Life is journey not a destinantion ...

Rahasia Sang Giesha

INDEX PENDEKAR SLEBOR
Geisha --oo0oo-- Istana Sembilan Iblis



ANDIKA
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: RAHASIA SANG GEISHA

RAHASIA SANG GEISHA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan peitama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit

=#= 1 =#=

Satu pepatah lama menyebutkan musuh jangan dicari. Tapi kalau musuh menghampiri, jangan sekali lari. Sikap seperti itu telah diterapkan keluarga keturunan murid bungsu Sensei*
Pedang Ekor Naga.
Salah seorang dari mereka adalah Hiroto. ksatria sejati yang mengambil jalan para bushido* di negeri Sakura. Hari boleh saja berganti, bulan boleh berlalu.
Atau tahun serta abad boleh terus berubah. Tapi jalan hidupnya tidak. Dia memegang teguh apa yang diyakininya dengan kehormatan atau nyawa sekali pun.
Kalau keluarganya kini ada yang memus uhi, demi kehormatan, dia tak akan menyingkir. Akan dihadapinya semua ancaman dengan keberanian seorang samurai sejati. Tidak lari seperti pecundang.
Seichi Onigawa, salah seorang perwira shogun yang berkuasa kini adalah musuh besarnya. Dia adalah keturunan dari murid sulung Sensei Pedang Ekor Naga.
Saat ini, Seichi Onigawa telah menyandera anak satu-satunya. Dan itu bagi Hirolo adalah sangkakala perang yang harus dihadapi. Bukan dihindari. Meski pada
dasarnya. Hiroto sendiri membenci permusuhan yang terus saja berkobar turuntemurun itu. Ke Kuil Malahari, Hiroto memburu. Di sana dia berharap dapat menghadapi Seichi Onigawa yang telah menyandera Akimoto anaknya.
Hiroto amat tahu apa yang dikehendaki Seichi Onigawa. Lelaki berjiwa binatang namun bersosok manusia itu sebenarnya tak cuma menginginkan Pedang Ekor Naga warisan Sensei Pedang Ekor Naga. Seichi Onigawa menyimpan kebencian mendalam pada seluruh keluarga keturunan murid bungsu.
Dan kebencian itu kian lama kian menjadi karat busuk yang memicu nafsu membantainya! Senja jatuh juga. Matahari bertekuk lutut kuyu pada di kaki langit timur. Di pekarangan Kuil Matahari di wilayah Yamashiro, seorang lelaki berdiri mematung. Ilalang tinggi lebat diam seperti diamnya lelaki itu, di bawah cahaya kuning tembaga matahari. Lelaki itu Hiroto. Dia telah memutuskan untuk memasuki juga Kuil Matahari.
Ada baiknya dia mengikuti ucapan si kakek tua bungkuk yang mengatakan padanya bahwa Seichi Onigawa musuh besarnya, telah menunggu di dalam bangunan kuno itu (Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal ini, bacalah episode sebelumnya; "Geisha"!)
Dari pintu besar yang telah hancur oleh ledakan peledak milik Delapan Samurai Merah, Hiroto masuk. Langkahnya teratur, penuh kesiagaan. Matanya nyalang mewaspadai segenap penjuru. Memasukiruang besar tempat pemujaan, Hiroto menajamkan pandangan. Ruangan di sana cukup gelap. Tak ada lampu sedikit pun. Dalam keadaan seperti itu, musuh tentunya lebih leluasa mengintai dari kegelapan.
Sementara sosok Hiroto sendiri jelas terlihat akibat sinar matahari sore yang bertandang dari mulut pintu. Hiroto meningkatkan kesiagaan. Kakinya melangkah satu-satu pada lantai berbatu pualam kotor. Dengan melangkah menyamping, Hiroto berusaha sckaligus membentuk pertahanan selagi berjalan.
Ditengah ruang besar itu, telinganya menangkap suara halus di satu sudut. Hiroto menegang.
"Seichi! Kaukah itu"!" bentak Hiroto. Melepas lantangannya.
Tak ada tanggapan apa-apa. Tapi suara halus tadi masih tertangkap telinga Hiroto.
"Seichi! Kalau itu memang benar kau, keluarlah! Hadapi aku sebagai seorang ksatria! Kalau kau merasa perlu untuk memerintah orang-orang bayaranmu untuk rnenghadapku karena kau begitu pengecut, maka perintahkan mereka! Jangan hanya main kucing-kucingan seperti ini"!" cecar Hiroto agak mengkelap.
Tetap tak ada apa-apa.
Menguap sudah kesabaran lelaki berjiwa ksatria itu. Dengan melangkah tetap menyamping dihampirinya sudut ruangan besar yang dicurigainya. Lebih mendekat ke sebuah patung besar, telinga Hiroto makin jelas mendengar suara halus. Topi telinga lelaki itu mulai ragu ketika suara itu kian jelas.
"Apa iya aku mendengar suara mendengkur?" bisiknya dalam hati.
Tetap dengan kewaspadaan penuh, Hiroto melompat kebalik punggung patung besar. Kelopak matanya mengkerut, seperti juga keningnya.
"Kau...," desis Hiroto.
Dilihatnya lelaki berwajah merah telah ada di sana. Bukan cuma itu. Si jelek berpakaian dekil telah pula terpulas di ringi dengkur tak sedapnya. Tak lama kemudian, mulutnya mulai menguap lebar-lebar.
"Huaaaahhh...."
"Tototo San*," tegur Hiroto pelan. Biar sejelek apa pun orang itu, Hiroto tetap berhutang budi padanya. ketika lelaki bernama aneh itu menyelamatkannya dari
ancaman maut Delapan Samurai Merah.
"Hm. nyam nyam nyam...." Mulut Tototo malah mengecap-ngecap matanya tetap terpejam. Hiroto baru saja bertemu dengarnya belum lama dari sepeminum teh. Tapi orang aneh satu ini tampaknya sudah bermimpi sampai ke surga.
"Tototo San," ulang Hiroto lagi.
"Ya ya!" Tototo tersentak. Dia bangun mencelat seraya memasang kuda-kuda.
"Oi, rupanya kau"! Sedang apa kau di sini"!" sapanya ketika menyaksikan Hiroto berdiri di depan.
"Aku mencari...." Hiroto terdiam. Dia jadi tak enak hati dengan Tototo. Bukankah lelaki itu sudah mengatakan kalau Seichi Onigawa memang tidak ada di dalam
bangunan ini"
"Bukankah sudah kubilang Seichi Onigawa tidak ada di sini"! Kenapa kau keras kepala sekali, heh"!" rutuk Tototo. Sesudah itu, dia menggeloso kembali seperti ular sanca besar kekenyangan.
"Sudah sana keluar!" hardiknya seraya menepiskan tungan di udara. Matanya terpejam.
"Tapi...."
Hiroto tak meneruskan kalimat. Tototo sudah mendengkur kembali. Percuma dia bilang apa pun! Dengan masih dikerubungi tanda tanya dalam hati, akhirnya Hiroto meninggalkan Kuil Matahari. Ke mana lagi dia akan memburu Seichi Onigawa yang telah menyandera anaknya. Ke Suruga" Hiroto tak begitu yakin. Suruga memang tempat Seichi Onigawa dan keturunan murid bungsu lain. Namun daerah itu terlalu jauh. Belum tentu Akimoto dibawa ke sana. Bukankah
Seichi Onigawa tak akan bodoh membawa 'anak macan' ke tempat tinggalnya sendiri" Itu sama artinya mengundang 'induk macan' untuk datang.
Tapi, Seichi Onigawa bukan orang sembarangan. Kalaupun Hiroto menyantroni tempatnya, belum tentu Hiroto bisa unggul menghadapi kehebatan lelaki itu. Jadi, mestikah aku menyusul ke Suruga" batin Hiroto bertanya bimbang kembali.
"Sebaiknya kau tunggu saja kabar dari lelaki keparat itu!" Terdengar suara serak Tototo dari dalam kuil.
"Kalau tak salah. dia menginginkan sesuatu darimu. bukan?" lanjutnya.
"Tentu dia akan mengajukan persyaratan untuk menukar anakmu dengan benda yang di nginkan itu!
Kenapa kau jadi terburu nafsu seperti itu"! Jangan terbawa nafsu, akal sehatmu bisa tak berjalan!"
Mendengar ucapan Tototo, baru Hiroto sadar. Lelaki aneh itu benar. Betapa bodohnya dia mengikuti hawa nafsu sendiri. Bukankah lebih baik dia menunggu
kabar dari musuhnya. Selama Pedang Ekor Naga tetap di tangannya, Seichi Onigawa tak akan berani melakukan apa-apa terhadap Akimoto anaknya.
"Terima kasih, Tototo San!" seru Hiroto. Dia segera beranjak. Baru empat langkah, dia berhenti lagi.
"Bagaimana dia bisa tahu kalau Seichi Onigawa menginginkan sesuatu dariku?" bisiknya keheranan.

***

Andika alias Pendekar Slebor membuka penyamarannya segera setelah Hiroto meninggalkan Kuil Matahari. Ya, lelaki berwajah merah dan jelek itu memang si pemuda urakan. Setelah Andika tahu dari samurai bekas bawahan Hiroto bahwa Hiroto menuju kuil tua di Yamashiro, anak muda sakti dari tanah Jawa itu pun langsung menyusul. (Baca episode sebelumnya : "Geisha"!) Di perjalanan, tanpa kesulitan otak seencer bubur bayinya menemukan akal terang untuk membantu Hiroto tanpa membuat harga diri ksatria Nippon itu terusik. Dia menyamar! Ilmu menyamar yang pemah diturunkan oleh Raja Penyamar padanya pun dipakai. (Tentang kisah tokoh satu ini, bacalah episode : "Manusia Dari Pusat Bumi", "Pengadilan Perut Bumi" dan "Cermin Alam Gaib"!) Dengan mencari bahan-bahan penyamaran selama di perjalanan, Pendekar Slebor akhirnya sampai dengan penampilan lain di Kuil Matahari. Tepat saat Hiroto dalam keadaan di ujung landuk.
Kalau si lelaki berwajah merah adalah Andika, lantas siapa orang tua bungkuk bertoya. Sampai saat itu, Andika sendiri tak sempat bertemu dengannya. Dia tiba
setelah si orang tua bungkuk sudah menghilang dari pekarangan berilalang lebat Kuil Matahari. Yang jelas. orang tua itu tidak membohongi Hiroto.
Memang benar pada saat Hiroto baru sampai di Kuil Matahari. Seichi Onigawa, Delapan Samurai Merah, dan orang-orang Imada-Tong lain sedang mengintainya di dalam bangunan kuno tersebut.
Dan ketika Hiroto berlarung dengan Delapan Samurai Merah, Seichi Onigawa kcluar melalui bagian belakang bangunan. Rupanya ada rencana lain yang hendak dijalankannya. Akimoto sendiri tidak terlihat dengan mereka. Entah disembunyikan di mana bocah kecil itu. Sepergian Hiroto, Andika mencoba memeriksa seluruh bangunan Kuil Matahari. Keheningan mengungkung di dalam sana. Hawa dingin merata di segenap penjuru ruangan. Dengan menajamkan pan-dangan, anak muda itu mencari-cari petunjuk di seluruh bagian gedung. Teliti dia meneliti. Dan usaha itu akhirnya membawa hasil.
Andika menemukan secarik kain, tergeletak nyaris tersamar oleh gelapnya sudut pedupaan kuil. Ia mengenalinya sebagai sobekan pakaian Akimoto. Kepala anak muda itu mengangguk-angguk. Hmm, anak itu rupanya pernah dibawa ke sini," Gumamnya, menyimpulkan.
Tangan Andika lalu meremas sobekan kain itu. Pada telapak tangannya, terasa kelembapan pada kain.
"Ruangan ini tak tergolong lembab pada musim semi seperti ini," bisik si anak muda dari tanah Jawa kembali.
Andika mencoba meyakinkan dugaannya. Dicipinya rasa sobekan kain itu. Rasanya asin. Andika vakin kain itu basah karena keringat Akimoto. Dengan belum keringnya sobekan kain, otak encernya berkesimpulan cepat.
"Jadi tampaknya Akimoto belum lama dibawa pergi lagi oleh Seichi Onigawa keparat itu dari tempat ini. Masalahnya sekarang, kemana anak itu di bawa pergi?"
Rahang Andika mengeras, memperlihatkan garis-garis kegeraman.
"Sial! Sobekan kain ini tetap tak memberi petunjuk ke mana aku harus melacak manusia sial itu pergi!" rutuknya merambat.
Pada saat itu. tiba-tiba saja mata setajam pandangan elang si pendekar muda menangkap kelebatan bayangan seseorang dari mulut lorong kuil sebelah timur.
Andika sigap menoleh siaga. Sudah tak terlihat siapa pun lagi di sana. Tapi, Andika tetap yakin, penglihatannya tak keliru.
Dia jelas menangkap kelebatan cepat melintas mulut lorong. Tak bisa dia terus berdebat dengan diri sendiri. Dia harus membuktikan. Andika cepat memburu ke mulut lorong yang dicurigainya.
"Siapa pun orang itu, aku harus dapat me ringkusnya lebih dahulu!" tekadnya.

***

=#= 2 =#=

Andika sampai di ujung lorong yang menyambungkan ruang utama Kuil Matahari dengan ruang yang tampaknya pernah digunakan sebagai kamar bagi para biksu. Dari satu pintu yang sudah tak memiliki daun pintu lagi, Andika masuk. Ruang itu berantakan. Sama dengan bagian gedung lain, sarang laba-laba merangas sembarangan. Dindingnya sudah gompal di sanasini. Ruangan berlantai batu dan bertiang utama kayu ek itu menjadi ujung lorong. Mestinya Andika mencmukan orang yang diburunya. Kenyataan yang kini didapati justru bertolak belakang. Tak ada satu manusia pun ditemuinya. Bahkan sekadar anak cecak kesasar sekali pun... .
"Slompret! Ke mana orang tadi" Apa kelebatan bayangan yang kulihat tadi cuma perasaan was-wasku saja?" gerutu Andika scraya mcnghentak tangan ke dinding kcsal.Mulai menyembul keraguannya. Dia merasa dibodohi oleh pandangannya sendiri. Andika hendak buru-buru pergi dari tempat itu.
"Apa gunanya lebih lama kalau yang dilihatku tadi sekadar bayangan di kepalaku?" pikirnya.
Di lain sisi, kesadarannya mengingatkan. Ada kemungkinan dia memang telah salah lihat. Tapi tetap tak menutup kemungkinan bayangan yang dilihatnya memang benar-benar seseorang. Satu-satunya cara untuk menuntaskan keraguan itu, Andika harus meneliti ruangan. Kalau benar penglihatannya, tak mungkin orang bisa begitu saja menghilang seperti dedemit kesiangan. Andika mengurungkan niat untuk pergi Dimas ukinya ruangan perlahan. Kewaspadaan tetap harus dipertahankannya sebaik mungkin. Dia sama sekali tak mau kecolongan.
Sambil terus melangkah satu-satu, matanya meneliti petak demi petak lantai batu. Di tengah ruangan, matanya menemukan keganjilan pada satu petak batu. Rongga petaknya lebih lebar dari petak lain. Bibir pemuda itu lantas menyeringai. Dia berjongkok. Sebelumnya Pedang Pusaka Langit dilolos-kan terlebih dahulu. Ruangan yang sebelumnya cukup gelap karena jendela besarnya terganjal kayu lebar besar, kini menjadi terang oleh jamahan sinar merah bara Pedang Pusaka Langit. Dengan ujung pedang itu. Andika mendongkel petak batu tadi.
Tanpa kesulitan, petak batu bulat persegi banyak selebar tiga kaki itu terangkat Di bawahnya, Andika menemukan lubang beranak tangga batu. Tepat di bawah tanah gedung ini, rupanya ada ruangan lain. pasti dulunya dijadikan ruang rahasia untuk tujuan tertentu. pikir Andika.
"Kubilang juga apa..." gumamnya, bangga pada kejelian sendiri.
Setelah memasukkan Pedang Pusaka Langit kembali ke sarungnya, Andika memasuki lubang itu. Sekitar delapan puluh anak tangga melingkar dilalui anak muda itu. Dan ditemukannya ruangan besar terang benderang oleh lampion-lampion* yang tergantung di sepanjang dinding. Atapnya tinggi, hingga memungkinkan ruangan itu tetap sejuk. Sementara di beberapa bagian atas dinding terdapat lubang-lubang keluar-masuk udara.
Berbeda dengan ruangan-ruangan di atas, tempat ini justru begitu terpelihara. Lantai pualam nya saja bahkan begitu bersih, seolah selalu basah oleh genangan
air. Di tcngah-tengah ruangan, Andika melihat seorang lelaki tua bungkuk. Orang itu duduk bersila bersemedi. Di depan kakinya tergeletak toya panjang.
Dari wajah orang tua itu, anak muda sakti tanah lawa itu mendapati ketenangan penuh. Bertolak belakang dengan parasnya, di kedua sudut bibir berkeriput itu
Andika malah menyaksikan rembesan darah kehitaman. Andika cepat menyimpulkan. Lelaki tua bungkuk itu yang telah dilihatnya melintas sekilas. Dan dia sedang terluka dalam. Semedinya kini mungkin untuk memulihkan tubuhnya kembali.
Andika tak mau mengusik. Sengaja dia menurunkan tubuh ke sudut dinding. Dia duduk di sana, memeluk lutut. Ditatapinya terus lelaki tua itu. Memang menurut pengamatannya, tak ada kesan keji pada wajah si tua. Biarpun begitu, tak ada salahnya dia tetap menjaga kewaspadaan. Lewat sepeminum teh kemudian, si kakek bungkuk mendadak bergerak. Tubuhnya mencelat ke atas bersicepat dengan sambaran langannya pada toya. Di udara dia berputar beberapa kali menuju Pendekar Slebor.
Andika tersentak. Dia menangkap kecepatan gerak luar biasa si kakek bungkuk. Karenanya dia cepat bangkit. Sekerdip berikutnya, dia harus menahan hantaman toya kakek bungkuk tadi dengan lecutan kain pusakanya.
Cletar! Tak! Andika memperhitungkan toya penyerangnya akan lerpenggal menjadi dua dengan tenaga dalam yang telah disalurkannya melalui kain
pusaka bercorak catur. Perhitungannya ternyata tak c ukup jitu. Bukannya terpatah dua, toya itu justru menyentak balik kain pusaka Pendekar Slebor. Tak hanya itu. Tangan Andika pun mendapat sentakan seketika. Nyeri berdenyar, seperti baru saja disengat sesuatu.
Wukh! Kekagetan Pendekar Slebor dibayangi oleh kelebatan susulan. Kakek bungkuk berpakaian seorang samurai tempo dulu telah mengayunkan ujung toya yang lain ke kaki Pendekar Slebor.
Andika melompat, menyelamatkan tulang kakinya dari hantaman toya lawan. Di udara, dia dikejar lagi oleh putaran cepat toya tadi.
Wukh wukh! Pada saat seperti itu, Pendekar Slebor sudah tak bisa lagi membuat gerakan menghindar ke mana-mana.
Kalaupun masih mungkin, tetap saja bahunya akan tersambar ujung toya si samurai tua. Pendekar Slebor tak ingin terjepit dalam gebrakan awal. Dengan lincah. dibentangkannya kain pusaka dengan sepasang tangan, tepat di depan arah gerak toya lawan.
Tak! "Wou!"
Untuk pertahanan yang terpaksa itu, Pendekar Slebor harus sudi menerima akibatnya. Dorongan tenaga toya lawan terlalu kuat untuk dijegal dalam kea-daan
terjepit. Apalagi saat itu Pendekar Slebor tak memiliki pertahanan untuk jejakan kudakudanya Tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang.
Tembok tiga tombak di belakang langsung terhantam punggungnya. Meski begitu, Pendekar Slebor ternyata punya kejutan juga untuk lawan. Sewaktu toyanya beradu dengan kain pusaka, dengan kecepatan kilat gerak tangan. dililitkannya kain itu di ujung toya.
Begitu kuatnya belitan itu. hingga ketika tubuh Pendekar Slebor terlempar ke belakang toya itu pun ikut terbawa. Dengan sedikit menambahkan sentakan pada kain pusaka, Andika berhasil merebut toya tadi dari tangan pemiliknya!
"Ufh, jangan salah paham, Kakek Galak! Tentu saja aku bukan pencuri toya!" tukas Andika dengan senyum maha lebar. Sakit sedikit di bagian punggung akibat benturan pada dinding. tak sudi dirasakannya. Yang penting, dia sudah berhasil mendapatkan toya lawan.
Si orang tua bungkuk tampak demikian gusar. Mata kelabunya yang berkelopak sempil makin menyempit saja. Terdengar geramnya. Setelah itu, dia malah terbatuk-batuk. Dari mulutnya tersembur da-rah hitam kekentalan. Tentu saja pcngerahan tenaga dalam saat menycrang Pendekar Slebor mcnyebabkan
luka dalamnya kambuh kembali. Mungkin sekali ini akan lebih parah kalau dia terus ngotot menyerang Pendekar Slebor.
"Sudahlah, Kck! Kenapa kau memaksakan diri! Aku pun sebenarnya tak berniat memusuhimu.... Kenapa kau begitu ngotot ingin menghajarku?" kata Andika, mencoba menyabarkan si orang tua bungkuk ketika orang tua itu mulai hendak menggebrak lagi.
"Kau tampaknya orang asing. Mau apa kau ke tempat ini" Apa kau salah seorang antek-antek Seichi Onigawa?"
Andika cepat menggeleng. Disodorkannya toya di tangan. Si kakek bungkuk sejenak ragu menerima" tawaran persahabatan itu. Namun diambil juga akhirnya.
"Aku datang dari jauh. Anak sahabat yang kukunjungi di negeri ini telah diculik oleh orang yang namanya baru kau sebutkan tadi," Andika menjelas-kan.
"Maksudmu Seichi Onigawa?" Kakek bungkuk kelihatan terperanjat.
"Yak, lelaki itu penculiknya!"
"Tunggu dulu." tahan kakek bungkuk seraya mendekap dadanya. Mungkin dia mcrasakan nyeri yang mulai menyerang kembali.
"Apakah kau orang asing yang diributkan mereka?" tanyanya seperti bertanya pada diri sendiri.
Andika mcmbcrengut. Dia tak jelas menangkap maksud perkalaan orang tua di depannya.
"Apa maksudmu, Kek?"
"Delapan Samurai Merah, para ketua Imada-Tong, mereka mencarimu! Bukankah kau sahabat Hiroto"!"
Sekali ini Andika terkejut.
"Hei, bagaimana Kakek bisa kenal dengan Hiroto?" sergahnya dengan paras tak mengerti.
Kakek bungkuk tak segera menjawab. Itu menyuburkan rasa penasaran Andika. Anak muda dari negeri jauh itu ingin mendesaknya. Tapi urung dilakukan ketika orang tua tadi terbatuk-batuk mengeluarkan darah kehitaman kembali.
"Ah, kau tentu terluka dalam, Kek! Biar aku bantu!" pinta Andika. Kakek bungkuk mengibas tangan di udara. Wajahnya tetap mencerminkan kekerasan
untuk tidak mengharapkan pertolongan siapa pun.
"Aku bisa mengobati luka dalamku sendiri," tolaknya dengan wajah masam.
"Aku tak akan jadi begini kalau kau tak muncul!" gerutunya, menambah-an.
Pendekar Slebor angkat bahu. Mana bisa dia disalahkan begitu saja. Sudah jelas kakek bungkuk itu telah menyerangnya terlebih dahulu. Dengan mengerahkan tenaga pada saat pemulihan, tentu mengakibatkan kekambuhan. Biar tak merasa bersalah, tetap Andika menganggap tak ada gunanya mendebat orang tua itu.
Mungkin sifat keras kepalanya lebih keras dari sifat Andika sendiri.
"Baik kalau memang itu maumu. Tapi, mungkin kau mau mengatakan padaku, lelaki sial mana yang telah membuatnya seperti itu?" Andika sengaja mengucapkan kata 'lelaki sial' dengan wajah yang dipasang segeram mungkin. Supaya simpati si kakek tua terpancing. Dengan begitu, tentu dengan suka rela si kakek bungknk keras kepala akan mengatakan siapa yang telah melukainya. Pancingan Andika mendapat hasil. Berkawal geraman serak, kakek bungkuk menyebutkan nama seseorang yang telah melukainya.
"Seichi Onigawa! Pecundang laknat itu yang inembuatku begini!"
"Hm, sudah kuduga," bisik Andika dalam hati. Sampai di situ, Andika dipaksa tertawa tertahan. Masalahnya, bibir kakek bungkuk menjadi manyun. Begitu
bencinya dia dengan Seichi Onigawa tampaknya. Lalu kakek bungkuk tertatih kembali ke batu di lengah ruangan. Baru melangkah tiga tindak, tubuhnya terhuyung.
Dia hampir saja jatuh. Jangan bilang itu tak mengganggu perasaan Andika. Tentu saja pemuda kepala batu namun tetap berhati bening itu bergegas mendekati.
Hendak dipapahnya kakek bungkuk. Belum lagi tangannya sampai, si kakek bertoya sudah menggebrak lantai dengan senjatanya.
'Tak perlu! Aku bisa melakukannya sendiri!" hardiknya pada Andika dengan mata mendelik. Andika meringis.
"Jompo slompret!" Cibirnya dalam hati, dongkol setengah mati.

***

Pekerjaan apa yang lebih menjenuhkan dari menunggu" Andika tampaknya tak bisa menghindar dari hal itu. Lebih dari empat jam anak muda itu menunggu orang tua yang belum lagi diketahui namanya. Tanpa bisa menyumpal mulutnya untuk tidak menggerutu, Andika dudukbersandardi dinding. Tepat di bawah satu lampion besar.
Satu kakinya dijulurkan begitu saja. Sementara kaki yang lain dilipat untuk tumpangan tangan. Sesekali dia mengetuk-ngetuk lantai, mencoba mengenyahkan
kejenuhan. Lewat empat jam, barulah kakek bungkuk tadi mulai bergemik dari semadi khusuknya. Andika lega. Rasanya dia baru saja terbebas dari rantai sebesar telapak anak dedemit yang membelitnya.
"Bagaimana, Kek?" tanya Andika setelah berge?gas mendekati lelaki tua bungkuk itu.
"Bagaimana apa?" sungut kakek bungkuk.
Tolong terangkan padaku, ke mana Seichi Onigawa membawa Akimoto?"
Kakek bungkuk mencibir.
"Kau pikir aku tahu?" ucapnya tak sedap.
"Aku yakin kau tahu. Bukankah kau mendengar setiap pembicaraan mereka ketika semuanya masih ada di kuil ini?" desak Andika. Dia berusaha menahan kesabaran, meski jakunnya sudah turun-naik menahan dongkol.
"Dari mana kau tahu aku bisa mendengarkan pembicaran mereka dari tempat ini?" Kakek bungkuk makin berbelit-belit.
"Bukankah kau juga yang bilang tadi kalau kau mendengar percakapan Delapan Samurai Merah yang penasaran ingin menjajal ilmu bela diriku?"
"O, iya aku lupa. Maklum saja aku sudah tua." "Kalau begitu kau tentu dengar mereka mengatakan satu tempat yang mungkin ke sana Akimoto dilarikan."
Kakek bungkuk terdiam. Wajahnya terlipat ketat, makin membuat tebal kerut wajahnya. Dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Rasanya aku ingat sekarang...."
"Bagus! Tolong katakan padaku ke mana Akimoto dilarikan?" tegas Andika.
"Tapi, apa kau tak mau tahu kenapa aku bisa terluka oleh Seichi Pecundang itu?"
Kakek bungkuk kembali mementahkan jawaban yang begitu Andika harapkan. Andika geleng-geleng kepala. Semalam saja aku bersama orang tua ini, bisa rontok seluruh rambutku karena jengkel! Serapahnya membatin.
"Tapi yang kubutuhkan adalah keterangan ke mana Akimoto dilarikan," Andika mulai sengit. Nada suaranya agak menanjak.
"Jadi kau marah padaku, ya"!" Dengan tak kalah sengit. kakek bungkuk mendongak. dipelototinya Andika dengan susah payah. Bagaimana tidak susah payah kalau kelopak matanya saja sudah begitu sempit.
Baik-baik!" putus Andika tetap dibayangi kedongkolan meletup-letup. Terpaksa dia menuruti kemauan orang tua itu.
Kakek bungkuk menimang-nimang toyanya. Andika menunggu dengan wajah terlipat. Kakinya tak bisa diajak diam. Anak muda itu terus mondar-mandir di depan kakek bungkuk.
"Asal kau tahu. aku bukannya gampang dikalahkan oleh si Pecundang Seichi," mulai kakek bungkuk akhirnya.
"Tapi tampaknya Kojiro sudah berhasil menyempurnakan kesaktian yang didapatnya dari ne-geri asing...." "
"Siapa Kojiro" Kenapa sepertinya kau malah jadi ngawur, Kek?" potong Andika sambil menghentikan langkah gelisahnya.
Kakek bungkuk memelototinya lagi. Andika diam. Dia memang harus diam kalau ingin mendapatkan keterangan yang di nginkan. Memang agak apes nasibnya hari ini!
"Kojiro adalah kakek si Pencundang Seichi. Sewaktu mudanya dia menuntut ilmu di negeri orang, entah di negeri mana. Ilmu itu tergolong ilmu sesat. Dipelajarinya juga ilmu itu sekadar untuk memerangi keluargaku."
"Ah, kau makin ngawur saja, Kek! Sekarang, apa hubungannya bocah yang hendak kuselamatkan dengan dirimu" Dan apa gunanya aku mendengarnya" Ini sama artinya melakukan hal yang sia-sia!" potong Andika sekali lagi. Wajahnya sudah mematang dibakar kekesalan. Ingin rasanya dia meruntunkan sumpah serapah pada orang tua bungkuk itu. Tapi, kalau Andika takut kalau dia salah ucap orang tua itu tak mau mengatakan ke mana Akimoto di bawa. Wuh, serba salah...

***

=#= 3 =#=

Saat itu di sebuah wilayah di dekat perbatasan antara propinsi Kyoto denganYamashiro, seorang memacu kudanya dalam kecepatan menggila. Di depannya ada tubuh kecil terjuntai yang terikat ke pelana.
Orang itu demikian bernafsu melecut binatang kendaraannya, seolah ada sesuatu yang diburu. Kuda tunggangan hitam mendengus-dengus menghempas kepulan uap dari moncongnya. Sesekali kuda itu meringkik terkena lecutan tali kendali. Dalam jarak lima belas to.jibak dari lari kuda, debu terbangun tinggi. Mengapung beberapa lama di udara, lalu perlahan turun kembali.
Penunggangnya adalah seorang lelaki berpakaian seorang samurai. Rompi panjangnya berwarna hijau tua sedang dalamannya berwarna merah. Rambutnya tak begitu panjang. Bagian belakangnya dikuncir. Sedangkan rambut pada bagian kening dipangkas tinggi hingga licin. Wajahnya terlalu beringas. Dengan sudut bibir yang terus saja terungkit ke atas, seakan tak henti menyeringai.
Hidungnya agak melengkung seperti paruh burung. Sedang matanya diliputi kekejaman, apalagi dengan alis mata yang nyaris tersambung satu dengan yang
lain. Lelaki inilah Seichi Onigawa. lawan besar Hiroto yang menginginkan Pedang Ekor Naga diserahkan padanya sebagai satu kebanggaan sekaligus simbol kehormatan keluarga besar keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga. Bagi Seichi Onigawa, darah boleh ditumpahkan sampai terkuras, nyawa boleh terlepas, asal pedang pusaka itu bisa didapatkan.
Sementara kenyataannya, Seichi Onigawa tidak hanya bernafsu memiliki Pedang Ekor Naga. Ada nafsu lain yang lebih jahat terselip di dalam hatinya. Nafsu untuk menghabisi setiap keturunan Murid Bungsu!
Nafsu itu tak bisa dipadamkan andai dia telah mendapatkan pedang pusaka yang di nginkan. Dan selera keji untuk membunuh si bocah kecil, Akimoto pun
menjalari benaknya. Sebuah rencana telah disusunnya agar bisa mendapatkan Pedang Ekor Naga, sekaligus menyingkirkan Hiroto dan anak satusatunya. Rencana rahasia yang bukan cuma begitu malang direncanakan. Tapi juga butuh waktu bertahun-tahun untuk menjalankannya! Rencana apa gerangan?
Kuda Seichi Onigawa terus terpacu jalang, melintasi daerah kering. Sampai satu tepian lembah yang banyak ditumbuhi Sakura, seseorang menjegat lari kudanya.
"Berhenti kau Seichi Onigawa!!" Seichi Onigawa menyaksikan seorang berpakaian ninja berdiri menantang, sembilah depa dari tempat kudanya berhenti. Kedua tangannya bertolak pinggang. Seichi menyangka orang itu adalah salah satu anggota Imada-Tong, orang-orang bayarannya.
"Ada apa"! Apa markas kita telah berhasil diketahui musuh?" tanyanya tegang terburu. Si penghadang tertawa. Suaranya terdengar lebam terhalang topeng kain hitam.
"Aku bukan jenis orang-orang yang mengabdikan diri pada uang, Manusia Laknat!" bentak si penghadang-Nadanya menanjak, menohokkan kebencian.
Barulah Seichi Onigawa menyadan orang di depan bukan berada di pihaknya. Pakaian ninja yang dikenakan mungkin cuma untuk menutupi jati dirinya. Siapa dia"
Kenapa harus mengenakan pakaian tertutup itu" Tanya hati Seichi Onigawa.
"Menyingkir dari jalanku!" berang Seichi Onigawa.
Orang berpenutup wajah menggeleng tegas.
"Kau hanya akan kuizinkan lewal jika kau menyerahkan anak itu padaku!" tandasnya mantap.
Mata Seichi Onigawa menajam. Seperti ada garis sembilu di sepasang bola mata lelaki bengis itu.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuatanmu, kukatakan sekali lagi..., menyingkir dari jalanku!!" bentaknya lebih mirip menggeram.
"Sebelum kau benar-benar menyesali perbuataanmu, kukatakan sekali lagi..., serahkan anak itu padaku!" tiru orang berpakaian hitam, mengejek.
"Keparat! Heaaa...!"
Mendadak Seichi Onigawa menghentak kuda tunggangannya. Kuda jantan gagah itu meringkik teramat keras. Sentakan kaki Seichi Onigawa pada per utnya terlalu mengejutkan. Dia menjadi binal. Dua kaki depannya terangkat tinggi siap menendang apa pun di depannya.
"Hieei i...!"
Seichi Onigawa tampaknya mahir dalam keahlian menunggang kuda. Kepanikan kudanya tak membuat lelaki itu terlempar jatuh. Justru dengan begitu dia hendak memanfaatkan keadaan. Cukup dengan sekali gebahan lagi, kuda yang hcrubah liar itu melaju ke depan. Memburu, mendengus-dengus dan mengancam. Siap menginjak-injak penghadang di depan!
Orang berpakaian hitam tak ingin melakukan kebodohan. Tak dibiarkannya kuda perkasa itu menginjaknya. Dengan tangkas dia melempar tubuh kesamping. Tepat ketika kuda melewatinya, satu tangan orang itu meloloskan pedang pendek dari kaki. Untuk melakukan hal itu, diperlukan ketrampilan permainan pedang pendek yang trampil. Di samping karena keadaannya tidak menguntungkan, juga karena di depan Seichi Onigawa ada tubuh seorang bocah. Salah-salah, justru bocah itu yang tersayat. Tapi, orang berpakaian hitam tak tampak kesulitan melakukannya. Sat!
Satu tebasan dibuatnya ke arah lambung Seichi Onigawa. Pada saat yang bersamaan. Seichi Onigawa pun punya pikiran untuk membabat lawan dengan samurai yang sebelumnya diloloskan.
Trang! Terjadi benturan keras dua senjata masing-masing.
Bunga api terpercik, lalu tersamar di bawah hujanan sinar matahari siang.
Kuda tunggangan Seichi Onigawa dihentikan tuannya. Sememara orang berpakaian hitam sudah bangkit tangkas. Matanya menatap siaga ke arah lawan, menyiagakan serangan berikutnya.
"Aku bukannya takut mcnghadapimu. Bukan kebiasaanku melarikan diri. Asal kau tahu, suatu saat nanti kau akan berhadapan denganku lagi. Saat itu, kau akan kchilangan nvawa di tanganku. Kupastikan itu!" ancam Seichi Onigawa. Setelah itu dia menggcbah kudanya tergesa.
"Hushaaa!"
Apa pun alasan lawan, orang berpakaian hitam tak sudi membiarkan lawan menyingkir begitu saja. Tahu kalau Seichi Onigawa hendak menyingkir, tangannya
masuk ke dalam bagian dalam pakaian, bersicepat dengan setiap langkah kuda.
"Hih!" Sing..!
Empat-lima pisau kecil sepanjang jari tangan berterbangan ganas ke udara. Lima bagian tubuh berbeda Seichi Onigawa hendak dijadikan sasaran. Benda-benda tajam dari logam itu seperti memiliki mata sendiri. Kalau menilik keadaan Seichi Onigawa saat itu yang sedang sibuk menggebah kuda tunggangannya, sepertinya dia akan kesulitan untuk mengenyahkan serangan senjata rahasia tadi. Seichi Onigawa tidak demikian. Padat kesan meremehkan, diputarnya
samurai di belakang tubuh dari atas kepalanya. Itu dilakukan tanpa menoleh pula.
Trang! Trang! Traaang!
Hasilnya, seluruh senjata rahasia yang siap mcngganyang rontok saat itu juga.Tinggal orang berpakaian hitam mendengus geram ketika kuda Seichi Onigawa terus menjauh meninggalkannya.

***

"Hei, bangun kau"!"
Andika tersentak bangun. Matanya yang belum lagi siap menerima cahaya ditusuk oleh terang-benderang lampion-lampion dalam ruangan. Dia mengerjap-ngerjap sebentar, mencoba mencari tahu di mana dia kini. Setelah itu si anak muda dari Lembah Kutukan menyadari kalau dirinya masih di dalam ruang rahasia bawah tanah Kuil Matahari.
Tolol, kenapa kau jadi ketiduran"!" maki kakek bungkuk, sudah bertolak pinggang di depan hidung Andika.
Tertidur. Ya, Andika ingat sekarang. Dia telah tertidur selagi menunggu kakek bungkuk bersemedi. Rasa letih yang merongrongnya setelah perjalanan jauh
membuatnya matanya tak bisa diajak berdamai lagi. Ditambah lagi dengan hawa sejuk yang terus saja mendayu-dayu dalam ruangan.
Andika terburu bangkil.
"Kau sudah selesai bersemedi, Kek?" tanya An?dika berbasa-basi. Sebenarnya, dia jadi agak malu hati.
"Kalau saja kau salah seorang muridku, akan kupanc ung saat ini juga kau!" sembur kakek bungkuk sengit.
"Apa kau tahu, dalam keadaan teraman sekali pun, kau tak boleh kehilangan kewaspadaan!"
Mendapat semburan sepedas sambal janda kembang itu, wajah Andika memerah bukan main. Apa-apaan dia mengomeliku begitu rupa"
Muridnya bukan, cucunya bukan! Rutuknya dalam hati. Andika baru hendak menyengiti kembali makian itu. Sebelum mulut ceriwisnya 'menyanyi', kakek bungkuk malah menyodorkan sesuatu padanya.
"Ini...."
"Apa ini?" tanya Andika bingung. Diterimanya juga benda sejenis kertas gulungan itu.
"Bukankah kau tadi mau tahu markas Seichi Pecundang itu!"
"Ooo," Andika menyorongkan mulut bulat-bulat. Kalau ada ikan mujair besar, bisabisa dia dianggap pawangnya. Sekarang dia mengerti apa yang diberikan kakek bungkuk. Pasti semacam peta, dugaanya yakin.
"Ini peta, bukan?" tanya Andika, ingin meyakinkan diri.
"Kalau sudah tahu, kenapa kau tak segera menyingkir dari tempat ini!"
"Baik! Baik!" Andika runyam.
"Lagi pula, siapa yang mau lebih lama bersama orang tua sesial kau!" rutuknya sebal tak alang kepalang.
Setelah menjura segan-segan, Andika meninggalkan ruang bawah tanah Kuil Matahari itu.
"Terima kasih untuk keterangannya!" ucapnya di anak tangga tanpa menoleh. Kalau bisa dia malah mau tak mengucapkan terima kasih.
Di balik dinding tangga melingkar, tubuh tegap anak muda itu menghilang. Belum lama kepalanya muncul lagi.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu, Kek?" tanyanya sambil merunduk menjulurkan kepala. Senyumnya sekarang mengembang. Biarpun terlihat belum begitu ikhlas, tapi masih terbilang lebih ramah ketimbang ringisan kerbau. Kakek Bungkuk mendengus.
"Apa perlunya kau mengetahui namaku"!" cibir-nya menyebalkan Andika.
"Kalau suatu hari kita bertemu, aku toh tak perlu memanggil kau dengan ' hei kakek bungkuk'! Atau ' hei orang tua besar adat'! Atau...." "Ah. cukup!" penggal kakek bungkuk. Tahu dirinya bakal jadi bulan-bulanan bibir ceriwis pemuda asing itu, dia cepat-cepat menyebutkan namanya.
"Yoshioka!" teriaknya.
"Apa itu?" Andika berpura-pura. Juluran kepalanya makin memanjang. Wajahnya dibuat kebodoh-bodohan.
Sepantasnya aku membalas perlakuan menyebalkan kakek slompret ini, geli Andika dalam hati.
"Namaku, tolol!"
"O, jadi Yoshioka aku harus memanggilmu. KaIau begitu aku pamit dulu...," Andika melambaikan tangan.
Kepalanya menghilang di balik dinding anak tangga kembali.
"Sampai berjumpa lagi 'orangtua besar adat'!" lerdengar teriakannya bergema ke segenap ruangan.
Di kuti gelak tawanya yang tersedak-sedak. Kakek Yoshioka mendengus, dan mendengus dan mendengus lagi....

***

Andika tiba di satu daerah yang masih termasuk piopinsi Yamashiro. Tepatnya di pinggiran sebuah hutan bambu kuning yang memanjang di sebelah lenggara.
Menurut peta yang didapat dari Kakek Yashioka. di tengah hutan bambu kuning itulah berdiri markas Seichi Onigawa.
Sejauh mata memandang, yang Andika lihat cuma bilah-bilah batang bambu. Menjulur liar bagai sehimpun tangan-tangan asing berwarna kuning. Kalau diperhatikan memang c ukup memikat. Warna kuning bambu yang batangnya tipis agak mengkilat ditempa sinar mentari, berpadu dengan kehijauan daunnya. Tapi, ketika Andika mulai masuk ke dalam dan lebih ke dalam, mulai meruyak kesan keangkerannya. Ibarat seorang peri cantik yang menyimpan kekejaman
pada kecantikannya!
Sekitar sejam perjalanan, Andika sampai di dekat satu air terjun kecil yang bersambung dengan sungai bening dangkal berbatu. Air terjun berasal dari semacam
bukit batu kecil yang nyaris dipenuhi pepohonan rambat. Lebarnya lebih dari empat tombak.
Di tempat itu, tepian sungai tidak lagi ditumbuhi bambu kuning. Ada beberapa jenis pepohonan semak tumbuh di sana. Semula Andika tak begitu tertarik dengan tetumbuhan di tepi sungai itu. Matanya justru meneliti ke bagian lain. Ketika matanya menemukan ada bagian yang mencurigakan, barulah Andika mulai tertarik. Pada satu bagian sesemakan di sisi sungai terlihat tumbuh tak wajar. Batang-batangnya rebah ke tanah. Dedaunannya sebagian mati. Andika mendekat ke bagian itu.
"Hm, bagian ini tampaknya sering dijadikan jalan setapak," nilainya jeli.
Andika mencoba mengikuti jejak jalan setapak yang tampaknya berumur belum begitu lama itu. Anak muda itu yakin benar, jalan setapak itu dibuat oleh orang-orang Seichi Onigawa. Pemuda dari tanah Jawa itu mengikuti jalan setapak yang mengikuti pinggiran sungai. Semakin di kuti, Andika dibawa kian dekat ke arah air terjun. Tepat di depan luncuran air sungai dari semacam bukit itu, jejak yang ditelurusinya buntu. Jalan setapak itu terhadang oleh bukit batu amat curam berlumut. kecuramannya tegak lurus.
Sementara lumut yang lumbuh di sana membuatnya begitu licin. Hampir tak mungkin dinding batu itu untuk didaki. Andika dipaksa garuk-garuk jidat.
Ke mana perginya orang-orang yang telah membuat jalan setapak ini" Apa mereka sejenis dedemit hutan bambu yang bisa menelusup ke dalam dinding batu"
"Tak mungkin...," cibir Andika.
"Jadi ke mana. ya" Slompret sekali!"
Andika mencoba memutar otaknya. Sambil memutarmutar otak, matanya jelalatan ke sekitar. kalau mereka ke kiri dinding batu, tentunya mereka tetap akan meninggalkan jejak karena di bagian itu semak masih tumbuh. Sementara di bagian kanan dinding batu hanya ada badan sungai.
"Ei. tunggu dulu!" Andika berdesis. Rasanya dia mulai menemui titik terang di benaknya. Matanya lalu tertuju pada sungai. Sungai itu cukup dangkal untuk dilalui, meski aimya deras.
Untuk menyebcranginya, scseorang tak memcrlukan perahu atau rakil. Sudah pasti mereka melalui sungai. Itu sebabnya jejak di semak menjadi buntu!
Tapi apa mungkin mereka hanya ingin menyeberangi sungai'.' Bukankah kalau hanya ingin menyeberang mereka bisa melakukannya jauh sebelumnya" Tanpa perlu membuang waktu melintasi pinggiran sungai sampai ke depan air terjun"
Air terjun! Hati Andika seperti melonjak. Dia makin jelas mencium maksud orang-orang yang diburunya.
Lalu diambilnya sebutir batu kerikil. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dilemparnya batu itu ke arah air terjun.
Slah! Ada suara halus batu bertumbukan dengan arus air terjun. Telinga tajam And'ka tak hanya menangkap itu. Dia juga menangkap pantulan halus di antara gemuruh air terjun. Pantulan dari bunyi benturan batu dengan ruang di balik air terjun. Ya, Andika memastikan itu! Di balik air terjun terdapat semacam goa!

***

=#= 4 =#=

Di sini rupanya sarang begundal-begundal sial itu!
Kepalan tangan Andika mengeras. Sudah saatnya dia sedikit melemaskan otot-ototnya. Setidaknya buat mengggebuki orang-orang Imada-Tong nanti. Termasuk juga Seichi Onigawa.
"Tunggu saja kalian!" ancamnya membatin. Sudah tak sabar rasanya anak muda itu membuat ubun-ubun mereka benjut, atau membuat pipi mereka bonyok. Masalahnya, Andika paling benci pada setiap tindak pengecut. Seperti penculikan seorang anak tak berdosa untuk mencapai tujuan.
Krak! Krak! Andika meletakkan jari-jemarinya.
Dia siap menggenjot badan ke air terjun. Niat tersebut urung begitu telinganya menangkap desiran halus namun ramai dari ubun-ubun bukit batu berair terjun.
Wrrr! Gesit anak muda sakti itu mendongak. Di atasnya, sebentang jala lebar dari baja siap meringkus! Pemuda bersandang nama besar Pendekar Slebor itu lak
kehilangan kesempatan untuk meloloskan diri. Memang luncuran jaring baja di atas sana cepat. Tapi lesatan tubuh Pendekar Slebor jauh lebih cepat. Pyrrr!
Jaring lebar dari baja berbandul baja pula tak berhasil memperdayai Pendekar Slebor. Benda itu ambruk begitu saja di pinggiran sungai.
"Kutu kontet! Apa dikiranya aku anak kemarin sore apa"!" rutuk Pendekar Slebor, sudah berdiri di tengah-tengah sungai pada sebuah batu yang mencuat di atas permukaan sungai. Tangannya bertolak-pinggang, seolah negeri Nippon itu mbahnya yang punya. Baru sempat menarik napas dua tarikan, datang lagi serangan susulan. Sekali ini bukan cuma hendak melumpuhkan Pendekar slebor. Lebih dari itu, tamu tak diundang dari negeri luar itu hendak dilempar ke neraka!
Andika menyaksikan bagaimana dinding bukit batu berair terjun yang menjulang di depannnya memuntahkan puluhan bahkan ratusan senjata dalam bentuk beragam. Setidaknya ada dua puluh lembing, tiga puluh pisau terbang, dan lebih dari lima puluh anak panah tiba-tiba mencelat dari lubang di dinding bukit batu. Scmuanya menyerbu membawa suara riuh rendah. menyumpal seluruh ruang gerak Andika hingga sejauh belasan depa!
Dengan mata agak membelalak ngeri. Andika sekelebatan menyaksikan ratusan benda lajam itu bagai binatang-binatang mengerikan memenuhi udara. Dan kelebatan berikutnya, dia harus bersicepat mengerahkan segenap kemampuan peringan tubuhnya....
"Hhiaaa...!"
Beriring teriakan menggetarkan permukaan sungai dan bukit batu, tubuh pemuda buyut pendekar Besar Pendekar Lembah Kutukan itu memburu ke belakang.
Hanya arah itu satu-satunya pilihan tepat untuk menyelamatkan diri. Itu pun kalau dia mampu lebih cepat dari hujanan benda-benda tajam di belakangnya.
Sebenarnya, bisa saja Andika tak beranjak dari lempat semula. Cukup dia meloloskan kain pusaka dan Pedang Pusaka Langit sekaligus lalu memutar keduanya bersamaan. Bermodal tenaga dalam, tindakan itu bisa membentangkan benteng tak tertem-bus di depannya.
Kalau sekarang anak muda itu melakukan tindakan yang agak merepotkan, sudah pasti ada satu rencana licin di balik batok kepalanya itu.... Apa benar begitu"
Sulit untuk dipercaya, ketika tiba-tiba saja teriakan berikutnya meledak dari kerongkongan Pendekar Slebor.
Teriakan yang berbeda jauh dari sebelumnya. Lolongan itu seperti suara orang meregang nyawa.
"Wuaaa!"
Selanjutnya tubuh yang sedang meluncur tadi terjerembab di permukaan sungai. Setelah terseret arus sebentar. tubuh pemuda itu terjegat oleh bongkahan batu besar di tengah sungai. Pada bagian punggung pemuda itu, menancap tiga batang anak panah!
Cukup lama arus sungai mempermainkan tubuh tak bergerak Pendekar Slebor. Sampai akhirnya dua belas lelaki berpakaian hitamhitam muncul dari ubun-ubun bukit batu. Selincah kera mereka menuruni dinding bukit yang tegak lurus dengan meng-gunakan tali-temali.
Tiba di tanah, mereka berjajar membentuk barisan teratur. Sebagian berdiri di sungai. Ada kesan mereka hendak membentuk pagar betis. Masih dengan berbaris, mereka lalu melangkah menuju tubuh Pendekar Slebor terkulai. Kentara jelas bagaimana mereka dididik untuk tetap hati-hati meski lawan diperkirakan sudah tak bernyawa lagi.
Di dekat tubuh Pendekar Slebor, barisan mereka berubah. Kedua belas lelaki berpakaian ninja itu kini membentuk kurungan di sungai, mengelilingi tubuh Pendekar Slebor yang tertelungkup di sisi batu besar. Semuanya mengawasi waspada. Tak perlu memakan waktu lama mereka melakukan itu. Sebab mereka
langsung menemukan ada satu ketidak beresan.Bagaimana mungkin orang yang tertembus anak panah tidak mengeluarkan darah" Masing-masing mcnggumamkan kecurigaan dalam hati.
"Menyingkir! Kita telah ditipu!" seru salah seorang dari mereka seketika.
Menyadari kalau mereka kini berganti masuk perangkap yang dibuat si tamu tak diundang. Sayang semuanya sudah terlambat bagi kedua belas anggota Imaga-Tong itu. Begitu mereka menyebar, Pendekar Slebor kontan bangkit lebih cepat dari gerak menerkam seekor singa lapar.
"Hiahuhuuu...!" teriak anak muda itu seperti bocah gendeng baru dapat jajan.
Kimono pemberian Hiroto menebarkan percikan air ke mana-mana, membuatnya lebih mirip sebagai makhluk pemakan manusia dari dasar sungai! Di tangannya tergenggam tiga batang anak panah. Rupanya punggungnya tak pernah tertembus benda-benda tajam itu. Sewaktu dia bergerak cepat ke belakang, tanpa
lerlihat tangannya bergerak merebut tiga batang anak panah di udara yang kebetulan meluncur satu arah dengannya. Lalu ketiga benda itu dipegangnya di
atas punggung sehingga terlihat seperti mcngenai sasaran. Dan.... Swut! Andika mengebutkan tangan. Ketiga anak panah tadi terlepas dan mclesat cepat.
Jrep! Jrep! Jrep! "Waaa...!"
Tiga teriakan menyayat dari tiga kerongkongan berbeda terlempar ke udara. Tiga orang dari kedua belas lelaki tadi langsung ambruk tanpa nyawa, termakan mala anak panah!
"Maaf, tak sengaja!" koar Pendekar Slebor lagi. Lalu dia berjingkatan dari atas satu batu ke batu lain, memburu sisa lawan.
"Pegang! Pegang!" serunya makin urakan.
Sembilan anggota Imada-Tong yang tersisa tak sudi menjadi buruan Pendekar Slebor. Mereka berbalik tangkas seraya meloloskan fejiono* masing-masing.
"Wo, mau marah rupanya"!" tukas Pendekar Slebor seraya mengerem jingkatjingkatnya. Srang!
Bunyi setiap katana yang terangkum menjadi satu menandai kesiapan mereka menghadapi lawan. Mereka pun siap mati. Tapi tak sampai sejauh itu, suatu isyarat menahan mereka.
Suit! Mengekori suitan meninggi tadi, dari balik air terjun mcncelat Delapan sosok tubuh yang rata-rata tinggi besar berkimono merah. Sama dengan orang sebelumnya, wajah kedelapan lelaki ini pun ditutupi kain. Warnanya sama dengan pakaian mereka. Kedelapan orang itu hinggap di batuan sungai. tak jauh dari tempat berdiri Pendekar Slebor.
"A, Delapan Samurai Merah!" Pendekar Slebor malah memekik girang. Wajahnya seperti menyambut kedatangan tamu terhormat. Pantas saja banyak di antara anggota Imada-Tong menganggapnya sinting! "Tapi jujur-jujur saja..., aku sebenarnya tidak punya urusan dengan kalian.
Kalau kalian mau berbaik hati, sudikah kalian memberitahu aku di mana Seichi Onigawa?" mulai Pendekar Slebor lagi sok ramah.
Delapan Samurai Merah menjawabnya dengan bunyi senjata mereka masing-masing.
"Wah, kalian ini...," tukas Pendekar Slebor.
"Nanti kalian menyesal.... Pasti kalian akan menangis dan meraung-raung di depan dengkul ibu kalian masing-masing kalau kepala kalian kujitaki satu persatu. Jadi, sebaiknya kalian cari main saja di tempat yang agak jauh...," cibirnya lagi, kelewatan.
"Sudah lama kami menunggumu orang asing! Orang-orang kami membesar-besarkan kehebatanmu. Kami ingin membuktikannya!" seru salah seorang dari Delapan Samurai Merah. Di Kuil Matahari waktu itu mereka punya kesempatan untuk menjajal kesaktian Pendekar Slebor.
Karena Pendekar Slebor sendiri sedang menyamar, mereka malah meluputkan kesempatan itu. Kini, mereka mengganggap sudah tepat saatnya mereka membuktikan seberapa hebat orang asing yang banyak dibicarakan anak buah mereka.
Sementara lelaki yang menjadi pemimpin berbicara, yang lain membentuk kepungan di sekeliling Pendekar Slebor. Orang yang dikurung masih tetap santai. Kepalanya menolehi setiap anggota Delapan Samurai Merah dengan tatapan orang cacingan. Ketika kepungan terbentuk scmpurna, tanpa banyak komando, kedelapan lelaki itu melabrak Pendekar Slebor berbarengan dengan senjata khas masing-masing.
"Heaa!!"
Dari delapan penjuru berbeda Pendekar Slebor dilabrak. Lawan sudah bergerak menggiring hawa maut pada teriakan garang mereka. Pendekar Slebor justru merengut-rengut kesal.
"Kalian pasti tak pernah diajarkan ibu kalian untuk menghargai nasihat orang lain," gerutunya. Dan ketika delapan mata senjata nyaris tiba di tubuhnya....
Wut! Trang! Mendadak berkelebat cahaya merah terang yang melingkari tubuh Pendekar Slebor. Cahaya merah terang yang melengkung panjang
itu memapas semua senjata lawan. Kejap berikutnya, terlihat tubuh Pendekar Slebor mencelat tinggi ke atas, melepaskan diri dari kepungan kedelapan
lawannya.
"Pikir-pikir lagi jika kalian benar-benar hendak menghadapiku!" bentak Pendekar Slebor dengan wajah sematang-matangnya. Anak muda yang mulai dongkol itu sudah berdiri jauh di tepi sungai yang lebih tinggi.
Tangannya menggenggam Pedang Pusaka Iangit. Senjata itu menebar sinar merah bara menyilaukan mata setiap lawan. Cahayanya terpantul di antara riyakan arus sungai. Para lawan tidak hanya dibuat terpesona dengan pedang langka itu. Mereka juga dipaksa takjub dengan hasil yang dilakukan Pendekar Slebor hanya dalam segebrakan. Ya, hanya dalam segebrakan, seluruh senjata Delapan Samurai Merah telah tak sempurna lagi bentuknyal Sembilan orang anggota Imada-Tong berpakaian hitam yang mula-mula muncul terdiam bagai jajaran patung.
Mereka seperti baru saja menyaksikan pertunjukan sihir. Mereka tak percaya kalau delapan pemimpin mereka diperlakukan begitu rupa dengan cara begitu remeh. Padahal dari ujung propinsi Tajima sampai sudut propinsi Kojuke, Delapan Samurai Merah memiliki nama besar!
Andika memang sengaja melakukan itu. Semestinya, dia hanya ingin mempergunakan Pedang Pusaka Langit dalam keadaan yang benar-benar genting. Sekarang dia mempergunakannya juga. Itu bukan berarti dia dalam keadaan amat terdesak. Dia cuma tak ingin membuang-buang waktu dengan melayani Delapan Samurai Merah.
Gertakan pcrtama tadi diharap cukup untuk membuat mereka mempertimbangkan kembali untuk berhadapan dengannya. Ah, mestinya Andika bisa belajar banyak selama berurusan dengan para Imada-Tong. Mereka bukan sejenis manusia yang gampang digertak. Dalam setiap pertarungan, mati adalah salah satu pilihan mereka Buktinya, Delapan Samurai Merah yang sempat dibuat takjub tak menggubris gertakannya. Mereka malah mengeluarkan senjata lain.
"Sial benar!" maki Andika kesal. Jakunnya sampai melompat-lompat.
"Biar orang asing ini aku yang hadapi!" seru seseorang, mencegat serbuan Delapan Samurai Merah lebih jauh. Seseorang muncul lagi dari balik air terjun. Menilik penampilan dan wajahnya, jelas kalau lelaki ini adalah Seichi Onigawa.
Andika meliriknya acuh tak acuh. Bibimya mencibir meremehkan. Kalau tak risau dianggap benar-benar sinting, dia malah ingin menguap lebar-lebar dan bergeliat semaunya.
"Kalau tak salah, kau tentu Seichi Onigawa. Dan kalau 'tak benar'. kurasa kau siluman monyet bau pesing!" celotehnya dalam bahasa Nippon yang ngelantur.
"Kau yang bemama Andika?"
Andika meringis.
"Kau yang menjadi tamu Hiroto?" tanya Seichi Onigawa lagi. Wajahnya tak berubah. Tetap kaku mcski pemuda di depannya sudah cengar sana cengir sini.
Andika meringis lagi.
"Kau tentu orang asing yang hebat itu, heh"!"
Mendengar kata 'hebat' disebutkan calon lawannya, Pendekar Slebor kontan membusungkan dada.
'Hail Hai" sergahnya sengak.
"Bagus! Sekarang kau akan tahu, apakah kau sudah cukup hebat menghadapi Seichi Onigawa!" tandas Seichi Onigawa tak ragu. Tanpa perlu menepuk dada atau bertingkah tengik seperti Pendekar Slebor, mata lelaki itu memperlihatkan keangkuhan kental.
"Sebagai tamu yang baik, tentu saja aku akan melayani semua keinginan tuan rumah." Andika mulai mau ngoceh lagi.
"Selama masih punya tangan, aku akan menggebukmu jika kau minta. Di bagian mana yang kau suka" Pilih saja! Biasanya bagian yang paling empuk dari sapi adalah daging pahanya, kalau tidak salah.
Tapi, bukan berarti aku menganggap kau sapi. Hanya wajahmu memang nyerempet-nyerempet sedikit.... Terutama moncongmu. Wah, aku suka itu!" Pendekar Slebor makin ngalor-ngiduL Seichi Onigawa memperdengarkan dengus mengancam.
"Kau hanya membuang waktu, Orang Asing! Huph...."
Tak seperti samurai lain, Seichi Onigawa tidak segera meloloskan katananya. Seichi Onigawa justru memejamkan mata. Dia tampak memusatkan pikiran sebentar. Kemudian dihirupnya udara dalam-dalam dengan tangan mengejang kaki di kedua sisi pinggangnya. Terus dan terus. sampai dadanya membesar seperti seekor katak!
Dari cengengesan, wajah Pendekar Slebor berubah mengkerut. Ilmu apa ini'" Tanyanya takjup juga. Tentu anak muda sakti itu terheran-heran. Bagaimana mungkin dada manusia bisa menggelembung seperti bantalan karet begitu"
Tanpa bisa menuntaskan keheranan, Pendekar Slebor harus menyingkir dari batu tempat bertenggernya. Lawan mulai melabrak. Bagai orang kesetanan. lelaki yang dadanya menggelembung itu berlari di sungai dangkal menuju Pendekar Slebor. Kedua tangannya membentuk cakar di muka.
Wukh! Satu cakaran menyambar tajam ke wajah Pendekar Slebor, tepat pada saat tubuh anak muda itu sudah melejit lebih dahulu ke belakang. Seichi Onigawa tidak berlari lagi. Dia ikut melejit memburu tubuh Pendekar Slebor di udara. Wukh! Wukh!
Wukh! Des! Dengan sekali sampokan bertenaga, Pendekar Slebor mengenyahkan cakaran bertubitubi Seichi Onigawa yang menyusulnya. Betapa terkesiapnya Pendekar Slebor ketika itu. Tangannya terasa panas luar biasa. Sepertinya dia baru saja memapaki gulungan bara! Pada satu bongkahan batu meruncing yang tak lebih besar dari kepalan tangan, Pendekar slebor hinggap amat ringan. Meski sebelumnya tangannya terasa terbakar, meski dia baru saja melompat dengan kekuatan penuh, tak sedikit pun tampak pemuda ksatria itu kehilangan keseimbangan.
Di lain pihak, Seichi Onigawa s udah hinggap pula di sebuah batu tak lebih dari tiga tombak di depan Pendekar Slebot.
"Bujubuneng! Buntalan kentut ini hebat juga rupanya!" rutuk Pendekar Slebor. Bergegas disalurkannya hawa murni ke kedua tangan, mencoba mengusir rasa panas yang mengendap.
"Sekarang kau baru sadar kau kini sedang berhadapan dengan siapa, heh?" cemooh Seic hi Onigawa dalam. Suaranya terpendam seperti suara orang yang berbicara dari balik tembok.
Andika tak bisa meremehkan ucapan lawan sekarang. Seichi Onigawa telah memperlihatkan bukti. kalau dia bukan lawan enteng bagi Pendekar Slebor!
Sampai saat itu, Pendekar Slebor mendapat kesulitan untuk mengetahui kesaktian apa yang dimiliki Seichi Onigawa. Seumur hidup, baru kali itu dia menyaksikan ilmu yang demikian aneh. Dada dapat menggelembung seperti bantalan karet"
Bagaimana tidak aneh? Dalam beberapa petualangan menegakkan keadilan, anak muda itu memang tak jarang berhadapan dengan lawan yang memiliki kesaktian di luar akal manusia.
Pernah dia menghadapi lawan yang sanggup menyatukan kepalanya kembali meski sudah terpenggal dan mampu menghilang (Baca dua episode:
"Darah Pembangkit Mayat" dan "Bangkitnya Ki Rawe Rontek"!). Atau seorang tokoh yang sanggup menciptakan angin puting beliung, api, halilintar (Baca episode: "Permainan Tiga Dewa"!).
Juga sederet tokoh-tokoh lain. Termasuk mereka yang mendukung perjuangannya. Tapi yang satu ini benar-benar lain dari semua yang pernah diketahuinya. Lagi pula, dari mana Seichi Onigawa mendapat kesaktian aneh itu" Sepanjang pengetahuan Pendekar Slebor, di negeri ini kesaktian-kesaktian macam itu tidak
pernah ada. Kalaupun ada, mungkin terlalu sulit ditemui. Kebanyakan para jawaranya mengandalkan kecepatan, kejelian, ketangkasan, dan kegesitan.
"Kenapa terdiam, Orang Asing"!" tukas Seichi Onigawa dengan suaranya yang berubah berat dan dalam.
Kecamuk rasa heran Pendekar Slebor jadi terpancung karenanya. Karena tak mau kehilangan muka, anak muda itu cepat berkelit.
"Ah, aku cuma kasihan melihat rupamu...," tukas Pendekar Slebor sekenanya.
Boleh-boleh saja dia terkejut. Tapi, tak akan sudi dia memperlihatkan perasaan itu terhadap lawan!
"Jadi, apa kita akan lanjutkan permainan ini" Kurasa kalau kita hendak melanjutkan, sebaiknya kita bertaruh.
Kalau kau dapat menepuk pantatku sekali saja, maka aku akan bertekuk lutut di balik ketiakmu!" sambung Pendekar Slebor jumawa. Tantangannya dibarengi oleh cibiran meremehkan. Selalu dia begitu dalam menghadapi lawan. Biar lawan terpancing kemarahannya, dan dia dapat memanfaatkan keadaan itu. Taktik licin yang seringkali membawa hasil memuaskan. Meski dengan begitu tak jarang dia dianggap sableng.
Seichi Onigawa tak mau menanggapi ocehan lawan. Dia cepat menghempas napas seperti sebelumnya.
"Huph!"
Tangannya mulai membuat gerakan kaku ke beberapa arah. Tak beda dengan gerak batang pohon bambu tersapu angin kencang. Dan gerak tangannya terlahir suara-suara yang juga ganjil. Mau dibilang seperti suara derak tulang, tapi terlalu meninggi. Mau dikata seperti bunyi deru angin, tapi terlalu berat.
Dretak! Dretaak! Dretak!
"Ck, ck, ck!" Pendekar Slebor berdecak-decak. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Untuk menghadapi ilmumu itu, kurasa aku pun harus mengeluarkan kesaktian puncakku," perangah anak muda itu. Matanya membesar. Kemudian, dia bermaksud membuktikan ucapannya.
"Hiaah!"
Pemuda dari tanah Jawa itu mulai menghempas napas juga. Kedua tangannya disorongkan ke muka dengan wajah amat tegang. Sebentar kemudian....
Tak! Bletak! Bretak!
Pendekar Slebor pun mengeluarkan bunyi yang hampir mirip dengan milik lawan sebelumnya. Cuma bunyi ini tercipta karena pendekar kelewat urakan ilu baru saja mcnggcliatkan tulang-tulang punggung-nya.
"He he he, baru menyaksikan kesaktianmu saja. badanku sudah pcgal-pegal...," ocehnya dengan bibir cengar-cengir badak!
"Heuahhhh!"
Seichi Onigawa mulai menerjang. Tangannya yang menghasilkan bunyi ganjil tadi teracung lurus-lurus ke dada Pendekar Slebor seakan ada baja teramat keras menjadi rangkanya. Sesaat kedua tangan lelaki berparas bengis itu tergetar hebal. Otot-ototnya bersembulan seperti ditarik satu kekuatan dari dalam. Sekejapan berikutnya, Pendekar Slebor sekelebatan menyaksikan udara pukulan yang terbentuk amat kuat. Wukh!
Meski sudah mengerahkan kecepatan saat menyorongkan badan rendah-rendah ke belakang, Pendekar Slebor tak urung merasakan dadanya terhantam sesuatu. Desh! "Akh!"
Terlampau kuat hantaman itu sampai tubuh si pemuda dari tanah Jawa terseret di permukaan air sungai sejauh delapan depa! Air bcrhamburan seperti percikan kembang api tanpa cahaya. Selagi berkutat melawan sesak yang mengunci napasnya, Pendekar Slebor bertanya-tanya tak mengerti.
Dia mclihat jelas, tadi tangan lawan tak menyentuhnya samasekali. Tapi kenapa merasa hantaman itu begitu telak" Padahal angin pukulan tak akan berakibat seperti itu. Sudah sering Pendekar Slebor mcnemui lawan bertenaga dalam tingkat tinggi, tapi tetap angin pukulannya tak seperti yang kini dia terima.
"Khuih!"
Wukh! Berbarengan, sepasang tangan kejang Seichi Onigawa hendak mengepruk kepala Pendekar Slebor yang mencoba bangkit terhuyung.
"Kunyuk! Pantas saja Kakek Yoshioka bisa dipecundanginya!" serapah Pendekar Slebor mendesis seraya menangkis cepat kedua tangan lawan. Tak pelak lagi anak muda itu meyakini lawan memiliki semacam ilmu kanuragan hitam. Entah didapatnya dari mana kesaktian itu, Pendekar Slebor tak lagi peduli. Yang dia tahu saat itu. dia harus mengerahkan kecepatan untuk mengimbangi serbuan dua tangan Seichi Onigawa bertenaga luar biasa!
Dua tangan lawan mendcsak Pendekar Slebor habishabisan, selalu dari dua sudut berbeda. Itu sungguh merepotkannya. Selama ini, Pendekar Slebor tak pernah menghadapi lawan yang begitu menguasai ruang gerak dengan leluasa. Lawan-lawan sebelumnya tak ada yang bisa bergerak diruang yang terlalu sempit.
Berbeda dengan lawannya kini. Tangannya bisa menelusup dan meliuk seenaknya, memanfaatkan ruang-ruang sempit yang menjadi kelemahan benteng pertahanan jurus-jurus Pendekar Slebor. Seolah sepasang tangan Seichi Onigawa menjelma menjadi dua ekor ular sanca bengis, sanggup mencari sendiri kelemahan pertahanan Pendekar Slebor. Di situ repotnya.' Hingga si pemuda berkimono pinjaman itu pun dipaksa serabutan kian kemari. Menangkis, berkelit, melompat berguling tanpa bisa meyakini apa yang harus dihajarnya. Belum lagi terhitung terkaman dan terjangan kedua tangan itu begitu kuat. Tenaga
tiga ekor banteng saja masih belum apa-apa. Setiap tandukan kepalanya terasa oleh Andika seperti hantaman batu gunung sebesar padepokan! Untuk menangkisnya pun, Pendekar Slebor harus mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan hingga nyaris terkuras.
Sayang, itu tak terlalu berguna. Lawan memiliki kehebatan lain. Jika tenaga sakti Pendekar Slebor menghantami seluruh bagian mana pun badan Seichi Onigawa, dengan tenaga sekeras apa pun, saat itu juga Pendekar Slebor merasakan tenaganya terpantul. Dia seperti menghantami buntalan karet kenyal. Sesaat, hanya untuk sesaat, Seichi Onigawa akan terjajar. Setelah itu dia akan kembali menyerbu dengan segenap ancamannva!
Suatu ketika Pendekar Slebor mencoba menghantam dada menggelembung lawan.
"Fheih!"
Deb! Pendekar Slebor berhasil menembus dengan mudah.
Semula anak muda itu heran juga. Bagaimana mungkin pukulannya mencuri begitu saja di bagian yang biasanya memiliki pertahanan paling ketat. Manakala kepalan bertenaga saktinya sampai, barulah anak muda dari negeri seberang itu tahu apa maksud lawan....
Blep! Des! Dengan segenap keterperanjatan memuncak, Pendekar Slebor tersentak ke belakang. Dadanya megap-megap Kalau saja kudakudanya tidak cukup kokoh, dia bisa terseret lagi di permukaan sungai. Apa yang terjadi" Andika sungguh dipaksa terperangah. Tenaga pukulannya telah memantul balik ke
diri sendiri! Kontan meluap seribu satu makian dongkol setengah mampus dari mulut lincah si pemuda urakan.
"Cacing buduk, kunyuk benjol, dedemit bau pesing, slompret sial kau...!"

***

=#=5 =#=

Dalam semua urusan. tidak ada manusia yang mutlak berkuasa selamanya. Selalu saja ada saat di mana kekalahan dan keruntuhan menghampiri. Ibarat seorang raja yang tak selamanya berkuasa, pendekar muda dari tanah Jawa berjuluk Pendekar Slebor pun tak bisa mengaku dirinya tak tertandingi siapa pun.
Hari ini, anak muda sakti itu menelan pengalaman pahit dari rentang perjalanan panjangnya menempuri kebatilan. Memang bukanlah pengalaman pahit pertama. Namun tetap membuktikan bahwa biar bagaimanapun tinggi ilmu kesaktiannya, tetap satu saat harus mengalami kekalahan. Di ataslangit masih ada langit!
Saat itu, Pendekar Slebor sedang terdesak habishabisan. Seichi Onigawa rupanya tak hanya memiliki kehebatan kanuragan yang baru pertama disaksikan Pendekar Slebor. Lelaki dari negeri para shogun itu sanggup pula melepas satu ajian Pelumpuh Ninja Hitam.
Satu ajian yang diperdalam dalam ninjitsu tingkat tinggi. Kalangan di luar ninja menyebutnya dengan Sihir Ninja. Hanya beberapa orang saja yang berhasil sampai ke tingkat ini. Seichi Onigawa, meski tergolong tak terlalu tua, dia telah mampu menguasainya. Ajian Pelumpuh Ninja Hitam dapat membuat otot-otot lawan menjadi kaku. Lawan kehilangan kelincahan dalam pertarungan. Bagai seekor rubah terjerat jaring.
"Heuih!"
Deb! Deb! Telah berkali-kali kepalan berhawa maut Seichi Onigawa berhasil merangsak benteng pertahanan Pendekar Slebor. Dada Pendekar Slebor terhantam telak. Akibatnya, hidung dan mulut pemuda itu dibasahi darah. Andika sekadar jadi bulan-bulanan. Jurus 'Gun-tur Slaksa' atau 'Mengubak Petir Membabibuta' seakan terkunci dalam dirinya. Kalau pun dia berbekal dengan Pedang Pusaka Langit, tetap tak berguna. Jangankan untuk memainkannya, untuk meloloskan dari sarungnya saja sudah tak bisa. Maka segala kekuatan sakti di dalam benda pusaka itu pun tak bisa di-manfaatkan.
Des! Des! Untuk ke sekian kalinya, dada si pendekar muda tanah Jawa digempur.
Tubuhnya tersentak-sentak. Darah semakin banyak terscmbur keluar dari mulutnya. Yang hanya bisa dilakukan saat itu cuma bcrusaha terus bertahan agar tidak tersungkur. Tapi, tak ada manusia yang bisa terus bertahan menerima gempuran terus-menerus. Pada akhirnya, tubuh Pendekar Slebor terhuyung
limbung ke belakang, lalu tumbang.
Antara sadar dan tidak, lelaki muda itu mengelinjang-gelinjang di atas tanah. Betapa amat tersik-sanya dia. Kimono pinjaman bagian depannya nyaris kuyup oleh darah dan keringat.
"Menyesal kau harus mati tidak di negerimu sendiri, Orang Asing," seringai Seichi Onigawa. Kakinya berdiri tepat di sisi kepala Pendekar Slebor. Dengan
sikap seperti itu, seakan dia hendak menyanjung kehebatan sendiri.
Dua kepalan Seichi Onigawa pun teracung tinggi. Seluruh ototnya mengejang di antara aliran keringat. Akan diakhiri pertarungan itu dengan satu tinju maut terakhir yang bisa memastikan kepala Pendekar Slebor remuk seketika.
"Huph! Heih!"
Wuhs! Dash! Tanpa sempat mendaratkan tinju mautnya, Seichi Onigawa tiba-tiba terjajar ke depan. Nyaris saja dia terjatuh. Ada seseorang yang campur tangan. Orang itu pula yang membokongkan tendangan keras.
"Jangan pernah bermimpi kau akan membunuh lelaki itu, Manusia Busuk!" maki si pembokong, ter dengar geram.
Seichi Onigawa cepat menoleh. Bola matanya menyudut bengis. Bibirnya terungkit kejam.
"Kau...," desisnya. Dilihatnya seorang bertopeng kain serta berpakaian serba hitam. Kalau hanya melihat pakaian, Seichi Onigawa bisa malah menyangka orang itu anggota Imada-Tong. Hanya garis mata orang itu yang langsung dikenalinya. Dialah yang telah menghadang beberapa waktu lalu, ketika Seichi Onigawa hendak membawa Akimoto.
"Terkejut?" tukas orang yang baru datang.
Seichi Onigawa menggeram.
"Kau akan menerima nasib serupa dengan oran asing itu!" ancamnya bergejolak bagai lahar mendi-dih. Ditudingnya tubuh Pendekar Slebor yang sudah tak bergerak.
"Sudah kubilang, kau jangan bermimpi! Kau bisa saja membuatnya seperti itu. Kau tahu sebabnya" Karena lelaki asing itu tak mengetahui rahasia kelemahan
kesaktian Ninja Hitammu, Busuk!"
Suara berat berdebam Seichi Onigawa terdengar lagi.
"Kau pandai menggertak rupanya?" cibirnya. Sedikit beranjak dari tempat semula, orang berpakaian hitam bertolak pinggang.
"Kau bisa buktikan. Seranglah aku!" tantangnya, menepis cemoohan Seichi Onigawa.
Seichi Onigawa diam. Dia ragu. Tampak sekali kalau benaknya sedang mempertimbangkan untuk menyerang pembokongnya atau tidak. Kalau cuma menggertak, kenapa orang itu begitu yakin melepas tantangan"
Bimbang hatinya. Lepas dari benar tidaknya orang berpakaian hitam mengetahui kunci kelemahan kesaktian Seichi Onigawa, pada dasarnya Seichi Onigawa telah masuk perangkap yang dipasangnya.
"Heh...," dengus orang berpakaian hitam, ganti mencibir.
"Lihatlah dirimu itu. Seichi," sambungnya padat kesan mengejek. Entah dari mana dia mengetahui nama Seichi Onigawa. Seichi Onigawa sendiri dibingungkan dengan kenyataan itu.
"Bagaimana dia bisa tahu namaku?" bisiknya membatin.
"Mungkinkah dia orang yang telah begitu lama mengenalku"
Kalau namaku saja dikenalnya, apa tidak mustahil dia pun benar-benar mengetahui kunci kelemahan kesaktianku?"
Mendapati keterdiaman Seichi Onigawa, lelaki berpakaian hitam makin merasa mendapat angin untuk terus mencemooh. Diteruskannya kalimat yang terpotong tadi. Bercerminlah Seichi! Biar kau tahu kalau scsungguhnya kau sekadar lelaki pengecut. Kau tak pernah merangkul jalan bushido. Kau terlalu takut untuk itu. Pantas saja Yoshioka Tua selalu menyebutmu pecundang!" cecar orang bertopeng kain hitam.
Untuk kedua kalinya, Seichi Onigawa dikejutkan perkataan calon lawannya. Tak lagi diperhatikannya kalimat menghina orang itu. Biarpun perkataan itu telah menginjak harga dirinya sekali pun. Yang cuma menjadi perhatiannya cuma nama Yoshioka Tua yang disebutkan barusan. Seichi Onigawa kembali bertanya-tanya dalam diri. Siapa sesungguhnya orang ini" Dia mengenal pula Yoshioka..., orang tua yang selama ini selalu saja menjadi duri dalam daging bagi Seichi Onigawa. Orang tua bungkuk itulah yang paling mengetahui siapa dan. bagaimana Seichi Onigawa.
"Ah, buang-buang waktu aku terus di sini. Apa aku harus menunggumu terdiam di situ sampai kiamat?" leceh orang berpakaian hitam.
Kemudian, dihampirinya tubuh Pendekar Slebor. Diangkatnya ke bahu, lalu dengan santai dibawanya tubuh pendekar muda itu pergi. Orang-orang Imada-Tong bergerak hendak meringkus. Seichi Onigawa mcnahan mereka.
"Biarkan," katanya dengan kilat mata licik.
"Kita masih memiliki Akimoto Kecil," tambahnya mendesis.
"Andika San.... Andika San.... Kau sudah sadar?"
Lamat-lamat Andika mendengar suara halus seorang wanita di sisinya. Kelopak matanya membuka perlahan. Dari mengabur, pandangannya mulai menjadi jelas. Yang pertama-tama ditemui adalah wajah jelita si janda Akemi.
"Akemi" Di mana aku?" keluh Pendekar Slebor. Dari rebahnya, anak muda itu berusaha bangkit. Pening luar biasa di kepala ditambah rasa sesak di dada
membuatnya urung bangkit.
"Andika San berada di rumah rahasia Kak Hiroto," kata Akemi, memberitahukan.
Alis Andika mengerut. Antara mimik wajah menahan sakit dan mimik bertanya.
"Bagaimana aku bisa sampai di sini" Siapa yang telah menyelamatkanku dari...," Andika memutus kalimatnya.
Belum waktunya dia mengatakan kalau dia pergi menemui Seichi Onigawa. Sewaktu hendak pergi dari tempat itu, Andika mengatakan tujuan lain. Dia harus
merahasiakan rencananya. Takut-takut nanti diketahui Hiroto. Andika hanya tak ingin kawannya itu menganggapnya telah lancang mencampuri urusan keluarga.
"Kissumi menemukan Andika San ditepi hutan batas propinsi Yamashiro. Katanya, Tuan tergeletak bermandi darah. Lalu Kissumi membawa Andika San ke sini dengan kereta kuda...," papar Akemi.
"Kissumi?" terbetik kecurigaan di benak Andika.
Sedang apa perempuan geisha* itu di hutan batas propinsi Yamashiro" Andika teringat pada pakaian hitam-hitam yang disembunyikan di depan rumah pengasingan rahasia Hiroto. Dengan ditemukannya pakaian itu, terpicu kecurigaan Andika bahwa di dalam keluarga Hiroto ada seorang yang menggunting
dalam lipatan. Seorang penghianat! Mungkinkah Kissumi adalah penghianat itu"
"Mana Kissumi?" tanya Andika pada Akemi. Akemi belum sempat menjawab ketika Andika berkata lagi.
"Maukah kau memanggilkan Kissumi?" Akemi mengangguk. Perempuan beranak satu tapi tetap memiliki tubuh molek itu bangkit.
Dari kamar dia keluar. Tak begitu lama, Akemi telah kembali. Kissumi mengekor di belakangnya.
"Andika San memanggil saya?" tanya Kissumi di dekat Andika. Kedua wanita itu sudah duduk bersimpuh di sisi Andika.
Andika bergerak hendak bangkit. Menyaksikan itu, Akemi dan Kissumi bersicepat hendak memapah bahu si anak muda. Wajah keduanya bersemu merah ketika menyadari mereka seperti dua gadis kecil memperebutkan boneka. Sialnya, Andika jadi urung dibantu. Dengan bibir meringis-ringis menahan sakit,
terpaksa anak muda itu bangkit sendiri. Apes sekali.
"Kissumi, Akemi bilang padaku, kau pergi ke hutan batas propinsi Yamashiro."
mulai Andika lagi dalam posisi duduk menjulur kaki Kissumi menyahuti dengan anggukkan kecil yang terlihat khidmat.
"Apa tujuanmu ke sana?" tanya Andika kembali.
Sclintas ada garis kecurigaan di wajahnya. Begitu juga dengan tatapannya.
"Aku membeli perbekalan yang tak ada di Kyoto ke Yamashiro...," jawab Kissumi.
"Perbekalan kita untuk di tempat ini sudah habis," tambahnya.
Tentu saja penuturan Kissumi terlalu dibuat-buat bagi Pendekar Slebor. Bagaimana mungkin pada saat keluarga Hiroto digempur oleh musuhnya, Kissumi justru pergi ke Yamashiro seorang diri. Tapi, Andika belum lag] mencari kejelasan seluruhnya. Bukankah dia belum menanyakan apakah Kissumi pergi sendiri atau ditemani.
"Kau pergi sendiri?" susul Andika.
"Aku ditemani oleh...." Kalimat Kissumi urung terselesaikan. Pintu geser kamar terdengar dibuka seseorang.
"Aku yang mengantarnya, Andika San. Kissumi tak mungkin kubiarkan pergi sendiri pada saat genting seperti ini...," sela orang yang membuka pintu. Dia adalah Fujimoto bekas anak buah kepercayaan Hiroto.
Tiga hari tiga malam Andika tidak bisa berbuat apa-apa. Luka dalam yang dideritanya tak bisa disebut ringan. Selama itu, hanya semadi yang bisa dilakukan. Dengan semadi, Andika mencoba memulihkan keadaan tubuhnya kembali.
Meski sudah begitu, pemulihan keadaan tubuhnya berjalan amat lambat. Akibat pukulan Seichi Onigawa tampaknya terlalu kuat untuk dilumpuhkan secara cepat. Sementara itu, Akemi dengan sabar membantu merawatnya. Dia yang membawakan Andika makanan Memberikan pemuda itu obat-obatan tradisonal, juga tak jarang menggadanginya malam hari. Beberapa kali, ketika Andika menyudahi sementara semadinya, Andika memergoki Akemi sedang terkantuk-kantuk di sisi pintu kamar. Wanita itu berusaha untuk tidak tidur, walau matanya sendiri sudah bagai digelantungi bandul.
Beberapa kali Andika meminta Akemi agar tigak terlalu memaksakan diri. Anak muda itu berusaha meyakinkan Akemi keadaannya tidaklah terlalu mengkhawatirkan seperti yang terlihat. Permintaan Andika sia-sia. Akemi tetap bersikeras untuk membantu merawat pemuda itu.
Ada apa sebenarnya pada diri Akemi" Andika sering bertanya begitu dalam hati. Apa ada sesuatu di balik perhatiannya yang besar terhadapku" Atau hanya sikapnya selaku salah seorang tuan rumah yang hendak memulihkan tamu"
Kalau sudah mesti bersemadi kembali. mau tak mau Andika membuang dulu segala pikiran tadi. Yang terpenting, dia harus kembali sehat. Urusan genting dengan Seichi Onigawa belum lagi beres, pikirnya.
Pada hari keempat, tubuh Andika belum bisa berbuat banyak. Berdiri saja dia terkadang masih terhuyung-huyung. Akemi sering terpekik kaget dan memapah
tubuhnya lergesa ketika perempuan itu mendapati tubuh Andika nyaris tersungkur. Sementara itu, Hiroto yang telah pulang sebelum Andika kembali, tak kunjung jua mendapat kabar dari Seichi Onigawa mengenai Akimoto, anaknya. Karena pikiran Hiroto terlalu dikecamuk akan nasib anaknya, dia jadi tak begitu mempcrhatikan keadaan Andika.
Hiroto beberapa kali menjadi tak sabar. Kalau saja Andika tak segera mencegahnya, tentu samurai sejati itu bakal mulai lagi mencari tempat Seichi Onigawa yang menyembunyikan Akimoto.
"Kita harus bisa bersabar. Jangan terlalu terburu nafsu. Bisa-bisa itu akan mencelakakan diri kita sendiri," cegah Andika satu kali.
"Jangan membuang-buang tenaga sia-sia. Kita butuh segenap tenaga untuk menghadapi lelaki keparat itu. Tapi, pada saatnya nanti," begitu Andika menahan
Hiroto. Dan Hiroto menyadari juga kebenaran pendapat Pendekar Slebor, meski cukup sulit baginya untuk itu.
Di lain keadaan, seencer apa pun otak pendekar muda tanah Jawa itu belum bisa memecahkan teka-leki pakaian hitam yang ditemuinya di bawah tebing depan rumah pengasingan rahasia Hiroto. Jika menilik bagaimana para Imaga-Tong dapat mengetahui rumah yang dirahasiakan itu, Andika jelas jadi berkesimpulan ada seorang pengkhianat mendekam di keluarga Hiroto.
Masalahnya kini. siapa pengkhianat itu" Apakah pakaian itu ada hubungannya dengan si pengkhianat"
Selain Hiroto, ada tiga orang lain di rumah itu. Mereka adalah Akemi, Kissumi, dan Fujimoto. Andika sudah mengorek keterangan dari Fujimoto waktu itu. Lelaki yang pernah menjadi bawahan kepercayaan Hiroto itu diyakini Andika tidak berkhianat. Jadi, kalau Fujimoto mengaku telah mengantar Kissumi ke hutan perbatasan propinsi Yamashiro, itu artinya Kissumi pun tidak bisa lagi dicurigai sebagai pengkhianat.
Yang tersisa hanya Akemi. Tapi Andika mana mungkin mencurigai janda itu sebagai pengkhianat" Jelas-jelas Akemi adalah ipar Hiroto, wanita yang menikah dan memberi seorang anak pada adik kandung Hiroto. Kalau begitu kecurigaan si anak muda sakti Lembah Kutukan menemui jalan buntu. Tak ada lagi orang yang patut dicurigai. Bagaimana dengan Hiroto sendiri" Ah, tak mungkin tepis Andika. Semua kekacauan ini justru bertujuan hendak menghancurkannya. Bagaimana bisa dia hendak menghancurkan diri sendiri dan keluarganya"!
"Pasti ada 'satu mata rantai yang putus!" tandas Andika dalam hati. Mata rantai yang bisa menghubungkannya dengan si pengkhianat. Sebab, biar bagaimanapun Andika tetap yakin keberadaan pengkhianat itu di tengah-tengah keluarga Hiroto. Untuk mengetahui mata rantai yang terputus itu, dia harus menyelidiki lebih dalam, lebih teliti sekaligus hati-hati!

***

Malam ke sekian dari musim semi beranjak datang. Senja baru saja memudar. Di pelupuk langit sebelah timur, sisa cahaya kemerahan masih berjuang untuk bertahan dari terkaman segala malam. Andika berdiri di beranda rumah pcngasingan rahasia Hiroto. Menikmati memudarnya cahaya matahari di belahan langit timur membuat hatinya damai. Lantak sejenak segala pikiranpikiran runyam yang menggerayang di benaknya.
Sampai Akemi datang di belakangnya. Janda itu berdehem kecil, mencoba menegur secara tak lang-sung. Andika menoleh.
"Akemi," sapanya dengan sebaris senyum mengembang.
"Sedang apa, Andika San?" tanya Akemi seraya melangkah ke samping pemuda tanah Jawa itu. Seperti Andika, perempuan beranak satu itu pun menyanggahkan tangan pada pagar bambu yang membentang panjang di sisi beranda. Andika mengedikkan bahu.
"Entah," katanya mendesah.
"Mungkin hanya ingin melupakan sejenak seluruh kekacauan dunia ini...."
Akemi diam sebentar. Warna merah tembaga sisa sinar mentari bertandang di kulit wajahnya. Membentuk bayang mempesona yang baru kali itu disaksikan Andika pada wajah Akemi. Andika takjub. Inginnya dia terus menatap. Tapi lama-kelamaan dia jadi risih sendiri.
"Cantik benar dia," bisik hati Andika memuji. Slompret sekali!
"Suatu saat kita memang harus memiliki tempat pelarian," gumam Akemi, tak kentara.
"Apa?" Andika tergagap. Bodoh sekali dia. Kare-na terlalu getol mencuri pandang, dia jadi tak begitu memperhatikan ucapan wanita menawan di sebelah-nya.
Akemi menarik napas. Dalam sarat.
"Setujukah Andika San kalau kukatakan, kita suatu saat butuh tempat pelarian?" ulang Akemi. Anak muda yang mengenakan kimono coklat muda itu mcnimbang sejenak. Matanya bergerak-gerak, memikirkan.
"Setuju," tukasnya.
"Kau hendak mengatakan bahwa aku berdiri di tempat ini pun sudah menjadi satu pelarian, bukan?" sambung Andika.
Akemi menatap Andika. Mencoba mencari sesuatu di mata pemuda gagah itu.
"Andika San tidak tersinggung?" ajunya.
Andika tertawa kecil.
"Kenapa harus tersinggung?" tukasnya. Lalu mata setajam tatapan elang itu menerawang.
"Kita tak selamanya bisa bertahan dalam kekacauan dunia. Kita harus lari satu saat. Kalau tidak, kita bisa menjadi gila. Banyak cara untuk lari. Tapi bagiku,
salah satu yang terbaik untuk itu adalah mendekat pada alam. Dekat pada alam, kita pun dekat pada Penciptanya...," tutur Andika panjang dan tajam.
Andika menghirup dalam-dalam udara senja yang kian tua. Lalu dihembuskannya lagi perlahan. Ditarik, dihembuskan. Seperti dia tak akan pernah terpuaskan
untuk terus melakukan itu. Keduanya kemudian diam. Sama-sama menikmati cahaya yang hampir mati jauh di timur sana.
"Kau menangis Akemi?" usik Andika ketika mendapati pipi wanita itu telah basah.
Ada genangan bening kecil terus mengalir lamat menuju leher jenjang halusnya. Akemi membiarkan airmata itu. Toh Andika sudah telanjur melihatnya.
"Andai aku bisa lari...," desah Akemi.
"Apa maksudmu?" tanya Andika. Ucapan Akemi tak jelas ditangkap maksudnya oleh pemuda itu.
"Ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranmu?" susul-nya.
Entah karena pertanyaan terakhir Andika, Akemi terisak. Dia menangis. Didekapnya wajah jelita yang diusik tangis itu. Tak ada jawaban atas pertanyaan si pendekar tampan barusan. Andika kontan gelagapan. Kalau soal musuh selicik serigala dan setangguh gajah bengkak, akan dihadapinya dengan senyum mengembang. Tapi kalau tangis wanita"
Wah, dia paling ngeri! Bukan apa-apa. Dia bisa dibuat serba salah karenanya.
"Sudahlah, Akemi...," bujuk Andika. Tangannya serba salah menyentuh bahu Akemi. Andika menduga wanita itu sedang menyesali kematian Jotaro, suaminya. Bukannya terputus, tangis Akemi malah kianmendalam. Tubuhnya terguncang-guncang kecil. Wah, makin gelagapan Andika. Apa yang mesti
diperbuatnya" Kalau gadis kecil, dia bisa membelikan boneka. Tapi kalau 'gadis besar' yang jelita di depannya ini"
Bola mata anak muda itu bergerak bingung ke sana kemari. Sampai Akemi menghambur ke dada bidang pemuda itu. Ditumpahkan segalanya di sana. Dan Andika pun akhirnya tahu apa yang mestinya dilakukan. Dirangkulnya tubuh Akemi. Dipeluknya, membagi kehangatan. Malam akhirnya Iuruh juga. Sejak siang tadi, juga dua hari sebelumnya Andika tak bertemu dengan Hiroto.
Menurut Akemi, samurai sejati itu tak pernah meninggalkan dojo*. Dia terus berlatih keras, menajamkan jurus-jurus kendonya untuk menghadapi Seichi Onigawa nanti.Tangis Akemi telah tertumpah semua. Tinggal tersisa isak kecilnya saja. Kepala wanita itu sudah sejak tadi beranjak dari dada Andika. Dari wajahnya, Andika bisa menyaksikan rasa malu tersembul samar di antara sisa tangisnya.
"Maafkan kelancanganku, Andika San," hatur Akemi, karena dianggap dirinya telah lancang.
"Maaf untuk apa" Kau tidak melakukan apa-apa padaku," tukas Andika.
"Lagi pula he he he.., aku senang, kok!"
Andika memperlihatkan cengiran tololnya. Akemi tak bisa menahan senyum kecil yang biar bagaimanapun masih terlihat rapuh.
"Sebaiknya kau masuk ke dalam, Akemi. Tentu bayimu belum kau susukan malam ini, bukan?" saran Andika. Angin memang sudah menjadi dingin.
Akemi mengangguk. Sebentar ditatapnya Andika. Setelah itu dia beranjak meninggalkan beranda, dikawal tatapan lembut pemuda berambut gondrong di belakangnya.

***

=#= 7 =#=

Seseorang menyelinap malam. Berlari ringan di luar rumah pengasingan rahasia Hiroto. Pakaian hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya tersamar warna
malam. Dengan mengendap setengah merunduk, dimasukinya rumah Hiroto melalui jendela samping. Di lorong menuju kamar, penyelinap itu merapatkan tubuh ke dinding yang luput tersiram cahaya lampion.
Rupanya datang seseorang dari ruang lain. Kissumi orang itu. Sedang membawa baki air hangat untuk Andika. Mata di antara penulup kain hitam penyelinap tadi menyusut gusar menyaksikan kedatangan Kissumi. Jemari tangannya mengepal geram. Kalau dia tak sedang menjalani perintah lain dari atasannya, sudah dilemparnya pisau kecil untuk menyingkirkan Kissumi. Kalau tindakan itu tidak dilakukan, itu semata karena sang ninja tidak ingin mengalami resiko. Sedikit saja suara mencurigakan yang timbul jika dia mencoba membunuh Kissumi, maka tugas utamanya bisa berantakan.
Kepalan si penyelinap makin merapat manakala Kissumi menghentikan langkah. Wanita itu seperti merasakan sesuatu yang tidak beres sedang terjadi dalam rumah. Untuk memastikannya dia mengawasi sekeliling. Untunglah tempat lelaki tadi terlalu gelap untuk mata Kissumi. Karena tak menemukan apa-apa, Kissumi melanjutkan langkah. Dia hendak menuju dojo. Andika di sana. Sebelumnya pemuda itu hendak menemui Hiroto. Ternyata Hiroto sudah tidak ada lagi dalam dojo. Sedang bersemadi di kamarnya, begitu kata Kissumi pada Andika. Kebetulan atau bukan. lelaki berpakaian gelap tadi pun melangkah diam-diam ke dojo. Di belakang Kissumi, dia mengekor hati-hati.
"Ini air hangatnya. Andika San," ucap Kissumi setibanya di dojo.
Andika yang sedang mengatur jalan darah dengan seni pernapasan segera menghentikan kegiat-annya. Kepalanya menoleh.
"Letakkan dulu di sana, Kissumi," pinta Andika seraya menunjukkan sudut dojo.
Air hangat itu berguna untuk membanlunya melacarkan peredaran darah. Jika jalan darahnya bisa semakin lancar, maka pemulihan keadaan tubuhnya pun akan
meningkat. Kissumi menuju sudut yang dimaksudkan Andika.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Andika San?" tanya gadis geisah itu.
'Tidak, terima kasih Kissumi...," jawab Andika.
Didapatinya mata gadis itu berbinar seperti pernah disaksikannya ketika.... Ah, Andika cepat menepis bayangan kemolekan serta kepadatan tubuh halus Kissumi yang dilihatnya dulu. Kissumi keluar. Ada kekecewaan terbawa di parasnya. Sepeninggalan gadis geisha tadi, lelaki berpa-kaian hitam mengendap-endap di dekat dinding ka-mar latihan bela diri. Tangannya sudah menggenggam sebilah belati yang gagangnya terbungkus semacam kertas.
Dinding bersekat kertas yang membatasi dojo dengan tempat lelaki itu menyemburatkan cahaya lampion dari dalam. Bayangan Andika pun terlihat jelas dari luar. Dengan mata waspada, ninja penyelinap mengawasi bayangan di sekat kertas dinding.
Sesaat berikutnya....
Tras! Wesss! Didahului bunyi sekat kertas terkoyak, sebilah belati melesat, menembus dinding.
Arahnya tepat menuju Pendekar Slebor di dalam dojo!
Pendekar Slebor bukan main tersentak. Tanpa mencaritahu apa yang terjadi dengan dinding dojo sebelah barat, anak muda itu berguling ke depan. Hanya naluri terlatihnya yang diandalkan saat itu. Baki air hangat yang diletakkan Kissumi cepat diraihnya. Bletak!
Baki tembikar di tangan Pendekar Slebor saat itu juga retak. Tengahnya tertembus belati yang dilempar si pembokong. Air hangat di dalamnya sekarang sudah
berhamburan di lantai dojo.
Sadar kalau seseorang baru saja hendak membunuhnya, Pendekar Slebor dengan mata nyalang men-cari. Sekelebatan dilihatnya sesosok tubuh berlari di luar dojo. Lincah bagai seekor rubah mengejar buruannya.
Rahang pemuda dari tanah Jawa itu mengeras. Geram, dihempasnya langkah, seperti dia menghempas baki dari tangannya. Baru mencoba berlari lima-enam langkah, Andika merasakan dadanya sesak luar biasa. Pengerahan ilmu peringan tubuh yang dipaksakan membuat luka dalamnya kambuh seketika.
Di dekat dinding dojo anak muda itu menyanggahkan tubuh ke tempat senjata. Tangannya mendekap dada. Sementara wajahnya memucat teramat sangat.
"Luka dalam sial! Kenapa harus kambuh saat penting seperti ini!" rutuknya diselingi keluhan.
Sifat keras kepala si pendekar muda dari Lembah Kutukan itu memang sulit diragukan. Baru dada sesak dan napas Senin-Kamis seperti itu saja tidak akan digubris. Terhuyung-huyung seperti bocah baru belajar melangkah, dia ngotot juga mengejar pem-bokongnya tadi.
Andika merasa nyaris mampus ketika tiba di luar. Napasnya bukan cuma s ulit ditarik, tapi juga seperti disumbat dari dalam. Lepas dari semua itu, ada hal yang benar-benar membuatnya ingin mampus di tempat. Kissumi yang selama ini dikenalnya sebagai geisha lemah-lembut, sedang menggempur ninja pembokong Andika habis-habisan!
Anak muda itu terpana. Sempat-sempatnya dia melompong saat napasnya tersengal-sengal. Karena merasa salah melihat, Andika mengerjap-ngerjapkan mata. Ini pasti akibat luka dalamku, pikirnya. Tapi sudah berkali-kali dia mengerjap, wanita yang dilihatnya tetap Kissumi. Dari jalannya pertarungan, bisa terlihat Kissumi berada jauh di atas angin. Dengan tangan kosong, gadis itu bisa mendesak lawan berkatana.
"Heaaah!"
Deb! Seperti tidak mengalami kesulitan, Kissumi berhasil menyarangkan totokan bertenaga ke perut lawan. Saat lelaki berpakaian hitam merunduk menahan sakit, tangannya yang memegang pedang disepak kaki Kissumi keras-keras. Katana berputar di udara. Kissumi melenting lincah, memburu putaran pedang. Tep!
Tras! Hanya dengan satu tebasan, kepala lelaki berpakaian hitam menggelinding di tanah. terkena tebasan Kissumi.

***

Hiroto dan Akemi datang ketika Andika dipapah masuk oleh Kissumi. Fujimoto menyusul di belakang mereka. Ketiganya terkejut mendengar ribut-ribut di luar.
"Ada apa, Andika San?" tanya Hiroto. Wajahnya ketat, menampakkan ketegangan.
Andika hendak membuka mulut, tapi Kissumi cepat menyela.
"Tidak ada apa-apa, Hiroto San," sergah gadis itu bergegas. Ada suatu hal yang hendak disembunyikan.
Andika tahu soal itu ketika Kissumi memintanya merahasiakan kejadian yang terjadi sebelum Hiroto, Akemi dan Fujimoto keluar. Kissumi juga telah menyingkirkan mayat si ninja ke semak-semak.
"Andika San hanya terjatuh," sambung Kissumi seraya membungkukkan badan. Tubuh pemuda yang masih dipapahnya jadi ikut terunduk. Andika cuma bisa cengar-cengir saja.
"Sebaiknya kau beristirahat Andika San," nasihat Hiroto demi menyaksikan temannya dari negeri seberang itu kepayahan.
"Ada ular masuk tadi. Aku berusaha mengusir nya. Tak kusangka aku akan sepayah ini. Brengsek!" kibul Andika, mencoba membantu Kissumi. Biarpun kecurigaannya tetap ada pada diri Kissumi, Andika tetap tak bisa menuduhnya begitu sebagai pengkhianat. Setidak-tidaknya dia mau mendengarkan penjelasan Kissumi. Apalagi gadis geisha itu berkata akan menjelaskan duduk persoalannya.
Hiroto dan Akemi akhirnya masuk kembali. Hanya Fujimoto tetap berdiri di tempatnya.
"Kau pun boleh masuk," tukas Andika pada lelaki itu.
Andika berharap Fujimoto masuk agar dia bisa cepat mengetahui segala sesuatu yang dirahasiakan Kissumi. Termasuk mengetahui kenapa selama ini dia berpura-pura lemah. Yang dilakukan Fujimoto justru bertolak-belakang dengan harapan Andika, lelaki itu merundukkan badan. Apa perlunya kau merunduk seperti itu?" rutuk Andika.
Jengkel juga dia.
"Aku mau kau masuk, kau mengerti?" sambungnya. Lagi-lagi Fujimoto membungkukkan badan.
"Eee, kau sial sekali rupanya...." maki Andika.
Tidak apa-apa, Andika San," cegah Kissumi.
Andika merengut.
"Tidak apa-apa'.'" gumamnya heran.
Kissumi mengangguk. Diliriknya Fujimoto.
"Fujimoto tahu mengenai diriku..,"
Kissumi menjelaskan.
"Ooo!"
Andika menjentikan tangan. Dilangkahkan kaki, melepaskan papahan Kissumi.
"Jadi kalian bersekongkol rupanya," cibir pemuda tanah Jawa itu.
"Semacam itu Andika San," sela Fujimoto. Untuk ketiga kalinya lelaki itu menundukkan badan. Membuat Andika merasa jakunnya hendak melompat karena kelewat sebal."Sebaiknya, kami tak menjelaskan di sini, Andika San. Tak boleh ada orang lain yang mendengar rahasia ini sementara waktu," kata Kissumi lagi.
"O. jadi di mana" Di kuburan" Agar kalian bisa membunuhku sekaligus menguburku tanpa harus repot-repot menggotong-gotong mayatku?"
"Ikuti aku, Andika San?" ujar Fujimoto cepat. Tak tahan juga dia mendengar cerocosan pendekar satu ini.
Dia cepat melangkah. Andika dan Kissumi mengikuti. Ketiganya akhirnya sampai ke tempat yang dimaksud.
"Sekarang kalian jelaskan padaku apa sesungguhnya yang kalian sembunyikan. Semuanya! Dan jangan coba macam-macam. Sebutlah aku sedang lemah karena luka dalamku! Tapi untuk mengepruk kepala kalian berdua, aku masih bisa melakukannya! semprot Andika seperti kakek-kakek kebakaran jenggot.
Kissumi dan Fujimoto mengajaknya ke tempat yang aman untuk menceritakan segala sesuatunya Mereka masih tetap tak ingin ada orang lain mendengarnya.
Karena itu mereka mendatangi tempat yang paling memungkinkan untuk itu. Tepatnya di ruang bawah lanah yang dijadikan gudang penyimpanan.
"Asal kalian tahu, selama ini aku mencurigai di keluarga Hiroto ada seorang pengkhianat. Dengan begini, kecurigaanku itu akan jatuh pada kalian! Apa benar
kalian pengkhianat" Benar"! Slompret kalau benar!" cerocos Andika lagi. Sulit juga untuknya menganggap kedua orang itu sebagai pengkhianat Kalau mereka adalah orang-orang Seichi Onigawa kenapa tidak langsung saja menyingkirkannya pada saat sedang payah seperti ini"
Sementara Seichi Oni gawa sendiri sudah menang satu langkah dengan menawan Akimoto kecil.
"Sabar Andika San. Berilah kesempatan Nona Kissumi mengambil napas...," mohon Fujimoto.
"Mcngambil napas?" Andika mendengus.
"Kalau kalian lebih lama diam, aku yang akan mengambil napas kalian! Kalian mengerti"!"
Lalu si pemuda yang uring-uringan itu mulai mondar-mandir dalam ruangan sumpek penuh barang-barang. Tak dipedulikannya dada yang masih terasa sesak.
"Asal kau tahu Andika, aku sebenarnya bukanlah geisha Hiroto San," mulai Kissumi. Perempuan molek itu duduk di atas tumpukan karung gandum.
"Teruskan!" bentak Andika, sok galak. Dihajarnya peti yang tertumpuk tinggi.
Padahal tanpa disadarinya dia meninju peti penyimpan telur. Prak! Andika langsung mencak-mencak seperti tak ingin berhenti sampai kiamat menjelang ketika, wajahnya dilanda tumpahan pecahan telur. Fujimoto dan Kissumi berusaha sebisanya menahan geli. Mereka ingin tertawa, tapi takut kalau pendekar muda dari negeri asing itu mengamuk. 'Teruskan! Teruskan!" bentak Andika. Tangannya sibuk membersihkan cairan kental di sekujur mukanya.
"Nenekku adalah geisha kakeknya Hiroto San, Yoshioka...," mulai Kissumi lagi.
"Kau menyebut siapa?" wajah Andika jadi sungguh-sungguh.
Tangannya berhenti menyingkirkan bekas pecahan telur. Seingat Andika, dia pernah mendengar nama itu.
"Yoshioka," ulang Kissumi.
"Yoshioka" Orangtua bungkuk itu?" Andika ingin mendapatkan kejelasan.
"Andika San sudah mengenalnya?" sekali ini justru Kissumi yang melengak.
"Kakek yang selalu membawa toya itu?" Andika masih penasaran. Bola matanya membesar.
"Benar," sahut Kissumi pasti.
"Bagaimana bisa dia adalah kakek Hiroto?" Andika mengajukan pertanyaan membingungkan. Kissumi tak bisa menjawabnya. Pertanyaan macam apa itu" Apa
terlalu aneh seorang lelaki tua menjadi kakek Hiroto" Lain lagi kalau Yoshioka itu perempuan peot atau bocah belasan tahun....
"Apa maksud Andika San dengan pertanyaan itu?"
Fujimoto jadi ikut-ikutan ngawur. Jelas pertanyaan Andika barusan tak perlu ditanggapi. Anak muda tanah Jawa itu cuma tak percaya kalau Yoshioka tua adalah kakek Hiroto. Itu saja. Andika menepak kening keras-keras.
"Aku heran, bagaimana Hiroto yang begitu berwibawa punya kakek se sinting dia...," gumam Andika tak kentara.
"Kenapa, Andika San?" Kissumi bertanya.
"Tidak. tidak apa-apa," kelit Andika.
"Teruskan saja ceritamu!"
Lalu, Kissumi pun melanjutkan ceritanya. Seperti dikatakannya belum lama, dia adalah cucu dari geisha Yoshioka. Karena begitu dekat dengan Yoshioka, nenek Kissumi mengabdi sepenuhnya pada Yoshioka. Ketika istri Yoshioka meninggal dunia, nenek Kissumi pun dijadikan istri oleh Yoshioka. Dari istri pertama, Yoshioka memiliki anak lelaki yang bakal menjadi ayah Hiroto. Sementara perkawinan kedua Yoshioka dengan geishanya menghasilkan se?orang anak perempuan yang nantinya menjadi ibu Kissumoi.
"Artinya, kau mau hubungan darah dengan Hiroto?" Kissumi mengangguk, membenarkan.
"Karena tahu Hiroto dalam ancaman Seichi Oni-gawa.
Kakek Yoshioka meminta aku berpura-pura menjadi seorang geisha. Dengan begitu, sewaktu-waktu aku bisa membantu kesulitan Hiroto. Sekaligus dapat terus mengabari Kakek Yoshioka tentang sepak terjang Seichi Onigawa terhadap Hiroto. Kakek Yos hioka ingin membayar perhatiannya yang dulu tak pernah didapat Hiroto darinya."
"Kenapa begitu?" potong Andika. Kissumi melanjutkan.
"Anak lelaki Kakek Yoshioka terpisahselama berpuluh-puluh tahun karena satu kejadian. Ketika bertemu kembali, anak laki lakinya sudah menjelang ajal di tangan mus uh keluarga mereka dan meninggalkan seorang anak yang beranjak dewasa. Dialah Hiroto," sambung Kissumi.
Dengan begitu, pantas Hiroto tak mengenalinya ketika bertemu dengan Yoshioka tua di Kuil Matahari. Orang tua bungkuk bertoya itu diam-diam rupanya terus mengawasi keselamatan cucu lelakinya. Semua tindak-tanduk Hiroto didapatnya dari Kissumi. Ketika Hiroto hendak mengejar Seichi Onigawa yang membawa lari anaknya. Kissumi pun memberitahukan Yoshioka tua. Karena itu Yoshioka bisa berada di sana terlebih dahulu. Kissumi menuntaskan paparannya.
"Bagaimana dengan kau, Fujimoto.'" tanya Andika, mengalihkan persoalan pada lelaki itu.
"Bagaimana apanya'.'" tanya Fujimoto tak mengerti.
"Slompret kau! Ya, tentu saja aku mau tahu kenapa kau bisa mengetahui siapa Kissumi sesungguhnya!" hardik Andika kesal.
"Suatu kali, aku memergoki Kissumi sedang menemui Yoshioka," ucap Fujimoto singkat.
"Begitu saja?" susul Andika, belum puas.
Fujimoto baru hendak menjawab. Andika sudah cepat mengibaskan tangan.
"Tak perlu dijelaskan. Aku tahu kesimpulannya. Kissumi lalu membuka rahasianya padamu. Karena kau adalah salah seorang bawahan setia Hiroto, kau pun bekerja sama untuk melindungi keluarga Hiroto secara diamdiam bersama Kissumi. Apa aku betul atau betul?"
"Betul?" Fujimoto mcnanggapi kesimpulan Andika dengan mengacungkan ibu jari.
Tuntas mendengar semua rahasia yang selama ini tersembunyi, timbul lagi pertanyaan lain yang perlu butuh jawaban. Pendekar Slebor menyandarkan tangan pada dinding. Wajahnya mengetat. Anak muda itu sedang mengingat sesuatu.
"Aku menemukan pakaian hitam-hitam di tebing depan rumah ini. Apa kalian tahu milik siapa itu?" aju Andika lagi. Baru dia teringat pada masalah itu.
"Itu milikku," Fijimoto mengaku.
"Pada malam penculikan Akimoto, aku berusaha menolong Akimoto. Karena ingin tetap merahasiakan penyamaranku, kugunakan pakaian hitam itu dan pengikat wajah ungu. Sayang, usahaku tak berhasil. Andika tak cepat percaya. Pada dasarnya, dia masih ingin membuktikan kebenaran ucapan Fujimoto.
"Kau bisa membuktikan?" selirik pemuda tanah Jawa itu.
Fujimoto tanpa segan-segan membuka sebagian pakaian atasnya. Di salah satu bahunya terlihat bekas luka akibat lemparan senjata rahasia berbentuk bintang milik seorang anggota Imada-Tong. Andika benar-benar percaya kini.
"Kalau kalian berada di pihak Hiroto, lalu siapa yang telah berkhianat?" bisik Andika kemudian dengan kening berkerut.
"Akemi?" ungkap Kissumi ragu.
Andika menatap Kissumi dan Fujimoto bergantian. Sama dengan Kissumi. Anak muda itu pun ragu, apakah Akemi benar-benar musuh dalam selimut.
"Bagaimana menurutmu, Kissumi?" tanya Andika.
Gadis itu terdiam. Sulit baginya untuk membuat kesimpulan yang menyangkut Akemi. Bukankah Akemi adalah ipar Hiroto sendiri"
"Mungkinkah orang Seichi Onigawa sudi menikah dengan salah satu keluarga musuh?" gumam Andika.
"Kenapa tidak?" tukas Fujimoto menyela.
"Andika San harus ingat. Di negeri ini, orang bahkan rela mengorbankan nyawa untuk tujuannya...."
Andika bergidik. Benar kata Fujimoto.

***

=#= 8 =#=

Andika mengajak Kissumi dan Fujimoto cepat-cepat ke dojo. Ketika di gudang bawah tanah, mendadak saja anak muda itu teringat sesuatu. Belati yang dilemparkan kepadanya sekilas dilihatnya terbungkus sesuatu. Tak lama ketiganya sampai. Pecahan baki dan belati masili tergolek serampangan di lantai dojo. Pengelihatan sekilas Andika sebelumnya tidak meleset. Tepat di gagang belati, mereka menemukan semacam gulungan kertas. Andika mengambilnyaa.
"Sehelai surat," ucap Andika begitu menemukan tulisan kanji* di atas carikan tersebut. Diserahkannya surat itu pada Kissumi. Andika hanya mempelajari bahasa Nippon. Tidak termasuk cara membaca tulisannya.
Sejenak Kissumi menekuni.
"Dari Seic hi Onigawa," tukasnya usai membaca surat tadi.
"Lelaki itu mengajukan penukaran Pedang Ekor Naga dengan Akimoto. Tempatnya di danau besar propinsi Obani...," Kissumi memberitahukan inti pesan dalam surat.
"Bagus! Akhirnya lelaki sial itu mengabari juga apa maunya!" geram Andika.
Otaknya yang selalu berjalan dalam keadaan bagaimanapun segera mengambil kesimpulan-kesimpulan. Dia tahu, tentunya anggota Imada-Tong yang telah dibunuh Kissumi menyangka dirinya adalah Hiroto. Bukankah selama dua hari belakangan Hiroto terus di dalam dojo" Tentu saja musuh dalam selimut di keluarga Hiroto yang telah memberitahukan lawan kebiasan Hiroto di dojo hari-hari belakangan!
Andika mengepalkan tinju. Teka-teki kini makin jelas. Hanya tinggal mencari tahu, apakah Akemi benar-benar seorang pengkhianat. Sebab selain dia, tak ada lagi orang yang bisa dicurigai.
"Jadi bagaimana selanjutnya, Andika San?" Fujimoto, samurai setia yang pernah menjadi bawahan Hiroto saat shogun sebelumnya, tak sabar ingin mengetahui tindakan yang harus mereka lakukan.
"Sebaiknya kau memberitahu pada Hiroto tentang surat ini," putus Andika cepat.
"Bagaimana dengan aku?" Kissumi tak ingin dilupakan bagiannya.
"Kau teruskan penyamaranmu. Selidiki Akemi!" alur Andika lagi.
"Aku sendiri...."
Kissumi dan Fujimoto menunggu.
"Aku punya rencana sendiri," tandas Andika Kissumi hendak bertanya. Terlihat jelas dari sinar keingintahuan di matanya.
"Rahasia!" elak Andika seraya mengedipkan sebelah mata.
Pendekar muda pemilik nama besar itu ditahan oleh Kissumi baru ketika hendak beranjak.
"Apa Andika San, sudah tahu cara menghadapi Seichi Onigawa?" aju Kissumi hatihati. Sepertinya dia tak ingin menyinggung harga diri Andika.
Andika berbalik. Ditatapnya Kissumi lekat-lekat.
"Maksudmu apa?"
"Beberapa hari lalu, aku mengetahui Andika San terlibat pertarungan dengan lelaki itu."
"Kau tahu?" Andika melengak.
"Bukankah Andika berhasil dikalahkan" Maaf, Andika San...," tanya Kissumi tanpa mengatakan kalau dirinya yang telah menolong Andika waktu itu. Di samping Kissumi adalah orang berpakaian hitam yang berusaha menggagalkan penculikan Akimoto. Kissumi jugalah orang yang mencoba menghadang Seichi Onigawa saat membawa Akimoto dengan kuda. Dia pula yang menolong Andika saat nyawanya terancam tinju maut Seichi Onigawa beberapa waktu Andika meringis.
"Ya, aku maafkan. Tapi, jangan sekali lagi menyebut soal itu," hindar Andika,
mau enak sendiri. Dasarnya memang dia sudah dipecundangi Seichi Onigawa, masih juga dia mau memungkiri.
"Apa Andika San sudah tahu bagaimana menghadapinya?" dua kali sudah Kissumi menanyakan pertanyaan itu.
"Kau mengulang pertanyaan yang sama, Kissumi!" tukas Andika.
"Jelaskan saja secara singkat apa maksudmu...." Bolehnya Andika sewot.
"Seichi Onigawa memiliki kesaktian simpanan. Andika San.?"Yang itu aku sudah tahu. Ah, kau ini!"
"Aku tahu rahasia kelemahan kesaktiannya...," aku Kissumi.
"Kau tahu?" Andika mclengak lagi.
"Bagaimana?" kejarnya bernafsu sekali. Di benak anak muda itu. terbayang dia membalas kekalahannya tempo hari. Terbayang bagaimana dia akan membuat Seichi Onigawa pontang-panting, mencium dengkulnya, atau terbengek-bengek seperti dialaminya.
"Kakek Yoshioka membcrilahukan aku tentang kunci kelemahan kesaktian Seichi Onigawa...."
"Tunggu! Tunggu! Aku bukan menanyakan bagairnana kau bisa mengetahui kunci kesaktian manusia sial itu! Yang aku tanyakan, bagaimana aku dapat mengalahkannya," potong Andika seenaknya.
"Seichi Onigawa dapat...."
"Tunggu! Tunggu!" Andika menahan kalimat Kissumi lagi. Aku rasa, cerita tentang Kakek Yoshioka brengsek itu menarik juga. Bagaimana kalau kau menceritakan itu dulu" Bagaimana dia bisa sampai tahu rahasia kelemahan Seichi Onigawa.... Fujimoto di dekat Kissumi geleng-geleng kepala.
Susah juga menghadapi pendekar muda yang dibesar-bcsarkan Hiroto San ini, gumamnya membatin.
Sesabar-sabarnya Kissumi, gadis itu mulai dongkol juga dengan kebrengsekan Andika. Wajahnya jadi masam tak bersahabat. Merajuk dia.
"Kenapa kau jadi diam?"
"Aku ingin yakin dulu. kau mau kuberitahu yang mana," landus Kissumi sedikit ketus.
"Bukankah sudah kubilang aku ingin tahu soal Kakek Yoshioka brengsek itu!"
"Dia kakekku, Andika San. Jangan sembarangan menyebut namanya seperti itu!"
"O, bisa kualat.' Durhaka" Dosa besar" Waduh, ampuni aku, Kakek Yoshioka...," cibir Andika.
"Ya, kau kuampuni! Tapi setelah kepalamu kubuat bengkak dengan loya ini!"
Seseorang tahu-tahu sudah duduk di palang langit-langit dojo. Tahu-tahu pula dia turut campur dalam pembicaraan Andika dengan Kissumi.
Andika, Kissumi dan Fujimoto mendongak. Semuanya cukup terkejut mengetahui siapa yang berada di atas sana. Tapi yang paling terkejut adalah Andika. Wajah pendekar muda itu lantas merengut. Dilihatnya Kakek Yoshioka sedang menjuntai-juntai kaki di sana.
"Orangtua besar adat...," rutuknya sebaL
Bletak! Andika meringis. Tangannya mendekap kepala. Kakek Yoshioka baru saja menghadiahkan satu timpukan kerikil ke jidatnya.
"Sekali lagi kau mengatakan aku macam-macam, bukan cuma kerikil yang kulempar ke jidatmu! Tapi ini!"
ancam Kakek Yoshioka sanibil mengacungkan loyanya. Andika ngeri. Dia meringis parah. Kakek Yoshioka melayang turun. Hinggap di dekat Andika yang cepat-cepat menjauh. Ngeri kalau toya si orang tua bungkuk itu mampir di jidatnya.
"Jadi ini anak muda yang sering dibicarakan orang-orang Imada-Tong itu?" leceh Kakek Yoshioka pada Andika.
"Kata mereka kesaktianmu jempolan. Huh mana buktinya" Belum lama saja kau dibuat mati kutu oleh Seichi Pencundang itu!" sembur Kakek Yoshioka tak puas.
Andika sewot dibegitukan.
"Jangan c uma bisa menuding orang Iain, Orang Tua!Kenapa kau jadi lupa kalau kau pun belum lama dibuat keok oleh lelaki sial itu! Oh, iya aku lupa kau sudah pikun, bukan?" cemooh balik Andika.
"Kapan aku pernah dikalahkan si pec undang itu?" elak Kakek Yoshioka. Dia sungguh-sungguh menimpali cemoohan Pendekar Slebor barusan. Seperti juga Andika menimpali lecehannya. Mereka jadi mirip sepasang bocah berebut pepesan
"Alah, jujur saja orang tua besar adat! Waktu aku datang ke ruang bawah tanah Kuil Matahari, kau sedang berusaha menyembuhkan luka dalammu, bukan" Kau dapat dari mana kalau bukan dari Seichi Onigawa" Apa tahu-tahu kau temukan luka dalam itu di lobang tikus?" olok-olok Andika, makin menjadi.
Kakek Yoshioka kontan mendengus sehebat dengusan kerbau ngamuk. Dia merasa didodori oleh anak muda asing satu ini.
"Mulut tak tahu adat! Biar kusodok tenggorokanmu dengan toyaku!"
Kissumi tak tahan lagi melihat tingkah tengik dua lelaki bertaut usia itu. Dilerainya mereka.
"Kapan persoalan bisa selesai kalau kalian terus main olokolokan seperti ini"
San...
" Dengan tetap memperlahankan kesopanan pada kakeknya, Kissumi mengingatkan.
"Coba kau tanya dia!" bentak Andika dan Kakek Yoshioka berbarengan. Keduanya saling tuding satu dengan yang lain.
Ampun....

***

Jika kau ingin anakmu selamat, datanglah ke danau besar Obani, tepat pekan ke tiga musim ini. Bawa Pedang Ekor Naga ke sana. Anakmu akan selamat jika pedang itu kau serahkan padaku. Bila tidak, kau akan kehilangan anakmu selamanya. Kujamin itu! Seichi Onigawa Hiroto menghajar lantai kayu dengan tinjunya ketika selesai membaca surat dari Seichi Onigawa. Wajahnya mematang secepatnya, memendam bara kemarahan.
Ketika sedang bersemadi di kamarnya, Fujimoto datang mengantarkan surat itu. Kini Fujimoto duduk di sebelahnya, menanti titah apa pun yang akan dibebankan ke pundaknya.
"Selembar saja rambut anakku saja diusiknya, akan kubelah kepalanya." geram Hiroto, bergeletar kemurkaan.
Ayah mana yang tak begitu jika anaknya terancam. Seekor induk monyet dungu saja akan siap mencabik-cabik dalam keadaan seperti itu. Apalagi Hiroto"
"Ada sesuatu yang bisa aku lakukan, Hiroto San?" tanya Fujimoto hati-hati.
Hiroto melirik orang kepercayaannya itu. Mata merah padamnya membuat Fujimoto bergidik.
"Terimakasih, Fujimoto. Aku tahu. kau siap mati demi kesetiaanmu. Tapi aku meminta kau tak turut campur dalam masalah ini...." tolak Hiroto. Dalam golak
nada bicaranya, dia tetap berusaha menjaga harga diri Fujimoto.
"Tapi...."
Hiroto mengangkal tangan. mcnahan ucapan Fujimoto.
"Aku tahu. Aku hanya ingin kau tahu. Urusan ini adalah urusan antara aku dengan Seichi Onigawa ke-parat itu. Biar aku yang menyelesaikan sebagai seorang samurai sejati sekaligus sebagai seorang ayah sejati yang bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan anaknya...." Kalau sudah begitu, Fujimoto bisa bilang apa lagi"
"Apakah Andika San tahu soal ini?" tanya Hiroto.
Fujimoto agak ragu menjawab, "Tidak, Hiroto San...."
Lelaki itu dengan terpaksa berdusta. Andika atau Kissumi memintanya untuk berdusta jika Hiroto menanyakan perihal surat Seichi Onigawa. Sebab menurut pertimbangan mereka berdua, Hiroto akan tersinggung jika mereka mencoba membantu. Sebaiknya bergerak diam-diam, begitu pikir mereka.
Hiroto mengangguk. Jawaban Fujimoto memuaskannya. Mata merahnya menerawang jauh. Ada selingkup kerinduan menyelinap di mata sipit itu. Tentu saja pada anak tercinta yang sudah lama tak ditemuinya. Ada kecemasan, ada pula kegeraman. Semuanya berbaur menjadi satu.
"Pekan ke tiga musim ini jatuh besok hari. Besok, tolong siapkan kudaku pagipagi sekali. Fujimoto...,' desahnya. Fujimoto membungkuk.
"Baik," sahutnya.

***

=#= 9 =#=

"Kau hanya akan dapat mengalahkan Seichi Onigawa dengan cara berlawanan...," tutur Kakek Yoshioka pada Andika. Saat itu dua lelaki bertaut usia itu sedang merembukkan sesuatu di bawah tebing depan rumah rahasia Hiroto. Tempat itu mereka anggap aman, tanpa diketahui Hiroto atau lawan yang mungkin saja menyelinap.
"Tapi aku tetap tak mengerti kenapa kau bisa dikalahkan manusia sial itu. Kalau kau tahu kunci ke-lemahannya, mestinya dia telah kau buat bertekuk-lulut.
Bukan malah kau...." cibir Andika. Pertengkaran di gudang kemarin tak membuat anak muda itu penasaran.
Kedongkolannya dengan orang tua bungkuk itu sudah lunas. Cuma dia hanya ingin tahu sesuatu. Andika ingin memastikan kenapa Seichi Onigawa bisa mengalahkan Kakek Yoshioka. Tentu ada hal yang bisa dipelajarinya.
Karena orang tua ini termasuk makhluk langka yang sulit diajak berdamai. mau tak mau Andika harus punya satu cara agar dia mau bercerita tentang kekalahannya tanpa merasa harga dirinya terusik. Kakek Yoshioka menaikkan pangkal hidungnya, seperti seekor serigala mau mengamuk.
"Kau benar-benar anak muda banyak mulut! Kenapa kau tak diam dan mendengarkan apa kataku saja!"
"Karena aku tak mau dikibuli!" debat Andika.
"Sial! Aku tak mengibulimu!"
"Tak mengibuli" Heh!" Andika mencibir.
"Seorang yang mengaku tahu cara buang hajat tapi tak pernah buang hajat, apa itu tidak ngibul?" sindirnya.
"Tapi aku tak ingin menjelaskan soal buang hajat padamu!" gertak Kakek Yoshioka, terpancing.
"Rasanya kau memang mau menjelaskan itu!"
Dari silanya, Kakek Yoshioka bangkit mendengusdengus. Napas tuanya terseret-seret, menahan kegusaran.
"Kau mau membalas kekalahanmu pada Seichi Pecundang itu atau tidak'.'!"
Andika ikut berdiri. Dadanya dibusungkan tepat di depan wajah Kakek Yoshioka yang bertubuh lebih pcndek.
"Kau bisa menyebut dia 'pecundang', ya" Hebat sekali.... Bukankah kau semestinya yang disebut pecundang?"
Gigi tinggal beberapa butir milik Kakek Yoshioka bergemeletuk.
"Khauuu mhauu mengalahkhan dia apa thidaakh!" bentaknya mulai tak jelas, saking dadanya ditanduki kedongkolan minta ampun.
"Aku tetap akan membalas kekalahanku," sesumbar si anak muda. Makin kalap Kakek Yoshioka, makin senang dia. Biasalah, sifat kurang ajarnya lagi kumat.
"Ya. kau akan dibuat kembang-kempis! Lebih sial lagi, kau mungkin akan dilempar ke liang lahat!"
"Tak bisa..., tak bisa. .," Andika mendongak-dongakan dagu.
Kakek Yoshioka makin berantakan. Dia berdiri serba salah. Berjalan hilir-mudik serba salah. Juga menatap pemuda di depannya serba salah.
"Kalau kau bukan pemuda yang kuharapkan bisa menolong cucuku, Hiroto, akan kulabrak kepalamu sekarang juga!" geramnya.
"A ha, kau akhirnya punya rasa rendah hati juga!" sentak Andika. Wajahnya berseri.
"Sebetulnya, itu yang amat kurindukan darimu sejak kita berjumpa, Orang Tua!"
Lalu Andika mendekap tubuh melengkung Kakek Yoshioka. Dirangkulnya ketat-ketat tubuh keropos itu, diurak-uraknya, diputarputarnya....
"Sinting! Turunkan aku!" hardik Kakek Yoshioka. nyaris putus napasnya.
Andika menurunkan lelaki tua itu. Ditepuk-tepuknya pakaian Kakek Yoshioka untuk meratakan kerutan.
"Sekarang, aku tahu kau masih memiliki rasa rendah hati. Biarpun sudah bangkotan, hatimu tidak benar-benar membatu. Sekarang pasti kau sudi menjelaskan
padaku kenapa kau sampai bisa dikalahkan Seichi Onigawa?" rayu Andika, berbalik seratus delapan puluh derajal dari sikap sebelumnya.
Masih dengan agak merajuk dan wajah terlipat, Kakek Yoshioka masuk perangkap si pemuda berotak encer. Dia mulai 'rela' menceritakan muasal kekalahannya atas Seichi Onigawa.
"Sebetulnya, dia itu memiliki satu hal di luar kesaktian andalannya...," mulai Kakek Yoshioka, masih agak malas-malasan. Andika tersenyum.
"Terus" Terus" Wah, makin nyata saja kau benar-benar rendah hati.... Kau seorang tua yang mulia, Orang Tua!" puji Andika, mencoba terus mendongkel-dongkel. Sementara, dalam hati dia terus terkikik-kikik.
"Dia itu licik! Dasar pecundang!"
"Licik bagaimana?" kejar Andika.
"Ah, sudahlah!" putus Kakek Yoshioka. Penuh kekesalan, dihantamnya tepi tebing dengan loya. Andika tahu, Pasti si congkak tua ini tak sudi disebut tua bangka yang bodoh, mau diliciki oleh anak kemarin sore seperti Seichi Onigawa.
"O, jelas tidak! Jelas kau tidak bisa dikibuli oleh Seichi Onigawa sial itu. Kecuali hanya karena kau belum beruntung saat itu, bukan?" sergah Andika
bergegas. Takut orang tua bungkuk itu ngadat lagi. Kakek Yoshioka seperti dikipasi. Wajahnya jadi agak nyaman kembali.
"Asal kau tahu, dalam segala hal dia amat licik. Jangan tertipu oleh tindakannya! Yang paling penting kau mesti yakin pada tindakanmu! Jelas"!" ujar Kakek Yoshioka, angkuh.
"Jelas! Jelas!"
"Nah. sekarang mari kujelaskan soal kunci kelemahan kesaktian Seichi Pencundang itu!" Sebentar Kakek Yoshioka mondar-mandir, menyeret-nyeret langkah di
permukaan batu tebing.
"Seichi Onigawa memiliki Ninjitsu Hitam tingkat tinggi. Hanya segelintir orang yang bisa mencapai taraf itu. Si Pecundang itu tampaknya beruntung. Kesaktian itu didapatnya dari mendiang kakeknya, yang juga musuhku...."
"Jelaskan saja langsung ke intinya!" potong Andika, lak sahar. Lagi pula buat apa dia mendengar cerita usang yang sama sekali tak diperlukan" Yoshioka mulai jengkel lagi.
"Bagaimana kalau kau menjelaskan cara aku menghadapi kesaktian yang membuat tubuhku sulit bergerak?" tawar Andika dengan seulas senyum merayu.
Susah bicara dengan makhluk langka keras kepala seperti dia, rutuknya dalam hati. Lalu anak muda itu mendekati Kakek Yoshioka. Mau membujuk-bujuknya lagi.
"Jangan dekat...," tukas Kakek Yoshioka.
Andika mengurungkan langkah.
"Baik, aku tak akan mendekatimu...," ujarnya seraya mengedikkan bahu.
"Tolol! Yang kumaksud bukan itu!" hardik Kakek Yoshioka. Biji mata kelabunya mencorong.
"Kau tak boleh mendekati Seichi Onigawa saat bertarung. Bila kau masuk dua tombak saja dari sekeliling tubuhnya. maka otot-ototmu akan terkunci. Paham"!"
"Ooo...: "Soal tinju mautnya...," Kakek Yoshioka hendak memulai lagi. Tapi Andika langsung menukas.
"Soal itu, aku tak ada masalah!"
"Ei! Pemuda tak tahu diuntung! Mestinya kau menghargai aku karena mau mengungkap semua rahasia kelemahan kesaktian Seichi Pecundang itu. Biarkan aku bicara sampai selesai dulu dan...."
Bibir kcriput Kakek Yoshioka terus menyerocos. Diam-diam. Andika berjingkat-jingkat di belakangnya. Ditinggalkannya orang tua itu sendiri.
"Kalau maumu aku membiarkan kau bicara sampai selesai, baik!" gerutu Andika disisipi rasa geli. Dan Kakek Yoshioka
terus saja menyerocos.

***

Hari terlampaui. Matahari mencoba usaha pertamanya melepas sinar lamat berwarna jingga. Ufuk timur ramah. Angin bertiup, seramah pelengkap suasana pagi muda yang Iain. Pagi-pagi seperti itu, Hiroto sudah menggebah kuda hitamnya. Pekan ketiga musim semi jatuh pada hari itu. Di mana Seichi Onigawa memerintah Hiroto untuk datang ke danau besar Obani.. propinsi yang berscbelahan dengan Kyoto.Di punggung lelaki itu berlengger katana yang biasa disebut Pedang Ekor Naga. Pedang itu sesungguhnya biasa saja. Tak beda dengan pedang-pedang lain, tanpa keistimcwaan apa-apa. Hanya seni pembuatannya memang tergolong tinggi. Gagang pedangnya dilapisi kulit seekor ular jenis langka. Sementara sarung pedang dibuat dari kayu yang juga langka. Batang pedangnya terbentuk dari tiga jenis logam berbeda. Di bagian batangnya ada semacam gambar timbul berbentuk ekor naga. Dan kalau Seichi Onigawa begitu bernafsu ingin memiliki Pedang Ekor Naga, itu semata karena dia menganggap pedang itu sebagai lambang dari kehormatan buyutnya, murid tertua Sensei Ekor Naga. Tak ada lain alasan. Di lain pihak. Hiroto bersikeras mempertahankannya pun dengan alasan serupa. Dia juga menganggap pedang itu adalah lambang kehormatan garis keturunan buyutnya, murid bungsu Sensei Ekor Naga.
Dilepas oleh bekas samurai setianya, Fujimoto, lelaki itu berangkat dari rumah pengasingan rahasia. Akemi, Kissumi, dan Andika tak terlihat. Mereka tak perlu
diberitahu, begitu pesan Hiroto pada Fujimoto. Seperti niat sebelumnya, Hiroto memang tak ingin melibatkan siapa pun dalam hal ini. Baginya perkara Seichi
Onigawa adalah urusan pribadi yang mesti di-selesaikan sendiri. Sebelum Hiroto benar-benar melarikan kudanya dalam kobaran semangat membakar. Fujimoto menahannya. Dengan menahan tali kekang kuda, Hiroto bertanya.
"Ada apa?"
"Bagaimana jika Hiroto San tak berhasil membawa pulang Akimoto?" tanya Fujimoto.
"Apa sebaiknya aku memberitahukan Andika San dalam jangka waktu tertentu" Seperti kepergian Hiroto San sebelumnya?"
"Kau boleh memberitahukan Andika San. jika dalam dua pekan aku tak kembali. Katakan padanya aku memohon pertolongan untuk menyelamatkan Akimoto!"
pesan Hiroto. Seperti tak ingin kehilangan waktu sedetikpun, dia berseru sementara kudanya sudah berlari kencang.
Sepergian Hiroto, Andika dan Kissumi keluar.
"Bagaimana?" tegur Andika.
Fujimoto tanpa menoleh menjawab.
"Tampaknya dia tetap tak ingin seorang pun dari kita membantunya." Kissumi mengeluh.
"Jadi bagaimana cara kita membantu dia" Kalau kita terang-terangan, pasti dia akan marah besar. Kalau kita memakai topeng kain, nanti dia mengira kita anggota Imada-Tong."
"Tenang Kissumi," tukas Andika. Bibirnya tersenyum seperti meremehkan persoalan.
"Kau punya cara menolong Hiroto San tanpa membyatnya marah?" Kissumi ingin tahu apa yang ada di benak pemuda slebor itu.
Andika cengengesan.
"Itu rahasiaku!" kelit Andika. Dikerdipkannya sebelah mata pada Kissumi.
Fujimoto pun kebagian. Cuma lelaki itu jadi agak melongo. Sejak kapan pendekar muda yang dikagumi bekas atasannya punya penyakit genit dengan kaum
sejenis" Perangah hatinya.

***

=#= 10 =#=

Danau besar Obani. Hiroto sampai di sana. Tak ada tanda sehimpun kemarahan padanya. Wajah dan sikap samurai muda itu sarat ketenangan. Juga dingin.
Sementara tatapannya begitu beku. Sekitar seratus tombak dari danau, seseorang telah menunggunya. Orang itu tak lain Seichi Onigawa. Hiroto membawa kudanya ke dekat lawan. Tinggal berjarak sepuluh depa, dia berhenti. Turun dari kuda, dan berdiri menantang Seichi Onigawa.
"Mana anakku, Seichi"!" Hiroto membuka pertanyaan.
Tanpa berniat cepat-cepat menjawab, Seicih Onigawa tertawa terbahak-bahak. Sebelumnya matanya hanya tertuju pada gagang pedang di punggung Hiroto.
"Ha ha ha! Akhirnya kau bawa juga Pedang Ekor Naga yang telah kau simpan bertahun-tahun itu!"
"Mana anakku"!" ulang Hiroto, lebih mengguntur.
"Sabar! Sabar! Anakmu dalam keadaan baik-baik saja. selama kau masih berniat memberikan pedang itu padaku...," ujar Seichi, mengulur-ngulur waktu.
Hiroto tanpa banyak cakap melepas ikatan Pedang Ekor Naga dan punggungnya. Digenggamnya pedang itu di tangan kanan.
"Ini pedang yang kau mau! Sekarang mana anakku'.'!"
Seichi Onigawa mengangguk-angguk. Dia bersuit.
"Suittt!"
Dari sebuah perahu yang tertambat di tepi danau muncul seorang anggota Imada-Tong. Di sampingnya seorang anak telah berdiri.
"Akimoto...," desis Hiroto.
"Ayah!" teriak Akimoto di kejauhan. Anak itu hendak berontak. Ninja di sebelahnya menahan gerak anak kecil itu dengan cengkeraman tangan.
Dengan wajah tak berubah. Hiroto mengirim isyarat pada anaknya untuk tenang. Sengaja lelaki itu melempar senyum, agar hati si anak lebih merasa aman.
"Jadi, bagaimana aturan mainnya?" aju Hiroto pada Seichi Onigawa.
"Mudah saja!" Seichi Onigawa menanggapi.
"Kau harus meletakkan pedang itu di bawah pohon itu!" Seichi Onigawa berseru seraya menunjuk sebatang pohon besar yang tak jauh dari tempat berdiri nya.
Hiroto menatap tajam-tajam mata lawannya.
"Aku akan menyerahkan pedang ini kalau kau telah melepaskan Akimoto!" desisnya tegas, tandas. Seichi Onigawa terbahak lagi.
"Apa kau kira aku akan tertipu dengan muslihat busuk macam itu, Hiroto" Kau jangan bodoh! Tak ada yang mesti kau perbuat kecuali mengikuti aturan mainku!"
ancam Seichi Onigawa. Dengan menjentikan jari, dia melepas isyarat pada ninja di dekat Akimoto. Ninja tadi beranjak dari atas perahu. Naik ke darat bcrsama Akimoto di dekatnya.
Di darat, pedang pendeknya diloloskan. Senjata itu lalu dihunuskan di dekat leher si bocah kecil.
"Kau lihat,"leceh Seichi Onigawa, merasa berada di atas angin.
"Kepala anak lelaki kesayanganmu akan terpisah dari badannya kalau kau tak segera meletakkan Pedang Ekor Naga di bawah pohon itu!" tegas Seichi Onigawa lagi. Bibir Hiroto menyeringai. Ancaman lawan seperti bukan apa-apa buatnya.
"Kau memang punya anakku. Tapi kau pun tahu, aku punya pedang ini...."
Seichi Onigawa mcnautkan alis. Apa dia tak salah mendengar ucapan lawan"
Tampaknya Hiroto sedang bertaruh dengan nyawa anaknya sendiri. Itu sama sekali tak pernah diperhitungkan Seichi Onigawa.
"Kau mau ikuti aturanku, atau kau tak dapatkan pedang yang kau idam-idamkan ini?" terabas Hiroto lagi.
"Kau akan menyaksikan kepala anakmu menggelinding segera!" geram Seic hi Onigawa. Hendak dicobanya menggentarkan hati seorang ayah terhadap
nasib anaknya.
"Kuhitung sampai tiga! Bila kau tak segera meletakkan pedang itu maka jangan harap anakmu selamat," lanjut Seichi Onigawa beringas. Dan dia pun mulai menghitung.
"Satu...!"
Hiroto tak bergemik. Wajahnya tetap beku, tanpa bersit kegentaran. Matanya tepat menembus manik mata Akimoto, seakan berkatakata tanpa terucap.
"Dua...!"
Hiroto tetap berdiri kaku.
"Kau benar-benar akan menyesal, Hiroto! Dia adalah anak satu-satunya yang diberikan mendiang istrimu tercinta, bukan?" Masih saja Seic hi Onigawa mencoba meruntuhkan jiwa Hiroto dari dalam. Tapi, usahanya sia-sia. Hiroto seperti telah siap mengorbankan segala sesuatu yang paling dicintainya.
Termasuk Akimoto!
Seichi Onigawa mendengus, gusar tak alang kepalang. Rupanya dia telah salah perhitungan pada musuh bebuyutannya kali ini.
"Baik!" tandasnya, akhirnya. Seichi Onigawa menyerah pada aturan yang diajukan Hiroto. meski wajahnya sama sekali tak mengakui itu.
Hiroto tersenyum tipis. Seperti juga Kakek Yoshioka, Hiroto pun amat tahu bagaimana sifat Seic hi Onigawa sesungguhnya. Dia adalah lelaki berotak licik
dan culas. Tapi, dia tak memiliki pendirian kokoh. Pribadinya gampang terhuyung.
"Tapi, bagaimana aku bisa percaya kalau pedang itu adalah pedang asli"!" lontar Seichi Onigawa lagi, sebelum dia memutuskan untuk melepaskan Aki?moto.
"Aku bukan seperti dirimu, Seichi! Aku menganut bushido. Bagiku, perkataanku adalah harga diriku. Pantang untukku menjilat ludah yang telah kubuang!" tandas Hiroto. Sejenak Seichi Onigawa menimbang. Tangannya memainkan dagu. Selanjutnya dia menjentikkan tangan lagi pada ninja di belakangnya, mernerintahkan orang itu melepas Akimoto.
"Jangan clilepas Seichi!" cegah suara perempuan, tiba tiba. Suaranya datang dari arah yang sama dengan arah kedaiangan Hiroto.
Hiroto tak cepat menoleh. Benaknya disibuki oleh pertanyaan yang mendadak menyeruak. Dia me-ngenal suara itu. Apakah dia salah dengar".
Hiroto hendak memastikan. Dia menoleh. Betapa terkesiapnya dia kala itu juga mendapati wanita yang baru hadir.
"Akemi...?" bisik Hiroto, nyaris lak dipercayai sama sekali penglihatan sendiri.
Akemi berdiri angkuh. Bertolak-belakang sekali dengan sifat yang dikenal Hiroto selama ini.
"Jangan sekali-kali kau berikan anak itu pada dia, Seichi!" seru Akemi lagi.
Setelah mengucapkan itu, Akemi melangkah mendekati ninja yang menahan Akimoto. Tepat di samping anggota Imada-Tong tadi, wanita itu berdiri.
"Apa yang kau ketahui Akemi?" tanya Seic hi Onigawa.
Lelaki berjiwa busuk ini tampak sudah demikian mengenal Akemi. Tampak jelas dari garis wajah dan sikapnya.
"Aku menyaksikan dia membawa pedang palsu. Dia tak sungguh-sungguh ingin menyerahkan Pedang Ekor Naga padamu. Dia datang ke sini hanya untuk
menyelamatkan anaknya, dengan cara menipumu!" tutur Akemi meledak-ledak.
Parasnya jadi demikian bengis. Ledakan tawa Seichi Onigawa merangsak angkasa. "Hiroto.... Hiroto... Kau mimpi kalau hendak mengadu kelicikan denganku!" cemooh Seichi Oni-gawa. Lelaki itu bertolak-pinggang, menyombongkan siapa dirinya.
"Kau terkejut melihat Akemi" Sekaranglah saatnya kau mengetahui, bahwa Akemi adalah sepupuku. Dia yang kukirim dua sekitar tiga tahun lalu untuk menelusup ke dalam keluargamu. Aku memang punya rencana matang yang butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
Kuperintahkan dia agar bisa menjadi istri adikmu. Dan dia sudi berkorban demi kehormatan keluarga kami. Demi Pedang Ekor Naga. Dia pun tak keberatan mengandung anak adikmu, selama rencana kami bisa berjalan dengan mulus! Hahaha!!
Di lain sisi, wajah Hiroto berubah. Semula dia tampak tenang, kini ada kekacaunan di parasnya. Tangannya menggenggam sarung pedang keras-keras seperti
hendak menghancurkannya. Menyaksikan itu, Seichi Onigawa terbahak lagi. Hiroto hendak berkata, tapi Seichi sudah memancung tawa dan menyela.
"Sekarang ikuti aturanku, Hiroto! Kembali ke tempatmu dan ambil pedang yang asli! " ancamnya mendengus.
"Ya, kalau kau tak mengikuti perkataannya, aku akan menebas batang leher anak ini!" Akemi menimpali.
Digenggamnya gagang pedang yang tergantung di pinggangnya. Sementara ninja yang memegang Akimoto menundukkan anak itu. Kepalanya siap dipenggal!
Hiroto makin disudutkan. Dia tak tahu lagi apa yang masih bisa dilakukan kecuali menuruti kemauan Seichi Onigawa dengan sedikit harapan yang begitu tipis. Dia tak mungkin berharap Seichi Onigawa akan bersikap ksatria. Dia cuma anjing culas tak punya harga din!
Meski begitu. Hiroto tak langsung pergi. Dia seperti tertahan oleh kecamuk sesuatu dalam benaknya. Dia tak percaya kalau Akemi selama ini adalah seorang
pengkhianat. Tapi dia pun tak percaya kalau Akemi mengatakan pedang yang dibawanya adalah pedang palsu.
Padahal, Hiroto tak sedikit pun berniat menyerahkan pedang pals u pada Seichi Onigawa. Yang digenggamnya sekarang ini justru pedang asli!
Hal itu benar-benar membingungkan Hiroto. Hiroto bagai disentak sengatan lidah petir ketika dengan tiba-tiba Akemi meloloskan pedangnya. Pasti vvanita itu mengira dia tak menggubris ancaman Seichi Onigawa! Pekik Hiroto dalam hati. Dia seperti hendak berteriak menahan. Sayang terlambat.
Wukh! Crash! Sepotong kepala saat itu juga mcnggelinding di tanah!
Darah memercik ke mana-mana. Hiroto berdiri kaku. Seluruh tubuhnya seperti tak bisa digerakkan lagi. Tak ada yang lebih pantas dibandingkan dengannya saat itu selain dengan mayat hidup. Pucat. beku dan kaku. Namun, bukan cuma Hiroto saja yang terperanjat menyaksikan perbuatan Akemi. Seichi Onigawa pun tak kalah terperanjat. Matanya membesar terpaksa di balik kelopak sipilnya. Dia tak percaya yang dilihatnya!
Tak percaya! Apa terjadi"
Akemi kini merangkul Akimoto. dibopongnya lalu dibawanya bocah itu menyingkir dari dekat Seichi Onigawa yang masih terkaku. Kepala yang menggelinding barusan adalah kepala anggota Imada-Tong yang menahan Akimoto! Disebelah tangannya, tergcnggam pedang mempesona berwarna merah bara. Warnanya terang menyilaukan. Itulah Pedang Pusaka Langit! Pedang milik Pendekar Slebor yang dihadiahkan seorang sahabatnya dari kerajaan Cina! Hanya dengan membungkus gagangnya dengan sejenis kulit, pedang itu jadi terlihat lain jika tidak diloloskan. Akemi kah yang memegangnya"
Bukan! Pedang itu tak bisa sembarang dipercayakan kepada orang lain. Perempuan itu bukanlah wanita sesungguhnya. Dia adalah Pendekar Slebor!
Setelah kecurigaannya hanya tertuju pada Akemi seorang, Andika mencoba menjalankan rencana untung-untungan. Dia memang belum sempat memastikan apakah Akemi benar-benar pengkhianat.
Usaha untung-untungnya itu membawa hasil Pendekar Slebor dapat menyelamatkan Akimoto sekaligus menyelamatkan Pedang Ekor Naga. Karena menurut
Kissumi, jika pedang itu berhasil dimiliki Seichi Onigawa, Hiroto akan melakukan seppuku. Pasti Hiroto sudah menganggap dirinya berkhianat pada buyutnya karena telah menyerahkan pedang kehormatan itu pada Seichi Onigawa. Andika tentu tak ingin kehilangan Hiroto, seperti juga tak ingin kehilangan Akimoto!
Lalu anak muda itu pun mempreteli topeng halus yang dibuat dari campuran getah tanaman khusus. Juga kimono yangdikenakan. Kini terlihat penampilan sesungguhnya. Anak muda berpakaian hijau-hijau, dengan selendang bercorak catur di bahunya.
Seraya memaju-majukan bibir tak setiap, anak muda konyol itu meledek Seichi Onigawa, seperti sebelumnya Seichi mengejek Hiroto.
"Seichi... Seichi... Kau mimpi jika hendak mengadu kelicikan denganku! He he he!" "Kau..., rupanya kau belum jera!" dengus Seichi Onigawa berat tersedat, dijejali kemurkaan tak terhingga.
Biar tahu rasa dia, pikir Pendekar Slebor.
"Jera" Terus terang saja, aku ini termasuk orang keras kepala. Jera itu jadi sesuatu yang lucu di benakku. Seperti lucunya tampangmu ketika terkejut tadi!"
ledek Pendekar Slebor.
"Kali ini, kau tak akan kuberi kesempatan hidup!"
Andika melirik Akimoto. Dikerlingkan matanya pada anak itu.
"Kau dengar kera berkumis itu bicara?" katanya pada Akimoto.
"Dia pikir aku masih bisa dibuat bertekuk-lutut!"
Akimoto nyengir, memperlihatkan gigi ompongnya, menyaksikan tampang ketolol-tololan yang diperlihatkan Andika.
"Jadi, apa Paman bisa membuat 'kera berkumis' itu yang bertekuk-lutut pada Paman?" tukas si bocah dengan suara melengking girang. Senang bukan main
dia bisa menyebut musuh ayahnya dengan sebutan 'kcra berkumis'. Asal dia tidak sudah ketularan penyakit sableng pemuda itu saja! "Kau mau kubuat jadi apa 'kera berkumis' itu" Jadi bubur. tahu. atau tulangnya kita jadikan mainanmu?"
"Bangsat!" Seichi Onigawa menggertak. Dia hendak melabrak dengan tinju geledeknya. Srang!
Melihat gejala itu, Hiroto langsung melepas Pedang Ekor Naga di tangannya.
"Pedang Ekor Naga...," desis Seichi Onigawa gusar bukan main. Betapa dia telah dikibuli demikian rupa oleh pemuda asing sial itu.
"Sekarang aku siap mengadu jiwa denganmu Seichi!" geram Hiroto padat ancaman.
"Tak perlu!" sergah Andika.
Hiroto terheran.
"Aku tahu dia akan menyingkir dari sini. Dia tak cukup punya nyali untuk menghadapi kita berdua. Jangankan untuk menghadapi kita, menghadapi aku saja
kali ini mungkin dia tak punya kesempatan menang. Kakek Yoshioka sudah cerita banyak soal 'isi perut' kera berkumis ini...," leceh Andika. Disebutnya kelemahan kesaktian Seichi Onigawa dengan sebutan 'isi perut'.
"Ayosana lari. Sana! Hus-hus!"
Seichi Onigawa bimbang sejenak. Meski napasnya sudah tersengal-sengal terus ditanduki kegusaran, sifat pengecutnya mulai berkecambah lagi saat itu juga. Apalagi ketika Andika menyebut-nyebul soal Kakek Yoshioka.
"Kau pemuda asing! Tunggu pembalasanku! Satu saat aku akan menjadi mimpi burukmu, meski kau telah kembali ke negerimu! Dan kau, Hiroto! Jangan harap aku berhenti untuk memiliki Pedang Ekor Naga. atau berhenti untuk menumpas seluruh keluargamu!" ancam Seichi
Onigawa. Sesudah itu Seichi Onigawa benar-benar melarikan diri.
"Dasar pecundang!" maki Andika, mengekori gaya Kakek Yoshioka menyebut Seichi Onigawa.
"Dasar pecundang!" Akimoto ikut-ikutan.
Hiroto yang hcndak mengejar Seichi Onigawa ditahan Andika.
"Biarkan dia pergi, Hiroto!" sergah Andika.
"Selama ada Akimoto bersama kita, terlalu berbahaya bertarung dengannya. Sebaiknya kita pulang...," lanjutnya.
Hiroto terdiam. Dimasukkannya Pedang Ekor Naga yang selama ini terus menjadi silang sengketa ke dalam sarungnya. Ditatapnya lama-lama benda itu.
"Pedang ini yang menjadi sebab seluruh kekacauan...," gumamnya samar.
Lalu dilemparkannya pedang itu jauh-jauh ke tengah danau dingin Obani.
"Hei, bukankah pedang itu berarti harga dirimu"!" seru Andika tak mengerti.
"Ya. Selama aku tak menyerahkan pada Seichi, aku tetap bisa menjalankan amanat dari Sensei Ekor Naga. Sekarang, sudah waktunya alam yang menjaga...," gumam Hiroto lagi.
"Sekarang mari kita pulang, Andika San. Ada yang harus kita selesaikan dengan Akemi...."
"Ya," keluh Andika dalam hati. Bagaimana mereka harus memperlakukan wanita itu nanti. Mudah-mudahan, bayi yang dilahirkannya buah dari perkawinan dengan Jotaro menyadarkan dia untuk selamanya. Andika berharap dalam hati.

SELESAI

Segera menyusul serial Pendekar Slebor selanjutnya:
ISTANA SEMBILAN IBLIS


INDEX PENDEKAR SLEBOR
Geisha --oo0oo-- Istana Sembilan Iblis


Berita Top News - ANTARA News

Suara.com - Informasi Berita Terkini dan Terbaru Hari Ini

Copyright@tanztj.2010. Powered by Blogger.

Followers