Pertapa Cemara Tunggal
tanztj
August 02, 2015
INDEX SATRIA GENDENG | |
Siluman Bukit Menjangan --oo0oo Bisikan Iblis Lembah Keramat |
Satria Gendeng
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
--¤¤¦ « SATU » ¦¤¤--
Siang teramat terik saat itu. Panasnya benarbenar menyulut kulit dan ubun-ubun, hingga seperti hendak menggarang hangus. Tapi, kedua orang muda itu seperti tak peduli. Mereka terus saja berjalan ke arah utara.
Sampai akhirnya langkah mereka tiba di dekat sebuah pohon besar yang sudah gundul daunnya. Di bawah pohon asam sekarat seperti itu, tentu saja mereka tak berniat untuk sekadar berteduh.
Mereka punya tujuan lain tentunya. Belum begitu jelas apa tujuan keduanya. Yang pasti, di bawah pohon asam sekarat tadi terlihat pula empat orang lelaki lain. Wajah keempat lelaki begitu memancing selera siapa pun untuk memusuhi. Setidak-tidaknya menimpuki dengan batu! Sudah tak sedap dipandang, menjengkelkan pula. Semuanya mengenakan jubah pendek merah hati dan bercelana pangsi hitam. Mereka terikat dengan oyot pohon di sekeliling pohon asam. Mulut mereka tersumpal oleh gagang trisula yang diikat dengan oyot pohon pula ke belakang kepala. Bayangkan, gagang trisula! Orang gila mana yang telah demikian tega menyengsarakan mereka demikian rupa" Sebenarnya bukan orang gila. Kedua orang yang baru datang tadi yang telah melakukannya.
Mereka adalah dua warga persilatan Tanah Jawa.
Orang bertudung dikenal dengan Julukan Hantu Wajah Batu. Dijuluki begitu karena wajahnya memang laksana batu. Mimiknya tak pernah berubah.
Kendati dalam keadaan marah besar sekalipun. Dan tetap tak berubah meski kiamat terjadi di depan hidungnya. Karena kelumpuhan saraf di bagian wajah ini, Hantu Wajah Batu tak ingin memperlihatkan wajahnya. Ditutupinya dengan tudung.
Sementara pemuda di sebelah Hantu Wajah Batu dikenal dunia persilatan dengan julukan si Ludah Darah. Julukan itu disesuaikan dengan kebiasaannya. Dalam keadaan marah, si Ludah Darah tanpa sadar menggigit lidahnya sendiri. Manakala dia sudah membuang ludah bercampur darah, pertanda akan segera ada nyawa melayang! Dunia persilatan patut bertanya-tanya jika kedua tokoh muda itu berjalan bersama. Apalagi beriringan seperti itu. Padahal selama ini tak pernah ada berita atau sekadar kabar burung bahwa mereka akur. Beberapa kesempatan, mereka justru terlibat pertarungan tanpa sebab, sekadar untuk membuktikan kedigdayaan masing-masing.
Lantas apa yang sedang terjadi pada mereka sekarang" Sudah berdamai satu sama lain, atau keduanya salah minum obat"
"Bagaimana, kalian sudah cukup kenyang mencicipi gagang trisula milik kalian sendiri?" ujar Hantu Wajah Batu setibanya di depan keempat lelaki yang terikat di pohon.
Sahutan keempat orang yang ditanya cuma gerutuan tak kentara. Nyaris terdengar seperti suara lenguhan kerbau kekenyangan. Mata mereka melotot-lotot gusar. Mereka ingin mengamuk, tapi tak sanggup. Dengan tangan terikat dan mulut tersumpal, apa yang bisa mereka lakukan" Lagi pula, beberapa jalan darah mereka pun rupanya tertotok. Itu yang menyebabkan mereka tak bisa berusaha sedikit pun untuk melepaskan ikatan.
Si Ludah Darah melirik rekan di sebelahnya.
Tudung milik Hantu Wajah Batu tak bergerak. Di balik tudung, matanya turut melempar lirikan.
"Rupanya mereka ingin bicara, Joran!" tukas si Ludah Darah, menyebut nama asli Hantu Wajah Batu. Bibirnya menyunggingkan ejekan.
Hantu Wajah Batu tak ambil pusing sama sekali. Ditebarnya pandangan ke arah mereka satu persatu.
"Kau tampaknya paling bernafsu untuk bicara," katanya lagi kepada seorang lelaki berbadan paling bongsor. Tampangnya agak ketololan. Mungkin memang tolol sebenarnya. Mulutnya banjir dengan air liur akibat sumpalan gagang trisula yang terlalu dalam Hantu Wajah Batu menghampiri lebih dekat.
Ditariknya trisula dari mulut lelaki berbadan bongsor.
"Sekarang, kau bisa bicara lebih jelas. Jelaskan pada kami, bagaimana cara kami menemui Pertapa Cemara Tunggal!" bentaknya, garang.
Jawaban yang didapat tak lebih dari sumpah serapah sambar geledek dari mulut si lelaki berbadan bongsor.
"Peduli setan dengan kalian! Kalaupun kalian mengikat kami di pinggir kawah gunung berapi, tak ada dari kami yang akan buka mulut tentang Pertapa Cemara Tunggal! Kenapa kalian tak tanya saja pada kambing congek, kerbau bunting, ayam kampung di seluruh negeri...." Hantu Wajah Batu jadi mangkel sendiri. Baru saja mulut si lelaki berbadan bongsor hendak 'mendendangkan' kembali makiannya, tangannya sudah lebih cepat bergerak, menyarangkan kembali gagang trisula ke mulut si lelaki bongsor.
Lelaki bongsor masih saja penasaran.
Mulutnya terus saja bergumam tak karuan.
Hantu Wajah Batutambah mangkel. Dengan sedikit iseng, ditekannya trisula keras-keras di mulut si lelaki bongsor.
Mendeliklah mata lelaki itu. Biji matanya seperti hendak mencelat keluar. Cuping hidungnya seketika mekar. Wajahnya memerah matang. Selang tak demikian lama, dia terbatuk-batuk hebat dengan gagang trisula masih dalam mulut. Untung saja dia tak mengeluarkan seluruh persediaan makanan dari dalam perutnya! Si Ludah Darah meringis sendiri.
Sedangkan rekannya mulai melirik calon korban lain. Sedikit mengangkat kepala, dia menggeram.
"Kau sekarang yang tampaknya mesti bicara!" bentaknya seraya menarik gagang trisula dari mulut lain. Pucat seketika lelaki yang berwajah mengenaskan bukan main. Di antara yang lain, barangkali dia yang punya nyali paling kontet.
"Bicara!!!" hardik Hantu Wajah Batu.
Menelan ludah calon korbannya.
Sekali.... Dua kali.... Tiga kali... dan hampir berkali-kali, seakan hendak menelan jakunnya sendiri.
Bentakan ketiga datang.
Makin pucat wajah lelaki itu. Makin mengenaskan saja tampangnya.
"Kau ingin aku membuat trisula ini tertelan ke dalam tenggorokanmu"!" desis Hantu Wajah Ba-tu, mengancam dengan paras malaikat maut.
"Baik, baik, baik!" gegas lelaki berwajah mengenaskan.
Hantu Wajah Batu mengangguk-angguk, puas. Rekan di sebelahnya tersenyum samar.
* * *
Empat minggu sebelum kejadian di bukit itu, keempat lelaki yang dikenal sebagai kawanan perampok di sekitar wilayah Pemantingan baru saja berhasil menjarah harta seorang hartawan. Mereka melarikan hasil jarahan mereka ke hutan. Tempat seperti itu biasa dijadikan mereka sebagai tempat bersembunyi atau menyembunyikan hasil jarahan.
Hutan Pemantingan sendiri bagi orang-orang sekitar dikenal sebagai daerah yang dianggap keramat. Juga oleh orang di sekitar Keraton Demak yang letaknya kebetulan tak terlalu jauh.
Menurut cerita rakyat, konon seorang Wali, Sunan Kalijaga sering menjalankan tirakat ke sana.
Di sana pula, konon jelmaan Nyai Roro Kidul sering menampakkan wajah kepada beliau.
Tak peduli dengan seluruh cerita-cerita itu, kawanan perampok ini kerap kali menjadikan Hutan Pemantingan sebagai markas mereka. Mereka berkoar sesuka hati, mabuk sesuka hati, bertingkah sesuka hati, seolah dunia milik mereka berempat.
Yang lain silakan jadi penonton! Mereka tak mengindahkan lagi tempat yang mungkin dianggap suci oleh sebagian orang.
Namun tak selamanya mereka bisa bertingkah. Yang namanya kualat pun datang. Ketika itu mereka sedang tertawa-tawa di bawah sebuah pohon besar seukuran tiga ekor kerbau. Pohon yang teramat tua. Ratusan tahun umurnya. Satu orang duduk seenaknya di atas tanah. Yang lainnya berdiri membentuk lingkaran tak teratur. Di tengah-tengah mereka sudah menyala api unggun besar. Api menjilat-jilat. Cahayanya melayap ke wajah masingmasing. Di dekat api unggun, tergeletak tiga karung besar berisi segala jenis harta yang berhasil mereka dapat.
"Hasil kita hari ini benar-benar gila!" memulai salah seorang di antara mereka yang sedang melint-ing-linting kawung.
Lelaki kurus berpakaian kedodoran, berkumis baplang. Cukup seram memang. Cuma saja, giginya agak mancung.
Kawannya yang lain, lelaki berikat kepala lurik yang tampangnya tak kalah seram dengan biawak menengadahkan wajah. Ada sinar kepuasan dan keangkuhan berbaur menjadi satu di wajahnya.
"Itu karena aku berhasil menggertak si Tuan Tanah keparat itu! Kalau tidak, bagaimana mungkin dia akan memberitahukan ruang bawah tanah tempat penyimpanan hartanya," tukasnya, menyombong.
"Kau memang cuma bisa menggertak!" sindir yang lain. Kali ini lelaki bertampang agak tolol berambut kaku turut ambil bicara. Hidungnya mekar sebentar. Tampaknya dia kurang begitu akur dengan lelaki tadi.
"Kau sendiri melakukan apa" Cuma menakutnakuti istri ke empat belasnya dengan wajah terkutukmu itu?" balas lelaki bertampang seram, sewot.
"Harus begitu! Istri mudanya itu adalah salah satu harta milik si Tuan Tanah yang paling berharga! Kalau aku bisa mengancam dengan memanfaatkan perempuan denok itu, pasti si Tuan Tanah bakal memberi tahu gudang hartanya. Nyatanya memang begitu jadinya. Dia ketakutan, lalu dengan mendelik-delik diberitahukannya kita di mana seluruh harta disimpan...."
"Yang tolol rupanya bukan cuma tampangmu! Otakmu pun bebal. Mana ada orang gila harta seperti Tuan Tanah itu menganggap istri-istrinya sebagai harta paling berharga. Toh, dia berpikir bisa membe-li sekian puluh perempuan lain dengan kekayaannya yang segunung itu!" Tampang lelaki itu seperti hendak meledak.
Kalap dia. Lelaki berwajah tolol mendengus.
"Terserah kaulah, Biawak!" gerutunya.
Lelaki yang digerutui bangkit dari duduknya.
Tangannya terkepal. Hendak ditumbuknya mulut si tampang tolol.
"Sudah cukup!" bentak lelaki lain yang selama ini cuma menikmati kawungnya.
Lelaki ini berbadan bongsor. Wajahnya tak begitu seram. Cuma saja gigi-giginya berbentuk runcing. Menakutkan kalau dia sedang tersenyum. Sayang sekali, dia justru paling susah tersenyum.
"Sekarang, sebaiknya kita bagikan saja hasil rampokan kita ini segera!" susulnya. Di antara keempat lelaki itu, tampaknya dia pemimpinnya. Bukan main bersemangat yang lain mendengar usul bagus tersebut. Betapa tidak, mereka sudah mendapatkan hasil jarahan yang bukan saja banyak, namun juga berupa perhiasan-perhiasan berharga. Emas ada, permata ada, intan ada. Apa itu bukan hasil besar" Mereka pun bergegas mendekati ketiga onggokan peti. Sinar mata mereka berbinar-binar, seolah empat ekor anjing lapar menemukan sepotong tulang. Belum lagi sempat mereka membagikan hasil besar tadi, mendadak saja keempatnya mendadak terdiam. Sama-sama waspada. Ada yang sedang mengawasi mereka, begitu pikir masing-masing, Entah perasaan, entah naluri, mereka berbarengan menoleh ke satu arah. Ketika itulah mereka menjadi terkesiap setengah mampus. Di balik semak-semak tak begitu jauh dari mereka, terlintas sebersit cahaya putih terang. Sekejapan mata keempat begal itu disilaukan.
Sekian lama mereka hanya terpana.
Terpentang mata mereka ke satu arah.
Cahaya menyilaukan tadi memang sirna, tapi mereka tak mau begitu saja membiarkan seperti angin lalu atau sekadar kentut basi.
Ada yang tak beres, nilai masing-masing. Cahaya yang mereka saksikan bukan sekadar kekeliruan penglihatan semata. Masa' iya keliru bisa berbareng" Apa mereka sudah gila bersama" Mana bisa begitu! Yakin tak salah lihat, mereka mulai berpandangan satu dengan yang lain. Satu dengan yang lain seolah saling bertanya dengan sinar mata keheranan. Satu dengan yang lain hendak meyakinkan diri.
"Kau lihat, bukan?" bisik si Biawak, entah siapa yang ditanya.
Yang lain serempak menganggukkan kepala.
Sementara saking terpana, si Bongsor yang punya nyali paling kenyal pun menjadi lupa menghisap kawung, sampai baranya menyulut bibir sendiri.
"Phuah! Sudah jangan dipersoalkan!" putusnya kemudian. Buang-buang waktu saja kalau me- reka hanya memikirkan kejadian sekejapan tadi. Kalau sudah tak tahu, ya biarkan saja. Tak usah dipikirkan. Kalau dipikirkan, bisa-bisa kita cuma jadi empat patung sampai pagi! "Tapi tadi itu...." Yang lain masih penasaran.
"Cukup kataku! Atau kau hendak menelan golokku"!" sambar si Bongsor galak.
"Tapi kau harus ingat soal cerita masyarakat tentang...."
"Cukup! Cukup! Aku tak mau dengar takhayul itu!" hardik si Bongsor kembali. Tangannya meraih gagang golok di pinggang. Tercabut setengah jalan, lalu dimasukkan kembali dengan geram.
Yang lain ngeri.
Daripada menelan ujung golok, sebaiknya tutup mulut. Mereka hendak memulai lagi urusan yang terjegal tadi. Belum-belum, keempatnya sudah merasakan perasaan aneh yang mirip dengan yang mereka rasakan sebelumnya. Mereka merasa ada yang sedang memperhatikan! Ke tempat yang sama pula, keempatnya menoleh berbarengan. Mata mereka kembali terpentang....
--¤¤¦ « DUA » ¦¤¤--
Buat apa pakai waspada segala kalau yang mereka saksikan kali ini ternyata bisa dibilang reze-ki nomplok. Anggap saja kejatuhan bulan! Mereka melihat seorang perempuan yang cantiknya bukan main. Perempuan itu berambut panjang hingga menggapai tanah. Sudah warnanya hitam, mengkilat, menebarkan harum lagi! Semacam harum bunga. Wajahnya itu memiliki kecantikan yang hampirhampir sulit dilukiskan. Sepasang matanya seperti meminjam pesona purnama di langit malam. Pancarannya bening, teduh, dan melumpuhkan. Hidungnya sempurna. Bibirnya apalagi, Tak ada yang tak mengundang hasrat kelelakian pada bagian wajahnya. Itu baru wajah. Belum lagi tubuhnya. Melirik keindahannya, keempat begal rasanya mau meneteskan liur sebanyak-banyaknya. Baik wajah, atau tubuhnya benar-benar serba sulit untuk digambarkan. Pokoknyu sulit! Kaki keempat lelaki brengsek tadi jadi lemas dibuatnya. Selain itu, nafsu kelelakian mereka malah jadi singit tak tertolong. Mereka bersilap-silap berbarengan. Soal pembagian harta rampokan bisa dilupakan untuk sementara. Atau kalau perlu untuk selama-lamanya! Lalu mereka saling melirik. Main mata.
"Rezeki nomplok...," desis salah seorang dengan jakun tak betah diam barang sejenak. Binar mata mereka memancar. Tak perlu mengangguk, apalagi bermusyawarah segala, tampaknya mereka sama-sama telah bersepakat untuk sedikit berpesta dengan rezeki nomplok yang baru datang ini. Si Bongsor yang menjadi pimpinan berdehem, memberi isyarat murahan.
Ketiga rekannya melangkah mendekati si perempuan. Langkah mereka nyaris berjingkat seperti sekawanan hewan mengintai mangsa.
Soal cahaya putih menyilaukan sudah minggat dari kepala para begal. Itu karena pemandangan menakjuban yang mereka saksikan. Itu pula yang membuat mereka jadi tak curiga macam-macam.
Yang terakhir, itu pula yang bakal menjadi kesalahan besar! "Kena kau!" Seraya berseru, salah seorang mendadak menerkam, seakan sudah tak sabar, seakan takut kehabisan jatah dari yang lain. Terkamannya benarbenar meyakinkan. Setanding dengan terkaman seekor harimau. Si perempuan cantik bergaun serba putih panjang hingga menutupi kaki tetap tenang. Bergemik pun tidak. Sementara senyumnya mengembang, memanggil, menantang.
Terkaman tak akan luput. Itu pasti! Apalagi jarak tak terlalu jauh. Bicara tertangkap atau tidak si perempuan, itu soal lain sama sekali. Dengan ajaib, terkaman lewat begitu saja. Lelaki bernafsu itu seperti menerkam bayangan! Gerusak! Jatuhlah dia di semak-semak.
Sisa begal lain terhenyak seketika. Mereka juga melihat dengan mata kepala tubuh kawannya yang menerkam lolos begitu saja menembus tubuh denok si perempuan. Gila juga! Cepat mereka sadar sedang berhadapan dengan siapa.
"Pertapa Cemara Tunggal," desis mereka, nyaris berbarengan dengan paras sepucat mayat. Berbarengan dengan bangkitnya si penerkam, ketiga begal lain tersurut mundur. Si penerkam tak betah lebih lama di tempat itu. Dia ngacir sekuat tenaga.
Tak lama, yang lain mengekori. Terbirit-birit.
Dan cerita pun dimulai dari kisah keempat begal kampungan itu. Mereka pula yang telah ditawan oleh Hantu Wajah Batu dan Si Ludah Darah.
* * *
Hutan Pemantingan terletak antara Demak dan Jepara. Karena di sana pernah hidup seorang pertapa wanita bergelar Pertapa Wanita Cemara Tunggal, maka daerah itu pun sering disebut-sebut oleh masyarakat sekitar dengan nama Pertapaan Cemara Tunggal.
Beberapa waktu belakangan, tersiar kabar burung yang cukup santer tentang seorang tokoh persilatan yang menerima sebuah benda pusaka dari Pertapa Cemara Tunggal. Tak jelas berasal dari mana kabar burung tersebut, hampir-hampir tak ada yang tahu. Juga tak ada yang mau tahu. Tak jelas juga siapa warga persilatan yang beruntung menerima pemberian benda pusaka. Sama tak jelas pula tentang benda pusaka yang dimaksud.
Namun yang jelas, untuk semua ketidakjelasan itu, kebanyakan orang persilatan justru menanggapi secara sungguh-sungguh.
Termasuk di antaranya dua tokoh berjuluk Hantu Wajah Batu dengan Si Ludah Darah. Ketika suatu kali mereka mencoba mendatangi desa di sekitar Pemantingan, mereka bertemu dengan keempat begal yang tak henti-henti mengoceh bahwa mereka telah menyaksikan pemunculan Pertapa Cemara Tunggal. Mulut keempat lelaki itu selalu gatal untuk membicarakannya, karena amat jarang orang dapat bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal.
Ketika itulah keempatnya diringkus oleh Hantu Wajah Batu dan Si Ludah Darah. Tentu saja dengan tujuan untuk mengorek keterangan tentang Pertapa Cemara Tunggal. Termasuk tentang benda pusaka yang menurut kabar telah diserahkan kepada seorang tokoh persilatan.
* * *
"Heaaa!" Teriakan tarung memecah udara. Asalnya dari tenggorokan seorang tua bangka yang sedang melompat tinggi dengan kaki terpentang lebar seperti seekor kera bangkotan. Penampilannya serampangan, berpakaian kumal, dan menebar bau yang bisa membuat kepala pening tujuh keliling. Rambutnya kaku keemasan. Wajahnya merah matang, seakan buah yang lama ter-peram. Dia memegang guci besar seukuran pelukan tangan, terbuat dari logam.
Guci yang terlihat berat. Kenyataannya memang begitu. Tapi bagi si tua kumal itu tak menjadi persoalan besar. Dia memegangnya seenteng kendi kecil.
Bukan sekadar hendak bertingkah sinting tua bangka itu melompat sambil berteriak. Ada seorang, yang hendak diserangnya. Orang itu berusia muda.
Wajahnya memancarkan keluguan. Berambut panjang tak terurus. Dan mengenakan pakaian seadanya dengan rompi putih keabuan terbuat dari kulit hewan. Di pinggangnya terselip tongkat pendek sejengkalan berujung kepala naga.
Menyaksikan terjangan tua bangka tadi, pemuda berwajah polos itu terbengong sesaat.
"Apa-apaan ini, Pak Tua"!" serunya sesaat sebelum terjangan gila-gilaan lawan benar-benar tiba.
Selanjutnya dia memaksa tubuh untuk berkelit serabutan.
"Jangan tanya kenapa!" tepis si tua bangka meledak-ledak seperti ada gumpalangumpalan mer-con tersembur dari mulut keriputnya.
"Tapi aku harus tahu alasanmu menyerangku! Tak ada angin tak ada hujan kau menghadangku. Lalu tanpa memberi penjelasan kau langsung saja menerjang!" Si tua bangka mencak-mencak di tempat. Sesekali dia meneguk tuak dari gucinya. Sekali meneguk, mengomelnya berkali-kali. Bikin telinga pekak masih mending. Omelannya juga kotor dan menjotos-jotos perasaan. Kalau sudah merasa mulutnya hampir kering, dia menenggak tuak kembali.
"Sekarang, kau bersiap saja menghadapi aku sampai kau mampus. Aku jelas-jelas tak akan mampus. Aku terlalu sakti buatmu. Jadi, maaf-maaf saja," koar tua bangka pemabuk yang tak lain Ki Dagul alias Pengemis Arak (Lihat episode sebelumnya: "Tiga Pendekar Aneh").
Sedangkan lawan muda yang hendak dipermaknya, siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng, tokoh muda Tanah Jawa murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit" Mengherankan kalau si tua bangka tokoh kawakan wilayah barat bersikap memusuhi pendekar muda Tanah Jawa. Tak akan ada asap kalau tak ada api. Tentu pula ada alasan kuat bagi Ki Dagul memusuhi Satria Gendeng. Alasan itu yang hendak diketahui Satria Gendeng, kalau saja tua bangka Pengemis Arak tak keburu ngamuk-ngamuk seperti itu.
Tanpa alasan, Satria tak yakin Ki Dagul akan memusuhinya. Toh, jelas-jelas mereka berdua berdiri dalam golongan yang sama.
Pengemis Arak menyiapkan kuda-kuda.
Sia-sia Satria menyabar-nyabarkannya, kendati sampai mulutnya berbusa.
Mata Pengemis Arak menjadi sayu. Tubuhnya sempoyongan, terkena pengaruh tuak keras yang diteguknya. Sebaliknya, tangannya justru memperlihatkan pengerahan kekuatan.
Satria Gendeng menarik napas panjangpanjang, lalu menghempasnya keluar. Mau mangkel pun percuma. Dia cuma bisa meringis. Selain itu, tampaknya dia pun harus segera mempersiapkan jurus. Dilihat dari gelagatnya, Pengemis Arak tak main-main. Ki Dagul melangkah, mempersempit jarak.
Selonong sana, selonong sini.
Satria Gendeng tenang-tenang saja menanti serangan, kendati hatinya agak kembang-kempis juga mengingat siapa lawan yang akan dihadapinya.
"Hik.... Heaaa!" Didahului sekutan di tenggorokan, Ki Dagul menyeruduk. Kepalan tangannya melayang. Berisi tenaga dalam yang sanggup mencukur gundul duatiga batang pohon besar sekali tebas. Kalau kedua tangannya melayang, berarti ada dua kepalan. Dua kepalan berarti dua tenaga sekuat itu. Mendarat di kepala lawan, artinya kepala sasaran langsung terpangkas. Mental jauh dan bisa bikin repot banyak orang untuk mencarinya.
Kena dada, artinya dada bakal jebol. Serpihannya bertebaran ke mana-mana. Lebih bikin repot banyak orang! Satria Gendeng tak acuh saja.
Gila dia" Tidak, cuma sedang mengatur siasat. Angin pukulan datang. Teramat kuat, membuat pakaian, rambut, dan wajahnya bergeletaran.
Mendadak sontak pemuda murid dua tokoh kenamaan Tanah Jawa itu membuat satu gerakan teramat cepat. Wukh! Satria melintir satu putaran. Sebelah tangannya terangkat tinggi, mempertontonkan 'rerimbunan' di ketiak. Gayanya bak penari wanita India. Jelas dia bukan sekadar menari.
Apalagi sekadar berpura-pura menjadi penari. Sesungguhnya si pendekar muda sedang memperlihatkan satu gerakan unik sekaligus mengundang bahaya maut untuk menghindari hantaman sepasang kepalan lawan.
Pengemis Arak yang sedang dilanda kesewotan memang mengerahkan sasaran pada tubuh Satria Gendeng yang berdiri menghadapi ke arahnya.
Dengan begitu bidang sasaran lawan cukup besar.
Sementara jika Satria berposisi menyamping, bidang sasaran lawan akan lebih sempit. Dengan kecepatan tertentu yang sebanding dengan hantaman tinju lawan, serta ketepatan perhitungan, putaran tubuhnya mempersempit bidang sasaran tinju Pengemis Arak Wes! Wes! Pukulan dahsyat itu pun lewat di sampingnya. Dan karena terseret angin pukulan tenaga dalam Pengemis Arak yang demikian kuat, tubuh Satria tidak hanya berputar sekali. Malah berkali-kali.
Wrrr! Ki Dagul berpikir, saat yang tepat baginya untuk melancarkan serangan susulan. Toh, lawan dalam keadaan berputar tak karuan. Dia pun membentuk tendangan lurus ke atas.
Dak! Heran juga, si pendekar muda ternyata masih sempat-sempatnya memapaki tendangan lawan! Bahkan Pengemis Arak sempat dibuat terjajar beberapa tindak ke belakang.
Sewaktu putaran tubuhnya berhenti, Satria Gendeng jadi singit sendiri. Turut sempoyongan pula dia seperti Pengemis Arak.
Ki Dagul menimbang-nimbang sebelum menyerang kembali. Menyerang lagi atau tidak" Pamornya bakal rontok kalau tak meneruskan pertarungan. Baru beberapa gebrakan, masa' sudah harus mundur" Tidak bisa begitu! Malu dia pada nama besarnya sebagai tokoh kawakan wilayah barat! Lagi pula, apa hebatnya anak bau kencur ini" Dirinya tentu lebih banyak makan asam garam, kendati lawan mudanya murid seorang tokoh bangkotan yang malang melintang di dunia persilatan.
"Khouek, cuih! Percuma aku dijuluki Pengemis Arak kalau aku tak bisa mengalahkanmu, Bocah Buduk!" Ki Dagul menggebrak lagi.
"Huaaaith!" Saat yang sama, Satria Gendeng tak tinggal diam. Dia pun tak kalah sengit berteriak dengan suara teriakan yang serupa perawan kepergok dedemit marakayangan.
"Huuuuu huuuu!" Pendekar muda itu mendorong langkah ke depan. Kuda-kudanya tetap tak bisa disebut kokoh.
Berdiri saja seperti sudah sulit akibat terlalu singit berputar sebelumnya.
Sekali mengayun kaki, sempoyongan sejauh empat kaki. Bagaimana dia mau bertarung" Dab! Satria melepas sampokan enteng. Enteng saja terlihat. Tapi tidak akibatnya. Sebab saat itu juga terdengar dentum santer.
Lawan tak ingin kepalanya gompal sebesar pantat periuk. Cepat dia merunduk seraya mengayun guci ke kaki Satria Gendeng.
Satria mengangkat sebelah kaki. Dengan kaki yang sama, disorongkannya telapak kaki ke wajah si tua bangka. Benar-benar ke depan moncong peyot itu! Ki Dagul yang kebagian jatah bau tujuh puluh tujuh siluman dekil itu sampai terperanjat cepat menarik kembali tubuhnya ke belakang. Gerakan edan Satria memang tidak diniatkan untuk menendang. Tapi, tetap membuat si tua bangka menjadi ngeri.
"Kualat kau!" makinya sewot.
Keedanan pendekar muda yang terkadang memang ugal-ugalan itu pun belum tuntas. Badannya yang sudah sulit menjaga keseimbangan mendadak doyong ke depan. Ketiaknya terbuka lebar.
Lawan yang sebelumnya merunduk menghindari sampokan, terdongak dengan wajah kecut. Matanya mendelik menyaksikan 'hutan lindung' siap mendarat di permukaan jidatnya.
Ki Dagul cepat menghindar. Sungguh, disebut bahaya sebenarnya tidak begitu. Apa bahayanya setumpuk bulu hitam seorang pemuda" Tak peduli bahaya atau tidak, tampaknya Ki Dagul lebih rela menghindar. Selanjutnya dia meloncat jauh ke belakang, membuat jarak. Dia berdiri sebentar, tak lama tertawa bergelak-gelak. Begitu riuh. Begitu meriah. Sebelah tangannya memegangi perut. Sebentar-sebentar pindah ke selangkangan. Tertawa boleh, terkencing-kencing jangan! Sebelumnya dia begitu sewot pada Satria. Sekarang, dia justru tertawa.
"Itu seperti jurusku, Bocah Buduk! Ha ha ha! Aku senang kau menghargai jurus-jurusku!" serunya meledak-ledak. Siapa yang dia pikir telah menghargai jurus-jurus mabuknya"
--¤¤¦ « TIGA » ¦¤¤--
"Aku sebenarnya malas berkelahi denganmu! Kau murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul yang cukup aku kagumi. Aku suka gayanya yang tengik, mengingatkan aku pada diriku sendiri. Kalau dia sedang...."
"Soal itu bisa dibicarakan belakangan, Pak Tua! Bagaimana dengan alasanmu menyerangku membabi buta tadi?" penggal Satria.
Pengemis Arak menenggak tuak. Beberapa tegukan. Seraya menyapu ceceran tuak di dagunya dengan punggung tangan, dia berkata lagi, "Aku harus menghajarmu karena kau memang harus mendapat hukuman yang setimpal, Cah Buduk!" Satria terhenyak.
"Apa salahku?" kilahnya dengan wajah meminta penjelasan.
"Phuih! Jangan berpura-pura! Tiga hari lalu, kau telah membunuh Kertajingga!"
"Kertajingga" Siapa dia?"
"Dia sahabatku."
"Maksudku, aku sama sekali tak mengenalnya!"
"Si Jenggot Perak?" Satria merengut.
"Siapa pula itu?" tanyanya.
"Itu julukan si Kertajingga, Anak Bau!"
"Apa pun julukannya, aku tetap tak mengenalnya!"
"Jadi kau mau bilang kau telah membunuh orang yang sama sekali tak kau kenal, begitu" Dasar bocah tak punya perasaan! Bagaimana bisa kau melakukan itu"! Keji, kualat, terkutuk, biar kau digodok Gusti Agung di neraka sana!"
"Tunggu dulu! Aku tak mengatakan begitu.
Aku justru hendak mengatakan kalau aku sama sekali tak membunuh Ki Kertajingga atau Si Jenggot Perak yang kau maksud itu! Bagaimana aku membunuhnya sementara namanya pun baru kudengar dari mulutmu!" Mata Ki Dagul melotot. Jakunnya turun naik.
Ditudingnya Satria.
"Kau jangan berdalih, ya!" geramnya, seraya memperlihatkan seringai yang sama sekali tak membuat seekor keledai tolol menjadi mati ketakutan karenanya. Satria jadi mangkel juga. Siapa yang mau dituduh begitu rupa" Apalagi Ki Dagul seperti tak memberinya kesempatan untuk membela diri. Dasar orang tua! Seringkali maunya menang sendiri! "Sumpah, aku tak membunuh orang yang kau sebut sahabatmu itu, Pak Tua. Apa aku harus bersumpah demi segenap nenek moyangku dan nenek moyangmu!" bantahnya, mulai sengit.
"Lagi pula, apa alasan dan tujuanku membunuhnya sementara aku sama sekali tak pernah berurusan dengannya?"
"Hah!" sentak Ki Dagul seraya menuding Satria kembali. Matanya membesar.
"Itu dia!"
"Itu dia apa?"
"Tentu saja kau membunuhnya dengan satu alasan, bukan?" Satria menampar keningnya. Dia jadi pusing sendiri menghadapi tuduhan membabi buta Ki Dagul.
"Apa alasanku membunuhnya, Pak Tua?" ucap si pendekar muda kembali dengan nada merendah, seolah memelas.
"Phuih, phuih! Dasar bocah tak punya perasaan! Sebelumnya kupikir kau seorang pendekar muda yang punya otak lempang dan punya hati tak korengan! Nyatanya kau bejat!"
"Jelaskan saja apa alasanku membunuhnya"!' "Karena kau tentu menginginkan benda pusaka itu! Karena Kertajingga tak memberikannya, lalu kau membunuhnya. Kau rebut benda pusaka itu darinya dengan cara culas!" Makin membabi buta saja tuduhan Ki Dagul.
Dan makin pusing saja Satria menghadapinya.
"Benda pusaka apa yang kau maksud, Pak Tua?" tanyanya lagi. Harus didapatnya kejelasan soal ini sampai tuntas. Jika tidak, dia bisa benar-benar mampus. Bukan karena dibunuh Ki Dagul, melainkan mati berdiri menahan jengkel! Bibir Ki Dagul membentuk lekukan mencemooh.
"Ya, tentu saja benda pusaka yang telah diberikan oleh Pertapa Cemara Tunggal kepada Kertajingga!"
* * *
Ceritanya, beberapa hari lalu Ki Dagul tibatiba saja merasa ingin sekali mengunjungi seorang sahabat lamanya, Kertajingga. Hampir dua puluh tahun keduanya tak bertemu. Sampai menjelang masuk liang lahat nanti, Ki Dagul niscaya tak berniat bertemu dengan Kertajingga. Dia itu sejenis manusia yang paling sulit keluar kandang. Menenggak tuak di dalam gubuknya di atas pohon lebih disukai dari apa pun. Bahkan jika mendadak muncul seorang bidadari di depan congornya sekalipun.
Hari itu, pagi-pagi sekali, mendadak saja Ki Dagul terbangun dengan mata terbelalak-belalak.
Napasnya terputus-putus. Lidahnya menjulur.
Tua bangka itu seperti hendak mampus.
Sebentar kemudian, dia terbengong sendiri.
Setelah hampir tiga tahun belakangan tak pernah mimpi, hari itu tahu-tahu saja dia dapat mimpi buruk sekali. Mimpi yang dianggapnya terlalu kurang ajar telah lancang mengganggu tidurnya.
Anehnya, mimpinya itu seperti benar-benar dialami sendiri! Ada seseorang yang hendak membunuhnya. Bukan saja 'hendak' membunuhnya, dalam mimpi itu, Ki Dagul merasa dirinya telah benarbenar dibunuh! Orang itu sendiri tidak begitu jelas dilihatnya. Wajahnya lebih mirip bayangan. Cuma dia melihat pakaian dan sosok yang pernah disaksikannya. Yang paling menyebalkan dari bagian mimpinya itu, dia dicekik oleh pemuda berwajah bayangan. Dan sampai mampus pula! Saat dibunuh dalam mimpi itulah, Ki Dagul menyaksikan bayangan Kertajingga di kejauhan.
Sahabatnya itu menggapai-gapaikan tangan, seakan meminta pertolongan.
Meski otaknya sudah kebanjiran tuak, tua bangka itu masih bisa sedikit berpikir. Setidaknya dia masih bisa menafsirkan mimpinya itu. Sahabat lamanya membutuhkan pertolongan, pikirnya. Makanya, buru-buru dia keluar kandang dan pergi mengunjungi Kertajingga Sampai di tempat tujuan, benar saja! Kertajingga sudah mampus dengan lidah terjulur dan mata mendelik. Ada seorang yang telah mencekiknya hingga modar dengan selamat! "Mimpi itu...," gumam Ki Dagul di sisi mayat Kertajingga yang mengejang. Si tua bangka ingat pada mimpinya kembali.
"Rasanya aku pernah kenal dengan orang yang mencekiknya dalam mimpi, kendati wajahnya tak bisa kukenali...," pikir Ki Dagul lagi.
Cukup lama dia mengingat-ingat. Otaknya yang memang sudah tumpul terkikis pengaruh tuak membuat dia harus berkutat keras mengingat-ingat pemuda yang disaksikannya dalam mimpi. Syukurlah, setelah berusaha sehari semalam untuk mengingat, akhirnya dia mendapat jawaban juga.
"Eh, Kutu Busuk! Aku ingat sekarang.... Pemuda yang kusaksikan dalam mimpi itu kan, muridnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul!" Setelah itu, barulah dia terjingkat kaget.
"Kertajingga! Kenapa pemuda gendeng itu bisa-bisanya membunuh sahabatku"!" simpulnya semena-mena. Padahal dia tak pernah menjadi saksi mata langsung bahwa sahabatnya dibunuh oleh Satria Gendeng, kecuali dalam mimpi! Lalu dia ngamuk-ngamuk di tempat.
Guci tuak dibantingnya. Tuak berceceran ke mana-mana. Sesudah itu dia menyesal sendiri setengah mati. Itu kan, sisa tuaknya yang dijatahkan untuk seminggu! Selagi mengutuki dirinya sendiri, mendadak saja angin berhembus demikian kuat. Debu di sekujur pakaian berhamburan. Pakaiannya sendiri menggelegar-gelepar. Juga rambutnya. Dan astaga, juga kulit kendor pipinya! Ada setan lewat" Ki Dagul tak begitu yakin.
Dugaannya, ada biang kerok yang sengaja cari perkara! Memang dia sendiri sedang naik darah. Pertama karena sahabatnya terbunuh, kedua karena tuaknya untuk persediaan seminggu berantakan.
Jadi, kalau ada yang sengaja mau jadi sasaran kemarahan, bagus sekali! "Kunyuk! Mau kubuatkan borok di jidatmu, ya"!" teriak Ki Dagul, kalap.
Mata Ki Dagul jelalatan kian kemari. Cari sana, cari sini. Jangan mentang-mentang punya sedikit kemampuan lari cepat yang tinggi, mau seenaknya di depan congorku, pikirnya.
Di mana-mana tidak ada orang. Kecuali mayat Kertajingga yang masih mengejang. Cuma sekarang sudah dalam posisi tengkurap, terseret angin keras tadi.
Ki Dagul menggeram.
"Menantangku, rupanya...." Tua bangka itu pun mau sedikit unjuk gigi.
Dia mempersiapkan ajian. Telapak tangan digesekgesekkan, lalu ditiupnya keras-keras.
"Fhuah!" Jangan kira dia hendak bermain sulap. Si bangkotan tukang mabuk satu ini hendak mengerahkan salah satu ajian dahsyatnya. Terbukti setelah itu dia bergerak, memainkan satu kembangan jurus. Tak begitu lama, wajahnya terbakar. Matanya memerah. Tubuhnya bergetar. Rahangnya mengeras.
Setelah menepukkan telapak tangan, teriakannya terlontar.
"Heaaakh!" Sebelum dari telapak tangannya terlepas ajian tenaga dalam yang bisa memporak-porandakan sekitarnya seperti diterjang angin puting beliung, mendadak ada suara di belakangnya.
"Cukup! Kau tak perlu melakukannya!" Apa lacur, ajian sudah tinggal dilepaskan.
Kebelet boleh jadi. Sayangnya, orang yang hendak dipaksa keluar ternyata sudah menampakkan batang hidungnya. Buat apa lagi ajian dilepas" Tapi kalau tidak dilepas, kepalanya bisa 'ngebul'! Ketimbang menyiksa diri, mending cari korban, timbang Ki Dagul. Tubuhnya cepat berbalik."
"Huph!" Wush! Tepat ke arah datangnya suara barusan, Ki Dagul pun melepaskan ajiannya.
Tanah sepanjang aliran tenaga dahsyat dari telapak tangan tua bangka pemabuk itu terbongkar, seakan ada makhluk halus menyeret dirinya di atas tanah. Butirannya mencelat jauh. Itu berlangsung sejauh kira-kira dua puluh tombak. Diakhiri dengan satu dentuman santer di ujung aliran tenaga tadi. Ki Dagul merengut.
Di tempat dia melepaskan ajian, tak ada lagi orang berdiri.
"Bukankah sudah kukatakan kau tak perlu melakukannya, Orang Tua!" Terlempar teriakan di udara.
Ki Dagul tersentak. Kepalanya menengadah.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang meluncur turun dari udara. Rupanya, orang itu baru saja menghindari serangan Ki Dagul dengan cara melompat tinggi-tinggi! Begitu tiba di tanah, barulah sosoknya bisa terlihat dengan utuh. Seorang lelaki berusia terbilang muda. Sekitar tiga puluhan tahun. Bertubuh kekar. Rambutnya panjang diikat ke belakang. Wajahnya terbilang cukup menarik. Memiliki kumis tipis serta cambang memanjang. Pakaiannya necis.
Berwarna merah dari bahan yang juga mahal. Di balik belahan pakaiannya di dada, tersembul ujung kipas lipat.
"Bicara padaku, ada perlu apa kau ke tempat ini"!" seru Pengemis Arak.
"Berkaitan dengan kematian Si Jenggot Perak itu," sahut pemuda berpakaian merah seraya mengeluarkan Kipas lipat. Dengan gaya yang tergolong luwes untuk seorang lelaki, dia membuka kipasnya.
Di depan wajahnya, digerak-gerakkannya benda itu.
Cuping hidung Ki Dagul terungkit. Mulai panas lagi dia kalau sudah menyangkut sahabatnya yang sudah jadi bangkai.
"Kau turut campur dalam kematiannya" Ayo, mengaku!" Pemuda berpakaian merah tersenyum di balik kipas yang menutupi setengah wajahnya.
"Tunggu dulu, Orang Tua.... Aku justru hendak memberitahukanmu tentang masalah itu."
"Tak perlu! Aku sudah tahu!" tebas Ki Dagul.
Dasar bangkotan sok tahu! Lagi-lagi lelaki berpakaian merah menanggapi sikap keras Ki Dagul dengan senyum.
"Baik," katanya kemudian.
"Kalau ternyata kau sudah tahu, sebaiknya aku segera pergi dari si-ni," tandasnya seraya membalikkan badan.
"Eit, tunggu dulu!" cegah Pengemis Arak, Lelaki berpakaian merah tak segera membalikkan badan kembali. Dia hanya berdiri di tempat.
"Ada apa lagi, Orang Tua" Bukankah kau berkata kau tak memerlukan pemberitahuanku?" ucapnya, tenang.
"Sial, aku bukan berkata tak membutuhkan pemberitahuanmu, Kutu Busuk! Aku cuma bilang kalau aku tahu soal pembunuhan sahabatku ini!"
"Apa yang kau tahu?" Ki Dagul terdiam. Rasanya, dia sedang disudutkan oleh pertanyaan lelaki berpakaian merah.
Dia tidak senang diperlakukan seperti itu. Maunya dia langsung tarik urat leher, memaki orang itu sesukanya dia. Tapi kok, dia kepingin tahu juga apa yang diketahui oleh lelaki berpakaian merah.
Ki Dagul garuk-garuk kepala. Pakai cengengesan segala.
"Bagaimana kalau kau tak menanyakan soal itu?" tawarnya. Nada suaranya terdengar lebih berdamai. Tetap dengan posisi membelakangi, lelaki berpakaian merah bertanya, "Lalu apa maumu?"
"Mauku" He he he.... Ya, jelas aku ingin tahu apa yang kau ketahui sebenarnya! Kenapa kau jadi tolol sekali, hah!" Dibarengi deheman kemenangan, lelaki berpakaian merah membalikkan badan kembali.
"Ayo bilang sekarang! Kau tunggu apa lagi"!" desak Pengemis Arak, ngotot.
Sebentar lelaki berpakaian merah hanya mengebut-ngebutkan kipas di depan wajah. Sikapnya itu benar-benar menyebalkan Ki Dagul.
"Aku ragu, apakah kau akan mempercayai ucapanku nanti," katanya akhirnya.
Cuping hidung Ki Dagul kembang-kempis.
"Sudah sejak tadi aku menunggu ucapanmu.
Sekarang kau malah bertanya apakah aku akan percaya atau tidak" Sialan! Kenapa kau tak mengatakan saja apa yang kau ketahui"!"
"Baik, baik.... Asal kau tahu, orang yang membunuh Si Jenggot Perak adalah Satria Gendeng!" Demi mendengar ucapan lelaki berpakaian merah terakhir, Ki Dagul memperlihatkan wajah be-rangnya. Berkali-kali dia menggeram dalam.
"Jadi mimpiku itu benar," desisnya.
"Kau ingin tahu pula kenapa pendekar muda yang selama ini dikenal sebagai satria golongan lurus itu tega membunuh sahabatmu?" susul lelaki berpakaian merah.
"Apa"! Ayo katakan, katakan!"
"Karena Satria Gendeng tergoda untuk memiliki benda pusaka pemberian Pertapa Cemara Tunggal yang telah diberikan kepada Si Jenggot Perak.
Selama ini, desas-desus yang terdengar cuma menyebutkan bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan satu benda pusaka pada seseorang, bukan" Orang itu adalah Si Jenggot Perak, sahabatmu. Tak ada seorang pun yang mengetahui hal itu, kecuali Satria Gendeng. Karena itu pula, dia berani merebutnya dari tangan Si Jenggot Perak. Dengan begitu, orang hanya tahu bahwa Si Jenggot Perak telah terbunuh. Sedangkan dirinya seolah-olah adalah orang yang telah menerima benda pusaka itu. Kau mengerti, Orang Tua?"
"Tidak!"
--¤¤¦ « EMPAT » ¦¤¤--
Siang itu, dua sosok tubuh memasuki hutan belantara tersebut. Rapatnya pepohonan raksasa yang menjulang dengan daunnya yang rimbun, membuat matahari tengah hari tak punya daya untuk menghujamkan sinarnya hingga ke tanah. Tanah sendiri ditimbuni dedaunan tebal. Berjalan di atasnya seolah berjalan di atas kasur jerami.
"Apakah kita sudah tiba di tempat yang dikatakan empat cecunguk itu, Balaputra?" tanya salah seorang penjelajah hutan. Saat itu keduanya sudah tiba di tengah-tengah Hutan Pemantingan. Mereka adalah Hantu Wajah Batu dan si Ludah Darah. Setelah mereka berhasil mendapatkan keterangan dari empat begal yang mereka lawan beberapa waktu lalu, keduanya pun segera menuju Hutan Pemantingan. Tujuan mereka hendak bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal di tempat yang sama ketika keempat begal menyaksikan penampakan pertapa wanita melegenda itu.
Orang yang dipanggil Balaputra, yang tak lain si Ludah Darah, mengedarkan pandangan.
"Kalau menilik keadaan tempat ini, aku yakin di sinilah mereka menyaksikan penampakan Pertapa Cemara Tunggal itu, Joran," sahut Ludah Darah.
"Ya, aku pun merasa kita telah tiba di tempat yang kita tuju," timpal Hantu Wajah Batu.
"Jadi, bagaimana lagi?"
"Sebaiknya kita menanti malam tiba. Bukankah empat cecunguk itu menyaksikan Pertapa Cemara Tunggal pada malam hari?" Mendadak Balaputra mengangkat tangan, memberi isyarat pada Hantu Wajah Batu untuk menutup mulut. Matanya terhunus tajam ke satu sudut.
"Kau lihat itu...," bisik Ludah Darah dengan tubuh nyaris tak bergemik.
Pada arah di mana Ludah Darah melepas pandangan, terlihat sesosok tubuh lain. Tepatnya berada di sebuah pohon besar. Karena tertutupi oleh semak belukar lebat, kedua lelaki itu tak begitu memperhatikan saat pertama tiba.
Dari tempat mereka berdua sendiri, yang jelas terlihat cuma kepala dan separo badan orang itu.
Karena posisinya membelakangi, yang terlihat pun cuma rambutnya yang panjang hitam tergerai serta sebagian punggung.
"Apakah mungkin itu adalah Pertapa Cemara Tunggal?" bisik Hantu Wajah Batu.
Pada saat yang sama, Ludah Darah pun berpikiran serupa. Cuma saja, dia tak begitu yakin.
Kendati begitu, tak urung dirinya dilanda ketegangan. Penyebabnya tentu saja ada. Menurut cerita rakyat, Pertapa Cemara Tunggal adalah seorang pertapa wanita yang kesaktiannya sudah sulit terukur.
Usianya demikian tua, namun penampilannya tetap muda dan mempesona. Sebagian orang percaya bahwa pertapa wanita itu sudah menjelma menjadi manusia gaib. Pikir punya pikir, mereka berdua hanya akan terus diam menatapi kalau tak segera mengambil tindakan. Mereka harus mencari tahu apakah sosok yang terlihat adalah Pertapa Cemara Tunggal atau bukan. Jarak tempat mereka dengan sosok itu tak begitu jauh, karenanya mereka tak perlu beranjak lebih dekat. Dengan dada yang mulai berdentamdentam, serta berharap-harap akan menyaksikan seorang wanita cantik, Ludah Darah mencoba berdehem.
"Ehem!" Tak ada tanggapan. Sosok itu tetap tak bergerak dari posisi duduknya.
Ludah Darah memandang Hantu Wajah Batu.
Begitu pun sebaliknya. Keduanya saling berpandangan seperti dua orang tolol pesakitan. Sebagai dua orang tokoh persilatan yang cukup punya nama, mereka seperti kehilangan nyali.
"Coba kau berdehem sekali lagi, Balaputra," usul Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menatap Hantu Wajah Batu.
Ada yang tak beres dengan si Joran, pikirnya. Bukankah perkara berdehem dapat dilakukannya sendiri" Kenapa harus menyuruh aku, gerutunya membatin.
"Ehem!" Akhirnya Ludah Darah berdehem juga.
Untuk deheman kedua, mereka mendapatkan hasil. Tubuh sosok yang mereka lihat bergemik.
Dada kedua lelaki itu makin seradak-seruduk di dalam. Mereka rasanya sudah yakin sekali akan menyaksikan satu wajah mempesona yang bisa jadi akan merontokkan jantung! Yakin sekali! Ketika orang yang duduk dalam posisi bersemadi itu menolehkan wajah, keduanya malah jadi merasa baru saja membodohi diri sendiri. Mereka kecele! Jangankan cantik mempesona, orang itu malah berkumis dan berjambang! Mana ada wanita seperti itu di jagat ini"
"Siapa kau sebenarnya?" tegur Ludah Darah bersama ringisan di bibir.
Dari posisi bersemadi, tubuh orang yang ditegur mencelat ringan, hanya dengan memanfaatkan sentakan otot perut dan punggung. Bukan unjuk kebolehan yang sembarangan.... Setelah melakukan putaran seperti batang tombak berpusing di udara, orang itu hinggap hanya lima langkah dari Hantu Wajah Batu dan Ludah Darah.
Orang itu ternyata lelaki berpakaian merah yang menemui Ki Dagul. Seperti kebiasaan sebelumnya, dikeluarkannya kipas lipat dari balik pakaian. Di depan wajah, dikebut-kebutkannya kipas itu.
* * *
"Begitu ceritanya," tutup Ki Dagul, mengakhiri ceritanya pada Satria Gendeng yang mendengarkan dengan mulut ternganga-nganga.
"Jadi itu sebabnya kau menyerangku begitu rupa, Pak Tua Pengemis Arak" Gila benar!" tanggap Satria, merutuk-rutuk.
"Aku memang gila. itu sebabnya aku dijuluki Pengemis Arak!" sambar Ki Dagul, nyasar ke manamana.
"Kau sendiri mempercayai kalau aku telah membunuh Jenggot Perak hanya untuk merebut pusaka yang tak pernah kulihat seumur hidup itu?"
"Tentu saja. Aku melihat sendiri kau telah melakukannya!" Satria mendelik. Ini lebih gila lagi. Dia tak pernah bertemu dengan Jenggot Perak, tak pernah tahu tentang benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal yang diributkan orang-orang persilatan, lantas bagaimana mungkin si bangkotan yang otaknya cuma berisi tuak itu berkata telah menyaksikan dirinya membunuh Kertajingga"
"Kau jangan mengada-ada, Pak Tua!" sergah pendekar muda itu, setengah menghardik.
"Ei, kau sudah membunuh sahabatku. Jangan menambah dosa lagi dengan menghardikku seperti itu!"
"Bukan maksudku begitu. Cuma aku tak habis mengerti kau bisa menuduhku begitu."
"Aku gila, dan orang gila boleh melakukan semaunya!"
"Begini saja. Kau benar-benar melihatku membunuh Kertajingga?" tandas Satria. Mulas perutnya kalau terus melayani kegilaan Ki Dagul.
Ki Dagul meringis sambil menepuk keningnya sendiri.
"O, iya. Tadi aku lupa menceritakan soal mimpiku, ya?" ucapnya, seperti tanpa dosa.
Satria baru mulai mengerti sekarang.
"Jadi, kau hanya melihatku membunuh Kertajingga dalam mimpi"!" perangahnya.
"Bukan! Bukan begitu, Tolol!" Ki Dagul malah ngotot. Lalu ocehnya lagi.
"Aku justru bermimpi kau mencekikku hingga mampus, mengerti" Lantas, aku melihat Kertajingga di kejauhan menggapaigapaikan tangan. Jadi kusimpulkan saja bahwa kau telah membunuh sahabatku itu. Mudah, bukan" He he he...." Ngaco! Dalam hati, Satria menyumpahnyumpah. Tanpa mempedulikan kekeh panjang Ki Dagul serta kesibukannya menenggak tuak, murid dua tokoh kenamaan Tanah Jawa itu mencoba merekareka apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan melibatkan dirinya ke dalam masalah itu. Menilai cerita Ki Dagul yang belum lama didengarnya, Satria ber-kesimpulan ada satu pihak yang mencoba memfitnah dirinya. Langkah awal yang paling tepat buatnya mungkin mencari tahu dahulu dari lelaki berpakaian merah yang bertemu dengan Pengemis Arak di tempat terbunuhnya Jenggot Perak. Ada kecurigaan bahwa orang itulah yang dengan sengaja menuduh Satria. Namun, itu sekadar prasangka saja. Satria tak bisa langsung menjatuhkan tuduhan tanpa bukti yang jelas. Memangnya seperti tua bangka berotak singit yang masih saja terkekeh-kekeh di depannya! Selagi Ki Dagul menenggak tuak dari guci besarnya, Satria Gendeng segera menyingkir.
Begitu Ki Dagul menurunkan guci tuaknya, pendekar muda itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di tempatnya berdiri, Ki Dagul mengamukamuk sendiri dengan sumpah serapah yang tak terputus! "Dosamu sudah bertambah lagi, Bocah Buduk! Kalau kau kutemukan lagi nanti, akan kukuliti kepalamu!"
* * *
Kembali ke wilayah Hutan Pemantingan. Ketika itu lelaki berpakaian merah mengayun langkah lebih dekat ke arah Hantu Wajah Batu dan Ludah Darah. Sungguh, sulit sekali dibedakan cara melangkahnya dengan seorang perawan muda. Luwes.
Kemayu. Sepertinya, ada yang tidak beres pula dengan isi otak lelaki itu.
Menyaksikan pinggul lelaki berpakaian merah melenggak-lenggok, Hantu Wajah Batu dan Ludah Darah jadi saling pandang. Mereka semula memang mengira orang yang mereka lihat adalah perempuan.
Perkiraan mereka keliru. Yang sama sekali tidak disangka-sangka, mereka akan berjumpa dengan lelaki berkumis berwajah tampan tapi celakanya malah bertingkah seperti perempuan! Dua tindak dari tempat berdiri keduanya, lelaki berpakaian merah menghentikan ayunan kaki.
"Apa keperluan kalian di sini?" tanyanya.
Lain dengan Ludah Darah yang agak 'merinding' terhadap sikap dan tingkah lelaki berpakaian merah, Hantu Wajah Batu justru langsung naik darah.
"Kau sendiri sedang melakukan apa"!" sambarnya, bermusuhan.
"Aku?" ulang lelaki berpakaian merah seraya menaikkan sebelah alls.
"Aku hanya sedang bersemadi. Kau tahu, tempat ini merupakan tempat yang bagus. Begitu yang kudengar."
"Peduli setan!" rutuk Hantu Wajah Batu mendesis.
"Jadi," lanjut lelaki berpakaian merah.
"Jika kalian sudi, sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini. Aku sama sekali tak ingin diusik." Kunyuk, maki Hantu Wajah Batu dalam hati.
Pikirnya dia penguasa Hutan Pemantingan apa" Kemarahan lelaki bertudung ini pun menggelegak.
"Kenapa tidak kau saja yang menyingkir dari tempat ini"!" bentaknya.
Lelaki berpakaian merah tersenyum. Matanya melirik Hantu Wajah Batu lekat-lekat.
"Tampaknya, kawanmu ini tidak pernah diajarkan sopan santun oleh ibunya...." cemoohnya, pedas.
"Jangan sebut-sebut Ibuku!" Makin sewot Hantu Wajah Batu.
Lagi-lagi lelaki berpakaian merah tersenyum.
Ludah Darah yang berkepala lebih dingin menggeleng-gelengkan kepala. Dia mundur beberapa tindak. Dia tahu pasti apa yang bakal terjadi kalau Hantu Wajah Batu sudah mulai memaki. Rupanya pula, lelaki berpakaian merah pun melihat gelagat tersebut. Dia tak tampak gentar. Malah dia memancing lebih jauh kekalapan Hantu Wajah Batu. Dibalikkannya badan dengan gerak-gerik yang serba gemulai. Kakinya mulai melangkah menjauh seakan menganggap Hantu Wajah Batu cuma setumpuk kotoran kerbau.
Benar-benar mengajak perang dia! "Berhenti kau, atau kuhantam dari belakang!" ancam Hantu Wajah Batu.
"Tak ada yang berani mengejekku lalu dapat pergi seenaknya!" Lelaki berpakaian merah tak ambil pusing.
Ludah Darah meringis kecil. Jadi juga, pikirnya.
--¤¤¦ « LIMA » ¦¤¤--
Tak ada gunanya bertarung dengan orang yang tak dikenal sama sekali. Tanpa ada urusan atau alasan yang jelas pula. Kalau kawan seperjalanannya terlibat perkelahian dengan lelaki berpakaian merah, cepat atau lambat dia pun akan terseret. Ludah Darah sama sekali tak menginginkan hal itu.
Ketika Hantu Wajah Batu sudah menggelegak hingga ke kepala, Ludah Darah segera mencegah agar lelaki berwajah kaku dan tegang itu tak mengumbar kemarahannya.
Tangan Hantu Wajah Batu cepat dicekal oleh Ludah Darah ketika baru saja hendak mengirim tinju geledek ke bokong lelaki berpakaian merah.
"Biar kuhajar dia, Balaputra!" geram Hantu Wajah Batu.
Ludah Darah menggelengkan kepala.
"Jangan bodoh! Kau hanya akan membuangbuang tenaga!" katanya memperingati.
"Apa tak sebaiknya kita bertanya padanya tentang Pertapa Cemara Tunggal. Barangkali saja dia tahu," lanjutnya.
"Terserahlah!" rutuk Hantu Wajah Batu seraya menyentak cekalan tangan Ludah Darah.
Seandainya mereka berdua tidak punya kepentingan dan tujuan yang sama, sudah dihantamnya pula Ludah Darah! "Kenapa dicegah?" Seakan mengejek, lelaki berpakaian merah berujar santai sambil tetap melangkahkan kaki dengan lenggoknya yang membuat Hantu Wajah Batu semakin sebal.
"Aku hendak menanyakan tentang Pertapa Cemara Tunggal padamu. Apakah kau mengetahui sesuatu tentang beliau?" tanya Ludah Darah, tak mau bertele-tele.
Lelaki berpakaian merah terdiam sebentar.
Mendadak saja tubuhnya melenting ringan ke udara.
Dia hinggap di tempat semula dalam posisi bersemadi pula.
"Percuma kalian menanyakan hal itu," katanya kemudian.
"Kenapa begitu?" kejar Ludah Darah.
"Karena yang kalian dengar selama ini tentang Pertapa Cemara Tunggal tak lebih dari dongeng belaka. Aku sendiri tak pernah mempercayainya."
"Ah, pembual! Kau sendiri di sini hendak apa"! Bukankah kau pun berniat bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal?" sodok Hantu Wajah Batu.
"Sudah aku bilang, aku di sini dengan tujuan untuk bersemadi," balas lelaki berpakaian merah.
"Bersemadi untuk bisa bertemu dengan Pertapa Cemara Tunggal!" sambar Hantu Wajah Batu.
"Keliru! Lagi pula, apa urusanmu?" Mulai menggelegak lagi darah Hantu Wajah Batu mendengar ucapan-ucapan lelaki berpakaian merah. Dia melangkah maju beberapa tindak dengan wajah siap menantang untuk satu pertarungan sampai mati. Ludah Darah sekali lagi harus mengejarnya dan cepat menghadang. Saat itulah mata Ludah Darah tertumbuk pada sesuatu yang menarik di bawah lelaki berpakaian merah. Sebelumnya dia tak menyaksikan karena pandangannya terhalang oleh gerombolan semak. Lelaki berpakaian merah ternyata duduk bersila di atas sebongkah kepala manusia! Saat itu, tidak bisa tidak Ludah Darah jadi sempat berpikir dia sedang berurusan dengan orang sinting. Bisa juga dengan seorang penganut ilmu sesat. Yang kedua tak diinginkannya. Jika lelaki berpakaian merah memang bersemadi untuk menuntut satu ilmu sesat di tempat itu, dia tak akan menyingkir sampai tujuannya tercapai. Sedangkan Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu sendiri punya kepentingan lain terhadap tempat tersebut. Cepat atau lambat, pertarungan untuk memperebutkan tempat tampaknya akan meletus juga.
Ludah Darah melirik rekannya.
"Kenapa kau jadi menatapku seperti itu" Tadi kau telah mencegahku menghajar lelaki sial itu. Sekarang jangan salahkan aku!" tukas Hantu Wajah Batu, menggerutu.
"Tampaknya kita terpaksa harus mengusirnya juga, Joran," tanggap Ludah Darah.
Hantu Wajah Batu mengepalkan tangan. Jarinya meremas-remas liat.
."Biar aku yang urus!"tandasnya. Memang sejak tadi dia menunggu untuk melakukan hal itu.
"Hei, bersiaplah kau untuk kuusir seperti tikus buduk!" seru Hantu Wajah Batu.
"Kau kuperbolehkan mencobanya sejak tadi, bukan?" sahut lelaki berpakaian merah, sama sekali tak terdengar gentar. Tak terlihat dia hendak bersiap menyambut serangan calon lawan. Dia tetap duduk membelakangi. Teriakan keras menggelegar dari kerongkongan Hantu Wajah Batu, mengawal lompatan tingginya. Kaki kanannya terbentang lurus, menuju leher belakang lelaki berpakaian merah Satu tendangan menggeledek berkekuatan amukan lima ekor banteng jantan siap mematahkan batang leher lawan.
Lelaki berpakaian merah sendiri seperti tak menganggapnya sebagai satu ancaman. Kendati terjangan lawan sudah setengah jalan, dia masih saja belum bergerak dari tempatnya. Ketika sisi telapak kaki Hantu Wajah Batu tinggal dua jari lagi mendarat, barulah dia melakukan gerakan. Itu pun kecil saja. Hanya terbatas menyorongkan badan ke samping. Anehnya, gerakan seperti itu tidak membuat posisi silanya menjadi kehilangan keseimbangan, kendati dia duduk di atas sebuah kepala.
Lolos serangan pembuka membuat Hantu Wajah Batu makin kalap saja. Kini dia berdiri berhadapan dengan lawan yang masih tak beranjak dari tempatnya.
"Jangan cepat merasa menang, Sobat!" dengus Hantu Wajah Batu, menyaksikan senyum mengejek di bibir lawan.
Lalu diterjangnya kembali lelaki berpakaian merah. Tubuhnya mencelat lurus dengan tangan teracung keras ke muka. Serangan Hantu Wajah Batu kali ini tidak dihadapi lawan dengan cara menghindar. Lelaki berpakaian merah menggerakkan kedua tangannya. Dak! Benturan terjadi. Tubuh Hantu Wajah Batu seketika terpantul kembali ke belakang. Terpental dia hampir sejauh sepuluh tombak. Sementara lelaki berpakaian merah tidak begitu. Dia masih tetap di tempatnya. Sewaktu terjadi benturan antara tenaga dalam, badannya hanya sempat tersentak! Ludah Darah yang sejak awalnya hanya menjadi penonton dibuat terkesiap juga dengan kenyataan itu. Rupanya orang ini tidak bisa dianggap main-main, nilainya. Menilik kejadian tadi, setidaknya Ludah Darah bisa sedikit mengukur kedigdayaan lawan. Kemampuan tenaga dalam lawan tampaknya lebih kuat dua kali lipat dari milik Hantu Wajah Batu. Jika demikian, tak ada harapan besar bagi lelaki bertudung berwajah membatu itu untuk memenangkan pertarungan.
Kembali ke kancah pertarungan. Hantu Wajah Batu terpana sesaat setelah mampu menempatkan kuda-kudanya kembali di atas tanah. Tak pernah disangkanya lawan akan memiliki tenaga dalam jauh lebih kuat di atasnya. Dia mulai menyadari, dirinya mungkin tak bisa unggul. Hanya karena sifatnya yang keras kepala, dia tak pedulikan hal itu.
"Kau pikir, aku akan gentar?" desisnya penuh api kegarangan di sepasang matanya.
Di ujung desisan, dia pun memainkan kembangan jurusnya kembali. Sesaat kemudian, serangan susulan dilakukan.
Tak kalah berbahaya dari sebelumnya.
"Remuk kau!" Dan seruntun hantaman serta tendangan menghujani lelaki berpakaian merah. Bertubi-tubi.
Membabi buta. Seakan tak ada satu celah kosong pun terlewatkan. Sejauh itu, tak ada satu pun serangan Hantu Wajah Batu menemui sasaran. Sampai suatu saat, tangan lelaki berpakaian merah membuat satu sodokan amat cepat. Amat sulit menangkap gerakannya, bahkan oleh mata yang amat jeli sekalipun.
Bes! "Egh!" Ketika itu juga tubuh Hantu Wajah Batu tersentak ke belakang. Karena dia berusaha untuk tetap bertahan pada kuda-kuda, tubuhnya jadi terseret beberapa depa ke belakang dalam posisi berdiri.
Seretan kakinya membentuk parit kecil yang cukup dalam. Mungkin, keberhasilan Hantu Wajah Batu mempertahankan kuda-kudanya patut mendapatkan acungan jempol, mengingat betapa hantaman lawan demikian kuat. Namun begitu, luka dalam harus ditelannya juga. Tak lama setelah seretan tubuhnya terhenti, dia pun memuntahkan darah segar. Dengan wajah yang tak berubah, dia menatap nanar lelaki berpakaian merah. Lawan tetap pada posisi semula. Sedikit pun tubuhnya tidak beranjak.
"Aku tetap belum kalah, Sobat!" keluhnya, namun dengan nada yang tak terdengar mengalah. Setelah mengatur pernapasan dan menotok beberapa jalan darah di bagian dada, lelaki berperangai keras itu menyiapkan jurus barunya.
Ludah Darah di luar kancah mulai melihat gelagat tak baik. Sudah saatnya dia turun tangan membantu Hantu Wajah Batu. Jika tidak, dia akan kehilangan rekannya yang dibutuhkan untuk tujuan mereka mendatangi Hutan Pemantingan.
Berbarengan dengan lompatan Hantu Wajah Batu dari arah depan, Ludah Darah pun menerkam dari arah belakang.
"Kalahkan dia, Joran!" serunya, memberi semangat tarung pada rekannya yang sudah kecolon- gan. Sebagai warga persilatan, sesungguhnya Ludah Darah merasa tak pantas dengan tindakan tersebut. Satu lawan dua. Belum lagi dia telah membokong dari belakang. Tindakan yang tak satria sama sekali. Namun Ludah Darah tahu, dengan tindakan itu pun mereka belum tentu memiliki kesempatan besar untuk menang. Selain itu dia tak berniat untuk membunuh lelaki berpakaian merah. Hanya ingin menyingkirkannya dari tempat itu. Meski dengan begitu, terselip juga rasa tak enak hati. Betapa dia telah merasa membodohi diri sendiri. Untuk membela kepentingan sendiri dia sudah membenarkan segala cara. Pada saat lelaki berpakaian merah menjadi sasaran serangan dari dua kutub berbeda, dengan kekuatan yang bukan main-main pula, mendadak saja terjadi kejadian tak terduga sama sekali. Baik oleh Hantu Wajah Batu ataupun Ludah Darah.
Dari silanya, lelaki berpakaian merah seketika mencelat gesit ke atas. Tak terlihat dia menggerakkan badan sama sekali, di bagian mana pun. Sepertinya, dia sendiri tak pernah menghendaki tindakan itu. Dalam keadaan menerjang, kedua lawannya sempat pula dibuat terheran. Ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi, pikir mereka. Dan bukan mustahil, mereka menghubung-hubungkan kejadian itu dengan keberadaan pertapa sakti wanita; Pertapa Cemara Tunggal yang begitu ingin mereka temui.
Prasangka mereka terbukti keliru sesaat setelah lelaki berpakaian merah mencelat tiga depa dalam posisi masih bersila ke udara. Sebab, setelah itu menyusul sesuatu mencelat pula. Muncul menera-bas seolah-olah keluar dari dalam tanah! Wrerrr! Sewaktu luncuran badan Hantu Wajah Batu dan Ludah Darah telah mencapai titik sasaran, mereka baru menyadari kalau sesuatu yang mencelat ringan dan gesit itu adalah sesosok manusia. Disadari pula oleh mereka bahwa batok kepala yang selama itu diduduki oleh lelaki berpakaian merah ternyata bukan sekadar kepala tanpa badan, melainkan kepala seseorang yang sekujur badannya ditanam ke dalam bumi! Sebaliknya, mereka justru sama sekali tak menyadari bahwa kemunculan tak terduga orang aneh itu akan membawa akibat buruk bagi keduanya! "Huaaah!" Das! Ludah Darah yang terlebih dahulu kejatuhan nasib buruk. Orang yang baru mencelat muncul dari tanah langsung berhadapan dengan serangannya.
Karena tak menduga kemunculan lawan barunya, Ludah Darah menjadi lengah. Serangannya yang semula ditujukan untuk lelaki berpakaian merah dapat diredam dengan satu tangkisan keras oleh orang itu. Tak cuma itu, satu kaki lawan bersarang telak di ulu hatinya.
Sedangkan Hantu Wajah Batu mendapat hajaran untuk kedua kalinya dari lelaki berpakaian merah setelah sebelumnya serangannya sendiri dapat dimentahkan oleh lelaki berpakaian merah.
Pasangan lelaki itu terdorong ke belakang.
Ludah Darah lebih parah. Dia hampir-hampir terlempar sejauh belasan tombak.
Barulah jelas sekarang, bagaimana tenaga lelaki berpakaian merah begitu kuat. Rupanya dia mendapat bantuan dari orang yang selama ini diduduki kepalanya! "Siapa kalian berdua sebenarnya"!" tanya Ludah Darah dengan tangan mendekap dada. Henta- kan yang diterimanya merasa membakar. Tak beda dengan keadaan Hantu Wajah Batu, lelaki ini pun mengalami luka dalam tak ringan. Di sudut bibirnya mengalir darah kehitaman. Hanya saja, luka dalamnya lebih ringan. Bisa jadi karena tenaga yang menimpa Hantu Wajah Batu adalah hasil penggabungan tenaga dua orang.
Orang yang baru muncul sudah berdiri tepat di atas lobang tempat sebelumnya dia dikuburkan.
Sedangkan lelaki berpakaian merah sudah hinggap kembali di ubun-ubunnya. Masih pula tak mengubah posisi silanya.
Bertolak belakang dengan lelaki berpakaian merah, orang itu berpenampilan tak karuan. Tubuhnya yang tinggi besar seperti tokoh Bima di pewayangan tak dibungkus apa pun kecuali semacam cawat dari serat pepohonan. Dadanya dipenuhi dengan bulu lebat. Perutnya agak membuncit. Rambutnya digelung di atas kepala. Wajahnya membiru dengan bulu kasar di seluruh rahang. Matanya bulat membersitkan kebuasan seekor hewan pemangsa.
Sebelum menjawab pertanyaan Ludah Darah, mencelat tawanya yang terputus-putus serak.
"Kalian telah melakukan kesalahan telah mengganggu tapa geniku!" serunya, terdengar meraung. Mendengar suaranya, Ludah Darah dan Han- tu Wajah Batu merasakan getaran yang menggempur hingga ke dasar nyali. Mereka seperti dipaksa untuk takut. Merasa pertanyaannya tak mendapat jawaban memuaskan, Ludah Darah kembali bertanya.
"Siapa kalian sebenarnya?" Mata bulat menggidikkan lelaki tinggi besar menerkam langsung ke manik mata Ludah Darah.
Pancarnya lagi-lagi menerobos langsung ke dasar nyali. Sebagai tokoh persilatan yang sudah terbiasa mengalami kebuasan manusia, Ludah Darah merasa heran juga bagaimana dia merasakan getaran takut merayap dalam dirinya.
"Aku Kaladewa! Kuperintahkan kalian untuk menyingkir dari tempat ini, sebelum aku memutuskan untuk mengirim kalian ke neraka!" seru lelaki tinggi besar yang mengaku bernama Kaladewa.
"Dan aku Kasindra, muridnya!" sela lelaki berpakaian merah.
Mau tak mau, Hantu Wajah Batu dan Ludah Darah mengernyitkan kening. Bagaimana bisa seorang guru bersedia muridnya menempatkan pantat tepat di atas kepalanya"
--¤¤¦ « ENAM » ¦¤¤--
Lalu entah bagaimana caranya, desas-desus menyebar seperti penyakit menular. Dalam waktu singkat, banyak warga persilatan menganggap dirinya sebagai pendekar murtad yang membunuh hanya karena hasrat kotor menguasai benda pusaka dari Pertapa Cemara Tung-gal.
Yang membuat dia jadi mau senewen bukan itu saja. Tokoh-tokoh persilatan golongan hitam yang begitu bernafsu memiliki benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal pun mulai memburunya. Tak enak benar menjadi seperti hewan buruan. Ke manamana selalu waswas. Di mana-mana dia harus waspada. Musibah sedang betah menemaninya, rupanya. Berhari-hari, pendekar muda itu pun dibuat pening sendiri. Dia tak habis pikir, benda pusaka apa sebenarnya yang sedang diributkan dan hendak diperebutkan darinya! Satu-satunya benda pusaka yang dimiliki ya cuma Kail Naga Samudera. Dan itu jelas-jelas bukan pemberian Pertapa Cemara Tunggal. Selain itu dia tak memiliki apa-apa lagi. Apa perlu dia menganggap celana dalam bututnya sebagai benda pusaka" Sungguh brengsek, umpatnya membatin. Manusia bercongor besar mana pula yang telah seenaknya menyebar kabar burung seperti itu" Kalau bertemu orangnya, ingin rasanya Satria menyodok mulut orang itu dengan galah hingga tembus ke bawah! Soal Ki Dagul yang turut menuduhnya, Satria yakin tua bangka itu pun cuma korban desas-desus.
Jelas ada orang yang hendak memfitnahnya. Hendak menjadikannya bulan-bulanan warga persilatan.
Dan yang paling jelas, orang itu tampaknya tak senang kalau seorang pendekar muda golongan lurus seperti dirinya masih bercokol segar bugar di muka bumi. Belum sehari lalu, Satria Gendeng baru saja menghadapi dua orang gila dari golongan sesat yang memaksanya menyerahkan benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal. Benda pusaka apa" Sampai jidatnya minggat ke pantat pun tak ada yang bisa diberikan. Karenanya Satria lebih suka menghindar. Tapi dua orang sinting yang tergolong sakti itu memaksa.
Jadilah mereka bertarung.
Setelah setengah mampus membela diri, Satria mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Syukur Tuhan masih sayang sama dirinya, dia berhasil lolos. Cuma, yang namanya dua manusia slompret itu tak puas. Mereka berusaha mengejarnya. Sampai hari ini, Satria masih saja main kucing-kucingan. Dengan terpaksa, dia harus melakukan penyamaran yang sama sekali tak mengenakkan. Dia harus berpura-pura menjadi seorang pengemis tua. Mengenakan pakaian rombeng, dekil, dan bau tengik. Ditambah caping lebar yang tak kalah menyedihkan! Karena berpura-pura sebagai lelaki jompo, dia pun memungut batang pohon kering yang selalu dibawa-bawanya jika sedang berjalan terbungkuk-bungkuk. Betapa menyiksanya! Mau membuat penyamaran lain, terus terang dia tak tahu menahu. Dia bukan seorang ahli menyamar yang bisa seenaknya mengganti penampilan dan wajah seperti seekor bunglon.
Sialnya lagi, banyak orang yang benar-benar tertipu dengan penyamaran sederhana itu. Dengan penuh rasa kasihan, beberapa orang memberinya 'kepeng' tanpa perlu diminta. Pikir-pikir, enak juga jadi pengemis gadungan.
Tinggal pura-pura menderita, lantas uang pun datang biarpun cuma recehan.
Yang tidak enaknya, ada juga orang-orang yang langsung membentaknya dengan muka berang sambil berteriak; pergi kau, aku tak ada uang recehan! Itu pun tanpa diminta! Saat itu, Satria Gendeng memasuki satu desa yang terletak di pinggir Hutan Pemantingan. Hutan Pemantingan adalah tujuan utama yang harus diselidikinya berkenaan dengan tuduhan yang harus dia telan bulat-bulat. Menurutnya, tentu bisa didapatnya sedikit keterangan di sana tentang desasdesus yang merebak.
Desa kecil itu tampak lengang ketika Satria Gendeng tiba. Rumah-rumah gubuk berdiri berjauhan. Satu dua orang penduduk terlihat melintas di jalan tanah. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan berselisih jalan dengannya disapa.
"Maaf, Pak, aku hendak sedikit bertanya padamu." Sejenak bapak setengah baya itu memperhatikan Satria dengan pandangan menyelidik. Di matanya terpancar bersit keheranan. Jelas dia bertanya dalam hati karena semula dia menyangka Satria adalah seorang tua. Namun ketika bertanya, suaranya justru terkesan gagah.
Satria baru menyadarinya ketika bapak setengah baya masih saja menatapinya dari ujung tudung ke ujung kaki. Dengan mengumpat-umpat diri sendiri dalam hati, bergegas diubahnya suara. Tidak begitu meyakinkan, tapi lumayan. Satria pun mendapat jawaban. Jika dia ingin mengetahui tentang kabar burung yang selama ini tersebar, dia harus menemui seorang tua di tepi Hutan Pemantingan. Menurut bapak setengah baya itu pula, si orang tua yang harus ditemui Satria layaknya seorang 'kuncen' untuk tempat-tempat tertentu di Hutan Pemantingan.
"Bagaimana aku bisa bertemu dengan orang tua itu?" tanya Satria lagi.
Untuk pertanyaan tersebut, Satria tak mendapatkan jawaban memuaskan. Ternyata bapak setengah baya yang ditanya sama sekali tak pernah mengetahui keberadaan orang tua yang diceritakannya. Bahkan dia mendengar semua itu hanya dari cerita mulut ke mulut masyarakat sekitar.
Satria geleng-geleng kepala. Dari ribut-ribut soal benda pusaka, lalu Pertapa Cemara Tunggal, dan sekarang ada lagi orang tua 'kuncen' Hutan Pemantingan yang semuanya serba tak jelas ujung pangkalnya. Semuanya serba 'kata orang'.
Namun begitu, Satria tetap mengucapkan terima kasih. Sekarang, dia harus memulai kembali penyelidikan yang makin terasa ngawur.
Sebelum dia beranjak, terdengar ringkikan tinggi seekor kuda jantan. Ganjilnya, ringkikan kuda itu seperti melayap ke mana-mana, melompat dari satu tempat ke tempat lain. Seumur hidup, tak pernah Satria mendengar ada kuda terbang dan sejenisnya. Jadi, kalau bukan kuda terbang yang meringkik-ringkik berpindah-pindah tempat dengan cepat seperti itu, lantas apa" Kuda dedemit" Atau telinganya saja yang sudah sakit" Telinga si pendekar muda Tanah Jawa sama sekali tidak sakit. Memang ada suara ringkikan kuda. Tapi itu bukan berasal dari tenggorokan binatang tunggangan, melainkan keluar dari kerongkongan seorang lelaki tua yang terlihat di kejauhan.
Satria Gendeng mengamati.
Orang tua itu berjalan santai. Namun setiap kali dia melangkahkan kaki, tubuhnya seperti melesat sepuluh langkah. Dan tahu-tahu saja dia sudah berdiri hanya tujuh depa dari tempat Satria berdiri.
Dari sela-sela celah tudung pandannya, mata Satria Gendeng mengamati. Lelaki tua yang umurnya mungkin sudah mendekati sembilan puluhan.
Mungkin juga lebih. Keriput di wajah sudah pasti.
Kalau dinilai-nilai, tampangnya seperti seorang priyayi. Klimis tanpa jenggot. Ada tahi lalat besar seukuran kotoran kadal di jidatnya. Pakaiannya seperti seorang abdi dalam istana, lengkap dengan blankonnya. Sapaan pertama untuk Satria Gendeng adalah senyumnya yang mekar sumringah. Sangat ramah, tapi juga lucu. Terutama karena giginya tinggal sepasang.
"Siang anak muda!" ucapnya kemudian.
Di balik tudung, Satria Gendeng dibuat agak terperangah. Bagaimana dia dapat mengetahui bahwa aku bukan seorang bangkotan seperti dirinya" Tanyanya membatin. Sungguh tajam pengamatan orang tua ini. Atau mungkin dia punya pandangan yang melebihi mata orang biasa" Kalau benar begitu, tentu dia bukan seorang tua sembarangan, nilai pendekar muda itu.
"Siang," balas Satria. Tak perlu lagi dia me-nyamarkan suaranya. Termasuk sikap tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk. Percuma. Kedoknya sudah terbongkar hanya dengan sekali tepuk! "Apa perlumu padaku, Anak Muda?" tanyanya kembali pada murid dua tokoh kenamaan Tanah Jawa. Satria dibuat bingung sendiri. Apa perlunya" Bukankah mereka baru saja bertemu" Orang tua berblangkon terkekeh geli. Seperti ringkikan kuda! "Jangan bingung. Bukankah kau sedang mencari seseorang yang mengetahui tentang Pertapa Cemara Tunggal?" Satria pun menduga-duga.
"Kau orang tua 'kuncen' itu?" tanyanya, antara yakin dan tidak.
"Ya!" Lalu si tua berblangkon itu pun terkikik geli. Tetap seperti ringkikan seekor kuda. Jadi memang benar dugaan Satria sebelumnya. Bukan kerongkokan kuda yang membuat suara itu, melainkan orang tua yang kini dihadapinya.
"Jadi kau mau bertanya apa?" Mendapat pertanyaan tadi, Satria terbengong sendiri. Tanpa susah mencari, tahu-tahu saja dia sudah bertemu dengan orang yang dibutuhkan. Tapi giliran hendak bertanya, dia malah bingung hendak mulai dari mana....
"Baik, kalau begitu kau akan kubantu. Kau ingin mengetahui kebenaran cerita tentang Pertapa Cemara Tunggal, bukan?" sela orang tua berblangkon.
"Iya iya! Benar!"
"Cerita itu benar. Pertapa Cemara Tunggal memang ada."
"Lalu?"
"Lalu apa" Apa yang hendak kau tanyakan lagi selain itu?" Satria bingung lagi.
"Mau aku bantu lagi?"
"Boleh boleh...." Ini jadi menggelikan. Bukankah seharusnya justru dia yang banyak bertanya. Tapi kenapa malah sebaliknya" Ah, peduli setan, pikir Satria.
"Kau mau tahu pula apakah Pertapa Cemara Tunggal pernah mewariskan benda pusaka kepada seseorang?"
"Ya ya ya. Aku memang mau tahu itu!" Lelaki tua berblangkon menggeleng.
"Jadi tidak ada benda pusaka itu?" Lelaki tua berblangkon itu pun menggeleng lagi. Satria Gendeng melongo. Jadi bagaimana"
"Benda pusaka itu ada. Yang tak benar, Pertapa Cemara Tunggal memberikannya pada orang persilatan. Beliau tak pernah melakukannya...."
"Jadi, kenapa orang persilatan meributkan bahwa Pertapa Cemara Tunggal telah memberikan benda pusaka pada seorang di dunia persilatan"!"
"Aku tak perlu menjawabnya. Kau bisa mencari tahu sendiri untuk masalah itu."
"Lantas, kenapa pula aku yang jadi sasaran"!" sentak Satria, terbawa kekesalan selama beberapa hari belakangan.
"Jangan salahkan aku, Anak Muda!" Satria melepaskan tudungnya. Dia tidak betah. Membuatnya tidak nyaman sekali. Terutama saat-saat dia diamuk kejengkelan.
Bersungut-sungut, dia melanjutkan pertanyaan.
"Apakah kau tahu orang yang menjadi biang keladi desas-desus ini, Orang Tua?"
"Itu pun kau bisa cari tahu sendiri, Anak Muda. Hei, kau ini masih muda! Tenagamu masih banyak. Jangan kau cuma bisa mengandalkan orang tua jompo seperti aku ini!"
"O, ya. Aku punya satu pertanyaan lagi, Orang Tua. Apakah kau pernah melihat seorang lelaki muda berpakaian merah di sekitar Hutan Pemantingan?"
"Kalau yang itu, aku bisa menjawabnya. Aku memang pernah melihatnya." Satria Gendeng menggeram seram. Dihantamkannya kepalan ke telapak tangan.
"Itu dia orangnya!" rutuknya tertekan.
Karena suntuk, Satria mengedarkan pandangan ke pepohonan di sekitarnya. Siapa tahu juga dia sedang beruntung dan langsung menyaksikan lelaki berpakaian merah.
"Sudah cukup, bukan?" tanya orang tua berblangkon.
"Ya, rasanya cukup untuk saat ini," jawab Satria Gendeng seraya mengalihkan pandangannya kembali ke arah orang yang diajak bicara. Tapi asta-ga, orang itu sudah tak ada lagi di tempatnya.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda kembali. Ke sana kemari. Melompat-lompat cepat seolah mengendarai angin.
Selanjutnya, Satria Gendeng dikejutkan oleh suara lain. Teriakannya terdengar galak dan bernafsu. Ya, yang didengarnya teriakan seseorang. Dan rasanya suara itu pernah didengarnya sebelum ini.
Satria Gendeng menoleh. Dia terlonjak. Benar-benar apes! Saat dia sedang membuka tudung dan berdiri wajar tanpa perlu menyiksa diri membungkuk-bungkuk, orang yang memburunya menemukan dirinya. Siapa lagi kalau bukan dua orang sinting yang tergolong sakti! "Slompret!" desis Satria sambil cepat-cepat melepas langkah seribunya.
* * *
Pertarungan antara Ludah Darah, Hantu Wajah Batu dengan sepasang lawan ganjilnya tak berjalan seimbang. Guru dan murid yang rada kualat itu lebih banyak menjadikan Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu sebagai bulan-bulanan.
Pada satu gempuran sengit, pasangan rekan muda itu dibuat terkapar berbarengan di tanah.
"Sekarang kalian tinggal pilih, hendak kubunuh di tempat, atau kalian menyingkir saja dari tempat ini!" gelak lelaki tinggi besar seperti Bima.
Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu melenguh-lenguh di atas tanah.
"Baik. Kali ini kami mengalah. Namun kami akan kembali ke tempat ini suatu hari!" keluh Ludah Darah, mengancam. Baginya, urusan tempat itu belum lagi selesai.
Lalu, dengan tertatih-tatih, dia menyingkir dari tempat itu bersama Hantu Wajah Batu. Sepeninggalan mereka, lelaki tinggi besar alias Kaladewa bersama muridnya yang tak juga beranjak dari ubun-ubunnya tertawa berbarengan.
"Mereka cuma akan menjadi 'anjing' yang akan menuntun Satria Gendeng pada kita!"
--¤¤¦ « TUJUH » ¦¤¤--
Kulitnya gelap, rambutnya malah serba putih. Sepertinya dia tua sebelum waktunya. Sementara pakaiannya, serba 'wah'. Dari warna sampai potongannya. Merah menyengat, dan terbuka di mana-mana.
Mau buat pakaian atau sangkar burung" Dia adalah salah seorang yang sedang memburu Satria Gendeng, seorang tokoh wanita dunia persilatan terhitung dalam jajaran atas golongan sesat. Dia pula yang terakhir mengejar-ngejar Satria dengan pasangan gilanya.
"Kau bertemu lagi dengan aku, Pemuda Tampan!" Satria Gendeng merutuk serta mendesiskan dengan wajah sebal julukan perempuan itu.
"Rase Betina...."
"Itu memang julukanku!" ledek wanita yang berjuluk Rase Betina seraya memperlihatkan senyum lebar yang sok ramah.
Satria berpikir cepat. Sungguh hanya akan membuatnya susah untuk berhadapan kembali dengan Rase Betina. Cuma buang-buang tenaga saja.
Jalan terbaik baginya segera berbalik badan, sementara jaraknya dengan Rase Betina tak terlalu dekat.
Baru saja hendak membalikkan badan, Satria sudah dibuat terhenyak kembali. Ternyata hari itu dia benar-benar dibuat bulan-bulanan oleh keapesan. Di belakang Sana, sudah berdiri pula satu orang pengejarnya. Tentu saja pasangan Rase Betina yang sebelumnya meneriaki dia.
Pasangan Rase Betina adalah seorang lelaki menjelang tua. Tak ada yang istimewa dari penampilannya, kecuali kepalanya yang lebih besar dari orang kebanyakan. Dia mengenakan pakaian berwarna buram. Dengan wajah tak mengenal kata damai, lelaki berjuluk Kepala Baja dari Utara itu mendengus.
"Sekali ini, kau tak akan bisa lolos, Satria Gendeng!" Satria Gendeng meringis tanggung.
Jadi juga dia 'memeras keringat'....
Pasangan golongan sesat yang menghadangnya melangkah satu-satu, mempersempit jarak mereka terhadap Satria. Satria merasa dirinya seperti rusa buduk yang hendak diringkus hidup-hidup.
"Serahkan saja benda pusaka itu pada kami," ancam Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memiliki apa yang kalian minta. Percuma saja kalian memaksaku, tahu"!"
"Jangan bersikeras! Kau hanya akan membuat dirimu celaka!" hardik Rase Betina. Sementara itu jarak keduanya makin dekat saja pada buruan-nya, Satria Gendeng.
Si pendekar Tanah Jawa mengumpat dalam hati. Mereka pikir, siapa aku sebenarnya" Cuma anak korengan yang tak bisa apa-apa" Satria pun mulai jadi mangkel.
"Kalian ini benar-benar dua cecunguk tua tolol! Begitu gampangnya kalian dibodoh-bodohi...," makinya.
"Jangan berani sekali lagi kau mengatakan itu pada kami, Gendeng!" Kepala Baja dari Utara meng-kelap. Keningnya yang lebar berkerut bagai sehelai gombal. Parasnya jadi sematang pinggiran koreng.
"Cepat beri kami Tanduk Menjangan Terbang itu!" pekik Rase Betina, membuat Satria hampir-hampir melonjak kaget.
Apa lagi ini" Dalam hati, Satria bertanyatanya. Tanduk Menjangan Terbang" Sebelumsebelumnya mereka berdua tak pernah menyinggung-nyinggung soal benda yang baru seumur hidup didengar itu....
"Apa lagi ulah kalian ini" Tanduk Menjangan Terbang apa yang kalian maksud"!" teriak Satria Gendeng dengan otot leher tertarik dan wajah berantakan. Mangkelnya makin tak tertolong.
Rase Betina menyeringai.
"Rupanya murid tua bangka Dedengkot Sinting Kepala Gundul pandai berlakon juga," cemoohnya. Darah Satria rasanya sudah mentok sampai batok kepala. Menuduh-menuduh saja, jangan segala pakai menghina gurunya. Sesinting-sintingnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tetap gurunya. Tak ada satu orang pun yang diperkenankan menghina tua bangka itu. Tak juga seekor dedemit! "Kalian keterlaluan, kalian tahu itu?" geram Satria. Matanya mulai nanar.
"Ya, kami memang keterlaluan, Gendeng. Dan kami akan lebih keterlaluan lagi jika kau tak segera menyerahkan Tanduk Menjangan Terbang pada ka-mi!" serobot Kepala Baja dari Utara. Kepalanya yang kebesaran dan klimis mentereng itu bergerak-gerak seperti ada kesalahan saraf.
"Tanduk Menjangan Terbang apa"!" sewot Satria.
"Itu benda pusaka yang telah kau rebut dari si Jenggot Perak, Kunyuk Tampan! Apa kau tak ingat?" ucap Rase Betina, makin menyudutkan.
Satria memukul-mukul kepala dengan kedua tangannya.
"Ini benar-benar gila! Benar-benar gila! Bagaimana kalian begitu yakin kalau benda itu ada padaku"!"
"Seorang yang menyaksikan kau membunuh Jenggot Perak telah mengatakan pada kami tentang semua itu!" lanjut Rase Betina.
Satria menurunkan tangan. Alisnya hampir bertaut. Apakah Ki Dagul yang telah mengatakan semua kebohongan ini pada sepasang manusia slompret yang cuma menyusahkanku" Hatinya bertanya penasaran. Apa mungkin Pengemis Arak berpikiran sejahat itu" Dia mungkin berotak agak tumpul. Tapi untuk memfitnah, tampaknya tak mungkin.
"Siapa orang yang kau maksud. Rase Betina?" selidiknya.
"Seorang lelaki muda berpakaian merah! Ah, untuk apa kujawab pertanyaanmu. Toh, kau sendiri sudah tahu!" Dia lagi, dia lagi! Rahang Satria Gendeng rasanya hendak pecah menahan kegeramannya pada manusia bejat satu itu. Siapa dia sebenarnya" Apa maunya dariku" Gerutunya membatin.
"Jangan hanya diam begitu, Gendeng! Cepat serahkan benda itu!" bentak Kepala Baja dari Utara.
"Aku tak memilikinya!"
"Kau memilikinya!"
"Tidak!"
"Memiliki!"
"Tidaaak!"
"Memilikiii!"
"Kalian berdua memang orang gila yang tolol!" Sampai sudah Satria pada batas kesabarannya. Dia sekarang tak mau lagi peduli apakah harus terlibat pertarungan dengan kedua pemburunya.
Kepala Baja dari Utara mendengus.
Satria membalasnya dengan dengusan pula.
Rase Betina meludah.
"Cuih!"
"Kalian mau menyerangku atau cuma mau memelototiku seperti itu"!" ledak Satria. Jadi gila sendiri dia....
* * *
Tua bangka tukang mabuk, Ki Dagul, jadi pusing sendiri mencari-cari Satria Gendeng. Anak muda itu menghilang seperti kelebatan dedemit kesiangan. Hampir-hampir dia tak bisa percaya kalau dirinya yang sudah 'kekenyangan' makan asam garam dunia persilatan, ternyata masih bisa dibuat mati kutu. Sejak melarikan diri darinya, pendekar muda itu belum pernah lagi diketemukan.
Tak ada satu ekor kunyuk buduk pun di muka bumi yang tak mengetahui bagaimana saktinya Ki Dagul. Dari ujung bumi ke ujung yang lain, semua orang juga tahu siapa dirinya. Begitu kalau tua bangka ini mau menyombongkan diri. Tapi menghadapi pemuda gendeng murid dua tokoh papan atas Tanah Jawa, Ki Dagul pun mati kutu. Walau si tua bangka tak akan sudi mengakui.
Sudah dicari-cari ke mana-mana, Ki Dagul masih juga belum menemukan Satria Gendeng. Jangankan menemukannya, sekadar jejak atau baunya saja pun tidak.
Ki Dagul pantas jadi kesal.
Karena kelelahan mencari, Ki Dagul memutuskan untuk beristirahat dahulu di bawah sebatang pohon besar yang cukup rindang. Dilemparnya tubuh ke atas rumput. Dalam keadaan setengah telentang, diteguknya tuak dari dalam guci besar.
"Ilmu apa yang diajarkan Dongdongka pada murid sialnya itu" Bagaimana dia bisa menghilang secepat kentut...," gerutunya, jengkel.
Selesai beberapa tegukan, dia menguap lebarlebar. Baunya menebar.
Menyusul matanya terkatup-katup.
Dan tua bangka itu pun tertidur.
Entah beberapa lama Ki Dagul terpulas di bawah pohon, sampai suatu ketika dia tersentak oleh sesuatu yang menimpa badannya. Sesuatu yang berat.
"Sambar geledek!" maki Ki Dagul, seraya terhenyak sambil melotot. Di atas badannya, sudah tertelungkup sesosok tubuh. Beratnya membuat napas Ki Dagul sesak.
Beberapa saat, mata Ki Dagul terus memelototi sosok tubuh di atas badannya. Terpikir olehnya bahwa siluman penghuni pohon telah jatuh menimpanya. Setelah pikiran sehatnya mulai berjalan kembali, barulah dia sadar kalau sesuatu yang menimpanya ternyata memang manusia.
"Kutu busuk, apa-apaan kau ini"!" maki Ki Dagul seraya mendorong kuat-kuat tubuh orang yang baru menimpanya.
"Kalau hendak tidur, kau bisa cari tempat lain!" gerutunya lagi.
Tubuh orang tadi terguling ke depan, lalu telentang. Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak bangkit. Hanya dadanya saja yang tampak turun naik.
"Hei, kenapa kau sebenarnya"!" tukas Ki Dagul. Ketika diperhatikan, ternyata orang itu dalam keadaan terluka cukup parah. Pakaiannya berlumur darah yang hampir mengering. Di antara napas megap-megapnya, terdengar keluhan berat.
Orang itu adalah Hantu Wajah Batu.
Tak lama kemudian, terdengar pula keluhan berat lain dari balik pohon.
"Siapa pula itu"!" sambar Ki Dagul seraya bangkit sempoyongan.
Dengan penasaran, Ki Dagul beranjak ke balik pohon. Di sana dia menemukan satu orang lain yang mengalami luka tak kalah parah. Orang itu tentu saja Ludah Darah. Kekalahan yang harus mereka telan di Hutan Pemantingan memaksa mereka untuk mencari seorang tabib. Tabib itu diperlukan untuk mengobati luka dalam mereka yang tampaknya tak bisa diatasi hanya dengan penyaluran hawa murni biasa. Setelah berjalan cukup jauh dan menyiksa, mereka belum juga menemukan seorang tabib. Tiba di tempat Ki Dagul, tenaga mereka sudah terlalu banyak terkuras. Mereka pun ambruk.
Berkacak pinggang, tua bangka pemabuk bertanya kembali dengan suara sambar geledeknya.
"Aku bertanya pada kalian, siapa sebenarnya kalian ini" Kenapa pula kalian berdua"!"
"Tolong kami, Orang Tua. Kami harus menemui seorang tabib...," keluh Ludah Darah.
"Perlu apa kalian dengan seorang tabib?" tanya Ki Dagul kembali. Pertanyaan tolol yang begitu saja lahir dari otak seorang pemabuk berat.
Ludah Darah terbatuk-batuk, menyemburkan darah kehitaman.
"O, ya. Aku lupa. Tentu saja kalian membutuhkan seorang tabib karena kalian terluka, bukan?" susul Ki Dagul.
Susah payah, Ludah Darah yang bersandar lunglai pada batang pohon menganggukkan kepala.
"Lalu apa peduliku"!" koar Ki Dagul dengan wajah tersorong-sorong ke depan.
Dengan wajah digelayuti kesebalan, manusia bangkotan itu malah melenggang, hendak pergi dari tempat itu.
"Urusanku saja belum beres, kenapa pu-la aku begitu tolol hendak menolong kalian," gerutunya.
* * *
Jelas-jelas memang bukan 'pucuk dicinta, ulam pun tiba' buat Ki Dagul. Tak begitu lama setelah kepergiannya, pemuda yang sedang dikejar-kejar malah tiba di tempat itu. Coba kalau dia mau sedikit berpikiran baik menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tentu dia tak perlu susah-susah lagi mengendusi jejak Satria Gendeng.
Satria Gendeng sendiri berhasil meloloskan diri untuk yang kesekian kalinya dari Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara. Kendati untuk itu dia harus sedikit peras tenaga dengan menantang mereka bertarung. Pada satu kesempatan dalam pertarungan, pendekar muda itu pun mengecohkan kedua lawannya. Sebelumnya, tak ada niat Satria untuk berhenti di dekat pohon besar tempat sepasang tokoh persilatan yang menderita luka dalam. Dia justru sedang bernafsu untuk segera tiba di Hutan Pemantingan. Ketika mendengar suara keluhan dari arah samping, pendekar muda itu berhenti juga.
Agak curiga dia menoleh. Disaksikannya dua orang tampak membutuhkan pertolongan. Salah seorang di antaranya malah sudah nyaris sekarat.
Bergegas Satria mendekat.
"Astaga, apa yang terjadi pada kalian berdua?" tanyanya.
Kalau saja Hantu Wajah Batu tak hampir mampus saat itu, tentu dia akan langsung menyemprot Satria Gendeng dengan makian. Bukan apaapa, sebelumnya mereka juga mendapat pertanyaan yang sama dari tua bangka tak punya perasaan. Boro-boro ditolong. Mereka malah ditinggalkan. Sekarang ada lagi yang bertanya seperti itu. Dan kedua pecundang itu tak yakin orang yang mereka temui kali ini bersedia menolong mereka. Jangan-jangan cuma iseng bertanya.
Pertanyaan Satria tidak mendapat jawaban, kecuali dengan napas Ludah Darah yang terputusputus. Kalau ada yang bisa dilakukannya, cuma melirik Satria dengan pandangan putus asa.
Satria cepat mendekat. Diperiksanya keadaan Ludah Darah beberapa saat. Tak lama terdengar desisnya.
"Kalian terkena pukulan aneh." Dengan suara bagai terjepit di tenggorokan, Ludah Darah balik bertanya.
"Apa maksudmu?" Satria menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya menampakkan kengerian.
"Aku sendiri tak mengerti pukulan jenis apa yang baru saja memakan tubuh kalian dari dalam.
Namun yang kudapati, darah di tubuhmu secara lambat mulai mengental dan membeku. Mungkin pada akhirnya nanti, darah di sekujur tubuhmu akan mengeras. Dan itu tentu saja akan membunuhmu," papar Satria. Sedikit banyak dia memang mengetahui seni pengobatan dari salah seorang gurunya, Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Terbunuh saja, mungkin tak begitu ditakuti oleh orang persilatan seperti Ludah Darah. Apalagi Ludah Darah termasuk seorang berjiwa kekar yang tak mudah terguncang oleh ancaman maut. Namun jika dia harus mati dengan darah yang perlahanlahan mengental, tentu saja tak pernah diharapkan.
Sebelum mati, dia akan mengalami siksaan teramat menyakitkan. Siksaan itu pun tak jelas untuk berapa lama. Bisa saja selama setengah hari, satu hari atau lebih dari itu. Sementara dia sendiri tak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan dia tak akan bisa melakukan bunuh diri sekalipun untuk menuntaskan siksaan.
Membayangkan kematian yang mungkin dialami Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, tanpa sadar sudut bibir Satria Gendeng terungkit ngeri.
"Kalian harus cepat ditolong," katanya lagi.
"Ya, aku memang amat berharap begitu," balas Ludah Darah terbata. Dari mulutnya mengalir kembali darah yang makin mengental dengan warna hitam kebiruan.
Satria bertekad menolong mereka. Itu pasti.
Masalahnya sekarang, bagaimana dia harus membawa sekaligus dua orang ke tabib terdekat" Di sisi lain, dia sendiri belum lagi tahu di mana harus mencari tabib tersebut.
Satria kebingungan.
Dicari-carinya orang lain yang mungkin melintas. Tak ada satu batang hidung pun terlihat. Percuma menunggu orang lain.
Bisa-bisa kedua lelaki itu malah mampus lebih dahulu. Lalu bagaimana" Membawa mereka satu-satu pun terlalu sulit. Bisa saja salah seorang dari mereka yang dibawa belakangan akan menemui ajal.
Jalan terbaik ya cuma membopong mereka sekaligus! Ini pekerjaan agak gila, timbang Satria. Dia harus mengangkat dua lelaki yang beratnya mungkin masing-masing tak kurang dari berat tubuhnya sendiri. Lalu dia akan membawa keduanya mencari seorang tabib yang tak jelas di mana akan ditemukan. Memang pekerjaan agak gila, dan Satria tidak peduli. Yang dipedulikannya saat itu hanyalah bagaimana cara menolong mereka. Kalau harus membopong keduanya sekaligus, akan dilakukan! Karena tak ada jalan lain, Satria pun memutuskan untuk segera menempatkan kedua lelaki korban pukulan Kaladewa ke bahunya. Baru saja dia mengangkat tubuh Ludah Darah, didengarnya langkah-langkah seorang mendatangi tempat tersebut Berkembang lagi harapan Satria. Orang yang baru datang mudah-mudahan mau membantunya menolong Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu.
Satria tak jadi menarik napas lega ketika yang disaksikan orang yang baru datang. Sebaliknya, dia malah menampar kening sendiri dibarengi rutukan sebal.
"Sebenarnya aku tak punya selera menolong kalian berdua. Cuma saja aku agak tak tega begitu.
Begini-begini, aku masih punya rasa kemanusiaan, lho," oceh Ki Dagul, orang yang baru saja muncul.
Untuk kedua kalinya tentunya.
Dan tanpa memperhatikan Satria Gendeng, langsung saja dipapahnya tubuh Hantu Wajah Batu, lalu ditempatkan ke bahunya yang sekurus ranting kering. Kendati kurus dan tak meyakinkan bisa mengangkat sekadar kantong nasi kering, nyatanya dia dengan enteng membopong Hantu Wajah Batu.
"Ayo, kau jangan bengong begitu! Kita harus segera membawa mereka ke tabib, biar mereka tak mampus dan lebih merepotkan kita karena harus mengubur keduanya!" sambarnya sambil melangkah ringan. Satria bengong sendiri.
Kok bisa dengan tiba-tiba Ki Dagul melupakan persoalan mereka berdua" Bukankah sebelumnya manusia lapuk itu mengejarngejarnya seperti babi hutan sinting" Lalu sekarang apa yang keliru" Sampai Ki Dagul sudah beranjak beberapa langkah dengan berlari-lari kecil, Satria masih saja terpaku.
"Cepuaaat kau! Kenapa masih saja terdiam di sana!" bentak Pengemis Arak sambil menoleh ke belakang kembali.
Dan dengan tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Matanya mendelik besar-besar. Hidungnya seperti hendak melompat ke atas saking terperanjat menyaksikan wajah Satria Gendeng.
"Kutu buduk, rupanya kau!" perangahnya dengan urat leher tertarik. Rupanya, dia baru menyadari siapa orang yang membopong Ludah Darah.
Memangnya, ke mana saja pikirannya sejak tadi" Satria sendiri meringis. Urusan bakal tambah runyam. Dia cukup kenal orang tua macam apa Ki Dagul. Keras kepalanya tak kepalang tanggung. Kalau maunya begitu, ya harus begitu. Repotnya, kalau dia mulai mengungkit-ungkit kembali soal kematian Jenggot Perak. Padahal, saat itu mereka harus cepat membawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu ke tabib. Namun apes pun kenyataannya menimpa Hantu Wajah Batu terlebih dahulu. Tanpa tedeng aling-aling, Ki Dagul lantas saja melempar lelaki sekarat itu, seolah-olah hanya sekarung singkong! "Sekarang kau tak akan kubiarkan lolos lagi, Kutu Buduk!" geram Ki Dagul sambil melangkah garang ke arah Satria Gendeng.
Wajah perangnya terpasang.
"Tungguuu!" teriak Satria, nyaris kelimpungan saat bangkotan itu mulai punya gelagat hendak menerkamnya.
"Tunggu apa" Apa kau pikir aku harus menunggu sampai kau mengizinkan aku meremukkan batok kepalamu"!"
"Bukan begitu, Orang Tua! Kita harus membawa dua orang ini ke tabib. Mereka dalam keadaan genting!"
"Ah, kau cuma cari alasan!"
"Sungguh!"
"Diam kau!" Ki Dagul mulai bersiap lagi. Wajahnya dipasang garang-garang.
"Begini saja! Kau membantuku membawa mereka berdua ke seorang tabib. Setelah itu, aku bersedia diapakan saja olehmu!" cegah Satria kembali.
Ki Dagul mencibir.
"Kau cuma mau mengibuli aku, bukan?"
"Apa aku harus bersumpah demi nenek moyangku dan nenek moyangmu?"
"Sudah kubilang sejak awal, jangan bawabawa nenek moyangku!"
"Kalau begitu, kau harus percaya aku! Lihatlah keadaan mereka. Mereka benar-benar membutuhkan seorang tabib ahli." Ludah Darah di bahu Satria terbatuk-batuk.
Dari mulutnya termuntah kembali darah kental hitam kebiruan. Sebagian pakaian Satria Gendeng ternodai. Kebetulan Ki Dagul menyaksikan. Tua Bangka itu menjadi ngeri juga. Bibirnya meringis, memperlihatkan sepasang gigi pusakanya.
"Sekarang kau percaya?" tanya Satria.
"Aku percaya mereka memang terluka dalam parah. Tapi apa peduliku" Mereka mau modar, silakan saja! Apa mereka adikku" Bukan! Saudaraku, kerabatku" Bukan! Mereka juga bukan hewan peliharaan sama sekali. Jadi, apa peduliku"!" sewot Ki Dagul, mendelik-delik, mencak-mencak pula.
"Tapi... tapi...," Satria kehabisan kata-kata.
Sehimpun kalimat sambar geledek yang termuntah dari conger manusia bangkotan itu seperti menyumpal mulutnya.
"Sekarang kau bersiaplah!" Satria Gendeng blingsatan.
"Tunggu! Tunggu dulu! Apa tak sebaiknya kau memeriksa keadaan mereka dulu" Bisa jadi mereka terkena pukulan dari salah seorang musuh lamamu!" cerocos Satria, sekenanya. Pokoknya yang terlintas di benaknya, itu yang diucapkan. Yang penting, tua bangka yang sedang 'angot' itu bisa dicegah.
Entah dapat keajaiban dari mana, Ki Dagul mendadak jadi jinak. Kening berkeriputnya terlipat.
"Kau benar juga...," gumamnya, tangannya tak jadi memainkan kembangan jurus.
Satria menarik napas lega.
Fhuih.... Ki Dagul mendekati Hantu Wajah Batu. Daripada Ludah Darah, keadaan lelaki itu jauh lebih mengkhawatirkan. Tepat seperti kata Satria sebelumnya, darah dalam tubuh Hantu Wajah Batu tampaknya terus mengental, hingga alirannya mulai tidak beres. Di dekat Hantu Wajah Batu, Ki Dagul berjongkok. Tangannya memeriksa dada Hantu Wajah Batu beberapa saat. Ada gumaman keluar dari mulutnya. Selang sekian saat kemudian, tua bangka itu terhenyak.
"Gila, gila!"
"Apa yang gila! Siapa yang gila?" sergah Satria, turut terperanjat.
"Aku kenal dengan pukulan ini!" susul Ki Dagul. Dia pun bangkit dengan wajah mengeras. Tam- pak jelas dia baru saja mengetahui sesuatu yang mengusik benaknya dan membuatnya menjadi gusar.
"Jelaskan padaku, Orang Tua?" serbu Satria, terbawa kegusaran Ki Dagul.
Bukannya cepat menjawab, Ki Dagul malah melepaskan pandangan jauh ke depan. Pancar matanya begitu pekat, terisi oleh ingatan masa lalu yang cukup membekas dalam benaknya.
Satria bisa merasakan itu.
--¤¤¦ « DELAPAN » ¦¤¤--
Lelaki itu adalah Kaladewa. Sebenarnya, dia bukanlah tokoh persilatan yang memiliki julukan kesohor. Hanya beberapa kalangan saja yang mengenalnya dengan sebutan Pertapa Karang Wesi. Sesuai julukannya, Kaladewa adalah seorang pertapa yang selama bertahun-tahun mendiami sebuah bukit karang bernama Karang Wesi di sekitar Pantai Utara. Suatu kali, dengan tiba-tiba Kaladewa meninggalkan tempat pertapaannya tersebut. Bertapa selama bertahun-tahun di sebuah lubang karang yang selalu diterjang ombak jika pasang, dan digenangi air laut jika surut, membuat tubuhnya ditumbuhi ganggang dan karang. Hampir sekujur kulitnya menjadi buruk. Hanya bagian kepala saja yang luput. Keadaannya yang terlihat mengerikan itu tidak dipedulikan sama sekali oleh Kaladewa. Dia pergi ju-ga meninggalkan Karang Wesi.
Letak Karang Wesi yang menjorok ke tengah samudera, membuat Kaladewa harus menyeberanginya jika hendak ke daratan. Keadaan itu tidak menyulitkan baginya. Tak percuma telah bertapa selama bertahun-tahun, Kaladewa pun melompatlompat dengan kaki telanjang di atas permukaan laut, seolah meniti ombak! Tujuannya ke daratan adalah untuk mencari tiga tempat yang dianggap keramat sesuai wangsit yang diterimanya pada puncak tapa. Menurut wangsit yang didapatnya pula, dengan bertapa di ketiga tempat itu selama waktu yang ditentukan, maka satu ilmu kanuragan akan sempurna menjadi darah dagingnya. Ilmu kanuragan itu selama ini tak pernah dimiliki oleh siapa pun, pada masa apa pun di dunia persilatan.
Tempat pertama yang harus dituju oleh Kaladewa adalah sebuah daerah yang memiliki celah tebing. Di mana masing-masing tebing harus setinggi lima puluh depa dan arah tebingnya tepat pada lintasan matahari, memanjang dari timur ke barat.
Di sana dia harus bertapa sekitar sepuluh purnama pada sebuah gua di sisi kanan tebing.
Untuk tujuan pertama, Kaladewa harus menghadapi masalah yang tidak enteng. Dia harus menghadapi si pemilik gua, seorang perempuan tua sakti golongan sesat pemakan sumsum. Julukan nenek sakti itu Peri Taring Emas.
Peri Taring Emas sendiri adalah perempuan tua teramat bengis. Wajahnya sulit dibedakan dengan seekor macan hitam. Yang lebih mengerikan lagi, pada mulutnya tumbuh sepasang taring seukuran jari manusia berwarna emas.
Pertarungan amat hebat terjadi antara mereka. Pertarungan habis-habisan yang memakan waktu sehari semalam tanpa henti. Kaladewa yang telah dibekali oleh kesaktian tinggi hasil tapanya selama ini berhasil mengalahkan Peri Taring Emas. Nenek sesat sakti itu menyingkir dari tempatnya entah kemana. Sejak saat itu, Kaladewa pun memulai tapa pertama untuk mendapatkan ilmu baru. Sepuluh purnama terlampaui. Sekeluarnya dari gua, Kaladewa semakin bertambah mandra guna. Selanjutnya dia harus pergi ke tempat kedua. Tempat itu berada di kawasan pesisir selatan. Kaladewa harus mencari sebuah sumur teramat tua berusia ratusan tahun.
Bentuk sumur tua tersebut amat aneh, karena memiliki tiga cabang lubang yang menjorok ke arah timur dan barat, ditambah satu lubang di antara keduanya. Sumur itu disebut orang Sumur Maut Berbisa. Di dalam sumur itu, seorang tokoh gila yang tak kalah sakti dengan Peri Taring Emas tinggal.
Penghuninya adalah seorang teramat tua yang telah menempati sumur selama seratus lima puluh tahun. Tak ada yang mengetahui nama sebenarnya. Hanya kalangan persilatan menjulukinya, Siluman Ular, karena seluruh tubuhnya bersisik dan berlendir. Tepat di tengah-tengah lubang sumur, Siluman Ular selalu tidur dalam posisi berdiri. Sementa-ra pada dua lubang lain yang menjorok ke arah timur dan barat, terdapat ratusan ular berbisa dari segala jenis. Selain harus bertapa selama sepuluh purnama kedua di tempat itu, Kaladewa pun harus memakan seluruh ular berbisa di dalam sumur selama menjalani tapa.
Seperti juga Peri Taring Emas, Kaladewa berhasil mengusir Siluman Ular dari Sumut Maut berbisa. Mulai saat itu pula, dia menjalani masa sepuluh purnama kedua.
Setelah menyelesaikan tapa kedua, kesaktian Kaladewa makin hebat saja. Belum lagi jika dia telah mendapatkan kesaktian barunya. Tinggal tersisa masa tapa sepuluh purnama terakhir untuk Kaladewa. Tapi itu harus dijalaninya di Hutan Pemantingan. Di sana, dia sama sekali tak mendapat halangan siapa pun.
* * *
Pengemis Arak selesai menceritakan perihal Kaladewa yang diketahuinya pada Satria Gendeng.
"Kau pernah berurusan langsung dengannya, Pak Tua?" tanya Satria.
Pengemis Arak mendelik tiba-tiba.
"Kau bercanda"! Aku justru telah mendengar cerita tentang Kaladewa itu ketika umurku masih sekelingking, aku masih bocah waktu itu, masih ingusan sama sekali!" Satria pun tak bisa tidak menjadi terperangah. Kalau Pengemis Arak yang sudah bulukan itu saja telah mendengar Kaladewa ketika masih bocah, berapa umur Kaladewa sendiri"
"Kau tahu," tambah Ki Dagul.
"Pada masa itu, nama Kaladewa menjadi momok amat menakutkan. Bahkan mungkin, gurumu sendiri, si Dongdongka telah mendengar nama mengerikan Kaladewa sewaktu dia masih muda!" Satria makin terperangah-perangah. Dalam dirinya, mencuat pertanyaan yang agak meragukan, mungkinkah dia mampu menghadapi Kaladewa jika suatu saat nanti dia terpaksa berurusan" Sementara, tanpa pernah diketahui dan disadari, Kaladewa sendiri tengah menanti kedatangannya di Hutan Pemantingan....
Satria mendadak tersadar oleh keluhan Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Sungguh, cerita Ki Dagul tentang Kaladewa telah membuat dia melupakan kedua orang itu. Padahal waktu untuk mereka sangat sempit.
"Lalu bagaimana dengan mereka, Orang Tua?" susulnya pada Ki Dagul.
Pengemis Arak menggeleng perlahan. Wajahnya kehilangan harapan sama sekali.
"Lupakan mereka," katanya lamban.
"Apa"!" sentak Satria, tak percaya.
Ki Dagul menatap mata Satria tepat ke manik-maniknya. Lalu katanya dengan nada yang demikian pekat.
"Kalau kau menyangka bisa menolong mereka, kau keliru sama sekali, Cah Buduk. Dua orang sial ini tak bisa lagi ditolong. Mereka terkena pukulan Kaladewa yang paling mematikan. Selama ini, tak ada yang bisa mengobatinya. Bahkan tidak juga tabib sakti sejenis gurumu, Tabib Sakti Pulau Dedemit!"
"Jadi, kita hanya akan melihat mereka mati secara perlahan...," gumam Satria, tak sadar.
"Tidak," tandas Pengemis Arak.
Satria mengangkat pandangannya ke arah Pengemis Arak. Dia belum menangkap sama sekali maksud perkataan terakhir tadi. Sebelum otaknya sendiri mencoba mencari tahu, segesit gerakan siluman tua, Pengemis Arak merebut Kail Naga Samudera dari ikat pinggang Satria Gendeng.
Srat! "Pak Tua, apa-apaan kau ini"!" Teriakan tak mengerti Satria Gendeng hanya disambut oleh bunyi menggelegar memangkas udara ketika tangan Ki Dagul menyabetkan Kail Naga Samudera ke arah Ludah Darah.
Cletar! Dalam sekejapan mata, leher Ludah Darah terpenggal seketika. Kepalanya terpisah! Satria Gendeng melotot! Mulutnya ternganga.
"Kau sudah gila, Orang Tua"!" serunya nyaris memekik.
Pengemis Arak seperti tak peduli. Dia seolah tahu apa yang sedang dilakukannya, kendati di mata pendekar muda di dekatnya tindakan itu benarbenar sinting dan tak bisa diterima akal sehat.
Cletar! Lecutan kedua terdengar. Kail Naga Samudera membelah udara kembali. Sasarannya kali ini adalah leher Hantu Wajah Batu. Satria Gendeng berusaha mencegah, namun dia terlambat. Jika saja tak sempat terperangah, tentunya dia bisa lebih cepat dari gerakan tangan Ki Dagul.
Dan kepala Hantu Wajah Batu pun menggelinding.... Tak lama setelah itu, Satria menjadi berang bukan main pada Pengemis Arak. Matanya meradang. Rahangnya mengejang.
Di kepalanya, hanya menggelegak pikiran untuk menghajar Pengemis Arak.
"Tak perlu kau lakukan itu, Cah Buduk!" ma-ki Ki Dagul, mencegah Satria.
"Berpikirlah sedikit! Kalau kau menjadi mereka, tentu kau pun akan berterima kasih dengan tindakanku. Mereka akan lebih sudi mati seperti itu, ketimbang mati perlahan-lahan dengan cara amat menyiksa!" Panas di diri Satria perlahan surut. Alasan yang dikemukakan Pengemis Arak jelas bisa diterima. Satria pun baru menyadari hal itu kemudian
* * *
Seperti telah diceritakan Ki Dagul pada Satria Gendeng, Kaladewa atau Pertapa Karang Wesi adalah seorang sesepuh kalangan sesat dunia persilatan. Namanya belakangan ini tak banyak terdengar.
Itu sebabnya dia tak begitu dikenal oleh pendekar maupun orang persilatan sebaya Satria Gendeng.
Beberapa kalangan tua, seperti Ki Dagul atau Dongdongka sudah cukup mengenal nama Kaladewa. Lebih dari itu, julukannya bahkan pernah menjadi momok menggetarkan nyali dalam diri masingmasing. Jika sesepuh sesat yang lama menghilang bagai terperam bumi itu muncul kembali, tentu dari kalangan tua pula yang banyak dikejutkan. Terhitung Pengemis Arak sendiri.
Bagi Ki Dagul, menjadi tanda tanya besar alasan Pertapa Karang Wesi menciptakan bibit kegemparan dengan muncul kembali dan menelan tumbal nyawa Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu. Apakah ada niat untuk menambah kesaktian kembali" Atau dia ingin menaklukkan dunia persilatan di bawah telapak kakinya dengan seluruh kesaktian yang telah didapatnya selama ini" Di dunia ini, kenapa begitu banyak manusia yang tak pernah puas mengumbar nafsu liarnya" Dugaan kuat tentang munculnya kembali Pertapa Karang Wesi telah menguras seluruh perhatian Pengemis Arak. Tua bangka itu jadi tak terlalu pedu-li dengan persoalan lain.
Bahkan dia nyaris tidak la-gi memusingkan urusannya dengan Satria. Dari sana, bisa terlihat bagaimana sungguh-sungguhnya Ki Dagul menanggapi persoalan terakhir. Pada kenyataannya, dia memang sejenis orang yang paling sulit untuk peduli pada urusan orang lain. Kalaupun dia mengamuki Satria Gendeng karena menyangka telah membunuh seorang sahabatnya, itu adalah peristiwa langka yang terjadi pada dirinya. Lalu, jika persoalan kematian seorang sahabatnya menjadi terlupakan karena kemunculan kembali Pertapa Karang Wesi, tentu Ki Dagul menganggapnya sebagai satu perkara genting.
Selesai menguburkan jenazah Ludah Darah dan Hantu Wajah Batu, Satria dan Ki Dagul terpaku diam di bawah naungan sebatang pohon rindang.
"Kenapa kita jadi terdiam seperti ini, Orang Tua?" usik Satria.
"Bukankah waktu akan terus menggilas selama kita berdiam diri" Itu artinya kita sengaja membodohi diri...."
"Tutup bacotmu! Tahu apa kau dengan urusan ini?" semprot Pengemis Arak.
"Lantas bagaimana dengan persoalan kita?"
"Persoalan kita yang mana?" Satria menghembuskan napas. Bodohnya dia, makinya pada diri sendiri. Bukankah sebelumnya dia setengah modar terbirit-birit menghindari manusia buluk peminum satu ini. Sekarang entah kenapa malah dia mengungkit-ungkitnya.
"Bukankah kau sebelumnya mengejarngejarku karena mengira aku telah membunuh Jenggot Perak?"
"Aku menuduhmu seperti itu?" tanya Ki Dagul lagi, pilon. Lalu cepat dia teringat kembali.
"O, ya! Kalau begitu, bagaimana dengan urusan kita, hah?"
"Itulah yang aku hendak tanyakan."
"Ayo, bertanyalah!"
"Apakah kau tak merasa curiga bahwa lelaki berbaju merah yang bertemu denganmu di tempat Jenggot Perak, lalu pembunuhan Jenggot Perak sendiri, serta kematian dua orang yang baru kita kubur satu sama lain saling berhubungan?"
"Hop hop... pertanyaanmu terlalu panjang untuk otak manusia buluk macam aku!"
"Maksudku, apa mungkin semua itu berhubungan satu dengan yang lain?"
"Menurutmu sendiri?" Ki Dagul malah balik bertanya.
"Itulah yang ingin kugali, Orang Tua...."
"'Itulah yang membuat aku kesal! Kau bertanya seolah tahu dengan pasti, padahal aku sendiri tidak tahu menahu!"
"Aku bukannya tahu dengan pasti, Orang Tua. Aku hanya menduga."
"Kenapa kau bisa menduga begitu?"
"Sebelumnya aku sempat bertanya sedikit banyak pada lelaki naas di salah satu kuburan itu," lanjut Satria sambil melirik makam Ludah Darah.
"Apa katanya?" Satria mengingat-ingat.
"Apa katanya"!" desak Ki Dagul, tak sabar.
"Tak begitu jelas. Tapi aku mendengar dia menyebut-nyebut tentang lelaki berpakaian merah di tengah Hutan Pemantingan...."
"Apa dikatakan juga lelaki kunyuk berpakaian itu membawa kipas lipat?"
"Kira-kira begitu...."
"Jangan kira-kira!"
"Iya, dia mengatakan begitu!"
"Apa lelaki itu bergaya seperti perawan" Apa rambutnya panjang" Apa pakaiannya begitu necis" Apa...."
"Hoi hoi! Bagaimana seorang yang sekarat bi-sa menjelaskan sejelas itu"!"
"Kalau begitu, memang benar dia orangnya!" tebas Ki Dagul, peduli setan dengan ucapan Satria terakhir.
"Lantas apa lagi keterangan yang kau dapat" Apa Kaladewa disinggungsinggung?" serbu Ki Dagul kembali.
Satria berjalan mondar-mandir. Mata kelabu sayu milik Ki Dagul mengikuti. Kepalanya pun turut menggeleng ke sana kemari.
"Cepat! Ayo cepat!" sewot orang tua berotak soak itu.
"Ya, aku ingat. Lelaki malang itu pun mengatakan tentang seorang tinggi besar. Seperti Bima kalau tak salah, kendati itu diucapkannya dengan amat samar...."
"Itu dia!" Satria tersentak oleh teriakan mendadak Ki Dagul. Belum lagi tangannya menuding ke depan batang hidung Satria Gendeng seperti berniat menjotosnya.
"Maksudmu, itukah orang yang kau maksud" Kaladewa?"
"Iya! Pertapa Karang Wesi! Cilaka tiga belas...."
--¤¤¦ « SEMBILAN » ¦¤¤--
Ditingkahi suara lolongan anjing hutan, sosok bayangan tadi terus bergerak menuju satu arah, lebih masuk ke pusat hutan keramat itu.
Bulan tanggung di atas sana menyiramkan sinarnya di pucuk-pucuk pepohonan. Lebatnya Hutan Pemantingan tak memberi banyak kesempatan bagi sinar rembulan untuk menyelinap ke bawah.
Namun keadaan itu tidak membuat sosok tadi mengalami kesulitan berarti. Dia menembus Hutan Pemantingan seolah dengan mata terpejam.
Cara bergeraknya pun teramat lincah dan gesit seakan memperdayai malam, mempecundangi kegelapan Dilihat dari bentuk bayangannya, orang itu tidak memiliki tubuh yang besar dan tegap. Malah bisa disebut agak kekurusan. Mengenakan pakaian yang rapat di bagian atas, dan melebar di bagian bawah. Kepalanya mengenakan penutup.
Suatu saat, sosok bayangan itu berhenti sejenak. Saat lain, tubuhnya melenting ringan ke atas dahan pohon setinggi belasan tombak. Di atas sana, dia seperti memperhatikan sesuatu ke bawah, tepatnya sedang mengawasi keadaan sekitar. Tampak jelas dia tengah mencari-cari.
Ketika sesuatu atau seseorang yang dicarinya ditemukan, dia pun menukik turun, lalu melanjutkan pencarian ke arah yang dituju sebelumnya.
Sampai akhirnya dia tiba di pusat hutan yang ditujunya. Dia menghentikan langkah kembali. Untuk beberapa saat, sosok tadi hanya berdiri seakan mengendusi jejak-jejak pada udara yang dihirupnya.
Kepalanya mengangguk lamat kemudian.
Sepasang tangannya mengepal liat-liat.
Gemeretak tulang menyelinap.
Di antara sehimpun bebunyian malam, dia menggeram. Kental nada mengancam.
"Saatnya akan tiba di mana kau akan melunasi hutangmu padaku...." Dan ketika dia melangkah mendekati bagian kegelapan yang disirami sinar rembulan, wajah orang itu pun tampak. Dia adalah lelaki tua yang beberapa waktu lalu bertemu dengan Satria Gendeng. Lelaki tua yang mengaku sebagai kuncen penunggu hutan keramat.
Masih di bawah cahaya remang, wajahnya mengeras. Tubuh membatu. Ditatapnya rerimbunan pekat di atas. Matanya berbinar-binar memancarkan api dendam. Di pekatnya pemandangan di atas, dia seperti menemukan gambaran wajah seseorang yang demikian dibencinya.
Penggambaran paras pada wajahnya sungguh bertolak belakang dengan beberapa waktu lalu manakala Satria Gendeng menemuinya. Tampaknya, pendekar muda Tanah Jawa telah terlalu tergesagesa mempercayai mentah-mentah segala ucapannya.
* * *
Kembali pada Satria Gendeng dan Ki Dagul.
Pasangan berbeda usia itu kali ini terlihat sedang berjalan beriringan menuju Hutan Pemantingan. Setelah adu mulut dan tarik urat, keduanya akhirnya sepakat untuk mencari tahu lebih dahulu ke Hutan Pemantingan. Urusan mereka sendiri bisa dibereskan belakangan. Itu pun setelah berhasil membujuk Ki Dagul dengan susah payah.
Menurut Satria, hal terpenting bagi mereka saat itu adalah mencari tahu ada apa sebenarnya di balik semua kejadian dan kegemparan belakangan yang terjadi di dunia persilatan. Mereka harus mengetahui dengan jelas apa hubungan antara kematian Jenggot Perak, lelaki berpakaian merah, dan ributribut mengenai benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal yang tak kunjung mereda. Untuk itu, mereka harus mendatangi Hutan Pemantingan dan menemukan keterangan di sana. Satria berharap, Kaladewa bisa menjadi kunci pemecahannya. Kendati begitu, dia sama sekali tak berharap, berurusan dengan manusia sesat yang mungkin sudah menjadi manusia setengah siluman itu. Bukannya dia pengecut. Hanya saja, dia merasa tak ada gunanya sama sekali berurusan dengan seseorang tanpa alasan jelas. Apalagi jika itu menyangkut nyawa.
Belum lagi mereka tiba di tepi Hutan Pemantingan, dua kelebat bayangan melesat dari arah samping. Di depan Satria Gendeng dan Pengemis Arak, tahu-tahu saja telah berdiri dua orang tua bangka berpenampilan memuakkan.
"Kita bertemu lagi, Cah Ganteng," seru salah seorang di antaranya.
Mereka adalah dua tokoh sesat sakti yang masih saja ngotot mengejar-ngejar Satria Gendeng, Rase Betina, dan Kepala Baja dari Utara.
"O, jangan lagi...," keluh Satria.
Lain lagi Pengemis Arak. Menyaksikan wajah kedua penghadangnya, manusia butut itu jadi cemberut.
"Mau apa kedua tikus ini menghadang kita"!" gerutunya.
"Kau kenal mereka, Orang tua?" tanya Satria.
Ki Dagul mencibir, sampai bibir bawahnya tergantung-gantung.
"Sudah lama aku mengenal mereka. Dan asal kau tahu saja, kedua tikus ini adalah orang-orang yang paling bikin aku mulas dengan tingkah mereka...."
"Apa kabar, Pengemis Arak?" sapa Rase Betina berbasa-basi di ujung ucapan Ki Dagul.
"Selama ini aku baik-baik saja. Namun ketika melihat kalian, mendadak saja aku menjadi tak sehat," ketus Ki Dagul.
Rase Betina tertawa.
"Tawamu pun membuat aku mual. Rase Betina," sambar Ki Dagul kembali.
"Sudah cukup basa-basi ini!" jegal Kepala Ba-ja dari Utara. Lelaki tua berwatak panas itu rupanya tak begitu suka dengan acara buang-buang waktu antara Rase Betina dan Pengemis Arak.
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak cepat menyingkir saja dari hadapanku. Kalian tahu bukan, jika aku -si Pengemis Arak mulai naik darah- maka kalian akan merasakan bagaimana tak enaknya bila kepala pindah ke dengkul...."
"Kau terlalu besar mulut, Pengemis Arak!" sambar Kepala Baja dari Utara, berang.
"Serahkan pemuda itu pada kami, cepat!" sambungnya. Ki Dagul melirik Satria Gendeng.
"Apa urusanmu dengan dua tikus ini, Gendeng"!" tanyanya.
"Mereka memaksaku menyerahkan benda pusaka milik Pertapa Cemara Tunggal."
"Kalau begitu serahkan saja! Suruh mereka menelannya!" Satria merengut.
"Bagaimana aku bisa menyerahkannya kalau benda itu saja tidak pernah ada padaku?"
"Tidak ada?"
"Astaga, apa kau lupa kejadian yang menimpa sahabatmu, Jenggot Perak?"
"Jenggot Perak" Bukankah dia sudah mati?" Astaga.... Satria mengurut dada. Otak manusia buluk satu ini rupanya sedang jalan-jalan ke pantat.
"Maksudku, bukankah aku dituduh telah merebut benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal dan membunuh Jenggot Perak."
"Ya, dan urusan kita belum selesai. Kau masih punya hutang nyawa padaku karena membunuh Jenggot Perak!"
"Tunggu dulu! Kau telah kuberi tahu sebelumnya bahwa semua itu cuma fitnah. Aku tak pernah membunuh Jenggot Perak dan aku pun tak pernah memiliki benda pusaka Pertapa Cemara Tunggal!"
"O, jadi maksudmu kau mau mengatakan bahwa benda pusaka itu sebenarnya tak pernah ada padamu" Ah, kenapa kau jadi berbelit-belit begitu.
Kau pikir otakku sudah begitu kopong?"
"Hei, kenapa kalian tidak tutup mulut saja dan segera menyerahkan benda pusaka itu!" penggal Kepala Baja dari Utara, tak sabaran. Dan lagi-lagi Pengemis Arak melirik Satria sambil menukas.
"Sudah, serahkan saja apa yang mereka minta. Biar urusan memuakkan dengan mereka segera selesai!" Satria menarik napas. Dia jadi pegal hati sendiri dengan ketumpulan otak Ki Dagul. Percuma saja dia berbicara panjang lebar padanya untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
"Jadi kau tak mau menyerahkannya?" susul Ki Dagul, tak memberi kesempatan pada Satria Gendeng untuk sedikit bernapas lega.
"Itu artinya kita akan menghadapi mereka, bukan" Bagus kalau begitu. Aku juga sebenarnya ingin sekali memindahkan kepala mereka ke dengkul sejak dulu. Bagaimana menurutmu?" Satria mengangkat bahu.
Pengemis Arak berjingkat girang.
"Kita hajar mereka!" Dengan badan membungkuk seperti seorang jawara hendak menumpas habis begal kampung, Pengemis Arak maju beberapa langkah ke depan.
Wajahnya menantang dua penghadang di depan.
"Tunggu!" Seruan membahana terdengar dari satu arah.
Dari arah yang sama, seseorang melesat di udara dan hinggap tak jauh dari tempat Satria Gendeng.
Satria mengenali orang itu.
"Ki Kuncen...." Tanpa mempedulikan Pengemis Arak yang mencak-mencak karena kaget, lelaki pendatang yang tak lain orang tua yang mengaku sebagai kuncen penunggu Hutan Pemantingan Keramat langsung berseru pada Satria Gendeng.
"Cepatlah kau pergi ke tengah Hutan Pemantingan di dekat pohon jati raksasa paling besar! Biar mereka aku hadapi!" Sesaat Satria hanya bisa terdiam. Dia tak habis mengerti dengan maksud Ki Kuncen. Namun apa salahnya menerima uluran tangan seseorang, pikirnya. Bukankah dia sebenarnya memang tak berselera berurusan dengan Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara" Satria pun menyingkir.
"Hei, aku ikut!" Di belakangnya, Pengemis Arak mengekori sambil berteriak-teriak tak karuan. Hilang entah ke mana nafsunya untuk memindahkan kepala dua penghadang mereka ke dengkul.
Sepeninggalan Satria dan Ki Dagul. Ki Kuncen berdiri mengamati gerak-gerik dua orang di depannya. Dia tak ingin Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara berniat mengejar.
Tentu saja tindakannya membuat berang pasangan tua bangka itu.
"Kau sudah mencari penyakit telah menghadang kami seperti ini," ancam Kepala Baja dari Utara. Marah besar dia. Itu terlihat jelas dari pancar bo-la matanya. Sudah berhari-hari lamanya dia dan Rase Betina mengejar-ngejar Satria Gendeng. Beberapa kali mereka sempat memergoki, namun lepas kembali. Kini ketika kesempatan itu mereka miliki lagi, malah ada seorang yang telah lancang turut campur. Bagi Rase Betina atau Kepala Baja dari Utara sendiri, lelaki tua berblangkon dan berpakaian Jawa itu sama sekali tak mereka kenal. Sepanjang hidup mereka yang panjang dan sudah bergelimang darah di dunia persilatan, tak pernah sekalipun keduanya berurusan dengan orang itu. Itu sebabnya, mereka menganggap remeh Ki Kuncen dan menganggapnya hanya tengah mencari mampus. Menurut mereka, siapa yang tak kenal dengan julukan besar Rase Betina atau Kepala Baja Dari Utara" Bahkan Pengemis Arak saja pun patut memperhitungkan kedigdayaan mereka berdua. Begitu pikir keduanya, menyombong. Begitu pulakah kenyataan sebenarnya"
"Menyingkir dari jalan kami!" hardik Rase Betina dengan suara nyaring melengking. Bersamaan dengan itu, tangannya dikebutkan cepat, memperdengarkan deru santer yang terdengar keras hingga di tempat Ki Kuncen sendiri.
Wrrr! Serangkum angin pukulan teramat kuat pun memburu ke arah Ki Kuncen. Kekuatannya menyebabkan debu dan pasir berpusing membentuk pusaran besar memanjang ke arah sasaran. Rantingranting pohon pun terpatah dan ikut dalam pusingan pusarannya.
Ki Kuncen hanya tersenyum samar. Tak bergemik dia dengan tangan bersedekap di dada.
Dan ketika angin pukulan berkekuatan puting beliung itu benar-benar menimpa sekujur tubuhnya, Ki Kuncen pun masih tetap diam. Sikapnya itu benar-benar hendak memperlihatkan tantangan terhadap kesaktian Rase Betina yang sudah demikian kesohor di dunia persilatan.
Saat itu, tak tampak Ki Kuncen menjadi surut kendati hanya setengah telapak kaki. Padahal kekuatan angin pukulan Rase Betina dapat merobohkan sebatang pohon beringin raksasa dalam sekejap mata! Lebih memukau lagi, seluruh pakaian Ki Kuncen pun tidak bergemik sedikit jua. Kain batik yang menyelimuti bagian pinggang hingga ke batas lutut sama sekali tak memperlihatkan geletaran. Sementara sebelumnya, hembusan angin malam saja sudah cukup untuk membuatnya melambai.
Sebentuk unjuk kekuatan tingkat tinggi! Seolah di sekujur badan Ki Kuncen ada benteng teramat kokoh kasat mata.
Kenyataan itu memaksa pemilik angin pukulan membelalak. Belum pernah ada seorang pun yang sanggup menghadapi angin pukulan puting beliungnya dengan cara begitu rupa.
Kepala Baja Dari Utara pun tak luput dari keterkejutan. Pikiran angkuhnya buyar seketika. Tak bisa lagi dianggapnya si pengacau sebagai keong siput yang mencari mampus karena telah mencampuri urusan mereka. Tidak lagi. Sekarang, justru mereka harus berpikir beberapa kali untuk bisa memenangkan pertarungan dengannya.
"Kalian memainkan permainan anak-anak padaku," ejek Ki Kuncen dengan senyum tak padam.
"Keparat! Dia akan menjadi penghalang besar untuk kita. Kita bisa kehilangan pemuda itu...," desis Rase Betina.
"Tapi aku belum mampus. Tak akan kuberdiam diri hanya karena pukulan jarak jauhku dimentahkan," kata Rase Betina lagi, berkeras hati.
"Kau terima ini!" Berkawal pekikan lantang. Rase Betina menepukkan telapak tangan kuat-kuat dl atas kepala.
Suara yang dihasilkan mengguntur, meruntuhkan dedaunan. Dari sela-sela telapak tangannya menyemburat pijaran api kebiruan.
Rase Betina tengah menyiapkan pukulan 'Halilintar biru'. Satu ajian sesat yang berbau maut.
Di dunia persilatan hampir segenap kalangan mengetahuinya. Dan hanya pada kala-kala tertentu saja Rase Betina akan mengerahkannya. Mengeluarkan ajian andalan berarti wanita tua sakti ini memang tak ingin main-main lagi dengan lawan.
Untuk satu ancaman ini, lagi-lagi Ki Kuncen hanya menanggapi dengan senyum samar.
"'Halilintar Biru'...," gumamnya menilai. Dengan amat mudah dia menduga. Jika kalangan persilatan lain justru akan mengejang tegang mengetahui dirinya akan menghadapi ajian itu, Ki Kuncen malah memperlihatkan wajah meremehkan.
"Pertimbangkan dulu jika hendak melepaskan ajianmu itu padaku!" serunya pada Rase Betina.
"Peduli setan!" Di ujung jawaban. Rase Betina benar-benar melepaskan 'Halilintar Biru'-nya. Kedua tangannya menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar-lebar. Dari telapak tangannya yang sudah sejak awal membersitkan cahaya kebiruan, melesat seberkas cahaya biru berbentuk gerigi memanjang.
Laksana kilat menyambar.
'Halilintar Biru' terumbar.
Menanduk liar. Dalam hitungan kedipan mata saja, ujung cahaya biru menyilaukan dari telapak tangan Rase Betina sudah memangsa sepasang dada Ki Kuncen.
Zasss! Lalu terpecah letusan teramat menggemuruh.
Pada kejap yang sama, tubuh Ki Kuncen terhempas cepat laksana sebatang kayu kering sejauh puluhan tombak ke belakang. Sekujur badannya dari kepala hingga ujung kaki menjadi berbinar kebiruan. Empat batang pohon seukuran pelukan tangan bertumbangan dan terbakar terhajar hempasan tubuh Ki Kuncen yang terus menyala-nyala.
Riuh menjangkit.
Menggebah nyali penghuni rimba.
Menyaksikan keadaan korbannya, Rase Betina tertawa terkikik-kikik tiada putus. Dia merasa kemenangan telah ada dalam genggaman. Dia telah demikian yakin lawannya akan menjadi sebongkah daging gosong ketika hempasan tubuhnya terhenti.
Sayang itu keliru sama sekali.
Sebab, sejak awal hempasan tubuh Ki Kuncen, telah terjadi satu keanehan yang luput oleh pengamatan Rase Betina. Lelaki tua berblangkon itu memang terhempas, tapi tubuhnya tetap pada posisi semula! Lelaki berpakaian Jawa itu memang terkepung cahaya biru, tapi tak ada secuil pun bagian tubuhnya yang terbakar seperti nasib empat batang pohon yang terhantam hempasan dirinya! Rase Betina dan pasangannya baru menyadari kemudian setelah hempasan Ki Kuncen terhenti.
Lelaki tua itu kini berdiri di atas kedua kakinya tanpa kurang apa-apa.... Hanya saja, dari sekujur permukaan kulitnya mengepul asap keputihan tipis.
"Kau tidak bisa berharap banyak dengan ajianmu itu," kata Ki Kuncen tenang.
Rase Betina tercengang-cengang. Begitu pun Kepala Baja Dari Utara. Jelaslah sudah bagi mereka berdua kini, lawan tidak bisa mereka tandingi. Bahkan meski nanti menggabungkan kesaktian bersama-sama. Tiba-tiba, terbersit ketakutan dalam diri masing-masing. Pikiran pecundang pun menjangkit di benak mereka. Mereka harus menyingkir! Lari menyelamatkan diri.
Sebelum keduanya sempat melaksanakan niat itu, mendadak saja senyum samar di bibir Ki Kuncen berubah kesan. Terkandung kekejian yang semula tak pernah nyata.
"Bersiaplah untuk mampus...," desisnya dengan sinar mata berapi.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara saling pandang. Mereka sama-sama menyadari sekaligus merasakan bahaya maut siap mendatangi mereka.
Pikiran sebelumnya untuk menyingkir dari hadapan lawan tak begitu bisa diharapkan ketika lawan sendiri bersiap untuk melepas serangan balasan.
Hanya ada satu pilihan untuk mereka.
"Aku bukan seorang pengecut," desis Kepala Baja dari Utara seraya membuka jurusnya. Dikatakan kalimat itu sekadar untuk membakar keberanian yang nyaris mengkerut.
"Kita gabung kekuatan. Rase Betina!" serunya pada pasangannya.
Rase Betina pun menanggapi seruan pasangannya dengan turut membuka jurus baru. Sekali ini, dia harus memompa seluruh kesaktian pamungkasnya. Kepala Baja dari Utara melakukan hal yang sama.
"Heaaa!"
"Hiph!" Dua teriakan santer dari dua kerongkongan berbeda menyatu ditingkahi dengus angin gerakan keduanya. Setiap gerakan, selalu dibayangai suara menggidikkan. Di lain pihak, Ki Kuncen pun membuka jurusnya. Satu kakinya terangkat perlahan, tertekuk lalu tertahan di depan dada. Sepasang tangannya terjulur ke depan. Jemarinya membentuk patuk ular. Manakala kedua tangannya beringsut dalam gerak berirama, terlintaslah desis seperti keluar dari moncong seribu ekor ular.
Menyaksikan gerak lawan, Kepala Baja dari Utara menghentikan kembangan jurusnya. Ada yang melintas di kepalanya begitu saja. Sesuatu diingatnya. Dan itu adalah ingatan yang sebenarnya telah lama terpendam.
"Astaga, kau lihat gerakannya Rase Betina!" bisiknya dengan wajah tak luput dari keterpanaan.
"Ya, mengingatkan aku pada seorang tokoh yang menakutkan ketika kita masih ingusan, bukan?" balas Rase Betina. Tanpa disadari, dia pun turut menghentikan gerak kembangan jurusnya.
"Gerakan itu mirip sekali dengan gerakan Pertapa Siluman Ular"!"
"Bagaimana mungkin dia masih hidup" Semestinya dia sudah berusia terlalu tua untuk penampilannya sekarang...," timpal Rase Betina.
Bisik-bisik pasangan itu entah bagaimana tertangkap telinga Ki Kuncen, kendati jarak antara mereka terbilang jauh. Dan lagi, tersamarkan pula oleh suara mendesis tinggi dari setiap gerakan tangannya.
"Kalian terkejut?" tukas KI Kuncen. Lalu sambungnya, "Ya, akulah Siluman Ular dari Sumur Maut Berbisa!"
"Omong kosong! Sepanjang pengetahuanku, Siluman Ular tidak seperti dirimu!" sambar Rase Betina, antara keterkejutan mendengar pengakuan Ki Kuncen dengan ketidakpercayaan.
Mata Ki Kuncen saat itu terlihat seperti merah menyala. Meninju nyali kedua lawan.
"Peduli setan apakah kalian percaya atau tidak, yang jelas hari ini kalian akan mengalami nasib buruk...." Belum lagi selesai perkataannya, tubuh Ki Kuncen yang kini mengaku sebagai Siluman Ular, tokoh pertapa sakti golongan hitam, secepat kelebatan malaikat maut meluruk ke arah Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara.
Kedua tangannya mematuk ke depan. Mencecar. Bagai ada ribuan siluman ular di sepasang tangannya yang membentuk ribuan bayangan. Di selasela bayangan, mengepul asap kehijauan tipis. Mengembang seperti gelombang.
Sekejapan mata. Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara harus siap menyambut datangnya serangan. Sebagai dua tokoh kawakan, mereka biasa menghadapi serangan secepat apa pun. Ibaratnya, bayangan pun dapat mereka elakkan. Namun belum pernah mereka menyaksikan bagaimana cepatnya lawan mereka kali ini. Tubuhnya seolah-olah telah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Lalu tiba-tiba saja sudah di depan mata.
Kendati sudah berusaha menghindar, tetap saja kecepatan patokan tangan lawan sanggup mengejar. Deb! Tangan lelaki tua itu bahkan sanggup tetap mengancam meski Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara merenggangkan jarak untuk memecahkan perhatian lawan.
Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara makin terkesiap. Keduanya lebih terkesiap lagi manakala jarak antara keduanya sudah merenggang cukup jauh, tubuh lawan perlahan-lahan terbagi dua dalam bayangan setiap geraknya. Sampai akhirnya Rase Betina dan Kepala Baja dari Utara benar-benar menghadapi dua lawan! Ketika itulah mereka mulai menyadari kesalahan. Keliru jika mereka menganggap pengakuan lawan sebelumnya cuma omong kosong. Sebab dari kabar burung yang pernah mereka dengar, salah satu kesaktian Siluman Ular adalah kemampuannya menciptakan wujud kembar! "Dia benar-benar Siluman Ular, Nyai!" teriak Kepala Baja dari Utara di antara kepungan patukan tangan lawan yang berusaha dimentahkan dengan susah payah.
"Lari! Kita tak akan sanggup menghadapinya!" seru Rase Betina seraya mengempos tubuh jauhjauh ke belakang. Pada jarak yang cukup jauh, dia pun berbalik dan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
Kepala Baja dari Utara menyusul kemudian.
--¤¤¦ « SEPULUH » ¦¤¤--
"Sial, di mana pohon jati raksasa itu," gerutu Ki Dagul. Sudah kegelapan begitu pekat, matanya pun sudah terlalu rabun. Bagaimana dia tak jadi mangkel.
"Aku pun sedang mencarinya, Orang Tua...
sedang mencarinya," ucap Satria dari atas batang sebuah pohon tua yang menjulang di dekat Pengemis Arak. Dengan melepaskan pandangan, matanya mencari-cari ke segenap penjuru.
"Bagaimana, sudah kau temukan?" tanya Ki Dagul.
"Belum. Sabarlah!"
"Ah, kalau aku semuda kau, tentu aku sudah menemukannya sejak tadi. Dasar kau saja...."
"Itu dia!" seru Satria kemudian.
Pengemis Arak mendongak.
"Bagus! Seberapa jauh lagi dari tempat ini"!" susulnya "Kira-kira tiga ratus langkah!"
"Tak begitu jauh. Kalau begitu cepatlah kau turun! Aku sudah tak betah di tempat ini." Satria melompat turun, tepat di sisi Pengemis Arak. Tanpa dikomandoi lagi, keduanya segera melangkah kea rah pohon jati raksasa tadi.
"Apa kau melihat ada keanehan di sana?" tanya Ki Dagul.
Satria menggelengkan kepala.
"Entahlah. Keadaan terlalu gelap," jawabnya.
Keduanya terus melangkah. Sampai berjarak lima puluh langkah lagi dari pohon jati raksasa, ti-ba-tiba Satria menghentikan ayunan kakinya. Matanya mengawasi tajam. Wajahnya terlihat membatu.
"Ada apa lagi" Kenapa kau berhenti sebelum kita tiba di sana?" Ki Dagul pun jadi sewot.
"Apa kau tak mendengar sesuatu, Orang Tua?" bisik Satria, teramat halus. Seakan dia tak ingin ada satu pasang telinga pun mendengar ucapannya. Pengemis Arak terdiam sambil memasang pendengaran tajam-tajam.
"Suara apa lagi" Aku tak mendengar apa-apa.
Yang kudengar cuma jangkrik melulu," gerutu orang tua pemabuk itu dengan wajah sebal. Satria sendiri tetap yakin dia telah mendengar sesuatu. Jelasnya bukan suara jangkrik seperti kata Ki Dagul. Bukan pula suara desah angin malam.
Suara yang didengarnya sama sekali bukan dari suara-suara wajar dalam hutan.
Telinganya menangkap bunyi halus menyerupai desisan. Bukan dari seekor ular. Ini lebih halus dan melintas cepat di belakang mereka berdua seakan ada sesuatu berkelebat.
"Ah, barangkali cuma telingamu saja yang mulai tak beres!" sangkal Ki Dagul. Bibirnya mencibir. Dilanjutkan dengan menenggak tuak.
"Sudah cepat kita jalan lagi. Aku penasaran sekali sebenarnya ada apa di dekat pohon jati raksa-sa itu. Apa di sana ada hajatan dedemit atau apa.
Pokoknya cepat!" oceh Ki Dagul lagi setelah didahului sendawa berkepanjangan.
"Ssst!" sergah Satria. Orang tua keropos ini memang brengsek, makinya dalam hati. Padahal dia sendiri masih berusaha mewaspadai keadaan yang dianggapnya cukup mencurigakan.
Kecurigaan itu terbukti pula akhirnya hanya berjarak tiga empat tarikan napas kemudian. Sebentuk suara lain mencelat seketika dari arah pohon jati raksasa. Mengguntur.
Sekuat salakan belasan petir yang menyatu! Ki Dagul dibuat hampir melompat karenanya.
"Kunyuk, suara apa itu"!" semprotnya cepat dengan mata membelalak-belalak.
Satria Gendeng sendiri bukannya tak terperanjat. Namun dia memang lebih siap menghadapi setiap kemungkinan dibanding Ki Dagul. Dia hanya mempersiapkan kesiagaan dan kewaspadaan. Dilepasnya pandangan menghunus ke arah sumber suara. Kala berikutnya, bukan lagi suara yang muncul melainkan seberkas cahaya bercampur asap, debu, dan pasir memenuhi udara. Berkas cahaya itu melebar, berwarna kuning menyilaukan. Terangnya bahkan mencapai pertengahan batang jati raksasa.
Dua kali dengan kali itu Ki Dagul dibuat hampir melompat kaget.
"Apa lagi itu"!" semburnya.
Kejutan berikutnya berupa tawa hingarbingar yang melantakkan suasana malam. Asalnya dari sumber yang sama dengan gemuruh serta cahaya tadi.
"Ha ha ha ha!" Samar-samar dari layapan asap tersembul bayangan aneh. Bayangan seorang tinggi besar dengan seorang lain bersila di atas kepalanya. Mereka tak lain Kaladewa dan Kasindra, lelaki berpakaian merah.
"Kalian datang tepat pada waktunya!" gelegar suara Kaladewa menyambut kedatangan Satria Gendeng dan Pengemis Arak yang masih terbengong -bengong. Bagi Pengemis Arak, pemandangan yang disaksikannya mungkin tak terlalu mengejutkan. Dia termasuk tokoh tua yang sudah kenyang makan asam garam. Tapi kalau dia sekarang bertemu juga dengan Kaladewa, seorang datuk sesat yang sudah menjadi momok menakutkan ketika dirinya sendiri masih ingusan, itu tentu lain soal. Selama hidupnya yang sudah buluk dan bau tanah, Ki Dagul tak pernah sekali pun menyaksikan langsung Kaladewa, manusia yang sudah dianggap sebagian besar sebagai setengah siluman. Sampai matanya mendelik sekarang menyaksikan wujud Kaladewa yang cuma diketahuinya dari cerita, Ki Dagul tetap masih tak bisa percaya dia telah bertemu langsung dengan manusia mandraguna itu.
"Di antara mereka, siapa yang bernama Kaladewa itu, Orang Tua?" bisik Satria Gendeng. Na-danya tergetar. Tak bisa dipungkirinya kemunculan manusia setengah siluman itu telah membuat nyalinya sedikit menggelepar.
Pertanyaan Satria Gendeng sama sekali tak mendapat jawaban. Sebaliknya, Pengemis Arak sibuk terbengong. Terpana dia dengan wajah seorang tersedak tulang sebesar pergelangan tangan.
"Orang Tua!" bentak Satria.
"Hah"! Hah"! Hah"!"
"Yang mana di antara mereka yang kau kenal sebagai Kaladewa?"
"Aku tak mengenal Kaladewa. Aku hanya mendengar ceritanya!"
"Terserah kau. Yang aku ingin tahu, di antara mereka, siapa menurutmu yang kau yakini Kaladewa?"
"Bukan lelaki berpakaian merah itu... Lelaki berpakaian merah"! Hei, bukankah dia yang telah menemuiku waktu itu?"
"Diakah orangnya?"
"Kau tuli" Aku sudah bilang begitu, bukan?"
"Jadi, orang tinggi besar itulah Kaladewa?" ucap Satria, setengah menduga, setengah bertanya.
Di seberang sana, dua lelaki bersikap ganjil mulai mempersempit jarak dengan Satria dan Ki Dagul. Kaladewa melangkah beberapa tindak ke muka.
"Kalian datang tepat pada waktunya...," sam-butnya layaknya gemuruh gempa.
Kasindra menyentak tubuh. Berjumpalitan dia di udara, lalu menjejakkan kaki di samping Kaladewa. Dengan senyumnya yang kegenit-genitan menyebalkan, dia berkata, "Kita bertemu lagi, Orang Tua!" Ki Dagul cuma meringis. Kasindra melangkah tiga tindak ke depan.
"Perlu kuperkenalkan kepada kalian. Inilah guruku, Kaladewa.... Inilah hari terakhir guruku menjalani tapa terakhirnya di Hutan Pemantingan.
Selama puluhan purnama, tugasku hanyalah menunggunya dan menjaga agar tak seorang pun mengusik tapanya. Namun, beberapa hari lalu, aku sengaja merencanakan agar beberapa orang datang ke tempat ini. Termasuk kau, Orang Tua. Serta yang terpenting pendekar muda kita, Satria Gendeng...." Satria mengerutkan kening.
"Jadi maksudmu, kau telah mengatur semua ini. Kau sengaja memancing kami agar tiba di tempat ini?" ucapnya.
"Benar!" Kasindra tertawa.
"Kuangkat dongeng rakyat tentang Pertapa Cemara Tunggal yang memberikan benda pusaka pada seseorang di dunia persilatan..."
"Isapan jempol belaka. Begitu kau hendak katakan tentang benda pusaka itu?"
"Ya. Cuma isapan jempol belaka. Aku pula yang telah membunuh Jenggot Perak. Aku yang menyebarkan berita bohong itu. Aku yang menyebarkan fitnah bahwa kau telah membunuh Jenggot Perak dan membawa lari benda pusaka dari Pertapa Cemara Tunggal...." Satria menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah geram.
"Apa tujuanmu dengan semua ini?"
"Tujuanku?" Kasindra menoleh pada gurunya.
Dengan senyum puas tak lekang dari bibirnya, dia berkata lagi.
"Guruku ini membutuhkan satu syarat untuk menyempurnakan tapa akhirnya guna mendapatkan ajian yang tak pernah dimiliki siapa pun...." Satria menunggu kelanjutan ucapan Kasindra.
"Syarat itu adalah dirimu, Satria Gendeng! Guruku membutuhkan darahmu.
Darah yang telah tercampur satu cairan langka dasar terdalam Laut Selatan. Bukankah kau yang hanya memiliki darah itu?" Darah" Satria bergidik. Sejak awal dia sudah berharap akan berurusan dengan manusia setengah siluman Kaladewa. Sekarang, dia tak lagi bisa menghindari. Kaladewa sendiri punya alasan yang kuat untuk membunuhnya! "Kau bisa menyerahkan darahmu dengan suka rela jika kau pikir percuma untuk menghadapi guruku," kelakar Kasindra sama sekali tak terdengar lucu. Kaladewa menyambutnya dengan tawa terba-hak.
"Untuk orang sesat seperti kalian, aku tak pernah bisa berdamai!" tandas Satria mendesis pa-dat kegusaran.
"Kalau begitu, kau harus menghadapiku, Anak Muda!" hardik Kaladewa, sangar.
Ki Dagul menelan ludah.
Satria Gendeng memperlihatkan wajah mengeras.
"Bersiaplah!" gelegar suara Kaladewa lagi seraya melangkah ke depan.
"Kau akan kulumat habis, Anak Muda!"
"Tak semudah itu!" Sahutan terdengar. Tapi bukan keluar dari tenggorokan Satria Gendeng atau Pengemis Arak.
Melainkan datang dari seseorang yang sudah turut pula hadir di tempat itu.
Ki Kuncen, alias Siluman Ular telah berdiri di belakang Ki Dagul. Ki Dagul yang masih terhitung tokoh kawakan pun masih sempat dibuat terperanjat oleh kedatangannya yang tak terduga sama seka-li.
"Aku Siluman Ular akan bersedia dengan senang hati bertarung untuk anak muda ini...," lanjut Ki Kuncen.
Kaladewa menatap Siluman Ular dengan tatapan tak percaya. Terakhir kali dia bertemu Siluman Ular masih berpenampilan menjijikkan. Seluruh tubuhnya dipenuhi sisik dan lendir. Lalu kenapa sekarang berubah sama sekali"
"Kau heran dengan keadaanku sekarang, Kaladewa"
" ujar Siluman Ular, menangkap tanda tanya pada sinar mata Kaladewa.
"Sejak kau mengusir dan mempecundangiku dari Sumur Maut Berbisa, aku pergi tanpa tujuan. Lalu aku tiba ditepi Hutan Pemantingan. Di sana aku tinggal. Selama aku tinggal, aku pun mencoba menyempurnakan tapaku hari demi hari. Kau tahu kenapa aku bertapa" Aku berusaha untuk menyembuhkan kutukan yang menimpa diriku hingga membuat aku menjadi berlendir dan bersisik. Di Sumur Maut Berbisa kau telah menggagalkan tapaku hingga aku harus mengulanginya dari awal. Kini, setelah aku mengulang tapaku di tepi Hutan Pemantingan, aku berhasil menge-nyahkan kutukan itu. Tapi, aku masih punya satu urusan denganmu! Kau harus membayar perbuatanmu waktu itu padaku. Itu sebabnya aku tak cepat-cepat minggat dari tepi Hutan Pemantingan hingga banyak penduduk menyebutku kuncen hutan keramat ini...." Siluman Ular mengakhiri ceritanya.
"Bedebah!" maki Kaladewa, merasa urusannya mendapat halangan lain yang terbilang berat.
"Kau gusar Kaladewa" Ya, aku memang sengaja menanti kesempatan ini. Aku tahu, aku tak akan mampu menghadapimu sendiri. Namun jika aku bersekutu dengan pendekar muda ini untuk menghadapimu, kau jangan berharap banyak untuk bisa unggul. Setidaknya, kau harus mengadu jiwa!" ledek Siluman Ular.
Mendengar segala ucapan Siluman Ular, terbangkitlah kemurkaan Kaladewa.
Dia mendengus, layaknya seekor naga.
"Kalau begitu, kalian berdua akan segera mampus!" tandasnya dengan nada menukik.
Kemurkaannya itu membangkitkan pula kesaktian yang selama ini telah mendarah daging dalam dirinya. Bangkit laksana gelegak angkara, memadati sekujur tubuhnya. Dan entah bagaimana, tubuhnya perlahan-lahan terapung setinggi satu tombak dari tanah! Tak cuma itu, seluruh permukaan kulitnya mendadak berpendar merah bara. Udara sekitarnya terbakar hingga membentuk jilatan-jilatan berwarna api! Dari sedekapnya, mendadak sontak tangannya terbuka ke depan. Dua jari telunjuknya tertuding ke arah Satria dan Siluman Ular. Seketika itu pula membersit cahaya memanjang berwarna-warni.
Mirip juluran pelangi sebesar jari. Namun lebih banyak warna.
"Hati-hati, Anak Muda!" seru Siluman Ular memperingati. Dia hendak berucap lebih jauh, namun cahaya milik Kaladewa telah lebih dahulu menghujam dadanya.
Seperti hendak menangkap cahaya tadi, telapak tangan disatukan Siluman Ular di depan dada, tempat menjepit cahaya lawan.
Saat yang sama, Satria Gendeng pun mengalami hal serupa. Pendekar muda itu meraung liar merasakan siksaan teramat sangat yang serasa hendak menghanguskan isi dadanya.
Dengan tubuh bergetar, Siluman Ular mencoba mengarahkan pendekar muda itu.
"Lawan dengan pengerahan tenaga murnimu.
Atur peredaran darahmu hingga mengalir ke dada lebih kuat!" Satria Gendeng kendati merasakan sakit luar biasa, masih sempat menangkap ucapan Siluman Ular. Dia pun cepat bersedekap. Dikerahkannya seluruh hawa murni dan mengatur peredaran darah.
Perlahan, dalam getaran yang kian memuncak tubuh Satria Gendeng dan Siluman Ular pun mengepulkan asap. Perlahan-lahan pula, cahaya warna-warni milik Kaladewa terdesak mundur.
Pada puncaknya, Satria dan Siluman Ular sama-sama melepaskan raungan menggempakan.
"Heaaa!" Dentuman maha hebat tercipta. Bersamaan dengan itu, juluran cahaya milik Kaladewa membuyar terserpih-serpih.
"Bangsat!" raung Kaladewa.
Bermandi keringat, Siluman Ular tersenyum sinis. Kaladewa tak puas hingga di situ. Dia menggerakkan tubuh seperti seekor naga mengibaskan ekor. Kedua tangannya menyapu membentuk gerakan sayap. Tak ada dua kejapan mata, dari badan Kaladewa yang masih tetap mengapung dengan pendaran merah menyala, keluar bayangan hitam teramat besar. Wujudnya menyeramkan, namun sulit ditentukan. Membesar dan membesar. Teramat cepat, wujud hitam itu menerkam. Hanya saja, cuma Satria Gendeng yang menjadi sasaran.
Siluman Ular terkesiap. Sebagai golongan hitam, mungkin dia tak begitu peduli pada keselamatan seorang pendekar golongan lurus seperti Satria Gendeng. Namun sebagai seteru Kaladewa, dia tak akan sudi membiarkan Kaladewa mencapai tujuannya. Bayangan hitam itu adalah wujud yang belum sempurna dari kesaktian baru Kaladewa. Jika arahnya menuju Satria Gendeng, itu berarti Kaladewa hendak berusaha langsung menghisap darah si pendekar muda! "Hindari bayangan hitam itu, Anak Muda!" seru Siluman Ular.
Satria Gendeng meski terpana, sempat pula dengan gerakan teramat refleks mengerahkan peringan tubuhnya. Dia berjumpalitan berkali-kali ke belakang. Bayangan hitam mengejarnya lebih cepat.
Menghindar lebih jauh, sudah terlambat.
Satria pun seperti tertelan bayangan hitam milik Kaladewa. Kejap itu pula, badannya mengejang. Wajahnya mengeras dengan garis-garis teramat miris. Bola matanya membalik ke atas.
"Bhuaaa!" Siluman Ular tak bisa mendiamkan kejadian itu. Dia melepas hantaman jarak jauh berupa bolabola tenaga sakti berwujud gasing asap. Namun ketika menghantam tubuh Kaladewa, bola-bola asap berpusing itu terpantul balik dan menghantam pemiliknya sendiri.
Ki Dagul makin terpaku di tempatnya. Mulutnya menganga makin lebar. Masih untung kalau tak ada yang menetes.
Sementara itu, Satria Gendeng mulai menggeliat-geliat. Dia merasakan tubuhnya seperti hendak dipreteli oleh sebentuk kekuatan tak terbendung.
Tulang-belulangnya berdenyut-denyut dan seakan hendak meledak segera.
Ketika otot lehernya mengejang dan menggelembung melepas teriakan mengenaskan yang menjangkau sudut-sudut Hutan Pemantingan, tubuhnya sudah tersuruk di atas lutut. Darah mulai merembes dari seluruh pori-pori kulitnya. Anehnya, setiap tete-san darah tidak terjatuh ke tanah, melainkan melesat lurus di dalam bayangan hitam yang terhubung ke badan Kaladewa! Setelah terpental berkali-kali karena benturan tenaga saktinya sendiri, Siluman Ular menjadi nekat menyaksikan detik-detik menegangkan itu. Apalagi ketika dia menyaksikan tetes-tetes darah Satria Gendeng mulai terserap di permukaan kulit Kaladewa. Tak berpikir dua tiga kali, Siluman Ular melompat dalam raungan mengguruh. Diterjangnya Kaladewa sepenuh kekuatan. Belum sempat mencapai tubuh manusia setengah siluman itu, Siluman Ular sudah terpental lebih sengit ke belakang.
Keadaan Satria Gendeng makin genting.
Darah hampir membasahi seluruh permukaan kulitnya. Dan benteng pertahanannya pun makin menipis. Pada puncak seluruh siksaan menggila itu, sebentuk keajaiban terjadi. Dari satu sudut Hutan Pemantingan yang demikian gelap, tahu-tahu mencelat satu cahaya putih teramat kecil. Tak ada yang memperhatikan kejadian itu, bahkan Kaladewa sendiri. Cahaya putih kecil seperti kunang-kunang itu melesat masuk ke dalam mulut Satria Gendeng yang tengah terbuka melepas raungan. Melalui tenggorokannya, cahaya tadi terus melayap masuk ke dalam tubuhnya. Detik berikutnya, bukan lagi darah yang keluar dari seluruh pori-pori kulit pendekar muda Tanah Jawa itu, melainkan sudah berganti dengan bayangan putih samar.
Membersit cepat dan memangkas begitu saja bayangan hitam milik Kaladewa. Dengan kecepatan tak terperikan, bayangan putih samar dari dalam tubuh Satria berbalik menerkam tubuh Kaladewa.
Seketika tubuh mengapung Kaladewa terpental pesat ke belakang. Sebelum sempat menghantam pohon jati raksasa, tubuhnya mendadak pupus seolah ada pintu gaib menelannya.
Alam mendadak sunyi.
Antara sadar dan tidak, Satria merasakan ada seseorang keluar dari dalam dirinya. Seorang wanita cantik yang sulit terperikan pesonanya....