindung' justru yang nyelonong melewati di bawah sasaran. Gerakkan berikutnya, paha si pengacau tahu-tahu sudah menghimpit badan tombak.
"Ngek!" Sedikit mengejan, tombak itu pun patah dua! Si pengacau tersenyum penuh kemenangan, memamerkan dua butir giginya yang kehitaman. Sebutir di gusi atas, sebutir di gusi bawah. Irit benar dia.
Punggawa bersenjata golok masih penasaran.
Dibabatkannya senjata ke arah dada lawan. Serangan pertama barangkali cuma sedang tak punya peruntungan, sekadar apes. Siapa tahu serangan kedua dia bisa membelah dada pengacau berlidah serampangan itu.
"Hih!" Wukh! Harapannya tak terkabul sama sekali. Hanya dengan menyorongkan mulut, dijepitnya golok lawan.
Bukan dengan selangkangan lagi tentunya. Sekali ini dia memakai dua butir gigi pusakanya.
Kling! Begitu rahang si tua bangka itu mengejang, terbelah dualah golok itu. Lihat caranya mematahkan golok dari campuran logam pilihan itu, mengingatkan pada kegaringan kerupuk kulit di mulut seorang bocah. Terpana punggawa pemilik golok. Sudah tahu patah, masih juga ditatapnya golok itu. Dua punggawa yang lain saling pandang. Mau serang lagi apa tidak" Begitu sinar mata mereka kalau bisa diterjemahkan.
Keduanya ragu. Rasanya percuma juga kalau tetap dihadapi. Mereka tak punya kesempatan menang. Tapi biar bagaimana, pamor sebagai seorang punggawa tak boleh luntur. Jadi harus ada jalan keluarnya. Dan entah kenapa bisa punya pikiran seragam, keduanya berpura-pura menyerang kembali dengan mimik muka seganas-ganasnya (Biar terlihat meyakinkan). Belum-belum lawan melakukan gerakan untuk membalas, keduanya mendadak saja terguling di atas wuwungan. Sebenarnya bukan terguling. Cuma mereka saja yang menggulingkan diri.
Berbarengan mereka jatuh menimpa bumi.
Bruak buk! Akal bulus mereka berjalan lancar.
Mereka pikir, tak apa-apa sakit sedikit, asal tak cacat seumur hidup dikunyah gigi pusaka lawan. Di samping peringan tubuh yang pas pasan, itulah salah satu ajian andalan mereka. Ajian 'Selamat Diri, Selamat Gengsi'! Mereka memang tak punya bakat jadi punggawa. Tinggal sisa punggawa. Masih saja dia memelototi golok buntungnya sendiri. Kalau memang mau marah, mestinya pada si tua bangka tukang mabuk, bukan pada goloknya. Begitu tersadar dia tinggal sendiri di atas wuwungan, bibirnya pun cengengesan pada sang lawan. Tua bangka pengacau menggeram. Tangannya terangkat sedikit. Belum juga tangannya bergerak menuju sasaran, si punggawa mendadak berteriak seperti orang terkena tusukan seribu satu anak panah.
"Wuaaa!" Menggiris. Menggidikkan. Yang paling pasti, meyakinkan! Lalu tubuhnya terlempar, bergulingan di wuwungan dan jatuh berdebam seperti dua punggawa sebelumnya. 'Lagu lama' lagi. Sayangnya, tua bangka tukang mabuk di atas sana sama sekali tak menyadari siasat cari selamat ketiga punggawa. Tinggal dia yang pelonga-pelongo sendiri di atas wuwungan sambil menatapi tangan sendiri. Tadi itu ajian milikku yang ma-na" Kok, belum kuhajar mereka sudah berpentalan" Hatinya tercengang-cengang.
Sedang asyiknya 'mengagumi' kehebatan dirinya yang datang seperti mukjizat, telinga tua bangka pemabuk itu mendengar desir angin halus dari arah belakang. Dia tahu mulai ada yang hendak bermain api lagi padanya. Sekali ini bukan lagi orang yang ber-kepandaian bertaraf punggawa, dengan sekali-dua gebrakan saja sudah keok. Sekarang tua bangka itu menilai orang yang menyerangnya termasuk orang berkepandaian tinggi. Dari tinggi rendahnya nada desir angin yang didengarnya, dia dapat menilai setidaknya seberapa tinggi tingkat peringan tubuh orang itu.
Dia cepat berbalik. Dengan tubuh yang tetap sempoyongan seakan tak memiliki cukup kuda-kuda.
Benar saja. Selang satu kedipan mata, satu bogem berseliwer di depan hidungnya. Tua bangka itu mengegoskan badan. Gerakannya seperti penari jaipong wanita yang menolehkan kepala pada pasangan di belakangnya.
Santer terdengar angin sambaran pukulan lawan. Tingkat tenaga dalam lawan pun dinilai-nilai tua bangka pemabuk.
Tuak diteguk. Sepuluh teguk sekaligus dalam waktu hanya tiga kedipan mats. Kerongkongannya seperti punya tiga saluran berbeda. Mulutnya mengembung oleh sisa tuak yang tak ditelan. Mau disemburnya orang lancang yang berani main bokong barusan.
Belum-belum....
"Cukup Danusentana!" Mencelat seruan berwibawa.
Tua bangka yang dipanggil Danusentana menoleh ke muka. Dengan mata nanap dia melirik, lalu terkekeh panjang.
"Aku telah datang Wisnu.... Aku telah datang! Apa persiapanmu sebegitu buruk untuk menyambut seorang sahabat lama"!" koarnya serak-serak banjir seraya membentangkan sebelah tangan lebar-lebar.
Orang yang melayangkan tinju sebagai salam pertemuan rupanya Adipati Wisnu Bernawa sendiri.
Danusentana. Itu nama asli si tua bangka. Nama yang tidak asli, dan itu justru lebih dikenal oleh banyak kalangan adalah Ki Dagul alias Pengemis Tuak! Ki Dagul dan Wisnu Bernawa pun melayang turun. Hinggap tak cukup jauh dari tempat masingmasing. Sebentar tua bangka berjuluk Pengemis Tuak meneliti penampilan sahabat lamanya dengan tatapan yang tetap sayu dan dagu terangkat-angkat.
"Kulihat kau makin gemuk saja, Wisnu. Atau apa karena aku yang merasa makin kurus" Hei, kau tak biasa menelan uang rakyat, bukan" Kalau benar, terkutuklah kau! Semoga kau menjadi kerak neraka!" Diikuti lagi oleh kekehnya, berderai-derai.
Wisnu Bernawa menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya menawarkan senyum. Senyum yang kental persahabatan. Tangannya terbuka lebar-lebar. Begitu juga tangan Ki Dagul. Mereka saling mendekat, lalu berangkulan erat-erat sambil tertawa penuh suka. Dua sahabat yang mungkin saja terpisah oleh nasib. Persahabatan sejati menyatukan mereka kembali setiap saat mereka inginkan.
Tak lama kemudian, mereka sudah berjalan beriringan sambil menembang sama-sama, kebiasaan lama mereka ketika sama-sama muda.
Tinggal para punggawa cuma bisa melongo.
Kok, begitu saja akhirnya"

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

SATRIA masih belum tahu jelas ke mana harus mulai mencari Arya Wadam. Perangainya aneh. Sulit Satria untuk mengerti. Karena itu, akan sulit pula baginya untuk menduga di mana kira-kira Arya Wadam kini. Tanpa kejelasan tujuan, tentu saja pekerjaannya akan menjadi membosankan. Bukan itu saja, malah menjengkelkan. Apa iya dia harus terus berjalan, berjalan, dan berkuda menelusuri daerah demi daerah" Bukan cuma membuang waktu percuma, sekaligus juga membuang tenaganya.
Kalau dulu Ki Jerangkong alias Dewa Gila pernah mengatakan bahwa Arya Wadam punya kebiasaan khas dalam hal makan. Dia makan nasi dicampur arak. Itu satu petunjuk. Tak ada salahnya untuk diikuti. Tapi ampun juga! Berarti dia harus menyinggahi kedai makanan di setiap tempat yang dilewati" Cara lain, Satria mungkin bisa cari tahu dari beberapa orang yang berpapasan dengannya. Dia minta sedikit keterangan. Siapa tahu mereka pernah bertemu dengan Arya Wadam di suatu tempat.
Sampai saat itu, belum ada satu orang pun yang memberinya petunjuk. Kebanyakan mereka menggelengkan kepala.
"Slompret...," rutuk Satria, jadi jengkel sendiri.
Saat itu dia menunggangi kuda ke arah Barat.
Baru saja dia meninggalkan sebuah desa tandus yang tanahnya kapur melulu. Tenggorokannya sudah kering kerontang. Kuda tunggangnya pun sudah perlu istirahat dan minum. Kebetulan sekali dia melewati mata air kecil yang mengalir jernih dari bukit kapur. Kuda pun dihentikan. Dia turun. Dituntunnya kuda ke mata air.
Sang tuan dari hewannya minum bersama.
Saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ada helai-helai bulu ayam terbawa aliran kecil mata air yang memanjang ke arah bukit kapur di sebelah kanan sana. Ketika Satria menoleh ke arah bukit kapur, dilihatnya ada asap tipis mengepul dari atas semak semak liar.
Satria cepat mengambil kesimpulan. Tentu ada seorang yang sedang menyiangi ayam dan hendak dibakarnya. Orang itu perlu juga ditanyai tentang Arya Wadam. Kalau dia pun tidak tahu menahu, siapa tahu Satria bisa sedikit meminta potongan ayam panggangnya. Cukup melepaskan dahaga, Satria menuntun kudanya ke arah kepulan asap. Jarak sudah cukup dekat, didengarnya teriakan menggeledek. Arahnya persis dari sumber kepulan asap tadi.
"Hiaa haaa!" Satria sampai terlonjak. Belum jelas baginya teriakan itu dikarenakan sebab apa. Karena pertarungan, tak mungkin. Sejak tadi dia tak mendengar keributan apa-apa. Kudanya mengalami keterkejutan paling parah.
Hewan itu meringkik-ringkik ketakutan seraya mengangkat-angkat kaki depannya.
Liar. Sulit dikendalikan.
Saat yang sama, sesosok tubuh mencelat dari balik semak-semak tempat asap mengepul. Gerakannya cepat, membentuk kelebatan bayangan. Kurang dari sepuluh tombak dari tempat Satria Gendeng, sosok itu menjejakkan kaki.
"Siapa kau"!" bentaknya pada Satria dengan wajah kelewat sangar. Ditunjuknya Satria dengan jari telunjuk bergetar kuat, bukan karena takut. Wajahnya saja tak menunjukkan kalau dia dilanda ketakutan atas kedatangan Satria Gendeng.
Satria sendiri tertegun sejenak menyaksikan rupa orang itu. Sebelah kakinya kutung hingga sebatas dengkul, disambung oleh tulang rusuk harimau Jawa.
Wajahnya tirus dipenuhi rajah bergambar tetekbengek. Usianya terbilang cukup tua. Punggungnya agak bungkuk. Bajunya besar berwarna ungu menyerupai jubah. Bahunya membopong buntalan kain sebesar anak kerbau.
"Maaf, Orang Tua, aku tak bermaksud mengganggumu," hatur Satria, mencoba meredam kemarahan si orang tua berwajah penuh rajah.
"Siapa kau"! Aku tanya, siapa kau"!" hardik orang itu lagi, tak peduli pada ucapan Satria Gendeng.
"Aku cuma seorang musafir...."
"Sekali lagi kutanya, siapa kau"! Kau tuli, bodoh atau bagaimana"! Maksudku, ya namamu!" Satria mengangkat bahu. Apa sulitnya menyebutkan nama, pikirnya. Cuma saja dia agak enggan untuk menyebutkan nama pada orang-orang persilatan. Salah satu sifatnya yang ingin selalu menyembunyikan jati diri sesungguhnya sebagai seorang pendekar muda tanah Jawa ternama. Cuma pula, kalau sudah ada yang ngotot sesengit itu untuk mengetahui siapa namanya, mau bilang apa lagi"
"Satria," sebut Satria. Tanpa harus meneruskan dengan julukannya.
"Hm, bagus! Satria, itu namamu bukan?" Satria Gendeng mengangguk. Semula niatnya hendak bertanya ini itu pada orang yang baru sekali seumur hidup dilihatnya itu. Sekarang kenapa malah dia yang ditanya macam-macam" Gobloknya pula, kenapa dia mau saja diperlakukan seperti maling tertangkap basah....
"Kalau kau tak punya tujuan apa-apa di sini, Satria, sebaiknya kau segera menyingkir saja! Menyingkir, Satria, seperti angin, seperti kentut, atau seperti apalah!"
"Tapi, aku sebenarnya punya tujuan, Orang Tua," sergah Satria.
"Apa peduliku," gerutu orang tadi seraya membalikkan badan. Dia ngeloyor begitu saja, kembali ke tempat semula. Satria terlolong menatap bokong bongkoknya seperti orang tolol.
Orang itu menoleh.
"Kenapa masih belum menyingkir, Satria"!" bentaknya lagi, masih terus menyebut-nyebut nama si pendekar muda tanah Jawa, seolah seorang bapak terhadap anaknya.
"Aku ingin bertanya tentang seorang yang mungkin kau kenal, Orang Tua! Tentang Arya Wadam!" Pantang mundur, Satria mencoba lagi.
"Kubilang, apa peduliku"! Bertanya saja pada kudamu, atau dengkulmu sendiri!" Namun begitu mengingat kalimat terakhir murid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu, si orang tua berwajah penuh rajah menghentikan langkah tiba-tiba. Badannya berbalik tergesa.
"Kau tadi menyebut-nyebut nama Arya Wadam, Satria"!" perangahnya.
Satria mengangguk. Senyum tipis disembunyikan. Orang tua ini terpancing. Aku mulai menang satu langkah, pikirnya.
Orang tua tadi melangkah kembali. Didekatinya Satria, lebih dekat dari sebelumnya. Lebih dekat lagi, sampai jarak antara mereka hanya satu langkah. Lalu dia bertanya dengan paras menyelidik. Ada bersit kecurigaan terselip. Satria bisa melihatnya sekilas. Artinya, nama Arya Wadam tampaknya berarti khusus untuk orang tua ini, pikir Satria lagi.
"Aku sedang mencarinya."
"Aku malah sedang dicarinya, tapi siapa peduli! Masa bodo siapa mencari siapa! Yang aku ingin tahu, kenapa kau mencarinya?" Mulai sengit lagi dia pada Satria.
"Aku harus menyampaikan undangan padanya."
"Ah, kukira apa...," gerutunya. Kembali dia membalikkan badan. Kembali pula dia ngeloyor.
Satria jadi pegal hati. Urusannya belum lagi beres. Dia belum sempat menanyakan kepentingannya.
Malah dia yang jadi sasaran pertanyaan terus.
"Tunggu, Orang Tua. Aku ingin bertanya apa kau tahu di mana aku dapat menemukan Arya Wadam?" lontar Satria, setengah berseru.
"Dasar anak tolol sejati. Berpikir sedikit, Satria.
Bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Arya Wadam justru sedang mencariku. Buat apa lagi aku mencari tahu di mana dia sekarang. Kalaupun aku tahu, aku akan secepatnya menyingkir jauh-jauh sampai aku bisa tak tahu lagi di mana dia...." Makin tak karuan saja urusan, rutuk Satria dalam hati. Kalau diteruskan, bukannya dapat petunjuk, bisa-bisa dia mendapat serangan darah tinggi. Bagus kalau tak kejang-kejang di tempat.
Satria akhirnya menyerah. Tak dicobanya menyusul orang tua bertabiat panas-panasan itu atau mencoba bertanya lagi. Dia pun naik ke punggung kuda.
"Hei, Satria!" panggil orang tua tadi.
Satria menoleh.
Di kejauhan kepala si orang tua berwajah penuh rajah menyembul dari balik semak-semak tempatnya membuat api. Dia mengacungkan sepotong ayam bakar.
"Tangkaplah!" serunya sambil melemparkan panggangan ayam yang masih panas itu kepada Satria.
"Kudengar tadi perutmu 'melapor' padaku. Jadi, isilah dulu! Tak baik kau kelaparan dalam perjalanan!" Satria menyambutnya. Sebentar, ditatapnya orang tua itu dari kejauhan. Tak disangka, di balik sifat panasnya ternyata ada rasa welas asih juga, pujinya membatin.
"Terima kasih, Orang Tua!"
"Sekarang menyingkirlah!" Satria pun meninggalkan tempat itu. Di punggung kuda yang berjalan tak terlalu cepat, disikatnya jatah ayam bakar pemberian si orang tua. Lahap. Maklum perutnya memang belum tersentuh makanan selama hampir dua hari. Sampai potongan ayam jantan besar itu tandas hanya dalam waktu singkat.
Bersilap-silap, tulang terakhir pun dilemparkan. Satria bersendawa, salah satu 'tata krama' yang diturunkan guru sintingnya; Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Tangannya yang penuh minyak disapukan ke pakaian begitu saja. Itu pun 'tatakrama' buatan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Asli.
Kebetulan, tangannya tersentuh kain ikat pinggang. Wajahnya berubah seketika. Membatu. Matanya tak berkedip. Rasanya ada yang tak beres, pikir Satria.
Bukan pada daging ayam bakar yang sudah tandas menjadi penghuni perutnya, melainkan pada sesuatu di ikat pinggangnya.
Satria buru-buru melirik ke ikat pinggang.
Busret! Ke mana senjata pusakaku"! Perangahnya. Kail Naga Samudera telah tak ada lagi! Ini benar-benar busret! Setelah itu, barulah dia menyadari keto-lolannya.
"Orang tua slompret! Dia telah mencuri senjata pusakaku dengan cara demikian licin dan halus," geram Satria, merasa terpedaya mentah-mentah (Setelah mendapat ayam panggang yang justru 'matangmatang). Jadi, sewaktu orang tua itu mendekat kepadanya, diam-diam dia mencopet Kail Naga Samudera dari ikat pinggang Satria. Sebuah seni mencuri yang demikian lihai. Mata Satria Gendeng sendiri yang sesungguhnya sudah terlatih hingga memiliki ketajaman mata seekor elang, luput menyaksikan tangan orang tua berwajah penuh rajah bergerak.
Setelah berhasil mengambil Kail Naga Samudera dengan sengaja dia memberi Satria sepotong besar ayam panggang. Sebuah siasat cerdik untuk mengalihkan perhatian Satria sementara. Sementara Satria sibuk dengan kelahabannya menyikat ayam panggang bakar di punggung kuda yang terus menjauh, maka pencuri sial itu pun pergi dari tempatnya dengan membodoh-bodohkan Satria.
Satria tahu, kembali ke tempat semula pun akan sia-sia. Tentu pencuri senjata pusakanya telah menghilang entah ke mana. Karena penasaran, digebahnya juga kuda.
Tiba di sana, orang tua tadi memang sudah tak ada lagi. Tinggal onggokan bara yang masih mengepulkan asap. Serta sehelai kulit hewan yang bertuliskan pesan Maaf, Satria Gendeng! Aku mencuri benda ke-sayanganmu, Raja Pencuri Dari Selatan.
Raja Pencuri Dari Selatan. Ya, tua bangka itulah yang selama ini dicari-cari oleh Arya Wadam. Kare-na itu pula, Satria mengalami kesulitan. Sekarang kesulitan yang dibawa Raja Pencuri Dari Selatan menjadi bertambah, kendati Satria sendiri belum mengeta-huinya Satria Gendeng gemas sekali. Jadi tua bangka sialan itu telah tahu siapa aku sebenarnya" Dia cuma pura-pura seolah nama Satria tidak berarti apa-apa untuknya. Rupanya saat Satria menyebutkan nama, si pencuri tua itu pun langsung dapat menduga siapa sesungguhnya Satria.
Menjadi lebih gemas lagi Satria begitu selesai membaca surat di atas secarik kulit itu. Bagaimana bi-sa seorang pencuri meminta maaf" Tengik sejati! Ingin rasanya Satria memaki-maki kudanya sendiri untuk melampiaskan kedongkolan....

* * *



Tengah hari berikutnya, Satria Gendeng tiba di sebuah desa yang berbatasan dengan wilayah pesisir.
Dimasukinya desa itu. Sudah teramat jauh dia meninggalkan Lumajang, tapi belum juga ditemukan kembali Arya Wadam. Urusan yang satu belum beres, sudah pula muncul urusan lain dengan dicurinya Kail Naga Samudera oleh orang yang mengaku berjuluk Raja Pencuri Dari Selatan.
Seperti biasa, Satria memasuki kedai di desa itu. Harapannya cuma satu. Kalau nasib bagus, dia bisa bertemu secara kebetulan dengan Arya Wadam. Kalau sekali ini berhasil ditemukan, dia tak akan membiarkan begitu saja Arya Wadam minggat. Akan ditahannya orang itu. Kalau perlu memaksa, akan dipaksanya Arya Wadam untuk menerima surat dari Adipati Lumajang. Atau kalau perlu sekali, akan disumpalkannya langsung gulungan surat itu ke bacotnya! Ah, gara-gara si pencuri sial, Raja Pencuri Dari Selatan, Satria Gendeng merasa dia jadi terus-terusan dipermainkan kedongkolan.
Selesai menambatkan kudanya, Satria melangkah masuk ke dalam kedai kecil sederhana. Tak begitu luas, namun nyaman. Hanya ada beberapa meja dan bangku. Satria Gendeng menempati salah satunya.
Rupanya Tuhan sedang berbaik hati padanya saat itu. Kata orang; 'pucuk dicinta ulam pun tiba'. Belum lagi lama Satria memesan makanan, dari luar masuk orang yang selama ini dicari-carinya, Arya Wadam! "Hei, itukah kau!" ujar Satria, nyaris berseru.
Heboh bukan main hatinya. Rasa girang yang berbalut kelegaan karena tak harus menjadi 'anjing pelacak' yang terus mengendus-endusi jejak Arya Wadam.
"Kita berjumpa lagi, Pendekar," balas Arya Wadam. Seperti biasa, ucapannya datar, dan terdengar seperti berbisik.
Dilewatinya Satria Gendeng begitu saja, menuju meja di sudut ruangan.
Satria berdiri. Kendati sudah demikian penat mencari selama berhari-hari dan sempat pula diacuhkan waktu itu, dia berusaha untuk tetap bersikap ramah. Toh, dalam hal ini yang butuh adalah dirinya.
Jadi cukup wajar jika dia bersikap ramah serta bersahabat, timbangnya.
"Kenapa tak bergabung saja?" tawar Satria dengan senyum mengembang.
Arya mengangkat tangan tanpa berniat menoleh. Satria Gendeng mengangkat bahu. Tampaknya, keramahannya dan sikap persahabatannya pun tak membawa hasil. Dia tak mau menyerah. Bukan sifatnya menyerah di tengah jalan.
"Kalau kau tak mau bergabung di mejaku, ya aku saja yang akan bergabung di mejamu." gumamnya. Tanpa peduli apakah Arya Wadam setuju dengan usulnya, anak muda itu mengekor di belakangnya.
Arya Wadam menghentikan langkah.
Satria juga.
"Aku tak ingin ditemani," tandasnya singkat.
Satria Gendeng mengangguk. Sekadar mengangguk apa ada yang melarang" Tak peduli apakah nantinya dia akan menuruti kemauan orang di depannya atau tidak.
Arya Wadam melanjutkan langkah. Satria tetap saja mengekor di belakang. Salahnya Arya Wadam. Kalau mau main-main keras kepala, ya jangan dengan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama saja cari kejengkelan dengan sengaja.
"Kenapa masih saja mengikutiku?" tanya orang bertudung itu ketika dia telah menempati kursi pili-hannya.
Satria duduk pula tanpa peduli. Dia sudah tak mau lagi kehilangan Arya Wadam. Mencari-cari tanpa juntrungan itu bikin pegal hati. Satria tak mau memperpanjang pekerjaan menjengkelkan itu. Sekarang, terserah Arya Wadam. Kehadirannya mau diterima syukur, tidak diterima... ya terpaksa harus 'memaksa'.
"Terus terang saja, Nona, Tuan, 'Nona-Tuan' atau apa sajalah, bahwa aku sudah tak mau lagi mengendusi-endusi jejakmu tanpa kepastian apakah pencarianku akan berhasil atau tidak. Karena dengan baik hati sekali kau tahu-tahu sudah berada di depan hi-dungku, jadi tak ada salahnya kalau aku pun tak melepaskanmu." Sudah panjang-lebar Satria nyerocos, Arya Wadam malah tidak mengacuhkan. Siapa yang tak jengkel diperlakukan seperti itu" Satria menarik napas. Tak puas sekali. Mesti beberapa tarikan, biar kejengkelannya tak tumbuh lebih besar.
"Baik. Kuminta dengan hormat, bolehkah aku menyampaikan tujuanku padamu?" mulai Satria Gendeng kembali. Arya Wadam diam saja.
Edan, keras sekali hati orang ini, pikir Satria.
Angkuh sekali.... Cuping hidung pendekar muda itu pun jadi kuncup-mekar. Dan penyakit warisan gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun menjangkit sampai ke bubur otaknya. Anak muda itu menjitaki kepala sendiri.
"Kalau aku sedang bicara, kau dengarkan, tahu"!" hardiknya, mendelik.
Arya Wadam tak peduli juga. Dia malah memberi isyarat tangan memanggil pelayan. Pelayan datang. Dia pun memesan pesanan seperti biasa.
"Jangan salahkan aku jika kau menjadi gusar," kata Arya Wadam, akhirnya.
"Jangan menyalahkanmu?" sergah Satria, terperangah dibuat-buat.
"Kau pikir enak mencari seseorang tanpa juntrungan, hah?"
"Kenapa kau harus mencariku?" Tambah pegal hati Satria Gendeng.
"Karena aku ada keperluan denganmu. Kalau tidak, kau pikir aku sejenis orang yang tak punya kerjaan apa?"
"Apa keperluanmu?" Satria menarik napas. Agak lega mendengar pertanyaan terakhir orang di depannya.
"Aku harus menyampaikan satu pesan untukmu.... Pesan dari Adipati Lumajang, Wisnu Bernawa."
"Apa maunya?"
"Dia memintamu untuk membantunya menghadapi Tujuh Dewa Kematian yang hendak meminta putrinya untuk dijadikan tumbal."
"Itu bukan urusanku."
"Kau ini seorang ksatria atau bukan" Seorang pendekar sejati atau bukan?"
"Terserah kau."
"Jangan edan, ya!" Satria sampai bangkit dari kursinya karena sudah terlalu dongkol. Wajahnya merah padam. Matang sendiri oleh gelegak darah yang sudah naik ke kepala.
"Kau mau memaksaku dengan kekerasan" Kalau benar begitu, silakan. Cuma, perlu kuberi tahu, kau tak beda dengan para penguasa yang merasa dirinya berhak mengatur orang lain seenak dengkulnya sendiri."
"Kau perlu kuberi tahu juga, bahwa Wisnu Bernawa bukan jenis manusia tengik macam itu!"
"Syukurlah...."
"Jadi bagaimana?" Satria duduk kembali ketika pelayan datang dan menyediakan pesanan mereka.
"Aku tetap tak bersedia," tandas Arya Wadam.
Semula sudah agak tenang, sekarang darah Satria Gendeng mulai rusuh lagi.
"Begini saja. Kau tentu punya alasan kenapa menolak permintaan Wisnu Bernawa, bukan" Alasan itu kuyakin berupa halangan bagimu. Jika kau mempunyai halangan sekarang ini yang menyebabkan kau tidak bisa memenuhi permintaan itu, aku bersedia membantumu mengatasi halangan tersebut, sampai menjelang purnama nanti. Jika halanganmu bisa kita atasi, aku cuma meminta kau untuk ikut aku ke Lumajang. Setelah tiba di sana, kau boleh memutuskan apakah kau hendak memenuhi permintaan adipati atau tidak. Bagaimana?" Selama Satria Gendeng berbicara seru sampai bibirnya seperti melilit-lilit, Arya Wadam malah asyik menyantap makanan di atas meja. Habis sudah kesabaran Satria. Sikap Arya Wadam dianggapnya sudah keterlaluan. Keangkuhan yang perlu mendapat sedikit pelajaran! Satria mengangkat tangan, hendak menyampok piring tanah liat di meja. Tapi tak dilanjutkan. Tergetar, diturunkannya tangan kembali. Pada saat-saat tertentu, kemarahan tak dibutuhkan sama sekali, pikiran jernihnya mengingatkan. Akhirnya Satria Gendeng cuma bisa menarik napas sarat-sarat, padat-padat mencoba mendinginkan kegusaran. Dikeluarkan gulungan kulit dari balik baju. Perlahan diletakkan benda itu di depan Arya Wadam.
"Aku cuma bertugas untuk menyampaikan amanat ini. Sekarang aku serahkan padamu. Terserah kau apakah sudi membacanya atau tidak," kata Satria dengan nada suara yang mulai surut. Rupanya Arya Wadam tetap dingin. Ibarat gunung es kutub selatan, dia meneruskan makan. Berhenti sejenak pun tidak.
Satria menghempas napas. Percuma meneruskan kata-kata kalau setiap ucapannya hanya dianggap angin, pikirnya. Dia pun membalikkan badan.
"Selamat tinggal," ucapnya.
Satria melangkah.
"Tunggu! Baiklah, aku terima undangan ini.
Tapi dengan syarat, kau mau membantuku menyelesaikan masalahku terlebih dahulu!" Dia pun membalikkan badan. Ketika itulah dia langsung menjadi terpana. Arya Wadam telah membuka tudungnya, mungkin untuk menunjukkan sedikit niat baiknya. Dengan membuka tudung, akan terasa dia lebih menghormati.
Yang membuat Satria terpana bukan itu. Ada yang lebih dahsyat untuk pandangan si pendekar muda. Disaksikannya wajah Arya Wadam ternyata demikian jelita, ayu, dan mempesona. Sama sekali berbeda jauh dengan bayangan Satria selama ini yang menganggapnya sebagai seorang perempuan berwajah kasar yang sifatnya kelelakian! Satu lagi, Satria pun tak menyangka kalau Arya Wadam ternyata berusia tak jauh beda dengan dirinya!

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

SIANG saat itu. Hari tak begitu panas. Sinar matahari dihadang gulungan awan seputih gumpalangumpalan kapas raksasa. Angin menghembus bersahabat. Cukup membuat orang menjadi terkantukkantuk. Empat lelaki terlihat berjalan di sebuah lapangan rumput luas. Keempat orang itu berpenampilan menyeramkan, kalau belum cukup disebut sangar. Rata-rata memiliki wajah tak sedap dipandang. Bahkan mungkin bisa membuat seorang anak kecil menjadi sawan. Keempatnya mengenakan berjubah pendek merah hati, bercelana pangsi hitam. Di pinggang masingmasing terselip satu trisula perak mengkilat. Satu orang di antaranya bertubuh tambun.
Mereka melangkah terburu-buru ke satu arah, beriringan tak teratur. Tak begitu jauh melintasi lapangan rumput, mereka dinanti oleh seorang lelaki lain. Lelaki itu berdiri di bawah sebuah pohon asam kering. Tak beda jauh dengan keempat lelaki tadi, orang satu ini pun memiliki penampilan dan wajah tak se- menggah. Masa' wajahnya mesti dirajah segala ru-pa" Apa itu tidak semenggah namanya" Sudah begitu, sebelah kakinya kutung hingga sebatas dengkul, disambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Usianya terbilang cukup tua. Punggungnya agak bungkuk. Bajunya besar berwarna ungu menyerupai jubah. Bahunya membopong buntalan kain sebesar anak kerbau. Dari kejauhan, keempat lelaki seram berpakaian merah hati sudah berteriak memanggil-manggil seperti sekawanan anak ayam yang bertemu dengan induknya.
"Guru! Guru! Guroooooo!" Wajah lelaki tua mengedik-kedik. Telinganya pekak mendengar teriakan-teriakan suntuk seperti itu.
"Diaaaam kalian!!!" hardiknya membalas.
Keempat lelaki tadi langsung menutup bacot rapat-rapat. Mereka melangkah perlahan-lahan dengan kepala tertunduk, mendekati si orang tua berwajah penuh rajah yang tampaknya membuat nyali mereka menguncup.
"Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu" Kalian tahu telingaku tidak soak"! Huah"!" mengkelap si orang tua berwajah penuh rajah, membentaki keempat orang tadi. Empat orang yang disemprot cuma mengangguk-angguk. Orang tua berwajah penuh rajah mendengus.
Dagunya sedikit mendongkel ke atas. Dengan sebelah tangan di dada dan tangan lain mengelus-elus dagu, dia mulai mengajukan pertanyaan.
"Sekarang, katakan padaku kenapa kalian membuat api unggun besar di puncak bukit itu tengah malam?" ajunya sambil menujuk satu bukit menjulang di kejauhan.
Salah seorang lelaki berpakaian merah hati memberanikan diri mengangkat kepala. Wajahnya memperlihatkan protes.
"Lho, bukankah Guru yang mengatakan kalau kita hendak bertemu Guru, maka kita harus membuat isyarat berupa api unggun besar di bukit itu!" tukasnya seraya latah menunjuk ke arah bukit.
"Itu kesepakatan Guru. Kalau kesepakatan tidak bisa dihormati, bagaimana Guru pun bisa dihormati"!"
"Diam kau, Kambing!" Bungkam. Langsung saja lelaki sok buka bacot itu tertunduk lagi. Malah lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku mau tanya alasan kalian, alasan kalian, sekali lagi alasan kalian!" bentak orang tua yang dipanggil Guru oleh keempat lelaki di depannya.
"Kami mau bertemu dengan Guru...," sahut salah seorang.
"Jawaban tolol lagi! Tentu saja kau membuat isyarat api unggun itu untuk bertemu denganku! Tapi, apa alasan kalian ingin bertemu denganku"!" makin menyemprot-nyemprot saja ucapan sang Guru.
"Kami mau melapor, Guru." Mata si guru mendelik.
"Ingin melapor padaku" Melapor, cuma itu, huah" Apa kalian tidak tahu, kalian telah mengganggu urusan besarku"!" Menggeleng keempat lelaki tadi. Jawaban yang tak diminati oleh sang Guru sedikit pun.
"Jawaban tolol juga! Mestinya kalian mengangguk, biar aku tidak terlalu kesal pada ketololan dan ketidak-acuhan kalian pada diriku, Guru kalian!!!"
"Memangnya Guru sendiri punya perhatian pada kami?" sela seorang murid, kebodoh-bodohan.
Kontan saja si guru menjadi mengkelap sedemikian rupa mendengar jawaban tadi. Tak ayal lagi kaki kutungnya turut berbicara. Satu kelebatan saja cukup. Artinya, sudah cukup untuk menggasak setiap tempurung dengkul keempat muridnya, segaringgaringnya. Wuth beletuk-tak-tak-tuk! Kelojotan keempat lelaki berpakaian merah hati. Berjingkat-jingkat.
Melintir-melintir.
Dan berkesudahan dengan benjol sebesar telur angsa di dengkul masing-masing.
"Sudah cukup?" tegur orang berkaki kutung dengan nada yang agak bersahabat. Barangkali kemangkelannya sudah cukup terobati dengan menjitaki keempat muridnya.
"Cukup, Guru! Cukup!" Hampir berbarengan, keempat muridnya berebut menjawab. Tangan mereka masih saja mendekapi dengkul, seakan takut musibah mampir kembali ke sana. Si guru mengusap-usap dagu.
Puas. Kenyang.
"Tunggu apa lagi"! Ayo ceritakan apa tujuan kalian hendak menemuiku"!" Keempat lelaki tadi malah celingak-elinguk satu dengan yang lain, saling pandang dengan tatapan kecut. Lelaki berbadan buntal memberanikan diri untuk bicara.
"Kami bertemu dengan seseorang Guru...."
"Hm...."
"Ketika itu, kami...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Orang itu menghina Guru...."
"Hm...."
"Guru disebut berwajah pantat kerbau...."
"Hmm.... Hah"!"
"Bukan aku yang bilang begitu, Guru! Sungguh.... Orang itu yang bilang!"
"Siapa dia?" geram si orang tua berwajah penuh rajah. Parasnya membuat hati keempat muridnya menjadi kecut.
"Arya Wadam, Guru." Sang Guru mendadak terdiam. Matanya menyipit.
"Kenapa kalian bisa berurusan dengan si Arya?" susulnya, bertanya.
"Kami waktu itu hendak sedikit bersenangsenang...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Tidak bisa, Guru. Harus diceritakan dari awal dulu!"
"Kalau begitu, teruskan!"
"Kami membawa seorang gadis ke dalam gubuk terbengkalai di hutan...." Tiba-tiba terulang kembali musibah menimpa dengkul keempat lelaki berpakaian merah hati. Dengkul yang masih waras terkena bagian.
Wuth beletak-tuk-tuk-tak! Kembali mereka kelojotan, berjingkat-jingkat, melintir-lintir. Sekarang seimbang sudah besar tempurung dengkul kiri dan kanan.
"Sudah kularang kalian menodai perempuan!!"
"Ampoon, Guru!"
"Itu sebabnya kalian berurusan dengan si Arya! Dia itu paling tidak suka kalau ada perempuan diperlakukan seenak dengkul oleh lelaki macam kalian. Dia itu seorang pendekar wanita yang benar-benar ingin mengangkat martabat kaumnya! Itu salah kalian!"
"Ampooon lagi, Guru!" Si guru mendadak celinguk sana-sini. Wajahnya terlipat, digeluti kesan ketakutan. Tak heran kalau dia bertingkah seperti itu. Dia adalah Raja Pencuri Da-ri Selatan, orang yang tengah diburu oleh Arya Wadam. Cerita muridnya barusan membuat dia agak waswas, takut kalau Arya Wadam mengikuti keempat muridnya untuk bertemu dengannya. Urusan bisa kacau, pikirnya. Namun karena masih berada di depan keempat muridnya, dia tak mau kehilangan muka. Cepat-cepat dia membenahi wajah. Sedangkan keempat muridnya pernah berurusan dengan Arya Wadam beberapa waktu lalu di sebuah kedai. Dasar murid tengik mereka hendak melebih-lebihkan laporan pada sang Guru! (Untuk mengetahui kejelasan kisahnya, bacalah episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Bayangkan kalau dia sempat mengintai kalian hingga menemukan aku" Padahal selama ini dia sedang mencari-cari aku! Bisa bayangkan tidak"!" Sekali lagi jawaban keempat muridnya menyeleweng dari harapan sang Guru. Mereka menggeleng serempak. Raja Pencuri Dari Selatan melotot mengerikan.
"Lagi-lagi jawaban tolol!"
"Habis...," murid bertubuh tambun nekatnekatan menggerutu. Wajahnya jadi tambah jelek mengenaskan.
"Apanya yang habis"!"
"Habis.... Guru sendiri punya kebiasaan tak baik. Mencuri itu apa baik, Guru" Jadi kami pun punya 'kebiasaan tak baik' juga.... Guru kencing berdi-ri, murid kencing berlari!" Raja Pencuri Dari Selatan mendelik lebih gawat seperti paras orang tersedak sekarung tepung.
"Kau berani menyalahkan aku.... Biar bagaimanapun, yang namanya Guru tidak bisa disalahkan," geramnya, mau menang sendiri.
"Tergantung bagaima-na muridnya. Mereka harus tahu apa yang mesti ditiru dan mesti dibuang dari tingkah laku seorang guru. Kalau aku makan kotoran kerbau, apa kalian akan ikut makan kotoran kerbau"!" gempur Raja Pencuri Dari Selatan kembali, menggebu-gebu.
Salah seorang muridnya menyahut tak kalah bersemangat.
"Mau Guru! Setidaknya kami akan makan kotoran 'murid'nya kerbau!" Celaka dua belas! Maki Raja Pencuri Dari Selatan. Kenapa tidak dari dulu saja dia sadar kalau para muridnya punya otak udang semua"! Dia selaku seorang pencuri bukan sembarangan mencuri. Dia punya tujuan yang 'rada-rada' luhur. Orang bilang, dialah si maling budiman. Mencuri untuk kepentingan rakyat jelata yang sering digencet saudagar kaya, lintah darat, pengijon, pejabat keparat, dan sejenisnya. Benda-benda yang dicurinya biasanya dijual pada orangorang yang berminat. Rencananya, termasuk Kail Naga Samudera yang berhasil dicopet dari Satria Gendeng.
Uangnya dibagikan tanpa pilih bulu kepada orangorang susah. Itu kan namanya punya tujuan 'radarada' luhur" Tapi kalau keempat muridku ini" Masa' perawan orang main sikat saja" Memangnya gampang bikin anak perempuan, eh... maksudnya membesarkan anak perawan" Beh, bikin otakku jadi mulas saja memikirkan mereka, rutuk si orang tua bermuka rajah dalam hati. Karena sudah kepalang geram, sambil mengutuki habis-habisan murid berbadan tambun, dia menyentak kaki kutungnya.
Wuth beletuk! Tahu-tahu, mata si lelaki tambun menjadi juling. Badannya singit sebentar. Selanjutnya ambruk.
Semaput dia terkena hantaman telak di jidat! "Kalian juga menyalahkan aku"!" hardik Raja Pencuri Dari Selatan mendelik-delik pada tiga muridnya yang lain. Mau ikut semaput" Silakan ngoceh sembarangan! Tapi memang keterlaluan Raja Pencuri Dari Selatan kalau sedang ngadat. Dia tak puas membuat satu muridnya jatuh telentang. Meskipun tiga muridnya yang lain sudah menggeleng kuat-kuat seperti hendak melepas kepala sendiri, tetap saja dihantaminya satu persatu. Wuth beletak! Wuth beletuk! Wuth beledak! Ketiganya juling berbareng, singit berbareng, lalu semaput berbarengan... dengan penuh kekhusukan.
Setelah itu, Raja Pencuri Dari Selatan malah jadi uring-uringan pada diri sendiri. Dia mengomelomel, mencak-mencak dan menyikat pohon kering di sampingnya dengan sambungan kaki kutungnya habis-habisan, sampai menciptakan ratusan lobang. Kalau perlu, bumi pun hendak dilobanginya.
"Kadal, aku belum tanya apa yang dikatakan si Arya pada mereka!"

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

MATANYA itu, menyiratkan ketegaran pribadi di balik lembutnya garis, bulu lentik, dan beningnya bola mata. Hidungnya mancung dan mungil. Bibirnya memerah ramah. Rambutnya dipotong pendek, tak menipiskan sedikit pun kejelitaannya, bahkan justru memunculkan bentuk wajah yang memikat.
Satria Gendeng niscaya akan terus terbengong melompong kalau saja Arya tak segera menegurnya. Itu pun setelah keempat kalinya! Si pendekar muda gelagapan sejenak, mendapat teguran terakhir yang kerasnya sebenarnya sudah cukup untuk menggebah seekor kuda! "Kau mau duduk apa terus berdiri seperti itu?" susul Arya dengan sebaris senyum menawan. Purnama pun seperti dikalahkan pesonanya. Hampir saja Satria Gendeng melompong lagi.
"Ya, ya, aku akan duduk," gegas Satria, masih juga tergagap.
Pemuda itu duduk di depan Arya. Gadis bernama dan bersikap seperti pria itu tersenyum lagi.
"Kau tak mau mengambil makananmu dulu?" ujarnya pada Satria sambil melirik seluruh makanan dan minuman pesanan Satria yang sudah berpindah meja karena peristiwa barusan.
Satria Gendeng nyengir kuda.
"Ya, ya, aku akan ambil," gagapnya lagi, terburu-buru memindahkan makanan dan minumannya. Sekarang, makanan dalam piringnya malah sempat berantakan ke lantai kedai. Makin malu hati Satria. Tapi, dia tak mau ambil pusing. Toh, 'rejeki nomplok' sudah berada di depan mata! Satria Gendeng dan Arya Wadam mulai makan bersama di satu meja. Arya makan dengan lahap. Kakinya diangkat sebelah ke bangku. Satria sendiri maumau tidak. Satu kali suap, lalu bengong menatapi Arya. Sekali suap, lalu bengong lagi menatapi Arya.
Begitu terus....
Dan sampai Arya selesai makan, tetap saja Satria masih keasyikan bengong.
"Sekarang, kita bicarakan lagi tawaranmu sebelumnya," mulai Arya setelah dia mencuci tangannya.
"Tawaran apa?" tanya Satria, baru sadar.
"Bukankah kau mengatakan bahwa kau bersedia membantu masalahku, jika aku bersedia ke Lumajang?"
"O, iya iya! Bilang saja. Aku pasti Bantu!" Semangat sekali pendekar muda itu. Entah ke mana lagi kedongkolan pada Arya sebelumnya. Padahal dongkolnya di tenggorokan belum lama sudah terasa sebesar kepalan centeng.
Dijamin, laparnya pun sudah bernasib sama, kabur entah ke mana! "Aku sebenarnya bukan tak mau membantu masalah Adipati Lumajang itu."
"Ya, ya. Terus, terus?"
"Karena aku masih ada urusan dengan seseorang. Orang itu telah mencuri sebuah benda milik dua orang yang dekat denganku. Benda itu amat diperlukan secepatnya. Sayang, orang yang mencuri belum lagi sempat kutemukan."
"Benda apa yang dicuri?"
"Aku belum bisa menceritakan padamu. Yang jelas, benda itu amat dibutuhkan oleh Paman Remeng dan Poleng dalam tiga hari terakhir."
"Siapa orang yang mencurinya?" cecar Satria.
Semangatnya benar-benar menggebu-gebu. Hebat juga pengaruh Arya terhadap dirinya. Jangan-jangan, disuruh jungkir-balik di tempat dia mau juga "Raja Pencuri Dari Selatan." Satria Gendeng menggebrak meja dengan wajah galak.
"Dia orangnya!"
"Kau kenal?"
"Dia mencuri senjata pusakaku, Slompret!" Arya merengut.
"E, bukan kau yang kusebut slompret...," gegas Satria Gendeng sambil senyum lebar-lebar, biar sedikit mengesankan bagi perempuan ayu di depannya. Tapi, tetap saja seperti keledai ngadat!

* * *



Arya Wadam sebenarnya memang seorang wanita. Kisah hidupnya berawal dua puluh lima tahun silam. Waktu itu ada sebuah desa yang dirampok oleh sekawanan begal. Seluruh desa dibakar habis. Penduduknya dibantai secara keji. Tak ada seorang pun yang selamat, kecuali seorang bayi perempuan kecil.
Cara Tuhan melaksanakan kehendak-Nya memang terkadang aneh. Termasuk cara-Nya menyelamatkan si cabang bayi perempuan. Tali seekor kambing yang terlepas tanpa sengaja tersangkut pada kain pembedong bayi. Lalu si cabang bayi diseret-seret hingga amat jauh. Bahkan sampai ke sebuah hutan rimba yang jarang dijamah manusia.
Waktu itu ada dua lelaki warga persilatan sedang berburu di sebuah rimba belantara tersebut. Mereka adalah dua tokoh utama perguruan yang cukup disegani di kawasan barat persilatan, Rantai Baja.
Ketika mendengar suara gemerisik semak, mereka segera menyiapkan senjata. Ada satu kebiasaan orang-orang Perguruan Rantai Baja saat berburu. Mereka tidak mempergunakan senjata berburu yang lazim. Senjata yang mereka pergunakan adalah rantai baja berbandul bola duri sebagai senjata perguruan.
Sengaja itu dibiasakan dengan tujuan untuk melatih kehandalan mereka mempergunakan senjata unik tersebut. Mata keduanya pun menyaksikan seekor kambing gemuk. Mereka mengira kambing itu adalah kambing hutan. Bersilap-silaplah mulut mereka, membayangkan akan makan besar kambing guling! Rantai baja mereka lontarkan.
Menerkam. Berbarengan. Nyaris mengenai sasaran, mendadak saja ada sekelebat bayangan melesat membelah lintasan sepasang senjata mereka.
Tak tak! Bandul berduri disampok kelebatan bayangan tadi. Kedua lelaki tadi terkesiap. Tapi terlambat untuk menarik senjata. Bahkan, sampokan kelebatan bayangan menyebabkan senjata mereka terputus.
Bandulnya terpental. Bentuknya sudah tak karuan lagi. Padahal bandul berduri itu terbuat dari baja! "Kalian tolol!!!" Meledak hardikan seseorang yang kekuatan suaranya saja sanggup menyentak badan kedua lelaki tadi hingga empat tindak ke belakang.
Terlihatlah di pucuk semak seorang perempuan cantik yang nyaris seperti bidadari berpakaian serba merah. Anehnya, rambut perempuan itu seluruhnya sudah berubah menjadi uban! Di belakang punggungnya harpa. Kedua lelaki merasa tengah berhadapan dengan semacam peri hutan rimba. Mereka melotot sejadijadinya. Kaku sekujur badan. Mereka bergetar, antara ngeri dan terpesona.
"Kalian hampir saja membunuh bayi ini"!" bentak si perempuan cantik lagi, galak.
Kedua lelaki sampai terlonjak-lonjak. Apa salah kami" Bisik hati mereka. Setahu mereka, mereka hendak mengincar seekor kambing gemuk. Kenapa sekarang berubah menjadi bayi" Apa jangan-jangan kambing gemuk tadi adalah anak si peri" Rusuh hati mereka, makin tak karuan.
Si perempuan cantik menimang-nimang bayi di pelukannya sambil berbicara sendiri.
"O, bayi cantik, berbadan segar, bertulang bagus.... Kau tetap begitu bersemangat meski kau banyak mengalami luka dan terseret-seret begitu lama." Langsung dua lelaki pemburu membayangkan si perempuan cantik akan menyantap mentah-mentah bayi merah dalam gendongannya. Sebab mereka masih berpikir kalau perempuan itu peri atau dedemit hutan.
"Nah," mulai si perempuan cantik lagi.
"Kalian harus bertanggung jawab pada bayi ini. Aku tak mau peduli apakah kalian menerima atau tidak. Pokoknya kalian harus menerima." Lalu dilemparnya bayi itu ke arah kedua pemburu. Bayi melayang deras. Dua pemburu mendelik.
Mereka ngeri kalau bayi itu jatuh ke tanah dan...
mencret! Di udara, luncuran tubuh bayi mendadak terhenti. Sebentar melayang-layang seperti sedang di dalam buaian tak terlihat mata. Lalu, perlahan-lahan turun ke arah dua pemburu yang sudah menantinya.
"Kalian pelihara bayi itu dengan baik. Setiap purnama, aku akan menjenguknya. Jika usianya sudah mencapai sembilan tahun, kalian harus mengantarnya kembali ke sini. Aku akan menjadikannya murid!" tandas si perempuan cantik. Setelah itu, tubuhnya menghilang.
Dua pemburu itu adalah Remeng dan Poleng.
Sedangkan si perempuan cantik, di kemudian hari menjadi guru si bayi. Karena dipelihara di perguruan silat yang semua muridnya lelaki, maka sifatnya mirip lelaki. Lalu, dia pun dinamakan Arya Wadam. Kendati dia sebenarnya tetap perempuan sejati.
Si perempuan cantik sendiri adalah tokoh tua yang tetap muda yang hanya tinggal di belantara itu.

* * *



Menggelindingnya hari menuju siang dipenati cahaya panas terik. Dari puncaknya, mentari seperti sengaja menombakkan panas ke setiap ubun-ubun manusia di atas bumi. Bumi yang sepanas itu, hari yang semenyiksa itu, tidak menghalangi langkah dua orang di sebuah daerah berbukit-bukit. Pohon tumbuh jarang. Hanya rumput menghampar hampir di segenap penjuru. Langkah keduanya mantap, tegap dan kokoh.
Pertanda kalau mereka orang-orang berusia muda. Satu orang pemuda dan orang bertudung yang tak cukup jelas lelaki atau wanita. Si pemuda berambut panjang kemerahan sepanjang bahu. Wajahnya tampan, kokoh, keras, sekaligus bersinar mata lembut. Dia mengenakan pakaian rompi bulu berwarna putih keabuan. Tegap perawakannya. Bidang dadanya. Dengan celana pangsi hitam dan ikat kain, makin tampak gagah penampilannya. Orang bertudung sendiri tak setinggi si pemuda berambut kemerahan. Berpakaian silat sederhana berwarna hitam serta buntalan kain kusam di belakang bahunya. Kalau menilik cara jalannya yang gagah, orang berpikir dia adalah seorang laki-laki. Namun jika melihat bentuk pinggul yang terkadang terlihat saat dia melangkah, orang jadi ragu lagi. Lelaki atau wanita" Sepanjang perjalanan, pemuda berambut kemerahan terus mencuri-curi pandang pada teman seperjalanannya. Sesekali dia melirik ke pinggul orang itu.
Tak jarang pula dia melirik ke dadanya. Memang, kendati mengenakan pakaian yang agak kendor, tak bisa dipungkiri ada sedikit benda yang sesekali terlihat menonjol. Si pemuda berambut kemerahan mesemmesem. Kepalanya menggeleng-geleng. Di dalam pikirannya, pasti ada sesuatu yang sedang bermain-main.
Bukan sejenis pikiran dekil. Cuma tak habis pikir pada sikap dan sifat teman seperjalanannya. Dia adalah pendekar muda kita, Satria Gendeng. Sedangkan orang bertudung yang berjalan di sebelahnya adalah Arya Wadam, pendekar wanita yang sifat dan tingkah lakunya kelelakian.
Keduanya berjalan bersama dengan satu tujuan, hendak mencari seorang tokoh tengik dunia persilatan berjuluk Raja Pencuri Dari Selatan. Untuk Satria, tokoh itu telah mencuri senjata pusakanya, Kail Naga Samudera. Sedangkan untuk Arya Wadam, Raja Pencuri Dari Selatan punya satu utang urusan karena telah mencuri satu benda milik dua paman angkatnya, Remeng dan Poleng. (Kisah selengkapnya dapat dibaca pada episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka").
Murid dua tokoh kawakan tanah Jawa masih saja asyik mencuri-curi pandang. Sampai saatnya, kenakalan kecil itu harus terkena batunya. Arya Wadam mendadak memergokinya.
Satria buru-buru meluruskan pandangan.
'Kura-kura dalam perahu' dia. Tapi perasaannya tak bisa diajak berdamai. Dadanya jadi dag-dig-dugbleduk. Wajahnya pun memerah. Dia coba mesemmesem lagi. Tapi kok kayaknya seperti sedang meringis"
"Kenapa?" cetus Arya seraya melepas pandang ke depan kembali, seakan keusilan mata pemuda di sebelahnya tak mengusik perasaannya sama sekali.
Dia memang bukan sejenis perempuan lugu yang gampang dipermainkan lelaki atau perasaannya sendiri. Satria menoleh dengan wajah masih saja berpura-pura bodoh.
"Kenapa apa?"
"Kenapa kau melirikku begitu rupa?"
"Melirik apa?" hindar Satria lagi.
Pertanyaan bodoh. Justru pertanyaan seperti itu malah mendorong Arya menebak dirinya dengan ucapan selanjutnya.
"Melirik-lirik pinggul dan dadaku...." Mak! Satria memekik dalam hati. Malu bukan main dirinya. Rasanya kepingin membuang wajah jauh-jauh, atau menguburkannya dalam-dalam di perut bumi! Wajah pemuda itu makin matang saja. Mendadak dia seperti diserang penyakit gatal-gatal. Dia garuk-garuk pipi, garukgaruk jidat, garuk-garuk leher, sementara bibir terus cengengesan.
"Kau tahu, ya...?" katanya malu-malu.
"Kau pikir aku sudah buta."
"Ya jelas tidaaaaak...."
"Lalu?"
"Lalu apanya?"
"Kau mau menjawab atau tidak?"
"O, itu...." Satria Gendeng menggaruk-garuk jidat lagi.
"Aku cuma heran, kenapa kau tak berpakaian seperti layaknya wanita saja."
"Aku merasa lebih leluasa dengan berpakaian seperti ini."
"Itu bukan alasan. Kau toh, bisa memilih pakaian wanita yang bisa membuatmu bergerak leluasa."
"Baik. Aku memang terbiasa. Bukankah sudah kuceritakan padamu bahwa aku dibesarkan di tempat yang semuanya lelaki."
"Aku jadi penasaran...," Satria memotong kalimat sendiri, ragu-ragu.
Arya sedikit menoleh.
"Penasaran?" tanyanya.
Satria memberanikan diri.
"Aku penasaran, apakah kau masih memiliki sifat-sifat kewanitaanmu?" cetusnya.
Arya tertawa kecil.
"Kau ingin membuktikannya?" tukasnya, tak acuh. Satria sendiri langsung bungkam. Heran, mestinya dia yang menggoda perempuan. Kenapa sekarang dia yang digoda perempuan"
"Apa kau termasuk lelaki yang merendahkan martabat seorang wanita?" aju Arya, lebih jauh.
Satria Gendeng melengak. Mulutnya membundar.
"Oooo, tidak! Tentu saja tidak! Memangnya kenapa?"
"Aku hanya ingin tahu. Aku tak mau berjalan berbareng dengan lelaki yang suka merendahkan martabat perempuan," tandasnya.
"Ah, menurutku lelaki atau perempuan sama saja. Bedanya cuma pada peranan yang harus dijalankan dalam hidup. Peranan itu maksudku adalah peranan yang sudah menjadi kodrat. Seperti melahirkan, tak mungkin bukan kalau lelaki yang harus melahirkan" Sedangkan soal martabat. Itu urusan pribadi untuk lelaki atau wanita.... Tergantung setiap pribadi masing-masing apakah hendak meninggikan martabatnya atau tidak dalam kehidupan ini. Kalau seorang perempuan ingin derajatnya turun seperti hewan, yang silakan berprilaku seperti hewan betina. Begitu juga lelaki. Kurasa, Tuhan pun punya penilaian yang adil dalam hal martabat hidup manusia di dunia.... Bukankah Dia menilai siapa yang lebih takwa" Baik itu perempuan atau lelaki?"
"Hem hem hem...," gumam Arya.
"Aku tak menyangka kalau pemuda macam kau rupanya masih bi- sa berpikir dalam dan jauh, ketimbang hanya memikirkan hal-hal yang dekil." Satria Gendeng tergelak.
"Aku hanya meneruskan perkataan seorang sesepuh rakyat di Bintaro Demak yang pernah kutemui...," aku Satria, lalu lanjutnya, "Kalau soal mata usilku tadi, aku cuma iseng. He he he!" tertawa pula dia.
"Ya, iseng yang sudah menjadi 'penyakit'" ketus Arya. Satria tergelak lagi.
Keduanya terus berjalan. Percakapan hangat dua insan terus pula terjulur. Keduanya seperti tak la-gi merasakan terik mentari. Sampai keduanya tiba di sebuah tempat yang dulu pernah disinggahi Satria Gendeng.
"Ini tempat terakhir aku bertemu dengan Raja Pencuri Dari Selatan. Di tempat ini pula, aku dikelabui olehnya, senjata pusakaku disikatnya!" ucap Satria Gendeng meletus-letus, terbawa kekesalan mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Matanya kemudian tertumbuk pada gerombolan semak.
"Kemarilah!" ajak Satria Gendeng seraya menarik pergelangan tangan Arya Wadam.
Entah karena terlalu bernafsu menunjukkan sesuatu, sampai si pendekar muda lupa kalau Arya Wadam tetap seorang wanna. Sayangnya, Satria terus saja tak sadar. Sampai di dekat semak, dia menunjuk dengan tangan lain se-tumpuk arang sisa perapian.
"Kau lihat itu"! Dulu dia membakar ayam panggangnya di sini. Lalu dia lemparkan ayam panggang itu padaku agar aku untuk sesaat asyik menyantapnya dan melalaikan Kail Naga Samudera yang sudah disikatnya!" lapor Satria Gendeng dengan wajah merajuk-rajuk, seperti seorang bocah ingusan yang sedang mengadu pada emaknya.
Sampai akhirnya, pendekar muda itu jadi sadar bahwa Arya justru tengah memperhatikan tangannya yang masih memegangi pergelangan tangan gadis itu.
"Eh-oh, maaf.... Aku tak bermaksud apa-apa.
Sungguh!" kebut Satria Gendeng, seraya buru-buru melepaskan pegangannya.
"Kau suka cari kesempatan juga, ya?" usil Arya.
Satria tak suka dikatakan begitu.
"Jangan sembarangan bicara, ya"!" sengitnya.
Menanggapi sikap si pendekar muda, Arya hanya tertawa halus.
Dalam hati, Satria mengutuki diri sendiri. Kenapa dia bodoh sekali tak menyadari telah memegang dan menarik lengan gadis itu sekian lama" Meski setelah dirasa-rasa lagi, Satria Gendeng jadi agak senang juga. Arya buat Satria termasuk satu di antara seribu gadis. Ya, kecantikannya. Ya, pribadinya. Jadi tak terlalu aneh jika ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Mungkin sekadar cetusan gejolak darah muda. Rasa 'serrr' yang 'serrr' begitu. Mengerti maksudnya, bukan"
"Sekarang apa pula yang kau lamunkan"!" sentak Arya, mengejutkan si pendekar muda tanah Jawa.
"Jadi, bagaimana?" kilah Satria Gendeng, berusaha menutupi perubahan wajahnya.
Arya tak menyahut. Dia berjongkok. Ditelitinya tumpukan abu dan arang sisa perapian. Selesai meneliti bekas perapian, matanya beredar ke sekeliling. Terdengar desah napasnya.
"Tidak ada apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Sebagai seorang pencuri kawakan, dia memang hebat. Tak sedikit pun dia meninggalkan jejak." Satria Gendeng turut menghela napas, serta menghempaskannya.
"Jadi bagaimana" Sementara waktu kita sudah demikian menipis. Tinggal dua hari lagi kedua pamanmu membutuhkan benda yang dicuri Raja Pencuri Dari Selatan. Sementara purnama pun tinggal empat hari lagi...," katanya, setengah mengeluh.
Arya bangkit.
"Kau mengeluh?" sindirnya.
Satria sengit lagi. Sungguh, kalau saja nenek peot yang mengatakan begitu, dia tak akan ambil pusing. Tapi kalau wanita cantik menawan dan berpribadi mantap seperti Arya, dia bisa tersinggung berat. Perasaannya ibarat bisul, tak boleh tersenggol sedikit saja.
"Aku tidak mengeluh. Cuma aku gusar. Apa tak boleh?"
"Sebaiknya memang begitu. Sebab, aku malu berjalan dengan seorang yang sudah telanjur mendapat julukan besar di dunia persilatan, tapi terlalu gampang mengeluh...," sambil berkata, Arya ngeloyor begitu saja.
Ah, lagi pula apa salahnya mengeluh" Gerutu Satria membatin. Memangnya perasaan manusia selalu bisa menampung seluruh kekalutan" Hm, wanita ini kenapa merasa ingin lebih gagah dari lelaki"
"Hei, kau mulai melamun lagi!"
"Iya iya!" Bersungut-sungut, si pendekar muda mengikuti langkah Arya. Dalam hati, dia memaki.
"Dasar perempuan!"
"Hei, ceritakan dulu benda apa yang telah dicuri si bajingan bermuka rajah itu dari kedua paman angkatmu?" usul Satria beberapa saat setelah mereka melangkah cukup jauh.
"Ceritanya panjang."
"Ceritakan saja."
"Makin panjang, makin bagus. Dengan begitu, aku bisa lebih lama bersamamu," kicau Satria Gendeng dalam hati.

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

LIMA hari menjelang purnama. Tujuh Dewa Kematian tanpa diduga-duga mengubah rencananya.
Mereka yang semula menuntut Pitaloka diserahkan pada malam purnama mendadak saja menyatroni Kadipaten Lumajang untuk menuntut putri sang Adipati itu sekarang juga! Kuat dugaan, mereka mengkhawatirkan kegagalan menyempurnakan ilmu sesat mereka jika mengundur-undur waktu merampas Pitaloka. Bisa saja pada saatnya nanti, Pitaloka dihijrahkan ke satu tempat tersembunyi. Tentu saja itu akan menyulitkan mereka sendiri. Mereka bukalah orang golongan sesat kelas teri. Mereka punya otak. Sebagai siasat, mereka menuntut putri sang Adipati pada bulan purnama, tanpa harus melaksanakannya seperti itu pula. Dengan tindakan tak terduga, biasanya keadaan lawan besar kemungkinan kurang siap menghadapi mereka. Itu satu keuntungan buat mereka.
Ketujuh momok itu pun datang. Dua orang memasuki kadipetanan dengan cara menelusup. Sisanya tetap di batas kadipaten, menanti waktu yang tepat untuk bergerak pula.
Rencana matang memang telah tercetak di kepala masing-masing. Rencana yang mereka yakini akan mengecohkan semua pihak. Terutama Adipati Wisnu Bernawa yang sebenarnya punya rencana pula.
Namun sayang, rencana itu dipersiapkan untuk malam bulan purnama. Layaknya permainan catur, Tujuh Dewa Kematian telah menang satu langkah.
Langkah selanjutnya, adalah untuk bidakbidak penentu. Ketika mengetahui dua dari momok menakutkan memasuki kadipatenan, suasana pun goncang.
Keributan besar begitu cepat menyubur. Para punggawa dengan senjata di tangan mengepung dua orang penghuni Kuil Neraka yang berdiri di halaman depan.
Dua orang penghuni Kuil Neraka mendongak.
Perlahan-lahan mereka menurunkan kepala. Wajah mereka berubah membesi. Sorot mata menggidikan.
Menghujam. Menjerang nyali. Dari mulut salah seorang terlompat serapah.
"Kuhabisi kalian!!!" Suasana kian keruh. Bau anyir darah menjenuh. Nyawa-nyawa sebentar lagi akan berpentalan dari setiap raga.
Sebelum hal itu sampai terjadi, tiba-tiba terdengar suara keras membahana, memantul-mantul di angkasa, mengitari tempat tersebut.
"Jangan kau tambah korban lagi, Setan-setan Botak!" Semua yang berada di tempat tercengang. Mereka celingukan, mencari-cari dari mana suara itu berasal. Dua dari Tujuh Dewa Kematian mengerahkan kekuatan indra pendengaran. Mata keduanya terpejam. Daun telinga mereka bergerak-gerak. Napas pun seperti mereka tahan untuk bisa menentukan sumber suara.
"Rupanya yang datang bukan orang sembarangan, saudaraku," bisik salah seorang dengan nada halus. Hampir-hampir tak terdengar oleh para pengepung. Mungkin hanya yang memiliki pendengaran seekor rubah yang bisa menangkapnya.
"Hei botak! Aku memang bukan orang sembarangan!" Suara itu terdengar lagi. Kali ini yang mereka dengar suara seperti milik seorang bocah tujuh tahunan. Tercekatlah seluruh orang di sana. Bagaimana mungkin bocah tujuh tahun dapat mengerahkan suara bertenaga dalam sedemikian sempurna" Yang paling dibuat heran adalah dua iblis botak, karena suara mereka yang begitu halus dapat didengar oleh seorang yang berada begitu jauh. Sedangkan para pengepung sendiri yang cukup dekat dengan mereka tak menangkapnya. Kedua setan botak kembali menutup batin. Mata mereka terkatup rapat, telinga bergerak-gerak. Kali ini mereka menangkap suara gemeretak dari balik semak di tepi dinding kadipatenan.
Kretaak! Kedua Dewa Kematian terkesiap. Tangan mereka cepat menghentak ke arah suara di balik rerimbunan tadi. Empat larik sinar hitam mencelat dari telapak tangan keduanya. Letusan keras tercipta.
Glar! Para pengepung yang terdiri dari para punggawa bernyali besar menjadi ciut juga, menyaksikan kehebatan musuh mereka. Kendati begitu, mereka tak lari, karena sebelumnya menyadari lebih baik mati berkalang tanah sebagai seorang satria, ketimbang hidup sebagai pengecut.
Dedaunan yang terhantam oleh pukulan jarak jauh milik Dua Dewa Kematian menggelepar dan berganti warna menjadi hitam. Pohonnya sendiri seketika kering-kerontang. Sebagian daunnya menjadi layu dan menguning. Tidak lama kemudian, dedaunan itu pun berguguran ditiup angin. Sedangkan sasaran yang mereka tuju ternyata cuma seekor kelelawar kesiangan.
"Hue Ha ha ha!" Gelak tawa mencelat hampir bersamaan dari arah belakang mereka. Dengan gesit kedua tokoh sesat itu membalikkan badan, kemudian menghentakkan pukulan. Kembali empat larik sinar hitam melesat dari telapak tangan mereka.
Letusan keras menggelegar kembali.
Glar! Gelak tawa terpenggal. Tak lama, tersambung kembali. Kini berasal dari balik semak-semak di pinggir kiri dua manusia botak. Gesit, keduanya membalikkan badan. Menyusul hantaman pukulan jarak jauh berikutnya. Belum lagi ujung bersit hitam menghantam sasaran, suara tawa sudah berpindah ke arah kanan. Gelak tawa itu seperti memiliki nyawa sendiri, melompat-lompat dari satu tempat ke lain tempat.
Dua Dewa Kematian dibuat kelimpungan. Semakin mengerikan wajah mereka. Murka. Seringai menggidikkan tersungging di sudut bibir keriput keduanya.
"Hei, tampakkan dirimu!" teriakan garang keluar dari kerongkongan salah seorang, suatu teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam hebat.
Menyayat-nyayat desiran angin.
Mengiang-ngiang.
Menyengat-nyengat.
Bumi digempakan Gendang telinga puluhan punggawa, robek seketika. Dua manusia berhati iblis menyeringai, menuai rasa kemenangan.
"Hei, keluar kau! Kalau tidak, akan kami lumat manusia-manusia bodoh ini!" ancam salah seorang momok dari Kuil Neraka.
Amarah mereka, telah berpindah. Bukan lagi terhadap para punggawa, melainkan diarahkan kepada seorang yang telah berani mempermainkan mereka.
Seruan yang tadi dilontarkan tak mendapat jawaban. Suasana lengang. Ketegangan bergeliat.
Angin bertiup wajar. Namun begitu, suasana seperti itu suatu saat pasti akan meletus menjadi per-tumpahan darah. Itu tercermin dari raut wajah kedua manusia sesat yang memeram keangkeran. Mulut keriput mereka terkatup rapat dan menggumpal.
Keheningan tiba-tiba dibelah oleh desingan tajam. Asalnya dari benda sebesar dua kepalan tangan orang dewasa. Nngung! Benda tersebut meluncur deras, menerjang dua Dewa Kematian. Keduanya menghindar ke samping.
"Setan, benda apa itu"!" rutuk seorang dari mereka. Ngung ngung! Benda tadi mendesing-desing, berputar dengan kecepatan tinggi hingga yang tampak hanya pusingan di udara. Dua penghuni Kuil Neraka dibuat tambah mendelik. Bagaimana tidak" Benda itu terus memburu, menyerbu, menerjang, menerkam. Keduanya dibuat kelimpungan. Mereka berjumpalitan. Kadang tubuh mereka melenting di udara.
Seluruh mata menyaksikan kejadian itu. Mereka semua dibuat berdecak kagum. Para punggawa, boleh menganga. Geleng-geleng kepala pun tak dilarang.
Benda sebesar dua kepalan tangan masih terus mengejar sengit. Pada suatu saat, dua manusia sesat menemukan satu taktik. Mereka memecah gerakan menjadi dua arah. Yang satu melompat ke kiri, sedangkan yang lain ke kanan. Dengan demikian, bisa membingungkan pengendali benda aneh itu. Tidak mungkin satu benda menyerang dua sasaran terpisah sekaligus. Siasat dua Dewa Kematian berhasil. Benda aneh tadi hanya dapat mengejar salah satu sasaran saja. Itu membuka peluang bagi yang lain untuk menghancurkannya! Benda aneh yang datang tak tahu juntrungannya, mengincar seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang melenting ke arah kiri. Sedangkan yang melompat ke kanan dengan penuh kesiagaan mengikuti gerak laju benda itu. Dengan perhitungan teramat matang dan jeli, pada saatnya dia membuat sapuan dengan lengan jubah. Memenggal gerakan benda aneh di tengah jalan.
"Khiaaah!" Suara berdentam membuncah di udara. Benda sasarannya kontan hancur berantakan, sedangkan lengan baju orang yang melepas sapuan tak terkoyak sedikit pun. Itu menandakan adanya kekuatan tenaga hebat yang membentengi lengan bajunya.
Benda yang disampok ternyata hanya sebuah kincir bambu yang biasa dimainkan bocah belasan tahun! Puluhan pasang mata terbelalak menyaksikan kenyataan tersebut. Sungguh kejadian yang mereka anggap luar biasa. Kalau kincir saja bisa membuat dua momok dari Kuil Neraka lintang-pukang, bagaimana lagi orangnya" Tentu seorang tokoh sakti mandraguna berusia amat lanjut yang mungkin sedikit nyentrik.
Keliru besar kalau mereka beranggapan seperti itu. Selang sekian tarikan napas, keluar seseorang dari balik semak-semak.
"Hu hu hu!" raungnya, gila-gilaan. Disusul kemudian dengan makian panjangpendeknya. Dua Dewa Kematian sendiri saat itu sedang terengah-engah kehabisan napas. Menyaksikan yang keluar seorang lelaki kumis berpakaian norak, keduanya jadi mengernyitkan kening. Joyolelono orangnya. Kincir mainan tadi pun miliknya.
Para punggawa yang sebelumnya sudah mengenal Joyolelono sebelumnya seperti dikomando untuk garuk-garuk jidat berbarengan. Lho, kok bisa dia" Bukannya seorang tua berjenggot putih dengan wibawa terpancar di wajah seperti bayangan mereka, malah orang tengik pembuat onar! Protes hati mereka, seperti tak bisa mempercayai.
"Siapa kau sesungguhnya, Keparat"!" geram seorang Dewa Kematian, menyambut langkah-langkah Joyolelono. Sambil mengusap-usap mata dengan punggung tangan, Joyolelono menyahut.
"Kenapa kalian jadi marah" Seharusnya aku yang marah karena kalian telah merusak mainanku, wee!" Menyaksikan perangai lawan yang bisa membuat otak buntu, dua Dewa Kematian menggeram tanggung. Disebut meringis, bukan. Disebut seringai pun tidak.
"Sinting rupanya keparat ini!" maki seorang Dewa Kematian. Keduanya lalu sama-sama memakukan pandangan beringas kepada Joyolelono. Gelagatnya, mereka akan menghajar si bocah berkumis.
Para punggawa kasak-kusuk. Mereka sudah yakin Joyolelono akan dipermak habis oleh dua Dewa Kematian. Kasihan juga, pikir mereka kalau mengingat keadaan Joyolelono. Apalagi lawan adalah sejenis manusia tak berhati.
Baru saja kedua momok menerkam ke arah Joyolelono, menderu sebentuk angin pukulan jarak jauh, menjegal mereka dari depan.
Jlegar! Tanah pekarangan kadipatenan berlobang sebesar gajah! Tanahnya berhamburan ke angkasa, menebar ke segenap penjuru seperti hujan.
Luruh. Riuh. Dua Dewa Kematian sendiri sempat terpental cukup jauh. Mereka berhasil menjaga keseimbangan.
Kendati begitu, tak urung mulut mereka mengalirkan darah kehitaman.
Menyusul, suara senandung samar-samar.
Timbul tenggelam di antara tiupan angin. Merdu saja tidak. Malah mirip-mirip suara gerutuan orang satu kelurahan. Selang berikutnya, muncul pula orang kedua.
Seorang tua berwajah merah matang membawa guci tuak besar. Berjalan dia sempoyong sana sempoyong sini dari satu sudut kadipatenan.
Wajah Dua Dewa Kematian berubah menyaksikan orang yang baru keluar.
"Danusentana...," bisik keduanya, hampir berbarengan. Seperti pernah dikatakan Ki Dagul atau Danusentana sendiri pada Satria beberapa waktu lalu, bahwa sebenarnya antara dirinya dengan Tujuh Dewa Kematian sudah saling mengenal sejak lama. Mereka adalah saudara-saudara seperguruannya yang berkhianat.
"Apa kabar kalian" Mana lima monyet botak yang lain" Apa kalian sudah mati satu persatu terkena panu?" mulai Pengemis Tuak sambil sesekali meneguk tuaknya. Dua penghalang yang tak enteng, nilai dua Dewa Kematian. Pengemis Tuak sendiri saja sudah menjadi masalah besar untuk mereka. Mereka cukup tahu seberapa tangguh orang tua peminum itu. Berkali-kali mereka telah bertemu dalam pertarungan. Memang berkali-kali Pengemis Tuak harus menelan kekalahan.
Setelah lama tak berjumpa kembali, mereka tak bisa menganggap kesaktiannya tak bertambah. Mungkin saja kesaktiannya kali ini dapat mengakibatkan kesulitan teramat besar bagi Tujuh Dewa Kematian....
"He he he, tiba waktunya aku memetik kemenangan dan membayar kekalahan! Kau botak-botak, akan segera menerima hukuman yang semestinya telah lama kalian rasakan!" koar Pengemis Tuak, seperti mengerti kecamuk pikiran dua Dewa Kematian.
Dua manusia kembar saling menukar pandangan. Mereka menaikan sudut bibir, seakan hendak mengejek. Salah seorang mengibaskan lengan bajunya ke arah daun kering yang tergeletak di tanah, satu tindak di depannya.
Wsss! Seketika angin memekik. Daun kering mencelat dan melesat bagai lempeng dari pecahan meriam ke arah seorang punggawa. Mereka sengaja memancing keributan! Melihat tindakan manusia keji yang tidak menghargai arti nyawa manusia, Pendekar Tuak segera bertindak. Dengan mengimbangi gerak laju daun kering tadi, tubuhnya meluncur. Di udara, tangan tua bangka itu mengayun guci tuak besarnya, menanduk gerak laju daun kering. Benturan terjadi.
Klang! Terlahir bunyi keras.
Arah luncuran daun menyimpang.
Tembok pagar kadipatenan jadi sasaran.
Lobang menganga tercipta.
Beberapa punggawa berdecak. Punggawa yang hendak jadi sasaran daun, tak bisa berdecak. Dia keburu semaput di tempat akibat terlalu kaget. Jantungan kambuhan. Selesai melakukan hal itu, si jago tua menyunggingkan senyum sinis kepada dua Dewa Kematian.
"Kalian benar-benar biadab! Manusia semacam kalian tidak layak hidup di dunia. Mati pun kalian tak layak dikubur di perut bumi! Pantasnya kalian dikubur di dalam perut serigala!" omel Ki Dagul "Kau mau menceramahi kami, atau hendak menjajal kesaktian kami lagi, Danusentana" Barangkali, kau ingin kami mempecundangimu lagi untuk yang kesekian kali?" cemooh salah satu Dewa Kematian.
"Ah," Ki Dagul menepis udara dengan gaya 'mabuk'nya seraya mencibir. Tak mau kalah, dicemoohnya pula kedua musuh lamanya.
"Kalian berdua" Kenapa tak kalian semua datang dan menghadapi aku sendiri! Tujuh.... kalau perlu kalian menyulap diri menjadi seratus orang!" Ki Dagul menepuk dada. Bunyinya garing. Maklum cuma tulang melulu.
Suasana menjadi kian membakar.
Dua Dewa Kematian tak bisa menahan gejolak nafsu. Mereka meluruk. Pertarungan pecah.
Joyolelono tak bisa diam. Sebenarnya dia sudah amat gatal sejak tadi. Namun karena kebingungan dengan ribut-ribut Ki Dagul dan Dua Dewa Kematian yang memperebutkan pepesan kosong, akhirnya dia cuma pelanga-pelongo.
Sebelum terjun ke medan laga, lelaki kebocahan itu menarik napas dalam-dalam. Dadanya mengembung. Lalu dari mulutnya mengalirlah raungan panjang, seperti tangisan seorang bocah yang ditinggal mati orang tua.
"Ngaaaaaaaaa!" Jurus 'Dewa Langit Menangis'! Jurus aneh milik Dewa Gila yang diturunkan kepadanya mulai dipertunjukkan.... Dua Dewa Kematian mencecar Pengemis Tuak dari dua arah berlawanan. Satu mencoba menggempur dari kiri, yang lain dari sisi kanan. Siasat tarung yang mencoba membuat lawan kerepotan. Menghadapi serangan macam itu, Ki Dagul malah terkekeh-kekeh. Dia kenal siapa lawan. Kenal betul, seperti dia mengenal ketiak sendiri. Kedua lawan mencoba mendesaknya dengan mengerahkan jurus 'Amukan Tujuh Dewa', itu pun terbaca oleh Ki Dagul.
Kalau orang tua pemabuk itu terkekeh, penyebabnya karena 'Amukan Tujuh Dewa' seharusnya dipergunakan untuk tujuh orang. Bukan dua orang seperti kini dihadapinya. Dengan begitu, keampuhan 'Amukan Tujuh Dewa' seperti kehilangan taji di mata Ki Dagul.
"Kalian sedang mengejekku, ya?" kekeh Ki Dagul, ramai dan melengking.
"Masa' kalian mengerahkan jurus tumpul itu padaku sekarang ini" Sudah kubilang, kalian harus kumpul bersama sekalian menghadapiku agar 'Amukan Tujuh Dewa' kalian tidak cuma membuat aku terkikik geli" Dua Dewa Kematian tak peduli.
Mereka terus merangsak.
Sing sing! Telapak tangan mereka mendesing-desing, membuat babatan ke segenap titik terlemah pertahanan lawan. Sampai saatnya si bocah berkumis pun tiba.
Dengan wajah kelewat memelas seperti menahan kesedihan hebat, Joyolelono memotong serangan salah seorang Dewa Kematian. Gerakannya agak tengik. Main seruduk saja. Tangannya bergerak hendak memeluk lawan. Bibirnya memancung ke depan, matanya terkatup layaknya seorang wanita genit hendak mencumbu mesra-mesra pemuda pujaan hati.
Orang yang dituju tentu saja terperangah. Selintas, terpikir olehnya dia sedang menghadapi orang sinting. Namun begitu dia mendengar dengus angin yang ditimbulkan gerak merangkul lawan, dia pun sadar dirinya tak hanya menghadapi kesintingan, melainkan satu jurus ampuh mematikan! Si botak itu pun jungkir balik.
Krep! Sentakan dalam meletup ketika pelukan Joyolelono tak menemukan tubuh lawan. Selaku tokoh sakti, lawan bisa menilai dari letupan tadi. Seandainya tubuhnya sempat terpeluk, tak disangsikan tulang rusuknya akan terpatah-patah! "Hei, Lelaki Tolol, apa yang kau lakukan"!" semprot Ki Dagul mengetahui dirinya telah mendapat dukungan. Gusar. Mestinya dia berterima kasih. Setidaknya merasa senang. Ini malah sewot. Malah sempat-sempatnya dia menggebah Joyolelono dengan guci besarnya. Wung! "Enyah kau!" Untung saja Joyolelono sudah membuka matanya kembali. Dia cepat mendoyongkan badan ke samping. Kalau tidak begitu, jidatnya bisa empuk seketika. Tanpa sengaja, tindakan Ki Dagul malah menjegal serangan balasan lawan Joyolelono yang berniat hendak menyentakkan telapak tangan ke depan. Terpaksa, diurungkannya serangan. Tak hanya itu, dia pun harus berjumpalitan ke atas jika tak ingin dadanya digebuk guci tuak Ki Dagul.
Joyolelono sendiri tidak mengamuk. Marah saja tidak. Dia merasa Ki Dagul tak punya niat apa-apa.
Barangkali tak sengaja. Yang dia tahu, lawannya adalah dua lelaki tua gundul berbibir gombal. Itu saja.
Medan laga pun terbagi dua.
Joyolelono mulai memainkan jurus lagi. Badannya berjingkat-jingkat genit. Wajahnya memperlihatkan mimik menangis memelas.
Lawannya bersiap dengan wajah setengah melongo. Ki Dagul makin sewot.
Joyolelono berjinjit menggelikan ke arah lawan.
Dadanya dibusungkan seakan perawan yang memiliki buah dada sebesar semangka. Sebaliknya, mulutnya terus memperdengarkan gerungan menggila.
Ki Dagul makin sewot. Rasanya pekerjaannya sudah diganggu oleh seorang laki-laki tolol. Lawan botak yang sedang dihadapinya malah ditinggal. Dikejarnya Joyolelono.
"Kubilang kau jangan turut campur! Ini urusanku dengan dua Dewa Botak Sialan!" Sambil memaki, Ki Dagul menggebah Joyolelono kembali dengan gucinya dari belakang.
Si bocah berkumis merasakan deru keras membokongnya. Tanpa perlu menoleh, dia mengguling badan di bumi. Wung! Terjangan guci Pengemis Tuak pun nyelonong ke depan, persis ke arah kepala si botak yang semula menanti serangan Joyolelono. Perhatiannya terpecah seketika. Dia mengelakkan hantaman guci Pengemis Tuak. Tapi, dia malah lupa pada Joyolelono yang bergulingan. Ketika si bocah berkumis sudah berdiri mendadak di depan hidungnya, barulah dia terkesiap. Mau menghindar, sudah terlambat. Sepasang tangan Joyolelono sudah lebih dahulu melayap ke dadanya dengan gerakan menjawil.
"Kena!" Menjawil. Tangan si bocah berkumis hanya terlihat menjawil dada lawan. Akibatnya sungguh di luar perkiraan.
Seketika lawannya mendekap dada dengan wajah nyaris membiru menahan rasa sakit luar biasa dalam rongga dadanya.
Panas. Meranggas. Melecut-lecut. Tak begitu lama, si botak seorang dari Dewa Kematian itu pun memuntahkan darah segar.
Botak yang lain terperangah. Dia mulai mengendusi jurus maut yang terlihat remeh milik salah seorang lawan.
"Dewi Langit Menangis'...," desisnya. Dia jelas pernah mendengar seorang tokoh kawakan wilayah barat yang amat kesohor sebagai pemilik jurus tersebut.
Tampaknya, korban 'jawilan' Joyolelono pun menyadari hal itu. Keduanya saling berpandangan.
"Apa hubungan orang tolol ini dengan si Jerangkong Dewa Gila itu?" erang orang tua botak yang mendekap dada.
Sedangkan Joyolelono sendiri sekadar mesemmesem keledai. Dia melirik Ki Dagul dengan perasaan girang, merasa Ki Dagul telah membantunya dalam keberhasilan serangan tadi. Padahal, Ki Dagul penasaran sekali ingin membuat 'empuk' kepala lelaki berotak tak 'empuk' itu"!

SELESAI

Ikuti lanjutan kisahnya dalam:
TUMBAL TUJUH DEWA KEMATIAN


INDEX SATRIA GENDENG
Penghuni Kuil Neraka --oo0oo- Tumbal Tujuh Dewa Kematian
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.