Life is journey not a destinantion ...

Tabib Sakti Pulau Dedemit

INDEX SATRIA GENDENG
Satria Gendeng --oo0oo-- Geger Pesisir Jawa

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

PESISIR pantai Jawa Tengah, Kadipaten Ketawang. Hari itu alam murka. Badai besar mendatangi wilayah tersebut. Ombak raksasa bergulung-gulung di kejauhan bagai tembok hidup menggapai angkasa. Sulit memastikan berapa ketinggian ombak saat itu. Lima enam meter bisa jadi lebih.
Dan untuk ombak setinggi itu, tak diragukan lagi akan sanggup memporak-porandakan seluruh keadaan di sekitar pesisir pantai. Awan gelap sudah mengepung beberapa lama sebelumnya. Seperti halnya angin kencang yang terus mendengus-dengus. Matahari benar-benar terkunci dalam timbu-nan awan kelam. Siang nyaris bagaikan suasana menjelang malam.
Tak ada tanda-tanda bahwa alam akan bersikap ramah pada siapa pun, pada apa pun. Tak peduli barisan pepohonan kelapa, atau gubuk-gubuk rapuh di sekitarnya, serta seluruh manusia yang mendiaminya. Terlalu sulit untuk berkelit dari bencana. Suara-suara riuh bergemuruh yang terdengar tak lebih dari berita mena-kutkan. Keberanian manusia seperti tak dibutuhkan untuk menjelang kejadian tersebut.
Di salah satu perkampungan yang terletak tepat di bibir pantai Ketawang, berpuluh-puluh penduduk desa berhamburan ketakutan. Masing-masing bersicepat dalam irama kacau balau untuk menyelamatkan ji-wa dan harta mereka. Dalam himpitan ketakutan teramat sangat, mereka keluar dari rumah dengan membopong benda-benda yang perlu diselamatkan. Hewan-hewan ternak berteriak-teriak, menimpali teriakan-teriakan penduduk desa. Kambing mengembik-embik dalam seretan beberapa lelaki, kerbau melenguh-lenguh, ayam berkeok-keok.
Dan sehimpun keributan lain berbaur membangun suasana hiruk-pikuk. Belum lagi para ibu yang se-rabutan mencari anak-anaknya. Belum pula para lelaki muda yang kelimpungan mencari-cari istri tercinta yang baru dinikahi kurang dari satu purnama. Ada janda ribut kehilangan konde, ada duda kalap terlanggar kerbau.
Ada nenek dan kakek pikun meributkan tempayan bocor yang lupa dibawa. Putus kata, semuanya kacau balau! Di satu sudut desa, seorang anak malah asyik terpulas di atap kandang kerbau.
Satria namanya.
Seorang anak lelaki berusia sekitar tiga belas tahun. Berpakaian kumal dengan baju hitam koyak moyak tanpa lengan dan celana pendek. Rambutnya panjang kemerahan. Berwajah lugu bagai tanpa dosa. Dengkur halusnya seolah menyelinap-nyelinap santai di antara riuh-rendah suara keributan. Entah bagaimana Satria bisa tertidur sepulas itu dalam keadaan yang me-mungkinkan nyawanya terlempar dari raga setiap saat. Mungkin semalam dia begadang semalam suntuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Mungkin juga dia terlalu lelah bekerja. Tak mungkin dia sedang dalam keadaan mabuk. Satria tergolong bocah yang pantang menyentuh arak. Yang jelas, ketika seorang perempuan setengah baya meneriakinya, barulah Satria tersentak bangun.
"Ada apa?" Tanyanya polos sambil mengusap-usap kedua bola matanya yang bulat namun bergaris kuat.
Ada apa katanya? Padahal angin begitu ngotot berseliweran di sekitarnya. Sampai-sampai tubuhnya teroleng-oleng. Bagaimana dia masih bisa bertanya begitu? "Ada apa?!" Pekik si perempuan setengah baya dengan mata mendelik.
"Apa kau bocah gendeng?! Cepat kau turun dari atap itu. Ombak besar sedang menuju ke sini. Kalau mau mampus, teruskan saja tidurmu!" Semburnya lagi dengan suara bagai kaleng rombeng.
"Ada badai memangnya?" Tanya Satria terperangah kebodoh-bodohan. Matanya membelalak. Sampai gumpalan tahi mata keringnya terpental......
"Iya, Bodoh! Cepat turun!" Bukannya cepat-cepat turun, Satria malah melepas pandangannya ke arah laut.
Dari atas atap kandang kerbau, dia dapat dengan bebas memandang ke arah sana. Dilihatnya sebentang suasana mengerikan. Menyaksikan gulungan ombak raksasa di kejauhan dan angkasa yang berwarna le-gam, mata bocah itu jadi tak berkedip. Sesaat dia terpana seperti terkena tenung nenek sihir dari negeri Antah Berantah. Sampai akhirnya teriakan memekakkan telinga perempuan setengah baya tadi me-nyadarkannya.
Satria segera turun terbi-rit-birit dari atap kandang kerbau. Nyaris saja dia terpelanting jatuh.
"Cepat bantu aku ke atas bukit!" Seru si perempuan setengah baya lagi. Satria berhenti bergerak.
"Bantu mengangkat Si Mbok ke atas bukit? Astaga, mana aku kuat...," Gerutunya, salah paham.
"Maksudku, bantu membawa barang-barang, Bocah Bodoh!" Tahu maksud perintah perempuan yang dipanggil Si Mbok, Satria bergegas kembali. Dia berlari ke satu gubuk sekitar sepuluh depa dari kandang kerbau. Di depan pintu gubuk, tergolek satu buntalan besar. Benda itu segera disambarnya.
"Bocah celaka, jangan kau curi bun-talanku!" Teriak seorang lelaki berbadan kurus berkulit hitam.
"Astaga, salah sambar...," Desis Satria seraya terburu-buru mengembalikan buntalan tadi ke tempatnya.
"Satriaaa!!!" Perempuan setengah baya tadi berteriak dari bawah satu pohon kelapa.
Tertatih-tatih, dia berjalan dengan beban dua buntalan besar di kedua belah tangannya. Rupanya dia sudah siap meninggalkan desa secepatnya. Badai serupa pernah terjadi beberapa puluh tahun silam. Waktu itu terjadi malam hari, ketika penduduk desa sama sekali tak siap. Mereka terlibas gulungan ombak setinggi atap saat terpulas di balai masing-masing. Puluhan nyawa menjadi korban.
Seandainya mereka siap saat itu, tentu mereka akan segera menyingkir ke tempat yang lebih tinggi dari permukaan laut. Sementara desa mereka berada tepat di bibir pantai, di mana ketinggian wilayah itu dari permukaan laut begitu rendah. Itu sebabnya terjangan ombak raksasa dengan begitu empuk mengunyah.
Tempat yang paling tepat untuk itu adalah dataran tinggi berumput yang mereka sebut bukit. Tingginya sekitar dua ratus meter dari permukaan laut. Dengan ketinggian seperti itu, mereka berharap dapat selamat dari terjangan ombak raksasa.
Kini, ke dataran itu para penduduk desa berlarian kalang-kabut. Jaraknya tak begitu jauh. Hanya memakan waktu sekitar setengah peminuman teh. Satria segera menyambar satu buntalan dari tangan perempuan setengah baya. Dipanggulnya buntalan berukuran lebih besar dari tubuh kurusnya itu. Satu tangannya cepat menggamit pergelangan tangan perempuan yang dipanggil Si Mbok.
"Cepat lari, Si Mbok! Lari!" Teriak Satria kalang-kabut.
Perempuan setengah baya yang mengenakan kain di bawah lutut tentu saja tak bisa mengimbangi langkah-langkah cepat si bocah. Dia berlari terhuyung-huyung, tersandung kainnya sendiri. Sebelah tangannya berusaha mengangkat kain setinggi-tingginya, tak terpikir lagi kalau sebagian kulit pahanya berwarna keling matang! Malang tak dapat ditolak. Meski para penduduk desa sudah berusaha secepatnya tiba di dataran tinggi, gulungan ombak raksasa ternyata lebih cepat tiba di pesisir. Pantai ditanduknya dengan garang. Pepohonan kelapa tua tumbang terlibas, lalu dihanyutkan. Beberapa gubuk nelayan yang berdiri paling dekat pada bibir pantai hancur saat itu juga. Puing-puingnya dilarikan gerakan ombak yang terus memburu ke pesisir. Satria dan perempuan setengah baya berbalik dengan wajah mengeras ketat. Mata keduanya membelalak.
Di belakang sana, mereka menyaksikan pemandangan mengerikan. Air laut lebih tinggi dari atap gubuk memburu mereka. Si perempuan setengah baya memekik tinggi. Hampir saja dia se-maput di tempat. Meskipun tak kalah terkesiap, Satria segera tersadar untuk segera menyelamatkan diri. Ditariknya lebih kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya.
"Lari, Mbok! Lari!!!!" Teriaknya terpecah seraya berlari jalang menghela perempuan setengah baya di belakangnya.
Serabutan keduanya menggerakkan kaki. Di belakang mereka, air laut lebih cepat lagi memburu. Geraknya lebih garang dari amukan air bah. Beberapa kejap mata kemudian, keduanya terlibas. Terjangan gelombang laut menggulung dua orang itu bagai dua keping kerikil tak berarti. Mereka dipelantingkan, ditenggelamkan, dihanyutkan dan diputar-putar. Sulit untuk menahan napas dalam keadaan seperti itu, kendati sebagai seorang bocah nelayan Satria terbiasa menyelam di laut.
Cepat air laut menerjang ke jalan napas mereka. Paru-paru mereka diterjang. Mereka kehilangan kesadaran. Hal mengagumkan terjadi. Pegangan Satria pada pergelangan tangan wanita setengah umur ternyata tetap terpagut. Dia memang tak sadarkan diri. Namun, kekuatan hatinya untuk menyelamatkan wanita itu telah membuat kehendak bawah sadar Satria memerintahnya untuk tetap memegang kuat-kuat pergelangan tangan si wanita setengah umur.
Beberapa kejapan sebelum bocah itu kehilangan kesadaran, satu gulungan cairan berwarna kelabu berasal dari dasar laut amat dalam di sekitar Samudera Hin-dia tanpa sengaja menutupinya. Tarikan napas tersedaknya menyebabkan cairan keruh kelabu itu terhisap langsung ke paru-paru Satria.
Tubuh Satria mengejang saat berikutnya. Menyusul sentakan-sentakan tak terkendali, saat tubuhnya sendiri terus digulung oleh gelombang. Lalu dunia seperti menghilang dari dirinya.

* * *



Sepekan berlalu.
Siang di pusat Kadipaten Ketawang. Saat itu matahari terhalang mendung. Sinarnya tak terlalu menyiksa. Angin sejuk sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan dedaunan pepohonan. Seorang anak lelaki dekil berjalan gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipaten Ketawang. Wajahnya demikian lusuh. Penampilannya sudah mirip gembel. Wajahnya pucat. Anak itu adalah Satria.
Sepekan lalu, ketika dia tersadar, disaksikannya seluruh kampung telah porak-poranda. Yang terlihat di sana cuma tebaran kematian. Beberapa mayat bergelimpangan. Entah itu perempuan tua, bocah-bocah kecil atau para lelaki malang. Amukan gelombang laut telah menumpas mereka. Seluruh penduduk desa mati.
Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar hewan ternak. Kecuali dirinya. Di sisi tubuhnya tergeletak mayat seorang wanita setengah baya. Tangan Satria masih menggenggam kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya itu. Pertanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam diri si bocah yang ingin menyelamatkan nyawa orang lain. Sampai dia kehilangan kesadaran pun, tangannya tetap menggenggam pergelangan tangan si perempuan setengah baya. Dengan mata mengerjap-erjap, mencoba menyingkirkan rasa berat serta berdenyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil Satria mengangkat kepalanya dari posisi tertelungkup.
Tubuhnya terasa demikian lemah. Serasa tulang-belulang diloroti dari dagingnya. Setelah cukup kuat mengumpulkan tenaga, dia bangkit terseok. Dia berdiri gontai. Ditatapinya gelimpangan mayat di mana-mana. Ditatapinya kepingan-kepingan kayu gubuk penduduk. Juga bangkai-bangkai hewan. Juga benda-benda berserakan. Hatinya pilu. Giris menyelinap. Betapa dia tak mempercayai pemandangan yang tergelar di depan matanya.
"Apa yang telah terjadi?" Bisiknya mendesah.
Apa yang terjadi? Satu pertanyaan yang terdengar ganjil. Bahkan untuk dipertanyakan pada dirinya sendiri. Ya, semestinya Satria tahu musibah apa yang telah menimpa desanya. Tapi, saat itu dia tak ingat apa yang telah terjadi. Lebih jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa dirinya. Tak ingat asal-usulnya. Tak ingat pada seorang perempuan setengah baya yang beberapa waktu sebelumnya berlari-lari berjuang menyelamatkan nyawa bersamanya.
"Kenapa aku berada di sini?" Bisiknya lagi.
Didekatinya mayat perempuan setengah baya tadi. Ditatapinya wajah mayat yang telentang menyedihkan itu. Lama. Gurat-gurat wajah pucat yang diisi keriput itu seperti pernah dikenalnya. Tapi kapan? Di mana? Semuanya tak jelas lagi di benak Satria. Ada bayang-bayang yang timbul-tenggelam, lalu mengabur sama sekali dalam benaknya. Yang cuma dia tahu, bahwa namanya adalah Satria. Kemudian, ditata-pinya lagi seluruh pemandangan menge-naskan di depannya dengan tatapan lowong.


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

HARI makin siang. Matahari di atas pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak berkutik menghadapi kepungan awan gelap. Beberapa orang terlihat hilir-mudik di jalan utama berbatu koral. Satu dua pedati sesekali melintas dalam kecepatan sedang. Satria sampai di kedai di pinggir jalan.
Sebenarnya, tempat itu lebih tepat disebut warung makan kecil, menilik bentuknya yang terlalu sederhana dibanding kedai biasa. Tempat yang hanya berupa sawungan kecil dengan satu meja besar. Di atas meja terdapat piring-piring tanah liat berisi makanan. Ada lauk-pauk, buah-buahan dan makanan kecil goreng.
Di kedua belah tiang di sisi sawungan, tergantung beberapa sisir pisang ambon. Warnanya mengundang selera.
Di tiga sisi meja besar dari belahan kayu asam, terdapat tiga bangku panjang. Salah satu bangku panjang diduduki oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam berikat kepala kain hitam pula. Keduanya duduk mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Salah seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Dadanya bidang berbulu lebat. Selebat kumis baplangnya. Di kain pengikat pinggangnya terselip sebilah golok besar.
Lelaki yang lain berbadan pen-dek gemuk. Mulutnya tak berhenti memamah makanan. Baru saja tenggorokannya menelan yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi makanan ke dalam mulut. Pipinya tebal seperti pipi seekor kelinci. Di pinggang lelaki gemuk itu pun terselip sebilah senjata. Badik panjang tepatnya. Sesekali terdengar pembicaraan serius mereka, diselingi tawa lepas. Salah seorang terbatuk-batuk ketika tersedak kopi.
Pemilik warung makan adalah seorang lelaki tua berperawakan kekar. Masih tampak otot-otot kekarnya. Meski berkerut, wajahnya masih menampakkan kegarangan. Selagi mudanya kemungkinan besar dia seorang jawara.
"Mau apa kau, Bocah?" Tegur pemilik kedai, mendapati kedatangan Satria.
Cukup lama bocah itu hanya berdiri memandangi makanan di atas meja. Jakunnya berkali-kali turun naik. Perutnya memang sudah terasa sangat lapar. Sejak malam tadi dia belum makan nasi. Hanya sepotong singkong bakar pemberian seorang lelaki gembel yang sempat mengisi perutnya.
"Saya ingin makan, tapi tak punya kepeng ( Mata uang cina yang berlaku pada masa itu ), Pak Tua," Kata Satria.
Tak ada kesan memelas dalam kata-katanya. Dalam ha-ti kecil anak itu, memang tak terbersit keinginan untuk meminta belas kasihan orang lain. Pemilik warung makan tertawa kecil.
"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan di warungku, tapi kau tak punya uang...," Katanya ringan seraya menggelenggelengkan kepala. Dua lelaki pengunjung warung tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban polos Satria.
"Kalau begitu, boleh aku membantumu agar aku bisa sedikit mengisi perut?" Usul Satria. Tetap tak terlihat kesan memelas di wajah bocah tiga belas tahun itu. Garis-garis parasnya tetap memperlihatkan ketegaran, meski demikian pucat.
"Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan?" Tanya lelaki tua pemilik warung. Satria agak kecewa. Terlihat sekali dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan hatinya tidak menyebabkan dia lantas mengeluh.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang belum ada rezeki yang bisa kumakan," Sahut Satria perlahan. Dia hendak beranjak meninggalkan warung.
"Tunggu, Bocah!" Tahan pemilik warung.
"Aku bukan orang yang tak punya perasaan. Aku menerima kau!" Sambungnya dengan wajah menampakkan kekaguman terhadap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh seorang bocah seusia Satria. Satria berbalik. Sepasang mata bergaris kuatnya berbinar.
"Kalau begitu, apa yang bisa kukerjakan sekarang, Pak Tua?!" Burunya, bersemangat. Padahal tubuhnya sendiri masih terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, Bocah!" Puji lelaki berkumis baplang pengunjung warung.
Sama seperti pemilik warung, diam-diam kedua pengunjungnya pun merasa kagum pada sifat Satria. Biasanya, anak gelandangan yang mereka temukan cuma bisa merengek-rengek memancing rasa iba untuk meminta sedekah. Kebanyakan dari mereka menjengkelkan. Kalau tidak diberikan, mereka akan menguntit terus di belakang. Tak jarang di antara mereka menarik-narik lengan baju. Sementara bocah satu ini berbeda sama sekali. Dia bahkan lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu meski tubuhnya sudah lemah.
"Siapa namamu, Cah Bagus?" Tanya pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya bahu kurus, namun bertulang bagus Satria.
"Satria, Kang."
"Hari ini, aku merasa harus berbuat baik pada Bocah sepertimu. Makanlah sekenyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..." Sambung si pengunjung tambun. Dengan tangan yang lain, disodorkannya piring berisi tumpukan ketan kelapa pada Satria.
"Ayo, ambil! Jangan ragu!" Tukas-nya. Satria menatap ketan itu sambil menelan air liur. Betapa menggoda makanan bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya demikian lapar. Tapi Satria malah menggelengkan kepala.
"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku sudah berjanji pada Pak Tua pemilik warung untuk membantunya," Tolak Satria sopan. Mendengar jawaban Satria, kedua pengunjung warung dan pemiliknya tertawa kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa besar si bocah.
"Kau akan jadi orang besar, Bocah! Orang besar, aku yakin itu!" Ujar Pak Tua pemilik warung. Satria hanya mengernyitkan kening tak mengerti.
"Kalau begitu, cepatlah kau makan terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerjakan seseorang jika dia loyo macam kau!" Kelakarnya lagi seraya menarik pangkal lengan Satria.
Menjelang sore, dua orang mendatangi kedai. Satu orang perempuan berusia empat puluhan. Sedang seorang lagi bocah perempuan sebaya Satria. Dari wajahnya, tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak. Sang ibu, meski berusia terbilang cukup tua namun masih memperlihatkan sisa pesona kecantikannya. Wajahnya anggun. Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan wanita. Dia mengenakan pakaian silat berwarna ungu.
Kepalanya ditutup caping. Anaknya adalah seorang bocah perempuan bermata bulat berbinar-binar. Wajahnya mungil. Dari pancar matanya, terpancar keriangan dan kepercayaan diri yang kuat. Rambutnya panjang diikat ekor kuda. Anak perempuan itu mengenakan pakaian silat berwarna merah hati. Di pinggangnya, terselip sepasang belati besar.
"Selamat sore, Pak Tua...," Tabik si perempuan berpakaian ungu seraya melepas capingnya. Ketika itulah terlihat lebih jelas raut wajahnya. Pucat dan bersimbah keringat. Bersit matanya memendam penderitaan. Ada penyakit yang mendekam dalam tubuhnya dan menyiksanya selama ini.
"Selamat sore...," Balas Pak Tua pemilik warung ramah.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan-tuan Putri?"
"Aku perlu arak. Apakah kau masih punya persediaan?" Tanya perempuan berpakaian ungu.
"O, tentu!" Satria tanpa diperintah segera mengambilkan dua kendi arak dari bawah meja besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-curi pandang ke arah bocah perempuan. Cantik, nilainya terkagum-kagum. Si bocah perempuan kebetulan sedang memperhatikannya.
"Huh!" Dengus bocah perempuan. Di-anggapnya mata Satria telah berbuat lancang. Satria malu hati. Wajahnya memerah. Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke atas meja sambil berpura-pura tak melihat perubahan wajah si bocah perempuan.
"Berapa?" Tanya perempuan berpakaian ungu.
"Tiga keping kepeng, Tuan Putri," Jawab Pak Tua pemilik warung. Perempuan berwajah pucat itu cepat mengeluarkan tiga keping uang dari kantong kulit kecil di pinggangnya. Diberikan uang itu pada pemilik warung.
"Terima kasih, Pak Tua," Haturnya seraya melangkah.
Sementara itu, anaknya masih terus memelototi Satria dengan wajah judes. Satria sendiri jadi salah tingkah. Begini salah, begitupun salah. Dadanya jadi dag-dig-dug tak karuan. Dia sebenarnya tidak ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu. Sebaliknya, Satria malah jadi senang bukan alang kepalang. Hanya saja dia tak tahu, kenapa merasa berdebar-debar. Biasalah, cinta monyet! Saking gugupnya, tak sengaja dia menginjak jempol kaki Pale Tua pemilik warung.
Untung lelaki tua itu bisa mengerti polah anak sebaya Satria. Dia cuma tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak itu melangkah, dari jalan sebelah selatan terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda dan teriakan-teriakan berangasan. Ada sekitar lima orang lelaki mengendarai kuda dalam kecepatan tinggi. Arahnya menuju kedua perempuan tadi. Beberapa orang yang kebetulan berjalan cepat-cepat menepi, takut diterjang kuda. Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda mereka.
"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!" Sampai di depan kedua ibu-anak tadi, kawanan lelaki berkuda menghentikan lari tunggangan masing-masing. Sentakan mendadak pada tali kekang membuat kuda-kuda mereka meringkik nyaring seraya me-naikkan kaki depan mereka.
"Hiiiii!" Begitu kelima kuda tunggangan berhenti, kawanan lelaki itu melompat turun.
Kini wajah mereka terlihat lebih jelas. Rata-rata berwajah bengis. Perawa-kannya besar-besar dan berotot. Pakaian yang dikenakan berbeda satu sama lain. Rata-rata berwarna gelap. Di dagu mereka tumbuh bulu kasar kehijauan. Dua lelaki menyandang sepasang pedang pendek di punggung. Satu orang memegang tombak bermata tiga. Dua lelaki sisanya memegangi gada berbandul baja berduri.
"Oho! ada dua perempuan cantik rupanya. Satu sudah matang, sedang satunya lagi baru mulai ranum!" Koar seorang lelaki mengenakan rompi terbuka, memperlihatkan dada berbulu kasar.
"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah mereka sengaja hendak menyambut kedatangan kita?!" Timpal lelaki yang memegang tombak bermata tiga.
Dua lelaki yang turun dari kuda paling belakang tergelak-gelak mendengar perkataan kedua temannya barusan. Perempuan bercaping tak ingin menanggapi ocehan tadi. Dia beranjak lagi. Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.
"Eit, kenapa terburu-buru?!" Salah seorang kawanan berkuda menghadang.
Kedua tangannya membentang, menghalangi jalan dua perempuan berbeda usia tadi. Satria yang menyaksikan peristiwa itu mendengus. Dia tak suka menyaksikan kekurangajaran terjadi di depan matanya. Terutama karena bocah perempuan ayu itu.
"Biarkan kami lewat, Kisanak," Pinta perempuan bercaping. Suaranya datar. Tak ada kesan ketakutan. Bahkan tak terdengar getar gusar di dalamnya.
Dia begitu tenang menghadapi lelaki penghadang-nya. Lain lagi sikap anak perempuannya. Wajah bocah ayu itu memerah matang. Matanya menyipit geram.
Tangannya mengepal kuat-kuat.
"Kenapa aku mesti membiarkan kalian lewat? Terus terang, kami sangat haus. Pertama kami butuh arak yang kau bawa untuk mengenyahkan haus kerongkongan kami. Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh kalian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-ha-ha!"
"Cuih, mesum!" Maki bocah perempuan, gusar.
"Sopanlah berbicara pada orang yang lebih tua, Tresna..." Tegur sang ibu.
"Bagaimana aku bisa sopan, sementara dia sendiri berkata tak sopan pada kita, Nyai?" Protes si bocah perempuan bersungut-sungut. Kembali kawanan lelaki tadi tertawa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma milik mereka.
"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna? Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya 'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bisa 'bercinta'?!" Goda lelaki penghadang kembali, tetap mesum.
Gadis ayu bernama lengkap Tresnasari makin kalap. Hidungnya mendengus-dengus. Kekalapannya makin terdongkel naik ketika dengan kurang ajar, lelaki penghadang merunduk ke arahnya sedang tangannya hendak menjamah pipi gadis itu. Dengan tiba-tiba....
Bletak! "Iya!" Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Jidatnya berdenyut-denyut luar biasa. Sakitnya seperti langsung turun ke jempol kakinya.
"Bocah kecil keparat!" Makinya kalap.
Tangannya mendekap kening. Tresnasari sendiri sudah menggenggam satu belatinya di tangan kanan. Dengan ujung gagang belati itu, dihantamnya kening si lelaki kurang ajar.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

BUKAN main murkanya lelaki penghadang. Kepalanya benar-benar dibuat benjut sebesar uang logam oleh seorang bocah perempuan kecil. Oleh bocah perempuan kecil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun ikut berdenyut-denyut saking gusarnya. Terutama karena Satria menertawai kejadian itu dari tempatnya.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, heh?!" Meluncur serapah susulan si lelaki penghadang.
Dilanjutkan dengan tamparan keras sekaligus deras ke pipi Tresnasari.
Wukh! Telapak tangan besar itu tinggal berjarak satu jari lagi dari pipi si gadis kecil. Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit, Tresnasari merundukkan badan. Dilemparnya tubuh ke depan. Di tanah dia berguling sekali. Kakinya terjulur lurus, seperti patukan cepat seekor ular.
Begh! "Ngekh!" Mata penyerangnya mendelik.
Masih di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan badan setengah membungkuk. Tangannya mendekap benda kesayangannya kuat-kuat. Wajahnya menyeramkan sekali untuk dikatakan sebagai manusia. Sebentar berwarna merah, sebentar kemudian berwarna biru, selanjutnya memucat. Pasti dia merasakan penderitaan lahir batin yang luar biasa....
Tresnasari sendiri sudah berdiri kembali. Terlihat senyum nakalnya tersembul samar. Santai didekatinya lelaki kejang tadi. Tak peduli dianggap kurang ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke kening lelaki tadi.
"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa tidak juga mau jatuh?" Ucapnya enteng sambil mendorong kepala lelaki tadi ke belakang.
Setelah itu, lelaki korban 'kenakalan'nya tumbang ke belakang. Mata keempat kawannya tak berkedip menyaksikan kejadian tersebut. Mereka sama sekali tak habis pikir bagaimana bocah perempuan kecil dapat demikian mudah mempecundangi kawan mereka? Tak habis pikir pula, bagaimana bocah yang dianggap mentah seperti Tresnasari sanggup melancarkan serangan secepat ular sendok? Setelah itu, cuma kemarahan besar yang mengisi benak masing-masing. Dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri melangkah gusar ke dekat Tresnasari dan ibunya.
"Kau akan merasakan akibat dari kelancanganmu, Bocah!" Ancam salah seorang dari mereka dengan wajah amat ketat, menyeramkan.
Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebagian barisan gigi yang tak cuma berwarna kuning lang-sat, tapi juga diselipi sisa cabe merah!
Wajah Satria di kejauhan berubah.
Dia melihat gelagat yang tak baik. Menyeruak dorongan dalam dirinya untuk membantu dua perempuan ibu-anak itu. Satu sifat yang sesungguhnya menjadi bagian kuat dalam diri si bocah. Satria hendak beranjak, tapi ditahan pemilik warung.
"Kenapa Pak Tua?" Tanya Satria, tak setuju dengan tindakan lelaki tua itu mencegahnya.
"Mereka itu adalah kawanan orang-orang telengas," Susul pemilik kedai.
"Tak peduli mereka orang-orang telengas sekali pun," Gerutu Satria.
Pak tua pemilik warung melirik Satria sejenak. Punya nyali juga anak ini, pikirnya. Sampai saat itu, nama si bocah saja belum sempat diketahuinya. Tapi, sudah banyak hal yang pantas dikagumi dalam diri anak itu. Masalahnya sekarang, nyali besar si bocah saja tak cukup untuk menghadapi para lelaki pengacau itu. Dibanding mereka, Satria bukanlah apa-apa. Bagaimana pula dia bisa membantu perempuan dan anaknya tadi?
"Aku bukan ingin meremehkan kau, Bocah. Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa padamu, mengingat siapa mereka. Mereka terbiasa bertarung dan bertempur. Biasa membunuh. Lagi pula, tampaknya dua perempuan itu dapat mengatasi mereka," Tambah pemilik kedai. Satria seperti tidak menanggapi seluruh perkataan pemilik kedai. Dengan nekat, dia menerjang tangan si pemilik kedai begitu saja.
"Bocah, tunggu!" Tahan pemilik kedai.
Sayang, usahanya sia-sia. Satria terus berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar terbanting. Lagaknya sudah seperti seorang jawara yang siap membuat babak-belur cecunguk-cecunguk. Kalau sudah begitu, pemilik kedai cuma bisa geleng-geleng kepala. Dahinya agak berkerut memperlihatkan kekhawatiran.
Sebaliknya, sinar matanya memperlihatkan tekad untuk turun tangan bila bocah nekat itu dalam bahaya. Sementara itu, salah seorang dari dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri sudah merangsak Tresnasari. Gadis itu sendiri sudah beranjak maju dua-tiga langkah, seakan sengaja menyongsong serangan lawan.
"Tahu rasa kau, Anak Sundal!" Makinya seraya melayangkan satu tamparan keras dengan punggung tangan.
Seperti lelaki yang telah menjadi korban tendangan Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun merasa jatuh gengsi jika menyerang secara membabi-buta seorang bocah kecil. Perempuan pula.
Dia berniat hanya memberi pelajaran keras pada Tresnasari. Pelajaran keras itu benar-benar dimaksudkan 'keras', karena tamparannya dilakukan dengan tenaga penuh. Andai gadis sebaya Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan terlempar. Tapi yang terjadi? Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari menangkis tamparan keji tadi dengan pergelangan tangan mungilnya.
"Hait!" Deg! Ketika itulah mata penyerangnya terbuka lebar.
Semestinya, tubuh Tresnasari terjajar saat memapaki tamparan kuat lawan. Ukuran tubuh gadis belasan itu saja tak lebih dari setengah tubuh penyerangnya. Tapi, nyatanya dia masih tegak di atas kuda-kudanya. Tangan mungilnya bahkan tak terlihat tergetar menyambut tamparan lawan. Sebaliknya, si lelaki penyerang malah tersurut mundur satu tindak. Di samping karena terkejut mendapati kenyataan di luar perkiraan, dia juga merasakan nyeri di sekujur tangannya.
"Sialan, anak ini tak bisa dibuat main-main!" Desisnya nyaris tak terdengar.
Meski merasa begitu nyeri di bagian tangan, sengaja dia tak mendekapnya. Juga diusahakannya agar mimik wajahnya tak memperlihatkan hal itu. Lagi-lagi itu persoalan agar tak jatuh gengsi. Sewaktu kegeramannya menanjak dan perhatiannya tertuju lekat-lekat pada Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong' sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi lagi. Kebetulan pula arahnya dari samping, menyebabkan dia luput menyadari serangan gelap barusan.
Begh! "Ngek!" Lelaki tadi terjajar mundur, lebih jauh dari sebelumnya.
Tangannya mendekap perut. Matanya melotot seperti hendak mencelat keluar. Bukan itu saja, lidahnya pun terjulur. Kalau saja rahangnya mengeras, tentu lidahnya akan tergigit putus saat itu juga. Sekarang, dia tak bisa lagi merisaukan soal jatuh gengsi. Bagaimana bisa kalau wajahnya saat itu saja sudah tak meyakinkan lagi?
"Biar tahu rasa kau!" Terdengar bentakan dari si penyerang gelap. Siapa lagi kalau bukan Satria? Menyaksikan cara menyerang si bocah yang begitu konyol, mendadak saja terurailah tawa kecil Tresnasari.
"Hi-hi-hi!" Ditertawakan begitu, Satria jadi tersinggung. Sudah ditolong kok malah menertawakan, protesnya dalam hati. Jelas-jelas itu tidak adil. Dia berbalik. Dipelototinya bocah perempuan itu.
"Kenapa tertawa?!" Hardiknya sok galak. Tanpa mempedulikan kedongkolan Satria, Tresnasari mencemooh.
"Jurus apa yang kau pakai itu? Seumur hidup, aku baru kali ini menyaksikan jurus 'sehebat' itu. Hi-hi-hi...."
"Ah, peduli setan dengan segala macam jurus! Terserah kau mau sebut apa. Mau kau sebut jurus, 'kepala rasa nanas', kek, mau apa kek...," Sergah Satria panas. Jawaban seenak dengkul Satria makin membuat tawa gadis tanggung itu terjang-kit. Dia terpingkal-pingkal dengan mendekap perutnya. Sampai....
"Hei, Bocah Kunyuk!" Satu bentakan terdengar persis di belakang Satria.
Bocah itu terperanjat. Cepat dibalikkannya tubuh.
Bugh! Satu hantaman keras melanda ulu hatinya.
Lelaki yang sebelumnya menerima serangan asal jadi Satria berusaha membalas perbuatan si bocah berambut kemerahan dengan tendangan lurus tak tanggung-tanggung. Kontan saja tubuh kurus Satria terpental dua-tiga tombak. Layaknya karung pasir, tubuh anak itu jatuh berdebam di permukaan jalan. Dia menggeliat-geliat menahan rasa sesak hebat di atas tanah.
Akibat rasa sesak tersebut, menarik napas saja sudah teramat sulit baginya. Otot-otot dadanya seperti mengejang seketika dan tak dapat dikendalikan lagi.
Padahal tendangan yang menimpanya tadi hanya tendangan biasa. Tenaga yang dipakai pun masih tenaga luar. Lalu apa jadinya kalau tendangan tadi disalurkan tenaga dalam? Benar perkataan lelaki tua pemilik kedai, Satria jelas tidak berarti apa-apa bagi kawanan pengacau tadi.
Untuk menghadapi satu tendangan salah seorang dari mereka saja, si bocah berhati baja sudah tak berkutik, Dasarnya Satria memiliki sifat pantang menyerah, dengan terseok-seok memegangi dada, dia berusaha bangkit. Meskipun saat itu boleh dibilang dadanya belum seluruhnya dapat menarik udara secara wajar. Belum sempat anak itu berdiri tegak, penyerangnya sudah berjalan ke arahnya, siap menghadiahinya satu hajaran lagi.
"Matamu benar-benar buta, Bocah Kunyuk. Kau tidak tahu dengan siapa kini kau berhadapan, heh?" Rutuknya. Paras lelaki itu sarat ancaman, berbaur kegeraman. Tiba di dekat Satria, lelaki tadi menggerakkan kakinya kembali. Hendak di-jejakannya tumit kaki ke punggung si pemuda tanggung.
"Biar mampus sekalian kau!" Sebelum Satria didarati hantaman yang lebih parah tersebut.... Wesss.... Clep!
"Aaah!" Mulut si penyerang melontarkan lengkingan.
Kaki kanannya yang telah terangkat tinggi, urung mendarati punggung Satria. Satu belati telah menancap tepat di pinggir luar kakinya dan menembus hingga ke luar. Kaki itu seperti sedang disate melebar! Dapat dibayangkan bagaimana rasanya. Lelaki tadi pun berjingkat-jingkat liar di tempat dengan sebelah kaki. Kaki yang lain dipeganginya sambil terus berteriak-teriak.
Pada saat berikutnya, satu sosok-tubuh mungil melayang gesit membentuk salto sekali di udara. Dengan amat cepat, disambarnya belati yang menancap di kaki sang korban tanpa sedikit pun menyentuh satu bagian tubuhnya.
Slap! "Masih bagus aku hanya mengarahkan belati ini ke kakimu. Bagaimana kalau kuarahkan ke lehermu?" Tukas Tresnasari dengan gaya seorang ksatria wanita, setelah menyambar kembali belatinya. Dia berdiri empat langkah dari lelaki korban belatinya. Tangannya menggenggam belati berlumur darah.
"Aku lebih suka kalau belati itu menancap di lehernya! Kalau aku jadi kau, itu yang akan kulakukan. Tapi, kau sendiri tampaknya memang bodoh!" Sela Satria, terengah.
Sekali ini, mata Tresnasarilah yang ganti mendeliki bocah dekil berambut kemerahan itu.
Menyaksikan dua rekan mereka dipecundangi oleh gadis tanggung berpakaian merah hati, tiga lelaki lain menjadi kalap. Dalam hati, mereka juga merasa terhina dengan semua itu. Wajah mereka seperti dilempari kotoran kerbau! Hanya oleh seorang gadis baru besar saja dua orang di antara mereka dibuat keok. Satu roboh karena kantong ajimatnya dibuat nyaris pecah. Seorang lagi jadi lumpuh karena satu kakinya tertembus belati. Keterlaluan sekali, pikir mereka.
Dalam benak ketiganya, sudah tak terbetik lagi untuk tanggung-tanggung menghajar si bocah perempuan tanggung. Kalau sudah tahu akibat yang terjadi pada dua kawannya, tentunya mereka akan menganggap Tresnasari sebagai lawan tangguh yang patut diperhitungkan. Ditambah lagi oleh kekalapan mereka yang sudah mendaki naik sampai ke ubun-ubun.
Karena itu, serempak mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Seorang mengeluarkan gada berbandul baja berdurinya. Yang lain meloloskan sepasang pedang pendek dari punggungnya. Sisanya langsung memutar-mutar tombak bermata tiga. Tresnasari pun lantas dikepung mereka.
Melihat gelagat yang makin memanas, Tresnasari tak ingin bertindak ceroboh. Tentu saja dia tak bisa menganggap remeh serangan dari tiga lelaki kasar sekaligus. Nyawanya menjadi taruhan. Sang ibu, masih tenang-tenang saja di tempatnya.
Jaraknya dengan Tresnasari kini sekitar sepuluh tombak. Kalau berniat membantu, tentunya dia akan cepat bergerak mendekati anaknya. Itu tidak dilakukan. Pertanda dia yakin putri tunggalnya mampu mengatasi kesulitan tersebut.
"Kau akan menyesal, Anak Perempuan Sial! Karena setelah hari ini, umurmu tak akan bertambah barang sehari pun!" Ancam lelaki bersenjata tombak bermata tiga sambil memutar ujung tombaknya seperti sebuah baling-baling tajam.
"Jangan terlalu yakin!" Dengus Tresnasari.
Tak tampak kepanikan pada wajah bocah perempuan muda itu. Yang kentara jelas justru garis-garis kesiapan bertarung. Di masing-masing tangannya sudah siap belati. Sesekali belati itu berputar cepat di antara jari-jemari mungil halusnya. Ketiga calon lawan bergerak membuat putaran di sekeliling Tresnasari, seakan sengaja berniat mengacaukan konsentrasinya.
Lelaki bersenjata sepasang pedang pendek membuat gerakan membacok ke seluruh penjuru, seperti gerakan seorang yang sedang membentengi diri dari serangan. Sedangkan lelaki bersenjata gada berbandul besi berduri memutar-mutar senjatanya di atas kepala Gerak berkekuatan serta terarah senjata mereka membentuk dengung kencang menggetarkan nyali. Tapi, tidak untuk si bocah perempuan. Secuil pun tak ada kengerian terbetik di benaknya. Tampaknya, dia telah tergojlok untuk menghadapi serangan-serangan semacam itu.
"Hei! Kalian mau bertarung atau hendak adu keras suara senjata! Kalau cuma itu, kenapa kalian tak mengganti saja senjata kalian dengan gasing bambu yang bisa memperdengarkan dengung tanpa harus mengeluarkan tenaga terlalu banyak," Oceh Satria. Gayanya seolah dia menguasai jurus-jurus silat. Dasar tong kosong berbunyi nyaring! Apa dikiranya perkelahian orang-orang persilatan itu cuma main terjang kalang-kabut seperti kakek kebakaran jenggot?
"Diam kau!" Hardik Tresnasari.
"Kau juga! Kenapa tak kau tusuk saja mereka, suk... suk... suk! Kan, beres?!" Sengit Satria.
Wajah Tresnasari merah bukan main mendengar perkataan si bocah bermulut lancang.
Selama ini, dia meyakini kalau ilmu silatnya sudah cukup mahir. Perlu waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan setiap jurus yang dikuasainya, Tapi, kunyuk dekil satu ini malah mengajarkan seenaknya saja. Seolah bocah berambut kemerahan itu menganggap bertarung dengan mengandalkan jurus itu tak beda dengan buang hajat, tinggal jongkok beberapa saat lalu beres! Sedang ngotot-ngototnya si gadis muda tanggung mencemberuti Satria, serangan lawan datang.
"Putus lehermu, Setan Alas Kecil!"
Wukh! Satria terkesiap.
"Hei awas!!" Teriaknya memperingati.
Lalu si lancang mulut itu cepat-cepat mendekap wajah. Ngeri sekali dia membayangkan sepasang pedang pendek akan membabat leher perempuan yang sebenarnya ditaksirnya itu. Saat itu, hilang entah ke mana sikap sok jagonya.
Dengan kesigapan mengagumkan, Tresnasari menjemput serangan pembuka lawan. Diayunkannya sepasang belati ke arah da-tangnya suara pedang berkelebat.
Hanya dengan mengandalkan kepekaan nalurinya, gadis tanggung itu sanggup mementahkan serangan lawan tanpa melihat terlebih dahulu.
Trang! Dan terperciklah lidah api dari benturan dua pasang senjata mereka.
Setelah mendengar suara benturan senjata, Satria baru berani mengintip dari sela-sela jarinya, Wuh, syukurlah perempuan cantik judes itu tak apa-apa, bisiknya membatin.
Serangan selanjutnya melanda Tresnasari seperti serbuan air bah. Tiga lawannya menyerang sekaligus. Itu sebenarnya perbuatan pengecut. Dalam aturan para ksatria dunia persilatan, tak terhormat jika menyerang dari belakang. Apalagi main keroyokan terhadap seorang yang dianggap jauh lebih mentah pengalaman.
Sayang, mereka memang bukan para ksatria. Ketika sehimpun senjata meluruk berbarengan ke arah Tresnasari dari arah berbeda....
Trang-trang! Seketika senjata-senjata tadi bermentalan ke segenap penjuru.
Dalam kecepatan yang deras pula. Tombak bermata tiga dan satu pedang pendek menancap dalam di dua tiang kedai yang jaraknya cukup jauh dari kancah pertarungan.
Tresnasari sendiri tak memperlihatkan gerak sama sekali ketika semua itu terjadi. Dia masih siap dalam kuda-kuda kokohnya. Wajahnya memperlihatkan keterkejutan. Sebaliknya, pikirannya sendiri cepat mengambil kesimpulan. Tentu, itu tadi perbuatan Nyai, simpulnya.
Berbeda dengan dugaan ketiga penyerangnya. Mereka justru menyangka bahwa kejadian barusan adalah tindakan Tresnasari. Mereka terperangah. Ketiganya mundur teratur.
Tak bisa dipercaya mereka kalau seorang anak bisa bergerak tanpa terlihat dan sanggup membuat senjata mereka terpental berbarengan. Apa itu tidak menakjubkan mereka? Padahal, mereka saja yang bodoh. Maka, tanpa perlu digebah ketiganya segera ngacir dengan kuda masing-masing.
Sepeninggalan mereka, Satria mencak-mencak tak karuan. Entah jurus apa yang dikeluarkan. Semuanya serba ngawur. Mulutnya bersat-sut-sat-sut, mengikuti gerakan silat dari negeri Antah Berantah! Sambil menatap para pecundang yang berkuda di kejauhan, bibirnya mencibir.
"Cuma sebegitu saja? Heh, tak ada apa-apanya...," Ocehnya.


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

TEMPAT keributan kembali tenang. Beberapa orang yang menjadi penonton kejadian memulai kembali kegiatan masing-masing. Sementara si perempuan berpakaian silat warna ungu mendekati anak gadisnya.
"Kapan kau mempelajari gerakan secepat itu, Anakku?" Tanyanya, ingin tahu bagaimana anaknya bisa bergerak tanpa terlihat hingga seluruh senjata penyerangnya berpentalan laksana disapu topan. Tresnasari melengak. Sungguh pertanyaan sang ibu agak mengejutkannya.
"Aku justru mengira itu perbuatan Nyai!" Tukasnya agak meninggi. Wajah pucat wanita berpakaian ungu agak terlipat. Dia berpikir sejenak.
"Kalau bukan perbuatanmu dan perbuatanku, lalu siapa?" Gumamnya, tipis berbisik.
Sejenak kepalanya menoleh pada Satria. Mungkinkah bocah itu? Tanya hatinya ragu.
Bocah yang diperhatikan malah sedang cengengesan tak karuan. Dia mengira keberaniannya menyeruduk seorang lelaki pengacau sedang dibicarakan ibu dan anak itu. Bangganya minta ampun dia. Hidungnya pun jadi kembang-kempis.
"Tentu saja bukan dia," Cibir Tresnasari, mengetahui ibunya menyangka Satrialah pelaku tindakan mengagumkan sebelumnya.
"Bagaimana dia bisa melakukan itu kalau cara menyerangnya saja mirip kambing buduk!" Lalu pandangan Nyai Cemarawangi, nama perempuan berpakaian ungu, beralih ke arah lelaki tua pemilik kedai.
"Mungkinkah orang tua itu?" Gumamnya tak kentara.
Dia bukan cuma penasaran ingin mengetahui si pelaku, tapi juga ingin menghaturkan banyak terima kasih. Sebab, kalau putrinya tidak ditolong waktu itu, dia ragu Tresnasari mampu mengatasi serangan serempak yang keji dari para pengeroyoknya. Orang yang diperhatikan malah mulai sibuk lagi mengebuti lalat-lalat yang berkeliaran di atas dagangannya. Wajahnya tetap tenang seperti sebelumnya.
Namun bukan itu yang menjadi pusat perhatian Nyai Cemarawangi. Justru perbuatan kecilnya mengebuti lalat yang luput mendapat perhatian orang lain, tapi tidak untuk mata jeli perempuan itu. Si lelaki tua pemilik warung terlihat santai saja menggerakkan alat pengebut lalat terbuat dari batang bambu yang diberi rumbai tali pelepah pisang kering. Tapi, setiap kail tangannya bergerak santai, beberapa ekor lalat langsung menemui ajal! Nyai Cemarawangi tersenyum. Sekarang dia yakin telah menemukan penolong putrinya.
Segera dihampirinya orang tua itu. Satria mengira dia yang dihampiri. Makin parah saja cengangas-cengengesnya. Besar rasa juga rupanya bocah itu. Dan dia tinggal bisa bengong ketika Nyai Cemarawangi cuma melintasinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, Orang Tua. Aku yang muda rupanya terlalu tak menyadari kalau kau adalah seorang tokoh mandraguna...." Ucapan Nyai Cemarawangi tak digubris orang tua itu. Dia terus saja sibuk berbenah, seolah sama sekali tak mengetahui apa maksud ucapan Nyai Cemarawangi.
Sementara itu, Tresnasari menyusul ibunya. Dilewatinya pula Satria yang mulai pula senyum-senyum pada gadis tanggung itu. Di dekat Satria, Tresnasari berhenti melangkah. Ditatapnya bocah itu tajam-tajam.
"Kenapa senyum-senyum?!" Bentaknya.
"Mau kubuat rontok gigimu?!" Satria langsung bungkam. Mulutnya terkunci rapat. Jangankan senyum, meringis pun dia tak berani.
"Kalau diperkenankan, bolehkah aku tahu siapa sesungguhnya dirimu, Orang Tua?" Susul Nyai Cemarawangi, kemudian. Seperti baru tersadar seseorang telah berdiri di depannya, orang tua itu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi kehitaman dan telah tanggal dua-tiga butir.
"Seperti kau lihat, aku cuma seorang penjual makanan," Sahut pemilik warung. Nada bicaranya tetap tak berubah. Tetap santai, sambil menjentiki beberapa ekor lalat yang mati di atas mejanya.
"Kalau begitu, izinkan aku mengenal namamu," Mohon perempuan cantik meski usianya sudah terbilang cukup tua itu. Kening berkerut orang tua berkumis putih itu sesaat terlipat. Sepasang alis putihnya yang tumbuh jarang agak mendekat satu dengan yang lain. Bola matanya naik ke atas.
"Seingatku, namaku Kusumo...," Katanya setelah berpikir beberapa saat.
Aneh juga, bagaimana dia bisa lupa nama sendiri? Sebenarnya, Nyai Cemarawangi ingin mengetahui nama lengkap orang tua itu. Siapa tahu dia pernah mendengar nama itu di dunia persilatan. Sebab, menurut perkiraannya, orang tua yang mengaku bernama Kusumo ini pasti seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan. Mungkin karena satu atau lain sebab, dia mengundurkan diri. Namun, hanya karena tak ingin dianggap terlalu lancang, akhirnya perempuan itu tak bertanya lebih jauh.
"Kalau begitu, terima kasih sekali lagi Ki Kusumo. Aku harap kita akan berjumpa lagi. Siapa tahu aku masih bisa membalas budimu...."
"Siapa yang perlu membalas budi? Kau berbicara aneh sekali, Cah Ayu," Kilah Ki Kusumo, matanya menyipit memperlihatkan ketidakmengertian maksud perkataan perempuan di depannya. Di akhir katanya, dia terkekeh. Nyai Cemarasari menjura, hormat.
"Kalau begitu, aku mohon pamit, Ki."
"Ya... ya... ya," Sahut Ki Kusumo enteng.
"Pergilah. Dan kudo'akan agar kau dapat menemukan tabib yang berjodoh denganmu!" Tambahnya.
Seketika itu, Nyai Cemarawangi mengangkat kepalanya. Wajah memeram pertanyaan. Bagaimana dia tahu kalau aku sedang sakit dan bagaimana pula dia tahu kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan tabib yang dapat menyembuhkan penyakitku? Bisik hatinya.
Makin kagum saja perempuan itu pada Ki Kusumo. Nyai Cemarawangi baru hendak menanyakan hal itu, Ki Kusumo sudah menggerakkan tangannya.
"Ayo, pergilah.... Pergi...." Perempuan berpakaian ungu mengulang juranya. Caping yang sejak tadi menggelantung di belakang punggungnya ditempatkan kembali di atas kepala. Dia pun melangkah.
"Ayo, Tresna," Ajak Nyai Cemarawangi pada putrinya, baru saja Tresnasari tiba di sampingnya. Keduanya berangkat.

* * *



Hari makin tua. Sinar merah tembaganya meredup dan terengah-engah. Matahari terkapar disudut barat bumi. Di batas Kadipaten Ketawang, dua perempuan berjalan perlahan menuju arah matahari tenggelam. Mereka adalah Nyai Cemarawangi dan anaknya, Tresnasari.
"Kita membutuhkan kuda untuk sampai di Jogoboyo, Nyai," Kata si gadis ayu baru tumbuh remaja pada ibunya.
"Kenapa? Apa kau tak kuat berjalan sampai ke sana?"
"Bukan begitu. Aku justru iba pada Nyai. Nyai tampaknya makin kehilangan banyak tenaga karena sakit yang mendekam dalam tubuh Nyai," Kata Tresnasari lagi. Nyai Cemarawangi merangkul anaknya dengan sebelah tangan. Bahu Tresnasari diguncang-guncangkan kecil.
"Aku bersyukur memiliki putri yang sayang terhadapku. Rasanya, kalau kau terus berada di sampingku, berjalan sampai ke ujung bumi aku masih sanggup," Gu-raunya dengan sebaris senyum di bibirnya yang memucat dan kering.
"Ah, Nyai ini. Aku sedang bicara sungguh-sungguh! Apa tak sebaiknya kita ke desa terdekat dulu untuk mencari dua ekor kuda? Kalau perlu, kita menumpang bermalam. Besok pagi, baru kita lanjutkan lagi perjalanan. Bagaimana?" Cecar Tresnasari, nyaris lupa berhenti.
Sementara mereka terus melangkah, seseorang menguntit keduanya. Sejak mereka meninggalkan pusat Kadipaten Ketawang, orang itu terus mengekori. Sesekali dia bersembunyi di balik pohon atau semak-belukar yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak. Jika jaraknya sudah cukup aman, dia mulai menguntit lagi.
Dari caranya bergerak, tak ada kesan kalau si penguntit adalah orang persilatan. Gerakannya begitu kasar dan berkesan serampangan. Langkah-langkah kakinya memperdengarkan bunyi ribut, meskipun tampak lincah. Kalau sudah begitu, tentu saja Nyai Cemarawangi dan Tresnasari akan cepat mengendusi.
"Sejak tadi ada orang menguntit kita terus, Nyai," Bisik Tresnasari.
"Ya ya, aku tahu."
"Apa perlu kita hadang sekarang?"
"Tak perlu. Tampaknya orang itu tak berbahaya. Lagi pula...." Nyai Cemarawangi tak meneruskan perkataannya. Dia malah senyum tertahan.
"Kenapa, Nyai? Kenapa?" Desak Tresnasari.
"Lagi pula, aku sudah tahu siapa orang itu." Kening si gadis belia dibuat berkerut.
"Siapa Nyai?" Jawaban Nyai Cemarawangi cuma senyum kecilnya, yang lagi-lagi sengaja ditahan.
"Siapa Nyai? Dan kenapa Nyai malah tersenyum-senyum seperti itu?" Sewot Tresnasari.
"Nanti juga kau tahu." Tresnasari jadi tak sabar lagi dengan kucing-kucingan ibunya.
Dia merajuk. Dengan wajah asam, dihentikannya langkah tiba-tiba. Lalu cepat dibalikkannya tubuh. Demi melihat salah seorang yang dikuntit mendadak membalikkan tubuh, si penguntit terperanjat bukan alang-kepalang. Serabutan dicarinya tempat persembunyian. Ada sebatang pohon beringin besar di dekatnya.
Ke sana dia berlari. Saking terburu-buru, tak dilihatnya akar pohon merangas di tanah. Akhirnya....
"E-e-eeeeee!" Gedubrak! Jatuh juga orang itu dengan posisi tertelungkup.
Jidatnya terhantam batang pohon beringin. Orang itu ternyata si bocah sok jago, Satria.
Apa maunya dia menguntit begitu rupa? Melihat siapa yang sejak tadi menguntit, Tresnasari memasang wajah perangnya. Kalau bisa, ingin dibuat wajah ayunya seseram tampang Batari Durga, perempuan raksasa di pewayangan.
"Mau apa lagi kau?!" Serunya ketus.
Satria bangkit terseok. Satu tangannya memegangi pinggang. Tangan yang lain mengusap-usap keningnya yang sudah benjut sebesar tempurung dengkulnya sendiri. Bibirnya meringis-ringis berkepan-jangan, antara rasa dongkol dibentak Tresnasari dan penderitaannya.
"Apa maumu mengikuti kami, Cah Bagus?" Tanya Nyai Cemarawangi, jauh lebih bersahabat dari pertanyaan anaknya barusan.
"Anu, Bibik... anu...," Si bocah berambut kemerahan tak bisa mencari alasan yang tepat satu pun.
Sejak keributan di jalan pusat kadipaten berakhir, dia pamit pada lelaki tua pemilik warung. Orang tua itu sendiri sebenarnya berat melepas Satria. Di samping dia sudah 'jatuh hati' pada sifat-sifat Satria, dia juga merasakan keuntungan dari kerja rajin anak itu di tempatnya. Karena Satria tidak bisa dicegah, pemilik warung yang penuh teka-teki di mata Nyai Cemarawangi itu akhirnya melepas Satria juga. Dibekalinya anak itu dengan beberapa keping kepeng.
"Anu apa?!" Bentak Tresnasari. Dengan isyarat, Nyai Cemarawangi memperingati sikap judes anaknya.
"Aku cuma ingin ikut kalian...," Aku Satria akhirnya.
"Ikut kami? Bagaimana dengan keluargamu?" Tanya Nyai Cemarawangi. Satria menggelengkan kepala perlahan. Dia tertunduk. Raut wajahnya berubah mendung. Muram, biarpun dia bukan tergolong bocah cengeng.
"Aku sendiri sampai sekarang tidak tahu apa-apa tentang keluargaku. Bahkan aku tak pernah tahu asal-usul diriku...," Katanya.
Dari desah napasnya, terdengar dia berusaha untuk tidak terbawa perasaan memelasnya sendiri. Itu pula salah satu sifat yang dikagumi Ki Kusumo. Menilai dari sinar matanya, Nyai Cemarawangi tahu Satria tidak berdusta. Rasa keibuannya agak tersentuh juga.
"Baiklah. Kau boleh ikut kami...,* katanya memutuskan. Satria tersenyum senang. Tresnasari cemberut sejadi-jadinya.


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

PERAMPOKAN besar-besaran siap terjadi di perbatasan Kadipaten Ketawang dengan Jogoboyo, wilayah yang telah direbut pihak Demak dari Majapahit dalam babad sengit beberapa purnama lalu.
Saat itu, malam telah menjelang. Bulan sabit diselimuti awan tambun di angkasa. Sinarnya tak kuasa untuk mene-rangi permukaan bumi. Ditengah-tengah kegelapan, satu pasukan berkuda yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang beriringan menyusuri jalan menuju bentangan hutan bakau sebelah barat Jogoboyo. Kuda-kuda mereka berjalan tak lambat, ju-ga tak cepat. Tangan masing-masing pe-nunggang memegang obor. Penunggang terdepan memegang tombak panjang. Di ujungnya diikatkan panji segitiga sama kaki sepanjang emvpat jengkal berwarna merah dengan gambar seekor kelelawar penghisap darah.
Mereka adalah Panji Prajurit Siluman atau Laskar Lawa Merah. Sepasukan perampok, di bawah pimpinannya yang bertubuh raksasa
Sejak kekacauan meletus di mana-mana akibat peta kekuatan Kerajaan Majapahit tercabik-cabik, keadaan jadi tak lagi terkendali. Dan hilangnya tongkat komando kerajaan yang pernah mencita-citakan penyatuan Nusantara di bawah sumpah Mahapatih Gajah Mada itu, menyebabkan kekuatan demi kekuatan pasukan mereka terpecah berkeping. Sebagian di antara orang-orang berpengaruh Majapahit membangun gerakan mulia seperti mendirikan pondok-pondok persilatan. Ada juga yang menjadi pertapa suci, atau sesepuh masyara-kat suatu daerah yang berwibawa dan disegani.
Karena haus kekuasaan, ada juga di antara mereka tak dapat menguasai diri untuk membentuk kekuatan sendiri-sendiri. Mereka mengambil jalan yang dianggap dapat dengan cepat mewujudkan keinginan mereka meraih kekuasaan.
Salah seorang di antara mereka adalah Dirgasura. Dia membentuk gerombolan perampok. Terdiri dari para bajingan-bajingan yang dulunya selalu merongrong kerajaan. Dirgasura dan antek-anteknya kemudian menjadi satu gerombolan yang paling ditakuti di sepanjang pesisir Jawa Tengah. Mereka menyebut diri sebagai Panji Prajurit Siluman. Kawanan perampok yang selalu membawa panji-panji berwarna merah bergambar kelelawar penghisap darah. Penduduk kerap pula menjuluki mereka sebagai Laskar Lawa Merah.
Dirgasura memiliki tubuh yang lebih besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran tubuh orang biasa.
Tingginya mencapai dua meter. Bentuk badannya kekar berotot. Dadanya bidang mengembung, ditumbuhi bulu lebat. Lehernya besar, mengimbangi kekarnya bagian tubuh yang lain. Karena begitu bero-totnya, punuk lelaki itu lebar menonjol seperti seekor kerbau liar. Wajahnya sendiri sebenarnya tak tergolong menyeramkan, bahkan boleh dibilang biasa-biasa saja. Namun, matanya selalu membersitkan ketelengasan. Dagu perseginya dihiasi brewok kasar. Dan dia selalu berpakaian perang yang di bagian dadanya terbuat dari lempengan logam, untuk menunjukkan kekuasaannya seperti yang dilakukan para manggala.
Kini, Laskar Lawa Merah atau Panji Prajurit Siluman memasuki wilayah perbatasan antara Ketawang dan Jogoboyo. Mereka punya rencana khusus untuk membumihanguskan desa-desa di sekitar dan menguras harta serta wanita muda di sana. Rencana tersebut sudah dipersiapkan Dirgasura sejak lama sebelumnya.
Wilayah sasaran jarahan sendiri kini berada di bawah kekuasaan pasukan Demak. rada di bawah kekuasaan pasukan Demak. Mereka membentuk basis kekuatan di sana karena daerah pesisir tersebut dianggap strategis sebagai pintu gerbang masuknya armada laut ke daratan. Dengan begitu, tentu saja pasukan yang ditempatkan pihak Demak di sana terbilang berkekuatan besar.
Jika Dirgasura mencoba menyerang melalui sisi utara, maka dia harus berhadapan langsung dengan kekuatan pasukan Demak yang ditempatkan di sana. Tentu saja mereka akan dihancurleburkan. Untuk menghindari hal itu, Dirgasura memakai siasat gerilya. Dia tak menyerang melalui perbatasan yang dijaga ketat, melainkan melalui pintu masuk yang dianggap memiliki pertahanan terlemah. Pintu masuk yang dimaksud adalah wilayah rawa bakau. Menurut perhitungan Dirgasura sebagai seorang pimpinan perampok yang berpengalaman, tentu pasukan Demak tak akan mengira serbuan dari wilayah rawa. Pertama karena wilayah itu amat berbahaya untuk dimasuki. Banyak buaya liar berkeliaran. Selain itu, pasukan yang mencoba menerobos ke sana harus menempuh perjalanan tanpa kendaraan menembus rawa setinggi pusar selama satu malam. Lebatnya hutan bakau tak memungkinkan untuk menggunakan perahu. Besar kemungkinan selama merambah bentangan rawa, mereka akan diserang nyamuk-nyamuk pembawa penyakit. Kesiapan tempur mereka akan terkoyak setibanya di batas rawa penghubung ke wilayah kekuasaan pasukan Demak. Belum lagi banyaknya hewan-hewan melata berbisa.
Namun, Dirgasura tak ingin melakukan bunuh diri terhadap pasukan sendiri. Dia telah mempersiapkan perambahan rawa tersebut secara cermat dan matang.
Untuk mengatasi serangan buaya-buaya penghuni rawa, sang pemimpin gerombolan perampok memerintahkan anak buahnya membuat keranda setinggi dada manusia. Bagian bawah dan atasnya terbuka, hingga memungkinkan seseorang bisa berjalan bebas di dalam kurungan keranda. Keranda itu terbuat dari rotan memanjang yang disatukan satu dengan yang lain dengan tali dari samakan urat binatang. Panjangnya cukup untuk mengurung tubuh tiga orang. Dengan keranda rotan itu, mereka akan merambah rawa bakau. Buaya tak akan bisa mendekati mereka karena terhalang keranda. Sedangkan ikatan tali dari samakan urat banteng pada rotan menyebabkan keranda tersebut dapat lentur meliuk ke sana-ke sini di antara tetumbuhan bakau.
Untuk menghindari serangan nyamuk-nyamuk rawa pembawa bibit penyakit menu-lar, Dirgasura mendatangi seorang tabib ahli yang pernah dikenalnya ketika sebelum menggalang para perampok. Diperintah-nya tabib itu untuk membuat ramuan mengu-sir nyamuk yang diborehkan ke kulit.

"Aku mendengar Pak Tua Kusumo, pemilik warung di pusat kadipaten, mengatakan kalau kau sedang sakit, Bik. Apa benar begitu?"
Satria bertanya pada Nyai Cemarawangi. Ketika itu mereka bermalam di hutan. Desa terdekat masih cukup jauh. Sementara malam sudah terlalu larut untuk menempuh perjalanan. Karenanya mereka membuat api unggun. Bocah itu duduk di atas batang pohon kayu tua yang roboh di atas tanah, menghadapi api unggun. Warna merah cahaya api menari-nari di wajah bergaris kokoh Satria.
Berseberangan dengannya, duduk Tresnasari. Sejak sore gadis tanggung itu terus merajuk. Dia tak mau bicara sepatah pun kalau tidak ditanya. Seperti tidak ingin peduli pada pertanyaan Satria pada ibunya, Tresna mempermainkan bara api unggun dengan batang pohon kering.
"Ya," Sahut Nyai Cemarawangi berbareng helaan napas.
"Sakit apa, Bik?" Susul Satria, ingin tahu lebih banyak.
Atau mungkin dia hanya ingin berbasa-basi, mengingat gadis sebayanya terus saja memperlihatkan wajah permusuhan. Inginnya dia berbincang-bincang dengan Tresnasari. Pasti banyak bahan obrolan yang bisa dibicarakan oleh sepasang remaja seperti mereka.
Tapi, Tresna dingin saja terhadapnya. Jangan lagi bicara, melirik pun tidak. Satria merasa dirinya hanya dianggap kentut.
Brengsek! Helaan napas Nyai Cemarawangi terdengar lagi. Lebih berat dan berbeban dari sebelumnya. Sambil meluruskan kaki, pandangan perempuan itu menerawang.
"Entahlah.... Aku sudah berusaha mencari tabib yang dapat menyembuhkanku. Namun sampai sekarang, penyakitku tetap tak terobati. Aku tetap saja makin payah," Jawabnya kemudian.
Ketiganya hening.
Satria hanya bisa menatap iba wajah perempuan empat puluhan yang kian memucat dalam sapuan lamat cahaya api unggun itu. Diam-diam, Satria kagum juga terhadap diri Nyai Cemarawangi. Wajahnya tak sedikit pun membersitkan rasa kekalahan. Sinar matanya bahkan memperlihatkan seolah dia siap ditantang pe-nyakitnya sendiri untuk melakukan apa pun. Tak ada keluh di sana.
Bunyi gemeritik bara api yang di-mainkan Tresnasari terdengar, ditingkahi derik ramai jangkrik di kejauhan. Nyai Cemarasari merebahkan tubuhnya yang demikian penat dan lunglai di atas rumput. Dengan caping, diganjalnya kepalanya. Tampaknya dia mulai mengantuk. Keadaan tubuhnya memang tak memungkinkan dia bertahan tidak tidur terlalu lama. Dia butuh istirahat.
"Tidurlah lebih dulu, Nyai. Biar aku berjaga-jaga," Kata Tresnasari, memecah kebungkaman dirinya sendiri.
Nyai Cemarasari tersenyum rapuh. Dia tahu benar anaknya sedang dilanda kasmaran. Namun karena ini masalah cinta pertamanya, gadis remaja itu malah tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya cuma muncul kekesalan pada diri Satria. Meski tanpa alasan sama sekali.
"Anak muda... anak muda..," Bisik Nyai Cemarasari, samar sekali, sambil menatap anak gadisnya.
Malam beringsut lagi. Satria duduk memeluk lutut. Dingin bukan main.
Pakaiannya yang sudah usang dan koyak-moyak sudah tak cukup untuk mengenyahkan dingin. Matanya sejak tadi sudah meredup-redup diserbu kantuk. Hanya dia berusaha terus untuk melawannya, kantuk itu akhirnya minggat sendiri. Dia tak boleh tertidur, pikirnya. Sebab Nyai Cemarasari sudah terpulas.
Sementara Tresnasari mulai terkantuk-kantuk. Sesekali Satria menambahkan dahan pohon kering ke api unggun yang mulai meredup. Sewaktu menatap Nyai Cemarasari, Satria jadi terbayang pada seorang perempuan setengah baya yang mati tergeletak di dekatnya ketika dia tersadar dari pingsan, seusai badai.
Sampai sekarang, bocah dekil itu tidak ingat siapa wanita itu sebenarnya. Apa hubungan dengan dirinya? Mungkinkah wanita setengah baya itu ibunya? Sampai detik itu juga, Satria tetap tak ingat asal-usul dirinya.
Suatu ketika, terdengar semliweran halus dari belakang tubuh bocah itu. Satria tersentak. Kepalanya menoleh cepat. Dan dia terpana saat itu juga.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang melenting-lenting ringan di atas dahan-dahan pepohonan Bagai tertenung, Satria terpaku tanpa berkedip. Ditatapinya terus bayan-gan tadi, sosok yang terus bergerak demikian lincah melebihi seekor kera pohon menuju arahnya.
Yang lebih membuat bocah itu terpana-pana lagi, sosok itu bahkan membuat satu ranting setipis batang lidi untuk jejakannya Jleg! Dengan suara teramat halus, sosok itu hinggap tepat di depan Satria. Seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat kepala kain warna hitam pula. Manakala menyaksikan wajahnya, Satria dibuat bertambah terperanjat. Rambut putih sebatas bahu itu, kumis putih lebat itu. Alis mata yang tumbuh jarang dan gurat-gurat ketuaan di wajahnya itu....


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

"PAK Tua Kusumo?" Desis Satria tak percaya.
"Apa kabar, Bocah?" Sapa lelaki tua itu, yang ternyata Ki Kusumo, pemilik kedai tempat Satria bekerja beberapa hari lalu di pusat Kadipaten Ketawang.
Hanya pakaian orang tua itu yang kini berbeda dari yang dilihat sebelumnya. Sambil tersenyum didekatinya Satria. Dia duduk tepat di batang pohon sebelah bocah dekil itu.
"Aku bawa empat ekor ayam hutan gemuk untuk makan malam kita," Katanya enteng tanpa takut membangunkan dua wanita yang kini sudah terpulas. Lalu diangkat-nya tangan kanan. Ada empat ekor ayam jantan mati.
"Cepat kau siangi!" Satria menerima empat ekor ayam ta-di dengan mata terus menatapi wajah Ki Kusumo Selesai menyiangi, dipanggangnya empat ekor ayam itu di atas api unggun. Tak begitu lama, sudah tercium bau sedap ayam bakar.
"Kita akan makan besar!" Seru Ki Kusumo. Yang membuat Satria heran, dua wanita yang tertidur sama sekali tak te-rusik dengan seruan yang sebenarnya tergolong keras itu. Apalagi dilakukan Ki Kusumo di dekat mereka berdua.
"Kenapa kau terus menatapi aku seperti itu, Bocah?" Tanya Ki Kusumo, mendapati Satria terus saja memperhatikannya seolah benda ajaib yang baru saja jatuh dari langit. Satria menggelengkan kepala, entah apa maksudnya. Alis jarang Ki Kusumo bertaut.
"Kau tak tahu alasanmu menatapi aku seperti itu?" Perangahnya.
"Oh, itu Pak Tua Kusumo...." Bocah itu terkesiap sesaat. Dia akhirnya menyadari sikap bodohnya.
"Aku cuma tak percaya kalau aku benar-benar telah bertemu dengan orang tua pemilik warung itu," Sambungnya, setelah cukup mampu menguasai rasa herannya. Ki Kusumo terkekeh. Cukup keras. Dan lagi-lagi itu tak menyebabkan Nyai Cemarawangi dan Tresnasari terbangun. Sambil melirik dua wanita itu, Satria menambahkan pertanyaan.
"Aku juga tak percaya, bagaimana mereka bisa tak terbangun sementara kau begitu enak bicara dan tertawa," Ungkapnya seperti bergu-mam.
"Jangan-jangan, aku cuma bermimpi. Dan kau pun cuma bagian dari mimpiku." Kembali Ki Kusumo terkekeh keras.
"Kau tidak sedang bermimpi, Cah Bagus! Mereka memang telah aku 'sirap'..."
"Sirap?"
"Ah, itu semacam keahlian yang bisa membuat orang tertidur pulas." Satria terbengong-bengong tak mengerti.
"Asal kau tahu saja. Sebenarnya, kau pun kujadikan sasaran 'sirap'ku. Sialnya, kau seperti tak mempan. Aku heran, bagaimana bocah seperti kau mampu melawan pengaruh sirapku...," Tambah Ki Kusumo seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Di pancar matanya terbetik rasa kagum pada kemampuan si bocah tanggung untuk melawan rasa kantuk yang disebabkan oleh pengaruh sirapnya. Buat seorang bocah yang tak memiliki kepandaian kedigdayaan sedikit pun seperti Satria, sebenarnya hal itu sungguh luar biasa. Orang berkepandaian saja masih jarang yang bisa menahan pengaruh 'sirap'nya, kecuali beberapa orang yang memiliki kesaktian tingkat tertentu, Rahasia yang menyebabkan Satria dapat melawan pengaruh 'sirap'nya membuat Ki Kusumo dibuat penasaran. Sedangkan Satria masih juga terbengong-bengong tak mengerti.

* * *



Ki Kusumo memiliki nama asli Raden Giri Kusumo. Dia adalah seorang ningrat dari Singasari. Sejak mudanya, dia gemar mengembara ke berbagai daerah untuk mem-perdalam ilmu kedigdayaan dan ketabiban.
Banyak daerah telah dikunjunginya. Bahkan dia pernah memburu satu ramuan obat-obatan hingga ke Tibet. Selama bertahun-tahun dia berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Beragam obat-obatan, seni pijat, ilmu ketabiban hingga ilmu kanuragan selama itu pula didapatnya.
Menjelang berusia empat puluh tahun, Raden Giri Kusumo kembali ke tanah Jawa. Namanya kemudian harum sebagai salah seorang tabib sakti kepercayaan kalangan Kerajaan Majapahit yang kala itu mencapai puncak keemasan di bawah kekuasaan Prabu Rajasanegara atau Hayam Wuruk. Namun karena sifatnya yang tak ingin terikat oleh apa pun, pihak kerajaan tak bisa memintanya untuk menjadi tabib istana. Karena sifat tak ingin terikat pula, Raden Giri Kusumo melepas gelar darah birunya. Dia hanya memakai nama Kusumo saja.
Ketika hari berganti, kalangan persilatan tanah Jawa malah lebih mengenalnya dengan julukan Tabib Sakti.
Ketika Majapahit dilanda perang saudara sepeninggalan Prabu Rajasanegara, Ki Kusumo mengasingkan diri di sebuah pulau karang yang terpencil di sekitar Laut Selatan. Dia benci pada setiap pertumpahan darah yang menggerogoti Majapahit. Jarang Ki Kusumo kembali ke dunia persilatan kecuali setiap lima tahun sekali. Banyak kalangan istana yang sakit dan membutuhkan pertolongannya tak bisa berbuat apa-apa kecuali menanti sampai dia turun kembali ke dunia persilatan. Bahkan ada yang akhirnya menemui ajal sebelum berhasil menanti sampai sang Tabib Sakti kembali.
Pulau karang tempatnya mengasingkan diri disebut orang Pulau Dedemit karena bentuknya yang menyeramkan dan menyerupai sosok dedemit jika diperhatikan malam hari. Jika malam hari pula, beberapa nelayan yang kebetulan melewati pulau itu sering mendengar suara-suara seperti orang menangis tersedu-sedu. Lalu timbulah kepercayaan orang bahwa pulau itu adalah pulau yang dihuni oleh dedemit.
Lalu julukan Ki Kusumo pun bertambah. Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki tua itu sebenarnya sudah berumur demikian lanjut. Usianya lebih dari seratus tahun. Karena beberapa obat-obatan yang diminumnya, dia tampak seperti orang tua berusia tak lebih dari tujuh puluhan. Dua tahun lalu, dia turun ke dunia persilatan kembali. Itu lebih awal setahun dari kebiasaannya turun lima tahun sekali. Sekali ini dia mempunyai niat khusus.
Hendak dicarinya seorang murid yang bisa diturunkan ilmu ketabiban dan kanuragan miliknya. Untuk itu, Ki Kusumo sengaja menyamar sebagai seorang pedagang kecil. Sebelum-sebelumnya dia sempat juga menyamar menjadi seorang gembel, atau penarik pedati, dan samaran lain yang tak pernah disangka-sangka orang.
Kebetulan, ketika sedang menyamar di pusat Kadipaten Ketawang, orang tua sakti itu bertemu dengan si bocah gelandangan, Satria. Dengan mata tua yang terlatihnya Ki Kusumo bisa menilai bagaimana bagusnya bentuk tulang Satria, biarpun tubuhnya sendiri kurus. Timbul simpati pertamanya pada Satria.
Itu saja belum lagi cukup.
Ki Kusumo tak hanya ingin mencari murid yang bi-sa menurunkan kesaktian semata. Murid itu harus juga memiliki sifat-sifat seorang ksatria sejati. Pucuk dicinta ulam tiba, Satria ternyata memiliki pula sifat-sifat itu.
Dalam tingkahnya yang terkadang acuh, terpendam sifat keras kemauannya. Dalam tingkahnya yang terkadang kebodoh-bodohan, justru tersimpan kecerdasan. Dalam tingkah yang terkadang sok, malah terpendam sifat rendah hatinya. Dan semua itu hanya dapat dilihat oleh mata yang berpengamatan jeli seperti Ki Kusumo. Lalu, sejak Satria pamit padanya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit pun terus berusaha memantau Satria. Sampai dengan pertemuan kedua mereka di hutan perbatasan Ketawang-Jogoboyo malam itu.

* * *



Menjelang pagi, Laskar Lawa Merah berhasil merambahi rawa bakau. Mereka terus bergerak lambat mendekati batas wilayah kekuasaan pasukan Demak dengan pertahanan terlemah. Di tepi bentangan rawa sebelah barat sebelumnya, mereka meninggalkan kuda tunggangan masing-masing.
Keranda yang mereka persiapkan untuk mengarungi rawa bakau mereka turunkan dari sisi pelana kuda. Lalu setiap tiga orang mengurung tubuh bagian pinggang hingga ke kaki dengan tiap keranda, dan mulai turun ke dalam air rawa yang keruh dan dingin. Tangan mereka memegangi batang kayu yang diikatkan pada puncak keranda. Sedangkan seluruh senjata mereka digantungkan di punggung.
Setelah berhasil menempuh waktu hampir satu malam dan berhasil mengatasi serangan buaya-buaya lapar dengan susah-payah, mereka berhasil juga mendekati daerah sasaran.
Di kejauhan, terlihat kerlap-kerlip lampu-lampu minyak yang be-rasal dari rumah-rumah penduduk dan tenda-tenda prajurit Demak. Jauh di tepi rawa, cuma ada satu menara kayu yang diban-gun setinggi empat tombak.
Ada tiga orang di sana. Satu orang berdiri di menara. Sisanya terlihat berdiri di bawah pohon besar. Keduanya bercakap-cakap sambil menghisap lintingan rokok kawung. Tepat seperti perkiraan Dirgasura, batas wilayah itu memang tak dianggap berbahaya oleh pasukan Demak.
Buktinya mereka hanya menempatkan tiga prajurit. Dan itu membuat Dirgasura makin bernafsu untuk secepatnya menjarah harta dan membawa lari beberapa wanita dari daerah tersebut. Belum lagi harta rampasan perang milik pasukan Demak yang kabarnya belum sempat dikirim ke pusat.
"Bagus...," Desis Dirgasura. Matanya berkilat-kilat nyalang.
"Saatnya kita berpesta-pora!" Lalu mereka mulai bergerak lambat kembali.
Pada jarak yang dianggap cukup dekat dari tiga prajurit Demak, Dirgasura memerintah tiga orang anak buah ahli panahnya untuk memulai aksi. Tak jauh dari wilayah sasaran serangan Laskar Lawa Merah, tepatnya di tempat Satria, Nyai Cemarawangi dan Tresnasari beristirahat, dua orang lelaki bertaut usia amat jauh masih terlibat percakapan.

"Jadi, kau ini sebenarnya siapa, Pak Tua Kusumo?" Tanya Satria.
"Kau tak perlu menanyakan itu."
"Kenapa tak perlu? Aku bahkan merasa harus menanyakan siapa dirimu sebenarnya. Sebab aku curiga. Sebelumnya kau berpura-pura menjadi seorang pemilik warung kecil. Dan tiba-tiba, kau muncul dengan 'kedok' aslimu...," Sengit Satria.
Di tangannya masih tersisa sepotong besar panggang ayam. Setengah bagiannya sudah tandas ke dalam perutnya tanpa tedeng aling-aling. Ki Kusumo terkekeh.
Padahal siapa pun tak akan menganggap ucapan Satria barusan sebagai suatu yang lucu. Apalagi sampai ditertawakan. Tapi sekali ini rupanya orang tua itu punya alasan yang cukup tepat.
"Kau bilang kau curiga padaku. Tapi kau menyikat begitu saja ayam bawaanku...." Satria menatap sejenak sisa besar panggangan ayam di tangannya. Mulutnya masih terus mengunyah tiada henti seperti seekor anak lembu
"Terang saja aku akan memakannya. Aku sudah begitu lapar!"
"Bukan itu, maksudku. Mestinya kau curiga juga kalau-kalau aku meracuni ayam itu," Ki Kusumo terkekeh lagi.
"Iya-ya...," Ujar Satria kebodohan. Tapi terus saja dia mengunyah daging di mulutnya.
"Jadi apa alasanmu sebenarnya menanyakan siapa diriku? Tentu bukan curiga, kan?" Satria menyikat lagi panggang ayam di tangannya. Belum lagi kunyahan di mulut tertelan.
"Apa ya? Ah, tak tahulah. Pokoknya aku penasaran pada dirimu, Pak Tua!"
"He-he-he. Sebenarnya, aku juga penasaran pada dirimu, Cah Bagus!"
"Penasaran bagaimana?" Ki Kusumo tak segera menjawab. Tresnasari yang tertidur beberapa tindak didekatnya mulai bergeliat.
"Mmm, tampaknya aku mesti segera pergi...," Ucap Ki Kusumo.
"Tapi, Pak Tua..." Belum selesai kalimat Satria, tubuh si orang tua sudah melenting ringan ke atas dahan pohon.
Di atas dia berkelebat dan hilang di kegelapan. Ayam jantan hutan mulai terdengar berkokok di kejauhan. Shubuh telah tiba.
Tresnasari terbangun.
Menyaksikan ada tiga ekor ayam panggang di atas api unggun, dia menatap Satria terheran-heran. Bagaimana si kambing buduk ini sempat-sempatnya berburu ayam hutan di malam hari? Empat ekor pula?
"Ayo, makan. Jangan malu-malu!" Satria mempersilakan dengan mulut masih terjejal daging panggang.
Sepertinya memang benar-benar dia yang telah susah payah mencari ayam hutan! Di penghujung dini hari, sebelum warna kuning pucat matahari pagi menyembul perlahan di sebelah timur, orang-orang Laskar Lawa Merah melakukan serangan gelapnya.
Tiga orang prajurit Demak yang sedang berjaga di batas rawa bakau mengalami nasib naas terkena anak panah. Tepat di dada kiri masing-masing, anak panah milik anak buah Dirgasura menghujam sasaran. Prajurit di atas menara pengawas tak sempat melempar teriakan sedikit pun.
Ketika terkena, tubuhnya terhuyung sebentar. Tangannya mendekap bagian dada yang tertembus. Setelah itu tubuhnya limbung ke depan dan jatuh melayang deras ke bawah. Tepat pada saat bersamaan, dua prajurit di bawah pun mengalami kejadian serupa. Keduanya hanya sempat mengeluh tertahan. Keduanya kemudian tersungkur ke dalam rawa.
Beberapa ekor buaya yang kebetulan berada di sekitar tempat itu segera memburu ke arah dua prajurit tadi. Binatang-binatang berdarah dingin itu berebutan, menciptakan riak permukaan rawa yang kemudian berwarna kemerah-merahan. Mereka berpesta pora menikmati sarapan pagi.
Setelah membereskan ketiga prajurit penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kembali mendekati tepi rawa. Gerakan mereka kali ini tak lagi lambat. Seperti sekawanan anjing lapar yang melihat tumpukan tulang di depan mata, mereka memburu ke tepi.
Meski begitu, tak ada keributan berarti mereka ciptakan. Di tepi rawa bakau, mereka melepaskan keranda pelindung. Selanjutnya pasukan yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang itu mengendap-endap menuju barak-barak pasukan Demak Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa Merah melanjutkan serangan gelap.
Beberapa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai hawa shubuh menemui ajal disergap secara tiba-tiba. Ada yang bernasib serupa dengan tiga prajurit penjaga, tertembus anak panah anak buah Dirgasura. Ada yang diti-kam dari belakang dengan pisau. Ada juga yang digorok lehernya dengan telengas! Semua itu memang bagian dari rencana pemimpin gerombolan, Dirgasura.
Lelaki bertubuh mirip raksasa itu tahu benar, mereka tak akan memiliki kesempatan unggul jika harus menghadapi secara langsung kekuatan pasukan Demak yang bermarkas di sana.
Kalau dibuat perbandingan, jumlah pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan pasukan Demak. Satu-satunya taktik yang mungkin dijalankan adalah melakukan serbuan gelap. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis.
Setelah menumpas seluruh prajurit penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur siasat selanjutnya. Untuk melakukan perang terbuka, Dirgasura masih belum mau mengambil resiko. Meski sudah cukup banyak prajurit Demak terbunuh, namun jumlah mereka yang kini masih terlelap di dalam barak tetap tak imbang dengan jumlah anak buahnya.
Karenanya, Dirgasura mencoba mengikis lebih jauh kekuatan pasukan Demak dengan cara yang tak kalah telengas dari sebelumnya. Disiapkannya tabung-tabung racun. Tabung-tabung dari bambu itu memiliki sumbu. Jika sumbu dibakar, maka serbuk racun di dalam tabung akan mengeluarkan asap tipis mengandung racun mematikan.
Jika dalam satu tarikan napas saja asap itu tersedot ke dalam paru-paru, ma-ka dalam beberapa hitungan jari, korban akan menemui ajal dengan mulut mengeluarkan busa! Racun itu didapat salah seorang Manggala Majapahit di masa kekuasaan Prabu Kertarajasa lebih dari seratus tahun lalu, dari para prajurit Tartar.
Ketika pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung dengan pasukan Majapahit untuk menyerang Kediri, si Manggala sempat mempelajari beberapa ilmu racun Cina. Termasuk racun asap mematikan yang kini hendak dipergunakan Dirgasura. Beberapa tahun kemudian, Manggala itu justru mati oleh salah satu racun yang dipelajarinya. Catatan-catatannya hilang begitu saja.
Rupanya ada orang dalam yang berhasrat menguasai ilmu racun Cina itu, lalu membunuh si Manggala secara licik. Orang tersebut adalah kakek Dirgasura. Secara diam-diam ilmu racun Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirgasura, tanpa pernah diketahui sama sekali oleh pihak istana yang lain. Karena kebetulan sekali barak-barak pasukan Demak dibuat dari tenda kulit hewan, maka dengan mudah asap beracun akan tertahan di dalam jika seluruh tenda tertutup.
Namun sebelum gerombolan perampok berdarah dingin itu memulai, mereka dikejutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-talu dari satu bangunan kecil di sebelah timur barak.
Dung-dung-dung...! Mereka terperanjat.
Pada saat yang sama, prajurit Demak di dalam barak mulai terbangun. Menyusul terdengar sayup-sayup suara seruan seseorang. Panjang, meliuk-liuk dan mengalun.
Rupanya, suara tabuhan keras, cepat dan bertalu itu berasal dari bedug di langgar kecil yang dibuat khusus oleh pasukan Demak untuk melaksanakan shalat. Sedangkan seruan panjang yang mengikutinya adalah suara azan.
Dalam keadaan tak terduga itu, salah seorang prajurit Demak sudah keluar dari barak. Salah seorang anak buah Dirgasura cepat melepas anak panahnya. Karena dilakukan dalam keadaan terburu, anak panah itu melesat tak tepat ke sasaran yang dituju. Mestinya dada kiri korban tujuannya, tapi yang terkena malah bahu kirinya.
"Aaaaaa! Ada serangan!" Teriakan si prajurit Demak yang terkena panah pun menyeruak awal shubuh yang semula hening.
Maka, seluruh pasukan dalam barak bangun tersentak. Mereka menerobos keluar dari barak-barak dengan senjata di tangan meskipun keadaan mereka belum lagi siap untuk melakukan pertempuran....
Telanjur diketahui, Dirgasura tak ingin mental anak buahnya jadi hancur. Segera saja dia meneriakkan seruan perang, menyulut api semangat anak buahnya.
"Seraaaaaaang!" Menyusul setelah itu, bunyi denting senjata dan teriakan haus darah Laskar Lawa Merah.
Dirgasura sendiri sudah lebih dahulu maju membabat beberapa prajurit Demak yang tak siap menghadapi terjangannya. Sepertinya dia tahu benar, dengan begitu anak buahnya tak akan memikirkan lagi jumlah mereka yang lebih sedikit. Prahara pun berlangsung!

* * *



Pagi menjelang. Kokok ayam jantan terus bersahut-sahutan dari menjelang shubuh hingga kini. Matahari mulai meng-hangatkan bumi, mengenyahkan embun yang bergerak lamat-lamat. Sinar mulai bende-rang di ufuk timur.
"Pagiiii! Selamat pagi!!!!" Gila-gilaan, Satria berteriak sendiri di puncak pohon jangkung.
Di salah satu batang yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak itu duduk bertengger sambil mengayun-ayunkan kaki seenaknya. Entah pada siapa tabik itu hendak ditujukannya. Tak ada yang tahu. Barangkali, bocah itu sendiri tak tahu juga. Dia hanya ingin meneriakan salam, maka dia teriakan. Itu saja.
Yang jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran dalam dirinya, meski hampir semalaman dia tak tidur. Apalagi karena perutnya sudah aman dari rasa lapar setelah menandaskan sepotong ayam panggang bakar dinihari tadi.
"He! kambing buduk! Jangan seenaknya berteriak! Memangnya cuma kau saja yang punya telinga?!" Di bawahnya, Tresnasari sudah berdiri bertolak pinggang.
Dia dongkol sekali pada teriakan Satria barusan. Karena teriakan itu, dia jadi bangun mendadak. Kepalanya berdenyut-denyut. Matanya berkunang-kunang. Dikiranya ada gempa bumi. Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting' berteriak-teriak tak karuan dari atas pohon.
Ketika terjaga semalam, Tresnasari melanjutkan tidurnya. Tawaran ayam panggang Satria ditolaknya mentah-mentah. Lebih baik dia melanjutkan tidur dengan perut keroncongan daripada menerima tawaran bocah yang membuatnya sebal itu. Satria tak keberatan dengan penolakan Tresnasari. Pikirnya, dengan bakal ada jatah ayam panggang tambahan yang bisa disikatnya untuk sarapan pagi.
"Pagi, Nona...," Salam Satria.
Dipasangnya senyum semenawan mungkin. Dipandangan gadis tanggung berparas ayu yang disalaminya, senyum itu benar-benar menyebalkan. Sekali lagi menyebalkan. Tak pernah mimpi, bangun tidur disambut senyum seekor kambing buduk, dengus Tresnasari dalam hati. Terus memasang wajah bebas lepasnya, Satria turun dari atas pohon. Gayanya seperti seekor anak kera. Lincah dan cepat.
Sementara itu, Nyai Cemarawangi sudah pula terbangun. Dia duduk dahulu beberapa saat sebelum bangun dan menggeliatkan tubuh. Seperti juga Tresnawati semalam, wanita berusia empat puluhan itu agak terkejut juga melihat tiga potong ayam panggang di atas bara api unggun.
"Siapa yang telah berburu ayam panggang, Tresna?" Tanyanya pada sang putri. Tresna cemberut.
"Tak tahu!" Sahutnya ketus. Nyai Cemarawangi giliran melirik Satria.
"Kau yang berburu ayam hutan?" Tanyanya. Satria cengengesan.
"Bukan..." Akunya jujur. Nyai Cemarawangi tak percaya. Kalau bukan anaknya, pasti Satria. Masa' iya, panggang ayam datang begitu saja? Memangnya ada dedemit hutan yang suka berbuat baik membawakan makanan? Pikirnya.
"Kau baik sekali, Bocah. Kebetulan sekali perutku memang begitu lapar pagi ini. Tapi, ngomong-ngomong, apa kau terbiasa berburu ayam hutan waktu hari gelap?" Aju perempuan itu lagi, agak heran. Satria membesarkan kelopak matanya. Dia ingin Nyai Cemarawangi melihat mimik wajahnya yang mengungkapkan kesungguhan.
"Sungguh, bukan aku yang berburu ayam hutan itu, semalam...."
"Ya, sudahlah...," Sela Nyai Cemarawangi seraya menepiskan tangan ringan di udara.
"Kalau kau tak suka menerima ucapan terima kasihku," Tambahnya. Satria menggaruk-garuk keningnya tak gatal. Nyai Cemarawangi lalu mendekati panggangan ayam. Dijemputnya sepotong. Dia duduk di atas batang pohon roboh dan mulai memakannya.
"Tresna, apa kau sudah makan?" Tanya perempuan itu melihat putrinya terus saja membelakangi dengan tangan terlipat di dada.
Tak ada jawaban. Nyai Cemarawangi cuma bisa menaikkan bahu.
Satria yang berdiri menatap Nyai Cemarawangi melahap ayam panggang penuh selera, menelan ludah berkali-kali. Kira-kira, apa sudah waktunya aku makan lagi, ya? Bisik hati anak tanggung berambut kemerahan itu. Lapar, atau memang rakus? Ah, peduli setan, pikirnya. Didekatinya api unggun dengan sikap seolah-olah memang benar-benar dia yang telah berjasa berburu ayam hutan.
"Enak ayam panggangnya, Bik?" Ujarnya, sok berbasa-basi.
Padahal maksudnya cuma ingin menyikat satu potong lagi. Dan itu benar-benar dilakukan tanpa ragu-ragu. Maju pantang mundur, pikirnya ngawur. Ketika keduanya asyik menikmati daging panggang hangat, di kejauhan terdengar suara ribut-ribut.
Trang! "Hiaaaattt" Ketiganya tercekat.
Nyai Cemarawangi bangkit tergesa. Tresnasari malah sigap meloloskan sepasang belatinya. Lain lagi Satria, ketercekatan itu justru membuat kunyahannya makin seru saja


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

TAK begitu lama setelah terdengar teriakan, seseorang terlihat berlari di kejauhan.
Sekelebatan, Satria, Nyai Cemarawangi dan Tresnasari menyaksikan orang itu penuh luka pada tubuhnya. Di antara pepohonan, sosok orang itu timbul tenggelam.
Di belakangnya seseorang memburu ganas. Tangannya mengayun-ayunkan tombak bermata golok berlumuran darah, siap me-lemparkannya pada lelaki di depan. Arah lari mereka menuju tempat istirahat Nyai Cemarawangi dan dua muda-mudi yang bersamanya.
Tak berapa lama kemudian, sosok pertama yang penuh luka akhirnya tiba juga di tempat mereka. Tak lebih dari dua puluh langkah di belakangnya, si pengejar sudah mengangkat tinggi-tinggi tombak bermata golok di tangannya. Mata senjata itu diarahkan ke depan. Hingga pada saatnya....
"Mampus kau! Hih!!!" Wukh! Satria yang berada paling dekat dengan lelaki yang terluka entah mendapat dorongan keberanian dari mana, tiba-tiba saja melompat sepenuh tenaga. Diterjang-nya tubuh lelaki terluka tadi ke samping memaksanya jatuh bergulingan di tanah.
Jlep! Sekejapan dari terjangan nekat Satria, tombak bermata golok tertancap di satu batang pohon. Sasarannya luput.
Tindakan cepat dan amat berani telah dilakukan Satria untuk menyelamatkan lelaki tadi. Untuk seorang bocah tanggung yang tak memiliki bekal olah kanuragan sedikit pun, tindakan itu sebenarnya bisa dibilang luar biasa. Sempat Nyai Cemarawangi memuji ketajaman naluri bocah berambut kemerahan itu. Perempuan itu yakin, hanya dengan berbekal naluri saja Satria bertindak. Dia pun harus mengakui itu sungguh luar biasa!
"Ttterima... ka... sih," Hatur si lelaki terluka terbata-bata.
"Thi... dhak apha-apha...," Jawab Satria terengah-engah.
Saat itu, baru terpikir olehnya betapa tindakannya tadi telah mempertaruhkan nyawa semata wayangnya.
Bagaimana kalau tombak bermata golok yang dilempar si pengejar memangsa dirinya? Satria jadi bergidik juga membayangkan hal itu. Kalau dia tak di dekat orang yang baru ditolong, ingin disumpah-serapahinya diri sendiri karena telah berlaku nekat Si pengejar adalah lelaki berperawakan kekar. Berkumis hitam, menjuntai panjang sampai ke bagian dagu seperti orang Mongol.
Tapi, wajahnya jelas tidak menunjukkan dia orang Mongol. Matanya saja berkelopak besar, berkilat jahat. Hidungnya pesek. Kulitnya sawo matang.
Apa ada orang Mongol seperti itu? Lagi pula, pakaian orang itu berciri khas prajurit tanah Jawa. Cuma ada beberapa tambahan yang berkesan seram. Seperti sabuk tengkorak kepala ular yang dikenakannya.
"Siapa kalian?!" Seru lelaki berkumis panjang. Merah sekali parasnya mengetahui buruannya luput dari maut.
Satria cepat-cepat berdiri. Dia yakin lelaki seram itu akan marah besar padanya karena telah berbuat usil menyelamatkan buruan orang itu.
Usil? Satria meringis pada lelaki berkumis panjang.
Maksudnya mau sedikit merayu, supaya dia tak dijadikan sasaran kemarahan akibat keusilannya.
"Aku usil ya, Kang?" Ujarnya, kebodoh-bodohan.
"Diam kau!" Satria tercekat. Jakunnya naik sebentar, turun lagi, lalu naik lagi.
"Ada apa sebenarnya, Kisanak?" Sergah Nyai Cemarawangi, menengahi. Kakinya maju beberapa tindak, mendekati tempat Satria.
"Maafkan kalau, ng... anak lelakiku ini telah berbuat lancang. Tapi, mungkin dia hanya tak ingin ada tindakan main hakim sendiri," Sambung Nyai Cemarawangi. Si bocah dekil di sisinya mengangguk-angguk membenarkan, seperti seekor kakak tua. Padahal, sebelumnya terpikir pun tidak alasan seperti itu di benaknya.
"Tak perlu kau banyak tanya, Perempuan! Cepat kau serahkan saja lelaki itu padaku!"
"Tidak, sampai kau jelaskan duduk perkaranya!" Sela Tresnasari, menandaskan! Dari tempatnya berdiri gadis tanggung itu pun maju beberapa tindak.
"Bedebah!" Maki lelaki berwajah bengis.
"Setan alas!" Balas Tresnasari, sengit.
"Ular kadut!" Satria ikut-ikutan. Cuma sedikit latah pada saat keadaan jadi tegang seperti itu. Sewaktu menyadari dia telah memaki lelaki bertampang seram, buru-buru mulutnya didekap.
"Cukup, Anak-anak! tak selayaknya kalian bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua." Nyai Cemarawangi memperingati.
"Nah, Kisanak. Kurasa, pendapat anak perempuanku dapat kuterima. Aku harus tahu dulu duduk perkaranya sebelum menyerahkan lelaki ini," Lanjut Nyai Cemarawangi seraya menunjuk lelaki berseragam prajurit Demak. Luka-lukanya sudah banyak mengeluarkan darah. Khususnya pada bagian bahu yang tersayat dalam. Dia tampak begitu lemah. Wajahnya pucat.
"Kalian tak perlu bersikap sok pahlawan. Cepat serahkan saja keparat itu padaku, lalu kalian menyingkir dari tempat ini!"
"Sikapmu mencurigakan sekali, Kisanak. Kau memberi kesan pada kami kalau kau bukan orang baik-baik...." Tetap tenang bagai permukaan telaga, Nyai Cemarawangi menanggapi hardikan lelaki berkumis panjang. Mendengus-denguslah napas orang itu mendengar sindiran halus Nyai Cemarawangi yang mengena ke sasaran.
"Grrr! Sekali lagi, pergilah sebelum kesabaranku musnah!" Satria melirik Tresnasari.
"Bagaimana? Apa tak sebaiknya kita pergi saja? Orang ini tampaknya sinting, ya? Kau tak takut dikunyahnya? Seram, ah...." Tambah mendengus-dengus saja lelaki bertampang seram mendengar kasak-kusuk sembarangan Satria. Biji matanya mendelik. Warnanya merah matang. Lalu....
"Mampuslah kalian semua! Hiaaat!!" Dengan kemurkaan tak kalah menggidikkan dari amukan banteng mata gelap, lelaki kekar tadi menerjang dengan satu tendangan terbang. Kaki kanannya lurus ke depan.
"Menyingkir kau, Cah Bagus!" Seru Nyai Cemarawangi pada Satria.
Susahnya, Satria malah ngotot untuk tetap berdiri di tempatnya. Kalau ditanya apakah dia ngeri melihat perawakan dan wajah lelaki itu, dia pasti mengiyakan. Cuma, kalau masalah apakah dia takut? Maka, dia akan dengan agak pongah akan mengatakan, tidak. Sebabnya, bocah itu merasa tidak pantas kalau Nyai Cemarawangi yang dirangsak.
Bukankah semua itu karena kesalahannya? Karena dia telah usil menyelamatkan nyawa lelaki berpakaian prajurit Demak. Karena rasa bertanggungjawab pada perbuatannya tadi, membuat bocah itu tetap berdiri di tempatnya. Lebih gila lagi, bocah itu malah beranjak ke depan Nyai Cemarawangi.
Dengan mata terpejam, Satria sengaja hendak menghadang tendangan terbang lelaki tadi. Dadanya dibusungkan ke depan. Biarlah kena tendangan sekali-kali, buat menebus kesalahan, pikirnya.
Ah, dasar bocah lugu! Apa dikiranya nyawa satu-satunya akan selamat kalau terkena tendangan beringas itu, meski cuma sekali? Kenekatan Satria membuat Tresnasari membelalak sebesar-besarnya.
Dia saja yang sudah berlatih olah kanuragan selama bertahun-tahun akan berpikir berpuluh kali untuk memapaki tendangan kuat itu. Apalagi menghadang dengan dada? Itu namanya sinting!
"Kambing buduk tak punya otak!" Lengking Tresnasari sambil cepat menerkam tubuh Satria. Keduanya bergulingan saling himpit di tanah. Ketika berhenti, Satria sudah berada di atas tubuh si gadis tanggung.
"Bangun kau!" Hardik Tresnasari. Wajahnya bersemu merah. Matang sekali. Habisnya, Satria malah keenakan tak mau cepat-cepat bangkit. Si bocah dekil pun buru-buru bangkit bersungut-sungut.
"Memang, siapa yang menyuruhmu menyelamatkan aku?" Gerutunya, asam.
Plak! Selang beberapa kedip mata setelah luputnya tubuh Satria dari tendangan terbang lelaki bengis, terdengar suara keras.
Plak! Tangan Nyai Cemarawangi menyambut kedatangan terjangan kaki tadi.
Kalau menilik betapa kuatnya tendangan lawan, tentunya tubuh perempuan dalam keadaan sakit itu akan terlempar jauh. Setidaknya dia akan terseret beberapa tindak ke belakang. Itu justru tidak terjadi. Kuda-kudanya masih terpancang kokoh di tanah. Malah, lawannya meringis-ringis menahan nyeri ketika telah menjejakkan kaki kembali.
"Jangan memaksaku bertindak lebih jauh, Kisanak!" Nyai Cemarawangi memperingati.
Tangannya masih dalam posisi semula, memperlihatkan sikap menangkis. Wajah pucatnya tak berubah sama sekali. Tetap datar.
Kemarahan tetap kemarahan kalau orangnya sendiri sudah tak bisa menguasai diri. Mata gelap memang seringkali membu-takan penilaian sehat seseorang. Hal itu terjadi pada diri si lelaki bengis. Meski sudah tahu kalau kepandaian tarung lawannya tak sebanding dengan dirinya, dia masih saja mengumbar kemarahan.
"Pergilah kau ke neraka, Wanita Jadah!" Berkawal makian menyakitkan telinga seorang wanita terhormat seperti Nyai Cemarawangi, orang berkumis panjang berlari liar menggempur lawan kembali.
Tresnasari yang tak tega pada keadaan sakit ibundanya menjadi geram pada sikap keras kepala lelaki bengis. Dia tak pernah ingin sakit ibunya menjadi makin parah hanya karena melayani kekalapan bodoh seorang berangasan tak dikenal. Dari tempatnya berdiri, si gadis ayu baru beranjak remaja melompat. Di udara tubuhnya tergulung berjumpalitan. Arahnya menuju ke tombak bermata golok yang tertancap di batang pohon, beberapa depa di samping kancah perkelahian.
Wrrr....
Krakh! Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak. Tombak terpatah dua. Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.
Creph! "Ukh!" Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping!
"Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...," Tegur Nyai Cemarawangi.
"Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?" Kilah Tresna. Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat.
"Bocah perempuan keparat!!!" Sebuah suara lantang melantun kasar.
Dedaunan bergemerisik. Sebagian berguguran. Tubuh Satria tersentak kejang. Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol. Dia jatuh berlutut dalam keadaan menggigil. Tresnasari pun tersentak. Cuma dia tak separah Satria. Tubuhnya hanya tergetar sebentar. Bahkan badan Nyai Cemarawangi sempat tersentak. Wajahnya setegang otot-otot di sekujur tubuhnya.
Dari balik semak-semak rimbun, melayang ringan sesosok tubuh. Caranya melayang seolah-olah sedang berdiri tegak di udara saja. Gerakan yang mengagumkan, bahkan terbilang amat sulit dilakukan. Di tengah-tengah ketiga orang tadi, orang yang baru muncul menjejakkan kaki.
Seorang lelaki tinggi besar yang tak lain Dirgasura, gembong Laskar Lawa Merah! Daerah tempat Nyai Cemarawangi dengan sepasang muda-mudi itu memang berada tak jauh dari desa tempat basis pasukan Demak yang diserang gerombolan perampok di bawah pimpinan lelaki setengah raksasa itu.
Mereka berhasil memporak-porandakan kekuatan pasukan Demak meski jumlah mereka masih kalah banyak. Itu pun karena siasat licik Dirgasura juga.
Dia melancarkan taktik lain setelah rencana pertamanya hancur di tengah jalan. Sewaktu seluruh prajurit Demak keluar dari barak dengan senjata siap di tangan, Dirgasura turut melakukan gempuran awal di depan seluruh anak buahnya. Lawan terdepan diterabasnya tanpa ampun.
Beberapa prajurit langsung menemui ajal, menjadi korban senjata berbentuk kapak besar bermata duanya. Dia terus menerobos menembus setiap prajurit Demak yang mencoba menghadang. Tujuannya adalah salah satu rumah penduduk desa yang berdampin-gan dengan barak pasukan Demak.
Dengan kepandaian olah kanuragan yang dimiliki, sebenarnya gembong perampok yang dulu merajalela di zaman Majapahit itu mampu menghadapi pasukan Demak tanpa harus kehilangan nyawa. Dia bisa mengamuk sejadi-jadinya dan membunuhi sa-tu demi satu para lawan.
Tapi, persoalan anak buahnya akan lain lagi. Mungkin saja dia bisa menghadapi serangan-serangan prajurit Demak, namun dia tak ingin mempertaruhkan nyawa anak buah setianya. Semakin banyak anak buahnya tewas, maka dalam pandangan Dirgasura, akan semakin besar kekalahan yang ditelan. Karena itu dia lebih suka melaksanakan siasat licik lain. Lagi pula, dia memang ingin melaksanakan secepatnya penjarahan harta tanpa harus bertele-tele menghadapi pertarungan. Dirgasura berhasil mendekati satu rumah penduduk.
Dengan meminta dua nyawa lagi dari prajurit Demak yang mencoba menghalanginya, Dirgasura berhasil menerobos masuk. Di dalam rumah dia menemukan seorang ibu muda bersama seorang bayinya berdiri ketakutan di sudut ruangan. Dipaksanya ibu muda itu keluar beserta bayi dalam gendongannya. Tanpa mengenal belas kasihan, diseretnya si ibu muda yang menjerit-jerit ketakutan ke tengah-tengah pertempuran yang sedang berlangsung sengit.
"Hentikan serangan kalian jika tak ingin wanita dan bayinya ini mampus oleh kapakku!!!" Seru Dirgasura, teramat keras, menggetarkan arena pertarungan.
Bahkan menandingi riuh-rendah suara pertempuran sendiri.
Perlahan-lahan, gempuran pasukan Demak terhadap anak buah Dirgasura melemah. Satu demi satu prajurit Demak mundur beberapa tindak dari para lawannya. Setelah ancaman kedua terlepas dari tenggorokan Dirgasura, mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing.
Jika tidak, ketua perompak paling ditakuti di wilayah pesisir Jawa beberapa tahun belakangan itu akan mulai membelah kepala si bayi! Dirgasura kemudian memerintah anak buahnya untuk mengumpulkan seluruh prajurit Demak ke satu lapangan. Di dekatinya salah seorang tangan kanannya, lelaki kurus berkulit hitam berkepala botak ketu-runan India. Pada lelaki itu, Dirgasura berbisik sebentar.
"Kita tak mungkin menjarah harta rampasan perang mereka, mengangkut harta penduduk dan membawa wanitanya jika mereka masih hidup. Mereka cuma menyerah karena kita masih menyandera perempuan dan bayinya ini," Sambil berbisik, tangannya terus menempelkan mata kapaknya ke leher si ibu muda.
"Kalau kita lengah ketika sedang menjarah, mereka bisa menggempur kita lagi dengan tiba-tiba. Kau tahu mereka prajurit yang tak sudi menyerah, bukan? Jadi, bunuh mereka semua dengan serbuk racun!" Tambahnya, menuntaskan satu perintah keji yang pasti dilaksanakan anak buah setianya tanpa banyak tanya.
Maka, si lelaki keling yang banyak tahu tentang gejala alam itu mengamati arah angin beberapa saat.
Tahu angin telah bertiup tetap pada satu arah, diisya-ratkannya seluruh anggota Laskar Lawa Merah untuk berdiri di belakangnya. Kantong kulit yang tergantung di ikat pinggangnya, dilepas. Lalu....
Wrrrr! Sepenuh tenaga, dilemparnya kantong kulit tadi ke udara.
Seluruh prajurit Demak tanpa sadar mengikuti layangan kantong tadi. Sebelum sempat mencapai titik baliknya, kantong itu tertembus pisau baja kecil yang dilempar lelaki keling. Isinya pun berhamburan keluar.
Serbuk putih kehijauan memenuhi udara, melayang-layang lamat sejenak, lalu digir-ing angin sepoi-sepoi ke arah para prajurit Demak. Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya.
Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk. Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda. Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas. Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar.
Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun. Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang. Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelu-pas. Mereka bergelinjangan terus. Saling tindih, saling menyentak.
Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jantung. Jantung mereka terbakar. Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata luput terkena serbuk racun. Nasib memang sulit ditentukan. Terutama saat kematian yang selalu menjadi teka-teki siapa pun. Pada saat semua rekannya tewas terkena serbuk racun, salah seorang prajurit selamat. Lengahnya anggota gerombolan Laskar Lawa Merah saat menyaksikan para korban serbuk racun, segera dimanfaatkannya untuk melarikan diri. Prajurit yang bernasib baik itulah yang telah diselamatkan oleh 'keusilan' Satria belum lama.
"Kalian telah lancang membunuh seorang anak buahku!" Geram Dirgasura.
Matanya berkilat-kilat menggidikkan. Cuping hidungnya kembang-kempis cepat. Satria saat itu mulai bisa menggerakkan badan yang semula kaku tiba-tiba. Sendi-sendinya linu. Gendang telinganya masih terasa pedih. Sampai saat itu, dia masih belum bisa mendengar secara jelas. Untuk cepat-cepat bangkit, rasanya masih lemas. Jadi terus saja dia tertelungkup. Kepalanya diangkat perlahan. Pandangan ditebarnya.
Begitu dilihatnya seseorang tinggi besar bertolak-pinggang, matanya mengerjap-erjap. Disangkanya dia sedang sekarat, dan sosok yang dilihatnya adalah mambang penunggu hutan yang ingin menyesatkan jiwanya. Sewaktu sadar dia masih bisa hidup lebih lama, bibirnya langsung melepas cengiran tanggung.
Diperhatikan-nya lagi Dirgasura. Dilihatnya hidung si lelaki setengah raksasa kembang-kempis cepat diburu kemurkaan. Bocah yang hilang ingatan meski tak sampai sinting sama sekali itu lantas saja merasa harus mendekap hidungnya sendiri, tak tahan melihat gerak cuping hidung Dirgasura.
"Apa kalian tak tahu siapa yang telah kalian bunuh?!" Bentak Dirgasura kembali. Satria melirik Tresnasari. Sepanjang pengetahuannya, gadis tanggung itulah yang telah melempar nyawa si lelaki berkumis ekor tikus ke neraka.
"Hei Nona, apa kau tahu siapa orang yang telah kau bikin mampus? Sumpah mati, aku tidak tahu menahu siapa orang itu," Ucapnya sungguh-sungguh, masih dengan tubuh tertelungkup. Hanya kepalanya saja yang terangkat seperti sebelumnya. Sungguh, dia tak menyadari kalau pertanyaan Dirgasura sebenarnya tak perlu jawaban, sekadar cetusan kemurkaan semata.
"Kalian telah membunuh anak buahku!" Teriak Dirgasura.
Kekuatan tenaga dalamnya tersalur kembali melalui teriakan kemarahannya. Dedaunan kembali bergemerisik. Sebagian berguguran bagai daun kering diterpa angin kencang. Siksaan hebat merangsak Nyai Cemarawangi dan Tresnasari pula.
Bagaimana dengan Satria? Lucunya, anak itu seperti tak terpengaruh sedikit pun. Tak seperti sebelumnya, dia bangun santai. Tenang-tenang saja, ditepuknya pakaian untuk mengenyahkan dedaunan kering yang menempel di pakaian kumalnya.
"Nah, sekarang tidak terasa linu lagi..." Ocehnya sambil menggeliatkan pinggangnya.
Apa dipikirkan dia baru saja bangun tidur? Dirgasura menyaksikan itu. Dia ternanar. Apa-apaan ini? Bukankah sebelumnya anak itu justru ambruk karena kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya? Kenapa sekarang tidak? Apa ada yang salah? Bocah yang diperhatikan terus saja melangkah tanpa perasaan apa-apa ke arah Tresnasari.
Dilihatnya gadis tanggung pujaan hati selama beberapa hari ini sedang mendekap telinga kuat-kuat, menahan sakit seperti ditohok oleh sebatang lidi sebesar kelingking ke gendang telinganya.
"Kau kenapa, Nona? Apa 'buto ijo' itu mengeluarkan teriakan dedemitnya lagi?" Tanya Satria, kelugu-luguan.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

TERLALU mustahil kalau tiba-tiba bocah berambut kemerahan, Satria mendadak menjadi sakti. Khususnya bagi Nyai Cemarawangi dan Tresnasari yang sudah cukup mengenalnya. Tapi, kalau dipikir ulang, sebenarnya mereka hanya baru satu hari saja mengenal anak itu.
Tepatnya dimulai kemarin siang ketika Satria masih menjadi pelayan dadakan di warung Ki Kusumo. Terpikir oleh Ibu beranak itu bahwa selama ini Satria telah berpura-pura. Bahwa sebenarnya dia adalah seorang bocah sakti. Mereka terpedaya karena sikapnya selama ini yang selalu tampak lugu, lemah dan kebodoh-bodohan.
Apa benar begitu? Setidaknya, Dirgasura berpikir serupa. Dia merasa telah dikelabui oleh seorang bocah yang telah berpura-pura bodoh semenjak kedatangannya ke tempat itu. Satria sendiri sebenarnya tetap seorang bocah berusia belasan yang buta ilmu bela diri. Kalau sekarang dia mendadak jadi tampak sakti pasti ada sebabnya.
'Asap ada pasti karena ada api!'.
Di lain tempat, tepatnya di atas sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka, seseorang duduk bertengger menonton seluruh kejadian dari awal. Tempat yang diduduki sambil mengongkang kaki adalah ranting, tak lebih tebal dari kaki burung nuri kecil. Itu tak jadi terlalu aneh kalau mengetahui siapa si penonton itu sebenarnya. Dia tak lain Ki Kusumo.
Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Satria hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala.
Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.
Padahal Ki Kusumo sudah mengukur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura. Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya. Mestinya, keadaan Satria akan semakin parah. Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri. Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya.
Kini terjadi hal lain lagi. Benar-benar tak bisa dimengerti! Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran.
"Siapa kau sebenarnya?" Tanya Dirgasura, ditujukan pada Satria. Satria tak memperhatikan. Dia sibuk memapah Tresnasari agar tidak terjatuh akibat sentakan tenaga dalam suara si ketua Laskar Lawa Merah.
"Hey, aku bertanya padamu! Siapa kau sebenarnya?'" Ulang Dirgasura.
"Hah?" Anak itu baru menoleh. Mulutnya menganga. Geram sekali Dirgasura. Pasti dia sedang berusaha mempermainkan aku terus, pikirnya.
"Siapa kau sebenarnya, Setan Alas!" Ulang Dirgasura lagi, sengit.
"O, 'Paman' tanya siapa aku sebenarnya?" Satria mencoba bersopan-santun.
Biarpun sebelumnya dia menyebut Dirgasura sebagai 'buto ijo'. Bocah dekil itu mengangguk-angguk. Cuma mengangguk-angguk, sementara pertanyaan Dirgasura tak cepat-cepat dijawabnya. Bagaimana dia bisa menjawab, sementara ingatannya tentang asal-usul dirinya saja tak sedikit pun tersisa di benak.
"Ngg, aku Satria. Itu saja," Akunya sejujur-jujurnya.
Karena, memang cuma nama itu yang diingat dari dirinya. Biji mata Dirgasura membesar. Ubun-ubunnya terasa hendak mengelotok di tempat itu juga karena saking panasnya. Rahangnya mengeras. Gigi-giginya bergemele-tukan. Wajahnya merah matang.
"Ap... apa aku salah, Paman? Aku memang Satria. Kau tak suka nama itu? Kka... kalau kau tak suka, kk... kau boleh ganti nam... namaku! Somad boleh! Gugun boleh! Maemunah juga boleh! Pok... pokoknya terserah Paman saja!" Gagap Satria, ngeri melihat perubahan wajah Dirgasura yang kian menggidikkan.
Dalam pandangannya, lelaki setengah raksasa itu hendak menelannya bulat-bulat.
Lain yang ada di benak Satria kecil, lain pula di benak Dirgasura. Kengerian anak itu malah diartikan lain oleh sang ketua perampok. Dia merasa makin diejek oleh Satria, seseorang yang dianggapnya memiliki kesaktian tapi berpura-pura bodoh untuk menghinanya.
"Peduli setan siapa kau sebenarnya! Kau pun harus mampus seperti dua wanita itu nanti! Hih!" Berkawal hardikan meng-geledek sarat kegeraman, Dirgasura melepas pukulan jarak jauhnya ke arah Satria.
Wush! Dash!
"Aaakh!" Seketika badan agak kurus bocah itu melayang lurus sepuluh tombak ke belakang.
Tak akan berhenti luncuran tubuhnya kalau tak terhadang pohon besar.
Dugh! Lalu tubuh kecil itu merosot lunglai ke tanah. Mengenaskan.
Ki Kusumo terbengong di atas pohon, Nyai Cemarawangi terbengong, Tresnasari pun terbengong.
Mereka semua terpana menyaksikan kejadian itu. Sekaligus merutuk kenapa tak cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan bocah yang mungkin saja memang tak pernah memiliki ilmu kanuragan itu. Cuma Dirgasura yang terus saja kalap. Dia mencak-mencak sambil meruntunkan makian.
"Jangan kau bermain-main lagi denganku, Keparat! Keluarkan kesaktianmu! Aku ingin tahu apakah kau mampu mengalahkan Dirgasura, Tangan Seribu Dewa!!!" Sekali ini, Nyai Cemarawangi dikejutkan oleh pengakuan julukan Dirgasura.
Tangan Seribu Dewa.
Julukan itu pernah didengarnya beberapa waktu lalu. Tapi di mana? Dia kurang ingat persis. Siapa lelaki tinggi besar ini? Pikirnya.
Segenap tanda tanya di hati Nyai Cemarawangi dikandaskan oleh teriakan garang Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa kembali. Lelaki itu hendak melepas pukulan jarak jauhnya kembali ke arah Satria. Sedangkan Satria sendiri saat itu benar-benar dalam keadaan mengkhawatirkan. Dari sudut bibirnya mengalir darah kehitaman. Juga dari lubang hidungnya. Luka dalam pasti.
Dan itu luput terlihat oleh pandangan kalap Dirgasura. Dasarnya bocah itu memang berkemauan sekeras baja, dia tak tampak cengeng menderita siksaan yang merejang sekujur badannya. Rasa panas luar biasa menjerang. Dadanya sesak teramat sangat. Kepalanya berat bagai dibebani beban ratusan kati.
Dengan mata berkedip-kedip sayu, dia malah berusaha bangkit. Sebentar dia terseok, jatuh lagi. Lalu berusaha lagi.
"Hadapi akuuuuu!" Seru Dirgasura panjang, merasa kepalanya telah diinjak-injak demikian rupa oleh bocah tak dikenal.
Lantas....
Wush.
Ki Kusumo di atas pohon berjingkat kaget.
Pukulan jarak jauh Dirgasura tak boleh menghajar anak itu lagi. Itu tak boleh terjadi, kalau ingin nyawa anak itu tetap tinggal di badan. Dia hendak bertindak. Namun kalah cepat oleh Nyai Cemarawangi. Tubuh wanita itu sudah lebih dahulu melejit lurus ke udara.
"Heeeaa!" Dash! Mempertaruhkan nyawa sendiri, perempuan yang menderita sakit itu menyongsong pukulan jarak jauh Dirgasura dengan terkaman tubuhnya. Dash! "Ugh!"
"Nyaiii!!" Tresnasari menjerit melengking.
Tinggi dan menelusupi pelosok hutan. Serupa dengan kejadian yang menimpa Satria, Nyai Cemarawangi pun terpental jauh sebelum akhirnya jatuh. Meski masih sempat bersalto dan membuat pijakan den-gan kedua kakinya, tak urung perempuan itu oleng. Tak lama berikutnya dia tersimpuh. Darah hitam termuntah dari mulutnya.
Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu. Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya. Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Ti-ba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh.
"Nyai tidak apa-apa?" Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.
Air mata membasahi kedua pipi kemayunya. Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala. Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan. Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari se-la-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain. Beranglah Tresnasari.
Cepat dica-butnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang. Dia bangkit dengan wajah mengeras.
"Orang itu harus membayar perlakuannya terhadap Nyai," Geramnya.
"Jjj... jangan, Tresna...." Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur ke arah Dirgasura.
"Kubunuh kau manusia keji!!!" Pekiknya melengking.
Sebelum gadis tanggung itu sampai ke dekat Dirgasura, sesosok tubuh melayang ringan memotong geraknya dari atas. Gerakannya sulit diikuti mata. Seakan-akan dia sudah berdiri menghadang kekalapan Tresnasari.
Tuk! Tubuh Tresnasari lemas.
Satu totokan mendarat di satu jalan darahnya. Orang yang menghadang dan baru saja melepas totokan adalah Ki Kusumo. Mencegah agar Tresnasari tak ambruk ke tanah, orang tua itu cepat membopongnya. Ditepikannya tubuh gadis itu ke bawah pohon.
"Kau sudah keterlaluan Tangan Seribu Dewa," Ucapnya datar kepada Dirgasura.
"Siapa pula kau, Lelaki Keropos?!"
"Kau akan terkejut bila kukatakan siapa aku. Sebaiknya kau meninggalkan tempat ini," Perintah Ki Kusumo, tetap dingin.
Tetap datar.
Kepala Dirgasura yang sudah dipenati oleh kekalapan tak sudi begitu saja menyingkir. Apalagi karena perintah seorang tua bangka tak dikenal. Rasanya dia ingin mengunyah tulang rapuh dan daging alot orang tua itu.
"Peduli setan pula denganmu, Orang Tua Keropos! Makan pukulanku ini! Heaaa!!!" Untuk ketiga kalinya, pukulan jarak jauh Tangan Seribu Dewa dilepaskan.
Sekali ini, berkekuatan empat kali lipat dari sebelumnya, pertanda Dirgasura memang benar-benar ingin meremuk-redamkan tulang Ki Kusumo. Kalau perlu sampai seperti kunyahan seekor naga! Ki Kusumo hanya melirik enteng ke arah angin pukulan yang menderu di udara.
Sambil bangkit dari simpuhnya, lelaki tua itu berbalik. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak memapaki pukulan jarak jauh tadi.
Blap! Tepat di dada orang tua itu, pukulan jarak jauh Dirgasura mendarat.
Dirgasura dibuat terperangah dengan mulut ternganga. Pukulannya yang sanggup meluluh-lantakkan badan lima ekor kerbau sekaligus teredam begitu saja ketika mengenal dada sasarannya!
"Kukatakan sekali lagi, pergilah kau, sebelum aku berubah pikiran...," Ucap Ki Kusumo.
Dirgasura tak mau banyak cakap. Lelaki berbadan raksasa itu tahu diri juga. Dengusan kasar dan gigi-giginya yang bergemeletukan terdengar disertai tatapan jalang dari matanya. Sesaat dia menggeram marah, lalu bergerak pergi.
Bodoh kalau dia tetap ngotot menggempur lelaki tua yang kini diyakininya sebagai salah satu tokoh sakti dunia persilatan yang jarang memunculkan diri. Belum lagi si kecil gendeng yang tingkat kepandaiannya sampai saat ini sulit ditebak!


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

WAKTU terus menggilas tanpa menanti barang sekejap pun. Hari baru digulirkan. Fajar baru menampakkan wajahnya seperti hari-hari kemarin. Masih dengan sinar lamat merah tembaga di ufuk timur. Masih dengan sahut-sahutan kokok ayam jantan. Semuanya seperti tidak berubah.
Satria tersadar dari pingsannya. Kepalanya masih berdenyut-denyut luar biasa. Seluruh bagian tubuhnya, dari sendi hingga ke otot terasa seperti direjam-rejam dari dalam. Untuk menggerakkan otot leher saja nyerinya bukan kepalang. Kelopak mata anak itu membuka. Dilihatnya sepotong wajah yang sudah dikenalnya. Ki Kusumo.
"Syukurlah kau telah sadar, Anak Muda! He-he-he...," Sambut orang tua itu, Sungguh sulit dimengerti bagaimana Ki Kusumo menganggap siumannya Satria sebagai satu hal yang lucu hingga perlu ditertawakan? Dari wajah Ki Kusumo, mata Satria berkeliling ke sekitar. Dilihatnya atap kecoklatan daun kelapa kering dan bambu-bambu penglari tak berlangit-langit. Di sekitarnya terlihat kabang-kabang tebal.
"Di mana aku?" Tanyanya lirih.
"Di tempat yang aman...," Jawab Ki Kusumo.
"Di gubukmu, Pak Tua Kusumo?"
"Bukan...."
"Jadi di rumah siapa?"
"Aku sendiri tak tahu." Satria mencoba bangkit. Linu-linu masih menyertai setiap gerakan otot serta sendinya. Baru saja dia bisa menegakkan punggung, satu jotosan melanda bibirnya.
Dugh! "Wadau!" Matanya agak berkunang-kunang. Tapi dia tetap penasaran untuk mencari tahu siapa orang iseng brengsek yang menghadiahkan jotosan tadi. Samar-samar dilihatnya wajah seorang dara ayu yang mem-pertontonkan kemarahannya. Matanya berkilat-kilat.
"Nona Tresna?" Gumam Satria, masih telentang.
"Jangan sebut-sebut namaku, kambing buduk tak tahu diuntung!" Sembur dara yang memang Tresnasari. Tangannya terangkat kembali. Satu kepalan baru siap diha-diahkan kedua kalinya untuk si bocah. Satria memejamkan mata ngeri.
"Huph! Cukup!" Tahan Ki Kusumo cepat. Pergelangan tangan gadis ayu yang diamuk kegusaran segera dicekalnya. Tresnasari bersungut-sungut meninggalkan sisi pembaringan Satria. Di kelopak mata bagian bawahnya, kentara sekali kalau dia menahan air mata.
"Kenapa dengannya, Pak Tua? Apa di rumah ini ada setan penunggu yang telah merasukinya?" Bisik Satria pada Ki Kusumo yang membawakan satu tabung bambu dan mangkuk tanah liat. Rupanya Tresnasari belum terlalu jauh dari tempat Satria. Dia menangkap kasak-kusuk bocah itu barusan. Kalap, tubuhnya berbalik.
"Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!" Makinya seperti suara orang hendak menangis.
"Sudahlah, Cah Ayu...," Ki Kusumo mencoba menengahi.
Kalau tidak, pasti satu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Satria. Bisa jadi juga berkali-kali. Mungkin sampai Satria pingsan lagi.
Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk. Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk. Mata Satria menyipit, silau diterjang sinar terang.
"Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?" Tanya Satria tergesa, ketika tern-giang hardikan Tresnasari terakhir.
"Ibu perempuan itu yang kau maksud?" Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Satria. Satria menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.
"Bagaimana dengan Bibik yang baik itu, Pak Tua?" Desak Satria, penasaran.
"Sebaiknya kau minum ramuanku itu dulu. Mari kubantu!" Alih Ki Kusumo.
Karena ingin tahu keadaan Nyai Cemarawangi, Satria tak banyak cingcong. Setelah dibantu untuk duduk oleh Ki Kusumo, ditenggaknya sekaligus ramuan yang diberikan KI Kusumo. Tak peduli rasanya sepahit empedu. Pokoknya dia bisa cepat mendapat keterangan dari Ki Kusumo!
"Nah, aku sudah meminum ramuan yang pahitnya seperti racun itu, Pak Tua. Sekarang, bisakah kau katakan apa yang terjadi pada diri Bibik?"
"Lihatlah ke sana!" Perintah Ki Kusumo seraya menunjuk satu arah dengan isyarat dagunya.
Satria mengikuti arah yang dimaksud orang tua tadi. Di balai-balai sudut ruangan, dilihatnya Nyai Cemarawangi terbujur. Wajahnya pucat. Namun cukup tenang.
Tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu saja Satria sesegukan. Tangannya menutup wajah. Dari sesegukan, dia meraung-raung seperti orang sinting.
"Hey, kenapa kau, Bocah?!" Perangah orang tua di sisinya.
"Ini semua salahku! Huk-huk-huk! Ini semua salahku, Pak Tua!"
"Bukan...."
"Iya! Hu-hu-huk...."
"Itu semua hanya kebetulan saja. Kebetulan waktu itu dia hendak menyelamatkanmu dari pukulan jarak jauh Tangan Seribu Dewa," Tutur Ki Kusumo menerang-kan.
"Tapi aku lebih suka mati, daripada dia mati!" Ki Kusumo merengut.
"Siapa yang mati?!" Sergahnya. Sesegukan dan raungan Satria langsung tersunat.
"Bibik itu bukannya sudah mati?" Tanyanya dengan mata terbuka lebar. Air matanya tak ada. Cara menangis manusia dari mana lagi yang barusan dipakainya? Masa' menangis tak ada air mata?
"Siapa yang bilang dia telah mati, Cah Gendeng! Hua-ha-ha-he-heeee...," Ki Kusumo tergelak-gelak, terkekeh-kekeh.
Karena begitu terpingkal-pingkalnya, malah dia yang benar-benar mengeluarkan air mata.

* * *



Telah empat hari berlalu. Waktu itu menjelang sore. Matahari lumpuh di pelupuk bumi barat.
Tresnasari berdiri bisu menatapi rembang sore, membelakangi gubuk terbengkalai yang dipakai Ki Kusumo untuk merawat luka-luka Satria dan Nyai Cemarawangi. Gubuk mereka berada tepat di bibir pantai Ketawang. Cukup jauh dari tempat kejadian.
Sewaktu Satria dan Nyai Cemarawangi terluka, Ki Kusumo yang membopong keduanya sekaligus ke tempat itu! Tresna-sari yang telah mengenal Ki Kusumo sebelumnya tak curiga. Dia percaya orang tua baik hati itu berniat mengobati luka-luka ibunya.
Di belakang Tresnasari, Satria duduk terdiam di depan pintu gubuk. Hukuman Tresnasari mendiamkannya beberapa hari belakangan benar-benar membuat perasaannya babak-belur. Dia jadi lebih banyak diam. Keceriaannya dan ketengikan tingkahnya entah raib ke mana, entah dibawa setan dari mana.
Ki Kusumo keluar.
Derit pintu gubuk tak mengusik keheningan Tresnasari. Juga tak mengusik ketercenungan Satria. Ki Kusumo bersimpuh di samping anak itu. Ditepuknya bahu Satria perlahan.
"Sudah kukatakan, kau tak bersalah apa-apa dengan keadaan Nyai Cemarawangi...," Hiburnya pada Satria. Dia tahu, sikap si gadis ayu yang melekat di hati Satria, membuat anak itu merasa dirinya terus bersalah atas semua kejadian yang menimpa Nyai Cemarawangi. Satria diam saja. Bibirnya terus manyun.
"Ayo kita jalan-jalan!" Ajak KI Kusumo. Satria menggeleng.
"Ayolah!" Tetap saja Satria menggeleng tak bersemangat. Ki Kusumo ikut menggeleng-gelengkan kepala. Bibir keriputnya mendecak kecil. Disambarnya telinga anak itu, lalu dijewernya keras-keras.
"Ayo jalan-jalan!" Bentaknya mangkel.
"Wado-wado! Tidak mau!" Ki Kusumo lebih mengeraskan jewerannya, sementara itu dia mulai melangkah.
Mau tak mau, Satria jadi ikut melangkah. Dia masih kepingin daun telinganya lengkap. Orang tua sakti itu terus menyeret Satria dengan menjewer telinganya. Setelah cukup jauh, barulah terdengar kekeh keras si orang tua misterius.
Di bibir pantai yang memiliki bukit karang kecil menjulang, Ki Kusumo baru berhenti. Dilepasnya telinga anak tanggung berusia belasan tahun itu. Warna telinganya sudah merah sekali. Satria berbalik dengan wajah kesal minta ampun. Dia mau kembali ke gubuk.
Lama kelamaan, Ki Kusumo jadi mangkel sungguhan. Anak ini benar-benar keras kepala, gerutunya membatin.
Tapi aku senang dia begitu! Aku jadi makin yakin kalau anak inilah yang berjodoh menjadi mu-ridku!
"Hendak ke mana kau?!" Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Satria menjejakkan kaki di atas pasir pantai.
Mendadak saja, tubuh Satria sulit digerakkan. Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan. Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo.
"Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang," Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Satria tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku juga.
"Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?" Bujuk Ki Kusumo.
"Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua," Ucap Satria akhirnya, keras kepala.
"Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting."
"Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak," Sengit Satria. Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya mati kutu. Minta ampun dia pada kekeras kepalaan Satria!
"Baiklah. Kau boleh pergi. Pergilah!" Tukas Ki Kusumo akhirnya.
Melalui hentakan tenaga dalam tingkat tinggi di kata terakhirnya, dibebaskan totokan pada tubuh Satria.
Nada suaranya terdengar merajuk. Seperti seorang kakek yang dongkol dan kecewa pada sikap cucunya sendiri. Timbul rasa tidak tega dalam diri Satria mendengar nada suara Ki Kusumo. Dengan agak segan, dibalikkannya tubuh. Dia melangkah kembali mendekati orang tua itu.
"Kenapa kau tak jadi pergi? Bukankah kau sudah kusuruh pergi?!" Gerutu Ki Kusumo tanpa berniat menatap Satria.
Wajahnya kusam. Di balik itu, sebenarnya dia tertawa geli dalam hati. Siasatnya memancing perasaan Satria berhasil. Dia tahu anak itu tidak cuma keras kepala semata. Hatinya sesungguhnya sebening pualam.
Tampak sekali dia tak ingin menyakiti orang-orang yang sudah telanjur dekat dengannya. Seperti Tresnasari, Nyai Cemarawangi, dan Ki Kusumo sendiri Satria menjatuhkan pantat ke pasir, Dengan tangannya, dipermainkan pasir menjadi tumpukan-tumpukan kecil tanpa maksud. Dengan senyum penuh kemenangan, Ki Kusumo mendekati dari belakang.
"Hmmm, selama ini kau tentu telah mengenal cukup baik diriku. Bukan begitu, Cah Bagus? Kau dulu bertanya-tanya siapa diriku sebenarnya. Kau ingin tahu?" Satria tak menggubris perkataan KI Kusumo.
"Baiklah. Aku tahu kau ingin tahu siapa aku sebenarnya. Cuma kau sedang malas menjawab saja bukan? He-he-he...."
"Bukan," Sahut Satria enteng dan datar.
Cep! Langsung saja kekehan Ki Kusumo terbungkam.
Dia menarik napas dalam-dalam. Sabar... sabar, pikirnya.
Kalau bocah ini tidak ingin dijadikan murid, sudah ditotoknya kembali Satria lalu ditinggal sendiri di pantai. Biar air pasang menghanyutkannya! Untuk sedikit merayu, Ki Kusumo sengaja duduk di pasir tepat di sisi bocah itu. Ditumpangkannya sebelah tangan ke bahu Satria.
"Aku seorang tokoh tua dunia persilatan," Aku Ki Kusumo, mencoba memancing keingintahuan si bocah besar adat.
Tapi celaka dua belas, makinya dalam hati. Anak itu sedikit pun tak memperlihatkan keterkejutan atau sedikit keingintahuan seperti malam itu kala mereka di tengah hutan! Sambar geledek sekali!
"Baik... baik. Kau menang. Aku sebenarnya berniat mengangkatmu menjadi murid. Asal kau tahu, banyak orang telah memohon padaku menjadi murid dan mendapatkan kesaktianku yang disegani dunia persilatan. Tak pernah ada di antara mereka yang menarik minatku. Artinya, kau mesti merasa beruntung karena aku berniat mengangkatmu menjadi murid...," Bujuk Ki Kusumo lagi. Satria menarik napas. Tahu-tahu dia bangkit sambil berkata malas.
"Kalau cuma itu yang ingin kau katakan padaku, Pak Tua, sebaiknya aku permisi saja...." Lalu tanpa menggubris orang tua sakti yang terbengong-bengong setengah modar, Satria melangkah meninggalkan pantai.
Satu tindakan Satria yang tak pernah sedikit pun terpikir oleh Ki Kusumo. Semula, Ki Kusumo merasa yakin sekali bahwa bocah tanggung itu akan menerima tawarannya. Tawarannya terbilang menggiurkan. Sebab dirinya tergolong tokoh kenamaan kalangan atas yang disegani. Menjadi mu-ridnya sama saja kejatuhan bulan! Ini malah, Ki Kusumo ditinggalkan begitu saja....
"Kurang ajar, apa maunya bocah ini?" Rutuk Ki Kusumo gemas bukan main.
Apa akalnya untuk bisa membuat Satria menerima tawarannya? Ki Kusumo termenung lama sekali. Menilik kerut di dahinya, tampak orang tua itu tetap juga tak menemukan jalan keluar. Tiga hari berlalu setelah peristiwa tersebut.
Sakit Nyai Cemarawangi tak menunjukkan tanda-tanda akan segera sembuh. Keadaannya terbilang makin payah semenjak terluka menerima pukulan jarak jauh Dirgasura. Meskipun luka dalam yang dideritanya sendiri sudah diobati oleh Ki Kusumo, tetap saja tak mempengaruhi penyakit yang diderita Nyai Cemarawangi.
Wanita itu terbaring terus tanpa dapat turun dari balai-balai sama sekali. Wajahnya kian pucat, tubuhnya makin kurus.
Tresnasari terbawa keadaan tersebut. Dia kekeringan semangat. Yang hanya ingin dilakukan hanya duduk termenung di sisi balai tempat ibu tercintanya terbaring. Untuk keadaan ibunya itu, Tresnasari masih saja menyalahkan Satria.
Dianggapnya Satrialah biang keladi semua itu. Dihukumnya Satria dengan mendiamkan bocah tanggung itu. Satria setengah mati mencoba menghiburnya.
Namun setiap kali dicoba, Tresnasari malah memperlihatkan wajah tak bersahabat. Lebih dari itu, tersirat kebencian di matanya. Itu menyebabkan Satria pun makin merasa disudutkan.
Sampai siang ini, si bocah tanggung dekil berambut kemerahan tak tahan lagi. Diam-diam dia pergi meninggalkan gubuk tanpa sepengetahuan Ki Kusumo ataupun Tresnasari. Satu tujuannya yang terbilang gendeng untuk bocah seperti dia hendak dicarinya Dirgasura. Dia akan menuntut balas atas perlakuan Dirgasura pada Nyai Cemarawangi. Bocah tanpa bekal olah kanuragan secuil pun seperti dia? Apa itu tidak gendeng?

* * *



Satria tiba di satu daerah dekat perbatasan Ketawang-Jogoboyo slang itu. Angin berhembus semilir damai melintasi wajah keruhnya. Sejak berangkat dari pantai Ketawang, tak ada perubahan tekad sedikit pun dalam hati anak itu. Benar-benar sudah bulat tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Dirgasura terhadap keadaan Nyai Cemarawangi kini.
Sebagai seorang bocah yang memiliki kemauan yang lebih besar dari tubuh kurus-keringnya, dan lebih kuat dari tenaga seekor kambing buduknya, tampaknya dia memang tak akan berhenti mencari Dirgasura sebelum benar-benar menemuinya. Bukti itu sedikit terlihat dari paras wajahnya yang terus saja terlipat, memeram kegusaran. Dia gusar pada dirinya karena merasa telah menjadi biang keladi keadaan yang menimpa Nyai Cemarawangi. Dia juga gusar pada lelaki setengah raksasa yang diang-gapnya telah berbuat keji terhadap wanita yang sedang menderita sakit itu.
Meski belum pasti ke arah mana lagi dia harus mencari Dirgasura, Satria terus saja melangkah merambah hutan batas Ketawang-Jogoboyo. Bocah berambut kemerahan itu tak akan berhenti melangkah kalau saja sebentuk suara mengerikan tak menegurnya.
"Berhenti kau, Bocah!" Satria berhenti mendadak.
Bukan karena dia sekadar terkejut. Lebih dari itu, suara teguran kasar tadi telah membuat seluruh otot-otot dan sendinya menjadi terkunci. Belum lagi kekuatan suara yang membuat gendang telinganya seperti mau pecah mendengar teguran tadi. Sebaliknya, nada suara teguran tadi sebenarnya dilakukan pemiliknya tak terlalu keras. Tak ada dua tarikan napas, berkelebat sesosok tubuh beberapa langkah di depan Satria.
Kini, sudah berdiri seorang kakek kurus kering. Berjubah hitam pendek sebatas paha. Berjenggot dan berambut putih amat panjang hingga mencapai lutut. Seluruh wajahnya sudah berkerut-merut. Bahkan kulit bagian bawah pipinya sudah bergelantungan. Sinar mata kakek itu membersitkan sinar keji. Begitu menjejakkan kaki tanpa suara sedikit pun, kakek itu menjentikan jarinya. Mengagumkan, tubuh Satria detik itu juga kembali dapat digerakkan.
"Siapa kau, Pak Jenggot?" Tanya Satria.
Tak ada perasaan takut sedikit pun dalam diri bocah itu, meskipun rasa bergidik ngeri menatap mata orang tua di depannya tetap mengusik.
Kalau anak lain sebayanya, tentu sudah lari tunggang-langgang. Mungkin akan terkencing-kencing pula. Sebab, bisa jadi mereka akan menganggap orang tua itu adalah dedemit penunggu hutan.
"Katakan padaku di mana aku bisa menemui Ki Kusumo?!" Kakek tadi malah balik bertanya. Suaranya berat parau. Terdengar tak kalah menggidikkan dari bersit matanya. Satria tak mau cepat menjawab. Dia lagi-lagi bertanya tanpa kenal rasa takut.
"Memangnya Pak Jenggot ini ada urusan apa dengan Pak Tua Kusumo?"
"Kau jangan banyak tanya Bocah. Sebutkan saja di mana aku bisa menemui dia!" Geram si kakek berjenggot, berkawal dengusnya.
"Kenapa kau pikir aku tahu di mana orang yang kau tanyakan?" Satria main kucing kucingan.
"Katakan padaku!"
"Kalau aku bilang tidak tahu?"
"Kau akan kupaksa bicara!"
"Kalau aku tetap tak bicara?" Dengusan si kakek makin cepat. Kemarahannya mulai terpancing oleh kucing-kucingan Satria. Kilat matanya makin tajam. Kelopak matanya mulai menyipit geram. Lalu dengan cepat jarinya menjentik kembali.
"Waaa!" Tiba-tiba saja, tubuh Satria terlempar amat jauh.
Derasnya luncuran tubuhnya seolah dia baru saja dilontarkan sebentuk tangan raksasa kasat mata. Jauhnya lebih dari lima belas tombak! Malangnya, tubuh bocah kurus itu kemudian ter-jerembab ke dalam lumpur dalam. Entah bagaimana caranya, begitu Satria masuk ke dalam lumpur, kakek tua itu sudah pula berada di sana. Seolah-olah dia dapat berpindah-pindah tempat seperti dedemit.
Lebih mencengangkan Satria lagi, orang tua itu berdiri di atas lumpur dalam tanpa tenggelam. Sementara tubuh si bocah kurus yang sebenarnya jauh lebih ringan sendiri perlahan-lahan tertelan masuk.
"Kau bocah yang memuakkan! Tanpa kau beritahu padaku pun, aku tetap akan menemukan Tabib Sakti Pulau Dedemit yang harus menyembuhkan penyakit menahun sialanku ini!" Rutuk si kakek dengan suara mengerikan.
Setelah itu, sosoknya berkelebat cepat seperti menghilang. Tinggal Satria sendiri terdiam dalam lumpur. Perlahan tapi pasti, tubuhnya terus tertelan. Dari pinggang, naik ke bagian dada. Dari dada terus naik sampai tinggal kepalanya saja. Jadi jelas sekarang kenapa si kakek tadi membiarkan Satria tak terluka dengan tenaga dahsyat jentikan tangannya. Rupanya dia ingin bocah itu mati perlahan-lahan dalam lumpur!

SELESAI

Ikuti kelanjutan kisah menggemaskan ini dalam episode selanjutnya.
" GEGER PESISIR JAWA "



INDEX SATRIA GENDENG
Satria Gendeng --oo0oo-- Geger Pesisir Jawa

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers