Life is journey not a destinantion ...

Tumbal Tujuh Dewa Kematian

INDEX SATRIA GENDENG
Tiga Pendekar Aneh --oo0oo- Setan Madat

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

LAYAKNYA permainan catur, mestinya Tujuh Dewa Kematian telah menang satu langkah. Sebab di luar dugaan, mendadak mereka menyatroni Kadipaten Lumajang lima hari menjelang purnama. Padahal mereka telah bilang akan merampas Pitaloka yang akan dijadikan tumbal demi ilmu sesat keparat yang mereka tuntut pada saat purnama nanti.
Sementara itu Satria Gendeng yang ditugasi mengundang tiga pendekar kawakan berwatak aneh baru berhasil mendatangkan dua orang. Mereka adalah Ki Dagul yang dikenal sebagai Pengemis Tuak dan Joyolelono yang mewakili gurunya, Dewa Gila. Sedangkan Arya Wadam yang juga diundang, masih belum jelas juntrungannya. Rencana adipati yang hendak menjerat Tujuh Dewa Kematian dengan mengundang ketiga pendekar aneh ditambah seorang pendekar muda yang bergelar Satria Gendeng jadi berantakan lantaran serangan mendadak Tujuh Dewa Kematian. Untung saja, Ki Dagul dan Joyolelono cukup sigap. Mereka langsung memberi perlawanan sengit, sehingga membuat dua dari Tujuh Dewa Kematian kewalahan. (Baca episode sebelumnya: "Tiga Pendekar Aneh").
"Slompret! Bocah gila ini pasti ada hubungannya dengan Dewa Gila! Paling tidak, dia pasti muridnya," desis si botak satu dari Tujuh Dewa Kematian.
Kurang puas, lelaki berkepala plontos itu menjelajahi seluruh tubuh si bocah berkumis dengan sinar matanya. Tak ada yang istimewa dari bocah itu selain kebodohannya. Tapi jawilannya barusan membuat dadanya sedikit terguncang.
Sial benar siasat Tujuh Dewa Kematian ini. Padahal rencana sudah disusun matang-matang, tapi tetap tak berjalan mulus, semulus kulit bayi. Ada yang salah pada mereka" Rasanya tidak. Untuk itu, tekad mereka terbangun lagi.
"Hiaah...!" Kali ini Lelaki plontos lainnya menggebrak. Tak tanggung-tanggung, serangannya dilambari tenaga dalam penuh. Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Arahnya sudah jelas, si bocah berkumis yang menyebalkan.
Joyolelono merasakan deru angin keras Bukan kepalang. Kali ini tubuhnya menggelinding bak buntelan kentut. Selain menghindar, sesekali boleh dong menyerang. Kelihatannya tak ada gerakan berarti yang dibuat Joyolelono. Tapi begitu jarinya menjentik benda keramat milik lelaki plontos itu....
Tak! "Adaauuu...!" Si lelaki plontos langsung terpental. Kedua tangannya sibuk mengelus-elus benda kesayangannya.
Mulutnya nyengir, sehingga membuat wajahnya yang jelek makin tak karuan saja. Kambing telat buang hajat mungkin masih kalah jelek.
Justru Joyolelono yang nandak kegirangan, seolah baru saja mendapat mainan lagi.
"Rasain, wee.... Makanya, jangan suka jahil merusak mainan orang!" omel si bocah berkumis.
"Keparat buduk! Apa karena tidak terlalu ngotot sehingga bisa dikerjai anak ingusan itu"!" rutuk lelaki plontos yang dikerjai Joyolelono ketika telah berdiri di samping lelaki kembarannya. Kegeraman dalam hatinya terasa sangat mengaduk-aduk dadanya. Betapa tidak. Hanya beberapa jurus dia dibuat bak mainan saja.
"Mestinya kita langsung bertujuh saja. Buat apa lima saudara kita menunggu di perbatasan?" sahut lelaki plontos satunya.
"Jadi, bagaimana kita sekarang?"
"Bisa berabe kalau dilayani terus. Sebaiknya kita menyingkir dulu. Kita masih punya waktu lima hari untuk merebut perawan itu." Kata sepakat terputus sudah. Tanpa merasa malu telah dikerjai, mereka segera berbalik dan berlari cepat menuju perbatasan. Tak tanggung-tanggung mereka berlari secepat mungkin bagai dikejar anjing gila.
"Hei..., hei! Ganti dulu mainanku baru kalian boleh pergi!" teriak Joyolelono, lebih mementingkan ke-senangannya daripada membantu sang Adipati dalam menumpas Tujuh Dewa Kematian.
Menduga kedua lawannya tak bakal kembali lagi, bibir bawah si bocah berkumis maju beberapa jari. Hidungnya kembang kempis siap meledakkan tangis.
Pengemis Tuak yang melihat Joyolelono menjebik begitu jadi gemas. Begitu melompat, langsung dibekapnya mulut si bocah berkumis.
"Cengeng!" sentaknya.
"Bepppp...." Susah payah Joyolelono mengucap dengan mulut ditutup begitu. Tapi kejap itu juga terlintas akal nakalnya. Digigitnya tangan Ki Dagul.
"Waddauuu...! Kunyuk sialan! Kalau lapar minta makan pada adipati. Jangan tanganku kau gigit!" maki Pengemis Tuak uring-uringan begitu bisa mencabut tangannya dari gigitan Joyolelono.
"Ada apa sahabatku, Pengemis Tuak?" Kemarahan Ki Dagul terpenggal oleh sebuah suara.
"Ada-ada saja," sahut Ki Dagul sambil melirik ke arah Joyolelono.
"Habis, mau nangis tidak boleh. Ayahku saja tak melarang," rungut si bocah berkumis sambil memainkan bagian depan baju monyetnya. Orang yang baru datang tak lain dari Adipati Wisnu Bernawa. Bibirnya mau tak mau harus mengembangkan senyum melihat raut wajah Joyolelono. Habis kalau lagi memberengut begitu, wajah itu tak lebih dari wajah orang sakit mencret. Lelaki itu kemudian mengajak masuk dua undangannya. Dia ingin mengutarakan langkah selanjutnya untuk menghadapi Tujuh Dewa Kematian yang dianggapnya sudah kebangetan. Tapi langkah mereka mendadak sontak terjegal oleh seorang prajurit yang berlari tergopoh-gopoh.
"Am..., ampun, Gusti Adipati. Pu..., Putri Pitaloka menghilang dari kamarnya...," lapor si prajurit.
"Apa..."! Bicara yang betul, Prajurit!" sentak sang Adipati.
Si prajurit dibentak begitu langsung terlonjak......
Masih untung jantungnya menempel kuat dalam rongganya. Kalau tidak bisa jadi langsung mati berdiri.
"Be... betul, Gusti Adipati. Tadi waktu Emban Sulastri hendak menemui di kamarnya, Putri Pitaloka telah lenyap...."
"Kita kecolongan, Wisnu Bernawa. Rupanya saat aku dan Joyolelono menghadapi...." Kata-kata Pengemis Tuak tak ditanggapi sang Adipati. Lelaki itu lebih suka membuktikan kata-kata si prajurit ketimbang kata-kata sahabatnya. Tinggal Ki Dagul yang garuk-garuk kepala dengan bibir memble.
Dan untuk membasahi bibirnya yang memble diteguknya tuak dari guci besarnya.
"Hei, Bocah Tolol! Ayo kita lihat ke kamar Putri Pitaloka!" ajak Ki Dagul. Rasa kesalnya tadi kepada Joyolelono yang mengganggu pertarungannya dengan dua dari Tujuh Dewa Kematian telah lenyap. (Untuk mengetahui pertarungan Pengemis Tuak dengan dua dari Tujuh Dewa Kematian, baca episode sebelumnya, "Tiga Pendekar Aneh").
"Pergi saja sendiri. Aku mau bikin mainan lagi!" usir Joyolelono, masih kesal.
Ki Dagul kalau tak ingat bocah itu murid Dewa Gila, sudah dijewernya telinga Joyolelono. Baru kali ini rasanya dia menemukan bocah yang mampu membuat hatinya meletup-letup. Tapi ibarat kentut yang tak jadi meletus, Ki Dagul cepat memendam kembali kemarahannya. Bukan, bukan karena kemarahannya telah hilang, tapi karena Joyolelono dengan seenaknya ngacir dari tempat itu.

* * *



Di kamar Pitaloka, Adipati Wisnu Bernawa hanya menemukan istrinya yang tengah menangis menggerung-gerung sambil dihibur oleh beberapa emban. Dari samping, seorang prajurit menyodorkan secarik kertas bertuliskan huruf Jawa Kuno dengan tinta darah.
Sang Adipati komat-kamit, membaca.
Wisnu Bernawa. Putrimu di tangan kami.
Tumbal perawan harus segera kami dapatkan.
Semua ciri-ciri ada pada anakmu.
Anggap saja tindakan kami sebagai bayaran atas kelancanganmu yang berani-beraninya mengusik kami.
Tertanda, Tujuh Dewa Kematian "Keparat!" desis Adipati Wisnu Bernawa dengan gigi bergemelutuk.
Jitu juga memang siasat lima dari Tujuh Dewa Kematian. Dengan menyuruh dua saudara mereka menyatroni kadipaten dari depan, mereka berlima justru menyusup dari belakang. Dan rencana itu sengaja tak diutarakan pada kedua adik kembar mereka agar berjalan mulus, semulus kulit Putri Pitaloka.
"Bagaimana menurutmu, Pengemis Tuak?" tanya Adipati Wisnu Bernawa, pada lelaki berpakaian dekil di sampingnya.
"Berapa hari lagi purnama kali ini?" Ki Dagul malah balik bertanya.
"Kalau menurut perhitungan, lima hari lagi."
"Kau yakin kalau Pitaloka dibawa mereka?" Sebetulnya bagi sang Adipati itu pertanyaan bodoh. Ya, sudah jelas lelaki tukang minum tuak ini diundang ke tempat ini lantaran sang Adipati merasa terancam, karena anaknya hendak dijadikan tumbal. Eh, dia pakai bertanya begitu.
Buat Ki Dagul sendiri, dia bertanya begitu memang lantaran tak tahu berbuat apa. Otaknya benarbenar kusut, sekusut wajahnya yang jarang tersiram air, kecuali tuak. Dan saking kusut pikirannya lagi-lagi ditenggaknya tuak dari guci besarnya. Seperti bi-asanya, cara minumnya seperti onta gurun.
"Apa tidak sebaiknya kita menyatroni mereka, Pengemis Tuak?" susul sang Adipati.
"Boleh, boleh. Aku juga ingin mencoba ilmu baruku pada kadal-kadal botak itu. Hik!" sahut Ki Dagul.
Bergegas, sang Adipati menyuruh prajuritnya untuk menyiapkan pasukan.
"Kenapa mesti bawa-bawa prajurit, Wisnu Bernawa" Buang-buang nyawa percuma saja," cetus Ki Dagul. Matanya kian sayu. Agaknya dia tengah menikmati mabuknya.
"Mereka prajurit-prajurit terlatih, Sahabatku," tandas Adipati Wisnu Bernawa.
"Bukankah kau pernah bilang kalau pernah mengirimkan Prajurit Kembar yang dikenal paling tangguh di kadipaten ini" Tapi mana hasilnya?" tukas Pengemis Tuak.
"Prajurit Kembar memang mengakui keunggulan Tujuh Dewa Kematian, Ki Dagul," sebuah suara dari belakang Ki Dagul nyeletuk.
Nadanya datar. Ki Dagul menoleh. Sukma Sukanta, orang terakhir Prajurit Kembar yang masih hidup telah berdiri di situ.
"Tapi bukan berarti Prajurit Kembar mati sia-sia," susulnya, tenang. Wajar saja kalau lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersinggung. Karena, Sukma Sukanta merasa terlibat di dalamnya.
"He he he.... Tak perlu tersinggung begitu, Kawan.
Pengorbanan kalian memang tidak sia-sia. Hanya yang kupikirkan adalah, agar tidak banyak korban yang jatuh bila kita menyerang ke sana. Sebab, Wisnu Bernawa ini bersikeras hendak membawa para prajuritnya," jelas Pengemis Tuak, melunakkan hati Sukma Sukanta.
"Sudahlah, Sahabatku. Baik. Saranmu kuterima.
Tapi yang kupikirkan saat ini, Satria Gendeng dan Arya Wadam belum muncul juga. Ada apa dengan mereka?" keluh sang Adipati.
"Biasa, kucing kalau dekat ikan memang begitu," celetuk Ki Dagul.
"Apa maksudmu, Sahabat?" tanya sang Adipati.
"Lho..., Arya Wadam itu kan perempuan. Cantik lagi wajahnya. Bisa jadi mereka berasyik-asyikan dulu sebelum ke tempat ini," duga Pengemis Tuak.
"Tidak! Aku tak percaya kalau Satria Gendeng punya sifat begitu. Aku pernah berjalan dengannya.
Dia paling takut dengan wanita," sergah Sukma Sukanta.
"Berapa kali kau bersama Satria Gendeng melakukan perjalanan?" tukas Ki Dagul.
"Sekali."
"Itu belum cukup untuk menyimpulkan sifat seseorang." "Ah, sudahlah. Cepat kita bersiap-siap melakukan perjalanan. Eh, mana si Joyolelono," penggal sang Adipati.
"Tadi kulihat dekat pintu gerbang kadipaten," sahut Sukma Sukanta.
"Ya, sudah. Mari kita berangkat."

* * *




--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

WAKTU mengendap. Matahari di atas sana terkepung gumpalan awan hitam pekat. Dengusan angin kencang mengisi setiap sela mayapada. Menerpa dua sosok manusia yang berjalan di tengah jalan desa.
Keduanya segera memasuki sebuah kedai. Yang seorang pemuda bertubuh kekar. Rompi berbulu putih dari kulit hewannya diikat dengan kain pada pinggangnya.
Di sisi si pemuda berwajah tampan itu adalah seseorang yang tak jelas. Wajahnya tertutup tudung seperti bakul nasi.
"Kita duduk di sana, Satria," tunjuk orang bertudung itu ke sudut ruangan kedai.
Si pemuda yang tak lain pendekar muda berjuluk Satria Gendeng tersenyum. Tarikan bibirnya menyiratkan kesanggupannya dengan ajakan itu.
"Dari situ kita memandang leluasa ke sekitarnya," susul orang bertudung.
Mereka segera bergerak ke sudut kedai yang tak terlalu ramai ini.
"Pesan apa, Tuan-tuan?" tanya pelayan kedai ramai, tanpa dibuat-buat.
"Aku nasi sayur asem dengan lauk ikan bakar.
Kasih lalap petai, ya?" sahut Satria.
"Aku nasi campur arak," sebut orang bertudung.
Si pelayan berusia setengah baya terbengong.
Seumur-umur dia jadi pelayan baru kali ini ada yang memesan nasi campur arak. Apa dia tak salah dengar"
"Mencampur nasi dengan arak, Tuan?" ulang si pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian cukup perlente itu mengangguk. Lemah saja, tapi sudah cukup membuat si pelayan yakin walaupun masih saja kepalanya menggeleng-geleng.
Satria melirik orang di sebelahnya yang tak lain Arya Wadam.
"Sudah berapa lama kebiasaanmu makan nasi campur arak, Arya Wadam?" usik Satria.
Dari balik tudungnya Arya Wadam menghujamkan matanya ke arah dua bola mata si pemuda.
"Kalau aku mencampuri nasi dengan racun sekalipun, apa urusanmu?" Wah, dia tersinggung. Desah Satria dalam hati.
Rasanya aku hanya bertanya wajar.
"Oh, ya. Kapan jatuhnya purnama, ya?" Satria mengalihkan pembicaraan. Tak enak rasanya suasana jadi kaku seperti ini.
"Dua hari lagi. Kenapa?"
"Gawat! Bagaimana ini" Kita harus segera menemui Adipati Wisnu Bernawa, tapi pencarian kita terhadap Raja Pencuri Dari Selatan belum menemukan titik terang. Sedangkan kau bersedia ke Lumajang setelah aku bersedia membantumu," desah Satria Gendeng.
Arya bangkit.
"Kau mengeluh lagi?" sindirnya. Hal itu pernah di-lakukannya dua hari yang lalu, ketika Satria Gendeng mengeluh demikian.
Satria memang pernah disindir bahwa Arya paling benci dengan orang yang gampang mengeluh. Apalagi, Satria Gendeng boleh dibilang adalah pendekar besar yang saat ini menggegerkan dunia persilatan.
"Tapi apa orang tak boleh mengeluh" Dan aku wajar dong mengeluh karena aku punya kewajiban terhadap Adipati Lumajang?" tukas Satria, kali ini tak mau disindir begitu saja.
"Ya, tapi kau sudah berjanji padaku. Apa seorang pendekar besar bisa mudah begitu saja melupakan janji?" Kali ini Arya terdiam.
Kalau bukan gadis cantik, sudah kutinggalkan manusia cerewet ini, gerutu Satria. Dan kalau bukan karena janji...
"Kalau kau mau pergi, pergilah. Biar aku mencari Raja Pencuri Dari Selatan sendirian," celetuk Arya.
Satria masih terdiam. Tapi samber geledek dia jadi terkejut, karena Arya seperti tahu jalan pikirannya.
Sementara itu pelayan yang membawa pesanan mereka telah datang. Dihidangkannya semua makanan di atas meja, lalu cepat beranjak dari situ.
"Repotnya, kita tak tahu ke mana harus mencari Raja Pencuri Dari Selatan. Manusia tengik itu hilang begitu saja seperti kentut," kata Satria lagi.
Arya yang sudah duduk kembali tak mempedulikan. Kini dia malah asyik menyantap makanannya.
Sementara Satria terus memandangi Arya seolah minta tanggapan. Sedikit pun dia belum berminat menyentuh makanannya.
"Makanlah dulu. Nanti masuk angin," ujar Arya, kalem saja.
"Kalau masuk angin tinggal buang saja, apa susahnya?" "Iya, buangnya jangan dekat aku. Bau!"
"Lho" Kentut itu angin. Kalau tidak dikeluarkan masuk angin. Kalau kau tak suka, pulangin," sahut Satria, dongkol.
Saking dongkolnya, dilahapnya makanan yang tersedia di atas meja.
Tengah mereka menyantap, suasana jadi hening.
Sehening kuburan. Tapi mendadak....
"Ada dua orang sakti bertarung...!" Tengah desa ini jadi geger begitu terdengar suara orang berteriak-teriak ngalur ngidul. Maka bagai mendapat tontonan gratis, mereka berduyun-duyun berlari ke arah yang ditunjuk orang tadi.
Satria dan Arya Wadam berpandangan sejenak.
Setelah saling mengangguk, mereka beranjak keluar kedai.
"Tuan, makanannya belum bayar...!" teriak si pelayan kedai.
"Nanti aku balik lagi!" teriak Satria.
"Kalau kalian tidak balik?"
"Anggap saja apes...!"
"Yah..., apes lagi," desah si pelayan kembali men-gurusi piring-piring kotor.
Tak jauh dari tengah desa, dua orang lelaki tua tengah bertarung sengit. Yang seorang adalah seorang lelaki berpakaian coklat dekil. Rambutnya putih, kaku seperti tak pernah keramas. Di atas kepalanya bertengger topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya ditumbuhi alls yang juga telah berwarna putih.
Yang seorang lagi adalah lelaki tua bermuka tirus penuh rajah dengan kaki kutung sebatas dengkul, disambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Pakaiannya mirip jubah berwarna ungu. Punggungnya agak bungkuk.
"Pucuk dicinta ulam tiba, Satria. Lihat salah satu orang yang bertarung itu. Dialah pencuri tengik itu," tunjuk Arya Wadam begitu tiba sepuluh tombak di dekat pertarungan.
Satria diam tak menanggapi. Tanpa diberi tahu pun dia sudah tahu. Hanya masalahnya, bagaimana dia harus merebut pusaka Kail Naga Samudera di tangan salah satu orang bertarung yang memang Raja Pencuri Dari Selatan itu" Karena untuk terlibat dalam pertarungan rasanya kok sungkan.
"Hei, Satria! Kenapa kau diam saja" Katanya mau membantuku?" usik Arya Wadam.
"Kita tunggu saja dulu, siapa yang kalah atau menang. Tak baik rasanya ikut-ikutan dalam persoalan mereka," sergah Satria Gendeng.
"Bukan Satria namanya kalau belum tahu persoalannya ikut campur urusan orang!" Sejenak Arya Wadam menujukan pandangannya ke arah dua orang yang kini sudah berdiri berhadapan, setelah sama-sama terjajar dua langkah sehabis berbenturan.
"Serahkan Kail Naga Samudera, Raja Pencuri!" dengus lelaki berpakaian coklat dekil. Dia tak lain dari Setan Penyair.
Satria tersentak. Rupanya yang diperebutkan mereka adalah pusakanya sendiri.
"Wah, kalau begitu kita harus segera turun tangan, Arya!" kata Satria Gendeng tiba-tiba. Langsung tubuhnya mencelat.
"Aneh juga itu manusia. Tadi disuruh menunggu siapa yang menang atau kalah. Sekarang dia sendiri yang malah ngotot melabrak ke sana," kata Arya Wadam berkata-kata sendiri. Lalu tubuhnya ikut-ikutan mencelat ke arah ajang pertarungan.

* * *



Sebelum Setan Penyair dan Raja Pencuri Dari Selatan saling gebrak, Satria telah mendarat di antara mereka. Kedua tangannya dipentangkan mirip orang mau nangkap ayam. Wajahnya tak lagi dipasang ramah ke arah Raja Pencuri Dari Selatan, seperti sewaktu pertama kali bertemu.
"Mau lari ke mana lagi kau, Pak Tua Tengik"! Cepat kembalikan pusakaku yang kau curi!" dengus Satria sarat kemarahan.
"Bicara jangan sembarangan, Anak Muda! Kau tak punya bukti dengan menuduhku demikian!" sentak Raja Pencuri Dari Selatan.
Sebelum Satria berkata lagi, Arya Wadam yang baru saja mendarat langsung menyemprot.
"Jangan banyak berkelit, Pencuri Kesiangan! Kau pun punya urusan denganku!"
"Rupanya kau, Arya"!" sambut si tua jago mencuri itu.
"Ya, aku. Sekarang, cepat serahkan pedang yang kau curi dari Paman Remeng dan Paman Poleng!"
"Pedang itu tak ada padaku!"
"Jangan berlagak pilon! Aku tahu, pedang itu ada padamu! Jadi jangan membuatku naik pitam, Orang Tua! Serahkan pedang itu baik-baik, lalu pergi dari hadapanku!" Mana ada pencuri yang mengaku....
Bisa jadi karena malu Padahal aku lihat sendiri di balik baju Ada dua benda yang dituju Seperti biasa, Setan Penyair mulai dengan syairsyairnya. Mulutnya memang terasa gatal kalau tidak melontarkan syair-syair. Di mana pun, di tiap kesempatan lelaki tua dekil itu selalu ingin menunjukkan keahliannya dalam bersyair.
"Hentikan syair gombalmu itu, Setan Penyair!" bentak Satria, merasa geli bila mendengar syair Setan Penyair.
"Mulutku sendiri, siapa yang berhak melarang?" tukas Setan Penyair.
"Kalau tak suka menyingkir saja dari sini!"
"Ya, itu memang mulut baumu sendiri. Tapi syair murahanmu itu pantasnya diucapkan di kuburan.
Buat nakut-nakuti dedemit!" Merahlah wajah Setan Penyair. Kalau tak ingat bahwa pemuda itu telah mengalahkannya tempo hari, akan dicabik-cabiknya wajah Satria Gendeng. Sayang nyalinya hanya secuil. Jadi lebih baik dia undur diri.
"Ingat, Satria! Aku belum kalah darimu! Suatu saat nanti, kau harus bertekuk lutut di hadapanku!" ancam Setan Penyair.
"Ya, lebih baik kau bergumul dengan syairsyairmu. Nanti kalau ada yang bagus, baru kau boleh bacakan di depan pantatku. He he he...," ledek Satria, tak tanggung-tanggung.
Setan Penyair tak sudi lagi mendengar ocehan Satria, ketimbang darah tingginya kumat. Cepat dia berbalik dan berkelebat dari tempat ini. Di dekat pedatinya langkahnya terhenti, lalu melompat naik. Sebentar saja kuda kurusnya telah membawa lelaki itu meninggalkan desa ini.
Sementara itu, Arya Wadam masih terus mendesak Raja Pencuri Dari Selatan agar menyerahkan pedang yang dicurinya. Tapi dasar keras kepala, tetap sa-ja si tua itu pada pendiriannya.
"Dasar keras kepala! Hiaaahh!" Tak sabar lagi Arya Wadam menghadapi si tua itu.
Orang yang dicarinya setengah mampus sudah di depan mata. Tapi begitu ditegur baik-baik, malah membuatnya naik darah. Tak ada kata lain, segera diterjangnya Raja Pencuri Dari Selatan.
Kebutan tangan Arya Wadam diladeni tangan pula oleh Raja Penyair Dari Selatan.
Plak! Keduanya sama-sama alot. Tubuh mereka terjajar satu tombak ke belakang. Tapi Arya Wadam cepat menyusuli dengan tendangan berputar yang keras bukan kepalang. Sampai-sampai deru angin memapas udara terdengar. Tak mau dadanya jadi sasaran, lelaki tua yang tak suka mencuri ketimun melainkan mencuri bendabenda pusaka itu menarik kaki kirinya ke belakang dengan tangan bersilang di atas dada.
"Hiaah! Mampus kau, Tikus Busuk!" Sambil menyentak kaki lawan yang terjepit di kedua tangannya, Raja Pencuri Dari Selatan menyentak kakinya. Tubuhnya langsung melambung dan meluruk ke arah Arya Wadam yang masih berputaran di udara.
Dieagh! Luncuran tubuh Arya Wadam kian bertambah tanpa penghalang. Telak sekali tadi ceker si tua itu mendarat di punggungnya saat melayang di udara. Untung saja Arya Wadam yang sesungguhnya seorang wanita itu cepat bangkit berdiri, walaupun dengan dada terasa diaduk-aduk.
"Slompret! Dia buat si Arya nyusruk di tanah!" Satria yang sejak tadi berbaur dengan orang-orang lain yang menontoni kalang kabut sendiri. Mana tega hatinya melihat Arya yang berwajah cantik itu dibuat seperti bola mainan anak-anak. Darah mudanya pun bergolak. Baru saja pemuda itu melompat kembali untuk menghadang Raja Pencuri Dari Selatan, Arya Wadam telah mencegah.
"Tahan, Satria. Dia masih jadi bagianku! Tunggu saja si tua ini menjerit-jerit minta ampun padaku!" teriak Arya Wadam setelah membesut darah yang terbit di sudut bibir.
Satria mengalah. Dibiarkannya Arya Wadam menuntaskan urusannya. Pemuda itu tahu, kepala Arya Wadam dipenati janjinya terhadap kedua pamannya.
Jadi, mana sudi Arya Wadam mundur begitu saja. Sudah capek-capek dia dan Satria mencari-cari tikus pencuri itu. Kini setelah di depan mata dibiarkan begi-tu saja" Tak usah, ya! Serangan Arya Wadam berikutnya makin gencar.
Tubuhnya meluncur dengan sabetan ganas menderu.
Di tempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan makin berang.
Kemarahannya makin membakar. Maka tanpa raguragu lagi dipapaknya serangan ganas lawan.
Pak! Pak! Cerdik sekali Arya Wadam. Begitu terpapak tubuhnya dienyahkan ke belakang. Sementara kedua kaki terangkat ke depan menghantam dada.
Desss! Raja Pencuri Dari Selatan tersurut mundur dengan tubuh terhuyung-huyung. Wajahnya yang memerah meringis. Jelek sekali.
"Kucincang kau, Bocah!" Kalap bukan main Raja Pencuri Dari Selatan bisa kecolongan oleh lawan mudanya. Penuh nafsu, kali ini ganti dia yang meluruk menerjang Arya Wadam.

* * *




--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

HOI...! Ayo kejar aku...!" teriak Joyolelono. Si bocah ajaib itu benar-benar gila. Lari kuda milik Adipati Wisnu Bernawa, Pengemis Tuak, dan Sukma Sukanta dibabatnya. Padahal, dia hanya berlari saja.
Ki Dagul merasa tertantang. Gusar juga hatinya diremehkan oleh bocah berkumis itu. Semangat tuanya pun dikumpulkan sampai ke ujung ubun-ubun.
Mulutnya yang berbibir mirip buntalan gombal pun mengembung.
"Slompret! Akan kukejar dan kujitak kalau kena.
Hiaa...!" Di ujung kalimatnya, si tua bangka itu menggebah kudanya. Lesatannya kali ini luar biasa, karena Pengemis Tuak mengendarai kuda sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
"Ayo, Kakek Jelek. Kejar aku...!" seru si bocah ajaib kegirangan, karena merasa tertantang.
"Akan kuremas kepalamu, Bocah Edan!" desis si tua bangka.
Kejar-kejaran aneh pun terjadi. Paling depan adalah Joyolelono yang hanya berlari biasa. Di belakang mati-matian Pengemis Tuak mengejar dengan kudanya. Tak ada yang mau mengalah.
Paling belakang, Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta hanya menggeleng-geleng saja. Lelaki ini memang tak bisa berbuat banyak mencegah mereka bermain-main, sementara hatinya diselimuti kecemasan akan putrinya yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Maklum, tanpa bantuan kedua makhluk aneh itu, rasanya mustahil dia dapat membebaskan putrinya.
Buktinya saja, Pendekar Kembar yang jadi andalan Kadipaten Lumajang tak mampu berbuat banyak menghadapi Tujuh Dewa Kematian.
"Aku khawatir mereka tersesat di jalan, Kanjeng," cetus Sukma Sukanta memecah kebisuan di atas kuda yang berjalan sedang-sedang saja.
"Mereka tokoh-tokoh sakti, Sukma," ingat sang Adipati.
"Tapi belum tentu mereka tahu jalan menuju Gunung Arjuna."
"Tak perlu cemas berlebihan begitu, Sukma. Serahkan semua pada Hyang Widhi." Kali ini Sukma Sukanta diam tak menyahut. Tapi tetap saja ada rasa kekhawatiran dalam dirinya. Bukan, bukan kekhawatiran terhadap Ki Dagul dan Joyolelono. Tapi, kekhawatiran terhadap dirinya dan keselamatan Adipati Wisnu Bernawa. Karena biar bagaimanapun, menjaga keselamatan sang Adipati harus memiliki tanggung jawab besar. Sebagai salah satu dari Lima Pendekar Kembar, Sukma Sukanta memang memiliki kepandaian tinggi pula. Tapi apa artinya kepandaian miliknya, tanpa ditunjang kepandaian milik saudara-saudaranya yang telah tewas di tangan Tujuh Dewa Kematian" Sebab selama ini, mereka bertarung selalu bersama-sama. Artinya, kepandaian yang satu selalu ditunjang oleh kepandaian yang lain. Nah, kalau kini dia tinggal sendiri, itu sama saja artinya lelaki tua jompo bergigi satu menggigit daging alot.
Kebisuan mencekam.
Di depan sana, Hutan Kaliabang menghadang.
Sukma Sukanta tahu, daerah itu cukup rawan.
Kewaspadaannya pun ditingkatkan. Makin dekat, jantungnya makin berdegup kencang. Sementara Adipati Wisnu Bernawa masih terlihat tenang-tenang. Padahal, perampok-perampok garang bisa saja menghadang.
"Berhenti...!" Suara bentakan menggelegar terdengar memecah keheningan. Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta langsung menarik tali kekang kudanya. Belum jauh mereka memasuki Hutan Kaliabang, menyusuli bentakan tadi, berlompatan empat orang bertampang garang menghadang.
"Ada apa Kisanak semua" Mengapa kalian menghadang kami?" tanya sang Adipati. Mestinya dia tak perlu tanya begitu, karena hutan ini memang dikenal rawan perampok. Tapi entah kenapa pertanyaan itu meluncur saja dari mulutnya.
"Kami perampok, Guoblok!" bentak salah seorang penghadang, lelaki bertubuh tinggi besar.
"Hei, kalau bicara yang sopan! Yang kalian hadapi Adipati Wisnu Bernawa, tahu"!" semprot Sukma Sukanta, hendak menjatuhkan nyali keempat lelaki yang semuanya bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan orang dewasa. Sebuah trisula terselip di ikat pinggang mereka masing-masing.
"Kebetulan! Jelas, yang kita hadang orang kaya, Kawan-kawan. Pasti mereka membawa banyak membawa kepingan emas!" sentak lelaki tinggi besar yang berperut paling buncit.
Mungkin isinya makanan ha-ram melulu.
"Nah, serahkan harta benda kalian kalau tak mau mampus di tangan murid-murid Raja Pencuri Dari Selatan!" susul yang lain. Nadanya sarat ancaman. Bentakannya begitu semangat, sampai-sampai ludahnya menyembur tak karuan.
"O, jadi kalian murid-murid Raja Pencuri Dari Selatan. Guru dan murid setali tiga uang. Ingat! Kalian berhadapan dengan sang Adipati. Tak akan kubiarkan kalian menjarah junjunganku!" gertak Sukma Sukanta.
"Mau adipati, kek. Mau setan belang, kek. Kami tak peduli! Cepat lemparkan kantung uang kalian kalau tak mau mati sia-sia, heh!" bentak si perut buncit.
"Kalau kami tak mau?"
"Nyawa taruhannya!"
"Kalau ka...."
"Jangan bertele-tele!" potong si perut buncit. Ge-rahamnya bergemelutukkan.
Urat-urat lehernya menegang.
"Cepat serahkan atau kalian mampus!" sambar-nya lagi. Saking marahnya, dadanya seperti mau membuncah. Keterlaluan memang.
Orang-orang yang mereka hadang adalah orang penting di kadipaten. Tapi demi tuntutan nafsu, mata mereka buta. Padahal, mereka masih rakyat Kadipaten Lumajang sendiri.
"Kawan-kawan! Serang mereka!" teriak si perut buncit.
"Heaa...!" Dikawal teriakan menggesek udara, ketiga orang kawan si perut buncit menerjang garang. Tak tanggung-tanggung, trisula telah terhunus di tangan siap dihujamkan. Demikian pula halnya dengan si perut buncit.
"Hup!" Sang Adipati dan Sukma Sukanta cepat melompat turun, menghadang serangan. Mereka tak mau berbasa-basi lagi. Waktu kian mendesak untuk menyelamatkan Pitaloka. Sementara halangan kecil menghadang. Empat trisula datang bersamaan mengurung sang Adipati dan Sukma Sukanta. Ganas sekali. Angin sambarannya menerpa wajah lawan.
Wush! Trak! Trak! Empat trisula tadi terpapak oleh kebutan senjata pedang Sukma Sukanta dengan jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'. Sementara keris sang Adipati hanya menyambar angin karena tindakannya telah didahului prajurit setianya.
Keempat perampok yang ternyata murid Raja Pencuri Dari Selatan terjajar mundur. Wajah mereka kian beringas. Kegagalan mereka menyerang menjadi pemicu serangan berikut. Kali ini lebih ganas dan mematikan.
"Akan kurencah tubuh kalian, Keparat!" geram lelaki gendut.
"Kalau kalian mampu, kenapa tidak cepat dilakukan?" tukas Sukma Sukanta, enteng.
Sewajarnya mereka sadar, siapa lawan yang dihadapi. Sekali papak, serangan mereka tersentak mundur. Tapi tidak buat empat lelaki brangasan ini.
"Hiaah!" Empat trisula kembali berputaran deras menuju lawan. Gerakannya tak kepalang tanggung, disertai tenaga dalam tinggi. Memang tak percuma mereka menjadi murid Raja Pencuri Dari Selatan kalau tak bisa unjuk gigi. Dua ujung trisula mengancam leher dan perut Sukma Sukanta. Dua lagi mengintip malu-malu pada pertahanan Adipati Wisnu Bernawa. Bila mereka orang biasa, rasanya sulit untuk menentukan trisula mana yang harus dipapak lebih dulu.
Wush! Angin menderu. Empat melesat.
Apa yang dilakukan Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta kalau sudah begitu" Tak ada jalan lain. Mereka harus melenting ke udara bersamaan.
"Hup!" Di udara, tubuh mereka berputaran, lalu mendarat ringan dua tombak dari tempat semula. Sementara keempat lelaki itu hanya menebas angin. Tapi mereka cepat berbalik dengan wajah liar.
"Bangsat! Licin seperti belut juga kalian!" dengus si gendut.
"Tapi kali ini jangan harap bisa lolos!" Keempat lelaki brangasan siap menggebrak kembali. Tak ada kata menyerah dalam kamus hidup mereka, kecuali kepepet. Tapi sebelum serangan dibuka....
"Empat tikus busuk memang paling menyebalkan!" Keempat lelaki itu terlonjak. Bentakan yang disertai tenaga dalam membuat telinga mereka pengang dengan dada terguncang. Mereka langsung berbalik.
"Siapa kau, Tua Bangka Busuk! Jangan campuri urusan kami!" bentak si gendut, menatap jalang pada seorang lelaki tua berpakaian kumal.
Hebat sekali si tua bangka ini. Sambil tiduran di atas sebuah ranting pohon sebesar kelingking, dengan gaya santainya dia menenggak tuak dari guci yang sebesar pelukan tangan orang dewasa. Kecuali burung, makhluk apa lagi yang bisa tidur-tiduran di atas ranting sekecil itu" Kalau lalat atau lebah, karuan karena memang bertubuh seupil.
Tapi ini manusia sebesar itu" "He he he.... Hei, Tikus-tikus Buduk! Apa kalian tak punya pekerjaan lain selain mengganggu orang.
Cepat enyah dari sini sebelum kusunat dua kali!" ancam si tua bangka yang tak lain Pengemis Tuak.
"Bangsat!" Mengkelaplah keempat lelaki brangasan ini. Amarah pun membuncah, siap meledakkan dada. Terbayang dalam benak mereka, kalau lelaki tua itu bakal minta ampun di ujung jempol bau mereka. Untuk itu, rasanya mereka perlu menggertak lebih dulu. Siapa tahu nyali si tua itu hanya seujung upil.
Si gendut memulai. Diraihnya beberapa daun kering yang banyak berserakan di tanah. Secepat itu pula, dilemparkannya daun-daun kering itu. Mestinya, lemparan yang disertai tenaga dalam itu mampu menggetarkan lawan. Tapi, tentu saja tidak bagi Ki Dagul. Dua jari lagi daun-daun yang berubah bagai lempengan baja itu menghujam, enak sekali tangannya yang bebas mengibas.
Wukk! Wuss...! Dibarengi sumpah serapah, keempat lelaki brangasan itu berhamburan dari tempatnya. Mereka harus menyelamatkan diri kalau tak mau terhujam daundaun kering yang berbalik mengancam.
Cep! Cep! Cep! Daun-daun tadi langsung meluncur, menghujam di batang-batang pohon. Jika keempat orang itu kalah cepat, dipastikan nasib mereka sama seperti batangbatang pohon itu. Dan mestinya mereka bersyukur karena telah terbebas dari bahaya. Tapi dasar keras kepala, kejadian barusan tak dianggap sebagai peringatan. Justru dengan mata gelap mereka meluruk dengan trisula terhunus.
"Heaaa...!" Satu tombak di dekat Pengemis Tuak, mereka mencelat sambil menghujamkan trisula dari empat jurusan. Tapi, benar-benar edan. Enak-enakan Ki Dagul menenggak tuaknya. Dan....
"Fruuhhh...!" Masih sambil tiduran di atas ranting, Pengemis Tuak menyemburkan tuaknya ke segala arah, mirip dukun mengusir setan. Bukan main! Setiap percikan tuaknya mengandung bara api yang mengepulkan asap. Tak! Tak! Tak! "Adaauuu...!" Keempat lelaki brangasan itu kontan menjerit sambil menutup wajah. Butir-butir percikan tuak langsung membuat wajah mereka melepuh. Untung saja si tua itu masih berbaik hati dengan tidak mengerahkan tenaga dalam penuh. Kalau itu sampai terjadi, bisa dipastikan keempat lelaki brangasan itu mati berdiri.
Sambil tetap menutup wajah yang terasa perih bukan main, keempat lelaki brangasan itu lari serabutan tak tentu arah. Malah si gendut yang berlari lebih dulu harus rela dengan kolornya yang putus, terkait ranting pohon yang mencuat keluar. Tubuhnya yang lebih mirip buntalan kentut itu terguling-guling, lalu bangkit lagi sambil memegangi kolor.
"Ha ha ha.... Empat tikus buduk main di dapur tersembur api. Lari pontang-panting karena takut mati. Husyah Husyah!" ledek Ki Dagul setelah turun dari ranting pohon. Kedua tangannya mengibas-ngibas ke depan mirip orang mengusir ayam.
Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta tak urung jadi tertawa. Manusia tengil macam mereka memang sekali-kali perlu diberi pelajaran, begitu kata hati kedua orang ini.
Santai, Ki Dagul menghampiri sang Adipati.
"Sialan si Joyolelono!" makinya, tahu-tahu.
"Bagaimana" Kau menang lawan Joyolelono tadi?" tanya sang Adipati.
"Kalau bukan bocah kemarin sore, sudah kupecahkan kepalanya!" rutuk Pengemis Tuak, tak menjawab pertanyaan Adipati Wisnu Bernawa.
"Iya, kau menang apa kalah?" kali ini Sukma Sukanta yang mendesak.
"Sialan benar bocah itu," Ki Dagul malah menggeleng-geleng.
"Bagaimana Danusenta" Kau pasti menang kan?"
"Kalah...," desah Ki Dagul, masygul.
"Wah, hebat sekali kalau begitu si Joyolelono! Ma-na sekarang bocah itu?" tanya Sukma Sukanta.
"Itulah.... Saking cepatnya dia berlari, aku sampai tertinggal amat jauh. Aku putus asa, kutinggalkan saja bocah itu dan berbalik ke sini," jelas Ki Dagul yang bernama asli Danusentana.
"Jadi, bocah itu sekarang tak jelas ada di mana?" sentak Sukma Sukanta.
"Kau ini bagaimana, Danusentana"! Bocah itu kan belum tahu letak Gunung Arjuna. Kalau dia tersesat bagaimana?" tuntut sang Adipati, khawatir. Sebab, bi-ar bagaimanapun, dia harus ikut bertanggung jawab atas keselamatan putra Dewa Gila itu.
"Ah, kalau dia tersesat pasti akan balik ke tempat semula," tukas Ki Dagul seenaknya.
"Kembali bagaimana" Dia itu kan pemuda yang berotak kebocah-bocahan. Jalan pikirannya pendek.
Dan lagi, arah yang ditujunya belum tentu ke arah Gunung Arjuna," tukas sang Adipati.
"Wah, jadi berabe begini?" sambung Sukma Sukanta.
"Tak perlu khawatir. Biar otaknya kebocahbocahan, tapi kepandaiannya bisa diandalkan. Tak akan terjadi apa-apa pada dirinya," tegas Ki Dagul yakin.
"Bukan begitu, Ki.
Tanpa bocah itu, kekuatan kita berkurang," tukas Sukma Sukanta.
"O, iya, ya. Kenapa bodoh sekali aku, ya" Baik! Kalau begitu aku segera menyusulnya!" cetus Pengemis Tuak.
"Tak perlu, Sahabatku. Kita harus cepat menuju Gunung Arjuna. Kalau bocah itu cukup punya kepandaian, aku tak lagi khawatir. Hanya yang kukhawatirkan, waktu kita akan habis untuk menyelamatkan Pitaloka. Sedangkan menunggu Satria Gendeng dan Arya Wadam juga jelas tidak mungkin. Jadi, kita harus berangkat dengan kekuatan apa adanya," tandas sang Adipati.
"Baiklah kalau memang begitu."

* * *




--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

KALAP bukan main Raja Pencuri Dari Selatan.
Ganas, dia menerjang Arya Wadam. Kaki kutungnya yang disambung tulang rusuk harimau Jawa berputaran mengincar dada.
Pertarungan telah digelar. Tak ada lagi yang mampu menghentikan. Semua terpana. Semua yakin, Arya Wadam akan roboh tak berdaya dicabik tulang harimau Jawa di kaki Raja Pencuri Dari Selatan.
"Hiaahh...!" Gemulai sekali Arya Wadam meliuk-liukkan tubuhnya. Tak ada satu serangan pun yang bisa membeset tubuhnya. Di tempatnya, Satria Gendeng dibuat terkagum-kagum melihat kepiawaian temannya dalam berkelit. Sedikit saja salah bergerak, bukan mustahil tubuhnya tersayat tulang rusuk harimau Jawa lawan.
Mungkin bila orang awam menilai, tubuh Arya Wadam telah berlumuran darah. Tapi Satria tidak. Matanya cukup jeli mengawasi jalannya pertarungan.
Bahkan tarikan senyum di bibir Satria makin kentara saat melihat kecerdikan Arya Wadam.
Wanita yang berpenampilan seperti lelaki itu perlahan tapi pasti mulai bisa menguasai keadaan. Sambil meliuk-liuk indah, Arya Wadam mulai mengincar titik lemah di tubuh lawan.
Bed! Tepat ketika Raja Pencuri Dari Selatan menghujamkan tulang rusuk harimaunya, Arya Wadam mengenyahkan tubuhnya sedikit ke kanan. Dan secepat itu pula dikirimkannya satu sapuan maut ke kaki lawan setelah memutar tubuhnya.
Pak! Bruk! Raja Pencuri Dari Selatan jatuh terduduk. Matanya melotot tak percaya. Kecolongan dua kali, membuat darah tingginya kumat lagi. Dengan gerakan bergemelutukkan dia mencoba bangkit. Tapi, satu tendangan Arya Wadam membuat tubuhnya tergulingguling.
"Terkutuk kau, Bocah! Aku tak segan-segan lagi untuk membunuhmu!" Di akhir kalimatnya, Raja Pencuri Dari Selatan bangkit, langsung memasang kuda-kuda. Tangan kanan terjulur ke depan dengan telapak terbuka. Sementara tangan kiri di sisi pinggang, juga dengan telapak terbuka.
"Hiaah...!" Dikawal teriakan yang dibarengi kentut, telapak kiri si tua telengas itu menghentak. Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Keji sekali si tua ini. Demi hasratnya untuk memiliki benda-benda pusaka, dia tak malu-malu menebar petaka di tengah desa.
Wussh! Angin menderu. Gesekan pukulan jarak jauh dengan udara begitu menggiriskan. Bila Arya Wadam tak memapak, berarti tega membiarkan nyawa para penonton berkeliaran menuju akhirat. Dan itu tak boleh terjadi.
"Shaa...!" Tak kalah lantang, Arya Wadam berteriak keras.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menghentak dengan telapak terbuka. Disongsongnya pukulan jarak jauh lawan dengan pukulan jarak jauh pula.
Blakk! Seketika, badan ramping Arya Wadam terpental deras ke belakang. Tak akan berhenti luncuran tubuhnya kalau tidak menabrak dua orang penonton di belakangnya. Brukk! Tiga orang jatuh bertumpukan. Satu orang langsung pingsan, satu lagi masih megap megap. Sedangkan Arya Wadam langsung bangkit dengan napas ngos-ngosan. Dadanya terguncang hebat. Lalu...
"Hoeekhh...!" Dari bibirnya yang merekah di balik tudungnya, Arya Wadam membiarkan darah kental merah berhamburan di depannya. Mulutnya meringis menahan sakit. Sementara ditempatnya, Raja Pencuri Dari Selatan tertawa tergelak, merayakan kemenangannya. Dia tadi sempat terjajar, tapi tak sampai jatuh. Tenaga dalam lelaki tua ini rupanya boleh juga. Paling tidak, selisih satu tingkat di atas Arya Wadam.
"Jangan tertawa lebar-lebar! Mulutmu bau, tahu"!" Satria yang tak sudi sahabat barunya dibegitukan oleh pencuri tengik itu langsung melompat dan membentak. Rahang kekarnya mengembung. Tarikan wajahnya menyiratkan kemarahan.
"Ha ha ha.... Kau lagi, Bocah. Mau merebut pusakamu juga, ya!" leceh Raja Pencuri Dari Selatan. Tengik sekali lagaknya.
Padahal, Satria tadi sudah mengutarakan maksudnya.
"Tak hanya merebut pusakaku, tapi juga membalas perlakuanmu terhadap kawanku!" sentak si pemu-da garang.
Kata-kata si pemuda disambut serangan Raja Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya meluruk dengan sabetan tangan yang siap memangsa lawan.
"Heaaa...!" Ketika matanya menangkap kelebatan tangan lawan, Satria mengenyahkan tubuhnya ke samping.
Serangan si tua bangka licik itu luput.
Serangan berikutnya mengejar. Sabetan kaki kutung yang disambung tulang rusuk harimau Jawa menderu dan memburu. Berkali-kali mata tulang rusuk runcing itu hanya memangsa angin saja, karena dengan lincahnya Satria cepat mundur sambil meliukliukkan tubuhnya.
Si tua bangka makin berang. Sungguh tak disangka pemuda yang dianggapnya masih hijau mampu menghindari serangannya. Nafsu membunuhnya pun makin membakar. Kekalapan memuncak. Serangannya makin gencar, laksana badai.
Sampai akhirnya....
Bukk! "Hekh...!" Serangan penuh nafsu Raja Pencuri Dari Selatan membawa hasil. Ketika serangan kaki kutungnya yang disambung tulang rusuk harimau Jawanya berhasil dihindari lawan, si tua bangka membuat gerakan tak terduga. Sambil membuang tubuh ke kiri, kakinya yang utuh menyapu perut lawan.
Satria terhuyung-huyung. Tendangan tadi sebenarnya disertai tenaga dalam, dilepas dengan kaki berotot pula. Kalau pemuda lain, tentu sudah terjengkang ambruk tak bangun-bangun lagi. Tapi tidak untuk Satria. Kaki si pemuda tetap memacak bumi walaupun ngak goyah.
Rasa mual di perut si pemuda langsung membangkitkan kemarahannya. Matanya mendadak memerah. Satu tangannya masih memegangi perut. Namun, pandangannya menghujam dalam. Sementara tangan satunya terkepal, memperlihatkan otot-ototnya yang kekar. Begitu Raja Pencuri Dari Selatan melabrak kembali seperti tak ingin memberi kesempatan, Satria meraung. Sebentuk kemarahan terlampiaskan. Sekilas tadi matanya sempat melirik keadaan Arya Wadam.
Dan nyatanya, wanita itu masih megap-megap akibat adu tenaga dalam tadi.
Melihat keadaan kawannya, wajah Satria merah terbakar amarah. Di keningnya terlihat gelembung urat-urat kemarahan. Disongsongnya gebrakan lawan dengan terjangan pula. Tubuhnya meluncur lurus bagaikan hiu menyergap mangsa. Kedua tangannya mengibas ke sana kemari, seolah bagai sirip kekar menghantam karang. Plak! Sambaran tangan Raja Pencuri Dari Selatan dihantam Satria dengan tangan kiri. Pagutan tangan satu lagi milik si tua bangka itu ditahan dengan tangan kanan. Bagaikan seekor ikan hiu berbalik arah, Satria cepat membuang tubuhnya ke belakang. Dan mendadak kedua kakinya yang merapat bagai ekor hiu, langsung menghajar rahang tua bangka licik itu.
Dieeghh! "Aaakhh...." Raungan kesakitan terlempar sudah dari mulut bau Raja Pencuri Dari Selatan. Tubuhnya terlempar deras bukan main. Kalau saja bukan dia, sabetan kaki si pemuda tadi pasti telah membuat wajah tak berbentuk lagi. Mulut bisa pindah ke jidat, hidung ke telinga, dan telinga ke mulut.
Tapi ini yang mengalami tokoh yang tergolong patut diperhitungkan dalam dunia persilatan. Geram, Raja Pencuri Dari Selatan bangkit. Matanya nyalang liar. Mulutnya mengembung, dengan kemarahan membakar ubun-ubun. Tak ada kata yang pantas bagi pemuda itu selain mati. Begitu tekadnya.
Seperti waktu menjatuhkan Arya Wadam, si tua maling tengik ini menarik kaki kirinya ke belakang.
Kuda-kuda kokoh telah dibentuknya. Tangan kanan menjulur dengan telapak terbuka. Tangan kiri di sisi pinggang dengan telapak terbuka pula.
"Hiaah...!" Pukulan jarak jauh terlontar sudah. Angin menderu. Seolah, semua pelampiasan kemarahan lelaki tua itu terkandung dalam lesatan pukulannya.
Bahaya kembali mengancam. Bila pukulan jarak jauh itu sampai nyasar bisa jadi akan menghantam apa saja. Memang orang-orang yang menonton pertarungan merasa lebih baik menyingkir sejak Raja Pencuri Dari Selatan melepas pukulan jarak jauh kepada Arya Wadam tadi. Tapi kalau pukulan itu sampai menerjang rumah penduduk"
"Hiaaah!" Teriakan merobek angkasa mencelat dari kerongkongan si pemuda. Tangannya bergerak sekedipan. Kejap berikutnya, terdengar angin keras menderu mengiringi pukulan jarak jauhnya, memapak serangan Raja Pencuri Dari Selatan.
Blakkk! Bukan main. Tubuh keduanya sama-sama terlempar deras. Bedanya, Satria langsung membuat putaran di udara. Sedangkan lawannya terpuruk di tanah.
Terhuyung-huyung Satria mendarat. Matanya nyalang memperhatikan sang lawan yang berusaha bangkit.
"Bangsat! Kau harus mampus, Bocah!" geram si tua bangka. Tertatih-tatih dia berusaha bangkit. Rasa penasarannya pada si pemuda makin menggila dalam dada. Tak sudi dia dikalahkan oleh pemuda kemarin sore macam Satria Gendeng.
Satria tak mudah digertak begitu rupa. Tegar, si pemuda berdiri menanti. Dan ketika lawan kembali menerjang, dengan keberanian seekor naga muda dia malah menyambut terjangan lawan.
Agaknya, Raja Pencuri Dari Selatan telah salah duga. Meski Satria tergolong bocah bau kencur, tapi keberaniannya boleh diacungi jempol. Lewat jurus 'Mematuk Bunga Karang' yang diturunkan Ki Kusumo, kedua tangan si pemuda mengibas-ngibas bagai elang.
Wuuk! Wukk! Raja Pencuri Dari Selatan tak mau kalah. Jurus 'Jari Maut Merogoh Kantong' pun dikerahkan. Kedua tangannya dengan jari telunjuk dan tengah lurus menjadi satu mengincar setiap celah di pertahanan lawan.
Pertarungan maut kembali tergelar. Belum ada yang kalah dan menang.

* * *



"Hu hu hu.... Ke mana kalian" Kenapa aku ditinggalkan sendirian" Tak berperasaan!" Si bocah berkumis bernama Joyolelono menangis meraung-raung lantaran tersesat di sebuah hutan kecil. Waktu berlomba dengan Pengemis Tuak tadi, dia terus berlari menuju ke selatan. Padahal, arah menuju Gunung Arjuna berbelok ke kiri. Artinya, seharusnya dia menuju timur.
Si bocah berkumis anak Dewa Gila ini membanting-banting kakinya.
"Hu.... Kalau tak mau jalan denganku bilang! Jangan tahu-tahu aku ditinggal begini. Hu hu hu.... Kalian nakal!" ratap Joyolelono.
Dahsyat sekali bantingan kaki si bocah berkumis.
Bumi bergetar. Pohon-pohon tak urung ikut bergoyang-goyang. Selanjutnya....
Bruuk!! "Monyet buntung! Anjing kurap! Siapa cecunguk busuk yang berani mengganggu tidurku"!" Suara meledak-ledak terdengar menyusuli suara benda jatuh dari atas pohon. Joyolelono menghentikan tangisnya. Dipandanginya satu sosok tubuh bulat yang barusan terbanting di tanah. Mata sosok tubuh bulat itu memerah nyalang. Dadanya yang tak tertutup pakaian turun naik menyiratkan kekesalannya. Kepalanya gundul. Bagian terlarangnya hanya ditutupi cawat dari kain berwarna hijau.
"Paman gendut, kenapa tidur di tanah?" tanya Joyolelono, polos.
"Kepalamu bau apek! Kau telah mengganggu tidurku, tahu"! Aku terjatuh dari pohon!" semprot lelaki bertubuh bulat mirip tempayan itu, seraya bangkit berdiri.
"Salah sendiri, kenapa tidur di atas pohon?" tukas si bocah berkumis, kalem.
"Kodok buduk! Siapa namamu, Bocah"! Berani benar kau bertingkah di hadapan Bergola Ijo"!" dengus lelaki bulat yang mengaku bernama Bergola Ijo.
"Siapa" Kodok Ijo" Ha ha ha.... Kau memang mirip kodok, Paman."
"Kurang ajar!" Cukup sudah kesabaran Bergola Ijo. Kata-kata lugu bocah berkumis itu masuk ditelinganya sebagai penghinaan habis-habisan. Wajahnya bukan lagi menampakkan kemerahan, tapi kehijauan untuk menyiratkan kemarahannya. Kedua pipinya mengembung.
Urat-urat di pelipisnya menegang.
"Sebutkan namamu sebelum kau kuhabisi, Bocah Keparat!" desisnya murka.
"Aku Dewa Gila," sebut Joyolelono, kalem. Sama sekali dia tak menganggap kalau Bergola Ijo tengah bersiap-siap melampiaskan amarahnya.
"Dewa Gila" Jangan berdusta, Bocah" Aku tahu, siapa Dewa Gila! Katakan yang benar, siapa namamu"!"
"Dewa Gila."
"Siapa"!"
"Dewa Gila."
"Siapa"!" bentak Bergola Ijo lebih keras lagi.
"Aku anaknya Dewa Gila," sebut Joyolelono, tetap dengan nada kalem.
"Bocah gemblung! Katakan dari tadi kalau kau anaknya Dewa Gila!" semprot Bergola Ijo.
"Cepat katakan, apa maksudmu datang ke tempat ini"!" Suara Bergola Ijo kali ini melemah walaupun masih dengan nada membentak. Sejak dia mendengar nama Dewa Gila disebutkan, nyalinya kontan ciut jadi sebesar upil. Lelaki bulat ini lima tahun lalu sebenarnya pernah berurusan dengan Dewa Gila dari Lembah Pangrango. Ketika mereka bertarung, Bergola Ijo dapat dikalahkan. Lantas, Bergola Ijo berjanji tak akan mengusik kehidupan Dewa Gila dan keluarganya.
"Siapa yang sudi ke tempat ini" Orang aku tersesat," tukas Joyolelono.
"Ke mana tujuanmu sebenarnya?"
"Gunung Arjuna."
"Ada apa di sana?"
"Apa-apa ada. Ada pohon, binatang, sungai, batu, dan...." "Diam!" bentak Bergola Ijo, dongkol.
"Lho, kok marah?" tanya Joyolelono, lugu.
"Gimana aku tidak marah"! Aku tanya begini, kau jawab begitu. Aku tanya, di sana ada apa, ah! Setan! Malah aku yang salah. Aku tanya kenapa kau pergi ke sana?" "Mana aku tahu" Aku hanya disuruh ayahku untuk pergi ke kadipaten. Katanya, di sana aku harus menjaga keselamatan adipati dan menuruti perintahnya. Itu saja," sahut si bocah berkumis, polos.
"Nah, waktu adipati mengajakku ke Gunung Arjuna, aku malah ditinggal. Aku tersesat. Hu hu hu...!" Joyolelono meraung-raung lagi. Lebih gila lagi, dia langsung menjatuhkan diri ke tanah dan bergulingguling. Bergola Ijo tak habis pikir, ngidam apa istri Dewa Gila dulu sehingga anaknya sampai bertingkah aneh ini. Hi, amit-amit.... Jangan sampai anaknya aneh seperti itu, gidik Bergola Ijo. Masa' bocah sudah bangkotan seperti itu, berkumis lagi, tingkah lakunya seperti baru berusia lima sampai tujuh tahun"
"Huh! Kalau tak ingat dia anaknya Dewa Gila, sudah kucincang dia!" sungut Bergola Ijo.
Joyolelono seperti tak puas dengan tangisnya. Selesai bergulingan. dia bangkit. Ditendanginya pohonpohon di sekitarnya. Sarat kekuatan dahsyat.
Suara bergemuruh terdengar, disusul ambruknya beberapa pohon. Sementara Bergola Ijo jadi uringuringan sendiri. Sebab biar bagaimana, hutan kecil ini adalah wilayah kekuasaannya.
"Hei, berhenti! Berhenti! Jangan ngamuk di tempatku!" teriak Bergola Ijo.
Joyolelono masih dengan amukannya yang menggila. Bahkan kali ini dia telah bersiap dengan pukulan mautnya. Mata tajam Bergola Ijo menangkap maksud itu. Cepat dia melompat, langsung menangkap tangan.
"Bocah gemblung! Jangan kau acak-acak tempat tinggalku. Kau tak perlu berlaku demikian kalau hanya tersesat saja. Ayo, kau kuantar ke sana!" ujar Bergola Ijo.
"Paman tahu letak Gunung Arjuna?" mata Joyolelono berbinar-binar.
Bergola Ijo mengangguk.
Joyolelono nandak.
Blang ting tung ting tang ting tung....

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

KEMBALI pada pertarungan Satria melawan Raja Pencuri Dari Selatan.
Matahari merangkak menuju barat. Pertarungan terus digelar. Semakin liar. Mata merah pemuda bernama Satria makin nyalang. Terjangan Raja Pencuri Dari Selatan kali ini tak bisa dianggap main-main. Sekarang tinggal tergantung Satria. Kalau dia mau menyudahi pertarungan, saat inilah waktunya. Sebab, waktu yang diberikan Adipati Wisnu Bernawa hampir habis. Saat ini, si pemuda benar-benar dikejar waktu.
"Khaaa!" Satria bukannya mundur atau mengelak, justru melakukan terjangan ke depan. Gila betul perbuatannya. Menjelang terjadi bentrokan, tiba-tiba tubuhnya dienyahkan ke bawah. Pemuda itu berguling sekali, lalu kakinya terangkat tinggi. Sebuah gerakan mirip lumba-lumba yang hendak menampar udara dengan ekornya. Dess.... Dari bawah, terjangan kedua kaki Satria menghantam dada lawan. Raja Pencuri Dari Selatan kontan terpental balik ke belakang. Deras sekali. Sepuluh tombak dari tempat semula, tubuhnya mencium tanah. Arya Wadam yang masih terluka dalam sempat menyaksikan kejadian tadi. Wanita yang berpenampilan seperti lelaki ini dibuat kagum oleh gerakan dahsyat Satria. Matanya sampai melotot, tak percaya pada pandangannya sendiri bagai ditenung.
Hebat! Baru aku percaya dengan kehebatannya yang sampai menggegerkan dunia persilatan. Puji Arya Wadam, lebih jauh. Diam-diam, hatinya mulai terusik oleh ketampanan dan kejantanan Satria. Itu sisi lain hatinya. Di sisi lain lagi, hatinya seolah beku terhadap lelaki. Tapi apakah dia harus mengingkari kodratnya" Hanya Arya Wadam yang bisa menjawabnya.
Satria melangkah menuju tubuh Raja Pencuri Dari Selatan yang tak bergerak dengan tarikan napas satudua. Dari mulut dan hidungnya menganak sungai darah merah. Wajahnya yang penuh rajahan dikotori debu jalanan. Si pemuda merogoh jubah Raja Pencuri Dari Selatan. Ketemu! Ya, senjata pusakanya ternyata terselip di ikat pinggang lelaki tua yang belum sadarkan diri ini.
Dicabutnya senjata Kail Naga Samudera. Diperhatikannya sejenak, lalu diselipkan di ikat pinggangnya sendiri. Kembali Satria merogoh. Ditemukannya sebuah pedang pendek di balik jubah Raja Pencuri Dari Selatan. Seulas senyum tercipta di bibirnya. Dia tahu, itulah pedang yang dicaricari Arya Wadam. Karena waktu jalan bersama tempo hari, wanita itu pernah bercerita tentang pedang pusaka milik pamannya telah dicuri lelaki tua maling tengik itu.
Tak mau waktu terbuang sia-sia, Satria segera menghampiri Arya Wadam. Si wanita telah bangkit berdiri walaupun masih merasakan sesak pada dadanya.
"Bagaimana, Arya" Kau sanggup melakukan perjalanan ke Kadipaten Lumajang" Lihat, senjata pusaka yang kau ceritakan telah kembali. Betul kan, senjata ini yang kau cari?" tanya si pemuda.
Arya Wadam mengangguk. Segaris senyum mengembang di bibirnya. Diambilnya senjata pedang yang disodorkan Satria Gendeng.
"Bagaimana kalau kita mencari Paman Poleng dan Paman Remeng?" Kali ini ganti Arya Wadam yang bertanya.
"Kau gila, Arya"! Waktu kita sudah habis, tahu"! Dua hari lagi, Tujuh Dewa Kematian akan menyatroni Kadipaten Lumajang. Dan kau mengajakku mencari kedua pamanmu yang tak jelas juntrungannya?" sentak Satria, gusar. Matanya sampai mendelik.
Wajar kalau Satria sampai kalap begitu. Dia sudah sanggup untuk memanggil tiga tokoh persilatan berwatak aneh yang dikenai Adipati Wisnu Bernawa.
Dua sudah didapatnya, walaupun kehadiran Ki Jerangkong alias Dewa Gila diwakili anaknya. Sisanya, kini ada di depan hidungnya. Dan kini orang yang dimaksud malah mengajak mencari kedua pamannya.
Padahal, waktu yang diberikan tinggal dua hari lagi.
"Tapi kau sudah berjanji untuk membantuku. bukan?" tukas Arya Wadam, menyudutkan.
"Janji tinggal janji. Aku juga sudah berjanji pada Adipati Wisnu Bernawa untuk membawamu ke kadipaten. Dan urusanmu cuma hanya untuk senjata sialan itu"! Keterlaluan kau, Arya!" semprot Satria.
"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku harus mencari kedua pamanku itu!" tegas Arya Wadam.
Dasar perempuan! Maki Satria. Bodohnya, Satria juga sudah telanjur sayang, eh. Telanjur janji pada Arya Wadam. Mungkin kalau bukan wanita cantik yang dihadapi, sudah dikures-kures wajah Arya Wadam. Dan Satria tak mungkin melakukannya.
"Begini saja. Kita masih punya waktu satu malam untuk mencari kedua pamanmu. Tapi bila sampai nanti malam tidak juga ketemu, terpaksa kita harus menuju Kadipaten Lumajang. Bagaimana?" cetus Satria.
"Begitu juga bagus," sahut Arya Wadam, enteng.
"Dari tadi, kek!"

* * *



Besok malam, purnama menjelang. Itulah saat yang dinanti Tujuh Dewa Kematian untuk menyempurnakan ilmu hitam keparat mereka. Dan senja saat ini mulai dikurung kegelapan. Angin malas berhembus. Kabut leluasa mengepung puncak Gunung Arjuna, Di tengah hutan tak jauh dari puncak Gunung Arjuna, terdapat sebongkah batu sebesar gajah. Di atasnya, tersusun tujuh tengkorak manusia. Di tengah batu tergurat tulisan berhuruf Jawa Kuno: Tujuh Dewa Kematian. Sekitar tiga tombak dari tempat itu berdiri sebuah bangunan mirip candi. Di muka candi sebuah gapura menghadang. Mengerikan. Karena masing-masing sisi gapura terpancang pula tengkorak kepala manusia.
Lebih mengerikan lagi, apa yang terlihat di halaman depan candi. Di situ bertebaran berpuluh-puluh tengkorak manusia. Di pintu gerbang candi terdapat guratan tulisan yang juga berhuruf Jawa Kuno. Bunyinya: Kuil Neraka.
Lumrah saja tempat ini bila dinamai Kuil Neraka.
Apa yang terlihat di halaman depan candi memang menggambarkan kalau tempat itu adalah ajang pembantaian. Memasuki halaman pelataran di tengah candi, sebuah peti mati terbujur di atas batu besar berbentuk pipih. Tak jauh dari batu, berdiri sebuah tonggak berbentuk salib. Di situ, terikat satu sosok ramping yang terkulai pingsan. Sosok Pitaloka, anak gadis Adipati Wisnu Bernawa yang diculik Tujuh Dewa Kematian.
Beberapa obor terpancang di tiap-tiap sudut candi. Cahayanya menjilati tujuh sosok berpakaian hitam seperti paderi yang tengah bersila membentuk lingkaran. Tujuh orang berpakaian serupa dengan kepala gundul masih membisu. Seolah mereka terbawa alun pikiran masing-masing.
Hening. Angin tetap malas berhembus. Api pada obor meliuk-liuk perlahan mengikuti irama angin kecil.
"Sebentar lagi cita-cita kita tercapai," sosok gundul yang duduk bersila membelakangi peti mati membuka suara. Nadanya menyiratkan kebanggaan.
"Sebentar lagi dunia persilatan di tangan kita," sambung yang lain.
"Sebentar lagi kita paling ditakuti di jagat ini," susul lelaki yang menghadap peti mati.
"Sebentar lagi kita...."
"Sudah!" potong yang lain.
"Sebentar lagi..., sebentar lagi! Sebaiknya kita harus waspada. Karena bukan tidak mungkin si keparat Wisnu Bernawa akan membebaskan putrinya! Bukankah di kadipaten telah hadir dua tokoh persilatan" Ini yang harus dipikirkan. Bukannya malah menghayal!"
"Betul! Dua adik kita buktinya tak berdaya di tangan Pengemis Tuak dan pemuda yang kita duga adalah murid dari Dewa Gila. Dan bukan mustahil si keparat Wisnu Bernawa mengajak tokoh-tokoh persilatan yang lain," sambung yang lain lagi.
Kali ini tak ada yang bersuara lagi. Mereka kembali terjebak dalam alun pikiran masing-masing.
"Bagaimana kalau upacara dipercepat?" usul yang menghadap peti mati.
"Bodoh! Itu sama saja kita bunuh diri. Upacara harus dimulai tepat ketika bulan purnama di atas kepala. Kalau itu sampai dilanggar ilmu hitam yang kita anut akan memakan diri kita sendiri. Kalian paham"!" kata lelaki botak yang tadi memotong pembicaraan.
"Benar! Tujuh Dewa Kematian harus mendapatkan ilmu itu!" Ketujuh lelaki botak yang memang Tujuh Dewa Kematian sama-sama mengangguk. Agaknya mereka percaya dengan apa yang telah diguratkan dalam aturan menuntut ilmu hitam yang mereka pelajari.
Waktu kian merangkak.
Sepi. Sunyi Mencekam.
"Sebetulnya sayang, gadis secantik dia kalau tidak digarap dulu," cetus salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Kau jangan gila, Karpa! Justru darah perawan gadis itu yang kita butuhkan!" sentak lelaki botak di sebelah kiri Karpa.
Bila disebut secara berurutan, di sebelah Karpa adalah, Karta, Karsa, Karma, Karba, Karka, dan Karja.
Lelaki botak yang bernama Karpa paling bungsu. Sedangkan yang bernama Karja paling sulung. Wajah mereka memang mirip, sehingga sulit untuk menebak mana yang paling bungsu atau paling sulung.
"Sulit mencari gadis yang sesuai dengan syarat yang harus kita penuhi. Jadi kita harus hati-hati menjaganya," sambung Karta.
"Rasanya aku sudah tak sabar lagi menunggu esok malam," timpal Karsa.
"Sebaiknya, kita mengatur siasat. Siapa tahu Adipati Wisnu Bernawa akan menyerang tempat ini. Jadi kita sudah punya persiapan," cetus Karba.
"Kau betul, Karba. Mari sekarang kita berembuk," sambut Karja.

* * *



"Dadaku masih nyeri saja, Satria," kata Arya Wadam di tengah perjalanan mencari kedua pamannya.
Sebenarnya, Satria ingin menawarkan jasa untuk mengobati Arya Wadam. Hanya saja, hatinya sungkan.
Pemuda ini takut dianggap memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Karena paling tidak, Arya Wadam harus membuka bajunya. Dan itu sama saja....
"Lantas?" tanya Satria pura-pura bodoh.
"Aku yakin, pasti kau bisa mengobati."
"Lantas?"
"Lantas kukemplang kepalamu. Ya, tolong obati aku dong!"
"Aku?" Satria makin bodoh saja.
"Di tengah hutan begini, pada siapa lagi aku minta tolong" Pada monyet?" tukas Arya Wadam.
"Bukan begitu maksudku. Aku sebenarnya juga mau menawarkan diri, tapi takut kau tersinggung.
Nanti dikira aku ada maunya?" sergah Satria "Kau ada maunya atau tidak?" balik Arya Wadam.
"Ada. Sedikit," sahut Satria seenaknya.
"O, banyak juga boleh. Asal, kepalamu kukemplang dulu."
"He he he... Ya terserah kaulah. Tapi bagaimana caranya" Karena bajumu harus dibuka dulu," tanya si pemuda. Di otaknya langsung saja terbayang punggung mulus Arya Wadam.
Arya Wadam tercenung sejenak.
"Begini saja. Tambahkan lagi obat pulung milikmu dulu, agar aku bisa bertahan sampai bertemu kedua pamanku. Kurasa setelah aku menelan lagi obat darimu, lalu mendapat hawa murni dari kedua pamanku, luka dalamku bisa pulih kembali," cetus Arya Wadam akhirnya.
Ya, tidak jadi. Satria menggerutu dalam hati. Padahal jantungnya sudah dad-dig-dug bakalan melihat punggung mulus Arya Wadam. Sayang harapannya pupus. Lesu, Satria memberikan obat pulung untuk menahan luka dalam Arya yang diderita akibat bentrokan tenaga dalam saat bertarung melawan Raja Pencuri Dari Selatan.
Tak percuma Satria menjadi murid Ki Kusumo yang berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Arya menelan obat yang diberikan si pemuda, dadanya terasa enteng lagi. Bahkan sebenarnya perlahan-lahan menuju kesembuhan, tanpa penyaluran hawa murni lagi.
"Kau menyesal ya, tidak jadi mengobati luka dalamku?" celetuk Arya Wadam.
Matanya melirik sedikit.
Bibirnya sedikit ditarik.
"Siapa bilang?" tukas Satria.
"Kok diam saja?" sindir Arya Wadam.
"Lho" Apa kalau aku diam tidak boleh?"
"Siapa bilang tidak boleh" Hanya saja tampangmu tampak asem."
"Mau asem, kek. Mau manis, kek. Mau pahit, kek.
Tampangku sendiri," sahut Satria.
"Lho" Kok makin sewot sendiri?"
"Siapa yang tidak sewot kalau sampai menjelang dini hari ini, kedua paman sialanmu itu belum juga ketemu" Lihat! Di depan sana ada sebuah desa, setelah kita keluar dari hutan tadi. Bila kedua pamanmu tak ada di sana, terpaksa kita harus langsung menuju Kadipaten Lumajang!" semprot Satria.
Memang, sejak tadi sore, Satria dan Arya Wadam sudah masuk desa keluar desa. Tapi yang dicari tak ketahuan juntrungannya. Menjelang tengah malam, mereka memasuki sebuah hutan. Dan kini, agak jauh di depan mereka terlihat kelap-kelip lampu yang menandakan ada sebuah desa.
Rupanya, itu pula yang membuat uring-uringan Satria. Sejak tadi perasaan itu ditahannya. Dan kegagalannya melihat punggung mulus Arya Wadam menjadi pemicu ledakan amarahnya. Aneh juga pemuda satu ini.
"Bagaimana kalau kita adu cepat menuju desa itu?" tantang Arya Wadam untuk mencairkan kemarahan Satria.
"Duluanlah kau sana," sahut Satria.
Lesu.
"Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Kok jawabanmu begitu?"
"Habis aku mau jawab apa?"
"Katanya kau mau cepat-cepat menuju Kadipaten Lumajang?" pancing Arya Wadam.
"Aku memang mau cepat-cepat menuju Kadipaten Lumajang, tidak ke desa itu," sahut Satria, ketus.
"Tapi kan kita akan melewati desa di depan sana?" tukas si wanita.
"Siapa tahu aku berbelok kiri," sahut Satria tetap berjalan kalem.
"Belok kiri ada sungai lebar."
"Aku belok kanan."
"Belok kanan ada jurang lebar." Satria terdiam. Keras juga hati wanita ini, pikirnya.
"Ayo, mau ngomong apa lagi?" ledek Arya Wadam, makin berani menggoda si pemuda. Entah sejak berjalan bersama pemuda ini, Arya Wadam merasa makin dekat dengan Satria Gendeng.
Semuanya terjadi begitu saja. Bukankah itu sesuatu yang wajar" Yang tidak wajar adalah, penampilan wanita itu sendiri yang mirip lelaki. Padahal kalau tudungnya dibuka, lelaki mana yang tidak kepincut" Hati Arya Wadam makin tertarik setelah melihat kemampuan Satria dalam menaklukkan Raja Pencuri Dari Selatan. Berwajah tampan, punya kesaktian. Itu memang cita-cita Arya Wadam dalam memilih lelaki.
Dalam hal ini, dia menemukannya pada diri Satria Gendeng. Akankah Satria Gendeng menerima cintanya" Itu memang sulit terjawab. Apalagi, Arya merasa minder karena penampilannya selama ini. Bisa jadi pemuda itu jengah melihatnya sebagai lelaki.
Tanpa terasa, Satria Gendeng dan Arya Wadam telah mendekati desa di depan sana. Dari sini keadaan desa terlihat ramai. Lampu terang benderang terpasang di mana-mana. Ada apa di desa itu.
"Kok menjelang dini hari desa itu masih terlihat ramai?" tanya Arya Wadam, memecahkan kebisuan yang terjadi.
"Sepertinya memang ada keramaian. Paling ada wayang kulit atau ronggeng," sahut Satria. Nadanya mulai bersahabat lagi. Pemuda ini memang gampang melupakan kemarahannya. Seolah apa yang terjadi di antara mereka telah lenyap entah ke mana.
"Siapa yang punya hajatan, ya?" sambung Arya Wadam.
"Tanya saja pada dedemit yang lewat," sahut Satria seenak dengkul.
"Kok tanya sama dedemit?"
"Ya, habis mana aku tahu" Ketahuan sejak kemarinan aku berjalan bersamamu. Sekarang kau malah tanya aku. Lagian aku juga bukan penduduk desa itu." Arya Wadam terdiam.
Kini mereka telah memasuki desa. Suara gamelan mulai mengusik mereka untuk memanggutmanggutkan kepala. Ada sebaris senyum di bibir Satria. Dia paling suka kalau disuruh nonton wayang kulit. Lengkingan merdu sinden makin membuat langkah Satria melebar. Telinganya makin dipertajam, mencari arah suara gamelan yang ditingkahi tetembangan sinden. Ketika suara sang dalang terdengar, Satria makin yakin kalau itu adalah suara sebuah pertunjukan wayang kulit. Dan arahnya, ke timur desa ini.
Benar saja. Ketika mereka berbelok ke kanan, kerumunan orang menghebat. Kaki Satria makin mantap melangkah. Tapi belum sepuluh tombak Satria dan Arya Wadam sampai di dekat kerumunan....
"Berhenti! Orang bertudung, kau masih punya utang padaku!" Ngung..., werrr! Sebuah suara bentakan disusul luncuran sebuah bandul baja berduri menjegal langkah mereka. Satria tersentak kaget. Tapi Arya Wadam tidak. Bila Satria langsung memiringkan tubuhnya, maka Arya Wadam tetap tenang. Seolah dia tak pernah menyadari adanya bahaya besar mengancam.
Begitu bandul berduri yang terkait rantai panjang itu tinggal sejengkal lagi meremukkan batok kepalanya, Arya Wadam menggeser tubuhnya. Dan tangannya bergerak cepat seolah hendak menangkap nyamuk. Tap! Hebat. Bandul berduri terhenti seketika di depan wajahnya.
"Kuno! Gerakanmu itu-itu saja, Arya Wadam! Malas aku menyerangmu seperti itu lagi!" omel seseorang seraya mendekati Arya Wadam.
"Mana janjimu?" Orang itu langsung merengkuh bahu Arya. Penuh persahabatan. Tinggal Satria yang melongo tak mengerti.
"Apa kabar, Raman Remeng" Mana Paman Poleng?" sambut Arya Wadam.
"Kau beri dua kepeng uang perak pun dia tak bakalan sudi meninggalkan pertunjukan itu," sahut lelaki bercambang lebat yang dipanggil Paman Remeng oleh Arya Wadam.
"Oh, ya." Arya Wadam lantas menoleh pada Satria yang masih terbengong-bengong, walaupun mulai tahu siapa lelaki ini.
"Kenalkan, ini Paman Remeng yang kuceritakan itu." Satria menyodorkan tangannya mengajak berjabatan tangan, "Tak perlu berbasa-basi denganku, Satria Gendeng. Justru aku yang harus memberi salam penghormatan padamu," tolak Remeng. Namun kaki segera ditekuk dengan lutut kanan menyentuh tanah.
"Eh, eh, apa-apaan ini, Paman Remeng" Jangan terlalu berlebihan. Biasa-biasa saja," ujar Satria, tak menyangka kalau jati dirinya telah diketahui Paman Remeng. Segera diraihnya bahu Remeng.
Mereka kini sama-sama berdiri.
"Begini, Paman. Berhubung aku sudah bertemu denganmu, maka kuserahkan pedang ini padamu," buka Arya Wadam. Dicabutnya sebuah pedang pendek dari ikat pinggangnya.
"Jadi kau telah berhasil mendapatkan pedang ini"! Kau apakan Raja Pencuri Dari Selatan" Pasti telah kau remas-remas, bukan"!" sontak Remeng. Diambilnya pedang dari tangan Arya Wadam. Kasar. Bukan karena kesal, tapi saking gembiranya.
"Bukan, bukan aku yang mendapatkannya. Tapi, Satria. Dia pula yang mengalahkan Raja Pencuri Dari Selatan," tunjuk Arya Wadam, terus terang.
"Ah, sungguh Kuhormati pengorbananmu, Satria Gendeng. Bagaimana aku dapat membalasmu?"
"Gampang," sahut Satria.
"Apa?"
"Jangan terlalu berbasa-basi dan banyak peristiadatan padaku." Paman Remeng terpana. Sungguh dia amat mengagumi kepribadian luar biasa Satria. Semuda itu sudah memiliki hati yang luhur.
"Nah, Arya," sambung Satria.
"Sekarang aku me-nagih janjimu." Arya Wadam tersenyum di balik tudungnya.
"Kita pergi sekarang?" tanyanya.
"Jangan, tahun depan saja. Ya, sekarang!" sentak Satria gemas.
"Paman Remeng, aku dan Satria permisi dulu hendak melanjutkan perjalanan. Ada tugas penting dari Adipati Wisnu Bernawa yang harus kuemban." kata Arya Wadam.
"Ya, mestinya aku memang tak boleh menahanmu berlama-lama, sekadar melepas rindu. Aku mengerti, tugasmu amat berat pergilah. Jalankan tugas dari adipati dengan sebaik-baiknya."
"Baik. Kami pergi, Paman Remeng," sambar Satria Gendeng seraya meraih lengan Arya Wadam. Dia memang tak ingin berlama-lama lagi. Sebab waktu telah mengejar. Sementara, Arya Wadam masih saja suka berbasa-basi.

* * *




--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

WAKTU kian merambat. Matahari mengintip malumalu di sebelah timur. Sinarnya menerobos dedaunan, membentuk bias-bias kemilau. Sebagian sinarnya malah jatuh tepat di alas wajah Bergola Ijo yang tidur di atas sebuah dahan pohon.
Di atasnya lagi, Joyolelono tidur tengkurap mengeloni dahan pohon.
Bukan main bocah berkumis ini. Di setiap tidurnya selalu mengumbar cairan bau dari mulutnya. Sialnya lagi sebagian cairan itu jatuh tepat di pipi Bergola Ijo. Merasakan dingindingin di pipinya, Bergola Ijo terbangun. Tangannya langsung meraba pipi, lalu bergerak ke hidung.
"Bah! Sialan! Bocah tengik ini mengirimi ku cairan bau!" rutuk Bergola Ijo begitu tahu kalau cairan barusan berasal dari mulut Joyolelono. Seperti tanpa dosa, terus saja si bocah berkumis tenggelam dalam mimpinya. Malah desiran kasar tersembur dari mulutnya yang maju beberapa jari.
"Kebluk! Hei. Bocah! Bangun! Sialan kau! Kau beri aku setetes embun pagi dari mulutmu!" maki Bergola Ijo lagi.
Joyolelono tetap asyik dengan mimpinya.
Bukan main kesalnya Bergola Ijo. Dihantamnya dahan tempat tidur bocah berkumis itu.
Prak! Sungguh suatu perbuatan bodoh. Dahan itu memang hancur. Tapi....
Brukkk! Gusrakkk! Tentu saja dahan itu langsung patah, sehingga tubuh Joyolelono langsung meniban tubuh Bergola Ijo.
Tak mampu menahan beban, keduanya langsung jatuh di atas tanah. Keras sekali.
Bergola Ijo langsung mengomel-omel. Tidak dengan Joyolelono. Bocah ini tak puas kalau tidak menangis.
"Hu hu hu.... Kau sengaja ingin membunuhku, ya..." Ayo, bilang terus terang.... Hu hu hu...!" isak si bocah berkumis.
"Wah..., urusan lagi. Mimpi apa aku semalam" Kenapa jadi bertemu bocah aneh seperti ini?" gumam Bergola Ijo begitu bangkit berdiri.
"Hu hu hu...!" tangis Joyolelono makin gila-gilaan.
Bahkan tubuhnya berguling-guling.
"Kulaporkan per-buatanmu pada ayahku, baru tahu rasa!"
"Eh, jangan! Aku dan ayahmu bersahabat baik.
Nanti hanya gara-gara masalah sepele, hubungan ayahmu denganku akan pecah," sergah Bergola Ijo.
"Kau bilang masalah sepele"!" sentak si bocah berkumis.
"Kau hendak membunuhku kau bilang sepele"!"
"Siapa yang hendak membunuhmu" Aku hanya kesal, lalu memukul dahan yang kau tiduri," kilah lelaki bercawat hijau itu.
"Dahan itu ambruk, berikut tubuhku. Hu hu hu...!" sambar si bocah berkumis, merutuk.
"Ya, sudah.... Aku minta maaf," Bergola Ijo mengalah.
"Maaf" Tidak! Kau tidak kumaafkan, kecuali menggendongku sampai Gunung Arjuna!"
"Apa"! Kau gila, Bocah!" cekat lelaki bulat ini.
"Tidak! Aku tidak gila! Hu hu hu...." Bergola Ijo mengurut dadanya sendiri. Baru kali ini dia menghadapi makhluk aneh seperti itu. Apa yang mesti diperbuatnya" Tidak! Harga diriku tak serendah itu dengan menggendong bocah ini! Teriak hati Bergola Ijo. Walaupun dia takut terhadap Dewa Gila, tapi kalau disuruh menjual harga diri, nanti dulu. Bertarung boleh kalah tapi harga diri terinjak-injak, lebih baik mati.
Begitu sikap tegas Bergola Ijo.
"Lebih baik laporkan saja pada orangtua mu daripada aku disuruh menggendongmu sampai Gunung Arjuna!" tegas Bergola Ijo.
"Benar kau ingin dilaporkan?" tangis Joyolelono mendadak berhenti.
"Ya, laporkan saja!"
"Ayah...! Orang ini menantangmu....!" teriak Joyolelono.
Bergola Ijo malah terpingkal-pingkal. Bodoh sekali, bocah ini. Dari jarak yang sangat jauh, bahkan terlalu jauh dari tempat ini, mana mungkin Dewa Gila mendengar" Bukankah lelaki bernama asli Ki Jerangkong itu tinggal di Lembah Pangrango" Begitu kata hati Bergola Ijo.
Tapi dasar dia sedang apes....
"Manusia dekil itu yang mengganggumu, Anakku?" Sebuah suara sarat kemarahan terdengar. Kepala Bergola Ijo yang tadi mendongak karena tertawa terpingkal-pingkal langsung diturunkan. Matanya kontan mendelik, hampir copot dari rongganya.
"Dewa Gila" Tidak mungkin!" sentaknya.
Di sebelah Joyolelono tahu-tahu telah berdiri seorang kakek bungkuk. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Matanya besar sebelah. Rambutnya kasar awutawutan berwarna kelabu. Pakaiannya berwarna biru tua. Siapa lagi orang tua itu kalau bukan Ki Jerangkong alias Dewa Gila"
"Katanya kau mau menantangku, Bergola" Kau belum kapok, ya?" sindir Dewa Gila. Kalem saja suaranya.
"Siapa yang bilang" Aku tidak bilang begitu" Anakmu saja yang mengada-ada!" kilah Bergola Ijo.
"Alaaahh.... Ngaku saja, Bergola!" Seperti ingin meledek Bergola Ijo habis-habisan, Joyolelono memelet-meletkan lidahnya. Tengik sekali lagaknya. Ingin rasanya Bergola Ijo menampar wajah menyebalkan itu.
"Begini, Dewa Gila. Terus terang, aku tadi kesal terhadap anakmu. Sudah wajahku ditetesi iler, kusuruh bangun dia tidak mau. Saking kesalnya, aku memukul dahan pohon yang ditidurinya. Dan kami jatuh bersama-sama dari pohon itu," jelas Bergola Ijo.
"Bohong, Ayah! Dia ingin membunuhku!" serobot si bocah berkumis.
"Bukankah kau telah berjanji tak akan mengganggu keluargaku, Bergola?"
"Sumpah mampus kalau aku sampai mengganggu keluargamu. Justru saat ini aku sedang mengantar anakmu menuju Gunung Arjuna. Dia tersesat kemarin.
Lalu kuantar dia, dan bermalam di sini," jelas Bergola Ijo lagi. Agaknya, dia memang tidak ingin memperpan-jang urusan dengan Dewa Gila. Selagi masih bisa dije- laskan, kenapa tidak"
"Benar apa yang dikatakan Bergola Ijo, Anakku! Kau tersesat, lalu diantar olehnya?" tanya Ki Jerangkong pada anaknya.
"Benar, Ayah. Untung ada Bergola Ijo. Kalau tidak, aku bisa jadi orang hutan," sahut si bocah berkumis lugu, Bergola Ijo siap-siap meledakkan amarahnya bila Joyolelono berdusta. Tapi ternyata dengan keluguannya, si bocah berkata jujur. Bergola Ijo jadi tak habis pikir, setan apa yang bisa merubah bocah berkumis itu dengan begitu cepat. Orang mencret mungkin bisa kalah cepat dengan perubahan itu.
"Nah, ternyata anakku sudah berkata jujur. Aku percaya padamu, Bergola," kata si tua bangka bungkuk itu.
Sial! Orang aku yang berkata jujur, malah anaknya yang dibilang berkata jujur. Bergola merutuk dalam hati. Walau hatinya merutuk, lelaki bulat ini boleh merasa lega. Sepertinya, Dewa Gila sudah melupakan kemarahannya.
"Nah, sekarang kau boleh pergi, Bergola. Biar aku yang mengantar anakku ke Gunung Arjuna," ujar De-wa Gila.
"Baiklah kalau begitu. Aku permisi, Dewa Gila," ucap Bergola Ijo, lalu meninggalkan tempat ini. Lega sekali rasanya hari ini. Seolah dia baru saja mengalami mimpi buruk.

* * *



"Apa"! Mereka menculik Pitaloka"!" sentak Satria Gendeng begitu tiba di depan pintu gerbang Kadipaten Lumajang bersama Arya Wadam pada pagi ini. Tak puas dengan kagetnya, dicengkeramnya kerah pakaian prajurit yang melapor padanya barusan.
Baru ketika si prajurit mengerjap-ngerjap berusaha mencari napas, Satria tersadar dengan kekeliruannya. Matanya yang mendelik pun redup kembali. Dilepasnya cengkeraman pada baju si prajurit.
"Kejadiannya empat hari yang lalu," lanjut si prajurit.
"Kanjeng adipati terlalu pagi ke Gunung Arjuna bersama Pengemis Tuak dan Joyolelono." Satria menatap Arya Wadam di sebelahnya.
"Kapan purnama muncul, Arya?"
"Nanti malam," sahut Arya Wadam.
"Slompret! Kita harus secepatnya menyusul mereka di Gunung Arjuna. Kasihan Adipati Wisnu Bernawa.
Ayo, Arya!" ajak Satria langsung saja.
"Sabar, Satria. Kita bisa sampai sana sore nanti jika menunggang kuda disertai ilmu meringankan tubuh. Kita masih punya waktu sedikit," ujar Arya Wadam, tenang.
Satria mendelik.
"Punya waktu katamu?" tukasnya.
"Nyawa Pitaloka terancam. Dia bakal dijadikan tumbal untuk ilmu sesat keparat yang dianut Tujuh Dewa Kematian. Dan kau malah tenang-tenang saja!" semburnya, lebih mendelik lagi. Dari nada suara Satria, Arya Wadam menangkap seolah pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan putri sang adipati. Artinya, bisa jadi Satria tengah mabuk asmara terhadap gadis itu. Kalau itu benar..." Gombal! Kenapa aku jadi gede rasa" Rutuk Arya Wadam. Kenapa tiba-tiba hatiku tersaput rasa cemburu" Cepat, Arya Wadam mengusir rasa tak enak dalam hatinya. Wanita berpenampilan seperti lelaki ini jadi minder sendiri bila menyadari keadaannya.
"Kenapa kau diam, Arya! Waktu kita sudah habis," usik Satria.
"Bukan begitu, Satria. Aku yakin, Tujuh Dewa Kematian tak akan membiarkan begitu saja diserang oleh Adipati Wisnu Bernawa dan yang lainnya. Mereka pasti punya persiapan. Nah, itu yang mesti dipikirkan.
Kita perlu siasat pula untuk menghadapinya," papar Arya, setelah bisa menguasai perasaannya. Ganti Satria yang terdiam.
"Kau punya rencana?" susulnya.
"Kau?" balik Arya Wadam.
Satria menggeleng.
"Aku ada. Tapi sebaiknya nanti saja kujelaskan.
Sekarang sebaiknya kita meminjam kuda kadipaten dulu," kata Arya Wadam.
Segaris senyum tercipta di bibir Satria. Kepalanya langsung berpaling pada prajurit yang memberi laporan tadi. Tangannya cepat memberi isyarat.
Memanggil.
"Tolong pinjami kami kuda. Cepat!" ujar Satria.
"Baik," sahut si prajurit, lalu cepat berbalik dan berlari menuju halaman kadipaten. Satria kembali menatap Arya Wadam. Yang ditatap malah menghadap ke arah lain. Entah, apa yang ada di balik wanita berpenampilan lelaki itu.
"Ada apa, Arya. Kau sudah menemukan siasat yang bakal kita jalankan?" usik Satria.
"Kau suka gadis itu, Satria?" Tak menjawab, Arya malah bertanya.
"Suka," sahut Satria pendek.
"Cantik, ya?"
"Cantik."
"Sudah berapa lama berkenalan?"
"Baru beberapa hari ini," Satria terus terang. Tetap tanpa menoleh, Arya Wadam mendesah. Lirih sekali. Sungguh. Keluguan Satria terhadap soal perempuan menyebabkannya tak mengerti maksud arah pembicaraan Arya Wadam. Pemuda itu menganggap pertanyaan yang diajukan wajar-wajar saja.
Justru jawaban-jawaban yang diberikan Satria malah makin membuat Arya Wadam tersudut dalam kekecewaan. Makin meringis dan menjerit dalam kehampaan.
"Bagaimana dengan siasatmu, Arya?" Satria malah mengalihkan pembicaraan. Kuper sekali bocah itu. Ingin rasanya Arya Wadam meninju wajah pemuda itu.
Sebelum Arya Wadam menjawab, si prajurit yang disuruh mengambil kuda telah datang. Di kanankirinya mengikuti dua ekor kuda yang cukup gagah.
"Ini kudanya, Anak Muda," kata si prajurit.
"Terima kasih." Satria mengambil dua tali kekang kuda. Diseretnya kedua kuda itu. Satu tali kekang lantas diberikan Arya Wadam.
Tanpa kata, Arya Wadam menerima tali kekang kuda. Segera dinaikinya kuda berwarna coklat itu.
"Ayo kita berangkat," katanya, bergegas.
Satria juga menaiki kudanya. Tapi, tak segera digebah.
"Ada apa, Satria?" tanya Arya Wadam, heran melihat Satria tak segera menggebah kuda.
"Kau belum menjelaskan siasatmu," sahut Satria.
"Gampang, nanti di perjalanan."
"Betul?" Tak menyahut, Arya Wadam segera menggebah kudanya. Juga Satria.

* * *




--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

MATAHARI terpuruk di batas kaki langit. Bulan bulat penuh di langit timur sana mulai menampakkan sinar keperakannya. Inilah purnama yang ditunggutunggu Tujuh Dewa Kematian.
Di sekitar Kuil Neraka keadaan mencekam. Angin semilir berhembus, berusaha menyibak kabut yang mengepung sekitar bangunan mirip candi.
Hening. Tak terdengar suara apa-apa. Binatang malam pun seolah malas menembangkan suara-suara merdunya. Belum ada kegiatan apa-apa di sekitar bangunan candi. Mestinya, malam ini Tujuh Dewa Kematian akan melangsungkan suatu upacara tumbal demi ilmu sesat yang mereka anut. Tapi persiapan-persiapan untuk itu belum terlihat. Siasat apa lagi yang akan digelar Tujuh Dewa Kematian" Sepuluh tombak di luar wilayah Kuil Neraka, Adipati Wisnu Bernawa, Sukma Sukanta, dan Pengemis Tuak telah berdiri mematung. Mata tak berkedip mereka menghujam langsung ke arah pintu gerbang candi.
Hati waswas mereka menduga-duga, apa yang tengah dikerjakan Tujuh Dewa Kematian. Mereka khawatir, jangan-jangan Pitaloka telah dijadikan tumbal demi ilmu sesat keparat.
"Bagaimana, Kanjeng" Apakah kita menyerbu sekarang?" tanya Sukma Sukanta, memecah kebisuan.
"Kau tidak merasakan keanehan di Kuil Neraka itu?" balik sang Adipati.
"Ya, kelihatannya sepi-sepi saja. Seperti tak ada kegiatan yang berlangsung. Aku jadi curiga," sela Ki Dagul alias Pengemis Tuak.
"Kita harus berhati-hati. Sebab, tak mungkin Tujuh Dewa Kematian membiarkan kita memasuki Kuil Neraka," ingat Adipati Wisnu Bernawa.
Ketiga orang ini terdiam. Benak masing-masing menduga, siasat apa yang akan dibuat Tujuh Dewa Kematian.
"Kalau begitu, biar aku yang memasuki kuil itu.
Kanjeng Adipati dan Pengemis Tuak bisa melindungiku dari belakang," cetus Sukma Sukanta. Merasa pernah memasuki kuil itu, lelaki ini paling tidak sudah punya gambaran tentang keadaan sekitarnya.
Selangkah demi selangkah. Perlahan tapi pasti.
Sukma Sukanta mendekati halaman bangunan berbentuk candi itu. Dadanya dipenuhi detak jantungnya.
Ketika matanya tertuju ke arah halaman yang dipenuhi puluhan tengkorak kepala manusia, hatinya tercekat. Dia tahu, di antara tengkorak-tengkorak kepala itu terdapat tengkorak kepala kakak-kakak kembarannya. Entah, di mana jasad mereka.
Miris hati Sukma Sukanta bila melihat tengkoraktengkorak kepala itu. Hatinya terpukul. Setangguhtangguhnya dia sebagai pendekar, trenyuh hatinya bila mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana saat itu kakak-kakak kembarannya menyuruhnya menyelamatkan diri di saat para Pendekar Kembar terbantai satu demi satu di tangan Tujuh Dewa Kematian.
Kegeraman membuncah dadanya. Perasaan lelaki ini larut dalam keharuan bercampur dendam. Dan tanpa terasa, pedangnya yang terselip di pinggang dicabutnya. Sratt...! Kewaspadaan penuh ditingkatkan. Mata nyalang beredar ke sekeliling. Adipati Wisnu Bernawa dan Pengemis Tuak mengikuti dari belakang, siap melindungi Sukma Sukanta.
Kini, mereka telah menginjak halaman depan candi. Keadaan tetap sepi. Mencekam. Sekitar lima tombak mereka berdiri di depan pintu gerbang yang mirip gapura. Ketajaman mata mereka berusaha menghujam kepekatan kabut yang mengepung sekitar Kuil Neraka.
"Aku jadi curiga. Jangan-jangan...."
"Awass...!" Wuosss...! Kata-kata Ki Dagul terjegal oleh suara peringatan Adipati Wisnu Bernawa. Juga oleh lesatan beberapa bola api yang meluncur, langsung mengurung mereka.
Dahsyat bukan main. Ketiga orang itu langsung melempar diri masing-masing, menghindari terjangan lima buah bola api berhawa panas.
Wusss! Baru saja bangkit, ketiga orang itu harus pontangpanting lagi. Lima bola api panas seperti memiliki mata. Berputar-putar, lalu menyambar lagi. Lebih ganas, lebih berbahaya.
"Setan buduk! Wisnu! Tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi bola-bola api itu!" teriak Ki Dagul, sambil berlompatan menghindar. Sia-sia Pengemis Tuak berteriak begitu. Tetap saja Adipati Wisnu Bernawa tak mampu keluar dari serangan bola api. Jangankan untuk keluar. Untuk menghindar saja harus berjuang mati-matian.
Di tempatnya, Sukma Sukanta pun harus pontang-panting menyelamatkan diri. Dua bola api yang menyerangnya seperti tak memberi ampun padanya.
Baru saja bangkit, satu bola api yang lainnya telah me-rangseknya.
"Ha ha ha...! Selamat datang di Kuil Neraka, Para Pecundang! Sebentar lagi nasib kalian sama dengan tumpukan tengkorak-tengkorak itu!" Suara tanpa wujud terdengar memenuhi sekitar tempat ini. Kendati dalam keadaan kewalahan begitu, ketiga orang yang diserang lima bola api masih bisa mendengarnya. Bisa jadi, suara itu berasal dari mulut satu dari Tujuh Dewa Kematian.
"Tampakkan diri kalian, Pengecut!" teriak Ki Dagul. Lelaki tua bangka ini terus berkelit menghindar.
"Nanti, kalau kami selesai melangsungkan upacara. Sebentar lagi, upacara akan digelar. Tepatnya, pada tengah malam nanti.
Bersenang-senanglah kalian dulu dengan bola-bola kematian kami! Toh, walaupun kalian terbebas dari bola-bola api itu, tak bakalan bisa memasuki candi tempat upacara, karena telah kami pagari dengan setan-setan dari neraka! Ha ha ha...!" Ki Dagul, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Sukanta tercekat. Diserang bola-bola api saja mereka belum berhasil melepaskan diri. Sekarang, mereka telah dihadapi kenyataan tak bakalan bisa masuk candi.
Kalau sudah begini, apa yang harus diperbuat" Buntu! Buntu pikiran Ki Dagul menghadapi serangan tak terduga bola-bola api itu. Sebab, jelas kalau bola-bola api itu dikendalikan dari jarak jauh. Yang perlu dimatikan adalah si pengendali. Nah, kalau si pengendali tak jelas ada di mana, bagaimana bisa menghadapinya" Bahkan untuk keluar dari terjangan-terjangan bola-bola api itu saja, Pengemis Tuak merasa kewalahan. Bagi Ki Dagul, lebih baik berhadapan dengan lawan. Kalau sudah berhadapan, tinggal adu kesaktian dan ilmu olah kanuragan. Tapi menghadapi lawan gaib seperti itu, apa yang harus diperbuatnya" Sama seperti Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma Sukanta. Mereka merasa lebih baik menghadapi lawan nyata ketimbang seperti ini. Lawan yang menggunakan tenaga batin, harus dilawan dengan batin pula. Inilah yang tak disangka-sangka mereka. Artinya, ilmu kebatinan Tujuh Dewa Kematian bisa jadi memang telah sangat tinggi. Satu-satunya tokoh yang bisa melawan dengan ilmu kebatinan adalah Dewa Gila. Tapi, tokoh itu diwakili oleh anaknya yang bernama Joyolelono. Begitu yang terlintas di benak sang Adipati.
Memang bisa saja Pengemis Tuak melawan dengan pukulan jarak jauh yang dilambari tenaga dalam.
Tapi menurutnya, hal itu akan sia-sia saja. Toh bolabola api itu bisa bergerak sendiri, seperti memiliki ma-ta. Kalau nanti diserang dengan pukulan jarak jauh, bisa saja bola-bola api itu menghindar. Bahkan bisa jadi, pukulan jarak jauhnya akan nyasar, mengenai Adipati Wisnu Bernawa atau Sukma Sukanta.
Di dalam candi sendiri, sebuah kegiatan aneh tengah berlangsung. Tiga dari Tujuh Dewa Kematian tengah bersiap-siap melakukan upacara tumbal. Di ujung peti di atas batu pipih, pedupaan telah dinyalakan.
Asap kemenyan berlenggak-lenggok tertiup angin semilir. Tak jauh dari peti mati, gadis bernama Pitaloka masih dalam keadaan pingsan di tiang salib.
Dua Dewa Kematian lainnya tengah duduk bersemadi. Khusuk sekali, Mereka duduk menghadap pintu gerbang candi, tak jauh dari tiang salib. Sementara dua orang lainnya menembangkan mantera-mantera yang tak jelas artinya.
Sebuah upacara gila segera dimulai. Apa yang terjadi selanjutnya"

* * *



"Ayah, lihat! Lima kembang api bagus sekali, berlenggak-lenggok di udara!" tunjuk Joyolelono begitu ti-ba tak jauh dari Kuil Neraka. Yang diajak bicara malah asyik dengan semadinya. Dialah Dewa Gila. Begitu melihat keadaan Pengemis Tuak, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Sukanta terancam bahaya, lelaki bungkuk ini langsung duduk bersila. Segala kekuatan batinnya dikerahkan.
Hasilnya....
"Heh" Bola-bola api itu berhenti menyerang!" teriak Ki Dagul, tak percaya.
Matanya kontan mendelik, ingin memastikan. Pada kenyataannya, bola-bola api sebesar kelapa itu malah berkumpul menjadi satu, membentuk bola api sebesar kambing bunting.
Dan.... Wusss...! Blaarr...! Bola api sebesar kambing bunting itu melesat ke arah bagian dalam Kuil Neraka, lalu meledak dahsyat.
Dari balik tembok kuil terlihat bunga-bunga api berpentalan ke segala arah di udara. Selanjutnya....
"Aaaakh...! Aaaa...!" Dua teriakan merobek angkasa terdengar menyayat, menyentak Pengemis Tuak, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Sukanta. Mereka saling pandang tak mengerti. Yang bisa dilakukan hanya menduga-duga, apa yang terjadi di dalam halaman candi.
Dan keheranan mereka pun terbegal oleh sebuah suara menyebalkan dari belakang.
"Horeee.... Bagus, ya kembang apinya!" sorak Joyolelono seraya menghampiri ketiga orang itu.
"Joyolelono!" sambut Ki Dagul, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Sukanta dengan wajah kagum.
"Kau hebat, Joyolelono. Tak kusangka kau memiliki ilmu kebatinan yang begitu tinggi," puji sang Adipati. Joyolelono malah cengengesan salah tingkah. Kedua tangannya malah digoyang-goyangkan manja. Kepalanya miring ke kiri dan ke kanan.
"Hei, Bocah Kampret! Barusan kau yang mengusir bola-bola api itu?" tanya Ki Dagul, seolah kurang percaya.
"Kalau dia bocah kampret, bapaknya apa, Dagul!" Terjawab sudah pertanyaan dalam hati Pengemis Tuak. Kini dia yakin, yang mengusir bola-bola api itu adalah orang yang barusan bertanya dengan nada nyindir.
"Ki Jerangkong...! Tak kusangka kau sudi memenuhi undanganku," sambut Adipati Wisnu Bernawa.
"Siapa yang sudi?" tukas lelaki tua bungkuk yang memang Ki Jerangkong alias Dewa Gila. Seperti biasa, sikapnya selalu seenak udel. Padahal yang dihadapi seorang adipati.
"Aku ke sini bukan memenuhi undanganmu. Aku mengantar anakku, tahu?" Kalau telinga orang lain mungkin akan panas mendengar semprotan Dewa Gila yang semaunya. Tapi tidak sang Adipati. Tarikan senyumnya justru memancarkan kematangannya dalam bersikap. Wajahnya tetap memancarkan perbawa mengagumkan.
"Bukankah kau mengundangku ke Kadipaten Lumajang, bukan ke tempat sialan ini?" sambungnya, enteng.
"Akhirnya kau keluar dari sarang juga, Jerangkong!" sela Ki Dagul.
"Kau kira aku anjing kurap dibilang keluar sarang!" sembur Ki Jerangkong. Lalu tatapannya beralih ke sang Adipati.
"Wisnu! Mana Tujuh Dewa Kematian yang kau ceritakan dalam surat itu?"
"Mereka ada di dalam kuil itu, Ki!" tunjuk sang Adipati.
"O, jadi yang di dalam itu mereka" Bagus! Berarti dua dari mereka telah terkapar tak berdaya. Mungkin telah mampus. Tenaga batin mereka belum ada apaapanya. Kalau begitu, mari kita serang kuil itu!"
"Tunggu!" Gerakan Ki Jerangkong yang hendak berkelebat menuju dalam kuil terjegal oleh cegahan sang Adipati.
"Mereka telah memagari kuil ini dengan tenaga gaib pula. Menurut Tujuh Dewa Kematian, iblis-iblis dari neraka yang menjaga kuil itu," sambungnya.
"Wisnu, Wisnu. Setua ini kau masih saja bisa dikadali orang-orang sialan itu. Buktinya tenaga gaibku bisa menembus kuil itu. Mereka hanya menggertak sambal saja. Ayo, maju!" Merah padamlah wajah Adipati Wisnu Bernawa.
Kenapa dia bisa begitu percaya dengan pepesan kosong Tujuh Dewa Kematian"! Saat itu juga langkah lebarnya bergerak. Pedangnya pun telah tak sabar lagi untuk keluar dari sarungnya.
"Ayah, aku takut...," kata Joyolelono tiba-tiba.
"Apa yang kau takutkan, Anakku?" tanya Dewa Gila, kalem.
"Itu...," tunjuk Joyolelono pada tumpukan tengkorak kepala manusia yang berserakan di halaman candi.
"Kepalamu pun bisa seperti itu kalau kau tak hati-hati di dalam kuil itu," kata Dewa Gila, enteng.
Takut-takut, si bocah berkumis mengikuti langkah ayahnya menuju Kuil Neraka bersama yang lainnya. Baru saja mereka tiba di depan pintu gerbang mirip gapura di kuil itu, sebuah suara tanda dimulainya pertarungan terdengar. Bukan, suara itu bukan suara serangan yang ditujukan kepada mereka. Tapi, kepada Tujuh Dewa Kematian. Dan lagi, bukan pula mereka yang menyerang. Lantas siapa"
"Kenapa Satria dan Arya Wadam sudah ada di tempat ini" Dari mana mereka muncul" Kapan datangnya" Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan sang Adipati. Semuanya terpatri dalam keheranan. Setan apa yang memasuki bocah tengik itu hingga berani menyatroni tempat ini bersama Arya Wadam" Sebetulnya, itu adalah bagian dari siasat Arya Wadam. Di perjalanan menuju Kuil Neraka, Arya Wadam bercerita kalau sebelum kuil itu ditempati Tujuh Dewa Kematian, dulunya adalah tempat peribadatan guru Arya Wadam sendiri. Sang Guru pernah bercerita, sebelum menemukan Arya Wadam di tengah hutan, dia masih bertempat tinggal di sekitar kuil, sampai suaminya meninggal. Abu sang suami lantas disimpannya di sebuah ruang bawah tanah di dalam kuil, yang berhubungan dengan lorong bawah tanah menuju puncak bagian selatan Gunung Arjuna.
Karena tak ingin terus menerus teringat suaminya di dalam kuil, akhirnya dia pergi, sampai kemudian menemukan bayi perempuan di tengah hutan. Bayi itu tak lain dari Arya Wadam.
Arya Wadam sengaja membawa Satria Gendeng menuju puncak bagian selatan Gunung Arjuna. Ingat cerita gurunya tentang letak lorong yang berhubungan dengan ruang bawah tanah di Kuil Neraka, mereka lantas mencari sebuah batu berbentuk kepala manusia di sekitar puncak bagian selatan. Karena, di situlah pintu masuk menuju lorong.
Sebentar saja, Arya Wadam dan Satria Gendeng telah menemukan batu yang dimaksud, yang ternyata terletak tak jauh dari bibir kawah. Begitu batu digeser, terlihat sebuah goa nan pekat. Tanpa ragu, mereka langsung memasuki lorong.
Benar. Ternyata di ujung lorong terdapat sebuah ruangan gelap tempat menyimpan abu jenazah. Di atas ruangan, terlihat sebuah lubang yang tertutup papan, tertimbun semak-semak belukar. Begitu mereka membuka papan dan melesat masuk dari lubang itu, ternyata mereka telah berada di dalam kuil.
Satria Gendeng dan Arya Wadam sempat melihat, bagaimana dua dari Tujuh Dewa Kematian yang tengah khusuk dengan ilmu kebatinannya tiba-tiba terpental disertai teriakan menyayat, tak lama kemudian setelah terjadi ledakan bola api di dalam kuil.
Sejenak perhatian lama dari Tujuh Dewa Kematian terusik. Namun seperti tak peduli, mereka segera melanjutkan upacara yang akan mengorbankan Pitaloka. Tepat ketika Pitaloka diturunkan dari tiang salib dan direbahkan di samping peti mati, Satria Gendeng dan Arya Wadam bergerak menyerang. Pertarungan pun tergelar sudah.

* * *



"Hei, Bocah Tengik! Setan mana yang membawamu kemari"!" teriak Ki Jerangkong seraya memilih lawan. Langsung dirangseknya satu dari Tujuh Dewa Kematian yang kini tinggal lima orang itu.
"Bau tubuhmu yang membuatku kemari, Pak Tua" Kau tak keberatan, bukan?" sahut Satria, langsung berkelebat menuju tempat Pitaloka berbaring.
Sial betul nasib Tujuh Dewa Kematian. Mereka tak bisa lagi menggunakan senjata peti mati, karena tak lengkap tujuh orang. Bisa saja mereka menggunakannya, tapi keampuhannya tak seberapa.
Lima dari Tujuh Dewa Kematian telah menemukan lawan masing-masing tanpa bisa menggabungkan kekuatan, ini kelemahan mereka. Sebab, perhatian mereka selalu terpecah oleh lawan-lawan yang dihadapi. Sukma Sukanta tampak menghadapi Karpa. Ki Jerangkong menghadapi Karta. Ki Dagul menghadapi Karsa. Arya Wadam menghadapi Karba. Sang Adipati menghadapi Karma. Sedangkan Joyolelono malah asyik-asyikan bermain dengan sebuah tengkorak kepala manusia. Semula bocah berkumis ini amat takut.
Tapi lama kelamaan terbiasa juga, dan bahkan dibuat main-mainan. Satria Gendeng sendiri sudah cepat berkelebat keluar kuil untuk membawa Pitaloka ke tempat yang aman. Dan secepat itu pula tubuhnya melesat, menuju ke dalam kuil lagi.
Begitu tiba, matanya kontan mendelik.
Dess.... Sukma Sukanta terpental. Satu pukulan dari Karpa mendarat mulus di dadanya. Dan sebelum lawan menyerang kembali, Satria telah berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Gundul!" sembur Satria.
Si calon lawan menatap tajam. Sinar matanya membersitkan nafsu membunuh.
"Kau yang menggagalkan upacara tumbal kami, Bocah Keparat! Kau harus menerima akibatnya!" ancamnya, mengerikan.
Tak gentar dengan ancaman tadi, si pemuda tengik ini malah ganti menatap. Menerkam, tak kalah tajam dari tatapan rajawali yang tengah mengincar mangsa. Mengancam, perkasa, dan berpancar sekuat karang. Sesaat lelaki gundul bernama Karpa yang memiliki nafsu membunuh paling besar dibuat terhenyak oleh tatapan Satria. Sungguh. Tak pernah ditemukannya tatapan seorang pemuda tanggung yang menggidikkan seperti itu. Bahkan tatapan itu seperti menikam langsung ke ulu hatinya.
"Kau ingin menghukumku karena nafsu keparat kalian kugagalkan" Silakan. Lakukanlah hukuman itu, Gundul!" Karpa menyadari ada satu kekuatan dalam suara dan tatapan pemuda tanggung ini. Biasanya, suara dan tatapan seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh tua yang batinnya bersih. Entah bagaimana pemuda satu ini bisa memilikinya.
Tak ingin terperangkap dalam kekuatan pancaran mata si pemuda, dia langsung menggebrak. Sebagai tokoh tua, Karpa tak sudi terpengaruh oleh kekuatan tatapan calon lawan bau kencurnya. Maka sebelum tersurut mundur, dia harus mendahului.
"Mampus kau, Bocah!"

* * *




--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

SISA Tujuh Dewa Kematian benar-benar dibuat mati kutu kali ini. Sungguh mereka tak menduga sebanyak ini lawan-lawan yang dihadapi. Dan semuanya mempunyai kepandaian tinggi. Malah dua dari mereka telah terkapar tak berdaya, setelah adu kekuatan batin dengan Dewa Gila, salah satu dedengkotnya dunia persilatan.
Dewa Gila sendiri sepertinya berada di atas angin dalam menghadapi Karta. Setiap serangan lawan selalu dihindarinya dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang bungkuk. Bed! Bed! Bed! Tiga hantaman telapak tangan Karta yang menggunakan jurus pukulan 'Selaksa Racun' dihindari Ki Jerangkong dengan meliuk-liukkan tubuhnya yang tampak ringkih. Sulit dipercaya. Tubuh yang kelihatan lemah itu begitu gemulai melenggak-lenggok. Akibatnya hantaman telapak tangan itu hanya menyambar angin saja.
"He he he.... Gerakanmu masih terlalu lemah, Botak. Baru punya ilmu seujung kuku saja sudah petantang-petenteng," ledek Ki Jerangkong.
Makin murka saja Karta. Mata memerahnya kian nyalang. Dadanya yang bergemuruh diledek sedemikian rupa.
"Kau harus mampus, Dewa Gila! Kau telah mencampuri urusan kami, maka hanya kematian yang kau cari!" desis Karta.
"O, silakan. Silakan kalau kau mau membunuhku. Dikira kau saja yang bisa membunuh" Asal kau tahu, sejak lama aku kesal dengan kalian yang selalu membuat onar. Semula aku sengaja mengutus anakku dalam membantu adipati untuk mencincang kalian.
Tapi lama-lama aku tak tega pada anakku. Maka kuputuskan untuk menyusul anakku," kata Dewa Gila, tenang.
"Setan! Aku tak peduli dengan ceritamu. Sekarang, makanlah yang satu ini. Heaah...!" Dibarengi teriakannya, pada jarak tiga tombak Karta melepaskan pukulan jarak jauh. Penuh kekuatan, membuat angin menderu tajam. Dewa Gila menganggapnya tidak main-main lagi.
"Shaaa...!" Kuat sekali Dewa Gila menghentakkan tangan kanannya. Deru angin keras pun terdengar. Arahnya, luncuran angin yang dilepaskan Karta. Selanjutnya....
Blap! Tak ada suara. Yang ada, tubuh Karta yang terpental dengan dada seperti mau ambrol. Dua tombak lelaki botak itu jatuh di tanah. Bahkan dari mulutnya tersembur darah segar.
"Mau lagi, hah"! Ayo, katanya mau membunuhku"!" bentak Dewa Gila, galak.
Si botak Karta tak menyahut. Dadanya turun naik. Selain menahan kemarahan yang membuncah, juga merasakan nyeri yang mengaduk-aduk dadanya.
Kalau sudah begini, rasanya tak ada jalan lain kecuali adu nyawa. Begitu tekadnya. Dengan semangat banteng terluka, Karta bangkit berdiri. Kedua cuping hidungnya kembang kempis. Kedua tangannya segera membuat gerakan di depan dada dengan kuda-kuda kokoh.
"Hiaaahhh...!" Teriakan orang kejepit pintu masih kalah keras dengan teriakan Karta yang dilambari semangat banteng terlukanya. Seketika, tubuhnya melesat ke arah Ki Jerangkong. Di tempatnya, Ki Jerangkong malah tengah memperhatikan anaknya yang sedang bermain-main dengan tengkorak kepala manusia. Secuil perhatian sepertinya tak ditujukan pada datangnya bahaya.
Setengah tombak langit serangan datang, Dewa Gila melenting ke atas. Tepat ketika Karta berada di bawahnya, tubuhnya meluncur turun. Kedua kakinya yang merenggang langsung menghantam ke sisi dalam.
Praakk! Kepala Karta yang dihantam kaki dan kiri dan kanan langsung pecah. Tubuhnya ambruk, tergenang darahnya sendiri yang mengucur deras dari kepala.
Di ajang pertarungan lain, Arya Wadam terus menekan lawan botaknya. Luka dalamnya akibat pukulan Raja Pencuri Dari Selatan telah sembuh seluruhnya.
Kini dia tak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan tenaga dalam untuk menjatuhkan lawan.
Plak! Bentrokan tangan terjadi. Arya Wadam terjajar mundur dua langkah. Sedangkan lawannya empat langkah. Dan sebelum sang lawan bersiap, wanita berpenampilan lelaki itu telah menerjang dengan tendangan terbangnya, "Hiaaat...!" Lelaki botak bernama Karba yang menjadi lawan Arya Wadam cepat membuat pertahanan dengan kedua tangan menyilang di atas kepala. Kedua kakinya dipantek di atas tanah membentuk kuda-kuda kokoh.
Tunggu punya tunggu, tendangan tak jadi datang.
Tepat ketika Karba membuat pertahanan tadi, Arya Wadam dengan kecepatannya telah memutar tubuhnya di udara. Dilewatinya kepala lawan, lalu mendarat di belakangnya.
Dicoleknya bahu Karba, lalu....
Dess...! Tepat ketika Karba menoleh, jotosan tangan Arya Wadam telah bersarang di wajahnya. Lelaki botak itu kontan tersuruk jatuh ke belakang. Keras sekali pantatnya mencium tanah.
Sebelum Karba sempat berbuat sesuatu, satu tendangan Arya Wadam kembali menghajar dadanya.
Bukk! "Ngek!" Mungkin itu suara nyawa yang dicabut tiba-tiba.
Tendangan Arya Wadam yang disertai tenaga dalam penuh itu telah mengakhiri riwayat lawan. Dadanya tampak melesak. Jelas, tulang dadanya hancur dan langsung menusuk jantung. Dari mulutnya mengalir darah segar.

* * *



Pertarungan Pengemis Tuak dengan lawannya makin gila-gilaan. Keduanya telah mengerahkan kepandaian pada tingkat yang cukup tinggi. Seperti kata Ki Dagul, kali ini dia sudah mengerahkan jurus dan ilmu barunya.
"Fruhh...!" Semburan tuak Ki Dagul meluncur, menerabas udara. Arahnya, wajah Karsa, sang calon korban. Itulah ilmu barunya, 'Pengemis Meludah'. Setiap luncurannya selalu diiringi asap yang mengepul.
Jungkir balik lelaki botak itu menyelamatkan diri.
Kena sedikit saja, bukan mustahil daging tubuhnya akan terbakar. Kalau hanya melepuh saja masih ringan. Tapi kalau sampai menembus tulang" Begitu mendapat kesempatan, lelaki botak itu melepaskan pukulan jarak jauh. Kali ini ganti Ki Dagul yang pontang-panting. Dan begitu mendapat kesempatan, dipapaknya pukulan jarak jauh lawan.
Blashhh! Keduanya sama-sama tergempur mundur. Kakikaki mereka tergeser beberapa tombak dari tempat semula. Kini mereka sama-sama saling menatap, siap berbentrokan lagi.
"Sekarang saatnya kita mengadu nyawa!" desis Karsa.
"Sejak tadi pun kita sudah mengadu nyawa, Setan Buduk! Kita bertarung ini apa namanya kalau bukan mengadu nyawa" Apa kau lebih suka lari terbirit-birit dari hadapanku. Ayo, lakukan saja!" maki Ki Dagul geram bukan main. Masalahnya, dulu dia tak pernah menang melawan Tujuh Dewa Kematian. Maklum saja, dulu dia dikeroyok bertujuh. Dan sekarang, satu lawan satu. Maka inilah saatnya untuk melampiaskan kekesalannya.
"Heaa..!"
"Hiaaah..!" Keduanya telah sama-sama bergerak menerjang.
Ganas dan liar.
Di tempat lain, Joyolelono telah bosan dengan mainannya. Dengan tenaga dalam, dilemparkannya tengkorak kepala manusia di tangannya. Sekuat tenaga. Arahnya, tepat menuju kepala Karsa yang tengah meluncur. Dan....
Bletakk! Brukk! Karsa kontan ambruk.
Sambil memejamkan mata, Ki Dagul terus meluncur. Tak sadar dia kalau sang lawan telah ambruk di tanah. Ketika merasa sudah mencapai sasaran, Ki Dagul membuka matanya.
"Hah"!" Kaget bukan main tua bangka ini ketika menyadari lawannya sudah tidak ada lagi. Sementara tubuhnya yang meluncur begitu cepat tak tertahankan lagi. Padahal di depannya pada jarak satu tombak telah menghadang tiang salib. Hingga....
Gubraakk! Tubuh Pengemis Tuak menabrak tiang salib hingga patah. Bahkan langsung menghantam peti mati di atas batu hingga hancur berantakan.
"Setan belang! Siapa yang merobohkan calon korbanku, heh"!" bentak Ki Dagul sambil meringis kesakitan. Perlahan-lahan dia bangkit sambil mengedarkan pandangan.
"Hebat...! Lemparanku kena! Lemparanku kena....
Pak Tua! Lihat. Lawanmu roboh oleh lemparanku!" teriak Joyolelono, tanpa dosa.
"Keparat buntung kau, Bocah! Kuremas-remas baru tahu rasa kau!" maki Pengemis Tuak, kalap.
Betapa tidak kalap" Ki Dagul yang sudah lama ingin mengalahkan Tujuh Dewa Kematian, walau hanya seorang yang dihadapi, terpaksa kembali gagal. Lawan telah keburu roboh oleh orang lain. Dan si orang lain itu adalah pemuda berotak kebocahan yang amat menyebalkannya. Baru saja Ki Dagul hendak melabrak, Ki Jerangkong telah berdiri menghadang.
"Kalau berani jangan sama anak kecil! Aku lawan seimbang!" bentaknya. Dewa Gila memang paling pantang bila anaknya disakiti orang lain.
Pengemis Tuak tersurut mundur. Cepat dipendamnya kemarahan hingga sampai ke ujung pantat.
Tak puas dengan itu, ditenggaknya tuak dari guci besarnya.
"Anakmu selalu menyebalkan, Jerangkong! Selalu ikut campur urusan orang," Ki Dagul berkilah.
"Bukannya terima kasih dibantu, malah makimaki anakku!"
"Masalahnya bukan di situ, Jerangkong! Sejak dulu aku selalu dikalahkan Tujuh Dewa Kematian. Sekarang begitu mendapat kesempatan satu lawan satu, anakmu malah ikut campur. Siapa yang tidak kesal?"
"Pelampiasan kekesalanmu jangan pada anakku, tapi pada aku. Sebab aku yang mencetaknya!" bentak Ki Jerangkong.
"Baik, baik. Aku minta maaf. Aku terlalu dibawa arus dendam. Sebaiknya, kita tak perlu bersitegang.
Kasihan Adipati Wisnu Bernawa," akhir Ki Dagul mengalah.
Masih dengan wajah cemberut, Ki Jerangkong menghampiri anaknya. Sementara perhatian Ki Dagul telah beralih pada pertarungan Adipati Wisnu Bernawa melawan sisa Tujuh Dewa Kematian.
Sepertinya pertarungan sudah tak menarik lagi.
Karena begitu menyadari saudara-saudaranya berjatuhan, Karma yang menjadi lawan sang Adipati mulai cemas. Sebentar-sebentar kepalanya melihat ke kiri dan kanan seperti mencari peluang. Masalahnya, dia kini sudah mendalami jurus baru, yakni jurus 'Langkah Seribu'. Artinya, bila ada kesempatan, lari secepatnya. Begitu kesempatan itu ada, tanpa buang-buang waktu lagi Karma membuang tubuh ke belakang. Dan saat menjejak tanah, tubuhnya telah berkelebat lagi, meninggalkan tempat ini.
Kabur. Tak terasa, pertarungan antara Satria dengan lawannya telah bergeser ke luar Kuil Neraka. Makin seru dan ganas. Sebagian pepohonan telah tumbang termakan pukulan nyasar. Tanah membuncah dan bergetar.
"Heaaa...!" Lelaki berkepala plontos lawan Satria menerjang.
Dia berlari beringas. Kedua kakinya berdebam berat di atas tanah. Hal itu sengaja dilakukan dengan menyalurkan tenaga dalam pada setiap jejakan kakinya. Tujuannya jelas. Untuk menggedor nyali lawan bau kencurnya. Tapi bukan Satria namanya kalau begitu saja sudah melorot nyalinya.
"Hiaaaahhh...!" Dikawal oleh teriakan bak naga terluka, Satria malah menyambut serangan dengan maju ke depan pula. Pada saat itulah tenaga sakti dalam dirinya mengalir deras ke kedua lengannya.
Sebelum terjadi bentrokan, lelaki plontos bernama Karsa menghantamkan tangan kanannya. Cepat sekali. Arahnya dada Satria.
Bed! Mata tajam Satria patut dipuji. Nalurinya mengatakan kalau dia harus mengenyahkan tubuhnya ke samping. Kerja sama antara mata dengan naluri, membuat serangan lewat di depan dada. Begitu serangan lewat, patukan Satria telah menerjang punggung lawan. Dighh! Karsa tersuruk maju. Lenguh tertahan meluncur dari mulutnya. Untung dia cepat mencari keseimbangan. Kalau tidak, bisa dipastikan tubuhnya mencium tanah. Tapi tanpa begitu pun, dia sudah merasakan punggungnya berdenyar-denyar. Kuat sekali tanda hantaman lawan. Untungnya, dia sudah melapisinya dengan tenaga dalam.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya, Bocah"!" dengus si tua bangka satu dari Tujuh Dewa Kematian ini.
"Aku Satria," sahut Satria enteng.
"Kulihat kau menggunakan jurus 'Patukan Bunga Karang'. Apa hubunganmu dengan Ki Kusumo, heh"!"
"Yang jelas bukan hubungan suami-istri," sahut Satria, kambuh penyakitnya.
"Setan! Aku yakin, kau murid tua bangka dari Pulau Dedemit itu."
"Kenapa memangnya" Kau mulai takut padaku"!" Sebenarnya Satria paling tak suka jika jati dirinya diutak-atik orang. Apalagi sampai membawa-bawa nama gurunya. Itu sebabnya suaranya makin meninggi dengan mata melotot.
"Bangsat! Kau benar-benar tak menganggap siapa aku, Bocah! Terima kematianmu! Heaaah!" Dihina demikian rupa, makin membuncah saja kemarahan lelaki tua bangka itu. Kembali diterjangnya Satria. Ganas penuh kekuatan. Kali ini dia tidak lagi melangkah berdebam, tapi meluncur dengan ilmu meringankan tubuhnya. Kedua kepalanya mengibasngibaskan. Amat cepat.
"Hup! Heaaa...!" Satria melakukan hal yang sama. Lalu....
Plak! Plak! Benturan tangan terjadi. Si lelaki plontos terpental mundur. Sementara Satria mendarat di tanah. Dan sebelum lawan mampu menyeimbangkan tubuhnya, si pemuda telah meluncur kembali bak ikan hiu menyambar mangsa.
Diegh! Desss! Berturut-turut dua jotosan tangan Satria berisi tenaga sakti bersarang di rahang dan dada lawan.
Si lelaki plontos terjungkal ke tanah. Wajahnya makin kelam. Matanya kian beringas. Saking geramnya dipecundangi begitu, kedua tangannya menegang dengan jari-jari mencengkeram tanah.
"Whuaahh!" Seiring bentakannya, lelaki tua bangka ini bangkit berdiri. Masih sempoyongan, diterjangnya Satria dengan membabi-buta. Kenekatan telah mengisi dadanya.
Tak ada kata menyerah dalam hidupnya. Benar-benar keras kepala dia! Selang beberapa kedipan, kedua tangan lelaki plontos ini menyusul cengkeraman bengis ke wajah dan dada lawan. Tubuh si pemuda hendak dirancahnya. Terlalu mudah bagi Satria untuk mengelak. Apalagi si lawan hanya mengandalkan sisa-sisa tenaganya.
Nalurinya yang terlatih cepat menyuruhnya untuk membuang tubuh ke belakang dengan kaki menjejak ke depan. Lagi-lagi...
Desss...! Kembali tubuh si tua bangka itu terpental mundur. Perutnya yang lowong jadi sasaran kedua kaki Satria. Mulut jeleknya langsung meringis menahan mual.
Tak kepalang tanggung, langsung saja terlontar darah segar dari mulutnya yang berbibir keriput mirip gombal lecek. Sungguh! Daya tahan lelaki tua ini patut diacungi jempol. Walau dengan mata berkunang-kunang, dia masih berusaha berdiri. Matanya kian memerah. Kenekatannya benar-benar membuat dirinya jadi mata gelap. Yang ada di benaknya hanyalah membunuh bocah lawannya.
"Bangsattt...! Kucincang kau, Bocah!" desis si tua bangka. Saat mendesis begitu dari mulutnya tersembur percikan darah merah.
Sebenarnya tawa Satria mau meledak. Bagaimana tidak" Disenggol dengan jarinya saja, lelaki tua plontos itu pasti akan roboh.
Eh, dia pakai mau mencincang tubuh Satria.
"Sudahlah, Pak Tua Plontos! Sudahi saja pertarungan ini. Kembalilah ke ja...." Kata-kata si pemuda terpenggal oleh terjangan lawan, Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sikapnya tetap tenang.
"Kau terlalu memaksa, Pak Tua...! Heaaah...!" Setengah tombak lagi serangan tiba, Satria memutar tubuhnya. Dilepaskannya tendangan berputar, salah satu jurus dasar olah kanuragan yang dipelajarinya di Kerajaan Demak.
Desss...! "Aaa...!" Teriakan kematian terdengar. Tendangan Satria tepat mendarat di dada kiri lawan. Tulang dada si tua bangka langsung berpatahan. Sebagian patahannya menjotos jantung. Tendangan tadi sekaligus mengakhiri riwayat manusia tua keras kepala itu.
Tujuh tombak si tua itu terpental dari tempatnya itu. Dalam luncurannya, tetesan darah merah berjatuhan, mengotori bumi. Sampai di tanah, tubuhnya sudah melejang-lejang dan diam seketika.
Satria berbalik ketika mendengar suara-suara langkah kaki di belakangnya.
"Hei, Bocah Tengik! Di mana Pitaloka kau sembunyikan"!" sambar Pengemis Tuak, langsung saja.
Tak langsung menjawab, Satria malah mencaricari.
"Ke mana Arya Wadam?" tanyanya dalam hati.
"Hei, Bocah Budek! Sejak kapan telingamu tuli"!" sambung Dewa Gila.
Di tempat itu memang telah berdiri Adipati Wisnu Bernawa, Sukma Sukanta, Joyolelono. Pengemis Tuak, dan Dewa Gila. Tapi di mana Arya Wadam"
"Kalian lihat Arya Wadam?" Satria malah balik bertanya.
"Busyeett..., ini bocah! Ditanya malah balik bertanya. Di mana kau sembunyikan Pitaloka. Ayo, jawab!" maki Ki Dagul, naik pitam.
"Tenang. Dia aman-aman saja. Yang panting, di mana Arya Wadam. Apa kalian melihatnya?" sahut Satria kalem.
"Dia telah pergi, Satria. Tadi waktu kau bertarung," Sang Adipati yang menjawab.
"Ke mana?"
"Entah, dia tidak bilang." Satria Gendeng tercenung sejenak. Tapi tak lama bibirnya tersenyum.
"Ayo, kita jemput Pitaloka." susulnya, mengajak.
Bisa jadi Satria tersenyum. Bukankah kalau ingin bertemu Arya Wadam mudah saja. Datangi tiap-tiap kedai makan. Kalau beruntung dia pasti ada di salah satu sudut ruangan kedai. Biasa, makan nasi dicampur arak!

* * *




--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

SATRIA Gendeng menghentikan langkahnya sepuluh tombak di dekat pintu gerbang Kadipaten Lumajang. Di tempat yang sama, di bawah pohon beringin, Pitaloka berdiri, ini yang membuat langkah si pemuda terhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" Pertanyaan ini pernah diajukan si pemuda sewaktu pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah kadipaten.
"Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Tuan Pendekar," ucap Pita halus.
"Lho" Kok pakai Tuan segala" Namaku Satria. Itu saja," kata si pemuda ini.
"Terima kasih kuucapkan padamu, Satria. Kau telah membebaskan aku dari Tujuh Dewa Kematian," ulang sang Putri.
"Jangan pada hamba, Putri. Berterimakasihlah pada Ki Dagul, Ki Jerangkong, Joyolelono, Arya Wadam, Paman Sukma Sukanta, dan Kanjeng Adipati sendiri," tukas Satria.
"Tapi tanpa kau, mana mungkin mereka datang membantu?" balik Pitaloka.
"Ya, itu hanya kebetulan saja. Nah, sekarang hamba permisi untuk pergi dari sini," elak Satria. Terus terang, Satria pun ingin berlama-lama dengan Pitaloka. Kecantikan si gadis yang membuatnya betah. Tapi keadaanlah yang memaksanya untuk pergi.
"Tidakkah kau bersedia menginap barang sehari dua hari?" aju Pitaloka.
"Aku" Menginap di sini?" si pemuda malah tercekat.
"Ya, kenapa" Kau tak sudi" Apa pelayanan di sini kurang memuaskanmu?"
"Bu..., bukan begitu, Putri. Justru hamba malah merasa mendapat kehormatan yang begitu berlebihan.
Hanya saja...."
"Ada gadis yang menantimu?" potong Pitaloka.
"Ada," sahut Satria pendek.
"Siapa?"
"Putri sendiri."
"Kapan aku menantimu?"
"Wah, masih muda sudah pelupa. Lantas Putri berdiri di sini menanti siapa?" Satria menyudutkan.
Wajah Pitaloka memerah. Kepalanya langsung ditundukkan.
"Maksudku, apa ada gadis lain yang menantimu," rapat Pitaloka.
"Kalau itu tidak ada. Hanya saja aku harus menemui seseorang," jelas Satria.
"Seorang gadis?" tuntut Pitaloka.
"Bisa iya, bisa tidak," Satria berteka-teki.
"Aku tak mengerti maksudmu?"
"Yang akan kutemui memang seorang gadis, tapi berpenampilan seperti lelaki. Dia tak lain adalah Arya Wadam, yang ikut membebaskanmu, Putri," Jelas Satria lagi.
"Tapi, tetap saja seorang gadis, kan?" tukas Pitaloka. Kalau Satria pandai soal perempuan, dia sudah bisa menangkap suara Pitaloka. Jelas gadis itu cemburu. Tapi dasar si pemuda berotak awam terhadap perempuan, tetap saja hanya cengar-cengir yang diperlihatkan.
"Ya, dia tetap seorang gadis. Aku suka padanya," aku si pemuda, polos.
"Kau suka padanya!" sentak Pitaloka.
"Habis dia...." Kata kata Satria terpenggal. Pitaloka sudah keburu berlalu menuju bangunan kadipaten.
"Lho" Kenapa dia, ya?" tanya si pemuda, lugu.
Sangat lugu. Saking lugunya lagi, bukannya menyusul Pitaloka malah melanjutkan langkahnya menuju luar kadipaten.

* * *



Satria memasuki kedai, tempat dia bertemu Arya Wadam secara tak sengaja, sewaktu ditugasi Adipati Wisnu Bernawa mencari Tiga Pendekar Aneh. Dan baru saja pantatnya dihenyakkan di bangku kedai, bocah pelayan datang menghampiri.
"Bukankah Aden teman dari orang bertudung yang waktu itu ribut dengan empat lelaki kasar di tempat ini?" tanya si bocah pelayan, langsung.
"Benar. Ada apa?" sahut si pemuda.
"Aden bernama Satria Gendeng?" sambung si bocah.
"Sudahlah, ada apa?" kejar Satria Gendeng, jengah julukan lengkapnya disebut-sebut.
"Ini ada surat untuk Aden," si bocah pelayan segera menyerahkan sepucuk surat dari balik sabuknya.
Satria membuka surat. Langsung dibacanya.
"Dari Arya Wadam," desah si pemuda.
"Dari siapa, Den?" tanya si bocah, ingin tahu. Matanya melirik ke arah surat di tangan Satria.
"Hushh! Kau anak kecil mau tahu saja. Sudah sana sediakan aku teh panas dan kue-kue," usir Satria, lalu segera melanjutkan membacanya. Satria Gendeng, Sejak bertemu dan berjalan denganmu, ada sesuatu yang hilang dari diriku. Aku tak tahu, apa itu. Yang jelas, aku seperti menemukan jati diriku lagi sebagai seorang wanita.
Kau adalah orang yang mampu membuat aku berpikir kembali, siapa aku sebenarnya. Ternyata, aku memang tak bisa memungkiri kodratku sebagai wanita.
Tapi sayang, apa yang kuharapkan jauh dari kenyataan. Aku menyadari penampilanku. Tapi di sisi hatiku yang paling dalam, aku adalah orang yang tak bisa memungkiri keadaan.
Nah, Satria Gendeng. Mulai sekarang, Arya Wadam tidak ada lagi di muka bumi ini. Dia telah terkubur bersama cintanya pada seorang pemuda yang sama sekali tak mencintainya. Sekian.
Salam, Arya Wadam "O, jadi selama ini Arya Wadam sedang jatuh cinta pada seorang pemuda.... Siapa pemuda itu, ya" Kenapa bodoh betul bila tak mencintai wanita secantik Arya Wadam?" Saking lugunya, justru ucapan menyebalkan yang keluar dari mulut Satria. Mungkin kalau Arya Wadam ada di depannya, pasti mulut comel Satria sudah di gamparnya.

SELESAI



INDEX SATRIA GENDENG
Tiga Pendekar Aneh --oo0oo- Setan Madat
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.