Life is journey not a destinantion ...

Siluman Bukit Menjangan

INDEX SATRIA GENDENG
Badai Di Keraton Demak --oo0oo Pertunangan Berdarah

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

BUKIT Menjangan pada tengah malam. Anjing liar melolong. Meratap-ratap agar malam laknat ini segera menyingkir. Seolah sejuta iblis tengah menyeret-nyeret mereka menuju neraka. Alam seolah tersihir oleh sebuah kekuatan gaib yang meraja. Angin malam mendengus-dengus. Di angkasa sana, segerombolan awan hitam mengepung sepotong bulan suram. Pekat. Seolah tak ingin membiarkan sang Dewi Malam lepas begitu saja.
Di bekas sebuah reruntuhan candi, seorang perempuan tua duduk bersila dengan kepala tertunduk di depan sebuah peti mati. Sesekali tangannya menaburkan kemenyan di atas pedupaan.
Asap pun menggeliat makin banyak, terbawa angin dan bergentayangan entah ke mana. Si perempuan tua tak peduli. Perhatiannya tetap melekat pada bayangan yang tengah berkecamuk dalam benaknya. Wajahnya amat mengerikan. Nyaris tak menyisakan kulit, karena tertutup borok berlendir yang menyebarkan bau busuk. Matanya mencorong berwarna kemerahan. Rambutnya tipis tak terawat, menjadi sarang kutu. Pakaiannya mirip jubah berwarna kelabu. Sebuah tongkat berwarna putih tergenggam di tangan kanannya.
Siapakah perempuan tua jelek itu" Dialah Nini Berek. Perempuan tua terselimut dendam akibat kematian suaminya Ki Ageng Wirakrama.
Masih diingatnya, ketika dia menemukan kuburan suaminya di kaki Bukit Srondol. Dan dia tidak tahu, siapa pembunuhnya. Tapi dari jenis pukulan, dia punya dugaan kalau yang membunuhnya adalah tokoh sakti bernama Dongdongka. Entah benar atau tidak, Nini Berek merasa perlu membuktikannya dulu.
"Jangan khawatir, Suamiku. Dendammu akan kubalaskan. Aku tahu, arwahmu belum tenang kalau setan laknat yang membunuhmu belum mampus di tanganku. Bersabarlah...," desis si nenek jelek. Serak penuh getaran pada suaranya.
Angin malam mendesis. Membawa suara si nenek, dan mengabarkannya pada pohon, gunung, hutan, dan seluruh isi alam ini bahwa darah harus dibayar darah. Nyawa bayar nyawa. Begitu tekadnya.
"Demi setan-setan neraka! Demi arwaharwah gentayangan! Dan demi Dewa Kegelapan! Aku bersumpah akan melenyapkan siapa pun yang terlibat dalam pembunuhan suamiku!" Bibir kendor si nenek mendesis seraya menghujamkan tongkat putihnya ke tanah. Dahsyat! Entah menggunakan kekuatan macam apa, tanah di sampingnya kontan terbelah. Memisah, membentuk parit selebar satu tombak. Meruntuhkan bangunan-bangunan candi yang masih berdiri disertai suara bergemuruh.
Si nenek jelek itu sendiri telah melenting ke belakang tanpa bangkit dari duduk bersilanya. Sedang peti mati di depannya pun ikut terguling ke dalam parit ciptaan si nenek.
Di tempat berdirinya kini, Nini Berek memandang ke arah parit. Tajam. Lalu tongkat di tangannya menuding.
"Beristirahatlah kau di kuburmu, Kakang Wirakrama. Empat puluh hari lagi, dunia akan gempar oleh kemunculanmu kembali. Musnahkan orang-orang yang menjadi musuhmu!" Di ujung kalimatnya, Nini Berek menghentakkan kaki kanannya.
Berdebam. Peti mati makin terbenam.
Tertanam. Diam. Parit yang diciptakan si nenek menyatu kembali. Menyimpan peti mati yang berisi jasad Ki Ageng Wirakrama. Tokoh tua sesat yang mati membawa dendam.

* * *



Kerajaan Demak pada pagi hari......
Pagi menawarkan keceriaan.
Ada sebuah keramaian di keraton, sejak kembalinya Putri Dewi Sekarputri sejak hilang sekitar delapan belas tahun lalu. Kanjeng Gusti Pra-bu Sutawijaya amat berterima kasih pada Satria Gendeng. Karena, pemuda sakti itulah yang telah menyelamatkan Dewi Sekarputri dari penyanderaan Adipati Kutowinangun yang bersekongkol dengan Panglima Ganang Laksono dalam upaya menjatuhkan takhta Kerajaan Demak.
Putri Dewi Sekarputri atau Arya Wadam itu pun telah sembuh berkat pertolongan si bocah tengik. Tak percuma memang Satria Gendeng menjadi murid Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit. Berkat ramuan obat yang dibuat Satria, racun-racun yang mengendap di seluruh jaringan syaraf Arya Wadam berhasil ditawarkan. (Untuk lebih jelasnya, baca episode: "Badai di Keraton Demak").
Di keraton saat ini akan diadakan hajat besar-besaran. Tak tanggung-tanggung, tujuh hari tujuh malam seluruh rakyat dipersilakan untuk ambil bagian dalam hajat besar dalam rangka syukuran atas kembalinya Dewi Sekarputri.
Di alun-alun depan keraton, telah berdiri beberapa panggung untuk menampilkan kesenian rakyat. Seputar alun-alun sendiri telah dihiasi umbul-umbul berwarna-warni. Acara memang akan dimulai malam nanti, tapi rakyat Kerajaan Demak telah mulai bergerombol. Seolah tak sabar untuk menantikan kemeriahan.
Sebagian rakyat pun dengan suka rela menyediakan tenaga untuk membantu kesibukan di keraton. Yang pandai memasak, dipersilakan untuk menuju dapur keraton. Yang pandai bertukang, dipersilakan untuk membuat panggung.
Yang pandai berkesenian, dipersilakan untuk menampilkan kebolehan masing-masing. Sementara yang hanya pandai bicara saja tanpa bekerja, dipersilakan menyingkir jauh-jauh.
Di Taman Sari, seorang pemuda tampan malah duduk termenung. Kedua kakinya terlipat, diikat oleh kedua tangannya. Dagunya bersandar di dengkulnya. Pakaian si pemuda berupa rompi putih dari kulit binatang. Wajahnya bergaris rahang jantan. Rambutnya panjang melebihi bahu berwarna kemerahan. Tatapan mata sembilunya menerawang, tapi tertuju ke arah kolam di depannya. Siapa lagi dia kalau bukan bocah tengik Satria" "Mengapa kau tak bersenang-senang dengan yang lain, Adi Satria?" tegur sebuah suara. Berat, mengandung wibawa tinggi.
Lamunan si bocah cerdas ini terpangkas.
Sedikit kepalanya menoleh dengan lirikan seperti tak peduli. Lalu perhatiannya kembali ke arah kolam.
"Aku mau kembali ke Tanjung Karangbolong, Kang Bagaspati," sahutnya, tanpa menoleh lagi. Si pemilik teguran yang memang Mahapatih Bagaspati tersenyum maklum. Dia tahu betul tabiat si bocah tengik ini. Didekatinya Satria, lalu ikut duduk di sebelahnya.
"Aku tahu, kau tak betah dengan suasana di sini, kan?" tebaknya. Mahapatih Demak ini mengerti kalau Satria paling tak betah pada acara-acara yang penuh tatakrama. Orang-orang yang bersikap dengan tatakrama berlebihan bagi Satria hanya sekadar basa-basi. Tidak keluar dari hati nurani. Segala tetek bengek tatakrama justru membuat Satria terperangah dalam kebosanan. Dan sialnya, si Bocah tengik seperti tak mau kenal dengan segala tatakrama. Begitulah sikapnya. Apa adanya, keluar begitu saja dari hati nuraninya.
"Begitulah, Kang," jawab Satria polos.
"Makanya sekarang aku mau minta diri."
"Apa tak bisa kau tunda barang sehari" Kerajaan sedang membuat hajat besar. Apa kau tak mau menikmatinya barang sehari?" Mahapatih Bagaspati mencoba menekan.
"Maaf, Kang. Aku sudah janji pada guruku untuk segera pulang ke Tanjung Karangbolong setelah menuntaskan persoalan dengan Setan Madat dan Panglima Ganang Laksono. Jadi, mohon mengertilah. Tahu sendiri, guruku Dongdongka paling bawel kalau aku punya janji tak dipenuhi," Satria memberengut. Jelek sekali wajahnya kalau sedang begini.
"Baiklah kalau memang itu alasannya. Aku tidak bisa menahanmu lagi," desah Mahapatih Bagaspati.
Satria beringsut dari duduknya. Juga Mahapatih Bagaspati. Keduanya saling berhadapan.
Saling menatap, saling memahami.
"Atas nama kerajaan, aku menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepadamu, Adi Satria," ucap Mahapatih Bagaspati.
Entah, sudah berapa kali lelaki tinggi besar ini mengucapkan kata-kata itu selama Satria Gendeng berada di lingkungan keraton. Gatal rasanya telinga si pemuda perkasa ini mendengar katakata yang terlalu banyak berbau pujian.
"Atas jasa-jasamu dalam menegakkan..., ufs!" Satria Gendeng yang sengaja meledek Mahapatih Bagaspati dengan melanjutkan kata-kata sanjungan terpaksa memenggal kalimatnya. Sang Mahapatih sendiri telah buru-buru menyodorkan tangannya membekap mulut si bocah bertabiat sinting.
"Jangan meledekku, Adi Satria. Aku berkata yang sesungguhnya," Ingat Mahapatih Bagaspati.
"Makanya Kakang juga jangan keterlaluan.
Yang wajar-wajar sajalah, Kang," berengut Satria.
"Baik, baik. Sekarang, kapan kau akan berangkat?" "Sekarang."
"Lho" Tak mau bertemu Ar..., eh! Putri Sekarputri dulu?" pancing Mahapatih Bagaspati.
"Tak perlulah. Sekalian aku titip salam pada Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya.
Katakan saja, aku harus pulang ke Tanjung Karangbolong," jawab Satria, polos. Si pemuda memang tak ingin menemui Kanjeng Gusti Prabu Sutawijaya lagi, karena tak ingin terlibat dalam aturan tatakrama.
Daripada dibilang tak sopan, lebih baik pergi dengan menitip salam.
Sejenak mereka berjabat tangan. Tak puas, justru Mahapatih Bagaspati memeluk tubuh si anak muda erat-erat. Kontan Saja napas Satria jadi sesak bukan main dipeluk oleh lelaki tinggi besar macam Bagaspati.
"Maaf, Kang. Aku bukan istrimu yang harus di peluk dengan penuh semangat," ingat Satria, megap-megap.
"Oh, maaf. Aku terlalu haru untuk melepasmu, Adi Satria. Kau bukan saja sahabat, tapi sudah seperti adik kandungku," Mahapatih Bagaspati buru-buru melepas pelukan.
Satria cengar-cengir. Bukan karena katakata Bagaspati, tapi lebih tepat berupaya mengembalikan jalan napasnya agar lebih lancar.

* * *



Satria Gendeng tak kuasa menolak pemberian seekor kuda putih perkasa dari pihak Kerajaan Demak. Seekor kuda Arab tinggi besar berotot-otot kekar. Sekali menyentakkan tali kekang saja, tubuh Satria telah dibawa melesat bak dikejar setan. Tapi di tikungan jalan yang mengarah ke Tanjung Karangbolong, mendadak langkah kudanya dihentikan. Ada satu sosok tubuh ramping yang menghadang jalannya. Cermat, si bocah sakti mencoba mengamati.
"Arya Wadam?" sebutnya, nyaris tak kenta-ra. Bergegas, Satria melompat dari punggung ku- danya. Dihampirinya sosok gadis yang memang Arya Wadam alias Dewi Sekarputri. Kali ini sikap si pemuda berusaha hati-hati, karena yang dihadapinya bukan lain Arya Wadam yang dulu. Tapi Arya Wadam yang telah menjadi keluarga kerajaan.
"Ada apa, Putri Dewi Sekarputri" Mengapa berdiri di tengah jalan" Di pinggir jalan saja masih luas?" sapa Satria, sedikit bercanda. Tapi panggilannya terhadap gadis di depannya telah dirubah.
"Jangan memanggilku begitu, Satria. Panggil aku sebagaimana kau memanggilku dulu," ujar Arya Wadam, agak sungkan juga dipanggil demikian oleh Satria "Eits, tak bisa. Kau sekarang adalah putri Gusti Prabu Sutawijaya. Dan aku wajib memanggilmu demikian," tandas si pemuda perkasa.
"Dulu atau sekarang sama saja buatku. Aku tetap seperti yang dulu."
"Itu buatmu. Tapi buatku kan lain. Kalau ada prajurit yang mendengar aku memanggilmu dengan nama sembarangan, bisa dikemplang kepalaku. Kau tahu sendiri telapak tangan prajurit.
Jari-jarinya saja sebesar pisang Ambon. Kena pipi-ku yang halus begini, bisa jadi oncom pipiku," se-loroh Satria.
"Alah, tak usah bercanda, Satria. Sekarang aku mau tanya, kau mau pergi ke mana?" tepis Arya Wadam yang tak mau dipanggil Dewi Sekarputri. Kini sikapnya agak lain dari sebelumnya. Si gadis sedikit demi sedikit mulai bisa mengikis rasa cintanya terhadap bocah bertabiat sinting ini.
Karena selama ini disadari kalau Satria memang tidak mencintainya. Tak gampang memang untuk mengenyahkan perasaannya. Mengingkari nuraninya yang paling dalam. Tapi itu terpaksa dilakukan kala menyadari cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Disadari pula, sesuatu yang dipaksa biasanya menghasilkan kesia-siaan. Dan agaknya, Arya Wadam memang telah cukup matang untuk berpikir panjang.
"Aku mau ke Tanjung Karangbolong, Arya," jawab Satria. Diluluskannya permintaan si gadis untuk memanggil seperti biasa. Toh pada dasarnya si anak muda cuma mau menguji, sampai di mana perubahan sikap Arya Wadam setelah menjadi keluarga kerajaan. Ternyata sikapnya tak berubah.
Tetap seperti dulu, saat menjadi pendekar persilatan.
"Mau apa ke sana?" kejar Arya Wadam.
"Mau apa" Kau bilang mau apa" Ya, mau pulang.
Kau kan tahu rumahku di sana?" tukas Satria.
"Apa aku ke sana sekadar buang hajat" Kan tak mungkin!" Arya Wadam tersenyum. Manis sekali. Dia kini semakin memahami tabiat si pemuda. Bicara ceplas-ceplos, apa adanya. Tak suka berbasa-basi menyiratkan kejujurannya. Kalau dari mulut Satria meluncur kata-kata bernada menyanjung kecantikannya, itu memang keluar dari hati nuraninya yang paling dalam. Tapi apakah itu dinamakan cinta" Belum tentu.
"Nah, sekarang giliran aku yang mau tanya.
Kenapa kau berdiri di sini menghadangku?" tanya Satria.
"Aku ingin minta maaf kepadamu," sahut Arya Wadam, terus terang.
"Untuk apa?"
"Untuk peristiwa beberapa hari yang lalu di kedai." "Rasanya kau tak bersalah. Justru aku yang bersalah, karena bicara terus terang padamu bahwa aku sudah punya kekasih. Mestinya kan aku tak bicara terus terang, sehingga bisa dapat kekasih lagi," jawab Satria, mulai kambuh penyakitnya.
Gatal mulutnya kalau tak meledek gadis ini.
"Dasar mata keranjang! Eh, Satria. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih. Tanpa pertolonganmu, mungkin aku tinggal nama saja," ucap Arya Wadam.
"Ah, sudahlah. Nah, sekarang aku mohon diri," ujar Satria.
"Kau tak mau menikmati keramaian yang diadakan Gusti Prabu?"
"Aku tidak betah."
"Kenapa?"
"Terlalu banyak orang."
"Namanya juga keramaian."
"Tapi ada juga keramaian tanpa banyak orang," sergah Satria.
"Apa?" tanya Arya Wadam.
"Menjerit-jerit di tengah kuburan."
"Sial!"
"Ha ha ha...." Tawa Satria meledak.
"Sudah, ya. Aku pamit dulu."
"Kalau ada waktu, kapan-kapan mampirlah ke keraton," pinta Arya Wadam.
"Asal aku boleh bersamamu terusmenerus." "Boleh. Asal mau kena bogem mentah prajurit, silakan. Ha ha ha...." Satria berbalik. Kakinya lantas melangkah lebar menuju kuda putihnya. Tangkas, dia melompat ke punggung kuda.
"Satria! Itu kuda betina. Hati-hati, lho?" ledek Arya Wadam lagi.
"Tapi dia tak sebinal kau, Arya! Ha ha ha....
Hia.... Hiaaa...!" Di ujung tawanya, Satria menggebah kuda putihnya. Sedangkan Arya Wadam masih terkikik geli. Lalu kakinya melangkah menuju keraton.


--¤¤¦ « DUA» ¦¤¤--

ALAM tak selamanya menawarkan keramahan. Semua orang tahu itu. Tapi ada kalanya, kemurkaan alam justru diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri. Kerakusan, ketamakan, mau menang sendiri, nafsu berlebihan adalah sifat-sifat dalam kehidupan manusia yang sulit terpisahkan.
Pada gilirannya, semua sifat-sifat itu justru membuat kesengsaraan orang lain.
Lebih jauh dari itu, alam pun seolah tak rela dikotori oleh sifat-sifat demikian. Tak heran kalau kali ini alam menum-pahkan segala kemurkaannya.
Seperti halnya malam ini.
Desa Jatianom yang baru saja terkurung malam, tiba-tiba menggeliat oleh terjangan angin menggila. Meski angin belum seberapa melabrak, tapi sudah membuat keberanian para penduduk terdepak entah ke mana.
Awan gelap sudah mengepung beberapa lama sebelumnya. Angin kencang mendengusdengus, membuat pepohonan meliuk-liuk liar.
Rembulan benar-benar terkurung, sedikit pun tak diberi celah untuk meloloskan diri. Malam yang sudah gelap makin terlihat pekat. Tak terlihat tan-da-tanda kalau angin akan mereda. Malah beberapa atap rumah penduduk terlihat mulai beterbangan dihempas angin nakal.
Jerit tangis perempuan dan anak kecil meledak, tersamar oleh dengusan angin menggila. Binatang-binatang menjerit-jerit gelisah berusaha keluar dari kandangnya. Dan sehimpun keributan lain berbau membangun suasana hiruk-pikuk.
Beberapa penduduk telah mulai keluar dari rumahnya yang telah doyong tersapu angin. Tinggal menunggu disenggol saja, mungkin rumah mereka telah ambruk. Barang-barang yang perlu dibawa telah terpanggul di punggung para lelaki.
Sementara para wanita menyeret-nyeret anak mereka untuk segera menyelamatkan diri.
Tak terlalu jauh dari ujung desa, tepatnya di bibir tebing jurang menganga, seorang perempuan muda malah berdiri terpekur penuh keputusasaan. Bila orang-orang di desa berusaha menyelamatkan selembar nyawa mereka, maka gadis muda ini justru seperti memilih mencari mati.
"Tak ada lagi gunanya hidup di dunia.... Harapanku telah hancur. Kakang Pandu tak mau mengakui bayi dalam kandunganku.... Biarlah derita ini kutanggung sendiri.... Maafkan aku, bayi-ku.... Aku tak bisa merawatmu tanpa Kakang Pandu...." Di ujung kalimatnya, si gadis melempar tubuhnya ke mulut jurang di bawahnya. Membawa segala kedukaan, sakit hati, serta bayi tak berdosa dalam kandungannya yang baru berusia tiga bulan! Tubuh ramping perempuan muda berpakaian kuning itu terus meluncur, tertelan mulut jurang menganga di mana batu-batu runcing di bawahnya siap melahap.
Namun satu tombak lagi tubuh ramping itu menghujam bumi, dari celah-celah dinding tebing melesat satu bayangan menyambar.
Tap! Tubuh si gadis tahu-tahu telah berada di kedua tangan satu sosok melengkung. Seorang perempuan tua berambut panjang digelung ke atas.
Gelungan rambutnya menggunakan konde dari tulang lengan manusia. Wajahnya tirus berhidung bengkok seperti paruh burung betet. Bibir kendornya menebar senyum.
"Hi hi hi.... Untung ada aku, Cah Ayu.... Untung iseng-iseng aku ingin mencari telur burung. Kalau tidak, tak bakalan kau selamat, Cah! Hi hi hi.... Tak ada luka di tubuhmu. Berarti kau senga-ja menceburkan diri ke jurang ini, ya?" cerocos si nenek berwajah penuh keriput seperti kain wiron.
Si gadis yang diajak bicara justru malah tak tahu apa-apa. Kesadarannya telah tersingkir entah ke mana, ketika tubuhnya meluncur ke bawah ta-di.
Si nenek segera meninggalkan tempat ini.
Sekali menghentak, tubuhnya telah melesat. Kakinya menotol ujung-ujung runcing bebatuan, lalu menghilang di sebuah goa dinding tebing.

* * *



Perlahan namun pasti, angin yang mengamuk di Desa Jatianom mereda. Tepat ketika matahari mengintip malu-malu dari celah-celah bukit, yang ada kini hanya desahan angin halus. Membelai pepohonan yang sebagian telah tumbang. Sementara para penduduk sudah bisa bernapas lega, seraya membenahi barang-barang mereka yang tercecer. Membawa anak-istri mereka kembali ke rumah yang sebagian telah porak poranda.
Tapi, apa sebenarnya di balik bencana itu" Sebenarnya, ada suatu kepercayaan kuat yang melekat di tiap-tiap hati para penduduk. Bila salah seorang gadis desa itu ada yang hamil di luar nikah, maka bisa dipastikan bencana alam akan datang. Entah bencana apa, mereka belum dapat memastikan. Tapi malam tadi, bukankah telah terjadi kemurkaan alam lewat tiupan angin beliung yang amat keras. Itukah bencana yang dimaksudkan" Tapi kenapa hanya sebentar. Sebab biasanya kemurkaan alam bisa berlangsung berhari-hari dan lebih dahsyat! Lantas, gadis siapa yang telah hamil di luar nikah" Dan rasanya, penduduk Desa Jatianom belum bisa menerka, siapa gadis yang mendatangkan kemurkaan alam. Tapi yang jelas, saat ini di rumah kepala desa telah terjadi kegemparan. Lestari, putri satu-satunya sang Kepala Desa telah lenyap entah ke mana. Tewas akibat bencana" Rasanya tak mungkin. Sebab para pembantu kepala desa telah mencari di sekitar rumah, tetap tak ditemukan mayatnya. Apalagi, kerusakan rumah juga tak begitu parah. Satu-satunya petunjuk di rumah Ki Pawit, si kepala desa, adalah jendela kamar Lestari yang terbuka. Itu artinya, si gadis memang telah pergi meninggalkan rumah. Tapi ke mana" Ke rumah Pandu" Sebab selama ini, putra juragan kambing yang cukup kaya di Desa Jatianom itu adalah kekasih Lestari. Semua orang di desa sering melihat kalau Lestari dan Pandu kerap terlihat jalan berdua. Mereka bagaikan kembang dan kumbang. Tak dapat dipisahkan.
Ki Pawit hanya bisa menggigit jari ketika mendengar kabar kalau anak gadisnya tak ditemukan di sana. Yang lebih menyakitkan, Ki Pawit malah mendapat kabar bahwa Pandu justru akan menikah dengan gadis pilihannya sendiri pada purnama depan.
"Benar apa yang kau katakan itu, Jumeneng?" tanya Ki Pawit seperti belum yakin dengan apa yang didengarnya.
"Benar, Ki. Buat apa aku berkata dusta kepada Kepala Desa?" sahut lelaki tinggi besar bernama Jumeneng.
"Jahanam! Pandu telah mencoreng namaku kalau begitu! Semua orang telah tahu kalau anakku sering bersamanya. Eh, tiba-tiba dia mau menikah dengan orang lain. Keparat!" geram Ki Pawit.
"Jumeneng! Seret Pandu kemari! Suruh dia bertanggung jawab atas kepergian anakku. Aku yakin, perginya Lestari lantaran dia!"
"Baik, Ki," sahut Jumeneng "Dan kau, Parjan! Cari anakku ke seluruh sudut desa. Kalau perlu, cari sampai ke desa-desa lain," lanjut Ki Pawit.
"Baik, Ki," sahut lelaki berperut buncit bernama Parjan.

* * *



Kembali ke dasar jurang.
Di bawah jurang sana dikenal sebagai Lembah Setan. Sebuah tempat terakhir bagi orangorang berpikiran pendek. Tempat bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya lantaran putus asa. Entah mengapa, Lembah Setan sudah sejak dulu dikenal sebagai pilihan bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidupnya.
Memenuhi panggilan iblis untuk menyerahkan jasadnya di dasar jurang.
Tapi kali ini, beruntung Lestari dapat diselamatkan oleh seorang perempuan tua berwajah tirus. Berpakaian kebaya kusam dengan kain batik, juga telah compang-camping. Tusuk konde pada gelungan rambutnya dari tulang lengan manusia. Dialah Nini Manten.
Seorang tokoh silat wanita yang telah bertahun-tahun menghilang dari peredaran. Sewaktu mudanya, wanita ini tergolong tokoh atas dunia persilatan tanpa aliran. Hanya karena dikhianati oleh seorang lelaki, dia tiba-tiba menghilang entah ke mana. Sejak saat itu, kabar tentang Nini Manten tak terdengar lagi. Lenyap bagai ditelan bumi.
Setelah bertahun-tahun bersemadi di dalam goa di dinding tebing jurang Lembah Setan, Nini Manten merasa harus nongol diri ke dunia luar.
Tapi baru saja hendak mencari makan berupa telur-telur burung yang bersarang di celah-celah tebing, mata tajamnya menangkap satu bayangan meluncur deras ke dasar jurang.
Naluri tajamnya segera memerintahkan untuk melesat. Tangkas, langsung ditangkapnya bayangan yang meluncur tadi. Bayangan yang ditangkapnya segera dibawa ke dalam goa tempatnya bersemadi. Itulah sosok seorang gadis yang hendak mengakhiri hidupnya di Lembah Setan.
Di dalam goa, Nini Manten memeriksa keadaan si gadis.
"Tekanan batin yang begitu kuat membuat kandungannya tak mampu bertahan. Dia telah keguguran," gumam si nenek ketika melihat darah terus-terusan mengalir dari selasela paha si gadis.
Lewat satu pijatan halus, Nini Manten berhasil mengeluarkan janin bayi yang baru berusia tiga bulan. Lalu ditotoknya jalan darah di tubuh gadis itu. Darah pun berhenti mengalir.
"Ternyata dia seorang ibu.... Hmm..., kenapa mesti bunuh diri" Atau dia seorang gadis malang korban rayuan lelaki" Bisa jadi," kata si nenek, menjawab pertanyaannya sendiri. Di atas tumpukan jerami, si gadis masih terbaring pingsan. Sejak tubuhnya meluncur ke dasar jurang, kesadarannya memang telah lenyap.
Bersamaan dengan lenyapnya harapan yang telah dibina beberapa bulan yang lalu.
Siapa gadis ini" Dialah Lestari.
Gadis putri Kepala Desa Jatianom yang berusaha mengakhiri hidupnya karena kekasihnya begitu tega menyingkirkannya. Padahal benihbenih cinta kasih mereka telah membentuk sebuah janin tak berdosa. Hanya karena kerakusan sang kekasih, Lestari terpaksa harus terdepak dari sisinya.
Betapa terpukulnya Lestari ketika dengan tiba-tiba Pandu mengatakan kalau purnama depan akan segera menikah dengan gadis lain. Gadis yang lebih cantik dan kaya, anak juragan palawija desa tetangga. Lebih terpukul lagi ketika Pandu tak mengakui bayi dalam kandungan Lestari. Dengan berbagai dalih, si pemuda berusaha lepas dari tanggung jawab.
Merasa terlalu percuma bila mendesak terus, akhirnya Lestari memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Pada saat yang bersamaan, malam itu angin puting beliung menerjang desa. Tapi itu tak mengendurkan tekad si gadis. Lewat jendela kamarnya, dengan hati hampa dia berjalan hingga ke jurang Lembah Setan. Tempat di mana orang-orang putus asa biasa mengakhiri hidupnya di sana.
"Hi hi hi.... Kau senasib denganku, Cah! Aku pun juga korban kaum lelaki. Tapi itu dulu....
Tujuh puluh tahun yang lalu..... Kendati begitu, dendam ini tak bakal pupus dalam hatiku. Kau harus bisa mewakili aku melenyapkan lelaki mata keranjang. Lelaki hidung belang yang membuat hidup kita menderita. Kau akan kuangkat sebagai murid, Cah! Hi hi hi...," celoteh Nini Manten. Dalam benaknya masih terbayang, bagaimana ha- tinya terkoyak oleh ulah kaum lelaki.
Nini Manten kini tengah menyalurkan hawa murni ke tubuh Lestari. Dia terus berusaha agar si gadis cepat siuman. Hatinya tak sabar lagi untuk mewujudkan cita-citanya. Menuntaskan dendam pada kaum lelaki!

* * *



Tiba di rumah Pandu, Jumeneng menemukan kesia-siaan. Pandu tetap bersikeras kalau dia tak tahu-menahu tentang Lestari. Bahkan dia menolak untuk diajak ke rumah Ki Pawit.
"Kalau kau tak mau ke sana, lebih baik kau berhadapan denganku, Pandu. Aku harus bisa menyeretmu ke sana!" bentak Jumeneng, galak.
"Terserah apa maumu. Jumeneng. Kau bisa seret aku ke sana setelah kau mampu melumpuhkanku!" sahut pemuda tampan berpakaian indah dari sutera berwarna biru. Pandu Perbawa namanya.
"Bangsat! Itu artinya kau menantangku, Pandu!"
"Aku tak mau mengotori tanganmu hanya untuk mengurusi manusia tengik macammu! Hadapi dulu para pengawalku!" Plok! Plok! Plok! Tiga kali Pandu bertepuk, tiga lelaki kasar yang sejak tadi berdiri di depan pintu berlompatan ke halaman. Mantap, mereka menginjak bumi di sisi Pandu. Senyum pongah si pemuda terkembang. Ekor matanya melirik ke arah tiga lelaki pengawalnya.
"Usir anjing kurap peliharaan kepala desa itu dari sini!" ujarnya, dingin.
"Setan kau, Pandu! Kau pikir aku takut menghadapi monyet-monyet peliharaanmu"!"
"Tak perlu banyak omong. Buktikan saja," Pandu segera berbalik. Ditinggalkannya tempat ini, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Tiga orang lelaki kasar telah mengepung Jumeneng. Tatapan liar mereka menjilati wajah si calon korban. Sedangkan gagang golok telah tergenggam dengan tangan kanan.
Jumeneng sama sekali tak mengenali ketiga tukang pukul Pandu. Jelas, mereka bukan penduduk desa ini. Tapi dari gerakan jurus pembuka mereka, jelas kalau Jumeneng tak bisa memandang remeh. Gerak ringan yang diperlihatkan menandakan kalau ketiga lelaki kasar itu memiliki kepandaian yang patut diperhitungkan.
Srattt...! Serempak, ketiga lelaki tukang pukul Pandu telah mencabut golok masing-masing. Mata golok langsung berputaran, membentuk lingkaran cahaya berkilatan akibat tertimpa sinar matahari.
Suara menderu putaran golok seolah hendak meruntuhkan nyali Jumeneng.
"Hiaaat...!" Puas memperlihatkan kemahiran memutar golok, ketiga lelaki kasar itu segera bergerak menerjang. Liar dan ganas. Hendak dibabatnya tubuh Jumeneng menjadi beberapa bagian. Dua golok menyambar bagian atas, sisanya ke arah pinggang.
"Hih!" Jumeneng tahu kalau berusaha memapak ketiga golok sekaligus tak akan mungkin mampu.
Maka untuk sementara dicobanya menghindar dengan membuang tubuh ke belakang. Dengan dua kali bersalto, maka sambaran ketiga golok luput. Begitu menginjak bumi, Jumeneng segera mencabut goloknya pula. Pikirnya, bila lawan telah langsung menggunakan senjata, maka tak ada salahnya kalau goloknya pun segera digunakan.
Wut! Wut! Wut! Beberapa putaran golok dibuat Jumeneng.
Cepat, bertenaga dalam tinggi. Deru angin yang tercipta sempat menggetarkan ketiga lelaki pengeroyoknya.
"Chiaa...!" Sambil terus memutar golok, Jumeneng melesat. Yang jadi sasaran adalah pengeroyok yang berada paling kiri. Perhitungannya, sasarannya kali ini lebih dekat dengannya. Selain itu, lawan yang dituju masih dalam keadaan bersiap betul.
Tapi sebelum Jumeneng tiba, salah seorang lawan yang lain telah melempar goloknya. Cepat dan ganas. Wrrrr.... Mata golok menerabas udara. Di dalamnya terkandung kekuatan dahsyat, siap mencabut nyawa Jumeneng. Bila Jumeneng tidak sigap, maka siap-siap saja melawat ke akhirat.
"Hih!" Tak! Setelah menghentikan laju serangannya, Jumeneng langsung memapak luncuran golok. Jiwanya memang lolos dari mulut. Tapi tak urung tubuhnya kontan bergetar keras. Tangannya pun terasa bagai kesemutan. Cepat dibuatnya satu sentakan ke samping. Karena saat itu, lawan yang lain telah menerjang disertai tebasan golok dari atas ke bawah. Jumeneng langsung bergulingan, mencari jarak. Lima belas tombak dari tempat semula, dia bangkit berdiri. Tapi belum juga bersiap, lawan yang tadi hendak dirangsaknya kali ini ganti menyerangnya. Wutt! Wutt! Sambaran liar golok lawan memangkas udara. Deru angin tajam menggeliat, menyergap nyali. Tak ada waktu lagi bagi Jumeneng untuk menghindar. Tangkas, dibuatnya dua kali tebasan golok untuk memapak serangan.
Tak! Tak! Gempuran tebasan golok lawan berhasil ditahan Jumeneng. Tapi goloknya sendiri terlepas dari pegangan, dan terpental entah ke mana. Tangannya pun kini terasa nyeri bukan main. Mulutnya meringis seperti orang telat buang hajat.
Lawan tak menyia-nyiakan kesempatan.
Langsung dihantamnya dada Jumeneng dengan satu tendangan setengah lingkaran. Keras dan bertenaga dalam tinggi.
Desss...! Jumeneng terpental. Sepuluh tombak dari tempat semula dia jatuh telentang. Bersamaan dengan itu, lawan yang tadi melemparkan golok telah menerjang cepat. Ketika tubuhnya melayang di udara, kaki kanannya telah terjulur ke depan. Begitu berada di atas Jumeneng, diinjaknya dada lelaki yang masih telentang menikmati sakitnya itu.
Kreakk! "Tamat riwayatmu!" Dengusan liar lawan mengiringi kepergian nyawa Jumeneng ke alam baka. Tulang-tulang dadanya berpatahan, terinjak kaki penyerangnya yang berisi tenaga dalam tinggi. Dari mulutnya mengalir darah segar karena isi dalam dadanya hancur.
"Buang mayatnya ke hutan!" seru salah seorang lelaki kasar itu.
"Biar aku yang memberi lapo-ran pada Tuan Pandu," lanjutnya.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

TANJUNG Karangbolong masih seperti dulu.
Ombak tak pernah lelah menjilati pantai. Meninggalkan buih-buih putih yang kemudian diterbangkan angin. Suara gemuruhnya sampai terdengar ke sebuah gubuk yang berdiri tak jauh dari pantai. Di dalam gubuk dua lelaki bangkotan guru Satria seperti tak terusik. Masing-masing asyik dengan kesendiriannya. Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit duduk menyelonjor di dipan.
Memperlihatkan kedua kakinya yang buntung sebatas dengkul dan disambung dengan dua batang logam runcing. Seperti tak pernah lepas dari tabiat sintingnya, Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul malah mendengkur keras tak beraturan dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kedua tangan kurusnya yang berkulit keriput menjadi penopang tubuhnya.
"Gawat..., gawat....'" desah Ki Kusumo tiba-tiba. Sepulas-pulasnya Dongdongka, nyatanya ku- pingnya sempat mendengar desahan barusan. Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari tidurnya. Kelopak keriputnya membuka perlahanlahan. Dicobanya menatap Ki Kusumo dengan menaikkan kepalanya.
"Ada apa dengan syahwatmu, Kusumo?" Salah dengar rupanya Dongdongka. Atau kupingnya memang sedang mabuk"
"Aku bilang gawat, Panembahan," ralat Ki Kusumo, halus.
"Oh, aku salah dengar ya" Lalu, apa yang gawat Kusumo" Tentang murid kita lagi?" tebak Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sok tahu.
"Bukan, Panembahan. Tentang dirimu," sahut Ki Kusumo.
Dongdongka tersentak. Kedua kakinya diturunkan. Mata kelabunya masih menempel lekatlekat di wajah Ki Kusumo yang beralis putih jarang.
"Tentang aku" Ada apa dengan aku?" tanya Dongdongka sambil berjongkok dengan tangan masih menapak tanah berpasir. Persis seperti kodok kurus mau kawin.
"Entah kenapa, sekarang justru aku mengkhawatirkan keadaanmu, Panembahan," jelas Ki Kusumo.
"Hei, Kusumo! Aku bukan istrimu yang harus dikhawatirkan. Kenapa kau begitu mengkhawatirkan aku" Kenapa?" terjang Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Harga dirinya merasa terusik. Bukan apa-apa, masa' sebagai tokoh persilatan yang nyaris sulit mati masih perlu dikhawatirkan" Bukankah Ki Kusumo terasa mengada-ada"
"Lho" Apa salahnya kalau aku mengkhawatirkan Panembahan?" tukas KI Kusumo.
"Itu artinya kau meremehkan aku, tahu?" Dongdongka melempar pantat keroposnya ke tanah berpasir.
"Aku tak bilang begitu, Panembahan. Hanya saja kok hatiku terasa tak enak. Ada firasat apa ya, Panembahan?"
"Lho" Mana kutahu" Itu kan firasatmu sendiri" Tapi sudahlah! Jangan terlalu dirisaukan aku yang kurus kering ini. Nanti juga mati sendiri. Eh, ngomong-ngomong, ke mana Cah Gendeng kita, ya Kusumo" Katanya mau cepat-cepat pulang setelah menyelesaikan urusannya dengan Setan Madat" Kok belum pulang-pulang juga?" Mau tertawa rasanya Ki Kusumo. Tadi Dongdongka menuduhnya tengah mengkhawatirkan Satria. Tapi sekarang justru Dongdongka sendiri yang menanyakan dengan nada sedikit mencemaskan.
"Panembahan mencemaskannya?" sindir Ki Kusumo.
"Siapa bilang?" tangkis si tua bangka gundul, setelah merasa disindir.
"Aku kan cuma menanyakan, kira-kira dia berada di mana?" Sebagai orang yang lebih muda, Ki Kusumo mengalah. Kendati begitu alis putih jarangnya tetap saja berkernyit. Memang, tabiat sesepuh gendeng yang tetap dihormatinya itu terkadang membuatnya puyeng sendiri. Lantas, apa maksudnya dia bertanya begitu" Sekadar basa-basi" Ah, sudahlah. Aku harus mengalah, tepis Ki Kusumo.
"Mungkin dia dalam perjalanan menuju ke Tanjung Karangbolong ini," sahut Ki Kusumo asal-asalan.
Tanpa bertanya lagi, Dongdongka bangkit.
Terbungkuk-bungkuk, dihampirinya balai bambu di depannya. Dihempaskannya pantat keroposnya di balai.
"Jangan-jangan, Cah Gendeng kita ada persoalan lagi, Kusumo?" buka Dongdongka. Tangannya lantas menggaruk-garuk kepala gundulnya.
"Rasanya Panembahan pernah menasihatiku agar aku tak perlu mengkhawatirkan Satria" Panembahan pernah bilang, kalau kita tak perlu menyuapinya terus menerus. Bukankah begitu?" Ki Kusumo menyudutkan.
"Aku sudah tahu, tahu"!" tangkis Dongdongka.
"Kekhawatiranku bukan berarti harus menjaganya. Kau harus tahu itu, tahu"!" Makin puyeng saja Ki Kusumo meladeni si tua buluk Dongdongka. Tapi memang begitu tabiatnya. Ki Kusumo sudah memakluminya. Yang bisa dilakukan cuma menghembuskan napas. Berusaha melonggarkan dadanya yang mendadak sesak.
"Sekarang bagaimana" Apakah aku harus mencari Satria?" tawar Ki Kusumo.
"Ah, Cah Gendeng itu kalau lapar juga pulang sendiri!" sergah si tua gundul. Berkata begitu maksudnya dia ingin menunjukkan kalau hatinya tidak khawatir terhadap Satria.
"Tapi kalau kau pingin lihat-lihat dunia luar, bolehlah sekalian mencari Satria," lanjutnya.
Ki Kusumo tersenyum. Tapi mendadak senyumnya menguap entah ke mana ketika teringat sesuatu.
"Apa semalam Panembahan tidak bermimpi apa-apa?" usik Ki Kusumo.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tercenung. Otak tuanya berusaha mengingat. Lantas kepalanya menggeleng. Perlahan, tampak raguragu.
"Tapi kenapa semalam Panembahan mengi-gau tak karuan" Malah menyebutnyebut nama Nini Berek. Rasanya, aku juga pernah mengenalnya?" "Keterlaluan kau, Kusumo! Kenapa kau tak bilang dari tadi?" cekat Dongdongka.
"Maksud Panembahan?"
"Keterlaluan kalau kau tak tahu, siapa Nini Berek!" "Aku tahu, dia wanita siluman istri Ki Ageng Wirakrama, salah seorang datuk sesat."
"Ya, aku juga mau bilang begitu, tahu"! Tapi cilaka kalau perempuan kuntilanak itu sampai terjun lagi ke dunia penuh gonjang-ganjing ini! Pasti ada apa-apanya! Pasti ada sebabnya!"
"Jadi, apa penyebabnya, Panembahan?"

* * *



Desa Jatianom di puncak kegarangan siang.
Para penduduk masih sibuk membenahi rumahnya yang semalam diterjang angin puting beliung. Di hati mereka masih tersimpan sebuah pertanyaan, gadis siapa yang hamil di luar nikah sehingga membuat kemurkaan alam" Pergunjingan pun merebak. Adalah suatu kenikmatan tersendiri jika membicarakan aib orang. Bukankah, begitu kebanyakan kaum manusia" Mereka saling kasak-kusuk, mendugaduga. Tapi ketika mendengar bahwa anak gadis Ki Pawit menghilang, tudingan pun diarahkan ke sana. Hilangnya Lestari, putri Ki Pawit, lantas saja dihubung-hubungkan dengan jurang Lembah Setan. Dugaan itu diyakini seyakin-yakinnya karena selama ini Lembah Setan dikenal sebagai tempat orang-orang putus asa mengakhiri hidupnya. Dan siapa tahu saat ini Lestari telah berhubungan terlalu jauh dengan Pandu, putra juragan kambing yang dikenal sebagai Ki Tambakyasa Ki Pawit sendiri sebenarnya punya dugaan seperti itu. Tapi dia berusaha menghibur diri sendiri dengan mengenyahkan dugaan-dugaan buruk dalam benaknya. Sementara istrinya hanya bisa mengurung diri di kamar sambil meratapi nasib anak perawan satu-satunya. Itu pun kalau masih perawan. Tentu saja, kini Ki Pawit tinggal menunggu kabar dari Jumeneng dan Parjan. Tapi sudah begini siang, kedua bawahannya itu tak kunjung muncul juga. Hatinya makin panas juga. Sementara kecemasan terhadap anaknya kian menyentaknyentak perasaannya.
Di serambi, lelaki setengah baya itu berjalan mondar-mandir. Sikapnya serba salah. Sebentar langkahnya berhenti dengan kepala menjulur memandang ke jalan di depan rumahnya. Belum ada tanda-tanda kalau kedua orang bawahannya muncul.
"Sial! Lama sekali mereka"!" rutuk Ki Pawit seraya melanjutkan kegelisahannya. Kembali jalan mondar-mandir di serambi.
Lelah, Ki Pawit lantas menghenyakkan pantatnya di kursi. Dihembuskannya napas sesak yang membalut dadanya. Maksudnya untuk mengurangi kegelisahannya, Tetapi itu belum cukup.
Diambilnya bungkus tembakau yang tergeletak di meja. Setelah mengambil selembar kertas papir, dibuatnya selinting rokok klembak menyan. Dilinting-linting, lalu diselipkan ke bibir hitamnya. Tangannya lantas merogoh pemantik api di saku surjannya. Dinyalakannya rokok klembak menyan, lalu dihisapnya dalam-dalam.
Merasa belum cukup juga, Ki Pawit bangkit dari duduknya. Kakinya lantas melangkah menuju halaman. Namun baru beberapa langkah, seorang lelaki kurus muncul dari jalan depan rumahnya.
"Parjan! Bagaimana" Apakah kau sudah dapat berita tentang Lestari?" berondong Ki Pawit.
Matanya membesar.
Dua langkah di depan Ki Pawit, Parjan berhenti. Kepalanya tertunduk takut-takut.
"Be..., belum, Ki. Tap..., tapi...."
"Tapi apa"!" penggal Ki Pawit. Dadanya kian berdebar keras. Dugaan buruk yang tersimpan dalam benaknya mulai merambat, merasuki hatinya.
"Ada beberapa penduduk desa kita yang melihat Jumeneng dikeroyok orang-orang tak dikenal di halaman rumah Ki Tambakyasa. Bisa jadi mereka adalah tukang pukulnya Pandu," jelas Parjan.
"Setan! Berarti pemuda sialan itu sengaja mau cari perkara dengan kita. Tapi kenapa penduduk yang melihat kejadian itu tak melaporkannya kepada kita?"
"Mungkin mereka takut, Ki. Kau tahu sendiri, belakangan ini pengaruh Ki Tambakyasa terhadap para penduduk makin kuat saja. Bahkan diam-diam dia mengincar kedudukanmu menjadi kepala desa ini," Parjan memberi alasan.
"Ya, aku tahu itu. Kupikir dengan ada hubungannya antara Lestari dan Pandu, aku tak perlu khawatir lagi pada kedudukanku sebagai kepala desa. Tak tahunya...." Ki Pawit menggeram lirih. Rahangnya mengeras. Teringat kembali dalam benaknya, bagaimana dia menerima Ki Tambakyasa sebagai penduduk desa ini sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu sikap Ki Tambakyasa tampak sangat bersahabat dengannya. Penuh perhatian dan suka menolong.
Ki Tambakyasa adalah pedagang kambing dari desa yang cukup jauh dengan ibu kota kadipaten. Karena Desa Jatianom terletak tak jauh dari kota kadipaten, maka dia memutuskan untuk pindah ke desa ini. Benar saja. Begitu pindah ke desa ini, perdagangannya melesat jauh. Kekayaan pun melimpah. Kambing-kambingnya selalu habis terjual di kota kadipaten.
Rupanya, Ki Tambakyasa tergolong manusia rakus. Lewat para kaki tangannya, diam-diam dia mulai menekan para penduduk untuk menjual kambing-kambing semurah mungkin kepadanya.
Dengan cara halus, seolah sebagai dermawan, penduduk yang membutuhkan pertolongan uang dipinjami dengan imbalan seekor anak kambing.
Ternyata, bunga pinjaman begitu mencekik leher.
Akibatnya, bila salah seorang tak bisa mengembalikan, maka seluruh kambing miliknya akan dirampas. Peluang itu sebenarnya tak perlu terjadi seandainya Ki Pawit mau bertindak. Tapi dasar kepala desa itu juga manusia biasa, mulutnya pun telah disumpal oleh kantung-kantung uang kepeng pemberian Ki Tambakyasa. Apalagi kemudian, anak gadisnya juga punya hubungan dengan Pandu, Putra Ki Tambakyasa.
Ki Tambakyasa kian merajalela. Kali ini dia mulai berani menggunakan ancaman bila para penduduk tak mau menjual kambingnya kepadanya. Tukang-tukang pukul dari desa lain pun disewa untuk menakut-nakuti para penduduk.
Kini, Ki Pawit nyaris tak bisa berbuat apaapa. Tapi begitu Lestari hilang, kesadarannya kalau selama ini telah dikadali Ki Tambakyasa pun terkuak. Apalagi menurut kabar pun, Ki Tambakyasa bercita-cita akan merebut kedudukannya sebagai kepala desa.
"Kalau begitu, kumpulkan orang-orang kita.
Pandu harus kita seret ke balai desa. Dan kalau Ki Tambakyasa ikut campur, kita bisa menuntutnya dengan tindakannya selama ini terhadap penduduk," ujar Ki Pawit.
Dalam hati Parjan tersenyum kecut. Dia sudah tahu, siapa Ki Pawit. Kenapa tidak bertindak sejak dulu terhadap Ki Tambakyasa" Sesal lelaki kurus ini. Setelah tertimpa musibah, baru mengajak bertindak.
"Ayo, tunggu apa lagi?" letus Ki Pawit ketika melihat Parjan ragu-ragu.
"Baik, Ki," sahut Parjan. Bergegas, ditinggalkannya Ki Pawit.
Berbalik, Ki Pawit segera melangkah memasuki rumahnya. Dibuangnya puntung rokok klembak menyan yang telah mati apinya ketika hendak dihisap.
"Tak akan kubiarkan sepak terjang Ki Tambakyasa!" geramnya.

* * *



"Dendamlah penyebabnya," jawab Dongdongka mantap. Sok tahu si tua bangka itu. Dari mana dia tahu kalau munculnya kembali Nini Berek ke dunia persilatan lantaran dendam"
"Panembahan tahu dari mana?" sodor Ki Kusumo, penasaran.
"Kau ini bagaimana, Kusumo" Ya, dari mimpiku itu!"
"Panembahan sendiri belum bercerita tentang mimpi itu."
"Belum, ya" He he he.... Aku terlalu bersemangat, Kusumo." Kembali Ki Kusumo hanya bisa menarik napas sesak. Semaklum-maklumnya Ki Kusumo, sekuat-kuatnya hatinya, tetap saja merasa mabok menghadapi tua bangka satu ini. Cuma karena rasa hormatnya saja dia tak ingin meninggalkan Dongdongka begitu saja.
"Aku bermimpi seram sekali, Kusumo. Seram sekali! Bayangkan!" ledak Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedua tangan kurus keringnya menggeliat-geliat di samping pinggang. Mirip cacing kepanasan. Ki Kusumo tak ingin menyahuti. Dibiarkannya si tua gundul mencak-mencak sendirian. Yah, daripada dia ikut-ikutan sawan, lebih baik diam saja.
"Kau tak ingin tahu mimpiku, Kusumo?" aju Dongdongka, menyebalkan. Lebih menyebalkan la-gi, tangan kanan kurusnya tiba-tiba menepak punggung Ki Kusumo. Saking semangatnya, membuat Tabib Sakti Pulau Dedemit nyaris terlonjak.
Ki Kusumo cengar-cengir serba salah. Mana mungkin dia berani marah pada si tua sinting ini.
Bukan karena takut, tapi rasa hormatnya saja yang dia mampu menghadapi 'musibah' ini.
"Dalam mimpi, aku seperti diseret-seret ke negeri Siluman. Aku disuruh mempertanggungjawabkan perbuatanku. Perbuatan apa, Kusumo" Perbuatan apa" Apa salahnya" Apa?" Dongdongka uring-uringan sendiri.
"Panembahan pernah punya urusan dengan bangsa siluman?" cetus Ki Kusumo, tak tega melihat Dongdongka uring-uringan sendiri. Dedengkot Sinting Kepala Gundul terdiam.
Dari duduknya dia bangkit. Wajah berkeriputnya tertarik tegang. Kelopak matanya mendelik-delik seolah tercekik.
"Ini bencana, Kusumo. Bencana!" Sumpah serapahnya menyusul kemudian. Dia berjalan mondar-mandir sambil mengetuk-ngetuk kepala gundulnya dengan bambu tipis yang tak pernah lepas dari tangannya.
Kini, Ki Kusumo yang kebingungan. Matanya bergerak-gerak, mengikuti arah mondarmandirnya si tua bangka di depannya. Tapi setidaknya, nalurinya bisa mengendus sesuatu yang genting di hati Dongdongka.
"Bencana apa yang Panembahan maksudkan?" tanya Ki Kusumo.
"Itulah sialnya, Kusumo. Aku tak tahu, bencana apa yang akan menimpaku. Dan lagi, rasanya aku tak pernah berurusan dengan bangsa siluman, kecuali...."
"Kecuali apa, Panembahan?"
"Kecuali Cah Gendeng kita. Bukankah waktu itu dia pernah mengalahkan Nini Jonggrang?" Lengkap sudah kebingungan Ki Kusumo.
Apa hubungannya urusan mimpi Dongdongka dengan Satria" Tanyanya, membatin.
Penasaran, Ki Kusumo mencoba menebak.
"Maksudmu, Nini Jonggrang belum mati betul?"
"Meleset jauh tebakanmu, Kusumo!" Ki Kusumo tersenyum kecut. Tak ada gairah lagi untuk mengorek keterangan dari Dongdongka. Yang penting sekarang, dibiarkannya saja Dedengkot Sinting mengoceh sendirian.
"Kau tahu kan kalau Nini Jonggrang punya guru yang berasal dari siluman?" letus Dongdongka.
Tidak. Ki Kusumo tak bergairah lagi menjawab. Mulutnya sengaja dikunci rapat-rapat. Takut salah lagi dia.
"Ketika Nini Jonggrang dikalahkan Cah Gendeng kita, bukankah terdengar suara mengikik" Nah, aku yakin itulah suara tawa siluman.
Kalau kita hubungkan bahwa Cah Gendeng kita adalah murid kita, bisa jadi bangsa siluman dendam terhadap kita. Terutama kepadaku. Nah, lewat mimpi itulah bangsa siluman menyatakan dendamnya. Tapi entah kenapa, justru siluman jelek Nini Berek ikut-ikutan muncul. Kenapa bukan siluman yang cantik-cantik...." Dari mondar-mandirnya, Dongdongka berhenti di depan Ki Kusumo. Ditatapnya mata kelabu Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Kira-kira kau tahu, bencana apa yang akan terjadi?" aju Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Tanpa bersuara, Ki Kusumo menggeleng.
Perlahan.
"Aku yakin, para siluman akan bersekutu menggempur kita. Terutama aku," jawab Dongdongka, yakin. Seyakin-yakinnya.
"Lalu bagaimana dengan Satria," tak kuat juga Ki Kusumo memendam keingintahuannya.
"Cerdik! Kau benar-benar cerdik, Kusumo!" sambar Dongdongka. Tapi justru sebenarnya membuat Ki Kusumo tak mengerti.
Cerdik" Dia bilang aku cerdik" Rasanya aku cuma bertanya. Rasanya aku tak memberi petunjuk apa-apa" Sulit memang memahami jalan pikiran Dongdongka. Saking tak tahu harus bilang apa, Ki Kusumo hanya cengar-cengir saja.
"Naluriku mengatakan, bersekutunya para siluman untuk menggempur kita atau tepatnya aku, salah satunya disebabkan oleh Cah Gendeng kita. Sekarang kau mengerti, Kusumo?" papar Dongdongka. Entah kenapa otak tuanya jadi begitu bening. Sehingga kata-katanya meluncur begitu saja. Tidak butek seperti tadi.
"Kalau sudah begitu, apa tindakan kita, Panembahan" Bukankah tadi aku hendak berpamitan untuk mencari Satria" Sebaiknya, sekarang aku berangkat, Panembahan," cetus Ki Kusumo.
"Ya, berangkatlah, Kusumo. Aku juga mau meneruskan tidurku lagi. Mudah-mudahan saja aku dapat petunjuk dari guruku lewat mimpi...."


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

DI DEPAN rumah Ki Tambakyasa, Ki Pawit berdiri garang. Di belakangnya, sepuluh orang anak buahnya berdiri bersiaga. Ada hawa kemarahan tercium di sana. Tarikan wajah mereka terlihat tegang. Cuping hidung kembang-kempis. Terutama terlihat pada wajah Ki Pawit.
"Ki Tambakyasa! Keluar kau! Serahkan Pandu kepada kami!" teriak Ki Pawit. Ledakan suaranya memangkas udara.
Belum ada sahutan. Hening.
"Ki Tambakyasa! Jangan paksa aku untuk mengobrak-abrik rumahmu!" Keheningan kembali terkoyak.
Belum ada tanda-tanda kalau Ki Tambakyasa atau Pandu akan muncul. Dan ini membuat kegeraman Ki Pawit makin menyentak-nyentak dadanya. Lewat kepalanya, kepala desa itu memberi isyarat. Tapi sebelum orang-orang Ki Pawit bergerak, dari pintu rumah Ki Tambakyasa bermunculan beberapa orang bertampang tak kalah garang. Dua, empat, enam, delapan..., sepuluh lela-ki kini telah muncul di depan pintu. Mereka semua telah menghunus golok, seolah ingin menyambut kedatangan Ki Pawit dan bawahannya dengan kematian mengerikan. Kesepuluh orang itu terus melangkah ke halaman, membentuk barisan menjajar. Kejap berikutnya, dari pintu tadi menyusul dua lelaki yang dicari-cari Ki Pawit. Yang seorang adalah pemuda tampan berpakaian putih dari sutera. Ketat, seolah ingin memamerkan kekekaran tubuhnya. Dialah Pandu, putra Ki Tambakyasa.
Di samping Pandu, berdiri seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun. Bajunya dari sutera putih berhiaskan rendarenda keemasan pada pinggirannya. Celananya komprang, juga dari sutera putih. Kepalanya yang berambut putih ditutupi ikat kepala warna putih pula. Wajah keriputnya dihiasi kumis dan jenggot yang telah berwarna putih. Alis matanya juga berwarna putih. Sinar matanya terlihat mengandung keramahan. Tapi di balik itu justru tersimpan kekejian mendalam.
Dialah Ki Tambakyasa.
"He he he.... Selamat datang, Sobatku Pawit.
Ada apa kau berteriak-teriak begitu" Macam orang kesurupan saja. Telingaku masih waras. Bahkan kasak-kusukmu sekalipun masih dapat kudengar...," kekeh Ki Tambakyasa, menyebalkan. Di beranda, dia berdiri bersama Pandu.
"Lagakmu makin tengik saja, Tambakyasa! Dulu kau meratap-ratap padaku untuk menjadi penduduk di sini. Sekarang kau mulai berani mengutak-atik jabatanku sebagai kepala desa.
Manusia macam apa kau ini, Tambakyasa"!" geram Ki Pawit, meledak-ledak.
"Jangan menuduhku begitu, Sobatku Pawit.
Toh, kau juga menikmati hasil jerih payahku, bukan" Sudah berapa peti uang kepeng yang kau terima sejak aku menetap di desa ini?" balas Ki Tambakyasa.
Merah padam wajah Ki Pawit. Rahasianya yang selama ini dipendam bertahun-tahun dibongkar begitu saja. Dia merasa ditelanjangi di depan orang banyak. Biji matanya melirik ke kiri dan kanan, berharap agar para anak buahnya tak mendengar kata-kata Ki Tambakyasa tadi.
Tapi justru dari mulut para anak buahnya terdengar gumaman-gumaman tak jelas. Bahkan, satu persatu mereka mulai meninggalkan Ki Pawit.
Hanya Parjan yang masih tersisa. Bisa jadi, karena Parjan dikenal sebagai kaki tangan Ki Pawit yang sangat setia. Ki Pawit makin salah tingkah. Sedikit berbalik, dipandanginya sembilan orang bawahannya yang pergi begitu saja dengan langkah kecewa.
"He!! Apa kalian lebih percaya manusia busuk itu daripada aku"!" teriak Ki Pawit.
Kesembilan orang bawahan Ki Pawit berhenti. Mereka berbalik.
"Entahlah, Ki. Sebenarnya, sejak lama kami mendengar desas-desus kalau kau sering menerima suap dari Ki Tambakyasa. Waktu itu kami masih belum percaya. Lalu ketika beberapa saudara kami terbelit ijon dengan bunga mencekik leher dari Ki Tambakyasa, kau tak bertindak apa-apa terhadapnya. Nah, sekarang setelah Ki Tambakyasa membeberkan bahwa kau sering menerima suap, kami tak ragu-ragu lagi. Mengenai urusanmu dengan Ki Tambakyasa, selesaikan saja sendiri," sahut salah seorang bawahan Ki Pawit Makin murka saja Ki Pawit. Kali ini dia ditelanjangi dua kali.
"Biarkan saja mereka pergi, Sobatku Pawit.
Mereka adalah orang-orang yang kecewa terhadapmu. Itu hak mereka untuk pergi dari sini. He he he...," usik Ki Tambakyasa.
"Diam kau, Anjing Busuk! Tanpa mereka, aku pun bisa meremukkan kepalamu! Sekarang, cepat serahkan anakmu kepadaku! Dia harus bertanggung jawab atas hilangnya Lestari anakku!" Sumpah serapah Ki Pawit meluncur bak air bah.
Matanya mendelik liar, memancarkan hawa kemarahan membludak.
"Lho" Yang hilang anakmu, kok yang disuruh tanggung jawab anakku" Apa-apaan kau ini, Pawit" Mau lepas tanggung jawab ya" Mau cuci tangan ya?" ejek Ki Tambakyasa.
"Ular beludak kau, Tambakyasa! Pandu anakmu telah berhubungan lama dengan anakku.
Kepergian anakku pasti lantaran dia! Karena dengan semena-mena Pandu telah memutus hubungan dengan anakku!" Ki Tambakyasa tersenyum dingin. Tarikan wajahnya menyiratkan sifat meremehkan persoalan.
"Mereka mungkin sudah tidak cocok. Jadi, jangan dipaksa. Sesuatu yang terpaksa hasilnya tidak baik, Pawit. Nah, sekarang pulanglah. Aku tak ada waktu meladenimu."
"Setan! Kau benar-benar seperti ular, Tambakyasa. Aku akan membunuhmu!" semprot Ki Pawit.
"Kau mau membunuhku" Seberapa kekuatanmu, Pawit" Hadapi dulu anak buahku. Baru kau boleh membunuhku. Maaf, aku masih banyak urusan di dalam dengan anakku. Bermainmainlah dulu dengan para anak buahku!" sahut Ki Tambakyasa. Bersama Pandu, dia kembali masuk ke dalam. Kata-kata terakhir Ki Tambakyasa ibarat isyarat bagi para anak buahnya. Mereka segera bergerak, mengelilingi Ki Pawit dan Parjan. Agaknya, pertarungan tak seimbang, dua lawan sepuluh akan segera digelar.
Apa yang terjadi selanjutnya"

* * *



Bukit Menjangan pada waktu yang sama.
Hening. Sehening dua manusia keropos berjenis kelamin perempuan yang duduk berhadapan. Yang seorang sudah jelas. Nini Berek. Tapi siapa yang seorang lagi" Wajahnya hampir mirip dengan Nini Berek.
Penuh borok berlendir menyebarkan bau busuk.
Hanya pakaiannya dari kebaya lusuh dengan kain batik kusam sebagai tapih. Rambutnya digelung ke atas berwarna putih. Kedua matanya celong ke dalam. Bibir kendornya juga mengunyah sirih, menciptakan liur berwarna merah darah.
"Terima kasih kau mau memenuhi undanganku, Mbakyu Rewang," buka Nini Berek, merampas keheningan.
"Hi hi hi.... Aku mengerti kesulitanmu, Adikku Berek. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa yang menjadi kesulitanmu," kata perempuan tua yang sebenarnya kakak kandung Nini Berek. Dialah Nini Rewang.
Perempuan tua keturunan siluman yang menjadi guru Nini Jonggrang. Setelah Nini Jonggrang terjerumus dalam dunia sesat, dia berguru pada Nini Rewang. Sewaktu Nini Jonggrang dikalahkan pendekar muda yang baru turun dalam gonjang-ganjing dunia persilatan bernama Satria, terdengar suara mengikik menggidikkan. Itulah suara tawa Nini Rewang.
Dendam siluman memang tak ada habisnya. Melihat muridnya kalah, Nini Rewang pun mendendam pada bocah bernama Satria Gendeng dan dua gurunya Ki Kusumo dan Dongdongka.
(Tentang kekalahan Nini Jonggrang di tangan Satria Gendeng, baca episode : "Kiamat di Gunung Sewu").
"Suamiku tewas entah oleh siapa, Mbakyu Rewang. Tapi melihat jenis pukulannya, aku menduga kalau yang membunuh suamiku adalah Dedengkot Sinting Kepala Gundul," buka Nini Berek.
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul" Hi hi hi.... Aku juga punya urusan dengannya. Muridnya yang bernama Satria Gendeng telah memusnahkan muridku yang bernama Jonggrang," sahut Ni-ni Rewang.
"O, jadi Dongdongka telah punya murid, Mbakyu" Siapa?"
"Satria Gendeng. Wah, kau rupanya ketinggalan berita, Adikku."
"Sejak menikah dengan Kakang Ageng Wirakrama sebenarnya aku tak tertarik lagi meramaikan dunia persilatan. Tapi sejak kematian suamiku, pikiranku berubah. Aku harus menuntut balas!" desis Nini Berek. Kepalanya lalu menoleh ke samping.
Prott! Sebentuk cairan merah meluncur, menerabas udara kosong. Menghantam batu bekas reruntuhan candi. Menciptakan lubang disertai asap tipis berwarna putih. Dahsyat sekali. Itulah sebentuk kemarahan Nini Berek yang dituangkan dalam semburan cairan sirih di mulut.
"Itulah sebabnya, aku tak tahu kalau Dongdongka mempunyai murid," lanjutnya.
"Tapi jangan-jangan, justru murid Dongdongka itu sendiri yang membunuh suamimu" Karena aku yakin, Dongdongka saat ini risih untuk terjun langsung dalam dunia persilatan," tukas Ni-ni Rewang.
"Maksudmu, Satria Gendeng yang kau katakan tadi?" Nini Berek seolah tak percaya.
"Kalau muridnya saja bisa membunuh suamiku, bagaimana dengan Dongdongka sendiri?"
"Itu sebabnya, kita harus menggalang persekutuan. Dengan bersatu, aku yakin kita bisa melenyapkan mereka!" sambar Nini Rewang, mendesis.
"Tapi untuk membuat dunia ini tambah gonjang-ganjing, aku ingin membangkitkan suamiku dari kematian."
"Itu artinya, kau membutuhkan sari pati sepuluh pemuda untuk membangkitkan suamimu?" "Tepat!"

* * *



Dunia tak pernah sepi dari prahara.
Ada pepatah bilang, manusia adalah serigala di antara sesamanya.
Begitulah yang terjadi antara Ki Pawit dengan Ki Tambakyasa.
Persekutuan telah tercipta. Ki Pawit berusaha mati-matian menghadapi sepuluh anak buah Ki Tambakyasa. Kendati dibantu Parjan, apalah artinya" Wukh! Wukh! Dua sambaran golok memapas udara. Menciptakan angin keras, hendak meruntuhkan nyali.
Ki Pawit pontang panting menghindarinya, berlompatan ke kiri, lalu menggulingkan tubuhnya ke samping. Begitu bangkit, dicabutnya keris pusaka peninggalan leluhurnya.
Sraakkk! Kejap yang sama, satu sambaran golok lawan yang lain menyambar hendak menebas lehernya dari kiri ke kanan. Hendak dibelahnya dada kurus Ki Pawit.
"Hih!" Tak! Keris telanjang berlekuk tujuh milik Ki Pawit terangkat ke depan dada. Benturan pun terjadi. Tiga tombak si penyerang terjajar mundur. Sedang Ki Pawit hanya bergetar saja tubuhnya. Dan waktu yang sekejapan itu digunakan Ki Pawit untuk menerjang dengan sebuah tendangan lurus.
"Khaaa...!" Udara terpangkas oleh teriakan Ki Pawit bersama luncuran tendangannya. Tapi sebelum mengenai sasaran, dari arah samping lawan lain menerjang dengan sambaran goloknya. Arahnya, ke kaki terjulur Ki Pawit.
Tak mau kakinya jadi korban, terpaksa kepala desa yang ternyata memiliki kemampuan lumayan itu menghentikan luncuran tubuhnya setelah menarik kakinya. Lalu dibuangnya tubuh ke tanah. Sayang, arah jatuh dan bergulingan Ki Pawit tanpa disadari justru menuju salah seorang lawan. Tanpa membuang kesempatan, ditendangnya Ki Pawit. Bed! "Hih!" Ki Pawit berusaha melindungi dadanya yang jadi sasaran dengan kedua tangan yang menekuk di depan dada. Tapi tak urung, tubuhnya tergeser beberapa langkah.
"Hup!" Lewat sentakan perut, Ki Pawit berusaha bangkit. Sigap, kakinya berusaha mencengkeram tanah seraya memasang kuda-kuda kokoh. Liar, mata merahnya merayapi lawan-lawannya. Lima orang yang mengeroyoknya. Lima sisanya sibuk mengatasi Parjan yang ternyata tak gampang untuk ditundukkan. Walaupun, lelaki itu juga harus pontang-panting seperti Ki Pawit.
"Hiaaa...!" Tiga orang lawan menerjang Ki Pawit bersamaan. Golok terhunus terangkat di atas kepala.
Hendak dibelahnya kepala Ki Pawit menjadi beberapa bagian. Udara pun terobek oleh teriakan menggila mereka. Angin terbelah oleh golok-golok yang berputaran di udara.
"Kau harus mampus, Keparat!" bentak salah seorang lawan yang berada di tengah.
Wukh! Satu sambaran golok dibuat penyerang yang berada di tengah. Ganas berhawa maut. Ki Pawit segera mengangkat kerisnya. Dipapaknya golok lawan. Wukh! Wukh! Saat yang bersamaan, dua sambaran golok lain mengancam dari samping kiri dan kanan. Seketika tangan kirinya menyampok dari bawah untuk mematahkan serangan dari samping kiri. Sedangkan kaki kanan menyongsong ke arah perut lawan di kanan.
Trang! Tap! Dess! Ki Pawit mampu menahan serangan golok dari depan. Juga, mampu menahan serangan dari samping kiri, bahkan mampu mengirim tendangan ke perut lawan di kanan. Tapi saat itu juga, lawan yang berada di depan mengirimkan satu tendangan telak ke dada setelah goloknya tadi tertahan.
Bukk! Sepuluh tombak, tubuh Ki Pawit terlempar.
Kendati terbebas dari serangan golok, tak urung tendangan tadi membuat dadanya terasa sesak.
Tapi ibarat keluar dari mulut macan masuk ke mulut buaya, justru tubuh Ki Pawit melayang ke arah dua lawan yang sudah sejak tadi menunggu dengan golok terhunus.
Dan.... Crass! Crasss! Di udara, tubuh Ki Pawit terbelah. Di tanah, dia telah bersimbah darah. Kepalanya terpisah. Perutnya terancah. Dia kalah melawan manusiamanusia serakah.
Crasss! Di tempat lain, Parjan mengalami nasib sama. Tubuhnya yang telah bersimbah darah oleh sabetan-sabetan golok lawan, ambruk oleh tebasan terakhir pada lehernya.
Siang pun memerah.
Darah pun bersimbah.
Dua manusia tergolek mati tanpa ingin menyerah.

* * *



Tak ada. Tak ada penduduk Desa Jatianom yang berani menolong kepala desanya saat terjadi pertarungan di depan halaman rumah Ki Tambakyasa. Mereka memang serba salah. Sudah sejak lama mereka tahu kalau Ki Pawit, sama bejadnya dengan Ki Tambakyasa. Di saat sepak terjang Ki Tambakyasa makin mencekik leher dengan bunga ijonnya, justru Ki Pawit tak berbuat apa-apa. Bahkan kalau boleh dibilang diamdiam malah mendukung. Para penduduk hanya menonton pertarungan dari kejauhan, takut jadi sasaran. Di sisi lain, mereka pun diliputi kecemasan. Artinya, bila Ki Pawit tewas, maka sepak terjang Ki Tambakyasa akan makin merajalela. Kesewenang-wenangan pun bakal mengancam.
Pasrah. Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan sikap para penduduk. Menunggu harapharap cemas, apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Ketika melihat Ki Pawit dan Parjan tewas, mereka berusaha untuk menutup mata dan telinga. Purapura tak tahu apa yang terjadi ketimbang jadi korban keganasan anak buah Ki Tambakyasa. Para penduduk tahu, orang-orangnya Ki Tambakyasa adalah orang-orang persilatan yang disewa Ki Tambakyasa sejak tiga tahun lalu. Mereka ditugasi untuk memungut sekaligus mengancam para penduduk dalam membayar hutang terhadap Ki Tambakyasa. Jika ada salah seorang penduduk yang tak mampu membayar, bukan saja kambing yang dirampas, tapi tanah pun ikut disita. Jika melawan, maka para tukang pukul Ki Tambakyasa akan turun tangan.
Serba salah. Itu kata yang tepat bagi para penduduk Desa Jatianom. Kematian Ki Pawit bagi mereka tak merubah apa-apa. Makin parah, bisa jadi. Sebab, mereka tahu, siapa Ki Tambakyasa.


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

WAKTU terus terdenyut.
Telah dua hari Satria Gendeng telah tiba di Tanjung Karangbolong. Tiba di sana, si anak muda tak lagi menemukan Ki Kusumo. Yang ada hanya Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang selalu sibuk dengan tidurnya.
"Ke mana Kakek Kusumo, Kek?" tanya Satria yang waktu belum lama tiba.
"Si Kusumo itu keras kepala. Sudah kubilang kau pasti datang, tapi dia malah pergi menca-rimu. Apa kau tak bertemu di tengah jalan?" Satria menggeleng.
"Aku membutuhkan jawaban, bukan gelengan!" semprot Dongdongka. Lalu bambu tipisnya yang selalu tergenggam di tangan meski sedang buang hajat sekalipun melayang ke arah kepala si pendekar muda. Tak! Satria cuma bisa meringis serba salah. Di atas balai bambu, si pemuda membanting pantatnya. Sementara, Dongdongka masih tetap berdiri di hadapannya.
"Kalau Kakek Kusumo begitu keras kepala mencariku, pasti ada sesuatu yang terjadi. Kirakira, apa ya, Kek?" tanya Satria lagi.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak segera menjawab. Juga tak tampak ada tanda-tanda kesintingan yang akan diperlihatkannya pada Cah Gendengnya. Terbungkuk-bungkuk, dia malah melangkah mondar-mandir di dalam gubuk. Tak lupa, bambu tipisnya diketuk-ketukkan ke kepala gundulnya.
"Kakek tak menjawab pertanyaanku" Apa ada yang merisaukanmu?" lanjut Satria, Mata sembilunya terus bergerak, mengikuti gerakan mondar-mandir si tua bangka buluk ini. Sementara alisnya nyaris bertaut. Raut wajahnya menyiratkan ketidak-mengertian.
"Kau marah kalau aku mengatakan sesuatu?" Dongdongka malah mengajukan pertanyaan.
Si pemuda makin penasaran.
"Apa itu, Kek?" tanya Satria.
"Aku haus. Ambilkan dua butir kelapa. Aku mau minum airnya," sabda Dongdongka seenaknya. Satria melengak. Rasa penasarannya terberangus oleh permintaan mengada-ada guru gendengnya. Mau marah, tak enak. Mau menolak, tak sopan. Mau jengkel, tak pantas. Mau tak mau, si bocah gendeng harus mau memenuhi permintaan si tua buluk itu.

* * *



"Keadaan akan makin runyam kalau para siluman bersekutu, ya Kek?" buka Satria setelah mendengar penjelasan Dongdongka tentang mimpi serta firasatnya.
"Kau takut?" cibir Dongdongka. Perlahan, kelopak matanya membuka. Sayu. Si tua bangka lapuk ini masih dalam keadaan tidur kelelawarnya. Kakinya di atas, mengait pada sebuah palang bambu penyangga atap. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
"Memang para siluman bentuknya seram, Kek?" Satria melengak. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri.
Dongdongka tersenyum geli. Dia tahu yang ditakutkan Satria bukan soal kesaktian para siluman. Tapi lebih condong pada soal bentuk rupa siluman. Waktu menghadapi Nini Jonggrang saja si anak muda sempat tercekat. Terutama ketika Nini Jonggrang mengerahkan ilmunya, sehingga wajahnya lebih mirip iblis (Baca episode: "Kiamat di Goa Sewu").
Tidak. Satria bukannya takut mati menghadapi para siluman. Dongdongka tahu watak si pemuda. Bahkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun kalau perlu tak akan peduli bila Satria dimakan naga sekalipun.
"Kau pernah melihat wajah Nini Jonggrang jelek itu ketika mengerahkan ilmunya?" Dongdongka malah bertanya. Entah, kenapa justru pertanyaan itu yang meluncur dari bibir kendornya.
Padahal dia sudah tahu kalau Satria pernah menghadapi Nini Jonggrang.
"Pernah," jawab Satria, pendek.
"Ya, seperti itu kira-kira wajah Nini Berek dan Nini Rewang. Cantik, ya?" goda si tua bangka lapuk.
"Kau tertarik" Goyangannya masih mantap, lho." Satria malah bergidik.
"Nah, sekarang carilah si Kusumo. Cepat sana! Aku ngantuk. Oaahhhmmm...." Dongdongka menguap lebar. Semburan hawa dari mulutnya membuat Satria meringis. Menyemprot langsung ke wajah si anak muda.
"Nanti Kakek Kusumo juga pulang sendiri," maksudnya Satria mau menolak halus. Sebab, baru dua hari datang ke Tanjung Karangbolong, sudah harus pergi lagi.
"Slompret kau, Cah. Disuruh orang tua tak mau menurut. Apa kau tak kasihan dengan si Kusumo"!" semprot Dongdongka.
"Memang kenapa dengan Kakek Kusumo?"
"Kalau dia diperkosa para siluman itu, bagaimana?" "Diperkosa?" Kening Satria berkerut. Polos sekali sikapnya.
"Memang kau pikir manusia saja yang bisa memperkosa?" terabas si tua lapuk ini.
"Sudah sana!" usir Dongdongka. Lalu iseng-iseng ujung bambu kuningnya disambarkan ke kepala si anak muda murid sintingnya.
Tak! "Aduh...!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul memejamkan matanya. Rapat sekali. Satria sendiri telah beranjak. Mulutnya meringis, tanpa mampu berbuat apa-apa.

* * *



Waktu terus bergulir.
Sebulan setelah kematian Ki Pawit, Ki Tambakyasa makin menancapkan kuku kekuasaannya di Desa Jatianom. Bahkan dengan seenak udelnya dia menyatakan diri sebagai kepala desa. Suka tidak suka, rela tidak rela, mau tidak mau, para penduduk harus mengakui bahwa Ki Tambakyasalah yang menjadi kepala desa ini. Bagi yang menentang, siap-siap saja melawat ke akhirat. Begitu ancamannya.
Kini kehidupan di Desa Jatianom tak lebih berada dalam neraka. Para penduduk terbelenggu kesengsaraan. Kehampaan, dan nyaris tak mampu berbuat apa-apa. Kaum papa hanya bisa meratap.
Terlindas oleh keadaan yang makin tak karuan.
Wong cilik hanya bisa menangis. Meringisringis, menahan lapar yang makin mengiris.
Dan malam pun berjalan amat lambat. Angin bergerak amat lambat. Desa Jatianom terkepung keheningan. Sebagian penduduk telah terlelap sambil berusaha menahan lapar. Sebagian lagi masih sulit untuk memicingkan mata karena serangan lapar yang maha hebat.
Memang, sejak Ki Tambakyasa menjadi kepala desa, kehidupan jadi semakin sulit. Keserakahan dan kerakusan Ki Tambakyasa seolah mematikan penghidupan mereka. Harta telah terampas. Mereka hanya mengandalkan jagung atau umbi-umbian yang ditanam di halaman rumah.
Bagi mereka yang rumah atau tanahnya telah terampas, hanya belas kasihan dari penduduk lain yang diharap. Tapi, justru di rumah Ki Tambakyasa keadaan jadi sebaliknya. Makanan melimpah ruah.
Terhidang di setiap meja yang dirubungi para anak buahnya. Berguci-guci tuak telah habis ditenggak.
Seperti malam-malam kemarin, malam di rumah Ki Tambakyasa memang tak pernah sepi.
Sebuah pesta pora hampir tiap malam terbangun di sana. Yang menikmati hanyalah kerabat Ki Tambakyasa serta para anak buahnya.
Tawa terbahak-bahak mereka seolah mengejek kesengsaraan para penduduk yang justru tengah bergulat menahan lapar. Sebuah kenyataan mengharukan yang kian berlarut-larut. Tapi apa daya para penduduk" Di sudut halaman rumah Ki Tambakyasa, beberapa orang tengah bergerombolan. Membentuk lingkaran yang di tengahnya tersaji beberapa guci tuak. Alam pikiran mereka telah terseret ke dalam dunia semu. Dunia yang tercipta akibat pengaruh tuak. Menenggelamkan akal pikiran mereka. Sambil bicara tak karuan, sesekali mereka menenggak tuak. Setiap salah seorang menenggak, maka yang lain akan memberi semangat.
"Taruhan, sebentar lagi pasti Tembayan bakal mengejoprak. Prak!" oceh salah seorang lelaki yang wajahnya kasar penuh jerawat. Lelaki botak yang dipanggil Tembayan tak terima diremehkan.
"Slompret kau, Ragil! Jangan hanya mengoceh melulu. Ayo. kau juga tambah lagi!" semprot Tembayan.
"Baik, baik. Lihat!" Ragil mengangkat guci.
Dituangnya tuak dalam guci ke mulut. Pengaruh tuak membuat pegangan pada leher guci tak kokoh. Sehingga, kucuran tuak jadi bececeran tak karuan. Tapi banyak juga yang telah telanjur meluncur ke tenggorokan Ragil. Lalu sesudah itu....
Brukkk! "Ha ha ha...!" Dasar Ragil memang sudah mabuk berat, ditambah beberapa tegukan tuak saja, tubuhnya kontan ambruk. Tak kuat. Tawa teman-temannya pun meledak, mengiringi tubuhnya yang telah tak sadarkan diri.
"Ayo, siapa lagi yang mau bertanding denganku"!" lantang Tembayan. Pongah lagaknya.
Empat lelaki yang masih bisa menguasai diri walaupun telah berada dalam pengaruh tuak saling menatap. Lalu salah seorang meraih guci tuak.
"Aku akan melawanmu. Tapi tak seru kalau tak ada taruhannya," sahut satu dari empat lelaki itu.
"Kau mau lawanku, Togap" Ha ha ha.... Apa taruhannya?" tantang Tembayan.
"Bayarin aku perempuan di Penginapan Bunga Nirwana. Bagaimana"!" aju lelaki bernama Togap.
"Apabila di antara kalian ada yang paling kuat menenggak arak, tak perlu jauh-jauh untuk membuang uang ke Penginapan Bunga Nirwana." Sebuah suara halus tahu-tahu menyita perhatian mereka.
"Aku bersedia menjadi hadiahnya," lanjutnya. Entah kapan datangnya, tahu-tahu tak jauh dari situ berdiri seorang gadis berpakaian kuning ketat. Saking ketatnya, membuat lekuk-lekuk tubuhnya jadi tampak menggiurkan.
Mata memerah lima orang yang tengah duduk melingkar dalam pengaruh tuak langsung mendelik ke arah gadis berwajah cantik. Merayapi setiap lekuk-lekuk si gadis. Padahal kalau akal pikiran mereka waras, harusnya mereka waspada.
Kedatangan si gadis yang tak disadari, menunjukkan kalau kepandaiannya tak bisa dianggap enteng.
"Edan..., edan! Cantik sekali kau, Cah Ayu"! Siapa namamu?" Tembayan langsung bangkit berdiri. Juga, bangkit nafsunya.
Napasnya kontan mendengus-dengus dengan mata melotot nyaris keluar.
"Apalah artinya sebuah nama.... Kalau na-ma bagus tapi tak bisa memuaskan kalian, apa artinya?" desah si gadis, makin menantang.
"Kau benar.... Tapi, paling tidak aku akan selalu mengingat namamu," Rayuan gombal Tembayan meluncur begitu saja dari bibir leceknya yang dibasahi cairan tuak.
"Baik.... Namaku, Lestari. Nah, kalian boleh meneruskan permainan. Siapa yang sanggup bertahan dengan sebanyak-banyaknya minum tuak, boleh tidur denganku," kata Lestari, mendayu-dayu. Kelima orang lelaki yang telah dirasuki pengaruh tuak makin semangat saja. Sebuah tawaran yang amat menantang. Begitu kata hati mereka.
Tembayan berbalik. Mata merahnya memandangi keempat kawan-kawannya.
"Kalian dengar apa yang dikatakan si cantik ini" "
"Aku khawatir, justru kau yang ambruk lebih dulu, Tembayan," leceh Togap.
"Sialan kau, Togap! Jangan hanya bacot kau tonjolkan. Tai kucing dengan segala ocehanmu. Kita buktikan sekarang!" maki Tembayan, mendidih darahnya merasa dilecehkan.
"Kalau kalian bicara terus, kapan mulainya" Terus terang saja, aku sudah tak sabar menunggu kehangatan kalian," sela Lestari, makin membuat kelima lelaki itu blingsatan.
"Baik, baik. Kami akan segera memulai, Cah Ayu," sambut Tembayan makin menggebu-gebu.
Segera dihampirinya keempat kawannya, dan kembali duduk di antara mereka.
Pertandingan adu minum pun dimulai. Lima buah guci yang masih berisi tuak penuh segera digeser ke tengah. Semua mata memerah tertuju ke satu arah.
"Kebetulan, sisa tuak tinggal lima guci. Masing-masing dapat satu guci. Nah, kalian bisa memulai," kata si gadis.
Tanpa banyak bicara, masing-masing meraih leher guci tuak. Begitu terangkat di atas wajah, mereka mulai mengucurkan tuak ke mulut. Penuh semangat, mereka menenggak. Yang ada di benak mereka hanyalah bayangan kemolekan tubuh si gadis. Kejap lain.....
Bruk! Bruk! Dua orang mulai ngejoprak. Tiga masih menenggak. Lalu.... Bruk! Satu orang menyusul. Tinggal Tembayan dan Togap yang masih bertahan. Sejenak kedua lelaki ini menghentikan tenggakkannya. Napas mereka mendengus-dengus. Kedua mata merah mereka saling berpandangan. Saling menatap, dan saling membanggakan kekuatan masing-masing.
Dikawal satu tarikan napas, mereka kembali menenggak.
"Gluk! Gluk! Gluk!" Makin panas. Makin membara dada mereka. Terbakar nafsu serta pengaruh tuak.
Waktu terus merangkak. Makin gila saja kedua orang tua itu menenggak.
Tiba-tiba.... Bruk! Tembayan kali ini tak berkutik. Kesombongannya terberangus sudah. Pengaruh tuak yang sangat berlebihan, membuat tubuhnya tak dapat lagi terkendali. Ambruk bersama nafsunya yang berkobar.
"Ha ha ha.... Ternyata bacotmu tak sesuai dengan kenyataan, Tembayan. Kau tak lebih dari tong kosong yang nyaring bunyinya!" gelak Togap, melihat Tembayan ambruk.
"Ternyata kau pemenangnya, Kakang," sambut Lestari, mendayu-dayu. Suaranya mendesah, membangkitkan kelaki-lakian Togap.
"Ayolah. Aku sudah tak sabar menunggu kehangatanmu." Penuh nafsu, Togap bangkit. Sempoyongan, dihampirinya Lestari yang berdiri menantang di sudut pagar tembok dalam keremangan malam.
Tepat setengah langkah di depan dia berhenti. Mata liarnya langsung menjilati tubuh Lestari yang tertelan keremangan.
Tapi baru saja Togap hendak masuk....
Bed! Crasss...! Togap melotot sejadi-jadinya. Mulutnya menganga tanpa suara. Tanpa dapat dicegah tadi, Lestari membabat perut dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang.
Tindakan Lestari tak sampai di situ. Begitu Togap ambruk, dihampirinya kelima kawan Togap.
Seperti tadi, jari-jari tangannya kembali bergerak.
Amat cepat, membabat perut lima lelaki yang sudah tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tahutahu mereka menemukan diri masing-masing telah berada di dalam kubur.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

TAK hanya di depan rumah Ki Tambakyasa yang terjadi kegemparan. Pada saat yang sama, dua orang pemuda ditemukan tewas dengan tubuh mengeriput, mirip kulit kakek-kakek. Para penduduk mengenali mereka sebagai dua bersaudara.
Saman dan Samin. Ada dugaan, sebelum kedua pemuda itu dibunuh, terlebih dahulu mereka diperkosa. Diperkosa" Bukti-bukti memang menjurus ke sana. Keduanya ditemukan di sebuah dangau di tengah sawah dalam keadaan telanjang. Di bagian selangkangan juga ditemukan cairan bening yang telah mengering. Sepertinya, sari pati dua pemuda itu diserap habis-habisan. Kedua wajah mereka menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Kalau keduanya diperkosa, berarti pelakunya seorang wanita. Itu dugaan yang timbul di benak para penduduk.
Begitu para penduduk mendengar terjadi pembunuhan para lelaki tukang pukul di rumah Ki Tambakyasa, maka makin lengkaplah kecemasan mereka. Di satu sisi, para penduduk memang merasa bersyukur dengan kematian para tukang pukul itu, tapi di sisi lain mereka merasa terancam. Sebab, bukan mustahil Ki Tambakyasa akan menuduh mereka sebagai si pembunuh.
Tapi apa benar begitu"

* * *



"Keparat! Ada yang mau main-main denganku rupanya! Enam orang anak buahku tewas tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya"! Mustahil! Mustahil!" sembur Ki Tambakyasa.
Setelah penguburan keenam anak buahnya.
Ki Tambakyasa mengumpulkan para tukang pukulnya di ruang tengah. Di sampingnya, berdiri Pandu. Sikap si pemuda terlihat jumawa.
"Pada saat yang sama, ternyata juga terjadi pembunuhan dua pemuda desa ini, Tuan," lapor salah seorang tukang pukul.
"Siapa?"
"Kalau tak salah, namanya Samin dan Saman. Mereka kakak-beradik," lanjut si tukang pukul, semangat.
"Maksudku, siapa yang tanya, Guoblok!" ledak Ki Tambakyasa. Kedua biji mata kelabunya nyaris melompat keluar. Semburan percikan air liurnya saja yang meluncur, membasahi wajah si pelopor. Karena wajahnya tepat di hadapan Ki Tambakyasa. Si pelapor tadi ingin mengusap wajah basahnya. Tapi hatinya merasa tak enak. Walaupun agak jijik, dibiarkannya percikan liur yang membasahi wajah.
Hening. Para tukang pukul tak ada yang bersuara.
"Jaswadi! Apa kau punya dugaan, siapa kira-kira si pembunuh?" buka Ki Tambakyasa, merampas keheningan.
"Dugaan saya, si pembunuh memiliki kepandaian tinggi. Buktinya dalam waktu hampir bersamaan, dia bisa berada di dua tempat," duga lelaki bernama Jaswadi.
"Apa tak mungkin kalau pembunuhnya dua orang?" sela Pandu.
"Bisa jadi begitu, Tuan Muda," sahut Jaswadi.
"Kau benar, Anakku. Aku yakin pembu- nuhnya dua orang. Karena mereka masing-masing jelas mengemban niat yang berbeda. Satu orang pembunuh jelas memusuhiku dengan melenyapkan enam orang anak buahku. Pembunuh satunya paling tidak punya niatan lain. Karena kudengar, dua pemuda yang tewas terhisap sari patinya hingga tandas. Sedangkan enam anak buahku mati dengan luka-luka mengerikan pada bagian perut," papar Ki Tambakyasa. Rupanya lelaki tua ini telah mendengar adanya pembunuhan dua pemuda. Sehingga ketika dilapori, amarahnya memuncak. Semua orang yang berada di tempat ini hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ki Tambakyasa. Bisa jadi penjelasan Ki Tambakyasa memang masuk akal. Tapi yang masih jadi tanda tanya, siapa pembunuh itu" Kalau dua orang apakah kedua-duanya wanita" Sebab diduga si pembunuh dua pemuda bernama Saman dan Samin adalah wanita. Belum ada yang mampu menjawab, Semuanya masih gelap.
"Kalau aku menduga bahwa si pembunuh keenam anak buah kita adalah Lestari, bagaimana?" aju Pandu. Tenang sekali sikapnya.
Ki Tambakyasa sendiri yang terhenyak.
"Maksudmu, Lestari anak mendiang Ki Pawit?" Ki Tambakyasa seperti kurang yakin.
"Ya!"
"Bukankah kabar yang selama ini terdengar Lestari bunuh diri di jurang Lembah Setan" Kita semua tahu, orang putus asa macam Lestari pasti akan mengakhiri hidupnya di jurang itu," bantah Ki Tambakyasa.
"Itu kalau dia benar-benar bunuh diri. Kalau tidak?" sergah Pandu.
"Kalau tidak pun, bagaimana bisa punya kepandaian tinggi" Kabar tentang Lestari sampai sebulan ini memang tidak pernah terdengar lagi.
Tapi aku tak percaya kalau dia mampu menyerap ilmu-ilmu tingkat tinggi hanya dalam waktu sebulan" Sebab kita tahu, Lestari adalah gadis yang tak memiliki dasar ilmu olah kanuragan sedikit pun!" Pandu terdiam. Benar juga kata ayahnya.
Tapi siapa si pembunuh itu" Tanyanya, membatin.

* * *



Malam pun menggilas mayapada.
Seorang gadis cantik berkulit putih berjalan gemulai di pinggir desa. Pakaiannya ketat warna kuning. Kegelapan tak mengurungkan langkah gemulainya. Wajah cantiknya tersiram sinar bulan bulat.
Senyumnya tak lepas dari bibir ranumnya. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, mengundang hasrat. Dari arah berlawanan berjalan seorang lela-ki tua berperawakan kekar.
Pakaiannya hitamhitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat kepala kain berwarna hitam pula. Kedua kakinya buntung, disambung dengan logam runcing. Siapa lagi lelaki tua itu kalau bukan Ki Kusumo"
"Malam, Cah Ayu" Mau ke mana, malammalam begini?" tegur Ki Kusumo, ramah. Langkahnya terhenti dua tombak di hadapan si gadis.
"Malam, Pak Tua. Aku mau ke Desa Jatianom," sahut si gadis. Datar suaranya.
"Ada apa malam-malam ke Desa Jatianom, Cah Ayu?" Mestinya, pertanyaan itu tak perlu meluncur dari bibir Ki Kusumo.
Sebab, apa haknya ingin tahu urusan orang. Tapi didorong rasa khawatirnya terhadap si gadis yang jalan sendirian di malam buta begini, membuatnya merasa untuk bertanya. Tanpa menyahut, si gadis melanjutkan langkahnya. Agaknya, dia tersinggung dengan pertanyaan Ki Kusumo barusan. Dilewatinya lelaki itu tanpa menoleh sedikit pun.
Ki Kusumo hanya bisa tersenyum kecut.
Kedua bahunya terangkat. Lalu langkahnya kembali bergerak. Namun baru beberapa tindak, langkahnya terhenti, "Sepertinya ada yang tak beres?" gumamnya.
"Aku seperti mencium bau busuk yang begitu menyengat hidung." Cepat, Ki Kusumo berbalik. Tercekat.
Si gadis berbaju kuning tadi telah lenyap.
Menurut perhitungan, kalau dia berjalan biasa, pasti bayangan tubuhnya masih terlihat. Jadi, jelas gadis itu memiliki kepandaian tinggi.
Kecurigaan Ki Kusumo makin menggumpal.
Ada apa malam-malam begini seorang gadis berkeliaran" Begitu tanya hatinya. Dan mencium bau busuk yang ditinggalkan, rasanya ada sesuatu yang hendak dikerjakan si gadis. Sesuatu yang bisa jadi mengundang malapetaka. Sebab kalau dia orang baik-baik, tak perlu tersinggung dengan kata-kataku tadi, lanjut batin Ki Kusumo.
"Ah, sebaiknya kuikuti arah perjalanannya dari atas," gumamnya lagi.
Lewat satu sentakan kaki logamnya, Ki Kusumo melesat ke atas. Di puncak sebuah pohon besar, dia mendarat. Ringan sekali. Rupanya, setelah kakinya diganti dengan logam runcing, Ki Kusumo sering melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Setidaknya, agar kaki logamnya terbiasa saat diajak mendarat di sebuah ranting pohon.
Di atas pohon, Ki Kusumo melesat ke arah perginya gadis tadi. Dari satu pohon ke pohon lain dia berlompatan. Begitu ringan, seperti seekor tu-pai yang bermain-main di atas pohon.
Tepat di ujung Desa Jatianom, Ki Kusumo menghentikan lesatannya. Sampai sejauh ini mata kelabunya tak menangkap satu bayangan setitik pun. Tapi di kejap kemudian....
"Aaaa...!" Ki Kusumo tercekat. Mata kelabunya langsung diarahkan ke tengah sebuah ladang singkong. Di situ, terdapat sebuah dangau kecil. Dari sanalah suara jeritan tadi memangkas udara....

* * *



Ada keramaian di rumah Ki Tambakyasa.
Malam ini Pandu telah melangsungkan pesta perkawinannya dengan gadis putri juragan palawija dari desa tetangga. Sejak petang tadi, para tamu telah memenuhi rumah besar itu. Di perten-gahan malam, para tamu mulai berkurang. Dan di ujung malam, hanya tamu-tamu yang berasal dari jauh saja yang masih ada. Sebab, mereka jelas akan menginap di rumah Ki Tambakyasa, yang saat ini menjabat kepala desa.
Walaupun kemarin terjadi kegemparan karena enam anak buahnya tewas mengenaskan, tapi Ki Tambakyasa seolah untuk sementara hendak melupakan peristiwa itu. Dia tak ingin kebahagiaan anak satu-satunya terusik. Menurutnya, asal penjagaan diperketat kejadian kemarin sulit akan terulang. Benarkah demikian" Seketat-ketatnya penjagaan di rumah Ki Tambakyasa ternyata ada bagian yang masih bisa ditembus. Buktinya, satu sosok bayangan kuning leluasa melompat dari satu pohon ke atap rumah Ki Tambakyasa. Mengendap-endap, si bayangan kuning berjalan ke arah kamar Pandu yang telah berubah menjadi kamar pengantin.
Tepat di atap kamar Pandu, si bayangan kuning menghentikan langkahnya. Sejenak matanya menghujam ke bawah. Ada dua penjaga di sana. Ringan, si bayangan kuning melompat.
Jleg! Tepat di belakang dua penjaga, si bayangan kuning mendarat. Dan sebelum dua penjaga itu menoleh, kedua tangannya langsung mencengkeram leher dua penjaga itu dari belakang.
Crass! Crass! Tak ada. Tak ada teriakan yang terdengar mengusik keheningan. Mengusik para penghuni tiap-tiap kamar yang tengah berlindung di balik selimut dari hawa dingin. Yang jelas, tahu-tahu sa-ja kedua penjaga itu ambruk dengan leher koyak nyaris putus. Terjilat sinar rembulan penuh, wajah bayangan itu terlihat amat cantik. Berpakaian kuning ketat. Rambutnya panjang, berkilatan terusap sinar rembulan. Namun di balik wajah, tersimpan sebuah dendam.
Dengan pandangan nyalang, kini bayangan kuning milik seorang gadis itu menuju ke jendela kamar Pandu. Gemulai, langkahnya makin dekat ke jendela. Wajahnya begitu dingin, seolah tak ada lagi sifat-sifat rasa kemanusiaan di sana.
Tok! Tokk! Dua ketukan terdengar, mengusik sebuah keasyikan yang terbangun di dalam kamar. Puncak kenikmatan pun pupus sudah. Yang ada kini rasa kejengkelan, karena suara ketukan telah merampas kenikmatan dua manusia berlainan jenis yang tengah bergumul di atas ranjang.
"Setan keparat!" terdengar bentakan dari dalam kamar.
"Jontor! Bawor! Kenapa kalian men-gusikku, hah"!" Tok! Tok! Sahutan yang terdengar dari luar malah suara ketukan kembali. Suaranya malah lebih keras.
"Bedebah! Kalian akan kupecat, tahu"!" Terdengar bentakan lagi dari dalam. Menyusul kemudian, suara langkah terseret ke arah jendela.
Kasar, jendela pun dibuka.
Baru saja kepala orang yang membentak melongok, sebuah tangan berkuku panjang telah mencengkeram lehernya dari bawah jendela.
Creppp! "Apa kabarmu, Pandu.... Kau lupa padaku...?" desis si gadis yang bersembunyi di bawah jendela.
Biji mata Pandu yang nyaris keluar karena tercekik memperhatikan wajah si gadis di depan jendela kamarnya.
"Les..., Lestari..." Ka..., kau masih hidup?" Gagap Pandu, susah payah. Sulit rasanya untuk bernapas.
"Siapa bilang aku sudah mati, Pandu" Aku belum mati. Dan aku harus menuntut tanggung jawabmu. Benih cinta kasih kita telah menjadi janin dalam kandunganku. Sayang, janin itu telah mati. Rupanya, si janin lebih suka untuk tidak menjadi bayi yang tanpa ayah. Karena, sang Ayah hanyalah seorang lelaki pengecut! Lelaki perusak wanita!" desis si pemuda.
Dialah Lestari. Putri mendiang Ki Pawit yang sebulan lalu hendak bunuh diri, namun diselamatkan Nini Manten. Tokoh silat wanita itu merawat Lestari, setelah kandungannya keguguran.
Berkat bimbingan Nini Manten pula kini Lestari telah berubah menjadi wanita perkasa. Wanita yang memiliki kepandaian tinggi, walau hanya digembleng dalam waktu sebulan Sewajarnya, memang tak mungkin rasanya menggembleng seseorang dengan ilmu tinggi hanya dalam waktu satu bulan. Mustahil rasanya bila Lestari yang dulu dikenal sebagai gadis yang tak memiliki kepandaian apa-apa, tiba-tiba menjadi gadis yang digdaya.
Tapi, itulah Nini Manten.
Datuk silat wanita yang telah lama tenggelam dari gonjang-ganjing dunia persilatan itu memang bisa mengendalikan orang dari jarak jauh.
Lewat mata batinnya, Nini Manten mampu menggerakkan seluruh bagian tubuh Lestari, hingga bisa memperagakan jurus-jurus silat. Sementara, jalan pikiran si gadis tetap dikendalikan oleh Lestari sendiri.
"Am.., ampuni aku Lestari.... Ak..., aku...!"
"Tolong.... Tolong...!" Wanita yang ada di kamar Pandu segera menjerit begitu bisa menguasai keadaan. Dialah istri Pandu yang baru dinikahi tadi siang. Semula hatinya begitu tercekat melihat apa yang terjadi. Dan begitu bisa menguasai keadaan, kesadarannya pun timbul untuk meminta bantuan. Tapi terlambat.
Baru saja gema suara teriakan itu lenyap, Lestari telah membetot leher Pandu amat kuat.
Crass...! Sia-sia Pandu bertahan. Memang dia mempunyai kepandaian lumayan. Tapi menghadapi Lestari, sama saja dia menghadapi Nini Manten.
Biarpun Pandu mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan diri, tetap saja tak mampu berbuat banyak. Begitu Lestari melepaskan cengkeramannya, Pandu ambruk bersimbah darah di atas lubang jendela kamarnya. Sebentar berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.
Sementara, Lestari telah mencelat ke atas atap. Dari situ, tubuhnya melayang ke arah pohon.
Hinggap sebentar, lalu kembali melayang ke pohon lain, menjauhi tempat ini.

* * *



Tiba di tempat kejadian, Ki Kusumo menemukan satu sosok mayat terbujur di dalam dangau. Tanpa pakaian, memperlihatkan keadaannya yang mengeriput. Sepertinya, mayat lelaki ini terhisap sari patinya. Namun ketajaman matanya masih sempat menangkap satu sosok bayangan kuning yang meninggalkan dangau tadi.
Tak ingin kehilangan buruan, Ki Kusumo menyentak kakinya di atas tanah. Tubuhnya langsung melesat mengejar. Tabib Sakti Pulau Dedemit mengerahkan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuhnya agar tak kehilangan buruan.
Kecurigaannya kini memang sudah terbukti. Ternyata, bayangan kuning milik gadis yang ditemuinya tadi telah membawa petaka. Maka makin bulat tekadnya untuk segera mengikuti. Bahkan kalau bisa membekuk si bayangan kuning.
"Hmmm.... Bayangan itu menuju Bukit Menjangan. Sampai sejauh ini kehadiranku tak diketahuinya. Mau apa gadis itu ke sana" Tapi..., bukankah di sana tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama" Apakah gadis itu anaknya" Atau, istrinya?" tanyanya, sambil terus mengerahkan segala kemampuannya.
Kini si bayangan kuning telah mulai mendaki Bukit Menjangan. Gerakannya cepat luar biasa. Nyaris Ki Kusumo tak mampu menandingi.
Untung saja, bau busuk yang menebar dari tubuh bayangan kuning itu membimbingnya hingga tak kehilangan jejak.
Sepeminum teh kemudian, si bayangan kuning telah tiba di pelataran yang dipenuhi bebatuan bekas reruntuhan sebuah candi. Tabib Sakti Pulau Dedemit sendiri telah bersembunyi di atas sebuah pohon, untuk memastikan kecurigaannya.
Mata kelabunya terus melekat erat pada si bayangan kuning yang kini telah duduk bersila.
Kedua telapak tangannya menempel di depan dada. Kepalanya tertunduk.
Lalu.... Perlahan-lahan dari seluruh tubuh gadis berpakaian kuning keluar asap putih tipis. Perlahan namun pasti, asap berubah menebal, mengepung tubuh si gadis.
Alis jarang berwarna putih milik Ki Kusumo bertautan, Dan ketika asap perlahan-lahan menghilang....
"Nini Berek...?" gumamnya, berbisik.


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

JANGAN ditanya bagaimana geramnya Ki Tambakyasa ketika dikabari bahwa putranya tewas. Lebih geram lagi ketika mendengar penuturan istri Pandu kalau yang menyatroni kamar mereka adalah seorang gadis yang mengaku bernama Lestari. Dia tak habis pikir, bahkan nyaris tak percaya kalau si pembunuh adalah Lestari. Habis, bagaimana mungkin" Lestari dikenalnya sebagai gadis lemah yang tak punya dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Lalu tiba-tiba muncul sebagai momok yang menakutkan. Kalau Pandu saja dapat dibuat tak berdaya secara mengenaskan, apa bukan momok menakutkan namanya" Kini hati Ki Tambakyasa dihantui keresahan. Karena, bisa jadi Lestari akan menuntut balas atas tewasnya Ki Pawit, ayahnya. Saat itu juga, dia memerintahkan para anak buahnya untuk mencari Lestari.
Tapi, di manakah Lestari" Tak ada yang tahu. Karena ketika saat itu juga para anak buah Ki Tambakyasa memeriksa rumah Ki Pawit sudah dalam keadaan kosong. Istrinya yang tinggal sendiri sudah beberapa hari ini pergi ke rumah salah seorang saudaranya di kadipaten. Sementara, para penduduk Desa Jatianom diam-diam merasa bersyukur atas kematian Pandu. Sebab bukan rahasia lagi kalau Pandu dikenal sebagai pemuda pemetik bunga desa. Tak hanya gadis desa yang jadi korbannya, bahkan para wanita bersuami. Sampai sejauh itu, para penduduk hanya bisa berdiam diri. Mereka takut dengan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Apalagi, waktu itu Ki Pawit masih bersahabat dengan Ki Tambakyasa.
Sehingga bila penduduk yang anak gadis atau istrinya jadi korban Pandu melapor pada Ki Pawit, tak akan menghasilkan apa-apa.
Sampai akhirnya, banyak gadis yang hamil di luar nikah. Sehingga tak heran bila Desa Jatianom sering terjadi bencana alam. Anehnya, bencana alam itu akan berhenti bila korban kemesuman Pandu telah menyeburkan diri ke jurang di Lembah Setan.

* * *



"Guoblok..., guoblok...!" Di dalam gubuk di Tanjung Karangbolong, Dongdongka uring-uringan sendiri. Dia berjalan mondar-mandir. Dan bambu tipisnya tak lupa diketuk-ketukkan di kepala gundulnya.
"Bukankah Cah Gendeng itu pernah bilang kalau telah dengan terpaksa membunuh si jelek Ageng Wirakrama. Pantas..., pantas. Karuan kalau istri jelek si Ageng Wirakrama muncul di mimpiku.
Rupanya, dia menyangka kalau aku yang membunuhnya.... Huh! Kenapa waktu itu aku tak ingat, ya" Dan Cah Gendeng itu kubiarkan pergi sendiri mencari si Kusumo...." Di ujung kalimatnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul melempar pantat teposnya ke balai bambu. Kedua kakinya lantas diangkat, duduk bersila. Kelopak mata berkeriputnya perlahanlahan mengatup.
Hening. Kecuali debur suara ombak di pantai sana.
Saling berkejar-kejaran mencapai bibir pantai. Angin dini hari mendengus-dengus, menerbangkan butir-butir pasir putih kecoklatan.
Apa yang dilakukan Dongdongka di dalam gubuk" Mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Itulah cara Dongdongka menyusul Cah Gendeng-nya. Karena aji itu tak dibatasi ruang dan waktu, bukan satu hal yang sulit bagi Dongdongka untuk menemukan Satria Gendeng maupun Ki Kusumo.

* * *



Bukit Menjangan pada dini hari.
Mata kelabu Ki Kusumo terus mengawasi seorang perempuan tua berpakaian seperti jubah warna kelabu. Wajahnya dipenuhi borok berlendir berbau busuk. Tangan kanannya memegang tongkat berwarna putih.
Semula, Tabib Sakti Pulau Dedemit sulit untuk mengerti, bagaimana mungkin seorang gadis cantik berpakaian kuning, tahu-tahu telah berubah menjadi perempuan tua jelek bernama Nini Berek" Tapi ketika teringat bahwa Nini Berek adalah sebangsa siluman, maka akal tuanya baru bisa menerima.
"Hi hi hi.... Sebentar lagi, Kakang Wirakrama. Tepat di hari keempat puluh kematianmu, kau akan bangkit lagi. Aku tinggal membutuhkan sari pati dari dua orang pemuda lagi. Begitu kau kugauli, maka kau akan bangkit untuk menuntaskan dendammu.... Hi hi hi...," celoteh Nini Berek.
Pada saat yang sama, dari balik sebuah batu bekas reruntuhan candi muncul seorang perempuan tua lainnya. Pakaiannya kebaya lusuh dengan tapih dari kain batik kusam. Rambutnya panjang berwarna putih. Seperti Nini Berek, mulut si perempuan tua itu juga terus mengunyah sirih.
Dialah Nini Rewang. Perempuan tua keturunan siluman yang sekarang guru Nini Jonggrang.
"Bagaimana, Adikku" Kau dapat korban lagi?" sapa Nini Rewang, mendekati Nini Berek.
"Tentu, Mbakyu. Itu sebabnya, aku memintamu datang ke sini menolongku untuk membangkitkan Kakang Ageng Wirakrama. Tanpa kekuatan kita berdua, mustahil kita bisa membangkitkan Kakang Ageng Wirakrama. Biarlah untuk sementara, aku bersusah-susah mencari korban pemuda, dan kau menunggui makam suamiku," sahut Nini Berek. Di tempatnya, Ki Kusumo menautkan kedua alis putih jarangnya. Jadi, Ki Ageng Wirakrama telah tewas" Kata hatinya. Hmmm, kalau kuhubung-hubungkan dengan mimpi Panembahan Dongdongka, berarti yang membunuhnya pasti Satria. Tak mungkin kalau Dongdongka. Sebab, selama Satria berada di luar, Dongdongka tak pergi ke mana-mana. Perhatian Tabib Sakti Pulau Dedemit kembali diarahkan pada Nini Berek dan Nini Rewang.
Rupanya mimpi Panembahan Dongdongka tepat, lanjut batinnya. Di sini telah terjadi persekutuan para siluman. Dan mereka hendak menuntaskan dendam kepada Dongdongka atau Satria. Jadi, kekhawatiranku pada Panembahan Dongdongka waktu itu beralasan.
Perlahan-lahan, Ki Kusumo menghembuskan napas sesak. Ini tak bisa didiamkan. Desahnya. Apa yang harus kuperbuat" Rasanya kalau menyerang mereka sekarang bukan saat yang tepat. Artinya, aku harus menggunakan siasat.
Bangsa siluman sulit dikalahkan dengan ilmuilmu silat.
"Kapan kau akan mencari korban lagi?" tanya Nini Rewang.
"Sehari sebelum kita melakukan upacara," sahut Nini Berek.
"Berarti, dua hari lagi?"
"Ya!"
"Apa semua sudah kau pikirkan masakmasak?" aju Nini Rewang.
"Maksudmu?" Kening keriput Nini Berek berkerut.
"Walaupun kita bangsa siluman, tapi tetap punya kelemahan. Kau tahu bukan, kelemahan kita?" Nini Berek mengangguk.
"Sebab kalau itu sampai terjadi, utusan Ratu Laut Selatan akan mengambil dan memenjarakan kita," sambung Nini Rewang.
Di tempat persembunyiannya, Ki Kusumo kembali tersentak. Kini dia mulai mengerti, siapa kedua siluman itu. Rupanya, mereka masih terhi-tung warga Laut Selatan.
Hmmm, rasanya aku harus menemui Panembahan Dongdongka lebih dahulu. Mungkin dia tahu kelemahan apa yang dimiliki kedua siluman ini. Begitu putus hati Ki Kusumo. Lalu tanpa bersuara sedikit pun dia melesat meninggalkan tempat ini.

* * *



Pagi merekah di Desa Jatianom.
Seorang pemuda tampan berjalan tegap memasuki mulut desa. Pakaiannya rompi putih dari kulit binatang. Celananya pangsi sebatas lutut. Rambutnya panjang melebihi bahu berwarna kemerahan. Wajahnya bergaris rahang jantan. Mata sembilunya begitu cerah, secerah pagi ini. Di pinggangnya terselip sebuah tongkat pendek.
Ujungnya berbentuk kepala ular naga. Sedang ujung yang satu lagi berbentuk ekor naga. Siapa dia" Satria namanya.
Tokoh muda sakti yang mulai mengisi gonjang-ganjing dunia persilatan. Dalam pencariannya terhadap Ki Kusumo, tanpa terasa langkah si pemuda perkasa telah tiba di desa ini.
Belum jauh Satria Gendeng memasuki mulut desa, dari arah berlawanan terlihat beberapa orang tengah mengusung keranda. Si pemuda menepi, lalu berhenti. Paling tidak, dia ingin ikut memberi hormat pada para pengantar jenazah.
"Hmm, ada yang mati. Kenapa matinya, ya" Ah, pasti karena sudah tak punya napas lagi," gumamnya, perlahan.
Rombongan pengusung jenazah melewati Satria. Sebagian orang melirik si pemuda dengan pandangan curiga. Sebagian lagi seperti tak peduli, tapi dengan wajah tersaput rasa takut luar biasa.
Satria tak peduli. Tapi baru saja akan melangkah lagi, dari arah yang sama muncul rombongan orang yang juga tengah mengusung keranda. Kening si pemuda berkerut.
"Apa di sini ada wabah penyakit?" tanyanya, tak mengerti.
Masih belum beranjak, mata sembilu Satria terus tertuju pada rombongan pengusung jenazah yang akan melewatinya. Dan Satria melihat ada perbedaan dengan para pengusung jenazah sebelumnya. Bila para pengusung jenazah pertama kelihatannya adalah orang-orang biasa, maka para pengusung jenazah kedua seperti dari kalangan persilatan. Berjalan paling belakang di antara para pengusung jenazah adalah seorang lelaki tua berpakaian baju sutera putih berhiaskan renda-renda keemasan pada pinggirannya juga celananya lengkap dengan blangkon.
Begitu melewati Satria, lelaki tua bersurjan menatap Satria. Tatapannya terlihat dingin seperti menyimpan rasa dendam. Si pemuda bisa merasa-kannya.
Tak ingin mengusik, Satria melanjutkan langkahnya. Tapi hatinya masih bertanya-tanya, ada apa dengan desa ini. Para penduduknya pun hanya satu-dua yang terlihat. Sepertinya tak ada denyut kehidupan di sini.
Penasaran, Satria Gendeng mendekati sebuah rumah yang kebetulan di halaman ada seorang lelaki tua tengah mencabuti singkong. Langkah tegapnya pun menghentak.
"Selamat pagi, Pak Tua?" sapa Satria, ramah.
"Selamat pagi, Anak Muda. Ada yang bisa saya bantu?" sahut lelaki tua kurus itu.
"Oh, tidak, Pak Tua. Aku cuma mau bertanya. Siapa yang meninggal, Pak Tua?" tanya Satria.
"Maksudmu, kedua jenazah tadi?" "Benar."
"Kalau yang pertama lewat, namanya si Marbun. Dia pemuda penduduk desa ini yang kerjanya berburu. Tapi semalam, dia ditemukan tewas secara mengerikan. Tubuhnya mengeriput seperti kulitku. Padahal usianya baru sembilan belas tahun. Kuat dugaan, sebelum mati dia melakukan hubungan intim dengan seorang perempuan.
Mungkin perempuan itu yang membunuhnya," papar si lelaki tua.
"Perempuan" Maksud Pak Tua, setelah melakukan hubungan intim, perempuan itu membunuhnya?" "Begitulah. Tapi herannya, tak ada luka sedikit pun di tubuhnya. Hanya ya, itu tadi. Tubuhnya mengeriput. Sepertinya, sari pati si Marbun tersedot habis." Kening Satria berkerut. Edan! Buas sekali perempuan itu! Pasti dia tokoh sesat yang tengah memperdalam ilmu hitam! Desis Satria dalam hati.
"Lantas usungan mayat kedua?" lanjutnya, "Apakah sama dengan mayat pertama?"
"Nah, kalau yang ini lain. Mayat kedua itu si keparat Pandu. Dia putra satusatunya Ki Tambakyasa yang menjadi kepala desa ini."
"Keparat" Apa maksudnya, Pak Tua?" cecar Satria.
"Pandu dikenal sebagai pemuda pemetik bunga desa," jelas si tua kurus.
"Pemetik bunga" Masa' hanya pemetik bunga dikatakan keparat?" tukas Satria lugu.
"Maksud saya, tukang main perempuan. Setiap gadis cantik atau istri orang selalu diusiknya," jelas si lelaki tua.
"O.... Lalu, matinya kenapa?"
"Kabarnya, dibunuh oleh bekas kekasihnya.
Lestari, namanya. Yah, bisa jadi Pandu dibunuh.
Mungkin Lestari menuntut tanggung jawab, karena telah dihamili oleh Pandu. Sama seperti gadisgadis desa ini. Mereka hamil, tapi Pandu menolak tanggung jawab," urai si tua kurus.
Satria mendesah. Lirih. Ada sesuatu yang mengganjal benaknya. Yakni, tentang kematian pemuda desa bernama Marbun yang begitu aneh.
Soal kematian Pandu, dia tak begitu peduli. Baginya, itu masalah biasa. Artinya, Pandu memang harus membayar segala perbuatannya yang banyak menyengsarakan orang banyak.
"Sudah berapa orang pemuda yang bernasib seperti Marbun, Pak Tua?" cecar Satria.
"Kalau tak salah, sudah dua orang," jawab lelaki itu.
"Kalau kau mau, kau bisa bernasib seperti pemuda itu...." Sebuah suara terdengar. Satria dan si lelaki tua tercekat. Dan begitu Satria menoleh....

* * *



"Kakek Kusumo"!" ledak Satria.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang Satria telah berdiri Ki Kusumo. Kehadiran yang tanpa diketahui, sungguh membuat si pemuda terkagum-kagum. Sebab, ternyata Ki Kusumo telah terbiasa menggunakan kaki logamnya pada saat mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya bagi lelaki kurus penduduk desa ini, kehadiran Ki Kusumo yang begitu tiba-tiba, sungguh membuatnya nyaris kencing di celana.
Degup jantungnya pun berpacu keras. Tubuhnya gemetar. Bagaimana tidak" Kehadiran Ki Kusumo bagaikan hantu saja. Amat mengagetkan.
"Tenang, Pak Tua. Jangan takut. Dia guruku," ujar Satria, menenangkan.
"Eh, iii..., iya. Saya sudah tenang, kok," jawab si tua kurus.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Kusumo, ramah.
"B..., Biran," sahut si tua kurus.
"Nah, Ki Biran. Bolehkah kami duduk-duduk di rumahmu?" lanjut Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Silakan..., silakan...." Ki Biran segera mendahului, melangkah menuju rumahnya. Saking gugupnya, singkong yang tadi dicabutnya terlupa.
"Pak Tua! Singkongmu ketinggalan," ingat Satria. Ki Biran berhenti dan berbalik.
Tergopoh-gopoh, dihampirinya singkong di dekat kaki Satria.
Lalu, sama-sama mereka melangkah menuju rumah Ki Biran.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

KI KUSUMO dan Satria Gendeng mendesah geram setelah mendengar apa yang terjadi di Desa Jatianom ini dari penuturan Ki Biran. Betapa para penduduk desa ini sangat membutuhkan dewa pe-nolong yang sanggup menghentikan sepak terjang Ki Tambakyasa.
"Kami sudah menjadi orang-orang tertindas.... Belum juga bisa bebas dari penindasan itu, datang malapetaka dengan terbunuhnya beberapa pemuda desa. Seolah, malapetaka tak pernah pergi dari desa ini," desah Ki Biran.
Di beranda rumah Ki Biran mereka berbincang-bincang. Satu piring singkong rebus masakan istri Ki Biran terhidang di atas meja. Sebelumnya, Ki Kusumo juga telah bercerita apa yang dilihatnya di Bukit Menjangan kepada Satria.
"Menurutmu, apakah kita perlu pulang dulu ke Tanjung Karangbolong, Satria?" aju Ki Kusumo.
"Buat apa, Kek?" si pemuda malah balik bertanya.
"Aku khawatir terhadap Panembahan Dongdongka," keluh Ki Kusumo.
"Slompret kau, Kusumo! Sudah kubilang, kau jangan mengkhawatirkan aku terus menerus!" Seperti memedi saja, tahu-tahu Dongdongka telah berdiri di depan pintu rumah Ki Biran.
Muncul tiba-tiba! Satria pun tahu, guru gendengnya saat ini tidak membawa wadagnya. Yang muncul hanyalah badan halus di tua itu. Pendek kata, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tengah mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Sementara, wadag kasarnya ditinggal di Tanjung Karangbolong.
Tidak seperti Ki Kusumo dan Satria, maka Ki Biran justru tercekat. Sraduk-sruduk, dia hendak masuk ke dalam rumahnya. Saking kalutnya, kakinya terpentok meja.
"Aduuuh...!" ratapnya.
Jangan ditanya, bagaimana takutnya lelaki tua ini melihat kedatangan Dongdongka yang seperti memedi saja. Tahu-tahu muncul begitu saja, membuat Ki Biran menduga kalau Dongdongka memang memedi betulan. Memang bisa jadi kalau melihat penampilan Dongdongka. Tubuh kurus keringnya hanya mengenakan cawat untuk menutupi bagian terlarangnya. Cawat terbuat dari kulit ular sanca. Kepalanya gundul.
Bila tertawa, hanya terlihat beberapa gigi yang sudah menghitam. Jadi, wajar kalau Ki Biran ketakutan begitu.
"Ha ha ha.... Jangan takut, Ki. Dia guruku.
Kakek Dongdongka, namanya. Sudah jinak, kok," oceh Satria, geli sekali melihat wajah takut Ki Biran. Dongdongka manyun. Tak ada yang bisa diperbuatnya untuk menjitak kepala murid gendengnya. Masa dia dibilang sudah jinak" Dalam kemunculannya yang seperti ini, mana mampu Dongdongka berbuat banyak, selain manyun"
"Lihat.... Tunggu saja nanti kalau pulang ke Tanjung Karangbolong. Akan kuhukum kau"!" semprot Dongdongka. Lalu perhatiannya ditujukan pada Ki Kusumo.
"Kusumo! Akhirnya kau kutemukan di sini."
"Atas restu Panembahan, aku bisa bertemu Satria. Mari duduk di sini, Panembahan," kata Ki Kusumo.
"Tidak! Aku mau di sini saja," tolak Dongdongka.
"Ada apa Kakek menyusul kemari?" sela Satria.
"Kakek mengkhawatirkan kami, ya?"
"Siapa bilang" Aku cuma mau bilang, kalian harus hati-hati terhadap Nini Berek dan Nini Rewang. Para nenek jelek itu sukar ditaklukkan. Aku sendiri saja mungkin tak sanggup menghada-pinya." "Oh, ya Panembahan. Semalam aku mengintip Nini Berek di Bukit Menjangan," letus Ki Kusumo.
"Edan kau, Kusumo. Tua-tua masih saja tukang intip. Bagaimana" Mulus kulit perempuan jelek itu?" Salah tangkap rupanya Dongdongka.
"Maksudku, mengintai perbuatan Nini Berek," ralat Ki Kusumo.
"Wah, makin seru saja! Apa dia sedang berbuat mesum lagi?" Makin tak karuan kata-kata Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di kepalanya kontan muncul bayangan mesum.
"He he he....
Bagaimana bentuknya kalau nenek jelek itu sedang telanjang" Menggemaskan kali, ya?"
"Kek! Kakek Kusumo sedang bicara sungguh-sungguh!" celetuk Satria. Tak tega dia melihat Ki Kusumo tersenyum kecut dengan kepala menggeleng perlahan.
"Siapa bilang aku tak sungguh-sungguh" Kau kira aku sedang bercanda, Cah!" Mata tua Dongdongka mendelik.
"Asal kau tahu saja, saat ini Nini Berek sedang berkeliaran mencari tumbal, menghisapi sari pati pemuda untuk membangkitkan mayat suaminya. Kalau tak salah namanya...."
"Ki Ageng Wirakrama," Ki Kusumo yang menjawab.
"Ya, benar. Si Gareng Tak Keramas," kembali Dongdongka salah dengar. Tapi mana mau dia peduli. Setiap kata yang sudah keluar, haram baginya ditarik lagi.
"Panembahan tahu dari mana" Aku juga mau menjelaskan begitu," tanya Ki Kusumo.
"Semalam aku bermimpi begitu. Makanya aku menyusul, hingga sampai ke tempat ini!" Kini Ki Kusumo mengerti, apa yang terjadi terhadap Desa Jatianom. Itu tak lain dari ulah Nini Berek. Waktu dia bertemu dengan gadis berpakaian kuning di pinggiran desa, Tabib Sakti Pulau Dedemit sudah curiga. Dan ketika mengikuti, ternyata Ki Kusumo terlambat. Nini Berek telah men- dapatkan korban lagi.
"Seperti mimpi Panembahan, di Bukit Menjangan memang kulihat ada Nini Rewang. Rupanya mereka benar bersekutu, untuk menuntaskan dendam terhadap Panembahan dan Satria. Rupanya, kekhawatiranku terhadap Panembahan beralasan," papar Ki Kusumo.
"Sudah kubilang, kau tak usah khawatir terhadapku, Kusumo! Justru kita harus khawatir terhadap Cah Gendeng kita!" Dongdongka melirik Satria. Lalu tiba-tiba bibirnya tersenyum geli.
"Kusumo! Apa kau bisa bayangkan kalau Cah Gendeng kita ditaksir nenek jelek itu" Tak bisa kubayangkan, pasti Cah Gendeng kita bakal terkencing-kencing. He he he...," kekeh Dongdongka.
"Ya, aku pun mengkhawatirkannya," desah Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Aku tadi juga bilang begitu, Kusumo!" Satria Gendeng yang jadi pusat pembicaraan malah terbengong-bengong sendiri. Mata sembilunya berpindah-pindah. Dari wajah Dongdongka ke wajah Ki Kusumo. Edan! Kenapa kedua guruku malah begitu gelisah mengkhawatirkanku" Mereka pikir aku takut" Rutuk si pemuda perkasa dalam hati. Biar mereka keturunan Gendruwo, kek. Setan belang, kek. Aku tak takut! Tandasnya.
Dan selagi Satria hendak menanyakan.
mengapa dirinya begitu dikhawatirkan....
"Aaaa...!" Sebuah teriakan menerabas udara. Nadanya menyiratkan kematian yang terbangun di satu tempat. Ada apakah..." Pertanyaan itu terbetik begitu saja di benak Satria....

* * *



Sebuah pertarungan seru terbangun di sebuah pemakaman, pinggiran Desa Jatianom. Pelakunya, seorang gadis cantik berpakaian kuning dengan beberapa lelaki bertampang kasar. Beberapa mayat lelaki kasar lain telah tergolek tumpang tindih dalam keadaan menyedihkan. Rata-rata perut mereka robek. Menumpahkan darah serta isi perut yang terburai.
"Mampus kau, Gadis Jalang!" Wukh! Satu babatan golok dibuat salah seorang lelaki. Tak bisa dianggap sembarangan, karena si lelaki telah mengiringinya dengan pengerahan tenaga dalam. Buktinya, suara sabetannya menderu tajam saat memangkas udara.
Dua jari lagi golok menemui sasaran, si gadis baju kuning malah menghadangnya dengan cengkeraman telapak tangan.
Tap! Golok tertangkap. Padahal, mata golok begitu tajam berkilatan saat terjilat sinar matahari siang ini. Bahkan pemiliknya juga menyertai dengan tenaga dalam.
Tapi sekali pluntir....
Tak! Golok patah jadi dua bagian. Si pemilik golok melotot tak percaya. Dan sebelum dia bertindak sesuatu, lawan telah menghujamkan tangan kanan berkuku panjangnya ke perut.
Bress...! Breeett...! Begitu menembus perut, tangan si gadis membetot jeroan lawan. Tanpa ampun, isi perut lelaki itu ikut keluar! Dan hanya sekali hantaman tangan kiri yang masih memegang potongan golok, si gadis telah membuat lawan terjengkang bersimbah darah. Sebentar meregang nyawa, lalu mati penuh derita.
"Siapa lagi yang menghalangiku membunuh si keparat Tambakyasa, maju!" desis si gadis cantik. Wajahnya tetap dingin, seolah tak merasa berdosa membantai secara keji begitu.
Tiga lelaki kasar yang memang anak buah Ki Tambakyasa tersurut mundur. Sedangkan Ki Tambakyasa sendiri sudah sejak tadi mengendapendap, melarikan diri. Hanya karena hadangan anak buahnya saja pada gadis itu yang membuat Ki Tambakyasa selamat. Kalau tidak, sudah sejak tadi nyawanya melayang ke neraka.
Si gadis cantik yang tak lain Lestari maju selangkah demi selangkah. Dibuangnya mata golok yang ada di tangan kiri, serta bagian jeroan lelaki malang tadi yang ada di tangan kanan. Matanya tak lagi indah seperti dulu, tapi kosong seperti menyimpan hawa membunuh.
Sementara, keberanian tiga lelaki ini sudah terdepak entah ke mana. Semula, mereka begitu garang dan ganas. Saat itu mereka baru saja selesai menguburkan mayat Pandu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang gadis cantik berpakaian kuning.
Karena belum tahu siapa Lestari sesungguhnya, para tukang pukul Ki Tambakyasa menganggapnya bukan ancaman. Sedangkan Ki Tambakyasa sendiri mesti dibalur keterkejutan, tetap tenang-tenang saja. Karena dia pikir, sepuluh anak buahnya sudah cukup untuk menandingi Lestari.
Tapi apa yang terjadi" Hanya beberapa gebrakan, dua orang tukang pukulnya sudah terjengkang tanpa nyawa.
Perut mereka robek, dengan isi terburai keluar.
Melihat hal ini, tentu saja Ki Tambakyasa merasa cemas. Maka diam-diam ditinggalkannya tempat ini selagi Lestari bertarung.
Lestari sempat mengejar. Tapi hadangan para anak buah Ki Tambakyasa memang menyulitkan gerakannya. Mau tak mau, kedua tangan berkuku panjangnya pun menelan korban lagi.
Hingga tanpa terasa, sudah tujuh orang yang dijatuhkannya.
"Huh! Mana kegarangan kalian tadi"!" ejek Lestari, mencibir.
Ketiga tukang pukul itu tercekat. Keringat dingin semakin membasahi tubuh mereka. Dalam pandangan mereka, Lestari tak ubahnya sosok malaikat maut yang datang untuk mencabut nyawa-nyawa busuk mereka.
"Ma..., maafkan kami, Nona. Ka..., kami hanya menjalankan tugas?" gagap salah seorang lelaki kasar itu. Jangan ditanya, bagaimana kini wajahnya. Pucat, seolah darah tak mau mengalir.
"Menjalankan tugas" Apakah membunuh Ki Pawit juga bagian dari tugas kalian! Ayo, jawab!"
"Be..., benar, Nona. Tapi kami hanya orang suruhan...."
"Kalau begitu, kalian wajib mati. Ki Pawit yang kalian bunuh itu adalah ayahku!" Lestari siap menggebrak. Tapi....
"Tahan!"

* * *



Betapa terkejutnya Ki Tambakyasa begitu tiba di rumahnya. Karena di halaman rumahnya yang ditemuinya hanya mayat-mayat para tukang pukulnya yang tergolek tak karuan. Sedangkan sanak keluarganya, termasuk istrinya pergi entah ke mana. Dia sudah berkeliling-keliling rumah, ta-pi tak menemukan apa-apa.
Di halaman, kini kepala desa itu celingukan. Dia ingin berteriak meminta bantuan para tetangganya, tapi malu hati. Entah bagaimana, tibatiba sebuah kesadaran muncul dalam benaknya.
Betapa selama ini dia telah banyak menyakiti para tetangganya. Dan kini, lelaki tua itu bagai anak ayam kehilangan induk. Tak tahu harus meminta bantuan siapa. Kini baru disadari, betapa tingginya nilai sebuah persaudaraan.
Diam-diam dia menyesali, kenapa dulu begitu angkuh terhadap para tetangga. Bahkan menyakitinya dengan merampas harta serta hak milik orang lain. Dan dia yakin, para tetangganya mengetahui kejadian di rumahnya. Hanya saja, mereka tak mau menolong. Pendeknya, bersikap tak peduli. Buktinya, para tetangganya hanya menatapnya dari kejauhan dengan wajah seolah seperti menertawakannya. Sebelum Ki Tambakyasa melangkah hendak masuk ke dalam rumahnya lagi....
"Hi hi hi.... Siapa yang kau cari, Pengecut"!" Ki Tambakyasa terhenyak. Sigap, dia berbalik. Kini di depan lelaki itu berdiri seorang perempuan tua. Pakaiannya kebaya kusam dengan tapih kain batik yang telah compang-camping. Tusuk konde pada gelungan rambutnya terbuat dari tulang manusia.
Siapa perempuan tua ini" Tanya hati Ki Tambakyasa. Dia berusaha menenangkan hatinya yang mulai kisruh. Matanya memandangi dari atas hingga kaki si perempuan tua.
"Siapa kau, Perempuan Tua"! Hmmm..., jangan-jangan kau yang mengadakan pembantaian di halaman rumahku"! Sekarang katakan, di mana istri dan sanak keluargaku"!" bentaknya, berusaha mengusir rasa takutnya.
"Kau menanyakan aku" Aku Nini Manten.
Lestari telah cerita banyak tentang penderitaannya. Nah, kupikir inilah saat yang tepat aku menuntaskan dendamnya. Aku datang ke sini, kau tak ada. Dan justru para tukang pukulmu menyambutku dengan permusuhan. Ya, terpaksa aku melenyapkan mereka. Dan tentang sanak saudaramu, istrimu, dan mantumu, mereka kusuruh pergi kalau tak ingin jadi mayat. Aku sendiri tak tahu, ke mana mereka pergi," jelas Nini Manten, lugas. Setidaknya, Ki Tambakyasa bisa menarik napas lega. Karena Nini Manten ternyata bukan orang kejam seperti yang dibayangkan. Dia menduga paling-paling sanak saudara, istri, serta man-tu perempuannya pergi ke Kadipaten Wadaslintang, rumah adik kandung istrinya. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri"
"Ja..., jadi kau Guru Lestari?" gagap Ki Tambakyasa. Dia mulai bisa mengerti, mengapa Lestari kini telah berubah menjadi gadis yang tak bisa dianggap remeh. Juga, menduga apa maksud kedatangan Nini Manten ke tempat ini.
"Ya! Kenapa" Kau takut?" leceh Nini Manten, Ki Tambakyasa tak menjawab. Sebagai lelaki, gengsi rasanya untuk mengucapkan kata takut.
Apalagi, dia belum menjajal, setinggi apa ilmu Nini Manten. Apakah begitu tinggi seperti apa yang pernah didengarnya dulu" Sebab sebagai orang yang pernah belajar silat, Ki Tambakyasa pernah mendengar dari gurunya tentang tokoh silat wanita bernama Manten Sakawerti. Apakah benar dia orangnya" "Kau bermaksud hendak menuntut balas" Apa yang kulakukan, Nini Manten?" kilah Ki Tambakyasa, pura-pura. Sekalian mengulur-ulur waktu. Yah, siapa tahu punya kesempatan melarikan diri.
"Jangan mungkir, Kadal Buduk! Anakmu telah menghamili Lestari. Karena tak bertanggung jawab. Lestari putus asa, lalu hendak bunuh diri.
Tapi aku bisa menolongnya. Dan kau juga telah membunuh Ki Pawit, ayah Lestari. Juga, kau telah membuat penduduk desa ini menderita akibat perbuatanmu sebagai lintah darat! Ayo, ngaku!" cecar Nini Manten. Saking semangatnya, air liurnya sampai bermuncratan ke wajah Ki Tambakyasa. Ki Tambakyasa hendak mengusap mukanya. Tapi....
"Jangan dihapus!" bentak Nini Manten, membuat gerakan tangan Ki Tambakyasa terhenti.
"Ludah saja belum cukup untuk membayar kebejatanmu, tahu"!" Panas hati Ki Tambakyasa. Tanpa tedeng aling-aling, dicabutnya keris di balik pakaian surjannya. Sratt...! "Kau pikir aku takut padamu, Nenek Busuk! Makan keris pusakaku! Chiaaat...!"
Wutt...! "Keras kepala. Disuruh mengaku malah melawan! Hih!" Satu jari lagi mata keris lekuk tujuh Ki Tambakyasa membeset leher keriput si nenek, si calon korban menarik tubuhnya ke belakang. Tepat ketika sambaran keris lewat, Nini Manten menyampok tangan yang memegang keris.
Pak! Keris terpental. Tangan Ki Tambakyasa yang memegang keris terdongkel ke atas. Cepat, Nini Manten maju selangkah secara menyamping.
Sambil bergerak begitu, sikut kirinya langsung menohok iga Ki Tambakyasa. Buk! Lelaki tua telengas itu terjajar mundur. Mulut keriputnya meringis, menahan nyeri luar biasa pada iganya. Dan sebelum dia berbuat sesuatu, Nini Manten melompat sambil mencincing kain batik compang-campingnya. Kaki kurus keriputnya pun terjulur. Dan.... Desss...! Telak, telapak kaki tak terurus milik Nini Manten bersarang di dada Ki Tambakyasa. Tubuh lelaki itu terjengkang ke belakang sampai sepuluh tombak, mendekati pintu halaman.
Memang tak ada perlawanan berarti dari lelaki tua itu. Hanya karena tabiatnya yang pongah, sehingga tak ada kata menyerah yang meluncur dari bibirnya. Padahal, kepandaiannya masih terla-lu jauh bila dibanding Nini Manten. Dalam melancarkan serangan pun. Nini Manten sebenarnya tak banyak mengerahkan tenaga dalam. Dia telah cukup pengalaman untuk mengukur, sampai di mana kepandaian lawan.
Sementara para penduduk yang menonton dari kejauhan, mulai berani mendekat sampai ke pintu halaman. Dan begitu melihat Ki Tambakyasa jatuh, tanpa ada yang menyuruh mereka berhamburan menghampiri sambil membawa senjata apa saja yang ditemui. Dengan batu, kayu, bambu, atau apa saja, mereka langsung menghantami tubuh Ki Tambakyasa yang belum sempat bangkit.
Nini Manten sendiri tak ingin mencegah. Dia merasa, itu bayaran setimpal atas perbuatan Ki Pawit selama ini.
"Mampus, kau lintah darah! Ini balasan dari harta kami yang kau rampas!" rutuk salah seorang penduduk, geram.
"Ini untuk anak perawanku yang dihamili anakmu, Setan!" maki seorang perempuan setengah baya, langsung mengepruk kepala Ki Tamba- kyasa dengan bambu.
Segenap kemarahan, kebencian, rasa kecewa, dendam, terlampiaskan di tempat itu. Sebuah pemandangan mengerikan tercipta. Tanpa bisa melawan, tubuh Ki Tambakyasa remuk redam dihantami para penduduk yang selama ini jadi korbannya. Nini Manten tak ingin tersihir oleh pemandangan di depannya. Karena tiba-tiba, perasaannya jadi tak enak begitu mengingat Lestari.
"Eh, ada apa dengan Lestari, ya" Menurut mata batinku, dia tengah berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti. Ah, aku harus menyusulnya. Tadi dia kulihat sedang bertarung di pemakaman, melawan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Tapi, kenapa sekarang bertarung dengan orang lain" Wah, gawat! Aku harus cepat ke sana!"


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

SEBUAH pertarungan kembali tercipta di pemakaman. Kali ini Lestari berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian rompi putih keabuabuan dari kulit binatang. Bercelana pangsi sebatas lutut. Berambut panjang melebihi bahu berwarna kemerahan. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan pendekar perkasa bernama Satria" Ketika Lestari hendak menghabisi tiga tukang pukul Ki Tambakyasa, Satria Gendeng, Ki Kusumo, dan Dongdongka keburu datang. Begitu melihat Lestari, Tabib Sakti Pulau Dedemit langsung teringat pada gadis berpakaian kuning penjelmaan Nini Berek yang diduga sebagai pembunuh para pemuda desa. Merasa yakin dengan dugaannya, Ki Kusumo langsung bilang pada Satria Gendeng. Tapi, sebenarnya Ki Kusumo dan Satria agak ragu-ragu juga. Karena bila melihat para korban yang bergelimpangan di sekitar makam, sungguh sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi. Yakni, dengan tubuh mengeriput dan dalam keadaan tanpa benang sehelai pun. Sedangkan mayat-mayat di sekitar makan tak satu pun yang tubuhnya mengeriput.
Hanya saja, tak mungkin Satria membiarkan adanya pembantaian yang begitu keji. Naluri kependekarannya terpanggil untuk segera menghentikan sepak terjang si gadis berbaju kuning.
Lestari sendiri menyangka kalau Satria adalah salah satu kaki tangan Ki Tambakyasa. Dugaan itu timbul, karena si pemuda berani menghalangi niatnya.
"Aku tak menyangka, ternyata ada gadis yang kejamnya minta ampun! Apa kau tak merasa berdosa membunuhi orang sebanyak ini, Nona?" oceh Satria, sambil terus menghindari sambaran tangan berkuku panjang Lestari.
"Dan kau sama kejamnya dengan menjadi kaki tangan Ki Tambakyasa!" balas Lestari, "Lantas, apa bedanya?" Wuttt! Kembali satu sambaran dibuat si gadis.
Tangan kanan berkuku panjangnya mengarah ke perut Satria. Hendak dirobeknya perut berotot keras si pemuda. Sebenarnya, agak aneh juga apa yang terjadi pada diri Lestari. Kini tanpa dikendalikan dari jauh oleh Nini Manten, si gadis telah mampu memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Karena biasanya, tanpa dibantu dari jarak jauh, gerakannya akan terasa lambat. Entah, apa sebabnya. Tapi bisa jadi karena dia telah mulai biasa dengan jurus-jurus yang biasa diperagakan. Atau mungkin, karena terdorong oleh kemarahan menggelegak" "Hih!" Satria menarik perutnya. Lalu tangan kanannya bergerak menyampok ke samping, ke arah tangan kanan Lestari.
Pak! Begitu melihat Lestari terhuyung ke samping, si anak muda memutar tubuhnya ke kiri.
Langsung dibuatnya satu sapuan dengan kaki kiri.
Keras, tapi tanpa disertai tenaga dalam. Sebab, pada dasarnya si pemuda tak ingin menyakiti Lestari. Dia hanya ingin melumpuhkan saja.
Plak! Sendi lutut bagian belakang Lestari terhantam. Si gadis jatuh bersimpuh. Sedang lawan tahu-tahu telah berdiri di belakangnya. Hendak ditotoknya gadis itu.
Tapi....
"Tahan, Anak Muda!" Sebuah teriakan menahan gerakan Satria.
Si pemuda menoleh. Juga Lestari.
"Guru...!" sebut Lestari. Satria membiarkan si gadis bangkit dan menghambur ke arah seorang perempuan tua yang dipanggil guru oleh Lestari. Namun kewaspadaannya tetap terjaga. Menurutnya, dia merasa lebih baik bertarung dengan lawan yang telah siap dan berilmu tinggi, ketimbang melawan seorang gadis yang kelihatannya masih hijau dalam dunia persilatan. Memang, setinggi-tingginya jurus-jurus yang dikerahkan Lestari, di mata Satria masih saja terlihat lambat. Bahkan tampak kaku. Ini yang membuat Satria membiarkan gadis itu berlari ke arah gurunya.
"Mengapa kau bertarung dengan muridku, Anak Muda. Kulihat, sepertinya kau bukan anak buah Ki Tambakyasa" Tak kulihat tanda-tanda kalau kau dari golongan sesat. Siapa kau, Anak Muda?" berondong perempuan tua yang tak lain Nini Manten, Guru dari Lestari.
"Aku Satria, Nek. O, jadi dara cantik itu muridmu" Begini, Nek. Muridmu sudah kuperin- gatkan agar menghentikan sepak terjangnya. Tapi dia malah menuduhku sebagai anak buah Ki Tambakyasa. Semakin kuperingatkan, dia malah menyerangku. Ya, terpaksa aku melawan," tutur si pendekar muda, jujur.
Si nenek menatap muridnya yang kini sudah berada dalam pelukan dada peotnya. Bibir kendornya lantas tersenyum.
"Ya, kita ternyata salah paham," desah si nenek.
"Bukan saja salah paham! Tapi muridmu sudah keterlaluan!" Sebuah suara sember terdengar. Si nenek langsung berpaling ke arah datangnya suara. Di bawa pohon kemboja, Nini Manten melihat dua lelaki tua tengah berdiri tenang.
"Panembahan Dongdongka" Panembahan Kusumo" O, alaaah.... Tak kusangka kita bisa bertemu di sini" Gusti Yang Maha Agung.... Akhirnya Kau pertemukan aku dengan kawan-kawan lama...," desah Nini Manten, langsung menghampiri dua lelaki tua yang memang Dongdongka dan Ki Kusumo. Pada jarak satu tombak, Nini Manten berhenti. Lalu dia menjura.
"Apa kabarmu, Nini Manten?" buka Ki Kusumo.
"Kenapa kau baru muncul lagi dalam kancah persilatan?"
"Kau terlalu asyik mengerami telurmu, ya?" timpal Dongdongka.
"Oh, maaf. Kau tak punya telur, ya?" Di benak si tua bangka Dongdongka terbayang telur yang lain.
Di tempatnya, Satria malah terbengong-bengong. Juga Lestari. Sungguh tak diduga kalau mereka telah saling mengenal.
"Kabarku baik-baik saja, Panembahan. Yah, beginilah. Sejak aku dikhianati lelaki, aku menga-singkan diri di dasar jurang Lembah Setan. Sejak itu aku benci lelaki!" sahut Nini Manten. Lupa dia kalau di depannya berdiri dua lelaki.
"Termasuk kami?" goda Ki Kusumo.
"Oh, maaf. Tentu saja tidak. Kalian lain.
Kalian adalah teman-teman baikku," ralat Nini Manten.
"Eh, ngomong-ngomong, ada acara apa kalian bisa muncul berbarengan?" lanjutnya, bertanya.
"Ini, si Kusumo mau sunat lagi, kali," celetuk Dongdongka seenaknya.
Berbarengan, Ki Kusumo dan Nini Manten tertawa lepas. Renyah, serenyah kerupuk kulit.
"Begini, Nini," Ki Kusumo yang menjelaskan.
"Panembahan Dongdongka punya firasat mimpi kalau para siluman akan bersekutu untuk menuntaskan dendam mereka terhadap Panembahan Dongdongka. Juga murid kami."
"Murid kalian" Jadi, kalian sudah punya murid" Mana?"
"Itu, yang tadi bertarung dengan muridmu," tunjuk Ki Kusumo pada Satria.
Nini Manten menoleh ke arah yang ditunjuk Ki Kusumo.
"O, jadi dia murid kalian. Pantas..., pantas...."
"Pantas kenapa, Nini Manten" Hebat ya murid didikan kami?" letus Dongdongka bersemangat.
"Bukan. Bukan itu. Yang ku maksud. ketampanannya. Lihat, mata muridku sebentarsebentar melirik ke arah muridmu," tunjuk Nini Manten pada muridnya sendiri.
Lalu perhatiannya kembali beralih pada kedua lelaki tua di depannya.
"Eh, iya. Tadi kalian bilang, para siluman bersekutu" Siluman mana yang bersekutu?"
"Kau pernah dengar nama Nini Berek dan Nini Rewang?"
"Ya, mereka memang keturunan siluman.
Jadi mereka yang bersekutu?" tebak Nini Manten lebih lanjut.
"Bukan hanya bersekutu. Bahkan neneknenek jelek itu mau membangkitkan mayat Ki Ageng Wirakrama yang ditewaskan Cah Gendeng kami!" tambah Dongdongka.
Nini Manten melengak.
Bukan. Bukan karena mendengar persekutuan para siluman. Tapi karena nyaris tak percaya kalau murid kedua teman lamanya mampu mene-waskan Ki Ageng Wirakrama. Sulit dipercaya. Pemuda yang kelihatannya hijau tapi mempunyai kesaktian tinggi. Karena untuk melawan Ki Ageng Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa dibutuhkan kesaktian tinggi yang mesti diperdalam puluhan tahun. Tapi pemuda itu"
"Pantas..., pantas...," desah Nini Manten.
"Pantas apa lagi" Ketampanannya" Sampaisampai, muridmu melirik terus pada Cah Gendeng kami?" cibir Dongdongka. Tapi hatinya kecewa, karena tebakannya salah.
"Pantas, kulihat tadi tatapan matanya begitu menyentuh kalbuku. Rasanya, sulit dipercaya kalau pemuda itu sudah memiliki perbawa tinggi," puji Nini Manten, mendesah.
Nini Manten masih menggeleng-geleng tak percaya. Tapi memang itu kenyataannya.
"Nah, Nini Manten. Kami rasa, persoalan kita sudah selesai. Kami masih ada urusan dengan para siluman itu. Jadi kami mohon diri dulu," ucap Ki Kusumo.
"Ya, ya. Maaf, aku tak bisa membantu kalian. Karena aku masih harus mengobati jiwa Lestari, agar tak larut dalam dendam. Kasihan dia," desah Nini Manten. Lalu kepalanya menoleh pada gadis berbaju kuning.
"Lestari! Mari kita pulang!" Sejenak Nini Manten menjura, lalu pergi meninggalkan Dongdongka dan Ki Kusumo. Masih sempat kepalanya menggeleng-geleng ketika sekali lagi menatap Satria.
"Hebat..., hebat. Mudah-mudahan saja dunia ini banyak kutemukan pemuda sepertimu, Cah! Kujamin, dunia ini pasti aman tenteram. Kujamin!" desahnya, perlahan sekali.


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

TAK ingin kecolongan, Ki Kusumo dan Satria Gendeng memutuskan untuk tetap tinggal di Desa Jatianom, tempat yang selama ini dijadikan sasaran oleh Nini Berek untuk mencari korban.
Sedangkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutuskan untuk kembali ke Tanjung Karangbolong. Karena dari penuturan Ki Kusumo, Nini Berek dan Nini Rewang akan menuntaskan dendamnya setelah bisa membangkitkan mayat Ki Ageng Wirakrama. Dan itu memerlukan satu orang pemuda lagi. Menurut perhitungan Ki Kusumo, tak perlu ada yang patut dikhawatirkan lagi pada diri Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Karena, asal bisa menggagalkan rencana gila Nini Berek yang ingin membangkitkan mayat suaminya, maka bisa jadi Nini Berek hilang semangatnya. Dengan begitu, diharapkan rencananya bakal berantakan.
Untuk mempermudah penyelidikan, Ki Kusumo dan Satria Gendeng saling membagi tugas.
Tiap sepeminum teh, salah seorang dari mereka mengelilingi Desa Jatianom. Di rumah Ki Biran, salah seorang dari mereka menunggu.
Kini, malam merangkak semakin larut. Desa Jatianom telah terbuai dalam keheningan. Saat ini, para penduduk seolah ingin melepas rasa penat dari ketertekanan yang diderita selama ini. Ketertekanan yang disebabkan ulah sosok manusia serakah. Penduduk Desa seperti merasa terlepas dari belenggu mimpi buruk berkepanjangan. Betapa tidak" Sekian tahun darah dan air mata mereka seperti diperas. Dan kini setelah sang pemeras tewas, mereka ingin segera melupakannya. Mereka bercita-cita ingin kembali membangun desa dari kesengsaraan. Lepas dari penderitaan, membuat penduduk merasa ingin beristirahat. Membangun mimpimimpi indah yang tak boleh diganggu gugat.
Hanya beberapa rumah saja yang penghuninya masih belum terlelap. Sebagian membicarakan kejadian di rumah Ki Tambakyasa. Sebagian lagi membicarakan para pemuda yang tewas mengerikan dengan tubuh mengeriput.
Memang, ada segelintir kengerian di hati penduduk bila mengingat tewasnya beberapa pemuda desa. Tapi sejak Ki Biran menceritakan kalau desa ini tengah dijaga beberapa tokoh persilatan, rasa cemas itu cukup terobati. Di rumah Ki Biran, Ki Kusumo menunggu was-was. Saat ini, giliran Satria Gendeng yang tengah berkeliling desa. Tapi sudah lebih dari sepeni-num teh, si pemuda bertabiat sinting itu belum ju-ga kembali. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sendiri. Dia tahu betul watak Satria. Dia percaya, Satria tidak sedang bermain dalam tugasnya.
"Satria belum datang, Ki Kusumo?" Ki Biran tiba-tiba muncul dari dalam. Merampas lamunan Ki Kusumo terhadap Satria.
Di sebelah Ki Kusumo, Ki Biran mengambil tempat. Pantat keroposnya diletakkan perlahanlahan. Sejak bertemu Dongdongka kemarin, encoknya mendadak kumat. Selain karena terkejut, juga karena takut yang melampaui batas.
"Belum, Ki Biran. Tapi aku yakin, Satria selalu patuh pada tugas yang kuberikan," sahut Ki Kusumo, berusaha menghibur dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya disusul saja?" cetus Ki Biran.
"Terlalu berbahaya, Ki.
Rumahmu terletak di tengah desa. Kalau ada kejadian, siapa yang menjaga?" Ki Biran tak menjawab. Diakui kebenaran kata-kata Ki Kusumo.
"Apa sebaiknya kita minta bantuan para penduduk desa?" usulnya lagi.
"Jangan, Ki. Terlalu berbahaya. Dan lagi, kasihan para penduduk. Mereka telah lelah setelah peristiwa kemarin. Biarkan mereka istirahat dengan tenang," tolak Ki Kusumo lagi. Diseruputnya kopi yang disediakan Ki Biran.
Ki Biran terdiam. Dia seolah kehabisan kata-kata untuk menghibur hati Ki Kusumo.
"Desa ini cukup luas. Apa mungkin pemuda itu mampu berkeliling hanya dalam waktu sepeminum teh?" tanya Ki Biran, lugu.
Ki Kusumo tersenyum. Kelihatan terpaksa senyumnya. Saat ini perasaannya benar-benar kisruh. Dia khawatir, Satria justru malah kepergok Nini Berek.
"Percaya sajalah pada anak muda itu, Ki Biran," sahut Ki Kusumo, yang sebenarnya untuk menghibur dirinya sendiri yang dikepung kega-lauan. Kenapa Satria lama sekali" Tanyanya dalam hati...

* * *



Justru pada saat yang sama, Satria Gendeng malah tengah celingukan. Sekelebatan tadi, mata tajamnya menangkap sebuah bayangan kuning melesat di depannya. Ketika mengejar sampai di ujung desa dekat persawahan, bayangan itu seperti menghilang begitu saja.
"Slompret! Hebat juga ilmu lari cepat bayangan kuning itu. Dan..., ufh! Kok tiba-tiba tercium bau busuk di tempat ini"!" omel Satria, langsung menutup cuping hidungnya yang semula kembang kempis.
"Kau mencari siapa, Cah Bagus...." Sebuah suara teguran cukup membuat Satria terjingkat. Bagai dedemit, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian kuning. Begitu ketat pakaiannya, seolah hendak membanggakan lekuk-lekuk tubuhnya.
Satria berbalik. Mata sembilunya menyipit.
Kedua alisnya nyaris bertautan. Sementara, bau busuk makin menerobos lubang hidungnya.
"Alahh..., jangan berpura-pura, Nini Berek! Jangan berlindung di balik wajah cantikmu. Aku tahu, siapa dirimu!" tembak Satria langsung. Pemuda ini memang telah diceritakan oleh Ki Kusu- mo, bagaimana ciri-ciri Nini Berek bila sedang me-nyamar sebagai wanita cantik.
Termasuk, bau busuk yang menyengat hidung.
Terkejut Nini Berek. Tapi dia tak ingin menunjukkannya pada si pemuda. Namun dia cukup heran, bagaimana si pemuda bisa tahu siapa dirinya yang sesungguhnya"
"Mau cari korban lagi, ya, Nenek Jelek" Pemuda bodoh mana yang mau kau kerjai. Aku yakin, pemuda yang kau kerjai bakal mati berdiri bila melihat tampang jelekmu!" ledek Satria habis-habisan.
Setan buduk! Setan buntung! Siapa bocah ini" Kenapa dia tahu tentang diriku" Sumpah serapah Nini Berek yang menjelma jadi gadis cantik meluncur dalam hati.
"Siapa kau, Cah Bagus?" susulnya, penasaran.
"Aku Satria," jawab si anak muda perkasa.
"Maksudku, julukanmu, tahu"!"
"Aku tak punya julukan."
"Tapi kau punya guru, bukan"!" pancing Mini Berek.
"Guruku Kakek Kusumo dan Kakek Dongdongka," jawab Satria, polos.
"Apa"!" lonjak Nini Berek.
"Kau tuli, Nini Berek?" Pucuk dicintai ulam tiba! Sorak hati Nini Berek. Siapa pun yang ada hubungannya dengan Dongdongka harus mampus. Bahkan bisa jadi, justru bocah ini yang membunuh suamiku, seperti dugaan Mbakyu Rewang! Hmmm aku bisa menggunakannya sebagai tumbal terakhirku! Ya! Aku harus secepatnya mengerahkan aji 'Pemikat Birahi'! Tapi diam-diam Nini Berek merasa harus hati-hati, karena dia yakin pemuda ini berilmu tinggi. Sebab, kalau benar kata Nini Rewang, pemuda itu saja telah mampu membunuh Ki Ageng Wirakrama, suaminya. Jadi bukan mustahil kalau kepandaian anak muda itu tak bisa dianggap remeh.
"Hmm, jadi kau muridnya Dongdongka" Bagus..., bagus. Nah, mulai sekarang kau patuhlah denganku. Apa kau tak tertarik dengan tubuh menggiurkanku" Tataplah mataku. Ayo, pandanglah aku. Kau akan kuajak ke surga setelah ini," Nini Berek mendesah, mulai memasang perangkapnya. Aji 'Pemikat Birahi' pun dikerahkan.
Tanpa sadar, Satria menatap kedua mata Nini Berek. Sementara, secara aneh bau busuk berganti bau harum yang membuat pening kepala.
Namun baru beberapa kejapan mereka saling tatap....
"Aaah...!" Bukan. Keluhan itu bukan keluar dari mulut Satria. Justru kini Nini Berek yang terlonjak mundur membawa suara keluhan.
Rupanya ketika menatap kedua biji mata si pemuda, justru Nini Berek merasa bergetar.
Edan! Kadal buduk! Dari mana bocah sinting ini memiliki perbawa tinggi. Aku yakin, umurnya baru seujung upilku! Tapi kenapa pengaruhnya begitu menggetarkanku" Hmm, aku harus meningkatkan aji 'Pemikat Birahi'-ku sampai setinggi mungkin! Sumpah serapah Nini Berek menyusul kemudian.
"Ayo, Cah Bagus. Apa aku kurang menarik buatmu" Atau, karena aku masih berpakaian" Baiklah.... Aku bisa membukanya satu persatu.
Lalu setelah itu, kau gendeng aku ke dangau itu.
Setuju?" rayu Nini Berek lagi. Perlahan, tangan ha-lusnya mulai mempreteli pakaian yang dikenakan.
Sementara, aji 'Pemikat Birahi' makin ditingkatkan. Ajaib! Mendadak, pandangan mata Satria yang semula penuh perbawa mulai surut, berganti tatapan kosong. Bahkan langkahnya mulai bergerak mendekati Nini Berek! "Ayo, pandanglah aku, Cah Bagus.... Pandanglah aku...." Dari balik kedua mata Nini Berek sebenarnya keluar sinar kasat mata yang langsung menembus alam pikiran Satria Gendeng.
Satria kini merasa berada di awang-awang memabukkan. Alam bawah sadarnya berjalan kacau. Degup jantungnya jadi tak menentu. Tanpa bisa dikendalikan, sukmanya seolah terseret ke alam asing. Alam yang melenakan kelakilakiannya.... Bahaya besar mengancam si pemuda....


--¤¤¦ « SEBELAS » ¦¤¤--

GUSTI Yang Maha Agung!" sentak Ki Kusumo, tiba-tiba.
"Kenapa perasaanku makin tak enak saja" Jangan-jangan..., ah! Aku harus menyusul Satria!" putusnya kemudian.
Tabib Sakti Pulau Dedemit beranjak dari duduknya. Sekali genjot, tubuhnya sudah melesat meninggalkan rumah Ki Biran. Ditinggalkan si pemilik rumah yang telah tertidur pulas bersender di bangkunya. Kebluk juga, dia! Tiba di luar, Ki Kusumo melesat ke atas atap rumah penduduk. Dari situ tubuhnya berlompatan ringan. Dari satu rumah ke rumah lain.
Atau, dari satu pohon ke pohon yang lain. Cepat gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya saja.
Mungkin karena mata batinnya sudah terlatih, entah mengapa lesatan tubuh Ki Kusumo menuju ujung desa tempat ketika dia menemukan mayat seorang pemuda. Digenjotnya seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya, sehingga tak sampai dua puluh hitungan mata tuanya sudah dapat menangkap suatu pemandangan menjijikkan....

* * *



Satria telah benar-benar terbius akal pikirannya. Dibiarkannya saja tubuh telanjang Nini Berek membekap dan menggerayangi tubuhnya.
Bahkan si pemuda perkasa mulai mendesahdesah, seolah tengah terengah-engah memacu kuda betina.
"Bagus, Cah! Terus..., terus nikmati belaianku. Nikmatilah.... Sebentar lagi kita terbang ke awang-awang," desah Nini Berek, makin liar memeluki tubuh kekar si pemuda.
Hingga tiba-tiba....
"Satria! Hentikan!" Satu bentakan berisi tenaga dalam mengoyak udara. Menyentak alam pikiran waras si pemuda. Membangkitkan alam bawah sadarnya yang tiba-tiba terusir entah ke mana. Kesadaran si pemuda pun terbangkit.
Matanya saat itu juga memerah, melotot di balik punggung Nini Berek.
"Teruskan, Sayang.... Sebentar lagi kita menuju surga...," rayu Nini Berek, seolah tak ingin terusik oleh bentakan barusan.
Justru tanpa diketahui si nenek jelek, di dalam diri si pemuda tengah bergolak sebuah kekuatan dahsyat. Sebuah kekuatan yang berasal dari dasar amat dalam sekitar Lautan Hindia. Tanpa sengaja, waktu dulu Satria menghisap suatu cairan berwarna kelabu, sewaktu bocah ini tergulung dan terseret gelombang laut. (Baca episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit').
Kemarahan yang amat sangat begitu menyadari dirinya telah diperdayai Nini Berek membuat si pemuda ingin segera melampiaskannya.
Sementara gejolak kekuatan dahsyat dari dalam tubuhnya makin menyentak-nyentak. Lalu....
"Khuaaa...!" Satria melolong. Disentakkannya tubuh telanjang Nini Berek ke depan. Matanya mendelik.
Urat-urat di bola matanya memerah, seperti milik banteng ketaton. Urat di lehernya mengembung.
Udara tergempur. Getarannya menghancur. Dedaunan runtuh. Gugur. Si nenek jelek yang tadi tersentak pun melonjak. Dadanya bergetar mendengar lolongan mengerikan itu. Bahkan tiba-tiba saja, asap putih menggulung tubuhnya. Begitu asap menghilang, yang terlihat bukan lagi perawan cantik, tapi wujud perempuan tua mengerikan.
Wujud Nini Berek yang sesungguhnya! Nini Berek bermaksud hendak mendahului menyerang Satria Gendeng. Tapi begitu hendak bergerak....
"Oh, kenapa tubuhku mendadak lemas sekali" A..., aku seperti lumpuh.... A..., aku tak dapat menggerakkan tubuhku...," keluh Nini Berek, kalut bukan main.
"Ja..., jangan-jangan.... Bocah ini anak angkat Gusti Ratu Selatan...." Sebelum kata-kata Nini Berek habis....
Glaarrr...! Kilat mendadak menyambar, membelah angkasa. Tahu-tahu, gerombolan awan hitam telah mengepung langit. Cuaca berubah mendadak. Angin ganas pun mendengus-dengus, siap melabrak apa saja yang dilewati.
Di tempatnya. Nini Berek malah menggigil ketakutan. Pancaran wajahnya kini tak lagi mengerikan seperti tadi, tapi memelas. Dan tepat keti-ka hujan rintik-rintik mulai turun, lima buah bayangan berbentuk gadis-gadis jelita turun dari langit.
"Berek.... Kau telah melanggar aturan Kerajaan Laut Selatan. Pemuda yang hendak kau gauli adalah anak angkat Ratu Laut Selatan. Dulu, pemuda itu telah meminum air susu Ratu Laut Selatan yang dimuntahkan bayinya sewaktu ada badai di Laut Selatan. Dan Ratu Laut Selatan lantas memutuskan bahwa barang siapa yang meminum air susu itu, dia akan diangkat menjadi anak oleh Gusti Ratu. Kau pun telah tahu aturan itu, Berek.... Tapi, tetap saja kau langgar...." Suara mirip desahan itu makin menyiutkan nyali Nini Berek. Suara yang berasal dari utusan Laut Selatan.
"Ampuni aku, Punggawa.... Sungguh aku tak tahu.,.," ratap Nini Berek.
"Maaf, Nini Berek. Kalau saja hatimu tidak buta, kalau saja hatimu tak tersaput dendam....
kau pun bisa merasakan getaran-getaran aneh di tubuh pemuda itu. Tapi kau terlalu rakus...."
"Oh, sekali lagi ampuni aku.... Aku tak mau dipenjara seumur hidup.... Aku..., oohh...." Tatapan Nini Berek terputus saat itu juga.
Tahu-tahu saja, tubuhnya telah terangkat naik, ditarik kekuatan kasat mata para gadis yang berbentuk bayang-bayang di angkasa.
"Kami tahu, kau pun bekerja sama dengan Nini Rewang.... Jadi kami juga akan menjemputnya...," sambung para utusan Laut Selatan.
Tepat ketika bayang-bayang utusan Ratu Laut Selatan itu pergi membawa Nini Berek, hujan deras mengguyur bumi. Satria sendiri masih terpaku tak percaya. Semula dia hendak melampiaskan kemarahannya. Tapi keterpanaannya seolah menyingkirkan niatnya.
"Satria...!" sebuah suara halus menyentak lamunan si pemuda.
Satria menoleh. Senyum cerah langsung terkembang di bibirnya.
"Kakek Kusumo.... Terima kasih, kau telah menyadarkan aku dari pengaruh sihir perempuan bejad tadi...," ucap Satria.
Memang, Ki Kusumo tadi yang telah menyadarkan Satria dari pengaruh aji 'Pemikat Birahi' Nini Berek dengan bentakan tenaga dalamnya.
Dan Satria wajib berterima kasih. Tanpa lelaki tua ini, bisa jadi pemuda hijau itu akan tinggal nama saja....

* * *



Glaarr...! Glarrr...! "Aaa...." Dari kejauhan, samar-samar Ki Kusumo dan Satria mendengar ledakan dahsyat yang ditingkahi jeritan panjang. Entah mengapa, kepala mereka sama-sama memandang ke arah Bukit Menjangan di kejauhan yang puncaknya telah terkepung awan hitam.
Sebentar-sebentar, lidah-lidah petir menyambar puncak bukit itu. Alam seolah murka pada para penghuni Bukit Menjangan....
Timbul keyakinan di hati Satria maupun Ki Kusumo. Seperti kata utusan Laut Selatan tadi, mereka memang akan menjemput Nini Rewang.
Bersama Nini Berek, perempuan siluman guru dari Nini Jonggrang itu dipenjarakan di dasar Laut Selatan.... Bisa jadi begitu.
Bisa jadi, mereka tak akan kembali lagi.
Bisa jadi tak akan ada yang dapat membangkitkan Ki Ageng Wirakrama.
Bisa jadi teriakan tadi adalah jeritan Nini Rewang" Atau, jeritan Ki Ageng Wirakrama di alam kubur. Sekali lagi, bisa jadi.

SELESAI

Segera terbit;
PERTUNANGAN BERDARAH


INDEX SATRIA GENDENG
Badai Di Keraton Demak --oo0oo Pertunangan Berdarah
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.