Geisha
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Sengketa Di Gunung Merbabu --oo0oo-- Rahasia Sang Geisha |
Pendekar Slebor
Karya: Pijar El
EP: GEISHA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Clntamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
~~~~~ {1} ~~~~~
Di sudut utara Kyoto, sebuah pesta kecil dimulai. Tawa meriah, perbincangan hangat terbawa angin ke segenap penjuru. Asalnya dari sebuah bangunan yang cukup megah bergaya khas Nipon. Mendekat ke bangunan, semakin tercium kepekatan aroma sake.*
Di satu ruang dalam rumah ada sekitar lima belas lelaki duduk bersila di atas tatami* Tangan masing-masing memegang sakazumi* berisi sake. Seraya menaikkan sakazumi dengan kedua tangan, mereka lalu bersama-sama meneguk isinya.
* Sake = Minuman khas Jepang
* Talami = Alas lanlaj tradisional Jepang
Di selingi perbincangan dan sesekali ledakan tawa, salah seorang dari mereka berkata.
"Semoga Amateras u* memberkati kau dan keluargamu, Jotaro!"
"Ya, semoga!" timpal yang lain. Sake dituangkan kembali ke mulut sakazumi masing-masing oleh seorang wanita jelita berwajah lembut kemerahan, berkimono
biru muda. Dia geisha* Jotaro, si tuan rumah.
Jotaro sendiri duduk di depan pintu geser tembus cahaya. Dia seorang lelaki berperawakan kekar. Tubuhnya berotot, gagah sebagaimana penampakan rahang perseginya. Di antara semua lelaki di tempat itu, Jotaro paling muda dan tertampan. Sepagi itu, tak semcstinya mereka mengadakan upacara minum. Namun karena subuh tadi Jotaro baru saja dikarunia seorang putra dari istrinya, upacara minum sake pun dilaksanakan.
Keempat betas lelaki di sekitamya adalah para kerabat dan handai taulan. Mereka ingin turut berbagi suka dengan keluarga Jotaro.
"Akan kau beri nama siapa anakmu Jotaro?" tanya seorang lelaki setengah uimir.
* Amaterasu = Dewa Matahari Jepang
* Geisha = Pelayan wamla
Belum lagi keluar jawaban dari mulut Jotaro, meledak teriakan menyayat dari pekarangan depan. Dari nadanya, bisa dinilai kalau si pemilik teriakan saat itu sedang meregang nyawa.
"Ada yang tak beres dengan pengawal di depan," desis Jotaro siaga. Cepat dia bangkit. Matanya menajam ke pintu dojo* Senjatanya ada di sana. Yang lain turut bangkit. Sementara para tamunya yang kebetulan para daimyo* meloloskan senjata masing-masing. Jotaro bersicepat berlari ke tempat istri dan bayinya terbaring. Empat depa sebelum sampai, langit-langit di atasnya jebol. Sesuatu meluruk dari sana. Jelasnya, seseorang berpakaian hitam-hitam. Wajahnya sebagian tertutup kain hitam pula. Sewaktu meluncur, tangan penyerang Jotaro menebaskan katana*
Wukh! Kelebatan pantulan sinar mata senjata tadi ditangkap pengelihatan Jotaro. Naluri ke kstariaan yang diwarisi keluarga Samurainya memperingati. Dia harus cepat melompat ke depan atau melempar tubuh kembali ke belakang jika tak ingin kepalanya terbelah dua!
* Dojo = Ruang tempat berlatih beladiri
* Daimyo = Penguasa daerah *
Jotaro memilih untuk menerkam ke depan.
"Heaa!"
Sebentar dia berguling, lalu bangkit kembali seraya memutar tubuh menghadap lawan. Saat yang sama, lawan mengirim tiga keping lempengan senjata rahasia berbentuk bintang ke arahnya. Rupanya apa yang terpikir Jotaro saat itu tidak meleset Dia yakin penyerangnya adalah ninja bayaran yang tak ingin lebih banyak membuang waktu. Terbukti serangan kedua menyusul gencar.
Swik-swik-swik!
Amat bodoh jika Jotaro membiarkan dirinya dimangsa empat lempeng senjata rahasia maut itu. Apalagi sasarannya amat mematikan. Leher, kening, dan dada.
Masalahnya, bukan bagaimana menghindar. Akan tetapi seberapa cepat dia berkeli.t Runtunan gempuran lawan begitu cepat. Sementara Jotaro belum siap menerima datangnya senjata-senjata rahasia. Trask! Betapapun Jotaro sudah menghindar sebisanya, tak urung dua mata logam tajam mengoyak kilat bahu lelaki itu. Jotaro mengeluh berat. Tangannya berusaha membendung darah yang mengalir cepat dari luka di bagian terparah. Dua-tiga kejap berikutnya, serangan datang lagi.
"Heaa!"
Lawan berpakaian gelap berlari liar menuju Jotaro. Dua tangannya terangkat tinggi, siap membabatkan katana ke tubuh calon korban.
Wukh! "Hih!"
Babatan telengas seolah hendak memotong dua bagian tubuh Jotaro lewat sisi badan Samurai muda itu. Dia bcrhasil berkelit tanpa membuang banyak tenaga. Cukup menggeser badan sedikit ke samping. Kelebihan tenaganya dimanfaatkan untuk menjegal gerakan lawan dengan sikut. Degh! Tentu saja ulu hati lawan berpakaian hitam-hitam nyaris hancur menerima sikutan Jotaro. Lebih-lebih karena tenaga dorongan tubuhnya sendiri menambah kekuatan sikutan lawan. Maka. tak pelak lagi mata si ninja membeliak. Napasnya sesak.
Terlalu sesak untuk mengeluarkan teriakan. Tahu lawan pun tak akan memberi kesempatan baginya untuk bernapas setarikan pun, Jotaro langsung menyiapkan satu tebasan -bertenaga ke punggung lawan .
Wuk-degh! Melompat suara tulang remuk ke udara. Ninja hayaran seketika itu ambruk. Cuma gajah yang masih mungkin bernyawa menerima tebasan Jotaro barusan.
"Kakak!"
Jotaro lerkesiap. Dia amat hafal suara yang didengarnya meski tersamar di antara riuh-rendah pertarungan yang sudah pula meletus di ruang depan. Itu jeritan istrinya!
'Terkutuk!" maki Jotaro kalap.
Diraihnya katana milik lawan di lantai kayu. Cepat pula dia menghambur menuju kamar Akemi, istrinya. Tak lagi dia peduli apakah lukanya akan menguras darahnya atau tidak. Dia harus menyelamatkan istrinya tercinta. Istri yang baru saja menghadiahkan seorang bayi montok padanya.
"Akemi!!"
Sambil berlari, Jotaro bcrteriak nyalang. Kalau ada seorang penyerang terlihat di depannya, dia pasti akan mencacah-cacahnya di tempat Tiba di pintu kamar, Jotaro tidak menemukan lagi siapa-siapa. Tidak Akemi. Tak juga bayinya. Darah si Samurai muda berusia empat puluhan itu seperti dijerang seketika. Apalagi sewaktu matanya menemukan bercak merah di lantai kamar.
"Akan kubunuh kalian semua jika istri atau bayiku terluka!" sumpah Jotaro, murka memuncak. Di ujung ancaman membludaknya, empat Iaki-laki
berpakaian ninja melabrak masuk dari dinding penyekat kamar. Jerami kasur berhamburan tersapu lompatan liar mereka. Secepatnya Jotaro dikepung.
Keempat pembunuh bayaran itu mulai mengitari Jotaro. Tak beda dengan sekawanan serigala mewaspadai mangsa. Langkah mereka teratur, satu-satu. Pertanda mereka adalah orang-orang terlatih. Tak dapat diremehkan kehandalan tarungnya. Di tangan masing-masing, siap senjata pembunuh dari baja. Satu orang menggenggam katana, sisanya memegang lembing panjang. Kekhawatiran Jotaro pada keselamatan istrinya membuat dia menjadi ingin segera memenggal kepala keempat lawan. Untuk bertanya tentang Akemi adalah kesiaan. Mereka dididik untuk menjadi seorang ahli membunuh, bukan para penjawab pertanyaan!
"Zing"
Dari sisi kiri, seorang lawan membuka serangan. Ganas, ditebasnya katana ke dada Jotaro. Andai terkena, dada lelaki muda itu akan menganga Jebar.
Jotaro bukan anak ingusan. Dia tergolong Samurai yang disegani semasa jaya shogun sebelumnya. Babatan cepat seperti itu dapat dengan cepat ditangkap
kejelian matanya. Dengan satu kayuhan katana ke depan, serangan tadi dimentahkan. Trang! Pijar api terpercik di antara tumbukan mata katana baja. Jotaro membalas. Disambarnya wajah lawan dari atas. Wukh!
Lawan ternyata tak kalah tangkas. Dia menyurut cepat ke belakang seraya menusukkan mata katana ke leber Jotaro. Berbarengan dengan pertukaran serangan itu, lawan lain mencoba memanggangnya dengan lembing dari belakang. Telinga Jotaro menangkap desis maut di belakangnya. Dia bukan saja harus menghindari tusukan katana lawan di depan Juga harus menghindari tusukan lain di belakang. Tak perlu bergerak dua posisi, cukup memindahkan tubuh gesit ke samping, Jotaro berhasil mengenyahkan ancaman dari dua arah berbeda. Di samping itu, dia memetik keuntungan lain. Tusukan lembing menyelonong deras ke depan. Senjata memang tak punya mata sama sekali. Sekali meluruk, sulit ditarik.Wes-jleph!
Lawan yang sebelumnya berusaha bernafsu menusuk leher Jotaro dengan katana meregang di tempat. Perutnya tertembus lembing kawan sendiri. Saat senjata panjang tersebut dicabut, lelaki tadi pun roboh.kehilangan nyawa. Artinya Jotaro kini hanya menghadapi tiga lawan. Namun, bukan berarti pertarungan menjadi lebih ringan. Sebab sekarang sisa lawan menyerbu serempak!
"Hai !"
Satu putaran katana dibuat Jotaro untuk melumpuhkan serangan ketiga lawannya sekaligus. Untuk melakukannya, Jotaro harus mengerahkan tenaga lebih.
Kalau terus begitu, tenaganya lambat-laun akan terkuras. Sesungguhnya, memang rencana itu yang sedang dimainkan lawan. Terbukti mereka mengulang kembali serangan serempak. Dengan arah berbeda dan sasaran berbeda pula. Satu-satunya yang sama adalah keseragaman waktu serangan mereka.
Begitu sekian terjangan berbarengan terlewati, Jotaro mulai kehilangan banyak tenaga. Pertahannya mulai hmbung. Ketiga lawan pun siap memanfaatkan keadaan.
Sret! Luka berikutnya menganga di rusuk kiri Jotaro. Hasil sayatan kilat katana seorang lawan. Luka sebelumnya saja sudah banyak menguras darah, apalagi
ditambah luka baru pula. Jotaro semakin menyadari posisinya. Bertambah sulit serta terdesak. Lari terlalu memalukan bagi seorang Samurai sejati'. Tapi
tindakan dengan pertim-bangan akal sehat harus dilakukan. Dia mesti memperbaiki posisi. Jotaro berteriak keras-keras, mencoba memancing konsentrasi tarung ketiga lawan.
"Hai i !!!"
Sekelebat berikutnya, samurai luka itu membabat dengan sisa tenaganya. Katananya bergerak satu putaran penuh. Hendak dibabat sekaligus tiga lawannya.
Para lawan terkesiap. Tak menyangka Jotaro masih sanggup melakukan babatan kuat seperti itu. Mereka melompat berbarengan ke belakang. Justru itu yang dikehendaki Jotaro. Ruang geraknya jadi lebih Juas. Di samping itu, terbuka pula jalan lowong baginya untuk menerjang sekat dinding. Bergerak seperti harimau luka, Jotaro menerkam sekat dinding. tubuhnya terlempar keluar bangunan.
Sebentar dia bergulingan di tanah musim semi. Lalu dijejaknya kaki untuk berguling kembali ke dekat dinding. Tepat di hawah lantai rumah panggung, Jotaro
menanti lawan mendobrak.dinding pula. Perhitungannya tepat. Tak ada dua kedip mata, dua lawan menyeruak keluar. Saat itulah Jotaro menebaskan katana.
Wukh! Sret-sret!
Sekali sabet, dua nyawa!
Senjatanya berhasil mengoyak dalam ke perut dua lawan tadi. Sayatan itu terlalu dalam untuk bisa menyelamatkan keduanya. Bahkan scbagian isi perut mereka
berhamburan bersama simbahan darah se-gar!
Jotaro menyeringai. Akan pantas bagi mereka menerimanya jika Akemi dan bayinya terbunuh, sumpah Jotaro geram. Limbung, Jotaro menanti lawan ke tiga. Katana diacungkan ke depan. Darah masih menetes dari mata senjatanya. Orang yang dinanti tak kunjung menerohos juga. Semakin lama menanti, akan kian buruk bagi Jotaro. Lukanya terus mcngalirkan darah. Matanya mulai berkunang-kunang.
"Bangsat! Apa si laknat itu tahu aku menunggu di sini?" rutuk Jotaro dalam hati.
Sekali lagi perkiraan Samurai muda itu menemui sasaran. Lawan ketiganya ternyata tak begitu bodoh diperdayai seperti dua kawannya. Dia punya perhitungan
sendiri yang tak kalah licin dari Jotaro.
"Hiaii !"
Dari wuwungan jerami, lawan yang ditunggu menukik. Lembing di tangannya siap dihujamkan ke kepala Jotaro. Serangan yang sungguh bengis. Jadi, pantas saja jika Jotaro mengimbangi dengan kebengisan pula. Meski pandangannya mengabur serta kuda-kudanya limbung, Jotaro tak memiliki pilihan lain kecuali memapaki hujaman lawan. Dengan sisa tenaga paling akhir, dengan satu perjudian maut!
Trang! Kecepatan tangkisan pedang Jotaro sempat mengejar hujaman lembing lawan. Biar begitu, tenaganya sudah tak cukup lagi untuk menyingkirkan moncong senjata lawan cukup jauh dari tubuhnya.
Jleb! "Akh!"
Bahunya tertembus. Tepat di dekat luka bahu kiri sebelumnya. Sakitnya tentu saja luar biasa. Seorang Samurai yang tak gentar melakukan seppuku* seperti dia pun akan berteriak sejadi-jadinya. Di lain sisi. lawan membiarkan lembingnya menancap di bahu kiri Jotaro. Dia sendiri mendarat tepat di depan korban. Dari
balik lengan baju kedua tangannya mendadak menyembul dua bilah belati kecil.
Jreph! Sampai sudah Jotaro pada puncak penderitaannya. Dua mata belati lawan menembus langsung sepasang buah pinggangnya!
Lelaki perkasa itu tersungkur, bertahan dengan kedua lututnya. Matanya sekarat menerobos mata lawan. Kekhawatiran pada keselamatan istri dan bayinya membuat dia masih bersikeras mempertahankan nyawa. Lawan tak mau membuang waktu lebih banyak. Katana yang sejak tadi tak terusik, segera diloloskan dari sarungnya. Perlahan kedua tangan sang ninja menaikkan senjata ke sisi kepala, seolah hendak mengejek kekalahan Jotaro. Sebentar lagi, kepala Jotaro bakal menggelinding. Sekeras apa pun tekadnya untuk tetap merangkul nyawa, tak akan berguna lagi jika kepalanya harus lepas dari badan,Dalam kegentingan nyawa, Jotaro sadar sesadarsadarnya. Dia tak akan bisa menyelamatkan istri dan bayinya. Untuk nyawa sendiri saja dia sudah tak mampu. Sebelum semuanya terlambat.... Wush! Tlep!
Mendadak saja katana penjagal raib dari genggaman lelaki berpakaian hitam. Pasti ada seseorang mengusili. Tapi sejauh itu, tak seorang pun dilihatnya. Ini benar-benar aneh, bisik hatinya bmgung. Tak mungkin di siang bolong seperti ini ada hantu gentayangan....
***
~~~~~ {2} ~~~~~
"Kau tak bisa memenggal kepala orang hanya dengan tangan kosong seperti itu...," ejek seseorang tiba-tiba di belakang si ninja.
Lelaki itu terkesiap. Cepat kepalanya menoleh sigap, hendak mencari tahu siapa
pengacau barusan.
Sekarang dilihatnya seorang memegang katana
miliknya. Seorang pemuda. Usianya terbilang muda.
Berpakaian hijau pupus. Kain bercorak catur tersampir di bahu. Rambutnya panjang
tak terurus. Dari wajahnya tak ada tanda-tanda kalau dia penduduk asli Kyoto.
Atau dari bagian mana pun negeri Sakura ini. Ada yang menarik di ikat pinggang
pemuda itu. Sebatang pedang bergagang kepala naga.
"Lupa dengan katanamu?" susul si pemuda asing dengan bahasa Nippon terpenggal-penggal. Bibirnya cengengesan. Terlihat tolol kelewatan. Sebaliknya, sinar mata
itu membersitkan kecerdikan berlehihaa Siapa dia"
Bagaimana bisa katanaku disambar demikian rupa" Desis si ninja. Kalau katananya bisa disambar cepat tanpa terjihat, bagaimana dia bisa mengukur kesaktian orang
itu" Wukh wukh wuhk!
Si pemuda asing memamerkan kebolehanhya
memainkan katana hasil rampasan di tangannya. Seperti juga cara merampas, gerak
permainan katananya pun begitu cepat. Tak teratur tapi sulit terukur.
Kecepatannya bahkan membuat mata katana bagai menghilang.
"He he he...! Senjatamu lumayan denok juga. Boleh kupinjam, bukan" Bukan" Sekalian menjajalnya di tubuhmu. Boleh, bukan" Bukan?"
Sadar dirinya tak akan unggul menghadapi lawan
barunya, lelaki berpakaian hitam tiba-tiba meloloskan pedang pendek dari ikatan
pinggang.
"Haaah!"
Jlep! Ditembuskannya pedang tadi hingga melesak ke
punggung sendiri! Memang itu yang diterapkan para ninja dalam melaksanakan
tugas. Mereka harus mati di tangan sendiri ketimbang tertangkap basah.
Kerahasiaan mereka lebih berharga dari nyawa sendiri!
"E-eh! Sinting juga ini manusia!"tukas si pemuda asing terkesima. Semula
dikiranya orang itu hendak melabrak. Sambil berdecak-decak tak habis-habis-nya,
pemuda itu melangkah mendekati Jotaro.
"Kau tak apa-apa, Saudara?" Pertanyaan tolol. Si pemuda tersadar. Cepat
disahutinya sendiri pertanyaan barusan.
"Sudah.pasti kenapa-napa..."
Ditahannya tubuh Jotars yang hampir ambruk. Tiga senjata berbeda yang memangsa
tubuh Samurai muda itu dicabutnya satu demi satu. Sebelumnya beberapa titik
jalan darah Jotaro ditotok. S upaya menghambat keluarnya darah lebih banyak dan
sedikit mengurangi deraan sakit.
"Sss. ., siapa kau?" desah Jotaro terputus-putus.
"Aku" Cuma pengembara. Singgah ke sini untuk mencari tahu keluarga sahabatku....
Ah, sudahlah! Kau tak boleh banyak bicara dulu."
"Ttt..., tolong a-aku, Tuan.. ."
"Ya, pasti aku menolongmu. Pokoknya, kau jangan bicara dulu!"
"Istri dan bb..., bayiku. Mereka men..., culiknya."
"Baik. Tapi kau harus kuamankan dulu."
"Tak ada waktu lagi, Ttt... Tuan."
Genggaman Jotaro mengeras pada kerah baju si
anak muda. Dalam keadaan sekarat, dia masih bisa memaksa penolongnya untuk
mcmentingkan keselamatan Akemi dan bayinya.
Tidaklah berlebihan sikap Jotaro. Kareha di ujung kalimatnya terdengar jeritan
wanita. Melengking tinggi seakan dijejali ketakutan teramat sangat
"A.., kemi.. . Akemi...," lirih Jotaro. Suaranya makin kehilangan kekuatan.
Pemuda asing di sampingnya baru menyadari sikap keras Jotaro. Jotaro sendiri tak
ingin diselamatkan meski
nyawanya sudah di mulut gerhang kematian.
"Aku pergi!" putus si pemuda, akhirnya Cepat tubuh pemuda itu melesat. Tak beda
dengan saat datang, kepergiannya dari tempat tersebut pun sulit di kuti mata
biasa. Tak perlu menelan waktu lebih panjang, dia telah tiba di tempat asal
jeritan. Di sana tak ditemukannya siapa-siapa. Tidak
perempuan seperti disebut Jotaro, tak juga bayi merah.
Yang ditemukan justru gelimpangan empat belas mayat lelaki. Pembantaian baru
saja terjadi. Darah menggenang pekat
di sekitar mayat-mayat. Semuanya mati mengenaskan. Terlalu keji untuk dikatakan, terlalu bengis untuk digambarkan.
Bahkan si pemuda sendiri merasa cukup sekilas menyaksikan pemandangan itu.
Di antara empat belas mayat lelaki tadi, tampak pula beberapa mayat berpakaian
hitam-hitam. Sama seperti lelaki yang melakukan seppuku sebelumnya.
"Tampaknya pembantaian ini dilakukan oleh segerombolan orang. Siapa mereka?" bisik pemuda gondrong itu.
Pertanyaan lamatnya disahuti oleh terjangan teriakan dari beberapa penjuru.
"Hiaii i!"
Sring! Sringg! Sring!
Ada-sekitar sembilan lelaki berpakaian seragam
hitam-hitam membentuk kepungan di sekitarnya. Menilik senjata penuh darah di
tangan masing-masing, tampak mereka ikut andil dalam pembantaian di tempat
tersebut. Si pemuda melirik enteng satu demi satu calon
lawan.
"Kenapa baru sekarang kalian muncul" Aku sudah kebelet menunggu kalian
muncul," mulainya. Nadanya seramah sambutan wanita murahan.
"Apa tidak sebaiknya kalian mempreteli kain penutup wajah kalian" Biar aku tahu
pasti siapa yang wajahnya paling jelek. Atau barangkali ada yang hidungnya di
jidat, dan jidatnya di hidung?" oceh pemuda berpakaian hijau pupus. Kalau ada seorang
anak muda sakti bermulut ceriwis, urakan minta tobat, dan bertampang tanah Jawa,
maka dia gampang dikenal, Siapa lagi kalau bukan Pendekar Slebor!
Beberapa pekan lalu, anak muda buyut Pendekar
Lembah Kutukan legendaris itu dikejutkan oleh sepucuk surat. Isinya dibuat oleh
Hiroto, salah seorang yang ikut dalam petualangan hesar di Piramida Tonggak
Osiris. Ksatria Nippon itu mengundang Andika untuk datang ke negerinya. Padahal semenjak
pulang dari Mesir, Andika beranggapan Hiroto telah gugur (Untuk mengetahui lebih
jelas tentang lelaki ini, bacalah episode : "Undangan Ratu Mesir". "Piramida
Kematian" dan "Warisan Ratu Mesir"!) Dengan menumpang sebuah kapal dagang yang
hendak melakukan pelayaran ke Nippon,Andika memenuhi undangan kawan lamanya
tersebut. Kota Kyoto pun dijejaki. Baru saja tiba, dia sudah mesti terlibat kejadian
berdarah. Waktu itu Andika hendak menuju utara Kyoto. Tanpa sengaja dia melewati
tempat tinggal Jotaro. Ketika itulah disaksikannya pertarungan hidup-mati Jotaro
dengan lawan-lawannya.
Para lawan Pendekar Slebor kini mulai bergerak
mengelilingi. Langkah-langkah mereka teratur serta siaga penuh. Sesiaga sinar
mata keji mereka yang mengawasi sosok pemuda tanah Jawa itu. Berbeda dengan
mereka, kulit Andika memang agak kecoklatan. Matanya berkelopak tegas, tak seperti mata sipit para pengepungnya. Selain itu, pakaiannya pun tampak asing.
"Ngomong-ngomong, kalian hendak menyerangku atau cuma naksir" Kenapa aku diawasi
terus seperti itu?" Celoteh Pendekar Slebor dibayar teriakan garang salah seorang lawan.
"Heaaah!"
Zing! Mata katana mengancam deras. Tepat mengarah ke
leher kokoh Pendekar Slebor. Dalam keadaan berbau maut seperti itu, cuma orang
sinting yang masih bisa tersenyum-senyum. Meski bukan orang tak waras, sungguh
sulit dipercaya, Andika ternyata melakukannya!
Senyum itu bukan sekadar ringisan seorang tolol, Karena menjelang mata katana
lawan tinggal berjarak setengah jari lagi.... Sring!
Mendadak senjata bengis itu tertahan.
Tanpa terbaca mata seluruh lawan, Pendekar Slebor telah merentangkan kain
pusakanya di depan leher.
Padahal si penyerang sudah yakin setengah mampus kepala calon korbannya akan
terpental jauh dari badan.
Sementara matanya sendiri tak pernah menangkap
gerakan tangan lawan. Lalu bagaimana mungkin dia tahu-tahu sudah membentang kain
yang kenyalnya lebih tangguh dari baja" Hati si penyerang bertanya-tanya takjup.
Lebih mencengangkan lawan lagi, katana itu tak
hanya tertahan. Tapi juga telah terlilit erat di antara simpul kain! Ketika
lawan hendak membetotnya, senjata itu tak bergemik meski seujung kuku. Kerasnya
seperti sedang dihimpit sepasang gunung.
Tak putus asa, lawan mencoba betotan ke dua.
Tetap tak bergeming. Dicobanya kembali, tak berhasil juga.
Mata sempitnya bahkan sudah membesar begitu rupa.
Wajahnya sudah sematang merah udang, mengeluarkan bulir-bulir keringat sebesar
biji kacang.
"Hati-hati, Tuan. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti bisulan," bisik Pendekar
Slebor persis di depan hidung lawan.Ocehan si pendekar muda dalam bahasa Nippon
yang tak genah, masuk ke telinga lawan seperti sengatan lebah. Menyakitkan
sekali dihina seperti itu bagi seorang ninja. Didorong kemarahan, sang lawan
mencoba cara lain.
Disapunya kaki Pendekar Slebor. Kalau kuda-kudanya dapat dipatahkan, tentu akan
menjadi mudah untuk membetot katananya kembali. Begitu pikirnya.
Berkawal debu, kaki lawan memapas kuda-kuda kiri Andika.Pendekar Slebor taktampak kelimpungan menerima
sapuan kaki cepat itu. Dia hanya mengangkat satu kakinya sedikit. Maka, sapuan
itu hanya memakan angin.
Entah untuk pamer kehebatan atau hanya hendak
menjengkelkan lawan, Pendekar Slebor dengan keterlaluan membiarkan sebelah
kakinya terangkat. Di lain pihak, lawan merasa mendapat angin. Harus
dimanfaatkannya kesempatan itu. Dengan satu kaki, rasanya tak mungkin lagi
pemuda asing di depan ini dapat menahan senjataku, pikirnya lagi.
Dia kecele. Nyatanya katana itu tetap tak berubah.
Biarpun sudah terasa hendak meletus urat lehernya mengerahkan tenaga tarikan.
Selatjutnya....
Trang! Lawari dipaksa terperangah kembali. Samurainya
patah dua saat itu juga! Belum beres keterkejutannya, Andika sudah menghadiahkan
satu hajaran ke kening lawan. Lebih sinting lagi, anak muda itu sengaja
mempergunakan kening pula!
"Yihaaa!"
Padahal tulang tengkorak Andika sebenarnya tak
sekeras milik lawan. Kalau Andika mengalirkan tenaga sakti warisan buyutnya
hingga tingkat delapan dan dipusatkan ke kening, itu jadi lain perkara!
Jidat lawan dijamin bukan cuma benjut sebesar
kepalan centeng. Lebih naas dari itu, tulang pelipisnya retak seketika.
Bertahan hidup dengan serpihan tulang menghujam otak adalah suatu hal yang tidak
mungkin. Sang ninja mati seketika dengan mata membelalak.
"Malang nian nasibmu, Kawan...," gumam Andika.
Bibirnya meringis. Bukan apa-apa. Biar bagaimanapun dia merasa pening juga.
Terasa ada kunang-kunang bersenda mengelilingi kepalanya.
Delapan anggota ninja bayaran lain sejak tadi hanya bisa terperangah-perangah.
Tindakan Andika dianggap mereka begitu luar biasa, Dalam dunia para ninja,
samurai, atau daimyo, kehebatan itu sulit dicari. Kebanyakan ilmu bela diri mereka
Sebenarnya mengandalkan kecepatan gerak. Selain pengolahan tenaga luar hingga
melipat gandakan kekuatan biasa.
Sementara yang dilakukan si pemuda asing sama
sekali tidak terlihat mengandalkan tenaga yang mereka kenal. Geraknya bahkan
terlalu ringan untuk bisa meremukkan kaleng kerupuk sekalipun. Di Iain sisi,
hasilnya malah membuat kawan mereka mati dengan kening melesak sedalam satu
jari! Kedelapan orang itu saling pandang. Bimbang
menentukan apakah mereka harus menghadapi juga orang asing ini atau pergi.
Karena sesungguhnya urusan mereka telah selesai.
Sampai salah seorang yang tampak berpengaruh
melepas isyarat dengan gerak bola matanya.
Mereka berhamburan serempak. Lari ke arah
herlainan.
"Hei! Aku belum sempat menyaksikan wajah jeIek kalian, bukan"!"
***
Selahg sekian lama berlari, dua orang anggota ninja yang terpencar menghentikan langkah. Napas lega dihempas mereka. Sudah yakin sekali keduanya kalau sipemuda asing tak mengejar.
"Siapa sesungguhnya orang itu?" tanya salah seorang pada yang lain. Mereka sudah melepas kain hitam penutup wajah. Keduanya masih cukup muda. Berusia sekitar tiga puluhan. Wajah mereka tak ada yang sedap. Jangankan untuk dipandang, untuk dilihat sekelebatan pun tidak, Seperti kebanyakan lelaki Nippon, mata mereka berkelopak sempit. Pipi salah seorang dijejali jerawat merah merangas. Hidung peseknya pun tak luput. Dengan alis jarang, makin buruk saja parasnya. Kawannya berbibir tebal, berkening tebal, juga berdagu tebal.
"Mana aku tahu," sahut lelaki berbibir tebal.
"Jelasnya dia orang asing. Wajah, perawakan, dan pakaiannya berbeda sekali dengan kita."
"Kira-kira, kau tahu dari mana asalnya?"
"Rasanya dari neraka!" serobot seseorang yang tahu-tahu menghadang di depan. Keduanya tercekat. Mereka melihat orang yang dibicarakan justru sedang asyik memanggang seekor burung. Persis di tengahtengah jalan yang mereka lalui.
"Lama sekali kalian.... Aku sudah hampir bosan menunggu. Untung aku punya sedikit kerjaan untuk mengisi perut...," celoteh Andika, Sedikit pun tak ada
lirikan di matanya.
Kaki dua lelaki anggota ninja tersurut. Bagi perhitungan mereka, tak mungkin pemuda asing itu bisa sampai lebih dahulu. Apalagi telah memanggang seekor burung! Seorang daimyo andalan shogun pun belum tentu bisa melakukannya.
"Mau ke mana lagi?" sergah Pendekar Slebor.
Diangkatnya panggangan daging burung ke depan hidung.
"Apa kalian tak mati menemani aku makan?"
Tahulah kedua anggota gerombolan pembunuh bayaran kalau jalan lari sudah tak mungkin lagi bagi mereka. Lawan terlalu tinggi untuk dihadapi. Hanya satu pilihan. Seperti disepakati dalam isyarat batin masing-masing, keduanya cepat meloloskan pedang pendek dari balik ikatan pinggang mereka. Bles! Keduanya mati melakukan seppuku.
***
~~~~~ {3} ~~~~~
mendenging-denging, seolah sedang membangun pesta-pora. Nyawa seperti tak ada arti. Seperti tak lebih berharga dari kotoran tempat lalat mencari makan. Kenyataan getir yang selalu harus Andika telan.
Anak muda dari tanah Jawa itu merasa harus kembali ke tempat tersebut. Ada dua alasan buatnya. Pertama dia harus menemukan Akemi dan bayinya. Untuk memulai pencarian, tempat paling tepat satu-satunya adalah dari rumah kediaman keluarga malang itu. Kedua, Andika harus menguburkan sekian mayat di sana. Untuk yang terakhir, Andika akan mencari bantuan penduduk setempat.
Hiroto datang selagi Andika mencoba mencari sedikit petunjuk untuk dijadikan acuan mencari Akemi dan bayinya.
'Andika San*!"
"Ah, Hiroto! Kebetulan sekali!" Samurai muda membungkukkan tubuh.
"Selamat datang di negeri kami," katanya, memberi sambutan.
"Tampaknya kita tak bisa banyak berbasa-basi," lukas Andika.
"Kita harus cepat menyelamatkan istri dan bayi lelaki malang kepala keluarga rumah ini"
Hiroto membungkukkan badan lagi.
"Maaf kalau Andika San terlibat semua ini. Soal Akemi dan bayinya, aku telah berhasil menyelamat mereka.
Mereka telah kuamankan," tutur Hiroto.
Andika lega. Phiuhh....
"Hei, tampaknya kau kenal mereka?" tanya Andika.
"Jotaro. kepala keluarga rumah ini adalah adikku," jawab Hiroto. Suaranya terdengar melandai. Ada getar kehilangan pada kalimatnya, meski seorang ksatria sejati seperti dia terbiasa bersikap tegar.
"Aku turut menyesal."
Hiroto tak ingin terlarut. Segera didekati dua sosok mayat anggota ninja. Usai meneliti sebentar, ditemukannya rajah di dada kedua mayat itu. Rajah berbentuk
seperti trisula pendek yang memiliki dua mata pada kedua ujungnya. Andika melihat. Gambar itu jelas tidak berarti apa-apa baginya. Kecuali bagi Hiroto.
"Imada-Tong, sudah aku duga...," gumam Hiroto. ' Apa yang kau ketahui tentang mereka, Hiroto"'
"Mereka adalah perkumpulan rahasia para pembunuh bayaran yang paling ditakuti di negeri mi," papar Hiroto, menjawab pertanyaan Andika.
'Tak bisa kupercaya keluargaku akan terlibat dengan mereka," keluh Hiroto.
***
Akemi. Seorang janda malang nan memikat. Layaknya kebanyakan perempuan Nippon, matanya agak sipit. Di antara kelopak matanya, tumbuh bulu lentik. Akan mempesona manakala matanya mengatup dan membuka. Kulitnya sebersih susu. Dengan tubuh sintal meski pun belum lama melahirkan. Ramuan tradisional turun-temurun tampaknya membantu mengembalikan kembali kemolekan tubuhnya. Rambutnya legam, digelung gaya wanita Nippon. Sewaktu bertemu Pendekar Slebor, wanita itu berpakaian kimono hitam, seakan sedang berkabung atas kematian suaminya, Jotaro.
"Perkenalkan. ini Andika San...," kata Hiroto, memperkenalkan Andika pada Akemi.
Kedua ksatria dari negeri berbeda itu telah tiba di rumah pengasingan rahasia Hiroto, sekitar setengah hari perjalanan dari rumah Jotaro. Akemi sudah tiba
lebih dahulu. Sebagai anggota keluarga, dia memang mengetahui tempat rumah pengasingan rahasia yang bentuknya mirip kuil itu.
Akemi cepat-cepat menjura dalam. Matanya hanya sekejap menatap wajah si pemuda tanah Jawa. Selanjutnya dia lebih banyak merunduk.
Demi menyaksikan kecantikan janda di depannya, Andika tak mau buru-buru berkedip. Ditatapinya Akemi. Dinikmatinya kulit wajah selembut sutera perempuan itu. Hidungnya yang bangir menipis menggelitik kegemasan Pendekar Slebor. Desir darah anak muda itu menjalang.
Dadanya jadi tak karuan.
"Andika San...," Hiroto hendak mengajak Andika berbicara. Tapi Andika malah terus saja melompong, menggeleng-geleng dan mendecak-decak.
"Andika San...," ulang Hiroto sekali lagi. Lebih keras.
'Oh-eh, apa"!" kesiap Andika.
"Akemi kutemukan tak jauh dari rumahnya. Dengan bayinya dia bersembunyi di kuil tua.
"
"Ooo," Andika cuma bisa memonyongkan bibir. Dia tak begitu peduli pada penuturan Hiroto. Yang paling dlpedulikannya sekarang ini cuma bibir ranum Akemi yang terus dipandanginya. Dadanya kian berdentum-dentum. Sungguh menggoda bibir itu, bisik hatinya. Dasar buaya! Dengan agaksusah-payah, Andika akhirnya bisa menguasaj diri kembali.
"Tapi kenapa kau sudah ada di sini, Nyonya?" tanya Andika. Anak muda itu agaknya cuma ingin berbasa-basi, setelah mendengar ucapan Hiroto yang tadi tak begitu ditanggapi. Dia sedikit malu hati!
"Aku ketakutan sendiri di biara tua itu. Aku takut gerombolan ninja dapat menemukan aku dan bayiku. Karena itu aku memutuskan untuk lari ke rumah Kak Hiroto...."
"Hmm, perempuan ini punya nyali besar," puji Andika dalam hati. Bukan hal yang tak berbahaya bila dia harus berjalan setengah harian membawa bayinya ke tempat Hiroto. Jika ada anggota gerombolan yang kebetulan menemukan, maka habislah dia!
"Sebaiknya Andika San beristirahat dulu."
"Aku tak begitu letih." tolak Andika. Rasanya dia masih belum puas bertemu Akemi.
"Bukan begitu, Andika San. Aku mengundangmu datang ke negeri ini karena ingin bertemu dengan sahabat lama. Aku ingin menjamu agar kau senang. Mungkin kita bisa berbincang-bincang tentang pengalaman lama kita di negeri Mesir. Tapi, nyatanya Andika San malah terlibat dengan semua kekacauan ini. Jadi, aku rasa ini waktu yang tepat untuk menjamu Andika San. Sebelum semua kekacauan meledak lagi...."
Andika tak bisa menolak lagi. Dengan napas agak dibanting, dianggukinya permintaan Hiroto. Hiroto bertepuk dua kali. Dari ruang dalam, keluar seorang perempuan muda cantik. Wajahnya tak kalah dengan Akemi. Begitu juga tubuhnya. Wanita itu berkimono berwarna merah muda. Dia adalah geisha milik Hiroto. Andika menyumpah-nyumpah dalam hati.
"Sial!
Kenapa banyak sekali makhluk menggemaskan di tempat ini"!" Dengan berjalan merunduk-runduk seraya memegangi belahan kimono di bagian pahanya, wanita itu duduk dengan kepala tertunduk.
"Coba kau antar Tuan Muda ini ke pemandian air hangat. Dia tentu ingin membersihkan diri. Layani dia dengan baik...," ucap Hiroto datar.
Geisha cantik di dekat pintu geser merundukkan badan.
"Silakan...," hatur Hiroto seraya mengangsurkan tangan pada Andika.
Sang geisha keluar ruangan. Andika mengikuti lanpa banyak cincong. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya! Di bagian belakang rumah, ada ruang khusus untuk pemandian air hangat. Bak besar dari kayu tersedia di sana. Di dalamnya, air mengepulkan uap yang lamban mendaki ke udara. Tak jauh dari bak itu, satu baki sake dan sakazumi sudah pula disiapkan. Andika diajak masuk ke ruang itu oleh si geisha.
"Silakan T uan membuka pakaian...," kata perempuan cantik berpipi halus agak bersemu kemerahan itu.
Andika menatapnya tak mengerti. Bagaimana dia bisa membuka pakaian kalau seorang perempuan cantik ada tepat di depannya" Apa itu tidak sinting, pikirnya.
"Kau tetap di sini?" tanya Andika, seperti orang linglung.
Geisha tadi mengangguk. Ada senyum tersembul di bibir tipis memerahnya mendengar kalimat dalam bahasa Nippon yang begitu berantakan diucapkan Andika. Andika dipaksa cengar-cengir serba salah kalau sudah begitu.
"Ng.. , bagaimana, ya...," gumam Andika.
"Apa kau tidak perlu keluar?" pancing Andika. Dia agak risih kalau berterus terang.
Geisha tadi tersenyum kecil lagi. Sekali ini kar? na dia menemukan paras Andika yang sudah tak karuan lagi. Antara serba-salah, risih, dan malu yang campur-aduk!
Bodoh sekali kesannya.
"Kalau Tuan menyuruh saya untuk keluar, saya akan keluar," kata si geisha.
"Biasanya tamu-lamu Tuan Hiroto yang lain bagaimana?" Andika penasaran. Dia jadi mau tahu apa memang hal itu sudah biasa di tempat yang asing baginya ini.
"Bagaimana maksud Tuan?" Geisha berkimono merah muda balik bertanya.
Andika ragu-ragu. Mau bilang langsung, masih rada sungkan. Mau tak bilang dia pun tak bisa. Masa' iya dia mesti menganggap wanita di sebelahnya tak ada
sementara dia melepas pakaiannya"
"Maksudku..., ng hee-he-he!" Andika garuk-garuk kepala. Gatal atau tidak, dia tak peduli. Pokoknya garuk kepala! "Maksudku, apa mereka tak menyuruh kau keluar dulu sewaktu mereka membuka pakaian?" Anak muda itu akhirnya nekat. Bukankah malu bertanya sesat di jalan"
Mendapati tingkah anak muda asing yang dianggapnya begitu lugu, geisha tadi tertawa tertahan.
"Kenapa malah tertawa" Apa pertanyaanku lucu?"
Jawaban yang didapat Andika sama. Tawa tertahan geisha cantik didekatnya. Dengankedua tangannya dia berusaha menyembunyikan tawa itu.
"Tuan meminta saya keluar?" akhirnya geisha itu mulai paham maksud Andika.
"Betul!" tukas Andika girang sekali. Rasanya seperti baru terbebas belenggu, dia membatin. Geisha Hiroto keluar dengan langkah-langkah pendeknya yang terhalang kimono. Terdengar geser halus ketika tangan lembutnya menutup pintu, Andika lega sekarang. Mau buka pakaian tak akan jadi malu. Karena itu cepatcepat dibukanya pakaian. Satu-satu, sampai tersisa yang dianggap tak perlu dibuka. Anak muda itu sudah tak sabar ingin merasakan bagaimana nikmatnya resapan air hangat di dalam bak, Ingin juga menghirup aroma rempah-rempah yang dicampurkan ke dalamnya.
"Wah!, sekali seumur hidup aku mandi seperti ini," gumamnya seraya melangkah mendekati bak besar. Dua langkah ke depan, pintu di belakangnya terdengar bergeser lagi. Geisha tadi hendak masuk kembali.
"Mak!"
Tak alang kepalang kelimpungannya Andika meloncat ke dalam bak besar. Byur!
Lama anak muda urakan itu tak berani muncul dari dalam air. Cuma terdengar bunyi gelembung-gelembung udara keluar dari napasnya. Dia tak mau muncul sebelum yakin benar wajahnya sudah tak merah padam karena malu! Perlahan-lahan, dengan rambut basah kuyup kepala pendekar muda itu akhhirnya muncul juga.
"Maaf T uan. Hiroto San menyuruh saya mengantar pakaian ganti," tutur sang geisha di mulut pintu. Di tangannya ada setumpuk pakaian dalam beberapa warna.
Andika cengengesan. Maksudnya unluk menutupi rasa malu yang membekas di raut wajahnya..
"Lain kali, kau... ah, sudahlah!" tepis Andika, urung mengingatkan perempuan muda jelita di mulut pintu.
"Sekarang, apa saya sudah boleh masuk dan mcmbersihkan tubuh, Tuan?" tanya sang geisha, membuat Andika membuka mulut tak dapat bicara....
"Ng.. , siapa namamu, Nona?" tanya Andika, mengalihkan pembicaraan.
Dia merasa ditelanjangi mentah-mentah saat pelayan wanita itu menawarkan layanan yang dianggap Andika keterlaluan tadi.
"Kissumi."
"Hm..., nama bagus," puji Andika asal bunyi. Tahu tidak dia artinya.
"Kau mau menolongku, Kissumi?"
Wajah perempuan bernama Kissumi menjadi cerah mendengar permintaan Andika. Selaku seorang geisha, diri dan kehormatannya dipertaruhkan untuk menyenangkan tuannya.,
"Apa saja, Tuan...."
"Panggil aku Andika."
"Baik, Andika San."
"Tolong kau keluar selama aku mandi. Kalau kau terus berada di situ, sehari semalam aku bisa berada dalam bak hangat ini!" pinta Andika. Mana mau dia
menjadi matang seperti toge rebus!
Wajah Kissumi menyemburatkan kekecewaan mendalam mendengar permintaan Andika. Dia seperti tidak diberi kesempatan untuk melayani tuannya sepenuhnya. Padahal, apa pun siap dilakukan. Penolakan baginya seperti kehormatan dirinya ditelantarkan. Andika tak peduli. Dia begitu semata karena tak tahu. Mendapati ada kekecewaan di wajah Kissumi, Andika jadi berpikir lagi. Apa dia telah melakukan kesalahan"
"Ah, aneh-aneh saja negeri orang-orang sipit ini," gerutunya sambil menciduk air hangat ke kepalanya.
Tak memakan waktu lama, pendekar muda dari tanah Jawa itu sudah keluar dari ruang pemandian. Mandinya memang selalu seperti capung cebok. Kebiasaan dari kecil yang terus dibawanya sampai sekarang. Kalau sekarang dia mandi agak lama, itu pasti mandi terlama yang pernah dilakukan selama hidup! Pasti!
Pakaian yang disediakan Kissumi sudah pula dikenakan Andika. Anak muda acuh itu tak mau pilih-pilih lagi, meski ada beberapa potong pakaian disediakan. Yang tersambar tangannya, itu yang dipakai. Kebetulan yang didapat wama putih, sangat sepadan dengan kulilnya yang coklat garang.
Pantas tidak pantas, Andika menyampirkan pusaka ke bahunya. Benda itu jelas tak sama dengan pakaian butut bau siluman pasar yang Biasa dipakainya. Kain itu pusaka berharga dari buyutnya sendiri Pendekar Lembah Kutukan. Mana mau dia meninggalkan begitu saja"
Sementara di ikatan kimononya diselipkan sebilah pedang. Pedang Pusaka Langit. Senjata pusaka itu didapatnya dari Chin Liong, seorang panglima Kerajaan Cina yang juga sahabat baiknya. (Tentang hal itu, bacalah episode : "PerompakPerompak Laut Cina"!)
"Ah, Andika San. Bagaimana pelayanan Kissumi?" sambut Hiroto di ruang minum teh.
Andika buru-buru mengangguk
"O, memuaskan! Sangat memuaskan!" serunya dengan sedikit sandiwara. Dia tak mau memburukkan nama Kissumi di depan Hiroto.
"Bagus! Bagus!"
Hiroto tampak gembira sekali. Kepalanya bahkan sampai terangguk-angguk keras.
"Kau sudah 'bermain' dengan Kissumi, Andika San?" aju Hiroto bersemangat.
"Bermain" Andika terlongo. Sama sekali tak dipahaminya pertanyaan Hiroto.
"Bermain apa maksudmu?" Karena penasaran, Andika akhirnya bertanya. Tak peduli apakah nanti dianggap bodoh oleh Hiroto atau tidak. Hiroto malah tergelak. Kepalanya mendongak, memperlihatkan jakun yang turun naik. Perlakuan lelaki itu makin memperosokkan si Pendekar Slebor dalam liang ketidak mengertian.
"Katakan padaku. Hiroto. Apa maksudmu dengan 'bermain'?" susul Andika lagi. Makin lugu saja sikapnya di mata Hiroto.
"Apa tradisi negeri ini menyediakan mainan di bak mandi seperti kebiasaan bocah?"
Andika mendesak.
"Atau......"
Mendadak pendekar muda itu memancung kalimatnya sendiri. Benaknya mulai bisa mengendusi apa maksud lelaki muda Nippon di depannya. Tanpa berkedip, Andika berbisik.
"Apa di negeri ini seorang pelayan wanita siap melakukan apa saja?" tanyanya hati-hati. Cuma takut kalau pertanyaannya ternyata salah.
Hiroto mengangguki.
"Semuanya"!" sentak Andika.
Hiroto tergelak lagi.
Andika malah terbengong lagi. Seorang anak lelaki berusia lima tahun masuk ke ruangan. Didekatinya Andika yang sedang meneguk teh hangat. Dengan kehangatan polos, Andika ditubruknya. Bocah kecil lucu berkepala hampir botak itu bergelayut di bahu Andika.
"Akimoto!" hardik Hiroto.
"Jangan bersikap tak sopan seperti itu pada tamu Ayah!" Anak yang dipanggil Akimoto menyusutkan badan.
Perlahan dia beringsut dari bahu Andika. Wajahnya terlipat. Antara takut dan kesal.
"Dia anakmu, Hiroto?" tanya Andika.
"Hai*! Anak tunggalku, Andika San. Nakalnya bukan main!"
"Siapa namanya tadi?"
"Akimoto."
"Haaa, Aki.... Aki. .," Andika ingin menegur bocah yang sudah beranjak ke sampingnya. Tapi nama anak itu terlalu sulit buat telinganya.
"Aki apa tadi?"
"Akimoto."
"Yah Akimoto! Kenalkan....
" Andika menjulurkan tangan pada Akimoto.
"Paman Andika dari tanah Jawa," sambungnya memperkenalkan diri.
"Di mana tanah Jawa, Paman Andika?" tanya Akimoto. Anak itu tampaknya cepat akrab dengan siapa saja. Matanya berbinar ketika mengetahui tamu ayahnya tak marah padanya.
"Jauh! Jauuuh sekali!" Andika pun berusaha akrab dengan bocah lucu itu. Waktu bilang 'jauh', bibirnya pun jadi ikut 'jauh'. Akimoto terkikik melihatnya.
"Ayo, Akimoto. Kau main di luar. Jangan ganggu Ayah dan teman Ayah!" perintah Hiroto. Akimoto cemberut lagi. Sebelum keluar pintu, bocah itu mengepalkan tinjunya pada Andika.
"Paman Andika pandai berkelahi"!" tanyanya seperti menantang.
Andika tertawa. Ditepuknya dada.
"Paman jagonya!" sesumbar Andika, bergurau.
"Kalau begitu, nanti berkelahi sama Akimoto, ya"!"
Setelah itu Akimoto kecil berlari. Hiroto hampir saja mencambuknya dengan tali samurai. Tawa kecil terkikiknya masih terdengar.
'Dasar anak-anak...," ujar Andika. Kepalanya menggeleng-geleng.
"Aku tak menyangka kau sudah menikah. Mana tstrimu" Sejak aku datang, aku tak melihatnya...," tanya Andika kembali.
Hiroto seperti tepekur sejenak. Tangannya rriengusap-usap dagu mengiringi helaan napas panjang dan dalamnya.
"Istriku meninggal ketika melahirkan Akimoto," desahnya.
"Ah, kalau begitu aku turut menyesal. Kau tentu kehilangan?"
"Ya. Dia amat kucintai. Rasanya tak ada lagi wanita yang bisa kucintai selain wanita itu."
"Kau jangan berkata seperti itu. Nanti pun kau akan menemukan lagi wanita yang kau cintai. Kucing tak pernah kehilangan selera pada daging, bukan?" seloroh Andika, mencoba menghibur temannya.
"Meoongg.... Ha ha ha!" ledek Andika setelah mcnirukan suara kucing.
Hiroto tertawa juga akhirnya.
Kedua teman lama itu kembali mereguk teh hangat. Malam di luar mengungkung hari. Gemerisik daun-daun terbawa angin terdengar sampai tempat mereka. Musim semi memang menumbuhkan banyak bunga. Tapi daun kering di tanah masih tetap menumpuk tebal. Desau angin yang menyelinapi malam ditebas oleh suara yang jauh lebih kcras. Suara lengkingan seorang anak kecil dilanda ketakutan. .*
"Akimoto!" sergah Hiroto tersentak.
Tubuhnya bergegas bangkit Cepat disambarnya samurai di dojo.
Andika tak perlu ambil apa-apa. Senjata yang diperlukan sudah ada padanya, kain pusaka dan Pedang Pusaka Langit. Itu pun belum tentu dipergunakan jika keadaan tak begitu mendesak: Dia langsung mencelat keluar melalui jendela yang terbuka. Di luar, di antara gemerisik kecil daun kering, anak muda itu tak menemukan siapa-siapa. Keadaan lengang. Terlalu lengang untuk bisa disebut genting. Bahkan sosok si kecil Akimoto tak juga didapati.
"Ada yang tak beres...," nilai Andika, berbisik.
Dibiarkannya tubuh terdiam, mempertahankan kesiagaan puncak. Segenap kemampuan inderanya terkerahkan. Terpusatkan. Ada yang tak beres. Kenyataannya memang begitu.
Dengan tiba-tiba, tumpukan dedaunan kering di tanah berhamburan di beberapa tempat. Andika tercekat. Benaknya sama sekali belum dapat menebak apa yang tengah terjadi. Sampai semuanya benar-benar jadi jelas ketika dari hamburan dedaunan kering tadi mencelat keluar belasan orang-orang berpakaian hitam-hitam! Mereka siap dengan senjata masing-masing. Semuanya siap merencah Pendekar Slebor!"Kalian lagi...," gerutu Pendekar Slebor dalam. Biar bagaimanapun dia benci membunuh. Orang-orang seperti para pengepungnya kini adalah orang-orang yang selalu memaksa Andika untuk menodai tangan dengan darah.
Mereka akan membunuhnya tanpa perlu memberi kesempatan sedikit pun atau alasan apa pun. Kalau ada yang hendak membunuh, bagaimana Pendekar Slebor bisa menghindar untuk tidak membunuh pula dalam mempertahankan diri"
Sebelum gerombolan berpakaian hitam maju menerjang, dari dalam rumah, sesosok tubuh tegap perkasa menerobos dinding kertas. Di tangannya katana siap disabetkan!
"Heaaa...!"
Gerombolan ninja tersentak sejenak. Naluri tarung terlatih mereka seger menyadari bahaya datang. Mereka menggerakkan senjata bersamaan. Serangan
mendadakitu tak urung mengacaukan bentuk kepungan mereka terhadap Pendekar Slebor.
Zing! Trang! Salah seorang dari mereka bersiaga ke tengah kepungan. Saat yang sama, Hiroto. si penyerang dari dalam rumah disambutnya. Ditangkisnya tebasan lurus katana Hiroto. Pijar-pijar liar tercipta dari tumbukan senjata Hiroto dengan katana lawan. Sekejap suasana jadi benderang.
Garis-garis wajah berang Hiroto tersembul sekejapan pula. Lawannya tersurut. Tebasan Hiroto terlalu kuat. Dengan perhitungan yang keliru, tentu saja tindakan memapaknya akan menjadi satu kesalahan.
"Haih!"
Traang! Tanpa memberi kesempatan, Hiroto menyusulkan serangan. Tak kalah kuat, tak kalah mengancam. Lawan tadi masih sempat mengikuti arah katana Hiroto. Pada gerakan selanjutnya, dia malah terkecoh. Senjata Hiroto dapat ditahan agar tidak menebas pinggangnya, secara tiba-tiba terangkat penuh kekuatan.
Bles! "Khh!"
Hanya sempat melempar erangan pendek, leher lelaki berpakaian hitam tadi tertembus katana Hiroto!
Pendekar Slebor, meski sudah kenyang menelan kekejiaan demi kekejaman dunia persilatan tak urung bergidik juga menyaksikan cara kawannya membereskan lawan. Dari sana, Andika bisa menilai. Hiroto tak ingin menganggap sepele satu orang pun di antara gerombolan Imada-Tong. Kalau perlu membunuh dengan cara berkesan keji seperti tadi, dia akan melakukannya. Mendapati satu rekannya mampus, anggota gerombolan Imada-Tong yang lain serempak menyerbu Hiroto di tengah kepungan. Pendekar Slebor sekararig harus turun tangan. Karena dia pun tampaknya menjadi sasaran serangan, di samping Hiroto.
Pendekar Slebor maupun Hiroto tahu, agar bisa lebih menguntungkan di bawah hujanan serangan serempak seperti itu mereka harus saling memunggungi. Dengan begitu, mereka bisa saling melindungi. Lawan pun akan mendapat kesulitan menyerang dari arah belakang. Tapi, Andika punya pikiran Iain. Tanpa bisa dimengerti Hiroto, anak muda sakti dari tanah Jawa itu melayang tinggi-tinggi di antara kepala penyerangnya. Belasan lelaki berpakaian hitam terdongak. Di balik kain hitam penutup wajah, tentu wajah mereka berkerut karena terkejut.
Gerakan ringan seperti tak memiliki bobot yang dilakukan Pendekar Slebor mengagumkan mereka. Untuk bisa melakukan itu, mereka mungkin harus mempelajarinya puluhan tahun. Sementara usia anak muda itu tak lebih dari tiga puluhan. Keterperanjatan tadi tak dibiarkan mereka lebih lama. Mereka adalah orang-orang terlatih. Pembunuh berkeahlian tinggi. Salah satu godokan keras yang didapat mereka adalah tempaan mental. Dalam keadaan yang mampu mengguncangkan jiwa manusia biasa mereka dapat menghadapinya dengan sikap dingin. Jadi, kehebatan yang diperlihatkan Pendekar Slebor tak sedikit pun mengkerutkan nyali mereka. Sigap, beberapa orang di antara mereka melempar tubuh, mengikuti arah Pendekar Slebor. Beberapa saat tubuh' mereka bergulingan di tanah, sementara tubuh Pendekar Slebor melayang di atas mereka. Karena menganggap Pendekar Slebor jauh lebih piawai dan berhahaya dari Hiroto, maka kekuatan lawan sebagian tersedot ke arah Andika Tinggal dua penyerang yang mencoba menyingkirkan Hiroto. Itu memang maunya Pendekar Slebor. Dia ingin Hiroto cepat menyelesaikan penyerangnya lalu segera mencari Akimoto.
Manakala Andika sudah menjejakkan kaki, mereka pun berdiri nyaris berbarengan. Seperti telah diatur, mereka langsung berdiri membentuk kepungan baru bagi Pendekar Slebor.
Plok! Plok! Plok!
Pendekar Slebor bertepuk tangan ramai.
"Kalian sudah cukup pintar. Setelah ini, kalian bisa mendapatkan sesisir pisang!" ocehnya, menganggap para lawan kera peliharaan yang baru selesai
dilatih. Dua-tiga pengurungnya mendengus berat. Berbarengan mereka menyerbu ke tengah-tengah, tempat Pendekar Slebor berdiri. Teriakan para Imada-Tong itu menyatu.
Menggelegar menyeruak malam karena memadat satu dengan yang lain. Katana di tangan mereka terayun ke atas, siap membelah-belah tubuh pemuda berkulit coklat. Dalam kegentingan seperti itu, PendekarSlebor masih sempat menukas.
"Hei, jangan sewot dulu! Apa kubilang kalian ini monyet-monyet yang baru kulatih"! Aku tidak mengatakan itu bukan"!"
Lalu tubuh anak muda itu mencelat. Bacokan buas lima belas katana hanya berbenturan satu sama lain. Sasarannya malah mengapung hanya tiga jengkal di atas, seperti anak monyet bcrjongkok di udara.
"Kalian saja yang terlalu cepat tersinggung!" tambah Andika. Tubuhnya tahu-tahu sudah bertengger di salah satu ujung katana. Tanpa mengubah posisi tubuh, anak muda itu berjongkok santai seraya mengusap-usap kepala seorang lawan.
Para penyerang geram. Baru kali ini mereka bertemu dengan seorang yang begitu punya nyali mem-permainkan anggota gerombolan Imada-Tong. Perkumpulan pembunuh yang memiliki pamor paling menakutkan di negeri Sakura itu!
Serempak mereka menarik katana. Andika meluruk turun ke bumi. Sambil meluncur, mulutnya menyambung ocehan lagi.
"Atau kalian memang benar-benar monyet-monyet yang mengenakan topeng kain"!
Nyet! Nyet!"
Sekerdip sebclum kakinya menyentuh tanah, para lawan membabatkan senjata kelima belas tempat berbeda di tubuh Pendekar Slebor. Itu akan menutup seluruh ruang gerak Pendekar Slebor. Ke mana pun Andika bergerak, maka mata katana setajam pisau cukup siap menyambutnya. Siap mengoyak kulitnya! Sungguh serangan handal yang amat sulit dihindari. Jangan sebut Pendekar Slebor kalau untuk Itu saja dia akan kehilangan taktik tarung. Dengan mengandalkan kecepatan gerak yang amat dikagumi kalangan persilatan, Andika justru sengaja menyorongkan tubuh ke satu mata pedang Mata lawan membelalak sekejap. Mereka tak menyangka si anak muda berwajah asing melakukan itu. Dalam selang waktu yang lebih cepat dari kedipan kelopak mata, tangannya menjulur cepat ke gagang pedang lawan, berkejaran dengan gerak sabetan katana yang siap memenggal lehernya.
Tik! "Wuaaa!"
Lagi-lagi para lawan dipaksa membelalak. Seorang kawan mereka telah melepas katana yang mestinya sudah memenggal leher si anak muda. Sebelah tangannya memegangi tangan yang lain. Sentilan kecil Pendekar Slebor telah membuat sebagian tulang tangannya retak!
Andika meringis sendiri Sengaja untuk mencemooh lawan.
"Aduh, bagaimana ya...," gumam Andika berpura-pura tolol.
Lawan yang telah retak tulang tangannya, meloloskan senjata yang lain. Dari ikatan pinggangnya ditarik satu senjata dari rantai tipis panjang. Bahannya dari baja. Pada kedua ujung rantai terdapat bandul pemberat dari baja pula.
Wukh-wukh-wukh!
Udara di si suara menderu ketika rantai itu diputar pemiliknya.
"Mau apa kau dengan rantai itu" Itu bukan kalung warisan nenekmu yang sudah meninggal terserang panu, bukan" Jangan! Jangan! Ampuni aku.... Aku takut
nenekmu mengutukku menjadi biang dari segala biang panu!" seloroh Andika. Dipasangnya wajah takut. Meringis-ringis dia. Dibuat-buat. Jadi lebih mirip orang telat buang hajat daripada orang ketakutan.
Rantai tadi pun dilepas. Putarannya merangsak ke angkasa. Lalu menukik cepat ke kaki Andika. Srrt!
Seketika sepasang kaki Pendekar Slebor terjerat ketat. Sebetulnya, tak sulit bagi pendekar muda dari tanah Jawa itu untuk menghindar. Namun di benaknya dia
punya rencana yang lebih menyenangkan ketimbang cuma menghindar.
"Yah...," keluhnya seperti bocah baru 'ketelepasan' ngompol di celana. Dilirik sepasang kakinya. Terjeratnya kaki lawan, menjadi aba-aba khusus untuk kelima belas anggota Imada-Tong untuk menerjang Pendekar Slebor kembali. Semuanya masih bernafsu untuk menyarangkan mata katana masing-masing ke tubuh
lawan. Kecuali lelaki yang tangannya terluka. Dia seorang diri menggunakan pedang pendek yang dilepasnya dari ikatan sepatu. Ikatan baja tipis di kaki Pendekar Slebor demikian kuat. Beberapa korban sebelumnya tak ada yang bisa melepas nya dalam waktu cepat. Apalagi dibayangi serangan susulan di sekitarnya.
Belasan mata katana dan satu pedang pendek mendekat dan mendekat demikian cepat. Setiap senjata seperti punya mata sendiri untuk memilih bagian tubuh lawan yang paling empuk!
***
~~~~~ {5} ~~~~~
Ada yang meronta-ronta di dalamnya. Dari dalamnya pula terdengar jeritan ketakutan seorang bocah.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau kalian berani, lawan aku! Akimoto tak pernah takut berkelahi dengan kalian orang-orang jahat!" begitu teriakan si bocah dari dalam karung. Anak itu memang Akimoto. Anak Hiroto yang berhasil dilarikan oleh ketiga lelaki berpakaian ninja. Mereka sebagian anggota Imada-Tong yang menyerbu rumah Hiroto malam ini. Tiba di tepi sungai, ketiganya berhenti. Dua lelaki yang bergegas menuju semak. Lelaki yang membopong Hiroto menunggu.
Tak lama kemudian, dua ninja tadi sudah kembali dengan. menggotong perahu kecil. Mereka menyembunyikan perahu kecil itu di dalam semak-semak. Tampaknya; itu sebagian rencana matang mereka. Perahu lalu dilempar ke permukaan sungai. Dua lelaki tadi naik terlebih dahulu. Lelaki yang membopong Akimoto menyusul kemudian.
"Cepat kita menyingkir!" aba-aba salah seorang. Lalu, mereka menjemput kayuh dari dasar perahu. Dengan cerdik, mereka sengaja mengayuh perahu ke hulu sungai.
Artinya mereka harus mengerahkan tenaga berlebihan untuk menentang arus. Namun dengan begitu, mereka bisa memperdayai orang-orang yang mungkin mengejar.
"Tak semudah itu kalian menyingkir!" tahan seseorang di seberang sungai.
Pendatang baru itu berdiri di kegelapan. Sama seperti ketiga anggota ninja di perahu, orang ini pun mengenakan pakaian gelap. Wajahnya pun tertutup. Bedanya, dia mengenakan kain penutup warna ungu. Ketiga ninja cukup tersentak. Sejauh ini, mereka menganggap semuanya berjalan mulus. Tak disangka tak diduga ada orang yang berhasil memergoki mereka. Keheranan itu menyebabkan ketiganya tak begitu memperhatikan apakah orang di seberang sungai lelaki atau perempuan.
"Hghhh!" dengus salah seorang anggota Imada-Tong gusar. Sekaligus pula dia berbicara dengan bahasa isyarat gerombolan mereka. Dua lelaki lain mengerti
maksud kawannya tadi. Mereka melompat ke tepi sungai. Sementara satu orang meneruskan kayuhan; Sadar siasat sedang dijalankan ketiga calon lawan, orang tak dikenal di seberang sungai menghentak tubuh.
Bagai manyar, orang itu melayang menyeberangi sungai selebar enam-tujuh tombak. Di tengah jalan, orang itu meloloskan dua bilah belati kecil. Satu belati pada satu tangan. Sat-sat! Kulit kepala ninja di atas perahu hendak disayatnya. Kesiagaan ninja di atas perahu menyelamatkannya dari kehilangan nyawa seketika. Kayuh di tangannya dimanfaatkan untuk menangkal sabetan belati tadi. Tak! Selanjutnya, si penyerang tak dikenal mendarat tujuh-delapan kaki dari dua ninja lain.
Tampak betapa gusarnya si orang tidak dikenal mengetahui serangan pertamanya gagal. Dia menoleh ke perahu. Lelaki berpakaian hitam di atasnya terus mengayuh sekuat tenaga, hendak menyingkir secepatnya dari sana. Padahal si orang tidak dikenal menghendaki semua lawannya dapat dibereskan., Kalau saja dua anggota Imada-Tong di tepi sungai tak cepat menggebrak, tentu orang bertopeng kain ungu tadi akan berusaha menahan perahu kembali,'
"Haiahh!"
Berkawal lengking yang sesak dengan hawa membunuh, dua ninja di tepi sungai menerjang. Satu orang mengirim tinju berkecepatan tinggi. Dada orang bertopeng ungu hendak dilantakkan. Yang lain menyapu pertahanan lawan dengan kaki. Swing!
Mata orang tak dikenal membelalak di antara kain penutup wajahnya. Tinju satu lawan yang berhasil dihindarinya menebar angin tajam. Ketika sinar bulan
setengah menyinari tangan penyerangnya, dilihat tangan itu dilengkapi dengan semacam sarung tangan baja bergerigi tajam. Sejari lagi, dadanya bisa terkoyak
oleh benda itu.
Tak sempat terkejut lebih jauh, orang tak dikenal sudah harus menghindari sapuan kaki lawan lain. Agar benda tajam di tangan lawan sebelumnya tak mengejar, orang tak dikenal berusaha sedikit menjauh. Sekaligus pula menghindari sapuan tadi.
"Heah!"
Satu salto cantik dibuat ke belakang. Tumpuan tangan dilakukannya beberapa kali selarua berputaran. Meski masih memegang belati, orang bertopeng ungu tak mengalami kesulitan melakukannya. Begitu menjejak bumi, dua lawan mencecar lagi.
Kalau menerjang, kedua ninja tak bisa langsung membuat tekanan. Jarak mereka dengan orang tak dikenal sudah cukup jauh. Agar mereka tak kehilangan waktu mengejar lawan, sementara mereka tetap mendesak, mereka melakukan jalan pintas. Tangan keduanya bergerak sekelebatan. Swing-wing-wing! Beberapa larik kerjapan benda tajam melesat. Karena belum siap untuk melompat, orang tak dikenal mengambil resiko memapaki semua hamburan senjata rahasia dua lawan.
Trang-trang-trang!
Dua belati di sepasang tangannya mematuk-matuk cepat ke segenap penjuru. Bunyi denting menusuk gendang telinga berpencaran, seiring dengan terperciknya bunga-bunga api. Lalu seluruh senjata rahasia tadi rontok ke tanah. Bentuknya seperti bintang dari lempeng logam. Sejenak dua ninja bertukar tatap. Kepala mereka mengangguk samar. Srang! Katana di belakang punggung mereka diloloskan bersamaan. Kalau senjata itu sudah keluar dari sarungnya, itu berarti keduanya siap melakukan pertarungan hidup-mati!
"Hiaaaa!"
Wukh wukh wukh!
Seperti mencoba menggedor nyali lawan, untuk beberapa saat mereka mempertunjukkan kemahiran memainkan katana di sekujur tubuh mereka, pantulan sinar memanjang logam tipis amat tajam itu berseliweran.
Cepat dan semakin cepat. Kaki mereka pun memperpendek jarak antara mereka dengan orang tak dikenal. Langkahnya lambat.
Satu-satu. Sangat bertolak belakang dengan gerak amat cepat katana di tangan mereka. Lawan hendak bertaruh nyawa! Pikir orang tak dikenal, menilai. Menyadari hal itu, dia pun mempersiapkan segenap kesiagaan. Membangun seluruh kesiapan. Desah napas panjangnya ditarik sejenak, dan dihembus perlahan pada waktu berikutnya. Kedua tangannya menggenggam belati erat-erat, ketat-ketat. Kalau mereka siap mati, aku pun begitu, sumpah orang tak dikenal membatin....
***
Kembali ke medan laga di sekitar rumah Hiroto. Pendekar Slebor saat itu di ujung mulut kematian, tepatnya di mata seluruh senjata kelima belas lawannya.
Entah si pemuda sableng itu sudah kebal dengan kata kematian, atau otaknya memang kerasukan kotoran jamban. Bukannya ketakutan, Pendekar Slebor malah
berteriak kegirangan. Tangannya terangkat-angkat ke udara.
"Hiaaha-haaa!" serunya dengan mulut terkuak boros-boros. Para lawan tak peduli dengan tingkah sintingnya.
Mereka tak ingin terkecoh. Bahkan sepertinya bentakan dari alam kubur pun tak bisa menghentikan niat mereka merencah tubuh lawan.
"Heaa!"
Padat, bergemuruh, dan nyalang, teriakan kelima belas lelaki itu terdengar. Tepat pada saat mereka mengayunkan senjata ke tubuh Pendekar Slebor.
Trang! Trang! Trang!
Benar senjata mereka berhasil merencah pemuda urakan yang seumur hidup baru sekali berkimono itu" Jauh di luar seluruh gelegak nafsu kelima belas ninja, sesuatu telah terjadi. Segenap pikiran mereka saat itu juga diputar sekejapan. Mereka tak mengerti apa yang terjadi. Yang mereka tahu, senjata mereka semuanya mendadak tersentak hebat. Ada sengatan keras seperti tegangan petir kecil menjalari tangan mereka. Seluruh senjata mereka terpotong dua!
Yang lebih membuat mereka tertegun, mata mereka menangkap sekelebatan sinar merah membentuk lingkaran panjang menyilaukan. Sebentang kejadian yang baru sekali itu dialami membuat mereka mematuhg di tempat masing-masing. Semuanya masih berkerumun di tempat Pendekar Slebor sambil menatap tak berkedip senjata kutung di tangan masing-masing. Senjata mereka masih bersentuhan satu dengan yang lain, tepat di depan mereka. Ke mana Pendekar Slebor sendiri"
"Hompimpa alaihum gambreng! Nek Ijah pakai kain rombeng! ejek Pendekar Slebor.
Di atas ranting pohon yang tak lebih besar dari jari telunjuk, anak muda itu bertengger santai. Tangannya menimang-nimang Pedang Pusaka Langit! Patut
diketahui, Pedang Pusaka Langit adalah pedang yang memendarkan cahaya merah bara. Terbuat dari pecahan batu luar angkasa yang berhasil menerobos
selubung udara bumi. Pedang pusaka itu memiliki kelebihan dari pusaka lain. Di dalamnya terdapat satu medan gelombang kekuatan. Seorang yang memegangnya secara langsung akan terpengaruhi oleh medan gelombang kekuatan itu hingga dapat melipatgandakan kcmampuannya scpuluh kali lipat! (Untuk mengetahui asal-usul Pedang Pusaka Langit, bacalah episode: "Pusaka Langit"!)
Pemuda sakti dari tanah Jawa itu sebenarnya belum perlu benar mempergunakannya. Tapi sifat usilnya telah menggelitik dia untuk sedikit menjajal kehebatan Pedang Pusaka Langit. Di lain kancah. Hiroto sudah berhasil memancung kepala seorang lawannya. Sisa seorang lawan kini dalam keadaan tersudut mutlak. Sambaran-sambaran katana Hiroto seperti mengurung ke setiap arah. Memadati udara, tak menyisakan ruang sekelingking pun!
Hingga akhirnya....
Srat-srat! Tebasan kembar menemui sasaran. Dada lawan seperti baru saja disilang oleh mata katana. Kuakannya dimulai dari bahu kiri dan kanan dan berakhir di sepasang sisi rusuknya. Tak ada kesempatan untuk mengeluarkan jeritan. Nyawa lelaki itu telah lebih cepat disambar maut! Ambruk dengan tubuh hampir
terbelah! Plok plok plok!
Di atas dahan yang sama, Pendekar Slebor bertepuk tangan riuh rendah. Bukannya dia hendak mem-benarkan sebentuk kekejaman. Tujuannya semata-mata hendak membuat nyali lawan semakin kehilangan bobot. Siapa tahu mereka menganggap dia adalah orang sakti berotak miring. Yang bisa membunuh mereka semua sambil tertawa. Tentu saja Andika keliru menggunakan taktik itu terhadap sepasukan Imada-Tong.
Sebelum mengemban satu tugas, mereka bahkan sudah lebih dahulu bertekad mati sebagai satu-satunya pilihan: Dan kalaupun mereka akhirnya pergi juga, itu
semata-mata karena mereka menganggap tugas utama telah berhasil dilaksanakan. menculik Akimoto.
"Tak perlu dikejar!" cegah Andika ketika Hiroto berusaha memburu.
"Sebaiknya kaii mencari anakmu! Biar aku yang urus mereka!" tambah Pendekar Slebor. Selanjutnya, dia melesat seperti bayangan dari satu daha ke dahan pohon lain.
***
Malam tak henti merayap. Pertarungan di tepi sungai pun tak juga henti. Orang tak dikenal bertopeng kain ungu berhasil menguasai jalannya pertarungan. Makin larut mereka dalam jurus-jurus cepat, makin menanjak saja keunggulan orang tak dikenal. Dia berada di atas angin!
Seorang lawannya telah kehilangan katana. Terpental jatuh dan ditelan sungai ketika terjadi bentrokan senjata. Tampaknya orang tak dikenal lebih tinggi dalam penguasaan tenaga. Meski dikeroyok, dia masih dapat menekan dua lawannya. Itu menyebabkan lelaki yang kehilangan katana tak sempat mengeluarkan senjatanya yang lain. Dapat dibayangkan betapa hebat gempuran orang tak dikenal itu!
Srat! Pada satu kesempatan, belati yang jauh lebih tajam dari sembilu merobek pakaian di bagian bahu seorang ninja. Sayatan bertenaga tadi tak hanya merobek pakaiannya. Kulit dagingnya pun tersayat. Menciptakan luka dalam bersimbah darah. Lelaki bertopeng itu mengerang. Didekapnya luka.
Tangan yang lain tetap mempertahankan katana.
"Kau akan menyesali perbuatanmu...," geramnya, penuh ancaman.
Terdengar dengus dari sang lawan. Kalau tak ada kain penutup ungu, tentu senyum mengejeknya akan terlihat.
"Aku yakin aku tak akan menyesal. Seperti kau juga. Karena kau tak akan bisa menyesal lagi setelah nyawamu tak ada lagi!"
"Huh!"
Didahului dengusan sengau, dua ninja tadi menggempur kembali. Sisa tenaga mereka dikuras sebisanya. Katana milik ninja yang tersayat mengais-ngais udara. Bagian mana pun tubuh lawan dikejarnya menggebu. Tapi. ucapan orang tak dikenal bukan omong kosong belaka. Dari caranya menghadapi gempuran, tampak jelas kalau dia memang bakal memenangkan pertarungan. Di satu celah kosong pertahanan lawan, orang tak dikenal membuat gebrakan tak terduga. Belati di tangan kanannya terlepas mendadak. Penuh kekuatan tembus, senjata kecil itu menanduk dada kiri seorang lawan, dan langsung menembus jantungnya. Tak ada dua tarikan napas, ninja itu pun ambruk. Sisanya dibereskan tanpa memakan waktu lama. Dengan sedikit meningkatkan kecepatah gempuran, disobeknya tenggorokan lawan sekali sentak. Lawan mengejang. Ambruk tanpa nyawa. Orang tak dikenal menghentak napas. Ada kegeraman dalam hentakannya mengetahui orang ketiga anggota Imada-Tong telah lolos dengan perahu. Mungkin orang itu telah begitu jauh melarikan Akimoto. Kalaupun dilakukan pengejaran, tampaknya akan sia-sia. Lelaki di atas perahu tak akan begitu bodoh terus menentang arus membawa perahu. Dia akan cepat tersusul. Tentu dia akan lari ke darat untuk menghapus jejak.
Dan perkiraannya itu terbukti. Belum lagi cukup lama dia menuntaskan pertarungan, perahu kecil tadi telah terlihat di kejauhan di siraman lamat sinar bulan. Benda itu hanyut terbawa arus sungai tenang. Penumpangnya sudah tak ada lagi. Baik lelaki anggota Imada-Tong maupun anak yang diculiknya.
Orang tak dikenal bertopeng kain ungu mengeluh. Bahu kirinya terasa amat nyeri. Cepat dibukanya pakaian di bagian tadi. Sekarang ditemukannya luka menganga. Ada satu logam bintang yang luput dari pertahanannya dan menembus di bagian itu.
Hendak dicabutnya senjata rahasia yang bersarang dalam itu. Tapi suara seseorang terdengar di kejauhan
***
"Akimoto! Akimoto! Di mana kau'"!" panggil Hiroto kalang-kabut. Lelaki ksatria
sejati itu mencari-cari kian-kemari dalam kegelapan malam. Ada kekhawatiran dan
keputus asaan di raut wajahnya setelah tak berhasil juga mencari anaknya.
Padahal dia sudah mencari cukup lama.
"Bagaimana, Hiroto" Apakah kau menemukan anakmu?" Pendekar Slebor tiba di dekatnya.
Hiroto menggeleng.
"Tampaknya anakku telah diculik oleh perkumpulan Imada-Tong," keluh Hiroto
pekat. Rahang Pendekar Slebor bergemeletuk. Geram
sekali anak muda itu dengan tindakan pengecut seperti yang dilakukan musuh-musuh
Hiroto. Menculik seorang bocah tak berdaya"
"Slompret bau pesing!" makinya dalam
hati.
"Apa kau punya gagasan yang baik, Andika San?" tanya Hiroto kemudian.
Andika mengangguk.
"Bagaimana?" susul Hiroto. Berharap sekali lelaki itu kawan dari negeri jauh di
depanhya akan memberjkan satu jalan pemecahan untuk mengembalikan Akimoto.
"Saat kau mencari Akimoto, aku berhasil melumpuhkan salah seorang anggota kunyuk-kunyuk itu.
Kini dia kusembunyikan di tempat yang aman. Bagaimana kalau
kita mengorek keterangan darinya?" Hiroto menggelengkan kepala lunglai.
"Percuma, Andika San."
"Kenapa?"
Hiroto menghela napas sarat-sarat
"Apa kau pernah melihat tindakan mereka dalam keadaan amat terdesak?" Lelaki itu
malah mengajukan pertanyaan balik kepada Andika.
"Ya Pernah kulihat dua orang dari menikam perut sendiri dengan pedang pendek
saat tahu aku akan menangkap mereka. Saat itu aku sedang berusaha
menolong Jotaro," tutur Andika, mengenang kejadian belum lama.
"Apa mereka itu
semacam orang sinting?" Andika bertanya dengan nada meng-umpat.
Hiroto menggeleng.
"Bukan. Sama sekali bukan. Mereka adalah orang-orang yang menganut jalan
bushido. Bagi mereka tujuan lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Sayang,
tampaknya mereka berada di dalam kesesatan...."
Andika menggeleng-gelengkan kepala. Apa pun yang dikalakan teman Nippon nya,
dalam hati dia tetap menyumpahi orang-orang itu dan menyebutnya slompret bau
pesing!
"Membuang nyawa untuk tujuan yang bodoh!" maki Andika.,
"Itu menurutmu.
Keyakinanmu tentu berbeda
dengan mereka. Menurut mereka, itulah kebanggaan dan kehormatan tertinggi yang
lebih dari nyawa."
Kalau bicara soal keyakinan, Andika hanya bisa
mcngangkat bahu.
"Jadi apa yang akan kita lakukan, Hiroto?" Andika mengembalikan pembicaraan.
"Kupikir, aku tahu siapa yang mengatur ini semua...," gumam Hiroto, seakan dia sedang berbicara pada diri sendiri.
"Ada satu hal yang belum kau katakan padaku?"
"Ya Tapi aku tak bisa menjelaskan padamu
sekarang. Aku harus segera pergi mencari Akimoto."
"Kalau begitu, aku akan membantumu!"
"Dengan hormat, kuminta kau tak ikut campur dalam
urusan ini. Ini hanya urusan permusuhan keluarga yang terus berlanjut
membosankan." sergah Hiroto.
"Tapi aku ini kawanmu, Hiroto. Kawan macam apa yang membiarkan sahabatnya berada
dalam ke-sulitan.
Sementara kau menghadapi maut., apa aku harus
beruncang-uncang kaki?" debat Andika. Sama sekali dia tak setuju penolakan
Hiroto.
"Mengertilah Andika San...."
"Aku tak mengerti!" terabas Andika.tak mau tahu.
Orang negeri.Sakura ini memiliki tabiat keras. Tapi si anak muda Tanah Jawa bisa
tak kalah keras. Kalau tak kepala batu, mana mungkin dia masih bisa dijuluki
Pendekar Slebor"Sayang, sifat keras Andika tak berguna menghadapi tekad Hiroto.
Andika akan sia-sia bersikeras. Ibarat memecah karang dengan palu kayu!
"Aku menjunjung tinggi kehormatanku, Andika San.
Kalau kau turut campur dalam masalah ini, aku akan sangat dipermalukan. Kuundang
kau ke sini bukan untuk susah demi aku...," tegas Hiroto.
"Apa pun yang kau
katakan, sekali lagi aku minta dengan sangat hormat Andika San. Biarkan aku
sendiri yang menyelesaikan perkara ini," tandas Hiroto.
Hiroto pergi. Andika cemberut. Dia jelas tak bisa memaksa untuk mendampingi lelaki itu.
Mungkin ini masalah kehormatan dan harga diri pula seperti katanya tadi, nilai
Andika membatin.
"Hm, permusuhan keluarga.... Aku tidak bisa menunggu agar Hiroto menceritakannya
padaku. Aku harus mencari tahu!" tekad Andika. Saat itulah, di benak pemuda
sakti Lembah Kulukan itu melintas wajah lembut Akemi.
"Tentu perempuan itu tahu banyak
tentang permusuhan keluarga yang dimaksud Hiroto," duga Andika pasti, Yang tak pasti
sekarang, apakah niatnya sekadar ingin bertanya. Atau ada niat lain yang 'ehem-ehem'"
Andika sempat nyengir kuda. Sekali tepuk dua
lalatlah! Cuma satu yang bisa dilakukan Pendekar Slebor kini.
Kembali ke rumah pengasingan rahasia Hiroto. Akan ditanyakannya perihal
permusuhan keluarga pada Akemi.
Andika tiba di sana menjelang sekaratnya dinihari Ayam jantan sudah mulai
berkokok panjang. Bersahutan, memberitakan hari baru sebejitar lagi akan hadir,
meski mentari belum lagi berani beranjak dari sudul timur. Hari masih gelap.
Dalam kegelapan seperli itu seseorang mengintai kedatangan Pendekar Slebor di
sisi rumah. Cahaya lampu kertas dari depan terhalang pohon besar. Sosok itu jadi
tak nampak jelas.
Ketajaman daya pendengaran Andika tak bisa
diperdayai. Dalam jarak yang terbilang jauh, nalurinya sudah memperingati ada
seseorang mengawasi. Dengan sedikit lebih mendekat, telinga anak muda itu sudah
bisa menginderai helaan napas halus seseorang.
"Jangan coba-coba main kucing-kucingan dengan seekor kucing, Tikus!" bisik
Andika. Bibirnya menyeringai.
Akal bulusnya berjalan.
Andika menghentikan langkah. Tentu lawannya
belum tahu kalau Andika sudah menyadari sedang diawasi.
Karena itu dia tak ingin melakukan tindakan yang memancing kecurigaan. Sambil
bcrsiul-siul kecil, Andika menyorongkan
langkah kesemak-semak. Pura-pura membuang hajat kecil!
Begitu tubuhnya terhalang oleh rimbunnya semak, ringan tanpa menghasilkan suara
yang lebih keras dari tarikan napas, tubuhnya melenting ke kubah bangunan.
Kecepatan dikerahkan pendekar muda yang kini memakai pakaian seperti layaknya
penduduk setempat. Maksudnya biar tak ada kemungkinan pcngintainya melihat
tindakan itu. Mengendap-endap seperti seekor kucing hendak
mencuri sepotong daging di meja makan sebuah rumah, Pendekar Slebor mendekati
tempat sembunyi pengintai
tadi dari atap.
"Yak, di sini!" katanya dalam hati memastikan. Lalu...
Wukh! Dari atap tubuh pemuda itu berputar cepat ke
bawah. Amat cepat. Dua putaran di udara bahkan
dilakukannya dalam sekejapan.
"Hihihi...."
Tahu-tahu saja, tangan kekarnya sudah mencengkeram kerah baju si pengintai. Saat itu tangan Andika menyentuh benda
kenyal padat di dekat bagian baju si pengintai yang dicengkeramnya.
"Waduh, apa ini?" batinnya kasak-kusuk cepat.
"Aw!"
Terdengar pckikan kaget. Andika mendelik. Bukan cuma suara wanita yang
didengarnya membuatnya
terkejut, tapi juga karena wajah orang itu sudah dikenalnya.
"Andika San...," sapa kaget Kissumi, orang yang dianggap sedang mengintai
Andika.
"Kissumi" Ah, untung saja bogemku belum sempat melayang ke wajah cantikmu
itu...," kata Andika seperti menggerutu.
"Maaf Andika San.
Saya sedang menunggu
kepulangan Tuan berdua...," hatur Kissumi seraya menjura dalam.
"Kau tidak
tidur?" Andika heran. Selarut ini perempuan itu belum juga beranjak ke peraduan.
"Menunggu Andika San."
Alis anak muda urakan itu berkernyit.
"Kenapa begitu" Kenapa kau tak bilang sedang menunggu Tuanmu, Hiroto?"
Kissumi merunduk lagi. Sikap seperti itu membuat Andika terlalu jengah. Nanti
aku akan melarang dia terus begitu padaku, niat Andika di hati.
"Karena Hiroto San telah mcnyerahkan diri saya kepada Andika San...."
"Menyerahkan kau padaku" Gurauan tengik macam
apa ini?" Andika mcnyeringai. Karena terlalu tak mengerti tangannya jadi sibuk
menggaruk sana-sini. Kalau kebetulan ada kera, bisa diperlombakan siapa yang
lebih cepat menggaruk!
"Dengan begitu, saya menjadi milik Andika San.
Kalau Andika San gugur dalam kericuhan tadi, maka sepantasnya saya pun harus
mati.
" Kening Andika dijamm berkerut-merut bak gombal
tak kena cuci setahun penuh!
"Maksudmu...?" Andika tak bisa berkedip.
"Saya harus melakukan seppuku sebagai tanda kesetiaan saya pada Andika San...."
"Seppuku?" Seperti bocah tolol, anak muda itu mengekori ucapan Kissumi. Lalu
tangannya membuat gerakan seperti orang sedang menikam pisau ke perut sendiri.
Wajahnya bertanya pada Kissumi.
"Ya, Andika San." Kissumi membenarkan.
Andika menggeleng-gelengkan
kepala. Pusing rasanya mendengar penuturan perempuan cantik di depannya barusan. Dia cepat
melangkah masuk ke dalam.
Mulutnya tak henti menggerutu, memaki, menyumpah-nyumpah tak kentara.
"Kesintingan macam apa lagi ini...," kalanya agak samar. Tapi masih bisa
ditangkap telinga Kissumi. Untung, Andika mengucapkannya dalam bahasa sendiri.
Kalau tidak, Kissumi bisa merunduk-rudukkan kepala lagi seraya meminta maaf
berkali-kali Buh, menyebalkan!
Dinihari kian menjelang pagi. Lamat, sinar kuning tembaga matahari pagi mulai
mengambang di cakrawala timur. Sapuan warnanya begitu lembut, menggelitik
perasaan damai terdalam seseorang.
Andika di kamarnya. Berdiri menatapi sinar lembut matahari muda di ufuk sana.
Dia tak mungkin bisa tidak.
Matanya tak mengantuk. Kalaupun mengantuk, dia pun akan berusaha untuk tetap
melek. Kecamuk pikirannya masih terus berlangsung. Dia
mengkhawatirkan keadaan Hiroto.
Dan jauh lebih dikhawatirkan lagi adalah nasib Akimoto. Bocah kecil itu terlalu muda untuk
mengalami kebusukan dunia ini.
Waktu hendak menanyakan pada Akemi, janda
Jolaro itu ternyata sedang tidur lelap.
Tadinya Andika mencoba lancang memasuki kamarnya. Sungguh tak pantas sebenarnya. Andika menyadari
itu. Namun karena keadaan demikian mendesak, dia memutuskan untuk mencoba memasuki kamar Akemi juga, Dia harus
secepatnya mengetahui persoalan yang sedang memanas. Siapa tahu dia bisa
mendapatkan jalan untuk menyelamatkan Akimoto.
Waktu dia masuk, Akemi ternyata terpulas. Andika jadi tak tega mengusiknya,
mendapati wajah perempuan malang itu begitu tenang dalam tidurnya.
Sewaktu sedang menyusui bayinya, tentu perempuan itu tertidur. Mulut bayinya masih menempel pada puting susu dada padat
sehalus sutera Akemi. Andika jengah melihatnya. Meski begitu, tak urung darah
mudanya menjadi melonjak sesaat Dada Akemi begitu mempesona.
Kehalusannya dan kepadatannya mengundang. Apalagi masa-masa sedang menyusui
anaknya seperti itu. Dadanya jadi kian padat.
Ada semacam godaan mendesir di benak si pemuda
dari tanah Jawa. Ingin sekali dia berdiam sampai pagi dan menatapi dada
mempesona Akemi puas-puas. Toh, tak ada yang tahu. Akemi pun sedang terlelap.
Tentu dia tak akan sadar ada yang mengawasi kemolekan tubuhnya.
Untung, Andika masih punya kesadaran untuk tidak meneruskan perbuatan yang
dianggapnya menghina diri sendiri itu. Dengan menahan gelegak darah,dalam
dirinya, Andika menggeser pintu perlahan.Pergi meninggalkan kamar Akemi.
"Andika San. Apakah Andika San belum tidur" Boleh saya masuk?" Suara Kissumi di pintu kamar membuyarkan
keterdiaman Pendekar Slebor.
"Ada apa Kissumi?" tanya Andika setelah membukakan pintu untuk wanita itu.
"Apa...," Kissumi tertunduk. Keraguan menjegal ucapannya.
Andika menunggu.
"Ada apa Kissumi?" ulang Andika lagi.
"Apa Andika San membutuhkan seorang 'teman'?" aju Kissumi akhirnya.
Andika menelan ludah. Jakunnya turun naik.
Bayangan kemolekan bagian tubuh Akemi yang dilihatnya mengambang liar kembali di
benaknya. Keparat! Makinya dalam hati, mengutuki diri sendiri.
Andika tahu apa maksud Kissumi. Dari dasar hati entah di sisi mana, Andika digoda bisikan-bisikan kuat.
Bisikan yang mencoba mendongkel segenap birahinya selaku seorang pemuda. Dia
masih waras. Masih punya birahi yang mengelegak-gelegak.
Tanpa sadar, Andika menepikan tubuh, membiarkan Kissumi memasuki kamarnya.
Kissumi sendiri menganggap itu adalah isyarat
bahwa Andika memintanya menemani 'tidur' menjelang pagi ini. Dia masuk dengan
merunduk. Tak ada senyum di wajahnya. Tapi sinar mata wanita itu membersitkan
kebahagiaan. Mungkin dia pun tak sekadar mehgorbankan diri untuk Tuan barunya.
Lebih dari itu mungkin ada dorongan selaku perempuan biasa yang mengharapkan hal
itu. Di tengah kamar, Kissumi melepas satu persatu
pakaiannya. Mula-mula kimono lebar yang membungkus tubuhnya dilorotkan dalam
gerak gemulai diselubungi hasrat. Gerak tak sadar yang lahir begitu saja.
Andika terpaku. Menganga dengan mata tak
sanggup berkedip. Disaksikannya tubuh Kissumi kini hanya terbungkus pakaian
dalam. Sebagian kulit saljunya tersingkap sudah. Kamar gelap. Lampu telah
dimatikan Andika ketika dia baru masuk belum lama. Sinar lamat yang menembus
kisi-kisi dinding kertas menyapu kulit
tubuh Kissumi, membentuk bayangan memikat berlekuk mengundang.
Dada Andika berdebam-debam. Keadaan dirinya
makin kacau. Makin dihanyut gelombang liar tak
tertahankan. Tanpa berbuat apa-apa, Andika terus menatap gerak perlahan Kissumi.
Kissumi kini mulai melepas pakaian dalam bagian atas. Tetap perlahan, tapi
mengalun. Dilepasnya simpul-simpul penutup buah dada. Dan kain halus itu pun
menuruni tubuhnya.
Kini samar-samar terlihat sepasang benda padat
mengambang di dadanya. Terbuka tanpa penghalang apa-apa. Dada itu mengingatkan
Andika pada dada Akemi.
Yang kini dilihatnya tak kalah menggairahkan. Meski tak sepadat milik Akemi,
tapi tetap memanggil-manggil dalam keindahan bentuknya.
Sedikit saja, tubuh berlekuk Kissumi bergerak
menghadap siraman lamat cahaya dari kisi dinding, makin jelas saja bentuk
dadanya. Pemuda petualang sakti dari tanah Jawa seperti
terkena tenung yang ditebarnya. Kakinya beranjak perlahan. Selangkah demi
selangkah, di dekatinya tubuh setengah tak berbusana di atas talami.
Sampai di dekatnya, tangan Andika terangkat
perlahan. Kissumi menyambutnya. Dituntunnya tangannya itu ke leher jenjang mulai
terentang. Kissumi mendongak, mempersilakan Andika mengecup lehernya dengan
desah napas halus yang mulai tak berirama.
Andika makin dekat.
Kepalanya terjatuh di leher Kissumi. Disentuhkannya bibir lamat Kemudian
beranjakbibir pemuda itu menjadi liar, mengecup dan berlari di sekujur kulit
langsat leher Kissumi.
Kissumi melenguh dalam desah napas yang terulur panjang terseret. Dia
menikmatinya. Tangan Andika mulai menuruni pangkal leher
Kissumi ke bagian dada. Menurun dan menurun. Sampai jemari Andika mulai menanjak
bukit dara Kissumi.
Saat itu, Kissumi kian terbakar desahnya sendiri. Dan saat yang sama, Andika
merasakan tangannya tersengat sesuatu. Dia tersentak. Cepat dijauhkannya tangan.
Juga dijauhkannya tubuh dari Kissumi.
Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan
rupanya tak bisa untuk dibawa dalam kemesuman. Tenaga itu bergeliat lalu
menyentak kesadaran si pemuda.
Sinting! Kalau ini terus kubiarkan, aku bakal
terjerumus pada penghinaan martabat seorang perempuan! Andika tersadar dalam kecamuk birahinya sendiri. Tak mungkin
dibiarkan ini terjadi.
Aku tak bisa melakukan hal itu sekehendak birahi tanpa ikatan apa-apa. Hanya
binatang yang melakukan perbuatan seperti itu! Hati si anak muda memperingati.
Begitu kesadaran telah memenuhi benaknya, Andika beranjak
meninggalkan ruangan. Membengkalaikan
Kissumi dalam gelora birahmya sendiri.
Suatu saat nanti, aku akan melakukannya juga.
Sumpah hati Andika. Tapi hanya dengan istri tercintaku!
Sampai di luar anak muda itu mendinginkan panas darahnya dengan udara pagi.
Ditariknya napas dalam-dalam memenuhi rongga paru-parunya dengan hawa segar di
pinggiran Kyoto. Hari mulai terang. Dari tempat terpencil yang berada di punggung
sebuah bukit itu, Andika bisa melepas pandangan jauh-jauh.
Di bawah sana, dilihat kumpulan-kumpulan rumah
penduduk masih berpayung kabut tipis.Hamparan hijau di mana-mana. Rasanya bukan
cuma pikiran yang menjadi segar, jiwa anak muda itu pun begitu.
Andika melangkah perlahan. Di dekatinya tebing.
Dari sana, tentu dia bisa melihat lebih lapang, desah batinnya. Tanpa sengaja,
kakinya menginjak sesuatu di bibir tebing tanah berumput.
Matanya meneliti ke bawah. Ditemukannya sebuah
benda kecil. Tampaknya benda itu terbuat dari logam tipis.
Berbentuk seperti bintang. Ada darah hampir mengering menodai seluruh
permukaannya. Dengan mengamati sebentar saja otak encer anak
muda itu sudah bisa menduga kalau benda yang
ditemukan adalah sebuah senjata rahasia. Tampaknya ada seseorang yang telah
menjadi korban. Orang itu mencabut logam bintang ini disini, pikir Pendekar
Slebor. Tapi kenapa harus di tempat ini" Andika bertanyatanya.
Kepalanya menoleh ke belakang. Rumah pengasingan rahasia Jotaro tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
"Hm..., apakah orang itu adalah salah seorang penghuni rumah Hiroto?" gumam
Andika. Andika meneliti lagi tempat itu. Terlalu aneh bagi pikirannya jika seseorang
yang terluka oleh senjata rahasia harus mencabut senjata rahasia di tepi tebing.
Tentu ada maksud lain.
Sekian lama mencari, Andika tak menemukan apaapa. Ketika hampir yakin memang tak ada hal
mencurigakan lain, matanya malah melihat sesuatu.. Tepat di bawah tebing yang
bagian tanahnya agak menjorok ke dalam, dilihatnya kain hitam menyembul.
Andika mengambil ranting kering. Dengan ranting itu, diraihnya ujung kain tadi.
"Hmm.... Sekarang jelas sudah," bisik Andika ketika menyaksikan benda baru yang
ditemukannya adalah pakaian hitam seperti milik anggota perkumpulan rahasia
Imada-Tong.
"Di rumah itu ada musuh dalam selimut!" tandasnya lagi, masih berbisik. Pantas
saja para penculik Akimoto tahu rumah pengasingan rahasia Hiroto. Padahal,
Hiroto pernah bilang pada Andika bahwa rumah di atas bukitnya ini benar-benar
terpencil. Tak ada yang mengetahui kecuali anggota keluarganya sendiri.
Kalau di rumah itu hanya ada Akemi dan Kissumi, apa mungkin di antara dua wanita
itu ada seorang penghianat" Tanya hati Andika ragu.
Andika tak bisa membuang waktu lebih lama. Begitu Akemi bangun pagi itu,
ditemuinya Akemi. Ditanyakannya tentang permusuhah keluarga yang dimaksud
Hiroto.
"Memang terjadi permusuhan turun-temurun yang terjadi antara keluarga Hiroto
dengan keluarga Tokugawa," papar Akemi di ruang upacara minum teh.
"Bagaimana asal mulanya?" Andika ingin tahu lebih banyak.
Akemi pun mulai menceritakan dari awal. Sekitar satu setengah abad silam, ada
Perguruan Samurai Naga Langit Merah. Perguruan itu dibawah pimpinan dan didikan
seorang sensei* berjuluk Pedang Ekor Naga.
Sensei Pedang Ekor Naga hanya memiliki dua orang murid pewaris seluruh
ferafo*nya yang amat disegani.
Bahkan shogun yang berkuasa saat itu pernah menganggap lelaki tua itu sebagai Benteng Besar Keshogunan.
Dia amat disegani dan mendapat kehormatan langsung dari shogun
Suatu hari, karena merasa dirinya sudah begitu tua, Sensei Pedang Ekor Naga
ingin menyerahkan katana pusakanya yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Karena muridnya ada dua orang dan sama-sama.
baik dalam menguasai kendo yang diajarkan, maka Sensei Pedang Ekor Naga membuat
satu ketentuan. Kedua
muridnya harus bertanding untuk membuktikan diri siapa di antara mereka yang
pantas menerima warisan katana pusaka tersebut!
Pertandingan penentuan pun di laksanakan di
bawah kaki Gunung Fuji.
Pada pertandingan adu kendo yang memakan waktu
sehari-semalam itu, ternyata murid bungsu unggul.
Dikalahkannya kakak seperguruan dalam jurus-jurus terakhir.
Maka, Sensei Pedang Ekor Naga pun membuat
keputusan saat itu juga.
Dibuatlah satu upacara
penerimaan katana pusaka kepada murid bungsu di tempat itu juga.
Setengah tahun sejak kejadian itu, Sensei Pedang Ekor Naga wafat. Dengan
wafatnya sang Guru, mulai tumbuh rasa tak puas pada diri murid tertua. Dia
merasa dilangkahi oleh adik perguruannya sendiri. Kehormatannya merasa dihina.
Akhirnya, dia pun menuntut si murid bungsu agar katana pusaka diberikan padanya.
Menurutnya, dialah yang pantas menerima senjata warisan itu selaku murid
tertua.Karena merasa Katana Pusaka Ekor Naga adalah amanat
dari gurunya, murid bungsu tak ingin menyerahkan. Baginya amanat berarti harga diri, kehormatan dan jiwanya. Semua itu akan dipertaruhkan urituk amanat tersebut.
Jadi, bukan masalah pedang pusaka itu sendiri. Sebab menurutnya, kalau saja itu
bukan amanat dari sang Guru, dia akan dengan senang hati menyerahkan
Pedang Ekor Naga pada kakak seperguruannya.
Untuk mendapatkan pedang yang dihasratinya,
kakak seperguruan itu rnenantang tanding ulang.
Murid bungsu mulanya menolak. Karena dipaksa,
akhirnya terjadi juga pertandingan ulang yang sebenarrrya lebih tepat dikatakan
pertarungan dua lelaki seperguruan.
Murid tertua benar-benar hendak melenyapkan adik perguruannya
dalam pertandingan itu. Serangan- serangannya tak beda dengan terjangan penuh hasrat membunuh.
Menyadari hal itu, murid bungsu meladeni.
Sebelumnya dia hanya mencoba bertahan. Namun tak mungkin dia terus begitu. Mana
mungkin dibiarkannya nyawa lepas dari badan di tangan kakak seperguruannya.
Sampai pertarungan berjalan hampir dua hari, murid bungsu untuk kedua kalinya
mengalahkan murid tertua.
Mereka sama-sama terluka parah. Namun katana murid termuda pada akhir
pertarungan siap membabat leher murid
tertua. Itu tak dilakukannya. Dia malah meninggalkan murid tertua begitu saja.
Merasa tak bisa lagi tinggal di tempat itu, murid bungsu pergi amat jauh ke
Kyoto. Dia ingin memisahkan diri dari kakak seperguruannya.
Sejak saat itu setiap babak keturunan dari murid tertua, mendapat semacam
warisan kebencian. Mereka harus mendapatkan kembali katana pusaka dari tangan
keluarga murid bungsu!
"Begitulah ceritanya, Andika San...," Akemi menyelesaikan penuturan.
"Jadi yang telah membayar perkumpulan Imada-Tong untuk melakukan pembunuhan
terhadap Jotaro dan
penculikan Akimoto adalah keluarga keturunan murid tertua?"
"Sepertinya memang begitu, Andika San," Akemi membenarkan dugaan Pendekar
Slebor.
"Keturunan keluarga murid tertua, kini memiliki pengaruh dan kekuasaan yang
besar. Mereka berhasil memasuki lingkungan shogun yang berkuasa kini. Salah
seorang dari mereka telah menjadi seorang perwira tinggi di Suruga. Itu sebabnya
Hiroto makin tersudutkan. Hiroto sendiri adalah salah satu daimyo dari shogun
yang diruntuhkan."
Andika bangkit dari tatami. Di ruangan cukup luas itu, si anak muda berjalan
mondar-mandir. Tangannya terus mengusap-usap dagu. Ada sesuatu yang begitu
dipikirkannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Andika San?" tanya Akemi lembut. Sejak Andika mengenal Akemi, perempuan itu memiliki
perhatian yang besar pada Andika.
Memang tak terlalu tampak dari sikapnya, namun mata tajam Andika bisa menangkap
perhatian itu pada sinar matanya.
"Ya, benar," jawab Andika seraya menghindari tatapan dalam Akemi.
"Aku sedang
memikirkan Akimoto.
Kalau sekarang anak itu diculik, ada dua kemungkinan tempat dia disembunyikan.
Pertama, mungkin Akimoto dibawa ke markas perkumpulan Imada-Tong. Kedua,
mungkin anak itu dibawa langsung ke keluarga murid tertua."
"Tapi perkumpulan Imada-Tong adalah perkumpulan amat rahasia, Andika San. Sulit
sekali mengetahui di mana markas mereka. Hanya orang-orang tertentu saja yang
mengetahui. Sedangkan keluarga murid tertua sekarang berkuasa di Suruga. Daerah
itu amat jauh dari Kyoto...."
Wajah Andika jadi berkerut ketat.
"Jadi, ke mana Akimoto harus dicari?" tanyanya bergumam.
Kalau diputuskan untuk mencari ke markas
perkumpulan Imada-Tong, ke mana harus pergi" Sementara jika diputuskan untuk ke
Suruga, belum tentu Akimoto di bawa ke sana. Perjalanan yang memakan waklu lama
ke Suruga tentu bisa membuat segalanya jadi terlambat untuk menolong Hiroto yang
Andika sendiri tak tahu pergi ke mana saat ini....
***
~~~~~ {8} ~~~~~
Andika dan Akemi yang sedang berbicara bertatapan sebentar.
"Kau kenal orangnya, Kissumi?" tanya Akemi Kissumi menggeleng.
"Sebaiknya kita melihatnya," putus Andika. Anak muda itu segera bangkit. Akemi dan Kissumi mengikutinya di belakang tergopoh-gopoh.
"Sebaiknya kalian tetap di dalam," cegah Andika.
Setelah mendapat anggukan dari dua wanita di belakangnya, Andika keluar.
"Siapa T uan sebenarnya?" T anpa mengucapkan basa-basi sambutan, Pendekar Slebor langsung bertanya.
Di taman yang ditata apik oleh Kissumi dengan seni pertamanan tradisional, tamu tak diundang itu berdiri. Raut wajahnya melemparkan kesan kecurigaan pada
Andika. Perawakannya kekar. Lebih pendek tiga empat jari dari Andika. Pakaiannya memperlihatkan kalau dia adalah seorang samurai. Wajahnya bergaris keras. Rambutnya panjang diekor kuda. Berkimono hitam-hitam dengan menyandang sepasang katana dan pedang pendek di ikatan kimononya. Menilik wajahnya, Andika yakin usia orang itu hanya terpaut lima-enam tahun lebih tua.
"Semestinya, aku yang bertanya begitu padarrru. Siapa kau sebenarnya pemuda asing?" balas sang tamu.
"E-eh, kalau orang bertanya padamu, kau harus menjawabnya dengan jawaban. Bukan dengan pertanyaan kembali! Ibumu belum pernah mengajarkan teladan itu?" sentak Andika. Dibilang sungguh-sungguh, bibirnya masih menampakkan senyum sok ramah. Mau dibilang bergurau, kata-katanya terlalu pedas.
"Di mana lelaki pemilik rumah ini?" Sekali lagi, lelaki tak diundang itu malah menyahuti pertanyaan mengejek Andika dengan pertanyaan.
Andika tertawa.
"Aku senang dengan orang ini...," gumamnya sebal.
"Kamu jangan main-main, Orang Asing! Aku sedang tergesa. Sebaiknya kau katakan di.mana pemilik rumah ini"!" Nada suara tamu berwajah keras meninggi.....
"Kupikir, kalau tidak salah aku bisa disebut pemilik rumah ini...." jawab Ahdika asal sebut. . Mata orang di depannya menajam, menusuk manik mata Pendekar Slebor. Terdengar geramnya. Dan tahu-tahu.... Sraang!
Orang itu meloloskan katananya.
"Hei! Apa aku telah salah bicara padamu"!" lonjak Andika.
"Aku tahu, kau pasti orang yang harus kuenyahkan!" sergah tamu tadi. Makin meninggi saja nadanya.
"Sontoloyo! Baru saja bertemu, kau sudah bisa memastikan kalau aku harus kau enyahkan?" Andika mendelik sejadi-jadinya. Jangan bilang dia tidak sewot!
"Sini kau!" bentak Andika. Dilambaikannya tangan.
Lagaknya sudah tak beda dengan aki jompo yang berniat menjewer telinga cucu nakalnya. Siapa yang tak jadi berang dibegitukan"
"Heaaa!"
Samurai berpakaian hitam berlari menerjang. Katananya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Wukh!
Satu sabetan tercipta. Dengan amat bernafs u, hendak dibelahnya batok kepala Pendekar Slebor saat itu juga. Pendekar Slebor menyambutnya hanya dengan menyurutkan tubuh ke belakang. Trak!
Kayu lantai rumah panggting termakan katana kalap si samurai berpakaian hjiam. Kayu di bagia itu terbelah. Pecahahnya berpentalan.
"Nah, kan luput! Kubilang juga apa...," gumam Andika.
"Hea-hea-hea!"
Lawan makin kalap. Disabet-sabetkannya senjata kesegala penjuru. Sementara itu suara teriakanya meledak-ledak tak juntrungan.
"Hea-hea-heaaaa!"
Andika menimpalinya. Teriakannya malah lebih tak ada juntrungan. Beberapa ekor burung di atas dahan pohon kontan berterbangan kalang-kabut. Ada angin ribut, pikir mereka. Karena serangan pertama gagal, samurai berwajah keras menerkam lawan di atas lantai teras rumah panggung. Senjatanya teracung ke depan. Dada Pendekar Slebor hendak disatainya!
Sesaat sebelum terkaman tiba, Pendekar Slebor dengan amat slebor malah membusungkan dada.
"Yak, di sini! Di sini!" teriakanya bersemangat sambil menunjuk lubang pusar sendiri. Dan begitu mata katana lawan tinggal sejengkal lagi, pemuda itu mengenyahkan diri ke sisi. Sebelah kakinya terangkat sedikit. Dukh!
Masih di udara, samurai kalap tadi merasakan 'telur perkutut'nya begitu nyeri. Sakitnya seperti menjalar langsung ke ulu hati. Dia merasa teramat muak,
sekaligus sesak. Dan keadaan itu membuatnya tak bisa lagi mengendalikah diri.
Bruak! Tubuhnya berdebam menghantam lantai panggung teras.
"Hati-hati jatuh!" seru Pendekar Slebor.
Orang berangasan tadi bangun buru-buru. Meski masih merunduk-runduk sambil memegangi selangkangan dengan sebelah tangan, dia bersikeras menyerang pemuda asing lawannya.
"Hey..., siapa pun namamu! Sebaiknya kau berhenti dulu! Apa kau tak ingin berbicara dengan kepala dingin?" tahan Andika. Bukannya takut. Dia cuma tak tega menyaksikan betapa 'tersiksanya' samurai itu.
"Tak perlu!"
Usai menjerit tinggi, samurai berpakaian hitam kembali menerjang Pendekar Slebor tanpa kenal menyerah. Menyerah itu bodoh! Menyerah itu memalukan!
Tekad hatinya. Srang wukh! Kedua tangannya kini menggenggam dua senjata berbeda. Tangan kanan memegang katana,yang lain memegang pedang pendek.
"Jangan serakah! Satu saja kau belum berhasil!"
cemooh Pendekar Slebor. Mangkel juga Andika menghadapi orang keras kepala. Padahal dia sendiri biangnya keras kepala!
"Heah!"
Wing wukh wing!
Membabi-buta, samurai tadi membabatkan dua senjata di tangannya ke seluruh bagian tubuh lawan yang masih bisa disambar. Andika berkelit enteng. Sebentar tubuhnya terhuyung ke sini. Sebentar ke sana. Sebentar dia meliuk, sebentar kemudian dia berjingkrak. Jurusnya memang tak pernah karuan. Tapi selalu ampuh. Dijamin!
Jaminan seperti itu ada buktinya. Sewaktu lawan terlupa membentengi bagian perutnya, dengan lemah gemulai sekaligus bertenaga, Pendekar Slebor menyodokkan dengkulnya penuh perasaan.
Degh! "Egh!"
Mata si samurai berpakaian hitam mendelik. Tubuhnya mcngejang di tempat dengan posisi setengah membungkuk. Pendekar Slebor tidak mau berlama-lama.
Mumpung lawannya sedang menikmati 'cita rasa' dengkul buatan tanah Jawa, cepatcepat disarangkannya jotokan pelumpuh ke satu bagian tubuh lawan.
Tuk! Orang itu pun menggeioso.
"Aku kenal dia, Andika San," tukas Akemi, menyaksikan samurai berpakaian hitam yang tergeletak di lantai kayu dipan.
Andika menolehpada perempuan yang baru keluar dari pintu itu.
"Kau kenal?"
"Ya," Akemi membenarkan.
"Fujimoto, samurai yang pernah menjadi bawahan Hiroto
San ketika masih menjadi Daimyo...."
"Aaahhh....
" Andika menampar kening sendiri keras-keras.
"Kenapa kau tak bilangbilang?" katanya terdengar menggerutu.
"Andika San melarang aku keluar," kilah Akemi.
Andika tengengesan.
"Tapi tak pernah melarang untuk memberitahukan kalau kau kenal orang itu, bukan?" kelit Andika lagi. Dia memang jarang mau kalah. Sekali mau kalah kalau
otaknya sudah tak beres lagi!
"Apakah dia tak apa-apa, Andika San?"susul Akemi.
Wajahnya menampakkan kekhawatiran juga ketika dia bersimpuh untuk memeriksa 'korban' Pendekar Slebor.
"Aku kurang yakin dengan keadaan 'senjata'nya...," ucap Andika. Akemi menatap Andika talc mengerti. Kalau tak salah, aku tadi menanyakan keadaan orang ini. Bukan soal senjata" Bisik hatinya keheranan. Andika malah tergelak-gelak. Lalu tanpa menghiraukan tanda-tanya di wajah mulut Akemi, Andika mengangkat tubuh lelaki bernama Fujimoto ke dalam rumah. Di atas tatami, lelaki itu lalu dibaringkan. Akemi terus mengikuti di belakangnya. Juga Kissumi. Setelah dibaringkan, Andika menotok Fujimoto kembali, membebaskan jalan darahnya.
"Haih!"
Begitu terbebas, kontan Fujimoto berteriak seraya mengangkat tangannya tinggitinggi. Dia merasa saat itu masih memegang katana.
"Aaa!" Pendekar Slebor bertingkah tengik lagi. Si pemuda urakan itu berteriak keras-keras sambil mendekap dadanya. Mending kalau teriakannya tidak keras!
Akemi dan Kissumi di belakangnya tak bisa tidak untuk terkikik tertahan menyaksikan tontonan konyol tersebut. Mereka benar-benar baru sekali itu mengenal seorang pria yang sifatnya sama sekali membingungkan. Tapi entah kenapa mereka menikmatinya. Wuh, suka barangkali!
"Cukup, Fujimoto!" seru Akemi kemudian. Tentu saja setelah dia berhasil menguasai rasa geli yang menggelitikinya..
"Nyonya Jotaro?" Fujimoto tersadar. Tangannya diturunkan.
"Siapa orang ini,Nyonya?" tanyanya lagi sambil menuding Andika.
"Perkenalkan.... Ini Andika San," Akemi memperkenalkan.
Fujimoto bangkit terseok. Badannya masih terasa ngilu. Sambil berdiri, dia mengingat-ingat sesuatu. Diulang-ulangnya nama Andika berbisik.
"Kau Andika San!" serunya, meledak tiba-tiba. Andika sampai hendak mencak karena kelewat terkejut.
"Kausahabat Hiroto San!" susul Fujimoto masih meledak-Iedak.
"Kau pendekar dari negeri jauh itu!"
Andika tak tahan lagi melihat Fujimoto reriak-teriak seperti itu. Tak tahu Andika, apa orang itu cuma terkejut mengetahui siapa dirinya atau sedang kerasukan memedi Gunung Fuji.
"Iyaaa!" balas Andika tak kalah meledak. Habis dia mangkel sekali.
Lantas saja Fujimoto membungkuk dalam-dalam.
"Satu kehormatan besar bisa bertemu dengan Pendekar Slebor!" ucapnya bersemangat.
"Eh, dia tahu julukanku?" Pendekar Slebor me-ngernyit.
"Hiroto San sering bercerita tentang Andika San. Tentang kisah mengagumkan di Piramida Tonggak Osiris...," cecar Fujimoto lagi seraya bersimpuh di depan Andika. Raut wajahnya simpang-siur karena, terlalu bersemangat.
"Ooo...," Andika baru mengerti. Diam-diam, hidung Andika jadi kembang-kempis juga. Siapa yang tidak bangga namanya dipuji di negeri orang"
"Hai! Hai!" timpal Fujimoto dengan bahasa Nip?pon kentalnya.
Buntut-buntutnya, Fujimoto meminta Andika mengajarkan beberapa jurus silat.
"Slompret," dengus Andika.
***
Sulitnya membuat keputusan bagi Andika membuatnya terus saja terombang-ambing keresahan. Dia tertahan di rumah pengasingan Hiroto tanpa bisa berbuat apa-apa. Hal itu sungguh menyiksanya.0 Hari makin siang. Kian lama waktu menggelinding, kian tak menentu nasib Hiroto dan Akimoto entah di mana.
Andika tak bisa berdiam diri selaku seorang teman. Tapi dia pun tak bisa berbuat banyak. Andika pun mencoba bertanya pada Fujimoto. Siapa tahu lelaki bekas samurai bawahan Hiroto itu mengetahui sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk untuk melacak ke mana perginya Hiroto. .
"Apa kau pernah dengar tentang markas Imada-Tong?" tanya Andika. Saat itu Andika, Fujimoto, Akemi, dan Kissumi sudah duduk mcmbentuk lingkaran di ruang upacara minum teh.
Fujimoto menggeleng.
Andika menghempas napas.
"Kau tahu sesuatu yang bisa kujadikan petunjuk untuk mencari Hiroto dan Akimoto?" lanjut Andika.
Fujimoto tepekur sebentar.
Kemudian dia menggeleng lagi.
"Sial! Jadi apa yang kau tahu"!" Andika agak mengkelap.
"Apa Andika San tak ingin menanyakan tujuanku ke tempat ini?" Fujimoto mulai berbicara.
"Yah, benar. Apa tujuanmu ke sini?" terjang Andika, tergesa. Dia baru menyadari kebodohannya. Tak mungkin seorang datang begitu saja ke rumah pengasingan rahasia Hiroto tanpa tujuan apaapa.
"Aku ingin menyampaikan pesan dari Hiroto San.."
"Apa benar begitu"!"
Pendekar Slebor mencengkeram kerah baju Fujimoto. Anak muda itu terlalu bernafsu.
"Hiroto San memintaku untuk menyampaikan pesan bahwa jika dalam sepekan dia tidak pulang, Andika San diminta menyelamatkan Akimoto. Hiroto San menganggap dirinya telah gugur jika waktu sepekan telah terlewati. Tapi tetap ingin Akimoto selamat."
"Bagaimana aku bisa menyelamatkan anak itu. sedang tempatnya saja aku tak tahu!" maki Andika entah pada siapa. Ditinjunya lantai kayu tuangan sampai jebol.
Geram sekali tampaknya anak muda dari tanah Jawa itu.
"Obani, Andika San," ujar Fujimoto.
"Apa" Apa tadi kau menyebut satu nama tempat?"
"Obani, tepatnya di kuil tua di tepi danau kota itu. Begitu Hiroto San berpesan padaku!"
"Bagus!" Andika bangkit cepat. Karena terlalu tergesa-gesa, tanpa sengaja kaki Andika melanggar sebelah bahu Fujimoto.
Fujimoto mengeluh seraya mendekap bahunya. Andika sempat melihat ada genangan darah merembes. Tampaknya setelah terlanggar kaki Andika, luka yang dibalut di balik pakaian itu menganga lagi.
"Kenapa dengan bahumu, Fujimoto?" tanya Andika penuh selidik. Pendekar muda itu teringat pada senjata rahasia yang ditemukan di bibir tebing depan rumah pengasmgan rahasia Hiroto pagi tadi.
"Ceritanya panjang, Andika San," jawab Fujimoto mencoba mengelak. Dari wajah lelakinya ter-lihat kalau dia tak ingin menjelaskan. Andika melirik matanya
tegas-tegas..Apa bukan terkena senjata rahasia?" desak anak muda itu.
Fujimoto menggeleng.
Andika merasa harus memperlihatkan bukti yang didapatnya pagi tadi. Segera dikeluarkannya benda tersebut dari balik kimono pinjamannya. 'Tadi pagi aku menemukan benda ini," katanya sambil melempar logam tipis berbentuk bintang yang ditutupj darah kering itu ke lantai kayu.
Fujimoto menatap Andika.
"Kau tahu di mana kutemukan benda itu. Di depan rumah ini. Kau mau tahu kesimpulanku" Kurasa, ada yang telah berkhianat pada Hiroto. Orang itu tahu
tempat rahasia ini dan telah memberitahukan pula pada musuh Hiroto. Hingga rumah ini dapat disantroni dan Akimoto dapat diculik...."
Fujimoto bangkit dan berdiri menghadap Andika.
'Tampaknya Andika San mencurigaiku...," desisnya gusar.
"Bukankah kau mengetahui tempat rahasia ini?"
Fujimoto mengeleng-gelengkan kepala. Wajahnya memerah amat matang.
"Itu tuduhan keterlaluan, Andika San...," tandasnya tegas.
"Aku tak pernah berkhianat pada Hiroto San" tegasnya lagi dengan napas tersendat.
"Bagaimanaaku bisa percaya?" tepis Andika enteng.
Bibirnya menyeringai, mencoba menyudutkan Fujimoto. Mata lelaki itu menerkam mata Pendekar Slebor.
"Kau perlu bukti, Andika San?" desisnya. Setelah itu.... Srang!
Fujimoto meloloskan pedang pendeknya. Andika tersentak. Dia mengira Fujimoto akan menyerangnya. Tapi itu tak pernah terjadi.
"Aku akan seppuku untuk membuktikan kesetiaanku pada Hiroto San," kata Fujimoto.
"Menurutku, itu tidak membuktikan apa-apa. Sebab, musuh Hiroto pun melakukan hai yang sama agar tidak bisa dikorek keterangan darmya...," sangkal Andika lincah.
Fujimoto mati kutu. Keadaannya mutlak tersudut. Dia terdiam dengan wajah tak karuan. Merah, bingung dan geram. Melihat hai itu, Andika bisa cepat menilai.
"Aku percaya. kau bukan seorang penghianat...," katanya sambil beranjak. Dibuatnya Fujimoto tak mengerti sama sekali. Padahal kesimpulannya seder-hana saja bagi anak muda berotak encer itu. Kalau benarbenar Fujimoto penghianat, tentu dia akan benar-behar menikamkan pisaunya ke perut. Bukankah begitu yang dilakukan lawan-lawan Hiroto sebeIumnya manakala sudah tersudut"
Tapi si pemuda urakan tak peduli pada ketidak mengertian Fujimoto. Sementara samurai berpakaian hitam itu terbengong-bengong, Pendekar Slebor dia yang tahu....
***
~~~~~ {9} ~~~~~
Sampai saat itu, Hiroto sendiri masih sangsi apakah anaknya dilarikan ke sana atau tidak. Yang dia tahu hanyalah tempat itu pernah dipergunakan se-bagai
markas oleh musuh keluarganya. Di mana dari sana mereka menggempur keluarga keturunan Murid Bungsu yang banyak tinggal di Kyoto. Yamashiro memang daerah yang paling dekat dengan Kyoto. Hiroto ingat saat itu serangan musuh keluarga keturunan Murid Sulung Sensei Pedang Ekor Naga dipimpin oleh seorang samurai bengis yang begitu membencinya. Namanya Seichi Onigawa. Kala itu. Hiroto masih menjabat sebagai daimyo dari shogun yang berkuasa. Setelah shogun yang lama terguling, Seichi Onigawa diangkat menjadi salah seorang perwjra shogun yang baru. Hiroto dan anggota keturunan keluarga Murid Bungsu pun menjadi buronan utamanya.
Mereka dikejar ke sana ke sini seperti binatang hutan. Di bantai tanpa belas kasihan. Semata-mata karena Seichi Onigawa ingin memuaskan hasrat membunuhnya. Seichi Onigawa begitu memegang teguh kebencian yang diwariskan secara turun-temurun oleh buyutnya. Dan hanya satu yang dapat
membayar semua itu, Pedang Pusaka Ekor Naga. Kebetulan sekali, Hiroto adala salah seorang keturunan Murid Bungsu yang mendapat kepercayaan untuk menerima warisan pedang pusaka itu. Maka, makin kuat saja alasan Seichi Onigawa membenci Hiroto.Kuda Hiroto kini telah berhenti terengah-engah di
depan gerbang kuil. Kuil Matahari sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya kelengangan penat. Sejauh mata memandang, hanya tampak ilalang-ilalang jangkung di seluruh penjuru tanah kuil.
Tembok bangunan tua itu sudah dimakan lumut. Sekarat dengan warna buram muram. Dindingnya gompal di sana sini. Kubah bertingkat sebagian sudah hancur. Pintu gerbang yang dulunya mungkin berdiri gagah, sekarang tinggal puing terkatung. Hiroto menghentak tali kekang. Kuda-berjalan perlahan, memasuki mulut gerbang Kuil Matahari. Dari kejauhan mata Hiroto.
memang tak menyaksikan siapa-siapa. Sementara naluri samurainya sendiri memperingati ada berpasang-pasang mata sedang mengawasi kedatangannya. Kesiagaan Hiroto semakin menjangkit begitu kudanya sudah berada di halaman luas penuh ilalang.
Matanya tak bergerak, terpusat di bangunan sekarat di depan sana. Biarpun begitu, bukan berarti dia tak mewaspadai keadaan sekitarnya. Sebelah tangannya
tetap pada tali kekang kuda. Tangan yang lain bersiap di gagang katananya. Kalau mendadak ada yang menerjang, dia siap membabatnya.
Hewan kendaraan ksatria Nippon itu terus melangkah membawa tuannya lebih jauh masuk ke pekarangan Kuil Matahari. Lebih jauh mas uk, naluri Hiroto bertambah kuat memperingati. Sampai satu saat, kuda tunggangan Hiroto dibuat meringkik keras oleh seruakan tiba-tiba dari serumpun ilalang lebat. Kuda itu menaikkan kedua kaki depannya liar. Hiroto berusaha mengendalikan. Meski tali kekang ditarik demikian rupa dan mulutnya berseru-seru, tetap saja bmatang itu sulit dikendalikan.
Tentu saja ada yang membuat binatang itu terkejut luar biasa. Ada seseorang muncul tepat di depannya. Orang itu kini berdiri memperhatikan kepanikan kuda
Hiroto dengan wajah menyeringai. , Hiroto melompat dari kuda. Dia tak ingin tubuhnya terlempar, dan lelaki di depannya memanfaatkan keadaan itu. Seraya cepat meloloskan katana dari pinggangnya, Hiroto berdiri empat depa di depan si pcnghadang.
"Siapa kau"!" hardik Hiroto.
Orang yang ditanya berwajah buruk. Tubuhnya bungkuk karena s udah terlalu tua. Wajahnya sudah diramaikan kerut-merut. Cuma giginya yang tampak masih utuh. Hanya tanggal beberapa butir. Kumis putihnya memanjang sampai ke leher. Dia berpakaian seorang samurai lama. Pakaiannya berwarna hitam dengan
dalaman putih. Tangannya menggenggam toya panjang yang selalu diketuk-ketukkan ke tanah.
"Bodoh! Kau tak berhak bertanya begitu! Aku tuan rumah di sini Jadi aku yang mestinya bertanya padamu, siapa kau"! Sekarangjawab!" balas si lelaki tua,
sengit. Toya di tangan ditudingkan ke arah Hiroto.
"Kau penghuni Kuil Matahari" Apa kau punya hubungan keluarga dengan Seichi Onigawa?" Hiroto tampaknya tak begitu peduli dengan pertanyaan lelaki tua
barusan. Mungkin benaknya terlalu dihantui oleh keluarga Seichi Onigawa yang telah menculik anaknya.
"Kutu busuk! Sudah kubilang, kau tak berhak menanyakan siapa aku lebih dahulu! Apa kau tak pernah diajarkan tata krama, hah!" bentak si lelaki tua.
"Ayo jawab pertanyaanku, tunggu apa lagi"!"Karena merasa lelaki tua di depannya tidak ber-niat memusuhinya, meski tetap bersikap kasar, Hiroto mengalah.
"Aku Hiroto, dari Kyoto," akunya.
"Apa tujuanmu datang ke sini"!" susul si orang tua bungkuk. Masih juga dengan pertanyaan kerasnya.
"Aku ingin tahu, apakah kuil ini masih ditcmpati oleh orang-orang Seichi Onigawa?" Orang tua bungkuk menepis udara. Bibirnya mencibir.
"Seichi Onigawa. Dasar lelaki pecundang!"
"Apa maksudmu, Orang Tua" Apa yang kau ketahui tentang orang itu?" Hiroto tergesa-gesa meruntunkan pertanyaan.
Tanpa menjawab pertanyaan Hiroto, orang tua bungkuk berbalik dan melangkah tertatih ke arah bangunan kuil.
"Orang tua, tunggu!" Hiroto menyusul di belakangnya.
"Kalau kau berurusan dengan lelaki pecundang itu, aku tak punya urusan denganmu!" tandas orang tua bungkuk tanpa menoleh.
"Tapi, maukah kau menolongku orang tua. Aku harus tahu di mana markas. perkumpulan Imada-Tong!"
Orang tua bertoya memanCung langkah. Ditatapnya Hiroto dengan mata kelabunya!
"Kau tadi bilang soal Imada-Tong?"
"Benar, Orang Tua. Anakku telah diculik mereka...."
"Dan Seichi Onigawa yang membayar orang-orang Imada-Tong untuk melakukan itu?" terka orang tua bertoya dengan nada yakin.
"Benar, Orang Tua...."
Kepala orang tua itu bergoyang-goyang seperti menarikan sesuatu.
"Ya ya ya..., aku memang selalu benar!" tukasnya acuh. Lalu dia melangkah lagi.
"Orang tua, apakah kau bisa menolongku?" Hiroto memohon.
"Yang bisa menolong dirimu, cuma kau sendiri!"
"Aku cuma butuh keterangan di mana markas Imada-Tong."
"Kau keliru jika hendak mencari anakmu di markas mereka. Mereka dibayar untuk melaksanakan tugas. Kalau Seichi si pecundang itu membayar mereka untuk menculik anakmu, tak mungkin anakmu masih di tangan orang-orang Imada-Tong...," tutur orang tua bertoya datar.
Hiroto diam-diam membenarkan ucapan si orang tua itu. Karena orang tua itu terus saja melangkah, Hiroto mengikutinya lagi dengan sabar.
"Kalau begitu, apa kau tahu di mana bisa kutemui Seichi Onigawa?"
"Kutubusuk! Kenapa kau jadi demikian tolol?" Hiroto tersentak, Dia bukan sekadar terkejut mendapat hardikan itu. Dia justru tersentak karena tenaga dorongan yang lahir dari bentakan itu. Ada tenaga seperti tangan raksasa yang menyentaknya ke belakang! Siapa orang tua ini" Hiroto berbisik dalam hati. Di negeri ini, jarang seorang dapat melakukan hal itu.
Belum sempat terberangus rasa heran Hiroto, orang tua bungkuk mengayunkan toyanya ke tanah tepat di depan Hiroto. Maka, terbentuklah semacam lubang
jebakan yang cuma ditutupi ranting kering dan jerami. Di dalamnya telah siap moncong-moncong bambu setajam mata pedang!
"Lihat! Kalau kau tadi terns berjalan serampangan, kau tentu akan..., ah, kau tahu sendiri itu!"
Dua kali dengan ini Hiroto dibuat terpana.
Bagaimana si orang tua itu tidak terperosok ke dalam lubang yang hanya ditutupi oleh ranting setipis sumpit dan jerami" Padahal jelas-jelas Hirotom menyaksikan si tua bungkuk itu melangkah seenaknya di sana....
Merasa dia tengah berhadapan dengan sesepuh para samurai, Hiroto secepatnya memperbaiki sikap. Dia merunduk dalam-dalam, memberi hormat.
"Maafkan aku, Orang Tua! Mataku buta untuk mengetahui kalau kau,?" '
Tak! Belum selesai Hiroto berbicarar orang tua bungkuk tadi menggetok kepalanya dengan toya. Hiroto meringis.
"Sekali lagi kau berbuat itu padaku, aku akan menghantam batok kepalamu sampai remuk! Kau pikir aku ini siapa"! Senseimu"! Bhuh, maaf-maaf saja...."
Jakun Hiroto turun-naik. Dia merasa serba salah menghadapi orang tua ini.
"Sebaiknya kau pergi secepatnya dari sini!" perintah si orang tua dengan wajah dibuat sebengis mungkin.
"Tapi bagaimana dengan pertanyaanku tadi?"
"Yang mana"!"
"Dimana bisa kutemukan Seichi Onigawa?"
"Bhuh, si pecundang itu lagi...," gerutu orang tua bertoya.
"Di mana orang tua" Saya mohon sekali. "
"Ada di dalam sana! Dengan puluhan orang-orang Imada-Tong bayarannya...," jawab orang tua bungkuk.
Ditunjuknya Kuil Matahari dengan toya.
"Seenaknya mereka memakai kuilku tanpa izin lagi!" Hiroto menjura. Pemberitahuan orang tua bungkuk benar-benar dihargainya. Dengan begitu, dia tahu bahaya macam apa yang sedang menantinya di Kuil Matahari. Bisa jadi dia bisa tahu pula keadaan Akimoto.
"Apakah mereka menahan seorang bocah, Orang Tua?" Hiroto penasaran. Parasnya demikian berharap mendapat jawaban atas pertanyaarrya.
"Kau terlalu banyak tanya! Kenapa tak langsung saja ke sana!"
"Baik..., baik! Terima kasih, Orang Tua!"
Hiroto pun beranjak. Empat langkah ke depan, Hiroto menoleh pada lelaki tua tadi. Ternyata Hiroto sudah tak menemukannya lagi. Si orang tua bungkuk
menghilang dengan meninggalkan kabut. Hiroto berdecak tak sadar. Siapa sesungguhnya dia? Tanya hatinya lagi. Ketika teringat keadaan Akimoto, Hiroto tak bisa lebih lama memikirkan si orang tua. Dia meneruskan langkah. Sekaligus membulat-kan tekad untuk menghadapi bahaya amat besar yang menanti di dalam Kuil Matahari. Lelaki berjrwa ksatria itu siap mati!
Jarak semakin dekat. Tak lama, Hiroto sampai juga di pintu besar kuil. Daun pintu masih terkatup. Kesannya tak pernah ada orang di dalam. Bahkan sarang
laba-laba merangas, seperti tak pernah terusik selama bertahun-tahun. Sejenak Hiroto menjadi ragu. Benarkah ucapan orang tua penuh teka-teki tadi" Benarkah Seichi Onigawa dan orang-orang ImadaTong sedang menunggu di dalam? Kalau benar, kenapa di dalam sana begitu sunyi" Daya pendengaranriya sudah
dikerahkan, tapi tak seberkas suara jrum jatuh pun terdengar. Sunyi terlalu mengungkung. Sementara pintu dan sekian jendela berjajar di sepanjang kuil tak
menampakkan tanda pernah dibuka.Ditipukah aku oleh orang tua sakti tadi?
Keraguannya buyar seketika. Suara riuh mena-dingi kerasnya guruh terdengar dari dalam. Kejap itu juga, seluruh jalinan otot Hiroto mengejang tegang. Matanya membesar. Katana di tangannya diacungkan ke depan. Dia siap menanti apa yang bakal muncul dari balik pintu.
Sampai.... Khoarkk! Brak! Hiroto tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia baru mengetahuinya manakala pintu besar Kuil Matahari jebol seketika.
Ledakan amat besar yang menyebabkannya. Kekuatan ledakan itu menyebabkan kayu daun pintu setebal setengah jengkal berhamburan berkeping-keping.
Sigap, Hiroto membuang badan jauh-jauh ke samping. Tak ingin dia menempuh bahaya sedikit pun dengan menghindar tanggungtanggung. Di atas rimbunya ilalang, Hiroto mendarat. Dia begulingan, lalu berdiri kembali dengan tangkas tanpa kehilangan senjata di tangan. Matanya nyalang mencari sesuatu yang baru saja menjebol pintu besar.
Manakala tahu apa yang .dilihatnya, wajah Hiroto seperti menjadi kaku. .Dari gumpalah asap putih tebal bergulung-gu-lung, bermunculan delapan lelaki
berpakaian merah-merah. Nyaris seluruh tubuh mereka tertutup oleh pakaian tersebut. Hanya bagian mata mereka saja yang tidak. Mereka berguliran di udara bagai delapan bola, lalu berdiri membentuk Iingkarang tertutup, mengurung Hiroto.
Mereka adalah delapan pemimpin Imada-Tong. Dalam dunia samurai hitam, mereka dijuluki Delapan Samurai Merah. Nama mereka demikian ditakuti, bahkan oleh para samurai, daimyo, bahkan para perwira shogun sekali pun. Selama ini tak ada lawan yang sanggup mengalahkan mereka. Lebih dari itu, tak ada satu nyawa bisa lolos dari ancaman maut mereka. Mereka adalah pencabut nyawa tak kenal ampun!
Tanpa sadar genggaraan tangan pada gagang pedangnya mengeras. Rahangnya pun turut mengeras. Dia sadar sesadarnya kini bahaya apa yang siap memamahnya....
***
~~~~~ {10} ~~~~~
"Aku dengar kau mempunyai teman asing yang hebat, heh"!" lanjut lelaki tadi.
Tampaknya dia paling berpengaruh di antara delapan orang berpakaian merah tertutup.
"Aku tidak berurusan dengan kalian! Aku hanya berurusan dengan Seichi Onigawa!" geram Hiroto tanpa bergerak dari kuda-kuda awal.
"Kami pun sebenarnya tidak berurusan denganmu. Tapi Seichi Onigawa telah membayar mahal kami. Tapi tetap saja itu tidak cukup untuk membuat kami keluar. Kalau pun sekarang kami keluar, karena kami mendengar dari anak buah kami bahwa kau mempunyai seorang teman sakti! Kami ingin menjajalnya! Jadi urusan kami terlepas dari urusan kau dengan Seichi Onigawa!" papar lelaki tadi. Tangannya mengacungkan katana ke Hiroto.
Dari caranya, jelas sekali dia memandang sebelah mata pada samurai muda dari Kyoto itu.
"Kalau kalian tak berurusan denganku, kenapa kalian tak enyah saja!" balas Hiroto. Tak sedikit pun menyembul kesan ketakulan di raut wajahnya.
"Karena kami ingin bertemu dengan teman asingmu!" Hiroto tersenyum, meledek.
"Kalian cuma delapan ekor monyet bagi kesaktiannya...," ledek Hiroto lagi, membanding-bandingkan kehebatan Pendekar Slebor dengan nama besar Delapan Samurai Merah.
"Kalau begitu, kau yang terlebih dahulu merasakan kehebatan kami!" ancam lelaki tadi. Hiroto mengebut katana beberapa gebrakan.
"Kalau begitu, kenapa kalian tak cepat menerjang"! Aku sudah ingin secepatnya menyelesaikan urusan dengan Seichi Onigawa keparat itu!" tandas Hiroto. Lalu lelaki yang kehilangan anak kesayangannya itu menoleh pada bangunan Kuil Matahari. Dengan wajah berang, dia berteriak.
"Hei, Seichi! Apa kau dengar ucapanku! Aku akan datang memenggalmu jika selembar saja rambut anakku kau rontokkan!" Di ujung seruannya, delapan lawan tanpa aba-aba sedikit pun serentak menyerhu Hiroto. Memang begitu ciri khas serangan Delapan Samurai Merah. Mereka menyerang^tanpa tanda sedikit pun kalau mereka hendak melakukannya. Namun begitu, serangan mereka bisa dilakukan secara bersamaan. Sementara tak pernah sekali pun mereka pernah menyerang sendiri-sendiri. Kehebatan mereka justru terletak pada kesatuan penyerangan. Siapa pun atau bagaimanapun kehebatan lawan yang mereka hadapi mereka akan selalu menyerang bersama. Tak perduli apakah lawan terbilang memiliki kendo tinggi atau tidak.
Satu dari sekian ciri khas mereka adalah senjata andalan yang berbeda satu dengan Iain. Masing-ma-sing dari mereka sepertinya telah mencapai taraf sensei
dalam permainan senjata yang berbeda. Seorang mempergunakan katana, yang Iain mempergunakan toya, arit kembar, rantai berbandul pisau. trisula, pedang pendek kembar, lembing panjang berpangkal arit dan sepasang tongkat pendek.
Di lain sisi, bukan berarti mereka tak cukup berbahaya dalam keahlian mempergunakan senjata Iain. Swing! Terjangan pendahuluan dilakukan oleh lelaki berkatana. Dialah yang sebelumnya bertanya pada Hiroto. Dari udara, lelaki membacokkan senjatanya lurus-lurus ke batok kepala Hiroto. Tenaga lompatannya sudah cukup menunjukkan bacokannya bisa membelah dua kepala hingga tubuh lawan!
Hiroto terkesiap sejenak. Semula dia tak menganggap Delapan Samurai Merah akan melakukan serangan secepat itu dan setiba-tiba itu. Naluri kesamuraiannya yang telah diasah dalam memperingati.
"Hai!"
Hiroto berguling di tanah. Katana lawan hanya menghujam tanah tepat di tempat berdiri sebelumnya.
"Hea!" Swing!
Begitu kaki lawan sampai, Hiroto membuat sabetan rendah setengah putaran. Kaki lawan hendak dikutungkannya. Namun usaha itu tidak mudah. Se-belum bisa membabat kaki lawan, anggota Delapan Samurai Merah bersenjata katana itu sudah menjegal tebasan Hiroto dengan katananya.
Trang! Kejap berikutnya, lawan bertrisula kembar menusukkan sepasang senjatanya ke dada Hiroto. Hiroto yang masih telentang di tanah, mencoba memapaknya dengan telapak kaki. Taph! Pergelangan tangan lelaki bertrisula kembar tertahan di udara. Itu tak berlangsung lama. Katana lawan yang lain mencoba membobol pertahanan kaki Hiroto dengan menebaskan sepasang arit. Wes!
Hiroto tak mau kedua kakinya terputus. Dia menarik dalam-dalam kakinya. Lalu melepaskan tusukan ke perut lawan bersenjatakan trisula kembar.
Swing! Trang! Tanpa sempat menembus sasaran, katana Hiroto dijegal sepasang arit yang sebelumnya berusaha mengutungi kakinya. Pada saat yang sama, sepasang arit tadi mengunci senjata Hiroto dengan cara menyilang di antara katana Hiroto.
Mata Hiroto cukup awas untuk mengetahui niat lawan. Sebelum pedang panjangnya benar-benar terkunci tenaga lawan, cepat ditariknya senjata ke samping.
Gagalnya kuncian sepasang arit di kuti oleh tusukan dua pedang dari lawan yang lain. Hiroto yang masih telentang di tanah dipaksa bergulingan. Lawan bersenjata dua pedang pendektcrus mengejarnya. Setiap kali Hiroto berhasil membuat tus ukan sepasang pedang pendek itu menghujam tanah, lawan. membuat tusukan yang sama kembali. Bles! Bles! Bles!
Hiroto tak mau terus-terusan begitu. Lama-lama dia bisa kehabisan tenaga. Maka diputuskan untuk menjegal tusukan liar lawan dengan katananya. Sayang baru saja senjatanya itu di ayunkan, toya baja seorang lawan mendongkelnya dari bawah.
Trang! Bunga-bunga api terpercik ketika dua batang baja berbentuk berbeda itu berbenturan. Hiroto merasakan pergelangannya demikian ngilu karena tenaga
hantaman lawan. Detik itu juga pedang panjang Hiroto terpental ke udara, terkena dongkelan bertenaga lawan bertoya. Lawan berhasil membobol satu pertahanan paling penting bagi Hiroto.Itulah kehebatan Delapan Samurai Merah. Mereka membuat pertahanan rapat satu dengan yang Iain.
Serangan dan pertahanan mereka ibarat mata rantai yang tergabung menjadi satu. Satu dengan yang lain saling memperkuat. Tak perduli apakah mereka menghadapi lawan berkemampuan kendo tinggi atau tidak Hiroto baru menyadari itu. Tapi apa gunanya menyadari kunci benteng pertahanan lawan kalau dia sendiri telah kehilangan benda paling penting dalam suatu pertarungan"
Ha,ti Hiroto seperti tergiris,Sementara memegang senjata saja keadaannya sudah begitu terdesak, Apalagi jika tangannya kosong melompong. Tanpa mau memberi kesempatan bagi Hiroto untuk bernapas setarikan pun, seorang dari anggota Delapan Samurai Merah yang memegang rantai panjang berbandul
pisau melepas senjatanya dari jarak jauh. Keterdesakan Hiroto di atas tanah makin tak banyak mendapat jalan lolos. Mata pisau berantai meluncur deras menuju kening Hiroto. Tak ada lagi yang bisa diperbuat Hiroto saat itu. Satu sisi dia harus menghadapi tusukan mata sepasang pedang. Dan kalau dia mencoba menghindar ke sisi lain, maka mata pisau berantai akan menembus keningnya!
Mau tak mau, Hiroto akhirnya memasrahkan semuanya pada takdir. Kalau melihat keadaannya sekarang, tentu takdir buruk yang akan menghampiri. Namun begitu, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang tahu takdirnya sendiri. Karena begitu mata pisau di ujung rantai lawan hendak menghujam, tubuhnya tibatiba saja disambar seseorang. Sambaran itu amat cepat, lebih tangkas dari sambaran seekor elang perkasa dari langit!.'
Thep! Kejopak mata Hiroto yang semula terkatup memasrahkan segalanya, Jangsung saja membuka saat merasakan tubuhnya melayang begitu cepat. Dia belum lagi tahu siapa yang baru saja menolongnya. Ketika Hiroto merasakan ada sentakan, dia tahu si penolong telah menjejakkan kaki di tanah.
Lalu didengamya suara orang yang membopongnya. Suara yang serak memekakkan telinga. Saking memekakkan, mungkin lebih pantas disamakan dengan riuh-rendah kaleng rombeng. 'Hua-he-hu-he-huaaa, jangan heran jangan ka-get! Aku datang untuk bikin kejutan. Siapa yang tak terkejut, silahkan terkejut. Siapa yang terkejut, silahkan tidak terkejut. Siapa yang bingung mendengar kejutan ini" Silahkan buat kejutan sendiri!"
Delapan Samurai Merah merasa langkah kemenangan mereka digagalkan oleh seorang sinting!
Mereka melihat seorang yang amat jelek. Kimono yang dipakainya sudah porakporanda. Dekil, dan tercabik-cabik. Wajahnya amat merah menjijikan. Bagaimana tidak mcnjijikkan kalau merah wajahnya sama dengan pinggiran bisul" Di salah satu pipinya terdapat benjolan sebesar jempol Buto Ijoberwama biru. Mulutnya terus saja mengecap-ngecap, menimbulkan s uara tak sedap. Dan rambutnya keras serta ' kaku seperti bulu domba tak terurus.Delapan Samurai Merah benar-benar yakin mereka berhadapan dengan orang sinting. Belum lagi kalau mereka menilai ucapan ngawur yang dikatakan barusan.
Kalau pun benar lelaki itu sinting, tentu dia adalah orang sinting berilmu tinggi. Buktinya Hiroto dapat disambar demikian rupa. Pikir mereka lagi.
"Siapa kau"!" bentak lelaki bersenjatakan katana.
Dari sinar matanya tampak sekali kalau dia begitu gusar.
"Iyou-iyou! Siapa aku" Aku adalah orang yang bakal membuat kejutan. Siapa pun manusia di dunia ini akan kubuat terkejut! Terkejut adalah kesenangan yang
mengejutkan. Apa kalian tak ingin terkejut" Hua-he-hu-heaaaa!"
Delapan Samurai Merah saling pandang tak mengerti. Mereka mau berbuat apa sekarang" Menghabisi juga orang sinting itu"
Tampaknya lelaki bersenjata katana tak berniat berurusan dengan si orang dekil tak dikenal. Tujuan mereka menghadang Hiroto sesungguhnya hanya untuk membuktikan cerita anak buahnya tentang kawan asing,Hiroto. Mereka merasa harga diri mereka terusik dengan tindak-tanduk si anak muda asing.
Kalau orang yang akan dihadapinya kini bukan lah pemuda itu, bagaimana mereka mau membuang tenaga tanpa tujuan yang jelas. Seichi Onigawa pun tak membayar mereka untuk melakukan tindakan itu.
Delapan Samurai Merah menganggukkan kepala berbarengan,Dan dengan berbarengan pula tangan mereka membanting sesuatu ke atas tanah. Blush! Asap tebal mengepung tubuh kedelapan lelaki berpakaian merah-merah itu. Amat tebal, sosok mereka jadi tak tampak karenanya. Ketika angin menyapu perlahan asap putih tebal tadi, Delapan Samurai Merah telah tak ada lagi.
"Turunkan aku, Tuan!" pinta Hiroto, sesaat setelah Delapan Samurai Merah menghilang. Lelaki dekil berwajah jelek tertawa tak beraturan
"O, iya. Aku sampai lupa," tukasnya. Dilepasnya begitu saja tubuh Hiroto dari bahu. Kalau saja Hiroto sejenis lelaki pesakitan, tentu dia sudah jatuh tersungkur dengan pantat terlebih dahulu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hiroto. Diberinya sang penolong juraan hormat.
Dalam dan khusuk. Sebagai samurai sejati, Hiroto memiliki tata krama tinggi. Sementara menjura, hatinya tak habis bergumam. Hari ini di tempat yang sama, dia sudah dua kali bertemu dengan orang yang bukan saja bertingkah ganjil, tapi pakaiannya pun tak karuan. Sebelumnya si kakek bungkuk. Sekarang lelaki berwajah merah.
"Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau ,tak bisa terus di sini!" sambat lelaki berwajah merah sebelum mulut Hiroto berucap lebih banyak.
"Kenapa begitu! Tuan?"
"Jangan panggil aku Tuan! Kau pasti punya nama bukan" Begitu juga aku.... Namaku Tototo.
" Mulut Hiroto meringis samar. Nama itu" bisik hatinya geli. Seumur hidup, tak pernah didengarnya nama seaneh itu di negerinya ini.... Jangan-jangan dia orang sinting, duga Hiroto lagi, tak beda dengan pikiran Delapan Samurai Merah.
"Kenapa tersenyum"!" hardik lelaki bernama Tototo.
Matanya mendelik menyeramkan. Hiroto menjura lagi.
"Maaf, maaf.... Aku tidak bermaksud apa-apa," sergah Hiroto, memperbaiki kesalahannya.
"Kenapa aku tidak bisa masuk ke Kuil Matahari, Tototo San?" Hiroto mengulang pertanyaan yang sebelumnya terbengkalai.
"Karena aku sudah ke sana."
"Tapi aku belum."
"Tapi kau tak perlu ke sana! Titik!"
"Aku punya urusan yang amat genting dengan Seichi Onigawa....
" Hiroto mencoba menjelaskan.
"Aku bilang tak perlu ke sana. Waktu kau habis-habisan dikeroyok orang-orang usil tadi, aku iseng.-iseng masuk ke dalam sana. Tak ada seorang pun di dalam
sana. Tapi tunggu dulu...." Tototo rnenghentikan ucapan-mencerocosnya Dia mengingatingat sesuatu.
"Tapi aku melihat satu gerombolan bersembunyi di sana...."
"Kau bertemu dengan gerombolan Imada-Tong?" Hiroto teringat pada ucapan kakek bungkuk. Orang tua bertoya itu juga kalau orang-orang Imada-Tong menanti di dalam Kuil Matahari.
Tototo mencibir. Wajahnya bertambah jelek.
"Aku bertemu dengan satu gerombolan kecoak!" tukasnya acuh sambil berlalu dari tempat itu.
Hiroto ragu. Mana yang harus dipercayanya kini. Orang tua bungkuk sebelumnya mengatakan Seichi Onigawa dan orang-orang Imaga-Tong menunggunya di dalam kuil. Sebaliknya, lelaki bernama Tototo ini justru mengatakan di dalam kuil tak ada orang lagi. Bimbang meruyak. Kalau dia masuk ke sana juga
dan ternyata Tototo benar, artinya dia akan banyak kehilangan waktu. Tapi bagaimana kalau perkataan kakek bungkuk benar"
Karena terlalu dikecamuk kebimbahgan, tanpa sadar Hiroto menoleh ke arah bangunan Kuil Matahari. Sewaktu kepalanya menoleh kembali ke arah lelaki bernama aneh tadi, Hiroto sudah tak menemukannya lagi.
"Siapa pula dia?" Benak Hiroto makin dijejali teka-teki tak terjawab.
Siapakah orang tua bungkuk bertoya? Siapa pula Tototo? Apa tujuan keduanya? Apa yang dilakukan si urakan sakti Pendekar Slebor untuk menolong Hiroto
tanpa perlu membuat harga diri kawannya itu terusik?
"Di mana pula Akimoto disembunyikan? Siapa pengkhianat keluarga Hiroto?"
SELESAI
Ikutl serial Pendekar Slebor selanjutnya :
RAHASIA SANG GEISHA
INDEX PENDEKAR SLEBOR | |
Sengketa Di Gunung Merbabu --oo0oo-- Rahasia Sang Geisha |