Life is journey not a destinantion ...

Rencana Manusia Terkutuk

INDEX SATRIA GENDENG
Nisan Batu Mayit --oo0oo-- Pewaris Keris Kiai Kuning

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

SESOSOK tubuh melintas teramat cepat di sepanjang dataran luas berbukit-bukit yang membentang di kaki Gunung Burangrang. Teramat cepat, sampaisampai amat sulit untuk menyaksikan secara jelas rupa orang itu. Beberapa batu gunung besar yang menghalangi dilompatinya tanpa kesulitan. Tak pandang apakah tingginya melebihi pucuk cemara sekalipun.
Dari kelebatan tubuhnya yang menyerupai bayangan berwarna kuning, bisa dinilai kalau orang itu mengenakan pakaian kuning pula. Terlampau mencolok untuk digunakan di siang bolong yang kebetulan gencar dengan sorotan sinar matahari. Dari gambaran kelebatan bayangannya juga, masih bisa dinilai bahwa orang itu bertubuh lebih besar dari orang kebanyakan.
Sampai di suatu tempat di dekat hutan bambu kuning, sosok bayangan tadi menghentikan larinya.
Dia berdiri di atas tanah yang agak tinggi. Kepalanya menoleh ke sana, dan sebentar ke sini. Mungkin mencari seseorang, atau sesuatu. Yang diharapkan tampak belum muncul. Sekarang, rupa serta perawakannya menjadi jauh lebih jelas. Dia seorang tua berbadan subur.
Tinggi tidak. Hanya saja badannya terlalu mekar disesaki lemak. Perutnya buncit, menyebabkan pakaian yang dikenakannya jadi kesempitan. Rambutnya tipis kekuningan. Tak beda dengan rambut jagung. Orang segemuk dia, tentu saja berpipi tebal. Kalau bayi mungkin menggemaskan. Sementara untuk orang seperti dia, siapa yang sudi jadi gemas" Sorot matanya memijarkan sesuatu yang mengerikan. Ada sebentuk kejahatan kasat mata yang bersemayam dalam dirinya.
Dan hal itu hanya bisa ditemukan oleh pandangan seorang waskita. Satu tangan si orang tua gendut membawa senjata besar dari logam. Bentuknya berupa gada. Sementara di bahu sebelah kanan, dia menyandang tas besar dari kulit.
Beberapa saat menanti, akhirnya datang juga seseorang. Mula-mula terdengar desir kencang angin yang menandakan kehebatan ilmu lari cepat si pendatang. Lalu sekelebat bayangan melintas dari arah depan si orang tua gendut. Hanya dalam sekedipan mata berikutnya, sudah muncul seorang bercaping lebar dan mengenakan jubah hitam-hitam.
Seperti tak hendak berbasa-basi, orang berjubah hitam dengan tetap menyembunyikan wajahnya dibalik caping bertanya, "Apa yang kau dapat?"
"Kami telah menemukan mereka," lapor orang tua gendut, datar.
Orang berjubah hitam mengangguk samar. Terlihat dari gerakan capingnya.
"Di mana mereka?" susulnya dengan suara berat. Seperti sejak awal dia bertanya.
"Di suatu tempat di kaki Gunung Burangrang.
Mari kuantar"
"Tidak sekarang," sergah orang berjubah hitam.
Lalu lanjutnya, "Purnama masih berselang cukup la-ma. Aku tak mau membawa gadis itu lebih awal. Ada orang-orang tertentu yang akan berusaha membebaskannya dariku. Jika waktunya tak tepat. Aku tak mau ada halangan. Segalanya sebaiknya berjalan mulus!" Orang tua gendut mengangguk sekali.
"Yang penting sekarang, kalian harus tetap bersama mereka. Laporkan di mana pun mereka berada.
Jika saatnya tiba, aku akan membawa si anak perawan itu. Kau mengerti?" Orang tua gendut mengangguk lagi.
"Sekarang kembalilah kau! Ingat, aku tak ingin rencana ini gagal. Jika itu sampai terjadi, maka kalian akan kehilangan kepala!" Selesai menandaskan pernyataan yang lebih mirip sebuah ancaman, orang berjubah hitam bergerak. Mendadak dia seperti raib dari tempatnya berdiri.
Dia tak lain tak bukan, Manusia Makam Keramat. Penampilannya telah berubah, sesuai dengan rencana baru yang akan dijalankan.
Sementara orang tua gendut pun meninggalkan tempat tersebut menuju arah di mana dia datang sebelumnya. Dia tentu saja Gendut Tangan Tunggal. Sebagaimana diketahui bahwa pendekar tua bertubuh buntal itu menjadi kehilangan jati dirinya setelah dikuasai pengaruh Manusia Makam Keramat. Dia kini tak lebih dari budak berhati bejat. Sebagaimana nasib yang dialami oleh kawan seperjuangannya pula, Pendekar Muka Bengis. Terakhir kali, pasangan aneh itu bertemu dengan Satria dan Rara Lanjar yang tengah bersembunyi di kaki Gunung Burangrang. Karena hal itu pula Gendut Tangan Tunggal melaporkan pada Manusia Makam Keramat. (Baca serial Satria Gendeng pada episode: "Nisan Batu Mayit")......

* * *



Satria masih tertegun-tegun setelah menemukan tiga benda di dalam lobang sebuah pohon besar tua. Salah satu benda sudah amat dikenalinya. Benda itu tak lain Kail Naga Samudera, senjata pusaka si pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Senjata itu beberapa waktu telah hilang tak tentu rimbanya. (Dapat di-baca pada episode sebelumnya: "Memburu Manusia Makam Keramat") Dua benda lain tak begitu asing lagi di benak Satria Gendeng. Topeng kayu Arjuna dan sebuah kitab berkulit kayu. Kendati baru sekali itu melihat, Satria yakin kitab yang ditemukannya adalah kitab amanat dari Ki Arga Pasa yang direbut orang bertopeng Arjuna, sebagaimana penuturan Palguna, salah seorang murid kepercayaan Ki Arga Pasa.
Satria menyelipkan Kail Naga Samudera ke ikat pinggang. Sudah cukup lama benda itu tak ada di sana, semenjak dicuri diam-diam darinya. Sampai sekarang, tak jelas siapa pelakunya. Satria jadi bertanyatanya dalam hati, untuk apa Kail Naga Samudera dicuri setelah itu hanya disimpan dalam sebuah lobang pohon tua" Padahal berpuluh-puluh bahkan mungkin beratus orang dunia persilatan justru amat bernafsu untuk secepatnya memanfaatkan jika mereka sempat memiliki. Satu pertanyaan yang sulit sekali untuk dijawab saat sekarang ini, pikir Satria.
Sedangkan dia sendiri masih belum bisa menduga-duga siapa sesungguhnya orang selalu bersembunyi di balik topeng Arjuna. Satu kesimpulan yang sudah cukup jelas cuma, bahwa si orang bertopeng telah mencuri Kail Naga Samudera, sekaligus kitab amanat Ki Arga Pasa.
"Hendak ku apakan dua benda ini sekarang?" bisiknya, menanyakan diri sendiri.
"Hanya ada satu cara agar aku bisa mengetahui siapa orang di balik topeng yang telah mencuri Kail Naga Samudera dan kitab amanat Ki Arga Pasa," bisiknya lagi sambil menimang-nimang kedua benda di tangannya. Satria Gendeng tersenyum. Dia ada akal kecil.
Akan diletakkan kembali dua benda tersebut ke tempat semula. Setelah itu, tinggal ditunggunya siapa yang akan datang mengambil. Orang yang mengambilnya, sudah bisa dipastikan sebagai si pencuri sekaligus orang yang selama ini bersembunyi di balik topeng Arjuna! Untuk Kail Naga Samudera, Satria tetap akan menahannya. Akal kecil yang sebenarnya terlalu sederhana, bukan" Sama sekali tak akan ada salahnya bila dicoba, pikir Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu baru hendak melompat kembali ke atas dahan yang berdekatan dengan lobang tapi urung oleh teguran pikirannya.
"Kenapa aku begitu bodoh! Bukankah tanpa perlu meletakkan kembali kedua benda itu, si pencuri tetap akan datang mengambil" Terutama selama orang itu tak menyadari kalau aku telah mengambil seluruh benda itu" Dengan begitu, kedua benda ini tetap akan aman di tanganku...," timbangnya.
Terlintas juga dalam pikiran Satria untuk menyerahkan kitab di tangannya kepada Rara Lanjar terlebih dahulu. Namun, kembali pikiran lain datang. Bagaimana kalau si pencuri datang ketika dia sedang kembali ke gubuk" Itu berarti dia telah kehilangan kesempatan besar untuk membuka rahasia wajah di balik topeng Arjuna.
Satria menggeleng.
"Tidak bisa," katanya, memutuskan.
Selesai menimbang kembali rencana kecilnya, Satria segera mencari tempat yang cukup tersembunyi.
Diputuskan untuk menanti dan mengintai orang penuh teka-teki itu. Ditemukannya semak belukar. Cukup rimbun. Cukup pula untuk tempatnya mengintai tanpa terlihat.
"Aku penasaran sekali, siapa sesungguhnya orang itu," ucapnya tetap berbisik sambil menurunkan badan ke balik semak. Dia duduk bersila menghadap ke arah pohon besar tua. Mulai sekarang, dia akan menanti. Menanti. Pekerjaan yang membosankan untuk siapa pun, kecuali bagi orang tak waras. Biar bagaimana, Satria merasa harus melakukannya. Sampai berapa lama, dia sendiri belum bisa memastikan. Mungkin setengah hari, satu hari, dua hari, atau lebih.
Memikirkan kemungkinan itu, kepalanya digeleng-gelengkan.
"Entah kenapa aku mau melakukan ini. Bodoh sekali sepertinya. Aku pasti menyesal kalau orang itu tak akan muncul hingga lebih dari seminggu, atau aku berlumut di sini!" gerutunya pada diri sendiri, kendati dia sudah benar-benar berniat untuk tetap menunggu.
Sambil menanti, dia mencoba bersemadi. Dengan cara itu, Satria bisa mengenyahkan kejenuhan.
Sementara bersemadi, akan tetap dipasangnya pendengaran tajam-tajam. Suara mencurigakan sekecil apa pun, bisa dijadikan patokan untuk memutus segera semadinya. Syukurlah pekerjaan paling menjemukan itu tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua kali penanakan nasi, akhirnya datang juga seseorang ke tempat tersebut. Satria memutus semadinya. Pandangan dipasang setajam mungkin. Dari sela-sela rerimbunan semak, dia mengawasi.
"Satria! Satria!" Terdengar pula seruan suara wanita, memanggil namanya. Menyusul munculnya seseorang. Pendekar muda itu menghela napas. Wajahnya memperlihatkan garis agak kecewa mengetahui orang yang datang ter-nyata Rata Lanjar. Dia bangkit.
"Aku di sini, Lanjar!" ucapnya, agak ditahan-tahan. Rara Lanjar menghampiri.
"Dari mana saja kau, Satria" Aku sudah mencari-carimu ke mana-mana. Sudah hampir tujuh keliling aku mencari, tak tahunya kau malah sedang enakenakan di semak-semak. Sedang apa kau sebenarnya" Tidur" O, main sembunyi-sembunyian" Kau pikir aku akan suka" Kau bukan anak kecil lagi, Satria. Aku pun tidak mau kau perlakukan seperti anak kecil," sembur Rara Lanjar sengit. Wajahnya bersungut-sungut.
"Sabar... sabar," bujuk Satria berbisik. Telun-juknya diangkat ke depan bibir, mengisyaratkan Rara Lanjar untuk tidak ribut.
"Bagaimana aku bisa sabar" Apa kau tahu keadaan Ki Damar Sakti mulai memburuk lagi!" hardik Rara Lanjar.
Satria meringis gemas sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kubilang jangan bikin ribut!" desisnya.
Rara Lanjar baru hendak buka mulut lagi. Satria tak mau mendapat semprotan seorang perawan yang bisa membuat dirinya kebingungan seperti orang tolol. Didahuluinya saja Rara Lanjar dengan mengeluarkan topeng kayu dan kitab yang ditemukannya.
"Lihat ini!" sergahnya.
Rara Lanjar tak berkedip menyaksikan dua benda yang diperlihatkan Satria. Alisnya bertaut.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini?" tanyanya dengan paras ternganga.
"Ssssst!" Satria menarik pangkal lengan gadis di depannya, memaksanya untuk merunduk ke dalam semak.
"Mau apa kau, hah?" sentak Rara Lanjar dengan wajah memerah. Ditepisnya tangan Satria.
Brengsek dua belas kali, rutuk Satria membatin. Ada yang telah salah tanggap rupanya "Sial kau! Aku bukan hendak berbuat mesum.
Kau pikir aku ini sejenis pemuda yang senang main 'semak-semak'an?" Rara Lanjar bersungut. Meskipun Satria tak mengatakan langsung, Rara Lanjar tetap menganggap ucapan Satria agak mesum. Dia jadi sebal.
"Jadi kau mau apa"!" tanyanya masih dibayangi nada membentak.
"Sudah kau merunduk saja ke semak. Nanti ku jelaskan!" Rara Lanjar menurut juga.
"Sekarang jelaskan!" pintanya kemudian, tanpa mengubah parasnya yang terlalu kecut di pandangan Satria Gendeng.
"Aku menemukan kedua benda ini di atas lobang pohon itu!" papar Satria, setelah dia turut menyembunyikan diri ke dalam semak. Tangannya menunjuk pohon besar tua.
"Bagaimana kau bisa tahu di sana ada lobang tempat menyembunyikan benda ini?"
"Semacam naluri kependekaranku yang memang amat peka...," puji Satria pada diri sendiri. Maksudnya bukan begitu sebenarnya. Dia cuma ingin meledek Rara Lanjar.
Rara Lanjar mencibir.
"Ah, kau tak perlu bertanya begitu. Pokoknya, kau harus tahu bahwa aku sengaja bersembunyi di tempat ini untuk mengintai orang yang telah meletakkan semua benda-benda ini di lobang pohon besar itu," tandas Satria Gendeng.
"Dengan begitu kau akan mengetahui siapa orang yang telah mengenakan topeng kayu ini?"
"Kau bukan gadis tolol rupanya."
"Tapi bagaimana dengan Ki Damar Sakti"!"
"Bagaimana dengan dia?"
"Kau ini bagaimana" Aku sudah bilang barusan, orang tua itu keadaannya mulai memburuk lagi! Apa kau tuli?"
"Aku tidak tuli! Cuma aku agak bingung menentukan apa aku harus tetap menanti atau kembali ke gubuk"!"
"Kau ini pemuda apa" Tak sepantasnya kau menanyakan satu keputusan genting pada orang lain.
Kau harus belajar dari setiap keadaan, jangan menggantungkan keputusan selalu pada orang lain!" cera-mah Rara Lanjar.
Satria gemas. Sok tahu sekali gadis ini! "Baik...
baik. Begini saja. Kau kembali ke gubuk, aku akan tetap di sini!" putusnya, ngotot.
"Percuma saja aku menyusulmu ke sini kalau begitu. Aku tak tahu menahu soal pengobatan. Orang tua buncit belum kembali membawa tabib sampai sekarang. Sedangkan kau sedikit banyak tahu soal itu.
Bukankah kau murid Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" serang Rara Lanjar, tak mau kalah.
Satria bersungut-sungut. Jadi juga dia kebingungan oleh semprotan-semprotan 'sakti' seorang perawan seperti Rara Lanjar. Tapi, demi kepala plontos Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tak sudi disebut sebagai pemuda yang tak punya ketegasan oleh Rara Lanjar. Satria bangkit. Kedongkolan mendekam di wajahnya.
"Begini saja. Kau yang menunggu di sini, aku akan kembali ke gubuk!"
"Itu lebih bagus! Sekarang cepatlah kau kembali!"
"Tapi apa kau yakin bisa mengatasi semua ini?"
"Pergi saja kataku! Pergi!"


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

MATAHARI sudah beranjak cukup tinggi. Siang datang menjelang. Panas tak terlampau sengit. Teduh saja. Karena awan putih hampir menirai rata seluruh wajah angkasa. Sementara Satria Gendeng dalam perjalanan kembali ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Di gubuk itu sendiri Ki Damar Sakti telah siuman. Di atas balai, lelaki tua itu menceracau sesuatu tak jelas, seperti orang mengigau.
Wajahnya dipenuhi peluh. Kepalanya bergerak-gerak lemah. Tubuhnya bergetaran.
Beberapa kali terlihat bagai menggigil hebat. Sepertinya dia dalam keadaan berkutat untuk melepaskan diri dari suatu belenggu.
Di balik pintu gubuk, seseorang mendengarkan lenguhan dan ceracauan Ki Damar Sakti dengan wajah tegang. Parasnya tertarik amat parah. Ada sesuatu yang begitu mengkhawatirkan orang itu. Bukan terhadap keadaan memprihatinkan pendekar tua yang sakit terluka dalam parah di dalam sana. Melainkan khawatir kalau Ki Damar Sakti sempat siuman dan mengatakan rahasia yang diketahuinya pada Satria atau Rara Lanjar. Orang ini adalah Pendekar Muka Bengis. Tokoh golongan lurus, kawan Gendut Tangan Tunggal, yang telah menempuh jalan sesat tanpa disadari akibat pengaruh Manusia Makam Keramat.
Sebagaimana diketahui, Ki Damar Sakti tidak semata mengalami luka dalam. Selama ini, sedikit demi sedikit tubuhnya digerogoti dari dalam oleh penyaluran hawa perusak yang dilakukan oleh Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Satria atau Rara Lanjar tak mengendusi. Mereka hanya mengira kalau kedua orang itu sedang menyalurkan hawa murni untuk membantu penyembuhan Ki Damar Sakti.
"Hmm," gumam Pendekar Muka Bengis seperti mendengus.
"Aku bagaimana mungkin Damar Sakti masih sempat siuman setelah aku dan si Buncit menyalurkan hawa perusak ke dalam dirinya beberapa kali?" lanjutnya bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Muka Bengis patut mengherankan keadaan Ki Damar Sakti. Namun kalau dia mengerti bagaimana kekuatan hati pendekar tua itu untuk menyampaikan rahasia yang diketahuinya pada Satria dan Rara Lanjar, tentu Pendekar Muka Bengis bisa mengerti. Kendati dalam keadaan setengah sadar, dalam kalbu Ki Damar Sakti sudah terpatri kuat keinginan untuk memperingati Satria dan Rara Lanjar tentang ancaman yang datang dari Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Kekuatan hati terkadang mendatangkan sebentuk keajaiban jika tak bisa disebut mukjizat. Dan itu dialami oleh Ki Damar Sakti sekarang ini. Meskipun jika dinilai oleh Pendekar Mu-ka Bengis, dia sudah tak mungkin lagi untuk siuman.
"Bisa berbahaya jika Damar Sakti keparat ini membuka mulut...," desis Pendekar Muka Bengis.
"Aku harus membunuhnya sekarang juga. Jika nanti Satria Gendeng datang, akan kukatakan saja bahwa jiwa Damar Sakti tak dapat diselamatkan akibat luka dalamnya yang sudah kelewat parah..." Pendekar Muka Bengis melirik kian kemari sejenak, mewaspadai kedatangan Satria Gendeng. Yakin dia masih punya cukup waktu untuk menjalankan rencana sebelum Satria Gendeng tiba, dia segera masuk ke dalam gubuk.
Di dalam dia melangkah mendekati tempat pembaringan Ki Damar Sakti.
Wajahnya berubah.
Membatu. Dan memeram hawa angkara.
Satu tindak dari Ki Damar Sakti yang masih terbaring gelisah, tangan kiri Pendekar Muka Bengis terangkat perlahan menuju dada pendekar tua itu. Telapaknya membuka lebar, kaku. Ditempelkannya telapak tangan ke dada Ki Damar Sakti.
Wajah Pendekar Muka Bengis makin membatu. Bibirnya melekuk ganjil. Perlahan warnanya berubah merah kebiruan. Ada getaran kuat. Nafasnya menyentak-nyentak.
Dari wajah, getaran beringsut turun ke tangan.
Sebentuk tenaga pun mengalir dari sekujur serat di tangan itu. Menggiring sengatan maut. Mata manusia biasa, tak akan menangkap adanya semacam cahaya halus berwarna keunguan yang mengaliri sekujur tangan kiri Pendekar Muka Bengis. Lambat tapi pasti, ujung cahaya mendekat ke dada Ki Damar Sakti.
Jaraknya kian dekat. Tersisa dua jari saja.
Sampai suara pintu gubuk dikuak seseorang, memenggal usaha keji Pendekar Muka Bengis menghabisi riwayat Ki Damar Sakti. Cepat-cepat lelaki berwajah garang itu menurunkan tangan kiri dari dada calon korbannya.
Berbalik cepat, dicoba menyembunyikan wajah berhawa angkaranya serapat mungkin.
"Ah, Satria... syukurlah kau telah kembali!" sambutnya, ketika menyaksikan orang yang masuk.
Satria yang mengkhawatirkan keadaan Ki Damar Sakti tentu tak begitu memperhatikan paras Pendekar Muka Bengis. Keadaan itu menguntungkan Pendekar Muka Bengis. Dia selamat dari kecurigaan si pendekar muda.
Satria bergegas mendekati pembaringan Ki Damar Sakti.
"Bagaimana keadaannya, Orang Tua?" tanya Satria.
"Buruk. Luka dalamnya makin parah saja," sahut Pendekar Muka Bengis sambil membuang wajah ke arah Ki Damar Sakti agar Satria tak menemukan warna parasnya saat bertanya barusan. Sekaligus pula menyamarkan kegusaran karena rencana busuknya telah gagal. Tetap berdiri di samping pembaringan, Satria memeriksa keadaan Ki Damar Sakti. Menyaksikan wajah Ki Damar Sakti basah oleh keringat, Satria melepas kain ikat pinggangnya.
Diletakkan Kail Naga Samudera ke sisi pembaringan. Setelah itu dia sendiri yang menyapu keringat di wajah Ki Damar Sakti.
"Lihatlah bibirnya sudah demikian membiru," ucap Satria terdengar memelas.
"Dia dalam keadaan amat gawat. Luka dalamnya telah sampai ke jalan darah menuju otaknya," duganya atas dasar pelajaran seni pengobatan yang sempat diterimanya dari Ki Kusumo.
"Kupikir juga begitu," timpal Pendekar Muka Bengis. Padahal matanya tertuju pada Kail Naga Samudera, seakan seekor kucing liar yang menatap sepotong daging empuk.
Satria melangkah. Tak tenang, dia berjalan hilir-mudik.
"Aku masih tak mengerti. Bagaimana hawa murni yang selama ini kita kerahkan ke dalam tubuh Ki Damar Sakti seperti tak berpengaruh sama sekali?" gumamnya, gundah.
Pendekar Muka Bengis diam saja. Kalau Satria Gendeng lengah, matanya kembali menerkam rakus ke arah Kail Naga Samudera.
"Bagaimana dengan Pak Tua Gendut" Apa dia belum juga kembali?" tanya Satria.
Pendekar Muka Bengis menggeleng. Satria mengeluh.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Ki Damar Sakti. Keadaannya sudah terlalu parah untuk bisa kutangani dengan sedikit pengetahuan pengobatan yang kupunya. Bagaimana dengan kau, Orang Tua?" Pendekar Muka Bengis menggeleng lagi.
"Kita tak bisa hanya menunggu kedatangan Pak Tua Gendut. Sebaiknya kita bawa segera Ki Damar Sakti ke seorang tabib." Pendekar Muka Bengis mengangguk. Kendati dalam hatinya menyumpah-nyumpah Bergegas, Satria mengangkat tubuh menggigil Ki Damar Sakti dari pembaringan. Dibopongnya keluar. Terlalu khawatir dia pada keselamatan pendekar tua itu. Salah satu sifat yang menjadi dinding kalbu si pendekar muda sejak masih kanak-kanak. Kendati hidup dalam dunia persilatan yang berbau anyir sepanjang waktu, dalam kebengisan, kekerasan, dan dunia yang selalu cenderung tak berbelas, hatinya tak pernah kehilangan sifat welas asih.
Besi boleh lebur oleh panas tinggi. Karang boleh kikis oleh gelombang. Benteng boleh gugur oleh tempaan hujan dan terik mentari. Tapi sifat welas asih itu dalam dirinya tidak.
Sementara, si pendekar muda sepertinya nyaris melupakan Kail Naga Samudera di sisi pembaringan.
Pendekar Muka Bengis menyeringai tersembunyi. Dia benar-benar berharap Satria melupakan senjata pusaka itu. Dengan begitu, dia akan mengambilnya. Persoalan apakah Satria akan mencarinya nanti, urusan belakangan.
Untung saja, ketika Satria mengangkat tubuh Ki Damar Sakti, tanpa sengaja Kail Naga Samudera terdorong sikunya. Benda itu jatuh ke tanah.
Pendekar Muka Bengis menatap dengan mata gusar.
"Ah, hampir saja aku melupakan senjataku itu," ucap Satria.
"Pak Tua, bisakah kau menolongku mengambilkan benda itu?" pinta Satria pada Pendekar Muka Bengis. Dia sudah tak bisa merunduk karena telanjur membopong Ki Damar Sakti.
Lelaki berwajah bengis itu tersenyum dipaksakan. Keparat, rutuknya dalam hati. Dia tak pernah berharap mengambilkan benda pusaka itu untuk si pemuda. Gusarnya mungkin melonjak sampai ke tenggorokan atau ubun-ubun. Tapi itu harus ditelan Pendekar Muka Bengis mentah-mentah dengan senyum dibuat-buat sepanjang hendak menjaga siasat.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Muka Bengis mengambil Kail Naga Samudera, lalu dihajarnya Satria secara mendadak dengan benda itu. Dalam keadaan tak menduga sama sekali, tentu tak terlalu sulit untuk menjatuhkan pendekar muda itu. Terlebih dia dibebani tubuh Ki Damar Sakti. Namun jika itu dilakukan, maka dia telah menghancurkan seluruh siasat. Rara Lanjar yang sedang dalam incaran Manusia Makam Keramat yang kini menjadi semacam 'majikannya', tentu akan curiga. Sementara Gendut Tangan Tunggal belum juga kembali untuk mengabarkan rencana selanjutnya.
Pendekar Muka Bengis menyerahkan Kail Naga Samudera langsung ke tangan Satria.
"Terima kasih, Pak Tua," hatur Satria, meng-hargai. Untuk Pendekar Muka Bengis, terasa seperti ejekan. Satria keluar lebih dahulu dari gubuk.
Pendekar Muka Bengis mengikuti di belakangnya.
"Apa yang hendak kau lakukan, Pak Tua?" tanya Satria seraya berbalik.
Pendekar Muka Bengis agak terkejut mendapat pertanyaan Satria Gendeng. Dia mengira Satria mulai curiga dengan sikapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Muka Bengis.
"Kau turut keluar" Apa kau ingin turut mengantar?"
"Ya, tentu saja!" ujar Pendekar Muka Bengis, lega. Dugaannya keliru.
"Kurasa tak perlu. Sebaiknya kau menyusul Rara Lanjar di sebelah Tenggara kaki gunung. Dia pasti lebih membutuhkan bantuanmu."
"Kenapa dengan gadis itu?"
"Aku tak sempat menjelaskan. Sebaiknya kau ke sana saja!"
"Baik." Lalu, Satria melanjutkan langkah yang tertunda. Dia berlari mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh sekitar sepuluh tombak dari pintu gubuk.
"Keparat...," geram Pendekar Muka Bengis, se-peninggalan pendekar muda itu. Pertama dia gusar setengah mampus karena tak berhasil mendapatkan Kail Naga Samudera tanpa harus merusak siasat. Kedua dia mengkhawatirkan Ki Damar Sakti sempat membocorkan siasat itu pada si pendekar muda tanah Jawa.
Kalau terjadi, seluruh siasat akan hancur tanpa hasil.
Di lain tempat, Satria berlari bagai kesetanan.
Arahnya menuju desa terdekat, tanpa kepastian apakah di sana tinggal seorang tabib atau tidak. Satria tak terlalu mempedulikan itu. Setiap usaha memang seperti mata uang logam yang memiliki dua sisi. Bisa berhasil, atau gagal. Terkadang usaha dalam hidup tak bisa dibedakan dengan perjudian. Tak jarang pula ta-ruhannya nyawa. Biar begitu, hidup tetap hidup.
Ni- lainya tak bisa ditentukan dari pandangan seorang penjudi. Melainkan dari pandangan seorang pejuang hidup itu sendiri, yang menganggap nilai tertingginya terdapat pada perbuatan terbaik yang bisa diusaha-kan. Bukan sekadar hasil semata.
"Ssssatriaa.... Sat... ria...." Sedang gencar mengayun kaki, sayup-sayup telinga si pendekar muda menangkap suara bisikan.
Satria menghentikan larinya. Dia ingin meyakinkan apa yang barusan didengarnya. Dan bisikan itu terdengar lagi. Sekali ini jauh lebih jelas. Datangnya dari diri Ki Damar Sakti dalam bopongannya.
"Jangan banyak bicara dulu, Ki. Aku hendak mengusahakan agar kau bisa dirawat oleh seorang tabib," cegah Satria ketika menyaksikan bibir pendekar tua itu bergerak-gerak hendak berkata.
Tangan kanan Ki Damar Sakti terangkat susahpayah dan bergetar.
"Ak... aku hhharus mengatakan sess... suatu padamu, Satria...," katanya lagi, terbata.
Menyaksikan bersit mata redup Ki Damar Sakti yang demikian berharap untuk didengarkan, Satria jadi tak ingin mencegah orang tua itu untuk melanjutkan ucapan. Diperhatikannya setiap potong kata yang tersendat keluar dari mulut Ki Damar Sakti.
"Kkk... au hharrus hati... hati. Ad... a."
"Ada apa, Ki?" Tak ada jawaban lagi. Sia-sia Satria bertanya.
Bahkan tak juga ada tarikan napas pendekar tua itu.
Dia telah kehilangan nyawa sebelum Satria sempat mengantarkannya pada seorang tabib.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

SAYANG sekali Ki Damar Sakti belum sempat mengungkapkan rahasia yang diketahuinya. Ajal memang datang pada waktunya, tanpa bisa diundur atau dicegah. Kapan dan di mana kematian akan mendatangi insan menjadi sebagian teka-teki milik Tuhan.
Biar bagaimana, Satria Gendeng tak bisa bilang apa-apa. Pada dasarnya, dia pun tak bisa menyesali keterlambatan Ki Damar Sakti untuk mengatakan sesuatu yang ingin disampaikan pada Satria. Selama ini, Ki Damar Sakti tak sadarkan diri. Ketika siuman, maut malah lebih cepat menjelang dari keinginan kuatnya mengungkap rahasia.
Satria sendiri tak pernah menduga sebelumnya mendiang pendekar tua itu hendak mengungkap sesuatu. Kalaupun tahu, tetap tak akan bisa memaksa Ki Damar Sakti bicara saat dia tak sadarkan diri.
Yang ada kini dalam hati Satria cuma rasa penasaran yang menggumpal-gumpal. Penasaran pada ucapan yang tak sempat dikatakan Ki Damar Sakti.
"Apa sebenarnya yang hendak kau ungkapkan kepadaku, Orang Tua?" tanya Satria, berbisik. Jasad Ki Damar Sakti masih di atas bopongannya.
"Aku yakin, kau hendak mengungkap sesuatu yang demikian genting, sehingga saat maut menjelang pun kau masih bersikeras untuk bicara..." reka pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Satria memutuskan untuk menyelidik perkara itu. 'Asap ada karena api'. Seperti juga keinginan Ki Damar Sakti berbicara menjelang ajal tentu didorong oleh satu alasan tertentu.
Satria kemudian menggali liang.
Liang selesai, jasad Ki Damar Sakti pun ditanam di dalamnya.
"Aku harus pergi ke perguruan yang dipimpin mendiang Ki Damar Sakti. Dari sana aku bisa memulai penyelidikan...," gumamnya kemudian.
"Tapi bagaimana dengan masalah yang harus dihadapi Rara Lanjar?" sergahnya pada diri sendiri.
"Ah, bukankah telah ada Pak Tua Muka Bengis.
Jelas dia bisa diandalkan untuk membantu jika Rara Lanjar dalam kesulitan," tepisnya.
Satria pun beranjak.
Gundukan basah membisu mengiring kepergian Satria. Angin menyenandungkan tembang pengiring keberangkatan satu jiwa ke alam abadi.

* * *



Rara Lanjar masih berada di tempat Satria menemukan kitab, topeng, dan senjata pusakanya. Sebelum pergi waktu itu, Satria Gendeng menyerahkan topeng kayu dan kitab kepada Rara Lanjar. Menurut Satria, Rara Lanjar-lah yang punya kepentingan besar terhadap kedua benda itu.
Kepentingan Satria sendiri cuma Kail Naga Samudera. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menggantungkan keselamatannya pada senjata pusaka itu. Dia lebih mempercayai dirinya sendiri. Bukankah keselamatan tergantung bagaimana seseorang dapat membawa dirinya dalam mengarungi kehidupan" Cuma saja, Kail Naga Samudera adalah benda pemberian salah seorang gurunya, Ki Kusumo. Tak pantas rasanya jika dia tak bisa menjaga benda amanat itu. Ada satu alasan lagi yang paling membuat nge-ri Satria jika benda itu hilang atau sempat jatuh ke tangan orang sesat. Apalagi kalau bukan omelan 'samber geledek' Dongdongka, guru 'rada-rada'-nya" Kembali kepada Rara Lanjar, saat itu dia mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Langkahlangkahnya terdengar ringan. Langkah seperti itu hanya terdengar dari langkah seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh. Jelas dia orang persilatan.
Tubuh Rara Lanjar mematung. Tegang. Wajahnya tak bergeming.
"Satria?" bisiknya menduga-duga.
Hanya terdengar gesekan dedaunan terusik angin. Rara Lanjar semakin tegang. Telinganya kini sama sekali tak menangkap lagi suara langkahlangkah halus. Padahal sebelumnya dia yakin telah mendengar derap di atas rumput yang mendekat ke arahnya. Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Dia mulai mengendusi satu ancaman. Selang berikutnya, perasaannya memperingati adanya seseorang yang tengah mengintai dari arah belakang.
Rara Lanjar sigap menoleh.
Bertepatan dengan itu, sekelebatan bayangan meluncur deras dari atas pohon besar, sekitar tujuh tombak di belakangnya. Gerakannya menghasilkan deru santer, pertanda kematangan tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya mirip tukikan seekor elang menyambar mangsa.
Sengit. Ganas. Wrrrr! Lalu sekelebatan, mata Rara Lanjar menangkap gerakan tangan orang yang meloncat. Sasarannya kitab bersampul kayu di tangan kanan Rara Lanjar.
Gerakan mendadak itu tak sempat membuat Rara Lanjar kehilangan ketenangan. Nalurinya cepat menyentakkan perintah. Tangan kanannya diturunkan. Wukh! Sambaran orang yang jelas-jelas hendak merebut kitab tulisan seorang prabu Pajajaran itu menjadi luput. Hanya menyambar angin. Rara Lanjar menyusulkan gerakan. Tangan kirinya yang memegang topeng kayu disampokkan ke depan, mengimbangi kecepatan gerak menyambar orang tadi.
"Heaaa!" Wush! Masih di udara, orang tadi memapak sampokan Rara Lanjar dengan sepasang telapak tangannya. Dengan tindakan itu pula, dia menghentikan laju tubuhnya, sekaligus membuat putaran tinggi kembali ke belakang. Di atas pohon sebelumnya, sosok itu menjejak lalu mencelat kembali ke pohon yang lebih lebat. Berkali-kali. Dari satu pohon ke pohon yang bersebelahan.
Membentuk lingkaran besar, seakan seekor dewa kera yang sedang mempermainkan musuhnya.
Sampai celatan ke sekian, sosok itu menghilang di rerimbunan dedaunan.
Rara Lanjar mencari-cari dengan mata yang membesar dan membersitkan ketegangan memuncak, setelah sebelumnya dia dipaksa berputar-putar mengikuti gerakan cepat sosok tadi.
Hanya terdengar suara gesekan dedaunan kembali. Tak ada suara mencurigakan, biarpun Rara Lanjar telah memasang pendengaran kuat-kuat.
Ketegangan memagut.
Suasana terasa bagai intaian maut.
Yang siap menerkam dari satu sudut.
Sampai suatu ketika....
Wrrr! Suara angin tergetar tercipta dari arah belakang Rara Lanjar. Tajam. Kesanterannya berlipat dua dari sebelumnya. Orang ini bersungguh-sungguh ingin merebut kitab ini, pikir Rara Lanjar. Gadis putri Ki Arga Pasa itu segera membalikkan badan. Dia pun mengerahkan segenap kecepatan lebih dari sebelumnya.
Sekali ini, sosok yang belum lagi jelas rupa dan perawakannya itu tak hanya berniat menyambar kitab di tangan Rara Lanjar. Lebih dari itu, dia hendak menyarangkan serangan ganas ke diri Rara Lanjar.
"Heaa!" Debb! Tendangan menyapu membentuk gerak melengkung mengarah ke leher Rara Lanjar. Serangan keji! Tak perlu menyalurkan tenaga dalam terlalu kuat pun, tendangan seperti itu bisa melempar seseorang ke liang lahat dengan tenggorokan hancur! Rara Lanjar tak mau mengalaminya. Biarpun posisinya masih rawan karena baru saja membalikkan badan, dengan nekat dia memilih untuk menangkis dengan kedua tangannya.
Dakh! Bersamaan dengan itu, Rara Lanjar terpental telak ke belakang. Lehernya bisa diselamatkan. Tapi dua benda di tangan kanannya tidak. Topeng kayu di tangan kiri hanya terpental deras ketika itu juga. Sedangkan kitab amanat Ki Arga Pasa menjadi berantakan lembar demi lembarnya. Sampul kayunya mengalami nasib sama dengan topeng kayu.
Rara Lanjar terjerembab keras di tanah.
Masih dengan nyeri merejam di bagian belakang badannya yang terasa sampai ke tulang sumsum, dia menyentak otot perut dan sentakan tangan di belakang kepala untuk berdiri. Setelah menemukan pijakan, dipasangnya kuda-kuda. Siap menanti serangan lawan kembali. Tak ada serangan susulan. Bahkan si penyerang gelap sendiri sudah tak tampak lagi. Seolah Rara Lanjar sengaja dipermainkan. Lembar-lembar kitab rebah di tanah dan rerumputan. Suaranya halus. Selain itu, hanya terdengar gesekan dedaunan. Rara Lanjar kian tegang. Nafasnya pun ditahan. Sekujur otot tubuhnya mengejang.
Menanti. Dengan peluh membasahi.
Sampai sekian lama berdiri diam dalam posisi kuda-kuda, tetap tak ada serangan susulan.
Mungkinkah orang itu telah pergi" Tanya hati Rara Lanjar ragu. Karena tetap tak ada serangan, akhirnya gadis itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa sang lawan memang telah pergi.
"Aku tak habis mengerti kenapa orang itu tibatiba menyerang lalu pergi begitu saja?" gumamnya.
"Kalau dia masih waras, tentu dia punya alasan menyerangku," pikirnya.
Menilai serangan awal, Rara Lanjar yakin orang itu hendak merebut kitab dari tangannya. Sekarang, lembaran kitab telah bertebaran ke mana-mana. Kalau memang benar orang tadi menginginkan kitab itu, akan amat sulit baginya untuk membawa pergi. Kecuali dia membereskan Rara Lanjar terlebih dahulu agar dia dapat leluasa mengumpulkan lembar demi lembar kitab. Kejadiannya justru tidak begitu.
"Aneh juga...," nilai Rara Lanjar. Penasaran dia, tapi tak ingin melupakan begitu saja. Ada sesuatu yang tak beres menurut penilaiannya.
Lalu dia mulai mencoba memunguti lembaranlembaran kitab. Selembar demi selembar. Sampai akhirnya seluruhnya terkumpul. Tapi ketika diteliti, ada satu lembar yang hilang.
Lembar yang letaknya paling tengah. Mungkin saja belum ditemukan, begitu pikirnya. Karena itu dia mencoba mencari lagi. Semaksemak disingkapi, rerumputan disibak, pepohonan di sekitarnya ditengoki. Tak ada lembaran yang dicari.
Lebih jauh dari tempat itu sudah tak mungkin. Di sekitar tempat itu, hembusan angin tak cukup kuat untuk menerbangkannya.
"Itulah sebab orang itu menghentikan serangan," cetus Rara Lanjar, menyadari sesuatu.
"Rupanya dia hanya membutuhkan satu lembar dalam kitab ini. Lembaran itu sudah didapatnya ketika seluruh isi kitab berhamburan ke udara...." Rara Lanjar mendengus.
Dia merasa telah kecolongan.
Sekarang, timbul beberapa pertanyaan baru di benaknya. Apa sesungguhnya isi pada lembaran yang hilang" Kenapa orang itu begitu menginginkannya" Siapa pula dia" Atau mungkinkah dia orang yang bersembunyi di balik topeng kayu Arjuna selama ini" Tak beberapa lama kemudian, kesiagaan Rara Lanjar bangkit kembali. Didengarnya seseorang mendekat ke arah tempatnya. Bukan tak mungkin penyerangnya kembali lagi. Biarpun bukan tak mungkin pula orang lain yang datang.
Rara Lanjar bersiap. Dia jadi lega ketika menyaksikan orang yang datang. Ternyata Pendekar Muka Bengis. Dihembuskannya napas.
"Kukira siapa kau, Orang Tua!" sapa Rara Lanjar.
"Memang kau pikir siapa?" Rara Lanjar menarik napas, memadati rongga paru-parunya dengan udara sarat-sarat.
"Ada orang yang baru saja menyerangku...," la-pornya. Pendekar Muka Bengis menampakkan wajah cemas. Paras yang sudah pasti sekadar sandiwara.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rara Lanjar menggeleng.
"Aku sendiri tak kurang apa-apa. Hanya...," Ra-ra Lanjar ragu menyambung kalimat.
"Hanya apa?" desak Pendekar Muka Bengis.
Seraya menunjukkan tumpukan lembaran kitab yang sudah tak berbentuk kitab lagi, Rara Lanjar meneruskan.
"Hanya saja, kitab ini menjadi berantakan akibat serangan orang usil tadi," katanya, menyembunyikan peristiwa sesungguhnya, bahwa ada satu lembar yang telah hilang. Dia sendiri tak mengerti kenapa merasa harus menyembunyikan hal itu. Bukankah dari Satria dia mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis adalah seorang tokoh golongan lurus" Rasanya ada semacam firasat tersamar yang menitah dia untuk tak mengungkap apa adanya.
"Kitab apa itu?" tanya Pendekar Muka Bengis.
"Kitab yang ditulis oleh salah seorang prabu Pajajaran." Pendekar Muka Bengis mengangguk-angguk dengan paras tawar, seolah-olah dia tak sedikit pun mempunyai kepentingan dengan kitab itu. Padahal, Manusia Makam Keramat jauh hari sebelumnya memerintah dia untuk setiap saat merebut kitab itu jika ada kesempatan.
Sekarang, tampaknya kesempatan sudah berada di depan mata. Seperti juga kesempatan untuk merebut Kail Naga Samudera dari tangan Satria Gendeng sebelumnya. Namun Pendekar Muka Bengis tidak bisa bertindak begitu saja tanpa perhitungan. Lagi-lagi ke-sempatannya dihalangi siasat yang sebelumnya telah dijalani. Pendekar Muka Bengis tak mungkin mengorbankan siasat matang itu untuk merebut langsung kitab dari tangan Rara Lanjar.
Sementara, Rara Lanjar masih saja bertanyatanya dalam hati, siapa orang yang belum lama berhasil melarikan satu lembar kitab"
"Kau mau menjelaskan, kenapa Satria meminta kau tetap di tempat ini?" tanya Pendekar Muka Bengis.
Rara Lanjar pun menceritakan alasan Satria menyuruhnya menanti di tempat tersebut. Singkat tak bertele-tele. Pendekar Muka Bengis mendengarkan dengan bersit mata yang terus berubah-ubah. Jelas, seluruh kejadian yang diceritakan Rara Lanjar menjadi kepentingan besar bagi 'majikan'nya, Manusia Makam Keramat....


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

SIANG telah jatuh. Senja sampai. Mentari mulai rebah. Satria belum tiba di perguruan Ki Damar Sakti.
Perjalanannya tak membutuhkan waktu lama. Dari kaki Gunung Burangrang, tempat tujuannya memang tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu setengah harian berjalan kaki. Karena menganggap urusannya cukup genting, Satria tidak berjalan. Dia berlari dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerbang perguruan sudah terlihat. Satria memperlambat larinya. Gerbang sepi. Tak tampak seorang pun di sana. Bahkan tak ada suara. Seperti suasana pemakaman yang dikungkung kebisuan semata.
Layaknya sebuah perguruan, mestinya ada beberapa murid menjaga di depan gerbang. Ini tidak.
Satria Gendeng jadi curiga. Apa ada sesuatu telah terjadi" Tanyanya membatin.
Tak ingin dipermainkan rasa penasaran, Satria memutuskan untuk tidak mengetuk gerbang. Dia memilih untuk melompati pagar. Masuk melalui gerbang bukan pilihan yang tepat di saat mencurigakan. Jika telah terjadi sesuatu di dalam sana, ada kekacauan oleh orang golongan sesat berkesaktian tinggi misalnya, Satria bisa menjadi sasaran empuk. Karenanya, pendekar muda itu berjalan memutari pagar. Di bagian yang dianggap cukup tersudut, dia bersiap melompat.
Wrrr! Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh kembali, pagar setinggi tujuh tombak terbuat dari kayu gelondongan Satria mencelat ke ubun-ubun pagar.
Ringan, tanpa menimbulkan suara berarti. Di atas, sebentar dia mengawasi ke sekitar perguruan. Sayap kiri perguruan pun sesepi di depan gerbang. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Ke mana mereka semua" Bisik Satria, makin dibingungkan. Dari atas, dia melompat turun ke balik pagar.
Tap! Sewaktu tiba di tanah, ada sesuatu yang terjatuh dari pakaiannya. Sebuah benda kecil yang masih sulit ditentukan. Satria memungutnya. Dari dekat, dia memperhatikan teliti benda sebesar ujung ibu jari itu.
"Seperti batu...," gumamnya.
"Tapi, ini bukan batu biasa. Dari warna dan sebagian permukaannya, aku seperti pernah melihat batu jenis ini." Niat untuk menyelidiki keadaan perguruan Ki Damar Sakti untuk sementara urung. Perhatian si pendekar muda tanah Jawa tersedot ke arah benda kecil itu. Beberapa saat, Satria memutar-mutar benda itu pada jarinya. Matanya tak lepas memperhatikan.
Dia sedang mengingat-ingat. Sampai akhirnya dia menggenggam benda kecil berupa pecahan batu. Parasnya berubah.
"Ya, aku ingat sekarang," cetusnya. Batu jenis itu pernah disaksikannya sebagai gada milik Gendut Tangan Tunggal. Baru dia ingat pula bahwa senjata pendekar tua itu pun agak sompal ketika tiba di gubuk mereka di kaki Gunung Burangrang. Satria tak begitu memperhatikan karena terlalu gembira bertemu kembali dengan pasangan pendekar aneh itu.
"Besar kemungkinan, batu ini adalah pecahan senjata milik Pak Tua Buncit. Mengapa ada di dalam pakaianku?" bisik Satria, mereka-reka lebih jauh.
Tiba-tiba parasnya berubah lagi.
"Ki Damar Sakti.... Tentu dia yang telah memasukkan benda ini ke balik pakaianku ketika aku sedang membopongnya. Karena saat itu aku sedang berlari, aku tak begitu menyadari." Satria tercenung.
"Tapi sumpah mampus, aku masih tak mengerti apa maksudnya?" bisiknya, merutuk.
Kendati masih menemui jalan buntu, Satria tetap yakin pecahan gada itu merupakan satu mata rantai yang akan menghubungkan sebuah teka-teki. Terutama teka-teki mengenai kematian Ki Damar Sakti.
Juga suasana perguruan yang begitu lengang.
Perguruan. Satria baru sadar kembali niatnya untuk menyelidiki tempat itu.
Perlahan-lahan, Satria melangkah di pekarangan sayap kiri perguruan itu. Langkahnya diringankan.
Dirinya disiagakan. Dia tak mau kecolongan sedikit pun. Sampai ke bagian kiri bangunan perguruan, tak terjadi apa-apa. Satria tak juga menemukan apa pun.
Lalu pendekar pewaris kesaktian dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu berputar ke arah halaman depan perguruan. Tiba di sana, dia dibuat terbelalak besar-besar.
Berpuluh-puluh bangkai murid perguruan bergelimpangan. Sebagian timpang-tindih.
Wajah Satria meringis, biarpun sebagai orang persilatan sudah seringkali menelan pemandangan seperti itu. Sewaktu melangkah lebih dekat, hidungnya disengat bau busuk. Kepalanya berkunang-kunang.
Kalau saja dia tak segera mengatur pernapasan, bisabisa dia muntah di tempat itu juga.
Ketika makin dekat, Satria lebih jelas menyaksikan seluruh mayat murid perguruan sudah dirubungi lalat.
"Mereka mati telah lama," duga Satria.
"Siapa manusia biadab yang telah membantai mereka seperti sekawanan binatang seperti ini?" dengusnya.
Salah satu mayat diperhatikan. Di kepalanya, Satria menemukan luka memar yang mencekung ke dalam tanpa mengakibatkan kulit terkoyak. Sudah pasti tulang tengkorak orang itu remuk hingga menekan bubur otaknya! Seperti bekas hantaman benda tumpul yang dilakukan oleh seorang ahli. Mayat lain diteliti. Sebagian di antaranya menderita luka serupa.
Hanya pada bagian berbeda-beda. Sebagian mayat yang lain menderita luka pukulan tangan kosong mematikan. Ketika itulah, Satria teringat kembali pada batu pecahan gada yang terjatuh dari balik pakaiannya belum lama. Matanya bersinar ragu.
"Apa mungkin semua ini perbuatan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis?" desisnya, antara percaya dan tidak.
"Mungkinkah menjelang ajalnya Ki Damar Sakti hendak mengatakan hal itu padaku?" Lalu Satria seperti tersengat sesuatu.
"Rara Lanjar," bisiknya gamang.
Gadis itu ditinggal sendiri. Baiklah jika dugaannya keliru. Tapi bagaimana kalau benar" Jika benar bahwa pembunuhan Ki Damar Sakti serta pembantaian murid-muridnya dilakukan Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, artinya Rara Lanjar pun dalam bahaya besar.
Pendekar muda itu terbayang peristiwa yang pernah dialaminya ketika menghadapi tokoh sesat perempuan yang berhasil menguasai diri Tresnasari, gadis yang dekat di hatinya. Kala itu, Nini Jonggrang berhasil menenung Tresnasari sehingga diri gadis itu tak lebih sebagai budak tak punya hati. Kepribadiannya telah dirampas kekuatan hitam. (Bacalah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan "Kiamat di Goa Sewu"!). Bukan tidak mungkin Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis pun mengalami hal serupa.
"Bisa saja ada seseorang yang mendalangi dan memanfaatkan dua pendekar itu...." Sadar kemungkinan tersebut bisa saja terjadi, Satria Gendeng segera menggenjot tubuh untuk kembali ke kaki Gunung Burangrang.

* * *



Sepasang manusia berjalan meninggalkan Perguruan Belalang Putih. Wajah keduanya suntuk. Ada sesuatu yang membuat mereka begitu sebal, kesal, jengkel, dan entah apa lagi. Mereka bisa disebut pasangan yang bertolak-belakang. Seperti batu sungai dengan berlian, atau seperti danau dengan selokan.
Pokoknya yang semacam itu! Pasalnya, si perempuan terlihat begitu menawan. Cantik di usia yang terbilang cukup matang. Menarik dengan penampilan yang dirias apik. Mengenakan gaun sutera putih yang mempertontonkan kulit kuning halusnya. Rambutnya yang panjang mayang pun dihiasi ronce bunga melati.
Pasangannya, seorang lelaki cebol tingginya tak lebih dari pinggul tebal si wanita. Rambutnya keriting.
Wajahnya seperti perempuan. Sebaliknya, matanya seperti orang yang hendak menanti kiamat di depan batang hidung. Ah, bukan... bukan! Lebih mirip tatapan seorang berhati dengki yang selalu ingin bermusuhan dengan tetangganya. Misalnya, kalau tetangga beli ini itu, orang itu yang mendelik bengis. Kalau tetangga senang sedikit, orang itu juga mendelik-delik mengerikan. Nah seperti itu tatapan si lelaki cebol. Di ikat pinggangnya terselip sepasang senjata logam berbentuk cakar mata tiga.
Bukankah tak salah kalau mereka bisa diibaratkan dengan batu sungai dengan berlian" Yang satu buruk, yang lain menawan....
Bicara soal buruk pada jasmani, tak ada salahnya. Siapa yang berani menyalahkan kalau nyatanya Tuhan yang sudah menentukan dan menciptakan" Jadi adil kalau Tuhan tak menilai orang dari jasadnya, melainkan di batinnya. Kalau soal buruk di hati, ini yang bikin bumi jadi 'gerah' untuk dihuni.
Kata orang, buruk di 'luar' bukan berarti buruk di 'dalam'. Durian saja punya kulit mengerikan, tapi isinya tidak begitu. Orang macam begini, mesti dikagumi. Ada juga sebaliknya. Manis di muka, tapi pahit di dalam. Mirip-mirip pemimpin muka dua yang kerjanya mengambil hati rakyat untuk terus dipilih. Orang macam ini, mestinya dimasukkan ke kandang macan yang belum makan selama sebulan! Sayangnya, banyak juga orang sudah buruk di dalam, buruk juga di luar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Orang semacam ini, rasanya patut dikasihani....
Kembali pada pasangan manusia ini. Mereka adalah Penjaga Gerbang Neraka dengan Dewi Melati.
Setelah tak mendapat hasil mencari keterangan dari Ki Manda Langit di Perguruan Kuda Terbang, mereka berangkat ke perguruan Belalang Putih. Mereka berniat untuk menanyakan perihal kitab tulisan seorang prabu Padjajaran yang telah dititipkan pada Ki Arga Pasa.
Karena Ki Arga Pasa selaku Pemimpin Perguruan Belalang Putih sudah tiada, mereka berniat menanyakan hal itu pada murid-murid kepercayaan Ki Arga Pasa.
(Untuk mengetahui perjalanan terakhir mereka, bacalah episode : "Nisan Batu Mayit"!).
Sampai di sana mereka mendapat jawaban yang tak diharapkan sama sekali dari Palguna, murid kepercayaan Ki Arga Pasa. Kata Palguna, kitab incaran mereka telah lebih dahulu direbut seorang bertopeng kayu Arjuna. Mulanya mereka tak percaya. Tahu sendiri, Penjaga Gerbang Neraka termasuk orang yang selalu saja curiga dengan orang lain. Dia pasti sudah mengamuk lebih mengerikan dari amukan raja siluman pasar ikan, kalau saja Dewi Melati tak cepat mencegahnya. Namun begitu, Palguna masih sempat menerima tamparan di pipinya. Tidak terlalu sakit. Bagaimana bisa merasa sakit kalau dia langsung semaput" Lalu Dewi Melati menjalankan aksi ancammengancam, satu jenis pekerjaan manusia brengsek yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuan. Beberapa murid dihajarnya sampai jungkir balik. Dia mengancam akan mulai membunuhi mereka jika tak mengatakan di mana kitab itu disimpan.
Karena jawaban semua murid itu-itu juga, sama seperti jawaban Palguna, akhirnya Dewi Melati percaya. Kendati pun ada yang dibunuh, yang lain pasti tetap berkata serupa.
Artinya, mereka memang telah kedahuluan seseorang. Itu yang membuat tampang mereka berantakan sekeluarga dari Perguruan Belalang Putih.
Mereka terus berjalan. Sampai tiba di batas desa Rangkas, perjalanan keduanya dihadang oleh seseorang. Lelaki berjubah hitam. Mengenakan caping lebar pada kepalanya.
"Jangan menghalangi jalanku, Lelaki Berjubah!" hardik Dewi Melati, melengking. Sudah suntuk, ada yang cari perkara. Bagaimana dia tak jadi mangkel.
Orang berjubah diam saja. Tuli atau pura-pura tuli, tak jelas.
"Menyingkir, atau harus kulempar"!" ancam Dewi Melati, sengit.
Jangankan menyahut, menaikkan wajah saja tidak. Orang bertudung tetap tak beranjak. Berdiri dia dengan kesan angkuh.
Tangannya bersedekap di dada.
Dewi Melati jadi mengkelap.
"Kau cari mampus! Hih!" Diawali pekikan menyumpah, perempuan yang terkenal dengan kegenitan dan kebinalannya itu mengayunkan rambut.
Wusshh! Kuntum-kuntum bunga melati berhamburan.
Cepat, gesit, nyaris tak terlihat. Setiap kuntum menghasilkan dengusan tajam di udara. Jika tergabung, akan terdengar deru yang serupa dengan suara kepakan seekor rajawali. Bagi seorang tokoh atas berpendengaran jeli, dia bisa menilai bahwa kekuatan setiap kuntum bisa menembus dua tubuh manusia sekaligus. Enteng saja, orang berjubah bergerak. Diangkatnya ujung jubah sampai menutupi seluruh badan dan wajahnya. Tap tap tap! Ketika mengenai permukaan jubah, seluruh kuntum melati seperti kehilangan kekuatan. Jangankan menembus badan, kain saja tidak. Seolah kekuatannya terserap seketika ke dalam kain. Lalu, satu persatu bunga-bunga melati itu berjatuhan.
Wajah Dewi Melati jadi berangasan. Mulutnya menyumpah-nyumpah. Tak jelas apa yang diucapkannya. Dia sebenarnya terkejut kalau serangan senjata rahasianya yang ampuh dan ditakuti oleh banyak kalangan hanya sempat 'mengecup' permukaan kain.
Menyaksikan kejadian itu, Penjaga Gerbang Neraka melotot. Dia mulai kalap pula. Kalau dia mulai kalap, jangan harap ada nyawa lolos. Selama ini belum ada satu pun orang bisa selamat dari amukannya, kecuali Dewi Melati turun tangan.
Setelah senjata rahasianya dipencundangi, mana sudi Dewi Melati menahan-nahan amukan lelaki cebol (Yang menurut hikayat adalah suami angkatnya).
Sama saja membodohi diri sendiri, pikirnya. Justru dia sengaja memanas-manasi Penjaga Gerbang Neraka untuk segera melabrak orang berjubah. Dasar perempuan tukang 'ngompor'! Orang berjubah menurunkan jubahnya.
"Tahan dia, Perempuan! Aku tak bernafsu untuk bertarung dengan kalian."
"E, rupanya kau tak tuli atau bisu, heh?" cibir Dewi Melati sinis.
"Dengarkan aku, dan katakan pada si cebol itu setiap perkataanku. Aku akan memberikan sesuatu yang sedang kalian cari!" sergah orang berjubah.
Kening Dewi Melati terangkat.
"Apa yang kau ketahui tentang 'sesuatu' yang kami cari"!" tanyanya seraya mencegah Penjaga Gerbang Neraka untuk melabrak orang berjubah.
"Kitab tulisan seorang prabu Pajajaran," ujar orang berjubah. Singkat, datar, namun mengena sasaran.
"Kau mau kami percaya bualanmu itu" Heh?" cibir Dewi Melati seraya melenggokkan pinggul. Tangannya berkacak pinggang. Liukan pinggulnya jadi kentara jelas. Menggiurkan.
"Katakan saja pada lelaki cebol itu. Bukankah hanya dia yang berkepentingan!"
"Kau kira aku jongosmu"!"
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan pergi. Terserah kau apakah mau menerima kesempatan yang kutawarkan," ancam orang berjubah seraya membalikkan badan. Dewi Melati terpancing.
"Eh, tunggu-tunggu! Biar aku katakan padanya!" seru Dewi Melati.
Orang berjubah mengurungkan niat untuk pergi. Meskipun dia tak berniat sungguh-sungguh.
Dewi Melati pun mulai berbicara dengan bahasa isyarat pada Penjaga Gerbang Neraka. Paras lelaki cebol itu berubah mendengar penjelasan perempuan di sisinya. Ada gambaran gejolak semangat menggebugebu.
"Dia bertanya padamu, apa kau dapat membuat kami percaya?" kata Dewi Melati, menerjemahkan perkataan isyarat Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan gerak yang terlihat terlalu hemat, orang berjubah mengeluarkan segulungan kertas dari balik pakaiannya. Gulungan berwarna merah.
Dia membentang gulungan di depan wajah. Lalu membacakan satu baris yang tertera paling atas.
Sementara itu, Dewi Melati terus menerjemahkan setiap kata yang keluar dari mulut orang berjubah.
"Itu memang lembaran gulungan kitab sang Prabu Pajajaran!" kata Penjaga Gerbang Neraka dengan isyarat tangannya.
"Tapi katamu, kau hendak mencari kitab. Bukan selembar gulungan kertas!" kilah Dewi Melati, juga dengan isyarat tangan.
"Aku tak membutuhkan seluruh isi kitab itu! Aku hanya membutuhkan satu lembar isi kitab itu.
Dan lembaran itu yang kini di tangannya!"
"Kenapa begitu?"
"Karena di dalamnya ada rahasia bagaimana aku dapat mengalahkan kesaktian Manusia Makam Keramat! Tanyakan padanya, imbalan apa yang dia minta agar aku dapat mendapatkan lembaran itu!" Dewi Melati menyampaikan ucapan Penjaga Gerbang Neraka pada orang berjubah.
"Katakan padanya, kalau dia hendak mendapatkan lembaran ini, dia harus memenuhi satu syarat.
Dia harus menukar lembaran ini dengan kepala Satria Gendeng"!"
"Apaaa"!" Dewi Melati berteriak melengking.
Membunuh Satria Gendeng" Pemuda pujaannya itu" Pendekar yang tampan dan menggemaskan itu" Yang membuatnya 'ngebet' minta ampoooon?"?" Gila apa"!

* * *




--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

SATRIA Gendeng sampai kembali di kaki Gunung Burangrang. Gubuk tak dihuni siapa-siapa. Tak ada juga tanda-tanda mencurigakan seperti dikhawatirkannya. Karena itu, si pendekar muda menduga belum ada seorang pun kembali.
Rara Lanjar tentu masih di tempat di mana Satria menemukan tiga benda di lobang pohon. Pendekar Muka Bengis tentu sudah tiba pula di sana, lama sebelum Satria kembali. Jadi, kemungkinan terburuk bisa saja telah terjadi jika benar Pendekar Muka Bengis telah berubah menjadi manusia sesat. Begitu khawatirnya Satria pada Rara Lanjar. Kalau menilik bagaimana mengenaskannya cara kematian murid-murid Ki Damar Sakti, Satria jadi membayangkan kejadian mengenaskan itu akan menimpa Rara Lanjar pula. Untuk saat ini, dia hanya bisa berharap kekhawatirannya keliru. Sementara itu, Gendut Tangan Tunggal belum juga kembali. Jika semula Gendut Tangan Tunggal mengatakan hendak mencari tabib, sekarang Satria meragukan alasan itu. Tak mungkin dia pergi begitu lama hanya untuk mendapatkan seorang tabib. Satria bahkan tak yakin lagi apakah kepergian Gendut Tangan Tunggal benar-benar hendak mencari tabib. Dia curiga ada tujuan lain yang belum bisa diduganya hingga kini. Kalau benar mereka berubah perangai, sungguh menjadi satu pertanyaan besar bagi si pendekar muda tanah Jawa. Soal bagaimana cara mereka menjadi sesat, Satria tak terlalu mempertanyakan. Yang sungguh akan membuatnya bertanya-tanya selalu, siapakah orang yang telah menjelmakan mereka menjadi binatang biadab seperti itu" Bulu kuduk Satria meremang ketika dia ingat pada Manusia Makam Keramat. Bukan tak mungkin perubahan sifat dan perangai dua pendekar aneh itu adalah hasil pekerjaannya. Menurut riwayat, dulunya Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat itu adalah orang yang menuntut berbagai macam ilmu. Bisa saja dia telah menganut semacam ajian, atau telah mempelajari sebuah ramuan yang dapat mengendalikan pikiran dan kemauan seseorang di bawah perintahnya.
Betapa menggidikkan jika benar begitu. Tentu dia bisa berbuat banyak untuk menciptakan huruhara besar di dunia persilatan. Misalnya saja, dia bisa memecah belah partaipartai golongan lurus hingga saling membantai satu dengan yang lain. Kalau sudah begitu, yang akan muncul cuma malapetaka besar! Satria tersadar dari ketercenungan. Celaka tujuh keliling! Kenapa aku jadi melupakan Lanjar! Rutuknya dalam hati sambil bergegas menggenjot tubuh.
Dipacunya segenap kemampuan ilmu lari cepat yang dimiliki. Dia seperti sudah tak mau ambil peduli pada apa-apa lagi. Bahkan kalaupun setan botak mengha-dangnya, tetap dia tak peduli.
Senja akhirnya luruh. Tak ada yang bisa mencegah malam merambah. Dari persada Timur, kegelapan mulai menjajah. Rara Lanjar dan Pendekar Muka Bengis masih dalam perjalanan menuju gubuk di kaki Gunung Burangrang.
Ketika itu, Pendekar Muka Bengis berubah pikiran menyadari Gendut Tangan Tunggal tak kunjung kembali. Dia mulai mengendusi sesuatu yang tak beres telah terjadi terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Kekhawatirannya merangas dalam diri, mengimbangi kecurigaannya. Dia curiga Ki Damar Sakti telah membuka mulut pada Satria Gendeng ketika pendekar muda itu hendak membawanya ke tabib.
Terpikir olehnya untuk segera bertindak. Sebab, jika Gendut Tangan Tunggal tak juga kembali menyampaikan perintah dari Manusia Makam Keramat, artinya dia harus segera mengambil tindakan sendiri. Setidaknya, membawa Rara Lanjar ke Makam Keramat Maut untuk diserahkan kepada sang Majikan.
Tindakan itu lebih baik diambil, ketimbang seluruh rencana gagal jika ternyata benar Satria Gendeng telah mengetahui kejadian sebenarnya!. Lagi pula, bukankah dengan bertindak sekarang, dia akan mendapatkan dua mangsa sekaligus yang begitu diharapkan sang Majikan" Yang pertama Rara Lanjar. Sedang yang kedua, kitab tua di tangannya....
Rara Lanjar melangkah di depan. Pendekar Muka Bengis diam-diam terus mengawasinya dari belakang. Matanya tak putus-putus menyemburatkan bersit jahat. Yang terbetik dalam benaknya cuma mencari kesempatan Rara Lanjar lengah.
Dan saatnya pun tiba.
Manakala gadis di depannya sedang memperhatikan lembaran kitab di tangannya, jauh lebih cepat dari terkaman seekor macan lapar, Pendekar Muka Bengis menghambur ke depan. Sebagai salah seorang tokoh jajaran atas dunia persilatan, tentu saja gerakan cepat yang dilakukan secara mendadak akan amat sulit untuk dihindari.
Naluri Rara Lanjar sempat merasakan adanya ancaman dari arah belakang. Sayangnya, dia tak cukup sempat untuk membalikkan badan dan menghindarinya. Tuk! Satu totokan tepat mendarat di jalan darah gadis keturunan salah seorang Prabu Pajajaran itu. Tubuhnya lemas seketika. Sebelum terjatuh, Pendekar Muka Bengis sudah menyambarnya. Sekaligus menyambar lembaran-lembaran kitab di tangannya.
Setelah itu, dibawanya Rara Lanjar pergi.

* * *



Sungsang-sumbel Satria mengaduk-aduk seluruh wilayah kaki Gunung Burangrang. Sampai malam semakin matang, Rara Lanjar tak juga ditemukan.
Kekhawatirannya berubah menjadi kegusaran. Sedang kecurigaannya telah menjelma menjadi bukti bahwa Rara Lanjar telah dalam rangkulan bahaya! Sambil menyumpah-nyumpahi diri sampai mulutnya kering, Satria kembali ke gubuk. Kalau sudah begitu, apa yang bisa dilakukan kecuali menyumpahnyumpah" Kalaupun mau mengamuk, siapa yang harus diamuki" Genderuwo penunggu Gunung Burangrang" Pikir punya pikir, Satria memutuskan untuk menjernihkan dulu pikirannya yang sedang kalut.
Dengan segarnya pikiran, dia dapat mencari pemecahan masalah lebih jernih dan cermat. Betapa pun besar kekhawatirannya terhadap diri Rara Lanjar, toh dia harus menyadari bahwa ketergesaan dan kebernafsuan biasanya tak akan menghasilkan apa-apa.
Baru tiba di muka gubuk, seseorang berseru di kejauhan.
"Anak Muda, aku sudah kembali!" Satria menoleh. Dalam keremangan sinar benda-benda langit, disaksikannya Gendut Tangan Tunggal datang dengan seseorang. Seorang kakek tua berjubah putih. Sewaktu menyaksikan, Satria dibuat terperanjat. Bagaimana tidak, kalau kakek berjubah putih itu pernah ditemuinya beberapa waktu lalu di halaman Perguruan Belalang Putih" Seorang yang bisa disebut sebagai tokoh golongan tua yang kesaktiannya terlalu sulit diukur. Waktu itu, si kakek memperingati kedatangan Manusia Makam Keramat sehingga Satria Gendeng dan Rara Lanjar dapat meloloskan diri ke kaki Gunung Burangrang. (Untuk lebih jelas, bacalah episode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau...," gumam Satria.
Si kakek berjenggot putih dengan rambut digelung kecil di atas kepala tersenyum. Samar saja. Namun sudah cukup untuk menebarkan pesona wibawa yang kuat.
"Apa kabar, Anak Muda?" sapa si kakek.
Satria terdiam. Pikirannya masih diusik oleh dugaan-dugaan terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Kalau sekarang pendekar tua berperut besar itu datang dengan kakek ini, apa tak mungkin kakek ini pun sebenarnya punya niat busuk di balik wajahnya yang selalu tampak ramah dan bening" Ini dunia, tempat di mana tipu daya dan kepalsuan tumbuh terus sepanjang masa. Apalagi sekadar kepalsuan wajah. Yang tak bisa dimengerti, kenapa dulu dia memperingati Satria dan Rara Lanjar akan kedatangan Manusia Makam Keramat"
"Mari ikut aku ke dalam gubuk," ajak si kakek seraya merangkul bahu Satria. Anehnya, Satria merasa tak pantas menolak ajakan itu. Bahkan tak kuasa untuk menolaknya.
Sampai kekhawatiran Satria sebelumnya pada Rara Lanjar bagai terpental begitu saja dari benaknya. Apakah ini yang] orang sebut 'kekuatan prabawa'" Ataukah ini tenung yang telah melalap bulat-bulat jiwa Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis hingga mereka berubah biadab" Di belakang mereka, Gendut Tangan Tunggal menguntit.

* * *



Apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri Gendut Tangan Tunggal" Waktu itu si pendekar tua berperut gentong tengah berjalan kembali ke kaki Gunung Burangrang.
Tak ada seorang pun bersamanya. Tak seorang tabib pun ditemui. Berniat untuk mencari saja tidak. Jika dia harus kembali juga ke kaki Gunung Burangrang, semata hanya karena hendak menyampaikan perintah Manusia Makam Keramat pada Pendekar Muka Bengis untuk menunda rencana melarikan Rara Lanjar ke Makam Keramat Maut. Dan kalaupun harus kembali dengan membawa tabib agar tidak dicurigai, dia akan mencari seseorang yang malah bisa memberi ramuan untuk mempercepat kematian Ki Damar Sakti.
Sedang melangkah, tiba-tiba saja pendekar golongan tua yang jiwanya sedang dikuasai oleh pengaruh Manusia Makam Keramat itu merasakan ada sesuatu datang dari arah belakang. Telinganya tak menangkap desiran angin sedikit pun. Hanya saja nalurinya berkata lain.
Gendut Tangan Tunggal berbalik sigap.
Ternyata memang tak ada siapa-siapa.
Dia menyumpah-nyumpah dalam dan kental.
Baru saja membalikkan badan hendak meneruskan langkah, dia dibuat terkesiap. Seseorang telah berdiri tepat dua tindak di depannya.
"Keparat Busuk, siapa kau"!" makinya, gusar bukan main karena merasa baru saja dipermainkan. Orang di depannya hanya tersenyum.
Di mata Gendut Tangan Tunggal, senyuman itu tak lebih dari ejekan. Membuatnya muak, hingga langsung membangkitkan kebuasan hewani yang belakangan ini begitu membludak dalam hatinya.
"Mampuslah kau!" Diterjangnya orang itu dengan satu hantaman gada. Sasarannya mematikan. Langsung ke batok kepala orang di depan.
Wukh! Orang itu tak bergerak. Gada besar mengerikan pun terayun telak menuju sasaran. Gendut Tangan Tunggal bahkan telah yakin gadanya benar-benar mengenai sasaran.
Yang ganjil, biarpun gada itu telah menghantam kepala orang di depan, Gendut Tangan Tunggal tak mendengar suara apa-apa kecuali dengus senjatanya. Mestinya terlahir suara berderak keras tengkorak yang retak, atau berantakan di dalam. Ini tidak.
Bahkan tangan kanannya tak merasakan benturan apa-apa. Gendut Tangan Tunggal menggeram. Dia penasaran. Disusulnya satu hantaman lagi. Ke bagian yang tak kalah mematikan, selangkangan orang itu.
Wukh! Kejadian tadi terulang. Sasaran tak bergerak.
Senjata tepat mengenanya. Tapi tak ada suara apaapa. Tak juga dirasakan benturan. Orang itu tetap berdiri tegak tanpa kurang suatu apa pun. Tubuhnya seolah dibentuk dari asap yang terangkum tanpa tersibak angin. Gendut Tangan Tunggal mulai bimbang. Mestikah dia melakukan serangan lanjutan" Atau dia hanya keliru menempatkan hantaman. Tapi bagaimana mungkin tokoh sekelas dia dapat keliru" Tangan kanannya yang terlatih mempergunakan gada sanggup menghantam seekor burung walet yang sedang melintas cepat di atas kepalanya. Apa yang salah" Ataukah dia tak menyadari kalau orang yang berdiri di depannya mungkin saja bisa bergerak lebih cepat dari kedipan mata" Nafsu kebinatangan dalam hatinya makin membludak-bludak. Bukannya gentar, Gendut Tangan Tunggal malah menjadi kalap.
"Heaaaa!!!" Dihantaminya berkali-kali tubuh orang itu. Dalam satu helaan napas saja, dia dapat mengayun gada belasan kali. Dan sejauh itu, semua hantamannya tak luput. Tapi tetap tak mengusik orang yang dijadikan sasaran. Mengucur sudah hantaman. Menghujan.
Menggila gada diayunkan.
Benda yang beratnya sama dengan empat bayi gemuk itu seperti sebatang lidi yang demikian ringan.
Sampai pada saatnya, Gendut Tangan Tunggal kehabisan tenaga sendiri. Nafasnya tersengal-sengal. Perutnya turun naik jauh lebih hebat. Sepertinya dia sudah hendak mati di tempat. Banjir pakaiannya oleh keringat. Dengan tenang, orang di depannya mengulurkan tangan. Wajah Gendut Tangan Tunggal diusap, dan dia pun semaput! "Kau terkena ramuan rahasia milik Arya Sonta.
Aku akan mencoba menolongmu," bisik orang itu.
Tanpa perlu mengalami kesulitan dengan badan seberat bapak moyang kerbau, orang itu memanggul tubuh Gendut Tangan Tunggal. Dibawanya pergi dari tempat itu.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

DUA puluh dua tahun lalu, datang seorang lelaki tua kepada mendiang Ki Arga Pasa. Dia menitipkan seorang bayi perempuan kecil. Karena ketua Perguruan Belalang Putih itu tak pernah dikarunia seorang anak pun dari kandungan istrinya, maka dengan suka cita, dia dan istrinya pun menerima titipan mungil itu. Selain bayi, lelaki tua juga menitipkan satu kitab di dalam peti kayu.
Malam waktu itu. Si lelaki tua diterima Ki Arga Pasa dan istrinya di ruang pendapa perguruan yang belum begitu lama dibangun. Saat itu, muridnya masih terhitung dengan jari. Salah seorang di antara mereka adalah Palguna, bocah kecil telantar yang dipungut oleh Ki Arga Pasa di kotaraja Pajajaran.
Di atas gelaran tikar pandan lebar, mereka duduk. Ki Arga Pasa ditemani istri di sampingnya. Sementara tamunya duduk bersila berhadapan dengan mereka.
"Kenapa engkau memilih kami untuk dititipi semua ini, Orang Tua?" tanya Ki Arga Pasa waktu itu.
Sebagai seorang yang mengemban amanat, apalagi menyangkut hidup-mati seorang anak manusia, tentu saja dia merasa perlu menanyakan alasan lelaki tua itu.
"Aku memilih kau dan istrimu, karena aku percaya pada diri kalian," kata orang tua itu lagi.
"Percaya" Bagaimana bisa" Sementara bertemu saja baru kali ini...," tukas Ki Arga Pasa ditingkahi ta-wa kecil, sedikit berkelakar. Lelaki tua tersenyum.
"Dua tiga bulan sebelum hari ini, aku telah mengawasi kehidupan kalian hampir setiap hari. Aku tahu tindakanku itu lancang. Tapi, aku hanya ingin meyakinkan bahwa bayi ini dapat dibesarkan dalam lingkungan yang baik. Bukankah lingkungan pula yang amat besar pengaruhnya dalam membentuk pribadi seorang anak manusia?" Ki Arga Pasa mengangguk-angguk. Istrinya pun begitu. Dalam hati, mereka agak risih karena secara tak langsung tamu mereka telah menganggap mereka adalah sepasang suami-istri yang baik. Pribadi-pribadi yang baik, tentunya akan membangun satu lingkungan yang baik.
"Lalu, kalau boleh kami tahu, anak siapa sebenarnya bayi ini, Orang Tua?" susul Ki Arga Pasa.
Lelaki tua terdiam sebentar. Wajahnya keruh oleh kesan duka. Garis-garisnya terlipat lebih banyak.
Pandangannya terjatuh ke tikar pandan.
"Itulah yang amat kusesali. Kedua orangtua bayi ini telah meninggal dunia," ucapnya kemudian dengan nada melandai.
"Kasihan sekali...," desah istri Ki Arga Pasa, turut prihatin.
"Apa penyebabnya?" lanjut Ki Arga Pasa, bertanya lagi.
"Sulit diketahui penyebab kematian kedua orangtua bayi kecil perempuan ini. Kedua orangtuanya mendadak meninggal dunia pada suatu malam. Mereka mati dalam keadaan tercekik saat tidur. Tetangga mereka yang menemukan mengatakan bahwa wajah mereka membiru. Tangan mereka masih pada leher, seakan mati berkutat untuk melepaskan cekikan...."
"Kematian yang aneh...," desis Ki Arga Pasa.
Bahu istri di sebelahnya mengedik-ngedik. Dia bergidik. Tangannya mengusap tengkuk sendiri, mengikuti meremangnya bulu kuduk. Wajahnya meringisringis.
"Apakah sudah diketahui sebabnya?" tanya istri Ki Arga Pasa. Takut, namun penasaran. Bergidik, tapi terlalu ingin tahu.
Si lelaki tua menggeleng.
"Aku mengira karena masalah keturunan...," katanya, seperti mendesah.
"Apa maksudmu?"
"Salah seorang kakek buyut bayi itu, pernah berurusan dengan seorang durjana sakti madraguna.
Orang itu dibunuhnya. Saat itu, si orang durjana bersumpah akan membunuh setiap keturunannya."
"Bagaimana seseorang bisa membunuh kalau dia sendiri sudah mati terbunuh?" sergah istri Ki Arga Pasa. Seperti kebanyakan perempuan, dia amat tertarik dengan hal-hal yang mengusik perasaannya.
"Karena orang durjana itu adalah penganut ilmu-ilmu sesat. Tak terhitung lagi ilmu sesat yang dituntutnya. Selama hidup, dia seperti seorang pemburu kesaktian yang tak pernah puas untuk terus menambah dan menambah kekuasaan dirinya."
"Keserakahan manusia...," simpul Ki Arga Pasa.
"Salah satu ilmu sesat yang dianutnya membuat sukma sesatnya tak diterima oleh 'gerbang' alam kubur. Entah sampai kapan. Selama sukma terkutuknya terkatung-katung di batas dua alam, dia punya kesempatan sekali-kali untuk menelusup masuk ke alam nyata. Saat seperti itulah dia membunuh keturunan keluarga lawannya saat mereka tertidur. Hanya saat seperti itu, dia bisa menerobos garba sukma orang yang hendak dibunuhnya dengan cara gaib. Kedua orangtua bayi perempuan ini adalah keturunan keempat yang mengalami nasib serupa."
"Jadi, apa hanya tinggal bayi ini saja yang masih hidup dari keturunan orang itu?" tanya Ki Arga Pa-sa.
"Benar sekali." Ki Arga Pasa menggeleng-gelengkan kepala. Istrinya latah ikut-ikutan. Bagi Ki Arga Pasa, akan semakin berat saja gambaran amanat yang harus dipikulnya. Artinya, dia tak hanya harus membesarkan, merawat, dan mendidik. Tapi juga melindungi bayi perempuan itu dari jangkauan sukma sesat yang setiap saat akan kembali ke alam nyata untuk membunuhnya.
"Bagaimana aku dapat melindungi Cah Ayu ini agar selamat dari kekuatan jahat sukma itu," keluh-nya, bergumam. Diliriknya bayi kecil yang tertidur lelap di dalam ranjang berselimut kulit domba. Kedamaian terangkum dalam parasnya yang masih begitu halus. Menyaksikannya seperti menatap kemurnian sebuah kehidupan.
Ki Arga Pasa menghela napas. Sanggupkah aku melindunginya" Tanyanya membatin. Resah.
Lelaki tua memperhatikan keresahan Ki Arga Pasa. Lalu katanya, "Kau tak perlu khawatir pada keselamatannya."
"Bagaimana aku tak khawatir kalau aku merasa tak cukup punya kekuatan untuk melindunginya dari kekuatan sukma sesat itu?"
"Kalau kau tak punya, kenapa kau tak memohon Pemilik Segala Sesuatu" Tak ada daya yang bisa mencelakakan jika Dia berkehendak menjaga seorang manusia. Dan tak ada daya apa pun yang bisa menyelamatkan, kalau Dia berkehendak seseorang celaka...." Seperti mendapat siraman sejuk, kegelisahan Ki Arga Pasa memudar. Kepalanya mengangguk-angguk lamat.
"Ya. Tiada daya dan upaya selain dari pertolon-gan-Nya," timpalnya ditingkahi hembusan napas panjang.
"Lalu bagaimana dengan kitab ini?" lanjut Ki Arga Pasa seraya menempatkan tangannya ke atas peti tempat penyimpanan kitab di depannya.
"Kitab ini berhubungan dengan cerita yang baru saja kupaparkan."
"Artinya. Kitab ini berhubungan dengan si bayi?" Lelaki tua mengangguk.
"Apa yang harus aku lakukan dengan kitab ini?"
"Tak ada."
"Tak ada?"
"Ya. Kau hanya perlu menyimpannya. Pada saatnya nanti, kau harus menyerahkan kitab ini pada bayi itu."
"Kapan waktunya?"
"Ketika ada kekacauan di mana-mana yang dilakukan oleh sekawanan bocah."
"Kawanan bocah?" desis istri Ki Arga Pasa, mengulangi. Dia bergidik lagi.
"Apa yang mereka lakukan?" tanyanya. Padahal, tanpa perlu bertanya pun, lelaki tua tetap akan melanjutkan penuturannya.
"Bocah-bocah itu akan menculik perempuanperempuan." Mendengar kata 'perempuan' disebut-sebut, istri Ki Arga Pasa tambah bergidik.
"Aih... aih...," ujarnya tak sadar.
"Setelah itu menyusul munculnya seorang berkesaktian tinggi yang rupanya seperti dedemit. Berambut amat panjang, berkuku amat panjang, dan berjenggot juga amat panjang." Sekarang, mendengar kata 'jenggot' Istri Ki Arga Pasa yang agak latah mengusap dagunya sambil meringis.
"Siapa dia, Orang Tua?" sela Ki Arga Pasa.
"Dialah manusia durjana yang telah mati dibunuh oleh kakek buyut bayi ini."
"Maksudmu, orang itu bangkit dari kubur?" tanya Ki Arga Pasa. Tak urung dia jadi turut bergidik.
Kalau saja dia bergidik, apalagi istrinya" Perempuan separuh baya itu langsung menggeser duduknya, lebih dekat ke Ki Arga Pasa. Takut-takut, matanya melirik ke belakang, seolah ada sesuatu yang sedang bersiap-siap mencekiknya sampai modar! "Mungkin pertanyaanku kali ini agak lancang, Orang tua...."
"Bertanyalah!"
"Bagaimana atau dari mana kau bisa tahu kejadian itu akan terjadi?" Lelaki tua tersenyum. Dia tak menjawab. Tidak juga berkata apa-apa. Karena setelah itu mendadak saja sosoknya raib dari tempat. Angin seperti membawa lari seluruh jasadnya tanpa sisa.
Keesokan harinya, istri Ki Arga Pasa menemukan sesuatu di tangga pendapa perguruan. Sebatang gelang tangan dari emas yang biasa dipakai di pangkal lengan seorang raja Pajajaran. Ketika mencoba bertanya-tanya pada beberapa sesepuh tanah Paparan, Ki Arga Pasa mendapat jawaban mengejutkan. Gelang itu adalah milik seorang Prabu Pajajaran yang turun tahta tanpa alasan jelas. Sang Prabu menghilang tanpa diketahui rimbanya. Tak ada harta istana dibawa, kecuali gelang tangan yang kini dimiliki oleh Ki Arga Pasa.
Prabu itulah yang telah membunuh untuk pertama kail si manusia durjana.... Manusia Makam Keramat!

* * *



Satria selesai mendengarkan cerita orang tua berjubah putih. Dialah orang yang dihadapi Gendut Tangan Tunggal ketika dalam perjalan menuju kaki Gunung Burangrang. Dialah orang yang telah melepaskan pengaruh jahat Manusia Makam Keramat dalam diri Gendut Tangan Tunggal.
"Bayi yang dititipkan itu kemudian diberi nama Rara Lanjar oleh mendiang Ki Arga Pasa," tambah si orang tua.
Alls si pendekar muda bertaut.
"Sedangkan kau sendiri adalah lelaki tua yang telah menitipkan bayi kepada mendiang Ki Arga Pasa dan Istrinya?" tanyanya, tak begitu yakin.
Si orang tua yang kini duduk bersila di atas balai bambu bersama Satria Gendeng dan Gendut Tangan Tunggal menganggukkan kepala. Tenang.
Satria Gendeng tercengang-cengang, antara percaya dan tidak percaya. Bibirnya terbuka lebar. Be-runtung tak ada lalat lewat. Wajahnya jadi terlihat tolol kelewatan. Lalu ditepuknya kening. Keras atau tidak, membuat pening tujuh kali tujuh keliling atau tidak, dia tak peduli.
"Kalau begitu, kau... adalah seorang Prabu Pajajaran" Dan Rara Lanjar adalah cicit buyutmu?" susul Satria lagi.
Orang tua berjenggot putih menggeleng.
"Kau keliru," katanya, meralat.
"Keliru bagaimana" Bukankah kau barusan menceritakan dirimu sewaktu menyerahkan Rara Lanjar kepada Ki Arga Pasa dan istrinya?" Pertanyaan Satria Gendeng mendapat anggukan.
"Dan gelang yang kau sebut-sebut itu" Apa itu bukan berarti kau adalah sang Prabu?" Si kakek diam sebentar. Lalu dijawabnya pertanyaan Satria.
"Sebaiknya aku perkenalkan diri padamu, Anak Muda. Aku bernama Danujaya. Kau boleh memanggilku Ki Danuwijaya. Perlu Kau ketahui, sebenarnya aku murid Gusti Prabu. Aku berguru kepadanya beberapa tahun setelah dia meninggalkan takhta. Dialah yang menyuruh aku untuk menitipkan Rara Lanjar sewaktu bayi kepada seseorang yang bisa dipercaya. Selain bayi dan kitab, aku diperintahkannya pula untuk menyerahkan gelang miliknya secara diam-diam. Aku tak pernah tahu maksudnya. Kalau kau mengatakan Rara Lanjar adalah keturunan guruku, itu memang benar.
Sampai saat ini, aku masih mengemban tanggung jawab dari guruku untuk mengawasi bayi yang kini telah menjadi seorang dara ayu itu." Begitulah kenyataannya. Rara Lanjar adalah satu-satunya keturunan sang Prabu yang kini tak pernah diketahui lagi kabar beritanya. Itulah sebabnya, Manusia Makam Keramat sewaktu datang pertama kali ke Perguruan Belalang Putih mengendusi sesuatu yang tersembunyi dari diri si dara. Dan ketika kesaktiannya sanggup membaca darah yang mengalir di diri Rara Lanjar sebagai keturunan sang Prabu, Manusia Makam Keramat pun berusaha untuk membawa gadis itu ke Makam Keramat Maut. Tujuannya adalah untuk menumbalkan darah Rara Lanjar bagi Nisan Batu Mayit.
"Kalau boleh aku tahu, Ki Danujaya" Apakah sang Prabu masih hidup?" Untuk pertanyaan Satria satu ini, si kakek bernama Danujaya tampak mengalami kesulitan menjawab.
"Aku tak tahu," jawabnya singkat.
"Dia menghilang begitu saja setelah tuntas menurunkan ilmunya padaku. Hidup atau sudah wafat, tak jelas lagi bagiku." Satria seperti tak puas bertanya. Dia masih ingin tahu lebih banyak.
"Sebagai muridnya, kenapa kau tidak bertindak untuk mencegah keangkaramurkaan yang dilakukan Manusia Makam Keramat?" tanya Satria Gendeng kemudian. Ki Danujaya menggelengkan kepala.
"Aku banyak belajar dari Gusti Prabu tentang penyucian diri. Untuk itu, aku tak mungkin mengotori tangan dengan membunuh Arya Sonta.... Bahkan aku sudah tak ingin lagi keluar ke dunia penuh nista ini seandainya aku tak perlu mengawasi Rara Lanjar...."
"Tunggu dulu," sergah Satria. Dia teringat sesuatu ketika mendengar kata-kata terakhir kakek tua di depannya. Mengawasi Rara Lanjar, katanya" Satria membatin. Kalau begitu, jelas dia merasa bertanggung jawab penuh pada keselamatan si dara ayu. Menurut cerita Rara Lanjar, dia diselamatkan oleh orang bertopeng kayu Arjuna ketika Manusia Makam Keramat hendak melarikannya ke Makam Keramat Maut. Kalau begitu....
"Kau bilang bahwa kau bertanggung jawab terhadap sang Prabu untuk mengawasi Rara Lanjar" Kalau begitu... kau pasti orang bertopeng kayu Arjuna itu, bukan"!" tembak Satria, tak ragu-ragu.
Ki Danujaya menggeleng. Alis putihnya melekuk.
"Apa maksudmu?" tukasnya, malah balik bertanya. Mulut Satria menganga.
Keliru lagi" Dugaannya kecele lagi" Bagaimana bisa begitu" Kenapa jadi serba tak menentu" Gerutunya dalam hati. Kalau bukan kakek ini, lalu siapa orang bertopeng kayu itu"
"Kenapa dengan orang bertopeng kayu?" Ki Danujaya malah bertanya lebih jauh.
Satria sendiri hampir tak percaya orang yang sudah dianggap begitu waskita ternyata masih bisa luput pada satu kejadian penting yang menyangkut tanggung jawabnya. Manusia mana yang tak memiliki kekurangan" Satria Gendeng mencoba mengamati wajah kakek itu. Tak ada kesan kalau dia sedang bergurau.
Yang tersirat cuma kesungguhan dan keingintahuan.
"Sudahlah, Orang Tua...," hindar Satria akhirnya. Lantas dikembalikannya pembicaraan ke masalah Manusia Makam Keramat! "Jika kau tak bersedia turun tangan menumpas manusia durjana itu, lalu siapa yang harus melakukannya?"
"Tuhan selalu punya rencana yang sempurna, Anak Muda," ujar Ki Danujaya seraya bangkit dari balai. Jawabannya sama sekali tak memuaskan hati Satria Gendeng.
"Kau hendak ke mana, Orang Tua?" Belum kering lidah Satria mengucapkan pertanyaan, sosok si orang tua sudah raib dari tempatnya.
Dari arah pintu gubuk, terdengar suara derit halus.
Bukan main kecepatan geraknya. Dia sebenarnya tidaklah menghilang begitu saja, melainkan pergi melalui pintu. Namun karena tingkat peringan tubuhnya sudah demikian sempurna, gerakannya jadi sulit diikuti mata. Bahkan oleh orang sekelas Gendut Tangan Tunggal, atau si murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

Di TENGAH malam kental kegelapan, satu sosok berlari tak terputus-putus ke arah suatu tempat.
Tujuannya adalah daerah angker yang amat ditakuti, bukan saja oleh penduduk biasa, tapi juga oleh banyak kalangan persilatan.
Ditakuti, di samping karena daerah itu penuh dengan bahaya maut yang tercipta oleh keganasan alam, juga karena tempat itu menjadi tempat 'bersarangnya' seorang manusia durjana berkesaktian tak terukur yang bangkit kembali dari kematian.
Di bahu sosok yang berlari, tertelungkup lemas sosok orang lain. Pingsan akibat totokan di satu jalan darahnya. Ketika awan menyibakkan diri, sinar bulan yang menjelang purnama dalam beberapa hari terakhir. Pun memperjelas rupa sosok yang berlari dan yang dipanggulnya.
Orang yang berlari, berwajah amat menyeramkan. Tentu saja dia adalah Pendekar Muka Bengis. Sedangkan orang di bahunya tak lain Rara Lanjar.
Tanpa pernah sedikit pun diketahui oleh Pendekar Muka bengis, jauh di belakangnya seseorang menguntit sepanjang perjalanan. Kegelapan dan kecepatan gerak orang itu tak memungkinkan mata untuk menyaksikan rupanya dengan jelas. Kendati untuk mata terlatih sekali pun.
Jarak yang berselang cukup jauh antara si penguntit dengan buruannya menyebabkan keadaan menjadi cukup aman. Selama itu, Pendekar Muka Bengis sama sekali tak menyadari. Meskipun bukan cuma itu penyebabnya. Cara bergerak si penguntit yang begitu cepat dan ringan serta kelihaiannya menyamarkan diri di tempat-tempat tertentu, justru yang berperan besar untuk mengelabui Pendekar Muka Bengis.
"Sebentar lagi, kita akan segera tiba, Gadis...," bisik Pendekar Muka Bengis, di antara desis angin malam. Seperti katanya, tak lama mereka pun tiba di Makam Keramat Maut.
"Tuanku, Tuanku!! Aku datang membawa gadis yang kau inginkan!" seru Pendekar Muka Bengis di muka Makam Keramat Maut.
Pemakaman kuno sunyi. Hanya jangkrik berderik-derik, memperdengarkan sahutan yang tak dipelukan Pendekar Muka Bengis.
"Tuanku!!" ulang Pendekar Muka Bengis, mencoba kembali. Kedua kali.
"Tuanku, ke mana kau"!" Dan ketiga kali.
Tetap tak ada jawaban dari setiap sudut pemakaman. Nisan dan gundukan terlihat samar-samar, timbul tenggelam di antara iring-iringan lambat kabut pekat.
"Ke mana tuan ku, Manusia Makam Keramat"! Kenapa tempat ini sepi?" gumam Pendekar Muka Bengis.
"Apa mungkin dia sedang meninggalkan tempat ini?" sambungnya, terus bertanya-tanya sendiri.
Yakin Manusia Makam Keramat sedang tak ada di 'sarang' laknatnya, Pendekar Muka Bengis memutuskan untuk meninggalkan Makam Keramat Maut secepatnya. Terlebih dahulu, dia akan meninggalkan Rara Lanjar dalam sebuah liang tempat dikuburnya Manusia Makam Keramat dulu.
Ditujunya liang tersebut. Liang ditemukan, tubuh Rara Lanjar pun hendak dilemparkan. Baru saja tubuh Rara Lanjar terlempar masuk ke mulut liang, sekelebatan bayangan menyambarnya dalam kecepatan menghantu. Pendekar Muka Bengis sebagai salah seorang tokoh papan atas dunia persilatan merasa kecolongan.
Sekejapan dia sempat dibuat terpana. Selanjutnya dia mengutuki diri habis-habisan ketika kelebatan bayangan tadi pergi memburu membawa Rara Lanjar.
"Berhenti!!" seru Pendekar Muka Bengis, begitu tersadar dari keterpanaan.
Dikejarnya kelebatan bayangan tadi dengan nafsu meletup-letup.
Tak mudah mengejar kelebatan bayangan tadi.
Pendekar Muka Bengis dibuat kedodoran. Dia merasa dirinya bukan lagi mengejar manusia, melainkan mengejar bayangan sesungguhnya. Jarak antara dirinya dengan buruan tak pernah menyusut. Kalaupun terjadi, akan segera melebar lagi.
"Bangsat," makinya gusar.
Di dunia persilatan, Pendekar Muka Bengis bukan orang yang bisa dibuat main-main. Sudah malang melintang dia selama belasan tahun. Kesaktiannya dikenal hampir setiap kalangan. Harga dirinya akan terpukul jika harus kedodoran mengejar buruannya. Rupanya, nafsu membuta yang bersemayam dalam garba jiwa Pendekar Muka Bengis telah pula membutakan akalnya. Semestinya dia sudah sadar sejak dini bahwa tingkat kesaktian lawan berada lebih tinggi beberapa tingkat di atasnya.
"Berhenti kataku!!" Dalam kegeraman, seraya berseru sekali lagi, Pendekar Muka Bengis mengirim serangkum pukulan jarak jauh Wusssh! Serangkum tenaga berkekuatan dua puluh banteng jantan menerkam di kegelapan. Sengit memburu. Blarrrr! Tanpa terlihat menoleh atau kerepotan, bayangan yang menyambar Rara Lanjar menghindari pukulan jarak jauh Pendekar Muka Bengis dengan begitu enteng. Dia hanya mencelat ketika serangkum tenaga dahsyat menukik dari udara. Akibatnya, satu kuburan tua dari batu menjadi sasaran empuk. Hancur berantakan melahirkan suara hingar-bingar.
Merencah kesunyian.
Mengetahui pukulan jarak jauhnya pun dapat ditaklukkan, kemarahan Pendekar Muka Bengis makin menjadi-jadi. Mendengus-dengus napasnya selama berlari. Kalau terus begitu, sampai dunia mendekati kiamat pun, tampaknya Pendekar Muka Bengis tak akan sanggup mengungguli ketangguhan ilmu lari cepat buruannya. Kecuali jika kelebatan sosok itu sendiri yang menghentikan larinya. Hal itu terjadi saat berikutnya. Kelebatan sosok itu menghentikan laju tubuhnya. Berdirilah dia tegak di atas satu nisan tinggi terbuat dari kayu meranti. Seperti tak menganggap pengejarnya menjadi ancaman, orang itu tak menoleh sama sekali.
Pendekar Muka Bengis turut memenggal langkah larinya. Lima belas tindak di belakang orang yang melarikan Rara Lanjar.
Lelaki setengah baya berwajah seram itu menghempas napas sekali, seolah meloloskan kegeraman yang melonjak-lonjak dari dalam dada.
"Serahkan perempuan itu padaku!!" serunya, menyalak.
"Kenapa kau pikir aku akan menyerahkan perempuan ini padamu?" sahut orang di kejauhan sana.
"Kalau kau tak menyerahkan...."
"Kau akan membunuhku?" sela orang tadi. Suaranya begitu tenang dan datar. Tanpa getar, tanpa terhanyut rasa apa pun. Sepertinya, tak ada sesuatu pun yang bisa membuat dia menjadi takut atau gentar.
"Kau...." Pendekar Muka Bengis menggeram.
"Tak perlu kau melakukan itu! Percuma saja!" tukas sosok tadi. Tak jelas apakah dia bermaksud memperingati, mengancam, atau sekadar meledek.
Bagi Pendekar Muka Bengis sendiri, perkataan tadi tak lebih dari hinaan yang menampar wajahnya telak-telak.
"Bangsat!!!" Tak menanti lebih lama lagi, Pendekar Muka Bengis merangsak ke depan. Ganas. Beringas.
Melepas serangan telengas.
Hanya dengan satu lompatan jauh, Pendekar Muka Bengis sudah tiba tepat di belakang batu nisan tempat sosok tadi berdiri memanggul tubuh Rara Lanjar. Begitu tiba, langsung dihantamnya bokong orang itu dengan tinju menggeledek.
Wukh! Tinju menderu. Sasarannya, tak sedikit pun berniat menoleh.
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Hantaman lawan dimentahkan hingga hanya sempat memakan angin.
Begitu kepala Pendekar Muka Bengis mendongak mengikuti arah lompatan lawan, sosok tadi mendadak berputar di udara. Amat cepat gerakannya. Dalam keadaan dibebani seseorang di bahu, hampir tak mungkin seseorang dapat melakukan itu dengan kecepatan luar biasa. Nyatanya tak begitu dengan orang penuh misteri ini.
Wush! Menyusul putaran tiba-tiba tubuhnya, kaki orang tadi membuat satu sapuan melengkung ke arah kepala lawan. Pendekar Muka Bengis terperangah. Dia dipaksa membuang diri ke belakang.
"Heaa!" Berjumpalitan, Pendekar Muka Bengis menyelamatkan kepala. Ketika posisi dan keseimbangannya sudah dapat dikuasai, pendekar yang menjadi sesat itu menjejakkan kaki di salah satu batu nisan. Kuda-kudanya terpasang. Matanya mencari lawan. Tapi tak ditemukan. Jelalatan Pendekar Muka Bengis mencari. Di segenap penjuru, lawan tak ditemukan. Tak ada di mana-mana. Lawan seolah telah lenyap ditelan salah satu gundukan makam ke dalam bumi.
Pendekar Muka Bengis hanya bisa mendengusdengus. Rahangnya mengeras, memperdengarkan suara bergemeletuk. Dilanjutkan dengan teriakan melolong, melampiaskan kejengkelan.

* * *



Satria Gendeng tak pernah bisa diam. Dia terus berjalan hilir-mudik di muka gubuk. Wajahnya kusut.
Sebentar-sebentar dia menarik napas panjangpanjang. Ada yang sangat meresahkannya. Soal nasib Rara Lanjar yang tak tentu rimbanya. Tak ada sebetik berita mengenai perempuan itu sampai sekarang. Memang, dia termasuk perempuan yang terkadang bikin sebal, tapi biar bagaimana Satria sudah cukup merasa dekat dengannya. Bukan semata karena dia cantik.
Dia ingin mencarinya. Hanya saja tak pernah tahu ke mana hendak mencari. Menanti saja apa mungkin" Itu pun bukan pekerjaan yang tak memuakkan.
"Hi hi hi...." Di samping pintu gubuk, di dekat anak tangga, Gendut Tangan Tunggal tertawa. Tertawa tanpa sebab cuma pekerjaan orang gila. Gendut Tangan Tunggal bukan sejenis orang itu. Dia hanya geli menyaksikan keruwetan wajah si pendekar muda dan kerepotannya berjalan bolak-balik.
Satria menghentikan langkah. Ditolehnya Gendut Tangan Tunggal dengan wajah asam. Merengut dia, sejelek kera.
Gendut Tangan Tunggal cepat-cepat menghentikan tawa. Mulutnya bahkan tak berani dibiarkan terlekuk. Takut Satria Gendeng menggasaknya.
"Kenapa tertawa, Pak Tua Buncit?" tanya Satria, tak senang hati.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kepalanya menggeleng takut-takut.
"Telingaku masih belum tuli, Pak Tua. Aku mendengar kau tertawa tadi. Aku ingin tahu kenapa kau tertawa?" desak Satria dengan wajah yang semakin asam.
Sambil mengumbar cengiran tak sedap, Gendut Tangan Tunggal berkata, "Kalau kau hanya berjalan hilir-mudik seperti itu, apa mungkin kau akan menemukan Rara Lanjar" Itu sebabnya aku jadi agak geli melihat tingkahmu...."
"Jadi apa saranmu?"
"Cari dia!" Gendut Tangan Tunggal bangkit susah payah, mengangkat perutnya yang menjorok di tanah.
"Kalau aku tahu ke mana mencarinya, sudah kucari dia sejak kemarin!" sungut Satria Gendeng.
"Sekarang begini saja," tepis Gendut Tangan Tunggal.
"Menurutmu, siapa yang kau kira telah menculik perempuan itu?" lanjutnya.
"Pendekar Muka Bengis." Gendut Tangan Tunggal kontan terkikik geli mendengar jawaban Satria.
Satria tak menerima. Dia cemberut.
Gendut Tangan Tunggal pun lantas menghentikan tawa. Paras wajahnya diperbaiki. Biar si pendekar muda yang terkadang besar adat itu tidak mengamuk.
"Kenapa tertawa?" tanya Satria.
"Bagaimana tidak" Aku kenal si Bengis. Dia tak mungkin menculik perawan orang!" Sekarang Satria Gendeng baru maklum kenapa Gendut Tangan Tunggal menertawainya. Setelah disembuhkan oleh Ki Danujaya dari pengaruh ramuan rahasia Manusia Makam Keramat, rupanya dia belum juga mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis pun mengalami kejadian serupa dengan dirinya.
"Ngomong-ngomong, ke mana si Bengis itu, ya?" gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Itulah...," tukas Satria.
"Apa kau tak pernah menyadari sesuatu yang terjadi pada dirimu ketika ti-ba-tiba kau berada di hadapan Ki Danujaya" Begitu yang kau ceritakan padaku, bukan?" Gendut Tangan Tunggal mengangguk.
"Ya. Aku heran juga. Terakhir yang kuingat, aku dan Bengis telah menemukan Pasukan Kelelawar yang telah menjelma menjadi bocah-bocah tak berdosa. Setelah kami mengantar mereka ke desa masing-masing, aku tak ingat apa-apa lagi. Sadar-sadar, aku sudah berada di depan Ki Danujaya. Kenapa begitu, ya?"
"Kau tak bertanya pada Ki Danujaya?" Pendekar golongan tua 'hamil ganjil' itu menggeleng.
Satria Gendeng menggerutu tak kentara. Dasar manusia yang tak mau sedikit berpikir, makinya. Apa tak pernah juga dia membuang sedikit sifat yang selalu menggampangkan masalah itu"
"Kau mau menjelaskan padaku?" tanya Gendut Tangan Tunggal. Semestinya, pertanyaan itu sudah dilontarkan pada Ki Danujaya. Dasar brengsek! "Menurut Ki Danujaya, kau terkena racun rahasia Manusia Makam Keramat."
"Huahh"!" Mendeliklah biji mata Gendut tangan Tunggal.
Sebesar-besarnya. Membuat wajahnya jadi terlihat jelek, sejelek-jeleknya.
"Ramuan rahasia itu pula yang telah membuat Pasukan Kelelawar bisa 'dibentuk' menjadi bocahbocah budak si manusia durjana itu. Dan itu pun dialami oleh Pendekar Muka Bengis," papar Satria Gendeng. Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri.
"Si Bengis sekarang jadi budaknya Manusia Makam Keramat?" desisnya tak percaya.
Satria mengangguk.
"Aku menduga, dialah yang telah melarikan Rara Lanjar untuk diserahkan pada Manusia Makam Keramat. Sebab, sepanjang pengetahuanku, manusia durjana itu sedang mengincar Rara Lanjar."
"Itu dia!" cetus Gendut Tangan Tunggal berjing-kat mendadak. Sampai permukaan perutnya terayun ke atas seperti anggukan kepala kerbau tolol.
Satria Gendeng menunggu.
"Kita cari perempuan itu ke sarang Manusia Makam Keramat!" susul Gendut Tangan Tunggal, ber-semangat.
Satria menggeleng tak bernafsu.
"Itulah masalahnya. Aku tak pernah tahu di mana tempatnya!"
"Di Makam Keramat Maut, tentunya!" atria melotot. Orang tua ini sekadar tuli atau berotak tumpul"
"Sudah kubilang, aku tak tahu tempatnya.
Maksudku, aku sudah-tahu nama tempat itu. Tapi, aku tak tahu di mana letaknya. Apa di kolong balai atau di bawah tikar...," gerutu Satria Gendeng, dongkol. Gendut Tangan Tunggal mencibir.
"Aaah, kalau cuma tempat itu aku tahu!" ujarnya seraya mendongakkan kepala dan membusungkan dada. Sialnya, yang maju ke depan tetap saja ujung pusarnya yang agak 'menunjuk' ke depan.
"Kau tahu?" Satria hampir terperanjat.
"Ayo kuantar!" timpal Gendut Tangan Tunggal seraya melangkah.
Satria Gendeng dengan wajah meluapkan semangat, mengikuti di belakangnya.
Baru beberapa tindak berjalan, terdengar seruan seseorang. Membuat langkah keduanya terpenggal seketika.
"Tunggu!!" Satria Gendeng menoleh. Demikian pula Gendut Tangan Tunggal. Mereka saling bertatapan ketika menyaksikan orang yang datang. Dan rasanya, mereka tak mempercayai penglihatan sendiri.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

DEWI Melati dan Penjaga Gerbang Neraka berdiri tegak. Tak ada kesan persahabatan di wajah Penjaga Gerbang Neraka. Bukan sekadar karena dasar sifatnya. Melainkan ada bersit lain yang lebih menghunus pada kedua biji mata lelaki itu. Sementara Dewi Melati sendiri tak berubah. Dia tetap terlihat seronok dengan tingkahnya yang genit. Terutama ketika menyaksikan, si pendekar muda tampan, Satria Gendeng.
"Kita kedatangan musibah, Anak Muda...," gerutu Gendut Tangan Tunggal tak kentara. Satria Gendeng melirik lelaki tua buncit di sebelahnya.
"Aneh, aku pun merasakan hal itu. Aku melihat ada sinar permusuhan di mata lelaki cebol itu. Apa kau merasakannya pula?"
"Peduli setan, apakah aku merasakan atau tidak. Yang jelas bagiku, bertemu dengan orang yang tak bisa sedikit di-'senggol' seperti cebol itu, berarti musibah!" Setelah menggerutu, Gendut Tangan Tunggal mengembangkan senyum lebar, kendati dipaksapaksa.
"Haaaa, apa kabar 'sahabat'?"!" serunya, sok ramah seraya membentang tangan. Satria menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa perlu kalian sebenarnya"!" serunya pula, tanpa mau berbasa-basi. Malah wajahnya lebih kentara memperlihatkan kekesalan. Bagaimana tidak kesal kalau kedua orang itu telah menghambat usaha mereka untuk segera membebaskan Rara Lanjar" Gendut Tangan Tunggal menyikut tangan pendekar muda di sebelahnya.
"Bersikaplah ramah sedikit pada si cebol itu!" bentaknya berbisik. Wajahnya cemberut. Namun ketika dia menoleh kembali pada Penjaga Gerbang Neraka, senyumnya pun mekar mendadak lagi. Sejenis senyum karbitan orang-orang yang cari selamat. Dia bukan sejenis orang yang suka cari muka, atau pengecut yang cari selamat dengan cara bermuka dua. Mungkin sekadar kapok dengan Penjaga Gerbang Neraka yang dulu pernah hendak 'menggebuki'nya habis-habisan hanya karena keusilan Dewi Melati. (Untuk lebih jelasnya, bacalah kembali episode sebelumnya : "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Aku tak perlu mereka," tandas Satria tegas.
"Dan aku tak peduli siapa pun dia. Kalau dia menghambat usahaku, apa perlu aku bersikap ramah?"
"Sssst... ssttt!!" Mulut Gendut Tangan Tunggal ber-'sat-sut' kelimpungan. Matanya melirik takut-takut ke arah Penjaga Gerbang Neraka. Takut si cebol itu mendengar perkataan Satria Gendeng. Padahal, kalaupun Satria berteriak, Penjaga Gerbang Neraka tak akan mendengarnya. Untuk kesekian kali, Gendut Tangan Tunggal tersenyum lebar-lebar kembali pada si tua bangka cebol, salah satu momok paling menakutkan dunia persilatan. Orang seperti Gendut Tangan Tunggal yang tergolong tokoh papan atas dunia persilatan saja merasa gentar dengannya. Tapi si pendekar muda di sebelahnya....
"Kami sedang tergesa! Kenapa tak katakan maksud kalian menahan kami"!" sambung Satria, mulai terdengar membentak. Nadanya agak melonjak. Makin ngeri saja Gendut Tangan Tunggal. Kiamat... kiamat..., pikir tokoh tua berperut buncit itu.
Tangannya dinaikkan ke kepala.
Di kejauhan sana, wajah Penjaga Gerbang Neraka memperlihatkan kerutan-kerutan bengis.
Menyaksikannya, Gendut Tangan Tunggal pun meringis.
"Menyesal sekali aku harus menyampaikan sesuatu padamu, Pemuda Ganteng," balas Dewi Melati akhirnya.
"Jangan bertele-tele, Dewi! Jelaskan saja langsung!"
"Guruku, eh... maksudku 'suami angkat'-ku ini berniat hendak membunuhmu."
"Apa"!" Satria terlonjak. Apa aku tak salah dengar" Lelucon macam apa ini".Ceracau hatinya, tak menerima.
Lain lagi Gendut Tangan Tunggal. Tokoh tua berbadan subur itu bukan lagi sekadar meringis. Dia pun mulai memperlihatkan wajah memelas. Dengan tangan mengusap-usap permukaan kulit perutnya, dia lebih pantas disamakan dengan orang mulas.
"Kau jangan gila! Apa urusannya aku dengan tua bangka itu sampai dia hendak membunuhku"!"
"Aku tak perlu menjelaskan. Yang kuperlukan untuk membantu 'suami angkat'-ku cuma...." Dewi Melati mengedikkan bahu. Telapak tangannya menengadah ke depan.
"... cuma kepalamu," tambahnya, mengakhiri kalimat yang terputus. Wajah perempuan cantik genit itu terlipat seperti merajuk.
"Padahal sebenarnya, aku masih ingin sekali mengenalmu lebih dekat. Jauuuuuuh lebih dekat," gumamnya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Mereka benar-benar sinting!" maki Satria.
"Kau pun sinting kalau kau terus bersikap tak ramah pada si cebol itu," desis Gendut Tangan Tunggal.
"Diam kau!!!" hardik Satria, kehilangan kesaba-ran. Sementara itu, pikirannya berkutat. Pasti telah terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka berniat menyingkirkanku. Setidaknya ada biang keladi dari semua ini, duga Satria. Tanpa mengorek keterangan langsung dari Dewi Melati, Satria tak akan cepat mengetahui latar belakang maksud sinting mereka berdua.
Kalau mengorek dari Penjaga Gerbang Neraka jelas sudah tak mungkin. Dia hanya bisa berbicara bahasa syarat dengan Dewi Melati.
Sekarang ini, Satria Gendeng harus cepat menemukan cara agar Dewi Melati mau buka mulut. Itu pun kalau Penjaga Gerbang Neraka tak telanjur merangsaknya lebih dahulu. Cuma, bagaimana caranya" Satria harus mencari akal.
Harus! Brengseknya, sedang pikirannya berkutat, Gendut Tangan Tunggal masih saja tak mau sedikit mengerti. Bacotnya pun tak bisa diam sebentar saja.
"Bagaimana ini, Anak Muda" Bagaimana ini" Kalau si cebol itu hendak membunuhmu, bukan tak mungkin dia pun akan membunuhku pula" Seperti kau tak tahu saja sifat Penjaga Gerbang Neraka itu" Dia...." Ampun! Darah Satria Gendeng terasa hendak menjebol Ubun-ubun. Matanya mendeliki Gendut Tangan Tunggal sampai hendak melejit keluar.
"Kalau kau tak bisa diam, aku yang akan membunuhmu secepatnya!" geram Satria.
Gendut Tangan Tunggal bergidik. Dia beringsut menjauhi si pendekar muda. Mulutnya meringis-ringis tak henti. Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka sudah melangkahkan kaki ke depan. Langkahnya mengandung ancaman. Seperti juga tatapan dan parasnya.
Gendut Tangan Tunggal tambah beringsutingsut. Semakin jauh semakin baik, pikirnya. Sumpah ditenung jadi kodok buduk, dia kapok menghadapi kesangaran dan keganasan serangan si manusia cebol yang galaknya seperti setan kepedasan itu! "Tunggu!" cegah Satria.
Tak mungkin Penjaga Gerbang Neraka mendengar. Satu-satu, langkahnya diayunkan.
Makin mempersempit jarak.
Di depan, siap terbentang medan laga.
Baginya, dan bagi si pendekar muda.
"Khuaaa!!" Berkawal teriakan yang terdengar ganjil dan sumbang, jadi juga Satria Gendeng diterjang Penjaga Gerbang Neraka. Sebutlah kesialan yang sudah tak tertahankan! Memaki-maki, Satria Gendeng menghindari serangan Penjaga Gerbang Neraka.
Ssing! Berdesing, senjata logam berbentuk cakar mata tiga Penjaga Gerbang Neraka mengancam perut Satria.
Hendak dirobeknya perut pendekar muda itu dan mengeluarkan isinya sekaligus.
Kelimpungan, pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit mencelat ke belakang. Ujung senjata lawan merobek udara hanya selebar kuku dari pakaiannya.
Gila, lain kali bisa-bisa pakaiannya akan tersayat, menyusul kulitnya! Satria bergidik juga membayangkan itu. Menghadapi seorang tokoh sekelas gurunya sendiri ini, Satria memang tak bisa berharap terlalu banyak. Dulu pun dia sempat menjajal bagaimana ketangguhan kesaktian lawan. Kecepatannya begitu mengerikan. Kalau bukan bernyali seorang ksatria, barangkali Satria sudah kapok dibuatnya.
Sekarang ini, jika melayani berarti Satria telah setuju untuk bertarung sampai salah seorang dari mereka terperosok ke liang lahat. Tidak melayani, sama saja dengan bunuh diri perlahan-lahan. Situasinya jadi serba sulit untuk Satria Gendeng.
"Hei, hei tunggu!" Seraya lintang-pukang berkelit dan menghindar, Satria Gendeng berusaha untuk menghentikan amukan Penjaga Gerbang Neraka. Tindakan yang bodoh kalau dia sendiri sebenarnya tahu telinga lawan tuli. Satu-satunya jalan untuk 'menyabarkan' si cebol galak cuma melalui Dewi Melati. Sebab hanya perempuan itu yang tahu dan mengerti bercakap-cakap dengannya.
"Dewi, katakan padanya untuk berhenti!" seru Satria, makin kelimpungan.
Tangannya terangkat ke depan berkali-kali, seolah hendak mencegah. Parasnya pun mulai tak karuan. Benar-benar keadaan yang sial baginya! Bukannya Satria gentar pada nama besar Penjaga Gerbang Neraka. Apa kata guru gundulnya kalau dia jeri menghadapi manusia cebol itu" Hanya saja pendekar muda itu sadar, berurusan dengan Penjaga Gerbang Neraka bukan masalah yang mudah terselesaikan. Bagi si cebol mandraguna itu, masalah akan selesai kalau salah satu pihak telah kehilangan nyawa.
Dewi Melati malah mesem-mesem menyebalkan.
"Pasti telah terjadi salah paham, Dewi! Katakan padanya untuk segera berhenti! Kita harus membica-rakan masalah ini dengan kepala dingin!" Sing wukh! "Waduh, sialan!!!" Diselingi sumpah serapah, si pendekar muda berusaha untuk membujuk Dewi Melati. Aneh juga, kalau caranya membujuk harus dengan berteriak setengah edan dan dibumbui pula dengan sumpah serapah. Rasanya itu bukan bujukan....
"Dewi, kau dengar aku"!" coba Satria lagi.
"Apa imbalannya bagiku?" Imbalan untuk perempuan 'samber geledek' ini" Beban pikiran lagi untuk Satria! Demi nenek moyang Dongdongka, akan ku kuliti perempuan ini nanti, sumpah Satria membatin.
"Bagaimana kalau kutraktir makan di kedai terminal kotapraja?" Dewi Melati menggeleng.
"Ya... ya, itu memang tawaran tolol," gerutu Satria sambil berjumpalitan menghindari sapuan kaki lawan.
"Ah, bagaimana kalau kuajak kau berjalanjalan di sepanjang kaki Gunung Burangrang"!" Dewi Melati mencibir.
"Ya, itu pun tawaran tolol," gerutu Satria lagi.
"Atau... bagaimana kalau..., slompret!!" Kalimat Satria Gendeng terputus oleh sambaran senjata lawan yang berseliwer persis di depan hidungnya. Dewi Melati menunggu dengan mata disayusayukan menyebalkan.
"Bagaimana kalau kau menginap semalam denganku di penginapan kotapraja"!" ucap Satria, asal bunyi. Dia tak akan pernah berniat menawarkan 'kemesuman'. Kalau cuma menginap saja apa salahnya" Salah otak mesum Dewi Melati sendiri kalau dia jadi salah mengartikan, pikirnya.
Dewi Melati langsung mengumbar senyum. Mana lebar. Astaga....
Lalu, secepatnya dia melompat ke depan Penjaga Gerbang Neraka. Dengan bahasa isyarat dia berbicara pada manusia cebol galak itu. Entah bagaimana caranya perempuan cantik gatal itu bisa mengibuli Penjaga Gerbang Neraka. Jinaklah dia. Seperti seekor cucu kerbau dicocok hidungnya!


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

MALAM kental dengan hawa dingin. Makam Keramat Maut masih pekat dengan suasana menakutkan.
"Kau memang bodoh!!!" Sebentuk suara mencelat ke angkasa. Menggidikkan, bagai hentakan kaki seribu ekor kuda terbang di langit.
"Aku sudah katakan pada Gendut Laknat itu agar tidak membawa gadis itu ke tempat ini kecuali mendekati malam-malam purnama. Sekarang kau malah mengacaukannya! Kau membawa juga gadis itu ke sini. Lalu apa jadinya" Kau katakan gadis itu dilarikan seseorang yang tak pernah kau lihat rupanya dengan jelas! Dasar manusia tolol keparat!!!" Bentakan dan makian itu lahir dari kerongkongan seorang bercaping lebar dan berjubah hitam yang menyatu dengan kepekatan malam. Dia tentu saja Manusia Makam Keramat yang baru saja kembali ke Makam Keramat Maut. Tiba di sana, dia mendapat laporan dari Pendekar Muka Bengis yang membuat darahnya naik. Pendekar Muka Bengis berdiri diam tanpa geming di depan Manusia Makam Keramat. Seluruh serat tubuhnya mengejang kaku. Tangan terentang lebar, seperti dibentang rantai baja kasat mata. Bahkan kelopak matanya tak berkedip-kedip. Sulit mengira apa yang telah dilakukan Manusia Makam Keramat terhadap dirinya. Tangan Manusia Makam Keramat tiba-tiba mencengkeram leher Pendekar Muka Bengis.
Crrep! Berkawal getaran, diangkatnya tubuh Pendekar Muka Bengis seperti mengangkat sehelai pelepah pisang kering.
"Kalau tenagamu tak kuperlukan sudah kurobek tenggorokanmu sekarang juga!" geramnya, nadanya menjangkit dan menukik.
Menjelang puncak tertinggi tangannya sanggup terangkat, mendadak pula dilemparnya tubuh kaku Pendekar Muka Bengis.
Wushhh! Angin bergeletar terbedah luncuran tubuh Pendekar Muka Bengis.
Jauh terlempar. Hingga puluhan tombak.
Menghantam nisan-nisan dan menggusur gundukan pemakaman. Kemurkaan Manusia Makam Keramat tak terpuaskan hanya dengan melempar tubuh Pendekar Muka Bengis. Masih pula dilampiaskannya gelegak amarah dalam dada dengan menghantami nisan-nisan batu sebesar gubuk di sekitarnya.
Glar glar glar! Puing-puing serabutan.
Debu terbangun.
Tinggi mengapung.
Tergiring angin.
Lalu perlahan rebah di bumi.
Di antara seluruh kekacauan keadaan, tubuh Manusia Makam Keramat tegak mengejang dengan kepala tertunduk, melepas sisa kegeramannya. Tak lama dia menegakkan kepala. Tangan kanannya menunjuk Pendekar Muka Bengis yang masih telentang diam seolah seonggok kayu tak bernyawa.
Dari ujung jarinya membersit seleret sinar kebiruan. Ssss! Mendesis. Tepat di tengah kening, antara dua alis Pendekar Muka Bengis, sinar yang memanjang tadi mendarat.
"Sekarang bangunlah!!!" Ketika itu juga, tubuh Pendekar Muka Bengis dapat digerakkan. Dia bangkit terseok. Sedangkan wajahnya sendiri tak menunjukkan baru saja mengalami rasa sakit luar biasa. Paras yang dingin, membatu.
"Sekali lagi kau mengacaukan rencanaku, kau akan ku kubur di bawah salah satu kuburan ini hidup-hidup!!" ancamnya sangar.
Pendekar Muka Bengis berjalan perlahan ke arah Manusia Makam Keramat. Tiba di dekatnya, perintah pun keluar.
"Singkirkan Dewi Melati, perempuan yang akan menghambat rencanaku saja untuk menyingkirkan pendekar muda keparat itu dengan tangan si cebol busuk!!!" Pendekar Muka Bengis mengangguk gamang.
"Dan menjauhlah dari gadis itu. Dia akan kuurus sendiri. Akan kulobangi ubun-ubun dan menghisap otak orang yang telah berani menyatroni 'sarang'ku dan melarikan gadis itu!" dengus Manusia Makam Keramat.

* * *



"Aku ingin tahu alasan kalian hendak membunuhku?" tanya Satria Gendeng setelah keadaan sudah agak tenang.
"Sebenarnya, bukan aku yang menginginkan kematianmu, Pemuda Ganteng. Bukan pula aku yang hendak menurunkan tangan membunuhmu...," kata Dewi Melati.
"Aku tak menanyakan itu. Yang kutanyakan alasan kalian," sergah Satria.
"Ya... bagaimana, ya...." Dewi Melati melenggok sana-sini. Tangannya bergerak kian kemari seperti tangan penari.
Satria jadi sebal dengan tingkah perempuan itu. Bertele-tele sekali, nilainya.
"Cepat katakan!" Dewi Melati mendelik. Bukannya menakutkan, malah terlihat menggemaskan dengan bola mata berbulu lentiknya. Bagi Satria Gendeng tetap saja menyebalkan! "Ada seseorang yang bersedia menukarkan lembaran inti kitab tulisan Prabu Pajajaran yang berisi rahasia kelemahan Manusia Makam Keramat dengan kepalamu dan senjata pusakamu, Kail Naga Samudera...," kata Dewi Melati akhirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?" Dewi Melati menggeleng.
"Kalau begitu, katakan saja ciri-cirinya!"
"Semalam tak cukup!" Kening Satria Gendeng berkerut.
"Apa maksudmu?"
"Soal 'menginap' denganmu." Slompret asli! Gerutu Satria.
"Baik, dua malam!" Dewi Melati tersenyum.
"Sekarang cepat katakan ciri-ciri orang itu"!"
"Baik... baik, apa kau tak bisa bersabar sedikit" Huh dasar lelaki!"
"Cepat!!!"
"Iya, iya! Orang itu mengenakan caping lebar, dan berjubah hitam."
"Itu saja?"
"Apa kau mau aku melebih-lebihkan?"
"Kalau cuma itu, bisa siapa saja."
"Memang. Bisa bapak moyangku, atau bapak moyangmu. Bisa juga monyet buduk!"
"Maksudku, apa ada ciri-ciri khas orang itu?" Dewi Melati menggeleng.
"Ingat-ingat, Dewi!!"
"Kalau ditambah mengingat-ingat, 'dua malam' jadi tak cukup rasanya...." Slompret asli lagi! "Baik, kau dapatkan tiga malam!" Bermalamlah dengan siluman, rutuk Satria menambahkan dalam hati.
Senyum Dewi Melati mekar lagi.
"Sebentar kuingat-ingat," katanya seraya menempatkan ujung jari telunjuk ke kening.
"Ah!" serunya mendadak.
"Apa" Kau ingat sesuatu?"!"
"Belum...."
"Slompret!"
"Sekarang aku ingat!"
"Katakan! Katakan!"
"Orang itu kuperhatikan baru saja memotong kukunya...."
"Ini bukan urusan perawatan kecantikan, bukan"!" ledak Satria, jengkel. Bagaimana mungkin perempuan brengsek ini menjawab seperti itu. Mentangmentang dia termasuk perempuan yang memperhatikan benar-benar penampilannya! "Sungguh! Aku memang melihatnya. Soal seperti itu, aku jarang meluputkan. Tahu sendiri, bukan?"
"Cukup gurauanmu, Dewi!"
"Aku tidak bergurau, sialan!" Tidak bergurau" Satria terdiam. Dia mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Tunggu dulu, sergah hatinya. Rasanya dia ingat sesuatu. Dia teringat pada Manusia Makam Keramat. Sejak pertama kali bangkit dari kematian, kuku manusia durjana itu demikian panjang.
Tiba-tiba, Satria merasa ada gunanya juga keisengan Dewi Melati memperhatikan penampilan orang lain sampai ke ujung kuku. Rasanya, dia mulai bisa menduga siapa dalang yang menginginkan kematiannya di tangan Penjaga Gerbang Neraka! "Manusia Makam Keramat...," ucapnya, yakin.
Ya, tentu saja Manusia Makam Keramat. Pertama, dia menyamar dengan mempergunakan caping dan jubah hitam karena dia sadar beberapa tokoh yang menjadi musuh beratnya telah mengenali penampilannya ketika baru pertama kali bangkit. Agar dapat menjalankan rencananya tanpa halangan dari musuh-musuh lamanya, tentu dia menyamar untuk sementara; Yang kedua, setidaknya dia adalah salah seorang yang cukup tahu tentang kitab itu, di samping penulisnya sendiri. Dengan begitu, tentu dia dapat mencuri lembaran kitab yang paling penting bagi dirinya. Meskipun Satria belum bisa menduga bagaimana cara manusia durjana itu mendapatkan lembaran seperti disebutkan Dewi melati.
Ketiga, dia pun tahu bahwa musuh lamanya, Penjaga Gerbang Neraka akan sangat bernafsu jika ditawarkan lembaran rahasia itu. Lalu dimanfaatkan musuh lamanya untuk menyingkirkan musuh lain.
Dengan imbalan lembaran rahasia yang tak akan mungkin diberikan kalaupun Penjaga Gerbang Neraka berhasil membawa kepala Satria. Adu domba yang licik! "Apa katamu"!" perangah Dewi Melati, mendengar ucapan. Satria Gendeng sebelumnya.
"Orang itu tentu Manusia Makam Keramat, Dewi!" ulang Satria Gendeng menegaskan.
"Kau jangan bergurau, Pemuda Ganteng!" Sekarang giliran Dewi Melati yang tak percaya.
"Baik, barangkali kau akan percaya jika aku menjelaskan alasan ku mengatakan bahwa orang itu adalah Manusia Makam Keramat."
"Katakan! Katakan!" Satria pun mulai memaparkan satu persatu kecurigaannya dan dasarnya mencurigai orang yang diceritakan Dewi Melati. Selama mendengarkan, Dewi Melati mengangguk-angguk dengan alis lebat menggemaskan bertaut rapat. Mudah-mudahan dia tidak sekadar mengangguk. Mudah-mudahan dia mengerti. Jika tidak, urusan bakal jadi runyam lagi.
"Sialan benar," rutuk Dewi Melati, tuntas Satria memaparkan pikirannya.
"Kau percaya sekarang?" De-wi Melati mendengus.
"Rupanya, kita hendak diadu seperti domba tolol!"
"Itulah maksudku!"
"Jadi bagaimana sekarang?" Satria belum sempat menyahuti pertanyaan Dewi Melati ketika didengarnya teriakan tarung menggeledek.
"Khuuaaaa!!" Dia terperangah teramat sangat. Disaksikannya tubuh Penjaga Gerbang Neraka menerkam ke angkasa.
Sepasang senjatanya tergenggam di tangan, siap diayunkan, siap mencabik, siap merencah, siap membunuh.... Dewi Melati memekik mencoba mencegah.
Sia-sia tentu saja. Apa dia telah lupa bahwa telinga si lelaki cebol sama sekali tak mendengar" Mungkinkah dia tak bisa bersabar lagi untuk membunuh Satria Gendeng" Mungkinkah dia sudah tak sudi lagi di bawah bayang-bayang pengaruh Dewi Melati" Mungkin juga tidak begitu. Karena pada saat yang sama, berkelebat pula sesosok bayangan lain dari arah berbeda, menusuk kegelapan malam.
Yang satu dari Utara.
Yang lain dari Barat.
Kelebatannya sama-sama gesit. Menuju satu titik! Dewi Melati hanya menyangka Penjaga Gerbang Neraka hendak menyingkirkan Satria. Dia melompat.
Kesalahan fatal telah dilakukannya. Karena kelebatan bayangan yang meluruk dari arah lain sebenarnya mengancam dirinya.
"Dewi awass!!!" Satria memperingati.
Memperingati saja tak cukup. Dia pun mencelat hendak menghadang kelebatan sosok dari arah Utara.
Sayang sudah kalah cepat.
Sesungguhnya, tindakan itu pun dilakukan Penjaga Gerbang Neraka. Dia melompat karena hendak menyelamatkan Dewi Melati yang terancam. Naluri lelaki kecil itu memang demikian tajam sehingga menangkap dengan jelas maksud kelebatan bayangan dari Utara kendati jaraknya masih cukup jauh.
Dash! Dash! Dua suara dalam terdengar.
Kemudian menyusul dua tubuh terpental.
Dewi Melati melayang ke arah Selatan, terkena bokongan keji kelebatan bayangan dari arah Utara.
Sedangkan si pembokong, sekejap setelah berhasil mendaratkan pukulan ke tubuh Dewi Melati terhantam pula oleh tendangan Penjaga Gerbang Neraka.
Senjata di tangan lelaki cebol itu tak cukup menjangkau. Karenanya dia mempergunakan kaki sebisa mungkin. Namun tetap saja terlambat.
Berbarengan pekikan tertahan Dewi Melati, tubuh si pembokong melayang pula ke arah Timur.
Dewi Melati jatuh berdebam. Darah termuntah dari mulutnya. Kental kehitaman. Tanda luka dalam yang kelewat parah! Tanpa mempedulikan apa-apa, Penjaga Gerbang Neraka memburu ke arahnya. Seperti seorang bocah kehilangan orangtua, dia meraungraung ganjil. Satria hanya sempat mengutuki keterlambatannya. Di atas tanah, si tua bangka cebol memeluk tubuh Dewi Melati. Sejenak tubuh perempuan itu tersentak-sentak. Untuk selanjutnya nyawanya terlepas dari badan. Satria terbengong. Matanya tak berkedip. Bukan tak menyesali kematian Dewi Melati. Cuma saja dia tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan pada Penjaga Gerbang Neraka tentang siasat busuk Manusia Makam Keramat mengadu domba dirinya dengan lelaki cebol itu" Diam-diam, Satria menyingkir. Saat itu, dia baru sadar kalau Gendut Tangan Tunggal pun sudah menyingkir sejak tadi....


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

PAGI menjelang. Damai.
Sepanjang perjalanan, mulut Satria Gendeng tak kunjung habis meruntunkan sumpah serapah dan makian. Dia kesal karena Gendut Tangan Tunggal telah meninggalkannya begitu saja. Pendekar tua macam apa dia" Dia pun jengkel setengah mati pada si pembokong Dewi Melati yang tak sempat lagi disaksikan rupanya. Kenapa harus membokong pada saat dia membutuhkan Dewi Melati untuk menerangkan sesuatu pada Penjaga Gerbang Neraka" Kenapa tidak tunggu sampai besok, tahun depan, atau sampai lebaran monyet nanti" Semuanya jadi kacau-balau seperti desa yang diaduk-aduk angin topan sekaligus raja kentut! Pagi yang semestinya disambuti dengan sanjungan puji syukur ke hadirat Pemilik Semesta Alam jadi disambut si pendekar muda dengan kejengkelan.
Sampai dia kehabisan napas sendiri, barulah umpatannya berhenti. Pemuda itu menghempas pantat ke rerumputan. Lusuh tampangnya. Bukan sekadar belum mandi pagi, tentunya.
Jelas kini, tak dapat disangkal lagi, kalau dirinya bakal menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka.
Dalam kekalutan akibat kehilangan orang yang dicintai, akan makin sulit saja bagi Satria menjelaskan padanya duduk perkara sebenarnya. Satria Gendeng merasa dirinya terdampar di suatu pulau. Tak ada yang bisa dilakukan. Mencoba mencari Rara Lanjar ke Makam Keramat Muat percuma. Dia tak pernah tahu letak daerahnya. Sementara orang yang tahu, malah sudah 'ngacir' entah ke mana.
Mudah-mudahan tersesat di hutan Alas Roban dan dimakan nenek moyang dedemit! Belum lagi dia tak tahu cara menghadapi Penjaga Gerbang Neraka nanti.
Satria meringis-ringis sebal.
Saking sebalnya, dia menghantami kepala sendiri ke tanah. Jangan-jangan, sudah tertular 'penyakit' Dedengkot Sinting Kepala Gundul....
Sampai suatu ketika, ada seseorang mendatanginya. Satria terkesiap. Cepat dia bangkit. Kuda-kuda dipasang. Siapa tahu yang datang Penjaga Gerbang Neraka. Ternyata bukan. Namun bukan berarti tak jadi terkejut. Sosok yang dilihatnya membuat matanya sulit berkedip.
"Kau...," desisnya, tak percaya.
"Siapa kau sebenarnya?" susulnya, sama sekali membingungkan. Kalau semula dia bergumam seakan pernah melihat orang itu, kini dia bertanya seakanakan tak pernah mengenalnya.
Sesungguhnya pantas saja Satria Gendeng begitu. Karena yang disaksikan adalah orang bertopeng kayu Arjuna. Dia mengenakan pakaian seorang ningrat Parahyangan. Lengkap dengan blangkon dan keris.
"Aku hendak menemuimu...," kata orang bertopeng.
"O, jangan tanya bagaimana aku pun begitu ingin menemuimu sejak lama," sindir Satria.
"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu."
"Katakan selama telingaku belum tuli sama sekali."
"Kalau kau hendak mencari Rara Lanjar, sebaiknya kau pergi ke gubuk di kaki Gunung Burangrang."
"Apa maksudmu" Yang ku tahu, dia telah dicu-lik...."
"Kini dia telah selamat dan berada di sana." Satria Gendeng menggeleng sambil tersenyum tanggung.
"Kau hendak mengibuliku, heh?"
"Kau bisa membuktikan sendiri," ucap si orang bertopeng seraya melangkah hendak meninggalkan Satria Gendeng.
"Tunggu!" cegah Satria.
"Kurasa, aku telah bisa menduga siapa kau sebenarnya," katanya dengan tatapan menyelidik.
"Begitu?" tanya orang bertopeng tanpa membalikkan badan.
"Ya. Kau pasti Rara Lanjar sendiri"!" duga Satria yakin.
Orang bertopeng terdiam sesaat. Badannya kemudian berbalik menghadap Satria.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya.
"Karena aku sudah mendengar cerita Ki Danujaya. Kau jangan menyangkal lagi Rara Lanjar. Aku tahu Ki Danujaya hanya berpura-pura tak tahu untuk mengamankan penyamaranmu. Bukan begitu?" Satria Gendeng berjalan mengitari orang bertopeng. Lagaknya sudah seperti kepala centeng mengawasi mating kampung. Matanya terus menatap penuh selidik.
"Ki Danujaya sendiri yang mengatakan bahwa kau adalah salah seorang keturunan sang Prabu. Menurut beliau pula, bahwa keselamatanmu menjadi tanggung jawabnya. Jadi bukan tak mungkin selama ini kau telah diselamatkan oleh Ki Danujaya. Begitu pula saat kau pertama kali lolos dari tangan Manusia Makam Keramat. Hanya saja kau mengarang cerita telah diselamatkan oleh orang bertopeng Arjuna. Padahal orang bertopeng itu kau sendiri." Satria menatap lekat-lekat keris di belitan kain orang bertopeng.
"Dan keris itu. Bukankah itu keris yang dipergunakan sang Prabu untuk membunuh Arya Sonta si Manusia Makam Keramat untuk pertama kali?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ah, pertanyaan bodoh, Lanjar! Guruku adalah saudara langsung Arya Sonta. Dia tumbuh dan hidup di masa yang sama dengan manusia terkutuk itu. Guruku terkadang pelupa. Sewaktu kejadian di dekat Perguruan Belalang Putih, pada malam Ki Arga Pasa terbunuh, dia tak ingat senjata yang bisa membunuh Arya Sonta. Tapi, suatu kali dia teringat dan menceri-takannya padaku...."
"Lalu?"
"Pertanyaan bodoh lagi, Lanjar! Tentu saja sebagai seorang keturunannya, kaulah yang akan mewariskan senjata pusaka itu. Hanya saja aku memang tak tahu jelas bagaimana cara kau mendapatkannya...."
"Soal keris ini, kau benar. Soal yang lain, kau keliru," tandas orang bertopeng seraya membalikkan badan kembali.
"Keliru bagaimana?" Satria Gendeng penasaran.
Tak sudi dia ditinggal begitu saja seperti kambing con-gek.
"Aku bukan orang yang kau sebutkan." Satria Gendeng tergelak.
"Kau benar-benar pandai bersandiwara, Lanjar! Kau mengatakan aku keliru, sementara tetap kau sembunyikan wajah di balik topeng itu."
"Maaf, Saudara. Aku tak punya waktu untuk memperdebatkan pepesan kosong padamu...." Lalu si orang bertopeng meneruskan langkah.
Satria cepat menghadang di depan.
"Kau tak bisa pergi begitu saja, Lanjar. Sebelum kau jelaskan alasan kenapa kau harus menyamar dengan topeng kayu itu?"
"Masih juga kau tak percaya?" Satria Gendeng merengut sejadi-jadinya. Dasar perempuan keras kepala! Omelnya dalam hati.
"Apa maumu agar aku membuktikan bahwa kau adalah Rara Lanjar. Apa aku harus memaksa merebut topengmu?"!! Heh?" desak Satria Gendeng.
Orang bertopeng menggeleng.
"Kau tak perlu melakukannya. Saatnya nanti, kau pun akan segera tahu. Sekarang, biarkan aku pergi...."
"Tak bisa! Tak bisa!" sengit Satria, ngotot berat.
Mendadak saja, tangan pendekar muda itu bergerak cepat. Amat cepat. Gerakan yang terlatih selama dia harus mengumpulkan bunga karang dari Lautan Selatan dalam godokan Tabib Sakti Pulau Dedemit dulu. Dibarengi dengan jurus 'Mematuk Bunga Karang', tentu saja gerakan itu jadi amat sulit ditaklukkan dalam jarak terlampau dekat.
Kalau Satria mengira dia akan segera dapat merebut topeng dari wajah orang di depannya, dia keliru.
"Haih!" Hanya dengan mencondongkan badan sedikit menyamping, sambaran tangan Satria Gendeng lolos.
Kecepatan gerak si orang bertopeng sanggup mengimbangi gerakan Satria Gendeng.
"He he he," Satria terkekeh.
"Dari mana kau belajar gerakan seanggun itu, Lanjar?" ledeknya.
Selanjutnya....
"Hia!!" Satria Gendeng membentak. Dibayangi gerak mematuk beruntun.
Berkali. Bertubi. Cep tak, cep tak, cep tak! Dan... semuanya lolos! Jika sebelumnya si orang bertopeng hanya mencondongkan badan, menghadapi gencarnya patukan tangan Satria Gendeng, kini dia mempergunakan tangan untuk menangkis.
"Slompret kau, Rara Lanjar!" umpat si pendekar muda, mulai 'angot' sendiri.
"Kenapa kau tak melepaskan saja topeng butut itu. Apa salahnya, heh" Apa kau tak percaya padaku lag!"!" serbunya, menyemprot-nyemprot. Mencak-mencak pula. Orang bertopeng menghela napas.
"Jika kau memang memaksa, memang sebaiknya aku memperlihatkan diriku padamu.... Toh, kau orang yang bisa kupercaya...." Satria Gendeng terkekeh geli.
"Lihatlah.... Dari ucapanmu, kau mulai mau mengaku. Bagaimana kau dapat mengatakan aku adalah orang yang bisa dipercaya kalau kau tak mengenalku...," katanya, merasa menang.
Disambungnya tawa makin geli. Sampai dia tak menyaksikan kalau orang di depannya sudah membuka topeng. Begitu Satria menghentikan tawa, mulutnya menganga seketika. Wajah di balik topeng telah disaksikannya. Tapi kenapa harus melongo tolol"

* * *



Siapa tuh orang" Benar Rara Lanjar" Bagaimana urusannya dengan Si cebol (nan galak), Penjaga Gerbang Neraka" Bisa apa tidak Satria mengatasinya" Weleh... weleh....

SELESAI

Segera ikuti kelanjutannya!!! Serial Satria Gendeng dalam episode:
PEWARIS KERIS KIAI KUNING


INDEX SATRIA GENDENG
Nisan Batu Mayit --oo0oo-- Pewaris Keris Kiai Kuning

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers