Life is journey not a destinantion ...

Pembunuh Dari Jepang

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Cinta Dalam Kutukan --oo0oo-- Samurai Berdarah



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: PEMBUNUH DARI JEPANG

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


↕::↕ 1 ↕::↕

Layar perahu yang mengarungi samudera itu terbentang dihembus angin keras. Pagi sudah menghampar dalam naungan persada langit yang cukup cerah.
Burung-burung laut beterbangan seolah menyambut kedatangan perahu yang di kedua ujungnya terdapat relief besar burung rajawali. Gemuruh ombak laksana angin yang mengerikan, bergulung-gulung dan berulang kali menabrak dinding perahu.
Di atas perahu itu berdiri tiga sosok tubuh yang berwajah kaku. Kulit mereka kuning. Mata masingmasing lelaki itu agak menyipit. Sorotnya tegang. Alis mereka hitam namun tipis.
Mengenakan pakaian berwarna merah panjang, dengan pakaian dalam warna biru. Di pinggang masing-masing orang terselip sebilah pedang panjang, samurai.
Lelaki yang berkumis tipis dengan ikat kepala warna merah berkata dingin, agak kaku suaranya, "Pesisir tanah Jawa.... Sebuah tempat yang telah lama kudengar tetapi sangat asing... tempat kediaman Pendekar Slebor...." Tak ada yang sahuti kata-katanya. Masing-masing kembali ditelan kesunyian. Ombak beberapa kali menghantam dinding perahu besar itu.
Lelaki berkulit kuning itu berkata lagi, lebih dingin, "Sebelum kita berangkat meninggalkan negeri samurai, Saburo-san mengatakan, kalau kita harus meminta bantuan Pendekar Slebor untuk melacak manusia laknat bernama Nomuro Shasuke, yang diketahui melarikan diri ke tanah Jawa setelah gagal melukai Kaisar Tokugawa Lesyasumoto.... Jahanam! Demi De-wa Matahari! Aku bersumpah, akan kucincang tubuh manusia celaka itu!"
"Hiedha-san... kita masih asing di tanah Jawa.
Bahkan kita belum tahu seperti apa wajah dan wujud Pendekar Slebor kendati kita mendapatkan penjelasan dari Saburo-san tentang ciri-cirinya," kata yang agak pendek dan berdiri di samping kiri orang yang pertama bicara tadi.
"Kudengar pula... tanah Jawa didiami oleh orang-orang yang memiliki ilmu tinggi dan aneh. Apakah kau tidak pernah berpikir, bila kedatangan kita akan membuat orang-orang di tanah Jawa akan tertarik?" Lelaki yang bernama Hiedha Ogawa hanya keluarkan dengusan. Pandangannya tetap lurus ke depan, tak berkedip sekali pun juga. Tanpa tolehkan kepala dia menyahut, "Mishimasan... kedatangan kita untuk memburu manusia celaka itu! Bukan mencari silang sengketa dengan orang-orang tanah Jawa! Dan kuharap... kita secepatnya bisa bertemu dengan Pendekar Slebor.... Barangkali, dengan bantuannya kita tak akan mendapat kesulitan dengan orang-orang di tanah Jawa...." Lelaki yang paling pendek di antara mereka menganggukkan kepalanya.
Di antara debur ombak dan suara riangnya burung-burung manyar, lelaki yang paling tinggi dan bertubuh kurus di antara mereka berkata, "Menurut Saburo-san... pemuda berjuluk Pendekar Slebor cukup disegani di tanah Jawa! Hiedha-san... apakah kau juga berpikir seperti itu?" Hiedha Ogawa mengangguk.
"Ya! Dari cerita yang kudengar dari Saburo-san...
pemuda itu jelas seorang pemuda yang disegani oleh lawan maupun kawan. Kendati menurutnya pula, pemuda itu suka sekali bersikap urakan. Makanya... dia dijuluki Pendekar Slebor...." Lelaki bertubuh tinggi itu keluarkan dengusan.
Bibirnya menyiratkan ejekan melecehkan.
"Hhh! Sebuah penghargaan yang sebenarnya tak patut dilakukan Saburo-san! Tak pantas meninggikan orang yang lain dengan kita! Para samurai seperti kita, lebih tinggi derajatnya dari siapa pun juga!" Kali ini Hiedha Ogawa palingkan kepalanya ke kanan.
"Ayothomori-san... apa yang dikatakan oleh Saburo-san cukup mengena. Ini mungkin disebabkan dia pernah diselamatkan oleh Pendekar Slebor saat berkunjung ke tanah samurai. Tetapi biar bagaimanapun juga, kita cukup menghargai petunjuknya. Karena kini kita tahu, siapa yang bisa kita jadikan pemandu di tanah Jawa...." (Untuk mengetahui siapa Saburo dan apa yang telah dilakukan Pendekar Slebor di negeri matahari beberapa waktu lalu, silakan baca : "Geisha" dan "Rahasia Sang Geisha").
Ayothomori kertakkan rahangnya. Dari raut wajahnya yang nampak cukup tegang, dia jelas tak suka mendengar kata-kata yang memuji Pendekar Slebor.
Diam-diam dalam hatinya dia berjanji, "Hhh! Ingin kulihat seperti apa kepandaian pemuda berjuluk Pendekar Slebor itu!" Hiedha Ogawa berkata lagi, "Tujuan kita ke tanah Jawa, adalah memburu manusia celaka itu! Mati atau hidup, kita harus membawanya ke hadapan Kaisar! Dan satu hal lagi yang perlu diperhitungkan, Nomuro Shasuke bukanlah lawan yang bisa dipandang sebelah mata. Dia seorang yang ahli memainkan samurai dan memiliki kepandaian menyamar. Bahkan dia bisa menerobos masuk ke dalam Istana Kaisar dan mencoba membunuh Kaisar."
"Sayang saat peristiwa itu terjadi aku masih harus mengurus para pemberontak di Lembah Aza," sahut Ayothomori sambil kepalkan tinju kanannya.
"Bila saja aku berada di lingkungan istana, manusia celaka itu tak akan pernah lolos! Dan kita tak perlu bersusah payah mengejarnya ke tanah Jawa! Apalagi... harus mencari Pendekar Slebor! Huh! Bila pemuda itu memang tangguh, dia harus mengalahkanku dulu sebelum kuyakini dia memang patut menjadi pemandu kita!" Hiedha Ogawa menatap tajam pada Ayothomori yang justru keluarkan dengusan.
"Kau nampaknya tidak suka kalau kita meminta bantuan Pendekar Slebor?"
"Tentu! Biar bagaimanapun juga, derajat kita lebih tinggi darinya!"
"Jangan meninggikan diri hanya karena derajat!" Seketika Ayothomori arahkan pandangannya pada Hiedha. Sorot matanya jelas makin menyiratkan rasa tidak sukanya pada Pendekar Slebor. Tetapi dia tak mau membuat urusan dengan Hiedha. Makanya, segera dialihkan pandangannya ke laut lepas sementara hatinya merutuk panjang pendek.
Kembali masing-masing orang tak ada yang membuka mulut. Matahari terus merayap naik ke atas.
Laut mulai terang dan air laut serta deburan ombak bergerak-gerak cepat, memantulkan cahaya matahari, menabrak dinding perahu hingga oleng dan bergerak menjauh kembali.
Wajah Hiedha Ogawa menunjukkan rasa tak sabar untuk segera tiba di tanah Jawa. Dia tak bisa me-maafkan dirinya sendiri, mengingat saat manusia cela-ka bernama Nomuro Shasuke berhasil menyelinap dengan menyamar sebagai seorang pengawal. Dan peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Kaisar Tokugawa Iesyasumoto berlangsung di depan matanya.
Justru dia tidak tahu saat peristiwa itu terjadi! Bi-la saja Kaisar tak segera terbangun dari tidurnya dan berjuang seorang diri menyelamatkan nyawanya, tentunya dia akan menyesali seumur hidup pembantaian itu. Perintah penangkapan pun segera dilangsungkan tanpa diumumkan kembali.
Namun dengan kelihaian-nya, Namuro Shasuke berhasil meloloskan diri.
Hiedha Ogawa berusaha mengejarnya, sampai kemudian terlihat manusia laknat itu telah menyeberangi lautan dengan mempergunakan perahu layar.
Dikirimlah lima belas orang pengawal untuk mengejar Nomuro Shasuke. Namun yang kembali hanya seorang saja. Kendati demikian, berita yang terdengar sudah jelas. Kalau Nomuro Shasuke menyeberang ke tanah Jawa. Nomuro Shasuke dahulunya adalah seorang Panglima perang Kaisar. Namun ambisinya yang ingin menduduki takhta Kaisar mendorongnya untuk memikirkan bagaimana cara menggulingkan takhta kekaisaran. Dua kali dia mengadakan pemberontakan namun berhasil dipadamkan. Pada pemberontakan ketiga, diketahui kalau Nomuro Shasuke adalah dalang dari semua pemberontakan itu.
Manusia itu pun diburu. Namun dia berhasil menghilangkan jejak dirinya, bahkan tak diketahui berada di mana. Sampai peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Kaisar terjadi. Dari cara yang dilakukan pembunuh itu, sangat dikenal sekali, kalau itu merupakan cara yang khas yang kerap dilakukan Nomuro Shasuke. Hiedha Ogawa teringat akan sahabatnya Saburo.
Maka dia pun mendatangi kawannya itu yang dulu pernah datang ke tanah Jawa. Dari Saburo lah, Hiedha mendapatkan keterangan kalau dia bisa meminta bantuan seorang pemuda yang disegani di tanah Jawa yang bernama Andika dan berjuluk Pendekar Slebor.
Saburo sendiri sebenarnya ingin membantu Hiedha untuk melacak jejak pembunuh keparat itu. Namun Hiedha melarangnya. Setelah melaporkan semua itu dan meminta izin pada Kaisar, maka berangkatlah Hiedha menuju ke tanah Jawa bersama Ayothomori dan Mishima Nobu.
Hening kembali mendiami seisi perahu besar itu.
Mishima berkata, "Aku berharap, apa yang kita harapkan akan berlangsung sempurna. Dan kehadiran kita tidak memancing permusuhan dengan orangorang di tanah Jawa...."

*****

Menjelang matahari bersiap masuk ke peraduannya, perahu yang hampir satu hari satu malam mengarungi lautan bebas itu merapat di pesisir timur laut Jawa. Dengan gerakan yang lincah dan jelas kalau masing-masing orang memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, ketiga samurai itu melompat sebelum perahu betul-betul merapat. Pakaian panjang yang mereka kenakan beriap saat masing-masing orang menjejakkan kaki di pasir putih.
Mishima Nobu segera melangkah ke depan. Lalu dengan cekatan dia menarik perahu itu dan menyembunyikan di balik ranggasan semak di balik sebuah pohon nyiur.
"Beruntung karena kita tiba menjelang malam, hingga kehadiran kita tidak terlalu menarik perhatian orang," kata Hiedha Ogawa sambil memandang ke laut lepas.
Mishima Nobu berkata, "Hiedha-san... entah mengapa yang kupikirkan saat ini bukanlah Nomuro Shasuke maupun Pendekar Slebor. Melainkan orang-orang di tanah Jawa yang kemungkinan besar menganggap kita sebagai musuh."
"Bila kita bersikap sopan, kurasa mereka tak akan berlaku jahat kepada kita.
Bukankah setiap langkah kita, ditentukan oleh kita sendiri?" Sebelum Mishima Nobu menjawab, Ayothomori sudah membuka mulut, "Hiedha-san... apakah kau tetap akan mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya?" Hiedha menangkap nada tidak suka pada pertanyaan itu. Dia tahu, kalau sebenarnya Ayothomori menunjukkan rasa tidak sukanya dikarenakan tak ingin mendapat bantuan dari orang di tanah Jawa ini.
Hanya saja Hiedha berpikiran lain. Dia akan tetap mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya.
Paling tidak, menjadi penunjuk jalan agar tidak salah melangkah dan memancing silang sengketa dengan orang-orang di tanah Jawa lainnya.
"Ayothomori-san... dengan berat hati kukatakan, aku akan tetap mencari dan meminta bantuan Pendekar Slebor. Apa yang dikatakan Saburo-san, sudah menjadikan satu bukti, kalau Pendekar Slebor adalah orang dari golongan baikbaik. Hingga rasanya tidak salah bila kita meminta bantuannya..." Ayothomori hanya keluarkan dengusan pendek.
Matanya yang sipit nampak kian menyipit, menyiratkan ketidaksukaannya mendengar kata-kata Hiedha Ogawa.
"Hhhh! Akan kubuktikan nanti! Kalau aku mampu menangkap pemberontak celaka itu tanpa bantuan Pendekar Slebor!" katanya dalam hati. Lalu sambil menindih geramnya dia berkata, "Untuk saat ini, aku setuju apa yang hendak kita jalankan! Tetapi... aku yakin, justru pemberontak itu akan semakin jauh bila ki-ta memilih Pendekar Slebor untuk membantu!"
"Kuharap tidak!"
"Pada kenyataannya, harapan terkadang hanya angan belaka! Faktalah yang menentukan!"
"Saburo-san telah memperkuat keyakinanku dalam soal itu!"
"Kau telah terkena ucapan Saburo-san! Peduli setan dengan orang itu! Yang ingin kubekuk dan kucincang dengan samuraiku adalah Nomuro Shasuke!" Wajah Hiedha Ogawa nampak memerah, tanda dia mulai tak suka mendengar kata-kata lelaki bertubuh jangkung itu. Sebelum dia membuka mulut, Mishima sudah berkata, "Tak perlu kita saling berdebat dalam soal apakah kita akan meminta bantuan Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi pada dasarnya kita harus menjalankan apa yang telah kita rencanakan dari pertama.
Suka atau tidak suka, berat atau ringan, kita tetap harus mencari Pendekar Slebor. Tanpa melupakan tujuan utama kita, menangkap Nomuro Shasuke...." Hening melanda ketiga samurai itu. Ombak terus bergulung hingga ke pantai, tak pernah kenal lelah dan tak tahu kapan laut akan menghentikan ombaknya. Kejap kemudian terdengar suara Hiedha Ogawa yang merasa lebih baik segera berlalu dari situ ketimbang melayani setiap ucapan Ayothomori yang jelasjelas sudah tidak menyukai Pendekar Slebor, "Rasanya... lebih baik kita segera tinggalkan pesisir pantai ini!" Namun sebelum ada yang meninggalkan tempat itu, mendadak saja terdengar suara ramai yang berna-da amarah. Kejap itu pula menyerbu sekitar sepuluh orang lelaki bertelanjang dada. Wajah mereka begitu beringas. Di tangan masingmasing orang terdapat bermacam senjata dan mereka meneriakkan, "Bunuh manusia-manusia celaka itu!"

***

↕::↕ 2 ↕::↕

Ketiga lelaki dari negeri Sakura itu terdiam dengan tatapan waspada. Tangan masing-masing orang berada di samping kanan kiri. Dan dengan gerakan cepat akan mencabut samurai yang terselip di pinggang kanan masing-masing. Sepuluh lelaki bertelanjang baju itu merangsek maju dengan teriakan-teriakan membahana.
Salah seorang berteriak sambil mengangkat parangnya tinggi-tinggi, "Jangan beri ampun! Manusia-manusia celaka dari tanah seberang harus mampus! Dan sudah tentu mereka adalah gerombolan dari lelaki celaka yang membunuhi saudara-saudara kita kemarin malam!" Hiedha yang lebih tenang berkata, kendati demikian suaranya agak kaku dan dingin, "Sabar dulu! Kami baru saja tiba di sini! Dan tidak tahu apa yang telah terjadi!"
"Dusta!" sahut lelaki yang berusia sekitar tiga puluh tahun, yang tadi bicara.
Di tangan kanannya terdapat sebilah parang yang tajam, yang agak berkilat tertimpa sinar matahari senja.
"Selama ini... tak ada pencuri yang mau mengaku sebagai pencuri! Dan tak akan pernah ada pembunuh yang mengaku sebagai pembunuh! Tangkap mereka!" Habis perintah itu terdengar, masing-masing orang segera menyerbu ke muka, langsung menyabetkan senjata mereka pada Hiedha yang berdiri agak di depan.
Hiedha sendiri cepat melompat ke belakang. Lima buah parang menyerbu ke arahnya. Tetapi lelaki ini la-gi-lagi hanya menghindar.
Dan tatkala dilihatnya Ayothomori sudah mencabut samurainya, dia berseru, "Jangan gegabah! Ini hanya salah paham saja!" Tetapi lelaki bertubuh jangkung yang agak berbeda dengan ukuran tubuh orang-orang dari negeri Matahari, sudah menyabetkan samurainya, lurus ke muka. Craaattt!! Seorang lelaki bertelanjang dada langsung keluarkan teriakan tertahan dengan luka besar di dada. Darah muncrat membanjir bersamaan tubuhnya ambruk ke pasir pantai.
Melihat nasib malang yang menimpa salah seorang teman mereka, orang-orang yang lain bukannya menjadi jeri. Mereka justru bergerak lebih ganas lagi.
Hiedha mengeluh dalam hati melihat ketelengasan yang dilakukan Ayothomori. Dia cepat melompat mendekat dan menangkap tangan kanan Ayothomori yang bersama dengan tangan kirinya sedang menggenggam hulu samurai.
"Sudah kukatakan, jangan bertindak gegabah! Tindakanmu hanya makin meruncing urusan!" Ayothomori cuma keluarkan dengusan.
"Apakah kau pikir kita akan membiarkan diri kita direjam oleh mereka, hah"! Jangan bertindak bodoh! Manusia-manusia celaka ini harus mampus secepat angin berhembus!"
"Jangan...." Kata-kata Hiedha Ogawa terputus tatkala satu sambaran parang mengarah padanya. Cepat dia melompat ke samping. Lalu dengan gerakan yang cepat kaki kanannya melayang.
Des! Dada penyerangnya terhantam telak dan terhuyung ke belakang. Namun yang tak disangka Hiedha Ogawa, Ayothomori sudah menerjang ke muka. Menyabetkan kembali samurainya dengan gerakan melintang yang menghantam perut.
Crasss! Seorang rubuh sudah dengan luka besar terkena sabetan samurai Ayothomori. Melihat ketelengasan kawannya yang tak mengenal kasihan itu, Hiedha melompat kembali mendekat.
"Jangan gegabah!" Ayothomori hanya keluarkan dengusan. Seruan Hiedha Ogawa justru membuatnya menjadi makin kalap. Dengan ganas dia menerjang ke depan. Menggerakkan samurainya dengan gerakan yang sangat terlatih. Setiap kali samurainya bergerak, terdengar kesiur angin membeset udara.
Tiga orang lelaki bertelanjang dada lainnya ambruk dengan luka pada kaki dan tangan. Darah segera keluar. Tiga orang dari mereka sudah memburu untuk menolong. Namun harus segera menyingkir karena Ayothomori sudah menyerang kembali. Keadaan itu lagi-lagi tak membuat yang lainnya menjadi surut atau hentikan serangan. Justru mereka menjadi ganas.
Hiedha yang tak ingin melihat ketelengasan yang dilakukan Ayothomori sudah melesat ke depan. Bersama Mishima yang sejak tadi hanya menghindar, keduanya memburu.
Dalam tiga kali gebrak saja lima orang lelaki bertelanjang dada yang nampaknya para pelayan sudah ambruk ke tanah. Mereka mengerang kesakitan merasakan tangan dan kaki dihantam pukulan yang dilakukan Hiedha Ogawa dan Mishima.
Sementara itu Ayothomori sudah mulai gusar melihat sikap yang dilakukan Hiedha. Lelaki jangkung berwajah bengis ini benar-benar tersinggung. Baginya, kekerasan patut dilakukan terhadap bangsa lain. Apalagi tujuan mereka kemari sebenarnya untuk memburu Nomuro Shasuke. Dan orang-orang ini telah menyerang mereka tanpa sebab! Dengan teriakan melengking, Ayothomori melompat ke depan. Samurai yang digenggam dengan kedua tangannya teracung ke atas dan siap mengayun ke bawah. Hiedha terkesiap melihatnya. Dia mencoba melompat untuk halangi niat Ayothomori seraya berseru, "Ayothomori-san! Tahan!" Namun gerakan yang dilakukan oleh Ayothomori lebih cepat dari gerakan Hiedha. Menyusul dengan ganasnya dia mengayunkan samurainya dari atas ke bawah, siap memenggal kepala lelaki bertelanjang dada yang pertama kali buka suara. Akan tetapi, sebelum samurai itu menelan korbannya, mendadak saja terdengar suara, "Traaakk!" Menyusul Ayothomori merasakan kedua tangannya bergetar, tatkala dirasakan sesuatu menghantam deras samurainya. Saking kagetnya dia sampai surut dua tindak ke belakang dan keluarkan suara, "Aaaaakhhh!" Sementara itu Hiedha Ogawa yang masih bergerak untuk hentikan niat Ayothomori, tak dapat hentikan gerakannya. Karena dia sendiri tak menyangka kalau Ayothomori mendadak terhuyung. Maka tanpa ampun lagi, tangan kanannya yang tadi sedianya hendak menangkap tangan Ayothomori, mendarat telak pada punggung lelaki berwajah bengis itu.
Desss! Ayothomori terhuyung ke samping. Saat dia kuasai keadaannya lagi dan hinggap di atas pasir putih, seketika kepalanya dipalingkan ke arah Hiedha. Pandangannya geram dan menusuk. Tetapi hanya sesaat dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah arahkan pandangannya ke kanan.
Dilihatnya sebuah kerikil telah berada di atas pasir putih. Sadar kalau kerikil itulah yang tadi menghalangi niatnya, darah Ayothomori mendadak naik ke ubun-ubun. Sebelum dia keluarkan suara dan lakukan tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara diiringi tawa, "Wah, wah! Celaka betul! Betul-betul celaka! Mengapa orang-orang dari negeri Sakura menyerang dan membunuh orang-orang yang sebangsa denganku" Busyet betul! Apakah tidak ada niatan lain datang ke tanah Jawa ini selain membunuh!"

*****

Bukan hanya ketiga samurai dari Jepang itu saja yang segera palingkan kepala ke kanan. Lima nelayan yang terkapar dan perlahanlahan bangkit berdiri pun melihat ke kanan. Masing-masing orang melihat seorang pemuda yang sedang melangkah sambil garukgaruk kepalanya. Rambut pemuda itu gondrong acakacakan. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau pupus dan di lehernya melilit kain bercorak catur.
Pemuda yang memiliki alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang ini sudah buka mulut lagi, "Busyet! Apa kalian sedang melihat Pange-ran terganteng di dunia" Kok pandangan kalian seperti ikan mas koki"!" Ayothomori lebih dulu tersadar dari keterkesimaannya melihat kemunculan si pemuda. Dengan garang dia maju selangkah ke depan. Pandangannya menyipit tajam, memancarkan sorot nafsu membunuh.
Samurainya masih digenggam erat oleh kedua tangannya. Menyusul kata-katanya yang sangat sengit, "Pemuda celaka! Rupanya kau yang telah memerintahkan orang-orang ini membunuh kami! Bagus! Kau harus berkenalan denganku!" Habis kata-katanya, lelaki jangkung berwajah bengis ini sudah melompat ke depan diiringi pekikan keras. Samurainya disabetkan dengan gerak lurus dari atas ke bawah, siap menghantam rengkah kepala si pemuda. Dan dari caranya bergerak, jelas kalau dia memandang sebelah mata pada si pemuda.
Tetapi di luar dugaan Ayothomori, pemuda berpakaian hijau pupus itu cuma menggeser kaki kanannya ke samping, yang saat itu pula sabetan samurainya luput. Menyadari kalau pemuda ini bukanlah orang sembarangan, Ayothomori menjadi kian beringas. Bersamaan si pemuda bergeser ke kanan, Ayothomori sudah menebas dengan ayunan pedang berputar seperti baling-baling. Suara angin yang membeset cukup mengerikan.
Tetapi si pemuda justru melompat ke depan. Bahkan dengan satu gerakan yang cepat, seharusnya si pemuda bisa mendaratkan pukulannya ke dada Ayothomori.
Karena lelaki jangkung itu masih harus kuasai kesimbangannya.
Tetapi justru si pemuda tak melakukannya. Malah dia berkata sambil geleng-geleng kepalanya, "Busyet! Galak betul sih" Apa tidak bisa bertindak kalem sedikit?" Mengkelap wajah Ayothomori mendengar ejekan itu. Diiringi teriakan kalap dia menerjang lagi.
Samurainya digerakkan berulang kali, membabi-buta. Hing-ga silangan-silangan cahaya dan suara besetan makin keras terdengar. Tetapi sampai sejauh itu, dia belum berhasil mendaratkan samurainya ke tubuh si pemuda. Malah kemudian terdengar kata-kata si pemuda agak jenuh, "Bosan, ah!" Lalu sambil hindari hunusan dan sabetan samurai lawan, dia merangsek maju. Tangan kirinya menjotos ke muka. Dan jotosan itu hanyalah pancingan belaka.
Justru di saat Ayothomori menarik tubuh ke belakang dan siap menyabetkan samurainya, dengan gerakan yang sangat cepat si pemuda sudah tekuk tangan kanannya dan......
Des! Mendarat telak di dada Ayothomori yang langsung terhuyung ke belakang. Begitu berhasil berdiri tegak kembali dia sudah siap untuk menerjang ke muka, tetapi suara Hiedha Ogawa menahannya, "Maafkan kami.... Tuan Pendekar.... Apa yang terjadi ini hanyalah salah paham belaka...." Bukannya si pemuda yang menyahut, Ayothomori yang masih gusar berseru, "Hiedha-san! Aku belum menghadapinya dengan jurus 'Menjerat Matahari'!" Hiedha palingkan kepalanya. Sorot matanya begitu tajam menusuk. Jelas kalau lelaki ini sudah gusar dengan sikap Ayothomori, "Jangan membantah! Sekali lagi kukatakan, kita datang ke sini bukan mencari silang sengketa dengan para penduduk di sini! Tetapi ki-ta mengejar Nomuro Shasuke!" Kendati nampak tidak puas mendengar kata-kata Hiedha Ogawa, Ayothomori hanya kertakkan rahangnya. Pandangannya masih tajam pada si pemuda yang membalas hanya dengan mengangkat alisnya saja, jenaka. Lalu dengan santainya pemuda ini berjalan mendekati tiga nelayan yang luka-luka. Sejenak diperiksanya luka-luka yang terdapat pada kaki dan tangan ketiga nelayan itu.
Kejap kemudian diangkat kepalanya dan berseru pada lima nelayan lainnya yang nampak bersiaga, "Jangan tegang! Aku perlu kain untuk membebat dan menahan darah pada tubuh ketiga teman kalian ini!" Mendengar kata-kata si pemuda, tiga orang dari mereka segera merobek celana pangsi yang mereka kenakan. Lalu dengan hati-hati menyerahkannya pada si pemuda, yang dengan cekatan segera membebat luka-luka pada tubuh tiga teman mereka.
Sementara itu Mishima menarik napas pendek, tatkala dilihatnya salah seorang dari lima orang nelayan yang telah berdiri diam- diam mengambil sebilah parang yang tergeletak. Lalu dengan gerakan yang cepat dilemparkannya parang itu ke arah Hiedha! "Mampuslah kau!" Ayothomori seharusnya dapat segera memapaki luncuran parang itu karena dia berada di dekat Hiedha dan kebetulan juga melihatnya. Namun lelaki berwajah bengis itu malah berlagak tidak tahu.
Mishima sendiri segera bergerak cepat. Kakinya menendang sebilah parang lain yang tergeletak di atas pasir putih. Di saat parang itu meluncur, pasir yang tertendang membuyar.
Traaanggg! Parang yang meluncur ke arah Hiedha langsung terpental terhantam parang yang ditendang Mishima.
Hiedha sendiri yang sebenarnya merasakan desir angin ke arahnya hanya terdiam saja, kendati nampak pandangannya cukup gusar. Tetapi lelaki berkumis tipis ini berusaha keras untuk tindih amarahnya, karena tak ingin salah paham yang terjadi di antara mereka semakin berkembang.
Ayothomori berkata, "Kau lihat itu, hah"! Apakah manusia semacam itu patut dibiarkan hidup!"
"Diaaammm!" sengat Hiedha Ogawa keras. Kemudian katanya, "Ayothomori-san! Jangan terlalu keras! Kita datang ke tanah Jawa ini bukan untuk membunuh orang-orang asli di sini! Tetapi untuk menangkap Nomuro Shasuke!" Sementara itu, pemuda berpakaian hijau pupus yang telah selesai membebat luka-luka pada tiga nelayan dan melihat gerakan yang dilakukan salah seorang nelayan yang melemparkan parang, diam-diam membatin, "Dua kali lelaki itu menyebutkan nama Nomuro Shasuke. Siapakah sebenarnya Nomuro Shasuke itu" Dan tadi... sempat kulihat kalau lelaki bertubuh jangkung itu tahu kalau ada luncuran parang yang mengarah pada lelaki bernama Hiedha. Tetapi dia justru berlaku bodoh.
Hmmm... nampaknya memang ada sesuatu yang telah terjadi." Habis membatin begitu, si pemuda berkata, "Menilik cara kalian bicara yang agak terpatah-patah dan pakaian serta senjata yang kalian gunakan, tentunya kalian berasal dari negeri Matahari. Sekarang, jelaskan mengapa kalian datang ke tanah Jawa ini?"
"Tutup mulutmu!" membentak Ayothomori dengan wajah kian bengis.
Tetapi si pemuda justru cuma nyengir saja.
"Busyet! Apakah mulutmu tidak enak kalau tidak membentak" Lama kelamaan tanganku jadi gatal juga nih"!" Ayothomori justru balikkan tubuh. Dengan kedua kaki terpentang lebar dan kepala agak diangkat dia berseru gusar, "Mau apa kau, hah"!"
"Kok mau apa" Ya kalau tanganku gatal... jelas di-garuk! Kok ada manusia tolol seperti kau, ya?" sahut si pemuda seenak perutnya saja.
Mengkelap wajah Ayothomori mendengar selorohan si pemuda. Sebelum dia membuka mulut, Hiedha Ogawa sudah berkata dengan tubuh agak dibungkukkan, "Maafkan sikap kami, Tuan Pendekar. Kami datang dari negeri Matahari! Namaku Hiedha Ogawa! Ini kawanku yang bernama Ayothomori! Dan di samping kananku, bernama Mishima Nobu! Kami memang sengaja datang ke tanah Jawa, karena kami mengejar pemberontak yang bernama Nomuro Shasuke!"
"Lantas... apa yang terjadi dengan para nelayan ini?" tanya si pemuda dengan kening berkerut, bertanda dia sedang memikirkan sesuatu.
"Begitu kami tiba di sini, mereka tahu-tahu muncul dan menyerang! Tanpa sebab yang kami ketahui!"
"Manusia celaka!" berseru salah seorang dari nelayan itu.
"Pakai berlagak bodoh! Kau pikir kami tidak tahu, kalau lelaki yang kemarin malam lakukan pembantaian di kampung kami adalah temanmu, hah"!" Mendengar ucapan orang, Hiedha terdiam sejenak.
Lain berkata, "Mengapa kau menuduh seperti itu?"
"Orang itu mengenakan pakaian yang sama dengan kalian! Membawa samurai dan bersikap begitu keji! Orang itu kami pergoki sedang memakan ikan-ikan hasil tangkapan kami! Tatkala kami tegur, dia justru menyerang kami dengan samurainya! Apakah bukti semacam itu belum juga membuka mata kalian, kalau orang itu adalah teman kalian sendiri, hah"!" Hiedha Ogawa terdiam dulu sebelum berkata dalam hati, "Tak salah lagi... jelas dia adalah Nomuro Shasuke...." Kemudian katanya dengan agak membungkuk, "Kalian telah salah menyangka. Orang itu bukanlah teman kami. Dan sudah barang tentu, orang itulah yang sedang kami buru hingga kami tiba di tanah Jawa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke...." Lelaki yang bersuara tadi terdiam, kendati demikian wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya.
Sementara itu, Mishima yang sejak tadi memperhatikan pemuda berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain bercorak catur perlahan-lahan mendekati Hiedha dan berbisik, "Hiedha- san... apakah kau lupa dengan ciri pemuda yang dimaksud oleh Saburo-san" Bukankah ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda di hadapan kita?" Seperti baru teringat, Hiedha Ogawa segera arahkan pandangannya pada si pemuda yang memang tak lain Andika alias Pendekar Slebor adanya. Cukup lama dia memperhatikan sampai Andika sendiri merasa jengah.
"Busyet! Apakah dia baru pernah melihat pemuda yang gantengnya kayak aku ini" Huh! Kalau seorang gadis yang memperhatikan sih boleh juga, tetapi ini...
bah!" dengus Andika dalam hati.
Dari memperhatikan yang begitu serius, nampak kepala Hiedha mengangguk-angguk.
"Kau benar, Mishima-san.... Tak salah lagi, sudah barang tentu pemuda inilah yang dimaksud oleh Saburo-san," katanya dalam bisikan.
"Tetapi sayangnya...
kita berjumpa dalam suasana yang tidak enak seperti ini...." Kemudian dengan suara menghormat, Hiedha berkata, "Tuan Pendekar... apakah salah bila kukatakan, anda bernama Andika yang berjuluk Pendekar Slebor?" Si pemuda justru kerutkan keningnya dulu sebelum berkata, "Wah! Bagaimana kau bisa tahu" Rupanya aku termasuk orang top juga, ya"!"

***

↕::↕ 3 ↕::↕

Sementara wajah Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu berseri-seri, justru wajah Ayothomori berubah menjadi jengkel. Dia yang sejak pertama sudah tidak setuju dengan tindakan untuk mencari dan meminta bantuan Pendekar Slebor guna menangkap Nomuro Shasuke, kini seperti merasa diinjak-injak karena tadi dapat dipecundangi dengan mudah oleh pemuda yang tak lain Pendekar Slebor adanya.
"Demi Dewa Matahari! Akan ku tantang pemuda ini bila kudapatkan kesempatan! Sebaiknya, sekarang ini aku bersikap senang seperti yang ditunjukkan oleh Hiedha-san dan Mishima-san! Hhhh! Mereka telah menjadi manusia hina yang merubuhkan martabat bangsa samurai di hadapan pemuda kampungan ini!" Terdengar suara Hiedha berkata, "Tak kusangka kami dapat menemukanmu lebih cepat dari apa yang kami perkirakan. Andika-san... terimalah salam kami...." Andika yang memang jarang sekali berbasa-basi cuma menggaruk-garuk kepalanya.
"Ceritakan mengapa kalian tiba di sini?" tanya Andika kemudian.
Hiedha Ogawa tak mau membuang waktu lagi. Dia segera menceritakan semuanya. Juga disampaikannya salam Saburo pada Andika.
"Saburo... ah, sahabatku.... Bagaimana kabar dia" Apakah baik-baik saja?" Hiedha mengangguk.
"Ya! Dia dalam keadaan baik-baik!" Andika cuma tersenyum. Lalu diterangkannya apa yang telah terjadi pada kelima nelayan yang masih hidup, yang sedikit banyaknya mengerti. Lalu mereka pun mengangkat dua teman mereka yang telah menjadi mayat dan memapah tiga orang lainnya yang lukaluka akibat serangan Ayothomori. Salah seorang dari mereka yang bertubuh tegap dan bernama Indrajit, memandang gusar pada Ayothomori yang balas memandangnya dengan nafsu membunuh.
"Satu saat... kau akan mendapat ganjaran dari tindakan keji yang telah kau lakukan," ancam Indrajit dalam hati. Lalu sambil membopong mayat salah seorang temannya, dia menyusul keempat temannya yang lain. Malam semakin datang. Sinar rembulan di ujung Sana berenang-renang di lautan lepas. Ombak terus berdebur dan udara kian dingin.
Dalam kesempatan itu, Hiedha Ogawa mengutarakan maksudnya untuk meminta bantuan Pendekar Slebor menangkap Nomuro Shasuke. Andika sendiri yang sebenarnya tidak suka melihat pandangan dan perbuatan kejam yang dilakukan oleh Ayothomori cuma menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak bisa berjanji banyak. Kendati demikian akan kucoba untuk membantu kalian. Katakan padaku seperti apa ciri orang yang bernama Nomuro Shasuke?"
"Lelaki itu bertampang bengis. Memiliki kepandaian tinggi. Wajahnya tak jauh berbeda dengan kebanyakan orang Jepang seperti kami. Tetapi pada bahu kanannya terdapat rajahan matahari berwarna merah.
Satu hal lagi, dia sangat pandai menyamar," sahut Hiedha.
Andika cuma menganggukkan kepalanya saja. Diam-diam dia membatin, "Aku harus mengurus para nelayan itu. Kulihat tadi pandangan pemuda yang bergerak paling akhir begitu mendendam. Tetapi siapapun wajar bila mendendam, karena tindakan Ayothomori sungguh di luar batas." Kemudian sambil pandangi ketiga samurai itu bergantian, Andika berkata, "Kalau begitu... kita berpisah di sini!" Habis kata-katanya pemuda urakan dari Lembah Kutukan itu sudah berkelebat. Sepeninggalnya, Ayothomori membuka mulut gusar, "Hiedha-san! Apakah orang semacam itu yang kau harapkan bantuannya" Tidakkah kau lihat sendiri sikapnya yang merasa lebih jago dari kita"!" Hiedha Ogawa tidak segera menjawab. Masih dipandanginya sosok pemuda berpakaian hijau pupus yang semakin lama menghilang dari pandangannya.
Menyadari pertanyaannya tak dijawab, Ayothomori mengulanginya, kali ini lebih keras, "Percuma mengharapkan bantuan pemuda seperti itu! Apa yang barusan diperlihatkannya kepada kita, sungguh menjengkelkan!" Hiedha Ogawa menyahut tanpa palingkan wajahnya, "Biar bagaimanapun juga, kita membutuhkan bantuannya. Dan aku yakin, seorang pendekar memang tak pernah mau membuat janji, tetapi di dalam hatinya dia akan membantu tanpa diminta lagi."
"Menilik kata-katamu, kau nampaknya masih tetap mengharapkan bantuannya?"
"Ya! Paling tidak ilmu yang dimilikinya cukup tinggi!" sahut Hiedha Ogawa sambil putar tubuh. Dipandanginya Ayothomori lekatlekat. Lalu terdengar suaranya agak jengkel, "Bukankah kau sendiri tadi merasakannya" Dapat dikalahkannya hanya beberapa kali gebrak!" Habis kata-katanya, Hiedha Ogawa melangkah pada arah yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Pendekar Slebor. Ayothomori yang hendak menyahut, langsung rapatkan mulutnya. Lalu terdengar rahangnya dikertakkan.
Dia melihat Mishima Nobu yang menggelenggelengkan kepalanya. Seperti mendapatkan kawan berbagi dia berkata, "Mishima! Aku belum menghadapinya dengan mempergunakan jurus 'Menjerat Matahari'!" Mishima Nobu cuma angkat kedua bahunya. Dan tanpa bicara sepatah kata pun dia menyusul Hiedha Ogawa. Di tempatnya, Ayothomori kepalkan tinju kanan dan kirinya.
"Keparat! Manusia-manusia keparat! Akan kutunjukkan pada kalian, siapa Ayothomori sebenarnya!" Habis bersuara begitu, lelaki bertubuh jangkung ini segera menyusul Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu.

*****

Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan setapak yang jauh dari pesisir pantai itu, satu sosok tubuh berpakaian merah gombrang dengan pakaian luar seperti rompi berwarna kuning, hentikan kelebatannya. Sepasang mata orang ini sipit dengan alis tipis. Rambutnya digelung ke atas, agak menampakkan lebar keningnya. Bibirnya yang agak memerah, tipis dan seper-ti membentuk garis lurus, merapat dalam. Di pinggangnya melilit kain berwarna putih dengan celana hitam gombrang. Di tangan kirinya tergenggam sebilah samurai. Kejap kemudian dia keluarkan dengusan, menyusul suaranya yang terdengar berat dan kaku, "Jahanam! Bila saja aku dapat bertindak lebih cermat, sudah tentu Kaisar Tokugawa Iesyasumoto akan mampus di ujung samuraiku! Dua kali aku melakukan pemberontakan tetapi gagal! Bahkan yang ketiga, di saat aku turun tangan sendiri pun gagal! Benar-benar dia memiliki nyawa rangkap!" Orang yang tak lain Nomuro Shasuke ini kembali terdiam. Matanya kian menyipit saat pandangannya mengarah pada segenap penjuru. Di kanan kirinya dipenuhi jajaran pepohonan dan ranggasan semak belukar.
"Huh! Biar bagaimanapun juga, aku menginginkan tampuk Kekaisaran! Akulah orang yang pantas me-mimpin Kekaisaran! Bukan tikus busuk seperti Tokugawa Iesyasumoto!" Wajah lelaki ini kian menegang. Sepasang matanya makin bertambah menyipit.
"Tak ada jalan lain.... Satu-satunya cara untuk kembali ke Jepang adalah dengan memupuk segala rencana dan melatih diri. Aku yakin, Kaisar tak akan tinggal diam. Dia tentunya telah mengutus orang-orangnya untuk mengejarku. Hhh! Tanah Jawa begitu luas... tak akan mudah mereka menemukanku! Apalagi aku yakin, orang-orang utusannya tak pernah datang ke tanah Jawa! Tak seperti yang pernah kulakukan sepuluh tahun lalu di saat aku melarikan diri dari tugas untuk mengatasi pemberontakan penguasa Owa-ri.... Tak seorang pun yang tahu kalau aku sesungguhnya pergi ke tanah Jawa dan kembali lagi dalam suasana tenang...." Dari wajahnya yang tegang diselingi nada-nada amarah, kali ini wajah lelaki berkulit kuning ini nampak agak tenang. Namun kebengisannya semakin nampak. Sepasang alis tipisnya yang menukik ke bawah seolah bertemu di pangkal hidung, menandakan betapa kejamnya orang ini.
"Dewi Permata Biru... hmmm, padanyalah aku akan meminta bantuan...," desisnya lagi.
"Tetapi... di manakah aku bisa menemukan perempuan yang sepuluh tahun lalu pernah berjumpa denganku di tanah Jawa ini" Sungguh bukan suatu urusan yang mudah." Sesaat lelaki yang gagal membunuh Kaisar Tokugawa Iesyasumoto ini terdiam, sebelum mendadak saja memegang perutnya yang terasa lapar.
"Bila aku berada di sini terus, sudah tentu aku tak akan bisa menemukan Dewi Permata Biru! Tetapi pertama-tama... aku harus cari makan dulu!" Memutuskan demikian, lelaki bengis ini segera bergerak lagi. Caranya berlari sungguh unik. Tubuhnya agak miring ke kanan seolah menepiskan angin, sementara kedua kakinya bergerak seperti berjingkat.
Dan dia begitu cepat berlari.
Tepat rembulan di tengah-tengah kepala, sepasang kaki Nomuro Shasuke memasuki dusun Bojong Tunggal. Sebuah dusun yang bila pagi dan siang hari sangat ramai, namun pada malam hari begitu sunyi.
Di setiap rumah terdapat lampu sentir yang cukup menerangi bagian depan rumah. Kendati demikian jalan di dusun itu agak sedikit gelap. Namun bagi mata Nomuro Shasuke yang terlatih, hal itu tidak membuatnya menjadi kelimpungan.
"Hmmm... kedatanganku ke sini tak boleh diketahui orang. Kukhawatirkan utusan Kaisar akan tiba di sini, maka secara tak langsung jejakku akan tercium.
Kalau begitu, aku akan menyelinap mencari makan." Dengan gerakan yang sangat cepat, lelaki berpakaian merah ini menyelinap ke dinding sebuah rumah yang paling ujung. Dinding yang terbuat dari bilik itu, dapat diterobos oleh pandangannya. Dilihatnya dua sosok tubuh sedang terlelap. Dan di antara dua sosok tubuh itu terdapat seorang bayi lelaki yang nampak begitu tenang tidurnya.
"Aku yakin... mereka mempunyai makanan...," desisnya.
Lalu perlahan-lahan Namuro melangkah ke belakang rumah itu. Pintu rumah hanya dikunci dengan sebuah kayu yang terkait di kanan kiri. Dengan pergunakan samurainya, Nomuro berhasil merobek pintu yang juga terbuat dari bilik. Lalu dimasukkan tangannya dan diangkat palang pintu itu. Dengan hati-hati dia menutupnya kembali. Sejenak lelaki ini memperhatikan sekelilingnya. Diperiksanya dulu pemilik rumah itu yang masih terlelap sebelum memeriksa ruangan yang paling dekat dengannya. Begitu dia mendapatkan makanan, lelaki ini segera mela-hapnya kendati sejenak agak terheran-heran dengan rasa makanan yang didapatnya.
Selagi Nomuro Shasuke asyik melahap makanan yang didapatnya, pemilik rumah itu terbangun karena hendak membuang air. Lelaki bertubuh tegap yang berusia kira-kira dua puluh lima tahun ini, merapikan kain sarungnya. Tanpa rasa curiga, dia melangkah ke belakang.
Langkahnya langsung terhenti tatkala melihat satu sosok tubuh yang membelakanginya. Seketika itu pula dia membentak, "Heiii! Siapa kau"!" Nomuro Shasuke terhenyak. Cepat dia putar tubuhnya. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat pula, samurainya telah dicabut dan digerakkan melintang ke arah perut.
Crasss! Tanpa sempat menghindar maupun berteriak lagi, tubuh si pemilik rumah langsung rubuh dengan darah membuyar. Rupanya keributan singkat itu memancing perhatian istrinya. Dari dalam kamar, perempuan yang berparas jelita ini berseru, "Kang Pandi! Kang! Ada apa"!" Dan dia menjerit tertahan tatkala satu sosok tubuh telah berdiri di hadapannya. Di tangan lelaki yang muncul itu terdapat samurai yang di ujungnya bersimbah darah. Sadar kalau bahaya maut siap mengancamnya, perempuan itu buru-buru bangkit dan bersiap melarikan diri.
Akan tetapi, dengan satu lompatan saja, ujung samurai Nomuro Shasuke telah merobek punggung si perempuan yang langsung terbanting ke tanah. Lalu dengan kejamnya, lelaki bengis ini membunuh bayi yang baru berusia lima bulan.
Begitu selesai menghabisi seisi penghuni rumah, Nomuro Shasuke bermaksud untuk meninggalkan tempat itu. Tatkala dia tiba di luar, dilihatnya obor-obor telah menyala. Oborobor yang dipegang oleh beberapa lelaki.
Rupanya keributan di rumah Pandi itu terdengar oleh tetangga sebelah yang segera terbangun untuk melihat. Bersamaan lelaki itu keluar, lima orang pe-ronda tepat melewati jalan itu. Maka bersama-sama mereka mendatangi rumah Pandi, tepat di saat Nomuro Shasuke membuka pintu.
Nomuro Shasuke keluarkan makian dalam bahasa Jepang. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang ke depan. Samurainya disabetkan dengan cara mengayun, melintang, bahkan dari bawah ke atas.
Tiga orang langsung ambruk dengan bersimbah darah. Tiga orang lainnya mencoba mengurung Nomuro yang memandang tanpa kedip.
"Benar-benar celaka! Mereka bisa mengenaliku! Dan bukan itu saja, penduduk yang lain bisa terbangun! Aku harus cepat bergerak!" Sebelum Nomuro Shasuke menjalankan niat, apa yang dikhawatirkannya terjadi. Karena mendadak saja puluhan orang telah muncul dengan membawa obor.
Suasana desa yang hening kini menjadi begitu ramai.
Tanpa bertanya lagi, orang-orang yang berdatangan itu tahu apa yang terjadi, begitu melihat mayat tiga orang teman mereka dan orang asing yang memegang samurai bersimbah darah. Mereka langsung mengurung Nomuro yang nampak sedikit panik. Persis seekor tikus yang masuk perangkap kucing.
"Sial! Nasibku sungguh sial!" maki Nomuro dalam hati. Dia berputar-putar dengan ujung samurai siap diayunkan. Begitu tiga orang merangsek maju dengan parang di tangan, segera saja dengan teriakan meng-guntur, lelaki bengis ini segera mengayunkan samurainya. Dua orang mengalami nasib naas, langsung ambruk dengan perut robek. Melihat keadaan itu, yang lainnya serentak merangsek maju. Parang-parang mengayun ke arah Nomuro yang segera menangkis.
Traanggg! Lalu dengan gerakan yang sangat terlatih dia menyabetkan samurainya berulang kali dengan gerakan mundur maju dan mata yang berkesiuran cepat.
Tetapi para penduduk dusun itu semakin menjadi nekat. Mereka terus menyerang dengan disertai teriakan-teriakan keras. Nomuro sendiri kendati memiliki ilmu samurai yang tinggi namun memiliki tenaga yang terbatas. Tak mungkin dia bisa andalkan kecepatan-nya bila tenaganya telah terkuras. Memikirkan soal itu, lelaki kejam ini mencoba mencari kesempatan untuk lolos. Akan tetapi jelas tidak mudah. Para penduduk sudah tentu tak akan membiarkannya lolos. Mereka terus mengepung dan semakin lama semakin dekat sambil ayunkan senjata di tangan. Sebisanya Nomuro Shasuke mempertahankan selembar nyawanya. Suara senjata yang beradu semakin keras terdengar. Kaki kanan Nomuro sendiri telah ter-sabet parang salah seorang penduduk. Kendati demikian, dia masih ngotot untuk mempertahankan diri meskipun lambat laun disadarinya kalau nyawanya akan putus malam ini juga.
Dalam keadaan yang sangat kritis bagi lelaki kejam itu, mendadak saja menghampar satu gelombang angin dari belakang. Menghantam para penduduk yang siap merejam tubuh Nomuro.
Saat itu pula sebagian penduduk yang sedang mengurung Nomuro, berpentalan jauh dengan suara pekikan. Beberapa orang muntah darah sebelum ambruk. Belum lagi yang lainnya menyadari apa yang telah terjadi, satu gelombang angin lainnya yang keluarkan suara menggemuruh sudah menggebrak.
"Menghindar!" salah seorang berseru.
Tetapi terlambat, karena gelombang angin itu telah mendekat. Tanpa ampun lagi sisa para penduduk itu berjumpalitan ke belakang dilabrak gelombang angin yang keras. Nomuro Shasuke sendiri merasa kaget dengan apa yang terjadi. Sebelum dia sadar sepenuhnya, mendadak saja satu sosok tubuh yang keluarkan aroma harum telah menyambarnya. Lalu dengan gerak yang sangat cepat melompat ke atap rumah dan berkelebat dari satu atap ke atap lain sebelum akhirnya menghilang. Sebagian penduduk hanya melihat kalau orang yang menyelamatkan orang asing itu, di keningnya terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru!

***

↕::↕ 4 ↕::↕

Pendekar Slebor yang tiba di dusun Bojong Tunggal dua hari kemudian hanya kertakkan rahangnya mendengar cerita para penduduk. Diam-diam dia mendesis dalam hati, "Ciri-ciri yang dikatakan, jelas mengarah pada Nomuro Shasuke. Kutu monyet! Sampai ke mana pun akan kukejar manusia celaka itu!" Lalu pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini pun berpamitan. Dari salah seorang penduduk dia mendapatkan petunjuk kalau pembunuh yang diselamatkan oleh seseorang yang di keningnya terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru, bergerak ke arah timur. Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, Andika terus berkelebat. Wajah tampannya tertekuk dalam-dalam mengingat betapa telengasnya pembunuh dari Jepang itu.
"Huh! Dua kali aku mengalami pengalaman jelek! Pertama dari tiga samurai yang baru mendarat di Pesisir Laut Jawa! Salah seorang dari mereka lelah menurunkan tangan telengas! Kedua, pemberontak dan pembunuh yang sedang dicari mereka! Tetapi menilik kekejaman yang terjadi, apa bedanya antara Ayothomori dengan Nomuro Shasuke?" Pemuda dari Lembah Kutukan ini terus berkelebat tanpa sekali pan berhenti. Akar yang menyembul keluar dan ranggasan semak belukar dilompatinya dengan gerakan ringan.
"Datang ke tanah leluhurku bukannya membawa persahabatan, tetapi justru menumpahkan darah! Benar-benar manusia celaka!" Di sebuah tempat yang agak luas dan dipenuhi dengan pepohonan dan ranggasan semak setinggi dada, pemuda tampan yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini hentikan larinya. Nafasnya agak terengah sedikit. Setelah diatur, nafasnya kembali normal. Kejap kemudian terdengar suaranya, "Kadal buduk! Akan kujitak kepalanya sampai benjol kalau berhasil kutemukan! Benar-benar manusia...."
"Huh! Bicara sembarangan! Siapa orang yang kau maksud hendak kau jitak sampai benjol, hah"!" satu suara dari atas pohon memutus kata-katanya.
Serta-merta Andika segera angkat kepalanya. Dilihatnya seorang gadis berambut tergerai panjang sedang duduk beruncang kaki di sebuah dahan yang kecil. Dari caranya duduk, terlihat kalau si gadis memiliki ilmu peringan tubuh.
Pandangannya agak tajam pada Andika. Kalau tadi pemuda berpakaian hijau pupus ini ngomel-ngomel sendiri, kali ini cengar-cengir.
"Eh! Lagi apa, Non" Nungguin monyet kawin?" selorohnya.
Sepasang mata si gadis makin melotot. Lalu dengan ringannya dia melompat turun dan berdiri berjarak lima langkah dari hadapan Andika. Langsung berkacak pinggang.
Dari jarak yang cukup dekat itu, Andika bisa melihat betapa cantiknya wajah si gadis. Berbentuk bulat telur dengan kulit kuning langsat. Hidungnya mancung dengan bibir memerah. Alisnya hitam legam. Pada rambutnya yang indah, terdapat ronce bunga melati dengan sebuah tusuk konde.
Bila saja sepasang matanya tidak sedang melotot, sungguh sangat indah bola matanya itu.
"Enaknya ngomong! Kau sedang ngapain bicara ingin bikin benjol kepala orang, hah"! Yang berada di sini cuma kau dan aku! Kalau kau ingin bikin benjol kepalaku, jelas akan kuhajar! Huh! Paling-paling yang akan kau jitak kepalamu sendiri!"
"Busyet! Mulutnya nyinyir betul" Siapa gadis berpakaian biru menyala dengan ikat pinggang putih ini?" tanya Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia berkata, "Sudah tentu tak mungkin kujitak kepalaku sendiri sampai benjol! Ya... kalau kau tidak mau kujitak sampai benjol, ya tidak apa-apa! Toh memang bukan kau yang ingin kubikin benjol! Eh! Aku masih ada urusan nih! Maklum... orang penting memang suka sibuk! Sudah ya" Sampai jumpa kapan-kapan!" Lalu dengan sikap santai, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera melangkah. Namun baru tiga langkah, si gadis sudah keluarkan bentakan, "Meninggalkan lawan bicara seenak jidat sungguh perbuatan tidak sopan! Kau patut dihajar!" Habis seruannya, mendadak saja si gadis gerakkan tangan kanannya ke arah Andika. Segera saja menghampar angin yang keluarkan hawa panas.
Merasakan ada deru angin ke arahnya, Andika cuma putar tubuh setengah lingkaran.
Wuuuttt! Hamparan angin yang dilepaskan si gadis lolos dari sasarannya dan melabrak sebatang pohon yang sebagian dedaunannya langsung berguguran.
Diserang seperti itu Andika menjadi jengkel juga.
"Apa-apaan ini" Kenal juga tidak, main serang begitu saja! Kalau kena bagaimana, hah"!"
"Ya, kau kesakitan!" sahut si gadis sambil lipat kedua tangannya di depan dada.
"Brengsek! Bicaramu kok enak betul! Siapa sih kau sebenarnya?" sungut Andika jengkel.
Gadis yang di rambutnya terdapat ronce bunga melati ini, menyahut ketus, "Katakan dulu siapa namamu... maka akan kukatakan siapa namaku!" Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Karena dia sudah jengkel, makanya dia menjawab asal saja, "Namaku Paradita! Nah, siapa namamu"!" Sejenak gadis di hadapannya terdiam. Kemudian berkata, "Namaku Widarti."
"Nah! Kalau masing-masing sudah sebutkan nama, ada urusan apa lagi?"
"Ada yang hendak kutanyakan padamu...,"
"Aku bukan tempat yang tepat untuk bertanya! Tetapi ya... kalau kau tanyakan apakah aku ganteng atau tidak, sudah tentu kujawab aku paling ganteng sedunia"
"Ya, di antara yang jelek!" sahut Widarti sambil memonyongkan mulutnya.
Andika mendengus.
"Bisa juga dia ngomong!" katanya dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau tanyakan?"
"Ada dua pertanyaanku! Pertama... tahukah kau di mana perempuan berjuluk Dewi Permata Biru bera da?" Kali ini Andika kerutkan keningnya dan membatin, "Dewi Permata Biru" Rasarasanya... baru kali ini kudengar julukan itu. Siapa dia sebenarnya" Dan mau apa gadis ini bertanya soal perempuan berjuluk Dewi Permata Biru?"
"Hei, kau tahu tidak"!" seru Widarti tiba-tiba.
"Kalau tidak tahu, jangan berlagak tahu! Huh! Kayak kambing ompong!" Andika cuma nyengir saja. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Kalau aku menggeleng, apakah kau mengaku aku orang yang paling ganteng?"
"Keblinger! Pertanyaanku kedua...," tahu-tahu si gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu dengan pandangan melecehkan dia berkata, "Hmmm... sudah pasti kau tidak tahu juga! Huh! Percuma saja!"
"Kalau sudah tahu percuma, mengapa masih memaksa?" balas Andika.
"Ya sudah! Kalau kau mau pergi, pergi saja sana!"
"Itu juga lebih baik ketimbang kepalaku jadi pusing!"
"Huh! Bicara sembarangan!" Andika tertawa pelan.
"Coba kau ceritakan pada-ku, mengapa kau mencari Dewi Permata Biru?"
"Buat apa?"
"Ya... barangkali saja bila aku bertemu dengannya, akan kukatakan kau mencarinya!" Di luar dugaan Andika, justru si gadis membentak, "Aku ingin membunuhnya bila bertemu dengan perempuan celaka itu!" Kali ini Andika benar-benar kerutkan keningnya.
Pandangannya lurus pada Widarti yang mendadak menjadi tegang.
"Ada sesuatu yang telah terjadi," duga Andika. La-lu berkata, "Ceritakan padaku... apa yang telah terjadi?" Widarti tak segera menjawab. Nafasnya mendadak memburu. Lalu dengan kedua tinju dikepalkan kuat-kuat, gadis ini berkata, "Perempuan celaka itu telah membunuh guruku!" Lalu tanpa diminta lagi, Widarti menceritakan apa yang terjadi. Gadis berpakaian biru menyala ini sebenarnya murid dari seorang tokoh yang berjuluk Pendekar Bayangan, yang tinggal di Lembah Bayang-Bayang.
Semenjak kecil, Widarti yang tak pernah mengenal orangtuanya karena ditemukan oleh Pendekar Bayangan sedang menangis di sebuah hutan, tinggal sekaligus berlatih ilmu yang diturunkan oleh Pendekar Bayangan. Tatkala Widarti berusia lima belas tahun, dia ditinggal oleh Pendekar Bayangan selama dua minggu.
Dan gurunya kembali dalam keadaan luka parah. Dari cerita gurunya setelah sembuh berkat perawatan Widarti, gadis ini tahu kalau gurunya mempunyai musuh perempuan berjuluk Dewi Permata Biru. Permusuhan itu dimulai tatkala Pendekar Bayangan menolak cinta Dewi Permata Biru. Penolakan itu disebabkan karena Pendekar Bayangan telah mempunyai istri. Tetapi Dewi Permata Biru tak pernah mau tahu soal itu. Dia tetap bersikeras untuk menjadi istri Pendekar Bayangan.
Bahkan tatkala Pendekar Bayangan meninggalkan rumah, Dewi Permata Biru datang dan membunuh istrinya. Kala itu Pendekar Bayangan tinggal di lereng Bukit Arwah. Bertepatan Dewi Permata Biru keluar da-ri rumahnya, Pendekar Bayangan muncul. Bahkan dengan lantangnya Dewi Permata Biru mengatakan kalau dia baru saja membunuh istri Pendekar Bayangan.
Pertarungan sengit terjadi dan kemenangan berada di pihak Pendekar Bayangan. Bila saja Dewi Perma-ta Biru tidak meraup pasir dan melemparkannya ke arah Pendekar Bayangan, niscaya perempuan itu akan tewas saat itu juga. Dengan hati pedih Pendekar Bayangan menguburkan jenazah istrinya yang kala itu sedang hamil dua bulan.
Dalam kedukaannya dia berusaha keras untuk menemukan Dewi Permata Biru. Sampai setahun kemudian dia menemukan Widarti yang kala itu berusia sekitar dua tahun. Entah mengapa orangtua Widarti meninggalkannya menangis sendirian di sebuah hutan. Kehadiran Widarti lambat laun dapat membuat Pendekar Bayangan melupakan dendamnya pada Dewi Permata Biru. Namun perempuan yang tetap mencintainya itu, justru datang mencarinya. Dia menantang Pendekar Bayangan bertarung di Puncak Karimata.
Pertarungan itu berimbang dan masing-masing orang menderita luka parah. Pada saat itulah Widarti mengo-bati Pendekar Bayangan.
Dan sekitar sebulan yang lalu, Dewi Permata Biru muncul kembali di hadapan Pendekar Bayangan. Saat itu Widarti sedang mandi di sungai. Gadis ini tidak ta-hu apa yang terjadi kemudian. Dengan akal liciknya, Dewi Permata Biru yang datang dengan berlagak menyesali segala perbuatannya, berhasil menotok Pendekar Bayangan hingga tak mampu bergerak. Saat itulah dengan kejamnya Dewi Permata Biru menghabisinya.
Lalu dengan tawa puas yang berkumandang lebar, Dewi Permata Biru berlalu dari sana. Lima kejapan mata kemudian, Widarti datang. Alangkah terkejutnya gadis ini mendapati gurunya terkapar penuh luka. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pendekar Bayangan masih dapat mengatakan siapa yang telah melakukan perbuatan keji itu.
Dengan menindih segala gundah, gadis ini mengubur jenazah gurunya. Lalu mulailah dia melakukan perjalanan untuk mencari Dewi Permata Biru.
"Guru juga mengatakan padaku, agar aku meminta bantuan seseorang," kata si gadis di akhir ceritanya.
Andika cuma manggut-manggut.
"Hmmm... secara tak langsung, aku terlihat dua urusan yang berbahaya.
Pertama mencari pembunuh dari Jepang bernama Nomuro Shasuke. Dan kedua, sudah tentu aku tak bisa berpangku tangan untuk tidak mencari perempuan berjuluk Dewi Permata Biru. Hei! Permata Biru" Bukankah menurut para penduduk dusun Bojong Tunggal, seorang perempuan yang menyelamatkan Nomuro Shasuke terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru pada keningnya" Jangan-jangan... orang itulah yang berjuluk Dewi Permata Biru" Tetapi... urusan apa dia menyelamatkan Nomuro Shasuke?" Selagi Andika terdiam, Widarti berkata agak keras, "Hei! Kenapa kau jadi bengong begitu" Kau merasa kasihan padaku, ya" Huh! Aku tidak pernah mau dikasihani!" Andika buru-buru mengubah sikapnya.
"Tidak, aku tidak merasa kasihan padamu." katanya segera agar si gadis tidak salah paham.
"Widarti, aku akan mencoba mencari Dewi Permata Biru...."
"Bagus! Dan terus terang, kuucapkan terima kasih atas niat baikmu itu!"
"Kalau begitu... kita berpisah di sini. Masih ada urusan yang harus kuselesaikan!" Widarti cuma menganggukkan kepalanya. Andika tersenyum sejenak, lalu segera putar tubuh dan berlari meninggalkan si gadis.
Dan seperti baru ingat akan sesuatu, Widarti berteriak, "Paradita! Kenalkah kau dengan seorang pemuda bernama Andika yang berjuluk Pendekar Slebor"!" Tetapi sosok pemuda dari Lembah Kutukan yang dikenalnya sebagai Paradita itu, sudah menjauh dan tak mendengar lagi teriakan Widarti. Tinggal si gadis yang menghela napas sekarang.
"Hmmm... ke mana lagi harus kucari Dewi Permata Biru" Juga Pendekar Slebor yang dikatakan Guru sebelum ajalnya" Aku harus meminta bantuannya! Huh! Urusan ini benar-benar bikin kepalaku pusing! Tetapi biar bagaimanapun juga, aku harus tetap membalas perbuatan Dewi Permata Biru!" Dua kejapan mata kemudian, gadis jelita yang di rambutnya terdapat ronce bunga melati yang makin menambah kejelitaannya ini, segera berkelebat ke arah yang berlawanan yang ditempuh Andika. Tempat itu langsung digigit sepi.

***

↕::↕ 5 ↕::↕

Di sebuah gubuk kecil yang terdapat di tengahtengah Hutan Bawengan, terdengar desah dan rintihan manja berbalur kenikmatan.
Menyusul suara kikikan seorang perempuan dan bersuara terengah-engah, "Luar biasa! Kau masih memiliki kemampuan seperti dulu, Nomuro-san...."
"Justru kau yang tak pernah berubah, Dewi....
Kau tetap pandai memberikan kenikmatan pada lelaki...," sahut suara kedua yang juga agak tersengal. La-lu terdengar lagi suaranya, "Begitu bodoh Pendekar Bayangan yang menolak cintaimu hanya karena telah mempunyai seorang istri...."
"Hihihi... Nomuro-san.... Kau sengaja membangkitkan ingatanku padanya atau memang sekadar bicara" Tetapi sudahlah, manusia itu telah mampus kubunuh sebulan yang lalu. Dan melihat kematiannya, aku puas, sangat puas...." Dari dalam gubuk yang diredupi oleh pepohonan yang menggagalkan sorot matahari senja mengarah pada gubuk itu, Nomuro Shasuke bangkit dari dipan bambu yang baru saja dipakainya mengejar kenikmatan dengan Dewi Permata Biru. Saat menggerakkan tangan kanannya, nampak di bahunya sebuah rajahan matahari berwarna merah.
Sejenak dipandanginya sosok perempuan jelita yang berusia kira-kira empat puluh lima tahun itu, yang telentang dalam keadaan telanjang. Dan tak sekali pun perempuan ini berusaha menutupi bagianbagian tubuhnya yang terbuka lebar.
"Sungguh menyenangkan mempunyai kawan seperti perempuan ini. Sungguh menyenangkan pula karena dia memang sedang dirundung kelaraan karena cintanya ditolak. Dan biarpun katanya Pendekar Bayangan telah tewas di tangannya, aku tetap berkeyakinan kalau perempuan ini masih memendam cintanya. Huh! Peduli setan! Untuk apa aku memikirkan soal itu" Yang penting, dia datang tepat di saat aku membutuhkan bantuannya.
Juga... dia dapat dijadikan tempat pelampiasan nafsuku...." Lalu dengan gerakan yang cepat, lelaki dari Jepang ini segera mengenakan pakaiannya kembali. Tangan perempuan yang masih telanjang bulat menggapainya.
"Mau ke mana" Mengapa kau sudah berpakaian?" Nomuro Shasuke cuma pentangkan senyum.
Dewi Permata Biru berkata lagi, "Apakah kau tidak ingin mengulanginya?"
"Sudah tentu aku masih ingin. Bahkan tak pernah puas. Seumur hidupku, baru denganmulah ku rasakan kenikmatan surga dunia yang sesungguhnya...."
"Ah, aku jadi malu mendengarnya. Mana mungkin orang seperti kau tak pernah merasakan kenikmatan yang diberikan para geisha di Jepang" Kudengar, mereka sangat ahli dalam pelayanan yang satu itu...."
"Tidak salah! Tetapi yang menilai tentunya aku, karena aku yang melakukannya!" sahut Nomuro Shasuke sambil tersenyum. Tangan kanannya menjamah payudara Dewi Permata Biru yang sejenak memejamkan matanya saat payudaranya diremas-remas.
"Kau semakin membuatku malu...," sahut perempuan yang di keningnya bertengger sebuah permata yang pancarkan sinar biru, yang dikaitkan ke belakang kepalanya. Kaitan benang halus itu tak nampak karena disembunyikan di balik lebatnya rambut yang dimilikinya.
"Dewi... ada sesuatu yang ingin kubicarakan...," kata Nomuro Shasuke kemudian.
"Berpakaianlah...." Dewi Permata Biru mengerling manja.
"Nomurosan... apakah kau lebih suka aku berpakaian ataukah seperti keadaan sekarang ini?"
"Sudah tentu seperti sekarang ini. Tetapi, aku khawatir nafsuku akan naik kembali hingga urusanku tak akan selesai," sahut Nomuro Shasuke, lalu melanjutkan dalam hati, "Hhhh! Dasar perempuan bodoh! Kau tidak tahu kalau dirimu sedang kumanfaatkan! Siapa orangnya yang mau meninggalkan tubuh molek seperti yang kau miliki, hah"! Dasar Pendekar Bayangan saja yang bodoh, yang akhirnya istri dan dirinya sendiri harus mampus di tangan perempuan ini!" Sambil tertawa genit perempuan jelita yang di keningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan sinar biru itu bangkit. Dia sejenak menggeliat, seolah hendak menunjukkan payudaranya yang besar dan kencang itu. Lalu dengan dibantu oleh Nomuro Shasuke, dia mengenakan pakaian dalamnya yang berwarna putih.
Lalu mengenakan pakaian luarnya, panjang dan berwarna merah menyala. Nomuro sendiri yang kemudian melilitkan selendang putih ke pinggang ramping Dewi Permata Biru.
"Sejak semula aku sudah yakin, kau tak mungkin datang ke tanah Jawa ini sekadar mencariku. Tentunya ada urusan yang sangat penting. Dan kebetulan sekali, aku tiba di dusun Bojong Tunggal, di saat nya-wamu akan putus di tangan para penduduk. Nah, katakan apa yang kau hendaki dariku?" Nomuro Shasuke selain kejam juga termasuk orang yang memiliki banyak akal licik. Sudah tentu ka-ta-kata Dewi Permata Biru tadi membuatnya menjadi jengah. Terburu-buru dia berkata, "Sebetulnya... urusanku datang ke tanah Jawa ini sudah tentu mencarimu, Dewi. Aku sangat rindu padamu. Tetapi bila kuingat kau masih mencintai Pendekar Bayangan, aku selalu mengurungkan niat untuk datang menjumpaimu. Kusadari betul, kalau aku sudah tentu tak akan mendapatkan cintamu...." Dewi Permata Biru kembangkan senyum. Kendati dia tahu kalau lelaki bertampang bengis ini hanya ber-dusta, tetapi dia senang diperlakukan seperti itu.
"Bukankah sekarang orang yang kucintai sudah tewas" Dan tentunya kesempatanmu lebih besar, bukan?" Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dikecupnya bibir merah yang menantang di hadapannya. Setelah itu dia berkata, "Dewi... aku membutuhkan bantuanmu...."
"Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan" Untuk seseorang yang mau mengerti tentang diriku, cintaku dan kasihku, aku rela mengorbankan nyawa...."
"Hmmm... sungguh kasihan sebenarnya perempuan ini. Sejak lama dia merindukan kasih sayang.
Malangnya dia jatuhkan pilihan pada Pendekar Bayangan yang telah beristri. Tetapi masa bodoh! Aku telah mendapatkan kesempatan yang memang kucari. Dengan kepandaiannya, aku bisa menjalankan semua rencanaku. Paling tidak, membunuh orang-orang yang diutus Kaisar Tokugawa Iesyasumoto." Habis membatin begitu, Nomuro segera menceritakan apa yang telah dialaminya. Lalu, "Aku yakin, Kaisar mengutus orangorangnya untuk menang-kapku...." Dewi Permata Biru berkata sambil tersenyum, "Mengapa kau pusingkan soal itu" Biar kubunuh orang-orang Kaisar keparatmu itu!"
"Oh! Terima kasih, Dewi! Satu lagi, aku ingin mendapatkan tempat yang paling aman yang tentunya menurutmu...."
"Mengapa kau mencari tempat seperti itu" Nomuro-san... tak perlu bersembunyi dari kejaran orangorang Kaisar celakamu itu. Kupikir... mereka bukanlah sebuah kekuatan yang mengerikan...."
"Kau bisa saja berkata demikian. Tetapi aku yakin, Hiedha Ogawa pasti turut andil dalam memburu nyawaku," kata Nomuro Shasuke dalam hati.
Melihat lelaki beralis tipis ini terdiam, Dewi Permata Biru berkata, "Mengapa kau terdiam" Apakah kau sekarang sudah tidak memiliki nyali lagi, hah" In-ikah yang dulu pernah kau banggakan, kalau seorang samurai sejati pantang menyerah dan lebih baik mati ketimbang harga dirinya diinjak-injak?" Mendengar kata-kata yang mengandung ejekan itu, mata Nomuro semakin menyipit. Tetapi buru-buru dia tersenyum seraya berkata, "Aku masih tetap meninggikan derajat sebagai seorang samurai yang kumiliki. Tetapi aku tak mau tewas lebih dulu sebelum ren-canaku untuk merebut takhta Kaisar Tokugawa Iesyasumoto berhasil kujalankan...."
"Aku sangat paham maksudmu. Hanya saja, mengapa kau nampak begitu gelisah?"
"Keparat terkutuk! Lama kelamaan aku tak bisa tahan amarahku mendengar ucapan sialannya!" maki Nomuro dalam hati. Tetapi dia justru tersenyum saat berkata, "Memang ada yang menggelisahkanku."
"Katakan...."
"Aku mendengar kabar, kalau di tanah Jawa ini ada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor.
Pemuda yang bersahabat dengan Saburo. Dan aku yakin, setelah orang-orang Kaisar mengetahui aku pergi ke tanah Jawa, mereka akan mendatangi Saburo-san, untuk mendapatkan petunjuk. Kukira, Saburo-san tentunya mengatakan kalau Pendekar Slebor lah orang yang patut dimintai bantuan...." Dewi Permata Biru lagi-lagi tersenyum.
"Tak perlu khawatir. Aku memang pernah mendengar julukan pemuda itu. Tetapi... nampaknya dia bukanlah sebangsa orang yang perlu ditakuti. Demi untuk itu, biar ku urus orang-orang yang mengejarmu, sekaligus membunuh Pendekar Slebor. Di samping itu, akan kita susun penyerangan pada Kaisar Tokugawa Iesyasumoto. Jangan khawatir, aku memiliki beberapa orang kambrat yang tentunya bersedia membantu. Terlebih lagi, seorang kambrat yang memang mendendam pada Pendekar Slebor. Tetapi karena aku masih mengurusi soal Pendekar Bayangan, maka aku tak pernah tertarik dengan segala urusannya pada pemuda dari Lembah Kutukan itu beberapa minggu lalu. Percayalah... kau akan bisa tidur nyenyak selagi aku masih berada di sisimu...."
"Aku ingin tahu seperti apa Pendekar Slebor...."
"Kau tak perlu tahu. Sekali lagi kukatakan, kau akan aman di sini...."
"Oh, terima kasih, Dewi! Terima kasih...," sahut Nomuro Shasuke sambil merangkul perempuan itu kembali, yang seketika rebah di atas dipan. Diamdiam, lelaki dari Jepang ini membatin, "Aku akan mencari tahu seperti apa Pendekar Slebor...." Lalu dengan beringas, dilucutinya seluruh pakaian yang dikenakan Dewi Permata Biru yang cuma terkikik-kikik saja. Malah kedua tangannya yang dihiasi ja-ri jemari lentik juga berusaha membuka pakaian Nomuro Shasuke.
"Menyenangkan sekali.... Aku sangat suka ini...," desisnya sambil mengikik. Tahu-tahu dia berkata, "Tetapi ingat, Nomuro-san...
aku paling tidak suka dengan orang yang mengkhianatiku..." Nomuro Shasuke tak sahuti ucapan Dewi Permata Biru. Dia terus berusaha mengejar apa yang ingin di-dapatkannya kembali.
Kejap kemudian, yang terdengar dari gubuk itu hanyalah desahan napas memburu diselingi ucapanucapan cabul.

***

↕::↕ 6 ↕::↕

Matahari kembali memunculkan diri dari ufuk timur tatkala Pendekar Slebor tiba di Hutan Bawengan.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini sejenak pandangi sekitarnya sebelum meneruskan larinya memasuki Hutan Bawengan.
Angin menggeresek dedaunan, berguguran seolah menyambut kelebatan tubuhnya. Tepat di tengahtengah hutan itu, Andika hentikan larinya. Bukan dikarenakan dia merasa membutuhkan istirahat karena dadanya sudah mau pecah, melainkan karena sesuatu yang menarik perhatiannya.
Pandangannya menatap tak berkedip pada sebuah gubuk yang berdiri agak miring ke kanan berjarak lima tombak dari tempatnya berdiri. Masih pandangi gubuk itu, pemuda yang memiliki alis hitam legam laksana kepakan sayap elang ini membatin, "Hmmm... siapakah penghuni gubuk itu" Kendati sudah agak miring namun nampaknya masih layak dihuni. Atau... gubuk itu memang tak berpenghuni, hanya sebuah gubuk yang dijadikan sebagai tempat peristirahatan oleh para penebang kayu bela-ka" Busyet! Kalau cuma ngomong saja, mana aku bisa tahu siapa penghuni gubuk itu. Sebaiknya... kuperiksa saja...." Memutuskan demikian, Andika melangkah mendekati gubuk itu. Sejarak lima langkah dia sudah berteriak, "Hoooiii! Ada orang tidak" Kalau ada diam saja, kalau tidak ada menyahut! Eh! Terbalik, terbalik! Kalau ada orangnya menyahut, kalau tidak ada diam saja!" Lalu dengan sikap seenak perutnya, pemuda ini mendorong pintu gubuk itu sambil berseru, "Maaf nih ya kalau ada orangnya!" Tetap tak ada sahutan. Berarti memang tak ada orang di gubuk itu.
"Hmmm... tidak ada orang. Tetapi... bau apa ini?" desisnya sambil menggerak-gerakkan cuping hidungnya, mengendus.
"Ada aroma harum yang tersisa. Menilik aroma harum ini, nampaknya semalam ada yang menempati gubuk ini. Bisa juga dipastikan kalau yang singgah di sini pasti seorang perempuan. Lalu perempuan seperti apa yang berani-beraninya meninggalkan gubuk ini" Seorang diri ataukah mempunyai teman?" Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sambil putar tubuhnya kembali dia membatin, "Ke mana aku harus menemukan Nomuro Shasuke dan Dewi Permata Biru" Dua urusan sudah membentang di hadapanku. Mengejar pembunuh dari Jepang dan mengejar Dewi Permata Biru yang telah turunkan tangan pada Pendekar Bayangan.... Busyet! Kenapa begitu banyaknya orang yang suka menurunkan tangan telengas?" Andika memperhatikan kembali sekelilingnya.
"Kutu monyet! Semakin kupikirkan kok semakin buntu! Jangan-jangan otakku yang sudah tidak bisa dipakai lagi! Lebih baik aku... eh, tunggu dulu!" Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini terdiam. Otaknya diperas memikirkan sesuatu yang melintas pada benaknya.
Lalu diputar tubuhnya lagi, pandangannya diarahkan pada gubuk di hadapannya.
Cuping hidungnya bergerak-gerak.
"Aroma harum... ya, ya... bukankah apa yang katakan penduduk Bojong Tunggal, selain melihat perempuan yang menyelamatkan Nomuro Shasuke terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru, juga meninggalkan aroma harum" Jangan-jangan... uh! Kok aku jadi curigaan begini" Siapa tabu kebetulan saja ada seorang gadis pesolek yang menyinggahi tempat ini semalam.... Benar-benar kutu busuk! Bawaannya curigaan terus"!" Kembali pemuda urakan ini garuk-garuk kepalanya. Lalu diputuskan untuk meninggalkan tempat itu. Baru tiga langkah dia bergerak, dilihatnya satu sosok tubuh berlari cepat ke arahnya. Karena tak mungkin lagi untuk menghindari orang itu, Andika akhirnya sengaja menunggu.
Sementara itu, orang yang berlari ke arahnya sendiri nampak terkejut. Saat itu pula dia hentikan larinya. Pandangannya tajam pada Andika yang cuma tersenyum.
"Aneh! Kalau beberapa hari lalu aku kedatangan orang-orang dari negeri Matahari, nampaknya sekarang aku bertemu dengan orang dari India. Cara berpakaiannya menunjukkan dari mana dia berasal," kata Andika dalam hati.
Lelaki yang dikepalanya melilit sebuah sorban warna putih itu tegak tak bergerak. Sepasang matanya tajam ke arah Andika.
Pipinya dipenuhi dengan bulu-bulu halus. Hidungnya mancung dan agak bengkok.
Dia mengenakan pakaian panjang warna biru yang di luarnya dilapisi pakaian seperti rompi berwarna hitam.
Di pinggangnya melilit kain berwarna biru pula dan terselip sebilah golok yang sangat tajam.
Sesaat masing-masing orang tak ada yang buka suara. Andika sendiri cuma cengar-cengir saja, merasa lucu melihat cara orang itu berpakaian.
Dan karena tak enak berdiam diri seperti itu, Andika pun berkata, "Kenapa berhenti berlari" Apakah kau memang sengaja mencariku, atau kau berhenti karena melihatku?" Lelaki bersorban putih itu tak segera menjawab.
Pandangannya masih tajam. ke arah Andika. Lalu dengan suara agak sengau dan terbata-bata dia berkata, "Tak ada urusanku mencarimu. Tak ada urusanku berhenti karena melihatmu...."
"Nah, nah! Kok aneh" Kalau begitu kenapa berhenti" Cuma iseng, ya" Atau kau sudah kelelahan?" Lelaki itu terdiam kembali. Lalu berkata, "Siapa kau, Anak Muda?"
"Wah! Akhirnya kenalan juga!" sahut Andika masih cengar-cengir.
"Namaku Andika.
Nah, kau siapa?"
"Namaku... Pucha Kumar."
"Tepat dugaanku. Dari namanya saja sudah mencerminkan dari mana dia berasal. Jangan-jangan... dia datang ke sini mau jual martabak telor?" seloroh Andika dalam hati. Lalu berkata, "Apakah tanah India sudah tak layak lagi dihuni hingga kau hijrah ke sini, Pucha Kumar" Busyet! Namamu kok tidak enak banget ya disebut?" Lelaki bernama Pucha Kumar itu tak hiraukan selorohan Andika. Sikapnya sangat serius, pertanda dia memang jarang sekali bergurau. Kemudian katanya, "Aku datang... untuk mencari seorang pemuda berjuluk Pendekar Slebor...." Melengak pemuda urakan ini mendengar katakata orang. Kali ini cengirannya langsung lenyap. Tetapi ya... dasar urakan, dia kembali nyengir kembali.
"Ada apa kau mencari Pendekar Slebor?" ta-nyanya.
Bukan jawab pertanyaannya, Pucha Kumar justru balik bertanya, "Apakah kau mengenalnya?"
"O... sudah tentu! Siapa sih yang tidak kenal pemuda yang paling ganteng sedunia itu" Ngomongngomong... kenapa kau mencarinya?"
"Aku membutuhkan bantuan Pendekar Slebor.
Andika, bila kau mengenalnya, tolong beritahukan kepadaku, di mana aku dapat menemuinya?"
"Bantuan apa yang kau butuhkan?" tanya Andika lalu melanjutkan dalam hati, "Persoalan apa lagi yang dibawa penjual martabak telor ini?"
"Mungkin... kau sudah mendengar tentang seorang pembunuh dari Jepang yang datang ke tanah Jawa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke. Beberapa minggu lalu, lelaki itu mendarat di tanah India. Kemuncu-lannya ternyata justru membuat onar. Dua adik perempuanku telah diperkosa dan dibunuhnya. Sayang saat itu aku sedang bertapa hingga gagal menyelamatkan kedua adik perempuanku. Tetapi, aku tak berdiam diri. Kucari manusia celaka itu yang kemudian kudengar kabar, kalau dia mendarat di tanah Jawa ini.
Telah seminggu lamanya aku berada di sini. Setiap orang yang kutanyakan soal Nomuro Shasuke tak ada yang pernah memberikan jawaban memuaskan. Justru mereka berkata, carilah Pendekar Slebor, maka urusan akan tuntas...."
"Ah!" Andika menjadi jengah kendati hidungnya bergerak-gerak bangga. Lalu buruburu dia berkata, "Aku memang telah mendengar tentang pembunuh da-ri Jepang yang bernama Nomuro Shasuke. Bahkan dia telah membuat keonaran di sebuah dusun. Kini tiga orang utusan Kaisar Jepang tengah mencarinya...."
"Jahanam terkutuk!" Pucha Kumar kertakkan rahangnya. Wajahnya nampak tegang sekali. Saat dia melanjutkan kata-katanya, tangan kanannya mengepal keras, "Manusia celaka itu harus mampus!" Andika cuma manggut-manggut saja, seolah mengikuti getar kemarahan di hati Pucha Kumar.
Kemudian didengarnya lelaki bersorban putih itu berkata, "Lantas... apakah kau mengenal Pendekar Slebor?"
"Ya."
"Katakan... di mana dia berada?" Andika tersenyum.
"Kau tak perlu pergi jauh-jauh.
Karena... ya, kebetulan sekali, kalau orang yang kau cari adalah aku sendiri...."

*****

Sesaat Pucha Kumar tak buka suara. Kali ini pandangannya agak menyipit. Andika mendengus dalam hati begitu menyadari arti pandangan lelaki di hadapannya.
"Brengsek! Kok dia kelihatannya tidak percaya sih?" gerutunya dalam hati.
Lalu didengarnya suara Pucha Kumar, "Aku memang belum pernah mengenal pemuda berjuluk Pendekar Slebor. Tetapi untuk kali ini, aku bisa memper-cayaimu."
"Lho, tidak percaya juga tidak apa-apa," sahut Andika agak jengkel.
Pucha Kumar masih pandangi pemuda di hadapannya sebelum berkata, "Baiklah... aku percaya dengan siapa kau adanya.
Pendekar Slebor... maukah kau membantuku untuk menemukan di mana Nomuro Shasuke berada?" Andika mengangkat kedua bahunya.
"Ya, sebenarnya kebetulan sekali kalau aku juga sedang mencarinya."
"Sudahkah kau bertemu dengannya?" suara Pucha Kumar begitu bernafsu sekali. Dan dia menghela napas masygul begitu melihat Andika menggeleng.
"Sayang sekali... aku belum menemukannya...." Lelaki dari India itu mengangguk-anggukkan kepala.
"Ya... sayang sekali...."
"Pucha Kumar... busyet! Betul-betul tidak enak banget namamu disebut!" seloroh Andika konyol.
"Tapi masa bodohlah! Memang itu sudah namamu, kan" Sekarang...
kita mempunyai kepentingan yang sama mencari Nomuro Shasuke. Kupikir, sebaiknya kita berpisah saja di sini...."
"Dan kau mau membantu?"
"Sudah tentu akan kulakukan...." Lelaki bersorban putih itu rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Lalu berkata hormat, "Terima kasih atas kesediaanmu membantuku, Tuan Pendekar...."
"Ya, sudah, sudah! Belum tentu juga berhasil, sudah main terima kasih saja!" Pucha Kumar membungkukkan sedikit tubuhnya dengan tangan masih merangkap di dada. Dengan sikap asal-asal Andika membalas sambil berkata dalam hati, "Lumayan juga nih...." Setelah itu, masing-masing orang pun segera melangkah ke arah yang berlawanan. Namun baru tiga langkah mereka bergerak, terdengar suara, "Andika-san!" Bukan hanya Andika yang segera hentikan langkah. Pucha Kumar juga berbuat yang sama. Sesaat nampak wajah lelaki itu berubah melihat siapa yang muncul. Di kejap lain kedua matanya membuka lebar.
Menyusul bentakannya yang keras, "Manusia keparat! Katakan padaku, siapa di antara kalian yang bernama Nomuro Shasuke"!"

***

↕::↕ 7 ↕::↕

Orang yang memanggil Andika tadi adalah Hiedha Ogawa, yang telah berdiri berjarak delapan langkah dari depan. Di kanan kirinya berdiri Mishima Nobu dan Ayothomori.
Sudah tentu mendengar bentakan yang dikeluarkan lelaki berhidung bengkok itu membuat kening masing-masing orang berkerut.
Andika langsung sadar, kalau kesalahpahaman bisa terjadi. Makanya dia buru-buru berkata, "Tahan! Pucha Kumar! Kau salah orang! Tak ada orang yang bernama Nomuro Shasuke di antara mereka!"
"Andika! Jangan ikut campur urusanku!" seru Pucha Kumar keras.
"Katakan padaku, siapa di antara kalian yang bernama Nomuro Shasuke"!" Sudah tentu ketiga orang utusan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto itu makin kerutkan kening. Mereka tidak mengenal orang yang keluarkan bentakan dan lebih heran lagi karena orang itu menuduh salah seorang di antara mereka adalah Nomuro Shasuke. Sementara ketiga utusan Kaisar Jepang itu sedang keheranan, Andika justru memaki-maki dalam hati, "Brengsek! Tadi dia bilang meminta bantuanku, sekarang aku tak boleh ikut campur! Huh! Setan belang! Urusan bisa jadi kapiran bila tak segera kuselesaikan!" Tetapi Pucha Kumar yang nampaknya memang begitu mendendam, tak mau membuang waktu. Golok di pinggangnya segera dicabut. Menyusul dengan teriakan membahana dia menerjang sambil mengayunkan golok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah Hiedha Ogawa yang berada di depan.
"Heiiii!" seru lelaki berkumis tipis itu sambil membuang tubuh ke samping kanan.
Golok yang disabetkan Pucha Kumar rupanya tak mau tinggal diam lebih lama. Dengan gerakan cepat, disabetkannya golok itu dari kanan ke kiri, ke arah Ayothomori lalu ke arah Mishima Nobu, yang masing-masing orang segera melompat menghindar.
Ayothomori yang memang panasan juga tak mau tinggal diam. Segera saja dia cabut samurainya. Dengan tangan kanan dan kiri menggenggam hulu samurai, dia melompat ke depan dengan cara mengayunkan dari atas ke bawah.
"Huh! Rupanya kau ingin menantang samurai dari negeri Matahari"!" Tranggg! Ayunan samurainya terhalang oleh gerakan golok Pucha Kumar yang sedemikian cepat. Habis menangkis ayunan samurai Ayothomori, Pucha Kumar merunduk.
Dengan cara menyentak maju satu langkah ke ,depan, didorong goloknya ke arah perut Ayothomori yang segera putar samurainya.
Kembali suara keras terdengar saat dua senjata itu berbenturan. Menyusul suara angin yang membeset setiap kali senjata-senjata itu bergerak. Sementara itu Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu hanya terpaku di tempatnya. Mereka tak berniat untuk membantu Ayothomori. Namun di dalam hati masing-masing orang, berharap agar Ayothomori dapat menyelesaikan pertarungan itu dengan cepat.
Sementara itu di tempatnya Andika mendengus dalam hati.
"Berabe! Dasar orang-orang yang panasan!" Namun sebelum dia bergerak untuk memisahkan kedua orang itu, sejenak pemuda ini mengerutkan keningnya. Ada sesuatu yang melintas di benaknya. Akan tetapi, karena nampaknya pertarungan itu semakin sengit dan bisa membahayakan masing-masing orang, Andika memutuskan untuk segera memisahkannya.
Dengan menyambar sebatang ranting kering dan segera dialiri tenaga dalamnya, pemuda urakan ini langsung masuk ke kalangan. Ranting itu segera dikibaskan.
Prak! Prak! Terdengar suara yang keras saat menghantam golok Pucha Kumar maupun samurai Ayothomori. Namun kedua lelaki yang sama-sama panasan itu tak mau dipisahkan begitu saja. Mereka langsung merangsek kembali.
"Kutu busuk! Ingin kujitak kepala kedua orang ini!" maki Andika.
Dan dengan cepat dia meluruk ke depan, lalu memutar tubuh setengah lingkaran. Bersamaan dengan itu, dikerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat keempat belas pada ranting yang dipegangnya. Terdengar suara salakan petir yang cukup mengejutkan tatkala ranting yang dipegangnya digerakkan.
Prak! Prak! Kembali ranting yang mendadak menjadi sangat keras setelah dialiri tenaga 'Inti Petir' itu menahan serangan golok dan samurai kedua orang yang bertarung. Menyusul dengan gerakan yang sangat cepat, Andika menotok pangkal lengan Pucha Kumar. Sementara tangan kirinya menotok pula pangkal lengan kiri Ayothomori.
Masing-masing orang terkejut dengan tubuh melengak sesaat dengan langkah terhuyung dan tubuh yang dirasakan ngilu. Senjata yang dipegang terlepas begitu saja. Bersamaan dengan itu, Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah berseru, "Tahan! Jangan bertindak gegabah! Kita bukan bermusuhan! Malah boleh dikatakan sebagai sahabat! Tetapi bila memang kalian keras kepala, kalian bisa maju berdua sekaligus menghadapiku!" Seruan Andika itu terdengar memang agak sombong. Namun pemuda dari Lembah Kutukan ini tidak bermaksud demikian. Itu dilakukan karena dia sudah sangat jengkel karena kedua orang yang bertarung itu tak mau mendengarkan seruannya. Wajah Pucha Kumar nampak berubah. Dia buruburu rangkapkan kedua tangannya. Saat digerakkan tangan kirinya, terasa agak ngilu sekali. Sebenarnya, bila saja Andika melakukan totokannya sepenuh hati, saat itu pula Pucha Kumar bisa muntah darah.
Lain halnya dengan yang dilakukan Pucha Kumar, Ayothomori justru makin beringas. Dari semula dia memang tak menyukai Pendekar Slebor. Apalagi beberapa hari lalu dia dapat dikalahkan oleh pemuda itu yang baru diketahui kalau pemuda itulah Pendekar Slebor. Dan sekarang, pemuda itu mencampuri urusannya. Harga diri Ayothomori merasa diinjak-injak.
Sambil menahan rasa ngilu pada pangkal lengan kirinya, lelaki bertubuh jangkung ini menuding dengan tangan kanan, "Andika-san! Jangan turut campur urusan ini! Lelaki keparat itu harus mampus di tanganku!" Andika menggeram jengkel. Tetapi dia berusaha untuk tindih segala kejengkelannya. Kendati demikian wajahnya yang biasa cengarcengir, kali ini berubah menjadi serius.
"Ayothomori-san! Aku tidak tahu mengapa kau begitu membenci kepadaku! Tetapi urusan kau memang membenciku atau tidak, aku tidak peduli! Cuma saja, jangan lagi bertindak telengas di depan mataku!" Mendengar kata-kata yang tegas itu, Ayothomori makin meradang. Seraya maju satu langkah, lelaki jangkung berkulit kuning ini merandek dingin, "Andika-san! Sikapmu sudah kelewat batas! Sejak pertama aku memang tak setuju dengan keinginan Hiedha-san dan Mishima-san untuk meminta bantuanmu mencari Nomuro Shasuke!"
"Aku tidak peduli! Tetapi perlu kau ketahui, di sini aku dilahirkan! Ini tanah leluhurku! Siapa pun orangnya yang berniat bikin rusak tanah leluhurku ini, harus berhadapan denganku!"
"Kau menantangku, Andika-san?"
"Tidakkah terbalik apa yang kau tanyakan itu, hah"!"
"Baik! Aku menantangmu!" Andika yang sudah jengkel melihat sikap telengas Ayothomori segera maju satu tindak ke depan.
"Baik! Biar kau puas... kuterima tantanganmu!" Sementara itu Hiedha Ogawa yang melihat suasana kian memanas, buru-buru berkata, "Andika-san...
tahan segala amarah dalam dadamu...." Tanpa palingkan kepala Andika menjawab, "Hiedha-san... aku masih bisa menahan diri sebenarnya dengan apa yang dilakukan Ayothomori-san di pesisir pantai beberapa hari lalu! Tetapi nampaknya, kawan-mu itu tidak puas dengan sikapku! Biar dia berhadapan denganku!"
"Celaka! Urusan bisa menjadi gawat! Mengapa harus di antara kami yang saling membuka silang sengketa" Bila berita ini terdengar oleh manusia pengkhianat itu, bisa-bisa dia tertawa setinggi langit." Habis membatin begitu, Hiedha Ogawa melangkah dan berdiri di tengah-tengah Andika dan Ayothomori.
"Andika-san... aku mohon maaf atas sikap Ayothomori-san...," katanya sambil membungkukkan tubuh. Andika menarik napas panjang. Lama dia terdiam sebelum akhirnya berkata, "Bukan maksudku untuk memperlihatkan diri! Tetapi aku ingin...."
"Hiedha-san! Mengapa kau bersikap lemah seperti itu, hah"!" putus Ayothomori.
"Biarkan aku bertarung dengannya! Ingin kulihat... kebisaan apa yang dia miliki!" Hiedha Ogawa tak pedulikan kata-kata Ayothomori. Dia berkata lagi pada Andika, "Andika-san... kami datang untuk meminta bantuanmu... sudah barang tentu apa yang dilakukan Ayothomori-san sebuah kesalahan...."
"Jangan membelanya! Pemuda celaka ini..."
"Tutup mulutmu, Ayothomori-san!" menghardik Hiedha Ogawa sambil putar tubuh.
Wajahnya berubah menjadi dingin. Pancaran matanya tajam menusuk.
Sesaat Ayothomori nampak melengak. Sesaat pula dia balas menatap Hiedha Ogawa dengan tatapan bengisnya. Tetapi di saat lain, dia sudah arahkan pandangannya ke samping kanan.
Nampak sekali kalau dia berusaha tindih segala kekesalannya.
"Keparat! Dua kali Hiedha-san menghinaku! Tak akan ada yang ketiga kalinya! Sungguh perbuatan yang tak patut dilakukannya! Perbuatan yang merendahkan derajat dan martabat seorang samurai! Badanku sudah terhina! Akan kubalas semua penghinaan ini dengan darah!" Sementara itu Andika sendiri mulai merasa tidak enak dengan perkembangan yang terjadi. Tetapi apa yang dilakukannya tadi memang benar. Karena sesungguhnya dia tak menyukai sikap telengas Ayothomori. Lalu katanya sambil membungkuk sedikit, "Hiedha-san... maafkan atas kekhilafanku...." Hiedha Ogawa membuka kedua tangannya seraya mendekat. Sambil menepuk-nepuk kedua bahu Andika dia berkata, "Tak perlu kau meminta maaf.... Ini bukan kesalahanmu. Justru kesalahan Ayothomori sendiri...." Andika cuma tersenyum padahal dalam hati dia memaki-maki dirinya sendiri, "Kutu monyet! Kenapa aku jadi geram begitu ya" Huh! Tetapi... siapa sangka kalau aku ternyata juga bisa marah" Wah! Ini berita bagus!" Kemudian sambil nyengir dan kembali pada sikap aslinya, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini mendekati Ayothomori. Tak dihiraukannya pandangan menusuk Ayothomori sambil perlihatkan sinisannya. Dengan sikap gagah Andika berkata, "Maafkan atas kekasaranku tadi...." Ayothomori tak menyahut. Hanya sinisannya yang semakin lebar. Bagi Andika sendiri orang itu mau me-maafkannya atau tidak masa bodoh. Yang pasti dia sudah mengakui kesalahannya.' Keheningan itu dipecahkan oleh suara Pucha Kumar, "Maaf, maaf... justru akulah yang menyebabkan semuanya menjadi seperti ini.
Terus terang, aku khilaf dan menyerang kalian begitu saja. Apa yang dilakukan oleh Ayothomori bukanlah sebuah kesalahan. Dia memang patut melakukannya....
Justru akulah yang seharusnya kalian hukum...." Seolah mendengar ada orang yang berpihak padanya, Ayothomori angkat kepalanya. Memandang pada Pucha Kumar yang sudah berdiri di samping kanan Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa berkata, "Kawan... tak ada yang salah di antara kita. Tidak juga Ayothomori-san dan tidak juga kau. Yah, ini mungkin merupakan bumbu dalam kehidupan. Bolehkah kami tahu siapa kau adanya?" Pucha Kumar segera arahkan pandangan pada Hiedha Ogawa. Lalu disebutkan nama, asal-usul dan apa yang dicarinya di tanah Jawa ini.
"Itulah sebabnya, tadi kuserang kalian karena aku menduga salah seorang di antara kahan adalah pembunuh keji bernama Nomuro Shasuke...." Hiedha Ogawa menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak ada di antara kami yang bernama Nomuro Shasuke. Sesungguhnya, kami adalah utusan dari Kaisar Tokugawa Iesyasumoto yang sedang mencari manusia celaka itu...." Wajah Pucha Kumar nampak penuh penyesalan.
"Sekali lagi... maafkan aku...." Lalu dia berkata la-gi pada Ayothomori, "Kawan... kuhaturkan permintaan maaf setulusnya padamu...." Kalau tadi Ayothomori tersenyum karena ada yang berpihak padanya, kali ini dia mendengus. Lalu dengan sikap angkuh lelaki bertubuh jangkung itu melangkah ke bawah sebuah pohon. Dan duduk bersandar dengan mata dipejamkan.
Mishima Nobu mendekatinya dan mencoba menenangkan hati kawannya itu. Di lain pihak, Hiedha Ogawa berkata, "Andika-san... apakah kau sudah mendapatkan jejak Nomuro Shasuke?" Andika menggelengkan kepalanya.
"Hiedha-san... pernahkah kau mendengar tentang seorang tokoh berjuluk Dewi Permata Biru?" Sesaat kening Hiedha berkerut sebelum akhirnya menggeleng.
"Tidak. Mengapa?"
"Apakah selama ini, kau tahu kalau sesungguhnya Nomuro Shasuke pernah datang ke tanah Jawa?" Lagi-lagi kepala Hiedha menggeleng.
Andika berkata lagi, "Menurut perkiraanku, Nomuro Shasuke pernah datang ke tanah Jawa dan saat ini dia tentunya sedang bersama kambratnya yang berjuluk Dewi Permata Biru...." Sesaat hening melanda masing-masing orang sebelum akhirnya Hiedha Ogawa membuka mulut, "Andika-san... aku baru ingat sekarang.... Ya, ya... bisa ja-di kala itu dia datang ke tanah Jawa...."
"Ceritakan...."
"Sepuluh tahun yang lalu... terjadi pemberontakan di Kekaisaran. Semua turun tangan untuk mengatasi para pemberontak. Dan setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, kami baru sadar kalau Nomuro Shasuke tidak ada di antara kami. Saat itu kami berpikir dia telah tewas dalam pertarungan sengit. Tetapi dua bulan kemudian, dia muncul kembali dalam keadaan segar bugar. Menurut ceritanya... dia mengejar sisa-sisa gerombolan sampai ke Bukit Huy. Dan kami semua percaya dengan penjelasannya. Hmmm... bisa jadi, kalau sebenarnya dia justru melarikan diri dari tanggung jawabnya menuju ke tanah Jawa.... Andika-san... bagaimana kau bisa menduga kalau Nomuro Shasuke saat ini sedang bersama-sama Dewi Permata Biru?" Andika menceritakan apa yang diketahuinya dari para penduduk dusun Bojong Tunggal.
Hiedha Ogawa mengepalkan tinjunya.
"Nampaknya... lelaki celaka itu tengah menghimpun kekuatannya lagi dengan meminta bantuan orang-orang sesat seperti Dewi Permata Biru...." Kembali tak ada yang membuka suara. Di bawah pohon, Mishima Nobu nampaknya berhasil menenangkan hati Ayothomori, terbukti lelaki jangkung itu mau kembali bergabung. Namun tak seorang pun yang ta-hu, kalau sesungguhnya Ayothomori masih mendendam pada Pendekar Slebor.
Lalu terdengar kata-kata Pucha Kumar, "Aku masih tidak enak dengan tindakan yang kulakukan tadi, yang hampir saja membuka urusan salah paham di antara kita, bahkan bisa jadi mengorbankan nyawa bi-la Andika tidak segera bertindak. Dan kini kita sama-sama tahu, kalau masing-masing orang sedang memburu Nomuro Shasuke yang menurut Andika telah bergabung dengan Dewi Permata Biru. Kalau begitu...
aku mohon diri untuk segera mencari Nomuro Shasuke...." Tak ada yang menahan keinginan Pucha Kumar.
Karena sesungguhnya masing-masing orang juga tak mau membuang waktu untuk meneruskan melacak jejak pembunuh dari Jepang itu.
Sepeninggal lelaki dari India itu, Andika berkata, "Kini kita tahu masalah yang sesungguhnya. Berhati-hati bila bertemu dengan seorang perempuan yang di keningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan warna biru...." Lalu Andika berbisik pada Hiedha Ogawa, "Hiedha-san... hati-hati terhadap Ayothomori... aku khawatir dia akan meledak sewaktu-waktu dan membikin urusan ini jadi berantakan...." Setelah Hiedha Ogawa menganggukkan kepalanya, Andika meneruskan langkah ke arah yang berlawanan dengan Pucha Kumar.
Sepeninggal pemuda dari Lembah Kutukan itu, ketiga utusan Kaisar Yokugawa Iesyasumoto segera meneruskan perjalanan.
Sementara itu, diam-diam Ayothomori berkata, "Suatu saat... akan kukejutkan kalian... terutama kau, Pendekar Slebor...."

***

↕::↕ 8 ↕::↕

Di sebuah tempat yang cukup jauh dari pertemuan Pendekar Slebor, Pucha Kumar dan tiga orang utusan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto, nampak satu sosok tubuh menghentikan kelebatannya di sebuah jalan yang dipenuhi bebatuan. Sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan pakaian warna hitam-hitam terbuka di bagian dada hingga menampakkan tonjolan tulangnya, keluarkan dengusan.
"Keparat! Aku terlambat datang! Pendekar Slebor telah berhasil mengalahkan kutukan Jala Kunti! Jahanam sialan! Sampai di mana pun juga, akan kucari pemuda celaka yang ikut campur dalam urusan dendam lama kakak seperguruanku itu pada Ki Saptacakra!" Kembali lelaki tua yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini keluarkan dengusan. Wajah orang ini demikian mengerikan, karena seperti tak terlapis dag-ing dan kulit. Begitu kurusnya hingga wajahnya nampak seperti tengkorak belaka. Rambut orang itu panjang tak beraturan. Sepasang matanya menjorok ke dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Lagi-lagi dia keluarkan suara dingin, "Dua murid-ku telah tewas di tangannya! Urusan kutukan Jala Kunti berhasil digagalkannya! Jahanam keparat! Pemuda dari Lembah Kutukan itu semakin membuat kedua tanganku kian gatal untuk mengepruk kepalanya!" Lalu mendadak saja lelaki kurus ini menggerakkan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri. Kejap itu pula menghampar dua gelombang angin yang mengandung hawa panas. Menghantam deras dua buah batu sebesar kambing jantan.
Blaaarr! Blaaarrr! Begitu terdengar letupan yang keras, batu besar itu langsung rengkah. Bukan menjadi pecahan kerikil yang berpentalan, melainkan menjadi abu yang membubung ke udara.
Siapakah lelaki tua yang mendendam pada Pendekar Slebor" Dia tak lain adalah Dedemit Tapak Akhirat, guru dari Dua Iblis Lorong Maut. Tatkala terjadi peristiwa aneh sekaligus mengerikan yang berkaitan dengan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor memang terlihat dalam urusan itu. Sementara Dedemit Tapak Akhirat yang setelah menurunkan ilmunya pada Gendala Maung, langsung turun tangan untuk mencari Pendekar Slebor.
Namun dia datang agak terlambat, karena dengan kecerdikan dan kesaktian yang dimilikinya, Pendekar Slebor berhasil memutuskan segala kutukan perempuan sesat bernama Jala Kunti yang mendendam pada Eyang buyutnya, Ki Saptacakra (Untuk mengetahui semua peristiwa ini, silakan baca : "Patung Kepala Singa", "Rahasia Di Balik Abu" dan "Cinta Dalam Kutukan").
Kembali lelaki bertampang layaknya tengkorak ini keluarkan dengusan.
"Huh! Sampai kapan pun juga, tak akan kubiarkan pemuda celaka itu hidup lebih lama!" Belum lagi habis kata-katanya terdengar, mendadak saja terdengar suara agak nyaring dari belakangnya, "Tak disangka dan tak dinyana, tak perlu bersusah payah akhirnya bertemu juga di sini! Sungguh menyenangkan! Dedemit Tapak Akhirat... apakah kau masih mengenaliku"!" Seketika itu juga Dedemit Tapak Akhirat palingkan kepalanya ke belakang. Sepasang matanya yang pancarkan sinar kelabu memandang tak berkedip pada perempuan berparas jelita yang kenakan pakaian warna merah menyala dan telah berdiri berjarak lima langkah dari tempatnya. Perempuan itu langsung pamerkan senyum genit. Dan di keningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan sinar warna biru.
Dari sikapnya yang sejak tadi begitu jengkel, kali ini Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak.
"Dewi Permata Biru... tak kusangka pula kalau ki-ta akan bertemu lagi.
Kupikir... kau sudah menghilang setelah cintamu ditolak oleh Pendekar Bayangan?" Perempuan yang tadi keluarkan suara dan tak lain memang Dewi Permata Biru adanya maju dua tindak ke depan.
"Setiap kali bertemu, kau selalu mengingatkanku pada lelaki keparat itu! Tetapi urusan Pendekar Bayangan telah kutuntaskan! Lelaki keparat itu telah mampus di tanganku...."
"Bagus! Kau memang harus kubur dalam-dalam segala cinta yang pada akhirnya akan menjeratmu sendiri! Dan sungguh kabar yang menyenangkan mendengar Pendekar Bayangan telah mampus! Padahal sejak dulu kukatakan padamu, biar aku yang mengurus nyawa lelaki yang membuatmu lara!"
"Tetapi pada akhirnya... justru dia mampus di tanganku, bukan?"
"Berarti... hatimu telah setajam duri mawar! Cintamu telah berubah menjadi dendam angkara!"
"Terkadang... aku sendiri tak begitu paham tentang cinta yang kumiliki! Di saat seorang lelaki men-cintaiku, justru aku tak bisa membalasnya! Tetapi tatkala aku jatuh cinta setengah mati pada seorang lelaki, justru lelaki itu yang tak bisa membalas cintaku! Hanya saja... sudahlah! Kini segala urusan cinta telah berlalu, begitu jauh!" Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak keras hingga tubuhnya berguncang. Masih tertawa dia berkata, "Kemunculanmu ini sungguh mengejutkan! Dan rasanya tak mungkin bila kau tak membawa sebuah urusan! Ada apa"!" Dewi Permata Biru kerlingkan mata dulu sebelum berkata, "Tak kusangka juga kalau kau akan keluar dari tanah terkutuk bernama Puncak Balu-Balu! Apakah kau sudah bosan menyendiri di tempat itu, hah"!" Tawa Dedemit Tapak Akhirat terputus. Sepasang matanya menyipit, agak tajam memandang Dewi Permata Biru yang masih tersenyum.
"Kendati usia perempuan ini jauh berbeda dengan usiaku, tetapi dia adalah salah seorang kambrat yang setia. Kendati setiap ucapannya terkadang membuatku ingin menghajarnya, tetapi dia adalah orang yang bisa diajak bersatu dalam kejahatan." Habis membatin begitu Dedemit Tapak Akhirat berkata, "Mengapa harus putar pertanyaan bila masih ada yang mengganjal" Urusanku meninggalkan Puncak Balu-Balu, adalah urusanku semata! Katakan...
apa keperluanmu?" Kembali Dewi Permata Biru kerlingkan matanya.
Lidahnya dikeluarkan dan dijilat bibirnya dengan cara yang merangsang. Dedemit Tapak Akhirat cuma mendengus.
"Orang tua... aku membutuhkan bantuanmu...."
"Sudah kuduga!" sahut Dedemit Tapak Akhirat dengan suara melecehkan.
"Kau memang selalu membutuhkan bantuanku!"
"Kurang ajar!" maki Dewi Permata Biru dalam ha-ti. Tetapi dia tetap tersenyum, "Kupikir aku tak pernah meminta bantuanmu, Orang Tua! Justru kaulah yang dulu menawarkan bantuanmu untuk membunuh Pendekar Bayangan! Tetapi sudahlah... apakah kau pernah mendengar julukan Pendekar Slebor?" Mendengar julukan pemuda yang dibencinya, kepala Dedemit Tapak Akhirat sampai menegak. Sepasang matanya yang keluarkan sinar berwarna kelabu mencorong dalam.
"Mengapa kau sebutkan julukan pemuda yang ingin kubunuh!" serunya menyengat.
Sesaat perempuan berpakaian merah menyala itu kerutkan kening. Saat keningnya berkerut, nampak permata yang terdapat di keningnya itu semakin terang bersinar.
"Pemuda yang ingin dibunuhnya" Oh! Apakah manusia ini memang sedang punya urusan dengan Pendekar Slebor" Pucuk dicinta ulam pun tiba! Rasanya tak perlu repot-repot aku mengajaknya untuk bergabung." Lalu dengan masih kerlingkan matanya Dewi Permata Biru berkata, "Ada urusan apa kau dengan pemuda dari Lembah Kutukan itu?"
"Jangan campuri urusanku! Katakan, mengapa kau mencarinya"!" balas Dedemit Tapak Akhirat geram. Dewi Permata Biru tahu betul akan tabiat lelaki bertampang tengkorak ini. Makanya dia segera menceritakan apa yang dialami dan diinginkannya.
Dilihatnya kepala Dedemit Tapak Akhirat manggut-manggut.
"Hmmm... lalu di mana temanmu yang bernama Nomuro Shasuke itu?"
"Lelaki itu penasaran ingin tahu seperti apa wajah Pendekar Slebor. Saat ini dia sedang mencari keterangan tentang pemuda itu, juga mencari tahu tentang utusan Kaisar Jepang yang mengejarnya ke tanah Jawa." Dedemit Tapak Akhirat terdiam. Dari raut wajahnya jelas dia tak suka mendengar masalah yang dihadapi Dewi Permata Biru. Lalu didengarnya perempuan itu ajukan tanya, "Dedemit Tapak Akhirat... apakah kau setuju untuk membantuku?"
"Mengapa kau membutuhkan bantuanku" Apakah kau sudah tak punya nyali untuk menghadapi anak ingusan itu?"
"Jahanam! Lama kelamaan aku tak bisa menahan diri untuk tidak segera merobek mulutnya!" maki Dewi Permata Biru gusar dalam hati. Tetapi lagi-lagi tak di-tampakkan amarahnya. Sambil tersenyum dia berkata, "Tak sekali pun aku kehilangan nyali untuk menghadapinya. Tetapi... apakah kau tidak tertarik dengan rencana sahabatku itu untuk menggulingkan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto?"
"Huh! Untuk apa aku tertarik dengan segala niatan seperti itu" Di tanah Jawa ini, aku sudah memiliki nama! Barang siapa yang mendengar julukanku, maka dia akan lari terbirit-birit!" sahut Dedemit Tapak Akhirat keras. Namun sebenarnya diam-diam dia mulai tertarik dengan ajakan itu.
Dan diam-diam pula Dewi Permata Biru tahu kalau lelaki kurus berpakaian hitam-hitam ini tertarik dengan ajakannya. Karena sekilas dilihatnya kilatan-kilatan pada sepasang mata Dedemit Tapak Akhirat.
"Tanah Jawa sudah tak membuatku bergairah lagi. Kejenuhan itu cukup melanda hatiku setelah Pendekar Bayangan berhasil kubunuh. Kupikir... bila kita bahu membahu dengan Nomuro Shasuke untuk menggulingkan Kaisar Tokugawa... maka apa yang selama ini kita dambakan akan tercapai."
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah dalam usiamu yang semakin tua itu menginginkan hidup yang lebih baik lagi" Dikelilingi oleh harta yang melimpah, jabatan tinggi dan tentunya... gadis-gadis jelita yang dapat menghiburmu?" Dedemit Tapak Akhirat cuma keluarkan dengusan.
"Huh! Urusanku adalah urusanku! Apa yang menjadi urusanmu dengan orang Jepang itu adalah urusanmu! Tetapi sungguh kebetulan kita mempunyai lawan yang sama! Baik, kita bekerja sama untuk mencari Pendekar Slebor! Tetapi ingat, bila kau berhasil menemukannya, kau tak boleh membunuhnya! Karena aku ingin mencabik-cabik seluruh tubuhnya sebelum mampus kubunuh!" Dewi Permata Biru pamerkan senyumnya.
"Sudah tentu akan kulakukan keinginanmu itu."
"Bagus! Lantas persoalan apa lagi yang hendak kau bicarakan, hah"!"
"Bagaimana dengan tawaranku untuk membantu sahabatku mengadakan pemberontakan di Jepang?"
"Aku akan memikirkannya nanti setelah melihat Pendekar Slebor mampus! Apa lagi"!"
"Justru sekarang hal itu hendak kutanyakan padamu!"
"Tak ada lagi yang perlu dibicarakan!" Habis sahutannya, Dedemit Tapak Akhirat sudah putar tubuh. Kejap berikutnya dia sudah berkelebat cepat. Kendati hanya sekilas, Dewi Permata Biru yakin kalau dia melihat Dedemit Tapak Akhirat tidak menginjak tanah saat berkelebat.
"Hmmm... urusan satu telah kujalankan dengan baik. Tak kusangka kalau lelaki tua kurus itu memiliki dendam yang tinggi pada Pendekar Slebor! Lama kelamaan niatku jadi berubah. Ingin kulihat seperti apa kesaktian yang dimiliki pemuda dari Lembah Kutukan itu...." Lalu kepalanya ditengadahkan.
"Apa yang dialami Nomuro Shasuke sekarang" Apakah dia sudah kembali ke Danau Bulan" Atau...
masih melacak jejak Pendekar Slebor?" desisnya dan tahu-tahu bibirnya tersenyum.
"Jangan-jangan... saat ini dia sedang asyik menggeluti seorang gadis manis bertubuh montok. Hmmm... sebaiknya aku kembali ke Danau Bulan...."

***

↕::↕ 9 ↕::↕

Indrajit mengepalkan tinjunya keras-keras di belakang rumahnya. Ombak bergulung-gulung dahsyat, perdengarkan suara laksana meriam berdentum.
"Aku tak boleh berdiam diri. Aku tak boleh berpangku tangan," pemuda ini menggeram sendiri. Wajah tampannya dengan kulit agak hitam karena terlalu banyak berada di lautan, menekuk dalam. Bibirnya merapat dingin dengan sorot mata gusar.
Menyusul dia kertakkan rahangnya.
"Nomuro Shasuke... pembunuh keparat! Dia harus mampus!" geramnya lagi.
Tatkala diingat-ingatnya kejadian beberapa minggu lalu, kemarahan kian merajai diri Indrajit. Apalagi tatkala diingatnya bagaimana lelaki jangkung berkulit kuning yang membunuh dua orang temannya dengan telengas.
"Ayothomori... ya, lelaki itu bernama Ayothomo-ri.... Dari sikap kejamnya, jelas dia tak jauh berbeda dengan Nomuro Shasuke! Kendati pemuda yang menyelamatkan kami dari tangan maut Ayothomori mengatakan itu terjadi karena kesalahpahaman, aku tak bisa berdiam diri. Sesungguhnya aku bisa membenarkan kata-kata Andika. Akan tetapi, darah para sahabatku telah tertumpah dengan nyawa meregang. Tidak! Aku tak boleh membiarkan semua ini berlarut-larut! Manusia-manusia dari negeri Sakura itu harus mendapatkan ganjarannya!" Karena amarah yang telah berbalur menjadi dendam, Indrajit memutuskan malam itu juga dia harus segera berangkat. Lalu dengan cara diam-diam, diper-siapkannya parang yang diselipkan pada pinggangnya.
Dikenakan pakaiannya yang berwarna putih. Setelah melirik ibunya yang sudah tua yang tengah terlelap, dia pun segera berlari meninggalkan dusunnya.
Kendati dibesarkan di perkampungan nelayan, Indrajit memiliki sedikit kepandaian bela diri, yang di-ajarkan oleh ayahnya sebelum menghilang di lautan.
Dengan penuh keyakinan dia memantapkan diri untuk membalas semua perlakuan orang-orang dari seberang yang menurutnya tak boleh dimaafkan.
Dalam larinya yang tak berniat dihentikan sekejap pun, Indrajit teringat akan kata-kata pemuda berpakaian hijau pupus.
"Dendam hanya akan membuat kita menjadi buta hati, buta langkah dan buta bertindak. Dan itu akan membawa kita pada jurang kehancuran." Lagi-lagi Indrajit membenarkan kata-kata Andika.
Namun dia justru coba sembunyikan kenyataan itu.
Diingatnya lagi apa yang dikatakan pemuda berambut gondrong acak-acakan itu.
"Biarlah aku yang mengurus semua ini. Karena sesungguhnya tiga lelaki Jepang itu tengah memburu seorang pembunuh yang bernama Nomuro Shasuke...." Secara tidak langsung, pemuda berpakaian hijau pupus itu memang menjanjikan kalau dia akan mengurusi semua masalah yang terjadi. Namun bagi Indrajit, urusan yang telah memutuskan nyawa sahabatsahabatnya tak bisa didiamkan begitu saja. Justru semakin dia coba lupakan, masalah itu semakin bertambah melingkar di benak dan hatinya.
Tepat tengah malam, pemuda gagah ini tiba di sebuah tempat yang sepi. Hewan-hewan malamlah yang membuat suasana di tempat yang dipenuhi pepohonan itu agak ramai. Namun apalah artinya suara-suara hewan malam bila pada kenyataannya dia tetap seorang diri. Indrajit yang sejak kecil ditempa oleh kehidupan laut yang keras, tak merasa takut sedikit pun juga.
Malah dengan kedua mata dibesarkan diperhatikan sekelilingnya. Kejap berikutnya terdengar dia berkata, "Memang sulit mencari pembunuh keparat bernama Nomuro Shasuke. Tetapi apa pun yang terjadi, aku tak akan mengurungkan niat yang telah terpatri di hati!" Karena cukup lama dan cukup jauh berlari, Indrajit memutuskan untuk beristirahat dulu. Paling tidak, dia akan tidur sampai matahari terbit kembali.
Memutuskan demikian, pemuda gagah ini dengan cekatan memanjat sebuah pohon besar. Menurutnya, paling aman bila dia tidur di atas pohon. Namun baru saja dia merebahkan tubuhnya pada dua buah dahan pohon yang berdekatan, mendadak saja didengarnya ranting pohon berderak, tanda diinjak oleh seseorang.
Agak terkejut dan dengan dada berdebar, Indrajit buru-buru bangkit. Disibaknya dedaunan sedikit. Untuk sesaat dia sulit melihat siapa orang yang datang.
Tetapi kejap kemudian, dilihatnya seorang gadis sedang celingukan tak jauh dari pohon di mana dia mengintip.
"Aneh! Ada seorang gadis yang berani berkeliaran di tempat sesunyi ini seorang diri. Siapakah gadis itu" Dan rasanya... sudah tentu gadis itu bukan orang sembarangan. Karena tak mungkin dia berani berkeliaran di hutan ini tanpa memiliki bekal yang berarti." Gadis yang mengenakan pakaian warna biru dengan ikat pinggang putih itu sedang memperhatikan sekelilingnya. Di rambutnya terdapat ronce bunga melati dengan sebuah tusuk konde. Menilik ciri yang ada pada gadis ini, bisa dipastikan kalau dia adalah Widarti, murid Pendekar Bayangan yang sedang mencari Dewi Permata Biru.
"Huh! Sulit bagiku menemukan di mana perempuan celaka itu berada! Bahkan sampai hari ini, aku belum juga bertemu dengan Pendekar Slebor! Justru bertemu dengan pemuda urakan yang bernama Paradita! Ke mana lagi aku harus melangkah?" Di atas pohon, Indrajit mengerutkan keningnya.
"Siapa perempuan celaka yang dimaksudnya" Dan mengapa dia mencari Pendekar Slebor?" Selagi Indrajit bertanya-tanya dalam hati, mendadak saja didengarnya suara membentak, "Orang yang berada di atas pohon! Lekas turun!" Tersentak Indrajit mendengar ucapan orang.
Sungguh tak disangkanya, dia yang sejak tadi tak keluarkan suara maupun lakukan gerakan apa-apa, bahkan sosoknya terhalang oleh rimbunnya dedaunan, kehadirannya dapat diketahui oleh gadis berpakaian biru itu. Karena merasa tak perlu lagi bersembunyi, Indrajit pun segera turun. Berjarak dua meter dari pohon yang dipanjatnya, dia melompat. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, terdengar seruan keras Widarti, "Hhh! Ternyata cuma seorang pemanjat pohon belaka! Katakan padaku, mengapa kau mengintipku, hah"!" Sejenak Indrajit gelagapan mendengar bentakan itu. Lebih gelagapan lagi tatkala disadarinya betapa je-litanya gadis di hadapannya ini. Sungguh, baru kali ini Indrajit melihat seorang gadis yang sedemikian jeli-tanya, dengan bibir memerah dan wajah berbentuk bulat telur. Bahkan pancarkan sinar indah tatkala wajah jelita itu diterangi sinar rembulan. Dan karena gelagapnya itulah dia tak segera membuka mulut, yang justru memancing kemarahan Widarti.
"Setahuku... orang yang kerjanya hanya mengintip saja, bukanlah orang baik-baik! Apalagi menilik tam-pangmu yang tegang begitu!" Indrajit gelagapan kembali. Kali ini lebih bisa kuasai dirinya ketimbang tadi.
"Maaf... aku... aku... sama sekali tidak bermaksud mengintipmu, Nona.... Hanya kebetulan saja... aku...
aku bersikap seperti itu."
"Nah! Dengan kata-katamu barusan, mengapa kau masih coba putar kenyataan, hah"!" Sadar akan kekeliruan bicaranya, Indrajit buruburu menyambung, "Maksudku... aku kebetulan hendak tidur. Tetapi... kudengar ranting diinjak dan tak tahunya... kaulah adanya, Nona...." Widarti terdiam. Pandangannya lurus memperhatikan pemuda di hadapannya.
"Kata-katanya barusan... sepertinya memang mengandung kejujuran. Nampaknya dia bukanlah seorang pemuda yang tersesat. Bukan pula penebang kayu yang kemalaman. Hmmm... di pinggangnya terdapat sebilah parang. Dan wajahnya, kendati gugup namun pandangan matanya seperti menyimpan dendam. Ah, mungkin sikapku ini terlalu keras hingga dia menjadi gugup seperti itu." Kendati berpikiran demikian, Widarti tetap tak turunkan kewaspadaannya. Seraya maju satu langkah dia berkata, "Baiklah, kubenarkan apa yang kau katakan. Sekarang beri tahu padaku, mengapa kau berada di sini?" Karena tak ingin terjadi salah paham, buru-buru Indrajit mengatakan sebab-sebab dia berada di situ.
Bahkan disebutkan nama dan asalnya.
Widarti terdiam dulu sebelum berkata, "Namaku Widarti... aku datang dari Lembah Bayang-Bayang. Setelah pandang Indrajit sesaat, gadis ini melanjutkan, "Kurasa.. tak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Tunggu!" sahut Indrajit menahan. Dan buru-buru berkata begitu melihat mata si gadis melotot, "Jangan salah sangka. Maksudku... aku... aku...." Dan dia justru tak bisa teruskan kalimatnya karena lagi-lagi hatinya seperti diaduk-aduk melihat kecan-tikan wajah gadis di hadapannya. Sungguh mati, Indrajit menjadi salah tingkah sendiri.
"Apa yang hendak kau katakan?" Mendengar pertanyaan itu Indrajit kian gelagapan.
Justru apa yang dikatakannya berlainan dengan yang diinginkannya, "Tidak, tidak... ya, ya... kita berpisah di sini...." Widarti malah kerutkan keningnya.
"Kenapa pemuda ini jadi seperti monyet ke bakar ekornya" Dia keblingsatan sendiri. Hmmm... mungkin sikapku memang terlalu keras." Kembali berpikir demikian, Widarti berkata, "Bila memang tak ada yang hendak kau bicarakan, memang sebaiknya kita berpisah. Karena masih ada urusan yang harus kuselesaikan." Seperti mendapat petunjuk yang dibutuhkannya, pemuda itu berkata, "Ya! Urusanmu itu!" Widarti menatapnya lekat-lekat. Dia berusaha untuk tidak menampakkan kejengkelannya melihat sikap si pemuda yang justru membuang waktunya.
"Apa maksudmu?"
"Tadi... tadi... kudengar kau sedang mencari Pendekar Slebor, bukan?" tanya Indrajit susah payah. Dan memaki-maki dirinya sendiri dalam hati, "Brengsek! Kenapa aku jadi kebingungan seperti ini"!"
"Ya... aku memang mencari Pendekar Slebor."
"Aku mengenalnya."
"Oh!" sesaat Widarti melengak tak menyangka mendengar kata-kata itu. Lalu dengan suara terdengar gembira dia berkata, "Benarkah kau mengenalnya?" Buru-buru Indrajit mengangguk. Segera diceritakan apa yang dialaminya di pesisir pantai.
"Lalu... di manakah Pendekar Slebor berada?" Kali ini Indrajit menggelengkan kepalanya.
"Sayangnya... setelah itu Pendekar Slebor meninggalkan dusun kami. Tetapi yang pasti, dia sedang melacak jejak pembunuh dari Jepang bernama Nomuro Shasuke." Widarti tak segera membuka mulut. Dia berkata dalam hati, "Pemuda ini kelihatannya memang jujur.
Dan aku memang membutuhkan bantuan Pendekar Slebor untuk mencari perempuan terkutuk yang telah membunuh Guru. Hingga saat ini, aku tidak tahu seperti apa ciri Pendekar Slebor. Huh! Beruntung aku bertemu dengan pemuda ini ketimbang pemuda yang bernama Paradita waktu itu! Sebaiknya...." Memutus kata hatinya sendiri, Widarti kemudian berkata, "Indrajit... aku memang sedang mencari Pendekar Slebor. Terus terang, hingga hari ini aku tidak tahu seperti apa rupa dan bagaimana ciri-ciri Pendekar Slebor. Bila kau bersedia... maukah kau berjalan ber-samaku untuk mencari Pendekar Slebor?" Sudah tentu ajakan itu sangat menggembirakan hati Indrajit. Apalagi diam-diam dia telah jatuh hati pada pandangan pertama terhadap gadis jelita di hadapannya ini. Namun tatkala dia teringat harus mencari Nomuro Shasuke, pemuda gagah ini tak segera menjawab. Hatinya menjadi bimbang.
"Kenapa, Indrajit" Apakah kau keberatan?" Indrajit menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak... eh, maksudku... aku... aku sedang mempunyai urusan dengan pembunuh dari Jepang bernama Nomuro Shasuke. Manusia celaka itu telah membunuh para sahabatku. Kendati aku tahu ilmunya begitu tinggi, tetapi aku tak perduli. Aku harus membalas sakit hati sahabatsahabatku...." Widarti tak menjawab. Nampak sekali kalau murid mendiang Pendekar Bayangan ini sedang berpikir. Setelah mendapatkan satu pikiran yang bagus, dia berkata, "Indrajit... bagaimana bila kita sama-sama melacak jejak pembunuh itu?"
"Maksudmu?"
"Di samping mencari Pendekar Slebor, kita juga mencari orang yang bernama Nomuro Shasuke."
"Sebenarnya... maaf, mengapa kau mencari Pendekar Slebor, Widarti?" Merasa tak ada salahnya menceritakan urusan yang sedang dituntaskannya, Widarti segera menceritakan semuanya.
"Begitulah.... Aku harus mencari dan meminta bantuan Pendekar Slebor. Sebelum ajalnya guruku berpesan untuk meminta bantuannya. Di samping itu, kendati dengan cara yang licik, Dewi Permata Biru berhasil membunuh guruku. Dapat kubayangkan kalau perempuan celaka itu memiliki ilmu yang tinggi.
Indrajit... tadi pun kau mengatakan, kalau pembunuh dari Jepang yang bernama Nomuro Shasuke itu memiliki ilmu yang tinggi pula. Bukankah bila kita bersamasama, maka kekuatan kita akan bertambah" Paling ti dak, kita bisa saling bahu membahu bila kebetulan bertemu dengan Nomuro Shasuke maupun Dewi Permata Biru. Bagaimana?" Kali ini wajah Indrajit berseri-seri. Dia menganggukkan kepalanya, agak terburu-buru.
"Kalau memang begitu adanya, aku setuju."
"Bagaimana bila kita memulai perjalanan sekarang?" tawar Widarti.
Indrajit melongo dan tak menjawab untuk beberapa saat.
"Kenapa lagi dia?" tanya Widarti dalam hati. Lalu ajukan tanya, "Ada apa?"
"Aku... terus terang, aku masih lelah," kata Indrajit dengan wajah memerah.
Beruntunglah dia karena saat ini sinar rembulan terhalang oleh rimbunnya dedaunan.
Widarti tersenyum dan berkata, "Kalau begitu...
kita bisa beristirahat dulu. Besok pagi, kita memulai perjalanan. Bagaimana?"
"Usul yang bagus!" sahut Indrajit lalu berbalik dan memanjat kembali pohon yang tadi telah dinaikinya.
Kalau Indrajit memanjat, Widarti justru melompat dengan ringan untuk sampai ke dahan pohon di sebelah pohon yang dinaiki Indrajit. Lalu menyelinap di antara rimbunnya dedaunan.
Pemuda nelayan ini melengak kaget melihat apa yang dilakukan Widarti.
"Hebat! Dia bisa naik ke pohon itu hanya dengan sekali melompat! Sungguh luar biasa! Ah... bila saja dia menjadi istriku tentunya.... Huh! Bodoh! Mana mungkin dia mau dengan pemuda sepertiku"!" Kendati berpikir begitu, namun sepanjang malam Indrajit tak bisa tidur memikirkan kemungkinan itu.

***

↕::↕ 10 ↕::↕

Pada saat yang bersamaan, dua sosok tubuh tiba secara serempak di depan sebuah gubuk. Di belakang gubuk itu terdapat sebuah danau yang berair jernih.
Hewan-hewan malam bernyanyi gembira menyambut ketenangan malam. Sesaat masing-masing orang saling pandang.
"Dewi...," yang berada di sebelah kanan berseru.
"Nomuro-san! Rupanya kau baru tiba juga!" Dua sosok tubuh yang tak lain Nomuro Shasuke dan Dewi Permata Biru itu tertawa. Lalu melangkah dan berangkulan. Dengan bernafsu Nomuro Shasuke menciumi wajah dan bibir Dewi Permata Biru yang cuma terkikik. Dirasakan bagaimana tangan kanan dan kiri Nomuro Shasuke merabai seluruh tubuhnya.
Dalam dua kejapan mata saja, dua sosok tubuh yang berlainan jenis itu sudah dalam keadaan telanjang. Mereka mengejar kenikmatan dengan napas memburu, di atas tanah berumput ditemani sinar rembulan. Setelah hampir setengah peminuman teh, masingmasing orang kemudian tergeletak di atas rumput dengan pandangan lurus ke langit. Napas yang tadi memburu kini terdengar satu-satu.
"Nomuro-san... apa saja yang telah kau lakukan selama dua hari ini?"
"Banyak!"
"Apakah kau sudah bertemu dengan Pendekar Slebor?" tanya Dewi Permata Biru lagi tanpa bermaksud mengenakan pakaiannya kembali. Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepalanya.
"O ya" Apakah kau telah membunuhnya?"
"Tidak!" sahut Nomuro geram.
"Saat itu dia bersama seorang lelaki dari India yang bernama Pucha Kumar! Tetapi aku puas... karena kini aku tahu seperti apa rupa Pendekar Slebor!"
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Itu rahasiaku! Dewi... apa yang kuduga ternyata benar, kalau Kaisar Tokugawa Iesyasumoto telah mengutus tiga orang kepercayaannya untuk mengejarku...."
"Dan kau tidak membunuhnya pula?"
"Aku belum mempunyai kesempatan."
"Kesempatan itu akan kau punyai."
"Aku sudah tidak sabar menunggu saat-saat seperti itu!" sahut Nomuro Shasuke keras dan dingin.
"Dan kau cuma melakukan hal itu?"
"Tidak!"
"Katakan padaku... apa yang telah kau lakukan?" Nomuro Shasuke tidak segera menjawab. Dia justru palingkan kepalanya sejenak pada Dewi Permata Biru.
Lalu sambil memandangi langit kembali dia berkata, "Kau tidak gusar bila kukatakan apa yang telah kulakukan?"
"Sama sekali tidak."
"Aku telah membunuh seorang lelaki tua." Dewi Permata Biru terkikik.
"Gila! apakah otakmu sudah gila mengatakan aku akan gusar hanya karena kau telah membunuh seorang lelaki tua" Sudah tentu tidak! Aku bangga kau melakukannya! Pertanda, kau telah menjelma kembali menjadi seorang samurai!"
"Aku tetap seorang samurai!"
"Bagus! Kepercayaan dirimu semakin meningkat!"
"Dan aku telah memperkosa cucunya... shisurei shi masu (maafkan saya)...." Kali ini senyuman di bibir Dewi Permata Biru terputus. Masing-masing orang terdiam. Yang terdengar hanyalah suara hewan-hewan malam belaka.
Lalu terdengar suara Dewi Permata Biru agak serak, "Bagus bila kau melakukannya!"
"Ya, dan itu tak ada urusamnya denganmu, Dewi!" kata Nomuro Shasuke dalam hati.
"Bila semua urusanku selesai, aku akan meninggalkanmu, Perempuan Bodoh!" Nomuro Shasuke berkata, "Kau tidak cemburu?"
"Sama sekali tidak! Kau boleh menikmati perempuan mana saja yang kau inginkan! Nomuro-san... masihkah kau ingin mengulangi kebersamaan barusan?" Nomuro Shasuke palingkan kepalanya. Sambil tersenyum tipis dia menggeleng, "Aku masih cukup lelah."
"Kalau begitu... kita masuk ke gubuk dulu. Ada berita gembira yang hendak kukatakan padamu...." Setelah masing-masing orang berpakaian, keduanya pun masuk ke gubuk itu. Dan duduk di sebuah dipan kecil.
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Aku telah berjumpa dengan Dedemit Tapak Akhirat, orang yang kuceritakan padamu beberapa waktu lalu."
"Bagaimana" Apakah dia bersedia bergabung?" Dewi Permata Biru kerlingkan matanya.
"Dia bukan hanya bersedia bergabung, bahkan dia mempunyai niat untuk membunuh Pendekar Slebor. Karena sesungguhnya dia memang punya urusan yang tak bisa ditinggalkan pada Pendekar Slebor."
"Sungguh sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan. Lalu, apakah dia bersedia membantuku untuk lakukan pemberontakan kembali terhadap Kaisar Tokugawa?" Kembali perempuan yang di keningnya terdapat permata yang pancarkan sinar biru itu tersenyum.
"Kendati mulutnya berkata tidak, tetapi aku yakin hatinya mengiyakan tawaran itu. Orang semacam Dedemit Tapak Akhirat, memang tak pernah mau berterus terang. Tetapi percayalah... dia akan takluk di bawah kakiku dan melakukan sesuai rencana yang telah kita tentukan." Lelaki bertampang bengis itu pentangkan senyum.
Sungguh, senyuman yang diperlihatkan tak lebih dari sinisan belaka. Dan menambah kebengisan wajahnya.
"Kuharap... semuanya memang berjalan seperti yang kita harapkan."
"Tadi kau katakan... ada seorang lelaki dari India.
Siapa dia?" Nomuro Shasuke terdiam dulu sebelum menjawab, "Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi yang kudengar... dia mencariku, Dewi...." Ganti Dewi Permata Biru yang terdiam. Bahkan kening perempuan ini berkerut.
"Apa maksud dia mencarimu?" Seperti menutupi sesuatu, Nomuro Shasuke langsung mendekap Dewi Permata Biru. Kendati perempuan ini nampaknya masih penasaran ingin mengetahui mengapa Pucha Kumar mencari Nomuro Shasuke, tetapi dia sudah tak peduli. Perempuan yang dulu pernah disakiti hatinya sekaligus ditolak cintanya oleh Pendekar Bayangan, selalu tak pernah puas untuk menahan nafsu birahinya.
Kejap itu pula perbuatan terkutuk itu terulang lagi.

*****

Pada saat yang bersamaan tiga utusan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto tiba di sebuah sungai yang airnya mengalir deras. Suara gemuruh air sungai itu seperti memecah kesunyian malam. Hiedha Ogawa langsung menghampiri sungai itu. Dia mencuci tangan, muka dan minum. Sementara itu, Mishima Nobu hanya memperhatikan sekelilingnya dengan tatapan waspada. Di sebelah kanannya, Ayothomori sedang memperhatikan Hiedha Ogawa dengan pandangan menusuk.
Lelaki bertubuh jangkung ini masih marah dengan sikap Hiedha Ogawa. Terlebih lagi tatkala mengingat, kalau secara tak langsung Hiedha Ogawa justru membela Pendekar Slebor. Kebencian Ayothomori pada Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Dia sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk pergunakan jurus 'Menjerat Matahari' guna menandingi kehebatan Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa yang sudah selesai mencuci muka dan minum air sungai itu, mendekati keduanya. Tatka-la dilihatnya wajah Ayothomori, dia sadar betul akan ucapan Pendekar Slebor. Kalau sewaktu-waktu lelaki itu akan meledak dan membahayakan dirinya. Hiedha Ogawa tak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi untuk membicarakan soal itu saat ini, dia merasa bukanlah waktu yang tepat. Mengingat mereka masih harus menemukan Nomuro Shasuke. Apalagi sekarang mereka tahu, seorang lelaki dari India juga mendendam pada Nomuro Shasuke.
Dengan kata lain, Nomuro Shasuke sudah mengibarkan bendera permusuhan yang dalam pada siapa pun juga. Hiedha Ogawa mendehem. Lalu berkata, "Urusan Nomuro Shasuke semakin menyulitkan keadaan kita.
Mishima-san... ternyata apa yang kau khawatirkan memang terjadi. Kalau kedatangan kita ke sini justru banyak mengundang kesalahpahaman. Tetapi, itu disebabkan karena ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... aku juga memikirkan kemungkinan itu. Tetapi sekarang... aku tak peduli lagi. Kendati aku masih bisa kendalikan diri dari sikap orang-orang yang salah paham pada kita, namun lama kelamaan aku tak bisa menahan diri," sahut Mishima Nobu.
Hiedha Ogawa tak menjawab namun hatinya berkata, "Bila aku tak bersabar-sabar pun aku akan bertindak seperti itu." Kemudian katanya, "Kupikir, apa yang telah terjadi itu hanyalah kesalahpahaman saja. Semua ini adalah ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... apakah kau akan tetap berdiam diri sementara harga diri kita diinjak-injak?" terdengar suara Ayothomori. Bibirnya membentuk sinisan.
Hiedha Ogawa arahkan pandangannya pada lelaki bertubuh jangkung itu.
"Ayothomori-san... sudah tentu aku tidak pernah melupakan siapa aku sebenarnya."
"Seorang samurai," kata Ayothomori dengan suara makin sinis.
"Dan apakah seorang samurai seperti yang kau katakan tadi masih membiarkan diri...."
"Ayothomori-san...," putus Hiedha Ogawa sambil menarik napas pendek.
"Sama sekali aku tak melupakan soal itu. Tetapi perlu diingat, kita tak pernah punya silang sengketa dengan orang-orang itu kecuali Nomuro Shasuke. Bahkan... seorang lelaki dari India bernama Pucha Kumar juga sedang memburunya. Menurut perkiraan Pendekar Slebor sendiri...."
"Mengapa kau selalu meninggikan pendekar dari tanah Jawa itu, Hiedha-san?" ganti Ayothomori yang memutus kata-kata Hiedha.
Kali ini sikapnya agak sengit. Setiap kali nama itu disebutkan, darahnya selalu mendidih.
"Tidak! Aku sama sekali tidak meninggikan Pendekar Slebor. Hanya saja, dialah satu-satunya orang yang bisa kita percaya di sini, Ayothomori-san...."
"Tetapi sikap yang diperlihatkannya justru membuat harga diriku diinjak-injak.
Hhh! Terus terang, aku ingin sekali merasakan kehebatan Pendekar Slebor." Mishima Nobu tahu kalau sebentar lagi Hiedha Ogawa akan meledak. Karena sesungguhnya, dia sendiri pun tak bisa menahan diri untuk tidak segera memotong kata-kata Ayothomori.
Makanya lelaki yang bertubuh paling pendek di antara mereka bertiga ini berkata, "Ayothomori-san...
sebaiknya di antara kita tak perlu ada keributan. Masalah yang kita hadapi ini bukanlah urusan Pendekar Slebor. Perlu diingat, justru kita yang membawanya masuk ke dalam urusan Nomuro Shasuke...."
"Itulah kebodohan kita, Mishima-san! Bila sejak pertama kita tidak memutuskan untuk mencari Pendekar Slebor, kita tak perlu lagi mengurusi soal dia!" sahut Ayothomori.
"Tetapi satu hal yang terpenting, justru karena ke-cerdikannyalah kita jadi tahu, kalau Nomuro Shasuke memiliki seorang kambrat yang berjuluk Dewi Permata Biru. Sudah tentu perempuan itu bukan perempuan sembarangan."
"Peduli setan! Demi Dewa Matahari! Siapa pun yang menghalangiku untuk membunuh Nomuro Shasuke, akan kuhadapi dengan sepenuh hati!" Hiedha Ogawa segera berkata, "Bila kau berkata demikian, mengapa kau justru membenci Pendekar Slebor" Bukankah dia sama sekali tak menghalangi keinginanmu untuk membunuh Nomuro Shasuke" Bahkan dia bermaksud membantu kita...." Mendengar kata-kata lelaki berkumis tipis itu, wajah Ayothomori memerah. Sesaat dia gelagapan tak bi-sa menjawab. Lalu katanya seraya palingkan kepala, "Aku hanya tak suka urusan ini dicampuri olehnya."
"Atau kau sesungguhnya tak suka setelah dipecundangi dengan mudah oleh Pendekar Slebor?" kata Hiedha Ogawa dalam hati. Sudah tentu dia tak akan keluarkan kata-kata itu, karena khawatir akan membuat kegusaran dan kebencian Ayothomori pada Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Lalu katanya, "Semenjak kita mendarat di tanah Jawa ini, kita belum mendapatkan jejak berarti dari pembunuh keparat itu. Bagaimana bila sekarang kita berpencar?"
"Bagaimana maksudmu, Hiedha-san?" tanya Mishima Nobu.
Hiedha Ogawa yang memang sudah memikirkan kemungkinan itu menjelaskan maksudnya, "Lebih baik kita berpencar. Dengan cara berpencar maka langkah kita akan semakin panjang dan jauh. Kupikir, kendati kita seorang diri, kita akan mampu menghadapi Nomuro Shasuke bila bertemu. Ingat, bukankah kita memiliki semangat seorang samurai?" Kendati saat berkata-kata Hiedha Ogawa arahkan pandangannya pada Mishima Nobu, namun telinga Ayothomori memerah, merasa disentil dengan katakata itu. Dia hanya keluarkan dengusan sebagai tanda kejengkelannya.
Hiedha Ogawa tak perdulikan sikapnya. Dia berkata lagi, "Bila salah seorang dari kita berhasil menemukan dan mengalahkannya, maka harus mencari yang lainnya. Tetapi bila gagal mengalahkannya, paling tidak jejak pembunuh celaka itu sudah diketahui. Terus terang, hingga hari ini belum ada di antara kita yang melihat Nomuro Shasuke, kendati kehadirannya di tanah Jawa ini sudah jelas. Kalian paham maksudku?" Mishima Nobu palingkan kepalanya dulu pada Ayothomori. Setelah melihat kepala Ayothomori mengangguk, dia segera mengangguk pula.
Dan tanpa setahu siapa pun, Ayothomori berkata dalam hati, "Bila aku menemukan dan berhasil mengalahkannya, akan segera kubawa lelaki celaka itu ke hadapan Kaisar. Dan kukatakan kalau kalian sudah tak lagi menghiraukan martabat sebagai seorang samurai. Hmmm... luar biasa! Dapat kubayangkan hadiah apa yang akan kuterima dari Kaisar." Setelah masing-masing orang menganggukkan kepalanya, Hiedha Ogawa berkata lagi, "Kalau begitu...
aku akan menempuh arah utara. Mishima-san... kau tempuh arah timur. Sementara Ayothomori-san... menempuh ke arah barat. Tujuh hari dari sekarang, kita bertemu di daerah selatan.
Berhasil atau tidak mendapatkan pembunuh celaka itu. Bagaimana?" Ayothomori langsung mengganggukkan kepalanya.
Dan kejap itu pula tanpa keluarkan kata sepatah pun juga, dia sudah bergerak ke arah barat. Hiedha Ogawa menarik napas pendek melihat sikapnya. Tetapi dia tak mempermasalahkan. Lalu katanya pada Mishima, "Mishima-san... hati-hati...." Mishima Nobu membungkuk seraya berkata, " Ari-gatoo gozimashita (terima kasih banyak).... Kau juga harus berhati-hati, Hiedha-san...." Hiedha Ogawa menganggukkan kepalanya. Lalu masing-masing orang segera berkelebat ke arah yang telah ditentukan, menembus kegelapan malam.

***

↕::↕ 11 ↕::↕

Menjelang malam telah lewat dua pertiga perjalanannya, Pendekar Slebor hentikan langkahnya di sebuah jalan setapak. Malam menggigit alam. Naungan mata langit begitu gelap sekali. Sinar rembulan tak kuasa tembusi tingginya pepohonan.
"Aneh... mengapa aku masih memikirkan soal pertarungan antara Pucha Kumar dengan Ayothomori?" desis pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini. Kepalanya digeleng-gelengkan, seperti hendak mencari apa yang dirasakannya aneh.
"Huh! Bukankah seharusnya aku memikirkan bagaimana caranya menemukan Nomuro Shasuke dan Dewi Permata Biru?" Sejenak Pendekar Slebor hentikan ucapannya. Tetapi di lain saat dia sudah berkata kembali, "Ada sesuatu yang aneh... ya, sesuatu yang aneh...." Diusahakannya untuk menemukan apa yang aneh itu. Akan tetapi, kendati dia berusaha untuk mengetahui apa yang aneh dalam pikirannya, namun dia gagal untuk menemukannya.
Tahu-tahu pemuda ini mendengus, "Sudahlah! Apa pun yang aneh itu toh cuma bikin pusing saja! Lebih baik tak kupedulikan lagi!" Namun lagi-lagi dia terdiam. Kali ini keningnya benar-benar dikernyitkan.
"Huaaahhh!" tahu-tahu dia berseru begitu.
"Bikin pusing saja!" Kemudian diarahkan pandangannya ke depan, yang nampak hanyalah jajaran pepohonan yang masih disaput kegelagapan. Di kejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok tanda fajar telah mengambang kembali.
"Semakin kulacak jejak Nomuro Shasuke, semakin banyak segala masalah yang mesti kupecahkan. Titik pangkal dari semua ini justru berpulang pada Dewi Permata Biru. Bila dugaanku benar kalau Nomuro Shasuke diselamatkan oleh Dewi Permata Biru, berarti dialah yang harus kucari.
Tetapi di mana aku harus mencarinya" Kutu busuk!" Sejenak pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini memaki-maki dirinya sendiri. Di lain kejap tahu-tahu dia tertawa.
"Wah! Bodohnya aku ini" Ya masa sih mesti kuca-ri di kolong kedua kakiku" Jelas saja tidak mungkin! Dasar dungu! Slebor! Urakan! Memalukan! Segalagalanya, deh! Lebih baik, aku kembali saja menyusuri ke mana perginya Nomuro Shasuke yang dibawa oleh Dewi Permata Biru!" Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera berkelebat meninggalkan jalan setapak itu. Sambil berkelebat dia coba memikirkan keanehan apa yang dirasakannya. Namun hingga matahari tepat sepenggalan, pemuda ini belum juga berhasil memecahkan apa yang dipikirkannya.
Dua kejapan kemudian, dia justru hentikan langkahnya tatkala dilihatnya seorang lelaki tua sedang terbaring di atas tanah berumput.
Dengan hati bertanya-tanya, Andika cepat menghampirinya. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat luka besar di punggung si orang tua.
"Gila! Luka ini seperti sayatan sebuah pedang!" desisnya. Lelaki tua yang sedang menderita itu mengangkat kepalanya. Wajahnya begitu pucat dengan sorot mata memilukan. Tangannya mengapai-gapai. Andika cepat memegang tangannya.
"Jangan banyak bergerak dulu, Bapak.... Aku akan menolongmu...."
"Tidak usah...," sahut si orang tua terpatah-patah.
"Anak muda... tolong cucuku.... Minsari... tolong dia...."
"Apa yang terjadi?" Dengan suara yang kian terputus-putus, lelaki tua itu bercerita. Dia dan cucunya yang bernama Minsari baru saja kembali dari kotapraja. Karena sudah larut malam, mereka memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu pagi. Namun begitu mereka baru terlelap, mendadak saja muncul seorang lelaki bermata sipit. Mendekati keduanya dengan langkah kaku dan samurai di tangan. Sadar kalau lelaki yang muncul itu akan membawa bahaya, lelaki tua itu segera bersiaga penuh. Apa yang diduganya memang benar. Karena begitu melihat cucunya, lelaki bersamurai itu menghendakinya.
Sudah tentu lelaki tua itu tak mau menuruti perintah si lelaki. Dan penolakannya justru berakibat fatal. Dengan ganasnya lelaki bermata sipit itu menyabetkan samurainya ke punggung si orang tua yang langsung ambruk. Bersamaan dengan itu terdengar jeritan cucunya yang langsung menubruk tubuhnya.
Tetapi dengan kasar lelaki bermata sipit itu menarik sang cucu dan membawa pergi.
"Jahanam terkutuk!" maki Andika dalam hati.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan Nomuro Shasuke"!" Lalu terburu-buru Andika berusaha menyelamatkan nyawa lelaki tua itu. Tetapi karena sudah terlalu banyak darah yang keluar, lelaki itu pun akhirnya tewas di pangkuan Andika.
Betapa gusar hati pemuda urakan ini. Rahangnya mengatup rapat. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. La-lu dengan menahan segala amarahnya dikuburkannya mayat lelaki tua itu.
Setelah selesai melakukannya, Andika berdiri perlahan-lahan. Wajah dan sorot matanya yang biasanya jenaka, kali ini seolah menguap. Keseriusan dan kete-gangannya makin menjadijadi. Kedua tangannya mengepal kuat, hingga urat-urat lehernya keluar tanda dia berada di puncak kemarahannya.
"Keparat! Datang ke tanah leluhurku kau hanya menyebarkan penyakit dan petaka belaka! Ke mana pun kau pergi, aku akan tetap mencarimu, Nomuro Shasuke!" Kejap berikutnya, pemuda yang di lehernya melilit sehelai kain bercorak catur segera meninggalkan tempat itu. Hanya sekitar sepenanakan nasi dia berkelebat, dilihatnya satu sosok tubuh yang tergantung di sebuah pohon.
"Terkutuk! Terkutuk!" maki Andika gusar menyadari kalau sosok gadis berkebaya lurik itu telah menjadi mayat.
Sekali lagi dengan menahan kepedihannya diturunkannya mayat gadis itu. Hanya sekali lihat saja Andika yakin kalau sebelum matinya gadis ini telah diperkosa. Dia juga yakin kalau gadis itu bernama Minsari, cucu dari lelaki tua yang baru saja dikuburkannya.
"Nomuro Shasuke... kau benar-benar keji dan licik! Kau harus membayar semua perbuatanmu ini!" desis Andika di hadapan makam yang baru saja dibuat. Ketika dia hendak balikkan tubuh, tahu-tahu di hadapannya telah berdiri satu sosok tubuh tinggi kurus yang mengenakan pakaian hitam-hitam terbuka di depan dada. Sorot mata sosok tubuh itu pancarkan sinar kelabu!

*****

Sejenak Pendekar Slebor kerutkan keningnya melihat sosok tua di hadapannya.
"Hebat! Sejak kapan dia berada di belakangku" Tahu-tahu sudah nongol begitu saja" Hiiii... kalau dia sebangsa jin, kok ada jin yang jelek begitu ya" Tetapi...
banyak juga kok jin yang bisa mengubah wajahnya mirip tengkorak" Tetapi kalau dia manusia... janganjangan sebangsa mayat hidup?" Selagi pemuda urakan itu berseloroh konyol dalam hati, lelaki berpakaian hitam-hitam yang tak lain Dedemit Tapak Akhirat buka mulut, "Pemuda bertampang urakan! Jawab pertanyaanku, apakah kau yang berjuluk Pendekar Slebor"!"
"Busyet! Kok nada bicaranya angker amat" Jangan-jangan... dia memang sebangsa jin!" kata Andika dalam hati.
"Jawaab pertanyaankuuu!" suara yang mengguntur itu membuat Andika sampai melengak. Bahkan tanpa sadar dia sampai surut satu tindak ke belakang.
"Bangun-bangun makan nasi sama kue pancong!" selorohnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Lalu berseru, "Hei, Muka Tengkorak! Kalau mau nanya ya nanya! Jangan main bentak begitu! Untung saja aku tidak jantungan" Kalau aku langsung 'det' kau mau ganti nyawaku"!" Lelaki bertampang tengkorak itu kertakkan rahangnya. Sinar kelabu yang keluar dari sorot matanya, bertambah pekat, bertanda dia mulai gusar.
Sesungguhnya, Dedemit Tapak Akhirat memang belum mengenal Pendekar Slebor. Kalaupun dia tahu tentang Pendekar Slebor, itu diberitahukan oleh muridnya yang bernama Gendala Maung (baca: "Cinta Dalam Kutukan").
"Pemuda lancang! Kau berani bermain-main dengan Dedemit Tapak Akhirat, hah"!" Melengak Andika mendengar julukan itu disebutkan. Bahkan tanpa sadar dia sampai surut satu tindak ke belakang.
"Dedemit Tapak Akhirat" Bukankah dia adik seperguruan Jala Kunti yang telah tewas di tangan Eyang Saptacakra" Kutu monyet! Urusanku belum selesai, sudah datang lagi urusan seperti ini! Benar-benar kutu monyet!" Di depan Dedemit Tapak Akhirat menggeram murka.
"Dari sikapmu, kau memang ingin mampus! Bagus! Kukirim kau sekarang ke neraka!" Habis makiannya, mendadak saja lelaki bertampang tengkorak ini gerakkan tangan kanannya. Sertamerta menghampar gelombang angin deras yang keluarkan hawa panas ke arah Pendekar Slebor.
Tak mau dirinya mengalami nasib konyol, dengan gerakan yang cepat Andika melompat ke samping kanan. Serangan yang dilancarkan Dedemit Tapak Akhirat hanya lewat satu jengkal dari tubuhnya.
Di tempatnya, sejenak Dedemit Tapak Akhirat terdiam dengan kening dikernyitkan. Lalu terdengar suaranya gusar, "Pantas kau berani berlagak! Rupanya punya kebisaan pula, hah"!" Kendati jengkel mendapati dirinya diserang sedemikian rupa, Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau aku punya sedikit kebisaan, apakah kau tiba-tiba menjadi ciut seperti tikus got"!" Mengkelap wajah Dedemit Tapak Akhirat mendengar ejekan itu. Kalau tadi dia hanya kibaskan sebelah tangannya, kali ini tangan kanan dan kirinya didorong ke depan.
Dua gelombang angin langsung menderu dahsyat ke arah Andika. Terkejut bukan alang kepalang pemuda dari Lembah Kutukan ini. Serta-merta dia melompat ke samping kiri. Namun belum lagi kedua kakinya hinggap di atas tanah, menderu hamparan angin yang menyeret tanah dan langsung timbulkan suara letupan keras.
"Kura-kura bau!" rutuk Andika dalam hati. Sulit baginya untuk menghindar kembali. Maka jalan satu-satunya dia segera gerakkan kedua tangannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh.
Blaaaarrr! Letupan keras terdengar tatkala dua pukulan itu bertemu, yang segera rengkahkan tanah dan untuk beberapa saat menghalangi pandangan. Tatkala semuanya sirap, nampak sosok Andika telah terhuyung lima langkah dari tempat semula.
Sementara di tempatnya, Dedemit Tapak Akhirat masih berdiri dengan kedua kaki tegak. Tetapi kedua matanya membuka lebih lebar, kian pancarkan sinar kelabu yang bertambah pekat.
"Pukulan tenaga 'Inti Petir'!" desisnya seperti ledakan.
"Jahanam terkutuk! Kau adalah Pendekar Slebor!"
"Wah! Kok kau begitu kaget ya" Kalau aku memang Pendekar Slebor, kau mau apa" Apakah kau mendadak ciut dan berusaha untuk menjabat dan mencium tanganku" Ah, aku jadi tidak enak nih! Mendingan...."
"Tutup mulutmu!" Dengan kegusaran yang tinggi, lelaki berparas tengkorak ini sudah rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Kematian sudah di ambang pintu hidupmu, Pendekar Slebor!" serunya dingin.
"Kusampaikan pula salam Dewi Permata Biru untukmu!" Habis kata-katanya segera ditepuk tangan kanan dan kirinya hingga terdengar suara menggelegar keras.
Kejap itu pula satu gelombang tenaga dahsyat yang percikkan sinar merah menggebrak ke arah Pendekar Slebor. Terkesiap Andika melihatnya sambil melompat tatkala dirasakan pula hawa panas yang ditimbulkan tenaga serangan lawan menyengat tubuhnya.
Bummm! Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah beterbangan. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja.
Dua pohon langsung tumbang dengan dedaunan mengering, lalu berguguran saat ambruk ke tanah.
Dedemit Tapak Akhirat yang jelas-jelas tak mau membuang kesempatan yang ada, sudah merangsek maju diiringi teriakan membahana. Tangan kanan dan kirinya digerakkan. Seketika nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah keluar dari tapak kedua tangannya. Menyusul suara mengerikan laksana salakan guntur. Blgaaarrr! Sadar kalau bahaya sudah dekat, Pendekar Slebor pun tak mau menghindar lagi. Dia tahu, kalau 'Tapak Akhirat' yang dikeluarkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Karena sebelumnya, Andika juga pernah bertarung dengan Gendala Maung, yang merupakan murid dari lelaki tua berparas tengkorak ini, yang juga mempergunakan ilmu 'Tapak Akhirat'.
Namun ilmu kejam itu lebih mengerikan dimainkan oleh Dedemit Tapak Akhirat ketimbang oleh Gendala Maung. Dengan teriakan menambah semangat, Andika sudah menderu ke depan. Ajian 'Guntur Selaksa' digunakan saat itu pula. Sesaat nampak seluruh tubuh pemuda dari Lembah Kutukan ini seperti dikelilingi oleh pernik perak.
Blaaammm! Blaaammm! Suara menggelegar saat itu pula terdengar mengerikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke belakang dengan deras. Bila saja dia tak segera kuasai keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Dedemit Tapak Akhirat berdiri tegak sambil terbahak-bahak.
"Siapa pun orangnya yang menggagalkan niat kakak seperguruanku untuk membunuh Saptacakra, harus mampus di tanganku! Apalagi, kau adalah keturunan dari Saptacakra!" Menyusul lelaki bertampang tengkorak ini kembali tepukkan tangannya. Serta-merta menderu kembali serangan yang lebih mengerikan. Hawa panas yang keluar dari ilmu 'Tapak Akhirat' mengeringkan ranggasan semak belukar. Menyusul menggebahnya gelombang angin dahsyat yang percikkan sinar merah ke arah Andika.
"Kutu monyet! Bisa putus nyawaku sekarang juga!!" makinya dalam hati sambil membuang tubuh ke samping kanan, bersamaan dengan itu tangan kanannya telah menyambar kain bercorak catur yang melilit pada lehernya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah kembali, dengan lenturnya tubuh pemuda ini langsung meluruk. Kain bercorak catur warisan dari Ki Saptacakra di Lembah Kutukan telah digerakkan dengan dipadu ajian 'Guntur Selaksa'.
Serta-merta terdengar suara laksana ribuan tawon murka diiringi gelombang angin raksasa yang menggebrak ke arah Dedemit Tapak Akhirat.
Blaaammmm! Benturan keras terjadi dengan memerciknya sinar merah ke udara. Masing-masing orang sama keluarkan pekikan tertahan dan surut tiga tindak ke belakang.
Tatkala berdiri tegak kembali, Andika memegang dadanya dengan tangan kiri, sementara wajah Dedemit Tapak Akhirat kian mengkelap.
"Gila!" desis Andika dalam hati.
"Ilmu 'Tapak Akhirat' lebih mengerikan di tangannya ketimbang yang pernah dilakukan Gendala Maung padaku tempo hari! Celaka betul! Bila tak segera kuselesaikan, Nomuro Shasuke tentunya sudah semakin sulit kutemukan.
Bisa jadi pula pembunuh dari Jepang itu sudah sebarkan petaka yang diturunkan.
Hhhh! Aku harus mengatasi manusia satu ini!" Berpikir demikian, pemuda urakan ini segera putar kain bercorak caturnya di atas kepala. Serta-merta menderu gelombang angin dahsyat dipadu dengan suara dengusan mengerikan. Bukan hanya dedaunan yang beterbangan. Ranting dan dahan pohon pun patah, lalu timbulkan suara berderak-derak saat bertabrakan satu sama lain. Tanah sejarak satu tombak da-ri tempat Andika berdiri, membubung ke udara.
Di depan, Dedemit Tapak Akhirat kertakkan rahangnya. Wajahnya terasa seperti ditampar.
"Pantas bila Gendala Maung tak kuasa menghadapi kesaktiannya. Tetapi... pemuda ini jelas bukanlah tandinganku! Akan kuperlihatkan sesuatu yang membuat kedua matanya terbuka lebih lebar!"

***

↕::↕ 12 ↕::↕

Habis membatin demikian, dengan teriakan membahana Dedemit Tapak Neraka menerjang ke depan.
Saat tubuhnya melesat cepat, angin berkesiur keras.
Menyusul kedua tangannya didorong ke depan sebelum akhirnya dirangkapkan, ditepukkan dan sertamerta melabrakan gelombang angin yang percikkan sinar merah. Di seberang, Pendekar Slebor untuk sesaat melengak. Bahkan tanpa sadar dia keluarkan desisan tertahan, "Oh!" Namun di kejap lain, dengan cepat diputar tangan kanannya yang masih memegang kain bercorak catur.
Bersamaan gemuruh angin dan suara dengungan keras menderu, tangan kirinya yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' melabrak ganas.
Saat itu pula terdengar suara laksana salakan guntur marah. Dua serangan yang sama-sama berada pada puncak paling atas bagi masing-masing pemiliknya berte-mu. Blaammmmmm! Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan terdengarnya ledakan keras tatkala serangan Dedemit Tapak Akhirat bentrok dengan serangan Pendekar Slebor. Tempat itu kontan bergetar keras. Ranggasan semak belukar yang berada di sekitar tempat itu terabas rata.
Sosok Pendekar Slebor terpental lima langkah ke belakang, pertanda jelas kalau serangan yang dilancarkan oleh Dedemit Tapak Akhirat adalah serangan yang ganas. Apa yang dialami pemuda dari Lembah Kutukan ini ternyata tidak hanya sampai di sana saja. Belum lagi dia dapat kuasai keseimbangannya dan masih merasakan betapa sakit dada serta kedua lengannya, Dedemit Tapak Akhirat yang hanya surut satu tindak ke belakang, sudah menggebrak lagi ke depan. Meski terhuyung, Pendekar Slebor cepat angkat tangan kirinya untuk memapak pukulan yang datang.
Menyusul dikibaskan kain bercorak caturnya, yang seketika memapak gelombang pukulan Dedemit Tapak Akhirat. Gelombang pukulan yang mengarah padanya tersapu keras, lalu mengudara menghantam tempat kosong. Namun bahaya belum selesai. Dedemit Tapak Akhirat yang memang tak menginginkan membuang kesempatan, apalagi dilihatnya Pendekar Slebor sudah dalam keadaan terdesak, kembali tepukkan kedua tangannya, disusul dengan tubuhnya mencelat ke depan. Kali ini Andika benar-benar pucat pasi. Sepasang matanya seperti hendak melompat keluar. Dalam keadaan yang kritis itu, dengan susah payah pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera membuang tubuh ke samping kanan.
"
"Aku tak boleh mampus dulu! Aku belum kawin!" serunya keras seperti menambah semangat. Saat dia membuang tubuh ke samping kanan, kain bercorak caturnya cepat dilemparkan.
Wuuutttt! Kain bercorak catur itu melesat laksana meteor.
Sejenak ganti Dedemit Tapak Akhirat yang terkejut.
Begitu kain bercorak catur siap menghajar tubuhnya, cepat dia putar diri setengah lingkaran. Lalu dengan cepat disambarnya kain bercorak catur itu.
Tap! Wuungggg! Begitu ditangkap kain itu langsung diputarputarnya hingga saat itu pula menderu angin ganas yang mengerikan.
Sejarak tiga tombak dari hadapan lelaki bertampang tengkorak itu, wajah Andika benar-benar pias laksana tanpa darah. Tubuhnya agak goyah tatkala berdiri kembali di atas tanah. Disesalinya mengapa dia sampai melempar kain pusakanya itu. Tetapi bila tadi dia tidak melemparnya, tak mustahil serangan yang dilancarkan Dedemit Tapak Akhirat akan merenggut nyawanya. Lelaki kurus yang bajunya terbuka dan menampakkan tonjolan tulang di dadanya itu tertawa keras, "Hanya begitu saja kehebatan Pendekar Slebor! Huh! Urusan kecil seperti ini terlalu dibesar-besarkan oleh Gendala Maung!"' Sambil menahan ngilu pada dada dan kedua tangannya Andika masih bisa membacot, "Waduh! Berhenti dulu deh! Napasku sudah mau putus nih! Ba- gaimana kalau kita lanjutkan pada ronde berikutnya" Itu pun kalau kau setuju, lho! Kalau tidak, ya tidak apa-apa! Wah! Betul-betul busyet! Di matamu itu terdapat batu akik ya" Kok sinarnya makin seram banget"!" Di seberang, Dedemit Tapak Akhirat yang baru saja memutuskan tawanya begitu mendengar ejekan Andika, makin keras memutar kain bercorak catur.
"Celaka! Selama ini aku memang belum pernah merasakan kehebatan kain pusakaku sendiri" Namun akibat yang telah dihasilkannya sering kau kulihat! Kutu busuk! Apakah aku harus mampus justru pada senjata mustikaku sendiri"!" maki Andika dalam hati sambil bersiaga penuh.
Mendapati wajah pemuda berambut acak-acakan itu bertambah pias, Dedemit Tapak Akhirat kembali umbar tawanya.
"Sangat disayangkan... kalau pendekar kesohor yang namanya ditakuti orang, kini harus mampus di tanganku! Bahkan... pada senjatanya sendiri!" Dasar urakan, dalam keadaan yang kritis seperti itu Andika masih juga berseloroh konyol, "Nah, kalau kau tidak mau melakukannya, kembalikan kain pusakaku itu! Nanti kau baru bunuh aku" Bagaimana?"
"Jahanam! Terimalah kematianmuuu!" Habis seruannya seraya putar kain bercorak caturnya, Dedemit Tapak Akhirat sudah menderu ke muka. Serta-merta menghampar gelombang angin raksasa dibalur dengan suara dengungan yang sangat keras. Andika yang memang sudah bersiaga kendati tenaganya sudah mulai terkuras, langsung mengangkat kedua tangannya. Namun satu gelombang angin tibatiba menyeruak dan mendahului pukulan Andika menapak langsung gelombang angin yang keluar dari kain bercorak catur.
Blaaammmm! Gelombang angin itu pecah dan membuyar di angkasa. Tanah di mana bertemunya dua gelombang angin itu langsung terbongkar, dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Dedemit Tapak Akhirat berseru keras dengan wajah tegang. Dia segera berkelebat ke samping kiri dari mana angin yang memapaki serangan dari kain bercorak catur yang kini berada di tangannya datang.
Saat itu pula tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi, bersiap untuk lepaskan serangan. Namun begitu sepasang matanya yang pancarkan sinar kelabu memandang ke depan, mendadak saja tangan kirinya terdiam di udara.
Seperti digantung oleh seutas tali alot yang tak nampak....

SELESAI

Segera menyusul:
SAMURAI BERDARAH


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Cinta Dalam Kutukan --oo0oo-- Samurai Berdarah


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers