Life is journey not a destinantion ...

Pertunangan Berdarah

INDEX SATRIA GENDENG
Siluman Bukit Menjangan --oo0oo Bisikan Iblis Lembah Keramat

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

PAGI baru menginjak usia muda. Berkawal kokok ayam jantan, roda kehidupan mulai menapak. Sisa-sisa embun mulai terusir oleh jilatan sinar keperakan matahari yang menyembul malumalu di garis Bukit Munthang. Sebagian sinar matahari menyirami Kadipaten Ponorogo yang mulai menggeliat oleh kesibukan para penduduknya.
"Heaa...! Heaaa...!" Dan keheningan pagi pun tergempur oleh teriakan seseorang yang memacu kencang kudanya. Membelah jalan utama kota kadipaten, membuyarkan beberapa pedagang maupun petani yang berjalan bergerombol menuju tempat usahanya masing-masing.
Tak ada sumpah serapah yang keluar, kecuali hanya menggeleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Sebab, mereka tahu, siapa si penunggang kuda. Warok Darmo Singo! Dia dikenal sebagai adik Warok Singo Lodra, jawara tak tertandingi di Kadipaten Ponorogo ini. Kendati ilmunya masih di bawah Warok Singo Lodra, tapi Warok Darmo Singo justru lebih dikenal karena ulahnya yang ugal-ugalan.
Wajahnya lebar. Tarikan rahangnya kekar.
Kumisnya lebat dengan cambang juga lebat.
Jenggotnya tak ubahnya sarang lebah. Memanjang ke bawah. Pancaran matanya tajam, memancarkan ketegasan sikapnya.
Pakaiannya komprang warna hitam tanpa dikancingi. Sepertinya dia hendak memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu lebat. Celananya juga komprang berwarna sama.
Si penunggang kuda berusia sekitar tiga puluhan itu seperti tak ingin peduli. Kudanya terus digebah kencang. Mengarak debu tinggi dan panjang. Tubuhnya seperti terlonjak-lonjak, seirama dengan derap langkah kuda yang membentak-bentak. Pakaian hitamnya berkibaran, diterabas angin pagi.
Kelihatannya, Warok Darmo Singo tengah terburu-buru. Itu terlihat dari sikapnya yang seperti tak peduli dengan keadaan sekitar. Kudanya yang megap-megap nyaris kehabisan napas terus dipacu makin kencang.
Di sebuah rumah besar, Warok Darmo Singo menarik tali kekang. Kuda meringkik seraya mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Ketika kuda tenang, Warok Darmo Singo melompat turun. Dituntunnya kuda memasuki halaman.
"Kang! Kang Singo!" teriaknya, lantang.
Menyentak keheningan pagi merekah. Memaksa si penghuni rumah untuk keluar tergopoh-gopoh.
"Ah, kukira siapa" Kenapa kau berteriakteriak seperti orang kesurupan begitu, Darmo"!" seru seorang lelaki berpakaian sama dengan Warok Darmo Singo. Wajahnya pun dihiasi brewok lebat, hanya saja jenggotnya lebih panjang dan sudah dihiasi warna putih. Rambutnya juga sudah berwarna dua. Usianya sekitar lima puluh enam tahun. Dialah Warok Singo Lodra, kakak kandung Warok Darmo Singo.
"Gawat, Kang! Gawat!" terabas Warok Dar-mo Singo......
"Apa yang gawat, Darmo. Katakan, jangan berbelit-belit!" Sebelum menjawab, Warok Darmo Singo menyerahkan tali kekang kuda kepada seorang pemuda pengurus kuda. Hendak dibawanya kuda berwarna putih belang hitam itu ke istal di belakang rumah.
"Kudengar, Warok Jogoboyo akan menikahkan anaknya dengan putra Adipati Ngawi.
Bukankah Nawangsih keponakanku sudah berhubungan lama dengan Senoaji" Malah kudengar kau akan segera menikahkan mereka?" cerocos Warok Darmo Singo.
"Kau tidak sedang bergurau, Darmo?" tanya Warok Singo Lodra. Perlahan saja suaranya, tapi penuh tekanan. Bahkan mendadak wajahnya menjadi merah bagai terbakar. Jantungnya jadi berdegup kencang, menanti jawaban adik kandungnya.
"Buat apa aku terburu-buru ke sini kalau hanya untuk bercanda?"
"Edan..., edan! Keparat! Kenapa Adipati Ngawi jadi melenceng begitu" Bukankah dia sendiri yang berkirim surat kepadaku kalau akan meminang Nawangsih anakku" Hhmmmhh...! Mau taruh di mana mukaku kalau dia merubah rencananya"! Menjilat ludah sendiri itu namanya!" dengus Warok Singo Lodra, menggeram hebat. Dadanya bergerak cepat turun naik, menahan guncangan amarah yang menggelegak, nyaris hendak meledakkan kepalanya.
"Kakang harus bertindak. Kasihan Nawangsih kalau sampai tahu. Kalau hal ini sampai terjadi, sama saja wajah Kakang tercoreng tai sa-pi!" Warok Darmo Singo mengompori.
"Kalau kata-katamu benar, akan kuhabisi Adipati gemblung itu!" desis Warok Singo Lodra.
"Kenapa Kakang tidak menghabisi Warok Jogoboyo sekalian?" timpal si adik kandung.
"Aku tidak berurusan dengannya!"
"Tapi pasti dia penyebabnya!"
"Kenapa bisa begitu?"
"Bisa saja Warok Jogoboyo sengaja menanam budi pada Adipati sialan itu. Lalu Warok Jogoboyo sengaja menawarkan anaknya. Karena merasa berhutang budi, Adipati sialan itu bersedia menjodohkan anaknya dengan anak Warok Jogoboyo. Dan itu berarti, Warok Jogoboyo memang sengaja ingin menghina Kakang!" Warok Singo Lodra manggut-manggut. Masuk akal juga kata-kata adik kandungnya. Dan dadanya pun kian bergemuruh. Kasar, tubuhnya berbalik. Lalu langkah berdebamnya diarahkan ke dalam rumah. Sementara, segaris senyum samar terlihat di bibir Warok Darmo Singo. Sebuah senyum yang mengandung banyak makna dan sukar ditafsirkan. Lalu dia ikut melangkah, masuk ke dalam rumah kakak kandungnya.

* * *



Kadipaten Trenggalek pada waktu yang sama. Sebuah rombongan berkuda memasuki halaman rumah besar di pinggiran kadipaten. Dari pakaian dan umbul-umbul yang dibawa, menyiratkan kalau rombongan itu berasal dari Kadipaten Ngawi. Mereka adalah para prajurit kadipaten Ngawi yang tengah mengawal sebuah kereta berkuda, berisi peti-peti berbagai ukuran.
Di depan pintu rumah besar itu telah berdiri menunggu seorang lelaki berperawakan tambun. Wajah bulatnya dipenuhi brewok lebat. Alis matanya tebal, memayungi matanya yang mencorong tajam. Pakaiannya berwarna hitam komprang, tanpa dikancingi. Seolah ingin memamerkan bulu-bulu lebat di dada bidangnya. Rambutnya yang panjang ditutupi blangkon hitam.
Dialah Warok Jogoboyo. Jawara tak tertandingi di sekitar Kadipaten Trenggalek. Sejak diwi-suda dari perguruannya, lelaki berusia enam puluh tahun ini langsung memilih Trenggalek sebagai daerah yang dijaganya, meski asalnya dari Kadipaten Ngawi.
Di belakang Warok Jogoboyo berdiri sepuluh orang lelaki lain. Semuanya mengenakan surjan lengkap dengan kain batik dan blangkon.
"Selamat datang..., selamat datang di kediamanku, Panglima Adi Kencono," sambut Warok Jogoboyo begitu seorang lelaki berpakaian panglima kadipaten turun dari kudanya.
"Terima kasih, Kangmas Warok Jogoboyo.
Kanjeng Adipati titip salam sejahtera buatmu," balas lelaki gagah bernama Adi Kencono. Melihat pakaian yang disandangnya, dia memang berpangkat panglima kadipaten.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Kami diutus oleh Kanjeng Adipati untuk menyerahkan mas kawin bagi Ratna Kumala, putri Kangmas. Untuk itu, mohon diterima," jelas Panglima Adi Kencono. Lalu kepalanya memberi isyarat pada para prajurit yang menyertainya.
Dua puluh prajurit Kadipaten Ngawi langsung melompat dari punggung kuda masingmasing. Tanpa banyak cakap, segera dibongkarnya muatan kereta berkuda.
Warok Jogoboyo pun memberi isyarat pada sepuluh orang di belakangnya untuk membantu menerima peti-peti dari tangan para prajurit. Untuk selanjutnya, peti-peti itu dibawa masuk ke dalam.
"Mari kita berbincang-bincang di dalam, Panglima," ajak Warok Jogoboyo.
Sambil sedikit membungkuk, jempol tangan kanannya menunjuk ke arah pintu rumahnya.
"Mari.... Kebetulan aku cukup lelah setelah menempuh perjalanan satu hari satu malam." Kedua lelaki itu segera melangkah gagah.
Keduanya memasuki rumah besar selagi para bawahannya sibuk mengangkuti peti-peti.

* * *



"Kanjeng Adipati mengucapkan terima kasih pula. Karena pertolongan Kangmas Warok Jogoboyo sewaktu terjadi perampokan atas diri Kanjeng Adipati di Hutan Wonocolo purnama lalu.
Tanpa pertolongan Kangmas, rasanya kami akan kehilangan Junjungan kami," buka Panglima Adi Kencono.
Di ruang tengah mereka duduk berseberangan, dibatasi sebuah meja bulat yang di atasnya tersaji bermacam-macam buah-buahan dan makanan ringan. Dua cangkir teh manis juga telah tersaji.
"Ah, itu hanya kebetulan, Panglima. Kebetulan aku lewat di Hutan Wonocolo setelah menengok keluarga di Kadipaten Ngawi," sahut Warok Jogoboyo, merendah.
"Tapi biar bagaimanapun jasamu perlu diberi ganjaran, Kangmas. Oleh sebab itu, Kanjeng Adipati tak ragu-ragu lagi menjodohkan putra tunggalnya dengan putrimu, Kangmas," tegas Panglima Adi Kencono.
Warok Jogoboyo tersenyum lebar. Terselip rasa bangga di hatinya. Betapa tidak" Kendati memiliki kedigdayaan, belumlah lengkap bila belum menjadi keluarga ningrat. Sedikitnya, berbesanan dengan keluarga ningrat. Artinya, derajat keluarganya akan terangkat.
"Tapi apa benar kalau perampokan itu didalangi oleh Warok Singo Lodra?" usik Panglima Adi Kencono.
"Benar tidaknya, perlu dibuktikan lagi, Panglima. Aku tak ingin membenarkan, juga tak ingin menyangkal. Biar bagaimanapun, Warok Singo Lodra adalah kakak seperguruanku di Padepokan Gunung Wilis. Aku tahu betul watak dan sikapnya. Jadi, rasanya mustahil kalau kakak seperguruanku bertindak begitu," papar Warok Jogoboyo.
"Lantas, kenapa terbetik berita kalau Warok Singo Lodra yang jadi dalangnya?" kejar sang Panglima.
"Itu hanya pengakuan segelintir para perampok yang berhasil kutewaskan sebelum mereka mati. Sayang, sebagian perampok berhasil melarikan diri masuk ke dalam hutan."
"Kalau benar Warok Singo Lodra dalangnya?" Wajah Warok Jogoboyo kontan berubah.
Sederhana saja kalimat yang dilontarkan Panglima Adi Kencono, tapi terasa sengak terdengar di kuping lelaki penuh brewok itu. Biar bagaimanapun, dia tak mau berprasangka buruk terhadap kakak seperguruannya. Semuanya harus dibuktikan lebih jelas lagi. Tak cukup hanya berasal dari mulut para perampok. Siapa tahu itu hanya fitnah belaka. Melihat perubahan wajah lelaki brewok di hadapannya, Panglima Adi Kencono jadi tak enak hati. Sedikitnya, dia telah menyinggung perasaan Warok Jogoboyo. Tapi itu memang bagian tugasnya untuk menanyakan lebih jauh tentang orangorang yang hendak mencelakakan junjungannya.
"Kurasa waktunya belum tepat untuk menanyakan hal ini padamu. Maafkan aku, Kangmas. Tapi mohon mengertilah. Ini juga sebagian dari tugasku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap Panglima Adi Kencono, lirih.
Sikapnya jadi serba salah. Sejumput senyum di bibir Warok Jogoboyo tak cukup mengobati rasa tidak enak hatinya.
Kekakuan pun terjadi. Tak ada yang bersuara. Hening.
"Kalau begitu, aku mohon pamit, Kangmas.
Kurasa urusanku di sini telah selesai," buka Panglima Adi Kencono. Kekakuan yang terjadi membuatnya tak betah duduk di sini. Pantatnya pun sudah terasa panas.
"Yah, baiklah. Sampaikan sembah hormatku pada Kanjeng Adipati. Katakan kalau tanggal dan hari baiknya pernikahan putra-putri kami akan dibicarakan lebih lanjut. Sebab, hari yang telah ditentukan Kanjeng Adipati kurasa masih belum cocok dengan hari pasaran anakku," ujar Warok Jogoboyo.
"Oh, tentu. Tentu. Semuanya akan aku sampaikan."

* * *



"Siapa mereka, Ayah?" Seorang gadis muncul tiba-tiba di belakang Warok Jogoboyo yang masih berdiri di beranda, memandangi utusan Kadipaten Ngawi yang telah lenyap dari pandangan. Warok Jogoboyo berbalik. Bibirnya tersenyum, memandangi wajah cantik berkulit putih bersih. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Hitam berkilatan, benar-benar dirawat secara telaten. Kedua matanya indah berbinar, bak bintang kejora. Dialah Ratna Kumala, putri tunggal Warok Jogoboyo.
"Mereka utusan Adipati Ngawi, Ratna," jawab lelaki tambun ini.
"Ada apa mereka kemari?"
"Menyerahkan mas kawin."
"Buat siapa?" Warok Jogoboyo tak menyahut. Dia memang belum menceritakan secara terus terang pada putrinya. Keputusan adipati memang mendadak. Begitu sang warok menyelamatkannya, langsung saja dia menyatakan akan menjodohkan putranya dengan Ratna Kumala. Terutama, setelah timbul dugaan kalau Warok Singo Lodra terlibat dalam perampokan atas diri adipati.
Sang warok tak bisa menampik. Penolakan berarti sebuah penghinaan bagi seorang adipati.
Namun untuk mengutarakan pinangan itu pada Ratna Kumala, justru Warok Jogoboyo tak memiliki keberanian. Tak dipungkiri, hatinya memang senang bila anaknya berjodoh dengan anak adipati. Bukankah itu sebuah kebanggaan tersendiri" Tapi bagaimana dengan Ratna Kumala sendiri" Apakah anak satu-satunya ini bersedia" ' Buatmu, Anakku," jawab Warok Jogoboyo, tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan. Tekadnya sudah bulat untuk menceritakan semuanya terhadap Ratna Kumala.
"Buatku" Maksud Ayah, Adipati yang sudah tua itu ingin melamarku" Sudah tua-tua begitu masih suka daun muda?" cekat Ratna Kuma-la lugu.
"Bukan buat Adipati sendiri, tapi buat anaknya. Senoaji," jelas Warok Jogoboyo.
"Lho" Bukankah Kangmas Senoaji akan menikah dengan Mbakyu Nawangsih, putri kakak seperguruan Ayah sendiri" Kok tiba-tiba aku disuruh menikah dengannya?" tuntut Ratna Kumala.
Ada rasa suka di hatinya, jika nanti akan bersanding dengan Senoaji yang memang sudah dikenalnya. Tapi di sisi lain, ada rasa tak enak karena dia harus merebut kekasih orang. Dan orang itu amat dikenalnya.
"Sudahlah, Ratna. Itu urusan orang tua.
Aku tahu, kau tak enak hati dengan Mbakyumu Nawangsih. Tapi, itu sudah diatur oleh Adipati Ngawi. Berdoa saja, mudah-mudahan urusan ini jadi lancar," ujar Warok Jogoboyo. Disembunyi-kannya apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa Adipati membatalkan pinangannya terhadap Nawangsih.


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

TIDAK...! Tidak mungkin...! Kangmas Senoaji sudah berjanji menikahiku! Tak mungkin kalau dia memperistri gadis lain!" Keheningan terkoyak. Jeritan melengking memilukan mendadak sontak membuat penghuni rumah Warok Singo Lodra terhenyak. Kecemasan pun merebak.
Kecemasan yang selama ini dikhawatirkan oleh Warok Singo Lodra dan istrinya.
Dan malam itu, rumah Warok Singo Lodra pun gaduh. Seluruh penghuni rumah tergopohgopoh mendatangi sebuah kamar. Warok Singo Lodra dan Nyai Gembili istrinya, berada paling depan dengan wajah disaput kecemasan.
"Nduk.... Buka! Buka pintunya, Nduk....
Ada apa...?" Nyai Gembili menggedor-gedor pintu kamar anaknya.
"Iya, Nduk.... Buka pintunya," sambung Warok Singo Lodra.
Beberapa pelayan lelaki dan wanita hanya saling berpandangan di belakang Warok Singo Lodra dan istrinya. Lalu kepala mereka menunduk saat Warok Singo Lodra menoleh ke belakang. Seolah, mereka takut disalahkan.
Tak ada sahutan, kecuali tangis sesenggukan dari dalam kamar.
"Nduk.... Kenapa kau menangis..." Buka pintunya, Nduk. Ayo, Ibu mau melihat keadaanmu...," desak Nyai Gembili lagi.
"Hi hi hi.... Oh, Kangmas Senoaji.... Kita akan segera menikah, ya Kangmas.... Bukankah kau sudah berjanji begitu..." HI hi hi... La la la....
Aku akan menikah.... La la la.... Horee...!" Di luar kamar, semua orang jadi berpandangan. Kenapa tiba-tiba tangisan barusan berubah jadi tawa campur tetembangan" Apakah Nawangsih sudah gila" Begitu dugaan yang muncul di benak mereka. Separah itukah Nawangsih" Lagi pula, siapa yang membocorkan rahasia kalau putra Adipati Ngawi yang bernama Senoaji akan menikah dengan gadis lain" Warok Singo Lodra lantas berbalik. Mata tajamnya langsung merayapi para pelayannya.
Satu persatu. Para pelayan pun tak kuasa menentang tatapan sang majikan. Satu persatu pula mereka kembali menundukkan kepala.
Dugaan buruk tergambar di benak sang Warok terhadap perubahan sikap anaknya. Tapi, siapa yang membocorkan rahasia yang sudah disimpannya rapi selama beberapa hari" Tanyanya, tak habis pikir. Mendengar ocehan-ocehan tak karuan dari bibir Nawangsih di kamar, Warok Singo Lodra yakin kalau telah terjadi sesuatu terhadap diri anaknya.
Kegeraman pun memuncak. Dada pun bergolak. Sementara napas jadi sesak.
"Hih!" Braakk...! Sekali menyentakkan kedua tangannya, Warok Singo Lodra mendobrak pintu kamar Nawangsih. Begitu terkuak, Nawangsih terlonjak.
"Oh..., Kangmas Senoaji.... Kutunggutunggu akhirnya kau datang juga...." Nawangsih langsung menubruk ayahnya sendiri. Dalam bayangannya, Warok Singo Lodra tergambar sebagai wajah Senoaji, putra Adipati Ngawi.
"Sadar, Nduk.... Sadarlah.... Aku ayahmu...," bujuk Warok Singo Lodra.
"Lihat, ini Ibu-mu...." Warok Singo Lodra segera melepaskan pelukan erat anaknya. Nawangsih terkesiap sesaat.
Sebagian pikiran warasnya mulai bekerja kembali.
Lalu, tangisnya pun meledak saat itu juga.
Nyai Gembili begitu trenyuh melihat keadaan anaknya. Dipeluknya erat-erat Nawangsih.
Tangisnya pun tak terbendung lagi. Air mata makin deras bergulir di pipinya.
"Duh, Gusti.... Dosa apa yang telah kami perbuat, sehingga Kau menurunkan cobaan yang demikian berat...," keluh Nyai Gembili.
Di tempatnya, Warok Singo Lodra terpaku dalam kegeraman. Kembali dia teringat dengan kata-kata adiknya bahwa Warok Jogoboyo memang sengaja menghinanya. Tapi apa mungkin" Sebab, dia tahu betul watak adik seperguruannya yang selalu menghormatinya. Warok Singo Lodra waktu itu memang tidak ingin langsung percaya pada laporan adik kandungnya, Warok Darmo Singo. Dia tak ingin bertindak gegabah karena hanya laporan sepihak. Ingin dilihatnya dulu perkembangan selanjutnya.
Tapi apa yang terjadi ternyata sungguh di luar perkiraannya. Ibarat jatuh, dia langsung tertimpa tangga. Sudah malu lantaran Nawangsih gagal dipinang Senoaji, kini Nawangsih malah jadi gila. Dan itu rasanya sudah cukup untuk mempercayai kata-kata adik kandungnya. Artinya, dia harus melabrak Warok Jogoboyo, kendati sebagai adik seperguruannya sekalipun.
"Bangsat! Tunggu pembalasanku, Jogoboyo! Semua ini karena ulah mu!" sentaknya, seraya memukulkan tinju kanan kiri ke telapak tangan kanan. Urat lehernya mengembung. Gerahamnya berkerut-kerut. Wajahnya tegang dengan mata nyaris melompat keluar.
"Kakang.... Kenapa Kakang menyalahkan Adi Jogoboyo" Ingat, Kakang. Dia adik seperguruanmu!" Ingat Nyai Gembili di antara isaknya.
"Persetan dengan adik seperguruan! Dia telah mencoreng mukaku dengan arang! Apakah dia tidak tahu kalau Nawangsih akan dilamar Adipati Ngawi" Eh, dia dengan seenaknya malah menerima lamaran Adipati sialan itu! Mestinya kan dia bisa menolak! Setan alas!"
"Mungkin Adi Jogoboyo terpaksa, karena tak mungkin menolak perintah," kata Nyai Gembili lagi.
"Tidak! Mestinya dia lebih menghargai aku daripada adipati sialan itu. Hhmmm! Setan alas! Tunggu, Jogoboyo! Kau harus mati di tanganku!"

* * *



Bulan sepotong menggantung di angkasa.
Sinarnya tak mampu menyirami bulan, terkepung oleh gumpalan awan hitam berarakan. Alam seperti mati. Angin pun seolah tak mampu mengusir awan hitam yang begitu pekat.
Dalam gerak lamat, sepuluh orang berpakaian hitam mengendap-endap di sekitar rumah Warok Jogoboyo. Kesepuluh orang itu lantas menyebar. Tiga ke belakang rumah, dua ke samping kanan, dua ke samping kiri, dan sisanya bergerak ke depan.
Di depan pagar tembok rumah Warok Jogoboyo bagian depan, dua orang yang juga menutupi kepalanya dengan kain hitam kecuali bagian mata itu merapatkan tubuhnya ketika tiga orang penjaga rumah bergerak menuju halaman. Menahan napas, keduanya bersiap siaga. Sementara, golok-golok mereka telah telanjang, lepas dari sa-rungnya.
"Perasaanku malam ini tak enak, Kakang Reksa. Mau ada apa, ya?" buka salah satu dari ti-ga lelaki penjaga rumah Warok Jogoboyo.
"Aku juga mau bilang begitu, Kasan. Kulihat, di angkasa awan begitu pekat. Tapi hujan tak turun-turun," sahut lelaki yang dipanggil Reksa.
"Apa perasaanmu sama, Panut?" Reksa menoleh ke arah lelaki di kanannya.
"Ah, itu hanya perasaan kalian saja," tepis Panut.
"Memang memedi mana yang berani sama kita" Kalau ada perampok pun, rasanya belum tentu berani menyatroni rumah majikan kita.
Jangankan perampok. Setan gundul pun tak berani mendekati rumah ini."
"Kasan! Seperti biasa, kau kelilingi rumah ini lewat samping kanan. Sedangkan Panut lewat samping kiri. Dan aku menunggu kalian di depan rumah ini," ujar Reksa, memberi perintah. Agaknya, dia yang menjadi ketua regu penjaga malam rumah ini. Ketiganya terus melangkah menuju pintu pagar rumah. Tak ada kecurigaan sedikit pun.
Dan....
"Hih!" Crass! Craaasss! "Aaakhh...!" Kasan dan Panut kontan roboh ketika sekelebatan mata golok menyambar leher mereka.
Sedang Reksa yang berada di tengah sempat melompat ke belakang. Namun begitu bangkit, satu orang berpakaian serba hitam sudah siap menerjang.
"Bangsat! Siapa kalian"!" bentak Reksa.
Dibuangnya tubuh ke kiri, ketika mata golok lawan kembali menyambar.
Tanpa menjawab, si orang berpakaian serba hitam kembali menyerang. Goloknya diputarputar di udara sebelum dibabatkan ke tubuh Reksa yang baru saja melenting bangkit. Udara terpangkas Reksa terkesiap. Bahaya mau siap melahap. Sigap, Reksa melangkah satu tindak.
Begitu sambaran golok lewat, dibuatnya satu putaran tubuh dengan kaki kiri menyapu. Deras.
Arahnya ke bagian selangkangan lawan.
Ternyata, si lelaki berpakaian serba hitam sudah menduga gerakannya. Saat itu juga dia melompat tinggi ke udara. Dalam keadaan begini, bisa saja dia langsung melepas tendangan ke kepala lawan. Tapi itu tak dilakukannya. Karena....
"Mampus kau, Cecunguk!" dengusnya seraya melempar golok. Amat cepat. Bahkan Reksa sama sekali tak menduga.
Tahu-tahu saja....
Craappp! Mata Reksa mendelik. Mulutnya menganga tak bermakna. Golok yang menghujam kepalanya membuat perlawanannya berakhir. Sejenak tubuhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk tak berdaya. Darah pun kembali bersimbah.
"Setan alas! Rupanya rumahku dikunjungi tikus-tikus clurut!" Bentakan menggelegar terdengar. Amat santer, membuat lawan Reksa tadi bergetar. Betapa tidak" Bentakan tadi disertai tenaga dalam tinggi. Demikian pula yang dialami orang berbaju hitam yang berdiri menyaksikan pertarungan tadi.
Tak urung, tubuhnya ter-lempar beberapa tindak.
Untung saja kedua lelaki berpakaian serba hitam itu mempunyai tenaga dalam yang cukup untuk meredam bentakan tadi. Kalau tidak, jangan harap bisa berdiri di tempat ini. Dan ini juga merupakan suatu bukti kalau keduanya memang tak bisa dianggap remeh.
Bukti lainnya, kematian Reksa. Hanya beberapa gebrakan saja, Reksa dibuat tak berkutik.
Menemui ajal dengan amat mengenaskan.
Cukup sudah bagi si orang yang membentak untuk berhati-hati. Setidaknya, tak ingin meremehkan kedua lelaki berpakaian serba hitam yang bersiaga di halaman rumahnya.
"Siapa kalian, Tikus-tikus Busuk"!" bentak lelaki bertubuh tambun. Pakaiannya juga berwarna hitam tanpa dikancingi. Seolah ingin memamerkan dadanya yang berbulu. Celananya komprang, juga berwarna hitam. Wajahnya dipenuhi brewok lebat. Kumis lebatnya nyaris menutupi mulut. Rambut panjangnya ditutupi blangkon berwarna hitam pula.
Dialah Warok Jogoboyo.
Melihat ketiga penjaga rumahnya terkapar bermandikan darah, mendidihlah darahnya. Mata bulatnya memerah. Urat-urat lehernya mengembung. Dadanya yang berbulu bergerak cepat turun naik. Kelihatannya amarahnya telah terbakar.
Dan kalau sudah terbakar, rasanya sulit untuk dipadamkan. Begitu biasanya watak seorang warok.
"Setan alas! Kalian belum juga menjawab pertanyaanku"!" sembur sang warok, penuh kegeraman. Perlahan-lahan, tangan kanannya melepas tali yang menjadi ikat pinggangnya. Begitu terlepas, yang tergenggam di tangannya ternyata sebuah pecut berwarna putih.
"Kami adalah orang-orang yang menginginkan nyawamu, Warok Jogoboyo!" jawab salah sa-tu orang berpakaian serba hitam.
"Apa kesalahanku sehingga kalian menginginkan nyawaku?" tuntut Warok Jogoboyo. Penuh getaran pada suaranya, pertanda amarah telah membakar dadanya.
"Kesalahanmu banyak, Setan! Tapi yang paling utama, kau berani menikahkan putrimu dengan putra Adipati Ngawi," desis lelaki berpakaian serba hitam yang berada di sebelah kanan.
"Apa hubungannya kalian dengan pernikahan putriku?" pancing Warok Jogoboyo.
"Karena kami adalah utusan Warok Singo Lodra!"
"Kau tidak berdusta, Kisanak" Jangan-jangan kalian hanya mengadu domba antara aku dengan kakang seperguruanku?"
"Terserah apa tanggapanmu, Warok Jogoboyo! Yang penting, kau harus mampus di tangan kami!"
"He he he.... Kalian hendak menakut-nakutiku" Kalian kira aku bocah bau kencur yang bakal terkencing-kencing ditakuti dedemit macam kalian" Majulah! Nyawa ketiga anak buahku harus kalian bayar!" Di ujung kalimatnya, Warok Jogoboyo menyentak kedua kakinya. Ringan sekali gerakannya. Tahu-tahu, dia telah berada tiga tombak di depan kedua calon lawan.
Pertarungan siap digelar. Mata sang Warok pun jadi liar. Amarah telah berkobar. Sementara, cambuk telah diputar-putar, siap menggeletar.
Dua calon lawan bukannya tak bergetar.
Mereka cukup tahu, siapa Warok Jogoboyo. Seorang jawara tak tertandingi di kadipaten Trenggalek. Jangan ditanya soal kesaktiannya. Memang benar, kedua lelaki berpakaian serba hitam itu mampu melumpuhkan tiga penjaga rumah sang Warok hanya beberapa gebrakan. Tapi untuk menandingi Warok Jogoboyo, jangankan dua orang macam mereka. Sepuluh orang macam mereka pun sama sekali tak membuat nyali sang Warok ciut. Malah bisa jadi, merekalah yang bertekuk lutut. Tapi sebelum pertarungan terjadi....
"Aaaa...!" Warok Jogoboyo terhenyak. Suara jeritan menyayat yang barusan terdengar adalah suara perempuan. Dan itu berasal dari dalam rumahnya. Apa yang terjadi"

* * *



Tanpa menghiraukan kedua calon lawan, Warok Jogoboyo melesat ke dalam rumahnya.
Mendadak saja, hatinya dirasuki rasa tak enak.
Tahu-tahu saja, dugaan buruk melintas di benaknya. Entah kenapa, langkahnya malah tertuju ke kamar putrinya.
Brakk! Terhenyak Warok Jogoboyo melihat apa yang ada di hadapannya. Matanya mendelik tak percaya. Mulutnya menganga.
"Ratna Kumala...," sebut Warok Jogoboyo, bergetar.
Di hadapan lelaki tambun kekar ini tergolek tak bernyawa seorang gadis. Perutnya bersimbah darah, koyak oleh besetan senjata tajam. Si gadis memang Ratna Kumala, putri Warok Jogoboyo yang hendak dinikahkan dengan putra Adipati Ngawi Apa yang terjadi pada Ratna Kumala" Ketika Warok Jogoboyo sedang bersitegang tadi, tiga lelaki berpakaian serba hitam telah berhasil menelusup ke dalam kamar Ratna Kumala. Dengan gerakan amat cepat, langsung dihabisi gadis yang tengah terjaga karena mendengar suara bentakan ayahnya tadi. Selesai membunuh secara keji, ketiga lelaki itu langsung melarikan diri lewat jendela yang kini menganga lebar.
Warok Jogoboyo lantas bergerak ke arah jendela. Yang dijumpai hanya kegelapan ketika kepalanya melongok. Dan ketika tubuhnya berbalik, di ambang pintu yang tadi dijebolnya berdiri seorang perempuan setengah baya. Nyai Kumitir namanya. Dialah istri Warok Jogoboyo.
"Ratna Kumala anakku...! Apa yang terjadi pada dirimu, Nduk...!" jerit Nyai Kumitir, langsung menubruk mayat Ratna Kumala yang tergolek di lantai. Tangisnya langsung meledak. Meratap-ratap, menangisi mayat putri tunggalnya.
Warok Jogoboyo sendiri langsung kembali teringat pada kedua calon lawannya di halaman rumah. Seolah ingin melampiaskan kemarahan pada dua lelaki tadi, tubuhnya kembali melesat keluar. Hanya sekejapan, lelaki tambun kekar ini telah berdiri di ambang pintu depan. Nyatanya, kedua calon lawan tadi telah menghilang entah ke mana. Penasaran, sang Warok segera berkelebat.
Amat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Dicobanya untuk mengelilingi rumah terlebih dahulu. Tapi, hanya kehampaan yang didapat. Lalu tubuhnya segera melesat ke arah utara.
Sebab, kalau betul orang-orang tadi suruhan Warok Singo Lodra, pasti arah datangnya dari utara.
Sampai sejauh lima ratus tombak Warok Jogoboyo melesat. Tapi yang ditemukannya hanya keheningan malam. Didorong rasa penasarannya, tubuhnya berhenti melesat. Dan tanpa mengenal kata lelah, dia berbalik lalu melesat kembali, ber-lawanan arah dari sebelumnya.
Tak juga ada tanda-tanda kalau orangorang berpakaian serba hitam tadi pergi ke arah ini. Maka putus sudah harapannya. Hanya satu petunjuk yang ada. Yakni, orang-orang tadi mengaku sebagai suruhan Warok Singo Lodra.
Tapi, benarkah pengakuan mereka" Tanya hati Warok Jogoboyo. Apakah ini hanya fitnah adu domba belaka" Dan kalau melihat latar belakang pembunuhan, masuk akal juga. Tapi apakah Warok Singo Lodra sepicik itu dengan hanya mengirimkan orang-orangnya" Kenapa dia tidak datang sendiri untuk menyatakan ketidak senangannya atas pernikahan Ratna Kumala dengan Senoaji" Apalagi, orang-orangnya juga menutupi wajah dengan kain hitam. Bukankah itu menunjukkan kepengecutan" Ruwet. Itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan yang berkecamuk di benak Warok Jogoboyo.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

KADIPATEN Ngawi. Matahari baru sepenggalah. Tapi teriknya mulai menyengat. Membuat dua orang prajurit penjaga keraton mulai blingsatan dengan peluh bersimbahan.
Pintu gerbang yang mereka jaga memang tak ada atap yang memayungi. Untuk menghindari sengatan terik matahari, mereka berusaha berlindung di gerbang yang mirip gapura itu.
Namun baru saja bersandar, dari kejauhan terdengar derap langkah kuda di kejauhan. Bergegas, mereka kembali ke tempat masing-masing, seolah takut dikatakan lalai dari tugasnya.
Si penunggang kuda makin lama makin mendekati pintu gerbang. Tubuh tegapnya terlihat melonjak-lonjak di atas punggung kuda. Di belakangnya, debu-debu mengepul seolah ikut mengiringinya. Semakin dekat si penunggang kuda. Dia adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap. Dari cara berpakaiannya, jelas kalau dia adalah seorang panglima.
Tiba dua tombak di depan pintu gerbang, sang Panglima menghentikan lari kudanya. Ditatapnya kedua penjaga yang tengah membungkuk hormat dengan sikap takut-takut.
"Rasanya hari masih pagi, Prajurit?" Nada suara sang Panglima seperti bertanya.
Tapi sebenarnya mengandung maksud lain.
"Benar, Panglima. Rasanya hari ini amat cerah. Segar sekali," sahut prajurit yang menjaga di sebelah kanan. Seolah dia hendak menutup-nutupi apa yang telah dilakukannya tadi.
"Tapi kenapa kulihat tadi kalian sudah seperti cacing kepanasan" Bermalas-malasan dengan berlindung dari terik matahari"'' tembak sang Panglima.
Merah wajah kedua prajurit. Mereka cengar-cengir serba salah. Sungguh mereka tak mengira kalau tindakan mereka diketahui panglimanya.
"Ampun, Panglima Adi Kencono. Hamba...
hamba... hanya...."
"Jangan banyak beralasan, Prajurit!" bentak Panglima Adi Kencono, membuat kedua prajurit itu terlonjak. Nyaris jatuh terduduk kalau tak segera berpegangan pada tembok gapura.
"Prajurit..., prajurit. Bagaimana kalau kalian dalam pertempuran" Baru tersengat matahari sepenggalah saja, sudah blingsatan macam cacing kepanasan. Apalagi di tengah medan pertempuran?" Suara Panglima Adi Kencono melemah.
"Maafkan kami, Panglima," ucap prajurit jaga yang berada di sebelah kiri.
"Kali ini kalian kumaafkan. Tapi bila kalian begini lagi, jangan mengabdi di Kadipaten Ngawi.
Karena, kadipaten ini tak butuh orang loyo macam kalian!" Di ujung kalimatnya, Panglima Adi Kencono menggebah kudanya, kembali. Meninggalkan kedua prajurit yang masih terbungkuk-bungkuk.
Meninggalkan kepulan debu yang langsung mengguyur kedua prajurit.

* * *



Panglima Adi Kencono langsung menghadap Adipati Ngawi di ruang pendopo. Sang Adipati adalah seorang lelaki berusia kepala lima. Tapi, wajahnya masih terlihat tampan kendati telah dihiasi kerutkerut garis ketuaannya. Tubuhnya juga masih terlihat gagah.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikan mu, Panglima Adi Kencono?" tanya Adipati Ngawi.
Nama aslinya, Raden Mas Suro Brajan.
"Ampun, Kanjeng. Perampok-perampok di Hutan Wonocolo makin mengganas saja. Rasanya, kita perlu bantuan para pendekar untuk menumpasnya. Kalau sekarang kita minta bantuan Warok Jogoboyo, rasanya terlalu sungkan. Sebab, beliau pasti tengah disibuki dengan urusan pernikahan anaknya dengan putra Kanjeng sendiri," lapor Panglima Adi Kencono.
"Kau benar, Panglima. Aku juga tak ingin melibatkan calon besanku dengan urusan ini. Kasihan dia. Oh, ya. Apakah kau telah menemukan bukti kalau Warok Singo Lodra ikut terlibat dalam urusan perampokan itu?" kejar Adipati Suro Brajan.
"Ampun, Kanjeng. Pembuktian itu hanya berdasarkan pengakuan perampok sebelum menemui ajal di tangan Warok Jogoboyo waktu itu.
Selebihnya, hamba belum menemukan bukti apaapa," tutur sang Panglima, hati-hati.
"Sebenarnya, aku juga tak yakin kalau Warok Singo Lodra terlibat. Sekarang bagaimana pendapatmu, Panglima" Apakah keputusanku melarang putraku Senoaji yang berhubungan dengan putri Warok Singo Lodra sudah tepat?" aju sang Adipati.
"Ampun, Kanjeng. Kanjeng dikenal sebagai adipati yang bijaksana dan mau mendengar saran orang lain. Maka, hamba saat ini bukannya ingin ikut campur dalam urusan pernikahan putra Kanjeng," kata Panglima Adi Kencono, hati-hati.
"Katakanlah, Panglima. Aku mendengar saranmu."
"Menurut hamba, Kanjeng terlalu terburuburu dengan memutuskan hubungan antara Raden Senoaji dengan Nawangsih. Sebab menurut hemat hamba, bukti-bukti belum cukup kalau Warok Singo Lodra terlibat dalam perampokan itu. Apalagi menurut hamba, kenapa Warok Singo Lodra mesti jadi perampok" Bukankah itu sama saja mencoreng mukanya sendiri" Dan rasanya pula, kekayaan Warok Singo Lodra sudah cukup," jelas Panglima Adi Kencono.
"Tapi aku telah berhutang budi dengan Warok Jogoboyo, Panglima. Dialah orang yang menyelamatkanku dari para perampok itu. Kalau tak ada dia, tak bakalan aku bisa duduk di kursi ini. Dan lagi, aku juga telah mengirim utusan kepada Warok Singo Lodra. Utusan itu membawa suratku yang berisi pembatalan pinangan anakku pada Nawangsih. Hanya entah kenapa, utusanku saat ini belum kembali ke Kadipaten Ngawi. Aku jadi ragu, jangan-jangan suratku belum sampai ke tangan Warok Singo Lodra." Ada kekhawatiran di hati Adipati Sura Brajan. Karena bila surat itu tak sampai di tangan Warok Singo Lodra, bisa jadi akan timbul salah paham. Artinya, sang Adipati harus bersiap-siap menghadapi tuntutan Warok Singo Lodra. Dan sang Adipati hanya bisa menarik napas sesak.
Sejenak suasana jadi hening. Masingmasing hanyut dalam arus perjalanan benak mereka. Menerawang, membayangkan apa yang bakal terjadi.
"Menurut hamba, Kanjeng tak bersalah.
Kanjeng sudah berusaha mengirim utusan. Dan kita tinggal menjelaskannya kembali pada Warok Singo Lodra," hibur Panglima Adi Kencono.
Tak menjawab, Adipati Wiro Brajan manggut-manggut. Dia berusaha membenarkan tindakannya. Tapi, masih saja ada yang mengganjal di hatinya. Yakni, soal putranya. Senoaji. Seharusnya, Senoaji sudah tiba di keraton pagi ini. Menurut kabar yang dikirim Senoaji, dia telah selesai berguru di Padepokan Blambangan. Hmm, kenapa putraku belum tiba juga" Gumam hatinya.
Sementara di sisi keping hatinya terselip rasa penyesalan, karena tanpa sepengetahuan Senoaji, Adipati Suro Brajan telah membatalkan pinangan anaknya pada Nawangsih. Padahal, dia tahu kalau Senoaji telah berhubungan cukup lama dengan putri Warok Singo Lodra itu.
Awal pertemuan dua sejoli itu boleh dibilang tak sengaja. Waktu itu Senoaji yang baru berusia tujuh belas tahun berkunjung ke sebuah pasar malam di Kadipaten Ponorogo. Setiap panen besar, biasanya sebuah kadipaten membuat semacam pesta rakyat yang diisi juga oleh keberadaan pasar malam. Bila ada acara seperti ini, pihak kadipaten akan mengundang para adipati beserta keluarganya.
Adipati Ngawi waktu itu datang bersama Senoaji beserta dua pasukan pengawal. Ketika mereka menonton sebuah panggung yang diisi tari-tarian, Senoaji yang memang berjiwa seni tertarik oleh lenggak-lenggok gemulai seorang penari wanita. Seorang gadis berambut panjang. Wajahnya cantik. Bibirnya merah merekah dengan hidung bangir. Bentuk wajahnya bulat lonjong dengan tahi lalat kecil di batang hidung kiri.
Tanpa sadar, pemuda tampan berpakaian kebesaran keraton itu melangkah mendekati tangga panggung. Sementara kedua biji matanya seolah tak mau berkedip, melekat erat dalam irama gerak tubuh gemulai si gadis.
Ketika selesai menari, si gadis berjalan hendak menuruni panggung. Tapi dasar bernasib sial, kakinya tersandung kaki penabuh gamelan yang menyelonjor kelelahan. Tak urung, tubuh si gadis terjerembab hendak jatuh dari atas panggung. Entah apa yang membuat gerakannya begitu cepat, Senoaji melompat sigap. Tangkas, ditangkapnya tubuh ramping si gadis. Seperti ada yang mengatur, jatuhnya si gadis tepat pada punggungnya. Sehingga lama sekali dia bertatapan dengan Senoaji. Dari tatapan tak sengaja yang serba kaku, berangsur-angsur berubah menjadi tatapan saling mengagumi.
Senoaji sendiri sengaja mengirimkan isyarat-isyarat mata lewat tatapannya. Dalam waktu yang sesingkat itu, mereka sempat berkenalan.
Namun karena masih berjiwa pemalu, gadis yang memperkenalkan diri bernama Nawangsih itu cepat turun dari dekapan Senoaji. Dengan wajah merah, dia berpamitan untuk pulang tanpa bisa dicegah Senoaji.
Penasaran, dengan bertanya sana-sini, Senoaji mendapat keterangan kalau Nawangsih adalah putri Warok Singo Lodra. Semula hatinya kecut juga mendengar nama Warok yang cukup menggetarkan di wilayah Ponorogo itu. Tapi karena rasa tertariknya yang amat mendalam. dengan ditemani ayahnya. Senoaji keesokan harinya bertandang ke rumah Warok Singo Lodra. Dan sejak itu, Senoaji dan Nawangsih resmi menjadi sepasang kekasih. Karena harus memperdalam ilmu olah kanuragan lebih mendalam, Senoaji harus berguru di Padepokan Blambangan selama tiga tahun.
Maka sejak itu dia tak berhubungan lagi dengan Nawangsih. Dan tak heran kalau pemuda itu tak tahu bahwa pinangannya sebelum keberangkatannya ke Blambangan, telah dibatalkan ayahnya sendiri. Inilah ganjalan yang menyentak-nyentak hati Adipati Ngawi. Dia merasa bersalah terhadap anaknya, juga terhadap Warok Singo Lodra. Yang dapat dilakukannya hanya mendesah. Membuang napas sesak dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kembali ke soal perampokan, apakah kau tak bisa mencarikan tokoh persilatan yang bisa mengganyang para perampok Itu, Panglima" Sekaligus, mencari bukti apakah Warok Singo Lodra ikut terlibat," lanjut Adipati Ngawi, mengalihkan permasalahan.
Panglima Adi Kencono merenung sejenak.
Dicobanya mengingat-ingat beberapa tokoh persilatan yang pernah dikenalnya. Tapi tak satu pun rasanya yang bisa menandingi pimpinan perampok yang menguasai Hutan Wonocolo.
Siapa yang bisa menandingi Tentara Langit yang menguasai Hutan Wonocolo" Tanya hati sang Panglima. Hmm.... Belum juga urusan tokoh sesat itu tuntas, muncul perampok lain yang mengaku anak buah Warok Singo Lodra. Kalau anak buah Tentara Langit menguasai wilayah timur hutan, maka anak buah Warok Singo Lodra sering berkeliaran di wilayah barat. Apakah mere-ka merupakan satu kesatuan atau terpisah" Kalau mereka menjadi satu, betapa hebatnya kekuatan mereka"
"Bagaimana, Panglima" Kau sudah menemukan orangnya?" usik Adipati Ngawi, membelah lamunan Panglima Adi Kencono.
"Biang perampok itu memang susah ditemukan, Kanjeng," sahut Panglima, bergegas.
"Bukan. Maksudku, tokoh persilatan yang akan membantu kita," ralat sang Adipati.
Panglima Adi Kencono tersenyum getir. Salah tangkap rupanya dia. Namun mendadak ingatannya tertuju pada Kerajaan Demak. Sebuah kerajaan besar di tanah Jawa bagian tengah. Konon, kerajaan itu menyimpan banyak tokoh persilatan yang memiliki kedigdayaan tinggi. Dan dia juga ingat kalau Adipati Ngawi ini masih mempunyai hubungan darah dengan Keraton Demak.
"Para tokoh digdaya, setahu hamba banyak ditemui di sebuah kerajaan tempat leluhur Kanjeng sendiri," jawab Panglima Adi Kencono, tersenyum cerah.
"Maksudmu, Kerajaan Demak?" Kening Adipati Suro Brajan berkerut.
"Betul, Kanjeng."
"Tunggu..., tunggu.... Aku baru ingat. Kakang Mahapatih Bagaspati di Demak pernah bercerita kepadaku kalau di daerahnya ada seorang pendekar muda digdaya. Masih muda, tapi kesaktiannya tak terkira. Malah, konon pendekar muda itu berhasil menaklukkan biang perampok yang waktu itu merajalela di Demak. Perampok itu bernama Dirgasura. Cuma, aku tak ingat siapa nama pendekar muda itu," Sebersit sinar cerah mulai merasuki hati Adipati Ngawi.
Seolah, baru saja menemukan setitik air di gurun tandus.
"Mungkin yang Kanjeng maksudkan Satria Gendeng?" sodor sang Panglima.
"Satria Gendeng" Ah, masa bodoh dengan namanya! Yang penting, usahakan agar pendekar muda itu mau membantu kita dalam menghadapi para perampok liar itu!" terabas Adipati Ngawi, semangat sekali.
"Pendekar muda itu memang digdaya, Kanjeng. Hamba mendengar kiprahnya ketika pendekar muda itu membantu Adipati Lumajang dalam menghadapi Tujuh Malaikat Kematian di Kuil Neraka beberapa purnama yang lalu," lanjut Panglima Adi Kencono. (Tentang Tujuh Dewa Kematian, baca episode: "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Ya, sudah. Sekarang kau kutugaskan untuk mengundang Satria...."
"Satria Gendeng. Kanjeng."

* * *



"Ya, ampun.... bagaimana aku bisa mencari Satria Gendeng" Kudengar pendekar muda itu jarang ada di tempatnya.... Ah, bodohnya aku. Saking semangatnya, sampai terlupa kalau aku tak tahu di mana tempat tinggal pendekar muda itu," keluh Panglima Adi Kencono, ketika meninggalkan keraton Kadipaten Ngawi.
Kuda putihnya berjalan perlahan-lahan membawanya menuju bagian belakang keraton, tempat di mana para prajurit yang tak bertugas berkumpul. Beberapa prajurit yang bertugas saat ini membungkukkan badan saat berpapasan dengannya. Tiba di belakang keraton, Panglima Adi Kencono menghentikan langkah kudanya. Begitu turun dari kudanya, seorang punggawa menghampiri. Sikapnya gagah penuh hormat.
"Selamat siang, Panglima. Apakah ada tugas penting yang akan kami lakukan?" sapa si punggawa.
"Bagaimana dengan tugas kalian melenyapkan para perampok di Hutan Wonocolo" Apakah sudah ada perkembangan yang menggembirakan?" Panglima Adi Kencono malah men-gajukan pertanyaan.
"Ampun, Panglima. Justru sebaliknya. Malah hamba dengar, seorang pedagang besar dari kadipaten kita telah menjadi korban keganasan mereka. Hamba nyaris patah semangat menghadapi mereka, Panglima. Jadi, hamba mohon petunjuk lebih lanjut," lapor si punggawa, hati-hati.
Sang Panglima menarik napas sesak. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah sudah kehilangan akal menghadapi keganasan para perampok.
Harapan satu-satunya memang meminta bantuan para tokoh persilatan dari Kerajaan Demak. Bukan. Bukannya di Kadipaten Ngawi ini tak ada tokoh persilatan. Bukannya pula sang Panglima belum meminta bantuan mereka.
Sudah beberapa kali Panglima Adi Kencono meminta bantuan beberapa tokoh persilatan dari Kadipaten Ngawi, dan Kadipaten tetangga. Tapi hasilnya sia-sia saja. Bahkan, telah banyak tokoh persilatan yang pulang hanya nama saja. Artinya, kekuatan para perampok memang tak bisa dianggap remeh.
"Kalau begitu, besok kau kumpulkan beberapa prajurit di halaman keraton. Aku akan memberi beberapa petunjuk dan tugas untuk kalian," sabda sang Panglima.
"Hamba menjunjung tugas, Panglima," sahut si punggawa.
"Bagus. Nah, sekarang beristirahatlah."


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

BARU saja Warok Singo Lodra hendak berangkat menuju Trenggalek, Warok Darmo Singo tiba di depan rumahnya. Sigap, adik kandung Warok Singo Lodra itu melompat dari punggung kuda kekarnya. Lalu, dituntunnya kuda tunggangannya itu ke halaman.
"Kakang,..!" panggil Warok Darmo Singo begitu melihat kakak kandungnya berdiri di depan pintu. Seekor kuda juga telah siap menunggu yang akan membawanya ke Kadipaten Trenggalek. Setelah menyerahkan kuda pada salah seorang pelayan, Warok Darmo Singo menghampiri Warok Singo. Langkah berdebamnya menyiratkan kalau ada sesuatu yang hendak disampaikannya segera. Alis tebal Warok Singo Lodra bertautan.
Kening tuanya berkerut dalam. Mata bulatnya menyorot tajam ke arah adik kandungnya. Ada apa lagi ini" Tanya hatinya.
"Kakang mau ke mana?" susul Warok Darmo Singo, begitu tiba satu tombak di hadapan kakaknya.
"Aku mau ke Trenggalek! Warok Jogoboyo telah mencoreng mukaku!" jawab Warok Singo Lodra tegas.
"Akhirnya Kakang mempercayai katakataku."
"Kenyataannya memang begitu, Adi. Melihat keadaan Nawangsih, aku memang harus mempercayai kata-katamu. Untuk itu, aku harus menyelesaikan urusan dengan adik seperguruanku!" Warok Darmo Singo tersenyum. Sulit ditafsirkan, apa arti senyumnya itu.
"Kau tak mengajakku masuk, Kakang?" usiknya.
"Maaf, Adi. Aku terburu-buru, Aku harus tiba di sana secepatnya! Aku tak ingin masalah ini berlarut-larut. Kalau kau mau masuk, masuklah!" Warok Singo Lodra hendak melangkah. Tapi, Warok Darmo Singo malah memegangi kedua ba-hunya.
"Sabar, Kakang. Masalah ini hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin. Hatimu boleh panas, tapi tetaplah berpikiran dingin," bujuk Warok Darmo Singo.
"Apa maksudmu menahan langkahku, Adi?" tanya Warok Singo Lodra tak senang.
Segaris senyum kembali terukir di bibir Warok Darmo Singo. Halus sekali, tangannya berusaha membalikkan arah tubuh kakaknya. Seolah dia ingin meredam kemarahan kakaknya yang siap meledak dalam dada.
"Mari, Kakang. Kita masuk dulu. Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu," ajak si adik.
Menurut, Warok Singo Lodra berbalik. Ketika adik kandungnya mengajak melangkah, dia juga menurut. Seolah hatinya telah tersihir oleh kelembutan adiknya. Di samping itu hatinya juga penasaran dengan apa yang akan dikatakan Warok Darmo Singo.
Di ruang tengah, mereka duduk berseberangan. Sebuah meja bulat menjadi pembatasnya.
Di atasnya, terhadap beberapa suguhan buahbuahan.
"Apa yang hendak kau katakana Adi" Cepat, aku sudah tak sabar lagi. Dan, jangan berbelit-belit!" terabas Warok Singo Lodra, penasaran "Begini, Kakang. Sebagai warok sejati, mestinya Kakang bertindak ksatria. Jangan terbawa nafsu hanya untuk menyelesaikan suatu urusan.
Nafsu boleh-boleh saja, tapi jangan berlebihan.
Kalau berlebihan, itu artinya kelemahan. Dan, kelemahan pangkal kekalahan" katakata bijak meluncur begitu, saja dari bibir tebal Warok Darmo Singo.
"Sudah kubilang jangan berbelit-belit, Adi! Jelaskan saja, apa maksudmu! Aku pusing dengan kata-katamu!" desak Warok Singo Lodra. Keras suaranya membuat Nyai Gembili istrinya keluar dari kamar.
"Sabar..., Kang. Maksudnya begini. Kakang boleh-boleh saja menyelesaikan urusan dengan Warok Jogoboyo. Tapi jangan menggunakan caracara liar,"
"Cara liar bagaimana?"
"Menyatroni rumahnya, sama saja menggunakan cara liar. Bukankah jiwa warok menentang cara-cara seperti itu" Warok biasanya bertarung di tempat sepi dan terpencil bila hendak menyelesaikan urusan di antara mereka. tak ingin ditonton atau melibatkan orang lain. Itulah jiwa sejati yang dianut kaum warok," papar Warok Darmo Singo, panjang lebar. Warok Singo Lodra terdiam. Tersihir oleh kata-kata adik kandungnya. Tak dapat dipungkiri kalau kata-kata itu memang telah menyadarkan dari sebuah aib. Karena, melanggar hokum warok sama saja mencoreng mukanya sendiri dengan kotoran kerbau.
"Lantas, apa yang harus kulakukan Adi?" tanya Warok Singo Lodra, seolah menyerah oleh jalan pikirannya yang buntu.
"Buat surat tantangan untuk Warok Jogoboyo. Tangan dia di Bukit Munthang, tempat para warok biasa menyelesaikan urusan. Bukankah begitu hukum yang berlaku di kalangan para warok?" jelas Warok Darmo Singo, semangat.
"Hmmm.... Edan..., edan. Tak kusangka, otakmu begitu bening Adi. Sungguh aku kagum denganmu," puji Warok Singa Lodra.
"Jangan dengar kata-katanya, Kakang!" Kedua lelaki bertampang kasar itu tersentak. Sebuah suara bernada tak setuju langsung menyita perhatian mereka.
"Nyai Gembili..." Apa maksudmu?"

* * *



Ingin rasanya Warok Jogoboyo menyatroni rumah Warok Singo Lodra sekarang juga. Tapi untuk itu, dia belum cukup bukti untuk menuduh bahwa Warok Singo Lodra-lah orang di balik kematian putrinya. Sebab, kata-kata yang keluar dari perampok tak bisa dipercaya begitu saja. Bi-sa saja para perampok yang membunuh putrinya hanya sekadar memfitnah, dengan melempar tuduhan pada orang lain.
Warok Jogoboyo tak ingin bertindak gegabah. Ingin diselidikinya dahulu, siapa orang di balik semua ini. Sebab biar bagaimanapun, bertindak ceroboh sama saja menciptakan sebuah penyesalan amat dalam yang sukar diobati. Kendati, untuk itu dia harus menahan kemarahan menggelegak atas kematian putri kesayangannya dan tiga orang penjaga rumahnya.
Untuk langkah pertama, Warok Jogoboyo sudah langsung mengirim utusan ke Kadipaten Ngawi. Sekaligus, mengabarkan tentang kematian Ratna Kumala, anaknya.
Tetapi sesungguhnya, jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini. Dia ingin segera melampiaskannya, tapi pada siapa. Setan mana yang mau dijadikan pelampiasannya" KepadaWarok Singo Lodra" Nanti dulu. Dia merasa belum punya bukti untuk itu. Atau setidaknya, buktinya belum kuat.
Duka. Kecewa. Geram. Sedih. Semua kata-kata itu berkumpul jadi satu, membentuk guncangan batin yang amat kuat.
Nyaris menggoyahkan hati jantannya. Untung saja dia masih punya kata wasiat; bijaksana.
Di sisi lain, Warok Jogoboyo agak menyesalkan sikap penduduk di daerahnya yang seolah tak mau peduli pada lingkungan. Waktu malam kejadian, kenapa tak seorang penduduk pun yang menampakkan diri. Lelaki tambun ini tak mengerti, apakah para tetangganya telah tuli" Sebab waktu itu teriakannya cukup keras. Rasanya mustahil kalau para penduduk tak men-dengar teriakannya. Satu-satunya dugaan adalah, para tetangganya merasa takut. Ini yang cukup beralasan. Sebab anggapan mereka, orang yang berani menyatroni rumah Warok Jogoboyo hanyalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau mereka ikut campur, jangan-jangan nyawa mereka sendiri yang melayang.
Pagi tadi, Warok Jogoboyo telah menguburkan anaknya yang tercinta, juga mayat ketiga penjaga rumahnya. Banyak juga penduduk yang mengantarkan sampai ke pemakaman sekalian menyatakan turut berduka cita. Dan lelaki tambun ini hanya tersenyum getir ketika para penduduk menyatakan berbagai macam alasan mengapa mereka tak muncul waktu malam kejadian.
Di beranda rumahnya, Warok Jogoboyo duduk di damping! istrinya. Masing-masing telah larut dalam kedukaan. Mestikah aku berseteru dengan kakak seperguruanku sendiri" Tanya hati kecilnya. Apa jadinya kalau Kakang Warok Singo Lodra ternyata memang berada di balik peristiwa ini" Justru memang itu yang paling ditakutkan Warok Jogoboyo. Bagaimana bila kakak seperguruannya nyata-nyata berada di balik peristiwa itu" Artinya, mau tak mau, suka tak suka, dia harus berhadapan dengan Warok Singo Lodra!

* * *



Hutan Wonocolo Tempat di mana puluhan ribu batang pohon jati berjejer, membangun sebuah gerombolan hijau bila dilihat dari angkasa raya. Juga tempat di mana para perampok yang dipimpin Tentara Langit bersarang.
Tempat yang dikenal amat angker itu sama sekali tak membuat seorang pemuda tampan menyurutkan langkahnya. Pakaiannya rompi putih dari kulit binatang. Rahangnya bergaris jantan.
Rambut panjangnya yang melebihi bahu berwarna kemerahan. Mata sembilunya mencorong ke depan, berusaha menembus keremangan karena cahaya matahari nyaris tak pernah sampai ke muka bumi. Celananya pangsi sebatas lutut berwarna hitam. di balik kain ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat kecil. Di ujungnya terdapat hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain berbentuk ekor naga berwarna emas.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Satria" Seorang pendekar muda digdaya yang belum lama meramaikan gonjang-ganjing dunia persilatan"
"Apa masih jauh ya, letak Kadipaten Ngawi?" tanya si pemuda pada diri sendiri.
"Ah, Tresnawati... Tresnawati. Sudah lama kita tak bertemu. Sekali ingin bertemu, aku kau suruh menjemputmu di Kadipaten Ngawi. Inilah susahnya kalau orang punya kekasih. Kalau tak dipenuhi keinginannya, dibilang tak cinta. Kalau dipenuhi, malah menyiksa diri. Cinta... cinta," suara si pemuda terdengar menggerundeng sendirian. Dan gerutuan Satria mendadak berhenti.
Perhatiannya tersita kea rah gerumbulan semak-semak di samping kiri kanan di depannya. Nalurinya mengatakan kalau ada sesuatu yang tak beres di sekitarnya. Untuk itu, kewaspadaannya makin ditingkatkan ketika sudah cukup lumayan jauh memasuki Hutan Wonocolo.
Benar saja. Dalam beberapa tarikan napas kemudian, dari samping kiri dan kanan berlompatan beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam dari balik-balik semak dan pepohonan. Rata-rata mereka bertubuh tinggi besar dan berwajah kasar. Tidak. Satria tak kaget barang sedikitpun.
Karena dia memang telah menduganya. Malah kakinya terus melangkah, seolah tak mempedulikan orang-orang yang berdiri di depannya dalam keadaan siap siaga.
"Permisi... Numpang lewat," Satria membungkukkan badannya. Tangan kanannya menjulur ke bawah. Hendak dibelahnya barisan lelaki berpakaian serba hitam yang menghadang langkahnya.
"Tahan langkahmu, Bocah!" bentak lelaki yang berada paling tengah. Di sebelah kirinya dua lelaki lain telah menghunus golok. Sedang dua di sebelah kanannya telah menghunus clurit.
Mau tak mau, Satria Gendeng menghentikan langkahnya. Karena tak ada tanda-tanda kalau kelima lelaki ini mau memberinya jalan. Yang hanya dilakukan adalah garukgaruk kepala yang tak gatal.
"Ada yang salah dengan langkahku, Paman?" tanya Satria polos. Meski sudah menangkap gelagat tak baik, tapi sikapnya masih terlihat tenang saja.
"Serahkan hartamu. Atau, nyawamu melayang ke neraka!" bentak lelaki di tengah. Berdebam, dia melangkah dua tindak ke depan.
"O, jadi kalian perampok" Bilang dong dari tadi. Bukankah kalian bisa memperkenalkan diri dengan mengatakan, maaf, kami perampok. Kami hendak meminta hartamu. Begitu...," oceh Satria.
"Apakah kalau aku meminta secara baikbaik kau akan memberi?" tanya salah satu lelaki yang berada di sebelah kanan.
"Kalau itu nanti dulu. Aku kan cuma menyuruh kalian meminta baik-baik. Soal memberi, he he he...." Satria cengengesan. Jelek sekali, membuat para perampok geram bukan main.
"Bangsat! Kau mau mempermainkan kami, Bocah"! Apa kau tak tahu, siapa kami"!" bentak lelaki yang berada di kanan tadi.
"Mempermainkan" Apa kalian bisa diajak main-main" Kalian maunya main apa" Umpetumpetan" Galah asin" Atau...."
"Diam!"
"Oh, main diam-diaman" Baik. Aku juga bisa. Ka...."
"Kubilang tutup mulutmu!" Kata-kata Satria Gendeng terpangkas oleh bentakan lelaki yang berada paling tengah. Mulutnya langsung mengatup. Bentakan tadi memang cukup berisi tenaga dalam. Tapi sama sekali tak membuat Satria goyah.
"Kau tak tahu, siapa kami, heh"!" lanjut lelaki tadi. Satria diam. Mulutnya mengatup.
"Ayo jawab pertanyaanku"!" bentak lelaki di tengah lagi.
Satria tetap diam....
"Setan! Apa kau tak punya mulut, heh"!" Terpaksa Satria membuka mulutnya.
"Kalian ini bagaimana, sih" Tadi aku disuruh tutup mulut. Sekarang disuruh menjawab pertanyaan. Maunya kalian apa"!"
"Bocah ini sedang mengerjai kita, Kakang Lingga! Kita ringkus saja!" kata lelaki yang berada paling kiri.
"Benar! Ringkus saja, Kang! Kita kuras hartanya. Siapa tahu dia membawa uang banyak," sambung yang lain.
Dikompori begitu lelaki bernama Lingga makin bernafsu saja. Malah nafsunya melebihi bila matanya melihat perempuan cantik. Apa yang ada di benaknya hanyalah uang kepeng atau uang emas. Siapa tahu pemuda di depan mereka seorang hartawan.
"Bocah! Kau saat ini sedang berhadapan dengan anak buah Tentara Langit yang menguasai Hutan Wonocolo. Maka suka atau tidak, kami akan melenyapkanmu. Sudah menjadi hukum kami bahwa orang yang lewat tempat ini harus mampus!" desis Lingga.
"Kalau aku punya harta?" pancing Satria.
"Kau tetap harus mampus!"
"Kalau aku melawan?"
"Kau juga harus mampus!"
"Kalau aku mampus?"
"Kau tetap harus melaw..., eh"! Setan! Kau mau mengerjaiku lagi, Cah! Bangsat! Terima kematianmu! Heaaatt...!" Di ujung kalimatnya, lelaki bernama Lingga langsung menggebrak dengan sebuah hantaman kepalan tangan. Keras, berisi tenaga dalam lumayan. Menerabas udara, menciptakan angin menderu. Di mata Satria, justru gerakan itu amat lambat. Sehingga dia belum bertindak ketika joto-san itu sedikit lagi hinggap di wajah segarnya. Ba-ru ketika satu jari lagi pukulan mendarat, enak sekali tubuhnya bergeser ke kanan.
Serangan luput. Lawan terkejut. Sungguh tak disangka kalau si pemuda yang kelihatan bau kencur mampu menghindari pukulan yang menurut perkiraan si pemiliknya adalah paling dahsyat yang pernah dimilikinya.
Serangan berlanjut. Lingga yang sudah maju selangkah menyodorkan sikut. Hendak dihajarnya dada si pemuda bau kencur dengan sikut kasarnya. Bed! "Hih!" Pak! Lagi-lagi serangan kandas. Satria memapak sikut lawan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan menyampok dari bawah. Arahnya ulu hati lawan.
Bekh! "Hekh!" Serangan balik Satria membuat lawan cengar-cengir serba salah. Ulu hatinya yang jadi sasaran terasa nyeri bukan main.
Napasnya seolah berhenti mendadak. Sementara matanya melotot tak percaya. Saking kalapnya, lelaki ini melengos ke arah kawan-kawannya.
"Kenapa kalian diam saja, Tolol"! Habisi bocah sialan ini!" bentaknya.
Bergegas, empat lelaki lain langsung berlompatan menyerang Satria. Dan pertarungan pun kembali tergelar. Sarat dengan kekejian yang siap berkobar.


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

APA maksudmu berkata begitu, Nyai" Yang dikatakan Adi Darmo Singo benar. Persoalan ini harus diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku di kalangan Warok!" tegas Warok Singo Lodra, ketika Nyai Gembili istrinya telah berada di depannya.
"Tidak, Kakang. Kalau Kakang mau menyalahkan, salahkanlah Adipati Ngawi. Bukan Warok Jogoboyo. Dia hanyalah rakyat biasa yang tak menolak titah sang Adipati. Aku yakin, Warok Jogoboyo pun sudah tahu kalau anak kita hendak menikah dengan Senoaji. Tapi kalau sang Adipati punya keputusan lain?" sergah Nyai Gembili.
"Tapi kalau Warok Jogoboyo sengaja menanam budi dengan maksud agar sang Adipati membatalkan pertunangan antara Nawangsih dengan Senoaji?" sela Warok Darmo Singo.
"Betul, Nyai. Dan lagi, mestinya Warok Jogoboyo lebih menghargai aku daripada adipati sialan itu," sambung Warok Singo Lodra.
"Aku berharap, supaya kau tak menyesal nanti. Kau telah salah tuduh, Kakang. Aku yakin, ada seseorang yang hendak mengadu domba antara kau dengan Warok Jogoboyo. Untuk itu, berpikirlah lebih jernih. Tahan amarahmu," bujuk Nyai Gembili.
"Tidak. Nyai!" suara Warok Singo Lodra makin keras.
"Kalau kau tak setuju, kau boleh meninggalkan rumah ini!"
"Kakang" Kau hendak mengusirku?"
"Terserah apa anggapanmu!"
"Tapi aku hanya, mencoba mengingatkanmu, agar kau tak menyesal di kemudian hari. Dan kalau Kakang memang hendak mengusirku, baik! Aku pergi sekarang juga!" Nyai Gembili langsung berbalik. Lalu menghambur memasuki kamarnya disertai ledakan tangis memilukan.
Warok Singo Lodra menghembuskan napas sesak. Kegeramannya memang sudah memuncak.
Amarahnya menggelegak. Tak ada seorang pun yang dapat membendung niatnya untuk menantang Warok Jogoboyo. Tak pula istrinya.

* * *



Walaupun lima lawan merangsaknya habis-habisan, tapi Satria Gendeng masih terlihat tenang-tenang saja. Tebasan-tebasan golok maupun clurit yang dibuat para lawannya, di matanya bagaikan tebasan yang bergerak amat lambat. Si pemuda hanya berlompatan ke sana kemari untuk menghindarinya.
Wukh! Wukh! Dua tebasan kini hendak disarangkan dua orang lawan di dua tempat yang mematikan tubuh Satria. Satu di bagian leher, satu lagi di bagian lambung. Angin sambarannya memangkas udara. Seiring dengan itu, terdengar pula suara menderu tajam. Agaknya, kedua serangan itu dikawal dengan tenaga dalam tinggi.
"Mampus kau, Tikus Busuk!" geram salah seorang lawan.
"Hih!" Satria menarik lehernya ke belakang menghindari tebasan yang hendak mengancamnya. Sementara serangan yang mengancam lambungnya dipapak dengan patukan telapak tangan kirinya yang membentuk kepala ular. Bergerak amat cepat, sehingga sebelum tebasan sampai di lambungnya, patukan tangan Satria telah mendarat. Tak! "Adauuuww!" Golok terlepas. Pemiliknya malah menjerit kesakitan. Mantap sekali patukan tangan si pemuda bau kencur menyengat pergelangan tangannya yang memegang golok tadi. Sendinya seketika terlepas, tak dapat digerakkan lagi.
Sebelum lawan yang hendak menebas lehernya tadi membuat serangan kembali, si anak muda cepat membuat putaran tubuh. Dibuatnya satu tendangan melingkar. Begitu cepat dan tak terduga. Dan.... Bukk! Lawan terjungkal. Tendangan kaki kiri Satria telak bersarang di iganya. Tubuhnya meluncur sampai sepuluh tombak, saking kerasnya tendangan tadi. Bahkan setelah itu, tak ada gerakan lagi ketika tubuhnya mencium tanah. Melihat kedua kawan mereka begitu mudah dijatuhkan, ketiga lelaki berpakaian serba hitam lainnya jadi ciut nyalinya.
Tapi bukan berarti mereka menyerah begitu saja. Karena, mungkin saja kedua tangan mereka terlalu ceroboh.
"Hiaaahh!" Sebuah gebrakan baru dibuat lelaki bernama Lingga. Senjatanya yang juga berupa clurit telah terhunus dan terangkat di atas kepala keti-ka tubuhnya meluruk.
Wukh! Wukh! Udara seolah terbelah oleh putaran cluritnya. Setiap putarannya seolah hendak menggetarkan nyali si pemuda. Sarat ancaman kematian mengiriskan. Tidak. Sedikit pun Satria tak pernah gentar menghadapi serangan biar seganas apa pun. Tak ada dalam kamus hidupnya untuk kata gentar.
Ketangguhan si pemuda telah teruji ketika mengarungi Lautan Hindia dengan berenang seorang diri di Pulau Dedemit. (Baca petualangannya di episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa").
Satria Gendeng yang sejak tadi mengerahkan jurus 'Patukan Bunga Karang' kembali bersiap. Mata sembilunya berusaha menangkap arah yang dituju mata clurit.
Wukh! Sambaran clurit ternyata mengarah ke ubun-ubunnya. Deras dan ganas. Hanya kematian seolah hendak ditebarkan lewat sambarannya. Udara pun terpangkas ke bawah.
Satria tak memandang rendah. Jelas kali ini sambaran clurit lawan yang kelihatannya memiliki kepandaian paling tinggi itu tak bisa dianggap remeh.
"Kheaaa...!" Satu jari lagi mata clurit menghujam ubunubun, Satria menggulingkan tubuhnya ke depan.
Bersamaan dengan itu, sebuah teriakan menyentak dibuatnya. Amat keras. Lalu tiba-tiba kedua kakinya menjulur ke depan, mengarah ke bagian selangkangan lawan.
Bukk! Lawan mendelik. Cluritnya terjatuh begitu saja dari tangannya. Perlahan-lahan, tangannya meraba bagian kantong menyannya. Perlahan tapi pasti, tubuhnya melorot laksana kolor lecek.
Tepat ketika Satria Gendeng bangkit kembali hendak bersiap menghadapi dua lawan yang tersisa, justru kedua lawannya malah ambruk dengan mata melorot. Di punggung mereka tahutahu tertembus anak panah.
Sebelum Satria menyadari apa yang terjadi, dari balik pepohonan bermunculan orang-orang gagah berpakaian prajurit. Busur-busur panah tampak masih tergenggam di tangan. Di antara mereka, terdapat seorang berpakaian panglima tanpa memegang busur panah "Terima kasih, Paman Panglima. Tapi terus terang, aku masih sanggup melumpuhkan mereka tanpa harus menghilangkan nyawa mereka," ucap Satria kepada lelaki gagah yang berpakaian panglima.
"Mereka perampok ganas, Anak Muda. Mereka dikenal sebagai anak buah Tentara Langit yang menguasai Hutan Wonocolo ini. Sayang, salah seorang dari mereka keburu kabur ketika kami datang tadi. Sementara saat itu kau masih bertarung dengan lawan terakhir yang kau robohkan," kata si panglima.
Satria menoleh ke belakang. Kenyataannya, lawan yang pergelangan tangannya patah tadi sudah lenyap entah ke mana. Dan si pemuda memang tak begitu memperhatikan ketika para prajurit yang dipimpin seorang panglima tadi datang.
Tahu-tahu ketika dia berdiri, para prajurit yang memegang panah telah berhasil melumpuhkan dua lelaki berpakaian serba hitam yang memegang clurit tadi.
"Siapa namamu, Anak Muda" Dan ke mana tujuanmu?" tanya si panglima.
"Aku Satria. Tujuanku ke Kadipaten Ngawi," jawab Satria, terus terang.
"Apakah..., tunggu..., tunggu. Biar kutebak. Melihat ciri-cirimu, aku jadi teringat seorang pendekar muda yang baru-baru ini meramaikan gonjang-ganjing dunia persilatan. Apakah kau yang dikenal sebagai Satria Gendeng?" Sebaris senyum siap dilepas sang Panglima.
"Mungkin kabar lebih indah dari berita.
Apa yang dikatakan orang, kadang tak terlalu sesuai dengan kenyataannya. Tapi kalau kau bilang bahwa aku Satria Gendeng, memang begitu kenyataannya," sahut si pemuda. Sebenarnya ada ketidaksukaan jika julukannya disebut-sebut. Ta-pi karena mungkin maksud si panglima hanya sekadar untuk meyakinkan diri.
"Ah, tak dinyana. Selagi aku kebingungan mencari-cari, ternyata yang dicari ada di depan mata. Benar dugaanku. Kau pasti Satria Gendeng yang tengah kami cari-cari!" Tanpa ragu-ragu lagi.
si panglima memeluk tubuh si anak muda perkasa. Sudah dipeluk, diangkatnya tubuh Satria dan diguncang-guncangkannya. Tinggal Satria yang meringis-ringis tak mengerti.
Heran" Kesurupan setan gundul mana panglima ini" Begitu yang melintas di benak si anak muda perkasa.

* * *



Bukan main terperanjatnya ketika Warok Jogoboyo membaca secarik lontar berisi tantangan. Yang paling membuatnya terkejut, surat tantangan itu berasal dari Warok Singo Lodra. Asli! Lewat salah seorang utusannya, Warok Singo Lodra mengirimkan surat tantangan setelah Warok Darmo Singo berhasil membujuknya. Dua hari kemudian, surat itu telah sampai di tangan Warok Jogoboyo. Melihat ciri tulisan serta tanda tangan yang tertera, Warok Jogoboyo yakin kalau surat itu memang berasal dari kakak seperguruannya.
"Hmmm.... Kini terbukti sudah. Warok Singo Lodra memang sengaja menantangku. Dan ternyata dialah orang di balik semua peristiwa selama ini. Baik! Kupenuhi tantangannya! Sekalian untuk menuntaskan semua persoalan yang membuatku nyaris gila!" desis Warok Jogoboyo.
Kembali mata Warok Jogoboyo menempel lekat-lekat di lembaran lontar berisi surat tantangan.
"Dia tak menyebutkan, apa alasannya menantang ku. Sama sekali tak disinggung peristiwa yang terjadi selama ini. Dia mengambil tempat di Bukit Munthang, tempat yang biasa digunakan para warok untuk menuntaskan persoalan," gumam Warok Jogoboyo. Perlahan sekali suaranya. Nyaris tak terdengar.
Masih dibalut kegeraman, Warok Jogoboyo meremas daun lontar dalam genggamannya.
"Purnama nanti aku harus sudah ada di puncak Bukit Munthang. Dan katanya, dia sudah menunggu di sana," gumamnya lagi.
Lalu tubuhnya berbalik. Lebar-lebar, kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan napas memburu. Matanya berubah menjadi liar. Ketika matanya tertuju pada sebuah cambuk di dinding rumahnya, napasnya menghembus kencang. Seolah, dia merasa berat untuk menurunkan Cambuk Buntut Kala, yang selama ini menjadi senjata andalannya. Karena yang dihadapi adalah kakak seperguruannya. Ini yang memberatkannya.

* * *



"Selamat datang di Kadipaten Ngawi, Pendekar Muda," sambut Adipati Suro Brajan ketika Satria Gendeng dibawa ke dalam pendopo keraton. Di samping Satria, duduk seorang lelaki gagah berpangkat panglima. Dialah Panglima Adi Kencono yang membawa Satria ke Kadipaten Ngawi, setelah mereka bertemu di Hutan Wonocolo kemarin.
"Terima kasih, Kanjeng Adipati. Sebenarnya, aku agak kaget juga ketika mendengar penuturan Panglima Adi Kencono bahwa Kanjeng Adipati membutuhkan tenagaku. Maklumlah. Aku hanyalah pemuda kemarin sore yang tak berkemampuan apa-apa," ucap Satria, merendah.
"Jangan merendah, Pendekar Muda. Kami telah mendengar cerita tentangmu tadi. Juga ceri-ta tentang sepak terjangmu selama ini," ujar Adipati Ngawi.
"Maaf, Kanjeng. Tolong panggil aku Satria," ralat si pendekar muda.
"Baik, Satria. Kau berhasil melumpuhkan beberapa anak buah Tentara Langit, itu suatu bukti bahwa kemampuanmu memang dibutuhkan di kadipaten ini. Untuk itu, atas nama rakyat kadipaten, aku mengharapkan kesediaanmu ikut menumpas gerombolan perampok yang dipimpin Tentara Langit. Di samping itu, ada juga gerombolan perampok yang dipimpin Warok Singo Lodra. Sebenarnya, gerombolan ini yang paling berbahaya. Sebab, dipimpin oleh jawara tak tertandingi dari Kadipaten Ponorogo. Aku sendiri tak tahu, kenapa Warok Singo Lodra jadi berubah haluan seperti itu," papar Adipati Suro Brajan.
"Maksud Kanjeng?" tanya Satria.
"Dia dikenal sebagai jawara beraliran putih.
Tapi entah kenapa berubah menjadi seorang pemimpin perampok."
"Sudah ada buktinya kalau Warok Singo Lodra menjadi pemimpin perampok?"
"Sudah. Dari penuturan salah seorang anak buahnya sebelum tewas di tangan Warok Jogoboyo dari Kadipaten Trenggalek."
"Itu belum bisa menjadi pegangan, Kanjeng," sergah Satria, terus terang.
"Maksudmu?"
"Apakah Kanjeng akan percaya begitu saja kata-kata yang keluar dari mulut seorang perampok." Sang Adipati terdiam. Semua terdiam.
Apakah tindakanku selama ini salah" Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di benak Adipati Suro Brajan.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

BUKIT Munthang. Langit cerah. Bulan merekah. Tapi, alam mulai resah.
Dua manusia bertubuh besar berpakaian serba hitam berdiri saling berhadapan. Wajah keduanya sama-sama dihiasi brewok lebat. Mata merah mereka saling bertatapan. Perlahan namun pasti, masing-masing mulai menggeser langkah secara melingkar, memutari ajang pertarungan yang siap digelar. Siapakah mereka" Lelaki yang bertubuh lebih tambun adalah Warok Jogoboyo. Seorang jawara tak tertandingi dari Kadipaten Trenggalek. Wajahnya yang berjenggot panjang tampak tegang. Matanya nyaris tak berkedip mengikuti setiap gerak langkah lela-ki besar di depannya.
Di depan Warok Jogoboyo sudah pasti Warok Singo Lodra. Lelaki tinggi besar inilah yang menantang Warok Jogoboyo untuk bertarung di Bukit Munthang. Sebuah bukit yang biasa digunakan kaum warok untuk menyelesaikan masalah di antara mereka, secara jantan.
"Mengapa persaudaraan kita berakhir secara demikian, Kakang?" Suara menggelegar Warok Jogoboyo terdengar. Ada nada penyesalan dalam suaranya.
"Jangan lagi kau memanggilku Kakang! Tak ada lagi persaudaraan di antara kita! Garagara ulah mu, anakku gila, tahu"!" jawab Warok Singo Lodra, tak kalah menggelegar.
"Kenapa aku yang kau salahkan?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau sengaja menanam budi pada adipati Ngawi, agar anakmu dinikah dengan putranya. Padahal kau tahu, Nawangsih telah dilamar Senoaji. Bahkan adipati sendiri telah berkirim surat padaku!"
"Itu sudah keputusan Kanjeng Adipati Ngawi. Hal itu terjadi, karena kau telah membuat persoalan dengannya. Asal kau tahu, Warok Singo Lodra! Anakku Ratna Kumala pun tewas di tangan anak buahmu!" tunjuk Warok Jogoboyo, gusar bukan main.
Warok Singo Lodra nyaris terlonjak. Kaget juga hatinya mendengar berita yang tak disangkasangka. Bukan saja kematian Ratna Kumala yang membuatnya kaget, tapi tuduhan kalau dia sebagai dalang pembunuhan itu yang membuatnya tersentak. Kedua biji matanya nyaris keluar, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Dua kali kau membuatku murka, Warok Jogoboyo. Pertama kau membuatku malu dengan mengacaukan rencanaku menikahi Nawangsih.
Kedua, kau memfitnahku. Apa persoalanku dengan adipati sialan itu"! Lalu, kapan aku menyuruh anak buahku membunuh putrimu" Tuduhanmu tak beralasan, Warok Jogoboyo!" sergah Warok Singo Lodra.
"Kau telah merampok Kanjeng Adipati Ngawi beberapa waktu yang lalu. Dan empat hari yang lalu, kau telah menyuruh anak buahmu membunuh putriku, karena kau marah lantaran Nawangsih tak jadi menikah dengan Senoaji," papar Warok Jogoboyo.
"Setan! Kau memfitnahku, Kunyuk!" Bentakan menggelegar Warok Singo Lodra membelah keheningan malam. Saking marahnya, tenaga dalamnya pun tersalur dalam bentakan tadi. Untungnya Warok Jogoboyo telah siaga pula dengan menyalurkan tenaga dalam pada kedua kupingnya. Wajah Warok Singo Lodra mengelam. Uraturat matanya memerah. Lehernya mengembung, siap meledakkan amarah membuncah.
"Persoalan harus segera dituntaskan, Warok Jogoboyo. Aku tak peduli lagi kalau kita bekas satu seperguruan. Kini, terimalah kematianmu.
Keaaa...!" Sebuah terjangan ganas dibuat Warok Singo Lodra. Begitu tubuhnya berada di udara, kedua kepalan tangannya yang besar membuat beberapa gerakan di depan dada.
"Kheaaa...!" Tak mau kalah, Warok Jogoboyo menyentak kedua kakinya. Tubuhnya juga mencelat. Karena sama-sama dari satu perguruan, maka jurus yang dibuatnya pun sama dengan lawan. Kedua tangannya juga membuat beberapa gerakan di depan dada. Di udara, pukulan keduanya saling bertemu. Plak! Plak! Sejauh tiga tombak, masing-masing terpental ke belakang. Amat deras. Lalu mantap sekali mereka sampai di bumi. Kini, keduanya saling menatap tajam. Siap membuka jurus baru.
Pertarungan hidup mati siap berlanjut.
Siapakah yang bakal menemui ajal" Padahal yang dipersoalkan bisa diselesaikan secara baik-baik. Asal, kedua pihak sama-sama berkepa-la dingin. Tapi itulah yang terjadi...

* * *



Kadipaten Ngawi di pagi hari, Masih seperti dulu. Tetap ramai oleh orang yang hilir mudik. Sebagian mencari nafkah, sebagian lagi sekadar iseng-iseng cuci mata.
Di keraton sendiri justru saat ini tengah terjadi ketegangan. Ketika Adipati Ngawi baru saja menjamu sarapan Satria Gendeng, seorang prajurit melaporkan bahwa ada utusan dari Warok Jogoboyo. Si utusan mengabarkan bahwa Ratna Kumala telah tewas dibunuh. Konon menurut kabar dalang semua itu adalah Warok Singo Lodra.
Tapi tak lama berselang, prajurit lain mengabarkan bahwa istri Warok Singo Lodra datang menghadap. Menurut si prajurit, kedatangan Nyai Gembili adalah dengan maksud menjelaskan apa yang terjadi di antara kedua warok yang tengah berseteru itu. Di pendopo, Adipati Suro Brajan terpaksa mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang bersangkutan.
"Nyai Gembili! Apa yang menyebabkan suamimu menantang Warok Jogoboyo?" tanya Adipati Ngawi.
"Ampun kanjeng. Hamba telah membujuk suami hamba untuk membatalkan pertarungannya dengan Warok Jogoboyo. Tapi Warok Darmo Singo, adik ipar hamba, membujuknya. Bahkan hamba sampai diusir oleh Kakang Warok Singo Lodra. Adapun persoalannya, suami hamba merasa malu, karena gagal menikahi putri kami dengan putra Kanjeng," Jelas Nyai Gembili.
"Lho" Bukankah aku pernah menyurati suamimu bahwa pertunangan itu dibatalkan. Hal itu karana suamimu dicurigai sebagai dalang perampokan terhadapku" Apakah surat itu belum sampai, Nyai?" Kening sang Adipati berkerut.
"Setahu hamba, sejak Kanjeng menyurati kami tentang pinangan itu, tak ada lagi surat yang datang. Dan bukannya hamba membela suami hamba, terus terang Kang Warok Singo Lodra sudah sekian tahun tak keluar rumah, sampai kabar tentang pernikahan antara putra Kanjeng dengan putri Warok Jogoboyo sampai di telinga kami," papar Nyai Gembili.
"Lantas, siapa yang mengabarkan kalau anakku akan menikahi Ratna Kumala?"
"Kalau tak salah, adik ipar hamba sendiri.
Warok Darmo Singo." Adipati Ngawi terhenyak. Perasaannya jadi tak enak.
"Maaf, Kanjeng. Boleh hamba menyela?" Satria merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Silakan..., silakan, Satria," sambut Adipati Suro Brajan, "Menurut hamba, ada orang yang sengaja mengadu domba kedua warok itu," Satria berhenti sebentar. Hening.
"Lanjutkan, Satria," pinta Adipati Ngawi.
"Entah apa maksudnya, yang jelas si pengadu domba telah sengaja membuat suasana jadi keruh. Kalau dipikir-pikir, surat pemberitahuan pembatalan pinangan itu pasti jatuh ke tangan orang yang tak berhak. Entah dengan cara apa.
Yang jelas, si orang itu mengabarkan lagi, hingga sampai ke telinga Warok Singe Lodra," papar Satria. Adipati Ngawi makin tertarik dengan penjelasan gamblang Satria Gendeng.
Sungguh tak disangka kalau bocah pemuda itu mempunyai otak seencer bubur. Sebening permata, dan setajam pisau.
"Lalu?" pinta tang Adipati lagi. Senyum cerah menghias bibirnya.
"Seperti yang pernah hamba jelaskan waktu itu, mestinya kita tak mudah percaya dengan omongan penjahat," jelas Satria. Maksudnya bukan menyindir, Adipati Ngawi. Tapi tetap saja wajah lelaki tampan itu memerah.
"Bisa jadi, orang yang merampok Kanjeng waktu itu memang sengaja menyebar fitnah dengan mengatakan bahwa Warok Singo Lodra sebagai dalangnya. Dan orang itu pasti sudah tahu tentang akan adanya pernikahan yang akan terjadi." Kali ini, utusan Warok Jogoboyo yang memerah wajahnya. Seolah kata-kata Satria barusan ditujukan kepadanya.
"Tapi anak buah Warok Singo Lodra telah membunuh Ratna Kumala!" sentak si utusan, saking geregetannya.
"Sabar, Kisanak. Aku belum selesai," potong Satria. Bibirnya melepas senyum cerah.
"Harap berlaku sopan di tempat ini," sela Panglima Adi Kencono, seraya menatap si utusan tadi.
"Boleh kulanjutkan?" tanya Satria.
"Silakan, Satria," terabas Adipati Ngawi.
Makin tertarik saja "Begini. Kelihatannya, si pengadu domba cukup lihai. Selain mengadu domba antara Kanjeng Adipati dengan Warok Singo Lodra, juga mengadu domba antara Warok Singo Lodra dengan Warok Jogoboyo. Si pengadu domba menyuruh apak buahnya menyatroni Warok Jogoboyo, lalu membunuh Ratna Kumala. Tentu saja kedatangan mereka di situ dengan membawa-bawa nama Warok Singo Lodra. Bukankah dengan begitu makin sempurna kerja si pengadu domba?" papar Satria lagi Sekali lagi, Adipati Ngawi geleng-geleng kepala mendengar penjelasan panjang lebar Satria yang amat gamblang. Sungguh dikaguminya kecerdasan si anak muda. Di sisi keeping hatinya yang paling dalam, timbul penyesalan, kenapa waktu itu dia terburu-buru membatalkan pernikahan anaknya dengan anak Warok Singo Lodra hanya karena pengakuan para perampok yang tewas di tangan Warok Jogoboyo. Kenapa dia tak mengirim utusan kembali ke rumah Warok Singo Lodra, setelah utusan pertama tak kembali pulang untuk mengabarkan hasilnya. Kenapa waktu itu..., ah! Sehimpun penyesalan terbangun di dalam dada sang Adipati. Tapi bukankah penyesalan datangnya belakangan"
"Yang penting sekarang kita mencari tahu, siapa orang yang mengadu domba antara aku, Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo," cetus Adipati Suro Brajan.
"Apakah kau punya gambaran siapa orang yang mengadu domba, Satria?" Mata sang Adipati menatap si anak muda perkasa.
"Kalau itu, hamba tak berani menuduh, Kanjeng. Memang ada dalam benak hamba orang yang mengadu domba. Tapi rasanya tak baik diutarakan di sini. Bukankah sebaiknya kita tanyakan langsung pada kedua warok yang bersangkutan?" lempar Satria.
Tatapan Adipati Ngawi lalu berpindah pada Nyai Gembili.
"Nyai, kapan suamimu akan menantang Warok Jogoboyo?" tanyanya langsung "Kalau tak salah tepat pada malam purnama," sahut Nyai Gembili "Kapan datangnya malam purnama?" susul sang Adipati.
"Semalam, Kanjeng," Satria yang menyahut.
"Apa..."!"

* * *



Kembali ke Hutan Wonocolo Siraman matahari pagi tak sampai ke permukaan, terhadang rimbunnya daun-daun hutan jati. Tak jauh dari mulut hutan, seorang lelaki tinggi besar berjalan gagah. Pakaiannya komprang warna hitam. Juga celananya. Wajahnya penuh brewok lebat. Alis matanya yang besar juga lebat. Kepalanya yang besar ditutup blangkon warna hitam. Penampilannya memang bergaya warok. Tapi dia memang seorang warok. Namanya Warok Darmo Singo.
Di belakang Warok Darmo Singo berjalan sepuluh orang lelaki gagah. Pakaian mereka serba hitam, namun terlihat ketat.
Wajah mereka kasar, menyiratkan kebengisan. Sesungguhnya, anak buah Warok Darmo Singo berjumlah lima belas orang. Tapi beberapa waktu yang lalu, lima orang dari mereka yang mendapat tugas merampok di Hutan Wonocolo terlibat bentrokan dengan pendekar muda bernama Satria Gendeng. Ketika Warok Darmo Singo kembali ke hutan setelah menjalankan siasatnya, dia hanya menemukan dua anak buahnya terluka parah. Dua lagi tewas dengan anak panah menembus punggung. Sedangkan yang seorang lagi lenyap entah ke mana.
Dengan pertimbangan bahwa kedua anak buahnya yang terluka parah akan merepotkan, Warok Darmo Singo tanpa belas kasihan menghabisi nyawa mereka "Ha ha he.... Kita akan kaya raya, Kawankawan. Menurut guruku, kedua lempengan logam ini berisi peta harta karun," kata Warok Darmo Singo sambil memperlihatkan kedua potongan lempengan logam di tangannya.
"Kedua warok bodoh itu telah kita perdayai. Mungkin mereka telah mampus di Bukit Munthang.
Dan, tinggal kita yang mengeruk hasilnya. Ha ha ha.... Sementara, Adipati Ngawi kini sedang uring-uringan, karena tak jadi menikahkan anaknya. Ha ha ha...!" Tawa Warok Darmo Singo disambut tawa meriah sepuluh lelaki yang tak lain anak buahnya.
Dua potongan lempeng logam di tangan Warok Darmo Singo sebenarnya tak cuma berisi peta harta karun, tapi juga peta tempat penyimpanan sebuah kitab berisi ilmu tingkat tinggi Kedua lempengan logam itu sebenarnya milik Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Mendiang guru kedua warok dari Gunung Wilis itu telah mewariskan masing-masing sebuah potongan lempeng logam berisi peta harta karun dan kitab ilmu tinggi. Harapan sang Guru harta karun yang tersimpan bisa dibagi dua, untuk dibagi-bagikan pada rakyat jelata. Sementara kitab berisi ilmu tingkat tinggi itu bisa diamalkan mereka berdua. Dengan harapan, kedua warok itu menjadi manusia yang mumpuni. Konon bila keduanya sanggup menyerap ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab, keduanya bisa menjadi sesepuhnya para sesepuh dunia persilatan.
Sayang, kedua lempengan logam itu kini di tangan orang yang salah. Lantas apa jadinya dunia persilatan bila kitab berisi ilmu tingkat tinggi itu kini di tangan Warok Darmo Singo. Karena, dialah biang perampok yang dikenal sebagai Tentara Langit!


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

BAGAIMANA Warok Darmo Singo bisa sampai mendapatkan kedua lempeng logam yang berisi peta harta karun dan kitab tingkat tinggi itu" Persoalannya mudah saja.
Tak lama setelah Warok Singo Lodra pergi ke Bukit Munthang, Warok Darmo Singo mengobrak-abrik peti tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik kakak kandungnya. Sebagai adik kandung, dia tahu betul tempat penyimpanan potongan lempengan logam itu. Apalagi, dia sering pula memasuki kamar kakaknya.
Sementara untuk mendapatkan potongan satu lagi, Warok Darmo Singo memerintah anak buahnya untuk menyatroni kembali rumah Warok Jogoboyo yang telah pergi ke Bukit Munthang pula. Dengan membunuhi para penjaga rumah serta pelayan dan mengancam Nyai Kumitir, mereka berhasil mendapatkan lempengan logam yang satu lagi. Apa sebenarnya yang menyebabkan Warok Darmo Singo berubah menjadi manusia telengas" Nafsu serakah, yang dipoles guru sesatnya.
Sebelum terjun ke dunia persilatan, Darmo Singo yang belum jadi warok berguru pada tokoh sesat berjuluk Iblis Rogo Jembangan. Sebagai datuknya kaum sesat di daerah timur tanah Jawa, Iblis Rogo Jembangan pernah mendengar bahwa musuh bebuyutannya yang bermukim di Gunung Wilis telah membuat peta dari lempengan logam.
Dan konon peta itu berisi petunjuk tentang tempat penyimpanan harta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi.
Musuh bebuyutan Iblis Rogo Jembangan kabarnya adalah bekas seorang raja sakti mandraguna, keturunan Raden Hayam Wuruk. Karena tak mampu memimpin pemerintahan, sang Raja mengundurkan diri dan memilih menjadi resi di Gunung Wilis.
Kabar dari mulut ke mulut mengatakan, raja yang mengubah namanya menjadi Resi Kalangwan itu juga membawa harta, yang sedianya akan dibagi-bagikan pada rakyat jelata. Dan maksud itu lantas diutarakan kepada kedua muridnya, yang kini dikenal sebagai Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Tapi, memang. Apa yang terjadi susah ditebak. Seolah semua rencana matang, bisa begitu mudah berantakan. Selesai Resi Kalangwan menulis kitab ilmu-ilmu tingkat tinggi dan menyimpannya bersama harta karun di tempat tersembunyi yang tak diketahui kedua muridnya, sang Resi keburu wafat. Untung saja, sebelum wafat, Resi Kalangwan sempat memotong lempengan logam menjadi dua bagian. Lalu masing-masing dibagi kepada kedua muridnya. Tak ada pesan yang terucap saat kematiannya.
Sejenak saat itu, kabar tentang Resi Kalangwan menguap begitu saja. Iblis Rogo Jembangan sendiri yakin kalau kedua lempengan logam itu pasti berada di tangan kedua murid Resi Kalangan. Tapi untuk mendapatkannya tentu bukan hal yang mudah. Sebab ketika menghadapi salah satu dari murid Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jembangan takluk. Dia tak menyangka kalau salah satu warok yang dihadapinya memiliki kesaktian lebih tinggi. Warok itu tak lain Warok Singo Lodra. Karena diam-diam, setelah berguru pada Resi Kalangwan, Warok Singo Lodra juga berguru pada tokoh sakti lain, sehingga namanya ditambah menjadi Warok. Demikian pula Warok Jogoboyo. Maka tak heran kalau kedua murid musuh bebuyutannya itu kini bergelar Warok.
Tapi, pucuk dicinta ulam tiba.
Iblis Rogo Jembangan bertemu seorang pemuda patah hati bernama Darmo Singo. Dengan bujuk rayunya, akhirnya Darmo Singo bersedia menjadi murid Iblis Rogo Jembangan. Selain menjanjikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, Darmo Singo dibujuk kalau dirinya bakal kaya raya bila bersedia menjadi muridnya.
Walhasil, Darmo Singo lantas benar-benar telah berubah. Seolah, otaknya telah dicuci oleh Iblis Rogo Jembangan. Maka ketika dia diperintah untuk mencuri kedua lempengan logam itu, Darmo Singo yang sekadar ikut-ikutan menggunakan gelar Warok di depan namanya segera menyusun siasat untuk mendapatkan kedua benda yang dimaksudkan gurunya.
Pertarungan di Bukit Munthang sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Masing-masing warok telah mengerahkan ilmu kedigdayaan yang paling tinggi. Namun belum ada, yang unggul. Tidak Warok Singo Lodra. Tak juga Warok Jogoboyo. Keduanya sama-sama alot dan sama-sama memiliki kesaktian seimbang.
Selain telah mengandalkan senjata pusaka warisan Resi Kalangwan, keduanya juga telah mengerahkan ajian tingkat tinggi. Tak heran bila di sekitar pertarungan telah porak-poranda, layaknya habis diamuk ribuan gajah liar.
Sampai menjelang tengah hari, kedua warok itu telah bertukar lebih dari ratusan jurus.
Baik jurus-jurus yang diwariskan oleh Resi Kalangwan, maupun dari guru mereka setelah Resi Kalangwan wafat. Tapi dasar keduanya keras kepala, tetap saja tak ada yang mau mengalah.
Cletarr...! Cletarr...! Lecutan Cambuk Buntut Kala milik Warok Jogoboyo disambut lecutan Cambuk Buntut Kelabang milik Warok Singo Lodra. Udara pun terbelah oleh suara meledak-ledak lecutan kedua cambuk. Pada akhirnya, Cambuk milik Warok Singo Lodra yang diberi nama Cambuk Buntut Kelabang saling membelit dengan Cambuk Buntut Kala.
Begitu kuat, seolah tak ingin terlepas lagi.
Adu tarik menarik pun terjadi. Masingmasing segera mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Seolah seorang yang mengendurkan sedikit saja tenaga dalam, berarti mati.
Wajah keduanya sama-sama tegang. Gigigigi geraham saling bergemeletuk. Kedua biji mata memerah mereka melotot, saling beradu pandang.
Tangan kanan kekar berhias gelang akar bahar milik masing-masing menampakkan urat-urat mengeras. Juga urat-urat pada leher. Keringat semakin membasahi pakaian.
Di kejap kemudian, kuda-kuda kokoh mereka mulai goyah. Sementara, kaki-kaki mereka mulai menghujam bumi. Tubuh masing-masing bergetar keras.
Pada puncaknya....
"Heaaa...!"
"Heaaa...!" Deb! Deb! Bersamaan, kedua warok itu menyentak tangan kiri satu sama lain. Udara pun terbelah.
Angin keras menderu dari pukulan jarak jauh masing-masing meluncur, mendekati satu titik.
Dan.... Blarrr...! Sehimpun kekuatan dahsyat bertemu menjadi satu. Hasilnya, tercipta satu ledakan layaknya gunung api memuntahkan laharnya. Menciptakan pula segerombolan asap tebal membubung ke angkasa bak jamur raksasa. Getarannya bahkan meruntuhkan dahan-dahan pepohonan pada jarak lima puluh tombak! Masing-masing warok terlempar sejauh dua puluh tombak. Keduanya berusaha bangkit meski tertatih-tatih. Guncangan amat dahsyat tadi membuat isi dada mereka seolah bergemuruh hendak rontok. Mulut dan hidung pun telah dilelehi darah segar.
Warok Singo Lodra membuat gerakan dengan kedua tangannya. Hendak disalurkannya hawa murni untuk menghilangkan rasa sesak pada dadanya. Juga, Warok Jogoboyo. Lalu masingmasing bersiap kembali dengan kuda-kudanya.
"Ini yang terakhir, Jogoboyo! Salah satu di antara kita harus ada yang mampus.
Kerahkan aji pamungkas milik kita masing-masing!" desis Warok Singo Lodra. Matanya nyalang, menghujam ke manik-manik mata Warok Jogoboyo.
"Permintaanmu kulayani, Singo Lodra! Kita sudah kepalang basah. Apa pun yang terjadi, aku siap menghadapi," sambut Warok Jogoboyo.
Hawa kematian siap menebar di Puncak Bukit Munthang.
Kaki-kaki kokoh mulai terpentang.
Mencari siapa yang kalah, dan siapa yang menang.... Tenang. Perlahan-lahan, alam mulai meremang.
Senja mulai beranjak datang.
Sebelum pertarungan terbentang....
"Tahan serangan!" Sebuah suara bentakan menggelegar terdengar. Kedua warok saling menarik ajian yang siap dilepaskan. Siapakah yang datang..."

* * *



Sungguh sulit dipercaya. Ternyata yang datang hanyalah seorang pemuda kemarin sore! Berpakaian rompi putih dari bulu binatang. Bergaris rahang jantan, Berambut panjang melebihi bahu, berwarna kemerahan. Celananya pangsi hitam sebatas lutut.
Dialah Satria. Edan! Berani-beraninya bocah bau kencur itu menghentikan pertarungan tingkat tinggi dari dua warok yang amat disegani" Setan mana yang membujuk otaknya, sehingga berani-beraninya datang ke tempat ini" Orang waras sekalipun akan berpikir dua kali jika berurusan dengan warok-warok ini. Tapi Satria" Cengengesan, Satria Gendeng melangkah.
Dia berhenti di tengah-tengah, antara Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo. Sebentar mata sembilunya menatap warok yang berada di sebelah kiri, lalu berpindah pada warok di sebelah kanan.
"Mana yang bernama Warok Singo Lodra, tunjuk tangan!" serunya, sok gagah. Sok sebagai wasit yang siap memimpin sebuah pertandingan silat. Warok Singo Lodra sendiri nyaris terlonjak.
Siapa bocah ini" Tanyanya membatin. Edan! Berani-beraninya dia menyuruhku tunjuk tangan" Apa dia punya nyawa rangkap berani menyuruhku"
"Aku Warok Singo Lodra! Apa maksudmu datang ke tempat ini, Cah"!" Aneh. Membatin begitu, tapi Warok Singo Lodra malah menjawab pertanyaan si bocah bau kencur.
Si anak muda menatap ke sebelah kanan, ke arah Warok Singo Lodra. Sekali lagi dengan lagaknya yang membuat orang kesal bukan main, dia tak mempedulikan jawaban Warok Singo Lodra. Bahkan kemudian kepalanya melengos ke sebelah kiri.
"Pasti kau yang bernama Warok Jogoboyo," tebaknya. Menyebalkan sekali lagaknya.
Edan! Kali ini justru Warok Jogoboyo yang merutuk dalam hati. Siapa bocah ini" Tatapan matanya..., edan! Sungguh mengandung perbawa kuat. Aneh. Dadaku terasa bergetar ketika menatap matanya. Sumpah serapah Warok Jogoboyo berlanjut.
"Hei, Cah! Kau belum menjawab pertanyaanku!" bentak Warok Singo Lodra. Dalam teriakannya disertai tenaga dalam lumayan. Karena kalau menggunakan tenaga dalam tinggi, dadanya masih belum kuat akibat benturan pukulan jarak jauh tadi. Warok Singo Lodra yang mengira kalau bocah bau kencur itu akan jatuh terduduk jadi terperanjat bukan main. Tenaga dalamnya yang disalurkan lewat bentakan tadi sudah cukup membuat kambing ngejoprak mati. Tapi kucing buduk ini..." Bahkan...
"Aku belum selesai, tahu"!" bentak Satria Gendeng. Tak mau kalah, bentakannya juga disertai tenaga dalam lumayan. Hasilnya" Warok Singo Lodra nyaris jatuh, kalau tak cepat menguasai keseimbangan. Juga Warok Jogoboyo. Bisa jadi mereka sampai bisa begitu, karena telah habis-habisan bertarung.
"Kalian tahu, pertarungan ini hanya memperebutkan pepesan kosong!" lanjut si pemuda, tanpa disertai tenaga dalam. Namun suaranya cukup lantang.
"Sebutkan dulu, siapa namamu, Cah!" pin-ta Warok Jogoboyo.
"Aku Satria," sahut si anak muda. Tetap lantang.
"Yang ku maksud Julukanmu!" ralat Warok Jogoboyo.
"Satria saja. Tak perlu julukan," elak Satria, enggan menjelaskan kepanjangan namanya yang dikenal di dunia persilatan.
"Setidaknya, kau memiliki guru, Siapa gurumu"!" Kali ini Warok Singo Lodra yang merasa penasaran.
"Kakek Kusumo dan Kakek Dongdongka."
"Apa..."!" Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo sama-sama tercekat. Mata mereka mendelik tak percaya mendengar pengakuan si anak muda.
Habis, siapa yang tak pernah mendengar kebesaran nama Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul"


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

IBARAT permainan catur, maka Warok Darmo Singo telah menang selangkah. Dia tinggal memecahkan teka-teki yang ada di lempengan logam yang telah disambungnya, maka kemenangan sejati pun akan diraihnya. Selain mendapat harta karun, juga mendapat sebuah kitab berisi ilmu tingkat tinggi.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu kini telah sampai di kaki Gunung Wilis bersama sepuluh anak buahnya. Seharusnya, begitu mendapat kedua potongan lempeng logam itu, dia harus segera menghadap gurunya, Iblis Rogo Jembangan.
Tapi perintah itu tak dipedulikannya. Manusia licik macam Darmo Singo agaknya sudah biasa bertindak demikian. Sekalipun, yang dilicikinya gurunya sendiri! Warok Darmo Singo sendiri tak begitu peduli terhadap lima anak buahnya di Hutan Wonocolo. Dua orang diketahuinya telah mati. Dua terluka parah, dan sisanya entah ke mana. Baginya, makin sedikit orang, makin besar jatahnya untuk mengangkangi harta karun dan kitab berisi ilmu tingkat tinggi. Bahkan dengan teganya dia membunuh dua anak buahnya yang terluka parah di Hutan Wonocolo. Licik dan serakah.
Itu dua kata yang tepat untuk Warok Darmo Singo. Bahkan diam-diam dia hendak menghabisi sepuluh anak buahnya yang kini bersamanya, setelah apa yang dicarinya berhasil ditemukan. Senja pun merayap.
Warok Darmo Singo menghentikan langkahnya bawah sebuah pohon besar. Kesepuluh anak buahnya mengikuti. Mereka semua melempar pantat gempal masing-masing ke atas tanah berumput. Setelah berjalan sekian lama, rasanya penat mulai menghadang.
Seperti kurang yakin dengan keberadaan dua lempengan logam di sakunya, dirogohnya kembali kedua benda itu. Lalu matanya mulai merayapi tulisan-tulisan yang tertera di atas lempengan. Diejanya kata-kata yang terdiri dari barisan huruf-huruf Jawa kawi.
"Berjalan bersama ke utara dan selatan.
Hindari mulut singa, masuk ke mulut buaya," bibir hitam tebal Warok Darmo Singo bergerakgerak.
"Apa maksudnya" Kau mengerti, Lanang?" susulnya pada lelaki di depannya.
Lelaki bernama Lanang menggeleng. Otaknya memang tergolong bebal. Kalimat begitu sederhana, dia tak mengerti maksudnya.
"Siapa yang mau masuk mulut buaya" Kau berani, Gempol?" Lanang menoleh pada lelaki di sebelah kirinya.
Gempol juga menggeleng. Memangnya gila apa, disuruh masuk ke mulut buaya" Begitu rutuknya.
"Kalau takut, jangan berani-berani. Kalau berani, jangan takut-takut," lanjut Warok Darmo Singo.
"Kejujuran adalah kuncinya. Hadapi saja segala iblis neraka." Makin pening saja kepala Warok Darmo Singo. Orang macam dia apa mungkin tergolong jujur" Tapi dasar keras kepala. Dia bertekad mencari harta karun serta kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Berhasilkah dia"

* * *



"Jangan main-main, Cah! Aku kenal betul dengan Kusumo dan Dongdongka. Rasanya terakhir kali aku bertemu, mereka belum mempunyai murid," sanggah Warok Singo Lodra. Terlupa dia akan perseteruannya dengan Warok Jogoboyo.
Sebaliknya, Warok Jogoboyo pun demikian.
"Lho" Paman berdua ini bagaimana" Tadi bertanya. Sekarang menyanggah. Lalu aku harus mengaku sebagai murid siapa" Murid kucing tua buduk" Atau murid setan belang panuan?" Polos, Satria memberengut.
Merasa kurang puas, Warok Singo Lodra meneliti sekujur tubuh si anak muda. Satria yang dipandangi begitu jadi ikutikutan meneliti sekujur tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" Satria telah mengubah panggilannya pada kedua warok tadi, setelah amarah mereka mulai surut.
"Rasanya, tubuhku tak terlalu menarik untuk dipelototi begitu. Aku tak punya ekor. Tanganku cuma dua. Kakiku dua. Mataku dua. Kupingku dua. Hidungku dua..., lubangnya. He he he...." Tak peduli, Warok Singo Lodra terus meneliti.
"Paman, aku bukan dedemit...," ingat Satria.
"Sekarang aku baru yakin...," desah Warok Singa Lodra.
"Apa"!" cekat Satria.
"Paman yakin kalau aku dedemit"!"
"Maksudku, aku yakin kalau kau murid Tabib Sakti Pulau Dedemit."
"O...," lega hati Satria. Dihembuskannya napas panjang. Habis, siapa yang sudi dibilang dedemit"
"Apakah yang kau selipkan di pinggangmu itu Kail Naga Samudera?" lanjut Warok Singo Lodra.
"Begitulah kira-kira, Paman," sahut Satria.
"Jawab yang pasti," tekan Warok Singo Lodra.
"Kata guruku sih begitu." Puas, Warok Singo Lodra manggutmanggut.
"Lantas, kenapa kau berani-beraninya datang ke sini. Kuharap, kau kembali. Kami sedang menyelesaikan sebuah urusan. Dan kau jangan ikut campur!" susulnya kemudian.
"Menyingkirlah, Satria," suara Warok Jogoboyo lebih lembut, menyuruh Satria menyingkir.
"Tidak, sebelum kalian mengakhiri pertarungan yang hanya mengorbankan nyawa siasia!" Satria keras kepala. Tetap berdiri di tengahtengah.
"Kuhargai kesaktianmu, Cah. Tapi jangan anggap kami takut kepadamu, walaupun kau murid Ki Kusumo dan Dongdongka. Kau mencampuri urusan kami, sama saja mencari mati. Kau dengar"!" sembur Warok Singo Lodra.
"Dengarlah, Paman berdua. Sebenarnya kalian adalah korban adu domba dari seseorang yang tak bertanggung jawab. Tadi pagi, aku habis bertemu Adipati Ngawi di keraton Kadipaten Ngawi. Di sana, aku juga bertemu Nyai Gembili, Istri Paman Warok Singo Lodra. Juga bertemu seorang utusan dari Paman Warok Jogoboyo. Usut punya usut, ternyata telah terjadi kesalahpahaman di antara paman berdua yang disebabkan ulah orang lain," papar Satria Gendeng.
Kedua warok itu kini mengerti, kenapa bocah bau kencur itu bisa tiba di tempat ini, sekaligus mengetahui pokok permasalahannya.
"Terus terang, Adipati Ngawi menyatakan penyesalannya kepadaku bahwa dia telah menggagalkan pertunangan Nawangsih dengan Senoaji.
Tapi hal itu dilakukan dengan terpaksa. Sebab, waktu itu ada suatu gerombolan yang mengaku suruhan Warok Singo Lodra telah merampoknya di Hutan Wonocolo. Untung waktu itu Warok Jogoboyo lewat, menyelamatkan Adipati," papar Satria lagi.
"Dan karena hutang budi, sang Adipati lantas mengalihkan pinangannya pada putri Jogoboyo. Begitu?" tebak Warok Singo Lodra. Sinis suaranya.
"Betul, tapi Adipati terlebih dulu telah mengirim surat kepadamu, lewat seorang utusan.
Sayangnya, utusan itu tak pernah kembali. Kesimpulanku, utusan itu dirampok seseorang. Dan ketika membaca surat itu, dikabarkan lagi kepadamu. Sekarang aku tanya. Dari mana orang itu tahu kalau putri Warok Jogoboyo akan dipinang, kalau tidak dari surat itu?" Warok Singo Lodra tercekat. Mukanya kontan memerah. Baru kini disadari kebodohannya.
Ya, dari mana adik kandungnya tahu kalau sang Adipati membatalkan pinangan terhadap anaknya, lalu mengalihkannya pada putri Warok Jogoboyo. Setan, si Darmo Singo! Rupanya dia sengaja mengadu domba antara aku dengan Warok Jogoboyo. Juga dengan Adipati Ngawi. Pantas, waktu itu dia begitu semangat membujukku untuk memusuhi Warok Jogoboyo! Begitu geramnya, membuat geraham Warok Singo Lodra menggerutukan gerahamnya.
"Tapi anakku sekarang gila, Anak Muda," bergetar suara Warok Singo Lodra.
"Aku memakluminya, Paman Warok. Tapi coba diingat-ingat, bagaimana putrimu sampai tahu kalau pernikahannya gagal" Apakah kau sendiri yang mengatakannya?" sambung Satria.
Kembali Warok Singo Lodra tercekat. Kegusarannya makin menggila. Ya, dari mana Nawangsih bisa tahu kalau pernikahannya gagal" Padahal, hal itu sudah dirahasiakannya. Kalau Nyai Gembili istrinya, tidak mungkin. Nyai Gembi-li dikenal sebagai wanita halus yang mampu memegang rahasia. Para pembantunya" Rasanya juga tidak mungkin, sebab mereka sangat takut dengan Warok Singo Lodra. Satu-satunya orang adalah..., Warok Darmo Singo adik kandungnya! "Setan laknat...!" desisnya.
"Hah"!" justru Satria sendiri yang terperanjat. Jakunnya turun naik berusaha susah payah menelan ludahnya.
"Jadi..., yang memberi tahu anakmu si setan laknat?" Salah tangkap rupanya Satria. Tak peduli dengan tingkah tengik Satria, justru Warok Singo Lodra malah menubruknya.
Langsung dipeluknya si anak muda perkasa. Karuan saja Satria jadi gelagapan. Susah payah dia menarik napas. Dipeluk oleh manusia sebesar itu, apa bukan sama saja dipeluk kebo bunting"
"Sudah..., sudah, Paman. Aku bukan Nyai Gembili," Satria berusaha melepaskan pelukan.
"Maaf, Anak Muda. Aku begitu terpana dengan penjelasanmu. Tak kusangka, aku yang setua ini justru memiliki otak dangkal. Aku kagum padamu, Cah. Kau semuda ini justru memiliki otak gemerlap seperti permata. Pandanganmu begitu luas bagai cakrawala tak bertepi," Warok Singo Lodra melepaskan pelukannya pada si anak muda.
"Ah, Paman bisa saja. Setahuku, makananku cuma tempe bongkrek. Mana mungkin kau bisa mengandaikan begitu. Tapi, sudahlah. Yang penting sekarang telah mengerti duduk permasalahannya," elak Satria, masih sempat-sempatnya bergurau. Padahal yang dihadapi seorang tokoh yang tak gampang ditaklukkan begitu saja. Memang secara diam-diam, pada saat memberi penjelasan Satria mengerahkan tenaga saktinya ke kedua matanya. Dan ketika Warok Singo Lodra menatapnya, hatinya terasa berguncang. Perlahan namun pasti, amarahnya yang semula menggelegak mulai tenang kembali.
Warok Singo Lodra lalu menatap adik seperguruannya. Matanya merambang. Ada keharuan dalam hatinya. Haru karena selama ini dia telah salah duga terhadap Warok Jogoboyo.
"Adi Warok Jogoboyo," panggilnya. Bahkan sebutan Adi kini digunakan untuk memanggil adik seperguruannya.
"Kau sudi memaafkanku, bukan?" Warok Jogoboyo memang dikenal sebagai orang yang memiliki hati besar. Walau tampangnya kasar bak batu cadas, tapi hatinya selembut salju. Walaupun anaknya tewas, dia tak gampang menuduh seseorang. Walau amarahnya menggelegak, dia mampu mengendalikannya. Itu bedanya dengan Warok Singo Lodra.
"Sejak semula aku sudah mengharapkan demikian, Kakang. Sebab sejak semula aku yakin, kita semua hanyalah korban dari fitnahan seseorang. Orang itu sengaja memecah persaudaraan kita. Bila kita hancur, maka dia tinggal memungut keuntungannya. Aku sendiri telah merelakan kepergian Ratna Kumala. Mungkin memang sudah takdirnya dia tewas secara mengenaskan.
Dan rasanya sangat tidak mungkin kalau lantaran persoalan anak kita, lalu terjadi saling membunuh," sahut Warok Jogoboyo mendesah.
"Sungguh mulia hatimu, Adi. Aku yakin, walau tak terucap dari bibirmu, hatimu yang memiliki samudera maaf telah memaafkan diriku," Warok Singo Lodra melangkah perlahanlahan mendekati Warok Jogoboyo.
Kedua warok saling bertatapan dengan mata merembang. Lalu mereka saling berpelukan.
Lama sekali. Bagaikan dua saudara kandung yang lama berpisah, lalu dipertemukan kembali.
Satria ikut-ikutan haru. Serba salah dia.
Mau menangis rasanya kok malu. Tertawa" Ah, apa yang lucu" Suasananya saja sedang haru begini. Enaknya apa, ya" Satria membatin.
Tiba-tiba....
"Aaah...!" Satria ambruk. Lebih gila lagi, tubuhnya melejang-lejang seperti ayam dipotong. Matanya mendelik-delik liar.
Kedua warok terkejut. Pelukan mereka dilepas. Bersamaan, mereka menghampiri si anak muda. Ada apa dengan pendekar berwatak tengik itu..."

* * *



"Anak muda...! Anak muda...! Kenapa kau"!" sebut Warok Singo Lodra seraya meraih bahu Satria yang masih melonjaklonjak seperti orang kesurupan.
"Anak muda!" timpal Warok Jogoboyo, di sisi tubuh Satria.
"Kau kenapa...?" Si anak muda tetap tak menyahut. Matanya semakin mendelik-delik. Sementara kedua warok saling berpandangan, tak mengerti.
"Mungkin dia keracunan," duga Warok Sin-go Lodra.
"Atau mungkin kesurupan penunggu Bukit Munthang ini," sambung Warok Jogoboyo.
"Mungkin mulasku kumat. Maklum aku tadi pagi tak jadi sarapan di keraton kadipaten," tiba-tiba Satria membuka suara. Matanya tak mendelik-delik lagi. Tubuhnya tak melonjaklonjak lagi. Bibirnya mengulas senyum tengik.
Tinggal kedua warok yang kembali berpandangan. Mau meledak tawa mereka dikerjai habishabisan oleh si anak muda bertabiat sinting.
"Slompret kau, Cah!" Warok Singo Lodra melepas tangannya yang memegangi bahu Satria. Karuan saja si anak muda terpuruk di tanah.
"Habis, kalian terlalu membuatku haru, sih," kilah Satria. Si anak muda bangkit. Ditepak-tepaknya tanah yang melekat di rompi putih dari kulit binatang.
"Oh, ya. Asal tahu saja, sebenarnya aku datang ke sini bersama Kanjeng Adipati Ngawi dan Panglima Adi Kencono."
"Di mana mereka?" tanya Warok Jogoboyo.
"Sebentar lagi juga muncul," jawab Satria.
Benar saja. Dari balik sebuah batu besar, dua lelaki gagah muncul, setelah si anak muda bertepuk tiga kali. Rupanya itu merupakan isyarat kalau keadaan telah aman. Dan adipati serta panglima bisa menghampiri kedua warok yang semula tengah bertarung habis-habisan.


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

MEMANG terlalu mudah untuk menemukan, di mana para warok biasa menyelesaikan suatu persoalan secara jantan. Di Bukit Munthang. Itu sebabnya, begitu Adipati Ngawi mendengar bahwa Warok Singo Lodra tengah bertarung dengan Warok Jogoboyo dari Nyai Gembili, dia segera mengajak Panglima Adi Kencono dan Satria untuk menuju Bukit Munthang.
Tapi justru terlalu sulit bahkan persoalan akan semakin rumit bila sang Adipati muncul begitu saja. Sebab, bukan mustahil bila Warok Singo Lodra tiba-tiba menyerangnya. Semula Adipati Suro Brajan ingin menemui kedua warok langsung. Untungnya Satria punya pendapat lain, dan menyediakan diri untuk menengahi persoalan kedua warok itu. Bila keadaan sudah aman, baru sang Adipati diperkenankan untuk menampakkan diri.
"Salam hormat kami, Kanjeng Adipati," kedua warok itu sama-sama merapatkan kedua tangan di depan hidung.
"Sama-sama, Kakang Warok berdua. Sungguh betapa bahagianya aku sekarang ini melihat kalian rukun kembali. Tapi rasanya aku belum puas kalau belum mengucapkan kata maaf pada kalian. Terutama pada Warok Singo Lodra. Untuk itu, aku mohon Kakang Warok Singo Lodra membuka pintu maaf kepadaku. Dan aku turut prihatin atas kejadian yang menimpa Nawangsih. Juga aku turut mengucapkan turut berduka cita atas musibah yang dialami Ratna Kumala, putri Warok Jogoboyo," Adipati Ngawi berpaling menatap Warok Jogoboyo.
"Apakah kalian sudah ikhlas menerima cobaan yang menimpa keluarga kalian?"
"Ikhlas, Kanjeng," sahut kedua warok, nyaris bersamaan.
"Yah, semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Dan kita tak mampu mengelaknya. Untuk itu, langkah selanjutnya kita tinggal mencari orang yang memfitnah kita, sehingga di antara ki-ta timbul salah paham. Nah, Kakang warok berdua. Apakah kalian punya dugaan, siapa yang menyebabkan peristiwa ini?" Sebenarnya, Adipati Ngawi telah mempunyai dugaan pasti kalau orang yang memfitnah mereka adalah adik kandung Warok Singo Lodra.
Sebelum berangkat, dia telah bertukar pikiran dengan si anak muda berotak encer Satria. Dari penuturan Nyai Gembili di keraton tadi pagi, bisa ditebak kalau orang yang memfitnah adalah adik kandung Warok Singo Lodra. Dan sengaja pertanyaan itu dilontarkan adipati dengan maksud ingin melihat, apa tanggapan kedua warok itu.
Warok Jogoboyo menggeleng.
"Hamba tahu, Kanjeng. Pemuda itulah yang membuka mata hati hamba," Warok Singo Lodra menunjuk Satria dengan jempolnya.
"Siapa namamu, Cah" Maaf, aku lupa tak begitu menghiraukan namamu tadi."
"Satria," sebut si anak muda.
"Ya, Satria. Dialah yang menuntun otak hamba sehingga mempunyai keyakinan siapa dalang di balik semua ini. Dia tak lain adik kandung hamba sendiri, Warok Darmo Singo," sahut Warok Singo Lodra, tenang. Sikapnya terlihat ksatria sekali, tak ingin menutup-nutupi kesalahan salah seorang keluarganya. Sekali salah, ya tetap salah.
Begitu pandangan hidupnya. Tak pandang keluarga. Tak pandang bulu. Entah bulu ketiak, bulu kaki, dan bulu-bulu lainnya.
"Kuhargai sikap ksatriamu, Kakang Warok Singo Lodra. Nah, kira-kira apa tanggapanmu bila memang dia yang telah memecah belah kita?" pancing Adipati Suro Bjaran.
"Apapun yang Kanjeng inginkan sebagai hukuman, akan hamba laksanakan. Meski harus memancung kepalanya!" tegas Warok Singo Lodra, mendesis.
"Kalau begitu, dia menjadi tanggung jawabmu, Kakang Warok. Nah, sekarang urusan di antara kita telah selesai. Tapi, oh ya. Maaf, ada yang terlupa kusampaikan. Tadi sebelum kami berangkat, Senoaji putraku telah kembali ke keraton setelah selesai berguru ilmu olah kanuragan di Padepokan Blambangan. Setelah kutanya, ternyata dia tetap mencintai Nawangsih, apapun keadaannya," urai Adipati Ngawi.
Warok Singo Lodra tersentak. Tak mampu berkata-kata. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak dibalut keharuan yang bergolak.
"Apakah dalam hal ini Kakang Warok Jogoboyo tidak kecewa seandainya Senoaji menikah dengan Nawangsih?" Adipati Ngawi menatap Warok Jogoboyo.
"Bagi hamba, Nawangsih putri Kakang Warok Singo Lodra juga putri hamba. Hamba ikhlas sepenuh hati bila Senoaji dinikahkan dengan Nawangsih." Kembali hati besar Warok Jogoboyo di-perlihatkan. Betapa tegarnya hati lelaki ini. Sudah anaknya tewas di tangan orang yang tak berperi kemanusiaan, kini dia melihat kenyataan kalau sebenarnya Senoaji memang mencintai Nawangsih. Cerah wajah Adipati Suro Brajan. Saat itu juga kakinya melangkah mendekati Warok Jogoboyo. Langsung dipeluknya lelaki tambun itu penuh persaudaraan.
"Sungguh aku kagum dengan hati besarmu, Kakang Warok. Rasanya tak ada kata yang lebih tepat kecuali bahagia. Aku bangga padamu, Kakang Warok. Sikapmu membuatku bahagia.
Dan aku tak segan-segan mengangkatmu menjadi kakak. Bagaimana?" puji Adipati Ngawi.
Tak malu-malu lagi Warok Jogoboyo menangis haru. Tak menyahut, hanya kepalanya yang manggut-manggut. Bahunya berguncangguncang oleh tangis sesenggukan. Seolah, sikap tegarnya terdepak entah kemana.
Juga, Warok Singo Lodra. Mendengar jawaban adik seperguruannya, serta keputusan yang diambil Adipati untuk mengangkat kakak pada adik seperguruannya, kakinyapun bergerak melangkah. Di dekatinya kedua lelaki yang tengah berpelukan.
Melihat Warok Singo Lodra menghampiri, kedua lelaki itu langsung meraih. Kini ketiga lelaki itu berpelukan penuh persaudaraan. Sudahkah urusan ini selesai"

* * *



Hari pun bergulir.
Sang dewi malam telah tergelincir di barat.
Angin pagi bertiup semilir. Menerpa Warok Darmo Singo yang tertidur di bawah sebuah pohon besar di kaki Gunung Wilis.
Sepuluh anak buahnya tertidur saling tumpang tindih. Satu orang tampak malah menumpangkan kakinya di mulut yang lain. Yang ditumpangi malah tengah bermimpi berciuman dengan seorang gadis cantik. Tak urung, kaki ber-telapak lebar itu dikecup dan diciumi penuh hasrat. Dalam bayangan mimpinya, telapak kaki itu adalah wajah seorang gadis.
"Oh..., Purbasari.... Wajahmu cantik. Tapi kenapa bau tahi ayam?" igau si lelaki yang tengah bermimpi. Kendati merasa bau tahi ayam, tetap saja diciumi wajah gadis cantik yang bernama Purbasari. Lebih seru lagi, ternyata lelaki yang kakinya tengah diciumi justru tengah bermimpi hendak dimakan harimau. Dalam bayangan mimpinya, dia merasa sudah tak berdaya dalam keadaan berbaring. Perlahan-lahan Sang Raja Hutan mendekati, lalu mengendus-endus. Hendak dimakannya sedikit demi sedikit lelaki itu. Mulai dari perut, paha, lalu kaki.
Dan....
"Tolong.... Aku mau dimakan harimau....!" Orang-orang yang tidak bermimpi kontan terbangun. Mereka celingukkan mencari-cari harimau yang diteriakkan tadi. Sementara, kedua lelaki yang masih bermimpi masih bergulat dengan bayangan semunya. Lelaki yang satu masih terus beringas mencium dan menggigit gadis dalam bayang mimpinya, sementara lelaki yang satu lagi berkutat berusaha minta tolong karena kakinya mulai digigit harimau.
Begitu menyadari apa yang terjadi, orangorang yang telah terbangun kontan tertawa terbahak-bahak. Sebuah pertunjukan seru terjadi. Lelaki yang bermimpi mencium gadis cantik makin beringas. Sedangkan lelaki yang bermimpi digigit harimau makin menjerit-jerit dengan tubuh blingsatan "Bangunkan mereka!" ujar Warok Darmo Singo, tak ingin larut dalam pertunjukan seru di depannya.
Dua lelaki langsung beranjak. Mereka segera membangunkan kedua lelaki yang tengah bermimpi.
"Lanang! Bangun! Telapak kaki Gempol bau tahu ayam. Kenapa kau ciumi"!" Lanang terbangun. Ketika menyadari di depan wajahnya hanya kaki temannya yang bernama Gempol, langsung disentakkannya. Wajahnya seketika berubah kecewa. Hilang sudah wajah Purbasari di pelupuk matanya.
Sementara Gempol makin berteriak seru.
Untung saja temannya segera membangunkannya. Terjingkat, Gempol bangkit. Dadanya turun naik amat cepat. Kendati hawa cukup dingin, tak urung keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Masih belum percaya, kepalanya celingukan.
"Setan! Aku bermimpi dimakan harimau!" rutuknya, begitu tersadar.
"Iya, kakimu habis digigiti Lanang. Padahal, kakimu kan bau tahi ayam. Heran, maumaunya Lanang menciumi kakimu," lelaki di sebelah Gempol memberitahu.
"Kau mimpi apa, Lanang?" lanjutnya.
"He he he.... Aku dapat gadis cantik. Namanya Purbasari. Dia menciumiku, langsung saja kubalas. Eh, tak tahunya kaki bau tahi ayam si Gempol yang kusikat," jelas Lanang.
Gempol yang sudah bisa menguasai diri cengar-cengir. Tahu rasa, kau! Katanya, membatin.
"Sudah. Ayo sekarang kita berangkat menuju puncak. Aku sudah tak sabar lagi mendapatkan harta karun itu!" penggal Warok Darmo Singo. Kesepuluh anak buah Warok Darmo Singo beranjak bangkit. Sebagian masih mengulet sambil berdiri. Sebagian lagi merapikan pakaian yang kusut. Sedangkan Warok Darmo Singo sudah bergerak melangkah menuju puncak Gunung Wilis. Tapi baru beberapa tindak....
"Bagus..., bagus. Terus saja melangkah kalau mau mampus!" Sebuah bentakan keras terdengar, menghadang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat dia. Dikenali betul suara bentakan yang terdengar. Sedangkan kesepuluh anak buahnya langsung bersiaga, menghadap ke segala penjuru. Tapi tak seorang pun yang terlihat. Mereka celingukan ke sana kemari.
"Guru...," desis Warok Darmo Singo, nyaris tak kentara. Matanya pun jelalatan mencari-cari.
"Aku ada di sini, Cah Gemblung!"
"Hah"!"

* * *



Bukan main terperanjatnya Warok Singo Lodra begitu melihat keadaan rumahnya. Para tetangganya memberi tahu bahwa setelah Warok Singo Lodra berangkat, Warok Darmo Singo datang. Lalu terjadi pertarungan antara para penja-ga rumahnya dengan adik kandungnya. Tak lama kemudian, Warok Darmo Singo keluar kembali dengan senyum-senyum gembira. Tak ada yang berani mencegahnya, karena para penduduk tahu siapa Warok Darmo Singo.
Nyai Gembili yang tiba lebih dulu setelah pulang dari Kadipaten Ngawi pun hanya mengelus-elus dada ketika mendengar penuturan para penduduk. Dalam hati, dia menyesalkan sikap keras kepala suaminya yang tak mau mendengar kata-katanya. Tapi mau bilang apa lagi" Semuanya telah terjadi.
Tapi yang menjadi kekhawatiran Nyai Gembili waktu itu adalah keadaan Nawangsih.
Ketika ditinggal ke Kadipaten Ngawi, dia ingat Nawangsih masih terkurung di kamarnya yang dikunci dari luar. Untung saja Warok Singo Lodra menjelaskan kalau sebelum berangkat, dia telah menitipkan Nawangsih pada adik misannya yang bertempat tinggal masih di sekitar Kadipaten Ponorogo. Ketika memeriksa kamarnya, Warok Singo Lodra makin terperanjat lagi. Lemari tempat penyimpanan peti berisi benda-benda pusaka telah jebol. Sementara isi peti telah terobrak-abrik. Ketika mencari satu-satunya benda yang amat dijaganya tapi tak ditemukan, makin mendelik saja Warok Singo Lodra.
"Nyaiii...! Bangsat itu ternyata mencuri potongan lempeng logam milikku!" teriaknya, kalut.
Tergopoh-gopoh, Nyai Gembili masuk ke kamar, menghampiri suaminya. Matanya langsung tertuju ke arah peti.
"Lihat, Nyai. Potongan lempeng logam warisan guruku ternyata disikat bangsat itu. Ah menyesal dulu aku tak mempercayai kata-katamu.
Hmmmh. Potongan lempeng lainnya juga dimiliki Adi Warok Jogoboyo. Jangan-jangan...," kata-kata Warok Singo Lodra terpenggal.
Mendadak saja sebuah bayangan buruk melintas di pelupuk matanya.
"Jangan-jangan apa, Kakang?" tanya Nyai Gembili.
"Licik!" bentak Warok Singo Lodra. Menggelegar suaranya. Membuat Nyai Gembili nyaris terjengkang.
"Ini kelicikan yang telah di-perbuat setan sialan Darmo Singo! Entah, iblis apa yang merasuki adikku itu. Ternyata dia sengaja mengadu domba dan mengojok-ngojokku agar bertarung dengan Warok Jogoboyo. Dengan demikian, dia leluasa mengambil warisan guruku yang harus ku jaga itu. Dia sengaja memancingku keluar rumah dengan fitnahnya. Padahal kau tahu sendiri. Aku harus banyak-banyak di dalam rumah sejak beberapa tahun lalu. Itu kulakukan sebagai tirakat untuk persiapan semadi. Karena aku harus memecahkan makna yang tergurat dalam potongan lempeng itu, setelah digabung dengan milik Warok Jogoboyo!"
"Dan Warok Jogoboyo juga bertirakat demikian, Kakang?" cetus Nyai Gembili.
"Tentu saja! Dan ketika dia bersedia datang ke Bukit Munthang, Darmo Singo Lodra sialan itu menyuruh anak buahnya untuk mengambil potongan lempeng logam satunya! Bukankah itu licik, namanya?" geram Warok Singo Lodra.
"Bukankah berarti Nyai Kumitir berada sendirian di rumah" Atau paling tidak, hanya ditemani beberapa pelayan dan penjaga rumah?" terabas Nyai Gembili.
Makin melotot saja Warok Singo Lodra.
Bayangan buruk yang sempat melintas di pelupuk matanya kembali terulang.
"Aku harus ke rumah Warok Jogoboyo! Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya," letus Warok Singo Lodra, tiba-tiba.
"Aku ikut, Kakang!" cetus Nyai Gembili.
"Kau baru saja melakukan perjalanan jauh, Nyai" Apakah kau tak lelah?" Warok Singo Lodra me-nunjukkan rasa kasih sayangnya pada Nyai Gembili yang sempat hilang beberapa waktu lalu.
"Tidak, Kakang. Biar bagaimanapun aku harus ikut. Warok Jogoboyo sudah seperti saudara kandung kita. Kesulitan yang terjadi padanya, juga kesulitan kita," tegas Nyai Gembili.
"Baik, kalau begitu. Ayo, cepat!"

* * *



Apa yang diduga Warok Singo Lodra memang tak berlebihan. Nyatanya begitu sampai di rumahnya, Warok Jogoboyo hanya mendengar penuturan para tetangganya kalau istrinya serta para pembantunya telah tewas di tangan para perampok. Itu terjadi ketika Warok Jogoboyo belum lama pergi ke Bukit Munthang.
Para penduduk waktu itu dengan suka rela menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan pada keesokan harinya. Hanya itu yang diketahuinya dari para penduduk. Sebab, memang tak ada yang tahu saat terjadi perampokan. Atau bisa saja itu hanya dalih para penduduk agar tidak disalahkan oleh Warok Jogoboyo. Karena sebenarnya tak mungkin para penduduk tak mendengar suara pertarungan di halaman rumahnya. Karena takut, para penduduk tak ada yang berani keluar rumah. Begitu dugaan Warok Jogoboyo.
Di hati Warok Jogoboyo timbul keyakinan, bahwa orang-orang yang membunuh istri serta para pembantunya adalah orang yang sama dengan yang membunuh anaknya. Artinya, orangorang itu pasti berpakaian serba hitam. Dan itu sudah pasti anak buah Warok Darmo Singo.
Hantaman yang mendera batin Warok Jogoboyo makin sempurna ketika menyadari bahwa potongan logam warisan dari gurunya telah hilang dari peti tempat penyimpanan.
Lemari rumahnya telah diobrak-abrik. Keadaan rumahnya benarbenar berantakan.
Di tengah-tengah di antara pusara Ratna Kumala dan Nyai Kumitir, Warok Jogoboyo berjongkok. Arahnya menghadap pusara Nyai Kumitir yang masih merah. Wajahnya tampak mengelam. Dadanya bergemuruh menahan kegeraman.
Rahangnya bergemelutukan. Urat-urat lehernya mengeras. Juga urat-urat tangannya saat telapaknya meremas segumpal tanah merah yang diambil dari pusara istrinya.
"Nyai..., maafkan aku. Aku lelaki bodoh yang gampang terpedaya oleh omongan orang lain. Sehingga aku tak bisa menjagamu. Maafkan aku, Nyai. Temanilah Ratna Kumala di alam sana.
Mudah-mudahan, aku bisa membalas perlakuan kejam orang-orang yang mengusir kebahagiaan hidup keluarga kita," desah Warok Jogoboyo.
Sejenak, mata lelaki tambun ini menerawang. Langit cerah. Angin mendesah. Air mata Warok Jogoboyo bergulir, membuat pipinya basah. Perlahan, Warok Jogoboyo bangkit berdiri.
Kepalanya kini menunduk, menatapi pusara istrinya. Setelah menghapus air mata dengan punggung tangan tubuhnya berbalik. Kini, ditatapinya pusara Ratna Kumala. Masih berwarna merah walau mulai ditumbuhi rumput liar.
Tanpa kata lagi, Warok Jogoboyo memalingkan tubuh ke kanan, hendak melangkah. Tapi mendadak langkahnya terhadang oleh sesuatu di depannya, sejauh tiga tombak.
"Satria...?" sebutnya, perlahan sekali.


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

BEGITU berbalik, bukan main terkejutnya Warok Darmo Singo. Saking kagetnya, membuat tubuhnya terlonjak dan mundur beberapa tindak.
Di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang lela-ki tua. Kepalanya gundul.
Manik-manik matanya yang besar bergaris hitam ke bawah seperti mata kucing. Hidungnya besar dan lebar. Ketika menyeringai, gigi-gigi runcingnya terlihat mengerikan. Tak berbaju, seperti hendak memamerkan tubuh bundarnya yang berkulit hitam.
Dialah Iblis Rogo Jembangan, guru Warok Darmo Singo.
"A..., ada apa Guru datang ke sini?" gagap lelaki brewok dengan jenggot seperti sarang lebah itu.
"Ada apa" Kau bilang ada apa, Kunyuk"!" damprat Iblis Rogo Jembangan.
"Serahkan kedua potongan lempengan logam itu, Murid Murtad! Kau sudah melanggar aturan. Sudah kubilang, setelah mendapatkan kedua potongan logam itu, kau harus menghadapku di Gunung Rogo Jembangan. Tapi kenapa malah ngelayap kemari, heh"!" Warok Jogoboyo tercekat. Matanya mendelik dengan jakun turun naik. Susah payah dia berusaha menelan ludahnya sendiri. Dia tak habis mengerti, kenapa gurunya tahu kalau kedua potongan lempeng logam itu sudah berada di tangannya"
"Mau kau kangkangi harta itu sendirian, ya"!" sambung Iblis Rogo Jembangan.
"Aaa..., aku cuma...."
"Cuma apa"! Cuma-cuma atau cumicumi?" penggal Iblis Rogo Jembangan.
"Ayo cepat serahkan kedua benda itu padaku! Atau kau harus mampus ditanganku"!" ancamnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo, memang tak ada seujung kuku bila dibanding kegarangan gurunya. Sesakti-saktinya dia, tak ada seujung upil kesaktian gurunya. Maklum saja, Iblis Rogo Jembangan terhitung datuk sesat golongan tua yang tak pernah mau tobat. Bayangkan saja. Di usianya yang sudah lapuk itu dia masih belum rela meninggalkan dunianya. Seolah, hatinya belum merasa puas kalau belum menguasai dunia persilatan sepenuhnya. Padahal tokohtokoh seangkatannya nyaris tak beredar di jagat ini. Soal kekejamannya" Jangan ditanya. Iblis dasar neraka mungkin kalah kejam dibanding tokoh uzur ini. Kalau perlu, bila Warok Darmo Singo macam-macam di hadapannya, akan dicabutinya satu persatu seluruh bulu di tubuh lelaki tinggi besar itu. Tak terkecuali bulu....
Tapi ternyata keras kepala Warok Darmo Singo kumat lagi. Tiba-tiba dia berpaling pada kesepuluh anak buahnya.
"Seraaangg...!" teriaknya, lantang.
"Ha..., ha ha ha.... Darmo..., Darmo. Kepinding-kepinding busuk kau suruh mengeroyokku" Dasar murid tak tahu diuntung. Baik..., baik kalau itu memang kemauanmu," leceh iblis Rogo Jembangan.
Sementara kesepuluh anak buah Warok Darmo Singo langsung mengurung Iblis Rogo Jembangan. Golok serta clurit mereka telah terhunus, berkilatan tertimpa matahari pagi. Seolah hendak mendepak nyali lawan mengerikan mereka.
"Ayo, serang aku, Tikus-tikus Clurut! Jangan malu-malu. Pilih! Bagian tubuh mana yang kalian suka," sambut lelaki tua menyeramkan itu, jumawa.
"Hiaaat!" Bersamaan, kesepuluh anak buah Warok Darmo Singo merangsek maju. Senjata tajam mereka langsung berseliweran dari segala penjuru.
Tapi, lawan yang diserang tetap bersikap seperti biasa. Berdiri sambil bersedakap dengan senyum meremehkan. Dua jari lagi senjata-senjata itu menghujam, tiba-tiba Iblis Rogo Jembangan memutar tubuhnya seperti gangsing. Amat cepat. Lalu....
Ting! Ting! Ting! Ting! Hanya dengan jari tangan kanan, kesepuluh senjata tajam para pengeroyok dijentiknya.
Ketika terkena jentikan jari Iblis Rogo Jembangan, senjata-senjata itu terlihat bergetar. Sementara pemiliknya mundur terjajar. Bahkan dada mereka terasa berguncang, panas membakar.
Tangan mereka dilanda rasa nyeri. Pergelangan tangan lemas. Sementara Iblis Rogo Jembangan makin memperlihatkan kepongahannya dengan tawa renyahnya. Serenyah rempeyek kacang. Bahkan kemudian tangannya kembali bersedakap di depan dada. Bukannya sadar kalau kesaktian lawan jauh di atas mereka, kesepuluh lelaki berpakaian serba hitam itu kembali bergerak. Seolah, tak peduli kalau nyawa mereka sebenarnya bagaikan telur di ujung tanduk mereka segera menghantamkan senjata-senjata tajam ke tubuh Iblis Rogo Jembangan.
"Hiaaah...!" Teriakan kemarahan Iblis Rogo Jembangan pun terlempar. Pada saat yang sama, dibuatnya suatu gerakan amat mendadak. Lewat sentakan kaki, tubuhnya terlontar ke udara. Begitu lawanlawannya hanya menyambar sasaran angin kosong, lelaki berkulit hitam dan hanya bercawat dari kulit buaya itu menukik.
Lalu.... Prak! Prak! Prak! Pergerakan tangan Iblis Rogo Jembangan memang sulit diikuti mata. Bertubi-tubi kedua tangannya menghantam kepala lawan-lawannya.
Amat cepat. Tahu-tahu....
Kesepuluh lelaki berpakaian serba hitam itu berjatuhan dengan kepala retak. Darah merah meleleh dari kepala. Tubuh mereka berkelojotan sejenak, lalu diam tak bergerak lagi.
Iblis Rogo Jembangan sendiri telah sampai di bumi. Mata liarnya memperhatikan mayatmayat lawannya sejenak. Lalu tatapannya beralih ke tempat Warok Darmo Singo tadi berdiri.
Tapi....
"Setan belang! Diam-diam kecoak itu melarikan diri ketika anak buahnya menyerangku!" Sumpah serapah Iblis Rogo Jembangan berlanjut kemudian. Mata kucingnya jelalatan ke sana kemari, mencari-cari sosok Warok Darmo Singo yang kabur entah ke mana.
Sampai sejauh itu, dia belum tahu ke mana murid murtadnya melarikan diri. Dan lelaki berwajah mengerikan ini jadi tersenyum kecut sendiri. Betapa tidak" Ternyata dia bisa dikerjai oleh muridnya sendiri.
Bukankah keparat itu namanya"
"Kau tak bakalan lolos dari tanganku, Murid Sialan! Aku tahu tujuan akhir mu. Puncak Gunung Wilis! Kau tentu tak ingin melewatkan harta karun itu, bukan" He he he...!" Iblis Rogo Jembangan malah tertawa-tawa sendirian. Ada sebuah rencana dalam otaknya untuk memperdayai murid murtadnya. Sayang, hanya dia yang tahu....


--¤¤¦ « SEBELAS » ¦¤¤--

BEGITU gembiranya Warok Jogoboyo ketika tahu Satria Gendeng tahu-tahu telah berada di depannya. Langsung diajaknya pemuda itu kembali ke rumahnya di pinggiran Kadipaten Trenggalek "Aku turut berduka cita atas kematian istrimu, Paman Warok," ucap Satria.
"Dari mana kau tahu kalau istriku meninggal dunia Satria?" tanya Warok Jogoboyo, agak heran juga.
"Lho" Tadi kau menyebut-nyebut Nyai di depan makam yang masih baru itu," Satria menoleh ke arah pemakaman yang semakin jauh ditinggalkan. Lalu kepalanya kembali mengarah ke depan.
"Bukankah Nyai panggilan untuk istri seorang warok" Memangnya, ada berapa Nyai-mu, Paman?" tanyanya, polos.
Warok Jogoboyo tersenyum. Amat dimakluminya watak si anak muda. Ketika bertemu dan menatapnya pertama kali di Bukit Munthang, lelaki tambun ini sudah amat kagum dengan Satria Gendeng. Terutama, pancaran matanya serta otak encernya. Buktinya, bocah bau kencur ini bisa menengahi pertarungannya dengan Warok Singo Lodra yang juga kakak seperguruannya.
"Ya, Nyai-ku tentu saja hanya satu. Hanya saja, aku tak menyangka kalau kau mau menemuiku di Trenggalek ini. Lantas, kau tahu dari mana kalau aku ada di sini?" tanya Warok Jogoboyo.
"Malu bertanya sesat di jalan, Paman. Ketika aku tiba di Ngawi setelah dari Bukit Munthang, aku langsung mohon diri pada Kanjeng Adipati Suro Brajan. Terus terang, aku sangat kagum dengan kebesaran hatimu waktu di Bukit Munthang. Untuk itu, aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku ingin belajar padamu, Paman," papar Satria, terus terang.
"Belajar" Belajar apa lagi yang kau inginkan, Satria. Aku yakin, sebagai murid Ki Kusumo dan Dongdongka, kau diwarisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Bahkan aku yakin, kau bisa mengalahkanku tak lebih dari sepuluh jurus," kening Warok Jogoboyo berkerut dalam.
Keduanya terus melangkah, sehingga tak terasa hampir sampai di rumah Warok Jogoboyo.
"Aku ingin belajar, bagaimana Paman menghadapi kesemrawutan dunia ini. Belajar bagaimana mengendalikan diri dengan menekan hawa nafsu sedalam-dalamnya. Sehingga, kelak aku bisa memiliki hati besar seperti Paman," un-gkap Satria, sejujurnya.
Justru Warok Jogoboyo yang melengak.
Semakin bertambah saja rasa kagumnya pada si bocah bau kencur ini. Betapa tidak" Semuda itu tapi sudah memiliki kerendahan hati yang jarang dimiliki pemuda sebayanya.
Sejenak Warok Jogoboyo menghentikan langkahnya di halaman rumahnya yang kini tampak lengang. Tak ada sambutan mesra lagi dari istrinya. Tak ada lagi yang menyediakan kopi pahit untuknya. Yang bisa diteguknya kini hanya kehidupan pahit seorang warok tua.
"Ada apa, Paman" Kenapa Paman berhenti tiba-tiba?" tanya Satria.
"Ada yang kulupa, Satria."
"Apa?"
"Sekarang aku tak punya istri lagi. Lantas, siapa yang akan membuatkanmu minuman" Lalu siapa yang menyediakan makanan" Terus terang, aku terlalu kaku untuk pekerjaan itu, Satria," Warok Jogoboyo tersenyum kecut.
"Sebaiknya, ki-ta berbincang-bincang di kedai saja, ya" Kau mau" Bukankah waktu di Bukit Munthang kau kejang-kejang lantaran belum sarapan?" Satria malah tertawa. Bisa juga lelaki kasar ini mencandai dirinya. Kalau tak mengenal Warok Jogoboyo, orang memang menyangka bahwa lelaki ini berperangai kasar. Tapi sebenarnya di balik wajahnya yang pantas untuk menakut-nakuti bocah cilik, terselip kelembutannya. Itulah sifat aslinya.
"Boleh juga kalau Paman mengajakku ke sana. Tapi Paman yang bayar, ya" Terus terang, aku...."
"Slompret kau, Cah!" sembur Warok Jogoboyo, menepak bahu Satria.
"Kau tamu terhor-matku, tahu"! Ayo kita balik ke pusat kadipaten," ajaknya kemudian.
Tapi begitu mereka berbalik....
"Adi Warok Jogoboyo...!"
"Kakang Warok Singo Lodra...!" Ternyata di hadapan Warok Jogoboyo dan Satria telah berdiri Warok Singo Lodra dan Nyai Gembili. Karena begitu mengkhawatirkan keadaan Warok Jogoboyo, Warok Singo Lodra waktu berangkat ke tempat ini langsung mengerahkan ilmu lari cepatnya bersama Nyai Gembili. Dengan memotong jalan melintasi Bukit Munthang yang membelah dua kadipaten yakni Trenggalek dan Ponorogo, keduanya hanya butuh setengah hari untuk mencapai tempat ini.
Tidak seperti Nyai Kumitir yang tak memiliki ilmu olah kanuragan, maka Nyai Gembili sebenarnya adalah bekas tokoh silat wanita. Kiprahnya baru berhenti setelah menikah dengan Warok Singo Lodra. Tak heran kalau dia juga mempunyai ilmu lari cepat yang hampir setaraf dengan suaminya.
"Satria! Kita tak jadi ke kedai. Ada Nyai Gembili di sini. Kita minta tolong dia memasak yang enak-enak buat santap bersama. Kau setuju"!" sentak Warok Jogoboyo, tiba-tiba.
Tinggal Warok Singo Lodra dan Nyai Gembili yang terheran-heran. Ada apa dengan mereka" Tanya suami-istri itu, dalam hati.

* * *



Apa tanggapan Warok Singo Lodra bila mendengar kematian Nyai Kumitir" Bagaimana sepak terjang Warok Darmo Singo selanjutnya" Berhasilkah dia menemukan harta karun di Gunung Wilis" Berhasilkah Iblis Rogo Jembangan menemukan murid murtadnya yang membawa dua lempengan logam berisi petunjuk tentang setumpuk harta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi" Apa tindakan Warok Singo Lodra terhadap adik kandungnya.

SELESAI

Segera menyusul:
BISIKAN IBLIS LEMBAH KERAMAT


INDEX SATRIA GENDENG
Siluman Bukit Menjangan --oo0oo Bisikan Iblis Lembah Keramat

Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers