Life is journey not a destinantion ...

Bisikan Iblis Lembah Keramat

INDEX SATRIA GENDENG
Pertunangan Berdarah --oo0oo Pertapa Cemara Tunggal

SATRIA
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.

--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--

SEBUAH bayangan hitam melesat membelah angin pagi yang bertiup semilir. Arahnya terus menjauhi Gunung Wilis yang berdiri kokoh menantang langit. Puncaknya masih terkepung kabut tebal berwarna kehitaman. Mungkin di sana sebentar lagi akan turun hujan lebat. Buktinya matahari tak kunjung muncul yang mestinya saat ini sudah sepenggalah. Seolah bola api raksasa itu telah terkunci mati oleh gerombolan awan hitam di timur sana.
Sekian jauh berlari, si bayangan hitam terus saja mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang lumayan tinggi. Cukup cepat, sampaisampai cukup sulit untuk melihat secara jelas rupa orang bertubuh tinggi besar itu. Beberapa dahan pohon besar yang menghalangi langkahnya dilompati. Bebatuan besar juga dilompati, tak peduli kalau batu itu hanya sekepalan tangan.
Entah, apa yang dikhawatirkan si bayangan hitam. Melihat gelagatnya yang sebentarsebentar menengok ke belakang, agaknya si bayangan hitam tengah mencoba memastikan apakah ada orang yang mengejarnya Sampai di sebuah lembah bebatuan cadas menghampar, sosok bayangan tadi menghentikan langkahnya. Dia berbalik, lalu kepalanya celingukan. Seolah hendak memastikan kembali, apakah ada orang yang mengejarnya. Begitu yakin, bibir tebalnya mengukir senyum.
Sekarang, rupa si bayangan hitam menjadi jauh lebih jelas, kendati awan mendung masih menebar kegelapan. Wajahnya dipenuhi brewok lebat. Jenggotnya nyaris menutupi leher. Alis matanya tebal, menukik hendak menghujam kedua matanya yang besar. Pakaiannya komprang berwarna hitam tanpa dikancingi, seolah hendak memamerkan bulu-bulu lebatnya di dadanya yang bidang kekar. Padahal, di tempat ini tak ada seorang pun. Jadi hendak dipamerkan kepada siapa bulu-bulunya itu" Kalau sudah melihat ciri-cirinya, sudah pasti dia seorang lelaki. Sebab mana mungkin ada perempuan brewokan seperti itu kalau tidak karena kualat" Celananya juga komprang, berwarna hitam. Siapa lelaki ini" Dialah Warok Darmo Singo.
Seorang warok sesat adik dari Warok Singo Lodra yang cukup disegani di Kadipaten Ponorogo. (Baca episode: "Pertunangan Berdarah").
Setelah berhasil melarikan diri dari ancaman gurunya, Warok Darmo Singo bersumpah tak ingin kembali ke Gunung Wilis, sebelum mempunyai kesaktian yang melebihi Iblis Rogo Jembangan. Karena dia tahu, guru sesatnya itu tak akan membiarkan dirinya mengangkangi harta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi yang tersembunyi di puncak Gunung Wilis Warok Darmo Singo juga tidak bodoh. Setidaknya, dia juga harus bersiap diri untuk menghadapi kakak kandungnya sendiri yang diadu domba dengan Warok Jogoboyo. Entah siapa yang bakal jadi pemenang, yang penting dia harus mempersiapkan diri. Untuk itu, harus dicarinya tokoh sakti lain yang bisa menurunkan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepadanya. Dan dia tahu kalau di Lembah Keramat tempat dia berdiri sekarang ini tinggal seorang tokoh sakti yang konon telah lama tenggelam dari percaturan dunia persilatan. Siapa tokoh itu" Manusia Sesat Kaki Empat! "Hmmm.... Kalau tak salah, ini yang bernama Lembah Keramat. Tapi, di mana tepatnya tempat tinggal tokoh bernama Manusia Sesat Kaki Empat itu?" gumam Warok Darmo Singo.
Sang Warok sesat mengusap-usap jenggot lebatnya. Matanya terus saja jelalatan mencaricari. Liar, matanya menyapu hamparan lembah yang berupa tanah bebatuan cadas yang sebagian besar terselimuti lumut hijau. Di kanan-kiri lembah mengapit dua buah bukit tak terlalu besar.
"Namanya Lembah Keramat. Cukup menggidikkan. Tapi tempatnya tak sesuai namanya.
Biasa saja. Apa yang menakutkan dari lembah ini?" tanyanya, masih menggumam.
Salah besar kalau Warok Darmo Singo menduga demikian. Dia tak tahu kalau di lembah ini justru tempat di mana para iblis dari segala jenis berkumpul, bercengkrama membangun sebuah pesta pora dari sejak matahari terbenam hingga fajar menyingsing......
Perlahan tapi pasti, kaki kekar Warok Darmo Singo melangkah menuju kaki lembah sebelah kiri. Entah, bisikan apa yang membuat langkahnya tertuju ke sana. Bahkan hatinya sendiri malah bertanya-tanya. Heran" Kenapa seolah ada yang menuntunku ke bukit sebelah kiri itu" Dan, kenapa aku tak mampu menolaknya" Hati galau Warok Darmo Singo makin larut dalam ketidakberdayaan. Terperangkap dalam sebuah kekuatan yang tak mampu ditepisnya. Kekuatan yang menyeret langkahnya menuju bukit sebelah kiri. Bukit Para Dayang! Edan! Kenapa hatiku tiba-tiba ciut begini" Setan alas! Sumpah serapah dari bibir tebalnya menyusul kemudian. Menyumpah-nyumpah begitu, tapi tetap saja langkahnya tak kuasa dihentikan. Ini yang membuat hatinya terus bertanyatanya tak mengerti. Bahkan sedikit-demi sedikit hatinya mulai digerogoti rasa takut yang kian mendera. Tiba di kaki bukit yang hanya tersusun dari tumpukan batu cadas, jantung Warok Darmo Singo makin berdetak amat kencang. Aliran darahnya seolah terbalik. Perasaannya jadi tak menentu. Tingkahnya bagaikan orang linglung. Tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di hati kecilnya yang paling dalam, Warok Darmo Singo berusaha berontak dari ketidakmengertian. Malah, tenaga batinnya berusaha dikerahkan. Tapi tetap saja langkahnya terus bergerak mendekati dinding bukit cadas berselimut lumut hijau.
"He he he.... Selamat datang di Bukit Para Danyang, Anak Manusia! Aku tahu maksud kedatanganmu dari sinar matamu yang tersaput kerakusan. Kau tahu nafsu besarmu, Anak Manusia.
Sungguh tepat kau dapat ke Istanaku...." Suara berat menyentak akal waras Warok Darmo Singo. Mendadak saja, rasa linglungnya terdepak entah ke mana. Dan matanya jadi jelalatan tak mengerti, mengapa dia tak bisa mengelak dari kekuatan halus yang membawanya ke tempat ini"
"Siapa kau"!" bentak Warok Darmo Singo begitu bisa menguasai diri. Suaranya menggelegar, seolah hendak menohok langit. Bergaung ke segala arah, terbawa angin yang mendesah-desah lirih.
"He he he.... Suaramu begitu keras, tapi hanya patut untuk menakut-nakuti kucing kurus yang besok pagi mau mati. Kalau aku tahu maksud kedatanganmu yang ingin berguru kepadaku, apakah kau masih perlu tahu namaku" Simpan saja pertanyaanmu di puser bodongmu itu, Anak Manusia.... He he he...," leceh suara tak berwu-jud, membuat Warok Darmo Singo tercekat.
"Ja..., jadi kau Manusia Sesat Kaki Empat...?" gagap lelaki tinggi besar ini. Tingkahnya jadi serba salah.
Keberaniannya yang semula muncul kembali kontan terusir begitu saja. Wajahnya mendadak pucat pasi. Sementara, matanya tak seliar tadi.
"Sudah kubilang, simpan saja pertanyaanmu itu, Anak Manusia! Sekarang, ikuti perintahku!" Suara sarat kekuatan batin kontan mengoyak nyali Warok Darmo Singo. Penuh tekanan dan mengandung sebuah kekuatan yang membuat Warok Darmo Singo kembali bagai orang linglung! "Nah! Kau sekarang sudah berada di bawah pengaruhku! Kau harus patuhi segala perintahku! Mengerti"!" lanjut suara berat tadi.
"Mengerti...," lirih, suara Warok Darmo Singo terlempar dari bibir tebalnya. Tak segalak tadi. Tak seberat tadi. Semuanya serba ringan, se-ringan kakinya yang seolah tak bertenaga lagi.
"Sekarang, dekati batu besar runcing di sebelah kananmu!" perintah wujud yang masih kasat mata.
Perlahan namun pasti, kaki Warok Darmo Singo melangkah terseret ke arah batu yang dimaksud. Pandangannya kosong tanpa makna.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kata-kata seolah bagaikan sabda yang memang harus diturutinya. Tiba di dekat batu besar runcing-runcing itu, langkah Warok Darmo Singo terhenti begitu saja. Sepertinya, ada sebuah kekuatan yang menuntunnya.
"Kau lihat sebuah mulut goa di balik batu itu" Nah, masuklah!" lanjut suara tadi.
Kembali langkah Warok Darmo Singo bergerak. Dilewatinya batu cadas runcing-runcing yang bagaikan sebuah tugu ini. Dengan pandangan kosong, didekatinya sebuah mulut goa yang tak begitu besar yang cukup dimasuki satu orang saja. Karena tubuhnya agak besar, susah payah Warok Darmo Singo memasuki mulut goa. Akibatnya, pakaian komprangnya tersangkut taringtaring batu cadas yang membentuk mulut goa.
Sobek di sana-sini. Tapi dia tak peduli. Padahal, sebagian tubuhnya mulai terasa perih oleh gore-san taring-taring cadas.
Berhasil. Warok Darmo Singo berhasil memasuki mulut goa yang bagaikan memasuki mulut buaya itu. Dan baru beberapa langkah dari mulut goa, sebuah kegelapan amat kental menghadangnya. Tapi, karena jalan pikirannya bagaikan dituntun oleh sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya, langkahnya seperti tak peduli bergerak memasuki perut goa.
Makin masuk melangkah, perut goa makin melebar. Dalam kegelapan, Warok Darmo Singo berusaha membuka matanya selebar mungkin.
Berusaha menembus kepekatan kendati tatapannya nyaris tak bermakna. Kosong tanpa mengerti kenapa kakinya enak saja melangkah tak tersandung sedikit pun.
"Dua langkah lagi, kau berbelok ke kanan.
Maka kau akan sampai ke hadapanku!" suara berat kembali terdengar. Bergema terpantul dindingdinding goa. Benar. Dua langkah kemudian, terdapat mulut lorong lain. Tapi suasananya tak segelap tadi. Begitu Warok Darmo Singo berbelok ke kanan dan memasuki mulut lorong, cahaya remangremang dari sebuah obor tak begitu besar yang terpancang di dinding lorong goa segera menyambutnya. Sepuluh langkah kemudian, Warok Darmo Singo telah tiba di sebuah ruangan cukup lebar.
Terasa lembab, dan berhawa busuk menyesakkan.
"He he he.... Kau telah sampai di hadapanku, Anak Manusia. Duduklah di hadapanku," ujar suara berat bergema. Bahkan kali ini suara itu kembali seperti mengandung kekuatan batin, sehingga menyadarkan jalan pikiran Warok Darmo Singo. Lelaki tinggi besar itu melengak. Terkejut menyadari dirinya tahu-tahu telah berada di tempat ini. Seolah, dia baru saja terbangun dari tidur.
"Di..., di mana aku?" tanyanya, tak mengerti.
Tatapan Warok Darmo Singo kuyu mengarah ke pojokan ruangan pengap berhawa busuk ini. Di situ duduk bersila seorang lelaki tua kurus di atas sebuah batu cadas berbentuk pipih. Tak berbaju, kecuali bagian bawahnya yang ditutupi kain kusam yang dibebatkan begitu saja. Rambutnya putih tak terurus dibiarkan tumbuh begitu saja. Kumis dan jenggotnya juga telah memanjang tak terurus, menjuntai bagai akar-akar pohon beringin.
"He he he.... Sungguh tak salah kau ingin berguru denganku, Anak Manusia. Selamat datang di kediaman Manusia Sesat Kaki Empat." ka-ta lelaki tua berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Kendati tadi telah disuruh duduk, tetap saja Warok Darmo Singo masih terpaku berdiri. Matanya terus mengawasi lelaki tua di depannya Katanya, berkaki empat. Mana kakinya yang dua lagi" Tanya lelaki tinggi besar ini.
"Kau mau tahu dua kakiku yang lainnya, ya?" tebak Manusia Sesat Kaki Empat, membuat Warok Darmo Singo terperanjat.
Tak menyahut, kepala lelaki tinggi besar itu manggut-manggut.
Untuk memenuhi keingintahuan Warok Darmo Singo, masih dalam bersila Manusia Sesat Kaki Empat memutar tubuhnya. Tanpa kesulitan.
Berputar begitu saja di atas pantat teposnya yang bagai memiliki sumbu. Sungguh sebuah kepandaian yang menakjubkan! Pantatnya sama sekali tak terangkat. Tak terlihat tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaga.
Begitu berbalik, terlihat di atas pantat Manusia Sesat Kaki Empat tumbuh dua kaki yang juga dalam keadaan bersila. Begitu santai, layaknya dua kaki yang ada di depannya. Maka makin lengkap kalau lelaki tua itu pantas berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Siapakah dia..."


--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--

KADIPATEN Trenggalek. Alam baru saja diguyur hujan lebat. Siang mulai merambat. Matahari masih terkunci rapat oleh gerombolan awan hitam yang membangun sebuah kekuasaan di langit hitam pekat. Menebar rintik-rintik air dari langit diselingi sambaran kilat. Di ruang tengah rumah Warok Jogoboyo, bocah sakti tanah Jawa baru saja menandaskan ayam goreng masakan Nyai Gembili, istri Warok Singo Lodra. Mulutnya masih berdecap-decap. Lalu dicungkilinya sisa-sisa daging ayam yang masih nyempil di sela-sela gigi putihnya. Sesekali terdengar sendawanya yang membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua warok itu kini semakin paham pada tabiat si anak muda bernama Satria Gendeng.
Tabiat sinting warisan Dongdongka jelas tergambar pada tingkah laku Satria. Mudah-mudahan saja wajah jelek Dongdongka tak ikut terwarisi pada si anak muda ini. Begitu harapan dua warok yang paling ditakuti di Kadipaten Trenggalek dan Kadipaten Ponorogo itu.
"Rasanya baru kali ini aku makan ayam goreng begini nikmatnya. Enak sekali masakan istrimu, Paman Warok Singo." pecah Satria, memuji "Mungkin karena perutmu kelewat lapar, sehingga masakan sederhana itu kau bilang enak," tepis Warok Singo Lodra, tak ingin menon-jolkan kepandaian istrinya dalam hal memasak.
"Satria benar, Kakang. Mendiang istriku saja tak bisa menyamai kepandaian istrimu dalam hal memasak," Warok Jogoboyo memperkuat pujian Satria.
Nyai Gembili yang duduk di sebelah Warok Singo Lodra hanya tersipu. Bisa jadi hatinya ber-bunga-bunga. Sebab sebagai tokoh persilatan pula, ternyata kepandaian masaknya tak pernah kalah dari wanita kebanyakan.
Warok Jogoboyo sendiri merasa bersyukur atas kedatangan Warok Singo Lodra dan istrinya.
Artinya, kedatangan kakak seperguruannya sedikit banyak cukup mengobati rasa dukanya saat ini. Betapa tidak" Belum lama Ratna Kumala anaknya tewas di tangan anak buah Warok Darmo Singo. Lalu dirinya diadu domba dengan Warok Singo Lodra kakak seperguruannya. Kemudian ketika baru tiba di rumah, dia dikabari bah-wa istrinya telah tewas dan telah dikuburkan di pemakaman umum di pinggiran kadipaten (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
Sewaktu Warok Singo Lodra datang bersama istrinya, Warok Jogoboyo langsung meminta Nyai Gembili untuk memasakkan untuknya. Saat Nyai Gembili pergi ke pasar, Warok Jogoboyo segera menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di rumahnya. Termasuk tentang hilangnya potongan lempengan logam warisan guru mereka, Resi Kalangwan. Nyatanya, kekhawatiran Warok Singo Lodra terbukti. Sejak dari rumah, pikirannya telah dihantui kekhawatiran terhadap Nyai Kumitir istri Warok Jogoboyo, serta hilangnya potongan lempengan logam seperti yang dialaminya.
Untungnya, kedua warok itu tak begitu kalut menghadapi hilangnya potongan lempeng logam yang mereka miliki. Kini mereka seolah tak begitu mempersoalkan warisan guru mereka yang berisi peta petunjuk tentang sebuah harta karun dan sebuah kitab suci berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi. Yang jadi persoalan buat mereka adalah, Warok Darmo Singo. Manusia laknat yang telah mengadu domba mereka. Mereka tahu, tak mudah untuk menemukan harta karun dan kitab sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan di puncak Gunung Wilis. Sebab, tak mudah untuk memecahkan makna yang tergurat di atas peta.
Disamping membutuhkan otak cerdas, juga membutuhkan kebersihan jiwa yang amat tinggi.
Itu yang membuat mereka tak begitu kalut. Lagian, mana ada tokoh yang memiliki hati bersih" Dan bila Warok Darmo Singo berhasil mendapatkan kedua potongan lempeng logam itu, bukan berarti bisa mengangkangi harta serta kitab sakti tadi. Cuma saja, sepak terjangnya itulah yang membuat kedua warok geram bukan main.
Mengadu domba serta membuat anakanak mereka harus menerima akibatnya. Ini yang membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo merasa harus membuat perhitungan dengan Warok Darmo Singo. Begitu pulang dari pasar, Nyai Gembili baru diceritakan tentang keadaan Nyai Kumitir.
Sempat perempuan ini memarahi suaminya yang tidak segera menceritakan, tapi segera dilerai Warok Jogoboyo dan Satria Gendeng.
"Kira-kira, kapan Paman Warok berdua akan segera mencari biang kutil itu?" letus Satria, tiba-tiba.
Bujubuneng! Satria menyebut Warok Darmo Singo biang kutil di hadapan Warok Singo Lodra" Sesesat-sesatnya Warok Darmo Singo bukankah dia adik kandung Warok Singo Lodra" Enteng betul mulut si bocah bau kencur itu. Kalau Warok Darmo Singo biang kutil, lalu Warok Singo Lodra apa" Kakeknya kutil" Atau rajanya kutil" Tapi mana mau peduli si bocah bertabiat sinting dengan segala ucapannya. Baginya, segala ucapan yang terlempar dari mulutnya tak lebih dari kentut yang berlalu begitu saja. Nyaris tanpa makna. Kecuali dalam hal-hal tertentu.
"Sebentar lagi kami berangkat, Satria. Sasaran pertama kami adalah Gunung Wilis. Kami yakin, dia menuju ke sana," jawab Warok Singo Lodra, tak tersinggung adik kandungnya dibilang biang kutil. Baginya, julukan apa saja yang buruk-buruk bagi adik kandungnya tak cukup untuk mengampuni perbuatan adiknya. Ganjaran yang pantas bagi Warok Darmo Singo hanyalah mati! Begitu tekadnya.
"Kau bersedia membantu kami, Satria?" se-la Warok Jogoboyo, menoleh pada si bocah tengik. Dasar Satria. Tawaran Warok Jogoboyo baginya dianggap sebagai penghormatan besar. Perasaannya pun melambung. Dadanya sedikit terangkat. Cuma karena tidak tahu harus bagaimana melampiaskannya, walhasil mulutnya hanya cengar-cengir serba salah.
"Tentu, tentu, Paman. Sekuat tenaga aku akan membantu kalian. Asal...." Satria memenggal kata-katanya. Sengaja.
Entah, apa maksudnya.
"Asal apa, Satria?" tanya Warok Singo Lodra, penasaran.
"Asal Paman Warok berdua bisa mengendalikan diri masing-masing. Artinya, tak gampang menjadi korban adu domba lagi," kata-kata Satria meluncur begitu saja dan seolah ditujukan kepada kedua warok. Tapi justru yang blingsatan malah Warok Singo Lodra. Sebab, dialah orang keras kepala dengan menuruti bisikan setan selama ini.
"Maksudku begini," Satria berusaha menjelaskan lebih lanjut, tak enak bila dia menyinggung perasaan Warok Singo Lodra.
"Jika Kalian berhadapan dengan Warok Darmo Singo, yang ada di hadapan kalian adalah kejahatan. Bukan Warok Darmo Singo. Masalahnya, yang kita perangi adalah kejahatan, bukan adik kandung Warok Singo Lodra.
Dan bukan mustahil, Warok Darmo Singo akan mempersiapkan diri dengan siasat-siasat lain, yang belum kita ketahui." Mestinya, kedua warok amat marah dinasihati bocah kemarin sore di hadapan mereka ini.
Tapi, entah kenapa kedua warok ini memandang Satria Gendeng bak layaknya seorang resi yang membawa perbawa tinggi. Bahkan kepala mereka manggut-manggut, seolah tengah berhadapan dengan guru mereka sendiri. Edan! Malaikat mana yang tengah merasuki si bocah bertabiat sinting"
"Kami mengerti, Satria. Mudah-mudahan kami bisa memandang lebih jeli dengan siapa kami berhadapan, tanpa memandang siapa lawan. Kini, aku sendiri lebih mengerti, apa hidup sebenarnya. Bahwa hidup selalu tak lepas dari persoalan. Dan setiap persoalan butuh penyelesaian, kendati itu terasa pahit. Biar bagaimanapun kita harus menghadapinya. Sejak aku tahu bahwa adikkulah yang menjadi pokok permasalahannya, aku telah bersumpah untuk melenyapkannya. Aku tak peduli, siapa dia. Meski, dia adalah adik kandungku sendiri.
Karena aku juga menyadari yang kuhadapi adalah kejahatan, bukan adik kandungku," papar Warok Singo Lodra tegas.
"Syukur kalau Paman Warok Singo Lodra berpandangan demikian. Lalu, bagaimana dengan Paman Warok Jogoboyo?" lempar Satria. Kepalanya menoleh pada tuan rumah.
"Sebenarnya, hukum warok memang demikian, Satria. Kami tak memandang siapa yang bersalah. Kami hanya memandang kesalahannya.
Dan menurut kami, kesalahan Warok Darmo Singo sudah di luar batas. Maka dengan amat terpaksa tanpa mengurangi rasa maafku pada Kakang Warok Singo Lodra, aku harus membunuhnya," Warok Jogoboyo menatap Warok Singo Lodra.
"Jangan bicara begitu, Adi Warok Jogoboyo. Rasanya justru aku merasa malu terhadapmu. Seandainya nanti kau harus membunuh adik kandungku di hadapanku, rasanya aku pun ingin meludahi mayatnya. Bahkan rasanya itu belum cukup. Kau tahu sendiri, anakku Nawangsih telah dibuat gila olehnya," geram Warok Singo Lodra, bila mengingat perbuatan Warok Darmo Singo.
"Gila" Siapa yang gila, Paman Warok?" malah Satria yang tercekat.
"Anakku, Satria. Nawangsih. Karena perbuatan adik kandungku, Nawangsih kini kuungsikan di rumah kerabat istriku. Aku benar-benar terpukul, Satria. Aku malu karena anakku gila...," desah Warok Singo Lodra, sarat kegalauan.
Satria manggut-manggut. Berat juga persoalan yang dihadapi kedua warok ini, katanya dalam hati. Mereka sama-sama terkena musibah akibat ulah biang kutil itu. Seperti apa sih orangnya" Rasanya tanganku sudah gatal ingin membrondoli bulu-bulunya. Tentu saja tidak untuk bulu yang itu, lanjutnya, mesam-mesem sendiri.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah Paman Warok Singo Lodra. Mudah-mudahan saja, aku bisa menyembuhkan putri Paman," cetus Satria.
"Apa"!" ledak Warok Singo Lodra, kontan berdiri dari duduknya. Matanya melotot, nyaris membuat jantung Satria copot.
"Kau bisa menyembuhkan anakku, Satria"!" lengaknya, nyaris tak percaya.
Menyesal Satria berkata begitu. Pelototan Warok Singo Lodra tak sedikit banyak membuat tangannya harus mengelus-elus dada. Kaget sih kaget. Tapi jangan pakai melotot begitu, dong! Rutuk Satria dalam hati. Sudah tampangnya seram, pakai melotot lagi. Apa jadinya tak seperti gendruwo"
"Ya, lihat saja nanti, Paman. Aku tak mau membuat janji. Yang penting aku akan mengusahakannya," sahut Satria, kalem.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Satria," ucap Nyai Gembili, terharu, seraya meremasremas tangannya sendiri. Maksudnya sih mau meremas-remas Satria dalam pelukannya, tapi rasanya suaminya bakal naik pitam.
Saking harunya, justru Warok Singo Lodra yang menghampiri Satria. Dipeluknya si bocah sakti tanah Jawa yang masih duduk di kursi makan. Tinggal Satria yang meringis-ringis, tergelitik oleh bulu-bulu lebat di wajah Warok Singo Lodra.
"Terima kasih, Satria. Kalaupun kau tak berhasil menyembuhkan anakku, aku tetap akan menghargai usahamu. Niat baikmu menunjukkan bahwa kau adalah pendekar sejati yang selalu peduli pada kesulitan orang lain," ucap Warok Singo Lodra.
"Dan aku juga akan berterima kasih jika kau sudi menyingkirkan bulu-bulu dari wajahku, Paman Warok. He he he.... Geli, tahu!" semprot Satria.
"He he he.... Edan..., edan. Heran. Aku kok tak bisa marah padamu, Can Bagus! Mungkin kalau orang lain sudah kukemplang kepalanya bila berani mengusik-usik bulu-buluku. Tapi terhadapmu?" Warok Singo Lodra melepaskan pelukan seraya menggeleng-geleng kepala.
"Tapi aku tak tahu ada di mana anakmu, Paman?" tanya Satria.
"Kau bisa ke Ponorogo bersama istriku," kata Warok Singo Lodra.
"Paman tak cemburu?" Satria melirik nakal pada Nyai Gembili yang masih terlihat cantik, kendati usianya telah kepala empat.
"Aku sangat percaya padamu, Cah Bagus!"
"Kenapa Paman begitu percaya kepadaku?"
"Karena kau Satria Gendeng."
"Kalau aku bukan Satria Gendeng?"
"Pasti kau orang gendeng! Ha ha ha...."

* * *



Kadipaten Ngawi pada waktu yang sama.
Sehabis makan siang. Adipati Suro Brajan duduk bersama Panglima Adi Kencono di pendopo keraton. Di sebelah sang Adipati duduk seorang pemuda berpakaian kebesaran keraton. Sedangkan istri sang Adipati tak terlihat. Mungkin sedang berada di kaputren bersama putri perempuannya yang beranjak dewasa.
"Kau sekarang telah mengerti keadaan Nawangsih. Dan kau telah bertekad untuk tetap menikahinya. Apa kau tak malu mempunyai istri gila, Anakku?" tanya Adipati Ngawi, pada pemuda di sebelahnya.
Dialah Senoaji. Putra sang Adipati yang belum lama pulang ke keraton setelah berguru ilmu olah kanuragan di Padepokan Blambangan.
"Apa pun keadaan Nawangsih, aku tetap akan menikahinya, Ayah. Aku yakin Gusti Yang Maha Agung akan menyembuhkan Nawangsih," tegas Senoaji. Yakin, seyakin-yakinnya. Tutur katanya pun terdengar halus, tapi mengandung ketegasan.
"Aku kagum padamu, Anakku. Ternyata di Blambangan kau tak hanya ditempa ilmu-ilmu silat, tapi juga ditempa dengan sifat-sifat welas asih. Kata-katamu benar-benar membanggakanku, Anakku. Lalu, kapan kau akan pergi ke Ponorogo?" Mata sang Adipati berbinar-binar, meman-carkan rasa kekaguman yang tak dibuat-buat. Tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Mungkin sore nanti aku akan berangkat, Ayah. Apakah Ayah tak keberatan?" sahut Senoaji, halus.
"Oh, tidak. Kendati rasa rinduku belum habis, tapi demi memulihkan nama baikku di hadapan Kakang Warok Singo Lodra, aku rela melepasmu. Jaga nama baik Ayah di hadapan Warok Singo Lodra. Sampaikan salam hormatku padanya," Adipati Suro Brajan mengucek-ucek rambut panjang anaknya.
"Sekarang, aku mohon restu Ayah. Doakan agar aku senantiasa dilindungi oleh-Nya," Senoaji mengatupkan kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Tentu, Anakku. Doaku selalu mengiringi langkahmu. Dan kau bisa ditemani Panglima Adi Kencono selama perjalananmu," Adipati Suro Brajan memandang lelaki gagah berpakaian panglima di hadapannya yang duduk bersila di lantai beralaskan permadani halus.
Senoaji memandang pula pada panglima yang tengah menakupkan kedua telapak tangan di depan hidung. Lalu bibir si pemuda tersenyum.
Sumringah sekali.
"Aku rasa tak perlu, Ayah," tolak Senoaji, membuat ayahnya terlengak.
"Apa maksudmu, Anakku" Perjalanan menuju Ponorogo cukup berbahaya. Perampok yang dipimpin Tentara Langit masih berbahaya di Hutan Wonocolo. Sedangkan kau mau pergi seorang diri?" terabas sang Adipati.
"Maksudku bukan apa-apa, Ayah. Justru kalau aku ditemani Paman Panglima Adi Kencono malah menarik perhatian mereka. Maka untuk itu, aku akan menyamar sebagai rakyat jelata.
Apakah Ayah tak keberatan?" Sejenak Adipati Suro Brajan tercenung. Bisa jadi pendapat anaknya benar. Sebab, kebanyakan para perampok di Hutan Wonocolo telah mengenali wajah Panglima Adi Kencono. Begitu seringnya sang Panglima menyatroni hutan itu, membuat wajahnya gampang dikenali. Lain halnya Senoaji.
"Bagaimana, Ayah?" usik Senoaji.
"Kalau itu sudah jadi tekadmu, aku menurut saja. Aku yakin kau tak sia-sia memperdalam ilmu-ilmu silat dan kesaktian di Blambangan.
Doaku menyertaimu," desah sang Adipati.
"Oh, terima kasih, Ayah...." Senoaji bangkit, lalu memeluk erat-erat ayahnya.


--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--

TOKOH tua mana yang tak mengenal Manusia Sesat Kaki Empat" Kalau bisa mundur seratus tahun lalu, maka dunia persilatan tak akan lupa dengan sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat. Boleh dibilang, tokoh itu adalah datuknya kaum sesat di kawasan Jawa bagian Timur. Konon, ia berasal dari tanah Bali. Atau tepatnya di Gunung Agung.
Begitu menginjakkan kakinya di Banyuwangi, petaka pun dibuatnya. Sejarah kelam pun ditorehnya dalam dunia persilatan. Dengan alasan yang hanya sepele, tangan kejamnya pun bisa memakan korban jiwa. Bahkan hanya persoalan kentut sekalipun! Pernah suatu kali, Manusia Sesat Kaki Empat bertandang ke sebuah desa di Banyuwangi. Di sebuah kedai, kebetulan dia berpapasan dengan seorang lelaki tua yang kebelet buang air besar lantaran sakit perut. Si tua itu tanpa sengaja kentut di hadapan Manusia Sesat Kaki Empat.
Tak ayal lagi, tangannya pun melayang tanpa belas kasihan. Sekali kepruk, nyawa si tua itu tercabut! Sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat berlanjut. Akibatnya membuat kepala Adipati Banyuwangi puyeng senat-senut. Bahkan kemudian di kadipaten itu berjangkit sebuah penyakit mengerikan, akibat ulah racun yang ditebarkan Manusia Sesat Kaki Empat di sungai yang menjadi sumber kehidupan rakyat Banyuwangi.
Untuk menghentikan sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat, Adipati Banyuwangi lantas meminta bantuan Resi Kalangwan. Dan lewat sebuah pertarungan sengit, Manusia Sesat Kaki Empat bisa dikalahkan. Maka sejak itu si tokoh sesat lenyap entah ke mana. Tak berbekas, bagai kentut yang meletus dari pantat. Terbawa angin, lalu lenyap tak tahu juntrungannya.
Tak ada yang tahu kalau kemudian Manusia Sesat Kaki Empat bersembunyi di Lembah Keramat, kecuali orang-orang tertentu di kalangan tokoh sesat. Kalaupun Warok Darmo Singo bisa tahu tentang tempat tinggal Manusia Sesat Kaki Empat, maka itu tak lain dari cerita guru sesatnya yang bergelar Iblis Rogo Jembangan. Secara kebetulan, ketika Warok Darmo Singo tiba di Lembah Keramat, sebuah suara telah menuntunnya. Membawanya ke hadapan tokoh yang diharapkan bisa membantu dirinya.
Manusia Sesat Kaki Empat.
Waktu terus bergulir.
Seperti air mengalir.
Hari-hari lalu mulai tersingkir.
Lama berpikir, akhirnya Warok Darmo Singo memutuskan untuk menjadikan Manusia Sesat Kaki Empat sebagai guru terakhir. Tekadnya sudah bulat. Hatinya membaja "Aku telah membuat keputusan untuk menjadi muridmu, Manusia Sesat Kaki Empat," putus Warok Darmo Singo waktu itu, ketika lelaki tua kurus berkaki empat di hadapannya menjelaskan asal-usul dirinya.
"Bagus ... bagus.... Kau tak salah pilih. As-al tahu saja, aku telah memperdalam sebuah ilmu hitam yang dapat kau gunakan untuk menghadapi musuh-musuhmu, Kau mau?" lanjut Manusia Sesat Kaki Empat.
Warok Darmo Singo mengangguk cepat.
Karena, memang itu yang diharapkannya.
"Tapi ada syaratnya...," sambung lelaki tua keropos itu.
"Apa syaratnya?"
"Cari mayat perawan yang meninggal tak lebih dari setengah purnama. Dan, bawa mayat itu ke sini," jelas Manusia Sesat Kaki Empat, gamblang.
Warok Darmo Singo melengak. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri. Matanya mendelik. Bibir tebalnya meringis jelek.
"A..., apa... ada syarat lain?" gagapnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo, kalau berurusan dengan gali kubur hatinya kebat-kebit juga. Memang, dia sudah sering melihat mayat-mayat dari orang-orang yang dibunuhnya.
Tapi kalau melihat mayat yang telah lama dipendam dalam tanah"
"Kalau kau minta syarat lain, enyah saja dari hadapanku!" semprot Manusia Sesat Kaki Empat, enteng.
"Tap..., tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cari mayat tepat pada tengah malam. Terserah, di kuburan mana kau cari. Pastikan kalau mayat itu masih perawan. Kau sanggup"!" tekan Manusia Sesat Kaki Empat, lebih galak lagi nada suaranya. Biji matanya nyaris melompat keluar.
Tak ingin berbelit-belit, kepala Warok Darmo Singo mengangguk-angguk.
"Sang..., sanggup!" katanya. Hati ciutnya berusaha dikembang-kan.
"Nah, pergilah sekarang juga. Kuberi kau waktu selama lima hari. Lewat dari hari yang ku-tentukan, jangan bermimpi bisa berguru denganku!"
"Baiklah, Manusia Sesat Kaki Empat," baru saja Warok Darmo Singo hendak bangkit....
"Hei, Slompret!" bentak lelaki tua kropos.
Tercekat, Warok Darmo Singo menahan gerakannya. Lalu, kembali duduk bersila seperti ta-di.
"Mana hormatmu terhadap gurumu"!" ledak si tua berkaki lebih.
"Oh, maaf. Sembah hormatku padamu, Guru," ucap lelaki tinggi besar itu seraya menakupkan kedua tangan di depan hidung. Lalu tubuhnya berbalik, meninggalkan ruangan goa ini.
Untuk menuntun jalan dalam kegelapan, dicabutnya obor yang menancap di dinding.

* * *



Siang terik. Dua sosok manusia gagah menempatkan telapak tangannya di jidat. Tatapan mereka terarah ke puncak Gunung Wilis yang tinggi menjulang seolah hendak menggapai langit. Keduanya sama-sama mengenakan pakaian komprang warna hitam tanpa dikancingi. Seolah hendak memamerkan bulu-bulu lebat di dada kekar mereka.
Celana mereka berwarna sama, juga terlihat komprang. Wajah mereka pun sama-sama ditumbuhi bulu-bulu lebat. Yang membedakan satu sama lain, yang seorang bertubuh lebih tambun.
Siapa mereka" Siapa lagi mereka kalau bukan Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo" Dua warok satu perguruan yang belum lama diadu domba oleh Warok Darmo Singo, adik kandung Warok Singo Lodra sendiri" (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
"Kau yakin Darmo Singo ada di sana, Kakang?" buka Warok Jogoboyo. Mata jelinya mengarah ke puncak Gunung Wilis.
"Kalau keparat itu sudah mendapatkan dua potongan lempeng logam warisan Guru kita, ke mana lagi tujuannya?" tukas Warok Singo Lodra, yakin sekali.
"Aku heran, bagaimana Darmo Singo bisa tahu kalau kita memiliki peta itu, Kakang?"
"Tak usah heran, Adi. Kalau kita tahu bahwa Iblis Rogo Jembangan masih hidup, keherananmu akan terjawab."
"Maksudmu" Kau curiga bahwa di balik peristiwa ini, Iblis Rogo Jembangan adalah dalangnya?"
"Tepat. Karena, siapa lagi manusia sesat yang mengetahui tentang lempeng logam warisan Guru kita kalau bukan dia?"
"Jadi dugaanmu, Warok Darmo Singo telah berguru pada Iblis Rogo Jembangan?"
"Kau tepat lagi. Sebenarnya sudah lama aku curiga padanya. Terutama ketika dia membawa-bawa senjata pusaka Keris Klabang Ijo yang kita ketahui milik Iblis Rogo Jembangan. Semula aku tak peduli, karena kupikir itu urusannya.
Dan lagi saat itu dia sedang patah hati, setelah cintanya ditolak oleh seorang gadis," papar Warok Singo Lodra.
Sejenak suasana jadi mati. Alam seolah membisu. Angin gunung mendesah-desah, menerpa wajah mereka. Warok Singo Lodra mengembuskan napas sesak. Dadanya menggelegak bila mengingat perbuatan adik kandungnya.
"Ternyata ketidakpedulianku membawa petaka. Aku tahu, tabiat adik kandungku beberapa tahun ini. Begitu brangasan. Tapi sungguh tak kuduga kalau tindakannya telah terlalu jauh. Aku benar-benar menyesal, Adi," desah Warok Singo Lodra.
"Sudahlah, Kakang. Aku sendiri telah ik-hlas dengan kepergian istri dan anakku. Aku yakin, semua ini karena kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi kau tak perlu menyesal lagi, Kakang.
Yang penting sekarang, kita harus memerangi kejahatan yang dilakukan Darmo Singo, seperti kata bocah digdaya bernama Satria itu," hibur Warok Jogoboyo.
"Kau benar, Adi. Rasanya kita tak perlu menyesali apa yang telah terjadi. Hhmmmh! Aku tak akan peduli, siapa yang akan kuhadapi. Meski harus berhadapan dengan adik kandungku sekalipun!" geram Warok Singo Lodra.
"Sekarang, mari kita melanjutkan perjalanan, Kakang," ajak Warok Jogoboyo.
Tak menjawab, Warok Singo Lodra segera menggebah kuda kekarnya. Gerakannya segera diikuti Warok Jogoboyo.
Tapi baru saja beberapa tarikan napas mereka menggebah....
Wrrrr...! "Awas, Adi!"
"Hih!" Satu sambaran angin menderu. Memburu.
Membawa satu ancaman maut dengan sebentuk kekuatan dahsyat. Tapi, kedua warok tak kalah sigap. Tangkas, keduanya melenting dari punggung kuda yang masih berlari kencang. Di udara, mereka berputaran lalu meluruk turun ke bumi. Di tanah, keduanya segera mengedarkan pandangan. Mata besar mencorong mereka mendelik, mencari-cari siapa orang yang berani usil terhadap mereka.
Sebuah pohon yang terhantam angin menderu tadi kontan tumbang. Menciptakan suara gemuruh. Batang pohon yang jadi sasaran tampak hangus. Jelas, angin menderu yang agaknya dari sebuah pukulan jarak jauh itu dilepaskan oleh seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Kalau saja kedua warok itu tidak bertindak sigap, bisa dipastikan akan mengalami nasib serupa seperti pohon tadi.
Selagi kedua warok masih mengedarkan pandangan....
"Dilarang memasuki kawasan Gunung Wilis...." Sebuah suara serak dan kasar menahan gerak kepala kedua warok.
Tersentak, mereka lantas saling berpandangan. Suara tadi seperti dari belakang. Tapi ketika tadi mereka melihat ke belakang, tak sepotong manusia pun ada di sana.
Lantas, siapa yang bersuara" Penasaran, Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo saling mengadu punggung sambil terus mengedarkan pandangan. Tapi, tak juga ditemukan orang yang bersuara tadi.
"Tikus brewok macam kalian sebaiknya cepat menyingkir dari sini, sebelum kesabaranku habis!" Kembali suara serak dan kasar menyentak.
Membuat kegeraman kedua warok mulai menggelegak. Bagi mereka, manusia yang tak mau menampakkan diri setelah melepas serangan gelap adalah pengecut. Dan kedua warok ini paling tidak sudi dipermainkan oleh pengecut busuk! "Siapa pun kau, keluar pengecut busuk! Kami tak punya waktu untuk mengurusi manusia pengecut macam kau!" sembur Warok Singo Lodra, tak kuasa menahan kegeraman. Gelegar suaranya bagai hendak menohok langit. Menggema, menyebar ke segala penjuru. Matanya sendiri telah memerah, menyiratkan kemarahannya. Uraturat lehernya mengembung dengan gigi bergemulutuk.
"Kalian menantangku?" leceh suara serak.
"Jika kau mengusik kami, apa salahnya?" sambut Warok Jogoboyo.
"Mendiang guru kalian si tua keropos Resi Kalangwan saja belum bisa mengalahkanku. Kini kalian hendak menantangku. Sebenarnya, aku masih penasaran dengan si tua keparat Kalangwan. Sayang, dia keburu mampus. Mungkin sekarang tinggal tengkorak, ya?" Suara serak tadi kembali bernada melecehkan.
Kembali, kedua warok itu tersentak. Setidaknya, mereka mulai bisa menerka suara siapa yang terdengar. Apakah mungkin musuh besar guru mereka telah hadir pula di Gunung Wilis" Lantas, kenapa yang muncul bukan Warok Darmo Singo"
"Aku tahu, siapa kau, Keparat"! Apa urusanmu mencegah kami memasuki kawasan Gunung Wilis ini"!" ledak Warok Singo Lodra.
'"Asal kalian tahu saja, sejak hari ini Gunung Wilis telah menjadi wilayah kekuasaanku!"
"Apa hakmu mengangkangi wilayah ini" Sejak dulu, Gunung Wilis adalah tempat di mana Guru kami bersemayam. Tempat itu terlalu suci untuk diinjak oleh manusia macam kau! Sudahlah, keluar saja dari tempat persembunyianmu, Iblis Rogo Jembangan! Cepat atau lambat, kami akan menemukanmu!" dengus Warok Singo Lodra.
"Itu berarti kalian menginginkan kematian kalian sendiri!"
"Terserah, apa anggapan mu!" Brosss! Kata-kata terakhir Warok Singo Lodra disambut oleh buncahan tanah ke udara tepat lima tombak di hadapan kedua warok. Bersama tebaran tanah ke udara, melesat satu bayangan hitam. Beberapa kali si bayangan hitam berputaran, lalu mendarat empuk di bumi. Tatapan nyalangnya langsung menghujam pada kedua warok di hadapannya.
"Iblis Rogo Jembangan...." Meski telah menduga siapa orang yang bersuara tadi, tak urung nama itu meluncur dari bibir kedua warok secara berbarengan....


--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--

SATRIA dan Nyai Gembili akhirnya tiba di tempat tujuan. Dari Kadipaten Trenggalek ke Kadipaten Ponorogo jika memotong jalan lewat Bukit Munthang hanya memerlukan perjalanan setengah harian. Itu kalau mereka menggunakan ilmu lari cepat. Dan pada kenyataannya memang demikian. Semula Satria tak tahu, siapa Nyai Gembili.
Dikiranya, wanita berusia kepala empat itu hanya ibu rumah tangga biasa. Dan si pemuda jadi amat tercengang ketika Nyai Gembili mengajaknya berlari sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Kau..., kau tak salah, Nyai?" perangah Satria, waktu itu.
"Memang kenapa" Kau pikir hanya kaum lelaki saja yang bisa berlari cepat" Ayolah, Satria.
Jangan membuat kepercayaanku meluntur," desak Nyai Gembili. Maksudnya dia ingin menguji Satria. Sebab selama ini dia hanya mendengar dari mulut ke mulut saja tentang kepandaian si anak muda bau kencur. Bukan membuktikannya secara langsung.
"Ah, Nyai. Kau ada-ada saja. Kepercayaan apa yang Nyai maksudkan?" Satria berpura-pura.
"Jangan berlagak pilon, Cah. Suamiku pernah bilang kalau kau adalah pendekar hebat di tanah Jawa. Tapi itu belum cukup untuk membuatku percaya. Apalagi kau berniat menyembuhkan anakku. Di rumah Adi Warok Jogoboyo aku bisa percaya dengan omonganmu. Tapi di sini nanti dulu. Aku perlu bukti dulu dengan mengajak mu berlari cepat. Kau setuju" Bila kau menolak, lebih baik urungkan niatmu untuk mengobati anakku. Biar aku mencari tabib yang lebih sakti ketimbang berhadapan dengan bocah kemarin sore," cecar Nyai Gembili.
"Kepandaian seseorang bukan untuk dipamerkan, Nyai. Tapi diamalkan," kilah si bocah bau kencur, bijak.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kau memiliki kemampuan sedangkan untuk kuajak berlari cepat saja kau menolak?" cecar Nyai Gembili, keras kepala.
Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kepala batu juga perempuan ini, rutuknya. Mulutnya meringis. Bukan karena takut kalah, tapi karena dugaannya terhadap Nyai Gembili meleset amat jauh. Dan melihat perempuan tua itu mendesaknya terus-menerus, si anak muda merasa yakin kalau wanita itu ternyata tak bisa dianggap sembarangan.
"Bagaimana, Cah Bagus?" cetus Nyai Gembili, menggusur lamunan Satria.
"Larilah lebih dulu, Nyai," sahut Satria enteng. Kali ini malah Nyai Gembili yang tercekat.
"Kau..., kau tak salah, Cah Bagus" Kau menyuruhku lari lebih dulu?" gagapnya.
"Lho..." Nyai ini bagaimana, sih" Tadi menantangku, sekarang malah seperti ayam kesambet?" celoteh Satria.
"Bukan begitu. Tapi apakah kau tak takut kalah?" tukas Nyai Gembili.
"Kalah menang soal belakangan. Nah, larilah lebih dulu," tekan Satria.
"Baiklah kalau begitu." Di ujung kalimatnya, perempuan itu langsung mengempos semangatnya. Sekali sentak, tubuhnya telah melesat cepat bagai anak panah dilepaskan dari busur. Membelah udara bebas, memangkas angin yang menerpa ke arahnya.
Si anak muda bertabiat sinting hanya menggeleng-geleng kepala melihat semangat Nyai Gembili yang menggebu-gebu. Keras juga kemauan perempuan itu, katanya membatin. Entah apakah buah kelapa di dadanya masih sekeras kemampuannya" Eh, kenapa aku jadi ngomong melantur begini" Habis, walaupun sudah berumur, wajahnya masih kelihatan cantik, sih! Kalau tak ingat Paman Warok Singo Lodra sudah ku..., he he he.... Bisa ngeres juga otakku. Janganjangan, aku ketularan Kakek Dongdongka" Tapi memang bisa jadi. Biar sudah keropos begitu, Kakek Dongdongka bisa ijo juga bila melihat tunggir besar! Dalam hati, si anak muda bertabiat sinting menghitung. Tepat sampai hitungan keseratus, tubuhnya meletik ke atas pohon. Sehimpun kekuatan pun dikerahkan ke kedua kakinya disertai ilmu meringankan tubuh. Lalu tubuhnya melesat ke pohon lain, searah dengan kepergian Nyai Gembili tadi. Dari pohon itu, tubuhnya kembali melesat ke pohon lain. Begitu seterusnya.
Hanya beberapa tarikan napas, dari atas pohon Satria Gendeng sudah bisa menangkap kelebatan tubuh Nyai Gembili. Di bawah sana, tampak si perempuan sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Ketika matanya tak menangkap tubuh Satria, samar-samar senyumnya mengembang.
Hatinya sudah merasa yakin kalau Satria tak mampu mengalahkannya.
Satria Gendeng mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin. Sehingga ketika melewati lesatan tubuh Nyai Gembili, gerakannya tak tertangkap sedikit pun oleh si perempuan keras kepala. Bahkan ketika Bukit Munthang telah terlewati, Nyai Gembili masih mengira kalau lawannya telah tertinggal jauh di belakang.
Memasuki Kadipaten Ponorogo, Satria Gendeng menghentikan lesatan tubuhnya. Di dekat pintu gerbang kadipaten, dia turun dari atas pohon. Ditunggunya Nyai Gembili di jalan utama kadipaten. Dia yakin istri Warok Singo Lodra itu akan melewati jalan ini.
Benar saja. Lamat-lamat, mata si anak muda menangkap bayangan ramping menuju ke arahnya. Cepat, Satria bersembunyi di balik gerbang yang berupa gapura dari batu.
Saat itu, Nyai Gembili sudah berjalan seperti biasa. Dia tak ingin menarik perhatian pen-duduk kadipaten dengan lari cepatnya. Dan ketika satu tombak lagi sampai di dekat gerbang....
"Apa kabar, Nyai. Tak ada gangguan dalam perjalanan?" Tiba-tiba Satria nongol dari balik gerbang. Bibirnya tersenyumsenyum nakal. Tinggal Nyai Gembili yang terlongong bengong. Matanya mendelik dengan mulut terbuka. Untung saja tak ada lalat jahil yang berniat memasuki mulutnya.
"Kau..., kau.... Kenapa bisa begitu...?" gagapnya, setelah bisa menguasai keadaan.
"Ya bisa saja. Memangnya kenapa" Aneh" Ah, sudahlah Nyai. Ayo tunjukkan, di mana Nawangsih diungsikan?" tepis Satria terhadap keheranan Nyai Gembili.
Masih dengan rasa penasaran, Nyai Gembili melangkah. Satria menjajari. Sesekali matanya melirik ke wajah perempuan di sampingnya yang masih terlihat merah dadu. Agaknya rasa malu belum terusir dari hatinya.
Sementara, Nyai Gembili seolah masih belum mempercayai kekalahannya dari si pemuda bau kencur. Kepalanya menggeleng-geleng lemah, Edan! Rutuknya, membatin. Kini aku benar-benar yakin, siapa Satria sesungguhnya. Ah, kalau saja Nawangsih tidak dipinang oleh Senoaji, aku mau memungut anak muda tampan ini menjadi mantuku....

* * *



Tidak. Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo tak gentar barang sedikit pun ketika seorang lelaki tua berkepala botak telah berdiri di hadapan mereka. Matanya bulat besar, nyaris keluar dari rongganya. Hidungnya lebar. Ketika meringis, gigi-giginya lancip seperti mata gergaji. Tidak berpakaian, kecuali pada bagian terlarangnya yang hanya ditutupi kulit kayu. Yang menjadi ciri khasnya, kedua manik matanya berbentuk seperti mata kucing. Dia memang Iblis Rogo Jembangan!
"He he he.... Rasa penasaranku terhadap guru kalian bisa ku tuntaskan pada kalian. Sekaligus, untuk mencegah kalian memasuki wilayah yang sekarang sudah menjadi milikku," celoteh Iblis Rogo Jembangan.
"Mestinya kau tahu, Keparat! Gunung Wilis adalah tempat asal kami. Di sana telah bersemayam jasad Guru kami. Dan tak seorang pun boleh mengutak-atik kesuciannya!" damprat Warok Singo Lodra.
"Tak ada yang bisa menghalangi niatku, Tikus-tikus Brewok! Kalau kalian tak terima, silakan hadapi aku," tantang Iblis Rogo Jembangan, jumawa.
"Sebelum kami membuat perhitungan denganmu, aku ada pertanyaan buatmu," timpal Warok Jogoboyo, kalem.
"Apa"!"
"Apa hubunganmu dengan Warok Darmo Singo?"
"O, dia. Si tikus clurut itu kini telah menjadi murid murtadku. Dia telah berkhianat kepadaku. Dan aku wajib membunuhnya. Sayang, waktu itu dia mampu melarikan diri dari tanganku," sahut Iblis Rogo Jembangan, makin memperlihatkan kepongahannya.
"Kalau tak salah, murid murtadku itu adik salah satu dari kalian yang bernama Warok Singo Lodra. Yang mana Warok Singo Lodra" Tunjuk tangan!" Memerah wajah Warok Singo Lodra. Katakata Iblis Rogo Jembangan membuat kupingnya terasa panas. Cuping hidungnya jadi kembangkempis mendengus-dengus bagai banteng liar.
Memang benar, Warok Darmo Singo adik kandungnya. Tapi kalau disuruh tunjuk tangan begitu" Sama saja si tua keropos itu sengaja hendak menginjak-injak harga dirinya! "Kelihatannya tingkahmu semakin tengik saja, Orang Tua Keparat! Dan kami tidak tinggal diam melihat tingkah busukmu. Kini sudah jelas, siapa yang jadi biang keladi kerusuhan di Kadipaten Ponorogo dan Trenggalek.
Sekarang kami akan menagih tanggung jawabmu!" Di ujung kalimatnya, Warok Singo Lodra melompat ke kiri. Lincah, dibuatnya kuda-kuda kokoh setelah melepas cemeti Buntut Kelabang miliknya yang sekaligus menjadi ikat pinggang.
Cletarrr...! Udara seolah robek oleh sambaran cemeti yang dilecutkan Warok Singo Lodra. Menghadapi lawan yang nyaris setara dengan mendiang gurunya, lelaki brewokan ini tak mau bertindak tanggung-tanggung lagi. Senjata pusakanya langsung dikerahkan. Karena menurutnya, orang macam Iblis Rogo Jembangan pun akan bertindak sama. Cletarrr...! Sama halnya Warok Singo Lodra, Warok Jogoboyo pun telah melepas cemeti Buntut Kelabang miliknya yang sekaligus sebagai ikat pinggang. Dia pun cukup tahu, siapa Iblis Rogo Jembangan. Untuk itu, dia tak ingin bertindak setengah-setengah. Suara cemetinya pun memangkas udara, membawa hawa kematian.
Kedua warok itu sama sekali tak mempedulikan kalau beberapa hari yang lalu mereka telah bertarung habis-habisan. Luka dalam mereka belum lagi pulih. Sekarang, mereka harus bertarung dengan salah satu datuk sesat yang kepandaiannya nyaris setara dengan mendiang guru mereka. Memang, waktu itu Satria sempat memberi obat pulung pada kedua warok untuk mengobati luka dalam sehabis bertarung di Bukit Munthang.
Tapi kemudian disarankan agar kedua warok itu segera bersemadi. Sayang, saran Satria tak begitu ditanggapi, karena mereka merasa sudah baik-kan. Tapi untuk menghadapi tokoh sesat berkepandaian tinggi macam Iblis Rogo Jembangan jelas membutuhkan pengerahan tenaga dalam setinggi-tingginya. Dan kalau hal itu sampai terjadi, ibarat meniupkan udara pada plembungan yang sudah terisi penuh oleh udara.
Sesuatu yang dipaksa memang akan menghasilkan risiko tinggi. Tapi kedua warok tak peduli. Mereka telah mematok harga mati. Siapa saja yang berani mengusik kesucian puncak Gunung Wilis, berarti mati. Apalagi, orang itu ternyata biang keladi.
"Heaaa...!" Berkawal bentakan merobek angkasa, Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo melompat bersamaan. Menerjang dengan satu sambaran cemeti yang menjilat-jilat angkasa.
Cletarrr...! "Hih!" Saling bersahutan, salakan cemeti kembali terdengar. Sambarannya mengincar kepala dan dada Iblis Rogo Jembangan. Hendak dirancahnya tubuh keropos si lelaki sesat.
Tapi, Iblis Rogo Jembangan bukan tokoh kemarin sore. Seujung jari lagi kedua cambuk menyengat, dibuangnya tubuh ke belakang. Ketika kakinya sampai di tanah setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya langsung menghujam tanah, masuk ke perut bumi. Lalu hilang tak berbekas! Tinggal kedua warok yang celingukan. Mereka cepat menghampiri tempat Iblis Rogo Jembangan menembus tanah tadi. Mestinya, tanah bekas dihujam tubuh sebesar itu akan menciptakan lubang. Tapi pada kenyataannya, seolah tanah-tanah itu bisa seperti diuruk kembali.
Belum habis keheranan kedua warok, dari belakang.... Bross...! Bed...! Di belakang mereka, Iblis Rogo Jembangan tiba-tiba muncul dalam jarak lima tombak. Kedua tangannya langsung menghentak ke depan, melepas pukulan jarak jauh.
Merasakan desir angin panas dari belakang, kedua warok tercekat. Kini mereka tahu, dengan cara inilah Iblis Rogo Jembangan menyerang mereka tadi. Pantas tadi mereka mencaricari, tapi tak berhasil menemukan orang yang menyerang, sebelum Iblis Rogo Jembangan menampakkan diri.
Tak gampang menaklukkan kedua warok begitu saja. Sebelum angin panas menghantam, Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo menghentakkan kedua kaki. Saat itu juga tubuh mereka meletik ke atas, menghindari serangan.
Angin panas terus menderu ke depan.
Menciptakan suara menggetarkan. Memangkas udara, lalu menghantam sebuah pohon cukup besar. Blarrr...! Tepat ketika kedua warok mendarat di tanah, menghadap ke arah serangan, pohon yang terkena sasaran nyasar kontan tumbang. Seperti tadi, batang pohonnya terlihat berlubang dan hangus. Si pemilik pukulan jarak jauh sendiri telah kembali amblas ke dalam bumi, menghilang bagai tikus tanah. Dengan memasang pendengaran tajam yang diarahkan ke permukaan bumi, kedua warok berusaha melacak keberadaan Iblis Rogo Jembangan. Kening mereka berkerut dalam dengan kepala agak miring. Memang terdengar suara bergemuruh di dalam bumi. Sepertinya, Iblis Rogo Jembangan tengah menggangsir tanah dengan kecepatan tinggi. Mirip tikus yang tengah mencari jalan di dalam tanah.
Tiba-tiba.... Tap! "Heh"!" Tahu-tahu kedua kaki Warok Joboyo telah tercengkeram dua tangan yang menjulur dari permukaan tanah. Begitu cepat, sehingga lelaki tambun itu tak sempat mengelak.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Warok Jogoboyo berusaha melepaskan diri. Namun, usahanya menemui jalan buntu. Agaknya, tenaga dalam Iblis Rogo Jembangan dua tingkat di atasnya. Di tempatnya, Warok Singo Lodra terperanjat begitu menyadari bahwa adik seperguruannya menemui bahaya. Bahkan kini dengan amat cepat, kaki Warok Jogoboyo telah terbenam hingga lutut. Sebisanya, Warok Singo Lodra menangkap kedua tangan Warok Jogoboyo setelah menyelipkan gagang cemetinya ke pinggang.
"Tahan, Adi! Pegang tanganku kuat-kuat.
Kerahkan tenaga dalammu!" perintah Warok Sin-go Lodra.
Sungguh serangan seperti ini di luar perkiraan kedua warok. Sewaktu mereka mendapat serangan gelap dengan cara aneh tadi, sebenarnya mereka cukup terkejut kalau yang berbuat adalah Iblis Rogo Jembangan. Setahu mereka, lelaki tua keropos itu belum memiliki ajian amblas bumi seperti ini. Tapi nyatanya"
"Ah, Kakang! Tarikan dari bawah begitu kuat! Aku sudah mengerahkan tenaga dalam sampai setinggi mungkin. Tapi semakin banyak kukerahkan, dadaku terasa nyeri sekali. Kita terlalu bodoh, Kakang. Kita tak menggubris saran pendekar muda itu," rintih Warok Jogoboyo. Mulutnya meringis-ringis dengan mata menyipit. Susah payah dia berusaha bertahan, tapi per-lahan tapi pasti tubuhnya makin terbenam dalam tanah. Padahal, Warok Singo Lodra telah berusaha membantu menariknya ke atas. Juga, dengan pengerahan tenaga dalam tinggi! "Jangan patah semangat, Adi! Bertahanlah.
Aku tak akan membiarkanmu mati secara seperti ini!" Warok Singo Lodra terus memberi semangat pada adik seperguruannya. Tapi, usahanya sia-sia saja. Tetap saja tubuh Warok Jogoboyo kian terbenam. Bahkan sekarang sudah mencapai kedua pahanya.
"Ha ha ha.... Dua tikus brewokan kalang kabut dijemput maut. Sudah kubilang, kalian tak lebih dari tikus-tikus korengan yang belum pantas menghadapiku...." Samar-samar, terdengar suara melecehkan Iblis Rogo Jembangan. Sungguh suatu kepandaian yang luar biasa. Bagaimana mungkin bila tubuhnya berada di dalam tanah, tapi masih bisa mengirimkan suara ke permukaan bumi. Bahkan mungkin, untuk menggerakkan bibir saja susah bukan kepalang. Tapi lelaki sesat itu"
"Iblis keparat! Bertarunglah secara jantan! Jangan jadi pengecut begini!" teriak Warok Singo Lodra, kalut bukan main. Malah tanpa dapat di-cegahnya, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam sampai dada! Mengenaskan sekali nasib adik seperguruan Warok Singo Lodra itu kali ini. Wajahnya telah terlihat memerah. Mulutnya makin meringis-ringis dahsyat. Napasnya mendengusdengus. Giginya bergemelutukan. Dia berusaha bertahan, tapi sia-sia.
Semakin lama, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam sampai ke leher. Warok Singo Lodra sendiri nyaris putus asa. Perasaannya jadi tak karuan. Tak tega dia melihat nasib adik seperguruannya. Tapi tiba-tiba....
Bross! Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Warok Jogoboyo begitu ringan bisa ditarik keluar. Bahkan kemudian....
"Aaakh...!" Ada apa gerangan"


--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--

SETELAH mengambil Nawangsih di rumah salah satu kerabatnya, Nyai Gembili segera menyerahkannya pada Satria Gendeng untuk diobati. Ketika bertemu si pemuda, Nawangsih melihat seolah-olah wajah Satria adalah wajah Senoaji.
Langsung diterkamnya si anak muda. Dihujaninya wajah Satria dengan ciuman-ciuman ganas.
Satria sejenak gelagapan. Namun cepat tangannya bergerak menotok. Tiga kali totokan, membuat si gadis kontan tak berdaya. Barulah ketika Nawangsih ditidurkan di pembaringannya, Satria Gendeng bisa memulai pengobatan.
Sebagai murid Tabib Sakti Pulau Dedemit, Satria pun diturunkan ilmu totokan untuk membuka aliran urat-urat syaraf. Sehingga ketika mengobati Nawangsih, diterapkannya semua ilmu totokan untuk membuka urat-urat syaraf yang mengganggu alam pikiran si gadis.
Hanya sekali pandang saja, si anak muda perkasa tahu kalau penyebab gilanya Nawangsih bukan karena mengetahui bahwa dia gagal menikah dengan Senoaji, tapi juga pengaruh totokan di bagian kepala belakangnya. Satria menduga demikian, karena sewaktu Nawangsih menubruknya, gerakan kepalanya, terlihat kaku. Bisa jadi, sebelum Nawangsih ditotok pada bagian kepalanya, dia terlebih dulu dijejali oleh cerita tentang kegagalan pernikahannya. Walhasil, begitu dia tertotok, yang menyangkut dalam ingatannya hanya bayangan Senoaji.
Selesai diobati, Nawangsih tergolek pingsan. Dan Satria segera meninggalkannya. Begitu tiba di ambang pintu kamar, Nyai Gembili cepat menyambutnya.
"Bagaimana, Satria" Apakah Nawangsih bisa kau sembuhkan?" sodor Nyai Gembili, tak sabar.
"Tenang, Nyai. Aku belum bisa memastikan. Tunggu saja sampai dia siuman. Terlalu pagi kalau aku bilang bahwa Nawangsih sudah sembuh. Kalau dia sudah siuman, baru bisa dilihat," tukas si anak muda, kalem.
Nyai Gembili menghembuskan napas kecewa. Tarikan pada wajahnya menyiratkan demikian. Tanpa kata, diterobosnya masuk ke dalam kamar Nawangsih. Satria sendiri segera melangkah menuju ruang tengah.
Baru saja Nyai Gembili duduk di sisi pembaringan....
"Ohh...." Satu desahan halus terlontar dari bibir merah merekah Nawangsih. Kepalanya membuat gerakan lemah. Lalu perlahan-lahan matanya membuka. Pandangannya masih samar-samar. Lamatlamat, terlihat sebuah bayangan di depan wajahnya. Bayangan yang amat dikenalnya.
"Ibu...?" sebut Nawangsih begitu pandangannya mulai menjelas.
Nyai Gembili tersentak. Keharuan dan kegembiraan bergumul menjadi satu dalam hatinya.
Ditubruknya si anak dengan segala ungkapan kasih sayang.
"Anakku.... Kau sudah sembuh, Nak?" Meski sudah tahu kalau anaknya telah siuman pertanda kesembuhannya, masih saja pertanyaan itu meluncur dari bibir Nyai Gembili.
"Memangnya aku kenapa, Bu?" aju Nawangsih. Tinggal si ibu gelagapan. Mau bilang bahwa anaknya gila, jelas tak mungkin. Bisa jadi Nawangsih bakal terpukul hatinya. Dan Nyai Gembili jadi cengar-cengir serba salah.
"Kau pingsan berkepanjangan, Anakku," katanya, berdusta.
"Kenapa aku sampai pingsan" Setahuku, di kamar ini hanya ada Paman Warok Darmo Singo.
Dia menceritakan kepadaku bahwa Senoaji telah berkhianat terhadapku. Dan katanya, aku batal dinikahi oleh Kangmas Senoaji. Benarkah itu, Bu?" tuntut Nawangsih, menggebu-gebu.
"Pamanmu berdusta, Anakku," sergah Nyai Gembili, tak ingin bercerita banyakbanyak karena khawatir anaknya akan terpukul.
"Kata Paman Warok Darmo Singo, Kangmas Senoaji akan menikah dengan Ratna Kumala, anak Paman Warok Jogoboyo" Dan ayah katanya mau membuat perhitungan pada Kangmas Senoaji serta Paman Warok Jogoboyo" Benarkah itu, Ibu?" cecar Nawangsih.
Kembali Nyai Gembili gelagapan. Bingung dia menjawabnya.
"Sekarang apa yang kau rasakan, Anakku?" Nyai Gembili mengalihkan perhatian.
"Rasanya badanku berangsur-angsur mulai segar, Bu. Ketika Paman Warok Darmo Singo bercerita, dia mengelus-elus kepalaku dengan kasih sayang. Lalu aku merasakan kepalaku pusing bukan main. Tak lama kemudian, aku tak ingat apa-apa lagi, kecuali wajah Kangmas Senoaji. Itu saja," papar Nawangsih.
Nyai Gembili makin yakin bahwa yang menyebabkan Nawangsih gila tak lain adalah adik kandung suaminya sendiri. Karena nafsu setan telah menguasai hatinya, keluarga sendiri tegateganya dijadikan korban.
"Nah sekarang kau beristirahatlah dulu.
Ibu akan mengambil makan untukmu. Kau mau?" ujar Nyai Gembili.
"Aku belum lapar, Bu. Oh, ya. Ayah mana" Apakah Ayah jadi menyatroni Paman Warok Jogoboyo?" tanya Nawangsih.
"Ayahmu sedang berziarah ke makam gurunya di Gunung Wilis bersama Warok Jogoboyo," sahut Nyai Gembili, hati-hati.
"Mereka tidak bertarung?" Nyai Gembili menggeleng lemah.
"Tak ada pertarungan di antara mereka. Ayahmu dan Paman Warok Jogoboyo telah seperti saudara kandung." Nawangsih mengerutkan keningnya. Heran.
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, ibunya telah berlalu dari kamarnya. Seolah takut disodori pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadanya sesak. Betapa tidak" Peristiwa demi peristiwa yang terjadi akibat ulah Warok Darmo Singo benar-benar menyesakkan dadanya! Tiba di luar kamar, Nyai Gembili menuju ke ruang tengah. Tapi di sana dia tidak menemukan Satria lagi.
Ke mana bocah itu" Penasaran, Nyai Gembili keluar rumahnya.
Kepalanya celingukan di luar. Tak juga terlihat batang hidung si bocah bau kencur. Satria menghilang tanpa meninggalkan pesan. Seperti kentut.
Muncul begitu saja tanpa permisi, menghilang begitu saja meninggalkan bau.
Slompret juga itu anak. Datang ke rumah orang, pulang tanpa mohon pamit. Untung saja dia telah berjasa pada Nyai Gembili. Kalau tidak, Nyai Gembili bakal mencapnya sebagai bocah yang tak punya sopan santun. Tapi, bocah macam Satria mana kenal sopan santun" Bahkan tabiatnya cenderung sinting. Bisa jadi tabiat Dedengkot Sinting Kepala Gundul menurun ke padanya. Nyai Gembili melihat ada seorang tetangganya tengah menumbuk padi di halaman seberang rumahnya. Seorang wanita berusia cukup tua. Dihampirinya si wanita tua.
"Kau tak melihat seorang pemuda berpakaian rompi putih keluar dari rumahku, Nini?" tanyanya, ketika berada di pinggir jalan depan rumahnya.
"Rambutnya panjang berwarna kemerahan?" Si perempuan tua berusaha meyakinkan.
"Ya! Ke mana dia?"
"Aku tadi melihat dia keluar dari rumahmu. Lalu, dia pergi ke arah utara," sahut si perempuan tua.
Nyai Gembili mengarahkan pandangannya ke utara. Tak ada tanda-tanda bayangan tubuh si pemuda. Begitu cepat perginya Satria. Nyai Gembili jadi teringat kekalahannya dalam mengadu ilmu lari cepat dengan si pemuda perkasa. Wajar saja kalau Satria begitu cepat menghilang....

* * *



Kembali ke kaki Gunung Wilis.
Apa yang terjadi pada pertarungan antara Warok Singa Lodra dan Warok Jogoboyo melawan Iblis Rogo Jembangan" Satu lengking kesakitan terdengar. Mengoyak ketegangan dua warok yang nyaris putus asa. Asalnya bukan dari mulut Warok Jogoboyo.
Dan itu disadari betul oleh Warok Singo Lodra.
Karena saat menarik adik seperguruannya tadi, tak terdengar suara apa pun dari mulut Warok Jogoboyo. Lantas dari mulut siapa" Tepatnya, memang dari mulut Iblis Rogo Jembangan. Karena sebentar kemudian permukaan tanah tak jauh dari kedua warok membuncah ke angkasa. Bersamaan dengan itu, terlihat tubuh Iblis Rogo Jembangan mencelat ke angkasa. Disusul kemudian, mencelat pula satu sosok tubuh dari lubang yang sama! Siapakah dia"
"Hei, Tikus Tanah! Jangan lari kau! Aku belum puas memencet benda keramatmu!" seru sosok tubuh keropos yang muncul belakangan.
Iblis Rogo Jembangan sendiri masih meringis-ringis ketika sampai di bumi. Kedua telapak tangannya membekap benda keramatnya yang tadi dipencet lelaki tua keropos berkepala gundul yang kini telah berdiri di depannya.
"Setan kau, Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Mengapa kau mencampuri urusanku!" geram Iblis Rogo Jembangan, memaki kalang kabut. Untung saja, benda keramatnya tak sempat pecah saat dipencet oleh lelaki gundul yang tak lain Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Setan apa yang membuat Dedengkot Sinting Kepala Gundul ada di kaki Gunung Wilis" Bahkan tiba-tiba muncul di dalam tanah, langsung memamerkan kesintingannya. Tapi, siapa yang peduli Dongdongka mau muncul di mana" Wong manusia macam dia saja sudah diibaratkan bagaikan manusia setengah siluman" Mau muncul lubang kubur kek, di kolong ranjang pengantin kek, mana mau Dongdongka peduli"
"Aku mencampuri urusanmu dengan apa" Dengan tai kambing" Atau dengan tai sapi" Yah, siapa tahu rasanya tambah sedap. Nah, kau makanlah sendiri!" balas Dongdongka, seenaknya.
Panas telinga Iblis Rogo Jembangan mendengar kata-kata sengak Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Namun menghadapi sesepuhnya para sesepuh dunia persilatan, nyalinya terdepak entah ke mana. Dia cukup tahu diri, siapa Dongdongka. Manusia langka tahan mati yang paling ditakuti oleh golongan sesat. Menghadapi Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jembangan boleh berimbang.
Dan terakhir malah dia kalah, kemudian kembali muncul setelah memperdalam ilmu sesatnya.
Sayang, Resi Kalangwan telah mati. Tapi untuk menghadapi Dongdongka, Iblis Rogo Jembangan mesti menelan ludah beberapa kali. Itu pun dengan susah payah.
"'Sayang, aku tak punya waktu untuk menghadapimu, Tua Busuk!" desis Iblis Rogo Jembangan, menyembunyikan ketakutannya.
"Jadi, kapan kau punya waktu" Kapan..., kapan" Ayo bilang padaku! Terus terang, aku belum puas meremas benda keramatmu!" seru Dongdongka, bak bujangan menagih janji pada kekasihnya.
"Suatu waktu, Tua Keparat! Suatu waktu aku harus membalas perlakuanmu!"
"Perlakuanku" Bukankah perlakuanku mengenakkanmu" Malah tadi kulihat kau meremmelek. Asyik, kan?" ledek Dongdongka.
Karena untuk melawan sudah tak punya nyali, Iblis Rogo Jembangan berbalik. Sekali kakinya menyentak, tubuhnya telah melesat meninggalkan tempat ini. Membawa dendam mendalam pada lelaki buluk bernama Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Terima kasih, Panembahan. Kau telah menyelamatkan nyawa kami berdua...." Sebuah suara berat perlahan membuat si tua buluk berbalik. Keningnya langsung berkerut, menatapi Warok Singo Lodra yang bersuara tadi. Sedangkan Warok Jogoboyo tengah bersemadi, setelah tadi habis-habisan mengerahkan tenaga dalamnya.
"Siapa kau, Manusia Bulu?" Seenaknya Dongdongka memanggil Warok Singo Lodra dengan julukan seperti itu. Sambil berkata begitu, bambu tipis di tangan kirinya diketuk-ketukkan ke kepalanya yang licin tidak berbulu.
"Saya Warok Singo Lodra. Dan itu, adik seperguruan saya, Warok Jogoboyo," sahut Warok Singo Lodra. Tak tersinggung dia dibilang Manusia Bulu oleh manusia lapuk di depannya.
"Hmmm, ya. Apakah kalian tahu, di mana makam si Kalangwan manusia sok suci itu?" tanya Dongdongka dingin.
Tercekat Warok Singo Lodra. Nada suara lelaki lapuk itu terdengar dingin. Seolah, ada persoalan antara Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Resi Kalangwan, gurunya. Setahuku, Dedengkot Sinting Kepala Gundul adalah tokoh putih, walaupun tabiatnya rada sinting" Tanya Warok Singo Lodra, membatin. Bahkan dia juga guru dari anak muda yang memisahkan pertarunganku dengan Warok Jogoboyo" Tapi, kok dia mengatakan kalau Resi Kalangwan sebagai manusia sok suci" Apakah dia ada persoalan dengan guru" Kalau dia ada persoalan, kenapa mesti mencari makamnya" Dan berarti, dia tahu kalau guru sudah mati. Lanjut batin Warok Singo Lodra. Mau apa dia ke makam guru" Mau mengobrak-abrik"
"Aku tak menyuruhmu melamun, Manusia Bulu?" sentak Dongdongka, menggusur lamunan Warok Singo Lodra.
"Aku menyuruhmu menjawab pertanyaanku, heh"! Ayo, jawab!"
"Maaf, Panembahan, makam Guru kami berada di puncak Gunung Wilis itu," Warok Singo Lodra menunjuk ke arah gunung.
"Kira-kira, ada keperluan apa Panembahan mengunjungi makam Guru Kami?"
"Bodoh..., bodoh!"
"Siapa yang bodoh, Panembahan?"
"Kau!" tunjuk Dongdongka, seenaknya.
Merah wajah Warok Singo Lodra. Mestinya, dia berhak marah dan menghajar Dongdongka.
Tapi, lelaki brewok ini sangat tahu, siapa Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sabar..., sabar.... Hi-burnya dalam hati.
"Tolong tunjukkan kebodohan saya, Panembahan," pinta Warok Singo Lodra, tetap berusaha bersabar.
"Itu, benda keramatmu kelihatan, Goblok!" tunjuk Dongdongka ke arah bagian bawah Warok Singo Lodra. Lelaki tinggi besar itu melirik ke bawah.
Dan..., ya ampun! Celana komprangnya telah melorot tanpa disadari! Mendelik kedua biji mata Warok Singo Lodra. Cepat ditariknya celana yang melorot. Cengar-cengir, lelaki tinggi besar itu memandang Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"He he he.... Keasyikan, ya" Manusia Bulu..., Manusia Bulu. Ternyata bulu-bulumu menjalar tak karuan, ya" Kok, kenapa aku begitu gersang, ya?" oceh Dongdongka, mulai ngeres otak-nya.
"Maaf, Panembahan. Saya benar-benar tak menyadari," ucap Warok Singo Lodra, gugup.
Bagaimana Warok Singo Lodra sampai tak tahu kalau celananya melorot" Awalnya, dari kedatangan Dongdongka ke tempat ini. Lelaki buluk itu sebenarnya hendak menziarahi makam Resi Kalangwan di Gunung Wilis. Cuma, dia tak tahu di mana letak yang pas-ti. Ketika baru tiba di kaki gunung, Dedengkot Sinting Kepala Gundul melihat Warok Singo Lodra tengah menarik Warok Jogoboyo. Menduga ada sesuatu di dalam bumi, dengan kepandaiannya yang amat tinggi, si tua buluk segera amblas ke bumi. Perut bumi digangsirnya, hingga sampai ke arah Iblis Rogo Jembangan yang tengah menarik Warok Jogoboyo. Begitu sampai, langsung dipencetnya benda keramat milik Iblis Rogo Jembangan. Begitu pegangan Iblis Rogo Jembangan pada Warok Jogoboyo terlepas, Warok Singo Lodra dapat menarik adik seperguruannya ke permukaan bumi. Tapi sayang, tangan kiri Warok Jogoboyo terlepas dari pegangan. Karena kaget bisa terlepas tiba-tiba, tangan kiri Warok Jogoboyo tanpa sengaja menarik celana komprang Warok Singo Lodra. Dan itu tidak disadari Warok Singo Lodra, sampai terlihat oleh Dongdongka.
"Eh, tadi kau bilang, kalian murid dari si Kalangwan sok suci itu, ya?" Dongdongka mengalihkan pembicaraan.
"Benar, Panembahan," sahut Warok Singo Lodra.
"Kalau begitu, kau bisa mengantarku ke makamnya. Aku mau menziarahinya," pinta si tua buluk, seenaknya.
"Bagaimana dengan adik seperguruan saya, Panembahan?" Warok Singo Lodra melirik Warok Jogoboyo yang masih bersemadi.
"Tinggalkan saja di sini. Kuntilanak juga ketakutan melihat wajahnya," sahut Dongdongka.
Lagi-lagi seenaknya. Serba salah Warok Singo Lodra. Bila tak mau, yang meminta adalah kenalan gurunya. Dengan menziarahi makam Resi Kalangwan, Warok Singo Lodra yakin kalau Dongdongka adalah kawan dekat gurunya. Dan bila dia bersedia mengantarkan, hatinya tak tega pada Warok Jogoboyo yang agaknya terluka dalam cukup parah.
"Kau mengkhawatirkan adik seperguruanmu?" Dongdongka tahu gelagat.
"Benar, Panembahan," desah Warok Singo Lodra.
"Percayalah.... Dalam sepuluh hitungan dia pasti sudah selesai bersemadi...," paksa Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Belum juga Warok Singo Lodra menyahut....
"Tinggalkan aku. Kakang. Antarkan Panembahan Dongdongka ke makam Guru," belum sampai sepuluh hitungan, Warok Jogoboyo telah bersuara. Lega hati Warok Singo Lodra.
"Apa kubilang...?" lonjak Dongdongka.


--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--

KADIPATEN Trenggalek. Malam menawarkan kebencian hampir pada setiap makhluk. Alam seolah menggeliat. Angin mendengus-dengus, menerpa pepohonan hingga meliuk-liuk. Kegelapan mengurung permukaan bumi. Bulan yang hanya sepotong tak berdaya terkepung gerombolan awan hitam. Bak tangan-tangan iblis hendak menjamah sang Dewi Malam. Bintang gemintang sendiri nyaris bernasib sama. Kecuali pada cakrawala di bagian barat yang hanya tersaput awan putih. Tak jauh dari pemakaman umum di pinggiran Kadipaten Trenggalek, sebuah bayangan hitam bergerak menembus kegelapan. Langkahnya terlihat ringan, tak peduli pakaiannya berkibaran dipermainkan angin malam.
Di pintu masuk pemakaman, kepala si bayangan hitam menoleh ke kanan dan kiri. Seolah hendak memastikan, apakah ada orang yang melihatnya atau tidak. Merasa pasti tidak ada orang yang melihatnya, bayangan hitam yang agaknya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar cepat memasuki pemakaman.
"Kuk! Kuuuuk...!" suara burung hantu menyambut kedatangan si lelaki berpakaian hitam komprang dengan celana komprang berwarna sama.
"Sialan burung itu! Bikin aku kaget saja!" rutuknya, perlahan.
Langkahnya yang tersendat kembali dilanjutkan. Disingkirkannya rasa takut yang mengekang hatinya demi sebuah tekad.
"Hmm.... Aku tak boleh gagal. Manusia Sesat Kaki Empat hanya memberi waktu padaku lima hari. Tapi di mana makam Ratna Kumala" Menurut perhitungan, mayatnya baru dikubur dua atau tiga hari," gumam lelaki tinggi besar.
Mata nyalangnya menyapu ke setiap nisan kayu di pemakaman. Ada rasa menggiris ketika matanya membentur pada sebuah makam yang ambrol! Si lelaki tinggi besar terus mencari-cari.
Dan bibirnya mengukir senyum ketika matanya melihat sebuah nisan bertuliskan RATNA KUMALA. PUTRI TERSAYANG WAROK JOGOBOYO.
"Nah, ini dia yang kucari. Hanya mayat inilah yang ku tahu berusia tak lebih dari seming-gu," kata si lelaki.
Secepatnya dihampirinya kuburan yang di dalamnya berisi mayat Ratna Kumala.
Siapakah lelaki tinggi besar ini" Siapa lagi kalau bukan Warok Darmo Singo. Seorang lelaki adik kandung Warok Singo Lodra yang telah terjerumus dalam kesesatan. Bahkan karena belum puas dengan kepandaiannya, dia mencari seorang guru sesat lain. Dan sang Guru kemudian menyuruhnya mencari mayat perawan yang baru berumur seminggu.
Warok Darmo Singo lantas mencabut Keris Klabang Ijo pemberian guru yang telah dikhianatinya, Iblis Rogo Jembangan. Begitu keris yang diselipkan di pinggang tercabut, si lelaki tinggi besar segera menggali kuburan Ratna Kumala. Karena mengerahkan tenaga dalam, dalam waktu singkat mayat Ratna Kumala telah terlihat.
Semakin menggali, maka bentuk utuh mayat Ratna Kumala makin nyata. Seiring senyum puasnya, Warok Darmo Singo menyelipkan kembali keris miliknya. Lalu diangkatnya mayat dari dalam kuburan. Sejak mayat terlihat, sebenarnya Warok Darmo Singo merasa mual amat sangat. Perutnya terasa diaduk-aduk, mengendusi bau busuk yang amat menyengat. Tapi semua berusaha ditahannya demi sebuah tekad.
Sejenak Warok Darmo Singo meletakkan mayat di tepi makam. Dikeluarkannya selembar kain putih yang telah dipersiapkan, dan dibebatkan di bagian perutnya. Dibungkusnya mayat itu agar tak begitu menyebarkan bau menyengat.
Selesai membungkus mayat yang belum begitu rusak, Warok Darmo Singo melompat ke atas makam. Lalu, dibopongnya mayat itu, dan berkelebat meninggalkan tempat ini.
Bersamaan dengan itu, hujan turun deras bagai ditumpahkan dari langit. Petir menyalaknyalak, seolah mengeluarkan sumpah serapah atas apa yang terjadi di pemakaman umum pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tak ingin buang-buang waktu lagi, Warok Darmo Singo berkelebat cepat. Seolah dia takut para penghuni makam ini akan mengejarnya. Menuntutnya untuk mengembalikan salah satu penghuni makam yang dicurinya.
Baru saja beberapa tombak Warok Darmo Singo meninggalkan makam....
"Berhenti, Kisanak!" Sebuah suara keras bagaikan hendak mengalahkan suara deru hujan lebat menghadang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat, si lelaki tinggi besar menghadapkan tubuhnya ke samping kanan, arah bentakan tadi.
Pada jarak lima tombak, berdiri satu tubuh kekar. Berpakaian ketat warna putih berkilat. Ketika alam sejenak terang oleh sambaran petir, terlihat kalau sosok itu berambut panjang sebahu berwarna hitam berkilat. Wajahnya sukar dikenali, karena tertutup caping bulat dari tikar pandan.
"Siapa kau, Anak Muda?" desis Warok Darmo Singo. Sejenak tadi dia berusaha mengenali, tapi sia-sia saja.
"Apa yang kau bawa, Kisanak?" Tak mempedulikan pertanyaan Warok Darmo Singo, si pemuda malah balik bertanya.
"Apa urusanmu"!" bentak Warok Darmo Singo, tak suka dengan pertanyaan usil si pemuda.
"Jadi urusanku, kalau yang kau bawa itu adalah mayat yang kau curi dari pemakaman ini!" Warok Darmo Singo selintas melirik ke arah mayat dalam pondongannya. Bibirnya tersenyum dingin, menyadari kalau si pemuda telah mengetahui apa yang dibawanya.
"Mau mayat, kek. Mau bangkai, kek. Kau tak berhak mencampuri urusanku, tahu"! Jika kau keras kepala, jangan menyesal kalau kau mati muda!" sentak si lelaki tinggi besar.
"Sudah kubilang, kau akan berurusan denganku. Maka tinggalkan mayat itu di sini sebelum terjadi perselisihan di antara kita!" balas si anak muda.
"Bangsat! Keras juga rupanya kepalamu! Ingin tahu, sampai di mana bacot sialanmu itu!" Warok Darmo Singo melempar mayat Ratna Kumata dalam pondongannya, "Tahan seranganku! Heaaa...!" Berkawal bentakan keras merobek angkasa gelap ditingkahi deru suara hujan lebat, Warok Darmo Singo menerjang. Hebat dan ganas. Tercium bau kematian dalam serangannya. Bahkan dalam setiap kebutan kepal kekarnya terdengar suara menderu memangkas udara.
Deb! Deb! Si anak muda mundur tiga langkah ke belakang. Pada jarak yang memungkinkan, tubuhnya bergerak ke samping kiri. Lalu dibuatnya satu putaran dengan kaki menyapu.
Sedangkan kaki kanan menjadi tumpuan.
Bed! Warok Darmo Singo tercekat. Serangan bertubi-tubinya dengan kepalan hanya memangkas angin kosong. Bahkan secara tak terduga, kaki kekar lawan bergerak ke arah dadanya.
"Hih!" Si lelaki tinggi besar berusaha menahan dengan menyampok kaki lawan dari bawah. Tapi dengan amat cepat, kaki lawan telah ditarik kembali, lalu menghujam ke bawah. Ke perutnya.
Dan.... Desss...! Warok Darmo Singo tergusur mundur. Kaki lawan tadi telak mendarat di perutnya yang lowong. Matanya kontan mendelik tak percaya. Mulutnya meringis jelek seperti kakek ompong makan rempeyek.
"Keparat kau, Pemuda Busuk! Jangan dikira kau sudah menang!" Sumpah serapahnya meluncur kemudian.
"Coba yang satu ini, jahanam! Heaaa...!" Pukulan jarak jauh dibuat Warok Darmo Singo. Angin menderu. Menggebu.
Menerobos lawan muda yang masih diam membisu "Khiaaa...!" Teriakan tak kalah seru dibuat si pemuda.
Suaranya membelah udara malam. Hendak dikalahkannya suara guntur yang sesekali terdengar menyalak. Pada titik akhir teriakannya, kedua tangannya menghentak ke depan. Akan dipapaknya deru angin pukulan jarak jauh lawan.
Blaaappp! Yang terdengar hanya bunyi tak berarti.
Suara kentut maling malah mungkin lebih keras.
Tapi hasilnya, kedua orang yang tengah berseteru terpental ke belakang. Melayang hingga sejauh lima tombak. Ceprottt! Keduanya sama-sama jatuh bergumul dengan tanah becek. Lalu sama-sama bangkit dengan tubuh berbalur lumpuh basah. Keadaan mereka kini bagai setan sawah! Dari ringisan di bibir masing-masing, agaknya keduanya sama-sama didera rasa nyeri pada dada. Buktinya, keduanya juga tengah memegangi dada masing-masing. Sementara darah yang meleleh di sudut bibir cepat tersapu oleh air hujan yang terus menggila.
Edan! Tenaga dalamnya tinggi sekali. Dalam sekali gebrakan lagi aku pasti tak mampu menghadapinya. Rutuk si pemuda, membatin.
Dadanya tampak turun naik cepat tanda napasnya memburu. Di tempatnya, Warok Darmo Singo juga membatin. Gawat! Waktuku bisa habis kalau terus meladeni bocah sialan ini! Aku harus cepatcepat menyingkir kalau tak mau rencanaku gagal.
Mendadak....
"Heaaah...!" Satu bentakan nyaring dibuat Warok Darmo Singo. Bersamaan dengan itu, dilepaskannya kembali satu pukulan jarak jauh. Teramat ganas, mengandung hawa kematian. Seketika, angin menderu terlontar. Memangkas udara malam, menciptakan sebuah kekuatan menggetarkan.
"Hih!" Karena serangan terlalu mendadak, sebisanya si pemuda menghindar tanpa sempat membalas. Dibuangnya tubuh ke kanan, lalu berguling-gulingan. Membuat seluruh tubuhnya makin dibaluri lumpur.
Kesempatan yang amat singkat itu digunakan Warok Darmo Singo untuk menyambar mayat Ratna Kumala yang juga telah bersimbah lumpur mengotori kain pembungkusnya. Tubuh si lelaki tinggi besar cepat berkelebat dari tempat ini, sela-gi si anak muda lawannya masih bergulingan.
Blaarr...! Pukulan jarak jauh yang tak menemui sasaran menghantam sebuah pohon beringin muda hingga tumbang. Bersamaan dengan itu, si anak muda telah bangkit berdiri. Dan dia jadi celingukan, karena lawan telah menghilang entah ke mana.
"Biadab! Ke mana larinya manusia keparat itu! Aku yakin, yang dibawanya sesosok mayat!" maki si pemuda.
"Siapa yang kau cari, Kisanak?" Tiba-tiba sebuah suara agak keras memenggal kekecewaan si anak muda lantaran lawannya menghilang begitu saja. Terkejut, si pemuda berbalik. Makin terkejut lagi, ketika mengenali siapa yang menegurnya tadi.
"Satria...?"

* * *



Si anak muda berpakaian ketat warna putih membuka capingnya. Tapi, wajahnya yang dipenuhi lumpur tetap saja tak dikenali sosok yang baru datang tadi. Sosok pemuda berpakaian rompi putih dari kulit binatang. Sosok Satria Gendeng! "Kau, siapa ya" Apakah kau bukan penunggu makam ini?" tanya Satria.
Ketika air hujan sedikit demi sedikit menyingkirkan lumpur di wajah si pemuda berpakaian ketat putih, barulah Satria bisa mengenali.
"Ah, maafkan hamba, Tuan Muda! Hamba kira...."
"Ah, sudahlah Satria. Tak usah memang-gilku begitu. Panggil aku Senoaji saja!" pinta si anak muda yang ternyata Senoaji, putra Adipati Ngawi, memenggal kata-kata Satria.
"Iya, Senoaji. Tadi kau mencari siapa" Dan mengapa kau berada di tempat ini?" Satria memang telah mengenal Senoaji, walaupun baru bertemu sekali di Kadipaten Ngawi.
Waktu itu, si anak muda perkasa baru saja hendak berangkat menuju Bukit Munthang untuk memisahkan pertarungan Warok Singo Lodra melawan Warok Jogoboyo. (Baca episode : "Pertunangan Berdarah").
Ketika hendak berangkat, Senoaji tiba di keraton setelah berguru di Blambangan. Setelah berkenalan sejenak, Satria berangkat ke Bukit Munthang bersama Adipati Ngawi dan Panglima Adi Kencono.
"Aku memergoki seseorang ketika melewati tempat ini. Orang itu kelihatannya mencurigakan, karena memondong sesosok mayat yang dibung-kus kain putih. Dari bau busuk yang tercium, aku yakin kalau yang dibawanya adalah mayat.
Ketika aku menyuruhnya untuk meninggalkan mayat itu, dia malah menyerangku. Kami bertarung sejenak, dan tiba-tiba dia melarikan diri," papar Senoaji.
"Kau mengenali ciri-cirinya?" tanya Satria.
"Penampilannya seperti seorang warok. Tapi yang pasti bukan Warok Singo Lodra atau Warok Jogoboyo. Entah siapa, aku tak mengenalnya," jelas Senoaji.
"Jangan-jangan, dia Warok Darmo Singo," duga Satria.
"Warok Darmo Singo" Maksudmu, orang yang selama ini mengadu domba dua warok terkenal itu?"
"Siapa lagi" Tapi, mayat siapa yang dibawa.
Ah, masa bodoh mayat siapa itu. Yang jelas, sepertinya Warok Darmo Singo tengah memperdalam ilmu sesat. Jadi, dia saat ini bukan berada di Gunung Wilis. Licik sekali manusia sialan itu!" Satria seolah berkata-kata untuk dirinya sendiri.
"Kau tak mau memeriksa, kuburan siapa yang dibongkarnya?" aju Senoaji.
Mendadak, pikiran buruk melintas di benak si anak muda perkasa. Terutama ketika menyadari kalau saat ini berada di pemakaman umum pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tanpa berkata-kata, Satria segera berkelebat masuk ke dalam pemakaman. Gerakannya segera diikuti Senoaji. Dalam lima hitungan, kedua anak muda itu telah tiba di makam Ratna Kumala yang kini telah terbongkar.
"Setan belang! Lihat, Senoaji! Kunyuk buluk itu telah membongkar makam Ratna Kumala, gadis yang hendak dijodohkan denganmu!" tunjuk Satria, menggeram.
Walaupun tak mencintai Ratna Kumala, tak urung Senoaji merasa terpukul melihat makam sahabat kekasihnya terbongkar. Anak muda ini lantas berjongkok di tepi makam. Diraihnya tanah makam bekas galian.
"Tenanglah di alammu, Ratna. Tak akan kubiarkan orang yang berani mengganggu makammu!" desisnya, seraya meremas tanah makam dalam kepalannya.
"Aku yakin, Warok Darmo Singo hendak menggunakan mayat Ratna Kumala sebagai syarat dalam menuntut ilmu sesat. Dan dia pasti sedang berguru pada seorang tokoh hitam.
Hmmm..., siapa tokoh hitam itu, ya?" gumam Satria. Keningnya berkerut dalam.
Senoaji merasa tak perlu menjawab. Makanya dia diam saja. Dia yakin, Satria cuma sekadar berkata untuk dirinya sendiri.
"Oh, ya Senoaji. Bagaimana ceritanya kau bisa sampai ada di sini?" Satria menyusuli dengan pertanyaan. Dan jelas, kali ini Senoaji merasa harus menjawabnya.
"Aku sebenarnya hendak ke Ponorogo, menemui Nawangsih. Tapi mendadak pikiranku berubah. Tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi Paman Warok Jogoboyo lebih dulu. Yah..., sekadar menyatakan duka cita. Dan ketika kemalaman di pinggiran kadipaten ini, aku bertemu manusia keparat itu!" tutur Senoaji, penuh kegeraman.
"Aku rasa, kau tak perlu ke rumah Warok Jogoboyo. Sebab, beliau kalau tak salah sedang berada di Gunung Wilis bersama Warok Singo Lodra," saran Satria.
Sementara, hujan kini mulai reda, berubah menjadi rintik-rintik. Seperti jarum-jarum halus yang ditumpahkan dari langit.
Alam mulai tenang.
Angin malam berhembus semilir, tidak menggila seperti tadi.
"Ada apa mereka di sana?" tanya Senoaji.
"Kalau tak salah, ada pohon, batu, tanah, angin.... Pokoknya, semua-semua ada deh. He he he.... Ya, mereka yang jelas mengejar Warok Darmo Singo," gurau Satria.
"Hmmm.... Kalau begitu, kita harus membagi tugas," cetus Senoaji.
"Sebenarnya aku bermaksud begitu. Cuma aku tak enak saja bila harus memberi tugas pada seorang anak adipati, tidak sopan rasanya," kata Satria. Senoaji tersenyum.
"Di keraton, aku memang anak adipati. Tapi di dunia luar, aku sama sepertimu, Satria. Sama-sama orang persilatan.
Itu sebabnya, aku sekarang mengenakan pakaian seperti ini serta caping di kepalaku, supaya benar-benar dianggap sebagai orang persilatan," tukas Senoaji.
"Ya, jelas lain, dong," bantah Satria.
"Maksudmu?"
"Aku lebih ganteng sedikit, he he he ...." Kembali Senoaji tersenyum.
"Nah, sekarang sebaiknya kau pergi ke Gunung Wilis. Kabarkan pada Paman Warok Singo Lodra dan Paman Warok Jogoboyo kalau si warok kentut tidak ada di Gunung Wilis," lanjut Satria, sikapnya berubah jadi bersungguh-sungguh.
"Sekarang, aku harus pergi ke sana?" tanya Senoaji.
"Tidak, tahun depan saja kau ke sana. Ya, sekarang.... Mau kapan lagi?" ledak Satria.
"Baiklah kalau begitu," Senoaji bersiap hendak melangkah. Tapi....
"Tunggu...," cegah Satria.
"Apa lagi, Satria?" kening Senoaji berkerut.
"Setelah ke Gunung Wilis, temuilah Nawangsih. Dia titip salam buatmu," Satria sedikit berdusta.
"Kau ada-ada saja, Satria. Dia masih sakit...." Senoaji tanpa sungkan-sungkan menyi-langkan telunjuknya di jidat.
"Sembarangan kau, Senoaji!"
"Maksudmu, dia sudah sembuh?"
"Sudahlah.... Yang penting jalankan tugasmu dengan baik lebih dulu," sergah Satria dengan senyum terukir di bibir.
"Baik..., baik Satria. Akan kujalankan tugasku dengan baik. Selamat tinggal" Di ujung kalimatnya, Senoaji berkelebat keluar dari pemakaman umum. Sekejap kemudian, Satria menyusul. Bila Senoaji berkelebat menuju Gunung Wilis, si anak muda perkasa dengan mengandalkan ketajaman indra penciumannya berkelebat menuju arah Warok Darmo Singo pergi.


--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--

TEPAT ketika matahari menyembul di cakrawala bagian timur, Senoaji tiba di kaki Gunung Wilis. Tapi sebelum anak muda ini mendaki menuju puncak, dari arah berlawanan berkelebat dua bayangan hitam. Semakin dekat, semakin jelas kalau dua bayangan hitam itu adalah dua sosok lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam.
Berwajah brewok dengan tatapan tajam ke depan.
Siapakah mereka" Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Setelah mengantar Dongdongka serta menunggu Warok Darmo Singo di puncak Gunung Wilis selama dua hari namun tak ada hasil, mereka memutuskan untuk turun gunung. Dan mereka begitu terkejut ketika di hadapan mereka berdiri satu sosok tegap berpakaian ketat warna putih. Mengenakan caping, nyaris menutupi wajahnya. Dua tombak di depan si anak muda, kedua warok menghentikan lari mereka. Mata tajam mereka mengawasi dan berusaha mengenali, siapa pemuda tegap yang menghadang.
Baru ketika caping si anak muda di buka....
"Raden Senoaji...?" sebut kedua warok, nyaris berbarengan.
"Maaf, Paman Warok berdua. Mungkin aku mengagetkanmu. Tapi ada sebuah berita yang membuat. Paman berdua akan lebih kaget lagi," kata Senoaji, langsung.
"Tunggu dulu, Raden. Kenapa tiba-tiba Raden muncul di tempat ini," potong Warok Singo Lodra.
"Justru itu, Paman. Begini ceritanya," Senoaji membuka penuturannya.
"Aku berniat ke Ponorogo hendak menemui Nawangsih. Aku sengaja lewat Trenggalek, bermaksud menemui Paman Warok Jogoboyo untuk menyatakan belasungkawa. Tapi ketika aku kemalaman dan lewat di pinggiran Kadipaten Trenggalek, aku bertemu Warok Darmo Singo yang baru saja mencuri sesosok mayat di pemakaman umum kadipaten. Aku sempat bertarung beberapa jurus dengannya, tapi kemudian Warok Darmo Singo melarikan diri," Senoaji sejenak menghentikan ceritanya.
Entah kenapa, tiba-tiba perasaan Warok Jogoboyo terkunci dalam kecemasan. Ada rasa tak enak yang mengoyak batinnya. Seolah cerita Senoaji kian mengiris-iris hatinya.
"Ketika Warok Darmo Singo berhasil melarikan diri dengan membawa mayat yang dicurinya, Satria datang. Lalu kami segera memeriksa ke pemakaman. Ternyata..., kuburan Ratna Kumala telah dibongkarnya," lanjut Senoaji, nyaris tak terdengar suaranya.
"Lalu kami membagi tugas. Aku ke Gunung Wilis untuk menemui Paman Warok berdua, sedangkan Satria aku yakin, tengah mengejar Warok Darmo Singo...." Memucat wajah Warok Jogoboyo. Hatinya benar-benar terpukul. Hatinya ingin menjerit, tapi sifat jantannya melarang. Dan suaranya hanya sampai di tenggorokan saja. Dadanya benar-benar hendak meledak. Amarahnya nyaris terbongkar di tempat ini, tapi berusaha mati-matian diredamnya. Hanya bibir di balik kumis lebatnya yang berkemik-kemik. Sementara matanya mendelik.
Seolah tak percaya dengan pendengarannya.
Sedangkan Warok Singo Lodra menggeram hebat. Amarahnya terbakar mendengar kuburan putri saudara seperguruannya diobrak-abrik manusia laknat, kendati manusia itu adalah adik kandungnya sendiri. Dia jadi begitu prihatin atas penderitaan adik seperguruannya yang seperti tak ada habisnya. Sudah putri tersayangnya mati, masih juga kuburannya diobrak-abrik. Yang lebih menyakitkan, orang yang mengobrak-abrik adalah dalang dari semua peristiwa yang terjadi. Penyesalan mendalam pun makin mengoyak perasaannya. Menyesal, kenapa sampai saat ini belum berhasil meringkus Warok Darmo Singo yang sudah dianggapnya sebagai manusia iblis! "Menurut Satria, jelas bahwa Warok Darmo Singo memang tak menuju Gunung Wilis. Dia sedang berada di suatu tempat untuk memperdalam ilmu hitam. Dan salah satu syaratnya, mencari mayat. Bisa jadi semua itu dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan harta karun dan kitab sakti yang disembunyikan guru Paman berdua. Sebab aku tahu dari ayahandaku, Warok Darmo Singo tengah memburu harta karun serta sebuah kitab sakti peninggalan guru Paman Warok berdua," ungkap Senoaji.
"Pantas, kami menunggu dua malam di puncak Gunung Wilis, ternyata keparat itu tak muncul-muncul. Dan karena perasaanku nggak enak, aku mengajak Kakang Warok Singo Lodra untuk turun gunung. Kasihan Panembahan Dongdongka. Dia kami tinggal sendirian di sana.
Kelihatannya dia begitu khusuk berdoa untuk Guru kami," desah Warok Jogoboyo.
Sebelum ada yang bersuara....
"Siapa bilang aku khusuk?" Tiba-tiba sebuah suara sember merampas keheningan.
Suara siapa lagi kalau bukan suara Dongdongka. Buktinya, tahu-tahu saja manusia lapuk itu telah berada di belakang kedua warok.
Sama sekali tak diketahui kehadirannya. Datang seperti perut mulas, dan hilang seperti kentut terbawa angin. Tak berbekas.
"Kalian mestinya harus memasang ke-lambu di makam guru kalian, para Manusia Bulu!" sembur Dongdongka.
"Di sana banyak nya-muk!" Tak ada alasan bagi kedua warok untuk tersinggung. Mereka cukup paham tabiat manusia sinting itu. Biar bagaimanapun, Dedengkot Sinting Kepala Gundul adalah sahabat guru mereka, Resi Kalangwan. Dan mereka memang mengakui kalau di makam guru mereka binatangbinatang penghisap darah itu sering mengganggu bila sedang khusuk berdoa.
"Maaf, Panembahan. Kami berjanji akan merawat makam Guru kami," kata Warok Singo Lodra, berbalik ke samping. Seolah hendak memberi jalan pada si manusia buluk berkepala botak.
"Panembahan, kuperkenalkan pada pemuda ini," Warok Jogoboyo menghampiri Senoaji.
"Dia putra Adipati Ngawi yang baru saja terjun dalam dunia persilatan. Namanya, Senoaji." Dongdongka melangkah menghampiri. Matanya menyipit, seolah sedang meneliti sosok yang diperkenalkan Warok Jogoboyo.
Sedang Senoaji sendiri yang semula terkejut dengan kedatangan Dongdongka segera memasang sikap gagah. Dikiranya, Dongdongka akan memberi sembah padanya. Tapi....
Tuk! Tuk! Tuk! Bambu tipis di tangan si manusia lapuk malah hinggap di kepala Senoaji. Keterlaluan sekali tabiat Dongdongka. Padahal di hadapannya adalah seorang putra adipati! "O..., jadi kau putra si Suro Brajan doyan makan itu ya" Bagus..., bagus. Kalau sudah terjun dalam gonjang-ganjing dunia persilatan, lupakanlah kesenangan duniawi. Kau harus siap menanggung segala akibatnya, termasuk mati di atas pusar wanita sesat.... He he he...," oceh Dongdongka, seenaknya.
Memerah wajah Senoaji. Amarahnya mau meledak. Siapa tokoh kurang ajar ini" Tanya hatinya. Bukannya menyembah, tapi malah mengetuk-ngetuk kepalaku dengan bambu tipisnya.
Bahkan kata-katanya terdengar sengak sekali.
"Kau jangan tersinggung dengan tabiat Panembahan Dongdongka, Senoaji. Biar bagaimanapun, Panembahan Dongdongka sahabat Guru kami. Bahkan kalau menarik sejarah masa lampau, menurut Guru kami Panembahan Dongdongka adalah bekas ksatria dari Kerajaan Majapahit," Warok Jogoboyo yang membaca gelagat tak sedap di hati Senoaji berusaha menengahi. Kali ini, justru Senoaji yang menjatuhkan diri. Bersimpuh di depan kaki kurus keropos Dongdongka....

* * *



"Bagus..., bagus.... Tak sia-sia aku membimbingmu kemari, Darmo. Mayat yang kau dapat masih baik. Dan berarti, kau telah berhasil menjalani syaratku. Sebentar lagi, kau akan mendapatkan ilmu langka yang tak ada bandingnya di dunia. Ha ha ha...!" Ledakan tawa Manusia Sesat Kaki Empat memecah keheningan dalam goa di Bukit Para Danyang. Di hadapannya, Warok Darmo Singo hanya manggut-manggut sekaligus merasa bangga karena dia berhasil memenuhi syarat untuk mendalami sebuah ilmu hitam yang diminta Manusia Sesat Kaki Empat.
"Sekarang juga, aku sudah bisa memulai upacara persembahan mayat perawan ini kepada Ratu Danyang, Darmo. Mudah-mudahan, kau akan mendapatkan apa yang kau impikan. Setelah upacara selesai, kau resmi menjadi sekutu para Danyang. Artinya, sejak saat itu kau tak lagi manusia biasa, tapi setengah siluman. Tentu saja dengan kepandaian luar biasa. Salah satu di antaranya, kau bisa meminta bantuan para iblis, ji-ka kau menghendaki sesuatu. Kau mau?" lanjut Manusia Sesat Kaki Empat, panjang lebar.
Warok Darmo Singo memang tak ingin setengah-setengah dalam keinginannya untuk menjadi tokoh persilatan yang ditakuti. Apalagi, dia bercita-cita juga ingin menguasai harta serta kitab sakti peninggalan Resi Kalangwan. Mendapat penjelasan dari lelaki tua di hadapannya, Warok Darmo Singo merasa yakin kalau para iblis bisa membantunya dalam mendapatkan kedua benda yang diidam-idamkan. Sebab selama ini, dia juga tak mampu memecahkan petunjuk di dalam dua lempengan logam yang dicurinya dari Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Syarat telah dipenuhi. Apakah Warok Darmo Singo akan mundur begitu saja setelah menyadari dirinya akan bersekutu dengan para Danyang" Tidak! Tegas hatinya, bulat-bulat. Aku sudah jauh melangkah. Haruskah aku kembali lagi" Setelah peristiwa-peristiwa lalu, pasti Kakang Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo akan mencari-cariku. Dan buntut-buntutnya, mereka pasti akan membunuhku. Kalau aku tidak mempersiapkan diri, mustahil aku bisa mengalahkan mereka. Begitu tekad bulat Warok Darmo Singo.
"Tentu Guru," sahut Warok Darmo Singo yang telah memanggil guru pada Manusia Sesat Kaki Empat.
"Tak ada lagi keraguan dalam hatiku. Karena aku memang harus menghadapi musuh-musuhku!"
"Bagus..., bagus. Tapi, ingat! Ada syarat setelah kau mendapat ilmu para Danyang!" kata Manusia Sesat Kaki Empat.
"Apa itu, Guru?"
"Tiap purnama, kau harus menyediakan mayat perawan kepadaku yang berusia kurang dari seminggu."
"Hanya itu, Guru?"
"Bantu aku untuk mengalahkan musuhmusuh besarku."
"Siapa saja mereka, Guru?"
"Resi Kalangwan."
"Dia telah meninggal beberapa tahun yang lalu,"
"Kalau begitu, sahabat-sahabatnya."
"Di antaranya?"
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul."
"Ada lagi, Guru?"
"Itu saja dulu."

* * *



Upacara persembahan mayat dimulai. Di sebuah batu pipih, mayat Ratna Kumala dibaringkan. Di atas kepala mayat terdapat pendupaan dengan asap kemenyan mengepul memenuhi ruangan goa. Membuat dada sesak dan mata pedih. Dalam keadaan telanjang bulat, lat, Manusia Sesat Kaki Empat dan Warok Darmo Singo menari-nari mengitari mayat Ratna Kumala. Dari bibir kendor si tua kaki empat terlontar mantramantra yang sulit dimengerti Warok Darmo Singo.
Lelaki tinggi besar ini hanya mengikuti gerak yang diperagakan guru sesatnya.
Terkadang mereka berjingkrak-jingkrakan.
Kedua tangan menyentak-nyentak ke samping dengan kepala manggut-manggut. Sekali waktu mereka menggoyang-goyangkan pinggul. Saat Manusia Sesat Kaki Empat menggoyanggoyangkan pinggul, nyaris Warok Darmo Singo tertawa. Betapa dilihatnya kedua kaki gurunya yang berada di belakang bergoyang-goyang merangsang. Namun dia segera memusatkan pikirannya kembali kalau tak mau upacara ini gagal.
Pada puncaknya, tarian aneh Manusia Sesat Kaki Empat melambat. Mantra yang terlontar dari bibir kendornya tak lagi cepat. Begitu khusuk penuh makna keramat.
Seperti gerakan Manusia Sesat Kaki Empat, gerakan Warok Darmo Singo pun melambat.
Dan mendadak, jiwanya terasa melayang bak di awang-awang. Tepat berada di samping mayat Ratna Kumala, Manusia Sesat Kaki Empat duduk bersimpuh, diikuti Warok Darmo Singo. Kepalanya tertunduk, dengan kedua tangan berada di paha.
Demikian pula Warok Darmo Singo. Sekejapan kemudian, dari pendupaan lamat-lamat terlihat sebuah bayang ramping. Bayangan seorang perempuan cantik tanpa benang sehelai pun. Seperti melenggak-lenggok, seirama dengan liukan asap pendupaan.
"Wayan... bangunlah. Aku telah hadir...." Suara halus terdengar menggelitik sukma.
Manusia Sesat Kaki Empat yang bernama Wayan, atau tepatnya Wayan Swadaya mengangkat kepalanya. Dan bibirnya tersenyum saat menatap bayang-bayang perempuan tanpa benang sehelai pun.
"Nini Gedeng Swastami.... Akhirnya kau datang juga. Syukurlah, Nini. Ini, Nini. Aku mem-persembahkan wadag kasar dari seorang perawan cantik. Untuk itu, setelah kau masuk ke dalam jasadnya, sudilah kiranya memberi ajian pada muridku yang bersimpuh di sampingku," lapor Manusia Sesat Kaki Empat, penuh khidmat. Bayang-bayang perempuan yang dipanggil Nini Gedeng Swastami menoleh ke arah jasad mayat Ratna Kumala. Bibir merahnya tersenyum lamat. Lalu kepala manggut-manggut, tanda menyetujui persembahan yang diberikan Manusia Sesat Kaki Empat.
"Kalau begitu, aku akan segera memasuki jasad mayat gadis ini. Biar kita bisa bercengkerama dengan leluasa, Wayan," kata Nini Gedeng Swastami, genit.
"Silakan, Nini. Aku pun sudah merindukanmu," kata Manusia Sesat Kaki Empat, bersemangat.
Warok Darmo Singo sendiri hanya memandang takjub dengan apa yang dilihatnya. Terutama ketika melihat bayangan perempuan itu perlahan-lahan bergerak, memasuki jasad mayat Ratna Kumala melalui ubun-ubun.
Sejenak suasana hening.
Merinding. Di luar sana, lolongan serigala melengking.
Perlahan namun pasti, waktu terus bergeser. Sudah lewat dini hari. Bersamaan dengan itu, tubuh mayat Ratna Kumala bergerak perlahan.
Awalnya, kedua tangannya. Lalu kaki, dan diikuti kepala. Yang mencengangkan, mayat yang semula rusak perlahan-lahan kembali seperti semula. Halus mulus berlapis kulit kuning langsat.
Dalam gerak perlahan, jasad Ratna Kumala bangkit, setelah matanya membuka. Langsung ditolehkan kepalanya ke arah Manusia Sesat Kaki Empat. Lalu berpindah ke wajah Warok Darmo Singo. Tengkuk lelaki tinggi besar yang semula merinding perlahan mereda. Bahkan ganti terpesona melihat kecantikan wajah Ratna Kumala yang telah bangkit kembali.
"Bagaimana, Wayan" Apakah aku kelihatan cantik?" Tatapan Ratna Kumala yang telah dimasuki jasad halus Nini Gedeng Swastami berpindah pada wajah tua Manusia Sesat Kaki Empat.
"Cantik sekali, Nini. Bahkan teramat cantik. Ah, sungguh tak kusangka. Ternyata usahaku tak sia-sia untuk bersekutu denganmu di Bukit Para Danyang, Nini. Kau telah menepati janjimu," desah Wayan Swadaya.
Siapakah Nini Gedeng Swastami sebenarnya" Dialah Ratu Para Danyang yang bersemayam di bukit Para Danyang ini. Sejak Manusia Sesat Kaki Empat memilih tempat ini sebagai tempat untuk memperdalam ilmu hitamnya, dia sudah beberapa kali meminta kehadiran Ratu Para Danyang ini. Namun, selama itu usahanya tak menemui hasil. Baru ketika Manusia Sesat Kaki Empat membawa lima belas mayat perawan ke hadapan Nini Gedeng Swastami, Ratu Para Danyang itu mau menampakkan diri. Itu pun setelah Manusia Sesat Kaki Empat berjanji dalam setiap purnama senantiasa menyediakan mayat perawan sebagai wadah bagi Nini Gedeng Swastami untuk hadir di dunia kasar. Sebagai makhluk halus, Nini Gedeng Swastami juga memiliki nafsu. Termasuk, nafsu untuk melampiaskan gejolak birahinya. Itu sebabnya, dia butuh jasad kasar sebagai sarana untuk memenuhi gelora birahinya. Karena memang, kegemaran wanita siluman ini adalah berhubungan intim dengan makhluk bernama manusia. Lagian, mana mungkin dia bisa berhubungan dalam keadaan hanya berupa bayang-bayang" Apa enaknya" Hubungan intim itu terus berlangsung hingga beberapa tahun, sampai akhirnya Wayan Swadaya memiliki ajian pemberian Nini Gedeng Swastami. Ajian dapat membuatnya mampu mempengaruhi jalan pikiran orang lain. Bahkan mampu menghilang bila mengucapkan mantramantra tertentu.
Untuk memenuhi syarat menyediakan mayat perawan, Manusia Sesat Kaki Empat tak ingin bersusah-susah. Itu sebabnya ketika Warok Darmo Singo berada di lembah di dekat Bukit Para Danyang, Manusia Sesat Kaki Empat menjeratnya dengan pengaruh jarak jauh.
"Sekarang, mari kita mandi bersama di sendang bawah tanah, Nini," ajak Wayan, berse-mangat.
"Mari, Wayan. Aku juga sudah tak sabar untuk menurunkan ajian lain pada muridmu itu.
Sekaligus, menjajal kejantanannya," sahut Nini Gedeng Swastami.
"Nini kupersilakan untuk menjajalnya nanti," Manusia Sesat Kaki Empat melirik pada Warok Darmo Singo yang terus menatap lekat-lekat ke seluruh lekuk-lekuk tubuh Ratna Kumala.


--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--

ATAS saran Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra, Senoaji berangkat menuju Kadipaten Ponorogo. Karena setelah mendengar penuturan Senoaji tadi, kedua warok yakin kalau Satria telah selesai mengobati Nawangsih.
Soal sembuh atau belum, kedua warok itu belum tahu. Tapi kalau mendengar cerita Senoaji bahwa Nawangsih titip salam buat anak muda ini, jelas bahwa Nawangsih telah sembuh.
Ketika Senoaji telah pergi, Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo mengajak Dongdongka untuk ke Trenggalek untuk memeriksa makam Ratna Kumala. Kali ini tanpa menunjukkan tabiat sintingnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul menyanggupi untuk ikut serta.
Dengan mengerahkan kepandaian ilmu lari cepat masing-masing, dalam setengah harian mereka telah tiba di Trenggalek. Atau tepatnya di pemakaman umum. Begitu tiba, di tepian makam telah berdiri seorang pemuda berpakaian rompi putih dari kulit binatang. Berambut panjang melebihi bahu, berwarna kemerahan. Celananya pangsi sebatas lutut.
"Hei, Cah Gendeng! Kau sekarang sudah jadi penunggu makam"!" sapa Dongdongka, begi-tu tiba. Cah Gendeng yang dimaksud Dongdongka tentu saja Satria. Si anak muda perkasa tanah Jawa yang mulai menghebohkan dunia persilatan.
"Kakek Dongdongka" Kok Kakek tahu-tahu ada di sini?" Satria langsung berbalik.
"Suka-suka aku! Mau ada di pantat sapi, kek. Mau ada di kamar pengantin, kek. Siapa yang mau melarang?" sahut Dongdongka, ketus.
"Sekarang, kenapa kau sampai kelayapan ke daerah Jawa bagian timur ini, hah"!"
"Semula aku mencari Tresnawati, Kek. Tapi ternyata di daerah ini aku diminta menyelesaikan sebuah persoalan. Ya, terpaksa pencarianku ter-tunda. Aku diminta Kanjeng Adipati Nga...."
"Sudah! Sudah! Aku sudah mendengar semuanya dari kedua Manusia Bulu ini!" potong Dongdongka, melempar dagu keriputnya pada Warok Singo Lodra chin Warok Jogoboyo. Heran, padahal lelaki tua lapuk itu sudah tahu nama kedua warok itu. Tapi tega-teganya masih memanggil mereka manusia bulu. Dasar tak punya perasaan! Satria melempar pandangan pula ke arah kedua warok. Kedua lelaki tinggi besar penuh brewok itu mengangguk, membenarkan. Memang selama perjalanan sambil berlari cepat Warok Singo Lodra telah menceritakan semua yang terjadi.
"Katanya kau mengejar Warok Darmo Sin-go, Satria" Bagaimana hasilnya?" tanya Warok Jogoboyo.
"Maaf, Paman. Selain kedatanganku terlambat saat terjadi pertarungan antara Senoaji dengan manusia keparat itu, ternyata Warok Darmo Singo juga mengandalkan ilmu lari cepatnya. Aku kehilangan jejak ketika sampai di sebuah lembah bercadas. Untuk itulah aku memutuskan untuk kembali. Dan karena aku yakin kalian akan ke tempat ini, maka aku menunggu di sini. Aku tak tahu, lembah apa itu namanya. Ketika tiba di sana, pikiranku mendadak kacau.
Terdengar suara-suara aneh di sana. Tempat itu begitu menggiriskan. Seolah, hatiku jadi bimbang.
Makanya, kuputuskan untuk kembali saja," jelas Satria, jujur.
"Lembah Keramat...," desis Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris bersamaan. Semua manusia yang ada di pemakaman umum pinggiran Kadipaten Trenggalek ini hanyut dalam kegeraman, kecuali Dongdongka. Ah, indahnya kalau aku yang berada di lubang itu, kata Dedengkot Sinting Kepala Gundul ketika melempar pandangannya ke arah lubang kubur milik Ratna Kumala yang terbongkar. Kenapa aku yang lapuk ini tak mati-mati juga, ya" Eh, perawan yang cantik anak salah satu Manusia Bulu itu malah gampang banget matinya" Namanya juga harapan sinting. Ya, yang tercetus juga terdengar aneh. Di mana sebagian besar manusia bertahan untuk hidup, malah si tua lapuk itu ingin mati. Bahkan susahnya minta ampun. Tak dipungkiri walaupun telah menyadari bahwa mati-hidup adalah urusan Sang Khalik, tetap saja pikiran itu bisa nongol dalam benaknya sewaktu-waktu. Dia bahkan terlalu cemburu bila melihat orang mati. Seandainya ada orang mati yang bersedia mengajaknya, dengan senang hati dia akan mengikutinya. Dengan syarat, tidak dengan cara bunuh diri. Itu tindakan pengecut! Katanya.
"Aku tak mengerti, apa maunya manusia telengas itu mencuri mayat Ratna Kumala?" buka Warok Singo Lodra.
"Ilmu hitam, Paman. Sepertinya, Warok Darmo Singo tengah menuntut ilmu hitam di lembah itu," duga Satria, sok yakin.
"Dan tepatnya di Lembah Keramat," sambung Warok Jogoboyo.
"Hmm siapa tokoh yang bermukim di Lembah Keramat...?"
"Kira-kira siapa, Kakek Dongdongka?" tanya Satria pada guru sintingnya. Kelihatannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul begitu khusuk dengan lamunannya.
"Mungkin aku," sahut Dongdongka, salah tangkap.
"Hah"!" Satria terperangah.
"Eh, apa yang kau tanyakan, Cah Gendeng?" Dongdongka mengedip-ngedipkan kelopak keriput matanya.
"Kira-kira, siapa tokoh sesat yang bermukim di Lembah Keramat?" ulang Satria, sambil mengelus-elus dadanya.
"He he he.... Kedengaranku. Manusia Bulu itu bilang, siapa yang mau bermukim di makam ini. Maaf, kupingku sudah lama tak kukorek. Kalau soal tokoh yang bermukim di Lembah Keramat sepanjang pengetahuan hanyalah manusia sesat yang paling getol mendalami ilmu hitam.
Dia adalah musuh besar Resi Kalangwan, sahabatku. Namanya Wayan Swadaya alias Manusia Sesat Kaki Empat. Resi Kalangwan pernah cerita tentang musuh besarnya itu padaku. Entah, di mana tepatnya Manusia Sesat Kaki Empat berada setelah dikalahkan Resi Kalangwan. Memang ada kabar burung kalau dia berada di Lembah Keramat. Untuk tepatnya, aku tak tahu," papar Dongdongka. Kali ini kesintingannya lenyap sejenak.
Kata-katanya begitu lancar, selancar semprotansemprotan liurnya yang melesat dari bibir kendornya.
"Hm.... Guru tak pernah cerita tentang Manusia Sesat Kaki Empat...," gumam Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris bersamaan.
"Manusia Sesat Kaki Empat?" Satria menyusul kemudian.
"Paman Warok! Apakah kalian tahu, di mana tepatnya letak Lembah Keramat?"
"Di selatan Gunung Wilis," sahut Warok Jogoboyo.
"Kalau begitu, kenapa kita buang-buang waktu?" terabas Satria, tak ingin berlama-lama.
"Kalau kau mau jadi budak iblis, silakan saja, Cah Gendeng," timpal Dongdongka, tiba-tiba.
"Maksud Kakek?" aju Satria.
Darah mu-danya mulai bergolak, karena gurunya seolah meremehkannya.
"Setahuku, Lembah Keramat adalah tempat berkumpulnya para iblis. Para Danyang yang mendiami gunung, sungai, laut, lembah, hutan, dan tempat-tempat liar lainnya. Para Danyang itu dipimpin oleh seorang Ratu Danyang. Kalau tak salah namanya Nini Gedeng Swastami. Nah, mungkin Manusia Sesat Kaki Empat telah bersekutu dengannya. Lalu apa kau sanggup menghadapinya. Ayo pikir! Pikir!" ledak Dongdongka. Sebenarnya di balik kata-kata kasarnya tersimpan rasa kekhawatiran terhadap murid gendengnya.
Dia tak ingin Satria celaka atau bahkan menjadi budak iblis di Lembah Keramat.
Lalu, apakah si anak muda perkasa jadi ciut nyalinya" Mundur teratur karena nyawanya bakal tergempur"


--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--

SETELAH melakukan hubungan intim dengan Manusia Sesat Kaki Empat, Nini Gedeng Swastami berkenan memberi ajian 'Petuah Iblis' kepada Warok Darmo Singo. Tentu saja setelah lelaki tinggi besar itu dijajal kejantanannya terlebih dahulu. Setelah perempuan siluman itu merasa puas, Warok Darmo Singo ditiup embunembunannya. Maka saat itu juga dia bisa memerintahkan para iblis untuk mengerjakan apa yang diperintahnya. Termasuk, mengambil harta karun dan sebuah kitab sakti yang disimpan Resi Kalangwan di puncak Gunung Wilis.
Tak ada kesulitan bagi para iblis suruhan Warok Darmo Singo untuk mengambil bendabenda yang diinginkannya. Dengan demikian, dia tak perlu lagi susah payah mencarinya. Iblis-iblis yang menghuni puncak Gunung Wilis ikut berpe-ran dalam menemukan harta karun serta kitab sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan. Semalaman saja, semua tugas itu telah selesai dikerjakan para iblis Di dalam goa Bukit Para Danyang, Warok Darmo Singo tersenyum girang. Sepeti emas permata dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi telah berada di depannya. Kalau dipikirpikir, rasanya dia agak kecewa juga, mengapa baru sekarang begitu mudah mendapatkan kedua benda itu. Tapi tanpa pertemuanku dengan Iblis Rogo Jembangan, mustahil aku bisa tahu kalau di tempat ini ada tokoh sesat yang pintar dalam ilmu hitam" Kata hati Warok Darmo Singo. Hmmm.... Manusia Sesat Kaki Empat secara tidak langsung Ikut membantuku dalam mewujudkan apa yang kucita-citakan.
"Hendak kau apakan harta sebanyak itu, Darmo?" tanya Manusia Sesat Kaki Empat di depan Warok Darmo Singo.
"Sebagai modal, Guru. Modal untuk menjadi seorang raja kecil untuk kemudian menjadi raja besar yang paling ditakuti di tanah Jawa ini.
Akan kulenyapkan semua musuh-musuhku.
Akan kulenyapkan semua pendekar-pendekar yang bertingkah di hadapanku," jawab Warok Darmo Singo, semangat.
"Tapi kau jangan lupa dengan syaratsyaratku," terabas Manusia Sesat Kaki Empat.
"Tentu, Guru. Akan kucari orang yang bernama Dongdongka. Dan akan kucari mayatmayat perawan untuk wadah Nini Gedeng Swastami. Tapi, bagaimana ciri-ciri orang yang berna-ma Dongdongka itu, Guru?"
"Tua bangka itu berkepala gundul. Dia hanya bercawat dari kulit ular sanca," jelasnya.
"Baiklah, Guru. Oh, ya. Ngomongngomong, bagaimana dengan Nini Gedeng Swastami" Apakah dia sudah kembali ke alamnya?" tanya Warok Darmo Singo. Masih teringat dalam benaknya, bagaimana perempuan siluman itu memuji permainan cintanya.
"Dia sudah kembali ke alamnya. Sekarang, buanglah mayat itu. Kita sudah tak menggunakannya lagi. Maka sekarang tugasmu mencari mayat baru," ujar Manusia Sesat Kaki Empat, seraya melirik mayat Ratna Kumala.
"Baik, Guru. Nanti malam mayat itu akan ku buang. Sekalian aku akan mohon diri," sahut Warok Darmo Singo.

* * *



Menjelang dini hari, Warok Darmo Singo telah meninggalkan Bukit Para Danyang. Selain untuk membuang mayat Ratna Kumala, juga untuk memulai hidup baru sebagai tokoh yang bakal mengguncangkan dan menghebohkan.
Tepat ketika matahari terbit di ufuk timur, seorang pemuda kekar berpakaian rompi putih dari kulit binatang telah berdiri di Lembah Keramat. Parasnya tampan, bergaris rahang jantan. Tatapan sembilunya menghujam ke arah Bukit Para Danyang. Rambut panjang kemerahannya melenggak-lenggok dipermainkan angin pagi.
Dialah Satria. Di samping si anak muda perkasa, berdiri dua lelaki tinggi besar berpakaian komprang warna hitam. Celananya komprang, berwarna sama.
Yang seorang bertubuh tambun. Mereka tak lain dari Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo. Lalu, di mana Dongdongka" Tua bangka lapuk itu ternyata punya rencana sendiri. Satria sendiri harus menelan kekecewaan, karena guru sintingnya tak bersedia menjelaskan apa rencananya. Yang jelas, begitu selesai melihat keadaan makam Ratna Kumala, Dongdongka pergi bagai kentut yang disemburkan begitu saja.
"Di mana kira-kira letak tempat tinggal Manusia Sesat Kaki Empat, Paman?" tanya Satria, menoleh pada Warok Singo Lodra.
Sejenak mata Warok Singo Lodra menyapu hamparan batu cadas di lembah ini. Lalu tatapannya berhenti ke arah bukit sebelah kiri.
"Kalau tak salah bukit yang sebelah kiri itu," tunjuk Warok Singo Lodra.
Belum sempat Satria mengajak kedua warok itu ke sana....
"Satria, lihat!" Warok Jogoboyo menunjuk ke sebuah batu cadas di sebelah kiri.
Di balik ba-tu, segerombolan lalat hijau tengah membangun sebuah pesta pora di sana. Agak menyembul di balik batu, terlihat sebentuk kaki membujur.
Tanpa banyak kata, ketiga orang itu melompat ke sebuah batu cadas di sebelah kiri yang tak begitu jauh. Begitu tiba, mereka semua terperangah! "Ratna...!" desis Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra berbarengan. Kedua mata mereka mendelik dengan mulut ternganga.
"Biadab!" geram Satria, seraya memalingkan wajah. Tak tega hatinya melihat mayat dalam keadaan telanjang. Memperlihatkan bagianbagian tubuh menggiurkan, namun telah rusak di sana-sini. Dan anehnya, tak sedikit pun tercium bau busuk! Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra membuka baju komprangnya. Penuh rasa haru dan kegeraman, mereka segera membungkus mayat dengan baju. Lalu bersama-sama mereka mengangkat mayat Ratna Kumala yang begitu mengenaskan.
"Kau harus mati di tanganku, keparat!" desis Warok Jogoboyo, tak kuasa menahan kegeraman. Yang dimaksud keparat tentu saja Warok Darmo Singo yang seenak udelnya membuang mayat Ratna Kumala di tempat ini "Kita telah bersumpah untuk melenyapkan bangsat itu, Adi!" timpal Warok Singo Lodra, tak tega melihat adik seperguruannya selalu dirun-dung duka. Sementara, orang yang membuat duka justru masih berkeliaran.
"Sebaiknya, Paman berdua pulang ke Trenggalek. Kuburkan mayat Ratna Kumala di tempat layak. Biar Manusia Sesat Kaki Empat dan Warok Darmo Singo menjadi urusanku!" desis Satria. Darah si anak muda sudah begitu menggelegak. Jiwa kependekarannya memberontak. Meledak-ledak, seolah tak puas dengan ketidakadilan dan keangkaramurkaan yang terjadi.
"Tidak, Satria! Kami harus memusnahkan manusia laknat itu!" tegas Warok Singo Lodra, menggelegar. Niatnya tak tergoyahkan lagi untuk segera membunuh manusia biadab bernama Warok Darmo Singo. Meski, itu adalah adik kandungnya sendiri.
Maksud Satria memang baik. Artinya, si pemuda benar-benar tak tega melihat mayat Ratna Kumala. Tapi rasanya dia cukup memaklumi kemarahan kedua warok ini. Makanya, dia lebih baik membiarkan kedua warok itu bersamanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Satria segera menyentak kakinya. Seketika tubuhnya berkelebat ke arah Bukit Para Danyang. Kedua warok itu segera mengikuti sambil terus memondong mayat Ratna Kumala. Warok Jogoboyo pada bagian bahu, sementara Warok Singo Lodra pada bagian bokong. Dalam beberapa hitungan, mereka bertiga telah tiba di kaki Bukit Para Danyang. Sejenak mereka memandang ke sekeliling. Dan sebelum ada yang membuka suara....
"Selamat datang di Bukit Para Danyang, para pendekar congak...." Tercekat Satria. Juga kedua warok itu. Suara yang terdengar barusan, seolah membuai perasaan mereka. Begitu halus, namun terasa membuat jalan pikiran mereka kacau! Ada apa rupanya"

* * *



Satu sosok tinggi besar berpakaian komprang serba hitam melangkah gagah. Di bahunya terpanggul sebuah peti tak terlalu besar. Wajahnya penuh brewoknya menggambarkan kegembiraan luar biasa. Sebentar-sebentar bibir tebalnya melepas senyum. Entah ditujukan kepada siapa.
Tiba di pinggiran kadipaten Trenggalek, sosok seorang lelaki tinggi besar ini mendadak menghentikan langkahnya. Tatapannya langsung tertuju ke arah pemakaman umum yang beberapa tombak lagi akan dilewatinya.
Siapa lelaki tinggi besar itu" Warok Darmo Singo. Seorang warok yang selama ini dicari-cari oleh Satria Gendeng, Warok Jogoboyo, dan Warok Singo Lodra. Dan agaknya, warok sesat ini cukup cerdik sehingga tak sampai bertemu orang-orang yang selama ini mencaricarinya. Sewaktu berhasil melarikan diri setelah bertarung dengan Senoaji, Warok Darmo Singo yakin kalau dirinya kini sedang dicari-cari. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, sengaja dicarinya jalan lain, yakni dengan memutar sedikit perjalanan. Artinya, dia harus memutari bukit yang berhadapan dengan Bukit Para Danyang. Dengan mengikuti jalan setapak, sampailah dia di pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tapi baru saja si warok sesat hendak melanjutkan langkahnya....
"Berat juga bawaanmu. Boleh kubantu...?" Sebuah suara memangkas keheningan pagi ini. Sang warok tercekat. Jantungnya nyaris mencelat. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan sinar berkilat. Tak ada siapasiapa, kecuali pepohonan dan semak belukar. Sedangkan di kanannya terdapat sebuah empang dengan jamban gantung. Ketika matanya terpatri ke sana, hatinya yakin kalau ada seseorang yang berjongkok di jamban gantung.
"Jangan main-main denganku! Cepat tunjukkan diri kalau tak mau mampus!" bentak Warok Darmo Singo.
"Siapa yang main-main" Wong aku sedang asyik buang hajat dibilang main-main," sahut suara dari jamban gantung. Enteng sekali suaranya.
"Lantas, kenapa kau mengganggu perjalananku"!"
"Karena kau memang patut untuk diganggu. Bukankah kau suka mengganggu orang lain" Nah, kalau aku sekarang mengganggumu, bukankah itu baru adil?"
"Setan laknat! Jangan salahkan kalau aku bertindak kasar. Heaa!" Wusss...! Udara terpangkas saat itu juga oleh luncuran angin panas.
Menderu. Menggebu. Siap meluluh lantakkan jamban gantung berikut isinya hingga jadi debu.
Satu jari lagi angin menderu dari pukulan jarak jauh Warok Darmo Singo menghantam, sebuah keajaiban terjadi. Mendadak, angin menderu tadi memecah ke segala arah. Menghantam beberapa pohon yang berada di sekelilingnya.
Brak! Brakk! Pohon-pohon bertumbangan. Menciptakan suara gemuruh. Membuat nyali luruh. Sementara, hati Warok Darmo Singo jadi kisruh. Pukulan jarak jauh yang dibuatnya tadi dikawal dengan kemarahan amat sangat. Tak heran bila disertai tenaga dalam tinggi. Tapi hasilnya"
"He he he.... Pukulan untuk membunuh cacing dipamerkan di hadapanku," dari balik jamban, nongol satu sosok keropos berkepala botak. Memamerkan giginya yang nyaris tandas, menyisakan gusi-gusi hitam. Begitu keluar dari jamban gantung, si tua lapuk itu hanya mengenakan cawat dari kulit ular sanca. Semen-tara, tangan kanannya memegang bambu tipis yang sesekali diketuk-ketukkan ke kepalanya. Siapa lagi manusia langka itu kalau bukan Dongdongka.
"Siapa kau, Orang Tua"!" bentak Warok Darmo Singo. Sementara hatinya terus mendugaduga, apakah ciri-ciri orang ini sama dengan seperti yang diceritakan gurunya, Manusia Sesat Kaki Empat.
"Lucu..., lucu. Aku mau membantumu mengangkat peti itu, kau malah marah. Hati-hati, nanti kumismu rontok. Kau pasti juga sejenis Manusia Bulu. Apakah kau yang bernama Warok Darmo Singo" Ayo, ngaku! Kalau tak mengaku, kucabuti seluruh bulu-bulumu. Kecuali.... He he he!" kekeh lelaki tua keropos.
Edan! Dia tahu jati diriku! Damprat hati Warok Darmo Singo. Hmmm.... Kalau melihat ciricirinya, dia pasti Dongdongka. Kebetulan. Guruku menyuruhku untuk membunuhnya! Kata hatinya lagi.
"Apakah kau yang bernama Dongdongka, Orang Tua?" tanya si warok.
"Tumben, ada yang peduli dengan namaku," sahut Dongdongka.
"Hmmm.... Kalau begitu, kau harus mati! Heaaa...!" Berkawal bentakan keras, kembali Warok Darmo Singo melepas pukulan jarak jauh ketika Dedengkot Sinting Kepala Gundul baru saja sampai di tepi empang. Sebuah jarak yang amat dekat untuk mempercepat kematian si tua lapuk.
Sungguh, Warok Darmo Singo tak tahu, siapa Dongdongka. Seorang sesepuhnya para sesepuh dunia persilatan. Yang ada di benaknya, Dongdongka hanyalah tokoh silat uzur bertubuh keropos. Dan sungguh, dia lupa dengan serangannya yang tadi tak berarti apa-apa ketika lelaki uzur itu masih berada di jamban gantung.
Dan ketika angin panas hendak melabrak, Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutar bambu tipisnya. Perlahan saja. Hasilnya....
Deb! Dashh! Putaran angin tercipta dari hasil putaran bambu tipis Dongdongka. Menahan laju angin panas milik sang warok, dan membalikkannya ke arah datangnya. Akibatnya, tubuh Warok Darmo Singo termakan pukulan jarak jauhnya sendiri! Si lelaki tinggi besar terpental. Melayang sejauh tiga tombak, langsung menabrak pohon.
Tertatih-tatih, dia berusaha bangkit. Sebenarnya, Warok Darmo Singo ingin mengerahkan aji 'Petuah Iblis'. Sebuah ajian yang dapat memanggil para iblis untuk ditugasi sesuai kehendak sang warok. Termasuk membunuh Dongdongka. Tapi sialnya, ajian itu hanya bisa digunakan pada malam hari. Sialnya lagi, Warok Darmo Singo bertemu Dongdongka pada pagi hari.
"Bagaimana" Masih kurang?" ledek Dongdongka.
"Keparat busuk! Jangan dikira aku telah kalah! Heaaat...!" Kali ini Warok Darmo Singo harus merelakan petinya yang terpental jauh darinya. Dia tak mempedulikannya lagi. Tubuhnya telah maju, menerjang Dongdongka dengan jurus-jurus silat andalannya.
"Ah, masih berlagak juga. Jurus-jurus silat seperti cacing kepanasan dipamerkan," ledek Dongdongka, habis-habisan.
Deb! Deb! Dua buah pukulan dibuat Warok Darmo Singo. Satu mengarah ke kepala, sisanya ke dada.
Suara menderu mengiringi. Ganas, dan berhawa maut. Tapi di mata kelabu Dongdongka, gerakan si warok tak lebih dari gerakan gadis penari. Lemah lembut tak bertenaga.
Dongdongka hanya perlu bergeser ke samping sedikit, lalu bambu tipisnya bergerak menotok.
Tuk! Tuk! Dua buah totokan yang disarangkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul tepat mampir di urat-urat gerak si warok. Seketika, gerakannya terhenti. Mata si warok mendelik tanpa mampu berbuat apa-apa.
"He he he.... Kubilang juga apa, Manusia Bulu" Eh, tapi kau pasti Manusia Bulu palsu.
Coba kuperiksa brewokmu," Dongdongka menarik keras jenggot Warok Darmo Singo.
Breett! "Aaahhh...!" jerit sang Warok dengan mulut meringis.
"He he he.... Ternyata bulu asli. Kalau yang ada di balik celanamu, apakah juga bulu asli" Boleh kuperiksa, ya?" Tapi baru saja Dongdongka hendak membuka celana Warok Darmo Singo....
"Oh, iya. Aku harus membantu Cah Gendengku. Hmmm.... Sebaiknya di jamban gantung itu lagi. Sekalian aku menyembunyikan Manusia Bulu di situ," ocehnya.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cepat mengangkat Warok Darmo Singo dan membawanya ke dalam jamban gantung. Dengan satu totokan pula, dibuatnya si warok agar berjongkok.
Lalu tubuhnya berkelebat lagi, mengambil peti yang jatuh dari tangan Warok Darmo Singo. Begitu cepat gerakan lelaki tua lapuk itu, sehingga sebentar saja dia sudah berada di jamban gantung kembali. Bahkan kemudian ini telah ikutikutan berjongkok. Mau apa dia" Buang hajat"


--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--

SUNGGUH tepat kalian datang ke tempat ini. Mari..., jangan ragu. Di sebelah kanan kalian ada sebuah batu cadas.
Dekatilah," lanjut suara halus yang begitu mengganggu jalan pikiran Satria, Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo.
"Kendalikan jalan pikiran kalian, Paman! Jangan turuti kemauan suara itu. Aku yakin, ada maksud-maksud tertentu. Kata-kata itu mengandung sihir yang amat kuat, Paman!" seru Satria, ketika melihat kedua warok itu bergerak mendekati batu yang dimaksud suara halus itu.
Sia-sia usaha Satria. Kedua warok itu terus melangkah. Bahkan kali ini dengan tatapan kosong. Si anak muda sendiri mati-matian berusaha menguasai jalan pikirannya. Dikerahkannya tenaga dalam untuk menangkal suara suara yang menggelitik telinganya, dan menyusup ke sanubarinya.
"Buang dulu mayat itu, Anak Manusia! Aku sudah tak memerlukannya lagi," lagi, suara ber-pengaruh itu terdengar.
Ajaib! Kedua warok itu pun menuruti perintah dari suara halus tadi. Mayat Ratna Kumala dibuang begitu saja, seolah yang ada di pondongan mereka hanyalah sebatang kayu tak berharga. Lalu, kaki mereka kembali melangkah menuju batu.
"Paman! Ja..., aaakh!" Cegahan Satria terpangkas oleh sebuah kekuatan kasat mata yang seperti hendak mencongkel pendengarannya. Si anak muda hendak melangkah, mencegah kedua warok itu. Tapi rasa sakit yang mendera kedua lubang kupingnya memaksanya untuk berhenti. Didekapnya kuatkuat kedua telinganya. Sementara, lututnya sendiri telah bergetar hebat. Agaknya, si anak muda tengah mengerahkan tenaga dalam setinggi mungkin.
"He he he.... Kau cukup tangguh juga, Cah! Pengaruh suara gaibku rupanya harus susah payah menembus benteng sukmamu. Tapi jangan dikira aku tak bisa menguasaimu, Cah! Nah, rasakanlah!" Begitu suara halus itu lenyap, Satria Gendeng merasakan seolah hatinya seperti ditusuktusuk. Matanya menjadi gelap saat itu juga. Perasaannya bagai melambung di cakrawala tak bertepi. Pada saat yang begini, Satria begitu kela-bakan. Tak terpikirkan untuk mengerahkan kekuatan sakti yang mengendap dalam dirinya. Kekuatan sakti yang didapatnya dari Lautan Selatan. Si anak muda makin keras saja membekap kedua kupingnya dengan mulut meringis-ringis.
Suara halus tadi kini berubah melengkinglengking, menyentak-nyentak dan mengoyakngoyak perasaannya.
Tapi mendadak....
"He he he.... Kubilang apa, Cah Gendeng" Dasar otakmu di dengkul! Kau yang menyuruh kedua Manusia Bulu itu untuk mengendalikan perasaan, tapi kau malah ikut-ikutan tak karuan!" Bagai menemukan air di padang tandus, mendadak hati si anak muda terasa seperti ada yang membelai-belai. Hati kecilnya tergugah. Mati-matian, berusaha dikendalikannya perasaan seperti semula. Suara barusan amat dikenalnya.
Ya, suara guru sintingnya yang tahu-tahu muncul begitu saja. Suara itu seolah mengandung kekuatan kasat mata yang sedikit demi sedikit mengusir suara-suara gaib yang mengoyak-ngoyak perasaannya.
Perlahan namun pasti, Satria mulai bisa mengendalikan perasaannya. Dan itu berarti, dia mulai bisa berpikir untuk mengerahkan tenaga maha dahsyat yang mendekam dalam perutnya.
Maka saat itu juga, dibuatnya kuda-kuda kokoh.
Gerahamnya bergemeletuk. Bola matanya memerah. Lehernya mengembung.
"Kheaaa...!" Teriakan melengking dibuat Satria.
Membelah udara.
Mengoyak sukma.
Merobek sebuah kekuatan kasat mata.
Di dalam goa sana, terdengar teriakan tak kalah hebat. Cuma saja, nadanya jauh berlainan.
Bila teriakan Satria bak naga murka, maka teriakan dari dalam goa bak kakek pikun mengerang kesakitan. Satria yang sudah bisa mengendalikan perasaannya, menatap ke samping. Di situ, terlihat Dongdongka berjongkok seperti orang tengah buang hajat. Lagian siapa peduli dengan tabiatnya. Mau tiduran, kek. Mau nungging, kek. Tak ada yang mampu melarang! Memang, Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang tadi mengirimkan suara halus yang menyejukkan hati Satria. Dan Satria tahu, guru sintingnya saat ini tengah dalam wujud halusnya. Artinya, si tua lapuk tengah mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Jadi, betapa cerdiknya siasat Dongdongka. Karena bila dia menyertakan wujud jasad kasarnya, bukan mustahil akan ikut terpengaruh oleh suara gaib yang diduga berasal dari Manusia Sesat Kaki Empat.
Suara halus dari Dongdongka pun ternyata disertai kekuatan sakti yang mampu menolak suara yang mempengaruhi jalan pikiran Satria. Maka begitu si anak muda merasakan ada kekuatan lain yang membantunya, pikirannya pun terbuka untuk mengerahkan kekuatan sakti miliknya.
"Nah, sekarang kau boleh masuk ke dalam goa di balik batu besar itu, Cah Gendeng!" Lewat pembicaraan batin, Dongdongka menyuruh Satria untuk segera bertindak. Maka tanpa buang waktu lagi, si anak muda segera berkelebat ke arah yang ditunjuk guru sintingnya.
Di depan goa, ternyata Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo telah tergeletak pingsan. Suara dahsyat dari bibir Satria rupanya cukup menyentak isi dada mereka hingga pingsan. Tapi Satria tak ingin buang-buang waktu. Dia harus menghentikan sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat dan Warok Darmo Singo.
Satria Gendeng cepat menyusup ke dalam mulut goa yang tak begitu sempit untuk ukuran tubuhnya. Tapi bagi kedua warok itu agaknya harus susah payah bila memasukinya.
Tak terlalu sulit bagi Satria untuk melihat dalam kegelapan. Pengalaman di Pulau Dedemit telah mengajarkannya bagaimana untuk melihat dalam gelap. Dan bagai ada yang menuntunnya, si anak muda berbelok ke arah kanan. Sekejap kemudian dia telah sampai di sebuah ruangan agak besar yang hanya diterangi sebatang obor yang menancap di dinding.
Tapi baru saja tiba....
Desss! "Aaakhh..!" Satria terpekik. Sebuah pukulan keras menghantam dadanya. Tubuhnya sendiri terpental, keluar ruangan. Yang membuatnya tak habis pikir, siapa yang memukulnya" Padahal, ketika masuk ke ruangan tadi, tak seorang pun yang terlihat. Tak ada Manusia Sesat Kaki Empat, tak juga Warok Darmo Singo. Lalu, teriakan siapa yang terdengar" Siapa yang tadi menjerit kesakitan?" Tertatih-tatih, Satria berusaha bangkit. Dibesutnya darah yang muncul di sudut-sudut bibir. Pukulan tadi agaknya cukup membuat bagian dalam dadanya terluka.
Kemarahan si anak muda pun meraja. Dadanya bergemuruh, hendak membuncah. Tapi baru saja akan bertindak....
Diegh...! "Uhhh...!" Si anak muda terpental ke samping kiri.
Satu hantaman yang entah datang dari mana tahu-tahu menghantam pipi kanannya. Dan yang membuatnya geram dia tak tahu di mana lawannya. Slompret! Setan atau manusia yang menghajarku! Kalau setan, mana ada setan yang bisa memukul begini dahsyatnya. Kalau manusia, di mana batang hidung sialannya! Rutuk Satria, kembali susah payah bangkit berdiri.
Satria mau tak mau harus mengandalkan pendengarannya. Slompret, kenapa baru kepikiran sekarang kalau aku harus mengerahkan indra pendengaranku! Makinya, membatin.
Si anak muda perkasa memang belum menyadari kalau lawan tengah mengerahkan sejenis ajian 'Halimunan'. Suatu ajian yang dapat membuat lawan menghilang. Dan memang itu yang tengah dilakukan Manusia Sesat Kaki Empat, Dengan ilmu 'Sirna Raga' tubuhnya jadi tak terlihat Lawan.
Bed! Bed! Telinga tajam Satria menangkap suara menderu ke arah kepala dan ulu hati. Amat dahsyat. Siap mengirimnya ke akhirat.
"Hih!" Tangkas, Satria Gendeng menarik tubuhnya ke kanan. Lalu kaki kirinya bergerak cepat, membuat sapuan ke arah lawan yang dikira ada di depan. Blass.... Sapuan kaki kiri Satria memangkas angin.
Selagi si anak muda akan menegakkan tubuhnya, tahu-tahu bahunya terhantam satu kekuatan amat keras. Buk! "Aaaakh!" Kembali tubuh Satria terlempar, langsung menghantam dinding goa cadas runcing. Tak urung si anak muda meringis ketika jidatnya terantuk tonjolan cadas runcing. Dirabanya jidat yang telah melelehkan darah.
Kunyuk sialan! Makinya, membatin. Manusia keparat itu tak bisa dibiarkan.
"Kheaaa...!" Satu teriakan melengking dibuat Satria.
Penuh kemarahan yang siap dilampiaskan. Uraturat tangannya mengeras. Kedua bola matanya memerah. Wajahnya mengelam. Gerahamnya bergemelutuk. Teriakannya tadi seolah hendak meruntuhkan langit-langit goa cadas ini. Sikapnya bak naga murka siap mengoyakngoyak lawan. Bangkit, Satria langsung meraba pinggangnya. Digenggamnya gagang Kail Naga Samudera senjata pusakanya. Lalu....
Cletarr...! Merah. Kuning. Hijau. Jingga. Sekali lecut, satu lingkaran berwarna-warni tercipta dari Kail Naga Samudera. Suara lecutannya menggelegar, menyentak-nyentak. Bahkan kemudian, si anak muda melecut-lecutkan senjata pusakanya ke segala arah. Memecahkan dinding-dinding goa. Tapi si pemuda tak peduli. Sambil merangsak maju dengan pengerahan indra pendengarannya untuk mengetahui keberadaan lawan kasat matanya, Kail Naga Samudera terus dilecutkannya. Hingga pada akhirnya....
Cletarrr....
"Aakhh!" Buk! Terdengar suara jeritan kesakitan yang disusul bunyi badan beradu dengan dinding goa.
Sejenak Satria Gendeng menghentikan tindakannya. Matanya nyalang mencari-cari.
Perlahan-lahan, di pinggiran dinding goa mulai tampak satu sosok tubuh keropos. Ketika semakin jelas, tampak kalau tubuh keropos itu tengah menungging kesakitan. Di bagian belakang pinggangnya terlihat dua kaki lainnya yang menjuntai lemah.
Mata nyalang Satria terus menatapi tubuh yang terus menungging. Dan ketika si anak muda hendak melangkah menghampiri....
"Ampun, Anak Muda.... Aku mengaku kalah. Jangan kau bunuh aku.... Kasihani aku," ratap sosok keropos yang tak lain Manusia Sesat Kaki Empat. Agak heran juga Satria melihat Manusia Sesat Kaki Empat tetap saja menungging. Tapi dia berusaha untuk tak peduli.
"Hei, Pak Tua! Di mana Warok Darmo Singo!" bentak si anak muda, galak.
"Aku tak tahu. Setelah dia menyelesaikan ilmu sesatnya, dia katanya akan menjadi tuan tanah di Ponorogo. Dia telah berhasil mendapatkan harta serta sebuah kitab sakti yang tersimpan di puncak Gunung Wilis," jelas Manusia Sesat Kaki Empat.
Tercekat Satria. Hatinya pun geram, karena tak menemui Warok Darmo Singo di tempat ini.
Sementara itu, dinding-dinding cadas yang tadi terhantam Kail Naga Samudera mulai berjatuhan, seolah gema lecutan tak pernah berhenti.
Si anak muda tahu, goa ini sepertinya akan runtuh. Maka segera dikembalikannya keadaan Kail Naga Samudera seperti semula, lalu diselipkannya di pinggang.
Tenang, Satria Gendeng melangkah keluar.
Dilewatinya tubuh Manusia Sesat Kaki Empat yang terus menungging.
"Anak muda.... Jangan tinggalkan aku..." ratap si tua lapuk.
"Sudah tua masih cengeng! Bangun saja sendiri. Dan lagi kau kan biasa di tempat ini!" rutuk Satria.
"Anak muda...., Lecutan cambukmu membuatku lumpuh! Aku sama sekali tak bisa menggerakkan badanku. Tolonglah aku, Anak Muda...," ratap si tua kaki empat.
Terperangah juga Satria. Jiwa kependekarannya pun dituntut untuk menolong orang yang tak berdaya. Tapi baru saja kakinya akan bergerak Wrrr... Jrottt! Satria menarik tubuhnya kembali ketika satu bongkahan batu cadas sebesar anak kambing meluncur ke bawah, dan tepat menghantam kepala Manusia Sesat Kaki Empat.
Sementara suara gemuruh makin santer, saja. Agaknya, sebentar lagi goa ini akan runtuh.
Dengan desahan napas, Satria segera berkelebat keluar goa. Dan baru saja mencapai mulut goa, seluruh langit-langit goa pun runtuh.
Tiba di luar goa, Warok Singo Lodra, Warok Jogoboyo, dan Dongdongka menyambutnya. Rupanya, kedua warok itu telah tersadar dari pingsannya. Ternyata lagi, wadag halus si lelaki buluk masih setia menunggui murid gendengnya.
"Kau tak apa-apa, Cah Gendeng?" serobot Dongdongka Satria menggeleng.
"Apakah Darmo Singo ikut terkubur di dalam goa?" sambung Warok Singo Lodra.
Satria kembali menggeleng.
"Keparat itu telah pergi dari sini, Paman. Dia telah berhasil mendapatkan kitab sakti, juga harta karun itu.
Kata Manusia Sesat Kaki Empat, tujuannya ke Ponorogo" jelas Satria.
"Tapi sampainya hanya di jamban gantung, pinggiran Kadipaten Trenggalek," timpal Dongdongka.
"Maksud Kakek?" Kening Satria berkerut.
"Tengoklah dia di sana. Mungkin dia sudah puas bermain-main di jamban gantung. Eh, Ngomong-ngomong..., apakah bulu di balik celana warok slompret itu juga bulu asli" Tapi ketika aku hendak memeriksa, aku keburu ingat kalian. Jadi tak sempat memeriksa lagi," pembicaraan Dongdongka mulai ngawur.
"Sudahlah, Kek. Jangan bicara ngawur," sergah Satria tak sabar.
"Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Apakah Warok sialan itu sudah kau tangkap?"
"Bukan saja kutangkap. Bahkan kubuat dia jadi palang untuk penunggu jamban gantung," sahut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Berbarengan, Satria, Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo menarik napas lega.
"Sekarang, mari kita tinggalkan tempat ini.
Kelihatannya tempat ini sudah tak ramah lagi pada kita, senja sebentar lagi datang. Bisa jadi, para Iblis mulai berkumpul di tempat ini. Kalau mereka tahu bahwa Manusia Sesat Kaki Empat telah tewas, apa jadinya, ya?" lempar Satria pada kedua warok. Tak ada yang menyahut.
Yang jelas, mereka kini mulai meninggalkan tempat ini. Tak lupa Warok Jogoboyo kembali membopong mayat Ratna Kumala yang tadi dilemparnya tanpa sadar.

SELESAI

Segera terbit:
PERTAPA CEMARA TUNGGAL


INDEX SATRIA GENDENG
Pertunangan Berdarah --oo0oo Pertapa Cemara Tunggal
Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.